Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 18


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 18



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   Bun Hwi tertawa.

   "Ibu, kali ini kau salah. Paman tak berpikir seperti kau. Bahagia atau tidaknya aku hanya akibat sampingan dari citanya kelak. Entah itu berhasil atau gagal! Kalau begitu, apa penyebab utama dari tindak-tanduk paman ini?"

   "Hm. apa, Bun Hwi? "Keserakahan, ibu. Keserakahan yang tak mengenal batas!"

   Ibunya terkejut. Tapi sebelum ia bicara, Bun Hwi sudah mendahului.

   "Tenang, ibu, sabar dulu. Aku bicara berdasarkan data yang ada. Kalau ibu tidak percaya sekarang boleh kita lihat. Pertama, dalam arti apakah bahagia yang dimaksudkan paman itu? Bahagia dengan soal duniawi, rohani, atau apa? Kalau kita menganggap kebahagiaan soal duniawi, kiranya jawabannya jelas. Paman tak kurang suatu apa. Hartanya cukup. Karena kedudukannya sebagai gubernur jelas membuat dia berlimpah dalam soal harta. Kalau soal rohani barangkali ini merupakan tanda tanya besar yang tidak akan terjawab. Dalam hal apakah rohani paman mengalami ketidakbahagiaan? Dia hidup tenteram, se-harinya terhormat, tak ada masalah yang menekan batinnya. Tapi karena keserakahan mulai menyusup di kalbunya maka lahirlah perbuatan paman dengan segala macam akalnya itu. Dia tidak puas, menginginkan kedudukan lebih tingggi lagi selain gubernur. Karena paman yang ber-cita untuk menjadi orang yang lebih berkuasa lalu mulai meng- angankan kedudukan wakil kaisar, orang nomor dua di seluruh kerajaan. Bahkan, kalau mungkin bisa saja beberapa tahun kemudian dia men-citakan menjadi kaisar. Kalau aku tak becus umpamanya, atau paman sendiri telah mempunyai anak! Nah, kala sudah terlibat dalam hawa nafsu keserakahan begini, lalu apa kelanjutannya, ibu? Tentu perasaan tak pernah puas, perasaan yang ingi me-ngejar sesuatu yang belum diperoleh. Dan ini melibatkan kepada lingkaran nafsu pribadi yang tidak berakhir....!"

   Wi Hong termenung sampai di sini. Ia melihat Bun Hwi berhenti sejenak, menghapus peluh di atas kening. Dan Bun Hwi yang sudah bersemangat melanjutkan ceritanya berkata lagi.

   "Kalau sudah begitu, ibu, dapatkah dikatakan paman melakukan semua perbuatan itu untuk kebahagiaan kemenakannya? Ah, itu hanya pemanis bibir, ibu. Aku akan tertawa mendengarnya. Yang jelas paman sedang terlibat dalam nafsu kepentingan dirinya sendiri. Jadi kalau ada kepuasan dialah yang merasa puas dan kalau sebaliknya maka orang lainlah yang turut merasakan ketidak puasannya! Ibu mengerti, bukan?"

   Wanita ini terisak.

   "Kau betul, Bun Hwi. Oamanmu memang tidak puas hanya sebagai gubernur saja. Tapi salahkah citanya itu, nak? Bukankah setiap orang wajib mempunyai cita lebih tinggi dari apa yang dipunyainya sekarang?"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Aku tak mengatakan paman salah dalam citanya, Ibu. Tapi kunyatakan salah paman terbawa nafsu keserakahnnya. Ini yang dimaksud! Orang ber-cita memang boleh saja. Itu naluri alam yang diberikan pada manusia. Tapi kalau untuk mencapai cita pribadi lalu orang lain dikorbankan, betulkah perbuatan ini, ibu? Tidakkah itu menyalahi garis permainan? Aku setuju paman men-citakan sesuatu yang lebih tinggi, tapi jangan dengan ngawur. Semuanya harus dilakukan dengan wajar, bersih. Karena sesuatu yang dilakukan dengan langkah yang tidak baik pasti hasilnya tidak baik pula! Ibu mengerti ini, bukan?"

   Wi Hong mengangguk.

   "Nah, kalau itu sudah ibu mengerti tentu kelanjutannya gampang,"

   Bun Hwi meneruskan.

   "Karena kita akan melihat bahwa bagaimanapun juga kedudukan yang diberikan kaisar itu harus kita tolak. Pertama, karena asal mula kejadian ini dimulai langkah yang buruk oleh paman. Kita hanya diperalat saja untuk kepentingan nafsu pribadinya. Ke dua, kita terikat perjanjian dengan mendiang Pangeran Ong. Ke tiga, permaisuri telah melahirkan seorang putera. Dan ke empat atau yang terakhir ialah apa yang kita peroleh ini tidak wajar!"

   Wi Hong terkejut.

   "Tidak wajar apanya, Bun Hwi?"

   Bun Hwi tersenyum getir.

   "Ibu, seperti yang kubilang tadi bahwa melakukan sesuatu kita harus melakukannya secara wajar dan bersih. Bersih artinya tidak mengisi perbuatan itu denga cara yang kotor. Sedangkan wajar adalag perbuatan yang kita lakukan tidak menyeleweng dari kelaziman se- hari. Ibu tahu bahwa ibu hanyalah seorang selir. Kenapa menuntut putera ibu menjadi pengganti kaisar? Tidak, ibu. Ini tidak wajar. Melanggar garis kebiasaan se-hari akan membuat kita terbentur pada hal tidak enak yang menyakitkan hati kita sendiri. Ibu tahu ini, bukan?"

   Wi Hong terbelalak.

   "Dan ini akan menyeret kita pada lingkaran nafsu keserakahan, ibu. Kita bakal mengulang sejarah paman dalam versi yang berbeda. Tapi intinya sama!"

   Bun Hwi melanjutkan. Ibunya semakin tertegun.

   "Kenapa begitu, Bun Hwi?"

   "Hm, tak perlu ditanyakan lagi, ibu. Ibu tentu tahu bahwa kedudukan sebagai selir inipun udah membahagiakan hidupmu. Kaisar mencintaimu sungguh, satu hal yang jarang sekali terjadi pada seorang selir. Dan ibu yung sudah mengalami kebahagiaan hidup untuk apa lagi macam melambungkan rencana? Bukankah ibu cukup puas dengan yang ibu peroleh saat ini? Jangan menggunakan alasan untuk membahagiakan hidupku, ibu. Karena menduduki jabatan seorang putera mahkota belum tentu aku benar bahagia menjalaninya. Tidak, aku tidak yakin itu. Itu hanya gambaran semu!"

   Ibunya benar terlongong.

   "Bun Hwi, dari mana kau bisa mendapat kata penuh kebijaksanaan ini?"

   Bun Hwi tiba tersipu.

   "Aku hanya mendapatnya di jalan, ibu. Lewat pengalaman se-hari yang kutemui."

   "Ah, dan kau semuda ini sudah bisa berbicara seperti orang tua?"

   Bun Hwi tertawa kecil.

   "Tak usah memujiku, ibu. Bagaimanapun aku masih bodoh. Banyak hal yang belum kuketahui secara matang!"

   Bun Hwi tiba bangkit berdiri, mengejutkan ibunya yang memandang terbelalak.

   "Kau mau ke mana, Bun Hwi?"

   "Melaksanakan tugas terakhir, Ibu."

   Bun Hwi menjawab pendek, mengebutkan baju dari rumput yang menempel.

   "Aku ingin ke Ki-Keng sekarang juga menyelesaikan urusan tanah ini!"

   Wi Hong tiba bangkit berdiri pula.

   "Hm, kalau begitu hati, nak. Dan...... kau akan mencari dua orang gadis itu, bukan?"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia teringat akan Mei Hong dan Kiok Lan, melihat ibunya tiba mengambil sepucuk surat dari balik bajunya.

   Dan Bun Hwi yang tercekat oleh ucapan ibunya ini melihat sang ibu sudah menyerahkan surat itu dalam genggaman tangannya! "Bun Hwi, tak baik membiarkan dua orang gadis sama merana.

   Kau harus memberi ketegasan pada salah seorang di antaranya.

   Kau tentu mau mengikuti nasihatku, bukan?"

   Bun Hwi tergetar. Dia mengangguk sedikit gugup. Tapi sang ibu yang mengalihkan perhatian bicara kembali ke soal Ki-leng.

   "Dan ber-hatilah menghadapi temanmu di dusun itu, nak. Aku mendapat firasat yang kurang menyenangkan di sana!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Firasat apa, ibu? Bukankah aku tinggal membagi surat ini dan mereka mendapat haknya masing?"

   "Secara teori memang begitu, Bun Hwi. Tapi sesuatu bisa saja terjadi dari apa yang kita tak menyangkanya sama sekali. Sudahlah, ibu tak mau membebani pikiranmu dengan firasat yang ibu rasakan. Mungkin saja keliru dan tidak terjadi apa!"

   Bun Hwi tenang kembali.

   "Kalau begitu terima kasih, ibu. Dan doamu kuharap selalu menyertaiku!"

   Bun Hwi menjatuhkan diri berlut, mencium kaki ibunya dan tampak gembira. Tapi ibunya yang diam mengerutkan kening hanya menghela napas dengan keluhan berat.

   "Bun Hwi, scbetulnya ibu tak rela kau tinggal pergi. Tapi karena tugas masih menantimu, biarlah kaulakukan dua pekerjaanmu itu. Setelah itu apa yang akan kau lakukan?"

   Bun Hwi bangkit berdiri.

   "Tentu taja menghadap ayahanda kaisar, ibu. Memberi kepastian penolakan ini dan kembali menemani ibu!"

   "Hm, kau tidak mencari mereka itu?"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Tentu saja, ibu. Bukankah mereka juga harus kuberi penyelesaian?"

   Bun Hwi rupanya mengerti siapa yang dimaksudkan ibunya dengan "mereka"

   Itu. Yang bukan lain adalah Mei Hong dan Kiok Lan! Dan ibunya yang bersinar memandang wajah sang putera ini tiba bertanya.

   "Dan siapa yang akan kaupilih?"

   Bun Hwi menyeringai.

   "Belum tahu, ibu. Aku bingung memikirkan keduanya."

   "Ah, kalau begitu apa yang akan kaulakukan jika menemui mereka?"

   "Tergantung keadaan, ibu. Aku hendak menguji siapa sebetulnya yang lebih cocok denganku."

   "Kau punya rencana?"

   "Ya."

   "Baiklah, kalau begitu, hati. Tapi bagi ibu sendiri rupanya murid Hwa-i Sin-kai itu lebih tepat untukmu!"

   Bun Hwi semburat merah. Dia tertawa malu mendengar kata ibunya itu. Tapi Bun Hwi yang sudah memeluk ibunya berbisik.

   "Ibu, doakan aku. Mudahan kembali dengan cepat menemanimu di sini!"

   Lalu begitu ibunya mengangguk dengan mata ber-kaca Bun Hwi pun sudah berkelebat meninggalkan tempat itu.

   Dia turun ke bawah lembah, melambaikan tangannya sekali lagi pada sang ibu.

   Dan begitu dia meluncur turun maka lenyulaplah bayangannya ditelan kerimbunan pohon, menuju ke dusun Ki-leng untuk melaksanakan tugas terakhir.

   Memenuhi janji pada tigaratus temannya masalah pembagian tanah! *Oz* Kini Bun Hwi berjalan seorang diri lagi.

   Dia membuka surat Mei Hong, mengerutkan kening sambil berlari cepat.

   Karena surat Mei Hong yang singkat isinya itu menyatakan tak perlu mencari lagi gadis itu ke manapun ia pergi.

   Mei Hong tak sudi ditemui.

   Baik gadis itu ditangkap musuh atau tidak! Bun Hwi tertawa getir.

   Dia meremas surat itu, menyimpannya kembali di saku bajunya.

   Dan Bun Hwi yang tergoda oleh bayangan gadis ini tiba merasa rindu untuk berjumpa sekali lagi dengan murid Hwa-i Sin-kai itu! Ah, Bun Hwi tiba tersenyum.

   Rasa hatinya yang berdebar teringat pengakuan Mei Hong bahwa gadis itu terkesan kenangan bersama ketika mereka diborgol dan ketika dia kencing berdiri membuat Bun Hwi diselimuti perasaan aneh yang nikmat tapi tegang.

   Dia sendiri jadi kemerahan mukanya teringat hal itu.

   Kenangan yang membuat Mei Hong ternyata tak bisa melupakannya.

   Hem! Bun Hwi senyum bagai orang sinting.

   Dia meneruskan larinya, mencoba membayangkan mana sebetulnya di antara Mei Hong dan Kiok Lan yang lebih menarik hatinya.

   Murid Hwa-i Sin-kai itu ataukah murid Thian-san Giok-li yang lincah tapi galak.

   Tapi Bun Hwi ternyata belum mampu menjawabnya.

   Dia sukar memisahkan dua orang itu dari rasa hatinya.

   Karena masing meninggaIkan bekas yang sama kuat.

   Tapi Bun Hwi yang mulai merenungkan kata ibunya tiba berdebar teringat ucapan ini.

   Betapa ibunya merasa dia lebih tepat dengan Mei Hong! Hm, benarkah itu? Apa alasannya? Bun Hwi kembali belum dapat menjawab pertanyaan ini.

   Dia bingung sendiri, dan gemas dia belum juga dapat mentukan pilihannya sendiri tiba Bun Hwi menjejakkan kaki melompat jauh.

   Dia terbang menuju ke selatan, ke Ki-leng yang jaraknya ribuan li dari kota raja.

   Dan setelah melakukan perjalanan dua hari dua malam sampailah Bun Hwi di perbatasan dusun yang selama ini menjadi kampung halamannya! Bun Hwi tertegun.

   Dia menghentikan larinya, sejenak memandang hamparan tanah yang luasnya ribuan hektar itu.

   Dan bahwa wilayah ini masih sunyi seperti lima tahun yang lalu tiba saja dada Bun Hwi terasa sesak.

   Ada suatu keharuan menyelinap di dadanya, keharuan besar yang tak dapat terbendung lagi.

   Dan Bun Hwi yang tiba ber-kaca matanya ini se-konyong tersedak.

   Dia melamun, teringat peristiwa lima tahun yang lalu.

   Dan Bun Hwi yang melihat seorang laki muncul di luar pagar kawat tiba tertegun.

   "Hui-lopek (kakek Hui)!"

   Laki Iaki tua itu terkejut. Dia menoleh melihat Bun Hwi melayang ke arahnya. Dan kaget bahwa seorang pemuda tampan dan gagah tahu menyapanya di tempat sesepi itu mendadak laki tua ini gemetar.

   "Siauwya (tua muda), kau siapakah?"

   Bun Hwi tak dapat menahan keharuannya kini. Dia langsung memeluk kakek itu, Hui-lopek atau Hui Pa yang dulu ditunjuknya untuk membantu petani she Lu memimpin dusun Ki-leng. Dan Bun Hwi yang gemetar suaranya ini me-ngejapkan mata.

   "Hui lopek, tak tahukah kau siapa aku ini? Tak kenalkah kau pada suaraku? Hui-lopek menggigil.

   "Kau siapakah, Siauwya? Aku benar tak mengenalmu. Kau gagah dan tampan. Kau, ah!"

   Hui-lopek tiba terbelalak. Dan Bun Hwi yang tersenyum dengan air mata bercucuran itu menganggukkan kepalanya.

   "Ya, aku Bun Hwi, lopek. Bun Hwi yang dulu membuat keributan di dusun ini!"

   Hui-lopek memekik. Kakek ini tampak girang, dan lupa Bun Hwi bukan anak lagi tiba ia mencengkeram rambut kepala pemuda itu, meng- guncang histeris.

   "Bun Hwi, kau... betul kau ini! Ya Thian Yang Maha Agung, terkabullah sekarang doaku selama lima tahun.....!"

   Dan kakek Hui yang tampak dilanda kegembiraan besar ini se-konyong memutar tubuh dan melarikan diri memasuki dusun.

   "Teman, penyelamat kita datang....! Bun Hwi datang...! Dia gagah dan membawa berita gembira untuk kita!"

   Dusun Ki-leng tiba menjadi gempar.

   Semua penghuni keluar, dan kakek Hui yang ber-lari sambil ber-teriak itu disusul suara ribut di sana- sini.

   Mereka menanyakan di mana pemuda itu, dan ketika kakek ini menoleh dan menudingkan jarinya maka tertegunlah semua orang.

   Bun Hwi melangkah masuk, gagah dan tampan sekali dia.

   Tapi Bun Hwi yang menggigil kakinya dilanda keharuan ini tak mampu mengeluarkan suara.

   Dia terus memasuki dusun itu, satu demi satu dengan langkahnya yang gemetar.

   Dan penduduk Ki-leng yang tiba melihat pemuda ini muncul se-konyong menjadi geger.

   "Bun Hwi, kau yang muncul ini?"

   "Bun Hwi, kau datang menemui kami?"

   Bun Hwi mengangguk tak mampu mengeluarkan suara.

   Dia dicekam rasa kelu yang hebat, bercucuran airmata memandang tigaratus petani yang menjadi sahabat baiknya itu.

   Tapi mereka yang tiba menangis dan terisak se-konyong menyerbu pemuda ini dengan amat hebatnya.

   Mereka memekik, persis seperti yang dilakukan Hui lopek tadi.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan Bun Hwi yang tahu sudah diangkat tubuhnya tiba dilempar pulang-balik di udara! "Bun Hwi, kau hebat....!"

   "Bun Hwi, kau tampan....!"

   Bun Hwi masih belum mampu bersuara. Dia seperti anak kecil yang terbuat dari mainan karet, dipermainkan tigaratus orang sahabatnya itu dengan jalan di-lempar ke udara. Tap Bun Hwi yang akhirnya menekan rasa harunya tiba berteriak.

   "Teman, dudukkan aku. Jangan di-lempar begini!"

   Dan Bun Hwi yang menggeliatkan tubuh tiba berjungkir balik melepaskan diri. Dia melompati kepala temannya itu, dan tigaratus petani yang terbelalak melihat kepandaian ini tiba tertegun dan memandang kagum.

   "Kau pandai silat, Bun Hwi?"

   Bun Hwi tersentak. Dia sadar sikapnya yang di luar kesengajaan tadi. Maka tersenyum menggelengkan kepala dia menyembunyikan diri.

   "Tidak, teman, aku tak bisa apa. Aku adalah Bun Hwi seperti lima tahun yang lalu. Sahabat yang masih setia dan memperjuangkan segalanya untuk kalian semua....!"

   Para petani itu bersorak. Mereka terbakar ucapan Bun Hwi, kata "perjuangan"

   Yang begitu besar pengaruhnya. Dan Bun Hwi yang melihat mereka hendak mengangkatnya kembali sudah mengulapkan lengan mengelak cepat.

   "Teman, nanti dulu. Di mana itu Lu-twako?"

   Para petani terkejut. Mereka ribut sejenak, tapi Hui lopek yang melangkah maju, tiba berkata.

   "Dia ada di dalam, Bun Hwi. Di gedung Bhong-loya, bertapa menekur diri...!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Apa, lopek? Lu-twako menekur diri?"

   "Ya, dan mari lihat keadaannya, Bun Hwi. Petani she Lu itu sudah seminggu ini tak mau makan!"

   Dan Hui- lopek yang sudah menyeret lengan Bun Hwi tiba disambut kediaman yang hening dari kaum petani itu. Mereka tiba membisu, tertegun mendengar disebutnya nama petani Lu ini. Dan Bun Hwi yang terheran oleh semuanya itu bertanya.

   "Hui-lopek, apa yang terjadi?"

   Laki ini tak mau menjawab.

   "Sebaiknya tengok saja, Bun Hwi. Dan semuanya akan kau ketahui sendiri!"

   Dan Bun Hwi yang diseret laki ini segera disambut kerumunan yang menyibak dari tigaratus petani itu.

   Mereka tiba minggir, dan wajah masing orang yang tiba tegang benar mengherankan hati Bun Hwi.

   Perasaan tidak nyaman mendadak muncul, dan tigaratus petani yang mengikuti di belakang tiba ada yang nyeletuk.

   "Bun Hwi, berhasilkah tugasmu di kota raja?"

   Bun Hwi terpaksa berhenti. Dia menoleh pada laki yang bertanya itu, A-swi, petani kurus yang dulu sering membantu pamannya. Dan Bun Hwi yang tak menyangka apa sudah mengangguk dengan gembira.

   "Ya, aku berhasil, A-swi. Aku telah bertemu kaisar sendiri!" .

   "Dan kau dapatkan sertifikat tanah untuk kami semua?"

   "Ya, tigaratus, A-swi. Untuk kalian semua!"

   Dan baru Bun Hwi selesai mengucapkan katanya ini tiba para petani itu berisik. Mereka se-konyong pecah menjadi dua bagian, di kiri dan kanan dengan jumlah masing seratus limapuluh orang. Dan A-swi yang berkilat matanya tiba berseru.

   "Kalau begitu, serahkan sekarang pada kami, Bun Hwi. Ouw-twako akan membaginya untuk kami....!"

   Tapi Hui-lopek tiba berseru.

   "Tidak, jangan, Bun Hwi. Jangan serahkan surat itu pada mereka. Ouw Lui bukan orang baik yang akan membaginya secara adil kepada kita!"

   "Benar, jangan serahkan, Bun Hwi. Biar diurus saja oleh Lu-twako!"

   "Tidak, petani she Lu sedang sakit, Bun Hwi. Serahkan saja pada Ouw-twako dan dia yang akan membagikannya kepada kita!"

   Semua orang tiba menjadi ribut. Mereka pro dan kontra, mengerubut Bun Hwi dengan kata tak teratur. Dan Bun Hwi yang bingung oleh seruan ini tiba mengangkat tangannya ke atas.

   "Saudara, jangan ribut. Biar kita selesaikan persoalan ini di gedung musyawarah.!"

   Sejenak mereka terdiam. Tapi kelompok petani di belakang A-swi mendadak berseru.

   "Tak perlu, Bun Hwi. Biarlah sekarang saja kau berikan surat itu pada kami. Ouw twako akan membaginya. Lihat, dia datang...!"

   Dan tangan orang yang menuding ke depan tiba melihat munculnya seorang pemuda kekar dengan bahu lebar.

   Dialah Ouw Lu, petani yang dulu ditugaskan Bun Hwi untuk memimpin dusun Ki-leng bersama petani she Lu.

   Dan Bun Hwi yang melihat munculnya pemuda ini tiba menjadi girang dan berseri mukanya.

   "Ouw-twako, kau baik-baik saja?"

   Ouw Lui tertawa bergelak. Dia melompat maju dan menubruk Bun Hwi, dia memeluk pemuda ini sambil me-nepuk pundaknya.

   "Bun Hwi, kau yang datang ini? Ah, benar mengejutkan sekali. Kukira kau tak kembali untuk se-lama-nya....!"

   Dan Ouw Lui yang tertawa ber-gelak tampak demikian gembira memandang Bun Hwi. Bun Hwi sendiri terpengaruh. Dia hanyut dalam kegembiraan Ouw Lui, dan si petani kekar yang bersikap blakan itu langsung bertanya.

   "Kau dari kota raja, Bun Hwi? Kau berhasil mendapatkan surat tanah dari kaisar?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, kudapatkan semuanya untuk kalian, Ouw-twako. Mudahan kalian semua bergembira atas keberhasilanku ini!" .

   "Ha-ha, memang kami gembira sekali, Bun Hwi. Dan dapatkah sekarang kauberikan surat itu kepadaku?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Tentu saja, twako. Bukankah kau adalah pemimpin di sini? Tapi di mana Lu- twako? Bukankah sebaiknya kalian berdua yang membagi surat ini?"

   Tapi alis Ouw Lui tiba mengkerut.

   "Dia sakit, Bun Hwi. Tak perlu diajak dulu. Kau berikanlah itu padaku dan segera akan kubaginya!"

   Bun Hwi tertegun. Dia melihat gejala tidah enak di sampingnya, gejala Hui-lopek dan kelompok di belakangnya yang berisik. Dan Ouw Lui yang rupanya tak sabar lagi tiba mendesak.

   "Bun Hwi, serahkanlah surat itu kepadaku. Nanti aku yang membaginya..!"

   Bun Hwi ingin tahu. Dia merasa sesuatu yang tidak wajar, dan pura melepas gendongan di belakang punggung diapun menjawab.

   "Baiklah, Ouw-twako. Kalian tampaknya tidak sabar,"

   Dan Bun Hwi yang membuka bungkusannya segera mengambil setumpuk surat yang diberikan kaisar.

   Itulah surat tanah yang resmi, jasil jerih payahnya meninggalkan Ki-leng.

   Tapi baru dia menyerahkan surat itu ke tangan Ouw Lui, mendadak terdengar bentakan.

   "Bun Hwi, tahan dulu. Jangan berikan surat itu padanya.....!"

   Bun Hwi terkejut.

   Semua orang ribut, dan Bun Hwi yang melihat seorang laki kurus ter-tatih menghampirinya tiba tertegun dengan muka kaget.

   ltulah petani she Lu, Lu Hak....

   petani yang tampak pucat dan lemah akibat seminggu tak makan! Dan Bun Hwi yang tergetar oleh bentakan petani ini otomatis terbelalak matanya.

   "Lu-twako, kenapa kau bilang begini? Apa yang terjadi pada dirimu?"

   Lu Hak sudah berhadapan dengan Bu. Hwi. Sepasang matanya ber-sinar, dan petani yang tampak marah ini menjawab, tidak keras tapi dingin.

   ""Karena Ouw Lui hendak mengangkangi surat itu sendiri,.Bun Hwi. Karena dia hendak menjadi tuan tanah bersa anteknya!"

   Bun Hwi terkejut. Dan Ouw Lui yang didamprat terangan tiba berteriak.

   "Bohong, itu tak dapat dipercaya, Bun Hwi. Yang jeli dia hendak mengacau di dusun ini agar teman terpecah pendapatnya....!"

   Bun Hwi sekarang membelalakkan mata. Dia melihat permusuhan di antara dua orang pembantunya ini. Tapi belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi tiba Bun Hwi berkata.

   "Lu-twako, Ouw-twako, sebaiknya kita ke gedung musyawarah dulu. Tak enak rasanya bicara begini di tempat terbuka!"

   Ouw Lui dan Lu Hak mengangguk.

   Mereka sama melotot, dan Bun Hwi yang melangkah lebar ke gedung musyawarah segera dikuti ratusan orang yang berjalan di belakangnya.

   Sekarang ada keanehan.

   Kalau tadi waktu menyambut Bun Hwi mereka semua masih menjadi satu, adalah sekarang orang ini terpecah dua.

   Yang kiri mengikuti Ouw Lui sedangkan yang kanan mengikuti Lu Hak.

   Dan herannya, yang membuat Bun Hwi tak habis pikir adalah kelompok di belakang Lu Hak ini sebagian besar terdiri orang tua melulu, di atas empatpuluhan tahun! Bun Hwi berdebar gelisah.

   Dia tiba teringat firasat ibunya.

   Betapa sesuatu yang tidak enak menanti dirinya.

   Dan kenyataan bahwa di dusun ini dia melihat para petani terpecah menjadi dua kelompok tiba saja Bun Hwi mengeluh.

   Apa gerangan yang akan ia hadapi ini? Akhirnya mereka sampai juga di gedung musyawarah.

   Gedung ini adalah gedung di mana Bun Hwi dulu berpisah dengan mereka, setelah mem-bagi harta warisan Bhong-loya.

   Dan Bun Hwi yang sudah tiba di tempat ini lalu memutar tubuh.

   "Nah, sekarang katakan, Lu-twako. Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian sendiri...?!"

   Dan Bun Hwi yang menghadapi dua orang itu segera memandang mereka dengan tajam. Petani she Lu berdiri tegak. Sikapnya masih kaku, dan menjawab lantang dia menudingkan jarinya ke Ouw Lui.

   "Dia hendak mengangkangi warisan tanah ini seperti Bhong-loya, Bun Hwi. Karena itu aku menolak tegas jika surat itu kau berikan padanya!"

   "Hm. benar begitu, Ouw-twako?"

   Petani she Ouw menggeleng.

   "Tak benar, Bun Hwi. Yang jelas ialah aku hendak menyusun suatu kehidupan baru di dusun kita tercinta ini. Lu Hak tak berdaya, dia iri dan marah kepadaku. Karena itu dia lalu memusuhiku secara membabi buta!"

   "Hm, bagaimana jelasnya ini, Ouw-twako?"

   Lu Hak tiba menyerang.

   "Dia hendak menguasai seluruh tanah ini bersama kelompoknya, Bun Hwi. Ouw Lui hendak menyingkirkan yang lain yang dianggapnya tidak berguna!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Benar begitu, Ouw-twako?"

   Ouw Lui tertawa mengejek.

   "Itu memang benar, Bun Hwi. Tapi semuanya ini kulakukan demi kebaikan bersama. Kau lihat orang di belakang petani she Lu itu, bukan? Mereka sudah dimakan usia, tentu tak sanggup menggarap tanah sedemikian luas dengan tenaga mereka yang lapuk. Karena itu aku menyuruh mereka beristirahat saja, Bun Hwi. Dan biarlah tanah ini dikerjakan oleh yang muda, yang masih kuat."

   Bun Hwi terbelalak. Dan belum dia membuka mulut untuk mengomentari ucapan ini tiba Ouw Lui sudah mengangkat lengannya tinggi ke belakang.

   "Teman, kalian tentu setuju dengan pendapatku, bukan? Tidak benarkah kukatakan yang tua harus mengalah pada yang muda? Salahkah usulku ini hingga Lu Hak harus memusuhi kalian?"

   Kelompok di belakang Ouw Lui berteriak.

   "Kami setuju, Ouw-twako. Memang sebaiknya warisan tanah ini diberikan pada yang muda saja. Mereka tak dapat mengerjakan tanah dengan tenaga yang sudah tua....!"

   Ouw Lui gembira.

   "Nah, apa kata mereka, Bun Hwi? Bukankah kami menyatakan pendapat yang benar?"

   Tapi Lu Hak mengibaskan lengannya.

   "Itu jelas tak benar, Ouw Lui. Warisan tanah ini untuk kita semua. Bukan untuk sepihak atau sekelompok saja!"

   "Tapi kalau yang tua tak dapat mengerjakannya apakah tanah ini harus menganggur, Lu Hak? Bukankah ter-sia? Tidak, kami sependapat biarlah tanah ini digarap yang muda, orang she Lu. Yang tua tak dapat lagi diandalkan tenaganya. Kalau mereka ngotot berarti mereka tak tahu diri dan serakah!"

   Lu Hak tiba mendelik matanya.

   "Kaulah yang serakah, orang she Ouw! Kau telah merencanakan secara diam di rumah A-swi untuk kelak merebut tanah ini bagi kalian berdua. Kau hendak menjadi tuan tanah, menindas teman sendiri untuk dijadikan kerbau luku di sawah!"

   Ouw Lui tiba pucat mukanya.

   Dia marah dan kaget bahwa Lu Hak membongkar rahasianya, mendadak petani muda ini menyambar golok.

   Dia langsung melompat maju, dan Lu Hak yang tidak menyangka bakal diserang tahu dibacok lehernya.."Orang she Lu, kau jahanam keparat...!"

   Lu Hak tak mampu berkelit. Dia hanya miringkan kepalanya dengan kaget, dan begitu semua mata terbelalak memandangnya tahu golok di tangan Ouw Lui meluncur di atas kepala memapas bahunya.

   "Crak...!"

   Lu Hak berteriak mengaduh. Petani ini terlempar, dan kelompok petani yang berdiri di belakang Lu Hak tiba berteriak dan mencabut senjata. Mereka menyerbu petani she Ouw, tapi Ouw Lui yang melompat mundur di tengah kelompoknya tiba berseru.

   "Teman, lindungi aku....!"

   Keadaan menjadi geger.

   Bun Hwi melihat kelompok petani muda yang ada di belakang Ouw Lui maju melindungi pemimpinnya ini.

   Tapi kelompok petani tua yang geram oleh perbuatan Ouw Lui menyerang kalap.

   Mereka menyuruh petani muda itu minggir, tapi begitu mereka menolak tiba saja golok dan tombak menyambar ke depan menusuk petani muda itu! Orang tua ini rupanya sudah mempersiapkan senjata, jauh sebelum keributan itu terjadi, seakan mempersiapkan pertarungan mati hidup antara mereka dua kelompok! Dan Bun Hwi yang mendengar jerit kesakitan pecah di tempat itu tahu melihat enam petani muda robek perutnya didodet tombak! "Ah, kawan-kawan, berhenti...!"

   Tapi seruan Bun Hwi lenyap dalam gaduhnya pekik dan kemarahan yang bising.

   Petani muda itu semula ragu, masih ada rasa segan bermusuhan dengan yang tua.

   Tapi begitu melihat teman mereka roboh dengan usus terburai tiba saja mereka menjadi buas.

   Petani muda melengking, dan begitu berteriak marah tiba saja mereka telah mencabut senjata dan melawan kelompok Lu Hak! Kejadian ini berlangsung cepat.

   Bun Hwi tak sempat mencegah.

   Dan tigaratus petani yang sudah bertempur mengadu jiwa itu tiba saja sudah baku hantam dengan sama sengit.

   Mereka tak mau mengalah, dan pekik serta jerit kematian yang mulai terdengar di sana-sini segera disusul tumbangnya tubuh yang roboh satu-persatu.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Darah mulai membanjir, dan Bun Hwi yang pucat serta menggigil kakinya tiba menggereng.

   Dia kaget sekali oleh peristiwa yang demikian cepatnya, bagai diserang hantu haus darah.

   Dan Bun Hwi yang memekik nyaring tiba-tiba membentak.

   "Teman-teman, hentikan semua perbuatan ini....!"

   Tapi ucapan Bun Hwi kembali disambut ketidakperdulian di mana.

   Mereka sudah saling serang-menyerang, tak menghiraukan sama sekali teriakan pemuda itu.

   Dan baru setelah Bun Hwi menyambar ke depan, terkejut orang itu ketika tubuh mereka terlempar ke sana ke mari ditendang atau ditampar tangan Bun Hwi.

   Mereka terkejut, kaget oleh angin pukulan pemuda itu.

   Dan Bun Hwi yang bergerak bagai burung terbang tahu sudah menghentikan pertempuran yang kelewat parah dengan meninggalkan seratus lebih yang tewas mandi darah! "Jahanam! Mana Ouw-twako? Mana Lu-twako....?!"

   Bun Hwi berteriak marah.

   Dia jelalatan memandang ke sana ke mari, mencari dua orang pemimpin dari dua kelompok petani yang bertempur itu.

   Tapi Ouw Lui dan Lu Hak ternyata sudah tak ada di situ.

   Bun Hwi marah bukan main.

   Dia mengira orang itu tak akan bertempur lagi setelah ia robohkan.

   Maka mencari Ouw Lui dan Lu Hak Bun Hwi lalu melompat pergi, terutama Ouw Lui.

   Dan Bun Hwi yang keluar- masuk dalam gedung peninggalan Bhong-loya ini akhirnya mendapalkan Ouw Lui dan A-swi bersembunyi di sudut belakang, tempat dapur keluarga Bhong yang jebol jendelanya! Bun Hwi mengatup mulut.

   Dia melompat di belakang dua orang yang bersembunyi ini.

   Tadinya Ouw Lui berseri mukanya mendengar suara pertempuran.

   Tapi ketika tiba dencing Senjata tak terdengar lagi karena Bun Hwi telah menghentikan pertempuran itu, muka Ouw Lui pun tampak heran.

   "A-swi, kenapa berhenti?"

   A-swi menyeringai.

   "Mungkin telah habis, twako. Mereka telah baku hantam mengadu jiwa. Sekarang terbuktilah akalmu yang cerdik itu. Ha-ha, kalau sudah begini lalu siapa lagi yang akan menguasai warisan tanah ini selain kita berdua?"

   Ouw Lui tersenyum.

   "Tapi Bun Hwi muncul di sini, A- swi. Kita harus perdayakan dia itu dan ambil surat tanahnya!"

   "Ya, Lu Hak juga harus dibersihkan sekali, Ouw- twako. Laki itu sungguh menjengkelkan sekali. Apa kita lihat pertempuran sudah berhenti atau belum?"

   Tapi Ouw Lui menekan pundaknya.

   "Jangan dulu, A- swi. Kita di sini dulu mendengarkan suasana."

   "Dan tidak muncul menengok teman kita yang terluka, twako?"

   "Ah, biarkan saja. Mereka toh kerbau tolol yang mudah dihasut.!"

   A-swi tertawa. Dia mengacungkan jempol dan memuji temannya dengan berkata.

   "Ouw twako, akalmu benar hebat. Dengan cara memecah-belah begini bukankah warisan tanah ini akan jatuh di tangan kita berdua?"

   Ouw Lui tiba bangkit berdiri.

   "Bukan di tangan kita berdua, A-swi. Tapi di tanganku seorang!"

   A swi terkejut.

   "Kenapa begitu, twako?"

   Ouw Lui tiba tersenyum aneh.

   "A-swi, kau merupakan sahabatku yang paling dekat. Kepadamulah semua rencanaku kubeberkan. Kau tentu dapat dipercaya, bukan?"

   A-swi tertawa.

   "Tentu saja, twako. Kalau tidak, bukankah dulu sudah kuberitahukan rencanamu ini pada Lu Hak? Kau ingin mendapat warisan tanah ini se-luasnya. Ingin hidup seperti Bhong-loya yang menjadi raja tanpa mahkota. Ber-senang hingga tujuh turunan! Dan kalau aku menjaga rahasiamu adalah itu dikarenakan kita berjanji untuk membagi sama warisan tanah ini. Bukankah begitu, twako?"

   "Ya, itu pendapatku dulu, A-swi. Tapi sekarang aku mempunyai keputusan lain!"

   "Keputusan apa itu, twako?"

   "Sebaiknya kau pergi saja dari sini, jauh di tempat yang paling enak! Dan untuk itu aku akan membekalimu sesuatu yang berharga!"

   "Ah...., dan tanah ini?"

   "Biarkan kuaturnya. A-swi. Kau bagian yang lain saja."

   "Apa, twako?"

   "Inilah...!"

   Ouw Lui tiba menusukkan goloknya, menembus dada A-swi. Dan A-swi yang menjerit oleh serangan ini terkapar roboh dengan muka penuh kekagetan.

   "Ouw Lui, jahanam kau! Kau..... kau..."

   A swi tak dapat meneruskan katanya. Petani ini berkelojotan, dan Ouw Lui yang gembira mukanya menjawab.

   "Kau terlampau banyak mengetahui rencanaku, A- swi. Kau tak dapat lagi kupakai setelah semuanya ini di ambang keberhasilanku. Semua orang akan saling bunuh, dan tanah ini yang akan menhadi milikku tetap se-lamanya kupertahankan!"

   A-swl tertegun dengan mata terbelalak. Dia melihat Ouw Lui tertawa bergelak, sinar matanya buas dan penuh ketamakan. Dan A-swi yang sadar dirinya diperalat oleh Ouw Lui tiba mengutuk.

   "Ouw Lui, kau tak akan dapat menikmati citamu ini! Bun Hwi dan Lu Hak akan membunuhmu sebelum semuanya terjadi....!"

   "Ha-ha, Lu Hak sudah terluka, A-swi. Dia tak mungkin dapat membunuhku! Bahkan akulah yang akan membunuhnya sebentar lagi. Dan tentang Bun Hwi, ha-ha.... siapa takuti anak kecil itu? Dia akan kubunuh dari belakang, A-swi. Semua orang di dusun ini harus kubunuh dan akan kuganti dengan orang lain yang menjadi pelayanku!"' A-swi melotot. Dia mengeluh dan memandang penuh kebencian pada bekas teman yang berkhianat itu, tapi sebelum dia roboh menghembuskan napasnya yang terakhir tiba Bun Hwi dilihatnya muncul di belakang laki ini. A-swi terbelalak, tampak girang. Dan petani yang berada dalam sakratul mautnya itu berteriak.

   "Bun Hwi, bunuh dia!"

   Dan begitu seruannya lenyap petani inipun roboh untuk tidak bangun lagi. Ia tewas, dan Ouw Lui yang mengira temannya ngelindur tertawa mengejek.

   "A-swi, Bun Hwi tak ada di sini. Kau tenanglah hidup di akhirat!"

   Ouw Lui menendang mayat temannya. Dia mengira A-swi meng-ada. Tapi begitu dia memutar tubuh untuk keluar dari tempat itu se- konyong Bun Hwi dilihatnya mendelik di muka pintu! "Ouw Lui, kau jahanam tak berjantung....!!"

   Ouw Lui kaget bukan main.

   Dia melangkah mundur, tak menyangka Bun Hwi menemukan persembunyiannya.

   Tapi Ouw Lui yang tiba tertawa memutar mutar goloknya dengan sikap beringas.

   Dia tak melihat Bun Hwi membawa senjata, maka berteriak keras tiba dia membacokkan goloknya menetak leher Bun Hwi.

   "Bun Hwi, kau tak kuperlukan di tempat ini! Mampuslah...!"

   Bun Hwi mengerotkan gigi. Dia tak mengelak, menerima bacokan itu. Dan begitu golok mental bertemu kekebalannya tiba Bun Hwi menyambar leher baju Iawan dan membanting Ouw Lui di atas tanah.

   "Brukk!"

   Ouw Lui kaget setengah mati.

   Dia berteriak keras ketika goloknya mental, tak menyangka Bun Hwi kebal senjata.

   Dan begit Bun Hwi membanting tubuhnya di atas tanah laki inipun pucat mukanya dan ter-guling.

   Tapi Ouw Lui bangkit lagi, dan penasaran oleh gebrak pertama ini dia sudah menggerakkan goloknya membacok ber-tubi tubuh Bun Hwi mulai dari kepala sampai ke kaki.

   Tapi Bun Hwi sengaja hendak menunjukkan kekebalannya.

   Dia tidak mengelak semua serangan ini, dan Ouw Lui yang kaget goloknya tak mempan membacok lawan tiba berteriak ketika untuk yang terakhir kalinya goloknya patah menusuk perut Bub Hwi! Hal ini demikian mengejutkan, dan Ouw Lui yang terbelalak matanya tiba membalikkan tubuh melarikan diri, berteriak dengan penuh ketakutan.

   "Bun Hwi, kau bocah setan....!"

   Tapi Lu Hak tiba muncul. Petani muda yang terluka pundaknya ini tahu sudah di depan lawan. Dan Ouw Lui yang kaget bukan main melihat munculnya Lu Hak tahu menerima tusukan tombak yang mengenai perutnya.

   "Ouw Lui, kau jahanam keparat...!"

   Ouw Lui tak sempat menghindar.

   Dia menjerit ketika tombak menghunjam perutnya, tapi Ouw Lui yang masih memegang kutungan golok tiba memekik dan menyambitkan potongan golok itu ke dada Lu Hak.

   Akibatnya, Lu Hak mengeluh tertahan dan laki yang sebelumnya sudah gemetar oleh luka yang banyak mengeluarkan darah itu terjengkang roboh dengan gagang golok menancap di dadanya! "Lu-twako....!"

   Bun Hwi kaget bukan main. Dia melompat menghampiri tubuh petani yang gagah ini, tapi Lu Hak yang tak sempat menyambut seruan Bun Hwi sudah melepas tombak sambil berseru, lirih sekali.

   "Bun Hwi, tolong cegah pertempuran itu... mereka mengadu jiwa lagi gara bangsat she Ouw itu...!"

   Lu Hak pun terkulai lemah tewas dengan jari masih menunjuk ke depan, ke tempat pertempuran yang tiba terjadi kembali! Bun Hwi melenggong.

   Dia benar terpukul oleh semua kenyataan ini, dan marah melihat Ouw Lui menjadi gara, dia menendang laki itu hingga mencelat tinggi.

   Tapi Ouw Lui ternyata tak mengeluh.

   Laki ini sudah tewas, agaknya berbareng dengan Lu Hak.

   Dan Bun Hwi yang mendengar dencing senjata kembali meributkan suasana tiba menggereng dan mencelat ke sana.

   Dia menggigit bibirnya.

   Siap menghajar orang itu agar menghentikan pertempuran.

   Tapi Bun Hwi yang sampai di sini tiba tertegun dengan muka pucat dan mulut mengerang.

   Dia melihat pertempuran sudah berhenti sendiri, tak perlu dicegah.

   Tapi mayat malang-melintang dari tigaratus petani yang bertumbangan di sana-sini ternyata sudah sama tewas dan tidak ada satupun yang masih hidup! Sampyuh, sama-sama tewas! Tigaratus korban jiwa yang sia-sia! Bun Hwi menggigil.

   Dia nanar sekali oleh pandangan yang mengerikan itu.

   Dan mengeluh oleh semua peristiwa ini tiba Bun Hwi menjerit dan me-mukul dadanya.

   Dia kecewa sekali.

   Marah sekali.

   Dan nanar oleh peristiwa itu tiba Bun Hwi terhuyung dan roboh pingsan! Pemuda ini terpukul hebat.

   Tapi Bun Hwi yang memiliki sinkang tinggi sebentar kemudian sudah sadar kembali.

   Pemuda ini berdiri, sempoyongan melihat banjir darah yang tidak disangkanya sama sekali.

   Dan Bun Hwi yang mendesis dengan muka pucat mendadak melihat munculnya sesosok tubuh tua di ujung jalan.

   "Hui-lopek....!"

   Kakek ini gemetar.

   Dia mengangguk, menjawab seruan itu.

   Dan Bun Hwi yang melompat menghampiri kakek ini tiba menubruk dan menangis ter-sedu.

   Bun Hwi melepaskan semua kekesalannya di dada kakek ini, tapi Hui-lopek yang tak dapat menghibur cuma menggigil pucat.

   Akhirnya kakek ini mengeluarkan suara, dan bicaranya yang serak gemetar menyadarkan Bun Hwi.

   "Bun Hwi, tekan guncangan hatimu ini. Semuanya sudah terjadi, tak dapat kita robah. Mari membuat lubang mengubur mereka.....!"

   Bun Hwi melepaskan diri.

   Dia terhuyung mengambil sebuah golok, lalu tanpa banyak cakap dia mencongkel tanah ber-kali.

   Sebentar saja sebuah lubang besar menganga di hadapan mereka dan Hui- lopek yang terkejut melihat kepandaian pemuda ini lalu membantunya memasukkan satu-persatu mayat yang berserakan itu.

   Tentu saja keduanya bekerja disertai cucuran air mata.

   Tapi pekerjaan yang akhirnya selesai dalam waktu setengah hari ini membuat Hui-lopek bernapas lega sambil menyusut peluhnya.

   Kini Bun Hwi memandang gundukan tanah itu.

   Hui- lopek yang melihat pemuda ini menggigil pucat, menarik napas panjang, dia tak tahu apa yang dipikirkan pemuda itu.

   Namun Hui-lopek yang dapat merasakan kepedihannya dari alibat peristiwa ini coba menghibur.

   "Bun Hwi, semuanya telah berlalu. Apa yang hendak kau lakukan sekarang?"

   Bun Hwi masih memandang gundukan tanah itu.

   "Kembali ke kota raja, lopek. Melaporkan pada sri baginda tentang semuanya ini...."

   "Dan kau kembali ke sini setelah itu?"

   "Tidak. Aku hendak menemui ibu."

   "Ah, kau masih mempunyai ibu, Bun Hwi?"

   "Ya."

   "Kalau begitu aku ikut kau!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Aku hendak melakukan perjalanan jauh, lopek. Mana mungkin kau ikut aku?"

   "Tapi aku sanggup berjalan jauh, Bun Hwi. Tubuh tua ini masih kuat berjalan meskipun ber-bulan!"

   "Hm..."

   Bun Hwi tertegun. Dia jadi teringat urusannya sendiri yang harus mencari Kiok Lan dan Mei Hong. Kalau orang tua ini ikut tentu lambat sekali perjalanannya. Karena itu Bun Hwi lalu menarik napas panjang dan menjawab.

   "Hui-lopek, aku mengabulkan permintaanmu. Tapi jangan sekarang. Aku masih mempunyai beberapa tugas yang harus kuselesaikan. Kau tunggulah di sini dan nantikan seminggu lagi kedatanganku!"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hui-lopek kecut mukanya.

   "Wah, seorang diri di tempat yang sunyi begini, Bun Hwi?"

   "Kau tak takut, bukan?"

   Bun Hwi membesarkan hati.

   "Aku hanya seminggu saja, lopek. Setelah itu aku akan datang membawamu ke tempat yang lebih baik....."

   Kakek ini menyerah. Dia tak dapat memaksa. Dan Bun Hwi yang memandang ber-kaca tiba membalikkan tubuh.

   "Hui lopek, aku pergi dulu. Jaga dusun ini sampai aku kembali...! Hui Lopek mengiyakan. Dia mengangguk lemah. Dan Bun Hwi yang sudah mengerahkan kepandaiannya tiba berkelebat jauh ke depan. Sebentar saja anak muda ini lenyap. Hui lopek memandang ter-mangu di dekat gundukan tanah kuburan baru ini, mengusap dua matanya yang menitikkan air mata. Kejadian yang mereka alami terlampau hebat. Bagai di alam mimpi saja. Tapi Hui lopek yang sudah membalikkan tubuh ter-huyung menuju ke gedung Bhong-loya dengan satu penantian, menunggu Bun Hwi seminggu lagi. Se-olah sementara ini dia adalah penjaga kubur dari tigaratus jiwa yang melayang sia-sia! *Oz* Bun Hwi baru saja meninggalkan Ki-leng setelah dia keluar dari tapal batas wilayah itu yang ditandai lingkaran kawat berduri yang melingkar jauh berkeliling. Dan Bun Hwi yang berlari cepat dengan muka murung tiba terkejut mendengar suara senjata beradu. Suara itu masih jauh, tapi telinga Bun Hwi yang tajam mampu menangkap suara senjata ini. Maka Bun Hwi segera mempercepat larinya menuju ke tempat itu. Dan Bun Hwi semakin terkejut. Bentakan marah mulai terdengar. Bentakan nyaring dua orang wanita! Bun Hwi yang jadi kaget hatinya segera mempercepat larinya menuju ke tempat tersebut. Dan begitu sampai di situ tiba Bun Hwi tertegun. Kiranya dua orang wanita yang bertempur hebat, satu mempergunakan pedang sedang yang lain mempergunaknn tongkat adalah Mei Hong dann Kiok Lan! Bun Hwi seketika berhenti. Mukanya pucat terbelalak memandang pertempuran ini. Sementara itu di medan pertempuran terdengar Kiok Lan yang bertempur mempergunakan pedang mencaci-maki lawannya dengan penuh kemarahan.

   "Siluman betina, kau tak pantas mencintai Bun Hwi. Dan dia tak bakal membalas cintamu! Kau anak seorang kauwsu curang...!"

   Mei Hong menggerakkan tongkatnya. Ia menangkis serangan Kiok Lan, dan balas menyerang iapun balas memaki.

   "Dan kau gadis tak tahu malu, setan perempuan. Kau menyatakan cinta padahal Bun Hwi tak mencintaimu!"

   "Cis, kalau begitu kaukira dia mencintaimu? Ih, kau yang tak tahu malu, siluman betina. Bun Hwi tidak mencintai kau melainkan mencintai aku!"

   Mei Hong tertawa mengejek. Ia mainkan tongkat membalas serangan Kiok Lan, dan Mei Hong yang gemas oleh kata lawannya melengking tinggi.

   "Kaulah yang tak tahu malu, setan perempuan. Bun Hwi lebih mencintai aku daripada kau....!"

   Keduanya bertempur lagi.

   Sekarang Iebih sengit, lebih ganas.

   Dan Bun Hwi yang bersembunyi menonton semuanya itu tergetar hebat dengan kaki menggigil.

   Dia melihat Kiok Lan memekik marah, dan begitu Mei Hong menggerakkan tongkat membalas serangannya tiba gadis inipun mengelebatkan pedang menusuk ber-tubi.

   Ia berusaha memapas tongkat, tapi Mei Hong yang menyalurkan sinkangnya melindungi tongkat membuat senjata itu tahan bacokan senjata tajam.

   Maka pertempuran tentu saja ramai, dan ketika untuk yang ke sekian kalinya Kiok Lan menusukkan pedang menyambar tongkat tiba Mei Hong melompat tinggi menggerakkan jarinya.

   Dia menotok punak Kiok Lan, tapl Kiok Lan yang memutar tubuh tiba membabat kepala Mei Hong.

   Akibatnya totokan Mei Hong luput sementara gadis ini sendiri terancam kepalanya.

   Tapi Mei Hong cukup lihai.

   Melihat pedang menyambar kepalanya mendadak ia merendahkan tubuh.

   Lalu begitu punggung mereka saling beradu tiba tongkatnya bergerak menghantam pundak Kiok Lan.

   "Plak-bret!"

   Mei Hong dan Kiok Lan sama berteriak.

   Mereka masing terkena senjata lawan.

   Mei Hong terbabat pita rambutnya karena kurang rendah membungkukkan tubuh sedang Kiok Lan menerima gebukan dari tongkat yang seolah bermata! Kini keduanya sama melotot.

   Mereka sudah berhadapan lagi dan Kiok Lan yang penasaran belum dapat merobohkan lawan tiba memekik panjang.

   Sekali melompat ia langsung menukik menusuk ubun Mei Hong, dan Mei Hong yang juga penasaran belum mampu mengalahkab lawan tiba melengking tinggi dan menggerakkan tongkatnya menangkis tusukan pedang yang datang dari udara.

   Dan, sama marah keduanya mengerahkan kekuatan sepenuh tenaga untuk saling menusuk dan melepaskan senjata lawan! "Crakk!"

   Mei Hong mengeluh kaget.

   Tongkatnya kali ini buntung, tapi pedang Kiok Lan yang juga tak kuat menerima tangkisan itu mendadak lepas dari tangannya dan mencelat jatuh! Kiok Lan dan Mei Hong sama terkejut.

   Bun Hwi yang tak dapat membiarkan dua orang gadis itu melanjutkan pertempuran tiba sudah melompat dan mengembangkan lengannya.

   "Mei Hong, Kiok Lan, berhenti dulu!"

   Dua orang gadis itu terkejut. Mereka kaget melihat Bun Hwi muncul di situ, dan Bun Hwi yang sudah mengangkat lengannya ke atas buru melanjutkan, suaranya serak.

   "Mei Hong, Kiok Lan, aku telah mendengar apa yang kalian perebutkan di sini. Tak perlu bertempur. Aku sama menyukai kalian!"

   Mei Hong dan Kiok Lan terbelalak. Mereka tertegun, muka sama menjadi merah. Tapi Kiok Lan yang lebih berani mendesis perlahan.

   "Kami tak sekedar membutuhkan rasa sukamu, Bun Hwi. Tapi rasa cintamu!"

   Bun Hwi seketika semburat merah. Dia tahu bahwa murid Thian-san Giok-li ini memang lebih ceplas- ccplos bicaranya. Tapi melihat dua orang gadis itu memandangnya tajam tak urung jantungnya pun jadi berdebar tak karuan.

   "Kiok Lan, Mei Hong, aku harap kalian tidak terlalu mendesakku dalam persoalan ini. Aku belum paham apa itu cinta. Tapi kalau rasa suka jelas aku menyukai kalian berdua!"

   "Hm, kalau begitu biarkan kami bertempur, Bun Hwi. Lihat siapa yang akan kau bela dalam pertempuran ini. Kami tak suka sikapmu yang mendua. Kami harus tahu siapa di antara kami yang lebih kaucintai. Aku ataukah siluman betina itu.....!"

   Dan Kiok Lan yang tidak banyak cakap mendadak menyerang Mei Hong dengan tangan kosong. Ia menyimpan pedangnya, mainkan jurus "Sing Sien"

   Dari Cupu Naga.

   Dan begitu kedua lengannya bergerak tahu leher Mei Hong sudah ditekuk dan siap dipatahkan! Tentu saja Mei Hong terkejut.

   Dan kaget bahwa lawan melakukan gerak aneh hingga lehernya tertangkap tiba ia membentak dan mengayunkan kaki dari belakang, melengkung menghantam dagu Kiok Lan, mempergunakan jurus "Siu Sien"! "Plak!"

   Kiok Lan ganti terkejut kali ini.

   Ia lak menyangka Mei Hong mempunyai ilmu simpanan.

   Marah serta heran oleh kaki lawan yang bergerak demikian cepat tiba Kiok Lan sudah menggerakkan lengan memukul dan mencengkeram tubuh lawan dari atas sampai ke bawah dengan mainkan tigapuluh enam gerakan dan jurus Sing Sien, mengharap kali ini dia memperoleh kemenangan.

   Tapi Mei Hong yang sudah mengeluarkan tigapuluh enam gerakan dari dua jurus "Siu Sien"

   Yang lain tiba menangkis semua serangan Kiok Lan dengan kedua kakinya yang bergerak cepat! "Plak-duk dukk!"

   Mei Hong dan Kiok Lan sama terkejut.

   Mereka berteriak kecil, melihat betapa kaki dan tangan mereka secara bersama saling beradu demikian tepatnya.

   Tapi Kiok Lan yang naik penasarannya tiba melengking dan berputararan cepat, mendahului Mei Hong dengan pukulan tangannya.

   Dan Mei Hong yang juga menggerakkan kaki lebih cepat tiba melengking dan sama menyerang.

   Mei Hong tidak hanya menangkis, tapi juga membalas.

   Dan dua oran gadis yang mengadu kelihaian dengan sepasang kaki dan tangan itu tba saja sebentar kemudian lenyap bayangannya.

   Mereka sudah sama mengeluarkan jurus simpanan.

   Masing tak mau mengalah Tapi Kiok Lan dan Mei Hong yang bertempur dengan penuh kemarahan itu tiba saja terbelalak.

   Mereka dengan jelas melihat bahwa masing pihak ternyata memiliki kelemahan.

   Yang bisa mainkan tangan tak bisa menggerakkan kaki, sedang yang bisa menggerakkan kaki tak bisa mainkan tangan! Akibatnya keduanya hampir tertawa, geli oleh hal yang lucu ini.

   Tapi Mei Hong dan Kiok Lan yang tahu Bun Hwi ada di situ menutup mulut menggigit bibir kuat agar tak sampai digelitik oleh perasaan geli ini.

   Mereka bertempur sama sengit, dan ketika akhirnya jengkel melihat masing tak ada kesudahannya tiba Kiok Lan melakukan gerak "Tangan Putih Menyambar Naga", gerakan terakhir dari jurus ke dua "Sing Sien".

   Tapi, Mei Hong yang juga jengkel melihat tak ada kesudahannya dari pertempuran ini mendadak juga sudah tiba pada gerak terakhir, menendang sekaligus menangkis serangan lawan dengan gerak "Kaki Naga Menginjak Mega".

   Hal ini terjadi serentak, tak dapat dielakkan lagi.

   Dan kedunya yang sudah sama menggerakkan kaki dan tangan tak dapat lagi menghindari benturan.

   "Plak!"

   Kaki Mei Hong tahu sudah menangkis tangan Kiok Lan, ditangkap gadis itu dan dicengkeram kuat.

   Dan keduanya yarg Sudah terlibat dalam adu tenaga tiba tak mau mengalah.

   Kiok Lan mengerahkan sinkangnya, berusaha meremas hancur kaki Mei Hong yang mungil.

   Tapi Mei Hong yang tentu saja tidak membiarkan kakinya hancur diremas lawan sudah mengerahkan sinkang untuk melindungi kakinya.

   Akibatnya sinkang mereka bertemu di bawah.

   Dan Mei Hong serta Kiok Lan yang saling cekal bertahan dalam adu sinkang ini tiba terkejut ketika merasa tenaga mereka lebur dan saling hisap menjadi satu! "Ah....!"

   Kiok Lan dan Mei Hong terpekik. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Tak mengerti betapa cara melatih sinkang yang sebetulnya "satu aliran"

   Itu bertemu begitu mereka saling memegang dan bertahan.

   Dan keduanya yang seketika pucat melihat kejadian ini secara serentak menarik tangan dan kaki untuk melepaskan diri.

   Tapi keduanya benar kaget seperti disambar petir.

   Kaki dan tangan mereka ternyata tak dapat ditarik, lekat karena sinkang mereka saling hisap-menghisap! Mei Hong dan Kiok Lan pucat mukanya dan mengeluh secara berbareng memanggil Bun Hwi! "Bun Hwi, tolong...!"

   Bun Hwi terkejut. Dia tak tahu apa yang terjadi. Tapi melihat wajah keduanya pucat dan tampak demikian ketakutan tiba pemuda ini melompat maju dan memukul pergelangan kaki.

   "Mei Hong, lepaskan kakimu....!"

   Tapi Mei Hong menjerit.

   Kiok Lan juga memekik.

   Bun Hwi yang memisah keduanya dengan pukulan ringan di atas pergelangan kaki itu mendadak terkejut sendiri karena tiba tenaganya ikut tersedot dan tertarik ke dalam adu sinkang itu! "Ah, kenapa ini, Kiok Lan?!"

   Bun Hwi kaget bukan main. Sekarang dia mengerti apa yang terjadi pada diri keduanya, dan maklum mereka bertiga bisa tewas oleh hisap-menghisap sinkang ini, mendadak Bun Hwi berteriak keras dan menyodokkan kedua sikunya ke kiri-kanan.

   "Duk-duk!"

   Mei Hong dan Kiok Lan mengeluh. Mereka terbebas, dan begitu Bun Hwi menghentikan aliran sinkang dengan sodokan siku ke pinggang mereka tiba saja keduanya terguling dan muntahkan darah, lemas di atas tanah! "Ahh...!"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia melompat ke arah Kiok Lan, mengurut gadis ini dengan muka pucat.

   Tapi Mei Hong yang mengeluh di seberang merintih panjang dan bangkit berdiri.

   Ia menggigil melihat Bun Hwi menolong Kiok Lan terlebih dahulu, dan mengeluh pendek tiba gadis ini melompat melarikan diri.

   Tapi Mei Hong rupanya terluka parah.

   Baru tiga tindak ia melangkah tiba tubuhnya terjengkang.

   Bun Hwi yang melihat gadis ini roboh jadi terkejut sekali.

   Otomatis dia melayang menghampiri murid Hwa-i Sin-kai ini, dan mukanya yang pucat menggigil berbisik.

   "Mei Hong, kau terluka parah?"

   Gadis ini terisak.

   "Tak perlu kau hiraukan aku, Bun Hwi. Kau tolonglah din dan pergilah....! Mei Hong bangkit berdiri, terhuyung berusaha menjauhkan diri. Tapi Bun Hwi yang tersentak perasaannya mencengkeram pundak gadis ini.

   "Mei Hong, berhenti dulu. Biar kuobati kau!"

   Mei Hong mengeluh. Ia meronta, menepis tangan Bun Hwi dengan penuh kemarahan. Tapi Bun Hwi yang sudah menekan pundaknya mendesis.

   "Jangan melawan, Mei Hong. Aku harus menolongmu. Kau terluka...!"

   Mei Hong tak berdaya Iagi. Ia mencucurkan air mata, dan Bun Hwi yang menolongnya dengan totokan sana-sini dipandang dengan muka penuh air mata.

   "Bun Hwi, siapakah yang lebih kaucintai? Aku ataukah dia?"

   Bun Hwi tersayat perasaannya. Dia tak tahan melihat wajah yang demikian mengharukan ini, dan didorong gejolak remajanya tiba dia mencium halus kening gadis itu.

   "Mei Hong, tunda dulu pertanyaan itu. Biarlah kusembuhkan kau dulu dari luka pukulan ini!"

   Mei Hong mengeluh. Dia merasakan kenikmatan yang hebat dari ciuman lembut di keningnya, dan lupa Kiok Lan ada di situ tiba Mei Hong memeluk Bun Hwi sambil menangis ter-sedu! "Bun Hwi, aku.... aku..."

   Bun Hwi mengusap rambutnya lembut.

   Dia tak tahan melihat mata yang penuh derita ini.

   Dan tergetar oleh perasaan iba dan kasih yang dalam tiba Bun Hwi menunduk menghisap airmata itu.

   Lalu begitu Mei Hong mengeluh panjang dan meramkan mata, se-konyong Bun Hwi telah menurunkan mukanya mencium mulut itu.

   Tanpa sadar! "Bun Hwi......!"

   Bun Hwi kaget bukan kepalang.

   Dia mendengar lengking Kiok Lan, menoleh dan melihat gadis itu menudingnya dengan jari gemetar.

   Dan Kiok Lan yang berdiri terhuyung tampak pucat dengan mata terbelalak lebar memandangnya marah! "Bun Hwi, kau.....

   kau mencintai gadis itu?!"

   Bun Hwi tertegun. Dia teringat akan apa yang baru saja dilakukannya, dan kaget bahwa dia telah mencium Mei Hong dengan Kiok Lan masih ada di situ tiba-tiba saja Bun Hwi terkejut bukan main.

   "Kiok Lan, aku... aku tidak sadar!"

   Kiok Lan tiba terkekeh nyaring. Ia sempoyongan menuding Bun Hwi, kecewa dan sakit hati melihat Bun Hwi mencium Mei Hong tiba saja gadis ini berkata.

   "Bun Hwi, sungguh tak kukira demikian gampang kau mempermainkan seorang gadis. Dulu kau menciumku dan bilang bahwa perbuatan itu kaulakukan tanpa sadar. Dan sekarang mencium seorang gadis cantik lain kaupun bilang tidak sadar. Hi-hik, kalau begitu apa maumu, Bun Hwi? Kau laki hidung belang. Sungguh tak tahu malu!"

   Kiok Lan tiba memutar tubuh sambil tertawa nyaring dan melarikan diri. Gadis ini tak memperdulikan lagi lukanya yang parah, dan Bun Hwi yang pucat mukanya melihat kejadian itu tertegun.

   "Kiok Lan...!"

   Tapi gadis ini sudah berlari sambil menangis ter- sedu, ia tak menghiraukan seruan itu. Sementara itu Mei Horg yang ganti terbelalak matanya tiba melompat berdiri.

   "Bun Hwi, kau.. kau betul pernah mencium Kiok Lan?"

   Bun Hwi seakan ditodong pedang. Dia tak menyangkal, dan menjawab lirih diapun menganggukkan kepalanya.

   "Ya, kulakukan tanpa sadar, Mei Hong. Maaf, kalian berdua sama kusukai!"

   "Ah....!"

   Mei Hong menjerit. Dan marah oleh pengakuan ini mendadak dia memaki.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bun Hwi, kau laki tak tahu malu. Kau sungguh tak tahu malu....!"

   Dan Mei Hong yang pecah tangisnya tiba memutar tubuh melarikan diri.

   Gadis ini mengguguk, dan melarikan diri ke barat yang otomatis berlawanan arahnya dengan Kiok Lan yang berlari ke timur! Bun Hwi sekarang terkejut.

   Dia bingung mau mengejar yang mana.

   Tapi Kiok Lan yang lari duluan berteriak, suaranya melengking, jauh di sana.

   "Bun Hwi, untuk melihat cinta kasihmu, kau kejarlah kami. Siapa yang akan kaupilih...!"

   Dan dua bayangan gadis itu yang sebentar saja lenyap di timur dan barat membuat Bun Hwi tertegun dengan mata ter-bodoh.

   Dia mau mengejar Mei Hong, tapi pikirannya teringat Kiok Lan.

   Dan ketika dia mau mengejar Kiok Lan tiba hati nuraninya berbisik Mei Hong.

   Ah! Maka Bun Hwi yang termangu serta kebingunan ini tiba berteriak, ke kiri satu kali dan ke kanan satu kali.

   "Kiok Lan, wo-ai-ni (aku cinta padamu)....!"

   "Mei Hong, I love you.....!"

   Bun Hwi tiba tertawa bagai orang sinting lalu melangkah lebar ter-huyung ke depan.

   Dia tidak melangkah ke barat atau ke timur, melainkan lurus ke depan.

   ke utara , di mana kota raja berdiri.

   Dan Bun Hwi yang mendengar isak tangis mereka yang panjang merintih lalu menutup kedua telinganya sambil terus melangkah dengan kaki gemetar.

   Bun Hwi tak dapat menentukan pilihannya sendiri.

   Dan pemuda yang sudah berlari cepat sambil ter- tawa bagai orang gila ini meluncur jauh ke depan.

   Dia bingung, batinnya tertekan.

   Karena peristiwa demi peristiwa yang baru dialaminya itu mengguncangkan semua kejernihan otaknya dan mengakibatkan pemuda ini bagai orang dogol! Maka, setelah sepanjang jalan tertawa bagai orang gila, Ban Hwip un tiba dikota raja.

   Dia menepati janjinya menemui kaisar, ayahandanya sendiri.

   Dan menolak permintaan kaisar untuk mengangkatnya sebagai putera mahkota, diapun meninggalkan istana menuju ke Lembah Duka.

   Tentu saja dengan alasan seperti yang pernah diberikannya pada sang ibu, agar kaisar dapat menerimanya baik.

   Dan Bun Hwi yang terbang kemball ke Lembah Duka berkumpul dengan sang bunda setelah mengambil Hui-lopek di dusun Ki-leng, seminggu kemudian! Dan pagi itu, ketika Bun Hwi menyendiri di atas sebuah batu hitam di tempat tinggal ibunya, maka duduklah pemuda ini tepekur memandang matahari.

   Dia menarik napas, menenangkan guncangan hatinya yang belum reda.

   Dan Bun Hwi yang teringat segala pengalamannya tiba terisak.

   Betullah kata pamannya dulu.

   Betapa keserakahan telah menciptakan permusuhan di antara banyak orang.

   Terbukti pamannya sendiri dan Ouw Lui.

   Dan bahwa permusuhan itu dimiliki semua orang, Bun Hwi tiba tersenyum pahit.

   Hm, dulu dia telah bersikap Sombong.

   Menyatakan bahwa permusuhan hanya milik orang kang-ouw.

   Tapi setelah pengalaman demi pengalaman menempa dirinya, sadarlah dia bahwa permusuhan bukan milik golongan tertentu atau orang tertentu.

   Permusuhan adalah milik manusia.

   Dan karena itu bisa saja dipunyai orang yang tidak bisa silat atau yang bisa silat! Bun Hwi sekarang mengangguk pahit.

   Di mencoba menelusur, benarkah permusuhan tercipta karena keserakahan? Dan setelah Bun Hwi merenung jauh dia mendapat kenyataan bahwa sebagian besar permusuhan memang tercipta karena adanya KESERAKAHAN! Bun Hwi meng-angguk.

   Dia mulai melihat hal ini.

   Dan ketika dia sadar bahwa permusuhan berpangkal dari nafsu keserakahan ini, dia lalu meneropong, apakah sebabnya manusia bertindak serakah? Bun Hwi teringat wejangan pamannya.

   Rasa tidak puas diri! Ya, inilah agaknya.

   Rasa tidak puas diri yang membuat manusia serakah! Kalau begitu, salahkah manusia jika dihinggapi rasa tidak puas diri ini? Silahkah "rasa tidak puas"

   Itu sendiri yang mengakibatkan permusuhan di antara umat manusia? Karena, kalau tidak ada rasa tidak puas diri, tentu dunia tidak akan mengalami kemajuan seperti sekarang ini.

   Semuanya serba statis! Tak ada yang bergerak maju! Kalau begitu, bagaimana jawabannya? Bun Hwi belum dapat menjawab pertanyaan ini.

   Dia tak tahu bahwa "rasa tidak puas"

   Diri ada dua macam.

   Yang pertama rasa tidak puas diri "positip", dan yang ke dua rasa tidak puas diri yang "negatip".

   Yarg pertama sifatnya vertikal (ke atas).

   Sedang yang ke dua sifatnya horizontal (melebar).

   Dan dari ke-duanya ini masing mempunyai ciri yang menonjol.

   Yang pertama, vertikal, sifatnya MEMBANGUN.

   Yang yang ke dua, horizontal, sifatnya MERUSAK.

   Dan dari ke-duanya ini tentu saja yang "horizontal"

   Berbahaya sekali.

   Dia dinamakan pula rasa tak puas diri yang "kotor", karena dari situ muncul nafsu keserakahan yang merugikan orang lain.

   Contoh gamblang dalam hal ini adalah Ma taijin sendiri serta Ouw Lui.

   Betapa nafsu keserakahan mereka telah membuat orang lain celaka.

   Bahkan Ouw Lui dalam keserakahannya telah meminta korban jiwa tigaratus orang temannya sendiri.

   Benar mengerikan! Sedang contoh yang pertama, ambil saja seseorang yang tidak puas dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh.

   Dia ingin menimba pengetahuan lain lagi, yang lebih tinggi, yang lebih "ke atas".

   Dan dari rasa tidak puas diri model "posit'p"

   Ini kita lihat dia tidak merusak orang lain.

   Dia tidak menyakiti orang lain, tidak merugikan orang lain.

   Alhasil, inilah yang disebut rasa tidak puas yang sifatnya "vertikal".

   Memang, kita manusia tak mungkin mengenal nafsu puas dalam jenjang kehidupan kita.

   Kita selalu ingin lebih dan lebih.

   Tapi asal Anda ingat, masuk kategori manakah rasa tidak puas itu, maka kita bisa selalu ber-hati dalam melangkahkan kaki kehidupan kita.

   Penulis tak hendak mengupas masalah tidak puas diri ini secara panjang lebar.

   Karena bukan itu yang hendak penulis tekankan.

   Tapi sesuatu yang penting yang ada di sini hendak penulis tonjolkan.

   Yakni, rasa permusuhan! Anda telah melihat Bun Hwi kalah bertaruh, bukan? Betapa dia harus mengakui kenyataan hidup ini bahwa permusuhan bukan monopoli orang dunia kang-ouw saja.

   Orang biasa pun dapat saja menciptakan permusuhan.

   Kadarnya tergantung dari masing individu.

   Tergantung persoalan yang mereka hadapi.

   Karena permusuhan ternyata sudah merupakan BAGIAN HIDUP MANUSIA! Buktinya, adakah di antara Anda yang selama hidup belum pernah bermusuhan? Jawabnya, mustahil! Benar, bukan? Dan itu memang fakta.

   Ma taijin telah berkata pada Bun Hwi bahwa orang tak pandai silat pun dapat saja mencetuskan api permusuhan (

   Jilid 12).

   Faktornya macam.

   Tapi sebagian besar karena keserakahan.

   Dan ini memang rupanya tak dapat dibantah.

   Permusuhan bukan hanya dimiliki golongan tertentu, atau orang tertentu.

   Tapi permusuhan dapat melanda siapa saja.

   Baik dia itu kuli kasar sampai diplomat ulung.

   Ini fakta! Sekarang menjadi pertanyaan .

   Dapatkah permusuhan yang agaknya sudah menjadi "bagian hidup manusia"

   Ini ditiadakan? Dapatkah itu dihindari? Dan, satu pertanyaan penting lagi.

   Dari manakah ASAL permusuhan? Karena hal ini agaknya patut kita jawab dengan serius, para pembaca.

   Karena kita lihat betapa permusuhan jauh lebih membawa kerugian daripada keuntungan.

   Itu telah kita ketahui bersama.

   Lalu sekarang, kalau kita ketahui bahwa sebagian besar permusuhan tercipta karena keserakahan, lalu apakah permusuhan dapat dihindari kalau kita sudah tidak serakah? Agaknya ini belum merupakan jaminan kuat.

   Permusuhan timbul karena nafsu serakah.

   Dan nafsu serakah timbul karena rasa tidak puas diri yang jenis ke dua tentu saja.

   Yang horizontal (melebar).

   Yang negatip.

   Dan kalau ini semuanya dihilangkan, agaknya secara teoritis permusuhan tidak lagi melanda manusia.

   Tetapi, itu belum merupakan jaminan, para pembaca.

   Karena ada sebuah "misteri"

   Tersembunyi yang ber-juta tahun telah melekat di dalam diri manusia. Ada sesuatu yang merupakan sumber ASAL dari semua permusuhan itu. Ada "bola"

   Aneh yang melekat di diri kita. Di diri anda, di diri penulis. Dan "bola"

   Inilah yung sesungguhnya telah MENCIPTAKAN segala bentuk permusuhan! Anda sudah tahu? Agaknya belum.

   Penulis akan mulai menjawab pertanyaan ini satu demi satu.

   Setahap demi setahap dalam kisah berikutnya.

   Dan kalau Anda sabar, dan Tuhan mengijinkannya, maka biarlah kita lihat apa "bola misterius"

   Itu.

   Yang penting Anda ketahui di sini bahwa permusuhan sudah menjadi bagian dari hidup kita.

   Kita tak dapat mengelakkanbya.

   Dia bisa menyelinap dalam bentuk keserakahan, atau bentuk iri hati.

   Atau bentuk lain yang cukup banyak jumlahnya.

   Tapi yang sudah jelas ialah, kita tak dapat melepaskan diri secara total dari rasa permusuhan ini.

   Itu adalah fakta yang banyak melanda sebagian besar manusia! Lalu sekarang, kalau kita tahu permusuhan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, tentunya kita ingin tahu dari mana sumber aslinya, bukan? Penulis katakan saja secara singkat bahwa permusuhan bersumber pada "bola misterius"

   Itu. Sebuah "bola"

   Aneh yang melekat di tubuh manusia sejak jutaan tahun yang lalu.

   Sejak bumi berkembang dengan manusia yang menghuni pertama kalinya.

   Itu saja.

   Karena untuk menjawabnya lebih jelas, penulis harus menguraikan panjang lebar dalam cerita mendatang.

   Setahap demi setahap.

   Nah, para pembaca.

   Anda ketahui saja sekarang ini pada babak pertama bahwa Bun Hwi telah kalah bertaruh.

   Bahwa permusuhan bukan milik orang kang-ouw saja, melainkan "milik"

   Semua orang.

   Baik dia itu pandai silat atau tidak pandai silat.

   Baik dia itu kaum bangsawan atau kaum jembel.

   Ini fakta! Dan selanjutnya mengenai rasa tidak puas diri, kini Anda ketahui ada dua jenis.

   Yang pertama boleh kita kembangkan karena sifatnya yang membangun.

   Sedang yang ke dua kalau bisa kita singkiri saja jauh.

   Terlalu berbahaya.

   Baik bagi diri sendiri maupun orang lain! Dan selanjutnya, untuk menikmati cerita berikutnya dalam serial "silat mbeling"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ini, penulis akan kisahkan sebuah cerita baru dengan judul "KISAH 4 PENDEKAR". Kisah yang akan memberi "pengetahuan"

   Baru bagi Anda semua. Yang juga merupakan fakta hidup yang terjadi se-hari di sekeliling kita. Selamat menantikan! Manggalam! TAMAT Pojokdukuh, 11-08-2019 ; 24.45 WIB

   

   

   

   

Pohon Kramat Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id

Cari Blog Ini