Ceritasilat Novel Online

Komplotan Kelelawar Hitam 1


Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name Bagian 1



Komplotan Kelelawar Hitam Karya dari No Name

   
Komplotan KELELAWAR HITAM Percetakan SWANJAYA Jl. Cihideung 2

   "

   Tasikmalaya I.

   TERBUNUH Malam bulan purnama raya, hati siapa yang tak gembira melepas lelah setelah enam hari bekerja berturut-turut.

   Kini malam Minggu tiba.

   Sekali ini kota Semarang tampak sibuk sekali.

   Mobil bersiutan kian ke mari dengan lampunya sebentar terang dekat, sebentar memancarkan sinarnya jauh.

   Denting bel becak, si roda tiga, sebentar-sebentar terdengar.

   Kencang amat pengendaranya mengayuh seolah-olah mereka ingin berlomba kecepatan.

   Siapa cepat mengayuh becak, tentu uang masuk juga cepat memenuhi laci becaknya, mereka ingin mendapatkan tarikan yang banyak sekali.

   Dan hari seperti itu mereka pergunakan dengan sebaik-baiknya.

   Siapa belum mengenal kota Semarang di waktu malam? Indah! Di sana kita jumpai beberapa tempat hiburan.

   Rex, Orion, Lux, Royal, Oris, Grand, Indra, Roxy.

   Jagalah dan pula akan dijumpai panggung Ngesti-Pandawa, Sri-Wanita, Sri-Wijaja dan lain-lain tempat hiburan.

   Akan saudara jumpai pula keramaian pasar Ya'ik, di waktu malam itu di sana-sini tampak lampu dari para penjual kemeja ataupun celana dengan bahannya yang beraneka, juga tak ketinggalan terdapat pula para penjual obat, ya serba ragam tampak, di sana.

   Tiba-tiba dari jurusan Bojong meluncur sebuah Fiat hitam dengan amat kencangnya, dengan membunyikan klakson bahaya.

   Apa gerangan yang telah terjadi? Fiat hitam, siapa yang kenal akan mobil ini? Jarang orang di daerah Semarang mengenalnya.

   Itulah mobil yang pangendaranya telah banyak berjasa kepada negara.

   Tampak seorang lelaki memakai pantalon hitam kemeja putih rapat dengan dasi hitamnya dari sutera.

   Wajahnya tampak berkesungguhan memandang ke arah muka.

   Tiba-tiba Fiatnya dibelokkan ke kiri menuju ke jalan Poncol.

   Pada halaman hotel "Rio"

   Berhentilah Fiat itu dan penumpangnya turun.

   Dengan bergegas ia memasuki hotel itu, langsung meruju ke bilik No.

   13.

   Tetapi ketika ia hendak masuk, tiba-tiba seorang anggota polisi menahannya.

   Tetapi orang itu segera mengeluarkan sebuah kartu, ditunjukkan kepada polisi itu.

   "Detektif Rudy,"

   Kata polisi itu perlahan.

   "Ya,"

   Sahut Rudy.

   "Mana sekarang korban itu?"

   "Masih terlentang di dalam,"

   Jawab polisi itu seraya membuka pintu. Rudy masuk ke dalam. Di sana dijumpai inspektur Mana sedang berdiri, dekat si korban. "Hallo Sir!"

   Kata Rudy tersenyum.

   "Eh engkau datang, Dy,"

   Kata inspektur Mana.

   "Ya, aku mendapat telpon tadi dari kantor polisi pusat. Segera mereka berdua memeriksa korban itu. Disingkapnya selimut yang menutupi tubuh korban. Tampaklah seorang wanita terlentang tidak bernyawa. Ketika diperiksa ternyata tak ada luka pada diri korban.

   "Segera panggil dokter, Na,"

   Kata Rudy. Inspektur Mana memanggil polisi disuruh memanggil dokter. Seperempat jam kemudian datanglah dokter Guna dengan membawa alat-alat pemeriksaan. Segera korban tadi diperiksa dengan amat telitinya.

   "Tidak ada tanda-tanda bekas senyata,"

   Kata dokter seraya berdiri. Tiba-tiba mata Rudy yang tajam itu melihat arah leher.

   "Lihat,"

   Katanya seraya menunjuk leher korban. Mata inspektur dan dokter sebera melihat leher korban. Tampak biru kemerah-merahan bekas jari.

   "Ia dicekik,"

   Kata inspektur Mana perlahan.

   "Coba panggil pengurus hotel,"

   Kata Rudy. Tak lama kemudian Mana datang bersama pengurus hotel, seorang Tionghwa.

   "Tuan pengurus hotel ini?"

   Tanya Rudy seraya mengeluarkan notesnya.

   "Ya, Tuan; aku pengurus hotel ini,"

   Jawab Tionghwa itu.

   "Coba dapatkah engkau memberi keterangan sedikit tentang korban ini?"

   "Ya tuan, jam sembilan tadi ketika aku akan pergi ke belakang, waktu sampai di muka kamar ini, aku berhenti sebentar karena kulihat pintunya agak terbuka sedikit, hal ini di luar kebiasaan nona Hartini, demikian namanya. Ketika aku membuka pintunya lebar, tampak selimut menjerak di lantai dan ketika kuangkat selimut tadi, ya tuan, aku terkejut sekali karena dia telah tidak bernyawa,"

   Kata Tionghwa seraya menggerakkan tangannya mengikuti ceriteranya. Rudy asyik mencatatnya.

   "Lalu bagaimana kelanjutannya?"

   Kata Rudy kemudian.

   "Segara aku lari ke muka, menelpon ke kantor poIisi, kemudian tuan tahu sendiri,"

   Kata Tionghwa itu mengakhiri perkataannya.

   "Dapatkah tuan memberi keterangan lainnya, sebelum ia ....nona Hartini, meninggal?"

   Tanya Rudy tenang.

   "Kapan ia datang, dari mana dsb."

   "Nona Hartini datang ke mari dan diam di sini sejak dua bulan yang lalu. Menurut surat keterangan ia datang dari Jakarta. Cerita lengkapnya begini..."

   Kata Tionghwa itu seraya menelan ludahnya, matanya memandang ke atas langit-langit, dahinya berkerut sedang mengingat-ingat.

   Rudy, Inspektur Mana dan dokter dengan tenang menanti keterangan pengurus hotel itu.

    II.

   KETERANGAN PENGURUS HOTEL "Dua bulan yang lalu,"

   Kata pengurus hotel memulai ceritanya.

   "ketika aku sedang enak-enak duduk di kursi di balik meja pendaftar, dan merokok pula, tiba-tiba masuklah seorang perempuan muda dengan memakai gaun sutera tipis berwarna hitam dan di baliknya memakai lagi gaun putih yang hanya sampai dadanya saya, sehingga kedua pundaknya hanya tertutup oleh gaun hitam luar. Pada lengannya menjinjing sebuah kopor pakaian kecil. Ia masuk diiringi oleh seorang lelaki yang memakai pantalon Sharskin kuning gading dengan memakai dasi kelabu yang berbentuk kelelawar. Aku berdiri menyambutnya dengan senyum.

   "Ee, tuan, masihkah ada sebuah kamar untuk temanku ini?"

   Tanya orang lelaki itu, seraya melihat orang perempuan yang berdiri di dekatnya.

   "Ah, masih banyak kamar yang tersedia tuan,"

   Jawabku. Segera kubuka buku pendaptar tetamu, setelah keterangan cukup aku memanggil pelayan, yang segera datang.

   "Ya Tuan"

   Kata pelayanku, seraya menghormat.

   "Min, antarkan tetamu ini ke bilik No. 13 ini kuncinya, kataku. Segera mereka bertiga menuju ke kamar yang telah disediakan. Tak lama kemudian Simin datang mengiringi lelaki tadi.

   "Tuan, inilah uang sewanya untuk temanku tadi selama dua minggu,"

   Kata lelaki tadi aja mengambil dompetnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang. Setelah saya hitung uang sewanya, segera lelaki itu pergi,"

   Demikian keterangan Tionghwa itu.

   "Dan terusnya bagaimana, tuan?"

   Tanya Rudy selesai menulis di dalam notesnya dengan cermat, apa yang diceriterakan Tionghwa tadi.

   "Ya tuan, selama di sini nona Hartini selalu kelihatan amat ramah. Hampir tiap hari ia keluar rumah. Entah urusan apa aku tak tahu karena aku tidak ingin tahu urusan langgananku, aku tidak pernah tanya apa yang dikerjakan nona Hartini. Pada suatu malam, setelah nona Hartini ada di sini dua minggu, nona Hartini pulang dengan wajah yang menunjukkan ketakutan. Rambutnya kusut. Ia berjalan cepat menuju kamarnya. Aku agak bimbang, mengapa ia pulang dengan wajah yang begitu. Karena biasanya kalau ia pulang dan bepergian selalu tampak riang, dan selalu memberi aku ucapan selamat malam. Dalam kebimbangan diri itu tiba-tiba Simin datang menemui aku, dengan wajah ketakutan ia berkata . "Tuan, aku dengar tadi nona Hartini menangis di kamarnya."

   "Menangis?"

   Tanyaku berkererut dahi.

   "Ya, ia menangis dengan badan tertelungkup di kasur."

   "Dari mana kau tahu?"

   Tanyaku lebih lanjut.

   "Pintu kamarnya tidak rapat ditutup, ketika aku lewat dekat kamarnya, kudengar suara sedu-sedan, waktu kuperhatikan tangis itu dari kamarnya, segera aku mendekati pintu dan kulihat nona Hartini menangis."

   Setelah mendengar keterangan itu saya segera berdiri dan pergi ke kamar nona Hartini.

   Kuketuk pintunya perlahan.

   Tak lama kemudian pintu itu terbuka lebar dan nona Hartini berdiri sambil tangannya masih memegang daun pintu, matanya masih tampak merah.

   "Ada kesukaran nona?"

   Tanyaku.

   "Tidak, mari masuk sebentar,"

   Katanya. Aku menurut.

   "Mengapa kali ini nona pulang dari bepergian dengan wajah pucat?"

   Tanyaku setelah aku daduk di kursi.

   "Aku agak takut,"

   Jawabnya seraya mengusap matanya dengan saputangan.

   "Takut? Takut? "

   Tanyaku kemudian. Tiba-tiba nona Hartini senyum.

   "Ah, sudahlah tuan, aku tidak kekurangan apa-apa,"

   Jawabnya. Aku tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja terjadi perubahan wajahnya.

   ""Nona, kalau ada kesukaran katakanlah, aku akan menolongmu."

   "Oh terima kasih, tuan sungguh baik hati,"

   Kata nona Hartini senyum.

   Setelah bercakap-cakap sebentar aku keluar.

   Ya, sejak hari itu, sering aku memperhatikan nona Hartini, yang mula-mula kukenal sebagai seorang perempuan yang ramah dan akhirnya sering aku jumpai dengan kesedihan.

   Ya, hanya ini yang kukenal tentang nona Hartini,"

   Kata pengurus hotel.

   "Terima kasih atas keterangan tuan yang sebanyak itu,"

   Kata Rudy.

   "Ah tidak tuan, bukankah sudah pada tempatnya aku membantu tuan dalam pekerjaan seperti ini? Kelak bila ada sesuatu yang ingin tuan tanyakan datanglah ke mari,"

   Kata Tionghwa itu.

   "Tentu tuan, tetapi coba berilah keterangan, dari siapa saya sekiranya dapat tahu tentang nona Hartini ini?"

   Tanya Rudy. "Oh, ya, barangkali tuan dapat tanya kepada Simin, karena ia sering bercakap dengannya atau menemui mak Minah. karena dialah yang setiap pagi masuk kamarnya untuk membersihkannya."

   "Oh, terima kasih banyak, Ya, tuan boleh meninggalkan kami,"

   Kata Rudy. Segera pengurus hotel itu keluar. Setelah ditutup pintunya segera Rudy mendekati diri korban.

   "Coba dokter tolong periksa diri Hartini ini,"

   Kata Rudy.

   "Mana, mari kita angkat Hartini ini ke atas pembaringan."

   Segera inspektur Mana dan Rudy mengangkat tubuh Hartini dan dibaringkan di atas pembaringan.

   Segera dokter memeriksa tubuhnya.

   Sementara itu inspektur Mana dan Rudy sedang asyik memperhatikan isi kamar dengan telitinya, mungkin ada benda-benda yang dapat dipakai untuk menguraikan pembunuhan itu.

   Tiba-tiba inspektur Mana menunduk melihat suatu benda, segera diambilnya setelah jari diselubungi dengan saputangan.

   Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dy, coba lihat ini aku mendapatkan sesuatu,"

   Kata inspektur Mana. Rudy mendekati inspektur Mana, turut mengamat-amati benda yang dipegang oleh jari Mana.

   "Apa ini, Dy?"

   Tanya Mana.

   Mereka berdua mengawasi benda yang bulat gepeng dengan ada tangan-tangannya menjerupai alat pemutar skrup dibuat dari besi campur baja yang disepuh nikkel.

   Di samping itu pada lubangnya menggantung sebuah rantai tembaga dengan sebuah anak kunci yang ada tulisan serta angka.

   B 44117.

   "Rudy, mungkin ini kunci mobil,"

   Kata inspektur Mana, setelah mereka lama memperhatikan benda itu.

   "Mungkin benar dan benda yang satunya itu seperti obengan, boleh aku simpan, Na?"

   Kata Rudy.

   "Mengapa tidak,"

   Jawab inspektur Mana, seraya memberikan benda yang ada di atas saputangan itu kepada Rudy.

   Tiba-tiba mereka mendengar meong seekor kucing.

   Ketika mereka cari kedapatan seekor kucing hitam sedang menggeliat di balik tirai.

   Kucing hitam itu segera melompat lari ketika tangan Rudy akan meraihnya.

   Mata Rudy berpandangan dengan mata inspektur Mana.

   "Ya Na, sekali tempo tangan kita pun sering tak dapat memegang penjahat,"

   Jawab Rudy tersenyum.

   "Inspektur, mari sini,"

   Tiba-tiba kata dokter. Inspektur Mana dan Rudy mendekati dokter. Tubuh korban itu telah tidak tertutup pakaian.

   "Lihat ini ada gambar tato (tatouer) pada pinggangnya,"

   Kata dokter seraya jarinya menunjuk ke arah pingang si korban. Pada pinggang itu ada sebuah gambar sebuah kelelawar hitam.

   "Gambar kelalawar,"

   Kata inspektur Mana perlahan.

   "Apa artinya ini?"

   Tanya dokter.

   "Ada lagi tanda-tanda seperti ini dokter?"

   Tanya Rudy kemudian.

   "Ada, ini sebuah lingkaran kecil di bagian bawah kulit kakinya,"

   Jawab dokter seraya mengangkat telapak yang halus itu. Tampak ada sebuah gambar tato berupa lingkaran kecil.

   "Apa maksudnya ini?"

   Tanya dokter mengulangi, sambil meluruskan tubuh.

   "Kami belum menemukan jawabnya, dokter,"

   Jawab Rudy.

   "Lalu bagaimana keterangan dokter?"

   Tanya inspektur Mana.

   "Keterangan dari saya hanyalah, orang ini terbunuh kira-kira dua jam yang lalu, dengan dicekik lehernya. Dan si pembunuh memakai kaus tangan ketika mencekik, lagi pula dari bekas cekikan ini ada berbau minyak motor, mungkin pembunuh ini secara tiba-tiba karena ternyata tidak ada barang-barang di sini yang rusak,"

   Kata dokter.

   "Terima kasih, sampai di sini dahulu pemeriksaan ini. Dapat korban ini segera dibawa ke rumah sakit, dokter?"

   Tak lama kemudian inspektur Mana dan Rudy meninggalkan kamar bersama dokter, setelah menutupi tubuh si korban dengan kain. Ketika mereka sampai di ruang depan, mereka mendekati meja pengurus hotel, yang segera berdiri ketika dilihatnya mereka datang.

   "Bagaimana tuan?"

   Tanya pengurus hotel.

   "Kami belum mendapatkan jawaban yang tepat, Tuan. Kami mengucapkan diperbanyak terima kasih. Dan o ... di mana Simin dan Mak Minah yang kau katakan tadi?"

   Tanya Rudy seraya mengawasi Tionghwa itu.

   "Hari ini kebetulan mereka mendapat libur,"

   Jawab Tionghwa itu.

   "Di mana tempat tinggal mereka?"

   Tanya Rudy lebih lanjut.

   "Mak Minah tinggal di Rojosari Z/40 dan Simin di Mlaten K/69."

   Setelah mencatat alamat itu, segera mereka meninggalkan hotel. Sampai di muka hotel telah banyak orang berkerumun hendak mengetahui tentang kematian itu. Tak lama kemudian mayat itu diangkut ke dalam mobil ambulance.

   "Bagaimana pendapatmu Dy?"

   Tanya inspektur Mana, setelah mereka menjalankan mobil Fiat, mobil detektif Rudy.

   "Besok pagi saja kita lanjutkan pemeriksaan, Na,"

   Jawab Rudy.

    Setelah mengantarkan inspektur Mana di rumahnya segera Rudy pulang.

    III.

   HARI KEDUA Pagi-pagi benar Rudy telah bangun.

   Setelah mandi dan berpakaian segera ia menuju ke meja makan.

   Tak lama kemudian pelayannya datang dengan membawa minuman dan roti untuk santap paginya.

   "Ran, nanti kalau ada orang mencari aku, katakan aku pergi,"

   Kata Rudy.

   "Ya mas,"jawab Diran, pembantunya dalam rumah itu.

   "Dan kalau Harsa datang suruhlah ia menyusul aku di ..... ah inilah saja nanti kau berikan kepadanya,"

   Kala Rudy seraya memberikan sebuah amplop kecil.

   Tak lama kemudian Rudy telah pergi dengan Fiatnya.

   Diran, pembantunya masih termanggu-manggu melihat amplop kecil.

   Dengan mengangkat pundaknya segera ia mulai membersihkan rumah.

   Kira-kira jam delapan lebih, berhentilah sebuah becak di muka rumahnya.

   Turunlah seorang lelaki yang berbadan tegap, lalu mengetuk pintu.

   Diran berlari membuka pintu.

   "Mana Rudy, apa masih tidur?"

   Tanyanya.

   "Eh mas Har, sekali ini keliru pendapatmu, mas Dy telah pergi."

   "Telah pergi? Pergi ke mana dia?"

   Tanya Harsa.

   "Entahlah aku tak diberi tahu, hanya ini tadi ada surat untukmu,"

   Kata Diran seraya mengeluarkan sebuah amplop dari saku celananya.

   Setelah membaca isinya, Harsa segera meninggalkan rumah itu.

   Dipanggilnya sebuah becak yang sedang melintas di muka.

   Segera ia naik setelah memberitahu ke mana tujuannya.

   Seperempat jam kemudian berhentilah becak itu pada sebuah rumah- minum "Segar"; setelah dibayarnya becak itu, masuklah ia ke dalam.

   Di dalam matanya mengawasi ke kiri-ke kanan mencari temannya.

   Tiba- tiba dari balik rentetan botol matanya melihat soorang laki-laki yang duduknya membelakanginya, memakai jas kelabu.

   Segera Harsa mendekati orang itu, setelah sampai di belakangnya, ditepuknya bahu orang itu.

   "Sudah lama kau menanti saya Dy?"

   Tanya Harsa seraya menarik kursi yang ada di mukanya. "Sejenak Har,"

   Sahut orang itu yang ternyata Rudy adanya.

   "Bagaimana soal ke marin Dy?"

   Tanya Harsa setelah mereka memesan minuman kopi-susu dua gelas.

   "Masih remang-remang, malahan masih boleh dikatakan gelap,"

   Jawabnya.

   "Gelap? Apakah tidak ada benda-benda yang dapat dipakai untuk memudahkan pengusutan kita?"

   "Ya, ada tetapi benda itupun juga masih gelap."

   "Apa kita menjumpai, ee ..... kawanan tinggi, Dy?"

   Tanya Harsa.

   "Aku belum dapat mengatakan Har, karena segalanya serba masih baru untukku,"

   Jawab Rudy seraya menghirup minumannya. Mereka berdua berdiam diri. Tenggelam dalam arus pikirannya masing- masing. Para tetamu rumah-minum "Segar"

   Tak seorang pun yang mengetahui bahwa nama yang sering mereka dengar dipercakapkan masyarakat ataupun yang sering mereka baca di halaman-halaman surat kabar detektif Rudy dengan pembantunya Harsa, kini orangnya sedang enak-enak duduk dengan lamunan masing-masing.

   Detektif Rudy, detektif yang masih muda yang sering menjelesaikan urusan-urusan pelik, gerak kerjanya sering menyerupai tokoh Sherlock Holmes.

   Siapa tak kenal tokoh Sherlock Holmes detektif ulung berkat asuhan gurunya Conan Doyle.1 Di mana ada peristiwa pelik di situ tokoh Sherlock Holmes muncul.2 1 Baca.

   Harta dari Agra 2 Baca.

   Anjing Setan Darah Sherlock Holmes ini kiranya mengalir pada tubuh Rudy pula.

   Sejak kecil ia sering turut memikir merenung sesuatu peristiwa.

   Belum puas hatinya kalau peristiwa yang dihadapinya itu belum menemui penyelesaian.

   Pikirannya tertumpah pada desakan hatinya,yaitu menyelesaikan sesuatu perkara sehingga terang.

   Orang mana yang tak mengenal kesigapan Rudy, ketangkasan mengejar musuh, kecerdasannya menguraikan sesuatu peristiwa, ketajamannya telinga tentang suatu peristiwa; namanya telah harum di kalangan masyarakat.

   Kedatangannya di suatu kota selalu disambut dengan amat gembira.

   Setengah jam sudah Rudy dan Harsa melamun berarti di situ.

   Tiba-tiba Rudy mengangkat bahunya, dan setelah mengernyitkan alisnya, lalu matanya memandang temannya, seraya katanya .

   "Har, mari kita membagi pekerjaan, kumaksud segera kita mencari keterangan tentang Hartini."

   "Ya Dy, akupun selalu siap, dan apa katamu?" "Begini, hari ini kita menjumpai mak Minah, pelayan hotel."

   "Kalau begitu segera kita berangkat saja."

   Tak lama kemudian mereka berdiri"setelah membayar uang minuman "

   Meninggalkan rumah minum.

   Setelah mereka telah berada di dalam Fiat, mobil mulai bergerak.

   Sampai di perempatan Duwet mobil membelok kanan, mobil meluncur sepanyang jalan raya.

   Ketika di perempatan MIaten mobil membelok lagi ke kanan.

   Setelah melewati beberapa gang segera mobil membelok ke kiri, dan berhenti pada muka halaman rumah no Z/40.

   Rudy membuka pintu mobil, lalu keluar diikuti Harsa.

   Setelah meluruskan celananya, mereka mendekati pintu.

   Tak lama kemudian keluarlah saorang anak kecil yang berumur kira-kira delapan tahun.

   "Eh ..nak, apa ini rumahnya mak Minah,"

   Tanya Rudy.

   "Betul pak,"

   
Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab anak kecil itu.

   "Apa mak Minah ada di rumah?"

   Tanya Rudy kemudian.

   "Ya pak, kebetulan ibuku memang ada di rumah hari ini."

   "Coba nak, panggil sebentar ibumu, katakan ada tamu."

   Anak kecil itu lalu lari ke belakang. Tak lama kemudian datanglah seorang perempuan yang berumur kira-kira empatpuluh lima, yang memakai baju dengan lengan bajunya tergulung ke atas, kainnya tampak basah air.

   "Maafkan kami, mak,"

   Kata Rudy.

   "Kami mengganggu mak dalam pekerjaan."

   "Ah tidak tuan, baru saya aku selesai mencuci pakaian anak-anak. Dan harap maaf aku hanya berpakaian seperti ini."

   "Tak mengapalah mak, kami ke sini karena ada suatu kepentingan."

   "Kepentingan apa kiranya? Eh tuan mari kita duduk, hampir lupa aku menyilakan kalian duduk."

   Segera mereka duduk.

   "Kami ingin mendapatkan keterangan dari mak Minah."

   "Amat senang hatiku bila aku dapat memberinya,"

   Jawab mak Minah ramah.

   "Begini mak, bukankah mak ini bekerja di Hotel Rio?"

   "Ya, aku bekerja di hotel Rio."

   "Pula aku tahu mak setiap pagi menyapu lantai di sana."

   "Betul kata tuan, aku memang kalau pagi menyapu, siang membantu nyonya masak di dapur."

   "Tetapi mengapa mak Minah hari ini tidak masuk kerja?" "Oh, saya mendapat liburan dua hari."

   "Dan, bukankah mak Minah kenal dengan nona Hartini yang kedapatan meninggal itu? Ya, yang diam di kamar no 13?"

   "Ya, aku memang kenal baik dengan nona Hartini itu."

   "Coba mak berilah keterangan apa yang mak ketahui tentang diri nona Hartini,"

   Kata Rudy seraya mengeluarkan notesnya. IV. KETERANGAN MAK MINAH "Ya lebih baik aku mulai menceritakaa sejak awalnya. aku mengenal nona Hartini,"

   Kata mak Minah memulai perkataanya.

   "Pada suatu pagi ketika aku sedang menyapu dekat kamar no. J3, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan keluarlah seorang perempuan muda.

   "Selamat pagi nona,"

   Kataku hormat.

   "Selamat pagi,"

   Jawab nona itu seraya senyum.

   "Boleh aku segera membawakan minuman pagi untuk nona?"

   Tanyaku.

   "Ya bolehlah,"

   Dengan senyum kecil. Setelah meletakkan sapu di belakang, aku pergi ke dapur.

   "Min, apakah kamar no 13 belum kau antari minuman"

   Tanyaku kepada Simin.

   "Belum mak, karena tadi pintunya masih terkunci, apa sekarang sudah bangun, biarlah aku mengantarkan minuman sekarang,"

   Kata Simin.

   "Ah, biarlah aku yang mengantarkan saya,"

   Sahutku.

   "Eh, ini kan bukan pekerjaan mak?"

   Kata Simin.

   "Ya, tetapi bukankah aku sering juga mengantarkan minuman untuk tetamu?"' kataku seraya menyediakan cangkir.

   "Biarlah aku saya mak, ini penting ....."

   Kata Simin.

   "Ah tak baik, bukankah penghuni kamar no. 13 itu hanya sendirian, lagi ia orang perempuan,"

   Kataku seraya menuang air masak ke dalam cangkir. Tak lama kemudian aku segera mengantarkan minuman itu. Kulihat wajah Simin menunjukan kekecewaan.

   "Ya Min, hanya tetamu inilah biar aku saja yang mengurusnya,"

   Kataku. Sampai di pintu no. 13 kuketuk setelah mendapat jawaban segera aku membuka pintu. Segera kuletakan cangkir itu di atas meja. Kulihat ia sedang menjisir rambutnya di depan cermin.

   "Minumannya telah sedia nona,"

   Kataku seraya mendekati.

   "Biarkan di situ, eh, siapa nama mak?"

   Katanya.

   "Ya, panggilah aku mak Minah saja nona, dan kapan nona ke mari?"

   "Semalam mak, baru kali ini aku datang di kota Semarang."

   "Nona dari mana?"

   Tanyaku ingin tahu. "Dari Jakarta mak,"

   Jawabnya, seraya mendekat kursi lalu duduk.

   "Dari Jakarta? Sendirian saja?'"

   Tanyaku pula.

   "Ya aku sendirian saja mak,"

   Jawabnya, seraya mengangkat cangkir.

   "Demikian perkenalan kami yang pertama kali dengan nona Hartini."

   "Dan bagaimana kelanjutannya mak?"

   Tanya Rudy seraya menggerak- gerakan jari kanannya, setelah lama menulis mengikuti cerita mak Minah. Setelah hening sejenak Rudy berkata pula.

   "Coba mak, ingat-ingat apa yang kau ketahui tentang nona Hartini."

   Mak Minah masih diam saja.

   Diangkatnya mukanya, kedua matanya meredup sedikit, dahinya berkerut sehingga alisnya hampir bertemu.

   Otaknya bekerja mengingat-ingat.

   Setelah agak sejenak, tiba-tiba kelihatan kedua bibirnya bergerak sedikit.

   Rudy dan Harsa memperlihatkan dengan penuh harapan kelanjutan keterangan dari mak Minah.

   Tiba-tiba mak Minah mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ya tuan, sedapat mungkin hendak kuurutkan sejak semula,"

   Kata mak Minah melanjutkan keterangannya.

   "Hubungan kami bertambah rapat, aku makin senang kepada nona Hartini. Di hotel itu aku sering juga menginap, kalau banyak pekerjaan dan ternyata pekerjaan itu tak dapat kukerjakan esok paginya maka aku menginap di sana, untuk menyelesaikannya, o ya, mungkin tuan juga ingin tahu pekerjaan saya di sana. Aku selain membersihkan kamar-kamar juga sering membantu masak nyonya rumah di dapur, seringkali juga aku menerima pekerjaan mencuci pakaian tetamu yang menginap, ya tentunya, ya, hanya pakaian kecil-keci! saja serta pakain dalam. Pula sejak nona Hartini di sana akulah yang berkewajiban merawat kamarnya. Ini atas permintaan nona Hartini sendiri, dan pengurus hotel juga menyetujuinya. Pada suatu pagi hari, aku memasuki kamar nona Hartini dengan membawa minuman paginya, Ya aku telah mendapat kepercayaan nona Hartini untuk memegang kunci rangkapnya. Kudapati ia masih berbaring dengan separo badannya sebelah atas tidak tertutup selimut hanya bagian perut ke bawah masih tertindih selimut yang sebagian tergelincir ke lantai. Setelah meletakan cangkir di atas meja, segera aku mendekatinya, kutatap wajahnya yang masih tenang dalam lelap tidurnya. Cantik nian wajahnya. Dengan senyum ia kubangunkan. Setelah mengggeliatkan badannya ia membuka matanya perlahan-lahan. "Ah pagi benar mak datang,"

   Katanya dengan senyum lesu.

   "Dan minuman nona telah sedia pula,"

   Kataku.

   "Dengan perlahan ia menyingkap selimutnya, lalu duduk. Ia hanya memakai ... maaf ... pakaian dalam yang menutupi dari pangkal pahanya sampai dadanya yang sintal itu saja."

   Rudy dan Harsa menahan senyum.

   "Setelah diam sebentar ia berdiri dan menuju ke meja rias."

   Aku diam saya memandang ia, ketika nona Hartini bercermin.

   Diusap-usapnya pipinya, lalu disisirnya rambutnya yang hitam berombak.

   Setelah itu ia mendekati meja tengah, mengangkat cangkir lalu meneguk isinya dengan perlahan-lahan, lalu ia membalik kepadaku.

   "Mak Minah, janganlah engkau terkejut bila aku hanya memakai seperti ini, ya mak, hawa di sini sangat panas, tak tahan aku tidur memakai piyama,"

   Katanya sambil senyum.

   "Tak mengapalah nona, aku maklum juga, memang hawa kota pantai itu panas,"

   Kataku. Setelah bercakap sebentar ia mengambil handuk dan pergi mandi, ke kamar mandi yang tersedia pada tiap-tiap kamar. Seperempat jam kemudian ia keluar. Tampak wajahnya bersih dengan bibirnya senyum kecil.

   "Segar benar mandi pagi mak,"

   Katanya seraya mendekati meja rias.

   "Benar nona,"

   Jawabku. Setelah selesai ia mengenakan gaun Dupon linnen putih dengan bordiran di kantong dada. Tak lama kemudian ia mengenakan sepatunya pula. Aku senyum saja melihatnya. Rudy dan Harsa mengangkat pundaknya.

   "Karena hari itu aku tidak mempunyai pekerjaan lagi, maka waktu itu saya pergunakan untuk bercakap-cakap dengan nona Hartini,"

   Kata mak Minah melanjutkan ceritanya.

   "Tiba-tiba kulihat di atas meja ada sebuah foto seorang lelaki.

   "Eh itukah... e ... tunangan nona?"

   Tanyaku.

   "Kekasih, mak, ah, kami berjauhan tempat,"

   Katanya.

   "Bolehkah aku tahu namanya?"

   Tanyaku ingin tahu.

   "Mas Jono, dia bekerja pada NV Sandra di Jakarta."

   "Mengapa dia tidak serta nona?"

   Tanyaku memancing. Ia menarik napas panjang, dengan mengangkat pundaknya. "Kami bertengkar, mak,"

   Katanya.

   "Bertengkar? Ah mengapa bertengkar pula dengan kekasih?"

   "Entah mak, aku waktu itu marah sekali kepadanya."

   Kami diam saja agak lama dan aku masih ingin mendengarkan ceritanya.

   "Ya mak, kami berlainan paham, dengan jalan yang kami tempuh masing- masing, akhirnya aku sampai di sini."

   Demikian perhubungan kami makin erat. Pada suatu hari aku bercakap dengannya, ke barat ke timur.

   "Nona, bolehkah aku bertanya sedikit?"

   Tanyaku.

   "Bertanya apa mak?"

   "Mengapa kekasih nona tidak pernah menulis surat kepada nona? Kutahu nona telah dua minggu ada di sini."

   "Entahlah mak, aku tak tahu,"

   Katanya dengan wajahnya berubah.

   "Mengapa nona tidak balik saya ke Jakarta, kembali ke kekasih?"

   "Maksudku demikian mak, tetapi aku baru bertugas ... katanya terputus, entah karena apa.

   "Tugas?"

   Kataku ingin tahu.

   "Ah, sudahlah mak, jangan dilanjutkan percakapan tadi."

   Dengan mengangkat bahu aku menurut tapi ... ee.. maaf tuan, hanya sampai di sini saja dulu, sebetulnya masih banyak yang akan saya ceritakan tentang nona Hartini,"

   Kata mak Minah kemudian.

   "Oh, maaf mak. Ya lusa nanti kalau mak menganggur kami datang lagi,"

   Kata Rudy. Ia dengan Harsa minta diri, lalu naik Fiat.

   Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah Har, bagaimana pendapatmu tentang mak Minah?"

   Tanya Rudy.

   "Ya, keterangannya memang penting juga tetapi hampir tak sabar aku mendengarnya. Soal kecil-kecil diceritakan semua..."

   "Memang Har, agak menjemukan, tetapi juga ada hasilnya... keterangan menjadi bertambah, rupanya Hartini di kota ini ada sesuatu kepentingannya... kata mak Minah tadi ia bertugas ... ya tugas apa gerangan?"

   Kata Rudy seraya memutar-mutar stir mobil.

   "Ya Dy, meskipun keterangannya seperti cerita film saja ... ya gadis berpakaian dalam ... tetapi o ya tadi disebut kekasih Jono ...."

   "Dapat kita usut,"

   Kata Rudy.

   "Lalu baiknya bagaimana Dy?"

   Tanya Harsa kemudian setelah mereka diam agak lama. "Kita dapat mengusut dengan pertolongan kunci mobil, kini tambah "tugas"

   Dan "kekasih,"

   Pula kata Tionghwa pengurus hotel dulu Hartini yang sering senyum akhirnya pernah dijumpai menangis, dan pula mak Minah tadi baru tahu akan kebaikan Hartini saja,"

   Kata Rudy.

   "Dan ke mana kita sekarang Dy?"

   Tanya Harsa.

   "Kita singgah di kantor polisi sebentar."

   Tak lama kemudian mobil berhenti di kantor polisi pusat. Rudy dan Harsa segera menuju ke kamar kerja inspektur Mana.

   "Hallo Dy, kebetulan engkau ke mari, barusan aku akan menelponmu,"

   Kata inspektur Mana senyum serta menyilakan duduk sejawatnya.

   "Ada berita tiba Na?"

   Tanya Rudy, seraya menghempaskan badannya di kursi, kemudian mengeluarkan tempat rokoknya.

   "Ada Dy, mengenai kunci B 44117 dulu itu,"

   Sahut inspektur Mana. Setelah Harsa dan Rudy memasang rokok masing-masing, Rudy berkata.

   "Bagaimana?"

   "Mobil B 44117 telah ditemukan, kini masih ditahan di sana."

   "Ya kalau begitu takkan sia-sia kami nanti pergi Jakarta."

   "Kalian mau pergi ke Jakarta?"

   Tanya inspektur Mana.

   "Ya Na, karena sebagian keterangan tentang Hartini juga di sana."

   Setelah bercakap-cakap sebentar, Rudy dan Harsa meninggalkan kantor poIisi, menuju ke rumah dokter Guna, yang memeriksa korban dulu itu.

   "Bagaimana dokter?"

   Tanya Rudy setelah dipersilakan duduk di kamar kerjanya.

   "Keterangan bertambah, pada betis si korban kudapati sebuah bintil merah, hal ini saya belum berani memberi keterangan lebih lanjut mengenai bintil merah itu, entah luka karena tertusuk sesuatu atau bagaimana, hanyalah dapat kuberitahukan, pemeriksaanku pada bintil itu sisa-sisa racun ringan."

   "Jadi ia diracun dokter?"

   Tanya Harsa.

   "Korban itu terkena racun melalui bintil kecil di betisnya."

   "Dan kematiannya itu?"

   Tanya Rudy.

   "Sukar aku memberi keterangan, entah racun itu yang mematikan, entah cekikan pada leher itu, ataupun kemungkinan kematian itu terjadi dalam waktu yang sama."

   "Apa yang dokter maksud dalam waktu yang sama?"

   Tanya Harsa.

   "Bekerjanya racun tingkat akhir, bersama dengan cekikan orang." "Tak ada keterangan lain dokter?"

   Tanya Rudy. Karena tidak ada keterangan lagi Rudy dan Harsa minta diri.

   "Ke mana kita lagi Dy?"

   Tanya Harsa setelah mereka ada di dalam Fiat.

   "Ke rumah Simin,"

   Jawab Rudy.

   Segera Fiat meluncur sepanjang jalan Bojong, akhirnya berhenti di muka rumah di Mlaten K/69.

   Ternyata orangnya baru pergi.

   Rudy dan Harsa lalu pulang.

    V.

   KEKASIH DAN TEKANAN Selesai santap pagi, segera Rudy meninggalkan rumahnya dengan Fiatnya menuju rumah Harsa.

   Harsa sedang duduk di ruang depan.

   "Har, mari kita pergi ke Jakarta hari ini,"

   Sahut Rudy. Tak lama kemudian mereka telah ada di dalam Fiat, yang bergerak menuju batas kota. Setelah enam jam Fiat mereka melaju dengan kencangnya, mobil mereka berhenti di kantor polisi pusat di kota Jakarta. Inspektur Kandar menemui mereka.

   "Eh ada tetamu dari Jawa Tengah, ah Rudy dan engkau Harsa, mengapa lama tidak datang di kotaku sambut inspektur Kandar seraya berjabatan tangan dengan amat girangnya.

   "Ya Kan, karena ada tugas, aku sampai di sini"

   Sahut Rudy. Segera mereka dipersilahkan duduk di kamar kerja inspektur Kandar. Setelah beramah-tamah sebagai kawan yang sudah lama tidak berjumpa Rudy memberitahukan maksud kedatangannya.

   "Ya Dy, tentu aku menolongmu,"

   Sahut inspektur Kandar kemudian.

   "Dan mobil B 44117 bagaimana? Apa masih ditahan?"

   Tanya Rudy.

   "Ya Dy, mobil itu masih saya tahan, dan baiklah sopirnya saya panggil."

   Tak lama kemudian inspektur Kandar mengangkat telepon.

   "Eh siapa ini? ... O.. engkau Dir, ..... coba panggil sopir mobil B 44117... Alamatnya? ... cari ... ya ... ya ... segeralah,"

   Kata inspektur pada telepon, segera ia meletakan kembali telepon itu. Seperempat jam kemudian masuklah seorang anggota polisi.

   "Pak sopir itu sedang pergi, besok pagi baru kembali, katanya.

   "Ke mana perginya?"

   Tanya inspektur Kandar.

   "Ke Surabaya, mengantarkan salah seorang keluarganya."

   "Ya sudahlah, boleh engkau keluar,"

   Kata inspektur Kandar.

   "Lalu Bagaimana Dy,"

   Katanya kepada Rudy.

   "Kalau begitu kita nanti saja,"

   Jawab Rudy. "Lalu ke mana kita akan pergi sekarang Dy?"

   Tanya Harsa.

   "Eh kita menjumpai Jono,"

   Kata Rudy.

   "Dan alamatnya, apa engkau sudah tahu?"

   Tanya Harsa.

   "Ah aku belum tahu, tetapi karena bekerja di kantor besar mungkin dia belum pulang saja, dan kau tahukah di mana letak NV Sandra?"

   Kata Rudy seraya memandang wajah inspektur Kandar.

   "NV Sandra? Coba aku telepon sebentar,"

   Kata inspektur Kandar. Lalu diangkatnya telepon dan disusul katanya .

   "Coba sambung bagian perekonomian .... ya hallo... di sini inspektur Kandar dengan siapa saya berkata .... o... engkau W ... coba ... carikan nomer telpon NV Sandra ... ya ... NV Sandra... Ya saya tunggu,"

   Katanya lalu meletakan telepon. Lima menit kemudian bel telepon berdering, segera alat itu diangkat inspektur Kandar.

   "Ya .... hallo ... di sini kantor polisi pusat ... ya ... ada kepentingan .... dengan ... dengan pegawai yang bernama Jono ... Ya Jono ... dapatkah kami bercakap sebentar .... ya ....saya tunggu... Tak lama kemudian katanya lagi.

   "Ya saudara Jono .... kami kantor polisi pusat ..."

   Inspektur Kandar menutupi lubang telepon, katanya kepada Rudy.

   "Apa kepentingannya?"

   "Tanyakan saja kapan ia pulang dan di mana rumahnya,"

   Sahut Rudy.

   "Ya ... hallo,"

   Kata inspektur Kandar seraya membuka lubang teleponnya.

   "Saudara Jono .... kapan saudara pulang .... sebentar lagi .... dan di manakah alamat saudara ... ya ... jalan Anggrek B/5 ... Ya terimakasih,"

   Kata inspektur Kandar seraya meletakan telepon.

   "Ya Dy, alamatnya jalan Anggrek B/5,"

   Katanya.

   ""Kalau begitu segera kita ke sana saja,"

   Sahut Rudy.

   "Dy, nanti engkau bermalam di mana?"

   Tanya inspektur Kandar kemudian.

   "Hotel Rizal", sudahlah Kan aku minta diri,"

   Kata Rudy. Segera ia keluar diiringi Harsa.

   "Gantian Har, aku masih penat mengemudi dari Semarang,"

   Katanya setelah duduk di belakang. Harsa memegang stir. Tak lama kemudian mereka sampai di muka rumah Jl. Anggrek B/5. Setelah mengetuk pintu, tak lama keluar seorang perempuan muda.

   "E ... apakah ini rumah tuan Jono?"

   Tanya Rudy. "Ya, dia suamiku,"

   Jawabnya. Rudy dan Harsa mengerutkan dahinya sebentar.

   "Apakah suami nyonya sudah pulang?"

   Tanya Rudy kemudian.

   "Sebentar dia akan pulang, mari masuk tuan,"

   Katanya ramah.

   Mereka duduk di ruang depan.

   Setelah bercakap-cakap sebentar masuklah seorang lelaki yang tinggi tegap perawakannya, memakai celana Sharskin putih, kemejanya rapat dengan dasinya merah bergaris.

   Setelah berkenalan, lalu Jono pergi ke belakang diikuti isterinya.

   "Eh Jono telah beristeri ... lalu ... Hartini?", bisik Harsa.

   "Ya mungkin Hartini hanya ... belum selesai kata Rudy, keluarlah Jono dari dalam. Setelah duduk pula, dengan tenang ia mulai membuka perkataan.

   "Lalu kepentingan saudara-saudara ke mari?"

   Tanyanya.

   "Ya saudara Jono, bolehkah kami memulai bertanya?"

   Kata Rudy.

   "Ya silakan saudara."

   "Kami dari kepolisian, dan kami hendak meminta sesuatu keterangan dari tuan,"

   
Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Rudy seraya mengeluarkan kartu namanya.

   "Detektif Rudy! Ya akan kubantu sedapat mungkin,"

   Kata Jono.

   "Ya apakah sekiranya ... maaf isteri saudara tidak akan mendengar?"

   "Ah penting kiranya. Lalu apa mengenai e ... maksudku menyinggung rumah tangga?"

   Tanya Jono.

   "Demikianlah saudara Jono, apa tidak lebih baik kita bercakap di lain tempat saja, ya..."

   "Kalau demikian mari kita pergi saja."

   Setelah Rudy, Harsa dan Jono berpamit kepada istri Jono segera mereka meninggalkan rumah dengan Fiat.

   "Ke mana kita berhenti Dy?"

   Tanya Harsa dibelakang stir.

   "E ... berhentilah di rumah makan sana itu,"

   Kata Rudy seraya menunjukkan. Berhentilah Fiat itu di Restoran "Chungking"

   Yang bertingkat dua, mereka naik tangga ke loteng. Setelah memilih tempat duduk di dekat pagar muka, lalu ereka memesan minuman.

   "Ya saudara Jono, kedatangan kami kemari ini perlu membicarakan o ... tegasnya mengusut perkara nona Hartini,"

   Kata Rudy. Jono agak terkejut, seraya menarik badannya ke belakang.

   "Hartini? Mengapa dia?"

   Tanyanya kemudian.

   "Bukankah nona Hartini itu kekasih saudara?"

   "Ya,"

   Jawab Jono pendek.

   "Saudara Jono, coba ceriterakan tentang nona Hartini .... kami berjanji akan menyimpan rahasia itu, nama keluarga saudara tidak akan kami bawa. Perlu saya jelaskan bahwa kemarin lusa nona Hartini kedapatan meninggal."

   "Meninggal? Di mana?"

   Tanya Jono terkejut.

   "Ya ... nona Hartini kedapatan meninggal di dalam kamar hotel di Semarang."

   "Di Semarang?"

   Tanya Jono seraya dahinya berkerut.

   "Ya saudara, dan kini saya minta dengan sangat hendaknya saudara mau menceriterakan atau menjawab pertanyaan saya mengenai nona Hartini."

   Sebelum mereka melanjutkan percakapan, pelayan datang dengan membawa minuman, setelah meletakan di atas meja ia pergi meninggalkan.

   "Ya saudara Jono, apakah telah lama saudara bergaul dengan nona Har."

   "Ya, telah setahun saya bergaul dengan Hartini ... untuk terangnya saya mulai saja,"

   Kata Jono memulai keterangannya.

   "Pertemuan saya dengan Hartini mula-mula terjadi pada suatu perjalanan kereta api antara Surabaya-Jakarta, aku mendapat tugas soal perdagangan. Ini terjadi kira-kira satu tahun yang lampau. Ketika pulang dengan naik kereta api, aku duduk berhadapan dengan seorang perempuan muda yang memakai blouse Tricoline putih dengan strookjeskant Lystav kembang. Kakinya beralaskan sepatu hitam model baru. Duduknya menghadap angin. Karena kesepian itu, aku ingin berkenalan dengan ia, tetapi segan aku memulai membuka kata. Tiba-tiba kesempatan terjadi, angin meniup agak kencang, ia berdiri hendak mengangkat jendela kaca ke atas, tetapi tak dapat.

   "Mungkin rusak saudara,"

   Kataku menyapa, memberanikan diri. Ia diam saya dan memandang aku sebentar.

   "Mari kita tukar tempat duduk saja,"

   Kataku seraya berdiri. Lalu kami bertukar tempat.

   "Kenalkan aku Jono...

   "

   "Hartini,"

   Jawabnya senyum.

   "Hendak ke mana saudara?"

   Tanyaku kemudian. "Pulang ke Jakarta ... saudara?"

   "Sama tujuan, aku datang di Surabayya kemarin malam urusan perdagangan."

   Percakapan kami bertambah menyenangkan dalam perjalanan itu. Dan kami hanya memanggil nama saja. Ketika sampai di Jakarta, aku mencari taksi.

   "Har, mari engkau saya antarkan dengan taksi saja,"

   Kataku.

   "Terima kasih Jon, jawabnya senyum. Kami naik taksi, lalu menuju alamat rumah Hartini. Setelah sampai kami turun dari taksi, saya membayar sewanya.

   "Boleh aku singgah sebentar Har?"

   Tanyaku.

   "Masuklah Jon,"

   Jawabnya. Lalu kami naik rumah.

   "Anggaplah seperti rumahmu sendiri Jon.

   "Terima kasih Har,"

   Jawabku. Setelah bercakap-cakap agak lama aku minta diri,"

   Demikian ceritera Jono. Rudy dan Harsa masih diam saja, asyik mencatat.

   "Demikianlah perkenalan kami pada mulanya,"

   Kata Jono, seraya mengangkat gelas minuman dan menghirup isinya. Rudy memasang rokoknya, asapnya mengepul naik ke atas di bawa angin lalu.

   "Perhubungan kami makin rapat,"

   Kata Jono memulai lagi ceriteranya.

   "Ya persahabatanku dengan itu belum diketahui oleh istri saya dan Hartini juga belum tahu kalau aku sudah beristri dan beranak pula seorang. Ya saudara, manusia sering tak tahan menghadapi cobaan hidup. Setelah tiga bulan aku berteman Hartini waktu itu ... isteri saya sedang mengandung ... Ya daya nafsu suami mengalir dalam tubuhku, aku lupa rumah tanggaku. Tanpa sepengetahuan isteriku aku sering pergi bersama Hartini. Pada suatu hari aku berkata kepada isteriku bahwa hendak pergi ke Jogja. Setelah menyediakan pakaian segera aku meninggalkan rumah. Aku tidak pergi ke Jogja, melainkan pergi ke rumah Hartini. Setelah kubuka pintunya, kudapati Hartini sedang ada di dalam kamar mandi. Segera kuketuk pintu kamar mandi itu.

   "Har,"

   Kataku perlahan.

   "Siapa itu? Jono kiraku?"

   Jawab dari dalam kamar mandi.

   "Ya,"

   Jawabku pendek, lalu aku pergi ke ruang depan. Tak lama kemudian Hartini masuk ke dalam, masih memakai kimono dan memegang sikat serta handuk di tangannya.

   "Eh, Jono,"

   Katanya senyum. Aku menoleh membalas senyum dan mendekati.

   "Tunggulah sebentar Jon,"

   Katanya.

   "Aku ganti pakaian."

   Aku senyum saja mengikuti Hartini masuk biliknya.

   "Ah Jono ... tunggulah di luar."

   Tetapi aku diam saja.

   Segera Hartini mengambil pakain dari dalam lemarinya.

   Kemudian ia berganti pakaian di balik bidai.

   Tak lama ia keluar dari balik bidai, tubuhnya yang sintal itu disalut blouse Bircoline putih yang tidak berlengan, pundaknya yang putih tampak terbuka.

   Bagian mukanya blouse itu tergunting agak ke bawah sehingga kulit dadanya yang putih berisi itu tampak nyata.

   Di bawahnya sebagai kombinasinya ia memakai skirt Woletta coklat muda."

   Jono berhenti sebentar. Rudy dan Harsa tenang mendengarkannya.

   "Ya saudara entah kasih entah nafsu sukar aku mengenalnya, karena merasa kesepian di rumah Ya ... aneh aku merasa kesepian waktu istriku sedang hamil, aku membutuhkan wanita ... Ya wanita ... dan setelah aku bercakap- cakap dengan diselingi gurau, kami berdua pergi berjalan-jalan. Kami melihat bioskop di Metropole. Jam sembilan malam kami singgah di Dancing Hall. Dan tiga jam kami berdua berayun lagu-lagu swing serta blues. Ya saudara, nafsu saya mulai naik ke kepala. Kutahu dalam ayunan itu badan Hartini kurasa gemetar. Setelah puas kami berayun swing itu segera kami pulang dengan naik taksi langsung ke rumah Hartini. Malam itu aku menghabiskan waktuku di rumah Hartini. Esok paginya ketika aku sadar dari tidurku kulihat Hartini telah duduk di muka cermin, menyisir rambutnya.

   "Har,"

   Kataku perlahan. Dia senyum seraya membalikkan badannya kepadaku dengan senyum pula. Ya saudara, siapa orang tak puas memandang kecantikan Hartini.

   "Ke sini Har,"

   Kataku perlahan. Ia berdiri dan mendekati pembaringan lalu duduk di tepi.

   "Tak kecewa engkau Har?"

   Tanyaku seraya mengusap lengannya, yang terbuka. Tubuhnya hanya tertutup baju tidur saja.

   "Mengapa kecewa mas,"

   Sahutnya seraya menundukkan kepalanya.

   "Bukankah kita sejiwa, mas ... sungguh bahagia,"

   Katanya pula.

   "Tidakkah engkau kecewa setelah .... o ... semalam tadi?"

   Kataku. "Mengapa kecewa mas, aku kepunyaanmu,"

   Bisiknya ke telingaku.

   Ya saudara, dengan terus terang dapat kukatakan di sini bahwa Hartini itu bukan gadis lagi, bukan aku pula yang merenggut kegadisannya.

   Dan entahlah aku ini termasuk orang yang ke berapa.

   Menghina, tidak aku mengatakan padanya.

   Karena memang aku telah maklum itu akan tetap memandangnya sebagai kekasihku.

   Pada suatu hari, sebulan kemudian, di rumahku terjadi pertengkaran kecil soal dapur, kejengkelan membawa aku pergi ke rumah Hartini.

   Kudapati dia sedang tidur hanya memakai slip chiffon serta bra saja.

   Tiba-tiba mataku melihat pinggangnya yang ramping itu ada sebuah lukisan kelelawar hitam.

   Aku heran melihatnya, karena selama ini aku tidak mengetahuinya.

   Dengan perlahan-lahan ia saya bangunkan.

   "Oh engkau Jon,"

   Katanya ketika matanya melihat aku.

   Aku duduk di tepi pembaringan, masih mengawasi wajahnya.

   Ya saudara, gambar kelelawar pada pinggangnya itu, kiranya menjadi bibit kerenggangan kami.

   Aku mulai berpikir tentang penghidupan Hartini.

   Keherananku padanya, karena kutahu ia tidak bekerja tetapi hidupnya mewah.

   Pertengkaran terjadi ketika ia saya tanyai tentang gambar kelelawar hitam yang ada di pinggangnya itu.

   Aku marah betul, kecurigaanku mulai ada.

   Pada suatu hari aku datang di rumahnya.

   Ia sedang pergi.

   Rumahnya dikunci.

   Ketika aku sampai di kamarnya kulihat jendelanya terbuka.

   Di atas meja kujumpai sehelai amplop, ketika saya buka ah, aku tidak tahu apa maksud tulisannya,"

   Cerita Jono berhenti.

   "O Ya, sampai sekarang surat itu di dompetku", katanya lagi seraya mengeluarkan dompetnya. Rudy hanya berpandang-pandangan saja. Dari dalam dompet dikeluarkan sepucuk surat lalu diberikan kepada Rudy. Dalam surat itu tertulis . Zmttlgz 8. Pzor znzg kfzh zgzh szbro kvpviwpzzmaf, szizk mz-mgr nzozn wzgzmt wr wpzozm bvizpf, znyrrzs fzmtrj Ik. 1000.000 yzczozpv hf izyzpzyvirpzm pvkzwz zrattlf gz 100 wozozn nzm ttz. = pulang.

   "KELELAWAR HITAM" Rudy dan Harsa belum tahu akan maksudnya.

   "Lalu ini bagaimana saudara Jono?"

   Tanya Rudy.

   "Aku sampai sekarang juga belum tahu akan artinya, hanyalah aku menipunya, surat ini saya letakkan kembali di meja. Dan aku pura-pura menanti kedatangan Hartini. Tak lama kemudian ia kembali. Dengan senyum menyapaku.

   "Eh mas Jon datang. Telah lama mas menunggu?"

   "Barusan Har,"

   Kataku bohong.

   Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia pulang itu membawa beberapa bungkusan yang isinya pakaian, ada baju tidur baru, beberapa potong slip, skrrt serta bluse.

   Tiba-tiba ia mengeluarkan kotak kecil dari dalam saku gaunnya.

   Ketika dibuka isinya sebuah giwang dengan bermata berlian kenanga.

   Sambil senyum dikena- kan dada telinganya.

   "

   Dari mana kau dapat itu Har?"

   Tanyaku seraya berdiri di belakangnya.

   "Beli mas,"

   Jawabnya pendek.

   "Ah mahal juga kiraku,"

   Tanyaku memancing.

   "Sepuluh ribu,"

   Jawabnya. Aku terkejut mendengar jawaban itu. Sebelum aku tenang ia sudah membalikkan badannya, menghadap aku.

   "Indah mas?"

   Tanyanya senyum manis.

   "Kau .., kau tambah cantik Har,"

   Sahutku pelan. Tiba-tiba lengannya merangkul leherku, aku dipeluknya kencang.

   "Masih cintakah mas kepadaku?"

   Bisiknya. Aku masih diam tercengang, tiba-tiba ia melepaskan pelukannya.

   "Telah bencikah mas kepadaku?"

   Tanyanya mendadak.

   "Ti ....ti ... dak Har, aku masih cinta padamu,"

   Jawabku bimbang. Ya saudara kelemahanku berulang, kecurigaanku hilang dalam rayuannya. Tiba-tiba ia melihat surat kecil itu, aku pura-pura tidak tahu. Setelah dibaca sebentar segera dimasukkan ke dalam laci meja, lalu mendekati aku diajak duduk.

   "Mas, mengapa akhir-akhir ini kulihat ada terjadi perubahan pada diri mas terhadapku?"

   Aku diam saja, mataku hanya memandang wajahnya saja. "Katakan mas, aku ingin mendengarkannya."

   Aku bingung tak tahu apa yang akan saya katakan.

   "Ya .... mengapa engkau tak mau memberi tahu tentang gambar yang ada di pinggangmu dulu itu,"

   Kataku tak sadar.

   "Ah, mas mengapa itu diulang kembali. Bukankah telah saya katakan itu hanya gambar kenang-kenangan saja. Ini kuperoleh ketika aku masih kecil, kenang-kenangan dari beberapa temanku ketika aku sekolah."

   


Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini