Mencari Bende Mataram 20
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 20
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Yang ketiga, Jurang dalam dengan tebingnya yang terjal.
Yang keempat, suatu kisaran air yang bergelombang deras.
Yang kelima, sebuah terusan panjang dan di sana terdapat sebuah danau raksasa.
Yang keenam, suatu tokoh raksasa membawa busur dan pedang dan yang ketujuh, raksasa memanah dengan anak panah pedang tajam.
Lukisan itu makin lama makin menarik perhatian.
Tatkala Manik Angkeran membuka halaman kedelapan nampak suatu coret-coret lagi.
Kali ini melukiskan sebatang pohon raksasa yang terpotong dahannya.
Disana terlihat suatu garis panjang yang melingkar-lingkar.
Garis itu mendadak tiba pada gambar matahari, bulan dan bintang.
Manik Angkeran seorang pemuda yang memiliki kecerdasan.
Akan tetapi tentu saja belum mampu melebihi otak Titisari yang cemerlang luar biasa.
Setelah merenungi delapan halaman bergambar itu tiba-tiba kedua matanya berkilat-kilat.
Lantas berkata kepada Sangaji.
"Kangmas! Pastilah Kangmas pernah melihat gambar ini."
Sangaji mengangguk.
"Bagaimana menurut pendapat Kangmas Sangaji tentang Seratus Jurus yang diucapkan Paman Dipajaya?"
Sangaji mengernyitkan dahinya.
Teringatlah akan ukiran- ukiran yang terdapat pada' keris sakti Kyai Tunggulmanik, segera ia menceritakan pengalamannya.
Kelompok-kelompok ukiran keris sakti itu ternyata merupakan perpaduan himpunan tenaga sakti dan penyalurannya.
Itulah jurus-jurus sakti yang tertinggi di dunia.
Maka tidak mustahil bahwa gambar turunan Titisari itu merupakan rahasia ilmu sakti pula.
Akan tetapi setelah ia mencobanya dalam dirinya tiada terjadi sesuatu.
Ia jadi ragu-ragu.
Tiba-tiba Kilatsih teringat kepada surat Titisari.
Pada halaman belakang, ia menemukan selembar kertas yang terdapat corat-coretnya pula.
"Kangmas sekalian! Tatkala aku mencoba menuruni corat- coret Ayunda Titisari yang kuterima di Dusun Karang Tinalang, mendadak saja tubuhku bergetaran. Hampir-hampir aku jatuh pingsan. Mengapa corat-coret ini justru tidak? Padahal menurut Ayunda Titisari, apa yang kubaca itu, adalah sebagian dari ingatannya tentang gambar yang ditulisnya di dalam surat wasiat ini."
Mendengar kata-kata Kilatsih, Sangaji seperti diingatkan kepada perangai Titisari yang nakal dan cerdik.
Mau tak mau ia tertawa geli.
Merasa diri, tiada gunanya, mencoba memecahkan teka-teki itu, ia membiarkan Manik Angkeran menurun corat-coret surat wasiat.
Sebenarnya pekerjaan menurut gambar itu dapat dikerjakan siapapun juga.
Namun Manik Angkeran tak berani melepaskan perhatiannya kepada ukiran garis pinggir dan titik-titik sudut.
Ia menaruh curiga.
Siapa tahu, bahwa semuanya itu ada maksudnya.
Bukankah Titisari seorang pendekar wanita yang berotak terlalu cemerlang? Maka tidak mengherankan, ia sampai lupa waktu.
Tahu-tahu fajar hari telah tiba.
Pada keesokan harinya, di dalam perjalanan, Kilatsih bertanya kepadanya.
"Bagaimana? Apakah tatkala tanganmu mengikuti gambar yang tertera dalam surat wasiat tidak merasakan sesuatu?"
Manik Angkeran menggelengkan kepalanya.
"Sama sekali aku tidak merasakan sesuatu."
"Kalau benar demikian, mengapa engkau membutuhkan waktu satu malam suntuk?"
Kilatsih menegas.
"Aku menaruh curiga kepada ukiran garis pinggir dan titik- titik sudutnya."
Kilatsih percaya penuh kepada kecerdasan dan kecermatan Manik Angkeran.
Meskipun belum pernah menyaksikan, akan tetapi lewat tutur kata ayundanya Titisari tentang pribadi Manik Angkeran, pada zaman mudanya ia memiliki sifat-sifat liar karena terpengaruh oleh gurunya, si tabib sakti Maulana Ibrahim.
Setelah bergaul dengan Sangaji, hatinya mulai tenang.
Dalam usia kurang lebih tiga puluh enam tahun, pribadinya berkesan masak dan berwibawa.
Pada hari itu mereka tiba di sebuah kota, Sangaji bertiga memasuki sebuah rumah makan yang paling besar.
Itulah sebuah rumah makan milik seorang Tionghoa.
Sangaji memperlihatkan uang sebesar sepuluh ringgit dan diletakkannya di atas meja.
Katanya kepada pemilik rumah makan.
"Inilah sebagai jaminan. Setelah kami selesai makan, hitunglah!"
Ia merasa perlu berbuat demikian, karena pada zaman itu orang-orang asing tidak begitu percaya akan ketulusan hati orang-orang bumi putera.
Apalagi ia, Manik Angkeran dan Kilatsih merasa diri orang-orang asing.
Diluar dugaan, sambutan pemilik rumah makan itu sangat luar biasa.
Orang itu berdiri dengan sikap homat dan mengembalikan uang jaminan.
"Kami sudah merasa bahagia, lantaran tuan-tuan sudi singgah di rumah makan kami yang kecil ini. Apakah artinya semangkok dua mangkok sayur? Kali ini biarlah kami yang menjamu tuan-tuan sekalian."
Heran Sangaji mendengar kata-kata pemilik rumah makan itu. Setelah mengambil tempat duduk, ia berbisik kepada Manik Angkeran.
"Sikapnya sungguh mengherankan! Mengapa dia tidak mau menerima uang jaminan. Bagaimana pendapatmu?"
Manik Angkeran berpaling kepada Kilatsih. Dan Kilatsih membagi pandangannya kepada pakaian yang dikenakan Sangaji, Manik Angkeran dan dirinya sendiri. Pakaian yang dikenakan tidak terlalu berlebihan.
"Memang mengherankan!"
Kata Manik Angkeran sejenak kemudian.
"Lagu suaranya seperti ketakutan. Kita harus berhati-hati."
Tiba-tiba diluar pintu terdengar suara langkah kaki beramai-ramai.
Tujuh orang memasuki rumah makan itu.
Mereka mengenakan pakaian bersih rapi.
Gerak-geriknya angker dan mereka duduk seperti majikan-majikan besar.
Seorang pelayan menyambut dengan sikap sangat hormat, dan memanggil mereka dengan sebutan, paduka tuan, seolah- olah mereka orang-orang berpangkat tinggi.
Kilatsih lantas saja mengenal mereka.
Merekalah anak-anak buah Daniswara yang berkedudukan agak tinggi.
Masing- masing mengenakan tanda segitiga berwarna merah pada lengan baju disebelah kiri.
Beberapa saat kemudian datang lagi delapan orang susul menyusul.
Lalu serombongan demi serombongan memasuki rumah makan itu pula.
Jumlah mereka kini kurang lebih empat puluh orang.
Di antara mereka ada tiga orang yang membawa tongkat hitam sepanjang empat puluh sentimeter.
Itulah tongkat komando.3) Menyaksikan kedatangan mereka, Kilatsih teringat kepada pengalamannya.
Itulah suatu tanda, mereka akan mengadakan suatu perhimpunan.
Dan pemilik rumah makan itu rupanya menganggap Sangaji, Manik Angkeran dan dirinya sebagai salah seorang anggota laskar himpunan perjuangan pimpinan Daniswara.
Terus saja ia berbisik kepada Sangaji.
"Kangmas! Sebaliknya kita pergi saja agar tidak terjadi suatu peristiwa yang tidak enak. Rupa-rupanya, anak buah Daniswara, membanjiri kota ini."
Lalu dengan berbisik-bisik ia mengabarkan tentang kekuasaan Daniswara yang sudah berhasil menghimpun seluruh laskar perjuangan.
Selagi memberi keterangan demikian, seorang pelayan datang membawa sepiring daging sapi, ayam rebus dan minuman.
Sangaji dan Manik Angkeran adalah dua pendekar yang berwatak tenang dan tidak gampang-gampang terpengaruh oleh keadaan.
Melihat hidangan yang menarik hati, Sangaji lantas berkata.
"Kita makan dahulu! Sekiranya disini terjadi sesuatu halangan, setidak-tidaknya perut kita telah terisi."
Ajakan Sangaji dengan serta merta disambut Manik Angkeran dengan gembira, la mendahului mencenguk minuman dengan sangat bernapsu.
Kilatsih heran.
Apakah kakaknya ini sudah terlalu lapar? Dengan penuh perhatian ia mengamati gerak-gerik Manik Angkeran yang dengan cepat menghabiskan timbunan daging sapi dan ayam rebus.
Tiba-tiba saja Sangaji berkata dengan berbisik.
"Hati-hati! Dua orang yang berkepandaian tinggi hendak memasuki rumah makan ini!"
Pada saat itu juga terdengar suara langkah mendekati ambang pintu.
Langkah kaki kiri orang itu terdengar sangat berat.
Sedang yang sebelah kanan sangat enteng dan yang berjalan dibelakangnya justru sebaliknya.
Sebelah kakinya yang kanan melangkah sangat berat, dan yang kiri sangat ringan.
Tak usah diragukan mereka berdua mempunyai kepandaian luar biasa.
Begitu mereka muncul, mereka semua yang berada di dalam rumah makan itu lantas saja bangkit dari kursinya dan berdiri dengan tegak.
Sangaji memberi isyarat mata kepada Manik Angkeran dan Kilatsih agar ikut berdiri pula.
Untunglah mereka bertiga disudut yang agak jauh, sehingga tidak menyolok mata.
Orang yang berjalan di depan bertubuh sedang, berparas tampan dan berjenggot.
Kesannya, seperti seorang ningrat.
Sedang yang kedua memiliki perawakan yang serba kuat.
Mukanya penuh dengan otot-otot yang menonjol.
Berberewok seperti kawat.
Dan parasnya berkesan galak.
Kulitnya hitam dan kedua matanya bersinar tajam.
Mereka berdua berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Mereka membawa tongkat komando yang pada ujungnya dilapis dengan baja putih.
Itulah suatu tanda, mereka berdua berkedudukan tinggi di dalam laskar-himpunan dibawah pimpinan Daniswara.
Tak terasa Kilatsih menghela napas.
Terhadap Daniswara ia berkesan kurang senang.
Entah apa sebabnya, tak dapat ia menerangkan sendiri.
Katanya didalam hati, kalau tak salah, tongkat berlapis baja putih itu hanya boleh dibawa-bawa oleh seseorang yang kedudukannya setingkat di bawah Daniswara.
Mereka berdua mengumpulkan anak buahnya di sini.
Apa maksud mereka? Dengan hati-hati Kilatsih lalu berbisik kepada Manik Angkeran.
"Merekapun mengincar surat waisat Ayunda Titisari! Apakah surat turunanmu masih kau simpan dengan baik?"
Untuk memperoleh kepastian, Manik Angkeran meraba sakunya.
Surat turunannya masih berada dalam kantongnya dengan aman sentosa.
Dalam pada itu kedua orang tersebut lantas menancapkan panji-panji berwarna kuning di atas meja.
Melihat panji-panji itu, sekalian yang hadir dalam rumah makan, membungkuk hormat.
Itulah panji-panji himpunan laskar perjuangan di bawah pimpinan Daniswara.
Seseorang yang membawa panji- panji kuning itu, membuktikan bahwa dirinya pada saat itu, diberi kekuasaan untuk bertindak atas nama Daniswara.
Orang yang berkesan sebagai seorang ningrat itu lantas berkata.
"Duduklah dengan baik-baik!"
Mendengar perintahnya mereka yang tadi menghormat lantas duduk dengan rapi di atas kursinya masing-masing.
Selama itu Sangaji mengamat-amati mereka berdua.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyambut mereka berdua sambil berdiri tidaklah mengapa.
Tetapi apabila dia disuruh ikut-ikutan untuk memberi hormat pula, itulah lain! Sebab betapapun juga dia adalah ketua Himpunan Sangkuriang.
Biar bagaimanapun juga, tak boleh dia berlutut kepada mereka berdua.
Bukankah kedudukan mereka sejajar dengan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya? Untunglah karena dia duduk disudut yang agak jauh dirinya luput dari pengamatan kedua orang itu.
Dengan demikian mereka berdua tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah Sangaji bertiga ikut membungkuk hormat terhadap panji-panji yang dibawanya atau tidak.
Mereka yang hadir didalam rumah makan itu lantas makan minum dengan nikmatnya.
Mereka main rebutan dan berteriak-teriak dan tertawa-tawa.
Kesannya seperti setan- setan kelaparan.
Sangaji bertiga membungkam mulut tetapi berwaspada.
Mereka menajamkan pendengaran dan matanya.
Diluar dugaan dalam perjamuan itu tidak terjadi sesuatu yang luar biasa.
Juga tidak terdengar sesuatu yang penting.
Setelah kedua orang itu meninggalkan rumah makan anak buahnya meninggalkan rumah makan pula.
Dan ruang rumah makan itu kembali menjadi sunyi lengang.
Hanya lantainya kini nampak menjadi kotor oleh ciciran makanan dan minuman.
Kursi-kursi jadi tak teratur pula.
"Manik Angkeran! Bagaimana pendapat-mu?"
Sangaji minta pertimbangan. Semenjak di Jawa Barat Manik Angkeran sering kali diminta pertimbangannya. Maka dengan tak segan-segan lagi ia menjawab.
"Menurut pendapatku tak mungkin mereka berkumpul disini hanya untuk makan minum saja. Kurasa mereka akan berkumpul pada suatu tempat yang lain yang sepi dan yang jauh dari pengamatan orang untuk membicarakan soal penting yang menjadi tujuan mereka."
Sangaji mengangguk.
"Akupun berpendapat demikian. Bagaimana pendapatmu, Kilatsih? Menurut kabar yang kuterima engkau mempunyai pengalaman bergaul dengan mereka."
"Benar,"
Jawab Kilatsih.
"Menurut pendapatku Daniswara adalah seorang yang berangan-angan besar. Meskipun dengan giat ia menghimpun laskar perjuangan, akan tetapi tujuannya masih samar-samar. Aku khawatir, justru dia bermusuhan dengan pendirian Kangmas."
"Mengapa begitu?"
Sangaji heran.
"Tadi sudah aku jelaskan bahwa Daniswara pernah mengincar surat wasiat Ayunda Titisari. Selain itu aku memperoleh kesan-kesan tertentu terhadap Manik Hantaya dan Sukesi yang mengadakan himpunan laskar pula di Magelang,"
Jawab Kilatsih. Kemudian ia menuturkan pengalamannya di Magelang tatkala bertemu dengan Manik Hantaya dan Sukesi.
"Bukankah Manik Hantaya pernah bertemu dengan Kangmas di Jawa Barat? Apabila dia sejalan dengan cita-cita Daniswara mengapa mengadakan suatu himpunan sendiri?"
Sangaji memangut-mangut. Sejenak kemudian ia berkata memutuskan.
"Kalau begitu mereka perlu kita selidiki. Siapa tahu mereka justru membuat sulit kedudukan Pangeran Diponegoro."
Setelah selesai makan dan minum, Sangaji mencoba membayar harga makanannya. Akan tetapi pemilik rumah makan menolak dengan sungguh-sungguh. Menyaksikan hal itu Kilatsih lalu berkata kepada Sangaji dan Manik Angkeran.
"Lihatlah! Pemilik rumah makan takut menerima uang. Kalau begitu mereka tadi dikenal penduduk sebagai gerombolan yang sering berbuat sewenang-wenang."
Mereka bertiga mencari sebuah rumah penginapan yang berada dipinggir kota.
Sesungguhnya itulah rumah seorang penduduk yang sengaja disewakan bagi para perantau.
Semenjak semalam Manik Angkeran belum memejamkan matanya.
Melihat tempat tidur, seluruh sendi tulangnya seperti terlolosi.
"Kilatsih!"
Kata Sangaji dengan tersenyum.
"Lihatlah! Kakakmu perlu kau bantu dengan sungguh-sungguh."
Merah wajah Manik Angkeran. Katanya mencoba mempertahankan diri.
"Semenjak aku mencari Kangmas Sangaji aku kurang tidur. Dan semalam..."
"Masakan aku tak tahu?"
Potong Sangaji dengan tertawa ramai. Kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Tentang gerombolan Daniswara sebaiknya engkau dan adikmu Kilatsih yang menyelesaikan mungkin sekali dari mulut mereka engkau akan memperoleh keterangan tentang tempat dimana Bibi Fatimah berada."
Seperti diketahui Sangaji memanggil Fatimah dengan sebutan bibi.
Itulah permintaan Fatimah sendiri.
Lagi pula Fatimah adalah adik gurunya Wirapati.
Karena itu memanggilnya sebagai bibi tidaklah terlalu salah.
Manik Angkeran tahu akan hal itu.
la lantas memanggut.
Tiga jam lamanya Manik Angkeran tidur dengan lelap, la terbangun dalam keadaan segar-bugar.
Begitu terbangun ia melihat sederet tulisan diatas mejanya.
Itulah tulisan Kilatsih yang memberi kabar bahwa gadis itu telah berangkat mendahuluinya.
Gugup ia memperbaiki letak pakaiannya.
Lalu keluar kamar.
Didepan kamar Sangaji ia mengintip.
Dilihatnya Sangaji masih duduk bersemedi dengan tenang-tenang saja.
Ia jadi lega hati.
"Pastilah Kilatsih berangkat dengan sepengetahuan Kangmas Sangaji. Kalau begitu lebih baik aku segera menyusul, katanya di dalam hati. Dan ia segera berangkat mengarah ke utara. Tujuh kilometer ia berjalan meninggalkan kota. Akan tetapi tak seorang-pun anggota laskar perjuangan Daniswara terlihat olehnya, la jadi tercengang.
"Cepat sekali mereka menghilang. Kemana mereka pergi?"
Tanyanya kepada dirinya sendiri.
Baru tiga jam mereka meninggalkan kota.
la percaya mereka pasti belum, meninggalkan kota jauh-jauh.
Ia masih mempunyai harapan besar untuk menemukannya.
Teringat kepada sepak terjang gerombolan Daniswara, ia menghampiri sebuah kedai.
Meniru lagak-lagu mereka, ia menepuk meja sambil membentak.
"Hai! Kemana perginya saudara-saudaraku?"
Melihat sikapnya yang galak, mereka yang berada di dalam kedai itu jadi ketakutan. Salah seorang yang agaknya masih dapat menguasai diri menghampiri dan berkata sambil menuding ke arah utara.
"Kawan-kawan Tuan menuju ke sana. Barangkali ke Gunung Tugel. Apakah Tuan mau minum teh?"
"Tidak."
Bentak Manik Angkeran.
"Tak sudi aku menyentuh tehmu yang bau."
Setelah membentak demikian ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
Di dalam hati ia tertawa geli.
Memang, Manik Angkeran sewaktu-waktu bisa menjadi liar.
Ia pandai meniru lagak-lagu seseorang dan cekatan pula dalam menyesuaikan diri....
Baru saja ia melewati perbatasan kota, dari dalam semak belukar yang tinggi mendadak saja melompat seseorang.
Terang sekali, orang itu bermaksud memegatnya.
Dengan cepat ia melompat sambil mengerahkan semangatnya.
Bagaikan anak panah, tubuhnya berkelebat melewati orang itu.
Dan orang itu mengucak-ucak matanya.
Ia menjadi heran.
Apakah ia salah melihat? Kemana perginya manusia yang tadi kelihatan mendatangi? Mulai saat itu, sepanjang jalan terjaga keras.
Manik Angkeran segera menggunakan ilmu kepandaiannya.
Dengan mata yang sangat tajam ia menebarkan penglihatannya kepada penjaga-penjaga yang ditempatkan diantara rumput- rumput tinggi, dibelakang pohon atau dibalik batu besar, la seorang cerdas dan yakin akan kemampuan diri sendiri.
Mereka yang sebenarnya merupakan rintangan, justru menjadi petunjuk jalannya.
Setelah berlari-lari empat-lima kilometer lagi, penjagaan makin ketat.
Kepandaian penjaga-penjaga itu kalah jauh dari pada Manik Angkeran.
Namun meloloskan diri dari mata mereka ditengah hari, benar-benar bukan merupakan suatu perbuatan mudah.
Sadar akan hal itu, ia lalu mengambil jalan kecil yang mengarah ke sebuah biara yang terletak dilereng gunung.
Kuat dugaannya, gerombolan Daniswara akan melangsungkan rapatnya di biara tersebut.
Setiba di dekat biara, ia mengamat-amati alam sekitarnya.
Biara itu merupakan sebuah pertapaan yang berhalaman luas.
Di dalam pekarangan sebelah kiri, terdapat sebatang pohon tua, sedang di sebelah kanannya berdiri sebatang pohon sawo.
Kedua pohon itu rindang daunnya.
Besar dan tinggi melebihi tinggi atap.
Pikirnya di dalam hati, pastilah yang menghadiri pertemuan ini tokoh-tokoh penting.
Kalau aku menyampurkan diri di antara mereka, pastilah akan ketahuan.
Paling baik aku bersembunyi dibalik mahkota daun.
Ia berlari-larian memutari biara itu.
Kemudian melompat ke atas genting.
Dengan merangkak, ia menghampiri atap sebelah kanan.
Dengan sekali lompat ia hinggap di atas sebatang dahan.
Sambil memeluk sebatang dahan, ia melongok ke bawah.
Hatinya bersorak tatkala memperoleh penglihatan yang luas sekali.
Lantai biara itu ternyata sudah penuh dengan laskar himpunan Daniswara yang berjumlah kira-kira tiga ratus orang.
Mereka semua menghadap ke dalam sehingga melompatnya Manik Angkeran ke pohon sawo tak terlihat oleh mereka.
Dalam ruangan itu terdapat lima lembar tikar yang masih kosong.
Rupa-rupanya tikar itu disediakan lagi lima orang pemimpin mereka yang masih belum datang.
Yang sangat mencolok adalah kesunyiannya.
Ratusan laskar duduk dengan tegak tanpa mengeluarkan sepatah katapun juga.
Diam-diam Manik Angkeran memuji di dalam hati.
Ia kenal, siapa Daniswara.
Akan tetapi menyaksikan anak buahnya yang begitu teguh memegang tata-tertib, ia yakin bahwa Daniswara, seorang yang pandai memimpin.
Selagi Manik Angkeran memperhatikan keadaan ruang biara, tiba-tiba terdengar teriakan seseorang.
"Gugurkan langit, balikkan bumi...!"
Setelah berkata demikian dengan mendadak ia menyambar sebuah mangkok besar yang berada didepannya.
Diangkatnya mangkok itu tinggi-tinggi lalu dibantingnya hancur.
Mereka yang hadir bertepuk tangan dengan gemuruh.
ORANG YANG MEMBANTING MANGKOK ITO, mengangkat kedua tangannya.
Dan sekalian hadirin yang bersorak sorai sirap seketika itu juga.
Kesunyian dan keheningan datang kembali.
Seseorang lari memasuki ruangan dan membersihkan pecahan-pecahan mangkok yang hancur berderai.
Setelah ruangan menjadi bersih kembali, orang itu lalu berteriak lagi.
"Mangkubumi Kidang Pananjung tiba!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka yang hadir lantas saja berdiri tegak dan menundukkan kepalanya.
Orang yang berseru tadi, berdiri tegak dipinggir ruangan kosong, menghadap ke dalam.
Lalu masuklah seorang kakek-kakek berambut dan berjenggot putih.
Paras muka orang itu aneh kesannya.
Wajahnya setengah menangis dan setengah tertawa.
Dialah yang disebut dengan gelar Mangkubumi.
Entah Mangkubumi darimana.
Namanya Kidang Pananjung.
Suatu nama yang mentereng sekali.
Ia berdiri dipinggir kiri protokol menghadap ke ruang dalam pula.
"Darmajaksa Cengkir Pradapa tiba!"
Terdengar seruan lagi.
Masuklah seorang laki-laki berwajah terang dengan mengenakan pakaian mentereng.
Ia membawa tongkat pimpinan sepanjang 1-20 cm berlapis baja putih.
Ia berjalan dengan langkah lebar.
Kemudian berdiri di sebelah kanan Kidang Pananjung.
"Eh, pakai upacara segala?"
Pikir Manik Angkeran.
"Sebenarnya golongan apakah mereka ini?"
Pemimpin upacara memperkenalkan Cengkir Pradapa sebagai pemegang undang-undang dan ketertiban. Setelah itu dengan sikap hormat, ia berseru lagi.
"Sekarang, Manggalayuda Gagak Angin tiba!"
Seorang tua berperawakan kurus memasuki ruangan, la pun membawa sebatang tongkat pimpinan, berwarna hijau. Langkahnya ringan sekali. Menyaksikan akan hal itu, Manik Angkeran terkejut. Pikirnya di dalam hati.
"Hebat orang ini. Jabatannya Manggalayudha. Artinya pemimpin pertempuran. Pantaslah apabila ia berkepandaian tinggi. Kira-kira sebanding dengan Paman Otong Surawijaya dan kalah setingkat dengan Paman Dadang Wiranata."
Teriakan yang ke empat kalinya terdengar lagi.
"Panglima Halayuda hadir pula."
Yang muncul kali ini seorang laki-laki berkesan kasar, la berkumis dan berjenggot jembros.
Perawakannya tinggi besar, sesuai dengan namanya.
Wajahnya angker dan galak.
Dialah yang tadi pagi berada di rumah makan dengan rombongannya.
Ia bertangan kosong dan langkahnya berderap seperti serdadu biasa saja.
Keempat orang itu lalu memungut tikarnya masing-masing.
Lalu berdiri tegak kembali.
Setelah membungkuk hormat, mereka berseru berbareng.
"Kami memohon hadirnya tuanku Adipati Kuntul Aneba!"
Manik Angkeran terkejut.
Ia pernah mengenal nama itu.
Dialah Adipati yang menguasai Tegal sampai ke Cirebon sebelah selatan.
Jarang sekali ia muncul di dalam percaturan.
Pengaruhnya sangat besar.
Maka hadirnya sang adipati itu membuktikan pentingnya pertemuan yang sedang berlangsung.
Diam-diam Manik Angkeran berpikir di dalam hati.
"Pernah aku mendengar pepatah, 'Apabila negara akan runtuh, maka muncullah siluman-siluman bertopeng."
Mereka ini sesungguhnya golongan siluman ataukah memang golongan pencinta negeri? Adipati Kuntul Aneba adalah seorang pejuang yang bermusuhan dengan Kompeni Belanda."
Sekalian hadirin ikut berdiri tegak dengan sikap hormat.
Tak lama kemudian terdengarlah langkah seseorang.
Muncullah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi, besar.
Gerakannya lebih mendekati gaya seorang majikan atau seorang tuan tanah daripada seorang pejuang ulung.
Manik Angkeran pun heran.
Dengan matanya yang tajam ia mengawaskan orang yang disebut sebagai Adipati Kuntul Aneba.
Pakaian yang dikenakan sangat mewah, benar-benar mengenakan sebagai seorang hartawan benar.
Dengan tangan kanan memegang sebatang penggada besi, ia berjalan memasuki ruangan dengan langkah lebar.
"Kami, seluruh anggota laskar Singamulangjaya, dengan ini memberi hormat kepada tuanku Adipati!"
Teriak mereka yang hadir. Adipati Kuntul Aneba mengangkat tangannya.
"Sudahlah! Cukup... cukup!"
Setelah berkata demikian, ia segera duduk diatas tikar yang berada ditengah-tengah dan kelima orang yang berdiri di kiri- kanan-nya ikut duduk pula.
"Cengkir Pradapa! Kau adalah pemegang undang-undang dan tata tertib dunia yang bakal datang. Cobalah ceritakan soal gerak-gerik Sangaji!"
Jantung Manik Angkeran memukul keras, tatkala mendengar nama Sangaji disinggung dalam permulaan kata.
Dengan serta-merta ia memusatkan seluruh perhatiannya.
Cengkir Pradapa, yang disebut sebagai Darmajaksa, artinya pemegang undang-undang dan tata-tertib, lantas berdiri.
Setelah membungkuk hormat kepada Adipati Kuntul Aneba, ia menghadap kepada hadirin.
"Saudara-saudara! Seperti telah kalian ketahui, semenjak ratu Bagus Boang memimpin Himpunan Sangkuriang golongan kita bermusuhan dengan golongan mereka. Dengan demikian sudah berlaku permusuhan sekian puluh tahun. Dan semenjak ratu Bagus Boang hilang tiada kabar beritanya, kaum Himpunan Sangkuriang berada terus menerus di bawah angin. Belum lama berselang. Himpunan Sangkuriang memperoleh seorang pemimpin yang baru. namanya Sangaji. Anggota- anggotanya kita yang turut dalam pengepungan di atas Gunung Cibugis, pernah bertemu dengan pemimpin baru itu? Dia seorang pemuda yang masih belum pandai beringus. Karena itu, betapa dia dapat berlawan-lawanan dengan pemimpin kita yang berkepandaian sangat tinggi?"
Ucapan itu memperoleh sambutan tepuk tangan dan sorak sorai gemuruh oleh sekalian hadirin.
Sedang Adipati Kuntul Aneba nampak tersenyum-senyum dengan wajah berseri-seri.
Setelah sorak sorai mereda, Darmajaksa Cengkir Pradapa melanjutkan kata-katanya.
"Tetapi, ada suatu peristiwa yang kalian ketahui.
Selama puluhan tahun Himpunan Sangkuriang terpecah-belah.
Akan tetapi setelah memperoleh seorang pemimpin baru, keadaan mereka lantas saja berubah.
Dan perubahan ini merupakan penyakit di dalam golongan kita."
Ia berhenti mengesankan.
"Selama lima belas tahun ini, kawanan Himpunan Sangkuriang telah mengadakan pemberontakan diberbagai tempat. Seperti kalian ketahui, Himpunan Sangkuriang terdiri dari beberapa raja-raja muda merekalah. Dwijendra, Tatang Sontani, Tunjung Biru, Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Walisana, Ratna Bumi, Simuntang, Suryapranata Maulana Safri, Diah Kartika dan dibantu oleh Tatang Manggala serta Endoh Permanasari bekas pengikut Ratu Fatimah. Mereka pandai membagi pekerjaan. Dimana-mana mengadakan suatu kekacauan. Akhir-akhir ini malahan merembes memasuki wilayah Cirebon. Kalau mereka berhasil mencapai cita-citanya mengusir pemerintahan Belanda, maka saudara-saudara sekalian akan mati tanpa kuburan."
"Apakah kita memang bekerja sama dengan Belanda?"
Tanya seseorang memotong dengan suara nyaring.
"Tidak! Sama sekali tidak! Akan tetapi, kalian mengetahui bahwa pemerintahan Belanda membawa tata tertib, sehingga membuat makmur Kasultanan Cirebon. Karena itu apabila pemerintahan Belanda tiada lagi, kesejahteraan saudara- saudara sekalian, yang bernaung dibawah Kasultanan Cirebon, akan hancur lebur pula."
"Kalau begitu, mereka tidak boleh mencapai cita-citanya! Mereka harus kita tumpas!"
Teriak seorang lainnya. Oleh teriakan itu, dari segala penjuru terdengar orang berteriak-teriak nyaring pula.
"Kita bersumpah untuk menghancurkan Himpunan Sangkuriang!"
"Kita lebur bangsat-bangsat Himpunan Sangkuriang!"
"Kalau Himpunan Sangkuriang berhasil, kita musnah. Daripada musnah, lebih dahulu mereka kita musnahkan!"
Manik Angkeran yang bersembunyi diatas pohon, berkata di dalam hati.
"Menurut kabar, Adipati Kuntul Aneba adalah musuh Belanda. Eh, sama sekali tak terduga, dia justru berada dipihak Belanda. Pantaslah, Darmajaksa Cengkir Pradapa menyatakan kecemasan hati, apabila pemerintah Belanda sampai lebur. Sebaliknya nampaknya tidak semua menyetujui kata-kata Cengkir Pradapa. Hem, jumlah mereka sangat besar. Apabila mereka bisa kita tarik untuk membantu Kangmas Sangaji bersiap-siap menghadapi campur tangan pemerintah Belanda terhadap Gusti Pangeran Diponegoro alangkah bagus! Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana aku harus berbuat sesuatu untuk mengubah permusuhan mereka terhadap Himpunan Sangkuriang dibawah pimpinan Kangmas Sangaji?"
Dalam pada itu Darmajaksa Cengkir Pradapa melanjutkan pidatonya.
"Kalian tahu Adipati Kuntul Aneba biasanya tidak pernah memunculkan diri. Beliau hidup dengan aman sentosa di dalam kadipatennya. Tetapi karena hendak menghadapi perkara yang sangat besar ini Beliau tak dapat berpeluk tangan saja. Syukurlah beribu-ribu syukur Tuhan selalu melindungi kita semua. Beberapa hari yang lalu rekan kita Daniswara telah bersahabat dengan orang-orang cerdik pandai yang berkepandaian tinggi. Beliaupun kini hadir di sini. Beliau akan memberi keterangan kepada saudara-saudara sekalian tentang sesuatu hal yang sangat penting."
Setelah berkata demikian, ia menengadah dan berteriak nyaring.
"Saudara Daniswara! Ajaklah saudara Tarupala masuk kemari agar bisa berkenalan dengan saudara-saudara kita sekalian!"
"Baiklah!"
Kata seseorang dari balik tembok.
Beberapa saat kemudian dua orang masuk dengan berpegangan tangan.
Yang seorang Daniswara dan yang lain seorang pemuda tampan yang baru berumur kurang lebih dua puluh lima tahun.
Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Manik Angkeran terkesiap.
Itulah disebabkan karena ia kenal kepada Tarupala.
Bukankah dia murid Dipajaya? Setiba diruangan mereka berdua lalu membungkuk hormat kepada Adipati Kuntul Aneba.
Setelah itu mereka berputar menghadap kepada para hadirin dan membungkuk hormat pula.
"Saudara Daniswara!"
Kata Darmajaksa Cengkir Pradapa.
"Cobalah ceritakan semua, apa yang saudara ketahui selama ini!"
"Saudara-saudara!"
Kata Daniswara sambil memegang pergelangan tangan Tarupala.
"Kita benar-benar kejatuhan wahyu karena kita telah memperoleh bantuan pendekar muda Tarupala. Saudara Tarupala adalah murid pendekar besar Dipajaya. Seperti telah kita ketahui semua di pulau Jawa ini terdapat tujuh pendekar tingkat tertinggi. Merekalah. almarhum Mangkubumi I, almarhum Pangeran Samber Nyawa, almarhum Kyai Haji Lukman Hakim, Almarhum Kebo Bangah, Kyai Kasan Kesambi, Gagak Seta, Adipati Surengpati dan pendekar Dipajaya adalah yang kedelapan. Dialah guru saudara Tarupala. Dikemudian hari pastilah saudara Tarupala akan mewarisi semua ilmu kepandaiannya dan akan mengganti kedudukan pendekar Dipajaya. Kecuali itu saudara Tarupala adalah putra Adipati Menoreh. Kini Adipati Menoreh telah berusia lanjut. Siapa lagi yang berhak mengganti kedudukan ayahandanya kecuali saudara Tarupala ini."
Mendengar kata perkenalan Daniswara terhadap pendekar muda Tarupala sekalian hadirin bertepuk tangan bergemuruh. Setelah sirap Daniswara melanjutkan pidatonya.
"Sangaji yang memimpin Himpunan Sangkuriang, pada hakekatnya adalah adik seperguruan Tarupala. Betapa tidak? Sangaji murid Gagak Seta dan Gagak Seta adik Sirtupelaheli. Sedangkan pendekar Dipajaya guru saudara Tarupala ini adalah suami Sirtupelaheli. Dengan demikian, saudara Tarupala mengetahui jelas tentang seluk-beluk rahasia ilmu sakti yang berada ditangan Sangaji. Semalam saudara Tarupala memberi kabar padaku bahwa segebung surat wasiat Titisari mengenai rahasia Bende Mataram sudah dikembalikan ke tangan Sangaji oleh gurunya. Ini artinya bahaya besar mengancam kedudukan kita...."
"Bagaimana saudara Tarupala bisa mengetahui hal itu?"
Potong Manggalayuda Gagak Angin.
"Selama puluhan tahun, kaum pendekar di seluruh dunia berusaha memperoleh surat wasiat itu. Usaha mereka semua nihil. Masakan benar saudara Tarupala bisa memperoleh kepastian begitu gampang."
"Bukan kabar lagi. Akan tetapi saudara Tarupala bahkan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri."
Daniswara meyakinkan.
Manik Angkeran yang bersembunyi diba-lik mahkota daun mendongkol mendengar kata-kata Daniswara.
Ia pun heran terhadap sikap Tarupala.
Mengapa murid Dipajaya itu, tak mengenal malu? Gurunya sudah bersatu padu sebaliknya muridnya justru membuat luka baru.
"Cobalah terangkan!"
Seru Gagak Angin.
"Berkata restu tuanku Adipati Kuntul Aneba, hal itu terjadi lantaran kebetulan saja,"
Kata Daniswara mewakili Tarupala.
"Pendekar besar Dipajaya menghadiahkan pedang pusakanya Kyai Ageng Singkir kepada saudara Tarupala. Di tengah jalan pedang itu terampas Gagak Seta. Saudara Tarupala lagi mencari gurunya hendak mengadu. Oleh pengaduan itu, membuat gurunya bertemu dengan Gagak Seta dan Sirtupelaheli. Di dalam pertemuan itu, pendekar Dipajaya menyerahkan segebung surat wasiat Titisari kepada Sangaji dengan disaksikan orang banyak. Bukankah jelas maksud pendekar Dipajaya? Dengan menyerahkan surat wasiat di depan mata orang banyak, kini manusia seluruh penjuru dunia mengetahui belaka dimanakah surat wasiat itu tersimpan. Hebat tidak, siasat guru saudara Tarupala ini?"
Gagak Angin dan Halayuda memangut-mangutkan kepalanya.
Manik Angkeran menghela napas.
Keluhnya di dalam hati, kalau tahu begini siang-siang Dipajaya harus kusingkirkan.
Kangmas Sangaji boleh sesakti malaikat.
Namun direbut manusia seluruh penjuru bukanlah pekerjaan yang mudah..."
Dalam pada itu Daniswara melanjutkan pidatonya.
"Aku dan saudara Tarupala, semenjak dahulu berikrar sehidup semati. Pernah aku mendatangi rumah Sorohpati. Di sana aku berjumpa dengan Gagak Seta dan Sirtupelaheli. Aku membawa empat orang. Tak kuduga, Sangaji datang dengan membawa empat puluh laskar Himpunan Sangkuriang. Kami semua bertempur mati-matian. Tapi jumlah kami terlalu kecil dibandingkan dengan lawan yang berjumlah sangat besar. Akhirnya, Alpikun dan adik-adik seperguruannya gugur dalam pertempuran. Tentang jalannya pertempuran itu, biarlah saudara Wira Kuluki sendiri yang berbicara. Dia telah mengorbankan lengannya sampai kutung..."
Wira Kuluki berperawakan tinggi kurus.
Sekalipun demikian, pandang matanya berkilat-kilat tajam.
Lengan kanannya kutung.
Tatkala bangkit dari tempat duduknya, wajahnya nampak seram oleh rasa dendam.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu ia membuka mulutnya mengisahkan pengalamannya bertempur melawan Gagak Seta dan Sangaji.
Tetapi apa yang dikatakan adalah dusta belaka, la berkata, bahwa Sangaji membawa empat puluh laskar, mengepung mereka berempat.
Walaupun demikian, ia tetap melawan sampai kawan-kawannya gugur.
Akhirnya dengan semangat menyala-nyala, ia mengabarkan bahwa berkat pertolongan pendekar Daniswara, Gagak Seta membebaskannya.
Hal itu disebabkan, lantaran Gagak Seta, kagum kepada keperwiraan dan kegagahan Daniswara.
Para hadirin bersorak sorai gemuruh, memuji-muji pendekar berewok itu.
Kata Wira Kuluki.
"Tuanku Daniswara tidak hanya gagah dan pintar saja, akan tetapi mempunyai rasa setia terhadap kawan yang tiada bandingnya dijagad ini."
Dipuji demikian, Daniswara membungkam. Lalu memutar kepalanya menghadap hadirin. Setelah membungkuk hormat kepada Adipati Kuntul Aneba, berkatalah dia dengan suara merendah.
"Itu semua berkat ajaran tuanku Adipati Kuntul Aneba. Aku bekerja semata-mata lantaran kebijaksanaannya. Demi bangsa kita dikemudian hari, aku harus berani memasuki lautan api. Apa yang kulakukan itu belum berarti apa-apa. Pendeknya, tidak cukup berharga untuk dibicarakan. Pujian saudara Wira Kuluki sesungguhnya membuat aku malu saja..."
Mendengar kata-kata Daniswara, semua hadirin kagum bukan main.
Mereka makin bertepuk tangan riuh sekali.
Manik Angkeran mendongkol sekali.
Tiba-tiba saja ia merasa muak terhadap Daniswara yang pernah dipujinya.
Tentang pertarungannya melawan Gagak Seta, pernah ia mendengar kabar dari mulut Sangaji dan Titisari sendiri.
Demi kepentingan sendiri tatkala merasa jiwanya terancam, Daniswara justru menjual jiwa Wira Kuluki.
Demikianlah keterangan Sangaji dan Titisari.
Ia berpura-pura berlaga seorang ksatria sejati.
Tangan kanannya terangkat sedikit, sedangkan tangan kirinya melintang di depan dada.
Kedua kakinya menempati jurus Kalalodra ciptaan pendekar Kebo Bangah.
Tujuannya, hendak menendang tubuh Wira Kuluki yang berada di depannya.
Sedangkan kedua tangannya dipersiapkan untuk menerkam Fatimah.
Dengan menendang Wira Kuluki dan melemparkan Fatimah kehadapan Gagak Seta, ia memperoleh kesempatan untuk melarikan diri.
Itulah kelicinan yang mengerikan.
Di samping bersedia menjual jiwa sahabatnya, ia bisa berlagak sebagai seorang ksatria.
Celakanya Wira Kuluki sendiri yang akan dijadikan kambing hitam, justru kena dikelabui.
Teringat akan hal itu, berpikirlah Manik Angkeran di dalam hatiDaniswara sesungguhnya seorang pendekar berotak cemerlang, akan tetapi jahat.
Bukan hanya Wira Kuluki dan Paman Gagak Seta saja yang kena dikelabui.
Akan tetapi Kangmas Sangaji pun demikian pula.
Barangkali aku juga seumpama ikut menyaksikan.
Hanya Ayunda Titisari seorang yang tak dapat di-ingusi.
Hai! Ayunda Titisari benar-benar cemerlang otaknya...
Sayang, sungguh sayang! Pada saat ini ia tak berada disini.
Kalau ia menyaksikan hal ini, entah apa yang dilakukan.
Dalam pada itu Wira Kuluki nampak mulai kalap.
Dengan mengacung-acungkan lengannya yang kutung, ia berteriak.
"Banyak sekali saudara-saudara kita yang kena dibinasakan siluman-siluman Himpunan Sangkuriang. Apa kita sudahi saja sakit hati kita ini?"
Para hadirin lantas saja berteriak menyahut.
"Sakit hati rekan Wira Kuluki harus dibalas!"
"Hancurkan Himpunan Sangkuriang!"
Teriak gerombolan yang lain.
"Bunuh Sangaji!"
"Mampuskan begundal-begundalnya!"
Setelah teriakan mereka mereda. Wira Kuluki membungkuk homat kepada Darmajaksa Cengkir Pradapa.
"Kami ingin mengadu kepada tuanku Adipati, bahwa kita semua merasa sangat penasaran dan kami mohon petunjuk- petunjuk tuanku Darmajaksa pula dalam usaha membalas sakit hati."
Darmajaksa Cengkir Pradapa memanggut. Kemudian berpaling kepada Adipati Kuntul Aneba.
"Sekarang semuanya terserah kepada tuanku Adipati."
Alis Adipati kuntul Aneba berkerut-kerut.
"Hm! Hm! Memang... soal ini memang soal berat! Hm... akan tetapi kita harus berdamai dengan otak dingin. Coba kau perintahkan agar mulai dari perwira-perwira utama sampai bawahannya meninggalkan ruang ini untuk sementara waktu! Dengan demikian akan memberi waktu kepada kita untuk merunding dengan tenang."
Darmajaksa Cengkir Pradapa mengangguk dan berdiri menghadap hadirin.
"Dengar! Semua orang mulai dari prajurit sampai perwira utama, minta dengan hormat meninggalkan ruangan untuk sementara waktu dan menunggu di luar pintu masuk!"
Para hadirin lantas saja mengiakan dan setelah membungkuk hormat ke arah Adipati Kuntul Aneba, mereka keluar ruangan sehingga dalam sekejap mata saja ruang biara itu hanya terdapat para pemimpin Tunggul Wulung anak buah Adipati Kuntul Aneba.
Daniswara kemudian maju selangkah dan berkata kepada Adipati Kuntul Aneba seraya membungkuk hormat.
"Saudara Tarupala ini berjasa besar terhadap himpunan kita. Maka itu aku memohon karunia tuanku Adipati agar dia diperkenankan masuk ke dalam golongan kita. Seorang yang mempunyai pribadi dan kedudukan seperti dia, dikemudian hari pasti akan dapat melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi kita semua."
"Tapi... tapi..."
Potong Tarupala dengan tergegap.
"Hal ini tak dapat ku...."
Baru saja ia mengucapkan perkataan "tidak"
Manik Angkeran yang berada di atas pohon dan memiliki pengamatan yang tajam melihat Daniswara menatap wajah Tarupala dengan pandang berkilat.
Melihat sinar mata yang beracun dan kejam itu, tergeraklah hati Manik Angkeran.
Pada saat itu, ia melihat Tarupala menundukkan kepalanya dan tak berani membuka suaranya lagi.
"Bagus!"
Kata Adipati Kuntul Aneba.
"Kami menyambut dengan girang sekali masuknya Tarupala ke dalam himpunan kita. Gntuk sementara waktu dia kami beri kedudukan sebagai perwira menengah dan berada langsung dibawah pimpinan Panglima Daniswara. Kami harap saudara Tarupala taat pada peraturan kita serta giat demi kepentingan golongan kita pula. Peraturan kita selalu dilaksanakan dengan keras. Barangsiapa yang berjasa akan mendapat anugerah sebaliknya siapa yang berdosa akan dihukum."
Sinar mata Tarupala meredup, penuh sesal dan mendongkol. Namun sedapat-dapatnya ia nampak menekan perasaannya. Setelah berbimbang-bimbang sejenak, ia maju beberapa langkah dan berlutut diha-dapan Adipati Kuntul Aneba. Berkata dengan hati prihatin.
"Kami Tarupala memberi hormat kepada tuanku Adipati. Terima kasih atas kedermawanan tuanku Adipati sudah memberi kedudukan kepada kami sebagai seorang perwira menengah."
Setelah berkata demikian, ia memberi hormat dengan berlutut lagi. Kemudian berputar menghadap para pemimpin laskar. Kepada mereka ia pun membungkuk hormat.
"Saudara Tarupala!"
Kata Panglima Halayuda dengan suara angker.
"Setelah menjadi anggota laskar kami, semenjak kini engkau terikat dengan semua peraturan. Dikemudian hari andaikata engkau menggantikan kedudukan ayahandamu engkau harus tetap taat kepada semua perintah-perintah pimpinan Tunggulwulung. Apakah engkau sudah tahu peraturan ini?"
"Ya,"
Jawabnya pendek.
"Saudara Tarupala!"
Kata Halayuda lagi.
"Meskipun tujuannya sama yaitu bersama-sama melakukan perbuatan- perbuatan ksatria demi bangsa dan tanah air akan tetapi jalan yang ditempuh oleh kaummu dan kaum kami, sangat berbeda. Mengapa engkau rela masuk ke dalam golongan kita-kita? Jawablah! Engkau harus menjawab dan memberi keterangan sejujurnya dan sejelas-jelasnya!"
Sebelum menjawab. Tarupala mengerling kepada Daniswara.
"Aku merasa berhutang budi sangat besar terhadap Kakang Daniswara. Aku sangat kagum kepadanya dan rela mengabdi di bawah perintahnya."
Daniswara tertawa.
"Di sini berkumpul orang-orang kita sendiri. Saudara Tarupala engkau boleh berbicara dengan bebas! Baiklah kalau engkau merasa tak enak hati biarlah aku yang mewakili dirimu. Saudara-saudara sekalian! Bupati Banyumas mempunyai seorang gadis yang sangat cantik. Mamanya Antariwati. Gadis itu dan saudara Tarupala, merupakan kawan semenjak kanak-kanak. Mereka berdua sudah berjanji akan menjadi suami-istri. Diluar dugaan, Antariwati kena diculik Sangaji dan dibawa kabur ke Jawa Barat. Setelah dipulangkan kembali, ternyata ia sudah berubah sikap. Sekarang gadis yang cantik molek itu berteman dekat dengan adik seperguruannya sendiri bernama Prajaka Sindungjaya. Karena bersaingan dengan saudara seperguruannya sendiri, saudara Tarupala sangat segan. Maka ia minta bantuanku. Aku segera menyanggupi dan bersumpah hendak merebut kembali tunangannya itu."
Mendengar keterangan Daniswara, dada Manik Angkeran seakan-akan meledak.
Sangaji yang terkenal agung dan bijaksana masakan bisa difitnah semikian rupa.
Alangkah rendah penilaian Daniswara terhadap Sangaji! Menuruti kata hati, ingin Manik Angkeran melabrak Daniswara.
Tapi lantaran masih ingin mengetahui siapakah mereka sebenarnya sedapat-dapatnya ia menahan hati.
Adipati Kuntul Aneba tertawa terbahak-bahak.
"Sama sekali kita tidak menyalahkan saudara Tarupala. Semenjak dahulu, seorang yang gagah perkasa memang merasa sulit melawan seorang wanita yang menambat hati. Ah! Sungguh sepadan! Yang satu putera Bupati Manoreh dan yang lain puteri Bupati Banyumas. Benar-benar seimbang kedudukannya! Sama tinggi dan sama-sama muda pula..."
"Tetapi saudara Tarupala."
Tiba-tiba Manggalayuda Gagak Angin ikut berbicara.
"Mengapa engkau tidak minta bantuan gurumu? Bukankah dalam hal ini, gurumu yang lebih tepat?"
"Menurut keterangan saudara Tarupala pada saat ini gurunya justru bergandengan tangan dengan Sangaji."
Daniswara mewakili Tarupala.
"Baik pendekar besar Dipajaya maupun Sirtupelaheli, segan mengadakan bentrokan- bentrokan baru dengan Sangaji. Pada dewasa ini hanyalah golongan kita saja yang benar-benar bermusuhan dengan Himpunan Sangkuriang pimpinan siluman Sangaji. Kita semua mempunyai tenaga cukup untuk menghadapi gerombolan siluman itu."
Manggalayuda Gagak Angin memanggut-manggut kepalanya.
"Memang benar! Setelah Himpunan Sangkuriang musnah dan Sangaji bisa dibinasakan barulah idaman saudara Tarupala tercapai."
Mendengar pembicaraan yang tak keruan juntrungnya itu Manik Angkeran sibuk menduga-duga.
Sebenarnya apa maksud Daniswara? Semua kejadian dan peristiwa selalu dialamatkan kepada Sangaji dan Himpunan Sangkuriang.
Mengherankan lagi ialah sikap Adipati Kuntul Aneba.
Semenjak belasan tahun yang lalu Adipati Kuntul Aneba terkenal sebagai seorang pendekar gagah perkasa.
Mengapa dia kini nampak tolol dan sama sekali berada dibawah pengaruh Daniswara? Dalam pada itu Daniswara terdengar berkata lagi.
"Tuanku Adipati Kuntul Aneba perkenankan kami memberi laporan. Pada suatu hari di dekat Kota Wonosobo kami berhasil membekuk salah seorang anggota lawan yang penting. Dia mempunyai hubungan rapat dengan surat wasiat Titisari dan Sangaji. Karena kedudukannya ternyata bersangkut paut dengan usaha golongan kita kami memohon keputusan tuanku Adipati Kuntul Aneba mengenai dirinya."
Setelah berkata demikian, Daniswara menepuk tangan tiga kali sambil berteriak.
"Bawalah masuk tawanan iblis itu!"
Jantung Manik Angkeran memukul.
Siapakah yang kena tangkap? Pada saat itu, empat laskar bersenjata lengkap, melompat hampir berbareng dari balik pintu samping dengan membawa masuk seorang tawanan yang terbelenggu kedua tangannya.
Manik Angkeran merasa pernah bertemu dengan orang itu, yang berusia sebaya dengan dirinya.
Dia seorang pemuda yang berkulit hitam lekam.
Paras mukanya menyala- nyala lantaran bergusar.
Tatkala melewati Daniswara, tiba-tiba ia membuka mulutnya dan menyemburkan ludahnya.
Daniswara mengelak dan menggampar pipi kiri pemuda itu.
Kena gamparannya, pipi pemuda itu lantas saja menjadi bengkak.
Salah seorang laskar mendorongnya dan membentaknya.
"Binatang! Hayo berlutut dihadapan tuanku Adipati Kuntul Aneba!"
Sebaliknya daripada berlutut, pemuda itu kembali lagi menyemburkan ludahnya.
Kali ini mengarah wajah Adipati Kuntul Aneba.
Lantaran jaraknya sangat dekat dan semburan itu dilakukan dengan tenaga sakti yang cukup hebat, maka meskipun Adipati Kuntul Aneba berusaha mengelak tetap saja gumpalan ludah itu singgah tepat didahi-nya.
Daniswara melompat dan menyapu dengan kakinya dan pemuda roboh di atas lantai.
"Bangsat! Apakah engkau bosan hidup?"
Bentaknya sambil berdiri didepan Adipati Kuntul Aneba.
"Hm!"
Dengus pemuda itu.
"Setelah jatuh ke dalam tanganmu, masakan aku memikirkan hidup lagi."
Setelah Adipati Kuntul Aneba menyeka semburan ludah yang menempel di dahinya, Daniswara segera mundur beberapa langkah.
"Perkenankan kami memberi laporan kepada tuanku. Bocah ini adalah salah seorang jago yang paling diandalkan di dalam Himpunan Sangkuriang. ilmu saktinya berada diatas sekalian raja-raja muda. Karena itu, kita semua, tidak boleh memandang rendah kepadanya."
Mula-mula Manik Angkeran heran mendengar keterangan Daniswara.
Tetapi lantas saja tersadar.
Daniswara sengaja mengangkat-angkat kepandaian pemuda itu untuk menolong kericuhan wajah Adipati Kuntul Aneba.
Biar bagaimanapun juga, semburan ludah pemuda itu yang mengenai dahi Adipati Kuntul Aneba, benar-benar memalukan.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masakan seorang pimpinan golongan Tunggulwulung masih tak mampu mengelakkan semburan seorang tahanan.
Ini merupakan peristiwa yang sungguh aneh! Benar-benar tak masuk akal pula.
Apalagi setelah mendapat hinaan yang hebat itu, sama sekali tidak memperlihatkan rasa gentar seolah-olah sudah semestinya disembur ludah demikian rupa.
Bahkan pada sinar wajahnya, ia nampak agak bingung seakan-akan takut kena terbongkar rahasianya.
Dan memperoleh kesan ini, Manik Angkeran jadi makin heran.
Ia merasa bahwa didalam peristiwa ini pasti terselip suatu latar belakang yang belum diketahuinya.
"Saudara Daniswara, siapakah tahanan itu?"
Tanya Darmajaksa Kidang Pananjung minta keterangan.
"Dialah Gandarpati, murid Sorohpati,"
Jawab Daniswara singkat.
Sekarang barulah Manik Angkeran teringat akan pemuda itu.
Dialah murid ayahnya yang pendiam.
Semenjak berumur belasan tahun, ia berpisah karena merantau.
Teringat akan Gandarpati, ia makin menjadi sibuk dan heran.
Pikirnya di dalam hati, Kabarnya dia mati terpenggal menggantikan kedudukan Paman Wirapati.
Mengapa tiba-tiba ia hidup kembali? Hai! Apakah artinya semuanya ini.
"Aha......! Jadi dia murid Sorohpati?"
Darmajaksa Kidang Pananjung menegas.
"Benar,"
Jawab Daniswara.
"Apakah saudara mengetahui, anak siapa dia sebenarnya? Dialah anak salah seorang raja muda Himpunan Sangkuriang, Suryapranata."
"Begitu?"
Seru Darmajaksa Kidang Pananjung dengan nada girang.
"Saudara Daniswara! Jasamu sangat besar! Perkenankan kami lapor kepada tuanku Adipati, bahwa pada hari-hari ini, raja muda Suryapranata beruntun-runtun telah mengalahkan laskar-laskar perjuangan yang lain, sehingga namanya sangat disegani orang. Pemimpin-pemimpin laskarnya merupakan jago-jago andalan Himpunan Sangkuriang. Dua bulan yang lalu, laskarnya berhasil melintasi perbatasan daerah Cirebon. Sedangkan laskar Raja Muda Andangkara malang-melintang memenuhi bumi Priangan. Hal ini berarti, bahwa pengaruhnya membahayakan kedudukan kita. Tetapi sekarang kita berhasil membekuk anaknya, yang bisa dijadikan semacam sandera. Suryapranata pasti akan menjadi jinak dan akan mendengarkan segala perintah kita."
"Binatang! Jangan bermimpi yang bukan-bukan!"
Kutuk Gandarpati.
"Ayahku seorang gagah sejati. Tidak bakal, ayahku sudi ditekan oleh manusia-manusia macam kalian. Ayahku hanya tunduk kepada perintah seorang. Itulah Gusti Sangaji. Tunggul Wulung hendak berangan-angan melawan Himpunan Sangkuriang? Huh! Janganlah kalian bermimpi pada siang hari terang benderang! Kamu semua benar-benar tak tahu diri. Pemimpinmu itu tidak cukup berharga untuk duduk berendeng dengan sepatu Gusti Sangaji."
Daniswara tidak menjadi gusar. Ia malahan tertawa lebar.
"Gandarpati! Engkau memuji-muji Sangaji tinggi sekali. Kami semua sangat kagum dan ingin bertemu dengan Beliau. Dapatkah engkau membawa kami menghadap?"
Gandarpati! Seorang pendekar jujur dan polos ia tak tahu akal kelicinan Daniswara. Jawabannya dengan suara mendongkol.
"Gusti Sangaji memikul tugas yang sangat berat. Sekalipun raja-raja muda Himpunan Sangkuriang sendiri tidak dapat bertemu dengan Beliau pada sembarang waktu. Apalagi untuk melayani kamu manusia-manusia gadungan."
Kembali lagi Daniswara tertawa.
"Omong kosong! Engkau menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Bukankah Sangaji sudah mampus ditangan Kompeni? Hayo, bilang yang benar! Huh huh! Jangan mencoba menjual cerita burung dihadap-anku!"
"Tutup mulutmu!"
Maki Gandarpati.
"Kompeni Belanda bisa menangkap pemimpin kami? Huh! huh! Taruh kata Gusti Sangaji dikepung ribuan tentara, masih bisa Beliau pergi datang sesuka hatinya. Memang benar pada saat ini Gusti Sangaji tidak berada ditempatnya. Sebab Beliau bermaksud hendak menolong Pangeran Diponegoro menyusun laskarnya, karena terjepit oleh manusia-manusia bertangan kotor... jadi kau bilang Beliau kena tangkap? E, hem... Tutup mulutmu!"
Tetap saja Daniswara tidak mejadi gusar.
Dan tertawa kian menjadi lebar.
Kemudian berkata dengan nada mengejek.
"Mungkin engkau benar, sahabat! Tapi semua orang mengatakan bahwa Sangaji mampus ditangan Kompeni Belanda.
Karena itu, tak dapat tidak, aku harus percaya kepada berita itu.
Dua tiga bulan yang lalu, warta berita hanya menyebut-nyebut nama Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Andangkara, Otong Surawijaya, Ki Tun-jungbiru, Dwijendra, dan Ratna Bumi.
Sebaliknya nama Sangaji sama sekali tak disebut-sebut.
Bukankah itu merupakan bukti, bahwa Sangaji sesungguhnya sudah mampus?"
Paras muka Gandarpati menjadi merah padam. Sehingga urat-uratnya menonjol keluar. Makinya dengan berteriak panjang.
"Binatang! Janganlah engkau menghina pemimpin kami! Pada saat ini Beliau berada di Jawa Tengah. Pada suatu hari Beliau akan muncul untuk menghajar kamu semua satu demi satu atau berbareng sekaligus."
"Oh...o begitu?"
Kata Daniswara dengan mata berseri-seri.
"Kalau begitu, benarlah kata orang, bahwa Sangaji berada di Jawa Tengah. Jadi dia benar-benar hendak membantu Pangeran Diponegoro. Bagus! Begitu?"
Sekarang sadarlah Gandarpati, bahwa ia kena jebak oleh lawannya yang pintar itu.
Tadi Daniswara mengatakan bahwa Sangaji sudah mati.
Kini hendak mengakui bahwa Sangaji berada di Jawa Tengah.
Malah menegas bahwa Sangaji sedang membantu usaha Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan.
Dalam hati, Gandarpati menyesal bukan main.
Karena hatinya penuh sesal, maka mulutnya terbungkam.
Setelah berdiam sejenak, Daniswara berkata dengan suara tawar.
"Ilmu kepandaian Sangaji memang boleh juga. Hanya saja usianya sangat pendek. Setiap orang pandai yang berada di seluruh persada bumi ini pernah berkata, bahwa usia Sangaji tidak akan bisa melebihi tiga puluh tujuh tahun."
Tiba-tiba sebatang cabang pohon sawo yang berada dipekarangan biara itu bergoyang.
Manik Angkeran yang memiliki pendengaran sangat .tajam, lantas saja mendengar suara bernapasnya seseorang dibalik cabang itu.
Sesaat kemudian, suara napas itu menghilang lagi dan tahulah Manik Angkeran, bahwa orang itu sudah berhasil mengatur pernapasannya kembali.
"Rupanya dia sudah lebih lama bersembunyi daripada aku. Ih! Sudah lama dia berada disitu, tetapi aku tidak mengetahuinya. Pastilah dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi."
Memperoleh pikiran demikian, ia mengawaskan pohon sawo yang berada di sampingnya.
Diantara silang ranting-ranting dan mahkota daun, ia melihat ujung baju berwarna hijau.
Orang itu bersembunyi ditempat yang sangat bagus dan warna pakaiannya serupa sewarna dengan warna daun, sehingga seumpama Manik Angkeran tidak mempunyai mata yang tajam luar biasa, pastilah dia tidak akan dapat melihatnya.
Dalam pada itu Gandarpati terdengar membentak dengan suara gemetaran.
"Dusta! Gusti Sangaji seorang pemimpin yang bermurah hati. Orang yang bermurah hati pasti dilindungi Tuhan. Memang kini ia berusia kurang-lebih tigapuluh tujuh tahun. Akan tetapi pasti dia bisa hidup seratus tahun lagi!"
Daniswara menghela napas.
"Aku tidak menyalahkan keyakinanmu. Akan tetapi seringkali di dunia ini terjadi sesuatu hal diluar dugaan. Aku mendengar kabar tatkala ia melintasi wilayah Jawa Barat ia kena tipu muslihat seorang penjahat. Tegasnya ia kena racun sehingga mati tak berkubur. Tetapi engkau tak usah merasa heran. Siapa saja yang pernah melihat wajah Sangaji mempunyai pendapat sama. Yakni bahwa bocah itu tidak akan tahan hidup melebihi tigapuluh tujuh tahun...."
Sekonyong-konyong ucapan Daniswara terputus. Sebab hampir berbareng dengan bergoyangnya cabang pohon sawo, sesosok tubuh berwarna hijau melayang turun sambil membentak.
"Sangaji berada di sini! Siapa bilang aku sudah mati?"
Setelah membentak demikian, orang berbaju hijau itu melesat keluar paseban.
Panglima Halayuda menyambut kedatangannya dengan menyambarkan tangannya ke arah leher.
Tetapi dengan gerakan yang sangat indah orang itu bisa mengelakkan diri.
Ternyata dia seorang pemuda yang sangat tampan.
Dengan mengenakan ikat kepala persegi empat dan baju berwarna hijau.
Manik Angkeran terkesiap.
Segera ia mengenal pemuda itu bukan Sangaji, akan tetapi Fatimah yang menyamar sebagai Sangaji.
Rupa-rupa perasaan memenuhi dadanya.
Kaget, gusar, cinta dan girang bercampur aduk menjadi satu.
Tanpa merasa ia mengeluarkan suara tertahan.
Untunglah suaranya tidak terdengar oleh orang-orang yang sedang menaruhkan seluruh perhatiannya kepada Fatimah.
Menurut kabar Daniswara pernah bertemu dengan Sangaji tatkala mengepung Gagak Seta.
Tetapi waktu itu, Sangaji mengenakan pakaian seorang petani.
Paras mukanya dibedaki dengan lumpur, sehingga Daniswara tidak bisa mengenal wajahnya yang benar.
Maka itu pada hakekatnya Daniswara belum mengetahui dengan jelas pribadi Sangaji.
Adipati Kuntul Aneba dan yang lain-lain lebih-lebih setelah mengenalnya.
Mereka hanya mengetahui bahwa pemimpin Himpunan Sangkuriang adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih tigapuluh tujuh tahun yang berkepandaian sangat tinggi.
Melihat cara Fatimah mengelakkan diri dengan lincah dan indah, mereka tidak sangsi lagi.
Tetapi Daniswara tidak demikian.
Meskipun hatinya berbimbang-bimbang, namun Fatimah terlampau cantik untuk menjadi seorang pria.
Sebab usia Fatimah masih begitu muda dan suaranya pun bukan suara laki-laki.
Itulah sebabnya ia lantas membentak.
"Sangaji sudah mampus! Siapa kau? Berani sungguh engkau bermain gila di hadapan kami?"
"Binatang!"
Bentak Fatimah dengan gusar."
Apa perlu engkau mencari Sangaji? Sangaji mempunyai rejeki setinggi langit seluas bumi, dia akan hidup seratus tahun lagi. Setelah manusia-manusia seperti kamu ini terkubur, ia masih bisa hidup delapan puluh tahun lagi..."
Mendengar suara Fatimah yang bernada duka, jantung Manik.Angkeran memukul keras.
Mengapa dia menyesal? Tetapi segera menekan pikirannya.
Katanya lagi didalam hati, Fatimah pengikut Sirtupelaheli.
Dia bekerja hanya untuk kepentingannya sendiri.
Mustahil ia memikirkan tentang Kangmas Sangaji.
Sementara itu Daniswara bertanya dengan suara sabar.
"Sebenarnya, siapa engkau? Kau tak akan dapat membohongi aku. Kau pasti bukan Sangaji."
"Akulah Sangaji pemimpin Himpunan Sangkuriang,"
Jawab Fatimah.
"Mengapa engkau menangkap bawahanku? Hayoo, bebaskan dia! Dalam segala hal akulah yang bertanggung jawab."
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara dingin. Dialah Tarupala, murid Dipajaya.
"Fatimah! Engkau bisa mengelabui orang lain. Tetapi terhadapku, engkau tak mungkin bisa menipu. Bukanlah engkau murid Bibi Sirtupelaheli. Kita pernah bertemu dan berbicara berkepanjangan. Lagi pula, aku kenal wajah Sangaji. Bukan sebelum dua bulan atau setahun, dua tahun yang lalu, tetapi baru kemarin saja. Masakan ingatanku tak sanggup mengingat-ingat pertemuanku kemarin?"
Setelah berkata demikian, dia memutar kepada Adipati Kuntul Aneba.
"Lapor kepada tuanku Adipati. Dia seorang perempuan. Namanya Fatimah. Dialah murid Sirtupelaheli, bekas istri guruku. Kabarnya ia mendirikan gerombolan pula. Diantara pengikut-pengikutnya terdapat orang-orang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Karena itu kita harus siap sedia."
Mendengar ucapan Tarupala, Manggalayudha Gagak Angin lantas saja bersiul nyaring. Kemudian berteriak memberi aba- aba.
"Halayuda! Saudara-saudara kita yang berada diluar biara perintahkan bersiap. Hajar semua musuh yang hendak menerobos ke dalam biara!"
Panglima Halayuda lantas saja mengiakan.
Dalam sekejap mata, terdengar teriakan-teriakan laskar pada keempat penjuru angin.
Mereka bersiap penuh menyambut kedatangan lawan.
Paras Fatimah agak berubah.
Ia bertepuk tangan dan dari atas tembok melayanglah dua orang, turun ke tanah.
Manik Angkeran terkejut tatkala melihat siapa mereka itu.
Ternyata merekalah Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Bagaimana mereka bisa berkenalan dengan Fatimah.
Kapan? Apa pula latar belakangnya? Seketika itu juga benak Manik Angkeran dirumun teka-teki yang pelik dan sulit.
"Bekuk mereka!"
Bentak Gagak Angin.
Empat orang perwira lantas saja menerjang berbareng.
Tetapi tentu saja mereka berempat bukan tandingan kedua raja muda itu.dalam tiga jurus saja mereka semua ter-luka.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat begitu, Halayuda segera turun kegelanggang dan mengantam Otong Surawijaya dengan pukulan yang menerbitkan deru angin dahsyat.
Manik Angkeran mengenal pukulan itu.
Itulah salah satu jurus ilmu sakti Kalalodra milik almarhum pendekar Kebo Bangah.
Ia pernah mendengar keterangan kehebatan ilmu sakti Kalalodra dari mulut Sangaji dan Titisari.
Tetapi tatkala menerima keterangan itu masih belum bisa ia menangkap intisarinya.
Sekarang ia menjadi kagum bukan main sama sekali tak diduganya, bahwa ilmu sakti Kalalodra demikian hebat.
Dan ternyata panglima Halayuda sudah menyelami dasar ilmu sakti Kalalodra ciptaan almarhum Kebo Bangah yang sangat tinggi.
Otong Surawijaya tidak mau berayal lagi.
Cepat-cepat ia mengerahkan Aji Ginengnya untuk pukulan itu.
"Bres!"
Kedua tangan beradu.
Pukulan ilmu sakti Kalalodra mengandung tenaga keras sedang pukulan Aji Gineng mengandung tenaga lunak dan dingin.
Kedua lawan itu sudah berlatih puluhan tahun lamanya.
Tenaga himpunan sakti mereka sudah mencapai tataran yang tinggi pula.
Dalam bentrokan pertama kali, tenaga mereka kira-kira setanding.
Panglima Halayuda terkejut.
Sementara hawa yang sangat dingin menerobos memasuki lengannya melalui telapak tangannya.
Dan kini terus naik ke atas.
Dipihak lain Otong Surawijaya merasakan hawa panas menyelomot dirinya.
Darahnya bergolakan di sekitar dadanya.
Ia terkejut dan memelototi lawannya dengan pandang berapi-api.
Dengan sekilas pandang tahulah dia lawannya pucat, dan kedua gundu matanya menjadi merah.
Itulah suatu tanda bahwa Halayuda sedang mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan hawa dingin Aji Gineng yang menembus urat nadinya.
Otong Surawijaya jadi heran.
Katanya dalam hatitak kusangka pada hari ini bertemu dengan lawan berat.
Untung juga dia kalah setingkatIa segera mengambil keputusan untuk menyerang lagi.
Dia maju selangkah dan menghantam lagi dengan Aji Gineng.
Sengaja ra memberondongi dari empat penjuru, sehingga Halayuda tak dapat mengelakan lagi.
Satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah menyambut pukulan Otong Surawijaya dengan mengandal kepada ilmu sakti Kalalodra.
Meskipun tenaga kedua lawan itu kira-kira setanding, namun sifat tenaga mereka masing-masing agak berbeda.
Kalalodra adalah warisan pendekar Kebo Bangah dan merupakan ilmu yang murni bersih.
Sedang Aji Gineng milik Otong Surawijaya mengandung hawa dingin yang beracun.
Dalam hal himpunan tenaga sakti kedua belah pihak sama- sama kuatnya.
Tetapi setiap kali tangan mereka beradu, Halayuda harus menggunakan sebagian tenaganya untuk membendung dan mengusir hawa dingin yang beracun itu.
Dengan demikian ia harus menggunakan lebih banyak tenaga dari pada lawannya.
Itulah sebabnya, setelah beradu tangan tiga kali ia lantas berada dibawah angin.
Disudut lain, Dadang Wiranata mulai menggunakan tongkat bajanya yang termashyur.
Ia merabu Manggalayuda Gagak Angin dan Darmajaksa Kidang Pananjung.
Meskipun dikerubut dua Dadang Wiranata tidak keteter.
Dengan hati mantap ia berkelahi.
Dengan rasa cemas, Cengkir Pradapa memperhatikan keadaan panglima Halayuda.
Rekannya itu sudah menyelami ilmu sakti Kalalodra dan dalam kalangan Tunggul Wulung, ia memiliki himpunan tenaga sakti yang paling kuat.
Mengapa ia sampai keteter? Setelah tujuh kali beradu tangan, napasnya nampak tersengal-sengal.
Ia berada dalam kepayahan sekali.
Panglima Halayuda biasanya tak senang dibantu.
Dalam setiap pertempuran, ia menghendaki dapat menyelesaikan sendiri.
Tetapi sekarang ia menghadapi kekalahan.
Bahkan kemungkinan sekali jiwanya terancam.
Daripada menyaksikan kawannya mati tertumpas Dadang Wiranata, Cengkir Pradapa menyingkirkan rasa harga dirinya.
Biarlah dirinya tercela sebagai tukang keroyok.
Tak mengapa.
Memperoleh keputusan demikian, lantas saja ia menggerakkan tongkat bajanya menghantam Dadang Wiranata.
Meskipun pukulannya belum bisa dijajarkan seperti pukulan tongkat Gagak Seta, akan tetapi didalam kalangan Tunggul Wulung Cengkir Pradapa diakui sebagai seorang yang berkepandaian tinggi karena membawa-bawa tongkat bajanya itu.
Diapun memang salah seorang jago andalan pula.
Begitu turun tangan, panglima Halayuda dapat bernapas lega dan mereka berdua lalu mendesak Dadang Wiranata sehebat- hebatnya.
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya kini turun sendiri, Fatimah sendiri sebenarnya ingin melarikan diri secepat mungkin.
Namun ia keburu terjebak oleh Daniswara yang menyerang dengan pedangnya.
Dalam keadaan terdesak, Fatimah melepaskan pukulan-pukulan hebat dari beberapa ragam ilmu sakti.
Seperti diketahui selain menjadi murid Suryaningrat diapun memperoleh ilmu kepandaian dari Sangaji, Titisari dan akhirnya Sirtupelaheli.
Bagaikan kilat yang melepaskan tiga serangan berantai.
Yang pertama pukulan ajaran Kyai Kasan Kesambi lewat gurunya Suryaningrat.
Yang kedua tikaman pedang ajaran Titisari dan yang ketiga jurus sakti yang diperolehnya dari Sangaji.
Setelah melepaskan tiga serangan sekaligus, masih kurang puas dia.
Seolah-olah tanpa bernapas serangan yang keempat, kelima dan keenam saling menyusul dengan gesit.
Daniswara kaget bukan kepalang.
Dalam kagetnya tak terburu lagi ia menangkis dan sebagai anak panah pedang Fatimah meluncur keulu hati.
Tetapi pada detik ujung pedang akan menyentuh kulit dadanya, terdengarlah suara nyaring.
Pedang Fatimah terpukul kesamping.
Orang yang menolong Daniswara adalah Tarupala.
Pada detik itu pula Fatimah segera dikerubut.
Semua kejadian itu tak luput dari pandang mata Manik Angkeran.
Ia memperhatikan serangan-serangan Tarupala yang menggunakan ilmu pedang ajaran pendekar Dipajaya.
Dengan Dipajaya pernah ia mengadu ilmu pedang.
Karena itu segera ia mengenal jurus-jurus yang diperlihatkan Tarupala.
Ternyata pemuda itu sudah dapat menyelami pelajaran gurunya dengan baik.
Dalam pada itu setiap kali ada lowongan, Daniswara menyerang dari samping dengan pukulan-pukulan ajaran ayahnya.
Dengan demikian meskipun Fatimah mengenal berbagai macam ilmu pedang tetapi dalam pertempuran jangka panjang perlahan-lahan ia mulai terdesak.
Menyaksikan hal itu Manik Angkeran jadi berbimbang- bimbang menolong atau tidak? Menurut kata hatinya, ia mendongkol terhadap Fatimah.
Akan tetapi melihat Fatimah terancam bahaya, hatinya menjadi gelisah pula.
Tak lama kemudian beberapa jago-jago Tunggul Wulung mulai turun ke gelanggang.
Sedang dipihak Fatimah sama sekali tiada memperoleh bantuan.
Sadar akan hal itu, Otong Surawijaya berseru kepada Fatimah.
"Fatimah dan Kakang Dadang Wiranata! Mundur kehalaman dan lari!"
"Baik,"
Sahut Fatimah.
"Tetapi siluman Daniswara ini mencaci Sangaji. Hatiku tak senang. Sebelum mundur, paman berdua harus bisa menghajarnya."
"Kau mundurlah dahulu,"
Kata Otong Surawijaya.
"Serahkan siluman itu kepada kami berdua."
"Gandarpati sangat setia kepada Sangaji,"
Ujar Fatimah pula. Karena itu paman berdua harus menolongnya."
"Baik. Setelah engkau mundur, kami berdua akan menolongnya,"
Jawab Otong Surawijaya dengan tertawa lebar.
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya.
Tanpa melepaskan sepatah kata pun juga, Adipati Kuntul Aneba berdiri menonton dipojok.
Mendengar pembicaraan Otong Surawijaya dan Fatimah, Panglima Halayuda dan Kidang Pananjung segera berteriak-teriak memberi perintah kepada sekalian laskarnya untuk mencegat dan menutup semua penjuru angin.
Dengan mendadak saja Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya meninggalkan lawannya masing-masing.
Dengan suatu gerakan kilat, mereka berdua menerjang Adipati Kuntul Aneba.
Perubahan itu sama sekali tak terduga.
Meskipun berkepandaian tinggi, Adipati Kuntul Aneba tak akan dapat menangkis serangan mereka berdua yang sangat cepat dan dahsyat.
Tetapi lantaran belum takdirnya mati seorang penolong sudah bersiap sedia.
Dialah Daniswara.
Daniswara adalah seorang pendekar yang sangat pintar.
Ia dapat menduga tepat sekali setelah mendengar pembicaraan Fatimah dan Otong Surawiajaya.
Segera ia menghampiri dan melindungi Adipati Kuntul Aneba.
Pada detik yang sangat berbahaya ia mendorong pundak Kuntul Aneba kebelakang tiang biara.
Pada saat itu juga pukulan Dadang Wiranata mendarat dan mengenai tiang yang berada didepannya.
Kena pukulan Aji Gineng Dadang Wiranata, tiang itu berderak-derak rontok.
Kemudian somplak dan hancur bertaburan di atas lantai.
Keadaan menjadi kalut.
Semua orang yang lagi bertempur melompat ke tepi agar tidak tertindih robohan atap yang kini tidak bertiang lagi.
Dengan menggunakan kesempatan itu.
Fatimah segera kabur ke halaman depan dengan dikejar Tarupala dan Gagak Angin.
Selagi Fatimah hendak melompat pintu pagar, tiga batang tongkat menyambar kakinya.
Hati Fatimah tercekat.
Ia tergencet dari depan dan dari belakang.
Dengan mati-matian ia berhasil mengelakkan dua tongkat yang menyambar terlebih dahulu.
Akan tetapi tongkat yang ketiga tepat mengenai ujung kakinya.
Seketika itu juga ia roboh di atas lantai.
Daniswara yang memburu segera merangsak dengan pedangnya.
Ia membalikkan pedangnya dan berniat hendak memukul kepala Fatimah dengan gagang pedang agar bisa menangkapnya hidup-hidup.
Pada saat yang sangat berbahaya itu mendadak saja tongkat Panglima Halayuda berkelebat menangkis pedang Tarupala.
Dan pada detik itu pula nampaklah sesosok bayangan manusia melompat keluar dari atas tembok dengan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Tarupala menoleh kepada Panglima Halayuda.
Bertanya dengan suara mendongkol.
"Mengapa engkau melepaskan dia?"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku melepaskan dia? Engkaulah yang memukul tongkatku!"
Bentak Panglima Halayuda dengan mata melotot.
"E, eh. Bukankah engkau justru yang memukul gagang pedangku? Mengapa?"
"Jangan mengoceh tak keruan! Cepat! Kejar!"
Mereka berdua segera melompati tembok. Diluar kaki dinding mereka berdua bertemu dengan seorang perwira yang patah kakinya dan tak dapat berdiri lagi. Mereka segera menghampiri. Kemudian bertanya.
"Kemana larinya perempuan siluman tadi?"
"Perempuan yang mana? Kami tak melihat seorang manusiapun,"
Jawab perwira itu. Panglima Halayuda gusar tak kepalang.
"Apa kamu buta? Terang-terangan perempuan siluman itu melompati tembok."
Sambil membangunkan perwira itu, seorang yang bertubuh besar menjawab.
"Sama sekali tiada seorang perempuan yang melompati tembok! Tuan inilah yang justru melompat keluar."
Panglima Halayuda menggaruk-garuk kepalanya.
"Kenapa engkau melompati tembok?"
"Aku...aku... ditangkap dan dilemparkan,"
Jawab perwira itu dengan tergagap-gagap. Meneruskan sambil menahan rasa sakitnya.
"Perempuan siluman itu mempunyai ilmu yang sangat aneh."
Panglima Halayuda terhenyak sejenak. Tiba-tiba teringatlah ia kepada pekerti Tarupala. Dengan wajah gusar ia menatap wajah Tarupala sambil membentak.
"Mengapa engkau tadi memukul tongkatku? Apa maksudmu? Baru saja masuk ke dalam laskar Tunggul Wulung, engkau sudah mencoba-coba main gila terhadapku."
Ditegur demikian, Tarupala meluap darahnya. Akan tetapi mengingat Halayuda panglima laskar Tunggul Wulung, sedapat-dapat-nya ia menahan hawa amarahnya.
"Selagi aku memukul kepala perempuan siluman itu, engkau menangkis senjataku sehingga siluman itu dapat melarikan diri."
"Omong kosong!"
Bentak Halayuda.
Apa perlu aku menangkis gagang pedangmu? Puluhan tahun aku mengabdikan diri kepada golongan Tunggul Wulung.
Dan lantaran jasa-jasaku aku kini memperoleh kedudukan sebagai panglima.
Apakah engkau hendak menuduhku aku sengaja membantu seorang buruan? Sekarang aku bertanya.
sebab apa engkau tidak menggunakan ujung pedangmu untuk menikamnya? Kenapa berlaga memukul dengan gagang pedang? Huh! huh...
mataku belum lamur.
Tak dapat engkau mengelabui diriku."
Sebagai anak murid Dipajaya kedudukan Tarupala hanya berada di bawah Letnan Suwangsa.
Sekalian adik-adik seperguruannya hormat kepadanya.
Apalagi pembantu- pembantu rumah tangga Dipajaya.
Kini atas tekanan Daniswara, terpaksalah ia masuk kedalam golongan Tunggul Wulung.
Diluar dugaan pada hari pertama ia sudah kena dicaci Panglima Halayuda.
Ia adalah seorang pemuda yang beradat tinggi, karena dilahirkan sebagai putra seorang bupati.
Meskipun tahu kedudukan Halayuda sebagai seorang panglima tak dapat lagi ia menahan sabar.
Lantas membalas membentak dengan suara bergemetaran.
"Kau menuduhku main gila? Apa maksudmu? Sebagai seorang panglima sebenarnya engkau harus bisa membuktikan tuduhanmu itu. Terang sekali engkau menangkis gagang pedangku. Di siang hari begini setiap orang bisa melihatnya."
Dengan kata-katanya itu Tarupala hendak berkata kepada Panglima Halayuda, bahwa orang itulah yang justru main gila dan sengaja melepaskan Fatimah.
Panglima Halayuda ternyata seorang prajurit berangasan.
Sebagai seorang panglima, ia biasa dijunjung-junjung sangat tinggi.
Sekarang ia kena hinaan.
Keruan saja darahnya meluap.
"Binatang!"
Bentaknya.
"Jadi engkau tidak mendengarkan perkataan seorang panglima? Apakah ditempat ini engkau masih mau mengandalkan pengaruh Dipajaya?"
Setelah berkata demikian, ia menghantam kepala Tarupala dengan tongkat bajanya.
Dalam kegusarannya, ia menggunakan tenaga sakti dengan sangat dahsyatnya.
Tarupala segera menangkis tanpa bersegan-segan lagi.
Tongkat Panglima Halayuda yang terbuat dari baja putih, ternyata sangat ulet dan keras.
Babatan pedang Tarupala tidak dapat memutuskan.
Padahal pedang Tarupala adalah pedang pusaka Kyai Ageng Singkir yang diterimanya kembali dari Antariwati dan Sindungjaya.
Begitu kedua senjata beradu, telapakan Tarupala Terasa pedih seperti terbeset.
Keruan saja ia kaget setengah mati.
Sama sekali tak pernah diduganya bahwa himpunan tenaga sakti Panglima Halayuda jauh lebih daripada dirinya.
Sebaliknya lengan Panglima Halayuda kesemutan pula.
Panglima itu memiliki himpunan tenaga sakti demikian kuat dan tinggi.
"Bocah! Berani sungguh engkau melawanku? Apakah engkau sebenarnya mata-mata musuh yang sengaja dikirim kemari?"
Sambil mengutuk demikian, ia menghantam lagi. Tiba-tiba sesosok bayangan melompat keluar dari paseban dan menangkis pukulan Panglima Halayuda! "Kangmas Halayuda sabar dahulu!"
Seru bayangan itu. Dan ternyata dia adalah Daniswara.
"Daniswara! Coba pertimbangkan perkara ini!"
Teriak Panglima Halayuda.
"Dimana perempuan siluman itu?"
Tanya Daniswara.
"Dialah yang melepaskannya,"
Sahut Panglima Halayuda cepat sambil menuding Tarupala.
"Bukan, bukan aku! Dialah justru yang melepaskannya."
Tarupala membalas tuduhan Panglima Halayuda.
Selagi mereka bertengkar, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya sudah menerobos keluar.
Melihat Fatimah tidak lagi berada di biara, mereka tahu bahwa gadis itu sudah berhasil meloloskan diri.
Karena itu hati mereka berdua menjadi lega luar biasa dan lebih mantap.
Sambil tertawa riuh mereka menyerang dengan sepenuh tenaga.
Mereka berdua adalah raja muda yang berani dan mengandal kepada kemampuan sendiri.
Dengan mengumbar adat sekali pukul empat perwira laskar Tunggul Wulung roboh tak berkutik.
Sewaktu Kidang Pananjung, Gagak Angin dan Cengkir Pradapa memburunya, mereka sudah kabur jauh.
Yang ketinggalan hanyalah gaung suara tertawanya saja yang membangunkan bulu roma.
Panglima Halayuda berjingkrak karena gusarnya.
"Ubar!"
"Jangan!"
Cegah Daniswara.
"Kakang Halayuda musuh mungkin menyembunyikan pasukannya yang kuat disepanjang jalan."
Panglima Halayuda tersadar.
"Benar! Kenapa aku begini tolol? Musuh pasti datang kemari dalam jumlah yang besar. Dua orang saja sudah susah dilawan. Apalagi apabila mereka merabu berbareng."
Ia kemudian menyatakan rasa terima kasihnya kepada Daniswara dan kegusarannya terhadap Tarupala pun agak reda.
Sementara itu Manggalayuda Gagak Angin menghitung anak buahnya.
Ternyata tiga belas orang mati dalam tangan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Tujuh orang terluka berat dan sembilan orang terluka karena robohnya kena atap dan tiang biara.
Segera ia memberi perintah kepada bagian pengobatan agar memberi pertolongan kepada orang-orang yang terluka.
Kemudian dengan Darmajaksa Cengkir Pradapa, ia mengadakan pemeriksaan disekitar biara.
Sepuluh laskar mengawalnya dari belakang.
Dimanakah Fatimah kini berada? Dia dari-mana dan bersembunyi dimana? Berkecamuknya pertempuran di dalam biara itu tak lepas dari pengamatan Manik Angkeran.
Waktu Tarupala membalik pedangnya hendak memukul kepala Fatimah dengan gagang senjata itu, hati Manik Angkeran tercekat.
Sebab pukulan itu bisa jadi ringan, tetapi pun bisa berat.
Kalau ringan Fatimah hanya akan jatuh pingsan.
Sebaliknya apabila berat jiwanya bisa melayang.
Pada detik yang sangat berbahaya, tanpa berpikir panjang lagi ia melompat turun dan mendorong tongkat baja Panglima Halayuda agar menangkis gagang pedang Tarupala.
la mendorong dengan tenaga ilmu sakti Maruti Buwana.
Selama belasan tahun berada di atas Gunung Cibugis.
Ia mempelajari dan melatih diri dalam beberapa ilmu sakti milik para raja muda.
Dengan mengandalkan nama Sangaji, ia dapat mewarisi berbagai macam ilmu sakti milik para raja muda yang bersedia memberikannya dengan ikhlas demi junjungannya.
Dari Dadang Wiranata ia memperoleh Aji Gineng.
Dari Otong Surawijaya ia mendapat Aji Gumbala Geni dan dari Tatang Sontani ia memperoleh ilmu sakti Tunggul Wulung dan Maruti Buwana.
Ilmu sakti Maruti Buwana adalah warisan Ki Ageng Tapa guru Ratu Bagus Boang yang kemudian diturunkan kepada Ratu Bagus Boang.
Pada zaman purba milik Raja Karawelang yang diwariskan kepada Ratu Angin-angin.
Kemudian entah bagaimana sejarahnya ilmu sakti tersebut tersimpan dalam perbendaharaan bumi Banten.
Ilmu sakti itu konon dikabarkan berasal dari Hyang Tunggal.
Dalam ceritera pedalangan diceritakan mempunyai kesaktian memutar jagad dan membalikan bumi.
Maknanya yang benar ialah meminjam tenaga lawan untuk dihantamkan kembali.
Kedengarannya sangat mudah.
Akan tetapi sesungguhnya sukar dilaksanakan.
Gntuk meyakinkan ilmu sakti tersebut, membutuhkan waktu tekun selama duapuluh tahun lebih.
Akan tetapi Manik Angkeran telah mendapat bimbingan Sangaji yang mudah memiliki ilmu sakti warisan Pangeran Semono.
Dengan demikian, ia memperoleh kemajuan pesat sekali.
Kepandaiannya kini berada diatas kepandaian para raja muda Himpunan Sangkuriang.
Itulah sebabnya dorongannya tadi tidak diketahui oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi seperti Panglima Halayuda dan Daniswara.
Panglima Halayuda menduga bahwa Tarupala sengaja memukul tongkat bajanya.
Sebaliknya Tarupala mengira Panglima Halayuda sengaja menangkis pedangnya.
Disaat mereka berdua kaget, Manik Angkeran menyambar seorang perwira dan melemparkannya keluar tembok, melihat berkelebatnya seseorang melewati tembok Panglima Halayuda dan Daniswara mengira Fatimah telah melarikan diri dengan melompati tembok sementara itu sambil mendukung Fatimah Manik Angkeran melompat ke atas atap bagaikan kilat.
Pada waktu itu, kegesitan Manik Angkeran, hanya berada dibawah Sangaji.
Katakanlah dia sudah mencapai puncak tertinggi.
Lompatannya seperti terbangnya seekor burung.
Dalam hal ini ada beberapa segi yang menguntungkan Manik Angkeran sehingga lompatannya tidak terlihat.
Pertama, pada waktu itu sudah lewat lohor dan segala yang berada di bawah matahari tak terlihat bayangannya lagi.
Kedua, para laskar anggota Tunggul Wulung sedang memburu keluar, sehingga meskipun beberapa orang merasa ada sesuatu lewat diatas- nya, tidak menghiraukannya.
Ketiga, sekitar biara masih penuh debu yang memenuhi udara akibat robohnya atap lantaran tiang agungnya kena dipatahkan Dadang Wiranata.
Keempat, keadaan pada waktu itu sedang kalut.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedang kelima tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi sudah memburu keluar dalam usahanya mengepung Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya serta hendak membekuk Fatimah.
Inilah beberapa hal yang membuat Manik Angkeran bisa menolong Fatimah tanpa diketahui oleh siapa -pun juga.
Selagi tubuhnya melayang ditengah udara, Fatimah membuka matanya.
Ia terkesiap, tatkala penolong itu dikenalnya dengan baik.
Hampir saja tak percaya ia kepada penglihatannya sendiri.
"Kau...!"
Buru-buru Manik Angkeran mendekap mulutnya.
Di kiri kanan biara penuh dengan laskar-laskar Tunggul Wulung yang berteriak-teriak mencari musuh.
Sudah barang tentu Fatimah tahu akan hal itu.
Akan tetapi dia memang seorang gadis liar melebihi Titisari.
Meskipun kena dekap, masih saja ia membuka mulutnya.
Katanya tak jelas.
"Kau... memang setan! Apakah engkau tetap menongkrong di atas atap ini? Lari ke selatan! Di sana ada Kilatsih menunggu....."
Mendengar disebutnya nama Kilatsih, Manik Angkeran heran.
Apakah mereka berdua sudah bertemu? Kapan? Dimana? Tak sempat lagi ia minta keterangan.
Melihat laskar Tunggul Wulung berlari-larian me-ngubar ke arah larinya Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, cepat ia melesat melalui atap sebelah barat.
Kemudian dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, ia terbang bagaikan burung.
Biara itu berada di atas ketinggian.
Letak tanahnya seperti tempurung menungkrap.
Disebelah barat terdapat belukar dan pepohonan.
Ke sana Manik Angkeran berseru, p Sebentar saja tubuhnya telah teraling oleh rimbun semak belukar.
"Hai! Apakah engkau akan menggendongku terus?"
Tegur Fatimah. Merah wajah Manik Angkeran. Buru-buru ia menurunkan Fatimah diatas tanah.
"Mengapa engkau berada di sini?"
"Mengapa engkau berada di sini pula?"
Balas Fatimah. Manik Angkeran kenal watak Fatimah. Terpaksa ia tersenyum geli. Katanya seperti kepada dirinya sendiri.
"Baiklah! Kau memang siluman yang susah diurus."
"Apakah kau kira dirimu bukan siluman? Engkau justru iblis yang patut dikutuki manusia diseluruh jagad ini!"
Bentak Fatimah dengan memelototkan matanya. Mau tak mau Manik Angkeran menghela napas.
"Benar! Memang aku ini iblis! Iblis bertemu dengan siluman. Bukankah jodoh?"
Fatimah memberengut.
"Justru karena teringat engkaulah iblis, membuat aku merasa perlu membantumu. Coba, kalau aku tidak memperoleh kisikan Kilatsih, aku harus mencarimu seribu tahun lagi."
Terharu hati Manik Angkeran mendengar ucapan Fatimah.
Mereka berdua memang mempunyai kisah latar belakang yang sangat menarik.
Itulah terjadi pada lima belas tahun yang lalu.
Mereka berdua bergaul semenjak masing-masing tumbuh menjadi pemuda dan pemudi tanggung.
Fatimah seorang gadis pendiam dan lembut.
Manik Angkeran seorang pemuda yang bercita-cita.
Dia tertarik mempelajari ilmu ketabiban.
Setiap kali bertemu pasti membicarakan dan membanggakan kepandaiannya.
Fatimah, meskipun tidak mengerti sekelumitpun tentang ilmu ketabiban, pandai membawa diri pula.
Dengan demikian, nampaknya mereka berdua akan menjadi pasangan yang berbahagia, apalagi tidak terjadi sesuatu peristiwa yang ajaib.
Pada suatu hari, hampir seluruh desa jatuh sakit.
Kedua orang tua Fatimah tak terkecuali.
Fatimahpun demikian pula.
Dengan berlari-larian ia mencari Manik Angkeran.
Lalu memperlihatkan luka di pundak kirinya.
"Kau... kenapa?"
Manik Angkeran heran.
"Seseorang yang mengenakan topeng melukai lenganku,"
Jawab Fatimah dengan suara bergemetaran.
"Kata orang, dia bangsa lelembut."
Manik Angkeran tertawa mendengar keterangan Fatimah.
"Fatimah! Bangsa lelembut tidak mempunyai hubungan dan sangkut-paut dengan penghidupan manusia. Coba kuperiksanya!"
Pada waktu itu malam hari.
Di bawah cahaya lentera, ia melihat dengan jelas bahwa luka dipundak kiri Fatimah adalah akibat terluka senjata berat.
Kain pembalut-nya tak dapat membendung mengalirnya darah.
Fatimah terbatuk-batuk terus tiada hentinya.
Manik Angkeran menjadi heran.
Waktu Manik Angkeran sudah mewarisi seluruh ilmu ketabiban gurunya, la sudah bisa digolongkan seorang tabib pandai.
Maka begitu mendengar suara batuk Fatimah yang agak aneh, segera ia tahu bahwa paru-paru Fatimah sebelah kiri mengalami kekejangan hebat.
"Fatimah! Rupanya engkau kena pukulan seseorang. Siapa?"
"Bukankah sudah kukatakan?"
Fatimah membalas bertanya dengan memberengut.
Cepat Manik Angkeran membendung darah yang terus mengalir dari pundak kiri dan tempat-tempat tertentu.
Fatimah yang biasanya hanya mendengar uraian tentang ilmu ketabiban dari mulut Manik Angkeran, heran dan kagum menyaksikan kecekatan dan kepandaian tunangannya itu.
Katanya dengan perasaan kagum.
"Eh, kakakku Manik Angkeran yang manis! Sama sekali tak kukira bahwa engkau mempunyai kepandaian begini tinggi."
Manik Angkeran tidak menjawab, la hanya tertawa di dalam dada.
Kemudian ia bergegas memasuki desa mengadakan pemeriksaan.
Tatkala memeriksa penyakit yang diderita orang-orang dusun itu, ia ternganga-nganga keheranan.
Makin teliti, makin aneh sifatnya.
Ternyata mereka menderita luka yang berbeda-beda.
Bentuk dan sifat lukanya sangat aneh.
Semuanya belum pernah terdapat dalam pelajarannya mengenai penyakit demikian.
Ada seorang yang luka jantungnya oleh getaran tenaga sakti.
Tetapi urat-urat nadinya yang penting telah kena tusuk sehingga putus.
Jelas sekali penyerangnya mahir dalam ilmu ketabiban pula.
Sehingga membuat Manik Angkeran susah untuk mengobatinya.
Ada lagi yang menderita paru-parunya.
Kedua paru- parunya kena tancap dua batang paku panjang.
Orangnya terbatuk-batuk terus dan melontakkan darah.
Ada seorang lagi yang patah kedua baris tulang iganya.
Namun lukanya tidak sampai ke jantung atau keparu-paru.
Seorang lagi terpotong kedua tangannya.
Tangan kiri yang terpotong itu disambung di tangan kanan dan tangan kanan disambungkan ketangan kiri.
Sehingga kedua belah tangan itu nampak bengkok tak keruan macam.
Malahan ada lagi seorang yang menderita bengkak menghijau di seluruh badannya.
Katanya hal itu akibat kena sengat berpuluh-puluh serangga berbisa sebangsa tawon kuning, ketonggeng, kelabang dan ular.
Keruan saja Manik Angkeran mengkerut-kan keningnya.
Pikirnya di dalam hati, benar-benarkah di dunia ini ada semacam hantu atau iblis atau siluman yang membalas dendam terhadap manusia? Kalau dia orang yang terdiri dari darah dan daging mengapa begini licik dan keji kejam sehingga menyiksa orang sedemikian rupa? Tiba-tiba hatinya tergerak.
Pikirnya pula, luka yang diderita Fatimah nampaknya biasa saja.
Jangan-jangan dia menderita luka yang aneh pula.
Masakan hanya dia seorang yang dikecualikan dari pada orang-orang ini? Memperoleh pikiran demikian, ia kembali memeriksa urat-urat nadi Fatimah.
Benar saja.
Segera ia terkejut lantaran denyutan nadi Fatimah terasa tak teratur.
Kadang-kadang cepat kadang- kadang sangat lemah.
Suatu kali bergetaran dan tiba-tiba menjadi lambat.
Teranglah dalam tubuh Fatimah terjadi sesuatu yang tidak beres.
Tetapi apa sebab sampai terjadi hal demikian? Benar-benar Manik Angkeran tidak mengerti.
Semua yang menderita penyakit demikian berjumlah empat belas orang.
Karena merasa diri tak sanggup menolong mereka, ia lari minta nasihat gurunya.
Setelah memperoleh nasihat, bergegas ia kembali lagi dan mencoba menolong.
Satu hari satu malam ia bekerja mati-matian.
Ternyata ada hasilnya juga.
Namun untuk menyembuhkan benar-benar hatinya sangat sangsi.
Karena penyakit yang mereka derita sangat aneh dan ruwet.
Terhadap orang-orang dusun mungkin sekali ia bisa bersikap acuh tak acuh.
Akan tetapi terhadap orang tua Fatimah dan Fatimah sendiri ia jadi gelisah.
Luka yang diderita Fatimah jelas akibat keracunan.
Bukan saja himpunan tenaga sakti lawan menggoncang urat nadi tubuhnya saja, tetapi pun hawa berbisa disalirkan padanya.
Tetapi setelah tiga hari tiga malam Manik Angkeran mencoba mencari kepastian untuk mengatasi derita Fatimah, ternyata kesehatan Fatimah makin lama makin baik.
la menjadi lega.
Sekarang ia mulai memeriksa Fatimah.
Mereka berdua juga dapat diatasi setelah bekerja membanting tulang selama lima hari lima malam.
Sementara itu Fatimah juga hampir memperoleh kesehatannya kembali, ia membantunya dengan tulus iklas.
Ini merupakan suatu hiburan tertentu bagi Manik Angkeran.
Tetapi pada suatu pagi, pemuda itu menemukan kejadian yang mengejutkan.
Air muka Fatimah samar-samar nampak bersemu hitam gelap.
Ia menjadi terkejut.
Apakah mungkin lukanya kambuh kembali dan hawa berbisa yang sudah dibuyarkan-nya bekerja lagi? Cepat ia memegang urat nadi Fatimah.
Ia menyuruh meludah dan ia memeriksa air liurnya.
Ternyata air liurnya itu mengandung racun benar-benar, yang lebih berat bekerjanya.
Manik Angkeran jadi kebingungan.
Sama sekali ia tak mengerti bagaimana sebab musababnya.
Kemudian ia mencoba memeriksa yang lain-lain.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka yang tadinya hampir sembuh kembali, ternyata penyakitnya kambuh kembali sepuluh persen.
Tetapi pada keesokan harinya mendadak saja kambuh kembali dan dalam keadaan payah sekali.
Karena tak paham apa sebabnya, Manik angkeran bermenung-menung seorang diri.
Karena memikirkan peristiwa yang aneh itu, sampai lewat tengah malam masih saja ia belum dapat memejamkan matanya.
Tiba-tiba ia mendengar suara langkah di luar jendela menginjak daun kering.
Mendengar suara gemersak diluar itu, terbangunlah rasa curiganya.
Cepat ia mengintip dan melihat seorang berjalan mengendap-endap dengan .
hati-hati.
Manik Angkeran heran.
Ia mencoba membuka jendela agar memperoleh penglihatan yang lebih jelas lagi.
Bayangan itu berkelebat dan menghilang dibalik pohon.
Melihat perawakan dan dandanannya, teranglah sudah bahwa orang itu seorang perempuan.
Keruan saja Manik Angkeran bertambah heran.
Pikirnya di dalam hati, siapa dia? Apakah orang itu yang melukai mereka semua? Kalau inderaku bisa menangkap perawakan tubuhnya, pastilah dia bukan iblis ataupun siluman....
Karena rasa curiganya ia melesat keluar melalui jendela kamarnya dan dengan ber-jingkit-jingkit ia menguntit orang itu.
Ia melihat bayangan perempuan itu berkelebat memasuki rumah Fatimah.
Dengan rasa cemas Manik Angkeran memburu.
Ia tengkurap di atas tanah dan mengintip ke dalam.
Fatimah tidur di samping kedua orang tuanya.
Bayangan orang itu mengeluarkan sebungkus obat bubuk.
Lalu diaduk didalam mangkok.
Kemudian menaburkan bubuk pada hidung kedua orang tua Fatimah.
Manik Angkeran tercekat.
Ia menjadi gusar.
Seketika itu juga tersadarlah dia akan sebab musabab kambuhnya penyakit-penyakit yang diderita orang-orang itu.
Pikirnya di dalam hati, kiranya setiap malam ia menaburkan bubuk beracunnya.
Pantas penyakit orang-orang ini selamanya tidak pernah sembuh.
Perlahan-lahan Manik Angkeran merayap.
Kepalanya menyentuh dinding rumah.
Orang itu jadi curiga.
Cepat melesat keluar jendela dan bayangannya hilang ditelan malam.
Manik Angkeran tidak memedulikan hal itu.
Buru-buru ia bangkit dan memasuki rumah Fatimah.
Ia memeriksa mangkok obat dan menciumnya.
Obat itu seharusnya diminum Fatimah apabila bangun pada pagi hari.
Tetapi sekarang ia mencium bau tajam yang menusuk hidung.
Tentu saja membangunkan Fatimah.
Katanya dengan suara perlahan.
"Fatimah! Fatimah!"
Meskipun belum mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tetapi Fatimah adalah murid Suryaningrat.
Dalam keadaan tidur, panca indranya masih bekerja sangat tajam.
Mendengar suara sedikit saja, pasti akan terbangun.
Sekarang meskipun Manik Angkeran sudah memanggilnya berulangkah masih saja gadis itu tertidur dengan lelap.
Terpaksa Manik Angkeran menggoncang-goncang tubuhnya beberapa kali.
Dan Fatimah terjaga benar-benar.
Melihat Manik Angkeran ia terkejut dan heran.
"Ada apa?"
"Ssst! Mari keluar sebentar!"
Bisik Manik Angkeran dengan suara tertahan.
Selamanya belum pernah Manik Angkeran membangunkan Fatimah di tengah malam.
Selain itu suaranyapun terdengar gugup.
Tahulah Fatimah bahwa Manik Angkeran menemukan sesuatu yang penting.
Segera itu ia mengikuti pemuda itu keluar rumah.
"Fatimah!"
Kata Manik Angkeran kemudian.
"Jangan kau minum obat itu. Seorang telah memasukkan racun kedalamnya. Kau buang saja ke tanah. Besok pagi aku akan berbicara lagi lebih jelas padamu."
Fatimah mengangguk dan lantaran khawatir kepergok, Manik Angkeran segera mengundurkan diri.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, tak henti-hentinya ia memikirkan tentang bayangan yang dilihatnya itu.
Melihat perawakannya terang sekali bayangan perempuan.
Sayang mukanya tidak jelas karena mengungkurkan dirinya.
Keesokan harinya ia membawa Fatimah menyendiri.
"Engkau pernah menyinggung-nyinggung seorang perempuan yang mengenakan topeng.
Sebenarnya siapa dia? Apa sebab dia menaruh racun di dalam mangkok obatmu? Ada permusuhan apa denganmu?"
Fatimah menjadi bingung oleh pertanyaan itu.
"Aku dan dia selamanya belum pernah kenal. Bahkan sampai hari ini belum jaga aku melihat mukanya. Bagaimana engkau bisa berkata aku bermusuhan dengan dia?"
Fatimah diam sejenak.
"Memang beberapa hari yang lalu, Ayah pernah kedatangan seorang perempuan yang cantik luar biasa. Namanya Sirtupelaheli. Dia minta kepada kedua orang tuaku, agar menyerahkan aku kepadanya untuk menjadi muridnya. Tentu saja kedua orang tuaku tidak mengizinkannya, karena aku sudah menjadi murid guru Suryaningrat. Kakakku sendiri, Wirapati, murid Kyai Kasan Kesambi. Teganya saudara seperguruan guruku. Eyang guru Kasan Kesambi, menganggap kita sebagai keluarganya sendiri dan perempuan itu tidak berkata sesuatu apapun juga. Ia pergi dengan diam diri. Apakah engkau mengira dialah sebenarnya yang meracuni? Aku kira bukan! Sebab dia seorang yang halus budi dan sopan santun. Andaikata, tenar apakah alasannya ia hendak mencelakai diriku?"
Manik Angkeran menundukkan kepala. Katanya seperti kepada dirinya sendiri.
"Aku telah mencium obat yang berada dalam mangkokmu. Jelas sekali obat itu mengandung racun tajam. Sebenarnya, racun itu mempunyai kasiat untuk menyembuhkan luka dalam. Tetapi apabila kadarnya terlalu berat, sangat berbahaya bagi yang meminumnya. Walaupun tidak sampai membahayakan, akan tetapi akan membuat penyakitmu semakin susah kusembuhkan."
"Tetapi engkau berkata yang lain-lainpun mengalami kambuh juga,"
Bantah Fatimah.
"Seumpama orang itu bermusuhan dengan aku apa sebab membuat susah yang lain- lainnya pula?"
Alasan Fatimah masuk akal, Manik Angkeran menjadi bingung juga. Sambil termenung-menung, ia berkata.
"Sebenarnya hal itu tiada sangkut-pautnya dengan diriku. Tegasnya aku tidak boleh percaya kepadamu, tentang perempuan itu. Hanya saja munculnya bayangan yang aku lihat semalam sangat mencurigakan. Perawakan tubuhnya jelas sekali seorang perempuan. Sayang aku tidak melihat mukanya."
Setelah pembicaraan itu, Manik Angkeran mondar-mandir didalam kamarnya, sampai sore hari tiba.
Mendadak berbareng dengan datangnya petang hari, sebilah belati menancap pada tiang rumah.
Buru-buru ia melompat keluar pintu.
Sama sekali ia tak melihat sesuatu.
Maka dengan rasa penuh kecurigaan ia balik memeriksa belati yang menancap pada tiang rumah itu.
Ternyata pada pangkalnya bergantung seuntai benang dengan sepucuk surat.
Takut apabila surat itu mengandung racun, ia mengambilnya dengan menyelubungi tangannya.
Setelah itu ia membukanya dan membacanya.
Pendek saja bunyinya.
Besok pagi semua orang termasuk orang tua Fatimah kuambil jiwanya.
Apabila engkau menghendaki jiwa Fatimah, jangan engkau mencoba mendekati! Surat itu tiada tanda tangannya.
Tetapi jelas sekali tulisan seorang perempuan.
Manik Angkeran menjadi terlongong- longong.
Untuk membuktikan bunyi surat itu, bergegas ia memasuki kampung dan mengadakan pemeriksaan terhadap orang-orang dusun yang menderita sakit aneh itu.
Mereka dalam keadaan baik-baik saja.
Untuk menjaga mereka ia memutuskan hendak berjaga semalam suntuk.
Pada malam hari itu ia membawa beberapa teman beronda.
Tetapi tepat pada tengah malam hari, seorang memukul kepalanya.
Ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Tak lama siuman kembali, fajar hari telah tiba.
Kepalanya terasa pening dan telinganya pengang.
Dengan memegang kepalanya, ia berjalan tertatih-tatih memeriksa mereka yang menderita sakit.
Ya Allah! Ternyata mereka sudah tak bernyawa lagi.
Dengan badan bergemetaran ia berlari-larian menuju rumah Fatimah.
Apa yang dilihatnya benar-benar mendebarkan hatinya.
Ia melihat Fatimah tergolek disamping tempat tidur orang tuanya.
Bergegas ia menghampiri.
Ternyata kedua orang tua Fatimah telah tewas.
Betapa hancur dan gugup hatinya tak ter-perikan pada saat itu.
Dengan tangan bergemetaran ia memeriksa urat-urat nadi Fatimah.
Syukur, Fatimah tiada kurang suatu apa.
Maka benarlah bunyi surat itu.
Fatimah tidak disentuhnya.
Pikirnya di dalam hati, dia bilang apabila aku menghendaki jiwa Fatimah, aku harus menjauhinya.
Rupanya dia membuktikan kata-katanya.
Kalau begitu, demi jiwa Fatimah, biarlah aku untuk sementara menjauhinya.
Memperoleh pertimbangan demikian, ia kembali ke rumah dengan hati hancur.
Pada keesokan harinya, di seluruh dusun kedengaran bertaluhnya kentong tanda kematian sebagian penduduknya dengan cara mendadak.
Tentu saja hal itu membuat gempar desa-desa di kiri kanannya.
Orang datang berbondong-bondong menyaksikan.
Manik Angkeran tak terkecuali.
Setelah upacara penguburan selesai, Manik Angkeran mencoba menghibur hati Fatimah yang nampak membisu.
Diluar dugaan, begitu melihat dirinya, tiba-tiba gadis itu berubah akalnya.
Ia mengutukinya dan memakinya sebagai iblis dan setan.
Kemudian mengusirnya pergi.
"Engkaulah yang membuat mati kedua orang tuaku! Engkau membunuh! Engkaulah berlaga pandai seperti seorang juru selamat.
Kau jahanam...!"
Hati Manik Angkeran terpukul.
Ia sedih, pilu, terharu, malu, bingung dan penuh sesal.
Apakah perubahan akal Fatimah itu akibat pekerti orang yang memberi surat lewat belati terbang semalam? Bukan main masgul hatinya.
Maka ia berjanji, hendak merantau mencari pengetahuan tentang ilmu ketabiban yang lebih tinggi lagi.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia pun berjanji kepada dirinya sendiri hendak mencari si biang keladi, sampai bisa mentaklukkannya.
Pada keesokan harinya, ia meninggalkan desanya pergi merantau sampai ke Jawa Barat.
Dan bertemu dengan tabib sakti bernama Maulana Ibrahim.
Demikianlah, teringat akan pengalamannya itu, Manik Angkeran mengamat-amati Fatimah.
Menghadapi tunangannya kali ini, hatinya tidaklah sekecil dahulu lagi.
Sebab kini ia telah menggenggam obat pemunah-nya seperti yang diberikan kepada Dipajaya dan Sirtupelaheli.
"Limabelas tahun yang lalu engkau menyinggung- nyinggung nama Sirtupelaheli. Ternyata dialah biang keladinya. Syukur, semuanya telah beres. Tinggal engkau seorang! Tapi engkau tak usah takut, Fatimah! Tuhan mengabulkan kata hatiku, untuk bisa memunahkan racun yang mengeram di dalam dirimu. Sayang, kedua orang tuamu sudah keburu meninggal."
Dengan kata hati itu ia berkata menguji kepada Fatimah.
"Fatimah! Engkau menyebut nama Kilatsih! Tahukah engkau, siapa Kilatsih."
"Kenapa tidak? Bukankah Kilatsih murid si tolol Sangaji?"
Sahut Fatimah galak. Manik Angkeran tidak mengetahui, apa sebab Fatimah selalu memanggil Sangaji dengan sebutan si tolol! Ia mengira Fatimah masih berubah akalnya seperti limabelas tahun yang lalu.
"Dia murid Adipati Surengpati."
"Hmm!"
Dengus Fatimah."
Jangan engkau mencoba mengelabuiku!"
"Siapa yang mengelabui dirimu? Engkau bisa minta keterangannya sendiri."
"Siapa saja di dunia ini bisa mengaku sebagai murid Adipati Surengpati,"
Bentak Fatimah.
"Baiklah, biar kuujinya. Kalau dia bisa menangkis tiga kali tikaman pedangku, ha, barulah benar- benar murid Adipati Surengpati."
Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia lari kencang.
Manik Angkeran jadi pilu dan bersedih hati.
Kekasihnya itu benar- benar belum tertolong.
Segera ia mengejarnya dari belakang.
Dalam hal ilmu berlari, tentu saja ia jauh berada diatas Fatimah.
Akan tetapi ia sengaja membiarkan dirinya berada di belakang untuk mengamat-amati.
Tetapi, benarkah Fatimah belum memperoleh pribadinya semula? Setelah Sirtupelaheli memperoleh pedangnya kembali, pendekar wanita itu ingin membuat jasa terhadap Manik Angkeran demi pernyataan rasa terimakasihnya.
Sebagai seorang pendekar wanita yang berpengalaman, tak sudi ia membuat pengakuan tentang beradanya Fatimah di depan orang banyak.
Apalagi, dihadapan barisan serdadu- serdadu.
Tetapi begitu berada diluar halaman rumah pesanggrahan Dipajaya, segera ia mengajak Gagak Seta dan Dipajaya menjenguk Fatimah.
Ia menyatakan kebebasan Fatimah.
Tidak lagi gadis itu wajib tunduk dan taat kepadanya lagi.
Karena diperkuat oleh Gagak Seta, Fatimah mau percaya.
Bahkan dia tak membantah, tatkala Sirtupelaheli, mengurut-urut urat nadinya dan mengembalikan kesehatannya.
"Sekarang, pergilah engkau mencari Manik Angkeran!"
Kata Sirtupelaheli dengan suara ramah.
Fatimah tercengang.
Inilah untuk pertama kalinya ia mendengar keramahan gurunya yang memaksanya berguru kepadanya.
Selain tercengang, ia curiga pula.
Bukankah gurunya dahulu pernah hendak membunuhnya? Untunglah, disamping gurunya, berdiri Gagak Seta.
Orang tua itu, dengan singkat, menjelaskan latar belakang terjadinya kedamaian itu.
Mendengar keterangan Gagak Seta, air mata Fatimah mengucur oleh rasa syukurnya.
Dengan serta merta ia memeluk kedua lutut gurunya.
"Sudahlah! Sudahlah!"
Kata Sirtupelaheli.
"Disana engkau akan bertemu dengan Sangaji dan Kilatsih pula. Nah, pergilah dengan damai! Selanjutnya, kepada merekalah engkau mencari perlindungan!"
Setelah gurunya berlalu, segera Fatimah mencari Sangaji.
Manik Angkeran dan Kilatsih dipesanggrahan Dipajaya.
Tetapi ia tak menemukan mereka bertiga.
Merekapun tidak meninggalkan tanda-tanda arah ke-mana perginya.
Ia tadi nyaris berputus asa.
Maklumlah, lima belas tahun lamanya, ia berada dalam keadaan setengah di bawah sadar.
Sekarang setelah semuanya menjadi jelas, rasa rindunya terhadap kedamaian, serasa tak tertahankan lagi.
Dengan harapan penuh ia akan bisa bertemu dengan Manik Angkeran dengan segera, akan tetapi ia dikecewakan oleh keadaan.
Syukurlah.Tuhan Maha Pengasih.
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang sedianya hendak berangkat ke Jawa Barat, tiba-tiba balik kembali ke pesanggrahan dengan maksud menemui Sangaji untuk membuat laporan.
Sebagaimana diketahui, kedua raja muda itu bermata tajam dan usilan.
Mereka melihat gerakan gerombolan Tungul Wulung yang mencurigakan.
Mereka berdua pernah melihat Fatimah tatkala gadis itu dirawat di Pulau Karimun Jawa.
Maka pertemuan itu membuat perjalanan Fatimah menjadi lancar.
Ia disuruh menunggu dipesanggrahan dengan ditemani Senot Muradi.
Sedang Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya segera mencari Sangaji.
Sewaktu mereka bertemu dengan Sangaji di penginapan, Manik Angkeran dalam keadaan tidur pulas.
Setelah mereka mengadakan laporan, Sangaji segera memberi perintah kepada Kilatsih agar mendahului mengadakan penyelidikan terhadap gerombolan Tunggul Wulung bersama Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya membawa Kilatsih menemui Fatimah terlebih dahulu.
Pendekar Kembar Karya Gan KL Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Dara Pendekar Bijaksana Karya OPA