Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 6


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 6



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Nasibnya, lebih baik dulu-dulu tidak usah mampir ke Lok-yang segala untuk mengajak Se-bun Hong-eng.

   Tanpa mengetahui perasaan cucunya, Pak Kiong Liong terus bercerita tentang Wan Lui dengan penuh kebanggaan bercampur harapan.

   Perasaan jago tua itu tak berbeda dengan perasaan seorang petani ketika melihat benih yang ditanam nya mulai tumbuh, bahkan akan menjadi pohon yang kokoh kuat.

   Itu kebanggaannya Sedang harapannya ialah kelak Wan Lui dengan segala kelebihannya akan menjadi orang yang berguna buat banyak orang, bukan sebaliknya menjadi bencana.

   Selagi orang-orang dalam ruangan itu asyik berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar piniu ruangan itu diketuk dari luar.

   Reaksi khas para buronan yang selalu merasa tidak aman, segera menghinggapi orang-orang dalam ruangan itu.

   Bungkam seketika sambil berwaspada.

   Mereka tidak segera membuka pintu, namun saling pandang dengan waspada.

   Tapi ketegangan pun mencair, ketika dari luar pintu terdengar suara tertawa perlahan, dan kata-kata bernada canda.

   "Eh, kenapa kalian jadi seperti jangkrik-jangkrik tersiram air?"

   "Itu Paman Lu Kan San!"

   Kata Tong Hai Long, yang langsung melompat ke pintu untuk membukanya, tanpa menunggu persetujuan yang lain-lainnya.

   Begitu pintu dibuka, nampak seorang lelaki berusia kira-kira limapuluh tahun.

   Rambut, alis dan jenggotnya sudah kelabu, namun kulit wajahnya masih segar.

   Pundaknya tegap, namun punggungnya agak bungkuk.

   Pakaiannya sederhana, sesuai dengan peranannya saat itu sebagai pedagang buah-buahan.

   Sebuah pikulan yang berisi macam-macam buah nampak diletakkannya di samping pintu.

   "Silahkan masuk, Lu Tong Cu!"

   Kata Pak Kiong Liong sambil tertawa."Berani taruhan, daganganmu pasti tidak laku!"

   Semua orang diruangan itu tersenyum mendengar kelakar hangat itu. Sedangkan Lu Kan San pura-pura menggerutu.

   "Dasar memang tidak bakat dagang. Jualanku didekati orang saja tidak, padahal penjual-penjual di kiri kananku dikerumuni pembeli."

   Kembali orang-orang itu tertawa. (Bersambung

   Jilid X) (Bersambung

   Jilid X) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid X Setelah masuk, Lu Kan San menutup pintu, lalu tiba-tiba menegakkan punggungnya. Maka nampaklah tubuh yang sebenarnya tinggi besar dan tidak bungkuk. Rupanya ia sengaja sedikit membungkuk agar tubuhnya yang seperti "menara berjalan"

   Itu tidak menarik perhatian orang di jalanan.

   Tokoh ini adalah salah satu Tong-cu Hweliong-pang yang berhasil lolos ketika markas Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong diserbu tentara kerajaan.

   Namanya Lu Kan San, julukannya Hui-lo-sat (Si Raksasa Terbang), karena biarpun tubuhnya amat besar namun mahir dalam ilmu meringankan tubuh.

   Setelah memberi salam kepada orang-orang di ruangan itu, Lu Kan San langsung mengambil tempat duduk dan berkata dengan wajah penuh kesungguhan.

   "Karena pentingnya soal ini, maka aku bicara langsung saja. Jejak Pangeran In Tong sudah tercium dan kini mulai dilacak oleh kawan-kawan kami."

   Semua orang dalam ruangan itu seketika menegakkan kepala.

   Pangeran In Tong adalah murid mendiang Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou, namun juga telah mengkhianati gurunya itu dalam usahanya untuk menguasai Hwe-liong-pang, yang akan dijadikannya modal untuk merebut tahta dari Kaisar Yong Ceng.

   Biarpun Tong Lam Hou terlanjur tewas, namun pengkhianatan In Tong terbongkar juga.

   Maka jadilah ia musuh yang paling dibenci oleh orangorang Hwe-liong-pang.

   Tak heran kalau orangorang di ruangan itu serempak bangkit minatnya begitu mendengar kabar diketemukannya jejak Pangeran In Tong.

   "Di mana dia, Paman Lu?"

   Tanya Tong Hai Long tidak sabar.

   "Jejaknya mula-mula muncul di Tan-liu, lalu mengikuti jalan kearah Hang-ciu.

   Namun di suatu desa kecil yang merupakan semacam pos perjalanan, jejak itu tiba-tiba menghilang kembali.

   Tapi muncul kembali di jalan raya propinsi Ho-lam yang menuju ke kota raja Pakkhia.

   Cepat-cepat kuhubungi kawan-kawan dengan tanda-tanda rahasia, kusuruh mereka terus mengawasi! agar jangan kehilangan jejak lagi.

   Sedangkan aku cepat-cepat menuju kemari untuk memberitahu."

   "Apakah teman-teman itu sudah di pesan menurut pesanku dulu?"

   Tanya Pak Kiong Liong.

   "Sudah. Mereka hanya kuminta untuk mengawasi dan membuntuti, tapi tidak boleh bertindak sendiri-sendiri, karena sasaran kali ini cukup tajam perasaannya, lagi pula berbahaya."

   "Bagus. Memang terhadap Pangeran In Tong, kita tidak boleh gegabah. Selain berbahaya, dia juga sudah mengenal banyak wajah anggota Hwe-liong-pang, karena dia pernah menjadi orang Hwe-liong-pang pula. Kalau kita sampai kurang hati-hati menguntitnya dan dia sampai merasa kalau sedang diawasi, aku khawatir dia akan menghilang lagi. Dan tentu akan semakin sulit diketemukan, karena tentunya semakin hatihati dalam menyembunyikan diri."

   "Benar, Goan-swe."

   Banyak anggota Hwe-liong-pang masih saja memanggil Pak Kiong Liong dengan sebuatan "goan-swe"

   Biarpun dia sudah lama tidak menjadi jenderal lagi.

   "He, A-hai, mau kemana kau?"

   Tiba-tiba Pak' Kiong Liong membentak, karena melihat cucunya itu sudah menyambar pedang dan hendak melangkah keluar. Tong Hai Long menghentikan langkah dan menjawab.

   "Kalau jejak si pengkhianat itu sudah diketemukan, buat apa kita tinggal lebih lama lagi disini? Kita susul dia dan suruh mempertanggung jawabkan semua kejahatannya!" "Kau sudah lupa semua omonganku tadi?"

   Kata Pak Kiong Liong dengan wajah angker.

   "Duduk!"

   Betapapun bandelnya Tong Hai Long, ketika melihat kakeknya begitu marah, keder juga si cucu bandel ini. Terpaksa ia duduk kembali. Kemudian Pak Kiong Liong berkata lagi, suaranya sudah menurun tapi masih bernada menegur.

   "A-hai, tidakkah kau sadari bahwa sikap berangasanmu itu bisa mengacau semua urusan? Ingat, Pangeran In Tong bukan maling ayam kaliber teri yang begitu gampangnya di hadang dan ditangkap. Semuanya harus direncanakan rapi untuk meringkusnya tanpa gagal lagi. Dia amat licin, bukti nya, dalam beberapa tahun ini jejaknya kelihatan beberapa kali, tapi setelah di susul dan disergap, tahutahu kita cuma menubruk angin, bahkan beberapa anggota kita menjadi korban. Karena itu, bertindaklah dengan kepala dingin."

   Tong Hai Long menunduk sambil menggenggam erat-erat sarung pedangnya.

   Sesaat ruangan itu sunyi.

   Hati si kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long bergejolak hebat, ingin segera menyusul si pembunuh kakek mereka itu.

   Namun merekapun tidak berani mengabaikan pertimbangan yang diucapkan Pak Kiong Liong.

   Itu memang kenyataan.

   Sudah beberapa kali Pangeran In Tong disergap dan ternyata luput terus karena licinnya.

   Sementara itu, In Te bungkam dengan wajah yang muram.

   Bagaimanapun jahatnya Pangeran In Tong yang sedang dibicarakan itu, namun In Tong yang dulu dikenal sebagai Pangeran Ke Sembilan itu adalah kakanda In Te yang dulu disebut Pangeran Ke Empatbelas.

   Namun apa yang telah dilakukan oleh kakaknya itu memang sulit dimaafkan.

   Yang terdengar kemudian adalah suara Pak Kiong Liong, tenang dan terkendali, mengingatkan orang akan gaya nya dulu ketika masih memimpin pasukan dalam pertempuran.

   "Lu Tong-cu, tetap awasi dia, tapi hati-hatilah. Jangan melepaskan hubungan dengan kami lewat tanda-tanda rahasia. Jangan terlalu banyak orang yang mengikutinya, sedikit saja asal orang-orang yang benar-benar ahli. Kalau terlalu banyak orang, In Tong akan bisa merasakannya, dan kalau sampai dia lolos kembali, barangkali kita harus menunggu beberapa tahun lagi untuk menemukan jejaknya. Atau bahkan selama-lamanya takkan kita temui lagi jejaknya."

   "Akan kuperhatikan semua petunjuk Goanswe. Sekarang juga aku berpamitan."

   "Silahkan."

   Lu Kan San pun meninggalkan penginapan itu, dan kembali ke dalam penyamarannya sebagai si pedagang buah-buahan yang bungkuk.

   * * * Siang itu, sehabis melatih perajurit di lapangan, Ni Keng Giau tiba-tiba seperti ingat sesuatu, lalu membongkar-bongkar keranjang pakaiannya yang diseretnya dari kolong ranjangnya ditangsi.

   Wajahnya tiba-tiba menjadi berseri-seri ketika menemukan apa yang dicarinya.

   Sebatang pedang pendek yang sarungnya maupun tangkai pedangnya berlapis emas, pada pelindung pegangannya terhias dua butir permata yang masing-masing merah dan biru serta diukir naga dan burung hong.

   Indah sekali.

   Itulah Liong-hong Po-kiam (pedang Pusaka Naga dan Burung Hong) yang dulu dihadiahkan Kaisar Yong Ceng kepadanya.

   Beberapa saat lamanya Ni Keng Giau menimang-nimang pedang itu, dan lamunannya terseret mundur kemasa lalunya yang gemilang.

   Tiba-tiba ia bangkit dan menyelipkan pedang itu ke ikat pinggangnya, lalu melangkah keluar.

   Ia akan menuju ke warung arak untuk memamerkan pedang itu.

   Sejak keluar dari pintu gerbang tangsi, ia sudah tersenyum-senyum sendiri.

   Tegur sapa para perajurit yang berpapasan dengannya tidak digubrisnya.

   Para perajurit heran melihat pedang yang begitu bagus, yang belum pernah mereka lihat, terselip di pinggang Ni Keng Giau.

   Setelah keluar dari pintu gerbang, tangsi, Ni Keng Giau berjalan melewati deretan pepohonan di pinggir jalan.

   Langkah santainya tiba-tiba berubah menjadi langkah tegap, wajahnya angker dan bersungguh-sungguh menatap deretan pohon itu sambil mengangguk-angguk dan bergumam.

   "Bagus....... bagus... barisan yang tertib!"

   Sampai di ujung deretan pepohonan itu, ia berbalik lagi, agaknya belum puas memeriksa "pasukan"nya.

   Beberapa orang di jalanan itu tidak heran lagi melihat tingkah lakunya, tingkah semacam itu sudah biasa.

   Biasanya ada anak-anak kecil yang mengikutinya sambil bersorak-sorak, tapi kali ini tidak ada, sebab anak-anak kecil agaknya takut melihat pedang pendek yang terselip di pinggang sang jenderal.

   Tiba-tiba dari ujung jalan terdengar seseorang membentak.

   "Ni Keng Giau! Berhenti!"

   Ketika Ni Keng Giau menoleh, nampaklah seorang lelaki yang tegap dan kekar, berusia kira-kira tiga puluh tahun dan bermuka kehitam-hitaman. Sambil menjinjing sebatang golok, ia berjalan mendekati Ni Keng Giau dengan sikap bermusuhan.

   "Siapa kau?"

   Tanya Ni Keng Giau.

   "Tentu kau tidak kenal seorang rendahan macam aku. Aku Ma Hin, cuma seorang piau-su (pengawal perjalanan) tak bernama. Aku juga tidak tahu apakah kau masih ingat Ma Seng dan Ma Siau Lin."

   Ni Keng Giau geleng-geleng kepala dengan pandangan kosong. Lelaki bernama Ma Hin itu membentak gusar.

   "Tentu saja kau lupa, karena korban kejahatanmu sudah tak terhitung banyaknya, bangsat! Tapi kau harus tahu, kedua orang yang kusebut tadi adalah korban-korban kebiadabanmu, mereka adik-adikku! Ma Seng seorang pemuda yang rajin, periang, dengan masa depan yang baik. Namun kau hukum mati dia di Tan-liu hanya karena terlambat berlutut di pinggir jalan ketika tandumu lewat! Ma Siau Lin adalah adik perempuanku yang juga tengah menyongsong kebahagiaannya bersama pemuda pilihannya sendiri. tapi pengawalpengawalmu yang biadab mengambilnya dari rumah untuk dijadikan korban nafsumu, sehingga akhirnya adikku itu membunuh diri karena tak tahan menanggung noda. Sayang, saat itu aku tidak ada di Tan-liu karena tugasku, namun sekarangpun rasanya belum terlambat untuk mengorek jantung dan limpamu guna menyembahyangi arwah adik-adikku itu!"

   Berikutnya, Ma Hin tak memberi kesempatan N i Keng Giau untuk menjawab, ia langsung merangsek seperti anjing gila.

   Goloknya membabat berulang kali dengan sengit.

   Sebagai seorang piau-su yang sering bepergian jauh dan menempuh bahaya, ilmu silatnya tak bisa dipandang enteng.

   Beberapa kali Ni Keng Giau mundur berkelit, namun Ma Hin terus mengejar dengan sengit.

   Akhirnya Ni Keng Giau dipaksa mencabut pedang Liong-hong Po-kiam untuk membela diri.

   Maka bertempurlah kedua orang itu di tengah jalan.

   Ni Keng Giau mencoba memainkan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat yang pernah dipelajarinya di Siau-lim-si, seingat-ingatnya.

   Sedang Ma Hin kelihatan memainkan ilmu golok Kun-goan-to-hoat dari Hoa-san-pai.

   Golok yang menebas-nebas dengan kuat dan garang, berhadapan dengan pedang pendek yang cepat dan lincah.

   Setelah puluhan jurus, mulailah Ma Hin terdesak.

   Bagaimanapun, yang dilawannya adalah murid Pun-bu Hwe-shio yang terkenal.

   Semasa jayanya dulu memang Ni Keng Giau malas latihan silat, namun sejak menjadi pelatih di Hang-ciu, kemampuan silatnya malah terasah tajam kembali.

   Lemak-lemak yang dulu menggumpal di sekitar perut nya, sudah banyak berkurang.

   Kendati otaknya rada miring, kini tubuhnya lebih ramping dan tegap sebab sering melatih para perajurit di lapangan.

   Tetapi Ma Hin yang tak peduli lagi mati hidupnya, tiap kali tak henti-hentinya menerjang dengan sengit.

   Sementara itu, banyak orang-orang mulai menonton perkelahian itu, namun dari kejauhan.

   Suatu saat Ma Hin menerjang dengan nafsu.

   Ni Keng Giau berhasil berkelit, bersamaan dengan kelebat pedang nya membelah lambung Ma Hin, sehingga Ma Hin terhuyung-huyung.

   Desis kesakitan Ma Hin tertutup oleh teriakan buas Ni Keng Giau yang tanpa belas kasihan menikamkan pedang ke dada lawannya.

   Ma Hin tersungkur jatuh, darahnya terserap debu jalanan, sementara arwahnya terbang menyusul arwah adik-adiknya yang hendak dibelanya.

   Tetapi Ni Keng Giau belum berhenti beraksi.

   Sambil berteriak-teriak kalap, ia mencacah-cacahkan pedang ke tubuh korbannya, dengan mata merah dan air liur menetes netes dari mulutnya.

   Hancurlah jasad Ma Hin.

   Orang-orang yang menonton di kejauhan menjadi ngeri melihat adegan itu, serempak mereka lari bubar dengan ketakutan.

   Khawatir kalau Ni Keng Giau mengalihkan amukannya kepada mereka, maklum orang yang agak gila.

   Memang aman kalau mereka lari jauh-jauh, sebab setelah Ni Keng Giau membuat tubuh Ma Hin menjadi setumpuk daging cincang tak berujud lagi, dengan matanya yang liar Ni Keng Giau mulai menatap ke sekelilingnya.

   Sambil mengobat-abitkan pedangnya yang merah oleh darah, ia berteriak-teriak.

   "Ayo! Siapa lagi mau menantangku?! Majulah ke sini! Inilah Ni Keng Giau, Panglima Tertinggi Penakluk Jing-hai! Penguasa wilayah Siam-sai dan Se-cuan yang bergelar It-teng-kong! Saudara angkat Kaisar! Siapa yang melawanku harus binasa dengan tubuh hancur seperti dia!"

   Akibatnya, orang-orang yang berlari menjauhinyapun semakin cepat mengayun langkah.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Perempuan-perempuan dan anak-anak kecil bahkan menjerit-jerit.

   Waktu itulah dari ujung jalan satu rombongan yang mendekat.

   Mereka adalah Panglima Hang-ciu, Kang Bun Hou, bersama satu regu pengawalnya.

   Selama masa jabatan Kang Bun Hou, kota Hang-ciu berhasil ditingkatkan keamanan dan ketertibannya.

   Kang Bun Hou bukan saja kelewat rajin menguber penjahat sampai terbekuk batang lehernya, namun juga menertibkan perajurit-perajuritnya sendiri agar tidak merugikan penduduk.

   Kini melihat- Ni Keng Giau melakukan pembunuhan kejam di siang hari bolong, lagipula di sebuah jalan ramai, kontan gusarlah Kang Bun Hou.

   Ia merasa peraturan yang mau ditegakkan telah ditantang terang-terangan oleh Ni Keng Giau.

   "Apa yang kau lakukan, Ni Keng Giau?!"

   Dalam kedudukannya yang hanya sebagai pelatih, mestinya Ni Keng Giau tunduk kepada Kang Bun Hou. Tapi saat itu otaknya masih "hangat"

   Sehingga lupa segala tata-tertib. Ia tetap berdiri, tidak memberi hormat, pedangnya ditudingkan ke mayat Ma Hin sambil berkata.

   "Bangsat itu berhasrat membunuhku, dan aku telah menghukumnya!"

   "Kenapa dia sampai ingin membunuh mu? Tentu ada sebabnya."

   "Memang ada sebabnya, tapi bukan urusanmu!"

   "Urusanku. Sebab kau lakukan di kota yang dibawah tanggung-jawabku!" "Tidak perlu ikut campur!"

   Marahlah Kang Bun Hou menghadapi sikap yang semakin liar itu.

   Susah payah ia menertibkan bawahannya, apakah ketertiban yang sudah mapan itu akan dikacaukan oleh si pelatih baru yang setengah waras ini? Biarpun Ni Keng Giau adalah seorang bekas jenderal yang berpangkat jauh lebih tinggi dari Kang Bun Hou? "Ni Keng Giau! Bagaimana sikapmu terhadap atasanmu?!"

   Bukannya tunduk, Ni Keng Giau malah tertawa berkakakan.

   "Atasanku? Siapa atasanku? Hanya Sribaginda sendirilah atasanku!"

   Lalu ia mengacungkan pedang Liong-hong Po-kiam tinggi-tinggi sambil berteriak.

   "Kang Bun Hou! Kau yang harus berlutut di hadapan lambang pribadi Kaisar ini! Kau kenal pedang ini atau tidak?!"

   Kang Bun Hou kaget, dan sesaat lamanya ia memang jadi salah tingkah.

   Sudah jelas Ni Keng Giau bersalah, tapi mau dikata, dia memegang Liong-hong Po-kiam.

   Kalau Kang Bun Hou tidak mau berlutut, memang bisa dianggap tidak menghormati Kaisar sendiri, sebab tidak menghormati pula orang yang dianugerahkan lambang pribadi Kaisar itu.

   Karena itu, dengan amat terpaksa Kang Bun Hou berlutut, begitu pula perajurit-perajurit pengiringnya, Ni Keng Giau tertawa puas sekali.

   Pedangnya disabet-sabetkan di udara, dan untungnya saja tidak disabetkan ke arah Kang Bun Hou yang berlutut di de pannya.

   "Nah, begitu barulah kalian bisa dibilang perajuritperajurit yang tertib. Ketahuilah, ketika dulu aku memimpin pasukan ke Jing-hai, perwira yang berpangkat setingkat denganmu itu ada ratusan orang yang dibawah perintahku. Bahkan ada yang kusuruh mengelap sepatuku tanpa berani membantah. Sekarang ini jangan dikira aku sedang diturun kan pangkat, tidak! Aku sedang menjalani pendadaran sebelum diberi kedudukan yang lebih tinggi oleh Sribaginda! Ha-ha., kalian tentu kaget, bahkan Sribaginda sudah merencanakan untuk mengangkat saudara denganku. Ha-ha..... kaget ya? Kaget? Ayo bilang kaget!"

   Masih banyak lagi ocehan Ni Keng Giaii.

   Campuran antara kenyataan masa lalu dan hasil khayalannya sendiri.

   Kemudian sambil membusungkan dada, ia meninggalkan tempat itu, dan membiarkan Kang Bun Hou dan pengawal-pengawalnya tetap berlutut di atas debu jalanan.

   Setelah Ni Keng Giau menghilang di ujung jalan, Kang Bun Hou bangkit sambil mengepalkan tinju dengan geramnya "Benarbenar edan, aku yang berkedudukan penegak hukum di kota ini malah dipaksa berlutut di hadapan orang sinting, bahkan di hadapan mata banyak orang.

   Seandainya si otak miring itu tidak memegang Liong-hong Po-kiam."

   Perwira yang mendampinginya lalu menghiburnya.

   "Kita tidak perlu kecil hati, semua orang tentu bisa memaklumi tindakan kita tadi. Namun kadang-kadang Ni Keng Giau juga berpikiran waras, dan melatih perajuritperajurit kita dengan baik." "Hanya kadang-kadang? Disiplin yang berusaha kutegakkan di kota ini ditaati oleh seorang pelatih hanya kalau waras saja? Bagaimana kalau lebih banyak sintingnya daripada warasnya? Tidak bisa kubiarkan. Secepatnya aku harus menulis surat laporan kepada Sribaginda!"

   Merasa bahwa ketertiban kotanya benarbenar terganggu, Kang Bun Hou tidak berlambat-lambatan menulis surat ke Pak-khia, melaporkan segala tindak tanduk Ni Keng Giau.

   Lalu surat itu segera dibawa oleh seorang caraka yang menunggangi kuda tercepat ke Pakkhia.

   Sementara, lagak Ni Keng Giau di Hang-ciu semakin menghebat setelah Liong-ong Po-kiam selalu terselip di pinggangnya.

   Sekali waktu pikiran warasnya muncul, dan sadar kalau sepak-ter-jang macam itu diterus-teruskan akan bisa mendatangkan kesulitan lebih hebat buat dirinya.

   Tapi kesombongan dalam kegilaannya lebih sering menguasai jiwa nya daripada akal sehatnya.

   Kesombongan dalam kegilaan yang sebenarnya lebih merupakan pelarian dari kekecewaannya, lebih merupakan jeritan hatinya yang di tutup-tutupi, Beberapa hari kemudian, datanglah seorang utusan dari Pak-khia membawa Titah Kaisar Yong Ceng yang akan dibacakan di gedung Cong-peng-hu, kantor Kang Bun Hou.

   Sebelum pembacaan, Ni Keng Giau lebih dulu dipanggil dari tangsi, dan disuruh membawa pedang Liong-hong Po-kiam serta sebuah baju berwarna kuning bersulam naga yang du lu juga merupakan anugerah Kaisar.

   Ni Keng Giau berjalan ke Cong-peng hu dengan hati melonjak-lonjak kegirangan.

   Ia sudah membayangkan, utusan Kaisar kali ini tentu membawa berita bahwa ia dipulihkan ke kedudukan semula.

   Tentu.

   Namun tubuhnya menggigil dan dialiri keringat dingin, ketika ia sudah berlutut di lantai aula Cong-peng-hu yang dingin itu, dan mendengar Utusan dari Pak-khia itu membacakan Titah Kaisar.

   "Perintah Yang Dipertuan, Sang Putera Langit! Ni Keng Giau dipersalahkan menggunakan pedang Lionghong Po kiam dan jubah Ui-hong-ih untuk melakukan pembunuhan sewenang-wenang, menakut-nakuti penduduk, menimbulkan ke resahan di antara perajurit Hang-ciu. Karena itu, kedua anugerah Yang Dipertuan itu harus diserahkan kembali. Sedang Ni Keng Giau mendapat hukuman turun pangkat menjadi perajurit penjaga pintu gerbang Hang-ciu!"

   Lemaslah seluruh tubuh Ni Keng Giau karena kagetnya, untung ia tidak melompat bangun dan mengamuk. Dalam hati ia cuma membatin.

   "saudara angkat"

   Nya di Pak-khia itu benar-benar keterlaluan "bercanda"

   Dengannya. Namun ia tetap memaksa diri untuk mempercayai bahwa itu semua hanya "ujian kesetiaan"

   Sebelum dirinya kelak kembali ke kedudukan agungnya.

   Tapi saat itu, mau tidak mau, ia harus menyerahkan jubah Ui-hong-ih dan pedang Liong-hong Po-kiam ke tangan Utusan Kaisar, dengan tangan yang gemetar.

   Sebelum meninggalkan aula Cong-peng-hu untuk kembali ke tangsinya, Ni Keng Giau sempat melirik geram kepada Kang Bun Hou sambil membatin dalam hati.

   "Awas kau, bangsat! Kau tentu telah memfitnah aku di hadapan Sribaginda. Kelak kalau aku kembali menjadi Panglima Tertinggi, akan kuturunkan pangkatmu menjadi tukang membersihkan kakus di tangsi."

   Utusan Kaisar itupun kembali ke Kota raja Pak-khia, Sedangkan Ni Keng Giau hari itu mulai dengan tugas barunya sebagai pengawal pintu gerbang.

   Kini, tiap siang ia memakai seragam belacu biru tua, memanggul tombak, berdiri di pintu gerbang kota bersama perajurit-perajurit lain.

   * * * Beberapa minggu kemudian, Kang Bun Hou kembali mendapat kabar dari Pak-khia bahwa Liong Ke Toh, Pamanda Kaisar, dalam perjalanan inspeksi tahunannya ke daerahdaerah akan melewati Hang-ciu dalam beberapa hari lagi.

   Kang Bun Hou tahu kalau Liong Ke Toh seorang bangsawan tua yang bawel dan gila hormat, maka mendengar kabar itu, ia tak berani berlambat-lambatan dalam menyiapkan sambutan kehormatan.

   Regu penjaga pintu gerbang mendapat tugas penyambutan di pintu kota, maka sibuklah si komandan regu karena tahu ada anggaota regunya yang kurang waras.

   Ia khawatir kalau sampai Ni Keng Giau membuat ulah dalam penyambutan, sehingga mengacaukan semuanya.

   Beberapa hari sebelum tanggal kedatangan Liong Ke Toh, komandan pengawal gerbang sudah gencar membujuk Ni Keng Giau agar menaati tata tertib penyambutan.

   'Aku yakin, berani taruhan sepuluh cangkir arak, kunjungan Liong Ong-ya kali ini pasti juga sekalian untuk melihat apakah Calon Saudara Angkat Kaisar itu tertib atau tidak dalam tugasnya,"

   Kata si komandan pengawal gerbang dengan gaya seperti membujuk bocah cilik "Kalau dia melihatmu menjalankan tugas dengan baik, dia pasti akan menganggukangguk sambil mengelus jenggot, dan membatin begini.

   "O, Ni Keng Giau menjalankan tugasnya dengan baik, itu tandanya benar-benar setia Lalu Liong Ong-ya akan melaporkannya kepada Sribaginda, nah, Sribaginda puas akan laporan itu dan kaupun akan dipanggil kembali Ke Pakkhia untuk menduduki kembali jabatanmu yang dulu"

   Komandan itu dan Ni Keng Giau berbicara di kamar Ni Keng Giau yang pengab dan penuh celana-celana para perajurit bergantungan di atasnya.

   Sementara si komandan berbicara, Ni Keng Giau asyik dengan lem dan potonganpotongan kertas dan gunting.

   Seasyik anak sekolah yang mendapat tugas prakarya dari gurunya, Ni Keng Giau sedang membuat sebuah topi yang modelnya adalah topi para pejabat tinggi di pusat pemerintahan.

   Benang-benang merah brodolan ronce tombak yang dikumpulkannya dalam beberapa hari ini, dihiaskannya dengan telaten sehelai demi sehelai ke topi buatannya itu.

   Beberapa helai bulu ayam dipasangkan pula di situ untuk "menambah keindahannya".

   Ketika ucapan si komandan sampai pada "kembali ke jabatanmu", Ni Keng Giau mengangkat wajahnya, matanya bersinar-sinar penuh harapan.

   "Benarkah begitu? Hah, benar begitu ya?"

   Demi kelancaran upacara penyambutan kelak, si komandan terpaksa nekat melanjutkan kebohongannya.

   "Ya tentu saja benar. Siapapun di kekaisaran ini, siapa yang tidak mengetahui jasa-jasamu yang luar biasa? Ketika mengamankan Hek-liong-kang, ketika menumpas kerusuhan kaum Pek-lian-kau dan Jit-goat-pang, lebih-lebih dalam menalukkan Jing-hai. Jasamu luar biasa. Sribaginda pasti mengutus Liong Ong-ya untuk melihat apakah kau menjalankan tugas di sini dengan baik, tapi ya dengan syarat" "Ini hebat sekali! Benar-benar hari bersejarah buatku!"

   Ni Keng Giau hampir menjerit karena girangnya.

   "... tapi ya ada syaratnya...."

   Si komandan mengulang.

   "Syarat apa?"

   "Pada saat penyambutan Liong Ong-ya, kau harus tertib dan benar-benar menunjukkan hormatmu. Agar Liong Ong-ya mendapat kesan baik dan melaporkan kepada Sribaginda!"

   "Apa? Aku harus menghormat tua bangka itu? Hemm, aku tidak sudi! Seharusnya dialah yang harus memberi hormat kepadaku!"

   Si komandan terkesiap dan buru-buru berkata.

   "Sabar...... sabar... dengan dulu katakataku. Memang sekarang kau harus menghormatinya, tapi kelak kalau kedudukanmu pulih, bukanlah kembali dia yang harus menghormatimu? Sekarang mengalah dulu sedikit, apa salahnya? Tapi kalau sekarang kau tidak mau mengalah, ya sulit kau kembali ke kedudukanmu. Bahkan Liong Ong-ya mungkin menjadi tidak senang, lalu dihadapan Sribaginda akan menceritakan yang burukburuk tentang dirimu."

   Ni Keng Giau termangu-mangu sambil menggaruk- garuk t engkuknya. Tanyanya kemudian.

   "Kalau aku bersikap tertib, lalu Sribaginda akan segera memanggilku ke Pak-khia, begitukah?"

   "Itu jelas!"

   Sahut si komandan amat menyakinkan.

   "Itu jelas sekali, siapa lagi yang menyangsikan? Aku yakin Sribaginda akan segera yakin akan kesetiaanmu! Berani taruhan sepuluh bungkus kacang goreng!"

   Ni Keng Giau bangkit dari duduknya dan berjalan hilir-mudik dengan kegembiraan meluap-luap, si komandan ikut bangkit pula dengan kadar kegembiraan yang sama sebab ada tanda-tanda anggota regunya ini akan dapat ditertibkan.

   "Saudara Ting..."

   Kata Ni Keng Giau kemudian kepada si komandan.

   "Kau sungguh baik kepadaku dengan memberikan nasehatnasehatmu. Aku berjanji, kalau beberapa hari lagi aku dilantik menjadi Panglima Tertinggi, orang yang pertama-tama kuingat ialah dirimu. Aku akan menaikkan pangkatmu menjadi__ he, topiku jangan diduduki! ' Si komandan didengarnya Ni Keng Giau melanjutkan kata-katanya yang tadi.

   ".. aku akan menaikkan pangkatmu menjadi Cong-peng di Hang-ciu ini, menggantikan Kang Bun Hou si bangsat tumbak-cucukan itu yang akan kuturunkan menjadi tukang cuci kakus!"

   Terharu campur ngeri si komandan mendengar ucapan itu.

   Ngeri, bagaimana kalau ucapan itu sampai ke telinga Panglima Kang Bun Hou? Sedang terharunya karena ia sadar bahwa caranya menghibur dan membujuk Ni Keng Giau itu berarti mendorong Ni Keng Giau semakin tenggelam ke alam khayalan, dan berarti juga memperlambat kesembuhan jiwanya.

   Tapi selain dengan cara itu, ia tidak tahu harus pakai cara lain yang bagaimana lagi? "Baiklah.

   Tapi besok waktu penyambutan, kau jangan memakai topimu yang ini.

   Pakai saja topi perajuritmu yang seragam dengan temantemanmu agar nampak rapi dan seragam."

   "Ya.. ya Topi ini memang khusus kupakai pada saat pelantikanku besok."

   Sebelum si komandan itu pergi, lebih dulu ia melirik sekejap ke arah topi itu, sambil menggeleng-geleng kepala dan menarik napas.

   Pada tanggal kedatangan tamu-tamu dari Pak-khia, regu pengawal pintu gerbang sudah siap di tempatnya.

   Jumlah mereka lebih banyak dari hari-hari biasanya, seragam merekapun nampak lebih rapi.

   Tetapi karena rombongan yang disambut belum nampak, para perajurit masih bergerombol santai sambil bercakapcakap.

   Tetapi Ni Keng Giau tidak ikut dalam percakapan itu, melainkan terpisah dari mereka.

   Tombaknya disandarkan tembok kota, ia sendiri berjongkok sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.

   Tersenyum-senyum, bahkan berbicara perlahan kepada barisan semut yang sedang merambati tembok.

   Para perajurit sudah maklum dan membiarkan saja ulahnya.

   Ada yang geli, ada ya iba, ada yang acuh tak acuh.

   Sering perajurit yang iba dengan sukarela mengambilkan ransum jatah dari tangsi, dan ada pula yang sering mentraktirnya arak atau kacang goreng.

   Secara bisik-bisik para perajurit itu membicarakan si bekas jenderal.

   "Ia pasti telah melakukan suatu kesalahan besar, sehingga mendapatkan hukuman seberat itu. Bukan hukuman tubuh, tapi hukuman batin, sehingga jiwanya diombang-ambingkan antara harapan dan kekecewaan, dari hari ke hari tanpa tahu kapan berakhirnya."

   "Tentu saja yang didapati hanya ke kecewaan melulu, sebab apa yang di-anganangankannya tak mungkin menjadi kenyataan, terlalu berkhayal. Tambah hari tambah susah ia menyesuaikan khayalannya itu dengan kenyataan, la seolah hidup di dua dunia."

   "Salahnya sendiri. Kalau ia mau menerima kenyataan dengan ikhlas, jiwanya akan cepat sehat kembali." "Enak saja kau omong, mana bias bersikap sepasrah itu kalau pernah menduduki tempat yang begitu tinggi? Dia mendapatkan itu dengan bersusah-payah, lalu tiba-tiba dilucuti tanpa dia punya persiapan mental. Nah, coba bayangkan, kalau kau yang mengalaminya., barangkali sudah kau ambil tali untuk menggantung dirimu."

   "Kasihan ya? Makin hari pikirannya makin kacau, dan kita jadi seperti momong anak kecil."

   "Ia masih sering berkata bahwa tidak lama lagi kedudukannya akan dipulih kan. Dan aku...."

   Perajurit yang berbicara itu tiba-tiba tertawa kecil.

   "sudah dijanjikan akan menjadi Congpeng di Hang-ciu ini."

   "Astaga, dia juga bilang begitu kepadaku!"

   "Lho, aku juga dijanjikan menjadi Congpeng di kota ini!"

   "Berbahagialah rakyat Hang-ciu, bakal mempunyai tiga panglima semacam kalian."

   Perajurit-perajurit lainnya tertawa, sementara Ni Keng Giau masi saja berjongkok di tempatnya dengan sikap semula. Sementara itu salah satu "calon Cong-peng"

   Itu melirik sekejap ke arah Ni Keng Giau, lalu berkata.

   "Nah, kelak kalau aku sudah menjadi Cong-peng kalian minta kujadikan apa?"

   Seorang perajurit yang dikenal doyan makan menjawab.

   "Tolonglah agar aku diangkat menjadi kepala dapur tangsi, seumur hidup."

   Tertawa para perajurit itu makin keras, tapi bungkam serempak ketika Ni Keng Giau tibatiba berdiri dan melotot ke arah mereka.

   Sesaat para perajurit bungkam, dan mereka lega kembali setelah pelan-pelan Ni Keng Giau berjongkok.

   Meskipun dengan suara lebih perlahan, para perajurit itu masih melanjutkan membicarakan Ni Keng Giau.

   Kata seorang perajurit.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia bukan cuma berangan-angan, tapi bahkan sudah mempersiapkan sebuah topi kebesaran, dan jubah kebesaran pula sebagai pengganti Uihong-ih yang dulu diminta kembali oleh Utusan Sribaginda."

   "Jubah kebesaran?" Perajurit-perajurit lainnya tertawa, sementara Ni Keng Giau masih saja berjongkok di tempatnya dengan sikap semula "ssst, tidak bisakah mulutmu bicara perlahan sedikit? Nanti ia mendengar nya,"

   Berhenti sejenak, lalu melanjutkan, ya, jubah kebesaran.

   Kemarin siang kuantar dia membeli kain di tokonya Mao Lopan, kain katun kuning, lalu dijahitnya sendiri karena tidak punya ongkos membayar tukang jahit.

   Ia menyiapkan jubah itu untuk hari pelantikannya, yang menurutnya tidak lama lagi."

   Beberapa perajurit menahan tertawa, beberapa lagi geleng-geleng kepala dengan rasa iba. Ketika itulah percakapan terhenti, karena seorang perajurit berkuda berderap dari luar kota, dan berseru kepada regu pengawal pintu kota itu.

   "Rombongan tamu dari Ibukota sebentar lagi akan lewat!"

   Maka sibuklah si komandan regu mengatur barisannya, terutama membujuk Ni Keng Giau agar bisa ditertibkan, Dan legalah ia ketika melihat Ni Keng Giau ternyata gampang diatur.

   Setahun sekali Liong Ke Toh memang mengadakan perjalanan ke daerah-daerah yang dinamainya sendiri "pemeriksaan tahunan", dengan dalih ingin melihat keberesan kerja para pejabat di daerah.

   Namun beredar desas-desus yang santer bahwa itulah sebenarnya perjalanan mengumpulkan kekayaan yang tidak tanggung-tanggung.

   Para pejabat daerah yang khawatir kalau diri mereka diburuk-burukkan di depan Kaisar Yong Ceng, terpaksa harus menyediakan upeti yang pantas kepada Liong Ke Toh.

   Gara-gara "pemeriksaan tahunan"

   Itulah orang jadi sulit menaksir berapa nilai isi gudang harta Liong Ke Toh di Pak-khia saat itu.

   Tidak lama kemudian, dari kejauhan di arah luar kota Hang-ciu nampak sebuah rombongan yang semakin dekat, nampak pula sehelai bendera yang memanjang kebawah berkibarkibar.

   Komandan regu pengawal pintu kota sekali lagi berpesan kepada Ni Keng Giau.

   "Ingat,, nanti kau harus tertib dan bersikap hormat terhadap rombongan itu. Agar Sribaginda mendapat laporan tentang kepatuhanmu. Kalau kau tidak sopan, kami semua kasihan kalau pangkatmu diturunkan lebih rendah lagi."

   Dan jawaban Ni Keng Giau amat melegakan si komandan.

   "Baik... baik....aku akan mengikuti saranmu. Jangan khawatir."

   Biarpun sudah agak lega, namun si komandan masih cerewet menambahkan lagi.

   "Biarpun sekarang kau harus berlutut kepada Liong Ong-ya, tapi apa artinya kalau kau segera kembali ke kedudukanmu?"

   "Benar....benar..."

   Para perajurit lain ikut mendukung.

   Merekapun khawatir kalau penyambutan sampai kacau, jangan-jangan mereka juga akan ikut kena hukuman? "Di dunia ini mana ada yang lebih bijaksana dari Goan-swe Ni Keng Giau, biarpun calon saudara angkat Sribaginda tetapi mau menghomati orang lain?"

   "Itulah watak mulia seorang bangsawan sejati!"

   "Yang berhati emas!" "Sribaginda akan segera tahu bahwa jenderal utamanya yang amat berjasa ini ternyata bukan seorang yang sombong."

   Wajah Ni Keng Giau berseri-seri mendengar sanjung-puji itu.

   Berulang-ulang ia berjanji akan bersikap sehormat-hormatnya.

   Memang adegan yang janggal, dimana seorang komandan tak mampu menyuruh bawahannya dengan perintah yang tegas, tapi harus memohon-mohon dan membujuk-bujuk, dibantu anak-buahnya yang lain.

   Tapi maklumlah Ni Keng Giau memang seorang anak-buah yang "istimewa"

   Jadi ya harus ditangani secara istimewa pula.

   "Sudah! Sudah!"

   Si komandan cepat menertibkan anak-buahnya.

   "Rapikan barisan, rombongan tamu agung sudah dekat!"

   Kelompok pengawal pintu kota itu-pun berbaris rapi dalam dua deretan di kiri-kanan jalan.

   Mengambil tempat agak di luar pintu gerbang, berdiri dengan tegap sempurna.

   Di antara rombongan itu nampak sebuah tandu indah yang dipikul empat orang.

   Yang mengiringi di kiri kanan tandu itu adalah pejabat-pejabat sipil dan militer kota Hang-ciu, termasuk Kang Bun-hou yang sejak pagi tadi sudi menyongsong di luar kota.

   Biarpun pejabat-pejabat Hang-ciu semuanya membawa kuda, namun tidak menungganginya dan hanya dituntun saja.

   Di depan tandu ada pengawalpengawal pribadi Liong Ke Toh sendiri, sedangkan di belakangnya ada satu regu perajurit dari Hang-ciu sendiri.

   Begitu rombongan mendekati pintu kota, komandan pengawal pintu kota segera menyuruh pasukannya untuk berlutut.

   Mereka berlutut di kedua tepi jajan.

   Liong Ke Toh yang duduk di dalam joli, mengangguk-angguk puas sambil mengelus jenggot putih.

   Sejauh ini ia puas akan penyambutan dirinya yang begitu rapi.

   Namun ia agak heran melihat di antara perajurit penyambut itu seorang yang cara berlututnya lain sendiri.

   Di jaman Manchu itu, para perajurit berlutut dengan kaki kanan ditekuk ke belakang sehingga lututnya menyentuh tanah, kaki kiri ditekuk pula namun dengan telapak kaki tegap menapak tanah, sedang tangan kanan menyentuh tanah.

   Namun perajurit yang lain dari yang lain itu melipat dua kakinya ke belakang, tubuh membungkuk sampai jidatnya menyentuh tanah, pantat terangkat tinggi, dua tangan memeluk kepala.

   "Berhenti!"

   Perintah Liong Ke Toh.

   Rombongan pun berhenti.

   Si komandan pengawal pintu kota terkesiap, kenapa rombongan tiba-tiba berhenti di pos penyambutan yang menjadi tanggung-jawab nya? Ia mulai curiga, dan diam-diam mencuri pandang dari sikap berlututnya untuk memeriksa barisannya.

   Begitu melihat cara berlutut Ni Keng Giau yang "Sehormathomatnya"

   Itu si komandan pun mulai meratap dalam hatinya.

   Namun tak berani berkutik dari berlututnya.

   Sudah membayangkan nasibnya, mungkin dirinya akan dipecat.

   Inilah gara-gara sanjung-puji berlebihan terhadap "jenderal yang bijaksana dan berhati-emas"tadi.

   "Mati aku!"

   Keluhnya dalam hati. Jantung si komandan hampir copot rasanya ketika mendengar Ni Keng Giau tiba-tiba berteriak tanpa disuruh.

   "Ong-ya! Apakah Sribaginda masih mengingat diri hamba?"

   Sekarang kepanikan juga menghinggapi diri Kang Bun Hou.

   Sungguh celaka kalau sampai Liong Ke Toh menjadi tidak senang oleh kejadian itu, padahal Liong Ke Toh sudah terkenal sebagai tukang fitnah yang akan menjatuhkan si apapun yang tidak disenanginya di depan Kaisar.

   Liong Ke Toh menyingkapkan tirai jolinya, alisnya berkerut, dan ia memerintah.

   "Angkat kepalamu agar kulihat mukamu!"

   Ni Keng Giau menengadahkan wajahnya sambil tersenyum lebar. Liong Ke Toh memandang sejenak, lalu tertawa terkekehkekeh setelah mengenalinya.

   "Waduh, inilah pahlawan besar yang tidak ada bandingannya itu? Hampir saja aku tidak mengenalimu, karena sekarang kau agak kurus dan kulitmu agak hitam. Tapi sehat-sehat saja kan?" Melihat sikap Liong Ke Toh, Ni Keng Giau jadi semakin berani. Bahkan ia lalu berdiri dan berjalan mendekati joli sambil tertawa-tawa.

   "Ya, aku baik-baik saja, kau sendiri bagaimana? Maaf kalau agak mengganggu perjalanan mu ya? Aku cuma mau tanya sedikit."

   "Ni Keng Giau, jangan kurang hormat!"

   Kang Bun Hou dengan panik telah melangkah maju untuk menertibkan Ni Keng Giau dengan tangannya sendiri. Tapi langkahnya terhenti ketika Liong Ke Toh memberi isyarat dari jendela joli.

   "Biarkan dia bicara, Cong-peng."

   Sedangkan Ni Keng Giau sendiri bersikap seolah-olah ketemu sahabat lama saja. Tombaknya dibuang, dan ia berjalan mendekati joli sambil terus mengoceh.

   "Aku mau tanya, apakah Sribaginda masih mengingat aku, saudaranya ini? Masih sering membicarakan aku? Kapan Sribaginda mengakhiri ujian kesetiaanku ini? Aku sudah menunjukkan bahwa dirikulah abdi Sribaginda yang paling setia." "Ujian kesetiaan?"

   Liong Ke Toh tercengang.

   "Apa maksudmu?"

   "Bukankah yang kualami sekarang ini sekedar ujian kesetiaan buatku? Setelah ini berakhir, bukankah Sribaginda akan mengembalikan aku menjadi....."

   Kata-kata Ni Keng Giau yang melambung penuh harapan itu, tiba-tiba terputus oleh suara tertawa Liong Ke Toh yang melengking tinggi, yang mendadak begitu geli sehingga memegangi perutnya. Ni Keng Giau ikut tertawa pula.

   "Jangan main-main ah, apanya yang lucu sehingga kau sampai tertawa macam itu?"

   "Kau yang lucu!"

   Sahut Liong Ke Toh di selasela tertawanya.

   "Bahkan lucuuu sekali!"

   Sejak dulu memang Liong Ke Toh memendam rasa benci luar biasa terha-ap Ni Keng Giau, kini tiba-tiba terbuka sebuah peluang untuk menyiksa orang yang dibencinya ini, bukan dengan pedang, tapi dengan lidahnya. Setelah tertawanya mereda, berkatalah ia.

   "Ni Keng Giau, jadi selama ini kau hibur dirimu sendiri dengan pikiran macam itu? Kau cuma mengingat-ingat jasa-jasa mu, tapi apakah lupa kesalahanmu yang lebih besar dari jasa-jasamu? Ketika kau secara kurang ajar membawa pasukanmu masuk ke Istana dan mempermalu kan Kim Cong-koan, yang berarti juga tidak menghargai Sribaginda sebagai tuan rumah? Lupa? Sudah lupa kalau dari Jing-hai kau mengirim laporan palsu tentang...."

   Bicara sampai sini, Liong Ke Toh tiba-tiba menutup mulutnya sendiri. Urusan "membunuh Pangeran In Te"

   Yang hampir terluncur dari mulutnya adalah rahasia istana yang tak boleh sembarangan diucapkan, apalagi di tempat yang banyak orang itu.

   Namun kata-kata Liong Ke Toh itu sudah cukup hebat akibatnya bagi Ni Keng Giau.

   Wajahnya yang berseri-seri itu mendadak menjadi pucat pasi, matanya terbelalak, tubuhnya seolah mendadak beku jadi patung.

   Penuh rasa tak percaya bibirnya bergetar.

   "Jadi...........jadi... aku..... aku terus bagaimana?" Liong Ke Toh benar-benar menikmati detikdetik pembantaian itu, suaranya lebih dingin dan lebih tak berperasaan dari sehelai pedang.

   "Ni Keng Giau, lihat perajurit-perajurit di sekitar mu itu. Sekarang mereka-semua adalah perajurit-perajurit rendahan, tapi kalau mereka bertugas dengan baik, kelak pangkat mereka akan merambat naik menjadi tui-thio, pa-cong, cian-bu, cam-ciang, hu-ciang, cong-peng, ciangkun bahkan goan-swe! Tapi khusus untukmu, janganlah berharap macam-macam. Sampai mati, kau akan tetap bertugas di pintu kota ini. orang lain merambat dari bawah ke atas, sedang kau terjun dari atas ke bawah dan takkan naik lagi. Buang saja semua mimpimu. Pasrah saja dengan kedudukanmu yang sekarang ini. Nah, selamat bertugas."

   Ada algojo yang bekerja pada pemerintah, bertugas memenggal orang-orang yang dijatuhi hukuman mati.

   Algojo macam ini kadangkadang masih punya rasa kemanusiaan, biarpun tak kuasa menghindari tugasnya.

   Ada lagi algojo liar, yaitu para pembunuh dan pelanggar hukum yang membunuh orang demi kepentingannya sendiri, tapi ruang gerak algojo-algojo sejenis inipun terbatas oleh hamba-hamba hukum.

   Sayangnya, di tengah masyarakat berkeliaran jenis algojo yang ketiga, yang tak jarang berto peng sebagai tokoh-tokoh terhormat, yang membantai tidak dengan golok tapi dengan lidah, dengan sasaran siapapun yang tidak disenangi.

   Mereka berkeliaran bebas, bebas pula menikmati permain an lidah mereka yang menjatuhkan serentetan korban.

   Lidah mereka mahir memotong dan melenyapkan harapan orang lain, orang yang seharusnya mereka hibur dan beri semangat.

   Algojo-algojo macam ini, kalau melihat korbannya sudah jatuh, biasanya juga pandai berkata.

   "Ah, kasihan ya dia?"

   Padahal dalam hatinya amat puas.

   Tetapi khusus bagi Ni Keng Giau yang saat itu kena giliran jadi korban, ia sudah memetik buah tanamannya sendiri.

   Ia menanam benih kebencian, menyuburkannya dengan siraman darah, dan akhirnya juga harus memakan buahnya sendiri.

   Kata-kata Liong Ke Toh ibarat panah-panah beracun yang menembus jiwanya, menimbulkan kepedihan dahsyat yang sampai tak terasa sebagai kepedihan lagi, bahkan tak terasa apa-apa lagiPengawal-pengawal pribadi Liong Ke Toh segera bersiaga di sekitar jo-li, siap melindungi tuan mereka kalau Ni Keng Giau mengamuk.

   Namun ternyata Ni Keng Giau tetap berdiri mematung, pandangan matanya kosong, padam.

   Khayalannya yang melangit, menemui saatnya harus turun ke bumi dan menelan kenyataan.

   Ambisinya yang berkobar disiram ucapan Liong Ke Toh sehingga padam.

   Padam.

   Bahkan Ni Keng Giau tidak berkutik sedikitpun ketika rombongan Liong Ke Toh kembali berkegerak masuk kota.

   Seolah di depan pintu kota itu sekarang diletakkan sebuah patung.

   "Goan-swe.... Goan-swe..."

   Beberapa perajurit rekannya mengguncang-guncang pundaknya sambil memanggil-manggil.

   Yang merasa paling bersalah ialah si komandan, sebab dialah yang paling banyak membujuk Ni Keng Giau dengan melambungkan angan-angan Ni Keng Giau setinggi langit.

   Meniupkan harapan yang ternyata gembos.

   Dia yang meniup, Liong Ke Toh yang menggemboskan.

   "Tabahlah, Goan-swe. Jangan putus harapan. Ucapan Liong Ong-ya tadi pasti tidak bersungguh-sungguh, hanya untuk menguji kesabaranmu. Kau sudah bersikap bijaksana karena tidak menunjukkan kemarahan. Sribaginda akan men dapat laporan tentang sikapmu ini dan..."

   Dan seterusnya. Begitulah, untuk memperbaiki akibat buruk suatu kebohongan, terpaksa harus menciptakan kebohongan baru.

   "Betul. Kami semua yakin begitu!"

   Para perajurit menghibur.

   "Tentu saja harus begitu. Jasa Ni Goan-swe amat besar!"

   Demikianlah mereka berebutan menghibur Ni Keng Giau. Tentu saja kata-kata hiburan mereka tidak mampu lebih mendalam dari ucapan-ucapan klise seperti "tabahlah selalu" atau "masih ada harapan"

   Dan lain-lain.

   Tanpa mereka sadari betapa Ni Keng Giau adalah korban intrik di panggung kekuasaan, intrik yang kejam, dimana sang korban akan selalu tergilas tanpa ampun.

   Makin tinggi kedudukannya, makin banyak pihak yang bernafsu untuk merobohkannya.

   Dan sekali roboh, orang-orang akan beramai-ramai menginjaknya kuat-kuat agar jangan bangkit kembali.

   Para perajurit yang menghibur itu tidak tahu, kalau Ni Keng Giau yang kini nampak mengibakan itu, dulunya adalah juga "tukang injak"

   Yang bengis bukan kepalang.

   Karena itulah Ni Keng Giau paham, paham bukan karena belajar teori melainkan karena pengalamannya sendiri dulu sebagai "tukang injak", bahwa harapannya memang sudah habis.

   Inilah hasil sisa akal sehatnya.

   la tidak sekedar sedang menjalani "ujian kesetiaan", tapi benarbenar sudah jatuh seperti korban-korban intrik politik sebelumnya.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia merasa tak punya apaapa lagi.

   Perajurit-perajurit yang menunjukkan belas kasihan itu malah semakin menyadarkan Ni Keng Giau dimana dia berdiri sekarang, sampai-sampai perajurit-perajurit rendahan pun menaruh kasihan kepadanya.

   Seandainya dia sadar bahwa menjadi manusia berguna tidak harus berkedudukan tinggi, tukang sapu jalananpun manusia berguna bagi sesamanya.

   Hal itu dulu sering Ni Keng Giau khotbahkan kepada bawahannya, tapi tak mampu dia khotbahkan buat diri sendiri.

   Ia tidak sudi di bawah, tapi juga tidak mungkin naik ke atas lagi, la malas melanjutkan, biar sudah bertambah dengan sedikit kearifan.

   Tidak, la tidak mau kemana-mana lagi.

   Ia mau berhenti saja.

   Perajurit-perajurit yang menghiburnya merasa lega ketika melihat wajah Ni Keng Giau tiba-tiba menjadi tenang sekali.

   Tidak menangis, tidak mengamuk, justru senyumnya amat jernih, sejernih senyum bayi yang belum mengenal dosa.

   Para perajurit lega, namun aneh, mereka juga merasa seram.

   Memandang mata Ni Keng Giau sama dengan menjenguk sebuah lubang yang kosong, gelap, amat dalam, tak ada apa-apanya lagi.

   Senyuman jernih seperti bayi itu menyeramkan.

   Para perajurit bungkam, tercekik suasana aneh.

   Terpaku mereka melihat Ni Keng Giau tiba-tiba amat cermat merapikan pakaian seragamnya, membersihkan tiap titik debu yang melekat.

   Katanya dengan lembut dan kedengaran amat waras.

   "Setiap perajurit harus tetap rapi. Jangan sampai seperti pemabuk yang baru keluar dari warung arak. Bahkan harus tetap rapi di dalam pertempuran yang menghadapi maut sekalipun."

   Mata yang kosong itu tiba-tiba ada sedikit sinarnya, seolah menyongsong sesuatu yang amat membahagiakannya. Para perajurit tetap bungkam, masih tercengkam pesona aneh dari diri N i Keng Giau. Sementara Ni Keng Giau berkata lagi.

   "Dulu aku selalu menerapkan peraturan kerapian berpakaian bagi semua perajurit."

   Tanpa sadar, para perajurit mulai memeriksa pakaian mereka masing-masing dan merapikannya, seolah-olah mereka benar-benar berhadapan dengan seorang jenderal yang memeriksa pasukan.

   Ternyata, saat itu kewibawaan Ni Keng Giau tiba-tiba mencorong kembali seperti berlian yang habis dibersihkan dari debu yang selama ini menutupnya, dan masih bisa mempengaruhi perajurit-perajurit itu.

   Atau, seperti nyala lilin yang menyala terang, beberapa detik se belum sumbunya habis.

   Namun ketika melihat ulah perajurit perajurit itu, Ni Keng Giau tiba-tiba malah tertawa kecil.

   "Ah, bukan maksudku menyombongkan kedudukanku yang dulu, yang tak mungkin kembali lagi. Aku sekarang cuma perajurit penjaga pintu kota, seperti kalian, yang tentunya tidak berhak lagi memerintah kalian. Bahkan selama ini tentunya kalian sudah jemu akan sepak-terjangku dan ucapanku bukan?"

   "Ah, tidak. Malah kami merasa mendapat perluasan pandangan kami yang tadinya terbatas!" "Ya syukurlah kalau kalian merasa ada gunanya. Eh, kapan giliran tugas kelompok kita digantikan kelompok berikutnya?"

   "Tidak lama lagi. Goan-swe, kenapa mukamu nampak agak puGat?"

   "Aku..... aku cuma merasa lelah. Lelaaaaah sekali...."

   "Oh, pulanglah dulu ke tangsi. Tidak apaapa. Nanti kami semua akan membantu menjelaskan kepada komandan tangsi. Apakah perlu diantar?"

   "Tidak usah, aku jalan sendiri saja. Terima kasih. Ingat, kalian harus tetap rapi dan berdisiplin ya? Dulu waktu aku masih.... lho, kok malah mau cerita lagi. Sudah ah. Hati-hatilah, teman-temanku, jaga diri kalian baik-baik ya?"

   Sebelum pergi Ni Keng Giau masih mengucapkan serangkaian kalimat kacau, lalu melangkah menjauh sambil melambaikan tangan dan tersenyum.

   Kembali para perajurit bergidik melihat senyuman Sebelum membelok di tikungan dan terlihat lagi, Ni Keng Giau masih sempat berteriak ke arah para perajurit.

   "Kalian teman-temanku yang baik!"

   Dan para perajurit memandangnya dengan terlongong-longong.

   "Mudah- mudahan dia sembuh...."

   Gumam seorang perajurit.

   "Ya. Kadang-kadang kepedihan yang kelewat hebat malah bisa membuat orang macam dia sadar kenyataan, lalu perlahan-lahan sembuh. Kalau angan-angan sudah tidak menguasai jiwanya lagi, kesembuhannya akan sempurna."

   Tidak lama kemudian, regu yang akan menggantikan jaga telah datang.

   Regu yang terdahulu segera pulang ke tangsi.

   Biasanya, begitu selesai tugas mereka akan langsung menghambur ke warung arak.

   Namun kali ini mereka seperti digerakkan oleh satu perasaan, pulang semua langsung ke tangsi, tidak ada yang menyeleweng kesana kemari.

   Semuanya senantiasa ingat kepada Ni Keng Giau yang "hampir sembuh".

   Ketika mereka masuk ke ruangan besar tempat puluhan perajurit biasanya tidur, termasuk Ni Keng Giau, para perajurit terkejut karena di ruangan yang kosong mereka tinggalkan jaga itu, mereka menjumpai mayat Ni Keng Giau! Ni Keng Giau duduk di sebuah kursi, leher dan dadanya bersimbah darah karena lehernya tergorok pedang yang dipegangnya dengan tangan kanan, dan tangan itu kini terkulai ke samping kursi.

   Ia tidak lagi mengenakan seragam perajuritnya, melainkan "jubah kebesaran"

   Nya yang dibuatnya sendiri dengan jahitan tak keruan. Kepalanya juga memakai "topi kebesaran"

   Dari kertas berhias brodolan ronce tombak dan bulu-bulu ayam yang selama ini dikerjakan sambil beranganangan.

   Dengari dandanan itulah dia menyongsong maut.

   Para perajurit bungkam.

   Wajah mereka nampak menahan gejolak jiwa yang tertahan.

   mulai oleh si komandan regu, tanpa kata-kata, para perajurit tiba-tiba mengatur diri dalam barisan yarig tertib.

   Lalu tanpa aba-aba pula mereka berlutut menghormat Ni Keng Giau.

   Mereka diliputi rasa duka dan masygul, penuh ketidak- mengertian kenapa seorang yang begitu besar jasanya harus mengakhiri hidupnya begitu tragis? Didera jiwanya, sampai digiring agar mencabut nyawanya dengan tangannya sendiri.

   Kang Bun Hou segera diberi laporan.

   Dan sang panglima sendiri menulis surat laporan ke Pak-khia.

   Di Pak-khia, ketika Kaisar Yong-ceng menerima laporan dari Hang-ciu itu, ia menarik napas sedih juga.

   Bagaimanapun juga, Ni Keng Giau adalah saudara seperguruannya, pembantunya sejak awal perjuangannya merebut tahta dan mengamankan tahta.

   Kendati Ni Keng Giau kemudian dianggap terlalu menyaingi kekuasaannya, sehingga perlu disingkirkan, tapi Kaisar Yong Ceng tak membayangkan kalau begitulah akhirnya.

   Desahnya sambil memegangi kertas laporan dari Hang-ciu itu.

   "Yah, cara ini mungkin membuatmu puas, Sute. Karena kesombonganmu, kamu mau mati hanya oleh tanganmu sendiri. Seandainya kau dulu tidak menjadi besar kepala dan coba-coba menyaingi kekuasaanku, aku tidak keberatan kau terus mendampingiku selama-lamanya."

   Begitulah, kematian Ni Keng Giau setidaknya "diberi harga"

   Satu helaan napas Sang Putera Langit Yang Agung.

   Lumayan.

   Padahal kematian ribuan orang Siau- lim-pai, Hwe-liong-pang, Pek lian-kau, Jit-goat-pang, para pendekar yang diundang ke Hong-thianlau, bahkan ratusan ribu nyawa di Jing-hai, tidak membuat Kaisar Yong Ceng menarik napas sedih sekalipun.

   Tetapi Ni Keng Giau pun segera di lupakan.

   Sebuah bidak catur yang sudah masuk kotak takkan berarti lagi, tak peduli bidak itu "perajurit"

   Atau "kereta"

   Karena sudah keluar dari papan permainan ya segera dilupakan. Sementara permaianan belum selesai, masih akan ada banyak "bidak-bidak"

   Yang menyusul masuk kotak.

   * * * Hang-ciu bukan cuma kota bersejarah, tapi juga kota wisata yang memiliki banyak pemandangan indah.

   Karena itu lah Liong Ke Toh betah tinggal di Hang-ciu beberapa hari, selain itu, Liong Ke Toh juga sering menyuruh pengawal- pengawalnya untuk menyamar dan berkeliling kota, agaknya mencari sesuatu.

   Ketika mendengar tentang kematian Ni Keng Giau, Liong Ke Toh lalu mengadakan pesta sebagai "syukuran", begitulah.

   Pada suatu malam, nampak sesosok bayangan berjalan mendekati bangunan sayap kanan gedung Cong-peng-hu, tempat menginapnya Liong Ke Toh dan rombongannya.

   Ketika hampir sampai ke pintu masuk, orang itupun dihadang oleh pengawal Pegawai pribadi Liong Ke Toh yang galak- galak.

   Tapi orang itu nampaknya tidak gentar, malah bertanya dengan nada tidak hormat sedikitpun.

   "Liong Ke Toh menginap di sini?"

   Sikap kurang ajar itu langsung menggusarkan para pengawal, menimbulkan rasa bermusuhan. Mereka menghunus senjata-senjata mereka dan mengurung si kurang ajar itu.

   "Menyerahlah, bangsat. Kekurang-ajaranmu pantas mendapat hukuman yang berat!"

   Orang kurang ajar itu terkekeh dingin.

   "Aku tidak bermaksud jahat. Tolong bilang saja kepadanya, pihak kami sudah menyetujui usul kerjasamanya yang dulu. Dan sekarang pihak kami menanti kelanjutan urusan itu. Kami menunggu di kuil Ting-kang-bio diluar kota sebelah timur nanti waktunya tengah malam tepat. Kalau Liong Ke Toh ataupun wakilnya tidak datang disaat dan tempat itu, perjanjian batal dan kami bebas berbuat apa saja!"

   Kata-kata serba kurang ajar itu membuat para pengawal pribadi Liong Ke Toh gusar.

   Senjata-senjaia mereka segera melayang ke arah orang itu.

   Orang itu cuma tertawa dingin menyambut serangan itu, tiba-tiba ia melompat mundur sambil menguraikan rambutnya, bahkan sebagian rambutnya sengaja ditutupkan ke depan wajahnya.

   Tubuhnya bergetar sejenak sambil memperdengarkan suara gumam rendah dan seram, kedengarannya seperti suara mantera.

   Sekitar tubuh orang itu tiba-tiba diliputi asap tebal hitam.

   Senjata para pengawai terus menikam ke tengah-tengah asap itu, tetapi mereka heran ketika merasa senjata mereka tidak menyentuh apapun.

   Apalagi ketika asap itu tiba-tiba buyar dihembus angin lokal, ternyata orang tadi sudah tidak ada di tempatnya.

   Para pengawal Liong Ke Toh tercengang.

   Mereka mengepung melingkar dengan ketat, kalau orang tadi keluar dari kepungan, tentunya akan ada yang melihatnya atau merasakannya.

   Nyatanya tidak satupun dari mereka bisa menyebut kapan dan bagaimana cara perginya orang itu Padahal pengawal-pengawal Liong Ke Toh itu adalah pesilat-pesilat yang tidak lemah.

   "Jangan-jangan... yang tadi itu adalah makhluk halus?"

   Kata seorang pengawal sambil orang itu cuma tertawa dingin menyambut serangan itu, tiba-tiba ia melompat mundur sambil menguraikan rambutnya, bahkan sebagian rambutnya sengaja ditutupkan ke depan wajahnya.

   meraba-raba tengkuknya sendiri yang mulai merinding.

   "Jangan-jangan........sahut yang lainnya raguragu.

   ".... jangan-jangan Ni Keng Giau?"

   Para pengawal itu tahu, antara Ni Keng Giau dan majikan mereka Liong Ke Toh saling membenci.

   Kemudian mereka mendengar Ni Keng Giau mati bunuh diri, yang menurut kepercayaan arwahnya akan terus berkeliaran.

   Tidak heran kalau muncul dugaan berbau tahyul itu.

   "Mungkinkah arwahnya masih gentayangan dan ingin mencari Ong-ya?"

   "Kata-katanya tadi perlu kita sampaikan kepada Ong-ya atau tidak?"

   "Saat ini Ong-ya sudah beristirahat, mana berani kita membangunkan hanya untuk memberitahu urusan aneh ini?"

   Urusannya memang aneh tapi penting bahkan mungkin gawat.

   Siapa tahu benar-benar ada roh gentayangan yang mengincar keselamatan Ong-ya? Kalau Kita beritahu Ong- ya, bukankah bisa di ambil tindakan pencegahan.

   Para pengawal itu berunding sejenak dan kemudian menunjuk salah seorang untuk melapor kepada Liong Ke Toh.

   (Bersambung

   Jilid XI) (Bersambung

   Jilid XI) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XI Orang yang disuruh itu tadinya mengira Liong Ke Toh sudah tidur, ternyata bangsawan tua itu masih belum tidur, la masih nampak berbincang dengan mimik sungguh-sungguh dengan Toh Hun, orang kepercayaannya yang ti dak pernah jauh dari sisinya.

   Ketika pengawal yang hendak melapor itu mengetuk pintu, pembicaraanpun berhenti.

   Tanya Liong Ke Toh ke arah pintu.

   "Siapa?"

   Dari luar pintu si pengawal menjawab.

   "Ampun, ong-ya, hamba telah lancang menghadap tanpa dipanggil. Hamba salah seorang pengawal Ong-ya yang hendak melapor." Liong Ke Toh saling pandang sekejap dengari Toh Hun, terlihat si bangsawan tua mengangguk. Lalu Toh Hun yang melangkah ke pintu untuk membukakanya. Dan Toh Hun mengenal memang salah satu pengawal anggotanya yang berdiri di hadapan pintu. Si pengawal diantar masuk, dan sambil berlutut di hadapan Liong Ke Toh diapun menyampaikan laporan tentang si "arwah"

   Tadi berikut pesan-pesan nya. Aneh, mendengar laporan itu Liong Ke Toh malahan tampak gembira dan bertukar senyuman dengan Toh Hun. Seolah mereka mendengar kabar dari sesuatu yang sudah lama mereka nanti-nan tikan.

   "Baik."

   Kata Liong Ke Toh selesai mendengar laporan itu.

   "Kembalilah ke tempat tugasmu!"

   Setelah pengawal itu pergi, Liong Ke Toh tersenyum kepada Toh Hun dan berkata.

   "Pastilah dia orang Pek-lian-kau (agama Teratai Putih), membawa jawaban dari kontak-kontak kita beberapa bulan yang lalu. Tidak heran kalau datang dan perginya mereka begitu aneh, sebab mereka memang terkenal gemar bermain-main hoat-sut (ilmu gaib), bahkan mereka bisa berhubungan dengan arwaharwah.

   "

   "Apakah Ong-ya benar-benar akan menemuinya di kuil Ting-kang-bio nanti tengah malam?"

   Tanya Toh Hun. Liong Ke Toh menggeleng.

   "Tidak, terlalu besar resiko keselamatan jiwaku kalau sampai bertemu langsung dengan kawanan tukang santet itu. Sebab aku adalah Pamanda Kaisar, sedangkan orang-orang Pek-lian-kau itu konon me-mendendam suatu cita-cita untuk mengusir semua orang Manchu dan mendirikan kembali Kerajaan Beng. Jadi aku tidak mau bertemu dengan mereka, biarpun aku ingin memanfaatkan tenaga mereka kali ini."

   Mendengar itu, tanpa sadar Toh Hun mengusap keringat dingin di jidatnya. Kalau majikannya tidak mau bertemu sendiri dengan mereka, apakah dirinya yang akan disuruh? Benar juga, apa yang dikhawatirkan pun datang. Kata Liong Ke Toh.

   "Jadi kau saja yang ketemu mereka, ya? Jangan takut, asal kau bawakan hadiah yang cukup berharga, mereka takkan membunuhmu. Mereka juga butuh duit kan? Jangan takut."

   "Ya... ya....."

   Sahut Yoh Hun agak dipaksakan. Liong Ke Toh berdiri, mengelilingi meja dan mendekat khusus untuk menepuk nepuk pundak Toh Hun.

   "Jasa yang kuminta saat ini dari mereka, ialah membunuh Pangeran Hong Lik. Beritahu saja kepada mereka arah perjalanan rahasia Hong Lik yang sedang meninggalkan istana dengan menyamar. Itu saja. Kau tahu arah perjalanan Hong Lik bukan?"

   "Ya. Ya."

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Berangkatlah sekarang. Ini hampir tengah malam. Jangan takut, jangan takut. Orang-orang Pek-lian-kau itu tahu kapan saatnya memusuhi kita, dan kapan saatnya menurut kepada kita karena mengharapkan uang kita. Dan inilah saatnya kita dan mereka sejalan. Berangkatlah." Toh Hun tidak terlalu terhibur mendengar kata-kara itu. la tetap tidak yakin, apakah nyawanya benar-benar akan tetap terjamin kalau sampai ke tengah-tengah orang-orang Pek-lian-kau yang membenci orang-orang pemerintah Manchu itu? Lebih ngeri lagi, orangorang dikenal sebagai ahli-ahli ilmu gaib. Tetetapi Toh Hun tak bisa melawan perintah Liong Ke Toh, sebab kalau sampai rencana Liong Ke Toh sukses, toh diri Toh Hun akan ikut terangkat juga. Terpaksa Toh Hun lalu mempersiap kan diri untuk berangkat. Dengan memakai pakaian ringkas, ia juga sekantong uang emas sebagai hadiah bagi Pek-lian-kau. Tak lupa dibawanya sepasang senjata andalannya yang disilangkan di punggung, yaitu sepasang Hou- thau- kau (kaitan kepala macan). Lalu diapun tinggalkan gedung Cong-peng-hu. Secara diam-diam, sebab urusan yang sedang dijalankannya itu adalah urusan amat rahasia yang bisa gawat kalau sampai diketahui orang lain. Ini adalah usaha untuk membunuh seorang Putra Mahkota dengan "pinjam"

   Tangan pihak Pek-lian-kau.

   Ia berjalan mengendap-endap sampai ke tembok kota, lalu tembok kota Hang-ciu dilewatinya dengan memanjat menggunakan tali berkaitan.

   Para penjaga tembok kota agak lengah dalam menjalankan tugas, sebab mereka sedang berkerumun dari keasyikan bercerita tentang kematian Ni Keng Giau yang masih jadi "berita hangat"

   Di kota itu.

   Maka Toh Hun dapat melewati tembok kota dengan lancar.

   Di luar tembok kota, suasana gelap sekali.

   Toh Hun tidak tahu pasti letak kelenteng Tinkang-bio, pesan orang Pek-lian-kau lewat para penjaga hanya menyebutkan "sebelah timur".

   Maka Toh Hun lalu melangkah saja ke arah timur.

   Kira-kira dua atau tiga li dari kota, suasana makin sepi dan gelap.

   Kelap kelip lampu rumah penduduk yang tadinya masih terlihat satu dua biji, sekarang tak terlihat satupun Namun saat itulah Tih Hun melihat di tepi sebuah hutan ada sebuah lampion kertas berkedip-kedip.

   Toh Hun menduga pihak Pek-lian-kau sudah menaruh seorang penyambut di tempat ini, maka dengan langkah lebar diapun mendekati lampion itu.

   Tetapi semakin dekat dengan lampion itu, langkahnya semakin ragu-ragu, apakah matanya yang salah lihat atau bagaimana? Tidak kelihatan adanya orang orang di pinggi hutan itu.

   Lalu, siapa yang memegangi lampion itu? Dengan jantung berdegup lebih kencang, Toh Hun memaksakan diri untuk mendekati lampion itu, sambil membesar-besar kan hatinya sendiri.

   "Orang-orang Pek-lian-kau memang gemar menakut-nakuti orang dengan permaianan mereka yang aneh-aneh. Tapi permaianan mereka kali ini cuma mainan anak kecil, lampion itu pasti digantung dengan benang hitam sehingga tidak kelihatan di malam segelap ini, apalagi di pinggir hutan."

   Hanya, setelah dekat benar dengan lampion itu, sia-sia matanya yang tajam itu menemukan benang hitam yang tadinya ia bayangkan.

   Lampion itu benar-benar tergantung-gantung di udara kosong.

   Dengkul Toh Hun mulai gemetar.

   Rasanya lebih suka ia ketemu lima belas orang bandit bersenjata, daripada menghadapi kejadian tak masuk akal macam ini.

   Seandainya tidak mengingat tugasnya, lebih suka tentunya ia kabur sekencang-kencangnya dari tempat itu.

   Lampion itu tiba-tiba mulai bergoyang, lalu berjalan melayang.

   Toh Hun ragu-ragu, tapi akhirnya mengerahkan seluruh keberaniannya untuk mengikuti lampion itu, mengikuti "penunjuk jalan"

   Nya yang aneh itu.

   "Teori benang hitam"

   Yang semula diyakininya, kini berantakan tanpa dasar lagi.

   Lampion itu melayang di sepanjang tepi hutan, berbelokbelok dan melewati tempat-tempat yang ting gi dan rendah.

   Tidak mungkin digerakkan dengan benang, tapi agaknya oleh angin dingin tajam yang terus-menerus melewati mereka.

   Terpaksa Toh Hun ikut terus, sambil dalam hatinya mohon perlindungan kepada sembarang dewa atau sembarang malaikat, agar dilindungi dari roh-roh tersesat.

   Akhirnya "mereka"

   Sampai ke sebuah tepian sungai yang ditumbuhi ilalang air.

   Di situ tertambat sebuah perahu kecil yang ada gubuknya.

   Di dalam gubuk perahu itu terlihat cahaya api berkelap-kelip.

   Lampion hantu itu masuk ke perahu.

   Toh Hun bimbang beberapa saat, haruskah ia mengikuti "pemandu"

   Nya itu? Jangan-jangan di dalam perahu itu sudah menungguh seorang tukang perahu tak berkepala? Tetapi akhirnya dengan keringat dingin di punggungnya, Toh Hun masuk juga ke dalam perahu itu.

   Syukurlah, dalam perahu itu tidak ada tukang perahu tak berkepala segala.

   Tak ada siapa-siapa kecuali sebuah lampion lain yang tergantung di ujung atap gubuk perahu.

   Sedang lampion "penyambut"

   Tadi sudah raib entah kemana.

   "Apakah aku harus mendayung sendiri?". pikir Toh Hun sambil jelalatan matanya mencari dayung. Bukan dayung yang diketemukannya, tapi cuma dua helai kertas. Saru kertas kuning bergambar coretan-coretan yang tidak dipahami Toh Hun, tapi Toh Hun tahu itulah "hu"

   Atau "kertas jimat". Sedang sehelai kertas lainnya bertuliskan pesan singkat.

   "Bakarlah Hu."

   Toh Hun benar-benar membenci "cara penyambutan"

   Macam itu, tapi apa boleh buat.

   Tanpa menuruti petunjuk petunjuk Pek-liankau, tidak mungkin bisa menemui mereka.

   Terpaksa dengan jari-jari telunjuk dan jempol yang gemetar, ia jepit kerta jimat itu, didekatkan ke lubang atas lampion penerang perahu.

   Begitu "hu"

   Itu habis terbakar, mendadak ada angin kencang yang amat dingin menghembus berputar di sekitar perahu itu.

   Hampir saja Toh Hun roboh telentang, tapi cepat-cepat berpegangan bibir perahu.

   Lalu secara naluriah, kedua tangannya berpindah cepat ke gagang sepasang senjatanya, lalu melompat ke ujung perahu untuk melihat "siapa"

   Kiranya si pengganggu itu.

   Ternyata tidak terlihat siapa-siapa.

   Angin itu bertiup keras dan mengiris kulit, tapi anehnya cuma di sekitar perahu itu.

   Toh Hun melihat rumput-rumput air dalam jarak lebih dari empat langkah ternyata hanyalah bergoyang pelan, terhembus angin malam yang wajar saja.

   Angin yang menggoncang perahu itulah yang tidak wajar.

   Dan perahu itupun tiba-tiba bergerak maju membelah air, seolah didayung de lapan orang sekaligus, namun "para pendayung"

   Itu tidak kelihatan.

   Di dalam gubuk perahu, Toh Hun duduk diam tak berkutik, basah kuyup oleh keringat dingin.

   Perahu itu menyusuri tepian sungai agak lama, dan berhenti di suatu tepian landai yang ada lampionnya lagi.

   Toh Hun sudah tidak kaget lagi ketika melihat lampion iniipun terkatungkatung di udara kosong.

   Cahayanya tidak kuning kemerah-merahan seperti api yang umum, tapi kuning kehijau-hijauan.

   Toh Hun melompat ke daratan dan mengikuti lampion itu, yang melayang sendiri seperti yang tadi.

   "Mereka"

   Menuju ke suatu tanjakan bukit.

   Di kaki bukit itu nampak ada sesosok tubuh berdiri, diterangi sepasang lilin yang diletakkan di tanah, di depan kedua kakinya.

   Legalah Toh Hun melihatnya, menganggap sebentar lagi setidaknya dia akan bertemu dengan manusia biasa.

   Namun setelah dekat, nyatalah "dia"

   Yang menunggu di kaki bukit itu ruma sesosok orang-orangan kertas seukuran orang biasa.

   "la"

   Didandani seperti seorang Kaisar dari jaman Kerajaan Beng namun semuanya terbuat dari serba kertas.

   Wajah patung kertas itu nampak tersenyum ramah sekali, namun di bawah cahaya kehijau-hijauan dari lampion "pengantar"nya, wajah itu jadi menyeram kan sekali buat Toh Hun.

   Di antara sepasang lilin, ada sebuah pai (papan arwah) yang bertuliskan "Sri baginda Cong-ceng, Kaisar Agung Dinasti Beng".

   Dari tulisan yang digoreskan di tanah.

   "Berlututlah."

   Toh Hun bisa memaklumi seperti itu.

   Pendiri dinasti Beng ialah Cu Guan ciang yang kemudian bertahta dengan sebutan Kaisar Hong bu, dan sebelumnya dia adalah tokoh Pek- liankau, memimpin Pek-lian-kau sebagai ujung tombak perjuangan mengusir kekuasaan Mongol.

   Kemudian kaisar kaisar keturunan Cu Goan-ciang tak ada yang peduli kepada Peklian- kau, bahkan pernah ada yang bermaksud menumpasnya.

   Namun Pek-lian kau tetap setia kepada dinasti Beng.

   karena merasa sebagai "penanam saham"

   Terbesar.

   Di jaman pemerintahan Manchu itu, Pek-lian-kau beroperasi sebagai gerakan bawah tanah yang tetap ingin memulihkan berkuasanya dinasti Beng.

   Toh Hun maklum, namun ia bergidik ketika mengingat bahwa Kaisar Cong-ceng dulu mati dengan menggantung diri, yang menurut kepercayaan maka Tiausi-kui (arwah orang mati gantung diri) itu akan selalu berkeliaran penasaran.

   Kini, dihadapan patung kertas Kaisar Cong Ceng, Toh Hun ragu ragu untuk menaati perintah berlutut itu.

   "Perintah gila gilaan ini tidak termasuk dalam perjanjian,"

   Geram Toh Hun.

   Sebagai orang Manchu lebih-lebih.

   Toh dirinya tak mau mengorbankan kebanggsaannya dengan berlutut kepada patung seorang raja bangsa Han yang mati dengan cara sesat dan hina.

   Maka Toh Hun lalu menyimpang, patung itu untuk langsung mendaki ke tanjakan bukit, la menduga, kuil Tm-kang-bio mungkiri ada di puncak buku atau di lerengnya.

   Baru berjalan beberapa langkah, ia mendengar di belakangnya ada suara kresakkresek kertas yang terus mengikuti langkahnya.

   Toh Hun menoleh, dan ia hampir semaput karena kagetnya.

   "Kaisar Cong Ceng"

   Ternyata berjalan mengikutinya, cara berjalannya bergoyanggontai seperti layangan putus.

   Menyusulnya, bahkan lalu menghadang di hadapan Toh Hun, masih tetap dengan wajahnya tersenyum seram.

   Toh Hun melangkah menyamping lalu lari ke atas bukit.

   Tetapi jailangkung itu terus memburunya, dan lagi-lagi menghadang di hadapannya.

   Kini Toh Hun benar-benar mandi keringat dingin.

   Nampaknya ia takkan lepas dari gangguan si jailangkung ini sebelum menuruti permintaannya.

   Apa boleh buat.

   Ia berlutut menyembah, dan ketika bangun kembali melanjutkan langkahnya, maka si jailangkung tak mengganggunya lagi.

   Kuil Tin-kang-bio memang ada di atas bukit, sebuah kuil setengah roboh, lumutan, kotor karena lama tak dikunjungi orang.

   Namun malam itu ada cahaya api unggun di halaman kuil.

   Toh Hun dengan ragu-ragu mendekati pintu kuil, apa lagi yang akan dilihatnya di halaman kuil itu? Tiba-tiba dari halaman kuil terdengar suara tertawa dan kata-kata yang ramah"

   "Masuklah. Jangan takut!"

   Kali ini benar-benar suara manusia.

   Toh Hun lebih dulu membenahi diri, agar jangan nampak ketakutan atau morat-marit, setelah itu barulah ia melangkah ke halaman kuil itu dengan langkah yang gagah.

   Dilihatnya di tengah halaman kuil itu ada api unggun berkobar besar.

   Dan yang menjumpainya benar-benar manusia, bukan lagi "lampion hantu"

   Atau "perahu setan"

   Atau bahkan "Kaisar Cong Ceng".

   Orang itu berdandan seperti imam To, namun warna jubahnya tidak lazim.

   yaitu merah tua.

   Selain itu, di seluruh jubahnya dihiasi huruf dan lambang-lambang aneh yang tak dikenal Toh Hun.

   ia cuma menduganya sebagai mantera-mantera sihir.

   Di sampingnya ada meja penuh benda-benda seperti sesajian, lilin, pedang kayu, setumpuk kertas "Hu", kaca pat-kwa, batok kulit kura-kura, bilah-bilah bambu bernomor dan sebaginya.

   Si imam sendiri adalah seorang lelaki berusia limapuluh tahun, kurus, namun pandangannya tajam menusuk sehingga Toh Hun diam-diam bergidik ngeri.

   Tapi ia tertawa terkekeh dan berusaha ramah ketika bertanya.

   "Bagaimana? Senang atau tidak dengan perjalanan tadi ?"

   Dengan berlagak gagah sambil menduduki sebuah peti kayu, Toh Hun menjawab.

   "Boleh juga permaianan sulapmu."

   Si imam tiba-tiba membentak.

   "jangan duduk di situ!"

   Toh Hun terlompat dengan wajah pucat karena kagetnya. Setelah degup jantungnya mereda, ia bertanya.

   "Kena pa?"

   "Itu peti penyimpanan jimat-jimatku! Garagara ada di bawah pantatmu, biarpun cuma sebentar, aku terpaksa harus mengadakan upacara penyucian kembali!"

   "Maaf.... maaf____"

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Toh Hun tersipu-sipu.

   "Duduk di sana!"

   Bentak si imam sambil menunjuk ke sebuah tunggul pohon bekas disambar petir.

   Sebagai kepala pengawal pribadi Pamanda Kaisar, tentunya Toh Hun bukan pesilat kelas kambing.

   Namun setelah berturut-turut dipameri peristiwa ganjil, rasa takut terhadap Pek-lian-kau menguasai jiwanya.

   Ketika sampai ke kuil itu, kegarangannya sudah susut amat ba nyak.

   Maka biarpun dibentak-bentak oleh imam itu, dia menurut dan "jinak"

   Saja, tdk berani marah. Setelah duduk, si imam berkata dengan bengis.

   "Jangan kau anggap apa yang kau alami tadi cuma seperti sulapan di pinggir jalan! itu adalah ilmu sakti Pek-lian-kau! Bahkan aku sanggup membunuh siapapun dari jarak jauh dengan ilmuku, termasuk kau! Percaya tidak?"

   "Percaya... percaya...."

   "Sebetulnya, karena pihakmu adalah orangorang Manchu yang telah merebut negara kami, Kerajaan Beng, aku harus membunuh kalian! Tetapi kali ini pihak kami mau menjawab isyarat Liong Ke Toh, tidak lain karena ingin tahu apa yang kalian maui?"

   Dengan harapan agar dapat cepat-cepat pergi dari situ, Toh Hun menjawab langsung tanpa tedeng aling-aling.

   "Liong Ong-ya minta agar kalian membunuh Pangeran Hong Lik!"

   "Hah? Putera Mahkota?" "Ya."

   "Kenapa?"

   "Kenapa harus tahu? Asal kalian berhasil mendapatkan nyawa Pangera Hong Lik, lalu kami bayar hadiahnya beres bukan?"

   "Hem. kau merendahkan Pek-lian-kau. Kau sangka kami ini hanya sekelompok pembunuh bayaran yang mau saja disuruh-suruh asal dibayar? Kau keliru! Kami adalah kelompok pejuang yang punya cita-cita besar! Kalau kami bekerja-sama dengan pihak lain, kami harus tahu apa tujuannya yang sejelas-jelasnya!"

   Toh Hun bingung.

   Apakah persaingan sengit antara Liong Ke Toh dan Pangeran Hong Lik yang selama ini masih tersimpan di balik dinding istana, kini harus dibeber kepada pihak yang sama sekai bukan sahabat, hanya sekutu sementara? Bagaimana kalau beritanya sampai menyebar luas dan menimbulkan kegoncangan? Sesaat lamanya Toh Hihi cuma membungkam.

   Melihat itu.

   si imam tertawa dingin.

   "Kalau tidak mau dengan persyaratan kami, minggatlah sekarang juga Tas usah mengharap bekerjasama dengan kami. Tapi ingat, hehhehheh.tadi kau sudah terlanjur membuka muiut ten tang niat si tua bangka Liong Ke Toh untuk menyingkirkan Hong Lik. Berarti rahasia kalian sudah di tangan kami. Berita ini tentu akan menarik cukup banyak pendengar kalau kami teriakan di pasar-pasar atau di simpangsimpang jalan. Begitu ya?"

   Sekarang Toh Hun tidak cuma berkeringat dingin, bahkan mulai menggigil pelan, la merasa marah, takut, karena terjebak.

   Ancaman si imam itu berarti, mau tidak mau kerja-sama harus diteruskan, tapi pihak Pek-lian-kaulah yang menetapkan syarat-syaratnya.

   Tapi, kalau diteruskan, belum-belum pihak Pek-lian-kau sudah minta syarat yang begitu berat.

   Yaitu ingin mengetahui latar-belakang niat Liong Ke Toh untuk membunuh Pangeran Hong Lik.

   Padahal di dalam komplotan Liong Ke Toh sendiripun sedikit yang tahu niat itu.

   "Bagaimana?"

   Si imam tiba-tiba membentak sehingga Toh Hun berjingkat.

   "Sekali melangkah, jangan harap pihakmu bisa mundur lagi!"

   "Baik...,"

   Akhirnya Toh Hun nekat ambil putusan sendiri.

   "Nah, katakan."

   "Singkat saja, Ong-ya dan Pangeran Hong Lik saling membenci. Ong-ya khawatir kalau kelak Pangeran Hong Lik menggantikan ayahandanya bertahta, maka Ong-ya akan mengalami kesulitan hebat. Itu saja."

   "Hem, kalau Hong Lik sudah mati, apakah Liong Ke Toh lalu punya calon sendiri yang dijagokan? Atau dia sendiri yang mau mengincar tahta biarpun sudah hampir masuk kubur?"

   "Soal ini, maaf, Ong-ya belum pernah mengatakannya kepadaku. Harap kau maklumi, aku biarpun dipercaya tetapi cuma pesuruh, tidak mungkin tahu semua yang dirancang dalam pikiran Ong-ya."

   Penjelasan itu masuk akal, dan Toh Hun lega melihat si imam mengangguk angguk.

   "Baik, syarat pertama ini kuanggap cukup terpenuhi. Artinya, ini kerjasama sederajat. Bukan antara si pemesan dengan si pembunuh bayaran. Sebab kami ini kaum bercita-cita, bukan tukang kepruk upahan, paham?"

   "Ya. Paham. Terus bagaimana? Sanggup tidak?"

   Tanya Toh Hun penuh perasaan harapharap cemas. Kalau imam itu tidak menyanggupi, mampuslah pihaknya. Sudah terlanjur membuka semua "kartu"

   Ternyata kerja-samanya batal. Untunglah, si imam menunjukkan sikap cukup berminat, biarpun belum langsung mengiakan.

   "Pihakmu minta kami membunuh Pangeran Hong Lik, apakah berarti kami harus menerjang ke is tana?"

   "Oh, tidak. Ong-ya takkan mengajukan permintaan yang begitu tak masuk akal. Saat ini adalah peluang terbaik untuk membunuh Hong Lik, sebab dia sedang mengembara di luar istana, bahkan jauh dari Ibukota Pak-khia. Menyamar, dan dengan jumlah pengawal yang tak seberapa." "Baik. Rasanya kami sanggup,"

   Jawaban si imam memberi harapan kepada Toh Hun.

   "Tetapi ada syarat lain, yang biarpun bukan syarat terpenting, namun kalau mau dibilang tidak penting kok ya penting juga."

   Ketika mengucapkan ini, lenyaplah keangkeran si imam, dan sikapnyapun berganti cengar-cengir.

   Dengan penuh kemengertian, Toh Hun menurunkan bungkusan dari punggung nya.

   Diletakkan di tanah lalu dibuka, segera nampak potongan-potongan emas yang berkilauan di bawah cahaya api unggun.

   "Berapa?"

   Tanya si imam sambil mertyipitkan matanya. Diam-diam Toh Hun mentertawakan-nya dalam hati.

   "Ngakunya kaum yang bercita-cita, bukan pembunuh bayaran dan sebagainya, tapi begitu melihat emas, terus mukanya seperti anjing melihat tulang. Hem, ternyata emas kami lebih sakti dari ilmu gaibnya."

   Dalam hatinya membatin demikian, namun wajahnya tak menampilkan kesan itu. Dengan amat sopan Toh Hun menjawab.

   "Limaratus tahil. Kalau pihakmu berhasil membunuh Hong Lik, kami tambah limaratus tahil lagi."

   "Hi-hi-hi, memang mahal harga batok kepala seorang Putera Mahkota, tapi juga tidak sembarangan orang bias melaksanakan tugas ini. Tapi kami pasti sanggup!"

   "Jadi, sepakat?"

   "Sepakat. Nah, tahu tidak kemana Hong Lik pergi dalam penyamarannya?"

   "Kemungkinan besar memasuki wilayah sekitar pegunungan Kiu-liong-san, tepatnya kami sendiri tidak tahu, tapi kalian kan bisa menyebar orang untuk mencari jejaknya? Sebulan yang lalu, ada utusan rakyat kecil dari sekitar Kiu-liong-san yang menghadapnya dan melaporakan penderitaannya, maka diduga keras Hong Lik berangkat ke sana. Pengawalnya sedikit, tapi tangguh."

   Si imam tiba-tiba tertawa dengan nada mengejek.

   "Hem, berapa orang saja, sedikit atau banyak, buat ilmu gaibku tak ada masalah. Mereka semua bisa kubuat gila dengan ilmu saktiku!"

   "Kalau begitu, uang muka ini ku tinggalkan. Dan aku mohon diri lebih dulu."

   "Tunggu. Masih ada urusan lain!"

   "Urusan apa lagi?"

   "Tentang dirimu sendiri!"

   "Hah, ada apa dengan diriku?"

   "Bukankah waktu tadi kau naik kemari, kau sudah bersujud kepada badan halusnya Sribaginda Cong Ceng?"

   "Ya, demi bisa lepas dari gangguan jailangkung itu."

   "Apa kau bilang? Jailangkung? Jangan sembarangan dengan mulutmu! Yang kau sembah tadi benar-benar badan halus Sribaginda Cong Geng! Junjungan kami para patriot Kerajaan Beng!"

   "YaYa.... maaf...."

   Sahut Toh Hun gugup.

   "Memang aku sudah member hormat jai___ eh, Sribaginda agar diperkenankan lewat. Dan aku sudah diijinkan lewat." Mendadak terlihat tubuh si imam kejangkejang beberapa kali, matanya terbalik sehingga yang nampak tinggal putihnya, tubuhnya bergetar keras, dari mulutnya keluar air liur banyak sekali. Tanpa pikir panjang lagi Toh Hun melompat dan berlari ke arah pintu keluar. Tetapi tubuh si imam melompat dan menghadang di depan pintu, dengan sepasang tangan terjulur ke depan seolah mau mencekik Toh Hun. Apa, yang membuat Toh Hun ngeri ialah Ketika melihat sepasang kaki si imam ternyata tidak menempel di tanah, melainKan terpisah kira-kira sejengkal dari tanah Itu artinya si imam mengapung di udara, seperti lampion-lampion tadi. Tidak peduli Toh Hun adalah jagoan tangguh, menghadapi kejadian ini dia tidak punya sisa keberanian lagi. Dengkul nya mulai bergetar keras ketika ia melangkah mundur sambil terbata-bata.

   "To-tiang (bapak imam), aku... aku........minta maaf..... aku.... aku...." Dari mulut penuh liur si imam terdengar suara menggeram, yang oleh Toh Hun dikenali sebagai bukan suara si imam lagi. Suara seorang lelaki yang sama sekali lain, bergetar seram dan dunia seberang kubur.

   "Tidak bisakah kau bersikap dan hormat kepada seorang Kaisar? Akulah Kaisar Cong Ceng, ahli waris syah dari negeri yang sekarang di kangkangi orang Manchu macam kau! Akulah Kaisar Cong Ceng! Berlutut!"

   Toh llnn bertindak melebih perintah itu. Oleh "Kaisar Cong Ceng"

   Cuma disuruh berlutut, tapi Toh Hun bahkan berlutut sambil kencing di dalam celana.

   "Hamba..... mohon ampun! Hamba mohon Sribaginda mengampuni hamba!"

   Suara dari mulut si imam, suara tak dikenal, terdengar lagi.

   "Kau sudah menyembahku! Sudah memanggilku Sri-baginda! Kau sudah menjadi hambaku baik di dunia yang sekarang maupun di dunia yang akan datang!"

   Dan mendadak tubuh si imam yang terapung itu seperti dibanting mendadak ke tanah, kejang-kejang lagi-lagi sebentar, dan keadaan si imam lalu pulih seperti semula.

   Cuma nampak lemas sekali dan basah kuyup dengan keringat.

   Ketika melihat Toh Hun menyembah-nyembah, dia heran.

   "He, apa yang sedang kau la kukan?"

   Sambil tetap menyembah-nyembah. Toh Hun menjawab dengan suara pelan "Ampun, Sribaginda----- hamba tidak akan menentang kehendak Sribaginda."

   Si imam tercengang semakin heran "Apa? Kau panggil aku Sribaginda lalu ia bangkit sambil menepuk-nepu debu dari jubahnya.

   Toh Hun yang mulai agak tenang, mengangkat kepalanya, dan dilihatnya imam itu mulai pulih ke dalam keadaannya yang wajar.

   Agaknya arwah yang baru saja "meminjam mulut"

   Nya telah pergi. Sambil mengusap-usap keringat dijidatnya, Toh Hun bertanya.

   "Oh, kau! Kau sudah.... sudah tidak kerasukan lagi?"

   Pertanyaan itu langsung saja membuat si imam tahu apa yang sudah terjadi baru saja. Ia tertawa terkekeh.

   "Oh, jadi kau baru saja bicara dengan arwah Sribaginda? Tidak usah heran. Di antara ribuan anggota Pek-lian-kau Sekte Utara, hanya aku seorang dirilah yang sering digunakan oleh Sribaginda untuk menyampaikan pesan-pesannya. Apa saja yang Sribaginda sabdakan?"

   Masih dalam cengkamari kengerian, Toh Hun tidak herani berbohong.

   "Sribaginda menganggapku sebagai abdinya! Apakah berarti aku...... aku harus ke dunianya sekarang?"

   Sikap imam itu mendadak berubah menjadi ramah sekali. la bangunkan Toh Hun dari berlututnya, lalu menepuk-nepuk pundaknya.

   "Benar begitu? Kalau benar, mulai detik ini kau sudah termasuk sebagai kawan seperjuangan kami! Kau harus merasa bangga, sebab tidak semua orang bisa diterima dalam Pek-lian-kau kami dengan cara seistimewa kau tadi. Dipilih langsung oleh Sribaginda! Apalagi mengingat bahwa kau adalah seorang Manchu!"

   "Ah, kawan seperjuangan yang bagaimana?"

   "Lho, kok kawan seperjuangan bagaimana, ya kawan seperjuangan dalam usaha memulihkan kembali Kerajaan Beng!"

   Sungguh Toh Hun amat tidak siap untuk itu. Dia yang sudah punya kedudukan mapan dalam istana, sekarang harus menjadi "kawan seperjuangan"

   Gerombolan tukang sihir ini? Kecuali itu, sebagai orang Manchu, haruskah menumbangkan kerajaan bangsanya sendiri untuk membautu cita-cita kaum yang membenci bangsanya ini? Melihat sikap Toh Hun yang ragu- ragu, si imam tiba-tiba menjadi bengis.

   "Kau ragu-ragu? Keberatan?"

   "Aku......aku........."

   "Kau keberatan bukan?! Ya?! si imam makin galak sikapnya.

   "Keberatan berarti menentang kemauan Sribaginda Cong Ceng! Dalam sisa umurmu, jangan harap kau lepas dari kejaran perajurit-perajurit gaib Kerajaan Beng! Baik perajurit-perajurit yang masih berujud manusia hidup maupun perajurit-perajurit dari dunia lain!" "Perajurit-perajurit dari dunia lain"

   Itulah yang membuat Toh Hun bergidik. Tapi, bergabung dengan Pek-lian-kau dalam perjuangan merobohkan pemerintah Marichu bukanlah keputusan yang bisa diambil dalam sedetik dua detik. Ia bungkam kebingungan.

   "Masih ragu-ragu? Oh, aku tahu, barangkali kau tidak percaya adanya perajurit-perajurit Kerajaan Beng dari dunia lain ya?"

   Gertak si imam.

   "Baiklah. Sekarang akan segera kau lihat mereka!"

   Sambil berkata demikian, si imam sudah menghampiri mejanya dan mengambil selembar Hu. Tetapi Toh Hun buru-buru berteriak mencegah.

   "Jangan! Jangan!"

   "Ooo.... kau takut melihat perajurit perajurit gaib yang menjadi kawan-kawan seperjuanganku? Baik, baik. Bagaimana kalau kupanggilkan Ni Keng Giau saja? Barangkali dia kenal baik denganmu."

   "Jangan! Jangan! Aku percaya!"

   Si imam meletakkan kembali kertas Hu itu, lalu berkata dengan bengis.

   "Kalau begitu, kau tidak bisa ingkar lagi bahwa mulai detik ini kau adalah abdi Kerajaan Beng! Jangan harap bisa melepaskan diri, sebab kau sudah dipilih sendiri oleh Sribaginda!"

   Toh Hun mengeluh dalam hati. Alangkah bangganya bisa menjadi "orang pilihan Sribaginda"

   Asalkan "Sribagindanya"

   Masih hidup, tetapi ini "Sribaginda"

   Nya sudah mati hampir seratus tahun yang lalu.

   Tapi ia memang tersudut, setidaknya untuk sementara waktu.

   Ia cuma berjanji diam-diam daiam hati, secepatnya akan segera dicarinya hwe-shio yang lihai mengusir setan, untuk membebaskan diri dari kejaran "perajurit-perajurit gaib".

   Sementara itu si imam terus berkata menekan.

   "Kau akan tetap di dalam istana, namun harus bekerja bagi kepentingan kami. Harus! Sebulan sekali akan ada orang kami yang menghubungimu, menerima kabar-kabat penting dari dirimu, sekaligus memberi perintah-perinrah untukmu. Jangan coba-coba berkhianat, atau kutenung kau dari jarak jauh sehingga kau mampus karena isi perutmu digerogoti ulat! Aku bisa melakukannya dengan gampang, sebab aku sudah punya catatan hari kelahiranmu, shiomu, bahkan bintang pelindungmu. Paham?"

   "Paham. Paham."

   "Baik pergilah,jangan bilang siapa-siapa!"

   Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Toh Hun tinggalkan kuil lumutan di puncak bukit itu.

   Mula-mula langkahnya masih tegap, sebab malu juga ia kalau sampai lari terbirit-birit.

   Tiba di luar kuil, entah benar-benar atau hanya perasaannya sendiri, ia merasa ada orang yang mengikutinya di kegelapan Tapi ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa.

   la mempercapat langkah, tapi suara langkah yang mengikutinya itu terus terasa di belakangnya.

   Maka larilah ia secepat-cepatnya ke arah kota Hang-ciu.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menerjang semak-semak, tak peduli sering jungkir-balik sehingga babak belur, namun ia terus lari.

   Sambil kencing di celana.

   Tiba di pintu kota yang tertutup karena masih malam, ia memukul-mukul pintu dan berteriak-teriak minta dibukai.

   Namun sebelum pintu dibukakan, ia sudah roboh pingsan di depan pintu, karena takut campur lelah..Ketika ia sadar kembali, ia sudah ada di atas pembaringan di sebuah ruangan di gedung Cong-peng-hu Ketika matanya terbuka, dilihatnya langit-langit ruangan, dan ketika sedikit memiringkan kepalanya, dilihatnya wajah Liong Ke Toh tersenyum-senyum didampingi seorang tabib.

   "Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"

   "Ya__"

   Sahut Toh Hun lirih. Liong Ke Toh tersenyum dan menepuk pundak Toh Hun satu kali. Katanya.

   "Cepatlah sembuh, sebab sekarang kaulah satu-satunya orang yang bisa kupercaya untuk selalu berhubungan dengan mereka. Sebab mulai sekarang kau sudah saling mengenal dengan mereka."

   Toh Hun terkesiap, lalu pingsan kembali.

   * * * Cerah fajar menyiram seluruh kota Hangciu.

   Namun kabut tipis sisa malam masih belum lenyap sepenuhnya, dan seolah menyaring cahaya keemasan yang sebenarnya berlimpah bagi kehidupan.

   Maka muncullah garis-garis emas tebal dan tipis dari sela-sela kabut itu.

   Jalanan-jalanan di kota mulai sibuk, terutama oleh para pedagang kecil yang harus bergegas memulai kerja, agar rejekinya tidak keburu direbut orang lain.

   Pak Kiong Liong pun melangkah bergegas, namun bukan untuk rebutan rejeki.

   la memasuki cabang jalan yang menuju ke rumah penginapan yang disewanya, wajahnya nampak keruh.

   Begitu sampai di penginapan lalu masuk ke kamarnya, dijumpainya In Te yang wajahnya sama kisruhnya dengan pamannya, dan langsung menyambut dengan pertanyaan.

   "Bagaimana?" 'Tidak ketemu. Anak-anak bengal itu pasti sudah meninggalkan kota ini sejak tadi malam. Ah, benar-benar orang-orang muda yang cuma menuruti emosinya saja tanpa menyadari bahayanya.

   "

   In Te semakin gelisah. Baginya Tong San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng sudah dirasakannya seperti keponakankeponakannya sendiri. Kini ketiga orang muda itu pergi tanpa pamit, dan ini sangat mencemaskan Pak Kiong Liong maupun ln Te.

   "Seharusnya mereka tidak perlu ikut mendengar laporan tentang munculnya kembali Kakanda In Tong. Begitu mendengar, mereka tak dapat menahan diri lagi dan langsung minggat tanpa pamit untuk mengejar Kakanda In Tong. Mereka khawatir, kalau harus berpamitan akan kita cegah. Benar-benar tak punya perhitungan mereka itu."

   "Sama gegabahnya ketika mereka nekat mencoba membunuh Ni Keng Giau. padahal saat itu Ni Keng Giau sedang dikawal orang-orang macam Sat Siau Kun, Suma Hek-long dan sebagainya."

   "Sekarang bagaimana, paman?" 'Terpaksa harus kita tinggalkan kota ini untuk menyusul mereka. Hari ini juga, mumpung masih pagi"

   Kemudan Pak Kiong Liong dan In Te mulat berbenah untuk pergi Namun, baru saja mereka selesai mengikatkan bungkusan bekal mereka di Pinggangg, di luar penginapan itu mendadak terdengar derap kaki banyak orang, disertai teriakan.

   "Pak Kiong Liong dan In Te! Menyerahlah, kalian sudah dikepung!"

   Pak Kiong Liong sejenak mengerutkan alisnya, namun lalau tersenyum sambi! berkata.

   "Wah, rupanya Kang Bun-hou sudah menyiapkan sebuah upacara meriah untuk mengantar Keberangkatau kita."

   Tetapi ln Te nampak lebih tegang, tidak setenang pamannya itu.

   Pamannya masih bisa senyum-senyum menghadapi situasi macam itu, karena ilmu silatnya memang amat tinggi, namun bagaimana dengan dirinya sendiri yang berilmu silat pas-pasan saja? Memang, sejak ia kabur dari Jing-hai dan bersembunyi ditempat orang-orang Hwe-liong-pang, In Te juga sudah mencoba mematangkan ilmu silatnya namun apa yang bisa dicapai hanya dalam beberapa bulan? Pak Kiong Liong rupanya memahami pikiran In Te, dan ia membesarkan hannya.

   "Jangan berjauhan denganku. Kiia akan main kucing-kucingan dengan mereka."

   Setelah itu, ia mematahkan sebatang gagang sapu panjang sepanjang satu meter untuk digunakan sebagai senjata.

   Sebenarnya Pak Kiong Liong membawa pedang juga, namun setiap kali menghadapi tentara kerajaan dalam keadaan yang dianggapnya tidak begitu gawat.

   Pak Kiong Liong selalu tidak tega menggunakan pedang untuk bersungguh-sungguh membunuh mereka.

   Pak Kiong Liong adalah bekas panglima yang mencintai perajurit-perajurit seperti ayah mencintai anak-anaknya.

   Dan perasaan itu tak gampang hilang, biarpun sudah bertahun-tahun menjadi buronan, tak jarang diburu oleh "anakanak"nya sendiri.

   Sedangkan In Te akan tetap menggunakan pedangnya.

   Ilmunya belum cukup tinggi untuk berbelas-kasihan kepada perajurit-perajurit yang akan menangkapnya.

   Sementara itu, telah terdengar suara pintu depan ditendang, lalu derap langkah para perajurit membanjir masuk halnman penginapan, Pak Kiong Liong menarik tangan In untuk melompat keluar dari jendela, hendak menyeberangi halaman belakang.

   Tetapi bersamaan dengan itu, belasan perajurii bersenjta bedil-sumbu telah muncul dari halaman samping, langsung mengambil posisi membidik sambil berteriak.

   "Berhenti!"

   Kerapian gerak para perajurit itu tidak lepas dari hasil latihan oleh Ni Keng Giau selama ini.

   Sayang juga sang pelatih sendiri sudah tak bisa menyaksikan hasil latihannya dipraktekkan, karena sudah meninggal dalam kekecewaannya yang amat mendalam.

   Tanpa peduli gertakan itu.

   Pak Kiong Liong melesat sambil menyeret In Te.

   Namun sambil memperhitungkan bahwa dua detik lagi bedil11 bedil itu akan meledak setelah sumbunya disulut.

   Benar, lepat pada saat moncongmoncong bedil itu menyemburkan peluru, se kuat tenaga Pak Kiong Liong mengenjotkan kakinya untuk melayang naik keatas genteng sambil menarik In Te.

   Peluru-peluru hanya berdesing di bawah kaki mereka, terus menghantam dinding belakang.

   Karena tembakan pertama luput, para perajurit jadi sibuk mengisi kembali bedil-bedil mereka yang panjang-panjang.

   Mengisi bubuk peledak lewat moncongnya.

   memadat kannya dengan sepotong kawat panjang berujung bulat.

   memasang sumbunya lagi.

   Mengisikan pelurunya yang berbentuk kelereng besi.

   dan semua itu memakan waktu.

   Tidak heran, ketika senapan siap kembali orang-orang yang mau dtembak sudah lenyap.

   Pak Kiong Liong dan ln Te bagaikan terbang di atas atap.

   Namun penggerebekan itu dipimpin sendiri oleh Kang Bun-hou.

   dibantu beberapa pengawal kepercayaan Liong Ke Toh yang harus mengawasi apakah benar Kang Bun11 hou bersungguhsungguh melakukan pekerjaannya atau tidak.

   Untuk dilaporkan ke Pak-khia Kang Bun-hou.

   si panglima Hang-ciu sudah membuat perhitungan ke arah mana saja kirakira Pak Kiong-liong dan In Te akan melarikan diri.

   tempat-tempat yang diperhitungkan itupun sudah dijaga.

   Karena itulah kedua buronan kelas kakap itu tidak dapat begitu saja dapat lepas dari pemburu-pemburunya.

   Belum lama Pak Kion Liong dan In Te kabur lewat atap, tiba-tiba dari balik bumbungan atap didepannya muncul sederetan moncong senapan.

   Ketika pelatuk-pelatuk ditarik, kembali butir-butir besi panas itu berdesingan.

   untung Pak Kiong Liong masih sempat menarik In Te secepatnya merosot turun dari atas, dan tiba disebuah lorong sempit.

   Selamat, untuk sementara.

   Tapi dimulut lorong, bahaya yang sama sudah menanti pula.

   Pak Kiong Liong mengeluh dalam hati.

   seandainya tidak dibebani keselamatan In Te.

   tentu sepak terjangnya akan lebih leluasa.

   Tetapi keselamatan In Te mau tidak mau adalah tanggungannya.

   Kesempatan berpikir hanya satu detik kurang, dan ia tiba-tiba melemparkan tubuh ln Te kebalik dinding, dan sebelum para perajurit sempat berganti kejapan mata, tubuh Pak Kiong Liong sendiri telah melompat bagaikan harimau menerjang kawanan perajurit dengan gerak melengkung ke atas.

   Para perajurit tak sempat membidik lagi dan langsung menembak saja, namun Pak Kiong Liong meluncur datar di atas lintasan peluru.

   Ketika tongkat bekas gagang sapunya diayunkan dengan perkasa, maka perajuritperajurit yang menyumbat lorong pun bertumbangan babak belur.

   Perajurit-perajurit lain berdatangan, tapi Pak Kiong Liong menerjang rapat tanpa memberi kesempatan mereka menggunakan bedil.

   Terlibatlah ia dalam perkelahian sengit dengan para perajurit yang memenuhi jalanan di sekitar penginapan itu.

   Kang Bun-hou tahu betapa tangguh buronan kali ini, karena itu jumlah pasukan yang ditugaskannya kali inipum tidak tanggungtanggung.

   Pak Kiong liong sampai tidak dapat memperkirakan berapa banyak perajurit yang harus dihadapinya.

   Pak Kiong Liong bertempur sambil berlarilari di jalanan, terus diburu para perajurit.

   Sepanjang jalan, entah berapa banyak pula yang dirobohkan oleh tongkat bekas gagang sapunya.

   Mereka yang bersenjata jarak jauh seperti bedil atau panah, tak diberinya kesempatan untuk beraksi, sebab Pak Kiong Liong terus menyusup dekat di antara mereka, tidak membiarkan mereka mengambil jarak yang agak panjang.

   Bekas jenderal tua itu benar-benar menjadikan dirinya seperti seekor naga di lautan.

   Sebentar menyelam, sebentar muncul untuk mengamuk.

   Tadi ia bilang kepada In Te akan main kucing-kucingan, ternyata lebih tepat disebut "naga-nagaan".

   Tapi, seperti kekang yang dipasang olehnya sendiri, Pak Kiong Liong berusaha tidak membunuh seorangpun dari perajurit-perajurit Hang-ciu itu.

   Ilmunya yang amat tinggi memungkinkan pengendalian diri macam itu.

   Maka, biarpun korbannya berceceran di tiap sudut dan lorong, tidak ada di antara mereka yang mati.

   Kalau cuma benjol-benjol, keseleo atau pingsan, semuanya kebagian.

   Para perajurit agaknya harus merasa "beruntung"

   Mendapat lawan seperti ini.

   Tetapi juga penasaran, masa mereka yang berjumlah ribuan itu tak bisa berkutik terhadap seorang kakek ubanan, yang mestinya tinggal menikmati nyamikan sambil duduk di kursi goyang? Kalau dikejar lenyap, tahu-tahu muncul lagi di tempat lain untuk beraksi.

   Dicegat sana, muncul lagi di sini.

   Dijepit di tempat sempit, mengamuk membubarkan pengurungnya sebelum melenyapkan diri.

   Pak Kiong Liong sendiri kalau mau bisa segera melarikan diri.

   Tapi sengaja ia berputarputar untuk mengalihkan perhatian para perajurit dari In Te, agar In Te sendiri menemui hambatan sekecil-kecilnya untuk meloloskan diri.

   Itulah sebabnya Pak Kiong Liong tidak cepat-cepat menghilang, melainkan seperti sengaja mengajak para perajurit main petakumpet.

   Kang Bun-hou yang memimpin sendiri operasi itu, merasa amat mendongkol, merasa dipermainkan oleh Pak Kiong Liong.

   Namun dalam hatinya ia kagum juga melihat ilmu silat maupun taktik jempolan bekas panglima jaman Kaisar Khong Hi itu.

   Dia juga sadar kalau Pak Kiong Liong belum bersungguh-sungguh mengeluarkan semua ilmu silatnya, masih seperti seorang kakek yang bercanda dengan cucu-cucunya yang nakal.

   "Kalau dia benar-benar mengeluarkan ilmunya, kabarnya tangannya bisa mengeluarkan hawa amat panas yang menghanguskan,"

   Pikir Kang Bun-hou.

   "

   Dan kabarnya pula yang bisa menandinginya di seluruh negeri tinggal satu orang, Kim Seng Pa masih ada Pun-bu Hwe-shio dari Siauw-lim-si dan Tong lam Hou dari Hwe-liong-pang, namun kedua tokoh ini sudah almarhum sekarang." Meskipun begitu, Kang Bun-hou tak berani kelihataan kurang bersungguh-sungguh dalam usaha menangkap Pak Kiong Liong.

   Yang bernafsu menangkap Pak Kiong Liong sebenarnya adalah Liong Ke Toh yang masih di Hang-ciu, namun Kang Bun-hou yang disuruh.

   Dan Kang Bun-hou tidak berani menolak permintaan Pamanda Kaisar itu.

   Tengah "petak-umpet"

   Itu berlangsung seru, mendadak terlihat ada kobaran api di kejauhan.

   "Tangsi utara terbakar!"

   Teriak beberapa perajurit yang berlari-lari datang dari arah kebakaran.

   Sebagian perajurit yang harus menangkap Pak Kiong Liong terpaksa ditarik untuk membantu memadamkan api.

   Namun, beberapa saat kemudian, datang lagi laporan-laporan kepada Kang Bun-hou dari beberapa jurusan.

   "Tangsi selatan terbakar!"

   "Tangsi timur terbakar!"

   "Tangsi barat terbakar!"

   "Gudang perbekalan terbakar!" Kang Bun-hou kaget mendengarnya kebakaran yang terjadi berturut-turut di tempat-tempat penting itu pasti bukan suatu kebetulan belaka, tapi kesengajaan. Maka sibuklah ia membagi pasukannya kesana kemari. Ada yang tetap berusaha menangkap Pak Kiong Liong, ada yang harus memadamkan api di berbagai arah, bahkan ada yang harus memperkuat penjagaan di Cong-peng-hu, di mana Pamanda Kaisar menginap. Kalau sampai Liong Ke Toh terluka biarpun seujung rambut, hebatlah akibatnya bagi Kang Bun-hou. Di pecah-pecahnya pasukan membuat Pak Kiong Liong merasa mengendornya tekanan, dan ia siap untuk menghentikan permaianan itu. Tetapi ia heran, siapa yang telah melepaskan api yang seolah-olah jadi menolongnya secara tidak langsung itu? Cepat ia menerjang, menerobos kepungan para perajurit yang menipis jumlahnya. Dalam sekejap Pak Kiong Liong berhasil lolos, lalu melompat ke atap rumah dan melesat bagaikan seekor burung, ke arah luar kota Hang-ciu. Para perajurit bersenjata bedil dan panah berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya, tapi hasilnya hanyalah menimbulkan kerusakan lebih hebat pada atap rumah-rumah penduduk. Pak Kiong Liong sendiri melesat bagaikan anak panah dan semakin menjauh. Namun mendadak ia merasa di sampingnya ada orang lain yang berlari sama kencangnya dengan dirinya. Pak Kiong Liong terkejut, mengira seorang jagoan tangguh dari pihak musuh telah mengejar nya. Tetapi orang itu tidak menyerangnya, cuma bergerak menjajarinya, seolah mengajak Pak Kiong Liong berlomba dalam ilmu meringankan tubuh saja. Dan alangkah herannya Pak Kiong Liong merasakan betapa orang itu tidak ketinggalan sejengkalpun dari dirinya, menanda kan ketinggian ilmunya. Selama ini, Pak Kiong Liong tak lepas dari rasa bangga, terpengaruh oleh sanjungan kaum persilatan yang menyebut hanya ada empat tokoh di lapisan tertinggi dunia persilatan di jaman itu. Pak Kiong Liong sendiri, Kim Seng Pa,Tong Lam Hou, dan Pun-bu Hwe-shio. Karena Tong Lam Hou dan Pun-bun Hweshio sudah meninggal, maka Pak Kiong Liong merasa tinggal dirinya dan Kim Seng Pa sebagai tokoh puncak dunia persilatan. Bahkan Kam-hui To-jin dari Bu-tong-pai, rasanya juga masih selapis lebih rendah dibawah mereka berdua. Tiba-tiba saja kini di Hang-ciu ia ketemu seorang yang mampu menandinginya, setidaktidaknya dalam ilmu meringankan tubuh. Lebih mencengangkan lagi ketika melihat tampang dan dandanan orang itu sama sekali tidak istimewa. Bajunya model kampung, tubuhnya kurus, warna rambutnya memberi petunjuk batiwa usianya tidak lebih setengah abad, satu generasi di bawah Pak Kiong Liong. Sayang mukanya tidak terlihat karena ditutupi secarik kain kedok. Sambil tetap melayang cepat tanpa mengurangi tenaganya, orang berkedok itu malah masih sempat berkata.

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl

Cari Blog Ini