Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 14


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 14



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   "Baiklah, kau tampaknya sombong sekali, Hong Beng Lama. Boleh kau suruh maju puteramu itu menghadapi tongkatku!"

   Hong Lam sudah melompat maju. Dia menghadapi ketua Hwa-i Kai-pang ini, tapi tertawa menyeringai dia tidak mencabut senjata untuk menghadapi lawan.

   "Hwa-i Sin-kai, majulah. Mari kita main-main sebentar!"

   Hwa-i Sin-kai melotot.

   "Kau tak bersenjata, kongcu?"

   "Tergantung keadaan, Sin-kai. Jika diperlukan tentu sewaktu-waktu aku siap mencabutnya."

   "Bagus...!"

   Hwa-i Sin-kai merasa direndahkan.

   "Kalau begitu kau terimalah ini, kongcu. Jangan menyesal jika tongkatku menggebuk pantatmu... wut!"

   Dan tongkat Hwa-i Sin-kai yang tiba-tiba meluncur turun telah menghantam pinggang lawan dengan kecepatan kilat.

   Hong Lam tertawa mengejek.

   Dia sengaja membakar kemarahan kakek pengemis itu, mengandalkan kehadiran ayahnya yang ada di dekat mereka.

   Dan begitu Hwa-i Sin-kai menyerang diapun coba-coba menangkis.

   "Plak!"

   Hong Lam terkejut. Dia merasa lengannya sakit, dan tongkat Hwa-i Sin-kai yang meliuk ke kiri tahu-tahu sudah menghantam pahanya dengan kecepatan kilat. Dan baru dia terbelalak heran tiba-tiba tongkat sudah mengenai pahanya.

   "Dess!"

   Hong Lam terhuyung. Dia tidak menyangka kecepatan Hwa-i Sin-kai mainkan tongkat, dan Hong Beng Lama yang melihat puteranya digebuk membentak perlahan.

   "Hong-ji, jangan main-main. Pakai senjatamu dan robohkan kakek itu!"

   Hong Lam meringis. Dia sudah menjauhkan diri dari serangan Hwa-i Sin-kai yang menyusul, dan ketika ketua Hwa-i Kai-pang itu kembali mencecarnya tiba- tiba sebatang ruyung telah dicabut pemuda ini, ruyung pendek tiga ruas.

   "Hwa-i Sin-kai, jangan bangga kau. Tongkatmu masih belum mampu merobohkan aku!"

   Hwa-i Sin-kai tidak menjawab.

   Dia menggerakkan tongkatnya, menyerang bertubi-tubi, dan melihat pemuda itu mengeluarkan senjata diapun semakin mendesak hebat.

   Hwa-i Sin-kai merangsek ke depan, dan ketika Hong Lam didesak pengemis ini tiba-tiba ruyung itupun mulai beraksi, menangkis serangan tongkat yang bertubi-tubi menghantam tubuhnya.

   Dan begitu dua orang ini bergerak sama cepat maka berkelebatanlah keduanya saling pukul dan saling tangkis.

   Hwa-i Sin-kai mengeluarkan ilmu silat Hui-liong-sin- tung-hoatnya, sedangkan Hong Lam, yang memutar ruyung mengimbangi gerakan lawan mengeluarkan silat aneh yang belum pernah dilihat kakek pengemis itu.

   Hwa-i Sin-kai melihat betapa Hong Lam maju mundur seperti orang keteter, tapi pemuda yang sama sekali tidak terdesak itu justeru menangkis dan membalas semua serangan tongkat dengan baik.

   Bahkan, ketika senjata mereka saling tangkis dan belit bagai ular menari-nari Hong Lam selalu tertawa mengejek mengikuti gerakan tongkatnya.

   Pemuda itu tampak tenang-tenang saja, bersikap ayal-ayalan bagai orang tak bersungguh-sungguh.

   Tapi ruyungnya yang selalu tepat menangkis dan balas menyerang jelas membuktikan pemuda itu tidak ayal-ayalan.

   Agaknya inilah gaya silat Tibet, demikian Hwa-i Sin-kai membatin.

   Maka tongkatnya yang semakin menderu-deru tiba-tiba membuat kakek itu melengking tinggi dan lenyap tubuhnya.

   Dia sudah dikitari bayangan tongkat yang naik turun bagai naga sakti, dan Hong Lam yang terkejut oleh perubahan ini juga membentak keras sambil mainkan ruyungnya.

   Dia mengikuti gerakan tongkat, tapi ketika Hwa-i Sin-kai mengadakan gerak tipu yang disebut Bianglala Membelit Matahari tiba-tiba pemuda itu berteriak kaget.

   Untuk kedua kalinya tongkat di tangan Hwa-i Sin-kai menghantam tubuhnya, mengenai siku di bawah pangkal lengan.

   Dan Hong Lam yang kaget oleh gerak tipu ketua Hwa-i Kai-pang ini menjadi marah.

   Dia tiba-tiba memutar lengan kirinya, yang mendadak menjadi kemerahan.

   Dan ketika untuk kesekian kalinya Hwa-i Sin-kai memukul pundaknya tiba-tiba Hong Lam membentak nyaring dan menyodorkan lengannya, menangkis pukulan tongkat dengan batang lengannya yang kemerahan.

   Dan begitu terdengar suara "duk"

   Yang keras sekonyong-konyong Hwa-i Sin-kai berseru tertahan. Tongkatnya terpental, dan lengan Hong Lam yang menjulur maju tahu-tahu menghantam dadanya.

   "Plak!"

   Hwa-i Sin-kai mengeluh. Dia terdorong, merasa betapa dadanya panas dan gatal. Dan ketika melihat lengan pemuda itu yang kemerah-merahan tiba-tiba saja ketua Hwa-i Kai-pang ini berseru kaget.

   "Ang-tok-ciang...!"

   Hong Lam tertawa dingin.

   Dia tidak menjawab seruan itu, dan tubuhnya yang sudah bergerak ke depan tiba-tiba balas melakukan serangan bertubi- tubi.

   Dia berhasil mengejutkan pengemis itu dengan pukulannya Ang-tok-ciang (Pukulan Racun Merah), dan Hwa-i Sin-kai yang kaget oleh pukulan ini terdesak gugup.

   Hwa-i Sin-kai memang terkejut, karena dadanya yang panas dan gatal merupakan tanda masuknya racun jahat.

   Maka ketika lawan merangseknya bertubi-tubi kakek ini terpaksa membagi perhatiannya.

   Sebagian untuk menahan napas menghentikan jalannya racun yang panas membakar sedangkan sebagian lagi untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan.

   Dan karena kakek ini harus memecah perhatiannya maka sebentar saja dia mundur-mundur kebingungan.

   Hwa-i Sin-kai terdesak hebat.

   Dia harus menangkis sana sini sambaran ruyung, dan ketika beberapa kali senjata lawan meleset mengenai tubuhnya tiba-tiba sebuah pukulan tak dapat dia elakkan lagi.

   Hong Lam berhasil mendaratkan ruyungnya di pundak kakek itu, dan Hwa-i Sin-kai yang terpelanting roboh bergulingan menjauh.

   Tapi kakek ini sudah melompat bangun, dan Hong Lam yang mengejarnya dengan ruyung di tangan kanan dan Ang-tok-ciang di tangan kiri cepat disambutnya dengan teriakan marah.

   Dia mengerahkan sinkangnya, melindungi diri dari hantaman ruyung.

   Dan begitu pukulan racun merah menyambar lehernya kakek inipun menggerakkan tongkatnya.

   "Prak-dess...!"

   Hwa-i Sin-kai menggigit bibir.

   Ruyung di tangan Hong Lam hancur bertemu punggungnya yang sudah dilindungi sinkang.

   Tapi tongkatnya yang bertemu Ang-tok-ciang juga patah menjadi dua! Dan sementara Hong Lam terbelalak kaget tiba-tiba Hwa- i Sin-kai menyambitkan patahan tongkatnya ini ke dada lawan.

   Dia nekat dan marah sekali oleh serangan pemuda itu, dan Hong Lam yang tidak mengira kakek ini melontarkan patahan tongkatnya tak dapat mengelak.

   Dia hanya mengeluh tertahan, dan persis tongkat menyambar ulu hatinya tahu- tahu pemuda ini terjengkang roboh dan putus napasnya.

   "Hekk!"

   Hong Lam roboh terjerembab.

   Dia tak dapat menyelamatkan diri dari serangan yang amat dekat itu.

   Dan Hwa-i Sin-kai yang mengusap peluh melompat mundur dengan mata bersinar-sinar.

   Dia terpaksa melakukan timpukan terakhir itu, semata- mata untuk menyelamatkan diri sendiri.

   Dan Hong Lam yang putus napasnya dia pandang dengan muka menyesal.

   Tapi Hwa-i Sin-kai tiba-tiba membelalakkan mata.

   Hong Lam yang jelas tak bergerak-gerak lagi itu mendadak mengepulkan uap hitam di atas kepalanya, dan begitu uap ini melingkar-lingkar memasuki hidung pemuda itu sekonyong-konyong Hong Lam melompat bangun dan membentak marah.

   "Hwa-i Sin-kai, kau telah membunuh aku?"

   Pengemis ini terbengong. Dia bagai melihat iblis yang muncul di siang bolong, dan pucat oleh "hidupnya"

   Kembali putera Hong Beng Lama itu tiba- tiba Hwa-i Sin-kai teringat ilmu yang dimiliki Lama Tibet ini, yakni Merekat Tulang Menyambung Nyawa. Dan begitu dia melihat Hong Lam hidup kembali pengemis ini berseru pucat.

   "Ilmu setan...!"

   Hong Lam tertawa mengejek. Dia melihat pengemis itu mundur tiga langkah dengan mata seakan tak percaya, dia melompat maju dia mengancam kakek itu.

   "Hwa-i Sin-kai, kau tak dapat membunuhku. Aku dapat hidup seribu kali dalam seribu kematian!"

   Hwa-i Sin-kai benar-benar pucat.

   Dia sekarang membuktikan sendiri akan kabar yang didengarnya itu, betapa Hong Beng Lama memiliki ilmu aneh yang dapat menyambung kembali nyawa yang putus.

   Dan melihat betapa putera Lama sakti itu telah hidup kembali atas kekuatan ilmu aneh ini ketua Hwa-i Kai-pang itupun menjadi gentar.

   Bagaimanapun, menghadapi lawan yang demikian luar biasa tentu sukar baginya untuk mengalahkan.

   Dan kalau dia membinasakan lawan tapi lawan dapat hidup kembali tentu pertandingan tak akan putus- putusnya.

   Maka, gelisah oleh kenyataan itu tiba-tiba Hwa-i Sin-kai melompat jauh, melarikan diri menarik lengan muridnya! "Hong-ji, lari.

   Kita menghadapi manusia-manusia iblis...!"

   Tapi Hong Lam sudah tertawa rendah. Dia mendahului kakek itu menyambar lengan muridnya, dan baru Hwa-i Sin-kai melompat tahu-tahu tangan Hong Lam menampar lengan ketua Hwa-i Kai-pang ini.

   "Hwa-i Sin-kai, tunggu dulu. Jangan tergesa- gesa...!"

   Dan Hong Lam yang telah menampar lengan kakek itu membuat Hwa-i Sin-kai mengeluh pendek. Dia terpaksa memutar tubuh, dan begitu Hong Lam menyerang matanya kakek ini mengerahkan tenaga dan menangkis kuat.

   "Plak!"

   Hong Lam terhuyung tiga langkah. Dia merasakan hebatnya tangkisan kakek itu. Tapi Hwa-i Sin-kai yang memutar tubuh sudah menarik lengan muridnya melarikan diri.

   "Hong-ji, ayo pergi. Hindari manusia-manusia iblis ini...!"

   Dan Mei Hong yang sudah ditarik lengannya oleh suhunya tak dapat terbengong lagi.

   Diapun tadi terkejut, kaget dan heran oleh ilmu aneh yang dimiliki Hong Lam.

   Maka melihat suhunya ketakutan melarikan diri iapun dapat mengerti.

   Tapi Hong Lam tiba-tiba berkelebat di depan mereka, dan tertawa mengejek pemuda itu memalangkan kedua lengannya.

   "Hwa-i Sin-kai, jangan buru-buru. Kau harus mematuhi permintaan ayah!"

   Hwa-i Sin-kai mendelik. Dia menyambar tongkat Mei Hong yang diselipkan di pinggang, lalu membentak gusar dia menghantamkan tongkat itu ke leher Hong Lam.

   "Manusia she Hong, jangan mengganggu kami. Krak...!"

   Dan tongkat yang tidak dielak Hong Lam itu dengan tepat mengenai leher pemuda ini.

   Hong Lam roboh terguling, tulang lehernya patah.

   Tapi Hwa-i Sin-kai yang lagi-lagi melihat uap hitam memasuki hidung pemuda itu melihat Hong Lam telah bangkit kembali dengan leher utuh, tertawa-tawa dan berdiri tak kurang suatu apa! Tentu saja ketua Hwa-i Kai-pang ini terbelalak, dan ngeri melihat ilmu setan itu dia melempar tongkat dan melompat jauh, tak mau lagi melayani pemuda ini.

   Tapi Hong Beng Lama yang tiba-tiba bergerak mengebutkan lengannya memukul pengemis ini.

   "Hwa-i Sin-kai, robohlah. Ikuti kemauanku dan kita menghadap Gong-taijin!"

   Hwa-i Sin-kai pucat mukanya.

   Dia merasa sambaran angin kuat menghantam dirinya dari belakang, dan belum dia tahu suatu apa sekonyong-konyong tubuhnya terpelanting roboh.

   Tentu saja pengemis ini melompat bangun, tapi sambaran kedua yang kembali mendorongnya dari belakang membuat dia terjerembab bagai dijegal hantu.

   Hwa-i Sin-kai berteriak marah, dan gentar serta nekat tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan menghantam muka Lama jubah merah itu.

   "Hong Beng Lama, kau tak dapat memaksaku. Mampuslah...!"

   Tapi Hong Beng Lama mendengus.

   Dia tak mengelak pukulan itu, dan ketika jari pengemis ini hampir mengenai mukanya sekonyong-konyong ujung jubahnya mengebut ke depan.

   Pukulan Hwa-i Sin-kai didahuluinya dengan totokan, dan Hwa-i Sin-kai yang menjerit tertahan tiba-tiba terguling roboh.

   "Bluk!"

   Hwa-i Sin-kai tak berdaya lagi, dan pengemis yang masih teringat muridnya itu berteriak.

   "Hong- ji, menyingkirlah. Hindari manusia-manusia iblis ini...!"

   Tapi Mei Hong memutar tubuh. Dia tak menghiraukan seruan suhunya itu, dan marah oleh perbuatan Hong Beng Lama mendadak dia melompat maju.

   "Hong Beng Lama, lepaskan suhu...!"

   Dan kakinya yang bergerak ke depan tahu-tahu menendang lambung Lama jubah merah itu.

   Hong Beng Lama memandang ringan.

   Dia acuh saja menerima tendangan itu, tapi ketika angin bersiut dan kaki Mei Hong mengeluarkan sinar putih Lama ini tiba-tiba tersentak.

   Dia terbelalak, mau menangkis.

   Tapi kaki Mei Hong yang sudah mengenai lambungnya tak sempat lagi dia kelit.

   "Dess!"

   Mei Hong telah menendang lambungnya dan Hong Beng Lama yang terbelalak kaget mengeluarkan seruan tertahan. Dia terdorong mundur, dua tindak lebih, dan jubahnya yang robek bertemu kaki itu membuat Lama ini jadi kaget setengah mati.

   "Kau memiliki warisan Pek In Siansu, bocah?"

   Mei Hong tertegun. Dia terkejut bahwa Lama itu sekali lihat mengetahui asal-usul tendangannya, tapi terbelalak marah ia membentak.

   "Tak perlu kau tahu, Hong Beng Lama. Yang jelas segera bebaskan suhu dan biarkan kami berdua pergi!"

   Hong Beng Lama melebarkan matanya. Dia memandang Hong Lam, dan mendesis perlahan dia bertanya.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hong Lam, inikah gadis yang kau maksud beberapa hari yang lalu itu?"

   Hong Lam menyeringai ke depan.

   "Memang benar, ayah. Dialah gadis yang kubicarakan itu!"

   "Hm..."

   Hong Beng Lama bersinar matanya dan menggapai puteranya dia berkata.

   "Kalau begitu coba kau ulangi, Lam-ji. Ingin kulihat sampai dimana ia memperoleh ilmunya!"

   Lalu melompat mundur Lama ini mengebutkan jubah dengan mata berkilat. Hong Lam sudah melangkah maju. Menggoyang lengan dia bicara pada Mei Hong.

   "Nona, ayah ingin melihat ilmu silatmu. Mari kita main-main lagi dan bertaruh. Kalau kau menang boleh suhumu kau bawa. Tapi kalau kalah kalian berdua harus menjadi tawanan kami!"

   Hong Beng Lama membentak.

   "Tak perlu taruhan, Hong Lam. Kau harus merobohkan gadis itu dan membawanya ke Gong-taijin."

   Hong Lam terkejut. Tapi tertawa masam dia memandang ayahnya.

   "Tapi aku sudah bertaruh, ayah. Mana mungkin menarik kembali?"

   Lama itu mendengus. Membelalakkan mata dia tidak setuju pada perbuatan puteranya, tapi Hong Lam yang sudah menghadapi Mei Hong pura-pura tidak tahu kemarahan ayahnya. Dia tertawa dibuat-buat, dan menggosokkan tangannya dia memberi isyarat.

   "Adik Hong, kau mulailah. Aku sudah siap!"

   Mei Hong melotot. Ia gusar pada pemuda ini, tapi menyadari keadaan iapun mengepalkan tinjunya.

   "Kau sendiri yang bertaruh, orang she Hong. Jangan curang kalau kau kalah!"

   Hong Lam tertawa.

   "Jangan kau khawatir, nona. Aku tidak biasa menjilat ludah sendiri."

   "Bagus!"

   Mei Hong membentak.

   "Kalau begitu hati- hatilah, orang she Hong. Aku siap menyerangmu...!"

   Dan Mei Hong yang tiba-tiba sudah memutar kakinya mendadak melakukan tendangan ke lutut orang.

   Ia tidak mainkan Hui-liong-sin-tung-hoatnya, langsung mainkan jurus Siu Sien karena maklum suhunya telah gagal mempergunakan ilmu tongkatnya.

   Dan Hong Lam yang melihat gadis itu mulai menyerang mengelak cepat sambil tersenyum.

   "Jangan sungkan-sungkan, Hong-moi. Lakukan saja dengan seluruh kemampuanmu!"

   Pemuda itu menggoda, menyebut Mei Hong dengan sebutan mesra, Hong-moi yang berarti dinda Hong.

   Dan Mei Hong yang merah mukanya mengumpat di dalam hati.

   Ia melihat putera Hong Beng Lama itu ceriwis, hal yang membuatnya marah.

   Tapi lawan yang sudah melompat-lompat menghindarkan semua serangannya membuat dia menekan semua kemendongkolan.

   Dia harus mengalahkan pemuda itu, merobohkannya untuk membebaskan gurunya.

   Dan Mei Hong yang tiba-tiba membentak nyaring tahu-tahu memutar-mutar kakinya bagai kitiran.

   Dia telah mulai melancarkan gerakan-gerakan dari Siu Sien, dan Hong Lam yang diserang gencar dengan kedua kaki berputaran mulai berseru kagum.

   Mei Hong tidak mempergunakan tangan, karena memang itulah keistimewaan dua jurus Siu Sien.

   Tapi gadis yang telah dengan lincahnya memutar kaki itu tiba-tiba membuat Hong Lam harus bekerja keras menghindarkan semua tendangan.

   Kaki Mei Hong mencuat ke sana-sini dengan gerakan cepat, bahkan berputar dan berpusing bagai baling-baling.

   Dan Hong Lam yang sebentar saja harus berkelebatan menjauhkan diri itu tiba-tiba tak dapat mengelak ketika dua kali dagunya ditendang lawan.

   Dia terguling roboh, tapi Hong Lam yang sudah melompat bangun menyeringai lagi dengan mata terbelalak.

   Dia sekarang lebih berhati-hati, mendorongkan tangannya menangkis sana-sini, dan ketika kembali sebuah tendangan tak dapat dia elakkan tiba-tiba Hong Lam bermaksud menangkap kaki itu.

   Mei Hong mengayunkan tendangannya ke ulu hati, menyerang pada tempat berbahaya.

   Dan Hong Lam yang bermaksud menangkap kaki Mei Hong tiba-tiba tertawa sambil menggerakkan tangannya.

   "Dess!"

   Mei Hong tersenyum dingin.

   Kakinya ditangkap pemuda itu, namun kaki satunya yang bebas bergerak sekonyong-konyong menyambar menghantam selangkangan lawan dengan cepat.

   Tentu saja Hong Lam terkejut, dan berteriak keras dia melepaskan kaki kanan Mei Hong yang ditangkap.

   Tapi baru dia mengelak dari tendangan di bawah pusar itu tahu-tahu kaki Mei Hong yang dilepaskan tangannya berputar dan menendang mukanya.

   "Plak!"

   Hong Lam mengaduh. Dia terpelanting roboh, dan Mei Hong yang sudah berkelebat maju tiba-tiba menotok pinggangnya membuat dia tak mampu bergerak lagi! "Ah...!"

   Sekarang Hong Lam berseru tertahan. Dia kalah di tangan lawannya ini, dan Mei Hong yang menjambak rambutnya sudah mengangkat bangun pemuda itu menghadapi Hong Beng Lama.

   "Hong Beng Lama, bagaimana janji puteramu ini? Berlakukah kata-katanya tadi?"

   Mei Hong membentak. Hong Beng Lama tertegun. Dia melihat Hong Lam meringis dijambak rambutnya. Dan Lama jubah merah yang kaget ini tiba-tiba melempar tubuh Hwa-i Sin-kai.

   "Nona, kau menang. Janji puteraku tetap berlaku...!"

   Dan Hong Beng Lama yang sudah melontarkan tubuh Hwa-i Sin-kai ini mendadak tertawa dingin dengan muka gelap.

   Dia meminta kembali tubuh puteranya yang berada di tangan gadis itu, tapi begitu Mei Hong menerima tubuh suhunya tahu-tahu Lama ini berkelebat ke pintu masuk, mencegah gadis itu keluar! "Ah, apa yang hendak kau lakukan, Hong Beng Lama?"

   Mei Hong terkejut. Tapi Lama itu tertawa dingin.

   "Aku minta kau mengikuti aku, nona. Kalau tidak kalian berdua terpaksa kubunuh!"

   Mei Hong terbelalak.

   "Kau hendak menjilat ludah sendiri, Hong Beng Lama?"

   Gadis ini marah.

   "Kau hendak bersikap curang menjilat kata-kata sendiri?"

   Lama itu mendengus.

   "Aku tidak menjilat ludah sendiri, bocah. Yang memberikan janji tadi adalah puteraku, bukan aku!"

   Mei Hong tertegun. Ia sekarang merah mukanya, tapi Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi terkejut melihat kemenangan muridnya ini tiba-tiba mendesis.

   "Hong-ji, ilmu apa yang kau pakai melawan musuhmu tadi? Dari mana kau pelajari itu?"

   Mei Hong menoleh dengan muka merah.

   "Aku mendapatkannya dari tutup Cupu Naga, suhu, pemberian Bun Hwi lima tahun yang lalu. Maaf aku tak memberitahumu selama ini!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak. Tapi tertegun gembira tiba- tiba dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha, kiranya muridku jauh lebih pandai daripada aku, Hong Beng Lama. Sekarang kau hendak membunuh kami berdua? Kau takut kalah melihat ancaman muridku ini?"

   Hong Beng Lama tak bergerak. Dia tetap tegak di pintu keluar, tapi mukanya yang ditarik keras membuat Lama ini kelihatan bengis.

   "Kalian berdua harus mengikuti aku, Hwa-i Sin-kai. Kalau tidak terpaksa kalian kubunuh!"

   Hwa-i Sin-kai melompat maju. Dia tertawa mengejek di depan Lama itu, tapi Mei Hong yang melihat gurunya hendak menyerang sudah mendahuluinya mencegah.

   "Suhu, mundurlah. Biar teecu yang menghadapinya...!"

   Hwa-i Sin-kai tahu diri. Dia melangkah mundur, namun Hong Lam yang tiba-tiba melompat ke depan berteriak perlahan.

   "Ayah, jangan bunuh mereka...!"

   Dan Hong Lam yang tampak gelisah itu tiba-tiba menarik alat rahasia di bawah meja.

   Suara gemuruh mendadak terdengar, dan Hwa-i Sin-kai serta Mei Hong yang terkejut oleh teriakan pemuda ini sekonyong-konyong berseru kaget dengan kaki ringan.

   Lantai yang mereka injak ambles ke bawah, dan begitu keduanya terbelalak tahu-tahu tubuh sudah terbanting di lubang bawah tanah! "Bluk!"

   Mei Hong dan gurunya berteriak kaget.

   Mereka memaki kecurangan lawan, tapi Mei Hong yang sudah menjejakkan kakinya berjungkir balik melayang ke atas.

   Ia siap keluar dari lubang sumur yang menjebak mereka itu, tapi Hong Lam yang sudah menantinya di atas tiba-tiba menghamburkan asap kuning dari alat penyemprot yang tadi dibawa Hap-taijin! "Nona Hong, jangan melawan ayah.

   Beliau pasti membunuh jika kalian tak menyerah baik-baik...!"

   Dan Hong Lam yang sudah menghamburkan asap kuningnya itu menyemprot muka Mei Hong dengan amat kuatnya.

   Dia membuat gadis ini berteriak marah, dan Mei Hong yang kembali terbanting jatuh memaki kalang kabut.

   Lubang bawah tanah itu sebentar saja dipenuhi asap kuning, dan Mei Hong serta gurunya yang batuk-batuk tiba-tiba saja terguling roboh.

   Mereka pingsan oleh asap pembius itu, dan ketika guru dan murid ini tak berdaya lagi di lubang sumur itu barulah Hong Lam mengangkat mereka dan menotoknya lumpuh! Hong Beng Lama mengerutkan alisnya.

   "Kenapa kau menolong mereka, Hong Lam?"

   Dia membentak puteranya. Hong Lam menyeringai.

   "Mereka masih diperlukan Gong-taijin, ayah. Kenapa aku tidak harus menolongnya?"

   "Hm, kau lebih banyak membela gadis itu, Lam-ji. Bukan si pengemis Hwa-i Kai-pang!"

   Hong Lam tersipu jengah.

   "Memang benar, ayah. Tapi bukankah kakek ini guru gadis itu? Kalau dia dibunuh tentu dia akan sakit hati padaku, ayah. Dan aku takut menghadapi kenyataan ini...!"

   Hong Beng Lama mendengus. Dia maklum apa artinya itu, namun bersikap dingin dia berkata tawar.

   "Lam-ji, mereka ini musuh. Kau tahu baik hal itu, bukan?"

   "Ya, tapi yang berbahaya adalah gurunya ayah. Bukan gadis ini!"

   "Baik. Dan kau tetap membela gadis itu kalau dia tidak mau membantu kita?"

   Hong Lam tertawa.

   "Aku dapat membujuknya, ayah. Dia gadis cantik dan mampu mengalahkan aku!"

   "Hm, kau jatuh cinta pada setan cilik itu, Lam-ji?"

   "Aku suka padanya, ayah. Cinta atau bukan aku tak tahu!"

   Hong Beng Lama mengebutkan jubahnya. Dia mendongkol pada puteranya itu, tapi Hong Lam yang sudah menotok keduanya tertawa gembira. Dia menyerahkan Hwa-i Sin-kai pada ayahnya, dan berkata gembira dia tersenyum lebar.

   "Ayah, kau bawa pengemis ini, ya? Aku yang membawa muridnya dan kita sama-sama menghadap Gong- taijin!"

   Hong Beng Lama menampar kepala puteranya itu, namun bersungut-sungut diterimanya juga tubuh ketua Hwa-i Kai-pang itu.

   "Lam-ji, kau kurang ajar sekali. Beginikah sifatmu bila tergila-gila pada gadis cantik?"

   Hong Lam tertawa. Dia tidak menjawab teguran ayahnya itu, dan berkelebat pergi dia sudah memondong tawanannya.

   "Ayah, aku pergi dulu. Biar kuperintahkan orang untuk membersihkan tempat ini!"

   Hong Beng Lama melotot.

   Dia melihat puteranya pergi, dan mengebutkan jubah tiba-tiba diapun menggerakkan kaki menyelinap keluar dari ruangan itu, membawa tubuh Hwa-i Sin-kai yang pingsan.

   Sedang para pengawal, yang membersihkan tempat itu atas perintah Hong Lam memandang terbelalak penuh ketidak mengertian atas ulah dari ayah dan anak ini, Lama yang menjadi sahabat baik tapi yang juga ditakuti komandan mereka, Hap-taijin yang telah menjadi mayat! *S*F* "Nona, rumah siapa ini?"

   Bun Hwi bertanya ketika dia tiba di sebuah gedung bagus yang dijaga tujuh orang pengawal.

   Hu Lan telah membawanya sampai ke sini, tidak banyak bicara di perjalanan dan tetap menyeret-nyeretnya seperti kerbau.

   Tapi Hu Lan yang menyeka peluh itu akhirnya memutar tubuh.

   "Kau akan kuhadapkan kenalan baik ayahku, Bun Hwi. Kau akan mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"

   "Ah, siapa kenalan ayahmu itu, nona? Boleh aku mengetahuinya, bukan?"

   Hu Lan menjengek. Dia sudah dihampiri pengawal jaga yang melangkah lebar dengan kening berkerut. Tapi melihat gadis itu adalah Hu Lan tiba-tiba saja pengawal ini tersenyum dan membungkuk hormat.

   "Ah, Hu-siocia kiranya. Siapa yang kau bawa ini, siocia?"

   "Hm, dia pembunuh ayahku, pengawal. Kubawa kemari untuk kuberitahukan pada Gong-taijin!"

   "Oh, dia yang membunuh ayahmu, nona? Dia yang disebut-sebut..."

   "Ya, dialah itu!"

   Hu Lan menukas.

   "Cepat beri tahu majikanmu bahwa aku sudah kemari!"

   Pengawal ini terbelalak.

   Dia mundur dengan kaget, tapi terbirit-birit akhirnya dia melangkah lebar dengan sikap gugup, menuju ke ruang dalam untuk memberitahukan majikannya.

   Sementara Bun Hwi, yang baru sekarang tahu bahwa dia dibawa ke tempat Gong-taijin tiba-tiba saja cemas tapi sekaligus gembira! "Nona Hu, jadi kau membawaku ke tempat Gong Li Kiat?"

   "Kau tidak bisa bicara sedikit sopan, Bun Hwi? Gong- taijin kau sebut begitu saja dengan nama Gong Li Kiat?"

   Bun Hwi menyeringai. Hu Lan yang melototkan mata memakinya itu disambut tenang-tenang, tapi tertawa ha-ha-he-he dia meralat perkataannya.

   "Maaf, lidahku keseleo, nona. Tapi Gong-taijin ini orang yang menjabat Menteri Urusan Tanah itu, bukan?"

   Hu Lan tidak menjawab. Ia mengangguk dingin, dan Bun Hwi yang masih dibelenggu tangannya tiba-tiba meringis.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nona Hu, kau tidak juga melepaskan ikatanku ini?"

   "Hm, untuk apa dilepaskan, Bun Hwi? Kau mau merat?"

   "Ah, siapa mau melarikan diri, nona? Berjalan dua hari dengan kau selalu di sampingku aku tidak ingin melarikan diri lagi. Bahkan ingin selalu tetap bersamamu. Tapi bagaimana caraku menghadapi pembesar itu nanti, nona? Masa harus bicara dengan tangan terbelenggu begini?"

   "Kau tidak perlu cerewet, Bun Hwi. Diamlah dan jangan banyak bicara!"

   "Ooh...!"

   Bun Hwi tertawa, memandang sebatang pohon beringin lalu berjalan terseok-seok di bawah pohon itu, mau tidak mau menarik Hu Lan yang mencekal tali belenggunya. Dan Hu Lan yang dua hari ini jengkel melihat ulah Bun Hwi membentak marah.

   "Bun Hwi, kau mau apa?"

   "He-he, aku mau tidur, nona. Mataku mengantuk...!"

   Bun Hwi menjawab seenaknya, tidak takut malah ada kesan main-main. Dan Hu Lan yang tentu saja marah memandang Bun Hwi membentak.

   "Bun Hwi, kesini kau. Jangan membantah!"

   Namun Bun Hwi tidak perduli. Dia tetap berjalan, dan tali yang semakin terentang tegang di antara mereka berdua membuat Hu Lan menyentakkan belenggunya dengan tiba-tiba.

   "Bun Hwi, keparat kau. Tidak dengar kusuruh kemari?"

   Bun Hwi bertahan. Dia mengerahkan tenaga, tidak lagi menurut seperti biasanya. Dan begitu Hu Lan menyendal talinya sekonyong-konyong tali itu putus! "Tas,"

   Hu Lan berseru kaget dan Bun Hwi yang menyeringai di depan pura-pura tidak tahu. Dia tetap saja melangkah ke depan, dan begitu tiba di bawah pohon ini diapun menjatuhkan diri mendengkur.

   "Nona Hu, jangan ganggu aku. Aku benar-benar capek dan ingin tidur...!"

   Hu Lan melompat gusar. Ia menggerakkan tangannya menampar pipi Bun Hwi, tapi baru dia menyerang tahu-tahu pengawal yang tadi masuk ke dalam muncul.

   "Hu-siocia, Gong-taijin memanggilmu...!"

   Gadis ini merandek. Dia melotot memandang Bun Hwi, tapi Bun Hwi yang tersenyum-senyum tiba-tiba bangkit berdiri.

   "Wah, kita sudah diterima, nona Hu. Mari ke dalam kalau begitu!"

   Tapi pengawal yang bicara mundur-mundur. Dia menggoyang tangannya gugup, dan berkata pada Hu Lan dia menjelaskan.

   "Maaf, nona Hu, taijin hanya memanggilmu seorang...!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Eh, kenapa begitu?"

   Si pengawal tidak berani memandangnya.

   "Hamba, tidak tahu, nona. Tapi taijin minta kau yang menghadap duluan...!"

   Dia bicara pada Hu Lan, tidak berani menjawab Bun Hwi meskipun pemuda itu yang bertanya.

   Dan Hu Lan, yang tertegun oleh permintaan ini tiba- tiba memandang Bun Hwi.

   Ia melihat tali yang terlepas itu, tapi Bun Hwi yang mengerti maksud gadis ini tertawa sambil berkata.

   "Nona Hu, jangan khawatir. Aku tidak akan melarikan diri sementara kau masuk ke dalam!"

   Hu Lan merah mukanya.

   "Tapi kau tak dapat dipercaya, Bun Hwi. Siapa tanggung kau tidak akan kabur?"

   "Ha-ha, kalau begitu biar aku mendengkur di sini dulu, nona. Biar tujuh pengawal itu menjagaku!"

   Sang pengawal mundur-mundur.

   "Ah, tapi sebaiknya kau ikat saja, Hu-siocia. Hamba sekalian tidak berani menjamin!"

   Hu Lan mengerutkan alis. Dia melihat Bun Hwi hampir meledak tawanya mendengar perkataan itu, tapi gadis yang tiba-tiba berkelebat ke depan ini tahu-tahu menotok Bun Hwi.

   "Bun Hwi, kau robohlah. Jangan takuti para pengawal dengan perbuatanmu yang tidak-tidak... tuk!"

   Bun Hwi roboh terpelanting. Dia tertawa masam oleh tindakan gadis itu, tapi tersenyum lebar ia masih bisa menggoda.

   "Nona Hu, sebaiknya kau ikat lagi tubuhku ini. Kalau tidak aku khawatir kaki tanganku akan main-main di tubuh mereka!"

   Dia menuding pengawal di depan dan yang lain-lain di gardu penjagaan, mengejek dengan sikap menyakitkan. Tapi Hu Lan yang merasa totokannya cukup kuat mendengus dingin.

   "Kau tak dapat lari lagi, Bun Hwi. Totokanku berlaku untuk dua jam lamanya!"

   "Wah, kalau begitu aku harus meringkuk dalam keadaan begini dua jam lamanya, nona Hu?"

   Hu Lan tidak menjawab. Dia sudah menendang Bun Hwi yang terguling di bawah pohon, dan gadis yang sudah memutar tubuh itu melompat memasuki gedung Gong-taijin. Tapi Bun Hwi yang nakal masih berteriak padanya.

   "Nona Hu, kau kelupaan satu hal...!"

   Hu Lan terpaksa menoleh.

   "Apa maksudmu, Bun Hwi?"

   Bun Hwi menyeringai.

   "Ini lho..."

   Dia meraba pipinya.

   "kenapa tidak kau cium seperti biasanya? Maksudku, eh... kau cium dengan tanganmu yang ringan itu...!"

   Bun Hwi buru-buru menambah kata- katanya melihat gadis itu siap menerjangnya gusar. Hu Lan memang hampir benar-benar menyerang, tapi mendengar kalimat terakhir iapun menekan kemendongkolannya.

   "Bun Hwi, kau jangan kurang ajar. Aku bukan gadis yang boleh kau permainkan sesuka hatiimu!"

   Bun Hwi meringis lagi.

   Ia melihat gadis itu sudah melompat pergi, dan tertawa kecut diapun merebahkan kepalanya di bawah pohon itu, pura- pura tak berdaya ditotok lawan.

   Padahal, totokan Hu Lan yang mengenai pundaknya tadi sesungguhnya sudah buyar dengan sendirinya akibat pengaruh tenaga sinkangnya yang menolak secara otomatis! Tapi Bun Hwi memang tidak mau menyakiti hati puteri Hu-taijin itu.

   Dia tidak bermaksud mempermainkan orang, hanya sekedar menggoda untuk menyenangkan diri sendiri.

   Dan dia yang sudah telentang di atas tanah itu langsung tersenyum sendiri bagai pemuda sinting.

   Namun Bun Hwi tiba-tiba mendengar suara kaki yang halus dan ringan.

   Dan belum dia membuka mata mendadak terdengar suara halus dan merdu.

   "Pengawal, siapa pemuda ini? Kenapa dia tiduran di bawah pohon?"

   Bun Hwi buru-buru membuka mata.

   Dia melihat seorang gadis berdiri membelakanginya, tinggi langsing dan tampak menggairahkan dari belakang.

   Tapi Bun Hwi yang tidak melihat muka orang tak tahu cantik atau tidaknya gadis ini.

   Maka mendengar suara merdu itu diapun pasang telinga.

   "Hamba tak tahu, Ki-siocia,"

   Demikian si pengawal menjawab.

   "Hanya tadi Hu-siocia menitipkan pemuda ini kepada kita. Katanya..."

   Si pengawal berbisik.

   "dia adalah pembunuh Hu-taijin!"

   Si gadis terbelalak. Bun Hwi mendengar seruan "ah"

   Yang perlahan dari mulut gadis baju hijau itu, dan gadis yang tiba-tiba memutar tubuh itu sudah memandang Bun Hwi secara berdepan. Dan Bun Hwi yang melihat gadis ini menoleh padanya tiba-tiba tertegun.

   "Wah, cantik sekali...!"

   Bun Hwi kelepasan omong, tak sadar akan pujiannya yang begitu saja meluncur dari mulut. Dan si gadis baju hijau yang mendengar seruan ini tiba-tiba saja terbelalak matanya dan semburat merah.

   "Kau bocah yang bernama Bun Hwi itu?"

   Bun Hwi mendengar seruan yang halus merdu, seakan tak percaya pada penglihatannya sendiri. Tapi Bun Hwi yang sudah tertawa menyeringai tersenyum lebar.

   "Ya, aku Bun Hwi, nona. Kau siapakah dan mengapa ada di sini? Teman-temanmukah para pengawal itu?"

   Si gadis baju hijau tiba-tiba berkilat matanya. Ia mencabut sebuah kipas lebar. Lalu mengebutkannya pada muka tujuh orang pengawal mendadak ia berseru.

   "Bun Hwi, larilah. Kau dalam bahaya...!"

   Bun Hwi terkejut.

   Ia mencium bau harum dari kebutan kipas itu, dan tujuh orang pengawal yang dikebut mukanya oleh gadis baju hijau ini tiba-tiba berseru keras dan terguling roboh.

   Mereka secara aneh tak dapat bangun lagi, dan Bun Hwi yang terbelalak lebar tahu-tahu sudah diangkat bangun dibawa lari! "Hei, eh...

   apa yang kau lakukan, nona? Kenapa tujuh orang pengawal itu kau robohkan?"

   Gadis ini gelisah mukanya.

   "Kau harus lari, Bun Hwi. Mereka kurobohkan dengan asap bius. Kau larilah cepat tinggalkan tempat ini!"

   Tapi Bun Hwi meronta. Dia melepaskan cekalan gadis itu, dan bertanya heran dia memandang wajah cantik ini.

   "Nona, apa maksudmu bahwa aku dalam bahaya? Siapa kau?"

   Gadis itu berhenti.

   "Aku Song Ki, Bun Hwi, puteri Gong-taijin yang kau datangi tempatnya itu!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Lho, kalau begitu apa artinya ini, nona? Kenapa kau bilang aku dalam bahaya?"

   Tapi gadis ini tiba-tiba menoleh pucat. Ia melihat seorang pemuda tampan berkelebat di samping mereka, dan begitu pemuda ini muncul maka terdengarlah keluhannya yang bernada putus asa.

   "Ah, terlambat, Bun Hwi. Kau terlalu banyak bertanya...!"

   Dan pemuda yang sudah datang itu tiba-tiba membentak.

   "Ki-moi, apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau merobohkan tujuh orang pengawal ayahmu?"

   Bun Hwi terbelalak. Dia melihat munculnya seorang pemuda bermata sipit, mukanya putih tapi sinar matanya jahat. Dan Song Ki yang mendengar bentakan itu tampak gemetar.

   "Aku... aku..."

   Bun Hwi merasa kasihan. Dia melihat gadis ini tampaknya gugup dan gelisah bukan main, maka melompat ke depan dia melindungi gadis itu.

   "Siapa kau, sobat? Kenapa kau kadang-kadang bersikap kasar?"

   Dua orang pemuda itu saling pandang. Si muka putih melotot, tapi melihat Bun Hwi tiba-tiba dia berseru kaget.

   "Hei, kau Bun Hwi...?"

   Bun Hwi tercekat. Dia juga serasa mengenal pemuda ini, tapi Song Ki yang sudah mendahuluinya menerangkan.

   "Dia Bhong Kiat, Bun Hwi. murid Ang- sai Mo-ong itu!"

   "Oh....!"

   Bun Hwi teringat sekarang. Dia terbelalak lebar, tapi berseru marah tiba-tiba mukanya sudah merah menyala.

   "Kau bocah keparat itu, Bhong Kiat? Dimana gurumu itu sekarang?"

   Bhong Kiat mengejapkan matanya. Dia melompat mundur, dan tertawa mengejek tiba-tiba dia mencabut senjatanya, sebatang pedang yang berkeredep menyilaukan.

   "Aha, jadi kau kiranya Bun Hwi? kau mempengaruhi puteri Gong-taijin membuat gara-gara?"

   Bun Hwi tersenyum dingin. Kemarahannya tiba-tiba bangkit melihat lawannya ini, murid Ang-sai Mo-ong yang membunuh pamannya! Maka bersikap bengis dia maju selangkah.

   "Bhong Kiat tunjukkan padaku dimana gurumu itu sekarang. Kalau tidak kau akan kuhajar!" **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 21 Bantargebang, 28-06-2019, 18.44 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 21 * * * BHONG KIAT memutar-mutar pedang.

   "Kau mengancamku, Bun Hwi? Kau kira aku dapat tunduk di bawah perintahmu?"

   "Hm, jangan main-main, Bhong Kiat. Aku masih ada perhitungan dengan gurumu sebelum kau roboh!"

   Bhong Kiat membentak marah. Dia berteriak tinggi, dan ketika Bun Hwi kembali maju selangkah mendadak dia mengayunkan senjatanya.

   "Bun Hwi, kau mampuslah dulu. Rasakan tajamnya pedangku ini...!"

   Namun Bun Hwi tersenyum mengejek. Dia tidak mengelak dari tusukan pedang lawan, tapi begitu pedang membacok pundaknya sekonyong-konyong tangannya maju mencengkeram.

   "Krak!"

   Bhong Kiat terbelalak. Dia berseru kaget, tak percaya bahwa tiba-tiba saja pedangnya patah dicengkeram Bun Hwi. Dan belum dia sadar akan apa yang terjadi tahu-tahu Bun Hwi telah menggerakkan kedua lengannya menangkap dan membanting pemuda ini.

   "Brukk...!"

   Bhong Kiat terguling-guling. Dia melengking tinggi, kaget oleh gebrakan yang tidak disangka-sangka itu tapi melompat bangun dia sudah melempar sisa pedangnya dan berteriak marah.

   "Bun Hwi, kau mengacau tempat orang. Hati-hatilah untuk keselamatan nyawamu....!"

   Namun Bun Hwi tersenyum mengejek.

   Dia melihat pemuda itu melolos cambuk, senjata yang dulu diandalkannya untuk berbuat sewenang-wenang.

   Dan Bhong Kiat yang sudah memutar cambuknya itu tiba-tiba menerjang kembali dengan senjata meledak-ledak.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bhong Kiat rupanya marah dan kaget sekali melihat kedatangan Bun Hwi, dan pemuda yang sudah menyerang bertubi-tubi itu tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk berkelit atau melompat mundur.

   Tapi Bun Hwi yang sekarang bukanlah Bun Hwi pada lima tahun yang lalu.

   Dengan mudah dia menerima semua serangan itu, tidak mengelak atau melompat mundur.

   Dan Bun Hwi yang tetap tersenyum dingin ini menggerakkan tangannya dua kali berturut-turut.

   Cambuk Bhong Kiat yang meledak di depan mukanya dia tangkis perlahan, lalu begitu cambuk meledak lagi menyambar leher tahu-tahu Bun Hwi menangkap cambuk lawannya ini.

   "Bhong Kiat, cambukmu terlalu lemah. Awas senjata makan tuan!"

   Bhong Kiat terkejut.

   Dia melihat cambuknya sudah disambar pemuda ini, dan baru dia membetot sekuat tenaga mendadak Bun Hwi mengikuti tarikannya.

   Pemuda ini tertawa, dan begitu dia menjejakkan kakinya sekonyong-konyong Bun Hwi sudah berputar dan membelit lehernya! "Rrtt...!"

   Bhong Kiat berseru tertahan.

   Dia mendelik oleh gubatan itu, dan Bun Hwi yang terus melibat- libatkan cambuknya tiba-tiba menyendal pemuda ini.

   Dia membuat Bhong Kiat hampir tak dapat bernapas, dan begitu cambuk digentak seenaknya tahu-tahu pemuda itu sudah terjungkal roboh sambil berteriak panjang.

   Bhong Kiat terguling-guling, dan baru dia melompat bangun tahu-tahu cambuk membelit kakinya dan diangkat ke atas! "Ha-ha, aku ingin membalas perbuatanmu, Bhong Kiat.

   Lima tahun yang lalu kau memutar-mutar aku di udara.

   Nah, sekarang rasakanlah.

   Akupun ingin memutar-mutar tubuhmu di udara...

   wut wutt!"

   Dan Bun Hwi yang sudah memutar-mutar tangannya tiba-tiba tertawa bergelak dengan penuh kegembiraan.

   Dia membuat Bhong Kiat naik turun bagai baling-baling, dan Bhong Kiat yang berteriak dengan muka pucat memaki Bun Hwi kalang kabut.

   Dia tidak menyangka dalam beberapa gebrakan saja dirinya sudah dibuat permainan Bun Hwi.

   dan Bhong Kiat yang melihat Song Ki memandang bengong tiba-tiba berseru.

   "Ki-moi, apa-apaan kau ini? Kenapa mendelong saja? Hayo bantu aku. Serang anak setan ini dan rampas cambuknya...!"

   Tapi gadis baju hijau tak beranjak dari tempatnya.

   Dia melongo, heran dan kaget bahwa Bun Hwi demikian mudahnya mempermainkan lawan.

   Tapi setelah Bhong Kiat membentaknya dua kali barulah gadis itu sadar.

   Dia tampak terkejut, tapi memandang bingung dia mendesiskan mulutnya.

   "Bun Hwi, lepaskan lawanmu. Bhong Kiat adalah perwira muda istana!"

   Bun Hwi tertawa lebar.

   Dia tiba-tiba melepaskan cambuknya, dan Bhong Kiat yang terbanting roboh jatuh berdebuk di atas tanah.

   Bhong Kiat tampak marah sekali, dan melihat gadis baju hijau sama sekali tak membantunya tiba-tiba dia mendelik.

   Sekali berteriak tiba-tiba dia mencabut belati pendek yang ujungnya mengkilap kehijauan, dan begitu dia memekik tahu-tahu Bhong Kiat sudah menubruk bagai harimau kehilangan anaknya.

   "Bun Hwi, mampuslah...!"

   Tapi Bun Hwi tenang-tenang saja.

   Dia tidak mengelak serangan pisau itu, menerimanya dengan mata bersinar-sinar.

   Namun begitu senjata mengenai perutnya tiba-tiba pisau di tangan Bhong Kiat meleset ke kiri dan bengkok bagai sabit! "Ha-ha, pisaumu lembek, Bhong Kiat.

   Perlu kau tukar dengan yang lebih kuat...!"

   Bhong Kiat terbelalak.

   Dia teringat kekebalan aneh yang dimiliki Bun Hwi.

   Maka melihat pisaunya melengkung bagai sabit tiba-tiba dia mengempos semangat.

   Pisau dia buang, lalu membentak untuk kesekian kalinya tiba-tiba Bhong Kiat sudah menghantam Bun Hwi dengan pukulan sinar merah, pukulan Ang-mo-kang! "Bukk!"

   Bun Hwi tergetar. Dia kaget melihat sinar merah pada tangan lawannya ini, teringat serangan Mo-ong yang dulu hampir membuatnya celaka. Maka begitu terdorong mundur Bun Hwi pun menjadi merah mukanya.

   "Kau mempergunakan pukulan beracun, Bhong Kiat?"

   Bhong Kiat tidak menjawab.

   Dia mendesis melihat Bun Hwi terhuyung, disangkanya tak kuat menahan Ang-mo-kangnya.

   Maka berteriak kembali tiba-tiba diapun menubruk sambil menggerakkan tangannya empat kali berturut-turut, menghantam perut dan dada Bun Hwi.

   "Buk-buk-bukk!"

   Bun Hwi kembali terdorong. Dia terbelalak lebar, merasa betapa hawa panas menyertai pukulan ini. Tapi melihat Bhong Kiat menyeringai girang tiba-tiba diapun menjadi marah.

   "Baik, kau sama dengan gurumu, Bhong Kiat. Selalu menginginkan nyawa orang dalam setiap pertempuran...!"

   Dan Bun Hwi yang tiba-tiba mengisi dadanya penuh dengan udara sekonyong-konyong menerima pukulan terakhir.

   Dia melihat Bhong Kiat menyerangnya sambil melompat tinggi.

   Maka begitu pemuda ini menyerang dengan pukulan sinar merah tahu-tahu Bun Hwi sudah merendahkan tubuh dan mengembangkan kedua lengannya.

   "Plak-dess!"

   Bun Hwi menangkis.

   Dia mengerahkan tenaganya seperempat bagian, dan Bhong Kiat yang memekik tinggi tiba-tiba tak dapat turun.

   Dia disangga lengan Bun Hwi, kaku tegak di tengah udara.

   Dan Bun Hwi yang berseru keras tahu-tahu menolak balik pukulan Ang-mo-kang ini.

   Tak ayal, Bhong Kiat menjerit ngeri dan hawa panas yang tiba-tiba mengalir dari lengan Bun Hwi menyerang lengannya tiba-tiba membuat tangan Bhong Kiat merah seperti terbakar.

   Bhong Kiat meronta, kaget tak terkira oleh tolakan Bun Hwi yang dahsyat.

   Tapi baru dia menjerit tiba- tiba tubuhnya sudah terbanting roboh dan bengkak bagai digigit ribuan semut merah! "Bluk!"

   Bhong Kiat tak mampu bangun lagi.

   Dia mengeluh kesakitan, dan Bun Hwi yang melompat maju mencengkeram kepala pemuda ini.

   Dan bermaksud menjambak rambutnya, tapi sesosok bayangan tinggi besar yang tiba-tiba berkelebat menghantam punggung Bun Hwi dari belakang.

   "Bocah, minggirlah...!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba muncul di tempat itu telah mencengkeram punggung Bun Hwi dan membantingnya di atas tanah.

   "Bress!"

   Bun Hwi terguling-guling.

   Dia berteriak kaget, tidak terluka, tapi bantingan yang cukup membuat tulang orang lain patah itu sudah membuatnya marah bukan main.

   Dan ketika Bun Hwi melompat bangun dan melihat Mo-ong berdiri di situ tiba-tiba dia melotot dan mengepalkan tinju dengan kaki menggigil.

   Ang-sai Mo-ong sendiri mula-mula tidak mengenalnya.

   Maklum, Bun Hwi sekarang sudah merupakan seorang pemuda tampan dan tidak kekanak-kanakan lagi.

   Tapi begitu kakek ini mengenalnya lewat seruan Bhong Kiat yang merintih di atas tanah tiba-tiba saja kakek ini tertegun.

   "Kau Bun Hwi?"

   Dia bertanya seakan tak percaya, mengejap-ngejapkan mata dua tiga kali seperti orang tertegun. Tapi ketika Bun Hwi mendesis dan membentaknya marah tiba-tiba Ang-sai Mo-ong tertawa bergelak.

   "Ha-ha, kau memang anak aneh, Bun Hwi. Dibunuh berkali-kali tetap saja hidup. Baiklah, kini aku akan membunuhmu untuk yang terakhir kalinya. Kau bersiaplah dan lihat seranganku...!"

   Bun Hwi gemetar marah.

   "Jangan kau sombong, Ang-sai Mo-ong. Bukan kau yang akan membunuhku melainkan akulah yang akan membunuhmu. Kau mempunyai hutang jiwa yang belum kau bayar!"

   "Ha-ha, hutang jiwa pamanmu, bocah? Salahnya sendiri, kenapa dia mampus sebelum memiliki kepandaian berarti!"

   Ang-sai Mo-ong tiba-tiba menggeram. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai bunyi berkerotokan, lalu ketika lengannya sudah berubah merah bagai dibakar tiba-tiba kakek ini melompat ke depan.

   "Bun Hwi, sekarang kau mampuslah. Susul pamanmu di alam baka...!"

   Bun Hwi merasa pukulan dahsyat menerjang dirinya.

   Dia maklum kakek ini mengerahkan ilmunya yang jahat itu, Ang-mo-kang.

   Maka begitu lengan kakek ini menghantam dirinya tiba-tiba saja Bun Hwi kepingin menjajal kepandaian dirinya sendiri.

   Dia hanya memiliki empat jurus Wi Tik Tong Thian itu, tidak lebih.

   Dan Ang-sai Mo-ong yang tampak garang dalam serangannya ini membuat dia terkesiap sekejap.

   Namun Bun Hwi bersikap tenang.

   Dia mengangkat lengan kirinya, menangkis pukulan itu sambil mengerahkan tenaga singkangnya.

   Dan begitu kedua lengan beradu terdengarlah benturan yang mengguncangkan tanah di sekitar mereka.

   "Dukk!"

   Suara ini keras, dan Ang-sai Mo-ong yang terbelalak melihat Bun Hwi menangkis pukulannya berteriak kaget dengan kaki geser dua tindak ke belakang.

   "Astaga!"

   Kakek ini seakan tak percaya, terbelalak lebar dengan mata melotot sebesar jengkol.

   Tapi Ang-sai Mo-ong yang penasaran pada gebrakan pertama ini tiba-tiba melengking marah dan memutar lengannya lagi.

   Dia melompat ke depan mendorongkan kedua lengannya berbareng.

   Tapi Bun Hwi yang juga menggerakkan kedua lengannya kembali menangkis dengan mata bersinar.

   "Plak-plak!"

   Kali ini keduanya tergetar sama kuat.

   Bun Hwi terhuyung oleh pukulan lawan, tapi Ang-sai Mo-ong yang marah oleh kejadian itu tiba-tiba menggerakkan ujung jubahnya menotok mata Bun Hwi.

   Dia mempergunakan kesempatan Bun Hwi terkejut, dan Ang-sai Mo-ong yang sudah melejit ke depan ini berseru keras.

   Sekali totok dia mengarah dua mata Bun Hwi sekaligus, dan Bun Hwi yang kaget oleh serangan ini cepat mengegoskan kepala ke belakang.

   Tapi Bun Hwi kalah cepat.

   Dia masih disambar ujung jubah itu, menotok pinggir matanya.

   Dan Bun Hwi yang berseru kaget terguling roboh dengan mata pedas.

   Dia mau melompat bangun, tapi Ang-sai Mo-ong yang sudah memburunya tahu- tahu membanting Bun Hwi di atas tanah.

   "Brukk...!"

   Bun Hwi mengeluh kesakitan.

   Dia merasakan tenaga yang luar biasa kuat pada bantingan ini dan Ang-sai Mo-ong yang mengira pemuda itu hancur tulangnya jadi melotot lebar ketika melihat Bun Hwi berdiri dengan tubuh terhuyung.

   Pemuda itu sama sekali tidak apa-apa, hanya menyeringai kesakitan.

   Dan Bun Hwi yang mendelik sambil mengepal tinju itu menggeram.

   "Ang-sai Mo-ong, dua kali kau membanting tubuhku. Awaslah, aku pun akan membalas perbuatanmu ini dengan sama banyak...!"

   Ang-sai Mo-ong tidak menjawab.

   Dia menjejakkan kakinya, dan baru Bun Hwi menutup mulut tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebatan bagai iblis menyerang pemuda ini.

   Dia tidak mempergunakan lagi adu sinkang seperti tadi, melainkan adu kecepatan sambil melancarkan serangan bertubi-tubi.

   Dan Bun Hwi, yang tentu saja tidak tinggal diam segera melayani lawannya ini dengan ilmu silatnya yang diperoleh dari Cupu Naga.

   Dan sungguh hebat akibatnya.

   Ang-sai Mo-ong harus bekerja keras untuk mendaratkan pukulannya di tubuh Bun Hwi, karena berkali-kali Bun Hwi menangkis dan menggetarkan lengan kakek itu.

   Dan Ang-sai Mo-ong yang terbelalak kaget kian lama kian melotot melihat cara Bun Hwi menggerakkan kaki tangannya.

   Dia melihat Bun Hwi mencorat-coret udara, seakan menulis huruf-huruf aneh.

   Tapi semua pukulannya yang selalu mental bertemu jari Bun Hwi membuat kakek ini terkesiap heran.

   Dia mula-mula mengira kejadian itu hanyalah sebuah kebetulan belaka.

   Tapi setelah berkali-kali pukulannya tertangkis dan lengannya sendiri ngilu serta pedas barulah kakek ini mulai terkejut.

   Dia terbelalak, menyerang pemuda itu mengandalkan ginkangnya.

   Tapi Bun Hwi yang selalu menolak balik semua pukulannya akhirnya membuat Ang-sai Mo- ong bingung juga.

   Apalagi, ketika tiba-tiba lengan Bun Hwi mengeluarkan uap putih dan tubuhnya menjadi licin! Ang-sai Mo-ong sekarang benar-benar kaget.

   Dia tidak tahu ilmu aneh apa itu.

   Tapi ketika uap putih yang menyelubungi lengan Bun Hwi ini kian kebal dan tubuh Bun Hwi semakin licin oleh keringat tiba- tiba saja kakek ini pucat mukanya.

   Sekarang semua pukulannya melenceng bertemu lengan Bun Hwi, dan Ang-sai Mo-ong yang berubah mukanya itu sekonyong-konyong jadi semakin kaget ketika dari uap yang melindungi Bun Hwi ini muncul semacam benteng hawa yang tidak dapat ditembus! "Ah...!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ang-sai Mo-ong berseru pucat. Dia jadi kaget bukan main, karena semua pukulannya tak dapat mengenai tubuh lawan. Dan Bun Hwi yang melihat muka kakek itu berubah mendadak saja mulai melancarkan serangan balasan! "Ang-sai Mo-ong, hati-hatilah...!"

   Kakek itu menggeram.

   Dia tiba-tiba saja melihat Bun Hwi mencorat-coret udara semakin cepat dan ketika Bun Hwi melompat sambil menampar kepalanya tiba-tiba Ang-sai Mo-ong menjadi marah.

   Dia menggerakkan lengan kanannya, mengerahkan pukulan Ang-mo-kangnya.

   Dan begitu serangan Bun Hwi tiba sekonyong-konyong kakek ini membentak.

   Sekali ayun dia menangkis pukulan Bun Hwi itu, tapi benteng hawa yang mengikuti gerakan Bun Hwi mendadak membuat kakek ini mengeluh tertahan.

   Dia tak dapat menangkis, karena lengan kanannya tiba-tiba macet bertemu benteng hawa itu.

   Dan begitu dia berteriak kaget tahu-tahu pelipis kirinya sudah ditampar jari Bun Hwi.

   "Plak!"

   Ang-sai Mo-ong menjerit.

   Untuk pertama kalinya dia dibalas serangan Bun Hwi.

   Dan Ang-sai Mo-ong yang melompat bangun itu berkaok-kaok bagai banteng dicukil matanya.

   Dia menerjang Bun Hwi dengan muka merah padam, tapi Bun Hwi yang kembali menggerakkan lengannya berseru.

   "Ang-sai Mo-ong, robohlah...!"

   Dan Bun Hwi yang menggerakkan jarinya memukul pundak kakek ini. Tapi Ang-sai Mo-ong mengelak. Dia merendahkan punggungnya, lalu menangkis marah diapun sudah menghantam lengan Bun Hwi yang memukul pundaknya.

   "Bocah, kau robohlah. Jangan suruh orang lain roboh...!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah menangkis lengan Bun Hwi mengerahkan tenaganya sepenuh bagian.

   Tapi lagi-lagi kakek ini terkejut.

   Lengan yang dipakai menangkis kembali membentur benteng hawa yang melindungi tubuh Bun Hwi, dan begitu pukulannya tertahan tahu-tahu jari Bun Hwi menghantam pundaknya.

   "Dess!"

   Ang-sai Mo-ong mendelik.

   Dia merasa pedih menembus tulangnya, menyengat bagai ditusuk jarum.

   Dan Ang-sai Mo-ong yang terkejut dengan muka kaget itu menggereng dengan mata terbelalak.

   Dia gusar sekali, tapi juga gentar.

   Dan Bun Hwi yang berturut-turut dua kali menampar kakek ini sudah berseru kembali dengan mata berkilat-kilat.

   "Ang-sai Mo-ong, jangan mundur. Kau masih mempunyai hutang dua kali bantingan!"

   Kakek itu naik pitam.

   Dia melompat mundur karena Bun Hwi telah menyerangnya untuk yang ketiga kali, terpaksa mengelak untuk menyelamatkan diri.

   Maka seruan Bun Hwi yang bernada mengejek itu membuat kakek ini merah mukanya.

   Dia melengking tinggi ketika Bun Hwi mencengkeram lehernya, dan begitu Bun Hwi menyambar ke depan kakek inipun berseru keras.

   "Bocah she Bun, jangan sombong. Kau belum mengalahkan aku...!"

   Bun Hwi tertawa dingin. Dia merasa besar hati dengan hasil pukulannya tadi, dua kali berturut-turut menghantam tubuh lawan. Maka melihat Ang-sai Mo-ong menggerakkan kedua tangannya menolak pukulan diapun mengerahkan tenaganya.

   "Plak!"

   Kedua lengan mereka sekarang bertemu.

   Ang-sai Mo-ong langsung menangkap pergelangan Bun Hwi, menangkis sekaligus mencengkeram.

   Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah menyeringai gembira itu tiba-tiba menggentak lawan melempar Bun Hwi lewat atas punggungnya.

   Tapi Ang-sai Mo-ong berseru kaget.

   Dia tak dapat mengangkat tubuh Bun Hwi, karena Bun Hwi tiba- tiba saja telah menancapkan kakinya seakan sebatang pohon raksasa.

   Dan begitu dia terbelalak lebar tahu-tahu Bun Hwi menjengekkan hidung dan balas mencengkeram pergelangan tangan kakek ini.

   Lalu, begitu Bun Hwi menendang kakinya tiba-tiba kakek itu terangkat dan ganti meluncur di atas punggung Bun Hwi, terbanting di atas tanah! "Bluk!"

   Ang-sai Mo-ong menyumpah serapah. Dia merasa dikibuli pemuda itu, dan marah serta malu oleh kejadian ini kakek itu berteriak panjang. Dia tiba-tiba melompat tinggi, lalu meluncur turun dia menghantam muka Bun Hwi dengan tumit kaki kirinya.

   "Dess!"

   Bun Hwi kali ini terpelanting.

   Benteng hawa yang melindungi dirinya itu rupanya kurang kuat di bagian atasnya.

   Maka begitu Ang-sai Mo-ong menyerang sambil melompat tinggi diapun terguling roboh dengan seruan tertahan.

   Bun Hwi terbelalak, dia kaget dan agak tertegun.

   Tapi ketika lawan menyerangnya kembali dengan penuh kemarahan diapun melompat bangun dan mencorat-coret udara.

   "Ang-sai Mo-ong, kau baru membayar satu bantingan. Masih kurang satu lagi...!"

   Ang-sai Mo-ong tidak menghiraukan ejekan ini.

   Dia melancarkan pukulan Ang-mo-kangnya lalu mengaum bagai singa lapar tiba-tiba dia mendorongkan lengan kirinya menghantam Bun Hwi dengan ilmunya yang lain, Sai-mo Ciang-hoat.

   Dan begitu Bun Hwi menangkis dengan jari mencorat- coret udara Ang-sai Mo-ong sudah mengerahkan semua tenaganya.

   "Blang!"

   Bun Hwi dan kakek itu terpental tiga tindak.

   Mereka sama-sama berteriak kaget.

   Dan Bun Hwi yang mencelat mundur melihat kakek itu mengeluh sambil menyeret kakinya.

   Ang-sai Mo-ong membuat guratan dalam di atas tanah, dan lengan Bun Hwi yang menjadi kemerahan bertemu lengan kakek itu tiba-tiba mengeluarkan bau sangit seperti daging dibakar! "Ah...!"

   Bun Hwi sedikit kaget. Dia agak terkejut oleh kehebatan Ang-sai Mo-ong yang terakhir ini. Dimana rupanya kakek itu betul-betul mengerahkan kekuatan sinkangnya. Tapi Bun Hwi yang tiba-tiba menjadi marah sudah membentak nyaring.

   "Ang-sai Mo-ong, jangan galak-galak. Coba kau terima ini...!"

   Dan Bun Hwi yang menggeliatkan pinggangnya sekonyong-konyong menudingkan jari ke depan. Dia membuat huruf "Wi"

   Di udara, mencoret naik turun ke muka lawannya.

   Dan Ang-sai Mo-ong yang kaget melihat sinar berkeredep di tangan Bun Hwi tiba-tiba berseru keras membanting tubuh.

   Tapi sinar berkeredep masih mengejarnya.

   Jari Bun Hwi mengeluarkan suara mencicit, dan begitu Ang- sai Mo-ong siap melompat bangun tahu-tahu kakek ini sudah disambar hawa dingin di tangan Bun Hwi.

   "Crit!"

   Ang-sai Mo-ong berteriak kaget. Dia terguling roboh, dan ketika Bun Hwi menyerangnya kembali dengan huruf "Tik"

   Tiba-tiba kakek ini menjerit dan mendekap lambung kirinya yang bolong berdarah! "Ahh...!"

   Ang-sai Mo-ong pucat mukanya. Dia terluka, dan kakek yang tampak gemetar itu tiba- tiba mengambil paku tulangnya. Sekali sambit dia melontarkan lima batang paku sekaligus, lalu begitu paku menyambar diapun memutar tubuh.

   "Bun Hwi, kau memang hebat. Tapi jangan sombong. Aku masih ada perlu di tempat Gong- taijin...!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah melarikan diri itu melompat jauh memasuki gedung.

   Dia membiarkan Bun Hwi menangkis paku tulangnya, lalu begitu semua paku runtuh diapun lenyap di balik tembok yang tinggi.

   Bun Hwi marah.

   Dia tentu saja tidak membiarkan kakek itu melarikan diri.

   Tapi baru dia menggerakkan kaki sekonyong-konyong Song Ki berteriak.

   Bun Hwi melihat seorang laki-laki tinggi besar menyergap gadis ini, melarikannya ke halaman belakang.

   Dan Bun Hwi yang kaget oleh kejadian itu otomatis membentak.

   "Hei, lepaskan gadis itu...!"

   Dan Bun Hwi yang mendorongkan lengannya melakukan pukulan jarak jauh.

   Tapi laki-laki tinggi besar ini menangkis.

   Dia tidak menoleh, melainkan menggerakkan lengannya ke belakang.

   Dan pukulan Bun Hwi yang diterimanya dengan lengan kiri itu tiba-tiba mengeluarkan suara keras dan membuat tubuhnya terlempar ke depan.

   Dia berseru kaget, tapi laki-laki tinggi besar yang telah meneruskan larinya ini tetap membawa Song Ki melarikan diri! Bun Hwi menjadi marah.

   Dia harus memilih mengejar laki-laki itu atau Ang-sai Mo-ong.

   Tapi menggigit bibir dia akhirnya mendahulukan keselamatan gadis ini.

   Bun Hwi melompat, mengejar kembali laki-laki itu.

   Dan ketika bayangan orang kembali tampak di depan tiba-tiba Bun Hwi menyambitkan paku tulang si kakek iblis yang tadi diraupnya di atas tanah.

   Sekali lempar dia menghamburkan tiga jarum sekaligus, masing- masing ke atas, tengah dan bawah.

   Tapi laki-laki tinggi besar yang mengebutkan ujung bajunya itu telah meruntuhkan semua jarum tanpa menoleh! Bun Hwi tertegun.

   Dilihat begini, laki-laki itu tampaknya hebat juga.

   Tapi muka orang yang sama sekali tidak mau beradu dengannya membuat dia tidak tahu siapa laki-laki lihai ini.

   Maka Bun Hwi yang menjadi gusar sudah menyambitkan sisa dua paku lagi.

   "Maling hina, robohlah...!"

   Penculik di depan tidak menggubris.

   Kali ini dia tidak menggerakkan lengannya menangkis, melainkan membiarkan dua paku tulang itu menyambar dirinya.

   Dan ketika paku runtuh mengenai tubuhnya si tinggi besar itu tertawa mengejek.

   Dia melompat di balik sebatang pohon besar, lalu begitu Bun Hwi mengejarnya tiba-tiba terdengarlah suaranya yang dingin parau.

   "Bocah, hati-hati. Jaga dirimu baik- baik...!"

   Bun Hwi mengira itu sebuah ejekan saja.

   Dia sudah tiba di tempat ini, siap melancarkan pukulan jarak jauhnya.

   Tapi begitu kakinya mendarat ringan tahu- tahu tubuhnya kejeblos di sebuah sumur tua, ambles tanpa ampun! "Ha-ha, kau pasti tak dapat bertahan lagi, Bun Hwi.

   Kekebalanmu tak ada gunanya bila kau terkubur hidup-hidup...!"

   Bun Hwi yang tiba-tiba mendengar suara Ang-sai Mo-ong ini tahu-tahu terbanting di dasar sumur yang amat dalam.

   Dia sempat melihat muka kakek iblis itu yang tiba-tiba nongol di bibir sumur, lalu begitu Ang-sai Mo-ong tertawa bergelak tahu-tahu batu besar telah bergelindingan jatuh menimpanya di bawah lubang.

   Bun Hwi terkejut, merasa tertipu dan marah bukan main.

   Maka ketika batu bergelundungan di bawah lubang dia lalu menggerakkan tangannya menangkis sana-sini, bahkan melontarkannya kembali ke atas.

   Tapi batu yang selalu jatuh menimpanya ini akhirnya membuat Bun Hwi kewalahan juga, malah bingung.

   Dan ketika Bun Hwi mendengar suara ribut-ribut di atas sumur mendadak suara bergemuruh memekakkan telinganya.

   Batu besar kecil sekonyong-konyong jatuh bagaikan hujan.

   Dan Bun Hwi yang kaget oleh serangan hujan batu ini terbelalak pucat dengan penuh kemarahan.

   Dia tidak dapat mengelak lagi, dan ketika hujan batu memenuhi lubang sumur tahu-tahu Bun Hwi sudah roboh dan terkubur hidup-hidup! Ang-sai Mo-ong di atas sumur masih tak mau berhenti.

   Dia terus melempar-lemparkan batu besar kecil, dan baru setelah lubang itu penuh batu sampai di atas tanah barulah kakek ini berhenti dengan suara ketawanya yang bergelak gembira.

   Dia merasa puas, dan menyuruh pergi lima orang pengawal yang tadi membantunya kakek inipun melompat meninggalkan sumur yang sudah penuh batu itu.

   Membiarkan suasana kembali sunyi seperti semula.

   *S*F* Mei Hong dan gurunya malam itu sudah menghadap Gong-taijin.

   Pembesar ini ternyata adalah seorang laki-laki gemuk dengan kumis tipis.

   Merawat wajahnya cukup baik tapi sikapnya agak tinggi hati, maklum, jelek-jelek dia adalah seorang menteri! Dan menteri urusan tanah yang malam itu berpakaian necis memandang Hwa-i Sin-kai.

   "Sin-kai, maaf bahwa kedatanganmu sedikit dipaksa. Aku hanya ingin minta sedikit pertolonganmu, menyelesaikan sebuah kesukaran yang kuhadapi. Kau tentunya tidak menolak, bukan?"

   Demikian mula-mula pembesar ini berkata. Tutur katanya ramah, tapi Hwa-i Sin-kai yang terlanjur marah mendenguskan hidungnya.

   "Gong-taijin, kau sudah menangkapku seperti ini. Urusan apa lagi yang bisa kuberikan padamu? Bukankah Hong Beng Lama jauh lebih berharga dibanding aku?"

   Gong-taijin menarik napas. Dia memandang Hong Beng Lama yang duduk di sebelah kirinya diam tak bergerak. Lalu memulai percakapan diapun dengan hati-hati memberi penjelasan.

   "Hwa-i Sin-kai, rupanya dalam hal ini kau tidak senang hati. Baiklah, Hong Beng Lama akan membebaskan totokan kalian kalau begitu..."

   Dan menteri urusan tanah yang memberi isyarat pada Lama jubah merah ini meminta agar Lama itu membebaskan totokan di tubuh Hwa-i Sin-kai.

   Hong Beng Lama mengangguk.

   Sekali mengulurkan jarinya dia sudah membebaskan Hwa-i Sin-kai, tapi Hwa-i Sin-kai yang melihat hanya dia seorang yang dibebaskan segera memandang Mei Hong.

   "Bagaimana dengan muridku, taijin? Hanya aku seorang yang mendapat perlakuan sedikit hormat ini?"

   Gong-taijin tersenyum. Dia memandang Mei Hong penuh kagum, tapi menggeleng kepala dia berkata halus.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sin-kai, muridmu terlampau keras. Biarlah nanti dia dibebaskan setelah kau menyanggupi permintaan kami. Kau tentu tidak keberatan, bukan?"

   Hwa-i Sin-kai menepuk-nepuk pakaiannya yang penuh debu.

   Dia mendongkol pada pembesar itu, yang kalau tidak dilindungi Hong Beng Lama tentu sudah ditangkapnya! Tapi pengemis Hwa-i Kai-pang yang jadi kepingin tahu maksud Gong-taijin ini akhirnya menjawab.

   "Baiklah, aku ingin mendengar permintaanmu, taijin. Apa sesungguhnya yang kau maui!"

   Menteri itu tertawa gembira.

   "Nah, ini baru baik, Sin-kai. Aku menghargai keterbukaan sikapmu!"

   Dan menteri yang sudah menoleh ke kiri itu bertanya.

   "Hong Beng Lama, bisa kuterangkan maksudku sekarang, bukan?"

   Lama itu mengangguk.

   "Pengemis ini tidak berbahaya, taijin. Boleh paduka katakan saja padanya. Kukira dia tidak akan menolak!"

   Hwa-i Sin-kai berdebar. Dia mendengar suara yang mengandung ancaman halus dari mulut dua orang itu. Dan pembesar she Gong yang sudah mengangkat lengannya itu berkata.

   "Hwa-i Sin-kai, aku hanya meminta sedikit pertolonganmu saja. Bubarkan Hwa-i Kai-pang dan kalian tinggallah di sini!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   "Kenapa harus begitu, taijin?"

   Pembesar she Gong tersenyum.

   "Karena aku hendak melenyapkan putera mahkota, Sin-kai. Aku hendak membunuh pangeran itu dan meminjam nama Hwa-i Kai-pang dalam pembunuh ini!"

   Hwa-i Sin-kai kaget bukan main.

   "Apa, taijin? Jadi kau...?"

   "Ya, aku hendak meminjam nama Hwa-i Kai-pang dalam masalah ini, Sin-kai. Karena itu jika berhasil tentu saja kau harus membubarkan perkumpulanmu. Kau dapat tinggal di sini, membantuku dan lepas dari kejaran pengawal yang tentu akan menganggap Hwa-i Kai-pang sebagai perkumpulan pemberontak. Dan mumpung belum terlanjur kau dapat berlindung di dalam tempat tinggalku!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   Mukanya tiba-tiba menjadi merah saking kaget dan gusarnya, tapi mata Hong Beng Lama yang dingin menyeramkan membuat ketua Hwa-i Kai-pang ini sadar.

   Dia sudah mendengar niat menteri urusan tanah itu, yang berarti akan mengadakan permainan kotor di dalam istana.

   Dan Hwa-i Sin-kai yang bangkit berdiri tergetar hatinya.

   "Taijin, kalau boleh aku bertanya, putera mahkota manakah yang hendak kau bunuh itu? Apakah..."

   "Hm, ada dua orang, Sin-kai. Yang pertama adalah bocah she Bun itu dan yang kedua adalah putera permaisuri yang baru melahirkan. Sri baginda memutuskan untuk mengangkat anak ini menjadi ahli waris tunggalnya, kalau yang pertama tidak ada. Dan karena calon putera mahkota ini sudah berumur empat tahun maka kami bersiap-siap untuk membunuhnya!"

   Hwa-i Sin-kai tertegun.

   Dia orang kang-ouw, jarang mengetahui rumah tangga istana.

   Maka mendengar permaisuri telah melahirkan seorang putera diapun jadi tertegun dengan mata tidak berkedip.

   Gong- taijin yang duduk di kursi gadingnya itu dipandang hampir tak berkejap.

   Tapi menggigil gemetar diapun mengeraskan dagunya.

   "Taijin, kenapa harus kami yang kau mintai tolong? Bukankah secara diam-diam kau dapat menyuruh orang lain melakukan pekerjaan itu?"

   Gong-taijin tersenyum.

   "Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan yang cukup besar, Sin-kai. Tentu janggal menyuruh seseorang yang belum begitu ternama. Dan lagi, diam-diam kau tidak senang pada pemerintahan sri baginda, bukan?"

   Hwa-i Sin-kai terperanjat. Dia mau membantah tapi menteri she Gong yang menyeringai itu mengulapkan lengannya.

   "Jangan menyangkal, Sin- kai. Sam-lokai dan Su-lokai telah memberi-tahukan padaku tentang pandangan hidupmu mengenai sri baginda kaisar. Kau berniat menghasut orang-orang tertentu, menyerang istana dan membunuh beberapa orang pangeran dan menteri yang kau benci. Tentu ini bukan rencana kosong bukan?"

   Pengemis tua itu menjublak. Dia tak dapat menjawab apa yang dikatakan Menteri Gong ini. Karena itu memang betul! Tapi bahwa menteri ini mengetahui ketidaksenangannya pada sri baginda kaisar tiba-tiba dia menggigit bibirnya.

   "Gong-taijin, itu fitnah. Aku tidak membenci kaisar seperti yang kau katakan!"

   "Hm, sri baginda memang tidak kau benci, Sin-kai. Tapi beberapa pangeran dan seorang menteri ada yang tidak kau senangi, bukan? Tak perlu menyangkal, Sin-kai. Sam-lokai dan Su-lokai telah memberitahukan padaku tentang semua pandangan dirimu!"

   Hwa-i Sin-kai terkejut.

   Dia sampai pucat, dan Mei Hong yang masih tertotok tak mampu bicara dipandangnya gelisah.

   Sebenarnya, apa yang dikatakan menteri itu benar.

   Dia tidak menyenangi beberapa orang pangeran di istana yang dianggapnya jahat dan seorang menteri.

   Dan menteri itu bukan lain adalah menteri ini, Menteri Urusan Tanah Gong Li Kiat yang didengarnya banyak melakukan kecurangan pada rakyat kecil.

   Tapi bahwa menteri itu tidak menyebut siapa menteri yang tidak disenanginya justeru membuat kakek pengemis ini tidak nyaman.

   Dan belum dia berkata sesuatu tiba-tiba dua orang muncul memasuki ruangan.

   "Ah, anda kiranya, ji-wi pangeran?"

   Menteri Gong tertawa, menyambut gembira dan bangkit dari kursinya menghadap dua orang laki-laki yang masuk ke ruangan itu.

   Dan Hwa-i Sin-kai yang menoleh ke belakang seketika berubah mukanya melihat siapa yang datang.

   Kiranya Pangeran Ong dan Yin, dua orang pangeran yang berwatak curang itu! Maka melihat Gong-taijin menyambut dua orang pangeran ini tiba-tiba saja kegelisahan Hwa-i Sin-kai memuncak.

   Dia cemas sekali, tapi dua orang pangeran yang masuk dengan muka berseri-seri itu memandang kepadanya.

   "Oh, Hwa-i Sin-kai sudah ada di sini, taijin?"

   Yang bicara itu adalah Pangeran Ong, pangeran yang mukanya tampan dengan senyum yang aneh. Dan Gong-taijin yang sudah mempersilahkan tamunya duduk tertawa kecil.

   "Memang benar, pangeran. Dia baru saja tiba. Hong Beng Lama yang membawanya kemari!"

   Hwa-i Sin-kai mendongkol. Dia melihat dua orang pangeran itu tersenyum padanya, lalu bersinar-sinar memandang Mei Hong. Dan Pangeran Ong yang tampak tertegun membelalakkan matanya.

   "Eh, ini muridmu yang dulu itu, Sin-kai? Gadis yang bernama Mei Hong itu?"

   "Hm, tidak salah, pangeran. Dia muridku yang bodoh itu!"

   "Wah, cantik sekali. Kau beruntung, Sin-kai. Dia tampak demikian cantik dan gagah...!"

   Hwa-i Sin-kai merah mukanya.

   "Tak perlu memuji, pangeran. Kami berdua nyatanya tolol semua dan datang kemari atas paksaan Hong Beng Lama!"

   Pangeran Ong tertawa. Dia memandang Lama tinggi besar itu, lalu ganti memandang menteri she Gong.

   "Taijin, kau telah memberitahukan maksudmu membawa pengemis ini kemari?"

   Gong-taijin tersenyum.

   "Sudah, pangeran."

   "Dan dia mau membantumu?"

   "Hm, itu belum kutanya, pangeran. Tapi kukira Hwa- i Sin-kai mau membantu kita karena pikirannya yang luas!"

   Hwa-i Sin-kai menekan kemarahannya. Pangeran Ong sudah memandangnya dengan muka berseri- seri, dan berseru perlahan pangeran itu bertanya.

   "Sin-kai, kau tentu mau membantu Gong-taijin, bukan?"

   "Kalau tidak merugikan orang lain, pangeran. Tapi apakah paduka tahu apa yang diminta Gong-taijin ini?"

   Pangeran Ong tertawa.

   "Tentu saja, Sin-kai. Karena apa yang diminta Gong-taijin sesungguhnya akulah yang menyuruhnya!"

   Hwa-i Sin-kai terkejut.

   Sekarang dia terbelalak, dan menarik napas tiba-tiba saja dia sekarang mengerti siapa sebenarnya yang berdiri di balik permainan itu.

   Kiranya dua orang pangeran ini, yang ingin merebut kekuasaan putera mahkota melalui putera sang permaisuri! Maka tertegun pucat Hwa-i Sin-kai tiba- tiba melompat bangun.

   "Pangeran, siapakah putera mahkota yang baru berumur empat tahun itu? Dan apakah Bun Hwi..."

   "Hm, Bun Hwi jangan disebut-sebut lagi, Sin-kai. Adikku itu telah mati dan tidak ada kabar beritanya lagi. Ayahanda kaisar telah menetapkan gantinya, putera permaisuri yang bernama Kao Cung. Tapi karena putera ini menunjukkan tanda-tanda kelemahan dan tidak sehat terus terang kami berdua tidak setuju!"

   "Dan karena itu putera mahkota hendak kau bunuh, pangeran?"

   "Daripada melemahkan pemerintahan kelak!"

   "Ah...!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak. Tapi mengepal tinju tiba-tiba dia berkata.

   "Pangeran, hamba tidak mau ikut campur dalam masalah pembunuhan ini. Kalau paduka mau melakukan perbuatan itu lakukanlah tanpa mengikutcampurkan orang lain...!"

   "Dan kau ingin dikejar-kejar sebagai pemberontak, Sin-kai?"

   "Apa maksud paduka?"

   "Hm, membunuh putera mahkota harus dicari kambing hitamnya, Sin-kai. Kami telah menetapkan bahwa perkumpulanmulah yang mengakui perbuatan ini. Hwa-i Kai-pang harus bubar, dan kalau kau ingin selamat kau harus bersembunyi di tempat Gong- taijin, membantu kami melakukan pekerjaan- pekerjaan lain!"

   "Keparat!"

   Hwa-i Sin-kai memekik.

   "Kalau begitu kau hendak melempar fitnah kepada perkumpulan Hwa-i Kai-pang, pangeran? Kau tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu sendiri?"

   Pangeran Ong tertawa dingin.

   "Jangan marah-marah di sini, Sin-kai. Kau menghadapi lawan yang jauh lebih kuat. Pergunakan otakmu itu dan pikirlah baik- baik...!"

   Hwa-i Sin-kai tertegun. Dia menyadari keadaan itu, tapi munculnya seorang pengawal tiba-tiba membuat perhatiannya terpecah.

   "Taijin, teman Hu- siocia telah dibereskan oleh Mo-ong...!"

   Gong-taijin terkejut. Dia terbelalak memandang pengawal ini, dan dua orang pangeran yang mengerutkan kening bertanya.

   "Taijin, siapa yang dimaksudkan pengawal itu? Apakah Hu-siocia yang dimaksudkan adalah puteri Menteri Hu?"

   Menteri Gong menganggukkan kepala.

   "Memang benar, pangeran. Tapi hamba belum menceritakan pada paduka adanya sebuah berita baru. Gadis itu membawa seorang teman, dan dia mengaku bernama Bun Hwi!"

   Pangeran Ong tersentak.

   "Bun Hwi, taijin? Kenapa Mo-ong tidak memberitahukannya kepadaku?"

   Pembesar ini memandang kiri kanan. Dia mengusir kembali pengawal yang memberi laporan, lalu memandang Pangeran Ong dia menjawab.

   "Pangeran, ini adalah kejadian yang mendadak sekali. Hamba tidak tahu benar tidaknya bocah itu. Tapi Hu-siocia yang hamba tangkap di kamar bawah tanah memang mengaku membawa bocah itu. Apa paduka ingin memanggil Hu-siocia?"

   Pangeran Ong tiba-tiba berdiri.

   "Tidak, kalau begitu kita lihat saja mayat bocah itu, taijin. Kita membuktikan benar dia atau bukan!"

   Dan Pangeran Ong yang sudah memanggil pengawal meminta pengawal itu membawa mayat Bun Hwi. Tapi sang pengawal menggeleng kepala, dan memberi tahu dia berkata.

   "Hamba tidak dapat membawa mayatnya kemari, pangeran. Karena bocah itu telah dikubur hidup- hidup di sumur halaman belakang!"

   "Ah, begitukah, taijin? Kenapa tidak memberitahuku?"

   Menteri Gong buru-buru memberi penjelasan.

   "Mo- ong belum memberitahukan hal ini kepadaku, pangeran. Tapi hamba dengar kabarnya dia terluka. Kalau begitu apa kita lihat saja di sumur itu?"

   "Hm, memang sebaiknya begitu, taijin. Kita suruh orang membongkar sumur itu!"

   Dan Pangeran Ong yang tampak tergesa-gesa ini sudah bangkit dari duduknya dan memandang Hong Beng Lama.

   "Hong Beng Lama, perlukah pengemis ini dijaga? Atau dia ikut saja dengan kita ke belakang?"

   Hong Beng Lama mengangguk tenang.

   "Sebaiknya dia ikut saja, pangeran. Hamba akan menjaganya baik-baik."

   Dua orang pangeran itu setuju.

   Mereka membawa Hwa-i Sin-kai ke ruang belakang, membiarkan Mei Hong di atas lantai.

   Dan lima orang yang segera menuju ke halaman belakang ini diantar dua orang pengawal yang menunjukkan tempatnya.

   Mereka langsung menuju ke sumur tua itu, melihat betapa batu besar kecil menimbun sampai di atas tanah.

   Dan Hwa-i Sin-kai yang terbelalak matanya tiba-tiba berdebar kencang.

   Bun Hwi? Dia berpikir keras.

   Dikubur hidup-hidup di dasar sumur? Ah, Hwa-i Sin-kai terkejut.

   Kalau itu benar hal ini berarti celaka yang tidak ada obatnya lagi.

   Tapi bagaimana bocah itu bisa datang kemari?"

   Hwa-i Sin-kai tidak dapat berpikir panjang lagi. Dia mendengar Pangeran Ong memerintahkan dua orang pengawal itu membongkar timbunan batu di atas lubang. Tapi pekerjaan mereka yang dirasa lama tiba-tiba dihentikan oleh Hong Beng Lama.

   "Pangeran, suruh mereka itu pergi saja. Biar batu- batu ini hamba yang mengeluarkannya!"

   Pangeran Ong terbelalak.

   Tapi dua orang pengawal yang sudah disuruhnya pergi segera digantikan tugasnya oleh Lama Tibet ini.

   Hong Beng Lama melangkah lebar, menuju ke mulut lubang.

   Lalu begitu jubahnya bergerak tiba-tiba batu di sumur itu berhamburan mencelat dipukul kebutan jubahnya! Hebat sekali kesaktian Lama jubah merah ini.

   Hwa-i Sin-kai melihat betapa Lama itu mengebut- ngebutkan jubahnya tidak lebih dari sepuluh kali, dan begitu kebutan terakhir dilakukan tiba-tiba saja lubang sumur itu sudah menganga dan menampakkan sesosok tubuh yang terkubur hidup- hidup! "Bun Hwi...!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hwa-i Sin-kai paling dulu berseru.

   Kakek pengemis ini tampak terkejut, tapi Hong Beng Lama yang sudah menggerakkan jubahnya tahu- tahu melompat ke dalam dan melayang kembali ke atas.

   Dia membawa naik tubuh yang tampak tidak bergerak itu, dan Pangeran Ong serta dua orang temannya yang melangkah maju bertanya hampir berbareng.

   "Masih hidupkah dia, Hong Beng Lama?"

   Lama ini meraba denyut jantung. Dia kelihatan heran, dan berseru takjub dia menganggukkan kepalanya.

   "Bocah ini masih hidup, pangeran. Denyut nadinya masih deras meluncur. Sungguh luar biasa....!"

   Pangeran Ong dan Yin saling pandang. Mereka sekarang mengenal tubuh itu yang memang bukan lain Bun Hwi adanya. Dan melihat pemuda itu masih hidup padahal sudah terkubur di dasar sumur tiba- tiba saja muka mereka menjadi merah.

   "Hong Beng Lama, bunuh saja anak ini. Dia terlalu berbahaya!"

   Gong-taijin juga menambahi.

   "Memang benar, Hong Beng Lama. Dia memiliki kekebalan yang seperti setan!"

   Tapi Lama ini menggeleng.

   "Tidak sekarang, taijin. Hamba justeru ingin melihat dia hidup."

   "Ah, tapi anak itu berbahaya, Hong Beng Lama. Dia dapat membuat kerusuhan yang tidak kita harapkan!"

   Hong Beng Lama mau menolak. Tapi Hwa-i Sin-kai yang tiba-tiba berseru keras tahu-tahu menubruk ke depan merebut pemuda itu.

   "Hong Beng Lama, lepaskan dia...!"

   Hong Beng Lama terkejut.

   Dia melihat pengemis itu menotok dadanya, bergerak cepat untuk merampas Bun Hwi.

   Namun Lama yang mendengus dingin ini melempar Bun Hwi ke atas.

   Dia membiarkan totokan Hwa-i Sin-kai mengenai tubuhnya, lalu begitu totokan mental karena kesaktiannya tiba-tiba jari Lama ini ganti menotok Hwa-i Sin-kai, sekaligus menangkap tubuh Bun Hwi yang meluncur ke bawah.

   "Hwa-i Sin-kai, jangan memberontak. Robohlah!"

   Dan Hwa-i Sin-kai yang terpekik kaget tahu-tahu menerima sentuhan jari Lama Tibet ini.

   Dia terguling roboh, dan kaki Hong Beng Lama yang menendang pinggangnya membuat pengemis tua itu terpental tiga tombak lebih.

   Sementara tubuh Bun Hwi, yang diterima kembali oleh Lama jubah merah ini telah berada di tangan Lama itu menggagalkan serangan Hwa-i Sin-kai! "Bluk!"

   Hwa-i Sin-kai melotot dan kakek pengemis yang mengeluh pendek itu memaki Hong Beng Lama dengan penuh kemarahan.

   "Hong Beng Lama, kau manusia busuk. Celakalah engkau di dasar neraka...!"

   Hong Beng Lama mendengus.

   Dia memandang dua orang pangeran di depan, lalu berbisik-bisik perlahan dia bicara sesuatu yang tidak dapat ditangkap telinga Hwa-i Sin-kai.

   Dan begitu dua orang pangeran ini mengangguk Lama itu sudah mencengkeram leher pengemis tua ini.

   "Hwa-i Sin-kai, kau masuklah ke sumur itu. Aku tidak ingin mendengar kau berkaok-kaok lagi!"

   Dan tubuh Hwa-i Sin-kai yang tiba-tiba ditendang Lama itu mencelat masuk ke lubang sumur.

   Hwa-i Sin-kai kaget dan pucat mukanya, mengira dia akan dikubur hidup-hidup menggantikan Bun Hwi.

   Tapi Hong Beng Lama yang berseru di atas sumur kiranya telah berkelebat pergi membawa tiga orang temannya, meninggalkan pengemis itu sendirian di lubang sumur, tak mampu melepaskan diri karena totokan Hong Beng Lama telah membuatnya lumpuh! *S*F* Kemana Bun Hwi dibawa? Kiranya empat orang itu kembali memasuki gedung.

   Hong Beng Lama berbisik-bisik lagi dengan Pangeran Ong, memberi tanda dan isyarat yang tidak dimengerti orang lain.

   Lalu begitu semuanya tersenyum Lama inipun langsung membawa Bun Hwi ke sebuah kamar di belakang.

   Hong Lam tahu-tahu muncul di situ, mendapat isyarat ayahnya agar segera datang.

   Dan pemuda yang tampak terheran melihat ayahnya membawa seorang pemuda lain sudah bertanya dengan kening dikerutkan.

   "Ayah, siapa pemuda ini? Kenapa kaubawa kemari?"

   Lama itu mengebutkan jubahnya.

   "Kau masuklah, Lam-ji. Jangan bertanya di luar dengan cara begitu!"

   Dan Lama yang sudah menutup pintu kamar itu melempar Bun Hwi ke atas lantai. Dia menyeret sebuah kursi, memandang penuh kagum tubuh yang menggeletak pingsan itu, lalu berkata pada puteranya dia menuding.

   "Kau tahu siapa dia itu?"

   Hong Lam tentu saja menggeleng.

   "Mana aku tahu, ayah? Siapa dia?"

   "Hm, dia adalah Bun Hwi, Hong Lam. Katanya baru tiba dijebak Ang-sai Mo-ong!"

   Hong Lam kaget.

   "Bun Hwi, ayah? Bukankah itu bocah..."

   "Ya, dia itulah. Bocah yang dulu menggemparkan banyak orang dengan kekebalannya yang aneh itu."

   "Ahh!"

   Hong Lam terbelalak. Lalu melompat maju dia memeriksa tawanan ayahnya ini dengan muka tidak mengerti.

   "Ayah, kalau begitu kenapa kau bawa ke sini? Dan mana itu Ang-sai Mo-ong?"

   "Hm, iblis tua itu terluka, Lam-ji. Katanya pergi tapi menjebak pemuda ini di lubang sumur!"

   "Lalu?"

   "Seorang pengawal memberi laporan. Kami ke sana dan ternyata iblis tua itu mengubur hidup-hidup bocah ini!"

   "Ah, berapa lama, ayah?"

   "Tidak tahu. Tapi melihat keadaannya tentu lebih setengah hari!"

   "Dan dia masih hidup?"

   "Seperti yang kau lihat!"

   Ayahnya menjawab.

   "Dan bocah ini memiliki tulang dan darah yang kuat sekali, Lam-ji. Kulihat dia memiliki sesuatu yang luar biasa dalam dirinya!"

   "Hm...."

   Hong Lam tiba-tiba tidak senang.

   "Kau memuji orang lain, ayah? Kau tampaknya kagum sekali pada bocah ini?"

   Hong Beng Lama tersenyum.

   "Kau jangan iri, Hong Lam. Bocah ini kulihat jauh lebih baik daripada kau!"

   Hong Lam marah.

   "Kalau begitu untuk apa kau memanggilku kemari, ayah? Hanya untuk mendengar pujianmu yang menyakitkan ini?"

   Hong Beng Lama tiba-tiba tertawa lebar. Dia bangkit menghampiri puteranya itu, dan berkata sungguh- sungguh dia mengelus pundak sang anak.

   "Lam-ji, jangan kau curigai ayahmu ini. Aku ingin membuktikan kehebatannya. Kalau kau mampu menundukkannya berarti dia bukan apa-apa bagi kita. Tapi kalau kau kalah bocah ini harus segera kita singkirkan. Aku ingin menyedot darahnya untuk kau simpan di dalam darahmu!"

   Hong Lam terbelalak.

   "Kau sungguh-sungguh, ayah?"

   "Hm, pernahkah aku main-main, Lam-ji?"

   "Kalau begitu kapan itu kau lakukan, ayah? Dan bagaimana dengan rencana kita semula?"

   Hong Beng Lama mengerutkan alisnya.

   "Hong Lam, jangan keras-keras kau bicara. Tembok masih ada yang menyembunyikan telinga!"

   Hong Lam terkejut.

   "Maaf, ayah. Aku tidak sadar. Tapi persekutuan ini, tentu berhasil kita lakukan, bukan?"

   "Hm, tergantung keadaan, Lam-ji. Kalau dua orang pangeran itu berhasil kita kuasai tentu semuanya akan berjalan baik."

   "Dan aku menjadi kaisar, ayah?"

   Hong Beng Lama mendengus dingin.

   "Lam-ji, rencana kita adalah rahasia kita sendiri. Kita harus dapat merebut kekuasaan itu tanpa tindakan menyolok. Pangeran Ong dan Yin adalah manusia- manusia cerdik. Sekali dia mengetahui rahasia ini tentu cita-citamu gagal!"

   "Kalau begitu bagaimana, ayah?"

   "Aku sudah mengatur segalanya. Dua orang pangeran itu setuju. Dan kelak jika mereka menduduki singgasana kita dapat membunuhnya secara diam-diam!"

   "Dan aku yang menduduki kursi kaisar, ayah?"

   "Kalau kau tidak bersikap tolol! Urusan ini bukan urusan sepele, Lam-ji. Kita harus berpikir panjang. Ingat, kau adalah keturunan Bangsa Tibet. Sekali kita salah langkah semuanya pun akan jadi berantakan!"

   "Hm, apa maksudmu, ayah? Kenapa kau cemas tentang ini? Bukankah kau merupakan jago tanpa tanding?"

   Hong Beng Lama mengebutkan jarinya.

   "Hong Lam, kau benar-benar bodoh. Kalau ayahmu sudah menjadi jago tanpa tanding apa lalu semua orang tunduk pada ayahmu? Kau kira menjadi penguasa boleh bertangan besi terhadap rakyat?"

   "Ah, kita dapat mempergunakan pengaruh, ayah. Kau dapat mempergunakan kesaktianmu yang hebat itu!"

   "Baik, lalu dengan begitu seseorang cukup bekerja sendirian saja? Tidak memperhitungkan faktor-faktor lain?"

   "Apa maksudmu, ayah?"

   "Begini, Lam-ji. Untuk mencapai apa yang kita cita- citakan maka semuanya harus kita perhitungkan baik-baik. Kau adalah keturunan Bangsa Tibet. Tentu tidak begitu saja rakyat akan tunduk padamu kalau kau menjadi kaisar. Dan kalau kita tidak bekerja sama dengan mereka tentu kedudukan yang kau peroleh hanyalah kedudukan semu. Di dalam hal ini ada tiga syarat mutlak untuk bernegara, Lam-ji. Karena tanpa tiga syarat ini kau tidak dapat mendirikan dinasti baru!"

   Hong Lam terbelalak.

   "Apa tiga syarat itu, ayah?"

   "Pertama,"

   Hong Beng Lama menjelaskan.

   "Untuk bernegara seseorang harus mempunyai wilayah. Ini pokok pertama dari tiga syarat itu yang paling penting. Karena tanpa ini jelas seorang raja tak mungkin bisa bekerja. Dan kedua, di dalam wilayah harus ada rakyat. Karena tanpa rakyat yang mengisi wilayah itu syarat bernegara tentu mustahil. Dan ketiga atau yang terakhir ialah di tengah-tengah wilayah atau rakyat ini harus ada pemerintah! Nah, kau jelas, Lam-ji?"

   "Hm, itu aku sudah mengerti, ayah. Tapi apa hubungannya ini dengan kekhawatiranmu tadi?"

   "Bodoh. Kau berarti tak memahami apa yang menjadi isi dari keteranganku ini, Lam-ji. Karena dengan begitu kau jelas tak mengerti apa yang kumaksudkan. Kau tahu tentang tiga syarat yang kusebutkan tadi, bukan? Nah, nomor dua dan nomor tiga berarti seorang raja tak bekerja sendirian. Dia mengatur rakyatnya, memerintah rakyatnya dan ini berarti dia dibantu orang-orang yang diambil dari rakyatnya itu! Kalau kau tak mendapat simpati rakyat lalu apa gunanya menjadi kaisar?"

   Hong Lam masih tak mengerti.

   "Tapi kita dapat mencari orang-orang kita sendiri, ayah. Tibet masih banyak menyimpan orang-orang yang dapat membantu kita!"

   "Hm, dengan begitu kau hendak memimpin rakyat Tiongkok di tangan Bangsa Tibet, Hong Lam? Kau hendak mencari penyakit dengan cara begini?"

   "Kenapa begitu, ayah?"

   "Hong Lam,"

   Ayahnya menjadi marah.

   "Kalau begitu caramu berpikir maka selamanya negeri yang kau pimpin melulu diisi pemberontak. Rakyat Tiongkok akan bergolak, tidak puas oleh caramu memerintah. Dan mereka yang melihat Bangsa Tibet sebagai penguasa di atas negeri sendiri tentu akan meletuskan api pemberontakan melawan kekuatanmu! Kau kira enak saja rakyat kecil melihat negaranya dipimpin bangsa asing? Kau sangka mereka diam saja tak mengadakan reaksi?"

   "Kita dapat mempergunakan kesaktianmu, ayah. Kita dapat menghancurkan mereka dengan kekerasan!"

   "Dan kalau rakyat sudah tidak ada di wilayahmu kau hendak memimpin angin busuk?"

   Hong Lam terkejut. Belum dia membuka mulut sang ayah sudah meneruskan lagi dengan kata-kata tinggi.

   "Hong Lam, jangan berpikiran bodoh seperti itu. Bangsa Tibet hanya kecil saja dibanding Bangsa Tiongkok. Dan kalau ini gagal berarti cita-cita hidup kita hancur berantakan! Tibet sudah dikuasai Hong Sin Lama, tak mungkin kita mencari kekuasaan di sana. Dan Tionggoan yang mulai kita incar ini harus jatuh ke tangan kita dengan jalan halus, bukan kekerasan! Kau mengerti apa yang kumaksud?"

   Hong Lam mulai mengangguk.

   "Aku mulai mengerti, ayah. Tapi apakah ini berarti kedudukan kaisar..."

   "Ya, tetap kita serahkan pada Pangeran Ong!"

   Ayahnya memotong.

   "Itu sesuai perjanjian bersama. Dan kelak kalau pangeran itu telah menjadi kaisar maka kau diangkat sebagai menteri pertahanan sementara aku sendiri sebagai penasehat raja!"

   "Hm..."

   Hong Lam mengerutkan alis.

   "Lalu kapan aku sendiri bisa menduduki kursi kekaisaran, ayah? Bagaimana kalau Pangeran Ong..."

   Hong Beng Lama mengulapkan lengannya.

   "Itu jangan kau pikirkan sekarang, Lam-ji. Yang penting kau mulai duduk di pemerintahan dan kelak secara halus kita mencari simpati rakyat sekaligus menggeser kedudukan kaisar baru dengan keburukan-keburukannya. Kita hasut pangeran itu agar dibenci rakyatnya, dan sekali ini berhasil tentu mudah bagimu menumbangkan dia dan mengangkat diri sendiri!"

   Hong Lam mulai berseri mukanya.

   "Wah, kau tampaknya telah merencanakan sebuah rencana jangka panjang, ayah. Kau tampaknya lihai dan cerdik sekali!"

   Hong Beng Lama tidak menanggapi pujian puteranya ini. Dia bangkit berdiri, memandang Bun Hwi yang masih pingsan lalu tiba-tiba menyambar puteranya.

   "Lam-ji, bocah ini sebentar lagi siuman. Kau jalankanlah perintahku tadi. Bawa murid Hwa-i Sin- kai itu ke kamar sebelah...!"

   Hong Lam terkejut.

   Dia melihat Bun Hwi menggerak- gerakkan pelupuk matanya, tanda hampir sadar dari pingsannya.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi sang ayah yang sudah menyeretnya keluar kamar membuat pemuda itu tak dapat menolak lagi.

   Dia dilempar jauh ke depan, dan Hong Beng Lama yang berseru perlahan memberi isyarat.

   "Lam-ji, bawa cepat gadis itu. Aku ingin melihat kalian menjalankan rencana seperti apa yang kuperintahkan!"

   Hong Lam mengangguk.

   Dia melompat ke kiri, menyelinap ke ruang dalam.

   Sementara Hong Beng Lama yang melayang ke atas tahu-tahu telah bersembunyi menggantungkan kaki di atas sebuah belandar, mengintai ke dalam di mana Bun Hwi mulai membuka mata! Apa sesungguhnya yang direncanakan Hong Beng Lama ini? Kalau saja ada orang yang mendengar pembicaraan ayah dan anak itu tentu dia bakal pucat dan kaget setengah mati.

   Karena Lama Tibet yang membantu Menteri Gong itu ternyata diam-diam mempunyai rencana sendiri, hendak mendirikan dinasti baru dan kelak mengangkat puteranya sebagai kaisar di Kerajaan Tang! Barangkali, kalau ada tokoh yang mengenal baik riwayat hidup Lama ini tentu dia akan berpikir seribu kali untuk bersekutu dengan Lama ini.

   Karena di negaranya sendiri, Tibet, Hong Beng Lama telah terkenal akan kegagalannya merebut kekuasaan di samping pelanggaran susilanya! Lama itu telah berhubungan dengan wanita Tibet, yang bukan lain ibu Hong Lam itu.

   Padahal, Hong Beng Lama yang telah disumpah untuk menjauhkan diri dari wanita itu ternyata gagal.

   Lama ini diam-diam mengambil seorang isteri, yang tentu saja dianggap pelanggaran sumpah.

   Dan Hong Beng Lama yang sakit hati itu akhirnya malah bertindak lebih jauh.

   Mulai mempelajari ilmu-ilmu hitam di samping merebut kekuasaan di Tibet! Tapi tentu saja Lama ini mendapat tentangan keras.

   dia dianggap pemberontak, dimusuhi banyak orang di negerinya sendiri.

   Dan setelah merobohkan banyak jiwa barulah Lama itu menyerah ketika Hong Sin Lama muncul.

   Hong Sin Lama ini sebenarnya adalah suheng dari Hong Beng Lama sendiri.

   Seorang Lama tua yang sudah puluhan tahun hidup tenang dan hampir mengasingkan diri.

   Tapi setelah sutenya membuat onar dan Tibet menjadi ribut barulah Hong Sin Lama turun tangan.

   Dan menghadapi Hong Sin Lama inilah Hong Beng Lama roboh.

   Dia ditangkap.

   Lalu dipenjara lima tahun.

   Tapi Hong Sin Lama yang tidak tega melihat penderitaan sutenya secara diam-diam melepaskan adik seperguruannya ini.

   Diusir dengan syarat tidak mengacau Tibet lagi.

   Tapi Hong Beng Lama telah mempunyai keturunan.

   Dia sekarang lebih banyak "kebutuhan"

   Duniawinya, tak cukup mengejar ketenangan hidup melulu.

   Dan Hong Lam yang menjadi putera tunggal Lama jubah merah ini mulai dipikirkan masa depannya.

   Dia mencita-citakan anaknya menjadi orang terhormat.

   Orang yang paling disegani di seluruh negeri.

   Dan karena orang paling terhormat itu bukan lain adalah kaisar maka Hong Beng Lama mulai menujukan cita- citanya ke sini, memasuki Tiong-goan untuk menebus kegagalannya sendiri di Tibet! Tapi Hong Beng Lama tidak bisa bekerja sendirian.

   Dia harus mencari orang-orang lain, orang dalam istana yang bisa diajak bersekutu.

   Dan karena kebetulan Pangeran Ong dan Yin sedang mencari orang-orang lihai untuk membantunya merebut kedudukan putera mahkota maka Lama ini kontan saja diterima dengan gembira.

   Melalui Gong-taijin Hong Beng Lama mengadakan pertemuan.

   Bersama- sama mereka mengikat kerja sama.

   Dan Pangeran Ong, yang berjanji kelak mengangkat Lama itu sebagai penasehat kalau dia menjadi kaisar telah bersepakat dengan Lama ini merebut kekuasaan secara diam-diam.

   Tidak tahu, betapa Lama itu secara terpisah telah merencanakan sebuah "pembelotan"

   Terhadap dua orang pangeran itu untuk kelak mengangkat puteranya sendiri menjadi kaisar! Tapi Lama ini memang cerdik.

   Dia menyimpan erat- erat rahasianya itu, menyuruh Hong Lam mengikuti saja kemauan dua orang pangeran itu.

   Dan Hong Lam yang mulai dijejali ayahnya cita-cita pribadi mulai menjadi ambisius.

   Sebenarnya, berkali-kali pemuda itu minta pada ayahnya untuk terang- terangan saja.

   Mempergunakan kesaktian ayahnya yang hebat untuk menundukkan lawan.

   Namun Hong Beng Lama yang berpikiran jauh selalu menolak.

   Dia tidak menghendaki jatuhnya kekuasaan secara keras, melainkan halus namun mengena pada sasarannya.

   Dan Hong Lam yang belum dapat mengikuti kehendak ayahnya kadang-kadang masih suka memberontak.

   Hingga pada suatu hari, ayahnya berkata.

   "Lam-ji, mempergunakan okol belum dapat dipakai menundukkan lawan secara mutlak. Kita harus juga mempergunakan akal, mencari jalan baik agar semuanya itu jatuh ke tangan kita dengan bersih. Kalau mempergunakan kekerasan saja untuk mencari pengaruh lalu apa gunanya kita mempunyai otak? Tidak, Lam-ji. Kau harus bersabar. Menjadi calon kaisar harus melalui pematangan batin dengan mengalami banyak peristiwa. Kau tekanlah nafsumu. Kelak kalau saatnya tiba tentu semuanya itu akan jatuh ke tangan kita dengan baik."

   Hong Lam akhirnya menurut.

   Dia masih tidak puas, tapi nasihat ayahnya mau juga diterimanya baik- baik.

   Maka, ketika Pangeran Ong menjanjikan kedudukan tinggi di dalam istana kalau persekutuan mereka berhasil barulah pemuda ini mau menahan diri.

   Dia tidak lagi membantah ayahnya, dan Hong Beng Lama yang berpikiran jauh mulai berhasil menuntun puteranya ini.

   Tapi diam-diam Hong Lam masih merasa penasaran dan ingin memberontak! Dia berpikir, kalau ayahnya tidak ada yang mampu menandingi untuk apa mereka harus berlama-lama menunggu? Bukankah mempergunakan kesaktian ayahnya semua itu bisa tercapai? Memang pikiran Hong Lam ini bisa dimaklumi.

   Hong Beng Lama benar-benar seorang kosen.

   Kesaktiannya mengejutkan.

   Dan Lama yang bisa hidup kembali dalam setiap kematian itu memang rupanya susah dikalahkan.

   Siapa dapat menandingi Lama ini? Dengan ilmunya Merekat Tulang Menyambung Nyawa Lama itu seolah-olah bakal hidup abadi.

   Tak mengenal kematian! Tapi, benarkah itu? Hong Lam sendiri tak sampai kesini pikirannya.

   Dia hanya mengagul-agulkan ayahnya itu, yang memang hebat luar dalam.

   Tapi Hong Beng Lama sendiri yang diam-diam memiliki kesaktian tinggi sesungguhnya tak berani bicara seperti itu.

   Lama ini gentar terhadap dua orang.

   Pertama suhengnya sendiri yang ada di Tibet sedangkan yang kedua adalah manusia dewa Pek In Siansu.

   Tapi, tentu saja rahasia ini adalah rahasia pribadi Hong Beng Lama! Hong Lam sendiri menganggap ayahnya tak ada lawan.

   Karena Hong Sin Lama yang dulu merobohkan ayahnya itu dikatakan Hong Beng Lama sebagai sikap mengalah adik seperguruan terhadap saudara tua! Padahal, siapa tahu kejadian sebenarnya? Hanya Hong Sin Lama yang benar-benar tahu ketakutan sutenya ini.

   Karena dialah satu-satunya orang yang tahu kelemahan adik seperguruannya dengan ilmu yang berbau hoat-sut (ilmu hitam) itu.

   Yang membuat Hong Beng Lama selalu hidup kembali dalam setiap kematian.

   Dan Hong Beng Lama, yang maklum suhengnya merupakan orang yang memegang "kunci"

   Kelemahannya adalah orang yang paling ditakuti.

   Sekarang kembali pada Bun Hwi.

   Pemuda yang mulai sadar di dalam kamar itu membuka mata.

   Dia melompat bangun, menekan dadanya yang sedikit sesak dan merasa heran akan keadaan sekeliling.

   Bukankah dia terkubur hidup-hidup di dasar sumur? Kenapa tiba-tiba ada di kamar ini? Bun Hwi memperhatikan sekitarnya, lalu memperhatikan diri sendiri.

   Dia melihat dirinya tidak terikat, bebas tak kurang suatu apa.

   Tapi kenapa terkurung di kamar itu? Bun Hwi melompat.

   Dia melihat dinding kamar itu terbuat dari papan-papan yang tebal, rapat tapi ada sedikit celah-celah untuk mengintai.

   Dan pintu kamar yang tertutup rapat agaknya dikunci! Hm, Bun Hwi melangkah lebar.

   Dia membuka pintu itu, menarik dan mendorong berkali- kali untuk membukanya.

   Tapi setelah gagal melakukan maksudnya ini Bun Hwi mulai tidak sabar.

   Dia ingin tahu siapa yang membawanya kemari.

   Dan dimana datuk iblis Ang-sai Mo-ong itu! Tapi sebelum dia mendobrak pintu kamar ini mendadak di kamar sebelah dia mendengar suara gedebuk disusul jeritan seorang gadis.

   Bun Hwi terkejut, langsung melompat ke kiri dimana dia dapat mengintai dari celah dinding untuk melihat apa yang terjadi.

   Dan begitu dia melihat ke dalam tiba-tiba saja Bun Hwi tertegun.

   Ada seorang pemuda di situ, tampan dan berdiri tertawa-tawa memandang seorang gadis yang rebah di atas lantai.

   Dan gadis yang meronta-ronta di atas lantai itulah yang tadi menjerit! Gadis ini memaki kalang-kabut, dan suaranya yang nyaring merdu membuat Bun Hwi bagai disambar geledek.

   Dia merasa mengenal suara itu, suara Mei Hong! Tapi Bun Hwi yang masih meragukan pendengarannya sendiri tidak beranjak dari tempatnya.

   Dia ingin mengetahui, apa yang hendak dilakukan pemuda itu.

   Dan pemuda tampan yang tertawa-tawa di kamar sebelah ini berkata membujuk.

   "Hong-moi, jangan berteriak-teriak. Kau layanilah aku sebagaimana layaknya sepasang kekasih. Kau mencintaiku, bukan? Ha-ha, jangan menyangkal, adik manis. Aku tahu kau mencintaiku dan akupun mencintaimu!"

   Si gadis memaki kalang-kabut.

   "Orang she Hong, jangan coba-coba menyentuh diriku. Sehelai rambut saja kau ganggu tentu aku akan membunuhmu!"

   "Ah, kenapa bicaramu begitu, Hong-moi? Bukankah kau mencintaiku?"

   "Cis, siapa mencintaimu, orang she Hong. Aku tidak sudi bicara tentang cinta denganmu. Kau pergilah dan bawa kemari suhu yang kau tangkap! Dimana dia?"

   Si pemuda tertawa bergelak. Dia tiba-tiba menundukkan mukanya, mau mencium gadis yang meronta-ronta. Namun hidungnya yang sudah diludahi membuat pemuda ini terkejut dan tiba-tiba marah.

   "Nona Hong, kenapa kau bersikap kasar? Tidak tahukah kau kebaikanku kepadamu?"

   "Jangan bicara tentang kebaikan, orang she Hong. Bebaskanlah aku kalau kau benar-benar berniat baik!"

   Si pemuda tampan marah.

   Bun Hwi melihat pemuda ini gelap mukanya, lalu begitu ciumannya gagal mendadak pemuda ini mencengkeram pundak si gadis dan mengangkatnya bangun.

   Sekarang Bun Hwi dapat melihat siapa gadis itu, dan begitu dia mengenal wajahnya tiba-tiba saja Bun Hwi tersirap.

   Memang benar.

   Mei Hong! Gadis itu sudah tampak dewasa sekarang.

   Mukanya cantik, pipinya merah mangar-mangar.

   Dan Mei Hong yang dicengkeram kedua pundaknya itu tiba-tiba dibanting pemuda ini.

   "Gadis siluman, kau tak tahu diuntung orang... brukk!"

   Dan Mei Hong yang menjerit kaget mengeluh tertahan di atas lantai.

   Dia memaki-maki lawannya itu, melotot ngeri memandang pemuda ini yang tampaknya beringas kemasukan setan.

   Tapi Bun Hwi yang tidak tahan lagi di dalam kamar tiba-tiba mencengkeram papan tebal yang menjadi dinding kamar.

   Sekali remas dia telah menghancurkan papan yang memisah dua ruangan itu, lalu melompat ke depan dia membentak.

   "Manusia busuk, lepaskan wanita itu...!"

   Dua orang di dalam kamar ini kaget.

   Mereka tersentak, menoleh ke belakang.

   Dan Mei Hong yang melihat Bun Hwi muncul di tempat itu tiba-tiba saja tertegun.

   Dia tampak kaget dan girang, tapi Mei Hong yang masih ragu-ragu oleh pandangannya sendiri gemetar.

   Gadis ini terbelalak, menggigil dengan muka pucat.

   Tapi Bun Hwi yang sudah melangkah lebar berkata dengan suara serak.

   "Mei Hong, kau orangnya, bukan?"

   Mei Hong tiba-tiba mengeluh. Dia bagaikan mimpi, dan Bun Hwi yang telah menyapanya pertama kali itu mendadak disebutnya dengan lengking rendah.

   "Bun Hwi...!"

   Bun Hwi terharu. Dia menubruk gadis itu, tapi pemuda di sebelah yang bukan lain Hong Lam adanya tiba-tiba menggerakkan lengannya menghantam tengkuk Bun Hwi.

   "Setan cilik, jangan sentuh kekasihku...!"

   Dan pukulan Hong Lam yang menyambar cepat tahu-tahu mengenai tengkuk Bun Hwi dengan telak.

   "Plak!"

   Bun Hwi terpelanting roboh. Dia terkejut, sadar bahwa di tempat itu masih ada orang ketiga. Maka Bun Hwi yang melompat bangun tiba-tiba bersinar matanya dengan gigi gemeretuk.

   "Manusia hina, kau siapakah?"

   Bentaknya marah. Tapi Hong Lam tersenyum dingin. Dia tidak menjawab pertanyaan ini, dan Mei Hong yang kaget melihat Bun Hwi terjungkal oleh serangan Hong Lam tiba-tiba berteriak.

   "Bun Hwi, dia itu..."

   Namun tangan Hong Lam sudah bergerak cepat.

   Dia melontar sebuah kerikil cepat, menotok leher Mei Hong.

   Dan Mei Hong yang seketika tak mampu bicara menjadi gagu tak dapat meneruskan seruannya! "Ha-ha, kau jangan memberitahukan namaku pada setan cilik ini, Hong-moi.

   Dia belum pantas mengetahui siapa aku!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bun Hwi marah. Dia tidak tahu siapa pemuda ini, tapi melihat sikapnya yang kasar dia dapat menduga kalau pemuda itu bukan orang baik-baik. Maka terbelalak penuh kemarahan tiba-tiba dia mengepalkan tinju.

   "Sobat, kau tampaknya takut memperkenalkan diri. Baiklah, lalu apa maksudmu mengganggu seorang gadis? Tidak tahukah kau bahwa perbuatanmu ini termasuk perbuatan hina?"

   Hong Lam tersenyum mengejek.

   "Tak perlu panjang lebar, Bun Hwi. Apa yang kau maui sekarang?"

   "Hm, bebaskan gadis itu dan kau enyahlah!"

   Bun Hwi membentak.

   Hong Lam tentu saja tertawa.

   Dia sengaja mengganggu Mei Hong atas suruhan ayahnya, meskipun di dalam hati dia merasa kecut karena Mei Hong tentu akan marah-marah dan benci kepadanya.

   Tapi melihat rencana ayahnya sudah mulai jalan diapun menarik muka tidak bersahabat.

   "Bun Hwi, kau enak saja bicara. Tahukah kau betapa susah payahnya aku membawa gadis ini? Kalau kau ingin aku pergi kau robohkanlah aku. Ingin kulihat mampukah kau melakukannya!"

   Bun Hwi sudah tahu jawabannya ini.

   Dia tertawa dingin, maklum pemuda itu akan melawannya.

   Maka begitu orang sudah bicara seperti itu tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan melakukan terkaman.

   Dia tidak banyak bicara lagi, dan Hong Lam yang diserang cepat tahu-tahu telah dicekik lehernya dan dibanting.

   "Brukk!"

   Hong Lam berteriak kaget.

   Dia benar-benar terkejut melihat kecepatan Bun Hwi bergerak, menerkam lehernya dan membanting secepat itu.

   Tapi Hong Lam yang sudah melompat bangun menjadi gusar.

   Sekarang dia teringat pujian ayahnya bahwa pemuda ini hebat, jauh lebih hebat daripada dirinya sendiri! Maka Hong Lam yang menjadi merah mukanya itu tiba-tiba berkilat matanya dan bersikap mengancam! "Bun Hwi, berani kau membantingku seperti itu?"

   Hong Lam mendesis.

   "Hm, bukan hanya membantingmu, orang she Hong. Tapi juga akan melemparmu keluar kamar ini!"

   Bun Hwi mengejek, meniru Mei Hong yang menyebut pemuda itu "orang she Hong".

   "Bagus, kalau begitu lakukan niatmu itu, Bun Hwi. Coba kau terimalah ini...!"

   Dan Hong Lam yang tiba- tiba membentak nyaring tahu-tahu dsh menyerang Bun Hwi dengan kecepatan yang sama.

   Dia membalas serangan Bun Hwi dengan mencengkeram leher pemuda itu.

   Dan Bun Hwi yang tahu-tahu dicekik lehernya tiba-tiba dsh diangkat dan dibanting keras.

   "Bress!"

   Bun Hwi terkejut. Dia terguling-guling di kamar itu, menubruk dinding ruangan yang ambrol berantakan ditimpa tubuhnya. Dan Hong Lam yang sudah mengejar dirinya yang bergulingan jauh sudah melancarkan serangan kedua.

   "Bun Hwi, jangan lari kau...!"

   Bun Hwi mendongkol. Dia melihat pemuda itu menggerakkan lengan kiri menampar pelipisnya, serangan berbahaya. Maka melihat lawan sudah menggerakkan lengan diapun menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Dukk!"

   Hong Lam menyeringai kaget. Dia terpental mundur, lengannya panas, dan Bun Hwi yang melompat bangun sudah tertawa dingin mengejek kepadanya.

   "Orang she Hong, kenapa kau mundur? Jangan lari kau...!"

   Hong Lam merah mukanya. Dia dibalas ejekan yang sama, sengaja dibikin marah. Dan putera Hong Beng Lama yang penasaran ini sudah melompat kembali sambil berteriak.

   "Bun Hwi, jangan sombong kau. Aku masih belum roboh!"

   Bun Hwi tersenyum. Dia berkelit pada serangan berikut ini, dan menggerakkan lengan dia menangkis dari samping dengan gerakan setengah melingkar, sengaja mencoba kekuatan sinkang pemuda itu.

   "Dukk!"

   Kali ini Bun Hwi terkejut.

   Mereka berdua sama-sama tergetar, dan Hong Lam yang sudah meneruskan serangannya tiba-tiba melengking dan memutar kedua tangannya.

   Pemuda itu menyerang bertubi-tubi, dan Bun Hwi yang kaget oleh bentrokan terakhir ini tiba-tiba sudah dihujani serangan yang susul-menyusul, berantai bagai payung lebar yang menusuk-nusuk ganas! "Ih!"

   Bun Hwi membelalakkan mata. Dia tahu-tahu dikurung oleh bayangan yang berseliweran mengitari tubuhnya, dan belum dia mengejapkan mata tahu- tahu dua pukulan menghantam leher dan pundak kanannya.

   "Plak-dess!"

   Bun Hwi terlempar. Dia merasa dipukul palu godam yang beratnya ribuan kati, dan Hong Lam yang berteriak girang sudah menyusulinya lagi dengan sebuah tendangan miring.

   "Blek!"

   Bun Hwi terguling-guling.

   Dia sekarang membelalakkan matanya lebar-lebar, kaget melihat pukulan yang anteb itu.

   Maka ketika lawan kembali berseru keras sambil menggerakkan lengannya menghantam muka Bun Hwi tiba-tiba membentak pendek dan melenting bangun.

   Dia menerima serangan itu dengan tusukan jarinya, menotok telapak lawan yang menghantam muka.

   Lalu begitu lawan berteriak kaget Bun Hwi sudah menggerakkan tangan kirinya menampar kepala orang.

   "Plak!"

   Hong Lam kali ini mengumpat.

   Dia memekik tertahan, terhuyung tiga langkah dengan mata melotot.

   Tapi Hong Lam yang sudah melengking tinggi tahu-tahu berkelebat ke depan membalas Bun Hwi.

   Dia mengerahkan ginkangnya berputaran di tubuh lawan, lalu begitu dirinya berkelebatan gencar Hong Lam sudah lenyap dibungkus bayang-bayang tubuhnya yang berseliweran cepat.

   Yang tampak sekarang adalah kepalan tinju yang menari-nari di muka Bun Hwi, dan kaki Hong Lam yang sering naik turun melakukan tendangan membuat pemuda ini lenyap dalam kabut pukulan yang bertubi-tubi.

   Bun Hwi sekarang terkejut.

   Dia melihat lawan menunjukkan kepandaiannya yang sungguh- sungguh, dan tubuhnya yang dikelilingi serangan gencar membuat dia menahan napas.

   Serangan itu cepat sekali, juga tiada hentinya.

   Dan tubuh lawan yang lenyap dibungkus bayang-bayang dirinya membuat Bun Hwi tak berani bersikap ayal-ayalan lagi.

   


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Ibu Hantu Karya Ang Yung Sian Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini