Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut 2


Dewa Arak Dewi Penyebar Maut Bagian 2



Baru juga Arya membalikkan tubuhnya, Melati telah berdiri di hadapannya.

   Dalam hati, Arya memuji kecepatan gerak gadis ini.

   Sulit dibayangkan kepandaian dan tenaga dalam gadis itu.

   Dan jika melihat ilmu meringankan tubuhnya, gadis berpakaian serba putih ini merupakan seorang lawan yang amat berat dan berbahaya! "Rupanya kau tidak pengecut, Dewa Arak.

   Tidak seperti Raja Pisau Terbang dan putrinya! Sebelum berhasil kubunuh, mereka telah melarikan diri dengan cara licik.

   Mudah-mudahan kau tidak sepengecut itu,"

   Ujar Dewi Penyebar Maut seraya tersenyum sinis.

   Berubah wajah Arya.

   Benarkah apa yang dikatakan gadis ini.

   Rasanya mustahil Raja Pisau Terbang dapat dikalahkan.

   Tokoh itu adalah seorang datuk.

   Kalau benar gadis itu telah mengalahkannya, sukar dibayangkan sampai di mana tingkat kepandaian gadis berpakaian serba putih itu.

   "Kau..., kau telah menemui mereka? Dari mana kau mengetahuinya?"

   Tanya pemuda berambut putih keperakan ini dengan suara tersendat.

   Memang, Arya Buana kaget juga mendengar ucapan itu.

   Dia dapat memperkirakan kalau ikut campurnya Raja Pisau Terbang, karena anaknya terancam maut.

   Tapi yang menjadi pertanyaan, dari mana gadis itu mengetahui kalau Ningrum adalah salah seorang pembunuh ayahnya? "Lho, apa susahnya mengetahui siapa pengecut-pengecut yang membunuh ayahku? Saksi sangat banyak!"

   Jawab Dewi Penyebar Maut.

   "Sayang sekali, Ningrum bisa lolos dari tanganku. Kalau tidak, hanya tinggal kau dan Ular Hitam. Dan setelah itu tugasku pun selesai!"

   "Jadi..., jadi..."

   Arya tergagap, karena tercekat hatinya.

   "Ya. Dua orang yang ikut andil dalam membunuh ayahku telah kubereskan,"

   Selak Melati sambil menganggukkan kepalanya.

   "Maksudmu, Kakang Satria dan Kakang Mega?"

   Tanya Dewa Arak dengan wajah pucat pasi. Gadis berpakaian serba putih itu tidak menjawab, tapi hanya mengangguk kecil. Tapi anggukan itu sudah cukup bagi Arya.

   "Kau keterlaluan, Nini!"

   Bentak Arya Buana keras. Tapi gadis itu hanya menyambutnya dengan tawa sinis. Srakkk! Melati memasukkan pedang ke dalam sarungnya.

   "Sekarang giliranmu, Dewa Arak!"

   Setelah berkata demikian, gadis berpakaian serba putih ini menerjang Arya.

   Kaki kanannya melangkah ke depan membentuk kuda-kuda ke arah kanan.

   Tangan kiri mengancam pelipis, sedangkan tangan kanan terpalang di depan perut.

   Melati yang sebenarnya tidak sampai hati mencelakai pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini, tidak mengerahkan seluruh tenaga sewaktu menyerang.

   Hanya dikerahkan tiga perempat dari tenaganya.

   Angin berciut keras menyambar Arya sebelum serangan itu tiba.

   Pemuda berambut putih keperakan ini pun segera tahu kalau serangan lawan itu mengandung tenaga dalam cukup kuat.

   Dewa Arak cepat menarik kaki kanannya mundur sambil mencondongkan tubuhnya ke belakang.

   Berbarengan dengan itu, tangan kanannya diulurkan memapak serangan yang mengarah ke pelipis.

   Arya yang tidak ingin mencelakakan gadis yang mengaku putri pamannya ini, hanya mengerahkan separuh dari tenaganya.

   Plakkk! Dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam yang sangat kuat bertemu.

   Arya terhuyung dua langkah ke belakang.

   Sedangkan Melati hanya terhuyung satu langkah.

   Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut.

   Ternyata tenaga dalam gadis itu cukup tinggi juga.

   Sedangkan Melati sudah bisa memastikan kalau pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini, ternyata hanya mengeluarkan kekuatan tenaga dalam sedikit rendah dibanding tenaga dalamnya.

   Jadi dia tidak akan menambah kekuatan tenaganya dalam serangan selanjutnya.

   Sedangkan Arya yang merasakan betapa kuatnya tenaga dalam gadis itu, terpaksa menambah tenaga untuk pertarungan selanjutnya.

   Dalam pertarungannya melawan gadis ini, pemuda berambut putih keperakan ini hanya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.

   Rasanya, tidak tega jika menggunakan ilmu andalannya.

   Dalam waktu sebentar saja, mereka sudah bertarung lebih dari lima jurus.

   Melati penasaran bukan main ketika menyadari tenaga dalam pemuda itu ternyata sepertinya semakin lama semakin kuat.

   Semula dengan tiga perempat dari tenaganya saja, pemuda itu sudah terhuyung.

   Tapi kini sampai mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, pemuda itu mampu menangkisnya tanpa terhuyung.

   Kini gadis ini sadar kalau Dewa Arak tadi tidak bersungguh-sungguh dalam menangkis serangannya.

   Hal ini membuat Dewi Penyebar Maut yang memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung.

   Gadis ini merasa diremehkan.

   Dan sebagai akibatnya, kini dikerahkan seluruh kemampuan dalam serangan selanjutnya.

   Ilmu 'Cakar Naga Merah'-nya menyambar-nyambar buas ke arah Arya.

   "Tahan...!"

   Dewa Arak berseru keras sambil melentingkan tubuhnya ke belakang menghindari serangan Melati yang bertubi-tubi. Gadis berpakaian serba putih yang tengah dilanda penasaran itu terpaksa menahan serangannya. Dengan napas masih memburu, ditatapnya Arya.

   "Mengapa berhenti, Dewa Arak? Takut?"

   Pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak menggubris ejekan tajam Melati. Wajahnya terlihat tegang bukan main.

   "Dari mana kau dapatkan ilmu itu, Nini?"

   Tanya Dewa Arak dengan suara gemetar. Sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu seketika membelalak.

   "Apa hubunganmu dengan ilmu yang kumiliki?! Mau kudapatkan dari mana saja, atau dari mencuri pun itu urusanku. Dan tidak ada sangkut-pautnya denganmu!"

   Jawab gadis itu ketus.

   "Memang ada hubungannya, jika dugaanku benar. Maka sudah menjadi urusanku kalau ilmu yang kau gunakan itu adalah 'Cakar Naga Merah',"

   Tandas Arya tegas.

   "Kalau memang benar ilmu itu adalah 'Cakar Naga Merah', kau mau apa?"

   Tantang Melati.

   "Harus kau katakan dari mana memperolehnya! Apakah kau mempelajarinya dari Ki Gering Langit?"

   Wajah Melati memerah. Pelahan-lahan kemarahan mulai membakar hatinya. Pemuda di hadapannya ini terlalu usilan dan sombong.

   "Apa hakmu dengan ilmuku ini, Dewa Arak?!"

   "Apakah Ki Gering Langit itu gurumu, Nini?"

   Desak Arya, tidak menggubris ucapan gadis itu. Kemarahan yang sejak tadi membakar hati Melati, kini tak bisa ditahan lagi.

   "Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Jangan dikira aku takut padamu!"

   Setelah berkata demikian, gadis itu kembali menerjang Arya.

   Tidak dipedulikannya lagi teriakan-teriakan mencegah dari pemuda itu.

   Hatinya telah sangat tersinggung terhadap sikap pemuda itu, yang sama sekali tidak menganggap dirinya.

   Dewa Arak tidak punya pilihan lagi.

   Cepat-cepat disambut serangan Melati, dan dibalasnya dengan serangan yang tak kalah dahsat.

   Kali ini Dewa Arak terpaksa menggunakan ilmu andalannya.

   'Belalang Mabuk', dan 'Delapan langkah Belalang'.

   Tak lupa, diambilnya guci arak yang berada di punggungnya.

   Dan diangkat ke atas mulutnya.

   Gluk...

   gluk...

   gluk...! Terdengar suara berceglukan dari mulut Arya ketika arak itu memasuki mulutnya.

   Sesaat kemudian tubuhnya mulai sempoyongan.

   Melati mulai menyerang secara ganas.

   Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan segenap kemampuannya.

   Disadari kalau kepandaian pemuda di hadapannya ini tidak serendah dugaannya.

   Berkali-kali tubuhnya terhuyung setiap kali pemuda itu menangkis serangannya.

   Hal ini membuat amarah gadis itu kian meluap.

   Apalagi terlihat jelas kalau pemuda itu jarang sekali membalas serangannya.

   Lebih sering Arya mengelakkan serangan atau menangkisnya.

   Delapan puluh jurus telah terlewati, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.

   Diam-diam Arya memuji kelihaian lawannya ini.

   Pantaslah kalau Raja Pisau Terbang harus melarikan diri dari hadapannya.

   Kepandaian gadis berpakaian serba putih ini memang sangat tinggi.

   Melati menggertakkan gigi.

   Gadis ini sadar, tak mungkin rasanya mengalahkan Arya Buana.

   Diiringi sebuah keluhan tertahan dari kerongkongannya, Dewi Penyebar Maut segera melesat meninggalkan Dewa Arak.

   Tentu saja Arya yang tidak menduga hal itu menjadi kaget bukan main.

   "Nini!"

   Teriak Arya keras.

   "Tunggu...!"

   Tetapi gadis berpakaian serba putih itu tak menggubris teriakan Arya, dan terus saja berlari. Dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap di kejauhan. Arya hanya termenung memandangi kepergian Melati. Disadari kalau tidak ada gunanya mengejar gadis itu.

   "Hhh...!"

   Arya menghela napas berat.

   Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, untuk menyusuri jejak Bargola yang telah menculik ibunya.

   Pandangan mata pemuda berbaju ungu itu terpaku pada sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi.

   Dia adalah Arya Buana alias Dewa Arak.

   Setelah cukup lama bersikap seperti itu, baru kemudian dihampirinya gerbang yang sudah tidak memiliki pintu lagi.

   Di ambang pintu itu, langkah kaki Arya terhenti.

   Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati kepingan-kepingan papan tebal yang berserakan di bawah kakinya.

   Pada tiap kepingan papan tebal itu tertera tulisan.

   Dewa Arak lalu menyusun tiap kepingan papan bertulisan itu, dan benarlah dugaannya.

   Kepingan papan tebal itu memang mulanya adalah papan nama perguruan, yang kini sudah hancur berantakan.

   "Perguruan Beruang Hitam,"

   Gumam pemuda itu pelan.

   Perguruan itu memang didirikan Bargola, yang sekarang tengah dicarinya.

   Pemuda itu datang ke sini dengan harapan ada berita mengenai tempat Datuk Timur itu mengasingkan diri.

   Dengan langkah setengah hati-hati, Arya melangkah masuk.

   Seperti yang sudah diduganya, hanya kelengangan dan kesunyian saja yang dijumpai.

   Juga, bangunan-bangunan yang bekas terbakar di sana-sini.

   "Hhh...!"

   Arya menghembuskan napas kecewa.

   Tanpa diberitahu pun, ia telah bisa menebak orang yang mengobrak-abrik perguruan ini.

   Siapa lagi kalau bukan Raja Racun Pencabut Nyawa yang dibantu Siluman Tengkorak Putih? Kali ini Arya tidak menyalahkan tindakan pamannya itu.

   Wajar bila pamannya melampiaskan kekesalan atas tindakan Bargola yang menculik adik kandungnya.

   Tidak tanggung-tanggung, dihancurkannya perguruan yang didirikan Bargola itu.

   Tengah pemuda itu termenung bingung, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki dari arah bangunan yang tidak terbakar.

   Tanpa pikir panjang lagi, Arya melompat ke atas dan hinggap di atas sebuah cabang pohon yang terletak tidak jauh dari situ.

   Dari situ Dewa Arak mengintai ke arah suara langkah kaki tadi berasal.

   Tampaklah seorang laki-laki tengah melangkah keluar dari bangunan itu.

   Wajah maupun potongan tubuhnya tidak jelas, karena jarak yang cukup jauh.

   Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada sesuatu yang ditakutinya.

   Baru setelah itu, sosok tubuh itu melangkah ke luar dengan berindap-indap.

   Melihat tindak-tanduk orang itu, Arya menjadi curiga.

   Keadaan tempat itu sebenarnya sudah membuat orang berpikir kalau di situ tidak ada penghuninya.

   Kalau sosok tubuh itu tetap tinggal di situ, berarti ada satu dugaan.

   Dia sengaja bersembunyi di situ.

   Setelah sosok tubuh itu lenyap ditelan kejauhan, Arya melompat turun dari tempat persembunyiannya.

   Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki ke dalam bangunan itu.

   Dengan sikap waspada, Arya melangkah masuk.

   Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam bangunan itu.

   Begitu kotor, kumuh dan tak terurus.

   Debu dan sarang laba-laba berserakan di sana-sini.

   Semua ruangan keadaannya sama.

   Lalu, di manakah orang itu tinggal? Sungguh pun jaraknya cukup jauh, Arya dapat melihat kalau pakaian orang itu bersih.

   Padahal di seluruh ruangan yang ada di dalam bangunan ini, tidak ada tempat yang bersih.

   Aneh! Ataukah ada ruang rahasia di dalam bangunan besar ini? Pemuda berambut putih keperakan ini tahu bahwa akan memakan waktu yang sangat lama, kalau mencoba mencari ruang rahasia itu.

   Jalan yang paling mudah adalah menunggu lelaki tadi kembali, kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu.

   Kalau memang benar ruang rahasia itu ada.

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera keluar dari gedung itu.

   Diintainya keadaan di depan sebelum dilangkahkan kakinya ke luar.

   Barangkali saja orang yang tadi diintainya telah kembali.

   Tapi di luar sepi.

   Bergegas pemuda ini kembali ke tempat persembunyiannya semula.

   Menunggu.

   Cukup lama juga pemuda berambut putih keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya melihat orang itu di kejauhan.

   Kini nampak jelas, kalau kelakuan orang itu yang aneh.

   Sebelum melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang yang terdapat papan nama perguruan, orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap penuh curiga.

   Baru setelah yakin tidak ada yang melihatnya, orang itu bergegas masuk ke dalam.

   Kelihatennya setengah berlari saat memasuki bangunan besar yang baru saja ditinggalkan Arya.

   Bergegas Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon itu.

   Dan dengan hati-hati diikutinya orang itu.

   Orang yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bertubuh sedang, dan berkumis tebal itu, sama sekali tidak sadar kalau tengah diikuti.

   Bahkan tenang-tenang saja saat melangkahkan kakinya di dalam.

   Sampai di sebuah ruangan, diambilnya sebuah kursi rusak yang memang terdapat di situ, lalu, berdiri di atasnya.

   Sebentar kemudian diulurkan tangannya ke atas.

   Arya yang mengintip dari balik pintu yang terbuka, kaget juga melihat apa yang dilakukan orang itu.

   Si kumis tebal itu ternyata hendak menangkap cecak yang tadi juga dilihatnya.

   Anehnya, cecak itu diam saja.

   Binatang melata itu tidak berusaha mengelak dari ancaman tangan si kumis tebal.

   Seolah-olah tidak tahu adanya bahaya yang mengancam.

   Kreppp! Tangan si kumis tebal dengan tepatnya mencengkeram tubuh cecak itu.

   Arya terbelalak.

   Tapi di lain saat, pemuda ini sadar, kalau cecak itu bukanlah cecak sungguhan.

   Cecak itu pasti alat rahasia menuju ruangan tersembunyi.

   Dugaan Arya tidak salah.

   Begitu si kumis telah memutar 'cecak' itu, tiba-tiba terdengar suara berderak keras.

   Sesaat kemudian lantai di tengah-tengah ruangan bergeser.

   Dan begitu bunyi berderak itu berakhir di belakang si kumis tebal terlihat sebuah lubang berukuran setengah tombak kali setengah tombak.

   Begitu melihat lantai ruangan itu bergeser, tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera melesat dan melompat masuk ke dalam.

   Untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu yang tidak diinginkan, pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

   Ringan dan hampir tanpa suara, kedua kaki Arya hinggap di tanah.

   Belum lagi pemuda ini berbuat sesuatu, terdengar sebuah teguran keras.

   "Kaukah itu, Sentaka?"

   Tercekat hati Arya mendengar teguran keras itu dan buru-buru menyelinap ke balik tiang.

   Baru saja Arya bersembunyi, terdengar suara yang cukup keras.

   Pemuda berbaju ungu ini mengintai dari balik tiang.

   Tampak si kumis tebal itu kini telah turut pula.

   Rupanya suara itu berasal dari kedua kaki kumis tebal itu yang hinggap di dalam ruangan ini.

   Sekilas Arya memperhatikan sekelilingnya.

   Segera saja dapat diketahui, kalau dirinya kini berada di dalam sebuah ruangan cukup luas.

   Keadaan di sini hanya remang-remang saja, karena hanya diterangi sebuah obor yang terpasang di sudut ruangan ini.

   Arya memperhatikan arah asal suara teguran itu.

   Segera saja dapat diketahui kalau suara itu berasal dari ruangan yang terang benderang di sebelah sana.

   Kini Arya mengalihkan perhatiannya pada si kumis tebal yang sekarang diketahui bernama Sentaka.

   Tampak Sentaka tengah mendekati sebuah tangkai obor yang tidak terpakai, lalu ditarik ke bawah.

   Terdengar suara berderak keras.

   Maka, lantai di ruangan atas yang tadi terbuka itu pun bergerak menutup kembali.

   Tiba-tiba pendengaran Arya yang tajam menangkap suara langkah mendekati.

   Dari bunyi suara langkah yang pelan hampir tanpa suara, pemuda berbaju ungu ini dapat memperkirakan kalau orang yang akan hadir ini memiliki kepandaian tinggi.

   Dengan demikian dia harus bersikap waspada.

   Bahkan suara napasnya pun ditahan.

   Sesaat kemudian terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam tiba di situ.

   Sungguhpun suasana di situ remang-remang, Arya dapat mengenali kalau sosok tubuh itu adalah orang yang tengah dicari-carinya.

   Siapa lagi kalau bukan Bargola! Ciri-ciri orang itu persis dengan apa yang dikatakan Kakek Ular Hitam.

   "Sentaka,"

   Sapa orang tinggi besar itu kepada si kumis tebal.

   "Ada apa, Guru?"

   Sahut Sentaka.

   "Tahukah kau, ada orang lain yang masuk ke sini sebelum kau tiba? Kuakui ilmu meringankan tubuh orang itu hebat sekali. Kalau saja tidak waspada penuh, tidak mungkin aku mendengarnya."

   "Tapi, Guru. Aku yakin betul, kalau aku masuk ke dalam bangunan ini sendiri. Bagaimana mungkin ada orang yang masuk ke sini?"

   Bantah si kumis tebal yang bernama Sentaka itu.

   "Tapi aku mendengar suaranya, Sentaka! Dan telingaku belum pernah tertipu!"

   Tandas Bargola.

   "Barangkali saja hanya suara kucing melompat..."

   Dan seperti hendak membela Sentaka, terdengar suara mengeong lirih.

   Sebentar kemudian muncullah? seekor kucing, yang langsung berjalan mendekati kedua orang itu.

   Dengan sorot mata penuh kemenangan, Sentaka menatap wajah gurunya.

   Bargola tidak bisa berkata apa-apa lagi.

   Ditatapnya binatang itu sejenak, sebelum dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

   Arya menunggu sampai tubuh Bargola lenyap di balik ruangan.

   Kemudian, dipungutnya sebuah batu sebesar kacang kedelai dan dijentokkan ke arah Sentaka.

   Singgg .! Tukkk! Tubuh Sentaka mengejang ketika batu itu mengenai punggungnya.

   Tanpa sempat mengeluh lagi, si kumis tebal itu pingsan.

   Sebelum tubuh itu sempat jatuh ke tanah, pemuda berambut putih keperakan itu telah lebih dulu melesat untuk menyangga tubuh Sentaka yang hendak rubuh.

   Pelahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di tanah.

   Setelah itu dengan hati-hati, Arya melangkahkan kakinya menuju arah Bargola tadi lenyap.

   Pemuda berpakaian ungu ini melintasi lorong yang diterangi cahaya obor yang terpancang di kanan kiri dinding.

   Baru beberapa langkah Arya memasuki lorong, terdengar suara-suara bernada marah dari arah depannya.

   Buru-buru Dewa Arak mempercepat langkahnya, seraya tetap mendengarkan suara itu.

   "Sampai kapan lagi aku harus bersabar, Sani,"

   Pendengaran Arya menangkap suara yang bernada marah itu.

   Suara itu segera dikenal sebagai suara Bargola! Arya merasa tengkuknya tiba-tiba dingin mendengar suara itu.

   Bukan karena gentar pada pemilik suara itu.

   Tapi, karena isi ucapan itu.

   Datuk itu marah-marah pada orang yang bernama Sani! "Sani? Ibukukah?"

   Tanya Arya dalam hati. Tak terasa pemuda itu mempercepat langkahnya. Sementara suara itu terus bergema sepanjang lorong yang dilalui.

   "Empat belas tahun bukan waktu yang singkat, Sani. Bayangkan! Empat belas tahun lamanya aku menunggu kesediaanmu, untuk sukarela menyerahkan diri padaku. Tapi kau benar-benar wanita tak tahu diuntung! Padahal, karena kaulah aku rela mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekuat tenaga kutahan rasa penasaranku untuk menantang Siluman Tengkorak Putih. Hhh...! Kini kesabaranku sudah habis, Sani! Mungkin kau termasuk seorang wanita yang lebih suka dikasari daripada diperlakukan baik-baik!"

   "Jangan harap dapat menyentuh tubuhku, Bargola!"

   Teriak wanita itu.

   "Sebelum kau menjamah tubuhku, aku lebih dulu akan bunuh diri!"

   "Ha ha ha...! Boleh kau coba kalau bisa, Sani!"

   Tantang Bargola.

   Tepat pada saat itu, Arya berada di ambang pintu.

   Tampak Bargola bergerak lambat-lambat menghampiri seorang wanita setengah baya berpakaian kuning, yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar merah.

   Dan pemuda berambut putih keperakan ini melihat jelas kalau wanita itu tengah menggerakkan tangan kanannya untuk memukul ubun-ubunnya sendiri.

   Wut...! Serasa terbang semangat Arya melihat hal ini.

   Jaraknya yang terlampau jauh dan kedatangannya yang agak terlambat, membuatnya tidak berdaya untuk mencegah.

   Tapi sebelum niat wanita itu terlaksana, Bargola sambil tertawa terbahak-bahak memutar-mutar kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam.

   Dari kedua tangan yang berputar itu, bertiup angin keras yang langsung menyerbu ke arah wanita setengah baya itu.

   Wanita berpakaian kuning itu memekik.

   Tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlontar ke belakang, dan jatuh di pembaringan.

   Untung Bargola tidak berniat mencelakainya, sehingga dalam serangannya itu hanya membuat perut wanita itu mual dan tubuhnya terlempar.

   Sambil terkekeh-kekeh, Datuk Timur itu melangkah mendekati wanita yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar merah.

   Pandang matanya nampak liar penuh nafsu.

   Tapi sebelum datuk yang menggiriskan ini mengoyak-ngoyak pakaian wanita yang dipanggil Sani, tiba-tiba...

   "Bargola, manusia rendah! Orang semacam kau memang tidak layak dibiarkan hidup!"

   Terdengar bentakan keras menggeledek.

   "Heh!"

   Bargola sangat terkejut mendengar teriakan itu.

   Dengan amarah yang meluap karena kesenangannya terganggu, dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah asal suara.

   Di ambang pintu, tampak berdiri seorang pemuda berambut putih keperak-perakan, berwajah jantan, dan berpakaian ungu.

   Di tangannya tergenggam sebuah guci arak yang terbuat dari perak.

   "Ha ha ha...!"

   Kembali Bargola tertawa bergelak.

   Tidak salahkah penglihatanku? Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak itu? Ha ha ha...! Pucuk dicinta.

   ulam tiba! Bahkan lebih dari yang kuharapkan.

   Mari, mari Dewa Arak.

   Ingin kulihat, sampai di mana kelihaianmu.

   Sehingga mampu menundukkan Siluman Tengkorak Putih yang tersohor itu!" (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").

   Arya sudah bisa mengukur kelihaian lawan di hadapannya ini.

   Memang, kemungkinan besar kepandaian datuk ini masih di bawah kepandaian Siluman Tengkorak Putih.

   Tapi biar bagaimanapun, datuk ini tidak kalah berbahaya.

   Bargola telah memiliki pengalaman luas.

   Dan itu kelebihannya dibanding Siluman Tengkorak Putih.

   Sekilas Dewa Arak menatap wajah wanita berpakaian kuning yang masih meringkuk di pembaringan.

   Kontan hatinya bergetar.

   Walaupun waktu itu usianya belum mencapai lima tahun saat ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya, raut wajah ibunya tak mungkin dapat terlupakan.

   Wanita yang tengah meringkuk di pembaringan itu benar-benar ibunya! Amarah Arya pun bangkit.

   Bargola nyata-nyata telah melukai ibunya.

   Bahkan kalau ia tadi terlambat, mungkin datuk ini telah pula menodai.

   Kesalahan datuk sesat ini tidak dapat diampuni lagi.

   Maka, pemuda berambut putih keperakan ini bertekad untuk melenyapkan datuk ini selama-lamanya.

   "Hm...!"

   Diawali sebuah dengusan yang menjadi ciri khasnya, Datuk Timur itu melesat menerjang Arya.

   Tanpa sungkan-sungkan lagi, Bargola mengerahkan ilmu andalannya, 'Tapak Bara'.

   Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka berwarna merah, menyambar ganas ke arah ulu hati dan pusar Dewa Arak.

   Seketika hawa panas berhembus keras sebelum serangan itu tiba.

   Arya yang tahu betapa berbahayanya kedua serangan itu, sebelum datuk itu menyerangnya, telah menuangkan guci arak ke dalam mulutnya.

   Gluk...

   gluk...

   gluk...! Begitu serangan Bargola tiba, Arya mengelakkannya dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.

   Kakinya bergerak sempoyongan seperti akan jatuh, melangkah, dan meliuk-liuk aneh.

   Hebatnya, kedua serangan itu dapat dielakkan seperti tidak sengaja.

   Bahkan tubuh Dewa Arak ini telah berada di belakang datuk itu.

   Dengan cepat pemuda berambut putih keperakan ini pun mengayunkan gucinya menghantam punggung Bargola.

   Bargola terperanjat.

   Sungguh di luar dugaan kalau lawannya bisa berbuat seperti itu dalam tempo yang cepat! Tapi, Bargola adalah seorang datuk yang telah kenyang pengalaman.

   Telah puluhan bahkan mungkin ratusan kali laki-laki kasar ini berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.

   Maka, pada saat yang kritis itu pun ia masih sanggup menyelamatkan selembar nyawanya.

   Cepat dibanting tubuhnya ke tanah, dan hinggap dengan bertumpu pada kedua tangan dan ujung kakinya.

   Wuttt! Sambaran guci Arya lewat di atas tubuhnya.

   Sementara itu, saat kedua tapak tangannya hinggap di tanah, kaki kanan Bargola menendang ke belakang, mengarah dada Dewa Arak.

   Pemuda berambut putih keperakan ini tercekat hatinya melihat serangan itu.

   Tidak ada waktu lagi untuk menghindari serangan tiba-tiba itu.

   Tendangan Bargola datangnya hampir bersamaan dengan lolosnya serangan guci yang mengancam punggung datuk itu.

   Tidak ada jalan lain bagi Arya, kecuali menangkis serangan itu dengan tangan kirinya yang bebas.

   Cepat-cepat digerakkan tangan kirinya menepak kaki Bargola.

   Plakkk! Tubuh Datuk Timur itu terputar dan terpelanting.

   Sedangkan tubuh Arya sendiri terjajar satu langkah ke belakang.

   Bargola meraung murka.

   Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertarung, baru kali ini sewaktu adu tenaga dalam, tubuhnya sampai terpelanting.

   Apalagi oleh seorang lawan yang masih sangat muda.

   Rasa penasarannya pun semakin memuncak.

   Sebagai akibatnya, serangan-serangannya seketika bertambah dahsyat! Datuk ini mengamuk membabi buta.

   Kedua tangannya yang berisi ilmu 'Tapak Bara', dan mengandung tenaga panas itu menyambar-nyambar ganas mencari sasaran.

   Tetapi yang dihadapi Bargola kali ini adalah Dewa Arak, murid pilihan Ki Gering Langit.

   Bagi pemuda berambut putih keperak-perakan itu, hawa panas yang mengiringi setiap serangan Bargola seperti tiupan angin sejuk.

   Karena, dia sendiri memiliki tenaga yang mengandung hawa panas.

   Bahkan jauh lebih dahsyat ketimbang hawa panas yang dimiliki datuk itu.

   Dengan ilmu 'Belalang Sakti', Arya menghadapi setiap serangan Bargola.

   Setiap serangan yang datang dielakkan secara mudah, menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.

   Bahkan pemuda itu sekaligus mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya, menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'.

   Nyi Sani bergegas menghindar dari tempat itu.

   Karena untuk keluar dari ruangan sudah tidak sempat lagi, terpaksa dia bersembunyi di balik sebuah lemari.

   Ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari sambaran pukulan yang nyasar.

   Sebentar saja sekujur tubuh Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah basah oleh keringat.

   Hawa di dalam ruangan ini terasa panas bukan main, dan terasa menyengat kulit.

   Sementara itu pertarungan antara kedua orang sakti itu berjalan sengit, dan terlihat seimbang.

   Tapi lewat enam puluh jurus, Bargola mulai terdesak.

   Datuk sesat ini memang kalah segala-galanya dibanding Dewa Arak.

   Baik tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun kalah dalam mutu ilmunya.

   Hanya berkat pengalaman bertarung saja yang membuat Arya agak mengalami sedikit kesulitan untuk mendesak laki-laki kasar itu.

   Keadaan sekitar arena pertempuran.

   itu sudah kacau-balau.

   Dinding ruangan itu tak henti-hentinya bergetar setiap kali Dewa Arak atau Bargola melepaskan pukulan.

   Dan setiap kali kedua tangan atau kaki mereka beradu, lantai dan dinding ruangan bergetar lebih kuat lagi.

   Pada jurus ke delapan puluh satu, Bargola menggerakkan kaki kanannya menyapu kaki Arya.

   Wut...! "Hup...!"

   Dewa Arak melompat ke belakang dengan langkah sempoyongan.

   Bargola memang sudah menunggu saat ini.

   Begitu dilihatnya Arya melompat ke belakang, segera disusulnya tubuh Arya dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam penuh.

   Seketika didorongkan ke arah dada pemuda berambut putih keperak-perakan itu.

   Wut..! Angin berhawa panas luar biasa kerasnya, menderu hebat.

   Dalam perkiraan Datuk Timur ini, Dewa Arak tidak akan sanggup mengelak lagi.

   Jalan satu-satunya hanya menangkis, karena serangannya itu begitu tiba-tiba.

   Dan melihat posisi lawan yang kurang menguntungkan, ia banyak menerima keuntungan dalam adu tenaga ini.

   Tetapi, Bargola lupa pada satu hal.

   Ilmu yang dimiliki Arya adalah ilmu 'Belalang Sakti'.

   Dan belalang adalah binatang yang dapat terbang.

   Sehingga walaupun sebagai manusia Arya tidak mungkin dapat terbang, tapi keistimewaan binatang itu dimiliki juga.

   Dewa Arak memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak dimiliki manusia biasa! Dalam posisi yang seburuk apa pun, ia dapat melompat atau melenting sempurna.

   Baru datuk ini terperanjat kaget ketika tiba-tiba Dewa Arak melompat melewati atas kepalanya.

   Bukan itu saja yang diperbuat pemuda berambut putih keperakan itu.

   Sambil melompat, diayunkan guci araknya ke kepala Datuk Timur itu.

   Wuuuttt! Bargola terperanjat kaget bukan main.

   Serangan guci itu berbarengan dengan serangan kedua tangannya yang hanya menghantam tempat kosong.

   Itu jelas, karena Dewa Arak telah melompat dari situ.

   Sebisa-bisanya dirundukkan kepalanya.

   Bukkk...! Bargola menyeringai.

   Tubuhnya terhuyung-huyung jauh ke depan.

   Kepalanya memang dapat diselamatkan dari ancaman maut guci Dewa Arak, tapi tak urung guci itu berhasil juga menghantam bahunya.

   Terdengar suara berderak keras, ketika guci itu menghantam sasaran.

   Suatu bukti kalau tulang-tulang bahu itu patah.

   Datuk Timur ini berusaha memperbaiki posisi, dan secepat itu pula membalikkan tubuhnya.

   Tapi, sayangnya terlambat.

   Arya yang melihat tubuh datuk sesat itu terhuyung-huyung jauh ke depan, segera melesat mengejar.

   Dewa Arak kembali mengayunkan gucinya ke arah.

   kepala Bargola, tepat saat tubuh datuk itu berbalik.

   Kali ini serangan susulan Arya tidak dapat dielakkan lagi.

   Dan....

   Wut...! Prakkk...! "Akh...!"

   Telak dan keras sekali guci perak itu menghantam kepala Bargola.

   Terdengar suara berderak keras ketika kepala datuk itu pecah, terhantam guci yang mengandung tenaga dalam tinggi.

   Darah seketika muncrat dari kepala yang pecah.

   Sesaat lamanya tubuh Bargola bergoyang-goyang, baru kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya.

   Arya memandangi sosok tubuh tinggi besar berkulit hitam legam yang kini terkapar di depannya.

   Sebentar kemudian pandangannya dialihkan pada sesosok tubuh wanita setengah baya yang masih bersembunyi di balik lemari.

   Dada Arya berdebar keras menatap wanita berpakaian serba kuning itu.

   Wajah ibunya yang telah sekian belas tahun dirindukan.

   Wanita berpakaian serba kuning yang bernama Nyi Sani, memperhatikan pemuda berambut putih keperakan itu tanpa berkedip.

   Wajah Arya memang mirip wajah suaminya, sehingga tidak aneh kalau Nyi Sani merasa mengenali.

   "I... Ibu...,"

   Arya memanggil dengan suara serak.

   "Si... siapa kau?"

   Tanya Nyi Sani tersentak. Nada suaranya terdengar menggigil.

   "A... aku... aku Arya, Bu. Arya Buana...,"

   Jawab pemuda berpakaian ungu itu.

   "Arya... Arya Buana...?"

   Ulang Ketua Perguruan Mawar Merah itu. Nada suaranya terdengar ragu-ragu.

   "B... benar, Bu. Ayahku bernama Tribuana, dan berjuluk Pendekar Ruyung Maut..."

   "Tidak mungkin!"

   Sentak Nyi Sani.

   "Wajahmu memang mirip suamiku. Juga, warna pakaianmu memang warna kesenangan anakku. Tapi.., kau bukan Arya Buana! Kau bukan anakku!"

   "Ibu...,"

   Lirih suara pemuda berambut putih keperakan itu.

   "Aku benar-benar Arya Buana anakmu..."

   "Bukan! Kau bohong! Anakku tidak memiliki rambut mengerikan seperti itu! Juga tidak pemabukan! Arya adalah anak yang baik!"

   Nyi Sani masih mencoba menyangkal.

   "Percayalah, Bu. Aku memang benar Arya Buana, anakmu. Rambutku menjadi seperti ini karena pengaruh ilmu yang kupelajari. Begitu pula arak yang selalu menemaniku."

   Nyi Sani hanya terdiam saja.

   Ia sebenarnya sudah menduga keras kalau pemuda yang berdiri di hadapannya ini adalah anaknya.

   Nalurinya sebagai seorang ibu menyatakan demikian.

   Tapi melihat keadaan aneh pada pemuda itu membuatnya ragu, walaupun bukti-bukti telah cukup meyakinkan.

   Melihat wanita yang diduga ibunya itu diam saja, Arya buru-buru melanjutkan ucapannya.

   "Aku mencari Ibu atas perintah Ayah, dan petunjuk Paman Lindu..."

   Kini wanita berpakaian serba kuning ini tidak ragu-ragu lagi.

   Mulutnya yang gemetar nampak komat-kamit seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang ke luar.

   Beberapa saat lamanya, baru keluarlah kata-kata yang sejak tadi hendak diucapkannya.

   "Arya..., Arya anakku..."

   "Ibu...!"

   Seru Arya. Tubuhnya pun meluruk ke arah ibunya. Dijatuhkan tubuhnya bersimpuh di hadapan ibunya dan dipeluknya kedua kaki itu erat-erat.

   "Bu.... betapa rindunya aku pada Ibu...."

   Nyi Sani mengusap-usap rambut anaknya yang putih keperak-perakan itu penuh kasih sayang.

   "Aku pun merindukanmu, Arya...,"

   Ucap Nyi Sani lirih menahan keharuan yang menyeruak ke dalam rongga dadanya.

   "Bagaimana keadaan ayahmu? Apakah baik-baik saja?"

   Tangan pemuda yang memeluk kedua kaki wanita itu menegang seketika. Didongakkan kepalanya dan ditatapnya wajah ibunya dengan pandangan sedih.

   "Ada apa, Arya? Katakan, apa yang terjadi terhadap ayahmu?"

   Desak wanita berpakaian kuning itu dengan perasaan tidak enak.

   Dari sikap yang diperlihatkan anaknya, wanita itu merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan.

   Hatinya kini dalam perasaan yang tidak menentu.

   Pelahan-lahan Arya bangkit dari beriututnya.

   Sambil menundukkan kepala, karena tak ingin melihat kekecewaan dan kesedihan yang akan dialami ibunya, pemuda itu menatap tanah di ujung kaki ibunya.

   "Ayah sudah tiada, Bu..."

   "Apa katamu, Arya?"

   Walau sudah dapat menduga, tak urung berita yang didengar dari mulut anaknya ini membuatnya kaget bukan kepalang. Tanpa sadar dicengkeram kedua bahu Arya dan diguncang-guncangnya.

   "Ayahmu tewas? Siapa yang membunuhnya, Arya?"

   Pemuda berambut putih keperak-perakan ini lalu menceritakan semuanya. Mulai dari perpisahan dengan ayahnya, sampai menerima pesan dari pamannya tempat di mana ibunya berada.

   "Walau Paman telah mengetahui bahwa Ibu telah tidak berada lagi di Perguruan Mawar Merah, Paman tetap memberitahu tempat itu. Mungkin maksud Paman agar aku dapat melacak jejak Ibu,"

   Ucap Arya Buana menutup ceritanya.

   Nyi Sani tercenung setelah putranya itu mengakhiri cerita.

   Raut wajahnya nampak memancarkan kesedihan yang hebat.

   Baru saja ia merasa gembira dapat bertemu putranya kembali, kini harus mendengar berita mengenai kematian suami dari kakak kandungnya.

   "Sungguh tidak kusangka, kalau umur ayah dan pamanmu begitu singkat, Arya,"

   Keluh Nyi Sani. Mendengar keluhan ibunya, Arya tersadar. Tidak sepantasnya kalau mereka tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Yang mati tidak akan hidup kembali, sekalipun mereka menangis hingga mengeluarkan air mata darah.

   "Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya kita menangisi kepergian mereka. Ini akan merugikan diri kita sendiri Yang sudah tiada, toh tidak akan kembali lagi."

   Mendengar ucapan putranya, Nyi Sani tersadar. Disusut air matanya, kemudian sambil tersenyum ditakapnya wajah Arya. Senyumnya terlihat getir.

   "Nah! Begitu dong, Bu,"

   Puji pemuda berpakaian ungu ini.

   "Sekarang, aku ingin mendengar pengalaman Ibu sejak Paman Lindu membawa Ibu meninggalkan aku dan Ayah."

   Istri Pendekar Ruyung Maut itu menghela napas sebelum memulai bicara.

   "Ceritanya panjang, Arya. Panjang dan sama sekali tidak menarik."

   "Tak apa, Bu. Aku ingin mendengarnya,"

   Sahut pemuda berambut putih keperakan ini mendesak.

   "Baiklah, kalau itu maumu."

   Nyi Sani terpaksa mengalah. Pandang matanya menerawang ke atas.

   "Lebih dari lima belas tahun lalu, karena tidak punya pilihan lain lagi, aku terpaksa pergi mengikuti kakak kandungku, yaitu pamanmu Arya. Ia membawaku ke sebuah tempat yang jauh. Di sana, kami tinggal berdua. Tapi itu hanya berlangsung beberapa bulan saja, karena pamanmu kembali pergi dan lama tidak pernah kembali. Untuk mengisi waktu luang yang membuatku bosan, aku mendirikan perguruan silat. Perguruan itu kuberi nama Perguruan Mawar Merah."

   Sampai di sini, wanita setengah baya ini menghentikan ceritanya. Arya yang memang tidak berniat memotong cerita itu, tetap diam mendengarkan. Sesaat lamanya suasana menjadi hening.

   "Lebih dari setengah tahun suasana tenang-tenang saja. Sampai suatu hari muncul seorang kakek tinggi besar berkulit hitam legam...

   "Bargola...,"

   Desis Arya "Benar. Sialnya kakek itu tertarik padaku. Wajahku, katanya, mengingatkan pada istrinya. Ia pun lalu meminta agar aku bersedia menjadi istrinya."

   "Dan Ibu mau?"

   Selak Arya.

   "Tidak! Dengan tegas permintaannya kutolak!"

   Tandas wanita berpakaian kuning ini.

   "Tapi ternyata, itu tidak membuatnya putus asa. Tahu kalau lewat cara baik-baik gagal, dia lalu menggunakan cara kasar. Maka dengan paksa aku dibawanya kabur. Karena kepandaiannya jauh berada di atasku, aku jadi tidak berdaya sehingga dibawa ke sini. Setiap hari dia membujukku agar aku bersedia menjadi istrinya. Tapi aku tetap mengulur waktu, sampai akhirnya kesabarannya habis. Untung engkau datang, Arya,"

   Ucap Nyi Sani menutup ceritanya.

   Arya mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Kini pemuda itu mengerti, mengapa Bargola tidak terdengar kabar beritanya lagi.

   Rupanya datuk itu disibuki oleh urusan asmara! Hatinya telah terpincuk pada seorang wanita.

   Terpikir begitu, tak terasa jantung dalam dada pemuda berambut putih keperak-perakan ini berdebar keras.

   Terbayang kembali di benaknya wajah seorang gadis berpakaian serba putih yang telah membuat pikirannya tak karuan.

   Wajah seorang wanita yang telah mencuri sekeping hatinya.

   Tak terasa wajah pemuda ini berubah mendung.

   "Ada apa, Arya?"

   Tanya ibunya yang tentu saja melihat perubahan wajah putranya.

   Karena memang sejak tadi ibunya memperhatikan wajah pemuda itu.

   Dari sepasang mata pemuda di hadapannya yang tengah memandang kosong pada satu titik, Nyi Sani tahu kalau putranya ini tengah melamun.

   Hanya saja ia tidak tahu, apa yang dilamunkan Arya Buana.

   Dewa Arak tersentak.

   Teguran itu mengingatkan kalau dirinya tidak sendirian di tempat ini.

   "Ah...! Tid..., tidak ada apa-apa, Bu,"

   Jawab Arya gagap.

   "Ibu tahu ada sesuatu yang sedang memberatkan pikiranmu. Katakanlah, barangkali Ibu bisa membantumu. Atau..., Ibu tidak boleh mengetahuinya? Rahasia pribadimu barangkali?"

   Tanya Nyi Sani sambil tersenyum maklum. Seketika wajah Arya menyemburat merah.

   "Sama sekali bukan, Bu."

   "Lalu, kenapa kau tampaknya berat untuk mengatakannya?"

   Dewa Arak menghembuskan napasnya. Sepertinya dangan menghembuskan napas, dia berharap dapat membuang beban yang bersarang di dadanya.

   "Ini menyangkut Paman Lindu, Bu."

   "Paman Lindu?! Memangnya ada apa dengan pamanmu?!"

   "Bu, apakah Paman Lindu mempunyai anak?"

   "Anak? Pamanmu? Tidak, Arya. Pamanmu tidak mempunyai anak. Bagaimana mungkin mempunyai anak kalau beristri pun tidak. Dari mana kau mendapat berita seperti itu, Arya?"

   Tanya Nyi Sani penasaran.

   "Itulah masalahnya, Bu,"

   Keluh Arya.

   "Katakan Arya, dari mana kau mendapat fitnah seperti itu?"

   Desak ibunya lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini ragu. Tapi ketika melihat pandangan mata ibunya, ia tidak dapat menghindar lagi.

   "Dari orang yang bersangkutan, Bu,"

   Ujar Arya lemah.

   "Dari orang yang bersangkutan? Apa maksudmu, Arya? Ibu tidak mengerti! Katakanlah yang jelas! Aneh, mengapa kau kelihatannya takut betul untuk mengatakannya,"

   Desak Nyi Sani sambil mengerutkan dahinya. Merah wajah pemuda itu. Teguran ibunya telak betul mengenai sasaran. Segera dikuatkan hatinya untuk mengucapkan sesuatu.

   "Dari anak Paman Lindu sendiri, Bu."

   "Anak Paman Lindu? Baiklah. Rupanya kau perlu tahu juga, Arya. Tapi janganlah berprasangka buruk pada pamanmu, karena mungkin saja kau menduga dia mempunyai istri gelap. Kau tahu, pamanmu itu mandul. Itu karena kesukaannya bermain racun yang akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya mandul saja. Pamanmu itu sama sekali tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jadi, bagaimana mungkin mempunyai seorang anak? O ya..., orang yang mengaku-aku anak pamanmu itu laki-laki?"

   Jelas Nyi Sani yang diakhiri dengan pertanyaan. Arya menggelengkan kepalanya.

   "Wanita?"

   Kali ini Arya menganggukkan kepalanya.

   "Berapa kira-kira usianya?"

   Tanya Nyi Sani lagi.

   Dan memang, sedikit banyak istri Pendekar Ruyung Maut ini sudah bisa menduga, kalau putranya ini mempunyai perasaan lain terhadap wanita yang mengaku anak kakak kandungnya.

   Sebenarnya tanpa diberitahu pun bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah dapat memperkirakan usia wanita itu.

   Tapi dia ingin memastikan kebenaran dugaannya lebih dahulu.

   "Kira-kira..., sembilan belas atau delapan belas, Bu...,"

   Jelas Arya, yang wajahnya kian memerah. Bahkan dahinya pun berkerut. Nyi Sani menahan senyum yang hampir saja tercipta dari mulutnya. Tepat dugaannya! Putranya ini pasti sudah terpincuk pada gadis itu.

   "Cantik?"

   Goda Nyi Sani. Semakin merah wajah Arya.

   "Begitulah kira-kira, Bu."

   "Siapa namanya?"

   Tanya wanita itu dengan senyum dikulum.

   "Entahlah, Bu,"

   Jawab Arya sambil menggeleng kan kepalanya.

   "Lho, aneh?! Kau tidak tahu namanya?"

   Sepasang mata Nyi Sani terbelalak.

   "Bagaimana mungkin ia akan memperkenalkan namanya, Bu. Begitu bertemu, dia marah-marah. Bahkan hendak membunuhku."

   "Heh?! Ini lebih gila lagi! Apakah tidak kau katakan kalau kau adalah keponakan orang yang dianggap ayahnya?"

   "Dia sudah tahu, Bu. Justru karena itulah ia hendak membunuhku. Katanya, aku keponakan yang sama sekali tidak berguna. Pamannya dibunuh orang, sama sekali tidak berniat membalaskan kematiannya. Begitu katanya."

   Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini tercenung.

   Bisa diterima alasan gadis itu menyerang Arya.

   Tapi, Arya pun sama sekali tidak bersalah.

   Lindu, kakaknya memang terlalu banyak membuat kesalahan.

   Adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang yang dendam padanya.

   Sesaat lamanya suasana menjadi hening.

   Arya telah selesai dengan ceritanya.

   Sementara ibunya sibuk dengan pikirannya sendiri.

   Wanita ini tengah mencoba memeras seluruh ingatannya terhadap setiap perkataan yang diucapkan kakaknya dulu.

   Tapi, tetap saja dia tidak mampu mengingatnya.

   "Bu, apa tidak sebaiknya kalau kita keluar dari tempat ini dulu...?"

   Usul Arya memenggal lamunan ibunya. Nyi Sani tersentak sadar dari lamunannya.

   "Kau benar, Arya. Memang sebaiknya kalau kita keluar dari tempat terkutuk ini. Aku sudah bosan tinggal di sini, dan ingin melihat dunia luar yang bebas lepas!"

   Di lain saat ibu dan anak ini sudah beranjak dari ruangan itu. Masing-masing melangkahkan kakinya dengan benak yang dipenuhi pikiran sendiri-sendiri. Sementara itu, Sentaka masih tergeletak pingsan.

   "Haaat...! Hiyaaa...!"

   Wut! Brakkk...! Teriakan-teriakan melengking tinggi, diselingi angin menderu-deru keras, terdengar dari dalam sebuah hutan.

   Itu pun masih ditingkahi suara bergemuruh, Semua itu ternyata berasal dari tindakan seraut wajah cantik.

   Usianya sekitar sembilan belas tahun, dan berpakaian serba putih.

   Rambutnya panjang terurai, hampir mencapai pinggang.

   Siapa lagi kalau bukan Melati.

   Gadis ini rupanya sedang marah.

   Di dalam hutan ini, kekesalan hatinya dilampiaskan pada pepohonan dan semak-semak belukar.

   "Mampus kau, pemuda sombong!"

   Teriak gadis itu keras.

   Tangan kanannya dengan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika' didorongkan ke depan.

   Wuuusss...! Angin keras berhembus keluar dari tangan yang mendorong itu.

   Desiran angin itu terus melesat ke depan dan menghantam sebatang pohon sebesar dua pelukan tangan orang dewasa.

   Brakkk...! Pohon itu hancur berkeping-keping menimbulkan suara bergemuruh dahsyat! "Hhh...!"

   Melati menghela napas.

   Lega sudah dadanya sekarang.

   Kegagalannya mengalahkan Arya Buana alias Dewa Arak, dan melihat sikap pemuda itu membuatnya mendongkol bukan kepalang.

   Rasa kemangkelan hatinya itu pun dilampiaskan dengan mengamuk di dalam hutan ini.

   Kini kedongkolannya telah sirna.

   Yang tinggal sekarang hanyalah akibat dari pelampiasan kedongkolannya.

   Dipandangi keadaan sekelilingnya.

   Pohon-pohon bertumbangan, semak-semak yang centang perenang, dan tanah yang terbongkar di sana sini.

   "Semua ini gara-gara Dewa Arak!"

   Sangkal gadis itu membela diri, dalam hati.

   Dengan punggung tangan, disusuti peluh yang membasahi dahi dan lehernya yang mulus.

   Kemudian dihampirinya sebatang pohon, lalu direbahkan tubuhnya di situ untuk beristirahat.

   Setelah cukup lama berbaring seperti itu, Melati beranjak bangkit.

   Kemudian sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melesat dari situ.

   Dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap bagai ditelan bumi.

   *** Tubuh Melati berkelebatan cepat.

   Kini tinggal satu lagi tujuannya.

   Menuju tempat Ular Hitam! Dari berita yang didapat, dia tahu kalau tanpa bantuan Datuk Barat itu, ayahnya tidak akan bisa dikalahkan lawan-lawannya.

   Jadi, bila dihitung-hitung, kakek itulah yang menjadi penyebab utama ayahnya tewas.

   Kalau saja gadis berpakaian serba putih ini mencari tempat tinggal Ular Hitam sepuluh tahun yang lalu, sampai kapan pun tidak akan bisa menemukan.

   Untungnya, ia mencarinya sekarang.

   Sejak kemunculan Arya Buana alias Dewa Arak, tempat tinggal Ular Hitam sudah bukan merupakan rahasia lagi.

   Maka, mudah saja bagi gadis yang berjuluk Dewi Penyebar Maut ini mendapat petunjuk tempat tinggal Ular Hitam.

   Beberapa hari kemudian, ia pun sudah melewati Desa Jati Alas.

   Desa yang paling dekat dengan tempat tinggal Ular Hitam.

   Sesampai di luar Desa Jati Alas, menurut petunjuk yang diterima, dia hanya tinggal melalui sebuah hutan.

   Dan setelah itu akan sampai di tempat kediaman Ular Hitam.

   Petunjuk yang diterimanya itu benar.

   Beberapa lama kemudian setelah ia keluar dari mulut Desa Jati Alas, dijumpai sebuah hutan.

   Bergegas dipercepat langkahnya.

   Sesaat kemudian Melati telah tiba di mulut hutan itu.

   Tapi baru saja hendak melangkahkan kakinya memasuki mulut hutan, dari depan terlihat sesosok bayangan hitam melesat cepat menuju mulut hutan.

   Seketika Melati menahan langkahnya.

   Gerakan sosok bayangan hitam itu cepat bukan main.

   Sampai-sampai tercekat hati gadis ini melihatnya.

   Kecurigaannya pun mendadak timbul.

   Sosok bayangan hitam ini ternyata datang dari arah tempat tinggal Ular Hitam.

   Bukan tidak mungkin kalau justru sosok bayangan hitam itu adalah orang yang dicari-carinya.

   Berpikiran demikian, Melati bergegas menghadang jalan sosok bayangan hitam itu.

   "Kisanak yang di depan, pelahan dulu!"

   Seru Melati keras dan tegas.

   Berbareng dengan itu kedua tangannya didorongkan ke depan, mengirimkan sebuah serangan jarak jauh.

   Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut memang berwatak telengas.

   Langsung saja mengerahkan seluruh tenaga dalam serangannya itu.

   Wuuuttt...! Angin menderu keras keluar dari sepasang tangan yang mendorong itu.

   Seketika terdengar seruan kaget dari sosok bayangan hitam di depan.

   Sama sekali tidak diduga, kalau di depannya disambut sebuah pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.

   Tahu betapa berbahayanya serangan itu, sosok bayangan hitam itu menghentikan larinya.

   Berbareng dengan itu, kedua tangannya didorongkan pula ke depan disertai pengerahan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.

   Wuuuttt...! Blarrr...! Dua pukulan jarak jauh yang sama-sama dahsyat itu beradu di tengah jalan.

   Udara sampai bergetar hebat akibat pertemuan dua buah tenaga dahsyat itu.

   Akibatnya bagi kedua orang itu hebat sekali! Baik Melati maupun sosok bayangan hitam itu sama-sama terjengkang keras ke belakang, kemudian berguling-guling di tanah.

   Tapi dengan sigap keduanya bergegas bangkit berdiri.

   Sikap mereka sama-sama waspada.

   Baik Melati maupun sosok bayangan hitam, sama-sama menyadari kalau mereka satu sama lain adalah lawan yang amat tangguh.

   Dewi Penyebar Maut merasa penasaran bukan main melihat sosok bayangan hitam itu mampu membuatnya bergulingan.

   Dengan rasa penasaran yang meluap-luap, diperhatikan sosok tubuh di hadapannya yang berjarak sekitar sepuluh tombak.

   Gadis berpakaian serba putih ini mengerutkan alisnya.

   Di depannya berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus, berkulit hitam legam, dan sorot mata mencorong kehijauan.

   "Ular Hitam!"

   Jerit Melati keras.

   "Kau..., kau Ular Hitam, bukan?!"

   Kakek yang ternyata memang Ular Hitam itu hanya tersenyum.

   "Siapa kau, Nisanak? Dan mengapa tiba-tiba menyerangku tanpa sebab? Dari mana kau tahu julukanku?"

   Berondong kakek itu.

   "Kau tidak perlu tahu siapa aku! Kedatanganku untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah kau, Ular Hitam!"

   "Eit...! Tunggu dulu, Nisanak! Katakan, mengapa kau ingin membunuhku?"

   Ular Hitam menggoyang-goyangkan kedua tangannya di depan dada mencegah gadis itu yang sudah bersiap menyerangnya.

   "Karena kau telah membunuh ayahku!"

   Jerit Melati penuh kemarahan.

   "Fitnah!"

   Teriak Ular Hitam tak kalah keras.

   "Siapa nama ayahmu?!"

   "Raja Racun Pencabut Nyawa!"

   Wajah Ular Hitam berubah. Rasa keterkejutan yang amat sangat terpancar di wajahnya.Jadi, gadis ini putri orang yang sangat memusuhinya itu? "Bagaimana, ular kepala dua? Masih ingin menyangkal lagi?!"

   Ejek Melati tajam. Ular Hitam menghela napas panjang.

   "Tak bisa kupungkiri hal itu. Ayahmu memang mati di tanganku."

   "Heh?! Mengaku juga? Kau ini memang jantan, atau ingin dianggap jantan, manusia pengecut!"

   Merah wajah Ular Hitam.

   "Jaga mulutmu, 'Nisanak! Aku bukan orang semacam itu!"

   "Bukan orang semacam itu?! Hm..,! Lalu bukan pengecutkah namanya kalau bertarung dengan orang lain secara keroyokan?"

   Ular Hitam terdiam. Kembali tidak bisa disangkal perkataan gadis itu.

   "Kini terimalah kematianmu, ular pengecut!"

   Setelah berkata demikian, Melati melompat menerjang Datuk Barat itu.

   Kedua tangannya berputar di samping kiri tubuhnya, kemudian berbareng terayun ke arah kepala kakek itu.

   Wuuuttt...! Angin menderu keras mengawali tibanya serangan Melati.

   Ular Hitam merendahkan tubuh sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di atas kepalanya.

   Tapi tak urung rambutnya berkibaran keras juga.

   Suatu tanda kalau serangan kedua cakar itu mengandung tenaga dalam tinggi.

   Ular Hitam mulanya merasa tak sampai hati menurunkan tangan besi pada gadis yang masih muda belia ini.

   Tapi, melihat betapa telengasnya gadis berpakaian serba putih ini, membuat kakek ini memutuskan untuk tidak bertindak sungkan-sungkan.

   Bersikap lunak hanya akan mencelakakan diri sendiri.

   Itulah sebabnya, sambil merendahkan tubuh, kedua tangan Ular Hitam dengan telapak terbuka, melakukan sodokan bertubi-tubi pada dada dan perut lawannya yang telengas ini.

   Hebat dan berbahaya sekali serangan Ular Hitam ini.

   Apalagi serangan itu dilakukan dengan kecepatan gerak luar biasa, yang menjadi ciri khas ilmu 'Ular Terbang'.

   Akibatnya, serangan sodokan bertubi-tubi itu menjadi amat berbahaya! Tapi apa yang dilakukan Dewi Penyebar Maut, tidak kalah hebatnya! Dengan sebuah gerakan yang tidak masuk akal, karena posisi kakinya begitu sulit untuk mengenjotkan tubuh.

   Digerakkan tubuhnya secara aneh.

   Akibatnya seluruh tubuhnya dari mulai dada ke bawah terangkat ke atas.

   Dan dengan posisi seperti itu, kedua tangannya menyampok bagian belakang kepala Ular Hitam dari atas ke bawah.

   Wuuuttt.

   ! Ular Hitam terkejut bukan main melihat hal ini.

   Dikenali betul gerakan yang dilakukan gadis berpakaian serba putih ini.

   Itu adalah jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor', salah satu jurus dari ilmu 'Cakar Naga Merah'! Siapa lagi pemilik ilmu itu kalau bukan kakak kandungnya, Ki Gering Langit.

   Tetapi datuk ini tidak dapat berpikir lebih lama lagi.

   Serangan maut yang mengancam belakang kepalanya telah menyambar tiba.

   Maka cepat-cepat dielakkan serangan itu kalau tidak ingin mati konyol.

   Karena, untuk menangkis sudah tidak memungkinkan lagi.

   Cepat-cepat Ular Hitam melompat ke depan, dari langsung bergulingan di tanah.

   Dan selamatlah dia dari serangan maut itu.

   Tetapi Dewi Penyebar Maut yang hatinya tengah dilanda dendam membara, tentu saja tidak berhenti sampai di situ.

   Setelah kelihatan lawannya berhasil lolos, segera disusulinya dengan serangan-serangan dahsyat! Tentu saja Ular Hitam pun tak tinggal diam, dan segera menyambutnya.

   Di lain saat kedua tokoh yang sama-sama sakti itu sudah terlibat dalam pertarungan sengit.

   Dua puluh jurus telah berlalu, namun belum ada tanda-tanda yang terdesak.

   Sementara itu Ular Hitam kini semakin yakin kalau ilmu yang digunakan lawannya adalah 'Cakar Naga Merah'! Maka pada suatu kesempatan, kakek itu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara.

   Manis sekali kakinya hinggap beberapa tombak dari tempat semula.

   "Tahan...!"

   Teriak Ular Hitam keras mencegah Dewi Penyebar Maut yang sudah bergerak mengejarnya.

   Gadis berpakaian serba putih ini memang seorang yang tidak suka menyerang lawan yang belum siap.

   Maka begitu mendengar teriakan itu, gerakannya seketika terhenti.

   Dengan napas agak memburu, ditatapnya wajah orang yang dibencinya ini tajam-tajam.

   "Apa hubunganmu dengan Ki Gering Langit?"

   Tanya Ular Hitam cepat sebelum Melati sempat membuka mulut.

   Berkilat sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa ini mendengar pertanyaan itu.

   Gadis ini marah bukan main.

   Sudah tiga orang bertanya serupa, dan hal ini membuatnya terasa muak.

   Karena memang, ia sama sekali tidak mengenal tokoh itu.

   "Aku sama sekali tidak mengenalnya!"

   Jawab gadis itu ketus.

   "Jangan coba-coba mengalihkan persoalan, Ular Hitam!"

   Merah wajah Ular Hitam. Kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu memang pedas bukan main.

   "Aneh...! Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu 'Cakar Naga Merah' itu?"

   Tanya Ular Hitam lagi dengan perasaan bingung.

   "Aku datang ke sini bukan untuk berbincang-bincang denganmu, Ular Hitam. Bersiaplah! Aku tidak segan-segan lagi membunuhmu sekarang, sekalipun kau belum siap!"

   Setelah berkata demikian, Melati kembali menyerang Ular Hitam.

   Tidak ada pilihan lain lagi bagi kakek ini kecuali meladeni serangan gadis yang telah kalap oleh pengaruh dendam itu.

   Sebentar saja mereka sudah kembali bertarung sengit.

   Keduanya sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

   Hebat sekali akibat pertarungan dua orang sakti itu.

   Suara menderu hebat diseling suara bercicitan dari udara yang terobek akibat gerakan 'Cakar Naga Merah' milik Melati, mewarnai pertarungan itu.

   Pohon-pohon bertumbangan terlanda angin pukulan yang tidak mengenai sasaran.

   Batu-batu besar dan kecil berpentalan tak tentu arah seperti dilanda angin topan.

   Tak terasa delapan puluh jurus telah berlalu.

   Tapi, masih belum nampak tanda-tanda siapa, yang akan terdesak.

   Pertarungan masih berjalan berimbang.

   Sebenarnya bila dibandingkan, Melati masih sedikit lebih unggul dalam hal tenaga dalam dan mutu ilmu silat.

   Dalam hal kecepatan gerak, keduanya berimbang.

   Hanya saja, Ular Hitam menang pengalaman.

   Itulah sebabnya sampai sekian lamanya, pertarungan masih berlangsung seimbang.

   Hal ini membuat Melati yang mempunyai watak pemberang, jadi tidak sabar.

   Dengan serangan bertubi-tubi berusaha dipojokkannya Ular Hitam.

   Gadis ini memang berniat mengadu keras lawan keras.

   Dan begitu kelihatan lawannya telah tersudut, gadis berpakaian serba putih ini segera meluruk menerjang, sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan.

   Ular Hitam terperanjat kaget.

   Posisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengelakkan serangan itu.

   Sungguh tidak diduga kalau gadis itu memaksanya untuk mengadu tenaga dalam secara langsung.

   Berarti dia mengajak mengadu nyawa! Sebagai seorang yang telah kenyang pengalaman, Datuk Barat ini tahu betul kalau adu tenaga dalam semacam ini amat berbahaya.

   Bagi lawan yang kalah kuat, kemungkinan besar akan tewas.

   Tapi walaupun demikian, bukan berarti kalau yang lebih kuat tenaganya tidak menderita apa-apa.

   Apalagi jika tenaga dalam antara keduanya tidak berbeda jauh.

   Paling tidak, dia akan teriuka parah! Karena tidak ada pilihan lain lagi, Ular Hitam mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

   Kemudian sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring, kakek itu melompat dengan kedua tangan didorongkan ke depan.

   Rupanya Ular Hitam benar-benar nekad menyambut serangan Melati.

   "Tahan...!"

   Terdengar suatu teriakan nyaring bernada mencegah. Dan belum habis gema suara itu, sesosok bayangan ungu berkelebat ke arena pertarungan.

   "Hiyaaa...!"

   "Hup!"

   Dengan kecepatan gerak menakjubkan, sosok bayangan itu telah memotong lompatan Ular Hitam.

   Dan sebelum Datuk Barat ini sadar, sosok bayangan ungu itu mendorongkan tangan ke bahu sehingga tubuhnya terlempar ke samping.

   Pada saat tangan orang itu mendorong tubuh Ular Hitam, sosok bayangan ungu itu membarengi dengan egosan tubuhnya, untuk mengelakkan serangan Melati.

   Tapi terlambat! Kedua tangan gadis itu lebih dulu tiba.

   Bukkk...! Kedua tangan Melati begitu telak menghantam tubuh sosok bayangan ungu itu.

   Untungnya, karena si bayangan ungu itu sempat mengegoskan tubuh, serangan itu menyimpang dari sasaran semula.

   Tidak mengenai dada, tapi mengenai bahunya.

   Meskipun demikian, akibat yang diderita si bayangan ungu itu cukup dahsyat juga.

   Tubuhnya terlempar beberapa tombak, kemudian jatuh berdebuk di tanah, lalu terguling-guling.

   Gulingan itu baru berhenti ketika tubuh itu akhirnya membentur sebatang pohon.

   "Arya...!"

   Jerit Ular Hitam keras.

   Wajah kakek ini pucat pasi ketika mengenali sosok bayangan ungu yang terguling-guling di tanah itu.

   Pakaian, rambut, dan terutama sekali guci arak yang terlempar dari punggungnya, membuat Ular Hitam segera mengenali pemuda itu.

   "Arya...!"

   Teriak kakek itu lagi. Dengan lari laksana terbang, dihampirinya sosok bayangan ungu yang tak lain adalah Arya Buana. Pemuda itu kini tergolek seperti tidak bergerak lagi. Cairan kental berwarna merah mengucur keluar dari mulut dan hidungnya.

   "Arya...?!"

   Sentak Melati.

   Gadis itu terpaku kaku di tempatnya.

   Bibirnya yang telah menggumamkan nama pemuda itu nampak menggigil keras.

   Ditatapnya tubuh pemuda itu yang diam tidak bergerak lagi.

   Kemudian dengan pandangan mata jijik ditatap kedua tangannya yang tadi menghantam tubuh pemuda itu.

   Beberapa saat lamanya Melati terpaku.

   Kemudian sambil mengeluarkan isak tertahan dari kerongkongannya dia berlari meninggalkan tempat itu.

   Tidak dihiraukan air bening yang menggulir membasahi pipinya.

   Seorang wanita selengah baya berpakaian serba kuning, yang tiba di situ hampir berbarengan dengan kedatangan Arya Buana, sempat melihat air mata yang bercucuran dari sepasang mata gadis itu.

   Tapi, segera hal itu terlupakan ketika melihat sosok tubuh Dewa Arak yang terkapar tidak bergerak.

   Wanita itu adalah Nyi Sani.

   Arya Buana memang sengaja mengajak ibunya ke tempat tinggal Kakek Ular Hitam, untuk diperkenalkan.

   Dia juga meminta agar ibunya bisa tinggal di situ Tapi siapa sangka di tengah perjalanan, pemuda itu melihat Ular Hitam tengah bertarung melawan gadis yang telah mencuri sekeping hatinya.

   Pada saat pertarungan itu dalam keadaan kritis, ia pun segera melesat mendahului ibunya untuk mencegah terjadinya korban nyawa.

   Usaha pemuda ini memang berhasil, tapi membawa akibat yang tidak ringan.

   Dia kini tergolek tanpa.

   mampu berbuat apa-apa lagi.

   Nyi Sani ikut jongkok di sebelah Ular Hitam yang telah jongkok lebih dulu.

   Kakek itu tengah memeriksa detak jantung dan denyut nadi Arya.

   "Bagaimana, Kek?"

   Tanya Nyi Sani. Tanpa dijelaskan pun ia sudah bisa menduga, siapa kakek ini. Arya telah bercerita banyak mengenai pem-bimbingnya.

   "Bersyukurlah kepada Gusti Allah, Nyi!"

   Hanya itu yang diucapkan Ular Hitam.

   "Jadi...?"

   Sebuah senyuman tersungging di wajah wanita tua yang sejak tadi cemas itu.

   "Arya masih hidup..."

   Lanjut kakek berkulit hitam itu.

   "Ahhh...!"

   Nyi Sani mendesah lega *** Sepekan lebih Arya Buana alias si Dewa Arak terkapar di pembaringan.

   Untungnya di saat-saat terakhir, masih sempat diegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Melati hanya bersarang di bahu.

   Tapi walaupun demikian, karena dashyatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, tak urung luka dalamnya cukup parah.

   Padahal Arya telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.

   Pada hari ke delapan, Arya baru dijinkan Kakek Ular Hitam meninggalkan pembaringan.

   Pemuda berambut putih keperakan ini merasa sekujur tubuhnya terasa lemas sekali.

   Pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini segera mengambil tempat untuk duduk bersila, sesaat kemudian sudah tenggelam dalam semadinya.

   Selama tiga hari setelah diijinkan meninggalkan pembaringan, Arya berusaha memulihkan tenaga dalam dengan semadi, dan melatih ilmu andalan.

   Baru pada hari yang keempat, pemuda itu meminta ijin Ular Hitam dan ibunya untuk melanjutkan perjalanan, karena masih banyak tugas yang belum diselesaikan.

   Terutama tugas dari gurunya, Ki Gering Langit.

   "Arya...,"

   Ujar Ular Hitam sebelum Arya berangkat meninggalkan dirinya dan ibunya. Nyi Sani memang telah memutuskan untuk tinggal di kediaman Ular Hitam.

   "Ya, Kek...."

   "Sebelum kau pergi, aku akan memberitahukan sesuatu hal kepadamu. Hm, mengenai gadis yang berpakaian serba putih itu."

   "Maksud, Kakek?"

   Tanya Arya tidak mengerti.

   "Selama di sini, aku dan ibumu terus memikirkan gadis itu. Dan, syukurlah! Akhirnya kami berhasil mengetahui keberadaan gadis itu. Ibumu mengetahui asal-usulnya, sedangkan aku mengetahui siapa gurunya."

   Pemuda berambut putih keperakan ini merasa jantung dalam dadanya berdetak kencang. Entah kenapa, ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali ada pembicaraan mengenai gadis berpakaian serba putih itu, jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari biasa.

   "Benar, Arya,"

   Sambung Nyi Sani.

   "Berhari-hari di sini Ibu memeras ingatan tentang semua perkataanyang diucapkan almarhum pamanmu. Beruntung sebelum gadis itu pergi, Ibu sempat melihatnya. Dan hal itu yang sangat membantu, sehingga Ibu berhasil mengingatnya."

   "Jadi..., benarkah gadis itu putri dari Paman, Bu?"

   Tanya Arya dengan suara gemetar. Nyi Sani tersenyum. Bisa dimaklumi ketegangan yang melanda hari putranya itu.

   "Sebenarnya bukan."

   "Jadi...?"

   "Ia adalah seorang anak yang diselamatkan pamanmu ketika masih bayi. Orang tuanya telah tewas dalam keadaan menyedihkan. Mungkin dibunuh orang jahat. Sejak masih bayi pamanmu merawatnya penuh kasih sayang, sampai ia berumur lima tahun. Anak itu diberi nama Melati. Karena kesukaannya pada pakaian serba putih yang terdapat sulaman bunga melati pada dada kiri. Pada suatu hari, ketika pamanmu pergi entah untuk urusan apa, anak itu ditinggalkan. Dan ketika ia kembali, anak itu telah lenyap. Tak ada yang tahu, ke mana perginya anak itu. Pamanmu mencari-cari, bahkan sampai meminta bantuan Ibu. Tapi, tetap saja Melati tidak berhasil ditemukan. Ia lenyap begitu saja seperti ditelan bumi,"

   Urai Nyi Sani menutup ceritanya.

   "Kenapa Paman tidak menitipkannya pada Ibu?"

   Tanya Arya heran. Nyi Sani menghela napas panjang. Sejenak ditatap anaknya dalam-dalam.

   "Aku sendiri juga tidak mengerti, Arya. Pamanmu tidak pernah menjawab setiap kali Ibu menanya-kannya."

   Pemuda berbaju ungu ini terdiam beberapa saat. Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.

   "Kakek menemukan suatu hal yang mengejutkan, Arya,"

   Selak Ular Hitam memenggal lamunan pemuda berambut putih keperakan itu.

   "Apa, Kek?"

   Tanya pemuda itu ingin tahu.

   "Kau sudah pernah bertarung melawan gadis itu kan?"

   Ular Hitam malah balik bertanya.

   "Sudah, Kek,"

   Arya menganggukkan kepalanya.

   "Apa kau menjumpai sesuatu yang mengejut-kanmu?"

   Desak kakek itu lagi.

   "Ada, Kek,"

   Sahut Arya membenarkan.

   "Jurus 'Cakar Naga Merah'!"

   "Tepat!"

   "Apa tidak mungkin kalau Melati adalah murid Guru, Kek?"

   Tebak Dewa Arak.

   "Bukan, Arya. Gadis itu sama sekali tidak mengenal Kakang Gering Langit!"

   "Jadi...?"

   Desak Arya.

   "Heh?!"

   Sepasang alis Ular Hitam berkerut.

   "Kau tidak dapat menduganya, Arya?"

   Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya sejenak. Dicobanya untuk berpikir, tapi tetap saja tidak dapat menduga apa-apa. Pikirannya benar-benar seperti buntu! "Hhh...!"

   Ular Hitam menghela napas.

   "Rupanya ada sesuatu yang memberati pikiranmu, Arya. Sehingga otakmu yang biasanya cerdas, kini tidak mampu menduga hal yang sebenarnya sangat mudah!"

   Wajah Arya memerah.

   Memang secara jujur diakui, kalau benaknya diganggu bayangan Melati.

   Sikap gadis itu yang selalu memusuhi, membuatnya hampir gila.

   Otaknya buntu, tidak bisa diajak berpikir.

   Melihat keadaan Arya, Ular Hitam tidak tega untuk mendesak lebih lama.

   "Gadis yang bernama Melati itu adalah murid orang yang hendak kau cari atas perintah gurumu!"

   Jelas Ular Hitam.

   "Ahhh...!"

   Dewa Arak tersentak.

   Arya jadi merasa begitu bodoh.

   Dalam Kitab Belalang Sakti, Ki Gering Langit telah memberi tugas untuk mencari dua orang yang sebenarnya pelayan di rumah kakek itu.

   Mereka telah kabur membawa lari kitab-kitab milik Ki Gering Langit.

   Waktu itu puluhan tahun yang lalu, rumah Ki Gering Langit adalah rumah yang selama ini ditempati Pendekar Ruyung Maut.

   "Jadi...?"

   "Ya!"

   Selak Ular Hitam.

   "Melati adalah satu-satunya kunci yang dapat menunjukkan kepadamu di mana dua orang pengkhianat itu!"

   Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Satu yang perlu kau perhatikan, Arya,"

   Sambung kakek itu lagi.

   "Kau harus berhati-hati! Aku tidak bisa membayangkan sampai di mana kepandaian pengkhianat-pengkhianat itu. Bayangkan! Muridnya saja sampai selihai itu! Hhh...! Kau harus sering-sering bersemadi untuk lebih memantapkan tenaga dalammu, Arya. Aku khawatir, pengkhianat-pengkhianat itu kini telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur tingginya!"

   "Akan kuingat baik-baik nasihat Kakek. O ya, Kek. Aku ada suatu masalah yang ingin kutanyakan pada Kakek."

   Kemudian Arya menceritakan tentang Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa. Setelah mendengar penuturan pemuda berambut putih keperakan ini Ular Hitam mengangguk-angguk kan kepalanya.

   "Setiap ilmu memiliki kelemahan, Arya. Apalagi ilmu yang didapat dengan cara tidak wajar. Mengenai ilmu kekebalan tubuh yang kau ceritakan itu, banyak sekali yang kuketahui penangkalnya. Mungkin salah satunya ada yang benar."

   Lalu Ular Hitam memberitahu macam-macam cara menaklukkan ilmu kekebalan tubuh.

   Arya mendengarkan dan mencatat di otaknya semua petunjuk yang diberikan Ular Hitam.

   Setelah semua petunjuk kakek bertubuh tinggi kurus itu dihapalnya, Arya pun pamit pada ibu dan kakeknya.

   Mereka melepas kepergian pemuda berambut putih keperakan itu dengan pandang mata berkaca-kaca.

   *** Arya kini melakukan perjalanan mencari berita tentang Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut.

   Karena ciri-ciri gadis itu yang memang menyolok, pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melakukan pengejaran.

   Hampir di setiap tempat berita mengenai Melati selalu didapat.

   Dan berita yang didapatnya membuat Arya mengerutkan dahinya.

   Betapa tidak? Hampir di setiap desa dan tempat yang dikunjunginya, Melati selalu menyebar maut! Tidak ada orang yang masih hidup apabila telah berurusan dengannya.

   Satu hal yang melegakan Arya, Melati menimbulkan korban karena ia diusik.

   Tak pernah gadis itu yang memulai lebih dulu.

   Arya mempercepat langkahnya.

   Dari desa yang baru saja ditanyainya, didapat keterangan bahwa orang yang tengah dicarinya belum lama melalui desa itu.

   Dan sudah pasti telah menimbulkan korban nyawa! Perkara biasa.

   Bergajul-bergajul itu pasti hendak berbuat kurang ajar padanya.

   Setelah melewati perbatasan desa, dan mendekati mulut sebuah hutan, pendengaran Arya yang tajam menangkap adanya suara-suara pertarungan di depan.

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pemuda ini berkelebat cepat ke arah asal suara pertempuran.

   Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, dalam waktu sebentar saja Arya sudah melihat orang yang bertarung.

   Dan mendadak pemuda berambut putih keperakan ini tersentak begitu mengenali kedua orang yang sedang bertarung itu.

   Tidak jauh darinya, sekitar sepuluh tombak di depan, nampak seorang gadis cantik berpakaian serba putih dan bersenjatakan pedang, tengah bertarung melawan seseorang bertubuh tinggi besar, dan berwajah kasar.

   Di lehernya tergantung kaking yang bermatakan tengkorak kepala bayi.

   Siapa lagi kalau bukan Melati yang tengah bertarung melawan Raksasa Kulit Baja.

   Pandangan mata Dewa Arak yang tajam segera saja dapat mengetahui kalau Melati terlihat kelelahan.

   Peluhnya yang membanjiri tubuh dan gerakannya yang sudah tidak gesit lagi, menjadi bukti dugaan pemuda berambut putih keperakan itu.

   "Ha ha ha...!"

   Terdengar tawa terbahak-bahak dari mulut Raksasa Kulit Baja itu.

   Pemuda ini tahu kalau Melati, seperti dirinya juga dulu, kebingungan dan habis daya melawan kehebatan ilmu lawannya.

   Dan Dewa Arak yang telah mendapat petunjuk cara menghadapi Raksasa Kulit Baja, segera melompat ke arena pertempuran.

   "Mundur, Melati!"

   Perintah Dewa Arak.

   Terdengar seruan kaget dari mulut gadis itu.

   Dan memang sebenarnya Melati mengalami kekagetan yang bertumpuk-tumpuk.

   Dari mana Arya Buana mengetahui namanya? Tapi dalam kekagetan yang melanda hatinya itu, menyeruak rasa gembira yang tak terperikan.

   Arya Buana ternyata masih hidup! Pemuda yang telah membuat gejolak perasaannya tak menentu itu ternyata tidak mati akibat pukulannya! Oh, mengapa dia tidak pernah merasa segembira seperti sekarang? Inikah yang dinamakan cinta? Mengapa pemuda itu ada di sini? Apakah Arya juga memperhatikan dirinya? Tanpa sadar gadis itu melompat mundur.

   Arya yang melihat hal ini menjadi tersentak sekaligus gembira.

   Berarti benarlah dugaan ibunya.

   Gadis ini adalah Melati kecil yang dulu ditemukan pamannya sewaktu masih bayi! "Grrroah...!"

   Raksasa Kulit Baja meraung murka begitu melihat siapa yang masuk ke arena pertempuran, dan kini berdiri di hadapannya sambil menuangkan arak ke dalam mulut.

   Gluk...

   gluk...

   gluk...! "Sungguh besar nyalimu, Dewa Arak! Kali ini jangan harap dapat lolos dari tanganku!"

   Setelah berkata demikian, manusia raksasa itu melolos rantai berujung arit yang melilit pinggangnya.

   Sambil menggeram marah, diputar-putar, dan dilemparkannya ke arah Arya.

   Singgg...! Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai berujung arit itu meluncur cepat ke arah kepala Dewa Arak.

   Sedangkan pemuda itu seperti biasa tengah sempoyongan sehabis menenggak araknya, seolah-olah tidak menyadari adanya bahaya mengancam.

   Tapi begitu serangan rantai itu menyambar dekat, Dewa Arak cepat menggerakkan tangan memapak, setelah lebih dulu menyimpan kembali gucinya di punggung.

   Pralll...! Rantai yang terbuat dari baja itu putus berantakan ketika mengenai tangan kanan Dewa Arak.

   Berbareng dengan itu, tangan kiri pemuda itu menangkap ujung rantai yang tersisa.

   Kreppp! "Hup!"

   Hanya sekali sentak, tubuh Raksasa Kulit Baja terbetot dan melayang ke arah Dewa Arak.

   Hal ini memang disengaja.

   Pemuda itu ingin mencoba salah satu cara yang diberikan Ular Hitam.

   Menurut Ular Hitam, kalau Raksasa Kulit Baja memperoleh kekebalan dengan cara melumuri ramuan-ramuan ke tubuhnya, pasti ada bagian tubuh yang tidak terkena ramuan itu.

   Karena tidak mungkin seluruh tubuhnya terlumuri ramuan.

   Dan bagian yarig tidak terkena ramuan itu adalah kelemahan dari Raksasa Kulit Baja.

   Arya tahu, di antara seluruh tubuh tinggi besar ini hanya satu anggota tubuh yang belum pernah diserangnya.

   Telapak kaki! Kini pemuda berambut putih keperakan itu akan mencobanya.

   Wuuuttt...! Begitu tubuh Raksasa Kulit Baja itu telah menyambar dekat, Dewa Arak mencuatkan kakinya.

   Maka dengan ujung kaki, disodoknya telapak kaki manuka bertubuh raksasa itu.

   Tukkk...! Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental ke atas.

   Pegangannya pada rantai langsung terlepas.

   Sesaat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, kemudian jatuh ke tanah sehingga menimbulkan suara berdebuk keras.

   Dengan hati berdebar tegang, Arya menunggu hasil percobaannya itu.

   Tapi betapa kecewa hatinya ketika lawannya bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.

   Berarti manusia raksasa ini tidak mempergunakan ramu-ramuan untuk mendapatkan kekebalan.

   Srattt...! Arya mencabut sesuatu dari balik punggungnya Cara kedua yang diajarkan Ular Hitam untuk menaklukkan kekebalan tubuh Raksasa Kulit Baja.

   "Ha ha ha...!"

   Manusia raksasa itu tertawa bergelak ketika melihat senjata yang tergenggam di tangan Dewa Arak. Bambu kuning! Panjangnya sama dengan panjang sebatang pedang.

   "Rupanya kau ini sudah jadi gila karena bingung, Dewa Arak! Jangankan bambu, baja pun tidak akan membuat kulitku lecet!"

   Tapi Arya tidak mempedulikan ejekan itu.

   Sambil mengeluarkan pekik melengking, Dewa Arak melompat menyerang lawannya.

   Raksasa Kulit Baja yang mempunyai gerakan lambat, tidak mungkin menghindari serangan Dewa Arak yang sangat cepat itu? Bertubi-tubi bambu kuning di tangan Arya mengenai sasarannya.

   Ditusuk, disabet, disontek, sampai akhirnya bambu itu hancur! "Ha ha ha...!"

   Kembali Raksasa Kulit Baja tertawa bergelak.

   "Masih ada lagi senjatamu, Dewa Arak? Keluarkan! Puaskan hatimu, sebelum kau tewas di tanganku!"

   Arya membuang sisa bambu yang masih digengamnya.

   Sesaat kemudian matanya liar mengawasi sekelilingnya.

   Dan seketika matanya berseri ketika melihat sebuah pohon yang memang dicarinya.

   Pohon kelor! Cepat laksana kilat, tubuh Arya melesat ke atas.

   Dan di lain saat tubuhnya sudah melayang turun.

   Kini di tangannya tergenggam sebatang ranting pohon itu yang berdaun lebat.

   Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja.

   Daun kelor yang tergenggam di tangannya disabetkan ke tubuh manusia raksasa itu.

   Prattt! "Akh...!"

   Dengan telak sabetan itu mengenai badan Raksasa Kulit Baja.

   Mendadak saja terdengar jerit kesakitan dari mulut manusia raksasa yang kebal ini.

   Jerit yang lebih menyerupai raungan binatang buas terluka.

   Dewi Penyebar Maut tersentak kaget melihat hal ini.

   Hampir tidak dipercaya akan apa yang dilihatnya barusan.

   Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan luar biasa itu meraung-raung hanya dengan sabetan daun kelor! Dan sebaliknya, begitu Arya melihat usahanya berhasil, ia pun cepat menghujani sekujur tubuh lawan dengan sabetan-sabetan daun kelor yang digenggamnya.

   Prattt! Prattt! "Akh...! Aduh! Ahhh...!"

   Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul.

   Tubuh Raksasa Kulit Baja ini menggeliat-geliat, bahkan terguling-guling.

   Tapi, Dewa Arak tidak memberi kesempatan.

   Tubuh yang bergulingan di tanah itu terus dihujaninya dengan daun kelor.

   Baru setelah ranting yang digenggamnya hancur, Arya menghentikan sabetan.

   Dibuangnya ranting itu, lalu ditatapnya sejenak tubuh tinggi besar yang masih berguling-guling.

   Kemudian sambil mengumpulkan seluruh tenaga, didorongkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka ke depan.

   Dewa Arak menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' dalam lambaran 'Tenaga Dalam Inti Matahari'! Wuuuttt...! Angin yang berhawa panas menderu keras ke arah tubuh Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan.

   Bresss...! Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental keras ke belakang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak menghantam tubuhnya.

   Suara jerit menyayat keluar dari mulut si tinggi besar ini.

   Tubuhnya bergulingan jauh.

   Dari mulut, hidung, mata, dan telinga mengalir darah segar.

   Dan begitu gulingan itu terhenti, berhenti pulalah riwayat tokoh menggiriskan ini.

   Sekujur tubuhnya nampak menghitam hangus! Sambil mengumpulkan seluruh tenaganya, Dewa Arak mendorongkan kedua tangannya ke arah Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan! Arya Buana tercenung memandang sosok tubuh yang kini tergolek di hadapannya.

   Dalam hati, dikagumi juga kehebatan ilmu yang dimiliki orang bertubuh seperti raksasa itu.

   Cukup lama juga pemuda itu tercenung, dan baru sadar ketika mendengar suara gerakan halus di belakangnya.

   Dalam sekelebatan, benaknya teringat pada Melati.

   Buru-buru ditolehkan kepalanya ke belakang.

   Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya hati pemuda berambut putih keperakan ini ketika tidak melihat siapa-siapa di situ.

   Dengan perasaan cemas, diedarkan pandangannya berkeliling.

   Tapi, tetap saja tidak dijumpai sosok tubuh yang dirindukan dan yang selalu mengganggu ingatannya.

   "Melati...!"

   Teriak Arya kalap.

   Teriakannya yang disertai pengerahan tenaga dalam itu bergaung, menggema ke sekitarnya.

   Sesaat pemuda berbaju ungu ini menunggu sambutan.

   Tapi sampai lelah menunggu, tak juga ada tanda-tanda akan adanya sahutan.

   Hanya gema suaranya sendiri yang menyambut panggilannya.

   "Melati...!"

   Teriak Dewa Arak lagi.

   Dan memang, suaranya terdengar bernada putus asa.

   Dia seperti, kehilangan sesuatu yang amat dicintainya.

   Tanpa pikir lagi, Dewa Arak bergerak mengejar ke dalam hutan.

   Tujuannya jelas, mencari Melati! Selain untuk ketenangan hatinya, juga untuk memenuhi tugas gurunya.

   Seperti diketahui, gadis ini adalah satu-satunya kunci untuk mencari pencuri kitab-kitab milik Ki Gering Langit.

   Tanpa sepengetahuan Arya, dari balik pohon, seraut wajah cantik berpakaian serba putih menatap kepergiannya dengan mata merembang berkaca-kaca.

   Gadis itu merasa malu menemui Arya, karena sejak pertama kali selalu bentrok dengannya.

   Tapi gadis itu juga merasa sedih tidak bisa bersama-sama dengan Arya, pemuda yang diam-diam dicintainya.

   Dia hanya bisa menatap tubuh Arya Buana hingga lenyap di kejauhan....

   Nah, apakah kelak Melati mau menjumpai Dewa Arak lagi? Berhasilkah Arya mencari Melati? Dan memenuhi tugas dari gurunya untuk mengambil kitab-kitab yang dicuri oleh pelayan Ki Gering Langit? Bagi para pembaca yang ingin mengetahui kisah selanjutnya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar".

   SELESAI Created ebook by Scan & Convert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (fujifenkikagawa) Weblog,
http.//hana-oki.blogspot.com Thread Kaskus.
http.//www.kaskus.us/showthread.php?t=B97228

   

   

   

Welas Asih Tak Terkalahkan Karya M mep TWL Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong

Cari Blog Ini