Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 10


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 10



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   Namun tetap saja tak menolong.

   Seperti seorang buta yang menumbuk jalan bunt u, akhirnya ia memutuskan .

   'Biarlah aku memeriksa kunci rahasia ilmu pedangnya.

   Barangkali ada sangkut-pautnya'.

   Dengan pikiran itu ia memeriksa bag ian ilmu pedang.

   Terus ia melatih diri.

   Pada mu lanya, semua berjalan dengan lancar.

   Tetapi lambat laun ia tertumbuk lagi pada jalan buntu.

   Tiba- tiba teringatlah Lingga W isnu kepada gambar-gambar yang terukir pada dinding kamar Bondan Sejiwan.

   Apakah gambar-gambar itu sebagai keterangan tulisan, yang sama sekali t iada contohnya? Teringat ini, ia t ak memperdulikan w aktu lagi.

   Dengan ditemani paman Ganjur dan menibekal obor serta tambang, ia menuruni jurang.

   Sebentar saja ia sudah berada dalam goa.

   Karena mulut goa telah dilebarkan, maka dengan gampang saja ia dapat menerobos masuk dengan berjalan t egak.

   Sampai di dalam kamar Bondan Sejiwan, Lingga W isnu membesarkan nyala obornya.

   Kemudian mengamatamati dan memperhatikan lukisan lukisan di dinding yang menggambarkan sikap seseorang menggerakkan tangan dan kakinya.

   Dasar berotak cemerlang, dengan cepat saja Lingga W isnu memperoleh penjelasan tentang gambar-gambar itu.

   Semuanya merupakan bagian penjelasan ajaran-ajaran Bondan Sejiwan yang tertulis di dalam kitab w arisannya.

   Keruan saja ia jadi g irang bukan main.

   Di dalam kamar itu Lingga W isnu berlatih dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat pada gambar ukiran.

   Makin lama makin ia merasa menjadi lancar.

   D an gerakan-gerakan itu diulanginya beberapa kali* sampai didalam ingatannya.

   "Terima kasih,"

   Kata Lingga W isnu sambil bersembah ke arah kuburan Bondan Sejiwan yang berada di depannya.

   Tiba-tiba terlihatlah pedang kehitam-hitaman yang masih menggeletak di atas tempat duduk almarhum yang kini dijad ikan nisan.

   Aneh bentuk pedang itu.

   Setengah berbentuk pedang dan setengah berbentuk keris.

   Bagiannya melengkung tiga kali dan pada ujungnya terdapat semacam sungut kelabang.

   Sungut ini bentuknya seolah-olah dipersiapkan untuk menggaet senjata lawan.

   "Pedang apa ini?"

   P ikir Lingga W isnu di dalam hati.

   Dengan obornya ia meneliti.

   Pada hulunya terdapat sederet huruf berbunyi.

   Pedang Kebo Wulung.

   Selagi mengamat-amati dan mengagumi bentuk pedang itu, pandang matanya melihat seonggok senjata bidik yang berbentuk kelabang dan bor.

   Itulah senjata bidik yang istmewa sekali.

   Tanpa ragu-ragu lagi Lingga W isnu memungutnya dan mengantonginya.

   Ingatannya terus berjalan lagi.

   Kini teringat kepada pesan tulisan pendekar luar biasa Bondan Sejiwan yang tertera pada sampulnya.

   Bahasanya, sebagai upah saja, diperkenankan menelan ramuan obat mustika.

   Ramuan obat mustika apakah yang dimaksudkan? Lingga W isnu jadi berteka-teki.

   Tatkala kembali ke rumah pertapaan segera ia mencari bungkusan obat tersebut yang terletak dalam lapisan peti sebelah atas.

   Sebagai seorang yang pernah hidup disamping Palupi, dengan segera dapatlah ia membedakan antara racun dan obat.

   Mengingat bahwa ramuan obat yang disebutkan sebagai ramuan obat mustika itu berada dalam peti kecil, pastilah bukan barang beracun.

   Dengan tak ragu-ragu lagi ia terus menelannya.

   Tetapi alangkah terkejutnya! Tiba-tiba kepalanya menjadi pusing.

   Seluruh t ubuhnya menjadi panas-dingin.

   Beberapa saat kemudian Lingga W isnu melontarkan darah kental hitam.

   Dengan sekuat tenaga ia merangkakrangkak menghampiri, pembaringannya.

   Belum lagi tangannya dapat meraba tepi pembaringan ia roboh terkulai.

   Entah berapa lama ia berada dalam keadaan tak sadar.

   Tahu-tahu ia merasa diri berselimut di atas pembaringannya.

   Dilihatnya paman Ganjur duduk disisi pembaringan dengan pandang cemas.

   Begitu melihat Lingga W isnu menyenakkan mata, dengan hati girang paman Ganjur yang baik hati itu memeluk dan menciuminya.

   Kemudian dengan gerak gerik tangannya, paman yang baik hati itu menanyakan kesehatannya.

   "Kenapa aku?"

   Tanya Lingga W isnu. Ganjur memberi keterangan dengan isyarat tangannya.

   "Aku pingsan? Berapa lama?"

   Lingga W isnu mint a keterangan.

   Ganjur, paman yang baik hati itu menunjukkan tiga jari tangannya di depan hidungnya.

   Dan dengan tangannya pula ia mengabarkan bahw a Lingga W isnu melontakkan darah terus-menerus dalam tiga hari itu.

   Paman Garflur menunjuk pada bentong bentong merah yang melumuri pembaringannya.

   Dan memperoleh keterangan itu, serentak Lingga W isnu bangkit.

   Pemuda itu heran, mengapa dirinya, tiba-tiba merasa ringan sekali.

   Tak dikehendaki sendiri Lingga W isnu berseru girang.

   "Paman, lihat! Aku bisa bergerak begini lincah. Oh, paman ... apakah darah kental ini bukan racun Pacarkeling yang sekian tahun lamanya mengeram di dalam diriku?"

   Ganjur tidak mengetahui tentang masalah racun Pacarkeling.

   Ia hanya melihat wajah Lingga W isnu bersinar cerah.

   Itulah pernyataan suatu luapan rasa girang luar biasa.

   Mengapa girang? Lingga W isnu mint a kepada paman Ganjur supaya membersihkan tempat tidurnya.

   Setelah membersihkan diri, dengan perlahan-lahan ia mencoba menerangkan tentang racun Pacarkeling yang telah lama mengeram di dalam tubuhnya.

   Memperoleh perasaan bahw a keadaan tubuhnya kini tiba-tiba menjadi ringan dan gesit, ia menduga bahwa gumpalan darah hitam kental itu pastilah racun Pacarkeling.

   Ganjur bisa menerima keterangannya Lingga W isnu.

   Sekarang ia jadi mengerti.

   Apa sebab Lingga Wisnu berkurang tenaganya setiap kali melontarkan pukulan-pukulannya.

   Ia jadinya ikut bersyukur dan girang hati, apabila racun Pacarkeling benar-benar bisa terenggut dari t ubuh Lingga W isnu oleh obat mustika warisan Bondan Sejiwan.

   Untuk mengatur keseimbangan tenaganya, Lingga W isnu membutuhkan istirahat enam hari lamanya.

   Setelah itu dengan tiada bosannya ia meyakinkan semua ajaran yang terdapat dalam kitab peninggalan Bondan Sejiwan.

   Kemudian Lingga W isnu juga mencoba menyelami ilmu pedang dengan menggunakan pedang Kebo Wulung.

   Hasilnya sungguh mengagumkan.

   Kecuali jauh lebih serasi dan cocok, tajamnya luar b iasa pula.

   Dengan sekali tabas, terpotonglah batu pegunungan.

   Keruan saja Lingga W isnu girang bukan main.

   Benar benar sebilah pedang mustika.

   'Mungkin sekali pendekar besar Bondan Sejiwan sesat perjalanan hidupnya.

   Akan tetapi kepandaiannya harus dikagumi.' Lingga W isnu memberi pertimbangan dan penilaian terhadap almarhum pendekar luar biasa Bondan Sejiwan.

   Dan makin Lingga W isnu menyelami ilmu-ilmu sakti almarhum, makin ia kagum.

   Dalam hati pemuda itu menaruh hormat setinggi-tingginya.

   Enam bulan lewatlah sudah.

   Sekarang sampailah Lingga W isnu pada t iga lembar t erakhir.

   Tiba-tiba saja ia menemukan jalan buntu seperti dahulu.

   Dengan seksama pemuda itu mengulangi membaca kalimat-kalimatnya.

   Kemudian mencoba memecahkan dan menyelami dengan perbandingan ilmu sakti warisan Kyahi Sambang Dalan dan Ki Ageng Gumbrek.

   Tetap saja ia terbentur pada masalah yang tak terpecahkan.

   Ia jadi heran dan kagum bukan main.

   Benar-benar ilmu sakti Bondan Sejiwan merupakan suatu perbendaharaan ilmu kepandaian yang sangat tinggi.

   Jangan lagi menggunakan ajaran ilmu sakti pendekar-pendekar lain, sedangkan ajarannya, seumpama seseorang telah dapat mewarisi bagian ilmu saktinya yang telah terbaca, t ak akan dapat membentur bagian yang terakhir ini.

   Tiga hari tiga malam penuh Lingga W isnu mencoba menyingkap tabir teka-teki itu.

   W aktu itu bulan gede memancarkan sinarnya d iluar pertapaan.

   Teringatlah Lingga W isnu akan pengalamannya, sewaktu Cocak Obar-abir dan Gumuling, menyusup ke dalam rumah.

   Hampir-hampir saja ia menemui malapetaka.

   Maka pikirnya d i dalam hati.

   'Ilmu sakti pendekar Bondan Sejiwan ini bersifat luar biasa.

   Aku tak sanggup memecahkan teka-teki yang terakhir.

   W alaupun demikian, aku sudah memiliki sebagian besar ilmu saktinya dan aku harus bersyukur serta berterima kasih.

   Dengan berbekal sebagian besar ilmu saktinya, rasanya aku sanggup menghadapi lawanlawan berat betapa licinnya pun.

   Sebaliknya apabila kitab warisannya ini sampai terbaca oleh orang-orang berhati kejam dan bengis, bahaya besar pula.

   D ari pada jatuh di tangan mereka, lebih baik kubakarnya saja ...' Oleh pikiran itu, Lingga W isnu lalu menyalakan api.

   Kedua kitab warisan pendekar Bondan Sejiwan lantas dibakarnya.

   Sekian lamanya nyala api membakar kedua kitab warisan itu.

   Akan tetapi aneh! Selagi lembaranlembaran kedua kitab itu menjadi hangus, kulit penutupnya hanya menjadi hitam saja.

   'Kenapa tak terbakar?' pikir Lingga W isnu dan ia mencoba membesetnya.

   Tetapi tak berhasil.

   Meskipun kedua tangannya kini bertenaga kuat luar biasa.

   Lingga W isnu memperhatikan kulit buku itu, dengan seksama.

   Setelah dipencet dan disent il pada tempat-tempat tertentu, tahulah Lingga W isnu bahwa kulit buku itu terbuat dari tembaga bercampur logam tertentu.

   Kekuatannya mirip dengan baju mustika hadiah Ki Ageng Gumbrek, yang tak mempan senjata tajam maupun api.

   Dengan menggunakan pisau, Lingga W isnu lalu membuka kedua lapisan kulit buku tersebut.

   Ia heran tatkala menemukan dua lembar kulit lembu yang tipis sekali.

   Setelah diperhatikan t ernyata merupakan deretan kalimat dan peta.

   Lingga W isnu membaca .

   =Siapa memperoleh harta terpendam ini, hendaklah mencari seorang perempuan bernama Sekamingrum yang bertempat tinggal di dusun Popongan.

   Berilah dia seratus ribu ringgit agar dapat menyambung hidupnya seperti layaknya seorang perempuan yang mempunyai harga diri! = 'Apa artinya in i?' pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   'Pendekar besar Bondan Sejiwan nampaknya seorang tinggi hati.

   Bunyi kalimatnya seolah-olah seorang panbesar yang dipertuan!' Sekarang Lingga W isnu memeriksa lembaran kulit yang kedua.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Itulah gambar contoh contoh ilmu pukulan.

   Tatkala diperhatikan dengan seksama, ia terkejut berbareng girang.

   Ternyata itulah kunci jawaban jurusjurus pada tiga lembaran terakhir yang memacetkan latihannya.

   Sekarang, hatinya penuh syukur dan berulangkali menghela napas lant aran kagum.

   Terasa sekali bahw a semuanya sudah diatur demikian rupa sehingga ahliwaris yang dikehendaki pendekar itu, terpaksa harus mencari penjelasannya dalam lipatan kulit kitab.

   Benar-benar cermat dan hebat! 'Kalau begitu peta gambar yang mengabarkan tentang harta terpendam, pastilah bukan suatu lelucon belaka,' pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   Sekiranya tidak demikian, apa perlunya petanya disimpan sangat rapi? Beliau menghendaki agar membagi harta terpendam kepada seseorang yang bernama Sekarningrum.

   Sebagai upah jasanya, dikabarkan kunci jawaban jurus-jurus lembaran terakhir, yang memang merupakan int i sari seluruh ilmu w arisannya.

   Kedua lembar kertas itu lantas disimpannya rapihrapih di dalam ku lit kitab semula.

   Kemudian ia rajin berlatih.

   Dan enam hari lewatlah sudah.

   Sekali lagi ia memperhatikan pesan pendekar Bondan Sejiwan tentang seseorang yang bernama Sekarningrum.

   Hidupkah dia pada jaman ini? Jangan-jangan Sekarningrum hidup pada jaman angkatan kakek-moyangku.

   Pada hari ketujuh ia memasukkan kulit kitab warisan ke dalam buntalannya yang sederhana.

   Kemudian mengucap selamat berpisah kepada paman Ganjur.

   Dengan air mata berlinangan, paman gagu yang baik hati itu mengantarkannya sampai di pinggang gunung.

   Berat rasa hati Lingga W isnu berpisahan dengan Ganjur.

   Paman gagu itu tak ubah ayah kandungnya sendiri.

   Tetapi justru teringat akan itu timbul ah semangat penuntutan dendam di dalam hati Lingga W isnu.

   Bukankah maksudnya yang utama hendak mencari musuh ayah-bundanya yang membuat bencana maha besar terhadap keluarganya.

   Dan oleh ingatan itu sekaligus berkobar kobarlah darah mudanya.

   Dan dengan menegakkan dada, ia meninggalkan pinggang gunung Dieng.

   Inilah untuk pertama kalinya ia berjalan seorang diri.

   Setelah sepuluh tahun lamanya ia tersekap di atas gunung, benar-benar membuat dirinya terasing dan asing dari semua penglihatannya yang berada di depan matanya.

   Semuanya, seolah-olah serba baru baginya.

   Tatkala sampai di batas kota yang berada di kaki gunung, ia melihat gerakan tentara.

   Pada tiap-tiap tempat t ertentu terdapat penjagaan tentara rakyat yang berada membantu perjoangan Pangeran Mangkubumi I dengan sukarela.

   Mereka melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang melint asi penjagaan.

   Melihat penjagaan keras itu, teringat kembalilah Lingga W isnu kepada pengalamannya.

   Untuk menghindarkan rasa kecurigaan, ia menyimpan Kebo W ulung serapih mungkin.

   Lalu mengambil jalan pegunungan.

   Dengan demikian beberapa kali ia bisa lolos dari pemeriksaan para penjaga.

   Empatbelas hari dan empatbelas malam Lingga W isnu berjalan terus-menerus dengan mengambil jalan berputar.

   Ia beristirahat hanya pada malam hari.

   Dan meneruskan perjalanan menjelang fajar.

   Dari dusun Sapuran ia mengarah ke timur laut.

   Dusun-dusun yang dilalu inya tak terhitung lagi jumlahnya.

   Setelah tiba di dusun W onosegara ia memasuki hutan belukar dan tiba di dusun Tangen pada hari ke duabelas.

   Sebenarnya dusun Tangan sangat dekat dengan Sukowati tempat gurunya berada.

   Akan tetapi selama h idupnya belum pernah ia mengenal daerah Sukowati.

   Tak mengherankan, ia tersesat sampai jauh ke timur.

   Dan pada hari ke empatbelas tibalah Lingga W isnu di dusun Trinil.

   Dusun Trinil t erletak di tepi Bengawan Solo.

   Pedagang pedagang besar yang mengangkut barang dagangannya lewat sungai, berhenti di dusun itu sebelum memasuki kota Ngawi.

   Maka dusun Trinil mengundang tengkulaktengkulak yang datang dari kota-kota di daerah Jawa Timur.

   Dengan demikian, pada dewasa itu dusun Trinil menjadi pusat perdagangan.

   Di dusun inilah, Lingga W isnu baru mengetahui bahw a daerah Sukowati sudah jauh terlint asi.

   Unt uk balik kembali ke arah barat, beberapa pedagang menyarankan agar menggunakan rakit atau perahu tambang saja.

   Kecuali menghemat waktu, perjalanan itu tidak begitu memint a tenaga pula.

   Demikianlah, setelah bersantap Lingga W isnu mencari perahu tambang sewaan yang berlayar mengarah ke barat.

   Ia mendapat sebuah perahu besar.

   Pemiliknya seorang doyan duit.

   Namanya Kertomidin alias Demalung.

   Penyewanya seorang pedagang besar bernama Nitigurnito.

   Ia seorang peramah dan usianya kurang lebih empatpuluh sembilan tahun.

   Oleh gerincing uang, Kertomidin memberanikan diri untuk minta idzin kepada Nitigurnito agar menerima Lingga W isnu di dalam perahu yang sudah disewanya.

   Dan ternyata Nitigurnito tidak berkeberatan.

   Pada waktu Kertomidin hendak menjalankan perahunya, seorang pemuda nampak berlari-lari kencang mendatangi.

   Pemuda itu berteriak-teriak pula memint a tempat menumpang ke Sragen.

   Katanya, dia mempunyai persoalan yang penting di kota itu.

   Lingga W isnu tertarik hatinya t atkala mendengar suara teriakan pemuda itu yang kedengaran nyaring dan halus.

   Dia pun heran pula tatkala melihat w ajahnya.

   Pikirnya di dalam hati.

   "Apakah benar di dunia ini terdapat seorang pemuda yang begini cakap?"

   Pemuda itu umurnya kurang-lebih duapuluh tahun.

   Kulitnya kuning-halus.

   Mokanya bersemu dadu dan membawa-bawa buntalan di punggungnya.

   Buntalannya terbuat dari kain mirip kantong beras.

   Nampaknya terisi penuh.

   Nitigurnito berkenan terhadap pemuda itu.

   Dengan ramah ia mengijinkan si tukang perahu agar menerimanya sebagai penumpangnya yang baru.

   Sudah barang tentu Kertomidin alias Demalung yang sangat doyan duit, girang bukan kepalang.

   Buru-buru dipasangnya sebuah tangga papan untuk menyambut kedatangan pemuda itu.

   Tetapi begitu pemuda itu menaruhkan kakinya di atas perahu, Lingga W isnu terkejut.

   Ia merasakan, betapa perahu sekonyongkonyong seperti melesak ke dalam air.

   Ia heran, sebab pemuda itu berperawakan kurus dan berat tubuhnya tidak akan melebihi limapuluh kilogram.

   Apa sebab dia demikian berat? Apakah karena buntalannya yang nampak besar itu? Begitu mendarat di atas perahu, pemuda itu memberi hormat kepada Nitigurnito dan Lingga W isnu.

   Ia menyatakan rasa terima kasihnva.

   Kemudian memperkenalkan namanya, Yunus.

   Karena mendapat kabar ibunya sakit keras, maka pada hari itu ia bermaksud cepat-cepat menyambangi.

   Nampaknya pemuda itu, yang bernama Yunus, menaruh perhatian kepada Lingga W isnu.

   "Saudara Lingga,"

   Katanya.

   "Mendengar lagu suaramu, pastilah engkau bukan penduduk sini."

   "Benar,"

   Jawab Lingga W isnu.

   "Aku dibesarkan di sekitar kota Wonosobo. Inilah untuk yang pertama kalinya aku berada di dekat perbatasan Jawa Tengah."

   "Dari W onosobo? Kalau begitu, pastilah saudara Lingga mempunyai urusan besar disini."

   "Akh, tidak. Aku berjalan hanya untuk melihat dunia."

   Lingga W isnu memberi keterangan.

   Selama perahu berlayar, mereka berdua asyik berbicara.

   Tiba-tiba dua buah perahu datang dengan cepat.

   Bagaikan anak panah, kedua perahu itu mendahului.

   Yunus mengawaskan kedua perahu itu yang lenyap di tikungan sungai sebelah depan dengan cepatnya.

   Kira-kira menjelang jam dua tengah hari, saudagar Nitigumito yang baik budi itu mengundang mereka berdua, menemaninya makan siang.

   Lingga W isnu menghabiskan tiga piring nasi, sedang Yunus hanya sepiring.

   Selama makan dan minum, gerak-gerik Yunus nampak berkesan makin halus.

   Dan baru saja mereka selesai makan siang, terdengarlah suara air terkayuh.

   Lalu nampaklah dua buah perahu lewat di samping.

   Sebuah diantaranya amat menarik perhatian.

   Seseorang yang bertubuh besar berdiri di ujung perahunya sambil mengerlingkan matanya beberapa kali.

   Yunus nampak tak senang hati.

   Sepasang alisnya terbangun dengan tiba-tiba.

   Matanya bersinar tajam dan wajahnya berubah merah padam.

   Lingga W isnu heran menyaksikan perubahan wajah kawannya itu.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Dia begini muda dan cakap.

   Apa sebab romannya bisa berubah menjadi sengit dengan mendadak?' Yunus melihat kesan wajah Lingga W isnu yang memancarkan pandang heran.

   Cepat-cepat ia tersenyum.

   Dan kembalilah wajahnya yang lemah lembut.

   Sikapnya halus dan menawan seperti sediakala.

   Tatkala itu, Kertomidin alias Demalung, datang menyuguh air teh hangat.

   Untuk mengalihkan kesan Yunus segera menghirup air tehnya.

   Tak disangkanya, rontokan tehnya masih terapung apung seperti kerumun ratusan anak nyamuk Idih! alangkah jorok dan kasar! Tak d ikehendaki sendiri ia mengerutkan alis.

   Dan caw an teh diletakan di atas meja pendengan dengan perasaan kesal.

   Semuanya itu tak luput dari pengamatan Lingga W isnu.

   Untuk pertama kalinya ini, ia merant au seorang diri tanpa kawan t anpa sanak keluarga.

   Kecuali berbekal pengetahuan yang diperolehnya dari beberapa gurunya dan pengalaman h idupnya semasa berumur delapan tahun, tiada sekelumit pengalaman lagi.

   Unt unglah, dia seorang pemuda yang memiliki karunia Tuhan.

   Otaknya hidup dan perasaannya tajam.

   Melihat kesan dan gerakgerik Yunus, ia memperoleh suatu perasaan, bahwa antara pemuda itu dan penumpang empat perahu yang lewat dan berpapasan tadi, pasti terselip suatu perkara.

   Hanya saja, tak dapat ia menebak, perkara apa yang pernah terjadi.

   Oleh pikiran itu, diluar kehendaknya sendiri ia mengawasi dua perahu yang t adi lewat dengan cepat.

   Menjelang petanghari, perahu singgah di sebuah dusun.

   Karena haus kepada penglihatan - Lingga W isnu menyatakan diri hendak turun ke darat.

   Ia mengajak Nitigurnito menemani.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi saudagar itu menolak, lantaran tak dapat meninggalkan barang dagangannya.

   Katanya .

   "Lagi pula apa keuntungannya mendarat di sebuah dusun yang sunyi sepi? Apa yang dapat di lihat dan dinikmati? Inilah dusun mati tak ubah sebuah kuburan panjang. Tiada lain kecuali tegalan, sawah dan pengempangan ikan."

   Jelas sekali maksud Nitigurnito.

   Dia hendak berkata, bahw a hanya orang yang hidupnya tak ubah seekor katak di dalam tempurung, yang masih bisa tertarik penglihatan sekitar dusun yang sunyi itu.

   Akan tetapi Lingga W isnu tak bersakit hati.

   Ia seorang pemuda yang jujur terhadap dirinya sendiri.

   Memang, bukankah dia seorang pemuda yang sekian tahun lamanya tersekap di atas dusun? Maka ia bersenyum ihlas, menerima sindir itu.

   Dan seorang diri ia turun ke darat.

   Sampai lewat magrib ia berjalan keliling dusun dan memasuki kedai minuman.

   Setelah membeli beberapa butir buah-buahan, barulah ia kembali ke perahunya, hendak ia memanggil Nitigurnito dan Yunus untuk menemani menggerumuti buah-buahannya, tetapi mereka berdua ternyata sudah tenggelam di dalam selimut nya.

   Setelah berenungrenung sejenak, iapun lantas merebahkan diri pula.

   Pada t engah malam, t erdengarlah suara suitan (siulan tajam) panjang samar-samar.

   Pendengaran Lingga W isnu tajam luar biasa.

   Segera ia terbangun dari mimpinya, dan dengan diam-diam ia merapikan pakaiannya.

   Tak lama kemudian, terdengarlah suara pengayuh perahu meraba permukaan air.

   Terang, ada sebuah perahu mendatangi.

   Dan dengan tiba-tiba Yunus terbangun dari tidurnya.

   Ia bangkit dan duduk dengan mendadak.

   W ajahnya nampak tegang diant ara cahaya pelita perahu yang menyala samar-samar.

   Ternyata ia tidur tanpa membuka pakaian dalamnya.

   Dari bawah selimut nya, ia menghunus sebatang pedang panjang.

   Kemudian ia berjalan memburu bagian depan perahu.

   Sikapnya garang dan ganas.

   Keruan saja Lingga W isnu terkejut dan heran.

   Pikirnya menebak-nebak .

   'Apakah dia salah seorang kaki-tangan pembajak yang sengaja menyelundup ke dalam perahu ini untuk mengincar barang-barang dagangan paman Nitigurnito? Kalau begitu, tak boleh aku berpeluk tangan saja ...' Semenjak di perjalanan, Lingga W isnu menyimpan pedang Kebo W ulung serapi mungkin.

   Ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan sembarangan memperlihatkan di depan orang.

   Sebab pedang Kebo Wulung di tangan majikannya dahulu, pasti sudah sangat terkenal.

   Ia sendiri belum t ahu pasti, apakah majikan pedang pusaka itu dahulu seorang pendekar budiman atau seorang pembunuh kejam yang dibenci orang di seluruh dunia.

   Menimbang demikian, sedapat mungkin ia sembunyikan serapi-rapinya.

   Pendek kata, ia tak bakal menggunakannya sekiranya tidak terlalu terpaksa.

   Itulah sebabnya memperoleh rasa curiga terhadap Yunus, ia hanya menyelipkan belatinya di pinggangnya dan memperlengkapi beberapa butir senjata bidiknya.

   Kemudian dengan hati-hati ia mengint ai di balik gubuh perahu.

   Beberapa saat kmudian, perahu yang terdayung dari arah depan telah menghampiri perahu penumpang kian dekat.

   Terdengar suara kasar di atas perahu itu .

   "Hai, saudara Yunus! Apakah benar benar engkau tidak menghargai suatu persahabatan?"

   "Kalau benar bagaimana? Kalau tidak, kau mau apa?"

   Balas Y unus dengan suara nyaring.

   "Hm! Dengan susah payah kami menguntitnya mulai dari Surabaya. Tetapi engkau dengan enak saja memegatnya dan memakannya."

   Kata orang itu.

   Oleh suatu tanya jawab yang,nyaring dan berisik itu, Nitigurnito terbangun dari tidurnya.

   Segera ia mengint ai dari balik gubuk perahu.

   Ia kaget setengah mati begitu melihat suatu penglihatan yang menggeridikkan bulu romanya.

   Empat perahu datang menghampiri berlerotan dengan memasang puluhan obor yang menyala terang.

   Belasan orang berdiri berjajar dengan membawa senjata andalannya masing-masing.

   Keruan saja ia bergemetaran dan mulutnya berceratukan dengan tak dikehendaki sendiri.

   Lingga W isnu menghampiri dan membesarkan hatinya.

   Katanya membujuk.

   "Paman tak usah takut. Perselisihan itu bukan berkisar memperebutkan harta paman."

   Sebagai seorang pemuda yang memiliki kecerdasan luar b iasa, dengan cepat saja ia dapat menebak tujuh bagian persoalan yang t erjadi di depan matanya.

   Pastilah hal itu mengenai suatu perebutan rezeki antara Yunus dan gerombolan pembajak itu.

   Tapi selagi ia hendak memberi penjelasan kepada Nitigurnito, tiba-tiba terdengarlah bentakan Yunus setengah berteriak .

   "Harta benda di kolong langit ini, apakah milikmu?"

   "Letakkan dua ribu ringgit emas itu diatas geladak! Mari kita bagi seadil-ad ilnya. Engkau separoh dan kami separoh,"

   Ujar seorang berperawakan pendek kecil yang di perahu kedua.

   "Lihatlah! Jumlah kami banyak. W alaupun begitu, kami rela-menerima separoh bagian. Bukankah kami sudah mau mengalah?"

   "Huh! Jangan bermimpi yang bukan bukan!"

   Jawab Yunus setelah menyemprotkan ludah sejadi-jadinya. Dua orang yang berdiri di belakang si pendek kecil nampak menjadi .gusar. Berkata kepada orang yang membuka mulutnya pertama tadi .

   "Kakang Jumali! Apa perlu kita mengadu mulut dengan bangsat itu."

   Dan setelah berkata demikian, dengan tiba-tiba mereka berdua melesat dan turun di geladak perahu penumpang.

   Rupanya mereka beradat berangasan dan gampang sekali tersinggung kehormaftan dirinya.

   Menyaksikan kedua perampok meloncat keperahunya, Nitigurnito roboh ketakutan.

   Katanya menggigil .

   "Anakku ... eh .. saudara Lingga. Lihat! Lihat! Mereka bakal kalap ...!"

   Lingga W isnu menarik lengan saudagar itu dan dibawanya mundur sambil membesarkan hatinya dengan kata-kata lemah-lembut.

   "Paman, jangan takut! Masih ada aku ..."

   Pada detik itu, Yunus mulai memperlihatkan giginya.

   Kakinya bergerak dan mendupak seorang yang tiba terlebih dahulu di atas geladak.

   Begitu kena dupakannya, orang itu terbalik dan tercebur di dalam sungai.

   Yunus tidak hanya menggerakkan kakinya saja.

   Pedangnya menyambar orang kedua.

   Dialah orang yang beradat berangasan.

   Dan melihat menyambarnya pedang, buru buru ia menangkis dengan goloknya.

   Tapi pedang Yunus luar b iasa t ajam.

   Begitu membentur, goloknya terkutung.

   Belum lagi d ia b isa berbuat sesuatu, ujung pedang menikam pundaknya.

   Tiada ampun lagi, d ia roboh terjengkang bermandikan darah.

   "Jumali! Perahuku bukan panggung untuk mempertontonkan badut-badut semacam mereka!"

   Ejeknya Yunus dengan tertawa merendahkan.

   "Bangsat!"

   Maki Jumali. Kemudian berteriak kepada salah seorang bawahannya yang berada di sampan ketiga.

   "Saleh! Angkut Bolot kemari!"

   Saleh membawa seorang temannya.

   Dengan berbareng mereka melompat di atas geladak dan memapah Bolot yang tertikam lengan kanannya dan rekan Bolot yang tadi tercebur ke dalam sungai, waktu itu, sudah berenang dan merangkaki perahunya.

   Inilah suatu tontonan yang menyakitkan hati kawanan perompak itu.

   "Kami yang bernaung dibawah ketua kami, Anjar Semoyo, selamanya belum pernah bentrok dengan pihakmu. Mengapa engkau main serampangan saja? Apakah lantaran terlalu yakin pada kekuatan diri sendiri? hm, hm. Meskipun keluarga Dandang Mataun pernah merajai lautan dan daratan, masakan kami takut? Janganlah engkau menganggap, bahwa kami bisa kau buat permainan!"

   Teriak Jumali setengah kalap.

   Mendengar kata-kata keluarga Dandang Mataun, hati Lingga W isnu tercekat.

   Teringatlah dia kepada Cocak Obar-abir dan Gumuling yang datang di atas gunung Dieng hendak mencuri kitab warisan Bondan Sejiwan.

   Katanya di dalam hati .

   'T atkala Cocak Obar-abir hendak membunuhku, bukankah dia menyatakan diri salah seorang anggauta keluarga Dandang Mataun?' Terus saja ia memasang telinganya tajam-tajam .

   Yunus mendengus.

   Lalu menjawab teriakan Jumali .

   "Kau mengangkat-angkat keluargaku. Bagus! Tapi lebih baik janganlah engkau mencoba mengambil hatiku. Jago godogan biasanya memang pintar mengambil hati lawan, setelah merasakan pedasnya sebuah dupakan saja!"

   Diejek damkian, Jumali meluap darahnya. Nanun masih bisa ia menguasai hatinya. Menegas.

   "Kau tegaskan sekali lagi! Kau bisa menghargai arti suatu persahabatan atau tidak?"

   "Persetan dengan semuanya itu! Selamanya aku majikan atas diriku sendiri. Kalau aku berkenan, tak perlu aku memperdulikan segala pertimbangan."

   Sahut Yunus.

   "Berbicaralah yang lebih jelas lagi!"

   Ujar Jumali.

   "Jembatan yang kulalui jauh lebih banyak dari pada yang pernah kau lint asi. Sudah sewajarnya, aku harus berpegang pada t ata santun pergaulan. Tapi t ata-sant un bukan berarti aku sudah merasa taluk padamu. Kau mengerti? Nah, nyatakan yang tegas! Jangan menggunakan kata-kata berputar tak keruan junt rungannya karena kalau memang tiada jalan lagi, barulah kita mencoba-coba ketajaman senjata. Dengan begitu, dikemudian hari aku tak bakal dituduh Ketuamu, main kuasa-kuasaan t erhadap bocah ingusan ..."

   Dengan ucapannya itu, teranglah bahwa Jumali segan dan menghargai Ketua keluarga Dadang Mataun. Sebaliknya Y unus malahan menjadi besar kepala. Dengan tertawa melalu i hidungnya, ia berkata .

   "Dengan berbekal kepandaian badut, kalian mencoba hendak terbinaku? Eh, kalian benar-benar tak tahu diri."

   Sampai disitu, tahulah Lingga W isnu bahwa mereka bakal mengadu senjata.

   Baginya, latar belakang pembicaraan itu sudah jelas.

   Jumali atau pihak Anjar Semoyo sedang mengincar mangsanya.

   T api kedahuluan Yunus.

   Jumali jadi tak senang hati terhadap keluarga Dadang Matuan dan dia mint a bagian.

   Tapi Yunus menolak.

   Pemuda ini tipis perawakannya.

   Di manakah dia menyimpan harta rampasannya? Pastilah yang berada di dalam bungkusannya itu.

   Pikir Lingga W isnu .

   'Mereka berdua setali t iga uang.

   Sama-sama jahat dan sama-sama penyamun.

   Biarlah mereka bercakar-cakaran.

   Apa peduliku?' Dalam pada itu perkelahian mulai terjadi.

   Perahu penumpak milik Kertomidin cukup leluasa untuk dibuat gelanggang mengadu senjata.

   Dengan membawa sepuluh orang Jumali melompat ke dalam perahu penumpang.

   Ia membawa sebilah golok besar mirip golok penyembelih kerbau.

   Di depan Yunus, ia membungkuk hormat sebagai suatu tata-sant un.

   Rupanya ia mau mengesankan, bahwa dirinya adalah seorang yang mengerti tentang tata-tertib.

   Katanya .

   "Sekalian t eman-temanku ini bukanlah tandingmu. Aku tahu! Karena itu, biarlah aku mewakili mereka mencobacoba ketajaman pedangmu. Pedang Dandang Mataun yang merajai w ilayah Gunung Lawu!"

   "Hm."

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengus Y unus.

   "Kau hendak maju seorang diri atau main kerubut?"

   Jumali tercengang sejenak. Kemudian tertawa. Sahutnya dengan mendongakkan kepalanya .

   "Kau benar-benar bocah tak tahu diri. Kau anggap apa aku ini? Kau masih mempunyai teman, suruhlah dia keluar dari dalam gubuk perahu! Biarlah dia menjadi saksi agar dikemudian hari aku tidak dituduh orang berbuat sewenang-wenang terhadap salah seorang anggauta keluarga Dandang Mataun."

   Setelah berkata demikian, ia berseru lantang.

   "Sehabat seperjalanan! Silahkan engkau menjadi saksinya!"

   Dua orang bawahannya menghampiri gubuk perahu. Sambil menjengukkan kepalanya ke dalam gubuk, mereka berkata mempersilahkan kepada saudagar Nitigurnito dan Lingga W isnu .

   "Sahabat! Kami mengundang kalian untuk menjadi saksi keramaian ini!"

   Saudagar Nitigurnito menggigil ketakutan. Tak dapat ia memberi jawaban, dengan pucat lesi ia berpaling kepada Lingga W isnu mencari pertimbangan. Kata Lingga W isnu meyakinkan .

   "Paman, mereka hanya menghendaki kita untuk menjadi saksi saja. Mari kita keluar."

   Lingga W isnu menarik dan membimbing lengan Nitigurnito keluar gubuk. Sementara itu, Yunus sudah tak sabar lagi. Lant ang ia berkata .

   "Jadi kau benar-benar membutuhkan saksi? Baik! T api tontonan apakah yang hendak kau pamerkan kepada saksi?"

   Setelah berkata demikian pedangnya terus saja menusuk pinggang.

   Jumali bertubuh besar dan tak ubah anak raksasa.

   Meskipun demikian gerakannya gesit dan ringan.

   Dengan sebat ia menangkis.

   Goloknya berkelebat ke samping, kemudian berputar dan menabas.

   Inilah suatu pembelaan diri yang hebat sekali.

   Tatkala mata golok hendak memagas leher sekonyong-konyong berbalik dan hanya bermaksud membenturkan punggungnya.

   Jelas sekali, maksudnya ia tak sampai hati memagas leher atau membelah kepala Yunus dengan sekali t abas.

   Tetapi Yunus tak sudi menerima budi baik itu.

   Sambil memberondongkan tiga t ikaman sekaligus, ia berteriak .

   "T ak usah engkau berlagak seperti seorang dermawan. Hayo, keluarkan semua kepandaianmu!"

   Berbareng dengan teriakannya, Yunus merangsak terus menerus sehingga Jumali hampir tak mempunyai kesempatan untuk menangkiss.

   T iba-tiba ia kaget t atkala ujung pedang Yunus hampir saja menyentuh bajunya.

   Itulah terjadi, lantaran hatinya terlalu hatinya menyaksikan lagak lagu Yunus yang congkak dan tak memandang mata terhadapnya.

   Gugup ia melesat mundur kesamping dan sambil membabatkan goloknya.

   Hatinya tergetar mengingat kejadian sebentar tadi.

   Nyaris ? dadanya tertembus pedang si congkak.

   "Anak sambel ini benar-benar patut dihajar babakbelur", makinya didalam hati. Terus saja ia membalas menyerang dengan dahsyat. Goloknya menabas-nabas dan berseliweran dengan sebatnya. Yunuspun tak kurang-kurang gesitnya. Gerakan pedangnya makin fana makin cepat. Ia pandai mengelakkan diri dan pedangnya tiada hentinya memunahkan setiap bentuk serangan. Sudah begitu, berkali-kali ujungnya menyelonong menusuk dada, pinggang dan perut. Setelah lewat beberapa jurus, Lingga W isnu segera mengetahui bahwa ilmu pedang Yunus lebih tinggi set ingkat daripada ilmu golok Jumali. Meskipun Jumali banyak makan garam dan goloknya jauh lebih berat daripada pedang, namun sama sekali ia tak berdaya menghadapi kelincahan Yunus. Lambat-laun, ia bahkan mulai merasa kewalahan. seperempat jam kemudian, pernapasannya mulai terdengar mengorong. Keringat membasahi sekujur badannya dan gerak-geriknya mulai lamban. Sebaliknya rangsangan Yunus, bertambah hebat. Sekonyong-konyong Yunus berteriak melengking. Dan berbareng dengan auman teriakannya, ujung pedangnya berhasil menikam paha Jumali yang menjerit kaget sambil melompat mundur. W ajahnya menjadi pucat. Tangan kirinya mengayun. Tiga batang panah paku menyamber beruntun. Yunus benar-benar cekatan. Diserang dengan mendadak, sama sekali ia tak nampak bingung. Dua kali pedangnya menyapu dua buah paku yang menyambar padanya. Sedang paku ketiga dihindari dengan mengelakkan diri. Ia baru hendak mengumbar mulut nya, tatkala diluar perhitungannya kedua paku yang dapat disapunya justru meletik menyambar dada Lingga W isnu. Melihat hal itu, ia memekik terkejut. Tadinya ia mengira Lingga W isnu seorang pendekar muda yang lagi menyamar. Tapi melihat pemuda itu sama sekali tak bergerak atau tak berdaya sesuatu untuk menghindari letikan dua paku yang akan menembus dadanya, ia jadi kaget dan berkhawatir. Pada detik itu juga, ia hendak meloncat untuk menolong. Tiba-tiba ia melihat suatu keanehan. Kedua paku Jumali itu tepat sekali mengenai dada Lingga W isnu, namun runt uh dengan begitu saja di atas geladak. Sama sekali tak melukai pemuda itu. Dan dia kelihatan diam saja seakanakan tidak pernah terjadi sesuatu. Ketiga sampan Jumali menyalakan obor terang benderang. Semua orang menyaksikan, bagaimana kedua paku Jumali meletik dan mengenai dada Lingga W isnu. Setelah melihat kesudahannya, mereka semua tercengangan dan saling pandang! Kemudian dengan berbareng pula mereka mengawaskan Lingga W isnu. Pemuda itu pastilah berilmu kepandaian t inggi, meskipun pakaian yang dikenakan mirip pakaian seorang pemuda kota kecil. Tentu saja, siapapun tak tahu bahwa dada Lingga W isnu terlindung baju mustika pemberian Ki Ageng Gumbrek. Baju itu tak tertembusi serta tak mempan tertikam senjata tajam betapa keraspun. Jumali seorang perompak berpengalaman. Ia melihat Lingga W isnu tak roboh kena letikan senjata pakunya. Pada saat itu, ia melihat pula Yunus tertegun karena kaget. Itulah kesempatan yang sebagus-bagusnya baginya. Terus saja ia menimpukkan tiga batang panah pakunya lagi. Yunus menjerit lantaran kaget. Serangan gelap itu sulit sekali untuk dihindari. Iapun tak berdaya untuk menangkis dengan pedangnya. Satu-satunya gerakan yang dapat dilakukan, hanyalah mengendapkan diri. Memang, dapat ia mengelakkan paku yang pertama. Tapi dua paku lainnya tepat sekali membidik sasarannya. Secara wajar ia memejamkan matanya menunggu nasib. Dan mendadak pada detik itu, terdengarlah suara benturan nyaring. Ia menyenakkan matanya dan di lihatnya kedua paku itu runtuh terpelanting di atas geladak. Yunus seorang pemuda yang tajam mata. Sekali menggerakkan gundu-matanya, ia melihat gerakan tangan Lingga W isnu. Dialah yang menolong jiwanya. Hal itu terjadi, karena Lingga W isnu sebal menyaksikan Jumali berlaku curang. Segera ia memungut dua batang panah paku yang tadi jatuh runtuh di depannya setelah membentur dadanya. Dan dengan dua batang panah paku itu, ia memunahkan serangan paku Jumali yang hampir saja mengenai sasaran. Dengan rasa terima kasih sebesar-besarnya, Yunus mananggut kepada Lingga W isnu. Kemudian melemparkan pandangnya kepada Jumali dengan sengit. Ia mendongkol dan timbul ah rasa bencinya. Dengan serta-merta ia meletik tinggi dan menyerang Jumali setengah kalap. Meskipun Jumali heran melihat gagalnya panah pakunya, namun la segera tersadar terhadap kedudukan Lingga W isnu. Siapa lagi kalau bukan perbuatan pemuda itu. Itulah sebabnya, ia bisa mendahului gerakan dendam Yunus. Goloknya mendahului menabas, tatkala Yunus masih berada di udara. Yunus terkejut melihat berkelebatnya golok. Gesit ia melejit kesampdng untuk mengelak. Baru ia mencecarkan pedangnya. Kali ini, dia bersungguh- sungguh. Beberapa saat kemudian, pedangnya berhasil menembus iga. Jumali menjerit kesakitan dan goloknya runtuh bergemelontangan. Masih belum puas Yunus berhasil melukai iga lawan, ia melompat menghampiri dan menahaskan pedangnya. Cress! Paha Jumali terkutung. Dan pemimpin perompak itu roboh pingsan! Anak buahnya kaget bukan kepalang menyaksikan pemimpinnya roboh pingsan. Dengan berbareng mereka maju menyerang sambil menolong Jumali terhindar dari maut. Yunus seolah olah terbakar hatinya. Ganas ia menyapu semua senjata yang mengarah padanya. Dan kembali lagi tujuh orang kena dilukai. Mereka roboh dengan bercucuran darah. Menyaksikan hal itu, Lingga W isnu jadi tak sampai hati. Serunya setengah membumjuk.

   "Saudara Yunus, sudahlah! Ampuni mereka!"

   Tetapi Y unus sedang serigit-sengitnya.

   Ia melukai dua orang lagi.

   Sisa perampok lainnya jadi kuncup hatinya.

   Buru-buru mereka mencebur di dalam sungai menyelamatkan diri.

   Tak sanggup mereka menghadapi amukan pemuda itu yang sudah menjadi kalap.

   Dengan mundurnya sisa perompak, Jumali jadi tak dapat tertolong.

   Masih ia roboh pingsan dengan berlumuran darah.

   Yunus mendekati dan mengayunkan pedangnya.

   Seketika itu juga kepala Jumali tertabas kutung.

   Dengan sekali menggerakkan kakinya, ia mendupak tubuh Jumali dan tercebur di dalam sungai.

   Kemudian ia mencublas kepala Jumali.

   Setelah disontek tinggi, ia melemparkannya pula ke dalam sungai! Itulah suatu perbuatan yang mengejutkan dan diluar dugaan Lingga W isnu.

   Ia jadi tak puas menyaksikan perangai Yunus.

   Perbuatannya keterlaluan! Ia sudah memperoleh kemenangan.

   Apa sebab menuruti gelora hati yang panas sehingga tak memberi kesempatan hidup kepada lawannya? Bukankah Jumali sudah cukup tersiksa setelah pahanya t erkutung sebelah? Diapun tadi bersikap hati-hati pula, sebelum memutuskan persoalan dengan, mengadu senjata.

   Seumpama dialah yang menang pastilah dia tak berani memperlakukan Yunus dengan senibarangan.

   Dia tadipun bersikap segan dan hormat kepada Ketua keluarga Dandang Mataun.

   Nitigurnito nampak duduk terjongkok dekat gubuk perahu dengan pandang terlongong-longong.

   Itulah penglihatan seorang yang tergempur oleh rasa t akut dan ngeri.

   Dengan pandangan itu, menambah hati Lingga W isnu pepat serta penuh sesal.

   Selagi demikian, pemuda itu melihat Yunus menabasi ketujuh orang lawannya tadi.

   Seorang demi seorang dilemparkan ke dalam sungai sehingga permukaan air menjadi merah.

   Menyaksikan perbuatan Yunus yang bengis dan kejam itu, perompak-perompak lainnya segera kabur dengan sampannya.

   Masing-masing hendak berusaha menolong jiwanya sendiri.

   Lingga W isnu benar-benar tertegun menyaksikan sepak-terjang pemuda itu yang ganas luar biasa.

   Semenjak bayi ia dikejar-kejar lawan dan seringkali ia menyaksikan seorang mati tertikam didalam suatu perkelahian.

   Akan tetapi belum pernah ia melihat salah seorang lawannya sekejam Yunus.

   "Mengapa engkau perlu mengutungi kepala mereka? Bukankah mereka hanya bertujuan hendak merampas uangmu semata?"

   Lingga W isnu ingin memperoleh penjelasan.

   "Merekapun gagal pula. Artinya uangmu sama sekali t ak berkurang. Kenapa main membunuh?"

   Yunus melototi. Sahutnya sengit .

   "Apakah engkau tak melihat sendiri betapa licik mereka? Mereka main kepung. Melakukan serangan gelap dan main keroyok. Seumpama aku jatuh di t angan mereka, entah perlakuan apa yang bakal menimpa diriku. Huh! Setelah pernah menolong jiwaku, janganlah engkau lantas menganggap diri, bisa memberi nasehat atau menegor aku dengan sembarangan saja. Tahu?"

   Lingga W isnu terbungkam.

   Itulah jawaban yang tak pernah diduganya.

   Katanya di dalam hati .

   'Benar ujar Jumali tadi.

   Bocah ini sama sekali tak mengenal nilai-nilai budi.' Yunus sendiri nampak tak pedulikan.

   Ia sibuk menyusut pedangnya pada tepi perahu setelah mencelupkan di dciam permukaan air.

   Setelah jadi bersih, ia menyarungkan dengan cermat.

   Tiba- tiba saja kesengitannya hilang.

   Kemudian tertawa manis sekali.

   Katanya ramah .

   "Saudara Lingga, engkau telah menolong jiwaku. Aku sangat berterima kasih kepadamu."

   Inilah perubahan dan pernyataan di luar dugaan pula.

   Untuk yang kedua kalinya, Lingga W isma terhenyak.

   Tanpa membuka mulut nya, ia memanggut.

   Heran dia menyaksikan perangai Yunus.

   Mula-mula ia berkesan lemah lembut.

   Tiba-tiba saja berubah menjadi seorang pemuda yang kejam bengis.

   Dan set elah memenggali kepala lawan dan menyemprot dirinya, kembali lagi ia bersikap manis serta lembut hati.

   Dia seakan-akan manusia berhati serigala atau serigala berhati manusia.

   Selama hidupnya, baru untuk yang pertama kali itulah ia berkenalan dengan seorang yang berperangai demikian.

   Dalam pada itu, Yunus memanggil Kartomidin dan empat pembantunya yang selama dalam perjalanan bertugas mendayung perahu.

   Dengan upah besar, ia menyuruh mereka membersihkan darah yang t ercecer di atas geladak.

   Mereka semua kecuali t akut, sesungguhnya bermata duitan.

   Lagi-pula, bukankah perahu itu perahunya sendiri pula.

   Sekalipun tak diperint ah, merekapun bakal mmbersihkan juga noda-noda darah itu.

   Maka tanpa membuka sepatah katapun, mereka lantas saja bekerja.

   "Paman Kartamidin, setelah selesai tolong sediakan makanan malam unt uk kita semua. Inilah uangnya!"

   Kata Yunus menambahi perintahnya.

   Tatkala itu, sekitar sungai kembali padam.

   Geladak hanya terpantuli cahaya pelita remang-remang.

   Untuk menghindar pandangan orang, Kartomidin melanjutkan perjalanan.

   Menjelang fajar hari, hidangan telah selesai dimasak.

   Yunus mengundang Lingga W isnu dan Nitigurnito makan bersama.

   Sambil makan, dia membuka mulutnya.

   Sama sekali ia tidak menyinggung soal pertempuran tadi.

   Juga tidak membicarakan tentang ilmu tata-berkelahi sedikitpun juga.

   "Saudara Lingga,"

   Katanya riang.

   "Angin meniup lembut. Bulan cerah pula. Hawa segar seolah-olah menembus perasaan kita. Apakah tidak tepat kalau kita bergadang? Kau bersenandunglah dan aku yang menimpali!"

   Lingga W isnu pernah belajar memetik kecapi tatkala mengiringi kemauan Ki Ageng Gumbrek di atas gunung Dieng.

   Senandung dan lagu, bukan merupakan hal asing baginya.

   Tapi untuk meladeni Yunus yang berperangai aneh Itu, hatinya segan.

   Sahutnya asal jadi saja .

   "Sama sekali aku tak pandai bersenandung. Maafkan."

   Yunus bersenyum. Matanya berkilat tajam. Lalu mengalihkan pembicaraan. Katanya setengah memerint ah.

   "Kau minumlah suguhanku!"

   Dengan tenang, perahu penumpang meluncur di atas permukaan air.

   Pulau yang bersemarak di udara sudah cenderung ke barat.

   Itulah suatu tanda fajarhari berada di ambang.

   Meskipun demikian Yunus dan Lingga W isnu masih saja asyik berbicara dengan mencegluk minumannya.

   Lingga W isnu hidup beberapa tahun di atas gunung.

   Ia biasa minum minuman keras untuk mengusir dingin hawa yang meresapi tubuhnya.

   Karena itu, ia dapat melayani minum beberapa cawan banyaknya.

   Sebaliknya, yang mengherankan adalah Yunus.

   Masih berusia muda dia, tetapi kuat pula mencegluk beberapa caw an minuman geras.

   Apakah diapun hidup diatas gunung, sehingga minuman keras tidak asing lagi baginya? Sekonyong-konyong Yunus melemparkan cawannya.

   Dengan sekali menjejakkan kakinya, ia meletik ke belakang buritan dan merebut kemudi.

   Setelah merampas pengayuhnya pula, ia membelokkan ke kiri dan perahu bergeser arah.

   Lingga W isnu tercengang.

   Kenapa pemuda itu mempunyai perangai yang bisa berubah dengan mendadak? Ia menajamkan mata dan telinga.

   Samar samar ia mendengar sampan terkayuh.

   Dan muncul ah sebuah sampan yang laju dengan-amat cepatnya.

   Apakah hubungannya dengan sepak terjang Yunus yang tiba-tiba menjadi kalap seperti kerasukan roh jahat? Teka-teki itu tak usah menunggu jawabannya terlalu lama.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Begitu sampan yang bertentangan arah itu mendekati perahu penumpang, tiba-tiba Yunus menggerakkan kemudinya lagi.

   Perahu bergeser arah dan membentur sampan yang datang sangat laju.

   "Hai!"

   Lingga Wisnu kaget sampai berteriak.

   Sampan yang terbentur perahu Kartomidin, memuat lima orang.

   Anak-buahnya mencoba mengelakkan.

   Tapi perahu yang manbentur sampan itu, terlalu besar perbandingannya.

   SiajjLa saja mereka berusaha sekuat tenaga.

   Brak! Dan ujung sampan itu mendongak tinggi karenanya ujung yang lainnya tenggelam dalam.

   Tepat pada saat itu, tiga bayangan melesat t inggi di udara dan mendarat di geladak perahu Kartomidin.

   Gerakannya gesit dan ringan sekali.

   Kini, tinggal dua orang yang masih berada didalam sampan.

   Merekalah juru-mudi dan pembantunya.

   Karena terikat pada pekerjaannya, tak sempat lagi mereka menolong dirinya.

   Dengan berteriak kaget, mereka tercebur di dalam sungai.

   "Tolong!"

   Serunya nyaring.

   Air yang datang dari kelokan, berarus deras.

   Oleh benturan itu, permukaan air seperti terkocak.

   Arus sungai berubah menjadi gelombang gelombang pendek tapi kuat.

   Dalam keadaan demikian, juru-mudi dan pembantunya itu terseret putaran air sehingga menghadapi bencana.

   Kalau saja terdapat kerajaan buaya di dalam sungai, bakal terjadi suatu penglihatan yang mengerikan.

   'Bocah ini benar-benar kejam,' pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   Dengan sekali t arik, ia menguraikan lingkaran dadung perahu.

   Kemudian ia menggigit ujungnya.

   Sebentar ia menunggu saat timbulnya dua orang itu yang tercebur ke dalam sungai.

   Lalu dengan menggigit ujung dadung, ia melesat tinggi di udara.

   Kedua tangannya dikembangkan dan menyaibar dua orang itu yang muncul dipermukaan air.

   Oleh pantulan dadung yang terikat pada tiang perahu, tubuhnya balik seperti pegas.

   Dan dengan membawa dua orang itu pada kedua tangannya, ia mendarat di atas geladak.

   Indah gerakannya, sehingga mereka yang menyaksikan kagum luar biasa.

   "Bukan main!"

   Mereka berseru tertahan.

   Dan diant ara seruan ketiga orang yang baru saja tiba di atas geladak, terdengar pujian Yunus pula.

   Lingga W isnu meletakkan kedua orang itu di atas geladak tak ubah dua karung goni.

   Kemudian ia duduk kembali pada tempatnya semula.

   Diam-d iam ia mengerling kepada ketiga penunggang sampan yang tenggelam.

   Yang pertama.

   seorang laki-laki berusia kurang-lebih lima puluh tahun.

   Tubuhnya kurus kering, berkumis jarang.

   Yang Kedua, berumur kurang-lebih empat puluh tahun, tubuhnya kekar dan kasar.

   Dan yang ketiga seorang perempuan berumur tigapuluh tahunan.

   Sambil tertawa guram, orang tua itu berkata kepada Lingga W isnu .

   "T uan muda, engkau jempolan sekali. Siapakah gurumu? Siapa pula namamu?"

   Lingga W isnu bangkit dari tempat duduknya.

   Dengan memanggut hormat, ia menyahut "Orang menyebut nama kependekanku saja.

   Lingga! Kedua tuan itu terancam bahaya.

   Aku jadi tak sampai hati membiarkan mereka mati tenggelam.

   Maafkan atas kelancanganku.

   Sekali kali bukan maksudku hendak memamerkan kepandaian diri."

   Orang tua itu tercengang mendengar suara Lingga W isnu yang bernada sopan dan halus. Kemudian ia berpaling menghadapi Yunus. Berkata tajam .

   "Pantas, engkau berkepala besar! Tak tahunya engkau mempunyai seorang pembantu berkepandaian tinggi. Apakah dia salah seorang sahabatmu?"

   W ajah Yunus berubah merah padam. Tegurnya.

   "Engkau seorang berusia tua. Kau hargai dirimu sendiri, agar tak perlu menerima cercaanku yang tak enak."

   Lingga W isnu teringat akan ketajaman lidah Yunus.

   Dia sendiri seorang panuda yang senantiasa menghargai seorang t ua di atas kehormataannya sendiri.

   Karena itu, hatinya tak enak apabila menyaksikan adu-mulut yang akan menyeret dirinya.

   Pikirnya di dalam hati.

   'Mereka semua nampaknya bukan orang baik-baik pula.

   Kalau aku membiarkan diriku terseret arus, rasanya ...' Terus saja ia berkata tegas .

   "Aku dan saudara Yunus ini, baru saja berkenalan. Itupun secara kebetulan pula, lantaran berada di sebuah perahu yang sama. Jadi, tidak tepat apabila disebut sebagai suatu sahabat. Perkenalan bukanlah berarti persahabatan! Meskipun demikian ingin aku mengemukakan sebuah saran. Apabila diant ara kamu terjadi suatu perselisihab, hendaklah diusahakan agar menjadi damai saja. Dengan begitu kamu semua tidak akan merusak sendi-sendi perdamaian yang perlu kita himpun selama hidup."

   Ini bukan saran, tetapi sebuah pidato. Tak mengherankan, Yunus yang berwatak angin-anginan mendadak membentak sambil melot ot .

   "Geladak perahu bukan lantai surau! Mengapa engkau berkhotbah dan mengoceh tak keruan? Jika engkau takut, melompatlah ke darat!"

   Untuk yang ketiga kalinya, Lingga W isnu tertumbuk batu.

   Pikirnya di dalam hati.

   'Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang pemuda sekasar dia ...' Begitu menyaksikan sikap galak Yunus terhadap Lingga W isnu, yakinlah orang tua itu bahwa mereka, berdua memang bukan sahabat.

   Keruan saja hatinya girang bukan kepalang.

   Serunya ramah kepada Lingga W isnu .

   "Saudara Lingga! Kau tidak menpunyai tali persahabatan dengan bocah itu. Ha, bagus sekali! Aku mengucapkan selamat. Tunggulah sebentar, kalau persoalanku dengan bocah itu sudah beres nanti kita berbicara. Boleh kita mengikat tali persahabatan."

   Lingga W isnu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dan mundur keluar gelanggang. Dan orang itu lantas menghadapi Yunus. Berkata menyabarkan diri .

   "Bocah! Usiamu masih muda sekali. Tetapi, perbuatanmu sangat bengis. Jumali memang bukan tandinganmu. T ak mengapa kalau hanya kau lukai. Akan tetapi, mengapa kau menghendaki jiwanya pula?"

   "Aku seorang diri, sedang mereka berjumlah banyak. Perawakan tubuh merekapun kuat dan perkasa. Sudah begitu, mereka main keroyok pula. Kalau aku tidak melawan dengan keras, apakah yang bakal terjadi atas diriku?"

   Balas Yunus dengan suara garang.

   "Kau kini mendadak menegur pula. Hmm, apakah engkau tidak bakal d itertawai orang, karena mau menang sendiri terhadap seseorang yang berusia jauh lebih muda? Jika engkau merasa mempunyai kepandaian, mengapa tidak engkau sergap sendiri mangsa itu? Mengapa menunggu sampai aku sudah berhasil? Coba katakan, siapakah diant ara kita ini, yang lebih jujur! Aku atau engkau."

   Perkataan Yunus diucapkan dengan halus tetapi tajam. Dan orang t ua itu jadi bungkam di buatnya. Sekonyongkonyong seorang perempuan tua yang berdiri diant ara mereka membuka mulut.

   "Hai bocah cilik! Orang tuamu terlalu memanjakan dirimu. Lantaran itu, engkau tak mengerti tentang adatistiadat. Siapakah ayah ibumu? Masakan mereka tak pernah mengajarimu, agar engkau bisa menghargai orang tua yang usia nya jauh diatasmu?"

   "Huh!"

   Dengus Yunus.

   "Tak usah dia perlu berusia lanjut, kalau saja bisa menghargai diri sendiri, masakan aku tak akan menaruh hormat kepadanya? Orang tua semacam kalian, harus aku hormati dan aku hargai apanya?"

   Merasa kena selomot , orang tua itu tak dapat lagi menguasai rasa gusarnya. Tangannya melayang dan menggempur hiasan perahu. Dan kena gempurannya, hiasan kayu itu hancur berantakan. Melihat tenaga besi orang tua itu, Yunus berkata .

   "Hai, kakek! Siapa yang tak kenal kepandaianmu yang hebat itu? Semenjak dahulu aku tahu. Sekiranya ingin pamer kepandaian, seyogianya kau pertontonkan dihadapan sekalian paman-pamanku."

   Disemprot demikian, rasa gusar orang tua itu kian menjadi-jadi. Bentaknya .

   "Hem, kau hendak menggertak dengan menyebut paman-pamanmu? Siapa paman-pamanmu itu? Sekiranya sekalian paman-pamanmu dan kakekmu mempunyai kepandaian tidak bakal membiarkan ibumu kena diperkosa orang. Tak nanti pula, engkau dilahirkan sebagai anak haram ..."

   Meluap hawa amarah Yunus.

   W ajahnya merah padam.

   Tetapi diant ara luapan rasa amarahnya, terdapat rasa duka, malu dan pedih.

   Justru demikian, kesan diwajahnya mendadak menjadi seram suram.

   Matanya menyala bagaikan api.

   Laki-laki yang bertubuh kekar dan perempuan yang berada disampingnya, tertawa berkakakan melihat kesan waj ah Yunus.

   Mereka seakan-akan melihat suatu tontonan yang lucu.

   Dan pada saat itu, Lingga W isnu menatap wajahnya.

   Ia nampak mengalirkan air mata.

   Dan melihat air mata itu, diam-diam Lingga Wisnu heran dan terharu.

   Pikirnya .

   'Yunus lebih berpengalanan dari pada diriku.

   Mengapa ia menangis?"

   Berpikir demikian, tiba-tiba Lingga W isnu seperti tersadar.

   Akh, dia menanlis lantaran terhina, pikirnya.

   Dia seorang diri.

   Dan d iperlakukan rendah oleh segerombolan orang tua.

   Dan memperoleh kesadaran ini, Lingga W isnu merasa di pihak Yunus.

   Itulah disebabkan karena ia t eringat akan nasib sendiri, yang hidup sebagai anak yatim piatu.

   Segera timbul keputusannya hendak membantu pemuda itu.

   Orang tua itu, yang sudah berhasil membuat Yunus menangis nampak jadi puas.

   Katanya menang .

   "Hai! Apa perlu menangis? Apa gunanya? Sekalipun engkau menangis seribu kali sehari, tetap saja dirimu seorang anak yang dilahirkan dari suatu perkosaan. Bukankah begitu? Nah, serahkan emas itu. Kamipun tidak akan serakahi. Kami akan menyisihkan sebagian sebagai hak hidupnya janda Jumali."

   Yunus mendongkol sampai tubuhnya menggigil. Akan tetapi, menghadapi mereka ia merasa dirinya tak mampu. Dengan menangis seru, Yunus berteriak .

   "Jika kalian hendak membunuhku, bunuhlah! Bagaimanapun akibatnya, aku tak akan menyerahkan emas itu!"

   "Hmm, begitu?"

   Dengus orang tua itu.

   Tiba-tiba saja ia menyambar jangkar besi yang beratnya duaratus kilo.

   Dengan enteng, ia melemparkannya ke tepi.

   Dengan demikian perahu penumpang lantas saja berputar-put ar kena kait.

   Tak lama kemudian berhent sama sekali.

   Tak usah dikatakan lagi, bahw a pameran kepandaian untuk yang kedua kalinya ini, membuktikan bahwa tenaga orang tua itu memang luar biasa kuat.

   "Nah, kau serahkan tidak emas itu?"

   Gertaknya. Dengan tangan kiri, Yunus menyusut air matanya. Menyahut . ''Baiklah, akan aku serahkan. Tunggu sebentar!"

   Setelah berkata demikian, larilah ia memasuk i gubuk perahu. Kemudian keluar lagi sambil membawa bungkusan sepanjang guling yang nampaknya berat sekali. Orang tua itu buru-buru mengulurkan kedua tangannya, hendak menerima buntalan itu.

   "Ih, begitu gampang?"

   Dengus Yunus. Dan dengan mendadak-saja ia melemparkan bunt alannya itu ke dalam sungai. Hebat akibat lemparan itu. Selain menerbitkan suara hebat, permukaan air pun muncrat tinggi di udara. Kemudian ia menant ang dengan suara nyaring .

   "Jika kalian berani membunuhku, nah bunuhlah aku sekarang! Kalau kalian menghendaki emas itu, huh! Jangan mimpi!"

   Laki-laki yang bertubuh besar itu, gusar bukan kepalang.

   Terus saja ia mengayunkan goloknya hendak membelah tubuh Yunus yang menjengkelkan hatinya.

   Sudah barang tentu, Yunus tidak t inggal diam.

   Serentak ia menghunus pedangnya pula.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan menangkis.

   Sebentar saja mereka bertenpur dengan sengit.

   Laki-laki bertubuh besar lawan Yunus itu, bernama Jaya Tatit.

   Sebagai orang yang berperawakan tinggibesar, sudah selayaknya kalau tenaganya besar pula.

   Namun gerak-geriknya kaku.

   Goloknya menyambarnyambar membabat dan menahas tiada hentinya.

   Hanya saja, tak pernah dapat menyentuh Yunus yang bisa bergerak gesit.

   Malahan set elah mengelak dua kali, pemuda itu mulai membalas.

   "T ahan! Tahan dahulu!"

   Seru orang tua itu. Mendengar seruan orang tua itu, Yaya Tatit terus mundur. Dan orang tua itu maju selangkah dengan pandang tajam. Berkata .

   "Seekor harimau memang melahirkan anak harimau. Itulah engkau, bocah! Ayahmu menang hebat. Kalau engkau sekarang bisa berkelahi, sudah selayaknya. Hanya saja, kalau dibiarkan maka lambat laun kau bisa jadi kurang ajar. Masakan kau tidak menghargai aku?"

   Tak jelas gerakannya.

   Tahu-tahu ia sudah berada di depan Yunus.

   Tetapi Yunus sendiri sudah bersiaga penuh.

   Dengan pedang panjangnya, ia menusuk.

   Cepat tusukannya.

   Sayang, orang tua itu terlalu tangguh baginya.

   Dengan bertangan kosong saja, ia dapat mengelakkan diri.

   Kemudian mulai merangsak.

   Mau tak mau, Yunus berkelahi dengan mundur.

   Ingin ia membuat suatu-pembalasan.

   Akan tetapi tak memperoleh hasil karena rangsakan orang tua itu demikian cepatnya, sehingga ia tak memperoleh kesempatan sedikitpun juga.

   Meskipun tangannya menggenggam pedang panjang, namun tiada gunanya sama sekali.

   Dengan sekali melihat, tahulah Lingga W isnu bahw a orang tua itu bukan tandingnya Yunus.

   Dalam segala hal, dia berada diatas pemuda itu.

   Dan dugaannya ternyata tepat sekali.

   Setelah melakukan serangkaian serangan, lengan Yunus kena dicengkeramnya.

   Seketika itu juga runtuhlah pedang Yunus.

   Dan lengannya mendadak saja menjadi lemas.

   Begitu pedangnya runtuh bergemelontangan di atas geladak, orang tua itu menyontek dengan sebelah kakinya.

   Kena sontekannya, pedang Yunus membalik ke atas.

   Tangan kirinya bergerak menangkap ujungnya.

   Kemudian tangan kanannya bergerak.

   Dan pedang itu patah menjadi dua bagian.

   Keruan saja Yunus kaget setengah mati sampai w ajahnya menjadi pucat.

   Berkatalah orang tua itu .

   "Jika aku tidak memberimu tanda mata pada salah satu bagian tubuhmu, pastilah engkau makin meremehkan diriku. Jangan khawatir, aku hanya ingin menggores pipimu saja."

   Setelah berkata demikian, ujung patahan pedang itu bergerak hendak menggoret pipi Yunus.

   Yunus kaget bukan kepalang.

   Dengan muka pucatpasi, ia meloncat mundur.

   Tetapi dengan mudah saja, orang tua itu dapat mengejarnya.

   Tangan kirinya yang memegang patahan pedang mulai bergerak menjangkau.

   Dan Yunus menjerit ketakutan.

   'Ih!"

   Hati Lingga W isnu tercekat.

   'Jika pipinya yang kuning halus itu sampai kena tergores, dia bakal menderita cacat seumur hidupnya.

   ' Pada saat itu Yunus sudah menjerit lagi dengan suara putus asa.

   Cepat Lingga W isnu merogo bajunya.

   Ia menemukan sebuah kancing, dan segera direnggutnya.

   Lalu disent ilnya.

   "T rang!"

   Orang tua itu terkejut, selagi hatinya mulai menjadi girang lant aran akan segera bisa menggores pipi Yunus yang montok.

   Tangan kiri yang memegang patahan pedang tergetar.

   Lengannya lantas menjadi kesemutan.

   Dan patahan pedang yang berada dalam genggamannya runtuh di atas geladak.

   Menyaksikan hal itu, Yunus lega luar biasa.

   Kalau sedetik tadi ia dalam ketakutan, mendadak saja hatinya kini berbalik menjadi beringas.

   Sekali melompat, ia berlindung dibelakang punggung Lingga W isnu dan terus saja memegang lengannya.

   Lalu mendamprat .

   "Hai, kampret tua! Kau benar-benar berlagak. Hayoo, ke mari. Kalau berani!"

   Orang tua itu sebenarnya bernama Bhumi.

   Tetapi orang-orang menyebutnya sebutan Reksa Glempo.

   Dialah pemimpin Ki Rekso dengan Macan Kumbang, gerombolan penyamun yang bergerak di sekitar pegunungan Kendeng.

   Ilmu andalannya Esmu Gunting.

   Selamanya belum pernah ia berkelahi dengan menggunakan senjata.

   Dengan kedua t angan yang tajam mirip sebuah gunting, cukup ia merajai daerah sekitar pegunungan Kendeng, Ngawi dan lembah gunung Lawu.

   Sekarang, mendadak saja ia mempunyai pengalaman baru.

   Karena timpukan sebuah kancing baju saja, pedang yang berada di dalam genggamannya bisa runtuh diatas geladak.

   Sedang lengannya jadi kesemutan pula.

   Padahal ia memiliki tenaga luar biasa besarnya.

   Inilah suatu peristiwa yang belum pernah dialami selama hidupnya.

   Pikirnya di dalam hati .

   "Ih, kenapa bocah itu mempunyai t enaga sebesar ini?"

   Jaya Tatit yang berdiri disamp ing Zubaedah segera sadar, akan kehebatan Lingga W isnu. Dan Zubaedah, perempuan setengah umur peserta Rekso Bhumi, mempunyai kesan penglihatan yang sama pula. Pikirnya di dalam hati .

   "Emas sudah terbuang di dasar sungai. Kalau t erpaksa mengadu tenaga dengan pemuda itu, nampaknya akan berlarut -larut . Apa perlunya?"

   Dan dengan pertimbangan itu, ia lantas saja berseru kepada Rekso Bhumi .

   "Sesepuh *), sudahlah! Dengan memandang muka kepada sahabat kita Lingga, sebaiknya kau beri ampun saja bocah biadab itu!" *) Sesepuh = Ketua "Huh!"

   Dengus Yunus selagi Reksa Bhumi belum dapat membuka mulut.

   "Setelah melihat orang berkepandaian tinggi, lantas saja hendak mengangkat kaki. Ih, lagakmu benar-benar lagak bangsat. Terhadap orang yang kiranya lemah, berani main hina. Tetapi begitu ketumbuk batu, buru-buru berani hendak bersimpuh. Huuu ... Mentangmentang jadi begal pasaran ..."

   Bukan main tajam mulut Yunus, sampai Lingga W isnu mengerutkan dahinya. Pikirnya di dalam hati .

   "Bocah ini benar-benar seperti kanakkanak. Baru saja lolos dari lubang jarum, mulut nya sudah begini jahil. Apakah dia t ak bisa melihat gelagat?"

   Kena ketajaman kata-kata Yunus, Zubaedah terdiam. Ia jad i serba salah. Melayani, salah. Tidak melayan i, salah pula. Sebaliknya, Rekso Bhumi yang berpengalaman, bisa mencari jalan lain. Katanya ramah kepada Lingga W isnu .

   "Saudara, kau hebat! Kebetulan sekali rembulan sudah condong jauh ke barat. Sebentar lagi udara bakal t erangbenderang kena cahaya matahari. Bagaimana kalau kita berolah raga sebentar?"

   Ketua perkumpulan Macan Tutul, Rekso Bhumi alias Rekso Glempo, telah menantang.

   Dalam hatinya, memang ingin mencoba-coba ilmu saktinya Esmu Gunting yang telah ditekuninya selama dua puluh tahun lebih.

   Mengingat usia Lingga W isnu yang masih muda belia, ia yakin bahw a dirinya bakal menang.

   Lingga W isnu jadi berbimbang-bimbang.

   Pikirnya di dalam hati .

   "Jikalau aku melayaninya, meskupun belum pasti kalah, akan tetapi setelah bergerak satu dua jurus, berarti pula aku telah membantu Yunus. Rekso Bhumi ini meskipun sudah keriputan, nampaknya pendekar dan lic in jalan pikirannya. Apakah guna faedahnya aku menanam bibit permusuhan kepadanya?"

   Dan oleh pikiran itu, cepat-cepat ia membungkuk memberi hormat. Katanya.

   "Selama hidupku, baru untuk pertama kali in ilah aku merant au. Karena itu, aku belum t ahu tingginya gunung dan tebalnya bumi. Paman Rekso Bhumi, bila dibandingkan dengan kepandaianmu, kepandaianku ini sama sekali tiada arti. Karena itu, bagaimana aku berani melayani paman?"

   Rekso Bhumi alias Rekso Glempo tersenyum. Pikirnya di dalam hati. 'T ak aku sangka, meskipun masih begini muda, pandai membawa diri. Inilah kesempatan sebaikbaiknya untuk mengundurkan diri secara terhormat, maka berkatalah dia .

   "Sahabat Lingga, engkau bersegan segan terhadap diriku. Mengapa?"

   Tiba-tiba ia menghampiri Yunus, sambil melot otkan matanya, katanya kasar .

   "Di kemudian hari, meskipun tulang tulangku telah keropos, masih ada waktu untuk menghajarmu. Tahu?"

   Setelah berkata demikian, ia menggapai Jaya Tatit, lalu mengajaiknya pergi .

   "Mari!"

   Ajaknya. Sekonyong-konyong Yunus, si mulut jahil, berseru .

   "Hai, orang tua! Lagakmu saja seperti seorang pendekar besar. Melihat hebatnya kepandaian saudara Lingga, terus saja engkau mencari alasan mundur. Bukankah begitu?"

   Yunus sengaja mengejeknya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.

   Kecuali itu, ingin pula ia menyaksikan Rekso Bhumi alias Rekso Glempo bertempur melawan Lingga W isnu.

   Di dalam hati ia percaya, bahwa ilmu kepandaian Lingga W isnu lebih tinggi dari pada si tua bangkotan itu.

   Rekso Bhumi alias Rekso Glempo jadi serba salah.

   Dadanya panas, serasa hendak meledak.

   Namun masih bisa ia menguasai diri.

   Berkata kepada Lingga W isnu .

   "Saudara Lingga, meskipun usiamu masih muda, akan tetapi engkau mengenal arti kata suatu persahabatan. Itulah sebabnya aku memanggil saudara kepadamu. Mari, mari kita bermain segebrak dua gebrak saja! Biar bocah jahil yang tak tahu diri itu, tidak mengira bahw a aku t idak mempunyai keberanian."

   Lingga W isnu sebenarnya tak senang hati pula mendengar mulut jahil Yunus. Mendengar ucapan Rekso Bhumi alias Rekso Glempo, ia menyahut .

   "Paman, mengapa engkau mendengarkan ocehan seorang anak? Aku kira dia hanya melepaskan kata-kata sejadi-jadinya saja."

   "Engkau tak usah kuatir, saudara Lingga, akupun tidak akan berkelahi dengan sungguh-sungguh,"

   Ujar Rekso Bhumi mendesak. Dan pada saat itu, Yunus berkata lagi dengan suara tajam .

   "Mulut mu memang bilang tidak takut. Tetapi hatimu sebenarnya berdegupan. Sekiranya tidak begitu, tanganmu yang ganas masakan tinggal diam saja? Idiih! Masih bisa engkau ngomong tentang persahabatan pula? Tetapi memang! Memang! Memang lebih baik jangan bertempur saja! Tetapi demi Tuhan, sampai seusia ini belum pernah aku menyaksikan kelicikan seorang ketua gerombolan penyamun seperti dirimu. Maka dari itu, lebih baik engkau jangan bertempur saja!"

   Meluaplah hawa amarah Rekso Bhumi. Di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba tangannya bergerak menampar wajah Lingga W isnu. Akan tetapi belum sampai pada sasarannya, cepat ia menarik tangannya kembali. Lantas berkata .

   "Saudara Lingga! Mari! Mari! Aku ingin belajar kenal dengan ilmu ke pandaianmu."

   Didesak demikian rupa, Lingga W isnu tak dapat mundur lagi. Segera ia melompat ke tengah gelanggang. Berkata dengan suara hormat .

   "Baiklah. Hanya saja, sudilah paman menaruh iba kepadaku ..."

   "Kau baik sekali, sahabat Lingga! Silahkan!"

   Sahut Rekso Bhumi alias Rekso Glempo dengan suara menantang.

   Lingga W isnu tertegun sejenak.

   Meskipun ia baru untuk pertama kalinya merant au seorang diri, tetapi semenjak belum bisa beringus sudah kenyang mengenal lagak-lagu seorang pendekar.

   Maka tahulah dia, apabila tetap membawa sikap merendahkan diri terus-menerus, berarti pula ia merendahkan orang tua itu.

   Segera ia mengayuhkan pukulan jurus Sardula Jenar yang pertama.

   Sasaran yang dibidiknya adalah dada lawan.

   Rekso Bhumi tercengang.

   Juga kedua rekannya.

   Tadinya, mereka bertiga mengira, pemuda itu berkepandaian tinggi.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sama sekali tak terduga, bahwa pukulannya begitu sederhana saja.

   Seperti diketahui, jurus-jurus ilmu tata berkelahi Sardula Jenar, memang sangat sederhana.

   Pukulan-pukulannya mirip pukulanpukulan ajaran pengantar tata-berkelahi tataran permulaan.

   Sama sekali tiada tipu-tipu muslihat atau keistimewaannya.

   Seorang pendekar rendahanpun bisa memunahkan tiap serangan-serangannya dengan mudah.

   Malahan seorang tukang pukul biasapun, akan sanggup melawan dengan baik, asal saja memiliki t enaga jasman i yang kuat.

   Itulah sebabnya, Yunuspun yang merasa diri terlanjur membuka mulut besar, kecewa bukan main sampai dahinya pucat.

   Sebaliknya, Rekso Bhumi alias Rekso Glempo girang bukan kepalang.

   Dengan hati mantap, mulailah dia menyerang..

   Setiap pukulannya, disertai himpunan tenaga wkti, sehingga terdengar suara berderu-deru.

   Ia yakin dapat merobohkan Lingga W isnu dalam tiga jurus saja.

   Sekiranya tidak demikian, paling tidak, akan bisa membuat pemuda itu kelabakan.

   Diluar dugaan, gerakan-gerakan pemuda itu yang nampaknya sederhana saja, ternyata gesit dan-licin luar b iasa.

   Betapa dia menghujani pukulan-pukulan deras dengan berbagai tipu tipu muslihat t inggi, t etap saja tak mampu menyentuh tubuh Lingga W isnu.

   Keruan saja ia jad i terkejut dan terheranheran.

   Dirasakannya suatu keanehan yang tak dapat dimengerti.

   Mengapa pukulan pukulan dan gerakangerakannya yang sederhana itu, tak dapat terkejar oleh pukulan lint ang Esmu Gunting yang termasyur kecepatannya semenjak puluhan t ahun yang lalu? Sama sekali ia tak pernah mimpi, bahwa nun jauh di atas puncak gunung Dieng, seorang petapa sakti bernama Ki Sambang Dalan, telah berhasil meniupkan nyawa baru ke dalam jurus-jurus Sardula Jenar yang sederhana.

   Dan pemuda itu t elah mewarisinya dengan sangat sempurna.

   Iapun tak pernah mengira pula, bahwa seorang pendekar besar yang lainnya, yang bernama Ki Ageng Gumhirek, telah mewariskan ilmu kepandaian 'Maya Putih' kepada pemuda itu.

   Maka di tangan pemuda itu, Sardula Jenar mendadak saja berubah kemujijatannya.

   Tubuhnya berkelebatan tak ubah bayangan maya.

   Keruan saja Rekso Bhumi alias Rekso Glempo makin.lama makin menjadi sibuk.

   Bagaimana ia berusaha, tetap saja tak dapat mendekati tubuh Lingga W isnu.

   Ia malah merasa diri kena libat terus-menerus.

   Akhirnya ia berpikir d i dalam hati.

   'Teranglah sudah, bahw a ia tidak berniat menggebuk aku, agar aku tak usah menanggung malu.

   Meskipun demikian, kalau kesudahannya aku tidak dapat berbuat sesuatu, bocah biadab anak jadah itu akan memperolokkan juga.

   Lantas bagaimana baiknya? Dirumun pikirannya sendiri, kesibukannya berubah menjadi rasa cemas.

   Dengan serta merta ia menghimpun seluruh kepandaiannya.

   Lalu melancarkan serangan dengan sungguh-sungguh dan cermat.

   Gerakannya dipercepat, sedang tiap pukulannya maribawa ancaman maut.

   Meskipun demikian, tetap saja nihil, seakan-akan tiada bedanya dengan pukulan-pukulannya yang pertama.

   Pada saat itu Lingga W isnu berpikir di dalam hati .

   'Sesungguhnya tidak mudah orang memiliki ilmu 'Esmu Gunting' setinggi dia.

   Aku harus berani mengalah, agar dia tak usah menanggung malu menghadapi mulut jahil si Yunus ...' setelah memperoleh keputusan demikian, ia sengaja menggelincirkan sebelah kakinya.

   Seketika itu juga geraknya menjadi ayal.

   Rekso Bhumi girang melihat adanya suatu lowongan.

   Tetapi di dalam hati, tiada niatnya hendak mencelakai pemuda itu.

   Ia hanya ingin merobek kain bajunya saja, artinya ia sudah dapat memperoleh kemenangan.

   Demikianlah, dengan cepat diterkamnya pundak Lingga W isnu.

   Bidikannya tepat.

   Tetapi kesudahannya, ia heran bukan kepalang.

   Jelas sekali, terkamnya sudah berhasil mencengkeram daging.

   Tiba-tiba daging yang dicengkeramnya itu menjadi keras dan licin.

   Ia k aget dan cengkeramannya luput seperti seseorang menangkap belut yang t iba-tiba lolos dari tangannya.

   Hai! Mengapa? Ia tak tahu, bahwa hal itu t erjadi berkat baju mustika Ki Ageng Gumbrek yang dihadiahkan kepada pemuda itu beberapa tahun yang lalu.

   Lingga W isnu tahu diri.

   Ia lant as melcmpat mundur sambil berkata .

   "Aku menyerah!"

   "Akh! Kau sengaja mengalah!"

   Sahut Rekso Bhumi setengah mengeluh. Tetapi dengan rela hati ia tersenyum sambil membungkuk hormat. Justru pada saat itu, si mulut Jahil menimbrung .

   "Memang dia mengalah. Kau tahu atau t idak? Syukur kalau engkau tahu!"

   Merah padam wajah Rekso Bhumi alias Rekso Glempo disemprot Yunus.

   Sebagai seorang pemimpin suatu perkumpulan, tersinggunglah kehormatannya.

   Segera ia hendak membuka mulutnya untuk mempertahankan harga dirinya, mendadak terjadilah suatu peristiwa lain.

   Di seberang sungai, beberapa puluh orang datang berbondong-bondong, dengan membawa obor menyala.

   Mereka berteriak-teriak ribut .

   "Mana bocah itu? Bawa ke mari! Kami ingin mengeraterat dagingnya demi menenteramkan arwah Jumali!"

   Yunus menoleh. Melihat datang puluhan orang hendak menuntut balas kepadanya, mau tak mau hatinya menjadi kuncup. Segera ia memipitkah tubuh kepada Lingga W isnu.

   "Karsongali! Bawalah seseorang ke mari!"

   Perint ah Rekso Bhumi.

   Dengan cepat, sampailah rombongan itu di tepi sungai.

   Akan tetapi, perahu Kertomidin atau Demalung, berada agak jauh dari tepi.

   Dua orang lantas terjun ke dalam air.

   Mereka berenang timbul-tenggelam seakanakan dua ekor ikan terbang.

   Dalam sekejapan saja sudah meloncat ke atas geladak.

   "Bungkusan emas sudah dilemparkan bocah biadab itu ke dalam air. Panggil teman-temanmu dan cari bungkusan emas itu!"

   Teriak Rekso Bhumi alias Rekso Glempo sambil menuding ke arah terlemparnya bungkusan emas.

   Dan menerima perint ah ketuanya, mereka berdua lantas saja terjun ke sungai lagi.

   Yunus yang memepetkan badannya pada Lingga W isnu, menarik lengan pemuda itu dan berkata dengan suara memohon .

   "Mereka hendak membunuh aku. Tolonglah aku dari ancaman mereka!"

   Lingga W isnu menoleh. Ia melihat wajah Yunus yang sedih mengibakan hati. Lantas saja ia mananggut .

   "Kalau begitu, kau tariklah jangkarnya selag i mereka sibuk mencari bungkusan emas itu,"

   Bisik Yunus dengan suara penuh syukur.

   Gerak-gerik Y unus sudah barang tentu tidak lepas dari perhatian Rekso Bhumi.

   Melihat pemuda itu berbisik-bisik kepada Lingga Wisnu, segera ia bertindak.

   Akan tetapi ia kalah sebat.

   Tiba-tiba saja Yunus menyambar sebuah bangku tempat bergadang yang terletak di tepi dinding perahu.

   Lalu dilemparkannya ke arah ketiga musuhnya.

   Inilah kejadian d i luar dugaan.

   Jaya Tatit dan Zubaedah yang tidak mengira sama sekali bakal d iserang secara mendadak, tak sempat lagi mengelakkan diri.

   Mereka berdua tercebur ke dalam air.

   Rekso Bhumi masih senpat menangkis sambaran bangku itu.

   Dengan tangannya yang kuat bagaikan besi, ia menangkap kaki bangku itu.

   Lalu dengan sekali remas, kaki bangku itu menjadi patah berant akan.

   Berbareng dengan itu, ia melompat ke tepi perahu.

   Ia bebas dari serangan Yunus, akan tetapi bingung melihat kedua rekannya tercebur ke dalam sungai.

   Inilah karena ia mengetahui bahwa kedua rekannya itu tak pandai berenang.

   Sedang Karsongali dan kawannya pada saat itu sudah menyelam ke dasar sungai dan jaraknya agak jauh.

   Tetapi ia seorang yang berpengalaman.

   Segera ia menjangkaukan bangku yang berada ditangannya, sambil menggenggam sebelah kaki bangku itu erat-erat.

   Maksudnya agar mereka berdua dapat menyambar ujung kaki bangku masing-masing sebelah.

   Kemudian segera akan di hentakkan ke atas.

   Tiba-tiba saja dia teringat kepada Yunus.

   Hatinya sangat panas.

   Menuruti kata hatinya tak sudi ia membiarkan bocah itu tak berbalas.

   Maka ia lemparkan bangku itu ke sungai sambil berseru .

   "Apungkan diri kalian dengan memegang bangku itu sebagai alat pengapung! Bocah itu biarlah kuhajarnya mampus dahulu!"

   Berbareng dengan seruannya, ia menyambar penggayuh salah seorang anak-buah Kertomidin alias Demalung. Yunus pun berbuat demikian pula. Dengan membolang-balingkan penggayuh itu sebagai penggada, Yunus melindungi mukanya rapat-rapat .

   "Kau tariklah jangkarnya, cepat"

   Serunya kepada Lingga W isnu.

   Dengan sebat Lingga W isnu menyambar tali jangkar, kenudian dihentakkan.

   Dan jangkar itu terangkat naik dari g ili-gili dan melayang ke perahu.

   Hebat perbawa jangkar yang sedang melayang itu.

   Nampaknya seperti wajar saja akan jatuh di atas geladak.

   Tetapi sebelum itu, mendadak saja b isa menyelonong menyambar dada Rekso Bhumi.

   Keruan saja orang tua itu kaget.

   Buru-buru ia melompat menyingkir.

   Yunuspun berbuat demikian pula.

   Dengan demikian, mereka jad i berpisah.

   Dan pada saat itu, perahu bergerak mengikuti arus sungai.

   Sedang Lingga W isnu menyambar jangkar yang akan jatuh di atas geladak dengan tenang-tenang saja.

   Rekso Bhumi kagum menyaksikan tenaga Lingga W isnu yang dapat menyambut datangnya jangkar yang berat.

   Selagi demikian, hatinya tercekat pula melihat bergeraknya perahu makin lama makin cepat.

   Kalau sampai terpisah dari kawan-kawannya, bakal celaka.

   Maka dengan sekali menjejakkan kakinya, ia melesat ke tebing sungai.

   Tatapi, perahu sudah terlanjur bergerak menjauhi tebing sungai, jaraknya melebihi lima belas meter.

   Dengan sekali melihat, tahulah Lingga W isnu bahw a orang itu tak akan mampu mencapai t ebing.

   Buru-buru ia mengangkat jembatan perahu dan melemparkan ke atas air.

   W aktu itu Rekso Bhumi sudah mengeluh.

   Tak dapat dielakkan lagi, bahwa ia bakal tercebur di dalam air.

   Selagi demikian, ia melihat berkelebatnya selembar papan didepannya.

   Betapa girang rasa hatinya, tak terkatakan lagi.

   Terus saja ia mendarat pada papan itu.

   Kemudian dengan menjejakkan kakinya, ia meloncat ke darat.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih kepada pemuda itu, berbareng mengaguminya.

   "Hai!"

   Seru Yunus mendongkol. 'Untuk kesekian kalinya berbaik hati terhadap orang tua itu. Heh, sebenarnya engkau hendak membantu aku apa dia? Biarkan dia tercebur ke dalam sungai. Bukankah dia t idak bakal mati?"

   Lingga W isnu t ahu tabiat pemuda itu aneh.

   Karenanya tak mau ia melayani.

   Terus saja ia masuk ke dalam gubuk dan merebahkan diri.

   Yunus tambah mendongkol.

   Ingin ia mendampratnya, akan tetapi Lingga W isnu bersikap membungkam mulut.

   Maka terpaksalah dia merangkaki gubuknya pula dengan bersungut-sungut.

   Keesokan harinya, tatkala matahari hamp ir condong ke barat, sampailah perahu Kertomidin alias Demalung di Kedungbarang.

   Lingga W isnu menghaturkan terima kasih kepada Nitigurnito atas pertolongannya menumpang di perahu.

   Kemudian memberikan bayaran kepada Kertomidin alias Demalung.

   Tetapi, Nitigurnito mencegah.

   Katanya .

   "Jangan! Biarlah aku yang membayar beaya perjalananmu!"

   Saudagar ini bahkan merasa berhutang budi terhadap pemuda itu.

   Seumpama tak ada dia, barang-barangnya bakal diludaskan o leh perompakperompak tadi malam.

   Lingga W isnu tak mau mengecewakan kehendak Nitigurnito yang ingin menbalas jasa.

   Setelah menghaturkan rasa terima kasih, segera ia berpamitan.

   Diluar dugaan, Yunuspun hendak mendarat pula.

   Kata pemuda itu kepada Nitigurnito .

   "Aku juga t ahu, bahwa engkau tak akan mengijinkan aku pula untuk membayar beaya perjalanan. Tetapi aku tak sudi kau perlakukan demikian. Aku seorang penumpang. Dan aku akan tetap membayar,"

   Dan setelah berkata demikian, ia meraup segenggam uang emas dan ditaruhnya di atas meja.

   "Pak Kertomidin alias Demalung! Inilah merupakan beaya perjalananku. Kau ambillah!"

   Kertomidin alias Demalung sebenarnya seorang mata duitan. Tetapi setelah mengenal perangai dan tabiat penumpangnya yang muda itu, tak berani ia menerima pembayaran itu lantaran takut kena salah. Maka dengan lagak berpura- pura goblok, ia menyahut .

   "nDoromas .. eh, aku tak mempunyai uang kecil sebagai ..."

   "Siapa yang ingin kau kembalikan kelebihan pembayaranku?"

   Bentak Yunus.

   "Ini untukmu semua!"

   Kertomidin tercengang. Mulutnya sebenarnya sudah mengilar. Tetapi, ia tak berani buru-buru menerima rezeki itu. Ia jadi nampak berbimbang-bimbang. Sahutnya bergemetaran .

   "T ak usah sebanyak itu ... tak usah sebanyak i ..."

   "Eh, kau cerewet juga?"

   Bentak Yunus.

   "Berapa aku mau memberimu, itulah hakku sendiri. Apa perlu engkau mengoceh tak keruan? Apakah engkau ingin perahumu aku lubangi biar t enggelam?"

   Diancam demikian, Kertomidin alias Dema- lung kaget seperti tersambar petir. Gugup ia menyahut . .

   "Oh, kalau begitu ... terima kasih, terima kasih ..."

   Dan dengan tangan bergemetaran ia memungut tumpukan uang emas itu.

   Yunus kemudian membuka bungkusannya.

   Begitu terbuka, sinar bergemerlapan memantul keluar oleh cahaya matahari.

   Dengan serta merta ia meletakkan di atas atas meja.

   Lalu d ihitungnya.

   Semuanya berjumlah tigaratus potong mas.

   Ia membagi menjadi dua bag ian.

   Yang sebagian segera dimasukkannya ke dalam bungkusan pakaiannya dengan cekatan, dan sebagian lagi d isorongkan ke depan Lingga W isnu.

   "Ini bagianmu!"

   Katanya.

   "Apa?"

   Lingga W isnu tercengang. Yunus tertawa puas. Dan wajahnya mendadak saja kelihatan manis. Katanya .

   "Apakah engkau mengira aku benar-benar telah membuang emas rampasan in i ke dalam sungai? Huh, masakan aku setolol itu. Mereka boleh mencari dan menggerayangi seluruh dasar sungai. Sekiranya berhasil, mereka bakal menemukan sebungkusan batu saja."

   Setelah berkata begitu, ia lantas saja tertawa geli.

   Lingga W isnu menghela napas.

   Y unus lebih muda dari pada dirinya.

   Tetapi umur semuda itu sudah bisa mengelabui Rekso Bhumi alias Rekso Glempo, seorang pemimpin gerombolan penyamun, yang sudah banyak makan garam.

   Benar-benar mengagumkan! "Saudara Yunus! Aku tak membutuhkan uang emas itu.

   Kau ambillah sendiri.

   Kalau tadi aku membantumu, bukanlah lant aran uang emasmu,"

   Kata Lingga W isnu.

   "Tetapi ini pemberianku-kepadamu,"

   Sahut Yunus cepdj..

   "Uang emas ini, bukannya engkau yang merampas. Jadi bagianmu, merupakan uang emas halal! Kenapa engkau berlagak sebagai seorang pendekar berhati palsu?"

   Lingga W isnu tetap menggelengkan kepala.

   Ia tak mau menerima uang emas pemberian Y unus.

   Nitigurnito adalah seorang saudagar besar.

   Dalam tata hidup persoalan harta benda, bukan merupakan hal asing baginya.

   Akan tetapi melihat kedua pemuda itu, ia heran sekali.

   Yang seorang tak dapat menghargai arti uang emas.

   Dan yang lainnya menganggapnya masalah ringan.

   Yang seorang mendesak hendak memberi, dan yang lain menolak dengan keras.

   Selama hidupnya yang telah melampaui setengah abad, belum pernah ia melihat peristiwa demikian.

   "T ak perduli engkau mau apa tidak, aku harus memberikannya kepadamu."

   Kata Yunus dengan suara nyaring.

   Sekonyong-konyong ia melcmpat ke darat.

   Lingga W isnu te rtegun.

   Tetapi segera tersadar.

   Ia pun melompat memburu.

   Akan tetapi Yunus dapat berlari kencang.

   Sayang, ia ketemu batunya.

   Dengan sekejapan saja L ingga W isnu dapat mendahuluinya.

   "T unggu!"

   Kata Lingga W isnu sambil memegat larinya.

   "Kau bawa sajalah emasmu ini!"

   Yunus mencoba menerobos melalu i samping Namun sia-sia belaka.

   Tanpa mampu ia melint asi Lingga W isnu.

   Dalam sengitnya, sekonyongkonyong ia menyerang wajah Lingga W isnu.

   Lingga W isnu menangkis serangannya.

   Dengan tangan kiri ia menolak.

   Sebenarnya ia tidak gunakan tenaga saktinya, akan tetapi Yunus kena didorong tiga langkah.

   Merasa dirinya tak akan sanggup lolos dari pegatan Lingga W isnu, mendadak saja Yunus menjatuhkan diri dan duduk bersimpuh di atas tanah.

   Dengan tiba-tiba pula menangis sedu-sedan.

   "Apakah aku menyakitimu?"

   Lingga W isnu mint a keterangan dengan perasaan cemas. Ia mengira tangkisannya tadi, membuat Yunus kesakitan lengannva.

   "Siapa bilang aku kesakitan?"

   Seru Yunus sambil melompat bangun.

   Dengan tiba-tiba saja ia melesat tinggi melampaui Lingga W isnu yang sedang berjongkok.

   Lingga W isnu jadi tercengang-cengang.

   Dengan mata tak berkedip, ia mengawaskan kepergian Y unus yang t ak lama kemudian lenyap dari penglihatan.

   Benar-benar aneh tabiatnya.

   Lingga W isnu bergumam seorang diri.

   Ia kagum akan kecerdikan pemuda itu.

   Tetapi ia heran pula, terhadap tabiatnya yang aneh.

   Dengan hati geli, terpaksalah ia membawa bungkusan emas yang diperuntukkan baginya, pikirnya sambil berjalan memasuki kot a .

   'T ak enak hatiku, sebelum dapat mengembalikan emas ini kepadanya.

   Aku membantunya hanya semata-mata bukan karena uangnya.

   Kalau aku menerima emasnya, seolah-olah menerima bagianku, dikemudian hari, bukankah aku bisa dituduh orang bersekutu dengan dia?' 0oo-dw-oo0 BAGIA N II (bagian I nya mana yee hi hi ) Pada malam harinya Lingga W isnu menginap di sebuah losmen milik seorang Tionghoa asal Hokkian.

   Di dalam kamarnya, berbagai pertimbangan memenuhi pikirannya.

   Tujuannya memasuki wilayah Sukowati hendak mencari gurunya.

   Tak terduga, ditengah jalan ia menemukan suatu peristiwa yang mengikat.

   Bagaimana kelak ia harus mempertanggung jawabkan emas yang dibawa bawanya itu kepada gurunya.

   Rasanya susah ia memberikan pertanggungan jawab.

   Maka makin kuatlah ketetapannya hendak mencari Yunus sampai ketemu.

   Kemudian emas itu harus diserahkan kembali.

   Kalau dia menolak, akan ditinggalkannya saja.

   Keesokan harinya, ia segera berangkat mencari jalan menuju ke dusun Kemuning.

   Ternyata dusun itu berada di sebelah barat gunung Lawu.

   Untuk mencapai dusun itu, setidak-tidaknya membutuhkan waktu dua hari.

   Gunung Lawu, bagi Lingga W isnu mempunyai kesan yang mendalam dalam hati Lingga W isnu! Di gunung itulah sekalian saudara dan ayah-bundanya menemui ajalnya.

   Di gunung itu pulalah sekalian paman guru dan eyang gurunya bermukim.

   Selain itu, gunung Lawu merupakan gunung keramat bagi penduduk disekitarnya.

   Mereka percaya, bahwa Resi Hancman betapa di puncaknya.

   Resi Kanoman adalah salah satu tokoh dalam ceritera Ramayana.

   Ia seekor kera putih, panglima raja Ramadewa yang hidup pada zaman ribuan tahun yang lalu.

   Meskipun seekor kera, tetapi sifat kasatryanya b isa mencuri hati orang, sehingga namanya tetap abadi di sepanjang masa.

   Pada zaman abad pertengahan, puncak gunung Lawu menjadi pusat perhatian orang lagi.

   Dialah satu-satunya putera Majapahit yang berhasil melarikan diri tatkala kerajaan Majapah it runtuh kena serbu tentara Islam dari Denak Bint ara.

   Putera Majapah it itu menpunyai pusaka sakti umbul-umbul dan tambur.

   Barangsiapa berlindung dibawah umbul-umbul sakti itu, dirinya t idak t ampak oleh penglihatan orang.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan tambur itu sendiri, bisa memanggil roh-roh halus dan t entara siluman.

   Pada saat itu, dari mulut kemulut dibisikkan orang, bahwa Raden Mas Said sedang bertapa di bawah kepundang gunung dengan maksud hendak memperoleh warisan pusaka sakti tersebut.

   Dan dari gunung Lawu itu pula, diramalkan orapg bahw a Ratu Adil bakal mengatur tata-tertib di tanah Jawa di kemudian hari, apabila negara berada dalam bencana keruntuhan.

   Demikianlah, maka gunung Lawu akan tetap keramat dan abadi dalam hati penduduk.

   Dalam usahanya mencari keluarga Dandang Mataun, Lingga W isnu berjumpa dengan seorang petani perempuan.

   Lantas saja ia bertanya .

   "Bibi, bolehkah aku minta petunjukmu?"

   Petani perempuan itu menatap wajahnya. Dengan ramah ia menyahut .

   "Tentu. Tetapi aku ini orang dusun, nak. Petunjuk apa yang akan kau mint a?"

   "T ahukah bibi, dimana keluarga Dandang Mataun bertempat tinggal?"

   Mendadak saja, wajah perempuan itu berubah. Keramahannya t adi lenya. Lalu menyahut kasar.

   "Aku tak tahu. Cari saja sendiri!"

   Set elah menyahut demikian, ia melanjutkan pekerjaannya.

   Lingga W isnu heran.

   Apa sebab perempuan itu tibatiba berubah sikapnya? Sambil berjalan ia mencoba menebak-nebak teka-teki itu.

   Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pedagang keliling.

   Ha, mungkin dia bisa memberi petunjuk, pikirnya.

   Lantas saja ia menghampiri sambil bertanya .

   "Saudara, bolehkah aku numpang bertanya? Di manakah tempat tinggal keluarga Dandang Mataun?"

   Pedagang keliling itu berhenti. Ia mengamat-amati dirinya. Menegas .

   "Apa perlu saudara menanyakan tempat tinggal keluarga itu?"

   "Aku hendak mengembalikan bungkusan titipannya."

   "Kalau begitu, saudara sahabatnya, bukan? Kau cari saja sendiri. Apa perlu bertanya kepadaku?"

   Untuk kedua kalinya, Lingga W isnu heran.

   Selain itu, ada perasaan malu menyelomot lubuk hatinya.

   Mengapa orang itu tiba-tiba jadi kasar? Apakah penduduk sekitar gunung Lawu memang manusia-manusia kasar? Akh, tidak mungkin! Eyang guru dan sekalian paman gurunya termasuk penduduk sekitar gunung Lawu.

   Almarhum ayahnyapun pada zaman mudanya, bermukim di salah satu pinggang gunung Lawu itu.

   Sekarang ia mencari seorang kanak-kanak yang berumur kurang dari sepuluh tahun, untuk mencari keterangan.

   Seorang kanak-kanak dibawah umur sepuluh tahun, masih bersih tabiatnya.

   Setelah menyesapkan dua buah kelip di dalam tangannya, ia bertanya ramah .

   "Adik, tahukah engkau tempat tinggal keluarga Dandang Mataun?"

   Anak itu sudah menggenggam mata uang pemberiannya. Tetapi tiba-tiba saja mengembalikannya sambil menuding .

   "Kau mencari rumahnya? Itu! Istana besar itu!"

   Dan setelah berkata demikian, bocah itu lari menjauhi.

   Kembali L ingga W isnu heran.

   Tetapi dia sesungguhnya bukan pemuda yang tak pandai berpikir.

   Semenjak ia bertemu dan melihat perubahan sikap petani perempuan, segera dapat menebak delapan bagian.

   Kalau saja ia mint a keterangan lagi kepada seorang pedagang keliling dan seorang bocah, semata-mata lantaran ingin memperoleh keyakinan.

   Bukankah orang yang memperkenalkan namanya dengan Cocak Obar-abir dahulu itu, pernah menyebut dirinya sebagai salah seorang anggauta keluarga Dandang Mataun? Menilik sepak-terjangnya dia seorang bengis, dan kejam.

   Terhadap saudaranya sendiri, sampai hati ia membunuhnya demi memperoleh kitab sakti warisan.

   Juga Yunus, adalah seorang pemuda yang kejam dan aneh tabiatnya.

   Bagi orang dusun yang berwatak dan hidup sederhana, tabiat Yunus yang aneh itu pastilah dibencinya.

   Rumah yang disebut sebagai istana oleh si bocah cilik, sebenarnya bukanlah sebuah istana dalam arti kata yang benar.

   Rumah itu hanya besar dan berhalaman luas.

   Kesannya mentereng dan angke.

   Letaknya di sebuah bukit yang terlindung oleh gerombol pepohonan lebat.

   Dari dalam halaman yang luas, Lingga W isnu mendengar suara riuh orang.

   Kemudian muncul ah duapuluh empat orang petani dengan membawa pacul dan kapak.

   Petani-petani itu berkerumun dan merundingkan sesuatu di luar pagar batu.

   Kemudian masuk halaman lagi, sambil berteriak-teriak .

   "Hai, kamu keluarga Dandang Mataun! Kamu telah membunuh tiga orang teman kami! Jangan enak-enak berpeluk lutut! Masakan kalian boleh berbuat semenamenanya? Hayo, ganti jiwa ketiga teman kami itu!"

   Diantara mereka, terdapat delapan orang perempuan yang membiarkan rambut nya kusut masai dan terurai reriapan.

   Mereka menangis menggerung sambil memakimaki.

   Melihat hal itu, terdengarlah hati Lingga W isnu.

   Ia jadi teringat pada pengalaman hidupnya sendiri yang merasa di perlakukan tidak adil oleh hidup.

   Maka ia mendekati.

   Kemudian bertanya .

   "Sebenarnya, apa yang telah terjadi?"

   Seseorang menoleh kepadanya. Menjawab.

   "Saudara nampaknya seorang pendatang. Pastilah engkau tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Keluarga Dandang Mataun merupakan tataran tinggi diant ara penduduk sini. Semenjak dahulu, keluarga itulah yang memegang kendali penghidupan. Mereka semua pandai berkelahi, sehingga menjagoi wilayah sin i.

   "Mereka keluarga tuan tanah yang bengis. Kekayaannya adalah h impunan darah kami. Kemarin mereka mendatangi nenek Dimeja, menagih uang sewa tanah. Nenek Dimeja mint a waktu penglunasan pembayaran sewa tanah dalam beberapa hari saja. Mereka menjadi gusar. Nenek Dimeja yang sudah keropos tulang-belulangnya itu, didorong dengan kasar. Tentu saja kena dorong mereka, ia mundur sempoyongan dan jatuh terbaik. Kepalanya membentur batu. Dan ia mati pada saat itu juga. Anak dan keponakan nenek Dimeja menuntut balas. Mereka melabrak dengan nekad. Tetapi kena dihajar roboh sehingga luka-luka berat. Apakah tindakan mereka itu tidak kejam?"

   Selagi orang itu memberi keterangan kepada Lingga seorang petani lain sedang menumbuk numbukkan bajaknya pada pintu depan, yang ditutup rapat.

   Dan pemuda-pemuda lainnya melempari batu.

   Sekonyong-konyong terjeblaklah pint u depan.

   Sesosok bayangan melesat keluar.

   Sebelum orang-orang melihat bayangan itu dengan tegas, tujuh orang temannya telah roboh terpelanting.

   Kepala mereka lantas saja bermandikan darah! 'Dia keji sekali!' pikir Lingga W isnu.

   Dia lantas menajamkan matanya, agar memperoleh penglihatan yang lebih jelas lagi.

   Bayangan itu berperawakan jangkung kurus.

   Kulit mukanya bersemu kuning.

   Dengan sepasang alisnya yang berdiri tegak, siapa saja akan segera memperoleh kesan, bahwa dia seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

   "Kalian benar-benar sekumpulan anjing dan babi!"

   Bentaknya garang.

   "Mengapa kalian merusak rumah kami? Apakah kalian t ak mengenal peraturan?"

   Biasanya, orang mendamprat untuk memperoleh jawaban. Tetapi sebelum para petani sempat membuka mulut nya, dia bergerak lagi dengan gesit. Tujuh orang terlempar jatuh menungkrap di tanah. 'Hebat t enaga orang ini,' pikir Lingga W isnu.

   "Seperti potongan jerami saja, ia melemparkan orang. Pastilah dia salah seorang keluarga Yunus. Kalau d ia dahu lu menyertai Yunus, tak perlulah aku membant unya. Kegesitan dan kekuatannya, bisa menandingi Rekso Bhumi dengan leluasa sekali ...' Pada waktu itu, seorang petani berusia kurang lebih empatpuluh tahun memajukan diri. Ia diikut i oleh dua orang pemuda yang berdiri d i samp ingnya. Kata orang itu .

   "Kamu telah membunuh orang. Masakan kami hanya berhak menabuhkentung saja? Benar, kami ini sekumpulan manusia-manusia miskin. T etapi kami bukan sekumpulan anjing atau babi seperti katamu itu. Jiwa kamipun sama harganya dengan jiwa kalian! Hidung sama-sama satu dan telinga sama-sama dua."

   Orang jangkung kurus itu tertawa mendengus lalu menjawab .

   "Jika belum aku mampuskan beberapa orang lagi, rasa-rasanya kamu anjing-anjing in i masih saja menggonggong tak keruan."

   Sekali berkelebat, ia menangkap petani yang membuka mulutnya itu. Tibatiba tubuhnya kena dijunjung tinggi. Kemudian dilemparkan keluar pagar batu .

   "Enyah!"

   Bentaknya nyaring.

   Kedua orang pemuda yang menyertai petani itu, menjadi gusar.

   Berbareng mereka menyerang dengan paculnya.

   Yang diserang menangkis dengan tangan kirinya.

   Dan kedua pacul mereka kena di hentakkan tinggi di udara jatuh di atas tanah.

   Selagi mereka berdiri terkejut, orang jangkung kurus itu sudah berhasil menangkap tengkuknya masing-masing.

   Kemudian diangkatnya tinggi tinggi dan dilemparkan kearah sebuah batu besar.

   Jelas sekali maksud orang jangkung kurus itu, dia hendak menghancurkan kepala mereka pada batu.

   Keruan saja gerombolan petani-petani yang lain menjerit kaget.

   Lingga W isnu mengambil keputusan hendak melihat gelagat dahulu, meskipun hatinya ikut menjadi panas menyaksikan lagak-lagu orang jangkung kurus itu.

   Pikirnya .

   'A ku ingin bertemu dengan Yunus.

   Kalau belum-belum aku menerbitkan perkara, bukankah bakal menghadapi kesulitan?' Tetapi, pada w aktu itu dia melihat melayangnya t ubuh kedua pemuda itu hendak terbentur pada batu.

   Kalau dibiarkan saja, kepala mereka berdua bakal pecah berantakan.

   Meremanglah bulu tengkuknya.

   Mendadak ia lupa kepada segala pertimbangannya.

   Terus saja ia melesat dengan menggunakan ilmu bayangan Maya Putih ajaran Ki Ageng Gumbrek, lantaran kesempatannya yang sempit.

   Dengan kedua tangannya, ia menangkap tubuh mereka berdua, dan diturunkan perlahan-lahan di atas t anah.

   ..

   ada bagian kalimat yg lewat..

   Berseru demikian, ia menepuk tengkuk Lingga W isnu dengan disertai tenaga sakti.

   Hebat tenaga sakti yang dikerahkan.

   Tadi, ia terkesiap tatkala menyaksikan kegesitan pemuda itu.

   Ia merasa pasti, bahw a dia bukan seorang pemuda sembarangan.

   Maka dalam mengerahkan tenaga saktinya, ia tidak mau kepalang tanggung.

   Lingga W isnu tak sudi tengkuknya kena dihajar orang.

   Ia mengendapkan diri sedikit.

   Maka tepukan si jangkung kurus lewat disamping telinganya.

   Dan pada detik itu Lingga W isnu berpikir .

   'Sebenarnya, aku hendak datang sebentar malam.

   T ak tahunya, aku kini terlibat dalam kesulitan.

   Tetapi demi menolong jiwa kedua pemuda itu, apa lagi yang dapat aku lakukan, selain menyambar tubuh mereka berdua selagi masih berada di udara? Maka untuk mengurangi rasa t ak senang si jangkung kurus, ia t idak membalas.

   Kali in i, orang jangkung kurus itu benar-benar terkejut.

   Pikirnya .

   'Anjing-anjing dan babi-bab i itu berani memasuki pekarangan.

   Tak tahunya, mereka mempunyai jago andalan,' memperoleh pikiran demikian, ia membentak sengit .

   "sahabat! Apakah engkau jago undangan mereka untuk mempersulit kami?"

   Lingga W isnu menutar tubuh. Membungkuk untuk memberi hormat sambil menjawab .

   "Maafkan kelancanganku. Sebenarnya tiada sangkutpaut ku dengan mereka. Kalau aku mengulurkan tangan, semata-mata karena melihat adanya ancaman jiwa. Saudara mempunyai kepandaian tinggi. Kenapa adatmu tiada beda dengan orang-orang dusun itu?"

   Menyaksikan sikap hormat Lingga W isnu, orang jangkung kurus itu heran. Iapun mendengar tuturbahasa Lingga W isnu yang diucapkan dengan halus. Dia memuji pula kepandaiannya. Rasa curiga dan amarahnya lantas saja lenyap sebagian. Tanyanya .

   "Sebenarnya engkau siapa, sahabat? Apa sebab engkau ikut -ikut an pula mengunjungi rumah kami?"

   "Namaku Lingga."

   Sahut Lingga W isnu.

   "Apakah salah satu sahabatku keluarga Dandang Mataun tinggal di sin i?"

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa sahabat itu? Akupun salah seorang anggauta keluarga Dandang Mataun."

   "Sahabatku itu bernama Yunus. Usianya kurang lebih delapan atau sembilan belas tahun. Parasnya cakap sekali dan mengenakan pakaian seorang pelajar."

   Orang jangkung kurus itu lantas memanggutmanggut memaklumi. Kemudian berputar menghadapi gerombolan petani yang belum bubar juga. Dengan sikap bengis ia menant ang .

   "Apakah kalian hendak mencari mampus? Mengapa masih saja berjubel di sini?"

   Melihat Lingga W isnu berbicara dengan si orang jangkung kurus itu seperti sahabat lama, gerombolan petani jadi berbimbang-bimbang.

   Mereka melihat, Lingga W isnu tadi berkepandaian tinggi pula.

   Maka seorang demi seorang lantas memut ar t ubuh dan pergi.

   Sebentar saja, mereka telah bubar seperti sekawanan burung sawah kena halau.

   "Sahabat, mari masuk!"

   Undang si jangkung kurus.

   Lingga W isnu menerima baik undangan itu.

   Segera ia mengikutinya dari belakang, memasuki halaman rumah yang luas.

   Rumah itu sendiri, memang seperti istana.

   Berpendapa luas dan bertiang sentausa.

   Di dinding tengah, terbacalah sederet tulisan yang berbunyi.

   "Dandang Mataun lahir dan mati seorang diri."

   Alangkah sombong bunyi tulisan itu. Akan tetapi penuh yakin akan kekuatan diri sendiri. Lingga W isnu lantas menyiratkan pandang kepada perabotan rumah yang serba mentereng. Diam-diam ia heran. Pikirnya .

   "Perabotan ini terdiri dari barang-barang mahal. Sedang rumah ini berada di atas gunung. Perlengkapan demikian, kalau bukan karena besarnya pengaruh, pastilah lant aran kekejamannya memaksa penduduk untuk mencari alat pengangkutnya. Seumpama keduaduanya tidak, tentunya keluarga ini kaya raya sehingga mampu membeli dan mendatangkan perabot runah yang mahal-mahal dari jauh."

   Lingga W isnu tahu, bahwa hati tuan rumah masih merasa t ak senang terhadapnya, walaupun nampaknya ia ramah. Itulah sebabnya, ia bersikap merendahkan hati dan berhati-hati.

   "Aku harap saudara mau memanggil sahabatku Yunus, agar aku bisa menyerahkan barangnya,"

   Ia berkata merendah.

   "Yunus adalah adikku,"

   Sahut orang itu.

   "Aku sendiri bernama Sondong Rawit. Adikku sedang bepergian. Kau tunggu sajalah!"

   Sebenarnya tak ingin Lingga W isnu berada di dalam rumah keluarga itu lama-lama.

   Tetapi ia harus mengembalikan bungkusan emas itu kepada Yunus.

   Maka terpaksalah ia menyabarkan diri.

   Namun sampai siang hari Y unus tak muncul-muncul juga.

   Ia jadi gelisah.

   Apakah bungkusan emas itu diserahkan saja kepada Sondong Rawit? 'Akh, rasanya kurang kena,' ia berpikir pulang - balik.

   Dalam pada itu, Sondong Rawit memanggil pembantupembantu rumah tangganya, menghidangkan makan siang.

   Lezat lauk-pauknya.

   Ayam goreng, daging, ikan kali dan sayur-mayur.

   Benar-benar keluarga Dandang Mataun memiliki harta bertimbun.

   Lingga W isnu menggerumuti hidangan makan siang itu dengan berdiam diri.

   Dalam hati ia mencoba menjauhkan kesankesannya yang buruk.

   Namun, ia tetap, seorang pemuda jujur.

   Makin ia berusaha menjauhi, makin merumunlah kesan kesan buruknya.

   Sampai matahari condong ke barat, Yunus belum juga muncul.

   Habislah sudah kesabarannya.

   Lantas ia meletakkan bungkusannya di atas meja.

   Sekarang ia menutuskan hendak menyerahkan barang itu kepada Sondong Rawit saja.

   Bukankah d ia salah seorang anggauta keluarganya.

   Yang penting di dalam hal in i, yalah.

   janganlah d irinya membawa-bawa emas yang tidak syah.

   Maka katanya .

   "Saudara Sondong Rawit. Inilah bungkusan milik adikmu. Tolong, sampaikan kepadanya! Sekarang idzinkan aku ..."

   Belum selesai ucapannya, ia mendengar suara orang tertawa riuh datang dari luar rumah.

   Diantaranya terdengar suara tertawa seorang perempuan.

   Ia merasa kenal bunyi tertawa itu dan segera saja ia menoleh.

   Bukankah itu suara tertawa Yunus? Dan benarlah dugaannya.

   Di antara mereka, nampak Yunus berjalan bergandengan.

   "Ha, itulah adikku sudah pulang!"kata Sondang Rawit. Ia bangkit dari kursinya dan keluar pendapa hendak menyambut kedatangan mereka. Dan Lingga W isnupun akan ikut serta, akan tetapi, Sondang Rawit buru-buru mencegahnya. Katanya dengan suara memerint ah .

   "Saudara Lingga! Duduk sajalah ditempatmu!"

   Lingga W isnu heran.

   Akan tetapi tak dapat ia membangkang kehendak tuan rumah.

   Setelah menunggu sekian lamanya, tetap saja Yunus tak muncul dihadapannya.

   Sebaliknya yang menenuinya lagi adalah Sondong Rawit.

   Sewaktu hendak mint a penjelasan, Sondong Rawit berkata ramah .

   ''Adikku lagi ganti pakaian.

   Sebentar lagi ia akan keluar menemui saudara."

   Masih pemuda itu menunggu munculnya Y unus sekian lamanya. Tatkala Yunus akhirnya muncul, wajahnya nampak berseri-seri. Katanya setengah berseru .

   "Saudara Lingga! Bukan rnain syukurku engkau sudi mengunjungi rumahku."

   "Engkau lupa membawa bungkusanmu,"

   Sahut Lingga W isnu langsung seraya menuding, kepada bungkusan yang tadi diletakkan di atas meja. 0ooo)-dw-(ooo0

   Jilid 6 Melihat bungkusan itu, wajah Yunus berubah Tegurnya .

   "Kau benar-benar tak menghargai aku."

   "Bukan begitu,"

   Lingga W isnu menyahut cepat.

   "Nah, sekarang idzinkan aku pergi."

   Segera ia bangkit dari kursinya dan membungkuk hormat pntuk berpamit. Tetapi Yunus menolak pemberian hormatnya. Ia menekap pergelangan tangan Lingga W isnu. Berkata .

   "Jangan! Aku larang engkau pergi!"

   Lingga W isnu kaget berbareng heran. Ia merasakan tangan Yunus sangat lunak.

   "Ada satu hal yang hendak aku tanyakan kepadamu, saudara Lingga. Maka aku harap engkau bermalam di sin i."

   "A ... aku mempunyai urusan sangat penting sehingga tak dapat aku bermalam d i sini. Kelak, kalau urusanku sudah selesai, aku akan singgah dan bermalam di sin i,"

   Lingga W isnu menolak dengan suara tergagap-gagap.

   "T idak! Kau harus bermalam di sini!"

   Yunus menaksa. Tiba-tiba Sondong Rawit yang selama itu duduk diant ara mereka, menimbrung.

   "Kalau saudara Lingga memang mempunyai urusan penting, tak dapat kita memaksanya. Janganlah kita menghambat perjalanannya. Yunus bersungut-sungut. W ajahnya muram. Setelah menarik napas, ia berkata mengalah.

   "Baiklah, kalau engkau segera hendak berlalu. Tetapi bawalah bungkusan ini serta. Saudara Lingga, rumahku memang tak pantas. Engkau tak sudi bermalam dirumahku. Artinya engkau tidak menghargai aku. Baiklah, silahkan."

   Lingga W isnu jadi berbimbang-bimbang. Hatinya merasa tak enak membuat kecewa sahabatnya itu yang bermaksud baik. Tetapi ia harus cepat-cepat berangkat mencari gurunya. Setelah berdiri menimbang-nimbang beberapa saat lamanya, akhirnya menutuskan .

   "Saudara Yunus, engkau sangat baik kepadaku. Baiklah, malam in i aku menginap di sini."

   Mendengar keputusan Lingga W isnu, Yunus menjadi girang bukan kepalang. W ajahnya berubah berseri-seri. Terus saja ia berteriak memanggil pembantu-pembantu rumah tangganya. Memberi perint ah .

   "Kau sediakan makanan dan minuman hangat!"

   Sondong Rawit nampak tak senang hati mendengar keputusan Lingga W isnu.

   Meskipun demikian, ia tak meninggalkan tempat itu.

   Masih saja ia bercokol menemani mereka.

   Hanya saja ia bersikap membungkam.

   Yunus sangat gembira.

   Ia berbicara tentang senandung, dongeng-dongeng rakyat, kepercayaan penduduk, ilmu t ata-berkelahi dan persoalan perang.

   


Perguruan Sejati -- Khu Lung Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung

Cari Blog Ini