Mencari Bende Mataram 5
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 5
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
"Kau mengoceh seperti burung!"
Tiba-tiba suatu suara bening jernih. Dialah Titisari yang telah keluar dari gubuk. Sambil berjalan melintasi jembatan batu, ia berkata meneruskan.
"Kami tahu, mereka berdua adalah duta-duta suci kalian yang lebih tinggi kedudukannya. Kau mengatakan anjing buduk jauh lebih berharga daripada mereka? Baik, itu kata-katamu sendiri. Memang mereka lebih menyerupai anjing kudisen!"
Alis orang berjubah hijau itu terbangun. Setelah menimbang-nimbang sebentar, lalu menyahut nyaring.
"Di dalam aliran kami, terdapat tiga ratus enam puluh pemimpin kelompok. Mahendratta dan Udayana me- nempati kedudukan yang ke tiga ratus enam puluh delapan dan sembilan. Kami mempunyai seribu dua ratus orang Utusan Suci. Nah, tahulah kami kinibahwa mereka berdua bukan tokoh yang penting. Bunuhlah saja, kalau kamu bosan!"
"Baiklah!"
Kata Titisari.
"Paman! Kau bunuhlah kedua tawanan itu. Kami sudah bosan!"
"Baik!"
Sahut Gagak Seta.
Sekali meloncat ia merampas pedang Sangga Buwana yang berada di dalam genggaman Gandarpati.
Kemudian menyabet kepala Mahendratta dan Udayana dengan berbareng.
Sebelum Utusan Suci yang berada di belakang orang berjubah hijau itu, memekik kaget.
Tetapi tebasan Sangga Buwana betapa dapat mereka rintangi.
Mereka hanya melihat pedang Sangga Buwana.
Dalam jarak setebal jari pedang itu menabas kepala Mahendratta dan Udayana dengan sekali gerak.
Dan rambut mereka terpapas sebagian dan terbang tertiup angin.
Kembali lagi Gagak Seta mengangkat pedang Sangga Buwana dan menabas dua kali berturut-turut.
Akibatnya sama pula.
Setiap kali hen- dak mengenai batok kepala, tiba-tiba berbelok arah dalam satu detik saja.
Kini menyentuh jubah mereka.
Dan kainnya terobek menjadi potongan berhamburan.
Itulah suatu keahlian luar biasa.
Mahendratta dan Udayana pingsan lantaran ketakutan.
Sedang sebelas orang rekannya berdiri terpaku oleh rasa kagum luar biasa.
"Apa kamu sudah pernah melihat ilmu sakti Gagak Seta?"
Teriak Titisari.
"Dalam kalangan kami, Gagak Seta menduduki kursi pendekar yang ketiga ribu lima ratus empat puluh sembilan. Kepandaiannya belum boleh dikatakan berarti. Apabila dengan mengandalkan jumlah besar kamu menyerang kami, para pendekar di seluruh Pulau Jawa akan bangkit membalaskan sakit hati kami. Mereka akan menyapu bersih aliran kamu, meskipun kamu sudah mencoba lari mengungsi ditengah-tengah Pulau Lombok. Apakah kamu sanggup melawan kehebatan mereka? Itulah sebabnya jalan satu-satunya yang paling baik ialah berdamai dengan kami...."
Orang berjubah hijau itu, bukan manusia goblok.
Ia tahu, Titisari sedang mengoceh seperti dirinya untuk menggertak.
Tapi dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan.
Mendadak seorang berperawakan tinggi besar yang membawa kampak di belakang punggung Sirtupelaheli, berkata nyaring.
"Tiada gunanya kita mencoba menginsyafkan. Kita habisi saja nyawa perempuan ini...."
Sangaji terkejut.
Kalau ancaman itu benar-benar dikerjakan, Sirtupelaheli akan tewas seketika itu juga.
Rasanya ia ikut bertanggungjawab.
Gurunya yang terkenal berani dan gesit, bersikap hati-hati menghadapi mereka.
Itulah suatu tanda bahwa dia mau mengalah demi keselamatan Sirtupelaheli.
Menimbang demikian, ia lantas melesat keluar gubuk.
Hebat gerakannya.
Karena kaget, gusar dan bersungguh-sungguhia menggunakan sepenuh tenaga saktinya.
Sekali menggenjotkan kaki, tubuhnya terbang melayang melintasi jembatan dan turun dengan manisnya di depan orang berjubah hijau itu.
"Mau apa kau!"
Bentak empat orang berkampak dengan berbareng.
Mereka sekarang tidak hanya bersenjata kampak, tapi pun mengeluarkan cambuk, martil, pedang dan golok.
Lalu menyerang dari samping.
Orang berjubah hijau sendiri, pada saat itu tertegun karena rasa kagum dan kaget.
Karena rasa kagum dan kaget itulah, dia kehilangan dirinya.
Untungempat orang anak buahnya telah bergerak melindungi.
Kalau tidak, dengan mudah saja Sangaji dapat menawannya.
Dalam pada itu melihat empat orang menyerang dengan berbareng, Sangaji membawa sikapnya yang tenang luar biasa, la kini sudah paham tentang kunci- kunci rahasia ilmu silat aliran Suci.
Geraknya yang pertama hanya merupakan suatu gerakan tipu muslihat.
Itulah sebabnya, ia tidak memedulikan.
Sebaliknya dengan gerakan kilat, tangannya menyambar dan men- cengkeram jalan darah dua orang yang menyerang mula- mula.
Dengan menggunakan jurus ada di dalam tiada, sekonyong-konyong senjata mereka berbelok arah dan saling bentrok sangat nyaringnya.
Begitu kebentrok, serangan mereka lantas tiada mempunyai sasaran lagi.
Kesempatan itu dipergunakan Sangaji untuk menyambar orang berjubah hijau.
Dengan menghentakkan tangan, ia melemparkan tawanannya yang baru lewat di atas kepalanya.
Tubuh orang itu melambung tinggi di udara.
Begitu melayang turun, Gagak Seta menggantolnya dengan tongkat bajanya dan dilemparkan jungkir-balik menyeberangi jembatan batu.
Inilah suatu tontonan yang menarik.
Seorang manusia yang berkedudukan tinggi kena dilontarkan jungkir balik di tengah udara tak ubah bola keranjang.
Empat orang bawahannya terkesiap.
Belum lagi tahu apa yang harus dikerjakan, kaki mereka kena kesapu.
Dengan memekik kaget, mereka terpental jauh dan menggelundung ke dalam jurang bersusun tindih.
Tiba-tiba seorang berjubah putih yang bersenjata sepasang pedang pendek menikam.
Sangaji mengelak dan menendang pergelangan tangannya.
Secepat kilat orang itu menyilangkan kedua tangannya dan menikam kempungan.
Tikaman itu cepat dan diluar dugaan.
Untuk menyelamatkan jiwa, terpaksa Sangaji melompat tinggi.
Ternyata orang itu adalah pengawal pribadi si Jubah hijau.
Dialah jago nomor dua dalam kalangan Utusan Suci.
Setelah gagal, ia terus merangsak dan mengirimkan serangan berantai.
Sangaji melayani dengan tenang.
Setelah bertempur sembilan jurus, diam-diam Sangaji memuji kepandaian orang itu.
Biarpun sudah memahami ilmu sakti Utusan Suci, tetapi karena belum pernah berlatih Sangaji belum juga dapat mempergunakan dengan lancar.
Dalam belasan jurus yang pertama, ia hanya bisa mempertahankan diri dengan ilmu kepandaiannya sendiri.
Setelah dua puluh jurus, barulah ia bisa menggunakan ilmu sakti Utusan Suci dengan agak licin.
Orang itu bernama Warmadewa.
Sebenarnya itulah suatu gelar kehormatan.
Warmadewa pada tahun 915, dikenal sebagai leluhur raja-raja Bali yang memerintah Pejeng dan Bedulu.
Mamanya sendiri.
Ugrasena.
Karena ilmu kepandaiannya sangat tinggi, ia memperoleh gelar kehormatan itu.
Tugasnya mewariskan semua ilmu sakti Utusan Suci.
Tugas suci itu seumpama seorang keturunan dewa melahirkan anak keturunannya.
Dalam kalangannya, ia sudah mendapat lawan yang setanding.
Itulah sebabnya begitu menghadapi Sangaji, ia kaget berbareng geram.
Itulah pula pengalamannya yang pertama kali, ia berhadapan dengan seorang lawan yang luar biasa tangguhnya.
Sesudah bertanding kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba Sangaji menggunakan salah satu jurus yang terdapat pada senjata engsel pelangi mustika dunia.
Ia memeluk betis Ugrasena.
Jurus itu merupakan jurus rahasia yang belum pernah digunakan oleh Ugrasena sendiri.
Begitu betisnya kena peluk, Sangaji mencengkeramkan tangannya.
Ugrasena lantas saja roboh dengan lemas, la menghela napas dan menyerah kalah.
Mendadak saja, timbullah rasa sayang Sangaji terhadap kepandaian Ugrasena.
Sambil melepaskan pelukannya, ia berkata.
"Kepandaianmu sangat tinggi. Biarlah kau mempertahankan terus nama besarmu. Pergilah dengan damai!"
Ugrasena merasa sangat berterimakasih bercampur malu.
Inilah kekalahannya untuk yang pertama kalinya.
Buru-buru ia melompat balik memasuki gerombolannya.
Tatkala itu, Titisari dan Gandarpati telah menyeret si Jubah hijau menyeberang jembatan.
Mahendratta dan Udayana dibawa pula menyeberang.
Kemudian mereka berdua menjaga tawanan itu dengan Sangga Buwana terhunus.
Gagak Seta sendirisetelah memperlihatkan kepandaiannyatidak membutuhkan pedang tajam itu lagi.
Dengan melintangkan tongkat bajanya di depan dadanya, ia berkata nyaring.
"Lekas kalian antarkan Sirtupelaheli kemari! Ketiga orang ini akan kami serahkan pula..."
Sebelas pelindung Utusan Suci lantas sibuk berunding dengan suara perlahan. Mereka menggunakan bahasa Lombok. Karena itu sesungguhnya tidak perlu mereka berbicara kasa-kusuk. Setelah selesai berunding, Mohe mewakili mereka.
"Kami bersedia meluluskan permintaan kalian. Tapi kalian harus menjawab pertanyaan kami. Ilmu kepandaian pemuda itu, terang sekali ilmu kepandaian kami. Darimanakah dia memperolehnya? Berilah kami keterangan sejelas-jelasnya!"
Sambil menahan rasa geli. Titisari menjawab.
"Kamu semua sekumpulan manusia-manusia tolol. Dengarlah! Pemuda itu adalah murid ke delapan Paman Gagak Seta. Tujuh kakak seperguruan dan tujuh adik sepergu- ruannya, tak lama lagi akan tiba di sini. Kalau mereka semua tiba, kamu sekalian akan dibasmi. Nahapa perlu rewel tak keruan?"
Mohe sebenarnya seorang yang cerdas otaknya. Hanya saja ia kurang menguasai bahasa Melayu selancar Titisari. Ia tahu, gadis itu sedang mengarang suatu cerita. Setelah berpikir sejenak, ia berteriak.
"Baiklah kami menyerah. Saudara-saudara, antarkan Sirtupelaheli!"
Dua orang anggota Utusan Suci lantas mengantarkan Sirtupelaheli ke seberang jembatan.
Tangan dan kakinya masih terborgol kencang dengan rantai besi.
Titisari jadi mendongkol.
Pikirnya, manusia-manusia yang menamakan diri Utusan Suci ini mengapa menganggap manusia lain seperti bukan manusia penuh-penuh? Mereka memborgol orang semacam binatang galak.
Kalau tidak diajar rasa, sampai kapan mereka terbuka matanya....
Memperoleh pikiran demikian, dengan dua kali menyabetkan pedang Sangga Buwana ia memutuskan rantai pengikat kaki dan tangan Sirtupelaheli.
Dan melihat ketajaman pedang itu, kedua pengantar ketakutan setengah mati dan buru-buru kembali dalam rombongan mereka.
"Sirtupelaheli sudah kalian terima kembali. Sekarang tinggal menunggu janji kalian...."
Teriak Mohe. Sangaji maju tiga langkah, sambil merangkapkan tangannya, ia menyahut.
"LombokBaliSumbawa adalah negara Nusantara. Kita semua adalah sesama saudara, sesama bangsa dan setanah air. Kami mengharap dengan kejadian ini, janganlah mengecilkan hati tuan-tuan. Dengan demikian tidak akan menerbitkan suatu salah paham di kemudian hari. Sebenarnya secara kebetulan, kami bersompokan dengan tuan-tuan. Seumpama gubuk itu adalah gubuk kami, maka kami akan mengundang tuan-tuan makan minum di sini. Untuk segala kesalahan dan kekurangan ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya...."
Mohe tertawa terbahak-bahak.
"Kami semua kagum kepada ilmu kepandaianmu yang . sangat tinggi. Apakah tidak semestinya, di kemudian hari kami akan terus mempelajari ilmu sakti leluhur kita itu? Kami datang dari jauh. Karena itu, izinkan kami pulang ke pulau kami...."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar kata-kata yang sopan itu, Sangaji membungkuk memberi hormat.
"Tepat sekali kata-kata Tuan. Nah, selamat jalan...."
Setelah berkata demikian, ia memutar tubuh dan berjalan menyeberangi jembatan batu.
Ia menjenguk Fatimah.
Gadis yang bernasib malang itu masih dalam keadaan lupa-lupa ingat.
Lukanya tidak menjadi parah, tapi pun tidak menjadi kurangan.
Melihat keadaannya, hati Sangaji jadi berduka.
Sirtupelaheli kala itu berdiri termenung-menung di tepi jembatan, la sama sekali tidak menengok, tatkala mendengar langkah Sangaji menghampiri.
Pemuda itu jadi memperoleh kesempatan untuk mengamat-amati perawakan tubuhnya dari belakang.
Dia sebenarnya bukan seorang pemuda bongor.
Tapi betapa pun juga, dia seorang laki-laki.
Dengan rasa kagum ia mengawaskan potongan tubuh Sirtupelaheli yang langsing gemulai.
Sebagian rambutnya yang hitam lekam bergeribik kena tiup angin senja hari dan kulitnya yang kuning keputih-putihan seakan-akan batu pualam.
Gurunya Gagak Seta - mengesankan, bahwa Sirtupelaheli adalah seorang wanita tercantik yang pernah dilahirkan dunia.
Pujiannya benar-benar terbukti.
Pantaslah pada zaman mudanya dahulu rumah perguruan gurunya pernah tergoncang imannya.
Dalam pada itu, ketika tawanannya telah dibebaskan dari belenggunya, Sangaji lantas menghampiri dan membungkuk hormat berulangkali.
"Tuan-tuan sekalian kini bebas merdeka. Enam senjata warisan leluhur kita ini, biarlah kami bertiga yang menjaga. Sebab kalau sampai hilang atau kena rampas seorang jahat, kami jadi ikut bertanggungjawab."
"Tidak-tidak begitu!"
Potong si Jubah hijau.
"Itulah pusaka turun-temurun kami. Biarlah kami yang menjaga. Tuan hidup dalam perantauan. Kemungkinan hilangnya jauh lebih besar daripada kami. Meskipun Tuan seorang berkepandaian tinggi, mustahil dapat melawan kawanan penjahat dengan seorang diri. Kalau sampai kena ram- pas, bagaimana kami harus bertanggung-jawab di depan leluhur kami kelak?"
"Pelangi Mustika Dunia adalah pusaka leluhur kami semua,"
Sambung Gagak Seta.
"Bukan pusaka segolongan orang. Kalau Tuan berebut hakkamilah sebenarnya yang lebih tepat. Sebab pusaka itu berasal dari tanah Jawa. Kalau sekarang berada di sini artinya seperti kerbau kembali ke kandangnya. Bagaimana mungkin kami akan menyerahkan kepada Tuan-tuan?"
Tapi Mahendratta bertiga tidak mau mengerti. Si Jubah hijau terus memohon-mohon. Lambat-laun Sangaji berpikir di dalam hati.
"Biarlah aku membuka matanya sedikit. Kalau tidak tersadar sekarang, di kemudian hari bisa menjadi penyakit."
Berpikir demikian ia lantas berkata memutuskan.
"Kami sebenarnya bersedia mengembalikan barang ini kepada Tuan-tuan. Hanya saja kami khawatir, bagaimana cara Tuan-tuan menja- ganya. Kepandaian Tuan-tuan masih sangat rendah. Mustika ini pasti bakal hilang. Daripada kena rampas orang, bukankah lebih baik berada dalam penjagaan kami?"
"Hm, bagaimana orang luar bisa merampasnya?"
Mahendratta dan Udayana berkata berbareng.
"Jika tak percaya, boleh Tuan-tuan coba,"
Sahut Sangaji. Ia lantas menyerahkan enam renteng pusaka Pelangi Mustika Dunia. Si Jubah hijau girang. Tapi baru saja mengucapkan kata terima kasih, tiba-tiba saja Sangaji menyambarnya kembali dan merebut dengan mudah.
"Curang!"
Teriak Mahendratta dengan suara bergusar.
"Tuan mendahului sebelum dia memegang erat-erat."
Sangaji tertawa.
"Tak apaboleh tuan coba."
Dan ia menyerahkan enam senjata Mustika Dunia kepada Mahendratta. Sesudah memasukkan empat renceng ke dalam sakunya, yang dua digenggamnya erat-erat pada tangannya. Kemudian ia memasang kuda-kudanya.
"Sekarang boleh coba!"
Tantangnya.
Serangan Sangaji dipapaki dengan pukulan pada pergelangan tangan.
Jurus demikian ini memang akan berhasil terhadap lawan setaraf rekan-rekannya.
Tapi Sangaji memiliki tenaga raksasa yang berada di luar perhitungan nalar.
Dengan mudah saja, ia membalikkan tangan.
Kemudian menyambar dua renceng Pelangi Mustika Dunia sekali renggut.
Karena tenaga yang dipergunakan sangat besar, kedua senjata itu tergoncang dan saling berbenturan.
Sudah demikian, Sangaji dengan diam-diam mengirimkan pula tenaga dahsyatnya melalui lengan.
Tahu-tahu tenaga Mahendratta sirna larut.
Kedua lengan Mahendratta bergantungan tanpa tenaga lagi.
Dan dengan tenang, Sangaji merogoh keempat renceng Pelangi Mustika dari dalam sakunya.
Setelah itu memungut dua renceng Pelangi Mustika lainnya, yang runtuh di tanah akibat suatu benturan tadi.
"Bagaimana? Apakah Tuan-tuan masih ingin mencoba lagi?"
Gertak Sangaji dengan suara rendah. Paras muka Mahendratta, Udayana dan si Jubah hijau pucat lesi. Dengan berbareng mereka berkata gemetaran.
"Kkkau kau bukan manusia. Kau setan!"
Mahendratta lalu mendahului melompat. Di luar kesadarannya sendiri, ia roboh terguling. Udayana dan si Jubah hijau segera menolong membangunkan. Kemudian mendukungnya dan dibawanya lari menuruni tanjakan.
"Selamat jalan! Maafkan kami... kami telah membuat kesalahan terlalu banyak..."
Seru Sangaji dari seberang jembatan.
Mereka menggerutu dan memaki-maki kalang-kabut.
Takut kalau makiannya kena didengar Sangaji, mereka mempercepat larinya seperti diubar setan.
Sebentar saja tubuh mereka lenyap di balik tikungan jalan.
Lanjutan Bende Mataram Karya .
Herman Pratikto Ebook oleh .
Dewi KZ
http.//kangzusi.com/ atau
http.//
http.//dewikz.byethost22.com/ MENCARI BENDE MATARAM - 3 GUGURNYA SEORANG PAHLAWAN TAK TERASA TUJUH TAHUN telah lewat dengan diam- diam.
Banyak sekali yang telah terjadi.
Sirtupelaheli telah hilang dari percaturan.
Gagak Seta melanjutkan peran- tauannya seperti dahulu.
Kedua pendekar angkatan tua itu berada pada jalan hidupnya masing-masing.
Dunia seolah-olah melupakan.
Tetapi sebenarnya tidaklah demikian.
Pada saatnya nanti mereka pasti dimunculkan kembali di layar percaturan hidup oleh yang mengadakan kehidupan ini.
Juga Sangaji, Titisari, Fatimah dan Gandarpati.
Mereka ikut disembunyikan pula di balik layar.
Setelah peristiwa senja hari itu, Sangaji dan Titisari membawa Fatimah menyeberang ke Karimun Jawa.
Gandarpati dengan sendirinya ikut serta.
Di pulau itu, mereka bertemu dengan Adipati Surengpati yang sedang menolong jiwa Astika.
Itulah kebetulan sekali.
Fatimah lantas diserahkan.
Setelah berada beberapa minggu di pulau itu, Sangaji dan Titisari balik kembali ke Jawa Barat.
Mereka menunaikan tugasnya beberapa tahun lagi.
Lalu pindah ke Jawa Tengah.
Hal itu terjadi karena perubahan kancah perjuangan tanah air.
Kemudian tahun 1821 tiba dengan diam-diam.
WAKTU ITU pesta Hari Raya Idulfitri telah lewat tiga hari.
Meskipun demikian suara keriuhan kanak-kanak masih terdengar memecahkan kesunyian Dusun Sigaluh.
Rumah-rumah penduduk yang mencongakkan diri dari rumpun bambu dan pohon-pohon kelapa, masih nampak bersih terkapur.
Kesannya semarak.
Sawah dan ladang yang membatasi perkampungan itu, kelihatan penuh-penuh.
Padi menjanjikan musim panen yang bagus.
Di pinggir pengempangan terdengar gemercik air pegunungan yang mengalir tiada hentinya.
Itulah sebabnya, sebagian sawah yang terletak di bawah bukit sebelah timur mulai digarap lagi.
Pada pinggang bukit itu terdapat sebuah danau kecil.
Penduduk mengairi sawah dan ladangnya dari danau itu.
Karena danau itu tidak pernah kering sepanjang musim, penduduk menamakannya dengan Telaga Impian, sebagai pernyataan rasa syukurnya.
Sekawanan anak nakal pada pagi hari itu, sedang bermain-main di pinggir empang yang berair lendut.
Mereka bermain juru silam berbareng berhantam baku.
Tak peduli hawa pagi hari itu masih terasa dingin lembap, mereka bertelanjang bulat.
Mukanya dipupuri Lumpur basah.
Lalu berteriak-teriak atau menandak- nandak seperti sekumpulan anak siluman.
Di antara mereka terdapat seorang anak laki-laki kira- kira berumur dua belas tahun.
Perawakan anak ini tegap berwibawa.
Pandang matanya tajam.
Kedua kakinya pengkuh23.
Urat-uratnya berwarna hijau kelabu dan mendosol penuh.
Ia bergaya seorang jagoan yang berani menentang malaikat.
Tiba-tiba berdiri tegak sambil berseru nyaring .
"Hayoo.... siapa berani berlomba dengan aku mencari ikan dalam Telaga Impian. Hayoo... siapa berani?"
Setelah berkata demikian, ia melumpuri seluruh tubuhnya.
Kemudian lari mendahului mendaki bukit.
Kawan-kawannya lantas ikut serta, meskipun tiada seorang pun yang berani menerima tantangannya.
Mereka hanya ikut berlari asal ikut saja.
Mereka percaya, bahwa sebentar lagi si Jagoan itu bakal menciptakan suatu permainan yang menarik.
23 ) Pengkuh = kokoh Setelah tiba di tepi Telaga Impian, seorang kanak- kanak yang sebaya umurnya mencelupkan kakinya ke dalam permukaan air.
Lalu berseru sambil menarik kakinya.
"Kau gila! Air begini dingin. Kau mau mencebur? Nyeburlah sendiri!"
"Kenapa tidak?"
Si jagoan menyahut.
"Kau ikut nyebur atau tidak?"
"Tidak!"
Jawab anak itu.
"Huuu... dasar semua setan-setan pengecut!"
Gerutu si jagoan kecil.
"Tak ada seorang pun yang berani?"
Anak-anak menjawab koor.
"Tidak."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Jagoan kecil itu nampak kecewa. Ia jadi uring- uringan. Dengan mata menyala ia menatap kepada seorang anak yang berperawakan gendut bulat. Berkata memerintah.
"Bolot! Hayo, kau saja yang ikut aku men- cari ikan. Jangan takut! Siapa saja yang ikut Sentot, pasti disayang Tuhan!"
"Aku lebih senang mencium kakimu daripada mencebur,"
Sahut Bolot.
"Senot! Kau seorang yang kuat. Engkau sakti seperti Ontoseno, mana bisa kita melawannya?"
"O, begitu? Baiklah. Mari sini!"
Perintah Senot.
Tanpa purbasangka Bolot mendekat.
Sekonyong- konyong ia kena sambar dan dilemparkan ke dalam telaga.
Senot lalu menyusul.
Telaga itu sebenarnya lebih mirip dengan kubang air.
Permukaan airnya setinggi pundak bocah belasan tahun.
Dengan demikian, tidak membahayakan jiwa.
Hanya saja airnya dingin luar biasa.
"Mati aku! Mati aku! Dinginnya luar biasa!"
Bolot mengeluh.
"Kau bilang aku Ontoseno. Kau pun sakti pula!"
Kata Senot. Rupanya bocah itu tidak senang apabila diumpak. Dan kawan-kawannya yang berdiri di pinggiran, berso- rak-sorak riuh.
"Bawa saja menyilam! Bawa saja menyilam!"
Teriaknya menganjurkan.
Selagi ramai bersenda gurau, terjadilah suatu perubahan dengan tiba-tiba.
Mereka tidak bersuara lagi.
Dan seperti berjanji mereka berpaling ke arah barat.
Senot heran oleh perubahan mendadak itu.
Ia lantas berdiri tegak dan melemparkan pandang ke arah perhatian mereka.
Dari celah-celah bukit muncullah tiga orang menunggang kuda.
Dusun Sigaluh boleh dikatakan terletak di tengah- tengah barisan gunung dan bukit-bukit.
Di sebelah utaranya berdiri deretan Gunung Tugel dan Gunung Rogojembangan.
Dan di sebelah timur lautnya Gunung Sindoro, Bhisma, Perahu dan pegunungan Dieng.
Di sebelah barat barisan bukit itu, terdapat sebuah jalan raya ke Kota Waringin Wonosobo.
Dahulu jalan raya itu terpelihara baik-baik.
Setelah terkena serangan banjir, lebih merupakan sebuah jalan pegunungan.
Penduduk mencoba memperbaiki sebisa-bisanya.
Meskipun tak dapat pulih seperti sediakala, tapi lumayan juga.
Pedagang-pedagang, para pembesar pemerintah dan tentara berkuda masih menggunakan jalan itu sebagai urat nadi perhubungan.
Dengan begitu sebenarnya kedatangan tiga orang berkuda itu, tidak usah menarik perhatian kawanan kanak-kanak.
Bukankah mereka sering melihat rombongan orang berkuda pergi dan datang? Tapi kanak-kanak di seluruh dunia ini cepat tertarik kepada penglihatan pertama.
Mereka yang datang itu, terdiri dari seorang preman dan dua orang perwira.
Kedua perwira itu mengenakan sepatu tinggi.
Dan yang preman berbrewok tebal.
Ia nampak gesit.
Pandang matanya terang.
Usianya sekitar empat puluh tahun.
Ketiga orang itu berpakaian rapih, tapi compang- camping tak keruan.
Di sana-sini nampak debu dan percikan darah.
Terang sekali mereka habis berkelahi.
Tatkala mereka harus melintasi sebuah parit pengairan sawah, mereka turun dari kudanya.
Dan berjalan pelahan-lahan dengan muka kuyu.
Penglihatan inilah yang menarik perhatian kawanan kanak-kanak.
Melihat kedatangan mereka, Senot dan Bolot segera melompat ke tepi.
Kemudian buru-buru mengenakan pakaiannya kembali.
Senot yang dianggap sebagai jagoan kawan-kawan sebayanya, benar-benar paling gagah dan berani.
Dengan berdiri tegak di tepi telaga, ia mengawaskan ketiga orang itu.
Matanya bersinar tajam.
Namun mulutnya membungkam rapat-rapat.
"Letnan Johan!"
Kata si Brewok setelah memandang Senot selintasan.
"Tadinya aku tak percayabahwa di dusun ini bersembunyi seorang pandai. Tapi sekarang, kabar itu makin meyakinkan hatiku. Benar-benar Demang Sigaluh tidak boleh dianggap enteng."
Orang yang dipanggil Johan itu, seorang perwira yang berkulit kuning keputih-putihan.
Dia berasal dari Menado.
Sedang kawannya, bernama Matulesi.
Dia seorang Ambon.
Mendengar kata-kata si Brewok, mereka berdua mengamat-amati Senot sambil menuntun kudanya.
Tiba-tiba di belakang mereka, terdengar suara ringikan kuda.
Serentak mereka menoleh dan melihat seekor kuda putih lari mendatangi dengan kecepatan kilat.
Suara ringikannya tadi terang sekali masih berada jauh di belakangnya.
Begitu menoleh, tahu-tahu suatu kesiur angin lewat di sampingnya.
Lalu dengan suara berderap, kuda itu melintasi parit pengairan dengan penung- gangnya sekaligus.
Johan dan Matulesi saling pandang dengan perasaan kaget.
Sedang kawanan kanak-kanak bersorak-sorak kagum.
Lalu seperti berjanji, mereka lari bersama meninggalkan telaga.
Begitu tiba di seberang parit, penunggangnya turun dari kudanya.
Dia seorang pemuda yang berparas sangat cakap.
Dengan menggeribiki pakaiannya ia mengusap- usap kudanya yang putih mulus tak ubah kapok.
Johan berubah wajahnya.
Dengan mulut berkomat- kamit ia berkata berbisik kepada dirinya sendiri.
"Apakah mataku sudah lamur? Bukankah dia.... Eh, masakan dia muncul pula di sini?"
Matulesi tak keruan pula kagetnya.
Dengan mata tajam ia mengamat-amti pemuda itu.
Usia pemuda itu, kurang lebih sembilan belas tahun.
Badannya ramping dan parasnya cakap luar biasa.
Kulitnya kuning langsat.
Gerak-geriknya halus dan keayu-ayuan.
Ia menuntun kudanya, dan menghampiri gerombolan kanak-kanak yang mengaguminya.
Setelah menyiratkan pandang, ia tersenyum manis sekali.
Kemudian menggapai Senot.
Katanya lembut.
"Adik kecil! Kau naiklah ke punggung kuda ini!"
Senot maju dengan hati-hati. Pandangnya bercuriga. Sahutnya menaksir-naksir.
"Aku belum kenal engkau. Mengapa kau memanggil aku?"
Perawakan tubuh Senot hanya kalah seibu jari tngginya daripada pemuda itu.
Malahan ketegaran tubuhnya nampak lebih kokoh.
Melihat kesan itu, kawan- kawannya menjadi berani pula.
Mereka ikut mendekat.
Mendengar keangkuhan hati Senot, pemuda itu tertawa perlahan.
Suaranya nyaring merdu meresapkan pendengaran.
Sebaliknya, Senot merasa tersinggung kehormatannya.
Dengan mata melotot, ia membentak.
"Hai! Kenapa kau tertawa? Apa. yang kautertawai? Apakah lantaran mukaku kaya badut?"
Pemuda itu masih tertawa selintasan. Sahutnya dengan muka bersemu merah.
"Siapa yang bilang engkau bermuka badut? Mukamu tidak buruk. Malahan menarik. Pakaianmu basah kuyup. Apakah engkau tidak kedinginan?"
"Tidak,"
Jawab Senot dengan suara ketus.
"Hanya kawanan setan pengecut yang takut dingin. Hm... aku kini malah merasa kepanasan kena terik matahari."
Kembali lagi pemuda itu tersenyum. Katanya mengamini.
"Benar. Aku pun merasa panas. Orang-orang gagah memang takkan merasa kedinginan pada pagi hari secerah ini."
Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan saputangan dan mengusap keringat di dahinya. Sikap Senot lantas berubah, la tertawa sambil mengawasi. Katanya tak kurang angkuhnya.
"Ya, kau pun nampaknya orang gagah pula. Baiklah, kau boleh menyebut diri seorang gagah. Hmuntuk apa kau memanggil aku?"
"Aku hanya ingin bertanyadimanakah rumah Demang Sigaluh?"
Pertanyaan pemuda itu disambut dengan suara tertawa berbareng. Kata seorang di antara mereka.
"Dialah cucu Gelondong Sigaluh. Bukankah yang kau maksudkan. Kakek Jaga Saradenta?"
"Bukan... bukan,"
Sahut pemuda itu.
"Yang kumaksudkan ialah Paman Sanjaya. Kabarnya dia berada di rumah Demang Sigaluh. Dia pindah kemari dari Dusun Karangtinalang, setelah isterinya wafat."
"Benar. Dialah putera nDoromas Sanjaya,"
Seru anak itu.
"Mamanya Raden Mas Senot Muradi."
Pemuda itu nampak girang luar biasa. Ulangnya.
"Senot Muradi? Kalau begitu, dia benar-benar adikku. Hayo, tolong antarkan aku kepada ayahmu!"
Senot Muradi membungkam mulut. Suara tertawanya lenyap. Sebaliknya ia mengamat-amati pemuda itu dengan pandang curiga. Lalu menegas.
"Kau ingin bertemu dengan ayahku?"
"Benar,"
Jawab pemuda itu.
"Bukankah ibumu Bibi Nuraini? Nah, antarkan aku. Nanti kuperseni engkau dengan sekantung kembang gula..."
Tiba-tiba Senot Muradi menggerakkan tangannya.
Sebelum orang sadar apa maksudnya, tahu-tahu kedua tangannya menyambar ke arah muka pemuda itu.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keruan saja kawan-kawannya terkejut dan mundur bubaran.
Mereka memang tahu Senot Muradi anak nakal dan berani.
Hanya saja tak pernah menduga, bahwa ia seberani itu.
Memukul seorang tetamu yang bersikap sopan adalah sangat keterlaluan.
Pemuda itu nampaknya terkejut.
Akan tetapi bibirnya terus menyungging senyuman manis.
Katanya sambil mengibaskan sapu tangannya.
"Senot Muradi! Aku tak mempunyai waktu untuk bermain jago-jagoan."
Hebat kibasan sapu tangannya.
Sekalipun tidak disertai tenaga penuh, namun berkelebatnya mengejutkan Johan dan kedua temannya.
Sekarang muka Senot Muradi yang kena ancaman.
Kibasan itu menghantam muka.
Cepat Senot Muradi mundur.
Justru mundur, kakinya tercebur di dalam kubangan air.
Namun ia tak sudi mengalah.
Teriaknya gusar.
"Aku pun tak mempunyai waktu untuk mengantar engkau. Ayahku tak sudi menemui siapa saja. Apalagi engkau...!"
"Belum tentu. Ayahmu tak mungkin menolak kedatanganku,"
Sahut pemuda itu dengan tertawa.
"Dia justru ingin bertemu dengan aku."
"Tidak mungkin! Tidak mungkin!"
Jerit Senot Muradi dengan melotot.
"Ayahku tak sudi bertemu dengan siapa saja. Pergi! Pergi!"
"Senot Muradi, janganlah kau tertalu nakal,"
Kata pemuda itu menyabarkan.
"Kau antarkan aku! Lihatlah aku mempunyai sekantung kembang gula."
"Apa anehnya kembang gula? Apakah aku ini anak kelaparan sehingga ngilar melihat sebungkus kembang gula?"
Bentak Senot Muradi.
"Pergi! Jangan ganggu aku! Kalau berani hayo sini turun ke air?"
Setelah berkata begitu, ia mundur ke tengah kubang air sambil menepuk-nepuk permukaannya. Pemuda itu nampak berkerut, la jadi mendongkol. Katanya.
"Senot? Kau benar-benar anak bandel. Aku akan memaksamu naik ke darat...."
"Boleh coba!"
Tantang Senot Muradi.
"Kau tak percaya?"
Pemuda itu tertawa geli.
"Aku akan memaksamu."
Pemuda itu membungkuk dan memungut segenggam kerikil.
Dengan sekali gerak, ia mengayunkan tangannya.
Dan segenggam batu kerikil itu berhamburan ke udara.
Heran sungguh! Nampaknya ia seperti seorang pemuda tak berdaya.
Tak terduga tenaganya sangat besar.
Segenggam batu kerikil itu meluruk ke pengempangan.
Begitu runtuh di permukaan air, percikannya memukul muka Senot Muradi.
Buru-buru Senot Muradi men- jatuhkan diri dan menyelam.
Tapi air terlalu dangkal.
Benar kepalanya sudah berada di dalam permukaan air tetapi punggungnya masih menongol.
Dan pemuda itu nampaknya seorang penyabar.
Dia membiarkan Senot Muradi menyelam sepuas-puasnya.
Begitu mukanya di angkat, kembali ia melunaki batu kerikil.
Diperlakukan begitu, Senot Muradi jadi kuwalahan.
Ia terpaksa mundur dan mundur.
Karena kena dikejar batu, tak terasa ia mundur berputar.
Tahu-tahu ia sudah meloncat tinggi ke tepi kubangan air dengan pakaian basah kuyup.
"Nahbagaimana?"
Kata pemuda itu dengan tertawa.
Bolotsi Gendutmenonton pertunjukkan itu dengan hati berdebar-debar.
Meskipun tadi ia kena dijeburkan ke dalam telaga oleh Senot Muradi, tetapi dia tetap kawannya.
Melihat kawannya kena di desak orang, ia sangat khawatir.
Tiba-tiba ia melihat Senot Muradi menggapai padanya.
Tak memedulikan apa saja, ia lantas lari menghampiri.
Untung pemuda itu tidak berniat menghajar Senot Muradi benar-benar.
Khawatir kalau timpukannya mengenai Bolot, ia menghentikan dan membiarkan Bolot mendekati Senot Muradi.
Senot Muradi membisikkan sesuatu.
Bolot memanggut.
Lalu tiba-tiba didorong pergi.
Dia sendiri lantas melompat kembali ke dalam kubang air.
Teriaknya.
"Mana dapat kau memaksa aku naik ke darat? Boleh coba! Boleh coba!"
Pemuda itu jadi mendongkol. Ancamnya.
"Aku tetap mengehendaki kau mengantarkan aku."
Dan ia menimpuk makin gencar. Mau tak mau, Senot Muradi terpaksa berputar-putar lagi. Tahu-tahu ia sudah melompat ke darat. Pemuda itu tertawa girang, selagi demikian tiba-tiba ia mendengar suatu bentakan.
"Benar-benar tak tahu malu! Kenapa menggangu kesenangan seorang anak kecil?"
Pemuda itu menoleh dan melihat si Brewok datang menghampiri dengan muka gusar. Kedua perwira yang berada disampingnya terkejut melihat kawannya itu maju dengan gusar. Mereka ingin mencegah, tetapi sudah kasep.
"Aku hanya bermain-main. Kenapa kau usilan?"
Balas pemuda itu.
"Kau lihat sendiri apakah aku mengenai seujung rambutnya?"
"Dia memang anak nakal. Tapi apakah kau pun bukan bocah liar?"
Bentak si Brewok tak menghiraukan ucapannya.
"Aku Mundingsari, tidak akan membiarkan tindakan sewenang-wenang berlaku di depan mataku. Senot.
"kau balaslah! Gebuk padanya. Apakah aku harus menggebuknya untukmu?"
Pemuda itu tertawa melalui hidungnya. Gerendengnya.
"Hm.... Orang gagah dari-mana kau ini, sampai berani berlagak di sini? Bulumu masih basah kuyup. Meskipun demikian masih berani berkokok di depan mataku."
Paras muka Mundingsari lantas menjadi merah. Bentaknya kasar.
"Binatang kecil? Kau bilang apa?"
Setelah membentak demikian, tangannya berkelebat menghantam dada.
Pemuda itu yang masih menggenggam sapu tangan, mengibas menangkis.
Buru-buru Mundingsari menancapkan kuda-kudanya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tapi dia menyaksikan, bahwa tenaga pemuda itu bukan sembarangan tatkala menimpukkan segenggam kerikil kepada Senot Muradi.
Ia menduga, pastilah pemuda itu memiliki tenaga sakti tersembunyi.
Dugaannya ternyata tepat.
Nampaknya ia hanya mengibaskan sapu tangan.
Akibatnya suatu kesiur angin menyambar mukanya.
Ia lantas menyodok memunahkan.
Cepat-cepat pemuda itu membuat suatu lingkaran dengan sapu tangannya.
Dengan mendadak ia menangkis dengan tangan kiri.
Dan sapu tangannya menyapu muka.
Mundingsari terpaksa mundur selangkah.
Dengan menggunakan tenaga sakti, ia menyambut kibasan itu dengan suatu tamparan.
Itulah jurus membuka jendela melihat rembulan.
Dalam segebrakan, kedua orang itu sadar bahwa lawannya bukan orang sembarangan.
Tetapi bila diamat-amati, ilmu kepandaian Mundingsari setingkat lebih rendah daripada pemuda itu.
Lewat segebrakan lagi, ia kena diundurkan beberapa langkah.
Melihat kedua orang itu bergebrak makin lama makin seru, gerombolan kanak-kanak itu berdiri berpencaran jauh-jauh.
Mereka menonton sambil bertepuk sorak.
Bolot yang basah kuyup juga ikut berdiri menonton di antara kawan-kawannya.
Tiba-tiba Senot Muradi mendeliki.
Dan kena pandang yang mengerikan itu, Bolot lantas menangis sambil lari pulang.
"Aku pulang... Aku pulang! Awas kau Senot.... Kubilangkan ayahmu..."
Kawan-kawannya pada heran mendengar dan melihat Bolot menangis pulang.
Apa sebab dia menangis tak keruan? Mereka tahumeskipun dia bukan sebandel Senot tapi pun tidak gampang-gampang menangis.
Apalagi sampai menjadi pengecut cengeng.
Sungguh! Belum pernah mereka melihat Bolot jadi seorang pengecut cengeng.
Tetapi mereka tak dapat berpikir berkepanjangan.
Perhatian mereka segera terenggut oleh jalannya pertempuran.
Tatkala itu, tiga serangan berantai Mundingsari dapat dipunahkan oleh pemuda lawannya.
Dan pemuda itu membalas satu serangan.
Juga serangannya dapat dielakkan Mundingsari.
Setiap kali Mundingsari maju, pemuda itu dapat mendesaknya ke tempatnya kembali.
Sebaliknya setiapkali pemuda itu bergerak maju, ia kena dipukul mundur pula.
Dia memang berada di atas angin.
Tapi tak dapat segera menjatuhkan lawannya.
Dengan demikian, kedua-duanya belum memperoleh kesempatan untuk memutuskan menang kalahnya.
Diam-diam Mundingsari mengeluh.
Sebagai seorang kenamaan yang sudah berumur sekitar empat puluh tahun, ia merasa malu sekali tak dapat menjatuhkan lawannya semuda itu.
Padahal dia sudah bertempur beberapa waktu lamanya.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam jengkelnya, ia lantas mengeluarkan ilmu simpanannya yang bernama.
pukulan Arca.
Hebatnya tak terkatakan.
Setiap pukulannya mengandung angin dahsyat.
Tetapi dengan begitu, terpaksa ia menggunakan tenaga yang berlebih-lebihan.
Sesudah lima gerbrakan, pemuda itu tiba-tiba berkata nyaring.
"Maafaku tak mempunyai waktu untuk melayani kau. Sampai di sini saja!"
La melesat tinggi ke udara dan hinggap di atas kudanya.
Kemudian melarikannya secepat kilat memasuki desa.
Inilah suatu kegesitan luar biasa.
Baik Mundingsari maupun kedua temannya, berdiri tertegun keheranan.
Terang-teranganpemuda itu menang di atas angin.
Apa sebab tiba-tiba kabur melarikan diri? Pasti dia menggeng- gam maksud tertentu.
Tatkala itu Senot Muradi sudah naik ke darat.
Dengan menepuk-nepuk tangan, ia berseru nyaring.
"Bagus! Inilah baru pertarungan bagus sekali!"
Muka Mundingsari merah padam.
"Senot! Apakah ayahmu berada di rumah?"
"Kau pun menanyakan ayahku?"
Sahut Senot Muradi dengan melototi. Tiba-tiba tangannya menghantam dada Mundingsari. Mundingsari cepat-cepat mengelak. Kakinya menggaet. Dan Senot Muradi roboh terjengkang. Tapi begitu jatuh si Bandel meletik bangun dengan gagahnya.
"Apakah kau yang bernama Mundingsari, seorang pendekar bekas bawahan Ayah?"
Ia bertanya.
"Benar,"
Mundingsari menyahut sambil memanggut- manggut.
"Jadi kau masih ingat aku?"
Sebenarnya Senot Muradi belum lagi dilahirkan di dunia tatkala Mundingsari menghamba kepada Pangeran Bumi Gede.
Mundingsari adalah salah seorang pendekar Pangeran Bumi Gede.
Hanya saja empat tahun yang lalu ia pernah datang mengunjungi ayah Senot di Karangtinalang.
Ia menginap satu malam.
Sebagai kenang-kenangan ia mengajari sejurus ilmu menggaet kepada Senot Muradi.
Itulah sebabnya, begitu kena gaet dan jatuh terjengkang, bocah itu segera teringat kembali pada malam menerima ajaran jurus tersebut.
Ia lantas mengamat-amati Mundingsari.
Dahulu ia tidak berberewok seperti sekarang.
Tetapi setelah mengamat- amati sejenak, ia lantas tertawa riang .
"Benar... engkau adalah kakakku. Bukankah aku berhak memanggilmu kakak setelah kau mengajari aku beberapa jurus ilmu pukulan kosong?"
Lega hati Mundingsari mendengar pertanyaan Senot Muradi. Ia membalas dengan tertawa bersyukur.
"Benar, aku memang kakakmu seperguruan."
"Kau tadi memukul dengan tiga jurus berantai terhadap pemuda sombong itu. Dia kena kauundurkan setiap kali hendak merangsak maju. Kau ajari aku tiga jurus itu!"
Mundingsari tertawa terbahak-bahak sambil menggeribiki percikan lumpur akibat sambaran tangan Senot Muradi yang kotor. Kemudian menyahut .
"Adik Senot! Kau bocah jempolan. Selang dua tahun lagi, kakakmu bukan lagi tandinganmu. Baiklah aku berjanji akan mengajarimu. Mari kita berangkat sekarang!"
"Kau bertiga?"
Sahut Senot Muradi menegas.
"Benar,"
Jawab Mundingsari.
"Kedua perwira ini sahabat-sahabatku. Mereka bernama Letnan Johan dan Matulesi."
Mendengar pembicaraan itu, Letnan Johan dan Matulesi kagum pada si Bocah.
Ia belum boleh dikatakan cukup umur, namun pengetahuannya tentang ilmu silat tak tercela.
Malahan pengetahuannya berada di atas mereka.
Mereka berdua lantas datang menghampiri mengulurkan tangan.
Di luar dugaan, si Bandel tidak sudi mengangsurkan tangannya.
Ia hanya melirik seakan-akan seorang pembesar tinggi.
Sama sekali ia tak melihat pula.
Katanya kepada Mundingsari.
"Kak Mundingsari! Lantaran memandang mukamu, aku akan mengantarkan engkau menghadap Ayah. Akan tetapi apakah Ayah mau menemuimu atau tidak, jangan salahkan aku."
Mundingsari tertawa geli dalam hati.
Pikirnya, dia masih bocah ingusan.
Tapi gayanya seperti seorang pendekar kawakan.
Sebaliknya dua orang perwira yang terbentur tembok, mendongkol hatinya melihat sikap Senot Muradi.
Tentu saja, ia tak dapat melampiaskan rasa mendongkolnya di depan Mundingsari.
Terpaksa mereka menelan mentah-mentah.
Sambil menuntun kudanya, mereka bertiga mengikuti Senot Muradi.
Setelah berjalan kurang lebih setengah jam, sampailah mereka pada jalan pedusunan yang berliku-liku.
Ternyata dusun yang dihampiri bukan Dusun Sigaluh.
Tetapi suatu perkampungan sendiri yang memencil.
Letaknya dibawah bukit.
Sebuah rumah batu berbentuk benteng kuno nampak menjulang tinggi di antara rumpun pohon.
Pekarangannya luas.
Dan di depannya terdapat beberapa batang pohon kamboja.
Mundingsari dan kedua kawannya segera menambatkan kudanya masing-masing.
Kemudian menghampiri sebuah pintu masuk yang tertutup rapat.
Senot Muradi kala itu sudah mendahului masuk dengan berlari-lari sambil berseru.
"Ayah! Kakak Mundingsari datang berkunjung, la kini berberewok."
Tetapi seruan itu tiada yang menjawab. Di dalam rumah sunyi senyap. Tiada yang terdengar berkutik. Senot Muradi berpaling kepada tetamunya. Berkata mengajak .
"Kak Mundingsari, mari! Mari masuk!"
Mundingsari dan kedua perwira itu lalu memasuki ruang depan.
Pada dinding sebelah kanan, mereka melihat tiga coretan kecil.
Coretan kecil itu merupakan suatu rangkaian gambar.
Gambar sebuah keris, jala berkembang dan bende.
Melihat tanda gambar itu, Mundingsari terkesiap.
Terang sekali gambar itu baru saja tergambar pada dinding.
Entah siapa yang membuat.
Segera ia mengelanakan pandangnya ke seluruh pendapa.
Ia memberanikan diri untuk menjenguki kamar-kamar.
Semuanya kosong dan tiada sesuatu yang terganggu atau kena sentuh tangan jahil.
"Mungkin sekali gambar itu tanda pengenal seorang penjahat yang terlalu percaya kepada kemampuannya sendiri,"
Kata Letnan Johan. Mendengar kata-kata Letnan Johan, Senot Muradi bersenyum merendahkan, la seperti hendak berkata, bahwa hal itu cukup terang benderang. Apa perlu dikatakan.
"Mungkin sekali tanda pengenal yang ditinggalkan pemuda tadi,"
Kata Letnan Johan lagi.
"Benar!"
Letnan Matulesi menyambung.
"Mundingsari! Sembilan bagian pasti dia!"
"Pemuda itu berilmu tinggi,"
Letnan Johan mengakui.
"Apakah tidak mungkin sahabat yang hendak kau temui kena dibinasakan olehnya?"
"Mana bisa!"
Bentak Senot Muradi.
"Meskipun ayahku bercacat kaki tapi untuk membunuh penjahat semacam pemuda tadi gampangnya seperti membalikkan tangan- nya sendiri. Apalagi, disamping Ayah masih ada Kakek. Kau bilang ayahku, kena dibinasakan pemuda tadi. Hm, apakah kau hendak main coba-coba adu kepandaian de- ngan Ayah?"
Letnan Johan jadi naik darah. Mukanya merah padam. Segera ia hendak melampiaskan rasa gusarnya. Tetapi Mundingsari sempat mencegah dengan menarik lengan- nya ke samping. Kemudian berkata membujuk kepada Senot Muradi.
"Maksud Letnan ini baik sekali, la tidak pernah mengatakan, bahwa ilmu kepandaian ayahmu rendah."
Senot Muradi tetap memberengut.
Hatinya masih tersinggung.
Mundingsari yang mengenal keadaan ayahnya, memaklumi.
Seperti diketahui, Sanjaya kena senjata berbisa ayah angkatnya sendiri, tatkala sedang mengadu kepandaian dengan pendekar Kebo Bangah.
Dengan tak sengaja, butiran senjatanya mengenai kakinya.
Untuk merebut jiwanya, Wirapati memangkas kutung kaki kanannya.
Kemudian ia dibawa pergi Nuraini ibu si Bocah itu.
"Adik Senot!"
Kata Mundingsari lagi.
"Coba kau masuklah dahulu. Ayahmu sudah pulang atau belum. Kami menunggu di sini. Besok pagi aku akan mengajarimu tiga pukulan berantai. Dari jauh kakakmu ini datang. Masakan kau main bersungut-sungut terus- menerus?"
Mendengar kata-kata Mundingsari, Senot Muradi tertawa.
"Kak Mundingsari! Aku ingat, kau gemar minum- minuman keras. Waktu itu kau mengajari aku dengan diam-diam. Hampir-hampir ketahuan Ayah. Baiklah Kakek Jaga Saradenta mempunyai simpanan arak buatan sendiri. Nanti kucurikan barang sebotol. O ya kami masih mempunyai simpanan daging babi hutan."
"Aduh! Babi hutan?"
Mundingsari mengambil-ambil hati.
"Babi hutan di sini terkenal ganas. Pastilah engkau sendiri yang membunuhnya."
Mendengar sanjungan yang nyaman itu, Senot Muradi menjadi puas sekali. Ia lantas berjalan dengan langkah ringan. Katanya menambahi kegagahannya.
"Babi hutan di sini memang biadab sekali. Entah sudah berapakali ia mencelakai orang-orang kampung. Ini adalah salah seekornya yang paling kecil."
"Ah!"
Mundingsari memperlihatkan rasa kagumnya.
"Kalau begitu engkau pernah membunuh yang lebih besar!"
Senot Muradi tertawa senang. Lalu mempersilakan duduk ketiga tetamunya dalam ruang tengah. Ia sendiri terus berjalan ke belakang dengan mengangkat mukanya. Setelah pintu ditutup, tak terdengar lagi langkah kakinya.
"Bocah itu berkepala besar. Entah bagaimana ayahnya,"
Gerendeng Letnan Johan.
"Mundingsari apakah pendekar besar yang kau sebutkan adalah ayahnya?"
"Tak salah,"
Sahut Mundingsari.
"Dalam rumah ini berdiam dua orang pendekar yang namanya pernah menggetarkan dunia. Yang satu seorang berusia tua, bekas Demang Sigaluh. Namanya Ki Jaga Saradenta. Yang lain Raden Mas Sanjaya putera almarhum Pangeran Bumi Gede."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah benar-benar kita dapat mengharapkan bantuan mereka?"
"Itu tergantung kepada nasib kita belaka,"
Sahut Mundingsari.
"Ki Jaga Saradenta sebenarnya sudah menutup pintu, lantaran usianya sudah terlalu lanjut. Sedang Raden Mas Sanjaya tidak bersemangat lagi setelah kematian isterinya. Kalau sekarang masih mempunyai kemauan hidup, semata-mata mengingat pendidikan anaknya dan ketenangan hidup ibunya."
"Kalau begitu, apa perlu kau mengajak kami kemari?"
Letnan Johan tidak puas.
"Urusan kami ini perlu mendapat pertolongan secepat mungkin. Sekiranya mereka sudah tak bersemangat lagi, bukankah perjalanan ini jadi sia-sia?"
"Mungkin sekali dengan mengingat diriku, Raden Mas Sanjaya akan mengulurkan tangan,"
Mundingsari menghibur.
"Sekiranya kau berdua merasa kurang tepat mengharap pertolongannya. Baiklah kalian mencari orang lain saja! Aku sendiri tidak dapat melihat jalan lain lagi."
Kedua perwira itu saling memandang dengan membungkam mulut.
Mereka lantas menarik kursi dan duduk dengan menghempaskan diri.
Sekian lamanya mereka menunggu, tetapi Senot Muradi belum muncul juga.
Mereka lalu membuka baju luarnya dan membedaki lukanya dengan obat bubuk baru.
"Bangsat bertopeng itu, benar-benar hebat!"
Terdengar Letnan Matulesi berkata setengah mengeluh.
"Di antara puluhan orang, ternyata kau sendirilah yang tidak menderita luka."
"Sekalipun demikian, bukan berarti aku bebas dari ancaman bahaya,"
Tangkis Mundingsari.
"Hampir-hampir saja aku kena sabet pedangnya."
"Apakah salah seorang dari pendekar yang mendiami rumah ini bisa melawan bangsat bertopeng itu?"
Letnan Johan minta diyakinkan.
"Ki Jaga Saradenta adalah guru pendekar yang paling besar pada zaman ini. Dan Raden Mas Sanjaya adalah saudara angkat pendekar yang paling besar pada zaman ini. Kalau salah seorang dari mereka berdua mau tampil mengulurkan tangan semuanya akan menjadi besar,"
Jawab Mundingsari dengan suara mantap.
"Kau menyebut orang pendekar paling besar pada zaman ini sampai dua kali berturut-turut. Sebenarnya siapakah dia?"
"Kuterangkan atau tidak, apakah faedahnya,"
Kata Mundingsari dengan suara malas. Kedua perwira itu tak berani terlalu mendesak. Mereka lantas membicarakan kegagahan orang yang di sebut sebagai bangsat bertopeng itu.
"Jika gagal, habislah sudah seluruh jiwa sanak- keluargaku,"
Letnan Johan mengeluh sedih.
"Ya, Tuhan.... malapetaka begini mengapa justru meluruki aku."
"Karena itu, satu-satunya jalan hanya menjauhkan harapan kepada dua pendekar yang mendiami rumah ini,"
Tungkas Letnan Matulesi.
"Kita masih beruntung bisa sampai di sini dan berusaha. Karena itu, janganlah kau meramalkan dahulu yang jelek-jelek."
Mundingsari bersikap dingin.
Agaknya ia mendongkol mendengar pembicaraan mereka yang seolah-olah tidak menghargai jasanya.
Selagi demikian, mendadak pintu dalam terjeblak lebar dan muncullah Senot Muradi.
Anak itu melompat masuk dengan mulut terkunci rapat.
Kesan mukanya tidak mengenakkan hati.
Mundingsari terkejut.
Melihat Senot Muradi datang tidak membawa botol arak dan daging babi hutan seperti yang dijanjikan, ia segera bersikap hati-hati.
Tanyanya mencoba .
"Adikkau kenapa?"
"Kak Mundingsari! Sebenarnya kau menghargai persahabatan atau tidak?"
"Ehapa katamu?"
Mundingsari berdiri dari kursinya dengan pandang menebak-nebak.
"Kalau kau menghargai persahabatan kita, coba terangkan maksud kedatanganmu ini. Kalau kau tidak mau menerangkan, aku akan bilang kepada Ayah agar tak usah menemui kalian,"
Sahut Senot Muradi dengan nada gusar.
"Kau tahu ayahmu kini berada dimana?"
Mundingsari menegas.
"Tentu saja aku tahu,"
Jawab Senot Muradi ketus.
"Nah, katakan dan terangkan dengan jelas. Kau hendak mengajak ayahku bertempur melawan siapa?"
Heran Mundingsari mendengar ucapan anak itu.
la tak tahu bahwa bocah itu sendiri mencari ayahnya ubek- ubekan.
Setelah sekian lamanya mencari dan ayahnya tiada nampak, dalam otaknya yang kecil timbullah suatu dugaan.
Pastilah menghilangnya ayahnya mempunyai hubungan rapat dengan kedatangan tetamu-tetamu itu.
Juga kedatangan pemuda tadi.
Ia lantas balik ke ruang tengah.
Tepat pada saat itu, ia mendengar pembicaraan Letnan Johan dan Letnan Matulesi perkara bangsat bertopeng.
Ia jadi curiga.
Apakah mereka hendak mengajak ayahnya kena celaka pula? Itulah sebabnya, ia lantas menegur Mundingsari yang dikenalnya.
Beberapa saat lamanya, Mundingsari berbimbang- bimbang.
Ia melirik kepada dua perwira itu.
Kemudian menjawab perlahan.
"Baiklahsekalipun kau masih kanak-kanaktetapi engkau lain bila kuban-dingkan dengan bocah-bocah yang pernah kutemui. Aku akan berbicara terus terang kepadamu."
Ia mendeham dua tiga kali. Setelah memandang kedua perwira temannya berjalan, meneruskan.
"Letnan Johan dan Letnan Matulesi ini masing-masing adalah komandan peleton kompi B yang berada di Cirebon. Aku diminta mereka untuk ikut mengawal barang angkutan ke Magelang. Tadinya kami bermaksud melalui jalan raya Semarang. Tapi berhubung jalan dimana-mana dilanggar banjir, kami lantas memutuskan melalui jalan Purwokerto-Magelang. Letnan Johan membawa tiga puluh anak buah. Letnan Matulesi tiga puluh dua orang. Eh, sama sekali tak terduga, bahwa setelah sampai di sebelah timur Banyumas, angkutan kami yang berisi uang bernilai ratusan ribu ringgit, kena dirampas oleh seorang penjahat yang mengenakan topeng."
"Kak Mundingsari! Engkau pendekar gagah semenjak kau ikut Ayah. Apakah kau tak sanggup melawan?"
Potong Senot Muradi. Mundingsari tertawa pedih. Sahutnya dengan muka bersemu merah.
"Adik! Kalau aku bisa melawan dia, perlu apa aku datang kemari. Kedua perwira ini, menderita luka. Anak buahnya tersapu bersih. Ditawan atau dibunuh. Hanya kita bertiga masih beruntung, bisa merangkak-rangkak sampai di sini."
"Kalau begitu, penjahat itu tangguh luar biasa!"
Senot Muradi jadi tertarik.
"Benar. Itulah sebabnya aku berani mengganggu ketenteraman ayahmu. Aku datang kemari untuk memohon pertolongan Beliau. Kalau ayahmu tidak mengulurkan tangan siapa lagi yang bisa membekuk penjahat itu?"
Betapapun juga, hati Senot Muradi ikut berbangga mendengar ayahnya disanjung puji. Tetapi dia ternyata seorang anak yang cukup cerdik dan tebal firasatnya. Ia lantas mundur ke ambang pintu sambil berkata.
"Kak Mundingsari! Kau ternyata tidak sayang kepada seorang sahabat."
"Tak sayang bagaimana?"
Mundingsari tak mengerti.
"Kau sudah tahuAyah seorang cacat kaki. Cacat ini diperoleh karena menghamba pemerintah. Karena itu Ayah kini benci kepada semua yang berbau pemerintah. Apalagi dengan segala pembesar yang suka menjilat-jilat pantat. Apa sebab engkau kini datang dengan bertujuan hendak mengajak Ayah menolong seorang budak Belanda yang kehilangan barangnya? Seumpama Ayah bercelaka di tangan orang bertopeng itu, apakah kedua pembesar ini akan berduka cita? Huh! Mana bisa begitu. Tidak, aku tidak akan mengijinkan Ayah ikut campur!"
Mundingsari dan kedua perwira itu terbelalak.
Mereka terlongong mendengar ucapan si anak di luar dugaan.
Selagi terlongong demikian, tiba-tiba mereka tersadar oleh suara gabrukan pintu yang keras.
Ternyata Senot Muradi melompat masuk dan menutup pintu rapat-rapat sebelum ketiga tetamu sadar dari rasa kagetnya.
Daun pintu itu terbuat dari kayu besi setebal satu kaki.
Selain dilengkapi dengan gerendel, diganjal palang melintang terbuat dari balok.
Kalau sudah diganjal, biarpun lima orang takkan kuat mendorong sehingga bisa terbuka.
Mundingsari dan kedua perwira itu buru-buru menghampiri pintu itu.
Mereka mencoba mendorong.
Selagi berkutat, pintu masuk di belakang tertutup pula.
Mereka kaget setengah mati.
Dengan satu lompatan mereka memburu pintu masuk.
Tapi pintu ini pun sudah kena diganjal pula.
Dengan begitu kini mereka kena terkurung seakan tiga ekor binatang galak.
Mereka jadi mendongkol sekali.
"Adik Senot! Adik Senot!"
Mundingsari mencoba memanggil dengan nada bujukan. Mereka mendengar langkah ringan berlari-larian kian menjauh. Tahulah mereka, bahwa Senor Muradi justru lari menjauhi begitu mendengar panggilan itu. Kedua perwira itu jadi uring-uringan.
"Anak jahanam!"
Letnan Johan memaki lantaran mendongkolnya.
Lalu ia menubruk pintu.
Namun pintu sama sekali tak bergeming.
Rekannya mencoba membantu.
Setelah berkutat sekian lamanya, tahulah mereka bahwa usaha itu sia-sia belaka.
Mereka lantas memaki kalang kabut.
Ruang yang mirip ruang tengah itu, tidak berjendela.
Di atas hanya terdapat sebuah lubang angin.
Lubang angin itu menghadap ke dalam.
Karena itu lebih tepat kalau dinamakan lubang keluar masuknya hawa.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi gusar bukan main.
Sesudah memaki kalang kabut, mereka menggerendengi Mundingsari "Mengapa mengajaknya kemari."
Kata Letnan Johan "Kau sudah tahu sahabatmu itu benci kepada semua hamba negeri. Apa sebab kau membawa kami datang kemari?"
"Pastilah dia golongan penjahat pula,"
Letnan Matulesi menguatkan.
"Mundingsari, sebenarnya apa maksudmu ini?"
Paras muka Mundingsari berubah menjadi gusar. Jawabnya dengan suara keras.
"Saudara berdua jangan berkata yang bukan-bukan! Kalian tahu siapakah yang mendiami rumah ini! Kedudukannya dahulu lebih tinggi daripada majikan kalian."
Mendengar keterangan Mundingsari, kedua perwira itu kaget berjingkrak. Serentak mereka bertanya minta keterangan.
"Siapa? Kau bilang sebagai sahabatmu. Kau menyebut-nyebut seorang Demang. Yang manayang berkedudukan tinggi melebihi majikan kami?"
Melihat kesangsian mereka, Mundingsari tersenyum.
"Yang tua memang hanya seorang Demang. Artinya dia mengepalai sepuluh atau lima belas kepala kampung. Kalian berdua hanyalah seorang komandan peleton yang mengepalai beberapa puluh orang. Dibandingkan dengan kedudukkan-nya, dia lebih tinggi daripada kedudukan kalian berdua. Dan yang lain adalah putera seorang Pangeran. Artinya dia cucu Sultan yang memerintah kasultanan Jogjakarta. Kalian berdua tidak bisa dibandingkan. Seorang Kolonel Belanda tidak berani gegabah menghadapi dia,"
Ia berhenti mengesankan. Meneruskan dengan suara ditekan-tekan.
"Dia bernama Raden Mas Sanjaya. Ilmu kepandaiannya tinggi pula. Mula-mula belajar pada Ki Hajar Karangpandan. Kemudian diam-diam berguru kepada pendekar besar Pringgasakti. Setelah cacat kaki, dia mewarisi sebagian ilmu sakti saudara angkatnya yang menggemparkan seluruh dunia. Kalian tahu siapakah saudara angkatnya itu?"
"Siapa?"
"Dialah Sangaji. Di Jawa Barat dia disebut Gusti Aji. Karena dialah raja yang menguasai laskar Himpunan Sangkuriang yang menggetarkan jantung Kompeni Belanda. Masakan kalian tak tahu?"
Kata Mundingsari dengan mulut mengulum ejekan.
"Sangaji,"
Kedua perwira itu terkejut sampai mukanya pucat. '"Tak salah! Sangajiseorang pendekar besar pada zaman ini. Jangan lagi manusia yang terdiri dari darah daging. Iblis pun tak berani menyebut-nyebut namanya,"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Mundingsari dengan suara menang.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi makin nampak pucat.
Keringat dingin membasahi sekujur badannya.
Manusia di penjuru pulau Jawa ini, siapakah yang tak pernah mendengar nama Sangaji? Mereka tadi mendengar pula, bahwa Demang Sigaluh Ki Jaga Saradenta adalah guru saudara angkat penghuni rumah ini.
Kalau begitu, bukan sembarang orang.
Raden Mas Sanjaya dikabarkan sebagai saudara angkat Sangaji.
Pada zaman mudanya ia berjuang di sisih Kompeni Belanda sebagai lawan Sultan HB II.
Ke- dudukannya sangat tinggi di mata pemerintah Belanda.
Teringat kata-katanya yang tidak enak terhadap tuan rumah, mereka merasa resah sendiri.
Mereka melihat Mundingsari duduk bersandar pada dinding dengan bersenyum-senyum tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.
Sikap diamnya kian meresahkan hati mereka.
Setelah saling pandang beberapakali akhirnya Letnan Johan berkata minta maaf.
"Saudara Mundingsari. Kami memang mempunyai mata, tetapi ternyata lamur. Kami tak tahu, bahwa saudara sebenarnya seorang berilmu tinggi yang tak mau menonjolkan diri. Kalau tidak, mustahil bisa bersahabat dengan kedua tuan rumah ini. Kami menyesal atas perlakuan kami yang Kurang baik terhadap saudara."
Permintaan maaf ini mempunyai latar belakangnya.
Ia dan Letnan Matulesi dipercayai mengawal tiga laksa ringgit untuk uang belanja kompeni yang berada di Magelang.
Sultan Kanoman dari Cirebon menyarankan, agar pengawalan ditambah dengan seorang yang bernama Mundingsari.
Dia adalah seorang pendekar kenamaan.
Sudah barang tentu saran Sultan Kanoman ini memperoleh perhatian Komandan Kompeni B.
Komandan itu menyetujui.
Sebaliknya mereka berdua jadi mendongkol.
Mereka berdua mempunyai anak buah pilihan hampir mendekati enam puluh lima orang.
Semuanya bersenjata dan merupakan peleton yang sudah berkali-kali berperang.
Masakan perlu mendapat bantuan tenaga seorang lagi? Apalagi tenaga itu seorang preman.
Tetapi di depan komandannya, tak berani mereka membuka mulut.
Sebelum berangkat, mereka mengadakan penyelidikan terlebih dahulu sebenarnya siapakah Mundingsari itu.
Hasil dari penyelidikan itu menyatakan, bahwa Munding- sari hidup tak lebih daripada seorang rakyat jelata.
Sama sekali ia tak ternama.
Meskipun demikian, mereka harus menerima tenaganya.
Kalau menolak dengan terang- terangan, mereka bisa dipelototi komandannya.
Di sepanjang jalan, mereka bersikap dingin terhadap Mundingsari yang dianggapnya sebagai.
saingannya.
Di luar dugaan, Mundingsari ternyata mempunyai kepandai- an yang sangat tinggi.
Pada waktu terjadinya perampokan, hanya dia seorang yang dapat bertempur puluhan jurus melawan penjahat bertopeng tanpa mendapat luka.
Sekarang ia pun mempunyai hubungan rapat dengan putera Pangeran Bumi Gede yang menyembunyikan diri di Dusun Segaluh.
Kalau dia memang saudara angkat Sangaji yang menggemparkan persada bumi Jawa Barat, memang orang itu merupakan pilihan yang paling tepat untuk mengatasi kesukarannya.
Penjahat bertopeng itu boleh hebat.
Tapi menghadapi saudara angkat guru Sangaji, masakan berani banyak bertingkah.
Mundingsari bersenyum mendengar permintaan maaf mereka.
"Ah, Tuan Letnan jangan bicara begitu. Aku hanya seorang rakyat jelata. Mana bisa tingkatanku sejajar dengan Tuan-tuan."
Setelah berkata demikian, ia bersandar pada tembok sambil memejamkan matanya.
Hati kedua perwira tambah tidak enak, mendengar istilah tuan.
Sebenarnya ingin mereka minta keterangan hubungannya dengan Ki Jaga Saradenta dan Sanjaya.
Akan tetapi setelah mendengar nada suaranya yang tawar, mereka tak berani membuka mulut lagi.
Pada saat itu, otak Mundingsari sedang meraba-raba teka-teki yang terjadi pada diri Sanjaya.
Ia kenal siapa Sanjaya.
Dialah putera Pangeran Bumi Gede yang dahulu bercita-cita besar.
Benarkah putera pangeran itu, kini membenci semua yang berbau pembesar negeri? Berkumpulnya Sanjaya dengan Ki Jaga Saradenta dalam, satu rumah, sebenarnya sudah merupakan suatu pertanyaan besar semenjak beberapa tahun yang lalu.
Apakah alasannya? Ia merasakan sesuatu yang mengerikan.
Tetapi tak tahu apa yang menyebabkan ngeri itu.
Apakah dia sudah kena bujuk Sangaji? Apakah dia berada di Sigaluh karena pesan istrinya? Apakah karena Senot Muradi kini menjadi murid Ki Jaga Saradenta? Pertanyaan yang lain-lain saling susul menyusul, lenyap tanpa jawaban.
Hai! la mengeluh di dalam hati, Kalau Raden Mas Sanjaya kini bukan Raden Mas Sanjaya yang dahulu ini artinya aku mencari penyakit sendiri.
Memang semenjak runtuhnya perjuangan Pangeran Bumi Gede, ia pulang ke Cirebon.
Ia menyekap diri.
Karena itu, tak tahu perkembangan yang terjadi.
Ia hanya mendengar khabar selentingan.
Raden Mas Sanjaya cacat kakinya akibat senjata ayahnya sendiri.
Lalu kawin dengan Nuraini.
Dari perkawinan itu, lahirlah Senot Mi radi.
Ia pun pernah membuktikan.
Kabar itu ternyata benar.
Hanya saja ia tak tahu, bahwa Sanjaya dahulu bukanlah Sanjaya sekarang.
Dia kini benci kepada pemerintah Belanda dan segalanya yang berbau pembesar negeri.
Mungkin sekali, karena ia kecewa di dalam hidupnya.
Angan-agannya dahulu bubar buyar kena diruntuhkan satu kenyataan.
Memperoleh pikiran demikian, ia mengeluh lagi di dalam hati.
Ia menyesali diri sendiri, apa sebab mau menerima tugas pengawalan ini.
Memang setelah hidup kembali menjadi orang preman, ia harus memperhatikan dua hal.
Yang pertama.
butuh perlindungan.
Dalam hal ini Sultan Kanoman yang menguasai daerah tempat ia menumpang hidup.
Yang kedua.
uang untuk bekal hidup tenteram.
Dan kedua-duanya ini dipenuhi oleh tugas pengawalan itu.
la ditunjuk Sultan Kanoman berbareng menerima upah besar.
Itulah sebabnya, ia tak me- medulikan sikap kedua perwira temannya berjalan.
Di sepanjang jalan ia mengadakan perhubungan dengan pendekar-pendekar yang menguasai wilayah- wilayah tertentu.
Kenalannya memang banyak.
Selain para pendekar, juga para begal.
Dengan demikian, kereta kawalannya selamat tiada yang mengganggu.
Sebaliknya Letnan Johan dan .Letnan Matulesi menganggap amannya perjalanan itu berkat keangkeran pasukannya.
Waktu itu hari raya sedang meriah-riahnya.
Mereka berdua lantas menghambur-hamburkan hadiah, sambil menggenderangkan berita bahwa pasukannya merupakan peleton pilihan.
Di Banyumas mereka beristirahat.
Tiba-tiba datanglah segerombol pengemis minta sedekah.
Pengemis itu berkata, bila memberi sedekah kepada mereka, perjalanan akan selamat.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi tersinggung.
Mereka memberi perintah kepada anak buahnya agar mengusir dan menggebuki segerombol manusia yang tak tahu adat itu.
Di luar dugaan, gerombolan pengemis itu pergi dengan meninggalkan suara nyaring.
Sebagai seorang pendekar berpengalaman, Mundingsari menaruh curiga.
Ia menduga akan terjadi suatu akibat yang jelek.
Maka buru-buru ia menghadap kedua letnan itu agar memanggil gerombolan itu kembali untuk minta maaf! Tentu saja, rasa harga diri kedua letnan itu kian tersinggung.
Dengan suara keras mereka berkata.
"Kami kau suruh minta maaf kepada gerombolan pengemis? Eh, sebenarnya kau ini siapa sampai berani berkata lancang di depan kami?"
Mundingsari tak sudi berbicara lagi.
Ia lantas memasuki kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam.
Keesokan harinya, setelah menyeberangi tikungan Kali Serayu, segerombolan begal yang mengenakan pakaian pengemis menghadang di tengah jalan.
Dan pertempuran segera terjadi dengan sengit.
Mula-mula Mundingsari bersikap acuh tak acuh.
Tetapi setelah melihat kedua perwira itu terancam bahaya, segera ia memacu kudanya dan menghantam empat pembegal yang bersenjata golok, dengan pedangnya, la berhasil mengundurkan mereka dan menolong kedua perwira itu.
Selagi demikian, tiba-tiba seorang penjahat bertopeng datang dengan memacu kudanya.
Dia bersenjata sebatang tongkat panjang.
Dengan sekali sabet, pundak kedua perwira itu kena dilukai.
Mundingsari melompat melindungi mereka.
Suatu benturan terjadi dengan dahsyat.
Sesudah bertempur seru kurang lebih tiga puluh jurus, pedang Mundingsari somplak sebagian.
Penjahat bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
Katanya nyaring.
"Kau boleh dihitung seorang gagah. Nah, pergilah! Aku takkan mengusik kulitmu!"
Setelah berkata begitu, ia menarik kendali kudanya dan menjauhi Mundingsari.
Dengan cepat ia menghampiri tiga kereta yang penuh uang.
Setelah tiga kali menghantam dengan tongkatnya, lapisan kereta itu pecah.
Isinya berantakan dan berhamburan di tanah.
Anak buahnya segera mengumpulkan dan memunguti hamburan uang itu.
Dalam pada ituenam puluh dua anak buah peleton kena terbunuh atau tertawan.
Habislah sudah keangkeran peleton Kompeni B yang dibangga- banggakan kedua perwiranya.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi kala itu, tiada berdaya.
Mereka Penjahat bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
Katanya nyaring.
"Kau boleh dihitung seorang gagah. Nah, pergilah! Aku takkan mengusik kulitmu!"
Jatuh tertelungkup mendekami tanah. Buru-buru, Mundingsari merampas dua ekor kuda dan diserahkan kepada mereka berdua.
"Lari sebelum kasep."
Dengan menguatkan diri, mereka melompati punggung kudanya.
Dan melarikan diri dengan petunjuk Mundingsari.
Di sepanjang jalan Mundingsari memutar otaknya menebak-nebak siapakah penjahat bertopeng itu.
Teringatlah dia, bahwa wilayah itu termasuk daerah kekuasaan Demang Sigaluh.
la tahu pula, bahwa Raden Mas Sanjaya berada pula di sana.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau dua pendekar itu sudi mengulurkan tangan, penjahat bertopeng yang berhasil merampas uang negara bukan merupakan soal lagi.
Sama sekali tak terduga, bahwa kedua pendekar itu membenci segala yang berbau pembesar negeri.
Sikap Ki Jaga Saradenta dapat dimengerti.
Sebab semenjak mudanya ia bermusuhan dengan Belanda.
Tetapi Raden Mas Sanjaya adalah lain.
Benarkah dia ikut-ikutan membenci pembesar negeri? Sekarang ia berada di dalam rumahnya.
Ki Jaga Saradenta tidak muncul.
Raden Mas Sanjaya tidak menampakan batang hidungnya.
Sedang pintu kena terganjel dari luar oleh si bocah nakal.
Benar-benar sial! Selagi melamun demikian, tiba-tiba ia mendengar suara Letnan Matulesi .
"Bocah.... Bocah baik itu, kenapa belum juga balik kemari? Bisa-bisa.... kita mati kelaparan di sini."
Sebenarnya ia ingin mengutuk Senot Muradi.
Tapi ia menguasai diri.
Mundingsari tertawa geli.
Ia membuka matanya.
Di luar lubang angin tiada nampak lagi cahaya terang.
Siang sudah berganti petang? Ia pun sebenarnya merasa lapar juga seperti kedua perwira itu.
Cepat-cepat ia duduk bersemedi menenteramkan hati.
Diam-diam Mundingsari berkuatir.
Dusun Sigaluh tidak boleh dikatakan terlalu besar.
Tapi mengapa Senot Muradi belum berhasil menemukan ayahnya? Apakah dia tidak mencarinya? Atau apakah ayahnya menjumpai suatu perkara pelik! Teringatlah dia kepada kedatangan pemuda tadi pagi.
Pemuda itu memang gagah.
Tetapi tak mungkin dia bisa mengalahkan Raden Mas Sanjaya atau Ki Jaga Saradenta andaikata sampai terjadi suatu perselisihan.
Kalau begitu, mengapa kedua-duanya belum juga pulang? Petang kini sudah benar-benar memasuki malam hari.
Ruang menjadi gelap ketat.
Hawa dingin mulai menyusup kulit, dan daging.
Makin lama makin tajam.
Itulah suatu tanda, bahwa malam hari kian merangkak-rangkak lebih jauh.
Kedua perwira itu menarik kursinya dan dipipitkan kepada dinding.
Mereka lantas saling berdesakan untuk memperoleh hangat.
"Saudara Mundingsari!"
Bisik Letnan Johan.
"Ada apa?"
Sahut Mundingsari.
"Sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan majikan rumah ini?"
Letnan Johan minta keterangan.
"Empat tahun yang lalu, pernah aku datang kemari,"
Jawabnya.
"Celaka!"
Letnan Johan terkejut.
"Kalau begitu, hubunganmu tidak serapat kusangka. Aku khawatir, mereka tidak hanya tidak sudi menolong tapi pun membiarkan kita bertiga mati kelaparan di sini. Sebenarnya, apa sebab mereka membenci pemerintah Belanda?"
Mundingsari mendongkol berbareng geli. Jawabnya dengan suara tawar.
"Ki Jaga Saradenta adalah seorang pendekar besar. Raden Mas Sanjaya adalah putera seorang pangeran. Jika mereka menghendaki jiwa kita, tidak perlu menggunakan akal bulus dengan membiarkan mampus kelaparan di sini."
Kedua perwira itu menegakkan badannya. Terdengar Letnan Johan berkata dengan suara gemetaran.
"Kau... kau bilang apa? Mereka memang menghendaki jiwa kita?"
Mundingsari tertawa bergerak.
"Orang-orang yang mati di dalam tangannya adalah orang-orang besar yang mempunyai nama. Orang-orang semacam kita ini, tidak cukup berharga untuk mati di dalam tangannya. Kalian tak usah khawatir!"
"Tapi kenapa mereka tidak mau melepaskan kita?"
Letnan Matulesi menyambung.
"Malahan si Bocah.... si Bocah baik itu, tidak muncul lagi. Pastilah dia menerima kisikannya."
"Bagaimana aku tahu?"
Mundingsari membalas dengan suara geram.
Baru saja kedua perwira itu hendak membuka mulut, tiba-tiba lubang angin di atas nampak suatu sinar cerah.
Semangat hidup mereka lantas terbangun.
Sekonyong- konyong mereka mendengar suara tertawa aneh mirip jeritan seekor babi kena sembelih.
Dan mendengar bunyi suara demikian, bulu roma mereka bergidik.
"nDoro Mas Sanjaya!"
Terdengar suara seseorang.
"Benar-benar nikmat hidup bersembunyi di tengah dusun yang sunyi ini. Hampir-hampir putus asa kami mencarimu."
Hati Mundingsari tercekat.
Tahulah dia sekarang Sanjaya sudah pulang.
Siapakah tetamu yang memiliki suara begitu jelek? Menilik lagu suaranya, dia bersikap memusuhi.
Sebagai seorang yang berpengalaman, segera ia merasakan suatu ancaman bahaya.
Segera ia menekan pergelangan tangan kedua perwira itu agar jangan bersuara atau berkutik.
Ia sendiri lantas menumpuk dua kursi pada tembok.
Kemudian dengan hati-hati berdiri mengintip di atasnyamelalui lubang angin.
Kamar yang berada disebelah merupakan kamar gandok tempat penerima tetamu.
Di tengah-tengah kamar terdapat sebuah meja bundar dan empat kursi pendek setengah bangku.
Di pojok berdiri sebuah almari besar.
Tiga orang duduk di atas kursi berhadap-hadapan.
Yang menghadap ke arah Mundingsari adalah Sanjaya.
Waktu itu usia Sanjaya sekitar tiga puluh tujuh tahun, la masih nampak cakap seperti pada zaman mudanya.
Angkar dan berwibawa.
Tetamunya yang duduk di sebelah kirinya berkepala luar biasa besarnya dan berperawakan pendek kecil.
Kesannya lantas aneh dan lucu, yang berada di kanannya seorang yang berwajah beku.
Kedua pipinya menonjol ke atas.
Sekilas pandang tahulah Mundingsari, bahwa orang itu pasti memiliki suatu keistimewaan yang tersembunyi.
"Sebenarnya apakah maksud kedatangan Tuan-tuan kemari?"
Sanjaya bertanya sabar setelah mendeham beberapa kali.
"Hampir lima belas tahun, nDoromas menyekap diri di pedusunan. Meskipun cita-cita kita dahulu gagal, namun Sultan yang bertahta sekarang masih teringat padamu."
Sanjaya tertawa perlahan melalui hidungnya. Katanya malas.
"Sewaktu kita mengadakan gerakan, Sultan yang bertahta sekarang baru belajar merangkak-rangkak."
"Benar,"
Sahut si Kepala gede dengan cepat.
"Tetapi nDoromas tahu, bahwa Sultan Jarot mempunyai perwalian yang terdiri dari tiga orang. Gusti Patih Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgadiningrat dan Raden Tumenggung Mertanegara. Beliau bertiga inilah yang selalu teringat kepada keberanian dan kepandaian nDoromas. Tiga kali, kami berdua diperintahkan mencari nDoromas. Tapi tiga kali pula kami gagal. nDoromas ternyata sudah lama pindah dari Desa Karangtinalang. Hai, tak tahunya nDoromas hidup begini senang di tempat ini. Kami mengetahui, bahwa hidup tanpa ikatan adalah senang. Tetapi sesudah lima belas tahun menganggur, sudah semestinya kini nDoromas membantu pekerjaan Beliau bertiga."
Sanjaya menatap wajah mereka dengan mata berkilat- kilat seakan-akan ingin menjenguk isi perutnya.
Meskipun dia hidup memencil di sebuah dusun, pergolakan yang terjadi di kota raja diketahuinya belaka.
Semenjak Gubernur Daendels memerintah di Batavia, istana Jogjakarta terguncang hebat.
Patih Danureja II membantu Daendels menjatuhkan Sultan Sepuh.
Sultan HB III lantas naik tahta.
Tetapi tatkala Inggris menggantikan pemerintahan, Sultan Sepuh diangkat kembali menjadi raja.
Dan Sultan HB III diturunkan dari tahta dan menduduki tempatnya semula sebagai Adipati Anom.
Akibat dari pergantian-pergantian Sultan ini, terjadilah pengikut-pengikut yang saling bersaing dan bermusuhan.
Patih Danureja II mati terbunuh.
Sebagai penggantinya Adipati Sindurejo diangkat menjadi patih oleh Sultan Sepuh.
Lalu mulailah suatu pembersihan.
Kemudian Inggris datang lagi, Sultan Sepuh dibuang ke Penang.
Dan HB III diangkat kembali menjadi Sultan.
Patih Sindurejo dipecat dan kedudukannya diganti oleh Raden Tumenggung Sumadipurabupati Jipang dan kemudian bergelar Patih Danurejo IV.
Pemerintahan baru ini mengadakan pembalasan dendam terhadap pengikut- pengikut Sultan Sepuh.
Tiba-tiba Sultan HB III wafat pada tanggal 3 November 1814.
Dan kegoncangan terjadi lagi.
Sultan Jarot lantas naik tahta.
Lantaran masih belum cukup umur, pemerintahannya diwakili tiga orang Menteri.
Orang berkepala gede dalam pada itu, tertawa haha hihi.
"Negara memang kacau balau semenjak sepuluh tahun yang lalu. Sekarang, meskipun Sultan Jarot sudah akil baliq, kekuasaannya masih menyangsikan. Itulah sebabnya Gusti Patih teringat kepada panglimanya dahulu yang pernah mengguncangkan pemerintahan Sultan Sepuh. Tegasnya kami khawatir, bahwa Beliau tidak akan mengijinkan nDoromas Sanjaya hidup terus secara begini."
"Saudara Taker Urip dan Ampyak Siti,"
Kata Sanjaya.
"Saudara berdua keliru alamat. Sekalipun berada di tengah-tengah dusun sesunyi ini, kebetulan aku tahu bahwa orang-orang yang mendampingi Gusti Patih tidak terhitung jumlahnya. Semuanya berkepandaian tinggi. Sedangkan saudara Taker Urip dan Ampyak Siti merupakan dua tiang agung penjaga kesejahteraan Gusti Patih. Apakah gunanya manusia seperti aku ini yang sudah buntung kakinya. Kecuali itu aku mengetahui pula, bahwa negara kini sudah aman tenteram. Karena itu, saudara keliru bila berkata bahwa negara kini masih dalam keadaan kacau balau. Sungguh! Aku kurang mengerti kata-kata kalian berdua."
Kata-kata Sanjaya bernada sopan-santun, tetapi tajam tak ubah sebatang golok tajam. Dan Ampyak Siti orang yang berwajah bekulantas tertawa terbahak-bahak. Katanya sambil mendongak ke atap.
"nDoromas Sanjaya! Kami adalah orang-orang yang berisi perut lurus dan tidak biasa berbicara berputar-putar tak keruan juntrungnya. Apakah nDoromas Sanjaya tahu, bahwa Sri Paku Alam telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan satu tahun yang lalu kepada Sultan Jarot? Ha, inilah soalnya, apa sebab kami datang mencari nDoromas."
Sanjaya semenjak mudanya memiliki otak yang hidup.
Kedua tetamu itu boleh licin.
Tapi dibandingkan dengan keenceran otaknya, mereka belum nempil.
Ia tahu pemerintah Inggris dahulutidak menyetujui perwalian tiga orang itu.
Pangeran Natakusuma (Sri Paku Alam) ditunjuk untuk menggantikan mereka bertiga.
Sudah barang tentu, mereka bertiga bersakit hati.
Sekarang ia mendengar kata-kata Taker Urip dan Ampyak Siti yang mengesankan sebagai utusan Patih Danurejo IV.
Dengan cepat saja, ia lantas tahu kedudukan mereka berdua.
"Sudah sepuluh tahun lebih aku hidup mengasingkan diri,"
Kata Sanjaya dengan tenang.
"Sebagai rakyat pegunungan, aku tak tahu menahu lagi perkara pemerintahan. Lebih-lebih urusan keluarga raja. Karena itu, rasanya kalian berdua salah alamat, apabila kalian berdua mengajak aku untuk membicarakan urusan pemerintahan."
"Ada yang berkatadiam-diamnDoromas Sanjaya meninggalkan kawan perjuangan lama dan dengan diam- diam pula menjagoi Sultan Jarot. Benarkah itu?"
"Siapa yang menjadi raja, bagi aku tiada bedanya. Aku seorang rakyat pegunungan. Kalau sudah dapat hidup tenang dan tenteram, apa lagi yang hendak kuharapkan?"
Taker Uripsi Kepala gedetertawa terkekeh-kekeh. Katanya sambil menyemburkan ludah.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu benarlah kata orang. Kau memang menjagoi Sultan baru itu. Sebenarnya, apa sih yang kauharapkan dari Sultan yang masih berbau kanak-kanak itu?"
Suara tertawa dan lagu kata-kata Taker Urip benar- benar tidak sedap dalam pendengaran. Betapa Sanjaya berusaha menguasai hatinya, tak urung mukanya terasa panas. Dengan menerkam pinggiran meja, ia menjawab dengan suara keras .
"Jika Gusti Patih Danurejo IV sangsi kepadakuperlu apa dia mengirim kalian berdua kemari? Panggil saja aku ke kota raja dengan suatu surat perintah. Bukankah lebih gampang untuk membunuh aku?"
"nDoromas berbicara terlampau berat,"
Tungkas Ampyak Siti dengan suara dingin.
"Justru Gustu Patih percaya kepadamu, Beliau memberi perintah kami berdua untuk mencarimu. Itulah membuktikan betapa bijaksana tindakan Gusti Patih. Cobapertimbangkan baik-baik. Pemerintah Inggris sudah gugur. Kini tak dapat lagi ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan. Inilah saatnya yang baik untuk menunjukkan gigi. Mumpung kekuasaan Sultan Jarot belum kuat,"
Ia berhenti mengesankan. Kemudian meneruskan.
"nDoromas Sanjaya seorang pejuang di sisi almarhum Gusti Patih Danurejo II. Otak nDoromas cemerlang. Terus terang saja, Gusti Patih Danurejo IV membutuhkan tenagamu..."
"Itu benar,"
Taker Urip menguatkan.
"Tadi aku berkata, bahwa negara dalam keadaan kacau balau semenjak sepuluh tahun yang lalu. Bukan karena kena kericuan pergantian pemerintah di Batavia, tapi karena urusan dalam negeri. Terus terang saja, Gusti Patih sekarang lagi menyusun suatu kekuatan untuk membersihkan penjahat-penjahat yang berlindung di belakang Sultan sekarang. Sekiranya Gusti Patih tidak menganggap nDoromas sebagai orang sendiri, tak mungkin Beliau mengijinkan kami berdua untuk berbicara berkepanjangan mengenai urusan keruwetan dalam negeri kepada nDoromas."
Mendengar keterangan Taker Urip, darah Sanjaya makin bergolak.
Dia sekarang memang bukan Sanjaya dahulu yang kemaruk kekuasaan.
Semenjak hidup di tengah desa bersama Nuraini dan semenjak bergaul agak rapat dengan Sangaji dengan guru-gurunya, penglihatan hidupnya sudah berubah.
Ia merasakan suatu kekotoran yang menjijikkan bila seseorang membicarakan perkara angan-angan kekuasaan.
Itulah sebabnya, saking bergusarnya ia duduk tak bergerak dengan mata berkilat- kilat.
Taker Urip tidak memedulikan keadaannya.
Ia tertawa haha-hehe seperti orang gendeng.
Berkata lagi dengan suara dikecilkan.
"Dahulusewaktu nDoromas dan almarhum Pangeran Bumi Gedemengalami malapetaka, kami berdua terpaksa membantu Gusti Patih Danurejo II mati-matian, alangkah berat! Tapi sekarang, aku boleh bersyukur. Karena tidak lama lagi, nDoromas akan menggantikan tugasku. nDoromas Sanjaya! Janganlah kau berpura-pura! Jabatan yang hendak nDoromas pangku, sangat tinggi dan mulia martabatnya. Inilah surat keputusan Perwalian Sultan. Coba dengar! Mengangkat Pangeran Sanjaya dalam jabatannya semula sebagai pengganti almarhum ayahnya... Coba dengar! nDoromas disebut sebagai pangeran . Artinya, nDoromas diakui sebagai putera Sultan entah yang keberapa..."
Makin hebat pergolakan darah Sanjaya.
Dadanya serasa akan meledak.
Betapa goblok seseorangpastilah akan segera mengertibahwa si Penulis surat perintah itu merencanakan hendak menggulingkan Sultan sekarang.
Kemudianbelum-belumsudah mengangkat dirinya menjadi puteranya dengan sebutan pangeran.
Ah, dia sudah yakin akan berhasil menggulingkan tahta kerajaan, pikir Sanjaya dengan hati menggigil.
Mundingsari yang berada di belakang dinding, terkejut mendengar pembicaraan itu.
Sanjaya dahulu semasa perjuangan Patih Danurejo II berkedudukan sebagai panglima perang.
Taker Urip dan Ampyak Siti menerangkan, bahwa Sanjaya akan menggantikan kedudukannya.
Kalau begitu, mereka berdua ini panglima laskar kepatihan.
Menjabat sebagai panglima perang, tidaklah mudah.
Paling tidak, ilmu kepandaiannya harus tinggi.
Memang, mereka berdua adalah dua pendekar kelas berat.
Pada zaman Patih Danurejo II, mereka merupakan pendekar andalan disamping Pringgasakti.
Dengan mengandalkan pukulan-pukulannya yang berbisa, mereka pernah mematahkan lengan dua belas pengawal kepatihan.
Itulah sebabnya nama mereka dengan cepat dikenal orang.
Taker Uripsi Kepala gedemahir dalam ilmu pedang.
Meskipun potongan tubuhnya lucu seperti badut, namun gesit luar biasa.
Sedang Ampyak Siti termasyur dalam ilmu pukulan kosong.
Tatkala itu paras muka Sanjaya merah padam.
Dengan sengit ia memotong kata-kata Taker Urip.
"Surat pengangkatan itu, tak berani aku menerima. Kau bawalah pulang!"
"Apakah kurang tinggi,"
Taker Urip menegas.
"Seorang yang boleh dikatakan cendekiawan tidak boleh bekerja hanya menuruti kemauan majikannya. Sebaliknya dia akan membimbing majikan itu ke jalan yang benar,"
Sahut Sanjaya.
"Ingin aku bertanya kepada kalian berdua. Kalau negara pecahkalau persatuan rakyat retak pecah, apakah yang kalian kerjakan? Mencoba mempersatukan kembali atau justru meniup api untuk mengobar-obarkan nafsu pertentangan?"
Kedua orang itu terkejut.
Inilah suatu pertanyaan yang tajam luar biasa.
Mereka tak pernah menduga, bahwa pertanyaan demikian akan meletus dari mulut Sanjaya.
Itulah suatu kecaman yang terlalu berani terhadap kedua belah pihak.
Baik pihak Patih Danurejo IV maupun pihak Sultan Jarot.
Tapi begitu hilang kagetnya, Taker Urip tertawa terbahak-bahak.
Katanya.
"Ah, benar-benar suatu kemajuan. Rupanya nDoromas Sanjaya kini banyak membaca buku, sehingga kata-katanya lebih menyerupai seorang sasterawan yang lemah. nDoromas Sanjaya terasa saja, pembicaraan tadi sebenarnya menyeleweng jauh dari suatu tata-santun."
"Apa?"
Bentak Sanjaya dengan mata mendelik.
"Perebutan tahta antara Sultan Sepuh dan Sultan Raja, siapa pun tak berani diungkiri. Kalau pengikut- pengikutnya masing-masing pihak kini meneruskan cita- cita pemimpinnya, bukankah sudah wajar,"
Jawab Taker Urip dengan suara keras.
"Inilah suatu kenyataan yang tak dapat dicegah atau dihalang-halangi. Sebab semuanya kini, sejarah yang menghendaki. Seorang ksatria akan tetap setia kepada satu majikan. Dan bukan berpindah-pindah dan membunglon. Sekarang jawablah terus terang, sebenarnya siapakah majikanmu?"
"Aku majikan dari diriku sendiri,"
Jawab Sanjaya dengan suara dingin.
"Kau belum puas? Baik, kuterangkan. Aku ini tak lebih dan tak kurang hanya seorang rakyat kecil yang kebetulan hidup di tengah dusun sunyi. Sudah kukatakan tadi, bagiku siapa yang menjadi penguasa tidak menjadi soal. Aku toh tetap membayar pajak."
Taker Urip menggaruk-garuk kepalanya. Ia benar- benar kuwalahan menghadapi seorang yang gagah dan cemerlang otaknya. Akhirnya dengan suara terpaksa, ia berkata pula.
"Baiklah nDoromas berhak sepenuhnya menentukan keputusannya sendiri. Memang manusia ini kalau bisa, ingin menjadi majikan atas dirinya sendiri. Sebaliknya kami berdua ini memang budak-budak tak mempunyai guna-faedah. Bagaimanakah cara kami nanti memberi laporan kepada Gusti Patih?"
Sanjaya hendak menyumbangkan pikirannya. Tiba-tiba Ampyak Siti tertawa melalui dadanya. Kata si Wajah beku itu.
"Aku bukan seorang peramal. Tapi satu hal aku bisa bilang. Jika Sultan Jarot berhasil menancapkan pengaruhnya ada seorang besar yang bakal mati tanpa liang kubur."
"Siapa?"
Sanjaya terkejut.
"Pangeran Diponegoro,"
Jawab Ampyak Siti dengan suara pasti.
"Mengapa Beliau?"
"Siapa saja tahuPangeran Diponegoro sebenarnya ingin pula naik tahta menggantikan kedudukan ayahandanya."
"Bohong!"
Bentak Sanjaya dengan suara gemetar.
"Itulah fitnah!"
Ampyak Siti tertawa haha-hehe beberapa saat. Lalu berkata.
"Fitnah atau bukan, tetapi begitulah suara orang."
"Hm, siapa saja tahu, bahwa padamnya gerakan kita dahulu disebabkan munculnya Pangeran Diponegoro. Coba tidak ada dia, Sultan Sepuh atau Sultan Raja akan runtuh,"
Sanjaya mempertahankan.
"Bagus!"
Teriak Ampyak Siti dengan suara setengah bersorak.
"nDoromas sekarang tahu, bahwa di dalam Kasultanan terjadi tiga pihak yang kelak akan saling berhantam. Pihak satu, Sultan Jarot dengan begundal- begundalnya termasuk kompeni Belanda. Pihak kedua, Gusti Patih dengan bantuan kompeni Belanda yang insyaf. Dan pihak ketiga Pangeran Diponegoro. Karena Pangeran Diponegoro ikut terancam, pastilah Beliau akan bergabung dengan Gusti Patih. Karena itu... Kau sekarang berpihak pada yang mana?"
Sanjaya mengerinyitkan dahi.
Ia benar-benar jadi sibuk.
Kata-kata Ampyak Siti memang tajam luar biasa.
Orang itu tahu, bahwa ia bermusuhan dengan Pangeran Diponegoro.
Beberapakali pernah ia mengadu kekuatan senjata dalam medan peperangan.
Pihaknya yang selalu kalah.
Menurut jalan pikiran yang lurnrah, sedikit banyak ia menggenggam dendam.
Tetapi ia teringat kata-kata Sangaji.
Bahwa yang membuat kegelapan ini adalah Belanda.
Karena itu musuh utamanya harus Belanda.
Itulah sebabnya Sangaji mengangkat senjata dengan memimpin seluruh perjuangan rakyat Jawa Barat.
Dan Pangeran Diponegoro adalah musuh Belanda.
Pikirnya, bukan mustahil yang meniup-niupkan kabar bohong ini akal Belanda.
Aku tak percaya, bahwa Beliau berangan- angan ingin menjadi raja.
Pada saat itu, ia mendengar Taker Urip berkata membujuk.
"nDoromas! Kau terima saja pengangkatan Gusti Patih ini. Percayalah Pangeran Diponegoro akan berpihak kepada Gusti Patih. Kalau Pangeran Diponegoro berada di pihak kita, pahlawan siapa lagi yang dapat diandalkan Sultan Jarot?"
Tiba-tiba paras muka Sanjaya berubah. Ampyak Siti yang hendak membuka mulutnya, mengurungkan niatnya. Ia memasang telinga.
"Siapa?"
Tanyanya setengah berbisik. Sanjaya menghela napas. Katanya setengah menggerendeng.
"Ah, hari hampir mendekati tengah malam. Siapa lagi yang datang ini?"
Mundingsari yang sedang mengintip di belakang lubang angin, melihat Taker Urip dan Ampyak Siti menyimpan surat pengangkatan yang dibawanya. Setelah dimasukkan ke dalam saku, Taker Urip berkata.
"nDoromas Sanjaya! Celaka atau selamat, kini berada di dalam keputusanmu. Terserah!"
Sesudah berkata demikian, ia menarik lengan kawannya dan diajaknya bersembunyi di belakang almari.
Dan menyaksikan gerak-gerik mereka, Mundingsari jadi keheran-heranan.
Tatkala itu, Sanjaya berdiri dengan tertatih-tatih.
Perlahan-lahan ia berjalan.
Kaki kanannya yang buntung terselu-bung pipa celana yang panjang.
Duk! Duk! ftulah suara bamboo penyambung kakinya.
Nampaknya ia dapat menggerakkan kakinya tanpa suatu kesukaran.
Tiba di ambang pintu, segera ia menjeblak daunnya.
Lalu menyambar obor.
Kerut wajahnya nampak seram.
Sekonyong-konyong berbareng dengan suatu gemeresak, dua bayangan berkelebat memasuki pintu.
Mereka mengenakan pakaian seragam.
Gerakan mereka luar biasa cepatnya.
Kepandaian mereka terang berada di atas Taker Urip dan Ampyak Siti yang berkesan licik.
Sanjaya membungkuk memberi hormat.
Kedua tetamu itu tertawa terbahak-bahak.
Kata yang seorang.
"Ah kita sesama kalangan sendiri. Tidak perlu menggunakan adat-istiadat berlebihan."
"Hampir lima belas tahun aku sudah mendengar nama Sanjaya yang termasyur. Orangnya baru malam ini aku kenal,"
Kata yang lain.
Sambil menekan pinggiran lubang angin, Mundingsari menjenguk lebih tinggi lagi untuk memperoleh penglihatan yang agak luas.
Orang yang berbicara pertama kali, seorang laki-laki berwajah cakap.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pera- wakan tubuhnya singsat.
Sedang yang lain, seorang laki- laki berberewok berperawakan tinggi besar.
"Kangmas Wiranegara!"
Sahut Sanjaya kepada orang yang berperawakan singsat.
"Siapakah sahabat ini? Mataku kini sudah lamur."
Orang yang disebut Wiranegara tertawa berkakakan. la lantas memperkenalkan.
"Dialah wakil komandan Kompeni Belanda yang berada di Jogjakarta. Gampangnya dialah orang kepercayaan Residen Nahuys. Namanya Merta Sasmita. Dengan dimas Sanjaya memang baru untuk pertama kali ini bertemu muka. Tapi seperti katanya sendiri, nama dimas sudah dikenalnya semenjak lama."
Sanjaya tertawa seraya berkata.
"Ah! Benar-benar malam ini aku seperti kejatuhan bintang. Bukankah saudara Merta Sasmita komandan kompeni yang dahulu berkuasa di Cirebon? Dialah satu-satunya seorang bumi putera yang bisa berpangkat kapten. Kalau tidak besar jasanya, betapa mungkin dapat menduduki tempat setinggi itu."
Mundingsari terkejut.
Wiranegara adalah komandan pasukan istana Jogjakarta.
Sedang Merta Sasmita memang satu-satu orang Jawa yang berpangkat Kapten.
Dia merupakan singa ganas.
Tegasnya seorang pembunuh besar yang dilindungi undang-undang.
Semua orang berasal dari Cirebon mengetahui belaka keganasannya.
Sekarang dua orang komandan tentara datang menemui Sanjaya.
Pastilah menggenggam tugas yang maha penting.
Dan memperoleh pikiran demikian, hati Mundingsari berdenyutan.
"nDoromas Sanjaya!"
Seru Merta Sasmita dengan tertawa pula.
"Mulai sekarang, kita adalah teman-teman seperjuangan di sisi pemerintah Belanda. Pemerintah Inggris sudah masuk kubur. nDoromas Sanjaya semenjak dahulu terkenal berotak tajam. Kami berdua membutuhkan petunjuk-petunjukmu. Ijinkanlah aku memberi hormat padamu."
Sanjaya terkesiap. Cepat ia melompat ke samping untuk menghindari pemberian hormat Merta Sasmita.
"Saudara Merta Sasmita! Apa artinya ini?"
Tanyanya menegas.
"Firman Sri Baginda Sultan Jarot ada di sini. Harap nDoromas Sanjaya menerimanya dengan baik,"
Kata Merta Sasmita.
Kapten Merta Sasmita bisa menggunakan adat pergaulan istana dengan manis.
Ia tetap memanggil Sanjaya dengan ndoromas sebagai penghargaan keturunan darah.
Mundingsari yang berada di dalam kamar kurungan menjadi bingung.
Dalam beberapa waktu saja, di depannya tergelar dua firman yang masing-masing menyatakan suatu kekuasaan yang terakui.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi di kota raja?"
Pikirnya di dalam hati.
"Yang pertama firman dari perwalian pemerintahan Kasultanan. Yang kedua, firman Sultan Jarot. Apakah antara Sultan dan perwalian pemerintahan terjadi suatu perselisihan?"
Pada waktu itu, Sanjaya menerima surat firman Sultan dengan kedua belah tangannya, la membuat sembah terlebih dahulu. Kemudian dikembalikan lagi ke tangan Kapten Merta Sasmita. Katanya setelah menyembah lagi.
"Aku mohon dengan sangat, sudilah saudara berdua memaafkan. Aku tak berani menerima firman itu. Cobalah beri penjelasan dahulu, agar aku dapat mengerti."
Mundingsari sekarang jadi mengerti.
Memang lantaran Sultan Jarot masih muda perwalian pemerintahan berada pada tangan Patih Danurejo IV, Tumenggung Pringga- diningrat dan Tumenggung Mertanegara.
Tetapi kemudian Inggris tidak menyetujui.
Yang ditunjuk adalah Pangeran Natakusuma yang sekarang menjadi Sri Paku Alam I.
Kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Sultan Jarot pada tanggal 27 Januari 1820, setelah dewasa.
Semenjak itu Sultan Jarot berhak penuh membuat surat-surat pengangkatan atau surat perintah yang lazim sebagai surat firman raja.
Tatkala itu Wiranegara nampak terkejut.
Berkata dengan suara tinggi.
"Dimas Sanjaya adalah putera seorang pangeran yang berani melawan Sultan Sepuh. Dan Sultan Jarot sekarang adalah putera Sultan Raja. Kalau Sultan Jarot kini masih ingat akan jasamu, itulah suatu bukti bahwa baginda menghargai perjuanganmu. Apa sebab engkau menolak firman Sri Baginda?"
Sanjaya tidak menjawab.
Ia mendengarkan keterangan Wiranegara dengan sikap tenang.
Dalam telinganya, kata-kata Sangaji masih terdengar nyata.
Ia harus berhati-hati menghadapi siasat adu domba pemerintah Belanda.
Sekarang ia melihat, Kapten Merta Sasmita datang dengan membawa surat firman Sultan.
Apakah tidak mungkin akal licin pemerintah Belanda? Kalau benar sebuah firman yang terlahir dari Sultan Jarot yang tulus bersih, apa sebab tidak utusan hamba sahajanya? Benar, Wiranegara adalah komandan tentara istana.
Tetapi kedudukannya masih menyangsikan.
Sebagai seorang yang pernah bekerjasama dengan Belanda, ia segera mencium keadaan yang tidak beres.
Hanya saja masih samar-samar.
"Dimas Sanjaya, dengarkan!"
Kata Wiranegara.
"Sekarang ini Sultan Jarot sudah memerintah penuh- penuh. Kata-katanya adalah undang-undang. Pemerintah Belanda menyetujui. Bahkan kini menaruhkan detasemennya di tengah-tengah kota untuk menjaga istana. Untuk apa detasemen ini? Semuanya ini demi menjaga tindakan Patih Danurejo IV yang mungkin bersakit hati. Tapi meskipun penjagaan sudah cukup kuat, Sri Baginda ternyata masih ingat kepadamu. Kuulangi lagi keteranganku. Kalau Dimas tidak mengangkat senjata melawan Sultan Sepuh, tak mungkin ayahanda Baginda berkesempatan naik tahta. Itulah sebabnya Sultan Jarot mengirimkan kami berdua meninjau rumahmu."
Sanjaya tertawa pahit.
Hatinya seperti tersayat apabila diingatkan kepada tingkah lakunya dahulu mengangkat senjata melawan Sultan Sepuh.
Itu semua adalah akibat bujukan ayah-angkatnya Pangeran Bumi Gedeyang bersekutu dengan Patih Danurejo II.
Setelah sadar, ia menyesali perbuatan itu.
Ia bersumpah tidak akan tahu menahu tentang segala hal yang menyangkut kene- garaan.
"Kangmas Wiranegara,"
Katanya.
"Sultan Jarot seorang yang paling dihormati di jagad ini. Apa perlunya Sri Baginda menambah seorang bawahan lagi seperti aku?"
"Aku sendiri kurang tahu,"
Jawab Wiranegara.
"Yang kudengar, Dimas Sanjaya mempunyai pengalaman melawan laskar Pangeran Ontowirya. Terhadap tingkah- laku Patih Danurejo IV Sri Baginda tidak perlu. Takut. Yang harus dijaga adalah justru Pangeran Ontowirya yang kini bermukim di Tegalrejo. Dialah kakak Sri Baginda sekarang. Sanjaya mengerutkan alisnya. Tanyanya menegas.
"Lantas bagaimana?"
Wiranegara dan Kapten Merta Sasmita tertawa dengan berbareng. Kata Kapten Merta Sasmita.
"Menurut pantas, bukankah dia yang berhak naik tahta kerajaan?"
Mendongkol hati Sanjaya mendengar ucapan Kapten Merta Sasmita.
Terangini adalah fitnah.
Memang ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Diponegoro selain di tengah pertempuran.
Tetapi ia kenal pribadinya lewat tutur kata Sangaji.
Saudara-angkatnya itu boleh dikatakan sering bertemu pada akhir-akhir ini, berhubung dengan isteri Pangeran Diponegoro, Dyah Ayu Ratnaningsih isteri Pangeran Diponegoroadalah adik seperguruan Sangaji.
Dia murid Suryaningrat.
Menurut tutur kata Sangaji, Pangeran Diponegoro justru memperihatinkan cara pemerintahan Patih Danurejo IV.
Pangeran itu menaruh curiga kepadanya.
Sebab disengaja atau tidakdia membebani pajak beraneka macam kepada rakyat.
Dengan demikian, meninggalkan tata pemerintahan yang buruk kepada Sultan Jarot.
Merasa diri tak sependapat dengan Patih Danurejo IV, Pangeran Diponegoro lalu hidup mengasingkan diri ke Tegalrejo.
Dengan demikian, apabila kepergiannya itu dianggap lantaran mempunyai idaman hendak naik tahta adalah suatu fitnah.
"Kangmas Wiranegara! Perhatian Sri Baginda terhadap diriku sangat mengharukan hatiku,"
Kata Sanjaya yang lantas ingat kepada cara hidupnya sendiri.
"Hanya saja, aku sudah biasa hidup mengasingkan diri. - Disini aku sudah memperoleh ketenteraman hidup. Lihatlahaku sudah buntung kaki. Untuk apa manusia seperti aku ini?"
Begitu mengucapkan kata-kata yang terakhir, tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
Pikirnya di dalam hati, ah ya...
aku sudah cacat kaki.
Tapi anehapa sebab tiba-tiba aku menjadi bahan perebutan? Apakah tidak mungkin sebenarnya untuk mengkait saudaraku Sangaji! Ah! Jangan-jangan memang begitu! "Saudaraku Sanjaya!"
Kapten Merta Sasmita berkata lagi. Ia kini menyebut Sanjaya dengan suara untuk mengesankan keangkaran.
"Jangan tergesa-gesa meng- ambil keputusan. Coba baca dahulu surat Sri Baginda."
Sanjaya menurut, la menerima surat firman kembali dan dibacanya.
Di dalam firman itu disebutkan, bahwa ia diangkat dalam jabatan lama sebagai pengganti kedudukan ayahnya.
Dan setelah membaca surat keputusan tersebut, ia harus segera berangkat ke Jogja untuk menghadap.
"Bagaimana? Apakah saudara sudah mengerti bunyi surat firman itu?"
Kapten Merta Sasmita menegas. Sanjaya membungkuk membuat hormat.
"Bumi dan langit menyaksikan bahwa aku sangat berterima kasih. Hanya saja aku tak berani menerima tugas Sri Baginda. Tulang-tulangku sudah keropos."
"Jadi kau menolak?"
"Sanjaya adalah manusia biasa. Sebenarnya bukan anak seorang Pangeran,"
Jawab Sanjaya dengan suara tegas.
"Kalau dahulu aku ada harganya, lantaran ayahku bekerjasama dengan almarhum Patih Danurejo II."
"Ah, itulah yang kausangsikan?"
Wiranegara dan Kapten Merta Sasmita tertawa berbareng. Kata Wiranegara dengan suara nyaring.
"Dimaskau dengarkan baik-baik. Kau mengira, bahwa di dalam kasultanan ada dwi pemerintahan. Itu tidak benar! Semenjak kemarin, Patih Danurejo IV sudah masuk istana dengan disaksikan oleh Residen Nahuya! Perwalian sudah hapus. Sultan Jarot dan Patih Danurejo IV kini merupakan dwi-tunggal. Tidak lagi berpisah atau berdiri sendiri- sendiri."
Ini adalah suatu keterangan yang mengejutkan dan mengherankan Sanjaya.
Baru sajaPatih Danurejo IV mengirimkan utusannya, untuk membujuk dirinya.
Belum lagi selesai berbicara, kini datanglah utusan lain lagi yang mengabarkan bersatunya Patih Danurejo IV dengan Sultan HB IV dengan pengawasan pemerintahan Belanda.
Inilah aneh dan mencurigakan.
Mundingsari yang berada di dalam kamar kurungan, heran pula.
Pikirannya ikut sibuk.
Apakah artinya ini? Patih Danurejo IV terang-terangan bermusuhan dengan Sultan Jarot.
Ia sengaja mengacau ketertiban dan ketenteraman rakyat dengan membuat bermacam- macam pajak dan peraturan sewa tanah.
Ini semua adalah suatu persiapan sendiri untuk menggulingkan kedudukan Sultan Jarot.
Apa sebab dalam setengah malam saja, kedudukannya berubah dengan mendadak?"
Tatkala itu, Wiranegara terdengar berkata lagi.
"Bagaimana? Dimas masih bersangsi? Apakah yang kausangsikan?"
Sanjaya berdiri tegak tak berkutik. Pandang matanya tajam luar biasa seolah-olah ingin menjenguk isi perut mereka. Tiba-tiba suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya. Terus saja bertanya.
"Bagaimana dengan Pangeran Diponegoro?"
Wiranegera dan Kapten Merta Sasmita kaget seperti tersambar geledek.
Inilah suatu pertanyaan di luar dugaan.
Tapi mereka berdua adalah orang peperangan.
Mereka segera dapat menguasai ketenangannya kembali.
Lalu tertawa dengan saling memandang.
Kata Wiranegara di antara tertawanya.
"Hai! Kau menanyakan musuh besarmu? Ah, lebih baik kau tanyakan sendiri kepada Sri Baginda. Kami berdua hanya ingin memperoleh kepastian. Kau terima surat pengangkatan ini atau tidak?"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanjaya mendongak menatap atap rumah. Lalu menjawab dengan tegas.
"Aku menolak."
Ketegangan lantas terjadi. Beberapa saat kemudian, Wiranegara berkata dengan suara lunak.
"Dimas Sanjaya adalah seorang laki-laki. Dan seorang laki-laki akan berkata sekali saja. Kalau demikian keputusanmu, baiklah ijinkan kami berdua berpamit. Hanya saja kami mengharap agar Dimas menjaga kesehatan diri sendiri sebaik-baiknya."
Heran Sanjaya mendengar kata-kata perpisahan itu. Di dalamnya bersembunyi suatu ancaman. Ia lantas berkata dengan hati-hati.
"Kangmasmaafkan aku! Aku mengharap saja agar Kangmas dapat mempersembahkan sujudku ke hadapan Sri Baginda dengan sungguh-sungguh. Syukur bila Kangmas sudi menyampaikan kata-kataku ini. hendaklah Sri Baginda memilih pembantu yang tepat."
"Kau maksudkan siapa,"
Potong Wiranegara dengan suara tak senang.
"Pangeran Diponegoro."
Dengan berdiam diri, Wiranegara menggulung surat firman Raja kemudian diberikan kepada Kapten Merta Sasmita.
Kapten ini lantas menyimpan surat itu di dalam sakunya.
Selagi Sanjaya memperhatikan hal itu, tiba-tiba ia melihat tangan Wiranegara berkelebat menghantam pundaknya.
Kedua orang itu sebenarnya mendapat perintah rahasia untuk membunuh Sanjaya, apabila menolak.
Sebab membiarkan orang sebagai dia hidup di tengah rakyat samalah halnya menambah jumlah duri.
Daripada kelak akan menyukarkan jalan pemerintahan gabungan antara BelandaPatih Danurejo IV dan Sultan Jarot, lebih baik dimusnahkan sekarang.
Sanjaya telah kehilangan ilmu sakti Pringgasakti karena dimusnahkan Adipati Surengpati.
Untungilmu sakti warisan Ki Hajar Karangpandan tidak ikut termusna.
Setelah cacat kaki, Sangaji mengajarkan rahasia ilmu sakti yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik.
Sebab menurut pembagian, keris tersebut sebenarnya milik Sanjaya.
Hanya secara kebetulan saja, Sangaji mewarisi.
Untuk mewarisi ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik, seseorang harus sudah memiliki tenaga dahsyat seperti yang terdapat dalam diri Sangaji.
Sebaliknya Sanjaya hanya memiliki ilmu warisan Ki Hajar Karangpandan yang belum sempurna.
Meskipun demikian, ajaran keris Kyai Tunggulmanik lewat kesabaran Sangaji tidaklah sia-sia.
Lantaran tenaga saktinya terbatas, ia hanya bisa mewarisi tiga bagian.
Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan orang-orang sakti lainnya, Sanjaya tidak perlu kalah.
Gerak-geriknya gesit dan tenaga saktinya bertambah tiga kali lipat dari semula.
Begitu ia melihat bahaya secara otomatis ia mengerahkan tenaga sakti keris Kyai Tunggulmanik untuk melindungi pundaknya yang terancam.
Duk! Pundaknya terhantam.
Tapi pada saat itu juga, Wiranegara terpental menumbuk dinding.
"Manusia rendah! Kau berani menyerang dengan menggelap!"
Bentak Sanjaya.
Dalam pada itu, Kapten Merta Sasmita sudah mencabut pedangnya yang istimewa.
Bentuknya seperti pedang biasa.
Hanya lencang sebesar jari.
Sifatnya lemas.
Begitu digerakkan, lantas saja memantul berge- taran.
Melihat serangan licik itu, Mundingsari yang berada di dalam kamar gusar bukan kepalang.
Hanya sayangia tak dapat mendobrak pintu untuk membantu Sanjaya.
Wiranegara sendiri seorang komandan laskar istana.
Tentu saja ia bukan orang lemah.
Begitu terguling dengan suatu gerakan ia meletik bangun.
Lalu dua belatinya melesat dari tangannya.
"Sanjaya! Meskipun engkau mempunyai kepandaian menembus langit, malam ini kau jangan bermimpi dapat meloloskan diri."
Dengan tangan kiri menindih pedang Merta sasmita, tangan kanannya mengebas.
Dan belati Wiranegara terhantam balik mengancam majikannya.
MENCARI BENDE MATARAM Gubahan .
HERMAN PRATIKTO sambungan Pedang Kapten Merta Sasmita bukan sembarangan pedang.
Sudah sifatnya lemas, ulat pula.
Begitu kena tindih, logamnya melengkung.
Namun tidak patah.
Segera ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya.
Kulitnya terbeset dan darahnya mengucur seperti parit, la kaget bukan main.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Pendekar Kembar Karya Gan KL Legenda Kematian -- Gu Long