Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 6


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 6



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   la memang tahu, setidak-tidaknya Sanjaya pasti mempunyai kepandaian.

   Tetapi sama sekali tak mengira, bahwa tenaga yang dimiliki tak ubah tenaga raksasa.

   Dalam kagetnya, tangannya yang kiri mencabut pistolnya.

   Pistol zaman dahulu belum berisikan pelor.

   Tetapi bubuk mesiu.

   Pistol itu harus diisi dahulu setelah ditembakkan sekali.

   Tapi sebelum memasuki rumah SanjayaMerta Sasmita sudah mengisinya.

   Sekarang ternyata ada gunanya.

   Begitu tercabut, lantas saja ia menarik pelatuknya.

   Sanjaya terkejut.

   Tetapi ia membungkuk seraya menarik tindihannya.

   Karena goncangan tangan ditambah suatu kegesitan, arah bidikan menyasar mengenai lengan.

   Kapten Merta Sasmita terbang semangatnya.

   Ia adalah seorang Kapten bumi putera satu-satunya.

   Keistimewaannya menembak tepat.

   Ia bisa menembak runtuh burung sedang terbang dengan tubuh membalik.

   Selamanya tidak pernah meleset.

   Tapi kini ia menghadapi suatu kenyataan lain.

   Kegesitan Sanjaya ternyata melebihi gesitnya seekor burung.

   Tenaga goncangannya hebat pula.

   Sama sekali tak terduga, bahwa bidikannya bisa meleset.

   Benarmesiunya masih mengenai lengantapi ia tidak puas.

   Pada saat itu, Sanjaya merasakan lengannya menjadi pegal nyeri.

   Buru-buru ia menekan urat bahunya untuk menahan mengucurnya darah.

   Selagi demikian, Wiranegara membuat lompatan harimau.

   Dengan suara "heh"

   Ia menghantam.

   Tapi kali ini, Sanjaya sudah bersiaga.

   Komandan laskar Istana itu tidak dapat membokong24) lagi.

   Dengan membalikkan tangannya, ' membokong = secara gelap tidak terang-terangan Sanjaya memapak hantaman itu.

   Tenaga saktinya dikerahkan.

   Wiranegara kaget bukan main.

   Ia mencoba menahan lompatannya.

   Tentu saja tidak keburu lagi.

   Pergelangan tangannya kena terhajar dan patah pada saat itu juga.

   Kapten Merta Sasmita tidak tinggal diam.

   Tiga kali ia menikamkan pedangnya.

   Kemudian berputar hendak melarikan diri.

   Terdengar Wiranegara berseru.

   "Jangan lari! Jangan beri kesempatan dia bernapas. Kalau hari ini dia tidak mampus, jiwa kita berdua sukar dipertahankan lagi."

   Sanjaya menggerung karena marahnya. Dengan sekali menjejakkan tanah, ia melesat mendahului. Tahu-tahu, ia sudah berdiri tegak di ambang pintu keluar.

   "Apa sebab kalian berdua menyerang aku? Lekas bilang! Jika tidak, jangan harap kau bisa lolos dengan selamat."

   Wiranegara ketakutan setengah mati.

   Ia melirik kepada Kapten Merta Sasmita yang berdiri dengan menggigil.

   Entah sudah berapakali perwira ini mengalami pertempuran-pertempuran mengadu jiwa.

   Tapi rasa ngerinya, tidaklah seperti menghadapi Sanjaya yang berdiri gagah tak ubah malaikat.

   Selagi hendak membuka mulut, tiba-tiba Wiranegara menjerit.

   Pergelangan tangan yang kena hantam taditidak hanya patahtapi pun getaran pukulan Sanjaya menggeser tulangnya.

   Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan itu.

   Meskipun dia seorang komandan laskar Istana, tak urung menjerit kesakitan juga.

   Cepat-cepat Kapten Merta Sasmita memberi isyarat agar melarikan diri.

   Tetapi Wiranegara ternyata seorang komandan yang bandel.

   Katanya sambil menahan sakit.

   "Saudara Sasmita, tak dapat kita melepaskan dia. Lebih baik kita mati berbareng. Jangan takut! Dia sudah kena pelurumu. Bukankah bubuk mesiumu kau campuri bubuk beracun pula? Meskipun hanya mengenai lengan, tapi pada saat ini racunmu pasti sudah bekerja."

   Kapten Merta Sasmita seperti diingatkan.

   Memang bubuk mesiunyatercampur bubuk racun ular berbisa.

   Ia memperoleh kepandaian itu dari seorang tawanan Kalimantan.

   Seseorang yang kena bubuk mesiunya tidak hanya terancam jiwanya, tapi pun terancam racun berbahaya.

   Sebenarnya lebih tepat apabila mesiu itu digunakan sebagai alat siksa.

   Tapi sadar bahwa musuh yang bakal dihadapi adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, teringatlah dia untuk menggunakan bubuk beracunnya itu.

   Mungkin sekali Sanjaya bisa mengelakkan sasaran tembakan karena kecepatannya.

   Tetapi bubuk racunnya bakal kena sedot pernapasannya.

   Ternyata perhitungannya hampir tepat.

   Sanjaya tidak hanya menyedot bubuk racun, tapi pun menderita luka.

   Pada saat itu, lengan Sanjaya terasa menjadi kaku.

   Sebagai seorang yang pernah kena senjata berbisa, ia segera mengetahui dirinya terancam racun.

   Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga penolak untuk menahan menjalarnya.

   Tetapi dengan demikian, pemusatan tenaganya jadi terbagi.

   Dengan mati-matian ia melayani dua orang musuhnya.

   Satu lawan dua.

   Meskipun masih unggul, lambat laun ia merasa payah juga.

   Itulah sebabnya ia segera menge- luarkan pukulan-pukulan maut.

   Wiranegara yang telah menderita luka berkelahi dengan licik.

   Tak berani ia mendekati Sanjaya.

   Sebaliknya ia menyerang dari jauh atau membokong.

   Berkali-kali ia berteriak .

   "Sanjaya! Lebih baik kau membunuh diri saja. Dengan begitu namamu akan tetap terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah. Sebaliknya, kalau kau sampai mampus di tangan kamihabis ludaslah keangkeranmu."

   "Binatang!"

   Maki Sanjaya dengan bergusar.

   "Kau boleh mencincang atau menyembelih aku, tetapi kalau sudah melalui mayatku."

   "Sanjaya!"

   Bentak Kapten Merta Sasmita.

   "Malam ini kami berdua lagi melakukan perintah Raja untuk menghabisi jiwamu. Melakukan perintah, alangkah nikmat. Setidak-tidaknya ada yang dipegang. Sebaliknya engkau? kau bakal mati penasaran. Bakal mampus tanpa liang kubur!"

   Terang sekali maksud Kapten Merta Sasmita.

   Sebagai seorang militer yang berpengalaman, ia hendak memecahkan pemusatan pikiran lawan dengan suatu ejekan.

   Kecuali itu, dia mempunyai maksud tertentu.

   Ia percaya bahwa di dalam diri Sanjaya pasti masih mempunyai sisa-sisa angan-angan suatu kekuasaan.

   Di ngatkan demikian, dalam diri Sanjaya pasti terjadi suatu pertempuran dahsyat.

   Benar-benar cerdik dia.

   Hanya sajaia tak pernah me-ngira-bahwa pengaruh Sangaji sangat besar dalam diri Sanjaya.

   Sanjaya yang dahulu kemaruk25) kekuasaan, kini berubah menjadi manusia lain.

   Ia tak sudi lagi menjadi korban rumpun keluarga yang sedang berebut kekuasaan.

   Pengalamannya yang pahit banyak memberi pelajaran baginya.

   Mendengar ejekan Kapten Merta Sasmita, darahnya naik tinggi.

   Lalu membalas membentak pula.

   "Kau berkulit sawo matang seperti aku dan temanmu itu. Meskipun demikian, kau sudi berhamba kepada seorang kulit putih. Untuk pengabdianmu itu, kau rela mengorbankan kesejahteraan bangsamu. Apa sih enaknya makan minum kenyang di atas penderitaan orang lain? Kau manusia rendah, kini mencoba hendak mengambil darahku untuk menaikkan pangkat dan de- rajatmu. Bagus! Boleh kau coba!"

   Sambil memaki, Sanjaya melepaskan pukulan berat dan cepat luar biasa.

   Tiba-tiba tangannya menghantam dada Wiranegara.

   Duk! Dan Wiranegara terpental untuk kedua kalinya menumbuk dinding.

   Kali ini hebat akibatnya.

   Begitu terbentur dinding, ia jatuh pingsan.

   Melihat, robohnya Wiranegara, buru-buru Kapten Merta Sasmita melompat melindungi.

   Lalu berteriak.

   "Sanjaya! Sri Baginda benar-benar tepat perhitungannya. Siang-siang Beliau telah mengetahui, bahwa engkau mempunyai tulang punggung seorang berandal. Dimanakah Sangaji? Kau tahu, seorang berandal harus dihukum."

   Sakit hati Sanjaya, mendengar Kapten Merta Sasmita menamakan saudara angkat nya sebagai berandal.

   Tapi 25) kemaruk = serakah dengan demikian, kedudukan Kapten Merta Sasmita jadi jelas.

   Sekarang ia tahu pula, apa sebab dirinya dijadikan manusia rebutan.

   Itulah karena Sangaji, sebab kalau Sangaji mendengar khabar ia ditawan di Jogjakarta, pastilah tidak akan tinggal diam.

   Dia pasti berusaha menyusul.

   Dan menyusulnya ke Jogjakarta, berarti meninggalkan kancah perjuangan Jawa Barat.

   Memperoleh pikiran demikian, Sanjaya menggerung.

   Dengan hebat ia mengirimkan tiga pukulan berantai.

   Kapten Merta Sasmita boleh gagah.

   Tapi menghadapi pukulan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik yang istimewa, ia mundur beberapa tindak.

   "Kau tak mampu melawan kegagahan saudara angkatku. Kini hendak menjual omongan besar kepada majikanmu yang baru. Bagus!"

   Ejek Sanjaya. Kapten Merta Sasmita merah wajahnya. Membentak.

   "Bangsat! Siapa tak tahu engkau sebenarnya berandal pula? Setiap orang tahu, perhubunganmu dengan babi Sangaji. Apa sebab kau tak rela kena ringkus. Bukankah di dalam undang-undang berbunyi. barangsiapa bersekutu dengan pemberontak membantu atau melindungi akan dihukum sama beratnya dengan pem- berontak itu sendiri."

   "Baik. Kau boleh bilang aku seorang pemberontak. Seorang berandal. Kau mau apa? Kalau kau mempunyai kepandaian, cobalah ringkus aku!"

   Potong Sanjaya dengan semangat bergelora. Kapten Merta Sasmita tertawa lantaran mendongkol. Ia jengkel, karena tak dapat memperoleh kesempatan untuk mengisi mesiu. Namun ia licin, la berbicara lagi untuk membuat lemah. Katanya.

   "Kau mengoceh perkara Pangeran Diponegoro. Manusia apa dia? Dia anak seorang selir. Apakah pantas berangan-angan menjadi Raja? Kau pun begitu juga. Siapa yang tak tahu, kau sebenarnya anak orang gelandangan. Karena bernasib baik saja, kau bisa diakui sebagai anak pangeran. Itulah lantaran jasa emakmu menjual diri. Bukankah begitu?"

   Mendengar ucapan Kapten Merta Sasmita, gundu mata Sanjaya berputar. Rambutnya berdiri tegak oleh rasa gusarnya. Inilah suatu ejekan di luar batas kesopanan. Dengan suara bergelora ia membentak.

   "Benar! Meskipun aku anak seorang gelandangan, tapi lebih baik daripada anak kampungan yang bermulut kotor. Hm... jadi kau hendak bilang pula, bahwa Pangeran Diponegoro seorang berandal? Kau hendak bilang pula, bahwa dia jadi seorang pangeran lantaran ibunya kebetulan menjual diri kepada seorang Sultan? Bangsat!"

   "Habis? Apa lagi yang harus dibilang?"

   Ejek Kapten Merta Sasmita sambil bersenyum-senyum.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lihat sajalah nanti. Sultan Jarot sudah bersatu dengan Patih Danurejo IV. Sebentar lagi Pangeran Diponegoro bakal masuk kurungan. Kau percaya, tidak? Dia kelak akan diseret di depan Mahkamah Agung. Dia bisa apa? Dia bisa membuka mulutnya, tapi Mahkamah Agung mempunyai caranya sendiri. Dosanya akan segera diumumkan."

   "Apa dosanya?"

   Bentak Sanjaya.

   "Itukan perkara gampang. Membangkang pemerintah, umpamanya. Atau kita tuduh hendak menggulingkan kekuasaan Sultan. Ah, itu kan perkara gampang."

   "Fitnah!"

   "Lantas dia kita seret di tengah alun-alun untuk menerima hukuman picis. Hihi haha...,"

   Kapten Merta Sasmita tak mendengarkan sangkalan Sanjaya.

   Mata Sanjaya berkunang-kunang.

   Hampir saja ia roboh pingsan karena marahnya.

   Melihat kesempatan bagus itu Kapten Merta Sasmita segera menggerakkan pedangnya menyerang dengan bertubi-tubi.

   Tiba-tiba Sanjaya berkata keras.

   "Sudahlah! Sudahlah! Jika Pangeran Diponegoro bisa diseret ke depan Mahkamah Agung sebagai seorang pemberontak memang pantas aku kau namakan berandal. Baiklah memang aku seorang berandal. Dan tindakan pertama yang harus dilakukan seorang berandal adalah mencabut jiwa seorang begundal Kompeni Belanda."

   Berbareng dengan perkataannya.

   Sanjaya lantas menerjang dengan hebat.

   Ia kini menggunakan seluruh kepandaian dan pengalamannya dengan tenaga dahsyatnya.

   Hebat terjangannya.

   Kapten Merta Sasmita belum mengenal ilmu kepandaian Sanjaya sebenarnya, la mengira, betapa tinggi ilmu kepandaiannya, tapi kakinya buntung sebelah.

   Betapa pun juga, tidaklah sehebat orang sangka.

   Maka begitu melihat Sanjaya menerjang dengan mengerahkan seluruh tenaga simpanannya, buru-buru ia menutupi dadanya dengan kedua belah tangannya dengan pedang dilintangkan.

   Kaki bambu Sanjaya menghantam pedang.

   Dan yang kiri membentur tangan kirinya pula, Prak! Seketika itu juga, kedua lengannya patah, la menyemburkan darah segar.

   Meskipun demikian, mulutnya yang jahil masih saja bisa berkaok-kaok.

   "Saudara Wiranegara, -bangun! Bangun! Jangan beri dia kesempatan untuk bernapas. Racun bubukku pasti sudah bekerja."

   Pada saat itu, Wiranegara sudah siuman kembali.

   Melihat pedang Kapten Merta Sasmita terpelanting di atas tanahsegera ia memungutnya.

   Kemudian dengan mengandal kepada pedang panjang itu ia menyerang dengan berlari-larian.

   Kaki Sanjaya buntung sebelah.

   Itulah sebabnya, tak dapat ia melawan kegesitan dengan suatu kegesitan.

   Ia hanya bisa berputar-putar menjaga diri.

   Sebaliknya melihat kelemahan lawanWiranegara menambah kecepatannya, la berlari-larian memutari kamar sambil menyerang pada saat-saat tertentu.

   Dilawan secara demikian, untuk sementara Sanjaya habis dayanya.

   Racun Kapten Merta Sasmita memang jenis racun yang hebat.

   Tatkala lagi mengenai sasaran hanya meninggalkan rasa kaku.

   Sanjaya masih bisa menahan menjalarnya.

   Akan tetapi setelah bertempur sekian lamanya, lengannya yang terluka mulai kesemutan.

   Makin lama makin hebat.

   Kini terasa menjadi kejang dan tak dapat digerakkan dengan leluasa lagi.

   Wiranegara celi26) matanya.

   Melihat Sanjaya menderita demikian, ia tertawa terbahak-bahak.

   Ia meniru cara Kapten Merta Sasmita mengacaukan 26' celi = tajam, awas pemusatan pikiran lawan.

   Katanya dengan suara mengejek.

   "Sanjaya! Dian yang menyala terang akan segera padam. Saatmu sudah tiba. Kau mau berpesan apa? Cobalah katakan! Betapapun juga, kita berdua pernah bekerjasama. Mengingat hubungan itu, biarlah aku bersedia mendengarkan pesananmu...."

   Sanjaya tahu, bahwa tujuan ejekan itu untuk membuat hatinya panas dan bergusar.

   Jika ia bergusar, darahnya akan bergolak.

   Artinya, racun yang sudah mengeram dalam dirinya akan segera menjalar dengan cepat.

   Namun ia sudah tidak memikirkan mati-hidupnya lagi.

   Hatinya terlalu mendongkol terhadap mereka berdua.

   Ejekan kapten Merta Sasmita tentang ibunya tadi, sangat menusuk perbendaraan rasanya.

   Dadanya terasa hendak meledak.

   Ia lantas menghantam meja batu yang melintang di depannya.

   Dan kena hantamannya, meja batu itu rontok berguguran.

   Setelah itu ia meremukan perabot-perabot lainnya.

   Begitu hancur berantakan, kamar lantas menjadi lapang tiada sesuatu yang merintangi.

   Semangat Wiranegara terbang sekaligus.

   Sekarang, tak dapat lagi ia lari berputar-putar mengelilingi meja dan perabot lainnya untuk membuat jarak.

   Ini artinya, bahaya besar mulai mengancam dirinya.

   Ia mundur dan melesat dari tempat ke tempat.

   Sanjaya sudah kalap.

   Ia memburu dengan mengandal kepada kaki kirinya.

   Untuk sementara dua orang itu ibarat seekor kucing sedang mengubar-ubar seekor tikus.

   Beberapa kali si tikus dapat lolos dari sambarannya.

   Tetapi Sanjaya seorang cerdik semenjak zaman mudanya.

   Ia kini maju mempersempit daerah gerak.

   Lalu menubruk dengan suatu bentakan keras.

   Tangannya berhasil menangkap gagang pedang Wiranegara.

   Wiranegara kaget setengah mati.

   Buru-buru ia melepaskannya.

   Lalu mengulingkan diri sampai di bawah almari.

   Sanjaya tidak memberi kesempatan lagi.

   Ia melompat dan menendang.

   Dengan suara bergedubrakan, kakinya menghantam almari.

   Karena hebatnya tenaga yang dikeluarkan, almari itu roboh berantakan.

   Dan di antara suara hancurnya sebuah almari, tiba-tiba terdengar suara teriakan.

   "Awas!"

   Hampir berbareng Taker Urip dan Ampyak Siti yang bersembunyi di belakang almari melompat keluar.

   "Ampyak Siti!"

   Seru Taker Urip dengan tertawa berkakakan.

   "Mampuskan berandal ini!"

   Sanjaya kaget mendengar bunyi seruan itu.

   Ia tak pernah bermimpi bisa kejadian begitu.

   Taker Urip dan Ampyak Siti adalah komandan-komandan laskar Kepatihan.

   Selamanya mereka bermusuhan dengan Wiranegara.

   Kapten Merta Sasmita yang berpihak kepada Sultan, dengan sendirinya musuhnya pula.

   Menurut perhitungan Sanjaya, meskipun mereka berdua tidak bakal membantu padanya, tapi pun tidak akan membantu Wiranegara dan Merta Sasmita.

   Ampyak Siti adalah seorang pendekar kelas satu semenjak belasan tahun yang lalu.

   Waktu itu ia berada dekat di belakang Sanjaya.

   Begitu mendengar aba-aba rekannya, tangannya lantas mencengkeram pundak Sanjaya.

   Sanjaya sama sekali tidak mengira akan terjadi demikian.

   Tahu-tahu pundaknya terasa sakit luar biasa.

   Tenaga tubuhnya bagian atas lemas tak bertenaga lagi.

   Taker Urip si Kepala gede waktu itu telah mengeluarkan goloknya yang beracun.

   Ia melompat maju sambil membentak.

   "Sanjaya! Hari ini tibalah saat mampusmu. Kau jangan menyesal."

   "Bagus! Bagus!"

   Seru Wiranegara sambil merangkak- rangkak bangun. Ia menyambar pedangnya kembali. Lalu berkata penuh semangat.

   "Saudara berdua! Mulai detik ini, memang kita sudah menjadi kawan sehidup semati. Kalian benar pandai melihat gelagat! Kalian dengar, majikanmu sudah berhamba kepada Sultan Jarot. Lantas kalian dengan cepat bisa mengambil keputusan. Itulah keputusan yang mengagumkan! Mari.... Mari kita mampuskan bangsat ini! Jasamu kulaporkan kepada Sri Baginda."

   Setelah berkata demikian, dengan bergulingan ia menyabatkan pedangnya.

   Hebat ancaman ini.

   Dengan mati-matian Sanjaya mencoba membebaskan diri.

   Semua pengalaman dan keragaman ilmu kepandaiannya, ia gunakan dengan sepenuhnya.

   Tetapi ilmu cengkeraman Ampyak Siti benar-benar sukar dilawan.

   Lima jarinya seperti melengket pada pundaknya.

   Dalam pada itu, golok Taker Urip dan pedang Wiranegara merangsak tiada hentinya.

   Pada detik yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba saja Sanjaya membentak bagaikan guntur.

   Itulah ilmu sakti warisan keris Tunggulmanik bagian atas.

   Sayang, dia tidak memiliki tenaga dahsyat seperti Sangaji.

   Sekalipun demikian perbawanya luar biasa besar.

   Dengan sekonyong-konyong pandang wajahnya berubah seperti harimau terluka.

   Taker Urip, Ampyak Siti dan Wiranegara kaget sehingga tertegun.

   Pedang dan golok terhenti di tengah udara.

   Pada saat itulah kedua kaki Sanjaya menendang.

   Dua orang musuhnya terpental dan jatuh terbanting menumbuk tembok.

   Setelah menendang, ia menyikut dada Wiranegara.

   Tangan kanannya mencengkeram tengkuk, lalu membanting.

   Wiranegara jatuh bergulingan.

   Darah segar kembali terlontak.

   Dasar telah terluka, penderitaannya tak tertanggungkan lagi.

   Ia menjerit tinggi seperti babi terjepit.

   Sebenarnya, apakah dasar alasan Taker Urip dan Ampyak Siti tiba-tiba berbalik membantu Wiranegara? Taker Urip adalah seorang manusia licik.

   Tadi, selagi bersembunyi di belakang almari, ia mengikuti pem- bicaraan utusan Sultan dengan jelas.

   Diluar pengetahuannya sendiri, ternyata Patih Danurejo IV sudah bersatu kembali dengan Sultan HB IV.

   Kalau majikannya sudah berhamba, perlu apa ia mengotot.

   Lantas saja mengambil keputusan untuk mengabdi kepada majikan baru.

   Pikirnya di dalam hati, Pemerintah BelandaSultan Jarot dan Gusti Patih Danurejo sudah bersatu.

   Pemerintah Belanda sangat benci kepada Sangaji dan semua sanak saudaranya.

   Meskipun Sangaji seorang pendekar besar yang berkepandaian sangat tinggi, tapi dimana dia kini berada hanya setan yang tahu.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yang ketinggalan di sini hanya Sanjaya.

   Sultan mencoba memancing dengan pangkat dan derajat untuk nanti dibekuk setelah tiba di Jogjakarta.

   Hai iblis yang licik iniseperti mempunyai mata.

   Ia menolak! Jika aku bisa membekuk atau membinasakannya, bukankah aku mempunyai barang pengantar untuk mengabdi kepada Sultan? Ia bergembira memperoleh pikiran demikian.

   Hanya saja, ia agak takut berlawan-lawanan dengan Sanjaya yang berkepandaian tinggi.

   Setelah menimbang- nimbang beberapa saat lamanya, ia memperoleh pikiran baru.

   "Lebih baik aku menonton dahulu pertarungan antara harimau-harimau itu,"

   Katanya di dalam hati.

   "Setelah mereka rusak, barulah aku turun tangan. Kapten Merta Sasmita dan Wiranegara boleh hebat. Tetapi menghadapi Sanjaya, mereka bakal menderita luka berat. Aku tinggal menambahi beberapa tikaman saja, sudah beres. Lalu siapa lagi yang bakal mengantongi jabatan komandan istana, selain aku? Inilah yang dinamakan sekali tepuk dua lalat mampus."

   Demikianlah ia menunggu sambil memasang telinga dan mata.

   Tak tersangka sama sekali, gelanggang pertarungan mendadak pindah di depan almari.

   Sanjaya menendang almari tempat persembunyiannya hingga hancur berantakan.

   Terpaksalah ia keluar sebelum waktunya.

   Ia mengetahui lengan Sanjaya sudah terluka kena mesiu bubuk beracun.

   Segera ia mengkisiki Ampyak Siti agar menerkam pundaknya.

   Jika pundak Sanjaya kena terkam cengkeraman Ampyak Siti yang terkenal berbahaya semenjak belasan tahun, ia sendiri akan turun tangan membinasakannya.

   Akan tetapi perhitungannya ternyata meleset.

   Sebab dalam detik yang sangat berbahaya Sanjaya ternyata masih mempunyai tenaga membalas.

   Tiba-tiba dadanya kena tendang.

   Ia jatuh terpelanting menumbuk tembok.

   Baru saja hendak merangkak bangun, tangan Sanjaya mencengkeram tulang pundak.

   Dengan suatu teriakan hebat, ia berontak.

   Tetapi tulang pundaknya tetap tercengkeram dengan keras.

   Ia kena dibanting untuk yang kedua kalinya.

   "Awas!"

   Terdengar suara teriakan peringatan.

   Itulah suara peringatan Mundingsari yang berada di kamar sebelah.

   Dengan berteriak demikian, Kapten Merta Sasmita yang terkapar kempas kempis terbangun kesa- darannya.

   Kedua lengannya boleh dikatakan sudah hancur.

   Namun masih bisa ia menggerakkan sebelah kanannya meskipun sakit luar biasa.

   Dengan menguatkan diri ia mengisi pistolnya yang tadi terlempar di tanah.

   Kebetulan sekali berada dekat padanya.

   Setelah berkutat sekian lamanya, ia berhasil mengisinya.

   Kemudian dengan tangan gemetaran, ia menarik pelatuknya.

   "Di kamar sebelah ada orang!"

   Teriaknya membarengi.

   Pistol meletus.

   Buru-buru Mundingsari mengendapkan kepalanya.

   Ia dapat menyelamatkan diri, karena Kapten Merta Sasmita sudah terluka hebat.

   Tetapi ia tak dapat membebaskan diri dari bubuk racunnya.

   Begitu mencium bahaya, tiba-tiba- saja matanya berkunang-kunang.

   Dan ia roboh terjungkal dari kursi bertangga.

   Ampyak Siti yang membentur tembok mendengar pemberitahuan Kapten Merta Sasmita, la menguatkan diri untuk meletik bangun.

   Tetapi sebelum sempat bergerak dengan leluasa, Sanjaya sudah memegat jalan keluar.

   Bentak Sanjaya.

   "Mau lari kemana?"

   Berbareng dengan bentakannya, Sanjaya menyapu dengan tangannya.

   Buru-buru Ampyak Siti berkelit, tetapi Sanjaya lebih cepat.

   Tangannya mendarat jitu pada ping- gang lawan.

   Tenaga sapuannya tadi dapat merontokkan meja batu.

   Sekarang menggempur pinggang Ampyak Siti.

   Tak mengherankan pendekar itu berkunang-kunang matanya.

   "Mati aku!"

   Ia mengeluh tinggi. Tiba-tiba terdengarlah suara Kapten Merta Sasmita.

   "Saudara, jangan gugup! Dia sudah terluka hebat, akibat racunku. Sebentar lagi tenaganya bakal kurang. Kau serang saja dia dengan berputaran!"

   Mendengar perkataan itu, Ampyak Siti tersadar.

   Benarmeskipun ia kena gempurantapi lukanya tidaklah seberat Sanjaya yang kena digerumuti racun berbisa dari dalam.

   Buru-buru ia menarik napas dalam dan merangkak-rangkak bangun.

   Taker Urip yang terkapar di atas tanah, kelihatan bergerak pula.

   Dengan matanya yang celi, Ampyak Siti mengawaskan lengan Sanjaya.

   Lengan Sanjaya seperti tergantung pada pundaknya tanpa tulang lagi.

   Itu suatu bukti bahwa lengan itu sudah tak dapat digerakkan dengan leluasa.

   Ternyata ia bertempur dengan menggunakan lengan kirinya saja.

   Namun lengan ini pun nampaknya kejang juga.

   Pastilah akibat racun yang mulai mengamuk dalam dirinya.

   Memangbegitu kena racun bubuk mesiu Kapten Merta Sasmita lengan Sanjaya terasa menjadi kaku.

   Setelah bertarung sekian lamanya, menjadi kejang dan tak dapat lagi digerakkan dengan leluasa, la tahuitulah akibat racun ular yang sudah menjalari lengan dan sebagian tubuhnya.

   Tadidalam pertempuran hidup dan matiia melupakan rasa kejang itu.

   Dan dapat menggempur musuh-musuhnya dengan tenaga penuh.

   Tapi setelah itu, lengannya tak dapat diperintahnya lagi.

   Semenjak mudanyaSanjaya mempunyai sifat yang agak membandel, la tak gampang-gampang mau menyerah.

   Sifat inilah yang pernah menjengkelkan Titisari dan Nuraini.

   Sekarang sifat itu timbul dalam saat- saat penentuan hidup dan matinya.

   Dengan mengerahkan tenaga ia menghantam Ampyak Siti.

   Pukulannya tepat mengenai sasarannya.

   Kalau pukulannya dapat menggempur sebuah meja batu, kini hanya mampu membuat mata Ampyak Siti berkunang- kunang saja.

   Diam-diam ia mengeluh dalam hati.

   Pada saat itu, Taker Urip sudah dapat berdiri.

   Ia memungut goloknya kembali.

   Sambil menahan sakit, ia mengawaskan lawannya.

   Disampingnya berdiri Ampyak Siti yang sudah sempoyongan.

   Sedang kedua lengan Kapten Merta Sasmita nampak sudah rusak.

   Kapten itu mencoba berdiri dengan bersandar pada tembok.

   Mukanya pucat bagaikan mayat.

   Lima orang yang berada dalam kamar itu sebenarnya sudah luka parah semua.

   Wiranegara sudah tak berkutik.

   Ia terkapar mencium tanah dengan napas kempas kem- pis.

   Kedua lengan dan dada Kapten Merta Sasmita telah rusak, tulangnya remuk.

   Taker Urip yang kena tendangan kaki, patah pula tulang pundaknya.

   Dan Ampyak Siti yang tergempur pinggangnya tak ubah sebuah dian berkelap-kelip.

   Sedang Sanjaya terancam bahaya bisa ular yang jahat.

   Kedua lengannya tak dapat digerakkan lagi.

   Seluruh anggota tubuhnya terasa copot.

   Dibandingkan dengan keempat lawannya, dialah sebenarnya yang menderita luka paling parah.

   Kelima-limanya tadi sudah bertempur untuk menentukan hidup matinya.

   Kini tinggal empat orang, lantaran Wiranegara sudah tak dapat berkutik lagi.

   Mereka bertarung lagi dengan dahsyat.

   Setelah melayani belasan jurus, Sanjaya merasa diri tak dapat lagi mengadakan perlawanan.

   Ia berpikir cepat.

   Katanya di dalam hati, aku masih bisa menggerakkan tangan kiriku.

   Tapi tidak untuk selamanya.

   Kalau aku tidak dapat menggunakan semanfaat-manfaatnya, aku akan mati di tengah jalan."

   Memikir demikian ia segera menyimpan tenaga lengannya.

   Tiba-tiba ia melihat Ampyak Siti bergulingan.

   Dengan membekal tongkat gaetan, pendekar yang lukanya paling ringan itu menyapu kakinya.

   Buru-buru Sanjaya menjejakkan kakinya ia melesat tinggi untuk meloloskan diri.

   Tatkala melayang turun ia menubruk Taker Urip.

   Tubrukan ini berada diluar dugaan Taker Urip, sebelum dapat bergerak, Taker Urip kena tubruk dan tubuhnya terpental kesamping.

   Tapi dia bukan tak berdaya sama sekali.

   Dalam kesibukannya tangannya yang masih menggenggam golok digerakkan.

   Sayang tangan Sanjaya lebih cepat.

   Sebelum goloknya menemui sasarannya, pergelangan ta- ngannya kena tangkap.

   Terdengar bentakan Sanjaya mengguruh! "Kau rasakan betapa enaknya kalau lenganmu copot!"

   Taker Urip kaget setengah mati.

   Dengan berteriak ia mencoba menarik dengan menggulingkan badannya.

   Tapi gerakan ini justru mempercepat ancaman.

   Tahu- tahu, lengannya berbunyi krakkrak! Ia berteriak tinggi menyayatkan hati.

   Goloknya terlempar di tanah.

   Dan dengan bergulingan di tanah, tangan kirinya menekap lengan kanannya yang copot dari tulang pundaknya.

   Hebat kejadian itu, Ampyak Siti dan Kapten Merta Sasmita tertegun karena kaget.

   Mereka berdua mempunyai kepandaiannya masing-masing.

   Mereka berdua pernah mengalami pertempuran mati-hidup entah sudah berapa kali.

   Tetapi malam itu, semangatnya benar-benar terbang.

   Mereka merasakan suatu kengerian yang menyeramkan.

   Pada saat itu kembali Sanjaya melesat tinggi.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Itulah salah satu jurus ilmu warisan Pringgasakti.

   Cengkeramannya mengarah batok kepala.

   Barangsiapa kena cengkeramannya akan mati tercublas.

   Apabila mencengkeram tulang, tulang itu akan patah berantakan.

   Buru-buru Ampyak Siti dan Kapten Merta Sasmita melompat menyibakkan diri.

   Di luar dugaan, serangan Sanjaya berhenti di tengah jalan.

   Tatkala mendarat di tanah, tangannya sudah menggenggam sebatang pedang berwarna kelabu.

   Itulah pedang warisan Pringgasakti.

   Setelah ayah angkatnya mati sampyuh27) dengan pendekar Kebo Bangah dan kakinya buntung sebelah.

   Sanjaya menyimpan pedangnya.

   Ia bersumpah tidak akan menggunakannya lagi.

   Tapi sekarangkarena merasa diri sudah terdorong di garis mati hidup, ia tak memedulikan lagi.

   Dan begitu pedangnya tercabut dari sarungnya semangat tempurnya terbangun sekaligus.

   Ia seumpama seekor harimau tiba-tiba mempunyai sayap.

   Bukan main kagetnya Ampyak Siti dan Kapten Merta Sasmita begitu melihat berkelebatnya sebatang pedang 27 sampyuh = berbareng di depan hidungnya.

   Dengan paras pucat lesi, mereka menjatuhkan diri dan menyingkir bergulingan.

   "Binatang!"

   Bentak Sanjaya kalap.

   "Jika hari ini kalian bisa lolos dari pintuku, aku akan membunuh diri. Dan semenjak ini, anggap saja dunia tak pernah melahirkan Sanjaya."

   Baru saja Ampyak Siti melarikan diri, suatu kesiur angin tajam memburu punggungnya. Pada detik-detik ituselagi Ampyak Siti membalikkan tubuh hendak menangkistiba-tiba terdengar Sanjaya mengerang kesakitan.

   "Binatang!"

   Bentak Sanjaya dengan suara seram.

   "Kau belum mampus?"

   Sambil berteriak ia menendang.

   Hampir berbareng.

   Taker Urip menjerit tinggi.

   Tubuhnya bergulingan beberapa kali.

   Dan nyawanya terbang ke langit ketujuh.

   Sanjaya tadi tidak memperhatikan Taker Urip yang menggeletak di atas tanah lantaran luka berat.

   Ternyata Taker Urip yang licik, masih bisa menggerakkan sebelah tangannya.

   Tatkala Sanjaya melesat menyambarkan pedangnya, ia menimpuk dengan belati beracunnya.

   Dan belati itu menancap pada lutut Sanjaya.

   Menyaksikan hal itu, Kapten Merta Sasmita bersyukur di dalam hatinya.

   Serunya lantas.

   "Saudara Ampyak Siti, hayo bantulah aku! Dia kena belati beracun. Sekarang tinggal mampusnya saja!"

   Dengan terpaksa Ampyak Siti maju menyerang.

   Pada waktu itu keadaan Sanjaya benar-benar sudah payah sekali.

   Racun yang mengamuk dalam dirinya jadi bertambah.

   Kaki dan tangannya terluka berat.

   Terasa sekalibisa dan racun yang mengamuk di dalam dirinyamulai naik meraba jantung.

   Sambil mengertak gigi, ia mengumpulkan sisa tenaganya.

   Lalu menerjang kedua musuhnya dengan berbareng.

   Sungguh tak memalukan Sanjaya menjadi saudara-angkat Sangaji dalam saat-saat hidupnya yang terakhir.

   Walaupun keadaannya tak ubah sebuah dian sudah kehabisan minyak, namun masih bisa ia melancarkan suatu serangan dahsyat.

   "Jangan lawan dengan rapat. Mundur!"

   Teriak Kapten Merta Sasmita.

   "Paling lama dia tinggal bisa bertahan setengah jam lagi."

   Ampyak Siti segera meloncat menjauhi.

   Begitu juga Kapten Merta Sasmita.

   Sanjaya sudah barang tentu mengetahui keadaannya sendiri.

   Tatkala itu, ia sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi.

   Tujuannya hanya satu.

   Hendak gugur berbareng musuh-musuhnya.

   Itulah sebabnya ia tak memedulikan penjagaan dirinya.

   Terus saja ia menyerang dengan menyam-barkan pedang.

   Di antara dua orang itu, Ampyak Siti yang masih bisa bergerak agak leluasa.

   Ia tadi hanya tergempur pinggangnya oleh suatu tenaga yang sudah kurang kedahsyatannya.

   Itulah sebabnya ia bisa berlari-larian berputaran.

   Kadangkala melancarkan serangan balasan.

   Dalam hatinya, ia menunggu saat robohnya Sanjaya oleh serangan racun yang mulai meraba jantungnya.

   Semakin lama, pandang mata Sanjaya makin menjadi kabur.

   Sekarang tak dapat lagi ia melihat perawakan tubuh kedua lawannya dengan tegas.

   Yang dilihatnya hanya semacam gundukan remang-remang yang selalu bergerak.

   Tiba-tiba ia mendengar pintu terbuka dari luar.

   Siapakah yang membuka pintu? Tak sempat ia berpikir banyak.

   Pada saat itu, ia melihat sesosok bayangan berkelebat melesat ke pintu.

   Dialah Ampyak Siti.

   Sanjaya menggerung dahsyat.

   Karena menggerung, pandang matanya menjadi terang selintasan.

   Begitu melihat melesatnya Ampyak Siti, tanpa berpikir panjang lagi ia menimpukkan pedangnya.

   Tepat timpukannya.

   Dada Ampyak Siti tertikam dari belakang, la roboh terjungkal tanpa bersuara lagi.

   Mundingsari yang roboh kena sambaran racun, segera duduk bersila menenteramkan diri.

   Kepalanya pusing dengan mendadak.

   Untung ia hanya menyedot bubuk mesiu beberapa tarikan napas saja.

   Setelah mengatur perjalanan darah dan napasnya, tubuhnya terasa menjadi segar kembali.

   "Saudara Mundingsari, bagaimana ini?"

   Letnan Johan menghampiri dengan me-rangkak-rangkak.

   "Sahabatmu Sanjaya ternyata seorang berandal,"

   Sambung Letnan Matulesi yang mendekatinya juga.

   "Dia seorang pemberontak seperti Sangaji."

   Mundingsari tak melayani mereka.

   Ia menempelkan telinganya pada dinding kamar, mendengarkan suara pertempuran.

   Sekarang ia mendengar beradunya senjata.

   Ia jadi bingung sekali karena tak tahu siapa yang berada dalam bahaya.

   Menyaksikan kelicikan utusan-utusan Patih Danurejo IV dan Sultan Jarot, ia ikut panas hati.

   Darahnya bergolak dan dadanya seakan-akan hendak meledak.

   Dengan kalap ia menarik goloknya.

   Kemudian membacoki pintu kamar kalang kabut.

   Suara bacokan golok Mundingsari terdengar di gelanggang pertempuran.

   Kapten Merta Sasmita mengira, bahwa pembantu Sanjaya datang hendak memberi bantuan.

   Karena pintu dikancing dari dalam, ia mengira pembantu Sanjaya sedang menjebol pintu dari luar.

   Dalam pada itu, setelah Sanjaya membereskan kedua lawannya, ia berputar menghadap Kapten Merta Sasmita.

   Kapten itu kini baru mengerti artinya takut.

   Kena pandang mata Sanjaya, tenaganya lenyap seakan-akan terlolosi.

   la menjatuhkan diri dan merangkak-rangkak mendekati.

   "Sekarang hanya ketinggalan kau seorang begundal dan budak Belanda!"

   Bentak Sanjaya dengan suara menyeramkan.

   "Yaya, benar. Aku memang begundal Belanda. Aku memang budak Belanda,"

   Sahut Kapten Merta Sasmita dengan suara gemetaran. Sekarang nampaklah pamor- nya28) dengan jelas.

   "Ampuni aku nDoro-mas. Ampuni aku. Aku berjanji akan selalu teringat budimu."

   Sanjaya mendelik.

   Ia sadar musuhnya itu sangat licik.

   Dia mencoba mengajak berbicara berkepanjangan untuk menunggu saat padamnya tenaganya.

   Teringat akan racunnya yang sudah mengamuk ke seluruh tubuhnya, ia segera membungkuk menjemput pedang Wiranegara.

   Bentaknya.

   "Bukankah ini pedangmu?" 28 baca . kwalitas "Benar nDoromas,"

   Sahut Kapten Merta Sasmita cepat.

   "Dahulu kuperoleh dari Aceh."

   "Pedang bagus!"

   Kata Sanjaya.

   Tiba-tiba tangannya bergerak menimpuk dengan tenaganya yang penghabisan.

   Tanpa dapat bergerak lagi, pedang itu menikam ulu hati majikannya sendiri sampai menembus punggung.

   Kapten Merta Sasmita roboh terguling.

   Lalu mati dengan berkelejotan.

   Puas hati Sanjaya.

   la tertawa terbahak-bahak.

   Dengan tertatih-tatih ia mencabut pedangnya dari dada Ampyak Siti.

   Setelah menyingkirkan batu yang melintang di depannya, ia menghampiri pintu kamar kurungan sambil membentak.

   "Siapa di dalam? Keluar semua!"

   Mundingsari mendorong daun pintu. Karena tiada pengganjelnya lagi, pintu terjeblak dengan gampang. Ia berjalan keluar dengan diikuti dua perwira di belakangnya. Melihat Mundingsari melintangkan golok di depan dadanya, Sanjaya lantas bertanya .

   "Mundingsari! Kau datang kemari untuk apa? Siapakah yang mengirimkan dua orang perwira ini?"

   Kedua perwira itu pucat lesi. Jawabnya dengan suara menggigil.

   "Kami... kami... datang untuk memohon pertolongan Paduka."

   "Apa?"

   Bentak Sanjaya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Setelah kalian pandai memanggil paduka kepadaku, apa kalian kira mudah keluar masuk halaman rumahku sesuka hatimu?"

   Kedua perwira itu menggigil seluruh tubuhnya.

   Sebaliknya, Mundingsari berduka melihat tubuh bekas majikannya itu.

   Tatkala itu, seluruh tubuh Sanjaya sudah berlumuran darah.

   Meskipun demikian, kewibawaannya masih seperti dahulu.

   Teringat akan kedudukannya dahulu, mata Mundingsari basah.

   Lantas saja ia memegang pergelangan tangan Sanjaya, setelah memindah goloknya ke tangan kiri.

   Katanya dengan suara terharu.

   "Denmas Sanjaya... bagaimana keadaanmu?"

   "Kenapa kau ajak mereka kemari?"

   Bentak Sanjaya tanpa memedulikan ucapannya.

   "Denmas, kau beristirahat dahulu. Sebentar aku akan menuturkan kata,"

   Jawab Mundingsari. Sanjaya berbimbang-bimbang sebentar. Sejenak kemudian memutuskan.

   "Baiklah!"

   La berjalan mendekati dinding. Kemudian duduk bersila. Buru-buru, Mundingsari mengeluarkan obat lukanya untuk mengobati luka Sanjaya. Tapi baru saja tangannya diulur, Sanjaya membentak.

   "Kau mau apa? Taruh! Siapa kesudian melihat lagakmu ini. Cepat katakan, siapa Tuan-tuan yang terhormat ini?"

   Mundingsari segera meletakkan botol obatnya di atas tanah, la duduk berhadap-hadapan. Setelah menelan ludah beberapa kali, ia berkata.

   "Apa yang mereka katakan, memang benar belaka. Dari Cirebon mereka mengawal tiga kereta penuh muatan. Isinya tiga puluh laksa ringgit untuk belanja tentara di Magelang. Tapi di tengah jalan, uang itu kena dirampok. Itulah sebabnya mereka datang kemari untuk mohon bantuan Denmas."

   "Apa sangkut pautnya dengan dirimu?"

   Tanya Sanjaya.

   "Aku ikut melindungi eh, mengawalnya."

   "Hai! Kenapa kau sudi jadi begundal?"

   Bentak Sanjaya. Buru-buru Mundingsari membungkuk hormat.

   "Itulah lantaran aku ditunjuk Sultan Kanoman untuk ikut serta mengawal. Mengingat daerah hidupku berada dalam kekuasaan Sultan Kanoman, tak dapat aku menolak.... Denmas! Bagaimana keadaan Denmas? "

   Mundingsari kaget tatkala melihat tubuh Sanjaya bergoyang-goyang.

   Tadi karena mengira kedua perwira itu bermaksud jahat dapat Sanjaya mempertahankan dirinya oleh rasa tegang.

   Sesudah mengetahui bahwa kedatangan mereka tidak bermaksud jahat, hilanglah rasa tegangnya.

   Tapi begitu rasa tegangnya hilang, mukanya lantas berubah menjadi pucat.

   Dan tubuhnya bergoyang tak dikehendaki sendiri.

   Melihat hal itu, gugup Mundingsari mengulur tangannya hendak memberikan pertolongan.

   "Tak usah!"

   Sanjaya menolak.

   "Selama aku masih dapat berbicara, kau hanya mendengarkan kata-kataku dengan baik. Nah, kau usirlah mereka dahulu keluar. Aku ingin berbicara."

   Mundingsari menoleh dengan memberi isyarat mata.

   Kedua perwira itu tahu diri.

   Cepat-cepat mereka mundur dan keluar pintu.

   Di sana mereka menunggu di dalam kepekatan malam.

   Mundingsari kenal wataknya Sanjaya.

   Bekas putera pangeran itu, biasanya bermanja-manja.

   Maka ia mencoba memegang bahunya.

   Tetapi kali ini Sanjaya benar-benar kukuh.

   Sifatnya dahulu tiada lagi bekasnya.

   "Kau dengar saja!"

   Bentak Sanjaya.

   "Kau mau mendengarkan perintahku tidak? Nah, kau gerayangi saku Merta Sasmita. Mungkin di dalam saku terdapat obat pemunah racun."

   Mundingsari seperti diingatkan. Setelah melompat, ia menghampiri mayat Kapten Merta Sasmita. Lalu menggerayangi sakunya. Benar saja di dalamnya terdapat sebotol obat pemunah yang encer. Buru-buru ia membawanya ke depan Sanjaya.

   "Kau kena racun berbahaya. Kau minumlah cepat!"

   Perintah Sanjaya. Mundingsari terkejut. Memang tadi, ia menyedot racun selintasan. Siapa saja takkan melihat tanda-tandanya. Tetapi dengan sekali pandang ternyata Sanjaya melihat gejalanya.

   "Denmas! Racun yang kusedot tidak begitu banyak. Denmas saja yang minum obat pemunah ini!"

   Sanjaya tersenyum pahit. Jawabnya dengan suara berduka.

   "Kalau satu jam tadi, mungkin masih ada harapan. Sekarang meskipun memperoleh obat malaikattidak akan mempan lagi. Kau saja! Jangan kau kira, kau tidak terancam bahaya..."

   Pucat wajah Mundingsari.

   Sebagai seorang pendekar berpengalaman, kata-kata Sanjaya pasti beralasan, la tak berani membangkang.

   Setelah dibuka penutup botolnya, segera ia meneguk isinya sampai habis.

   Kemudian ia menatap wajah Sanjaya yang kini nampak berwarna abu- abu.

   Sejenak lagi, warna abu-abu itu berubah menjadi hitam.

   Terang sekali, seluruh tubuh Sanjaya sudah diamuk racun.

   Tanpa merasa botol obat pemunah yang berada dalam tangannya runtuh bergelontangan.

   "Denmas Sanjaya!"

   Pekiknya sambil berlutut.

   "Denmas mempunyai pesan apa?"

   Sanjaya tertawa.

   "Budi dan sakit hati sudah terbalas semua. Isteriaku pernah mempunyai. Ibupernah menduduki tataran mulia. Apalagi yang akan kupesankan? Hanya saja...? Hanya satu! Kau dengarlah!"

   "Brt!"

   Ia membesat bajunya yang ber-lepotan darah.

   "Bawalah baju ini dan pedangku kepada saudara angkatku Sangaji. Setelah uang kawalanmu dapat kau peroleh kembali, kau harus mengabdi kepada Sangaji."

   Dengan air mata bercucuran, Mundingsari menerima robekan baju dan pedang Sanjaya. Dengan menguatkan diri ia berkata.

   "Denmas berpesan apa lagi?"

   "Ketika kau tiba di sini, apakah bertemu dengan anakku Senot Muradi?"

   Tanya Sanjaya.

   "Katanya, dia pergi mencari Denmas,"

   Jawab Mundingsari.

   Tubuh Sanjaya menggigil.

   Tetapi paras wajahnya tetap tenang.

   Dalam menghadapi maut, Sanjaya yang dahulu terkenal sebagai seorang licik, ternyata nampak gagah dan sama sekali tak gentar.

   Mundingsari kagum luar biasa.

   Alangkah besar perubahannya dalam belasan tahun terakhir ini.

   Dengan hati pilu ia menatap wajah bekas majikannya itu.

   Keadaan Sanjaya ibarat nyala lilin mendadak terang benderang sebelum padam sama sekali.

   Ia memejamkan mata.

   Tiba-tiba menyenak.

   Lalu berkata dengan suara terburu-buru.

   "Jika.... Senot masih hidup, berikan pedangku itu kepadanya. Kau suruh dia mencari saudara angkatku Sangaji. Setelah berkata demikian ia mengibaskan tangannya. Berkata lagi.

   "Aku mempunyai hubungan baik dengan penduduk dusun ini. Jenazahku pasti bakal dirawatnya dengan baik. Kau saja, berangkatlah malam ini juga. Aku telah membinasakan musuhku semua. Aku pun sudah berhasil berdiri tegak sejiwa dengan cita-cita almarhum ayahku. Meskipun kini mati, aku puas. Senot Muradi tak perlu berkecil hati mempunyai ayah seperti aku. Hanya satu hal yang mengganjel dalam hatiku Tak dapat lagi aku melihat ibuku... saudaraku Sangaji... dan belum sempat aku beramah tamah dengan Pangeran Diponegoro... Hai, sayang!"

   Suaranya makin lama makin menjadi lemah.

   Begitu mengucapkan kata sayang, kedua matanya terpejam rapat.

   Dan pulanglah ia ke rahmattullah dengan tenang.

   Mundingsari menangis menggerung-gerung.

   Beginilah akhir hidup Sanjaya.

   Pada zaman mudanya, ia hidup makmur dan menjadi pujaan.

   Kemudian kakinya buntung dan mengakhiri hidupnya hanya ditemani seorang teman belaka.

   Mundingsari menjadi sedih.

   Dimanakah putera satu-satunya kini berada? Maka terasalah dalam hati Mundingsari, bahwa sesungguhnya lahir dan matinya manusia ini seorang diri saja.

   Tanpa teman tanpa kawan.

   Setelah kenyang menangis, Mundingsari segera berlutut di hadapan jenazah Sanjaya serendah tanah.

   Kemudian dengan hati-hati, ia menidurkan di atas dipan panjang.

   Di sini-kembali ia berlutut lagi sebagai pemberian hormat yang terakhir.

   Pada saat itu, mendengar suara gemeresak di luar.

   "Ah, benar?"

   Katanya di dalam hati.

   "Tak boleh aku lama-lama berada di sini."

   Buru-buru ia memasukkan robekan baju Sanjaya ke dalam sakunya.

   Dan sambil menenteng29) pedang Sanjaya, ia berjalan keluar halaman.

   Dua perwira yang tadi menunggu di luar, segera menghampiri.

   Melihat Mundingsari membawa-bawa pedang dengan wajah pucat, mereka kaget setengah mati.

   Dengan suara gemetaran Letnan Johan menegas hati-hati.

   "Saudara Mundingsari... bagaimana?"

   "Sebulan lagi, kalian tunggu kedatanganku di kaki Gunung Damar,"

   Jawab Mundingsari dengan pendek.

   "Sebulan lagi?"

   Mereka setengah memekik.

   "Denmas Sanjaya sudah meluluskan permohonanmu,"

   Kata Mundingsari dengan suara malas.

   "Satu bulan lagi terhitung hari esokkalian berdua menunggu kedatang- anku di kaki Gunung Damar sebelah timur. Kalian akan mendengar khabar kesudahan-nya."

   "Massya Allah! Sebulan lagi? Bagaimana kami berdua bisa menunggu selama itu?"

   Kata mereka setengah merengek. _ 1B menenteng = membawa-bawa, menjinjing Mundingsari lagi berduka. Sekarang mendengar kerewelan mereka, ia jadi naik darah. Lantas membentak.

   "Kalian bisa menunggu atau tidak? Kalau tidak bisa menunggu, aku pun tak dapat menolong."

   Suaranya keras dan dengan langkah panjang, ia berjalan mengitari halaman menuju ke pekarangan belakang.

   Kedua perwira itu tak berani menggerecoki lagi.

   Terpaksalah mereka menghampiri kudanya dan segera meninggalkan halaman rumah.

   Malam itu sangat pekat.

   Dengan menahan napas, ia menggeprak kudanya asal lari saja.

   Setelah membeloki sebuah tikungan, bayangannya lenyap dari penglihatan.

   Dalam pada itu Mundingsari telah memasuki pekarangan samping.

   Tujuannya hendak mencari Senot Muradi.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tatkala hendak membeloki dinding belakang, tiba-tiba kakinya menyentuh sesosok tubuh.

   Ia kaget sampai berjingkrak.

   "Siapa?"

   Gertaknya.

   Ia menunggu beberapa saat.

   Tubuh itu tidak bergerak.

   Ia membuka matanya lebar-lebar untuk menajamkan penglihatan.

   Tetapi malam itu benar-benar pekat.

   Tiada sesuatu yang bisa nampak di depan hidungnya.

   Karena penasaran, ia maju setindak.

   Kakinya dirabakan.

   Tubuh yang menggeletak di atas tanah lantas didorongnya.

   Ternyata tiada bertenaga sama sekali.

   "Eh, di sini terdapat mayat. Mayat siapa?"

   Ia berbisik di dalam hati.

   Teringat lampu yang berada di dalam kamar tengah ia segera berbalik.

   Kemudian dengan hati-hati ia membawanya keluar.

   Membawa lampu di tengah kegelapan malam, besar bahayanya.

   Siapa tahu, ada orang-orang tertentu yang bersembunyi.

   Tetapi ia cerdik.

   Ia menimpukkan tinggi di udara, lalu mendekam serendah tanah.

   Lampu penerangan pada zaman dahulu semacam obor bertangkai.

   Tangkainya terbuat dari bambu dan berukuran panjang.

   Sebelum menimpukkan, Mundingsari menarik sumbunya panjang-panjang.

   Timpuk -annya ke udara tidak sampai memadamkan nyalanya.

   Dan begitu tiba di tanah, minyaknya muncrat berhamburan.

   Tanah sekitarnya lantas saja terbakar.

   Hati-hati, Mundingsari menebarkan penglihatannya.

   Sekian lamanya ia menunggu, tiada yang terdengar berkutik.

   Ketegangannya lantas surut.

   Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada pekarangan samping.

   Samar-samar ia melihat beberapa mayat bergelimpangan.

   Apakah artinya ini? pikirnya sibuk.

   Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, ia dapat bertindak dengan cepat.

   Ia melesat ke atas genting dan mengintai dari atas.

   Sekarang ia dapat melihat sekitar rumah dengan leluasa.

   Mayat yang bergelimpangan berjumlah tujuh orang.

   Yang enam bertebaran, sedang yang seorang bersandar pada lapisan batu ambang pintu.

   Orang itu nampaknya sudah berhasil membuka pintu dari luar.

   Tetapi kemudian roboh menghembuskan napasnya yang penghabisan.

   Karena perbuatannya itulah, membuat Ampyak Siti hampir dapat melarikan diri.

   Kejapan sumbu obor yang terlepas dari tangkainya, memang kurang memberi penerangan yang cerah.

   Namun Mundingsari tak berani sembrono.

   Setelah mendekam sekian lamanya di atas genting dan suasana sekitar pekarangan tetap sunyi senyap, barulah ia berani meloncat turun.

   Dengan cekatan ia memasukkan sumbu obor ke tangkainya.

   Lalu ia mulai mengadakan pemeriksaan.

   Tatkala menyuluti wajah orang yang hampir mencapai ambang pintu, ia menggigil.

   Tanpa merasa ia mundur setindak.

   "Ki Jaga Saradenta!"

   Bisiknya.

   Dengan tubuh bergemetaran ia membungkuki dan memeriksa.

   Seluruh tubuh Ki Jaga Saradenta berlumuran darah.

   Ia telah tewas.

   Melihat enam mayat bergelimpangan dengan luka berat, Mundingsari lantas dapat menduga-duga.

   Rupanyatidak hanya Sanjaya yang menghadapi lawan dengan tiba-tibatapi pun Ki Jaga Saradenta.

   Hanya saja siapakah lawan Ki Jaga Saradenta itu, tidaklah jelas.

   Apakah Ki Jaga Saradenta sedang melindungi Senot Muradi? pikirnya.

   Memperoleh pikiran demikian, ia jadi kalap.

   Dengan membawa obor, ia lari mengitari rumah sambil berteriak-teriak.

   "Senot! Senot!"

   Seluruh ruang rumah digeledahnya. Setelah ternyata tiada tanda-tandanya, segera ia lari menghampiri kudanya. Ia melompat ke atas punggungnya. Ditimpukkan tangkai berobor itu tinggi ke udara, kemudian menggeprak kudanya.

   "Senot! Senot! Kau dimana?"

   Teriaknya kalap.

   PENGORBANAN WIRAPATI EMPAT HARI KEMUDIAN, Mundingsari telah tiba di Kota Magelang.

   Perjalanan pada waktu itu tidak boleh dikatakan terlalu sukar.

   Jalan besar yang menghubungkan Banyumas dan Magelang telah cukup rata.

   Seseorang bisa mencapai Kota Magelang lebih cepat dua hari daripada perjalanan Mundingsari.

   Tetapi pikiran Mundingsari kala itu sangat kacau.

   Lagi pula perjalanan yang ditempuhnya tidak lumrah.

   Ia menaruh curiga kepada tempat-tempat tertentu untuk dijenguknya.

   Siapa tahu, ia memperoleh hisapan berita tentang lenyapnya Senot Muradi.

   Itulah sebabnya, perjalanan ke Magelang ditempuhnya dalam empat hari.

   Jalan-jalan di Kota Magelang, terhias dengan rapih.

   Pagar dan rumah-rumah terlabur putih.

   Mula-mula Mundingsari mengira, itulah kerapihan untuk menyongsonghari raya beberapa hari yang lalu.

   Tiba-tiba ia melihat suatu tulisan besar yang terpancang melintang di tengah jalan.

   Begini bunyinya.

   Sultan HB IV dengan bantuan pemerintah Belanda naik tahta penuh-penuh.

   Rakyat Magelang mengucapkan syukur ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa.

   Naiknya Sultan HB IV ke tahta, sudah didengar jelas dari pembicaraan utusan-utusan yang datang ke rumah Sanjaya.

   Kalau Bupati Danuningrat30) kini mengucapkan selamat naik tahta, sudahlah semestinya.

   Karena dia seorang hamba negeri.

   Tapi aneh adalah sikap penduduk.

   Mereka nampak acuh tak acuh.

   Pandang mukanya keruh dan berduka.

   Hal ini menarik perhatian Mundingsari.

   Mundingsari memasuki rumah makan Tionghoa yang agak mentereng.

   Ia melihat secoret tulisan Tionghoa pada dnding.

   Tulisan itu sangat menyolok.

   Sayang tak dapat ia membacanya.

   Tapi ia tidak kekurangan akal.

   Ia menggapai seorang kacung31) Tionghoa.

   Setelah memberi persen ia minta tolong apa bunyinya tulisan itu.

   Segera anak itu membaca lancar.

   "Jangan membicarakan urusan negara di sini."

   Mundingsari memanggut-manggut.

   Ia tidak mengucapkan sesuatu.

   Hanya saja pikirannya jadi sibuk.

   Itulah disebabkan ia teringat kepada pertarungan hebat antara Sanjaya dan utusan Raja.

   Kemudian dengan mendadak utusan Patih Danurejo IV ikut bergabung pada pihak utusan Raja.

   Ini adalah suatu keruwetan yang terasa gawat.

   Dan kegawatan itu dikesankan lagi oleh tulisan tersebut.

   Melihat beberapa tetamu melirik kepadanya, ia jadi tak enak hati.

   Memangpada waktu itujarang terjadi seorang penduduk memasuki sebuah rumah makan Tionghoa.

   Segera ia menggapai pelayan itu lagi.

   Ia berpura-pura memesan makanan Jawa yang tentu saja tak dapat disediakan di rumah makan Tionghoa.

   Dengan alasan itu, ia meninggalkan rumah makan tersebut.

   30) Bupati Magelang yang setia kepada Belanda.

   31) baca pelayan tanggung.

   Di sebelah jalan jurusan Purwokerto, ia melihat sebuah warung.

   Segera ia memasuki.

   Beberapa orang bergerombol menggerumiti nasi dan lauknya.

   Segera ia ikut-ikutan memesan makanan.

   Mula-mula tiada terjadi sesuatu yang menarik perhatian.

   Tiba-tiba kupingnya yang tajam mendengar suatu bisikan.

   Dan bisikan itu dijawab oleh si Penjual makanan dengan terang-terangan.

   "Siapa yang mem- punyai telinga dan mata, masakan tak mengetahui kejadian ini. Pendekar Wirapati memang dimasukkan ke penjara."

   "Benar. Cuma sajaapa alasannya?"

   Menegas seseorang.

   "Alasan kan bisa dibuat-buat. Siapa yang berkuasa, dia bisa mengumbar mulut!"

   Jawab penjual makanan dengan suara sengit.

   "Kang Karto!"

   Kata seorang laki-laki yang duduk di pojok utara. Siapa saja memang bersedia dihukum untuk kebersihan nama pendekar Wirapati. Hanya saja, lebih baik kita berhati-hati. Dinding mempunyai mata dan telinga."

   Kartodirun demikian nama penjual nasi itu merah padam mukanya. Namun oleh nasihat itu, ia berusaha mengendalikan diri. Setelah agak sabar ia berkata.

   "Menurut pendapat kalian apakah alasan Bupati Danuningrat menahan pendekar Wirapati?"

   Beberapa saat lamanya tiada jawaban. Masing-masing sedang menggerumiti pesanan makanannya. Tiba-tiba seseorang menyeletuk.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bupati ini hendak mencari muka kepada pemerintah Belanda. Siapa saja tahu."

   "Sst!"

   Temannya memperingatkan.

   "Teruskan!"

   Tungkas Kartodirun.

   "Peduli apa? Masakan kita perlu takut membicarakan yang benar?"

   "Dia mungkin tahu, bahwa pendekar Wirapati adalah guru pendekar besar Sangaji yang mengangkat senjata di Jawa Barat,"

   Kata orang itu.

   "Kukira Bupati Danuningrat memaksa Wirapati agar menggunakan pengaruhnya untuk memanggil Sangaji mengabdi kepada Pemerintah Belanda. Tentu saja pendekar Wirapati tidak sudi. Itulah sebabnya ia dipenjarakan."

   "Bagaimana kau tahu?"

   Bantah seorang lagi.

   "Kalau tidak begitu, lantas apa alasan Bupati Danuningrat menahan pendekar Wirapati?"

   Mundingsari terkejut.

   Ia tahu pada zaman mudanya Sangaji berguru kepada Wirapati dan Jaga Saradenta.

   Teringat Ki Jaga Saradenta tewas tanpa keterangan yang jelas, ia jadi menaruh perhatian besar terhadap pembicaraan itu.

   Pikirnya di dalamhati.

   jangan-jangan, Ki Jaga Saradenta tewas oleh kaki tangan Bupati Magelang...."

   Mereka berbicara kasak-kusuk lagi.

   Tapi kali ini tak keruan juntrungnya.

   Mereka mengadakan tafsiran- tafsiran sendiri.

   Sekalipun demikian, jelasnya bahwa mereka menaruh simpati32) kepada Wirapati.

   Mundingsari lantas meninggalkan warung nasi itu.

   Dari tempat ke tempat ia membuat penyelidikan keras.

   Sedikit 32) simpati = rasa tertarik banyak ia memperoleh gambaran tentang keadaan Kota Magelang.

   Bupati Danuningrat ini benar-benar seorang hamba Pemerintah Belanda yang setia.

   Dengan terang-terangan ia menyatakan rasa syukurnya atas bersatunya Patih Danurejo IV dan Sultan HB IV.

   Ia menyatakan itu semua terjadi atas jasa Pemerintah Belanda.

   Sebagai seorang yang pernah pula bekerjasama dengan Belanda, Mundingsari tidak merasakan suatu keganjilan.

   Hanya saja setelah ia memperoleh pesan Sanjaya dan melihat matinya Ki Jaga Saradenta ia sibuk menduga-duga apakah alasan sebenarnya memenjarakan pendekar Wirapati.

   Agaknya tafsiran orang di warung Kartodirun ada benarnya.

   Kira-kira menjelang jam tiga siang, ia balik kembali ke warung Kartodirun.

   Ia sekarang bersikap ramah.

   Dia seorang pendekar yang berpengalaman.

   Setelah berbicara kesana kemari, dapat ia memikat Kartodirun.

   "Penjara tempat menahan pendekar Wirapati berada dimana?"

   Kartodirun terkesiap. Inilah suatu pertanyaan tiba-tiba yang mengejutkan. Ia membalas bertanya pula.

   "Saudara siapa?"

   "Aku salah seorang sahabatnya. Kedatanganku kemari memang untuk meng-hisap-hisap berita tentang dirinya,"

   Jawab Mundingsari.

   "Ah! Kalau begitu benar warta yang kudengar pagi tadi. Kabarnya nanti malam beberapa pendekar hendak datang membongkar penjara. Kiranya engkau pun ikut golongan mereka. Selamat! Selamat!"

   Kata Kartodirun dengan gembira. la berbicara wajar saja, karena pada saat itu warungnya sepi tiada seorang pembeli pun. Lalu berkata lagi.

   "Memang mengherankan! Kabar yang kudengar adalah begini. Padepokan Gunung Damar berada di wilayah Menoreh. Bupati yang memerintah Menoreh, bernama Aria Sumadilaga33) Dengan mengandalkan pengaruhnya, dia memanggil pendekar Wirapati untuk diminta keterangannya tentang pendekar besar Sangaji yang mengangkat senjata di Jawa Barat. Apakah saudara pernah mendengar nama itu?"

   "Tentu saja. Aku berasal dari Cirebon,"

   Jawab Mundingsari.

   "Dengan pendekar besar Sangaji, pernah beberapa kali aku bertemu muka."

   Keterangan ini tidak terlalu membohong. Tatkala ia ikut hadir di Kabupaten Pekalongan dahulu atas panggilan Pangeran Bumi Gede, pernah ia melihat wajah Sangaji. Hanya saja ia berada di pihak lawan.

   "Bagus!"

   Seru Kartodirun. Orang itu lantas hilang rasa curiganya.

   "Pendekar Wirapati lantas diangkut ke kota ini. Entah apa alasannya, ia dipenjarakan di rumah penjara umum."

   "Kabarnya pendekar Wirapati mempunyai saudara- saudara seperguruan."

   "Tidak hanya mempunyai saudara-saudara seperguruan. Tapi pun pengaruhnya besar. Siapa saja kenal sepak terjangnya yang mulia. Raja memujanya 33) seperti Bupati Magelang, ia setia kepada Belanda sebagai pahlawannya. Itulah sebabnya, berita penangkapannya tersiar dengan cepat."

   Mundingsari mengela napas. Beberapa saat lamanya, ia berbimbang-bimbang. Kemudian berkata seperti kepada dirinya sendiri.

   "Kepandaian pendekar Wirapati sangat tinggi. Apa sebab dia tak mampu membebaskan dirinya?"

   "Benar. Orang-orang gagah yang singgah disini pun membicarakan soal itu,"

   Sahut Kartodirun.

   "Kemungkinannya hanya satu."

   "Apa?"

   "Mungkin sekali penjagaan sangat kuat. Bukan mustahil Bupati Danuningrat mendapat bantuan orang- orang pandai."

   Mendengar alasan itu, Mundingsari tak berkata lagi.

   Ia menunggu sampai malam hari tiba.

   Setelah ganti pakaian hitam, ia membawa pedang Sanjaya.

   Kemudian dengan mengindap-indap ia berjalan mengarah ke penjara.

   Di luar penjara, serdadu-serdadu penjaga keamanan mondar-mandir tiada hentinya.

   Mundingsari mengawaskan dengan mata berkilat-kilat.

   Sekian lamanya ia mengasah otak untuk mencari cara yang baik untuk memasuki penjara yang berdinding tinggi itu.

   Tiba- tiba ia mendengar terompet.

   Berbareng dengan itu, ia melihat berkelebat-nya serombongan bayangan hitam yang berlari-larian mengarah ke barat daya.

   Heran Mundingsari melihat penglihatan itu.

   Apakah artinya gerakan itu? Akan tetapi, itulah kesempatan yang luar biasa baik baginya.

   Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, segera ia memungut dua butir batu.

   Kemudian dilemparkan tinggi ke udara.

   Dua butir batu itu berbenturan dengan agak nyaring.

   Dua penjaga pintu penjara melompat keluar hendak membuat penyelidikan.

   Tanpa bersangsi lagi, Mundingsari melesat ke atas dan hinggap di atas dinding penjara.

   Malam ituseperti malam kemarin.

   Gelap pekat, tiada bintang di langit.

   Bulan sisir yang berada di barat tertutup gumpalan awan hitam.

   Seluruh alam menjadi hitam.

   Dengan mengenakan pakaian hitam, Mundingsari dapat menyelinapkan dirinya.

   Gerakannya yang cepat lolos pula dari intaian penjaga-penjaga lainnya.

   Hati-hati ia terus melesat ke atas genting.

   Sayup- sayup ia mendengar teriakan-teriakan arah barat daya.

   Sekarang tahulah dia, apa maksud gerakan serombongan bayangan hitam tadi.

   Mereka sengaja menyesatkan pengawasan penjagaan.

   Untuk kepentingan siapa, ia kurang jelas.

   Memperoleh pikiran demikian, ia segera meloncat turun di halaman penjaga.

   Sekonyong-konyong terdengar kata-kata sandi menegurnya.

   "Apa khabar?"

   Tentu saja Mundingsari tak dapat menjawabnya. Tetapi ia seorang pendekar yang berpengalaman, la lantas menggerendeng.

   "Kau bilang apa?"

   Bentak orang itu sambil mendekat.

   "Keras sedikit!"

   Mundingsari meloncat.

   Ia menyergap dengan belatinya.

   Dan orang itu roboh kena tikam tenggorokannya.

   Dan tidak sempat berteriak.

   Mulutnya kena sekap.

   Mundingsari segera mebeleceti34) pakaian seragamnya.

   Setelah dikenakan, dengan buru-buru ia menyeret mayat penjaga itu ke tempat gelap.

   Ia mendepaknya sekali, lalu berjalan perlahan-pelahan.

   Ukuran sepatu penjaga itu ternyata agak kekecilan dibandingkan dengan ukuran kakinya, la agak kesakitan, namun tak dirasakan.

   Di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang penjaga yang membawa lentera.

   Mundingsari meloncat menghampiri seraya mengibaskan pedangnya.

   Membentak perlahan.

   "Di kamar mana Wirapati disekap?"

   Penjaga itu kaget setengah mati. Tapi setelah mendengar pertanyaannya, wajahnya nampak girang. Sahutnya menegas.

   "Kau maksudkan pendekar Wirapati?"

   "Benar. Lekas bilang!"

   "Di dalam sel hukuman mati. Kamar nomor delapan dari samping. Dari sini jalan lencang. Tuu... kau beloklah ke kanan. Lantas hitung. Kamar ke delapan adalah sel pendekar Wirapati."

   Tercengang Mundingsari mendengar keterangannya. Ia memasukkan pedangnya dengan penuh sangsi.

   "Ssst! Kata sandi malam ini berbunyi. 'Apa khabar?' Kau harus menjawabnya! 'Naik tahta!' Ingat-ingatlah jangan sampai salah!"

   Mendengar keterangan itu, hilanglah kesangsian Mundingsari. Segera ia menuruti petunjuknya dengan 231 mebeleceti = menelanjangi, diwudani hati tetap. Benar saja. Begitu melintas satu gang35) terdengar teguran.

   "Apa khabar?"

   Dan dengan hati mantap, ia menjawab.

   "Naik tahta."

   "Bagus! Selamat malam,"

   Kata pejaga itu.

   Mundingsari tak memedulikan lagi.

   Ia meneruskan berjalan dengan agak berjingkit-jingkit lantaran ukuran sepatunya yang kekecilan.

   Beberapakali ia bertemu dengan penjaga-penjaga.

   Semuanya beres tiada yang merintangi.

   Hanya saja di antara mereka ada yang menaruh curiga.

   Itulah disebabkan ukuran sepatunya dan lagu suaranya, yang asing.

   Namun mereka bersikap membungkam mulut.

   Setelah membeloki sebuah tikungan, mulailah ia menghitung.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tepat, di depan kamar nomer delapan, ia melihat seorang penjaga dengan pedang terhunus.

   Mun- dingsari menubruk dengan membabatkan pedangnya.

   Di luar dugaan penjaga itu gesit luar biasa.

   Meskipun kena serangan gelap, dapat ia mengelak.

   "Celaka!"

   Mundingsari mengeluh. Setelah mengelak, penjaga itu memutar tubuhnya. Aneh! Dia nampak tersenyum dan sama sekali tiada mempunyai gerakan hendak menyerang.

   "Kau lukai aku cepat!"

   Katanya.

   Mundingsari tercengang.

   Tapi lantas saja menjadi sadar.

   Rupanya penjaga itu menaruh simpati kepada Wirapati dan bermaksud hendak menolong membe- M' gang = simpang jalan (jalan kecil) baskan pula.

   Entah apa alasanya.

   la jadi terharu.

   Pikirnya.

   "Mulia sungguh orang ini."

   Hatinya tak sampai untuk melukainya.

   "Cepat!"

   Hardik penjaga itu.

   "Setengah jam lagi tukar penjagaan."

   Sambil mengeraskan hati, Mundingsari menggerakkan pedangnya dan menggurat kaki penjaga itu.

   "Jangan begini! Lebih dalam sedikit!"

   Kata penjaga itu. Tiba-tiba ia merampas pedang Mundingsari dan menyabet lututnya sendiri hingga berdarah.

   "Sekarang pukul ah aku sampai pingsan!"

   Tapi Mundingsari tak bergerak, la tertegun-tegun.

   Melihat hal itu, penjaga yang merampas pedangnya menghantam urat nadi tulung rusuknya.

   Dan ia roboh lunglai di atas lantai dengan mulut tersenyum.

   Mundingsari menghela napas.

   Sama sekali tak mengira, bahwa pendekar Wirapati begini besar pengaruhnya.

   Beberapa penjaga banyak yang menaruh simpati kepadanya.

   Menimbang pengorbanan itu, ia harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan cepat.

   Setelah memungut pedangnya, ia menghantam gerendel pintu.

   Hebat pedang warisan Pringgasakti.

   Begitu kena pangkas, gerendel pintu rontok somplak.

   Cepat-cepat Mundingsari menyambarnya agar tak menerbitkan suara.

   Pada saat itu, ia mendengar orang bersenandung di dalam kamar.

   duh kulup putraningsun36) hidup satu tahun menjadi kambing apakah enaknya, lebih baik kau menjadi harimau meskipun hanya hidup untuk sehari karena namamu akan terukir terus sepanjang masa 36 Duhai anakku sayang...

   dirimu ada gunanya dilahirkan ke dunia Itulah kata-kata Wirapati dahulu kepada Sangaji sewaktu melepaskan muridnya berangkat pulang ke Batavia37) Mundingsari tak mengerti hal itu.

   Namun mendengar bunyi senandung Wirapati, hatinya terharu berbareng kagum luar biasa.

   Alangkah gagah orang ini.

   Menghadapi fitnah dan maut, ia sama sekali tak gentar, pikirnya di dalam hati.

   Perlahan-lahan ia menolak pintu dan tangannya meraba-raba ke dinding kamar.

   Ruang di dalam luar biasa gelapnya.

   "Siapa? Kilatsih?"

   Bentak Wirapati dengan suara perlahan.

   "Kenapa lagi-lagi datang kemari? Kau tak mendengarkan kata-kataku? Kalau aku tidak membiarkan diriku begini, anakku Sangaji akan tetap tidur bersenggur."

   Oleh karena keadaan sangat mendesak, tak sempat Mundingsari menduga-duga siapakah yang di sebut Kilatsih.

   Buru-buru ia menyalakan korek api dan menyulut sumbu penyala, sebagai pelengkap manakala seseorang mengadakan perjalanan jauh pada dewasa itu, setelah kamar terang, ia menyahut dengan berbisik.

   XI 37 Bende Mataram

   Jilid "Kakang38) Wirapati! Lihatlah yang terang. Aku Mundingsari... bukan orang yang kausebutkan. Kau nampaknya terluka. Bolehkah aku menggendongmu keluar?"

   Di bawah penerangan nyala sumbu yang remang- remang Mundingsari menatap wajah Wirapati.

   Pendekar yang gagah perkasa itu, tidak seperti tatkala di Pekalongan dahulu.

   Ia kini sudah berusia hampir men- capai lima puluh tahun.

   Rambutnya sudah banyak yang ubanan.

   Ia duduk bersila dengan tangan diborgol.

   Itulah pemandangan yang menyedihkan.

   Meskipun demikian, keangkarannya tidak berkurang.

   "Siapa?"

   Ia membentak Hati Mundingsari berdebaran. Hampir saja ia tidak kuasa menjawab oleh suatu keharuan, la lantas duduk bersimpuh di hadapannya. Katanya perlahan.

   "Di Pekalongan dahulu, memang aku berdiri sebagai lawan- mu. Meskipun tidak langsung. Aku bekas pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Namaku Mundingsari. Aku datang kemari hanya secara kebetulan. Karena aku membawa pesan untuk menghadap tuanku Sangaji."

   "Oh!"

   Wirapati mengerti.

   "Kau hendak menemui anakku Sangaji. Untuk apa? Dan siapa yang menyuruh?"

   "Denmas Sanjaya dan... Ki.... Jagasaradenta,"

   Jawab Mundingsari tersekat-sekat. Wirapati mengerutkan keningnya. Lalu menegas.

   "Kau berbicara tersekat-sekat. Kenapa?" 38 kakang = kakak Dengan suara menggeletar, Mundingsari menjawab.

   "Mula-mula aku datang ke Sigaluh hendak memohon bantuan. Karena barang kawalanku kena rampas. Di luar dugaan, Denmas Sanjaya sedang bertarung seru melawan utusan Sultan Jarot dan Patih Danurejo yang bergabung dengan tiba-tiba. Di antara mereka terdapat pula seorang kapten kompeni. Mereka menyebut-nyebut nama Sangaji. Dan membujuk Denmas Sanjaya agar ikut mengabdikan diri kepada pemerintahan baru. Tapi Denmas Sanjaya menolak. Dan terjadilah pertarungan mati dan hidup."

   "Bagus!"

   Wirapati bersyukur. Matanya berkilat-kilat.

   "Lalu bagaimana?"

   "Keempat lawannya mati semua. Tetapi Denmas Sanjaya pun gugur pula. Inilah pedang warisan Beliau untuk disampaikan kepada tuanku Sangaji."

   Mendengar kabar tewasnya Sanjaya, Wirapati tegak tak berbicara. Mundingsari tahu, hati pendekar itu tergerak. Khawatir uraiannya kurang jelas, ia segera menceritakan semua yang dilihat dan didengarnya.

   "Ah, bagus!"

   Kata Wirapati dengan suara perlahan.

   "Ki Hajar Karangpandan tak perlu malu lagi. Dia telah menemukan muridnya kembali,"

   Ia berhenti sebentar. Tiba-tiba matanya berkilat-kilat lagi.

   "Kau bilang ke Sigaluh. Sanjaya berkumpul dengan rekanku Ki Jaga Saradenta. Dimanakah dia waktu itu?"

   "Kakang Wirapati,"

   Jawab Mundingsari dengan suara parau.

   "Sewaktu aku mencari putera Denmas Sanjaya, kutemui Ki Jaga Saradenta tewas bersandar pada batu tangga ambang pintu. Enam mayat mati bergelimpangan di sampingnya... Kakang! Kau kenapa?"

   Mundingsari kaget. Ia melihat tubuh Wirapati menggigil. Wajahnya berubah hebat. Tatkala tangannya diulur hendak meraih Wirapati menolaknya.

   "Tak usah,"

   Katanya. Ia nampak menguasai diri. Dengan wajah guram, ia menegas .

   "Kau sendiri apa perlu datang kemari?"

   "Aku bermaksud hendak menolong Kakang,"

   Sahut Mundingsari dengan mencabut pedang Sanjaya.

   "Apakah kau kira, aku tak dapat membebaskan diriku?"

   Mendengar perkataan Wirapati, Mundingsari menjadi bingung. Tapi sebentar kemudian, ia jadi girang. Katanya dengan suara melonjak.

   "Bagus! Kalau begitu, hayolah kita berangkat! Tunggu apa lagi?"

   Wirapati tak bergerak.

   "Kau membawa berita tentang Ki Jaga Saradenta. Bagaimana agar aku bisa percaya?"

   Itulah pertanyaan di luar dugaan. Sedetik Mundingsari menjadi bingung kembali. Lalu menjawab.

   "Di Jagad ini memang banyak bangsat. Untuk membuktikan kesungguhanku, aku hanya bisa membawa bukti robekan baju Denmas Sanjaya dan pedang ini. Kemudian pesan Denmas Sanjaya untuk puteranya. Bahwasanya Senot Muradi harus mengangkat tuanku Sangaji menjadi guru- nya.... Aku telah menyaksikan suatu kemalangan besar yang menimpa tuanku Sangaji. Dia kehilangan seorang gurunya. Secara kebetulan aku lewat di kota ini. Mendengar kemalangan Kakang Wirapati, tak boleh aku berpeluk tangan. Kalau Kakang Wirapati membiarkan diri kena siksa, akan membuat hati tuanku Sangaji berpenasaran.

   "Aku justru menghendaki anakku Sangaji berpenasaran,"

   Potong Wirapati dengan tersenyum.

   "Dahuludengan tak memikirkan keselamatan diriia mencarikan obat pemunah racun yang mengeram dalam diriku. Kini aku mengharapkan dia berjuang dengan seluruh hatinya untuk menghancurkan penjajah Belanda dengan segenap kaki tangannya yang menyiksa aku dan mencincang aku."

   "Kakang! Kau bilang apa,"

   Mundingsari terkejut.

   "Dengarkan!"

   Tungkas Wirapati.

   "Dua kali aku kena jebak kelicinan musuh. Benar-benar aku ini manusia tak ada gunanya. Seekor kuldi takkan terantuk batu yang sama. Tapi aku manusia sampai kena tertipu dua kali. Coba katakan apakah manusia seperti aku ini masih perlu hidup terus?"

   "Kakang! Pertimbanganmu terlalu berat!"

   Kata Mundingsari. Seakan-akan tidak mendengarkan, Wirapati berkata lagi.

   "Isteri Pangeran Diponegoro adalah murid adikku seperguruan. Ah, hebat Suryaningrat. Matanya jauh lebih tajam daripada aku. la seolah-olah sudah dapat meramalkan. Pada waktu ini, Suryaningrat berkumpul dengan muridnya di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro sudah bersiap-siap menghadapi kelicinan Patih Danurejo. Aku lantas menyusul. Di tengah jalan aku disambut oleh Bupati Menoreh. Di kadipeten aku makan dan minum. Tak kukira, aku kena bubuk racun yang sangat halus. Tenagaku hilang. Lihatlah aku tak kuasa lagi merenggutkan diri dari borgol ini. Manusia semacam aku ini, apa gunanya hidup terus!"

   "Kakang! Kau jangan bilang begitu. Kau akan tersesat apabila manusia membenci dirimu sendiri."

   Wirapati tertawa mengejek dirinya sendiri.

   "Lantaran tiada bertenaga lagi, mereka lantas membuka kartunya. Mereka minta agar aku bisa membawa anakku Sangaji menghadap. Mereka berkata bahwa pada saat ini pembangunan besar-besaran untuk memakmurkan rakyat akan segera dilaksanakan dengan bantuan Pemerintah Belanda. Itulah sebabnya, Patih Danurejo dan Sultan Jarot menunggal karena sadar akan pentingnya kemakmuran rakyat. Sangaji diharapkan agar ikut menyingsingkan lengan baju untuk menggalang suatu kebangunan ini. Aku memakinya kalang kabut. Karena itu aku dilemparkan kemari. Di Kadipaten Magelang, Bupati Danuningrat masih mencoba membujukku. Kini berganti lagu. Akulah yang diharapkan membantu pelaksanaan pembangunan. Dengan masuknya aku ke gologan mereka, akan menjadi contoh anakku Sangaji di kemudian hari,"

   Katanya. Mereka berkata lagi.

   "Apakah sih enaknya menjadi berandal. Karena rasa gusar, aku ludahi mukanya. Lalu serdadu- serdadu Jawa memukuliku. Tahu-tahu aku sudah berada di sini."

   "Kakang Wirapati!"

   Potong Mundingsari dengan suara khawatir. Waktu sangat mendesak. Inilah kesempatan yang bagus. Mari kita berangkat!"

   "Berangkat kemana?"

   Bentak Wirapati. Mundingsari terlongong sejenak. Berkata dengan tergagap-gagap.

   "Kakang! Apakah Kakang tidak menaruh iba kepada tuanku Sangaji. Kalau terjadi sesuatu pada diri Kakang, Dia bakal berduka dan berputus asa."

   "Tidak! Aku justru ingin mati kena peluru Belanda,"

   Potong Wirapati galak.

   "Mengapa begitu?"

   Mundingsari setengah memekik.

   "Mengapa begitu?"

   Ulang Wirapati dengan pandang heran.

   "Sudah beberapa tahun, kita kehilangan api perjuangan. Belanda makin melebarkan sayapnya. Sesudah Sultan Sepuh wafat, kasultanan mulai digerayanginya. Dan Pangeran Diponegoro mulai disingkirkan pula. Sebab dialah semenjak dahulu menjadi panglima kepercayaan Sultan Sepuh. Belanda tahu akan hal itu. Patih Danurejo tahu pula. Kau tahu apakah yang dikerjakan Patih Danurejo IV selama pendudukan Inggris? Dia merusak mata pencaharian rakyat dengan membebani pajak beraneka warna. Rakyat mengeluh, lantaran pajak itu memberi kesempatan penguasa- penguasa pemerintahan mengumbar keserakahannya. Sekarang aku bertanya, dimanakah orang-orang gagah selama itu? Rakyat membutuhkan pimpinan yang tegas! Rakyat membutuhkan tangan kuat! Tapi mereka melempem seperti tempe kehujanan! Coba bilang padaku, dimanakan mereka kini berada?"

   Mundingsari terlongong-longong. la kagum luar biasa mendengar pandangan dan sikap hidup guru Sangaji yang perkasa itu. Sewaktu hendak membuka mulut, Wirapati berkata lagi.

   "Sekarang tidak ada lagi waktu untuk berbicara berkepanjangan. Sangaji anakku berada di jauh. Dan meninggalkan halamannya sendiri yang porak-poranda. Dia adalah seorang pendekar yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia seorang mulia hati. Hanya satu kelemahannya dia tidak mempunyai idaman cita-cita bangsa yang tegas. Ibunya tewas, kena peluru Belanda. Ia lantas bisa berpihak. Hanya sayang ibunya tewas bukan untuk suatu tujuan bangsa. Sekarang gurunya Ki Jaga Saradenta tewas kena perbuatan licik. Sayang lawan-lawannya belum tegas. Aku khawatir, sasaran Sangaji belum tegas. Karena itu perlu aku kini berkorban. Ingin aku mati di ujung sena- pan Belanda. Dan aku percaya anakku Sangaji bakal bangkit. Suruhlah dia bergabung dengan Pangeran Diponegoro! Inilah pesanku. Nah, kau pergilah!"

   Mundingsari hendak berkata, tapi telinganya mendengar suara penjaga yang melukai dirinya tadi, bergulingan menumbuk pintu. Itulah suatu peringatan agar dia bekerja cepat.

   "Kakang Kakang,"

   Ia mengeluh.

   "Kau akan membuat seluruh orang gagah berduka."

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jangan kau mencoba membujuk aku lagi! Pergi!"

   Bentak Wirapati.

   "Meskipun tenagaku lumpuh, aku bisa mendengar langkah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Kau pergilah cepat atau semuanya menjadi gagal. Jika hal ini sampai gagal, arwahku akan mengutukmu sebagai seorang pengkhianat!"

   Tubuh Mundingsari menggigil mendengar ancaman Wirapati. Itulah suatu ancaman yang mengerikan. Dengan setengah meratap, ia berkata.

   "Baiklah, Kakang. Maafkan semua kesalahanku zaman dahulu. Kau sekarang hendak berpesan apa?"

   "Tak pernah aku berdosa terhadap siapa pun. Tuhan tahu akan keadaan diriku. Hidupku inilah saksinya,"

   Sahut Wirapati. Mundingsari bangkit dengan perlahan-lahan. Pedang warisan Pringgasakti digenggamnya erat-erat. Ia berdiri dengan lunglai di depan Wirapati.

   "O ya ada sebuah pesan,"

   Sekonyong-konyong Wirapati berkata.

   "Apa?"

   Semangat Mundingsari timbul.

   "Carilah anakku Sangaji sampai bertemu. Dia harus kembali ke Gunung Damar untuk merawat kakek gurunya. Kemudian suruhlah dia bergabung dengan Pangeran Diponegoro! Katakan padanya, bahwa di alam baka aku akan tetap melindunginya."

   Bukan main terharunya rasa hati Mundingari. Ia menunduk dengan air mata bercucuran. Sahutnya dengan suara parau.

   "Kakang! Kau legakan hatimu. Selama aku masih bisa bergerak, aku akan mencari muridmu Sangaji."

   Baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, pintu sel kena tendang dari luar. Beberapa orang melompat masuk sambil berteriak.

   "Sel terbongkar. Siapa di dalam?"

   Buru-buru Mundingsari meniup sumbu penerangannya.

   Menggunakan gelapnya kamar, ia melesat keluar sambil membabatkan pedangnya.

   Trang! Senjata mereka kena terbabat putus.

   Mereka kaget sampai meloncat mundur dengan berbareng.

   Dan kesempatan itu dipergunakan Mundingsari untuk meloncat ke atas genteng.

   "Bangsat, jangan lari!"

   Bentak seseorang.

   Mundingsari tak menghiraukan bentakan itu.

   Ia sadar akan bahaya.

   Cepat ia melesat ke depan.

   Sekonyong- konyong suatu kesiur angin mengubar punggungnya.

   Cepat ia mengelak sambil menyambarkan pedangnya.

   Dengan suatu suara nyaring pedangnya berbenturan.

   Dan lentikan api mengejap seakan-akan bunga api.

   Mundingsari kaget bukan main.

   Pedang warisan Pringgasakti ternyata tidak mampu mengutungkan senjata lawan.

   Selain itu, tangannya sakit dan lengannya kesemuten.

   Siapa dia? Dengan mata mengejap-ejap ia mengamat-amati wajah lawan.

   Dia seorang laki-laki berperawakan cakap.

   Tangan kanannya terbebat kencang dan tergendong melintang dadanya.

   Sedang tangan kirinya menggenggam sebatang golok besar seberat lima puluh kati.

   Ia mengenakan pakaian seragam perajurit istana.

   Kesannya gagah berwibawa.

   Golok besar yang dibawanya biasanya merupakan golok latihan berperang di atas kuda.

   Seseorang harus memegang dengan kedua belah tangannya semacam tombak.

   Bahwasanya perwira itu dapat menggerakkan golok sebesar itu dengan sebelah tangan dan mampu pula membawa meloncat ke atas genteng berbareng mengejar, membuktikan betapa tinggi ilmu kepandai- annya.

   "Di sini Wiranegara. Bangsat, kau siapa?"

   Bentaknya.

   Mendengar dia menyebut diri dengan nama Wiranegara, Mundingsari kaget sampai berjingkrak mundur.

   Ia menajamkan penglihatannya.

   Tak salah.

   Melihat perawakan tubuh dan suaranya dia benar-benar Wiranegara empat hari yang lalu.

   Terang sekali, dia kena gempur kaki Sanjaya.

   Rupanya dia tidak mati.

   Karena tulang pundaknya patah ia berpura-pura mati.

   Dengan begitu ia lolos dari pengamatan Sanjaya.

   Ah, benar-benar licik orang ini, pikir Mundingsari.

   "Ah, kukira kau sudah mampus di tangan pendekar Sanjaya. Ternyata dengan sebelah tanganmu, masih bisa kau memanggul golok besar,"

   Sahut Mundingsari dengan suara mengejek.

   "Hai, kau tahu?",Wiranegara kaget.

   "Kalau begitu tak peduli siapa dirimu kau harus mampus malam ini juga. Hai, penjaga! Mana lainnya?"

   Dengan sebat Mundingsari mendahului menyabetkan pedangnya.

   Buru-buru Wiranegara melintangkan golok besarnya yang terbuat dari besi bercampur baja.

   Trang! Goloknya bergoyang-goyang.

   Heran Wiranegara kena benturan itu.

   Lawannya yang berberewok itu ternyata mempunyai tenaga dahsyat pula.

   la lantas membalas menyerang.

   Mereka berdua lantas bertempur dengan serunya.

   Selagi Mundingsari bergerak hendak mundur, tiba-tiba dibelakangnya sudah berdiri dua orang lagi yang bersenjata pedang.

   Juga disamping Wiranegara ber- tambah seorang lagi.

   Dengan demikian ia kena keroyok empat orang sekaligus.

   Gerakan empat lawannya bukan main gesitnya.

   Mau tak mau, ia jadi sibuk luar biasa.

   Dengan membolang- balingkan pedangnya, ia melindungi diri.

   Suatu kali suatu kesiur tajam mengarah kepalanya.

   Buru-buru ia menunduk.

   Tak urung serumpun rambutnya terbabat kutung.

   Hatinya terkesiap.

   Dalam pada itu dari jarak sepanjang ombak Wiranegara segera melancarkan serangannya.

   Ia dibantu oleh rekanya yang berada di sampingnya.

   Orang itu bersenjata rantai panjang.

   Itulah piranti39) untuk mem- belenggu orang.

   Rupanya dia berkeyakinan pasti akan dapat meringkus Mundingsari dengan cepat.

   Setelah memutar rantainya berdesingan, ia mencambukkan.

   Mundingsari kaget.

   Buru-buru ia melesat mundur sambil membabatkan pedangnya.

   Tepat pada saat itu, kedua lawannya menyerang punggungnya dengan berbareng.

   Suatu benturan senjata tak dapat dielakkan lagi.

   Untung dia memiliki pedang warisan Pringgasakti.

   Kedua pedang lawannya somplak seketika itu juga.

   Tetapi dengan demikian, tak dapat ia meloloskan diri dari kepungan yang rapat luar biasa.

   Tiba-tiba di sebelah kanan terdengar bentakan.

   Sesosok bayangan hitam berkelebat memasuki gelanggang pertempuran.

   Begitu bayangan itu menggerakkan senjatanya, kedua pundak Mundingsari terancam dengan sekaligus.

   Buru-buru Mundingsari membungkuk.

   Pedangnya memukul balik serangan lawan dan kakinya menendang.

   Lalu ia melesat ke samping.

   Bayangan yang memasuki gelanggang itu, berperawakan pendek kecil.

   Dia mengenakan pakaian serdadu.

   Senjata yang digunakan sepasang pedang tipis.

   Bahwasanya orang sekecil itu menggunakan pedang tipis demikianmembuktikan bahwa ia bertenaga besar.

   Tiap gerakan pedangnya, mengeluarkan kesiur angin dahsyat.

   39' peranti = alat, perkakas Mundingsari merinding40) bulu kuduknya.

   Seumpama ia memiliki ilmu kepandaian dua kali lipat lebih tinggi daripada sekarang, masih ia tak sanggup mengadakan perlawanan.

   Apalagi berangan-angan untuk mengalahkan.

   Mereka yang membantu Wiranegara adalah orang- orang sebawahannya.

   Meskipun beradu di bawah komandonya, namun sebenarnya mereka anggota Kompeni Belanda.

   Mereka datang dari Aceh, Kalimantan, Makasar dan Ambon.

   Mereka termasuk serdadu kelas satu.

   Kepandaiannya tinggi dan menjadi pengawal pribadi Residen Nahuys yang berkedudukan di Jogjakarta.

   Sebentar saja, mereka dapat melibat Mundingsari.

   Pendekar ini menjadi bingung sekali.

   Baru melampaui dua puluh jurus, ia sudah merasa tak tahan lagi.

   Dalam pada itu, serdadu-serdadu penjaga lainnya yang berjumlah belasan orang sudah mulai meloncat ke atas genteng.

   Sedang di bawah atap belasan orang lagi berentep mengepung rapat.

   Mereka berteriak-teriak nyaring.

   Di antaranya terdengar teriakan untuk menembak mati saja dengan senapan.

   "Jangan! Mereka sedang bergulat rapat. Siapa menjamin pelurumu tidak menyasar?"

   Cegah yang lain.

   Mundingsari mengertak giginya, la berkelahi seperti orang gila.

   Tanpa memedulikan keselamatan diri, ia mengamuk dengan menebaskan pedangnya asal jadi saja.

   Untuk sementara, musuh-musuhnya agak segan menyaksikan kekalapannya.

   Pada detik yang sangat 40 merinding = meremang berbahaya, tiba-tiba berkelebatlah sesosok bayangan berpakaian serba putih di atas bubungan atap.

   Melihat gerak-geriknya, Mundingsari pernah merasa bertemu.

   Hanya saja tak dapat ia teringat dengan segera.

   Pada saat itu pula serdadu yang berperawakan pendek kecil tadi berhasil melancarkan serangan pedangnya.

   "Kena!"

   Serunya girang.

   Sepasang pedangnya memba- bat.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mundingsari mengeluh.

   Karena baru saja menangkis golok Wiranegara, tak sempat lagi ia membela diri.

   Dalam keadaan terdesak, ia menahan napasnya menunggu maut.

   Matanya sudah dipejamkan.

   Tiba pada detik itu, serdadu yang hendak menghabisi nyawanya menjerit tinggi.

   Dan sepasang pedangnya terpental ke samping.

   Secara kebetulan kedua senjatanya itu menghantam golok Wiranegara dan pedang rekannya.

   Benturan itu membuat senjata mereka runtuh bergelontangan.

   Mundingsari menyenakkan matanya.

   Apa yang telah terjadi? Ia mendengar suara tertawa nyaring halus.

   Dilemparkan pandangnya ke arah suara itu.

   Sejarak sepuluh langkah berdiri seorang pemuda berpakaian serba putih.

   Kedua tangannya bergerak menyambitkan sisiran bambu.

   Di dalam malam gelap gulita sama sekali tidak nampak.

   Tapi tiba-tiba ke empat musuhnya ber- teriak kesakitan.

   Mereka yang kena bidikanmimpi pun tak pernah bahwa sisir bambu bisa mempunyai daya bidik setajam peluru.

   Siapa yang kena bidikannya, roboh pada detik itu juga.

   Dalam waktu sekejap saja belasan penjaga roboh bergelimpangan di atas genteng.

   Sasaran bidikan pemuda itu tidak memandang bulu.

   Ia main menghantam saja.

   Sebab sisir bambu mengenai lengan Mundingsari.

   Dan lengan pendekar itu lantas saja lumpuh tak dapat digerakkan.

   "Cepat panggil Letnan Mangun Sentika!"

   Teriak Wiranegara.

   Sebuah sisir bambu berdesing menyambar lututnya.

   Ia sempoyongan beberapa langkah.

   Kemudian roboh tidak berkutik.

   Mundingsari tak berani berayal-ayalan lagi.

   Sambil memindahkan pedangnya ke tangan kiri, ia menarik napas dalam-dalam.

   Lalu kabur dengan secepat- cepatnya.

   Setelah melewati dua bubungan atap, ia menoleh.

   Dua bayangan nampak berkejar-kejaran.

   Yang satu si Baju putih.

   Dan yang lain seorang perwira bersenjata pedang panjang.

   Mereka mengarah ke barat daya.

   Mundingsari berdiri tertegun dengan memeras ingatannya.

   Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.

   Ia terkejut sampai memekik tertahan.

   Katanya didalam hati.

   "Ah, dialah yang menggoda Senot dahulu. Benar... benar!"

   Pada saat itu lonceng tanda bahaya bergema bersambung-sambung.

   Beberapa serdadu lari berserabutan dengan membawa obor.

   Mundingsari tak berani sembrono.

   Cepat ia melesat turun.

   Benar saja.

   Beberapa orang berteriak-teriak mencoba mengejarnya.

   Untung dia telah melesat mendahului.

   Merasa diri berkepandaian rendah, tak berani ia mengumbar adat menghadapi orang-orang yang berkepandaian tinggi.

   "Ah, biarlah!"

   Ia mengeluh di dalam hati.

   "Biarlah Wirapati kena ditolong pemuda itu."

   Ia lantas kabur secepat-cepatnya mengarungi kegelapan malam.

   Sewaktu tiba di penginapan, angin fajar hari telah serasa meraba tubuhnya.

   Segera ia membuka bajunya.

   Syukurlah luka yang dideritanya hanya luka luar.

   Tapi baru saja ia menaruhkan bubuk obat luka di atasnya, mendadak kepalanya terasa pusing.

   Matanya berkunang- kunang pula.

   Dan ia roboh di atas pembaringan.

   Berjam-jam, ia roboh pingsan.

   Tatkala siuman, ia melihat nyala dian berkelip-kelip.

   Ia memiringkan badannya.

   Hatinya tercekat.

   Kartodirun sudah berada di dekatnya dengan mengenakan pakaian serba hitam.

   Itulah pakaian berkabung.

   Dugaannya tak salah lagi.

   Kedua mata Kartodirun nampak merah bendul.

   "Haiaku belum mati! Kenapa kau menangis?"

   Mundingsari minta keterangan.

   "Pendekar Wirapati....,"

   Sahut Kartodirun tersekat- sekat.

   "Pendekar Wirapati sudah pulang kembali ke alam baka."

   "Kau bilang apa?"

   Teriak Mundingsari sambil menegakkan badannya.

   "Pagi tadi Beliau pulang,"

   Kartodirun berkata menegaskan. Sambil menundukkan kepalanya, ia meneruskan.

   "Seluruh penduduk yang kenal siapakah dia berkabung pada hari ini. Hanya begundal-begundal bangsat yang bersuka ria di rumah-rumah makan."

   Dengan satu teriakan menyayatkan hati, Mundingsari roboh pingsan kembali di atas pembaringan. Serasa hanya sedetik, ia sadar kembali. Kartodirun masih berada di sampingnya.

   "Jam berapa sekarang?"

   Mundingsari bertanya.

   "Kau pingsan satu hari setengah malam,"

   Jawab Kartodirun.

   "Sekarang kau memasuki hari kedua."

   Mundingsari menegakkan tubuhnya dengan berenung- renung.

   Hatinya seperti tersayat-sayat.

   Sama sekali tak pernah diduganya, bahwa Bupati Danuningrat meng- hukum sesama bangsanya begitu kejam demi perhambaannya kepada majikan yang menghidupi keluarganya.

   "Saudara Mundingsari,"

   Kata Kartodirun.

   "Bagaimana keadaanmu sekarang? Jika engkau sudah mampu berjalan, cepat-cepatlah meninggalkan kota terkutuk ini!"

   "Mengapa?"

   Mundingsari tak mengerti.

   "Pedangmu masih berlumuran darah. Pada saat ini desas-desus hebat mengumandang di seluruh kota. Khabarnya siapa saja yang mempunyai hubungan dengan pendekar Wirapati, harus ditangkap atau dibunuh. Karena itu lebih baik saudara menyingkir dahulu!"

   Mundingsari melompat dari pembaringan sambil menyambar pedangnya, la menghela napas dalam. Berkata setengah mengutuki diri sendiri.

   "Aku berlagak memasuki penjara dan membuat onar tak keruan. Akibatnya, aku mempercepat kematian pendekar Wirapati. Ah, apa guna aku hidup lebih lama lagi? Aku pun ternyata tak dapat menolong seorang ksatria besar dari belenggu gerombolan penjilat Belanda..."

   "Saudara! Tak boleh kau berpikir begitu cepat!"

   Potong Kartodirun.

   "Yang mati tidak akan dapat hidup lagi. Sebaliknya yang masih hidup harus mempertahankan hidupnya untuk meneruskan perjuangannya. Pendekar Wirapati mempunyai seorang murid yang bisa menggoncangkan tanah Pasundan. Aku percaya, bahwa dia bakal datang kemari untuk menuntut balas. Saudara sudah memasuki penjara. Apakah belum bertemu dengan pendekar Wirapati?"

   Diingatkan hal itu, Mundingsari kaget, la menatap wajah Kartodirun, menegas.

   "Sebenarnya kau siapa?"

   "Aku seorang penjual nasi. Tidak kurang tidak lebih,"

   Jawab Kartodirun. Mundingsari menarik napas sambil menyarungkan pedangnya. Berkata kepada dirinya sendiri.

   "Di saat-saat ini kawanan penjilat berkeliaran dimana- mana. Sebaliknya di antara rakyat jelata, masih terdapat seorang ksatria seperti engkau. Jelaslah.bahwa pengucapan bangsa tidak dapat diwakili pembesar- pembesarnya melulu. Apalagi kalau pembesar-pembesar itu kena ancam senjata uang dan kekuasaandia justru berada di seberang hati nuraini rakyat,"

   Ia berdiam lama sekali. Kemudian bertanya.

   "Apakah jenazah Kakang Wirapati sudah terawat baik?"

   "Terawat baik?"

   Ulang Kartodirun dengan berduka.

   "Menurut khabaratas perintah Bupati Danuningrat kepalanya dipancung. Kini berada di atas tembok pesanggrahan kompeni sebelah timur kota."

   Mundingsari berjingkrak berbareng menjerit keras. Kedua matanya mendelik. Gundunya berputaran karena rasa gusarnya. Dengan tubuh gemetaran ia berkata memerintah.

   "Berilah aku makanan sedikit!"

   Kartodirun mengundurkan diri dan kembali dengan membawa makanan malam. Tak berkata sepatah kata lagi, Mundingsari menyapu bersih makanan malam itu. Kemudian - setelah membayar uang sewa kamar dan uang makan ia segera berkemas-kemas.

   "Terima kasih atas segala budi kebaikanmu. Kita berharap dapat bertemu kembali,"katanya pendek. Setelah itu ia melompat keluar melalui jendela. Gesit gerakan Mundingsari. Dengan cepat ia mengarungi kepekatan malam. Untunglahmalam itu bulan sisir muncul di langit sebelah barat. Meskipun cuaca remang namun matanya yang tajam dapat menembus tirai malam. Bagaikan terbang ia berlari-larian menuju ke timur kota. Sebentar saja sampailah dia di pesanggrahan kompeni. Pesanggrahan kompeni ternyata bertembok tinggimerupakan sebuah benteng. Mundingsari mendongak ke atas. Di atas pintu benteng sebelah utara, tertancap sebatang tiang bendera berukuran tinggi. Biasaya kompeni mengerek41) bendera kebangsaannya di atasnya. Tapi kali ini, bendera kebangsaannya tak nampak. Sebagai gantinya, pada 41' mengerek = menaikkan ujungnya tergantung sebuah benda bulat seperti kepala manusia. Melihat pemandangan itu, tak saggup lagi Mundingsari menguasai dirinya lagi. la lantas menangis tersedu-sedu. Tanpa menghiraukan segala bahaya, ia menjejak tanah. Tubuhnya melayang tinggi dan hinggap di atas pagar tembok. Dengan sekali tarik, ia mencabut pedang warisan Pringgasakti. Lalu membabat tiang bendera dengan hati meluap-luap. Mulia maksud hatinya. Hanya saja kurang berwaspada. Sebab sesungguhnya kompeni sedang memasang jebakan. Kepala Wirapati yang digantung di ujung tiang bendera di atas tembok tinggi, dimaksudkan untuk menjerat kawan-kawan Wirapati yang memasuki penjara kemarin malam. Ternyata jebakannya berhasil. Mundingsari yang terlalu menuruti raungan hatinya masuk perangkap. Selagi pedangnya membabat, tiba-tiba sesosok bayangan menerjang dengan tertawa melalui hidungnya. Dan pedangnya kena terpukul balik. Mundingsari kaget. Buru-buru ia melompat tinggi untuk menghindari sabetan golok lawan. Pedangnya dipapaskan ke bawah untuk membalas menerjang.

   "Hiaa...,"

   Lawannya tertawa merendahkan.

   "Tepat sekali perhitungan Letnan Suwangsa. Seekor kodok buduk bakal masuk perangkap."

   Mundingsari tak sempat berpikir siapakah Letnan Suwangsa itu. Hatinya diamuk rasa mendongkol setinggi gunung. Dengan gerakan ibarat angin puyuh, ia membabat dengan pedangnya.

   "Eh, pedang bagus!"

   Terdengar seseorang berseru. Mundingsari menoleh. Hatinya tercekat setelah mengenal orang itu. Dialah yang kemarin yang disebut Letnan Mangun Sentika. Kata Mangun Sentika lagi.

   "Tinggalkan pedangmu. Dan aku akan mengampuni engkau. Eh, tidak. Kau pun harus takluk pula."

   "Kau hendak minta pedang ini?"

   Bentak Mundingsari dengan mendongkol.

   "Nih, ambil!"

   Berbareng dengan ucapannya, ia memangkaskan pedangnya.

   Kaget Letnan Mangun Sentika, menghadapi serangan tiba-tiba itu.

   Untuk menyelamatkan diri ia bergulingan di atas genteng yang berada di sebelah tembok.

   Mundingsari agak berbesar hati.

   Dengan mengandalkan pedang warisan Pringgasakti yang tajam dan ulat luar biasa, ia menghadapi dua pengeroyoknya, la mengincar kelemahan orang yang memental balik pedangnya.

   Orang itu mengenakan seragam militer.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Senjatanya berbentuk setengah golok dan setengah pedang.

   Bentuknya melengkung seperti bulan sisir.

   Dengan gesit ia membabat betis Mundingsari.

   Pada detik yang sangat berbahaya, Mundingsari meloncat tinggi.

   Pedangnya berkelebat menyambar leher.

   Orang itu kaget bukan main.

   Sama sekali tak diduganya, bahwa Mundingsari masih bisa membalas menyerang.

   Karena bingungnya, ia mengambil keputusan cepat.

   Dilepaskannya pedang bengkoknya dan ia lantas bergulingan menjauhi.

   Mundingsari tidak sudi memberi kesempatan.

   Cepat dia hendak memburu.

   Sekonyong-konyong betis kirinya terasa sakit, sebatang belati menancap hampir sejari dalamnya.

   Dengan mengertak gigi, ia mencabut belati itu.

   Kemudian disambitkan ke arah lawan gelap.

   Orang yang melemparkan belati dengan cara menggelap tadi sama sekali tak mengira bahwa dia bakal dibalas begitu juga.

   Tahu-tahu belatinya sendiri berkelebat di depannya.

   Buru-buru ia hendak menggu- lingkan"

   Diri.

   Tapi sudah kasep.

   Dengan berteriak kesakitan pundak kanannya termakan oleh belatinya sendiri.

   Puas Mundingsari melihat timpukannya berhasil.

   Ia lantas berkelahi dengan kalap.

   Dan melihat kekalapannya, betapapun juga tiga orang lawannya menjadi gentar.

   "Hm, benar-benarkan kalian tak dapat menangkap seekor katak buduk!"

   Terdengar Letnan Mangun Sentika menggerutu.

   "Minggir! Biar aku sendiri yang menangkap- nya."

   Dengan mata merah Mundingsari berkelahi.

   Kini gerak-geriknya agak terganggu karena lukanya.

   Ia mundur setindak demi setindak.

   Dua rekan Letnan Mangun Sentika tak mau kehilangan kesempatan.

   Takut jasanya akan berkurang, mereka lantas ikut mengepung.

   Dan dikepung tiga orang, Mundingsari benar-benar dalam bahaya.

   Pada saat itu, tiba-tiba suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya.

   Pikirnya di dalam hati.

   "Aku biasa menggunakan golok, tapi kurang mahir menggunakan pedang. Apakah pedang ini tidak dapat kugunakan sebagai golok?"

   Memikir demikian, ia lantas sengaja membuka suatu lowongan. Dua serdadu pembantu Letnan Mangun Sentika, girang bukan main. Seperti berlomba; mereka maju menerjang. Tapi begitu menerjang Mundingsari membacok dengan sekuat tenaga.

   "Trang!"

   Mereka berdua tercekat.

   Senjata mereka somplak sebagian.

   Tidak hanya itu.

   Tangan mereka berdarah dengan mendadak.

   Untung, mereka pun bukan orang sembarangan.

   Sekali pun tangannya berdarah, namun mereka masih bisa mempertahankan senjatanya masing- masing.

   Mundingsari menggeram bagaikan seekor harimau terluka.

   Segera ia menerjang pula.

   Pada saat itu lawannya terancam bahaya.

   Letnan Mangun Sentika menangkis dengan pedangnya sambil membentak.

   "Manusia tolol! Kalian berdua masakan tidak sanggup menangkap seekor katak buduk yang sudah terluka? Aku bilang tadi, minggir!"

   Mundingsari berputar mengarah kepada Letnan Mangun Sentika. Hebat orang itu. Ia berperawakan tinggi semampai. Dengan pedang dibolang-balingkan ia berkata tajam.

   "Pedang itubukankah pedang Sanjaya? Bagaimana bisa jatuh di tanganmu? Hayo serahkan!"

   "Sanjaya meminjamkan pedangnya kepadaku. Beliau memberi perintah padaku untuk mengutungi lehermu,"

   Jawab Mundingsari sambil menabas. Letnan Mangun Sentika gusar bukan main. Bentaknya nyaring.

   "Saat mampusmu sudah berada di depan matamueh mudah saja kau mengumbar mulut seenaknya sendiri."

   Mundingsari malas melayani dengan mulutnya.

   Lagi- lagi ia menabas.

   Sebentar saja ia telah melancarkan serangan beruntun.

   Ternyata pedangnya digunakan sebagai golok.

   Gerakannya membacok dan membabat.

   Semua bacokannya mengancam maut.

   Tapi Letnan Mangun Sentika benar-benar hebat.

   Tapidalam suatu perkelahian pengeroyokankepandaiannya tidak nam- pak.

   Ia seperti memberi kesempatan kepada dua orang pembantunya.

   Tapi kini setelah dua orang pembantunya, diperintahkan minggiria mulai memperlihatkan kepan- daiannya.

   Dengan gampang saja, ia dapat memunahkan setiap serangan Mundingsari.

   "Bagaimana?"

   Ejeknya dengan setengah tertawa.

   "Eh, kau membandel. Mengapa kalau kau tidak diberi hajaran sedikit, tidak akan tahu kepandaian Mangun Sentika. Lihatlah yang terang!"

   Letnan Mangun Sentika adalah wakil Wiranegara.

   Beradanya di dalam pesanggrahan kompeni memang atas perintah atasannya.

   Dia diperintahkan membantu mengawasi keamanan.

   Ilmu kepandaiannya tinggi.

   Dibandingkan dengan Wiranegara terpautnya tidak banyak.

   Malah-malah dia bisa lebih berbahaya daripada komandannya itu.

   Sebaliknya, Mundingsari yang gampang tersinggung terlonjak darahnya begitu kena ejek.

   Dengan hati berkobar-kobar, ia mengerahkan seluruh tenaganya.

   Pedangnya berkelebatan tiada hentinya.

   Kadang-kadang ia menggunakan ilmu pedang.

   Kadang ia menggunakan pedangnya sebagai golok.

   Namun Letnan Mangun Sentika tetap saja membawa sikap tenangnya.

   Dengan gesit ia memukul balik setiap serangan Mundingsari.

   Pedangnya berkelebatan pula.

   Dan tenaganya jauh lebih kuat daripada Mundingsari.

   Perwira itu lantas menggunakan pikirannya.

   Pada saat itu, Mundingsari menabaskan pedangnya dengan tenaga yang luar biasa besarnya.

   Ia lantas menangkis dan menempelnya.

   Dan kena ditempel demikian, hati Mundingsari terkesiap.

   Buru-buru ia menariknya dengan sekuat tenaga.

   Tapi tetap saja pedangnya tak dapat membebaskan diri dari tempelan lawan.

   Letnan Mangun Sentika tertawa ber-kakakkan.

   Pedangnya lantas dibolang-ba-lingkan.

   Anehnya pedang Mundingsari kena di bolang-balingkan juga.

   Dalam hal ini, Mundingsari kalah dalam beberapa hal.

   Selain tenaganya, juga ilmu pedangnya.

   Ia memang biasa menggunakan sebatang golok.

   Tadi dia bisa menggunakan pedangnya sebagai golok.

   Tapi setelah kena tempel, sifat pedangnya tak dapat dirubahnya.

   Maka ia menjadi bingung bagaimana caranya bisa lolos dari tempelan itu.

   Setelah kena diputar-putar beberapa saat lamanya matanya jadi berkunang-kunang.

   Dalam bingungnya dengan mendadak kedua kakinya bergerak sendiri menendang dua kali beruntun.

   Berbareng dengan itu, tangannya menarik pedangnya.

   Inilah suatu gerakan naluriah di luar kesadarannya sendiri.

   Dan begitu terlepas dari tempelan, pedangnya dibacokkan kalang kabut.

   Letnan Mangun Sentika boleh memiliki kepandaian dua kali lipat lagi.

   Tapi menghadapi renggutan naluriah itu, untuk sementara ia menjadi kaget berbareng heran.

   Sama sekali tak diduganya bahwa lawannya berani menendang kedua kakinya selagi pedangnya kena tempel.

   Inilah gerakan melanggar ketentuan-ketentuan ilmu pedang yang pernah dikenalnya.

   Sebab tatkala itu sedang mengadu kekuatan kaki.

   Sebenarnya ia dapat membalikkan tangannya dengan membalas menabas.

   Tapi bila tebasan itu dilakukan, Mundingsari akan mati terkutung.

   Hal ini tidak dikehen- dakinya.

   Untuk sedetik dua detik, ia menjadi bengong.

   "Aku ingin manangkap untuk mengorek keterangannya. Dan bukan untuk membunuhnya,"

   Pikirnya dalam detik itu.

   Dengan pikiran demikian ia melesat mundur sambil melintangkan pedangnya.

   Akan tetapi Mundingsari berkelahi secara nekat.

   Tidaklah mudah menangkap orang dengan tata berkelahi demikian dengan mudah.

   Sesudah bertempur lagi dua puluh jurus, akhirnya Letnan Mangun Sentika berhasil menggores pundak Mundingsari.

   Dan tendangannya jitu mengenai pergelangan tangan.

   Mundingsari kaget, karena pedangnya terpental.

   Dengan berteriak bergulingan ia memburu pedangnya.

   "Ringkus!"

   Perintah Letnan Mangun Sentika mengguntur.

   Dua serdadu pembantunya segera melompat maju hendak meringkusnya.

   Tapi begitu hendak menyambar tubuh Mundingsari, sekonyong-konyong terdengarlah suatu suara gemertak yang luar biasa bunyinya, mereka menoleh dengan serentak.

   Sesosok bayangan yang mengenakan topeng, muncul dengan tiba-tiba.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gerakannya gesit luar biasa.

   Dengan beberapa loncatan saja dia sudah berhasil berada di atas tembok.

   Lalu menghantam tiang bendera sehingga patah gemeretak.

   Tiang bendera itu terbuat dari tembaga murni yang tak mudah patah kena sabetan padang maupun kampak.

   Bahwasanya dengan sekali menghantam saja orang itu dapat mematahkan tiang benderamembuktikan betapa hebat tenaganya.

   Dua serdadu yang hendak meringkus Mundingsari tertegun melihat kejadian itu.

   Mundingsari tak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik itu.

   Segera ia meletik bangun.

   Tangannya diayun hendak menebaskan pedangnya.

   Tapi ia kaget setengah mati.

   Pundaknya yang kena gores pedang Letnan Mangun Sentika terasa sakit luar biasa, sehingga tangannya tak mau mengikuti kemauan hatinya.

   Pada saat itu, dua pembantu Letnan Mangun Sentika tersadar.

   Segera mereka meloncat menubruk dengan berbareng.

   Dengan sebelah tangan yang baru saja sem- buh akibat bidikan pemuda berpakaian putih dahulu, dan kini dengan lengan yang tak dapat digerakkan dengan leluasa, masih Mundingsari berusaha mempertahankan diri sebisa-bisanya.

   Namun ia sudah boleh dikatakan setengah lumpuh.

   Dengan tak berdaya ia mengawaskan berkelebatnya senjata dua lawannya mengancam jiwanya.

   Hatinya mencelos, karena merasa diri tak sanggup lolos dari ancaman itu.

   Akan tetapi di luar dugaanpada detik yang sangat berbahayadua serdadu itu menjerit tinggi dan roboh terguling di atas genteng.

   Tatkala Mundingsari menebarkan matanya, ia melihat Letnan Mangun Sentika sudah bertempur seru dengan seorang bertopeng di bawah tiang bendera.

   Mundingsari heran bukan kepalang.

   "Siapa?"

   Batinnya sibuk menduga-duga.

   "Bagaimana caranya ia menimpuk dua serdadu itu dengan pisau belatinya sambil melayani pedang Mangun Sentika?"

   Jarak antara tiang bendera dan tempatnya bertempur, kurang lebih dua puluh meter.

   Sungguh ia tak mengerti, bahwa dengan jarak sejauh itu dia masih sanggup mem- bunuh dua serdadu sambil melayani ilmu pedang Mangun Sentika.

   la tadi merasakan sendiri, betapa tinggi ilmu kepandaian Letnan Mangun Sentika.

   Dalam suatu pertempuran melawan seorang musuh berat, siapa pun takkan berani membagi perhatian.

   Tapi nyatanya, orang bertopeng itu sanggup berbuat demikian.

   Itulah sebabnya ia kagum luar biasa.

   "Terang sekali ia kena kurung pedang Mangun Sentika. Namun sambaran belatinya mengenai jitu. Ah, benar-benar hebat!"

   Pikirnya.

   Mendadak saja semangat tempurnya terbangun degan sekaligus.

   Segera ia memindahkan pedangnya di tangan kiri.

   Lalu bergerak hendak memasuki gelanggang pertempuran.

   Sekonyong-konyong ia mendengar Letnan Mangun Sentika berteriak kesakitan.

   Lalu lari terbirit-birit dan meloncat dengan terburu-buru dari atas pagar tembok.

   Dan orang bertopeng itu memperdengarkan tertawanya.

   Dengan tangan kanan memegang tongkat panjang dan tangan kiri membawa kepala Wirapati, orang bertopeng itu lantas melompat turun pula.

   Tubuhnya melayang bagaikan seekor burung elang menyambar mangsanya.

   Hati Mundingsari tercekat.

   Ia seperti pernah mendengar suara tertawa itu.

   Dan menilik gerak- geriknya, dialah si Penjahat bertopeng yang merampas uang kawalannya di timur Banyumas dahulu.

   Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, ia segera membuat suatu pemeriksaan.

   Ia melemparkan pandang kepada dua serdadu yang mati tanpa berkutik lagi di dekatnya.

   Setelah kena didepak, punggung mereka tertembus sebatang sisir bambu masing-masing.

   "Hai,"

   Ia kaget. Sisir bambu ini adalah senjata bidik pemuda yang berpakaian putih. Apakah penjahat bertopeng dahulu sesungguhnya pemuda yang berpakaian putih?"

   "Ah, tidak mungkin!"

   Ia membantah pikirannya sendiri.

   "Perawakan tubuhnya lain. Suara tertawanya lain pula. Kalau begitu, apakah si Penjahat bertopeng itu dapat pula menggunakan sisir bambu sebagai senjata bidik!"

   Mundingsari jadi terlongong-longong sendiri.

   Ia dibingungkan oleh suatu teka-teki yang tidak gampang- gampang dapat dijawabnya sengan pasti.

   Tiba-tiba di tengah kesunyian malam, terdengarlah suatu suara suitan nyaring, la berpaling dan melihat dua batang sisir bambu lewat di kedua sisi badannya dan runtuh memukul genting sehingga pecah berantakan.

   


Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung

Cari Blog Ini