Teror Elang Hitam 19
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 19
Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P
Perhatiannya hanya terpusat untuk mendukung Pangeran In Ceng naik tahta demi kembalinya martabat bangsa Han seperti yang dijanjikan In Ceng.
Namun mendengar kata Tong Gin-yan itu, Kam Hong-ti menganggukkan kepala dan berkata.
"Memang benar. Aku sendiri menyelidiki langsung ke mari, setelah leboh dulu membongkar tipu muslihatnya di Liong- coan. Sekarang rakyat Liong-coan sudah mengusir para pelatih silat yang dikirim Pangeran In Si itu. Mengusir mereka dengan bedil yang dibuat dengan biaya Sebun Him sendiri, ha-ha-ha..., ini namanya senjata makan tuan!"
Pakkiong Eng ikut tertawa juga bersama Kam Hong-ti, namun kalau Kam Hong-ti gembira untuk In Ceng, maka Pakiong Eng gembira untuk In Te.
Sementara itu Liu Beng diamuk kebimbangan yang hebat.
Benarkah majikan yang sangat dihormatinya itu sekaligus juga si maha durjana yang dicarinya matian untuk membalaskan dendam darah Liu-keh-chung? Sulit dipercaya.
Terjadi pertentangan antara perasaannya dan otaknya.
Seandainya wajah palsu Ho Ciangkui belum dilucuti, ia masih sulit percaya.
Namun setelah tahu Ho Ciangkui yang selama ini juga dihormatinya ternyata adalah pribadi palsu, maka pendirian Liu Beng pun mulai terombang-ambing.
Di tengah gelombang keraguan itulah dia mulai mencari pegangan.
"Kalau Sebun... Toaya adalah Hek-eng Pocu, kenapa Sebun Siauya terbunuh oleh Hek-eng-po? Masa dia tega membunuh anak lakinya sendiri?"
Sebelum menjawab, lebih dulu Tong Gin-yan mendkati Liu Beng dan membebaskan totokan tadi.
Liu Beng memang melompat bangun dengan tangkas, namun tidak lagi mengamuk seperti tadi.
Sepasang tongkat besinya terkulai menuding tanah.
Sepasang matanya tajam menatap Tong Gin-yan, mengharap jawaban.
Tong Gin-yan balas menatap lurus mata Liu Beng untuk meyakinkan kesungguhan katanya.
"Saudara Liu, menyesal sekali kematian Sebun Hiong itu masih merupakan misteri bagi kami, itulah antara lain yang sedang kami selidiki. Ketika mendengar kabar kematian anaknya, Sebun Him yang waktu itu sedang main catur dengan ayahku di Siong-san kelihatan amat kaget. Jelaslah kematian anaknya itu sama sekali di luar rencananya. Tetapi bukan hanya satu pihak yang ingin membunuh Sebun Hiong, sebab persoalannya begitu rumit. Bisakah kau menerima pendapatku ini, saudara Liu?"
Liu Beng tidak mengiakan dan tidak pula mengangguk, namun sikapnya sudah mulai mempercayai penjelasan itu. Tong Gin-yan lalu melanjutkan.
"Aku yakin, sejak kami bertiga kabur dari Liong- coan...."
"Bertiga? Selain kau dan Pakkiong Siocia, siapa lagi orang yang ke tiga?"
Liu Beng menukas.
"Auyang Siau-hong, puteri Ketua Ki- lian-pai,"
Sahut Tong Gin-yan. Mendengar nama gadis yang tak pernah berlalu dari hatinya itu, terkejutlah Liu Beng.
"Di mana dia?"
"Ia berada kira lima li dari sini, tidak ingin masuk kemari sebab kuatir kepandaiannya tidak cukup membantu kalau sampai bertemu dengan Hek-eng Pocu....."
"Apakah ia selamat?"
"Ya, ia baik saja,"
Jawab Tong Gin-yan sementara dalam hati menggerutu karena alur pembicaraan jadi bergeser. Untunglah Pakkiong Eng segera menyerobot dengan lanjutannya.
".... sejak kami bertiga kabur dari Liong-coan, kami yakin bahwa Sebun Him merasa permainan sandiwaranya mulai terbongkar. Karena itulah, sebelum kami menuduh karena sedang mengumpulkan bukti, maka dia lebih dulu menuduh ke pihak Hwe-liong-pang bermodalkan kematian anaknya. Siapa orangnya tak bersimpati melihatnya kehilangan anak lelakinya?"
Suasana sunyi sejenak, lalu Pakkiong Eng berkata.
"Karena itulah kami datang kemari, ke tempat yang paling dirahasiakan Sebun Him ini untuk menemukan bukti kejahatannya sebagai Hek-eng Pocu, sekaligus membersihkan fitnah yang dilumurkan ke nama Hwe-liong-pang!"
"Mungkin sudah agak terlambat...."
Liu Beng tiba berkata.
"Sebun Toaya, eh, Sebun Him sudah memimpin serombongan besar pendekar persilatan dari berbagai aliran untuk menggempur Tiau-im-hong!"
Tong Gin-yan terkejut.
Pantas rumah keluarga Sebun yang terkenal dengan penjagaannya yang ketat itu malam ini berhasil diterobos tanpa terlalu sulit, agaknya karena Sebun Him sendiri tidak sedang di rumah.
Terdorong kecemasan kalau Hwe-liong- pang kurang siap menghadapi serbuan tersebut, maka Tong Gin-yan kehabisan kesabarannya.
Tiba ia mencengkeram dada Seng Kian-ho sambil menyalurkan beberapa bagian hawan dingin Hian-im-kang, membuat Seng Kian-ho sangat menderita sehingga giginya gemerutuk.
Bentaknya bengis.
"Kau adalah orang yang paling dekat kedudukannya dengan Sebun Him, kau pasti tahu di mana dia menyembunyikan rahasianya! Cepat katanan!"
Meskipun menggigil kedinginan, orang itu masih mencoba menggertak juga.
"Hem, saat ini di Tiau-im-hong tentu bangkai orang Hwe-liong-pang sudah bergelimpangan, He- he..., biarpun kau menemukan bukti itu untuk dibawa ke Tiau-im-hong juga percuma saja...."
Ucapan itu sekaligus merupakan pengakuan tidak langsung bahwa Sebun Him memang benar Hek-eng Pocu dan sudah memfitnah Hwe-liong-pang.
Abdi keluarganya terbunuh Hek-eng-po itupun kontan menghamburkan caci-maki dan sumpah serapah penuh dendam ke alamat Sebun Him.
Namun mereka hanya bisa mencaci-maki, tidak bisa bergerak sebab masih tertotok.
Sedang Tong Gin-yan membalas gertakan dengan gertakan pula.
"Jangan mimpi, Hek-eng-po sendirilah yang sudah di ambang keruntuhan. Biarpun Sebun Him berhasil menggiring ratusan pendekar untuk dijadikan jangkrik paduan di Tiau-im-hong, memangnya pihak Hwe-liong-pang kami kekurangan pendukung? Apa kau belum pernah mendengar Hek-eng Pocu bercerita bahwa Hwe-liong-pang kami siap menghancurkan Hek-eng-po dari dalam juga?"
Ternyata Seng Kian-ho kalah gertak.
Apalagi ketika jempol Tong Gin-yan menekan jalan darah Kui-jong-hiat dan menimbulkan rasa nyeri di seluruh tubuhnya, runtuhlah kebandelan Seng Kian-ho.
Telunjuknya gemetar menunjuk ke arah sebuah lemari di pojok ruangan itu.
Lemari usang yang tertutup rapat dan tidak menarik perhatian sama sekali.
Langkah Tong Gin-yan ke arah lemari itu kalah cepat dari langkah Liu Beng yang ingin cepat tahu benarkah tuduhan Tong Gin- yan serta Pakkiong Eng terhadap Sebun Him? Pintu lemari itu digembok, namun Liu Beng dengan tidak sabar lagi menghantam gembok itu dengan tongkatnya sehingga rusak.
Sekali sentak, terbukalah lemari itu.
Apa yang membuat Liu Beng yakin adalah setumpuk pakaian warna hitam semua, padahal selama ia berada di rumah keluarga itu belum pernah dilihatnya tuannya memakai pakaian warna itu, selalu warna cerah.
Jelas jubah hitam yang beberapa setel itu adalah "pakaian dinas Sebun Him sebagai Hek-eng Pocu.
Jantung Liu Beng rasanya seperti dihantam palu godam berduri.
Benar! Benar bahwa orang yang selama ini dipujanya karena merupakan "pendekar baik hati yang gigih menentang Hek-eng-po itu ternyata adalah Hek-eng Pocu sendiri.
Tapi ia masih ingin menambah keyakinannya.
Isi lemari itu diobrak-abriknya, sampai sebuah kalung jatuh ke lantai.
Sebuah kalung amat sederhana dari tali rami yang sudah berdaki karena menempel di leher Liu Beng hampir sepanjang umurnya, gantungannya adalah lempengan besi, satu sisi berukiran gambar beruang, sisi lainnya bertuliskan satu huruf "Beng"
Yang menjadi nama Liu Beng sendiri.
Itulah kalung yang berhasil dirampas dari Liu Beng pada saat pertempuran dengan Hek-eng Pocu bersama Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng dulu.
Susah payah Liu Beng berusaha meredakan benturan antara rasa cinta dan hormat kepada Sebun Him dengan benci dan dendam kepada Hek-eng Pocu dalam jiwanya, seperti dua arus gelombang yang berbenturan dan mengombang-ambingkan tanpa daya....
Sementara itu, abdi pilihan keluarga Sebun itu juga ingin tahu isi lemari itu, karena itu akan menentukan bagaimana sikap terhadap Sebun Him.
Apakah dewa penolong atau iblis pembantai sanak keluarga mereka? Tapi mereka tertotok, maka tak dapat mendekati lemari itu, hanyalah berteriak.
"Liu Huciangkui! Apakah.... apakah.... benar??!"
Yang lainnya memohon kepada Kam Hong-ti.
"Kam Taihiap, tolong bebaskan totokanmu agar kami bisa menjenguk isi lemari itu...."
Bagi Kam Hong-ti, kejatuhan Sebun Him sebagai penopang kuat Pangeran In Si adalah "anugerah bagi kebangkitan Pangeran In Ceng.
Karena itu, tanpa keberatan sama sekali, ia menepuk punggung orang itu satu kali sehingga merekapun berlompatan bangun bebas kembali.
Mereka segera menyerbu ke lemari.
Seorang menemukan kitab yang dipegangnya dengan gemetar sambil bercucuran air matanya.
"Ini.... kitab pusaka leluhurku yang hilang.... dirampas orang Hek- eng-po ketika menyerbu rumahku...."
Yang lainnya menemukan pedang pendek berukiran kuno yang ketika dihunus menimbulkan cahaya kemilau, mulutnya berdesis marah.
"Kiranya Toan-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Pemotong Naga) milik keluargaku inilah yang menarik perhatian Hek- eng-po menyerbu perguruanku....."
Memang tidak semmuanya menemukan barang bukti yang dulu dirampas Hek-eng-po dari mereka, namun beberapa orang yang menemukannya itupun sudah cukup membuka mata mereka dan mengubah rasa hormat mereka kepada Sebun Him menjadi caci-maki penuh dendam.
"Keparat itu menipu kita selama ber- tahun, untuk memeras kita sebagai abdinya dengan ikatan hutang budi!"
"Adikku gugur ketika oleh Sebun Him disuruh menghadapi orang Hek-eng-po, tak tahunya Sebun Him sendirilah gembong Hek- eng-po!"
Maka Keng-pong itupun menjadi riuh- rendah dengan caci-maki tak keruan, ada pula yang menangis keras karena penasaran telah kehilangan sahabat atau saudara.
Entah siapa yang mulai mengusulkan, senjata dihunus dan siap mencincang Ho Kian alias Seng Kian-ho yang masih tergeletak lemah.
Namun sebelum Seng Kin-ho berubah menjadi "bistik manusia, Tong Gin-yan telah melompat menghalangi orang yang kalap itu.
"Tunggu! Aku keberatan kalian membunuh dia!"
"Apa?! Bukankah bangsat inipun bersama Sebun Him memfitnah Hwe-liong- pang sehingga sekarang be-ramai para pendekar yang terpengaruh itu menyerbu ke Tiau-im-hong?!"
Tong Gin-yan tidak minggir, malah balas bertanya.
"Saudara, kalian ingin melihat kedok Sebun Him dilucuti di hadapan mata para pendekar atau tidak?"
"Sudah tentu!"
"Kalau demikian, orang ini akan kita bawa ke Tiau-im-hong dalam keadaan hidup, supaya dengan mulutnya sendiri ia bongkar semua permainan sandiwara Sebun Him selama ini...."
Pikiran ini masuk akal juga, namun orang yang marah itu kemudian melampiaskan dendam kesumat mereka kepada benda di ruangan itu.
Liu Beng sendiri hanya berdiri ter-mangu sambil masih berusaha meredakan gejolak hatinya.
Sementara Kam Hong-ti sendiri merasa urusannya sudah beres, pada dasarnya ia kurang berminat mengurusi pertikaian Hwe- liong-pang dengan Hek-eng-po, maka diapun melangkah keluar setelah berpamitan kepada Liu Beng, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng.
Di kejauhan masih terdengar suara pertempuran sengit, agaknya In Ceng tengah menghadapi perlawanan seru dari abdi keluarga Sebun yang belum tahu rahasia majikannya.
Tak lama kemudian, A-loan dan A-hui, dua gadis abdi keluarga Sebun itupun datang ke tempat itu diiringi sejumlah pegawai bersenjata lainnya.
Mereka terkejut melihat rekan mereka dengan kalap tengah menghancurkan barang di dalam Keng-pong yang biasanya dianggap "keramat.
"Apa yang terjadi?"
A-loan berseru kaget.
"Huciangkui, apa yang...."
"Panggil aku dengan sebutan lain. Aku bukan lagi Huciangkui keluarga terkutuk ini!"
Geram Liu Beng mengejutkan A-loan dan A-hui.
"Bahkan akan kucincang hancur tubuh Sebun Him demi puluhan nyawa penghuni Liu-keh- chung yang tak berdosa!"
"Sebenarnya ada apa, Huciang.... eh, Liu... Liu Siauya?"
Karena Liu Beng menerangkannya dengan ter-putus tak keruan, maka Pakkiong Eng membantu menjelaskannya.
Kedua gadis pelayan itupun pucat mukanya ketika mendengar itu, lalu merah padam wajahnya.
Keduanya pun bernasib tak jauh berbeda.
Keluarga terbunuh, lalu Sebun Him muncul menolong.
Namun kini mereka tahu bahwa Sebun Him juga dalang dari pembunuhan itu.
"Benarkah itu??!"
"Tadinya aku sendiri tidak percaya, tapi kutemukan kalung peninggalan ibuku ini di lemari rahasia Sebun Him keparat itu! padahal dulu yang merampas kalung ini adalah Hek- eng Pocu.....!"
Tiba seseorang berteriak.
"Sebun Him sudah membunuh orang yang kita cintai, mari kita bunuh pula isterinya dan puterinya di ruangan dalam!"
"Benar! Kita bakar mereka hidup!"
Yang lain meneriakkan "kubur hidup dan lainnya lagi usul agar "digantung saja atau usul lainnya yang menggidikkan bulu roma.
Tapi saat pegawai yang berontak itu hendak mengalir keluar ruangan untuk melaksanakan maksud mereka, Tong Gin-yan, Pakkiong Eng dan Liu Beng melompat dan berjajar di ambang pintu, menghalangi langkah orang tersebut.
"Kalian tidak boleh melakukan tindakan biadab terhadap wanita tak berdaya itu!"
Bentak Tong Gin-yan dengan suara mengguntur.
"Sebun Him yang bersalah, Sebun Him pulalah yang harus menanggung hukumannya! Bukan anak isterinya yang tidak tahu apa!"
Sikap tegas Tong Gin-yan itu semakin menimbulkan kepercayaan di hati Liu Beng.
Mudahan sikap itu bukan sikap luhur budi yang pura seperti yang sering ditunjukkan oleh Sebun Him untuk memperoleh pujian kekaguman dari orang lain.
Maka Liu Beng pun ikut bicara.
"Saudara, seperti kita semua telah tertipu oleh iblis itu, aku yakin anak isteri Sebun Him pun tertipu olehnya. Sebun Siauya yang mati itupun adalah korban permainannya, barangkali saja! Yang perlu, sekarang juga kita berangkat ke Tiau-im-hong, membantu Hwe- liong-pang mencuci bersih fitnahan atas dirinya, sekaligus melucuti kedok si iblis tua!"
Begitulah, kalau Liu Beng menyebut Sebun Him sebagai "iblis tua maka terhadap Sebun Hiong masih saja dipanggilnya "Sebun Siauya sebab hubungannya selama ini dengan Sebun Hiong sangat akrab dan tulus.
Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa si Huciangkui dan si Siauya itu seperti kakak-adik saja, potongan tubuh maupun wajah mereka.
Malam itu juga, karena pemberontakan dalam keluarga Sebun, rumah besar mirip benteng itu ditinggalkan oleh sebagian besar dari abdi mereka.
Abdi yang sore tadi masih menjunjung tinggi Sebun Him, kini membenci dan mendendam habisan.
Hanya dengan susah payah Tong Gin- yan, Pakkiong Eng, dan Liu Beng mencegah agar orang itu tidak melampiaskan dendam kepada keluarga yang ditinggalkan, atau kepada abdi yang tetap tinggal di rumah itu dan menggigil ketakutan melihat rekan mereka mendadak seperti orang kesurupan setan.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi taman bunga, pondok yang indah, patung penghias taman, hancur semua menjadi pelampiasan kemarahan orang itu sebelum pergi meninggalkan rumah tersebut.
Liu Beng sendiri, sebelum meninggalkan rumah malam itu juga, sempat menghadap isteri Sebun Him dan Sebun Giok yang tengah meringkuk ketakutan dalam kamar bagian dalam.
Begitu melihat Liu Beng, Sebun Giok yag biasanya bersikap ketus kepada pegawainya itu, kini bersikap sangat membutuhkan.
"A-beng.... ada apa ribut itu? tidakkah kau bisa mengatasi mereka?"
"Mulai detik ini, aku bukan lagi abdi keluarga kalian,"
Sahut Liu Beng dingin.
"Harap kalian menjaga diri baik. Aku pamit...."
Isteri Sebun Him yang sangat gemuk itu, biarpun masa berkabung anak lakinya belum lewat, namun seluruh tubuhnya sudah kembali gemerlapan dengan perhiasan intan permatanya.
Yang tak kalah gemerlap adalah butiran keringat dingin di jidat dan ujung hidungnya, melengkapi wajahnya yang ketakutan.
"Jangan pergi, A-beng. Rumah ini akan kosong dan penjahat Hek-eng-po akan menyerbu serta merampok...."
"Jangan kuatir, hujin,"
Kata Liu Beng, tidak lagi bersuara dingin sebab ia sebenarnya kasihan juga kepada nyonya gemuk dan puterinya yang tengah hamil tua itu.
"Kepergianku dan kawan justru untuk melucuti kedok maha durjana Hek-eng Pocu itu....."
Lalu tak menggubris kata cegahan kedua perempuan itu, Liu Beng pun melangkah keluar.
Lebih dulu Liu Beng mengikuti Tong Gin-yan serta Pakkiong Eng ke rumah gubuk di mana Auyang Siau-hong mereka tinggalkan.
Namun mereka kaget dan bingung karena puteri Ketua Ki-lian-pai itu hilang tanpa jejak.
Karena suasana hati sedang diliputi rasa permusuhan kepada Hek-eng Pocu, maka hilangnya Auyang Siau-hong itupun segera ditimpakan kepada Sebun Him, atau se- tidaknya begundalnya.
Bahkan hilangnya Liu Jing-yang dalam beberapa hari terakhir itu, oleh Liu Beng juga ditimpakan ke pundak Hek- eng Pocu.
Malam itu juga, rombongan Tong Gin- yan membengkak menjadi limapuluh orang lebih bersama abdi, atau lebih tepat disebut "bekas abdi, dari keluarga Sebun, berangkat ber-bondong menuju Tiau-im-hong.
Di antara mereka terdapat juga A-loan dan A-hui yang selama ini merasa tertipu, mengabdi dengan setia kepada orang yang mendalangi pembunuhan orang tua mereka.....
*Oz* BAGIAN EMPAT PULUH SATU Dalam perjalanan yang menyamar dan dihantui ketakutan kepada mertuanya sendiri, Liu Jing-yang semakin lama semakin dekat ke Tiau-im-hong.
Ia tinggalkan rumah keluarga Sebun di Se-shia karena yakin bahwa mertuanya sudah tahu pengkhianatannya kepada Sebun Hiong.
Karena ketakutannya, ia akhirnya kabur meninggalkan isterinya dan bayi dalam kandungan isterinya.
Ia hanya akan pulang kembali jika Sebun Him sudah mati, lalu ia sebagai menantu lelaki akan mewarisi semua harta keluarga Sebun untuk membangun kembali Liu-keh-chung di Lok-yang, sebab Sebun Hiong sudah tiada.
Walau ia takut dan mendoakan mertuanya cepat mampus, tapi toh ia percaya ucapan yang disebar luaskan oleh ayah mertuanya bahwa Hek-eng Pocu adalah Tong Lam-hou, Ketua Hwe-liong-pang.
Karena itulah ia menuju Tiau-im-hong untuk mengajak kerja sama "Hek-eng Pocu menjebak ayah mertuanya sendiri.
Dendam keluarga Liu terhadap Hek-eng-po boleh disingkirkan untuk sementara, kalau perlu di hadapan "Hek-eng Pocu Tong Lam-hou, ia akan menyajikan sedikit "rejeki....
"Hem, Tong Lam-hou itu berlagak pendekar besar yang hidup sederhana, padahal rakusnya bukan main,"
Pikir Liu Jing-yang.
"Ketika rombongan keluargaku mereka cegat dekat Ki-lian-san, sebelas peti intan permata dan uang semuanya amblas. Tapi keserakahannya akan mempermudah rencanaku. Ia pasti tergiur kalau aku tawarkan separuh harta keluarga Sebun kepadanya."
Liu Jing-yang tersenyum sendiri kalau membayangkan rencananya juga hari depannya sendiri yang gilang-gemilang.
"Sulit bagi Tong Lam-hou si munafik tua itu untuk menolak tawaranku. Separuh harta kekayaan keluarga Sebun, ditambah ia akan dapat melampiaskan dendamnya kepada ayah mertuaku yg telah melucuti kedoknya. Tapi mudahan Tong Lam-hou dan ayah mertuaku mampus bersama dalam sebuah pertempuran sehingga warisan yg kuterima tidak perlu lagi dibagi dua. Semuanya untukku, ha-ha-ha....!"
Dengan harapan menggumpal di dada, Liu Jing-yang terus berjalan mendekati Tiau- im-hong.
Ia masih tetap mengenakan pakaian pengemis dan menutupi wajahnya dengan topi rumput lebar yang lusuh, bertelanjang kaki, sengaja tidak mandi atau bercukur beberapa hari sehingga sulitlah bagi orang untuk mengenalinya sebagai menantu keluarga Sebun yang tampan dan perlente.
Penyamaran itu perlu, sebab jalan menuju Tiau-im-hong padat dengan rombongan para pendekar yang menuju ke Tiau-im-hong pula.
Tentu banyak di antara mereka yang sudah mengenalinya sebagai menantu Sebun Him, tapi tentu tidak akan menyangka gelandangan yang berjalan seorang diri itu adalah Liu Jing-yang.
Hanya saja, dalam baju gelandangan itu terdapat setumpuk kertas berharga ratusan ribu tahil emas yang dibawanya dari Se-shia.
Itu perlu, untuk memperlancar perjanjian kerja sama dengan Hek-eng Pocu.
Sepanjang jalan, Liu Jing-yang mengamati bahwa di antara jagoan silat yang berjalan ber-kelompok itu terbagi dua golongan.
Golongan satu yang mempercayai Sebun Him bahwa Tong Lam-hou lah Hek-eng Pocu yang pantas dibasmi.
Golongan ke dua adalah golongan yang tidak mempercayai.
Tapi meski begitu mereka tidak tahu siapa Hek-eng Pocu yang sebenarnya, entah siapa, yang pasti bukan Tong Lam-hou.
Golongan ke dua ini ber- bondong datang ke Tiau-im-hong guna membela Hwe-liong-pang.
( 2 halaman sobek/ hilang) Liu Jing-yang menyelinap di sebuah pagoda bobrok yang letaknya berseberangan dengan sebuah rumah penginapan yang dipenuhi orang Hoa-san-pai yang anti Hwe- liong-pang.
Baru saja ia meletakkan tubuhnya, hujan deraspun turun.
Genteng maupun tembok pagoda yang bobrok itu tak sanggup sepenuhnya menahan siraman dan cipratan air hujan.
Liu Jing-yang menggerutu sambil mencari sudut yang benar aman dari air, dan hampir tidak mendapatkannya.
Namun Liu Jing-yang memilih basah dan kedinginan daripada tergoda untuk mencari rumah penginapan.
Ia tidak mau meninggalkan jejak setitik kecilpun terhadap ayah mertuanya yang hidungnya sepuluh kali lebih tajam dari anjing pemburu.
"Aku harus melangkah dengan sangat cermat,"
Pikirnya.
Tetapi ia tiba bergidik, bukan oleh udara dingin, tapi karena teringat surat kaleng yg diterimanya beberapa hari sebelumnya.
Siapa pengirimnya? Kenapa tahu dirinya yang membunuh Sebun Hiong, padahal waktu itu ia yakin tidak ada orang ke tiga? Jangan........
jangan..........
"Persetan! aku tidak percaya cerita tahyul tentang arwah atau hantu gentayangan,"
Ia memberanikan hatinya sendiri.
Tapi mau tak mau terbayang juga wajah orang yang pernah dikhianatinya tanpa bersalah.
Pasangan Ui Kiong dan Yo Kim- hua, saudara sepupunya sendiri, Liu Tek-san, yang terakhir adalah kaka seperguruannya sekaligus iparnya sendiri, Sebun Hiong.
Satu persatu wajah mereka muncul dalam angannya sambil menyeringai siap membalas dendam.
Waktu kemudian ia dapat memejamkan matanya sejenak, tidur sambil duduk meringkuk menyandar tembok, wajah itu juga yang ber-main di dunia mimpinya.
Wajah Ui Kiong dan Yo Kim-hoa yang pucat dengan lidah terjulur keluar, mata melotot dan tali menjerat leher mereka.
Wajah Liu Tek-san yang dadanya tertancap belatinya, sinar matanya memancarkan rasa penasaran dan kaget sebelum tubuhnya ambruk tak berkutik.
Begitu pula wajah Sebun Hiong.
Tiba orang dalam bayangan itu menjulurkan tangan ke arahnya dan merintih.
"Apa salah kami...... apa salah kami.........."
Dengan paniknya Liu Jing-Yang meng- gerakkan tangan se-olah menolak hantu dalam mimpinya itu, hendak berteriak tapi tenggorokannya tak mampu mengeluarkan suara.
Akhirnya dengan megap kehabisan napas dan keringat dingin membasahi tubuhnya, ia berhasil membuka mata dan kembali ke alam sadar.
Dihirupnya napas dalam beberapa kali untuk meredakan jantungnya yang berdenyut keras.
Malam mencekam dingin, hujan deras melecut bumi di luar sana, Liu Jing-yang sendirian saja di dalam pagoda kosong itu.
Diam direnungkannya mimpinya, timbul juga sedikit rasa bersalah kepada orang yang menjadi korbannya, semuanya adalah orang muda yang tengah menyongsong masa depan.
Tapi Liu Jing-yang sudah menghabisi harapan mereka.
Ia menggoyang kepalanya kuat untuk mengusir rasa bersalah yang dianggapnya akan memperlemah tekadnya.
"Aku tak peduli mereka punya masa depan! Akupun punya masa depan. Siapa suruh masa depan mereka menyilang masa depanku? Karena itu merekalah yang harus minggir...."
Tengah ia me-renung, tiba matanya yang tajam melihat tiga sosok bayangan hitam melayang secepat kilat di atas genteng rumah di sebelah pagoda.
Itulah tiga orang yang berilmu tinggi.
Selama ini memang Liu Jing-yang sudah sangat ingin bertemu Majikan Hek-eng-po untuk diajak kerja sama untuk melenyapkan Sebun Him.
Melihat tiga sosok bayangan itu, timbul keinginan Liu Jing-yang untuk membuntuti dan membayangi gerak-gerik mereka, siapa tahu bisa diketemukan sebuah jalan untuk berhubungan dengan Hek-eng Pocu.
Tubuhnya pun melejit naik ke atas genteng, dari jarak belasan langkah ia melihat ketiga bayangan itu menyeberangi jalan yang sepi dan gelap karena hujan, dan melompati dinding masuk ke penginapan orang Hoa-san- pai.
Beberapa detik kemudian, dari dalam penginapan tersengar suara orang saling membentak namun tidak jelas apa yg dibicarakan karena tenggelam oleh suara hujan yang gemerasak.
Lalu disusul oleh suara ributnya pertempuran.
Liu Jing-yang dengan gesit berlari menyeberangi jalan, dan melompat naik ke dinding penginapan untuk melihat apa yang terjadi.
Sambil berbuat demikian, kalung lambang anggota inti Hek-eng-po yang dulu dirampasnya dari Lau Hong itu dirabanya dulu dalam kantongnya, untuk meyakinkan bahwa benda itu tidak ketinggalan.
Dari atas dinding, dilihatnya di halaman tengah penginapan itu sedang terjadi pertempuran sengit di bawah hujan lebat.
Belasan orang berseragam perguruan Hoa-san- pai tengah mengeroyok tiga orang tua bertangan kosong, namun pihak Hoa-san-pai terdesak hebat, beberapa orang dari mereka sudah terkapar diam, entah luka entah mati.
Pantas kalau orang Hoa-san-pai itu menderita kerusakan hebat, sebab salah satu dari tiga kakek itu oleh Liu Jing-yang dikenali sebagai Jiat-jiu Lokoai Ou Heng, paman guru dari Lo-san Su-koai yang saat itu sudah mati semuanya.
Dua kakek lainnya juga hebat sekali silatnya, sejajar dengan Ou Heng.
Yang seorang bertubuh pendek kecil, tapi jenggot putihnya begitu panjang hingga menyapu lantai.
Dialah Hin-heng Lojin, juga salah satu jagoan kelas satu Hek-eng-po.
Satu lagi seorang kakek berdandan seperti Tojin, tampangnya tidak istimewa sedikitpun kecuali hidungnya yang merah seperti tomat.
Dia adalah Ang-pit Tojin.
Karena itu, percuma sajalah orang Hoa-san-pai melawan gembong bertangan maut tersebut.
Dengan garang ketiga iblis itu merampas pedang dan menusukkan atau membabatkan kepada pemiliknya masing, mecakar wajah sehingga hidung dan sepasang mata copot, mematahkan tangan atau siku, membuat orang Hoa-san-pai kocar-kacir.
Namun pihak Hoa-san-pai terus melawan dengan gigih kendatipun banyak korban jatuh di pihak mereka.
Saat itulah Liu Jing-yang memutuskan untuk turun tangan membantu pihak Jiat-jiu Lokoai, sebagai salah satu tindakan untuk merintis hubungan dengan Hek-eng Pocu.
Lebih dulu kalung berlambang Hek-eng-po itu dipakai di lehernya agar mudah terlihat.
Setelah itu, bagaikan seekor macan tutul melompat dari dahan pohon, dia melompat dari dinding halaman dan langsung menelan korban seorang murid Hoa-san-pai yang tak berdaya ketika lehernya dicakar dengan buas.
Sejak merampas gulungan kulit dari tangan Liu Tek-san dan mempelajarinya biarpun secara ngawur, memang Liu Jing-yang dapat mempelajari beberapa jurus baru yang hebat dan ganas sekali.
Selama menjadi murid Sebun Him dan kemudian menjadi menantunya, ia secara diam juga sering mempelajarinya sebab merasa suatu waktu akan berguna.
Ia merasa sayang kalau menuruti anjuran mertuanya agar jangan lagi mempelajari jurus itu, sebab toh jurus itu pernah mampu membunuh Gip-hiat-koai (siluman penghisap darah) Pek Hong-teng, orang keempat dari Lo-san Sukoai.
Kedatangan orang baru yang langsung menelan korban itupun mengejutkan kedua belah pihak, seorang gelandangan muda bermuka dekil yang memiliki jurus yang buas.
Pihak Hoa-san-pai langsung saja memperlakukannya sebagai musuh, sedang pihak Jiat-jiu Lokoai dan kawannya menganggap sebagai bala bantuan bagi pihaknya, entah dari mana.
Tetapi alis Jiat-jiu Lokoai sedikit berkerut ketika ia merasa lupa ingat akan jurus yang diperlihatkan si gelandangan muda itu.
Tiga jago tua Hek-eng-po telah cukup merepotkan, kini ditambah si gelandangan muda, membuat pihak Hoa-san-pai semakin berantakan, tak peduli mereka melawan dengan gigih.
Dua orang jidatnya terpukul pecah oleh sepasang tangan Jiat-jiu Lokoai, seorang lehernya ditekuk patah oleh Hin-heng Lojin, seorang lagi dibanting mampus oleh Ang-pit Tojin, dan tak mau ketinggalan Liu Jing-yang berhasil menggigit bocor tenggorokan seorang lagi.
dalam gebrakan yang berlangsung secepat kilat itu orang Hoa-san-pai susut tinggal empat orang lagi saja.
Yang empat orang itupun dalam sekejap lagi akan menjadi nol.
Hanya saja, kepunahan mereka tercegah ketika dari bagian depan penginapan itu menyerbu masuk serombongan orang bersenjata.
Mereka beraneka ragam.
Ada pendeta, ada imam, ada orang biasa.
Bahkan juga dari kelompok yang selama ini bertentangan antara memusuhi dan membela He-liong-pang karena tuduhan Tong Lam-hou adalah Hek-eng Pocu.
Mereka kelompok yang biasanya berselisih pendapat, kini menggabungkan kekuatan melawan orang Hek-eng-po yang sedang membantai pihak Hoa-san-pai.
Menghadapi musuh yang mengalir datang dan berjumlah banyak itu, mau tidak mau Jiat-jiu Lokoai dan temannya harus membuat pertimbangan tersendiri.
Apalagi kalau jumlah itu nanti ber-tambah, tentu semakin merepotkan.
Juga kalau Sebun Him yang ditakuti Hek-eng-po itu muncul, sebab dalam pikiran Jiat-jiu Lokoai dan temannya, Sebun Him hanya dapat ditandingi oleh Hek- eng Pocu yang tidak keruan saat munculnya.
Karena itulah, Ou Heng alias Jiat-jiu Lokoai segera berseru kepada kawannya.
"Cukup!"
Memang cukup.
Kalau pihak musuh sudah kehilangan tiga belas orang yang bergelimpangan mampus atau sembilanpuluh empat persen mampus, memangnya belum cukup? Dengan ganas Jiat-jiu Lokoai ber-turut melancarkan gelombang serangan ke segala penjuru untuk mengendorkan tekanan musuh, lalu tubuhnya mengapung melewati kepala musuhnya dan hinggap di dinding halaman seperti seekor burung saja.
Dua temannyapun segera kabur, namun mereka tidak lupa membawa Liu Jing-yang yang dikira teman mereka.
Hin-heng Lojin yang pendek kecil berjenggot panjang itu memegang lengan kanan Liu Jing-yang, sementara si imam Hidung Merah memegang lengan kirinya.
Dengan gerakan seringan Jiat-jiu Lokoai tadi, merekapun menghilang di tengah gelapnya malam yang bertirai air hujan yang begitu rapat.
Lawan mereka, terutama pihak Hoa- san-pai yang kehilangan terlalu banyak, mengejar dengan bernafsu, diikuti jagoan dari perguruan lain yang bahkan selama ini gigih membela Hwe-liong-pang dari tuduhan celaka tersebut.
Senjata lontar seperti belati terbang, pelor besi, bintang besi tajam dan sebagainya segera berhamburan ke arah kaburnya Jiat-jiu Lokoai berempat.
Namun dalam terpan butir air yang kencang tercurah dari angkasa, maka lontaran sejata rahasia jadi berkurang kekuatannya dan benda itu hanya berjatuhan di atas genteng.
Ketika pendekar berbagai golongan dan pendapat itu berkumpul kembali setelah merawat orang Hoa-san-pai yang sekiranya masih bisa ditolong, maka merekapun berkumpul di ruangan tengah penginapan itu untuk mulai berunding.
Perundingan belum mulai, tahu seorang imam Hoa-san-pai yang berjubah abu telah menggebrak meja dan berteriak.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang semakin kuatlah kecurigaan kita terhadap durjana Tong Lam-hou itu! Percuma dia coba menyangkal semua tuduhan matian, tapi kenyataannya bagaimana? Begitu kami berada di wilayah Se-cuan yang katanya menjadi wilayah pengaruh Hwe-liong-pang, begitu iblis Hek-eng-po muncul mengganas! Tidakkah ini membuktikan bahwa Hwe-liong- pang dan Hek-eng-po sebenarnya hanyalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama? Berbeda gambar dan tulisan, tapi sama saja!" *Oz* Bersambung ke
Jilid 36 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 36 Begitulah, pihak Hoa-san-pai mengawali pembicaraan dengan menyulut sumbu yang membuat suasana jadi panas, karena banyak pendekar yang mendukung perkataan imam jubah abu itu.
Tapi suasana ribut itu menjadi reda ketika seseorang berdiri dari kursinya, dan terlihatlah seorang imam yang tubuhnya jangkung sekali dan kulitnya hitam legam.
Pakaian maupun pedang yang dibawanya membawakan ciri perguruan Khong-tong-pai.
Orang hanya mengenalnya sebagai Tiat-kut Tojin, si imam bertulang besi, entah siapa nama aslinya jarang orang yang tahu.
"Seng-kim Toyu (teman seagama, Seng-kim),"
Begitu si tulang besi ini mengawali pembicaraannya dengan mengangguk hormat kepada imam Hoa-san-pai yang menyulut sumbu ledakan kemarahan tadi.
Suaranya justru kebalikan dari suara Seng-kim Tojin yang ber-api tadi, yang ini dingin tetapi mantap, seperti seember air yang memadamkan api yang berkobar.
"Bukan cuma Seng-kim Toyu yang aku pinta berpikir dengan kepala dingin, tapi juga saudara semuanya, agar tidak sampai mengambil sikap keliru dalam persoalan ini. Coba pikir, dalam menghadapi tuduhan sebagai Hek-eng Pocu, bagaimanakah sikap Hwe-liong Pangcu Tong Lam-hou?"
"Jelas dia menyangkal habisan!"
Sahut Seng-kim Tojin mendahului lainnya.
"...... dan ingin tetap bersembunyi di balik kedoknya yang manis tetapi menyimpan kebusukan!"
Sambung seorang pendeta Ngo- bi-pai yang tubuhnya penuh bulu, ia tidak lain adalah Gong-sim Hweshio yang pernah bertempur dengan Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng dulu.
Seketika itu orang yang bersimpati kepada Hwe-liong-pang telah bangkit hendak mendebat, di antaranya adalah orang perguruan Jing-sia-pai, Khong-tong-pai, dan Tiam-jong-pai dari Hum-lam.
Tapi sebelum perang caci-maki berkobar kembali, Tiat-kut Tojin cepat mengibaskan tangannya sambil berseru.
"Harap semuanya tenang! Dengarkan pertimbanganku!"
Betapapun dada bergolak, tapi semuanya menahan diri untuk mendengarkan perkataan si Imam Tulang Besi lebih lanjut.
"Coba pikir, saudara. Di satu pihak Hwe-liong Pangcu menyangkal dirinya adalah Hek-eng Pocu, di lain pihak ada kejadian seperti malam ini, kejadian yang mempertebal kecurigaan dan memperkuat tuduhan ke arahnya. Mungkinkah ini masuk akal? Mungkinkah Hwe-liong Pangcu berbuat sebodoh ini?"
Seketika semuanya bungkam. Orang Hoa-san-pai yang getol menuding Hwe-liong Pangcu itupun jadi bungkam. Yang terdengar adalah suara si imam Khong-tong-pai.
"Karena itu, biarpun kita semua sedang menuju Tiau-im-hong, tapi saudara harap menahan diri. Si maha durjana Hek-eng Pocu belum bisa dipastikan sekarang siapa sebenarnya dia, keparat itu masih bersembunyi dengan rapi, dan kita jangan sampai saling cakar hanya karena menuruti dugaan sendiri."
"Pendapat yang bijaksana,"
Sebuah suara menyambut perkataan Tiat-kut Tojin.
Ketika semua orang menoleh ke asal suara itu, ternyata adalah Ci-hian Hweshio dari Siau-lim- pai.
Selama ini Siau-lim-pai memang bersikap netral dalam pertikaian yang memanas itu, tapi bukan berarti tinggal diam.
Kata Ci-hian Hweshio lagi.
"
Baik Sebun Taihiap yang menuduh, maupun Hwe-liong Pangcu yang dituduh, merupakan sahabat baik sesepuh kami, Pun-bu Hweshio.
Beliau bertiga setahun sekali bertemu di Siong-san untuk main catur, membahas ilmu silat, membicarakan banyak kejadian, dan sebagainya.
Dalam pertikaian ini, pihak kami tidak mau mempercayai salah satu pihak saja.
Kami sedang menyebar orang untuk menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya, tunggulah saja sampai di Tiau-im-hong nanti, siapa yang bersalah akan menjadi musuh kita bersama!"
Ucapan yang beralasan itu mendapat banyak dukungan dan pihak Hoa-san-pai tidak dapat lagi bersikeras dengan pendapatnya.
Seng-kim Tojin sadar, kalau pihaknya bersikeras malah akan kelihatan keras kepala dan kehilangan simpati.
Memang Hoa-san-pai dan Siau-lim-pai sama dianggap sebagai dua dari Tujuh Pilar Dunia Persilatan, namun Siau- lim-pai lah yang terbesar kekuatan dan pengaruhnya.
Sedang Hoa-san-pai hanya "menggelegar"
Di wilayah Siam-sai saja.
Dengan demikian, terlepas apakah dalam hati masing semua orang setuju atau tidak terhadap kesepakatan itu, se-tidaknya di mulut mereka semuanya menyatakan akan menunggu hasil penyelidikan orang Siau-lim- pai sambil menahan diri.
*Oz* BAGIAN EMPAT PULUH DUA Di bawah guyuran air hujan yang bagaikan peluru air yang memedihkan kulit, menembus malam yang hitam pekat tanpa setitik cahayapun, Liu Jing-yang diseret Hin- heng Lojin dan Ang-pit Tojin terus ber-lari sampai keluar kota Long-tiong.
Jiat-jiu Lokoai berada di depan.
Tiba di tempat yang dirasakan aman dari para pendekar yang sedang marah itu, mereka berhenti, berteduh di bawah sebatang pohon, mereka meng-usap muka mereka yang basah oleh air hujan.
Kemudian tiga iblis Hek-eng-po itu sama menatapkan mata mereka yang tajam ke arah Liu Jing-yang, membuat anak muda itu bergidik seram.
Diam ia berharap agar Jiat-jiu Lokoai tidak mengenalinya sebagai "si gelandangan gila"
Yang pernah membunuh keponakan muridnya, Gip-hiat-koai Pek Hong- teng, ataupun mengenalinya sebagai menantu keluarga Sebun. Liu Jing-yang hanya akan "buka kartu"
Kalau sudah di hadapan Hek-eng Pocu sendiri, untuk merundingkan tawar-menawar kerja sama melenyapkan Sebun Him, mertuanya sendiri.
Syukurlah, agaknya Jiat-jiu Lokoai tidak mengenalnya, bukan saja karena malam terlalu gelap, tapi juga karena tampang Liu Jing-yang tidak lagi sama dengan beberapa bulan yang lalu ketika sebagai "gelandangan gila", sekarang ia agak gemuk karena hidup makmur cukup lama di tengah keluarga Sebun.
Sebab, mana bisa menantu Sebun Him sedekil itu, dan membantu pihak Hek-eng-po yang merupakan "
Musuh keluarga Sebun"? Yang ditanyakan Jiat-jiu Lokoai kemudian ialah.
"Kau juga anggota benteng kita?"
Kebat-kebit juga hati Liu Jing-yang me- milih jawaban untuk pertanyaan itu. Kalau dijawab "Ya", ia kuatir pertanyaan yang lain akan semakin menyulitkan. Akhirnya iapun menjawab.
"
Bukan.Tetapi aku membawa pesan dari seorang sahabatku untuk disampaikan kepada Hek-eng Pocu sendiri. Dia juga menyerahkan kalung tanda anggotanya kepadaku...."
"Siapa namamu? Siapa nama temanmu yang menjadi anggota kami? Pesan apa yang harus disampaikan kepada Pocu?"
Ang-pit Tojin memberondongkan pertanyaan.
Liu Jing-yang sadar, kalau dirinya kelihatan gugup dan ketakutan maka tentu akan lebih ditekan oleh ketiga iblis itu dengan pertanyaan yang menyudutkan, seperi maling jemuran diadili orang kampung.
Karena itu, ia justru berlagak garang meskipun hatinya ketakutan.
"Kalian tidak bisa memaksa aku untuk menjawab pertanyaan itu. Aku hanya akan menjawab di hadapan Hek-eng Pocu sendiri."
"Bocah edan, jangan harap karena tadi kau membantu kami lalu kau boleh bersikap semacam ini terhadap kami!"
Geram Hin-heng Lojin marah.
"Bantuanmu tadi tak berharga sama sekali! Hayo, jawab pertanyaan tadi, se- tidaknya dua pertanyaan pertama. Soal pesan He-eng Pocu tidak usah kau katakan kepada kami juga tidak apa....."
Nyata, biarpun suara si kakek pendek kecil ini cukup garang namun sudah sedikit termakan gertakan Liu Jing-yang.
Betapapun juga, Hinheng Lojin tidak berani cari penyakit dengan jalan me-ngorek pesan rahasia yang seharusnya didengar oleh Hek-eng Pocu sendiri.
"Tidak,"
Liu Jing-yang bersikeras.
"Kalian bunuh akupun aku tidak akan membuka rahasia itu....."
"Kau bandel sekali, tidakkah kau sadari bahwa kami dapat membunuhmu segampang memijit semut?"
Jiat-jiu Lokoai sudah mengangkat tangannya untuk me-nakuti.
"Atau barangkali kau adalah musuh Hek-eng- po yang sengaja hendak menyusup ke dalam kelompok kami dengan cara tolol ini?"
Mengharapkan hasil yang besar harus berani nekad mempertaruhkan nyawa, pikir Liu Jing-yang. Diapun menjawab, bahkan disertai tertawa dingin segala.
"Hem, aku percaya kalian dapat membunuhku dengan gampang, tapi pesan rahasia untuk Pocu itu akan terkubur bersama mayatku. Padahal pesan itu sangat penting untuk diketahui Pocu kalian. Menyangkut mati-hidupnya seorang musuh besar Hek-eng-po, berarti menyangkut jaya atau bangkrutnya Hek-eng-po di kemudian hari!"
Tiga iblis Hek-eng-po itu bertukar pandangan dengan bimbang. Saat itulah tiba di udara malam yang gelap berkumandang suara tajam tanpa arah, ber-gulung seperti suara hantu dari bawah tanah kuburan.
"Kalian bertiga, biarkan bocah ini menyampaikan pesan untukku!"
"Pocu, kami menyampaikan hormat!"
Seru ketiga iblis itu berbareng ketika mengenali suara itu. Liu Jing-yang juga ikutan berseru.
"Akupun menyampaikan hormat, Hek-eng Pocu!"
Sedang dalam hatinya ia bersorak kegirangan.
"Nah, Tong Lam-hou, akhirnya kau muncul juga. Kau tentu akan melonjak kegirangan mendengar tawaran kerja sama dariku........"
Entah dari mana datangnya, beberapa langkah dari mereka telah berdiri sesosok bayangan hitam bersandar pohon.
Selain malam yang gelap, juga air hujan begitu rapat sehingga membentuk semacam tirai air yang menghalangi pandangan mereka, sehingga wujud Hek-eng Pocu itu nampak kabur sekali.
Tapi tak seorangpun punya nyali untuk meragukan keaslian Hek-eng Pocu itu, suaranya yang bergulung dalam perut seperti suara dari dunia lain itu adalah ciri khas yang meyakinkan.
Liu Jing-yang yang belum pernah menemuinyapun merasa yakin.
Terdengar lagi suara Hek-eng Pocu.
"Ou Heng bertiga, bagaimana kerja kalian di Liong- tiong?"
"Agak meleset dari sasaran, Pocu,"
Sahut Jiat-jiu Lokoai.
"Kita mengharapkan perpecahan di antara mereka sehingga mereka baku hantam dengan kalap, tapi nyatanya mereka malah bergabung menghadapi kita. Sebaiknya....."
"Sudah!"
Hek-eng Pocu mencegah Jiat- jiu Lokoai menyerocos lebih jauh karena di situ ada Liu Jing-yang, orang luar yang tidak boleh ikut mengetahui semua rencana Hek-eng-po.
"Kalian bertiga menjauh limapuluh langkah, aku ingin mendengar pesan rahasia yang katanya dibawa bocah ini!"
"Baik,"
Jiat-jiu Lokoai, Hin-heng Lojin, dan Ang-pit Tojin menjawab serempak, dan serempak pula mereka menggerutu dalam hati, sebab "menjauh limapuluh langkah sama saja dengan harus ber-hujanan di malam dingin itu.
tetapi mereka tak berani membantah perintah.
Setelah ketiga orang itu menjauh, Hek- eng Pocu berkata.
"Nah, sekarang boleh kau katakan pesan rahasia itu."
Dengan jantung berdegup keras, Liu Jing-yang mulai dengan permainannya yang berbahaya.
"Pocu, aku mohon Pocu jangan berprasangka buruk terhadapku, sebenarnya aku adalah Liu....."
"Kau Liu Jing-yang, menantu keluarga Sebun dari Se-shia,"
Potong Hek-eng Pocu cepat, mengejutkan Liu Jing-yang.
"Sejak kau masuk propinsi Se-cuan, aku sudah tahu siapa kau......"
"Tentu saja Pocu tahu, Se-cuan ini memang wilayah pengaruhnya dan banyak orangnya,"
Pikir Liu Jing-yang.
"Tapi baiklah aku pura belum tahu siapa dia, supaya nyawaku aman dalam tubuhku...."
"Pocu,"
Kata Liu Jing-yang kemudian.
"Sebenarnya..... sebenarnya ucapanku tentang pesan rahasia tadi hanyalah untuk memaksa ketiga Locianpwe tadi membawaku menemui Pocu, bukannya sungguh...."
"Aku juga sudah tahu itu,"
Terdengar dengus dingin dari balik tirai air hujan.
"entah kenapa, kau ketakutan pada mertuamu sendiri dan kabur dari rumahnya. Lalu sekarang mau apa mencariku?"
"Aku tidak akan bicara ber-tele, Pocu. Kita kerja sama untuk melenyapkan Sebun Him, mertuaku itu, dari muka bumi. Kalau dia mati dan kekayaan jatuh ke tanganku, maka kita bisa membaginya dua dan itupun cukup untuk hidup kelimpahan tujuh turunan...."
Pikir Liu Jing-yang, bicara dengan serigala harus pakai bahasa serigala pula. Langsung menyebutkan maksudnya tanpa ber- belit lagi, kalau ber-belit maka si "serigala malah akan curiga dan menggigitnya.
"Hem, bagus juga akalmu, aku jadi tertarik,"
Terdengar suara Hek-eng Pocu lagi, namun kali ini suaranya agak bergetar entah karena apa, yang terang bukan karena kedinginan.
"Coba sebutkan secara lengkap, biar aku mendengar semuanya."
"Begini rencanaku, Pocu. Saat ini mertua keparatku Sebun Him sedang dalam perjalanan ke Tiau-im-hong, memimpin para pendekar untuk menggempur Po....eh, Hwe- liong Pangcu. Nah, rumahnya tentu dalam keadaan kosong sekarang, paling hanyalah dijaga si jelek kurus Ho Kian serta si otak kerbau Liu Beng. Ada lagi ibu mertuaku yang tidak bisa silat, untuk membawa tubuhnya yang berat itu berjalan saja susahnya bukan main. Dan isteriku yang sedang mengandung tua sehingga tidak bisa bertempur. Nah, kita bantai Ho Kian dan Liu Beng, kalau perlu juga isteri Sebun Him sekalian. Lalu aku akan pura menyusul Sebun Him sambil menangis dan mengabarkan bencana di rumahnya, saat itulah pikiran Sebun Him tentu kacau. Dalam keadaan seperti itu, gampang sekali Pocu membunuhnya!"
Gigi Hek-eng Pocu gemerutuk mendengar rencana keji Liu Jing-yang tersebut, namun suara gemerutuk itu tertutup suara hujan yang sangat lebat sehingga Liu Jing-yang masih saja belum menyadari bahaya, menganggap Hek-eng Pocu pasti siap bekerja sama dengannya.
"Heh-heh-heh.... rencana yang hebat, anak muda....."
"Apakah Pocu siap bekerja sama denganku?"
"Tentu saja, anak muda. Tapi kerja sama yang saling menguntungkan harus dilandasi keterbukaan dari kedua pihak. Aku harus tahu apa alasanmu berbuat begitu terhadap keluarga Sebun. Bukankah keluarga Sebun yang menolongmu ketika kau dalam keadaan bergelandangan setengah gila, ketika kau tersesat dalam mempelajari ilmu dalam gulungan kulit itu? kau juga diberi tempat berteduh, bahkan dijadikan menantunya, kenapa kau membalas kebaikannya sedemikian rupa?"
Tujuan akhir belum tercapai, tapi Liu Jing-yang sudah mabuk kemenangan.
Membayangkan Hek-eng Pocu bersedia bekerja sama dengannya, lalu dia kan menjadi ahli waris kekayaan keluarga Sebun yang entah seratus atau duaratus kali lipat kekayaan keluarga Liu di Liu-keh-chung dulu, kekayaan yang dikembangkan bermodal harta menda hasil rampokan kakeknya, Liu Hok-tong.
Karena mabuk kemenangan itulah maka Liu Jing-yang begitu bersemangat kehingga kurang kewaspadaannya, meskipun ia selalu menganggap dirinya pintar dan tak akan pernah berbuat kekeliruan.
"Pocu, tentang alasannya aku berbuat demikian, aku sebenarnya hanya belajar dari Pocu saja. Seorang lelaki yang ber-cita tinggi kenapa harus cengeng dengan memilih cara apa yang akan digunakan mencapai citanya? He-he-he, cara apapun adalah halal. Bukankah demikian pula yang Pocu lakukan dulu terhadap Liu-keh-chung hanya demi merampas gulungan kulit? Begitu pula, citaku tinggi, Pocu. Aku laki muda yang masa depannya masih panjang, apakah harus terus-menerus hidup di bawah ketiak keluarga Sebun?"
"Hem, benar anak muda yang berambisi!"
Dengus Hek-eng Pocu.
"Jadi sudah bulat tekadmu untuk melenyapkan Sebun Him? Sebun Giok juga tidak ingin kau sembelih sekalian bersama bayi dalam kandungannya?"
Mengira dirinya sedang dipuji oleh ek- eng Pocu, Liu Jing-yang semakin lupa daratan.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah bulat tekadku, Pocu. Kalau perlu, begitu kita berhasil, aku akan menjadi anggota Hwe..... eh, Hek-eng-po, sehingga semakin jayalah kita bersama di rimba persilatan!"
"Tetapi tentang teka-teki peristiwa di Ban-siong-tin itu, aku masih gelap..."
"Maksud Pocu, tentang matinya Sebun Hiong? Ha-ha..... untuk soal ini agaknya Pocu harus berterima kasih kepadaku. Gara matinya Sebun Hiong inilah maka si keparat Sebun Him itu bergerak ke Tiau-im-hong diikuti orang tolol lainnya se-olah menyerahkan leher ke bawah pedang Pocu. Bukankah ini sangat menguntungkan Pocu? Perisitwa di Ban- siong-tin itu.....?"
"Kau yang membunuh Sebun Hiong? Bagaimana caranya?"
Di lingkungan penjudi, jangan membanggakan kefasihan ajaran agama, pikir Liu Jing-yang. Di hadapan Hek-eng Pocu, tidak ada gunanya memperagakan kebajikan, malah akan dianggap orang lemah, maka Liu Jing- yang pun menjawab.
"Benar, Pocu. Aku tikam punggungnya dari belakang, ha-ha-ha.... sampai detik inipun mertuaku masih bingung, siapa yang membunuh anaknya?"
"Sekarang sudah tidak bingung lagi!!!"
Tiba Hek-eng Pocu membentak menggelegar, melebihi guntur di langit, lalu per-lahan melangkah mendekati Liu Jing-yang.
Hujan sudah mereda sehingga suasana tidak sepekat tadi, kini Liu Jing-yang dan Hek- eng Pocu sudah dapat saling melihat dalam jarak belasan langkah.
Bentakan menggelegar Hek-eng Pocu tadi mengejutkan Liu Jing-yang, kenapa si calon sekutu itu mendadak semarah itu? apakah harga yang ditawarkan terlalu tinggi? Namun ketika ia melihat potongan tubuh Hek-eng Pocu yang terbungkus jubah dan kerudung kepala serba hitam, melihat pula langkah kakinya yang seperti seekor beruang marah, dan tatapan mata yang dingin penuh ancaman, tiba Liu Jing-yang menggigil.
Ia bernaluri bahwa ia telah melakukan suatu kekeliruan langkah.
Kekeliruan besar! Tapi entahkah ia punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruannya? Dengan hati yang mengerut kecil, dia melangkah mundur dengan gemetar......
"Liu Jing-yang, tidak inginkah kau melihat wajahku yang sebenarnya?"
Suara Hek-eng Pocu masih saja ber-gulung dalam perut.
Selama ber-tahun bersembunyi di balik kedok hitamnya, rupanya Hek-eng Pocu bahkan menyembunyikan suaranya agar tidak dikenali orang, dengan menggunakan Hok-khi- sut (bicara dengan perut tanpa menggerakkan bibir).
Sahut Liu Jing-yang ketakutan.
"Tidak..... tidak.... kalau Pocu merasa perlu tetap menyembunyikan wajah Pocu, aku tidak berani mohon melihat wajah Pocu...."
"Tapi malam ini kau harus melihat siapa aku! Harus!"
Lalu durjana yang menggemparkan dunia persilatan itu merenggut lepas kedoknya sendiri.
"Lihat baik siapa aku, Liu Jing-yang!"
Lemaslah kedua lutut Liu Jing-yang sehingga ia jatuh berlutut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak ketakutan. Bibirnya ber- gerak meluncurkan kata yang tak keruan lagi susunannya.
"Gakhu...... a...aku memang.... bersa... lah..... harap ingat....bayi da....lam... pe...rut Sebun......"
"Kau harus mampus, pergilah ke neraka dengan dendam Liu-keh-chungmu itu!"
Bentak Sebun Him.
Detik di pinggir maut yang tak mungkin lagi dihindari tiba memberikan kekuatan terakhir kepada Liu Jing-yang untuk coba meloloskan nyawanya dari lubang jarum.
Tiba ia melompat bangun dan berlari seperti dikejar setan ke arah kota Long-tiong sambil ber-teriak kalap.
"Hek-eng Pocu adalah Sebun Him! He, dengarlah semuanya! Hek-eng Pocu adalah Sebun Him! Hek-eng Pocu ada......."
Si menantu celaka itu belum berlari mencapai empat puluh langkah, ketika Sebun Him berkelebat seperti hantu dan mencengkeramkan sepasang tangannya ke pundak Liu Jing-yang.
Sepasang tangan yang berkekuatan seperti lima beruang dijadikan satu itu kemudian menyentak lebar ke kiri-kanan, membuat tubuh Liu Jing-yang robek seperti ditarik oleh dua ekor kuda yang berlari ke arah berlawanan.
Demikian akhir hidupnya.
Sesaat Hek-eng Pocu alias Sebun Him menengadah ke langit, air matanya bercucuran bercampur air hujan, sambil mendesis.
"Kini aku tidak punya anak laki ataupun menantu laki lagi. Agaknya keluarga Sebun akan terputus hanya sampai kepada diriku...."
Tapi tiba ia ingat Liu Beng, pemuda itupun anaknya meskipun anak di luar perkawinan. Ia masih mempunyai seorang anak lelaki, semangatnya bangkit kembali.
"Hem, aku tetap akan meneruskan meraih citaku, kejayaan masa depan akan aku wariskan kepada darah dagingku......"
Cepat kedoknya dipakai kembali, dan ia melesat ke arah Jiat-jiu Lokoai bertiga menunggu.
Ketiga gembong Hek-eng-po itu menunggu dalam jarak lima puluh langkah dari tempat percakapan.
Dalam jarak sejauh itu, mereka tidak bisa mendengar percakapan Hek- eng Pocu dan Liu Jing-yang.
Bukan saja karena percakapan dilakukan dengan lirih, namun juga karena suara air hujan yang keras.
Tetapi teriakan menjelang ajal Liu Jing-yang tadi.
"Hek-eng Pocu adalah Sebun Him", hanyalah orang tuli yang tidak mendengar teriakan sekeras itu dalam jarak lima puluh langkah. Ketiga gembong Hek-eng-po itupun bertukar pandangan dengan heran dan kaget.
"Sudah aku curigai sejak peristiwa di Liong-coan,"
Desis Jiat-jiu Lokoai.
"Waktu itu janggal sekali bahwa Sebun Him dan Hek-eng Pocu yang gembar-gembor saling menantang itu ternyata tidak bertemu satu kalipun, meskipun sama ada di Liong-coan beberapa hari. Kalau yang satu muncul, yang lain menghilang, begitu seterusnya...."
Ang-pit Tojin membenarkan.
"Kalau aku, malah sejak Pocu mengeluarkan perintah agar kita tidak mengganggu-gugat keluarga Sebun seujung rambutpun, aku sudah merasa janggal. Katanya membenci, kenapa malah melarang menyerang orang keluarga Sebun? Kini teka-teki itu terpecahkan oleh teriakan tadi......"
Hin-heng Lojin, si kakek pendek kecil yang biasanya amat buas dan jahat itu kini nampak ketakutan, suaranya setengah tertelan.
"Kita bertiga sudah mendengar rahasia ini, bagaimana baiknya sekarang?"
"Kalau nanti Pocu temui kia, kita harus bersikap biasa, pura tidak mendengar apa tadi. Tapi kalau Pocu bertekad melenyapkan kita karena sudah mendengar rahasianya, ya terpaksa kita pertahankan nyawa kita. Kita satu persatu bukan tandingan Pocu, tapi kalau gabung bertiga masih ada harapan....."
"Ssst, dia......."
Memang bayangan Hek-eng Pocu telah berkelebat datang secepat angin, dan berdiri di hadapan ketiga orang itu, lengkap dengan kain penutup wajah yang hanya berlubang dua di bagian mata.
"Apakah sejak tadi kalian berada di sini sesuai dengan perintahku?"
Tanya Hek-eng Pocu.
"Benar, Pocu. Mana berani kami bergeser sejengkalpun kalau Pocu memerintahkan kami menunggu di sini?"
Kata Ang-pit Tojin sambil matian bersikap wajar.
"Pocu, kalau kami boleh tahu, kenapa tadi bocah itu ber-teriak tak keruan? Kami tidak mendengar apa yang dia teriakkan...."
Denga pura bertanya seperti itu, Ang- pit Tojin mengharapkan agar Hek-eng Pocu tidak mencurigai dia dan kedua rekannya. Tapi tekanan suara yang agak kentara pada kata "Kami tidak mendengar apa yang dia teriakkan"
Itu justru membuat curiga Hek-eng Pocu.
Si maha durjana itu tahu ketiga anak buahnya ini bukan orang tuli, apa benar tidak mendengar teriakan Liu Jing-yang yang begitu keras dari jarak lima puluh langkah? Namun Hek-eng Pocu pura tertawa ringan sambil berkata.
"Ah, bocah keparat itu hanya bermodal sedikit keterangan yang tidak berarti, juga nyali yang lumayan besar, mencoba memeras Hek-eng-po kita. Lalu aku sudah membereskannya. Sebelum mati, dia ber-teriak tak keruan karena takutnya. Hem, teriakan orang yang baru sekarat tak patut dipikir, bukankah begitu?"
Hek-eng Pocu berhenti sejenak untuk mengamati wajah tiga anak buahnya yang paling diandalkan tersebut, lalu melanjutkan.
"Tapi benarkah kalian tadi tidak mendengar jelas kata dalam teriakannya?"
Jiat-jiu Lokoai menjawab dengan tangkas.
"Dalam suara hujan yang begini keras, mana bisa kami mendengar jelas meskipun dia ber-teriak? Sayup kami cuma mendengar dia berteriak.
"Hek-eng Pocu, awas pembalasan Sebun Him", begitulah...."
Kalau bilang tidak mendengar sama sekali tentu mencurigakan, maka Jiat-jiu Lokoai sengaja mengaku mendengar, namun tidak tepat seperti arti kata yang sesungguhnya, bahkan bertolak-belakang artinya.
"Ha-ha.... orang tadi agaknya ingin me- nakuti Pocu dengan nama Sebun Him, ha- ha.... mana bisa Pocu di-takuti?"
Hin-heng Lojin berkata diselingi "ha-ha"
Segala, namun pada bagian "ha-ha"nya itu justru kedengaran agak gemetar.
"Pantas sekali kalau Pocu membunuhnya."
Demikian ketiga orang itu ber-sahutan, memberi kesan agar Hek-eng Pocu percaya bahwa mereka benar tidak mendengar teriakan Liu Jing-yang tadi.
Mereka pembunuh ulung, namun bukan pemain sandiwara yang baik.
Setiap kali seorang hendak bicara, ia harus lebih dulu melirik temannya, dan gaya bicara mereka yang canggung itu tak lepas semua dari pengamatan Hek-eng Pocu yang bermata tajam.
"mereka pasti sudah mendengar teriakan Jing-yang tadi, dan berusaha mengelabui aku,"
Geram Hek-eng Pocu dalam hati.
"Mereka harus mampus semua malam ini juga, tapi harus lebih dulu di-pisahkan satu sama lain sebab kalau mereka berkumpul bertiga agak sulit juga membasmi mereka...."
Demikianlah, meski dalam hati sudah bertekad membunuh habis tiga pembantunya sendiri, namun sikap Hek-eng Pocu di luarnya justru tidak menunjukkan apa. Se-olah percaya begitu saja penjelasan Jiat-jiu Lokoai dan kawannya tersebut.
"Ya, sudah, aku percaya kalian tidak mendengar apa, tapi mendengarpun tidak apa, toh cuma omongan ngawur dari seorang yang pikirannya kacau saking takutnya. Sekarang, aku punya perintah untuk kalian."
"Kami siap menjalankan perintah Pocu."
"Ou Heng, kau masuk kembali ke dalam kota Long-tiong untuk meng-amati bagaimana gerak-gerik musuh kita. Besok pagi laporkan kepadaku!"
"Baik!"
Sahut Jiat-jiu Lokoai dan terus beranjak pergi. Namun Ang-pit Tojin dan Hin- heng Lojin yang tidak diperintahpun segera ikut melangkah pula, mereka sudah bersepakat tadi, untuk tidak berpencar satu sama lain. Demi keamanan nyawa mereka.
"Eh, cukup Ou Heng saja, lainnya akan mendapat tugas berbeda dariku...."
Cegah Hek- eng Pocu.
"Pocu, eh.... begini...."
Jiat-jiu Lokoai tr-gagap mencari dalih.
"Kota Long-tiong itu dipenuhi begitu banyak musuh, malah sore tadi serombongan pendeta Siau-lim-si dan imam Bu-tong-pai juga sudah masuk kota. Kalau aku sendirian masuk kota tentu seperti seekor laron menerjang api."
Inilah hal luar biasa. Biasanya perintah Hek-eng Pocu langsung dijalankan tanpa banyak tanya lagi. tetapi kali ini ada yang berani mencari alasan melawan perintah.
"Kalian ini seperti anak kecil penakut yang melewati halaman yang ada anjing galaknya, harus selalu ber-gerombol ke manapun pergi,"
Dengus Hek-eng Pocu.
"Aku toh tidak menyuruh Ou Heng untuk menerjang mereka, hanya mengawasi musuh secara tersembunyi dan aman, masa perlu dikawani?"
Semakin Hek-eng pocu berusaha memisahkan mereka bertiga, semakin kuatirlah mereka. Kata Ang-pit Tojin.
"Pocu, harap maklumi alasan saudara Ou. Biar sembunyi bagaimanapun rapatnya, toh ada kemungkinan tercium jejaknya oleh musuh, dan itu artinya harus bertempur secara kekerasan....."
"Penakut! Dengar perintahku sekali lagi, hanya Ou Heng yang aku tugaskan masuk kota Long-tiong!"
Hek-eng Pocu tidak dapat lagi menyembunyikan kemurkaannya. Lanjutnya.
"Kalian mulai mencoba membangkang terhadapku?!"
Dalam keadaan terjepit, Jiat-jiu Lokoai sadar bahwa Hek-eng Pocu sudah mulai curiga.
Mereka bertiga pun penjahat yang sanggup berbuat kejam tidak tanggung hanya untuk sekedar menuruti selera membunuh mereka.
Apalagi kalau keselamatan mereka sendiri terancam.
Biarpun selama ini mereka takut kepada Hek-eng Pocu, tapi kali ini mereka akan nekad melawan, toh mereka bertiga.
Karena itu, ketika melihat Hek-eng Pocu melangkah mendekat, maka mereka bertiga pun melompat berpencaran dengan sikap siaga.
Itulah sama artinya mengajak bertempur.
Hek-eng Pocu terkejut.
"Apa maksud kalian ini??!"
Jiat-jiu Lokoai yang menjawab sambil tertawa dingin.
"Pocu, setelah menganggap kami tidak diperlukan lagi, apakah Pocu malam ini bermaksud menghabisi kami seperti menghabisi tiga keponakan muridku, Wan Po, Kongsun Gi, dan Hau It-yau, supaya mayat kami bertiga bisa diarak keliling kota Long- tiong untuk menunjukkan betapa saktinya Sebun Taihiap?"
"Atau kami dibunuh dan Pocu pura menangisi kami di hadapan anak buah kita? Seperti yang menimpa diri Bhe Un-liang di Liong-coan?"
Hin-heng Lojin menyambung.
"Apaan ucapan kalian yang simpang- siur ini?!"
Bentak Hek-eng Pocu.
"He, Ou Heng! Bukankah ketiga keponakan muridmu itu terbunuh oleh Sebun Him? Apa sangkut- pautnya denganku??!"
"Sangkut-pautnya sudah tentu sangat erat!"
Sahut Jiat-jiu Lokoai semakin nekad.
"Ketiga keponakan muridku itu Pocu suruh untuk menyerbu Liong-coan bagian selatan, dengan janji Pocu akan muncul kalau mereka terancam bahaya. Dan apa yang dialami mereka bertiga? Mereka langsung bertemu Sebun Him dan terbunuh semua, sedang Pocu yang katanya hendak muncul menolong ternyata tidak muncul sama sekali. Hem, alangkah penasaran arwah ketiga keponakan muridku itu. sampai mampus pun mereka tidak sadar Hek-eng Pocu adalah Sebun Him sendiri, dan Sebun Him juga Hek-eng Pocu!"
"Ou Heng! Bicaramu semakin gila!"
"Bukan semakin gila, tetapi justru semakin waras. Selama ini kami bertiga, juga Bhe Un-liang, Liu Beng dan entah siapa lagi, hanyalah boneka wayang di tanganmu. Dipertarungkan satu sama lain, dikalahkan, dimenangkan, malah yang sudah tidak berguna dimasukkan ke kotak alias disuruh mati. Semua diatur hanya agar kekayaan si dalang semakin bertambah, semakin dikagumi pula. Alangkah bodohnya kami saat itu, namun kini permainan itu sudah berakhir. Kami bukan lagi wayang boneka yang bisa dipermainkan seenaknya. Kini, dalangnya lah yang harus mampus!"
Hek-eng Pocu alias Sebun Him akhirnya sadar bahwa tiga orang bekas pembantu setianya itu tidak dapat dikendalikan lagi.
biarpun ia harus memeras tenaga dan memikul resiko terluka, mereka bertiga harus dibereskan.
Karena itulah ia tiba melompat ke arah Hin-heng Lojin yang diketahuinya paling lemah dari ketiganya.
Tangan dan kaki melakukan dua jurus serangan dahsyat sekaligus.
Tangan hendak merobek dada dengan Kim-pa-tam-jiau (macan tutul emas mengulur cakar), dibarengi gerakan kaki menyepak ke selangkangan dengan gerakan Hou-hou-hoan-sin (macan merunduk membalik tubuh).
Dengan maksud mengurangi jumlah lawan dengan serangan mendadak itu, maka Sebun Him telah langsung mengerahkan tenaga sakti Kun-goan-sin-kang sampai tarap tertinggi! Jiat-jiu Lokoai dan Ang-pit Tojin serempak bergerak pula untuk menolong temannya, tapi mereka tidak dapat menyeberangi jarak yang terbentang secepat gerakan Sebun Him.
Pada detik berbahaya itu, toh Hin-heng Lojin harus mengandalkan kemampuannya sendiri daripada mengharapkan pertolongan yang terlambat datangnya.
Tubuhnya kecil, menghadapi gempuran Sebun Him yang bertubuh raksasa, tapi dengan nekad ia malah melompat ke atas untuk melakukan jurus Kim- siam-hi-long (kodok emas bercanda di gelombang), tangannya mencoba menusuk mata Sebun Him.
Itu gerakan nekad, seakan si kakek pendek kecil itu siap hancur digulung gempuran Sebun Him asalkan dapat menusuk mata Si Hek-eng Pocu.
Perhitungannya, Sebun Him menguatirkan matanya dan akan mundur menarik serangan lebih dulu.
Tapi perhitungan ini meleset.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebun Him juga nekad, ingin membasmi orang yang sudah tahu rahasianya malam ini juga, tidak boleh menunggu sampai besok sehingga rahasianya terlanjur tersebar.
Ia hanya miringkan sedikit kepalanya sehingga jari Hin- heng Lojin yang tajam seperti pisau itu hanya menggores pipinya dan sekaligus membuat lepas kedok hitamnya.
Serangan pertolongan Jiat-jiu Lokoai dan Ang-pit Tojin bergelombang menderu dari kiri dan kanan, namun tak sempat menolong Hin-heng Lojin yang terpental sepuluh langkah dengan dad ringsek.
Rupanya karena tendangannya ke selangkangan luput gara Hin-heng Lojin melompat ke atas, maka Sebun Him dengan tangkas merubah gerak kakinya menjadi tendangan tinggi yang disebut Kan- seng-tui (tendangan memburu bintang), tumitnya mengenai dada Hin-heng Lojin sepenuh tenaga sehingga si kakek pendek kecil itupun mampuslah.
Untuk hasil itu, Sebun Him juga harus membayar agak mahal.
Tangan sakti Jiat-jiu Lokoai yang membuatnya digelari "Jiat-jiu (tangan maut) itu berhasil menerobos pertahanannya dan menghantam pinggangnya dari samping.
Bukan cuma menghantam, tapi si Tangan Maut Jiat-jiu Lokoai juga langsung mencengkeramkan jarinya yang kuat sehingga menembus kulit Sebun Him.
"Kau juga mampuslah!"
Bentak Sebun Him menggelegar.
Sambil memutar tubuh dan menggeser kaki untuk menghadapi Jiat-jiu Lokoai, tangan kiri turun menangkap tangan Jiat-jiu Lokoai yang belum sempat ditarik dari pinggangnya, dengan gerak Tin-jiau-kim-na (menurunkan sikut dan menangkap), sementara tangan kanan menghantam sekuat tenaga ke depan dengan tinju.
Jiat-jiu Lokoai sadar, kena tinju itu berarti berangkat ke akherat, namun untuk mundurpun tidak bisa karena tangan kanannya masih dicengkeram tangan kiri Sebun Him.
Maka ia menundukkan badan dan kepala se- rendahnya sambil menekuk dua kaki sehingga tinju Sebun Him luput.
Sekaligus Jiat-jiu Lokoai gunakan gerakan Ling-yo-kui-kak (kambing liar lepaskan tanduk) untuk menarik tangannya lepas dari cengkeraman Sebun Him.
Tapi pegangan Sebun Him atas tangannya sekokoh tangan besi yang sudah berkarat, usaha Jiat-jiu Lokoai tidak berhasil.
Saat itulah Sebun Him mengganti tinju kanannya dengan tebasan telapak tangan ke bawah.
Jiat-jiu Lokoai meraung keras ketika tulang lengannya remuk terhantam tebasan tangan Sebun Him.
Itulah detik mati dan hisup, biarpun rasa sakit menyusup sampai ke jantung, tapi Jiat-jiu Lokoai nekad menjatuhkan diri sambil menendang ke pusar Sebun Him.
Gerak itu dinamakan Bu-siang-toat-beng (setan jahat mencabut nyawa), arah tendangannya sebenarnya ke titik mematikan di bawah perut, tapi karena Jiat-jiu Lokoai tengah kesakitan maka gerakannya kurang terarah ke sasaran yang semestinya.
Malah karena gerakannya menyentak, maka bagian tulang yang patah itu ber-denyut hebat sampai membuatnya hampir pingsan.
Hanya kemauannya untuk tetap hidup sajalah yang membuat ia tetap sadar.
Tepat ketika datangnya tendangan Jiat- jiu Lokoai, Ang-pit Tojin juga sedang menubruk bagaikan burung elang.telapak tangan menghantam ubun Sebun Him dari atas, ujung jari kiri menusuk ke arah biji tenggorokan.
Sebun Him sedang menangkis serangan Ang-pit Tojin itu sehingga tendangan Jiat-jiu Lokoai yang cukup keras mengenai perutnya, membuat isi perutnya serasa berakrobat semuanya.
Tubuhnya memang cukup kuat terlindung Lweekang Kun-goan-sin- kang, namun karena yang menendang adalah orang sekaliber Jiat-jiu Lokoai, maka terasa mulas juga.
Sebun Him tersentak mundur sempoyongan, Ang-pit Tojin juga mencelat mundur dengan rusuk terasa nyeri dan darah menyembur dari mulut karena kena kibasan tangan Sebun Him.
Untung tidak telak, sehingga ia tidak perlu bernasib seperti Hin- heng Lojin yang kini tergeletak di bawah hujan seperti boneka kain gombal tak berharga.
Tapi begitu Ang-pit Tojin kena dipukul mundur, detik itu pula Jiat-jiu Lokoai yang menerjang maju, tak peduli lengan kanannya yang terkulai lumpuh tak berdaya dan nyerinya bukan kepalang.
Bahkan Ang-pit Tojin juga menyerbu kembali dengan garang.
Perkelahian itu adalah perkelahian antara orang kalap dan nekad.
Di satu pihak Jiat-jiu Lokoai dan Ang-pit Tojin ingin mempertaruhkan nyawa, di lain pihak ada Sebun Him yang matian akan menutup rahasianya dan nama baik yang disayanginya tak kurang dari nyawanya sendiri.
Maka serangan dari masing pihak amat longgar dalam segi pertahanan, tapi kuat dan berbahaya dari segi penyerangan.
Masing saling gempur dengan kemarahan dan kenekadan yang sama, dengan perhitungan yang sama pula.
biarpun diri sendiri babak- belur asalkan dapat mampuskan lawan, itu boleh dikata sudah mendapat kemenangan.
Sulit dipastikan pihak mana yang esok pagi akan beroleh kesempatan melihat matahari terbit.
Dalam waktu kurang dari duapuluh jurus, setiap orang sudah mendapatkan cedera berat disamping cedera ringan yang tak masuk hitungan.
Jiat-jiu Lokoai bukan hanya lengan kanannya terkulai remuk, tapi sebagian besar rambut kepalanya tercengkeram dan tercabut sehingga kulit kepalanya ikut sobek sebagian, sehingga kepalanya seperti dicelup darah yang terasa perih kena air hujan.
Ang-pit Tojin ber-kali menyemburkan darah dari mulut karena luka dalamnya, sebelah telinganya sudah hilang tercengkeram Sebun Him yang mulai menggunakan jurus ganas dari gulungan kulit kuno.
Sedang Sebun Him pun terus mengalirkan darah dari pinggangnya yang berlubang karena jari tangan Jiat-jiu Lokoai tadi, perut yang sakit kena tendangan Jiat-jiu Lokoai pula dan amat mengganggu geraknya.
Jempol tangan kanan juga sudah kena ditekuk patah oleh Ang-pit Tojin, lutut kanannya juga kena tendang begitu kerasnya sehingga ia harus melangkah dengan sulit.
Biar bagaimanapun, menghadapi dua orang bekas anak buahnya itu, Sebun Him mulai kewalahan juga.
Keduanya adalah iblis kaliber kakap di dunia persilatan, dan gabungan kekuatan maupun kenekadan mereka membuatnya sulit.
Suatu ketika, jari tangan Sebun Him yang sekuat pisau belati telah berhasil menikam dalam ke perut Ang-pit Tojin.
Insyaf bahwa kematian sudah menjemputnya, si imam hidung merah justru menubrukkan badannya dan memeluk Sebun Him kuat dan berteriak.
"Ou Heng! Tetaplah hidup dan sebarkan rahasia!"
Habis berkata demikian, ia buka mulutnya lebar dan hendak menggigit urat leher Sebun Him.
Sementara Jiat-jiu Lokoai dengan sempoyongan berlari meninggalkan tempat itu.
Sebun Him terperanjat, hebat akibatnya kalau Ou Heng sampai lolos dan menyebarkan rahasia itu.
Karena agak gugup, hampir saja gigi Ang-pit Tojin yang dihuni ber-juta kuman itu menancap di lehernya.
Tapi dengan mengerahkan tenaga, Sebun Him menghentakkan dua tangannya sekaligus untuk melepaskan pelukan Ang-pit Tojin.
Melepaskan dengan paksa, dengan cara me- matahkan lengan Ang-pit Tojin yang menjepit tubuhnya.
Kemudian dengan sebuah dorongan, ia robohkan tubuh Ang-pit Tojin yang terkulai lemah, sebab tidak ada lagi kehidupan di dalamnya.
Lalu Sebun Him sekuat tenaga mengejar ke arah larinya Jiat-jiu Lokoai tadi, namun dengan geram ia mengutuk cedera di persendian lututnya sendiri yang menghalanginya bergerak cepat.
Bahkan kemudian ia jatuh terduduk karena kesakitan.
Sebaliknya Jiat-jiu Lokoai boleh saja babak belur tubuhnya, tapi sepasang kakinya justru amat waras untuk digunakan berlari cepat.
Maka kaburlah ia menembus hujan dan gelap, semakin lama semakin jauh dari Sebun Him yang mengutuk tak habisnya.
"Sial benar!"
Gerutu Sebun Him kemudian.
"Kalau sampai hari terang dan aku diketemukan dalam pakaian hitam ini, biarpun punya seratus mulut dan seratus lidah juga sulit untuk menjelaskan kepada orang tolol yang selama ini berhasil kukelabui itu. Aku harus cepat kembali ke penginapan dan menyembunyikan pakaianku ini sebelum terlihat orang lain. Tentang lukaku, aku bisa mengarang cerita yang cukup beralasan untuk keledai itu.... Ah, keparat Liu Jing-yang, semua ini gara dirimu!"
Sambil berjalan ter-tatih ia kembali ke dalam kota Long-tiong.
Bahkan ia harus menempuh jarak yang lebih panjang sebab tidak mau melewati jalan besar atau setengah besar, takut berpapasan dengan orang yang mengenalnya dan itu berarti ia harus membunuh lagi untuk membungkam mulut orang tersebut.
Membunuhnya sih ia tidak keberatan, yang dikuatirkan justru kalau gagal membunuh dan korbannya sempat melarikan diri seperti Jiat-jiu Lokoai tadi.
"Keparat Ou Heng itu tentu akan segera menyebarkan rahasia yang diketahuinya,"
Gerutu Sebun Him lagi.
"Aku harus segera menemukan langkah tandingan untuk melawan berita yang disebarkan mulutnya. Jangan sampai semua orang berbalik menyerbu aku dan Tong Lam-hou selamat dari serbuan..."
Keesokan harinya, gemparlah kota Long-tiong ketika orang menemukan mayat Liu Jing-yang, Hin-heng Lojin dan Ang-pit Tojin di pinggiran kota.
Bersamaan dengan itu Sebu Him langsung menyebarkan cerita bahwa semalam ia telah bertempur melawan Jiat-jiu Lokoai bertiga dan bisa membunuh dua diantaranya, sedang dirinya sendiri mendapat luka.
Terutama orang Hoa-san-pai langsung saja mempercayai bualan itu.
Tentang mayat Liu Jing-yang, menantunya, Sebun Him menyatakan tidak tahu kalau semalam di tempat itu juga ada Liu Jing-yang.
Hanya saja, Liu Jing-yang terbunuh itu langsung saja ditimpakan kepada "Hek-eng Pocu Tong Lam-hou sebagai kambing hitam.
Meskipun Sebun Him berharap dalam hati agar mayat Liu Jing-yang sebaiknya dimakan anjing liar saja, namun di hadapan banyak pendekar di Long-tiong, sudah tentu Sebun Him tak berbuat demikian.
Ia pura menangis sedih, mengeluarkan biaya yang besar untuk mengurus mayat Liu Jing-yang dan menyalahkan kekejaman Hek-eng-po atas kejadian itu.
Begitulah, sambil menyelam minum air.
Bukan saja Sebun Him berhasil membalaskan kematian Sebun Hiong dengan tangannya sendiri, tapi kematian Liu Jing-yang pun sekaligus juga dijadikan "bahan bakar untuk lebih mengobarkan kebencian orang banyak terhadap "Hek-eng Pocu Tong Lam-hou.
Setelah urusan jenazah Liu jing-yang selesai, dimana jenazah itu dikirimkan ke Se- shia dengan menyewa jasa sebuah Piau-tiam, maka Sebun Him mempipin ratusan orang pendekar berbagai aliran untuk menuju Tiau- im-hong.
Namun kaum pendekar itupun tidak semuanya menelan begitu saja semua penjelasan Sebun Him.
Semua orang ingat riwayat masa muda Tong Lam-hou, bagaimana saat itu Tong Lam-hou sebagai seorang panglima kekaisaran berani menolak perintah Kaisar Khong-hi untuk menggempur kaum pendekar, maka orang akan meragukan apakah Tong Lam-hou benar Hek-eng Pocu? Tokoh yang di masa mudanya pernah hampir mengorbankan nyawa di Hek-ku-nia untuk keselamatan banyak orang, mungkinkah tokoh sejahat itu? Sedang riwayat Sebun Him biarpun tak bernoda, tetapi belum pernah melakukan hal sebesar yang dilakukan tong Lam-hou.
Pendekar dari Se-shia itu selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta saja, dan kini mendadak mengangkat diri sendiri sebagai pahlawan yang hebat.
*Oz* BAGIAN EMPAT PULUH TIGA Tiau-im-hong, markas Serikat Naga Api (Hwe-liong-pang).
Tempat itu mendadak menjadi tegang sejak bermula dari Se-shia beredar desas- desus bahwa Hek-eng Pocu tak lain tak bukan adalah Hwe-liong Pangcu.
Tong Lam-hou segera sadar bahwa pihaknya telah "kecolongan oleh Sebun Him, orang yang selama ini bersahabat akrab dengannya.
Percuma ia dulu melepaskan Sebun Him di Ban-siong-tin, dengan harapan agar sahabatnya itu sadar, ternyata malah sang sahabat tersebut membalas dengan memfitnahnya sehebat itu untuk menyembunyikan rahasianya sendiri.
Tetapi Tong Lam-hou adalah seorang pendekar yang sudah kenyang makan asam- garam dunia persilatan selama berpuluh tahun, sejak ia menjadi Ketua Hwe-liong-pang.
Badai yang ditimpakan Sebun Him kali itupun dihadapinya dengan tenang, tidak cukup dengan bertopang dagu atas pengkhianatan sahabatnya tersebut.
Dengan jaringannya yang luas dan rapi, Hwe-liong-pang segera menyebarkan orang terlatihnya untuk mengumpulkan bukti yang belum sempat termusnahkan oleh Hek-eng Pocu alias Sebun Him.
Ia pikir, sahabatnya itu sudah demikian jauh tersesat, tidak segan memfitnah dan menimbulkan gelombang besar di dunia persilatan dengan resiko melayangnya banyak nyawa para pendekar.
Karena itu dengan berat hati Tong Lam-hou memutuskan akan melucuti kedok Sebun Him.
Tidak ada maaf lagi.
Namun untuk itu, bukti dan saksi yang terlupakan oleh Sebun Him harus lebih dulu dikumpulkan.
Maka orangnya pun berhamburan ke Se-shia, Ban- siong-tin, Liong-coan dan lain tempat yang pernah meninggalkan jejak Hek-eng Pocu.
Tong Lam-hou berharap mudahan orangnya tidak kalah cepat dari orangnya Sebun Him.
Tapi selain usaha dari pihak Hwe-liong- pang sendiri, juga ada hal lain yang membesarkan hati.
Sejak terdengar kabar bahwa Sebun Him memimpin ratusan pendekar yang terutama terdiri dari orang Hoa-san-pai dan orang keluarga Sebun sendiri untuk menyerbu Hwe-liong-pang, maka ratusan orang pendekar datang pula ke Tiau-im-hong untuk menawarkan diri bertempur di pihak Hwe-liong-pang.
Merekalah orang yang percaya bahwa Tong Lam-hou tak mungkin melakukan peran sejahat Hek-eg Pocu.
Sudah tentu dengan rasa terima kasih Tong Lam-hou menyambut dan menampung sahabat dalam kesulitan tersebut.
Tetapi kepada mereka, Tong Lam-jou juga mohon berulang kali agar menahan diri sekuatnya jangan sampai darah para pendekar mengalir karena permusuhan satu sama lain.
Tibalah hari yang menegangkan, ketika pada suatu hari serombongan orang mengiringi sebuah tandu naik ke Tiau-im-hong.
Tandu itu berisi Sebun Him yang masih terganngu lukanya karena bertempur dengan Jiat-jiu Lokoai bertiga beberapa malam yang lalu.
Ia diiringi lebih dari seratus jago silat yang siap menggempur "sarang Hek-eng-po....
Dengan semangat berkobar, para pendekar mendaki Tiau-im-hong.
Beberapa orang sebenarnya merasa agak keder juga mengingat kehebatan Hwe-liong-pang dan tokohnya selama ini, tapi tentu malu kalau mundur selagi telah sampai di garis depan.
Terpaksa merekapun terus melangkah naik dengan hati ketar-ketir.
Mereka agak heran melihat markas Hwe-liong-pang itu sepi saja, yang nampak hanya beberapa penjaga di pintu gerbang.
Tapi begitu mereka mencapai pinggang gunung, kelihatanlah Tong lam-hou dan isterinya keluar menyambut rombongan Sebun Him, diiringi empat kakek yang merupakan Su-tai Hiangcu Hwe-liong-pang.
Dan di belakang mereka ada lagi delapan orang yang berbaju hitam namun berikat pinggang delapan warna, yaitu putih, kuning, hijau, biru, ungu, coklat, merah dan hitam.
Kedelapan orang itulah Pat-tongcu (Delapan Pemimpin Regu) yang selama ini menjadi "sapu kawatnya Hwe-liong-pang.
Wajah para pendekar dalam barisan Sebun Him menjadi tegang juga melihat munculnya Hwe-liong Pangcu Tong Lam-hou.
Biarpun hanya diiringi isteri serta duabelas pengikutnya, namun terasa wibawa hebat Ketua Hwe-liong-pang tersebut menekan perasaan mereka.
Sedang Ketua Hwe-liong- pang sendiri tidak menunjukkan wajah beringas hendak bertempur.
Sebaliknya, ter- senyum dengan ramah, tak ketinggalan pipa tembakaunya yang tak pernah berhenti berasap.
"Selamat datang di Tiau-im-hong, sahabat!"
Sambut Tong-lam-hou sambil tersenyum.
"Hwe-liong-pang mendapat kehormatan besar dengan kunjungan sekian banyak pendekar terkenal apalagi dipimpin oleh sahabatku yang terbaik dari Se-shia...."
"Tidak usah ber-manis sikap, Hek-eng Pocu!"
Bentak Kong Beng-thian dari Hoa-san- pai yang berdiri di samping tandu Sebun Him.
"Kedokmu sudah dilucuti, kejahatanmu sudah diketahui pendekar sejagad! Sekarang tundukkan dirimu dan seluruh komplotan iblismu untuk menerima hukuman setimpal!"
Dampratan si berangasan yang bergelar Jiat-ing-kiam (Pedang bayangan Maut) itu disambut dengan caci-maki ribut dari pihaknya, terutama orang Hoa-san-pai.
Tetapi Tong Lam-hou menghadapi caci-maki itu dengan sikap tenang saja, pipa tembakaunya dihisap dalam dan kemudian dihembuskan lewat mulut dan hidungnya dengan nikmat sekali.
Katanya kemudian.
"Ada persoalan apapun, bisa kita bicarakan dengan kepala dingin. Aku memang sudah mendengar desas- desus tentang tuduhan atas diriku itu, dan aku siap menjelaskannya kalau kalian sudi mendengarkan. Tapi sebelumnya, para sahabat aku persilahkan masuk ke rumahku untuk bicara dengan tenang..."
"Tidak!"
Sahut Kong Beng-thian keras.
"Kau pasti akan menjebak kami di dalam sarangmu yang busuk itu! kau kira kami ini anak kecil yang gampang dipikat dengan kembang gula oleh para penculik anak?!"
"Benar! Tidak perlu penjelasan lagi! Semua kejahatanmu sudah jelas seperti matahari di tengah langit!"
Sambung Gong-sim Hweshio si pendeta penuh bulu dari Ngo-bi-pai.
"Langsung gempur saja! Apa yang kita takuti? Sebun Taihiap bersama kita!"
Suara senjata gemerincing riuh rendah dihunus keluar dari sarungnya.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka lereng itu penuh ber-kilat dengan cahaya pedang, golok, tombak, ruyung, dan alat pembunuh lainnya.
Tong Lam-hou menarik napas dan berkata penuh sesal, katanya ke arah tandu.
"Saudara Sebun yang baik, tegakah saudara menyaksikan sekian banyak darah mengalir hanya untuk urusan yang kita berdua sudah sama tahu? Lereng Tiau-im-hong ini adalah saksi bisu akan banjir darah di masa lalu, apakah bencana itu harus diulangi lagi?"
Sebun Him melangkah keluar dari tandunya dan berdirilah ia dengan gagah perkasa bagai bukit karang. Jawabnya.
"Saudara Tong, mengingat kita bersahabat cukup lama, aku mohon serahkan dirimu untuk diadili. Banjir darah takkan terjadi kalau kau tidak bersikeras ingkar akan kejahatanmu...."
Waktu itu, tanpa ada yang memperhatikan, ada seseorang memanjat lereng Tiau-im-hong dari arah utara.
Seorang berjubah kelabu, namun wajahnya tidak terlihat sebab ia memakai caping yang tepinya diberi tirai kain hitam tipis.
Lenggang jalannya agak aneh, tangan kanannya terkulai lemas di pundaknya dan tidak bergerak mengimbangi ayunan lengan kirinya.
Tapi sepasang kakinya cukup tangkas memanjat lereng.
Sementara itu, Tong Lam-hou juga sudah habis kesabarannya.
"Kalian ingin menghukum aku dengan se-mena tanpa bukti kesalahanku? Hem, kaliam pikir aku akan menyerahkan leherku begitu saja?"
Habis berkata, ia menggerakkan tangannya perlahan saja, namun itulah sebuah isyarat penting.
Dari markas Hwe-liong-pang yang besar itu terdengar derap kaki orang banyak berlarian keluar, semuanya berbaju hitam dan bersenjata.
Begitu keluar, mereka segera menyebar dan membentuk busur raksasa melengkung di sekitar lereng itu.
Jumlahnya ada seribu orang lebih, sepuluh kali lipat dari orang yang bersama Sebun Him.
Pengikut Sebun Him berubah wajahnya menyaksikan peragaan kekuatan dari Hwe- liong-pang.
Kalau kekerasan tak terhindari, rasanya hanya akan tinggal sedikit orang yang lolos hidup dari tempat itu.
Tapi bukan itu saja, dari dalam markas Hwe-liong-pang menyusul keluar serombongan pendekar berpakaian aneka ragam, yaitu pihak yang bersimpati kepada Hwe-liong-pang, dan jumlah merekapun berimbang dengan jumlah yang berpihak kepada Sebun Him.
Di antaranya, nampak tokoh perguruan Jing-sia-pai, Khong-tong-pai, Tiam-jong-pai, bahkan nampak beberapa orang berpakaian Lhama dari Tibet atau pendekar berpakaian suku Hui.
Di antara pendekar yang terpecah dua gara pertikaian Tong Lam-hou dan Sebun Him, sebenarnya banyak yang menjadi kenalan baik atau bahkan saudara seperguruan, tapi kini mereka berdiri berseberangan dengan senjata siap di tangan masing.
"Saudara Sebun,"
Kata Tong Lam-hou dengan keras.
"Begitu banyak sahabat kaum pendekar yang berhasil kau pengaruhi dengan fitnahmu terhadapku. Tapi kau lihat sendiri, cukup banyak pula yang berfikir tetap jernih dan siap membelaku, tapi aku mohon agar kekerasan jangan digunakan."
Tadinya Sebun Him mengira dirinya akan mendapatkan dukungan luas dan Tong Lam-hou terkucil sendirian sehingga akan mudah digempur remuk, tapi kini ia mendapatkan kenyataan lain.
Yang mendukung Tong Lam-hou juga tidak kurang jumlahnya.
Tapi sudah terlanjur dalam keadaan seperti itu, terpaksa Sebun Him harus ngotot menuduh, kalau tidak orang di pihaknya pun bisa menyeberang semua ke pihak Tong Lam- hou.
"Saudara, tidak perlu banyak bicara! Kita tangkap dulu si durjana Hek-eng Pocu ini!"
Teriak Sebun Him dan terus bergerak maju.
Yang mengikutinya hanyalah orang Hoa-san-pai, sedang lainnya juga maju tapi dengan ragu.
Para pendekar yang memihak Hwe- liong-pang sudah bergerak maju pula.
Namun dua gelombang yang siap berbenturan itu tertahan oleh bentakan Tong Lam-hou yang menggelegar menggetarkan lereng itu.
"Berhenti!"
Hebat bentakan yang dilontarkan dengan ilmu Sai-cu-hou (singa menggeram) itu, sehingga Sebun Him yang sering dianggap tandingan setimpal Tong Lam-hou itupun merasa jantungnya bergetar hampir copot.
Itulah bukti kehebatan lwe-kang Ketua Hwe- liong-pang.
*Oz* Bersambung ke
Jilid 37 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 37
"Kalian menyerbu kemari hanya mengandalkan mulut Sebun Him, tetapi mana buktinya bahwa aku seperti yang dituduhkan itu?"
Tong Lam-hou tidak lagi bersikap ramah, melainkan garang sekali. Dan kepada kerumunan anak buah di belakangnya Tong Lam-hou berseru.
"Bawa ke sini saksi pertama!"
Dua orang anggota Hwe-liong-pang segera maju menggiring seorang lelaki yang berwajah demikian tampan sehingga mendekati kecantikan seorang wanita.
Namun orang itu wajahnya menampikan ketakutan.
Sebun Him terkejut mengenali orang itu yang ternyata adalah Hoa Sek-liu, seorang anak buahnya yang dalam keluarga Sebun senantiasa menyamar sebagai wanita.
Sedangkan beberapa jagoan keluarga Sebun yang ikut majikannya saat itu samar juga seperti mengenali Hoa Sek-liu.
Tetapi beberapa yang berotak tajam segera berteriak.
"Itu A- liu! Kenapa dia berubah menjadi lelaki?!"
Yang lainnya menimpali.
"Ya, heran. Bukankah kata A-loan dan A-hui, dia menghilang sejak di Ban-siong-tin terjadi peristiwa yang menewaskan Siauya?"
Suara mereka tidak keras, namun dalam suasana sunyi tegang di tempat itu, suara mereka dapat masuk ke semua kuping dengan jelas.
Sebun Him tak sempat mencegah orangnya bersuara, ia hanya menyesalinya bahwa dengan demikian dia tidak akan bisa mungkir lagi bahwa A-liu atau Hoa Sek-liu ini adalah anak buahnya.
Satunya jalan untuk mengamankan dirinya, Sebun Him pura heran, pura baru mengetahui bahwa A-liu sebenarnya adalah seorang lelaki.
"He, bukankah kau A-liu? Kurang ajar, ternyata kau seorang lelaki yang menyamar dan menyusup ke dalam keluargaku untuk menyelidiki? Siapa yang menyuruhmu? Dengan gemetar A-liu menjawab.
"Yang menyuruhku adalah.... Hek-eng Pocu....."
"Nah, saudara sudah dengar sendiri bukan?"
Sebun Him berusaha merebut keuntungan dari pernyataan A-liu tersebut.
"Hek-eng Pocu menyelundupkan orang ke dalam rumahku, seorang lelaki yang disuruh menyamar menjadi wanita, itu berarti durjana itu membenciku setengah mati. Menganggapku sebagai rintangan utamanya untuk mencapai ambisinya menguasai dunia persilatan!"
Banyak kepala meng-angguk mendengar itu, dan banyak mata diarahkan ke Ketua Hwe-liong-pang untuk menunggu bagaimana jawabnya. Tong Lam-hou bersikap tenang saja dan berkata.
"A-liu, sekarang ceritakan tentang perintah Hek-eng Pocu yang kau anggap janggal itu, dan ceritakan pula alasannya kenapa kau menghilang di Ban- siong-tin....."
Sebun Him terkesiap. Ia belum tahu apa yang akan dikatakan A-liu lebih lanjut, tapi menilik sikap Tong Lam-hou yang begitu tenang, ia menduga kata A-liu berikutnya bisa menyudutkan dirinya. Karena itu, cepat Sebun Him berusaha mencegat lebih dulu.
"He-he..... di bawah tekanan Hwe-liong Pangcu yang maha sakti, tentu saja apa yang akan dikatakan A-liu hanyalah hal yang menguntungkan pihaknya sendiri. Mulut A-liu tak lebih dari corong suara Hwe-liong Pangcu alias Hek-eng Pocu, sebab bukankah A-liu itu anak buahnya?"
"Lepaskan A-liu agar dapat bicara bebas!"
Tiba Tong Lam-hou memerintahkan anak buahnya. Lalu ia membungkuk hormat kepada Gong-sim Hweshio dari Ngo-bi-pai dan Kong Beng-thian dari Hoa-san-pai, dan berkata lagi.
"Sahabat terhormat, maukah kalian menghunus pedang kalian untuk ditaruh di tengkuk A-liu, agar dia bicara dengan jujur tanpa berusaha menguntungkan aku. Hanya bicara sesuai kenyataan?"
Sikap Tong Lam-hou itu mengejutkan pihak lawan maupun kawan.
Sebab bukankah pihak Hoa-san-pai dan Ngo-bi-pai yang paling gigih memusuhinya? Kenapa saksi penting itu malah diserahkan untuk bicara di bawah kendali musuh? Sikap sangat percaya diri dari Ketua Hwe-liong-pang itu mau tidak mau membuat goyah pendirian dari orang yang tadinya memihak Sebun Him secara membuta.
Gong- sim Hweshio dan Kong Beng-thian saling bertukar pandangan sejenak, ragu memenuhi tawaran Tong Lam-hou tersebut, lalu mereka menoleh ke arah Sebun Him.
Namun wajah Sebun Him nampak gugup, membuat Gong-sim Hweshio berbalik agak mencurigainya.
Melihat Kong Beng-thian masih ragu juga, Gong-sim Hweshio turun tangan sendiri, bagaimanapun juga Ngo-bi-pai bukanlah bawahan keluarga Sebun, untuk mengambil suatu sikap tidak perlu menunggu persetujuan atau restu Sebun Him.
Ia hunus pedangnya, dengan pedang di tangan kanan ia todong dada A-liu.
"Bicaralah sesuai kenyataan!"
Bentaknya. A-liu meng-anggukkan kepala. Tapi Sebun Him masih berusaha mengacau.
"Gong-sim Hweshio, apakah kita akan percaya obrolan seorang mata Hek-eng Pocu?"
"Percaya atau tidak, itu urusan nanti,"
Sahut Gong-sim Hweshio tegas.
"Yang penting kita dengarkan dulu dia......"
Nyata dengan jawaban itu bahwa Gong- sim Hweshio juga tidak lagi mempercayai Sebun Him sepenuhnya.
"Bicaralah sejujurnya!"
Kembali Gong- sim Hweshio membentak A-liu.
Dalam keadaan sewajarnya, belum tentu A-liu kalah bertempur melawan pendeta Ngo-bi-pai itu.
Namun kini A-liu berada di tengah begitu banyak pendekar yang sedang marah, di antaranya juga terdapat nama besar seperti Tong Lam-hou dan Sebun Him, maka gemetarlah A-liu ketakutan.
Apalagi melihat tatapan mata Sebun Him yang tajam mengancam, dan tatapan mata Tong Lam-hou yang berwibawa dan menuntutnya agar menyuarakan kejujuran.
Akhirnya ia bersaksi juga, namun dengan kata "pembukaan"
Segala macam.
"Aku.... aku tidak bermaksud menuduh siapapun, harap tuan maklumi, aku hanya akan menceritakan apa yang sebenarnya aku alami......"
"Jangan ber-tele!"
Bentak Gong-sim Hwesio.
"Baik....baik.... aku diselundupkan oleh Hek-eng Pocu ke dalam keluarga Sebun dengan tujuan untuk menjalankan perintah Hek-eng Pocu....."
"Nah, benar tidak?!"
Sela Sebun Him lagi.
"Kami keluarga Sebun memang selama ini dianggap duri dalam daging olehmu, bukankah begitu, saudara Tong?!"
Tong Lam-hou menatap tajam Sebun Him dan berkata.
"Bagaimana kalau A-liu dibiarkan bicara dulu sampai selesai?"
Sebun Him hanya mendengus dingin, tapi dalam hatinya ia gelisah bukan main.
Ia dapat merasakan bahwa kepercayaan orang banyak terhadap dirinya mulai merosot.
Namun ia menenangkan dirinya sendiri, seandainya toh semua orang meninggalkannya, ia masih punya sebuah "rencana cadangan"
Yang akan membuat bumi Tiau-im-hong bersimbah darah. Kata A-liu lebih lanjut.
"Aku merasa heran, keluarga Sebun yang terkenal ketat sekali menyaring pegawai yang bekerja untuknya, kenapa mendadak begitu gampang menerima aku? Antara Hek-eng Pocu dan Sebun.... Sebun Toaya seperti dua anak bermain melempar bola, yang satu melempar dan yang lain menerima bola dengan mulus, dan akulah bolanya...."
Kembali Sebun Him mendengus tanpa komentar. A-liu bicara lebih lanjut.
"Perintah Hek- eng Pocu yang aku rasakan janggal ialah, setiap ada anggota keluarga Sebun yang bepergian jauh, aku harus ikut dan menjadi perintis jalan bagi orang keluarga Sebun. Namun sebagai perintis jalan, aku harus menghubungi temanku dari Hek-eng-po agar mereka semua menyingkir dari jalan yang dilewati keluarga Sebun. Tidak boleh ada gangguan sekecil apapun terhadap orang keluarga Sebun. Betapapun aneh perintah itu, tapi aku tetap menjalankannya karena takut kepada Hek-eng Pocu, sampai kejadian di Ban- siong-tin yang mengakibatkan tewasnya Sebun Hiong. Aku terpaksa kabur dari tugasku karena takut menanggung kemarahan Hek-eng Pocu, tapi.... tapi aku tertangkap oleh orang Hwe- liong-pang......"
Sesaat suasana jadi sunyi, semua orang mencoba membayangkan peristiwa yang sebenarnya. Kesunyian diakhiri oleh suara salah seorang Toa Hiangcu dari Hwe-liong- pang, Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (pukulan sakti seribu kati).
"Hek-eng Pocu tidak mau kehilangan anggota keluarganya oleh orang Hek-eng-po sendiri. Sebun Taihiap juga sedih kehilangan anak lakinya. He-he- he.... persamaan yang sangat menarik, bukan, tuan?"
"Dongeng yang hanya cocok untuk anak umur tiga tahun sebelum tidur!"
Kata Sebun Him.
"Hanya berdasar omongan si bandit banci ini, kau berusaha balik menuduhku bahwa akulah Hek-eng Pocu. Begitukah maksudmu, Tong Lam-hou?"
"Tentu saja sekedar omongan A-liu itu saja tidaklah cukup,"
Jawab Tong Lam-hou.
"Kami masih punya saksi berikutnya. Tapi supaya adil, saudara Sebun mendapat giliran untuk mengajukan saksi dari pihak saudara sendiri. Biar para sahabat ini mendengarnya dari kedua belah pihak dan dapat berpikir seimbang....."
Kembali perasaan kagum menjalar di hati para pendekar di pihak manapun, melihat sikap adil ketua Hwe-liong-pang tersebut.
Sebaliknya sikap Sebun Him yang selalu membantah dan kelihatan gelisah itu memerosotkan kepercayaan orang terhadapnya, dan meningkatkan kecurigaan.
Jangan penjahatnya malah Sebun Him sendiri? Sebun Him memang menjadi kelabakan oleh tantangan untuk mengajukan saksi tersebut.
Ia memang tidak siap dengan saksi dan bukti segala.
Ia tadinya cukup percaya mampu mengobarkan kemarahan para pendekar untuk menyerbu Tiau-im-hong hanya bermodalkan kematian anak lelakinya sendiri.
Sesaat ia gelisah, namun kemudian berseru marah.
"Kematian anak lelakiku apakah bukan bukti bahwa aku bukannya Hek- eng Pocu? Kalau aku Hek-eng Pocu, apakah aku juga tega membunuh anak lakiku sendiri?!"
Lagi terdengar sorak-sorai mendukung Sebun Him dari pihaknya, namun yang ber- seru tidak sebanyak semula.
Banyak orang toh mulai terpengaruh sikap Ketua Hwe-liong- pang.
Dengan kekuatan yang ada di belakangnya, tidaklah sulit untuk menghancurkan rombongan Sebun Him, namun Sang Ketua toh memilih jalan menghindari kekerasan.
Sedang sikap Sebun Him yang selalu menganjurkan "serbu tanpa ampun itu kalau diperhatikan mirip juga dengan tindakan Hek-eng Pocu selama ini.
Terdengar Tong Lam-hou berkata.
"Saudara Sebun, saksiku yang berikut ini justru yang akan membuktikan bahwa puteramu tidak terbunuh oleh orang Hek-eng- po, sebab mana berani orang Hek-eng-po melanggar perintahmu?"
"Hah, saksi apa? Paling cuma badut murahan yang sudah kau suruh bicara dengan omongan terntentu."
"Ya, hanya tukang membual yang dipungut dari sudut pasar, mana bisa dijadikan saksi?"
"Serbu saja, habis perkara!"
"Tidak! Kita tetap harus mendengarkan dulu!"
"Kalau tidak bersalah, tidak perlu takut mendengarkan kesaksian mereka!"
"Kalau tidak mau mendengarkan, itu artinya takut diketahui kesalahannya!"
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguh mencemaskan Sebun Him bahwa pasukannya sendiri pun mulai pecah dua golongan, terbukti dengan adanya teriakan yang bersimapng-siur tadi. Diam Sebun Him semakin membulatkan tekad bahwa "rencana cadangan"
Agaknya memang harus digunakan, namun nanti, kalau "rencana pokok"
Sudah tak bisa dilaksanakan lagi.
"Tenang, saudara......"
Kata Tong Lam- hou mengatasi keributan. Lalu kepada Sebun Him ia berkata.
"Saksi kali ini memang hanya diambil dari sudut pasar, pasar Ban-siong-tin. Se-hari mereka bekerja sebagai orang baik, namun merekalah anggota Hek-eng-po yang setiap saat siap menjalankan perintah Pocu. Bawa keluar mereka!"
Kalimat terakhir itu adalah perintah untuk anak buahnya sendiri.
Maka digiring majulah empat orang yang bentuk tubuhnya maupun pakaiannya beraneka ragam, namun semuanya menandakan punya ilmu silat yang tangguh.
Hanya saja sikap mereka tak berbeda dengan sikap A-liu tadi, ketakutan.
"Lepaskan mereka, biarkan mereka bicara bebas supaya kita jangan dianggap menekan mereka!"
Perintah Tong Lam-ou kepada anak buahnya.
Orang itupun dilepaskan, dan segera disambut oleh orang perguruan Ngo-bi-pai yang tanpa disuruh lagi sudah menunjukkan sikap netral, tidak lagi memihak Sebun Him.
Mereka hanya bertindak sebagai pengawas agar para saksi bicara bebas tanpa ditekan kedua belah pihak yang bertikai.
Kemudian orang perguruan Ceng-liong-pai juga bergabung dengan orang Ngo-bi-pai.
Di bawah pengawasan mereka, empat anak buah mendiang Lau Hong dari Ban-siong- tin itupun mulai bersaksi.
Pertama-tama menceritakan bagaimana mereka mendapat perintah Hek-eng Pocu agar mencegat dan membunuh Sebun Hiong dan Liu Beng dalam rombongan keluarga Sebun.
Namun perintah itu tidak disampaikan oleh Lau Hong seperti biasa, melainkan oleh seorang pemuda berpakaian perlente yang wajahnya disembunyikan di bawah topi rumput, yang demi kelancaran perintah itu tidak segan membagikan kertas berharga limabelas ribu tahil perak yang bercap perusahaan milik Sebun Him....
Ketika orang itu bicara samapi sekian, Sebun Him menggertakkan giginya dengan geram dan sedih.
Ia tahu, pemuda perlente bertopi rumput itu adalah Liu Jing-yang, menantunya sendiri yang berambisi merebut kekayaannya dengan tidak segan membunuh Sebun Hiong.
Tapi Liu Jing-yang sebenarnya hanya mengulangi riwayat Sebun Him yang dulu juga diam membunuh mertua lelaki dan ipar lakinya, sekedar supaya ia menjadi satunya ahli waris semua kekayaan.
Hukum karma tetap berputar dan Sebun Hiong sudah menjadi korban.
Sementara bekas anak buah Lau Hong itu terus bercerita, sampai kejadian di ruang peti jenazah Lau Hong, di mana Hek-eng Pocu muncul membongkar peti mati Lau Hong, namun kemudian Hwe-liong Pangcu muncul pula dan kedua orang itu lalu berkejaran sampai luar kota Ban-siong-tin....
Sampai di situ, runtuhlah sebagian besar kecurigaan yang ditujukan kepada Hwe- liong Pangcu.
Kalau Hek-eng Pocu muncul pada tempat dan waktu yang sama dengan Hwe- liong Pangcu, berarti ke-duanya bukan orang yang sama.
Mana bisa satu orang memecah diri menjadi dua? "Bagaimana perawakan Hek-eng Pocu? Apakah mirip Tong Pangcu?"
Cukat Hui-goan dari Jing-sia-pai tiba bertanya kepada saksi itu.
"Tidak mirip sedikitpun,"
Sahut salah seorang bekas anak buah Lau Hong.
"Hek-eng Pocu lebih tinggi, pundaknya lebar dan tegap......"
Dan ia tidak melanjutkan katanya, namun ber-kali melirik ke arah Sebun Him dengan ketakutan, namun itu boleh juga dianggap sebagai pelengkap jawabannya tadi.
Lirikannya yang penuh ketakutan tanpa di- buat itu bisa diartikan kata "seperti Sebun Him"
Sebagai kelanjutan kalimat yang terputus tadi.
Sedang wajah Sebun Him menjadi merah padam ketika mata semua orang mengikuti arah lirikan anak buah Lau Hong tersebut ke arah dirinya.
Kalau seorang lelaki dilirik seorang perempuan cantik, dia akan merasa senang, kalau dilirik seorang copet, dia akan waspada.
Tapi dilirik orang sebanyak itu terasa merinding juga.
Ia insyaf bahwa sejarah kebesarannya sebagai seorang pendekar terhormat sudah di pinggir jurang kehancuran.
Biarpun nanti "rencana cadangan"
Berhasil dijalankan, tapi agaknya ia harus menjadi musuh para pendekar secara terangan, tidak lagi berkedok.
"Dasar memang anakku ditakdirkan mati penasaran,"
Kata Sebun Him, me-nyebut anaknya untuk mencoba meraih simpati orang banyak.
"Ia mati terbunuh, dan pembunuhnya tidak ada yang berani menghukum....."
"Sebun Hiong tidak mati di tangan Hek- eng-po, tetapi di tangan Liu Jing-yang!"
Tiba seseorang berseru keras.
Semua orang serentak menoleh ke arah suara tersebut, ternyata yang bersuara adalah seorang lelaki yang berdiri seorang diri, tidak termasuk di pihak Tong Lam-hou juga tidak termasuk pihak Sebun Him.
Tangan kanannya nampak terkulai, sedang wajahnya ditutup caping yang pinggirannya diberi kain hitam tipis sebagai tirai wajah.
"Sahabat, sudikah kau membuka penutup mukamu?"
Tanya Tong Lam-hou.
Orang itu maju beberapa langkah dan membuka capingnya.
Nampak wajah seorang kakek yang ganas, separuh rambutnya telah hilang meninggalkan bekas luka seperti dicabut dengan paksa, bahkan sebagian kulit jidatnya juga menunjukkan bekas terkelupas.
Namun beberapa orang sempat mengenali wajah itu dan menyerukan sebuah nama.
"Jiat-jiu Lokoai!"
Itulah nama seorang pentolan golongan hitam yang dibenci orang, apalagi orang tahu Jiat-jiu Lokoai kemudian menjadi algojo Hek- eng-po yang telah menimbulkan korban cukup banyak.
Maka di lereng itu berkumandang teriakan untuk segera mencincang iblis itu, beberapa orang sudah siap bertindak mempelopori serangan.
"Hentikan, dengar kataku lebih dulu!"
Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto