Gembong Kartasura 6
Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo Bagian 6
Gembong Kartasura Karya dari Sri Hadijojo
"Ijinkan hamba segera meninggalkan kamar ini sinuhun!"
Kata denaju Pakuwati menjadi gugup.
"Hmmm ... jadi tidak berartikah perintah raja jaman sekarang ini. Tidak lagi raja berwibawa dalam negaranya ..... betulkah perkataanku ini bibi ..... ? Baiklah kita buktikan dulu nanti. Bila bibi berani meninggalkan kamar ini tanpa ijin baginda, tiga tindak setelah melewati ambang pintu, mungkin sekali ada kepala bupati atau pangeran Sampang sekalipun, menggelinding ditengah alun- alun, untuk dipertontonkan kepada umum bahwasanya masih terlalu awal untuk membangkang perintah raja. Silahkan berbuat demikian. Apabila ada orang melihat geledeg menyambar pada hari cerah tanpa mendung tanpa hujan dan angin dikala itu, maka orang itu adalah denaju Pakuwati, isteri kedua pangeran Sampang. Sudah barang; tentu seketika itu juga wanita cantik itu hampir roboh pingsan ditenipat. Alangkah celaka nasib denaju tersebut, samalah kiranya seperti keadaan seseorang yang harus memilih diantara dua maha celaka, dimakan ayah mati, ditolak, ibulah yang binasa ..... apakah harus diperbuatnya. Malam seram tiada berbulan, angin dingin merata mencekam perasaan setiap insan ..... Alangkah beratnya orang bernafas, karena tekanan udara dingin tidak ringan dan tidak wajar meliputi suasana. Malam itu adalah malam paling terkutuk dalam kehidupan denaju Pakuwati. Pagi itu kira-kira jam delapan setelah menikmati santapan pagi bersama didalam keraton, para isteri pembesar yang bertirakatan dikeraton diperkenankan bersama-sama meninggalkan kedaton pulang kepondokan masing-masing. Juga denaju dipati Sampang nampak bersama-sama dengan mereka menuju kepemondokkan ... suaminya, ja-a-a ... suaminya. Dengan hati remuk-redam, perasaan berantakan wanita cantik itu masuk kedalam halaman rumah yang ditumpangi keluarganya dari Madura. Bukan kepalang deras debar jantung denaju tersebut, waktu melihat sang suami tengah berjongkok dimuka pendapa mengelus-elus burung gemak kesajangannya. Beranikah ia menatap wajah suaminya itu nanti? Dapatkah ia menjembunyikan perasaan kekecewaan hatinya itu ...? Asal pangeran Sampang tidak menegurnya ...... dan bertanya dari hal yang tidak-tidak, rasanya masih ada harapan untuk menghindarkan malapetaka besar ini, Maka dengan hati tetap berehawatir, denaju dipati itu berjalan torus tanpa berkata apapun kepada suaminya, yang melirik sejenak kepadanya. Tiba tiba meloncatiah pangeran Sampang itu dari sikap jongkoknya, menyambar tangan isterinya yang cantik manis, mungkin karena rindu dan hendak berkelakar saja. Namun alangkah terkejut hatinya melihat isterinya mengembang air mata jang sudah hampir meleleh dipipiuja yang nampak kucal. Tiba-tiba melototiah mata pangeran Cakraningrat, sambil memperkeras pegangannya katanya seperti menggeram rendah .
"Ha ... apa yang terjadi atas dirimu didalam keraton ... hajo ceriterakan seutuhnya ... aku ingin mendengarnya .. jangan kau berdusta!"
Denaju Pakuwati tidak dapat berbuat lain kecuali mengatakan apa yang terjadi atas dirinya semalam, dengan suara serak bercampur isak-tangisnya yang mengenaskan.
Terdengar disela-sela ceritera denaju, geram dan gertak gigi suaminya karena amarahnya meluap luap.
Setelah selesai ceriteranya, segera wanita celaka itu masuk kedalam kamar, untuk menangis dan menyesali hidupnya sepuas hati.
Dengan suara menggeledeg berkatalah pangeran Sampang.
"Suramenggala . kau kemari!"
Orang yang dipanggil itu adalah pepatihnya sendiri. Segera muncul orang setengah tua yang kekar badannya, berwajah keren berwibawa. Datang dimuka gustinya ia berbuat sembah lalu duduk didepan sang junjungan.
"Gusti ada perintah apa?"
"Suramenggala, lekas kau siapkan prajurit bawaan semua dari Madura ... siap untuk bertempur, Kancing rapat-rapat mulutmu ... nanti malam aku bermaksud untuk merangsang Balowarti kedaton!"
"Gus-ah-gusti .!"
Sura menegas.
"Kau dengar perintah tadi atau tidak?"
"Dengar gusti ... akan dikerjakan."
Hari itu nampak kesibukan secara diam-diam dalam perkemahan pemondokan prajurit dari Madura.
Sekalipun mereka sibuk bekerja namun mulutnya hampir tidak mengatakan sesuatu bila tidak sangat perlu yang tak mungkin dapat dikerjakan dengan isjarat mata atau anggota badan.
Wajah mereka kelihatan sangat sungguh-sungguh mendekati seram ...
hanya diluar perkemahan mereka masih nampak biasa seperti sediakala, Setengah harian pangeran Sampang duduk termenung ditengah pendapa pemondokannya dengan kedua tangan dikepal- kepalkan seolah olah ia hendak menghancurkan sesuatu.
Kadang-kadang terdengar ia menggeretakkan gigi yang disambung dengan dahan nafas panelyang sambil mengurut-urut dadanya yang lapang, Gumamnya menjesali nasibnya yang sial.
"Ai-hh ...... sedumuk batuk. senyari bumi ... (setotol dahi, se inci bumi), dapat menghancurkan negara ... Mengapa sejak dahulu hingga sekarang para agung tidak mengambil teladan dari sejarah dan ceritera-cerita kuna, bahwasannya kekuasaan yang dan keagungan banyak yang lebu karena bermain wanita ... lebih-lebih dengan isteri orang lain. Merusak pagar hayu, adalab dosa yang agaknya tiada berampun, mengapa masih ada saja manusia yang melanggarnya. Sekalipun orang itu raja, ya bahkan raja diraja . bolehkah ia berbuat sekehendak hatinya sendiri, merusak perasaan orang, demi kesenangan sendiri. Hem .... raja, apakah sebenarnya Sumber Pustaka . Gunawan Aj Pdf image . Gunawan Aj
https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/ raja itu? Apabila tidak ada orang banyak ini beserta para punggawanya, apanya yang hendak dirajai itu.
Benar-benar sialan nasib pangeran Cakraningrat ini, apabila tidak dapat menghimpas sakit hati sebesar gunung Semeru itu.
Keparat raja lalim serakah yang tak tahu-diri!, masakan hendak menjadi orang sendiri, Rasakanlah kemudian pembalasanku."
Waktu itu sudah kira-kira pukul dua siang Suramenggala nampak menghadap gustinya dengan wajah muram, nyata benar bahwa ada sesuatu yang tengah dipikirnya, suatu soal yang agaknya sangat sulit untuk dipecahkan.
"Sudah kau kerjakan Sura?!"
Tanya sang pangeran seraya menatap pepatihnya dengan pandangan penuh arti.
"Gusti tidak akan kecewa ... tidak nanti ada seorang prajurit akan lari dari tempatnya masing-masing. Tak seorangpun mengharap masih hidup keluar dari neraka daratan ini!"
Jawab Sura.
"Bagus Sura ... aku suka mendengar laporanmu. Memang orang-orang kita bukanlah sebangsa tempe yang seharusnya mudah dilalap orang. Hanya saja sekarang aku menanyamu, apakah yang sebaiknya aku perbuat.. .... ingat, aku tidak seorang diri, tetapi harus mengingat juga kaselamatan orang-orang pengikutku semua Dapatkah kiranya aku berbuat menurut sekeheadak hatiku, demi kemurkaan dalam hatiku ini, bolehkah aku mengorbankan sekian banyak kawan?"
"Aduh gusti, siapakah yang tidak menjadi kalap karena hinaan ini ierhadap kita ...... tetapi gusti, pantas pula kita mempertimbangkan keadaan dan tempat kita berada ...... Kecewa dan pahit benar mengatakan serba kekurangan pada pihak kita, serba kelebihan pada pihak lainnya. Andaikan kita, bersayap dan dapat terbang kelangit, belum tentu kita bisa selamat keluar, karena orang ada dirumah sendiri, jumlah berIipat, alat dan senjata tinggal meraih saja ..... apa sulitnya menghancurkan lawan yang sakti sekalipun. Oleh karera itu bila ada jalan lain yang memenuhi syarat. tidak terlalu merugikan dan dapat membalas sakit hati ini, pastilah jalan itu lebih sempuma, biarpun agak memakan waktu yang lama. Terapi gusti, kita ini bangsa prajurit yang tidak gentar menghadapi apapun bersama gusti, a pa pun kehendak gusti, itulah pula Yang akan kita kerj.ikan tanpa tawar-menawar ...... terserah kepada putusan gustilah segala galanya."
"Kau benar Sura, perintahku tadi pagi kiranya sangat tergesa- gesa, karena hatiku seperti terbakar. Setelah kupikir setengah hari bolak-balik, terasalah olehku, bahwa tindakan acam itu adalah sama artinya dengan membunuh diri. Aku memang sudah memilih jalan yang kau tunjukkan itu. Biar agak memakan waktu, tetapi kemenangan terakhirlah yang akan membuktikan. Baiklah Sura, suruh anak buahmu mengendorkan ketegangannya lagi, tetapi jangan berlengah-lengah juga. Nanti malam, kau sendiri ikut aku bersama-sama adi dipati Surabaya menghadap pangeran Puger. Rahasiakan pembicaraan ini, tak seorangpun boleh mendengarnya!"
"Sendika gusti"
Jawab Suramenggala, lalu mengundurkan diri dengan hati lega tiada terperi.
**** BAGIAN III HINGGA disitu niken Suwami berhenti sejenak berceritera untuk meluruskan pemafasannya sendiri, karena dalam menceriterakan kisah yang mendebarkan itu, mau tidak mau ia sendiri terpengaruh oleh jalan ceriteranya.
Beberapa kali dara jelita itu menarik nafas dalam-dalam, menikmati udara segar yang dapat mengendorkan ketegangan perasaannya.
Demikian pula ke-empat prija yang mendengarkan kisah itu, merasa benar bagaimana urat- uratnya menegang.
Maka ada baiknya untuk heristirahat sejenak, guna memulihkan perasaan mereka.
Setelah beristirahat beberapa saat, niken Suwami melanjutkan penuturannya.
"Hari telah larut malam ... malam gelap tiada berbulan juga tiada berbintang karena langit terrutup awan hitam bergulung- gulungan hingga kian menebal, Kadang-kadang kilat tatit bersamberan diiringi bunyi guruh mengguntur landung mengerikan. Namun hujan tak kunjung datang, maka tekanan udara makin terasa berat membengap. Ibukota yang biasanya setiap waktu bernada hidup, kini nampak sunyi mati dalam segala segi. Tak seorangpun menampakkan diri dihalaman atau dijalanan. Malam prihatin itu pangeran PUGER, yang digelari Gembong Kartasura, menerima tamu tiga orang lelaki, yang berdandan sebagai orang kebanyakan. Tiga orang tamu agak aneh itu, bukan lain orang ialah pangeran Cakraningkrat, adipati Surabaya raden Jajapuspita, diiringkan oleh Suramenggala, pepatih sampang. Dengan sekilas pandang saja, tahulah pangeran agung itu, bahwa ketiga tamu itu membawa kabar atau berita yang luar dari biasanya, Dengan sorot mata sangat tajam tetapi juga dengan senyum ramah sebagai tuan rumah, ketiga tamu itu dipersilahkan masuk kedalam kamar samadi kangjeng pangeran yang pasti tidak akan diganggu oleh siapapun. Setelah mereka duduk bersila berhadap-hadapan, bertanyalah pangeran Puger.
"Kedatangan adimas berdua serta pengiringnya ini pastilah ada sesuatu yang sangat penting untuk dirundingkan dengan aku. Apakah kiranya yang dapat aku perbuat dalam soal adimas itu? Jangan sungkan adimas, pastilah adi-mas juga tahu, bahwa Puger ini bukan orang bocor mulut dan dapat dipercaya teman."
"Aduh kamas pangeran, masakan kami datang kepada kamas pangeran, apabila kami tidak tahu dan yakin akan kebesaran dan keluhuran pendirian kakangmas. Persoalan adi tumenggung Jajapuspita, siapapun sudah mengetahuinya, ialah tentang daerahnya yang akan dipecah menjadi dua. Apakah dalam hal ini pemerintah bertindak bijaksana dan adil, jangankan separoh daerah Surabaya, sekalipun hanya sejari (dim), pengurangannya itu, dapatkah itu diterima dengan ikhlas oleh pewarisnya ...... ?"
Kemudian pangeran Sampang itu menceriterakan kejadian yang sangat membuat hatinya kecewa tidak terperi .
"Kamas, agaknya dinegara kita ini tidak ada keadilan lagi, hingga seseorang harus sangat berehawatir akan nasibnya yang dapat diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa, sekalipun orang itu pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam negara. Bolehkah kami orang-orang yang cukup makan garam, kenyang dengan segala macam peperangan, menerjang rimba golok, gerimis anak panah, dan lautan api, demi kebesaran negara dan raja bolehkah kami membiarkan negara menjadi berantakan tanpa kewibawaan, karena kebebalan, kedunguan dan kecerobohan orang yang mengemudikannya saja. Kamas pangeran, relakah adi tumenggung Surabaya daerahnya dipecah-peijah itu? .. Relakah aku manda dihina dengan suatu kekurangajaran terhadap isteriku? Relakah kamas sendiri beserta keluarga meringkuk di pambetekan baru-baru ini? .... Relakah kamas dihina orang dalam kenaikan tahta sunan muda tempo hari itu? ... Akm yang melihatnya hampir meledak diwaktu itu juga, karena tidak tega kamas mendapat hinaan sedemikian besar, Kamas, cukup banyaklah kiranya tindakan raja muda yang menyeleweng dari kebenaran dan kebijaksanaan Kini kami datang kepada kamas, untuk minta pertimbangan, apakah yang harus kami dan kita lakukan!?"
Setelah adipati Sampang itu berbicara, hening lelaplah keadaan dikamar pasamaden pangeran Puger tersebut, Nampak Sang pangeran memejamkan mata, menyatukan kedua tangan behau.
Sepatah katapun tidak keluar dari mulutnya yang tertutup rapat, Hanya dadanyalah yang nampak agak terguncang turun-naik sementara ...
namun segera pula nafas Gembong Kartasura itu halus kembali, suatu pertanda bahwasaaja pergolakan batinnya sudah dapat diatasi lagi.
Kini nampak orang sakti itu tersenyum getir memperdengarkan suaranya.
"Maafkan kakakmu ini dimas berdua, persoalan yang sangat pelik ini, tidak dapat dijawab secara serampangan. Rasanya masih terlalu awal untuk dijawab sekarang, Maka mengusulkan, supaya lewatkan barang dua tiga malam lagi, untuk dapat masak-masak dipikirkan dan dipertimbangkan. Maka akulah yang sekarang ganti bertanya kepada adimas berdua .... Apakah kehendak adimas berdua yang tertentu, Nah, bawalah pertanyaan ini kepemondokan kalian masing-masing untuk dipertimbangkan masak-masak juga. Mari kita berpisahan dahulu, untuk beberapa malam. Setelah bulatlah pendapat kalian mari kita oertemu kembali pada waktu yang sama dikamar pasamaden ini."
"Baik kangmas kami menurut, tetapi sebenarnya sudah sejak tadi kami bertekad satu . Tadi tekad itu, sekarangpun tekad itu pula dan selanjutnya juga tidak akan berubah ialah . pangeran PUGER-lah yang harus menjadi raja Mataram ini. .. Itulah nurani rakjat kebanyakan.. Apabila kangamas pangeran tidak mengindahkan hal yang sangat gawat ini, hai .. dalam dua-tiga bulan kemudian hampir dapat dipastikan timbulnya huru-hara pemberontakan dimana-mana, mungkin dari tiap daerah, hingga pastilah negara akan pecah berantakan. Bukanlah pantas kejadian semacam itu dicegah?. Siapakah yang berwibawa penuh dalam jagad Mataram mi kecuali kamas seorang. Tangan sakti kamas beserta kebijaksanaan tuanlah yang dapat menghalang-halangi morat-maritnya negara kita. Pada waktu itu, hampir bersamaan keempat orang yang berkepandaian itu meloncat dari sikap duduknya, Malahan pangeran Puger tanpa berdiri langsung meloncat menerobos pintu yang memang tidak ditutup tems melesat ketaman bunga yang berada di belakang rumah. Tak lama kemudian para tamupun sudah datang didalam petamanan itu, Tadi mereka dikejurkan oleh bentakan orang didalam taman- bunga itu.
"Jangan sesalkan pukulanku kelewat keras . Mengakulah sekarang, kau orang dad mana, berani sembarangan memasuki halaman rumah orang diwaktu larut malam gelap semacam ini. Hajo lekas mengaku, siapa tidak tahu bahwa kedatanganmu itu tidak mengandung arti yang baik?"
"Kau lekas membunuh aku saja!... tetapi mengaku, huh~huh ... jangan harap keluar sepatah kata keteranganpun dari mulutku ini, dirobek sekalipun tidak nanti aku mengeluh!"
Pangeran Pugerlah yang bersuara sekarang.
"Tahan dulu Sasangka, bawalah dia mendekat, aku ingin berbicara dengan orang itu."
Denmas Sasangka, putera keenam kangjeng pangeran Puger, segera datang sambil menjinjing orang yang baru saja dibekuknya.
"Yah, anak belum tahu siapa dia ini, hanya saja anak sangat mencurigai gerak-geriknya sejak bersama-sama minum serbat diwarung luar kota tadi sore. Karena sudah petang dan tak mudah melewati pintu gerbang kota tanpa menjawab pertanyaan penjaga yang melit-melit, orang ini melompau pagar tembok kota. Karenanya aku teruskan menguntitnya. Didalam kota, ia menyelundup kesana dan kemari hanya memasang kuping ta4jam- tajam melulu, sampai ia dapat menemukan yang dikehendakinya ... ialah rumah pangeran Puger. Segera pula ia meloncat kedalam petamanan ini, akupun tidak ketinggalan melompat masuk. Kami menginjak tanah hampir bersamaan. Karena jakin akan kehendaknya yang tidak baik, maka demikian kami berdiri jegag berhadap-hadapan, kuseranglah dia. Akhjrnya dapat kubekuk dia, terserahlah selanjutuja. "Hai, rasanya tidak kecewalah menjadi putera gembong Kartasura. masih demikian muda namun suuah. membekal ilmu sedemikian tinggi, ... bukankah orang tinggi-besar ini hanya dalam dua gebragan saja denmas tundukkan?"
Celetuk dipati Surabaya, yang sangat tajam pendengarannya.
"Ei-ei .... paman dipati Surabaya dan paman pangeran Sampang, selamat malam, selamat malam ... hampir aku tidak mengenal kedua paman dalam pakaian demikian. Maafkan aku, bermata kurang tajam. Entahlah paman dalam berapa gebragan aku dapat melumpuhkan perlawanannya tadi, karena iidak menghitung gerakanku."
"Anak baik kau terlalu sungkan mendapat pujian, bukan ... ? Ketahuilah telinga pamanmu tumenggung Jaya-puspita itu biasanya dapat mendengar setan dan demit berkelakar masakan salah hitung, kesiuran angin gebragan orang! ... ha-ha ... sambung bupati Sampang, pangeran Cakraningrat dengan suara gembira serta keheran-heranan. Apabila pemuda ini tidak memiliki kesakrian yang berlebihan, agaknya sulitiah orang mau mengerti, mengapa ia dapat membekuk pendatang malam ini, yang pasti bukan orang sembarangan, hanya dengan dua kali bergerak saja. Terdengar pangeran Puger bertanya kepada orang yang masih duduk numprah , belum dapat bergerak leluasa itu.
"Kisanak, pastilah kisanak orang dari lain daerah. Mungkin sedang mengemban perintah rahasia yang tidak boleb dibocorkan sedikitpun kepada orang lain ... Baiklah simpan rahasiamu itu, aku hanya ingin tahu, mengapa kisanak mencari rumah-ku ini. Apakah kisanak hendak bertemu denaan aku, atau dengan orang didalam lingkunganku ini? Katakanlah, bila demikian .. bila tak hendak mengatakanpun baik juga, kisanak boleh segera meninggalkan taman-bunga ini."
"Ampuni dosa hambamu ini gusti ... bertemukah hamba ini dengan pangeran PUGER, yang bidjaksana lagi sakti mandraguna dari Kartasura?"
Jawab tamu tanpa undangan itu ... dengan wajah meringis karena masih menanggung sakit rupanya. Nampak pangeran Puger juga keheranan melengak kepada puteranya denmas Sasangka, seraya bertanya .
"Hai Sasangka ......... kau mempergunakan towelan, jari-sakti jurus hebat kyai Kunjuk- Sakti. Kapan kau bertemu dengan kakang Cemara tunggal itu?"
"Yah, aku mendapat petunjuk kamas Putut Punung, waktu dalam pambetekan dulu. Setiap malam aku selalu dijemput kamas untuk digembleng mati-matian, karena kangmmas takut akan datangnya kejadian yang belum dapat diperhitungkan dan diramalkan sebelumnya."
Menjawab ayahnya demikian pemuda sakti itu melancarkan jentikan dengan tangan kirinya kearah punggung orang asing tadi, Seketika itu juga orang tersebut dapat bergerak seperti sediakala lagi.
"Hebat!"
Celetuk ketiga orang yang berdiri dibelakang pangeran Puger, hampir berbareng.
"Ah, begitulah kiranya ... kangmasmu memberikan namanya PURBAYA kepadamu, pastilah kau karus mendjaganya baik-baik. Kau kisanak ... memang sekarang kau berhadapan dengan Puger sendiri. Adakah sesuatu yang hendak dibicarakan dengan aku?"
"Ampun gusti, hamba tidak mengira ditegur oleh putera gusti sendiri, pasti hamba tidak berani membuka mulut mengaku siapakah hamba ini ... memenuhi pesan wanti-wanti dari junjungan hamba raden adipati JUDANEGARA dari Semarang. Hamba diharuskan berurusan sendiri dengan kangjen Pangeran seorang. Bila belum bertemu sendiri dengan gusti, dan menghaturkan surat ini, hamba dititahkan lebih baik membunuh diri daripada mengaku. Inilah surat itu."
Dengan berjalan jongkok orang itu menyampaikan sepucuk sural kepada sang Pangeran. Setelah surat itu dibaca, bertanyalah Pangeran Puger kepada utusan Semarang itu.
"Surat adi Dipati Semarang ini, berupa surat pengantarmu kisanak. Jadi maksud yang sebenarnya ki sanaklah yang akan menyampaikan bukan? Nah, mari-mari kita masuk kedadam rumah lagi saja. Sasangka, kau sambangilah seluruh pelosok halaman kita, jangan ada kejadian yang tidak diinginkan. Berhati-hatilah kamu!"
"Baik yah, legakan hatimu."
Perundingan dibuka kembali.
Kini dihadiri oleh orang kelima ...
yang menyampaikan anjuran dipati Yudanegara kepada kangjeng pangeran, supaya beliau mau 'menjadi raja Mataram, Bupati Semarangpun takut akan terjadinya pemberontakan dimana-mana, karena tindakan raja muda yang baru itu selalu menimbulkan kekecewaan hati orang- orang yang bersangkutan.
Buputi Semarang sendiri juga tidak luput dari rasa khawatir selalu, terancam bahaya kelaliman dan tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah yang sekarang.
Maka beliau sangat mengharap datangnya orang kuat, yang bijaksana lagi berwibawa diseluruh Mataram, untuk memegang pimpinan negara, supaya kesatuan negara Mataram tidak menjadi berantakan.
Orang itu tidak bisa orang lain, kecuali kangjeng pangeran Puger sendiri.
"Bagus, adi dipati Semarang " ... jengek pangeran Sampang, tak sabaran lagi.
"Nah, kamas Pangeran, apakah yang harus disangsikan lagi .. Sampang, Surabaya dan. Semarang, masakan belum cukup untuk menggempur kelaliman raja bebodoran itu."
"Gusti pangeran,"
Menyela dipati Jajapuspita "Cukup masaklah rasanya waktu sekarang untuk menetapkan sikap tertentu.
Sambutlah sumpah bupati Surabaya, satya dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran, hingga negara menjadi adil dan makmur kembali dalam asuhan kangjeng pangeran PUGER seorang, sebagai rajanya."
"Setuju adi Jajapuspita terimalah sumpah serupa dari bupati Sampang Cakraningrat ini, kakangmas "
Ujarnya menyambung pengutaraan tumenggung Jayapuspita. Menjela utusan dari Semarang .
"Gusti, raden adipati Judanegara, menjerahkan gedung kabupaten, untuk dipakai sebagai tempat menampung kekuatan kita menghadapi lawan, juga tempat darurat bersemayam paduka seketuarga. Masih ada pesannya yang boleh dianggap meringankan pemikiran, ialah tentang sikap Belanda yang tidak menyukai pemerintah Mataram sekarang, hingga mudah diajak berunding, supaya jangan mengulurkan tangan kepada raja yang kini bertahta di Kartasura. Mereka itu bangsa pedagang, apabila kepentingan mereka berjual-beli mendapat perindahan ... masakan mereka tidak malah memberikan pertolongannya yang tak boleh diremehkan itu. tidak hendak menolongpun jadilah, asal tidak memusuhi kita saja, kiranya cukup baik. Dihujani pemikiran-pemikiran secara demikian, ditangisi juga daerah besar seperti Sampang Surabaya dan Semarang, maka mengeluhlah gembong Kartasura, memikirkan negara yaug sangat dicintainya, Demi keutuhan negara tercinta itu, bolehkah ia bersikap masa-bodoh saja. Pangeran agung itu nampak diam tidak bergerak dengan kedua tangan bersilang didadanya. Apakah yang tengah berkecamuk dalam batinnya ... Perasaan berat sebagai gunung menindih hatinia yang suci mumi. Merintihlah batin pangeran setengah tua itu.
"Wahai anak prabu Sunan-Mas ... mengapa anak tidak suka mendengar nasihat-nasihat orang baik, mengapa memilih orang orangmu yang sesat itu ... negaramu pasti haucur dalam tanganmu Yang selalu mengganas itu. Hmmm haruskah aku mengambil alih pusara negara (=kekuasaa) dari tanganmu itu, demi keselamatan negara Mataram ... Bukankah itu perilaku yang hina-dina merebut kekuasan dari tangan anak sendin, sekalipun sibocah telah beberapa kali berusaha untuk memusnahkan keluargaku. Sebaliknya, lepas dari segala perasaan dendam pribadi, adakah orang membenarkan sikapku membiarkan negara menjadi hancur lebur tanpa berbuat sesuatu untuk mencegahnya? Negeri Mataram yang dibangun dan dibesarkan dengan jerih-payah nenek moyang, dari kangjeng Panembahan Senopati, kangjeng Sultan Agung dan iain-lainnya ... wajiblah dijaga. diperkembangkan dan disemarakkan kejajaannya oleh para keturunanya. Tidak benar bila aku bersikap dingin dan acuh tak acuh terhadap keruntuhannya. Apa boleh buat, aku harus mempertahankannya."
Tegaklah sudah ketetapan hati kangjerng pangeran, maka berkatalah beliau dengan suara mantap.
"Adi tumenggung sekalian ... baiklah, aku akan menurut kehendak kalian demi negara yang terancam bahaya kerusakan ini. Besok lusa aku akan meninggalkan kota menuju ke Semarang. Maka marilah kita lekas-lekas mengadakan persiapan masing- masing, cara yang terbaik dapat meninggalkan kota ini dengan selamat. Pasti saja aku akan pergi diwaktu malam, melewati pintu gapura butulan."
Tanpa disengaya keempat prija yang berada dimuka pangeran Puger itu, membungkuk dan menjembah bersama-sama, sebagai tanda penghormatan pertama kepada junjungan. Berkatalah dipati Sampang.
"Kini legalah rasa hatiku beserta kawan-kawan sehaluan ini, setelah kakangmas menjatuhkan ketetapan demikian! Biarlah orang- orangku yang menjergap penjaga gapura butulan besok lusa malam yang biasanya hanya dijaga oleh satu regu prajurit kesuma-tali saja."
"Jangan jangan dimas, serahkan saja kepada anak-anakku, jangan kalian segera nampak terlibat dalam peristiwa lolos ini. Mungkin bantuan kalian bergerak dalam selimut lebih berharga dari pada menolong aku berterang-terangan. Terserah kepada adik berdualah menyiasat orang-orang dalam kota nanti."
"Baik gusti...kata dipati Surabaya ... hambalah nanti yang akan menjadi pelopor palsu dalam pengejaran pangeran yang lolos itu. ha-ha-haa."
Menyela utusan dari Semarang.
"Bolehkah hamba mendahului berangkat sekarang juga, untuk dapat segera bertemu dengan raden tumenggung Semarang, mengabarkan akan kedatangan gusti itu? Pastilah raden tumenggung segera akan mengelu-elukan kedatangan paduka sekeluarga, membawa prajurit bantuan."
"Mengasolah dahulu hingga pagi nanti, kemudian berangkatiah dengan mengendarai kuda dari istalku, supaya lebih lekas mencapai tujuan."
Demikianlah segala sesuatu berjalan sebagai dijalankan oleh tangan gaib. BAGIAN IV "HAYO Suwami .. teruskanlah ceriteramu itu, lalu bagaimana?"
Tegur kakaknya yang kedua, bagus Sarasa, tak sabar lagi, waktu adiknya masih menjusuti peluhnya, beristirahat sebentar.
"Biarkanlah adikmu beristirahat sebentar Rasa . kau sendiri hampir mandi keringat ketegangan seperti kami ini semua. Ada baiknya diam beberapa saat, untuk memulihkan tarikan otot mengencang."
Kata ki Bekel Samakaton sambil mengibas-kibaskan kepalanya.
Kedua pemuda lainnya nampak tenang-tenang saja, namun tak luput dari rasa kepanasan, hingga mau tak mau terpaksa menyeka dahi dan lehemya, karena berpeluh banyak.
Bukan karena niken Suwami pandai berceritera dengan mulutnya yang mungil itu, tetapi ceriteranya sendirilah yang memang menegangkan otot para pendengarnya, seolah-olah mereka sendiri pelaku-pelaku utama dalam riwajat itu.
Kali ini mereka beristirahat sepemakan sirih guna memulihkan segala ketenangan.
Kemudian mulailah dara itu melanjutkan ceriteranya .
"Dapat dimengerti bagi orang-orang yang bersangkutan, bagaimana mereka merasakan ketegangan lahir-batin . terutama keluarga ka-Pugeran beserta anak-buah kapangeranan tersebut. Tidak seorangpun mau ketinggalan untuk lolos dari kota nanti. Maka segala sesuatu yang mudah dibawa, mereka sediakan untuk diangkut bersama-sama kepergiaannya. Dalam segala kesibukan itu, mereka harus berhati-hati jangan sampai rahasia mereka pecah sebelum waktunya. Tibalah kini saat yang sudah ditentukan untuk bergerak. Kelompok demi kelompok kira-kira sepuluh orang yang sudah ditentukan sebelumnya, mereka harus keluar dari kori butulan, menuju gapura butulan kota, setelah mendapat kabar jalan yang akan ditempuh sudah aman, dari perintis jalan. Perintis jalan itu bukan orang lain, adalah denmas Sasangka yang sudah mendapat kepercajaan penuh dari pangeran Puger, untuk membersihkan jalan dari segala gangguan, halangan dan pencegatan. Sejak mulai menjadi lengang dijalan-jalan dalam kota, denmas Sasangka meninggalkan dalem ka Pugeran seorang diri, hanya berpakaian serba ringkas wama abu-abu sedang mukanyapun ditutup dengan kain serupa batas bawah mata. Siapapun tak mudah mengenal putera pangeran Puger yang keenam itu dalam penyamarannya. Sebagai hantu pemuda sakti tadi meluncur pesat dibantu kegelapan sang malam, menghindari lampu penerangan- jalan yang masih belum berarti sama sekali. Walaupun gapura butulan kota sangat sepi dan hampir tak pemah dipergunakan lalu lalang penduduk, nanun selalu dijaga oleh satu regu prajurit berkuda. Pasti saja penjagaan disini tidak perlu mementingkan kewaspadaan yang berlebih-lebihan, Maka regu penjagaan yang bertugas disitu, selalu meremehkan tugasnya, mementingkan kelakar atau perjudiannya, Tidaklah amat sulit bagi denmas Sasangka yang sudah meremjanakau penjergapannya sebelumnya. Dengan berani anak muda itu membuka pintu gapura yang tidak dijaga, langsung meloncat keluar, sengaja dengan mengeluarkan suara berisik, untuk menarik perhatian mereka yang berada dipenjagaan, Keruan para prajurit menjadi kelabakan, karena melihat terang ada orang lari keluar. Lima prajurit yang paling tangkas, sudah mengejar keluar dengan membekal pedang terhunus. Denmas Sasangka tidak lari terus, melainkan justru hanya menjelinap ditepi jalan dibelakang pohon saja. Setelah kelima pengejarnya lewat, dialah yang segera mengejar mereka, mengerjakan jari saktinya. Tanpa mengeluarkan keluhan kelima prajurit itu, menggelepar ditanah tak dapat berkutik lagi, kehilangan kekuatan, sedang mulut mereka bagaikan terkunci tidak dapat dipergunakan, sekalipun mereka tidak kehilangan kesadarannya. Demikian pula masih enam orang teman mereka yang menjusul kemudian, mengalami kejadian atas dirinya yang serupa. Dasar pemuda sakti itu masih bersifat kekanak-kanakan . kesebelas penjaga tadi lalu diatur rapi duduk melingkari sebuah. pohon yang ada di dekat pintu butulan tersebut, Nampaknya mereka sedang berunding, bagaimana melewatkan malam penjagaan mereka dengan selamat .. tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka, Maka tanpa menemui halangan sesuatu, berhaeillah rombongan keluarga ka-Pugeran meninggalkan Kartasura, melewati gapura. butulan tersebut, untuk kabur kearah Utara secepat mungkin. Para ibu, anak-anak dan orang yang sudah tua didahulukan, dibawah pimpinan putera sang pangeran yang ketiga dan ke-empat ...... sedang sang pangeran sendiri memimpin para jagabaja, dan anak buah ka-Pugeranan yang sigap-sigap, dalam rombongan belakang sebagai pelindung. Alangkah gagahnya, berwibawanya pangeran setengah tua itu, duduk mengendarai kuda kesajangannya ditengah- tengah barisan berani mati yang tidak besar jumlahnya itu ...... hanya kira2 enam-puluh orang saja. Rombongan yang paling akhir, adalah kelompok denmas Sasangka, terdiri dari sebelas pemuda sebaja termasuk denmas sendiri. Kesebelas pemuda itu mengendarai kuda lengkap dengan perabotnya sebagai prajurit kusumatali. Memang mereka merampas kuda para penjaga gapura yang teugah dalam keadaan berunding mati-matian tadi, untuk dimanfaatkan. Paling tidak mereka itu masih harus duduk-duduk demikian selama tiga jam lagi, baru mereka dapat menggerakkan anggota badannya dan menemukan lidahnya kembali. Apabila tidak kebetulan ada peronda menyambangi penjagaan digapura butulan tersebut, tidak nanti kepergian pangeran Puger segera menggegerkan ibukota Kartasura dua jam kemudian. Peronda itu datang dipenjagaan butulan, maka segera pula ia merasa keajaiban dipondok penjagaan. Tak seorangpun terdapat disitu, sedang pintu gapura nampak terpentang lebar-lebar. Pastilah ada kejadian yang tidak wajar. Buru-buru peronda itu mengadakan penjelidikan keluar. Astaga ..... kiranya kesebelas orang itu sedang mengaaakan pembicaraan rahasia dibawah pohon asem di tepi jalan.
"Hai!"
Tegur peronda itu.
"Kalian sudah menjadi gila semuakah, berani meninggalkan penjagaan itu, hah?"
Beberapa kali ia menegur dengan suara lantang, malahan disertai maki-makian juga, namun tak seorangpun dari kesebelas penjaga itu yang menggubrisnya.
"Setan alas . kalian berani tidak mengacuhkan seorang petugas .... baiklah rasakan saja gebuganku ini, mungkin bisa membuka mulut kalian!"
Dengan hati panas peronda itu turun dari kudanya, hendak melakukan ancamannya ....
Astaga, datang mendekat, barulah ia tahu bahwa kesebelas teman itu menderita siksaan menjadi patung patung hidup, yang kehilangan segalanya, kecuali kesadarannya melulu.
Tak urung peronda itu menjadi ketakutan juga, mengira bahwa musuh sakti itu masih berada disekitar tempat penjagaan, Tidak berani lagi ia berkata keras-keras, waktu memperdatangkan keadaan para pendiaga tersebut.
Benar-benar mengenaskan keadaan mereka itn, mata mendelo, mulut menyeringai kesakitan, anggota badan kejang keempatnya, takdapat bergerak sedikitpun ..
"Hai, alangkah saktinya musuh yang dapat membuat mereka sekonyol itu, tanpa membunuhnya!"
Peronda tadi tak berani berbuat apa-apa, karena teman yang dirabanya, menjengit kesakitan tanpa dapat mengeluh.
Tetapi setengah jam kemudian hampir bersamaan waktunya, mereka mulai mengeluarkan rintihan-rintihan lirih.
Kira-kira seperempat jam kemudian, mereka berteriak keras mengaduh, tetapi dengan itu bebaslah mereka dari kekejangan anggota badannya ..
dan dapat bicara lagi.
"Aduh aduh. uwah-wah-wah.. belum matikah aku ini.....?!"
Keluh seseorang diantaranya.
"Kalian masih hidup . apakah yang telah terjadi . siapakah yang menjiksa saudara-saudara tadi?"
Tanya Peronda itu yang menjadi berani berkata agak keras.
Kangjeng pangeran Puger beserta keluarga dan anak buahnya, meninngalkan kota Kartasura.
Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pastilah beliau tidak akan kembali lagi, karena semua perabotan yang serba ringkas dibawa serta dalam rombongan itu, Mari kita segera melaporkan hal itu, supaya tidak mendapatkesalahan besar."
Kata pemimpin penjaga. Namun betapa kecewa hatinya, waktu menginsjafi keadaan bahwasanya kuda-kuda tunggang mereka dipergunakan oleh rombongan terakhir dari pihak yang lolos.
"Sudahlah, aku saja yang akan melaporkan. Naiklah dibelakangku, kaulah yang akan menguatkan laporan itu sebagai saksi."
Kata peronda tadi lalu meloncat keatas punggung kudanya.
Pemimpin regu penjaga itupun segera membonceng dibelakangnya.
Malam pekat itu kira-kira pukul tiga, terdengar kempul dan beri ditatap bertubi-tubi, suatu tanda bahaya mengancam.
Maka seluruh kota sekaligus menjadi geger luar biasa.
Semua orang keluar dari rumah masing-masing, mengira ada kebakaran atau kota dilanda banjir ...
Semua menjadi bingung tidak menentu karena belum tahu apakah yang sebenarnya terjadi.
Nampak para pembesar praja dan para bupati mancapraja yang masih berada didalam kota , buru-buru berkuda lengkap dengan persenjataannya, menuju ke alun-alun untuk berkumpul dan menerima penjelasan dari raden adipati papatih-dalem, Kusumabrata.
Adapun yang terlihat datang dahuluan adalah paugeran Sampang dan dipati Surabaja .....
sekalipun mereka berpura-pura gugup dan tidak mengerti apa yang digegerkan penduduk ibukota itu.
Kedua pembesar itu tampak selalu berdampingan ...
mungkin mereka itu datang dari Jawa timur, karena segolongan semata-mata, Baru setelah para pembesar berada di-alun-alun sebagian besar, muncul pula sri baginda yang juga sudah berpakaian lengkap, dikawal oleh pengawal-pengawal pribadinya, sedang kedua gandek (bitara) berjalan mendahului sri sunan, sebagai pelopor jalan.
Pada waktu itulah papatih-dalem mmgumumkan kejadian yang sangat mengejutkan semua pendengarnya.
"Ketahuilah, saudara-saudara sekalian ... malam ini, pangeran Puger beserta keluarga dan orang magersarinya, lolos dari kota. Nyatalah sudah bahwa pangeran itu membangkang pemerintah negeri Mataram, suatu kedosaan yang sangat besar, karena menghina raja dan kami semua. Menumpas biang keladi yang membahayakan negara janganlah ditunda tunda, hingga kelompoknya menjadi besar .... Maka malam ini juga kita akan melakukan pengejarannya. Baginda berkenan akan melimpahkan anugerahnya kepada siapapun yang dapat menangkap pemberontak mati a tau hidup.!"
"Bagus,..!"
Seru pangeran Sampang.
"Disamping tugas masih ada harapan untuk mendapat hadiah baginda pula, Siapa ikut aku mengejar yang membangkang perintah negara. Adi Jajapuspita, mari kita berangkat dahuluan!"
Tanpa menunggu pengumuman selanjutnya dipati Sampang dan Surabaya, segera meloncat keatas punggung kudanya lagi, membawa prajurit bawaannya sebagian cepat-cepat menuju kegapura butulan , Demikian pula para bupati mancapraja yang kemaruk anugerah baginda, tidak mau ketinggalan mengadu nasib mencoba coba, biarpun mereka sebenarnya tidak berani gegabah menyerang pangeran yang dikabarkan sangat sakti itu.
Siapakah nanti yang akan menghadapi gembong besar Mataram itu, setelah dapat mereka ketemukan.
Setelah mereka melalui gapura butulan dan mendapat keterangan dari para penjaga, kearah mana rombongan sang pangeran tersebut, dipati Surabayalah yang memimpin perjalanan pengejaran itu, Dapat dimengerti bahwa ia sengaja daalam.
selewengan, serang-serong tidak menentu, kian lama kian tidak menuju ke utara lagi tanpa disadari oleh para pengikutnya.
Pasti saja biarpun sampai hari kiamat, pengejaran itu tidak akan berhasil karena tidak searah dan sejurusan.
Baru sesudah fajar mulai menjingsing, orang tahu bahwa mereka telah terlanjur salah arah.
Yang keliharan sangat menyesal adalah dipati Surabaya, berkali-kali ia menyalahkan diri, mengapa bisa sesat jalan hingga demikian jauh.
Biarpun para bupati pengikutnya sangat ~angkal, .etapi siapakah yang dapat menyalahkan orang sesat jalan, lebihz tumenggung Jajapuspita itu orang Surabaya ....
mana dapat faham jalan diwaktu malam pepat.
Terpaksa rombongan itu hanya dapat menggerutu, kembali ke-Kartasura lagi ranpa membawa buruan negara.
Tetapi demikian pula agaknya dengan kelompok-kelompok yang lain ..
Yang kebanyakan hanya menubruk tempat kosong, menerjang malam suwung saja.
Siapakah yang tidak menjadi kecewa karenanya, setelah manghamburkan tenaga habis-habisan terpaksa hanya harus merasakan kelelahannya melulu, Namun diantara para pengejar yang bersungut-sungut itu, ada pula yang menjengir kegirangan, ialah dipati Surabaya dan pangeran Sampang.
"Ih, adi Jayapuspita, puaskah hatimu hingga nampak berjengat-jengit kumismu yang bagus itu...... Awas kalau ada setan jahat mengetahui akal bulusmu semalam."
Bisik pangeran Sampang.
"Ha..ha .. lapangkan hatimu kangmas, setan dari mana berani mengganyang danyang Surabaya ini yang kulitnya sudah mbengkerok demikian, masakan tidak takut keracunan, mati sesaat kemudian."
Jawab kitumenggung dengan ketawa dibalik kumis.
"Tidak lama lagi kakak akan minta-diri dari yang dipertuan besar itu, karena sudah terlalu lama berada di Ibukota ini. Namun aku segera akan kembali langsung ke-Semarang, membawa prajurit Dulangmangap ku seribu lima ratus orang, dengan segala pedengkapannya. Bagaimana dengan adi tumenggung sendiri?"
Dipati Sampang melanjutkan pembicaraannya lirih.
"Akupun segera akan mohon ijin pulang, tanpa menanyakan lagi daerahku akan jadi dibagi dua atau tidak. Jangan harap mereka akan melihat wajahku lagi, tanpa senjata terhunus."
Maka masih banyak lagi yang mereka bicarakan bersama secara diam-diam itu.
Dan karena para pembesar dan para bupati, mancapraja semua sibuk dengan pembicaraan sendirisendiri tak seorangpun mencurigai kedua tokoh Timur yang sedang sibuk pula bertukar pikiran dan menetapkan janji-janji sehidup seperjuangan dalam melampiaskan dendam masing-masing disamping mengabdikan diri kepada pangeran Puger.
Tiga hari-tiga malam belakangan ini para pembesar pimpinan negara sangat sibuk berunding membicarakan sagala apa yang bersangkutan dengan lolosnya pangeran Puger.
Mungkin sekali mereka itu merundingkan, cara menundukkan pemberontakan dan penangkapannya.
Nah, sampai disitulah pengertianku tentang gegeran di ibukota Kartasura.
Bisa saja tambahkan tentang adanya dua golongan yang bertentangan di.antara penduduk kota.
Segolongan adalah orang yang memihak raja-muda.
Dapat dimengerti bahwa .
mereka itu pastilah sanak kadang terdekat dan Sri-Sunan, juga keluarga orang-orang yang suka menjilat dan bermuka muka manis terhadap para penguasa, demi kedudukan dan penghidupannya.
Kelompok yang kedua adalah semua orang yang suka menjunjung tinggi perikeadilan dan kebenaran mereka itu bersimpati kepada perjuangan kangjeng pangeran ......
namun terpaksa tidak berani bertindak terang-terangan.
Nyatanya dalam tiga hari ini, tidak seorangpun didalam kota itu, yang tidak membicarakan soal lolosnya sang pangeran ......
dengan penilaian masing-masing.
Apabila aku tidak dicegah ibu ageng retna Widuri......
pastilah aku sudah meninggalkan keraton mencari kakak Punung, pada waktu setelah aku mendengar kabar itu.
Baru setelah berita kasib tiga hari aku diperkenankan pulang kedesa .
dan selanjutnya, bertemu dengan kalian disini.- demikianlah ken Suwami mengakhiri ceriteranya, **** BAGIAN V SETELAH habis peauturan niken Suwami tentang kehebohan yang terjadi di Kartasura, kelima orang itu terdiam beberapa saat lamanya, bagai sedang memikirkan kelanjutan dari peristiwa itu, yang pasti akan menggentarkan negara Mataram sampai kepada alasannya.
Sebenarnya orang sudah dapat meramalkan, sesudah tindakan baginda yang sangat kurang bijaksana, menjatuhkan pidana Pambetekan kepada pangeran sesepuh negara itu, pastilah akan membawa akibat yang akan menentukan nasib negara ..
karena rasa kecenderungan rakjat pada umumnya beralih kepada sang pangeran.
Lebih-Iebih paageran Puger itu telah termashur keluhuran pribadinya, kebesaran martabatnya dan tak terkira kesaktiannya, hingga mendapat julukan Gembong Kartasura.
Semua orang suka dan memuji pangeran sakti itu.
Pastilah mereka tidak akan menolak bila sang pangeran dinobatkan menjadi raja Mataram Islam itu.
Maka setelah terjadi peristiwa lolos dari kota ini ...
tak perlu disangsikan lagi kiblat kebanyakan orang-orang Mataram.
Tengah menimang-nimang penilaian mereka, Putut Punung meloncat kedalam gerumbulan yang lebat sambil memberi peringatan.
"Awas ada orang mendatang mempergunakan ilmu lari cepat,"
Maka segera pula ia diikuti oleh ke-empat temannya yang lain.
Belum lama mereka mendekam digerumbul itu ......
nampak ada orang lima berdandan serba ringkas, lari cepat sekali seperti diburu demit.
Tak lama kemudian datang rombongan pelari cepat lagi tiga orang berjubah lamuk dan mendatang dari kejauhan lebih dari sepuluh orang.
Terang sekali bahwa mereka itu semuanya menuju ke Kartasura.
Berbisiklah ki bekel Samakaton keheranan.
"Hai, kiranya pendekar-pendekar kenamaan bermunculan menuju ke-ibukota."
"Ah, aku ingat sesuatu ... Kata orang pepatih dalem raden Adipati Kusumabrata, mendatangkan tokoh-tkoh orang sakti dari pelosok-pelosok dan lain daerah, untuk menguatkan barisan pemerintah, menghadapi guna menundukkan pangeran Puger, Siapakah orang-orang tadi yah, tahukah ayah tokoh-tokoh yang baru lewat itu?"
Bertanya niken Suwami.
"Kalau tidak salah lima orang yang paling depan tadi adalah hima saudara perampok Gunung Kendeng, yang sangat ditakuti orang. Tiga orang berjubah tadi aku hanya kenal yang dua orang, jakni kyai Kijing Miring, dan kyai Tameng-Waja tokoh-tokoh sakti dari lambung gunung Wilis. Orang yang ketiga itu aku belum pemah bertemu. Rombongan yang datang kemudian, kiranya murid- murid utama dari ketiga orang berjubah tadi."
"Hmm, pastilah kita akan mengalami keramaian yang luar biasa,"
Ceetuk Sasana ...
"Demikian hebat keangkeran dan kewibawaan kangjeng pangeran Puger itu hingga, orang meregerahkan tenaga dunia persilatan sampai kepada tokoh-tokoh besarnya. Hai ... dapatkah mereka menghadapi Gembong Kartasura nanti."
"Asal mereka tidak main keroyokan dan membokong dari belakang saja beramai-ramai ... belum tentu mereka bisa mendekati sang pangeran. Tetapi yang sangat dikuatirkan adalah usaha-usaha pembunuhan secara menggelap dari pihak orang licik. Dan pastilah mereka akan menggunakan akal rendah itu untuk melenyapkan perlawanan,"
Kata sang ayah bernada prihatin.
"Jangan kuatirkan hal itu jah, ..!"
Kata Punung.
"Aku akan berbuat sedapat mungkin untuk mencegahnya. Maka marilah kita berundng sebaik baiknya untuk mengerjakan sesuatu dalam soal gawat ini. Aku sendiri akan menyelundup kedalam kota, menyerapi gerak gerik orang disana, Adik Suwami beserta kakak salah seorang, melakukan perja lanan ke Semarang, menyampaikan kabar munculnya tokoh-tokoh persilatan kepada ayah beserta rombongannya, supaya bersikap lebih waspada. Tentang bapak sendiri, lebih baik pulang dulu kedesa berkemas ... kemas dan siap siaga lebih lanjut mengimbangi gelagat keadaan."
Katanya lebih lanjut.
"Ya ... demikianlah agaknya tindakan kita yang sebaik- baiknya .. mudah-mudahan segala sesuatu berjalan sebagamana yang kita harapkan. Nah .. anak-anak, mari kita berpisah dahulu, dan kau Sarasa, kau temani aku menyiapkan segala sesuatunya!"
Kelima orang itu lalu berpisah menjadi tiga golongan, yang melakukan dharma baktinya masing-masing.
Biarpun Niken Suwarni sangat kurang setuju ..
tetapi demi keselamatan bersama dan demi cita-cita kemenangan terakhir, terpaksa harus mendengarkan kata-kata sang suami.
Sebenarnya ia ingin mengikuti suaminya menerjang segala kesulitan dan segala bahaya .
Namun modalnya masih terlalu kurang guna melakukan pekerjaan yang dangat berbahaya itu, maka pergilah ia dengan kakaknya Bagus Sasana ke Semarang.
Bagaikan anak panah lepas dari busurnya, meluncurlah Putut Punung membuntuti orang-orang sakti yang menuju ke ibukota ..
benar-benar terbangunlah semangatnya untuk melindungi keselamatan ayahnya.
Syukur ia sudah berdandan dalam penyamaran sebagai pemuda desa kucal, berkumis dan berjenggot kurang terawat.
Rasa- rasanya tak seorangpun dapat mengenalinya kembali sebagai Den Mas Purbaya yang gagah perkasa, sehinggga dapat meruntuhkan hati ratu Alit dahulu.
Dan karena ia tidak menggunakan jalan melewati pintu gerbang melainkan dengan melewati pagar tembok yang sepi dengan meloncatinya, maka datanglah ia dalam kota pinggiran, lalu menyelinap maju kedalam perjalanan lalu lalang di jalan-jalan.
Karena tak seorangpun mencurigai kehadiran pemuda dusun kucal, yang paling bantar datang di kora menjual ternak itu, mudahlah ia mencuri lihat segala kesibukan dalam kota pada hari itu.
Alun-alun kota penuh dengan prajurit yang sedang berlatih .
Balai agung penuh pembesar-pembesar yang tengah berunding dan berdebat.
Di warung-warung makan banyak terlihat orang-orang berdandan ringkas, dengan membekal pedang atau golok, tombak pendek atau tongkat baja dan lain-lain senjata yang bias dipakai orang-orang persilatan bertempur.
Pemuda dusun itu masuk kedalam warung makan besar yang laris sekali, temyata banyaknya orang mengunjunginya.
Ia memilih tempat di bale-bale besar disudut warung itu, hingga mudah melihat dan mendengar, daripada terlihat dan di dengari.
Seperti orang setengah kelaparan yang tak menghiraukan apapun kecuali makanan, digasaknya segala apa yang terdapat pada piring yang berada dimukanya ....
hingga mendapat teguran dari teman duduk sebale-bale.
"Uwah masakan jadah dan wajik sepiring mau diganyang sendieian, ..... Orang lainpun ada juga yang hendak merasakannya."
"Ambillah saudara, siapa melarangmu ikut serta makan, asal kau dapat membelinya masakan uangmu ditolak."
Jawab pemuda itu sambil mengunyah wajiknya.
"Tolol kau . masakan aku berani duduk disini, kalau aku tidak berduit, kau kira hanya orang macammu saja yang beruang itu, hah!"
"Sudahlah, sudahlah . engkaulah siberuang, si-orang pinter sendiri, jangan mentang-mentang mencari urusan ... tuh, ada yang datang lagi kemari."
Yang datang hendak makan kali ini lima orang berpakaian lamuk.
Dapat dipastikan kelima orang itu bukaa orang kota disini, melihat tandang-tanduk mereka agak kaku itu.
Nampak sekali bahwa mereka itu berperangai kasar dan berhati tinggi ...
dasar kelima saudara dari gunung Kendeng ini tamu undangan pemerintah yang tadi telah mendapat sambutan hangat dikepatihan, karena saja mereka menjadi lebih berkepala besar.
Dengan mata melotot menakutkan mereka memandang kepada orang-orang yang berada disitu dahuluan tanpa malu-malu, lalu mengambil tempat dibale-bale tengah dengan menjuruh pindah orang.
Tahu bahwa yang datang pendekar-pendekar kenamaan yang didatangkan pepatih dalem, maka mengalahlah para penduduk kota.
Pemuda dusun itu mengelak mencuri pandang kepada tamu-tamu baru leu, karena ia mendengar orang berbisik.
Itulah yang bergelar.
"PANCA BARONG orang-orang sakti dari gunung Kendeng. Yang agak kurus itulah Barong nomor satu, yang lain disebut Barong nomor dua, tiga, empat lima. Apabila lima bersaudara itu memainkan golok gabungannya ..hai jangankan manuaia biasa sekalipun jin atau aetan jejadian, jangan harap bisa keluar dari kurungannya masih bernyawa. Entah Barong yang nomor berapa bertanya kepada pemimpinnya.
"Kak, apakah benar jang dikatakan oleh kangjeng patih tadi, bahwa rupa-rupanya rumah pangeran Puger dijaga oleh lelembut atau gandarwa yang sakti, hingga. tidak sembarang orang berani dan dapat memasukinya?"
"Mengapa tidak benar. Orang mengatakan demikian, pastilah itu ada buktinya. buat apa pepatih dalem mendatangkan tokoh- tokoh persilatan ini bila tidak akan mendapat tugas yang sekiranya tidak mudah dilaksanakan oleh orang biasa!"
Kata seorang lagi memambah keterangan kakaknya tertua.
"Rasa-rasanya kami ini dibutuhkan tidak hanya untuk mengobrak- abrik dalem ka-Pugeran saja ... pastiah masih ada maksud raden adipati yang belum dikatakan saja."
"Mengapa kakak tadi memilih waktu malam untuk memasuki dalem ka-Pugeran? Bila penjerbuan itu dilakukan disiang hari, bukankah itu lebih aman banyak yang dapat dilihat dengan terang?"
Kata seorang dintaranya lagi.
"Jangan terlalu tolol, ... kata Barong tertua .. kami pasti lebih letuasa bergerak diwaktu malam daripada di siang hari, supaya lepas dari gangguan orang lain. Yang suka iseng. Bila toh mereka menghendaki, biarlah mereka bergerak sendiri, jangan membonceng pekerjaan orang lain."
Karena hidangan sudah datang, maka berhentilah pembicaraan mereka.
Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun itupun sudah cukup bagi sipemuda dusun untuk menentukan langkahnya kemudian setelah meninggalkan warung.
Yang sekarang menjadi bahan analisanya ialah justru hantu yang menunggu rumah ayahnya.
Apakah betul-betul ada hantu yang dibicarakan itu tadi, kaarena selama hidupnya dirumah tersebut, ia belum pernah mempergoki macam jejadian apapun.
Akhirnya timbul pikirannya bahwa yang di ikatakan hantu tersebut pastilah orang juga ..
orang sakti yang memihak kepada ayahnya dan mencoba menahan serbuan orang- orang pemerintahan yang pasti akan memusnahkan rumah tercinta itu.
Maka ingin sekali ia hendak mengetahuinya, siapakah orang sakti yang berani berbuat demikian, menentang kekuasaan negara.
Sebagai tidak disengaja ia berjalan mendekati dalem ka-Pugeran, yang ditutup rapat dan diawasi dari kejauhan oleh petugasz negara.
Pemuda desa itu mendekati dalem tersebut dari sebelah belakang ...
Setelah dekat pagar tembok petamanan, ia memilih sebuah pohon yang cukup besar dan tingginya.
Nampak badannya menjejak dan kakinya yang sebelah menjejak tanah enteng sekali, meluncur luruslah badannya keatas, setinggi lima meter.
Tiba tiba telinganya yang tajam itu mendengar suara mendesing, terlihat olehnya benda kecil sekali meluncur pesat kearah tubuhnya, yang tengah menjembul naik.
Pastilah barang itu akan mengenai dadanya dengan telak, apabila reaksinya kurang cepat dan tepat.
juga getar sakti yang selalu meliputi diriuja kalah kuat dari tenaga sambitan yang menggerakkan benda tersebut.
Pemuda itu menggoyang badannya dan mengepretkan tangan kanannya, berkesiur kencanglah perbawa angin dari gerakannya itu, menghantam benda keijil tadi.
Bebaslah ia dari ancaman terkena sambitan orang sakti yang berada didalam taman ayahnya, Namun tidak urung ia terkejut luar biasa, karena tenaga sambitan itu pastilah tak ulah-ulah hebatnya.
Siapakah orang yang bertenaga demikian kuat ltu? Hinggaplah Putut Punung pada punduk bekas dahan pada batang pohon tersebut, kira-kira lima meteran dari tanah.
Buru-buru ia menyapukan matanya pada taman keseluruhannya ..
Tak seorangpun terlihat didalam kebun itu.
Apakah henar yang dikatakan orang-orang itu, bahwa dadalem kaPugeran sekarang ditunggu oleh gandarwa penjaga ...
? Dengan sikap benhati-hati sekali pemuda itu berjongkok tempa tnya, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ia bertekad untuk tetap menunggu disitu, untuk melihat sendiri apa yang bakal kejadian dimalam nanti.
Ia jakin bahwa kelima Barong nanti malam akan mencoba masuk kedalam rumah dengan ijin baginda untuk merampas atau mengobrak-abrik isi rumah pemberontak itu.
Kata Putut Punung dalam hati agak keheranan.
"Hai, mengapa hantu itu tidak mencoba sekali lagi berkelakar denganku ... Tahukah ia sudah, bahwa aku bukanlah lawan, atau takutkah ia bergerak lagi, unluk tidak mudah diketahui di mana ia bersembunyi?"
Dengan surupnnya sang Surya, gelap malam datang cepat sekali, karena tiada berbulan.
Hanya bintang-bintang nampak menghias angkasa, bagai bunga api tertabur luas pada permadani biru-guram.
Segala sesuatu hanya nampak remang-remang samar antara ada dan tiada.
Namun pemuda yang berjongkok dipuncuk-batang itu terpaksa masih harus bertahan sabar beberapa waktu, untuk dapat menyaksikan kejadian kejadian seram dihalaman dalem ka pangeranan.
Kelompokkelompok prajurit tamtama serba lengkap persenjataannya, bermunculanlah dari segala arah lalu menempatkan diri sejauh lima landean dari pagar bata ka-Pugeran, dengan sikap mengurung.
Mengapa mereka tidak menjerbu sendiri ...
mudah saja ditebak oleh Punung ..
pastilah hari-hari sebelumnya, pemah mereka mencobanya, tetapi kapok diperlakukan kurang baik oleh gandarwa-penjaga dari dalam halaman.
Oleh karena itu, fungsi mereka sekarang, adalah memberi pertolongan kepada yang mendapat perintah menerjang masuk.
Tibatiba sesosok bayangan orang meloncati pagar haaman dengan membalingkan kerisnya secara hebat sekali, sambil membentak sesumbar.
"Keluar kau setan berkasakan, sambutlah kedatangan dipati Ngurawan, SUMADININGRAT.!"
Terdengar suara ketawa mengakak landung memecah angkasa, menggetarkan rongga dada yang mendengarkan, hingga banyak orang membekap telinganya untuk melindungi anak- telinganya yang terguncang keras ..
Tahu-tahu, tumenggung Sumadiningrat sudah dilempar kembali kebalik pagar jatuh terbanting tidak sadarkan diri lagi.
Itulah hebat ...
Dalam kalangan para bupati prajurit, tumenggung Ngurawan bukanlah orang sembarangan.
Dialah pendekar pilihan yang sudah termashur namanya didaerah Banyumas-timur ...
namun kenyataannya dengan demikian mudah ia dapat dijambret orang dan dibuang balik, sekalipun tumenggung itu memainkan keris pusakanya, Bergidiglah raden adipati Sumabrata melihat kenyataan itu ...
ke-angkeran dalem pangeran Puger agaknya bukanlah omong kosong belaka.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi, hanya pemuda dusun itulah yang dapat menerangkan sejelas-jelasnya, Sekilas pandang tajam saja tahulah ia, bahwa yang bergerak tadi bukanlah sebangsa gandarwa atau jejadian segala macam tetapi ...
manusia sakti luar biasa, malahan tahulah ia sudah bahwa sang gandarwa itu adalah gurunya sendiri, kyai ajar Cemara-Tunggal, yang dijuluki orang si KUNJUK-SAKTI.
Bukan main girang hati Punung, mendapat kenyataan gurunya membela gerakan ayahnya itu, Hampir-hampir ia berteriak memangil sang Guru, karena kangen dan rasa rindunya.
Tetapi alangkah salahnya bila terlanjur meneriakinya ...
pasti orang tahu, kalau penjaga dalem itu, ajar Cemara 'I'unggal, Nah, begitulah duduk perkuranya, dan karena itu juga sambitan barang kecil yang menyambar kearahnya tadi hampir tak dapat dihindarinya.
Yang kini menerjang masuk kedalam halaman, adalah kelima bersaudara tokoh gunung, Kendeng.
Dengan mengonat-abitkan golok golok besar mereka meloncati pager bersama-sama Belum lagi kakinya menjontuh bumi, mereka membentak keras.
"Sambut kedatangan PANCA BARONG dari gunung Kendeng yarg minta berkenalan dengan segala macam gandarwa laknat pembela pemberontak!"
Segera terdengar desingan bersiat-siut, suara angin yang .
ditimbulkan karena sabetan golok bersambungan, laksana jatuhnya air hujan.
Namun suara mendesing tadi selalu kabur diterjang kesiuran angin kencang membadai kesegala arah, yang sanggup mengguncang keras cabang dan ranting dalam jarak puluhan meter, merontogkan daun-daun dan menerbangkannya hingga jauh.
..
bahkan ada yang berjatuhan ditempat pengepungan.
Lagi lagi yang dapat melihat dengan terang, adalah sipemuda dusun tadi.
Kelima hantu gunung Kendeng itu maju berbareng dalam formasi segi-lima beraturan yang bergerak saling menolong.
Bila yang saru bergerak, bergeraklah keempat orang lainnya bertukar tempat, dengan ijepat dan lincah sekali.
Orang berada kebetulan dimuka lawan selalu mengadakan gerak serangan memancing perlawanan musuh.
Kalau musuh menyerangnya, orang yang diserang itu tanpa menghiraukan keselamatan diri, lekas beralih terapat ...
sedang dua orang dibelakang musuh laksana kilat menyerangnya.
Dengan sendirinya, batallah serangan lawan yang tertuju kepada teman mereka itu.
Namun kali ini kelima iblis itu berhadapan dengan seorang ahli gerak nomor utama, hingga harus menelan kenyataan ...
keampuhan serangan serangan mereka kandas sebelum tengah jalan.
Mereka itu tidak hanya merasa kacewa saja, tetapi juga merasa kuatir akan kesudahannya.
Sudah terang sekali mereka tidak dapat berbuat banyak terhadap orang tua yang tengah dikroyok ini ..
sebaliknya harus merasa kuatir terhadap pukulan-pukulan geledegnya yang kadang-kadang dilamcarkan kepada mereka.
Kelima hantu gunung Kendeng itu maju berbareng dalam formasi segi-lima beraturan yang bergerak saling menolong.
Bila yang satu bergerak, bergeraklah keempat orang lainnya bertukar tempat, dengan cepat dan lincah sekali.
Pukulan orang atau gaudarwa tua ini benar-benar tidak boleh dipandang enteng oleh siapapun.
Karena rasa kuatir itu, mereka menjadi makin gelisah, akibatnya merosotlah keampuhan permainan gabungan panca-golok tersebut yang biasa dimalui lawan dan diagulkan teman.
Betum lagi mereka bertempur lima belas menit, Panca-Barong itu sudah mandi keringat, sedang nafasnyapun mulai terdengar tidak teratur lagi.
Tibalah sekarang gilfran si gandarwa.
untuk balas membentak lantang.
"Kalau tidak sekarang, kapan akan menggelinding keluar ...... rasakanlah kaengkeran Pangeran Puger..!!"
Dengan membentak demikian llang gandarwa melancarkan pukulan sakti BUMI GENJOT dan BUMI GONJING, yang dilaucarkan kepada tanah antara diri sendiri dan lawan-lawannya.
Kontan, bumi terasa bergoncang keras ...
gumpalan-gumpalan tanah berhamburan kesegala arah, melanggar dan menaburi musuh-musuh secara tidak langsung.
Itulah bentuk kemurahan ajar Cemara Tunggal yang tidak hendak membunuh mati musuh.
Bila pukulan dahsjat itu langsung tertuju kepada orangnya ...
pastilah tulang tulang mereka tidak ada satu yang masih utuh ...
Demikian saja tinggal Barong tertua yang masih dapat memegang goloknya dengan menggunakan kekuatan seluruhnya.
Tiga diantara mereka terpaksa jatuh mendekam ditanah munta h darah, karena terlanggar gumpalan tanah, telak mengenai dada meraka.
Pecahlah barisan panca-golok yang mereka bangga- banggakan itu.
Kedua Barong yang masih selamat meloncat dua laudeyan kebelakang.
Berserulah Barong tertua .
"Malam ini kami mengaku kalah .. beranikah tuan memberi jaIan hidup kami lima bersaudara untuk berlatih lagi lima tahun, supaya kami dapat menebus kekalahan ini?"
"Mengapa tidak berani ... hayo, menggelinding keluar lah kalian, bawa saudara-saudaramu itu. Lima tahun kemudian pastilah Sumber Pustaka . Gunawan Aj Pdf image . Gunawan Aj
https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/ aku yang akan mengunjungi kalian digunung Kendeng!"
Terima kasih, dan ...
sampai jumpa lagi ditempat pertapaan kami-kata Barong 'tertua, lalu memondong dua saudaranya dibawa keluar melewati pintu butulan, di-iringi Barong yang satunya dengan memondong seorang teman.
**** BAGIAN VI .
BARU SAJA Panca Barong itu meninggalkan halaman dalem pangeran Puger, belum lagi gandarwa tua yang bukan lain ki-ajar Cemara Tunggal, kembali kedalam persembunyiannya, menyambar datang kesiur angin lembut yang bampir tidak terdengar oleh kyai Kunjuk Sakti, Karena mengira diserang oleh lawan sakti lagi, malka cepat sekali orang tua itu mereaksi menyambut kedatangan lawan dengan jurus cengkeraman yang ampuhnya mudah dibayangkan.
Pada waktu itu pula terdengar suara berbisik.
"Guru, aku, Putut Punung!"
Karena yang datang kali ini adalah si-pemuda desa tersebut.
Namun suara bisikan itu datang agak terlambat, jurus cengkeraman tadi sudah tidak dapat ditarik lagi, mendarat dengan hebatnya pada punggung yang diserangnya.
Sebenarnya pastilah Punung dapat menghindari cengkeraman gurunya, tetapi ia takut kalau sang guru mendapat malu karenanya, maka dengan mengerahkan tenaga sakri dengan mengandal kekuatan baju kotang rajah sasra, diterimalah cengkeraman maut gurunya itu.
"Hajaaaa!"
Jengek kiajar waktu melihat siapa yang diserangnya.
Segera ditarik kembali serangannya itu, namun barang sudah terlanjur ...
sulit untuk dilaksanakan seluruhnya sekallgus.
Untung yang diserang tagi murid yang digembleng sendiri, hingga pasti tahu kedahsyatan jurus itu, untuk dapat mengimbanginya, menjaga keselamatannya.
Terasa benar bagi orang tua itu, bahwa murid kesajangan itu tidak hanya dapat mengimbangi serangan melulu, malahan dapat memunahkannya.
Kuda-kudanya tergempur keras waktu ia menjentuh badan pemuda itu, oleh kekuatan maha dahsyat gaya tolak yang keluar dari badannya, cengkeramannya meleset, bagai mencengkeram baja yang dilumuri gajih (lemak).
Maka bukan main rasa takjubnya, mengalami kenyataan ini.
"Paman guru, terimalah sembah sujud murid dan perkenankanlah aku mengucap terimakasih yang takterhi.ngga atas kemurahan hati paman melindungi kewibawaan kaum kerabat murid,!"
Kata Putut Punung terharu. Haaaaa ...... aaak baik. muridku sayang kiranya kau sudah berhaail melatih ilmu kebal yang sangat berharga itu, bukan??"
Kata ki Kunjuk Sakti menjimpangkan pembicaraan.
"Bukan anak telah berhasil mempelajari ilmu kebal seperti dikatakan paman itu, tetapi murid berhasil menemukan gua kuburan seorang sakti dari jaman Majapahit, dan mendapat peninggalannya berupa NAGASURA-JANUR dan sehelai Rompi Rajah Sasra yang kini murid kenakan. Rompi itulah yang metindungi murid dari segala senjata tajam atau runcing dan segala macam pukulan sakti."
"Ahhh, babagia benar kau ini denmas, dan rasa-rasaanya tenaga saktimupun menjadi lebih kuat berlipatan, adalah karena itu pula sebabnya."
"Tidak paman . .. tenagaku menjadi lebih besar itu, karena murid pernaht minum darah harimau doreng yang sangat besar dalam gua itu."
"Anak baik, itulah suratan takdir Tuhan. Kini tak dapat disangkal lagi bahwa kaulah sipendekar nomor satu diseluruh jagad Mataram ini. Maka tugasmulah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dikemudian hari. Ketahuilah, bahwa rakyat pada umumnya menghendaki pangeran Puger yang harus memegang pusara keraton Mataram sekarang ini. Beliaulah yang harus menjadi raja. Maka tugasmu yang paling dekat adalah menjaga keselamatan dan kewibawaan ayahmu. Malam hari ini juga denmas harus berangkat ke Semarang secepat-cepatnya .... guna melindungi sang pangeran dari bahaya pembunuhan yang mulai dilancarkan oleh pihak lawan. Nah, anak kau berangkatlah dan waspadalah selalu!"
"Lapangkan hatimu paman, murid akan berbuat menurut petunjuk paman guru ... Guru, aku berangkat dedengan restumu... !"
Setelah menyembah gurunya melesatlah Putut Punung melampaui tembok lalu menghilnug ditelan sang malam, Negara Mataram Jaja, yang suda h berpulu-puluh tahun, mengenyam tata-tentrem kertara harja lagi, setelah huru-hara kraman Trunajaya, sekali lagi mengalami terguncang sampai kepada alasnya, dengan lolosnya kangjeng pangeran Puger dari Kartasura, Siapakah yang tidak tahu apa artinya, seorang berpengaruh besar meninggalkan kota tidak dengan seijin Baginda itu.
Siapakah yang tidak mengerti bahwa orang itu menentang kekuasaan pemerintah, melawan kekuasaan raja ..
Karena peristiwa jengkarnya sang pangeran itu tidak dapar dihalangi dan dicegah seketika, maka pastilah akan terjadi huru-hara peperangan lagi dengan segala konsekwensinya.
Mudah dimengerti bahwa pekabarannya segera tersiar secara merata, lebih-lebih karena dalam waktu dekat ini banyak orang kola datang mengungsi, membawa segala kekayaan yang dapat dibawanya, Mereka itulah pembawa kabar utama.
Oleh karenanya kesibukan orang dikota, segera berimbas dengan cepatnya.
Tak lama kemudian disusul datangnya para petugas pemerintah, memanggil para pemuda wajib bakti dan para pemuda sukarelawan, untuk menjadi bayangkara atau tamtama negara .....
sebagai tentara cadangan laskar-laskar yang diberangkatkan kemedan paling depan, yang garis pertahanannya disekitar Salatiga.
"Memang, sekalipun sulit dimengerti, namun terbukti kenyataannya. Dalam beberapa minggu saja, kabupaten mancapraja disekitar Semarang, terpaksa harus mengakui keunggulan dan kedigdayaan para putra gembong Kartasura itu, lebih lebih nama den mas Sasangka yang kini bergelar pangeran PURBAYA, setelah kangjeng pangeran Puger dinobatkan oleh para bupati pendukungnya sebagai raja tandingan raja Kartasura, bergelar Susuhunan PAKUBUWANA I (hingga para putra berhak mendapat gelar Pangeran), pangeran muda itulah yang selalu menempati garis paling depan dalam menaklukan daerah Kendal. Pekalongan, Demak, Kudus dan Pati, hanya dalam waktu sebulan saja. Bagaikan angin pujuh pemuda sakti itu menerjang kesegala arah, untuk mengkonsolidir kedudukan ayahnya. Maka termashurlah nama pangeran muda itu bersama prajurit berkudanya yang dua ratus orang dalam pimpinannya. Dalam tiap pertempuran pangeran Purbaya nampak dikawal oleh tiga orang pemuda pengawal pribadinya yang hebat luar biasa terjangannya. sekalipun mereka itu hanya orang-orang tidak bernama saja. Mungkin hanya beberapa orang saja mengetahui, siapa ketiga kawal itu, ialah sang pangeran sendiri dan ajabnya, Sri Sunan PAKUBUWANA bahwasanya mereka itu adalah Putut Punung, niken Suwami yang menyaru pria, dan bagus Sarasa. Datang kemudian bala bantuan dari Madura pangeran Cakraningrat mendatangkan prajuritnya Dulang Mangap seribu lima ratus orang lengkap dengan peralatannya. Disusul datangnya prajurit bantuan dari Surabaya dalam jumlah 2000 orang serba lengkap pula. Cukup kuatiah kini barisan Sri Sunan Paku Buwana I. untuk berhadapan secara besar-besaran dengan kekuatan Kartasura. Maka waktu barisan laskar Semarang, yang dipimpin oleh Panembahan Cakraningrat (gelar baru yang diperolehnya dari Sri Sunan Paku Buwana I). dipelopori oleh pangeran Purbaya, masuk daerah Salatiga, seminggu yang lalu, sama sekali tidak menemui perlawanan. Sikap bupati Salatiga dan para penjaga benteng Kompeni dikota itu, yang semula masih menyangsikan akan kemampua pangeran yang lolos tersebut, kini sudah berubah sama sekali. Kalau Raden Tumenggung Suranegara mendukung gerakan sang Pangeran, pihak Kompeni bersikap manis dan lunak sekali terhadap para pemberontak, sekurang-kurangnya pihak Belanda tidak akan memusuhi Sri Sunan Paku Buwana I. Itulah pula perintah yang mereka terima dari pembesar di Semarang ... .. supaya pihak Belanda bersikap hati-hatr sekali sambil melihat gelagat. Maklumlah taktik pedagang bangsa asing yang selalu mencari enak sendiri, jangan sampai keliru memilih pihak yang kalah. Kota Salatiga sekarang menjadi benteng pertahanan pertama dari Sri Sunan Paku Buwana I untnk menghadapi lawan. Laskar yang sudah dimukimkan dikota itu tidak kurang dari lima ribu prajurit. Maka biarpun laskar Kartasura cukup kuat dan seimbang jumlah kekuatan orangnya .... terpaksa belum berani menerjang maju, tanpa komando dari pusat. Konon pepatih dalem sendiri akan datang dengan membawa laskar inti, guna menggempur musuh. Sebelum beliau datang ketiga senapati perang, ietindih Iaskar laskar, seperti Pangeran Natakusuma Tumenggung Wirajuda dan Tumenggung Natajuda tidak diperkenankan menyerang lawan dulu. Dua askar raksasa berhadap-hadapan .... dua kekuatan maha dahsyat pasti akan bertumbukan .... siapakah yang tidak menjadi tegang perasaannya . siapakah yang tidak akan menjadi giris- miris dalam hati memikirinya. Itulah yang sama-sama dirasakan oleh setiap orang yang bersangkutan. **** NUN disana .... ditempat penjagaan yang sepi sunyi, dimana orang tidak mengehawatirkan sama sekali karena ditepi jurang terjal, tidak mudah dilewati orang, hingga hanya ditempatkan disitu dua orang penjaga saja terjadi sesuatu yang agak suram. Karena menunggu giliran bingga pukul dua belas malam nanti dipinggir jurang dalam hutan itu, mereka sudah sejak tadi mengumpulkan daun-daun kering dan ranting atau dahan secukupnya guna membuat perapian pemanas badan. Tidak lupa singkong dan ketela rambatpun direnggutnya dari pategalan tadi siang, Maka malam dingin itu mereka dapat menikmati perbekalannya tersebut, sambil memasang omong.
"Kata orang Sri Sunan Paku Buwana I, tadi pagi sudah menginjak perbatasan Kota Salatiga, berserta para pengikutnya. Kalau kabar itu betul, agaknya tak lama lagi kita akan mengalami pertempuran yang menentukan, bukan?"
Tanya seorang diantaranya.
"Uwah, masakan aku yang dapat menjawab pertanyaan macam itu ... Tetapi secara menebak-nebak, aku dapat ikut serta dengan gagasanmu itu, Hai, alangkah akan hebatnya pertempuran kedua laskar yang konon sama kuat itu nanti. Namun aku percaya akau kesanggupan Sri Sunan dan putraputranya, beserta para pendukungnya. Kehadiran Pangeran Sampang Panembahan Cakraningrat, Dipati Surabaya Raden Adipati Judanegara, Kangjeng Bupati Salatiga .. kiranya cukup dibuat bangga."
"Kau benar kawan, belum lagi kau sebut-sebut Pangeran muda sakti Purbaja, Arja Balitar, dan lain-lain yang telah membuktikan kesanggupannya, meruntuhkan pertahanan para Bupati mancapraja baru-baru ini .. hanya dalam beberapa minggu saja."
Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nampak seorang diantaranya meloncat dari duduknya, namun demikian berdiri "hukk" mengaeleparlah orang itu jatuh ditanah kembali dalam keadaan pingsm, kareaa punggungnya digablok orang.
Keruan saja temannya terkejut kelabakan hendak menyambar tombak yang ditancapkan di tanah sebelahaja.
Tetapi baru saja hendak bergerak kedua lengannya sudah diringkus oleh pendatang yang tidak diinginkan tadi.
Lengan itu dipuntir kedalam keras sekali, hingga pemiliknya mengulun desah kesakitan.
sedang badannya ikut serta berjengat jengit dalam gerak puntirannya.
Terdengar suara kasar membentaknya.
"Ha-ha .... kalau kamu dapat lepas dari kuncianku ini .... kau adalah orang nomor satu dalam dunla persilatan. Hajo . bilang, dimana pemondokan Pangeran Purbaya .... awas kalau membohong, ku potes lenganmu dari persendiannya!"
"Ha-ikkktt ... jangan keras-keras dulu. hajaaa ..... sesambat orang itu.
"Kau ini siapa dan apakah maksudmu mencari Pangeran Purbaja itu?"
"Goblog kau . pastilah aku bukan temanmu, bukan sebangsa penjaga berotak beku seperlimu, kalau mencari Pangeran Purhnya, pastilah untuk dibunuhnya putera seorang pemberontak itu. Aku adalah murid kepala Kyai Tameng Waja, yang kini bertugas untuk menigas kepala Pangeran Puger.- "Wah-wah ...... itulah bebat sekali."
Kata penjaga yang sedang menderita itu, nampak tidak lagi menghiraukan siksaan orang.' "Apa yang hebat itu?"
"O ...... banyak sekali yang hebat itu, misalnya sang kura-kura yang hendak menerkam sidoreng raja rimba, bukankah itu seram hebat dan menggelikan sekali?!"
"Bangsat, kau berani menyindir guruku beserta para muridnya Tahukah kau, dibawah tebing ini, masih ada tiga orang adik seperguruanku, yang' pasti akan membereskan putra putra Pangeran Puger? Kau tidak percaya ...... Nab, temanilah mer ...! Sebenarnya orang itu hendak melemparkan sipenjaga kurang aj ar tadi kebawah jurang, namun kedua tangannya merasa kesemutan, hingga macet pula kata-katanya dan melepaskan puntirannya. la mundur beberapa langkah, berhadapan dengan pemuda berpakaian acak-acakan, berbadan tinggi besar kukuh kekar tegap serasi bersenyum lebar seraya berkata.
"Kau benar kawan, .. dewasa ini banyak sekali sebangsa kura-kura berkeliaran didaratan yang hendak menangkap harimau dan banteng-banteng temberang Lucu bukan?"
"Ah,.."
Kata penjaga yang baru saja bebas dari puntiran orang menieringai iblis "Kawan penolong ini bukankah kawal pribadi Pangeran Purbaya, yang hendak dicari orang itu?"
"Benar .. hai, orang liar, kau dengar atau tidak. Apa perlumu hendak bertemu dengan junjunganku itu? Rasa-rasanya kau tidak mempunyai derajat untuk bertemu dengan beliau maka cukuplah kau sampaikan saja kepada aku!"
"Baik, . kalau aku tidak pantas bertemu muka dengan Sang Pangeran, pastilah aku masih ada harganya unttuk berkelakar beberapa jurus dengan panakawannya. Cobalah dahulu golokku ini!"
"Majulah kalau kau ingin menemani adik-adikmu seperguruan yang kini sedang merintih-rintih dibawah jurang ini."
"Setan alas ... kau apakan adik-adikku.?"
Membetak begitu, dibarengi dengan membabat lambung musnhnya secepat kilat, Namun goloknya menjereset lewat hanya berselisih setengah dim saja dari tujuannya, karena pemuda itu sudah mengegoskan badannya mengikuti samberan angin yang timbul karena perjalanan golok.
Terjerumuk maju sebab goloknya tidak mengenai sasaran apapun, murid kepala kyai Tameng Waja yang biasanya sangat jumawa karena sukar bertemu tandingan serimpal, menyusulkan jurus tendangan berantai kedua kakinya, Celaka kedua tendangan itu banya menggasak udara kosong semata-mata, maka tak ampun lagi ia terpaksa turun diianah dengan kedua tangannya.
Karena tangan kanannya memegang golok, tak dapat pula dicegah, golok itu menancap ditanah sampai agak dalam.
Baru ia hendak berdiri, lambungnya sudah digerayang orang, maka dengan mengerang panjang mentallah orang itu kedalam jurang.."Matikah orang itu?"
Tanya sipenjaga ketolol-tololan.
"Mana gampang-gampang mati, benalu jahat semacam orang begituan. Dia hanya akan bertele-tele buat sementara waktu saja. Dalam sebulan dua bulan ini pasti dia tidak dapat mencelakai orang. Bagaimana dengan tanganmu, tetluka tidak?"
"O, tidak apa, kiranya akupun jenis benalu itu yang tak mudah menjadi rusak .. heh-heh-heh!"
"Apakah kau tidak dapat membela dirimu hingga mudah saja ditangkap orang?"' "Wah-ah, mana bisa aku membayar guru silat, yang mau mengajarkan kepandaiannya?"
"Kau mau ku-ajar bergerak membela diri tiga macam jurus saja?"
"Kau nanti tidak minta bayaran ... aku ini hanya seorang jagatirta desa Kepucangan, yang hanya bisa hidup sederhana dengan keluargaku."
"Huss . orang jembel seperti kita ini, apa masih tega membuat golongannya lebih melarat lagi. Pendeknya, kau lihat aku bergerak dan meninggkan jejak agak dalam ditanah-guna turutanmu."
"Liihat, jurus yang pertama . satu-dua-tiga, menghindar- empat lima enam-tuju .. kau bebas dari segala pukulan macam apa saja. Jurus yang kedua. satu-dua-tiga, .. menyelinap mendekati lawan, empat, mengancam muka lawan, lima menggaplok lambung atau punggung lawan. Jurus ketiga, satu-dua, menjusul musuh, kalau gagal, tiga, mencengkeram pinggang musuh, empat, menjotos musuh. Pasti sudah berhasil. Bagaimana, kau sudah lihat?"
"Wah, sulit sulit, apa aku kiranya bisa?- gumam penjaga itu.
"Jalankan saja, tolol...kau harus bisa!"
Mulailah orang itu berlatih, menginjakkan kakinya pada bekas inyakan pemuda hebat itu.
Mula-mula Iambat, sambil ngoceh menghafalkan petunjuk-petunjuknya.
Keruan saja dalam bergerak sepuluh kali, ia jatuh tersuogkur dengan nafas kempas-kempis, hampir kehabisan nafas.
"Kau ternyata pandai, sudah berhasil mencontoh ajaranku. Mari aku tolong melancar jalan pemapasanmu.!"
Cjepat lagi tepat jari jari pemuda itu menari diatas badan ki- Rejasura.
Dimana jari pemuda aneh itu menjentuh badannya, dirasakannya seluruh badannya tergetar tandas sampai kepada tulang-tulang ..
Mula-mula ia berjengit kesakitan, tetapi sejenak kemudian dirasakan seluruh badannya semriwing-nyaman, seperti diterabas siliran angin hangat-hangat sejuk, hingga matanya merem- melek keenakan , Waktu Putut Punung menghentikan pijetannya, penjaga itu malahan berkata.
"Hajo, hajo lanjutkan pijet mujijatmu!"
"Huh, dasar sitolol tidak tahu malu .. Nah, berlatih teruslah, hingga kau hafal benar-benar, kalau sampai lupa dan salah menjalankan, masakan tidak copot semua anggota badanmu."
"Wut-wut"
Melesatlah pemuda ajaib itu dari sampingnya, lenyap seketika itu juga.
"Hai-hai, kau mau kemana?"
Menanya ki Rejasura sambil meloncat dari posismja semula.
"Hlo-hlo, bagaimana aku ini?"
Bukan main kagetnya waktu badanya melenting sampai dua meter tingginya.
Dirasakan badannya enteng seperri kapas saja, Karena belum mengetahui bahwa nadi-nadi dalam badannya sekarang menjadi lurus rapi, hingga kekuatannya menjadi sangat besar, belum pula ia dapat mengatur penggunaannya.
la terpaksa jatuh menggabruk tanah pada seluruh badannya lagi, tetapi jatuhnya sangat enteng tanpa merasa sakit.
Buru-buru ia jongkok untuk berpikir sejenak, Sekalipun otaknya kurang encer tetapi akhirnya terasalah olehnya bahwa pemuda tadi sebenarnya memberi hadiah yang tak temilai harganya.
Tahulah ia bahwa ia bukan Rejasura yang kemarin berangkat kepenjagaan terpencil ini.
"Ya Tuhan, limpahkanlah anugerah-Mu kepada pemuda ajaib itu, dan berilah aku jalan terang untuk menjadi orang baik seterusnya." **** BAGIAN VII HINGGA larut malam Sri Sunan Paku Buwana I masih duduk diserambi samping kanan dalem kabupaten Salatiga, merundingkan soal-soal siasat pertempuran dengan dipati Surabaya, dipati Salatiga dan pangeran Cakraningrat. Para tetindih juda-pun tidak ada yang ketinggalan, semua menghadap Sri Sunan sambil memperhatikan penerangan- penerangan baginda,yang ternyata ahli siasat-perang dan seorang senapau yang sulit dicari tandingannya. Betapa jelasnya keterangan baginda itu mengenai seluk beluk gelaring-juda, satu demi satu. Tengah mereka berunding itu, baginda mengulapkan tangan, seraya bersabda .
"Siapa berani mencuri dengar orang sedang berbicara, Turun kau!"
Hebat benar pendengaran baginda itu, beliau sudah menangkap suara sesuatu yang mencurigakan, sedang orang lain masih enak enak mendengarkan baginda melulu.
Mau tidak mau mereka harus merasa agak malu, dan mengakui keunggulan baginda dalam ilmu kepandaian segala macam.
Baru mereka hendak beraksi serentak ......
blugg, orang laki- Iaki berjubah lamuk jatuh menggelinding dari atap serambi, mengga bruk ditanah, Namun orang itu segera melompat berdiri tegar, kira- kira tiga landeyan dari yang berada didalam gadri, Berseru menggeledeglah orang itu, memamerkan tenaga saktinya yang sangat kuat .
"Iblis dari mana berani mati membokong ki Tameng-Waja, seperti cecunguk gelandangan, Hayo, keluarlah kau, setan. Sedang para hadirin masih terhenyak diam, karena anak telinganya terasa sakit seperti hendak pecah ......... nampak sesosok tubuh meluncur turun dari pohon kenanga didekat gadri tersebut, Kini jelaslah siapa yang terjun dari pohon tersebut, seorang pemuda berdandan serba ringkas, bertubuh tinggi kekar. Cepat sekali ia berbuat sembah terhadap baginda raja, untuk segera berbalik hadap, menghadapi kyai Tameng-Waja, Berkatalah pemuda itu dengan suara tandes namun enak didengar, membujarkan pengaruh suara lawannya.
"Inilah putut Punung, murid tunggal ajar Cemara Tunggal. Hai, pendeta gadungan ...... baru kau terkena siliran nafasku, kau sudah kelabakan seperti ular kena gebug. Salahmu sendiri bila kau sampai jatuh dari tempat pengintaianmu. Jangan kau kira bahwa baginda Paku Buwana I tanpa wilalad. Ketahuilah, bahwa kau telah kubayangi sejak di Bayalali .. Kau menyanggupkan diri hendak membunuh Sri Sunan Paku Buwana I seperti kedua teman chianattanmu kyai Kijing miring dan Resi Rajeg-wesi yang kini sudah pulang memelihara cideranya ... mampukah kau berbuat demikian. Kalau aku hendak membokongmu, dari tadi kau pasti sudah berkeliaran dineraka ....hitung-hitung, membalaskaa budi guruku yang pemah kau siksa lima tahun lamanya, karena akal- curangmu semata mata. Dosamu sudah bertumpuk mencakar angkasa, dengan menodai sekian banyak anak dara yang kemudian kau bunuhi semuanya ...... demi ilmu sesatmu itu. Kau hadapilah sekarang murid kiai Kunjuk-Sakti ini, yang menagih piutang jiwa atas nama beliau!"
"Kunjuk budug tua bangka kau mengapa tidak berani datang sendiri, menjuruh anak masih ingusan begini untuk menerima. binasa dariku, ha ......Anak setan, betul-betulkah kau hendak menagih-piulang gurumu itu? ... Baiklah, kalau tidak mendapat hajaran masakan kau mau mengerti betapa tebalnya bumi! Dalam tiga jurus, bila kau ternyata dapat menyelamatkan dirimu ... sulitlah kiranya bagiku untuk menginjak dunia ini lebih lama.!"
"Bagus, ..... apabila dalam satu jurus pembalasanku kau dapat selamat, pasti aku tidak akan menghalangi lagi segala apa tindakanmu.!"
"Anak haram ... rubuh kau !"
Seru Tameng Waja sambil melancarkan pukulan saktinya.
Angin santer menyambar kearah Punung yang berdiri tegar tidak mengelak, tapi nampak memutar lengannya membuat lingkaran kearah pembuyarau ...
dan amblaslah pukulan kyai itu.
Terdengar ia mendengus keras seraya melakukan serangan yang kedua.
Tangan kyai Tameng-Waja dirangkap menjadi satu didorongkan kemuka.
Reaksi pemuda gagah itu masih gerak seperti tadi hanya sekarang lingkaran yang dibulatnya condong miring kesamping..Kembali pukulan kyai itu lenyap seperti ditelan semudera.
Maka dengan memekik keras Tameng-Waja melancarkan jurusnya yang ketiga sambil menubruk mangsanya.
Serangan itu ganas lagi ampuh dan kuat laksana gunung runtuh.
Namun justru itulah yang dikehendaki lawannya ...
mengadu kekuatan, Putut Punung menggunakan jurus ketiga, Bumi genjot- gonjang-ganjing dengan sepenuh tenaga saktinya.
"Buumm.!"
Dua tenaga raksasa bertemu lawan ...
hebat sekali akibatnya.
Putut Punung nampak berdiri tidak bergeming, sekalipun kakinya melesak ditanah kering sampai batas mata-kaki.
Tetapi lawannya mental terbang seperti tertumbuk tugu baja, hingga dua tombak jatuh ditanah tiada bernyawa lagi.
Dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah segar bergelegakan.
Waktu itu baginda berkenan untuk memeriksa keadaan berakhirnya pertempuran dahsjat tadi, Semua orang bergidig waktu melihat kenyataannya.
Malam itu sri sunan mendengarkan laporan Putut Punung apakah yang sudah dirintisnya dihari-hari belakangan ini.
Di Bayalali pemuda itu bertemu dengan pamannya pangeran Harya MATARAM (adik pangeran PUGER), yang bertugas mempertahankan Bayalali.
Paman itu menyampaikan pesan kepada Sri Sunan Paku Buwana I untuk segera menggebah pertahanan patih Sumabrata disekitar Salatiga, dan lekas lekas memasuki Bayalali, yang segera akan ditinggalkan oleh sang paman .....
pura-pura lari dari Bajalali, untuk memikat sang sunan Amangkurat segera meninggalkan kota, supaya jangan sampai teringkus musuh.
Itulah pesan wanti-wanti dari sang adik, Sang pangeran sendiri segera akan mengumpul dipihak sang kakak.
Itulah kabar yang sangat menggembirakan pihak Sunan Paku buwana.
Dan ...ya, apa lagi hendak dituturkan ..
Perlawanan pepatih dalem digaris paling depan pecah berantakan, malahan raden adipati Sumabrata sendiri hampir konyol tertawan musuh, bila tidak segera menukar pakaian, menghilang dilautan prajurit yang tengah lari mengungsi hidup.
Pertahanan di Bajalali tidak mampu bertahan hingga sejam penuh ....
akhirnya kota Kartasura menjadi kalang kabut karena ancaman musuh kian mendekat.
Sunan Mangkurat Mas terpaksa lolos dari keraton, mengungsi ke Jawa Timur, kepada dipati WIRANEGARA, (dahulu UNTUNG SURAPATI) dan akan melanjutkan bertahan bersama-sama dengan dipati tersebut.
Demikianlah kisah GEMBONG KARTASURA, yang kemudian dinobatkan sebagai raja Mataram yang resmi, yang dapat menyatukan negara kambali menjadi tata-tentrem karta-raharja.
Pantas disebut sebut bahwa nama PANEMBAHAN PUNUNG, selalu menggema harum diseluruh bagian negara.
Beserta isteri tercinta sang panembahan sering berada di gua puncak gunung tersayang.
TAMAT SEGERA TERBIT !!!
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong