Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 12


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 12



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Maka setelah merobohkan beberapa prajurit, diapun masuk kembali ke gang dan kabur.

   Berusaha mencari jalan lain.

   "Kejar terus!"

   Perintah si perwira.

   "Ada hadiah uang dan kenaikan pangkat yang disediakan Pangeran In Gi bagi siapapun yang menangkap pemberontak itu hidup atau mati!"

   Demi mendengar disebutnya uang dan kenaikan pangkat, para prajuritpun menyerbu dengan bersemangat, melupakan resiko bahwa kepala mereka bisa retak terkena toya hitam Pangeran In Ceng. **OZ** Bersambung ke

   Jilid 22 Pojok Dukuh, 13-10-2018; 13.20 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 22 Alangkah mendidihnya darah In Ceng mendengar itu, namun ia tidak mau berhenti dan berlari terus sepanjang lorong.

   Untung sekali lorong-lorong itu begitu ruwet seperti sarang laba-laba, sehingga In Ceng dapat lari berbelok-belok seperti kelinci di hutan.

   Sayangnya, di setiap mulut lorong selalu sudah ada lawan yang menunggu, sehingga In Ceng tergiring tak sanggup keluar dari tengah- tengah sarang laba-laba itu.

   Akhirnya dengan nekad In Ceng melompat naik ke atas genteng, dan berlompatan di atasnya.

   Prajurit-prajurit itu memang tak bisa mengejar lagi, namun panah- panah merekalah yang-mengejar dari segala arah, In Ceng memutar toya hitamnya menjadi seperti perisai lebar yang menjatuhkan semua anak panah.

   Namun ia terkesiap ketika di sebuah tikungan ia melihat moncong-moncong bedil sundut tertuju ke badannya.

   Sepuluh pucuk di depan, sepuluh pucuk di samping kanan dan sepuluh pucuk lagi di samping kiri.

   Perwira pemimpin regu penembak itu berkumis seperti kambing.

   "He-he-he, mau lari kemana lagi, pemberontak? Coba ingin kulihat kehebatan ilmu silatmu kalau harus menghadapi tigapuluh butir peluru sekaligus dari tiga arah..."

   In Ceng membeku seperti patung sambil mengeluh dalam hati.

   "Akhirnya sampai di sinilah perjalanan hidupku. Kandas di tangan begundal-begundal In Gi ini....."

   Pada awal abad.tujuhbelas, senjata api yang diperkenalkan pelaut-pelaut Eropa itu memang mulai meluas penggunaannya di negeri-negeri timur, termasuk Kekaisaran Manchu.

   Bedil sundut itu hanya bisa ditembakan sekali setiap kali diisi, namun sambaran pelurunya seperti lemparan piau seorang tokoh kelas satu dunia persilatan.

   Kalu tigapuluh moncong bedil menyalak sekaligus, sama seperti tigapuluh tokoh kelas satu melemparkan piau sekaligus, dan tidak ada seorangpun di dunia persilatan yang sanggup menghindarinya...

   Melawan pasti mati, menyerah juga akan mati sia-sia, akhirnya In Ceng nekad memutuskan untuk melawan saja.

   Tetapi di saat tubuhnya siap menerjang, mendadak dari balik sebuah wuwungan atap melompat sesosok tubuh berpakaian serba putih dengan gerakan bagai kilat.

   Menerkam si komandan berjenggot kambing dan si komandan tertelikung tangannya sementara sebilah pisau belati mengkilap telah menempel di leher si komandan.

   Kejadiannya begitu mendadak para penembak cepat berbalik dan mengarahkan senjata api mereka ke bayangan putih itu, namun mereka tak berdaya sebab tubuh si penyergap terlindung di balik tubuh komandan jenggot kambing.

   Kini semua orang sempat memperhatikan bahwa penyergap itu adalah seorang gadis cantik berpakaian serba putih.

   Terdengar gadis itu berkata dengan suara tenang namun mengandung nada tegas yang tak bisa ditawar lagi.

   "Komandan, suruh anak buahmu meletakkan bedil-bedil mereka untuk diikat jadi satu. Atau kau memilih pisau ini menyayat lehermu?"

   In Ceng merasa seolah baru saja bertamasya ke pintu alam kubur namun kembali lagi ke dunia kehidupan. Diapun juga mengenal gadis berpakaian putih itu.

   "A-eng!"

   Gadis itu bukan lain adalah Pakkiong Eng, masih termasuk sepupu jauh In Ceng, sebab ayah Pakkiong Eng adalah saudara sepupu ayah In Ceng. Pakkiong Eng membalas sapaan In Ceng itu tanpa mengendorkan cengkeramannya atas tawanannya.

   "Maaf, Pangeran. Hamba datang agak terlambat, sehingga Pangeran sempat mengalami kesulitan..."

   Dan kepada si komandan jenggot kambing la menggertak.

   "Cepat!"

   Si komandan kambing masih sayang kepada nyawaya.

   "He, kalian semua, letakkan bedil-bedil itu dua langkah di depan kalian!"

   Perintah sang komandan tak bisa dibantah, apa boleh buat, satu persatu mereka letakkan bedil-bedil mereka.

   Namun ada seorang prajurit yang di Tay-tong terkenal sebagai penembak tepat, sanggup menembak seekor lalat dari jarak duapuluh langkah.

   Sambil pura-pura membungkuk meletakkan bedilnya, jarinya tetap menempel di pelatuk, menunggu kesempatan untuk melubangi jidat gadis itu dengan pelurunya.

   Untung-untungan saja, kalau ia akan berjasa besar, tapi kalau kena jidat komandannya ya apa boleh buat.

   Anggap saja sang komandan memang sudah sampai takdirnya.

   Tak terduga, tengkuk prajurit itupun tiba-tiba merasa ditempeli logam seperti pipa, dan terdengar suara seorang lelaki di belakangnya.

   "Jauhkan jarimu dari pelatuk dan letakkan bedilmu dengan baik seperti perintah komandanmu. Biarpun aku bukan penembak tepat,tapi dari jarak sedekat ini tentu tidak akan luput memasukkan sebutir peluru ke benakmu."

   Terpaksa si prajurit harus melupakan pahala yang diidam-idamkannya, dan meletakkan bedilnya dengan amat sopan.

   Setelah itu ia menoleh, dan alangkah mendongkolnya ketika melihat yang menempel di tengkuknya tadi bukan moncong bedil melainkan moncong sebuah pipa tembakau dari gading.

   Orang yang mengancamnya tadi adalah seorang pemuda tampan berbaju hitam yang tampangnya jenaka.

   Tersenyum ke rahnya sambil berkata.

   "Nah, lain kali pakailah otakmu", sambil perlahan-lahan mengetuk- ngetukkan pipa tembakaunya ke jidat si penembak tepat. Lalu sambil bersiul-siul, pemuda baju hitam itu mengikat erat-erat bedil-bedil itu, beberapa prajurit dipaksa melepaskan tali celananya, sehingga prajurit-prajurit itu harus senantiasa memegangi celananya agar tidak merosot.

   "Silahkan turun, Pangeran,"

   Pemuda baju hitam itu lalu mengangguk hormat kepada In Ceng.

   "Hamba berdua akan mengawal Pangeran lolos dari tempat ini.."

   "Terima kasih, kalian berdua,"

   Kata Pangeran In Ceng setelah melompat dari atas genteng dengan ringan.

   "Siapakah saudara ini?"

   "Hamba Tong Gin yan".

   "Kau she Tong, apa hubunganmu dengan Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou?"

   "Beliau adalah ayah hamba". Pikir In Ceng, Hwe-liong-pang adalah sebuah kekuatan besar di wilayah Se-cuan, wilayah yang menjadi gudang-berasnya daratan Cina sehingga merupakan kunci penting bagi para penguasa negeri. Dalam keadaan perang, Se- cuan juga menjadi wilayah perbekalan yang memungkinkan plhak yang menguasainya mampu berperang dalam jangka panjang. Karena perhitungan masa depan itulah maka In Ceng merasa alangkah baiknya kalau Hwe- liong-pang bisa dirangkul sekali ke pihaknya. Slkapnya pun menjadi ramah.

   "Saudara Tong, dulu ayahmu menyelamatkan aku dari tangan Jiat-jiu Lokoai, sekarang kau menyelamatkanku pula. Terima kasihku kepada Hwe-liong-pang tak terkira. Tapi demi hubungan akrab kita, bagaimana kalau kita hilangkan sebutan 'pangeran' dan 'hamba' di antara kita, seperti sahabat-sahabatku yang lain juga saling menyebut 'saudara' denganku."

   Memang Tong Gin-yan terpikat oleh sjkap In Ceng itu, dia sendiripun bukan seorang yang suka bertele-tele atau berbasa- basi sambil bicara maju-mundur, maka langsung menjawab.

   "Baiklah, saudara In, kalau kau menghendaki demikian."

   Sementara itu Pakkiong Eng masih terus mencengkeram tawanannya, dan berkata.

   "Pangeran, kita harus segera menghindar dari sini."

   "Baiklah, sahut In Ceng sambil mulai melangkah, dan tidak ada prajurit-prajurit yang menghalanginya. Namun ia masih sempat berkata.

   "A-eng, kita ini bersepupu jauh. Bagaimana kalau kitapun bersikap seperti kakak-beradik, bukan seperti Pangeran dan anak buahnya?"

   Namun Pakkiong Eng yang sudah biasa hidup di Pak-khia dan tahu liku-liku oang-orang istana, merasakan adanya nada politis dalam kata-kata itu, seolah In Ceng ingin menarik Pakkiong Eng ke pihaknya pula.

   Pakkiong Eng adalah puteri Pakkiong Liong, Panglima Hui- liong-kun (Pasukan Naga Terbang) yang jelas berdiri di kubu Pangeran In Te.

   Karena itu Pakkiong Eng menjawab tawaran In Ceng itu sesuai dengan sikap politik ayahnya.

   "Terima kasih atas kemurahan hati Pangeran. Tetapi hamba tidak berani melangkahi tata-krama leluhur kita yang sudah berabad-abad sejak Kim-thai-hou."

   In Ceng berkata sambil menyeringai.

   "Ah, kau mengartikan uluran tangan persaudaraanku terlalu jauh".

   "Silahkan, Pangeran", kata Pakkiong Eng.

   "Kami akan mengawal Pangeran". Demikianlah, dengan membawa sandera seorang komandan regu bedil, mereka berlalu tanpa rintangan dari lorong yang nyaris menjadi kuburan Pangeran In Ceng itu. Sejak mendengar kata-kata In Ceng "kita ini bersepupu-jauh"

   Tadi, si komandan jenggot kambing tahu bahwa gadis yang menempelkan belati di lehernya itupun tentu tergolong keluarga bangsawan. Sambil melangkah didorong Pakkiong Eng, si komandan jenggot kambing merengek.

   "Harap Kiongcu (puteri) ketahui bahwa penyanderaan atas diri hamba tidak akan berguna di pos-pos yang lain, sebab mereka bukan anak buah hamba,.."

   Ia menyebut Pakkiong Eng "kiongcu"

   Dan dirinya sendiri "hamba"

   Sehingga Pakkiong Eng tertawa geli.

   "Aku bukan Kiongcu segala. Jalan terus, antar kami ke Cong-peng-hu (gedung penguasa militer)". In Ceng terkejut mendengarnya.

   "Kenapa malah ke Cong-peng-hu? Seperti masuk ke sarang macan?"

   Karena tahu bahwa Pakkiong Eng puteri Pakkiong Liong yang berpihak kepaa In Te, In Ceng menjadi curiga bahwa Pakkiong Eng mengajak ke Cong-peng-hu hanya sebagai perangkap baginya.

   Jangan-jangan, lepas dari begundal-begundal In Gi dia akan masuk ke perangkap pengikut-pengikut In Te? Langkahnya menjadi ragu-ragu "Pangeran, bukankah masih ada teman- teman Pangeran yang terkurung di Lam-yap- lau? Mereka harus dibebaskan atau tidak?"

   Tanya Pakkiong Eng. Untuk menarik simpati Pakkiong Eng dan Tong Gin-yan, sudah tentu In Ceng harus menunjukkan sikap setia kawan, sahutnya gagah.

   "Mereka sahabat-sahabat sehidup- sematiku, aku harus menolong mereka...."

   "Nah, untuk menolongnya kita tidak bisa menerjang prajurit yang berlapis-lapis itu hanya dengan kekuatan kita bertiga. Lebih tepat kalau kita ringkus Hong San-tong dan memaksanya membuka kepungan, agar sahabat-sahabat Pangeran dapat lolos dengan selamat".

   "Untuk menolong sahabat, menerjang lautan api pun kusanggupi", sahut In Ceng sambil mengertak gigi. Ia bertekad untuk main untung-untungan demj cita-cita besarnya. Seandainya di gedung Cong-peng-hu ada perangkap, anggap saja nasibnya buruk. Tapi kalau berhasil menarik simpati Pakkiong Eng dan Tong Gin-yan, mungkin akan menarik keuntungan dalam perjuangannya di kemudian hari. Mereka berjalan cukup jauh menyusup di lorong-lorong busuk, dan di suatu tempat si komandan jenggot kambing ditotok roboh. Sepanjang jalan, In Cenq juga melihat banyak prajurit-prajurit tertotok seperti patung atau terikat dengan tali celana mereka sendiri. Jelas itulah hasil kerja Pakkiong Eng dan Tong Gin- yan.

   "Kalian hebat, membereskan orang sebanyak ini hanya berdua saja", In Ceng memuji sambil tertawa.

   "Itu hanya keahlian kami berdua dalam permainan petak-umpet alias kucing-kucingan, saudara In", sahut Tong Gin-yan.

   "Satu memancing di depan, lainnya menyergap dari belakang, dan lorong-lorong ini sangat membantu untuk bergerilya..."

   "Tldak percuma kalian sebagai putera- puteri Ketua Hwe-liong-pang dan Panglima Hui-liong-kun", kembali In Ceng melepaskan jerat-jerat halusnya.

   "Kalian memang hebat".

   "Saudara In juga mengagumkan, sepanjang jalan kami sudah mendengar tindak-tanduk saudara In bersama Kanglam Taihiap dalam membela rakyat kecil yang tertindas. Saudara juga murid Pun-bu Hweshio, pendeta tua yang kesaktiannya seperti dewa itu", balas Tong Gin-yan.

   "Pun-bu Hweshio tidak punya murid bernama In Ceng, dia hanya punya muid Si Liong-cu..."

   "Dan aku dengar, belakangan ini Pun-bu Hweshio menerima seorang murid lagi. Seorang remaja empatbelas tahun yang kecerdasannya sangat memgagumkan, benarkah?"

   Tanya Tong Gin-yan. In Ceng tersenyum.

   "Ah, anak nakal itu. Namanya Ni Keng-giau. Bakat dan kecerdasannya melebihi aku". Sambil bercakap-cakap dan berjalan merunduk-runduk, mereka tiba di belakang gedung Cong-peng-hu yang berdinding setinggi dua setengah kali orang dewasa...

   "Sergapan terhadap Hong San-tong harus cepat dan mendadak, jangan membyang waktu", bisik Pakkiong Eng.

   "Pangeran, apakah Pangeran akan ikut menyerbu ke dalam?"

   "Jelas, Kam Hong-tu dan Ma Sun-hian adalah sahabat-sahabatku, bagaimana aku bisa tidak peduli nasib mereka?"

   "Tapi hati-hati, Hong San-tong punya sepasukan regu pengawal yang cukup baik, dan memelihara anjing-anjing besar yang terlatih, siap merobek-robek tamu-tamu tak diundang".

   "Nah , kita harus cepat,"

   "Pangeran, harap Pangeran membikin keributan sebelah utara, dan kau Yanko, kacaukan sebelah selatan. Biar aku yang menerjang ke tengah untuk meringkus Hong San-tong langsung". Pakkiong Eng mengatur demikian karena sadar bahwa dirinyalah yang memiliki ilmu meringankan tubuh terbaik dari antara ketiganya.

   "Siap, komandanku yang cantik", Tong Gin-yan berkelakar. Pipi Pakkiong Eng memerah karena temannya itu bergurau seenaknya di depan Pangeran In Ceng. Sementara Pangeran In Ceng tersenyum tapi tak berkata sepatah kata pun. Tiga sosok tubuh itupun melesat hinggap di atas dinding yang tinggi dengan ringannya. Dan baru saja kaki mereka menginjak puncak dinding, dari halaman gedung itu sudah terdengar suara menggonggong ramai dari beberapa ekor anjing yang besar-besar. Disusul dengan munculnya sekelompok regu pengawal.

   "Anjing-anjing itu mengucapkan selamat datang kepada kita", desis In Ceng.

   "Dan senyuman mereka begitu ramah sampai giginya kelihatan semua", sambung Tong Gin- yan. Lalu kedua orang itu serempak melompat turun, menerjang ke arah pasukan gabungan manusia dan anjing di pihak musuh. Ketangkasan dan kehebatan kedua pemuda itu membuat para pengawal terkejut dan untuk sementara menjadi kocar-kacix, tapi dari sayap kanan dan kiri gedung besar itu berdatanganlah bala bantuan pengawal- pengawal lainnya. Seperti seekor burung bangau besar berbulu putih, Pakkiong Eng melontarkan tubuhnya dari bibir dinding ke atap bangunan di seberang halaman. Lalu melompat turun dan memukul roboh beberapa pengawal yang merintanginya masuk ke dalam gedung.

   "Dimana Congpeng Hong San-tong?!"

   Bentak Pakkiong Eng.

   "Suruh keluar dengan berlutut untuk menyambut perintah panglima Tertinggi Angkatan Perang Kekaisaran, Pangeran In Te!"

   Gertakan Pakkiong Eng itu berhasil menciutkan semangat penghadang- penghadangnya.

   Apalagi ketika melihat Pakkiong Eng mengeluarkan sehelai bendera kecil bersulam benang emas yang dikenali sebagai bendera komando Pangeran In Te, pemegang kekuasaan militer tertinggi di kekaisaran.

   Maka Pakkiong Eng pun melangkah masuk ke dalam gedung besar itu tanpa rintangan.

   Di pintu tengah, ia berpapasan dengan seorang berseragam panglima dan tangannya membawa golok besar, yang membentak dengan garangnya.

   "Siapa berani seenaknya terobosan di ...."

   Kalimatnya terhenti dan lehernya serasa tercekik ketika melihat bendera segitiga kecil di tangan Pakkiong Eng.

   "Siapa...kau?"

   Suaranya gemetar dan kegarangannya mulai luntur.

   "Kau Hong San-tong?"

   Pakkiong Eng tidak menjawab malahan balas bertanya.

   "Benar. Nona,kau siapa dan dari mana kau curi bendera komando itu?"

   "Aku tidak mencuri, aku menerimanya dari tangan Pangeran In Te sendiri sebagai tanda wewenangku. Sekarang dengarkan perintah, tarik mundur orang-orangmu yang membikin rusuh di Lam-yap-lau dan biarkan orang-orang yang terkepung itu pergi dengan aman!"

   Sekilas wajah Hong San-tong memucat, namun bersikeras tak mau menyerah kepada gertakan.

   "Hem, mana bisa Pangeran In Te mengirim utusan yang datangnya saja dengan melompati dinding belakang? Serahkan bendera itu dan menyerahlah, bandit cilik!"

   Lalu dengan golok besarnya ia bersiap- siap untuk melawan, tapi didengarnya Pakkiong Eng berkata sambil mengulurkan lehernya,"Kau mau mengambil bendera? Ambillah.

   Ingin memenggal leherku juga boleh.

   Tapi jangan kaget kalau tidak sampai sebulan lagi akan ada perintah dari Pangeran In Te untuk memanggilmu ke Pak-khia sambil mempersembahkan batok kepalamu sendiri di atas nampan!"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Alhasil, golok Hong San-tong yang sudah siap dibacokkan itu hanya tergantung saja di udara dan tak kunjung bergerak. Telapak tangannya basah dengan keringat dingin."Siapa kau sebenarnya?"

   "Aku Pakkiong Eng, ayahku adalah Pakkiong Liong!"

   Nama Panglima Hui-liong-kun itu seperti delapan belas petir yang meledak seketika di pinggir kuping Hong San-tong, membuat semakin kecut. Sementara Pakkiong Eng tertawa dingin.

   "Kau boleh percaya, boleh juga tidak!"

   Supaya kepala lebih lama melekat di leher, lebih baik percaya daripada tidak.."Nona Pakkiong, apa maumu? Dengan matinya si pemberontak In Ceng, serta begundal- begundalnya seperti Kam Hong-ti serta Ma Sun-hian, bukankah akan mengamankan Pangeran In Te juga? Kenapa malahan menghalangi orang-orangku untuk menghabisi mereka?"

   "Hem, Pangeran In Te yang berbudi luhur itu mana bisa disamakan dengan saudara seperguruanmu,Pangeran In Gi yang gemar kekerasan dan menumpahkan darah secara gelap itu? Lagi pula meskipun Pangeran In Ceng meninggalkan istana dengan tidak sopan, tapi dia adalah putera Kaisar. Untuk menyatakan dirinya sebagai pemberontak yang boleh ditumpas, harus lewat keputusan Kaisar sendiri dalam sebuah Sidang Lengkap. Dikeluarkan pula surat yang ditanda-tangani bersama oleh Heng-po Siangsi (menteri kehakiman) dan Peng-po Siangsi (menteri perang), kenapa kau Iancang mengambil tindakan sejauh ini? Kesalahanmu ini sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum mati kepadamu!"

   Lenyap sudah sia-sisa kegarangan Hong San-tong, mukanya seputih kertas kwalitas nomor satu buatan Liu-ciu, goloknya terkulai di tanah, dan keringat dingin sebesar kacang tanah bermunculan di jidatnya.

   "Aku tidak tahu kalau Heng-po Cengtong dan Peng-po Cengtong belum mengeluarkan surat itu, aku hanya menjalankan titah Pangeran In Gi...."

   "Tarik orang-orangmu!"

   "Baik.., baik...aku sendiri akan menuju ke Lam-yap-lau".

   "Bersama kami bertiga!"

   "Ya...ya...aku tunduk perintah Panglima Tertinggi!"

   Paling dulu ia berlari ke halaman, membentak pengawal-pengawalnya agar menghentikan perlawanan terhadap In Ceng dan Tong Gin-yan, memerintahkan para pelatih anjing agar mengikat anjing-anjng itu dengan tali kulit.

   Lalu berlutut di hadapan In Ceng sambil menceritakan bahwa tindakannya itu gara-gara "kekeliruan laporan dari mata- matanya, sebuah kekhilafan kecil".

   In Ceng tertawa dingin.

   "Ya...ya, kekhilafan kecilmu itu hampir saja membuat tubuhku dilubangi tigapuluh peluru dan entah berapa ratus ujung tombak dan golok. Hanya kekhilafan kecil ujarmu, ha?!"

   "Hamba tahu hamba bersalah, mohon Pangeran mengampuninya..."

   Hong San-tong mengangguk-anggukkan kepalanya seperti ayam mematuki beras.

   "Hamba tak akan mengulangi kesalahan..."

   "Sekarang kita semua ke Lam-yap-lau. Jangan sampai terlambat!"

   Maka dari gedung Cong-peng-hu, Hong San-tong bersama Pakkiong Eng, Tong Gin-yan dan In Ceng menunggang kuda dan menuju ke ribut-ribut di bagian timur kota Tay-tong.

   Sepanjang jalan Hong San-tong tak henti- hentinya memohon kepada dewa mana saja yang melintas dalam ingatannya, agar kedatangannya tidak terlambat.

   Supaya tidak usah datang perintah Pangeran In Te yang menyuruh membawa kepalanya di atas nampan "Oh, kepalaku sayang, mudah-mudahan kau masih diijinkan bersamaku oleh para dewa....."

   Mereka memang tidak terlambat, tetapi hampir terlambat.

   Hong San-tong hampir saja kehilangan seorang guru, sebab Ngo-sek Hweshio sudah terdesak dan luka-luka oleh Kam Hong-ti namun tetap menolak untuk dibantu siapapun.

   Sedang Kam Hong-ti sendiri pun seandainya menang juga sulit menyelamatkan diri dari lawan yang sekian banyak.

   Tidak ada jago silat yang bagaimanapun tinggi ilmunya bisa lolos dari kepungan prajurit yang begitu banyak.

   Di dalam rumah makan, betapapun gagahnya Ma Sun-hian melawan, tapi pakaiannya sudah robek-robek dan kulitnya berdarah.

   Namun belasan prajurit musuh sudah dirobohkannya.

   Saat itulah Hong San-tong datang berkuda sambil berteriak-teriak.

   "Hentikan! Hentikan!"

   Perintah segera ditaati, hanya Ngo-sek Hweshio yang tidak mau berhenti dan terus mengamuk seperti kerbau gila, menerjang Kam Hong-ti.

   Jagoan Tiang-pek-san itu merasa malu sebab kena dipermainkan oleh Kam Hong-ti yang lebih muda, sehingga seruan Hong San-tong yang berulang kali itupun tidak digubrisnya.

   Waktu itu, karena pertempuran sudah berhenti maka Ma Sun-hian melangkah keluar dengan leluasa, meskipun seluru pakaiannya nyaris merah semua oleh darah tetapi langkahnya tetap tegap dan matanya mencorong ganas masih dalam semangat tempurnya.

   Ia langsung mendekati arena perang tanding Kam Hong-ti dengan Ngo-sek Hweshio, dan bertanya.

   "Saudara Kam, kerbau jelek ini masih juga membandel?"

   "Sebentar lagi akan jinak, saudara Ma", sahut Kam Hong-ti sambil tertawa Tiba-tiba pedangnya gemerlapan menyambar bagaikan puluhan ular perak menari&nari di udara. Ngo- sek Hweshio berusaha melindungi diri dengan memutar kencang garuk besinya, namun sikunya tiba tiba tertusuk ujung pedang sehingga senjatanya jatuh ke tanah. Menyusul kaki Kam Hong-ti yang kurus seperti bambu itu menyapu ke depan, dan tubuh Ngo-sek Hweshio seperti sebuah bola raksasa yang menggelinding terpental beberapa langkah. Ketika Hweshio gemuk pendek itu hendak melompat untuk menyerang kembali, Hong San-tong buru-buru melompat menghalanginya dan berteriak.

   "Tunggu Suhu!"

   Sebenarnya, meskipun Ngo-sek Hweshio kelihatannya masih berani dan masih beringas, tapi dalam hatinya sudah kecut karena sadar sesadar-sadarnya bahwa Kam Hong-ti tak mungkin bisa diatasinya.

   Jadi kebetulan muridnya mengalanginya, tapi ia pura-pura tidak suka dihalangi.

   "Minggir! Akan aku hajar bocah ingusan itu!"

   Sambil berharap dalam hati agar muidnya tidak minggir dan tetap memegangi tangannya.

   Sementara itu, Kam Hong-ti dan Ma Sun-hian merasa heran melihat In Ceng yang tadinya disuruh lari lebih dulu, malah kembali kesitu, bersama Hong San-tong serta sepasang muda-mudi berbaju hitam dan putih yang tidak dikenalnya.

   Lebih heran lagi melihat sikap Hong San-tong yang memerintahkan pembubaran kepungan.

   "Saudara In, apa yang terjadi?"

   In Ceng menunjuk Pakkiong Eng dan Tong Gin-yan seraya berkata.

   "Merekalah yang menyelamatkan nyawa kita bertiga, saudara Kam".

   "Siapa mereka?"

   Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng segera maju memperkenalkan dirinya masing masing, disambut ucapan terima kasih Kam Hong-ti dan Ma Sun-hian.

   Mendengar nama Tong Gin- yan putera Ketua Hwe-liong-pang, Kam Hong- ti serta Ma sun pian tenang-tenang saja.

   Tapi mendengar nama Pakkiong Eng, puteri Panglima Hui-liong-kun, sepasang pendekar itu mengerutkan alisnya dan menahan diri menunjukkan rasa tidak senang mereka.

   Melihat sikap mereka, Pakkion Eng menarik napas namun bisa memakluminya.

   Ayahnya adalah seorng panglima Manchu yang sering menumpas pembrontakan orang Han, sehingga nama Pakkiong Liong nyaris tak ada bedanya dengan "pembantai orang Han".

   Kanglam Taihiap Kam Hong-ti sebagai seorang pahlawan bangsa Han tentu saja merasa tidak senang bahwa hari itu nyawanya ditolong seorang puteri panglima Manchu.

   Sementara itu, Hong san-tong berhasil membujuk gurunya, dan membiarkan gurunya pulang ke Cong-penghu dengan regu pengawal kehormatan untuk membuatnya puas.

   Kemudian Hong San-tong sendiri memerintahkan pasukannya pulang ke tangsi masinf-masing sambil membawa yang tewas dan luka-luka.

   Ia merasa tindakkannya hari itu terlalu konyol, namun kemunculan Pakkiong Eng dengan membawa bendera komando Pangeran In Te memang tak bisa diabaikannya.

   Tanpa banyak cakap, Kam Hong-ti, Ma Sun-hian, In Ceng,Tong Gin-yan dan pakkiong Eng keluar bersama-sama meninggalkan kota Tay-tong.

   Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng lebih dulu ke penginapan mereka untuk mengambil kuda, dan bekal mereka.

   **OZ** BAGIAN DUA PULUH EMPAT Begitu berada lima li di luar kota Tay- tong, Kam Hong-ti tak sanggup menahan gejolak hatinya lagi.

   Tiba-tiba ia hentikan kudanya dan menatap Pakkiong Eng tajam- tajam, kata-katanya tetap sopan namun mengandung nada permusuhan.

   "Nona Pakkiong, aku Kam Hong-ti secara pribadi tidak akan melupakan pertolonganmu. Tetapi aku ada pertanyaan, harap dijawab dengan jujur".

   "Silahkan, Kam Taihiap", sahut Pakkiong Eng yang mulai merasa tidak senang pula karena diperlakukan seperti maling jemuran di depan hakim.

   "Nona menolong saudara In Ceng, apakah tujuanmu?"

   "Karena Pangeran In Ceng bukan seorang yang pantas dibunuh. Baik Kaisar maupun Pangeran In Te sebagai panglima tertinggi tidak menyebut-nyebut Pangeran In Ceng sebagai pemberontak, dan tidak boleh ada pihak manapun yang lancang mendahului keputusan Kaisar". Kalau Kam Hong-ti masih bisa berbicara halus, maka Ma Sun-hian sebaliknya adalah orang kasar yang bicaranyapun tanpa tedeng aling-aling.

   "Hem, benarkah Pangeran In Te begitu baik hati? Tidakkah ia ingin mempersembahkan kepala saudara In Ceng ke hadapan Kaisar, mendahului saudara- saudaranya yang lain? Pakkiong Eng sadar bahwa dia tidak boleh jengkel atau marah menghadapi sikap penuh kecurigaan itu, justru harus bisa menerangkan dengan kepala dingin untuk menghapus kecurigaan.

   "Kalian jangan salah paham terhadap Pangeran In Te, jangan pula menganggap bahwa tingkah laku pangeran- pangeran lainnya seperti In Gi dan In Tong itu sebagai ukuran bagi Pangeran In Te. Pangeran In Te justru memberi perintah tegas kepada anak buahnya untuk sebisa-bisanya mencegah gelombang kekerasan di antara pengikut berbagai pangeran. Beliau tidak suka saudara- saudaranya saling membunuh...". Lalu kepada In Ceng, Pakkiong Eng berkata.

   "Pangeran, hamba membawa pesan dari adinda Pangeran In Te agar Pangeran dipersilahkan pulang ke istana. Adinda Pangeran menjamin sepenuhnya keselamatan Pangeran, lebih aman daripada berkeliaran di luar istana tanpa pengawal".

   "Saudara In aman di antara sahabat sahabatnya sendiri", sebelum In Ceng menjawab, Ma Sun-hian sudah mendahului menjawab. In Ceng sendiri tahu bagaimana isl hati saudaranya yang nomor empatbelas itu, kejujurannya dapat dipercaya. Tetapi kalau ia kembali ke istna, tidakkah itu sama dengan seekor burung yang masuk ke dalam sangkar emas? Burung itu akan aman, kenyang, tetapi tidak bebas lagi, tak lebih dari hiasan. In Ceng tidak ingin menjadi burung itu, ia lebih suka tetap bebas berkeliaran, mencari sahabat sebanyak-banyaknya du unia persilatan untuk memupuk kekuatan mendukung cita-citanya. Karena itu, diapun menjawab.

   "A-eng, kalau kau kembali ke Pak-khia, sampaikan salam hangatku kepada Adinda In Te. Menyesal sekali bahwa aku tidak bisa memenuhi permohonannya untuk pulang ke istana, setidak-tidaknya dalam waktu dekat ini, sebab aku masih ingin bertamasya secara bebas dengan sahabat-sahabatku, menikmati pemandangan-pemandangn indah di Kang- lam". Pakkiong Eng menarik napas.

   "Apakah Pangeran curiga bahwa Pangeran In Te akan menjebak Pangeran?"

   "Oh, tidak, idak...."

   Sahut In Ceng tergesa-gesa.

   "HUbunganku dengan Adinda In Te selama ini baik, tetapi...terus terang saja kebebasanku akan terkekang di Pak-khia. Adinda In Te pasti akan melindungi aku, namun terlalu banyak serigala berbulu domba yang berkeliaran sekitar istana dan Adinda In Te terlalu polos untuk mengenali kedok mereka. Adinda In Te adalah prajurit lapangan yang baik, jagoan di medan perang, tetapi serigala-serigala berbulu domba itu jauh lebih berbahaya dari musuh yang terang-terangan di medan perang."

   Kam Hong-ti menyambung.

   "Nah, nona Pakkiong, kalau saudara In tidak ingin pulang, tentunya kau tidak akan memaksa bukan?"

   Sudah tentu Pakkiong Eng tidak ingin memaksa, sebab seandainya memaksa pun apakah dirinya dan Tong Gin-yan sanggup melawan Kam Hong-ti, In Ceng dan Ma Sun- hian? "Sudah tentu hamba tidak akan memaksa Pangeran", sahut Pakkiong Eng sambil menarik penyesalan.

   "Hamba mohon diri, Pangeran". Pakkiong Eng menekuk sebelah kakinya untuk berlutut, sebagai layaknya menghormat seorang putera Kaisar. Sedangkan Tong Gin- yan hanya menjura saja sambil berkata.

   "Sampai jumpa lagi, Samwi Taihiap (pendekar bertiga)"

   Kedua pihak saling memberi hormat dalam suasana yang canggung-kaku. Dalam kesempatan itu Kam Hong-ti sempat berkata.

   "Saudara Tong, salam hangatku untuk Ketua Hwe-liong-pang dan mengharap beliau bermata tajam dalam memperhitungkan masa depan kekaisaran, lebih-lebih masa depan jutaan orang Han. Nona Pakkiong, sekali lagi terima kasuh atas pertolonganmu tadi. Tolong sampaikan kepada Pangeran In Te bahwa kakandanya aman bersama kami. Pihak manapun yang ingin melukai saudara In Ceng seujung rambutpun, dia akan berhadapan dengan ribuan pendekar di wilayah Kanglam yang siap membentenginya!"

   Itulah suatu peringatan halus. Kedua pihakpun berpisahan. Kam Hong- ti, In Ceng dan Ma Sun-hian menuju ke tenggara, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng ke barat laut. Sambil berkuda perlahan, Pakkiong Eng berkata.

   "Pangeran In Te benar-benar mendapat saingan yang sangat berat. Padahal hanya dialah calon yang pantas menggantikan kedudukan Kaisar Khong-hi"

   "Siapa sanggup bersaing dengan Panglima Tertinggi Angkatan Perang?"

   "Yan-ko, tidakkah tadi kau dengar ucapan Kan Hong-ti si kurus jelek itu bahwa seujung rambutpun In Ceng dilukai, para pendekar di Kanglam akan membelanya? Inilah hasilnya In Ceng menghilang enam tahun dari istana".

   "Sebenarnya In Ceng orang baik juga, kalau tidak, bagaimana orang macam Kam Hong-ti sampai bisa bersahabat begitu baik dengannya? Dia barangkali merupakan pilihan 1ain di samping In Te, yang didukung kaum militer".

   "Aku bingung memikirkannya", keluh Pakkiong Eng.

   "Biarlah aku laporkan saja kepada ayah, biar ayah yang memikirkan masalah ini bersama jenderal-jenderal ubanan lainnya."

   "Apakah mungkin Pangeran In Te akan melakukan tindakan keras terhadap kakandanya itu?"

   "Banyak orang di Pak-khia, termasuk ayah dan aku, tahu pasti bahwa Pangeran In Te bukan orang yang gemar menggunakan kekerasan, meskipun di tangannya tergenggam kekuasaan militer. Tapi kalau keutuhan kekaisaran terancam akan terpecah-belah, sudah pasti Pangeran In Te tak akan tinggal diam."

   Mendengar nada murung dalam ucapan sahabatnya itu, Tong Gin-yan terseret rasa prihatin pula.

   Baru belasan tahun pemberontakan Bu Sam-kui di Se-cuan padam, mungkinkah kini kekaisaran sudah terancam perang saudara lagi antara In Te dan In Ceng? Sulitlah menetapkan benar atau salahnya In Te atau In Ceng, kedua-duanya memiliki alasan masing-masing, sehingga seperti benang ruwet yang tidak ketahuan mana ujungnya.

   In Ceng minggat dari istana karena merasa dirinya dianak-tirikan, sedikit banyak tentu ada rasa dendam.

   Sedangkan In te, meskipun tidak membenci kakandanya, namun sebagai calon Kaisar yang hampir pasti, tentu tidak akan membiarkan kekaisaxlran dipecah-belah oleh siapapun.

   "Kita tidak berarti apa-apa dalam pergeseran yang terjadi di antara raksasa- raksasa pemerintahan", kata Tong Gin-yan akhirnya. Lalu tiba-tiba membelokkan arah pembicaraan.

   "Apakah kita akan ke Pak-khia?"

   "Kenapa ke Pak-khia?"

   "Bukankah tadi kau bilang akan melaporkan masalah ini kepada jenderal- jenderal ubanan?"

   "Tidak usah kita sendiri yang ke Pak- khia, ada jalur khusus yang akan membawa berita ini sampai ke telinga ayah", sahut Pakkiong Eng. Dari kantung pelana kudanya dia keluarkan benda yang bukan lain adalah sebuah roket kembang api sebesar lilin merah dalam upacara perkawinan.

   "Yan-ko, pinjami korek apimu..."

   Tong Gin-yan mengeluarkan koreknya dan menyalakannya sekalian.

   Pakkiong Eng mendekatkan sumbu roket kembang api itu ke nyala api, dan sesaat kemudian benda itu mendesis meluncur ke udara dan membentuk tali asap berwarna biru.

   Kelihatan cukup menyolok di langit yang agak mendung.

   "Kita tunggu di sini sebentar", kata Pakkiong Eng kemudian.

   "Wah, jadi ternyata selama ini kau dikawal secara diam-diam oleh anak buah ayahmu?"

   Tanya Tong Gin-yan, maklum apa artinya kembang api berasap biru itu.

   "Bukankah kau juga tidak sendirian? Di tempat-tempat tertentu ada pos-pos Hwe- liong-pang yang terang-terangan atau tersamar, untuk senantiasa siap menghubungkanmu dengan orang-orang Hwe- liong-pang di lain tempat?"

   Agak lama mereka menunggu, sampai dari balik bukit muncul seorang lelaki berpakaian seperti petani desa, namun gerak- geriknya tidak seperti petani.

   Sebab ia berlari dengan lincah melompati batu-batu gunung dan tiba di hadapan Pakkiong Eng tanpa terengah-engah napasnya.

   "Thia Siau-beng, pa-cong (sersan) dari pos ke tujuhbelas menyampaikan salam kepada nona Pakkiong!"

   Petani itu memberi hormat kepada Pakkiong Eng. Bicara dengan seorang anak buah ayahnya, Pakkiong alEng bergaya bicara seorang militer pula yang singkat dan tidak bertele-tele.

   "Thia Pa-cong, ada berapa orang di pos tujuhbelas?"

   "Enam orang"

   "Segera kirim dua orang dengan kuda- kuda tercepat ke Pak-khia untuk menyampaikan kabar kepada ayahku. Pangeran In Ceng sudah diketemukan jejaknya, menyamar dengan nama Si Liong-cu, dan mendapat pembelaan bersungguh- sungguh dari pendekar-pendekar di Kanglam. Paham?"

   "Paham".

   "Lakukan segera".

   "Baik". Sersan itu membungkuk hormat sekali lagi kemudian menghilang ke arah semula. Kemudlan Pakkiong Eng berpaling kepada Tong Gin-yan dan berkata.

   "Nah, sekarang kita mulai tugas yang lain. Memburu orang-orang Hek-eng-po."

   "Siap, komandan!"

   Tong Gin-yan menirukan gaya Thia Siau-beng tadi dan lompat ke atas kuda kelabunya.

   "Kita akan menyelidiki mereka kemana, komandan?"

   Pakkiong Eng tertawa. Ia mengeluarkan secarik kain hitam, robekan dari sebuah baju, yang dulu didapatkannya dalam tangan seorang anak buah Hwe-liong-pang yang tewas. Dibacanya huruf-huruf di robekan kain itu, dan berkata.

   "Kita akan berbelanja di Se- shia, di toko kain Hin-seng di Jalan Pak-toa- kai".

   "Siap, komandan!"

   "Prajurit tolol, kau aku pecat dan selanjutnya dilarang memanggilku 'komandan' lagi!".

   "Siap, isteriku!"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "He, kau bilang apa?!"

   Dengan muka merah, Pakkiong Eng menyabetkan cambuknya ke punggung Tong Gin-yan. Sambil berkelakar, merekapun melanjutkan perjalanan.

   "Yan-ko, apakah persiapanmu untuk pertemuan di Siong-san nanti sudah cukup? Kalau kau sampai dikalahkan oleh murid Pun-bu Hweshio atau putera Sebun Him, ayahmu akan menyalahkan aku....."

   "Pertemuan di Siong-san hanyalah pertemuan antara tiga pihak bersahabat, meskipun ada unsur gengsi masing-masing pihak, namun kalah atau menang bukanlah hal penting. Sedangkan menumpas Hek-eng-po yang semakin merajalela adalah urusan besar, sebab menyangkut mati hidupnya banyak orang tak bersalah. Lagipula, di sepanjang perjalanan toh aku blsa meluangkan waktu untuk latihan setiap pagi dan sore..."

   Sebenarnya dalam hati Pakkiong Eng gembira karena masih akan berjalan bersama pemuda yang diam-diam mulai disukainya itu. Namun sebagai gadis yand bermuka tipis, ia tidak menunjukkan rasa sukanya teranf- terangan. Hanya berkata.

   "Baiklah kalau kau bertekad begitu, aku hanya menurut saha. Di sepanjang jalan, kau mungkjn juga akan bertemu dengan teman-teman berlatih yang manis, misalnya Jiat-jiu Lokoai (Siluman Tua Bertangan Maut) atau majikan Hek-eng-po."

   "Kalau bertemu Jiat-jiu Lokoai, bantu aku memasang jenggot palsu dan menyalakan pipa tenbakauku....."

   "Kemudian lari terbirit- birit seperti dulu? Hem, dasar muka tembok!"

   "Jangan berpikiran sempit, A-eng, lari cepat termasuk jurus membela diri yang ampuh pula!"

   Demikianlah, meskipun pikiran mereka dibebani keprihatinan akan masa depan kekaisaran yang terancam perang saudara antar putera-putera Kaisar Khong-hi, toh mereka melanjutkan perjalanan sambll bersenda-gurau.

   Mereka memang bukan orang-orang pemerintahan yang memegang kekuasaan dan mampu ikut campur dalam pergolakan politik, namun toh ingin menyumbangkan tenaga mereka yang kecil itu untuk kesejahteraan bersama.

   Tidak sanggup ambil bagian dalam pergolakan di istana setidaknya dengan menumpas Hek-eng-po dapat mengurangi sumber keresahan dalam mayarakat.

   Pada suatu senja, mereka gagal menemukan penginapan ataupun rumah penduduk desa yang memadai untuk melewatkan malam.

   Namun karena hari hampir gelap dan kuda mereka sudah lelah, terutama kuda kelabu Tong Gin-yan yang tidak seistimewa si Salju Terbang kepunyaan Pakkiong Eng, maka mereka memutuskan untuk bermalam di sebuah bekas benteng kuno yang sudah rusak di sebuah bukit.

   Sebuah bekas benteng yang agaknya dulu dilengkapi dengan menara pengintaian, jembatan yang bisa dikerek, dan lain-lainnya, namun keadaannya sudah morat-marit karena berpuluh tahun tak dirawat.

   Begitu mereka masuk, mereka tahu bahwa malam itu mereka akan ditemani beberapa tengkorak berseragam prajurit dinasti Beng yang bergeletakan di sana-sini.

   "Malam ini kau harus hati-hati"

   Kata Tong Gin-yan kepada Pakkiong Eng. Suaranya bergaung di ruangan besar penuh sarang laba- laba yang nyaris kosong melompong itu.

   "Kenapa ?"

   "Lihat seragam prajurit-prajurit yang tinggal tulang-tulang itu. Mereka prajurit- prajurit Kerajan Beng, dan kau adalah puteri Panglima Manchu musuh mereka. Jadi hantu- hantu itu nanti malam mungkin akan mengunjungimu"

   Tengkuk Pakkiong Eng terasa agak dingin juga, meskipun tahu Tong Gin-yan cuma menakut-nakutinya. Ia mencoba bergurau juga.

   "Dan kau juga akan diganggunya. Kau adalah cucu Tong Wi-siang, pemberontak di jaman Kerajaan Beng dulu."

   Baru saja Pakkiong Eng berkata demikian, kakinya menyentuh setumpukan papan yang malang melintang, dan dari bawah tumpukan papan itu keluarlah beberapa ekor tikus mencicit-cicit.

   Bagaimanapun gagahnya Pakkiong Eng menghadapi musuh di berbagai pertempuran, namun ia tetap seorang gadis yang ketakutan melihat tikus.

   Ia melompat sambil menjerit keras-keras dan sedetik kemudian tubuhnya sudah menempel erat-erat di tubuh Tong Gin- yan.

   Di luar, matahari sudah menghilang dan cuaca mulai dingin.

   Tubuh ramping dan hangat yang melekat di dadanya, membuat jantung Tong Gin-yan berdetak keras.

   Sekilas timbul pikiran keruhnnya mengharapkan agar adegan itu bisa dilanjutkan sampai ke ujungnya, namun Pakkiong Eng tiba-tiba meronta lepas dari pelukannya.

   Dengan muka merah padam....

   "Tikus-tikus itu..."

   Kata Pakkiong Eng tergagap.

   "Tikus-tikus itu pasti penjelmaan arwah prajurit-prajurit Kerajaan Beng", kata Tong Gin-yan sambi tertawa untuk menutupi kekecewaanya, karena kehangatan tubuh Pakkiong Eng begitu cepat dirampas daripadanya.

   "Mereka tahu yang mana puteri Panglima Manchu dan menyerangnya..."

   "Hentikan bicara tentang arwah- arwah!"

   Keduanya kemudian bekerja menumpuk kayu-kayu tersebut di tengah ruangan dan menyalakannya untuk menerangi dan menghangatkan ruangan itu.

   Setelah membuka bekal makanan mereka, merekapun membersihkan diri bergantian di sebuah parit jernih di belakang benteng.

   Lalu duduk berdekatan bersandar tembok menghadap ke nyala api.

   Terpengaruh oleh adegan berpelukan tadi, Tong Gin-yan tak sanggup menahan diri untuk menggeser duduknya merapat ke tubuh Pakkiong Eng dan tangannya melingkari pundak gadis itu.

   Gadis itu menunduk malu, namun membiarkan saja.

   Malahan kepalanya perlan- lahan menyandar ke pundak Tong Gin-yan membuat si anak muda dlserbu bau harum dari rambut yang hitam dan tebal, halus seperti sutera.

   "Biar hantu-hantu iri melihat kita", kata Tong Gin-yan. Pakkiong Eng cuma tertawa pendek tanpa mengubah sikap tubuhnya. Tangan Tong Gin-yan yang melingkari pundaknya memberi kehangatan dan rasa aman serta bahagia yang menyusup sampai ke dasar hatinya.

   "A-eng..."

   "Hem?"

   Pakkiong Eng mengangkat wajahnya.

   Tong Gin-yan tiba-tiba menundukkan mukanya untuk mencium kening yang tepinya ditumbuhi anak rambut halus itu, lalu kelopak mata yang terpejam indah, ujung hidung yang manis, dan bibir.

   Sesaat Pakkiong Eng mencoba menghindarkan bibirnya dari "serbuan"

   Itu, namun kemudian pasrah juga.

   Bagaimanapun juga mereka anak-anak muda yang penuh impian, dan selama dalam perjalanan bersama sudah yakin satu sama lain bahwa mereka saling mencintai meskipun mulut mereka tak pernah mengucapkan kata- kata cinta, hanya saling mengolok dan mengejek.

   Kini di tempat yang sunyi dan dingin itu, sulitlah mereka membendung gejolak darah muda mereka yang semakin menghangat, apalagi ketika dada mereka melekat jadi satu seolah dapat merasakan detak jantung sang kekasih.

   Lembut sekali Tong Gin-yan mendorong tubuh Pakkiong Eng merebah di lantai, lalu tubuhnya sendiri menindih penuh birahi.

   Ciumannya sudah turun ke leher jenjang berkulit putih itu, dan masih akan turun lagi tetapi terhalang oleh baju yang masih terkancing rapat.

   Didengarnya Pakkiong Eng terengah-engah halus.

   Jari-jari Tong Gin-yan bergerak lembut melepaskan kancing pertama, kancing ke dua, dan kulit di bawah leher Pakkiong Eng itu membuatnya semakin beringas.

   Tapi baru saja jarinya menyentuh kancing berikutnya, Pakkiong Eng tiba-tiba meronta dan mendorong tubuhnya menyingkir.

   "Jangan!"

   Kata gadis itu.

   "Kita tidak boleh....."

   "Kenapa?"

   Sahut Tong Gin-yan yang belum sanggup mengendapkan nafsunya.

   "Kita saling mencintai, tak ada halangan apapun...."

   Lalu ia hendak memeluk kembali, namun tertahan oleh tangan Pakkiong Eng.

   "Jangan, Yan-ko, tidak boleh sekarang. Cinta juga mengandung makna saling menghormati bukan? Nah, hormatilah aku sebagai wanita terhormat..."

   Ucapan itu seperti seember air es yang mengguyur kepala Tong Gin-yan, menjernihkan kembali pikirannya yang sudah keruh dengan nafsu. Dengan muka pucat ia menjauhi Pakkiong Eng, tiba-tiba ia berkata.

   "Kau benar, A-eng. Sungguh rendah watakku, mengaku mencinta tetapi tidak menghormatimu". Pakkiong Eng pun bangkit dan membetulkan kancing-kancing bajunya.

   "Maafkan aku , A-eng...."

   Tong Gin-yan menunduk, malu kepada diri sendiri yang nyaris menunjukkan kelemahan dalam menguasai dirinya sendiri.

   "

   Maafkan aku, ya?"

   "Kita sama-sama bersalah, hampir saja saling menjerumuskan ke perbuatan hewani". kata Pakkiong Eng dengan kepala tunduk pula.

   "Nafsu manusia memang musuh yang paling sukar ditaklukkan, kata ayah. Bukan saja nafsu antara lelaki dan perempuan, tetapi juga nafsu-nafsu lain. Nafsu akan kenikmatan, nafsu akan kekuasaan...."

   "Ya, ya. Peristiwa tadi membuka mata kita, betapa lemahnya kita ini sebenarnya. Mudah-mudahan lain kali kita bisa mengendalikan diri. Toh di kemudian hari, setelah kita menikah, kita memperolehnya dengan syah. Tidakkah demikian?"

   Dengan malu-malu Pakkiong Eng menganggukkan kepalanya.

   Tong Gin-yan bahagia sekali melihat anggukan kepala itu, sebuah gerakan kecil yang memateri janji bersama untuk melangkah bersama pula ke masa depan.

   Sepuasnya ditatapnya wajah gadis Manchu itu kemerah-merahan di bawah cahaya api, cantik sekali, namun kali ini Tong Gin-yan tidak menatap penuh nafsu, hanya dengan kasih sayang yang lembut.

   Penuh rasa hormat, ingin untuk menjaga dan melindungi, bukan cuma "memakai"nya demi hawa nafsunya saja.

   Keduanya saling menyandarkan tubuh, saling menggenggamkan tangan, dan getaran cinta lewat telapak tangan lebih dari kata-kata.

   Tenggelam dalam kemesraan tanpa nafsu.

   "Kita akan punya tujuh anak, empatpuluh sembilan cucu, dan duaribu empatratus satu cucu", Tong Gin-yan tertawa sambil meremas telapak tangan Pakkiong Eng.

   "Kau tentunya tidak bermaksud membentuk pasukan Keluarga Tong untuk memberontak kepada kekaisaran bukan?"

   "Tidak. Hanya ingin agar duaratus tahun kemudian propinsi Se-cuan adalah gudangnya orang-orang she Tong..."

   "...dan gudang panda...

   "

   Biarpun keduanya tenggelam dalam lamunan indah, namun kedua orang muda itu berilmu tinggi dan memiliki panca-indera yang tajam. Hampir bersamaan mereka menegakkan kepala, kuping mereka tegak, dan Pakkiong Eng berdesis.

   "Suara apa itu ?"

   "Seperti suara perempuan menangis". kata Tong Gin-yan.

   "Agaknya dalam benteng ini pula..."

   Ingat cerita tentang hantu, Pakkiong Eng menjadi agak pucat dan mempererat pegangannya di lengan Tong Gin- yan, sedang Tong Gin-yan kambuh pula sifatnya yang suka menggoda.

   "Mungkin hantu perempuan. Ayo kita lihat, mudah-mudahan hantunya cantik dan bisa kuambil sebagai isteri kedua!"

   Karena tegang, Pakkiong Eng tidak menggubris kelakar kekasihnya itu. Namun lama-lama kupingnya menangkap bahwa suara itu agaknya adalah suara perempuan muda yang sedang menangis bercampur mengeluh. Rasa takut Pakkiong Eng dihentikan rasa iba.

   "Ayo kita cari, mungkin seseorang yang membutuhkan pertolongan!"

   Ajak Pakkiong Eng.

   "Pasti hantu. Kepalanya dijinjing dengan sebelah tangannya, gaunnya putih berkibar- kibar, lidahnya menjulur keluar dan sepasang matanya..."

   "Tutup mulutmu...

   "

   "Siap, komandan..."

   Dengan meringankan langkah,keduanya mencari arah suara yang sebentar terdengar dan sebentar tidak itu.

   Tong Gin-yanberjalan di depan, tangan kiri memegang sebatang kayu menyala sebagai obor, dan tangan kanannya menggenggam erat-erat pedangnya.

   Pakkiong Eng melangkah di belakangnya dengan pedang tergendong di punggung, tangannya siap dengan busur dan panah berekor putihnya.

   Mereka melewati beberapa tangga batas lorong-lorong, beberapa tengkorak berseragam prajurit kerajaan Beng, dan akhirnya tiba di sebuah ruang kosong lainnya, dari mana arah suara tangis tadi terdengar.

   Tapi kini suara tangisan sudah lenyap, diganti suara gigi bercatrukan seperti orang demam.

   "Itu dia."

   Tunjuk Pakkiong Eng.

   Di bawah cahaya obor, di satu sudut meringkuklah seorang gadis yang usiany sebaya dengan Pakkiong Eng dan cantik pula, bahkan di sebelah tubuh gadis itu juga ada sebatang pedang, menandakan gadis itu seorang pengelana dari rimba persilatan pula.

   Hanya gadis itu meringkuk dan menggigil, mukanya pucat, tangisan dan keluhannya tadi agaknya dilakukannya dalam keadaan tidur, alias bermimpi.

   Pakkiong Eng cepat berjongkok di sampingnya, menempelkan telapak tangannya ke jidat gadis itu, dan berkata.

   "Dia demam hebat. Kita harus menolongnya."

   Tapi gadis itu tiba-tiba membuka matanya dan menjerit.

   "Aku tidak mau pulang, ayah! Aku tidak mau menikah dengan Kam Suheng!"

   Lalu ia meronta-ronta. Pakkiong Eng berusaha membujuknya "Tenanglah, cici, kau sakit berat dan aku hanya ingin menolongmu..."

   Kesadaran perlahan-lahan merambati diri gadis itu, dan rontaannya itu mereda setelah melihat yang ada di dekatnya adalah seorang gadis cantik sebaya dirinya sendiri yang berpakaian putih, seorang pemuda baju hitam yang membawa api dan pedang.

   "Sia...siapa kalian?"

   "Kami pengembara seperti kau pula, kebetulan juga berteduh di tempat ini. Cici agaknya dalam keadaan sakit, marilah, kami punya obat, makanan, dan tempat yang hangat". suara Pakkiong Eng yang lembut penuh persahabatan itu membuat si gadis tumbuh rasa percayanya.

   "Terima kasih."

   "Mari ke dekat api unggun agar tubuhmu hangat, dan agaknya cici makan tak teratur pula sehingga tubuhmu melemah dan jatuh sakit. Cici masih saggup berjalan?"

   "Aku masih kuat. Terima kasih".

   "Siapa nama cici?"

   "Auyang Siau-hong, dan adik sendiri siapa?"

   "Aku Pakkiong Eng..."

   Begitu mendengar she Pakkiong, gadis yang mengaku bernama Auyang Siau-hong itu tiba-tiba merenggutkan tangannya dari pegangan Pakkiong Eng, dan tangan itu langsung menempel di gagang pedangnya. Sikapnya menjadi amat bermusuhan.

   "Kau orang Manchu?"

   Pakkiong Eng tidak kaget melihat perubahan sikap Auyang Siau-hong, ia sudah paham bahwa rasa permusuhan orang Han terhadap orang Manchu memang masih terasa tajam pada diri sebagian orang. Dengan sabar ia berkata.

   "Ya, ibuku orang Han. Cici, mari aku tolong..."

   Tetapi tangan Pakkiong Eng yang sudah terulur itu buru-buru ditarik kembali ketika pedang Auyang Siau-hong tiba-tiba dicabut dan disabetkan ke tangan Pakkiong Eng.

   "Lebih baik mampus daripada ditolong oleh orang Manchu!"

   "Kenanpa? Apakah perbedaan suku dan keturunan menghalangi persahabatan yang tulus dan saling menolong?"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hem, ingat peristiwa pembantaian di Yang-ciu selama sepuluh hari dan di Ke-teng selama tiga hari? itu perbuatan orang Manchu bukan? Kalian bangsa biadab!"

   "Setiap manusia, baik secara pribadi maupun kaum, tentu punya kesalahan atau noda dalam hidupnya. Bangsa Han sendiri sudah membantai berapa banyak orang-orang bukan Han, ketika jaman dulu meluaskan wilayah? Kami orang Manchu juga pernah melakukan kekejaman itu, tapi tu terjadi puluhan tahun yang lalu dan jenderal-jenderal pelaku kekejaman itu sudah mati semua. Apakah supaya orang Han puas, orang Manchu harus dibunuh sejumlah yang mati di Yang-ciu dan Ke-teng itu?"

   Auyang Siau-hong terbungkam, namun ia masih ragu-ragu menerima uluran tangan Pakkiong Eng. Dibiarkannya Pakklong Eng bicara terus.

   "Tidak dapatkah kedua bangsa mencuci tangan-tangan berdarah mereka di mata air perdamaian, lalu bersatu menjadi saudara? Cici, setengah darah dalam tubuhku pun adalah darah bangsa Han, darah yang sama dengan yang mengalir dalam pembantaian di Yang-ciu dan Ke-teng itu. Mari, lupakan dendam lama, lebih baik begitu daripada saling membantai terus sehingga benua ini nantinya hanyalah benua kosong yang berisi jutaan tengkorak..."

   Auyang Siau-hong tak mampu menjawab lagi.

   Perang memang sudah berlalu, orang Han dan Manchu dan suku-suku lain sudah lama hidup berbaur di bawah satu pemerintahan, hanya segelintir orang saja yang masih mengungkit-ungkit ras kesukuan dengan "kedok"demi tanah-air namun sebenarnya demi golongan mereka sendiri.

   Keadaan tubuh Auyang Siau-hong memang sedang lemah karena sakit.

   Sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba kepalanya berdenyut keras, matanya berkunang-kunang, keringat dingin mengalir; dan perutnya serasa diaduk.

   Ia jatuh terkulai, namun tak sempat membentur lantai sebab Pakkiong Eng buru- buru menyangga tubuhnya.

   "Ia pingsan", kata Pakkiong Eng kepada Tong Gin-yan sambil memondong tubuh Auyang Siau-hong. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil berlatlh silat, kekuatan Pakkiong Eng cukup kalau cuma untuk menggendong tubuh Auyang Siau-hong yang tidak seberapa berat itu sampai ke perapian.

   "Yan-ko, ambillah air di parit belakang".

   "Baik". Begitulah, malam itu Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng terpaksa menjadi tabib-tabib amatir untuk memulihkan kesehatan Auyang Siau-hong yang diakibatkan campur-aduk antara kelelahan, kekurang-pedulian merawat diri sendiri dan tekanan pikiran. Dengan sehelai kain yang dicelup air dingin dan ditaruh di jidatnya, Pakkiong Eng berusaha menurunkan panas badan "pasien"nya itu. Lalu air hangat diminumkan untuk mengantarkan obat sampai ke perut. Bahkan, setelah menyuruh Tong Gin-yan menghadap ke arah lain, Pakkiong Eng mencopoti pakaian Auyang siau-hong, mengelap tubuh gadis yang berkeringat, dan memakaikan pakaian kering dari buntalan pakaian yang dibawa Auyang Siau-hong . Menjelang tengah malam, Auyang Siau- hong sadar kembali, merasakan keadaan tubuhnya tidak seburuk semula. Ia bangkit dan sikapnya terhadap Pakkiong Eng tidak lagi bermusuhan, malahan berkata.

   "

   Terima kasih, nona Pakkiong, biarpun kau orang Manchu tetapi baik hati..."

   "Tidak jadi soal", sahut Pakkion Eng sambil menyeringai kecut.

   "Mungkin Cici pernah dijejali pandangan bahwa orang-orang Manchu semuanya jahat seperti iblis, kepalanya bertanduk dan mulutnya bertaring, sedangkan orang Han adalah bangsa yang lemah lembut dab berkebudayaan tinggi, semuanya baik hati seperti dewa- dewa,begitu?"

   Auyang Siau-hong menunduk canggung mendengar ucapan bernada protes halus itu.

   "Ya, maafkan atas kepicikan pandanganku tadi. Memang aku pernah dididik demikian. Tapi mulai sekarang. agaknya aku harus mengubah pandanganku yang picik.."

   Ketika menunduk itulah Auyang Siau- hong melihat bahwa pakaian yang dipakainya sudah bukan lagi pakaian yang tadi. Keruan mukanya menjadi merah padam.

   "Siapa mengganti pakaianku?"

   "Aku, Cici. Pakaianmu yang basah keringat itu kurang baik untuk tubuhmu."

   Sesaat Auyang siau-hong menunjukkan sikap bingung.

   Maklumlah, mengganti seluruh pakaian berarti harus menelanhanginya lebih dulu, apakah pemuda baju hitam itu sudah melihat seluruh tubuhnya? Pakkiong Eng agaknya mengerti apa yang dibingungkan oleh Auyang Siau-hong.

   "Ketika aku mengganti pakaianmu, Tan-ko sedang keluar untuk mengambil air dan mencabut kentang di luar benteng ini ", katanya sambil menunjuk Tong Gin-yan. Auyang siau-hong pun merasa lega. Kalau ditelanjangi sesama perempuan, apalagi dengan maksud baik demi kesehatannya, biarpun agak malu juga masih bisa diterima. Tong Gin-yan diam saja mendengar kedua gadis itu bercakap-cakap, pura-pura tidak mendengar. Ia menunggui kentang yang sedang direbusnya dengan menggunakan wadah topi besi prajurit kerajaan Beng yang berserakan. Kemudian Auyang Siau-hong ditawari makan kentang rebus hangat, di dekat perapian, sehingga keadaan tubuhnya semakin membaik dan nafsu makannya pun meningkat. Biarpun yang dimakan cuma kentang liar tanpa lauk apa-apa. **OZ** Bersambung ke

   Jilid 23 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 23

   "Cici Hong", kata Pakkiong Eng.

   "Kalau ingin menjadi pengembara di dunia persilatan harus pandai merawat kesehatan diri sendiri. Jangan diabaikan. Kalau kita jatuh sakit di tengah jalan seperti Cici ini, bagaimana kalau tahu-tahu bertemu dengan musuh?"

   "Ya, aku memang agak melalaikan hal itu", sahut Auyang Siau-hong sambil mengigit kentang rebusnya sedikit demi sedikit, disunduk dengan sepotong kayu kecil.

   "Tadi tubuhku begitu lemah, badanku panas, kalau tidak ditolong kalian berdua, mungkin aku akan menemani tengkorak-tengkorak itu selama- lamanya di tempat ini..."

   "Keenakan tengkorak-tengkorak itu kalau menjadi temanmu yang begini cantik", kata Pakklong Eng tertawa.

   "Tapi kalau aku boleh tahu, Cici hendak menuju ke mana dan dari mana?"

   Auyang Siau-hong ragu-ragu sejenak.

   "Aku...meninggalkan rumahku di Ki-lian san untuk mencari seorang... seorang...adik seperguruanku. Maksudnya, murid ayahku..."

   "Adik seperguruanku itu namanya Liu Beng, dari Liu-keh-chung..."

   "Ha, dia teman kami!"

   Tong Gin-Yan dan Pakkiong Eng berseru berbareng.

   "Nona Auyang, kami berdua bersama Liu Beng bahkan pernah mengeroyok Majikan Hek-eng- po!" .

   "Mengeroyok majikan Hek-eng-po?"

   Auyang Siau-hong tercengang.

   Seingat gadis itu, selama berada di Ki-lian-san biarpun Liu Beng mengalami kemajuan pesat dalam ilmu silatnya berkat ketekunannya berlatih, bahkan dianggap telah bisa mensejajarkan diri dengan Sepuluh Murid Terbaik Ki-lian-pai, tapi tak terbayangkan kalau si bekas kacung itu bertempur melawan Majikan Hek-eng-po yang keganasannya seperti iblis itu.

   Karena itu, yang pertama ditanyakannya kemudian adalah keselamatan Liu Beng.

   "Apakah dia...dia tidak cidera?"

   Melihat sikap Auyang Siau-hong yang perhatiannya begitu mendalam terhadap Liu Beng, maka Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng sama-sama paham bahwa Liu Beng bukan sekedar adik seperguruan biasa bagi gadis Ki- lian-san itu, tapi tentunya "adik seperguruan istimewa".

   Kalau dihubungkan dengan igauan Auyang Siau-hong ketika demam tadi, yang menyebut-nyebut "tidak mau kawin dengan Kam Suheng"

   Segala, maka Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng bisa menggambarkan rangkaian xerita yang dialami Auyang Siau-hong.

   Kisah lama yang sudah berulang ribuan kali.

   Gadis yang oleh orangtuanya dipaksa kawin dengan pemuda yang tidak dicintainya, lalu minggat dari rumah untuk mencarl kekasihnya di tempat lain.

   Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng yang tengah merasakan indahnya cinta malam itu, merasa simpatl kepada pasangan-pasangan yang cintanya terhalangi.

   "Nona tidak perlu menguatirkan diri Liu Beng, dia memiliki Cui-siang-sip-sik Siang- koai-hoat sekarang, ajaran dari ayah angkatnya, Cui-poan-siang Hong Thai-pa", jawab Tong Gin-yan menenteramkan Auyang Siau-hong.

   "Kami bertiga pontang-panting menghadapi Majikan Hek-eng-po, namun gabungan kami bertiga juga membuat iblis itu tak sanggup mengapa-apakan kami'.

   "Terima kasih kepada langit, dia... tak kurang suatu apa..."

   Siau-hong tidak lagi menyembunyikan kegemblraannya. membuat penyakit di badannya terusir sebagian besar.

   "Di mana dia sekarang?"

   "Pertempuran kami yang terakhir ialah ketika bertempur melawan Majikan hek-eng-po itu, lalu dia menuju ke Keluarga Sebun di Se- shia ketika tahu masih ada seorang sisa keluarga Liu hidup di sana..."

   Kata Tong Gin- yan.

   "Sekarang tentunya dia sudah ada di Se- shia."

   Semangat yang timbul setelah mendengar kabar tentang kekasihnya, membuat Auyang Siau-hong nyaris sembuh sama sekali.

   Dilahapnya beberapa butir kentang rebus yang besarnya hampir sekepalan tangan, namun kemudian wajahnya menjadi merah padam ketika pantatnya menghembuskan angin dengan suara keras.

   "Ma...maaf, aku kurang... sopan..."

   Katanya tersipu-sipu. Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng tertawa berbareng.

   "Itu tandanya kondisi badanmu akan membaik. Tenang sajalah. Kita adalah sahabat-sahabat, lewat diri Liu Beng".

   "Kami juga hendak menuju ke Se-shia", Pakkiong Eng mengalihkan pembicaraan supaya Auyang Siau-hong tidak malu, dan ia pura-pura tidak membaui apa-apa meskipun hembusan angin bekas isi perut Auyang Siau- hong itu cukup lumayan baunya, maklum habis masuk angin.

   "Besok kita bertiga bisa berjalan bersama-sama, kalau Cici Hong tidak keberatan".

   "Aku senang mendapat teman seperjalanan sepertinkalian berdua. Dan mudah-mudahan tidak mengganggu keasyikan kalian....

   "Ah, tidak, kami hanya...sahabat biasa", kata Pakkiong Eng malu, dan mengerling sekejap ke arah Tong Gin-yan. Malam itu mereka beristirahat dekat perapian. Auyang Suau-hong merasa kesehatannnya sedikit lebih baik setelah pertolongan Pakkiong Eng tadi. Pandangannya terhadap bangsa Manchu sedikit berubah juga, keliru kalau menganggap mereka semuanya jahat. Bukankah bangsa Han sendiri juga banyak orang jahatnya? Contohnya orang- orang Hek-eng-po yang telah menumpas kakeknya, paman-paman dan saudara-saudara sepupunya di Liu keh-chung. Ingat Hek-eng-po, gigi Auyang Siau- hong gemeretak menahan amarah dan bertekad membalas dendam. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Tong Gin-yan tadi bahwa Liu Beng menyusul seorang keturunan keluarga Liu yang masih hidup di Se-shia. Tadi ia lupa menanyakan nama keturunan keluarga Llu itu sebab pikirannya hanya terisi Liu Beng saja, namun sekarang ia ingin mengetahui siapa saudara sepupunya yang masih selamat dari kekejaman Hek-eng- po itu? Hanya saja dilihatnya Tong Gin-yan serta Pakkiong Eng sudah tidur pulas bersandar tembok, .aka diapun sungkan membangunkan mereka. Tapi besok pagi, begitu mereka bangun, nama orang keluarga Liu itulah yang akan ditanyakan paling dulu. Keesokan harinya, ketiganya bangun dengan tubuh segar. Dan Auyanf Siau-hong langsung melontarkan pertanyaan yang sudah dipendamnya satu malam.

   "Adik Eng, siapakah orang keluarga Liu yang disusul oleh Liu Beng di Se-shia itu?"

   Pakkiong Eng menguap bebas sambil menggeliat.

   "Liu Jing-yang", sahutnya.

   "

   Ha, kiranya Piauko (kakak misan) Jing-yang berhasil lolos dari kekejaman Hek-eng-po!"

   Auyang Siau-hong hampir melonjak kegirangan.

   "Bagus! Bertambah kuatlah alasanku untuk pergi ke Se-shia."

   "Cici, kenapa kau panggil dia Piauko?"

   "Sebab ibuku adalah orang dari keluarga itu pula. Adik dari paman Liu Goan, ayah Piau-ko Jing-Yang..."

   "Hah, kalau demikian Cici ini adalah puteri Ketua Ki-lian-pai, AuyannPeng-hong?"

   "Benar, ayah juga berjulkan Lam-ih- kiam-khek (Pendekar Pedang berbaju Biru) yang amat mahir ilmu pedangnya" , kata Auyang Siau-hong membanggakan ayahnya, biarpun ayahnya telah memaksanya kawin dengan pria yang tidak disukainya. Ia mengharap Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng akan kaget mendengar nama ayahnya yang terkenal, namun ternyata reaksi kedua teman barunya itu biasa-biasa saja. Diam-diam Auyang Siau-hong menganggap kedua teman barunya itu adalah keroco-keroco dunia persilatan yang belum berpengalaman. Seandainya ia tahu kedua teman barunya itu putera Ketua Hwe-liong- pang dan puteri Panglima Hui-liong-kun, barangkali tak akan sebangga itu sikap Auyang Siau-hong. Bergantian mereka membersihkan diri di parit kecil di belakang benteng yang penuh semak belukar itu, lalu makan bersama, lagi- lagi kentang rebus karena tak ada makanan lain, dan siaplah mereka untuk berangkat. Karena Auyang Siau-hong tidak membawa kuda, maka Pakkiong Eng mengajaknya berboncengan di kudanya. Auyang Siau-hong berkata akan membeli seekor kuda di pasar kuda yang pertama kali dijumpainya nanti. Dari ucapannya itu dapatlah diketahui bahwa ia sebenarnya membekal banyak uang, jatuh sakitnya di tengah jalan bukan karena kelaparan atau kehabisan bekal, tapi karena kekacauan pikirannya. Setelah banyak dihibur oleh Pakkiong Eng, dan mendengar pula kabar tentang diri Liu Beng, maka tubuh dan semangat Auyang Siau-hong membaik kembali. *Oz* BAGIAN DUA PULUH LIMA Hari ke tiga mereka bersama, tibalah di sebuah tempat yang terlalu besar untuk dikatakan sebuah kampung, namu terlalu kecil untuk disebut sebuah kota, apalagi karena tidak dilindungi sebuah tembok kota seperti umumnya kota-kota besar. Meskipun demikian, tempat yang oleh penghuninya sendiri disebut "kota"

   Liong-coan itu cukup ramai, karena dilintasi jalan raya kelas dua yang menghubungkan propinsi Ou-pak dan Siam- sai.

   Begitu ketiga orang muda itu lewat tugu batas wilayah tersebut, segera terasa adanya kemakmuran dan kedamaian di wilayah yang tak lebih sebuah kecamatan itu.

   Pohon-pohon bahan pangan tumbuh dengan baik, tugu-tugu penunjuk arah dan jarak dicat dengan baik sehingga memudahkan para pejalan, rumah- rumah letaknya agak berpencaran dan rata- rata baik pula.

   Selain bertani, ada juga yang berusaha lain seperti membuka toko di tepi jalan besar yang dilalui para musafir, atau penginapan sederhana atau warung makan .

   "Tempat ini diatur dengan baik,"

   Kata Pakkiong Eng.

   "Orang yang memimpin tempat kecil ini, pantas diberi tanggung jawab yang lebih besar lagi untuk memimpin wilayah yang lebih luas."

   "Ya, lihatlah wajah rakyat setempat yang umumnya memperlihatkan kegembiraan, meskipun mereka harus bekerja keras,"

   Kata Auyang Siau-hong yang kini tidak membonceng Pakkiong Eng lagi, mellinkan menunggangi seekor kuda coklat berkaki putih.

   "Orang yang berhasil memimpin tempat ini, seandainya dia tidak paham sejurus silatpun, patut diberi gelar 'pendekar'."

   "Aku sependapat dengan nona Auyang dalam mengartikan gelar pendekar itu,"

   Kata Tong Gin-yan.

   "Pendekar ialah orang yang menolong sesamanya menuju ke sejahteraan. Seorang yang ilmu silatnya setinggi langitpun, tetapi hanya menggunakan ilmunya untuk ketenaran diri sendiri, tak peduli kepada sesamanya. dia sebenarnya bukan pendekar, tetapi hanyalah 'tukang silat'."

   Auyang Siau-hong tak menjawab, sebab merasa ucapan Tong Gin-yan agak 'mengenai' diri ayahnya, Ketua Ki-lian pai, entah sengaja entah tidak.

   Ayah Auyang Siau-hong seorang yang ilmunya tinggi, namun yang terpikir dalam otaknya hanyalah bagaimana caranya bisa menjadi nomor satu di dunia persilatan.

   Auyang Siau-hong diam-diam merasa bahwa julukan ayahnya, Lam-ih Kiam-khek (jago pedang berbaju biru) adalah cocok.

   Bukan Lam-ih Taihiap (PENDEKAR berbaju biru), sebab ayahnya memang bukan pendekar, 'cuma' jago pedang.

   Kalau Auyang Siau-hong kelak ke Se- cuan dan melihat bagaimana orang-orang Hwe-liong-pang bekerja bersama rakyat, itulah akan lebih jelas lagi apa yang disebut pendekar itu.

   Tidak melulu bergulat dengan jurus-jurus silat, tapi bergulat juga dengan pasang- surutnya kesejahteraan sesama.

   Kam Hong-ti di Kang-lam juga disebut Kang-lam Taihiap, bukan sekedar Kang-lam Kiam-khek.

   Banyak kemudian pemuda belajar silat dengan cita-cita hanya sebagai jagoan- silat dan bukan pendekar, meskipun mereka mengamuk kalau dikatakan bukan pendekar.

   Menuruti perut mereka yang berkeruyukan dan tenggorokan yang haus, mereka kemudian membelok ke sebuah rumah tanpa dinding di pinggir jalan, yang memasang bendera putih besar bertulisan Liong-coan Siang-cui (air harum dari Liong-coan).

   Sebuah kedai sederhana, lantainya dari papan tebal yang ditinggikan beberapa jengkal dari tanah, dan di kolongnya ayam-ayam hilir mudik mencari makan.

   Tapi tempat itu nampak bersih dan rapi, bau makanan yang terhembus dari arah dapur juga cukup memanen selera.

   Tong Gin-yan yang tampan dengan dua teman seperjalanannya yang cantik-cantik, memang cukup menarik perhatian orang-orang yang tengah duduk makan-minum di kedai itu, lebih-lebih lagi karena mereka bertiga membawa pedang semuanya.

   Pelayan mendekat dan menanyakan ketiga tamunya itu hendak makan apa, lalu Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong berunding sementara Tong Gin-yan bungkam dengan perasaan tak sabar menantikan perempuan- perempuan itu menentukan apa yang hendak dimakannya.

   Akhirnya perundingan selesai, pelayan diberitahu, dan tak lama kemudian tiga mangkuk besar sop lobak yang mengepul harum dan tiga mangkuk nasi datang.

   "Nasinya tiga mangkuk lagi, kata Tong Gin-yan kepada pelayan. Auyang Siu-hong kaget.

   "Eh, Yan-ko, aku tidak nambah. Semangkuk pun sudah cukup."

   Tong Gin-yan menyeringai.

   "Akulah yang belum cukup. Empat mangkuk barulah memadai."

   Auyang Siau- hong tersenyum dan Pakkiong Eng berkata.

   "Mentang-mentang karena orang Se-cuan, propinsi yang dijuIuki Gudang Beras itu...."

   Auyang Siau-hong duduk menghadap keluar, sehingga melihat orang-orang berlalu lalang di jalan raya.

   Tengah ia menyuapi mulutnya dengan nasi dan sopnya bergantian, mendadak wajahnya berubah tegang, begitu tegangnya sehingga sepasang sumpit yang tengah dipegangnya terjatuh ke meja.

   Pakkiong Eng mengira demam temannya itu kambuh lagi, tapi ketika mengikuti arah pandangan Auyang Siau-hong, segera diketahuinya bahwa sikap Auyang Siau- hong itu bukan karena demam, tetapi karena melihat munculnya sekelompok orang yang tengah menuju pula ke kedai itu.

   Yang berjalan paling depan adalah seorang pemuda, sebenarnya cukup tampan, tetapi sikapnya kasar dan garang pandangan matanya seakan ingin menelan siapapun.

   Sebatang golok besar yang dijinjingnya menambah seram penampilannya.

   Dialah Ho Hong, berjulukan Jiat-jiu Longkun (si tampan bertangan maut) murid dari Jiat-jiu Lokoai (siluman tua bertangan maut), tokoh Hek-eng- po.

   Di belakangnya, Lo-san Su-koai (empat siluman Lo-san) yang tinggal tiga orang itu melangkah mengiringinya.

   Tiat-pi-koai (siluman lengan besi) Wan Po, Hek-hok-koai (siluman kalo hitam) Kongsun Gi yang kerdil dan mukanya penuh bulu, serta Hui-thian-koai (siluman terbang) Hau It-yau yang memakai caping bambu yang bisa digunakannya memenggal kepala orang dengan dilemparkan.

   Sedang siluman keempat, Gip hiat-koai (siluman pengisap darah) Pek Hong-teng sudah jalan lebih dulu ke akherat, dibunuh Liu Jing- yang beberapa bulan yang lalu.

   Di belakang mereka menyusul Ho Yu- yang yang di pinggangnya menyelipkan sebatang belati dan sebatang kampak bertangkai pendek, berjalan sejajar dengan Biau Ek-hong yang bertubuh jangkung dan kurus mirip sebatang bambu, dan berjuluk Tiat-jiau-eng (elang berkuku besi) dan tak pernah membawa senjata, serta seorang perempuan berbedak tebal Ciu Peng yang julukannya Tok-gia-kang (si kelabang beracun).

   Mereka semua adalah "kenalan lama"

   Pakkiong Eng, tanpa kecuali. Dalam waktu 'beberapa detik saja otak Pakkiong Eng maupun Tong Gin-yan berputar cepat untuk membuat perbandingan kekuatan antara pihaknya dengan orang-oang Hek-eng- po itu. Dan kesimpulan, mereka di pihak lebih lemah.

   "Jurus Langkah seribu", kata Tong Gin- yan kalem, sambil meninggalkan bangkunya dan meletakkan beberapa tahil tanpa dihitung lagi ke meja kasir."

   "Lewat pintu belakang, cepat...."

   Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong mengikutinya. Tetapi kuda putih mulus kepunyaan Pakkiong Eng yang ditambatkan di depan kedai itu cukup menarik perhatian, sehingga terdengar seruan Ho Hong.

   "Itu kuda milik Kiong Eng!"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia pasti masih di dalam kedai, kita bunuh saja!"

   Teriak Wan Po si raksasa yang ingat bahwa Pakkiong Eng pernah mempermainkan mereka dalam perjalanan di propinsi Se-cuan dulu.

   Maka berhamburanlah orang-orang Hek-eng-po itu menyerbu ke warung sambil menghunus senjata masing-masing, kecuali Wan Po yang mengandalkan pukulan palu godamnya dan Biau Ek-hong yang bangga dengan jari-jarinya yang sekuat kaitan besi.

   Mereka ada yang langsung menerjang ke dalam warung, ada yang memutar lewat samping kedai, dan Kongsun Gi yang lihai ilmu meringankan tubuh itu malahan melesat melewati atap warung dengan gerakan yang ringan sekali.

   Tangan kirinya sudah memegang senjatanya berupa ang-pit (pena baja).

   Dulu Kongsun Gi bersenjata sepasang pit, namun sejak tangan kanannya dibikin cacat oleh Kam Hong-ti, tinggal tangan kirinya yang masih bisa digunakan bertempur, sehingga ia hanya bersilat dengan satu senjata saja.

   Begitu ada di atas, Kongsun Gi dapat luaskan pandangnnya dan melihat Tong Gin- yan bertiga tengah menyusup ladang penduduk ke arah selatan.

   Ia berteriak kepada teman-temannya.

   "Mereka ke selatan!"

   Ho Hong yang bernyali paling besar, berilmu paling tinggi, juga mendendam Pakkiong Eng yang pernah melukainya, segera mempelopori ke arah yang ditunjukkan Kongsun Gi.

   Dengan kasar ia menendangi meja kursi, merobohkan orang yang menghalangi tindakannya.

   Lalu di belakang kedai memutar goloknya untuk menebasi tanaman-tanaman yang dirawat pemiliknya dengan susah-payah, sekedar untuk membuat jalan bagi langkahnya.

   Orang-orang Hek-eng-po lainnya mengikuti, namun mereka semua tetap membiarkan Ho Hong yang paling depan.

   Bahkan Wan Po, Kongsun Gi serta Hau It-yau yang pernah punya nama besar di kalangan hitam itupun tidak segarang dulu sebelum tangan kanan mereka dicacadkan Kam Hong-ti dan Si Liong-cu, sehingga kini lebih mengandalkan kepada Ho Hong, murid dari paman-guru mereka.

   Hanya Hau It-yau yang berani bertindak, namun hanya dari jarak jauh denga caping terbangnya.

   Caping itu melesat dari tangannya, berpusing dan menebas pohon- pohonan, langsung ke arah Tong Gin-yan yang berlari paling belakang sebagai perisai Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong.

   "Kalian lari terus, biar aku membendung mereka!"

   Kata Tong Gin-yan ketik mendengar desing di belakangnya. Namun Pakkiong Eng tidak sampai hati membiarkan kekasihnya menghadapi maut seorang diri. Iapun menghentikan tindakannya.

   "Tidak, Yan-ko. Cici Hong, larilah dan carilah Liu Beng dl Se-shia.."

   Tak terduga ucapan itu malah membakar semangat srikandi Auyang Siau- hong pula, sehingga diapun berhenti melangkah dan mencabut pedangnya.

   "Selamat bersama-sama atau gugur bersama- sama!"

   Tekadnya.

   Saat itulah caping terbang Hau It-yau mendesing datang, pedang Tong Gin-yan berkelebat dan membuat caping itu rontok ke tanah.

   Namun mereka tidak sempat lari lagi, sebab tujuh musuh tangguh telah berlompatan melingkarinya dengan senjata-senjata haus darah.

   Melihat siapa saja yang sudah mereka kepung, Ho Hong tertawa mengejek.

   "Kiranya Pek-ma Tok-hing (pengembara tunggal berkuda putih) adalah seorang gadis. Cantik pula. Tapi tidak peduli perempuan atau laki- laki, hutangnya kepadaku tetap harus dibayar. Kecuali kalau ia bersedia menemani tidurku tiga malam!"

   Sedang Ho Yu-yang menggeram melihat Auyang Siau-hong.

   "Dan ada pula anak Auyang Peng-hong yang telah membunuh saudara angkatku Ong Sek-lai. Bagus, gadis manis, akan kukirimkan tubuhmu kepada ayahmu sedikit demi sedikit".

   "Masih pula ditambah putera Hwe-liong Pangcu yang tampan", kata Tok-gia-kang Ciu Peng sambil tertawa genit.

   "Si tampan itu bagianku, lho!"

   Mendengar bahwa di antara calon korban itu ada putera Ketua Hwe-liong-pang pula, Wan Po dan kedua adik seperguruannya menjadi agak keder. Tapi mengingat mereka sedang banyak kawannya, maka merekapun memberanikan diri.

   "Jangan kecil hati, Wan Suheng", kata Ho Hong kepada Wan Po bertiga.

   "Saat ini Pocu (majikan puri) serta tiga jagoan utama termasuk Suhuku sudah keluar sarang semua, biarpun Ketua Hwe-liong-pang ataupun Sebun Him tidak perlu kita takuti lagi."

   "Siapa bilang aku takut?!"

   Sahut Wan Po agak mendongkol kepada Ho Hong yang menyebutnya takut di hadapan sekian banyak orang.

   "Lihat, aku menyerang dulu!"

   Lalu dia melompat dan menjotoskan tinju kirinya yang belum cacad.

   Meskipun bilang tidak takut, toh sasaran yang dipllihnya adalah Auyang Siau-hong, yang dianggapnya paling lemah di antara tiga lawannya.

   Angin pukulan segera menderu dahsyat ke arah Auyang Siau-hong.

   Puteri Ketua Ki-lian-pai itu segera merasakan dadanya sesak dan kepalanya pening oleh serangan hebat itu, ingin mengangkat pedangnya pun tidak sanggup lagi.

   Namun Tong Gin-yan segera melompat ke hadapannya dan menyongsong pukulan Wan Po itu dengan tangan kirinya, bukan dengan pedang di tangan kanan.

   Tenaga Wan Po memang hebat, ia tetap tegar setelah benturan itu, sedangkan Tong Gin-yan terpental dua langkah ke belakang.

   Sekilas nampak Wan Po memenangkan benturan itu, namun tiba-tiba tubuh si raksasa itu mulai mengigil kedinginan, kulitnya membiru dan akhirnya terdengar giginya gemerutuk seperti orang sakit demam.

   Ternyata dalam benturan tadi, Tong Gin-yan langsung menggunakan tenaga sakti Han-im- kang yang sangat dingin dan langsung menyusup ke tubuh lawan.

   Sedangkan Tong Gin-yan yang nyaris tak terpengaruh apapun, tak mau membuang kesempatan.

   Selagi Wan Po megap-megap berjuang melawan hawa dingin, ia melompat dan menusukkan pedang ke dada dengan gerak tipu Pek-ho-tiok-hi (bangau putih mematuk ikan).

   Dan Wan Po dalam keadaan sulit menyelamatkan diri karena tubuhnya kaku.

   Tapi dua orang Hek-eng-po yang berdiri di kiri kanan Wan Po serempak bergerak pula menolong rekannya.

   Biau Ek-hong yang bertubuh seperti tiang bendera itu segera menubruk, sepasang tangannya mencakar ke ubun ubun dan punggung Tong Gin-yan.

   Dari arah lain, Ciu Peng si bedak tebal menyabetkan pecutnya yang berujung seperti ekor kalajengking ke pinggang Tong Gin-yan.

   Dengan mulainya mereka, segera bergolaklah arena itu dengan pekik perang dan kelebatan senjata yang bermacam-macam.

   Tong Gin-yan, Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong saling membelakangi dalam posisi segitiga, menghadapi musuh dari segala penjuru.

   Tanpa lewat kata kata, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng bersepakat untuk bertempur dengan cara gabungan, masing-masing tidak mau terpecah dan terikat dengan lawan tertentu, namun tetap bergabung agar bisa melindungi Auyang Siau-hong yang kepandaiannya paling lemah, meskipun tidak kalah semangatnya.

   "Pecahkan barisan mereka!"

   Teriak Ho Hong.

   Dia sendiri dengan goloknya yang besar dan berputar seperti baling-baling tertiup angin mencoba menekan dari saty sisi, kebetulan yang ada di depannya adalah Auyang Siau- hong.

   Sedangkan Kongsun Gi yang lincah seperti kalong itu mencoba mengacaukan.kerja sama Tong Gin-yan bertiga.

   "Berputar!"

   Pakkiong Eng menyerukan siasat untuk menandingi siasat musuh.

   Ia tak membiarkan Auyang siau-hong ditekan Ho Hong, dialah bergeser menghadapi si Tampan Bertangan Maut itu.

   Diam-diam Auyang Siau-hong berterima kasih dan sekaligus merasa malu terhadap kedua temannya itu.

   Selama ini ia membanggakan Ketua Ki-lian-pai, ayahnya, tapi justru hari itu diketahuinya bahwa Tong Gin-yan yang suka berkelakar itu adalah putera Ketua Hwe-liong-pang yang jauh lebih besar dari Ki-lian-pai.

   Sedang Pakkiong Eng ternyata adalah orang yang di persilatan dikenal dengan julukan Pek-ma Tok-hing, Kelana Tunggal Berkuda Putih.

   Dalam detik-detik berikutnya, segera pula terlihat bahwa Tong Gin-yan bertiga tenggelam dalam kesulitan.

   Tujuh lawan mereka adalah tokoh-tokoh kelas dua dalam Hek-eng-po semuanya, apalagi ketika Wan Po sudah berhasil mengusir rasa dinginnya dan terjun ke arena pula.

   Biarpun tiga orang sisa Losan Su-koai sudah cacad semua tangan kanan mereka tapi mereka telah melatih tangan kiri mereka sehingga tidak kehilangan sama sekali daya tempur mereka, masih tetap berbahaya.

   Sementara itu orang-orang di kedai yang berantakan diterjang orang-orang Hek- eng-po tadi, orang-orangnya ternyata tidak menjadi ketakutan, tidak seperti orang-orang desa umumnya yang gemetar melihat kekerasan.

   "Orang-orang liar dari mana tadi yang begitu tak kenal aturan?!"

   Teriak si pemilik kedai Liong-coan Siang-cui yang jidatnya bertelur karena disampok tangan Ho Hong tadi.

   "Bisa rusak aturan tempat kita ini kalau mereka dibiarkan saja!"

   Sahut si orang tua ompong berpakaian berlepotan kuah yang tumpah akibat mejanya dibalikkan.

   "Kita harus bertindak! Aku masih sanggup berkelahi!"

   "Kita kumpulkan semua orang laki-laki!"

   Kata si pemilik Liong-coan Siang-cui.

   "Tapi kita harus laporkan dulu kepada Bhe Kausu (guru silat Bhe) dan bertempur di bawah pimpinannya!"

   Orang-orang yang marah itu berbondong-bondong ke rumah guru silat Bhe Un-liang, guru silat di Liong-coan yang selama itu dianggap sebagai "camat swasta", di wilayah yang lepas dari perhatian pemerintah pusat maupun pemerintah gubernuran itu.

   Bhe Un-liang juga merangkap pemangku adat, penegak hukum, kepala keamanan, tabib dan entah berapa belas jabatan lagi yang untung saja tidak disalah- gunakan, malah digunakannya untuk meningkatan kesejahteraan rakyat.

   Rumahnya sebuah gedung tua sederhana namun terhitung ukuran besar di kota kecil Liong-coan itu.

   Halaman rumahnya luas.

   setiap pagi dan sore dipenuhi orang-orang Liong-coan yang berlatih silat di bawah blmbingannya secara cuma-cuma.

   Bhe Un-liang sendiri tergolong murid Hoa-san-pai, satu angkatan dengan Sebu Him yang berhasil mencapai nama besar di wilayah barat laut, namun Bhe Un-liang sendiri tidak suka nama besar, dia lebih suka hidup tenteram bersama tetangga-tetangga di Liong- coan, tidak terdengar namanya sedikitpun di dunia persilatan.

   Mendengar laporan orang-orang dari kedai Liong-coan Siang-cui tentang keributan yang terjadi, Bhe Un-liang menjad marah karena ketenteraman yang dibinanya belasan tahun itu mulai diusik orang.

   Tanpa banyak cakap ia menyambar pedangnya, lalu melangkah keluar dengan tegapnya, jenggot kelabunya melambai-lambai seperti bendera perang.

   Orang-orang Liong-coan segera mengikutinya.

   Selama ini, Bhe Un-liang berhasil membentuk sikap orang-orang Liong- coan bahwa keamanan adalah tanggung-jawab bersama.

   Satu warga diusik, berarti seluruh Liong-coan diusik pula dan harus melawan kejahatan.

   Rata-tata lelaki Liong-coan, dari pemuda yang baru tumbuh kumisnya sampai kakek-kakek yang giginya mulai copot, pernah mendapat didikan silat dari Bhe Un-liang sehingga bernyali besar.

   Di antaranya ada yang dianggap cukup matang, setengah matang, atau hanya seperempat matang.

   Karena itulah Bhe Un-liang segera mendapat "pasukan"

   Berjumlah ratusan oang lelaki segala umur, dengan membawa senjata semuanya.

   Ada tombak, golok, pedang, pentung, kampak, palang pintu, kait jerami, pacul, sabit rumput, bambu runcing, belati, bandul timbangan dari perunggu dan entah benda apa lagi yang pokoknya bisa untuk berkelahi.

   Dipimpin oleh Bhe Un-liang, mereka menyerbu bagaikan air ke tempat terjadinya pertempuran, di belakang kedai Liong-coan Siang-cui.

   Tempat yang tadi penuh tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan itu, sekarang sudah rata seperti lapangan gara-gara pertempuran sengit.

   Keruan si pemilik kebun menjadi marah, entah berapa banyak kerugian yang ditanggungnya.

   Sedang Bhe Un-liang langsung membentak dengan suaranya yang seperti guruh "Hentikan!"

   Tong Gin-yan bertiga sebenarnya lebih senang mentaati seruan itu, namu kalau mereka berhenti sepihak, tubuh mereka akan tercincang hancur oleh lawan-lawan mereka yang haus darah.

   Sedang Jiat-jiu Longkun Ho Hong meskipun melihat kedatangan ratusan orang kampung bersenjata, namun tidak gentar.

   Ia memerintahkan teman-temannya.

   "Hanya para petani bodoh! Tak usah dipedulikan!"

   Seruan itu membuat wajah Bhe Un- liang merah padam.

   "Hem, baik, rasakan pedang si petani bodoh ini!"

   Tubuhnya gemuk dan perutnya besar, tapi si guru silat desa ini ternyata sanggup melompat seperti seekor belalang, begitu masuk arena langsung mainkan salah satu jurus Hoa-san-kiam-hoat (ilmu pedang Hoa- san-pai) yang disebut Hui-in-siu-te-kiam (tusukan di bawah lengan baju).

   Lengan jubahnya mengebas cepat berulang-ulang sehingga seperti segumpal mega dan pedangnya tanpa kelihatan menyusup di balik serangan samaran itu.

   Yang diserangnya adalah Biau Ek-hong, yang paling dekat dengan tempatnya berdlri.

   Orang yang diserang terpaksa membalik tubuh untuk menghadapi serangan dari luar gelanggang ini.

   Seperti teman-temannya, Biau Ek-hong memandang rendah si guru silat kampung ini, tapi ia terkesiap ketika serangan lengan jubah dan pedang Bhe Un-liang ternyata merupakan gerak tipu yang tak mudah dipecahkan.

   Sambil berkelit, Biau Ek-hong mengandalkan tangannya yang amat panjang itu mencakar ke dada Bhe Un-liang.

   Namun si guru desa dengan tangkas memutar pedangnya dengan gerakan Pek-ho-keng-ih (bangau putih menyisik bulu) "Gila!"

   Biau Ek-hong kaget sekali kemudian buru-buru menarik tangannya.

   Dan lebih kaget lagi ketika melihat si guru desa itu bersilat dengan Hoa-san-kiam-hoat dan berhasil mendesaknya.

   Berubahlah pandangan semua orang terhadap Bhe Un-liang.

   Tidak ada lagi yang memandang rendah kepadanya.

   Melihat sesepuh yang dihormati sudah turun tangan, orang-orang Liong-coan siap menceburkan diri ke arena pula.

   Tetapi Bhe Un-liang sendiri tidak mau jatuh banyak korban di pihaknya, sehingga ia berseru.

   "Hanya empatbelas murid utama boleh masuk arena! Lainnya cukup mengepung saja!". Yang di sebut empatbelas murid utama adalah empatbelas lelaki berusia dari duapuluh sampai empatpuluh lima tahun yang mengikuti pelajaran silat Bhe Un-liang secara bersungguh-sungguh dalam waktu lama. Bukan sekedar untuk berolah raga atau cari keringat saja. Begitu mereka masuk gelanggang, orang-orang Hek-eng-po segera merasakan betapa tangguhnya mereka. Ho Yu-yang dengan kampak pendek dan belatinya menyongsong mereka. Kampaknya dengan tenaga luar biasa membabat ke arah pemuda bermuka hitam yang memegang tongkat besi, sementara belatinya siap melakukan serangan susulan. Diluar dugaan, pemuda itu ternyata sanggup menangkis kampaknya meskipun dengan sempoyongan hampir roboh. Dan sebelum Ho Yu-yang menyusulkan tikaman belatinya ke jantung, sebuah bandul timbangan menyambar pelipisnya dari samping, berbarengan dengan sebuah garpu jerami hendak menusuk pahanya. Terpaksa ia melompat mundur. Begitulah, meskipun secara perorangan murid-murid Bhe Un-liang itu cuma jagoan- jagoan kelas empat atau lima, tapi mereka diajari berkelahi dengan bekerja sama dan bernyali besar pula, sehingga cukup merepotkan. Mereka tidak menyerang sembarangan saja, namun menyerang dan mundur bergantian dengan rapi. Kini keadaan berbalik, pihak Hek-eng- po lah yang terkepung dua lapis, Sedang Tong Gin-yan bertiga belum berhasil mereka bereskan. Ratusan orang desa yang berkumpul melingkar dengan senjata beraneka ragam dan sikap mengancam itu juga membuat orang- orang Hek-eng-po merasa ngeri. Orang-orang desa itu ternyata mampu berkelahi dan tak bisa digertak. Akhirnya Ho Hong yang memimpin orang-orang Hek-eng-po merasa tidak ada gunanya bertahan terus di situ. Teriak Ho Hong.

   "Berhenti!"

   Pertempuran pun berhenti, masing- masing pihak berlompatan menghindari lawan masing-masing.

   "Apa maksud kalian dengan berbuat gila-gilaan semacam ini?!"

   Kata Ho Hong sambil melotot ke arah Bhe Un-lianf.

   "Kami hanya mengejar musuh-musuh kami sendiri, tak ada hubungannya dengan kalian, kenapa kalian ikut campur?!"

   Bhe Un-liang menjawab garang.

   "Kalian erusak kedai dan ladang orang Liong-coan yang merupakan sumber kehidupan mereka, menggoyahkan kedamaian yang sudah belasan tahun bertahan. Masa ini kau katakan tidak ada hubungannya dengan kami?!"

   "Ganti semua kerugian!"

   Pemllik Liong- coan Siang-cui ikut membentak sambil menghantamkan tangkai tombaknya ke sebatang pohon di dekatnya.

   "Kalau tidak mau mengganti, jangan harap pergi dari sini!"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar!"

   Dukung si pemilik ladang yng sudah berubah menjadi lapangan silat itu. Ia mengacungkan goloknya.

   "Ganti rugi! Ganti rugi!"

   Yang lain berteriak-teriak.

   Keruan orang-orang Hek-eng-po mendongkol sekali, biasanya mereka ditakuti seperti hantu-hantu,tak terbayangkan kalau saat itu mereka malahan dikepung seperti maling-maling ayam.

   Yang mengepung mereka juga bukan kelompok-kelompok persilatan terkenal, tetapi hanyalah penduduk kampung yang marah.

   Hanya saja mereka sadar bahwa penduduk Liong-coan tidak bisa dianggap enteng.

   Mereka berdiri agak berpencaran memegang senjata dengan benar, dan berdiri dengan sikap keseimbangan yang baik.

   Jelas semuanya paham silat, meskipun tinggi rendahnya entah sampai di mana.

   Akhirnya Ho Hong berteriak jengkel.

   "Baik! Kami akan bayar! Seratus tahil perak untuk semua kerusakan, cukup tidak?!"

   Satu lagi watak baik yang berhasil ditanamkan Bhe Un-liang kepada penduduk Liong-coan adalah kejujuran, tidak mau memeras orang lain meskipun dalam posisi lebih kuat. Si pemilik kedai menjawab.

   "Kerusakan di kedaiku cukup diganti duapuluh tahil saja!"

   "Dan kebunku juga tigapuluh tahil saja!"

   Kata si pemilik kebun yang rusak.

   Semuanya tldak lepas dari.

   perhatian dan penilaian Tong Gin-yan, dan bertambah kagumlah ia kepada Bhe Un-liang dengan keberhasilannya menanamkan nilai-nilai baik di lingkungan kecilnya.

   Ini benar-benar seorang Pendekar, dalam pengertian yang dibicarakannya dengan Auyang Siau-hong tadi, bukan cuma jago silat.

   Dengan demikian, pihak Hek-eng-po tidak usah mengeluarkan seratus tahil, tapi cukup limapuluh tahil saja.

   Meskipun demikian, toh mereka tetap melakukan pembayaran dengan rasa terhina dan dendam.

   Dalam pikiran mereka, mereka boleh bebas memenggal kepala orang lain, tapi orang lain tidak boleh menyentuh mereka seujung rambutpun.

   Setelah membanting uangnya di tanah, mereka berlalu dengan uring-uringan.

   Bagi Tong Gin-yan yang mendambakan tumpasnya Hek-eng-po, sebenarnya itulah saat yang baik untuk menumpas ketujuh orang itu dengan bantuan Bhe Un-liang dan orang- orangnya.

   Tapi setelah ditimbang-timbang lagi, pikiran itu dibuangnya jauh-jauh.

   Memang bisa saja menumpas ketujuh orang itu, namun untuk selanjutnya desa yang tenteram itu pasti akan menjadi sasaran kemarahan Hek-eng po.

   Kalau kemudian gembong-gembong semacam Jiat-jiu Lokoai (siluman tua bertangan maut), Ang-pit Tojin (si imam hidung merah) atau Hin-heng Lojin (orang tua pembenci hukum), maka pastilah Bhe Un-liang dan orang-orang Liong-coan akan mengalami malapetaka.

   Tong Gin-yan bertiga pun segera mengucapkan,terima kasih kepada Bhe Un- liang dan penduduk Liong-coan yang membantu mereka lolos dari maut.

   "Jangan sungkan, anak-anak muda". sahut Bhe Un-liang sambil tersenyum.

   "Kalau bukan kami sendiri yang menjaga ketertiban di lingkungan kami sendiri, lalu siapa lagi?"

   "Tapi kami bertiga mohon maaf bahwa kami sudah mengejutkan Taihiap dan saudara- saudara sekalian", kata Tong Gin-yan.

   "Kami mohon diri untuk segera meninggalkan tempat ini, agar tempat yang indah ini tidak terganggu oleh orang-orang tadi lagi. Mereka bukanlah jenis orang-orang yang dapat menyudahi suatu urusan dengan gampang, mereka orang-orang jahat yang punya banyak teman. Kehadiran kami di sini hanya akan menyusahkan kalian".

   "Anak-anak muda, kalau kalian ingin melanjutkan perjalanan, kami tidak sanggup menghalangi langkah kalian. Tetapi kami tidak mengusir kalian, kalau ingin di sini, silahkan. Keselamatan kalian sebagai tamu Liong-coan akan kami pikul, seperti kami juga bertanggung-jawab terhadap tamu-tamu kami yang lain".

   "Terima kasih, Taihiap. Kami biar berjalan terus saja,"

   Tong Gin-yan berkeras.

   Ia akan merasa berdosa kalau melibatkan desa yang tenteram itu dalam kemarahan Hek-eng- po.

   Tetapi niat itupun mendapat rintangan.

   Tiba-tiba Auyang Siau-hong mengeluh sambil memegangi kepalanya, langkahnya terhuyung- huyung hendak roboh, sehingga Pakkiong Eng cepat menangkap tubuhnya.

   Kiranya gadis itu belum sembuh benar dari sakitnya, dan dalam pertempuran melawan orang-orang Hek-eng- po tadi, tertekan oleh kelelahan dan ketegangannya, terkuraslah daya tahannya sehingga jadilah ia penghalang kepergian Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng.

   "Enci Hong tak akan sanggup melanjutkan perjalanan,"

   Desis Pakkiong Eng, sinar matanya menanyakan pendapat Tong Gin-yan.

   Sesaat Tong Gin-yan kebingungan.

   Mengajak pergi Auyang Siu-hong maupun menitipkannya kepada Bhe Un-liang, sama- sama tidak aman dari ancaman orang-orang Hek-eng-po.

   Disaat dia kebingungan itulah Auyang Siau-hong berdesis lirih.

   "Aku tidak ingin menjadi penghalang perjalanan kalian. Tinggalkan aku..."

   "Tidak!"

   Sahut Tong Gin-yan tegas. Namun ia tidak tahu bagaimana kelanjutan dari kata "tidak"

   Tadi. Saat itulah Bhe Un-liang menawarkan sebuah jalan keluar.

   "Tinggallah kalian di sini beberapa hari. Tidak baik membawa-bawa orang sakit dalam perjalanan".

   "Tetapi tidakkah nanti Taihiap mengalami kesulitan dari penjahat-penjahat tadi?"

   "Tidak perlu menggubris mereka!"

   Sahut Bhe Un-liang mantap.

   "Apakah tempat kami ini harus tunduk kepada kemauan mereka untuk menolak atau menerima tamu-tamu kami sendiri? Ayo gotong nona ini ke tempatku!"

   "Kalau demikian, terpaksa kami harus merepotkan Taihiap,"

   Kata Tong Gin-yan hormat.

   Lalu ia memondong tubuh Auyang Siau-hong, berjalan di belakang Bhe Un-liang dan di depan Pakkiong Eng.

   Sementara orang- orang Liong-coan sudah bubar semua.

   Di rumah guru silat itu, Auyang Siau- hong serta Pakkiong Eng segera mendapatkan tempat di sebelah pekarangan penjemuran bahan-bahan obat, dan Tong Gin-yan di seberang halaman.

   Bhe Un-liang tidak punya pembantu, sehingga Tong Gin-yan menuntun tiga ekor kudanya dan milik teman-temannya ke belakang, memasukkannya ke kandang kuda melepaskan pelana-pelananya.

   Sementara di dalam, Bhe Un-liang mengobati Auyang Siau-hong.

   Ketika keadaan Siau-hong membaik dan Bhe Un-liang menanyakan nama kedua gadis itu, giliran Pakkiong Eng yang ditanya menjadi ragu-ragu menyebutkan nama marganya, Pakkiong, kuatir Bhe Un-liang memakinya sebagai orang Manchu dan menghunus pedang untuk melabraknya.

   "Kurang beruntung dilahirkan sebagai orang Manchu di kekaisaran ini, kecuali daerah Liau-tong, asal orang-orang manchu sendiri,"

   Pikir Pakkiong Eng. Namun dia menjawab juga.

   "Aku Pakkiong Eng dari Pak-khia...."

   Tapi ternyata reaksi Bhe Un-liang biasa- biasa saja, sikap ramahnya tidak berkurang sedikitpun. Paling hanya berkata.

   "Kiranya nona Pakkiong ini seorang mandarin (priyayi)..."

   "Tidak, Talhiap. Ibuku hanyalah rakyat jelata dari kalangan biasa. Ayah sudah tergolong mandarin. yang tidak mendapat bagian di Istana, karena hubungan yang terlalu jauh dengan keluarga istana. Bhe Un-liang mengangguk-anggukkan epala sambil membelai jenggotnya.

   "

   Baiklah, berlstirahatlah kalian berdua. Eh, teman lelaki nona berdua tadi di mana, siapa namanya?"

   "Tong Gln-yan, orang Se-cuan, mungkin sedang menempatkan kuda di belakang."

   Ketidak-acuhan Bhe Un-liang terhadap apapun yang terjadi di dunia persilatan terlihat dari sikapnya yang tidak terkejut sama sekali mendengar she Tong dari Se-cuan.

   Biasanya kalau orang persilatan mendengar dua hal itu disebut bersamaan, langsung akan menghubungkan dengan Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou yang merupakan seorang pendekar tua terkenal.

   Tetapi Bhe Un-liang tidak menanyakannya.

   "Benar-benar seperti katak dalam sumur."

   Pikir Pakkiong Eng setelah lelaki setengah tua itu meninggalkan kamarnya.

   "tapi yang ini bukan katak. Macan. Macan dalam sumur..."

   Dengan sikap penuh sayang, dinaikkannya selimut sampai leher Siau-hong, sementara Siau-hong memandangnya dengan penuh rasa terima kasih.

   "Kau baik sekali, adik Eng"

   Sesaat ruangan tenang, lalu Siau-hong melanjutkan.

   "Sekarang aku benar-benar menghayati bahwa baik buruknya sesorang itu bukan ditentukan suku keturunannya, entah Manchu, entah Han, entah Liao, Hui dan sebagainya. Kalau ingin perdamaian, toh manusia harus menerima sesamanya yang berbeda sebagai saudara, bukan sebagai musuh."

   "Syukurlah kau pahami itu. Manusia atau bangsa apa saja toh tidak mungkin mengurung dirinya dalam dinding-dinding tak tertembus yang memisahkannya dari manusia lain, karena keaneka-ragaman itu mestinya untuk memperkaya dan bukan mengkotak- kotakkan manusia."

   "Aku beruntung berjalan bersama kalian. Bukan saja mendapat banyak pertolongan, tetapi juga mendapat pandangan- pandangan baru yang mengesankan. Aku seperti katak yang baru saja keluar dari tempurung dan melihat hal-hal baru."

   Tong Gin-yan bertiga tinggal di rumah Bhe Un-liang yang penuh suasana kekeluargaan.

   Isteri Bhe Un-liang sudah meninggal, meninggalkan 3 anak.

   Yang paling tua perempuan, sudah enambelas tahun, menilik tubuhnya yang padat dan gerak- geriknya yang lentur, agaknya sudah menerima pendidikan silat dari ayahnya pula.

   Kedua adiknya laki-laki, yang paling kecil mempunyai sekotak besar wayang potehi yang suka dimain-mainkan sambil mengoceh sendirian.

   Keesokan harinya, di depan rumah Bhe Un-liang.tiba-tiba muncul seekor kuda tegar.

   Penunggangnya adalah seorang pria setengah abad, lebih tua beberapa tahun dari Bhe Un- liang, memakai pakaian perjalanan yang kotor oleh debu dan keringat, serta membawa sebatang pedang yang besarnya satu setengah kali dari pedang ukuran umum.

   Bhe Un-liang yang tengah berlatih silat di halaman samping, cepat-cepat ke halaman depan untuk melihat siapa yang datang, sebab rumahnya jarang didatangi tamu berkendaraan kuda seperti kali itu.

   Dan begitu melihat siapa yang tengah melangkah masuk sambil menuntun kuda, diapun berseru gembira.

   "Suheng! (kakak seperguruan)". Orang itu adalah Sebun Him, kepala keluarga Sebun di Se-shia yang terkenal sakti, kaya-raya dan berpengaruh besar. Dalam Perguruan Hoa-san-pai, Sebun Him memang satu angkatan dengan Bhe Un-liang. Kedua teman satu perguruan itu segera berpelukan erat, tertawa gembira, saling menanyakan kesehatan masing-masing.

   "Suheng, kunjunganmu benar-benar tidak terduga. Aku mengira si pendekar terhormat dan hartawan gudang uang dari Se- shia semacam Suheng tentunya sudah melupakan aku, si orang desa ini! kata Bhe Un- liang.

   "silahkan masuk, Suheng"

   Sebun Him menambatkan kudanya, lalu melangkah masuk.

   Tubuh Bhe Un-liang sudah tergolong besar dan tegap di Liong-coan situ, namun ketika berjalan berdampingan dengan Sebun Him, ia jadi mirip seorang bocah tanggung berjalan di samping ayahnya.

   Atau seekor kambing berjalan berdampingan dengan seekor beruang.

   "Jangan berkata demikian, Sute. Uang itu ibarat air, bisa pergi dan datang setiap saat. Tetapi siapa bisa lupa kepada teman-teman seperguruan yang di masa muda pernah sama- sama mengalami jerih payah latihan di Hoa- san-pai? Yang tiap hari latihan bersama, makan bersama bergurau bersama?"

   Bhe Un-liang nampak puas mendengar jawaban Sebun Him itu.

   "Kalau demikian, kelirulah anggapan orang-orang Hoa-san-pai kita yang selama ini agaknya salah paham kepadamu, Suheng. Ada yang mengatakan bahwa kau sudah kaya dan terkenal, bahkan kabarnya punya hubungan dengan orang- orang pemerintahan pula, sehingga melupakan bekas saudara-saudara seperguruan di masa muda. ..."

   "Ah, omongan orang bisa saja. Lagipula, kapan aku menganggap kalian bekas saudara- saudaraku? Kalian tetap saudara-saudaraku, aku jadi sering lupa mengunjungi saudara- saudara lainnya..."

   "Silahkan duduk, Suheng,"

   Kata Bhe Un-liang ketika tiba di ruangan tengah.

   "Aku sungguh gembira kalau Suheng mau tinggal cukup lama di rumahku , tentu saja jangan dibandingkan dengan kediamanmu yang mirip istana di Se-shia sana..."

   "Aku sebenarnya sedang dalam perjalanan ke Siong-san di Ho-lam, untuk menemui sahabatku , Pun-bu Hweshio dan Tong Lam-hou Ketua Hwe-liong-pang. Lalu kudengar bandit-bandit Hek-eng-po muncul di sekitar sini dan mengacau, membuat aku jadi mencemaskan dirimu, Sute, dan mampir kemari".

   "Terima kasih. Aku tidak apa-apa. Kemarin memang ada keributan sedikit, tiga orang muda dikeroyok tujuh orang liar entah dari mana. Namun dengan bantuan seluruh penduduk Liong-coan, orang-orang liar itu berhasil diusir, bahkan dipaksa meninggalkan uang limapuluh tail sebagai ganti rugi kerusakan yang mereka timbulkan."

   "Siapa orang-orang muda ini?"

   "Mereka berada du rumah ini sekarang, sebab salah seorang dari mereka agaknya jatuh sakit dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Nama mereka Tong Gin-yan, Pakkiong Eng dan yang sakit itu Auyang Siau- hong."

   "Ah, mereka kiranya!"

   "Suheng kenal mereka?"

   "Hanya gadis yang bernama Pakkiong Eng itu, dia adalah puteri Panglima Pasukan Naga Terbang di Pak-khia, Pakkiong Liong yang dijuluki Naga Utara. Gadis itu teman akrab puteraku, Sebun Hiong!"

   "Pantas gadis itu begitu lihai, kiranya puteri Pakkiong Liong."

   Percakapan berhenti sebentar ketika puteri Bhe Un-liang muncul untuk memberi hormat kepada Supeknya sambil membawakan teh.

   Sebun Him sempat juga memuji-muji sebentar anak gadis Bhe Un-liang yang dikatakannya sudah besar dan cantik.

   Setelah Bhe Giok-im, puteri Bhe Un- liang itu menghilang kembali ke balik pintu, Sebun Him bertanya lagi.

   "Dan bagimana ciri- ciri orang-orang yang mengacau kemarin?"

   Secara singkat Bhe Un-liang menyebutkan tampang ketujuh orang Hek- eng-po kemarin, juga pakaiannya, tingkat kepandaian masing-masing, dan senjata- senjata atau gaya silat mereka.

   "Jelas merekalah orang-orang Hek-eng- po,"

   Sebun Him sengaja menunjukkan wajah yang tegang untuk mempengaruhi adik seperguruannya.

   "Sute, agaknya kelompok jahat itu mengincar wilayah yang subur ini!"

   Tak terduga Bhe Un-liang tak terpengaruh sedikitpun, ia menghirup tehnya dengan suara yang keras, lalu berkata sambil mengurut jenggotnya,"0h, jadi mereka adalah anggota kelompok yang selama ini menghantui dunia persilatan? Kalau begitu, penduduk Liong-coan patut berbangga sudah berhasil mengusir mereka dengan kerjasama yang kompak! Ha-ha-ha..."

   "Sute, kalau kau mengangap enteng mereka, berarti kau sedang menjerumuskan penduduk Liong-coan ke kehancuran,"

   Kata Sebun Him, lagi-lagi bernada mengancam.

   "Orang-orang yang kau ceritakan tadi cuma jago-jago Hek-eng-po lapisan kedua. Kalau jago-jago lapisan pertama mereka seperti Jiat- jiu Lokoai, Ang-pit Tojin, Hin-heng Lojin, apalagi Majikan Hek-eng-po sendiri yang muncul, agaknya kau akan menghadapi kesulitan besar".

   "Hem, biarpun kesulitan sebesar apapun. akan kami hadapi demi mempertahankan hak kami!"

   Bhe Un-liang menggebrak meja, seolah tampang orang- orang Hek-eng-po yang menjengkelkan betul- betul muncul di depan hidungnya.

   "Bagus, Sute, kau benar-benar menjunjung tinggi nama Hoa-san-pai kita!"

   Sebun Him memuji.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Karena pertemuan di Siong-san masih ada waktu longgar, biarlah aku sementara waktu ada di sini untuk membantu kesulitanmu. Jelek-jelek begini, majikan Hek-eng-po pun masih merasa segan terhadapku!"

   


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Pendekar Cacad Karya Gu Long

Cari Blog Ini