Mencari Bende Mataram 2
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 2
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Dadang Kartapati yang menyaksikan peristiwa itu, tertawa mengejek meskipun dengan menahan rasa sakit.
Katanya mengangkat diri.
"Sorohpati, kau bilang kalau bisa mengalahkanmu dalam seratus jurus, kau akan menyerah. Sekarang, marilah kita bertanding. Kau mampu mengalahkan kami atau tidak?"
Sorohpati sedang merayap bangun.
Tatkala mendengar kata-kata bernada merendahkan itu, tiba-tiba saja ia mencelat bangun.
Tangannya berkelebat menyambar kepala Dadang Kartapati.
Semua orang yang melihat serangan mendadak itu, terkesiap.
Darimanakah dia memperoleh tenaganya? Dadang Kartapati sendiri sudah terluka parah.
Secara wajar ia harus mengelak.
Namun tubuhnya tidak mau membawanya pergi.
Tahu-tahu, bres! Lehernya kena pukulan telak dan ia terbanting bergulingan.
Anak buahnya segera memburu.
Begitu melihat mukanya, mereka memekik tertahan.
Wajah Dadang Kartapati pucat bagaikan kertas.
Napasnya telah lenyap pula.
Keruan saja mereka bergusar.
Serentak mereka menoleh kepada Sorohpati.
Tetapi pada saat itu, Sorohpati roboh pula.
Kedua kakinya berkelejatan.
Sejenak kemudian tubuhnya tak berkutik.
Ia menarik napas panjang.
Panjang sekali.
Lalu berhenti untuk selama-lamanya.
Astika kaget.
Ia menjerit dan roboh pingsan.
Memang, Sorohpati telah menggunakan seluruh sisa tenaganya.
Itulah sebabnya, begitu melepaskan tenaganya yang penghabisan, ia kehilangan nyawanya juga.
- .
Astika pingsan tidak seberapa lama.
Tatkala memperoleh kesadarannya kembali, ia melihat Gandarpati tengah memondong tubuh ayahnya.
Kakak- seperguruannya itu memandang padanya.
"Astika, adikku. Mari kita berangkat!"
Ia berkata mengajak setelah melihat Astika sadar dari pingsannya.
Terhadap Gandarpati, Astika merasa jemu.
Tapi tadi, ia melihat kegagahannya tatkala kena dihantam Watu Gunung.
Sekarang pun ia menyaksikan betapa dia setia terhadap ayahnya.
Rasa jemu terhadapnya lantas saja buyar berderai.
Kesannya berbalik menjadi rasa terharu.
"Kita pergi kemana?"
Astika menangis.
"Pulang ....
"
Sahut Gandarpati pendek. Kemudian berputar kepada Brajabirawa.
"Perkenankan kami pergi."
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa bergemuruh. Itulah pendekar Watu Gunung.
"Gampang kau kuijinkan pergi. Tapi tinggalkan dahulu surat wasiat itu!"
"Hai! Apakah laki-laki tidak bisa memegang janji?"
Damprat Astika.
"Aku pernah berjanji apa padamu?"
Watu Gunung mendelik. Sambil menuding Dadang Kartapati, ia meneruskan.
"Bukankah dia yang kalian ajak berbicara. Dia sudah mampus. Bisa apa lagi? Tapi aku Watu Gunung mempunyai caraku sendiri. Nah, kau serahkan tidak surat wasiat itu?"
Bukan main mendongkolnya hati Astika.
Namun ia tak berdaya menghadapi pendekar sakti itu.
Segera ia melirik kepada Gandarpati yang nampak mengkerutkan keningnya.
Dasar tak pandai berbicara kena desak demikian, ia bertambah bungkam.
Dan menyaksikan bungkamnya Gandarpati, kembali rasa jemu Astika menjalari tubuhnya.
Dengan kalap ia menatap wajah Watu Gunung yang bengis.
Ia terkesiap sewaktu melihat puluhan orang bergerak mengepung atas pimpinan seorang laki-laki pendek kecil berjenggot panjang.
Selagi demikian, tiba-tiba di luar tenda terdengar suatu kesibukan.
Mereka semua menoleh.
Seorang laki- laki berambut rereyapan masuk dengan pandang beringas.
Ia mengenakan pakaian pendeta.
Namun kesannya awut-awutan6) Begitu masuk ia lantas berkelebatan menghantam mereka yang sedang bergerak mengepung.
Cepat dan tangkas gerakannya.
Dengan mendadak saja, mereka semua kebagian pukulan telak.
"Siapa?"
Bentak Watu Gunung.
Pendeta awut-awutan itu tidak sudi menjawab pertanyaannya.
Gesit ia menerjang dan mengirimkan pukulan.
Astika mengira, bahwa pukulanya ini pun akan mengenai telak.
Tak terduga, dengan sedikit menggeserkan tubuhnya, Watu Gunung terbebas dari pukulan mendadak itu.
Pendeta awut-awutan itu tercengang menyaksikan kepandaian Watu Gunung.
Dengan penasaran ia mengulangi serangannya, tapi kala itu si Jenggot Panjang menghadang didepannya.
Tangannya bergerak cepat menyodok bawah ketiak pendekar itu dan dengan gerakan itu terpunahlah serangannya.
"Bangsat! Kau mempunyai kepandaian juga. Siapa kau?"
Bentak pendeta awut-awutan itu.
"Siapa kau?"
Si Jenggot membalas pertanyaan dengan pertanyaan pula. Pendeta awut-awutan itu terhenyak sejenak. Kemudian tertawa berkakakkan seperti orang gendeng. 5) awut-awutan = baca edan-edanan Tiba-tiba Kartawirya yang berada di luar arena, berseru kaget.
"Awas! Dialah Ki Hajar Karangpandan! Dia pulalah yang dahulu merampas kedua pusaka sakti dari tangan anak buah sang Dewaresi. Jangan biarkan lolos!"
Pendekar awut-awutan itu memang Ki Hajar Karangpandan.
Seperti diketahui, ia tak pernah menetap di padepokannya.
Sebagian besar hidupnya, berkelana tak keruan juntrungnya.
Kerapkali ia melintasi daerah Banyumas.
Dahulu dalam perantauannya ia bertemu dengan rombongan sang Dewaresi yang membawa pu- lang dua pusaka sakti itu dari Cirebon, la menghadangnya dan merampasnya yang kemudian diserahkan kepada Wayan Suage dan Made Tantre.7) Sekarang pun, secara kebetulan pula ia mendengar peristiwa yang mirip pula.
Itulah disebabkan, lonceng tanda bahaya Titisari yang disebarkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Begitu mendengar dan menerima lonceng tanda bahaya itu, segera ia berangkat menuju ke Kota Waringin.
Ia meskipun nampak edan-edanan, sesungguhnya seorang yang berotak cerdas.
Di Kota Waringin segera ia men- cium berita pertempuran yang menarik.
Pertempuran antara Kakek Wasiman dan serdadu-serdadu Kompeni.
Dan Kakek Wasiman yang bongkok tiba-tiba bisa berdiri tegak.
Dari mulut ke mulut kejadian aneh itu dibicarakan orang.
Karena perjanjian adu kepandaian mereka diu- mumkan secara terang-terangan, maka gampanglah ia memperoleh keterangan.
Segera ia menyusul dengan menjejak perjalanan rakit Sorohpati.
Ditepi sungai ia 7baca Bende Mataram
Jilid 1 mendengar keterangan para pengayuhnya.
Cepat ia melesat dan menyatroni perkemahan.
Kartawirya kenal Ki Hajar Karangpandan.
Karena itu segera ia mengenalnya pula.
Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan semenjak dahulu tidak begitu menggubrisnya.
Itulah sebabnya ia heran, mengapa dirinya segera dikenal.
Namun sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, ia hanya tercengang sejenak.
Kemudian kumatlah sifat gendengnya.
Dengan tertawa berkakakkan ia berkata mengguruh.
"Hai! Hai! Di sini pun ada binatang yang mengenal aku. Bagus, bagus! Ini kumpulan binatang dari mana?"
Orang berjenggot panjang yang justru berada didepahnya merasa paling tersinggung kehormatannya. Terus membentak.
"Bangsat! Aku Didi Kartasasmita, kau anggap binatang?"
"O, tidak! Tidak! Kau cuma binatang berjenggot! Bukankah kambing sembelihan?"
Sahut Ki Hajar Karangpandan. Dalam hal mengadu mulut jahil, Ki Hajar Karangpandan paling ahli. Jaga Saradenta dan Wirapati dahulu kena terikat perjanjian selama dua belas tahun karena pandainya memutar balik dan melagui kata-kata jahil.
"Bangsat! Kau benar-benar harus dihajar mampus!"
Teriak Didi Kartasasmita.
Setelah berkata demikian, ia menerjang dengan geram.
Hajar Karangpandan tentu saja tak mau dirinya kena diserang.
Dengan tertawa berkakakkan, ia melawan.
Hebatnya masih bisa ia merabu yang lain-lain, sehingga masing-masing kebagian gaplokan pulang pergi.
Ki Hajar Karangpandan memang memiliki serupa ilmu yang sangat luar biasa.
Dia bisa bergerak cepat sambil menghantam.
Tangan dan kakinya nampak berserabutan, tetapi tiap gerakannya mengenai sasarannya dengan jitu.
Walaupun sedang dikerubut puluhan orang, ia bisa tertawa berkakakkan seolah-olah sedang bermain olahraga.
Dan menyaksikan ketangguhannya, diam-diam Watu Gunung terkesiap.
Pikirnya.
"Melawan dia, tak usah aku kalah. Tapi kalau sampai terlibat bisa membuat runyam. Baiklah aku mengompres anak Sorohpati terlebih dahulu."
Dan setelah memperoleh pikiran demikian, dengan sekali melesat ia menyambar tubuh Astika dan dibawanya kabur.
Hajar Karangpandan kaget mendengar suara kesiur angin dahsyat.
Cepat ia menoleh.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu melihat Astika kena dibawa kabur Watu Gunung, segera hendak ia memburu.
Tetapi Didi Kartasasmita menghadangnya.
"Kau hendak kabur kemana?"
Bentaknya. KI Hajar Karangpandan tercengang sejenak. Kemudian berbalik sambil menghantam. Bentaknya pula.
"Kurang ajar kau kambing berjenggot berani berlagak didepanku?"
Hebat pukulannya sampai Didi Kartasasmita terpaksa mundur tiga langkah. Dan kesempatan itu dipergunakan Ki Hajar Karangpandan. Sekali melompat ia mendekati Gandarpati dan berkata perlahan.
"Kenapa kau tidak lantas lari? Menunggu apa lagi?!"
Gandarpati seperti tersadar.
Cepat ia memeluk tubuh gurunya dan melesat menerjang barisan pengepung.
Sebentar saja tubuhnya hilang dari pengamatan.
Sekarang tinggallah Ki Hajar Karangpandan menghadapi mereka.
Hati pendeta gendeng itu jadi berlega kini.
Dengan tertawa lebar ia membagi pandang.
Sebaliknya Didi Kartasasmita mendongkol bukan main.
Seperti seorang pemain kartu, ia merasa sudah kehilangan pokoknya.
Namun ia tak sudi kepalang tanggung.
Dengan menggerung ia menerjang.
Walaupun demikian, melihat kegesitan lawan tak berani ia terlalu mendesak.
Brajabirawa yang menggeletak di atas pembaringan, kagum menyaksikan pertarungan itu.
Untuk sesaat ia melupakan rasa sakitnya karena hatinya tegang.
Setelah menghela napas, ia berkata kepada dirinya sendiri.
Di dunia yang lebar ini, benar-benar terdapat orang pandai banyak sekali.
Kalau aku tidak kabur sekarang, tunggu apalagi? Memikir demikian, dengan beringsut ia turun dari pembaringan.
Ia menggapai dua orang bawahannya dan membisiki suatu perintah.
Buru-buru dua orang bawahannya melindungi.
Kemudian menggotongnya keluar perkemahan.
Ia bebas kini.
Tetapi dunia selanjutnya memberi kesempatan lagi padanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan licik dikemudian hari.
Beberapa tahun kemudian setelah melakukan perbuatan- perbuatan maksiat, ia kedapatan mati di tengah jalan.Tak terang sebab musabab kematiannya.
Entah kena penyakit sampar entah kena aniaya orang.
Maka terasalah dalam hati manusia ini, bahwa sesungguhnya babak perjalanan terakhir tiap insan sebagian besar ditentukan oleh laku perbuatannya sendiri.
Dalam pada iiu, Ki Hajar Karangpandan merasa cukup sudah merintangi mereka mencapai tujuannya.
Tiba-tiba saja ia tertawa terbahak-bahak.
"Hai, sudahlah, sudahlah! Cukup aku berkenalan dengan moncongmu. Hm, hm! Seekor pun tiada yang berharga."
Setelah berkata demikian, kedua kakinya menjejak.
Tubuhnya melesat tinggi dan hinggap di atas palang langitan.8) Di atas penglari ia tertawa terbahak-bahak lagi sambil mengelus-elus perutnya.
Tinggi penglari itu kurang lebih empat meter.
Meskipun di antara anak buah Brajabirawa terdapat ahli-ahli silat, namun mereka tak sanggup melompat ke atas penglari dengan sekali melesat.
Didi Kartasasmita yang berjenggot panjang sesungguhnya seorang pendekar jempolan.
Meskipun kedudukannya dalam perkemahan itu menjadi bawahan Brajabirawa, namun sesungguhnya dialah paman gurunya.
Tegasnya, dialah adik seperguruan pendekar Watu Gunung.
Karena itu, ilmu kepandaiannya paling tinggi di antara mereka.
Maka dapatlah dimengerti, bahwa ia bergusar setinggi langit kena dikocok Hajar Karangpandan.
Dengan gregetan ia menghampiri tiang.
Maksudnya hendak memanjat menyusul.
Dasar Ki Hajar Karangpandan berwatak edan-edanan, ia girang luar biasa melihat maksud Didi Kartasasmita.
Ia menunggu J) palang langitan = penglari sampai Didi Kartasasmita merayap ke atas.
Tapi belum sampai mencapai penglari, kakinya lantas mendupak.
Untung Didi Kartasasmita bukan orang lemah.
Buru- buru ia memiringkan kepalanya.
Tangannya bergerak hendak menotok urat nadi.
Sudah barang tentu Hajar Karangpandan mengenal bahaya.
Segera ia menutup jalan darahnya, sehingga totokan Didi Kartasasmita tidak seperti yang diharapkan.
Sadar bahwa ia kena suatu jebakan, buru-buru menarik jarinya.
Tapi pada saat itu, kaki kiri Hajar Karangpandan mendupak.
Kali ini Didi Kartasasmita mati kutu.
Itulah disebabkan tangan kirinya terpaksa dipergunakan untuk menggelendot tiang.
Bres! Mukanya kena dupak dan tubuhnya lantas melorot.
Lucu keadaan Didi Kartasasmita.
Karena tubuhnya pendek kecil, ia nampak meringkas sewaktu melorot turun.
Mulut jahil Hajar Karangpandan lantas mengoceh.
"Hooeee binatang! Lihatlah! Kambing berjenggot bisa berak juga. Horeee..."
Bukan main mendongkolnya Didi Kartasasmita. Dengan memaksa diri ia memeluk tiang erat-erat untuk mempertahankan diri. la berhasil dan dengan mengerahkan tenaga beringsut-ingsut memanjat lagi.
"Hai, hai, hai! Monyet bisa merangkak pula! Cuh! Cuh! Cuh!"
Teriak Ki Hajar Karangpandan.
Ludahnya lantas menyemprot bagaikan hujan deras.
Dengan memejamkan mata, Didi Kartasasmita menerima hujan ludah itu.
Karena sangat lebatnya, ia mengguncang-guncangkan kepalanya.
Jenggotnya yang panjang menyabet-nyabet kalang kabutan seperti seekor anjing.
Hebat sabetan janggut itu.
Suatu kesiur angin tajam menghantam dada.
Hajar Karangpandan kaget.
Namun selain edan- edanan, ia berani pula.
Ingin ia mencoba tenaga lawan.
Tangannya dikibaskan dan terdengarlah suatu bentrokan nyaring.
Heran, Hajar Karangpandan.
Segera insyaflah dia, bahwa jenggot itu tidak boleh dibuat gegabah.
De- ngan tangan kiri menyekal19) penglari, ia membuang dirinya ke bawah dan bergelantungan seperti anak kecil bermain ayun-ayunan.
Dalam gebrakan itu, semua orang tahu bahwa Didi Kartasasmita bukan tandingan Hajar Karangpandan.
Jika mau bersungguh-sungguh gampang saja ia mendupak Didi Kartasasmita terpelanting dari ketinggian.
Kartawirya yang menyaksikan hal itu segera berteriak.
"Naik, naik, naik!"
Empat orang bawahannya buru-buru memanjat tiang.
Enam orang lagi menyusul dari tiang lainnya.
Dan melihat naiknya orang-orang itu, timbullah kegembiraan dalam hati Hajar Karangpandan yang berwatak angin- anginan.
Kenakalannya lantas saja kumat.
Dengan sekali berayun ia berdiri di atas penglari.
Lalu membuka celananya.
Berteriak nyaring.
"Hayo, cepatan naik! Hayo, cepat naik!"
Dan begitu mereka berada di tengah perjalanan, kencing Hajar Karangpandan berhamburan.
Keruan saja mereka jadi kelabakan.
Tanpa menghiraukan segala, mereka lantas melorot buru-buru dan jatuh di atas tanah dengan tumpang tindih.
Dan melihat hal itu, Hajar Karangpandan tertawa berkakakkan.
Hatinya puas bukan main.
"Nah, kalian sudah kebagian semua. Sekarang, selamat tinggal!"
Katanya. Kemudian membentak dengan bengis.
"Aku mau pergi. Tapi awas, siapa yang berani mengejar benar-benar aku tak segan-segan lagi menghajar batok kepala kalian. Kalian dengar? Nah, selamat malam!"
Dengan gerakan cepat, tiba-tiba tangannya sudah menggenggam sebatang pedang.
Sekali pedangnya digerakkan, tenda perkemahan rantas.
Tubuhnya lalu melesat membobol atap.
Sebentar terdengar langkahnya.
Kemudian lenyap.
Kadatangan Hajar Karangpandan mengacau perkemahan Brajabirawa, benar-benar merupakan malaikat penolong bagi Gandarpati.
Meskipun memanggul tubuh gurunya, masih dapat ia membobol kepungan.
Itulah disebabkan perlindungan pendeta edan-edanan itu.
Maka untuk kesekian kalinya terbuktilah, bahwa meskipun nampaknya edan-edanan sesungguhnya Hajar Karangpandan adalah seorang pendekar yang pandai menggunakan kecerdasannya.
Sewaktu Hajar Karangpandan mempermain-mainkan Didi Kartasasmita, Gandarpati sudah jauh meninggalkan perkemahan.
la lari terus mengarah ke timur.
Niatnya hendak kembali pulang ke pondok gurunya.
Hatinya tegang luar biasa, takut kalau-kalau ia diburu.
Justru hatinya tegang, ia melupakan segalanya.
Tapi setelah merasa dirinya aman, barulah ingatannya terbuka.
"Guru! Benar-benar Guru sampai hati meninggalkan aku?"
Katanya perlahan.
Hatinya pilu mendengar ucapannya sendiri.
Tak terasa ia menangis menggerung- gerung.
Tiba-tiba teringatlah dia kepada Astika yang dibawa kabur Watu Gunung.
Entah bagaimana nasib adik seperguruannya itu.
Hatinya berduka, kacau, kecewa, menyesal dan bingung.
Ia merasa diri tak berdaya sama sekali.
Maka tangisnya tambah menggerung-gerung.
Adalah pada saat itu di belakang suatu ketinggian mendadak terdengar suara luar biasa.
Kemudian terdengar suara seorang wanita yang sangat merdu.
"Siapa menangis di tengah malam buta begini?"
Gandarpati waktu itu dalam puncaknya suatu kesedihan.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tak memedulikan pertanyaan itu.
Namun mendengar suara itu, hatinya seperti terhibur.
Tanpa merasa ia melirik.
Kala itu di atas, bulan sipit menghias udara.
Walaupun cahayanya semu, tapi cukup terang benderang bagi seorang seperti Gandarpati yang memiliki mata tajam, la melihat munculnya seorang wanita yang bersikap agung dan cantik luar biasa.
Baru wanita itu mengucap demikian, suatu bayangan berkelebat mendampingi.
Dia seorang laki-laki berperawakan tegap dan berpem- bawaan tenang.
"Aji, lihatlah! Siapa yang dipanggul itu!"
Ujar wanita itu sambil menuding. Laki-laki yang berada disampingnya melayangkan pandang, dengan berdiam diri. Luar biasa tenang sikapnya. Dan melihat ketenangan itu, tak terasa tangis Gandarpati berhenti dengan mendadak.
"Siapakah mereka?"
Selagi Gandarpati sibuk menduga-duga, sepasang pria wanita itu datang menghampiri. Begitu melihat tubuh siapa yang berada dalam panggulan, wanita itu kaget sampai memekik perlahan.
"Hai, Paman Sorohpati! Engkaukah muridnya?"
Mendengar pertanyaan itu, entah apa sebabnya tiba- tiba Gandarpati membanting dirinya dan menangis menggerung-gerung kembali dengan amat pedihnya.
Kedua suami isteri itu sesungguhnya Sangaji dan Titisari.
Setelah kawin, mereka kembali ke Jawa Barat untuk memimpin perjuangan melawan Kompeni Belanda.
Pengaruh Himpunan Sangkuriang makin lama makin luas.
Banyak pendekar datang menggabungkan diri.
"Aji! Lihatlah! Siapa yang dipanggul itu?"
Ujar wanita itu sambil menuding.
Laki-laki yang berada disampingnya melayangkan pandang, dengan berdiam diri.
Luar biasa tenang sikapnya.
Justru hal itu, membuat hati Titisari curiga.
Sebagai seorang wanita yang berakal, ia lebih banyak menggunakan kecerdasan otaknya daripada perasaannya belaka.
Untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan, ia lantas membuat suatu jebakan.
Sengaja ia menulis ukiran pusaka Bende Mataram di atas suatu kertas yang telah dihafalkan diluar otaknya kala menolong Sangaji sewaktu luka parah di dalam benteng kuno dahulu.9) Surat itu lalu dipercayakan kepada Sorohpati dan diperintahkan menyimpan di Jawa Tengah.
Kemudian, dengan pertolongan Manik Angkeran, ia sengaja membuat berita desas-desus tentang wasiat tulisan sakti itu.
Watu Gunung kena terjebak.
Ia memburu ke Jawa Tengah dengan membawa pengikut-pengikutnya yang terpercaya.
Titisari segera membunyikan lonceng tanda bahaya.
Ayahnya dan sekalian pendekar bekas rekan- rekannya dahulu dihubungi dengan surat pemberitahuan.
Ia sendiri menyusul ke Jawa Tengah bersama Sangaji.
Demikianlah malam itu mereka berdua melintasi wilayah Banyumas.
Dan dengan tidak terduga-duga bertemu Gandarpati yang sedang berlari-larian dengan menangis menggerung-gerung.
Menangis menggerung-gerung di tengah malam buta dengan berlari-larian ditambah pula dengan menggendong sesosok tubuh, benar-benar menarik perhatian.
Sekaligus terbangunlah sifat usilan J) baca Bende Mataram
Jilid 9 Titisari.
Sekali melesat ia menghampiri Gandarpati dan melepaskan pertanyaan tadi.
Gandarpati sendiri, belum pernah melihat wajah Titisari dan Sangaji.
Ia hanya mendengar nama mereka dari tutur kata gurunya.
Seperti diceritakan di atas, entah apa sebabnya, mendadak ia membanting dirinya dan menangis menggerung-gerung makin menghebat, la merasa diri seperti bertemu dengan malaikat pelindung jagad.
"Eh, siapa engkau?"
Titisari mengulangi per- tanyaannya.
"Kau murid Paman Sorohpati?"
Dalam tangisnya, Gandarpati memanggut. Dan melihat anggukan itu, hati Titisari tercekat.
"Kenapa gurumu? Coba terangkan! Kami berdua orang sendiri. Kau pernah mendengar nama Sangaji dan Titisari? Inilah kami berdua."
Mendengar keterangan itu, Gandarpati kaget luar biasa sampai mencelat bangun.
Tangisnya berhenti dengan mendadak setelah mengamat-amati wajah mereka berdua dengan terlongong-longong sejenak, kemudian ambruk memeluk kaki mereka.
Dan kembali ia melagukan tangisnya.
"Tuhan memang adil! Tuhan memang adil!"
Katanya di antara sedannya.
Meskipun menangis tapi tangisnya kali ini tidaklah sesedih tadi.
Ada rasa syukur terbesit di antara sedu-sedannya.
Sangaji yang selamanya berhati sabar dapat membiarkan Gandarpati memuntahkan semua perasaannya.
Sebaliknya Titisari yang berhati lincah sebentar saja sudah merasa risih.
Tetapi dasar otaknya cerdas luar biasa, segera ia dapat menebak sembilan bagian.
"Ini perbuatan Watu Gunung, bukan?"
Gandarpati tercengang. Dan kembali lagi tangisnya berhenti. Katanya tak jelas.
"Bagaimana tuanku puteri mengerti?"
"Pendekar mana yang dapat mengalahkan gurumu selain Watu Gunung?"
Sahut Titisari dengan gampang. Kami berangkat kemari untuk menyusulnya. Dimana dia sekarang berada? Pastilah dia sudah mengantongi sesuatu."
"Benar."
Gandarpati heran.
"Tapi yang dibawa kabur adalah adik seperguruan kami, Astika. Surat wasiat tuanku puteri dibawa Guru ke liang kubur. Mendengar keterangan Gandarpati, Sangaji nampak bergerak. Memang dialah yang tahu benar asal-usul Astika. Karena itu hatinya tergetar.
"Mari kita susul!"
Ajaknya dengan perkataan pendek.
"Benar,"
Sahut Titisari. Tiba-tiba menggoda.
"Kau berani melawan Watu Gunung?"
Dalam kesengitannya dahulu, pernah Sangaji menghantam dada Watu Gunung dengan ilmu pukulan ciptaan Kyai Kasan Kesambi.10) Namun mendengar godaan Titisari dengan pendek ia menjawab.
"Entahlah."
"ldih! Makin tua, kau makin jadi penakut."
Sangaji tertawa. 10) baca Bende Mataram
Jilid 7
"Kau hendak membawa jenasah gurumu kemana?"
Titisari mengalihkan pembicaraan kepada Gandarpati.
"Pulang,"
Jawab Gandarpati sederhana.
"Baiklah. Kau rawat jenasah gurumu baik-baik. Perkara anak asuhnya, kamilah nanti yang mencarinya,"
Kata Titisari.
Perlahan-lahan, Gandarpati melepaskan pelukannya.
Lalu mundur beberapa langkah.
Baru saja ia menegakkan kedua kakinya, mereka berdua telah hilang dari pengamatan.
Bukan main herannya Gandarpati.
Selama hidupnya baru kali itu menyaksikan kesanggupan sepasang manusia yang terdiri dari darah dan daging seperti dirinya juga.
Kalau saja ia tak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, pastilah hanya pantas menjadi suatu dongengan belaka.
Masakan manusia bisa bergerak secepat itu.
Tiba-tiba saja terdengarlah suara bergelora menusuk udara.
Hebat suara itu, sampai hatinya tergetar.
Itulah suara Sangaji dan Titisari yang mengumandangkan tantangan terhadap Watu Gunung.
Dan mendengar suara bagaikan guruh itu, Gandarpati kian terlongong-longong.
la menjadi bengong lama sekali.
Tatkala itu Watu Gunung sudah lari belasan pal dari perkemahan.
Ia seorang pendekar yang sudah banyak makan garam.
Tak sudi ia lari mengarah ke barat, sebaliknya ia malahan ke timur.
Maksudnya terang.
Meskipun tak takut bakal kena buru, tetapi ia perlu menjalankan suatu tipu muslihat.
Selagi demikian, Astika yang berada dalam pelukannya berontak.
"Tua bangka! Hendak kau bawa kemana aku?"
Watu Gunung tertawa mendengus.
"Tergantung kepada keadaanmu sendiri. Kalau kau mau terus terang, jiwamu bakal selamat. Sebaliknya kalau tidak "hm"
Aku bisa membuatmu mati tidak, hidup pun tidak. Kau tak percaya?"
"Aku bukan anakmu. Lepaskan aku!"
Teriak Astika.
"Itulah gampang. Nah, tunjukkan dahulu di mana ayahmu menyimpan surat wasiat itu!"
"Bagaimana aku tahu?"
Sahut Astika. Memang, ia benar-benar tidak mengetahui. Tapi mana bisa Watu Gunung percaya kepada keterangannya. Sengit ia mengancam.
"Untuk sementara kubiarkan engkau berlagak pilon. Tapi rasakan sebentar lagi. Aku akan membuatmu menjadi boneka permainan...."
Astika yang beradat panas tidak takut. Ia berontak dan menghantam serabutan. Meskipun hantamannya tidak bisa menyakiti, namun hati Watu Gunung mendongkol. Tangannya bergerak dan menampar pipi Astika sampai melempuh. Astika menjerit.
"Tolong!"
Nyaring jeritannya dalam malam buta. Tiba-tiba berkelebatlah suatu bayangan yang langsung menubruk Watu Gunung.
"Berhenti!"
Bentak bayangan itu seraya melintangkan tongkatnya.
"Binatang! Siapa?"
Watu Gunung membalas membentak.
Tangannya bergerak menangkap tongkat yang dilintangkan didepannya.
Diluar dugaan, bayangan itu dapat menggerakkan tongkatnya dengan gesit pula tak ubah sebilah pedang.
Watu Gunung kaget.
Buru-buru ia menarik tangannya dan menyampok.
"Lepaskan!"
Gerakan Watu Gunung adalah gerakan meminjam tenaga lawan. Ia menyampok sambil menyambar. Tapi kali ini pun, sambarannya memukul udara kosong. Watu Gunung heran dan kaget bukan main.
"Siapa?"
Bentaknya.
"Kau siapa membawa-bawa seorang gadis kecil?"
Pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan.
"Hm! Kau kira siapa aku? Coba terka!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Damprat Watu Gunung.
"Siapa sudi main tebak di malam hari buta begini? Aku Demang si Galuh Jaga Saradenta selamanya main terang-terangan,"
Kata bayangan.
Memang dialah Jaga Saradenta yang dahulu, rekan Wirapati, Guru Sangaji semasa umur belasan tahun.
Setelah Sangaji dan Titisari terangkap jodohnya, ia pulang ke kandang, la jadi dapat mengurus wilayahnya kembali.
Pada suatu hari ia menerima sepucuk surat edaran dari Titisari yang memberitahukan tentang sepak terjang Watu Gunung.
Begitu menerima surat edaran itu, sering ia meronda wilayahnya sendiri.
Dan malam itu ia justru ke sampok Watu Gunung yang sedang kabur dengan membawa anak asuh Sorohpati.
"Ah! Kaulah Jaga Saradenta guru si tolol dahulu?"
Ujar Watu Gunung dengan tertawa.
"Inilah justru kebetulan sekali."
"Sebenarnya kau siapa?"
Watu Gunung tidak menjawab. Di luar perhitungan, Astika yang berada dalam pelukannya membuka mulutnya.
"Tolong! Dialah si bangsat Watu Gunung yang...."
"Tutup mulut!"
Bentak Watu Gunung dan membanting Astika ke tanah sampai bergelundungan.
Untung, pendekar itu tidak bermaksud membunuhnya.
Ia hanya menggunakan dua bagian tenaganya.
Walaupun demikian, Astika jatuh bergulingan dengan tak sadarkan diri.
Sekarang, Jaga Saradenta tidak bersangsi-sangsi lagi.
Dengan membentak, ia menyodok-kan tongkatnya.
Watu Gunung menangkapnya berbareng membetot.
Ia percaya akan tenaga sendiri.
Tapi mimpi pun tidak, bahwa lawannya adalah seorang pendekar ahli tenaga luar.
Mes- kipun ia mengerahkan tenaga sampai tujuh bagian, tetap saja tongkat itu tak dapat terbetot11) dari genggaman.
Namun ia tidak menjadi gugup.
Cepat ia menyodokkan dengan membarengi suatu sambaran.
Jaga Saradenta kaget bukan kepalang.
Dadanya tiba- tiba menjadi sesak dan ia terdorong mundur sampai terhuyung tiga langkah.
Memang selain usianya kini sudah bertambah menjadi lanjut, tenaganya masih kalah.
Namun ia masih tetap galak dan berangasan seperti 11) terbetot = terlepas dahulu, la cepat penasaran.
Tanpa memperhitungkan ke- mampuan diri, tongkatnya berputar membuat serangan balasan.
Watu Gunung sendiri tidak sudi kena libat.
Begitu berhasil mengundurkan Jaga Saradenta, ia melompat menyambar Astika dan dibawanya melesat kabur.
"Binatang! Kau hendak lari ke mana?"
Bentak Jaga Saradenta. Watu Gunung tidak memedulikannya. Ia mengerahkan tenaga dan lari secepat kilat. Pikirnya di dalam hati.
"Dia guru Sangaji. Kalau aku melukai apalagi sampai membunuhnya, aku bisa disatroni sebelum aku berhasil menekuni surat wasiat. Inilah artinya aku mencari penyakitku sendiri. Lebih baik aku kabur jauh-jauh."
Dan dengan pikiran itu, ia kabur seperti dikejar iblis.
"Hm, keparat anak ini."
Ia menggerendeng.
"Karena gara-garanya hampir saja membuat runyam...."
Astika kala itu telah memperoleh kesadarannya sendiri. Teringatlah dia, bahwa ia tadi kena banting. Meskipun terasa masih sakit, namun hatinya lebih sakit lagi. Dengan menggertak gigi ia memaki kalang kabut.
"Kau Watu Gunung benar-benar seperti batu gunung! Kau biadab! Kau tak tahu malu, kau tua-bangka... Kau...."
"Binatang kecil! Masih saja kau mengumbar mulut? Apakah kau mencari mampusmu sendiri?"
Bentak Watu Gunung geregetan.
"Lihat, apakah ini?"
Ia memperlihatkan sebatang jarum.
"Inilah jarum beracun. Kalau sampai menusuk kulitmu, kau bakal kelojotan seperti cacing kena bara. Dan kau bakal tidak hidup dan tidak mati selama tiga hari. Dagingmu akan membusuk dan kau bakal mampus dengan kesakitan luar biasa. Apakah kau menghendaki aku mencobamu?"
Melihat jarum dan keterangan Watu Gunung, betapa pun juga hati Astika mencelos.
Teringat akan wajahnya yang bengis, pendekar itu bisa membuktikan ancamannya.
Seluruh tubuhnya lantas saja jadi bergidik.
Mendadak saja, pada saat itu terdengarlah suara kesiur angin tajam.
Serupa benda melesat di udara dan memancarkan cahaya terang.
Itulah panah berapi Jaga Saradenta yang mengabarkan tanda bahaya.
Watu Gunung mengutuknya kalang kabut.
Justru pada detik itu suatu benda melesat menyambar dadanya.
Secara wajar, tangannya bergerak menangkis.
Tahu-tahu jarum beracunnya terlepas dari tangannya dan runtuh di tanah.
Bukan main kagetnya Watu Gunung sehingga tanpa merasa ia melepaskan pelukannya.
Ia terus meloncat dan memungut benda yang dapat menyambar jarumnya sampai runtuh.
Ternyata hanya sebutir batu kerikil, la jadi ternganga keheranan.
"Ilmu kepandaian orang yang menimpuk aku ini, tak dapat kujajagi berapa dalamnya. Ah, tak kusangka bahwa di Jawa Tengah ini terdapat banyak orang pandai. Kalau aku tidak cepat-cepat kabur, malam ini belum tentu aku bisa menolong jiwaku sendiri, pikir Watu Gunung. Setelah memperoleh pikiran demikian, tangannya diangkat hendak menghabisi nyawa Astika. Tiba-tiba teringatlah dia akan surat wasiat itu. Kalau ia sampai menghabisi nyawa dara cilik itu, bukankah berarti sia-sia perjalanannya ke Jawa Tengah? Memikir demikian, ia membatalkan niatnya. Mendadak, selagi tangannya menurun sepotong batu menyambar padanya. Buru-buru ia menyampok. Batu itu dapat disampok sampai hancur berpuing. Tetapi tangannya terasa panas dan pegal. Mengingat batu itu sangat kecil dapat membawa tenaga begitu besar, pastilah orang yang menyerang padanya memiliki kepandaian yang luar biasa tinggi. Segera ia memutar kepalanya menyiratkan pandang. Tak jauh daripadanya berdiri sesosok tubuh menyandang jubah. Dengan pertolongan cahaya rembulan, matanya yang tajam dapat menangkap warnanya. Jubah itu berwarna kelabu. Siapa? la menajamkan penglihatan menatap wajahnya. Tiba-tiba hatinya bergidik. Wajah orang itu bukan main jeleknya. Pucat lesi seperti mayat. Ia teringat sesuatu. Maka tanpa berani berayal lagi, segera ia meyambar tubuh Astika dan dibawanya kabur kembali. la sekarang tak berani lagi lari mengarah ke timur, la merasa diri tidak aman. Setelah berlari-larian beberapa waktu lamanya, sampailah ia di tepi Sungai Serayu, la lantas lari menyusur tepi sungai. Entah sudah berapa lama ia berlari-lari kencang, tiba-tiba fajar hari datang dengan diam-diam. Udara makin nampak cerah dengan cahaya gemilang. Ia berhenti dan menoleh. Hatinya mencelos. Ternyata orang berjubah kelabu itu berada tak jauh daripadanya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia lari kembali. DemikianlahWatu Gunung yang ditakuti lawan dan disegani kawanpada fajar hari itu, kena diubar-ubar lawan yang tidak menampakkan diri. Kini pagi hari telah datang. Ia menetapkan hati. Segera menoleh. Orang berjubah kelabu tetap menguntitnya. Dengan penasaran ia mengamat-amati wajah orang itu. Ah, ternyata dia mengenakan topeng mayat yang menakutkan. Pantas wajahnya nampak kejang dan menggigilkan hati dalam gelap malam hari. la jadi tertawa terbahak-bahak teringat dirinya sendiri yang ketakutan tak keruan. Dengan nyaring ia berkata.
"Hm, aku Watu Gunung berani mengembara sampai di sini. Masakan takut menghadapi orang semacam engkau?"
Ia maju menghampiri beberapa langkah.
Tiba-tiba tangannya bergerak.
Belasan jarum beracun menyambar bagaikan hujan gerimis.
Orang aneh itu tidak menyangka, bahwa dirinya bakal diserang dengan jarum beracun secara mendadak.
Namun dalam bahaya, ia berlaku sangat tenang.
Dengan sekali menotolkan ujung kakinya, badannya melesat mundur.
Jarum Watu Gunung terkenal cepat semenjak belasan tahun yang lalu.
Namun gerakan orang berjubah kelabu itu lebih cepat lagi.
Dan jarum-jarum itu runtuh ke tanah tanpa sasaran.
"Bagus! Kau bisa membebaskan diri,"
Bentak Watu Gunung. Kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Kau pendekar darimana sampai menguntit aku? Bukankah engkau bermaksud merebut bocah ini? Baiklah, ini kuberikan!"
Setelah berkata demikian, ia melemparkan Astika ke tanah semacam barang rongsokan. Lalu kabur secepat angin.
"Celaka!"
Seru orang berubah kelabu itu kaget.
Cepat ia menghampiri Astika dan memeriksanya sejenak.
Ia terlongong sebentar.
Kemudian menggendongnya dan lari kejurusan timur.
Dan pada saat itu, terdengarlah suara gemuruh bergulungan.
Bumi seolah-olah berderakderak hendak runtuh.
Dan mendengar suara gemuruh itu, Watu Gunung mempercepat larinya.
Juga orang berjubah kelabu.
"Aji! Aji! Lihat! Bukankah ini jarum beracun, semacam jarum beracunnya Edoh Permanasari?"
Terdengar suatu suara. Dialah Titisari. Sangaji menghampiri. Melihat hebatnya jarum beracun, ia terbengong sejenak. Kemudian berkata perlahan.
"Siapakah yang mengunakan jarum sejahat ini?"
Wajahnya lantas berubah hebat.
Dengan menarik napas ia mendongak ke udara.
Kemudian berteriak tinggi.
Suaranya bergelora menyusup udara.
SUATU PERTARUNGAN YANG ANEH DALAM MEMBURU SUATU BURUAN, baik Sangaji maupun Titisari tergolong ahli.
Itulah disebabkan, keuletan dan kesabaran Sangaji disamping ilmu kepandaiannya yang sudah mencapai tataran sempurna.
Sedangkan Titisari memiliki otak cemerlang yang tiada bandingnya pada zamannya.
Demikianlah begitu menaruh curiga, pandang mata mereka yang tajam luar biasa, terus saja mengarah ke barat.
Watu Gunung boleh merasa diri seorang cerdik, namun menghadapi mereka berdua tiada mungkin sanggup mengingusi.
Seperti berjanji, mereka berdua lantas melesat tak ubah bayangan.
Sekonyong-konyong, Titisari berseru setengah memekik.
"Aji, lihat!"
Mendengar suara Titisari, Sangaji menghentikan langkahnya, la menoleh ke arah timur laut. Samar-samar nampak asap tebal membumbung ke udara. Pada saat itu, ia mengerinyitkan dahi.
"Bukankah suatu kebakaran besar-besaran?"
Titisari berpaling kepadanya. Ia tidak menyahut. Setelah menyenak napas, lalu berkata mengajak.
"Biarlah kita menitipkan kepalanya dahulu. Sepuluh tahun lagi belum kasep. Sekarang kita lihat, siapakah yang main gila?"
"Apakah engkau memperoleh firasat buruk?"
Sangaji terkesiap.
Selamanya, Sangaji menganggap Titisari berada di atas kepandaiannya sendiri.
Itulah disebabkan, ia merasa kalah cerdas.
Malahan ia menganggap otak Titisari seencer otak malaikat yang tak pernah salah melihat dunia.
Sebenarnya hal ini berlebih-lebihan.
Namun dalam hal mengadu kecerdasan, ia benar-benar merasa takluk.
"Mari, kita lihat saja!"
Sahut Titisari mengangguk.
Mereka berdua lantas mengarah ke timur laut.
Ternyata yang sedang mengalami kebakaran besar- besaran adalah Kota Waringin.
Tatkala mereka hampir mencapai perbatasan kota, perjalanan pepat oleh penduduk yang lari pontang-panting tanpa tujuan.
Untunglah, Sangaji dan Titisari bukan manusia baru lagi.
Begitu merasa diri terhalang, terus saja menerjang pagar dan halaman.
Dari sana mereka menyaksikan Kota Waringin terbakar ludas serata tanah.
Benar-benar mengherankan! Siapa yang berbuat sekejam itu? "Aji! Paman Sorohpati menyembunyikan diri di kota ini,"
Kata Titisari.
"Setelah ia terbunuh semalam, rupanya ada tangan kotor lain membakar kotanya."
"Apakah Watu Gunung?"
Sangaji memotong.
"Mustahil!"
Sahut Titisari cepat.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Meskipun dia termasuk manusia yang besar angan-angannya, namun tak mungkin ia melakukan perbuatan rendah. Alasan Titisari masuk akal. Sangaji jadi sibuk sendiri.
"Apakah engkau mengira, perbuatan gerombolan penjahat atau Kompeni Inggris?"
Titisari tak segera menjawab. Setelah merenung sejenak berkata.
"Mari kita lihat!"
Memeriksa kota dalam kebakaran besar, tidaklah mudah.
Itulah disebabkan, mereka tak dapat menghampiri dekat-dekat.
Selagi mereka menebarkan penglihatan, mulailah terdengar suara kentung tanda kebakaran dikejauhan.
Kentung itu lantas jadi sambung- menyambung.
"Mengapa begitu?"
Sangaji terkejut.
"Hidup tanpa engkau apalah artinya? Itulah sebabnya aku memburumu sampai ke Jawa Barat."
"Aneh! Kutaksir kebakaran ini sudah terjadi semenjak pagi belum menyingsing. Tetapi kentung tanda bahaya lagi berjalan sekarang,"
Gerendeng Titisari.
"Rupanya, ada lagi hal yang menekan hati penduduk. Eh, Aji! Apakah semenjak kita meninggalkan wilayah Jawa Tengah telah terjadi hal-hal diluar pengamatan kita?"
Sangaji tidak mengemukakan pendapatnya, la membiarkan isterinya berpikir dan ia percaya akan memperoleh suatu penglihatan yang benar.
"Pusaka warisan Bende Mataram memang hebat!"
Kata Titisari lagi.
"Tadinya aku hanya bermaksud untuk memancing musuh-musuhmu di Jawa Barat. Tapi rupanya, di sini kita bakal melihat suatu keramaian baru!"
Perlahan Titisari berjalan mengarah ke timur. Dan Sangaji mengikuti dibelakangnya dengan pikiran penuh. Pikirnya di dalam hati.
"Mengusut kebakaran ini, sebenarnya mudah. Dengan meminta keterangan penduduk, bukankah akan jadi terang-gamblang? Mengapa Titisari tak mau berbuat demikian? Barangkali dia mempunyai pikiran lain."
Memang, dugaan Sangaji benar belaka.
Sebagai seorang wanita yang memiliki otak cemerlang pada zaman itu, mustahil Titisari tidak mempunyai pikiran demikian.
Soalnya tujuannya bukan untuk mencari keterangan tentang terjadinya kebakaran belaka.
Sebaliknya, ia hendak menyingkap alasan pembakaran itu.
Pastilah ada latar belakangnya yang hebat.
Sebab musababnya, sudah terang.
Itulah yang bersangkut-paut dengan wasiat sakti Bende Mataram.
Tadinya, dia bermaksud hendak memancing musuh- musuh Sangaji keluar dari sarangnya.
Itulah Watu Gunung dengan sekalian anak muridnya.
Tetapi melihat kebakaran itu, Titisari kini berpikir lain.
Watu Gunung boleh berani.
Boleh pula yakin kepada kepandaian sendiri.
Namun kalau sampai berani membakar kota di wilayah Jawa Tengah adalah mustahil.
Itulah lonceng kematiannya sendiri.
Sebab berani mengumandangkan tantangan dengan terang-terangan, sebelum bersiaga.
Di Jawa Tengah dia bakal diubar pendekar-pendekar sakti.
Di Jawa Barat ia diserbu pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang yang kini berada di bawah bendera Sangaji.
Siapakah yang tak tahu, bahwa di atas Gunung Damar bermukim pendekar kelas wahid Kyai Kasan Kesambi beserta kelima muridnya yang terkenal? Mereka ini tak boleh dibuat gegabah.
Siapa yang tak tahu pula, sepak terjang Gagak Seta dan Adipati Surengpati yang namanya menggetarkan jagad? Siapa tak kenal akan lagak lagu Ki Hajar Karangpandan dan Jaga Saradenta? Mereka akan keluar dengan serentak, manakala wilayahnya kena rusak tangan-tangan kotor.
Oleh pertimbangan ituTitisari ya- kinbahwa Watu Gunung tidak akan berani membakar sebuah kota di Jawa Tengah.
Sebaliknya kalau bukan dia, lantas siapa? Inilah suatu hal masih merupakan teka-teki bagi pendekar wanita itu yang memiliki otak paling cemerlang pada zamannya.
Pastilah yang membakar Kota Waringin mempunyai andalan yang luar biasa tangguh.
Dan bukan gerombolan kurcaci yang hanya mengadu untung belaka.
Sekonyong-konyong Titisari menegakkan mukanya.
Seperti terkejut ia berseru.
"Ah! Benar-benar tolol aku!"
Heran Sangaji mendengar bunyi seruan Titisari.
"Kau berkata apa?"
"Kau ingat bunyi kentungan itu, tidak?"
Sangaji mengangguk dengan pandang penuh pertanyaan.
"Mengapa tidak semenjak tadi dibunyikan?"
Kata Titisari berteka-teki.
"Itulah suatu kesengajaan yang ditujukan kepada kita."
"Kepada kita?"
Sangaji tambah tak mengerti. Titisari tertawa geli seakan-akan menertawakan ketololannya sendiri. Berkata mengajak.
"Mari, kita kembali ke tempat Gandarpati! Entah siapa memancing kita agar menjauhi Gandarpati. Kalau ini suatu kerja sama, kita bakal menghadapi lawan yang tersusun baik."
Sesudah berkata demikian, Titisari mendahului berlari.
Ia kembali ke tempat Gandarpati tadi.
Dan Sangaji segera mengikuti dengan meningkatkan kewaspadaannya.
Baru saja sampai ditanjakan, di atas bukit sekonyong-konyong terdengar suatu teriakan dahsyat yang kemudian disusul dengan suara gelak panjang.
Hebat suara teriakan dan suara tertawa itu sampai seluruh tanah pegunungan terasa bergetaran.
Mendengar teriakan dan suara tertawa itu.
Sangaji kaget bercampur girang.
Itulah suara yang dikenalnya dan sudah lama dirindukan.
"Bukankah Guru?"
Ia berkata kepada Titisari. Titisari tersenyum dengan memanggut kecil. Sahutnya.
"Benar. Sudah selang sekian tahun, namun suara Paman Gagak Seta masih saja tetap angker. Hanya entah apa sebabnya, dia terdengar sedang bergusar."
Buru-buru Sangaji mendaki pegunungan itu tanpa berpikir panjang lagi.
la melompat ke atas batu besar dan menebarkan penglihatannya.
Di atas gundukan laintempat mereka tadi bertemu dengan Gandarpati nampak empat orang bersenjata sedang mengepung seorang berusia lanjut yang berperawakan tegap ramping.
Dan orang yang sedang dikepung itu, benar-benar Gagak Seta pendekar sakti dan besar yang namanya berendeng dengan Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati, Kyai Haji Lukman Hakim, Mangkubumi I, Pangeran Sambernyawa dan Kebo Bangah.
Meskipun usianya kini tambah menanjak, namun menghadapi kerubutan empat orang tak usahlah Sangaji mengkhawatirkan.
Tidak hanya satu dua kali, Sangaji pernah menyaksikan gurunya bertempur menghadapi lawan kelas wahid.
Dan selamanya ia kagum.
Malahan, meskipun kini sudah memiliki ilmu sakti di atas gurunya sendiri, masih saja ia mengagumi ke-gagahannya.
Tak mengherankan bahwa nama Gagak seta akan tetap abadi sampai kemudian hari.
Gagah dan berwatak ksatria sejati.
Diluar dugaan, keempat pengeroyoknya ternyata bukan lawan enteng.
Karena jauh, Sangaji tak dapat melihat muka mereka.
Mereka mengenakan pakaian seragam hitam.
Bersenjata pedang dan golok panjang.
Tiga orang lainnya berdiri menonton.
Mereka mengenakan pakaian seragam hitam.
Nampaknya mereka mengatur pertarungan itu dengan bergiliran.
Sekiranya keempat rekannya kena dikalahkan, mereka bertiga lantas melompat menggantikan kedudukannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang.
"Eh! Buat apa kau melindungi murid Sorohpati? Kau bujuklah saja, agar dia menyerahkan surat wasiat Bende Mataram... Kami akan melindungi nyawamu! Bukankah adil pertukaran ini?"
Ia masih berbicara selintasan lagi.
Tapi meskipun Sangaji bertelinga tajam, tak dapat ia menangkap kata- katanya terakhir.
Yang terang ia tahu maksud mereka.
Mereka hendak merampas surat wasiat tulisan Titisari yang mungkin berada dalam saku Gandarpati murid Sorohpati.
Mendengar teriakan itu, Gagak Seta tertawa panjang.
"Kamu kumpulan binatang apa sampai berani mengancam aku si orang tua? Surat wasiat memang berada di sini. Niiih disakuku. Ambillah sendiri kalau mampu."
Sambil berbicara, ia menggebu kembali tiap serangan lawan-lawannya.
Mendadak saja, dari arah timur muncullah seorang nenek dengan berbatuk-batuk.
Dibelakangnya menguntit seorang gadis yang berambut rereyapan.
Dan melihat perawakan gadis itu, hati Sangaji tercekat.
Ia seperti pernah melihat dan mengenalnya.
Segera ia menajamkan matanya.
Namun lantaran jaraknya sangat jauh, belum berhasil ia memperoleh pengamatan terang.
Setelah berbatuk-bauk, nenek itu berteriak nyaring.
"Para pendekar Tunggul Wulung! Apa maksud kalian? Kalian datang dengan begini saja, tanpa mengajak aku berunding. Apakah kalian menganggap aku sudah mampus?"
Mendengar bunyi teriakan nenek itu, Sangaji heran.
Kalau tiada hubungan dengan mereka, pastilah nenek itu bukan orang sembarangan.
Pikirnya di dalam hati, baru beberapa tahun aku meninggalkan Jawa Tengah.
Rupanya di sini telah muncul pendekar-pendekar sakti baru di luar pengamatanku.
Ah, hebat! Mendengar teriakan nenek-nenek itu, keempat pengeroyok Gagak Seta menjadi bingung.
Dalam usaha menjatuhkan Gagak Seta, mereka memperhebat serangannya.
Terang sekali tujuannya.
Mereka ingin cepat-cepat menguasai Gagak Seta.
Dan melihat hal itu Sangaji tersenyum.
Hm, pikirnya di dalam hati, rupanya kamu belum mengenal siapa Gagak Seta.
Kalau kamu sampai membangkitkan amarahnya, masakan bisa menolong jiwamu.
Bertempur begitu bernafsu menghadapi Gagak Seta, memang suatu kesalahan besar.
Tadi, Gagak Seta masih bisa main bersenyum.
Tetapi begitu melihat datangnya si nenek, wajahnya berubah menjadi tegang.
Ia menangkis serangan keempat pengeroyoknya selintasan.
Sekonyong-konyong ia membentak dan tinjunya mendarat di dada salah seorang lawan yang berada dikirinya.
Dan begitu kena gempurannya, orang itu terpental tinggi dan jatuh menggelinding ke bawah.
Kepalanya terbentur batu dan pecah berantakan.
Menyaksikan perubahan itu, orang yang berteriak tadi lantas membentak.
"Mundur!"
Berbareng dengan bentakannya, ia melesat maju sambil mengirimkan pukulan aneh.
Nampaknya seperti meninju udara kosong, tapi akibatnya di luar dugaan.
Seperti suatu gelombang yang tiada nampak, pukulannya datang menghampiri Gagak Seta.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gagak Seta pada saat itu sedang repot menggebu ketiga sisa pengeroyoknya.
Meskipun demikian, telinganya yang tajam mendengar sambaran angin.
Ia lantas tertawa.
"Kepandaian semacam ini hendak kau pamerkan kepada aku si orang tua? Hm, kau jangan bermimpi yang bukan-bukan!"
Tangannya lantas mengusap udara.
Suatu benturan kemudian terjadi.
Dan si penyerang terpental mundur.
Syukur ia kena ditahan seorang kakek-kakek yang berdiri menonton di luar garis.
Dengan demikian, ia tidak sampai mengalami nasib seperti kawannya.
Meskipun demikian baik dia maupun kakek itu, berkisar dari tempatnya berpinjak.
Itulah membuktikan betapa hebat tenaga balasan Gagak Seta.
Tak mengherankan bahwa ketika sisa pengeroyoknya cepat-cepat melompat mundur berjaga-jaga.
Pukulan udara kosong bagi Gagak Seta tidak asing lagi.
Adipati Surengpati memiliki ilmu itu.
Mereka berdua pernah mengadu kepandaian.
Itulah sebabnya, Gagak Seta tidak perlu repot menghadapi pukulan demikian.
"Wira Kuluki! Alpikun!"
Teriak si Nenek.
"Kalian bangsa pendekar mahaperwira. Mengapa menggunakan ilmu pukulan udara? Kalau hanya pukulan wajar, tidak apalah. Mengapa kalian menggunakan beracun terhadap seorang ksatria sejati seperti Gagak Seta?"
Setelah berteriak demikian, ia melesat mendaki bukit tak ubah bayangan.
Gadis yang berada dibelakangnya berusaha mengikuti dengan mengerahkan segenap tenaganya.
Sangaji kaget mendengar bunyi teriakan nenek itu.
Khawatir akan keselamatan gurunya, Sangaji segera menyusul.
Titisari memburunya dan menangkap pundaknya.
Bisiknya.
"Aji! Mengapa kau jadi bingung tak keruan! Dengan hadirnya nenek itu, kau tak usah cemas. Yang paling penting kau jangan memperkenalkan diri atau muncul dengan tiba-tiba."
Sangaji mengangguk mengerti.
Sambil memegang pergelangan tangan Titisari, ia terus berlari-lari dibelakang gadis berereyapan itu.
Sambil mengikuti, mencoba mengumpulkan semua ingatannya.
Gerak- geriknya yang gesit dan sifatnya yang tak pedulian.
Ia kaget, tatkala Titisari berbisik di tengah telinganya.
"Kau memikirkan siapa?"
"Aku?"
Sahut Sangaji gugup.
"Kau lagi mengingat-ingat gadis di depan itu, bukan?"
Potong Titisari.
"Benar,"
Kata Sangaji dengan muka merah.
"Kau tak usah bersegan-segan. Dialah bibiku.... Bibi kita berdua."
"Bibi kita berdua?"
Sangaji heran.
"Siapa?"
"Fatimah, adik gurumu Paman Wirapati dan dahulu pernah mengaku sebagai murid Paman Suryaningrat.23) "Ah, benar!"
"Hm,"
Dengus Titisari bernada mendongkol.
"Bisa saja dia membawa lagaknya yang ketolol-tololan dan angin- anginan. Kau percaya dia murid Paman Suryaningrat benar-benar? Paling tidak.... Dengan diam-diam, ia berguru kepada seorang pendekar lain?" .
"Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan nenek itu."
"Siapa dia?"
"Siapa tahu?"
Sahut Titisari dengan bisikan tinggi.
Sangaji tercengang mendengar kata-kata Titisari.
Dengan Fatimah ia mempunyai kesan baik dan aneh.
Mula-mula bertemu di dalam sebuah benteng kuno, tatkala ia menderita luka parah.
Kemudian menolongnya tatkala gadis itu menderita luka parah.
Yang terakhir, Fatimah mengantarkan keberangkatannya ke Jakarta di lereng pegunungan Gunung Damar.
Aneh gerak gerik dan lagak lagu Fatimah.
Sayang karena dia bukan seorang pemuda yang berwatak usilan kesannya yang aneh tidak begitu menjadi buah pikirannya.
Tapi kini setelah memperoleh penglihatan aneh lagi, perhatiannya jadi tergugah.
Mungkin pula kisikan Titisari yang menyebabkan.
"Ya, benar. Dia seorang gadis tanpa perlindungan tanpa bekal hidup. Namun berani hidup menyendiri dengan seorang diri pula di dalam benteng kuno. Alasannya lantaran menunggu makam orang tuanya. Benarkah itu? Atau bukankah dia lagi menekuni suatu ilmu sakti di luar ajaran paman gurunya, Suryaningrat? Jangan-jangan benar dugaan Titisari. Ucapannya pun aneh pula tatkala mengantarkan aku berangkat ke Jakarta. Ia bercerita tentang seorang kekasih yang dirahasiakan. Yang dikatakan, bercita-cita menjadi seorang raja. Benarkah dia lagi membicarakan Manik Angkeran?24) Sibuk pikiran Sangaji. Sayang, dia bukan Titisari. Meskipun ilmunya kini tinggi, namun jalan pikirannya masih sangat lamban dibandingkan dengan Titisari. Sekian lamanya ia mencoba mencari suatu pegangan, namun masih saja merupakan suatu teka-teki besar baginya. Tak lama kemudian, ia sudah tiba dipinggang pegunungan. Dari sini ia nampak jelas, betapa cara gurunya mempertahankan diri dari pukulan udara. Ternyata gurunya mempertahankan diri dengan pukulan- pukulan pendek. Terang sekali, itulah suatu siasat untuk memunahkan pukulan lawan yang berbahaya. Hanya saja ia tak mengerti, apa sebab gurunya begitu sabar menghadapi suatu keroyokan. Kalau mau, pastilah dia bisa mengusir sekalian lawannya dengan satu pukulan geledek yang pernah dilakukan terhadap lawan-lawannya yang setaraf. Menimbang demikian, tahulah Sangaji bahwa Gagak Seta pastilah menggenggam suatu maksud rahasia. Dengan hati tegang, Sangaji mengikuti jalannya pertarungan itu dari belakang gerombol pohon. Tiba-tiba Titisari berbisik menasehati.
"Kau dandanlah sebagai petani. Aku pun begitu supaya bisa bebas dari pengamatan Fatimah. Kau mengerti?"
Terang sekali, Titisari menaruh purbasangka terhadap Fatimah.
Gadis itu memang menimbulkan suatu teka- teki.
Makin dikenangkan, makin menjadi buah pikiran yang berbelit.
Maka segera ia melepas ikat kepalanya dan menanggalkan pakaian luarnya.
Kemudian dengan berjingkit-jingkit ia kembali ke tempat persembunyiannya.
"Hai!"
Kata Titisari berbisik.
"Kau masih belum bisa menyamar sebagai petani. Rupamu masih seperti seorang raja."
"Raja?"
"Kau bisa memerintah sekalian Raja Muda Himpunan Sangkuriang. Apakah namanya bukan seorang raja?"
Sahut Titisari menggoda. Sewaktu Sangaji hendak membuka mulut, sekonyong- konyong ia mendengar nenek itu berkata dengan suara nyaring.
"Rekan Alpikun! Pukulan udara kosongmu sudah termasyur semenjak belasan tahun yang lalu. Mengapa engkau perlu menebarkan bubuk racun? Hm, sayang! Sayang! Sungguh sayang! Bukankah lantas nampak kelemahannya? Dan kau Wira Kuluki! Kau menggunakan langkah tipu muslihat bintang penjuru. Apakah kau mengira, pendekar Gagak Seta bisa kau ingusi. Hm, ja- ngan harap! Oh, oh, oh! CIh,uh...."
Ia berhenti berbatuk- batuk. Berkata lagi.
"Dahulu, sewaktu pendekar Kebo Bangah masih hidup, golonganmu sangat dihormati dan disegani. Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal sebagai seorang pendekar licin, namun dia tak pernah menggunakan racun secara menggelap. Sayang... sungguh sayang Kau merusak nama besarnya!"
Mendengar kata-kata nenek itu, Gagak Seta seperti tersadar.
Memang, dahulu di atas padepokan Kyai Kasan Kesambi ia pernah melihat saudara-saudara seperguruan pendekar Kebo Bangah, yang berkepandaian tinggi pula.
Karena itu, tak sudi lagi ia berkelahi dengan ayal-ayalan.
Terus saja tangannya berputar dan melepaskan pukulan geledek.
Hebat pukulan Gagak Seta.
Mengherankan lagi adalah kedua lawannya.
Dengan berbareng mereka menyambut pukulan itu.
Ternyata mereka hanya kena digeser dari tempatnya dan mundur dengan sempoyongan.
Mereka tak sampai roboh.
Maka teranglah, bahwa ilmu kepandaiannya hampir dapat mengimbangi Kebo Bangah dalam masa jayanya.
Diam-diam Sangaji mengamat-amati mereka yang di sebut Alpikun dan Wira Kuluki.
Alpikun berperawakan gemuk bulat.
Badannya pendek.
Mukanya menyinarkan warna merah.
Muka ini mengingatkan kepada muka Keyong Buntet adik seperguruan pendekar Kebo Bangah.
Dan orang yang disebut Wira Kuluki berperawakan seperti Maesasura.
Badannya agak kurus.
Sekalipun demikian, pandang matanya samalah berbahayanya dengan adik seperguruan Kebo Bangah itu.
Benar-benar merupakan lawan yang tak boleh dibuat gegabah.
Dan orang yang tadi berkata nyaring adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Ia pun mengenakan pakaian seragam tak beda dengan rekan- rekannya.
Hanya saja dia nampak bersih.
Bahwasanya orang semuda itu bisa berhadap-hadapan dengan Gagak Seta, membuktikan ilmu kepandaiannya tidak lemah.
Pastilah dia berada di atas kepandaian sang Dewaresi pada zaman jayanya.
Tiba-tiba pemuda itu berkata kepada si nenek.
"Nenek Sirtupelaheli! Memang kau tidak sudi membantu Gagak Seta dengan terang-terangan. Sebaliknya membantu dengan diam-diam. Apakah caramu itu tidak curang?"
"Apakah Tuan seorang anggauta Tunggul Wulung pula?"
Nenek Sirtupelaheli menegas.
"Maaf, belum pernah aku melihat mukamu."
"Tentu saja Nenek belum pernah melihat aku. Sewaktu Nenek sedang mencari nama, aku masih belum pandai beringus. Aku bernama, Daniswara adik sang Dewaresi. Akulah putera bungsu Kebo Bangah."
"Kau putera pendekar Kebo Bangah, apa perlu memasuki perkumpulan Tunggul Wulung yang tak keruan tujuannya?"
Bentak Nenek Sirtupelaheli. Daniswara tertawa.
"Lucu! Sungguh lucu!"
Katanya.
"Dunia ini begini luas, masakan aku harus tetap menyimpan diri seperti katak dalam tempurung?"
Kata- katanya diucapkan dengan mantram sakti warisan Kebo Bangah.
Hebat pengaruhnya sampai bumi terasa tergetar.
Sangaji terkejut.
Benar-benar hebat pemuda itu! Pastilah dia bukan sembarang orang.
Pantaslah gurunya melayani keragaman ilmu kepandaiannya dengan hati- hati.
Dalam pada itu, gelanggang pertempuran mengalami suatu perubahan.
Tiba-tiba saja dua orang lagi memasuki gelanggang.
Dengan demikian, Gagak Seta dikerubut enam musuh tangguh.
Itulah tak mengapa.
Tapi ternyata mereka mulai menggunakan bubuk beracun seperti per- ingatan Sirtupelaheli.
Dan kena bubuk beracun itu Gagak Seta nampak limbung.
Ia jadi terdesak selangkah demi selangkah.
Melihat limbungnya Gagak Seta, hati Sangaji gelisah.
Lantas saja ia bersiaga hendak menolong.
"Ssst! Kau tak usah bingung!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bisik Titisari.
"Kau kira siapa Paman Gagak Seta. Ilmu kepandaiannya sejajar dengan Ayah. Kalau hanya menghadapi racun, bukankah dia jauh lebih berpengalaman daripada engkau? Ingat saja Paman Kebo Bangah yang memiliki ilmu beracun tiada bandingnya. Meskipun demikian, Paman Kebo Bangah tak mampu mengalahkan Paman Gagak Seta."
Diingatkan kepada Kebo Bangah, Sangaji jadi tersadar. Kalau begitu limbungnya Gagak Seta sebenarnya hanya suatu tipu muslihat belaka. Selagi berpikir demikian, Titisari berbisik lagi.
"Sirtupelaheli, pasti tidak akan tinggal diam. Dia pasti menolong. Kau percaya tidak?"
"Mengapa menolong?"
"Hm, lihat sajalah! Justru itulah yang dikehendaki Paman Gagak Seta. Kalau tidak begitu, apa perlu Paman Gagak Seta berlagak limbung segala. Dia bermaksud hendak menepuk dua lalat sekali jadi..."
Tetapi Nenek Sirtupelaheli nampak masih tenang- tenang saja. Ia hanya bersenyum pendek sambil menyandarkan diri pada tongkat bajanya. Dan menyaksikan sikapnya, hati Sangaji ber-gelisah. Pada saat itu, tiba-tiba Gagak Seta tertawa terbahak- bahak.
"Kamu semua ini sebenarnya kumpulan binatang yang tak tahu diri. Kalau sampai sekarang kepalamu masih bercokol dilehermu masing-masing itulah disebabkan aku belum mengetahui diri kamu. Sekarang semuanya sudah terang. Nah, kalian mau pergi atau tidak? Aku sudah bosan!"
Mendengar perkataan Gagak Seta, Alpikun dan keempat rekannya tertawa terbahak-bahak pula.
"Kau tua bangka sudah linglung. Jiwamu sudah diambang pintu, masih saja mengoceh tak keruan..."
Sangaji tercekat. Pikirnya.
"Ah, benar-benar mereka belum kenal Paman Gagak Seta! Dahulu saja hati sang Dewaresi kuncup begitu mendengar namanya. Angkatan mudanya ini, mengapa begini gegabah? Rupanya mereka dididik asal berani saja."
Benar saja, Gagak Seta sudah mulai bosan, la langsung mundur mendekam.
Begitu kelima pengeroyoknya menyerang, dengan satu kali gerak tangannya membabat.
Inilah pukulan ilmu sakti Kumayan Jati yang disegani lawan dan kawan.
Dan dengan didahului suara patahnya senjata mereka, lima tubuh terpental di udara.
Seperti layang-layang putus mereka jatuh ber-gedebrukan dilereng bukit.
Empat orang mati dengan berbareng.
Hanya Wira Kuluki seorang masih nampak berkempas kempis.
Walaupun demikian ia menderita luka berat.
Sebelah tangannya putus seperti terbabat.
Daniswara kaget bukan kepalang.
Dengan mengerahkan tenaga-ia melompat tinggi ber-jungkir- balik.
Begitu mendarat terdengar Gagak Seta membentak.
"Hai, binatang! Ayahmu sendiri tidak berani sembrono melawan aku. Kau bersikap tak memandang mata kepadaku. Bagaimana?"
Dengan sikap gagah Daniswara menguasai rasa kagetnya. Lalu menyahut.
"Paman! Jiwaku memang pantas kau ambil. Tapi perkenankan aku mengajukan satu permohonan."
"Kau berkatalah! Cepat!"
"Ampunilah Paman Wira Kuluki. Aku bersedia mengganti dengan nyawaku sendiri. Silakan. Ambil nyawaku!"
Semua yang mendengar kata-kata Daniswara kaget. Sama sekali mereka tak menyangka, bahwa pemuda itu mempunyai perasaan setia kawan. Inilah suatu kejantanan sejati. Sangaji yang tadinya berkesan kurang senang terhadapnya, saat itu berbalik mengagumi.
"Bagus!"
Seru Gagak Seta.
"Mengingat ayahmu dan keberanianmu, engkau menang setingkat dengan kakakmu, Dewaresi. Nah, pergilah. Bawalah pula kawanmu itu. Aku takkan mengganggu selembar rambutmu. Hanya saja, dengan berbekal ilmumu itu kau jangan mencoba-coba mencari penyakit dengan anakku, Sangaji."
"Terima kasih atas budi Paman,"
Kata Daniswara.
"Tetapi sakit hati ayahku harus terbalas. Aku belajar, menekuni ilmu warisan keluargaku sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Dan aku akan mencari Paman atau Sangaji untuk menuntut balas."
Gagak Seta tertawa panjang. Katanya memotong.
"Bagus, bagus! Ayahmu kerbau bangkotan mampus karena kesalahannya sendiri. Mengapa kau mempersalahkan aku?"
"Tentu saja. Coba, kalau Paman membiarkan Ayah memiliki pusaka warisan, bukankah tak perlu ia mati dengan penasaran?"
Kembali lagi Gagak Seta tertawa panjang.
"Baiklah! Kau boleh menimbuni aku si orang tua dengan tuntutan balasanmu. Masakan aku takut? Nah, pergilah sebelum hatiku berubah!"
Daniswara berputar menghadapi Nenek Sirtupelaheli. Berkata dengan sikap menghormat.
"Nenek, maaf aku sampai lancang memasuki wilayahmu. Kalau kau ingin menguji kepandaianku, tunggulah barang empat lima tahun lagi. Aku pasti datang mencarimu."
Setelah berkata demikian, dengan memanggul Wira Kuluki, Daniswara lari menuruni bukit.
Cepat gerakannya.
Sebentar saja, tubuhnya hilang dari pengamatan.
Nenek Sirtupelaheli mengawaskan hilangnya Daniswara sejenak.
Kemudian berputar menghadap Gagak Seta.
"Adikku, kau masih hebat seperti dahulu. Maaf, aku tak dapat membantumu. Karena kau manusia yang tak senang dibantu. Apalagi hanya menghadapi musuh- musuh sebangsa kurcaci. Kau bergusar terhadapku atau tidak?"
Kaget bercampur heran, Sangaji mendengar Sirtupelaheli memanggil adik terhadap gurunya. Tentu saja ia menajamkan telinganya.
"Tak usah kau mengungkat-ungkat soal lama,"
Sahut Gagak Seta.
"Apakah kau datang pula untuk surat wasiat anakku Titisari?"
Sirtupelaheli tertawa terbatuk-batuk.
"Aku akan masuk liang kubur sebentar lagi. Buat apa ikut-ikutan memperebutkan surat wasiat yang tiada gunanya bagiku. Hanya saja..."
"Hm... Kau berkatalah!"
Desak Gagak Seta. Sirtupelaheli meruntuhkan pandang kepada Fatimah. Lalu berkata perlahan.
"Pastilah engkau sudah pernah bertemu dengan anak ini. Dialah sesungguhnya cucuku. Untuk dia aku berjuang."
Lagi-lagi Gagak Seta tertawa panjang.
"Sirtupah! Masakah aku tak kenal dirimu. Hm, hm! Kau berlagak hendak berjuang bagi masa depan bocah ini. Aku pun saat ini lagi melindungi seseorang yang hendak mengubur tubuh gurunya. Baiklah, mari kita bersimpang jalan."
Setelah berkata demikian, tubuh Gagak Seta berkelebat, la mengarah ke timur laut.
Apakah Gandarpati pada saat itu berada di timur laut? Mengingat letak Kota Waringinnampaknya dia berada di rumah gurunya.
Nenek Sirtupelaheli menarik napas.
Dengan mata melotot ia memandang wajah Fatimah.
Katanya setengah mengutuk.
"Dasar! Kaulah yang membuat perjalanan ini sampai sial begini. Hayo, jalan!"
Dengan menurut Fatimah mengikuti gurunya.
Sangaji dan Titisari yang mengenal lagak lagu Fatimah heran menyaksikan sikap penurutnya.
Mereka tahu, adat Fatimah sangat panas.
Ia tak takut terhadap ancaman bagaimana pun besarnya.
Tetapi terhadap Nenek Sirtupelaheli apa sebab adatnya berubah? Mengherankan lagi adalah Gagak Seta.
Pendekar besar ini kenal Fatimah.
Betapa tolol pun orang akan segera melihat, bahwa gadis itu dalam kesukaran.
Apa sebab Gagak Seta tak mau turun tangan? Nampaknya dia bersegan-segan terhadap Nenek Sirtupelaheli.
Sangaji menunggu beberapa saat lamanya.
Kemudian muncul sambil memperbaiki letak pakaiannya.
"Kau hendak kemana?"
Tegur Titisari.
"Aku mau menengok Fatimah."
"Apakah engkau tak melihat sinar mata nenek itu yang sangat ganas?"
"Masakan aku harus takut kepadanya?"
"Eh, semenjak kapan kau jadi galak begini? Bagus!"
Tungkas Titisari.
"Kau tak takut kepadanya. Tapi aku justru takut."
Mendengar kata-kata Titisari, Sangaji heran.
Selamanya belum pernah ia mendengar puteri Adipati Surengpati itu menyatakan rasa takutnya.
Mau tak mau ia menatap wajah Titisari dengan pandang penuh pertanyaan.
Titisari tak menunggu pertanyaannya, la segera memberi alasannya.
"Aji! Justru sekarang ini, aku merasa seperti lagi menghadapi sesuatu kejadian yang diliputi kabut rahasia. Siapa yang membakar Kota Waringin? Siapa Nenek Sirtupelaheli dan apa sebab Paman Gagak Seta segan terhadapnya? Mengapa Fatimah berada pula dengan dia dan sikapnya begitu penurut? Kita membutuhkan jawaban dan keterangannya. Dan bukan dugaan-dugaan belaka. Memang tak sukar engkau membinasakan nenek itu. Tetapi begitu dia mati, semua teka-teki ini akan tersimpan untuk selama-lamanya."
"Aku pun bukan mau membunuh nenek itu,"
Tungkas Sangaji dengan sunguh-sungguh.
"Aku hanya ingin menengok Fatimah seperti kataku tadi. Kukira aku bisa memperoleh keterangan lebih banyak dan gampang daripada nenek itu."
"Belum tentu!"
Kata Titisari dengan suara tegas.
"Mengapa belum tentu?"
"Aji!"
Titisari tersenyum.
"Selamanya kau mengukur manusia dengan dirimu sendiri. Mana bisa begitu? Belum tentu wajah baik, hatinya masti baik. Belum tentu kata- kata gagah, orangnya gagah pula. Coba, kita harus lebih berwaspada terhadap Nenek Sirtupelaheli atau Daniswara?"
"Menurut pendapatku, Daniswara seorang ksatria tulen, la lebih mengabdi kepada budi persahabatan daripada nyawamu sendiri."
Titisari tertawa perlahan.
"Aji! Kau sekarang bukan Sangajiku dahulu. Lantaran kau sekarang memimpin kancah perjuangan di Jawa Barat. Mengapa engkau main tipu terhadapku?"
"Main tipu?"
Sangaji benar-benar tak mengerti.
"Benarkah engkau berkata dengan setulus hati?"
"Tentu! Tentu saja! CobaDaniswara berani mengganti dengan jiwanya sendiri demi sahabatnya Wira Kuluki yang menderita luka parah. Apakah itu bukan suatu perbuatan jantan tulen? Manusia semacam dia, sukar kita jumpai lagi. Karena itu aku menghormati dan mengagumi."
Titisari menatap wajah Sangaji. la menghela napas dan wajahnya tiba-tiba nampak berprihatin.
"Itulah sebabnya engkau kupilih. Itulah sebabnya pula aku tak boleh meninggalkan dirimu lama-lama. Aji, ah, Ajiku... Kau seorang pemimpin besar yang harus membina perjuangan rakyat Jawa Barat. Engkau pulalah pemimpin para Raja Muda Himpunan Sangkuriang dan orang-orang gagah di seluruh bumi Pasundan. Mengapa engkau bisa dikelabui dan ditipu seseorang dengan cara begitu mudah?"
"Ditipu? Siapa yang menipu aku?"
Sangaji tambah tak mengerti.
"Daniswara. Siapa lagi?"
"Daniswara?"
"Benar. Paman Gagak Seta pun kena ditipunya pula. Hebat! Hebat dia! Dihari terang-benderang begini, ia bisa menipu dua pendekar besar pada zaman ini dengan sekaligus. Hebatnya lagi, baik kau maupun Paman Gagak Seta belum juga sadar sampai kini. Hm, hm.... benar- benar kau belum tersadar juga? Bukankah engkau melihat dengan terang benderang?"
"Aku dan guru kena tipunya?"
Sangaji berjingkrak.
"Dengan sekali gerak saja Paman Gagak Seta dapat membinasakan empat orang jago dan melukai seorang pendekar seperti Wira Kuluki,"
Kata Titisari menerangkan.
"Andaikata Daniswara memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada ilmunya sekarang, dia pun tak dapat lolos dari serangan balasan Paman Gagak Seta yang dahsyat. Menghadapi kenyataan demikian, siapa saja akan berpikir untuk memilih dua jalan. Melawan dengan tekat mati atau minta ampun dengan bertekuk lutut."
Sangaji mengangguk menyetujui. Dan Titisari meneruskan.
"Mereka kenal, siapa Gagak Seta. Itulah seorang ksatria besar yang benci kepada perbuatan licik dan sikap pengecut. Mereka datang untuk merebut surat wasiatku, surat wasiat Bende Mataram yang tiada keduanya di dunia. Paman Gagak Seta pasti tidak akan membiarkan seorang pun lolos dari tangannya. Karena gurumu itu mempunyai kepentingan besar. Ialah. dirimu."
"Diriku?"
Sangaji terharu.
"Tentu saja, tololku. Guru di seluruh dunia ini akan sangat bangga dan berbesar hati, manakala muridnya menjadi manusia satu-satunya di dunia. Sebab namanya akan ikut naik tinggi pula. Bukankah begitu, tololku?"
Sangaji tersenyum. Memang semenjak dahulu, dia di sebut si tolol oleh Titisari yang nakal. Bagi pendengarannya, alangkah nikmat. Untuk kenikmatan itu, dia tersenyum.
"Karena itu, walaupun Daniswara bersedia berlutut dan bersembah mengangguk-anguk sampai ratusan kali "Paman Gagak Seta tidak bakal mengampuni jiwanya,"
Kata Titisari melanjutkan.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, benar-benar Daniswara seorang manusia luar biasa. Pada detik itu, otaknya yang cerdas memperoleh suatu jalan kemungkinan satu- satunya. Yaitu. ia harus berlagak seorang ksatria tulen dihadapan pendekar besar Gagak Seta yang berwatak laki-laki sejati. Sangaji! Meskipun aku senang menyebutmu dengan si tolol, tapi sesungguhnya engkau bukan tolol dengan arti sebenarnya. Otakmu cerdas dan cermat. Kalau tidak, masakan bisa mewarisi ilmu tersakti di dunia dan kini dapat memimpin seluruh Raja Muda Himpunan Sangkuriang di Jawa Barat. Coba, kau melihat apa? Mustahil penglihatanmu bisa dikelabui lama-lama..."
Hebat teka-teki Titisari yang ditumpukan kepada otak Sangaji yang lamban.
Pemuda itu lantas saja berdiri dengan terlongong-longong.
la percaya, keterangan Titisari pasti mempunyai dasar yang kuat.
Sebaliknya sikap Daniswara yang benar-benar jantan, menyangsikan kekacauan Titisari.
Ah, masakan Daniswara hanya berlagak? Apakah buktinya? "Baikiah, aku akan mengajukan suatu pertanyaan kepadamu,"
Titisari memutuskan. Sewaktu dia lagi berbicara dengan Paman Gagak Seta, bagaimana sikap tangan dan kakinya?"
Sangaji tertegun, tak dapat ia menjawab pertanyaan Titisari.
Waktu Daniswara berbicara dengan gurunya, ia hanya memperhatikan wajahnya dan paras muka gurunya.
Sama sekali ia tidak mengindahkan sikap kedua tangan dan kedua kaki pemuda itu.
Tentu saja ia melihat, tetapi seperti tak melihat.
Dan sekarang, setelah Titisari mengemukakan pertanyaan itu, terbangunlah ingatannya.
Di depan matanya muncul kembali bayangan Daniswara tatkala berbicara dengan gurunya.
Segera ia mengerahkan ingatannya.
Bayangan kaki dan tangan Daniswara dicetaknya kembali dalam benaknya.
Selang beberapa saat kemudian, mendadak ia kaget.
Katanya bergumam.
"Ya, benar. Ingatlah aku sekarang. Tangan kanannya terangkat sedikit, sedang tangan kirinya melintang di depan dadanya. Ha! Inilah gaya gerakan ilmu kepandaian sang Dewaresi dahulu di gedung pesanggrahan Desa Gebang... Kakinya? Hai, benar! Kedua kakinya menduduki jurus Kala Lodra, ilmu sakti pendekar Kebo Bangah. Inilah gerakan kaki Kebo Bangah apabila sedang bertempur melawan Guru. Apakah dia bermaksud melawan Guru, meskipun mulutnya sudah berkata hendak mengganti keselamatan Wira Kuluki dengan jiwanya sendiri? Tapi... Ah, mustahil! Mustahil dia mempunyai kepercayaan bisa melawan Guru, manakala Guru benar-benar bermaksud mengambil jiwanya...."
Titisari tertawa manis sekali.
"Aji! Pengetahuanmu tentang hati manusia, benar- benar sangat menyedihkan. Inilah disebabkan hatimu sangat sederhana dan mulia."
"Hayoooo Kau mau menggoda apalagi?"
Potong Sangaji.
"Bukan! Masakan aku menggodamu. Kau memang seorang berhati mulia. Karena itu, aku memilihmu,"
Sahut Titisari dengan wajah bersemu dadu. Kemudian cepat-cepat mengembalikan persoalan. Katanya menggurui.
"Betapa tinggi ilmu Daniswara, dia pun sadar takkan mampu menangkis gempuran Paman Gagak Seta. Jika demikian, sikap tangan dan kakinya itu dipersiapkan untuk siapa? Hayo coba terka!"
Sangaji sesungguhnya bukan manusia tolol.
Karena hatinya memang mulia, ia menganggap manusia ini sama mulianya dengan dirinya sendiri.
Itulah sebabnya, ia tak melihat kebusukan Daniswara.
Tetapi begitu disadarkan, segera ia dapat memecahkan teka- teki itu.
Pada saat itu, ia merasa dirinya seakan-akan kena terguyur angin dingin sampai paras mukanya menjadi pucat.
"Ya, Tuhan.... Celaka!"
Ia mengeluh saking kagetnya.
"Sekarang aku mengerti.... la akan menendang tubuh Wira Kuluki yang berada di depannya. Sedang kedua tangannya dipersiapkan untuk menubruk Fatimah... Tetapi mengapa begitu? Mengapa begitu?"
"Benar. Apakah kau baru tersadar?"
Titisari tersenyum.
"Memang, dalam saat terpaksa, ia akan menendang Wira Kuluki ke arah Paman Gagak Seta. Berbareng dengan itu, ia akan menubruk Fatimah dan dilemparkan pula ke arah Guru. Dengan tipu demikian, ia akan memperoleh kesempatan untuk melarikan diri. Itulah kemungkinan satu-satunya. Kemungkinan, kataku. Sebab belum tentu dia berhasil. Tetapi kecuali itu, tiada jalan lain yang lebih baik. Andaikata aku menghadapi saat kritis demikian. Aku pun akan berbuat begitu juga. Sampai pada saat ini, belum aku memperoleh jalan yang lebih baik. Ah, benar-benar luar biasa! Bahwa dalam sekejap mata, dia bisa memperoleh tipu begitu hebat membuktikan betapa licin dan cerdas dia."
Setelah berkata demikian, Titisari menghela napas kagum.
Dengan hati berdebaran, Sangaji mendengarkan keterangan.
Semenjak kanak-kanak, entah sudah berapa puluh kali ia berjumpa dengan manusia-manusia licin dan cerdik luar biasa.
Namun manusia sehebat Daniswara, belum pernah ia berjumpa.
Sesudah tertegun karena rasa kagum dan kaget, akhirnya ia berkata perlahan.
"Titisari.... Kau pun hebat pula. Dengan sekali melirik, engkau sudah dapat melihat tipu-muslihatnya yang luar biasa. Itulah suatu bukti, bahwa engkau lebih unggul dari dia."
"Ih! Kau mengejek aku?"
Tungkas Titisari dengan wajah merah tua.
"Kalau kau takut kepadaku, nahkau pergilah jauh-jauh dari-ku...."
Sangaji tertawa.
"Otakmu cemerlang, tapi tidak beracun. Selamanya aku tak pernah melihat kejahatanmu."
"Belum tentu!"
Kata Titisari cepat.
"Coba kau berani meninggalkan aku benar-benar, pasti kau akan kuracuni."
"Mengapa begitu?"
Sangaji terkejut.
"Hidup tanpa engkau, apakah artinya? Itulah sebabnya aku memburumu sampai ke Jawa Barat. Seumpama kau pergi keseberang dunia, aku pun akan menyusulmu."
Terharu hati Sangaji mendengar pengakuan Titisari yang memang berhati polos. Itulah suatu tanda rasa cinta kasih yang besar luar biasa. Terus saja ia memeluknya dengan rasa penuh syukur.
"Hai, apa-apaan nih?"
Tegur Titisari nakal.
"Masakan di tengah jalan? Hm, kau ini memang benar-benar tolol. Apakah kau belum tersadar juga, bahwa gurumu Paman Gagak Seta akan menghadapi lawan tangguh lagi...."
"Lawan tangguh lagi? Siapa?"
Sangaji kaget.
Titisari tiada menjawab.
Tapi dengan menjejak tanah ia lari mengarah ke timur laut, Sangaji segera mengikuti.
Ia merasa heran dan aneh.
Bukan lagak lagu Titisari, tetapi mengenai gurunya.
Gurunya semenjak mudanya terkenal sebagai pendekar, seumpama seekor harimau hanya terdengar suaranya tetapi tiada tubuhnya.
Gerak- geriknya sukar diduga-duga.
Dia bisa datang dan pergi seperti iblis.
Tapi kali ini, mengapa mengubah adat? Dia seperti terkait dan merasa tak leluasa lagi terhadap Nenek Sirtupelaheli.
Mengapa demikian? Dengan pikiran itu, sampailah ia pada suatu ketinggian.
Dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang berdiri di antara dua batu raksasa.
Pastilah itu gubuk Sorohpati.
Sangaji ingin segera menghampiri.
Tiba-tiba Titisari mencegahnya.
"Jangan dulu!"
"Mengapa? Kalau kau takut, biarlah aku sendiri."
Sangaji heran.
"Hmmeskipun maksudmu baik, tetapi aku tak bakal mengijinkan."
"Mengapa?"
"Entahlah. Nenek Sirtupelaheli sukar ditebak maksudnya. Disamping itu masih ada pula Daniswara. Apakah kau mengira, dia benar-benar pergi? Hm, belum tentu. Dan munculmu dengan tiba-tiba akan menyukarkan gurumu Paman Gagak Seta dan..."
"Dan siapa?"
Titisari tertawa geli. Sahutnya tak pedulian.
"Itumu."
"ltuku siapa?"
Sangaji gelisah dan dengki.
"Bibi kita, Fatimah."
Sangaji terhenyak, la tertawa geli. Namun keras keinginannya hendak segera menemui gurunya. Karena itu, ia mencoba memperoleh keterangan Titisari. Tanyanya minta penjelasan.
"Kau berkata, bahwa kedatanganku akan menyukarkan Guru. Bagaimana bisa begitu?"
"Eh, apakah kau tak mengenal tabiat gurumu?"
Titisari menyesali.
"Sekali dia sudah mengijinkan Sirtupelaheli dan Daniswara berbicara. Tetapi tidak untuk yang kedua kalinya. Dan disinilah justru kita bakal memperoleh keterangan siapa mereka berdua sesungguhnya dari si- kap Paman Gagak Seta sebentar nanti,"
Kata Titisari. Tiba-tiba ia berhenti berpikir. Kemudian memutuskan.
"Baiklah. Kau boleh pergi seorang diri. Aku pun akan berada di sebelah sana. Hanya saja, kurasa kali ini engkau harus bersiaga. Bawalah pedang Sokayana. Barangkali ada gunanya."
Sesudah berkata demikian, Titisari melemparkan pedang Sokayana yang selalu dibawanya.
Kemudian melesat mendahului mengarah dibalik gundukan.
Dengan jantung memukul, Sangaji menerima pedang Sokayana.
Semenjak Titisari berada di Jawa Barat, ia menghadiahkan pedang itu kepadanya untuk menolongnya berlatih menghimpun tenaga sakti.
Untuk kaum pendekar, pedang Sokayana adalah merupakan benda mustika tiada tara.
Sekarang pedang tersebut diberikan kepadanya.
Itulah suatu ramalan, bahwa dia bakal menghadapi suatu kejadian yang pelik.
Tak mengherankan, jantungnya memukul dan kepalanya penuh dengan teka-teki.
Setelah menyisipkan pedang Sokayana dipunggungnya, dengan menggunakan ilmu berlari ringan Sangaji mendaki mengarah utara.
Dia pun menelan gerak-gerik Titisari yang menghampiri bukit secara tak langsung.
Teringat kepada Manik Angkeran, timbullah dugaannya bahwa padepokan Sorohpati pasti pula banyak ragam serba bisa serta racun.
Seperti diketahui Manik Angkeran adalah murid tabib sakti Maulana Ibrahim yang selain seorang ahli obat-obatan juga seorang ahli racun.
Tiada mustahil bahwa Manik Angkeran pandai membuat racun dan bisa pula.
Karena Sorohpati adalah ayahnya, kemungkinan besar ia mempersembahkan ilmu kepandaiannya kepadanya.
Sangaji tiada takut kepada racun atau bisa betapa jahatnya.
Itulah disebabkan getah sakti Dewadaru mengalir dalam tubuhnya.
Tapi daripada akan memperoleh kesukaran, lebih baik ia berhati-hati.
Maka setiap kali meloncat, kakinya mendarat pada batu-batu yang menconggakkan diri.
Gubuk Sorohpati sudah nampak jelas kini.
Ia lantas berhenti dan menunggu.
Waktu itu matahari sudah condong ke barat.
Karena awan hitam nampak membayangi udara, suasana alam cepat sekali nampak suram.
Selagi berbimbang-bimbang, telinganya yang tajam mendengar suara langkah.
Segera ia mendekam.
Kemudian merangkak maju mendekati gubuk.
Tiba-tiba suara langkah itu lenyap.
Secara kebetulan angin meniup keras dan sedang membungkuk-bungkukkan mahkota daunan sehingga menerbitkan suara gemersak.
Inilah suatu tanda bahwa hujan sebentar lagi akan turun atau jatuh sebaliknya.
Sangaji tidak memedulikan ancaman alam.
Dengan menggunakan kesempatan itu, ia melesat mendekati datangnya suara langkah tadi yang tiba-tiba menghilang.
Sewaktu hampir tiba di dekat dua batu raksasa, ia mendengar suara orang sedang berbicara berbisik.
"Fatimah! Kenapa kau berdiam saja semenjak tadi?"
Sangaji kaget. Itulah suara Sirtupelaheli. Cepat-cepat ia merandek sambil menahan napas. Ia memasang telinganya tajam-tajam mengikuti pembicaraan itu. Terdengar Fatimah menyahut dengan nada prihatin.
"Bibi.... Gubuk ini, adalah gubuk calon mertuaku. Kalau aku berbuat yang tidak-tidak.... Bukankah berarti aku berani menentang orang tua?"
Sirtupelaheli tertawa perlahan di antara batuknya.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh! Semenjak kapan adatmu berubah? Sorohpati itu manusia macam apa sampai kau merasa hormat kepadanya? Toh, dia belum jadi orang tuamu."
Fatimah tiada menjawab. Dan Sirtupelaheli berkata lagi.
"Coba jawab, aku ini siapa?"
"Bibi, puteri seorang bupati. Adik Gusti Ayu Mangkarawati. Bibi Pangeran Diponegoro."
"Bagus! Kau sudah mengerti. Mana yang lebih terhormat, aku ataukah Sorohpati?"
"Tentu saja.... Ah, dalam hal ini tak berani aku menjatuhkan pilihanku. Baik Bibi maupun Paman Sorohpati, kuhormati dengan setulus hatiku."
Mendengar pembicaraan mereka, terbangunlah ingatan Sangaji.
Yang disebut Pangeran Diponegoro adalah Pangeran Ontowiryo, dahulu tunangan Retnaningsih.
Puteri ini adalah murid paman gurunya, Suryaningrat.
Juga Fatimah murid Suryaningrat.
Teringat betapa rapat hubungannya antara Fatimah dan Retnaningsih, samar-samar ia seperti mengerti.
Hanya saja kurang jelas.
Hal itu disebabkan dengan hadirnya Nenek Sirtupelaheli.
"Fatimah! Benar-benarkah engkau mencintai Manik Angkeran anak Sorohpati? Hm... hm! Mana Bisa kau mengelabuhi aku,"
Kata Sirtupelaheli dengan berbatuk- batuk.
"Hayo! Bukankah engkau ingin mengabdikan dirimu kepada anakku, Diponegoro? Coba bilang tidak!"
"A... Aku...? Mana berani aku begitu! Pangeran Diponegoro adalah suami saudara-seperguruanku, Puteri Retnaningsih,"
Jawab Fatimah sulit. Sekonyong-konyong terdengar suara tamparan. Lalu Sirtupelaheli membentak.
"Kalau kau berhati jujur, apa sebab engkau mempelajari ilmu racun? Bukankah engkau bermaksud hendak meracuni Retnaningsih?"
Hebat tuduhan ini.
Jangan lagi Fatimah, Sangaji pun merasa telinganya pengang.
Inilah disebabkan ia teringat akan kata-kata gadis itu tatkala mengantarkan keberangkatannya ke Jakarta.
Fatimah membicarakan perkara kekasihnya yang bercita-cita menjadi seorang raja dan juga perkara racun.25) Apakah yang dimaksudkan Pangeran Ontowiryo yang kini bergelar Pangeran Diponegoro? Mustahil! Meskipun demikian, Fatimah tak terdengar membantah, la hanya mengerang kesakitan.
"Pikirkan masak-masak! Kalau perbuatanmu ini kubongkar dihadapan Retnaningsih, apakah jadinya?"
Ancam Sirtupelaheli.
"Sebaliknya, kau hanya kusuruh minta surat wasiat itu dari murid Sorohpati. Untuk siapa surat wasiat itu? Sesungguhnya hendak kupersembahkan kepada anakku, Pangeran Diponegoro. Jika engkau benar-benar bersih hati. Nah, tunjukkan buktinya kepadaku, ketulusan hatimu kepadaku."
"Bibi, tak dapat aku berbuat begitu,"
Sahut Fatimah dengan suara mengeluh.
"Binatang!"
Bentak Sirtupelaheli.
"Kalau begitu, perlu apa aku menghidupi engkau? Tahukah engkau, apa sebab surat wasiat itu harus jatuh ketangan anakku Diponegoro? Ini demi cita-cita negara dan bangsa. Lihat, ayahnya Hamengku Buwono III wafat sebelum waktunya. Juga kakeknya Sultan Sepuh. Mahkota sekarang kosong. Yang dicalonkan adalah seorang kanak-kanak lemah, Pangeran Jarot. Kau belum juga menyadari bahaya ini?"
Fatimah tak segera menjawab. Selang beberapa saat lamanya, ia terdengar berkata perlahan.
"Tak dapat. Bibi, tak dapat aku berbuat begitu."
Sangaji tersenyum mendengar jawaban Fatimah. Inilah watak gadis itu yang dikenalnya dahulu. Sekali berkata tidak, dia pasti akan tetap membandel biar mendapat siksaan betapa berat pun.
"Mengapa tidak? Mengapa tidak?"
Sirtupelaheli kuwalahan.
"Jangan-jangan... Surat wasiat itu akan Bibi serahkan kepada Patih Danureja IV atau Paman Tumenggung Pringgadiningrat atau Paman Tumenggung Mertanegara. Kalau sampai demikian... Bagaimana kau berbicara dengan anak-anakku Titisari dan Sangaji."
Tercekat hati Sangaji mendengar keterangan Fatimah mendengar pula namanya disinggung-singgung.
Sekonyong-konyong ia mendengar bentakan Sirtupelaheli.
Suara tamparan kemudian menyusul.
Sesudah Fatimah mengerang kesakitan, ia menghela napas panjang.
Dewasa itu, Sultan Sepuh Hamengku Buwono II telah lama ditawan dan dibuang ke Penang oleh Pemerintah Inggris.
Kemudian dipindah ke Ambon.
Kanjeng Raja diangkat kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggal 28 Juni 1812.
Untuk jasa ini, Sultan Hamengku Buwono III kehilangan haknya atas tanah- tanah di Kedu, Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan.
Dalam usia 43 tahun, Beliau wafat pada tanggal 3 November 1814.
Sebagai penggantinya, Pemerintah Inggris memilih Pangeran Jarot yang baru berumur 10 tahun (lahir tanggal 3 April 1804) Tata pemerintahan diserahkan kepada Dewan Perwakilan yang terdiri dari Patih Danureja IV, Tumenggung Pringgadiningrat dan Tumenggung Mertanegara.
Akan tetapi Pemerintah Inggris tidak setuju.
Yang dipilihnya adalah Pangeran Natakusuma seorang untuk menjadi wali Sultan.
Hal ini ada sebabnya.
Karena Pangeran Natakusuma pernah membuat jasa terhadap Pemerintah Inggris tatkala berperang melawan Sultan Sepuh.
Inggris menghadiahi sebagian tanah Sultan dan memberinya gelar Paku Alam I pada bulan Maret 1813.
Dan semenjak itu, terjadilah pertentangan-pertentangan hebat di dalam kalangan keluarga raja.
Mereka saling menggunakan tipu muslihat, fitnah dan racun.
Sangaji pada saat-saat itu berada di Jawa Barat.
Tidak mengherankan bahwa ia belum mengetahui perkembangan di wilayah Kerajaan Yogyakarta.
Hanya saja, sebagai seorang yang pada saat itu mengendalikan tata perjuangan di Jawa Barat, ia merasa curiga mendengar Fatimah kena tamparan setelah menyebut- nyebut serentetan nama.
Diluar dugaan, tiba-tiba ia mendengar suara Sirtupelaheli berubah menjadi sabar.
Kata nenek itu.
"Baiklah. Kau memang benar-benar mencintai anak Sorohpati tak apalah, meskipun sebenarnya aku mempunyai rencana sendiri. Bakal mertuamu Sorohpati, mestinya orang baik-baik. Anaknya pun pasti demikian pula. Ingatlah Fatimah, tunanganmu, Manik Angkeran kini berada di Jawa Barat. Kalau dia pulang kemari, mes- tinya akan membawamu ke Jawa Barat. Karena itu, perlu apa engkau berpusing-pusing perkara surat wasiat? Sebaliknya, anakku Pangeran Diponegoro memerlukan wasiat itu demi keselamatan bangsa dan negara. Kalau tidak, Pangeran Jarot bakal menjadi raja boneka belaka. Kau pertimbangkan hal ini. Apakah engkau sampai hati, bila rajamu sampai menjadi boneka? Sebaliknya kalau kau bisa membawa surat wasiat itu... hm... setidak- tidaknya engkau terhitung sebagai wanita yang berjasa bagi kebangunan bangsamu...."
Fatimah menghela napas. Lama sekali ia berdiam diri. Sekonyong-konyong dia berkata.
"Tapi surat wasiat itu kini sudah berada di tangan pendekar Gagak Seta."
"Jangan banyak mulut! Bawa kemari kaleng itu!"
Bentak Sirtupelaheli.
Sangaji melongokkan kepalanya.
Tiba-tiba bulu kuduknya meremang.
Lapangan didepannya nampak berasap setelah Sirtupelaheli menuangkan isi kalengnya.
Itulah suatu racun yang hebat.
Kalau begitu, nenek itu sudah bersiaga untuk bertempur.
Karena merasa diri belum tentu bisa memenangkan Gagak Seta, ia menebarkan racun di seluruh lapangan.
Kemudian dia hendak menantang Gagak Seta agar bertempur di atas tanah beracun itu.
Dia sendiri sudah barang tentu telah bersiaga untuk melawan racun.
Sebaliknya begaimana dengan Gagak Seta? Mengingat kasih sayang gurunya Gagak Seta terhadap dirinya, darahnya lantas saja mendidih menyaksikan kejahatan dan kebusukan hati nenek itu.
Teringat akan masalah yang mengehantui, ia jadi menyesal.
Mengapa orang ini mendadak jadi linglung begitu mendengar guratan rahasia ilmu sakti berada dalam surat wasiat Titisari? "Benarlah kata Ibu dahulu,"
Kata Sangaji di dalam hati.
"Benda keramat itu akan menerbitkan suatu kekeruhan saja. Karena itu aku menghancurkannya. Eh tak tahunya, Titisari membuat gara-gara lagi."
Hati-hati Sangaji merangkak-rangkak maju.
Makin mendekat, makin terasa hatinya seperti terguyur air dingin.
Tanah yang tadi nampak menguap, kini tiada tanda-tandanya lagi.
Benar-benar hebat racun itu.
Nenek Sirtupelaheli dan Fatimah nampak mengenakan sepatu.
Dengan demikan, meraka berdua bebas dari hawa tanah.
Ah, benar-benar jahat.
Tatkala melihat wajah Fatimah yang matang biru, ia jadi iba.
Fatimah dikenalnya sebagai gadis setengah liar, karena wataknya angin-anginan.
Tetapi terhadap orang tua itu, ia mati kutu.
Pastilah ada sebabnya yang beralasan kuat.
Alasan apakah itu, sampai sekarang Sangaji belum jelas.
Sangaji adalah seorang yang sangat sabar.
Tapi darahnya sekarang meluap-luap.
Dengan mati-matian ia mencoba menguasai pergolakan hatinya.
Ia sadar bahwa sekali mengumbar nafsu akan merusak urusan besar yang sedang bermain di depan matanya.
"Nenek itu memanggil adik terhadap guru. Pastilah dahulu mempunyai hubungan yang sangat erat. Sekarang biarlah mereka berdua bertengkar dahulu. Baru aku muncul. Hari ini hidupku membuka mataku untuk melihat tontonan yang pasti menarik. Nenek ini terus menerus membawa-bawa nama Pangeran Diponegoro. Benarkah hatinya setulus ucapannya?"
Setelah mengambil keputusan demikian, hatinya menjadi tenang kembali.
Segera ia bersender pada batu dengan melindungi dirinya dengan gerombol rumpun alang-alang.
Angin yang semenjak tadi membawa berita hujan, datang lagi dengan sangat keras.
Tiba-tiba telinga Sangaji yang tajam luar biasa, mendengar suatu suara seperti jatuhnya selembar daun.
Kaget Sangaji mendengar suara seringan itu.
Kalau suara ini suara langkah kaki pastilah orang itu berkepandaian sangat tinggi.
Segera ia mengelanakan pandang.
Pada saat itu, ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan.
Segera ia mengenalnya.
Itulah Daniswara yang datang dengan membawa sebatang golok panjang.
Golok itu sangat tipis.
Bentuknya agak melengkung dan dibungkus dengan kain tipis pula.
Menyaksikan lagak-lagunya, diam- diam Sangaji memuji ketajaman penglihatan Titisari.
Pikirnya di dalam hati.
Benar-benar dia bukan manusia baik.
Aku harus berwaspada.
Mendadak terdengar Nenek Sirtupelaheli berseru tinggi.
"Adikku Gagak Seta! Anjing yang tak kenal terima kasih tadi, datang kembali."
Sangaji terkejut. Nenek Sirtupelaheli benar-benar tak boleh dibuat gegabah. Pikirnya di dalam hati.
"Jangan- jangan dia sudah mengetahui kedatanganku semenjak tadi."
Ia melihat Daniswara merebahkan diri di atas rerumputan tanpa berani bergerak.
Sejenak kemudian, maju merayap dengan sangat hati- hati kira-kira dua puluhan langkah ke depan.
Melihat hal itu, ia maju pula mendekati Nenek Sirtupelaheli untuk menjaga kemungkinan terjadinya penyerangan gelap terhadap gurunya.
Pada saat itu Gagak Seta muncul dari dalam gubuk dengan mengucak-ucak matanya sambil menguap beberapa kali.
Katanya bermalas-malasan.
"Kenapa kau mengganggu orang lagi tidur?"
"Adikku!"
Sahut Sirtupelaheli.
"Kau percaya kepada orang lain, sebaliknya mencurigai aku. Lihatlahtadi siang kau melepaskan Daniswara. Tapi sekarang dia balik kemari lagi."
Kembali lagi Gagak Seta menguap lebar. Berkata di antara uapnya.
"Alrtupah! Tombak terang gampang dikelit. Tapi anak-panah gelap sukar dijaga. Hm, puluhan tahun Gagak Seta malang-melintang seorang diri. Selama itu, aku sering menderita karena perbuatan kawan sendiri yang menusuk dari belakang. Itulah termasuk kau pula. Kalau Daniswara mau mencari aku, biarlah dia mencari aku. Kau tak usah berpura-pura berbaik hati kepadaku."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa kau mencurigai aku?"
Sirtupelaheli bergusar. Gagak Seta tertawa terbahak-bahak selintasan.
"Bocah yang mengikuti engkau saja, semenjak tadi menaruh curiga kepadamu. Apa lagi aku..."
Sirtupelaheli terkejut. Teringat akan pembicaraannya tadi, sadarlah dia bahwa Gagak Seta sudah mendengar dengan terang. Teringat pula akan racunnya, diam-diam ia mengeluh. Cepat ia mencoba mengatasi.
"Jangan kau dengarkan omongan yang bukan-bukan. Anak ini cuma seorang gadis yang kebetulan kupungut di tengah jalan. Betapa aku mencoba mengangkatnya, tetapi loyang tetap loyang."
"Hm,"
Dengus Gagak Seta.
"Adikku! Kau dengarkan aku!"
Sirtupelaheli mengalihkan pembicaraan.
"Kau sendiri pasti tahu, bagaimana sikap kaki dan tangan binatang Daniswara, tatkala lagi berbicara gagah kepadamu. Bukankah dia berhati palsu?"
Setelah berkata demikian, Sirtupelaheli tertawa nyaring tinggi.
Kaget Sangaji mendengar ucapannya.
Pikirnya, kalau begitu nenek itu benar-benar hebat pula.
Kelicinannya tak beda dengan Daniswara sendiri.
Kata-katanya membuktikan pula, bahwa ia memiliki otak cemerlang seperti Titisari.
Sebaliknya Gagak Seta tiada berubah sikapnya.
Hanya wajahnya tiba-tiba nampak bersunguh-sungguh.
Tangannya meraba saku, mengeluarkan kain hitam yang segera dibebatkan pada kedua belah matanya.
Aneh perbuatannya.
Sebelum Sangaji tahu maksudnya, ia mendengar Gagak Seta berkata angker.
"Sirtupah, tak usah kau berkata aku pun masakan tidak tahu. Tetapi aku seorang laki-laki. Selamanya membiasakan diri menghargai kata-kata ucapan seorang laki-laki pula. Sebaliknya, aku hanya heran terhadap sikapmu. Terang-terangan kau sudah mengerti maksud busuknya. Mengapa kau berdiam saja? Maka teranglah, se- sungguhnya kau menggenggam maksud apa terhadapku. Hm, hm! Kalau begitu, kau pun menganggap enteng Gagak Seta. Lihat, sekarang semuanya sudah kasep. Aku telah mengenakan pita hitam untuk menutupi kedua mataku. Artinya, aku sudah tidak mengenal sahabat atau golongan sendiri."
Sesudah berkata demikian, tiba-tiba ia melesat cepat luar biasa. Tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan Daniswara. Dengan sekali menggerakkan tangan kirinya, ia merampas golok bengkok. Sedang tangan kanannya mencengkeram leher Daniswara. Bentaknya.
"Binatang! Aku bisa mengambil nyawamu segampang memutar leher ayam. Tetapi aku sudah meluluskan engkau untuk belajar sepuluh dua puluh tahun lagi agar dikemudian hari bisa menuntut balas kepadaku. Dengan kejadian ini, engkau kuberi waktu lima tahun. Pada saat itu manakala aku bertemu dengan dirimu, engkau hanya mempunyai dua pilihan. Kalau mampu kau harus melawan aku mengadu kepandaian sampai mampus. Sebaliknya, kalau kau merasa diri belum mampu, kau harus pergi cepat- cepat sebelum aku melihatmu. Sebab kalau mataku sampai melihat, aku akan membunuhmu."
Setelah berkata demikian, ia mengangkat tubuh Daniswara dan dilontarkan.
Apa mau, Daniswara justru melayang hendak menjatuhi tanah yang sudah tersiram racun.
Keruan Sirtupelaheli kaget setengah mati.
Kalau Daniswara sampai jatuh di atas tanah jebakan itu, artinya rencananya gagal.
Secepat kilat ia melompat dan memukul punggung Daniswara dengan tongkatnya.
"Pergi!"
Bentaknya.
""Aku pun benci kepadamu."
Kena pukulan Sirtupelaheli, Daniswara terpental tinggi dan tubuhnya melayang keluar tanah beracun. Terdengar Sirtupelaheli membentak lagi.
"Kamu kumpulan binatang berpura-pura menjadi pembantu Sultan Sepuh dengan melindungkan diri dibawah panji-panji Tunggul Wulung. Uh, uh, uh! Masakan aku bisa kalian ingusi? Kau bawalah bala-bantuan untuk mencari aku. Nih, biar aku menghadiahi sebatang senjata bidikanku."
Dengan sekali gerak, Sirtupelaheli menyambitkan sebuah benda yang berkeredep kuning keemas-emasan.
Dan menancap pada urat leher Daniswara.
Sangaji tertegun menyaksikan kelicinan nenek itu.
Pikirnya, dilihat sepintas lalu, dia seperti membantu guru.
Tetapi sebenarnya ia bergulat demi kepentingannya sendiri.
Dia perlu memukul urat leher Daniswara untuk menjaga mulut pemuda itu kalau-kalau membuka rahasianya.
Ah, benar-benar licin! Untunglah; begitu kena senjata bidik, Daniswara lari lintang-pukang turun bukit, sejenak Sangaji mengawaskan kepergiannya.
Kemudian kembali mengintip wajah Gagak Seta yang nampak angker.
Pada saat itu, ia benar-benar kagum kepada kegagahan gurunya.
Dia sendiri sudah memiliki ilmu sakti tertinggi dijagad.
Namun dibandingkan dengan kecerdikan gurunya ia merasa kalah.
Katanya di dalam hati.
"Tahulah aku sekarang, apa sebab guru belum mening- galkan Nenek Sirtupelaheli? Dia berpura-pura ber- musuhan dengan Daniswara, tetapi sebenarnya bidikan hatinya kepada si nenek. Guru merasa curiga, hanya saja belum memperoleh bukti. Tetapi sekarang pastilah lain."
Memang benarlah pendapat Sangaji.
Gagak Seta bukanlah seorang pendekar lumrah.
Namanya sejajar dengan Adipati Surengpati dan Kebo Bangah yang terkenal serba pandai, licin dan licik.
Karena itu, sudah barang tentu mengetahui belaka sikap tangan dan kaki Daniswara tatkala berbicara kepadanya.
Hanya saja ia berpura-pura goblok.
Tetapi sebenarnya justru lagi menjebak Sirtupelaheli.
Sekiranya Sirtupelaheli masih mengingat hubungan lama, pastilah dia bakal memberi peringatan kepadanya.
Sebaliknya, tidak.
Untuk meyakinkan lagi, Gagak Seta membuat gerakan diluar dugaan.
Sengaja ia melemparkan tubuh Daniswara ke arah Sirtupelaheli.
Tetapi tidak langsung mengarah tempatnya.
Sebaliknya hanya dilemparkan sekeliling tempat beradanya.
Karena takut ketahuan rahasianya, cepat-cepat Sirtupelaheli mengadakan reaksi.
Justru hal itu, malahan membuka kedoknya.
Dan sebagai seorang pendekar besar yang cukup berpengalaman, Gagak Seta lantas saja tertawa terbahak-bahak dengan mendongak ke udara.
"Ah! Guru benar-benar manusia hebat!"
Sangaji kagum dalam hati.
"Nenek Sirtupelaheli boleh merasa diri seorang manusia cerdik, licin dan banyak akal. Tetapi Guru terbukti lebih pandai daripadanya. Titisari pun ternyata dilagaki Guru pula, sehingga mengira Guru belum sadar akan tipu daya Daniswara. Hm, inilah yang dinamakan menggunakan racun untuk melawan racun. Guru, kau benar-benar manusia jempolan!"
Dalam pada itu terdengar Gagak Seta berkata nyaring.
"Sirtupah! Entah berapa banyak manusia busuk di dunia ini seperti Daniswara. Membunuhnya atau tidak bukanlah suatu soal pelik, yang berbahaya sekarang, justru menghadapi engkau."
"Adikku..."
Potong Sirtupelaheli.
"Kita berdua adalah saudara-saudara seperguruan. Sampai sekarang masih aku teringat ucapan Guru yang memuji hari depanmu. Ternyata benar. Menyaksikan ketajaman telinga dan matamu, aku percaya engkau masih bisa malang melintang tanpa tandingan sepuluh tahun lagi...."
"Hm, Sirtupah! Dalam hal kelicinan, kau memang sepuluh kali lipat dari padaku,"
Potong Gagak Seta.
"Tapi lihatlah kedua mataku ini. Bukankah sudah kubebat? Kalau kau masih teringat ucapan Guru, pasti pula masih teringat adat-istiadat perguruan kita. Apa artinya aku membebat kedua mataku dengan kain hitam?"
Tertarik hati Sangaji mendengar pembicaraan itu.
Sadar, bahwa ia lagi menghadapi dua tokoh manusia yang berilmu sangat tinggi, segera ia menggunakan ilmu saktinya yang tertinggi pula untuk meniadakan dirinya.
Sirtupelaheli berbatuk-batuk sekian lamanya.
Lalu berkata menyesali.
"Benar-benarkah engkau akan melupakan saudara seperguruanmu?"
"Kau jawablah yang terang!"
Gagak Seta tidak memedulikan.
"Meskipun kau memanggil diriku adik, sesungguhnya hanyalah disebabkan suatu pertalian keluarga. Kau sepuluh atau lima belas tahun lebih muda dari padaku. Aku ingin minta keteranganmu yang jelas, apa sebab engkau senang memakai topeng yang tak keruan macamnya."
"Ih! Pertanyaanmu ini sungguh memalukan!"
Gerendeng Sirtupelaheli.
"Aku memakai kedok atau tidak, apa pedulimu?"
"Juga terhadap aku?"
"Justru terhadapmu, aku harus memakai topengku kuat-kuat. Karena semuanya ini justru engkaulah yang menyebabkan,"
Jawab Sirtupelaheli.
Sangaji adalah seorang yang berhati sederhana.
Tetapi begitu mendengar serentetan tanya jawab itu, ia seperti bisa menangkap.
Tetapi sebelum mengerti dengan jelas, wajahnya terasa panas.
Dan pada saat itu, ia mendengar Gagak Seta menghela napas prihatin.
Kata pendekar besar itu.
"Sirtupah! Baikiah, aku mengingat hubungan kita dahulu, aku masih mau memberimu peluang untuk sekali ini saja. Hanya saja cobalah kau berbicara yang benar, apa sebab kau ikut-ikutan mengincar surat wasiat?"
"Itulah karena kemenakanku, Pangeran Diponegoro,"
Sahut Sirtupelaheli. Mendengar jawaban itu. Gagak Seta tertawa terbahak- bahak. Lalu berkata dengan bergusar.
"Sirtupah! Benar-benar kau manusia yang tidak seharusnya hidup lama-lama lagi."
Setelah berkata demikian, ia maju selangkah mendekati tanah yang sudah beracun, la berdiam sejenak. Kemudian berkata dengan suara agak lunak.
"Sirtupah! Lihatlah, bahwa engkau sudah menjadi seorang isteri tingkatan atas. Itulah sebabnya pula, kau berhak memanggil aku adik, karena suamimu tingkatan darahnya lebih tua daripadaku. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, betapa engkau dahulu sangat cinta kepadanya. Coba terangkan, apa sebab pada suatu hari suamimu mati dengan mendadak?"
"Eh, manusia manakah yang tidak akan mati?"
Sirtupelaheli bergusar.
"Benar. Manusia ini pasti mati. Tetapi mati dan mati ada bedanya. Suamimu masih segar-bugar. Kutaksir dia masih bisa hidup empat atau lima puluh tahun lagi. Apa sebab tiba-tiba mati tanpa sakit. Bukankah engkau yang meracuni? Hayo, bilanglah!"
"Gagak Seta! Kau ikut-ikutan pula menuduh aku?"
Bentak Sirtupelaheli.
"Lihatlah, aku sampai mengenakan topeng. Untuk apa? Karena aku hampir gendeng kena tuduhan itu. Untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah, aku bersumpah tidak akan kawin lagi. Lalu mengenakan topeng seburuk ini dan berlagak seperti nenek-nenek tua bangka benar-benar. Bukankah aku sudah cukup menyiksa sendiri. Lihat, lihatlah yang terang. Kalau aku berangan-angan membunuh suami sendiri untuk mencari suami yang lain, bukankah wajahku masih lumayan juga? lihat!"
Setelah berkata demikian dengan sekali meng- gerakkan tangan, ia melocoti topengnya.
Sangaji bukan seorang pemuda bongor.
Tetapi karena merasa tertarik, ia melongokkan pandang.
Dan begitu topeng terlocot ia melihat suatu wajah .yang cantik luar biasa.
Sayang dia bukan seorang pemuda yang berpembawaan romantis sehingga tiada dapat melukiskan kejelitaan wajah Sirtupelaheli.
Gagak Seta sendiri tetap berdiri tegak.
Kedua "Lihat! Lihatlah yang terang.
Kalau aku berangan- angan membunuh suami sendiri untuk mencari suami yang lain, bukankah wajahku masih lumayanjuga! Lihat"
Matanya tetap terbebat kencang-kencang. Terang sekali, ia tak sudi melihat wajahnya saudara- seperguruannya lagi. Sesudah menjenak napas, ia berkata.
"Sirtupah! Meskipun kedua mataku terbebat, tetapi jangan khawatir. Masih saja aku teringat akan kecantikanmu. Tapi... Ah! Moga-moga tidaklah benar warta yang pernah kudengar. Kudengar, engkau menutupi mukamu dengan topeng, justru untuk menutupi kebusukan hatimu. Benarkah engkau sudah mengabdikan cintamu kepada almarhum Kanjeng Raja? ) Mendadak dua benda kuning keemas-emasan berkeredep menyambar dada Gagak Seta. Kedua mata Gagak Seta terbebat kain hitam. Walaupun demikian perasaannya yang sudah pekamendengar suara sambaran. Tongkatnya mengibas dan dua senjata rahasia Sirtupelaheli lenyap masuk ke dalam lengan baju. Senjata bidik Sirtupelaheli terbuat dari emas lapisan, sedangkan tongkat Gagak Seta mengandung besi berani. Tak mengherankanbegitu dikibaskankedua senjata bidik Sirtupelaheli kena tertarik. Dan dengan mudah dapat dimasukkan ke dalam lengan baju. Inilah suatu hal yang tak pernah terduga, bahwa tongkat Gagak Seta yang nampaknya tiada berharga sebenarnya merupakan alat penakluk segala macam senjata rahasia. Pantas, Titisari dahulu pernah tertarik. Dengan beruntun, Sirtupelaheli telah melepaskan tujuh sampai delapan senjata rahasianya. Dan semuanya dapat disedot lenyap oleh tongkat Gagak Seta. Tatkala itu, matahari sudah tenggelam. Dalam kemuraman cuaca, senjata rahasia Sirtupelaheli berkeredep seperti kunang-kunang. Sekonyong-konyong, dengan berbatuk-batuk Sirtupelaheli meraup segenggam senjata rahasianya kemudian ditebarkan dengan sekaligus. Dengan bersiul Gagak Seta menyambut serangan itu. Sebagian masuk ke dalam lengan baju. Sebagian lagi menempel pada tongkatnya atau runtuh di atas tanah.
"Sirtupah! Ada tetamu harus dibalas!"
Seru Gagak Seta dengan nada girang.
"Kuingat, selamanya Guru sayang padamu sampai engkau mewarisi senjata rahasia semahal sebuah kota. Aku sih manusia miskin, manusia jembel. Karena kepingin mempunyai senjata bidik pula, pada suatu hari seorang muridku mencarikan bahan yang murah. Itulah biji-biji sawo. Tadinya kusediakan untuk menggebah tabuhan si Kerbau bangkotan27) Eh, biarlah hari ini kucoba untuk menguji ketangkasanmu."
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Pao Kong Karya Yang Lu Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja