Pedang Sakti Tongkat Mustika 11
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 11
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
...
sepertinya ada kalimat terpotong...
Sebab pada saat itu, pikirannya sedang risau hendak menyusul gurunya yang berada dimedan perang secepat mungkin.
Terhadap seni budaya dan dongeng-dongeng rakyat, ia kurang tertarik, meskipun bukan perkara asing baginya.
Ia berpikir di dalam hati .
'Yunus ini luas pengetahuannya.
Akan tetapi t abiatnya aneh ...' Sebaliknya perhatian Sondong Rawit berbeda dengan adiknya.
Nampaknya ia paham benar akan ilmu tata berkelahi.
Akan tetapi mengenai seni budaya dan lainnya ia buta sama sekali.
Jelas sekali, ia menjadi sebal mendengarkan obrolan Yunus tentang seni budaya dan dongeng dongeng rakyat.
Namun tetap saja ia bercokol di atas kursinya.
Lambat laun Lingga W isnu jad i perasa.
Setiap kali ada kesempatan, ia mengalihkan pembicaraan kepada ilmu tata berkelahi.
Sondong Rawit lantas merasa memperoleh tempat.
Dengan penuh semangat, ia lantas menyambung.
Akan tetapi baru saja setengah jalan, Yunus memotongnya.
Dan kembali lagi Yunus membicarakan tentang seni budaya atau ilmu perang.
Mau tak mau Lingga W isnu merasa diri seakan-akan dipaksa untuk mengenal tabiat dan perangai mereka berdua.
Yunus seorang pemuda periang hati.
Ia berbicara dengan perasaannya dan sebaliknya, Sondang Rawit, dia pendiam tetapi angkuh.
W alaupun katanya kakak Yunus, namun kelihatannya segan terhadap adiknya itu.
Terasa sekali ia se lalu menghindari bentrokan bentrokan.
Malahan, manakala Yunus setengah menegur atau setengah menyindir, tak berani ia membalas.
Tak terasa sore hari datang diam-diam.
Hidangan sore segera diantarkan para pelayan.
Masakannya, minuman dan penganannya lebih lengkap dan hebat dari pada siang hari t adi.
Semuanya serba istimewa.
Setelah makan, Yunus yang berada daiam keadaan gembira, segera hendak melanjutkan pembicaraan.
Ia ingin berbicara sebanyak banyaknya.
Tentu saja menurut selera sendiri.
Lingga W isnu sebenarnya bersiaga melayani.
Sebagai seorang tetamu, kedudukannya berada dibawah tuan rumah.
Tetapi melihat Sondong Rawit yang nampak tersiksa, ia jad i tak enak hati.
Maka buru-buru ia berkata .
"Saudara Yunus, aku lelah. Perkenankan aku beristirahat terlebih dahulu."
Yunus nampak kecewa. Tetapi segera ia sadar. Menyahut .
"Saudara Lingga, semenjak kanak-kanak aku hidup ditengah pegunungan. Jarang sekali di rumahku ada tetamu seperti engkau. Malahan untuk yang pertama kali inilah, aku mempunyai tetamu sendiri. Begitu gembira dan terima kasih hatiku, sampai ingin mereguk dan menikmati semua perasaanku sekaligus. Maafkan perangaiku yang tak tahu diri ini. Sebenarnya, ingin aku menyalakan lampu sebesar-besarnya untuk mengajakmu berbicara. Tetapi ternyata engkau lelah. Baiklah, esok hari saja k ita ngobrol lagi."
"Saudara Lingga, mari engkau t idur di kamarku saja."
Tiba-tiba Sondong Rawit mengajak.
"Apa!"
Yunus melotot.
"Dalam kamarmu mana ada tempat untuk tetamu? Biarlah dia tidur di kamarku!"
W ajah Sondong Rawit berubah.
"Apa?"
Ia menegas, seolah-olah tak percaya kepada pendengarannya sendiri.
"Y a, kenapa?"
Sahut Yunus cepat.
"Aku sendiri, biarlah tidur bersama ibu."
Sondong Rawit bungkam. Tetapi ia tidak senang mendengar ketetapan itu. Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan ruang tamu. Dan kembali lagi Lingga W isnu menjadi t ak enak hati.
"Maafkan dia. Orang gunung memang kerap Kaii kasar,"
Y unus mengomel.
"Akupun orang gunung. Tak perlu engkau memikirkan diriku berlebih-lebihan,"
Kata Lingga W isnu. Yunus tersenyum. Sahutnya tak perduli .
"Kau ikutlah aku!"
Dengan membawa lentera ditangan, ia mendahului berjalan.
Lingga W isnu mengikuti dari belakang.
Ia dibawa berjalan melintasi dua pekarangan dalam.
Sampai di ruang ketiga, Yunus membelok ke arah ut ara melalui lorong rumah yang agak panjang.
Dan setelah melint asi dinding batas pagar halaman, sampailah ia pada sebuah kamar yang pintunya segera dibukanya.
Eh, benar-benar seperti istana raja-raja, bentuk rumah keluarga Dandang Mataun, pikir Lingga W isnu di dalam hati.
Dan begitu pintu terjeblak, mata pemuda itu silau.
Bau harum menusuk hidungnya.
Kamar itu terang-benderang oleh nyala lima belas lampu antik.
Masing-masing t erdiri dari segerombol buah jarak dengan dibebat kapuk.
Api menyala terang.
Pada tembok sebelah kiri, tergantung sebuah lukisan seorang gadis Kartasura yang terkenal luwes dan cantik.
Dan tempat tidurnya, merupakan perabot yang mahal harganya.
Di depan pembaringan, terdapat sebuah meja tulis, sepanjang model jaman itu.
Kemudian sebuah jambangan dengan bunga seruni.
Di dekatnya berdiri sebuah kurungan persegi panjang dengan dua ekor burung nuri yang selalu bergerak-gerak.
Lingga W isnu semenjak kanak-kanak tak pernah mempunyai kesonpatan melihat tata indah.
Ia hidup sebagai yatim piatu dan berada diatas gunung.
Tak mengherankan melihat keindahan itu ia menjadi kagum dan benar-benar merasa seperti berada dalam sebuah istana.
"Ini kamarku,"
Kata Yunus.
"Malam in i tidur saja di sin i,"
Setelah berkata demikian, ia keluar kamar tanpa menunggu ucapan tetamunya.
Lingga W isnu lantas memeriksa seluruh ruangan kamar dengan cermat.
Ia biasa hidup di kejar-kejar lawan.
Dan seringkali pula melihat tata-muslihat orang.
Maka terhadap sesuatu yang baru dan asing, ia selalu menaruh curiga.
Apabila tiada kesan-kesan yang mencurigakan, segera ia menutup pintunya.
Kemudian perlahan lahan ia menbaringkan diri.
Mendadak ia mendengar daun pint u diketuk hati-hati dari luar.
"Siapa?"
Ia bangkit. Pintu terbuka perlahan-lahan. Muncullah seorang pelayan cant ik berumur enambelas tahun. W ajahnya sedap dan nampak, cerdik. Ia datang dengan membawa sebuah niru.
"T uan Lingga, sebelum tidur silahkan makan bubur halus lebih dahulu. Kami juga membawa seguci tuak,"
Kata pelayan itu dengan suara halus sambil meletakkan guci tuak di atas meja.
Selamanya, belum pernah Lingga W isnu bergaul atau berbicara ramah dengan seorang gadis cant ik.
Gadis cant ik yang pernah dilihatnya hanyalah.
Damayant i kekasih pamannya, Panjalu.
Sedang yang pernah bergaul rapat dengannya adalah Palupi, seorang gadis dusun yang kebetulan berparas biasa saja.
Keruan saja melihat seorang gadis rupawan memasuki kamarnya, ia jadi merasa kaku.
Ia membalas tersenyum dengan muka bersemu merah.
"Namaku Sekarwati. Panggillah namaku W ati saja"
Gadis itu memperkenalkan diri sambil ia tertawa manis.
"Aku diperint ahkan majikan untuk melayanimu. Apabila tuan memerlukan sesuatu, jangan segan-segan memanggilku.'' "Aku eh aku ... untuk sementara tak memerlukan sesuatu,"
Sahut Lingga W isnu kaku. Memang tiada acara lain pada malam itu, kecuali ia hendak tidur.
"Baik Kalau begitu perkenankan aku mengundurkan diri."
Kata Sekarwati. Ia membalikkan. tubuh hendak berlalu. T iba-tiba ia berputar lagi sambil berkata .
"Oh ya, yang membuat bubur halus itu, majikan sendiri. Tuan makanlah, pasti istimewa."
Lingga W isnu tercengang.
Ia seperti merasa sesuatu yang meraba kedua belah pipinya, sehingga ia tak mengerti apa yang harus d ikatakan Sekarwati w aktu itu telah menjauhi sambil tertawa perlahan.
Kemudian menutup pintu dengan hati-hati sebelum tubuhnya hilang dari penglihatan.
Lingga W isnu menghela napas yang terasa meniadi sesak.
Tanpa mengacuhkan sepiring bubur itu ia melompat diatas t empat t idur, segera ia berselimut.
Dan begitu berselimut , bau harum menusuk hidungnya.
Mula-mu la ia menaruh perhatian kepada penciuman itu, pikirnya .
'Apakah pemuda diseluruh dunia ini, selain aku menaburi wewangian diatas tempat tidurnya? ' Karena pikiran itu, ia jadi malu sendiri, lant aran merasa diri jorok.
Dan selagi pikirannya dirumun persoalan itu, ia telah tertidur pulas dengan tak set ahunya sendiri.
Lingga W isnu kini adalah seorang pemuda yang berilmu kepandaian tinggi.
Meskipun tidur lelap panca inderanya perasa sekali.
Menjelang tengah malam, tibatiba ia tergugah oleh kepekaannya sendiri.
Ia seperti mendengar suara.
Lantas saja d ilemparkannya pandangnya pada jendela kaca yang berada di depannya.
"T uk - tuk - tuk!"
Dan jendela terketuk perlahan tiga kali. Kemudian terdengar seseorang tertawa lembut. Setelah itu terdengar bisiknya .
"Saudara Lingga, apakah engkau masih berkelana di dalam alam mimp imu? Lihatlah, bulan bersinar cemerlang menerangi bumi. Malam begini sungguh sayang kalau d ilalu i tanpa bergadang terlebih dahulu. Keluarlah, alam sangat indahnya ..."
Segera Lingga W isnu mengenal suara Yunus. Ia menajamkan penglihatannya. Di luar jendela kaca, cahaya bulan nampak cerah. Terus saja ia melompat bangun. Sambil memperbaiki letak pakaiannya, ia menyahut .
"Baik. Tunggu sebentar"
Semenjak memasuki rumah keluarga Dandang Mataun, diam-diam perhatiannya tergerak.
Sekarang ia menyaksikan untuk kesekian kalinya, lagak lagu tuan rumah yang aneh.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, terus saja ia membuka daun jendela.
Kemudian meloncat keluar.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata di depan kamar itu adalah sebuah taman bunga yang sedang bermekaran.
"Mari!"
Ajak Yunus yang berada tujuh langkah di depan.
Sambil membawa guci tuak, ia berjalan mendahului.
Lingga W isnu lantas mengikuti tanpa membuka mulut sambil menebarkan matanya.
Cekat an Yunus membawa Lingga W isnu keluar taman.
Setelah berada di luar taman, ia berlari lari cepat menuju ke sebuah bukit yang berada di sebelah barat-daya.
Pagar batu diloncatinya.
Dan sepak terjangnya seakanakan tidak menghiraukan segalanya.
Lingga W isnu terus mengikuti dengan tetap berdiam diri.
Iapun meloncati pagar dinding itu.
Yunus sendiri tidak pernah menoleh.
Setelah tiba di puncak bukit, ia menikung dua kali.
Dan tibalah pada suatu tempat yang berpemandangan luas.
Angin halus meraba tubuh.
Dan kebun bunga mawar yang sedang bermekaran, menebarkan keharumannya.
Jenisnya merah merekah dan putih bersih bercampur baur seperti tersulam.
Di tengah sinar bulan, alangkah jadi indah bersemarak.
"Indah benar tempat ini. Mirip sebuah pertapaan!"
Seru Lingga W isnu kagum di dalam hati. Lalu berkata .
"Saudara Yunus, apakah aku sedang mimpi?"
"T idak!"
Sahut Yunus sambil tertawa manis.
"Bungabunga ini, aku sendiri yang menanamnya. Kecuali ibu, pelayan-pelayan perempuan, aku larang memasuki petamanan ini.
"Kenapa?"
Lingga W isnu heran.
"Laki-laki t erlalu kasar bersentuhan dengan bunga."
"Akh!"
Lingga W isnu te rkejut.
"Kalau begitu, tak berani aku ..."
"Aku yang membawamu kemari. Siapapun tak dapat melarangnya,"
Potong Yunus cepat sambil tertawa.
Ia melanjutkan perjalanan menyeberangi petamanan bunga.
Setelah mendaki gundukan pendek, nampaklah sebuah rumah kecil muncul diantara gerombolan bunga sedap-malam.
Di rumah kecil itulah tujuan Yunus terakhir.
Ia mempersilahkan Lingga W isnu duduk diserambi depan.
"Kau pernah merasakan enaknya tuak?"
Ujar Yunus.
"T uak? Apa itu?"
"Semacam minuman keras. Terbuat dari pohon siwalan. Kau cicipilah barang dua mangkuk. Nanti kau bakal ketagihan! "
Lingga W isnu tertawa.
Ia melayangkan pandangnya ke bawah.
Suatu keindahan meresap di dalam d irinya.
Tidak hanya itu.
Dirasakannya juga suatu kehangatan yang manis sekali.
Entah apa selabnya.
Dan untuk beberapa saat lamanya ia berdiri t erpaku.
Sekarang, aku akan meniup seruling.
Kau boleh mencicipi tuakku."
Kata Yunus sambil memperlihatkan sebuah seruling ditangan kanannya, katanya lagi .
"Kau bisa memetik kecapi?"
Tak terasa Lingga Wisnu mengangguk.
"Bagus!"
Seru Yunus girang.
Terus saja ia lari memasuki ruangan dalam dan keluar lagi sudah menjinjing sebuah kecapi.
Melihat kecapi itu, teringatlah Lingga W isnu kepada gurunya, Ki Ageng Gumbrek.
Hampir dua tahun lamanya, ia dipaksa mengiringi kehendak gurunya yang bertabiat aneh itu.
Tetapi justru demikian, ia kin i jadi bisa memetik kecapi.
Namun di depan Yunus, ia berkata merendah .
"Saudara Yunus, aku belajar memetik kecapi tanpa guru. Kebiasaanku hanya mengiringi senandung orang. Sama sekali aku tak mengenal sebuah lagupun."
"Akh, masa?"
Yunus tak percaya.
"Kau terlalu merendahkan diri."
Kemudian acuh tak acuh ia mengangkat serulingnya kedepan mulut.
Pada saat itu juga Yunus meniup lagu kegemarannya.
Mula-mula perlahan seperti berbisik.
Kemudian mengalun t inggi dan melengking menembus kesunyian malam.
Mendengar t iupan seruling itu, Lingga W isnu tertegun sampai lupa memetik kecapinya.
Ia merasa dirinya terbawa mengapung diantara awan-awan yang bergerak.
Aneh! Selama hidupnya, belum pernah ia memperoleh perasaan demikian.
Dan apabila Yunus meletakkan serulingnya di atas pangkuannya kembali, ia menghela napas karena kagum.
Katanya .
"Saudara Yunus! Tak pernah aku sangka engkau seorang pemuda serba bisa. Mengapa engkau begini cerdas?"
"Akh, jangan mengolok! Mengapa tak kau petik kecapimu? Apakah tiupanku tadi, tak dapat kau iring i? Coba katakan kepadaku, lagu apa saja yang kau ganari?"
"Saudara Yunus, aku berkata sebenarnya bahwa kecerdasan dan pengetahuanmu jauh berada di atasanku. Bagaimana bisa aku memilih sebuah lagu yang indah, sedangkan rasa keindahan itu sendiri belum aku mengerti sebaik-baiknya?"
Kata Lingga W isnu sungguhsungguh. Mau tak mau Y unus tertawa senang. Di dunia ini, siapakah yang tak seriang memperoleh pujian setulus tulusnya demikian? Sahutnya .
"Benar begitu? Kalau benar begitu, biarlah aku yang memilih lagunya, dan cobalah petik kecapimu!"
Tanpa menunggu jawaban, Yunus lantas meniup serulingnya kembali.
Lingga W isnu menunggu sebentar.
Kemudian mulailah ia memetik kecapinya Dan begitu kedua alat tetabuhan itu berpadu, malam sunyi dan bulan purnama terasa menjadi agung.
Dua orang pemuda itu terpekur sejenak, setelah lagu yang dibawakan selesai.
Keindahannya yang halus, meresap di dalam perbendaharaan hatinya.
Lingga W isnu sebenarnya sering mengiringi K i Ageng Gumbrek bermain kecapi.
Gurunya yang lain, Kyahi Sambang Dalan pandai meniup seruling pula.
Akan tetapi, tiupan Yunus mempunyai bentuk keindahannya sendiri.
Dan keindahan itu membawa suatu perasaan yang aneh, sehingga sampai detik itu belum juga ia menemukan sebabsebabnya.
"Bagaimana? Dapatkah engkau menikmati keindahannya?"
Tanya Yunus.
"Sungguh! Selama hidupku, baru malam in i aku seperti mengerti tentang keindahan hidup,"
Sahut Lingga. W isnu sejadi-jadinya.
"Dahulu aku mengira, hidup ini penuh siksa dan derita. Mimp ipun tak pernah, bahwa pada suatu kali, aku di beri kesempatan mereguk keindahannya yang sejati, meskipun hanya sesaat saja. Akh, apakah begini kenikmatan sorga yang dijanjikan kepada manusia?"
Yunus tertawa geli.
Kata-kata Lingga W isnu terlalu berlebih-lebihan.
Namun ia segan mengusiknya.
Bahkan ia duduk beringsut-ingsut mendekati.
Dan begitu berdekatan, Lingga W isnu mencium bau harum yang meremangkan bulu ronanya.
Ini bukan harum bunga mawar yang bertebaran di depannya.
Tetapi bau harum ...
Tak berani Lingga W isnu menyelesaikan dugaannya.
"Sebenarnya, engkau senang atau tidak, aku meniup seruling?"
T iba-tiba Yunus meminta ketegasan.
"Tentu, tentu! Kenapa kau tanyakan? Begitu mendengar tiupan serulingmu, ingatanku terbawa pada masa-masa lalu, tatkala masih berada diatas puncak gunung Dieng,"
Sahut Lingga W isnu.
Yunus menoleh, menatap wajahnya.
Mulut nya bergerak-gerak hendak mencetak kata-kata, tetapi batal sendiri.
Sebagai gant i, ia meniup serulingnya lagi.
Dan Lingga W isnu seolah-olah mempunyai kewajiban untuk segera mengiringkanya dengan petikan kecapi.
Selagi nada lagu memasuki bait-bait pertengahan, tiba-tiba Yunus berhenti dengan mendadak.
Seruling yang berada di mulut dihentakkan kebawah.
Kemudian dipatahkan menjadi dua bagian.
"Hai, kenapa?"
Lingga W isnu kaget berbareng heran.
"Serulingmu sangat bagus. Engkaupun pandai meniupnya. Mengapa kau ?"
Yunus menundukkan kepala. Katanya perlahan.
"Belum pernah selama hidupku, aku meniup seruling untuk seseorang. Mereka semua hanya gemar membicarakan tentang senjata tajam, ilmu tataberkelahi, perang, uang dan cita- citanya. Hmm!"
"Tetapi aku senang sekali melihat dan mendengar engkau meniup seruling. Tak percayakah engkau pernyataanku ini?"
Ujar Lingga W isnu dengan suara tinggi.
"Seumpama benar demikian, engkaupun esok pagi akan pergi jauh. Dan begitu engkau pergi, kesenyapan hidup kembali lagi. Apa perlu aku meniup seruling malam ini?"
Sahut Yunus suara agak gemetar. Lingga W isnu tercengang. Oleh rasa tegang, ia berpaling menatap wajah Yunus kuning bersih.
"Memang, tabiatku sangat buruk. Hal itu telah aku sadari,"
Kata Yunus lagi.
"Entah apa sebabnya, aku seakan-akan tak dapat menguasai suatu rangsang yang datang tiba-tiba. Aku tahu engkau sebal kepadaku. Meskipun engkau sangat baik kepadaku, akan tetapi hatimu tersiksa karena sifat burukku. Bukankah begitu?"
Lingga W isnu terdiam, mulutnya seolah-olah terkunci rapat.
"Benar begitu, bukan? Ya, benar begitu,"
Ujar Yunus seraya menghela napas pendek.
"Itulah sebabnya, mulai esok hari kau tak bakal sudi melihatku lagi. Malahan, seumpama aku tidak menahanmu, malam ini juga kau ingin sekali meninggalkan rumahku."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar kata-kata Yunus, mendadak saja Lingga W isnu merasa menjadi bingung. Itulah disebabkan, semua perkataan Yunus benar belaka. Sulit ia mencoba berkata .
"Saudara Yunus, dalam h idupku, inilah yang pertama kalinya, aku merasa benar-benar merantau. Kau bilang, aku sebal melihat perangaimu. Memang, aku harus membenarkan perkataanmu itu. Tadinya memang aku sebal terhadapmu. Tetapi kini, tidak!"
"T idak? Kenapa?"
Yunus menegas dengan suara perlahan. Ia mengawasi Lingga W isnu dengan hati yang cenas dan penuh selidik.
"Sekarang aku tahu, apa sebab engkau bertabiat aneh. Sekarang aku mengerti, apa sebab merasa diri t ak dapat menguasai suatu rangsangan yang, datang dengan sekonyong konyong. aku yakin hal itu terjadi lantaran hatimu selalu diliputi perasaan duka-cita. Entah duka-cita apa aku t ak tahu. Tetapi pasti begitu,"
Kata Lingga W isnu dengan suara yakin. Kemudian meneruskan dengan suara hati-hati . 'Maukah engkau menceritakan kedukaan hatimu kepadaku?"
W ajah Yunus berubah.
Tiba-tiba saja matanya berlinangan.
Cepat ia menundukkan kepala dan membuang pandang.
Sekian lamanya ia terpekur mencoba menguasai diri.
Setelah menegakkan kepalanya kembali, ia menatap w ajah Lingga W isnu seraya berkata perlahan .
"Benar! Engkau seperti dewa peramal. Pandang matamu seperti kuasa menembus kabut rahasia h idup. Baiklah, aku akan menceritakan kepadamu segala penderitaan batinku. Tetapi .... tetapi jangan-jangan engkau lantas memandang rendah diriku, setelah mendengar keadaan diriku."
"Meskipun aku masih muda, seumpama seorang, anak yang belum pandai beringus, aku berjanji, bahwa hal itu tak mungkin terjadi!"
Seru Lingga W isnu dengan suara menyala-nyala. Beberapa saat lamanya, Yunus menatap wajah Lingga W isnu, mencari keyakinan. Kemudian ia mengumpulkan keberaniannya untuk mengabarkan riwayat hidupnya. Katanya .
"Baiklah, aku percaya kepadamu. Biarlah aku ceritakan siapa diriku."
Lingga W isnu membalas menatap wajah Yunus. Dengan sungguh-sungguh ia menaruh perhatian dan siap mendengarkan tiap patah kata yang membersit dari mulut Yunus.
"T atkala ibuku masih muda remaja, aku sudah mengintip-int ip untuk lahir,"
Yunus memulai dan sesaat kemudian meneruskan .
"Maksudku, tatkala ibu masih remaja, ia kena diperkosa oleh seorang laki-laki busuk. Dan akibat dari perkosaan itu, lahirlah aku. Kakek tentu saja t idak tinggal diam. Dengan berbekal kepandaiannya, ia melabrak manusia busuk itu. Akan tetapi kakek kalah. Karena penasaran, kakek mengumpulkan sepuluh orang t eman- temannya. Dan barulah manusia busuk itu bisa terusir dari rumah. Tetapi dengan demikian, aku jad i tak mempunyai ayah lagi. Nah, tahulah engkau kini, bahw a aku ini anak seorang manusia busuk. Hasil dari suatu perkosaan. Sekarang hinalah aku!"
Lingga W isnu tahu, tabiat Yunus aneh. Tetapi tak pernah menyangka, bahwa jalan p ikirannya aneh pula. Maka buru-buru ia menjawab .
"Engkau sendiri tak dapat disalahkan. Kalau memang harus ada yang disalahkan, haruslah si manusia busuk itu."
"Akh engkau hanya menghibur hatiku saja!"
Ujar Yunus dengan suara dalam.
"Seumpama engkau berada diant ara sepuluh orang, yang sembilan orang berpikir lain. Kata mereka, justru diriku adalah yang menyebabkan dan yang membuat ibu serta manusia busuk itu terang nafsunya. Memang dihadapanku mereka tak berani berkata begitu. Tetapi dibelakangku, mereka mencemooh, mencaci dan mengutuk diriku. Merekapun memaki-maki ibu pula."
M siapa mereka yang berani menghinamu dan menghina ibumu?"
Seru Lingga W isnu dengan mata menyala.
"Baik, aku berjanji kepadamu hendak membantumu menghajar mereka sampai jera. Manusia jahil mu lut itu tidak pantas kita kasihani. Saudara Y unus! Setelah mendengar kisah hidupmu, kini tiada lagi sisa rasa sebal dan jemuku kepadamu. Dan demi Tuhan, sekiranya engkau sudi menganggap diriku sebagai salah seorang sahabatmu, aku pasti akan datang lagi kepadamu dan bersedia menyertaimu ke mana engkau pergi."
"Oh, benarkah itu?"
Seru Yunus girang.
Dan karena rasa g irangnya, kedua matanya basah.
Rasa haru menyelinap ke dalam lubuk hatinya.
Mendadak ia meloncat bangun dan memeluk Lingga Wisnu.
Kemudian menandak-nandak kegirangan.
Menyaksikan lagak-lagu Yunus, Lingga W isnu tercengang.
Ia kaget tatkala kena peluk.
Lengan nya empuk halus.
Bau harum rambutnya, alangkah sedap.
Selagi demikian, Yunus menandak nandak.
Mau tak mau, ia tertawa geli juga.
"Saudara Lingga, lihatlah. Aku begini girang. Kau t ahu sebabnya?"
Yunus seperti menguji "Apakah karena aku bersedia menyertaimu ke mana engkau pergi?"
"Benar. Engkau berjanji dengar sungguh-sungguh, bukan?"
Yunus berhenti menandak. Ia menegas.
"T ak pernah aku berdusta terhadap siapapun. Guruku sering berkata, bahwa untuk suatu janji, seorang laki-laki harus berani mengorbankan diri sendiri. Kalau perlu, jiwa dan hartanya,"
Jawab Lingga W isnu dengan suara meyakinkan.
Sekonyong-konyong terdengarlah suara bergemeresak dibawah gundukan.
lingga W isnu melompat bangun dan menoleh ke arah suara itu.
Sesosok bayangan muncul diant ara gerombol bunga.
Terdengar dia mendengus menngerendengi .
"Hmm, dimalam buta kamu mengadakan pertemuan. Ouh!"
Bayangan itu berperawakan jangkug kurus.
Siapa lagi, kalau bukan Sondong Rawit? Wajahnya guram.
Ia berdiri sambil bertolak pinggang.
Terang sekali, ia dalam keadaan marah.
Yunus terkejut.
Tetapi begitu mengenal bahw a orang itu adalah Sondong Rawit, segera ia menegur dengan kata-kata pedas .
"Kau sendiri keluyuran sampai di sini. Kenapa?"
"Kau jawablah pertanyaanmu sendiri!"
Sahut Sondong Rawit.
"Aku sedang bergadang menikmati bulan purnama dengan saudara Lingga. Apa salahnya?"
Jawab Yunus cepat.
"Dia berada di sin i karena aku undang. Sebaliknya engkau? Siapa yang mengundangku? Coba bilang! Bukankah siapa saja tahu bahw a kalian aku larang memasuki wilayah ini? Di dunia in i, kecuali ibu, siapapun tak diperkenankan memasuki petamananku. Paman Cocak Rawa sendiri yang menetapkan undangundangnya. Kenapa sekarang engkau berani melanggarnya?"
Sondong Rawit mendengus. Sambil menuding Lingga W isnu, ia berkata .
"Dan dia? Kenapa dia datang ke mari?"
"Bukankah telingamu tadi sudah mendengar? Dia datang ke mari karena aku undang! Berani engkau mencampuri urusanku?"
Bentak Yunus. Tak enak hati Lingga W isnu menyaksikan pertengkaran mulut itu, lantaran dirinya. Segera ia menengahi .
"Aku kira, sudah cukup kita begadang menikmati cerah bulan. Biarlah aku mengundurkan diri saja."
"T idak! Jangan pulang dahuki!"
Yunus mencegah. Lingga W isnu yang sudah berdiri, lalu duduk kembali di tempat semula. Ia melihat muka Sondong Rawit semakin muram. Meskipun dia tak berani membant ah kata-kata Yunus, namun jelas sekali hatinya mendongkol.
"Bunga yang aku tanam di sin i adalah hasil jerih payahku sendiri. Bunga tanamanku sendiri boleh aku cabuti, atau aku jual atau aku pertontonkan kepada orang lain."
Ujar Yunus dengan dengan suara galak.
"Siapapun tak dapat mengingkari hakku itu. Sekarang, aku larang engkau menonton bunga-bungaku! Kau dengar?"
"Tetapi, aku terlanjur melihat semua tanaman bungamu."
Kata Sondong Rawit kekanak kanakan.
"Hanya saja, aku belum pernah menciumnya. Sekarang, biarlah aku menciumnya.1' "T ak boleh! Tak boleh!"
Yunus melarang menjerit-jerit.
Kali in i Sondong Fawit berani manbangkang.
Ia menghampiri serumpun bunga mawar, lalu menciumi bunganya.
Meluap amarah Yunus.
Serta-merta ia meloncat dari tempatnya.
Sekali melesat ia menyambar tangkai bunga itu, lalu dicatutnya.
Setelah dilemparkan ke tanah, ia mencabut yang lain.
Demikianlah sampai t iga-empat kali.
"Kau menghina aku! Kau menghina aku!"
Yunus menjerit-jerit.
"Kenapa kau cium bungaku? Biar aku cabuti saja. Biar kau dimarah i paman. Bukankah kau tahu, siapa saja aku larang melihat bungaku. Kenapa kau malahan menciumi? Biar semuanya aku cabuti saja ..."
Tiba-tiba ia lantas menangis menggerung-gerung sambil mencabuti tanaman bunganya, hebat sepakterjangnya.
Seperti tadi, ia mengamuk.
Rumpun-rumoun bunga mawar yang telah dicabutnya dilemparnya ke tanah asal jadi saja.
Sebentar kemudian, taman bunganya telah menjadi rusak.
Lingga W isnu tak dapat mencegah.
Ia seperti tergugu melihat watak Yunus.
Tanaman bunganya, benar-benar dicabut i semua.
Tangkainya jadi berserakan dan bertebaran seperti jerami.
"Nah, kau sekarang puas, bukan?"
Jerit Yunus. Sondang Rawit tetap gusar. Akan tetapi dia bungkam. Melihat kurang-lebih empatpuluh batang bunga mawar tercabut berserakan, ia memut ar tubuh dan berjalan dengan penasaran. Tatkala hendak menuruni gundukan, ia menoleh dan berkata.
"Aku selalu bersikap baik t erhadapmu. Kenapa engkau perlakukan aku begini rupa? Coba pikir baik-baik. Engkau mmpunyai budi pekerti tidak?"
Yunus masih menangis. Jawabnya pedas .
"Siapa mint a kau bersikap baik kepadaku? Jika engkau tak senang melihatku, mengadulah kepada paman! Suruh dia mengusirku dari sini! Malam ini, aku akan tetap berada di sin i dengan saudara Lingga! Nah, adukanlah hal in i kepada paman. Sama sekali aku tidak t akut."
Sondong Rawit menghela napas.
Ia menundukkan kepala.
Hatinya pedih bukan main.
Dengan berdiam diri, ia menuruni gundukan.
Setelah bayangan Sondong Rawit hilang dari pengamatan, Yunus kembali memasuki paseban dan duduk disampirg Lingga W isnu.
Kedua pipinya basah kuyup oleh air mata.
"Kenapa sikapmu begitu keras kepada kakakmu sendiri?"
T anya lingga W isnu.
"Dia bukan kakak kandungku"
Sahut Yunus diant ara sedu-sedannya.
"Ibuku, puteri eyang Dandang Mataun. Dan dia, anak pamanku yang menguasai rumah eyang. Dia kakak misanku. Akh, seumpama aku mempunyai ayah, pastilah aku tidak tinggal di rumah in i. Dengan mempunyai rumah sendiri, tak bakal aku dihina orang."
Berkata demikian, tangis Yunus kian menjadi-jadi.
Lingga W isnu tetap belum mengerti perangai dan tabiat Yunus yang aneh.
Jalan pikirannya sukar dimengerti.
Pikirnya di dalam hati 'Rumah ini adalah rumah eyangnya.
Kini di kuasakan kepada pamannya.
Bukankah tetap satu keluarga? Kenapa dia merasa dihina keluarga pamannya?' berpikir demikian, ia mencoba berkata.
"Aku lihat dia bersikap baik.kepadamu. Engkaulah yang terlalu galak terhadapnya."
Yunus mengangkat kepalanya. Tiba-tiba ia tertawa. Sahutan .
"Sekiranya aku tidak bersikap galak kepadanya, pastilah d ia bakal memperlakukan aku yang bukanbukan."
Jawaban Yunus aneh bagi pendengaran Lingga Wisnu.
Lagak-lagunyapun bukan manusia lumrah pula Dia b isa menangis menggerung-gerung dan tertawa riang dengan mendadak.
Inilah tanda-tanda manusia berbahaya! W alaupun demikian.
Karena Y unus seorang yatim seperti dirinya, hatinya bersimpati padanya.
"Ayahku juga mati kena aniaya orang seperti ayahmu."
Kata Lingga W isnu menghibur. 'Yaktu itu, aku baru berumur tujuh atau delapan tahun. Ibuku mati pula pada hari itu."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah engkau sudah menuntut balas?"
Yunus menegas.
"Sampai hari ini, aku belum memperoleh kesempatan untuk.."
"Kalau begitu catatlah namaku dalam hatimu! Bila engkau hendak menuntut balas, dengan seluruh hatiku, aku akan membantumu,"
Potong Yunus dengan suara prihatin.
"T ak perduli musuhmu sangat tinggi ilmu kepandaiannya, aku akan membantumu."
Mendengar ucapan Yunus, Lingga W isnu geli tercampur terharu.
Tadinya, ia hendak menghibur dan memberi seri-tauladan, betapa sikapnya terhadap pembunuh-pembunuh ayah-bunda serta saudaranya.
Bahwasanya, meskipun hati berdendam sedalam lautan, tidak boleh mengumbar adat seenaknya sendiri.
Tetapi sekarang, dia justru dihibur Yunus, malah.
Tak terasa terloncatlah kata-katanya .
"Saudara Yunus, aku sangat berterima kasih terhadapmu."
Yunus memegang pergelangan tangan Lingga W isnu. Dan pemuda itupun membalas pasangannya. Sedang Yunus tak menolak. Ia membiarkan tangannya kena tekap.
"Dalam hal tata-berkelahi, aku kalah beberapa puluh kali lipat dari padamu."
Katanya.
"Akan tetapi mengenai sikap h idup di dalam pergaulan, rupanya engkau belum berpengalaman banyak. Dikemudian hari, aku perlu menyumbangkan pertimbanganku.' "Akh, kau baik sekali kepadaku,"
Lingga W isnu kini benar-benar terharu.
"Selama hidupku belum pernah aku mempunyai seorang teman seusiamu."
"Benar begitu? Tetapi tabiatku sangat buruk."
Yunus mengaku dengan menundukkan kepalanya.
"Y ang aku khawatirkan, jangan-jangan dikemudian hari, aku berbuat kesalahan terhadapmu ..."
"Aku kenal tabiatmu, semenjak pertemuan kita yang pertama,"
Sahut Lingga W isnu.
"Seumpama engkau melakukan kesalahan terhadapku, tidak akan aku rasukkan ke dalam hatiku benar-benar."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, Yunus bersyukur bukan main, sampai ia menghela nafas lega. Tiba-tiba, diluar dugaan ia berkata .
"Tetapi justru demikian, hatiku merasa t ak tenang."
"Mengapa?"
Yunus tak menjawab. Ia makin menundukkan kepalanya. Dan melihat sikap sahabatnya itu maka Lingga W isnu semakin heran. Kenapa sahabatnya kali ini begitu lembut? Kebengisan serta kegalakannya lenyap sama sekali dari perbendaharaan hatinya.
"Saudara Yunus,"
Kata Lingga W isnu dengan suara bergetar.
"Sebenarnya ingin aku mengajakmu berbicara. Tetapi ... entah kau sudi mendengarkan atau tidak?"
Yunus menegakkan pandangnya lagi. menjawab meyakinkan.
"Di dalam dunia ini, hanya tiga orang saja yang aku dengar perkataannya. Yang pertama ibuku, kedua pamanku Cocak Rawa dan yang ketiga, ialah ... engkau!"
Hati Lingga W isnu semakin tergerak. Berkata .
"Terima kasih. Kau tenyata menghargai diriku terlalu tinggi. Sebenarnya, perkataan siapapun, asal saja pant as harus kau dengar."
"T idak!"
Yunus menolak dengan tegas.
"Dalam dunia ini, tiada suatu kewajiban yang berbunyi begitu. Seorang yang berbicara terlalu pant as, biasanya banyak ulatnya. Sebab, kata-kata belum tentu membawa sikap dirinya Sebaliknya, seseorang yang memberlakukan diriku sangat baik dan akupun berkenan padanya, meskipun kadangkala kata-katanya tidak pantas, akan tetapi aku dengarkan perkataannya. Sebaliknya, bila hatiku jemu terhadapnya, meskipun kata-katanya pantas didengar, aku akan tetap bersikap tuli Lingga W isnu tertawa geli. Ujarnya .
"Saudara Yunus. Cara berpikirmu masih kekanakkanakan. Sebenarnya, berapa umurmu kini?"
"Delapan atau sembilan belas t ahun Dan kau?"
"Mungkin lebih tua tiga atau empat tahun,"
Yunus menundukkan kepala. W ajahnya mendadak bersemu merah. Katanya dengan suara perlahan .
"Semenjak kanak-kanak aku hidup sebatang-kara dengan ibu. Tiada mempunyai kakak maupun adik. Bagaimana kalau kita mengangkat saudara saja? Maukah engkau menerimaku sebagai ..."
Lingga Jlsnu seorang pemuda cermat, lantaran digodok oleh pengalamannya yang nahit semenjak belum pandai beringus'.
Itulah sebabnya, tak dapat ia menerima Yunus dengan segera.
Ia belum kenal Yunus sedalamdalamnya.
Juga ibunya maupun keluarganya.
Tercetaklah dalam ingatannya siang tadi, bahwa keluarga Yunus merupakan musuh penduduk.
Oleh pertimbangan itu, ia jadi berbimbang-bimbang.
Yunus ternyata perasa.
Ia seperti dapat meraba keadaan hati Lingga w isnu.
Terus saja ia berputar t ubuh dan lari menuruni tanjakan.
Keruan saja, Lingga W isnu jadi terkejut.
Cepat ia memburu.
Dan dalam sekejab saja bayangan Yunus nampak sudah mulai mendaki bukit yang berada di sebelah depan.
'Dia mudah tersinggung, lantaran tabiatma keras dan aneh.
Akh, tak boleh aku mengecewakan hatinya.
Dia bisa bersakit hati.
Dan kalau sampai hatinya merasa aku lukai, jangan-jangan ..' pikir Lingga W isnu sambil memburu.
Ia khawatir, Yunus akan nekat bunuh diri terjun ke dalam jurang.
Menilik adatnya yang aneh dan sukar di duga, bukan mustahil ia b isa berbuat begitu.
Oleh pikiran itu segera ia menggunakan ilmu sakti Maya Putih warisan Ki Ageng Gumbrek.
Dalam beberapa lint asan saja, ia sudah dapat mendahului.
Kemudian berdiri menghadang.
Benar saja dugaannya.
Yunus berusaha mengelakkan hadangannya dengan nyelonong ke sebelah kiri.
Cepat Lingga W isnu melcmpat menghadang kembali sambil berseru.
"Adikku Yunus! Kau marah padaku?"
Mendengar Lingga W isnu memanggil adik kepadanya , Yunus girang bukan kepalang. Serentak ia berhenti. Kemudian duduk bersimpuh dan perlahan-lahan menegas dengan hati-hati.
"Benarkah engkau sudi memanggil adik kepadaku? Bukankah diriku tidak cukup berharga untuk kau panggil demikian?"
"Kapan aku tidak menghargaimu?"
Sahut Lingga W isnu terharu.
"Mari! Di tempat ini kita saling mengangkat saudara. Kau sudi bukan?"
Terus saja Yunus bangkit dan berdiri tegak.
Kanudian masing-masing mengiris kulit pergelangan tangannya sampai keluar darah.
Setelah itu, mereka memanunggalkan darah mereka masing masing dengan memipitkan pergelangan tangan.
Dengan disaksikan oleh Bumi, Bulan cemerlang dan langit, mereka bersumpah sebagai saudara seia-sekata.
Berbareng mereka mencium bumi tiga kali.
Lalu, Lingga W isnu memanggil adik kepada Yunus.
Dan Yunus mencium kedua lutut Lingga W isnu dan menyebut kakak kepada pemuda itu.
Perlahan suaranya, lantaran hatinya terharu.
Lingga W isnu mundur untuk memberi hormat pula.
Sahutnya .
"Selanjutnya, aku akan menanggil namamu saja, agar hati kita terasa lebih dekat. Setuju?"
Yunus tersenyum. Ia memanggut. Jawabnya.
"Sekehendakmulah. Kau panggil diriku apa saja, aku akan patuh kepadamu."
Lega hati Lingga W isnu.
Kemudian ia mengajak pulang, karena hari sudah larut malam.
Yunus tak membantah.
Ia kembali kepaseban mengambil guci tuaknya, dan mengembalikan kecapi ketempat semula.
Setelah itu dengan berendeng mereka berjalan pulang.
Sampai didepan pintu kamar, Lingga W isnu berpesan .
"Jangan sampai ibu terbangun. Sebaiknya kita tidur disin i saja."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, w ajah Yunus merah dengan mendadak. Ia tertawa manis seraya menolak tangan Lingga W isnu. Katanya.
"Kau ... kau ... sampai besok pagi!"
Dan setelah berkata demikian, ia lari keluar.
"Aneh!"
Lingga W isnu tercengang.
Seperti biasanya, pada keesokan harinya, Lingga W isnu bangun pada pagi buta.
Ia bersemedi dahulu agar memperoleh suatu kesegaran dalam dirinya.
Satu jam kemudian, Sekarwati muncul mengantarkan ia air hangat.
Cepat ia melompat dari pembaringan sambil mengucapkan terima kasih.
Dan setelah mencuci muka, makan pagi segera tersedia dihadapannya.
Dan selagi makan, Yunus muncul diamibang pint u memasuki kamarnya.
"Mari k ita makan pag i bersama,'' Lingga W isnu segera menawari. Yunus tertawa. Sahutnya .
"Terima kasih. Apakah kangmas akan melihat suatu keramaian?"
"Keramaian apa?"
Lingga Wisnu heran.
"Seorang gadis datang pada pagi hari buta tadi untuk menagih emas. mari kita lihat!"
Sebenarnya Lingga W isnu ingin mint a keterangan tentang kata-kata 'menagih' itu. Tetapi karena Yunus sudah mengajaknya, ia lantas mengangguk. Katanya .
"Baik ..."
Berdua mereka memasuki sebuah gedung yang mempunyai ruangan olah raga.
Di ruangan itu mereka melihat seorang gadis sedang bertempur melawan Sondong Rawit.
Dan dua orang duduk diatas kursi di luar gelanggang.
Yang seorang bersenjata sebatang tongkat, dan lainnya bertangan kosong.
Yunus menghampiri orang yang bersenjata tongkat.
Ia berbisik, dan orang itu menoleh kepada Lingga W isnu.
Ternyata dia seorang yang sudah berusia lima puluhan tahun lebih.
Rambut, kumis dan jenggotnya sudah banyak ubannya.
Ia menatap Lingga W isnu beberapa saat lamanya dengan penuh perhatian, kemudian memanggutkan kepalanya.
Lingga W isnu hanya membalas memandang beberapa detik.
Kemudian mengalihkan perhatiannya kepada gadis yang sedang bertempur melawan Sondang Rawit.
Ia seorang gadis berumur sembilan belas tahunan.
Parasnya cant ik sekali.
Gerak-geriknya gesit.
Pakaiannya berwarna merah.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam Lingga W isnu mencoba menduga-duga siapakah gadis itu.
Setelah pertempuran berlangsung sepuluh jurus, hati Lingga YMsnu tercekat.
Ia melihat suatu gerakan pedang yang sangat dikenalnya.
Ujung pedang itu menyambar pundak Sondong Rawit.
Lalu dengan tiba-tiba berobah sasaran menikam leher.
Inilah gerakan salah satu jurus ajaran gurunya, Kyahi Sambang Dalan! Mereka berdua memang bertempur dengan menggunakan senjata.
Gadis itu berpedang.
Dan Sondong Rawit bergolok.
Masing-masing nampak mahir sekali menggunakan senjata andalannya Tadi gadis itu menyambar pundak.
Sondong Rawit segera menangis dengan mengadu tenaga.
Dan kena tangkisan Sondong Rawit, pedang gadis itu terpental.
Justru pada saat itu, mendadak pedangnya menikam leher.
Sondong Rawit kaget samoai me lesat mundur tiga langkah Namun gadis itu tak sudi memberi waktu bernapas.
Gesit sekali ia melejit.
Sebelah tangan dan kedua kakinya sama-sama bekerja saling menyusul.
Menyaksikan hal itu, Lingga W isnu berbimbang-bimbang.
Inilah bukan jurus ajaran gurunya.
Pikir Lingga W isnu .
'Tetapi, bagaimanapun juga, dia musti pernah menerima jurus-jurus ajaran guru.
Setidak-tidaknya, termasuk golongan guru.
Jangan-jangan dia murid salah seorang saudara seperguruanku Sekiranya dia tidak memiliki ilmu pedang itu takkan mungkin ia bisa membuat Sondong Rawit benar-benar rapat dan kuat sekali.' Gerak-gerik gadis itu memang cepat dan gesit.
Pedangnya, berkelebatan, namun dibandingkan dengan kepandaian Sondong Pawit, ia masih kalah ulet .
Tak perduli pedangnya garang bagaikan jari maut, namun dia bukan tanding Sondong Rawit.
Lingga W isnu melihat, dalam beberapa gebrakan lagi, gad is itu akan segera terangsak.
Dan ternyata penglihatannya memang tepat.
Beberapa jurus kemudian, Sondong Rawit yang sudah tenang kembali, mulai melancarkan serangan serangan yang berbahaya.
Dan gadis itu mundur selangkah dengan berputaran.
"Hmm,"
Dengus Yunus.
"Dengan bekal kepandaian begitu, sudah berani main labrak kesini."
Yunus tertawa tawar. Lalu katanya lagi .
"Dia bukan tanding kakak misanku. Bagaimana. menurut pendapatmu?"
Lingga W isnu belum menjawab atau ia melihat berkelebatnya babatan golok Sondong Rawit yang berbahaya sekali.
W aktu itu, gerakan lawan nya mulai kendor.
Itulah kesempatan sebagus-bagusnya bagi Sondong Rawit untuk memperkembangkan ilmu goloknya.
Setelah merangsak beberapa kali, goloknya bergerak melint ang.
Dan gadis itu terancam pinggang dan lengannya sekaligus.
Hati Lingga W isnu tercekat.
Melihat suatu kegentingan, tanpa berpikir tunjang lagi ia melompat ke gelanggang.
Kedua tangannya menyekat garis tengah.
Itulah berbahaya sekali, karena kedua-duanya sedang mengayunkan senjatanya.
Yunus yang menyaksikan hal itu, memekit kaget.
Dan kedua orang t ua yang berada di luar gelanggang meloncat bangun.
Namun, baik Yunus maupun kedua orang tua itu, tak berdaya lagi untuk menolong Lingga W isnu terhindar dari bahaya.
Lingga W isnu sudah barang tentu sadar akan ancaman bahaya itu.
Tapi pada detik yang menentukan tangan kanannya menolak serangan Sondong Rawit dengan perlahan.
Dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan sigadis dengan perlahan pula.
Berbareng dengan gerakan itu ia mengendapkan diri.
Dengan demikian, terbebaslah dirinya dari ancaman maut.
Gerakan Lingga W isnu nampaknya sederhana saja.
Hanya akibatnya diluar dugaan siapapun.
Tatkala mengendapkan diri, ia menggempur tekanan tenaga mereka berdua dengan ilmu saktinya yang lunak.
Begitu terpotong, baik pedang maupun golok, gagal mencapai sasaran.
Dalam keadaan demikian, Lingga W isnu bisa leluasa merampas senjata mereka.
Namun ia t ak berbuat begitu, karena khawatir akan menyinggung kehormatan diri Sondong Rawit.
Sebaliknya, karena gerakan ilmu saktinya utuh, kuda-kuda mereka berdua kena digempur sampai mundur sempoyongan dua atau tiga langkah.
Keruan saja mereka kaget sampai memekik tertahan.
Setelah bisa memperbaiki diri, mereka menjadi gusar dengan alasannya masing-masing.
Malahan, hati Sondong Rawit memang sudah dengki terhadap Lingga W isnu.
Di depan adik misannya, harga dirinya runt uh.
Ia malu sekali sampai tak bisa pejamkan mata satu malam sunt uk.
Sekarangpun dirinya dilakukan sangat ringan dihadapan adik misannya itu.
Malahan kedua orang tua yang berada di luar gelanggang pula.
Tak mengherankan, hatinya menjadi panas Sebaliknya, gadis itu gusar lantaran mengira Lingga W isnu membantu Sondong Rawit.
Menuruti kata hati, ingin ia menggerakkan pedangnya.
Tetapi segera sadarlah dia bahw a kepandaian pemuda itu sangat tinggi.
Maka dengan terpaksa ia mengendalikan rangsangan hati.
Kemudian mundur dua langkah dan hendak mengangkat kaki.
"Nona, tunggu!"
Seru Lingga W isnu.
"Ingin aku berbicara denganmu."
"T ak dapat aku melawanmu,"
Balas gadis itu diant ara rasa gusarnya.
"T etapi seseorang berkepandaian sekian kali lipat tingginya dariku akan datang mengambil emasnya kembali. Mau berbicara apa lagi?"
Lingga W isnu maju selangkah seraya membungkuk hormat. Sahutnya .
"Jangan engkau menuruti kata hati saja, bersabarlah sedikit. Sebenarnya, siapakah namamu? Bolehkah aku ..."
"Ih ..
"
Dan gadis itu meludah di lantai.
"Tak tahu malu!"
Dengan sekali loncat, ia sudah keluar pintu Lingga W isnu segera mengejarnya.
Akan tetapi, ia membiarkan gadis itu mencapai serambi depan dahulu.
Kemudian dengan sekali menjejakan kaki, ia melesat bagaikan bayangan.
Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan gadis itu.
Katanya setengah berbisik .
"Sst! Jangan pergi dulu! Aku akan membantumu ..."
Gadis itu tercengang sampai menghentikan langkahnya. Sambil menatap wajah Lingga W isnu, ia menegas .
"Siapa kau.?"
"Aku Lingga!"
Gadis itu mengerutkan dahinya. Ia menatap wajah Lingga W isnu dengan tajam. Menguji .
"Kau kenal paman gagu?"
Mendengar pertanyaan itu, Lingga W isnu mengigil. Siapa lagi yang disebut paman gagu itu, kalau bukan paman Ganjur? Terus saja ia memperkenalkan nama lengkapnya .
"Aku Lingga W isnu. Bukankah engkau Suskandari?"
Mendadak saja, w ajah gadis itu berseri- seri. Oleh rasa girang, ia lupa diri. Terus saja disambarnya tangan Lingga W isnu dan ditariknya mendekat. Serunya .
"Benar! Aku Suskandari! Benar benarkah engkau kakang Lingga W isnu?"
Tetapi setelah mengucap demikian, justru ia tersadar. Dengan wajah merah, ia melepaskan pegangannya. Tepat pada saat itu, terdengarlah suara Sondong Rawit .
"Akh, aku kira siapa engkau, saudara Lingga. Kiranya, engkau mata-mata Said atau Mangkubumi yang merembes ke mari ..."
Lingga W isnu tercengang.
Memang, ia mengenal nama Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Ia mengagumi kegagahan mereka.
Tetapi kalau dia kin i datang ke rumah keluarga Dandang Mataun atas nama kedua pahlawan itu, sama sekali tidak benar.
Maka berkatalah dia memberi keterangan .
"Aku memang kenal nama mereka berdua. Aku kenal pula panglima Sengkan Turunan. Tetapi tak benar apabila aku dikatakan mata-mata mereka. Mengapa saudara bisa menuduhku demikian? Apakah karena aku kenal gadis ini? Dialah sahabatku semenjak kami masih kanak-kanak. Sepuluh tahun lebih kami berdua tak pernah bertemu pandang. Sekarang, bolehkah aku mint a keterangan kepadanu, apa sebab engkau bentrok dengan sahabatku ini? Bagaimana pendapatmu, manakala aku memberanikan diri, untuk mendamaikan perselisihan kalian berdua?"
"Apabila emas yang aku minta bisa diserahkan, barulah persoalan selesai,"
Sahut Suskandari.
"Hnm! Begitu gampang?"
Dengus Sondong Rawit.
"Saudara Sondong Rawit, mari aku perkenalkan ..."
Lingga W isnu mencoba meredakan ketegangan! "Dia bernama Suskandari.
Seperti kataku tadi, semenjak kanak-kanak kami berdua pernah hidup dibawah satu atap.
Sampai pada hari in i, lebih dari sepuluh tahun lamanya, kami tak pernah bertemu.
Mari, aku perkenalkan ..."
Sondang Rawit t etap bersikap dingin. Ia memandang Suskandari dengan pandang tegang. Dan menyaksikan hal itu, hati Lingga Wisnu menjadi t ak enak Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan. Katanya kepada Suskandari .
"Bagaimana engkau segera mengenal diriku?"
"T anda bekas luka di dahimu sebelah kanan! "T anda bekas luka?"
Lingga W isnu meraba dahinya dengan tercengang,.
"Bagaimana aku bisa melupakan peristiwa dahulu itu, tatkala engkau dilukai penculik ketika ia mencoba melarikan aku. Seumpama engkau tidak berusaha menolong diriku dengan mati-matian, entahlah akibatnya. Apakah peristiwa itu tak pernah terkenang lagi olehmu?"
Merah wajah Lingga W isnu. Sambil menurunkan tangan dari dahinya, ia menyahut .
"T ak mungkin aku lupa. Bukankah kita sedang bermain-main?"
Yunus yang selama itu mendengarkan pembicaraan mereka, tiba-tiba menimbrung . ''Kalau masih hendak berbicara, berkepanjangan lagi, masuklah ke dalam!"
Akan tetapi Lingga W isnu tidak menggubris Gelisah ia mint a keterangan kepada Suskandari .
"Sebenarnya, bagaimana asal mulanya engkau sampai bentrok dengan saudara Sondong Rawit?"
"Aku dan kakang Puguh kena pegat,"
Suskandari memberi, keterangan.
"Puguh?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lingga W isnu memotong dengan terperanjat.
'Maksudnu, Aria Puguh, guruku? Puguh yang dahulu berada di rumahmu dalam keadaan luka berat? Masih ingatkah engkau, tatkala mula-mu la aku datang ke rumahmu? Bukankah aku datang dengan seorang lakilaki? Dialah Aria Puguh.
Aku memanggilnya paman.
Apakah dia yang kau sebut kakang Puguh?"
"Bukan! Bukan paman kita Aria Puguh dahulu. Tetapi keponakannya."
Suskandari memberi keterangan.
"Namanya Puguh juga. Lengkapnya. Puguh Harimawan. Kami berdua mendapat t ugas mengawal sejumlah emas bekal belanja laskar Panglima Sengkan Turunan, Di tengah jalan kita kena pegat seorang jahat. Dialah orangnya!"
Suskandari menuding Yunus.
Sekarang, barulah jelas bagi Lingga W isnu, bahwa uang emas rampasan Yunus, sesungguhnya milik laskas Panglima Sengkan Turunan.
Ia pernah melihat Panglima itu, t atkala datang bersama gurunya, Aria Puguh, di lereng gunung Merbabu, sebagai utusan Raden Mas Said.
Aria Puguh adalah seorang perwira kepercayaannya.
Sekarang, uang perbekalannya kena rampas.
Sudah semestinya ia t ak akan tinggal diam.
Jangan lagi terhadap kedua orang yang sangat dia hormati itu.
Seumpama uang emas itu milik Suskandari atau ibunya, dalam keadaan demikian, ia akan berpihak padanya.
Sekalipun terhadap Yunus.
Lagi pula, uang emas itu pasti sangat penting untuk perbekalan laskar Panglima Sengkan Turunan.
Bisa jadi merupakan perbekalan yang menentukan timbul-tenggelamnya suatu perjuangan.
Bukankah Panglima Sehkan Turunan adalah seorang Panglima Raden Mas Said yang sedang bangkit melawan Kompeni Belanda beserta begundalnya? Karena itu, sudah semestinyalah kalau ia membantunya.
Setelah memperoleh keputusan demikian, ia berkata kepada Yunus .
"Adik, maukah engkau mengembalikan uang emas itu kepadanya?"
"Hem!"
Yunus mendengus.
"Menghadaplah sendiri kepada kedua pamanku itu. Ajaklah beliau berbicara."
Mendengar syarat itu, Lingga W isnu segera menghampiri.
Karena dia sudah menjadi saudara angkat Yunus dan ternyata kedua orang itu adalah pamannya, maka tiada jeleknya bila ia membungkuk hormat kepada mereka.
Demikianlah, setelah berhadap-hadapan, Lingga W isnu berjongkok, dan hendak bersembah.
Orang tua yang memegang tongkat berseru cepat .
"Hei! Tak berani aku menerima sembahmu pemuda, kau bangunlah!"
Di mulut dia berbicara demikian manis.
Tetapi setelah menyandarkan tongkatnya pada sandaran kursi, dengan tangannya dia memegang bahu Lingga W isnu.
Kemudian diangkatnya sambil mengerahkan himpunan tenaga saktinya Lingga W isnu terperanjat tatkala kena angkat orang tua itu.
Apabila membiarkan diri, ia akan t erlempar tinggi di udara.
Maka segera ia mengerahkan ilma saki 'Mundi', agar badannya jadi seberat gunung.
Dengan menggunakan ilmu sakti pemberat badan itu, ia berbasil menyembah dengan tubuh tak bergeming.
Di dalam hati, orang tua itu kaget.
Pikirnya didalam hati .
'Hebat bocah ini! Sekian puluh tahun aku melatih menghimpun tenaga sakti.
Namun masih tak sanggup aku mengangkat tubuhnya.' Ia lantas tertawa berkakakan seraya ia berkata .
"Selamat, selamat! Pantas, keponakanku memujimu sebagai seorang pemuda, yang memiliki ilmu sakti t inggi. Benar-benar tak tercela. Aku membuktikan sendiri."
Yunus yang berada di belakang Lingga Wisnu maju ke samping. Berkata memperkenalkan .
"Inilah pamanku yang ketiga. Namanya Cocak Rawa. Dan dia, pamanku yang kelima. Aku memanggilnya Cocak Ijo,"
Yunus menuding kepada orang tua yang bertangan kosong.
Baik Cocak Rawa maupun Cocak Ijo membungkam mulut .
Mereka seperti tak senang, diperkenalkan namanya kepada Lingga W isnu.
Pemuda itu menjadi perasa.
Diam-diam ia mendongkol.
Katanya di dalam hati.
'Kalian memang keluarga terhormat Tetapi ayahbundaku masakan lebih rendah daripada kalian?' Namun ia seorang pemuda yang pandai membawa diri.
Segera ia menoleh kepada Yunus.
Berkata dengan suara tegas .
"Aku mint a dengan hormat, agar emas itu segera kau kembalikan kepada adikku!"
"Adik! Adik! Adik!"
Yunus jadi dengki. Ia lalu menambahkan .
"Selalu saja kau sebut dia adikku. Begitu besar perhatianmu kepadanya! Mengapa aku tak memperoleh perhatianmu yang layak?"
"Adikku Yunus! Kita semua adalah golongan ksatrya, kalau tak mau disebut sebagai golongan pendekar. Jangan engkau bergurau keterlaluan,"
Kata Lingga W isnu tak memperdulikan ocehan Yunus.
"Emas itu kau rampas, karena engkau tidak mengetahui siapa pemiliknya. Tak apalah! Siapapun bisa berbuat salah. Dan hidup ini cukup lapang untuk memaafkan kesalahanmu itu. Tetapi setelah mengetahui bahwa uang emas itu adalah milik laskar Panglima Sengkan T urunan, sudah semestinyalah kau kembalikan dengan segera. Malahan kita wajib mohon maaf sebesar-besarnya."
Cocak Rawa dan Cocak Ijo jadi tak enak hati T adinya mereka mengira, bahw a uang emas itu milik seorang saudagar besar yang sedang sial T ak tahunya uang emas itu, milik laskar Panglima Sengkan Turunan.
Mereka kenal baik siapa Panglima Sengkan T urunan.
Ia seorang Panglima yeng besar pengaruhnya.
Sekarang sudah mereka ketahui, bahwa uang emasnya berada di keluarga Dandang Mataun.
Seumpama gadis itu bisa diusirnya pergi, Panglima Sengkan Turunan bisa mengirimkan laskarnya Siapa yang mampu menghadapi laskar yang jumlahnya mungkin ribuan orang? Inilah ancaman yang sangat membahayakan kesejahteraan keluarga Dandang Mataun.
Memperoleh pertimbangan demikian, kambali Cocak Rawa tertawa berkakakan.
Lalu ia berkata kepada Yunus.
"Anakku, demi persahabatanmu dengan dia, kau kembalikanlah uang emas itu!"
Girang hati Lingga W isnu mendengar perint ah Cocak Rawa. Inilah suatu keputusan yang bijaksana. Di luar dugaan, Yunus menyahut galak .
"T idak paman! Tak dapat aku kembalikan uang emas itu!"
Lingga W isnu tercengang. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Segera ia berkata .
"Oh, ya. Yang sebagian memang berada padaku. Biarlah aku mengembalikannya dahulu kepadanya. Bagaimana?"
"Jika yang sebagian engkau kehendaki, pada saat ini juga akan kuserahkan."
Ujar Yunus.
"Selamanya tak pernah aku menganggap sebungkus emas sebagai barang mustika dunia. Tetapi kalau dia yang menghendaki aku mengembalikan uang emas yang t elah aku rampas, hmm. Tak sudi aku menyerahkannya ..."
Berkata demikian Yunus menuding Suskandari dengan mata berapi-api. Suskandari menjadi gusar. Ia maju se langkah dan berkata bengis .
"Engkau mau mengembalikan atau t idak? Atau engkau ada syarat-syarat tertentu? Sebutkan!"
Yunus tak menghiraukan reaksi Suskandari Masih saja ia menatap Lingga W isnu Menegas kepada pemuda itu .
"Sebenarnya engkau berpihak di mana? Dia atau aku?"
Memperoleh pertanyaan demikian, Lingga W isnu jadi berbimbang hati. Hati-hati ia menjawab.
"Sebenarnya aku tidak memihak siapa pun. Hanya saja, aku patuh kepada guruku."
"Gurumu? Siapa gurumu?"
"Guruku salah seorang perwira pent ing dalam laskar Panglima Sengkan Turunan'."
"Hmml"
Dengus Yunus mendongkol.
"Pulang balik, engkau hanya membantu dia. Baiklah, emas itu memang berada di sini. Tetapi engkau sendiri tahu, betapa sulitnya aku mempertahankannya. Malahan kalau tidak bernasib baik dan berakal jitu, pastilah jiwaku sudah melayang di tengah perjalanan. Karena aku memperoleh emas itu dengan akal dan keringat, maka engkaupun haruslah merebutnya kembali dengan akal dan keringat pula. Aku beri waktu tiga hari, kau rebutlah emas itu! Tetapi bila dalam waktu tiga hari engkau tak berhasil merebutnya, maka akupun t ak akan bersegan-segan lagi terhadapmu." ' Lingga W isnu menyambar tangan Yunus dan diajaknya menyendiri. Katanya .
"Adikku, semalam engkau berjanji hendak patuh dan taat kepadaku. Tetapi belum lagi setengah hari, katakatamu sudah berubah. Mengapa?"
"Jika kau perlakukan diriku dengan baik sekali, pastilah aku akan patuh pada setrap patah katamu. Bukankah aku berkata begitu"
Sahut Yunus cepat.
"Apakah aku bersikap tak baik kepadamu?"
Lingga W isnu tak mengerti.
"Benarkah aku t ak dapat mengambil uang emas itu kembali?"
Kedua mata Yunus menjadi merah basah Lalu ujarnya.
"Baru semalam engkau mengangkat diriku sebagai saudaramu. Tetapi begitu bertemu dengan sahabat lama, engkau sudah tidak menaruh perhatian lagi kepadaku. Seumpama aku hendak mengangkangi emas Panglima Sengkan Turunan apa yang aku andalkan? Paling-paling aku pasti mati dan memang sebenarnya aku harus tahu diri, bahw a di dunia ini tiada seorangpun yang menaruh belas kasih kepadaku."
Hati W isnu tergetar. Namun jawaban Yunus tidak juga membuatnya puas. Berkata memberi pengertian .
"Engkau saudara angkatku. Dan dia, puteri sahabatku. Baik d ia maupun engkau, aku pandang sebagai bagian hidupku sendiri. Tiada sama sekali aku membedabedakan. Mengapa engkau bersikap kaku begini?"
"Sudahlah. Jangan bicara berkepanjangan,"
Bentak Yunus.
"Kalau mempunyai akal, kau ambil saja emas itu dalam waktu tiga hari ..."
Dan setelah berkata demikian, ia lari ke dalam.
Lingga W isnu menghela napas.
Hatinya masgul luar biasa.
Karena menumbuk suatu kegagalan maka terpaksalah ia membawa Suskandari keluar dari rumah keluarga Dandang Mataun.
Dan menginap di rumah seorang petani.
Di rumah ini Lingga W afcnu mint a keterangan asal-mula terjadinya perampasan uang emas itu kepada Suskandari.
Dan Suskandari memberi keterangan terlalu sederhana.
Ia seperti belum percaya penuh kepada Lingga W isnu, Katanya, ia dan Puguh, pada suatu hari berpisah.
Dan pada saat itu, emas kawalannya di rampas Yunus.
Karena emas itu menjadi tanggung jawabnya, ia lantas menyusul ke rumah keluarga keluarga Dandang Metaun.
"Selanjutnya engkau sendiri menyaksikan bagaimana kesudahannya."
Suskandara menutup ceritanya.
Melihat Suskandari berbimbang-bimbang terhadap dirinya, Lingga W isnu membatalkan niatnya hendak mengetahui latar-belakang persoalannya yang lebih jelas lagi.
Ia lant as mempersiapkan diri dalam usahanya hendak merebut uang emas itu kembali dari tangan Yunus.
Pada malam harinya, sekitar jam dua Lingga W isnu mengajak Suskandari untuk mengintip gerak gerik keluarga Dandang Mataun.
Begitu melompat ke atas genting, ia melihat gedung pertemuan terang-benderang oleh nyala api Cocak Rawa dan Cocak Ijo duduk berhadap-hadapan denfan Yunus dan Sondong Pawit.
Mereka makan-minum diseling pembicaraan yang menggembirakan, seolah-olah sedang berpesta.
Lingga W isnu mencoba menguping pembicaraan mereka.
Siapa tabu, dengan tak sadar mereka menyinggung tentang uang emas disembunyikan.
Selagi demikian, ia dengar Yunus berkata seperti kepada dirinya sendiri.
"Bungkusan emas memang ada di sin i. Siapa saja yang merasa diri mempunyai kepandaian, boleh ambil,"
Dan setelah berkata demikian, ia tertawa melalui dadanya. Suskandari menarik lengan Lingga W isnu dan membisik.
"Rupanya dia sudah mengetahui kita berada di sini."
Lingga W isnu mengangguk.
Meskipun demikian pandang matanya tak beralih.
Ia melihat Yunus meletakkan dua buah bungkusan di atas meja.
Segera ia membukanya.
Dan terpantullah sinarnya, bergemerlapan.
Itulah emas yang dipertaruhkan.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian ia meletakkan pedangnya disampingnya sedangkan Sondong Rawit yang duduk disampingnya meletakkan pula goloknya di atas meja.
Kemudian mereka meneguk minumannya dan menikmati panganan yang disediakan.
"Mereka sengaja memperlihatkan emasnya dengan penjagaan yang rapi dan kuat. Tiada jalan lain, kecuali mengadu kekerasan. Perlukah. aku berbuat begitu?"
Pikir Lingga W isnu di dalam hati Ia menoleh kepada Suskandari untuk memperoleh pertimbangan.
Tetapi gadis itu hanya membungkam mulut saja.
Setengah jam lagi, ia menunggu.
Mereka yang berada di dalam gedung tetap saja bercokol diatas kursinya masing-masing.
Akhirnya terpaksalah Lingga W isnu mengalah.
Dengan hati dengki, ia mengajak Suskandari pulang kepondokan.
Malam itu, mereka merasa gagal merampas emasnya kembali.
Keesokan harinya, Suskandari agak leluasa sikapnya.
Ia tak menaruh sangsi lagi kepada Lingga W isnu.
Sekarang ia mengabarkan, bahwa ibunya dalam keadaan sehat walafiat dan seringkali membicarakannya.
Lingga W isnu lant as saja merogoh saku celananya dan memperlihatkan sebuah gelang emas kecil.
Katanya .
"Inilah gelang emas pemberian ibumu, tatkala aku hendak berangkat mendaki gunung Dieng. Dahulu, pergelangan tanganku tidak sebesar sekarang. Karena itu gelang emas pemberian ibumu, hanya kusimpan di dalam saku. Aku selalu membawanya ke mana aku pergi."
Suskandari tertawa. Ia memperlihatkan lengan Lingga W isnu dan gelang emas itu. Katanya mengalihkan pembicaraan .
"Sepuluh tahun lebih, kita tak pernah bertemu. Akupun tak pernah mendengar kabar beritamu. Sesungguhnya, selama itu apa saja yang telah kau kerjakan?"
"Setiap hari, aku hanya berlatih dan mendalami ilmu ajaran guru."
Jawab Lingga W isnu sederhana.
"Pantas saja ilmu kepandaianmu hebat sekali"
Suskandari memuji.
"Sewaktu kemarin kau menolak tubuhku, kedudukanku gempur..."
"Tetapi dari mana engkau memperoleh ilmu pedang Sekar Teratai?"
Lingga W isnu minta keterangan.
"Siapa yang memberimu pelajaran.' Memperoleh pertanyaan demikian, tiba-tiba kelepak mata Suskandari basah. Jawabnya .
"Kakang Puguh yang mengajari. Bukankah dia termasuk salah seorang murid Sekar Teratai"
Hati Lingga W isnu tercekat melihat kelopak mata Suskandari yang menjadi basah dengan tiba-tiba. Tanyanya menegas "Apakah dia terluka dalam perjalanan itu?"
"T ak mungkin dia terluka ..."
"Kalau begitu, mengapa engkau bersedih hati?"
"Aku dibiarkan berjalan seorang diri. Dia berpisah dan meninggalkan aku tanpa pamit,"
Kata Suskandari, menundukkan pandang.
Lingga W isnu tak mau mendesak.
Ia lant as mendalihkan pembicaraan tentang kemungkinannya sebentar malam dalam usahanya merebut kembali uang emas Dan apabila sudah memperoleh kata sepakat mereka lalu bersemedi menghimpun tenaga saktinya masing-masing.
Larut malam, mereka mengintip lagi dari atas atap gedung pertemuan, seperti kemarin malam Meja itu tetap terjaga oleh empat orang Hanya saja, kedudukan Cocak Ijo ditempati oleh orang lain.
Pastilah mereka itu saudara seperguruan Cocak Rawa atau Cocak Ijo.
Kalau bukan, pasti pula termasuk anggauta keluarga Dandang Mataun.
Menurut keterangan Yunus, semua pamannya berjumlah lima orang.
Bila hanya dua orang menampakkan diri dengan terang-terangan, tentunya yang tiga orang sedang bersembunyi disuatu tempat tertentu.
Lingga W isnu seorang pemuda cermat, lantaran digodok oleh pengalaman hidupnya semenjak kanakkanak.
Merrperoleh dugaan demikian, segera ia mengkisiki Suskandari .
"W aspadalah, pasti ada beberapa orang yang bersembunyi di sekitar tempat ini. Kita mau mengint ip mereka. Jangan-jangan justru kita yang mereka intip."
Suskandari memanggut.
Sekonyong-konyong ke dua.
alisnya berkerut -kerut.
Tanpa mint a pertimbangan, ia meloncat turun.
Gerakan itu membuat hati Lingga Wisnu terkesiap.
Segera ia mengejar dengan maksud mengawal dari belakang.
Suskandari ternyata mengarah ke belakang, ia mencari dapur dan terus menyalakan api.
Sebelum Lingga W issnu sempat memberi pertimbangan, dapur sudah dibakarnya.
Sebentar saja api menjilat tinggi sampai ke atap gedung.
Seketika itu juga, seluruh anggauta rumah tangga keluarga Dandang Mataun menjadi kacau-balau.
Gugup mereka lari berserabutan mencari air dan merobohkan batang pisang untuk memadamkan api.
Dan pada saat itu, Suskandari lari.
balik ke atas gedung pertemuan.
Tahulah Lingga W isnu akan maksud gadis itu.
Dia hendak mengalihkan perhatian empat orang yang berada di dalam gedung pertemuan.
Dan akal itu memang tepat sekali.
Tatkala mereka berdua telah berada di-atas atap gedung pertemuan kembali, keempat orang tadi tiada nampak batang hidungnya.
Suskandari girang.
Ia merasa diri akalnya berjalan dengan baik sekali.
Terus saja ia berseru kepada Lingga W isnu.
"Mereka sedang sibuk memadamkan api. Mari kita bekerja!"
Dan segara ia melompat turun melalui jendela. Lingga W isnupun mencontoh perbuatannya Tetapi, ia berhenti bergelantungan di luar jendela untuk menjaga kemungkinannya.
"Ikut aku!"
Ajak Suskandari.
Gadis itu tiba di atas lantai dan hendak segera menghampiri meja.
Lingga W isnu terpaksa pula mengikuti.
Ia melihat bungkusan emas itu berada di atas meja tanpa penjaga.
Dan dengan, bernapsu Suskandari.
maju selangkah.
Tangannya menyambar.
Mendadak saja Lingga W isnu merasakan suatu keanehan, lantai yang diinjaknya terasa lunak dan bergoyang.
Segera sadarlah dia, bahw a lantai itu merupakan jebakan Cepat tangannya bergerak, menjangkau tubuh Suskandari, samb il melompat kesamping.
Tetapi terlambat! Sambaran t angannya gagal.
Pada detik itu juga.
Suskandari terjeblos ke dalam lubang jebakan.
Lingga W isnu menjejakkan kakinya pada lantai yang menjeblak kedalam.
Tangannya menyambar dan berhasil mencapai tiang yang berada di sebelahnya.
Kemudian ia menurunkan kakinya pada dasar tancapan tiang itu.
Ia selamat, tetapi kaget dan memikirkan nasib Suskandari.
Dengan jantung berdegupan ia berpaling ke arah jendela.
Dan seseorang yang merasa terancam bahaya, biasanya menjadi peka oleh rasa naluriahnya.
Apalagi Lingga W isnu seorang pemuda yang mempunyai pembawaan cerdas luar biasa.
Tiba t iba saja ia menaruh curiga terhadap jendela itu.
Menurut dugaannya, pada jendela itulah terletak pesawat penggerak lant ai jebakan.
Memperoleh dugaan demikian, terus saja ia melompat hendak menyelidiki.
Selagi badannya terapung di udara, angin tajam menyambar padanya.
Tahulah dia, seseorang menyerang dari belakang punggung.
Cepat ia menangkis.
Suatu bentrokan terjadi.
Prak! Dan orang itu terdorong mundur.
Namun dia ternyata gesit.
Begitu roboh di atas lantai, dia meletik bangun.
Lingga W isnu t ak sudi kena libat.
Ia melompat ke atas genting.
T api orang itupun menyusul dengan sebat pula.
Pemuda itu mendongkol juga.
Ia memutar pandang.
Dan pada saat itu bulu kuduknya menggeridik.
Sebab dengan tiba-tiba saja, ia telah kena kepung.
Beberapa orang yang berperawakan tak rata memandang padanya dengan bengis.
Yang langsung berhadapan dengan dia seorang berperawakan pendek kecil set engah cebol.
Disampingnya seorang laki laki pula berperawakan tinggi besar.
Orang itu nampak perkasa seperti tokoh cerita wayang Bima Dua orang itu didampingi empat orang lagi yang bersenjata lengkap.
Dan karena mereka berdiri membelakangi cerah bulan, Lingga W isnu tak dapat melihat w ajahnya dengan jelas.
Ia lant as mengamat-amati orang yang menyusulnya Ternyata dia Sondong Rawit.
Dan begitu melihat Sondang Rawit, segera ia sadar siapakah mereka.
Pikirnya di dalam hati.
'Mereka inilah keluarga Dandang Mataun.
Hanya saja aku belum tahu maksud mereka sesungguhnya.
Apakah benar-benar mereka bermaksud mencelakai d iriku? Memperoleh pikiran demikian, ia bersikap w aspada dan hati-hati.
Di antara mereka yang mengepung, kecuali Sondong Rawit, ia mengenal tiga orang dengan segera Yang pertama Cocak Rawa.
Kemudian Cocak Ijo.
Dan yang ketiga, Yunus.
Tatkala ia bermaksud hendak menegorrwa, tiba-tiba orang yang berperawakan tinggibesar tertawa terbahak bahak.
Hebat perbawanya.
Atap yang diinjaknya bergetar dan suara tertawa nyaring sekali.
"Kami berlima tinggal di sebuah dusun yang sepi,"
Katanya nyaring.
"T ak pernah kuduga, bahwa pada hari ini salah seorang bawahan Sengkan Turunan sudi mengunjungi rumah kami."
Lingga W isnu maju selangkah. Ia memanggut hormat seraya menyahut .
"Perkenaikan, kami, memperkenalkan diriku terhadap paman sekalian,"
"T ak usah Bukankan engkau bernama Lingga W isnu?"
Potong orang itu galak.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yunus yang berdiri di belakang, mereka maju menengahi.
Katanya memperkenalkan paman-pamannya "Inilah pamanku yang paling tua.
Cocak Prahara, namanya.
Kemudian pamanku yang ketiga bernama Cocak Abang.
Dan yang keempat, Cocak Mengi.
Dan dia, kakak misanku yang lain.
bernama Cocak Rawun.
Dia putera paman Cocak Prahara.'"
Lingga W isnu memanggut hormat, setiap kali Yunus menyebut nama.
mereka masing-masing.
Dalam hati ia berpikir' ? 'Rupanya keluarga Dandang Mataun menyematkan nama Cocak sebagai nama keluarga.
Y ang tertua.
Cocak Prahara.
Kemudian, Cocak Abang, Cocak Rawa, Cocak Mengi dan Cocak Ijo? Dan anak muda itu mengenakan nama.
Cocak Rawun.
Apakah dikemudian hari, dia calon pengganti nama keluarga Dandang Mataun?' Diantara kelima saudara, Cocak Abang beradat berangasan.
Dengan serta merta ia menegor.
"Hai anak muda! Usiamu belum seberapa, tapi sudah pandai membakar rumah. Bagus! Sesungguhnya kepandaian apakah yang kau andalkan?"
"Itulah perbuatan temanku yang semberono,"
Sahut Lingga W isnu dengan sopan.
"Aku sangat menyesal atas terjadinya pembakaran itu. Syukurlah, api tidak begitu besar. Biarlah esok pagi, ia kusuruh menghaturkan maaf kepada paman sekalian."
Cocak Abang melototkan matanya. Memang api telah kena terpadamkan, akan tetapi hatinya masih saja panas. Cocak Mengi yang berperawakan tinggi-jangkung dengan punggung agak melengkung maju ke depan. Katanya menimbrung .
"Puluhan t ahun kami tinggal di sin i. Selama itu belum pernah kami terusik oleh pekerti siapapun. Mereka yang datang kemari hanyalah untuk menghaturkan sembah sesuatu semata. Sebaliknya, engkau masih muda belia dan berani membuat onar di sini. Sebenarnya siapakah gurumu?"
"Guruku berada dalam laskar Panglima Sengkan Turunan."
Sahut Lingga W isnu dengan tenang.
"Kedatanganku kemari, semata-mata untuk memohon agar paman sekalian sudi mengembalikan emasnya Panglima Sengkan Turunan. Aku berjanji hendak mendesak guruku, agar beliau sudi berkirim surat kepada paman sekalian unt uk menyatakan terima kasih."
Cocak Mengi mendengus. Sekian panjangnya, pemuda itu mengoceh. Akan tetapi nama gurunya tidak pernah disinggungnya. Selagi hendak membuka mulut, kakaknya yang-tertua, Cocak Prahara membentak nyaring kepada pemuda itu .
"Siapa gurumu!"
Lingga W isnu mendeham. Menyahut .
"Guruku jarang sekali berkelana atau memperkenalkan diri. Karena itu, tak berani aku menyebutkan nama beliau. lagi pula bagi paman sekalian tiada artinya sama sekali."
"Hem."
Cocak Abang t ak sabar lagi. Memang adatnya berangasan. Lantas saja ia memut uskan.
"Jadi engkau masih hendak menyembunyikan nama gurumu? Apakah kau kira, kami tak dapat mengenal gurumu? Kami mempunyai cara lain. Kau berhatihatilah!"
Dan dengan wajah merah padam ia berseru kepada Cocak Rawun .
"Rawun! Cobalah kau bermain-main sebentar dengan bocah itu!"
Seorang pemuda yang tadi diperkenalkan sebagai putera Cocak Prahara, dengan gesit masuk ke gelanggang.
Terus saja tangannya bergerak menampar pipi.
Kemudian kakinya menyusul membuat suatu tendangan.
Lingga W isnu mengelak.
Dan Cocak Rawun melepaskan tinju kirinya.
Pikir Lingga W isnu .
'Mereka berjumlah banyak.
Kalau mereka maju satu persatu, aku bisa celaka karena lelah.
Bila aku tidak melawannya dengan cepat, sulit untukku meloloskan diri.' Oleh pikiran itu, ia menyambut tinju kiri Cocak Rawun dengan berhadap-hadapan.
Tangan kanannya berkelebat menyambar tinju itu.
Lalu dilemparkan ke belakang sambil melompat ke samping.
Cocak Rawun tak berkesempatan lagi untuk membebaskan dirinya yang kena sambar.
Belum lagi ia menancapkan kakinya, tubuhnya sudah tertarik ke depan.
Tidak dikehendaki sendiri ia menyelonong ke depan.
Tatkala kakinya menginjak atap, genting yang diinjaknya pecah.
Dan ia terjeblos ke bawah.
Syukurlah pada saat itu, Cocak Ijo masih berkesempatan menyambar dirinya.
Sekiranya tidak demikian, pastilah dia bakal terbanting ke lantai.
Mukanya merah padam oleh rasa malu.
Dengan penasaran ia menyerang lagi.
Lingga W isnu sudah bersiaga.
Sama sekali ia tak bergeming t atkala lawannya menyerang dengan dahsyat.
Nampaknya ia hendak mengadakan perlawanan dengan berhadap-hadapan.
Tetapi mendadak saja, ia memut ar tubuhnya berbareng mengangkat kaki kirinya.
Dan Cocak Rawun roboh terjungkal.
Lingga W isnu ternyata tidak hanya mendupakkan kaki kirinya saja.
lapun menggerakkan tangan kanannya selagi kaki kirinya d itarik.
Dengan suara deras, tangan kanannya menyambar pant at Cocak Rawun.
Ia mencengkeram dan mengangkatnya.
Oleh gerakan itu, tak sampai Cocak Rawun mencium tanah.
Ia malahan dapat berdiri kembali dengan tak kurang suatu apa.
Bukan main rasa mendongkol Cocak Rawun.
Akan tetapi tak dapat ia berkelahi lagi.
Ia harus tahu diri.
Meskipun matanya masih melot ot, terpaksa ia mengundurkan diri.
"Hai, bocah ini benar-benar hebat!"
Seru Cocak Abang dengan hati gusar.
"Biarlah aku mencoba-coba mengadu kepandaian dengan muridnya seorang sakti."
Setelah berseru demikian, ia maju sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba Yunus melompat kesamping orang tua itu dan berbisik .
"Paman, dia telah mengangkat saudara denganku. Janganlah paman melukainya"
"Setan! Minggir!"
Bentak Cccak Abang dengan sengit. Tetapi Yunus bahkan memegang tangannya dan berkata setengah merajuk .
"Paman tidak melukainya, bukan?"
"Kau lihat saja bagaimana nant i."
Sahutnya orang t ua itu sambil mengibaskan tangannya yang kena genggam.
Dan oleh kibasan itu, Yunus terpelanting mundur beberapa langkah.
Hampir hampir saja ia roboh terguling.
Cocak Abang tidak menghiraukan.
Dua langkah ia maju menghampari Lingga W isnu.
Bentaknya.
"Kau majulah!"
"Akh, aku tak berani,"
Sahut lingga W isnu sambil membungkuk hormat.
"Kau tak mau menyebutkan nama gurumu. Maka seranglah aku t iga kali,"
Perint ah Cocak Abang.
"Aku ingin melihat sendiri,. apakah aku sanggup mengenal gurumu."
Panas juga hati Lingga W isnu mendengar dan melihat sikap Cocak Abang yang besar kepala. Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya ia berkata dengan suara merendah .
"Kalau begitu, terpaksalah aku mengiringi kehendak paman. Tetapi kepandaianku hanya terbatas. Aku mohon paman berbelas kasihan kepadaku."
"Jangan ngoceh tak keruan!"
Bentak Cocak Abang.
"Siapa sudi mengobrol denganmu? Hayo, seranglah!"
Kembali lagi Lingga W isnu membungkuk hormat.
Dan tiba-tiba tangannya menyambar.
Serangan pendek itu membawa kesiur angin keras.
Keruan saja Cocak Abang terperanjat.
Sama sekali tak diduganya, bahwa pemuda itu memiliki tenaga himpunan begitu kuat.
Buru-buru ia melint angkan tangannya dan hendak menyambar lengan baju Lingga W isnu tadi menyerang dengan tangan kiri.
Begitu melihat Cocak Abang membalas menyerang, gesit ia menarik tangannya kembali.
Kemudian dengan tibatiba pula, ia menyerang raut muka.
"Hai!"
Cocak Abang terperanjat lagi.
Itulah suatu serangan yang terjadi sangat cepat.
Tak sempat, lagi ia menangkis.
Padahal, ia seorang pendekar yang sudah terlalu banyak makan garam Ribuan kali ia menghadapi lawan lawan berat yang mempunyai tata-berkelahi yang berbeda.
Namun serangan Lingga W isnu kali ini adalah yang terhebat.
Satu-satunya jalan unt uk melepaskan diri, hanyalah melenggakkan tubuhnya ke belakang.
Lingga W isnu tak sudi memberi kesempatan lawan untuk dapat mengadakan serangan balas.
Ia bergerak mundur dan kemudian melingkarkan tubuhnya.
Gerakan itu seperti memberi kesempatan pada lawan untuk memperbaiki kedudukannya, mengira bahw a Lingga W isnu hendak melarikan diri.
Cepat ia mengulurkan tangannya beri hajaran.
Tapi sebelum t angannya sampai pada sasaran, sekonyong-konyong ia merasakan suatu kesiur angin.
Dilihatnya kedua tangga Lingga W isnu bergerak dengan berbareng mirip sambaran seekor ular hendak mematuk sasaran.
Sasaran itu mengarah kepada kedua tulang iganya yang dituju.
"Hiha..."
Ia tertawa di dalam hati.
"Meskipun kau berhasil menyentuh igaku, apa artinya dibandingkan dengan gempuranku."
Cepat luar b iasa ujung t angan Lingga W isnu t iba pada sasarannya dan mengenai pinggang Cocak Abang dengan jitu.
Dan terdengarlah suara gemeretak dua kali hampir berbareng.
Dan tepat pada detik itu, Lingga W isnu te lah melesat mundur sambil berput aran sebentar.
Kemudian berdiri t egak mengawasi lawannya.
Cocak Abang terperanjat dan mendongkol.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia kena selomot kesombongannya sendiri.
Ternyata kekebalannya tak kuasa membendung pagutan ujung tangan Lingga W isnu yang nampaknya tak bertenaga.
Nyatanya, seluruh tubuhnya merasa kesemutan dan sebaliknya, meskipun merasa diri seorang yang kenyang makan garam, namun masih tak dapat mengenal corak tata-berkelahi yang terlalu percaya kepada pagutan tenaga tangan.
Tapi dalam pada itu, Yunus kagum menyaksikan kegesitan Lingga W isnu.
Hampir saja ia berteriak memujinya.
Sebenarnya dalam jurus tadi, Lingga W isnu menggunakan jurus gabungan.
Mula-mula ia bergerak dengan ilmu ajaran Kyahi Sambang Dalan.
Lalu ia menggunakan ilmu kegesitan ajaran Ki Ageng Gumbrek.
Dan yang terakhir ia memagut kan tangan dengan ilmu sakti warisan Bondan Sejiwan.
Maka tak mengherankan, apa sebab Cocak Abang menjadi bingung.
Tetapi yang heran dan bingung, tidak hanya Cocak Abang seorang.
Juga Cocak Prahara dan Cocak Mengi t ak kurang-kurang pula.
Mereka saling memandang dengan pandang penuh pertanyaan.
Selamanya, Cocak Abang menganggap dirinya seorang pendekar besar.
Kali ini, ia kena selomot dalam satu gebrakan saja.
Tak mengherankan kehormatan dirinya tersinggung, sekaligus.
Dengan serentak ia melompat maju dan menyerang dengan mendadak.
W ajahnya merah padam.
Alis dan kum isnya terbangun.
Gerakan kedua tangannya lalu terdengar membawa kesiur angin dahsyat".
Hebat perbawa Cocak Abang.
Dibawah sinar bulan cemerlang, kepalanya nampak mengepulkan asap siapapun mengerti, itulah akibat rasa marah yang tak terkendalikan lagi.
Gerakan kakinya ayal, akan tetapi mantap.
Itulah suatu-tanda bahwa Cocak Abang mempunyai himpunan tenaga sakti yang sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Lingga W isnu tak berani bermain-main lagi.
Menghadapi serangan Cocak Abang ia mengidapkan diri sanib il mendekat.
Dua kali berturut-turut, ia membebaskan diri dengan cara demikian Pada jurus ketiga, diam-diam ia bersiaga mengadakan perlawanan dengan ilmu sakti Sardula Jenar.
Dan pada jurus keempat, pertempuran sengit terjadilah.
Tapi justru menghadapi perlawanan Lingga W isnu, serangan Cocak Abang tidaklah secepat tadi.
Gerakannya kini agak kendor.
Namun setiap pukulannya mengandung tekanan dahsyat.
Setiap kali, apabila tangannya bergerak, angin dahsyat mendahului atau mengiringi.
Menghadapi tekanan himpunan sakti demikian dahsyat Lingga W isnu tercekat hatinya.
Namun sama sekali ia t ak gugup.
Sekonyong-konyong ia melihat cahaya merah kuning berada dalam tapak tangan Cocak Abang.
Ia terperanjat.
Pikirnya di dalam hati .
"Apakah ini yang bernama ilmu Le bur Seketi?"
Teringatlah ia kepada tutur-kata gurunya tentang berbagai ilmu sakti dengan t anda t andanya.
Seperti ilmu sakti pukulan Narantaka, Rajah Selandaka, Mandi, Brajadent a dan sebagainya.
Dan ilmu sakti Lebur Seketika merupakan ilmu pukulan yang tak boleh mengenai sasaran.
Barang siapa kena gempurannya, akan ront ok tulang-tulangnya.
Memperoleh ingatan demikian, segera ia mengubah tata-berkelahinya.
Untuk mencegah pendekatan, kedua tangannya dipukulkan saling susul dengan sebat sekali.
Cocak Abang bersenyum mengejek.
Tahulah dia, bahw a Lingga W isnu segan terhadap ilmu-saktinya.
Ia jadi berbesar hati.
Lantas saja ia mendesak selangkah demi selangkah.
Mendadak saja lengan kanannya terasa nyeri.
Kaget ia melesat mundur sambil memeriksa tangannya.
Ternyata lengan yang tadi terasa nyeri kelihatan merah dan bengkak.
Tahulah dia, lengannya tadi kena sentuh tanpa diket ahui karena cepatnya.
Ia pun mengerti, bahwa Lingga W isnu bermurah hati terhadapnya.
Sekiranya menghantam dengan benarbenar, tangan atau lengannya pasti sudah rusak.
Meskipun demikian, hatinya penasaran juga.
Sayang, t ak dapat lagi ia melanjutkan pertempuran itu.
Dalam adu kepandaian itu, ia sudah jatuh.
Selagi pertempuran berhenti, Cocak Mengi maju menghampiri Lingga W isnu.
Katanya dengan suara tenang .
''Anak mudai Masih begini muda usiamu.
Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali.
Marilah ingin aku mencobamu., dengan berbekal senjata"
Lingga W isnu cepat-cepat membungkuk hormat, sahutnya dengan suara merendahkan hati.
"W aktu aku datang kemari, tak berani aku membekal senjata. Aku datang dengan tangan kosong ..
"
Cocak Mengi tertawa memotong. Katanya .
"Kau mengenal adat-istiadat. Bagus! Memang kulihat engkau tak membawa senjata. Hal itu terjadi karena engkau terlalu yakin kepada kemampuanmu sendiri. Hatimu terlalu besar sehingga keberanianmu sangat mengagumkan. Tidak apalah hanya saja malam in i, engkau harus memperlihatkan kepadaku. Mari, kita melihat-lihat gedung, olah-raga barang sebentar!"
Apa yang dikatakan gedung olah-raga sebenarnya tempat keluarga Mataun berlatih.
setelah berkata demikian, Cocak Mengi mendahului melompat t urun dari genting.
Dan rombongannya ikut turun pula.
Maka tak dapat lagi, Lingga W isnu menolak undangan itu.
Terpaksalah ia meloncat turun dari atas gent ing mengikuti mereka memasuki gedung tempat berlatih.
Tatkala hendak memasuki ambang pintu, tiba tiba Yunus mendekati mengkisiki .
"Di dalam tongkatnya tersimpan senjata jepretan beracun!"
Tercekat hati Lingga W isnu mendengar kisikan itu.
Seumpama tidak memperoleh kisikan itu sama sekali ia tak menduganya.
Maka dengan hati berwaspada, ia menebarkan penglihatannya.
Gedung berlatih itu berukuran lebar dan luas sekali.
Di dalamnya terdapat tiga panggung persegi panjang.
Keluarga Mataun lantas saja berkumpul berkelompokkelompok.
Rupanya mereka semua gemar akan ilmu tata-tempur baik laki- laki maupun perempuan.
Mereka hendak menyaksikan adu kepandaian antara Cocak Mengi dari Lingga W isrru.
Malahan, diant ara mereka terdapat beberapa anak yang lagi berumur tujuh atau delapan tahun.
Setelah mereka mencari tempat duduknya masing- masing, muncul ah seorang wanita setengah umur.
Usianya kurang lebih empat puluhan lima tahun.
Ia didampingi Sekarwati, budak Yunus yang lincah dan genit.
"Ibu!"
Seru Yunus menghampiri. W anita itu elok wajahnya, namun mengandung rasa duka-cita. Mendengar seruan anaknya, ia hanya mengerlingkan mata. Sama sekali tak menyahut memperlihatkan wajah jernih. Pandang matanya guram tak bersinar.
"Anak muda,"
Kata Cocak Mengi. Di sini banyak terdapat bermacam-macam senjata. Kau hendak menggunakan senjata apa, boleh pilih sendiri,"
Setelah berkata demikian, ia menunjuk sekitar gedung.
Pada dinding gedung terdapat deretan berbagai macam senjata.
Lingga Fisnu sadar, bahw a ia sedang menghadapi persoalan yang rumit sekali.
Tak gampang-gampang ia memperoleh penyelesaian tanpa kekerasan Namun, ia tak menginginkan akan terjadinya ketegangan yang bertambah hebat.
Karena itu tak boleh ia sampai melukai siapapun, meskipun dirinya seumpama t erdesak kepojok.
Inilah pengalamannya untuk yang pertama kalinya setelah memasuki kancah penghidupan babak kedua.
Dan masalah yang sedang dihadapi itu, ternyata sulit luar biasa.
Ia berbimbang-bimbang sejenak untuk menentukan sikap.
Yunus semenjak tadi memperhatikan Lingga W isnu.
Melihat pemuda itu berbimbang bimbang, ia berseru .
"Pamanku yang ketiga ini paling senang terhadap seorang muda yang berkepandaian tinggi. Pastilah dia tidak akan melukaimu ..."
"Kau t utuplah mulut mu!"
Potong ibunya dengan suara sengit. Tak usah dikatakan lagi, bahwa wanita itu tibatiba saja berpanas hati. Cocak Mengi menoleh kepada Yunus, berkata.
"Kau lihat saja, bagaimana kesudahannya nant i."
Setelah berkata demikian, ia melemparkan pandang Lingga W isnu. Berkata lagi .
"Anak muda, kau menggunakan pedang atau golok panjang?"
Lingga W isnu terdesak.
Mau tak mau ia harus memberikan jawaban.
Segera ia menebarkan penglihatannya.
Tiba-tiba ia melihat seorang anak berumur empat tahun berada di dekat Sekarwati.
Pastilah anak itu salah seorang anggauta keluarga Mataun.
Ia hadir oleh orang tuanya dengan membawa alat-alat permainan, di antaranya terdapat sebatang pedang kayu yang dicat hitam.
Dan melihat pedang kayu itu, Lingga Uisnu lantas menghampiri.
Katanya lembut .
"Adik kecil, boleh aku pinjam pedangmu? Sebentar saja ..."
Bocah itu ternyata seorang pemberani, sama sekali ia tak takut terhadap seorang asing. Dengan tertawa ia mengangsurkan pedang kayunya. Dan setelah Lingga W isnu menerima pedangnya, ia lari ke dekapan Sekarwati.
"Paman, tak berani aku menggunakan senjata benarbenar,"
Kata Lingga W isnu menghampiri Cocak Mengi.
"Bukankah kita hanya bermain-main saja?"
Sebenarnya, Lingga W isnu bermaksud merendahkan diri.
Akan tetapi bagi Cocak Mengi, justru dianggap menghinanya.
Hampir saja orang tua itu, tak sanggup mengendalikan rasa amarahnya.
Unt uk menghibur dirinya sendiri, ia tertawa terbahak-bahak.
Katanya diant ara tertawanya .
"Memang, akulah yang lagi sial. Puluhan tahun lamanya aku berkelana mencari lawan dan kawan. Selama itu belum pernah aku bertemu dengan seorang yang berani merendahkan diriku. Hm, pernahkah engkau mendengar nama tongkatku. Kyahi Jagabumi? Baiklah, jika benar-benar kau mempunyai keberanian dan kepandaian dewa, hayo kau tabaslah tongkatku kutung!"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang disebut tongkat Jagabumi, terbuat dari campuran besi dan baja.
Siapapun percaya bahw a tongkat itu takkan mungkin tertabas kutung oleh pedang kayu.
Kecuali apabila pedang kayu itu buah tangan dewa sakti.
Dan setelah berkata demikian, dengan hati mendongkol Cocak Mengi menyambar tongkatnya dan dibabatkan kearah pinggang Lingga W isnu.
Hebat sarribarannya.
Dalam gedung itu lantas saja terdengar suatu berdengung.
Yunus memekik cemas, menyaksikan sambaran tongkat pamannya yang hebat t ak terkatakan Pada saat itu, ia melihat tubuh Lingga W isnu berputar seperti terseret putaran anginnya.
Akan tetapi belum sampai tubuh Lingga W isnu terlempar, tiba-tiba pedang kayu ditangannya bergerak lincah dan menikam pergelangan.
Cocak Mengi mundur sambil menarik tongkatnya.
Sebagai gantinya, ia maju selangkah dan menusuk ke arah dada.
'A kh!' seru Lingga W isnu di dalam hati.
'Kiranya tongkatnya bisa dipergunakan untuk menikam pula.
Aku harus berhati-hati.' Cepat-cepat ia mengelak dan pedang kayunya menetak lengan.
Cocak Mengi terperanjat.
Ia tahu meskipun hanya pedang kayu, akan tetapi bila menabas lengan bisa mengutungkan.
Cepat ia melepaskan pegangannya, sehingga ujung tongkat jatuh menusuk lantai.
Tapi tepat pada saat itu, serangannya yang tak kalah dahsyatnya.
Hebat gerak-geriknya.
Selain sebat, mengandung ancaman mengerikan.
Sedikit saja Lingga W isnu kena tersentuh, pasti akan celaka.
Lingga W isnu kagum melihat kegesitan dan kesehatan Cocak Mengi.
Oleh rasa kagum, ia berkelahi dengan hatihati dan cermat.
Ia selalu mengelak atau menghindari.
Dan pukulan tongkat yang tidak mengenai sasaran, menghantam batu lantai hingga hancur berantakan.
Keping kepingannya terpelesat ke sana ke mari bagaikan titik hujan.
Maka bisa dibayangkan betapa akibatnya, apabila sampai-mengenai t ubuh manusia yang terdiri dari darah dan daging.
Lingga W isnu tak sudi terpengaruh kedahsyatan tongkat Jagabumi.
Segera ia melayani kegesitan lawan dengan ilmu Sepi Angin ajaran Ki Ageng Gumbrek.
Tubuhnya bergerak lincah, gesit dan sebab luar b iasa.
Tak ubah bayangan, ia melesat kesana kenari.
Dan set iap kali memperoleh kesempatan, pedangnya menabas dan menikam.
Tak terasa, pertempuran cepat itu telah memasuki jurus duapuluh.
Setelah itu, Cocak Mengi kelabakan sendiri.
Ia sudah terlanjur membuka mulut besar.
Akan tetapi sampai sekian jurus, belum berhasil merobohkan lawannya yang masih berusia muda sekali.
Sekian puluh tahun lamanya, ia malang-irelint ang tanpa tandingan karena tongkatnya itu.
Akan tetapi pada malam itu, ia malah kena dipermainkan seorang bocah cilik.
Masakan melawan pedang kayu saja, membutuhkan w aktu begitu lama? Dan oleh pikiran itu, ia menjadi gugup.
Tak dikehendaki sendiri, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Oleh rasa gopoh dan mendongkol, ia jadi penasaran.
Segera ia merubah tata-berkelahinya.
Dengan gesit ia mencoba melibat Lingga W isnu dehgan tongkat andalannya.
Gerakannya membuat semua penonton mundur beberapa langkah, karena tersapu angin yang datang bergulungan.
Ada di antaranya yang bersandar pada tembok untuk mempertahankan diri.
Setelah merubah tata-berkelahinya, Lingga W isnu mengakui di dalam hati bahwa orang t ua itu merupakan lawannya yang tertangguh selama hidupnya.
Tak dapat ia mendekatinya.
Sedang pedang kayunya sendiri yang bakal patah menjadi dua tiga bagian.
'A kh, kalau begitu terpaksa aku harus melawannya dengan ilmu gabungan kedua guruku,' ia berpikir di dalam hati.
Lalu iapun segera merubah tataberkelahinya.
Gerakannya jadi lambat nampak ayalayalan.
Cocak Mengi bergirang hati menyaksikan gerakan Lingga W isnu yang makin lama makin lambat.
Itulah suatu tanda, bahwa dia kehilangan tenaga.
Oleh pikiran itu, tak sudi ia sia-siakan kesempatan yang bagus.
Begitu memperoleh kesempatan dengan sebat ia menghantamkan tongkatnya.
Lingga W isnu kelihatan lelah.
Dengan ayal-ayalan ia menyambut serangan tongkat Cocak Mengi yang dahsyat tak terkatakan.
Yunus yang berada di luar gelanggang berseru cemas.
Tiba-tiba ia melihat suatu perubahan yang mengherankan.
Pada saat ujung tongkat lewat di depan dadanya, cepat luar biasa Lingga W isnu menggerakkan tangannya.
Tahu-tahu ujung tongkat kena di tangkapnya dengan t angan kiri.
Dengan tenaga penuh, ia menghentak sambil menarik.
Kemudian pedang kayunya menyambar.
Bret ! Dan baju Cocak Mengi terobek.
Cocak Mengi kaget bukan kepalang.
Pada detik itu pula, telapak tangannya panas luar b iasa oleh gentakan Lingga W isnu.
Tak dapat lagi ia mengelakkan diri atau mencoba mempertahankan diri.
Satu-satunya jalan, hanya melepaskan genggamannya.
Artinya, tongkat andalannya kena direbut lawan.
Hal itu sebenarnya sudah merupakan karunia, meskipun memalukan sekali.
Coba, seumpama Lingga W isnu tidak mengenal belas kasih, dadanya sudah kena tikam dengan telak.
Lingga W snu tahu keripuhan lawan.
Hatinya yang mulia tidak mengidzinkan untuk membuat orang t ua itu menanggung malu.
Selagi menarik pedang kayunya, ia menyodorkan tongkat yang kena dirampasnya kepada pemiliknya kembali.
Gerakan itu dilakukan dengan sangat cepat dan semu, sehingga hanya seorang ahli saja yang bisa mengetahui.
Sebenarnya, Cocak Mengi sudah merasa mati kut u.
Akan tetapi hatinya panas dan mendongkol.
Sambil menerima tongkatnya kembali, ia berteriak tinggi sambil menyerang.
Itulah kejadian diluar dugaan Lingga W isnu.
Ia heran, apa sebab orang tua itu membandel? Bukankah dia kalah? Apa sebab ia masih menyerang? Tapi tak sempat lagi ia berpikir berkepanjangan.
Ia harus mengelakkan serangan tiba-tiba itu.
Sebab ia melesat ke samping dengan memiringkan badannya.
Lalu melompat mundur.
Cocak Mengi tidak mau mengerti.
Sebenarnya kalau mau, Lingga W isnu dapat menyerangnya dari samping.
Tapi ia tak memperdulikan kemuliaan hati pemuda itu.
Dengan penasaran, ia menarik tongkatnya.
Lalu menyerang, tapi kali ini dibarengi dengan suara berdesir.
Dan dari ujung tongkatnya, melesatlah tiga batang paku beracun yang tipis.
Sasarannya membidik atas, tengah dan bawah.
Jarak mereka sangat dekat.
Maka bisa d ibayangkan, betapa bahayanya.
Apalagi Cocak Mengi membarengi dengan tusukan.
Yunus berseru kaget.
Hampir saja ia melompat ke dalam gelanggang, kalau saja tidak kena tarik ibunya.
Lingga W isnu sudah berjaga-jaga semenjak memperoleh kisikan Y unus.
Tapi serangan itu sangat keji.
Gesit luar biasa, ia menyapu ketiga paku itu dengan pedang dan ujung bajunya.
Itulah jurus simpanan ilmu sakti Sekar Teratai hasil didikan Kyahi Sambang Dalan yang jarang sekali muncul di depan umum.
Kalau saja tidak merasa terpaksa, tidak akan Lingga W isnu menggunakan ilmu simpanan tersebut.
Setelah itu, dengan geram ia maju selangkah, dan menekan ujung tongkat Jagabumi dengan pedang kayunya ke lantai.
Itulah suatu peristiwa diluar dugaan Cocak Mengi.
Ia tadi sudah merasa pasti, bahw a serangan paku beracunnya akan berhasil.
Tak mengherankan, tongkat Jagabumi tidak perlu ditariknya kembali cepat-cepat.
Sekarang tongkatnya kena tindih.
Suatu tenaga luar biasa besarnya menekan kebawah, memaksa ujung tongkatnya kelantai.
Terus saja ia berjagang dan mempertahankan agar tongkatnya tidak tertekan.
Akan tetapi pedang kayu Lingga W isnu terus menekan kebawah sedikit demi sedikit.
Dan tatkala ujung tongkat meraba lantai, kaki kirinya menggant ikan kedudukan pedang.
Tongkat itu diinjaknya.
Keringat dingin membanjiri seluruh tubuh Cocak Mengi.
Ia berkutat mati-matian untuk membebaskan tongkatnya.
Selagi mengerahkan sisa tenaganya, tibatiba Lingga Wisnu meloncat mundur.
Oleh perubahan itu, Cocak Mengi terhentak mundur beberapa langkah dan hampir saja ia roboh terjengkang.
Ia berhasil mengangkat tongkatnya kembali.
Akan tetapi lantai yang terbuat dari batu pualam h ijau meninggalkan lobang besar sebesar tusukan ujung tongkat Jagabumi.
Dan menyaksikan hal itu, semua hadirin terperanjat dan tercengang.
Tak usah diumumkan lagi.
Cocak Mengi yang kalah.
Ia mendongkol bukan kepalang.
T ak pernah terlint as dalam benaknya, bahwa pada suatu kali ia bakal dikalahkan lawan yang hanya bersenjata pedang kayu.
Ia menggigil oleh rasa marah, kecewa dan benci.
Dengan kedua tangannya ia melemparkan tongkatnya ke atas wuwungan gedung.
Brak! Dan atap gedung olah raga tertembus tongkatnya dengan suara berderakan.
"Tongkatku kena kau kalahkan dengan pedang kayumu. Apa perlunya kusimpan lagi sebagai senjata mustika?"
Teriaknya dengan wajah merah padam.
Lingga W isnu tak bergerak dari tempatnya.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tahu, orang tua itu sedang mengumbar rasa mendongkolnya.
Sebenarnya bukan tongkatnya yang buruk, akan tetapi karena ilmu kepandaiannya kalau jauh dengan Lingga W isnu.
Semua orang tahu akan hal itu.
Dan sebenarnya tak perlu Cocak Mengi menutup-nutupi kekalahannya.
Diantara keluarga Mataum yang berkumpul di dalam gedung itu, tinggal Cocak Prahara, Cocak Rawa dan Cocak Ijo.
Cocak Ijo adalah seorang ahli pembidik senjata jauh.
Senjata yang digunakan adalah semacam belati panjang yang tipis.
Bentuknya setengah golok setengah pisau.
Tajamnya luar b iasa.
Selain itu mengandung racun dahsyat.
Selama hidupnya, belum pernah ia kehilangan sasaran bidikannya.
Selalu tepat, dan tak pernah meleset.
Senjata andalannya disimpan dalam sebuah kantong semacam tempat anak panah.
Masing masing senjata mempunyai daya berat setengah kilo, dan biasanya senjata bidik terlepas tanpa suara.
Tapi senjata bidik Cocak Ijo yang istimewa itu, meraung nyaring seperti seruling.
Itulah disebabkan pada ujung goloknya terdapat sebuah lobang sebesar biji asam.
Suara itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu sant un.
Lawan diperingatkan terlebih dahulu agar bersiaga penuh, begitu mendengar suara raungan.
Akan tetapi sebenarnya raungan suara itu justru mengacaukan pemusatan lawan.
Salah-salah bisa membuat lawan yang kecil hati jadi bingung dan gugup.
Melihat kakaknya gagal menguji ketangguhan Lingga W isnu, tanpa berbicara lagi ia melompat ke dalam gelanggang.
Katanya nyaring .
"Saudara Lingga! Tahun depan umurku lagi mencapai empatpuluh t ahun. Jadi, aku masih pant as menyebutmu sebagai saudara. Kau hebat, saudara. Dengan senjata kayu kau bisa mentaklukkan tongkat mustika kakakku. Bagaimana kalau sekarang aku mencoba-coba senjata bidikku?"
Setelah berkata demikian, ia mengalihkan kantong kulit yang berada dipunggung ke pinggang. Lingga W isnu menatap gerak-gerik Cocak Ijo sebentar. Rasanya tiada gunanya ia mencoba menolak. Maka terpaksalah ia mengangguk. Sahutnya.
"Baiklah, hanya saja tak berani paman menyebut diriku dengan paman. Sebab aku sudah mengangkat saudara dengan kemenakanmu. Harap saja paman sudi bermurah hati terhadapku."
Ia mengembalikan pedang kayu kepada si bocah yang meminjami.
Kemudian balik kembali meminjami.
Dan kemudian balik memasuk i gelanggang.
Ia tahu, kali ini bakal menghadapi pertempuran seru.
Apa lagi ia menghadapi keluarga Mataun yang termuda.
Pastilah dia lebih berangasan dari pada saudara saudaranya yang tua tadi.
Dalam pada itu, semua penonton mundur sampai ke dinding.
Mereka tahu senjata bidik Cocak ljo tak boleh dibuat sembrono.
Sekali terlepas, maka udara akan dipenuhi golok dan belati yang berterbangan dengan suara meraung, tak mengherankan suasana gelanggang jadi tenang karena malapetaka mengancam pada sembarang waktu.
Sebab apabila Lingga W isnu terpaksa mengelak seniata bidik akan terus meluncur menikam salah seorang penonton yang lagi bernasib sial.
Lingga W isnu sendiri kala itu terpaksa memeras otak.
Bagaimana cara yang sebagus bagusnya untuk melawan senjata bidik Cocak Ijo? Kalau hanya main tangkap, rasanya kurang kena.
Karena gerakan itu hanya memperlihatkan suatu kegesitan belaka.
Seumpama Cocak Ijo bisa dikalahkan dengan cara demikian, tentunya dia belum puas.
Kecuali apabila sanggup menanamkan rasa segan ke dalam hati mereka semua agar Suskandari dibebaskan dengan hormat.
Pikirnya.
"Dia hendak memperlihatkan kepandaiannya dalam hal membidikkan senjata. Kenapa aku tak menirunya? Dan memperoleh pikiran demikian, segera ia berkata lagi .
"Paman biarlah aku mengambil segnggam batu untuk menghadapi senjata bidik paman yang dahsyat."
Setelah berkata demikian, ia keluar gelanggang dan mengambil seraup batu-batu kerikil yang kecil. Ia sudah memperoleh keputusan hendak melawan senjata bidik Cocak Ijo dengan ilmu ajaran Ki Ageng Gumbrek.
"Silainkan!"
Katanya set elah memasuki gelanggang kembali.
"Hati-hati!"
Cocak Ijo memperingatkan.
Berbareng dengan peringatannya, sebatang golok menyambar dengan suara meraung.
Hebat suara raungan itu.
Gerakan Cocak Ijo tangkas pula.
Maka cepat-cepat, Lingga W isnu menyentil sebuah batu.
Tak! Batu membentur ujung golok.
Dan suara raungan itu terhenti, karena batu menyumbat lobang suara.
"Bagus!"
Cocak Ijo memuja..
"Kalau begitu tak boleh aku bersegan-segan lagi. Hati-hatilah!"
Dua belati t erbang menyambar dengan sekaligus.
Dan dua kali pula terdengar bentrokan nyaring.
Yang pertama terhajar miring dan menancap pada tiang.
Sedang yang kedua runtuh bergelontangan di lantai.
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan Cocak Prahara y ang mengikuti adu kepandaian antara saudara-saudaranya melawan Lingga W isnu.
Betapa tidak? Senjata bidik Cocak Ijo mempunyai berat kurang lebih setengah kilo.
Kena tenaga lontaran pembidiknya akan mempunyai daya berat sekian kali lipat.
Akan tetapi kena diruntuhkan Lingga wisnu yang hanya bersenjatakan kerikil.
Tak usah dikatakan lagi bahw a himpunan tenaga sakti Lingga Wisnu diatas Cocak Ijo.
W ajah Cocak Ijo nampak berubah, begitu menyaksikan runt utnya dua belati.
Tapi pada saat itu pula, ia memberondongkan empat belatinya sekaligus.
Lingga W isnu sudah mempunyai dugaan demikian.
Ia menyongsong sambitan belati Cocak Ijo dengan empat butir kerikilnya Ting, ting, ting ting! Dan empat belati Cocak Ijo runtuh di atas lantai saling susul seperti t adi.
"Akh! Bagus! Bagus!"
Seru Cocak Ijo.
Ia seperti menyatakan pujian dengan hati tulus, akan tetapi hatinya sesungguhnya mendongkol bukan main.
Segera ia melepaskan mbelatinya sekaligus.
Kemudian dua batang goloknya menyusul beberapa detik.
Arah, bidikannya memenuhi keblat penjuru.
Akan tetapi sasarannya satu.
Teriaknya di dalam hati.
'Hmm Coba ingin kulihat, apakah kau mampu meruntuhkan ke enam golok dan kedua golokku yang datang dari berbagai penjuru ...' Terbangnya delapan senjata bidik Cocak Ijo membawa suara meraung-raung berisik sekali.
Kena pantulan sinar lampu, kedelapan senjata bidik itu membawa cahaya berkeredepan.
Tapi sebentar saja, baik suara raungan maupun cahaya berkeredepan itu, padam dengan mendadak, kena benturan enambelas kerikil Lingga W isnu yang bersuing pula di udara.
'A kh! Benar-benar hebat!"
Seru Cocak Ijo di dalam hati.
Sekarang ia jadi penasaran.
Dengan semangat tempur yang menyala-nyala, ia me lepaskan enam batang belati dan goloknya sampai tiga kali berturut-turut saling menyusul.
Tak usah dikatakan lagi, betapa berisik suara raung lalu lintas udara.
Cocak Prahara adalah seorang pendekar berpengalaman.
Melihat gerak-gerik Lingga W isnu gesit dan tangkas luar biasa, tahulah dia bahw a pemuda itu pasti murid seorang pendekar yang berkepandaian t inggi luar biasa.
Kalau sampai golok atau belati Cocak Ijo melukainya, akan panjang ekornya.
Maka buru-buru'ia berteriak mencegah .
"Adik! Jangan menuruti hati panas saja! Tahan!"
Tetapi pencegahan itu sudah kasep.
Tiga kali berturutturut, Cocak Ijo melepaskan senjata bidiknya.
Setiap kali ia melepaskan enam batang.
Dengan demikian, delapanbelas batang senjata bidik berkeredepan memenuhi udara tak ubah hujan grimis.
Adalah tak mungkin untuk menarik kembali.
Lingga W isnu sendiri bersikap tenang luar biasa menghadapi hujan senjata bidik.
Mula-mu la ia menebarkan duabelas batu kerikilnya unt uk meruntuhkan enam batang golok.
Kemudian ia melesat kesana kemari menangkap enam belati susulan.
Setelah kena tergenggam ditangannya, ia menyambitkan kembali meruntuhkan enam golok yang menyambar untuk yang ketiga kalinya.
Dengan t iga gerakan itu, kedelapan belas senjata bidik Cocak Ijo rontok bergelontangan di atas lantai.
Dan yang kena bentur senjata kerikilnya terbang keluar gelanggang menancap pada dinding.
Itulah suatu pemandangan yang benar-benar mempesonakan.
Mereka semua yang melihat, memekik tertahan oleh rasa heran dan kagum.
Pandang mata Cocak Prahara, Cocak Abang Cocak Mengi, Cocak Rawa dan Cocak Ijo mendadak menjadi bengis.
Dengan serentak mereka berteriak nyaring .
"Apakah kedatanganmu ke mari atas perintah Bondan Sejiwan?"
Lingga W isnu tercengang.
Memang, ia tadi menggunakan jurus ilmu w arisan Bondan Sejiwan t atkala menghadapi rumunan golok terbang Cocak Ijo.
Tetapi bagaimana mereka berlima, bisa mengenal dengan sekali melihat saja? Pemuda itu tak tahu, bahwa pada jaman mudanya mereka berlima pernah bertempur melawan Bondan Sejiwan.
Tatkala Cocak Ijo dahulu menyerang dengan delapanbelas senjata bidiknya, cara menangkap dan mengadakan perlawanan' Bondan Sejiwan tak beda dengan cara perlawanan Lingga W isnu yang berhasil memunahkan serangan golok terbang Cocak Ijo, benarbenar tak pernah terlupakan.
Di dunia ini hanya dia seorang.
Bertahun tahun lamanya, mereka membicarakan dan merundingkan gerakan Bondan Sejiwan yang ternyata merupakan obat pemunah sambaran golok terbang yang ampuh.
Gerakan itu tak pernah terhapus dari ingatannya.
Bahkan seringkali dibawanya bermimpi.
Itulah sebabnya, begitu melihat gerakan perlawanan Lingga W isnu segera mereka mengenal t anpa ragu-ragu lagi.
Lingga W isnu tak mengetahui latar belakang sejarah mereka berlima yang bersangkut paut dengan Bondan Sejiwan.
Melawan Cocak Rawit, Cocak Abang dan.
Cocak Mengi tadi, ia hanya menggunakan jurus-jurus ajaran kedua gurunya.
Tapi setelah merasa terdorong kepojok oleh sarbaran belati terbang Cocak Ijo, dengan tak dikehendaki sendiri mengadakan perlawanan dengan jurus warisan Bondan Sejiwan.
Memang warisan ilmu Bondan Sejiwan sudah meresap di dalam darah dagingnya, seolah-olah miliknya sendiri.
Karena itu cara menggunakannya secari naluri belaka.
Begitulah tatkala mendengar pertanyaan itu segera ia hendak maiiberi keterangan.
Tapi pengalaman hidupnya yang pahit, menahan diri.
Ia menaruh curiga terhadap bunyi dan nada pertanyaan mereka.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cara mereka bertanya, mengingatkan dirinya kepada musuh-musuh ayah-bundanya yang bersikap galak dan main paksa.
Mulut nya yang Sudah bergerak, segera menutup kembali.
Selagi demikian, terlihatlah t iga orang memasuki paseban.
Yang berjalan di depan adalah Suskandari yang terbelenggu kedua tangannya.
Ia dikawal oleh dua orang yang bersenjata terhunus karena rupanya, baru saja Suskandari dikeluarkan dari lubang jebakan.
Melihat munculnya Suskandari, hati Lingga W isnu tergetar.
Terus saja ia melesat menghampiri Cocak Prahara dan Cocak Bawun segera memburunya dengan senjata andalannya masing masing.
Lingga W isnu tak menghiraukan.
Ia menyusul Suskandari.
Tiba-tiba dua pengawalnya menyerang dengan berbareng.
Cepat ia mengendapkan diri.
Dan pada detik itu, terdengarlah suatu bentrokan senjata tajam.
Itulah bentrokan senjata antara dua pegawai Suskandari dan Cocak Prahara.
"Tolol' Minggir"
Bentak Cocak Prahara dengan hati mendongkol.
Lingga W isnu tadi, tidak mengadakan perlawanan tatkala kena serang dua pengawal Suskandari.
Ia hanya mengendapkan diri, sehingga kedua nedang penyerangnya menyelonong melalui punggungnya.
Justru pada saat itu Cocak Prahara dan Cocak Hawun sedang menyerang pula.
Dengan begitu senjata mereka berempat jadi berbenturan.
Keruan saja, dua pengawal itu kaget setengah mati.
Mereka heran bukan kepalang atas terjadinya benturan itu.
Pada saat itu, Lingga W isnu mempunyai kesempatan menghampiri Suskandari.
Dengan ,sekali tabas,' ia memutuskan tali pembelenggu dengan pedang Suskandari yang masih tergantung di pinggangnya.
Kemudian berkata .
"Ini pedangmu!"
"Kak Lingga!"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen