Ceritasilat Novel Online

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 8


Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Bagian 8



Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Tan Wan-wan kelihatan enggan, namun tidak berani membantah.

   "Katakan kepada orang suruhan Baginda itu, aku segera menuju ke Bangsal Tiong-cun..."

   "Baik, Tuan Puteri,"

   Sahut si dayang sambil beranjak pergi.

   Puteri Tiang-ping sudah mendengar bisikbisik di antara hamba-hamba istana, katanya Kaisar Tiong-ong diam-diam menginginkan Tan Wan-wan juga, cuma bisik-bisik itu memang belum kelihatan buktinya.

   Agaknya Kaisar Tiong-ong masih mencoba mempertahankan martabatnya, takut dicap seperti pendahulunya yang ia gulingkan, mendiang Kaisar Cong-ceng yang dianggap sebagai kaisar yang lemah dan selalu dikendalikan kecantikan perempuan.

   Kini Puteri Tiang-ping mendengar sendiri panggilan untuk Tan Wan-wan, dan keengganan Tan Wanwan, pikirannya langsung meluncur searah dengan bisik-bisik di antara hamba-hamba istana itu.

   III "Apakah ada soal penting, sehingga Baginda memanggil Kakak Wan?"

   Tanyanya. Jawaban Tan Wan-wan mengandung keluhan.

   "Tidak ada urusan penting. Memang sudah biasa Baginda memanggilku, ternyata hanya untuk diajak bermain catur, melukis, minum teh, mengobrol ringan. Tetapi desasdesusnya di luaran, bukan main..."

   Puteri Tiang-ping menarik napas. Dulu, kecantikan Tan Wan-wan telah meruntuhkan kebesaran seorang kaisar, yaitu ayah Puteri Tiang-ping sendiri. Sekarang, akankah Kaisar Tiong-ong menjadi "korban"

   Kedua? Hal ini tidak bisa menyalahkan Tan Wan-wan, daya tarik Tan Wan-wan memang luar biasa meskipun tidak disengaja, bahkan Puteri Tiangping yang sesama wanita pun mengakuinya.

   Apalagi para lelaki.

   Di luar dugaan ketika Tan Wan-wan melanjutkan kata-katanya dengan masygul.

   "Kalau sekedar desas-desus tidak apa-apa, aku khawatir justru kalau... kalau..."

   "Kalau apa, Kakak Wan?"

   III "Kalau yang dikatakan oleh desas-desus itu ternyata benar..."

   "Ha?"

   Puteri Tiang-ping melongo. Tan Wan-wan menundukkan kepala.

   "Kakak Wan, bukankah kau yang menjalaninya? Kau sendiri yang tahu desasdesus itu betul atau tidak..."

   Tan Wan-wan tiba-tiba bangkit dan berkata.

   "Sudahlah. Baginda pasti sudah menungguku."

   Lalu Tan Wan-wan pun menuju ke Bangsal Tiong-cun.

   Tetapi, ketika ia memasuki bangsal itu, segera dia tahu bahwa Kaisar Tiong-ong kali ini memanggilnya tidak sekedar untuk menemaninya bersantai.

   Sebab di samping Kaisar Tiong-ong, juga nampak Yo Kian-hi, perwira bawahan lenderal Li Giam, yang kali ini tidak mengenakan seragam melainkan berpakaian biasa, bahkan wajahnya babakbelur seperti habis dianiaya, dan wajahnya memancarkan kegusaran hebat.

   Tan Wan-wan tidak perlu heran bahwa Yo Kian-hi bisa menerobos sampat ke hadapan Kaisar TiongIII ong dengan mudah, sebab hampir seluruh prajurit istana adalah bawahan-bawahan Jenderal Li Ciam juga.

   Sedetik Tan Wan-wan lupa memberi hormat kepada Kaisar karena merasa tak terduga bertemu Yo Ktan-hi di situ.

   Setelah melengak sebentar, barulah Tan Wan-wan berlutut memberi hormat Kaisar.

   "Salam hormat hamba, Tuanku."

   "Bangkitlah, Kong-hui..."

   Tan Wan-wan bangkit, dan menanti katakata kaisar selanjutnya. Ternyata kata-kata Kaisar Tiong-ong selanjutnya bukan buat Tan Wan-wan, melainkan buat Yo Kian-hi.

   "Perwira Yo, ulangi kembali ceritamu tadi..."

   Yo Kian-hi pun bercerita dengan nada yang tegang dan tergesa-gesa.

   Menceritakan kegiatan mata-mata Manchu, bagai mana Yo Kian-hi berusaha melacaknya, tetapi tertangkap oleh kawanan mata-mata Manchu dan dihajar babakbelur.

   Hanya oleh suatu keberuntungan, Yo III Kian-hi berhasil meloloskan diri dan langsung ke istana untuk memberitahu kaisar.

   Di antara berita yang paling menyedihkan yang dibawa Yo Kian-hi, adalah tentang tewasnya gurunya, Ko Ban-seng, meski Yo Kianhi tidak melihatnya sendiri melainkan hanya mendengar dari percakapan para mata-mata Manchu yang didengarnya.

   Selain itu, Yo Kian-hi juga menegaskan bahwa Ciong Ek-hi, salah satu perwira terpercaya Gu Kim-sing, adalah matamata Manchu.

   "Darimana Saudara Yo mengetahuinya?"

   Tanya Tan Wan-wan.

   "Ciong Ek-hi ikut bersama-sama orangorang Manchu yang menawan aku, berbicara bahasa Manchu, dan ternyata nama aslinya adalah Ha Cao."

   "Nama yang berbau Manchu."

   "Jadi Guru Ko tidak akan mencapai San-haikoan, dan berarti tidak ada yang bakal mencegah Bu Sam-kui dari menyerahkan kota itu ke tangan bangsa Manchu..."

   III "Tuanku, apa yang akan kita lakukan sekarang?"

   "San-hai-koan harus diselamatkan..."

   "Ya, tentu saja, tetapi bagaimana caranya?"

   Karena tegangnya setelah mendengar cerita Yo Kian-hi tadi, Tan Wan-wan jadi bersikap agak kasar kepada kaisar. Ketika ia menyadari sikapnya, ia buru-buru memohon maaf.

   "Ampun Tuanku..."

   Kaisar Tiong-ong menatap Tan Wan-wan dengan perasaan berat, suaranya juga berat.

   "Kong-hui, bagaimana kalau aku kirim kau ke San-hai-koan?"

   Tan Wan-wan terkejut.

   Apakah dirinya harus kembali menjadi korban, diumpankan untuk mengendalikan Bu Sam-kui? Meskipun Tan Wan-wan sendiri rela demi keselamatan seluruh negeri, tetapi diluar dugaan juga bahwa Kaisar Tiong-ong memutuskan demikian.

   Meskipun saat itu belum merupakan suatu keputusan pasti, baru menanyai Tan Wan-wan mau atau tidak.

   Tan Wan-wan termangu-mangu.

   III Kaisar Tiong-ong melihat itu dan buru-buru menambah penjelasan.

   "Kong-hui, aku maksudkan bukannya kau datang untuk mendampingi Bu Sam-kui selamanya, sebab aku tidak bisa tidak mempedulikan perasaanmu yang tidak mencintai Bu Sam-kui. Aku akan kirim kau sebagai duta kerajaan dengan segala kehormatan, hak-hak istimewa, untuk berunding dengan Bu Sam-kui. Kalau perlu, kau boleh menjanjikan penarikan seluruh pasukan Jenderal Lau Cong-bin yang saat ini menggempur San-hai-koan, kalau hal itu diajukan Bu Sam-kui sebagai syarat."

   "Hamba akan menuruti perintah Tuanku."

   "Bagus. Kita harus bergegas. Kau datang bukan sebagai umpan empuk yang disodorkan ke mulut Bu Sam-kui, melainkan atas namaku, sebagai perunding dari pihak kita."

   "Hamba mengerti. Hamba ada sebuah permohonan..."

   "Apa syaratmu?"

   "Ampun Tuanku, ini bukan syarat.Hamba akan tetap menjalankan perintah Tuanku III dengan sepenuh hati, tidak peduli permohonan hamba ini dikabulkan atau tidak..."

   "Baiklah, apa permohonanmu?"

   "Hamba mohon ampun sekiranya permohonan hamba ini agak diwarnai oleh kepentingan pribadi hamba sendiri..."

   Bicara sampai di sini, sepasang pipi Tan Wan-wan jadi agak memerah sehingga kecantikannya makin bercahaya.

   "Hamba mohon... Tuanku membebaskan teman hamba... tetapi sekali lagi ini bukan syarat, hanya permohonan..."

   "Temanmu? Siapa?"

   "Helian Kong."

   Sepercik rasa cemburu menyengat hati Kaisar Tiong-ong. Untungnya ia bukan seorang yang mudah dikuasai perasaan. Ia cuma bertanya.

   "Kau tahu siapa Helian Kong?"

   Tan Wan-wan menunduk.

   "Hamba tahu, dia adalah panglima dinasti Beng yang berhati keras, sampai sekarang masih menentang kita. Hamba hanya memohonkannya, keputusannya terserah pertimbangan Tuanku..."

   III Hati Kaisar Tiong-ong agak panas.

   Seandainya yang memohonkan kebebasan Helian Kong itu bukan Tan Wan-wan, melainkan orang lain dengan pertimbangan yang masuk akal, barangkali Kaisar Tiong-ong akan mengabulkannya.

   Tetapi sekarang yang memohonkan adalah Tan Wan-wan, seorang perempuan cantik yang secara khusus punya tempat di hati Kaisar, Kaisar jadi terkait perasaan pribadinya kepada Tan Wan-wan.

   Saat itulah Yo Kian-hi tiba-tiba berbicara pula.

   "Ampun Tuanku, perkenankanlah hamba mengajukan usul."

   "Ya. Katakan."

   "Ada baiknya Helian Kong kita bebaskan. Pertama, untuk membalas budi dari pihak kita. Pernah Penasehat Militer Manchu dibantu pembunuh-pembunuh bayaran hampir berhasil membunuh Jenderal Li Giam, tetapi Helian Kong datang menolong. Ketika itu Helian Kong tidak pandang pihaknya sedang bermusuhan dengan pihak kita, tetap saja menolong Jenderal Li. la bersikap sebagai patriot bangsa Han yang III berpandangan luas, berjiwa lapang, sanggup untuk sementara waktu melupakan permusuhan di antara sesama bangsa Han demi menghadapi musuh bersama dari luar, pembebasan Helian Kong bisa menjadi isyarat persahabatan dan perdamaian dengan sisa-sisa dinasti Beng yang sampai sekarang masih membangkang. Aku percaya, kalau Helian Kong dibebaskan, ia tidak akan menggunakan kesempatan ini untuk menikam kita dari belakang, tetapi malah akan menghubungi kawan-kawannya untuk memperingatkan adanya bahaya yang lebih besar bagi seluruh negeri, yaitu ancaman Manchu. Dia musuh, tetapi hamba percaya wataknya terlalu jantan untuk menikam kita dari belakang..."

   Dengan perkataannya yang seolah hanya memuji Helian Kong, Yo Kian-hi seolah-olah juga memperingatkan kaisarnya agar jangan sampai bersikap kalah lapang dada dari Helian Kong.

   Tan Wan-wan melirik dengan sorot mata berterima kasih kepada Yo Kian-hi dan jantung III Yo Kian-hi terguncang.

   "Korban"

   Tan Wan-wan ternyata tidak cukup hanya Helian Kong, Kaisar Cong-ceng, Bu Sam-kui, Jenderal Lau Cong-bin, Kaisar Tiong-ong, tetapi Yo Kian hi pun sudah lama diam-diam mengaguminya, cuma disimpannya rapat-rapat dalam hati.

   Kaisar Tiong-ong mengerutkan alisnya, kurang setuju dengan permohonan Tan Wanwan yang didukung Yo Kian-hi itu.

   Tetapi khawatir kalau dirinya di mata Tan Wan-wan kelihatan kalah lapang dada dan kalah hebat dari Helian Kong, akhirnya Kaisar pun berkata.

   "Baiklah. Aku ingin memperagakan lebarnya kemurahan hatiku bagi sisa-sisa dinasti Beng yang masih membangkang, semacan Helian Kong dan kawan-kawannya. Aku akan bebaskan dia. Tetapi pembebasannya harus dalam peristiwa yang disaksikan dan diperhatikan banyak orang. Helian Kong akan dibawa dulu ke San-hai-koan dalam rombongan Puteri Konghui, nanti di San-hai-koan barulah dibebaskan!"

   Tan Wan-wan berlutut.

   "Terima kasih Tuanku."

   III "Kenapa kau berterima kasih buat dia? Seberapa dekat hubunganmu dengan dia?"

   Tan Wan-wan kelabakan tak mampu menjawab "serangan"

   Itu. Kaisar berkata kepada Yo Kian-hi.

   "Kau ikut rombongan itu."

   "Baik Tuanku. Bagaimana dengan Ciong Ekhi alias Ha Cao?"

   "Mudah saja. Dengan sepucuk surat, aku akan memerintahkan Jenderal Gu Kim-sing membawa batok kepalanya di atas nampan, pada Sidang Kerajaan besok pagi."

   "Tuanku sungguh tegas dalam mengambil tindakan."

   Begitulah, niatnya Tan Wan-wan akan dikirim ke San-hai-koan seumpama air untuk memadamkan api yang membara.

   Begitu niatnya.

   Kaisar Tiong-ong agak lupa bisa terjadi sebaliknya.

   Pengiriman Tan Wan-wan seperti minyak yang disiramkan ke api, sebab San-haikoan sedang berhadapan dua lelaki yang samasama tergila-gila kepada Tan Wan-wan.

   III Jenderal Lau Cong-bin dan Bu Sam-kui, dengan pasukannya masing-masing.

   Hari itu adalah hari kesekian San-hai-koan digempur.

   Pasukan besar Pelangi Kuning sudah kehilangan banyak prajurit dalam gempuran di hari-hari sebelumnya.

   Ratusan pucuk senjata api yang tiba-tiba muncul di pihak pengawal San-hai-koan, meriam-meriam San-hai-koan yang semula dikira "bisu"

   Tetapi tiba-tiba kini "menyalak"

   Dengan galak kembali, telah mengejutkan pasukan Pelangi Kuning. Tetapi Jenderal Lau dengan keras kepala meneruskan perintah "gempur terus sampai dapat kita rebut"

   Tanpa menghiraukan pertimbangan apa pun, tanpa menghiraukan berapa pun korbannya.

   Ia begitu bernafsu untuk menunjukkan batok kepala Bu Sam-kui kepada Tan Wan-wan, ia sampai bermimpi adegan itu.

   Begitu pula hari itu, gempuran ke benteng kota berlangsung dari matahari terbit sampai matahari tenggelam.

   Prajurit-prajurit Pelangi Kuning tidak henti-hentinya menyerbu tembok kota, mencoba memanjat, jatuh karena dipanah III dari atas, yang lain coba memanjat lagi, jatuh lagi, yang lain lagi mencoba lagi, jatuh lagi.

   Dan meskipun meriam-meriam Pelangi Kuning sudah hampir kehabisan bahan peledak, tetapi sekali-kali masih berbunyi juga..

   Lebih sebagai penambah semangat para prajurit daripada memberi hasil nyata.

   Ketika matahari terbenam, pasukan Pelangi Kuning pun mundur seperti kemarin, dengan membawa ribuan mayat teman-teman mereka yang bertumpuk-tumpuk di kaki tembok Sanhai-koan seperti bangkai laron di bawah dian.

   Dan ribuan yang luka-luka.

   Bu Sam-kui menunggang kuda, menyusuri lorong-lorong San-hai-koan menuju ke tempat tinggalnya.

   Rakyat San-hai-koan di sepanjang jalan mengangguk hormat.

   Mereka tidak kelaparan lagi karena pihak Manchu mengirimi bahan makanan berlimpah setiap hari.

   Meskipun demikian, ada sesuatu yang menggelisahkan Bu Sam-kui.

   la teringat katakata Helian Kong, yang berjanji dalam waktu sepuluh hari akan menghadirkan Tan Wan-wan III di hadapannya.

   Sekarang sudah sembilan hari, Helian Kong belum muncul juga.

   "Mudah-mudahan Saudara Helian selamat, dan Tan Wan-wan juga berhasil dibawa kemari, entah bagaimana caranya..."

   Bu Sam-kui berharap dalam hati.

   "Kalau Helian Kong berhasil, aku rela menjadi budaknya seumur hidupnya..."

   Demikianlah, buat orang dimabuk cinta, tidak ada harga taruhan yang terlalu mahal untuk menggapai idamannya.

   Bu Sam-kui kemudian membersihkan diri di tempat tinggalnya, dan seperti malam-malam sebelumnya, ia menenggelamkan diri dalam arak, sampai mabuk mengigau menyebutnyebut nama Tan Wan-wan.

   Ketika malam semakin larut, dua sosok tubuh mengendap mendekati tembok San-haikoan.

   Berlindung di bayangan pepohonan belukar, menghindari cahaya obor di atas tembok San-hai-koan maupun cahaya obor para peronda Pelangi Kuning, meskipun salah satu III dari orang-orang yang mengendap itu berpakaian seragam perwira Pelangi Kuning.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lewat mana?"

   Tanya seorang. Yang berseragam perwira menjawab.

   "Lewat sebuah sungai kecil yang menerobos di bawah tembok San-hai-koan. Perwira Jai juga pernah menuntun pasukan Pelangi Kuning lewat tempat itu."

   Ketika sampai di sungai yang dimaksud, mereka turun ke sungai yang airnya tingginya selutut, kemudian melangkah merunduk sampai ke bawah kaki tembok, masuk ke bawah kaki tembok yang dialiri air. Yang berseragam perwira Pelangi Kuning berdesis.

   "Dulu setelah pihak San-hai-koan ketelusupan prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang hampir saja berhasil mengundang masuk seluruh balatentara Pelangi Kuning ke dalam San-hai-koan, pihak San-hai-koan lalu memasang terali-terali besi di mulut terowongan air di bawah tembok ini. Tetapi Saudara Goh jangan khawatir, Saudara Jai sudah memberi tahu aku rahasia melewatinya..."

   III Dan mereka pun sudah sampai di ujung terowongan dan bertemu dengan terali-terali itu. Si perwira Pelangi Kuning menghitunghitung terali itu.

   "Terali nomor enam dari sebelah kiri, nomor tujuh dan delapan..."

   Lalu ia pegang kuat-kuat terali nomor enam, diguncang-guncang pelan dan copotlah terali itu.

   Si perwira tersenyum kepada kawannya, lalu dia lakukan hal yang sama dengan terali ke tujuh dan delapan.

   Sekarang terbukalah suatu celah untuk menyusup masuk orang itu.

   Orang yang tidak berseragam perwira itu bukan lain adalah Goh Lung, perwira pasukan rahasia Manchu yang di Ibukota Pak-khia menyelubungi kegiatannya dengan warung bakminya.

   Sebelum ia menyelinap ke sebelah sana terali, Goh Lung memegang pundak pengantarnya yang berseragam perwira Pelangi Kuning itu, katanya dalam bahasa Manchu.

   "Jangan lupa tugasmu, Saudara Ung, dengan nasehat-nasehatmu kepada di goblok Lau Congbin itu, kau harus tetap membuat golongan III Pelangi Kuning dan sisa-sisa dinasti Beng tidak bersatu."

   "Aku mengerti, Kakak Goh. Titip salam buat Kakak Jai."

   Goh Lung mengangguk, lalu menyelinap.

   Pengantarnya memasang kembali terali-terali itu kemudian pulang ke per-kemahan Pelangi Kuning.

   Sementara Goh Lung yang masih berada di sebelah dalam tembok San-hai-koan, kini berjalan di antara lorong-lorong gelap kota Sanhai-koan yang sepi.

   Sepi, sebab penduduk umumnya tidak berani keluar rumah di jaman perang itu, dan kelompok-kelompok prajurit peronda hanya sekali-kali lewat.

   Goh Lung langsung menuju ke rumah Jai Yong-wan dan melompati dindingnya dan membuat ketukan isyarat di jendela.

   Di dalam ruangan terlihat ada lilin dinyalakan, lalu pintunya dibuka.

   Jai Yong-wan mengangkat lilin untuk menerangi wajah orang di depannya, dan berdesis.

   "Saudara Goh..."

   "Betul, ini aku..."

   III Goh Lung menyelinap masuk, berbicara kira-kira sejam dengan Jai Yong-wan.

   Lalu Jai Yong-wan mengeluarkan seperangkat kotak rias dan cermin.

   Dibantu oleh Goh Lung, dia pun mulai merias diri.

   Ketika itu, Bu Sam-kui tengah setengah mabuk setelah kebanyakan arak.

   Pandangan matanya kabur, kadang-kadang ia seolah-olah melihat Tan Wan-wan berdiri di depannya dan melambai kepadanya.

   Tetapi kalau Bu Sam-kui meraihnya, bayangan itu lenyap.

   Prajuritprajurit yang berjaga di luar tahu kalau panglima mereka sedang mabuk, namun mereka biarkan saja karena hal itu sudah biasa.

   Setiap malam prajurit penjaga disuruh ke dapur tangsi untuk mengambil arak.

   Para prajurit heran juga, bahwa meski setiap malam Bu Samkui mabuk, siangnya masih bisa memberikan komando-komando di atas benteng San-haikoan sehari penuh.

   Ada prajurit yang bertanyatanya, apakah arak itu sumber kekuatan Bu Sam-kui? Mereka tidak tahu bahwa sumber kekuatan Bu Sam-kui bukan arak, melainkan III kemarahan.

   Kemarahan karena Tan Wan-wan.

   Itulah yang membuat Bu Sam-kui begitu berkobar-kobar di siang hari di antara prajuritprajuritnya di tembok kota pada waktu pertempuran.

   Ketika itulah prajurit-prajurit di luar tibatiba melihat sosok bayangan berjalan mendekat.

   Mereka bersiaga, namun kemudian mengendorkan kesiagaan mereka setelah cahaya lampion menggapai wajah kedua orang itu, yang ternyata adalah Helian Kong dan seorang temannya entah siapa.

   Tidak berpakaian seragam, dekil, sedekil Helian Kong sendiri.

   Seorang komandan regu tiba-tiba saja merasa sangat lega melihat Helian Kong, sehingga berkata.

   "Kiranya Panglima Helian. Selamat datang kembali di San-hai-koan, Panglima..."

   "Terima kasih,"

   Sahut Helian Kong agak kaku, suaranya maupun sikapnya. Suaranya juga agak serak dan sengau. III Seorang komandan regu tiba-tiba saja merasa sangat lega melihat Helian Kong, sehingga berkata.

   "Kiranya Panglima Helian. Selamat datang kembali di San-haikoan, Panglima..."

   III Komandan regu itu diam-diam menduga.

   "Mungkin karena berada di pegunungan, kesehatan Panglima Helian jadi agak terganggu..."

   Perwira itu tidak tahu tentang perjalanan Helian Kong ke Pak-khia untuk "mengambil"

   Tan Wan-wan bagi Bu Sam-kui, sebab hal itu memang tidak disebarluaskan oleh Bu Sam-kui. Bu Sam-kui khawatir hal itu bocor ke telinga orang-orang Pelangi Kuning dan bakal mempersulit Helian Kong, Bu Sam-kui "hanya"

   Menceritakannya kepada sahabat terpercayanya, Jai Yong-wan. Sementara itu, Helian Kong bertanya kepada komandan jaga.

   "Jenderal Bu ada?"

   "Ada. Justru Panglima Helian lah yang selalu ditunggu-tunggu oleh Panglima kami. Silakan masuk."

   Helian Kong dan kawannya pun melangkah masuk. Mereka jumpai Bu Sam-kui sedang menenggak araknya di ruang tengah. Tidak mabuk, tetapi setengah mabuk. Mulutnya yang berleleran arak terus mengigau.

   "Tan Wan-wan III kekasihku... tunggulah, Kakanda datang membebaskanmu... Kakanda akan cincang si maling Li Cu-seng itu di hadapanmu... bidadariku, tunggulah Kakanda..."

   Helian Kong dan temannya bertukar senyuman tersembunyi dan anggukan kecil. Teman Helian Kong berdesis.

   "Lebih gampang..."

   Helian Kong kemudian menepuk pundak Bu Sam-kui sambil berkata.

   "Saudara Bu, ini aku, Helian Kong. Aku sudah kembali dari Pakkhia..."

   Bu Sam-kui membelalakkan matanya yang merah.

   "Saudara Helian..."

   "Ya, ini aku, Saudara Bu..."

   Dengan keadaannya yang setengah mabuk, Bu Sam-kui tidak memperhatikan benar kalau Helian Kong yang di depannya ini suaranya agak lain, dan tidak membawa pedang Elang Besinya, padahal biasanya pedang itu tidak pernah terpisah dari tubuh Helian Kong.

   Bahkan Bu Sam-kui menyangka bayangan tubuh yang bersama Helian Kong itu adalah Tan Wan-wan, III "Saudara Helian, apakah Tan Wan-wan...

   bersamamu?"

   Lalu dengan langkah miring khas orang mabuk Bu Sam-kui melangkah mendekat sambil mengembangkan lengan-lengannya, siap memeluk, sambil mengigau.

   "Mari, Adinda Wanwan... peluklah Kakanda..."

   Tetapi Helian Kong yang menyongsong Bu Sam-kui, menahannya agar tidak roboh, sambil berkata.

   "Ini bukan Tan Wan-wan, Saudara Bu. Duduklah dan dengarkan penjelasanku."

   Bu Sam-kui seperti diguyur air dingin mendengar kata-kata itu, kesadarannya pulih kembali sebagian kecil, matanya membelalak dan melihat jelas orang yang bersama Helian Kong itu bukan Tan Wan-wan melainkan seorang laki-laki dekil, mana ada kesamaannya sedikit pun dengan Tan Wa-wan? Bu Sam-kui sempoyongan mencari tempat duduk dan berdesah.

   "Mana Tan Wan-wan?"

   "Aku minta maaf, Saudara Bu, aku sudah berusaha sekuat tenagaku, tapi aku gagal membawa dia bersamamu kemari."

   III "Apa yang terjadi dengan dia?"

   "Dia sangat menderita, Saudara Bu, dia selalu merindukanmu. Tetapi si bajingan Li Cuseng itu mengurungnya dan... dan... ah, aku tidak sanggup mengatakannya..."

   Cukup kata-kata ini saja sudah membuat perasaan Bu Sam-kui campur-aduk tak keruan, antara kecewa, marah, iba diri dan macammacam lagi. Ia menggebrak meja lalu meraungraung.

   "Kekasihku, sungguh kau menderita di tangan si maling itu! Tunggulah, Kakanda akan kerahkan pasukan menyerbu Fak-khia untuk membebaskanmu..."

   Helian Kong menghiburnya.

   "Kita pasti akan melakukan itu demi Tan Wan-wan, Saudara Bu. Tetapi apa daya, kekuatan kita terlalu kecil dibanding kekuatan musuh. Bahkan seandainya pasukanmu digabung dengan pasukanku yang di luar kota sekalipun, takkan cukup untuk mendobrak pecah kepungan Lau Cong-bin atas San-hai-koan ini..."

   "Aku punya lima ratus pucuk senjata api!"

   III "Itu tidak cukup kalau kita menghadapi pasukan yang seperti semut jumlahnya, pasukan garong Pelangi Kuning itu.

   Kita mungkin sempat menembak beberapa gelombang dan membunuh ribuan musuh, tetapi setelah itu musuh pasti akan menjadi dekat dan tak terhindari perang jarak dekat yang membuat bedil-bedil tak berguna lagi.

   Kita, yang jauh lebih sedikit, pasti akan tenggelam dan digilas musuh yang jauh lebih banyak..."

   Biar kepalanya masih puyeng, Bu Sam-kui mengerti juga apa yang dikatakan Helian Kong itu.

   "Lalu bagaimana?"

   Helian Kong nampak berpikir sebentar, kemudian mulai berkata dengan hati-hati.

   "Saudara Bu, di Ibukota Pak-khia, ternyata aku bertemu dengan beberapa utusan dari kawankawan kita di selatan, mereka sedang mengamat-amati perkembangan di Pak-khia dengan menyamar untuk menentukan langkah. Salah satunya adalah Saudara Tian ini..."

   III Orang yang bersama Helian Kong itu mengangguk hormat kepada Bu Sairi-km dan berkata dengan logat selatannya yang kental.

   "Aku sampaikan salam dari Kok-po Su Ko-hoat di Yang-ciu..."

   Bu Sam-kui tercengang. Su Ko-hoat adalah seorang pembesar dinasti Beng yang masih punya pasukan sangat kuat di Yang-ciu. Seorang yang kadang-kadang diimpikan Bu Sam-kui datang membantu dengan pasukannya yang kuat.

   "Jadi... jadi sobat ini adalah utusan Kok-po Su Ko-hoat?"

   "Ya. Di Pak-khia aku juga bertemu utusan jenderal-jenderal lainnya, tentu saja mereka menyamar semua. Kami berunding membahas situasi, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil tindakan bersama. Jenderal-jenderal di selatan akan menggerakkan pasukan ke arah utara, memancing sebagian besar kekuatan Pelangi Kuning ke sebelah selatan. Kemudian Saudara Bu harus bergerak menggempur Pakkhia yang tentu agak kosong dari kekuatan..."

   III "Lho! Saudara Helian ini tadi bilang kekuatan kita tidak cukup untuk..."

   "Kita pinjam kekuatan Manchu!"

   Bu Sam-kui sudah lama memikirkan kemungkinan itu, meskipun masih takut-takut membicarakannya secara terbuka, sekarang kaget mendengar Helian Kong bicara begitu tegas.

   Padahal Helian Kong pula yang sebelumnya gigih mencegah Bu Sam-kui bekerja sama dengan Manchu, bahkan Helian Kong sanggup mempertaruhkan nyawa untuk menyelundup ke istana dan menculik Tan Wanwan demi mencegah kerjasama Bu Sam-kui dan Manchu.

   Sekarang kenapa Helian Kong bersikap demikian? "Saudara Helian Kong..."

   "Biar aku jelaskan perubahan sikapku dulu, Saudara Bu. Setelah bertemu dengan saudarasaudara kita di Pak-khia, aku mendapat gambaran bahwa kekuatan kita di selatan sungguh besar, sekali digerakkan ke utara, tak ada kekuatan yang bisa membendungnya! Dan mereka sedang merencanakan untuk bergerak III ke utara secara besar-besaran, itulah sebabnya kita tidak perlu khawatir lagi seandainya Manchu masuk ke Tiong-goan lalu tidak bisa mengusirnya lagi. Itu kekhawatiran yang tidak beralasan. Saudara Bu buka pintu agar Manchu masuk dan saling gempur dengan kaum Pelangi Kuning sampai kedua pihak sama-sama hancurhancuran, dan kekuatan kita dari selatanlah yang akan sama sekali menghabisi kedua kekuatan yang tinggal sisa-sisanya itu. Saudara Bu, sungguh jasamu sangat besar untuk pemulihan dinasti Beng kalau melakukan ini..."

   Hal itu memang sudah lama diinginkan Bu Sam-kui, bukan apa-apa, hanya demi Tan Wanwan. Cuma selama ini masih ragu-ragu bagaimana nanti komentar rekan-rekan sesama dinasti Beng, sekarang demi mendengar "dukungan penuh dari kawan-kawan di selatan"

   Maka keragu-raguan Bu Sam-kui pun lenyap semua. Untuk lebih memantapkan diri lagi, Bu Samkui menambahkan.

   "Memang, tidak perlu kita ketakutan kepada Manchu. Mereka sendiri III sebenarnya tidak berambisi menduduki negeri kita. Mereka sadar kecilnya kekuatan mereka dan jumlah penduduk Tiong-goan yang belasan kali lipat dari penduduk Liau-tong. Mereka tahu diri dan tidak ingin menjajah kita, dan seandainya ingin, mereka tidak akan mampu..."

   Kali ini Helian Kong tidak membantah seperti dulu, melainkan malah menyokongnya bersama-sama orang yang mengaku "utusan Su Ko-hoat"

   Itu. Begitulah, Bu Sam-kui sudah mengambil keputusan. Keesokan harinya, Bu Sam-kui kumpulkan semua komandan bawahannya, dan setelah menjelaskan panjang lebar apa yang dikatakan Helian Kong dan "utusan Su Ko-hoat"

   Itu, Bu Sam-kui mengumumkan keputusannya. Akan "meminjam"

   Pasukan Manchu untuk menghantam kaum Pelangi Kuning, bukan hanya yang mengepung San-hai-koan, bahkan sampai ke Pak-khia.

   Akibat penjelasan sebelumnya, rupanya tidak ada komandan bawahan yang terkejut.

   III Tidak ada lagi yang menganggap masuknya pasukan Manchu itu terlalu riskan, mengingat "besarnya kekuatan kita di selatan".

   Bahkan ada yang menganggap itulah peluang emas untuk menghancurkan kekuatan Pelangi Kuning sekaligus kekuatan Manchu "yang tidak seberapa"

   Itu.

   Mereka juga dipengaruhi perasaan jemu terkurung terus-menerus di Sanhai-koan.

   Mereka semua sudah membayangkan kemenangan yang hebat.

   Mereka semua tidak melihat di ruang dalam di rumah Jai Yong-wan, Helian Kong mengelupas kulit palsu di wajahnya dan berubah rupa menjadi Jai Yong-wan.

   Di hadapan "utusan Su Ko-hoat"

   Yang bukan lain adalah Goh Lung. Mereka tertawa-tawa, sambil minum arak tetapi tidak terlalu banyak. * ** Esok harinya, tanpa mempedulikan pasukannya yang kelelahan setelah III menggempur San-hai-koan berhari-hari tanpa "libur"

   Sehari pun, Jenderal Lau Cong-bin memerintahkan agar San-hai-koan digempur lagi.

   "Jangan hanya melihat kelelahan diri kita, ketahuilah, musuh jauh lebih lelah dari kita karena mereka jauh lebih sedikit..."

   Teriak Jenderal Lau di atas kudanya.

   Dalam seragam tempurnya yang gemerlapan.

   Dan di tengahtengah pe-ngawal-pengawal wanitanya yang cantik-cantik.

   Di bawah bendera-benderanya yang megah berkibaran.

   Di depan prajurit-prajuritnya yang menggerutu dalam hati.

   "Hari ini aku sendiri akan berada di medan tempur!"

   Seru Lau Cong-bin sambil mengangkat tinggi-tinggi goloknya yang mengkilat dan indah, yang tidak pernah benar-benar digunakan untuk bertempur. Beberapa prajurit bersorak basa-basi menyambut "tekad"

   Itu, meski mereka tahu Jenderal Lau akan berada di jarak yang aman dari tembok San-hai-koan.

   III Begitulah, begitu fajar merekah di belakang kota San-hai-koan, pasukan yang jumlahnya masih cukup besar itu pun keluar dari perkemahan mereka, tidak dalam satu jalur saja melainkan dalam beberapa jalur.

   Mereka melewati suatu tempat yang sudah menjadi kuburan massal teman-teman mereka.

   Begitu tembok San-hai-koan nampak di depan mata, komandan-komandan lapangan berteriak-teriak dan barisan pun menebar melebar, maju serempak mendekati tembok.

   Barisan yang membawa perisai lebar persegi berjajar rapat di sebelah depan seperti tembok berjalan.

   Di belakangnya para pemanah merunduk.

   Suatu siasat yang berguna kalau posisi musuh sama tingginya, tapi kurang gunanya menghadapi musuh yang berkedudukan lebih tinggi, seperti prajuritprajurit San-hai-koan yang di atas tembok.

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi prajurit-prajurit Pelangi Kuning melakukannya juga.

   Tidak lama, pengulangan adegan-adegan yang kemarin pun terjadi lagi.

   Kedua pihak III saling memanah dan melempar lembing, dari pihak pengawal-pengawal San-hai-koan juga menjatuhkan batu-batu besar dan menembakkan bedil-bedil pemberian Manchu.

   Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan, kebanyakan di pihak Pelangi Kuning yang posisinya lebih terbuka karena bertindak sebagai penyerang.

   Tetapi di pihak San-haikoan jatuh korban juga.

   Panah-panah pasukan Pelangi Kuning banyak yang menyambar ke atas tembok, dan prajurit-prajurit San-hai-koan yang tidak berlindung dengan baik akan menjadi korban panah.

   Yang agak mengherankan pihak Pelangi Kuning adalah karena meriam-meriam San-haikoan yang kemarin masih kelihatan di atas tembok, dan menyalak dengan garang, kini tidak kelihatan satu pun.

   Tetapi dari pihak Pelangi Kuning juga tidak ada suara meriam sebab mereka sudah kehabisan bubuk mesiu.

   Kemudian setelah acara "pemanasan yang berujud panah-memanah itu, dari pihak Pelangi Kuning mulai terdengar perintah-perintah III untuk menyerbu dan memanjat tembok.

   "Acara"

   Yang paling banyak makan korban jiwa, tapi kalau perintah sudah dikeluarkan, siapa peduli? Begitulah, prajurit-prajurit Pelangi Kuning berlarian ke depan dengan membawa tanggatangga yang panjang.

   Teman-temannya yang membawa perisai, melindungi mereka, tetapi perlindungannya tidak benar-benar rapat.

   Dengan "membayar sejumlah harga"

   Berupa nyawa-nyawa, mereka berhasil mendekati tembok dan menegakkan tangga-tangga panjang mereka.

   Tangga-tangga itu harus dipegangi, sebab pengawal-pengawal San-haikoan yang di atas mencoba merobohkannya.

   Berikutnya, prajurit-prajurit yang berani memanjat tangga-tangga itu.

   Tetapi perlawanan pengawal-pengawal Sanhai-koan kali ini terasa tidak segigih hari-hari sebelumnya.

   Puluhan prajurit Pelangi Kuning berhasil mencapai bagian atas tembok San-haikoan, dan diiringi sorak-sorai teman-teman mereka yang di bawah tembok, puluhan prajurit lainnya pun memanjat ke atas.

   III Sungguh di luar dugaan bahwa di atas tembok San-hai-koan ternyata hanya ada puluhan prajurit San-hai-koan yang bersenjata senapan.

   Mereka hanya memberi perlawanan sedikit, lalu berlari turun ke bawah tembok melalui undakan batu.

   Sukacita prajurit-prajurit Pelangi Kuning pun tak terkatakan.

   Setelah mereka gempur San-hai-koan berhari-hari dengan korban tidak sedikit di pihak mereka, bahkan mereka hampir putus-asa, tiba-tiba hari ini mereka melihat sesuatu yang lain.

   Pertempuran belum berlangsung lama dan nampaknya San-hai-koan akan berhasil mereka rebut.

   Di mulai dengan teriakan prajurit-prajurit yang telah memanjat ke atas tembok yang berteriak.

   "Kita menang!"

   Disambut prajurit-prajurit yang di luar tembok.

   "Kita menang! Kita menang!"

   Segera seruan itu bergelora ke seluruh pasukan.

   Dan pasukan yang lesu itu pun mendapat tambahan kekuatan.

   Tiba-tiba III dataran di luar kota San-hai-koan itu seolah bergetar karena sorak-sorai menggemuruh.

   Di garis belakang, Jenderal Lau Cong-bin mendapat laporan dari garis depan melalui seorang penghubung berkuda.

   Mendengar laporan itu, hati Jenderal Lau melonjak gembira.

   "Bagus! Bagus! Kerahkan seluruh kek... kek..."

   Dan ia pun terbatuk-batuk hebat, saking gembiranya sehingga tersedaksedak. Setelah batuknya reda, barulah ia lanjutkan perintahnya yang tadi.

   "Kerahkan seluruh kekuatan! Jangan biarkan prajuritprajurit musuh ambil napas! Aku menghendaki batok kepala Bu Sam-kui dipersembahkan kepadaku di atas sebuah nampan, sebelum matahari tenggelam!"

   Perintah itu pun disampaikan ke garis depan.

   Demikianlah, pasukan Pelangi Kuning bergerak ke depan serempak bagaikan gelombang samudera.

   Regu-regu pendobrak pintu yang menggunakan balok-balok besar pun maju ke depan, siap menjebol pintu kota SanIII hai-koan.

   Kali ini tidak perlu takut serangan panah dari atas tembok, sebab yang di atas tembok sekarang adalah kawan-kawan sendiri.

   Yang di bawah tembok dan bersorak-sorai membayangkan kemenangan itu tidak tahu, bahwa teman-teman mereka yang sudah di atas tembok sekarang memucat wajahnya, bibir gemetar kelu, menatap ke suatu arah yang hanya terlihat dari atas tembok.

   Yang di bawah tembok tidak melihat.

   Di jalan-jalan di tengah kota San-hai-koan, terlihat suatu pasukan besar, yang amat besar, ujung senjata-senjatanya mencuat ke langit serapat daun ilalang di padang ilalang.

   Prajuritprajuritnya berseragam biru yang amat sederhana, kain belacu yang dicelup, jauh dari kesan gemerlapan.

   Topi mereka berbentuk caping, tetapi dari rotan.

   Tetapi pasukan ini berderap maju dalam perbawa yang terasa menggetarkan.

   Tanpa sorak-sorai, tanpa bendera-bendera.

   III "Orang-orang Manchu..."

   Desis prajuritprajurit Pelangi Kuning yang sudah terlanjur di atas tembok.

   "Beritahu kawan-kawan kita!"

   Mereka pun bergegas turun dari atas tembok, ke sebelah luar, ada yang berteriakteriak dari atas tembok.

   Berita itu mengejutkan, simpang-siur yang diteriakkan oleh pasukan Pelangi Kuning.

   Ada yang meneriakkan kemenangan, ada yang meneriakan kedatangan orang-orang Manchu.

   Barisan pun jadi kacau.

   Para komandan bawahan mengambil tindakan sendiri-sendiri.

   Ada yang menyuruh terus menggempur, ada yang menyuruh mundur, ada yang mengusulkan agar minta petunjuk Jenderal Lau dulu digaris belakang.

   Ketika itulah pintu gerbang San-hai-koan terbuka.

   Bukan didobrak dari luar oleh pasukan Pelangi Kuning, melainkan dari dalam oleh pasukan Manchu.

   Pasukan Manchu itu seolah pasukan yang terdiri dari orang-orang bisu semua.

   Mereka III benar-benar tidak ada yang berkata-kata sepatah kata pun, begitu pintu terbuka, mereka langsung menghambur keluar menyerbu pasukan Pelangi Kuning.

   Dan mereka keluar terus dari pintu kota tak ada habis-habisnya.

   (Bersambung

   Jilid XIV.) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 25/07/2018 21 . 31 PM III IV ( Bagian II )

   Jilid XIV Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"

   Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 IV IV KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XIV M ereka bertarung seganas serigala-serigala kelaparan, maju lurus ke depan dan hanya ada dua yang bisa menghentikan langkah maju mereka. Yaitu perintah komandan mereka, dan kematian.

   "Tahan mereka!"

   Komandan-komandan Pelangi Kuning meneriaki anak buahnya.

   Pertempuran pun berkobar hebat di luar kota San-hai-koan.

   Pasukan Pelangi Kuning benar-benar menerima kejutan Itu dengan mental yang tidak siap.

   Mereka baru saja membayangkan kemenangan, dan tahu-tahu di hadapan mereka mengamuk lawan-lawan seperti macan kelaparan ini.

   IV Barisan belakang pasukan Pelangi Kuning belum tahu apa yang terjadi di depan.

   Mereka terus saja mendesak-desak ke depan atas perintah komandan-komandan mereka.

   Mereka heran ketika barisan depan mereka seolah-olah macet, bahkan mulai terdesak mundur dengan agak kacau.

   "He, apa yang terjadi di depan?"

   "Seperti terdengar pertempuran..."

   "Pertempuran siapa melawan siapa?"

   "Mungkinkah tikus-tikus di San-hai-koan itu jadi nekad lalu keluar dari benteng mereka?"

   "Kalau demikian, itu kebetulan sekali. Mereka cari penyakit. Kita habisi mereka, kalau mereka tidak mengandalkan bedil-bedil itu..."

   "Kelihatannya tidak. Tidak terdengar suaranya..."

   "Tetapi teman-teman kita yang di depan kok kelihatannya tidak dapat menanggulangi musuh?"

   Namun akhirnya laporan dari garis depan pun sampai ke bagian-bagian pasukan yang paling belakang sekalipun.

   Semua benar-benar IV tidak menduga ini terjadi.

   Tanpa persiapan mental apa-apa, tiba-tiba saja mereka harus berhadapan dengan pasukan Manchu.

   Pasukan yang punya reputasi merebut Korea dari tangan Jepang.

   Komandan-komandan Pelangi Kuning mencoba mengatur barisan, memantapkan perlawanan, menimbulkan keberanian para prajurit.

   Tetapi desakan pasukan Manchu begitu hebat, tidak lama kemudian garis terdepan pasukan Pelangi Kuning dipatahkan, lalu pasukan Manchu menerjang ke garis kedua.

   Pasukan Pelangi Kuning harus bertahan mati-matian, sambil mundur terus segaris demi segaris.

   Ketika laporan itu sampai kepada Jenderal Lau, wajah berseri-seri Sang Jenderal kontan berubah menjadi agak pucat.

   Ia tak percaya kupingnya sendiri.

   "Gilakah kau? Atau matamu sudah rusak?"

   Bentaknya kepada perwira yang melapor itu. Perwira itu menjawab hormat.

   "Benar, Jenderal..."

   IV "Sejak tadi kuteropong dari tempat ini, kenapa tidak kelihatan tanda-tanda pasukan Manchu? Tidak ada bendera mereka?"

   "Mereka tidak memakai bendera, Jenderal. Mereka muncul begitu saja dari pintu-pintu San-hai-koan..."

   "Berapa jumlah musuh?"

   "Belum dapat diperkirakan, Jenderal."

   "Keadaan pasukan kita?"

   "Mungkin... mungkin ... prajurit-prajurit kita belum pulih kagetnya, Jenderal..."

   Jenderal Lau sudah hapal gaya bahasa perwira-perwira bawahannya.

   Ungkapan itu bermakna keadaannya tidak begitu baik.

   Sementara itu, di kejauhan terdengar sorak.

   Entah sorak pasukan yang mana.

   Jenderal Lau kembali meneropong di atas kudanya.

   Kali ini dilihatnya bendera-bendera pasukannya bergerak makin dekat ke arahnya.

   Ini berarti pasukannya terdesak.

   Dan bagaimanapun geramnya, mulutnya harus mengakui kenyataan itu.

   "Pasukan kita mendapat kesulitan..."

   IV "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Jenderal?"

   Tanya seorang perwira pembantunya, yang tidak pernah beranjak dari sebelahnya dan sering dimintai nasehatnya.

   "Menurutmu bagaimana?"

   Jenderal Lau balik bertanya. Dalam keadaan terjepit, seperti biasa, penyakit bingung Lau Cong-bin kambuh. Perwiranya menyahut tenang.

   "Jenderal, aku rasa dalam keadaan semacam ini, tidak baik kita ngotot di sini. Semangat prajurit sedang tidak siap. Baru saja mereka menyangka akan merebut San-hai-koan, dan tiba-tiba harus menghadapi kenyataan yang jauh berlawanan dengan bayangan semula. Prajurit yang bernyali paling besar dan paling teguh jiwanya pun tidak dapat berbuat maksimal menghadapi kejadian seperti ini. Daripada banyak korban jatuh yang akan mengurangi kekuatan kita, lebih baik kita mundur dulu. Kita bisa siapkan pertahanan yang memadai, dan apabila semangat para prajurit sudah pulih, apalagi kalau bala bantuan kita sudah tiba, kita bukan hanya akan bertahan tetapi menyerang balik dan mengusir kembali IV orang-orang Manchu, bahkan kalau perlu mengejarnya sampai ke kampung halaman mereka di L iau-tong..."

   Jenderal Lau yang sedang buntu otaknya itu cuma bisa mengangguk-angguk. Perwira terdekatnya itu lalu berkata.

   "Apakah sekarang aba-aba mundur itu diberikan?"

   Kali ini Lau Cong-bin melotot.

   "Apakah kau gila? Aku belum bersiap-siap dan tiba-tiba saja mundur dengan ujung tombak musuh hanya sejengkal di belakang punggung kita?"

   "Maksud... maksud Jenderal?"

   "Biarkan orang-orang kita tetap bertempur dulu menahan musuh, sementara kita bersiapsiap. Nanti setelah kita mundur cukup jauh, baru perintahkan pasukan untuk mundur lewat isyarat panah berbunyi..."

   "O... begitu?"

   Begitulah Lau Cong-bin dan pengawalpengawal cantiknya berbenah diri, dan selama berbenah Lau Cong-bin tidak henti-hentinya mengutuk dan membentak-bentak.

   Tidak lama kemudian, berderap-lah serombongan kuda IV menuju ke arah kota Pak-khia, menjauhi gelanggang pertempuran.

   Setelah cukup jauh, sehingga waktu menoleh ke belakang tidak lagi melihat pertempuran, kecuali sayup-sayup suaranya, barulah Jenderal Lau memerintahkan seorang perwiranya untuk menarik pasukan.

   Perwira itu melepaskan sebatang panah bersuara.

   Panah itu akan bersambung-sambung beberapa kali sampai ke medan pertempuran.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika itu pasukan Pelangi Kuning sudah terdesak mundur berulang kali.

   Meskipun belum sampai pecah tercerai-berai menjadi pasukan-pasukan kecil, masih mengelompok dalam pasukan besar, namun gerak setiap bagian dari pasukan besar itu sudah tidak kompak lagi.

   Masing-masing bagian bertindak menuruti komandannya masing-masing.

   Ketika "perintah jarak jauh"

   Jenderal Lau tiba, berupa perintah mundur, barulah seluruh pasukan itu kembali terkendali di bawah satu komando dan mulai gerak mundur.

   IV Pemanah-pemanah dan pelempar-pelempar lembing segera mengambil tugasnya.

   Dengan hujan panah dan lembing, mereka menghujani pasukan Manchu, mencarikan peluang mundur buat prajurit-prajurit Pelangi Kuning.

   Pasukan Pelangi Kuning pun mundur seperti gelombang yang surut, memisahkan diri dari lawan-lawan mereka yang garang.

   Teman-teman yang lukaluka yang sempat dibawa mundur pun dibawa mundur, yang tidak terpaksa ditinggal.

   Prajurit-prajurit Manchu mengejar puluhan langkah sambil mengangkat tameng-tameng mereka, mereka terus mengejar dengan berani.

   Bahkan prajurit-prajurit yang terpisah dari teman-temannya pun kelihatan tidak ragu-ragu terus menerjang ke depan, tidak menoieh-noleh ke kiri atau ke kanan mencari teman di dekat mereka atau tidak.

   Sorot mata mereka beringas dan dingin, mau tidak mau membuat sebagian dari prajurit-prajurit Pelangi Kuning jeri.

   Meskipun dalam pasukan Pelangi Kuning pun tidak kurang jumlahnya prajurit-prajurit bernyali besar.

   IV Sampai terdengar suara aba-aba dari pihak Manchu, menghentikan gerak maju beringas prajurit-prajurit mereka.

   Prajurit-prajurit itu langsung berhenti dengan tertib dan kembali ke barisan masing-masing.

   Pihak Pelangi Kuning terkesiap melihat disiplin sehebat itu.

   Ternyata pihak Manchu memang tidak mengejar lagi, namun mereka rupanya juga ingin membawakan "oleh-oleh"

   Buat lawannya yang mundur.

   Ratusan prajurit bersenjata senapan tiba-tiba membentuk garis, berjongkok sambil membidikkan senapan-senapan mereka.

   Senapan di abad tujuh belas itu, setiap pucuknya dioperasikan oleh tiga orang.

   Satu orang berdiri di depan si pembidik, menggunakan pundaknya untuk ditumpangi laras senapan yang sangat panjang, kemudian sj pembidik sendiri, dan di belakangnya ada satu lagi yang tugasnya mengisi kembali senapannya setelah dibidikkan.

   Terdengar ratusan senapan meledak bersama, udara segera penuh asap bakaran mesiu.

   Dan ratusan prajurit Pelangi Kuning IV yang paling belakang, punggung mereka menjadi sasaran pelilru sehingga terjungkal bergelimpangan.

   Penembak-penembak senapan Manchu itu menembak beberapa gelombang lagi, sampai prajurit-prajurit Pelangi Kuning sudah di luar jarak tembak mereka.

   Dari pintu gerbang San-hai-koan, Bu Samkui berkuda keluar bersama beberapa perwiranya, berdampingan dengan seorang panglima Manchu yang bukan lain adalah bekas panglima Kerajaan Beng juga, Ang Seng-tiu, yang dulu adalah atasan Bu Sam-kui.

   Mereka berkuda di bawah bendera Kerajaan Beng, sedang bendera Manchu sama sekali tidak ada.

   Bu Sam-kui berseragam panglima Beng, dan Ang Seng-tiu berseragam perwira Manchu, komplit dengan capingnya.

   Melihat pasukan Pelangi Kuning sudah mundur jauh, sedangkan pasukan Manchu hampir-hampir utuh jumlahnya, Ang Seng-tiu tertawa dan berkata.

   "Maling-maling Pelangi Kuning itu pastilah sudah pecah nyalinya hari IV ini, melawan pasukan kami yang jauh di atas mereka."

   Wajah Bu Sam-kui tidak secerah wajah Ang Seng-tiu, ada beberapa hal yang mengganjal hatinya.

   Pertama, tentu saja urusan Tan Wanwan.

   Kedua, melihat kehebatan prajurit-prajurit Manchu yang begitu mudah memukul ceraiberai pasukan Pelangi Kuning yang berjumlah jauh lebih besar itu, mau tak mau Bu Sam-kui agak cemas juga.

   Agak menyesal kenapa begitu mudah menuruti anjuran "Helian Kong"

   Untuk "meminjam"

   Pasukan Manchu. Bagaimana kalau pasukan segarang ini tiba-tiba saja kerasan di Tiong-goan dan emoh pulang ke Liau-tong di luar Tembok Besar? Memang "Helian Kong"

   Dan "utusan Su Ko-hoat"

   Menjamin adanya "kekuatan besar dari kawan-kawan seperjuangan di Selatan", tetapi bukankah "Selatan"

   Itu ribuan li jauhnya dan ada pepatah "air yang jauh sulit menolong api yang dekat"? Apa pula jaminan lain, yaitu dari pihak Manchu, yang katanya benar-benar hanya ingin membantu tegaknya kembali dinasti Beng, IV tanpa bermaksud menjajah, sekedar tidak senang "bertetangga"

   Dengan pemerintahan kaum Pelangi Kuning. Tetapi jaminan itu diberikan hanya oleh Ang Seng-tiu yang ternyata dalam jajaran balatentara Man-chu kedudukannya tidak terlalu menentukan. Hari itu Ang Seng-tiu "membuktikan jaminannya"

   Dengan hanya mengirim pasukan tetapi tidak mengibarkan bendera Manchu. Ang Seng-tiu agaknya memahami pikiran Bu Sam-kui, lalu ia menenteram-kannya.

   "Ada yang menggelisahkanmu, Saudara Bu?"

   "Tidak..."

   Bu Sam-kui coba menutupnutupinya.

   "Percayalah janji kami. Bendera Ngo-jiau Kim-liong-ki (Bendera Naga Berkuku Lima bendera Manchu) takkan pernah berkibar melebihi wilayah kami sendiri yang sekarang..."

   Ang Seng-tiu meyakinkan.

   "... kalau hari ini kami langsung turunkan pasukan terbaik kami ke medan laga, tak ada tujuan lain kecuali memukul pecah semangat musuh, meruntuhkan semangat prajurit-prajuritnya, dengan IV semangat yang patah maka perlawanan mereka akan merosot jauh dan akan lebih cepat menyelesaikan mereka. Aku pribadi sebagai bekas panglima Beng, rasanya ingin secepatnya kembali melihat Jit-goat-ki berkibar di Pakkhia..."

   Bu Sam-kui cuma mengangguk-angguk, seolah-olah kelu.

   Dalam hatinya masih sibuk menghibur diri sendiri dan menenteramkan pikirannya sendiri.

   Ada juga sedikit yang melegakan Bu Samkui, yaitu ketika melihat dan mengetahui dari mulut Ang Seng-tiu bahwa tidak semua pasukan Manchu sebaik pasukan yang turun ke medan hari ini.

   Pasukan yang diterjunkan hari ini memang langsung adalah pasukan paling baik yang ada di antara pasukan Manchu.

   Dalam siasat perang, pasukan terbaik biasanya "disimpan"

   Dulu untuk pukulan terakhir yang menentukan. Sekarang ternyata pihak Manchu membalik siasat itu. Pasukan terbaik diterjunkan di "ronde pertama"

   Untuk merontokkan semangat musuh, agar musuh IV menyangka semua pasukan Manchu yang lain sekualitas dengan pasukan yang terjun hari itu.

   "Kalau kelak orang-orang Manchu ini membandel tidak mau kembali ke Liau-tong, mudah-mudahan prajurit-prajuritnya Helian Kong, Su Ko-hoat dan yang lain-lain dapat menandingi kegarangan pasukan ini..."

   Harap Bu Sam-kui dalam hatila menengadah, menatap Bendera Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari) yang bergoyang lemah, seolah Bu Sam-kui mohon dimaklumi kesulitannya.

   Kongsun Koan di pegunungan, menerima berita tentang apa yang terjadi di San-hai-koan itu dengan perasaan bergolak.

   Antara heran, kecewa, gusar, dan bingung tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

   Bu Sam-kui adalah atasannya, dan atasannya itu telah melakukan sesuatu yang amat sulit dipahami.

   "Bagaimana dengan pasukan Pelangi Kuning?"

   Tanya Kongsun Koan kepada si pembawa berita. IV "Mereka dalam gerakan mundur ke arah Pak-khia."

   "Apakah mereka tidak berhenti di suatu tempat untuk membangun suatu garis pertahanan yang mantap?"

   Si pembawa berita menggeleng.

   "Aku belum mengetahuinya, Komandan. Ketika aku berangkat ke tempat ini, mereka masih bergerak dan belum ada tanda-tanda berhenti. Agaknya Lau Cong-bin si tolol itu benar-benar pecah nyalinya. Aku sudah minta agar Si A-lok terus mengamati gerakan pasukan itu dan melaporkannya kemari, begitu si tolol Lau Cong-bin berhenti..."

   Entah kenapa, tiba-tiba dalam hati Kongsun Koan merasa kasihan kepada Lau Cong-bin.

   "Jangan sebut dia tolol lagi..."

   Desisnya perlahan. Dalam, hatinya dilanjutkan sendiri.

   "Mungkin yang paling tolol saat ini adalah panglima kita sendiri, Bu Sam-kui..."

   Tetapi itu tidak diucapkannya, ia belum mau memerosotkan kewibawaan Bu Sam-kui IV sebelum paham benar apa alasannya sampai Bu Sam-kui mendatangkan pasukan Manchu.

   "Apakah pasukan Manchu itu hebat?"

   "Jumlahnya memang tidak bisa dibilang besar, tetapi harus diakui mereka hebat. Kalau tidak hebat, mereka tidak akan mencerai-beraikan pasukan si tol... eh, maksudku, Lau Cong-bin yang jauh lebih banyak."

   Kongsun Koan mengepalkan tinjunya, menggeram.

   "Keputusan mendatangkan pasukan Manchu ini pastilah hasil hasutan si keparat Jai Yong-wan itu. Sejak dulu si Korea bangsat itu selalu memberi keterangan yang menyesatkan kepada Jenderal Bu, dan tak beruntungnya, Jenderal Bu begitu mudah mempercayai dia..."

   Sejak lama memang Kongsun Koan tidak menyukai Jai Yong-wan. Maka sekarang pun dia langsung mendakwa Jai Yong-wan di belakang semuanya ini. Tak terduga, si pembawa berita menggeleng dan berkata.

   "Menurut keterangan yang aku kumpulkan dari sana-sini, yang menganjurkan IV Jenderal Bu untuk mengambil keputusan seperti ini adalah Jenderal Helian dan seorang utusan Jenderal Su dari Yang-ciu..."

   Kongsun Koan kaget, begitu pula perwiraperwira lain yang mendengarnya.

   Seperti diketahui, pasukan yang dipimpin Kongsun Koan itu sekarang bergabung dengan pasukannya Helian Kong, dan di antara perwiraperwira itu ada beberapa perwiranya Helian Kong yang sulit mempercayai berita itu.

   "Tidak mungkin!"

   Beberapa perwira bawahan Helian Kong menyanggah serempak. Seorang perwira bawahan Helian Kong menyambung.

   "Kalau komandan Helian sudah kembali dari Pak-khia, tentu akan sudah berada di sini saat ini. Nyatanya belum..."

   "Jangan ngawur kalau bicara!"

   Dan berbagai kata-kata lainnya, bahkan ada yang setengah mendamprat.

   Kongsun Koan cepat mengangkat tangannya, menyuruh yang lain-lainnya diam, dan yang lain-lainnya menurut termasuk perwira-perwiranya Helian Kong, IV bagaimanapun, Kongsun Koan adalah komandan pasukan gabungan itu, sebab Helian Kong sudah menitipkan kekuasaan sementara dia pergi ke Pak-khia.

   Kongsun Koan menatap si pembawa berita dan bertanya.

   "Coba bicara yang jelas. Benarkah Komandan Helian Kong yang menganjurkan Jenderal Bu berbuat demikian?"

   Si pembawa berita merinding juga ditatap sekian banyak perwira. Agak tergagap ia menjawab.

   "Begitu yang aku dengar, bukan pendapatku sendiri..."

   Kongsun Koan cepat menengahinya dengan bijaksana.

   "Apa pun yang sudah terjadi, tidak ada gunanya kita berdebat di sini. Kalau benar Komandan Helian mengusulkan tindakan itu kepada Jenderal Bu, tentunya ada pertimbangan yang matang. Kita sekarang perlu bersikap tenang, sambil mengamati setiap perkembangan..."

   "Entah kenapa sampai sekarang Komandan Helian belum bergabung dengar kita?"

   IV "Kalau benar dia sudah berada di San-haikoan, tentu dia menghubungi kita. Tempat ini tidak jauh dari San-hai-koan, meskipun tersembunyi..."

   "Mungkin Komandan Helian mendampingi Jenderal Bu. Bagaimanapun, dalam situasi seperti ini Jenderal Bu membutuhkan banyak sumbangan pikiran atau teman untuk menanggung beban pikiran bersama, agar tidak salah langkah..."

   Demikianlah orang-orang itu menduga-duga. Kongsun Koan tidak ikut berbicara, namun diam-diam menyimpan kecemasan dalam hatinya, bahwa yang bakal menjadi "teman berpikir bersama"

   Bu Sam-kui itu bukannya Helian Kong, melainkan Jai Yong-wan yang ia curigai sebagai mata-mata Manchu. Kecemasannya tidak tertahan lagi, sehingga tiba-tiba saja ia berkata.

   "Malam nanti aku akan ke San-hai-koan, menjumpai Jenderal Bu..."

   "Menyusup?"

   IV "Tidak. Terang-terangan. Bukankah kaum Pelangi Kuning sudah meninggalkan San-haikoan?"

   "Pimpinan pasukan di sini? Atau pasukan di sini dibawa pulang sekalian ke San-hai-koan?"

   "Tidak, tidak. Pasukan tetap di sini, jangan pulang ke San-hai-koan dulu..."

   "Kenapa?"

   "Aku harus tahu dulu sejelas-jelasnya apa yang terjadi di San-hai-koan."

   "Pimpinan pasukan di sini?"

   Kongsun Koan menunjuk seorang perwira bawahan Helian Kong yang paling senior.

   "Kau, Kapten Kwe. Kau pimpin pasukan ini atas nama Komandan Helian."

   "Baik, Komandan Kongsun. Bagaimana dengan tawanan itu?"

   Yang dimaksud Ong Ling-po, seorang perwira Pelangi Kuning yang sudah beberapa hari menjadi tawanan.

   "Perlakukanlah dia baik-baik seperti biasanya, jangan ambil keputusan apa-apa IV tentang dia sampai Komandan Helian atau aku kembali."

   "Baik,"

   Sahut Kwe Peng-hui, si perwira yang diserahi pimpinan.

   Ketika matahari tepat berada di puncak, Kongsun Koan meninggalkan pasukan itu.

   Sendiri, dalam pakaian orang pegunungan.

   Pedang besarnya digendong di punggungnya, la menuju ke San-hai-koan, tanpa menunggu hari menjadi gelap sebab ia memang ingin terangterangan datang ke San-hai-koan.

   Baginya, datang ke San-hai-koan sama dengan pulang ke kandang sendiri dan tidak perlu sembunyisembunyi.

   Meskipun demikian, karena ia hanya berjalan kaki, maka ketika tembok San-hai-koan nampak di depan mata maka hari sudah gelap.

   Ia melihat beberapa lampion kelap-kelip di atas tembok kota, dan bayangan prajurit-prajurit hilir mudik di atasnya.

   Yang membuat Kongsun Koan masygul adalah ketika melihat perbandingan jumlah antara prajurit-prajurit San-hai-koan dan prajurit-prajurit Manchu IV adalah satu banding tiga.

   Satu prajurit San-haikoan, tiga prajurit Manchu.

   Dari kejauhan pun mudah dikenali dari bentuk topi mereka.

   Prajurit-prajurit San-hai-koan topinya berbentuk bulat dengan sedikit tepian di sekelilingnya dan lidah kain pelindung tengkuk, seperti umumnya prajurit-prajurit dinasti Beng lainnya.

   Prajurit-prajurit Manchu topinya berbentuk caping petani, namun terbuat dari rotan, bukan bambu.

   Melihat perbandingan jumlah kedua pasukan itu, Kongsun Koan menggerutu.

   "Orang-orang Manchu ini datang membantu, atau mengambil-alih San-hai-koan? Kalau Jenderal Bu yang malas berpikir itu sampai tidak memperhitungkan masalah ini, memang masih bisa diterima. Tetapi kalau Jenderal Helian yang berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan itu sampai tidak memperhitungkan hal ini, rasanya aneh..."

   Biarpun perasaannya kurang tenteram, Kongsun Koan melangkah terus sampai ke IV depan pintu gerbang kota, lalu berteriak ke atas tembok.

   "Heeeiii! Buka pintuuuuu!"

   Prajurit-prajurit di atas tembok mendengar, lalu salah seorang prajurit balas berteriak.

   "Siapa di situ?"

   "Aku Kongsun Koan!"

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Beberapa prajurit San-hai-koan mengenali suara Kongsun Koan, meskipun tidak melihat siapa yang berdiri di luar pintu kota, sebab amat gelap dan cahaya obor di atas tembok tidak menjangkau ke bawah. Ada kabut malam pula.

   "Itu Komandan Kongsun, aku kenal suaranya. Cepat buka!"

   Dua prajurit sudah bergerak hendak menuruni undakan batu untuk membuka pintu kota, tetapi seorang perwira rendahan Manchu mencegah dalam bahasa Han yang kaku.

   "Tunggu dulu!"

   Prajurit-prajurit San-hai-koan heran.

   "Tunggu apa lagi? Kami kenal orang yang di luar itu adalah memang perwira kami. Namanya Kongsun Koan. Dia minta dibukai pintu dan kami harus membukanya!"

   IV Perwira Manchu itu menjawab.

   "Aku yang diserahi tanggung-jawab penjagaan pintu kota ini. Dibukai atau tidak adalah tergantung keputusanku!"

   Para prajurit San-hai-koan menjadi kurang senang menghadapi sikap prajurit-prajurit asing itu.

   "He, ingat kalian sekarang ini sedang berada di mana? San-hai-koan adalah wilayah kami, dan yang berkibar di kota ini juga bendera kami! Apakah urusan membuka pintu saja harus minta ijin kepada kalian?"

   Si perwira Manchu menjawab sambil tertawa.

   "Masalahnya bukan siapa tuan rumah dan siapa tamu, bukan pula masalah bendera apa yang berkibar di sini, melainkan siapa yang kuat di sini! Yang kuat, itulah yang menentukanl"

   Situasi jadi tegang seketika. Prajurit-prajurit San-hai-koan tersinggung, namun mereka tidak berdaya. San-hai-koan seolah-olah memang sudah diambil-alih oleh pasukan yang katanya.

   "hanya membantu"

   Itu. IV Beberapa saat prajurit-prajurit San-haikoan di tempat itu seolah-olah terkunci mulutnya. Sampai salah seorang prajurit yang paling senior di antara kawan-kawannya terpaksa bersuara dengan nada mengalah.

   "Jadi sekarang, akan kita buka pintunya atau tidak?"

   Si perwira Manchu tersenyum penuh kemenangan.

   "Kita lihat siapa yang datang, kita periksa dia, geledah dia, barulah kita putuskan boleh masuk kota ini atau harus diusir kembali!"

   "Yang datang itu Komandan Kongsun, perwira kami..."

   "Aku yang memutuskan!"

   Prajurit senior San-hai-koan itu pun cuma menarik napas, menahan kejengkelannya.

   Tetapi ia belum berani mengambil keputusan yang akan menjerumuskan pihaknya ke dalam pertentangan terbuka dengan prajurit-prajurit Manchu itu.

   Begitulah, pintu gerbang dibuka.

   Kong-sun Koan disongsong oleh prajurit-prajurit San-haikoan dengan prajurit-prajurit Manchu.

   PrajuritIV prajurit San-hai-koan menyambut dengan hangat, tetapi prajurit-prajurit Manchu menggusarkan Kongsun Koan ketika mereka hendak menggeledah Kongsun Koan.

   "He, kalian hanya bisa lakukan itu di tanah nenek-moyang kalian di Lian-tong, bukan di sini!"

   Gertak Kongsun Koan sambil melotot.

   "Aku perwira di San-hai-koan, prajurit-prajurit ini mengenaliku semua!"

   Si perwira rendahan Manchu. itu tak bergeming dalam sikap angkuhnya.

   "Kamilah yang sekarang bertanggung-jawab untuk keselamatan kota ini, dan kami harus mempertanggung-jawabkannya!"

   Keruan kemarahan Kongsun Koan seperti api disiram minyak, ia menoleh kepada prajuritprajurit San-hai-koan dan berkata.

   "Benarkah demikian?"

   Seorang prajurit San-hai-koan memberanikan menjawab.

   "Rasanya tidak begitu. Jenderal Ang dari pasukan Manchu sendiri menjamin bahwa pasukan Manchu ini IV hanya membantu dan bukan mengambil-alih. Kenapa kau menafsirkannya sejauh itu?"

   Perwira Manchu itu tertawa dingin.

   "Hem, memang dulunya kalian yang bertanggungjawab, tetapi sudah terbukti kalian tidak becus menghadapi maling-maling amatiran semacam orang-orang Pelangi Kuning itu, bahkan hampirhampir saja kota ini jatuh ke tangan mereka kalau tidak kami tolong. Itulah sebabnya sekarang tanggung-jawab keamanan kota ini sekarang di tangan kami!"

   "Tidak benar!"

   Hampir serempak belasan prajurit San-hai-koan yang ada di tempat itu menjawab serempak.

   Tadinya mereka gentar, sekarang ada Kongsm Koan di dekat mereka, mereka jadi berani.

   Apa mau dikata, merasa pihaknya jauh lebih kuat, si perwira Manchu tidak mau menggubris suasana.

   Dengan isyarat ia memerintahkan prajurit-prajurit bawahannya untuk melaksanakan perintahnya yang tadi, menggeledah Kongsun Koan.

   IV Para prajurit Manchu segera hendak mulai menggeledah, tetapi dua di antara mereka mencelat mundur dengan hidung ringsek, dijotos Kongsun Koan.

   Lalu dua orang lagi menggelosor di tanah karena tendangan beruntun Kongsun Koan.

   Si perwira Manchu menjadi gusar dan menjatuhkan perintahnya.

   "Orang ini jelas pengacau! Dapatkan dia hidup atau mati!"

   Para prajurit Manchu tidak lagi, menggunakan tangan kosong untuk menangkap, melainkan ujung-ujung senjata merekalah yang berluncuran maju.

   Kongsun Koan tentu tidak mau dibantai begitu saja, ia melompat mundur sambil menghunus pedangnya yang besar dari gendongannya.

   Pedang yang gagangnya dipegangi dengan dua tangan.

   Ketika pedang itu disapukan melingkar, beberapa pedang prajurit Manchu terbentur dan terlempar .lepas dari tangan mereka.

   Beberapa tangkai tombak yang terbuat dari kayu pun tertabas buntung sehingga yang IV tertinggal di tangan pemegang-pemegangnya hanyalah semacam tongkat kayu tanpa ujung yang runcing.

   "Hayo, tangkap aku kalau mampu!"

   Gertak Kongsun Koan garang sambil memutarkan pedangnya beberapa kali dengan dua tangan.

   Deru anginnya membuat obor-obor di pintu kota itu bergoyang hampir padam.

   Namun prajurit-prajurit Manchu yang dikirim ke San-hai-koan itu adalah prajuritprajurit pilihan dari pasukan terbaik, mendahului pasukan-pasukan lain.

   Sekali abaaba dikeluarkan oleh komandan mereka, mereka akan melaksanakannya dengan taruhan apa saja.

   Begitulah, prajurit-prajurit yang kehilangan senjata itu mundur untuk mengambil senjata-senjata baru, sementara yang masih bersenjata menyerbu maju tanpa kenal takut.

   Nyali mereka tidak bergeming melihat kehebatan Kongsun Koan.

   Si komandan Manchu sendiri tidak hanya memerintah, tetapi ikut merangsak maju dengan senjatanya, tombak yang tangkainya bu IV Beberapa tangkai tombak yang terbuat dari kayu pun tertabas buntung sehingga yang tertinggal di tangan pemegang-pemegangnya hanyalah semacam tongkat kayu tanpa ujung yang runcing IV kan kayu melainkan besi.

   Agaknya dia pun seorang yang bertenaga besar, sehingga nafsu bersaingnya muncul dirangsang pameran kekuatan Kongsun Koan tadi.

   Di pintu gerbang itu pun segera terjadi pertempuran.

   Ternyata si komandan Manchu itu memiliki tenaga yang boleh diandalkan.

   Berulang kali tombak besinya berhasil menghentikan sapuan pedang besar Kongsun Koan.

   Prajurit-prajurit bawahannya pun jadi bersemangat.

   Mereka tidak tahu kalau Si Komandan Tombak Besi itu pun sebetulnya mengeluh karena sepasang lengannya menjadi sangat pegal gara-gara beberapa kali benturan senjatanya dengan pedang Kongsun Koan tadi.

   Tetapi tentu saja keadaan itu disembunyi kannya, tidak dipertontonkannya kepada prajurit-prajuritnya.

   Begitulah, perkelahian di pintu ger bang kota itu makin lama makin sengit.

   Dan bertambah sengit setelah ada dua orang prajurit Manchu terluka.

   Salah seorang hampir IV putus betisnya tersambar pedang Kongsun Koan yang tidak menahan diri lagi.

   "Panggil penembak-penembak senapan!"

   Teriak Si Komandan Manchu dengan gusar.

   Yang serba salah dalam peristiwa itu adalah prajurit-prajurit asli San-hai-koan.

   Mereka tidak berani bertindak menentang tingkah-laku prajurit-prajurit asing itu, namun di dalam hati mereka jelas-jelas memihak Kongsun Koan.

   Tetapi sebelum korban jiwa jatuh, tiba-tiba dari tengah-tengah kota kelihatan beberapa penunggang kuda berderap mendekat.

   Kelihatan makin dekat, dan kemudian nampak yang datang itu adalah seorang perwira Manchu yang kedudukannya nampak cukup tinggi kalau dilihat dari seragamnya.

   Perwira itu berwajah cerah, bersih, masih muda, sepasang alisnya yang tebal membuat ia kelihatan berwibawa.

   "Hentikan! teriaknya sambil memacu mudanya mendekat. Si komandan rendahan Manchu yang masih bertempur itu belum melihat jelas siapa yang datang. Maka ia terus bertempur. Bukan karena IV tidak mau berhenti, melainkan tidak bisa berhenti sebab serangan Kongsun Koan bertubi-tubi membadai dilandasi kemarahan. Berhenti berarti terpotong oleh pedang Kongsun Koan. Namun tiba-tiba perwira rendahan itu merasa tengkuknya dicengkeram dan tubuhnya pun terhempas keluar gelanggang. Sementara Kongsun Koan yang pedangnya hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja melihat sesosok bayangan melompat masuk ke gelanggang dengan gerakan amat cepat. Ia bahkan tidak melihat jelas bagaimana si perwira rendahan Manchu itu "keluar arena"

   Dengan cara yang agaknya "kurang terhormat"

   Itu.

   Dan Kongsun Koan sendiri tiba-tiba merasakan pedangnya tidak dapat bergerak lagi, terjepit sepasang telapak tangan yang ditangkupkan! Sekilas ia sempat mengamati orang yang memasuki gelanggang itu.

   Seorang punggawa Manchu yang berusia muda dan tampan, senyumnya ramah, usianya sebaya dengan IV Kongsun Koan sendiri, tetapi kemampuan tempur pribadinya sungguh jauh di atas Kongsun Koan.

   Namun senyuman di wajah perwira muda itu menggelegakkan darah muda Kongsun Koan.

   Ia kumpulkan kekuatan dan semangatnya untuk menarik pedangnya, pedangnya bergerak sedikit dan sepasang lengan panglima Manchu itu bergoyang sedikit, tetapi pedang itu tetap terjepit kuat.

   Kongsun Koan menarik sekali lagi, namun kali ini justru si panglima melepaskan tangkupan sepasang telapak tangannya sehingga Kongsun Koan pun terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.

   Kemudian mengokohkan kembali kuda-kudanya dan siap melabrak kembali...

   Ketika itulah si Panglima Manchu yang masih muda itu berkata.

   "Sabar Saudara Kongsun..."

   Kongsun Koan tercengang.

   "He, kau tahu namaku?"

   "Baru saja seorang prajurit San-hai-koan melaporkan keributan di sini kc markas pusat, IV kebetulan aku sedang c i sana, lalu aku kemari untuk membereskan persoalan ini."

   Lalu panglima muda itu dengan garang menoleh kepada si perwira rendahan Manchu yang mengkeret seperti tikus di depan kucing. Kata si Panglima muda.

   "Apakah kau tidak bisa bersikap sebagai tamu yang baik di San-haikoan ini? Kita di sini diundang, dan harus menghormati Tuan rumah kita!"

   Perwira rendahan itu tergagap-gagap.

   "I... iya... iya..."

   "Minta maaflah sebagai prajurit yang berpangkat lebih rendah!"

   Perwira rendahan itu berlutut kepada si Panglima muda dengan gaya Manchu. Hanya sebelah kaki yang ditekuk, dan sebelah tangan menekan tanah.

   "Saya minta maaf, Panglima!"

   "Bukan kepadaku, tetapi kepada KomandanKongsun, kau telah bersikap kurang ajar kepadanya!"

   Perwira rendahan Manchu itu merasa berat hatinya harus melakukan itu, tetapi ia tidak berani membangkang.

   Ia lakukan itu.

   IV Keputusan yang diambil panglima Manchu itu memuaskan prajurit-prajurit San-hai-koan.

   Tetapi Kongsun Koan diam-diam membuat penilaian tersendiri.

   "Taktik mengambil hati seperti ini lebih berbahaya daripada sikap kasar si perwira rendahan. Taktik halus ini menyelubungi niat yang sebenarnya dari orangorang Manchu untuk menjajah Tiong-goan, dan banyak orang Tiong-goan yang terbius oleh kedok ini..."

   Tetapi saat suasana sudah reda, Kongsun Koan tidak punya alasan untuk ngotot.

   Ia hanya bertekad dalam hati akan memberi peringatan kepada Bu Sam-kui, nanti kalau sudah berhadapan muka.

   Si Panglima muda Manchu itu kemudian memberi hormat kepada Kongsun Koan dan berkata.

   "Saudara Kongsun, maafkan kelakuan kasar prajurit-prajurit kami. Harap Saudara Kongsun tidak terpengaruh oleh sikapnya. Kami datang ke San-hai-koan ini benar-benar sebagai sahabat yang tahu menghormati Tuan rumahnya. Buktinya, kami siang tadi bertempur IV tanpa mengibarkan bendera kami sendiri, melainkan kami bertempur di bawah bendera Kerajaan Beng..."

   Kongsun Koan cuma mengangguk, tidak berkata sepatah kata pun. Pedangnya yang besar tidak disarungkannya, melainkan dipanggulnya di pundak, sebagaimana kecurigaannya yang juga belum "disarungkan".. Sementara Panglima Manchu itu tetap bersikap ramah.

   "Kalau Saudara Kongsun ingin bertemu dengan Jenderal Bu, mari, aku akan menemani Saudara. Jenderal Bu menunggu Saudara..."

   Kembali Kongsun Koan cuma mengangguk dan melangkah di samping panglima Manchu itu.

   Sekilas Kongsun Koan sempat melirik ruyung Sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas) yang terselip di pinggang panglima Manchu itu.

   Ruyung itu agaknya terbuat dari perak seluruhnya, atau setidak-tidaknya campuran perak yang cukup banyak.

   Meskipun Kongsun Koan terus membungkam, Panglima Manchu itu terusIV menerus mencoba bersikap ramah, mengajak bercakap-cakap, sepanjang jalan menuju markas.

   Jalan agak diterangi oleh lampionlampion yang bergantung di depan rumah.

   Tiba-tiba Kongsun Koan merasa rugi kalau ia yang ditanyai terus, sedang ia sendiri tidak tahu apa-apa untuk lawan bicaranya itu.

   Maka ia lalu mencoba "mencairkan"

   Sikapnya, dan bertanya.

   "Panglima, siapa nama Panglima?"

   Si Panglima Manchu merasa gembira karena akhirnya Kongsun Koan mau bersikap lebih ramah, meskipun pedang besarnya tetap dipanggul di pundak dan tidak disarungkan. Panglima Manchu itu menjawab.

   "Namaku Sek Hong-hua."

   "Panglima Sek, bahasa Hanmu fasih sekali. Tidak kaku."

   "Aku pernah beberapa tahun berada di Tiong-goan."

   "Ooo, untuk urusan apa?"

   Sudah tentu Sek Hong-hua tidak menjawab bahwa tahun-tahun itu ia, sedang mematamatai Tiong-goan sebagai persiapan IV penyerbuan Manchu. Inilah jawabannya.

   "Cari makan. Berdagang obat-obatan, keliling dari satu tempat ke tempat yang lain..."

   Dan sudah tentu pula Kongsun tidak menelan mentah-mentah keterangan ini.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jadi Panglima Sek ini dulunya bukan prajurit?"

   "Bukan..."

   Jawab Sek Hong-hua mengambang.

   "Berapa tahun sudah jadi prajurit?"

   "Baru lebih kurang tiga tahun..."

   "Hebat. Baru tiga tahun masuk tentara, sudah jadi panglima."

   "Mungkin karena... karena ... yah, ada kenalan keluargaku yang punya kedudukan penting dalam ketentaraan..."

   Lagi-lagi jawaban ini terdengar mengambang di kuping Kongsun Koan.

   "Mungkin juga karena ilmu silat Panglima yang hebat..."

   Sambung Kongsun Koan.

   "Terima kasih,"

   Sek Hok-hua tanpa sungkan menerima pujian itu.

   Mereka pun sampai ke markas yang dijaga.

   Ternyata penjagaan di situ juga dilakukan oleh IV pasukan gabungan, prajurit-prajurit Manchu dan prajurit San-hai-koan.

   Karena Kongsun Koan datang bersama Sek Hong-hua, maka ia tidak mengalami kesulitan.

   Tidak lama kemudian Kongsun Koan sudah berhadapan dengan Bu Sam-kui di ruang komando.

   Tetapi di ruang itu juga ada perwiraperwira tinggi Manchu di samping perwiraperwira tinggi San-hai-koan sendiri.

   Kedatangan Kongsun Koan disambut gembira oleh rekan-rekannya, sesama perwira San-hai-koan, juga Bu Sam-kui sendiri.

   Tetapi Kongsun Koan sendiri jadi merasa kurang leluasa berbicara karena adanya perwiraperwira Manchu di ruangan itu.

   "Bagus kau datang Saudara Kongsun..."

   Sambut Bu Sam-kui, yang masih menduduki kursinya yang berlapis kulit macan tutul.

   Kursi yang diduduki hanya oleh orang-orang yang memegang kekuasaan militer tertinggi di Sanhai-koan.

   Tetapi tetap duduknya Bu Sam-kui bukan jaminan segala sesuatunya beres.

   Bu Sam-kui duduk di kursi itu, tetapi di seluruh IV San-hai-koan prajurit-prajurit Manchu berkeliaran bebas dan membuat prajuritprajurit San-hai-koan rendah diri.

   "Benar, Panglima. Aku mendengar tentang apa yang terjadi di sini?"

   "Bagaimana yang kau dengar itu?"

   Kongsun Koan ragu-ragu menjawab.

   "Aku dengar... kota ini sudah diambil-alih oleh... oleh..."

   Seorang perwira Manchu yang bisa berbahasa Han segera menyahut mendahului Bu Sam-kui.

   "Pasti kau dengar kota ini sudah diambil-alih oleh kami, prajurit-prajurit Manchu? Salah sama sekali Kami datang untuk membantu dinasti Beng tegak kembali dengan menghancurkan kaum Pelangi Kuning, setelah itu, kami pulang ke Liau-tong. Kami tidak mau menjajah."

   Kongsun Koan hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu, biar sebetulnya dalam hatinya tidak mempercayai.

   Di tengahtengah pasukan Manchu yang memenuhi San- IV hai-koan itu, Kong-sun Koan memutuskan untuk banyak berpura-pura.

   Ia lalu pura-pura menunjukkan wajah cerah, dan berkata.

   "Syukurlah, aku lega mendengar San-hai-koan diselamatkan oleh sobat-sobat dari Liau-tong. Aku memang ingin mendengar penjelasan lengkap dari Jenderal Bu..."

   Yang dimaksud Kongsun Koan adalah pembicaraan empat mata dengan Bu Sam-kui. Namun Kongsun Koan mengutuk dalam hati ketika ternyata panglima atasannya itu tidak menangkap maksudnya itu, malah berkata.

   "Baik, aku akan menjelaskanmu..."

   Lalu menyerocoslah Bu Sam-kui, sudah tentu penjelasannya itu disesuaikan dengan kuping perwira-perwira Manchu. Bu Sam-kui tidak menyebut-nyebut tentang Helian Kong dan "utusan Su Ko-hoat"

   Yang menganjurkan Bu Sam-kui "meminjam"

   Pasukan Manchu, kelak kalau jasukan Manchu berniat jahat akan dipaksa keluar dengan "pasukan dari selatan". Bagian ini, sudah tentu Bu Sam-kui tidak membeberkannya di hadapan perwira-perwira IV Manchu. Yang dikatakannya hanyalah "niat tulus"

   Pasukan Manchu menolong San-hai-koan dari kesulitannya.

   Sudah tentu Kongsun Koan tidak puas mendengar penjelasan macam itu.

   la cari akal bagaimana bisa mengajak panglima atasannya itu bicara empat mata.

   Tiba-tiba dia pun menemukan akal.

   Dengan berlagak tolol, ia tibatiba berkata.

   "Aku dengar, sebelum Panglima mengambil keputusan ini, Panglima ditemui oleh..."

   Bu Sam-kui kaget, khawatir kalau Kongsun Koan nyerocos terus dan membuat orang-orang Manchu mengetahui soal Helian Kong dan "utusan Su Ko-hoat"

   Itu. Maka cepat-cepat ia memotong perkataan Kongsun Koan.

   "Hal ini memang perlu penjelasan tersendiri, Saudara Kongsun..."

   Lalu Bu Sam-kui menoleh kepada Ang Sengtiu, bekas atasannya yang sekarang menjadi pemimpin pasukan Manchu yang ada di Sanhai-koan itu.

   Ang Seng-tiu duduk di kursi yang lebih rendah dari Bu Sam-kui, namun ternyata IV Bu Sam-kui bernada minta ijin dari Ang Sengtiu.

   "Jenderal Ang, perwira bawahanku ini agaknya perlu aku beri penjelasan tersendiri. Empat mata..."

   Adegan ini membuat Kongsun Koan tidak senang.

   Benarlah dugaannya.

   Biarpun Bu Samkui masih menduduki kursi berlapis kulit macan tutul yang menjadi lambang kekuasaan tertinggi San-hai-koan, ternyata untuk segala sesuatunya ia harus minta ijin dulu kepada Ang Seng-tiu.

   Dan ternyata, Ang Seng-tiu yang resminya adalah pimpinan tertinggi pasukan Manchu di San-hai-koan, juga bukan pengambil keputusan yang sebenarnya.

   Ia menoleh kepada seorang Manchu tak berseragam perwira yang berambut putih dan bermata tajam, berdiri bagaikan patung dan selalu bersedakap.

   Kulit mukanya kuning hangus seperti perunggu, sorot matanya tajam.

   Dari tadi ia tidak berbicara, dan kini sekali berbicara terdengarlah suaranya yang parau dan sama sekali tidak enak di kuping, IV "Jenderal Bu, kita semua sudah menjadi kawan sekutu dan tidak perlu ada rahasiarahasiaan di antara kita.

   Apa yang mau kau katakan, katakan saja di sini.

   Kita semua adalah orang sendiri..."

   Lalu Ang Seng-tiu hanya menabuh gongnya saja.

   "Betul, Jenderal Bu."

   Bu Sam-kui maupun Kongsun Koan jadi serba salah.

   Mereka cuma saling pandang tak berdaya.

   Seluruh ruangan tercekam kesunyian dalam kecanggungan.

   Ada beberapa perwira San-hai-koan di ruangan itu, tetapi mereka pun tidak berani berbicara seperti jengkerik terpijak.

   Yang kemudian memecah kesunyian, justru adalah perwira muda Sek Hong-hua yang tadi bersama-sama Kongsun Koan dari pintu gerbang.

   "Tuan Yim, biar kedua pasukan sudah menjadi sekutu, tetapi bagaimanapun masih ada hal-hal yang hanya bisa dibicarakan di antara orang-orang sepasukan sendiri. Bukankah dalam pasukan kita sendiri, kita juga punya rahasia-rahasia militer yang hanya boleh IV dibicarakan di kalangan orang-orang tertentu kita yang terbatas jumlahnya? Sebagaimana kita, begitu juga mereka. Apakah kita tidak keterlaluan kalau sebagai tamu malah mengatur tuan rumah? Lalu tamu macam apa kita ini?"

   Mengherankan.

   Sek Hong-hua sebagai perwira tentunya ada di bawah perintah Ang Seng-tiu sebagai panglima.

   Ang Seng-tiu nampaknya gentar kepada orang yang tidak mengenakan seragam perwira itu, sebagaimana perwira-perwira lainnya.

   Ternyata, kata-kata Sek Hong-hua tidak kedengaran sungkan sedikit pun, dan lucunya lagi ternyata si orang she Yim itulah yang malahan kelihatan sungkan kepada Sek Hong-hua.

   Dari sini saja sudah cukup membingungkan para perwira San-hai-koan sebagai orang-orang luar, mana yang paling berkuasa dalam pasukan Manchu yang ada di San-hai-koan ini? Yang jelas, siapa pun yang paling berkuasa di antara mereka, nampaknya Bu Sam-kui sebagai pimpinan tertinggi San-hai-koan yang ternyata IV juga sekedar boneka.

   Jadi kenyataannya, Bu Sam-kui adalah "boneka-nya boneka".

   Orang Manchu she Yim itu menjawab Sek Hong-hua dengan hormat.

   "Perwira Sek, kalau di antara dua sekutu masih tersembunyi rahasia-rahasia yang tidak diungkapkan, persekutuan itu masih rapuh dan gampang dicerai-beraikan. Aku hanya ingin menjaga agar hal ini tidak terjadi antara persekutuan kita dengan sobat-sobat dari San-hai-koan ini..."

   Seng Hong-hua ternyata berani tertawa dingin di depan Yim Mo yang disegani Ang Seng-tiu itu.

   "Kalau begitu, Tuan Yim, untuk baik dan adilnya, pihak San-hai-koan pun harus diberitahu semua rahasia militer kita..."

   Kontan Yim Mo tersudut.

   Wajahnya berubah hebat, begitu juga wajah perwira-perwira tinggi Manchu yang mengetahui rencana sejati pihak Manchu, rencana rahasia yang bahkan tidak banyak diketahui oleh perwira-perwira Manchu yang kebanyakan.

   Sek Hong-hua adalah salah seorang yang karena kedudukannya, mengetahui rencana-rahasia itu, sayangnya Sek IV Hong-hua sendiri secara terbuka menyatakan tidak setuju dengan rencana itu, dan mengatakan bahwa kalau ia sanggup menyimpan rahasia itu bukan karena ia setuju, melainkan karena terikat kepada sumpah prajuritnya.

   Kini, di depan perwira-perwira Sanhai-koan, Sek Hong-hua tiba-tiba "menyerempet"

   Masalah yang rawan itu, Yim Mo dan para perwira tinggi yang mengetahui rencana-rencana itu pun menjadi khawatir sekali. Khawatir kalau Sek Hong-hua sampai "bocor mulut" -nya. Akhirnya Yim Mo mengalah dan berkata.

   "Baiklah, kita ijinkan Jenderal Bu..."

   Sek Hong-hua menukas gusar.

   "Jenderal Bu tidak perlu diijinkan siapa-siapa untuk berbuat apa saja di San-hai-koan ini! Ia boleh berbuat sekehendak hatinya, sebab ialah Tuan rumah di San-hai-koan ini, bahkan seandainya dia hendak mengusir kita malam ini juga!"

   Wajah kuning hangus Yim Mo berubah menjadi ungu, mungkin kalau bagi orang yang normal warna kulitnya, dari warna putih IV menjadi merah padam tanda menahan amarah. Tetapi ia benar-benar tidak berani berdebat dengan Sek Hong-hua.

   "Baiklah, baiklah..."

   Katanya terpaksa.

   "Jenderal Bu, silakan berbicara empat mata dengan perwira bawahanmu..."

   Kongsun Koan yang baru malam itu bertemu dengan Sek Hong-hua, diam-diam heran juga terhadap perwira muda Manchu itu.

   Pertama ia cuma terkejut akan kehebatannya yang mampu menjepit pedang besarnya hanya dengan sepasang telapak tangannya, lalu keramah-tamahan-nya, dan sekarang di hadapan para perwira dari kedua pasukan, kembali Kongsun Koan heran akan Sek Honghua dalam dua hal.

   Pertama, nampaknya dia disungkani atau disegani oleh tokoh-tokoh pasukan Manchu yang lain biarpun tokoh-tokoh itu kedudukannya lebih tinggi.

   Kedua, sikapnya yang kelihatannya sangat membela pasukan San-hai-koan dan mengeritik tajam sikap angkuh kawan-kawan nya sendiri.

   Tapi yang paling menggelitik hati Kongsun Koan adalah IV ucapan Sek Hong-hua tentang "rahasia militer kita"

   Tadi.

   Sementara itu, Bu Sam-kui telah berdiri.

   Berusaha bersikap tetap gagah dan seolah-olah tidak dipengaruhi siapa-siapa, ketika ia melangkah meninggalkan ruangan itu.

   Dengan isyarat tangannya, ia minta Kongsun Koan mengikutinya.

   Pada saat yang sama, Yim Mo yang baru saja ditentang secara terbuka oleh Sek Hong-hua itu mengeloyor pergi dari ruangan itu.

   Tidak minta ijin kepada siapa-siapa, termasuk kepada Ang Seng-tiu yang dianggap pimpinan sekalipun.

   Ang Seng-tiu mencoba menjaga martabatnya dengan pura-pura tidak melihat.

   Bu Sam-kui mengajak Kongsun Koan ke sebuah ruang di belakang markas.

   Begitu berada di belakang pintu tertutup di ruangan itu, kekesalan Kongsun Koan meledak tak tertahankan lagi.

   "Panglima, inikah yang dianggap mereka membantu kita? Omong kosong! Mereka tidak membantu, mereka menguasai kita! Aku sudah merasakan gelagat IV ini sejak aku memasuki kota ini. Di pintu aku digeledah teperti maling! Dan di ruang depan itu dengan mataku sendiri aku melihat mereka bahkan... mengendalikan Panglima!"

   Bu Sam-kui melotot.

   "Kongsun Koan, begitu tidak bergunakah aku di dalam pandanganmu, sehingga orang-orang liar dari Liau-tong itu bisa menyetir aku, memainkan aku seperti boneka?"

   Kongsun Koan menjawab "ya"

   Tetapi hanya dalam hatinya. Di mulutnya ia berkata lain.

   "... kelihatannya demikian, Panglima...".

   "Kau kemari mau mendengarkan penjelasanku, atau ingin memarahi aku?"

   "Maaf, Panglima. Maaf..."

   Kongsun Koan menunduk di hadapan atasannya.

   "Duduk,"

   Perintah Bu Sam-kui, dan ia sendiri pun menarik sebuah kursi untuk didudukinya.

   "Aku akan menjelaskan dan kau boleh bertanya dimana perlu, supaya hatimu puas dan mengerti benar-benar apa yang kulakukan ini. Tetapi suaramu jangan keraskeras, siapa tahu ada yang menguping di luar."

   IV Kongsun Koan menahan diri, dan mulailah ia mendengarkan penjelasan Bi Sam-kui. Mulai kedatangan Helian Kong' dan "utusan Su Kohoat"

   Dan semua yang dikatakan mereka, yang membuat Bu Sam-kui berani mengambil keputusan mengundang tentara Manchu. Dan Bu Sam-kui menutup penjelasannya dengan kata-kata.

   "Aku tidak tolol, aku bisa melihat gelagat bahwa orang-orang Manchu itu agaknya akan susah disuruh keluar lagi dari Tiong-goan. Mereka akan kerasan di Tiong-goan. Tetapi jangan khawatir. Aku akan mengadu mereka dengan kaum Pelangi Kuning sehingga kedua pihak babak-belur dan susut kekuatannya, memanfaatkan mereka. Setelah itu kawankawan seperjuangan kita di selatan akan membanjir ke utara dan menghabisi mereka semua. Baik sisa-sisa Pelangi Kuning maupun sisa-sisa Manchu yang nekad tidak mau meninggalkan Tiong-goan. Tenang sajalah. Kita di San-hai-koan saat ini memang kelihatannya direndahkan, tetapi itu takkari lama... Kita harus melihat dan memperhitungkan jauh ke depan, IV jangan menuruti emosi atau rasa harga diri yang sempit..."

   Kongsun Koan lega mendengar bahwa keputusan Bu Sam-kui untuk mengundang tentara Manchu itu sudah dirundingkan dulu dengan "Helian Kong"

   Dan "utusan Su Ko-hoat". Kongsun Koan kenal Helian Kong sebagai orang yang berpikiran jauh ke depan, berpandangan luas dan penuh perhitungan, berbeda jauh dengan panglima atasannya yang suka gegabah dan pendek akal itu.

   "Syukurlah, Panglima. Dapatkah sekarang aku bertemu dengan Panglima Helian?"

   "Lho! Kan dia sudah kembali ke pegunungan bergabung dengan pasukanmu?"

   "Maksud Panglima..."

   "Ya, malam itu setelah dia datang dan berbicara kepadaku, dia langsung pergi, meskipun saat itu larut malam. Aku kira dia sudah sampai ke tempat kalian di pegunungan..."

   Saat itu baik Bu Sam-kui maupun Kongsun Koan tiba-tiba secara bersamaan merasakan IV sesuatu yang tidak enak di hati. Yaitu perkara "Helian Kong"

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ini. Kalau semula terasa "segala sesuatunya beres", sekarang mendadak terasa urusan ini agak tidak beres. Keduanya bertatapan, tidak ada yang berani mengemukakan dugaan lebih dulu, sampai akhirnya Bu Sam-kuilah yang berbicara lebih dulu.

   "Ah, tidak perlu menjadi tegang dan membayangkan yang buruk-buruk. Barangkali saja Panglima Helian setelah meninggalkan Sanhai-koan ini tidak segera pulang ke pasukannya di pegunungan, karena ada urusan penting lainnya..."

   KarenaBu Sam-kui sudah membicarakannya dulu, Kongsun Koan berani mengemukakan keraguannya.

   "Panglima, yakinkah Panglima bahwa yang mengunjungi Panglima malam itu adalah Helian Kong? Benar-benar Helian Kong?"

   "He, apa maksudmu dengan pertanyaanmu itu?"

   "Yakinkah bahwa yang mengunjungimu malam itu benar-benar Helian Kong?"

   IV "Kau anggap mataku buta, sehingga tidak kenal Helian Kong?"

   "Maaf, Panglima, apakah malam itu... Panglima minum arak?"

   Kongsun Koan bertanya seperti ini sebab tahu kebiasaan panglimanya minum arak banyak-banyak. Dan pengalaman Kongsun Koan sendiri pernah dipeluk dan dicium pipinya oleh Bu Sam-kui dan dipanggil.

   "Tan Wan-wan kekasihku..."

   Kalau Bu Sam-kui kebanyakan arak, pohon pun bisa disangka Tan Wan-wan, itulah sebabnya Kongsun Koan bertanya begitu. Bu Sam-kui kelihatan serba salah sekejap, lalu menjawab.

   "Sedikit."

   Hati Kongsun Koan mulai tidak tenteram.

   "Sedikit? Seberapa?"

   "Kongsun Koan, jangan kurang ajar! Kau sedang berhadapan dengan Panglima atasanmu, kenapa seperti penjaga pasar menanyai copet yang tertangkap di pasar?"

   Kongsun Koan buru-buru memberi hormat.

   "Maaf, Panglima. Tetapi aku... aku benar-benar khawatir..."

   IV "Khawatir panglimamu ini telah menjadi setolol keledai sehingga yang bukan Helian Kong aku sangka Helian Kong, begitu?"

   Bu Samkui gusar dan menggebrak meja. Kongsun Koan cuma menarik napas tanpa menjawab, tetapi kekhawatirannya menghebat bahwa dua oiang yang mengaku "Helian Kong"

   Dan "utusan Su Ko-hoat itu jangan-jangan palsu? Agaknya kegusaran si Panglima atasan itu pun hanya untuk menutup-nutupi kecemasannya, cemas bahwa dia sudah dibohongi mentahmentah.

   Beberapa saat suasana dalam ruangan itu tercekam kesunyian.

   Hanya suara desir langkah Bu Sam-kui yang gelisah, hilir-mudik di ruangan itu.

   "Panglima..."

   "Apa?"

   "Adalah wajar siapa pun berbuat kekeliruan, kalau sudah terlanjur pun masih bisa dipikirkan caranya memperbaiki ke-keli..."

   IV "Tidak! Tidak! Aku tidak keliru!"

   Raung Bu Sam-kui.

   "Yang datang kepadaku itu benarbenar Helian Kong! Aku tidak keliru!"

   Tadi Bu Sam-kui melarang Kongsun Koan berbicara keras-keras, sekarang suaranya sendiri seperti geledek karena kehilangan pengendalian diri, la takut membayangkan dirinya sendiri melakukan kesalahan sebesar itu.

   Kesalahan yang kalau tidak dapat diperbaikinya, akari membuat dirinya tercatat dalam sejarah sebagai pengkhianat, penjual tanah-air, mengundang pasukan asing untuk menjajah negeri sendiri.

   Bu Sam-kui tidak berani membayangkannya.

   Kongsun Koan geleng-geleng kepala sendiri.

   Tiba-tiba ia merasa amat kasihan kepada panglima atasannya itu.

   Kasihan, bukan benci.

   Dalam keadaan seperti itu, ternyata masih tersisa sedikit akal sehatnya.

   Ia tahu, kalau Bu Sam-kui saat itu dituduh dan disalah-salahkan, malah bisa makin nekad dan semuanya jadi beran-takan.

   Kongsun Koan akhirnya mengambil keputusan untuk membiarkan Bu IV Sam-kui tetap demikian, dan ia sendiri akan tetap pura-pura bersikap baik terhadap pihak Manchu agar di kemudian hari masih bisa berhubungan dengan panglima atasannya ini.

   Akhirnya Kongsun Koan bangkit dari duduknya dan berkata.

   "Baiklah, Panglima. Kita harapkan saat ini memang Panglima Helianlah yang dulu datang kemari..."

   "Pasti! Aku tidak ragu-ragu lagi!"

   "Baiklah... baiklah... aku sekarang minta diri, Panglima. Aku akan kembali ke pasukan kami di pegunungan..."

   Bu Sam-kui sudah reda kepanikannya, dan diam-diam merasa malu sendiri telah bersikap demikian kekanak-kanakan, seperti seorang anak kecil yang mati-matian menyangkal baru saja makan permen.

   Tetapi sekarang ia pun mulai berpikir kembali, dan berpesan kepada Kongsun Koan.

   "Kongsun Koan, siapa yang memegang komando pasukan di pegunungan itu sekarang?"

   "Sesuai dengan surat Panglima yang Panglima titipkan kepada Panglima .Heli-an IV Kong, aku gabungkan pasukanku dengan pasukan Panglima Helian dan komandannya dia. Aku di bawahnya."

   "Bagus, teruslah begitu. Jangan percaya kalau ada orang yang mengaku-aku dari Sanhai-koan membawa perintahku, bahkan seandainya kau kenal dia. Mengerti?"

   Pesan itu mengesankan Kongsun Koan, terdengar amat jujur dan bersungguh-sungguh.

   Lalu ia keluar dari ruangan itu.

   Melewati ruang depan, dia memberi hormat kepada perwiraperwira Manchu.

   Dan ketika sampai di pintu depan, ada seorang prajurit San-hai-koan memegangi kendali seekor kuda yang ukuran besar yang tingginya hampir satu meter.

   "Kuda ini untukmu, Komandan Kong-sun,"

   Kata prajurit itu sambil menyodorkan tali kendalinya. Kongsun Koan menerimanya. Pikirnya.

   "Lumayan, berangkatnya jalan kaki, pulangnya naik kuda."

   Kuda itu memang yang biasa dinaiki Kongsun Koan ketika masih di San-hai-koan IV dulu, meski bukan kepunyaan pribadi Kongsun Koan. Tetapi guci arak itu mengherankannya.

   "Apa ini?"

   "Kawan-kawan di pegunungan pasti membutuhkannya, untuk menghangatkan badan..."

   Sahut prajurit itu.

   Kongsun Koan tidak banyak bicara lagi, segera menaiki kuda itu dan memacunya keluar kota, terus ke pegunungan.

   Berbeda dengan kedatangannya tadi, kini ia tidak mendapat rintangan apa-apa.

   Tetapi pikirannya justru lebih gelisah.

   Ia meragukan "Helian Kong"

   Yang mendatangi Bu Sam-kui dan mengusulkan agar mengundang tentara Manchu, itu asli atau palsu? Kalau asli, masih ada harapan.

   Kalau palsu, berarti pasukan di San-hai-koan itu memang sudah tertipu oleh suatu rencana yang rapi.

   Meskipun bukannya tanpa harapan lagi.

   * ** Ketika Kongsun Koan tiba di luar kota Sanhai-koan, langit masih gelap, tetapi bintangbintang' di langit memberi sekelumit cahayanya IV sehingga Kongsun Koan berani mempercepat lari kudanya tanpa khawatir menabrak pepohonan atau kejeblos parit.

   Tiba-tiba Kongsun Koan merasa haus.

   Tadi di San-hai-koan, ia tidak disuguhi air setetes pun, dan mulai ia datang sudah diliputi ketegangan pikiran dan bahkan sempat "berolah raga"

   Dengan penjaga-penjaga pintu gerbang, sebentar. Tadi tidak terasa, sekarang baru hausnya terasakan, dan ia ingat guci arak yang dibawakan oleh prajurit di Sah-hai-koan tadi.

   "Jangan-jangan arak beracun?"

   Ia curiga sebentar, lalu dibantahnya sendiri.

   "Yang memberikan kepadaku tadi adalah prajurit di San-hai-koan, bukan prajurit Manchu. Pastilah prajurit-prajurit San-hai-koan rindu kepada teman-temannya di pegunungan, apalagi dalam keadaan seperti ini di mana seluruh kota seakan-akan sudah diambil-alih oleh orangorang Manchu..."

   "Biar kucicipi sedikit..."

   Akhirnya Kongsun Koan sambil melambatkan kudanya.

   Lalu guci IV besar yang tergantung di pelana itu dinaikkannya ke pelana dan dibukanya penutupnya dari kertas minyak yang tebal itu.

   Karena tidak ada cawan, ia angkat guci itu tinggi di atas kepala dengan mulut guci di bawah, mulutnya menganga lebar siap menampung arak yang mengucur keluar.

   Tetapi tidak setetes arak pun keluar.

   Kongsun Koan heran, ia guncang-guncang gucinya dan tetap tidak setetes arak pun yang keluar.

   Padahal guci itu berat, seperti ada isinya, tapi ternyata tidak keluar setetes arak pun.

   Di kegelapan malam, ia tidak bisa melihat apa isi guci itu, maka ia meraba ke dalam guci, dan kaget ketika tangannya meraba seperti...

   kepala orang yang ada rambutnya.

   Biarpun Kongsun Koan orang peperangan yang sudah terbiasa melihat mayat, bahkan mayat yang tidak utuh, tak urung kaget juga ia.

   Ia lemparkan guci itu di tanah sehingga pecah.

   Dan ia melihat ada sesuatu seperti bola menggelundung menjauhi guci yang pecah itu, seperti bola yang ukurannya pas dengan guci IV itu.

   Tetapi selama menggelinding menjauh, bola itu membesar ukurannya, dan Kongsun Koan hampir tak percaya melihat "bola"

   Itu keluar sepasang tangannya dan sepasang kakinya, dan akhirnya berdiri melompat dalam wujud seorang manusia biasa.

   Berwajah dingin, berkulit kuning hangus seperti perunggu, bersedekap.

   Yim Mo.

   Jantung Kongsun Koan berdegup keras.

   Ia berhadapan dengan seorang yang mampu melipat tubuhnya sampai bisa masuk ke dalam guci seluruhnya.

   Kongsun Koan pernah mendengar ada ilmu yang disebut Siu-kut-kang (Ilmu Mengerutkan Tulang), sehingga ada yang sampai bisa meneroboskan seluruh tubuhnya lewat lubang yang sempit.

   Tetapi yang dilakukan Yim Mo ini benar-benar luar biasa, seluruh tubuhnya bisa masuk ke dalam guci! (Bersambung

   Jilid XV) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 28/07/2018 18 . 55 PM IV V ( Bagian II )

   Jilid XV Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"

   Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 V V KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XV K ongsun Koan melihat masalah besar di depan mata. Dia tahu pasti, bukannya tanpa maksud Yim Mo "membonceng"

   Sampai ke tempat itu. Mungkin maksudnya "membonceng"

   Sampai ke pegunungan, tempat pasukan Kongsun Koan, tetapi sudah "diturunkan"

   Di tengah jalan.

   "Kiranya Tuan Yim..."

   Kata Kongsun Koan ramah, mencoba menghindari jalan kekerasan karena tahu dirinya sama sekali tidak sebanding dengan Yim Mo.

   "Ada yang bisa aku perbuat untuk Tuan?"

   "Ya. Aku ingin kau ceritakan semua pembicaraanmu dengan Jenderal Bu tadi,"

   Nada V perkataan Yim Mo ternyata tetap dingin, jauh dari nada bersahabat, tidak mengimbangi keramahan Kongsun Koan.

   "Itu yang pertama. Yang kedua, aku ingin melihat pasukanmu di pegunungan."

   Kegusaran Kongsun Koan meluap dalam hati, tetapi ia mencoba terus menahan diri. Pikirnya.

   "Jadi inilah rupanya tujuan bersembunyi dalam guci. Pihak Manchu menyuruh dia untuk mengetahui kedudukan pasukanku di pegunungan..."

   Mulut Kongsun Koan sudah bergerak hendak menjawab, tetapi Yim Mo telah membentaknya.

   "Apa kau tidak tahu adat, tidak tahu bagaimana berbicara kepada orang yang lebih tua?"

   Biarpun darah mudanya sudah menggelegak, Kongsun Koan masih memikirkan keselamatan dirinya, juga perlunya pasukannya di pegunungan mendengar kejadian yang sebenarnya di San-hai-koan.

   Itulah sebabnya dia mengalah.

   Ia melompat turun dari kudanya V dan memaksakan diri memberi hormat kepada Yim Mo meskipun hormatnya tidak dibalas.

   Katanya.

   "Salam hormatku untuk Tuan Yim."

   "Tidak perlu bertele-tele. Sekarang katakan hasil pembicaraanmu dengan Bu Sam-kui tadi. Singkat, jelas, tapi harus lengkap."

   "Baiklah, karena pihak Tuan dan pihak kami sudah menjadi sekutu, rasanya tidak baik menyembunyikan apa-apa kepada teman seperjuangan bukan? Secara singkat, Jenderal Bu hanya menjelaskan kepadaku tentang alasannya dia mengundang sobat-sobat Manchu. Yaitu suatu kerjasama yang saling menguntungkan, sebab dia percaya bahwa sobat-sobat Manchu tak bermaksud jahat sedikit pun terhadap negeri Tiong-goan. Terus terang saja, Tuan Yim, sebelum mendengar penjelasan tadi memang aku agak berprasangka terhadap orang-orang Manchu. Tetapi sekarang prasangkaku lenyap, hatiku sudah lega. Itu saja..."

   V Ternyata Yim Mo tidak mudah menerima penjelasan itu. Ia maju selangkah dengan mata bersorot mengancam.

   "Kau pasti belum menceritakan selengkapnya. Tadi aku dengar di markas, Bu Sam-kui sampai berteriak dan menggebrak meja segala. Pastilah yang kalian bicarakan lebih dari itu. Katakan. Atau aku harus berlaku kasar kepadamu?"

   "Tuan Yim, yang kubicarakan dengan Jenderal Bu tadi ya hanya itulah. Memangnya Tuan Yim curiga ada hal-hal lain dari itu?"

   "He, Kongsun Koan, kau tidak sedang bicara dengan seorang anak kecil yang mudah saja kau bohongi!"

   Kongsun Koan merasa makin sulit berkelit.

   Saat itulah tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara derap kuda yang semakin dekat.

   Di malam larut seperti itu ada orang-orang berkuda di tempat belukar sepi di luar kota, adalah hal kurang wajar, namun di saat-saat perang hal itu jadi wajar saja.

   Kongsun Koan dan Yim Mo menoleh serempak ke arah suara itu.

   V Ternyata Yi Mo tidak mudah menerima penjelasan itu.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
la maju melangkah dengan mata bersorot mengancam, V Yang muncul ternyata cukup banyak, hampir-hampir seperti sebuah pasukan kecil, semuanya berkuda.

   Hampir lima puluh orang.

   Tetapi siapa mereka, belum diketahui sebab malam terlalu gelap.

   Setelah dekat, barulah nampak bahwa penunggang kuda terdepan adalah orang yang dikenal Kongsun Koan.

   Kwe Peng-hui, perwira bawahan Helian Kong yang oleh Kongsun Koan diserahi sebagai pimpinan pasukan di pegunungan selama ditinggalkan Kongsun Koan.

   "Perwira Kwe!"

   Sahut Kongsun Koan.

   "Komandan!"

   Sahut Kwe Peng-hui yang mengenali suara Kongsun Koan biarpun malam gelap.

   "Kenapa kau di sini?"

   "Karena kami gelisah Komandan tidak pulang-pulang, begitu juga Komandan Helian yang tidak datang-datang. Lalu kami putuskan untuk coba menyusul ke San-hai-koan..."

   Kongsun Koan merasakan betapa udara kegelisahan merata dalam pasukannya di V pegunungan.

   Belum sampai satu hari mereka ditinggal, Kwe Peng-hui sudah menyusulnya dengan orang sebanyak itu.

   Tetapi Kongsun Koan lega juga, kalau terpaksa harus menghadapi Yim Mo dengan kekerasan, ia akan punya teman sebanyak itu.

   "Darimana kau dapat kuda sebanyak itu?"

   Tanya Kongsun Koan.

   "Dari beberapa desa..."

   Jawab Kwe Peng-hui tanpa menjelaskannya lebih lanjut. Tetapi Kongsun Koan memakluminya, dalam situasi perang, pihak mana pun menggunakan hukum perang yang "praktis". Kemudian Kwe Peng-hui bertanya.

   "Komandan Kongsun, siapa sobat ini?"

   Kali ini Kongsun Koan tidak bersikap sesungkan tadi terhadap Yim Mo, katanya menjawab Kwe Peng-hui.

   "Sobat ini bernama Yim Mo, salah seorang penting dalam pasukan Manchu, yang ingin ikut aku sampai ke tempat pasukan kita di pegunungan."

   "Lalu sikap Komandan?"

   V "Kita tidak punya tempat yang layak untuk Sobat yang terhormat ini."

   Itulah isyarat bahwa Kongsun Koan menolak keinginan Yim Mo.

   Yim Mo tahu, tetapi dengan mengandalkan ketangguhan pribadinya, dia memutuskan akan main paksa, la anggap lawan-lawan sebanyak itu sebagai sesuatu yang remeh.

   Ia anggap prajurit-prajurit itu paling-paling hanya bisa ketrampilan militer biasa seperti menunggang kuda, memanah, atau perkelahian yang kasar.

   Karena itu, katanya dengan sombong.

   "Kalau kalian berkeberatan, aku akan membunuh kalian semua dan menyisakan hanya satu orang untuk menunjukkan jalan ke pegunungan. Aku pasti bisa melakukannya, biar aku sendirian dan kalian banyak..."

   Kwe Peng-hui ternyata bukan hanya perwira bawahan Helian Kong, melainkan dalam hal kemampuan tempur perorangan juga memperoleh banyak petunjuk dan "polesan"

   Helian Kong. Mendengar suara besar Yim Mo, ia V melompat turun dari kudanya dan berkata.

   "Besar benar mulut orang ini..."

   Dan Kwe Peng-hui sudah memegangi sepasang senjatanya yang agak lain dari yang lain.

   Sepasang martil baja yang kepala martilnya berbentuk segi delapan, sedangkan tangkainya yang dicor jadi satu dengan kepalanya, panjangnya masing-masing setengah meter.

   Dalam kelompok yang dibawa Kwe Penghui itu juga banyak perwira bawahan Helian Kong lainnya.

   Yang tidak sekedar pintar naik kuda, memanah dan melempar lembing, melainkan juga menjadi "murid tidak resmi"

   Helian Kong.

   Orang-orang yang tidak sekedar punya ketrampilan kemiliteran ini pun segera berlompatan dari kudanya dan maju bersama Kwe Peng-hui.

   Jumlahnya ada enam orang, senjata-senjata mereka sebagian lumrah seperti pedang, golok, tombak atau pentung besi, tetapi ada juga dua orang yang senjatanya "tidak lumrah".

   Ada yang bersenjata tameng persegi, namun bukan tameng yang digunakan berpasangan dengan golok atau pedang, V melainkan tameng yang berpasangan dengan tameng pula.

   Jadi ia bersenjata sepasang tameng.

   Tameng persegi berpinggiran tajam yang biasa disebut Gun-goan-pai.

   Satu orang lagi yang bersenjata aneh adalah bersenjata jala, seperti jala yang digunakan para penangkap ikan.

   Jadi kalau pergi berperang, ia bisa disangka akan pergi menangkap ikan.

   Bedanya dengan jala para nelayan, jala orang ini penuh kaitan-kaitan besi tajam.

   Ini memang bukan jala ikan, tetapi jala untuk menjaring nyawa manusia.

   Yim Mo yang sudah terlanjur membual, ketika melihat orang-orang ini diam-diam bergetar juga hatinya.

   


Pendekar Bloon Karya SD Liong Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Puteri Es Karya Wen Rui Ai

Cari Blog Ini