Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 9


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 9



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 13 * * * DENGAN kaki gemetar dan muka pucat Bun Hwi memeriksa keadaan gadis itu, tapi karena tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri murid Thian- san Giok-li ini Bun Hwi hanya memandang kebingungan.

   Dia gelisah dan cemas melihat wajah gadis itu pucat kehijauan, tanda terluka hebat atau keracunan.

   Tapi Bun Hwi yang berusaha menolong tiba-tiba saja sudah mencari air.

   Dia hendak menyadarkan gadis itu sebelum mencari obat sebisanya, dan Bun Hwi yang terhuyung- huyung melangkah tiba-tiba saja menjadi girang ketika mendengar suara air berkericik.

   Itulah yang dicari! Maka Bun Hwi yang sudah melangkahkan kakinya ini cepat-cepat menuju ke asal suara.

   Dia baru tahu bahwa lubang dimana mereka berada ternyata merupakan dasar dari sebuah sumur alam, yang tingginya kira-kira ada sepuluh tombak.

   Dan di sebelah kiri dari lubang ini terdapatlah sebuah lorong panjang yang gelap remang-remang menuju tempat yang sama sekali belum diketahuinya.

   Maka Bun Hwi yang sudah melangkahkan kakinya itu cepat-cepat memasuki lorong ini.

   Dengan terhuyung-huyung dan kaki menggigil Bun Hwi menuju ke asal suara berkericik, sebuah tempat yang agaknya belasan tombak dari mulut terowongan ini, yang merupakan cabang dari lantai sumur yang cukup dalam itu.

   Dan Bun Hwi yang sudah memasuki lorong ini tiba-tiba saja merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.

   Dia hampir berketruk diserang hawa dingin itu, tapi Bun Hwi yang terus maju melangkah tak menghiraukan serangan hawa dingin ini.

   Dan Bun Hwi tiba-tiba terbengong.

   Di hadapannya membentang sebuah telaga kecil yang airnya jernih kebiru-biruan, dan di ujung telaga itu, agak jauh di depan mata tampaklah sesosok tubuh duduk bersila.

   Seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua tampak bersamadhi di sebuah air terjun kecil, yang airnya gemericik yang didengar Bun Hwi sebagai suara pertama.

   Dan Bun Hwi yang melihat kakek tua ini sama sekali tak bergerak dari tempat duduknya tiba-tiba saja tertegun.

   Dia sejenak mengamati tubuh tua itu, tapi Bun Hwi yang tiba-tiba menjadi girang mendadak sudah melompat tinggi berlarian menghampiri kakek yang seperti arca itu.

   Dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar Bun Hwi sudah berteriak, dan suaranya yang bergema mengelilingi sekitar telaga mengejutkan beberapa burung yang terbang di atas dahan.

   "Locianpwe, bisakah kau menolongku sebentar...?"

   Bun Hwi sudah tiba di tempat ini. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek tua itu, dan penuh harap dengan suara cemas dia kembali mengulang permintaannya.

   "Locianpwe, bisakah kau menolongku sebentar?"

   Tapi kakek tua yang bersila di depannya itu ternyata diam saja.

   Kakek ini sama sekali tak bergeming, dan Bun Hwi yang menjadi heran serta mendongkol tiba- tiba bangkit berdiri.

   Ada sesuatu yang membuat dia tercekat, yakni dada yang sama sekali tidak bergerak-gerak.

   Matikah kakek ini? Kenapa tidak menarik atau mengeluarkan napas sejenakpun? Maka Bun Hwi yang sudah memberanikan diri itu lalu mengulurkan lengan, meraba denyut jantung di dada sebelah kiri kakek ini.

   Dan begitu dia meraba tiba-tiba saja Bun Hwi tertegun.

   Ternyata kakek ini benar-benar sudah mati, dan Bun Hwi yang kaget bukan main melihat kakek itu masih bersila dengan punggung tegak terangkat kontan saja menjadi bengong! Dia tidak tahu bagaimana kakek itu bisa mati dengan cara duduk begitu, tapi Bun Hwi yang sudah sadar dari rasa kagetnya ini tiba-tiba sudah menjatuhkan diri berlutut.

   "Locianpwe, kiranya kau telah wafat. Kalau begitu kenapa tidak ada seorangpun yang menguburkan jenasahmu? Apakah kau hidup sunyi selamanya di sini?"

   Lalu Bun Hwi yang memberi hormat tiga kali itu sudah bangkit berdiri.

   "Baiklah, kalau begitu aku akan menguburkanmu, locianpwe. Semoga kau hidup tenteram di alam baka!"

   Dan Bun Hwi yang sudah memegang kedua lutut kakek tua renta ini bermaksud untuk memindahkan jenazahnya dari curahan air terjun itu.

   Dia siap mengangkat, tapi Bun Hwi yang tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh di lutut kakek ini sekonyong-konyong terbelalak.

   Ada sesuatu yang membuat dia terkejut.

   Sebuah guratan kecil-kecil di lutut itu.

   Maka begitu Bun Hwi mendekatkan kepalanya untuk membaca guratan itu tiba-tiba saja Bun Hwi terkejut bukan main.

   Ternyata guratan itu berupa peringatan bagi siapa saja yang menemukan jenazah kakek ini, dan tulisan yang berbunyi "meledak jika diangkat"

   Itu tiba-tiba saja membuat Bun Hwi tertegun.

   Dia hampir saja memindahkan jenazah kakek ini.

   Dan kalau tidak menyentuh lutut kakek itu secara kebetulan tentu dia bakal meledak bersama kakek itu! Maka merasa aneh oleh perbuatan kakek ini Bun Hwi kontan saja mengamati bagian-bagian lain dari tubuh jenazah ini untuk melihat barangkali ada guratan-guratan lain yang perlu diperhatikan bagi penemu jenazah.

   Dan begitu dia mengamati tubuh kakek yang telah tua ini mendadak Bun Hwi tercengang.

   Ternyata benar dugaannya.

   Ada beberapa tulisan- tulisan lain di lutut dan kedua lengan.

   Dan begitu Bun Hwi membaca sekonyong-konyong darahnya berdesir.

   Kiranya sebuah pesan yang amat penting.

   Dan bagi mereka yang bersikap kasar terhadap jenazah ini maka kematianlah yang bakal menjemputnya! Maka Bun Hwi yang sudah membaca guratan di lutut sebelah kanan itu melihat tulisan yang berbunyi.

   Bagi mereka yang tahu hormat agar jangan memindahkan jenazahku sebelum waktunya.

   Lengan kiri dan lengan kanan membawa faedah.

   Bila mengerti titik simpulnya dia akan menemui kebahagiaan.

   Bun Hwi melenggong.

   Bahasa apa itu? Kenapa lengan kiri dan kanan membawa faedah? Dan apa maksud kalimat terakhir itu? Bun Hwi tidak mengerti.

   Dia lalu mengamati lengan kiri kakek tua ini, dan menemukan lagi sebaris guratan kecil diapun membacanya.

   Di sini letak nasib sialku.

   Siapa yang menarik berarti menyelesaikan sebuah tugas mulia.

   Gegabah menendang jenazah dia bakal mati bersama jasadku.

   Bun Hwi kembali terbengong.

   Dia tidak dapat menangkap arti kata-kata itu, tapi mengamati lengan kanan diapun sudah mendapatkan kembali sebaris kalimat yang bunyinya agak panjang.

   Ini adalah nasib keberuntunganku.

   Meninggalkan sebutir Sian-tan bagi yang berjodoh adalah amal kebahagiaanku di saat terakhir.

   Ambillah, dan pergunakan itu untuk menolak segala jenis penyakit.

   Sian-tan ini luar biasa berkhasiat, mampu mengawetkan wajah seseorang untuk tiga puluh tahun lebih muda.

   Maka mempergunakannya dengan hati yang bersih adalah tujuan pemberianku ini.

   Dan di bawah kata-kata di atas itu terdapatlah tulisan yang lebih kecil, berisi petunjuk atau cara pemakaiannya, berbunyi .

   Menelan Sian-tan ini tidak dapat dilakukan dengan dorongan air.

   Yang diperlukan ialah tiupan khi-khang dari mulut ke mulut.

   Apapun tak ada cara lain!"

   Maka Bun Hwi yang tiba-tiba berdiri tertegun itu kontan saja menjadi girang luar biasa.

   Dia tidak mengira bahwa kakek tua yang sudah wafat ini ternyata meninggalkan sebutir Sian-tan (pil dewa) untuk yang dapat menghormati jenazahnya.

   Maka Bun Hwi yang sudah berseri mukanya itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut.

   "Locianpwe, beribu terima kasih bahwa kau agaknya meninggalkan sebuah pengharapan bagiku. Baiklah locianpwe, memenuhi pesanmu akan kuambil Sian- tan yang kau hadiahkan kepadaku itu. Aku akan mempergunakannya untuk seorang teman yang saat ini membutuhkannya. Semoga dia sembuh dan sehat seperti sedia kala berkat kemuliaan hatimu...!"

   Dan Bun Hwi yang sudah bangkit berdiri dan merogoh baju kakek itu tiba-tiba telah mendapatkan sebutir obat berwarna putih yang bening tapi dingin sebesar biji kelereng.

   Dia mengamati sejenak butir obat yang putih bagai salju itu dengan muka berseri-seri, lalu menciumnya penuh kegembiraan Bun Hwi tiba-tiba melompat dan kembali ke tempat Kiok Lan dimana dia meninggalkannya di dasar sumur.

   Bun Hwi bersorak-sorak, dan remaja tanggung yang tampak gembira bukan main ini sebentar saja sudah memasuki lubang di sumur alam itu.

   Dengan cepat dia menghampiri temannya, lalu berjongkok dan meletakkan kepala gadis itu di atas pahanya Bun Hwi sudah menjejalkan obat dewa ini dengan sikap terburu-buru.

   Dia lupa mengambil air seperti yang tadi direncanakannya, dan Kiok Lan yang tiba-tiba tersedak oleh jejalan obat sebesar kelereng itu tiba- tiba saja membuat Bun Hwi sadar.

   "Aih, kenapa lupa mengambil air?"

   Bun Hwi menepuk dahinya.

   Dan tertawa dengan mulut meringis dia cepat-cepat meletakkan kepala gadis itu di lantai untuk mengambil air.

   Tapi Bun Hwi tiba- tiba kebingungan.

   Dia tidak tahu harus memakai apa untuk menampung air.

   Maka berjongkok di samping Kiok Lan tiba-tiba dia sudah mengangkat tubuh gadis ini untuk dibawa keluar.

   Dengan tergesa-gesa Bun Hwi berlarian menuju telaga, lalu mendekati air terjun kecil yang ada di dekat jenazah sang kakek tua Bun Hwi meletakkan hati-hati tubuh temannya.

   Di sini dia menampung air dengan telapak tangannya, kemudian mengucurkannya ke mulut Kiok Lan, Bun Hwi bermaksud mendorong obat dewa yang "nyangkut"

   Di tenggorokan temannya itu agar meluncur turun.

   Tapi aneh.

   Bun Hwi yang berkali-kali mengucurkan air dengan susah payah ke mulut Kiok Lan ternyata tidak membawa hasil sama sekali.

   Dan wajah Kiok Lan yang basah kuyup oleh air yang tumpah dari telapak tangannya tak juga sadar.

   Bun Hwi kebingungan.

   Dia terbelalak.

   Dan Kiok Lan yang berkali-kali tersedak secara tidak sadar itu tiba-tiba mengeluarkan Sian-tan yang sudah di dalam mulut.

   Obat sebesar kelereng itu meloncat! Ah, Bun Hwi menjadi cemas.

   Kalau obat tidak dapat diminumkan segera padahal gadis itu semakin pucat dan kulitnya kehijauan tentu keadaan gadis itu bakal semakin berbahaya.

   Maka Bun Hwi yang menggigit bibir tiba-tiba teringat "cara"

   Pengobatan seperti yang terbaca di lengan kanan jenazah kakek tua itu. Dan begitu teringat tentang cara pengobatan ini tiba-tiba Bun Hwi menjadi merah mukanya. Dia berdebar, takut dan "ngeri"

   Oleh bayangan dirinya sendiri.

   Tapi khawatir salah baca tiba-tiba dia melompat mendekati jenazah kakek itu untuk membacanya ulang.

   Namun ternyata benar.

   Sian-tan yang istimewa ini harus ditiup melalui tenaga khikang.

   Dan itu berarti harus mengadu mulut dengan mulut untuk mendorong masuk obat sebesar kelereng itu agar mampu meluncur turun! Ah, Bun Hwi menggigil.

   Dia menjadi pucat oleh petunjuk yang diberikan jenazah kakek tua ini.

   Tapi karena memang tidak ada kemungkinan lain untuk menolong temannya tiba- tiba Bun Hwi memejamkan mata dan perlahan-lahan mendekati bibir Kiok Lan! Aneh dan menggelikan perbuatan Bun Hwi ini.

   Dan anak laki-laki yang gemetar mukanya itu tampak berjuang keras untuk menekan guncangan hatinya.

   Dia berusaha mengendalikan diri, dan ketika akhirnya perlahan-lahan bibirnya menyentuh bibir Kiok Lan tiba-tiba Bun Hwi mengeluh.

   Dia merasakan sepasang bibir yang lembut hangat, dan begitu Bun Hwi menyentuh benda lunak memabokkan ini mendadak bibirnya sendiri jadi kaku.

   Bun Hwi tak mampu meneruskan pekerjaannya, dan mulut yang sudah menempel dengan mulut itu membuat anak laki-laki ini tertegun! Hampir tertawa orang dibuatnya.

   Tapi Bun Hwi yang tiba-tiba teringat bahwa Kiok Lan menderita serangan beracun mendadak mengempos semangat.

   Dia menahan napas tiga kali, lalu begitu guncangan hatinya berhasil ditindas sekonyong-konyong Bun Hwi sudah mencium mulut gadis ini dan meniupkan napasnya.

   Kuat sekali! Bun Hwi sampai menggigil melakukan perbuatan ini, dan tiupan mulutnya yang mendorong masuk obat dewa yang sudah dia jejalkan di dalam mulut Kiok Lan itu tiba-tiba merasa "plong"

   Ketika obat sebesar kelereng itu meluncur turun dengan mudah melalui tenggorokan Kiok Lan! Berhasil! Bun Hwi menjadi girang.

   Tapi Bun Hwi yang panas dingin dengan muka penuh keringat itu tiba-tiba gemetar memandangi wajah temannya ini dengan napas terengah-engah.

   Dia telah berhasil menyelamatkan diri Kiok Lan, tapi dia sekarang yang ganti balik "menderita"

   Oleh sesuatu membuat Bun Hwi merah mukanya.

   Dia menahan napas tiga kali, lalu begitu guncangan hatinya berhasil ditindas sekonyong- konyong Bun Hwi sudah mencium mulut gadis ini dan meniupkan napasnya.

   Kuat sekali! Dia merasakan adanya semacam kenikmatan aneh ketika menyentuh bibir yang lembut hangat itu, dan Bun Hwi yang tiba-tiba nanar dengan mata kosong ini mendadak menjadi mabok seperti orang kebanyakan tuak.

   Anak laki-laki ini bangkit berdiri, dan langkah kaki yang terhuyung setelah gemetar itu membuat Bun Hwi tersaruk-saruk menjauhi Kiok Lan.

   Dia gelisah sendiri oleh perbuatan yang baru sekali itu dilakukannya seumur hidup dan bayangan bibir Kiok Lan yang lembut hangat tiba-tiba mengacaukan pikiran Bun Hwi menjadi semakin tidak karuan.

   Bun Hwi cemas, dan bingung oleh keadaan hatinya yang resah itu tiba-tiba anak laki-laki ini menjadi marah.

   "Keparat, kenapa aku jadi begini?"

   Bun Hwi memukul tinjunya.

   Lalu geram oleh pikirannya sendiri yang tidak-tidak tiba-tiba Bun Hwi terjun di telaga kecil itu! Dia langsung mencebur, dan Bun Hwi yang membenamkan kepala di air telaga yang jernih kebiru-biruan itu tiba-tiba saja sudah berenang kian kemari tanpa arah tujuannya! Anak laki-laki ini seperti bocah sinting, dan Bun Hwi yang memukul-mukul air dengan penuh rasa gemas itu sebentar saja sudah menyelam dan tiimbul lagi seperti orang gila.

   Bun Hwi hendak "mendinginkan"

   Panas tubuhnya yang bergolak oleh debaran jiwa muda, lalu puas memaki-maki diri sendiri di dalam air diapun keluar lagi.

   Kini Bun Hwi agak tenang, namun kaki yang sedikit menggigil membuat dia harus mengeraskan hati.

   Bun Hwi tidak tahu betapa Kiok Lan sudah membuka mata, maka mendengar gadis itu mengeluh tiba-tiba saja Bun Hwi menjadi terkejut.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kiok Lan, kau sudah sadar...?"

   Bun Hwi melompat menghampiri. Dan gadis yang sudah siuman itu mengejap-ngejapkan mata.

   "Bun Hwi, kau di sini?"

   Kiok Lan balik bertanya, tampak terheran, lalu melompat bangun mendadak gadis itu memandang sekitar dengan muka berapi- api.

   "Bun Hwi, mana itu Tung-hai Lo-mo? Mana itu iblis yang curang ini?"

   Bun Hwi mengerutkan alis. Melihat gadis itu marah dan menggerakkan-gerakkan bibir tiba-tiba saja dia jadi gelisah lagi, dan Kiok Lan yang mangar-mangar pipinya itu dipandang bodoh.

   "Hei, kau kenapa? Mengapa diam ditanya orang?"

   Bun Hwi terkejut. Dia memang sedang "kecantol"

   Melihat bibir yang indah itu bergerak-gerak, maka begitu Kiok Lan menegurnya marah Bun Hwi tiba- tiba saja jadi terperanjat.

   "Eh... oh... apa... apa yang kau tanyakan, Kiok Lan...?"

   Gadis ini membanting kaki.

   "Aku menanyakan mana itu Tung-hai Lo-mo, Bun Hwi. Kenapa kau ah-ah-oh- oh seperti orang tidak waras?"

   Bun Hwi tersipu-sipu.

   "Oh... eh... aku... aku tidak tahu, Kiok Lan. Disini tidak ada iblis atau setan yang bernama Tung-hai Lo-mo! Jadi orang itukah kiranya yang membuatmu jadi begini?"

   Kiok Lan mengepalkan tinjunya.

   "Ya, kakek jahanam itu yang membuatku pingsan, Bun Hwi. Aku terluka oleh senjata pelornya. Tapi... hei!"

   Kiok Lan tiba-tiba terbelalak.

   "Bagaimana sekarang aku sembuh kembali? Siapa yang mengobatiku, Bun Hwi? Dimana subo?"

   Bun Hwi tersenyum menyeringai.

   "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, Kiok Lan. Tapi Ang-sai Mo-ong yang membawamu dalam keadaan pingsan membuat aku berusaha menolong sebisanya. Tentang subomu aku tidak tahu. Tapi..."

   "Stop!"

   Kiok Lan tiba-tiba mengulapkan tangannya.

   "Kau bilang aku dibawa Ang-sai Mo-ong, Bun Hwi? Kau yang mengobatiku dari serangan pelor beracun itu?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Yaah, kurang tepat dibilang begitu, Kiok Lan. Tapi kalau kau pingsan dibawa iblis Singa Merah itu hal ini memang betul. Aku tidak tahu mengapa kau tiba-tiba bisa berada di tangan kakek itu, dan pamanku yang telah menolongmu berusaha melepaskan dirimu dari cengkeraman iblis tua itu."

   "Dan kau lalu mengobatiku, Bun Hwi?"

   "Bisa dibilang begitu tapi bisa pula dibilang tidak."

   "Eh, kenapa kau main teka-teki begini?"

   "Hm, itu memang ada kejadiannya, Kiok Lan. Tapi bisakah kau tidak banyak bertanya dulu? Aku takut melihat kau selalu menggerak-gerakkan bibir begitu!"

   Kiok Lan terkejut. Gadis ini tampaknya merasa heran, tapi menganggap Bun Hwi main-main tiba- tiba ia menghentakkan kakinya.

   "Bun Hwi, jangan main-main kau! Memangnya kenapa kalau aku banyak bertanya? Ada apa dengan bibirku ini?"

   Bun Hwi menjadi gugup.

   "Wah, runyam menjawabnya, Kiok Lan. Pokoknya aku minta agar kau tidak banyak bertanya dulu. Aku ngeri...!"

   Kiok Lan tiba-tiba tertawa.

   "Bun Hwi, kau rupanya sedang tidak waras. Kenapa kau jadi ngeri dengan bibirku ini? Ada apa kalau aku banyak bertanya?"

   Bun Hwi melengoskan muka.

   "Kau jangan menggodaku seperti itu, Kiok Lan. Aku tidak mau menjawab kalau kau tidak mau diam!"

   Kiok Lan sekarang terkejut. Gadis itu menghentikan ketawanya, dan mendongkol terhadap Bun Hwi ia berkata.

   "Baiklah... baiklah, Bun Hwi. Aku tidak bertanya dulu kalau kau belum selesai bicara. Nah, bisakah kau ceritakan sekarang bagaimana aku tiba- tiba berada di sini? Tempat apa ini dan dimana subo atau pamanmu itu?"

   Bun Hwi tersenyum lebar. Setelah sekarang gadis itu tidak menggerak-gerakkan bibir lagi dia jadi berani memandang orang, tapi muka Kiok Lan yang cemberut membuat dia merasa geli.

   "Kiok Lan, kenapa kau mudah marah begini? Tidakkah kau harus bersyukur bahwa sekarang kau selamat?"

   Lalu melihat temannya itu melotot gemas karena tidak boleh memotong pembicaraannya Bun Hwi sudah menuding sambil tertawa.

   "Kakek itulah yang menolongmu, Kiok Lan. Aku hanya kebetulan saja bertemu dengannya!"

   Kiok Lan cepat memutar tubuh, Bun Hwi menuding sesuatu di belakangnya, maka begitu ia membalikkan badan tiba-tiba saja gadis ini terpekik kecil.

   Ia sekarang melihat jenazah kakek tua itu, dan Kiok Lan yang terbelalak kaget mendadak saja menjadi pucat.

   "Bun Hwi, kau bilang kakek ini yang menolongku?"

   Bun Hwi mengangguk sambil tersenyum.

   "Ya, benar Kiok Lan. Dialah yang sesungguhnya menolongmu. Apa kau tidak percaya?"

   Kiok Lan mengira Bun Hwi main-main.

   "Kau bohong, Bun Hwi. Mana mungkin kakek yang telah menjadi mayat ini menolongku?"

   "Hm, jangan merendahkan orang lain, Kiok Lan. Kalau kau tidak percaya lihatlah. Amati jenazah kakek itu tapi jangan sekali-kali dirobohkan!"

   Kiok Lan sudah tak tahan digelitik rasa tidak percayanya.

   Ia melompat mendekati jenazah kakek ini, dan Bun Hwi yang menunjuk ke lutut kakek itu membuat dia menangkap sederetan tulisan kecil- kecil yang menjadikannya terheran.

   Dengan cepat dia membaca tulisan-tulisan itu, dan setelah Kiok Lan mengerti semuanya mendadak ia tertegun.

   "Ah, apa maksud arti kata-katanya itu, Bun Hwi?"

   "Hm, untuk yang itu aku sendiri belum mengerti jelas, Kiok Lan. Tapi coba kau bacalah guratan- guratan lainnya di lengan kiri dan kanan!"

   Kiok Lan buru-buru mengamati apa yang diberitahukan Bun Hwi.

   Dan begitu ia membaca pesan-pesan yang aneh yang terukir di kedua lengan jenazah ini sekonyong-konyong ia menjublak.

   Mukanya merah, dan membaca tentang biji Sian-tan yang harus dilakukan dengan tiupan khikang dari mulut ke mulut tiba-tiba saja gadis ini gemetar.

   "Bun Hwi, kau melakukan dengan cara bagaimana untuk memasukkan biji Sian-tan itu ke dalam mulutku?"

   Bun Hwi gelagapan.

   "Aku... aku, eh... mendorongnya dengan air, Kiok Lan. Kenapakah?"

   Gadis itu tidak menjawab.

   "Dan kau berhasil memasukkannya?"

   Ia meneruskan pertanyaannya. Bun Hwi terkejut, dan bingung oleh mata gadis yang lebar jernih itu sekonyong-konyong jantungnya berdegupan.

   "Kiok Lan, kenapa kau harus menanyakan itu? Apakah kau tahu biji apa Sian-tan itu?"

   Kiok Lan tiba-tiba mengangguk.

   "Ya, aku tahu, Bun Hwi. Inilah obat yang dulu dicari-cari subo. Kakek itu pasti Pek-mauw Sin-jin, penjaga Cupu Naga yang dahulu dimiliki majikannya, Pek In Siansu!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Pek-mauw Sin-jin (Malaikat Rambut Putih), Kiok Lan?"

   "Ya, tokoh sakti yang hidup pada zamannya Empat Pendekar itu. Dialah orangnya dan subo yang menceritakan dongeng tentang tokoh ini telah lama mencari-cari obat Dewa yang diwariskan manusia luar biasa Pek In Siansu itu!"

   Bun Hwi melenggong.

   Dia tidak tahu tentang cerita orang-orang sakti jaman dulu, maka mendengar Kiok Lan menyebut-nyebut Pek-mauw Sin-jin dan Pek In Siansu diapun terbengong.

   Tapi Kiok Lan yang tiba-tiba melompat maju itu sudah mengulang pertanyaannya.

   "Dan kau berhasil memasukkan biji Sian-tan itu ke dalam mulutku, Bun Hwi?"

   Pemuda ini tergetar.

   Dia serasa ditodong sebatang pedang tajam, tapi Bun Hwi yang merah mukanya tiba-tiba menggeleng gugup.

   Dia maksudnya hendak mengangguk, tapi kepala yang justeru tanpa sadar digeleng-gelengkan itu jadinya nampak lucu! "Eh, ya...

   oh, tidak...

   tidak Kiok Lan...

   aku...

   aku tidak berhasil memasukkan biji Sian-tan itu.

   Maksudku...

   wah...!"

   Bun Hwi kebingungan.

   Dia benar-benar gugup, dan Kiok Lan yang geli hatinya melihat kegugupan Bun Hwi ini hampir saja terkekeh.

   Tapi gadis itu menahan kegelian hatinya, dan rasa jengah yang membuat pipinya kemerah-merahan itu lebih membuat Kiok Lan kikuk daripada geli.

   Gadis ini maklum apa yang telah dilakukan Bun Hwi, maka membalikkan tubuh Kiok Lan tiba-tiba berkata.

   "Sudahlah, Bun Hwi. Aku mengerti apa yang akan kau terangkan. Bukankah air tak mampu mendorong masuk biji Sian-tan itu seperti yang tertulis di lengan kakek ini? Subo telah memberitahukan kepadaku tentang keistimewaan obat Dewa ini. Dan kalau kau telah memberikannya kepadaku sungguh budi kebaikanmu itu besar sekali!"

   Bun Hwi terbengong. Dia tidak mengira kalau Kiok Lan tidak marah oleh perbuatannya, dan terbelalak heran oleh sikap temannya ini diapun bertanya lirih.

   "Kiok Lan, kau tidak marah oleh perbuatanku?"

   Gadis itu tertawa kecil.

   "Kenapa harus marah kepadamu, Bun Hwi? Bukankah itu kau lakukan untuk menolongku? Justeru aku yang harus berterima kasih kepadamu. Karena atas pertolonganmu itulah aku sembuh kembali dari racun pelor Tung-hai Lo-mo!"

   Bun Hwi tertegun. Dia jadi berdebar, maka melompat tiga tindak di depan gadis ini dia tiba-tiba memandang wajah cantik itu.

   "Kiok Lan, kau benar- benar tidak marah seperti dugaanku?"

   Kiok Lan menunduk jengah.

   "Bun Hwi, apa-apaan kau ini? Bukankah sudah kukatakan bahwa perbuatanmu itu kau lakukan karena untuk menyelamatkan diriku?"

   "Ah..."

   Bun Hwi terkesima.

   "Kenapa ah?"

   Kiok Lan tiba-tiba mengangkat mukanya.

   "Kenapa kau kelihatan bingung begini, Bun Hwi?"

   Bun Hwi gelagapan.

   Dia benar-benar terkejut dipandang mata jeli yang bersinar-sinar itu, dan Kiok Lan yang tersenyum manis dengan bibir merekah indah itu membuat Bun Hwi benar-benar serasa jungkir balik.

   Dia tidak menyangka dirinya bakal ditanya seperti itu, dan Bun Hwi yang merah mukanya ini kontan saja tersipu-sipu.

   Dan Kiok Lan tiba-tiba tertawa.

   "Bun Hwi, kau benar-benar pemuda canggung. Pangeran macam apa ini? Masa ah-ah-oh-oh saja di depan seorang gadis?"

   Bun Hwi jadi serba salah. Dia tersenyum repot, dan Kiok Lan yang lagi-lagi mendominir percakapan sudah menginjak kakinya.

   "Sudahlah, Bun Hwi. Jangan kau bengong saja di tempat. Bukankah kita harus keluar dari tempat ini? Tahukah kau dimana jalan keluarnya?"

   Bun Hwi meringis.

   "Ya... ya... kita harus keluar dari tempat ini, Kiok Lan. Tapi bagaimana caranya? Aku sendiri baru pertama ini datang di tempat yang aneh seperti ini!"

   "Eh...?"

   Kiok Lan terbelalak.

   "Jadi kalau begitu dari mana kau masuk, Bun Hwi?"

   "Hm, dari lubang sumur, Kiok Lan. Aku dijebak pamanku sendiri ketika iblis bangkotan itu muncul!"

   "Ang-sai Mo-ong?"

   "Ya."

   "Dan bagaimana kalian bisa ketemu dengan iblis tua itu?"

   "Hm, panjang ceritanya, Kiok Lan. Tapi baiklah kita duduk di rumput itu agar bisa bicara enak,"

   Dan Bun Hwi yang sudah mengajak temannya itu duduk di rumput yang hijau tebal sudah memberikan tempat untuk Kiok Lan di sebelah kirinya.

   Bun Hwi sekarang tersenyum, dan matanya yang bersinar gembira memandang wajah manis ini menyentuh lembut lengan orang.

   "Kiok Lan, kau telah bertemu dengan Tung-hai Lo-mo di hutan Mawar Ungu, bukan?"

   Kiok Lan terheran.

   "Dari mana kau tahu, Bun Hwi?"

   "Hm, dari Siauw-bin Lo-koai, Kiok Lan. Hwesio itu memberitahukan hal ini kepadaku. Bukankah gurumu bertempur dengan suheng dari Pek-bong Lo-mo itu? Dan Tung-hai Lo-mo yang curang lalu menyambitkan pelor-pelor beracunnya. Kau terkena, dan subomu yang celaka juga katanya tidak luput dari kecurangan ini."

   Kiok Lan mengangguk.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, tapi aku lalu pingsan, Bun Hwi. Dan bagaimana asal mulanya aku berada di tangan Ang-sai Mo-ong aku sendiri tidak mengetahuinya. Apakah subo...?"

   "Sudahlah, untuk saat ini jangan pikirkan subomu dulu, Kiok Lan. Aku kira gurumu itu selamat. Ia dapat menjaga dirinya sendiri, dan kalau Ang-sai Mo-ong mampu membawamu dari tangan subomu tentu ada kelicikan lain yang dilakukan iblis tua itu."

   "Benar, tapi bagaimana nasib beliau, Bun Hwi? Bukankah subo juga terkena pelor beracun yang dilemparkan Tung-hai Lo-mo itu? Aku khawatir ada apa-apa menimpa suboku. Dan kalau ini benar aku bersumpah untuk membalas kejadian ini terhadap iblis tua itu!"

   Bun Hwi menarik napas.

   "Untuk sementara ini tenangkan hatimu, Kiok Lan. Aku juga tidak akan membiarkan iblis-iblis jahat itu mengganggu orang seenaknya sendiri. Aku telah berjanji kepada Siauw- bin Lo-koai untuk membalaskan kematiannya, dan sekali aku mampu melakukan perbuatan ini tentu mereka tidak akan kuberi ampun!"

   Kiok Lan terbelalak.

   "Kematiannya, Bun Hwi? Kau maksudkan hwesio itu...?"

   "Ya, dia telah tewas, Kiok Lan. Dan justeru gara- gara dua iblis itulah Siauw-bin Lo-koai menemui ajalnya!"

   "Ah...!"

   Kiok Lan terkejut. Dan kaget oleh berita ini mendadak gadis itu mencucurkan air mata.

   "Bun Hwi, dimana sekarang makam kakek itu? Apakah kau telah menguburkannya...?"

   "Hm, aku belum melakukan perbuatan itu, Kiok Lan. Tapi Ang-sai Mo-ong yang menjadi biang keladinya akan kutuntut pertanggungan jawabnya. Jenazah kakek itu masih di dalam guha, dan pamanku sendiri yang mempertaruhkan nyawanya di terowongan bawah tanah itu juga tak kuketahui bagaimana nasibnya!"

   Kiok Lan terkejut heran.

   "Bun Hwi, siapa orang yang kau sebut-sebut paman itu? Darimana kau mendapatkannya?"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   "Dia pamanku sejati, Kiok Lan. Adik dari ibuku yang bernasib malang."

   "Namanya?"

   Bun Hwi meragu sejenak.

   "Pek-bin Tojin, Kiok Lan."

   Akhirnya dia menjawab lemah.

   "Tapi dahulu dia adalah pembantu kaisar yang menguasai daerah Propinsi Kiang-si. Gubernur Ma yang banyak disebut- sebut orang sebagai Ma-taijin itu!"

   Kiok Lan menjadi kaget.

   "Lho, kalau begitu Ma-lopek yang bersamamu di dusun Ki-leng itu, Bun Hwi? Bukankah dia sudah tewas?"

   "Hm, bukan orang ini, Kiok Lan. Tapi lain lagi yang benar-benar merupakan paman kandungku. Ma- lopek yang dulu kukira pamanku sejati itu ternyata adalah pembantu dari pamanku yang sebenarnya, bekas Gubernur Kiang-si yang menghebohkan itu. Dan orang yang kusebut Ma-lopek itu ternyata adalah Ma Sim, orang kepercayaan Ma-taijin yang lalu mengasuhku sejak kecil...!"

   Kiok Lan terheran-heran.

   "Jadi kalau begitu kau telah mengetahui jelas kedudukanmu, Bun Hwi?"

   "Ya, setelah aku bertemu pamanku itu."

   "Dimana?"

   "Di guha bawah tanah."

   "Tapi bagaimana asal-mulanya pamanmu itu bertemu dengan kau, Bun Hwi?"

   "Ketika dia menculikku dari tangan Pangeran Ong."

   "Ah, tapi..."

   "Tunggu dulu, Kiok Lan,"

   Bun Hwi memberikan isyarat.

   "Kalau kau memotong-motong begini ceritaku bakal habis dua hari lagi! Kau dengarlah..."

   Dan Bun Hwi yang tiba-tiba sudah duduk tegak di atas rumput itu lalu menceritakan semuanya dari awal sampai akhir tentang perjumpaannya dengan Pek-bin Tojin itu.

   Betapa dia mendengar cerita pamannya tentang siapa dia sesungguhnya.

   Dan betapa dia memang betul putera sri baginda kaisar dari selir Tang Wi Hong yang akhirnya diangkat sebagai ahli waris Kerajaan yang berkat "kelihaian"

   Pamannya mempergunakan cinta kaisar kepada ibunya itu. Dan Kiok Lan yang terbelalak mendengar ceritanya ini tiba-tiba berseri mukanya dengan mata gembira.

   "Wah, kalau begitu dugaan subo benar, Bun Hwi. Kau benar-benar pangeran yang dicari Gubernur Kiang-si yang sekarang, Kam-taijin!"

   Gadis itu memotong tanpa sadar.

   "Ah, tapi apa maksud gubernur itu mencariku, Kiok Lan?"

   Bun Hwi mengerutkan alis.

   "Tentu saja hendak diserahkan ke kota raja, Bun Hwi. Karena sri baginda kaisar yang rindu kepadamu telah memerintahkan semua gubernur yang kau lewati untuk mengantarmu ke istana!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Kaisar rindu kepadaku?"

   "Ya, apa anehnya itu? Bukankah kau keturunan beliau?"

   "Hm, tapi aku tak tertarik untuk menemui sri baginda, Kiok Lan. Aku canggung kalau harus menghadap orang-orang besar!"

   Kiok Lan tiba-tiba tertawa.

   "Ih, kau memang pangeran tolol, Bun Hwi. Orang-orang lain merasa gembira mendapat perhatian kaisar kau justeru acuh tak acuh saja menyambut berita begini. Bukankah ini ketololanmu yang menonjol sekali?"

   Bun Hwi menyurutkan pandangannya.

   "Biarlah, Kiok Lan. Aku memang bodoh semenjak dulu. Bukankah kau sudah tahu ini?"

   Kiok Lan terkekeh menutupi mulutnya.

   "Bun Hwi, kau memang aneh. Kenapa tiba-tiba sifatmu jadi dingin begini? Bukankah biasanya kau galak dan suka menentang orang lain? Subo sendiri kewalahan menghadapi watakmu ini, dan kalau tidak ingat kau orang yang dicari-cari Gubernur Kam barangkali beliau sudah tidak memperdulikanmu lagi. Tapi eh... omong-omong bagaimana kau bisa lolos dari kematian di dasar jurang itu, Bun Hwi? Bisakah kau ceritakan sedikit tentang keanehan ini?"

   Bun Hwi mendadak berseri mukanya. Dia jadi teringat omongan Siauw-bin Lo-koai betapa gadis ini sampai menangisi "kematiannya"

   Dan bersumpah untuk membalas dendam terhadap Pek-bong Lo-mo. Maka menggoda Kiok Lan dia malah berbalik menanya dengan mulut tersenyum lebar.

   "Kiok Lan, justeru kudengar dari seseorang bahwa kau lolos dari maut di tengah jurang itu dengan cara yang aneh. Lalu betulkah kau menangisi mayatku dengan mengancam Pek-bong Lo-mo?"

   Gadis ini merah mukanya.

   "Jangan main-main, Bun Hwi. Aku tidak menangisi siapapun di jurang itu. Bukankah kejadian itu atas kesalahanmu sendiri? Kalau kau turut baik-baik nasehatku tentu kita berdua tidak akan celaka. Tapi keras kepalamu yang sombong itu membuatku hampir saja ikut-ikutan dicengkeram maut. Kenapa harus kutangisi mayatmu? Biar mampuspun aku tak perduli. Kau pemuda yang tidak bisa dinasehati orang!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Wah, betul begitu, Kiok Lan? Kalau begitu bagaimana jika malam nanti aku betul- betul mati? Kiok Lan cemberut.

   "Bun Hwi, jangan main-main dengan omongan begitu. Apa kau tidak tahu tuah seseorang yang bisa mengenai dirinya sendiri?"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Sudahlah, Kiok Lan. Aku cuma menggodamu saja. Tapi bukankah benar kau menangis di dalam jurang itu? Siauw-bin Lo-koai menceritakannya, dan aku yang terharu oleh ceritanya ini terus terang merasa berhutang budi padamu. Bukankah jelek-jelek ternyata kau selalu membelaku, Kiok Lan? Dan aku berjanji untuk kelak membalas budi baikmu ini dengan jalan menggembirakanmu!"

   Kiok Lan bersinar matanya.

   "Betulkah itu, Bun Hwi?"

   "Hm, siapa mau membohongimu, Kiok Lan?"

   "Tapi kini kau telah menyelamatkan jiwaku, Bun Hwi. Dan kalau ini dihitung maka sesungguhnya aku yang jauh lebih besar berhutang budi padamu!"

   "Ah, tidak, Kiok Lan. Kau masih ingat pembelaanmu di dusun Ki-leng, bukan? Kalau kau tidak muncul pada saat itu tentu aku sudah terbunuh di tempat hartawan Bhong itu...!"

   Kiok Lan mau membantah, tapi Bun Hwi yang mengulapkan tangannya itu tertawa lebar.

   "Sudahlah, Kiok Lan, jangan perbesar persoalan hutang-menghutang budi ini. Kita sudah menjadi sahabat baik, bukan? Nah, dengarkan ceritaku bagaimana aku dapat lolos dari kematian di jurang yang dalam itu..."

   Lalu Bun Hwi yang mulai bercerita tentang hal-hal luar biasa yang dialaminya di dasar jurang di Bukit Ular itu sudah mengisahkan kejadian-kejadian yang dia alami.

   Mulai dari peristiwa di tengah telaga sampai pertemuannya dengan Siauw-bin Lo-koai dan pertaruhannya yang membuat dia mengelana dari satu tempat ke tempat lain sampai timbul gemparnya urusan Cupu Naga itu, yang dimulai dari dusun Cun-leng, tempat kepala kampung Kwa yang menjadi ajang pertikaian dari semua keributan itu.

   Dan Kiok Lan yang mendengar ceritanya ini berkali- kali membelalakkan mata dan berseru heran.

   "Wah, jadi kau yang benar-benar dicari banyak orang itu, Bun Hwi? Dan kau telah meminum darah Ular Tanduk Hijau?"

   "Ya, secara kebetulan saja, Kiok Lan. Tapi aku yang cemas oleh diriku ini justeru mengharap orang lain saja yang mengalami nasib seperti itu!"

   "Eh, kenapa begitu, Bun Hwi? Bukankah itu suatu keberuntungan?"

   "Hm, keberuntungan apa, Kiok Lan? Aku justeru risi mendapatkan hal-hal yang tidak kusenangi itu. Orang-orang lalu mengejarku, dan mereka yang tahu akan keistimewaanku ini memburu-buruku seperti orang memburu seekor anjing!"

   "Dan seorang di antaranya termasuk walikota Wong itu, Bun Hwi?"

   "Ya."

   "Dan dia mengharap kau menangkap Naga Lilin untuk memenuhi keinginan hatinya?"

   "Hm, pembesar Wong itu memang orang ambisius, Kiok Lan. Dia berhati busuk dan jahat sekali. Aku tidak sengaja membunuhnya, dan para pengawal Garuda Hitam yang lalu mengejar-ngejarku membuat aku harus menyelamatkan diri seperti anjing diuber-uber tuannya."

   "Ah, tapi kenapa kau harus membunuhnya, Bun Hwi? Apa salah walikota itu kepadamu?"

   "Dia meracunku, Kiok Lan. Dan anak buahnya yang menyerang Mei Hong membuat aku seketika mata gelap!"

   Kiok Lan terkejut.

   "Mei Hong...?"

   Gadis ini terbelalak.

   "Siapa Mei Hong itu, Bun Hwi? Kenapa kau tidak menceritakannya tadi?"

   Bun Hwi sekarang ganti terkejut. Dia kelepasan bicara dengan menyebut-nyebut nama puteri Can- kauwsu itu, tapi karena sudah terlanjur diapun tak dapat menarik kembali omongannya.

   "Hm, dia... dia puteri guru silat Can, Kiok Lan. Gadis yang usianya sebaya denganmu,"

   Bun Hwi akhirnya menarik napas panjang.

   "Tapi guru silat Can yang dibunuh oleh Wong-taijin telah membuat gadis ini sebatangkara."

   Kiok Lan tiba-tiba bangkit berdiri.

   "Dan gadis itu kini telah menjadi murid Hwa-i Sin-kai, Bun Hwi?"

   "Ya, darimana kau tahu?"

   Bun Hwi terheran.

   "Hm..."

   Kiok Lan tiba-tiba mendengus.

   "Jadi gadis itukah kiranya yang kau bela, Bun Hwi? Jadi ia itukah yang bernama Mei Hong?"

   Bun Hwi melompat bangun.

   "Kiok Lan, kau sudah pernah melihat puteri Can-kauwsu itu?"

   Tapi Kiok Lan membanting kaki.

   "Pernah melihat atau tidak itu bukan urusanmu, Bun Hwi. Yang jelas ia bersama gurunya telah menghina guruku!"

   "Eh, kapan terjadinya, Kiok Lan? Mengapa subomu dihina oleh Hwa-i Sin-kai?"

   Tapi Kiok Lan tiba-tiba tak mau menjawab. Gadis ini mengepal tinjunya, dan terisak lirih mendadak ia melompat jauh meninggalkan Bun Hwi. Tentu saja Bun Hwi terkejut, dan mengejar temannya ini diapun berseru.

   "Kiok Lan, kenapa sikapmu ini? Apa yang telah terjadi?"

   Namun Kiok Lan tak mau berhenti. Dan baru setelah Bun Hwi menangkap pundaknya tiba-tiba gadis itu mengeluh tertahan dan mendamprat Bun Hwi.

   "Bun Hwi, kau benar-benar manusia tak tahu malu. Kalau begitu kenapa kau tak mau ikut pengemis bangkotan itu? Bukankah dia bersama muridnya telah mengintai percakapanku dengan subo?"

   Bun Hwi berdetak jantungnya.

   "Percakapan apa, Kiok Lan? Apa yang kau maksudkan ini?"

   Kiok Lan memutar tubuh.

   "Bun Hwi, apakah selama ini kau selalu berteman dengan gadis itu?"

   "Maksudmu?"

   "Apakah sejak dikejar-kejar pengawal Garuda Hitam kau melarikan diri bersama siluman itu?"

   Bun Hwi tercekat.

   Dia jadi teringat pengalamannya di hutan di luar kota Lauw-yang itu, tempat dimana secara kebetulan dia bertemu dengan gadis ini bersama Thian-san Giok-li.

   Dan betapa dia mendengar percakapan guru dan murid itu yang menyinggung-nyinggung dirinya seketika membuat dia berdegupan.

   Jadi inikah kiranya yang akan ditanyakan Kiok Lan? Dan Mei Hong telah menceritakannya kepada gadis itu?"

   Maka Bun Hwi yang jadi bingung serta merah mukanya itu buru-buru menenangkan hati. Dia tidak mau membuat gadis ini malu, dan Kiok Lan yang terbelalak memandangnya itu akhirnya disambut dengan ketawa gugup.

   "Kiok Lan, apa yang menjadi maksud pertanyaanmu itu? Apakah kau hendak maksudkan bahwa selama ini aku keliru bergaul dengan murid Hwa-i Sin-kai itu?"

   Kiok Lan menatap marah.

   "Bukan itu yang hendak kutanyakan, Bun Hwi. Aku hanya ingin mengetahui apakah pernah kau bersembunyi di hutan di luar kota Lauw-yang!"

   "Maksudmu?"

   Apakah kau pernah mencuri dengar pembicaraanku dengan subo?"

   "Lho...?"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bun Hwi pura-pura kaget.

   "Mencuri dengar bagaimana, Kiok Lan? Dan pembicaraan tentang apa yang harus kucuri dengar itu?"

   Kiok Lan tiba-tiba memandang penuh selidik.

   Ia rupanya masih sangsi, tapi Bun Hwi yang diam-diam merasa girang karena dengan jawaban itu berarti Kiok Lan tidak tahu dia bersembunyi di sana bersama Mei Hong sudah cepat berseri-seri mukanya.

   Dia sekarang lega, maka ketika Kiok Lan tiba-tiba membentaknya marah diapun tersenyum lebar.

   "Bun Hwi, pernahkah kau bersembunyi di luar hutan kota Lauw-yang untuk mengintai dengar pembicaraanku bersama gadis itu?"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Tidak, Kiok Lan. Aku tidak tahu tentang pembicaraan apa yang sedang kau lakukan. Jadi kalau begitu kau ada di sana saat itu?"

   "Ya. Dan kau betul-betul tidak bersama siluman cantik itu?"

   "Tidak."

   "Lalu bagaimana kau bisa berpisah dengan temanmu ini? Bukankah tadinya kalian selalu bersama?"

   "Hm, Hwa-i Sin-kai muncul, Kiok Lan. Dan kakek pengemis yang menolong kami itu langsung membawa calon muridnya menjauhi pengawal Garuda Hitam. Apakah mereka ini bertemu denganmu?"

   Kiok Lan tidak menjawab. Ia merasa girang, dan mukanya yang tiba-tiba berseri girang itu membuat gadis ini tersenyum manis. Hilang sudah rasa malunya, dan Bun Hwi yang terheran-heran melihat perubahan yang cepat ini jadi bengong dibuatnya.

   "Kiok Lan, kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah pengemis tua itu bertemu denganmu di luar hutan kota Lauw-yang?"

   Tapi Kiok Lan tertawa.

   "Tidak, Bun Hwi. Tapi muridnya yang sombong itu telah mengejekku dengan kata-kata menyakitkan. Dia menghinaku dan menghina subo, dan kalau kami kelak bertemu tentu akan kuhajar mulutnya itu!"

   "Wah, hinaan apa yang ia lontarkan, Kiok Lan?"

   "Tidak perlu kau tahu! Pokoknya ia membuat aku malu di depan orang-orang tua!"

   Kiok Lan menjawab ketus. Bun Hwi sekarang tertegun. Dan dia yang mengerti secara diam-diam tentang pertikaian dua gadis remaja ini jadi tersenyum pahit di dalam hatinya. Tentu persoalan "cinta monyet"

   Yang dialami murid Thian-san Giok-li ini. Dan kalau Mei Hong marah- marah terhadap Kiok Lan tentu karena cemburu. Aah...!"

   Bun Hwi melenggong. Dan Kiok Lan yang melihat temannya ini memandang kosong ke depan tiba-tiba menarik lengannya.

   "Bun Hwi, apa yang kau lamunkan?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Eh, tidak... tidak apa-apa, Kiok Lan!"

   "Tapi kenapa kau tampaknya bingung seperti orang sinting? Mei Hong itukah yang kau renungkan?"

   Bun Hwi terkesiap kaget.

   "Ah, kenapa kau menduganya begitu, Kiok Lan?"

   "Tentu saja. Bukankah sudah lama kalian tidak berjumpa kembali? Aku melihat gadis itu memuji- mujimu Bun Hwi. Dan kalau ia tertarik kepadamu tentu hal ini lumrah terjadi!"

   Bun Hwi berseru kaget. Tapi Kiok Lan yang tiba-tiba menyala pipinya itu mengangkat tangannya.

   "Sto, jangan mendahuluiku, Bun Hwi. Aku memang melihat bahwa murid pengemis bangkotan itu tertarik kepadamu. Bukankah kau juga suka kepadanya?"

   Bun Hwi tergagap. Tapi belum dia membuka suara lagi-lagi Kiok Lan sudah berkata.

   "Dan ia memang cantik, Bun Hwi. Dan kalau kau suka kepadanya hal inipun memang tidak aneh!"

   Bun Hwi sekarang menjadi marah.

   "Kiok Lan, kenapa kau bicara melantur tidak karuan?"

   Dia membentak.

   "Bukankah bagaimanapun juga ia murid Hwa-i Sin- kai yang menolongku? Tidak perlu kita bicara tentang ini, Kiok Lan. Dan kalau kita hendak bicara lebih baik bicara tentang yang lain saja!"

   Kiok Lan berubah mukanya. Ia terbelalak memandang Bun Hwi, dan Bun Hwi yang merasa bersikap kasar kepada temannya ini buru-buru menarik napas panjang.

   "Kiok Lan, jangan membawa-bawa nama gadis itu dalam percakapan kita. Aku tahu kalian ada ketidakcocokan pribadi. Tapi bukankah itu urusanmu, Kiok Lan?"

   Bun Hwi akhirnya berkata lembut.

   "Maka sebaiknya kita bicarakan yang lain saja, Kiok Lan. Umpamanya tentang bagaimanakah kita dapat keluar dari tempat ini! Bukankah ini lebih menyenangkan?"

   Kiok Lan akhirnya sadar. Ia tahu bahwa sedikit banyak ia emosional membicarakan murid Hwa-i Sin-kai itu, maka menganggukkan kepala diapun akhirnya mengerutkan kening dengan muka cemberut.

   "Baiklah, Bun Hwi. Tapi bagaimana kita harus keluar dari tempat ini?"

   "Hm, dapat kita cari, Kiok Lan. Asal kita perlahan- lahan mencarinya tentu jalan keluarpun dapat kita temukan."

   Bun Hwi lalu mengajak temannya itu mencari jalan keluar, dan Kiok Lan yang berjalan di sampingnya tiba-tiba menunjuk mayat Pek-mauw Sin-jin.

   "Bun Hwi, apakah tidak sebaiknya kita minta pertolongan kakek itu?"

   "Hm, pertolongan bagaimana, Kiok Lan?"

   Bun Hwi tak mengerti.

   "Bukankah kakek itu telah wafat?"

   "Tapi kita dapat memintanya sedikit petunjuk, Bun Hwi. Siapa tahu kakek sakti itu memberikan jalan keluarnya bagi kita!"

   Dan Kiok Lan yang sudah melompat menghampiri jenazah Pek-mauw Sin-jin ini langsung berlutut.

   "Locianpwe, sekiranya kau orang baik-baik pasti kau dapat menolong kami. Dapatkah kau memberitahukan di mana jalan keluarnya bagi kami?"

   Bun Hwi hampir tertawa. Dia menganggap gadis ini lucu, tapi Kiok Lan yang memandang tajam mayat Pek-mau Sin-jin ini tiba-tiba terpekik.

   "Hei, apa itu, Bun Hwi?"

   Bun Hwi terkejut. Dengan tergesa-gesa dia melompat mendekati temannya ini, Kiok Lan yang sudah menuding ke depan langsung memberitahunya dengan seruan tertahan.

   "Bun Hwi, apa itu?"

   Bun Hwi langsung melompat.

   Sekarang dia melihat seekor kelinci mengerumuti sesuatu di belakang mayat Pek-mauw Sin-jin ini, di tengah-tengah rumput alang-alang yang tidak begitu tinggi.

   Dan begitu dia melompat seketika terkejutlah kelinci kecil itu.

   Binatang ini terkuik, lalu meloncat lincah iapun sudah gesit meninggalkan benda yang digerumutinya.

   Kiok Lan juga sudah melayang di dekat kelinci ini, dan tangannya yang cekatan tahu- tahu telah menangkap leher kelinci itu dengan muka girang.

   "Wah, dia merobek-robek sebuah kitab, Bun Hwi!"

   Bun Hwi terbelalak. Ia melihat bahwa binatang yang menggelepar-gelepar di tangan temannya itu menggerogoti sebuah kitab yang terbuat dari kulit kambing, dan begitu Bun Hwi menyambar benda ini tiba-tiba ia tertegun.

   "Ah, sebuah peta, Kiok Lan!"

   Bun Hwi tertegun. Kiok Lan juga nampak terkejut, tapi gadis yang tiba- tiba sudah menyambar benda di tangan temannya ini mendadak berseru girang.

   "Ah, benar sebuah pet, Bun Hwi. Agaknya peta yang memberitahukan tentang rahasia lorong-lorong bawah tanah ini...!"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Tampaknya memang begitu, Kiok Lan. Tapi bisakah kau lepas binatang yang berjasa itu?"

   Kiok Lan tertawa, lalu melempar kelinci kecil yang secara tidak sengaja telah menemukan peta itu sudah gembira memandang Bun Hwi.

   "Ya, agaknya peta bawah tanah, Bun Hwi. Tentu peninggalan Pek- mauw Sin-jin ini!"

   Dan Kiok Lan yang sudah mengamati peta itu tiba-tiba semakin girang ketika mendapatkan kenyataan bahwa peta itu memang benar peta yang menunjukkan lorong-lorong bawah tanah beserta pintu keluar masuknya yang mempergunakan alat-alat rahasia.

   Dan Bun Hwi yang juga menjadi girang oleh penemuan tidak disengaja ini cepat-cepat berkata.

   "Kalau begitu kita temukan jalan keluar dari telaga kecil ini, Kiok Lan. Siapa tahu aku dapat menyelamatkan pamanku!"

   Kiok Lan mengangguk.

   Dengan buru-buru ia mencari jalan keluar dari petunjuk peta itu, dan dua orang muda-mudi yang sudah menelusuri jalan keluar melalui rahasia peta ini segera menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa apa yang diberitahukan peta itu ternyata cocok dengan apa yang mereka temukan! Mula-mula mereka diharuskan kembali ke lubang di dasar sumur itu, lalu Bun Hwi dan Kiok Lan yang diharuskan mencari lubang di dinding sumur sebelah kiri atas menemukan semacam mulut gua di atas lubang sumur ini, kurang lebih dua tombak dari dasar permukaan sumur.

   Dan mereka yang sudah merangkak di gua ini sambil mengikuti petunjuk peta akhirnya menemukan lorong-lorong terjal yang aneh di dalam gua.

   Jalan mula-mula berliku-liku panjang pendek.

   Tapi akhirnya naik dan menanjak tajam.

   Dan ketika mereka tiba di sebuah ruangan semacam kamar batu yang menjorok letaknya tiba-tiba mereka menemukan jalan buntu! "Wah, macet, Bun Hwi!"

   Kiok Lan berseru perlahan. Tapi Bun Hwi sudah menyalakan api geretannya.

   "Tentu ada jalan keluar, Kiok Lan. Bagaimana selanjutnya menurut petunjuk peta itu?"

   "Tidak tahu. Peta ini hanya memberi tanda panah yang tidak kumengerti maksudnya!"

   Bun Hwi meminta peta itu. Dengan seksama dan teliti dia mencoba menganalisa. Tapi tidak adanya kata-kata lain dalam petunjuk peta ini membuat Bun Hwi menjadi heran juga.

   "Wah, memang aneh, Kiok Lan. Bagaimana harus memecahkan kesulitan ini?"

   "Aku juga tidak tahu, Bun Hwi. Tapi apa maksud tanda panah di ujung peta itu?"

   "Hm, tentu ini petunjuk terakhir, Kiok Lan. Kita tampaknya menemukan sebuah tempat yang ganjil. Tapi kita harus berusaha. Tentu ada jalan keluar melalui isyarat yang diberikannya."

   "Ya. Tapi kau dapat menggantikan tanda panah itu? Di peta tidak ada lagi tanda-tanda lain, Bun Hwi. Dan kalau kita macet di sini berarti usaha kita sia- sia!"

   Bun Hwi memeriksa lagi. Dia tidak mau putus asa dan kecil hati seperti temannya, dan ketika dia mencoba menangkap apa maksud dari tanda panah itu tiba-tiba dia mendongakkan mukanya.

   "Ada apa, Bun Hwi?"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Kita melihat sesuai dengan petunjuk panah ini, Kiok Lan. Bukankah dia menuding ke atas?"

   Lalu Bun Hwi yang sudah mengawasi langit-langit ruangan itu mengangkat tinggi-tinggi api geretannya.

   "Kiok Lan, coba kita selidiki langit-langit ruangan ini. Agaknya peta memberi petunjuk ke atas!"

   Kiok Lan tertegun. Ia cepat-cepat mengawasi seluruh langit-langit ruangan gua itu, diterangi api geretan Bun Hwi. Dan ketika pandang matanya membentur tempat terakhir di ujung gua mendadak gadis ini berseru.

   "Hei...!"

   Dan Bun Hwi cepat mengikuti tudingan jarinya.

   Ternyata di situ ada sesuatu, yang membuat Bun Hwi tertegun.

   Dan itu adalah tanda panah yang persis dengan apa yang terdapat di dalam peta! Maka begitu Bun Hwi dan Kiok Lan menemukan tanda panah ini tiba-tiba saja gadis itu sudah melompat ke atas.

   "Bun Hwi, ada tombol penarik di sini!"

   Kiok Lan berseru, dan gadis yang menjadi girang itu tiba-tiba tanpa diperintah lagi sudah menarik sebuah tombol macam alat rahasia di luar ruangan dengan perasaan meluap.

   Ia terburu-buru, gembira oleh penemuan di jalan buntu ini.

   Dan begitu tombol di langit-langit gua itu disendal tiba-tiba saja suara bergemuruh menyertai terbukanya sebuah pintu di atas kepala mereka! "Ah!"

   Bun Hwi terkejut, tapi langit-langit gua yang sudah menganga di atas itu tiba-tiba membuat Kiok Lan menerobos naik tanpa pikir panjang lagi.

   Gadis itu tertawa, dan Bun Hwi yang merasa kaget oleh perbuatan temannya ini otomatis mengikuti jejaknya pula tanpa pikir panjang lebar.

   Dia semula was-was, tapi Kiok Lan yang sudah terkekeh di tempat baru ini menenangkan hatinya.

   "aih, kita tiba di tempat yang lebih segar, Bun Hwi. Lihat, penerangan apa itu?"

   Bun Hwi melompat.

   Dia belum terbiasa di tempat baru ini, tapi begitu Kiok Lan menunjukkan jarinya sekonyong-konyong dia tertegun.

   Sebuah lilin berada di tempat itu, dan mayat Siauw-bin Lo-koai yang terbaring diam di atas lantai membuat Bun Hwi kaget bukan main.

   "Ah, ruangan Samadi, Kiok Lan...!"

   Gadis itu terkejut.

   Dia belum melihat mayat Siauw- bin Lo-koai karena jenazah kakek itu berada di bawah, terhalang dinding batu yang membelakangi api lilin.

   Maka Bun Hwi yang berteriak kaget dengan suara tertahan itu cepat membuat gadis ini tersentak.

   Bun Hwi yang mengenal lilin yang dipasangnya sendiri sudah melayang ke depan, dan Kiok Lan yang terbelalak melihat perbuatan temannya itu bertanya.

   "Bun Hwi, kau kenal ruangan ini?"

   Bun Hwi terburu-buru.

   "Tentu saja, Kiok Lan. Tidakkah kau lihat jenazah Siauw-bin Lo-koai ini? Lihat, aku yang memasang lilin itu dan menjaga mayatnya semalam. Kau tenanglah sebentar, aku ingin melihat pamanku!"

   Dan Bun Hwi yang sudah melompat keluar itu tergesa-gesa mencari pamannya.

   Dia sama sekali tidak menyangka bahwa di ruang Samadhi inilah dia bakal keluar dari jebakan pamannya itu.

   Dan bahwa mereka sudah selamat di ruangan ini membuat Bun Hwi cemas membayangkan pamannya.

   Dia gelisah teringat pertempuran pamannya itu dengan Ang-sai Mo-ong, dan Bun Hwi yang buru-buru menuju ke tikungan nomor tiga dari kanan ini sebentar saja sudah sampai di tempat yang dimaksud.

   Langsung Bun Hwi menerobos pintu ruangan itu, dan begitu dia memasuki ruangan ini sekonyong-konyong kakinya terpantek.

   Pek-bin Tojin ada di situ, tapi kakek yang sudah menjadi mayat ini berlumuran darah tengkurap di lantai yang dingin! "Paman...!"

   Bun Hwi tertegun, dan anak laki-laki yang sudah menghambur ke arah pamannya ini tiba- tiba mengguguk menangisi jenazah pamannya.

   Bun Hwi terpukul, dan Kiok Lan yang diam-diam menguntit di belakangnya jadi terbengong melihat temannya itu memeluk sebuah jenazah dengan air mata bercucuran.

   Kiranya inilah orang yang bernama Ma-taijin itu, demikian Kiok Lan membatin.

   Tapi gadis yang menjadi terharu oleh kedukaan temannya ini sudah memegang pundak Bun Hwi.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bun Hwi, itukah kiranya pamanmu? Dia sudah tewas?"

   Bun Hwi mencucurkan air matanya.

   "Ya, dia terbunuh oleh datuk iblis itu, Kiok Lan. Paman tewas setelah dia berusaha menyelamatkan diriku!"

   "Dan kau membiarkan saja dirimu tenggelam dalam kedukaan?"

   Bun Hwi menggigit bibir penuh kemarahan.

   "Aku akan membalas kejahatan kakek iblis itu, Kiok Lan. Aku tidak akan membiarkan iblis tua itu merajalela!"

   "Ya, dan sebaiknya kita bawa jenazah pamanmu ini ke ruang Samadhi, Bun Hwi. Kita kumpulkan mayat dua orang tua itu agar dapat dikubur bersama. Kau mau mengangkatnya, bukan?"

   Bun Hwi mengangguk.

   Dengan air mata deras mengucur dia mengangkat tubuh pamannya itu, tapi Bun Hwi yang melihat coretan-coretan di atas tanah jadi tertegun ketika dia membalik jenazah orang tua ini.

   Kiranya Pek-bin Tojin memberikan sebuah pesan kepadanya, dan tosu yang menulis dengan cucuran darahnya itu hampir saja membuat Bun Hwi terhuyung.

   Dia nanar membaca tulisan pamannya ini, dan Kiok Lan yang ikut membaca juga terbelalak dengan mata tak dapat menahan keharuan.

   Di situ tertulis .

   Tanpa kepandaian, tak mungkin seseorang dapat menolong orang lainnya.

   Tanpa kebijaksanaan, tak mungkin seseorang dapat memahami perasaan orang lainnya.

   Karena itu, mengingat nasehatku di dalam gua dan menjalankannya dengan penuh kesadaran adalah baktimu kepada orang tua! Pek-bin Tojin Bun Hwi terhuyung sekarang.

   Dia benar-benar terpukul, dan Kiok Lan yang melihat temannya ini pucat bukan main tiba-tiba menyambar jenazah Pek- bin Tojin itu.

   "Bun Hwi, ayolah, kita satukan mayat pamanmu ini dengan Siauw-bin Lo-koai...!"

   Dan Kiok Lan yang sudah menarik lengan pemuda itu menyeret Bun Hwi ke ruang Samadhi.

   Dengan cepat gadis ini mengajak temannya masuk, dan ketika mereka sudah tiba di dalam maka jenazah Pek-bin Tojin itupun diturunkan di samping jenazah Siauw-bin Lo-koai.

   Sekarang Kiok Lan memandang Bun Hwi, dan bertanya lirih gadis itu mengawasi temannya.

   "Bun Hwi, apakah jenazah dua orang tua ini akan segera kita kuburkan di sini? Ataukah kau hendak membakar mayatnya?"

   Bun Hwi mengusap air matanya.

   "Aku hendak membakarnya saja, Kiok Lan. Apakah kau melihat tempat yang baik?"

   Kiok Lan mengangguk.

   "Kalau begitu kita bawa keluar, Bun Hwi. Atau kita bisa kembali ke telaga kecil tadi?"

   Bun Hwi setuju.

   Mereka berdua lalu membawa masing-masing jenazah, dan Bun Hwi yang bercucuran air matanya di sepanjang lorong itu berkali-kali terantuk kakinya.

   Dia benar-benar berduka, tapi Kiok Lan yang mampu memberinya hiburan akhirnya membuat Bun Hwi menekan himpitan batinnya pula.

   Bagaimanapun, Pek-bin Tojin tak mungkin hidup kembali.

   Dan menyesali kematiannya ini adalah suatu perbuatan sia-sia.

   Karena itu Bun Hwi yang sudah tiba di telaga kecil ini lalu mencari kayu bakar.

   Dia dibantu Kiok Lan, dan jenazah dua orang tua yang sudah diletakkan berdampingan itu lalu diatur sedemikian rupa.

   Dan beberapa menit kemudian, setelah semuanya siap, maka dibakarlah jenazah dua orang kakek itu tanpa banyak upacara peradatan! Bun Hwi memandang api yang menyala berkobar, dan melihat api yang menjilat-jilat di kayu kering itu tiba-tiba Bun Hwi seolah melihat Ang-sai Mo-ong sendiri yang menyeringai keji di atas kayu bakar itu.

   Dia teringat peristiwa keji di dusun Cun-leng.

   Di mana datu iblis itu dengan ketawa bergelak membakar manusia hidup-hidup seperti iblis yang sama sekali tidak mempunyai perasaan.

   Dan teringat akan semuanya ini tiba-tiba saja api kemarahan Bun Hwi bangkit bergemuruh.

   "Paman, aku akan mengingat semua nasehatmu. Mudah-mudahan kelak aku dapat membunuh iblis tua itu untuk melenyapkan seorang manusia berbahaya di atas bumi. Dan bila ini berhasil aku bersumpah untuk membasmi semua orang-orang jahat agar tidak mengganggu ketenteraman dunia!"

   Bun Hwi bersumpah di dalam hatinya.

   Dia kini dapat menindas semua kedukaan, dan Kiok Lan yang melihat bibir temannya ini berkemak-kemik diam- diam merasa ngeri menyaksikan muka Bun Hwi yang beringas itu.

   Tapi semuanya ini tidak lama.

   Api yang membakar mayat Siauw-bin Lo-koai maupun Pek-bin Tojin akhirnya padam.

   Dan setelah dua jam mereka menunggui mayat yang dibakar itu Bun Hwi lalu mengumpulkan abu jenazah pamannya dan Siauw- bin Lo-koai.

   Tapi pemuda ini tiba-tiba terkejut.

   Diantara abu jenazah pamannya itu dia melihat sepotong benda logam yang hangus kehitaman, sementara Kiok Lan yang mengumpulkan abu jenazah Siauw-bin Lo-koai juga menemukan sebuah benda yang sama! "Ah, apa ini, Bun Hwi?"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Aku tak tahu, Kiok Lan. Apakah kebetulan saja berada di tubuh mereka?"

   "Hm, tentunya tidak, Bun Hwi. Mana mungkin benda begini bisa kebetulan berada di tubuh keduanya? Bukankah aneh sekali?"

   "Kalau begitu biar kusimpan, Kiok Lan. Siapa tahu kelak ada gunanya bagiku,"

   Dan Bun Hwi yang sudah menerima logam yang sama itu dari tangan temannya sudah memasukkannya ke dalam baju tanpa banyak bicara.

   Dia sedang murung, dan Kiok Lan yang dapat memahami perasaan temannya ini juga tidak mengganggu.

   Mereka kini selesai mengumpulkan abu jenazah, dan Bun Hwi yang menyimpan abu pamannya di sebuah guci itu memandang Kiok Lan.

   "Apa yang sekarang hendak kau lakukan, Kiok Lan?"

   Gadis ini balas memandang.

   "Tentu saja keluar dari tempat ini, Bun Hwi. Apa yang sekarang hendak kau lakukan pula?"

   "Aku juga ingin keluar. Tapi beberapa tugas yang harus kuselesaikan barangkali mengharuskan kita berpisah, Kiok Lan. Karena beberapa pekerjaan yang berat kini menjadi tanggung jawabku!"

   Kiok Lan tampak terkejut.

   "Tugas apa, Bun Hwi? Bisakah aku membantumu?"

   "Hm, jangan, Kiok Lan. Sementara ini aku ingin melakukannya seorang diri."

   "Dan tidak boleh orang lain mengetahuinya?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Bukan begitu, Kiok Lan. Tapi kukira masing-masing dari kita ada kewajiban sendiri-sendiri. Bukankah kau harus mencari subomu?"

   "Ya, tapi kukira itu bisa kulakukan sambil berjalan, Bun Hwi. Artinya kalau kita satu tujuan barangkali tidak perlu kita harus berpisah. Bukankah kau akan mencari Cupu Naga?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Dari mana kau tahu?"

   "Ah, mudah saja. Bukankah cupu itu jelek-jelek ada hubungannya denganmu? Maka kalau dugaanku betul aku ingin membantumu, Bun Hwi. Percayalah, aku tidak ingin memiliki cupu itu kalau memang sudah menjadi hakmu!"

   Bun Hwi percaya.

   Dia dahulu memang pernah mendengar sendiri semangat gadis ini yang tidak begitu bergairah untuk mendapatkan cupu wasiat itu, tidak seperti gurunya yang kelihatan bersemangat sekali.

   Dan kalau gadis ini hendak membantunya dalam masalah itu tentu saja dia sungkan menolak.

   Tapi, bukankah dia harus menghadapi banyak bahaya? Dan mengerjakan sesuatu yang resikonya demikian besar bersama seorang gadis bagaimanapun juga membuat dia tidak enak.

   "Bagaimana, Bun Hwi?"

   Kiok Lan bertanya lagi.

   "Apakah tidak benar dugaanku bahwa kau pasti mencari cupu itu sesuai nasihat pamanmu?"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   "Aku sebenarnya mempunyai banyak masalah, Kiok Lan. Kalau kini kau menyertaiku sungguh aku merasa tidak enak sekali. Memang tak kusangkal, aku akan mencari cupu itu sesuai permintaan paman sebelum dia terbunuh. Tapi kewajiban-kewajiban lain yang masih susul-menyusul sungguh membuatku bingung, Kiok Lan. Tidakkah sebaiknya kita berpisah saja?"

   "Hm, kau tidak senang kutemani, Bun Hwi?"

   Kiok Lan tiba-tiba keruh mukanya.

   "Ah, tidak... tidak... bukan begitu, Kiok Lan. Aku benar-benar merasa tidak tenang jika kau membantuku dalam masalah pribadi. Pekerjaan yang akan kulakukan amat berbahaya sekali. Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu?"

   Kiok Lan menjebikan mulutnya.

   "Berbahaya atau tidak berbahaya bagiku bukan soal, Bun Hwi. Karena sudah berkali-kali aku menghadapi bahaya. Tapi kalau kau keberatan ya sudahlah. Siapa mau merengek-rengek ikut denganmu?"

   Dan Kiok Lan yang tiba-tiba membalikkan tubuh itu siap melompat dengan mata bersinar marah. Gadis ini rupanya tersinggung, dan Bun Hwi yang kaget melihat sikap temannya itu tentu saja jadi kelabakan.

   "Eih, tunggu dulu, Kiok Lan...!"

   Bun Hwi terpaksa berseru.

   "Siapa keberatan kau temani? Aku hanya mengkhawatirkan bahaya yang menimpa dirimu, dan kalau ada apa-apa yang terjadi denganmu tentu aku tidak enak terhadap subomu!"

   Kiok Lan masih cemberut.

   "Karena itu biar kau laksanakan sendiri saja, Bun Hwi. Aku toh nanti bakal mengganggumu di sepanjang jalan saja!"

   Bun Hwi buru-buru menghadang.

   "Bukan... bukan begitu, Kiok Lan. Tapi... tapi aku memang mempunyai masalah-masalah berat. Bagaimana harus menerangkannya?"

   "Hm, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, Bun Hwi. Kalau kau mau ya pergilah!"

   Bun Hwi kebingungan.

   "Kiok Lan, ini..."

   "Aku tidak boleh membantumu, bukan?"

   "Ah, tidak... bukan begitu, Kiok Lan. Tapi kalau kau ingin membantuku baiklah. Hanya ada sebuah syarat yang harus kau penuhi!"

   Kiok Lan tiba-tiba memutar tubuh.

   "Syarat apa, Bun Hwi? Kalau tidak percaya kepadaku kenapa harus memakai syarat segala?"

   Bun Hwi menjadi gugup.

   "Begini, Kiok Lan. Karena tugas-tugas yang harus kulaksanakan ini mengandung resiko yang gawat maka biarlah sekali ini saja kau boleh menyertaiku. Kita mencari Cupu Naga bersama, tapi setelah itu kita masing-masing harus berpisah dulu. Aku mempunyai banyak urusan, dan kau yang juga harus mencari subomu tentu tidak mungkin harus terus-terusan bersamaku. Bagaimana, Kiok Lan?"

   Gadis ini menaikkan alisnya.

   "Urusan apa saja, Bun Hwi? Bukankah kau akan ke kota raja seperti rencanamu semula?"

   "Ya, tapi akhir-akhir ini banyak tambahan yang tidak terduga, Kiok Lan. Dan ibuku yang masih hidup harus kuselamatkan jiwanya dari ancaman bahaya."

   "Ibumu...?"

   "Ya, ibuku, Kiok Lan. Beliau masih hidup tapi kini hidup menderita!"

   "Ah!"

   Kiok Lan terkejut.

   "Dan kau tahu ini dari mendiang pamanmu itu, Bun Hwi?"

   "Begitulah. Tapi terus terang aku belum mengetahui dimana ibuku itu berada, Kiok Lan. Karena menurut paman dia bersembunyi di suatu tempat yang sama sekali belum kuketahui dimana letaknya."

   "Tapi namanya kau tahu, Bun Hwi?"

   "Ya."

   "Dimana itu?"

   "Lembah Duka."

   "Lembah Duka...?"

   Kiok Lan terbelalak.

   "Nama apa ini, Bun Hwi? Kenapa aku belum pernah mendengarnya?"

   Bun Hwi menganggukkan kepalanya dengan kening berkerut pula.

   "Aku juga belum pernah mendengar nama ini, Kiok Lan. Dan paman yang memberitahukan bahwa ibuku itu terancam suatu penyakit mengharuskan aku mencari obatnya. Konon aku harus mencari Mustika Batu Bintang, mustika yang sama sekali belum kuketahui bagaimana rupanya itu. Dan mustika yang katanya dapat mengobati ibu ini konon katanya berada di sekitar Pegunungan Cin-ling, di tubuh ular Pek-hui- coa!"

   Kiok Lan kaget sekali.

   "Pek-hui-coa, Bun Hwi? Bukankah itu ular sakti yang menjadi pasangan Cheng-kak-coa?"

   "Ya, benar begitu, Kiok Lan. Dan paman yang mengharuskan aku mencari Mustika Batu Bintang di tubuh ular sakti itu berarti memperingatkan aku akan bahayanya perjalanan ini. Sekarang kau mengerti, bukan?"

   "Ya."

   "Dan aku masih harus menyelesaikan urusan teman- temanku di dusun Ki-leng, Kiok Lan. Masalah pembagian tanah yang ingin kumintakan haknya bagi mereka itu. Bukankah itu semuanya membutuhkan perjalanan yang berat?"

   "Hm, dan sekarang apa maksudmu, Bun Hwi?"

   "Kau boleh ikut. Tapi hanya untuk mencari Cupu Naga itu. Setelah itu kita masing-masing berpisah dulu. Kau dapat menerimanya?"

   Kiok Lan akhirnya mengangguk.

   "Baiklah, Bun Hwi. Karena kita mempunyai tujuan yang sama baiklah kuterima usulmu itu. Tapi masalah selanjutnya aku tidak ingin kau atur!"

   Bun Hwi terbelalak.

   Dia mau bertanya, tapi Kiok Lan yang sudah membalikkan tubuh dan lari meninggalkannya membuat Bun Hwi terbengong juga.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan gadis itu.

   Tapi Bun Hwi yang sudah menghela napas lalu mengejar temannya ini buru- buru mengayunkan langkah.

   Dia sampai lupa kepada mayat Pek-mauw Sin-jin.

   Dan juga lupa tentang guratan aneh di tubuh jenazah untuk menyelidikinya.

   Dan dua orang anak remaja yang sudah meninggalkan telaga di bawah tanah itu sebentar saja lenyap dari tempat ini.

   *S*F* Mereka kini benar-benar sudah keluar dari terowongan bawah Bun Hwi yang mengerutkan alis tampak murung, tapi Kiok Lan yang berjalan di sampingnya tampak gembira diperbolehkan mendampingi pemuda ini.

   "Bun Hwi, kita langsung ke muara?"

   Bun Hwi memandang gelisah.

   "Memang begitu, Kiok Lan. Tapi arah mana yang harus kita ambil?"

   "Hm, mudah saja, Bun Hwi. Kita cari sungai dan mengikuti alirannya!"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Kalau begitu kita perlu mencari perahu, Kiok Lan. Mana ada nelayan di tempat ini?"

   "Itu soal gampang. Asal kita menemukan sungai tentu perahupun tidak sukar kita cari."

   Dua orang anak ini lalu mencari sungai.

   Mereka menelusuri jalan setapak, dan setelah berjalan setengah jam lamanya mereka menemukan juga sungai yang dimaksud.

   Segera Kiok Lan berlari, tapi Bun Hwi yang bersikap hati-hati mencegahnya dengan seruan perlahan.

   "Kiok Lan, tunggu. Jangan sembrono menampakkan diri di tempat terbuka!"

   Kiok Lan berhenti. Ia merasa ada benarnya juga kata-kata temannya itu, dan Bun Hwi yang sudah menyambar lengannya mengajak gadis itu berindap- indap ke tepi sungai sambil mengomel.

   "Kau ceroboh sekali, Kiok Lan. Bagaimana, kalau ada musuh yang menemukan kita?"

   Kiok Lan diam. Tapi ia segera membantah.

   "Tapi kita perlu perahu, Bun Hwi. Masa harus main sembunyi selamanya?"

   "Hm, tapi bukan begitu caranya, Kiok Lan. Kalau musuh melihat kita tentu kita celaka sebelum mendapatkan perahu. Kenapa kau harus tergesa- gesa begini?"

   Bun Hwi masih mengomel lagi, tapi Kiok Lan yang dipegang lengannya diam-diam berseri mukanya.

   Ia melihat Bun Hwi ternyata menaruh perhatian atas keselamatannya, dan gadis yang diam-diam menjadi gembira ini mengawasi Bun Hwi dengan mata bersinar-sinar.

   Ia merasa lengan Bun Hwi demikian hangat memegang lengannya, dan Bun Hwi yang melihat temannya tersenyum-senyum mengerutkan kening.

   "Ada apa kau? Kenapa senyum-senyum memandang orang?"

   Kiok Lan terkekeh.

   "Aku geli melihatmu Bun Hwi. Kenapa sekarang jadi takut begini. Bukankah biasanya kau pemberani sekali dan tidak gentar menghadapi setan dari mana pun?"

   Bun Hwi menggencet tangan temannya.

   "Jangan main-main dalam saat seperti ini, Kiok Lan. Kita harus waspada memasang telinga dan mata!"

   Kiok Lan tersenyum lebar. Ia tidak tertawa lagi, dan mereka yang sudah berindap-indap itu tiba-tiba melihat seorang nelayan menjemur jaringnya di tepi sungai.

   "Wah, apa yang kita cari ternyata kita dapatkan, Bun Hwi. Tapi dimana perahu nelayan itu?"

   Kiok Lan berbisik gembira. Tapi Bun Hwi tetap mengerutkan alis, dan melihat nelayan itu sendirian di tepi sungai dia justeru curiga.

   "Kita harus hati-hati, Kiok Lan. Aku merasa nelayan itu bukan nelayan biasa."

   "Ah, perduli apa, Bun Hwi? Bukankah yang kita pentingkan adalah perahunya? Dimana dia menyembunyikan perahunya itu?"

   Kiok Lan sudah melepaskan tangannya. Dia hendak mencari perahu nelayan yang sedang menjemur jaring itu secara diam-diam, tapi Bun Hwi yang menyambar tangannya membentak perlahan.

   "Kiok Lan, apa hendak kau lakukan?"

   Gadis ini tertawa.

   "Aku hendak mencari perahu nelayan itu, Bun Hwi. Kenapakah?"

   "Hm, perahunya ada di sana, Kiok Lan. Saat dia menyembunyikan perahunya itu di balik gerumbul semak-semak belukar!"

   Kiok Lan memandang ke kanan. Dia melihat sekarang apa yang ditunjukkan temannya itu dan begitu dia melihat tiba-tiba saja kenakalan gadis ini muncul.

   "Wah, kalau begitu cepat kita ambil, Bun Hwi. Siapa tahu nelayan itu tidak memerlukannya lagi!"

   "Apa maksudmu?"

   "Kita curi perahunya itu. Kita ambil secara diam- diam!"

   "Ah, jangan begitu, Kiok Lan,"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Bagaimana kita harus mencuri milik orang lain? Tidak, kita harus meninggalkan sesuatu untuknya, Kiok Lan. Dan kalau ini sudah kita lakukan barulah kita ambil perahunya itu!" **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 14 Bantargebang, 13-05-2019, 21.58 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 14 * * * "EH, meninggalkan apa maksudmu?"

   "Meninggalkan uang. Kau punya beberapa keping perak?"

   Kiok Lan tertawa.

   "Bun Hwi, kau lucu sekali. Mana ada uang di saku kita? Bukankah semuanya lagi terburu-buru?"

   "Jadi kau tidak membawa uang, Kiok Lan?"

   "Sama seperti kau sendiri. Tidak membawa bekal sepeserpun!"

   "Ah..."

   Bun Hwi tertegun. Tapi Kiok Lan yang menyeret lengannya tiba-tiba sudah berbisik.

   "Mari, Bun Hwi. Kita harus bekerja cepat sebelum nelayan itu tahu!"

   Dan gadis yang menyelinap di balik semak-semak belukar ini sudah menghampiri perahu yang diincar untuk dicuri secara diam-diam. Kebimbangan Bun Hwi tidak dihiraukannya, dan perahu yang sudah dekat dengan mereka itu langsung saja dicopot talinya.

   "Bun Hwi, ayo masuk,"

   Gadis ini berbisik.

   "Cepatlah sebelum pemilik perahu tahu!"

   Tapi Bun Hwi masih meragu.

   Dia bimbang sejenak, dan Kiok Lan yang tidak sabar melihat keragu- raguan temannya ini tiba-tiba menarik lengan Bun Hwi.

   Dengan sekali sentakan dia sudah membuat Bun Hwi melompat di atas perahu tapi begitu mereka siap meluncurkan perahu itu sekonyong- konyong seorang laki-laki bercaping bambu batuk- batuk kecil di hadapan mereka.

   "Anak-anak, hendak kalian bawa kemana perahuku ini?"

   Kiok Lan dan Bun Hwi kaget sekali.

   Mereka menoleh, dan begitu memandang tiba-tiba saja nelayan yang tadi menjemur jaring di tepi sungai itu sekonyong- konyong sudah berada di depan mereka, tersenyum dengan satu kaki menginjak buritan perahu! "Aah...!"

   Kiok Lan terkejut. Tapi Bun Hwi yang sudah semburat mukanya itu segera memberi hormat kepada nelayan ini.

   "Paman, maafkan kenakalan temanku ini. Kami berdua hendak meminjam perahu, tapi karena tidak ada uang sepeserpun kami lalu berniat mengambilnya begitu saja. Apakah paman tidak keberatan kami pinjam sebentar?"

   Laki-laki itu tersenyum.

   "Kalian dari mana anak- anak? Kenapa tubuh kalian bau dupa begini? Apakah ada kerabat yang meninggal?"

   Bun Hwi tertegun.

   Dia belum mendapat jawaban dari pertanyaannya tadi.

   Dan bahwa tiba-tiba nelayan ini mengenal bau dupa yang masih menempel di tubuh mereka karena baru saja membakar mayat benar- benar membuat Bun Hwi terkejut.

   Dia memandang nelayan ini, dan Kiok Lan yang juga tercekat saling pandang dengannya.

   Mereka tak segera memberi jawaban, dan laki-laki aneh yang sinar matanya tajam berwibawa itu tiba-tiba tertawa.

   "Anak-anak, kalian rupanya ada kesulitan. Baiklah, tidak perlu kalian jawab pertanyaanku tadi. Kalian ingin mempergunakan perahuku bukan? Kalau begitu bagaimana jika kuantar?"

   Bun Hwi menjadi tidak enak. Dia melirik Kiok Lan, tapi gadis yang mengerutkan alisnya itu menggeleng.

   "Lopek, kalau kau rela meminjamkan perahumu ini sebaiknya biar kami dayung sendiri. Tidak perlu kau antar. Kau siapakah dan kenapa di sekitar sini tidak ada perkampungan nelayan?"

   Laki-laki itu tertawa.

   "Nona, aku yang bodoh adalah nelayan she Hu. Di sini memang tidak ada perkampungan nelayan, tapi kalau kau ingin mendayung perahuku ini tanggung kau tidak akan mampu. Perahuku ini aneh, tidak biasa dikendalikan tangan lain selain olehku!"

   Kiok Lan setengah tak percaya.

   "Masa begitu, orang she Hu? Kalau kau tidak memperbolehkannya kenapa tidak bilang terus terang saja?"

   "Ha-ha, bukan begitu, nona. Aku tidak berdusta kepada kalian. Kemarin ada pula empat orang yang mencoba mengambil perahuku ini, tidak menghiraukan nasihatku. Dan mereka yang mencoba mendayung sendiri tiba-tiba terguling di tengah sungai ketika perahu ini terbalik dan menceburkan mereka."

   "Hm, kalau begitu kau hendak maksudkan pula bahwa aku bakal tercebur kalau mempergunakan perahumu ini, orang she Hu?"

   "Memang begitulah, nona. Perahuku ini istimewa sekali. Suka ngambek kalau dipegang orang lain. Kau tidak percaya? Baik, cobalah kalau begitu. Tapi hati-hati, kuperingatkan sebelumnya kepada kalian agar waspada mengendalikannya....!"

   Dan nelayan she Hu yang sudah tertawa itu melompat ke tanah untuk melepaskan perahunya kepada Kiok Lan. Kiok Lan merasa ditantang, dan marah oleh ucapan nelayan ini ia tiba-tiba mendenguskan hidungnya.

   "Bun Hwi, ini kesempatan bagus. Kalau kita berhasil membawanya sebaiknya kita langsung kabur saja!"

   Gadis itu berbisik, tapi Bun Hwi yang mengamati laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya dengan sinar mata penuh kecurigaan.

   "Jangan begitu, Kiok Lan. Bagaimanapun perahu ini bukanlah milik kita. Kalau begitu bagaimana jika kita adakan perjanjian saja?"

   Bun Hwi balas berbisik lirih.

   "Kalau kita berhasil kita katakan saja bahwa kita ingin meminjam perahunya ini tanpa diantar. Tapi kalau tidak berhasil bolehlah penawarannya tadi kita terima. Dia boleh ikut bersama kita!"

   Kiok Lan mau membantah. Tapi Bun Hwi yang sudah memandang nelayan itu tiba-tiba berseru.

   "Hu- lopek, bagaimana jika kita bertaruh? Aku ingin membawa perahumu ini kalau kami berhasil, tapi menerima tawaranmu jika kami gagal. Bagaimana pendapatmu?"

   Nelayan itu tertawa.

   "Baik, anak-anak. Tapi hati- hatilah...!"

   Dan Kiok Lan yang tiba-tiba sudah melepaskan perahu itu dari tambatannya mendadak memukul perahu ke permukaan air. Sekali tepuk ia membuat perahu itu melesat ke depan, dan Bun Hwi yang hampir terpelanting oleh perbuatannya ini menjadi kaget sekali.

   "Kiok Lan, apa-apaan kau? Kenapa kurang ajar begini?"

   Bun Hwi menegur. Tapi Kiok Lan tertawa.

   "Kau yang harus konsentrasi, Bun Hwi. Bukankah kau sudah lihat aku melepaskan tali pengikatnya? Kenapa harus diberi aba-aba lagi?"

   Bun Hwi melotot gemas.

   Dia tahu temannya ini memang bengal, maka begitu Kiok Lan menggerakkan dayungnya diapun meraih dayung satunya untuk maju membantu.

   Tapi baru belasan meter perahu itu melaju mendadak Kiok Lan berteriak kaget.

   Sesuatu yang berat mengguncang bawah perahu, dan Bun Hwi yang juga kaget oleh sentakan di bawah ini terbelalak heran.

   "Aih, apa itu, Kiok Lan?"

   Kiok Lan meradang.

   "Aku tidak tahu, Bun Hwi. Tapi rupanya nelayan she Hu itu main gila secara diam- diam. Hayo bantu aku... ihh!"

   Kiok Lan mendadak menjerit kecil, dan perahu yang tiba-tiba oleng ke kiri membuat gadis ini terkesiap kaget.

   "Bun Hwi, injak lantai sebelah kanan. Perahu ini hendak miring ke kiri!"

   Bun Hwi sudah mengerjakan teriakan temannya itu.

   Dengan mata kaget dan terheran-heran dia melompat ke lantai perahu sebelah kanan, dan ketika perahu kembali normal dia memandang nelayan di daratan itu dengan mata terbelalak.

   Dia hendak berteriak, tapi perahu yang tiba-tiba oleng ke kanan membuat Bun Hwi kaget kembali.

   "Hei, kenapa begini, Kiok Lan?"

   Bun Hwi berseru heran.

   "Kenapa perahu mendadak miring ke kanan?"

   Kiok Lan juga bingung.

   "Aku tidak tahu, Bun Hwi. Tapi cepatlah lompat kemari. Injak papan sebelah kiri seperti tadi!"

   Bun Hwi sudah menjalankan permintaan ini.

   Dia buru-buru melompat ke kiri untuk mengatasi miringnya badan perahu ke sini mendadak perahu kembali oleng ke kiri.

   Dia terkejut, dan Kiok Lan yang kaget serta gusar oleh keganjilan perahu ini membentak-bentak.

   Gadis itu menyuruh Bun Hwi untuk berlompatan mengimbangi tubuh perahu yang selalu miring berganti-ganti itu, dan ketika mereka tetap saja dibuat permainan oleh tubuh perahu yang terguncang-guncang ini akhirnya Kiok Lan memekik.

   "Orang she Hu, kenapa perahumu seperti setan binal begini? Apa yang kau perbuat terhadap perahumu ini?"

   Nelayan itu tertawa dari jauh.

   "Aku sudah bilang, nona. Perahuku memang tidak gampang ditangani orang lain. Bukankah kau yang tidak percaya?"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Keparat, tapi selama hidup aku belum pernah melihat perahu macam ini, orang she Hu. Kau agaknya memasangi sesuatu di bawah perahu ini!"

   "Ha-ha, kau cerdik, nona. Rupanya kini kau sudah dapat menangkap apa yang terjadi pada perahuku itu!"

   Dan Kiok Lan yang tidak dapat mengendalikan dayungnya lagi mendadak melengking pendek.

   "Bun Hwi, orang she Hu itu rupanya memasang bandul. Aku merasa ada sesuatu yang berat menahan di tubuh bawah perahu...!"

   Dan gadis yang tiba-tiba melempar dayung itu mendadak melompat ke atas dan berjungkir balik di udara. Dengan manis ia memutar tubuh, lalu begitu kepalanya menukik ke bawah tiba-tiba iapun sudah mencebur di air sungai itu.

   "Byurr...!"

   Kiok Lan langsung menyelam dan Bun Hwi yang kaget melihat perbuatan temannya itu tertegun di tempat.

   Dia sendiri memang merasa adanya sesuatu yang tidak beres pada tubuh perahu ini, maka ketika temannya melompat ke dalam air diapun terbelalak sekejap.

   Tapi Bun Hwi tak dapat berlama-lama.

   Perahu yang terus bergerak miring ke kanan kiri itu mendadak membuat dia terpekik.

   Karena baru dia terbelalak tahu-tahu perahu sudah terbalik.

   "Aih...!"

   Bun Hwi terkejut, dan tubuh yang tiba-tiba sudah terpelanting jatuh itu membuat Bun Hwi terlempar di air tanpa sempat berteriak lagi.

   dia terjungkal, dan Bun Hwi yang gelagapan di air sungai ini cepat berenang ke pinggir dengan pakaian basah kuyup! "Ha-ha, bagaimana, anak-anak? Bukankah kubilang tadi perahuku ini tidak suka dikendalikan orang lain? Kenapa kalian tidak percaya?"

   Bun Hwi naik ke tepi. Dia terkejut dan curiga terhadap laki-laki aneh ini, tapi belum sempat dia menegur tahu-tahu Kiok Lan sudah muncul dari dalam air. Gadis itu marah-marah, dan berteriak nyaring dia memaki pemilik perahu itu.

   "Orang she Hu, kau curang. Perahumu kau banduli sebuah batu besar! Kenapa kau lakukan hal ini?"

   Nelayan itu tertawa.

   "Aku memerlukan batu itu agar perahuku tidak mudah tercuri orang, nona. Kenapa kau marah-marah kepadaku?"

   Kiok Lan kini sudah melompat pula ke tepi. Dia terbelalak marah, tapi mendengar jawaban itu dia akhirnya tertegun. Sedikit banyak nelayan she Hu itu "menyentil"

   Mereka, dan Bun Hwi yang merah mukanya sudah cepat-cepat menjura.

   "Hu-lopek, agaknya kata-katamu benar. Maaf bahwa kami berdua berbuat kurang pantas kepadamu. Apakah sekarang kami bisa kau antar?"

   Kiok Lan cemberut.

   "Kalau begitu tidak usah saja, Bun Hwi. Kita jalan kaki atau cari perahu lain!"

   Gadis itu mendahului jawaban orang. Nelayan ini tersenyum, dan bersinar memandang Kiok Lan dia berkata.

   "Nona, kalian tadi berjanji sendiri kepadaku. Masa demikian mudah hendak dibatalkan kembali? Bukankah temanmu ini orang yang suka memegang kata-kata sendiri?"

   Kiok Lan hendak mengomel, tapi Bun Hwi yang sudah menowel tangan temannya itu berkata halus.

   "Paman Hu, kau memang benar. Kami sudah kalah bertaruh dan kalau kau tidak keberatan baiklah, tolong kau antar kami dengan perahumu ini. Apa sekarang bisa kita mulai?"

   Nelayan itu terkekeh.

   "Tentu saja, anak-anak. Kalau kalian suka tentu saja aku dapat mengantar kalian. Kemanakah kalian hendak pergi?"

   "Ke muara?"

   Bun Hwi menjawab.

   "Ke muara?"

   Nelayan itu terbelalak.

   "Eh, kenapa harus kesana, anak-anak? Tidakkah kalian salah pilih?"

   Kiok Lan yang mendongkol sejak tadi tiba-tiba membentak.

   "Orang she Hu, kenapa kau banyak tanya begini? Apakah perlumu mengetahui urusan orang lain?"

   Nelayan itu terkejut. Dia mengerutkan kening dibentak begini, tapi tertawa ramah tiba-tiba dia menganggukkan kepalanya.

   "Aih, maaf, nona... aku memang orang yang usil sekali. Baiklah, apakah sekarang kita berangkat?"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   "Sebaiknya, memang begitu, lopek. Tolong antarkan kami segera ke tempat itu. Tapi maaf, terus terang saja kami tak mempunyai uang untuk mengimbangi jasa baikmu ini!"

   "Ha-ha, kenapa sungkan, anak-anak. Tapi siapa nama kalian? Bagaimana aku harus memanggilmu?"

   Bun Hwi tertegun. Dia tercekat juga mendengar pertanyaan ini, yang wajar ditanyakan. Dan Kiok Lan yang memandang kepadanya tiba-tiba menukas.

   "Orang she Hu, kami segan memperkenalkan nama padamu. Tapi kalau kau mau panggil bolehlah sebut saja aku Kiok Lan dan dia itu Bun Siang!"

   Laki-laki itu tersenyum. Dia mengangguk, dan Bun Hwi yang geli hatinya mau tak mau tersenyum juga. Dia melirik temannya ini, sementara Kiok Lan yang galak itu sudah melempar dayung ke nelayan ini.

   "Pemilik perahu, hayo jangan melenggong saja. Bukankah kau sudah berjanji untuk menjalankan perahu ini? Nah, ingin kulihat, bagaimana caramu mengemudikan perahu yang kau banduli batu sebesar gajah itu...!"

   Dan Kiok Lan yang sudah melompat ke ujung perahu mengawasi nelayan ini dengan mata bersinar-sinar.

   Dia ingin melihat bagaimana cara pemilik perahu itu menjalankan perahunya, dan Bun Hwi yang juga tertarik hatinya sudah melompat di samping Kiok Lan.

   Tapi nelayan she Hu itu tersenyum tenang, dan menyingsingkan lengan bajunya tiba-tiba dia tertawa.

   "Anak-anak, mengemudikan perahu begini sesungguhnya tidak sukar. Asal kalian memiliki tenaga besar tentu diapun akan menurut. Lihatlah...!"

   Dan pemilik perahu yang tiba-tiba menggerakkan dayungnya itu menampar permukaan air dengan tepukan perlahan.

   Dia tampaknya enak saja, tidak kelihatan mengerahkan tenaga berlebih- lebihan.

   Tapi Bun Hwi dan Kiok Lan yang terkejut melihat perahu sekonyong-konyong melejit dengan kecepatan besar tahu-tahu sudah terbelalak melihat perahu ini meluncur bagaikan dikejar setan! Ombak yang pecah di depan perahu yang meluncur deras ini, dan nelayan she Hu yang tersenyum lebar tahu- tahu sudah tertawa bergelak dengan muka gembira! "Ha-ha, bagaimana, anak-anak? Bukankah perahu tidak oleng lagi seperti yang kalian bawa? Batu di bawah itu gunanya untuk menahan arus, maka kalau batu itu dibuang tentu perahu inipun sudah terbang kudayung sepanjang jalan!"

   Kiok Lan dan Bun Hwi tertegun. Mereka tercengang, kagum melihat kekuatan yang dimiliki laki-laki ini. Tapi Bun Hwi yang mengerutkan alis berbisik.

   "Kiok Lan, hati-hati. Hu-lopek ini rupanya bukan nelayan sembarang nelayan. Aku curiga melihat gerak- geriknya...!"

   Kiok Lan mengangguk.

   "Aku juga berpikir begitu, Bun Hwi. Orang she Hu ini rupanya bukan orang biasa. Jangan-jangan dia perampok jahat yang bergerak malang-melintang di atas air!"

   "Tapi kau pernah mendengar nama orang ini, Kiok Lan?"

   "Tidak."

   "Hm, aku jadi teringat pada dua orang bajak sungai. Mereka itu juga mahir menjalankan perahu, dan kalau nelayan she Hu ini ada hubungan dengan mereka itu kita bisa celaka!"

   "Siapa yang kau maksudkan, Bun Hwi?"

   "Tengkorak Hitam dan Sui-liong Gu Thouw Sam!"

   "Oh, kerbau-kerbau dungu itu?"

   Kiok Lan tertawa.

   "Aku pernah menghajar mereka bersama subo, Bun Hwi. Dan kalau nelayan ini memang betul ada hubungan dengan dua ekor kerbau itu tentu dia akan kuhajar sekalian!"

   "Ah, tapi kau jangan sembrono, Kiok Lan. Kulihat laki-laki ini memiliki sesuatu yang dahsyat di dalam dirinya! Aku melihat sinar matanya demikian tajam berkilat, dan roman mukanya yang tidak pantas dimiliki seorang nelayan itu membuatku menduga dia benar-benar bukan orang sembarangan. Kita harus hati-hati, dan kalau ada apa-apa yang mencurigakan sebaiknya kita dahului dia dan mencebur ke air."

   Kiok Lan mengerutkan kening. Ia tidak setuju, tapi pemilik perahu yang tiba-tiba memandang mereka berseru nyaring.

   "Nona Kiok, Bun-kongcu... harap hati-hati. Sebentar lagi di depan kita akan terdapat barisan batu-batu besar yang menghalangi jalan...!"

   Bun Hwi memandang ke depan.

   "Dari mana kau tahu, Hu-lopek? Apakah sudah biasa kau melalui tempat ini?"

   Nelayan itu tertawa.

   "Tentu saja, kongcu. Bukankah aku nelayan yang tiap hari harus mengarungi sungai mencari ikan? Di depan sana terdapat barisan batu- batu besar, dan sekali kita terantuk tentu perahupun bakal terjungkal. Berhati-hatilah...!"

   Kiok Lan melompat maju.

   "Bun Hwi, agaknya dia bajak sungai yang hendak main gila. Apakah sebaiknya kita dahului saja dia itu?"

   "Hm, kau hendak menyerangnya, Kiok Lan?"

   "Ya, daripada kita diserang!"

   "Ah, tapi kita tidak tahu apakah dia itu nelayan biasa atau bukan, Kiok Lan. Bagaimana jika dia celaka?"

   "Maksudmu dia tidak bisa mengelak, tidak pandai silat?"

   "Ya, dan aku khawati kau salah tangan, Kiok Lan. Maka daripada kita keliru menduga yang tidak-tidak sebaiknya kita lihat saja apakah benar nelayan itu mempunyai iktikad buruk atau tidak terhadap kita!"

   Kiok Lan tertawa.

   "Bun Hwi, kau terlalu lemah. Orang begini mencurigakan kenapa mesti tunggu sepak terjangnya lagi? Bagaimana kalau kita terlambat dan semuanya jadi kasep?"

   "Aih, itu soal nanti, Kiok Lan. Asal kau tidak terburu- buru tentu kita dapat menolong diri sendiri. Sudahlah, yang penting kita ikuti nasehatnya itu dan waspada terhadap nelayan aneh ini!"

   Bun Hwi yang memberi isyarat kepada temannya itu tiba-tiba menggapai dan nelayan she Hu yang asyik mendayung perahunya ini mendadak berteriak.

   "Anak-anak, berhati-hatilah. Kita mulai memasuki daerah berbahaya...!"

   Dan Kiok Lan yang memandang ke depan tiba-tiba terbelalak.

   Perahu yang mereka tumpangi kini menuju ke tengah sungai yang lebar menganga, siap menerima kedatangan mereka dengan arusnya yang deras bergulung-gulung.

   Dan di tengah-tengah pusaran air itu, tampak menjungat ratusan banyaknya tampaklah barisan batu-batu runcing seakan mata pedang yang muncul di atas permukaan air.

   Elok dan mengesankan barisan batu-batu runcing itu, tapi perahu yang juster meluncur ke tempat ini sungguh membuat mata yang memandang jadi ngeri dan kecut bukan main.

   Bun Hwi sendiri yang biasanya tabah tak terasa menjadi tegang, dan Kiok Lan yang berdiri di sampingnya juga tergetar dengan mata tidak berkedip.

   Sekarang perahu mereka mulai memasuki daerah berbahaya ini, dan nelayan she Hu yang memusatkan konsentrasinya pada dayung di tangan sudah berseru.

   "Nona Kiok, Bun-kongcu... peganglah pinggir perahu kuat-kuat. Aku hendak menyelinap barisan batu pedang ini...!"

   Dan nelayan yang tiba-tiba bangkit berdiri itu sudah memutar dayungnya ke kiri kanan.

   Dia benar-benar memusatkan seluruh perhatiannya pada dayung di tangan kanannya, dan Bun Hwi yang melihat perahu terguncang melawan arus yang berputar sekonyong-konyong menyambar sebuah dayung di lantai perahu.

   Dia tidak tega membiarkan laki-laki bercaping ini menjalankan perahu di tempat yang demikian berbahaya itu, dan lupa terhadap pesan orang tiba-tiba dia sudah membantu nelayan ini! "Hei, jangan, kongcu...!"

   Nelayan she Hu berteriak kaget. Dia terbelalak melihat perahu tiba-tiba meluncur lebih cepat, karena Bun Hwi membantunya dari belakang. Tapi Bun Hwi yang tersenyum tenang menggelengkan kepalanya.

   "Biarlah, Hu-lopek. Aku tak tega melihat perjuanganmu seorang diri."

   "Tapi tempat ini amat gawat, kongcu. Dan perahu juga bisa ngambek lagi kalau dijalankan tangan lain."

   "Ah, tapi nyatanya perahu meluncur baik, Hu-lopek. Bukankah aku hanya sekedar membantumu saja?"

   Namun baru Bun Hwi bicara begini tahu-tahu perahu oleng ke kanan. Sebuah benturan di bawah perahu membuat perahu itu terguncang dan arus yang berputar-putar menghantam perahu ini ke sisi sebelah kanan tahu-tahu menumbuk sebuah batu pedang! "Dukk!"

   Bun Hwi berseru tertahan. Dia kaget melihat perahu tiba-tiba miring tanpa dapat dikendalikan lagi, dan Kiok Lan yang melihat Bun Hwi terhuyung ke bibir perahu jadi kaget setengah mati.

   "Bun Hwi, awas...!"

   Tapi Bun Hwi sudah mencengkeram pinggir perahu.

   Dengan cepat dia melempar dayungnya, dan nelayan she Hu yang mendengar teriakan Kiok Lan membelalakkan mata.

   Dia rupanya tertegun mendengar teriakan Kiok Lan tadi, yang lupa menyebut Bun Hwi sebagai "Bun Siang".

   Dan Kiok Lan sendiri yang tidak sadar akan seruannya ini sudah terhuyung-huyung di atas perahu.

   Mereka terguncang-guncang akibat pusaran arus, tapi nelayan she Hu yang tiba-tiba berseri mukanya di balik caping itu mendadak berseru.

   "Anak-anak, cepat tangkap bibir perahu. Aku hendak menyelamatkan perahu sebelum kita terbalik...!"

   Dan nelayan yang sudah menggerakkan dayungnya ini tiba-tiba membentak perlahan dan menerjang pusaran air itu dengan kekuatan jari-jarinya.

   Dia menyelinap di barisan batu pedang, dan Kiok Lan serta Bun Hwi yang terbelalak melihat semuanya ini memandang bengong dengan perasaan tegang bukan main.

   Mereka melihat betapa nelayan ini meluncurkan perahunya di tengah-tengah barisan batu pedang itu, dan ombak serta arus yang bergulung-gulung menerjang perahu membuat mereka terlempar ke kiri kanan seperti boneka tak berdaya.

   Tapi untunglah, pegangan yang kuat pada papan perahu membuat mereka tak sampai terpelanting keluar, dan Bun Hwi yang melihat betapa nelayan itu bergerak cekatan di antara deru air yang bergemuruh tiba-tiba menjadi lega ketika hampir separuh dari lintasan barisan batu pedang itu mereka lalui.

   Sedikit benturan di sana sini masih mereka alami juga, tapi ketika seperempat bagian dari barisan batu pedang itu akan mereka akhiri tiba-tiba Kiok Lan berteriak kaget.

   "Hei, perahu kita bocor, Bun Hwi...!"

   Bun Hwi dan nelayan she Hu terkejut.

   Mereka cepat menoleh, dan ketika memandang ke tempat yang ditunjuk Kiok Lan ternyata apa yang diteriakkan gadis itu benar.

   Lambung perahu sebelah kanan pecah, dan air yang mengalir masuk melalui tempat ini menjadikan Bun Hwi gugup.

   "Wah, benar, Hu-lopek. Perahumu bocor...!"

   Nelayan itu mengerutkan kening. Dia tidak memberikan komentar, dan Kiok Lan yang gelisah oleh kejadian ini melotot kepadanya.

   "Orang she Hu, kenapa kau diam saja? Apakah tidak ada akal di kepalamu?"

   Nelayan itu tersenyum.

   "Ini gara-gara temanmu, nona. Kalau Bun-kongcu tadi tidak membantuku tentu perahu inipun tidak mungkin bocor. Lihat, bukankah itu bekas tumbukan pertama pada batu pedang?"

   Kiok Lan memang harus mengakui. Ini memang kebocoran pada tempat dimana benturan pertama kali terjadi, dan Bun Hwi yang tergagap di tempatnya jadi bingung.

   "Kalau begitu bagaimana, lopek? Tidakkah kita harus membuang air ini?"

   "Ya, tentu saja, Bun-kongcu. Tapi karena tidak ada ember di sini tolong kalian buang air itu. Aku hendak mengendalikan perahu. Lengah sedikit kita semua tentu terguling!"

   Kiok Lan setengah gelisah setengah mendongkol. Dia tidak banyak waktu, dan air yang terus mengalir masuk akhirnya membuat dia marah juga. Bun Hwi yang mendelong di sisinya ditepuk gemas, dan membuang air dengan kedua tangannya iapun mengomel.

   "Bun Hwi, kenapa terbengong saja? Apakah kau ingin perahu karam baru membuang air?"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bun Hwi tersipu-sipu.

   Dia cepat menyingsingkan lengan bajunya, dan sekali bergerak diapun sudah membantu temannya ini membuang air dari tempat yang bocor.

   Perahu yang semula miring sebentar saja telah mereka tenangkan, tapi nelayan she Hu yang berhenti sejenak mengawasi dua orang anak ini tiba-tiba berteriak kaget.

   Dayung yang sejenak dihentikan itu mendadak membuat perahu meluncur terbawa arus, dan begitu dia sadar tiba-tiba perahu menumbuk sebuah batu karang! "Dukk...!"

   Pemilik perahu berteriak tertahan.

   Dan Bun Hwi serta Kiok Lan yang sibuk membuang air tiba-tiba terpelanting roboh.

   Mereka ini tidak menyangka bahwa nelayan itu melupakan tugasnya, dan Kiok Lan yang memaki-maki nelayan ini sudah menyemprot habis-habisan.

   "Orang she Hu, apa-apaan kau ini? Kenapa meleng memandang kami?"

   Laki-laki itu tergagap.

   "Aku tidak tahu, nona. Perahu tiba-tiba meluncur ke kiri dan menghantam batu karang!"

   Kiok Lan mengomel panjang pendek. Dia gusar kepada nelayan ini, tapi Bun Hwi yang lebih sabar dari temannya itu tiba-tiba menuding.

   "Hu-lopek, awas. Di depanmu ada celah berbahaya...!"

   Dan pemilik perahu yang sudah memandang ke depan itu jadi terkejut ketika perahunya tiba-tiba memasuki pusaran arus yang membuat perahunya meluncur ke tengah-tengah dua batu pedang yang mencuat dari permukaan sungai.

   Dengan gugup dia buru-buru menggerakkan dayungnya, tapi perahu yang sudah terlanjur masuk tak sempat dia belokkan.

   Akibatnya perahu ini meluncur cepat, dan ketika mereka bertiga memasuki celah-celah ini maka singgunganpun tak mampu dielakkan lagi.

   Tubuh perahu sebelah kanan menyerempet batu pedang, dan suara benturan yang keras tiba-tiba membuat perahu itu robek! "Brakk...!"

   Bun Hwi dan Kiok Lan terbelalak kaget.

   Perahu yang mereka tumpangi sekonyong-konyong pecah, dan begitu pemilik perahu mengeluh melihat kejadian ini tiba-tiba saja air sungai membanjir masuk seperti dituangkan.

   Bun Hwi dan Kiok Lan jadi terkejut setengah mati, tapi nelayan she Hu yang berubah mukanya itu mendadak berseru.

   "Nona Kiok, Bun-kongcu, harap injak kepala perahu. Aku hendak melepas batu yang kuikat di bawah...!"

   Dan laki-laki bercaping yang tampaknya gugup itu tahu-tahu melompat keluar dan mencebur ke air! Dia tidak memberi kesempatan lagi kepada dua orang anak ini, dan Kiok Lan yang melihat nelayan itu mencebur ke sungai tiba-tiba timbul syak- wasangkanya.

   "Bun Hwi, nelayan she Hu itu rupanya mau melarikan diri. Kita ditinggal begini menghadapi bahaya!"

   Bun Hwi juga terkejut.

   "Tapi dia bilang mau melepas batu yang mengganjal di bawah, Kiok Lan. Siapa tahu dia betul-betul mengerjakan niatnya itu?"

   "Ah, tapi dia meninggalkan kita, Bun Hwi. Masa kau tidak menganggap dia melakukan perbuatan jahat? Bagaimana kalau tiba-tiba dia bahkan merusak bawah perahu ini dan menenggelamkannya sekalian?"

   Bun Hwi jadi bingung juga.

   Dia tak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi, dan air sungai yang sebentar saja telah membuat perahu hampir tenggelam membuat dia panik.

   Bagaimanapun pernyataan temannya itu benar, yakni pemilik perahu telah meninggalkan mereka.

   Dan maklum bahwa perahu dalam keadaan berbahaya tiba-tiba dia melompat di kepala perahu.

   "Kiok Lan, ke sini dulu. Lempar dayungmu itu dan bersiap-siaplah...!"

   Kalau menurut.

   Dengan cepat dia melompat ke kepala perahu, dan begitu mereka berada di tempat ini tahu-tahu perahu terguncang-guncang seakan diserang seekor ikan besar.

   Perahu yang sudah setengah tenggelam itu mendadak miring tidak karuan, dan sementara mereka terbelalak tiba-tiba saja dari bawah terdengar suara "dak-duk-dak-duk"

   Yang mengerikan! Kalau dan Bun Hwi saling pandang.

   "Apa itu, Bun Hwi?"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Aku tak tahu, Kiok Lan. Tapi rupanya batu yang dilepas ikatannya dari bawah perahu."

   "Tapi nelayan itu tak muncul juga, Bun Hwi. Apa yang harus kita lakukan?"

   Bun Hwi mau menjawab.

   Tapi belum dia bersuara mendadak terdengar teriakan-teriakan ramai di depan.

   Dua orang anak ini cepat memandang, dan Bun Hwi serta Kiok Lan yang melihat tiba-tiba jadi terkejut ketika mengetahui ada empat buah perahu hitam menyongsong kedatangannya.

   "Ah, Tengkorak Hitam, Kiok Lan!"

   Kiok Lan memandang terkejut.

   "Ya, rupanya orang she Gu itu, Bun Hwi, dan disertai murid Ang-sai Mo- ong pula!"

   Bun Hwi terbelalak. Dia melihat sekarang bocah laki- laki yang bernama Bhong Kiat itu, dan Kiok Lan yang tampaknya kenal dengan murid datuk iblis itu dipandangnya khawatir.

   "Kiok Lan, kau sudah mengenal anak laki-laki itu?"

   Gadis itu mengepalkan tinjunya.

   "Sudah, Bun Hwi. Dan keceriwisannya yang memuakkan perutku membuat aku ingin menghajar anak itu sampai hancur kepalanya!"

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba berseru kaget. Perahu yang terisi air mendadak miring bagian belakangnya, dan mereka berdua yang berdiri di kepala perahu tiba- tiba terpeleset dan hampir jatuh! "Kiok Lan, kita keluar saja...!"

   Bun Hwi berseru. Dan Kiok Lan yang melihat suasana tidak menyenangkan juga tiba-tiba mengangguk.

   "Ya, kita lompat di atas batu-batu karang itu, Bun Hwi. Dan selanjutnya kita tinggalkan perahu yang celaka ini. Ayo...!"

   Dan Kiok Lan yang sudah membentak perlahan itu tahu-tahu berjungkir balik di udara dan meninggalkan perahunya, hinggap dengan manis di atas sebuah batu karang yang terdekat.

   Dan Bun Hwi yang cemas dan gelisah oleh keadaan yang amat darurat itu tiba-tiba menyusul.

   Dengan lompat panjang dia menuju batu karang yang letaknya berdampingan dengan Kiok Lan, tapi perahu hitam yang sudah dekat jaraknya dengan mereka tiba-tiba melemparkan sebuah tali yang menggubat kakinya.

   Bun Hwi tidak menyangka, dan tali yang tahu-tahu telah membuat kakinya terjerat itu kontan saja membuat Bun Hwi roboh di atas air! "Byuurr....!"

   Bun Hwi terjungkal, dan anak laki-laki yang berteriak kaget ini gelagapan di dalam air.

   Dia meronta, marah dan memaki.

   Tetapi tali yang menggubat kakinya itu ternyata dipegang sebuah tangan yang kuat.

   Bhong Kiat tertawa-tawa memandangnya, dan Bun Hwi yang melihat anak laki-laki ini yang melempar tali secara curang sudah melotot dengan muka merah.

   "Tikus busuk, kenapa kau menggangguku kembali?"

   Murid Ang-sai Mo-ong itu terbahak.

   "Aku tidak mengganggumu, Bun Hwi. Justeru aku ingin menyelamatkan dirimu dari perahu yang pecah itu! Lihat, bukankah perahu kalian semakin tenggelam?"

   Bun Hwi berusaha melepaskan diri.

   "Tapi menolong orang tidak dengan cara begini, jahanam she Bhong. Kau menghinaku dengan perbuatan yang tidak tahu malu!"

   Tapi anak laki-laki itu tertawa. Dia tidak membiarkan Bun Hwi melepaskan tali, dan menyentak tiba-tiba diapun sudah menarik lawannya dari dalam air.

   "Bun Hwi, kemarilah. Aku ingin bicara kepadamu!"

   Dan tali panjang yang tiba-tiba disendal itu sudah membuat Bun Hwi melayang bagai ikan terbang.

   Anak ini memang tak berdaya karena tubuhnya berada di dalam air.

   Tapi Kiok Lan yang terbelalak di atas batu karang mendadak melengking tinggi.

   Bun Hwi yang terangkat dari dalam air tiba-tiba disambar, dan jari tangannya yang menabas bagian tengah tali tiba- tiba membuat tali itu putus.

   "Bun Hwi, larilah... cras!"

   Dan tali yang putus menjadi dua ini membuat Bhong Kiat berteriak gusar.

   Bun Hwi yang hampir tertangkap kini tercebur lagi di air, dan Kiok Lan yang sudah berjumpalitan di udara itu hinggap kembali di atas sebuah batu karang lain.

   Gadis ini mengepalkan tinju, dan marah terhadap anak laki-laki di perahu hitam itu dan memekik.

   "Siluman cilik, jangan bersikap pengecut menghadapi lawan. Hayo naiklah kau ke sini dan kita bertanding!"

   Bhong Kiat melotot.

   Dia menyuruh anak buahnya mendekatkan perahu, lalu tertawa mengejek tiba- tiba dia melepaskan cambuknya.

   Itulah senjata yang biasa dia andalkan untuk menghadapi musuh, dan Kiok Lan yang berdiri di atas batu karang mendadak dia serang.

   "Adik manis, jangan berlagak pongah di situ. Kemarilah, lihat kelihaian cambukku ini bermain di udara...!"

   Dan Bhong Kiat yang sudah menjeletarkan cambuknya itu tiba-tiba menghantam pinggang Kiok Lan dari atas ke bawah. Dia mengandalkan kedudukannya di atas perahu, dan Kiok Lan yang marah melihat kecurangan lawannya ini menangkap.

   "Tar!"

   Cambuk melenceng miring, dan Bhong Kiat yang tertawa melihat gadis itu luput menangkap ujung cambuknya sudah bertubi-tubi melancarkan serangan berikut.

   Dia mencecar lawannya dari segala penjuru, dan Kiok Lan yang tidak bisa bergerak leluasa tiba-tiba memekik marah dan melompat ke perahu lawan! "Hei...!"

   Bhong Kiat terkejut, dan Kiok Lan yang melayang di udara mendadak dia sambut dengan gagang cambuk yang menotok ulu hati.

   Gadis itu sudah hampir menginjak lantai perahu, dan ketika Bhong Kiat menyerangnya dengan totokan di ulu hati mendadak Kiok Lan mendupakkan satu kakinya ke arah mata cambuk itu.

   "Plak!"

   Dua gebrakan yang berlangsung cepat ini tahu-tahu sudah membuat Kiok Lan dan Bhong Kiat berseru perlahan, dan begitu gagang cambuk ditangkis tendangan ini tiba-tiba saja Bhong Kiat terhuyung mundur.

   Dia kalah tenaga, karena Kiok Lan yang mengerahkan tenaga di kaki itu dibantu oleh seluruh berat tubuhnya yang meluncur turun.

   Tapi Kiok Lan sendiri yang merasa panas telapak kakinya juga berteriak lirih ketika ujung cambuk tahu-tahu melingkar dan menggubat pinggangnya! Itulah satu serangan yang manis dari murid Ang-sai Mo-ong ini, serangan yang disebut Memapak Dewa Melempar Bisa.

   Dan Kiok Lan yang terlibat cambuk dalam gebrakan cepat itu tiba-tiba sudah ditubruk si bajak sungai Gu Thouw Sam yang ada di situ.

   "Ha-ha, kelinci betina ini patut kita ringkus, siauw- ya. Lihat dia amat gagah tapi manis sekali...!"

   Dan si bajak sungai yang tiba-tiba menubruk ke depan itu tahu-tahu menerkam pundak Kiok Lan dengan kesepuluh jarinya.

   Dia menangkap gadis ini dan siap melumpuhkannya tapi Kiok Lan yang sudah membentak pendek itu tiba-tiba menggerakkan kakinya, menendang selangkangan orang dari bawah ke atas! Tentu saja kepala bajak ini terkejut, dan berteriak kaget dia melompat mundur sambil melepaskan cengkeramannya.

   Bhong Kiat yang terlanjur gembira kini menjadi kecewa, dan ujung cambuk yang membelit pinggang gadis itu tiba-tiba ditarik dengan mata melotot.

   "Setan betina, kenapa kau demikian liar?"

   Kiok Lan menjejakkan kakinya.

   Dia marah oleh perbuatan lawannya itu, dan ketika merasa belitan cambuk tiba-tiba mengencang dan menyesakkan dadanya mendadak dia mengeluarkan seruan panjang.

   Cambuk yang membelit pinggang sekonyong-konyong ditarik, dan begitu ia mengerahkan tenaga tiba-tiba cambuk itu putus menjadi beberapa potong! "Ah...!"

   Bhong Kiat tertegun, dan kaget melihat gadis itu memutuskan senjatanya tiba-tiba dia melompat ke depan melancarkan pukulan.

   "Des-dess!"

   Kiok Lan terhuyung, dan dua pukulan yang mengenai pundak serta lehernya membuat gadis ini mengeluh.

   Bhong Kiat sudah menubruknya kembali, tapi sesosok bayangan yang tiba-tiba menerkamnya dari samping membuat Bhong Kiat terpekik kaget ketika pinggangnya tahu-tahu diangkat orang dan dibanting di atas lantai perahu! "Brukk...!"

   Bhong Kiat menjerit tertahan, dan Bun Hwi yang tahu-tahu sudah menginjak punggungnya tampak mendelik penuh kemarahan memandang murid Ang-sai Mo-ong ini.

   "Jahanam she Bhong, kenapa kau selalu menyerang kami? Mana itu gurumu yang menjadi biang iblis?"

   Bhong Kiat terbelalak.

   Dia tidak melihat ketika anak laki-laki ini menyerangnya, karena dia sedang menyerang Kiok Lan.

   Dan ketika kini Bun Hwi membantingnya di atas perahu sendiri tiba-tiba dia menjadi marah.

   Kaki Bun Hwi yang menginjak punggungnya tiba-tiba dia cengkeram dan sekali menggulingkan tubuh tahu-tahu dia sudah melompat bangun sambil memaki.

   "Bocah she Bun, jangan sombong kau! Terimalah...!"

   Dan Bhong Kiat yang tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya itu menghantam tengkuk Bun Hwi dengan kecepatan kilat.

   "Dukk!"

   Bun Hwi terpelanting.

   Tapi anak laki-laki yang kebal terhadap segala pukulan itu melompat berdiri dengan mata bersinar-sinar.

   Dia memang kalah cepat bila dibanding musuhnya ini, karena Bhong Kiat menguasai teknik-teknik ilmu silat.

   Tapi Bun Hwi yang beringas mukanya dengan pakaian basah kuyup itu sudah melompat maju.

   "Bhong Kiat, berani kau memukulku? Kau ingin kuhajar sampai mampus?"

   Bhong Kiat tidak menjawab.

   Dia sudah menyerang Bun Hwi untuk kedua kalinya, dan maklum lawannya ini kebal terhadap segala pukulan diapun menerjang bertubi-tubi ke bagian tubuh yang lemah seperti mata dan bawah tenggorokan.

   Akibatnya sebentar saja Bun Hwi dihujani pukulan dan tendangan, tapi Bun Hwi yang selalu melompat bangun setiap kali terjungkal itu sudah membalas serangan lawan dengan terkaman-terkaman dan tubrukan- tubrukannya yang dahsyat.

   Kini dua orang anak laki-laki itu saling serang di atas perahu Tengkorak Hitam.

   Sementara Kiok Lan yang nyaris celaka di tangan murid Ang-sai Mo-ong ini sudah tidak tinggal diam pula di atas perahu.

   Thouw Sam yang tadi menangkapnya secara curang sudah ganti diserangnya seperti harimau betina menerjang kelinci kelaparan, dan kepala bajak yang terkejut melihat serangan anak perempuan ini sudah berkaok-kaok menyuruh anak buahnya maju membantu.

   Sebentar saja Kiok Lan dikeroyok, tapi perahu lawan yang tidak begitu besar membuat pertempuran jadi kacau.

   Perahu yang miring ke kiri kanan akibat injakan-injakan kaki ini hampir saja terguling jatuh, dan Thouw Sam yang penasaran melihat gadis cilik itu belum juga berhasil mereka robohkan tiba-tiba bersuit memberi aba-aba.

   


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pao Kong Karya Yang Lu

Cari Blog Ini