Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 1


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 1



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   
Kemelut Tahta Naga II Kemelut Tahta Naga bagian 2, selesai di write ulang di Pringsewu Lampung dari tanggal 29 Mei 2018 07 Juni 2018. Terdiri dari 22

   Jilid Total sekitar 1460-an halaman. KONTRIBUTOR IMAGE . KOH AWIE DARMAWAN YANG NGURUTIN HALAMAN . KANG HADI PERTAMA KALI DI SHARE DI GROUP FACEBOOK .
Kolektor E-Book
HAPPY READING KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid I Pada abad ke tiga belas, dataran itu bergetar ketika menjadi saksi keperkasaan tentara berkuda Jengish Khan yang melintas bagaikan prahara, menggu lung Asia dan Eropa, membentuk garis-garis batas sebuah kekaisaran seluas sepertiga luas dunia.

   Orang Mongol menjadi penguasa waktu itu.

   Tetapi itu lima abad yang lalu, dan kini Jengish Khan sudah terkubur debu.

   Keturunan penakluk-penakluk sepertiga dunia itu masih mendiami tempat asal leluhur mereka, tapi tak lebih dari sekelompok penggembala kuda, unta atau kambing yang hidup di kemah-kemah yang berpencaran.

   Mereka bukan lagi penaklukpenakluk seperti leluhur mereka.

   Bentangan maha luas yang masih membekas jejak keperkasaan leluhur mereka, kini bukan lagi kepunyaan mereka.

   Di Belahan barat, Rusia terus mendesakkan perbatasannya ke timur dan selatan sejak abad ke enambelas, dan yang merintangi perluasan kekuasaan itu akan ditumpas tampa ampun.

   Contohnya ialah Kuchum Khan, seorang kepala suku di Siberia yang mencoba menahan perluasan wilayah Rusia dan akhirnya mengalami penumpasan secara brutal.

   Sedangkan dari sebelah timur, Kerajaan Manchu yang menguasai Se-jong (Tibet) sampai Tiau-sian (Korea) juga gigih memperluas kekuasaan terus kebarat, sehingga tak terhindarkan adu otot dengan kekaisaran Rusia.

   Maka kaum gembala Mongol yang tak seperkasa nenek moyang mereka itupun jadi terjepit, seperti kancil di tengah dua ekor gajah yang berkelahi.

   Namun pada abad ke delapanbelas itu, seorang Mongol Kristen bernama Alai Bu-tan, mencoba menghimpun sukunya untuk lepas dari kekuasaan Pak-khia, dan panji-panji perlawananpun berkobar kembali di Jing-hai.

   Dan setiap terjadi pergolakan, maka campurtangan asing dari seberang perbatasan seolah diundang masuk.

   Pihak Rusia diam-diam menjanjikan bantuan dengan dalih "membela saudara seagama dari penindasan penguaasa kafir", sehingga Alai Bu-tan jadi semakin berani dan pemberontakannya pun meluas.

   Bantuan diam-diam, tidak terang-terangan, sebab Rusia masih terikat perjanjian tahun 1689 dengan Cina untuk "berdampingan secara damai".

   Tapi, secarik dokumen perjanjian saja mana bisa membendung ambisi perluasan kekuasaan yang meluap? Tidak terang-terangan, ya diamdiam.

   Kaisar Yong-ceng di Pak-khia segera menjawabnya dengan mengirim angkatan perang raksasa di bawah pimpinan Ni Keng Giau ke Jing-hai.

   Namun sebetulnya Ni Keng-giau memikul tugas ganda.

   Selain menumpas pemberontakan juga membereskan "duri dalam daging"

   Yang harus dilakukan dengan sangat rahasia, yaitu melenyapkan Pangeran In Te, adik Kaisar Yong Ceng sendiri, di masa perebutan kekuasaan semasa Kaisar Khong Hi dulu, antara puteraputera Khong Gi, Pangeran ke empatbelas In Te adalah saingan paling alot dari Kaisar Yong Ceng yang waktu itu masih disebut Pangeran Ke Empat In Ceng.

   Hanya dengan suatu ke curangan yang dibantu kawan-kawannya, mencuri dan mengubah isi Surat Wasiat Kaisar Khong Hi, maka Yong Ceng akhirnya berhasil bertahta.

   Namun selama Pangeran In Te masih hidup, Kaisar Yong Ceng belum tenteram betulbetul.

   Maka Pangeran In Te pun ikut dikirim ke Jing-hai, tempat kemelut, sebab kematian di tempat seperti itu takkan menyolok perhatian.

   Tempat yang paling cocok untuk suatu pembantaian terselubung.

   Dari Pak-khia, Ni Keng Giau membawa 500.000 perajurit.

   Tetapi di propinsi-propinsi yang dilaluinya, dengan mengandalkan pedang Liong-hong Po-kiam hadiah Kaisar, Ni Keng Giau memaksa para gubernur dan panglima wilayah untuk ikut menyumbangkan perbekalan, perajurit, kuda dan tukang-tukang sekalian.

   Para gubernur tak berani menentang permintaan sang jenderal yang menjadi adik seperguruan Kaisar itu.

   Karena itulah ketika pasukan itu sampai ke Jing-hai, jumlahnya sudah membengkak hampir dua kali lipat dibandingkan ketika meninggalkan kotaraja Pak-khia.

   Maka mendung malapetaka perang, malapetaka bikinan manusia, tergantung sarat di atas udara Jing-hai.

   Kecemasan bagi penduduk yang tidak tahu apa-apa pun menghebat, tegang menunggu meledaknya petir keangkara-murkaan.

   Yang cuma selalu berpikir bagaimana memperbesar kekuasaan dan bukan kedamaian.

   Ni Keng Giau segera menggelar perkemahan yang megah.

   Ratusan ribu tenda berjajar rapi di padang rumput, dari satu tepi ke tepi lainnya tak terukur panjang dan lebarnya.

   Tiap pagi dan petang terdengar suara tambur dan terompetterompet dengan irama yang sama, ringkik ribuan ekor kuda.

   Terlihat ribuan bendera berkibar di puncak-puncak tenda., diguncang angin padang rumput yang membisik kan kecemasan.

   Tetapi di perkemahan yang begitu luas, suasananya sunyi dari suara manusia.

   Tidak terdengar orang bercakap-cakap santai, yang ada hanyalah perintah-perintah singkat bernada tegas dan dingin.

   Apalagi suara orang bergurau, jangan harap bisa ditemukan.

   Ni Keng Giau telah menetapkan tata-tertib militer yang amat keras.

   Tiap pelanggar tata-tertib, tak peduli apapun pangkatnya, tak ada pilihan lain kecuali menjalani hukuman penggal kepala.

   Maka per kemahan besar itu menjadi kelewat tertib, menimbulkan perasaan mencengkam dalam hati semua penghuninya.

   Ni Keng Giau beranggapan, lebih bagus kalau perajurit-perajuritnya cukup lama tertekan jiwanya sehingga memendam kejengkelan.

   Dengan demikian, di medan pertempuran kelak akan melampiaskan kejengkelan dan menjadi buas terhadap musuh.

   Seperti anjing yang terlalu lama dirantai dan baru dilepaskan kalau sudah menjadi setengah gila untuk disuruh menggigit orang lain.

   Tenda Ni Keng Giau berdiri ditengah perkemahan.

   Paling besar ukurannya, tapi tidak mewah, agar tidak menimbulkan kesan bermanja-manja di garis depan.

   Dipuncak tenda berkibar bendera putih berlukis tujuh bintang dalam formasi Pak-tau, lambang pribadi Ni Keng Giau sebagai Ceng-se Tai-goan-swe (Panglima Besar Penakluk wilayah Barat).

   Di depan tenda, berdiri bendera lain yang lebih tinggi, segitiga ber warna hitam dengan gambar naga emas berkuku lima.

   Ngo-jiau Kim-liong-ki, bendera kekaisaran.

   Siang itu, tenda besar itu nampak sunyi dari luar.

   Tapi di dalamnnya, puluhan komandan pasukan sedang berdiri tertib dengan mulut bungkam.

   Seperti patung-patung mati saja.

   Tak ada suara lain di dalam tenda itu kecuali suara langkah Ni Keng Giau yang hilir mudik disekitar meja besar, tempat digelarnya selembar peta wilayah Jing-hai yang hampir seluas permukaan meja.

   Sebagian besar tatapan mata Ni Keng Giau juga hanya tertuju ke peta, kadang-kadang dengan alis berkerut.

   Sedangkan semua perwira bawahannya berdiri menunggu sambil membisu.

   Tiba-tiba dari luar tenda terdengar suara langkah mendekat.

   Wajah para komandan pasukan menjadi tegang, dan dengan sudut mata mereka mencoba melirik ke pintu tenda, untuk melihat siapakah rekan mereka yang sudah bosan punya kepala, sehingga berani datang terlambat dalam sidang pimpinan itu? Ni Keng Giau pun mengangkat wajahnya yang menjadi bengis, cukup menciutkan nyali perwira-perwira bawahannya.

   Bibirnya bergetar, nampaknya beberapa detik lagi akan menggeledekkan perintah hukuman mati terhadap si terlambat itu.

   Matanya telah menyorot geram menatap pintu tenda, menunggu siapa yang akan masuk dari situ.

   Tirai pintu tenda terkuak.

   Muncul seorang tua berambut putih dan bermata merah seperti elang, tubuhnya tegap, terbungkus jubah kepangkatan seorang pejabat tinggi.

   Berbeda dengan wajah orang-orang di dalam tenda Ni Keng Giau yang tegang semuanya, orang tua yang baru masuk ini malahan tersenyum agak mengejek, seolah dengan sengaja ingin menunjukkan bahwa dia tidak gentar terhadap kekuasaan Ni Keng Giau.

   Dan Ni Keng Giau memang tidak berkuasa berbuat apa-apa untuk satu orang ini.

   Orang ini adalah Kim Seng Pa, yang mendapat limpahan wewenang dari Kaisar Yong Ceng pribadi, untuk mengawasi pelaksanaan tugas Ni Keng Giau.

   Dia juga berhak mengirimkan laporan sendiri ke Pak-khia, terpisah dari laporan Ni Keng.

   Giau.

   Karena itu, Ni Keng Giau tak bisa berbuat apa-apa atas Kim Seng Pa, kecuali mendoakannya agar kepalanya disambar geledek.

   "Maaf, Ni Goan-swe........."

   Kata Kim Seng Pa dengan santai sambil melangkah masuk tenda.

   "Aku terlambat, karena keenakan minum teh......"

   "Juru masak yang berhasil membuat teh seenak itu, sehingga melengahkan Kim Congkoan dari tugas utama, rasanya patut dihukum mati ....."

   Dengus Ni Keng Giau dingin..

   "Jangan, Goan-swe. Nanti siapa yang membuatkan tehku?"

   "Kalau sampai disiplin pasukan ini kedodoran gara-gara ulah Cong-koan"

   Kata Ni Keng Giau dengan nada mengancam.Maka Congkoan yang harus bertanggung-jawab di hadapan Sribaginda..."

   Antara Ni Keng Giau dan Kim Seng Pa memang saingan yang sengit, baik di hadapan Kaisar, sampai dibawa-bawa ke garis depan menghadapi musuh bersama.

   Sengaja Kaisar Yong Ceng menyuruh Kim Seng Pa ikut dalam pasukan itu untuk mengawasi Ni Keng Giau, biarpun tidak punya wewenang langsung memerintah pasukan.

   Tujuan Kaisar ialah supaya dua orang yang seperti air dan minyak itu dapat saling mengawasi, jangan sampai melakukan tindakan yang membahayakan kekuasaan Kaisar.

   Ni Keng Giau tahu, alasan terlambatnya Kim Seng Pa itu hanya dibuat-buat untuk "menantang"

   Nya.

   Namun sialnya, biarpun geram bagaimanapun hebatnya, Ni Keng Giau memang tidak berkuasa menghukum Kim Seng Pa, yang bukan bawahannya.

   Maka tindakan balasan Ni Keng Giau hanyalah dengan berusaha membuatnya kehilangan muka, yaitu membiarkan Kim Seng Pa dan tidak dipersilahkan duduk segala.

   Menunjukkan sikap acuh tak acuh seolah-olah Kim Seng Pa bukan orang penting.

   Namun Kim Seng Pa bisa mempersilakan dirinya sendiri.

   Dengan langkah santai sekali ia menyeberangi ruang penuh beban ketegangan itu, langsung duduk di sebuah kursi yang letaknya di samping kursi Ni Keng Giau, sambil tersenyum cerah.

   Tanpa melirik sedikitpun ke arah Kim Seng Pa, Ni Keng Giau terus melangkah sekeliling meja sambil menatap peta.

   Ia khawatir kalau menatap muka Kim Seng Pa akan meluapkan kejengkelannya, dan tak bisa menahan emosinya lagi.

   Di atas peta itu ada coretan-coretan baru yang menandai tempat-tempat di mana pihak pemberontak menempatkan pasukannya, bahkan juga dilengkapi catatan-catatan singkat seberapa besar kekuatan musuh di tempattempat itu.

   Itulah hasil laporan para mata-mata amat terlatih yang oleh Ni Keng Giau sudah lebih dulu disebar ke Jing-hai, mendahului seluruh pasukan.

   Ni Keng Giau rupanya benarbenar mempraktekkan ajaran "nabi perang"

   Sun Cu yang mengatakan.

   "Kalau mengetahui musuh seperti mengetahui diri sendiri, dalam seratus pertempuran akan mendapat seratus kemenangan". Sesaat suasana dalam tenda itu sunyi mencekam. Hanya suara langkah Ni Keng Giau dan desir ujung telunjuknya yang menggoresgores di atas peta. Kemudian suasana sunyi itu agak terganggu, karena Kim Seng Pa menekuk nekuk ruas-ruas jarinya sehingga berbunyi bergeletukan. Tidak keras, namun terdengar amat nyata dalam suasana semencekam itu. Ni Keng Giau tetap tidak menggubrisnya. Toh Kim Seng Pa hanya punya sepuluh jari tangan yang tak mungkin berbunyi terus-terusan. Ia berusaha menekan emosinya, dan berusaha letap berkonsentrasi mempelajari kedudukankedudukan musuh sambil memikirkan langkahlangkah tandingannya. Di antara para kepala pasukan yang berderet-deret seperti patung di tenda besar itu, terdapat Pangeran In Te yang bersikap tidak kalah tertib dengan lain-lainnya. Meskipun ia adalah seorang bangsawan, adik Kaisar Yong Geng sendiri, namun dalam pasukan itu ia berkedudukan di bawah perintah Ni Keng Giau. Lagipula, Pangeran In Te sadar bahwa nyawanya selalu diincar o-eh Kaisar Yong Ceng dan kaki-tangannya, termasuk Ni Keng Giau, dan saat itu boleh di kata nyawanya ada dalam genggaman Ni Keng Giau. Karena itu, Pangeran In Te harus menjaga untuk tetap bersikap sebagai "anak manis"

   Agar Ni Keng Giau tidak punya dalih untuk membunuhnya.

   Maklum, peraturan amat ketat yang diterapkan Ni Keng Giau pada pasukannya memberi wewenang kepada Ni Keng Giau untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap siapapun yang kurang tertib sedikit saja.

   Sebaliknya Ni Keng Giau sendiri tak berani sembarangan membunuh Pangeran Te.

   Harus ditunggu saatnya sampai mendapat alasan yang tepat.

   Tanpa alasan yang tepat, pembunuhan atas Pangeran In Te akan menimbulkan gejolak yang takkan gampang diredakan dalam pemerintahan.

   Biarpun tidak pasti berapa besarnya, karena sebagian tidak kelihatan di permukaan, namun Kaisar Yong Ceng maupun Ni Keng Giau yakin bahwa Pangeran In Te masih punya banyak pendukung.

   Dalam pasukan yang dikirim ke Jing-hai itupun banyak yang dulu juga ikut Pangeran In Te memadamkan pemberontakan di tempat yang sama.

   Karena itulah, usaha menghukum mati Pangeran In Te tidak bisa dilakukan dengan gegabah dan asal memerintah saja.

   Beberapa saat Ni Keng Giau masih menatap peta, lalu tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan memanggil.

   "Pange ran In Te". Biarpun dipanggil "pangeran"

   Tapi Pangeran In Te tidak mau lalai dalam menjalankan tatatertib. Cepat ia maju dan berlutut, sambil menjawab.

   "Siap menerima perintah, Goanswe!"

   Beberapa perwira menengah Manchu diamdiam merasa terusik hatinya, melihat seorang bangsawan Manchu seperti Pangeran In Te berlutut di hadapan seorang Han keturunan rakyat jelata dari kota udik Tan-liu.

   Tapi apa boleh buat, kekuasaan tertinggi memang di tangan Ni Keng Giau.

   Semuanya maklum Pangeran In Te memang harus tunduk, agar oleh Ni Keng Giau tidak dituduh melanggar disiplin.

   Ni Keng Giau sendiri jengkel melihat Pangeran In Te begitu patuh, sehingga tidak ada peluang untuk menghukumnya.

   Padahal ia ingin secepatnya melaksakan pesan rahasia Kaisar, setelah itu baru akan memusatkan seluruh pikirannya untuk menumpas pemberontakan.

   Maka Ni Keng Giau lalu mencoba agar Pangeran ln Te lupa diri.

   "Pangeran sebenarnya tidak usah berlutut, aku jadi tidak enak sendiri. Sebab Pangeran adalah adik dari Sribaginda junjungan kita,"

   Pangeran In Te menjawab sambil tetap berlutut.

   "Dalam pasukan ini, aku bukan apaapa kecuali seorang perajurit yang harus tunduk kepada Panglimanya."

   "Tetapi Pangeran berderajat agung."

   Sahut Pangeran In Te.

   "Agar pasukan ini mendapat kemenangan, semua perajurit harus tunduk kepada tata-tertib, tanda pandang bulu asal-usulnya atau silsilah keluarganya."

   Kalau yang bilang begitu itu perwira yang lain, tentu Ni Keng Giau akan menepuk-nepuk pundaknya dan memujinya. Tapi Pangeran In Te orangnya. Karuan Ni Keng Giau mencacimaki dalam hati. Kalau Pangeran In terus se "alim"

   Itu, kapan ia bias memerintahkan algojo memotong kepala In Te? Kalau nekat menghukum juga tanpa alasan yang kuat, maka pandangan para perwira terhadap dirinya akan rusak. Ia akan dianggap sebagai Panglima yang sewenang wenang.

   "Keparat, agaknya In Te tahu aku ingin mencopot kepalanya, maka dia membawa diri setertib itu..... agar aku tidak memperoleh kesempatan,"

   Gerutunya dalam hati. Maka dengan menahan kejengkelannya, Ni Keng Giau terpaksa berkata.

   "Kalau itu kemauan Pangeran sendiri, ya terserahlah. Tapi kelak jangan sampai ada yang mengadukan kepada Sribaginda, bahwa aku bersikap tidak hormat kepada anggota keluarga istana."

   Sesaat ruangan itu sunyi.

   "Nah, Pangeran, aku persilahkan Pangeran berdiri untuk melihat peta ini."

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baiklah, Goan-swe,"

   Pangeran In Te bangkit dan mendekati meja, memperhatikan peta.

   "Pangeran, beberapa tahun yang lalu Pangeran juga memimpin pasukan untuk menggempur Jing-hai, dan pulang membawa kemenangan besar. Sekarang aku ingin mendengar pendapat Pangeran, yang punya pengalaman di daerah ini, bagaimana tentang situasi medan yang kita hadapi?"

   "Goan-swe, sebagian besar wilayah Jing-hai adalah dataran rumput, sebelah utara dan tenggara dibatasi pegunungan. Menurut dugaanku, kaum pemberontak akan mencoba mengajak kita bertempur di dataran dengan mengandalkan pasukan berkuda mereka yang cepat geraknya. Atau kalau jaraknya lebih jauh, mereka akan menggunakan onta. Singkatnya, kita seolah menghadapi ikan-ikan kecil yang lincah di sebuah kolam yang lebar."

   "Jadi, bagaimana pendapat Pangeran untuk menghadapi mereka?"

   Pangeran In Te waspada.

   Di hadapan Ni Keng Giau, ia tidak boleh kelihatan terlalu bodoh dan terlalu pintar.

   Berlagak bodoh, ia akan menjadi bahan cemoohan, sebaliknya kalau terlalu pintar juga berbahaya.

   Ni Keng Giau bisa merasa disaingi, lalu bangkit nafsunya untuk mempercepat membunuhnya.

   Maka Pangeran In Te menjawab "Dulu, lebih dulu kutempatkan pasukanku untuk menjaga jalan-jalan ke pegunungan, agar musuh tidak bisa lari ke gunung dan menyulitkan pasukanku, lalu kugempur titiktitik pemusatan kekuatan mereka.

   Namun karena tempat itu terlalu banyak berpencaran, tidak bisa kugempur sekaligus, maka kupilih saja titik-titik penghubung yang pentingpenting dan persimpangan-persimpangan Supaya mereka kesulitan untuk saling membantu atau bergerak serampak."

   Ni Keng Giau mengangguk-angguk dan menjawab.

   "Itu bagus, tapi seandai nya pun kita berhasil menguasai titik-titik penting itu, mereka masih bisa berhubungan lewat jalan memutar. Di padang rumput sedatar ini, hampir semua tempat bisa dilewati kuda atau onta. Mereka bahkan bisa menyerang dari arah yang tak terduga. Nah, bagaimana Pangeran?" Begitulah Ni .Keng Giau. mengajak Pangeran In Te adu otak. Mereka sama-sama panglimapanglima unggul yang saja pula sudah melahap ratusan

   Jilid kitab-kitab kemiliteran. Sebenarnya Pangeran In Te bisa menjawabnya, namun sesuai dengan kewaspadaannya untuk "tidak nampak kelewat pintar", maka ia diam beberapa saat sambil pura-pura mengerutkan jidatnya dan berpikir keras.

   "Bagaimana, Pangeran?"

   Desak Ni Keng Giau dengan nafsu untuk mempermalukan Pangeran In Te.

   "Bagaimana pendapat Goan-swe sendiri?"

   Pangeran In Te malah balik bertanya.

   "Aku yang tanya, bagaimana pengalaman Pangeran dulu ketika menaklukkan pemberontakan di kawasan ini?"

   Ni Keng Giau membalikkan pertanyaan lagi. Malah kini diikuti dengan sentilan tajam.

   "Sribaginda kan tidak menyuruh Pangeran ikut kemari hanya sekedar menambah jumlah mulut yang tiap hari harus diberi ransum?" Kuping Pangeran In Te maupun beberapa perwira yang masih simpati kepadanya jadi merah, mendengar kata-kata tajam Ni Keng Giau itu. Bahkan perwira-perwira yang berdarah Han juga merasa bahwa Ni Keng Giau memang terlalu pongah, sadar bahwa dirinya begitu berkuasa di pemerintahan, boleh di bilang orang kedua setelah Kaisar Yon Ceng. Sekuat tenaga Pangeran In Te menahan emosinya, bukan cuma untuk keselamatan pribadinya, tapi juga untuk keutuhan pasukan agar tidak retak.

   "Maaf, Goan-swe, soal ini memang harus dipikirkan masak-masak. Akupun sedang memeras otakku untuk."

   Tak terduga sikap mengalah Pangeran In Te itu malah digunakan oleh Ni Keng Giau untuk semakin mempermalukannya.

   "Ah, aku tidak mengharap banyak dari otakmu, Pangeran...."

   Ni Keng Giau terkekeh mengejek.

   "Aku tidak minta Pangeran berpikir menemukan cara baru. Aku cuma mau mendengar Pangeran mendongeng, atau membual, atau apapun namanya, bagaimana du Mereka sama-sama panglima-panglima unggul yang sama-sama pula sudah melahap ratusan

   Jilid kitab-kitab kemiliter lu bisa menang di Jing-hai? Kemenangan yang kebetulan? Atau hasil pemikiran orang lain yang diakui sebagai pikiran Pangeran sendiri, sehingga Pangeran sendiri tidak memahaminya?"

   Beberapa perwira yang termasuk pengagum berat Ni Keng Giau, ikut-ikutan tersenyum mencemooh sambil melirik ke arah Pangeran In Te.

   Sebaliknya perwira-perwira yang bersimpati kepada Pangeran In Te harus sekuat tenaga menahan kemarahannya, melihat bagaimana Ni Keng Giau secara terbuka berusaha mempermalukan Pangeran In Te.

   Dengan darah mulai agak menghangat, Pangeran In Te membalas.

   "Biarpun aku tidak sepandai Goan-swe, untunglah dulu aku tidak malas berpikir. Tidak cuma membentak-bentak perwira perwira bawahannya. Itulah sebabnya dulu aku bisa menang, biarpun pasukan saat itu hanya separuh dari pasukan ini."

   Hampir saja Pangeran In Te terpancing untuk bertengkar dengan Ni Keng Giau. Namun saat itulah Kim Seng Pa tiba-tiba berkata.

   "Kita ini sedang merundingkan siasat mengalahkan musuh atau sekedar saling menyindir seperti perempuan-perempuan bawel kurang kerjaan? Merasa puas kalau bisa saling mempermalukan, tanpa menghasilkan pikiran yang berguna?"

   Kedudukan Kim Seng Pa memang kuat, suaranya memang tidak bisa diabaikan begitu saja.

   Bukan saja karena ilmunya yang tinggi, sehingga pernah mengalahkan Pak Kiong Liong dalam perkelahian satu lawan satu, namun juga karena dalam pasukan itu ia seolah mewakili pribadi Kaisar Yong Ceng sendiri untuk mengawasi pelaksanaan penumpasan pemberontak.

   Biarpun dalam hatinya mengutuk, Ni Keng Giau tidak berani menunjukkan sikap menentang Kim Seng Pa.

   "Terima kasih atas peringatan Kim Cong-koaa Kami hanya sedang bertukar pikiran, tidak aneh kalau terjadi sedikit selisih pendapat."

   Kim Seng Pa mendengus angkuh.

   Kelihatannya dia membela Pangeran In Te, padahal sebenarnya juga cuma mancing pertengkaran dengan Ni Keng Giau, untuk memojokkan jenderal yang dibencinya itu agar berkurang pengaruhnya di hadapan para perwira.

   Sementara itu, Pangeran In Te diam-diam merasa hatinya terluka.

   Merasa dirinya amat tidak berharga dalam pertentangan itu, sampai Kim Seng Pa merasa perlu berbelas-kasihan kepadanya.

   Alangkah bedanya dengan dulu, se belum kekuasaannya dilucuti, dan ia membuat kota Pak-khia menggigil ketakutan ketika angkatan perangnya mengepung kota itu.

   "Ternyata benarlah peringatan paman Pak Kiong Liong kepadaku dulu, bahwa aku terlalu dalam permainan politik yang kelewaat licin dan penuh tipuan keji,"

   Sesalnya dalam hati.

   "Seandainya dulu aku tetap mempercayai paman Pak Kiong Liong dan membiarkannya tetap mendampingi aku, tak mungkin aku jatuh seperti ini. Gara-gara kena tipuan busuk paman Liong Ke Toh maka aku dapat dipisahkan dari paman Pak Ki ong Liong. Sekarang, keturunan rakyat jelata macam Ni Keng Giau pun berani menari-nari di atas kepalaku."

   Tapi mengingat masih perlunya kekompakan seluruh pasukan, ia lalu berusaha mengalah lagi, mencoba bersikap sebagai perajurit bawahan yang patuh.

   Dengan kepala menunduk dan tubuh a-gak berkeringat karena pertentangan ba tin, ia berjalan mendekati peta di meja dan berkata.

   "Goan-swe, aku minta maaf untuk ucapanku tadi. Sekarang rasanya aku sudah menemukan suatu pikiran untuk menghadapi pemberontak. Kita harus menempatkan pasukan di...."

   "Lho, kapan aku memintamu mengeluarkan pendapat, Pangeran?"

   Kembali Ni Keng Giau memotong dengan dingia "Dari tadi kan cuma kusuruh Pangeran menceritakan pengalaman yang dulu, bukan untuk mengeluarkan pendapat?"

   Lalu suaranya meninggi dengan congkak^ "Akulah Panglima Tertinggi pasukan ini, jangan ada yang lancang mendahului apa yang sedang kupikirkan dan akan kulaksanakan!" Saat itu Ni Keng Giau tinggal selangkah dari perintah untuk memerintah algojo memotong kepala Pangeran In Te, tinggal memperkuat dalihnya dengan beberapa kalimat lagi, dan perintah hukuman mati akan keluar.

   Sedangkan Pangeran In Te mengangkat wajahnya yang pucat dan basah kuyup oleh keringat.

   Jari telunjuknya yang hampir menunjuk satu titik di peta, kini tergantung dua jengkal di atas peta, lalu perlahan dan gemetar ditarik ke samping tubuhnya.

   Lain lagi dengan Kim Seng Pa.

   Tiba-tiba ia mendapat peluang lagi untuk memancing pertengkaran dengan Ni Keng Giau.

   "Goan-swe, rasanya Pangeran In Te berhak mengemukakan pendapat, karena dia adalah keturunan Aishin Gioro yang agung. Dalam perkemahan ini, Pangeran In Te yang derajatnya paling tinggi. Siapa yang mencoba merendahkannya, sama dengan menantang semua orang Manchu, termasuk Sribaginda sendiri yang aku wakili kehadirannya di perkemahan ini." Ni Keng Giau amat kaget mendengar katakata Kim Seng Pa yang terang-terangan mengungkit-ungkit sentimen kesukuan itu. Yang dikhawatirkan Ni Keng Giau ialah kalau sampai timbul perpecahan dalam pasukannya yang terdiri dari orang Han dan Manchu dalam jumlah hampir sama besarnya. lapun sadar, banyak perwira bawahannya yang keturunan Manchu belum ikhlas sepenuhnya tunduk kepada dirinya yang keturunan Han. Ucapan Kim Seng Pa itu bisa menimbulkan keberanian para perwira itu untuk membangkang, dan pasukan itu jangan-jangan bukan hancur oleh musuh, tapi karena "perang suku"

   Dalam tubuh sendiri? Dengan rasa was-was yang mulai terusik, Ni Keng Giau menyapu pandangan ke deretan perwira yang masih berdiri dengan tertib.

   Namun tidak sedikit di antara mereka yang air mukanya menampakkan kepuasan setelah mendengar kata-kara Kim Seng Pa tadi.

   "Inilah "lampu kuning"

   Buat Ni Keng Giau.

   Ini jelas perlawanan dalam hati yang tak bisa begitu saja ditindas dengan rnengobral hukuman mati.

   Ni Keng Giau tiba-tiba merasa kedudukannya tidak sekokoh yang selama ini dikiranya sendiri.

   Sikap kerasnya yang tak kenal kompromi itu rupanya harus diberi bumbu baru yang bernama 'kebijaksanaan".

   Ia merasa, seolah kedua kakinya berdiri sebelah-menyebelah retakan tanah.

   Kalau tanahnya tetap merapat, ia masih aman, tapi kalau retakan tanah itu melebar, dia akan terjerumus ke bawah.

   Dan kini Kim Seng Pa bisa saja "melebarkan jurang"

   Itu dengan kata-katanya yang mengandung hasutan berdasar kesukuan.

   Ni Keng Giau paham hal ini.

   Apa boleh buat.

   Ni Keng Giau merasa harus bertindak cepat agar Kim Seng Pa tampil seolah-olah si baik hati yang membela Pangeran In Te, namun sebenarnya ingin menjatuhkan Ni Keng Giau demi kepentingan nya sendiri.

   Akhirnya Ni Keng Giau terpaksa mengganti wajah angkernya dengan wajah yang agak "bersahbat"

   Sambil berkata "Rupanya kita semua masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari Pak-khia sampai di Jinghai.

   Otak masih keruh karena belum cukup beristirahat.

   Baiklah, agaknya pembicaraan ini harus ditunda satu hari.

   Aku persilahkan kalian kembali ke pasukan masing-masing.

   Tunggu perintahku dan tetaplah tertib."

   Kata-kata itu terasa benar mebuyarkan ketegangan yang tadinya menggumpal sarat di tenda itu.

   Perwira-perwira yang orang Han maupun Manchu hampir bersamaan menghembuskan napas lega.

   Mereka datang ke Jing-hai untuk bertempur mati-matian melawan musuh, dan tidak perlu didahului dengan saling bantai dengan sesama rekan.

   Hanya Kim Seng Pa yang merasa tidak senang, merasa kalau Ni Keng Giau agaknya sudah mencium maksud hatinya.

   Para perwira kembali kepasukannya masingmasing.

   Di luar tenda, para perwira Manchu dan Han masih saling tegur sapa dengan ramah, sama-sama pura-pura tidak paham apa yang nyaris meledak dalam tenda Ni Keng Giau tadi.

   Beberapa perwira Han sendiri merasa, sesungguhnya Ni Keng Giau terlalu besar kepala dan berani bermain api.

   Untunglah dia buruburu "banting setir"

   Sebelum mengobarkan perpecahan hebat dalam pasukanya sendiri.

   Sementara itu, setelah sendirian di dalam kemahnya, Ni Keng Giau mulai mengepal-ngepal tinjunya dan menguruk geram dalam hatinya.

   Pertemuan tadi amat tidak memuaskannya.

   Terasa benar Kim Seng Pa berusaha menantang wibawanya, menjegal rencananya atas Pangeran In Te, bahkan lebih jauh lagi, berusaha merebut simpati perwira-perwira berdarah Manchu.

   Kalau dibiaarkan saja, tentu akan makin berbahaya, tapi ia tidak bisa menghukum Kim Seng Pa yang bukan bawahannya.

   Setelah berpikir sekian lama akhirnya Ni Keng Giau memutuskan untuk lebih dulu "menjinakkan"

   Kim Seng pa sebelum melakukan tindakan-tindakan berikutnya.

   Ia punya cara untuk dicoba.

   * * * Matahari seolah menyatukan diri dengan bumi, di garis hijau jauh di ufuk barat, entah di bagian mana dari samudera rumput maha luas itu.

   Malam datang laksana kain kerudung raksasa biru-tua yang ditarik lebar dari sisi timur langit, sampai seluruh kubah langit berhasil ditudunginya.

   Untung juga, masih ada kelap-kelip bintang tak terhitung banyaknya, seolah kerudung raksasa itu berlubang-lubang.

   Perkemahan pasukan besar Ni Keng Giau sudah sunyi.

   Yang mendapat giliran istirahat segera menikmati haknya setelah mendapat ransum makan malam hari.

   Yang ketunjuk giliran jaga menjalankan tugas dengan sungguhsungguh, tidak berani lengah karena mereka sudah tiba di wilayah yang rawan.

   Di seluruh tebaran kemah, para perajurit membuat perapian-perapian untuk mengusir kegelapan.

   Jumlah perapian begitu banyaknya, sehingga kalau dilihat dari tempat tinggi, bentangan perkemahan itu seolah menjadi bayangan langit dalam air dengan bintang-bintangnya yang.

   banyak.

   Saat itu Ni Keng Giau justru meninggalkan tendanya, sendirian menuju kemah Kim Seng Pa yang tidak jauh letaknya.

   la bahkan tidak membawa pengawal.

   Pakaian yang dikenakannya pun bukan pakaian resminya sebagai Ceng-se Tai-goan-swe yang bersulam burung hong, lambang yang cuma setingkat lebih rendah dari lambang naga pada jubah Kaisar.

   Ia cuma mengenakan jubah sederhana, dan kepalanya tak bertopi.

   Ia ingin bertemu empat mata dengan Kim Keng Pa dengan kesan "rendah hati"

   Dan jauh dari suasana resmi yang kaku. Kim Seng Pa tercengang ketika seorang bawahannya melaporkan kedatangan Ni Keng Giau. Cepat Kim Seng Pa keluar untuk menyambut.

   "Eh, Goan-swe, kenapa tidak menyuruh saja orang untuk memanggilku datang ke kemah Goan-swe?"

   Kim Seng Pa juga pura-pura rendah hati untuk mengimbangi sikap Ni Keng Giau.

   Ni Keng Giau tersenyum ramah.

   "Kalau Cong-koan sudi meluangkan waktu untukku, aku memang ingin berbincangbincang dengan Cong-koan tapi dalam suasana santai saja agar lebih bebas.

   Sebagai seorang yang lebih muda, aku mengaku kalah banyak dari Cong-koan dalam hal banyaknya pengalaman dan kematangan berpikir.

   Karena itu, sepantasnyalah aku yang datang menghadap Cong-koan."

   "Silahkan duduk di dalam, Goan-swe,"

   Sahut Kim Seng Pa.

   Dalam hatinya ia menduga-duga, ada apa Ni Keng Giau malam-malam datang ke kemahnya dengan sikap begitu manis? Setelah berada dalam tenda, kedua-duanya saling bersikap ramah.

   Namun masih agak canggung.

   Mereka sadar, biarpun mereka saingan berat di hadapan Kaisar, tapi juga samasama menyadari tak bisa saling mengutik-utik kedudukan masing-masing.

   Ni Keng Giau sadar bahwa Kim Seng Pa berhak menulis la-poran terpisah kepada Kaisar tentang pelaksanaan tugas di Jing-hai, dan dalam laporan itu bisa saja Kim Seng Pa merugikan Ni Keng Giau.

   Sebaliknya Kim Seng Pa juga sadar, kedudukan Ni Keng Giau begitu kuat, tak gampang di dongkel begitu saja.

   Sesaat mereka masih berbicara santai soalsoal ringan, sambil menikmati teh.

   Sampai Ni Keng Giau kemudian mulai menuju ke soal-pokoknya perlahan-lahan, ''Cong-koan, suasana tidak enak yang siang tadi terjadi di kemahku, rasanya kusesalkan sekali.

   Tapi aku tidak menyalahkan siapa-siapa.

   Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang harus dijelaskan hanya antara kita berdua."

   "Soal apa itu?"

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Kim Seng Pa mulai lebih bersungguh-sungguh.

   "Aku, terus -terang saja, agak menyesal mendengar ucapan Cong-koan yang menimbulkan kesan bahwa aku tidak menghargai saudara-saudaraku yang berdarah Manchu. Padahal aku tidak bermaksud seperti itu. Setitik pun tidak."

   Melihat sikap Ni Keng Giau yang merendah, kecongkakan Kim Seng Pa kontan mengembang.

   "Goan-swe bilang begitu, namun kenyataannya, apa yang Goan-swe lakukan atas diri Pangeian In Te itu bisa membuat marah semua orang Manchu! Sengaja atau tidak!"

   "Yah, aku memang agak ceroboh dalam berkata, sehingga sampai timbul suasana tidak enak tadi siang. Namun, terhadap diri Pangeran In Te, aku memang punya tujuan tertentu. Terang-terangan saja, aku harus menyingkirkan Pangeran In Te!"

   Wajah Kim Seng Pa berubah menjadi keruh mendengar keterus-terangan Ni Keng Giau yang ditafsirkan sebagai kesombongan iru.

   "Menyingkirkan Pangeran In Te? Untuk mencari muka kepada siapa? Goan-swe, sudah begitu besarkah kekuasaanmu, sehingga aku berani berniat membunuh seorang anggaota keluarga istana, biarpun seorang anggota yang sudah terdorong minggir dari pusat kekuasaan? Kalau sampai hal ini di dengar oleh ...."

   Kata-kata Kim SenK Pa yang berikutnya seolah tertelan kembali keteenggorokan, karena tiba-tiba melihat Ni Keng Giau mengeluarkan sepucuk sampul surat dari kantong dalamnya.

   Sampul .

   surat yang wujudnya maupun mutu kertasnya tidak menarik sama sekali.

   Rasa nya, bakul bakpao di pinggir jalan pun akan engkau memakai kertas macam itu untuk bungkus bakpaonya.

   Tetapi Ni Keng Giau justru memegang sampul itu dengan hati-hati, bahkan cenderung ke khidmat, lalu menyodorkannya dengan dua tangan ke hadapan Kim Seng Pa.

   Sulit ditebak apakah sikap hormatnya itu ditujukan kepada Kim Seng Pa, atau hanya kepada "bungkus bakpao"

   Itu.

   Kim Seng Pa agak terpengaruh oleh sikap Ni Keng Giau.

   Dilihatnya tepi, sampul itu sudah disobek rapi, tandanya isi sampul itu sebenarnya tidak ditujukan kepada Kim Seng Pa, tapi kepada, N i Keng Giau.

   Entah dari siapa.

   Kim Seng Pa ragu-ragu untuk menerimanya meskipun Ni Keng Giau menyodorkannya.

   Ia curiga, jangan-jangan Ni Keng Giau sedang menjebaknya untuk mengetahui suatu rahasia yang tidak seharusnya diketahui, agar kelak dapat digunakan oleh Ni Keng Giau menjerat lehernya.

   Ni Keng Giau tersenyum melihat kebimbangan Kim Seng Pa.

   "Cong-koan, memang ini sebuah pesan rahasia yang ditujukan untukku pribadi. Tetapi agar Congkoan memahami sikapku terhadap Pangeran In Te, rasanya tidak keliru kalau aku persilakan Cong-koan ikut mem baca. Silakan.."

   Bicara begitu panjang, belum satu kali pun Ni Keng Giau menyebut ataupun sekedar "menyerempet"

   Siapa penulis pesan itu.

   Itu menandakan betapa pekanya urusan itu, biarpun Kim Seng Pa rasanya sudah bisa menduga siapa pemberi pesan.

   Akhirnya bergerak juga tangan Kim Seng Pa untuk menerima sampul itu.

   seolah tangannya dibebani timah ratusan kati, gerakannya lambat sekali.

   Lalu di keluarkannya sehelai surat dari sampul, sehelai kertas yang sama jeleknya dengan sampulnya.

   Ada tulisan singkat, perintah kepada Ni Keng Giau agar Pangeran In Te dilenyapkan di Jing-hai dan 'caranya terserah kepadamu, asal tidak menyolok sekali", itu saja.

   Kim Seng Pa menghembuskan napas yang terasa dingin.

   Tidak ada tanda tangan si penulis surat, apalagi cap resmi.

   Si penulis pesan maha singkat itu agaknya khawatir kalau pesan itu jatuh ke pihak yang tidak bersahabat, lalu digunakan sebagai bukti untuk menimbulkan gejolak.

   Untuk menjaga kemungkinan itu, maka tidak dituliskannya identitas dirinya dikertas itu.

   Bahkan kertas yang dipakainyapun adalah kertas murahan yang terdapat di sembarang tempat, dan tidak mungkin dilacak dari mana asalnya.

   Tangan Kim Seng Pa agak bergetar, sehingga surat yang dipegangnya seolah ditiup mulut jahil.

   Ia dapat menduga siapa penulis pesan "tanpa nama"

   Itu. Sebagai pembantu dekat Kaisar Yong Ceng selama bertahun-tahun, Kim Seng Pa tahu benar isi hati Kaisar Yong Geng terhadap Pangeran In Te yang selalu dianggapnya "duri dalam daging"

   Biarpun Pangeran In Te sudah tidak memegang jabatan yang menentukan.

   la masukkan kembali surat itu ke dalam sampulnya, sikapnya menjadi begitu hati-hati seolah memegangi secangkir racun keras agar jangan sampai menciprati tangannya.

   Lalu disodorkannya kembali "racun berbahaya"

   Itu ke tangan Ni Keng Giau. Ia juga merasa agak sedih bahwa tugas sepenting itu dipercayakan kepada Ni Keng Giau, bukan kepada dirinya. Itu menandakan bahwa si penulis pesan itu masih lebih mempercayai Ni Keng Giau daripada dirinya.

   "Bagaimana pendapat Cong-koan? Apakah mungkin Cong-koan menganggap pesan ini palsu, karena tidak ada tanda tangan dan capnya?"

   Tantang Ni Keng Giau sambil tersenyum dean mengantongi kembali sampul itu. Puas hatinya melihat Kim Seng Pa nampaknya agak salah langkah.

   "Atau Congkoan percaya isi pesan ini?"

   Meragukan keaslian surat itu sama saja dengan mengalungkan tali gantungan ke leherku sendiri, pikir Kim Seng Pa. Terpaksa ia menjawab.

   "Terserah kepada Goan-swe saja. Aku akan tutup mata saja."

   Ni Keng Giau tersenyum makin lebar, sebaliknya wajah Kim Seng Pa makin kerus karena mendongkol. Ternyata Ni Keng Giau punya "senjata"

   Yang membuat langkahnya buntu tak berkurit. Namun agar tidak kelihatan kalah total, Kim Seng Pa masih coba berkata.

   "Goan swe melaksanakan pesan itu atau tidak, itu bukan urusanku. Tapi apa perlunya Goanswe mempermalukan Pangeran In Te di depan begitu banyak orang? Kalau sampai timbul perpecahan dalan tubuh pasukan, maka dosamu benar-benar akan lebih besar dari pahalamu."

   "Tujuanku sebenarnya ialah memancing Pangeran In Te supaya marah. lupa diri, melanggar peraturan, lalu muncul alasan untuk menghukum mati dia."

   "Seandainya Goan-swe berhasil dengan rencana itu, hukuman mati yang dijatuhkan pasti akan membuat keresahan di antara perwira-perwiramu. Mungkin mereka takkan berani terang-terang an menentangmu, tapi pasti akan sangat berpengaruh terhadap kekompakan menghadapi musuh. Nah, bukankah kekaisaran sendiri yang akan rugi?"

   "Apakah . Cong-koan punya cara lain?"

   "Pikirkan sendiri. Tapi pakailah cara yang tidak menyinggung harga diri kami, bangsa Manchu!"

   "Baik..... baik....."

   Sahut Ni Keng Giau masih disertai senyumannya yang menjengkelkan.

   "Aku akan menugaskan Pangeran In Te ke daerah yang paling berbahaya dalam pertempuran, tanpa dukungan yang memadai dari garis belakang. Nah, dia akan mati sebagai pahlawan. Lalu aku merencanakan suatu cara pelepasan jenazah yang amat megah dan mengharukan. Pada saat peti jenazah diangkat untuk diberangkatkan ke Pak-khia, aku akan berada di sisi peti mati dengan airmata bercucuran. Nah, Cong-koan puas?"

   Wajah Kim Seng pa benar-benar menjadi amat jelek mendengar kelakar Ni Keng Giau yang amat dibencinya itu.

   Bukan karena menyayangi nyawa Pangeran In Te.

   Sebab seandainya Kaisar menugaskan dirinya membunuh Pangeran In Tek, Kim Seng Pa juga akan melakukannya dengan senang hati.

   Namun karena Kim Seng Pa amat muak melihat sikap Ni Keng Giau yang dianggapnya memamerkan kelebihan kuasanya itu.

   "Bagaimana, Cong-koan? Setuju rencanaku?"

   Terpaksa Kim Seng Pa mengangguk. Satu anggukan yang sama nilainya dengan nyawa seorang Pangeran. Begitu melihat Kim Seng Pa mengangguk, wajah santai Ni Keng Giau tiba-tiba berubah kewajah aslinya, wajah seorang penguasa militer yang keras dan dingin.

   "Bagus. Besok pagi akan ku lakukan Tiam-ciang (penunjukkan tugas para perwira), lalu langsung berangkat ke tempat-tempat musuh. Demi kewibawaanku atas pasukan, kuharap Cong-koan tidak datang terlambat ketendaku. Kalau mau terlambat, tidak usah datang sama sekali! Kalau melanggar pesanku ini, jangan salahkan kalau kesabaranku habis!" Begitulah. Mula-mula Ni Keng Giau datang dengan sopan dan merendahkan diri, dan menjelang perginya dia menunjukkan kekuasaan dan wewenangnya untuk membuat Kim Seng Pa tidak berkutik, sambil menahan kejengkelannya.

   "Aku permisi, Cong-koan. Selamat malam,"

   Ni Keng Giau bangkit dan meninggalkan tenda itu.

   Kim Seng Pa tetap duduk, tidak mengantar keluar.

   Wajahnya merah padam.

   Penindih kertas di atas mejanya yang terbuat dari batu hijau, dicengkeramnya dan diremas sampai hancur menjadi bubuk lembut.

   Ia membayangkan, betapa sinar matahari akan lebih cerah, kicau burung lebih merdu, seandainya dirinya pun memiliki selembar "bungkus bakpao"

   Yang berisi pesan "cekiklah Ni Keng Giau dengan tangan sendiri sampai matanya melotot dan lidahnya keluar".

   "Ni Keng Giau.....' Ni Keng Giau.."

   Geramnya sendirian.

   "Kau terlalu besar kepala, menganggap dirimu tak mungkin jatuh. Tapi tunggulah saatnya. Kalau kau anggap Sribaginda akan mempercayai dan memanjakanmu terus, kau benar-benar keliru. Kekurang-ajaranmu di Bwe-hoa-kiong dulu takkan terlupakan oleh Sribaginda. Dan seandainya Sribaginda lupa, aku yang akan mengingatkan nya kembali. Aku benar-benar akan memperjuangkan keruntuhanmu!"

   Kim Seng Pa kemudian bukan hanya merenung gemas dan menggerutu saja, namun juga menyiapkan langkah-langkah nyata. Dipanggilnya seorang pengawal pribadinya, dan diperintahnya.

   "Panggil Cong-peng Kim Thian Ki kemari. Kau tahu tempatnya bukan?"

   Pengawal itu menjalankan tugasnya.

   Tak lama kemudian, dari luar tenda terdengar langkah kaki seseorang.

   Lalu masuklah Kim Thian Ki, seorang lelaki tegap berusia empatpuluh tahun yang berwajah persegi, berhidung melengkung seperti paruh burung betet dan bermata tajam seperti alap-alap.

   "Ayah memanggilku?"

   Tanya perwira itu sambil langsung mengambil tempat duduk. "Ya. Kau datang sendirian bukan?"

   Tanya Kim Seng Pa.

   "Tentu saja. Aku tahu kalau ayah memanggilku malam-malam begini, tentu ada urusan penting dan rahasia."

   "Bagus. Aku mau bicara singkat saja, dan dengarkanlah baik-baik. Besok, Ni Keng Giau akan melakukan Tiam-ciang, dan kau sebagai salah satu koman dan pasukan tentu akan hadir di kemahnya Ni Keng Giau. Nah, perhatikan dan ingat baik-baik apa saja yang Ni Keng Giau katakan, terutama yang mengenai diri Pangeran In Te. Setelah itu, secepatnya laporkan kepadaku. Paham?"

   "Paham. Tapi kenapa ayah sendiri tidak berada sendiri di kemahnya? Bukankah ayah sebagai pengawas juga berhak untuk ...."

   "Tidak. Aku tidak sudi menginjak kemahnya Ni Keng Giau untuk sementara waktu."

   "Kenapa, ayah?" Tentu saja. Aku tau kalau ayah memanggilku malam-malam begitu, tentu ada urusan penting dan rahasia. "Kau tidak perlu mengetahuinya. Cukup kalau kau lakukan pesanku tadi baik-baik. Dan waktu melaporkannya ke padaku, harus kau lakukan sendiri, jangan menyuruh orang lain. Pembicaraan ini pun hanya boleh diketahui kita berdua. Sudah mengerti?"

   "Mengerti, ayah."

   "Sekarang kembali ke kemahnya, dan jangan bilang siapapun bahwa kau dari sini."

   Kim Thian Ki kemudian menyelinap pergi dari tenda ayahnya.

   Ia memang tidak tahu bagaimana rencana ayahnya.

   Tapi ia paham sepahamnya bahwa antara ayahnya dan Ni Keng Giau seperti anjing dengan kucing, tak pernah rukun.

   Dan Kim Thian Ki tentu saja memihak ayahnya sendiri.

   * * * Malam itu Ni Keng Giau tidur pulas.

   Puas hatinya berhasil "menjinakkan"

   Kim Seng Pa.

   Ia berharap Kim Seng Pa akan menjadi kecil hari setelah membaca pesan rahasia Kaisar Yong Ceng, dan selanjutnya tidak akan lagi merintangi tindakannya.

   Namun tidurnya yang nyaman itu terganggu pada waktu dini hari, sebab lonceng kecil di atas bantalnya tiba-tiba bergoyang gemerincing, karena talinya ditarik-tarik dari luar kemah.

   Itu tandanya ada laporan militer penting yang harus diterimanya saat itu juga.

   Ni Keng Giau memang telah memberi wewenang tertentu kepada beberapa orang tertentu pula, untuk membangunkan tidurnya kapan saja, asal benar-benar membawa berita penting yang bersangkut-paut dengan perang itu.

   Dengan naluri seorang perajurit yang amat berdisiplin, Ni Keng Giau cepat bangkit, membuang selimutnya, mengenakan jubah luarnya, lalu melangkah kebalik penyekat yang membagi kemah itu menjadi ruang pribadi dan ruang tugasnya sebagai panglima.

   Di tempat itu sudah menunggu seorang lelaki berpakaian seperti penduduk Jing-hai umumnya.

   Meskipun dini hari itu berhawa amat dingin, orang itu nampak kumal oleh debu dan keringat.

   Jelas dia baru saja menempuh perjalanan jauh sepanjang malam.

   Begitu melihat Ni Keng Giau melangkah keluar dari balik penyekat, orang itu cepat berlutut dan berkata.

   "Hamba mohon diampuni sebesar-besarnya, karena telah mengganggu tidur Goan-swe."

   Ni Keng Giau langsung duduk di kursinya, dan berkata.

   "Kau tidak bersalah. Aku yakin kau berusaha menjalankan tugasmu sebaik-baiknya. Tentunya kau adalah salah satu pimpinan regu mata-mata?"

   "Benar, Goan-swe."

   "Namamu dan regumu?"

   "He Tiat, pimpinan regu ketiga yang kebagian tugas mengamati sisi selatan pegunungan Thian-san."

   "Apa laporanmu?"

   "Regu hamba berhasil mendapat kepastian, bahwa pihak Lo-sat (Rusia) campur tangan dari belakang layar untuk semakin mengobarkan pemberontakan orang-orang Jing-hai. Saat ini sebuah kafilah Lo-sat sedang bergerak menyeberang dari sebelah utara Thian-san ke selatan, memasuki wilayah kita. Mereka membawa ratusan pucuk senjata api beserta peluru dan obat peledaknya, untuk diserahkan kepada pemberontak. Dengan kecepatan jalan mereka, hamba perhitungkan dalam waktu tiga hari akan berhasil menyeberangi selat pegunungan itu."

   Ni Keng Giau ternyata tidak kaget mendengar laporan itu.

   Sejak semula ia memang sudah menduga hal itu.

   Abad delapanbelas itu, Asia Tengah memang menjadi ajang adu pengaruh antara Rusia dan Manchu.

   Kalau bangsa-bangsa Eropa lain menjajah dunia lewat laut, maka Rusia meluaskan wilayahnya lewat daratan terus mendesakkan perbatasannya ke timur dan selatan.

   Dan wilayah Jing-hai mulai diincarnya.

   Beberapa saar Ni Keng Giau masih menanyakan hal-hal terperinci dari laporan itu.

   Seperti kekuatan musuh, jalan yang kira-kira akan dilewati, ciri-cirinya dan sebagainya.

   Setelah He Tiat menjawab dengan cermat, Ni Keng Giau mencatat jasanya di kitab perang dengan tangannya sendiri.

   Lalu He Tiat mengundurkan diri.

   Sehabis itu, Ni Keng Giau tidak tidur kembali, melainkan membersihkan tubuh dan siap dengan tugasnya.

   Sebentar lagi fajar menyingsing, dan ia tidak mau bangun kesiangan.

   Untuk menghabiskan waktu, Ni Keng Giau kemudian duduk membaca buku militer untuk memancing keluar ilhamnya.

   Tidak lama kemudian, terdengar terompet tanduk ditiup, suaranya mengalun panjang di kesunyian pagi.

   Disusul terompet-terompet di bagian lain perkemahan dengan nada yang sama, sehingga di seluruh perkemahan itu, dari ujung ke ujung tak ada yang tidak mendengarnya.

   Itu isyarat agar semua perajurit bangun dari tidurnya.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Perkemahan itupun jadi dipenuhi kesibukan.

   Asap mulai mengepul dari dapur umum, tempat ratusan tukang masak mempersiapkan makan pagi.

   Di semua bagian perkemahan, regu demi regu berbaris untuk diperiksa kesiapannya oleh komandan masing-masing.

   Tidak lama kemudian, tiupan sangkakala terdengar lagi, dengan nada pendek pendek yang agak berbeda dengan yang pertama tadi.

   Isyarat inipun diteruskan oleh peniup-peniup sangkakala di bagian bagian lain, sehingga diketahui sampai kemah yang paling ujung.

   Inilah panggilan untuk semua Ban-hu-thio (pemimpin pemimpin tiap selaksa perajurit) agar berkumpul di kemah Ni Keng Giau.

   Menyadari betapa kerasnya tata-tertib yang diterapkan di perkemahan itu, tak seorangpun pun Ban-hu-thio yang berlambat-lambatan memenuhi panggilan itu.

   Ban-hu-thio yang letak kemahnya berjauhan, bahkan harus menunggangi kuda agar tidak terlambat sampai di hadapan Sang Panglima Tertinggi.

   Dalam waktu singkat, semua komandan Banhu-thio sudah berkumpul di kemah Ni Keng Giau dalam seragam mereka yang rapi, termasuk Pangeran In Te.

   Suasana tetap sunyi mencekam, biarpun puluhan orang berjejal-jejal di depan meja Ni Keng Giau.

   Ni Keng Giau tidak duduk, melainkan berjalan hilir mudik di belakang mejanya sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya, nampak bersemangat sekali.

   Melihat kursi Kim Seng Pa masih kosong, sejenak menimbulkan tanda tanya Ni Keng Giau, apakah Kim Seng Pa akan kembali menantang kewibawaannya dengan sengaja datang terlambat sambil cecengesan? "Apakah sudah lengkap?"

   Tanya Ni Keng Giau kepada perwira-perwiranya. Para perwira itu saling menoleh, sa ling menghitung, kemudian Pangeran In yang mewakili rekan-rekannya untuk menjawab.

   "Sudah lengkap semua, Goan swe."

   "Baik,"

   Kata Ni Keng Giau.

   "Kalian semuanya, maju ke dekat meja ini untuk memperhatikan peta!"

   Para perwira segera berkerumun maju. Ni Keng Giau pun berkata.

   "Laporan pendahuluan dari mata-mata yang aku sebarkan, sudah lengkap masuk ke hadapanku. Regu terakhir melaporkan hasil penyelidikannya dini hari tadi, dan kita sudah mendapat kepastian bahwa kerusuhan ini didalangi pihak Lo-sat dari seberang perbatasan. Jelas kalau raja mereka telah melanggar perjanjian tahun 1689 yang dibuat bersama almarhum Sribaginda Khong Hi. Karena itu, kita patut bersikap keras. Nah, perhatikan peta."

   Telunjuk Ni Keng Giau mulai menunjuknunjuk peta, melengkapi kalimat-kalimatnya.

   "Akan ada kafilah orang-orang Kozak Rusia lewat sini....."

   Telunjuknya membuat garis pendek di peta.

   ".... dan aku putuskan untuk menghadang mereka di sini....."

   Ujung telunjuknya berhenti bergerak untuk menekan satu titik di peta.

   "Menurut laporan, kafilah itu dikawal empat ribu perajurit Kozak Rusia yang terkenal mahir dalam pertempuran berkuda, ditambah entah berapa banyak senapan yang akan diberikan kepada para pemberontak Jing-hai. Maka dalam oenghadangan ini, kita juga akan menggunakan pasukan berkuda yang dilengkapi senjata api. Akan agak berbeda corak pertempuran kali ini, dengan ketika melawan tentara Jepang di Hekliong-kang dulu."

   Beberapa saat dalam tenda itu suaranya sunyi mencengkam, tapi gelora pertempuran sudah menggemuruh kencang dalam urat nadi perwira-perwira itu. Semuanya siap menanti perintah Ni Keng Giau.

   "Pangeran In Te!"

   Tiba-tiba Ni Keng Giau memanggil. Pangeran In Te cepat maju dengan hormat.

   "Siap, Goan-swe!"

   Sementara dalam hatinya sudah siap mental kalau-kalau diolok-olok dan disindir-sindir seperti kemarin. Ternyata tidak. Ni Keng Giau memberi perintah dengan nada biasa saja.

   "Pangeran membawa sepuluh ribu perajurit berkuda, untuk menghadang kafilah itu, yang akan lewat di sisi selatan pegunungan Thian-san. Hancurkan mereka, dan rampas barang bawaan mereka!" "Baik, Goan-swe!"

   Sahut Pangeran In Te sambil menerima sehelai leng-ki (bendera komando).

   Namun, penugasan Pangeran In Te itu mau tidak mau menimbulkan kecurigaan beberapa perwira yang simpati kepada Pangeran In Te.

   Dari belakang mejanya, Ni Keng Giau dapat merasakan getaran kecurigaan para perwira itu.

   Untuk menjaga agar pasukannya tidak pecah berantakan, Ni Keng Giau berkata.

   "Sengaja aku berikan kesempatan pertama kepada Pangeran In Te untuk memperoleh kemenangan. Kemenang an pertama yang akan meningkatkan semangat pasukan kita, sekaligus menciutkan nyali musuh. Aku memperhitungkan Pangeran In Te akan menang, sebab selain membawa pasukan lebih banyak, juga Pangeran sendiri punya pengalaman bertempur di kawasan ini."

   Dengan kata-kata itu, Ni Keng Giau coba menghapus kecurigaan di hati perwira-perwira yang bersimpati kepada Pangeran In Te. Sunyi sejenak, lalu Ni Keng Giau memanggil lagi.

   "Wan Yen Siang." Seorang perwira berpangkat Hu-ci-ang, segera melangkah maju dan menghormat.

   "Siap, Goan-swe!"

   "Wan Yen Siang, kau membawa sepuluhribu perajurit untuk mengawal di belakang Pangeran In Te. Kau bertanggung-jawab sepenuhnya untuk mengawal jalur hubungan antara Pangeran In Te dan pasukan induk, jangan sampai terputus sehingga Pangeran In Te terpencil sendirian di garis depan!"

   "Baik, Goan-swe!"

   Sahut Wan Yen Siang pula, sambil menerima sehelai kng-ki dari Ni Keng Giau.

   Namun Pangeran In Te berdebar jantungnya ketika mengetahui bahwa ia harus mengandalkan jalur hubungannya kepada Wan Yen Siang.

   Pangeran In Te tahu, bahwa Wan Yen Siang punya hubungan pribadi yang amat akrab dengan Ni Keng Giau.

   Di Pak-khia, kalau tidak ada urusan resmi, Ni Keng Giau dan Wan Yen Siang sering saling mentraktir di rumah-rumah makan isteri-isteri mereka juga sering saling mengunjungi sambil bertukar-tukaran hadiah.

   Dengan "memasang"

   Wan Yen Siang di belakang punggung Pangeran In Te, Ni Keng Giau sama saja dengan menodongkan sebilah belati di punggung Pangeran In Te.

   Rasa tidak tenteram Pangeran In Te semakin menghebat, ketika melihat antara Ni Keng Giau dan Wan Yen Siang sejenak bertukar senyuman dan anggukkan yang begitu halusnya sehingga hampir tak terlihat, kecuali oleh Pange ran In Te yang berprasangka.

   Pangeran In Te sadar bahwa dirinya agaknya sedang didorong perlahan ke lubang kubur.

   Namun Pangeran In Te tetap bungkam.

   Ia siap menjadi perajurit sejati yang kalau perlu berkorban, tak peduli di belakangnya ada teman sendiri yang siap mengkhianati.

   la tidak mau bicara, kalau bicaranya itu akan menimbulkan perpecahan dalam pasukan.

   Dengan memanfaatkan semangat pa sukannya yang sedang berkobar.

   "Seperti anjing gila yang menunggu rantainya dilepas"

   Menurut istilah Ni Keng Giau sendiri, maka Ni Keng Giau bermaksud sekaligus melakukan gempuran ke beberapa arah.

   Sekaligus puluhan perwira menerima leng-ki untuk memukul kedudukankedudukan musuh di tempat-tempat yang ditunjukkan Ni Keng Giau.

   Ia bermaksud "mencincang"

   Garis-garis penghubung musuh agar bisa saling membantu, sebelum melakukan gebrakan pamungkas dengan pasukan induknya.

   Menurut rencananya, pasukan-pasukan penggempur itu akan merebut pos-pos musuh dengan gerak cepat, menduduki, lalu pasukan jalan kaki akan menyusul dan mengubah pospos yang sudah direbut itu menjadi kubu-kubu pertahanan bagi pihak sendiri.

   Lalu pasukan berkuda akan mengejar musuh lagi, dengan pasukan induk mengikuti dari belakangnya.

   Begitulah, Ni Keng Giau benar-benar akan menjadikan pasukannya seperti jaring besar yang menebar, untuk menjala ikan di "kolam"

   Yang namanya Jing-hai.

   Ni Keng Giau sudah memperhitungkan, dengan cara itu korban di pihaknya sendiripun akan jatuh ratusan ribu nyawa, tapi jumlah nyawa manusia tak pernah menjadi perhatian Ni Keng Giau.

   Yang penting bendera, bukan manusia.

   Bendera kekaisaran harus ditancapkan kuat-kuat di Jing-hai.

   "Nah, kalian yang mendapat tugas harus segera menyiapkan pasukan masing masing. Nanti Tengah hari, kalau ada isyarat dari sini, kalian harus berkumpul dengan pasukan masing-masing untuk Pai-ki (menyembahyangi bendera), lalu langsung berangkat!"

   Para perwira pun kembali ke pasukan masing-masing.

   Di antara mereka, hanya Kim Thian K i yang tidak langsung pulang ke kemahnya sendiri, melainkan menuju ke kemah Kim Seng Pa untuk melaporkan tentang rencana Ni Keng Giau itu.

   Dengan cermat Kim Seng Pa mendengar rencana yang menyangkut diri Pangeran In Te.

   Sedang rencana-rencana serangan ke lain arah tidak diperhatikannya.

   Pelaksanaan perang bukan urusannya, urusannya saat itu cuma mendongkel Ni Keng Giau.

   "Hemm, jadi begitu ya, rencananya terhadap Pangeran In Te?"

   Kim Seng Pa menganggukangguk sambil tersenyum.

   "Benar, ayah."

   "Nah, pulang ke pasukanmu dan simpan semuanya ini rapat-rapat.

   "Baik, ayah. Aku pamit." (Bersambung

   Jilid II) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid II Tengah hari, ketika cahaya matahari jatuh tegak lurus di ubun-ubun, di padang rumput yang luas di depan perkemahan pasukan induk, dilakukan upacara Pai-ki oleh pasukan-pasukan penggempur yang akan maju berperangSetelah upacara selesai, pasukan-pasukan itupun berangkat ke sasarannya masing-masing.

   Setiap perajurit menunjukkan semangat yang tinggi, terpengaruh irama genderang perang yang ditabuh untuk menghangatkan darah mereka.

   Ujung-ujung pedang, lembing dan bedil berderet rapat menyaingi banyaknya ujung rerumputan Jing-hai.

   Dicampur derap kaki kuda dan gemeretak roda meriam-meriam yang ditarik kuda.

   Di bawah bendera ke garis depan, siap saling bantai dengan mahkluk sejenis dari pihak musuh.

   Tidak ada kepastian siapa yang kelak masih bisa pulang dan siapa yang tidak, menjadi rabuk di padang rumput yang jauh dari kampung halaman.

   Hampir empat ratus ribu perajurit berangkat ke berbagai arah, tapi di perkemahan itu masih tinggal limaratus ribu lebih.

   Di antaranya adalah pasukan Tiat-ki-kun yang digembleng oleh Ni Keng Giau sendiri.

   Ni Keng Giau amat berambisi agar pasukan kebanggaannya itu menjadi lebih hebat dan terkenal dari pasukan Hui-liong-kun yang dulu dipimpin Pak Kiong Liong dan kini sudah dibubarkan.

   Tiat-ki-kun belum diturunkan ke medan laga, dijaga tetap segar untuk digunakan pada pertempuran yang menentukan kelak Tiat-ki-kun pula yang akan diatur sedemikian rupa sehingga paling besar jasanya kelak.

   Setelah pasukan-pasukan penggempur itu berangkat, Ni Keng Giau masih semalam lagi mengistirahatkan pasukan nya yang tertinggal.

   Kemudian esoknya ia perintahkan membongkar perkemahan.

   Pasukan induk itu maju dua ratus li dan mengambil posisi yang baru.

   Menyuruk semakin ke tengah-tengah kawasan kemelut, agar lebih mudah berhubungan dengan pasukan-pasukan yang telah ma ju lebih dulu.

   * * * Pangeran In Te memimpin pasukannya bergerak menyusuri sisi pegunungan Thian-san ke arah barat laut.

   Udara terasa makin dingin.

   Sesuai dengan kelaziman, Pangeran In Te menunjuk seorang perwira bawahannya yang berpangkat cam-ciang berna ma Sun Hong Beng, untuk menjadi Sian hong Ciang-kun (panglima perintis) maju lebih dulu dengan pasukan yang dilengkapi senapan.

   Di luar dugaan, ketika menerima penunjukan itu, Sun Hong Beng tidak sekedar menjawab dengan tegas kaku gaya perajurit, tapi dengan perasaan meluap-luap.

   "Pangeran, hamba sungguh amat bangga mendapat kesempatan untuk kembali bertempur bersama Pangeran, di tempat yang sama. Beberapa tahun yang lalu, hamba juga ikut Pangeran menancapkan bendera kemenangan di Jing-hai ini. Sekarangpun hamba ikut penasaran terhadap ketidak-adilan yang menimpa diri Pangeran."

   Pangeran In Te terkejut mendapati sikap macam itu.

   Sebagai seorang manusia berperasaan, yang sudah sekian tahun hidup di bawah tekanan, hinaan, di intai intrik-intrik yang mengancam nyawanya, ketika tiba-tiba menemukan seorang yang menyatakan simpati kepadanya, tentu saja amat menyenangkan.

   Namun Pangeran In Te tetap waspada, janganjangan Sun Hong Beng ini cuma semacam perangkap yang dipasang oleh Ni Keng Giau untuk menyelidiki isi hatinya? Maka terpaksa Pangeran In Te menahan luapan perasaannya, dan menjawab dengan datar saja.

   "Segeralah jalankan tugasmu, cam-ciang. Kita hanya perlu memusatkan perhatian ke garis depan agar mendapat kemenangan. Jangan sampai perhatian kita diganggu oleh hal-hal yang bisa dikerjakan di lain waktu dan lain tempat."

   Sun Hong Beng mengiakan sambil bangkit dari berlututnya.

   Matanya nampak agak basah berkaca-kaca.

   Melihat kemurnian sikap itu, perasaan Pangeran In Te tergerak juga, karena hatinya tidak terbuat dari batu.

   Suaranya tiba-tiba melunak, jauh dari nada seorang atasan kepada bawahannya.

   "Cam-ciang, benarkah dulu kau pernah ikut bertempur di Jing-hai juga?"

   "Benar, Pangeran. Ketika itu hamba baru berpangkat pa-cong. Tak heran kalau Pangeran tidak mengingat hamba, karena saat itu dalam pasukan ada ribuan orang yang berpangkat pacong."

   "Waktu itu kau ada di kelompok mana?"

   "Pasukan jalan kaki yang dipimpin Cong-peng Utti Hui-pa."

   Utti Hui-pa.

   Tentu saja Pangeran In Te ingat akan perwiranya yang setia dan jujur itu, namun juga berangasan dan kurang pikir.

   Ketika Kaisar Yong Ceng menawan Ibusuri Tek Huai untuk menggertak agar Pangeran In Te tidak menyerbu Pak-khia, maka Utti hui-pa bersama beberapa perwira nekat lainnya telah menyelundup masuk istana untuk herusaha membawa lari Ibusuri Tek Huai.

   Namun mereka gagal, tertangkap dan dihukum penggal kepala di atas tembok kota Pak-khia, dipertontonkan kepada Pangeran In Te dan pasukannya yang waktu itu sudah mengurung kota raja Pak-khia.

   Pangeran In Te menarik napas terkenang peristiwa itu.

   Ia tetap hormat kepada kesetiaan Utti Hui-pa, biarpun pengorbanannya gagal.

   Tetapi di hadapan Sun Hong Beng, ia cuma berkata datar.

   "Ya, aku memang masih ingat Utti Hui-pa. Nah, cam-ciang, jalankan tugasmu!"

   "Siap, Pangeran,"

   Kali ini Sun Hong Beng menjawab cara perajurit.

   Pasukan itupun maju dalam dua gelombang.

   Sebagai Sian-hong Ciang-kun.

   Sung Hong Beng berjalan di depan, dan disebarkannya pengintaipengintai untuk melihat keadaan di depan.

   Ia bertekat akan bertempur demi Pangeran In Te, meskipun tahu kalau Pangeran In Te belum mempercayainya.

   Ia anggap wajar kalau Pangeran In Te selalu harus waspada, biarpun terhadap seorang yang menunjukkan sikap baik, sebab Pangeran In Te dikelilingi musuhmusuh bersembunyi yang senantiasa memasang perangkap.

   Sun Hong Beng adalah seorang perwira yang cukup tangguh.

   Setiap kenaikan pangkatnya selalu disertai dengan kenaikan ketrampilan silatnya, ia mahir memainkan sepasang lembing pendek.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun sesuai dengan tuntutan jaman itu, Sun Hong Beng juga mahir menembak dengan senapan sambil berkuda.

   Dengan makin banyaknya orang-orang Eropa yang berkeliaran di negeri-negeri timur, maka cara-cara bertempur Eropa pun mempengaruhi negerinegeri timur.

   Negeri-negeri timur yang tetap bertahan dengan cara perang kuno tanpa penyesuaian, akan terancam jatuh menjadi jajahan bangsa-bangsa Eropa yang bersenjata api.

   Pasukan itu bergerak melintas dibawah udara yang dingin menggigit.

   Di sebelah kanan mereka adalah puncak-puncak pegunungan Thian-san yang sepanjang tahun berselimut salju, sebelah kiri adalah padang rumput yang amat luas.

   Sekali-sekali nampak segerombolan yak, sejenis lembu berkepala kecil yang berbulu tebal, melintas bergerombol.

   Diangkasa nampak beberapa burung elang melayang tenang di antara mega, sayap -mereka tak bergerak seolah mengantuk.

   Namun bila mata mereka yang tajam itu melihat mangsa, maka mereka pun menukik turun bagaikan kilat.

   Demikianlah pasukan Pangeran In Te menggeleser maju seperti ular besar, dan sehari kemudian mereka tiba di sebuah mulut selat gunung yang diperhitungkan bakal dilewati kafilah Kozak.

   Pangeran In Te segera memerintahkan pasukannya bersembunyi di sebuah hutan, dan menghapus jejak kaki kuda di luar hutan, Pengintai-pengintai segera membawa teropongnya umuk memanjat pohon- pohon yang tinggi guna mengawaki tempat kejauhan.

   Sehari semalam lewat tanpa terjadi apa-apa.

   Hari kedua, seorang pengintai bergegas turun dari pohon, lalu menghadap Pangeran In Te dan melaporkan bahwa dari arah barat laut sudah terlihat suatu kafilah besar datang mendekat.

   Pangeran In Te yang sedang duduk bersandar pohon, segera melompat bangun.

   "siapkan pasukan!"

   Semua perajurit pun menyiapkan diri, tidak tergesa-gesa namun sigap dan teliti, terutama alat-alat perang mereka.

   "Pangeran, apakah kita akan menyongsong mereka di tempat terbuka?"

   Tanya Sun Hong Beng.

   "Menurut yang kita ketahui, kekuatan kita dua kali lipat kekuatan mereka,"

   Pangeran In Te menggelengkan kepala.

   "Meskipun kita unggul dalam jumlah, namun korban di pihak kita harus ditekan sesedikit mungkin. Menyongsong di tempat terbuka memang kelihatan gagah, dan mungkin pula menang, tapi akan banyak perajurit kita jadi korban. Karena itu, pertama-tama kita akan menyergap dari hutan dengan senapan dan panah. Setelah itu, barulah kita serang langsung jarak dekat."

   Para perwira mengangguk, dan para perajurit bersyukur dalam hati karena Pangeran ln Te menggunakan siasat hemat nyawa"

   Macam itu.

   Itu artinya Pangeran ln Te sejauh mungkin berusaha menghargai nyawa perajuritperajuritnya sebagai sesama manusia, yang harus dihargai biarpun dalam perang.

   Bukan sekedar dicatat sebagai "biaya perang".

   Pasukan pun bersiap di tepi hutan, di balik pepohonan.

   Mereka merasa agak tegang juga, sebab mereka sudah mendengar bahwa orangorang Kozak adalah jago-jago perang yang tangguh.

   Nama mereka disegani dari kawasan Asia Tengah sampai Eropa Timur.

   Pangeran ln Te menyusun para pemanah dan penembak menjadi dua lapis, depan dan belakang.

   Buat para penembak senapan, sehabis menembak satu kali tentu harus mengisi peluru dan obat ledaknya lagi, dan itu makan waktu.

   Maka selama mereka mengisi kembali, lapisan kedua yang akan menembak, dan setelah lapisan kedua menembak, lapisan pertama sudah siap menembak kembali sementara lapisan kedua mengisi senapannya.

   Begitulah bergantian terusnya, sebab senapan di jaman masih kuno.

   Hanya bisa untuk menemhak satu kali setiap kali pengisian.

   Jumlah senapan yang dibawa pasukan itu juga terbatas jumlahnya, sehingga tidak semua perajurit kebagian memegang senapan.

   Maka yang tidak kebahagian itu harus siap dengan panah dan lembing, yang biarpun jangkauannya tidak sejauh peluru bedil, tapi ada kelebihannya juga, yaitu bisa dilepaskan berturut-turut dengan jarak waktu yang lebih rapat.

   Pesan Pangeran In Te kepada para pemimpin regu.

   "Kalian harus membidik dengan cara Siapjin-sian-sia-ma (sebelum membidik orangnya, bidik dulu tunggangannya). Mengerti?" Para pemimpin regu menyatakan mengerti, dan meneruskan perintah itu kepada anggaota regu masing-masing. Sementara itu, kafilah musuh sudah kelihatan tanpa memerlukan teropong lagi. Sebuah kafilah berjumlah besar, di kawal orangorang Kozak berkuda yang bertubuh besarbesar, rambut brewok mereka berwarna coklat kemerahan, dan memakai topi-topi bulu yang tebal. Mereka sebenarnya serdadu-serdadu kekaisaran Rusia. Namun dalam tugas kali ini, mereka tidak memakai seragam keperajuritan mereka. Bisa dimaklumi, sebab Rusia masih terikat perjanjian tahun yang ditandatangani wakil-wakil kedua kerajaan di St. Peterrburg, ibukota Rusia waktu itu. Perjanjian yang ditanda-tangani setelah terjadinya perang hebat di tepi Sungai Ussuri yang menimbulkan kerugian besar di ke dua belah pihak. Setelah Kaisar Khong Hi digantikan Kaisar Yong Ceng di tahun 1712, Rusia kembali bangkit nafsunya untuk meluaskan wilayah, tapi tidak secara terang-terangan. Kali ini dengan cara membujuk orang-orang Jing-hai yang seagama dengan mereka agar berontak terhadap pemerintahan di Pak-khia yang "kafir"

   Kata mereka.

   Sesaat Pangeran In Te memperhitungkan jarak.

   Setelah bagian depan kafilah musuh diperkirakan sudah bisa dijangkau peluru, maka Pangeran In Te memberi isyarat kepada pasukannya dengan lambaian tangan.

   Maka berletusanlah ratusan pucuk senapan dari pihak pasukan Pangeran In Te.

   Kafilah itu menjadi agak kacau, tidak menduga akan menghadapi sergapan yang begitu awal.

   Baik manusia, onta ataupun kuda segera banyak yang bertumbangan.

   Teriakan orang dan ringkik kuda bercampur-aduk dengan ledakan-ledakan senapan yang bising.

   Pengawal kafilah yang belum kena lalu mengatur diri untuk bertahan.

   "

   Ternyata pengawal-pengawal kafilah itu memang jago-jago perang yang bakal menjadi lawan berat pasukan Pangeran In Te.

   Kepanikan mereka hanya sebentar, dan dalam waktu singkat barisan depan sudah berhasil membentuk posisi bertahan.

   Sambil berjongkok atau bertiarap di balik bangkai kuda atau onta, mereka balas menembak atau memanah.

   Peluru para pengawal kafilah itu banyak yang cuma menghantam pepohonan di pinggir hutan, namun ada juga beberapa perajurit Pangeran ln Te yang menjadi korban, karena kurang rapat berlindung.

   Kedua pihak sudah mulai "menyicil harga"

   Kepentingan masingmasing, dan mata uangnya ialah nyawa manusia.

   Sebagian pengawal kafilah berusaha menggiring balik onta-onta pengangkut beban menjauhi jangkauan serangan pasukan Pangeran In Te, untuk menyelamatkan barangbarang kawalan mereka.

   Ketika sebutir peluru panas menghunjam ke dalam sebuah kantong kulit besar di punggung seekor onta, tiba-tiba kantong itu meledak menjadi kobaran api yang hebat bersama ontanya sekalian.

   Beberapa pengawal berkuda yang ada di dekat nya juga ikut kena ledakan.

   Maka berhamburanlah serpihan-serpihan daging onta, kuda atau manusia yang susah dibedakan Jagi.

   Rupanya kantong-kantong besar itu berisi bubuk peledak untuk mengisi senapan.

   Maka Pangeran In Te tiba-tiba menemukan pikiran baru Perintahnya kepada penembakpenembak dalam pasukanannya.

   "Incar kantong-kantong kulit besar itu!"

   Perintah dijalankan, dan beberapa ledakan hebat kembali terjadi di tengah tengah kafilah musuh.

   Kuda dan onta yang tidak mati menjadi kacau dan melonjak-lonjak tak keruan, merepotkan para pengawal kafilah yang berusaha menenangkan hewan-hewan itu.

   Tapi peluru-peluru dan panah dari pasukan Pangeran ln Te terus menghambur, memunguti korban-korban mereka.

   Hanya saja, kafilah itu adalah sebuah barisan panjang.

   Kekacauan cuma terjadi dibagian depan.

   Pengawal-pengawal belakang kafilah justru menyusun diri dan maju ke depan untuk menolong teman-teman mereka.

   Mereka menderapkan kuda dengan kencang, menebar sambil membungkuk rapat di atas kuda untuk menyerbu ke hutan.

   Mereka ingin memaksa lawan-lawan mereka keluar dari hutan dan bertempur secara terbuka.

   Reberapa penunggang kuda terdepan roboh tertembus peluru atau panah, setelah lebih dekat lagi maka lembing dari pihak Pangeran In Te pun ikut ambil bagian.

   Tapi selebihnya terus menyerbu dengan berani, bahkan dari bagian bela kang kafilah menyusul lagi ratusan orang.

   "Benar-benar orang-orang nekat,"

   Geram Pangeran In Te melihat iiu.

   "Mereka belum bisa menaksir kekuatan kami yang bersembunyi di hutan ini, tapi sudah berani menyerbu kemari."

   Pangeran In Te juga sadar bahwa sifat kejutan dari serangannya sudah tidak menentukan lagi, ia lalu mengambil langkah berikutnya, la perintahkan pasukannya keluar dari hutan dan menyongsong musuh di tempat terbuka.

   Perajurit-perajuritnya lalu berlompat ke atas kuda, dan menyongsong keluar hutan.

   Maka menderumlah dataran itu oleh derap ribuan kuda.

   Dua gelombang manusia berkuda saling menempur langsung, tanpa berliku-liku lagi.

   Sorak gempita dari kedua belah pihak membuai semuanya bagaikan kemasukan setan, senjata-senjata yang berkilat-kilat sudah diangkat tinggi-tinggi, siap dijatuhkan ke tubuh lawan.

   Beberapa orang dari kedua belah pihak masih coba-coba memanfaatkan bedil, panah atau lembing, dan beberapa lawan terdepan memang berjungkalan roboh dari kuda.

   Ada yang kakinya tidak bisa lepas dari sanggurdi sehingga tubuhnya terseret oleh kuda tunggangan nya sendiri yang berlari menggila.

   Penunggang-penunggang kuda yang di belakang tidak menggubris mereka yang berjatuhan di depannya atau kuda-kuda yang berputaran kebingungan tanpa penunggang lagi.

   Mereka terus menerjang.

   Mereka lebih memperhatikan musuh yang semakin dekat.

   Senjata-senjata jarak jauh disimpan, dan kini berkilat-kilatlah tombak, pedang, kampak, tongkat berduri dan sebagainya.

   Dengan nafsu saling membinasakan yang meluap-luap, dua gelombang "Pembunuh resmi"

   Itu bertemu, seperti dua arus yang bertabrakan, saling menghempas dan menimbulkan gejolak yang mengerikan.

   Harga nyawa manusia tiba-tiba anjlok serendahrendahnya.

   Sorak gemuruh membubung bersama ringkik kuda dan gemerincing ribuan senjata yang dibentur-benturkan penuh kebencian.

   Pedang dan golok disabetkan, tombak disodokkan, kampak ditekakkan, tongkat, gada atau ruyung diayun-ayunkan mencari tulang kepala atau tulang pinggul.

   Ketangkasan berkuda, ketrampilan main senjata dan keberanian bergabung jadi satu.

   Usaha menyelamatkan diri dan nafsu membunuh berbaur tanpa batas.

   Debu mengepul tinggi, keributan memuncakk.

   Masih terdengar perwira-perwira kedua belah pihak meneriakkan perintah-perintah, berusaha mengarahkan anak buahnya masingmasing.

   Tapi suara mereka tenggelam oleh hingar-bingar nya derap kuda, suara kulit dan daging yang terkoyak, tulang-tulang yang remuk terhantam besi-besi dingin tanpa perasaan, dan jeritan mereka yang men jadi korban.

   Salah satu jago perang orang Kozak adalah Kobita Popovitch, seorang raksasa yang berambut dan berbrewok coklat kemerahmerahan.

   Senjatanya ialah tongkat besi sepanjang satu meter, disambung rantai satu meter, pula, dan di ujung rantai ada bola besi berduri.

   Senjata itu dimainkan dengan mahir dan ganas sekali, sambil menerjang-nerjangkan kudanya di seluruh arena.

   Tiap kali ada perajurit-perajurit Pangeran In Te yang terlempar dari kuda dengan kepala retak, atau tubuh robek terlanggar duri-duri di permukaan bola besi yang berdesing-desing seringan terbangnya seekor lalat.

   Sekali-kali rantainya melibat lengan atau leher seorang lawan, lalu menyeret lawannya mendekat dengan tenaganya yang hebat, disusul tinju kirinya terayun meremukkan muka korbannya, Atau di cengkeramnya rambut atau baju lawannya untuk dibanting jatuh dari kuda, lalu diremukkan di bawah kaki kudanya yang tegar.

   Begitulah jagoan Kozak ini menimbulkan korban yang tidak sedikit di antara pasukan Pangeran In Te.

   la jadi seperti seekor serigala yang menyuruk ke tengah kawanan domba.

   Seorang perwira bawahan Pangeran In Te tidak membiarkan kerusakan pasukannya lebih lanjut, la memajukan kuda nya untuk menghadang amukan Kobita.

   Perwira itu bertubuh kurus dan pendek, bersenjata tombak berkait, maka banyak kawan maupun lawan yang heran melihatnya berani menyongsong lawannya yang bertubuh raksasa.

   Ternyata si kerdil ini tidak begitu bodoh untuk menyongsong langsung dari depan, namun memotong dari samping untuk menikam lambung kiri Kobiia, sisi yang tidak bersenjata sebab lawannya memegang senjata dengan tangan kanan.

   Melihat lawan bertubuh sekecil itu, Kobita memandang remeh lawannya.

   Dengan sigap tangan kirinya menangkap batang tombak lawannya sambil memutar pinggang, siap mengayunkan bola besi berdurmya ke kepala lawan.

   Lawannya memang tak sanggup menandingi kekuatan Kobita.

   Kalau ia tidak mau melepaskan tombaknya, pasti akan segera terseret dan di remuk kepalanya.

   Namun si kerdil ini ternyata punya kegesitan luar biasa dan punya senjata lain yang tak terduga oleh lawannya.

   Cepat ia melepaskan tombaknya dan melempar dari kuda, berguling bagaikan ular melewati bawah perut kuda Kobita untuk muncul di sebelah lain.

   Betapapun langkasnya jagoan kozak ini, namun tubuhnya yang begitu besar membuatnya tidak mungkin berputar cukup cepat, lagipula ia sudah terbiasa berhasil membunuh musuh dalam sekali gebrak, la kaget ketika lawannya tiba-tiba "hilang", dan bola berduri di ujung tongkat berantainya hanya berhasil menghantam remuk kepala kuda yang sudah takk berpenunggang.

   Kobita Popoviich memutar tubuh untuk mencari lawannya, dan ketika ia melihatnya, ia tak sempat berbuat apapun kecuali meraung kesakitan.

   Lawannya secepat kilat telah melontarkan sebatang pedang pendek yang menyusup ke daging lehernya.

   Tubuh sang raksasa tumbang dari atas kudanya dan berdebum di tanah.

   Perwira Pangeran In Te itu cepat menarik tombaknya yang masih digenggam Kobita, lalu mengambil alih kuda lawannya sebagai ganti kudanya sendiri yang sudah mati.

   Namun robohnya si jagoan Kozak tidak banyak mempengaruhi semangat para pengawal kafilah.

   Nyali mereka tidak goyah hanya karena melihat kematian teman-teman mereka, sebab hal itu sudah biasa bagi orang Kozak yang gemar berperang itu.

   Ketangkasan lawannya secepat Kilat telah melontarkan sebatang pedang pendek yang menyusup ke daging lehernya Pertempuran tetap berjalan dengan sengit.

   Kedua belah pihak sama-sama kehilangan banyak teman, bahkan jago-jago andalan kedua belah pihak juga silih berganti berguguran..

   dan keberanian kedua belah pihak pun seimbang, namun akhirnya segi jumlah ikut berpengaruh juga.

   Pasukan Pangeran In Te jauh lebih banyak dari pengawal kafilah, maka akhirnya kelihatan juga para pengawal kafilah mulai terdesak.

   Seorang jago Kozak lainnya bernama Gouma, kemasyhurannya di medan laga menyaingi Kobita.

   Senjatanya ialah kampak bermata ganda, bolak-balik, dan di tengahnya ada ujung yang lancip seperti tombak, bertangkai kira-kira satu meter.

   Puluhan perajurit Pangeran In Te telah dirobohkannya dengan ketangkasan dan kekuatannya yang mirip seekor beruang.

   Tiap kali senjatanya mematuk, satu lawan gugur oleh ujung tombaknya.

   Kalau senjatanya disabetkan bolak- balik, maka yang menjadi korban bisa dua orang sekaligus.

   Melihat pengganas ini, Pangeran In Te tidak bisa tinggal diam.

   Ia memacu kudanya untuk mendekati Gouma.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seorang perwira bawahannya terkejut dan berteriak mencegah.

   "Pangeran, orang itu berbahaya sekali. Biar hamba dan beberapa teman yang menghadapinya!"

   "Aku justru bosan karena sejak tadi tidak menemui lawan yang tak berarti,"

   Sahut Pangeran In Te tanpa menunda gerakannya.

   Gouma tertawa terbahak-bahak ketika melihat lawan yang mendekatinya adalah seorang yang bertubuh ramping, kulit wajahnya terlalu putih seperti kulit bayi, dan pedang yang dibawanya nampak seperti pedang "hiasan dinding"

   Yang nampak tidak pantas dibawabawa dalam pertempuran sebuas itu.

   Namun setelah kampak tombak Gouma berbenturan beberapa kali dengan pedang Pangeran In Te, barulah Gouma sadar ia ketemu lawan tangguh.

   Timbul nafsunya untuk secepatnya mengalahkan lawan yang satu ini.

   Senjatanya terayun makin kuat dan cepat, dikerahkannya seluruh keahlian main senjata yang dipelajarinya sejak kecil.

   Dalam hal silat, Pangeran In Te memang tidak setangguh kakak-kakaknya seperti Kaisar Yong Ceng, Pangeran In Gi atau Pangeran In Tong, karena perhatian Pangeran In Te lebih banyak tercurah di pelajaran kemiliteran.

   Tapi bukan berarti ia orang yang lemah.

   Sedikitnya ia pernah menerima petunjuk-petunjuk main pedang dari Pak Kiong Liong, meskipun bukan murid tetap.

   Dalam mengendarai kuda, Pangeran In Te juga cukup mahir.

   Pertama kali pedangnya membentur senjata musuh, Pangeran In Te terkejut karena merasakan kuatnya tenaga musuhnya.

   Itu menjadi peringatan baginya, bahwa kali ini tidak boleh sekedar adu otot saja, melainkan harus membuat perhitungan yang cermat.

   Begitulah keduanya bertempur.

   Sekali waktu kuda mereka saling menyambar dekat, menjauh, menyambar dekat lagi, memutarkan kuda sambil membenturkan senjata belasan kali untuk mencari kelengahan lawan.

   Kampak tombak Gouma berdesing-desing mengerikan.

   Kalau tubuh Pangeran In Te sampai kena, agaknya bukan cuma kulit dagingnya yang bakal robek, tapi sekaligus bersama tulang-tulangnya.

   Sedangkan Pangeran In Te memainkan pedangnya selicin .ular yang membe lit dan mematuk, mengutamakan kecepatan dan incaran yang cermat, menghindari benturan sebisa-bisanya.

   Dengan cara itu, ternyata tiap kali Pangeran In Te berhasil memaksa lawannya untuk membela diri lebih dulu, dan Gouma mulai terdesak, kekuatannya yang besar tak mendapat kesempatan untuk dibenturkan dan mengambil keuntungan, kebanyakan serangannya yang ngotot cuma menebas angin.

   Sedangkan pedang Pangeran In Te biarpun tidak mengeluarkan suara menderu, namun bergerak terlalu cepat dalam menjangkausasaran-sasaran berbahaya di tubuh lawannya.

   Gouma semakin kalap dan gerakannya semakin sembrono.

   Suatu kali ia ayunkan senjatanya dari atas, bermaksud membelah tubuh Pangeran In Te dengan sekuat tenaga.

   Pangeran In Te menjepit perut kudanya dan melejitkannya ke depan, sekaligus pedangnya mematuk dan berhasil melukai siku lawannya.

   Gouma kehilangan kendali, senjatanya yang berat itu jatuh ke tanah.

   Berikutnya, Pangeran ln Te mendoyongkan tubuhnya sambil menikam, dan tembuslah dada si jagoan Kozak ini.

   Perwira yang tadi mencemaskan ke selamatan Pangeran ln Te, kini lega melihat Pangeran ln Te menang, meskipun nampak agak kelelahan.

   Pujinya.

   "Pangeran benar-benar hebat!"

   "Kalian semua juga hebat, tapi, mari kita selesaikan dulu pertempuran ini,"

   Sahut Pangeran ln Te sambil tersenyum.

   Pertempuran belum selesai.

   Kedua pihak belum puas menunjukkan ketangkasan dan keberanian mereka masing-masing.

   Orangorang Kozak dan Jing-hai bertempur mengandalkan tubuh mereka yang besar-besar dan senjata mereka yang umumnya berbobot berat.

   Sedang orang-orang Korea dalam pasukan Pangeran ln Te menunjukkan gaya tendangan warisan leluhur mereka yang disebut Tae-kyun, atau cara membanting yang disebut Su-bak.

   Tidak jarang, sambil berkuda, orang-orang Korea ini berhasil menendang perut atau dagu lawan nya sehingga terpental roboh dari kuda.

   Orang-orang Manchu juga mempunyai sejenis cara membanting yang disebut Sut-ku, sedang orang Han dengan aliran silat mereka yang beraneka ragam.

   "Bangsnt-bangsat Tartar ini berkelahi macam iblis!"

   Teriak orang-orang Kozak dalam bahasa mereka.

   Dalam pandangan mereka, semua bangsa-bangsa dari sebelah timur asalkan berkulit kuning dan bermata sipit, mereka pukul rata dengan sebutan Tartar saja.

   Pada hal orang-orang Rusia kulit putih diam diam juga menyebut orang-orang Kozak dengan sebutan Tartar pula, namun dengan tambahan "yang sudah tidak menyembah berhala".

   Betapapun tangguh dan beraninya orangorang Kozak itu, setelah kehilangan beberapa jagoan mereka dan kalah jumlah pula, mereka mulai merasa tak ada gunanya meneruskan pertempuran.

   Mereka saling meneriakkan isyarat, lalu sekelompok demi sekelompok mening galkan arena.

   Bahkan mereka tak sempat lagi mengurusi onta-onta yang mengangkut barang bawaan mereka, mereka tinggalkan begitu saja.

   Pasukan Pangeran In Te bersorak gemuruh, mereka masih mengejar beberapa li lagi, namun kemudian Pangeran In Te menarik pasukannya.

   Pangeran In Te lalu memerintahkan untuk membuka dan melihat barang-barang apa saja yang hendak diberikan orang-orang Kozak itu kepada para pemberontak di Jing-hai.

   Ternyata ada hampir duaribu senapan yang lengkap dengan peluru-pelurunya yang sebesar kelereng, dan bubuk peledaknya.

   Dalam jumlah besar.

   Setelah senapan-senapan yang rusak disingkirkan, maka yang utuh masih ada sekitar seribu limaratus pucuk.

   Melihat senjata-senjata sebanyak itu, sesaat Pangeran In Te merasa tergoda.

   Bagaimana kalau senapan itu dibagikan kepada perajuritperajuritnya yang setia kepadanya, lalu balik ke perkemahan induk untuk menggempur Ni Keng Giau dan mengambil alih pimpinan? Pangeran In Te yakin, asal langkahnya tepat, maka sebagian besar pasukan di perkemahan induk pasti masih bisa dibujuknya untuk mengikutinya, sebab banyak yang diam-diam tidak suka kepada Ni Keng Giau yang terlalu bengis dengan tata-tertibnya.

   Kalau seluruh pasukan terkuasai, asal dibariskan ke Pak-khia, tentu tidak sulit mendongkel Kaisar Yong Ceng dari kedudukannya.

   Sebagai seorang yang sudah bertahun-tahun hidup terkekang dan terancam, biarpun dalam istana, godaan dalam diri Pangeran In Te memang terasa kuat sekali.

   Godaan untuk memperoleh kekuatan kembali dan membalas penindas-penindasnyn.

   Namun Pangeran In Te kemudian geleng-geleng kepala sendiri, mengusir angan-angan itu.

   Kalau ia melakukan itu, maka pasukan kerajaan akan pecah, bahkan mungkin terjadi perang saudara, justru di garis depan, di hadapan hidung musuh, dan tentu saja akan menguntung kan musuh.

   Akhirnya Pangeran In Te memutuskan untuk tetap dalam sikapnya yang mengalah, mengutamakan keselamatan negara di atas ambisi pribadinya.

   Namun soal senjata-senjata rampasan itu, Pangeran In Te merasa lebih baik untuk memperkuat pasukannya, daripada tersimpan nganggur dalan kantong-kantong kulit.

   "Akan kita apakan senjata-senjata ini, Pangeran?"

   Tanya seorang perwira bawahannya, membuyarkan lamunan Pangeran In Te.

   "Bagikan kepada perajurit-perajurit kita yang bisa menembak namun belum kebagian senapan,"

   Sahut Pangeran In Te.

   "Dan semuanya harus mengisi kantong mesiu mereka penuhpenuh!"

   Perwira yang bertanya itu adalah seorang pengikut Ni Keng Giau. Maka-nya ia langsung berprasangka ketika mendengar perintah Pangeran In Te itu, ia nampak ragu-ragu dan tidak segera menjalankan perintah.

   "Kenapa ragu-ragu? Jalankan!"

   "Pangeran, kalau boleh hamba tahu, kenapa pasukan yang pulang ke perkemahan induk ini malah dipersenjatai makin lengkap seolah-olah akan menghadapi musuh? Bukankah kita sedang akan berangkat pulang untuk bergabung dengan teman-teman sendiri?"

   "Bodoh benar pertanyaanmu. Kita kan sedang berada di daerah rawan Apakah tidak mungkin dalam perjalanan pulangpun kita bertemu musuh? Apa salahnya kita memperkuat diri dengan senjata rampasan?"

   "Ampun Pangeran. Apa tidak sebaiknya senjata-senjata rampasan itu tetap di bungkus saja, dan biar hamba yang mengawalnya?"

   "Kenapa harus begitu?"

   Pangeran In Te heran, namun kemudian sambil tertawa pahit ia menjawab sendiri keheranannya.

   "Oh, mengertilah aku sekarang. Kau khawatir aku menggunakan senjata-senjata ini untuk memberontak kepada Ni Keng Giau?"

   Wajah perwira cerewet itu jadi merah, karena isi hatinya kena ditebak Pa ngeran In Te. Dengan agak gugup ia masih mencoba berdalih juga.

   "Tetapi....senjata-senjaia itu adalah barang bukti keterlibatan negara asing dalam kemelut di Jing-hai ini. Kelak harus ditunjukkan kepada dutabesar Rusia di Pak-khia supaya mereka......"

   "Lho, siapa yang sudah mengangkat mu menjadi pejabat dalam urusan ini?"

   Pangeran In Te menukas sinis.

   "Hamba...... hamba...... hanya mengusulkan...."

   "Usulmu ditolak. Jalankan perintahku."

   Dengan wajah geram menahan amarah, perwira itu terpaksa beranjak pergi. Namun diam-diam ia membatin.

   "Goan-swe harus segera mendapat kabar agar bisa bersiap-siap. Siapa tahu dalam diri Pangeran In Te timbul pikiran untuk berkhianat."

   Sementara Pangeran In Te tersenyum pahit memandang punggung perwira itu, ia tahu bahwa dalam pasukannya bersembunyi banyak kaki tangan Ni Keng Giau yang bertugas mengawasinya agar tidak "menyeleweng"

   Matimatian ia mempertaruhkan nyawa dengan sungguh-sungguh demi kekaisaran, malahan diperlakukan seperti pengkhianat yang harus diawasi terus.

   Perajurit-perajurit yang luka sudah diobati dan yang tewas dikuburkan di tempat itu juga.

   Setiap perajurit ada kemungkinan bernasib seperti itu.

   Terkubur di tempat terpencil yang tak diketahui sanak-keluarganya.

   Bahkan gundukan tanahnyapun lama-lama akan rata, ditumbuhi rumput liar, dan orang yang lewat di atasnya takkan tahu kalau di bawah kaki mereka ada manusia lainnya.

   Kemudian pasukan itupun menyusun diri dalam barisan, untuk pulang ke perkemahan induk.

   Tugas pertama telah di selesaikan.

   Merebut kiriman senjata dari negeri asing yang diperuntukkan bagi para pemberontak di Jinghai.

   Ketika malam tiba, Pangeran In Te memerintahkan pasukannya untuk beristirahat.

   Kuda dan onta ditaruh melingkar di bagian luar, dijadikan pelindung seandainya ada serangan.

   Perajurit-perajurit yang kelelahan itu segera bergeletakan berbaring di rerumputan, setelah lebih dulu mengisi perut dengan ransum kering.

   Sebagian dari mereka mendapat tugas jaga secara bergiliran.

   Pangeran In Te sendiri berbaring dengan kepala diganjal sehelai kulit domba yang dilipatlipat, la agak sulit tidur.

   Lama sekali matanya berkedip-kedip menatap bintang-bintang di langit terbuka, yang seolah juga membalas kedipannya.

   Suasana gelap sekali, sebab Pangeran In Te melarang pasukannya menyalakan api, khawatir kalau terlihat oleh musuh yang berkeliaran di padang rumput itu.

   * * * Malam semakin larut.

   Penerangan hanya mengandalkan bintang-bintang yang berkelapkelip serta sepotong rembulan yang pucat muram.

   Di sekitar Pangeran In Te mulai terdengar dengkur para perajurit, dengus dengus kuda dan onta, atau para perajurit yang bercakap2 cakap perlahan untuk mengusir kantuk sambil berjaga.

   Udara di daerah itu dingin sekali, tapi apa boleh buat, api tidak boleh dinyalakan.

   Namun salah seorang perajurit yang ada di dekat tubuh Pangeran ln Te ternyata tidak tidur.

   Sambil berbaring di kegelapan, diam-diam ia terus memperhatikan Pangeran In Te secermat cermatnya.

   Menajamkan mata, menajamkan telinga, untuk mengetahui Pangeran ln Te sudah tidur atau belum? Ketika dilihatnya tubuh Pangeran ln Te tidak bergerak-gerak lagi, dan suara napasnyapun melembut, maka perajurit itupun menyimpulkan bahwa Pangeran In Te sudah tidur.

   Orang itu menyeringai sendiri, lalu mulai menimbang-nimbang dalam hati.

   "Dengan belati akan lebih praktis. Sebuah tikaman ke jantung sambil membekap mulutnya, takkan banyak suara, dan habislah riwayat bangsawan yang malang itu. Besok seluruh pasukan hanya akan menemui mayatnya, tapi takkan tahu siapa pembunuhnya, sedangkan aku akan pulang disambut kenaikan pangkat dari Goan-swe Ni Keng Giau. Tiba-tiba saja sebilah belati telah tergenggam di tangan kanannya, sementara tangan kiri mencengkeram segumpal rumput yang akan disumpalkan ke mulut Pangeran In Te agar tidak berteriak. Lalu ia bergeser perlahan, amat hati-hati, agar jangan sampai menyentuh dan membangunkan perajurit-perajurit lain yang tidur malang melintang di sekitar tubuh Pangeran In Te. Ia berhasil sampai di samping tubuh Pangeran In Te, sesaat ia berjongkok diam untuk meredakan ketegangan hatinya. Dibuatnya tiga hitungan dalam hati untuk membulatkan semangatnya. Hitungan pertama, belati diangkat dan ujungnya diarahkan ke jantung calon korbannya. Hitungan ke dua, genggaman tangkai belati dikuatkan, tekat dibulatkan, keraguan disingkirkan. Hitungan ke tiga, belati bergerak ke sasaran. Cuma hitungan ke tiga inilah yang tidak sesuai dengan rencana. Sebab si pembunuh ini tiba-tiba merasa punggungnya disambit kerikil, dan tahu-tahu seluruh tubuhnya menjadi kaku, setiap gerakannya terhenti mutlak, seolah-olah tubuhnya tiba-tiba dituangi semen basah yang lalu mengeras dalam satu detik. Keruan si pembunuh jadi kebingungan heran campur takut. Kenapa tubuhnya justru tak mampu bergerak lagi ketika dalam posisi yang menunjukkan maksud membunuh seperti itu? Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, namun tetap gagal, seujung jaripun tak bisa.

   "Celaka! Apakah Pangeran In Te di lindungi malaikat, sehingga aku kuwalat?"

   Pikir si calon pembunuh itu ketakutan.

   Makin lama ia makin panik, tapi benar-benar tak berdaya.

   Sementara itu, Pangeran In Te pun tiba-tiba terbangun sebab merasa ada sesuatu di lehernya.

   Ternyata seekor belalang rumput yang entah darimana datangnya.

   Matanya terbuka, dan ia terkejut melihat ada seorang berjongkok di sampingnya sambil mengacungkan belati.

   Digerakkan oleh naluri menyelamatkan diri, secepat kilat Pangeran In Digerakkan oleh naluri menyelamatkan diri,secepat kilat Pangeran In Te berguling ke samping lalu melompat bangun dengan bersiaga.

   Te berguling ke samping lalu melompat bangun dengan bersiaga.

   Tapi ia jadi heran melihat si pemegang belati itu terus diam seperti patung dalam sikap semula.

   "Siapa kau? Apa maksudmu?"

   Tentu saja si "patung"

   Tetap bungkam karena tak mampu berkata-kata.

   Dengan hati-hati Pangeran In Te mendorong pundak orang itu, bergoyang sedikit, lapi sikapnya tak berubah.

   Pangeran In Te jadi menduga-duga, orang atau palungkah yang dia hadapi itu? Cepat Pangeran In Te mengluarkan batu api dan menyalakan segumpal rumput kering untuk mendapat sedikit cahya.

   Dilihatnva bahwa "patung"

   Itu ternyata adalah seorang perwira bawahannya agaknya siap membunuhnya selagi ia tidur, namun entah kenapa tiba-tiba berubah jadi seperti patung macam iiu.

   Lalu ingatlah Pangeran In Te, pamannya Pak Kiong Liong pernah bercerita kalau di kalangan rimba persilatan ada yang namanya tima-hiaihoat (Ilmu Menoiok jalan darah) yang kalau digunakan terhadap korbannya, antara bisa menjadikan korbannya "seperti patung"

   Selama beberapa jam sampai keadaan korbannya pulih dengan sendirinya.

   Pangeran In Te pun sadar.

   Malam itu selain menemukan seorang pembunuh, juga seorang penolong, tapi entah siapa dan dimana penolongnya itu.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nyala rumput kering itu membuat perajuritperajurit di sekitarnya bangun, kaget karena mengira ada serangan.

   Namun yang mereka lihat cuma Pangeran In Te dan "patung"

   Yang berjongkok sambil mengacungkan belati.

   "Ampun Pangeran, ada apa?"

   Tanya seorang perajurit.

   "Dia mencoba membunuh aku agaknya!"

   Dengan geram Pangeran In Te menunjuk si calon pembunuh yang gagal itu.

   Makin banyak perajurit bangun, makin banyak obor dinyalakan, dan makin jelas pula wajah-wajah di sekitar tempat itu.

   Salah seorang perajurit tiba-tiba berseru mengenali si "patung"

   Itu.

   "He, bukankah dia itu Pa-cong Yu Hong?" Sun Hong Beng juga telah datang ketempat iiu, dan ketika mengetahui apa yang terjadi di situ, mukanya menjadi merah padam karena marahnya. Dicengkeramnya rambut si calon pembunuh dan diguncang keras-keras kepala orang itu, sambil membentak sengit.

   "keparat! Pengkhianat! Jadi kau berniat membunuh pasukanmu sendiri, he? Siapa yang menyuruhmu? Siapa?"

   Tapi meskipun kepalanya digoncang goncang sampai seolah-olah sendi leher nya hampir copot, Yu Hong tentu saja tak bisa menjawab.

   Hanya matanya yang berkeliaran kian kemari dengan sinar ketakutan, tubuhnya tetap tak mampu bergerak, tangannya tetap teracung dengan belati tergenggam.

   "Bangsat! Tetap tidak mau menjawab?"

   Sun Hong Beng makin gusar dan menampar keras muka Yu Hong.

   "Sabar, Can-ciang......"

   Akhirnya malah Pangeran In Te yang berusaha menyabarkan Sun Hong Beng.

   "Biarpun kau pukuli orang itu sampai mati, ia takkan bisa menjawab, sebab tertotok tubuhnya."

   Sun Hong Beng heran, lalu melepas kan cengkeramannya pada rambut Yu Hong.

   "Syukurlah sebelum dia berhasil, Pangeran telah berhasil menotoknya.

   "Ini yang aneh, Cam-ciang. Bukan aku yang menotoknya. Ketika aku bangun, ia sudah dalam keadaan begitu sebelum kuapa-apakan."

   Keruan semua yang mendengar penjelasan itupun jadi heran.

   Kalau bukan Pangeran In Te sendiri yang menotok, lalu siapa? Apakah dalam pasukan itu ada seorang jago silat tersembunyi yang diam-diam lelah menyelamatkan Pangeran In Te dari pembunuhan? Padahal, bagi kawanan perajurit yang cuma berlatih ilmu kemiliteran itu, ilmu menotok nyaris dipandang sebagai ilmu gaib.

   Itu ilmu yang sulit, membutuhkan dasar tenaga dalam yang kuat dan ketekunan.

   Para perajurit cuma dilatih berbaris, menunggang kuda, memanah dan sebagainya, tapi tidak termasuk Tiam-hiat-hoat yang hanya diajarkan di perguruan-perguruan silat dan hanya kepada murid-murid yang sudah kuat dasarnya.

   Pangeran In Te mengangkat pundak sambil menyapukan pandangan ke sekelilingnya, sambil berkata.

   "Penolongku itu sudah menampakkan diri atau tidak, aku tetap sangat berterima kasih."

   Dan yang ada di sekitarnya cuma wajah para perajurit yang menampilkan keheranan tak terjawab menyaksikan peristiwa aneh itu, tak satupun tampang yang pantas diduga sebagai "penolong tersembunyi"

   Itu. Kemudian Sun Hong Beng berkata.

   "Pangeran, soal tuan penolong yang tidak mau menampakkan diri itu tidak perlu dirisaukan, setidaknya dia sudah berbuat kebaikan. Tapi bagaimana hukuman bagi seorang perajurit yang berani berkhianat kepada atasannya?"

   Kini semua mata mulai diarahkan kepada si "patung"

   Yang wajahnya mulai memucat ketakutan, takut dicincang oleh temantemannya sendiri yang marah pada tindakannya. Sahut Pangeran In Te.

   "Selama totokannya belum terbuka sendiri, aku belum bisa menanyai tentang tujuannya, dan belum bisa menetapkan hukumannya."

   Namun Sun Hong Beng berkata dengan marah.

   "Tapi hamba rasanya tahu bahwa dia cuma seorang pembunuh suruhan."

   Wajah para perajurit di tempat itu nampak menegang di bawah cahaya obor yang kemerahmerahan.

   Kuping mereka dipasang baik-baik, untuk mendengar suatu rahasia intrik yang barang kali terdapat di antara para pemimpin tertinggi angkatan perang.

   Pangeran In Te kaget mendengar kata-kata Sun Hong Beng yang terlalu blak-blakan.

   Tidak baik kalau para perajurit rendahan itu mengetahui rahasia pimpinan-pimpinan tertinggi mereka, bisa timbul perpecahan dalam pasukan.

   Maka buru-buru ia mencegah.

   "Camciang, kuharap kau..."

   Apa mau dikata, Sun liong Beng yang sudah kelewat muak melihat ulah pengkhianatan itu malahan bersuara makin keras dan tak tertahan lagi.

   "Pangeran dikhianati, tapi Pangeran terlalu sabar membiarkan para pengkhianat malang melintang semaunyal Aku tahu orang ini pasti suruhan Goan-swe Ni Keng Giau! Semalam sebelum pasukan ini meninggalkan perkemahan induk, kulihat orang ini berbisikbisik mencurigakan dalam kemahnya bersama seorang perwira kepercayaan Ni Goan-swe! Pasti saat itulah mereka merancang tindakan pengkhianatan atas diri Pangeran!"

   Pangeran In Te mengeluh dalam hati.

   Sekuat tenaga ia masih menjaga kehormatan pasukannya dengan cara menyembnnyikan permusuhannya dengan Ni Keng Giau, tak peduli ia harus berkorban dihina dan dikhianati.

   Semuanya di sembunyikan, agar para perajurit rendahan tak ikut-ikutan memihak sana-sini.

   tapi kini malah Sun liong Hong berteriak begitu keras.

   Akibatnya, tuduhan Sun Hong Hong itu langsung mendapat sambutan.

   Searang perwira lain yang juga berpangkal cam-ciang, bernama Lo Peng, tiba-tiba melangkah maju dan berkata dengan keras.

   "Sun Hong Beng, aku keberatan dengan tuduhanmu yang ngawur itu!tuduhan yang tak ada buktinya, cuma kau karang sendiri!"

   "Lo Peng, apa kau tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu kalau Ni Goan-swe sangat menginginkan kematian Pangeran In Te? Dengan cara terang-terangan jelas tidak mungkin, sebab sepak-terjang Pangeran In Te selamanya bersih tanpa kesalahan, tak ada alasan untuk menghukum mati. Maka ya dipakailah cara kotor macam ini!"

   Ucapan yang makin tidak tedeng aling-aling itu keruan membuat para perajurit jadi gempar. Dan di antara mereka terdengarlah bentakan marah Lo Peng menggelegar.

   "Sun Hong Beng, kau menuduh Panglima Tertinggimu dan menyebarkan keresahan diantara perajurit! Menurut tata-tertib yang ditetapkan Goan-swe Ni Keng Giau, kau sudah pantas dihukum penggal kepala!"

   Kemudian Lo Peng menghunus pedangnya dan melangkah ke arah Sun Hong Beng. Namun Sun Hong Beng juga tidak gentar, tak peduli Lo Peng punya "becking"

   Ni Keng Giau sendiri.

   Dan ternyata bukan cuma mereka berdua, karena kedua perwira itu sama sama punya teman sepaham yang akan membela kelompoknya masing-masing.

   Yang dicemaskan oleh Pangeran In Te pun membayang di depan mata.

   Perpecahan.

   Kalau dibiarkan saja, semua tentara kekaisaran akan saling bantai selagi musuh masih di depan mata.

   "Hentikan!"

   Bentak Pangeran In Te.

   "Mau apa kalian? Mau berkelahi dengan teman sendiri? Sudah tidak menganggap aku sebagai pimpinan sehingga berani bertindak sendiri-sendiri?"

   Ternyata Pangeran In Te masih punya kewibawaan, terutama atas diri orang-orang yang memang setia kepada nya, namun juga atas diri orang-orang yang memihak Lo Peng. Ketika Pangeran In Te membentak, semua orangpun serempak menghentikan gerakannya.

   


Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini