Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 13


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 13



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   "Baik,"

   Sahut nya.

   Dan ia membimbingku keluar kamar.

   Digedung olah-raga, ternyata sudah dibangun sebuah panggung yang semula dikatakan sebagai panggung tempat pertemuan pengantin.

   Dan diatas panggung, sekalian paman dan berlima lalu berdiri berjajar siap bertempur.

   Namun ia bersikap acuh tak acuh.

   Sama sekali t ak menghiraukan jumlah mereka yang banyak.

   "Memang benarlah ucapan paman Obar-abir, bahw a bubur itu tidak beracun. Tetapi di kemudian hari tahulah aku, bahwa bubur itu mengandung ramuan obat tidur serta pelarut tenaga. Barangsiapa menelan ramuan obat itu, akan terkuras habis tenaganya sedikit demi sedikit. Kemudian akan tertidur pulas dan baru tersadar setelah melampaui empatpuluh delapan jam lamanya. Dengan demikian, mereka bermaksud merobohkan Bondan Sejiwan dengan berlagak melalui pertempuran. Mulamula aku heran, kenapa mereka memilih cara demikian. Tapi segera aku ketahui alasannya. Ternyata di dalam gedung itu, hadir pula beberapa tokoh pendekar aliran Ugrasawa, Parwati dan golongan lainnya. Sedangkan pendekar pendekar golongan Aristi tidak sud i sudi ikut hadir setelah mengetahui pekerti mereka yang hina. Dan. dihadapan tokoh-tokoh pendekar itulah, mereka hendak menjual lagak secara ksatria! Apabila Bondan Sejiwan roboh akibat obat tidur, mereka akan segera menyiksanya ..."

   Sampai di sin i, wajah Sekarningrum merah-padam.

   Ucapannya sengit mengandung luapan rasa marah yang sudah lama tertahan dan kini mempunyai kesempatan untuk dilampiaskan.

   Tatkala, ia hendak meneruskan ceritanya, Cocak Abang berteriak kepada Lingga W isnu .

   "Hai saudara Lingga! Kau berani melayani ilmu sakti gabungan kami yang bernama Pancasakti atau tidak?"

   Dua hari yang lalu Lingga W isnu bersikap segan terhadap mereka, karena mereka adalah paman Sekar Prabasin i.

   Akan tetapi setelah mendengar tutur kata Sekarningrum, lenyaplah rasa hormatnya.

   Ia kini mendongkol dan muak terhadap mereka.

   Maka dengan sengit, ia menyahut .

   "Hm, kamu hanya berlima saja. W alaupun aku kalian kerubut sepuluh orang, tidaklah aku undur selangkah pun ..."

   Tepat pada saat itu, melesatlah sesosok bayangan memasuki serambi sambil berseru nyaring .

   "Bocah tak tahu adat! Enyahlah engkau dari sin i!"

   Dalam selint asan, Lingga W isnu melihat perawakan tubuh bayangan itu tinggi besar dan kekar.

   Rambutnya rereyapan dan terlilit gelang tembaga yang berkilauan.

   Pakaian yang dikenakannya terbuat dari kulit lembu muda.

   Kesan dirinya mirip dengan seorang pertapa yang soleh dan sakti.

   Tapi sebenarnya, dialah seorang bandit besar yang berkeliaran disekitar Gorang-gareng.

   Dia memakai nama mentereng, yang diambilnya dari tokoh cerita Maha Bharata yang termashur Bargawastra.

   Tapi namanya sendiri sebenarnya Sastra Unyeng.

   Dan semenjak hidup sebagai pemimpin bandit, ia menghukum siapa saja yang berani memanggil nama aslinya.

   Bargawastra salah seorang anak murid pendekar Satmata, adik kandung ibu Sekarningrum, yang bermukim di dusun Bulukerta.

   Letak dusun itu berada di sebelah timur gunung Lawu.

   Dia datang ke Kemuning, atas panggilan keluarga Dandang Mataun untuk menerima pembagian rezeki.

   Itulah emas Suskandari yang kena rampas Sekar Prabasin i.

   Dan ia baru datang disiang hari tadi.

   Maka tak mengherankan, Lingga W isnu belum mengenalnya.

   Bargawastra sendiri hendak mengambil muka terhadap keluarga Dandang Mataun.

   Tadi siang, ia mendengar kabar, bahwa emas rampasan itu hendak direbut kembali o leh seorang pemuda yang berkepandaian tinggi.

   Mendengar hal itu, ia jad i panas hati dan penasaran.

   Sekarang, ia akan memamerkan kemampuannya menghajar bocah itu.

   Begitu mendarat di lantai serarribil, terus saja t angannya menyambar.

   Lingga W isnu melihat datangnya serangan mendadak.

   Gesit ia mengelak.

   Dan dengan sebat ia menerkam rambut gondrong Bargawastra Kemudian ia bergerak memutar, sehingga tubuh Bargawastra terputar pula seperti gangsingan.

   Tiba-tiba terkamannya dilegakan.

   Dan Bargawastra jadi terlempar tinggi.

   Tak ampun lagi, dia terbanting jungkir-balik menelungkupi gerombol bunga mawar yang berduri.

   Seketika itu juga muka dan tubuhnya babak-belur teranjam ratusan duri tajam.

   Ia berkaing-kaing kesakitan.

   Sama sekali tak terbayangkan, bahw a dia bakal babak belur hanya dalam segebrakan saja Menyaksikan hal itu, Sekarningrum tertawa merendahkan.

   Tempa menghiraukan apa yang sudah terjadi, ia melanjutkan ceritanya dengan suara bergelora.

   Katanya .

   "Pada malam hari itu, mereka berlima mengepung Bondan Sejiwan dengan ilmu gabungan Panca Sakti. Itulah ilmu-gabungan kebanggaan keluarga Dandang Mataun turun-temurun. Ilmu sakti itu belum pernah terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi sebenarnya, dia sanggup melayani. Hanya sayang, ia sudah mereguk obat bius pelarut tenaga. Makin lama gerakannya makin kendor. Nampak sekali kelelahannya. Sulitlah ia untuk melanjutkan perlawanannya lagi. Bahkan unt uk bisa lolos saja t iada harapan lagi.

   "Dalam keadaan demikian, ilmu gabungan Panca-sakti terlalu rumit baginya ..."

   "Ningrun!"

   Bentak Cocak Abang.

   "Apakah kau hendak membuka rahasia ilmu sakti keluarga Dandang Mataun kepada bocah itu?"

   Sekarningrum tidak menggubris bentakan Cocak Abang. Dengan menatap wajah Lingga W isnu ia meneruskan .

   "Jelaslah, bahw a ia ingin merobohkan salah seorang musuhnya, agar dapat memecahkan ilmu gabungan itu. Tetapi kecuali tenaganya nyaris hab is, ilmu Panca-sakti adalah suatu persenyawaan. Masing-masing mempunyai kerja-sama yang saling berhubungan dan saling melindungi. Demikianlah, akhirnya dia hamp ir roboh kecapaian. Tubuhnya sempoyongan semakin hebat. Dan aku berteriak nyaring .

   "Jangan pikirkan aku! Pergilah! Pergilah! Cepat! Selama hidupku, tak akan kulupakan diramu. Selamatkan dirimu dahulu!"

   Hebat suara Sekarningrum t atkala menirukan pekiknya dahulu. Sekar Prabasini sampai bergidik. Sebab pekik ibunya mirip jeritan berbareng ratapan yang menyayat hati. Seperti orang membangunkan seseorang yang t idur pulas, ia berteriak .

   "Ibu!"

   Lingga W isnu kaget pula.

   Bulu kuduknya meremang.

   Dengan was-was ia memandang wajah Sekarningrum.

   Pandang mata Sekarningrum kelihatan kabur dan kuyu, napasnya memburu.

   Tahulah dia, bahw a hati Sekarningrum penuh duka, benci, mendongkol dan penasaran.

   Ia lantas tergugu beberapa saat lamanya.

   "Ibu, sudahlah. Esok malam bisa d isambung lagi. Sekarang, beristirahatlah dahulu. Aku sendiri hendak menyelesaikan urusanku. Tapi esok malam, aku berjanji hendak datang kembali unt uk mendengarkan sambungan ceritanya."

   "T idak! Tidak!"

   Seru Sekarningrum seperti t ersadar. Ia menyambar lengan baju Lingga W isnu dan ditariknya. Katanya .

   "Sembilan belas tahun lebih aku membisu. Sekarang, aku mempunyai kesempatan untuk melontakkan semua isi hatiku. Anakku Lingga. Kau dengarkan dahulu ceritaku sampai selesai ..."

   Suara itu mengandung suatu permohonan. Maka terpaksalah Lingga Wisnu memanggut seraya menyahut .

   "Baiklah. Akan siku dengarkan sampai selesai."

   Lega hati Sekarningrum. Perlahan - lahan ia melepaskan cekalannya. Namun ujung jarinya masih menjepit lengan baju Lingga W isnu. Katanya meneruskan .

   "Mereka sebenarnya menghendaki jiwanya. Tapi kecuali itu, yang terlebih penting lagi yalah harta karun! Harta karun raja Airlangga! Rupanya Bondan Sejiwan sudah dapat menduga jauh jauh sebelumnya. Kini dia sudah mempersiapkan diri.

   "Demikianlah, akhirnya ia terluka. Dan ia roboh terkulai. Tapi didalam keadaan set engah sadar itu, masih sempat dia mengeluh. Akh, petaku! Dan setelah itu, ia tak ingat sesuatu apa lagi ...

   "Hai, bangun dahulu!"

   T eriak paman Cocak Obar-abir.

   "Kau tunjukkan dahulu dimana harta raja Airlangga itu!"

   Paman Obar-abir berteriak demikian samb il melompat memasuki panggung. Jari tangannya menusuk tubuh Bondan Sejiwan di bagian tertentu. Dan akibat tusukan jari itu, Bondan Sejiwan jadi tersadar sebentar. Sahutnya.

   "Oh, kau menghendaki harta itu? Peta tak ada padaku. Siapa yang berani, ikut lah aku! Dan setelah berkata demikian, kali in i dia benar-benar roboh tak sadarkan diri lagi.

   "Mereka semua jadi gempar mendengar jawaban Bondan Sejiwan. Mereka juga ikut menyaksikan perkelahian itu. Bila Bondan Sejiwan disadarkan, hebat akibatnya. Betapa tidak? Kalau obat bius itu punah, mereka semua bukan tandingnya. Sebaliknya, apabila dibunuhnya, peta harta karun itu akan lenyap untuk selama lamanya.

   "Mereka semua lantas sibuk berunding. Dan akhirnya ayah mengusulkan suatu penyelesaian yang bagus sekali. Ya, bagus sekali! Bondan Sejiwan hendak digeledahnya dahulu. Apabila peta itu ternyata tiada padanya, uraturat kaki dan tangan Bondan Sejiwan hendak diputuskan. Kemudian baru dibebaskan. Dua hari laga, meskipun obat bius telah lenyap dari tubuhnya, Bondan Sejiwan sudah menjadi orang cacad. Semua ilmu saktinya lenyap. Bukankah bagus sekali usulnya itu? "Tetapi mereka tak bersabar lagi. Mereka pun khawatir, jangan-jangan Bondan Sejiwan hanya berpurapura tertidur. Maka merekapun memutuskan urat-urat kaki dan tangan Bondan Sejiwan dahulu. Kemudian baru menggeledah tubuhnya. Tapi t atkala itu, aku telah roboh tertidur ...

   "Entah berapa lama aku tertidur. Setelah menyenakkan mata", dihadananku terjadi banjir darah. Banyak aku lihat mayat-mayat bergelimpangan. Bondan Sejiwan t idak nampak lagi di atas panggung. Hatiku jadi berharap-harap cemas. Entah apakah dia berhasil melarikan diri setelah membunuhi lawan-lawannya? Tapi, masih sempat aku menyaksikan, tatkala mereka berlima memutuskan urat-urat kaki dan tangannya. Aku jadi kebingungan. Tak ada yang bisa memberi kabar kepadaku. Gedung pertandingan sunyi senyap. Tetapi syukurlah, bubur yang aku makan tidak begitu banyak, sehingga aku kehilangan kesadaranku hanya se lama waktu dua tiga jam saja. Akupun telah dapat berdiri dengan tegak. Dan segera aku mengadakan pemeriksaan. Mayat-mayat itu ternyata bukanlah mayatmayat keluarga Dandang Mataun. Tetapi mayat-mayat tetamunya yang tadi menyaksikan pertandingan. Apa yang telah terjadi? Tiba-tiba aku mendengar suara mengerang. Segera aku menghampiri dan kulihat seorang tetamu yang tertusuk kedua matanya. Tak usah aku katakan lagi, bahw a bakal buta dikemudian hari. Akan tetapi jiwanya selamat. Segera aku menolongnya. Tatkala kena raba tanganku, dia bertanyakan siapa diriku. Mendadak saja dia berkata dengan berani .

   "Apakah engkau calon temanten?"

   "Benar,"

   Sahutku. Ternyata dia seorang pendekar yang tahan sakit. Tempa memperdulikan keadaan dirinya, dia berkata .

   "Syukurlah, engkau telah tersadar. Sekarang, sudikah engkau membawaku keluar dari gedung ini? Aku bernama. W aluyo, berasal dari dusun Karangteleng. Aku bukan teman maupun musuh keluargamu. Kedatanganku kemari semata-mata memenuhi undangan ayahmu. Katanya, ayahmu hendak mengawinkan dirimu dengan bekas musuhnya. Maka aku datang bersama pendekar Udayana, anak murid Kyahi Basaban."

   Mendengar Sekarningrum menyebut nama Udayana dan Kyahi Basaman, hati Lingga W isnu terperanjat seperti mendengar geledek meledak disiang hari.

   Itulah nama ayah dan kakek gurunya.

   Hampir saja ia membuka mulut nya.

   Syukur Sekarningrum telah mendahului melanjutkan ceritanya.

   "Dari mulut nya, aku mendengar kabar, bahwa Bondan Sejiwan berhasil dilarikan. Tatkala pendekar Udayana dan W aluyo tiba digedung pertandingan, mereka masih sempat menyaksikan dia kena siksa. Itulah perlakuan yang semena-mena! Sebagai pendekar-pendekar yang berbudi luhur, mereka tak dapat membiarkan tindakan sewenang-wenang itu berlaku dihadapan matanya. Serentak mereka bergerak hendak melakukan pertolongan. Dan tepat pada saat itu, terjadilah suatu peristiwa perebutan peta yang terdapat pada tubuh Bondan Sejiwan. Mereka saling bertengkar. Dan akhirnya saling bunuh-membunuh! "Kesempatan itu dipergunakan sebaik baiknya oleh pendekar Udayana. Dengan pertolongan pendekar W aluyo, ia memanggul tubuh Bondan Sejiwan dan dibawanya pergi. Tetapi tidak semua yang hadir kalap oleh peta harta karun itu. T erutama anggauta-anggauta keluarga kami bag ian wanita. Mereka berteriak-teriak menyerukan tanda bahaya. Dan pendekar Udayana lantas kena kerubut. Syukur masih ada pendekar W aluyo yang melindungi Selain itu, kebanyakan di antara tetamu, terpancing pada peta harta karun itu. Dengan demikian, kepergian pendekar Udayana tidak mengalami rint angan terlalu sulit. Tetapi walaupun demikian, kedua matanya kena tusuk senjata ayah. Dia masih bisa membalas dengan menghamburkan senjata bidiknya. Ayah bisa menyelamatkan diri. Namun tak urung sebatang senjata bidiknya dapat mengenai paru-parunya juga. Ayah tidak mati, tetapi bidikan itulah yang kelak membawa mautnya beberapa tahun kemudian.

   "Dalam pada itu, hawa pembunuhan terus mengiangngiang . Paman Obar-abir berhasil mempertahankan diri. Tapi ia terkejut, tatkala melihat Bondan Sejiwan lenyap. Tepat pada saat itu, ayah roboh terkulai pula sambil menuding keluar. Dengan serentak paman Obar-abir melesat keluar mengejar pendekar Udayana. Karena dialah yang membawa kabur Bondan Sejiwan. Maka sisa para tetamu ikut mengejar pula. Tetapi bukannya mengejar pendekar Udayana, melainkan semata-mata untuk mencoba merebut peta.

   "Entah bagaimana akhirnya, akan tetapi di kemudian hari aku mendengar tutur kata mengenai pengejaran itu. Karena memanggul orang, gerakan pendekar Udayana terhalang Merasa diri bakal terkejar, ia menyembunyikan Bondan Sejiwan di balik gerombol belukar yang berada di tepi tebing . Kemudian ia mengadakan perlawanan dan pembelaandiri.

   "T api beberapa saat kemudian, corak dan tujuan pertempuran itu jadi berubah acak-acakan tak keruan. Itulah disebabkan pengaruh peta harta karun. Kembali mereka saling berebut dan saling bunuh membunuh. Sementara itu, pendekar Udayana mempunyai kesempatan untuk meninggalkan gelanggang. Agar Bondan Sejiwan selamat, sengaja ia membuat penyesatan. Ia lari kearah yang bertentangan. Dan semenjak hari itu, dia t iada kabar beritanya lagi ..."

   "Hai! Mengapa kau ngoceh tak keruan? Awas"

   Potong Cocak Abang dengan berteriak nyaring.

   "Hmm! Apakah kalian kira aku takut Mati? Kalian boleh membunuhku. Bukankah kalian juga yang membunuh tetamu-tetamu undangan dengan cara keji?"

   Damprat Sekarningrum dengan pandang menyala.

   "Keji bagaimana?"

   "Kalian pancing mereka memasuki tanah jebakan, kemudian kalian habisi jiwa mereka. Bukankah begitu?"

   "Ngacau! Udayana. yang membunuh mereka!"

   Teriak Cocak Abang dan Cocak Ijo dengan berbareng.

   "Hmm!"

   Dengus Sekarningrum.

   "Apakah kalian sangka tak ada seorangpun yang menyaksikan peristiwa itu?"

   "Siapa orang itu? Siapa?"

   "Aku sendiri. Tatkala membimbing pendekar W aluyo keluar dari dusun Kemuning,"

   Sahut Sekarningrum dengan suara tegas.

   Lingga W isnu tertegun mendengar perdebatan dan tutur kata Sekarningrum.

   Samar-samar ia seperti memperoleh penjelasan dan latar belakang sebabsebabnya ayahnya dimusuhi pendekar-pendekar dari berbagai penjuru.

   Rupanya ayahnya dipersangkutpaut kan dengan peristiwa Bondan Sejiwan dari masalah pembunuhan pendekar pendekar undangan yang sebenarnya dilakukan oleh keluarga Dandang Mataun.

   Hanya bagaimana cara keluarga Dandang Mataun menjebak dan membunuh mereka, belum jelas.

   "Anakku Lingga,"

   Kata Sekarningrum.

   "Peta yang berada ditangan paman Obar-abir sebenarnya adalah peta yang palsu. Inilah yang aku katakan tadi, bahwa jauh sebelumnya Bondan Sejiwan sudah membuat persiapan untuk mengingusi mereka. Berbulan-bulan lamanya mereka menggali sini dan membongkar sana. Ratusan ribu ringgit telah mereka keluarkan sebagai beaya pencarian harta karun itu. Tapi sebiji kerikil emaspun tak mereka peroleh. Ha-ha ...! Benar-benar memuaskan, dan setidak-tidaknya bisa menghibur hatiku ..."

   Cocak Prahara berlima menggeram mendengar ejekan Sekarningrum.

   Menuruti hati, ingin mereka menerjang dengan serentak.

   Akan tetapi mereka takut terhadap Lingga W isnu.

   Maka akhirnya mereka hanya mengumpat kalang kabut .

   Sekarningrum sendiri tidak menggubris.

   Setelah tertegun-tegun sejenak, ia meneruskan lagi "Dia telah t ersiksa.

   Urat-urat kaki dan t angannya telah terputuskan.

   W alaupun pendekar Udayana telah berhasil menyelamatkan jiwanya, pastilah ia menjadi laki-laki yang tidak berguna lagi.

   Aku tahu, hatinya keras dan angkuh.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekarang aku mendengar berita darimu, bahwa engkau merawat tulang belulangnya.

   Artinya, dia benar- benar selamat pada waktu itu.

   Untuk muncul kembali, pastilah dia tak berdaya lagi.

   Kemudian mati oleh rasa hati dendam dan mendongkol ..

   "

   Lingga W isnu tak bergerak dari tempatnya, seolaholah tersihir.

   Otaknya yang cerdas sibuk merangkairangkaikan peristiwa itu.

   Sekarang, latar belakang sebabsebab t erjadinya pengejaran terhadap ayahnya.

   Seakanakan lebih jelas lagi.

   Itulah mengenai peristiwa pembunuhan dan peta.

   Ayahnya dahulu pernah menyebut-nyebut jembatan Jala Angin yang berada di puncak Gunung Lawu.

   Apakah maksudnya bukan mengenai Bondan Sejiwan? Atau ...

   peta harta karun itu yang disebutkan sebagai Tongkat Mustika warisan Ki Sabdhopalon pada zaman Majapahit? Terjadinya pengejaran terhadap ayahnya, terang sekali suatu fitnah.

   Sebab ayahnya sama sekali tidak melakukan pembunuhan.

   Juga tidak ikut serta merebut peta harta karun.

   Demikianlah bunyi cerita Sekarningrum.

   Dan rupanya, setelah mengetahui peta itu palsu, rasa mendongkol dan penasaran mereka, ditimpakan pada ayahnya.

   Maka t erjadilah perburuan itu.

   Alangkah jahat dan keji fitnah itu! Dengan mata menyala, ia lant as mengalihkan pandangnya, kepada Cocak Frahara berlima Dari halaman serambi depan, Cocak Prahara menantang .

   "Hai, Lingga! Kau tadi mendengar ilmu gabungan Panca-sakti. Itulah ilmu sakti kebanggaan keluarga Dandang Mataun Bagaimana? Apakah kau berani mencobanya? Kalau berani, hayo keluar!"

   Panas hati Sekarningrum mendengar bunyi tantangan saudaranya. Akan tetapi ia sadar ilmu gabungan itu memang hebat. Bahkan terlalu hebat bagi Lingga Wisnu. Maka dengan menahan diri, ia berkata kepada Lingga W isnu .

   "Kau pulanglah! Jangan layani mereka!"

   Lingga W isnu tahu maksud ibu Sekar Prabasini.

   Memang, untuk mencoba-coba ilmu gabungan Pancasakti, bukanlah mudah.

   Tapi kalau hanya berlawanan seorang demi seorang dari mereka, ia sanggup mengalahkan.

   Almarhum Bondan Sejiwan sendiri sulit memecahkan rahasia ilmu sakti itu.

   Terhadap dirinya, Cocak Prahara berlima sudahi bersikap memusuhi.

   Kuat dugaan mereka, bahwa dirinya mempunyai hubungan dengan almarhum Bondan Sejiwan.

   Karena almarhum adalah musuh besar mereka, maka d irinya pun dianggap demikian pula.

   Mereka, berlima adalah manusia-manusia kejam.

   Dan tidak akan segan-segan menggunakan segala macam tipu-daya.

   Kemungkinan sekali, dia akan mengalami malapetaka, apabila tidak berhati-hati.

   Itulah sebabnya dia berbimbang bimbang.

   "Hmmm! Jadi engjcau tidak berani, bukan?"

   Ejek Cocak Abang.

   "Kalau begitu, kau berlut utlah dihadapan kami t iga kali! Dan kami akan mengidzinkan engkau pergi dengan selamat."

   Itulah suatu ejekan yang menyakitkan hati. Sebelum Lingga W isnu menyahut, berkatalah. Cocak Mengi menyambung ucapan kakaknya .

   "Kau idzinkan dia pergi dengan selamat? Kukira, meskipun sekarang dia sudi berlut ut, sudah kasep!"

   Setelah berkata demikian, ia membentak kepada Lingga W isnu dengan suara nyaring.

   "Anak muda, malam ini engkau harus mencoba-coba kepandaian kami berlima!"

   Panas hati Lingga W isnu mendengar ucapan rnereka berdua. Tak sudi ia kalah gertak. Maka menyahutlah ia dengan nyaring pula .

   "Kudengar ilmu-gabungan Panca-sakti ciptaan keluarga Dandang Mataun, hebat sekali dan tak terkalahkan. Akan tetapi, sebenarnya aku ingin mencobanya. Sayang saat ini aku letih sekali. Sudikah kalian mengidzinkan diriku beristirahat selama satu jam saja?"

   Lingga W isnu mengganti sebutan paman dengan kalian.

   Artinya, ia memandang mereka sebagai musuhnya pula.

   Sebaliknya, mereka tak menghiraukan sama sekali.

   Memang Lingga W isnu sudah dipandang sebagai musuh yang harus dibinasakan.

   Jawab Cocak Abang dengan nada mengejek .

   "Baik, satu jam! Tetapi meskipun engkau beristirahat sampai delapan hari, mustahil dapat lolos dari ilmugabungan kami!"

   "Hai, nant i dulu!"

   Seru Cocak Rawa.

   "Jangan jangan binatang ini sedang merencanakan suatu muslihat. Mari kita bereskan sekarang saja!"

   "Jangan!"

   Cegah Cocak Prahara.

   "Kakakmu sudah mengabulkan permint aannya. Biarlah dia hidup satu jam lebih lama.. Hanya saja, kita harus menjaganya jangan sampai d ia kabur."

   "Kalau begitu, suruhlah dia beristirahat di dalam gedung olah-raga!"

   Cocak Ijo memberi saran.

   "Di sana kita mengurungnya."

   Cocak Prahara menyetujui saran itu. Maka berkatalah ia kepada Lingga W isnu dengan suara nyaring .

   "Hai, kau Lingga! Kau beristirahatlah di dalam gedung olah-raga sana! Dengan begitu, kami tak usah khawatir engkau akan lolos."

   "Baik,"

   Sahut Lingga W isnu dengan suara tenang.

   Kemudian bangkitlah dia dari t empat duduknya.

   Sekarningrum dan Sekar Prabasini menjadi bingung.

   Ingin mereka mencegah kepergiannya.

   Akan tetapi sama.

   sekali tak berdaya.

   Maka terpaksalah mereka mengikuti Lingga W isnu memasuki gedung olah-raga.

   Dan dalam pada itu, Cocak Prahara sudah memberi perint ah kepada anak buah mereka, untuk menyalakan beberapa puluh pelita, yang terbuat dari buah jarak.

   Seketika itu juga ruang gedung olah-raga terang benderang.

   Ternyata di dalam gedung itu, sudah terdapat beberapa orang bersenjata lengkap.

   Di antara mereka, Lingga W isnu mengenal tiga orang.

   Itulah RBhumi alias Rekso Glempo, ketua perserikatan Macan Kumbang.

   Jaya Tatit dan Zubaedah.

   Melihat Lingga W isnu, Pekso Glempo berkata .

   "Saudara yang baik hati, kami mendengar engkau diberi kesempatan beristirahat selama satu jam. Kau gunakan sebaik-baiknya. Apabila pelita-pelita itu padam, itulah suatu tanda waktu istirahatmu sudah habis."

   Lingga W isnu tidak menjawab.

   Dia hanya mengangguk..

   Setelah itu ia duduk di kursi yang berada di tengah-tengah panggung.

   Cccak Prahara berlima duduk pula di atas kursinya masing-masing.

   Mereka bersikap mengurung.

   Merekapun mengendorkan urat-uratnya untuk ikut beristirahat pula.

   Akan tetapi di belakang mereka, berderet enambelas orang.

   Diantara mereka nampak Cocak Kasmaran, Cocak.

   Fawun dan Sondong Rawit.

   Lingga W isnu menebarkan penglihatannya dan dengan sekali melihat, tahulah dia bahw a mereka menduduki penjuru-penjuru tertentu yang sudah diperhitungkan.

   Pikirnya d i dalam hati.

   'Memang benar sulit untuk memecahkan barisan mereka.' Ia duduk dengan tangan berjuntai sambil memeras pikirannya.

   Menghadapi duapuluh satu orang, rasanya hanya bisa membela diri saja.

   Untuk mengharapkan dapat meloloskan diri, sangatlah sukar.

   Ia tahu pula, apabila terkurung terus menerus, lambat laun tenaganya akan terkuras habis.

   Akhirnya ia akan robch seperti almarhum Bondan Sejiwan.

   Pikirnya lagi.

   'Paman Bondan Sejiwan yang berkepandaian demikian sakti, masih tidak sanggup memecahkan rahasia ilmu gabungan Pancasakti.

   Apalagi aku ...

   ' Selagi berpikir demikian, tiba-tiba teringatlah dia kepada beberapa halaman terakhir buku warisan ilinu sakti Bondan Sejiwan.

   Itulah sebuah kitab yang berjudul.

   'Kitab Rahasia Keluarga Setan Kobar'.

   Pada bagianbagian halaman itu, pernah ia menjadi bingung.

   Karena tidak dapat menyelami arti dan int inya, sampailah dia perlukan menjenguk goa, untuk melihat gambar-ganbar pada dindingnya.

   Setelah dicocokkan, barulah dia mengerti! Hanya saja, w aktu itu ia belum menyadari dan mengetahui, arti dan int inya.

   Sebab nampaknya kusut sekali, diantaranya terdapat suatu keterangan, bahwa ia harus menyerang empat sampai delapan penjuru dalam satu gebrakan.

   Kenapa begitu? Apakah bukan dipersiapkan untuk melayani dan menghadapi serangan musuh yang tiba dengan berbareng dari pelbagai penjuru? Lingga Uisnu terbenam dalami pikirannya.

   Ia merekareka dan menjenguk latar belakangnya karena rupanya setelah Bondan Sejiwan terlolos dari tangan-tangan musuhnya, bersembunyilah dia untuk memecahkan rahasia ilmu gabungan Panca-sakti keluarga Dandang Mataun.

   Akhirnya oleh ketekunan dan kekerasan hatinya, berhasilah dia mencipt akan ilmu pemunahnya yang istimewa.

   Seumpama Bondan Sejiwan tidak terpotong urat-urat kaki dan tangannya, pastilah dia akan datang ke dusun Kemuning untuk menuntut balas.

   Sayang pada saat itu, ia sudah cacad.

   Namun dendamnya terhadap keluarga Dandang Mataun, bergolak hebat di dalam dirinya.

   Maka ia berharap, bahwa pada suatu hari, ada seseorang yang dapat menuntutkan dendamnya.

   Dan disusunlah ilmu sakti dan penemuannya dengan rapih, di dalam kitab dan pada gambar-gambar didinding goa.

   Dengan sengaja ia membuat penyesatan dan jebakan.

   Kecuali kitab saktinya dilumuri racun, peti penyimpannya diperlengkapi dengan panah rahasia yang berbisa pula.

   Semuanya itu dipersiapkan untuk menghalau tangantangan kotor keluarga Dandang Mataun yang dibencinya.

   'Syukurlah aku telah menemukan kitab warisannya dan dapat memahami serta menyelam.

   int i serta isinya' pikir pemda itu didalam rumunan benaknya.

   'Dengan bekal ilmu saktinya, kecuali dapat lolos dari marabahaya, akupun akan dapat menuntutkan dendamnya paman Bondan Sejiwan.

   Akh, arwah paman Bondan Sejiwan pasti akan bersenyum puas, karena tak sia-sialah jerih payahnya t atkala menciptakan ilmu sakti itu.' Memperoleh pikiran demikian, Lingga W isnu jad i t egor hati.

   Kedua matanya yang terpejam menjadi menyinarkan cahaya berkilat.

   W ajahnya nampak, terangbenderang.

   Dan pada saat itu nyala pelita hampir habis.

   Kira-kira seperempat jam lagi, pelita-pelita itu akan padam.

   Dan itulah suatu tanda, bahwa pertempuran yang menentukan akan segera dimulai.

   Cocak Prahara berlima pada saat itupun menyenakkan pula.

   Mereka heran, t atkala melihat w ajah Lingga W isnu yang terang-benderang.

   Tak dapat mereka menebaknebak, apakah yang telah terjadi di dalam d iri pemuda itu.

   Apakah dia sudah mendapatkan jalan keluar untuk bisa kabur dengan selamat? Akh, tak mungkin.

   ilmu gabungan Panca-sakti tidak memberi kesempatan kepada set iap lawannya untuk bisa kabur.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Meskipun demikian, mereka berlima membuka matanya lebar untuk berjagajaga kalau-kalau Lingga W isnu benar benar hendak melesat kabur.

   Tetapi justru mereka bersiaga demikian, kembali Lingga W isnu memejamkan kedua matanya.

   Pemuda itu berusaha mengingat-ingat kembali semua petunjukpetunjuk sakti di dalam kitab warisan pendekar Bondan Sejiwan.

   Ia menghafalkan dan mencetak segala gerakan dengan kuat di dalam benaknya.

   Seolah-olah lagi menekuni kitab warisan, ia memeriksa halaman demi halaman.

   Tiba-tiba terbacalah kembali kalimat pada bagian 'Penentuan'.

   Bunyi kalimat itu.

   'Dengan sebilah pedang, potonglah jerami goni berserabutan'.

   Dan membaca kalimat itu, ia kaget bukan kepalang sampai berkeringat.

   'Celaka!' demikian ia menjerit didalam hati.

   Mengingat pengalaman kemarin, malam in i aku datang kemari dengan tidak membawa senjata.

   Dengan demikian, aku tidak akan mengalami kesulitan seperti kemarin.

   Tak tahunya kini aku dipaksa unt uk bertempur.

   Dan jurus itu, justru menitik beratkan pada tenaga pedang atau golok.

   Sekarang, apa yang harus aku lakukan?' Selama itu, Sekar Prabisini terus memperhatikan keadaan Lingga W isnu.

   Ia ikut berlega hati tatkala melihat wajah pemuda itu terang-benderang.

   Tiba-tiba sekarang dilihatnya pemuda itu seperti kehilangan pegangan.

   Ia jadi terperanjat dan cemas.

   Pikirnya .

   'Kenapa dia seperti tergoncang? Ia seperti kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.

   Hal in i berbahaya ...' memperoleh pikiran demikian, ia ikut menjadi bingung.

   Dalam pada itu., seperti seseorang kehilangan keblat, Lingga W isnu merenungi nyala pelita pelita yang hampir padam.

   Ia sibuk bukan main, karena belum memperoleh penyelesaian.

   Pada waktu itu, datanglah Sukarwati, pelayan Sekar Prabasini yang cantik, membawakan secangkir teh panas.

   Ia menghampirinya seraya berkata mempersil ahkan .

   '"Tuan, silahkan minum sebelum mulai.'' Pikirannya Lingga W Isnu sedang kusut.

   Ia kenal pelayan perempuan itu, sebagai orang kepercayaan Sekar Prabasini.

   Sikapnya sopan dan menarik, Maka tempa ragu-ragu lagi, ia menyambuti cangkir pemberiannya.

   Dan terus saja ia tenpelkan pada mulut nya.

   Tetapi tatkala hendak meneguk isinya, tibatiba cangkir yang.

   tergenggam ditangannya pecah berantakan oleh suatu benturan senjata bidik.

   Ia kaget.

   Dan dengan pandang penuh pertanyaan, ia menebarkan penglihatannya.

   Tepat pada saat itu, masih sempat ia melihat Sekar Prabasini menarik tangannya.

   Maka tahulah ia, bahwa itulah perbuatan Sekar Prabasin i.

   Dan sadarlah dia, apa artinya.

   'Benar-benar berbahaya di sin i,' katanya di dalam hati.

   'Kenapa aku jadi begini goblok? Kenapa tak teringat pengalaman paman Bondan Sejiwan? Paman dahulu mengira bubur yang dihirupnya adalah masakan isterinya.

   Isterinyapun percaya, bahwa bubur itu tak.

   mengandung sesuatu, karena diperolehnya dari ibu kandungnya sendiri.

   Sekarangpun, aku menerima cangkir pemberian Sekarwati, karena dia adalah pelayan Sekar Pra- basin i.

   Kenapa aku tak dapat berpikir bahw a pelayan ini hanya sekedar pelaksana perint ah majikannya?' Justru pada saat itu, ia mendengar Cocak Ijo meledak mendamprat Sekar Prabasini .

   "Binatang' Ibu dan anaknya memang setali tiga uang! Ada ibunya, ada anaknya! Ibunya bersekutu dengan bangsat. Anaknyapun bersekongkol dengan orang luar pula."

   Tapi Sekar Prabisin i tidak gentar menghadapi dampratan Cocak Ijo itu. Dengan berani ia membalas mendamprat .

   "Leluhur keluarga Dandang Mataun menang sangat hebat. Nilai budi pekertinya benar-benar setinggi langit, sehingga amal perbuatannya memang luar biasa hebatnya. Mengamal dengan memperbaiki jembatanjembatan, membuat jalan jalan besar, memberi sedekah kepada orang-orang miskin. Pendek kata, merupakan keluarga yang maha mulia."

   Itulah suatu ejekan yang sangat hebat.

   Karena saja Cocak Ijo murka sampai berjingkrak.

   Dengan muka merah padam dan dada seakan-akan hendak meledak, ia bergerak hendak menerkam keponakannya.

   Akan tetapi Cocak Prahara dengan segera menghalanginya.

   Katanya memperingatkan .

   "Jangan terbagi perhatianmu! Mungkin ini suatu tipu muslihat untuk memberi kesempatan kepada bocah itu agar bisa melarikan diri."

   Cocak Ijo tersadar oleh peringatan itu.

   Cepat ia menguasai diri dan duduk kembali di atas kursinya.

   Dan pada saat itu, kesan cemas yang terbayang diwajah Lingga W isnu telah lenyap.

   Serangan senjata bidik Sekar Prabasin i memberi ilham kepadanya, di hati .

   'A kh, benar! Kenapa aku tidak menggunakan senjata bidik saja sebagai gant i sebilah pedang? Dalam hal melepaskan senjata bidik, aku masih berada di atas kepandaian paman Bondan Sejiwan.

   Bukankah aku mengenakan pula baju mustika pemberian Ki Ageng Gumbrek? Kenapa aku tidak membiarkan saja kena hajaran mereka beberapa kali? Dengan begitu aku mempunyai kesempatan untuk menggempur mereka dan memecahkan ilmu gabungan mereka.' Dengan pikiran demikian, dalam sekejab saja berseriserilah wajahnya.

   Terus saja ia berbangkit dari kursinya dan berkata memutuskan .

   "Cukup! Aku sudah cukup beristirahat! Silahkan kalian mulai!" 0ooo-d-w-ooo0 1. Pecahnya Ilmu Panca Sakti Itulah keputusan yang mengejutkan, karena lebih cepat dari w aktu yang telah ditentukan. Beberapa tetamu berteka-teki. Akan tetapi Cocak Prahara bersikap acuh tak acuh. Mereka segera memerintahkan anak buahnya untuk menukar dengan pelita-pelita baru. Kursi-kursi pun segera dipinggirkan. Kata Lingga W isnu .

   "Marilah kita tentukan dahulu syarat syarat menang dan kalahnya."

   "Syarat menang kalah bagaimana?"

   Cocak Prahara menegas.

   "Bagaimana kalau pihakmu yang kalah dan aku yang menang?"

   "Hmm Kalau engkau menang, bawalah emas yang kau kehendaki!"

   Sahut Cocak Prahara.

   "Sebaliknya apabila engkau tak berhasil, tak usah dibicarakan lagi."

   Lingga W isnu t ahu akan arti perkataan itu. Jika kalah, artinya jiwanya tak tertolong lagi. Sebaliknya apabila menang, mungkin sekali mereka mempunyai dalih untuk menyangkal. Maka katanya .

   "Kalau begitu, bawalah emas itu ke mari. dahulu. Tumpuklah dihadapanku. Bila aku menang, segera akan membawanya pulang."

   Heran Cocak Prahara mendengar ucapan Lingga W isnu.

   Terang sekali, ia sudah terkepung rapat.

   Kenapa masih bisa mengharapkan kemenangan? Apakah pegangannya? Sedangkan Bondan Sejiwan yang berkepandaian tinggi pun tidak manpu meloloskan diri dari ilmu-gabungan Panca-sakti yang dahsyat luar biasa.

   Oleh pertimbangan itu, mereka menganggap ucapan pemuda itu terlalu sombong.

   Dan mungkin sekali hanya untuk menghibur diri sendiri.

   Ilmu-gabungan Panca-sakti memang merupakan pusaka andalan keluarga Dandang Mataun sejak puluhan tahun yang lalu.

   Ilmu-gabungan itu dipersiapkan apabila menghadapi musuh sebanyak empatpuluh atau limapuluh orang.

   Selamanya belum pernah gagal.

   Dan sekarang, ilmu gabungan itu dilakukan untuk menghadapi seorang.

   Maka bisa dimengerti apa sebab mereka menganggap bahwa ucapan Lingga W isnu terlalu sombong dan tak masuk akal.

   Sebenarnya, ilmu-gabungan Panca-sakti itu perlu diperlihatkan apabila dalam keadaan terpaksa.

   Mereka khawatir akan dijiplak orang.

   Tetapi karena Lingga W isnu terlalu tangguh bagi mereka, maka satu-satunya jalan untuk mengalahkannya hanyalah dengan menggunakan ilmu gabungan tersebut.

   Mereka menebalkan mukanya karena hal itu berarti main keroyok terhadap seorang musuh.

   Persetan semua ejekan yang bakal terjadi.

   Bagi mereka yang penting adalah menang.

   Dengan begitu kewibawaan keluarga Dandang Mataun tidak akan runtuh di dalam pergaulan.

   "Hai, Prabasini!"

   Kata Cocak Prahara dengan membusungkan dadanya.

   "Bawalah kantong emas itu kemari. Ingin aku tahu, clia bisa berbuat apa terhadap keluarga Dandang Mataun!"

   Dalam hati, Prabasin i menyesali diri sendiri.

   Jika tahu bakal begini jadinya, pastilah dia akan mengembalikan kantong emas itu tatkala Lingga W isnu datang memintanya.

   Sekarang, pemuda itu dipaksa mempertaruhkan jiwanya.

   Itulah suatu hal yang tidak dikehendaki.

   Sekarang tak dapat ia berbuat lain kecuali patuh kepada perint ah pamannya.

   Maka dengan lesu ia mengambil kantong emas yang disimpannya.

   Kemudian ditaruh diatas meja didalam ruang gedung.

   "Jangan kau letakkan diatas meja!"

   Tegur Cocak Fawa.

   "Sontakkan diatas lantai dan aturlah seperti peta!"

   Dengan tetap berdiam diri, Sekar Prabasini menyentak kantong enas itu. Kemudian mengatur potonganpotongan enas itis sedemikian rupa sehingga mirip gambar dunia. Dan setelah beres, berserulah Cocak Prahara berlima dengan berbareng .

   "Mari k ita mulai!"

   Merekapun dengan serentak menghunus senjata masing-masing. Lingga W isnu segera bersiaga pula. Akan tetapi tatkala hendak bergerak, tiba tiba terdengarlah suara tertawa bergelagak. Dan terdengar seseorang berkata dengan suara nyaring .

   "Saudara Cocak Prahara. Kami Anjar Semaja datang mengunjungi kalian, untuk menanggung dosa!"

   Cocak Prahara berlima terperanjat. Anjar Semaja adalah pemimpin gerombolan penyamun yang bergerak antara wilayah Paron sampai Kediri. Kenapa dia datang tempa diundang?"

   "Silahkan masuk, saudaraku yang baik!"

   Terpaksa Cocak Prahara mengundangnya masuk.

   Belasan orang lantas saja masuk gedung olah raga saling susul.

   Perawakan mereka tak rata.

   Ada yang tinggi besar, pendek, gencut dan kurus.

   Tetapi yang berjalan didepan adalah Anjar Semaja, pemimpin gerombolan Awu-awu langit yang termashur.

   Pengaruh dan kewibawaannya tidak di bawah tataran keluarga Dandang Mataun.

   Pada saat itu, Lingga W isnu berpaling kepada Sekar Prabasin i.

   Gadis itu nampak mencoba menenangkan diri meskipun wajahnya tegang Maka teringatlah dia kepada perbuatan Sekar Prabasini t atkala membunuh Jumali dan kawan kawannya di atas perahu.

   Mungkin sekali yang datang sekarang ini, adalah pemimp innya, untuk membuat perhitungan.

   Cocak Prahara menyambut kedatangan Anjar Semaja dan mempersilalnkan duduk.

   Bertanya mint a keterangan.

   "Saudara Anjar, sahabatku. Tengah malam buta engkau mengunjungi gubuk kami. Sebenarnya apakah maksudmu? Ha, kulihat pula rekan Buyut Sodana datang pula. Ai , benar-benar suatu kehormatan besar bagi kami. Setelah berkata demikian, Cocak Prahara membungkuk hormat kepada seorang tamu yang berada dibelakang Anjar Semaja. Orang itu pesolek. Usianya kurang Lebih empat puluh tahun. Ia berpakaian rapih. dan kedua alisnya dicelak sehingga mirip anak ningrat yang doyan perempuan. Dengan tertawa biesar, Anjar Semaja membalas teguran Cocak Prashara. Katanya setengah berseru .

   "Saudara Cocak Prahara, kau berbahagia sekali! Kau mempunyai seorang keponakan perempuan yang berotak cerdas dan berkepandaian tinggi. Sehingga Jumali dan beberapa kawannya roboh ditangannya. Aku jadi kehilangan pamorku .."

   Heran Cocak Prahiara mendengar ucapan Anjar Semaja.

   Dia dan keempat saudaranya sebenarnya belum memperoleh laporan tentang sepak terjang Sekar Prabasin i berlawan-lawanan dengan pihak Awu-awu Langit.

   Belasan tahun lamanya terjadi suatu kerja sama antara pihak Awu-awu Langit dan keluarga Dandang Mataun.

   Didalam kebanyakan hal kedua pihak saling membagi pekerjaan dan rezeki.

   Sekarang, Cocak Prahara tengah menghadapi seorang lawan tangguh.

   Maka tak ingin ia membuat.

   persoalan baru.

   Sahutnya dengan sabar .

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sahabat, sebenarnya apakah yang telah di lakukan oleh keponakanku t erhadapmu? Percayalah bahw a kami tidak akan melindungi pihak yang salah. Siapa yang berhutang jiwa harus dibayar dengan jiwa pula. Sebaliknya, siapa yang berutang uang, harus dibayar dengan uang pula. Bukankah demikian?"

   Anjar Semaja tidak mengetahui latar belakang persoalan keluarga Dandang Mataun.

   Ia tak pernah menduga, bahwa pada saat itu Cocak Prahara berlima sudah memandang Sekar Prabasin i sebagai musuh yang harus disingkirkan.

   Karena itu, dia heran mendengar kata-kata Cocak Prahara.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Benar-benar mengherankan! Kenapa si t ua bangka itu yang biasanya sombong dan tak memandang mata kepada siapapun, kali ini pandai berbicara? Apakah karena dia takut menghadapi rekan Buyut Sedana?' Dengan pikiran itu, ia menebarkan penglihatannya.

   Tatkala melihat Lingga W isnu berada diant ara keluarga Dandang Mataun, rasa herannya kian bertambah.

   Bukankah pemuda itu yang dilaporkan sebagai seorang pendekar muda-belia yang berkepandaian t inggi? Diapun disebut pula sebagai sahabat Sekar Prabasin i.

   Maka kembalilah ia berpikir di dalam hati .

   "T ua bangka ini mempunyai seorang pembantu yang hebat sekali. Aku rasa, Buyut Sodana, pun tak akan sanggup melawannya. Akh, baiklah aku berjaga-jaga. Mungkin dia sedang mengadakan tipu daya. Dia bersikap halus dan lapang. Biarlah akupun bersikap demikian pula.' Oleh rasa pertimbangan itu segera ia berkata dengan suara tenang .

   "Kami, pihak Awu-awu Langit, belum pernah bentrok dengan pihakmu. Karena itu, dengan memandang keangkaran kalian berlima, biarlah kuselesaikan persoalan Jumali. Aku anggap saja kematiannya terjadi oleh kepandaiannya sendiri yang masih dangkal. Hanya saja, mengenai emas itu,"

   Ia berhenti sebentar mengarahkan pandangnya kepada beberapa puluh potong emas yang tergelar di atas lantai. Meneruskan.

   "Kami telah mengikut i barang itu berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Kami telah membuang tenaga dan beaya yang tak sedikit. Malahan kami kehilangan jiwa pula. Demi untuk melangsungkan hidup kami, maka ..."

   Anjar Semaja tidak menyelesaikan perkataannya.

   Cocak Prahara mengikut i pandangnya.

   Begitu melihat pandang Anjar Semaja berada pada potongan emas, hatinya jadi lega.

   Jadi kedatangan Anjar Semaja bukan untuk mengadakan perhitungan balas dendam.

   Kalau hanya soal emas saja malah kebetulan.

   Mereka bisa diperkaitkan dengan Lingga W isnu.

   Maka katanya dengan suara terbuka .

   "Emas yang saudara sebutkan berada disini. Ambillah jika saudara menghendaki! Kami tidak akan menghalangi."

   Kembali lagi Anjar Semaja heran mendengar ucapan tuan rumah.

   Kenapa ketua keluarga Dandang Mataun itu demikian baik budi kali ini? Ia tadi menyangka buruk kepadanya.

   Dengan cermat ia mengamat-amati wajah Cocak Prahara.

   Benar benar orang itu berkata dengan sungguh hati sehingga oleh kesan itu, ia menjawab .

   "Saudara Cocak Prahara! Aku harus tahu diri. Aku tidak mau mengambil seluruhnya. Bila kau idzinkan mengambil separo saja, kami semua akan menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga. Emas itu sesungguhnya akan kubuat menunjang keluarga yang kehilangan jiwa serta untuk merawat mereka yang lukaluka."

   "Silahkan! Silahkan ambil sendiri!"

   Cocak Prahara menyetujui.

   Anjar Semaja bangkit dari kursinya dan membungkuk hormat.

   Setelah mengucapkan terima kasih, segera ia memberi isyarat tangan kepada anak buahnya untuk memunguti emas yang bertebaran diatas lantai.

   Akan tetapi baru saja tangan mereka meraba potongan emas, tiba-tiba suatu kesiur angin menolaknya.

   Mereka terdorong mundur.

   Agar jangan sampai roboh terjengkang, terpaksalah mereka mundur lagi beberapa langkah.

   Dengan serentak mereka menoleh, dan dihadapan-nya berdiri Lingga Wisnu yang berkata kepada Anjar Semaja dengan tenang .

   "Paman Anjar Semaja! Emas ini sesungguhnya uang perbekalan tentara Panglima Sengkan Turunan Karena itu apabila kau rampas, akan besar akibatnya dikemudian hari."

   Nama panglima Sengkan Turunan pada waktu itu sangat t ermashur.

   Akan tetapi, bagi Anjar Semaja, yang biasa hidup bermajikan atas dirinya sendiri, tidak mengacuhkan.

   Nama Panglima Sengkan Turunan tiada pengaruhnya sama sekali.

   Sambil tertawa melalui dadanya, ia menoleh kepada Buyut Sodana.

   Katanya .

   "Hai, kau dengar sendiri? Kita akan digertaknya dengan nama Panglima Sengkan Turunan!"

   Buyut Sodana membawa sebatang pipa panjang mirip alat penghisap candu.

   Rokok buatannya sendiri sebesar ibu jari dihisapnya perlahan-lahan dan asapnya dikepulkan ke udara beberapa kali.

   Sikapnya tenang sekali dan tiada niatnya untuk menyahut ucapan Anjar Semaja.

   Dia hanya mengerling.

   Kemudian menatap wajah Lingga W isnu.

   Lingga W isnu membalas pandangnya.

   Buyut Sodana yang berusia pertengahan itu, berkesan angkuh dan agung-agungan.

   Ent ah apa sebabnya, mendadak saja, memperoleh kesan dengki kepadanya.

   Akan tetapi apabila melihat pandang matanya memiliki sinar tajam dan raut muka yang bersemu kemerah-merahan, percayalah dia, bahw a orang itu pastilah seorang pendekar atau berandal yang berkepandaian tinggi.

   Karena itu, tak berani memandang ringan.

   Dengan mengangguk ia berkata rendah hati .

   "Apakah paman ikut campur pula dalam soal ini? Siapakah nama paman? Karena aku baru saja merant au, belum memperoleh kesempatan mengenal nama paman"

   Buyut Sodana t idak menjawab.

   Ia mengepulkan asap rokoknya.

   Dan kali in i mengarah wajah Lingga W isnu dengan tepat.

   Dan tatkala menghisap rokoknya untuk yang kedua kalinya, ia mempermainkan asapnya diant ara kedua lubang hidungnya.

   Seperti dua ekor ular keluar dari lubang persembunyiannya, asap rokok itu berlenggat lenggot mendaki tinggi.

   Menyaksikan lagaknya, sama sekali Lingga W isnu tidak menjadi sakit hati.

   Sebaliknya Sekar Prabasin i hendak menegurnya.

   Tapi pada saat itu juga, Sekarningrum yang berada disampingnya, menggamit pundaknya agar menguasai diri.

   Sekar Prabasin i menoleh.

   Ia melihat ibunya menggelengkan kepalanya dengan perlahan.

   Sebagai seorang gadis cerdas, tahulah ia artinya.

   Meskipun hatinya mendongkol, terpaksalah ia menahan diri.

   Dalam pada itu, Buyut Sodana sedang membuang sisa rokoknya.

   Kemudian mengetuk-ketukkan mulut pipanya yang panjang hendak membuang sisa abu dan tombakau.

   Setelah itu ia menggulung rokoknya yang baru dan disematkan pada pipanya.

   Lalu dinyalakannya.

   Kemudian kembali lagi ia menghisapnya dengan nikmat.

   Dan menyaksikan lakunya yang dibuat-buat itu, Cocak Prahara berlima menjadi tak sabar lagi.

   Namun karena Buyut Sodana adalah seorang pendekar kenamaan semenjak beberapa puluh tahun yang lalu, sedapatdapatnya mereka mengendalikan diri.

   Ilmu sakti Buyut Sodana bernama Kuntul Haneba.

   Dua puluh tahun lebih, ia merajalela di Jawa Timur tempa tandingan.

   Senjata andalannya yang berbentuk sebatang pipa panjang, mempunyai daya kerja yang istimewa.

   Kecuali dapat dibuat menikam, bisa pula unt uk menggaet senjata lawan.

   Namun selama itu, keluarga Dandang Mataun belum pernah menyaksikan sendiri kegagahannya.

   Percaya kepada kabar ketangguhannya, mereka berharap agar dia bent rok dengan Lingga W isnu.

   Syukur apabila pemuda itu dapat dikalahkan.

   Dengan begitu, mereka tidak usah menerobos tenaga lagi.

   Sekiranya tidak berhasil mengalahkannya, set idaktidaknya tenaga pemuda itu akan berkurang.

   Buyut Sodana menyalakan api dan menyulut rokoknya, yang agaknya belum terbakar penuh.

   Selagi demikian, tiba-tiba melesatlah sesosok bayangan ke dalam ruang gedung sambil berseru.

   "Kembalikan emasku!"

   Bayangan itu mendarat diatas lantai dengan manis sekali.

   Temyata dia seorang gadis.

   Hanya selisih beberapa detik, mendarat pulalah seorang pemuda yang berperangai kasar.

   Kemudian seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun.

   Ia berdandan sebagai seorang pedagang.

   Roman mukanya berkesan lucu.

   Lingga W isnu sudah mengenal gadis itu.

   Dia adalah Suskandari.

   Ia girang berbareng khawatir dan kaget.

   Ia girang karena kedatangannya berarti membantu dirinya.

   Hanya saja, ia belum mengetahui betapa kepandaian kedua kawan yang di bawanya.

   Iapun khawatir memikirkan Sekarningrum dan Sekar Prabasini.

   Semenjak mereka berdua menentang keluarganya, pastilah Cocak Prahara berlima tidak akan bersegan-segan menganggapnya sebagai musuh yang harus dimusnahkan.

   Disamping Cocak Prahara berlima, terdapat gerombolan Awu-awu Langit dan Macan Kumbang.

   Pengsn demikian, ia harus berlawan-lawanan dengan tiga kelompok musuh yang tangguh.

   Kecuali harus bisa membela diri, iapun perlu melindungi Sekarningrum dan Sekar Prabasini.

   Sekiranya kedua kawan Suskandari itu hanya berkepandaian sedang saja, ia bisa membayangkan betapa dirinya akan dibuatnya.

   sibuk.

   Benar-benar suatu keadaan yang tidak menggembirakan.

   Pada w aktu itu, beberapa anggaut a keluarga Dandang Mataun lantas saja menghadang Suskandari dengan kedua kawannya.

   Dan pemuda yang berada dibelakang Suskandari lantas saja berteriak menegor .

   "Hai! Apa-apaan ini? Hayo, kembalikan emas kami!"

   Setelah menegor demikian, pemuda itu lantas saja menaiki lantai hendak memunguti potongan-potongan emas yang nampak bertebaran. Dan menyaksikan hal itu, Lingga W isnu jadi prihatin. Pikirnya didalam hati .

   "Akhl Dia pemuda yang sembrono! Pemuda begitu tentu tak dapat diharapkan bisa melakukan suatu pekerjaan besar."

   Cocak Kasmaran melihat pemuda itu membungkuk, hendak memunguti potongan-potongan emas. Segera ia mengayunkan kakinya hendak menendang tangan.

   "Kakang Puguh Karimawan! Awas!'' Suskandari memperingatkan, begitu melihat gerakan kaki Cocak Kasmaran. Meskipun seorang pemuda semberono, tetapi ia bermata tajam dan sebat. Ia melompat ke samping untuk mengelakkan tendangan Cocak Kasmaran. Setelah itu ia membalas menyerang dengan kedua tangannya. Tentu saja Cocak Kasmaran tidak sudi mengalah. lapun membela diri dan menangkis dengan kedua tangannya pula. Pres! Empat tangan bentrok dengan menerbitkan suara. Kemudian kedua-duanya terpental mundur beberapa langkah. Pemuda itu menjadi penasaran. Ia maju lagi hendak merfeilangi serangannya. Tiba-tiba orang berdandan sebagai saudagar itu menyanggah .

   "Harimawan! Tahan dahulu!"

   Sekarang tahulah Lingga W isnu siapa pemuda itu.

   Dialah kawan Suskandari yang ikut mengawal emas perbekalan laskar Panglima Sengkan Turunan.

   Bukankah Suskandari menerangkan bahwa emas itu kena dirampas Sekar Prabasini setelah berpisah dari kawannya? Pemuda semberono itu jadinya Puguh Harimawan, keponakan Aria Puguh.

   Kalau begitu orang yang berdandan sebagai pedagang itu, pastilah kakak seperguruannya sendiri.

   Botol Pinilis.

   Memperoleh dugaan demikian, ia.

   memperhatikan pedagang itu.

   Dia bersenjata sebatang cempuling pendek semacam tongkat yang berujung tajam.

   Dan melihat senjata itu, ia tak bersangsi lagi.

   Dengan gembira ia melompat menghampiri pedagang itu, kemudian membungkuk hormat.

   Serunya dengan suara tegar.

   "Kakang! Terimalah sembah hormat adikmu Lingga W isnu!"

   Pedagang itu terbelalak.

   Segera ia menyambar kedua tangan Lingga W isnu yang membuat sembah.

   W ajahnya berseri-seri oleh rasa girang sekali.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahutnya .

   Lingga W isnu! Hai, apakah engkau adik seperguruanku? Kau masih begini muda belia.

   Akh, benar-benar tak pernah aku sangka, bahwa kita akan bertemu di sin i.

   Membayangkan atau bermimpi pun tidak!"

   Suskandari menghampiri Lingga Wisnu. Berkata .

   "Kakang! Inilah dia kakang Puguh Harimawan yang kukatakan kepadamu."

   Suskandari memperkenalkan si sembrono, dan Lingga W isnu menoleh kepada, pemuda itu dan memanggut kecil. Menyaksikan anggukan kecil itu, Puguh Harimawan tak senang hati.

   "Hai, Harimawan! Kenapa engkau tak tahu tatasant un?"

   Tiba-tiba Botol Pinilis menegur muridnya .

   "Bersembahlah kepadanya. Dialah pamanmu!"

   Puguh Harimawan semakin merasa tak senang hati.

   Bukankah Lingga W isnu lebih muda dari padanya? Kenapa dia harus bersembah? Namun karena diperint ah gurunya, mau tak mau segera ia menghampiri dan hendak membuat sembah.

   Sembah itu dilakukan dengan berat sekali.

   "Jangan! Tak usah engkau bersembah kepadaku,"

   Cepat Lingga W isnu mencegah dan menghalangkan kedua tangannya. Puguh Harimawan yang telah setengah berlutut, segera menegakkan kakinya kembali. Dia hanya membungkuk pendek seraya memanggil paman kepada Lingga W isnu. Katanya .

   "Saudara paman, terimalah hormatku ..."

   "Apa itu saudara paman?"

   Tegur Botol Pinilis.

   "Meskipun usiamu lebih tua dari dia, akan tetapi t ataran kedudukannya berada di atasmu. Dia seangkatan dengan diriku."

   Merah wajah Puguh Harimawan kena tegur gurunya. Lingga W isnu tertawa. Katanya dengan manis .

   "Panggil saja aku paman kecil. Kalau perlu istilah saudara pamanpun boleh."

   "Y a, paman kecil ... eh, saudara paman ... eh, paman kecil ..."

   Sahut Puguh Harimawan terbata-bata .

   Buyut Sodana mau tak mau harus menjadi penonton saja, dalam menyaksikan tata-sant un pertemuan adik dan kakak seperguruan serta keponakan murid dengan paman gurunya.

   Kalau tadi dia memaksa orang agar bersabar kepadanya, sekarang dialah yang kehilangan kesabarannya.

   Ia mendongkol pula, karena menganggap pekerti mereka tak memandang mata kepadanya.

   Sertamerta kedua matanya mencilak.

   "Kamu semua in i orang-orang macam apa sebenarnya?"

   Tegurnya dengan tinggi hati.

   Teguran ini membuat semua orang heran dan kaget.

   Akhirnya dia sudi pula membuka mulut dan ternyata suaranya nyaring luar biasa, seperti teriakan burung kakak tua.

   Gelombang suaranya tajam sekali menusuk pendengaran.

   Akan tetapi Puguh Harimawan tak mengenal takut.

   Dia maju selangkah seraya menyahut dengan suara sengit .

   "Emas ini adalah emas kami. Kenapa kamu curi? Karena itu, terpaksa aku mengajak guruku kemari untuk mengambilnya kembali!"

   Buyut Sodana tertawa melalui h idungnya dan sambil mengepulkan asap rokoknya. Keruan saja Puguh Harimawan mendongkol melihat lagaknya sehingga ia berkata lagi .

   "Coba katakan terus terang, sebenarnya kau hendak kembalikan atau t idak? Kalau t idak, hayo maju semua! Buyut Sodana tertawa dua kali. Suara tertawanya pun aneh pula. Kemudian menoleh kepada Anjar Semaja. Katanya dengan mengangkat kepala.

   "Coba beritahukan kepada budak ini, siapa aku sebenarnya!"

   Anjar Semaja melakukan perint ahnya. Katanya .

   "Inilah tuanku Buyut Sodana yang termashur namanya. Kau masih muda belia seumpama belum pandai beringus. Nah, bersembahlah kepadanya!"

   Tentu saja Puguh Harimawan belum mengenal siapa Buyut Sodana? Dia mendengar pula bahwa dirinya harus menyembah orang itu. Lantas saja dia mendengus. Sahutnya dengan sikap t ak perdulian .

   "Aku tak perduli buyut buyutan segala. Kami datang kemari untuk mengambil kembali emas kami."

   Tiba-tiba Cocak Kasmaran yang masih panas hati, maju selangkah sambil berkata mengejek .

   "Eh, enak saja kau ngoceh Seperti burung. Kau hendak mengambil emasmu kembali? Masa begitu gampang! Jika engkau mempunyai kepandaian, kau layani aku dahulu! Kalau sudah, barulah kita berbicara!"

   Tak usah dikatakan lagi, Cocak Kasmaran sudah mencanangkan diri dan menant ang Puguh Harimawan dengan terang-terangan.

   Belum lagi mu lut nya membungkam, tangannya sudah melayang.

   Dia ternyata seorang berangasan yang ringan tangan.

   Itulah serangan mendadak yang sama sekali tak terduga.

   Dan pundak Puguh Harimawan terhajar telak.

   Buk! Keruan saja sikasar itu murka bukan main.

   Segera ia membalas menerang.

   Tangan kirinya menyambar dengan cepat sekali.

   Serangannya mengenai perut.

   Bluk! Cocak Kasmaran membungkuk karena perutnya jadi mules.

   Dengan begitu kedua-duanya sama-sama kena gebuk.

   Beberapa detik kemudian mereka lant as berkelahi rapat seperti kambing.

   Kedua-duanya panas hati dan sengit.

   Lantas saja terdengar suara blak-bluk-b lak-b luk yang gencar sekali.

   Mereka saling mengamuk.

   Karena menuruti hati panas, mereka t idak manperdulikan pembelaan diri lagi.

   Mereka memukul awur-awuran dan tak pernah gagal pada sasarannya.

   Dan menyaksikan hal itu, diam-diam Lingga W isnu menghela napas.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Kenapa murid kakang Botol Pinilis begini tolol? Seumpama menghadapi musuh tangguh, dengan satu pukulan saja, dia pasti terjungkal roboh.

   Apakah kakang Botol Pinilis tidak pernah memberi petunjuk-petunjuk?' Puguh Harimawan bertubuh kuat dan gagah.

   Hatinya jujur.

   Tetapi perangainya keras dan sembrono.

   Botol Pinilis menerimanya sebagai murid karena kejujurannya dan keadaan tubuhnya yang kuat.

   T etapi karena berhati keras dan Semberono, pemuda itu tidak begitu cermat menekuni ilmu tata berkelahi.

   Sekian tahun lamanya ia menjadi murid Bot ol Pinilis, tetapi belum juga mewarisi dua bagian kepandaian gurunya.

   Sebenarnya, dibandingkan dengan kepandaian Cocak Kasmaran ia kalah jauh.

   Syukur tubuhnya kuat, serta tahan sakit Sedang Cocak Kasmaran berkelahi hanya menuruti perasaan hatinya, seakan-akan kalap.

   Sehingga pukulanpukulannya terjadi asal saja.

   Demikianlah, mereka berdua terus saling gebuk makin lama makin hebat.

   Kemudian tibalah pertempuran itu pada babak akhir.

   Dengan tinju kanan, Puguh Harimawan menggempur Cocak Kasmaran.

   Cepat-cepat Cocak Kasmaran mengelakkan diri kekiri.

   Diluar dugaan, tangan kiri Puguh Harimawan menyambar dengan suatu kecepatan luar biasa.

   Serangan ini tak dapat dielakkan.

   Cocak Kasmaran kena terhajar keras sekali.

   Tubuhnya terbanting dan jatuh terkapar di atas lantai dengan tak sadarkan diri.

   Kemenangan ini membuat hati Puguh Harimawan besar dan girang sekali.

   Ia berbangga hati karena bisa merobohkan lawannya.

   Dengan mengharap pujian, ia menoleh kepada gurunya.

   Ia heran dan kaget tatkala melihat wajah gurunya merah padam menahan rasa amarah.

   'Hai, kenapa guru bergusar kepadaku? Bukankah aku menang?' pikirnya menebak-nebak.

   Suskandari menghampiri kakak seperguruannya.

   W ajah sang kakak bengap dan kuping kanannya berdarah.

   Segera ia menyusuti dengan sapu t angannya.

   Kata Suskandari setengah berbisik.

   "Kenapa engkau sama sekali tidak mengelak satu pukulanpun? Kenapa engkau melawan keras dengan keras?"

   "Untuk apa aku mengelak?"

   Sahut Puguh Ha-rimawan.

   "Kalau aku main elak, pastilah aku tak akan berhasil menghajarnya ..."

   Tiba-tiba terdengarlah suara Buyut Sodana yang nyaring luar biasa .

   "Janganlah engkau terlalu cepat berbesar hati, setelah dapat merobohkan seorang lawan. Eh, anak apakah engkau benar-benar menghendaki emas itu?"

   Setelah berkata demikian, Buyut Sodana. melompat dan mengekangi deretan emas yang berserakan di atas lantai. Katanya dengan membusungkan dada .

   "T ak peduli engkau menggunakan tinju atau dupakanmu Asal saja engkau mampu menggeserkan kakiku, emas yang berada dibawahku boleh kau ambil semua!"

   Semua yang mendengar ucapan Buyut Sodana tercengang. Alangkah terkebur orang itu! Tak usah dikatakan lagi, Puguh Harimawan mendongkol bukan main. Sahutnya dongan sengit .

   "Apakah mulutmu dapat aku percaya? Benarkah ucapanmu sudah kau pikirkan panjang panjang? Janganjangan engkau menyesal!"

   Buyut Sodana tertawa dengan mengangkat kepala. Berkata kepada Anjar Semaja .

   "Apakah bocah ini waras ot aknya? Dia berkata, aku bakal menyesal. Lucu, tidak?"

   Anjar Semaja tidak menyahut. Dia hanya jadi tertawa kering. Keruan saja hati Puguh Harimawan mendongkol bukan main. Teriaknya .

   "Akan kucoba!"

   Si sembrono Menghampiri Buyut Sodana dekat dekat.

   Kemudian mengerahkan seluruh tenaganya dan mengayunkan kakinya, menghantam kaki Buyut Sodana.

   Lingga W isnu yakin, bahwa tendangan Puguh Harimawan mempunyai daya berat dua atau tiga ratus kati.

   Tidak perdiuli betapa kuat Buyut Sodana, ia pasti kena geser.

   Kecuali apabila d ia mempunyai ilmu gaib diluar nalar manusia.

   Oleh pertimbangan itu, ingin ia menyaksikan kesudahannya.

   Pada saat kaki Puguh Harimawan hampir tiba pada sasarannya, tiba-tiba dengan sebat sekali Buyut Sodana menggerakkan pipa panjangnya memapak tendangan kaki yang hampir tiba pada sasarannya.

   Tak! Tepat sekali ujung pipanya mengenai lut ut.

   Dan Puguh Harimawan roboh dengan gaya berlut ut.

   Kakinya menjadi kejang dan tak bertenaga lagi.

   Buyut Sodana membungkuk membalas hormat Puguh Harimawan sambil berkata .

   "Hai! Hai! Jangan bersujut kepadaku demikian rupa! Tak berani aku menerima sembahmu!"

   Bukan main rasa hati Puguh Harimawan.

   Pada pemuda itu seolah-olah terasa hendak meledak.

   Itulah suatu hinaan besar baginya.

   Namun ia tak bertenaga lagi.

   Diluar kehendaknya sendiri, tubuhnya mei bungkukbungkuk seakan-akan sedang membuat sembah.

   Suskandari terperanjat menyaksikan hal itu.

   Cepat-cepat ia menghampiri kakak seperguruannya.

   Kemudian memajangnya dan dibawanya menghadap kepada gurunya.

   Kata gadis itu dengan suara meminta .

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Paman. Orang itu harus paman hajar biar jera!"

   Puguh Harimawan yang mendongkol karena kina diingusi, mendamprat .

   "Kau manusia busuk! Kau menggunakan akal bulus! Kau bukannya seorang pendekar!"

   Botol Pinilis memijat pinggang dan punggung muridnya. Setelah itu memijit pahanya pula. Sambil memijat-mijat, ia berkata dengan perlahan .

   "Masih beran ikah engkau semberono di kemudian hari?"

   Si semberono memburigkam mulut .

   Namun ia bersyukur karena tenaganya pulih kembali oleh pijatan gurunya.

   Dan menyaksikan hal itu, diam-diam Buyut Sodana kagum terhadap si pedagang sama sekali tak diduganya, bahwa dengan suatu pijitan saja, bocah itu dapat dipulihkan tenaganya.

   Dan selagi ia keheranan, tiba-tiba Botol Pinilis berkata kepadanya .

   "Ini sudah masuk perhitungan."

   Dan setelah berkata demikian, tangan kanannya menarik cempulingnya. Jelaslah sudah, bahwa ia hendak maju untuk menolong kehormatan muridnya. Dan melihat dia maju, Lingga W isnu berpikir di dalam hati.

   "Kakang Botol Pinilin adalah murid aliran Sekar T eratai yang tertua. Aku adalah adiknya. Dan sudah selayaknya kalau aku yang maju terlebih dahulu."

   Dan memperoleh pikiran demikian, ia segera berseru kepada Botol Pinilis .

   "Kakang, biarlah aku dahulu yang maju. Bila tak berhasil, baru nanti kakang menggantikan."

   "Jangan! Biar aku saja yang maju."

   Jawab Botol Pinilis dengan perlahan.

   Botol Pinilis berbimbang-bimbang untuk mengidzinkan adik seperguruannya mewakili dirinya.

   Adik seperguruannya itu masih muda.

   W alaupun gurunya kabarnya telah mewariskan semua ilmunya dengan sempurna, namun ia masih mengkhawatirkan akan masa latihannya.

   Kecuali itu, pastilah dia mempunyai pengalaman.

   Menghadapi Buyut Sodana yang sudah banyak makan garam, bukanlah tandingnya.

   Kecuali itu, ia tahu bahwa gurunya sangat sayang kepada muridnya yang terakhir itu.

   Bila sampai terluka, pastilah gurunya bakal berduka.

   Dia akan ditegur karena dikiranya tidak melindungi.

   Bila sampai demikian halnya, ia akan menanggung malu seumur hidupnya.

   Kalau tadi ia membiarkan Puguh Harimawan mencoba mengadu untung, itulah disebabkan semata-mata untuk memberi pelajaran kepada muridnya yang semberono itu, agar dikemudian hari bisa berhati-hati.

   Dia berharap, agar dengan pengalaman itu, muridnya yang semberono itu menjadi sadar akan kekurangannya.

   Dan ia akan belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh.

   Akan tetapi, Lingga W isnu tak mau mengerti pertimbangan kakak seperguruannya itu.

   Katanya dengan perlahan pula .

   "Kakang. Dipihak mereka terdapat banyak orangorang pandai. Sedangkan barisan ilmu gabungan Pancasakti keluarga Dandang Mataun, sangat berbahaya. Mungkin sekali sebentar lagi akan terjadi suatu pertempuran dahsyat. Kakang seumpama seorang panglima perang yang memegang pucuk pimpinan. Maka sebelum kakang masuk ke gelanggang biarlah adikmu mencobanya dahulu."

   Kagum Botol Pinilis mendengar alasan adiknya seperguruan. Dia masih sangat muda, akan tetapi pandai memegang tata santun. Ia melihat kesungguhannya pula. Maka akhirnya dia berkata memutuskan .

   "Baik adik, hanya saja hendaklah engkau ber hatihati!"

   Lingga W isnu memanggut lalu memut ar tubuhnya. Perlahan-lahan ia menghampiri Buntut Sodana. Berkata dengan tenang .

   "Akupun ingin memperoleh emasku kembali. Bolehkah aku mencoba untung?"

   Buyut Sodana dan rekan-rekannya dari golongan Awuawu Langit heran mendengar dan melihat Lingga W isnu hendak mencoba untung.

   Sebentar tadi, Puguh Harimawan yang bertubuh kekar telah dirobohkan dalam satu gebrakan saja.

   Kenapa bocah ini yang usianya berada dibawah pemuda kekar itu, t idak t ahu diri? Maka Buyut Sodana menjawab perkataan Lingga W isnu dengan suara merendahkan .

   "Baik. Tetapi kau harus berjanji, tidak akan membuat sembah kepadaku seperti si dogol"

   Berkata demikian, ia menghisap pipa panjangnya dan mengepulkan asap rokoknya yang tebal ke udara.

   Ia sudah bersiaga penuh.

   Dan seperti Puguh Harimawan, Lingga W isnu menghampiri tiga langkah.

   Kemudian mengangkat kaki kanannya hendak menyapu.

   Puguh Harimawan yang memperoleh pengalaman pahit tadi, kaget menyaksikan gerakan kaki Lingga W isnu.

   Pekiknya cemas .

   "Paman kecil, jangan! Dia akan menghantam kakimu dengan pipanya seperti terhadapku tadi!"

   Cocak Prahara berlimapun tidak mengerti apa sebab Lingga W isnu yang memiliki kepandaian tinggi mencoba untungnya begitu semberono.

   Apakah kaki Lingga W isnu tak mempan kena totok pipa baja Buyut Sodana.

   Sebaliknya yang diam-diam bersiaga adalah Botol Pinilis.

   Sebab, meskipun dewa sendiri yang mengkisiki, ia takkan percaya bahwa kaki L ingga W isnu kebal.

   Maka pada saat itu, ia sudah mengambil keputusan.

   Bila Buyut Sodana kembali lagi menghantamkan pipa baja, segera ia hendak menolong adik seperguruan itu.

   Kemudian menyerang Buyut Sodana yang sombong.

   Dalam pada itu kaki Lingga W isnu sudah bergerak dengan cepat luar biasa.

   Dan seperti t adi, Buyut Sodana segera memapaki kaki Lingga W isnu dengan pipa baja.

   Di luar dugaan gerakkan kaki Lingga W isnu sebenarnya hanya suatu gertakan belaka.

   Pada detik hendak kena totokan, ia menarik kembali.

   Sebagai gant inya, ia menyapu dengan sebelah kakinya yang lain.

   Buyut Sodana sudah terlanjur menusukkan ujung pipanya.

   Hatinya terkisap tatkala tusukkannya menumbuk udara kosong.

   Segera ia sadar akan ancaman bahaya.

   Tapi pada detik itu, emas yang dikakangi, sudah kena tersapu Lingga W isnu.

   Ternyata Lingga Wisnu tidak hanya puas memperoleh emas.

   Gerakkan kakinya terus menyambar mencari bidikan yang diarahnya.

   Keruan saja Buyut Sodana mendongkol bukan main.

   Mula-mula ia kena diingusi, sekarang ia diserang dengan t iba-tiba.

   Maka dengan hati mendongkol dan panas, ia menikam pant at Lingga W isnu.

   Lingga W isnu merendahkan tubuhnya sambil mengelak ke kanan.

   Kembali lagi kakinya bergerak menyapu emas.

   Dan dengan dibarengi serangan tangan kirinya, berhasillah ia merampas emas lagi.

   Hal itu terjadi karena tangan Buyut Sodana sedang bergerak menikam, sehingga daerah pertahanannya jadi kosong.

   Lagi-lagi Lingga W isnu tidak mau sudah dan sekarang, kaki kirinya yang bergerak.

   Gerakannya sangat cepat, sehingga mendahului gerakan lawan sebelum sempat memperbaiki kedudukannya.

   Dan untuk yang ketiga kalinya, ia berhasil menyapu beberapa tumpuk emas lagi.

   Dalam waktu yang pendek saja, pemuda itu sudah berhasil menyapu tiga t umpuk kepingan emas.

   Dan yang mengherankan kepingan kepingan emas itu lenyap dari penglihatan seperti tersulap.

   Tapi sebenarnya dengan suatu kecepatan luar biasa, ia berhasil memasukkan kepingan-kepingan emas itu ke dalam kantong bajunya.

   Setelah itu ia berdiri dengan tenang bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

   "Biarlah aku nyatakan kepadamu, bahwa aku hendak mengambil semua kepingan emas yang berada dalam penjagaanmu,"

   Katanya.

   "Paman Cocak Prahara dan engkau sendiri bukankah sudah berjanji? Barangsiapa yang dapat merampas emas yang dalam penjagaanmu, maka emas itu. boleh menjadi miliknya. Bukankah begitu?"

   Pemuda itu tidak menunggu jawaban Buyut Sodana.

   Sedang Buyut Sodana sedang menyusun bunyi jawabannya di dalam hati, Lingga Wisnu sudah bergerak dengan suatu kesehatan yang mengherankan.

   Betapa tidak? karena untuk ke sekian kalinya pemuda itu berhasil lagi mengantongi emasnya.

   Menyaksikan hal itu, Cocak Prahara dengan seluruh keluarganya kagum bukan main.

   Tak terasa mereka memuji kecerdikan dan kesehatan pemda itu.

   Juga Anjar Semaja dengan orang-orangnya.

   Sebaliknya, wajah Buyut Sodana merah padam.

   Masakan dia bisa diingusi seorang pemuda yang belum bisa kencing.

   Hatinya yang mendongkol dan penasaran kin i mengandung rasa dengki luar biasa.

   Lantas saja tangannya melayang dan kakinya menendang pergelangan tangan Lingga W isnu.

   Itulah salah satu jurus ilmu saktinya yang disegani lawan dan kawan.

   Lingga W isnu tak berani lantas menangkis serangan Buyut Sodana.

   Ia mundur oleh serangan itu.

   Kemudian memperhatikan gerakan dua tangan serta kedua kaki lawannya.

   Itulah gerakan seekor burung.

   Apakah ini yang dinamakan ilmu sakti Kuntul Haneba seperti tutur- kata gurunya dahulu? Menghadapi ilmu sakti Buyut Sodana yang luar biasa itu, Lingga W isnu tidak berani merapatkan diri.

   Dia bergerak dengan berputaran.

   Setiap kali ia menghindar atau mengelak, sambil memperhatikan gerakangerakannya.

   Buyut Sodana jadi kesal.

   Ia memperhebat4 serangannya.

   Justru demikian, Lingga W isnu dapat mengelak atau menghindarkan diri dengan cepat pula.

   Tatkala Botol Pinilis melihat cara perlawanan Lingga W isnu, ia berpikir di dalam hati.

   'Bocah ini tidak berani bertempur secara berhadaphadapan.

   Selalu ia menghindarkan diri dan tak berani mencoba mendekati.

   Agaknya ia hanya mengandalkan pada kegesitannya semata.' Buyut Sodana pun berpendapat demikian pula.

   Dan memperoleh kesan itu, kesombongannya lantas membersit di dalam hati.

   Akh, hanya begini saja kepandaiannya, pikirnya.

   Lantas ia tertawa terbahakbahak sambil melancarkan gempuran terus- menerus .

   Jelas sekali, bahwa ia mengganggap musuhnya sebagai lawan yang enteng sekali.

   Ia lupa, betapa tadi Lingga W isnu dengan kecepatan yang mengagumkan berhasil menyapu kepingan, emas yang berada di dalam penjagaannya.

   Beberapa saat kemudian, ia mulai menyulut tombakaunya dan menikmati pipa panjangnya.

   Tapi pada saat itu, Lingga W isnu sudah bisa memahami letak inti ilmu kepandaian lawan, diam-diam ia bergirang hati kesombongan Buyut Sodana, karena kesombongan kerapkali membawa suatu kelengahan.

   Dan kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

   Cepat luar biasa, tiba-tiba t angan kirinya menyambar hidung.

   Karuan saja Buyut Sodana terkejut.

   Tadi, lawannya yang kecil itu sama sekali tak berani mendekati dan menyelonongkan tangan kirinya.

   Inilah suatu serangan yang tak terduga-duga.

   Cepat-cepat ia menangkis tangan kiri Lingga W isnu dengan pipanya.

   Dan kakinya membarengi bergerak menyapu sasaran.

   Diluar dugaan pula, kali in i Lingga W isnu tak sudi menghindar atau mengelakkan diri.

   Ia membiarkan kepalanya kena incaran tangkisan pipa.

   Tapi dengan tibatiba saja, tangan kanannya menyambar dan mencengkeram pipa itu.

   Buyut Sodana terkejut.

   Ia dalam keadaan kepalang tanggung.

   Pipanya sudah terlanjur ditangkiskan dengan cepat dan kuat-kuat.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka tiada kesempatan lagi.

   untuk menariknya.

   Dan terpaksalah ia merenggutkan ke atas.

   Gerakan ini, justru termasuk dugaan Lingga W isnu.

   Selagi Buyut Sodana menarik pipanya ke atas, pinggang kanannya terbuka.

   Inilah kesempatan yang tak di siasiakan.

   Sebat luar b iasa, tangan kirinya menotok t ulang iganya.

   Plak! Buyut Sodana menggeliat mundur.

   Ia terkejut dan menginsyafi keteledorannya.

   Akan tetapi sudah kasep.

   Tahu-tahu tenaganya pudar dan tubuhnya bergemetar diluar kehendaknya sendiri.

   Dan pada saat itu, ia mendengar suara t ertawa Sekar Prabisin i.

   Senang Lingga W isnu mendengar suara tertawa Sekar Prabasin i.

   Dan seperti galibnya seorang pemda yang mendengar suara tertawa seorang gadis yang berkenan di hatinya, timbul ah gairah hidupnya! Semangat tempurnya terbangun sekaligus.

   Terus saja ia menyodorkan pipa yang kena dirampasnya, balik ke mulut pemiliknya dan api tombakau yang sedang menyala, menyelamot bibir atas dan kumis.

   Keruan saja Buyut Sodana kaget berjingkrak.

   "Lingga W isnu, adikku! Jangan bergurau!"

   Seru Botol Pinilis.

   Akan tetapi di dalam hatinya, ia kagum menyaksikan kepandaian adik seperguruannya itu.

   Mendengar tegoran kakak seperguruannya, Lingga W isnu menarik pipanya kembali yang tadi menyelomot kumis pemiliknya.

   Kemudian ia meniup api tombakaunya seolah-olah hendak memadamkan.

   Tapi karena tiupannya terlalu keras, api tombakau yang menyumpal lubang pipa justru jadi terbang berhamburan mengenai wajah Buyut Sodana.

   Dan kembali lagi Buyut Sodana berjingkrakan.

   Botol Pinilis segera melompat memasuki gelanggang.

   Melihat Buyut Sodana yang tadi bersikap sombong hati dan kini kena di selomot seorang pemuda kemarin sore, mau tak mau membuat dirinya tertawa juga.

   Namun ia sadar, Buyut Sodana tidak boleh dibuat gegabah.

   Maka cepat cepat ia menolong membebaskan urat-uratnya yang kejang akibat gempuran Lingga W isnu.

   Kemudian menyambar pipa yang masih berada d i genggaman Lingga W isnu dan dikembalikan kepada pemiliknya.

   Dengan berbuat begitu ia berharap menyudahi adu kepandaian itu agar tidak jadi berlarut .

   Bukan karena takut berlawan-lawan dengan pendekar itu, akan tetapi hadirnya dipihak Dandang Mataun bisa menambah beban yang tidak enteng.

   Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, ia merasa perlu menarik simpati terhadap lawannya yang kemungkinan besar bisa menyeberang ke pihaknya.

   Buyut Sondana sendiri, tatkala itu masih saja terpukau oleh' kejadian yang menyakitkan hatinya.

   Sama sekali ia tidak menghiraukan masuknya Bot ol Pinilis ke dalam gelanggang.

   Tahu-tahu tangan kanannya telah menggenggam pipanya kembali.

   Selintasan saja ia melihat betapa sekalian hadirin menertawakannya dengan nada geli dan merendahkan.

   Ia benar-benar jadi merasa terhina.

   Terus saja ia membant ing pipanya hancur berentakan.

   Kemudian dengan langkah panjang meninggalkan gelanggang.

   Sebentar saja, ia telah melint asi p int u keluar dan bayangan tubuhnya lenyap digelap malam.

   Anjar Semojo, kawannya sejalan, terkejut melihat kepergiannya.

   Buru-buru ia lari mengejarnya hendak mencegah.

   Tahu-tahu ia nampak terpental balik memasuki gedung pertempuran dan mati-matian ia mencoba mempertahankan diri.

   Sekalipun demikian, tetap saja ia t erhuyung mundur beberapa langkah.

   Maka jelaslah, bahw a tenaga lontaran Buyut Sodana sesungguhnya bukan sembarangan.

   W alaupun Lingga W isnu dapat mengalahkan dengan mudah, namun tenaga saktinya ternyata mampu melemparkan seorang pendekar semacam Anjar Semojo, seorang pemimpin berandal nan disegani lawan dan kawan semenjak belasan tahun yang lalu.

   Maka bisa dimengerti, apa sebab Botol Pinilis bersikap hati-hati terhadapnya.

   Ketangguhannya tiada berada dibawah Cocak Prahara berlima.

   Cocak Prahara bersaudara kagum menyaksikan kepandaian Lingga W isnu.

   Akan tetapi mereka tidak terkejut.

   Jauh-jauh tahulah mereka, bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi.

   Hanya saja caranya menjatuhkan Buyut Sodana begitu cepat, benar-benar diluar dugaan.

   Sebaliknya, tidaklah demikian kesan anakbuah Anjar Semojo.

   Melihat pemimpinnya kena dilontarkan Buyut Sodana, mereka kaget dan panas hati.

   Kalau Buyut Sodana yang kena dikalahkan b isa melontarkan pemimpinnya dengan mudah sampai mundur sempoyongan, apalagi pemuda itu.

   Pemimpinnya bukanlah tandingnya yang berarti, apakah yang diandalkan, kecuali mengadalkan jumlah banyak.

   Maka diam-diam mereka bersiaga menunggu aba-aba.

   Dalam pada itu Botol Pinilis heran dan kagum menyaksikan cara Lingga W isnu tadi merobohkan Buyut Sodana.

   Pukulannya itu sendiri, termasuk salah satu ajaran ilmu perguruannya Sekar Teratai tingkat tinggi.

   Tapi yang mengherankan adalah caranya dia membawakan pukulan itu membidik sasarannya.

   Gerakannya sama dengan gerakan tatkala merebut kepingan emas yang berada dalam penjagaan Buyut Sodana.

   Gerakan demikian, belum pernah ia memperolehnya dari gurunya.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Apakah guru pilih kasih? Akh, tak mungkin! Sekalipun guru sangat kasih kepada muridnya yang bungsu ini, tidak akan mengajarkan gerakan-gerakan yang bertentangan dan berbeda titik-tolaknya.

   Gerakan itu sama sekali bukan gerakan aliran Sekar Teratai.

   Kalau bukan, lantas siapakah yang mengajar gerakan demikian?' Puguh Harimawan tentu saja tak dapat membuat suatu perbandingan, penilaian atau ulasan untuk dirinya sendiri.

   Gerakan paman gurunya yang kecil itu, terlalu cepat baginya.

   Ia hanya merasa puas, set elah pihaknya memperoleh kemenangan.

   Dengan wajah terangbenderang, ia menoleh kearah Suskandari hendak membagi rasa syukur.

   Tapi Suskandari sendiri sudah tertawa risi Sekar Prabasini yang berada tak jauh dari padanya ikut tertawa pula.

   Tertawa senang dan menang.

   Dan hal itu membuat rasa puas Puguh Harimawan menjadi nikmat.

   Pada saat itu tiba-tiba terdengarlah suara Bot ol Pinilis lantang .

   "Saudara Cocak Prahara"

   Tadi saudara sudah membuat semacam sayembara.

   Bahwasanya emas akan dikembalikan apabila kami mampu mengambil sendiri dari penjagaan Buyut Sodana.

   Sekarang Buyut Sodana meninggalkan gelanggang.

   Artinya dia membiarkan emas tak terjaga lagi.

   Maka sebelum memunguti emas, perkenankan kami mengucap terima kasih."

   Dan setelah berkata demikian, ia memberi perint ah kepada muridnya.

   "Ambil semua emas yang berceceran di atas lantai itu! Hitung, apakah sudah genap. Kurang sekeping, kita wajib mengadakan perhitungan lagi!"

   Sebenarnya, emas rempasan itu tidak kurang barang sekepingpun.

   Botol Pinilis yang berpengalaman, yakin akan hal itu.

   Kalau dia berkata demikian, maksudnya semata-mata untuk menaikkan harga diri saja.

   Didepan gerombolan bandit, ia perlu menundukkan sikap garang.

   Cocak Prahara yang kenyang makan garam, ternyata tak sudi kalah gertak.

   Ia membiarkan Puguh Harimawan memunguti emasnya dengan sikap acuh tak acuh.

   Bahkan ia lantas memejamkan matanya.

   Sebaliknya t idak demikian halnya Anjar Semojo.

   Di dalam usahanya hendak merebut emas rampasan itu, ia sudah berkorban jiwa.

   Itulah sebabnya, ia tak rela melihat Puguh Harimawan memunguti dan mengantongi emasnya kembali tanpa sanggahan.

   Diantara berkilaunya emas, pandang matanya memancarkan sinar berapi-api.

   Mendadak saja ia melompat menghampiri dan mendorongkan tangannya.

   Dan kena dorongan itu, Puguh Harimawan mundur sempoyongan.

   "Hai, apa maksudmu. Apakah kau hendak coba coba mengukur tenaga?"

   Bentak Puguh Harimawan mendongkol. Botol Pinilis maju. Berkata kepada muridnya .

   "Harimawan, mundur! Dia bukan tandingmu!"

   Setelah berkata demikian, Botol Penilis membungkuk hormat kepada Anjar Semojo. Katanya sambil t ertawa .

   "Selamat bertemu, kawan. Akhir-akhir in i usahamu kudengar memperoleh kemajuan, sehingga daerah penggaronganmu bertambah luas. Eh, bagaimana kalau kita main coba-coba?"

   "Hm!"

   Anjar Semojo menggeram.

   "Siapa sudi membadut dengan tampangmu. Aku Anjar Semojo selamanya malang-melint ang tiada rint angan. T iap orang kenal siapa diriku. Akulah pemimpin gerombolan Awuawu Langit yang menggetarkan jala langit semenjak belasan tahun yang lalu. Sebaliknya aku belum mengenalmu. Sebenarnya siapakah engkau ini sampai berani membadut gt depanku?"

   "Aku? Akh, aku hanya manusia hidup. Namaku pun sangat sederhana,"

   Sahut Botol Pinilis tak bersakit hati.

   "siapa?"

   Bentak Anjar Semojo.

   "Botol Pinilis. Mata pencaharianku berdagang kelontong. Mengapa? Apakah kau mempunyai barang dagangan yang berharga?"

   Anjar Semojo mendongkol. Terus saja ia berteriak kepada bawahannya .

   "Bawa kemari senjataku!"

   Botol Pinilis ternyata seorang pendekar yang pandai berjenaka pula.

   T iap kali berbicara tangan dan kepalanya ikut bergerak-gerak untuk menggelitiki hati lawannya.

   Mendengar lawannya berteriak hendak menggunakan senjata, ia bersikap ding in saja.

   Bahkan kepalanya dimiringkan sambil t ertawa melebar.

   Senjata andalan Anjar Semojo ternyata sebatang tombak panjang dan besar.

   Begitu 'menerima senjata andalannya dari saJah seorang bawahannya, terus saja ia menikam dengan tenaga penuh.

   Tak usah diterangkan lagi, bahw a hatinya mendongkol luar biasa terhadap Botol Pinilis.

   Botol Pinilis tetap saja memiring miringkan kepalanya sambil terttawa.

   Dan dengan gesit, ia melompat menghindari.

   Serunya girang.

   "Ha, bagus! Barang daganganmu lumayan juga. Mari kita uji apakah benar-benar ada harganya untuk diperjual-belikan ..,"

   Murid Kyahi Sambang Dalan ini ternyata seorang pendekar yang besar nyalinya.

   Sambil membungkuk mengelakkan set iap serangan, ia memunguti emas yang masih tercecer di atas lantai i Dan menyaksikan hal itu, sadarlah Cocak Prahara bahw a Botol Pinilis bukan sembarang orang.

   Anjar Semojo ternyata bukan tandingnya.

   Kalau aku bertopang dagu saja, emas itu benar-benar akan hilang, pikirnya di dalam hati.

   Segera ia memberi isyarat mata kepada Cocak Ijo dan Cocak Rawun.

   Dan oleh isyarat mata itu, Cocak Ijo dan Cocak Rawun melesat memasuki gelanggang sambil berseru .

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Emas bukan batu kerikil yang tiada harganya. Kau bayarlah jiwamu dahulu!"

   Menghadapi rangsakan Cocak Ijo dan Cocak Rawun, cepat Botol Pinilis mengendapkan diri.

   Ia menggeserkan tubuhnya ke kanan dan tangan kirinya menyerang dari samping.

   Itulah salah satu jurus rumah perguruan Sekar Teratai.

   Serangan Cocak Ijo dan Cocak Rawun sebenarnya merupakan jurus gabungan ilmu sakti keluarga Mataun yang dahulu pernah merobohkan pendekar besar Bondan Sejiwan.

   Itulah gabungan ilmu sakti! Begitu mereka berdua melepaskan salah satu jurusnya, terus saja bergerak hendak maju mendesak.

   Tiba-tiba mereka melihat Botol Pinilis menggeser ke samping sambil melontarkan serangan.

   Cepat-cepat mereka mundur.

   Dan tepat pada saat itu Cocak Rawa dan Cocak Abang menggantikan kedudukannya dengan menangkis serangan Botol Pinilis.

   Kemudian dengan kecepatan luar biasa tangan Cocak Abang menyelonong menghantam pinggang.

   Semenjak Botol Pinilis tamat belajar dan berkelana seorang diri untuk mencari pengalanan belum pernah ia bertemu dengan lawan yang sebanding.

   W alaupun ia gemar bergurau dan berjenaka, namun tabiatnya cermat dan hati-hati.

   Dengan berbekal kedua tabiatnya itu, belum pernah ia gagal menghadapi lawan.

   Sekarang, ia sadar benar-benar, bahwa ilmu Pancasakti keluarga Dandang Mataun hebat luar biasa.

   Cocak Prahara kini ikut pula memasuki gelanggang.

   Dengan demikian ia menghadapi lima orang sekaligus.

   Cepat ia menggeser tubuhnya untuk menghindari serangan Cocak Prahara.

   Tetapi tiba-tiba Cocak Mengi menggantikan kedudukan Cocak Rawun dan dengan cepat membawa Cocak Prahara mundur.

   Dengan dibarengi gerakan lainnya, mereka berlima nampak seolah-olah berubah menjadi beberapa puluh orang.

   Tubuh mereka berkelebatan seperti bayangan.

   Menghadapi tata-pertanpuran demikian, mau tak mau Botol Pinilis menjadi terkejut.

   Ia tak mengerti, ilmu berkelahi apa yang sedang dilancarkan lawan-lawannya itu.

   Benar-benar serangan mereka dahsyat luar biasa.

   Nampaknya kalut , tetapi maju dan mundurnya sangat rapih.

   Sekian lamanya ia mencoba menyerang.

   Namun tiada seorangpun yang dapat disentuhnya.

   Ia kaget, heran dan akhirnya sadar.

   Buru-buru ia mencoba merubah sikap.

   Dengan t enang, ia menempatkan diri di tengah-tengah mereka.

   Sama sekali ia tak mau menyerang.

   Sebaliknya, ia hanya bertahan dan menangkis apabila kena serang.

   Tentu saja ia membuat dirinya kena t erkurung rapat-rapat.

   Melihat Botol Pinilis hanya pandai membela diri, diamdiam Anjar Semojo berbesar hati.

   Ia tadi bersakit hati karena kena dipermainkan pendekar itu.

   Sekarang timbul ah niatnya hendak membalas dendam.

   Ia menunggu saatnya yang bagus untuk menikam Botol Pinilis sehebat hebatnya.

   Dan sekaranglah saatnya yang paling baik, selag i lawannya sibuk berjaga-jaga diri terhadap rangsakan Cocak Prahara berlima.

   "Paman Botol Pinilis, awas!"

   Seru Suskandari memperingatkan, gadis itu terkejut melihat berkelebatnya tombak Anjar Semojo.

   Botol Piniiis adalah murid Kyahi Sambang Dalan yang telah mewarisi kepandaian gurunya.

   Seumpama Cocak Prahara tidak menggunakan ilmu gabungan, mereka tidak akan bisa berbuat banyak terhadapnya.

   Demikian pula menghadapi serangan gelap Anjar Semojo, seorang pemimpin berandal yang berkepandaian tinggi.

   Dengan sebat sekali, Bot ol Pinilis memut ar tubuhnya; Berbareng dengan itu, t anganya bergerak.

   Tombak Anjar Semojo kena di tangkisnya dan kemudian ditangkapnya.

   Itulah salah satu jurus Sekar Teratai untuk menghadapi lawan yang bersenjata.

   Ilmu tata berkelahi dengan tangan kosong.

   Untuk memahirkan ilmu itu, seseorang harus berlatih terus-menerus.

   Dan Botol Pinilis telah melatihnya semenjak puluhan tahun yang lalu sehingga tak mengherankan ia dapat melumpuhkan tikaman Anjar Semojo dengan satu kali gerak saja.

   Kemudian ia menariknya samb il menangkis serangan Cocak Bawa dengan tangan kiri.

   Kaki kanannya d igeserkan setengah langkah untuk mengelakkan tendangan Cocak Mengi.

   Dengan demikian, ia bisa memunahkan tiga serangka! serangan sekaligus .

   "Akh, hebat! Sesungguhnya ilmu w arisan Sekar Teratai sanggup berlawanan dengan ilmu sakti aliran manapun juga,"

   Pikir Lingga W isnu didalam hati.

   "Kalau saja Puguh Harimawan bisa mewarisi ilmu warisan Kakang Botol Pinilis, sudah dapat malang-melint ang tanpa tandingan."

   Selagi berpikir demikian, Lingga W isnu mendengar Anjar Semojo berteriak kesakitan.

   Sebagai ahliwaris ilmu sakti Kyahi Sambang Dalan ia sudah dapat menduga gerakan kelanjutan Botol Pinilis.

   Pastilah Anjar Semojo akan dipaksa mengadu tenaga dan kemudian diangkat tinggi tinggi dan setelah itu, dengan tiba-tiba melepaskan adu tenaga itu.

   Anjar Semojo kehilangan keseimbangan, karena kehilangan daya perlawanan.

   Dan pada saat itu, Botol Pinilis menghantam pundaknya sampai patah.

   "Bagus!"

   Puji Lingga W isnu.

   Beberapa orang laskar Awu-awu Langit menolong pemimpinnya dengan tergopoh-gopoh.

   Jayatatit, Zubaedah dan Rekso Glempo menuntut bela.

   Serentak mereka bertiga menyerang Botol Pinilis.

   Juga kali in i, Botol Pinilis dapat menunjukkan keahliannya.

   Dengan kesebatan dan kelincahannya seorang demi seorang dibantingnya ke lantai sambil mengelakkan set iap serangan Cocak Prahara berlima.

   Dan menyaksikan ketangguhan murid Kyahi Sambang Dalan itu, anak buah Anjar Senojo tidak berani berkutik lagi dari t enpatnya.

   "Ha, mari tuan-tuan! Sekarang aku bisa melayani tuan-tuan tanpa gangguan lagi."

   Kata Botol Pinilis kepada Cocak Prahara berlima dengan tertawa lebar.

   Cocak Prahara berlima mendongkol.

   Terus saja mereka melancarkan serangan bertubi-tubi.

   Bayangan mereka berkelebatan.

   Mau tak mau Botol Pinilis mengimbangi dengan kecepatannya pula.

   Pikir pendekar itu .

   'Benar-benar hebat dan berbahaya ilmu gabungan mereka.

   untuk bisa memecahkan tata perkelahiannya, aku harus dapat merobohkan salah seorangnya ...' Oleh pikiran itu, segera ia memperhebat daya perlawanannya.

   Tangan dan kakinya menyambarnyambar bagaikan kilat menusuk cakrawala; Namun sudah sekian lamanya ia berusaha, tetap saja tak manpu menyentuh lawannya.

   Mau t ak mau ia jadi sibuk sendiri.

   Cocak Prahara berlima sebenarnya heran dan kagum juga.

   Sama sekali tak diduganya, bahw a pendekar yang tampahnya mirip orang dusun itu dapat mengadakan perlawanan.

   Pembelaannya rapat dan rapi, meskipun kena rangsakan serta kepungan hebat.

   Sudah barang tentu Botol Pinilis t idak dapat membaca gejolak hati dan pikiran lawannya, seluruh perhatiannya ditumpahkan kepada cara kelima lawannya menyerang dirinya.

   Adakalanya salah seorang menendang dari depan.

   Kemudian dengan sekonyong-konyong melesat kesamping.

   Dan pada saat itu seorang lagi menyerang sengit menggantikan kedudukannya.

   Yang datang dari sebelah kiri mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

   Lalu menyambar hendak memeluk.

   Mau tak mau Botol Pinilis terpaksa mundur.

   Diluar dugaan lawan yang berada dibelakangnya mengayun kakinya hendak mendupak.

   "Hebat! Benar-benar hebat!"

   Pikirnya berkeringat.

   Makin lama makin hebat cara menyerang Cocak Prahara berlima.

   Corak-ragamnya makin beraneka macam.

   Botol Pinilis merasa diri benar-benar repot.

   Untuk mengurangi ancaman bencana, segera ia mengeluarkan dua senjata andalannya.

   Sebatang tongkat pendek dan sebuah bindi tipis mirip perisai.

   Katanya didalam hati menghibur diri .

   'A ku seorang diri, sedang mereka berlima.

   Rasanya tiada akan melunturkan pamor rumah perguruan, apabila aku terpaksa bersenjata ..

   ' Dengan pertimbangan demikian, ia kini dapat mengadakan perlawanan makin g igih.

   Setiap kali ia berusaha mencari jalan keluar membobol pengepungan mereka dengan tusukan serta tikaman tongkatnya yang berujung tajam.

   Tak usah menunggu lama lagi, maka Cocak Prahara berlima kerepotan menghadapi tongkat Botol Pinilis yang berbahaya.

   Hampir hampir mata rant ai bobol.

   Cepatcepat Cocak Prahara berseru dengan kata-kata sandi .

   "Angin tiba! Mari kita pasang layar!"

   Cocak Rawun dan Sondong Pawit yang berada di luar gelanggang segera berlari-larian membawa senjata.

   Kemudian dilempar-lemparkan seolah-olah sedang, melancarkan suatu serangan rangsakan Tapi dengan tiba-tiba saja, ruyung, tombak maupun golok, tongkat besi dan caneti baja sudah berada dalam genggaman majikannya masing-masing.

   Pertempuran kini makin menjadi seru dan sengit luar biasa.

   Masing-masing terancan bahaya maut.

   Mereka yang menyaksikan di luar gelanggang menahan napas oleh rasa tegang dan kagum.

   Puguh Harimawan sibuk bukan main, melihat gurunya terancam bahaya pengepungan yang sangat kuat.

   Terasalah di dalam hatinya, bahw a ilmu kepandaiannya sangat dangkal.

   Dan yang sama sekali t ak berdaya untuk memberi pertolongan atau bantuan.

   Tetapi ia tidak rela gurunya terancam bahaya begitu dahsyat.

   T iba-tiba saja ia melompat hendak memasuki gelanggang dengan memutar goloknya.

   Diluar dugaan, baru saja ia bergerak, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok bayangan didepannya.

   Tahu-tahu pundaknya kena ditekan.

   Ia kaget.

   Dalam rasa kagetnya ia membabatkan goloknya.

   Heran! Tangannya tak dapat digerakkan.

   Pundaknya seperti kena tindih batu sebesar gardu penjagaan.

   "Kakang Harimawan! Jangan bergerak'. Sayangilah jiwamu!"

   Terdengar suara mencegah maksudnya .

   Harimawan menoleh.

   Ternyata yang menekan pundaknya adalah si paman cilik.

   Tadi ia menyaksikan betapa Lingga W isnu dengan mudah saja dapat mengalahkan Buyut Sodana.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam hatinya, ia tidak yakin kegagahannya.

   Tetapi kini baru lah ia sadar, betapa dahsyat, tenaga si paman cilik itu.

   Dengan sekali tekan saja, kedua tangannya seolah-olah lumpuh.

   Mau tak mau kini ia harus patuh kepada tiap ucapannya.

   "T ak usahlah engkau terlalu sibuk. Gurumu masih sanggup melayani mereka,"

   Kata Lingga W isnu sambil menarik t angannya.

   Puguh Harimawan mengerinyitkan dahi.

   Benarkah gurunya masih sanggup melayani kelima lawannya itu? Ia mencoba menyabarkan diri dan berusaha yakin terhadap.

   penglihatan Lingga Wisnu.

   Dengan seksama ia mengikuti jalannya pertempuran.

   Dalam pada itu, Lingga W isnu sendiri mengikut i pertempuran itu dengan pengamatan.

   Kadang kadang ia mendongak kearah genting dengan berdiam diri.

   Agaknya ia terbentur pada suatu persoalan yang sulit.

   Suskandari yang semenjak tadi memperhatikannya, mendekati sambil menegor .

   "Kakang Lingga kenapa engkau tidak segera membantu paman Botol Pinilis? Betapa tangguh paman Botol Pinilis, kalau dikerubut lima orang terus-menerus, akan kerepotan juga akhirnya."

   Lingga W isnu tidak menyahut.

   Dengan suatu gerakan tangan, ia mengharapkan agar Suskandari mundur.

   Dan Suskandari benar-benar mundur dengan wajah lesu.

   Sebaliknya Sekar Prabasini d iam-d iam bersyukur hati, melihat Lingga W isnu menolak kehadiran Suskandari.

   Dengan lapang dada, ia kin i dapat mengikuti pertempuran di tengah gelanggang yang makin menjadi seram.

   Botol Pinilis mencoba menghantam salah seorang musuhnya.

   Berulangkali dan makin lama makin cepat.

   Namun tetap saja, musuhnya tak dapat disentuhnya.

   Bahkan senjata mereka tak pernah bentrok.

   Masingmasing berusaha menghindarkan suatu benturan.

   Pada saat itu, sekonyong-konyong Lingga W isnu menghampiri Suskandari.

   Katanya dengan suara ringan .

   "Adik, maafkan sikapku tadi. Aku sedang berusaha memecahkan suatu teka-teki. Sekarang aku sudah berhasil ..."

   "Maaf? Apakah yang harus kumaafkan?"

   Sahut Suskandari.

   "Kau bantulah paman Botol Pinilis."

   Lingga W isnu tertawa. Pandang matanya berseri-seri. Sahutnya .

   "Teka-teki itu sudah berhasil kupecahkan. Sekarang tidak perlu bercemas-cemas lagi."

   Sepasang alis Suskandari berdiri tegak. Dengan pandang menebak-nebak, ia berkata .

   "Sebenarnya engkau lagi membicarakan apa? Soal teka-teki itu nanti kita pecahkan bersama, bila pertanpuran sudah selesai."

   Mendengar ucapan Suskandari, kembali lagi Lingga W isnu tertawa. Sahutnya .

   "Y ang kupikirkan justru t entang pertempuran itu. Cara bertempur merekalah yang kusebut sebagai teka-teki. Coba katakan padaku, bagaimana cara kita menghancurkan barisan Panca sakti mereka. Maka amatilah lagi dengan seksama, betapa mereka tak sudi bentrok."

   "Y a, kenapa?"

   Suskandari kini t ertarik hatinya .

   "Sebab bentrokan itu sendiri berarti kehilangan waktu. Jadi t itik-tolak ilmu gabungan Panca-sakti ini berdasarkan kecepatan bergerak. Itulah sebabnya, bilamana kita ing in menecahkan mata rant ainya, harus mengimbangi dengan kecepatan pula. Tegasnya, kita harus sanggup mengadu kecepatan. Dan barulah kita berhasil."

   Suskandari terbangun semangat tempurnya. Tetapi kemudian berkata penuh bimbang .

   "Mereka sudah berlatih diri dengan sempurna. Gerakgeriknya gesit dan nampak w ajar sekali! Bagaimana kita bisa berlomba mengadu kecepatan dengan mereka?"

   Lingga W isnu bersenyum. Alasan dan kesangsian Suskandari masuk akal. Setelah menatap w ajah gadis itu beberapa saat lamanya ia berkata memutuskan .

   "Aku akan mencoba. Hanya sekarang, pinjami lah aku tusuk-kondenu."

   Dengan pandang penuh pertanyaan, Suskandari mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dan bermata berlian. Kemudian diserahkannya kepada Lingga W isnu - Kata pemuda itu .

   "Aku akan melayani mereka dengan tusuk konde ini."

   "Akh"

   Seru Puguh Harimawan dan Suskandari berbareng.

   Mereka kemudian tertawa lebar.

   Dalam hati mereka menganggap ucapan Lingga W isnu, sekedar bergurau saja.

   Betapa tidak? Meskipun terbuat dari emas, tusuk konde itu mudah sekali patah.

   Apalagi manakala terbentur senjata tajam yang bertenaga penuh.

   Lingga W isnu tidak menghiraukan kesan hati mereka berdua.

   Dengan pandang tajam ia berteriak kepada Botol Pinilis .

   "Kakang Botol Pinilis! Dari Kurantil in jaklah pintu Gedong tengah. Kemudian dari Baruna lewatlah pintu Trenggana."

   Itulah istilah-istilah sandi yang hanya di ketahui oleh pendekar kelas utama.

   Dan mendengar seruan itu, Cocak Prahara berlima terkejut heran.

   Pikir mereka menebaknebak.

   'Ha, kenapa bocah itu mengetahui rahasia ilmu Panca Sakti? Siapa yang mengkisiki?, Sebaliknya, Botol Pinilis tidak segera mengerti akan kata-sandi itu.

   Ia harus berpikir dua kali lipat dahulu sebelum menangkap arti terjemahannya.

   Lingga W isnu sendiri tidak perduli, apakah kakak seperguruannya mengerti akan istilah-istilah sandi itu.

   Setidak-tidaknya dengan membongkar rahasia titik-tolak ilmu Panca sakti, akan mengacaukan pemusatan lawan.

   Teriaknya berturut-turut .

   "Nagapasa menyambar Baruna. Masuk ke dalam segera Muncar dan menghilang lewat Girilaya."

   Mau tak mau Bot ol Pinilis terpaksa berpikir.

   Apa maksud Lingga W isnu? Mustahil adiknya seperguruan itu berteriak-teriak tanpa tujuan.

   Teringatlah dia, bahwa sekian kali ia berusaha menerobos kepungan Cocak Prahara, akan tetapi tetap saja tak berhasil.

   Apakah Lingga W isnu bermaksud memberi petunjuk padanya, caranya menerobos barisan ilmu Pancasakti? Beberapa saat lamanya ia mencoba menterjemahkan kata-kata sandi itu.

   Kemudian memutuskan di dalam hati.

   'A kh, benar! Dia membicarakan keblat penjuru.

   Kenapa tidak kucoba?' Ia menunggu saatnya yang baik Kemudian dengan tiba-tiba ia melesat ke kiri melalui p int u Gedong Tengen dan melompat ke pintu Nagapasa.

   Ternyata ia memperoleh lowongan.

   Segera ia hendak menerobos keluar.

   Mendadak saja ia mendengar seruan Lingga W isnu .

   "lewat Girilaya! Lewat Girilaya!"

   Botol Pinilis terkejut.

   Girilaya adalah kata sand i Barat daya.

   Terus saja ia melemparkan pandangnya ke sasaran itu.

   Tapi di pintu itu Cocak Rawa dan Cocak Mengi menjaga dengan ketatnya.

   Ia berbimbang-bimbang sejenak.

   Kemudian memutuskan lagi.

   'A kh, t ak mungkin Lingga W isnu salah melihat,' Ia percaya benar kepada penglihatan adik seperguruannya yang cerdas dan luar biasa.

   Segera ia melesat ke Barat daya sambil mengirimkan gempuran.

   Cocak Pawa dan Cocak Mengi tahu akan tugasnya.

   Bila musuh datang menyerang, segera mereka memecah diri.

   Kedudukannya akan digantikan Cocak Prahara dan Cocak Ijo.

   Itulah rahasia ilmu mata rantai Pancasakti.

   Tapi baru saja mereka hendak memecah diri, tahu-tahu Botol Pinilis telah menerjangnya.

   Murid Kyahi Sambang Dalan ini menghantamkan bindi perisai nya ke kiri dan ke kanan untuk mencegah masuknya Cocak Prahara dan Cocak Ijo.

   Tongkat bajanya mengejar kedudukan Cocak Rawa dan Cocak Mengi yang bergerak hendak memecah diri.

   Oleh serangan diluar dugaan in i, mereka berempat terkejut.

   Cepat-cepat mereka merapat hendak bergabung.

   Tapi dengan gerakan yang cepat luar biasa, Bot ol Pinilis berhasil lo los dalam sekejab mata saja.

   Tahu-tahu ia sudah berdiri t egak disamping Lingga W isnu.

   Cocak Prahara tercengang-cengang menyaksikan hal itu.

   Inilah untuk yang pertama kalinya mereka kehilangan sasarannya.

   Bagaimana Bot ol pinilis bisa lolos dari kepungan yang rapat luar biasa? Puluhan tahun merela malang melintang menguji ketangguhan ilmu Panca Sakti.

   Selama itu tak teralahkan dan tak pernah gagal Oleh Ingatan ini mereka jadi penasaran.

   Kenyataan sebentar tadi terlalu menyakitkan.

   Serentak mereka mundur dan merapikan diri Dan berkatalah Cocak Prahara dengan nyaring kepada Botol Pinilis .

   "Kau bisa lolos dari mata rant ai kubu-kubu Panca Sakti. Artinya ilmu kepandaianmu bukan sembarangan. Ilmu tata berkelahimu mengingatkan kami pada aliran Sekar Teratai. Bagaimana kau sebut sang serba pandai Kyahi Sambang Dalan?"

   "Beliau adalah guruku,"

   Sahut Botol Pinilis.

   "Bagaimana, apakah aku menurunkan pamor rumah perguruan Sekar Teratai?"

   Cocak Prahara mendengus. Katanya mendongkol .

   "Hmm, pantas. Corak perkelahianmu membawa ragam aliran Sekar T eratai. Apakah kau kira kami t ak tahu?"

   Botol Pinilis tahu, Cocak Prahara berlima penasaran. Ia menghela napas. Kemudian mengalihkan pembicaraan .

   "Kita sudah bertempur. Masing-masing sudah berusaha menjatuhkan lawan. Aku kau kerubut dengan berlima. Ternyata aku tak sanggup merobohkan. Begitu pula kalian berlima. Inilah yang disebut orang setali tiga uang. Sekarang, bagaimana baiknya k ita mengatur emas itu?"

   Berhenti menebarkan penglihatannya. Kemudian ia menoleh kepada Anjar Semaja. Katanya .

   "Urusan perdagangan kita sudah selesaikan? Nah, kau boleh pergi!"

   Sebat kata-kata Botol Pinilis bagi pendengaran Anjar Semaja.

   Sebagai seorang pemimpin berandal, biasanya ia dihormati dan disanjung puji.

   Sekarang ia kena hina di depan orang banyak.

   Celakanya ia merasa diri tak sanggup melawan pula.

   Maka dengan suara besar, ia menyahut .

   "Hei, Botol Pinilis! Jangan engkau pasti dan menepuk dada. Pada suatu hari nant i engkau pasti akan jatuh ditanganku. Aku, Anjar Semojo, masakan dapat kau buat main-main? Hari ini memang aku baru naas. Tapi besok atau lusa, aku akan bangun sebagai Gatutkaca ..."

   Botol Pinilis tertawa. Katanya .

   "Kalau kau bisa bangun Gatutkaca, jangan lupa pakai baju kaos Ont okusuma! Kalau t idak, kau bakal jadi ayam terondol. Selamat jalan - selamat jalan! Mas Gatut kaca ..."

   Bukan main mendongkol Anjas Semojo.

   W ajahnya sampai merah biru.

   Tetapi ia mati kut u.

   Berkelahi kalah, mengadu mulut kalah pula Maka ia terpaksa mengajak pergi rombongannya meninggalkan gedung pertempuran.

   Di dalam hati ia mengharap, tuannya bersikap acuh tak acuh.

   Karuan saja hatinya ingin meledak.

   Beberapa saat kemudian, Cocak Prahara berkata kepada Botol Pinilis .

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"T uan, kau ternyata seorang, pendekar yang berhak hidup pada zaman ini. Kepandaianmu patut kami hargai. Karena itu, perkara emas, baiklah kita atur begini. Kau bawalah yang separuh"

   Cocak Prahara selamanya mau menang sendiri.

   Tapi kali ini ia mau mengalah, mengingat Botol Pinilis adalah salah seorang anggauta Sekar Teratai.

   Kalau muridnya saja sudah demikian hebat apalagi gurunya.

   Dan ia tak mau menambah jumlah musuh lagi.

   Terlalu berat akibatnya, apabila sampai bermusuhan dengan Sekar Teratai.

   Maka keputusannya itu rasanya sudah cukup pant as dan adil.

   Botol Pinilis tertawa lebar.

   Katanya .

   "Aku menghargai pertimbanganmu. Sayang bahwa emas itu bukan milikku pribadi. Sekiranya demikian, aku akan menerima keputusanmu. Untuk seorang sahabat, kenapa aku terlalu kikir? Tapi emas itu milik laskar Panglima Sengkan Turunan. Uang perbekalan untuk modal melawan kompeni Belanda dengan begundalbegundalnya, Muridku yang tolol itulah yang tadinya diserahi tugas pengawalan. Tapi ditengah jalan kena rampas salah seorang anggauta keluargamu. Maka aku berkewajiban mengembalikan emas itu seutuh-utuhnya kepada, pemiliknya. Kalau tidak, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan?"

   Selagi Cocak Prahara hendak membuka mulutnya, tiba-tiba Cocak Abang menimbrung. Kata pendekar berangasan itu .

   "Perkara emas, jangan diperdebatkan berkepanjangan! Kau boleh membawanya, asal bisa memenuhi dua syarat""

   "Akh, begitu? Coba katakan syarat apa itu? Sekiranya terlalu berat, aku akan mencoba menawarnya,"

   Sahut Botol Pinilis dengan suara tenang.

   "Bukankah dalam penghidupan ini berlaku pula soal t awar-menawar?" 'T idak! T idak ada tawar-menawar lagi!"

   Bent ak Cocak Abang sengit.

   "Syarat pertama. kau harus memberi ganti atas kerugian kami. Dan emas boleh kau bawa!"

   "Berapa jumlahnya?"

   Potong Botol Pinilis.

   "Bukan soal jumlah atau nilai. Yang penting, engkau harus membawa barang semacam alat penebus. Itulah peraturan kami yang sudah berjalan semenjak aku belum lahir. Artinya, kau menghargai kami."

   Botol Pinilis tersenyum seraya memanggut. Tahulah dia, bahw a syarat itu adalah soal kehormatan. Karena itu, tidak lagi ia bergurau. Berkata dengan suara sungguh-sungguh.

   "Baiklah, akan aku penuhi syarat itu. Esok hari, biarlah aku ke Madiun untuk memilih barang penukar yang cukup berharga. Selain itu aku akan mengadakan pesta perpisahan pula sebagai pernyataan rasa terima kasih. Boleh bukan aku mengundang beberapa orang penduduk? Nah, sekarang, katakanlah syarat yang kedua! Ingin aku mendengar bunyinya."

   Cocak Abang kelihatan puas mendengar perkataan serta melihat Botol Pinilis. Kemudian berkata lagi .

   "Baik. Syarat kedua sederhana saja. Bocah itu, tinggalkan disini."

   "Bocah yang mana?"

   Botol Pinilis heran "Apakah muridku? Akh, dia seorang yang tolol. Rasanya tiada gunanya ..."

   "Bukan. Bocah itu! Bocah yang bernama Lingga W isnu."

   Botol Pinilis terkejut.

   Pikirnya di dalam hati.

   'Lingga W isnu adalah adik seperguruanku.

   Dialah murid kesayangan guru.

   Melihat sikap Cocak Prahara, keiuafca Dandang Mataun menghargai guru.

   Apa sebab sekarang hendak menahan murid kesayangannya? Akh, pastilah ini hanya suatu dalih belaka, untuk menimbulkan gara-gara saja ..' Botol Pinilis tidak mengetahui latar belakang persoalannya.

   Bahwasanya Lingga W isnu mempunyai sangkut -paut dengan kepentingan keluarga Dandang Mataun.

   Bahwasanya diapun seorang ahli w aris pendekar Bondan Sejiwan yang ditakuti, orang pada zamannya.

   Lingga W isnu terlalu mengetahui rahasia keluarga Dandang Mataun dengan pendekar Bondan Sejiwan.

   Karena itu Cocak Prahara berlima bertekad hendak membinasakan bocah itu.

   Mereka tahu, kepandaian Lingga W isnu sangat tinggi.

   Tetapi mereka percaya, bahw a ilmu Panca Sakti keluarga Dandang Mataun tidak bakal kena dirobohkan.

   Dalam pada itu, Botol Pinilis yang tak mengetahui latar belakang persoalannya, mencoba mengendorkan ketegangan baru yang tidak diharapkan, Ia tertawa lebar.

   Kemudian mencoba berkelakar.

   Katanya .

   "Adikku seperguruan ini, seorang anak yang doyan makan. Kalau dia kalian harapkan tinggal disini, wah! jangan-jangan dia akan menghabiskan beras persediaan keluarga besar Dandang Mataun. Apakah kalian tidak akan rugi nanti?"

   Puguh Harimawan kenal akan watak dan tabiat gurunya.

   Bila dia bergurau, artinya mengandung ancaman.

   Pastilah pertempuran seru bakal terulang kembali.

   Maka dengan tajam, diam-diam ia memegang senjatanya erat-erat.

   Cocak Prahara yang masih memegang tombaknya, menyahut dengan suara tegas .

   "Adik seperguruanmu tadi, pandai mengajari engkau bagaimana caramu bisa lolos dari mata-rant ai jala Pancasakti. Agaknya dia mengenal ilmu gabungan kami Pancasakti. Maka biarlah kami mencoba-coba kepandaiannya."

   Ilmu gabungan Panca-sakti yang merupakan jala tak tertembus oleh macam kepandaian apapun, terdiri dari lima tataran.

   Tadi, t atkala menghadapi Botol Pinilis, baru sampai pada tataran kedua.

   Masih sanggupkah Botol Pinilis menghadapi yang tiga tataran lagi? Mustahil! Cocak Prahara berlima tidak percaya, bahwa di dunia ini masih ada seseorang yang bisa merobohkan ilmu sakti kebanggaan keluarga Dandang Mataun turun temurun.

   Botol Pinilis tahu diri Dia seorang pendekar yang cermat dan berhati-hati menghadapi semua persoalan.

   


Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin

Cari Blog Ini