Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 14


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 14



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   Tadi ia merasakan, betapa hebat daya perlawanan dan rangsakan ilmu Panca- sakti.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Dengan pengalamanku belasan tahun, masih tak dapat aku menembus mata-rant ai pertahanannya.

   Apalagi mencoba mengetahui kunci rahasianya.

   Apakah Lingga W isnu sanggup menghadapinya? Ajaran yang diperolehnya sama dengan apa yang aku peroleh dari guru.

   W alaupun cerdas, dalam hal pengalaman aku menang jauh.

   Benar dia dapat memberi kisikan dan petunjuk-petunjuk bagaimana caraku bisa meloloskan diri dari kepungan mereka.

   Tetapi hal itu terjadi, karena dia tidak bertempur langsung.

   Ku-umpamakan seorang penonton pertandingan catur yang dapat melihat kelemahan lawan.

   Sebaliknya bila dia bertempur secara langsung, akan lain halnya.

   Sebab dia tidak memperoleh kesempatan untuk berpikir dan menimbang-nimbang kemungkinan-kemungkinannya sedikit saja salah langkah atau lalai, berarti menghadapi maut.

   Apakah ...

   apakah ...

   akh ....

   mustahil dia sanggup merobohkan mereka ...' Oleh pertimbangan ini, dengan hati-hati Botol Pinilis berkata .

   "Ilmu sakti keluarga Dandang Mataun tiada keduanya di dunia. Terlalu hebat! Terlalu hebat untuk dicobanya terhadap adikku seperguruan karena dia belum pandai beringus. Lihatlah, usianya pant as kalau menjadi cucu kalian. Benar-benar tidak seimbang dengan kedudukan kalian, apa keuntungannya untuk mempersulitnya? Bila dia pernah berbuat kurang ajar terhadap kalian, biarlah kalian menunjuk seseorang untuk mewakili kalian menghajarnya sampai jera sebagai hukumannya."

   Botol Finilis kelihatan bersikap mengalah.

   Tapi sebenarnya ia mempunyai perhitungannya sendiri.

   Ia percaya, adiknya seperguruan itu tidak bakal kena dikalahkan bila berlawan-lawanan seorang demi seorang.

   Bahkan dia masih sanggup menghadapi dua lawan sekaligus.

   Tadi ia menyaksikan sendiri, betapa Buyut Sodana dapat dirobohkannya dengan mudah.

   Cocak Rawa yang pandai membakar hati segera mengetahui Botol Pinilis.

   Ia tak sudi kalah gertak Maka berkatalah dia sambil mencibirkan bibirnya .

   "Sekar Teratai mempunyai nama besar semenjak puluhan tahun yang ialu. Akh, tak mengira sama sekali bahw a anak-anak muridnya kuncup hatinya begitu mendengar nama ilmu Panca sakti. Benar-benar diluar dugaan. Baiklah, kalau begitu, semenjak hari ini orang tak perlu bersegan - segan lagi. terhadap Sekar Teratai. Pan kuharap, kamu menyempaikan salamku kepada gurumu, bahwasanya lebih baik nama Sekar Teratai terhapus saja dari percaturan masyarakat ..."

   Puguh Harimawan mendongkol bukan main mendengar ucapan Cocak Rawa. Terus saja ia melompat maju tanpa persetujuan gurunya. Katanya dengan membentak .

   "Kau bilang Sekar Teratai"

   Lebih baik lenyap dari percaturan masyarakat? Huh, kau kira kami gent ar menghadapi kalian?"

   "Kalau begitu, kaulah saja yang maju,"

   Sahut Cocak Rawa dengan tertawa merendahkan. Puguh Harimawan benar-benar tidak gentar sedikitpun. Kakinya bergerak hendak melangkah maju. Tiba-tiba tangannya kena ditarik Lingga W isnu. Kata paman cilik itu .

   "Kakang Harimawan. Biarlah aku maju lebih dahulu. Apabila aku gagal, barulah kakang membantunya diriku."

   Puguh Harimawan menanggut. Sahutnya .

   "Baik. Begitu membutuhkan aku, panggillah namaku saja, Harimawan atau Puguh begitu saja. Tak usah menyebutku kakang segala. Bukankah kau justru pamanku?"

   Lingga W isnu te rsenyum. Ia mengangguk pendek Dan Suskandari t ertawa geli.

   "Apa yang kau tertawakan?"

   Puguh Harimawan menegur dengan mata melotot.

   "Akh, tak apa-apa. Aku hanya ingin tertawa. Dan akupun tertawa"

   Jawab Suskandari manis. Tak puas Puguh Harimawan mendengar jawaban Suskandari. Ingin ia menegas. Tapi pada saat itu, dilihatnya Lingga W isnu sudah melompat memasuki gelanggang. Benar-benar dia hanya bersenjatakan sibatang tusuk konde Suskandari.

   "Aku Jingga W isnu. Dengan ini ingin aku berkenalan dengan gabungan ilmu Pancasakti keluarga Dandang Mataun. Selama hidupku belum pernah aku melihatnya!"

   Seru Lingga W isnu "Hm, pupukmu belum lagi kering. Tapi lagamu seperti pendekar bangkotan!"

   Teriak si berangasan Cocak A bang.

   "Kau berlagak mengenal rahasia kubu Panca Sakti. Huu, apa sih modalmu? Lingga W isnu menatap wajah Cocak Prahara berlima dengan tenang. Ia seperti berpikir sejenak. Kemudian berkata perlahan .

   "Ilmu Panca Sakti adalah gabungan ragam ilmu kepandaian yang maha dahsyat. Seumpama bukan paman yang menghendaki, pastilah aku tidak berani untuk mohon agar Panca Sakti diperlihatkan dihadapanku. Paman tadi menyebut kubu Panca Sakti. Bagus! Nah, ingin kulihat bagaimana macamnya!"

   "Kakang! Jangan terjebak!"

   Seru Cocak Ijo memperingatkan.

   "Jangan terjebak apa"

   Puguh Harimawan melotot. Kami tidak pernah main jebak-jebakan seperti kamu. Kami selalu berbicara terang dan berhadap-hadapan. Kalau yang kami maksudkan satu, kamipun akan b ilang satu. Tetapi kamu Huuu ..."

   Mendengar ucapan Puguh Harimawan, kembali lagi Suskandari tertawa. Lingga W isnupun tertawa pula. Katanya kepada si semberono .

   "Mereka orang-orang berusia lanjut, tidak bakal mempedayakan kita yang masih muda. Kau tak perlu kuatir, kakang Puguh!"

   Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Cocak Prahara berlima. Berkata.

   "Aku sudah siap. Aku harap hendaklah paman sekalian menaruh belas kasihan kepadaku ..."

   Cocak Prahara heran.

   Mendengar ucapannya, jelas sekali Lingga W isnu merasa gentar terhadap Panca Sakti.

   Akan tetapi, sikapnya sangat tenang.

   Gerak-geriknya yakin..

   Pandang matanya sama sekali tiada membayangkan rasa takut atau cemas.

   Benar-benar mereka tak dapat menebak hati anak muda itu.

   Mereka tahu, Lingga W isnu berkepandaian tinggi.

   Maka tak berani mereka menganggapnya sebagai lawan yang ringan.

   Dengan suatu isyarat t angan, mereka mulai bersiap.

   Cocak Rawa dan Cocak Abang melesat ke kanan.

   Ketiga saudaranya mengikut i gerakannya dengan menempati kedudukan masing-masing.

   Sebentar saja lingga W isnu sudah terkurung rapat.

   Tetapi Lingga Wisnu kelihatannya acuh tak acuh, Sana sekali ia tak bergerak.

   Bahkan tiba-tiba ia membungkuk memberi hormat.

   menegas .

   "Apakah kita bertempur diluar panggung?"

   "Y a Tak usah diatas panggung,"

   Sahut Cocak Prahara.

   "Nah, keluarkan senjatamu!"

   Lingga W isnu tersenyum, kemudian memperlihatkan tusuk konde Suskandari Berkata .

   "Paman sekalian adalah angkatan tua. Betapa aku berani melawan paman sekalian dengan menggunakan senjata tajam? Maka biarlah aku menggunakan tusuk konde ini untuk menghadapi paman sekalian."

   Mendengar ucapan Lingga W isnu, baik Cocak Prahara berlima maupun hadirin lainnya terheran-heran Banyak di antara mereka yang menganggap Lingga W isnu seorang anak yang takabur.

   Apa artinya sebatang tusuk konde? Semua orang tahu, bahwa tusuk konde amat mudah patah.

   Betapa mungkin dapat diadu dengan senjata Cocak Prahara berlima yang serba kokoh.

   Botol Pinilis membungkam mulut semenjak t adi.

   Tetapi diam-diam ia mempersiapkan kedua senjat andalannya untuk menolong adik seperguruannya manakala terancam Bahaya.

   Kepada Puguh Harimawan dan Suskandari ia berkata .

   "Musuh kita terlalu kuat, sedang jumlah kita hanya empat orang. Apabila sebentar aku memberi tanda, segeralah kamu berdua meloncat ke atas genting dan larilah secepat cepatnya. Aku dan adik Lingga akan melindungimu untuk menghadang musuh. Jangan kamu berdua memperdulikan kami. W alaupun kami terancam bahaya apapun juga, janganlah kamu mencoba-coba untuk membantu. mengerti?"

   Botol Pinilis berpesan demikian, karena mempunyai perhitungannya sendiri.

   Meskipun seumpama Lingga W isnu mempunyai kepandaian yang berarti, belum juga dapat menandingi Cocak Prahara berlima.

   Andaikata diapun membantu pula, juga belum berarti banyak.

   Tetapi ia percaya, bahw a baik Lingga W isnu maupun dirinya sendiri, pasti dapat lolos dari bahaya ancaman mereka.

   Sebaliknya, tidak demikian halnya dengan Puguh Harimawan dan Suskandari, apabila mereka berdua kena kepung.

   Itulah sebabnya, mereka harus lari mendahului.

   Dikemudian hari, mereka berdua bisa diharapkan lapor kepada panglima Sengkan Turunan.

   Sedangkan dia sendiri akan balik kembali set elah memperoleh bantuan dari sahabat sahabatnya.

   Pastilah gurunya dan Ki Ageng Gumbrek tidak akan tinggal diam.

   Dan jika mereka semua datang kembali, ilmu Panca sakti keluarga Dandang Mataun pasti bisa dirobohkan.

   Dia tidak mengharapkan bant uan Lingga W isnu, sebab meskipun berkepandaian cukup, pastilah masih kurang masa latihannya.

   o))0ooo.dw.ooo0((o Dalam pada itu, semua yang berada di dalam gelanggang pertempuran sudah siap siaga.

   T etapi Lingga W isnu masih belum merasa puas.

   Nampaknya seakanakan melihat sesuatu yang masih kurang.

   Akhirnya ia berkata .

   "Paman Cocak Prahara sekalian. Aku berterima kasih karena paman sekalian sudi memberi pengalaman kepadaku. Hanya saja menurut tanggapanku, masih kurang lengkap. Tadi, aku mendengar istilah kubu. Apakah bukan Kubu Penjuru Delapan?"

   Cocak Prahara berlima heran tercengang cengang. Menegas .

   "Kubu Penjuru Delapan?"

   "Benar. Kubu Penjuru Delapan. Itulah suatu Kubu yang melindungi gerakan Panca Sakti. Bukankah demikian?"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Nah, aturlah sekalian, agar aku dapat memperoleh pengalaman lebih luas lagi."

   Cocak Mengi yang tidak sabaran, lantas membentak .

   "Bagus! Kau sendirilah yang memint a. Maka jika kau mampus, jangan sesali siapapun juga. Setelah membentak demikian, ia berpaling kepada Cocak Rawun dan Sondong Rawit. Memerint ah .

   "Semua maju!"

   Oleh perint ah Cocak Mengi, Cocak Rawun dan Sondong Rawit segera mengangkat tangannya memberi isyarat aba-aba.

   Dan muncul ah lima belas orang yang segera bergerak mengepung.

   Melihat bertambahnya anggauta lawan yang bergerak di atas gelanggang pertempuran.

   Botol Pinilis terteguntegun.

   Mulutnya bergerak hendak menegor kesemberonoan adik seperguruannya - akan tetapi pada saat itu pula timbullah pikirannya bahw a tegorannya itu pasti t iada guna nya lagi.

   Oleh pikiran itu ia batal sendiri.

   Sekarang ia memperhatikan mereka semua yang sedang bergerak-gerak dan berputar-put ar mengurung Lingga W isnu.

   Mereka terdiri dari laki laki dan perempuan Gerakan mereka rapih dan cekatan.

   Matu tak mau ia jadi kagum.

   Pikirnya didalan hati.

   'Belasan tahun aku berkelana untuk menambah pengalaman dan pengetahuan.

   Tetapi baru kali ini aku melihat barisan Kubu pertahanan yang dahsyat dan rapih.

   Mereka bergerak dengan berlari-larian.

   Namun tiada terdengar suara langkahnya sama sekali.

   Akh, Lingga benar-benar semberono.

   Melayani lima orang saja, sudah sulit, apalagi menghadapi belasan orang.

   Bagaimana aku harus menolong menembus mata rant ai mereka berlima? Mungkin sekali aku masih mempunyai harapan.

   Tetapi untuk mencoba menembus sekian orang yang selalu bergerak berlari-larian diluar mata rant ai Panca Sakti ...

   hmm.

   Rasanya biarpun aku merubah diri menjadi seekor lalat, rasanya t ak akan mampu Akh, Lingga, benar-benar kau t ak tahu diri ...' Benar-benar Eotol Pinilis tertegun tegun, dalam keraguannya yang mencemaskan dirinya sendiri.

   Tetapi Lingga W isnu sendiri nampak tenang tenang saja.

   Ia menjepit tusuk konde Suskandari dengan jari-jari tangan kanannya.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tangan kirinya dilancangkan ke depan dan ditekuk sedikit seolah-olah seekor ular hendak menyambar mangsa.

   Kemudian kedua kakinya mulai melebar.

   T iba-tiba ia bergerak dan lari berput aran.

   Setelah empat lima kali, ia berbalik merubah jurusan dengan mendadak pula.

   Melihat gerakan Lingga W isnu, Cocak Prahara berlima memusatkan seluruh perhatiannya.

   Sedangkan pandang mata mereka tak berani beralih dari gerak-gerik Lingga W isnu yang penuh teka-teki.

   Sebab sudah sekian lamanya ia berputar-put ar, masih saja belum ada tandatandanya hendak menyerang.

   Botol Pinilis maupun Cocak Prahara berlima, tidak mengetahui bahwa Lingga W isnu sebenarnya sedang melakukan ajaran-ajaran warisan pendekar Bondan Sejiwan.

   Dahulu, tatkala Bondan Sejiwan lolos dari kepungan Cocak Prahara berlima, ia mengeram diri di dalam goanya.

   Terus-menerus tak kenal berhenti, pendekar yang mengandung dendam kesumat itu mencari-cari jalan keluar untuk dapat memecahkan rahasia Kubu Penjuru Delapan dan kehebatan Panca Sakti.

   Pada t ahun-tahun pertama, belum juga ia berhasil menemukan t itik-tolak apa sebab Kubu Penjuru Delapan dan Panca Sakti bergerak terus saling menyusul, sampai, lawannya kena dirobohkan.

   Asal yang satu bergerak, empat lainnya menyusul bergerak pula.

   Begitu terusmenerus, sehingga lambat laun membuat pandang mata lawan kabur.

   Benar benar ia bingung dan tak dapat mengerti.

   Pada suatu hari, Bondan Sejiwan keluar dari goanya.

   Dengan tertatih-tatih ia merangkak ke puncak gunung untuk mencari hawa segar.

   Tiba ba ia melihat seekor ular bergerak melingkar dan menegakkan kepalanya.

   Itulah kodrati gerakan seekor ular apabila merasa terancam bahaya.

   Ia bersiaga melawan berbareng menyerang.

   Tetapi dia tak akan menyerang, apabila tidak didahului.

   Dan melihat t ata laku ular itu, timbul an sepercik ilham di dalam benak Bondan Sejiwan.

   Ya, inilah cara yang praktis sekali untuk memecahkan ilmu Kubu Penjuru Delapan dan Panca Sakti sekaligus.

   'Menunggu serangan lawan, kemudian baru bergerak untuk melawan!' katanya berulangkali di dalam hati.

   Hatinya menjadi girang.

   Sebab lambat laun ia memperoleh keyakinan.

   Dan dengan keyakinannya itu, ia kembali ke goanya mengasah otak.

   Satu bulan lamanya ia mencoba memahami ilmu sakti kebanggaan keluarga Dandang Mataun, sampai akhirnya diket ahuinyalah kelemahannya.

   Dengan ilmu ular itu sekarang ia sangguo memecahkan pertahanan Kubu Penjuru Delapan dan Panca Sakti.

   Dan penemuannya itu segera dicatat dalam buku warisannya.

   Setelah selesai, t imbullah pikirannya di dalam hati .

   'Urat-uratku sendiri sudah terputus.

   Tak bisa aku berkelahi seperti dahulu.

   Adakah gunanya aku memperoleh rahasia perlawanan ilmu kebanggaan keluarga Dandang Mataun? Aku sekarang berada di dalam goa ini.

   Seratus tahun lagi ...

   mungkin seribu tahun lagi ...

   kitabku baru diketemukan orang.

   Tetapi pada saat itu, mereka semua sudah mampus! Hmm, benar-benar penasaran hatiku! Tapi baiklah ...

   meskipun andaikata Cocak Prahara berlima sudah mampus, ilmu kebanggaan mereka pasti ada yang mewarisinya.

   Kalau tidak ada daya perlawanannya, akan keturunan mereka pasti akan merajalela tanpa tandingan.

   Aku harap saja kitabku ini akan diket emukan orang dikemudian hari.

   Syukurlah bila Tuhan mengabulkan bisa diketemukan oleh seseorang yang bisa mewakili d iriku membalas dendam selagi Cocak Prahara berlima masih hidup dalam keadaan segar-bugar.

   Bila hal.

   in i dikabulkan, ya Tuhanku, aku rela.

   Kau masukkan neraka sebagai penebusan.

   Di alam bakapun Bondan Sejiwan tidak pernah mengira, bahwa pada hari itu seorang anak muda bernama Lingga W isnu sedang mengadakan perlawanan terhadap kubu Panca Sakti keluarga Dandang Mataun dengan ilmu warisannya.

   Dia berput ar-putar terus tanpa menyerang, untuk menunggu gerakan lawan.

   Itulah dasar rahasia kitab warisannya.

   Dan karena ia berlarilarian, semua lawannya ikut berlari-larian pula sambil mengawaskan gerak-gerik dengan cermat.

   Lingga W isnu tidak menghiraukan gerakan lawan Ia terus lari berput aran sekian lamanya.

   Sekonyongkonyong ia memperlambat diri.

   Makin lambat dan makin kendor.

   Namun sama sekali tidak nampak adanya suatu tata muslihat untuk menyerang.

   Akhirnya, bahkan berhenti sama sekali.

   Kemudian duduk memeluk lut ut.

   W ajahnya nampak berseri-seri.

   Keruan saja mereka semua yang melihat perangainya menjadi heran.

   Seluruh keluarga Dandang Mataun tidak mengetahui, bahwa ini termasuk salah satu tipu-daya untuk melalaikan penjagaan.

   Disamping itu untuk membuat mereka kehilangan kesabaran pula.

   Benar saja! Cocak Abang yang berangasan segera menggerakkan kedua tangannya untuk menyerang.

   W aktu itu ia berada dibelakang punggung.

   Lingga W isnu, sehingga dapat menyerang secara gelap.

   "Jangan! Jangan mengacaukan jalur jalur pembelaan!"

   Cocak Ijo memperingatkan.

   Peringatan Cocak Ijo itu menyadarkan Cocak Abang.

   Segera ia menarik serangannya, kembali.

   Dan mereka lantas melanjutkan berlari-lari berputaran dengan penuh siaga, menerjang manakala lawannya menyerang.

   Tetapi Lingga W isnu tetap duduk memeluk lutut.

   Mau tak mau manbuat mereka mendongkol Akhirnya saling pandang memint a, pertimbangan.

   Cocak Prahara sebenarnya sudah kehilangan kesabarannya pula.

   Ingin ia memberi idzin adik-adiknya untuk menyerang.

   Tetapi hal itu bertentangan dengan dasar keharusan int i ilmu gabungan Panca Sakti.

   Maka meskipun hatinya mendongkol bukan main, t ak berani ia melanggar int i keharusannya.

   Satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah mempercepat larinya sambil menggertak-gertak.

   Iapun memberi isyarat mata kepada sekalian saudaranya agar meninggikan kewaspadaan.

   Lingga W isnu tetap bersikap adem saja.

   Malahan sekonyong-konyong menguap beberapa kali.

   Lalu tidur berbaring.

   Kedua t angannya dibuat alas kepala semacam bant al.

   Matanya menatap atap sambil diselingi menguap lebar-lebar Bukan main mendongkol Cocak Prahara berlima.

   Kalau mereka harus berlari-larian terus, sedangkan lawannya enak-enak bertiduran sambil menguap, bukankah napasnya lambat laun akan kempes sendiri? Enambelas orang pimpinan Cocak Pawun yang harus berlari-larian pula untuk mengaburkan penglihatan lawan, diam-diam d ihinggapi kegelisahan demikian juga.

   Namun secara naluriah mereka seakan-akan tahu, bahwa lawannya itu lagi melakukan suatu t ipu muslihat.

   Karena itu, meskipun napasnya lambat-laun mengangsur, tak berani mereka lalai sedikitpun.

   Tetapi mereka bukan Cocak Prahara berlima yang sudah mempunyai masa latihan puluhan tahun lamanya.

   Sejam kemudian, keringat mulai mengucur membasahi badan dan nafasnya mulai t ersengat-sengal.

   Dalam pada itu, Lingga W isnu masih saja enak-enak melakukan peranannya.

   Berkata didalam hatinya, aku ingin tahu sampai kapan mereka bisa bersabar.

   Apakah mereka benar-benar mempunyai napas kuda?' Dan diamdiam ia mencuri pandang untuk mengamat-amati gerakan mereka yanp tak kenal henti.

   Kemudian berpura- pura merapatkan matanya seolah-olah hendak tidur pulas.

   Puguh Harimawan, Suskandari, Sekar Prabasini dan ibunya heran menyaksikan tingkah laku Lingga W isnu.

   Dalam hati, mereka merasa lucu.

   Akan tetapi sesungguhnya diam-diam mereka cemas dan gelisah.

   Bagaimana kalau tiba-tiba lawannya menyerang dengan berbareng? Masih sanggupkah ia menolong diri? Hanya Bot ol Pinilis seorang yang dapat menyadari maksud Lingga W isnu Pastilah adiknya seperguruan itu sedang menguji kesabaran lawannya.

   Disamp ing itu hendak memancing kelengahannya pula.

   W alaupun begitu, perbuatan adiknya seperguruan itu memang terlalu berani.

   Bahkan suatu keberanian yang melampaui batas.

   Kalau saja lawannya menyerang dengan mendadak, apakah dia sanggup terbang menjangkau atap gedung untuk mengelakkan diri? Pada saat itu, Cocak Prahara benar-benar tidak bersabar lagi.

   Diam-diam ia bersiap hendak menyerang apabila memperoleh waktunya yang baik.

   Manakala Lingga W isnu tenggelam dalam keasyikannya sendiri, tiba-tiba ia memberi isyarat kepada Cocak Ijo dengan kibasan tangan kibasan tangan kirinya.

   Empat batang golok tahu-tahu menyambar dengan mendadak.

   Itulah golok terbang Cocak Ijo yang sudah terkenal semenjak belasan t ahun yang lalu.

   Puguh Harimawan, Suskandari, Sekar Prabasini dan Eotol Pinilis kaget sant ai memekik tertahan.

   Sedang ibu Sekar Prabasin i menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, karena tak sampai hati menyaksikan peristiwa itu.

   Betapa tidak, karena empat batang golok terbang Cocak Ijo membidik sasarannya dengan jitu sekali Sebaliknya pihak keluarga Dandang Mataun bersorak kegirangan.

   Mampuslah bocah itu! Empat batang golok terbang Cocak Ijo membidik sasarannya dengan jitu dan menancap dipunggung Beberapa orang anggauta barisan Kubu Penjuru Delapan sampai menghentikan larinya.

   Bukankah musuh sudah mampus? Tetapi mereka tidak pernah mengira, bahw a tubuh Lingga W isnu terlindungi baju sakti pemberian Ki Ageng Gumbrek yang tidak mempan oleh senjata tajam macam apa pun juga.

   Tiba-tiba saja bocah itu melesat bangun.

   Dan empat batang golok runtuh bergemelontangan di atas lantai .

   Pada detik itu pula Lingga W isnu berkelebat melint asi mata-rant ai penjagaan Cocak Prahara berlima yang masih tertegun mengawasi akibat sambaran golok yang mengenai sasarannja.

   Tahu-tahu terdengarlah jerit lengking Sondong Rawit yang ternyata kena gaplok Lingga W isnu dan melontakkan darah segar dengan serta merta.

   Selagi begitu, tubuhnya kena terangkat tinggi tinggi dan terlempar keluar dari garis pertahanan Kubu Penjuru Delapan.

   Lingga W isnu tidak sudi berhenti sampai disitu saja"

   Itulah kesempatan yang sebagus-bagusnya.

   Dan ia hendak menggunakan kesempatan itu dengan sebaikbaiknya.

   Selagi Cocak Prahara berlima tertegun-tegun dan kelimabelas orang pembantunya terpaku oleh rasa kaget, ia menghant amkan tangan dan menendangkan kedua kakinya bertubi-tubi.

   Seorang demi seorang roboh tak berkutik.

   Kemudian dilemparkan kedalam bidang gerak mata-rant ai Panca-sakti.

   Cocak Kawun dan beberapa anggauta rombongannya sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang t idak rendah.

   Akan tetapi kepandaiannya se olah-olah terenggut oleh peristiwa yang berada diluar dugaan mereka.

   Baru saja mereka bergerak dua tiga langkah, Lingga W isnu sudah berhasil merobohkannya.

   Dan seperti nasib kawan kawannya, mereka dilemparkan kedalam gelanggang dalam keadaan malang-melintang.

   Dengan demikian, pecahlah mata-rant ai Panca-sakti dan garis pertahanan Kubu Penjuru Delapan keluarga Dandang Mataun Karena daerah geraknya kini tertutup oleh mereka yang kena dirobohkan malang-melint ang.

   Tentu saja, Cocak Prahara berlima, t idak t inggal diam, selama Lingga W isnu merobohkan anggauta-anggauta Kubu Penjuru Delapan seorang demi seorang.

   Mereka mencoba bergerak seirama dengan keharusan dan ketentuan gerakan gerakan Panca-sakti, Tapi gerakan itu terpaksa macet, karena mereka terpaksa sibuk menerima tubuh-tubuh yang dilemparkan Lingga W isnu kepadanya.

   Itulah waktu sebaik-baiknya bagi Lingga W isnu selagi mereka sibuk dalam kerepotannya.

   Terus saja ia melompat menyerang Cocak Ijo yang tadi begitu gegabah berani melepaskan golok terbangnya.

   Kala itu, Cocak Ijo baru saja menerima lemparan tubuh salah seorang anggauta Kubu Penjuru Delapan.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya Lingga W isnu menghampiri dirinya.

   Hatinya kaget setengah mati.

   Ia tadi heran dan kecut hati, tatkala melihat keempat batang goloknya tidak mempan.

   Sekarang, ia justru kena ancaman balas dendam.

   Dengan tergesagesa ia melepaskan empat batang golok terbangnya lagi.

   "Mampus! Mampus!"

   Teriaknya berulang kali, untuk membesarkan hatinya sendiri.

   "Masakan dadamu tak mempan kena golokku?"

   Lingga W isnu tahu, dadanya terancam golok t erbang.

   Akan tetapi ia tak menghiraukan, karena dadanya telah terlindung baju sakti warisan gurunya.

   Tangannya tetap meluncur mengarah tenggerokan.

   Prak! Keempat batang golok terbang Cocak Ijo yang tepat mengenai sasaran, runtuh jatuh bergemelontangan diatas lantai.

   Tapi pada saat itu pula, jari-jari Lingga W isnu menerkam urat tenggorokan.

   Seketika itu juga Cocak Ijo roboh dengan melontakkan darah berhamburan.

   Bukan main kagetnya Cocak Abang, melihat saudaranya terancam bahaya maut.

   Segera ia menghantam Lingga W isnu dengan tongkatnya.

   Bidikannya mengarah kaki kanan.

   Biasanya, tidak perduli siapa saja, akan roboh begitu kena terhantam tongkatnya yang disertai tenaga dahsyat.

   "Ih, hebat juga!"

   Seru Lingga W isnu dengan t ertawa. Sebat ia menyambar seorang dan dibuatnya sebagai perisai. Berseru .

   "Kau pukul ah!"

   Untuk kedua kalinya Cocak Abang terperanjat.

   Ia yakin, Lingga W isnu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak.

   Diluar dugaannya, ia menyambar seseorang untuk dibuatnya perisai.

   'Bangsat!' makinya didalam hati.

   Dengan mati-matian ia mencoba menarik pukulannya.

   Karena tidak mungkin lagi, ia hanya dapat membuang tongkatnya kesamping.

   "Kakang Prahara, awas!"

   Teriaknya bersakit hati apabila melihat tongkatnya terbang mengarah kedada kakaknya t ertua.

   Cocak Prahara melihat berkelebatnya tongkat Cocak Abang.

   Dengan terpaksa ia menangkis.

   Tombaknya dilint angkan.

   Dan kedua senjata itu berbenturan sangat nyaring.

   Api meletik bagaikan kembang api yang kuncup padam.

   Selagi mereka berdua sibuk, Lingga W isnu menerjang Cocak Rawa dengan tusuk konderya.

   Seperti seekor ular hendak memagut musuhnya, tusuk konde Suskandari dibolang-balingkan kedepan mata.

   Keruan saja Cocak Rawa terbang semangatnya, Ia mundur sambil me lindungi dirinya dengan senjata cemeti rant ainya.

   Dengan mati-matian ia mengadakan pembelaan.

   T api serangan Lingga W isnu saling susul dan merangsak terlalu cepat.

   Tusuk konde itu seolah-olah berkeredepan menebarkan puluhan butir permata yang menyilaukan matanya.

   Sekarang barulah ia sadar, betapa hebat senjata istimewa itu.

   Hampir-hampir melengket dikedua matanya.

   Ke mana ia bergerak dan berpaling, tusuk konde itu tiba-tiba saja sudah berada didepan kelopak mata.

   Bagaimana kalau tiba-tiba saja menusuk gundu? Ih, -benar-benar mengerikan' Dua kali tusuk konde itu menyentuh kelopak mata.

   Untunglah, masih bisa ia menolong diri oleh kesebatannya.

   Tetapi semangatnya telah terbang.

   Tibatiba saja ia dihinggapi perasaan takut luar biasa.

   Itulah kejadian untuk yang pertama kalinya sepanjang hidupnya.

   Karena kehilangan semangat, ia jadi kehilangan pengamatan diri.

   Gerakan pembelaannya jad i kacau.

   Dengan asal jad i saja, ia mengobat-abitkan cemeti rant ainya untuk menggebah rangsakan lawan.

   Akan tetapi, Lingga W isnu seperti tidak mempedulikan dayausahanya.

   Akhirnya dalam keadaan terdesak, terpaksalah ia melepaskan cemeti-rantainya.

   Kemudian buru-buru ia menutup kedua matanya dengan tangan.

   "Apakah kau masih sempat?"

   Gertak Lingga W isnu.

   Dengan hati panas-dingin, Cocak Rawa bergulingan di atas lantai.

   Kedua tangannya tetap menutup mata..

   Ia memang bisa menyelamatkan matanya, akan tetapi tak dapat mengelakkan hant aman tangan kiri Lingga W isnu.

   Tahu-tahu pinggangnya terasa nyeri.

   Dan ia roboh terjerambah tak berkutik lagi.

   Cocak Rawa terkenal dengan cemeti rant ai nya semenjak puluhan tahun yang lalu.

   Belasan kali ia merobohkan lawan-lawannya, baik diatas panggung adukepandaian maupun di dalam perkelahian wajar.

   Bahkan ia pernah merobohkan dua belas orang sekaligus dalam suatu pertandingan yang menentukan.

   Hal itu terjadi, tatkala ia terlibat dalam suatu perkelahian mati-hidup dengan kawanan warok yang bermukim di pinggang.

   Gunung Lawu sebelah timur.

   Dan semenjak itu, namanya terkenal disegala penjuru.

   Ia dihormati dan disegani orang.

   Tapi kali ini, ia menumbuk batu.

   Siapapun tak menduga, bahwa dia bakal roboh dengan mudah sekali di tangan seorang pendekar muda yang baru saja muncul dalam percaturan hidup.

   Tak mengherankan, seluruh keluarga Dandang Mataun yang menyaksikan peristiwa itu, heran dan kaget setengah mati.

   Bagaimana mungkin! Tapi kenyataannya memang demikian.

   Siapapun tak dapat mengingkari pula.

   Botol Pinilis tidak terkecuali.

   Setelah tertegun keheranan, ia sekarang yakin akan kepandaian adiknyaseperguruan itu.

   Gerakan tangannya benar-benar aneh.

   Suatu gerakan tangan yang belum pernah dilihatnya.

   Dari siapakah ia memperoleh kepandaian itu? Tatkala berusia sebaya dia.

   Karena itu benar-benar aneh.

   Aneh sekali! Pastilah adiknya-seperguruan itu pernah menerima warisan sakti dari seseorang.

   Tapi siapa? Siapa lagi kecuali gurunya? Tentu saja Puguh Harimawan dan Suskandari belum dapat berpikir sejauh itu.

   Mereka hanya yakin, bahwa Lingga W isnu berkepandaian tinggi.

   Nyatanya, dia bisa unggul.

   Dan menyaksikan hal itu, mereka berdua girang penuh rasa syukur.

   Begitu girang mereka sampai bersorak tak dikehendaki sendiri.

   Sekar Prabasini dan ibunya lain pula kesannya.

   Meskipun mereka ikut bersyukur di dalam hati, namun tak berani menyatakan rasa syukur dengan terangterangan.

   Mereka sudah terlalu lama kena larangan dan terkekang kemerdekaannya sehingga sama sekali mereka tak berani memperlihatkan rasa girangnya bahkan diwajahnyapun.

   Bagi Lingga W isnu sendiri, inilah pengalamannya untuk yang pertama kalinya berlawanan dengan tokohtokoh kenamaan.

   Itulah sebabnya, ia bertempur dengan penuh semangat.

   Ia bersungguh-sungguh dan sana sekali tak bersegan-segan.

   Sebab ia sadar akan mengalami bencana apabila lalai lengah sedikit saja.

   Maka dengan tangan kirinya, ia menggempur musuh dengan menggunakan tipu-tipu jurus Sardula Jenar.

   Sedangkan tangan kanannya merangsak dengan tiputipu warisan Bondan Sejiwan.

   Ia berhasil mencampuradukkan demikian rupa, sehingga seumpama.

   Kyahi Sambang Dalan dan Bondan Sejiwan hadir pada saat itu tidak akan segera mengenal ajaran nya.

   Kecuali jurusjurus tertentu.

   Itupun hanya setengahnya.

   Maka tidaklah mengherankan, bila Cocak Prahara berlima jadi kelabakan dan seringkali t ertegun-tegun diamuk teka-teki terus menerus.

   Setelah merobohkan Cocak Rawa dan Cocak Ijo, Lingga W isnu beralih kepada Cocak Abang.

   Kembali lagi ia menggunakan kegesitarmya untuk mengancam kedua mata si berangasan dengan membolang-balingkan tusuk konde Suskandari.

   Dan dirangsak demikian, Cocak A bang kelabakan seperti adiknya tadi.

   Cocak Prahara kali in i tidak tinggal diam melihat adiknya terancam bahaya.

   Segera ia menolong dengan mendorong salah seorang muridnya yang rebah melint ang didepannya keluar gelanggang.

   Cocak Mengi yang berada di dekatnya mengerti kehendak kakaknya yang dibutuhkan ilmu Panca-sakti dengan main dupak dan dorong.

   Dengan demikian, murid-muridnya yang rebah malang melint ang dihadapannya tiada lagi.

   Setelah itu, ia berusaha maiibangun titik-titik mata rant ai Pancasakti untuk mengadakan garis pembelaan, meskipun sudah kehilangan dua orang anggota.

   Tentu saja, Lingga W isnu tidak sudi memberi kesempatan Terus-menerus ia mencecar Cocak Abang, dengan tusuk kondenya.

   Dengan demikian, usaha Cocak Mengi untuk membangun garis pertahanan Panca-sakti selalu gagal.

   Dan sedang Cocak Prahara dan kedua saudaranya menjadi klabakan, Cocak Abang sudah kena terhajar pundaknya.

   Bukan main panas hati Cocak Mengi.

   Serentak ia menghantamkan penggadanya kearah punggung.

   Dan Cocak Prahara membarengi dengan menusukkan tombaknya dari depan.

   Cocak Abang yang sudah kena pukulan, berusaha pula mengimbangi usaha kedua saudaranya dengan sebisa b isanya Ia tahu betapa pentingnya usaha membangun kembali pertahanan Panca-sakti.

   Itulah satu satunya cara perlawanan yang bisa diharapkan.

   Lingga W isnu mengelakkan serangan kedua lawannya.

   Dan ia tetap memburu Cocak Abang yang sudah kena digempurnya.

   Tapi garis pertahanan ilmu Panca-sakti memang hebat.

   Sekalipun anggautanya kini tinggal tiga orang, namun masih terasa keangkarannya.

   Mau tak mau, Lingga W isnu terpaksa mengandalkan kecepatannya bergerak.

   Tubuhnya berkelebatan bagaikan bayangan.

   Dan tiba-tiba ia menyelipkan tusuk konde Suskandari pada rambutnya.

   Kemudian meloncat tinggi keudara.

   Tangannya menyambar palang atap.

   Dan ia bergelantungan seperti seekor kera.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cocak Prahara bertiga tadi mengimbangi kecepatan lawannya dengan gerakan yang cepat pula Tubuh mereka berputar-putar dan berkelebatan dari tempat ke tempat.

   Seluruh perhatiannya dipusatkan untuk memburu beradanya lawan.

   Tahu-tahu tubuh Lingga W isnu lenyap dari pengamatannya Selagi mereka melayangkan pandang untuk mencari t empat beradanya, tiba-tiba serangkum angin turun bergelombang..

   Mereka kaget.

   Dan cepat-cepat mundur.

   Pengalamannya mengkisiki bahw a serangkan angin itu bukan angin lumrah.

   Itulah serangkum angin bergelombang yang mengandung serangan berbahaya.

   Tahu-tahu Cocak Abang dan Cocak Mengi menjerit dengan berbareng Beberapa biji bola timah menghantam mereka berdua.

   Dan mereka berdua roboh terkulai di atas lantai.

   Gugup Cocak Prahara melompat mendekati kedua saudaranya, hendak memberikan pertolongan.

   Selagi membungkuk, gelombang angin terasa datang menyerang.

   Ia adalah anggauta keluarga Dandang Mataun yang tertua.

   Kecuali sudah banyak makan garam, kepandaiannya jauh melebihi sekalian saudaranya.

   Maka dengan sebat ia memutar tombaknya.

   Dan belasan biji timah kena ditangkisnya.

   "Bn, jangan kau kira bisa mengumbar adat. Apakah kau kira aku b isa kau robohkan dengan senjata bidikmu? Hm, jangan bermimpi!'' bentaknya. Khawatir bila Lingga W isnu terus menerus memberondongkan biji-biji timahnya, ia tetap memutarmut ar tombaknya yang dipergunakan sebagai perisai dan alat penggebuk. Diiuar dugaan, tiba-tiba tangannya bergetar. Tombaknya serasa tersangkut pada sesuatu kaitan yang kuat. Kaget ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk merenggut. T api kaitan itu sama sekali tak bergeming. Bahkan diiuar dugaannya, tangannya tak kuasa lagi menggenggam tangkai t ombak. Kembali lagi ia terkejut. Dan pada saat itu, mendadak saja ia kehilangan pegangan. Gugup ia melompat kesamping. Kedua tangannya diangkatnya berbareng untuk melindungi dada dan mukanya. Kemudian ia mundur beberapa langkah untuk memperoleh penglihatan . Ternyata tombaknya kena terampas anak muda itu. Betapa dahsyat tenaganya tak dapat diingkari lagi, sampai dapat merampas tombak yang berada dalam genggamannya. Namun ia tak sudi menyerah. Dengan menguatkan diri, ia berteriak menantang .

   "Kau ingin menggunakan tombakku? Silahkan! Aku Cocak Prahara belum pernah mundur, biar selangkahpun!"

   Dengan tertawa, Lingga W isnu turun ke lantai seraya membawa tombak rampasannya. Sebentar ia menggerakkan tombak rampasannya seakan akan hendak menusuk atau menikam. Tiba-tiba ia berseru .

   "Paman! Lihat!"

   Dengan sekali ayun, tombak yang berada di dalam genggamannya melesat.

   Cocak Prahara kaget setengah mati.

   Dengan rasa putus asa, ia menggerakkan badannya untuk mencoba mengelak.

   Di luar dugaan, tombak itu bukan membidik dirinya.

   Akan tetapi lewat disamping kepalanya dan menancap pada tiang agung.

   Hebat tenaga lontaran Lingga W isnu.

   Tombak itu sampai amblas memasuki tiang.

   Tangkainya meraung bergetaran.

   Gedung olah-raga bagaikan akan roboh berantakan.

   Dan genting diatas rontok berhamburan.

   Tak mengherankan, banyak di antara hadirin lari berserabutan karena takut kerobohan dinding.

   Cocak Prahara berdiri termangu-mangu.

   Semangatnya runtuh sekaligus.

   Lesu dan berputus-asa.

   Dan pandang matanya lantas saja menjadi kuyu.

   Betapa tidak? Kalau saja tombak itu diarahkan kepadanya, sanggupkah ia mengelakkan diri atau menangkisnya? Meskipun andaikata kepandaiannya kini berlipat sepuluh kali, rasanya kekebalan badannya tidak akan melebihi kekekaran t iang agung.

   Maka tahulah dia, bahwa Lingga W isnu bermaksud baik kepadanya.

   Ia diampuni.

   Alangkah menyakitkan hati! Rasanya lebih baik mati daripada t erhina demikian.

   Botol Pinilis mengenal jurus itu dengan, baik.

   Itulah jurus penghabisan ilmu pandang Sekar Teratai kebanggaan rumah perguruannya.

   Gurunya baru menurunkan jurus itu kepada muridnya apabila tenaga himpunannya sudah memenuhi syarat-syarat tertentu.

   Ia pun mewarisi jurus itu, akan tetapi tenaga himpunannya tidaklah sebesar adik-seperguruannya itu.

   Maka tanpa terasa ia berteriak kagum ? "Adik Lingga! Benar-benar sempurna timpukanmu.

   Mataku kini benar-benar terbuka ..."

   Lingga W isnu menoleh.

   Ia tertawa.

   Kemudian melemparkan pandang kepada Cocak Prahara yang berdiri murung.

   Dengan rasa pahit pendekar bangkotan itu terpaksa menelan kenyataan.

   Empat saudaranya telah terkapar rebah didepannya.

   Mau apa lagi? Muridmuridnyapun tergeletak malang- melint ang pula.

   Tiba-tiba saja timbullah niatnya hendak bunuh diri.

   Laki-laki boleh mati dan mampus, tapi tak boleh membiarkan diri terhina.

   Ia melihat tiang agung, didepannya.

   Tatkala kakinya hendak bergerak membawa tubuhnya, suatu pikiran menusuk benaknya .

   'Hari ini aku benar -benar runtuh habis-habisan.

   Akan tetapi, masakan aku membiarkan kekalahan ini tak terbalas? Aku sudah tua, memang.

   Namun bukankah aku bisa mendidik murid-muridku untuk membangun keangkaran ilmu Panca-sakti dan Kubu Penjuru Delapan yang tiada keduanya di dunia ini?"

   Oleh pertimbangan ini, ia dapat bernapas lebih lapang. Lalu berkata lantang kepada Botol Pinilis .

   "Kau boleh membawa emasmu semua!"

   W aktu itu Lingga W isnu sedang datang menghampiri kakaknya seperguruan setelah melihat Cocak Prahara termangu-mangu kehilangan semangat tempurnya.

   Ia mencabut tusuk konde yang berada dirambut nya, kemudian dikembalikan kepada Suskandari, Gadis itu menerima tusuk kondenya kembali dengan hati girang.

   Dan pada saat itu ia mendengar ucapan Cocak Prahara.

   Tapi karena sasaran, ucapannya kepada Botol Pinilis, ia tidak menghiraukan.

   Dengan penuh perhatian ia mengikuti gerakan t angan Suskandari mengenakan tusuk kondenya.

   Sementara itu Puguh Harimawan tidak sudi membuang-buang waktu lagi.

   Terus saja ia maju memunguti kepingan emas yang bertebaran di atas lantai.

   Perbuatannya diikut i pandang oleh orang orang yang berada diluar gelanggang.

   Mereka semua adalah anggauta keluarga Dandang Mataun.

   Sebenarnya ada juga but iran rasa tak rela.

   Akan t etapi mereka t ak berani berkutik, karena Lingga W isnu benar-benar dapat merobohkan pemimpin atau ketua mereka.

   Cocak Prahara menghampiri Cocak Abang.

   Si beringasan yang kena timpuk biji timah Lingga W isnu sama sekali tak dapat bergerak.

   Seluruh anggauta badannya lumpuh, kacuali kedua gundu matanya yang bergerak-gerak dengan penasaran.

   Cocak Prahara mencoba menolong.

   Dengan keahliannya ia mengurut urat-uratnya yang jadi.

   kaku kejang.

   Namun sekian lamanya ia berusaha, tetap saja tak berhasil.

   Heran ia, apa sebab tak berhasil.

   Oleh rasa penasaran, ia mencoba mengulangi terhadap ketiga adiknya yang lainnya.

   Cocak Rawa, Cocak Mengi dan Cocak Ijo.

   Juga terhadap mereka bertiga, keahliannya macet.

   Benar-benar hebat serta mengherankan.

   Akhirnya diakui, bahw a ilmu kepandaian Lingga W isnu benar-benar berada diatasnya.

   Hendak ia mint a tolong, tapi hatinya segan.

   Akhirnya melemparkan pandang kepada Prabasini agar mau jadi perant ara.

   Sekar Prabasini kenal w atak pamannya itu.

   Ia berpurapura tidak mengetahui.

   Malahan membuang pandang kesamping.

   Keruan saja orang tua itu mendongkol setengah mati.

   Ia mendeham.

   Dan oleh deham itu, mau tak mau Sekar Prabasini jad i terpaksa menoleh.

   Menegas.

   "Paman memanggil aku?"

   "Anak jahanam!"

   Cocak Prahara memaki di dalam hati.

   "Benar-benar kau berani main gila terhadapku. Awas! Sebentar lagi kau rasakan hukumanku. Ibumupun tidak akan luput dari dosamu, keparat! Namun terpaksa ia menelan kata hatinya itu. Dengan memperlihatkan w ajah manis, berkatalah dia.

   "Anakku, kau tolonglah empat pamanmu ..."

   Sekar Prabasini berpura-pura t uli. Menegas .

   "Apa? Paman bilang apa?"

   "Anak jadah!"

   Maki Cocak Prahara didalam hati.

   "Benar-benar kau berani main gila terhadapku. Awas!"

   Tapi demi menolong saudara saudaranya, meskipun mendongkol terpaksa juga dia berkata .

   "Anakku yang baik. Cobalah mint akan kesediaan sahabatmu itu, agar menolong paman-pamanmu."

   Masih saja Sekar Prabasin i berpura pura tuli. Bahkan sekarang ia berlagak goblok pula.

   "Paman berkata apa? Sahatt? Sahabat yang mana? "Oh! Mudah-mudahan kau digigit iblis!"

   Cocak Prahara mendongkol bukan main. Tapi kaLi ini pun terpaksa ia mengalah pula. Katanya dengan menahan rasa mendongkol .

   "Bukankah anak Lingga sahabatmu?"

   "Oh, dia?"

   Sekar Prabasini bangkit dari kursinya sambil mencibirkan bibirnya.

   "Baiklah, akan kukatakan kepadanya. Hanya saja kali ini, paman tidak lagi main paksa, bukan?"

   Setelah berkata demikian, ia menghampiri L ingga W isnu dan berkata merendah .

   "Kakang Lingga. Pamanku yang baik hati memint a kepadamu, agar sudi menolong paman-paman yang lain. Kau mau, bukan?"

   Dengan serta-merta Lingga W isnu mengangguk dan memberikan jawaban .

   "Tentu saja. Tiada niat dalam hatiku, hendak membunuh paman-pamanmu. Kalau aku menyerang mereka, semua karena terpaksa. Biarlah kut olongnya."

   Berkata demikian, Lingga W isnu bergerak hendak menghampiri. Diluar dugaan, Botol Pinilis mencegahnya. Kata kakak seperguruannya itu.

   "Adikku Llhkga. Kau benar-benar tak mengerti perkara dagang Pada saat in i, adalah kesempatan sebagusbagusnya untuk menaikkan harga barang. Untuk menjual tenagapun rasanya cukup berharga pula Masakan tenagamu sama sekali- tiada upahnya?"

   Lingga W isnu tahu, Botol Pinilis jemu terhadap sepak terjang keluarga Dandang Mataun.

   Dia sendiri tak begitu mendendam mengingat Sekarningrum dan Sekar Prabasin i termasuk keluarga Dandang Mataun juga.

   Namun, tak dapat ia mengabaikan kedudukan kakak seperguruannya.

   Di perantauan dia berhak berbicara mewakili gurunya.

   Maka wajiblah ia patuh kepadanya.

   Sahutnya .

   "Kakang. Aku adikmu. Sudah semestinya aku tunduk dan patuh kepada tiap katamu."

   Botol Pinilis tertawa puas. Katanya .

   "Keluarga Dandang Mataun sudah semenjak puluhan tahun membuat susah penduduk. Mereka menjadi lintah darat yang mengisap darah rakyat jelata. Sepuluh kelompok dusun yang berada dipinggang gunung Lawu ini berada dalam kekuasaan mereka. Mereka seolah-olah keluarga tuan tanah, yang membuat diri mereka majikan atas sekalian penduduk. Tak ada. serumpun keluargapun yang dibiarkan hidup merdeka di wilayahnya. Didalam dua hari in i, aku berkesempatan berbicara dengan penduduk. Mereka muak dan mual terhadap keluarga Dandang Mataun yang sewenang wenang. Semua hasil bumi boleh dikatakan tertimbun di dalam gudang keluarga Dandang Mataun. Karena itu, jika engkau hendak menolong mereka, ingatlah akan nasib rakyat. Mint alah uang dan beras sebagai upahnya. Dan uang serta beras itu kau berikan kepada penduduk untuk meringankan beban hidupnya. Lingga W isnu memanggut membenarkan. Ia percaya kata-kata Botol Pinilis tentang penderitaan rakyat. Ia sendiri pernah menyaksikan pengalaman demikian, tatkala mula-mula hendak berkenalan dengan keluarga. Dandang Mataun. Tiada seorangpun yang sudi memberi keterangan atau menunjukkan di mana tempat tinggal keluarga Dandang Mataun. Mereka bersikap bermusuhan. Hanya saja mereka, takut terhadap kekuaraan keluarga Dandang Mataun. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan betapa bengis sepak terjang Sondang Rawit tatkala menggebu segerombol petani yang datang untuk minta keadilan.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar .. memang keluarga Dandang Mataun sudah lama menindas rakyat,"

   Akhirnya ia berkata perlahan.

   "Hanya saja apa yang harus kulakukan terhadap mereka?"

   "Bukankah aku t adi sudah menyinggung tentang upah jasa dan tata-tertib perdagangan?"

   Sahut Botol Pinilis seraya mengelus jenggotnya.

   "Pendek kata kau harus menuntut upah jasa, dan kau harus melakukan tawarmenawar dengan harga yang pantas. Pendek kata kau harus ..."

   Puguh Harimawan kenal akan tabiat dan perangai gurunya. Juga Suskandari t ak kecuali. Sebaliknya, Lingga W isnu yang belum kenal tabiat dan perangai kakaknya seperguruan itu diam menebak-nebak.

   "Upah jasa bagaimana? T awar-menawar harga barang apa?"

   Sekar Prabasini, meskipun termasuk keluarga Dandang Mataun, senang mendengar usul Bot ol Pinilis.

   Segera ia menyetujui didalam hatinya dan ingin pula menguatkan.

   Sebagai seorang gadis setengah liar dan biasa pula berhubungan dengan orang-orang yang hidup liar, seringkali ia melakukan tukar-menukar jasa itu.

   Maka katanya girang .

   "Kakang Lingga! Masakan engkau belum dapat mengerti maksud kakakmu?"

   Cocak Prahara geram bukan main mendengar ucapan Sekar Prabasini.

   Gadis itu.

   t erang-terang sudah berpihak kepada lawan.

   Tapi pada saat itu kedudukannya tak ubah seperti seorang persakitan didepan meja pengadilan.

   Tak dapat ia maju atau mundur.

   Dan pada saat itu, terdengarlah suara Botol Pinilis .

   "Adik Lingga! Ha, sekarang t elah kuperoleh nilai harga yang pantas. Upah menolong tiap jiwa seharga empatratus pikul beras putih."

   "Empat ratus pikul?"

   Lingga W isnu menegas, seolaholah tidak percaya kepada pendengarannya sendiri.

   "Y a empat ratus pikul beras putih yang mulus dan bersih. Sama sekali tiada antahnya. Apalagi sampai kecampuran beras merah. Dan ukuran timbangannya harus tepat. Meskipun kurang satu cangkirpun tidak boleh,"

   Sahut Botol Pinilis dengan gaya seenaknya. Sama sekali ia tidak menghiraukan Cocak Prahara, apakah dia setuju atau tidak. Senang atau mendongkol. 'Tetapi, mereka yang butuh pertolongan berjumlah empat orang. Artinya seribu enam ratus pikul beras!"

   Seru Lingga W isnu.

   "Hai? Kau pandai benar berhitung,"

   Ujar Bot ol Pinilis dengan suara tinggi.

   "Kau bisa menghitung diluar kepala tanpa catatan! Kau hebat, adikku. Satu orang empat ratus pikul. Empat orang, artinya empat kali e mpat ratus pikul. Kau benar-benar pandai berhitung mencongak."

   Puguh Harimawan mencibirkan bibirnya mendengar kata-kata gurunya.

   Apa sih keanehan serta kehebatannya orang menghitung empat kali empat ratus? Akupun bisa segera menghitung diluar kepala, katanya di dalam hati.

   Ia tak tahu bahwa gurunya itu sudah bergurau menggelitik hati Cocak Prahara.

   Dalam pada itu dengan pandang tak perduli, Botol Pinilis berkata kepada Cocak Prahara .

   "Empat adikmu kini dalam keadaan setengah hidup. Esok pagi hendaklah kau sediakan beras sebanyak seribu enamratus pikul itu. Bila timbangannya tepat, keempat adikmu baru kita tolong. Kalau tidak, coba rawat sendiri. Siapa t ahu, engkau mempunyai sahabat seekor iblis atau malaikat penolong. Hendaklah kau ketahui, bahwa beras sebanyak itu bukan bermaksud kita kakangi sendiri . T api hendak kubagi-bagii-kepada penduduk yang sudah lama kau hisap darahnya. Mengerti?"

   Cocak Prahara tak berani berkutik. Ia benar benar seperti seorang persakitan menunggu keputusan pengadilan. Meskipun hatinya memaki-maki set inggi langit, ia terpaksa mengangguk menyetujui. Tetapi ia masih mencoba.

   "T api dalam waktu sependek ini, bagaimana caraku dapat mengumpulkan beras sebanyak itu. Isi gudang persediaan atau katakan saja seluruh milik keluarga kami, tidak mencapai jumlah sedemikian besar. Paling banyak hanya tujuh puluh atau delapan puluh pikul.

   "T api maaf seribu maaf. Keputusan pengadilan sudah jatuh,"

   Sahut Botol Pinilis dengan suara dingin.

   "Namun mengingat engkau adalah gadis itu, biarlah kuperkenankan main cicilan."

   "Main cic ilan bagaimana?"

   Cocak Prahara menegas dengan suara mendongkol.

   "Bila esok engkau bisa mengumpulkan empat ratus pikul beras putih, adikku akan menolong menyadarkan salah seorang adikmu. Bila kau mampu mengumpulkan delapan ratus pikul, adikku akan menolong menyadarkan dua orang. Tapi seumpama engkau baru bisa mengumpulkan sisanya dalam waktu satu bulan ... yah", kita tunda satu bulan. Kalau kau mint a mundur tiga bulan atau setengah tahun atau satu tahun atau lima tahun, boleh saja. Percayalah, adikku pasti mau datang menolong pada waktu-waktu pelunasan itu. Dia tidak bakal mempermain-mainkan jiwa adik-adikmu itu. Bagaimana?"

   Bukan main masgul hati Cocak Prahara.

   Katanya di dalam hati .

   'Keempat adikku benar-benar lumpuh.

   Tak dapat lagi mereka menunggu w aktu setengah bulan lagi.

   Sekarang dia menyediakan w aktu pengunduran sampai lima tahun.

   Hm, bangsat benar! Bukankah kau menghendaki mampusnya keluarga Dandang Mataun? Hm ...

   rupanya aku benar-benar tidak diberinya kesempatan bernapas.

   Apa boleh buat.

   Biarlah esok pagi kuusahakan untuk memenuhi.

   Kalau mereka sudah tersadar kembali, masakan tak mampu keluarga Dandang Mataun menuntut balas ...' Oleh pertimbangan itu, dengan hati berat Cocak Prahara memanggut seraya berkata "Baiklah.

   Esok hari, beras yang kau pinta akan kami penuhi."

   Botol Pinilis tertawa menang. Sahutnya.

   "Akh, benar-benar engkau seorang tengkulak yang mengerti ilmu dagang. Bagus! Semenjak hari ini aku akan selalu berhubungan denganmu untuk mencari barang dagangan yang bagus."

   Cocak Prahara membungkam mulut .

   Ia merasa tak berdaya, meskipun mengerti sedang dipermainkan dan di olok-olok.

   dan karena pembicaraan sudah selesai, ia meninggalkan ruang gedung pertempuran dengan semangat runtuh.

   Lingga W isnu kemudian menghampiri Sekar ningrum.

   Ia membungkuk hormat dan mint a diri.

   ia percaya, Cocak Prahara tidak akan mengusiknya, karena masih membutuhkan pertologannya.

   "Mari k ita beristirahat dahulu, adik,"

   Kata Botol Pinilis.

   Mereka berempat segera meninggalkan gedung dengan membawa emas perbekalan.

   Hati mereka girang bukan main dan bersyukur kepada, kemudahan Tuhan.

   Dengan langkah tenang, mereka keribali ke rumah penginapannya.

   Itulah rumah salah seorang penduduk yang miskin.

   Tatkala itu fajar-hari telah tiba.

   Suskandari masuk ke dapur mempersiapkan makan pagi.

   Ia membuat air teh dan penganan pula Dan sambil bersantap mereka membicarakan kemenangannya.

   Rasa girang dan syukur menyelimut i hati mereka masing-masing.

   "Adik Lingga,"

   Kata Botol Pinilis.

   "T ahukah engkau berapa jumlah murid guru kita?"

   "Y ang kuingat, hanya kakang Purubaya dan kakang Botol Pinilis,"

   Sahut Lingga W isnu. Botol Pinilis tersenyum. Katanya lagi .

   "Sebenarnya masih ada sepasang murid lagi yang sengaja kita rahasiakan. Itulah suami isteri Sugiri. Isterinya bernama Sukesi, Mereka berdua bermukim di lereng gunung Tangkuban Perahu. Mereka berdua adalah sepasang pendekar yang melindungi duabelas wilayah Jawa Barat, termasuk daerah Banyumas dan sekitarnya. Tatkala kita herempat mendengar berita bahwa guru mempunyai seorang murid lagi yang masih muda belia, kita merasa lucu dan geli. Guru kita memang pandai berkelakar. Tetapi memiliki penglihatannya sendiri yang aneh dan meyakinkan. Kita berempat yakin, bahwa murid yang termuda itu pasti memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan guru. Kita lant as berunding. Bagaimana memanggil murid yang berusia muda itu. Kakang Purubaya dan Sugiri mengusulkan agar menyebutmu anak. Maklumlah, sesungguhnya engkau pantas memanggil kami, dengan sebutan paman atau ayah.' 'T api, walaupun masih belum pandai beringus, bukankah paman wajib memanggil kakang Lingga W isnu sebagai adik? Betapapun juga kedudukannya adalah adik seperguruan paman,"

   Potong Suskandari.

   "Benar. Tetapi dahulu kita berpendapat bahwa kepandaian adik Lingga tak akan melebihi kepandaian muridku Puguh Harimawan. Bukankah guru sudah lanjut usianya dan Lingga W isnu masih muda belia belaka? Meskipun dia menerima seluruh warisan kepandaian guru, pastilah baru merupakan kumpulan teori saja. Dia masih membutuhkan masa latihan dua atau tigapuluh tahun lagi,"

   Kata Botol Pinilis.

   "Dan sekarang? Bagaimana pendapat paman?"

   "Maksudmu, kenyataannya?' sahut Botol Pinilis sambil tersenyum puas. Perlahan-lahan ia meneguk air tehnya. Kemudian berkata dengan suara-sungguh-sungguh .

   "Dan sekarang, setelah aku menyaksikan dengan mata-kepalaku sendiri, benar-benar aku merasa takluk. Jangan lagi suami-isteri Sugiri sedangkan kakang Purubaya sendiri tidak akan bisa menandingi kepandaian adik L ingga. Adikku Lingga, benar-benar kau penjelmaan guru semasa muda. Bahkan aku yakin waktu guru masih seusiamu., kepandaiannya belum mencapai tataran yang kau capai sekarang. Karena itu, semenjak kini pamor rumah perguruan Sekar Teratai berada padamu. Jatuh dan bangunnya rumah perguruan Sekar Teratai tergantung pada sepak-terjangmu belaka. Sayang, disini tak ada ayam dan daging goreng. Ingin sekali aku merayakan kata-kataku ini sebagai pernyataan rasa syukur dan pengucapan selamat kepadamu."

   Setelah berkata demikian, Bot ol Pinilis berdiri tegak.

   Sifat jenakanya lenyap dari raut mukanya.

   Dengan sungguh-sungguh ia meneguk air tehnya kembaliKemudian membarengi dengan mengunyah penganan lahan-lahap.

   Dan menyaksikan hal itu, Lingga W isnupun segera berdiri tegak.

   Iapun menegak air tehnya untuk menyambut penghormatan kakak seperguruannya.

   Tentu saja, Puguh Harimawan t ak sudi ketinggalan.

   Si dogol itu segera berdiri gedobrakan karena perutnya menyinggung sudut meja.

   Kemudian seperti sedang berlomba, ia menghirup air tehnya mendahului Suskandari.

   "Adikku Lingga. Benar-benar aku bangga kepadamu. Engkau ternyata seorang anak yang sopan santun, halus budi, cermat dan berhati-hati. Jarang sekali, suatu rumah perguruan menemukan tunasnya begitu sempurna seperti dirimu. Mari adik, kita teruskan makan-minum ini sebagai suatu pesta kecil-kecilan dariku, untuk menghormatimu.' Mereka kembali duduk. Sambil menggerumiti penganan, berkatalah Botol Pinilis kepada Puguh Harimawan .

   "Puguh. Manakala engkau memperoleh satu bagian saja kepandaian pamanmu ini, cukuplah sudah untuk menjadi bekal hidupmu malang melint ang tanpa tandingan. Setidak-tidaknya akan besar faedahnya untuk, dirimu sendiri."

   Puguh Harimawan telah menyaksikan kepandaian Lingga W isnu dengan mata kepalanya sendiri.

   Dia ikut berbesar hati dan bangga.

   Sekarang ia mendengar ucapan gurunya.

   Segera ia mengerti maksudnya.

   Terus saja ia ujenghadap kepada Lingga W isnu dan membungkuk hormat.

   Katanya .

   "Semenjak sekarang, pangil ah aku tanpa sebutan kakang lagi. Aku adalah kemenakan muridmu. Dan bila paman sudi menghadiahi barang sejurus dua jurus, aku akan berterima kasih sepanjang hidupku."

   "Akh, janganlah berlebih-lebihan memberi hormat kepadaku,"

   Ujar Lingga W isnu.

   Iapun segera berdiri memberi hormat.

   Dikemudian hari, Lingga W isnu benar-benar memberikan sebagian kepandaiannya kepada Puguh Harimawan.

   Dan sejak saat itu, si dogol Puguh Harimawan berubah menjadi manusia lain.

   Berubah menjadi seorang pendekar yang namanya menggetarkan lawan dan kawan.

   Juga Suskandari, menerima petunjuk- petunjuk yang berharga.

   Karena dia adalah pewaris kepandaian ibunya.

   Dengan cepat sekali ia menjadi seorang pendekar wanita yang gesit dan cekatan luar biasa.

   Dibandingkan dengan kepandaiannya, kini berlipat sekian kali t ingginya.

   0ooo-d.w-ooo0 1.

   Mencari Harta Warisan Pagi hari telah tiba tatkala mereka memasuki kamar tidurnya masing-masing.

   Satu malam penuh mereka berjuang antara hidup dan mati.

   Tak mengherankan, mereka cepat sekali tertidur.

   Tatkala seseorang mengetuk pintu kamarnya, matahari sudah condong ke barat.

   "Siapa?"

   Kata Botol Pinilis mint a keterangan.

   "Utusan keluarga Dandang Mataun,"

   Jawab Puguh. Harimawan.

   "Dia mengirim ut usan ke mari. mengharap kehadiran kita."

   Botol Pinilis tersenyum. Berkata .

   "Benar pandai mereka menemukan pondokan - tempat kita menginap. Baiklah, mari kita bersiap-siap."

   Desa Kemuning terletak dipinggang gunung Lawu.

   Meskipun termasuk daerah makmur, akan tetapi untuk mengumpulkan beras sejunlah itu tidaklah mudah.

   Cocak Prahara tahu akan hal itu.

   Tetapi terdorong oleh rasa gelisah dan balas dendam, ia menyebarkan seluruh orang orangnya ke berbagai daerah semenjak fajar-hari tadi.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ke Madiun, Sragen, Tawangmangu - Matisih, Sarangan dan sekitar pinggang gunung.

   Berkat kesungguhan dan pengaruh uangnya, ia berhasil mengumpulkan jumlah beras yang dimint a Botol Pinilis.

   Tapi akibatnya, harga beras jadi naik.

   Rakyat jelata tak mampu membelinya lagi Kegoncangan harga pasar itu berjalan sampai beberapa minggu lamanya setelah peristiwa tersebut terjadi.

   Demikianlah, setelah rombongan Botol Pinilis tiba, Cocak Prahara mempersilahkan Botol Pinilis untuk memeriksa jumlah beras yang dikehendaki.

   Tapi tentu saja, Cocak Prahara tidak sudi membuang-buang waktu.

   Ia memerint ahkan supaya beras itu dibagikan kepada penduduk sambil menghitung jumlahnya.

   Tidak mengherankan, peristiwa itu benar-benar mengherankan dan mengejutkan seluruh penduduk.

   Apa sebab, keluarga Dandang Mataun yang terkenal sebagai keluarga lintah darat, mendadak saja berubah menjadi dermawan.

   Mereka tak tahu peristiwa apa yang telah terjadi di dalam keluarga itu.

   Dengan disaksikan Cocak Prahara, Bot ol Pinilis membagikan beras itu kepada penduduk seadil-ad ilnya.

   Ia kini bersikap sungguh sungguh dan tak mau mengejek Cocak Prahara lagi.

   Di dalam hati, ia memuji kesungguhan hati orang tua itu.

   Tapi sebaliknya Cocak Prahara makin mendongkol.

   Rasa dendamnya makin menjadi-jadi saja.

   Setiap kali Botol Pinilis menuang sebakul beras yang diberikan kepada penduduk, darahnya serasa mengucur sebanyak itu pula.

   Namun, tentu saja, tak berani ia memperlihatkan kesan hatinya.

   Diam-diam ia mencuri pandang kepada adiknya, Cocak Ijo.

   Dialah satu-satunya saudaranya yang tidak pingsan penuh-penuh.

   Hanya saja, d ia lumpuh tak dapat bergerak akibat timpukan timah Lingga W isnu yang mengenai urat-uratnya tertentu.

   Botol Pinilis adalah seorang pendekar yang berpengalaman.

   Untuk menghajar adat kepada pendekar tua itu, tiba-tiba ia berkata .

   "Saudara Cocak Prahara. S ilahkan engkau saja yang membagi beras. Dengan demikian engkau akan nampak menjadi seorang dermawan benar-benar."

   Itulah suatu sindiran yang taiam sekali baginya.

   Namun sekali lagi, ia terpaksa mengiyakan.

   Dan dengan dibantu oleh orangorangnya ia membagi-bagikan beras dengan hati mengutuk.

   Sampai tengah malam, barulah dia selesai membagibagikan berasnya.

   Setiap kali setelah membagi empatratus pikul, Lingga W isnu menolong salah seorang saudaranya.

   Demikianlah, apa bila seribu enam ratus pikul sudah dibagi bagikan habis, keempat saudara Cocak Prahara telah memperoleh kesadarannya kembali.

   Mereka dapat bergerak seperti sediakala, akan tetapi sebagian besar tenaganya masih punah.

   Dengan begitu mereka hanya bisa mengunpat-umpat di dalam hati tatkala menyaksikan keluarganya menghambur hamburkan harta bendanya, yang terkumpul sedikit demi sedikit, lantaran terpaksa.

   Kira-kira pukul tiga malam, pendapa keluarga Dandang Mataun telah sunyi kembali.

   Penduduk pulang ke rumah masing-masing karena keempat saudara Cocak Prahara sudah sembuh kembali, Lingga W isnu bermaksud hendak mengundurkan diri.

   Dengan membungkuk hormat, ia berkata kepada Cocak Prahara .

   "Paman. Hendaklah paman sudi memaafkan diri kami. Sekarang perkenankan kami kembali ke pondokan."

   Belum lagi Cocak Prahara membuka mulut , Botol Pinilis menyambung.

   Katanya dengan setengah tertawa "Saudara Cocak Prahara berlima.

   Kami tahu, kalian berlima sakit hati karena terpaksa menghamburkan harta benda keluargamu turun menurun.

   Seribu enam ratus pikul beras, bukanlah suatu jumlah yang sedikit.

   Tetapi meskipun demikian, mulai, saat ini nama keluarga Candang Mataun tidak lagi seburuk dahulu.

   Karena perbuatan kalian tadi adalah suatu perbuatan amal..

   Pastilah sekalian penduduk sini memuji kebaikanmu dihadapan Tuhan.

   Karena itu, aku mint a keil&lasan hati kalian."

   Botcl Pinilis tidak menunggu jawaban Cocak Prahara. Segera ia mengajak ronibongannya mengundurkan diri. Sekonyong-konyong ia melihat Sekar Prabasini berlari-lari ke serambi depan menghampirinya. Kata Sekarningrum kepada Lingga W isnu .

   "Anakku Lingga, apakah sekarang engkau hendak meninggalkan kami?"

   Lingga W isnu mengangguk. Jawabnya .

   "Benar bibi. Tiada lagi yang kukerjakan di sini. Maka perkenankan kami berangkat sekarang juga."

   Tiba-tiba Sekarningrum nampak bergemetaran. Katanya dengan suara tersekat-sekat .

   "Sebenarnya ... sebenarnya di manakah kuburannya? Anakku Lingga, bawalah serta aku untuk menyaribangi kuburannya."

   Belum lagi Lingga W isnu menjawab permint aan Sekarningrum, mendadak saja ia mendengar angin menyambar.

   Ia kaget sempai berpaling ke arah datangnya angin itu.

   Segera ia melompat dan menyambar empat batang golok terbang yang menyambar ke arah Sekarningrum.

   Tetapi pada saat itulah ia mendengar Sekarningrum memekik nyaring.

   Dan tubuhnya roboh terkulai diatas lant ai.

   Ternyata masih ada sebatang golok yang menikamnya.

   Golok yang menancap pada dirinya rupanya disertai dengan suatu tenaga yang dahsyat luar biasa, sehingga tertancap sangat dalam.

   Hampir saja gagangnya ikut serta amblas kedalam tubuh wanita itu.

   Sekarningrum rebah tak berkutik.

   Dengan setengah kalap Sekar Prabasini menubruk dan hendak mencabut golok yang menancap di punggung ibunya.

   Buru-buru Botol Pinilis mencegah.

   Katanya .

   "Jangan. Bila kau cabut , ibumu tak dapat membuka matanya kembali."

   Lingga W isnu tahu, siapa yang melakukan serangan gelap itu.

   Dengan geram ia menimpukan keempat golok terbang yang berada dikedua tangannya kepada pemiliknya.

   Dialah Cocak Ijo! W atak Cocak Ijo tidak, berbeda jauh dengan watak Cocak Abang.

   Ia berangasan dan bengis luar biasa.

   Mendengar Sekarningrum hendak mencari kuburan Bondan Sejiwan, tak dapat lagi ia menahan diri.

   Terus saja ia meninpukkan golok-golok terbangnya.

   Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, masih sempat ia memperhitungkan hadirnya Lingga W isnu.

   Tapi selagi kedua tangan Lingga Wisnu bergerak menyambar empat batang goloknya, maka dengan penuh napsu ia melepaskan sebatang golok lagi.

   Kali in i, mengarah kepada Sekamingnm.

   Perhitungannya ternyata tepat, Lingga W isnu sedang memunahkan empat batang goloknya.

   Maka tak sempat lagi, ia menyambar sebatang goloknya yang ditimpukkan hampir berbareng.

   Sekarningrum roboh tak berkutik.

   Dan ia merasa puas luar biasa, Dengan tersenyum iblis ia berdiri memandang korbannya.

   Mendadak ia melihat berkelebat empat batang goloknya mengarah dirinya.

   Inilah senjata makan tuan! Terus saja ia bergulingan untuk menghindarkan.

   Seperti diket ahui, dialah satu-satunya saudara Cocak Prahara yang tidak perlu pingsan oleh timpukan senjata bidik Lingga W isnu.

   Maka tenaga dan kegesitan tidak perlu kurang begitu banyak.

   Ia berhasil membebaskan diri dari ancaman goloknya.

   Tapi diluar dugaan, mendadak saja pant at dan pangkal pahanya menjadi kaku kejang.

   Dan ia roboh terbanting sewaktu mencoba berdiri.

   Lingga W isnu mendongkol dan jemu t erhadap pekerti Cocak Ijo.

   Ia kena diingusi ahli golok itu.

   Maka iapun hendak membalas dengan caranya pula.

   Sengaja ia melepaskan empat golok, pastilah Cocak Ijo dapat memunahkan atau mengelakkan diri.

   Tapi Cocak Ijo lupa, bahw a Lingga W isnu mempunyai senjata bidik.

   Itulah senjata bidik yang membuat dirinya kemarin lumpuh tak bergerak.

   Selagi, ia bergulingan mengelakkan diri, belasan senjate bidik Lingga W isnu menghantam pantat dan pangkal pahanya.

   Ia terjungkal.

   Dan kali in i Lingga W isnu tidak bersegan-segan lagi Terdorong oleh rasa mendongkol dan jemu, pemuda itu menimpuk dengan disertai tenaga dahsyat.

   Seketika itu juga, tulang sendi Cocak Ijo rontok patah Urat-uratnya hancur.

   Dan Cocak Ijo mampus pada saat itu juga.

   Dengan hati pedih, Lingga W isnu menoleh ke arah Sekar Prabasin i.

   Gadis itu memeluk tubuh ibunya eraterat.

   Oleh rasa sedih, gadis itu sampai tak mampu mengeluarkan suara tangis lagi.

   Apa yang dapat dilakukannya hanya menciumi dan mencoba menyadarkan ibunya.

   Lingga W isnu menghampiri dengan hati remuk redam.

   Ia jadi teringat dengan pengalamannya sendiri, tatkala memeluk dan menangisi jenazah ayah-bundanya.

   Dahulu ia memeluk dan menangisi jenazah ayah-bundanya didepan orang banyak.

   Sekarang, Sekar Prabasini mengalami nasib yang sama pula.

   Ibunya mati terkapar dihadapan para tamu dan seluruh anggauta keluarganya yang bersikap memusuhi.

   Dan teringat akan hal itu, hatinya terharu bukan main.

   Perlahan-lahan pemuda itu meraba tubuh Sekarningrum.

   Tahulah dia, bahw a wanita malang itu tak dapat tertolong lagi.

   Satu-satunya harapan hanyalah mencoba menyadarkan barang semenit dua menit.

   Maka segera ia memijat urat-urat tertentu untuk mengurangi rasa sakit.

   Dan benar saja, Sekarningrum sadar tanpa menderita rasa sakit.

   Begitu menyenakkan mata, ia dapat berkata genang tenang kepada anaknya satu-satunya itu dan dengan suara penuh kasih .

   "Prabasin i, kau tak perlu bersedih hati. Semua orang akan kembali ke asal-mula Juga dirimu kelak. Sekarang aku dapat menyusul di mana ayahmu berada. Dan aku akan mendampingi dan dapat melayani tanpa gangguan siapapun."

   Sekarningrum tersenyum puas.

   Dan Sekar Prabasini mencoba bersenyum pula, seolah-olah ikut serta bersyukur terhadap kepergian ibunya hendak menyusul ayahnya di alam baka.

   Tetapi hatinya hancur luluh tak keruan.

   Akhirnya dengan menggigit bibirnya, tak dapat lagi ia membendung butiran-butiran air matanya yang membanjiri pip inya.

   Sekarningrum sendiri tidak memperhatikan keadaan Sekar Prabasini.

   Ia mengalihkan pandang kepada Lingga W isnu.

   Katanya .

   "Anakku Lingga. Hanya sebuah pertanyaan lagi yang hendak kutanyakan kepadamu. Kupinta kepadamu, agarengkau menjawab sebenarnya. Maukah engkau meluluskan permint aanku ini"

   "Tentu saja, bibi. Coba katakan apa yang hendak bibi tanyakan kepadaku,"

   Jawab Lingga W isnu dengan sungguh-sungguh, penuh haru.

   "Apakah dia meninggalkan surat wasiat? Apakah dia menyinggung-nyinggung namaku? Air mata Lingga W isnu bercucuran, tatkala ia t erpaksa menjawab .

   "Paman Bondan Sejiwan menulis kitab wasiat. Dan dengan bekal itu, aku dapat menghancurkan rahasia ilmu sakti Dandang Mataun, Dengan demikian, aku berhasil mewakili dirinya menuntut balas."

   "Akh, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa? Apakah dia tidak menulis surat kepadaku? Apakah dia sama sekali t idak meninggalkan surat wasiat bagiku?"

   Lingga W isnu menggelengkan kepalanya. Menjawab dengan suara perlahan .

   "T idak ..."

   Mendengar jawaban Lingga W isnu, wajah Sekarningrum nampak kuyu. Ia jadi kehilangan sepercik harapan. Katanya dengan suara lemah .

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pasti ia mengira aku berada dipihak saudara saudaraku. Akh, Tuhan menjadi saksi, bahw a aku tidak meracuni dirinya. Yah, tatkala dia minum racun itu, tenaganya benar-benar punah."

   "T idak, bibi!"

   Lingga W isnu mencoba menghiburnya. 'T idak! Di alam baka paman tahu, bahwa hati bibi suci bersih ..."

   "Dia wafat dengan hati menaruh dendam. Dengan hati pedih dan sedih,"

   Sekarningrun mengeluh.

   "Y a, pastilah dia mengira, bahw a akulah yang menaruh racun terkutuk itu. Dan meskipun kau bersedia menjadi saksi bahw a aku sesungguhnya berada dipihaknya, sudahlah kasep. Bukankah dia tak dapat menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri?"

   Bukan main rasa haru L ingga W isnu.

   Ia t ahu ibu Sekar Prabasin i sangat kecewa.

   Akan tetapi tak dapat lain lagi.

   Memang, Bondan Sejiwan sama sekali tidak menulis surat kepadanya.

   Tiba-tiba teringatlah dia.

   Bukankah Bondan Sejiwan menulis surat peta? Dalam tulisannya ia menye-but-nyebut nama Sekarningrum pula.

   Teringat hal itu, segera ia meraba sakunya dan memperlihatkan sehelai kertas kulit.

   "Bibi, lihat!"

   Serunya gembira sambil memperlihatkan surat wasiat itu di depan mata Sekarningrum.

   W aktu itu Sekarningrum baru saja merapatkan kedua matanya.

   Kedua lengannya telah menjadi lemah lunglai.

   Dan begitu mendengar seruan Lingga W isnu, ia tersentak bangun.

   W ajahnya segera nampak segar manakala meliliat surat wasiat itu.

   "Surat apa itu?"

   Katanya tersekat sekat.

   "Ya, benar. Itulah tulisan tangannya. Dia menulis apa? Menulis tentang apa?"

   Bukan main terharunya Lingga W isnu menyaksikan perubahan itu.

   Sekarningrum nampak bergirang hati.

   Rasa girang yang mendekati gejolak rasa girang kanakkanak.

   Maka segera ia mendekati bunyi tulisan yang tertera dipojok peta, agar Sekarningium dapat membacanya sendiri.

   Dengan napas sesak, Sekarningrum membaca tulisan suaminya .

   'Barangsiapa memperoleh harta terpendam ini, hendaklah mencari seorang perempuan bernama Sekarningrum, yang bertempat t inggal di dusun Popong, Berilah dia seratus ribu ringgit agar hidupnya seperti layaknya seorang perempuan yang mempunyai harga diri ...

   Ia berhenti sebentar, seperti sedang berpikir.

   mendadak berkata setengah berseru .

   "Hai! Benar-benar akulah yang dimaksudkan. Dusun Popongan! Artinya hidup terkurung seperti popongan kalau begitu dia tahu penderitaanku. Dan aku, akh jelas sekali... aku diharapkan keluar dari kehidupan keluargaku. Agar aku dapat hidup bebas merdeka seperti layaknya seorang perempuan yang mempunyai harga diri. Akh, anakku Lingga aku menyatakan rasa kasihku. Aku tidak membutuhkan uang Yang ku .. bagiku yang terpenting ialah ternyata dia masih ingat kepadaku. Dalam penderitaannya masih ia memikirkan keadaan diriku Sekarang biarlah aku pergi menyusulnya ..."

   Lingga W isnu t ahu, bahwa tenaga hidup Se-karninrum nyaris pudar. Maka ia menoleh kepada Sekar Prabasini hendak menghiburnya. Tiba-tiba Sekarningrum yang telah memejamkan kedua matanya menyenak kembali. Dia berkata memohon .

   "Anakku Lingga. Dua hal lagi aku pinta kesediaanmu. Dan aku mengharapkan engkau menerimanya tanpa tawar-menawar."

   "Katakan saja, b ibi,"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Aku selalu bersedia melakukan apa saja. permint aanmu, asal saja aku mampu."

   "Y ang pertama, kuburlah aku di sampingnya. Dan yang kedua .... yang kedua ..."

   "Y ang kedua ... sebutkan, bibi! Sebutkan bibi!"

   Lingga W isnu mendesak sambil mendekatkan telinganya.

   "Y ang kedua, kamu ... kamu ..."

   Kata Sekarningrum sambil menunjuk Prabasini.

   Kemudian ia membagi pandang kepada Lingga W isnu.

   Dan kembali lagi kepada Sekar Prabasin i.

   Mulut nya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu.

   Tetapi tiba-tiba ia telah kehilangan tenaga.

   Kepalanya runtuh kesamping.

   Dan ia meninggal dalam keadaan tenang dan damai.

   Gugup Lingga W isnu meraba dadanya.

   Benar-benar napas Sekarningrum t iada lagi.

   Dan pada saat itu, Sekar Prabasin i menubruk dan memeluk ibunya erat-erat.

   Ia memekik dan menangis menggerung-gerung.

   Akhirnya pingsan t ak sadarkan diri.

   Lingga W isnu terkejut.

   Ia memeluk tubuh Sekar Prabasin i, dan menggoyang-goyangnya.

   "Prabasin i! Prabasini!"

   "Jangan kuatir, adik. Dia pingsan oleh rasa duka yang luar biasa."

   Botol Pinilis menghibur. Setelah berkata demikian, ia manijat urat pernapasan Sekar Prabasin i. Tak lama kemudian, gadis itu telah memperoleh kesadarannya kembali. Dengan pandang kosong, ia menebarkan penglihatannya.

   "Prabasin i, bagaimana perasaanmu?"

   T anya Lingga W isnu dengan suara cemas, Sekar Prabasini tidak menyahut.

   Dan kembali lagi Lingga W isnu menegas.

   Tetapi tetap gadis itu membungkam mulut.

   Botol Pinilis, Suskandari dan Puguh Harimawan memperoleh kesan aneh.

   Mereka tidak mengetahui hubungan yang terjadi antara Lingga W isnu, Sekarningrum dan Sekar Prabasin i.

   Terang sekali Sekarningrum dan Sekar Prabasini termasuk keluarga Dandang Mataun.

   Akan tetapi, apa sebab Saudarasaudaranya membunuhnya? Dan apa latar belakang persoalannya sampai Sekarningrum begitu dekat hatinya kepada Lingga W isnu? Selagi mereka bermenung-menung, terdengarlah suara Lingga W isnu .

   "Prabasin i, mari. Kau ikut kami. Tak dapat engkau tinggal disini lagi."

   Lingga W isnu berkata dengan suara hatinya.

   Kedua kelopak matanya berkaca-kaca, namun masih Sekar Prabasin i membungkam mulut.

   Baru, setelah menarik napas dua tiga kali, ia memanggut pendek.

   Melihat Sekar Prabasini memanggut, tanpa segansegan lagi Lingga W lfcnu menolong Sekar Prabasini berdiri tegak.

   Kemudian ia memondong tubuh Sekarningrum.

   Sama sekali tak dihiraukannya keadaan hati Cocak Prahara berlima.

   Perlahan-lahan ia keluar halaman.

   Sekar Prabasini - Suskandari dan Bot ol Pinilis serta Puguh Harimawan mengikutinya dari belakang.

   Memang, bukan main panas hati Cocak Prahara bertiga.

   Mereka merasa diri tidak lagi dianggap sebagai manusia.

   Mereka dipaksa menyaksikan Cocak Ijo mati dihadapannya.

   Sudah begitu, kini melihat betapa Lingga W isnu dan kawan-kawannya membawa pergi jenazah saudara perempuannya tanpa mint a persetujuannya.

   Menuruti kata hati, ingin mereka melampiaskan rasa mendongkolnya.

   Akan tetapi mereka insyaf, Lingga W isnu dan Botol Pinilis memiliki kepandaian sangat tinggi.

   Pihaknya sendiri, sudah kehilangan seorang anggauta keluarga yang tangguh.

   Karena itu, dengan menahan diri, mereka membiarkan Lingga W isnu dan rombongannya meninggalkan rumahnya tak terusik.

   Setelah berada di tengah jalan, Bot ol Pinilis berkata kepada Puguh Harimawan .

   "Aku mempunyai uang seratus ringgit. Bawalah uang ini kepada pemilik rumah yang kita tumpangi, dan kau berikan uang ini kepadanya. Katakan juga, sebelum pagi hari t iba, hendaklah pindah tempat."

   Botol Pinilis menyerahkan uang seratus ringgit kepada Puguh Harimawan. Muridnya itu menegas .

   "Kenapa dia harus pindah tempat begitu cepat?"

   "Apa kau kira keluarga Dandang Mataun memeluk lut ut saja, setelah kita pergi? Mereka mendongkol terhadap kita. Rasa mendongkolnya pastilah akan dialamatkan kepada pemilik rumah yang kita tumpangi."

   Sahut Botol Pinilis memberi keterangan.

   "Terhadap kita, mereka tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi begitu kita pergi meninggalkan dusun ini, segera mereka akan turun tangan. Yah, karena petani itu memberi tempat menumpang kepada kita. Sekarang, barulah Puguh Harimawan mengerti apa sebab pemilik runah itu harus segera berangkat meninggalkan dusun. Sambil menyimpan uang pemberian gurunya, ia memuji di dalam hati. Kemudian bergegas menemui pemilik runah. Ia menyampaikan pesan gurunya, dan karena waktu itu pagi hari belum tiba, maka pemilik rumah itu masih mempunyai kesempatan untuk meninggalkan dusunnya sebelum matahari terbit. Ia mengucapkan terima kasih terhadap maksud baik t etamunya. Demikianlah, setelah Puguh Harimawan kembali, Lingga W isnu meneruskan perjalanannya. Sepanjang jalan baik Bot ol Pinilis maupun yang lain-lain, membungkam mulut. Tatkala sinar matahari mulai merekah diufuk timur, mereka berhenti disebuah gardu penjagaan yang terletak jauh dari dusun. Gardu penjagaan itu telah keropos dindingnya. Tiang-tiangnya nampak tak terpelihara. Maka jelaslah, bahw a gardu penjagaan itu, sudah tak pernah dipergunakan. Di dalam gardu penjagaan inilah mereka beristirahat. Puguh Harimawan dan Suskandari membersihkan daun-daun kering yang bertebaran di atas lantai. Kemudian dengan hati-hati Lingga W isnu meletakkan jenazah Sekarningrum. Mereka lantas merubung jenazah itu dengan prihatin.

   "Kita apakan jenazah nyonya ini?"

   Botol Pinilis mint a pertimbangan mereka.

   "Apakah akan kita kubur saja di sin i? Atau akan kita bawa ke kota dahulu untuk dimandikan?"

   Lingga W isnu tak kuasa menjawab. Ia menyiratkan pandang kepada Suskandari, Puguh Harimawan dan Sekar Prabasini., Mereka bertigapun membungkam mulut .

   "Seumpama kita membawanya pergi kekota dahulu, rasanya tak mudah,"

   Kata Botol Pinilis lagi.

   "Pembesar negeri t entu akan mint a keterangan kita sejelas-jelasnya. Barangkali kita bisa lolos dari pertanyaannya, akan t etapi kita akan repot memberi jawaban set iap kepala dusun yang kita lalu i. Lagipula, dimana kita akan memandikan jenazah nyonya ini? Karena itu lebih baik kita kubur saja di sin i."

   "T idak, ibu tak boleh dikubur di sini!"

   Bant ah Sekar Prabasin i.

   "Bukankah ibu menghendaki agar dikubur di samping ayah? Syukur bisa bersama-sama di dalam satu liang kubur." 'Tetapi dimana kuburan ayahmu?"

   Botol Pinilis mint a penjelasan. Tak dapat Sekar Prabasini memberi keterangan kepada Botol Pinilis. Sesungguhnya ia tak mengetahui di mana kuburan ayahnya. Ia lantas melemparkan pandang kepada Lingga W isnu .

   "Ayahnya terkubur dipuncak gunung Dieng kita."

   Lingga W isnu memberi keterangan.

   "Diatas gunung Dieng? Gunung Dieng kita?"

   Botol Pinilis berseru heran. Rupanya Sekar Prabasini heran pula mendengar keterangan Lingga W isnu. Dan berkata lagi Lingga W isnu kepada Botol Pinilis .

   "Ayahnya adalah pendekar besar Bondan Sejiwan. Dialah pendekar yang pada zamannya terkenal gagah perkasa dan bertabiat aneh."

   Umur Botol Pinilis tak jauh selisihnya dengan umur Bondan Sejiwan.

   Tatkala ia mulai berkelana, kegagahan pendekar Bondan Sejiwan seringkali d idengarnya.

   Ia menaruh hormat terhadap pendekar besar itu.

   W alaupun tidak selalu menyetujui sepak-terjangnya.

   Karena itu pula hormatnya terhadap jenazah Sekarningrum naik.

   set ingkat.

   Jadi.

   dialah isteri pendekar besar itu? Pikirnya didalam hati.

   Dan tiba-tiba saja timbullah semangatnya untuk membuat jasa.

   Setelah berenung-renung sejenak, berkatalah dia kepada Sekar Prabasini .

   "Aku ada usul. Mudah-mudahan engkau bisa menerima usulku in i."

   Sekar Prabasini menatap wajah Botol Pinilis. Usia Bot ol Pinilis sebaya dengan paman-pamannya. Maka menyahutlah dia .

   "Pastilah usul paman ada harganya untuk di dengar, silahkan, paman."

   Disebut paman, Botol Pinilis perlu memberi keterangan terlebih dahulu. Berkata sambil menunjuk Lingga W isnu .

   "Usia Lingga W isnu sebaya denganmu. Meskipun demikian, dia adalah adik seperguruanku dan karena engkau sahabatnya, jangan engkau memanggil paman kepadaku. Panggil saja aku kakang."

   Mendengar ucapan Botol Pinilis, Puguh Harimawan tergerak hatinya, Ia mengerling kepada Sekar Prabasini dan berkata di dalam hati .

   'W ah, celaka.

   Kalau dia mananggil kakang kepada guruku, mau tak mau aku harus memanggilnya bibi.

   Padahal, usianya terpaut sangat jauh cari umurku.' Tentu saja Sekar Prabasini tidak mengetahui apa yang berkutik di dalam hati Puguh Harimawan.

   Setelah menyiratkan pandang kepada Lingga W isnu, ia berkata .

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baiklah. Mulai saat in i, aku akan memanggilmu kakang. Aku berjanji pula, akan patuh dan taat kepada semua saran-saran kakang." 'W aduh, apa kataku ... Benar-benar dia memanggil kakang terhadap guru,' Puguh Harimawan mengeluh di dalan hati. 'Perempuan cilik in i kenapa begitu gampang saja mengubah sebutan paman menjadi kakang dalam waktu begini singkat? Sama sekali tak nampak keseganannya. Akh, celaka! Sesudah mempunyai paman cilik, sekarang ada bibi cilik lagi ...' Si dogol itu lantas sibuk seorang diri. Ia b ingung menempatkan diri dalam persoalan itu. Maklumlah. Usianya kin i sudah hampir mencapai tigapuluh tujuh tahun. Dan oleh tataran kedudukannya, ia harus memanggil paman dan bibi terhadap bocah cilik yang berumur sekitar duapuluh tahun. Busyeeet! Tentu saja Bot ol Pinilis tak mengerti apa yang menyebabkan keresahan hati muridnya itu. Ia hanya melihat si dogol duduk bergelisah. Sedangkan pandangnya selalu beralih dari Lingga W isnu ke Sekar Prabasin i. Ia memperhatikan sebentar, kemudian meneruskan berkata kepada Prabasini .

   "Ibumu ingin berkubur bersama ayahmu. Keinginan hati ibumu itu, pasti akan k ita laksanakan. Adik tak perlu bercemas hati. Soalnya sekarang adalah tata pelaksanaannya. Kurasa alangkah sulit."

   "Apa yang menyulitkan?"

   Sekar Prabasin i. ti dak sabar.

   "Jarak ant ara Gunung Lawu dan Gunung Dieng sangat jauh. Sekarangpun lagi berkecamuk suatu perjuangan rakyat yang menentukan. Maka sudah bisa dibayangkan, betapa sulit perjalanan kita apabila membawa-bawa sesosok mayat. Taruh kata kita sudah berada di kaki Gunung Dieng, masih ada pula satu masalah. Jangan lagi dibebani jenazah ibumu, sedang membawa diri sendiri saja sudah sangat sukar. Sebab puncak gunung yang kita maksudkan amat terjal, lic in dan sempit. Mungkin sekali adik belum bisa membayangkan keadaan tanah gunung Dieng, karena belum pernah melihat gunung itu?"

   Sekar Prabasini bergeleng kepala. Mint a ketegasan .

   "Lalu bagaimana baiknya?" 'Masih ada satu jalan keluar,"

   Sahut Botol Pinilis.

   "T api kurasa jalan hidup inipun belum merupakan jalan keluar sesungguhnya."

   "Apa itu?"

   "Kita bawa tulang-belulang almarhum ayahmu ke mari, kemudian kita kubur bersama-sama dengan jenazah ibumu. Akan tetapi jasmaniah ayahmu kini sudah memperoleh kedamaian dan ketenteraman. Benarkah kita, apabila membongkar kuburannya untuk kemudian kita bawa-bawa pindah ke mari"

   Kata Bot ol Pinilis mint a pertimbangan. 0ooo-d.w-ooo0

   Jilid 8 Mendengar kata-kata Botol Pinilis, Sekar Prabasini mendadak saja menjadi bingung. Ia menangis oleh rasa bingungnya itu. Seperti seorang kalap yang membutuhkan pertolongan, ia berkata setengah berseru.

   "Lalu bagaimana?"

   Botol Pinilis menghela napas. Ia membiarkan Sekar Prabasin i sibuk beberapa saat lamanya sampai kemudian ia berkata menyarankan .

   "Bila adik set uju, aku mengusulkan agar jenazah ibumu dibakar saja. Nanti dulu ... aku tahu, hal itu bertentangan dengan agama dan adat istiadat kita. Kulihat meskipun kau bukan orang saleh, tapi sedikit banyak mempertaruhkan kepercayaan keharibaan agama kita, Islam."

   Sekar Prabasini tercengang.

   Memang, meskipun belum pernah bersembahyang, akan tetapi leluhurnya memeluk agama Islam.

   Karena itu, meskipun dia orang acakacakan, termasuk anggauta rumpun agama tersebut.

   Dan membakar mayat belum pernah di lakukan orangorang Islam d i bumi Jawa ini.

   Tapi Jalan lain, tiada lagi.

   Akhirnya mau tak mau ia menerima saran itu..

   Perlahan lahan ia memanggut.

   Dan pada saat itu air matanya memenuhi kelopak mata.

   Botol Pinilis kemudian mengajak Puguh Harimawan mencari kayu bakar.

   Lingga W isnu dan Suskandairi mencari rumput-rumput kering.

   Matahari sudah sepenggalah tingginya, tatkala mereka mulai menyulut api.

   Dan jenazah Sekarningrum diletakkan hati-hati diatas pancaka.

   Sakit hatinya Sekar Prabasini menyaksikan tubuh ibunya dijilat api.

   Rasanya seperti dirinya sendiri d ibakar hidup-hidup.

   Ia lantas mendekam diatas tanah dan menangis sedih sekali.

   Semenjak dilahirkan, ia hidup dipencilkan oleh anggauta-anggauta keluarga lainnya.

   Meskipun rumahnya besar tak ubah sebuah istana, namun ia merasa asing.

   Hanya ibunya seorang tempat ia mengadukan gundah hatinya itu.

   Dan hanya ibunya seorang pula yang sayang dan kasih padanya dengan setulus hati.

   Sekarang ibunya pergi untuk selamalamanya.

   Mati dan kemudian.

   Dibakar Menurut perasaannya, kepergian ibunya tidak wajar.

   Paman-pamannya kerap kali.

   menyatakan permusuhannya dengan terang-terangan.

   Ia diejek, disind ir dan d ihina.

   0leh lingkungan keluarga yang demikian itu, ia tumbuh menjadi seorang gadis yang luar biasa tabiatnya.

   Sepak terjangnya aneh dan bandel Ia memberontak terhadap sekelilingnya, karena merasa diberlakukan tidak adil.

   Ia benci dan curiga terhadap siapapun, kecuali ibunya.

   Hatinya bagaikan bara yang senantiasa siap merangsang pada sembarang waktu.

   "Ibu! Kau pergilah! Tapi mengapa harus pergi! Aku jadi terpaksa hidup sebatangkara ...!"

   Ia memekik-mekik.

   Botol Pinilis tahu betapa hebat rasa sedih Sekar Prabasin i.

   Tiada gunanya untuk mencoba menghiburnya atau menasehatinya.

   Untuk meringankan hati, dia justru harus menangis dan menjerit sepuas-puasnya.

   Karena itu, dia membiarkan gad is itu melolong tanpa terganggu.

   Sedangkan Lingga W isnu pun bersikap demikian pula.

   Hanya Suskandari yang nampak resah.

   Secara naluriah ikut bersedih hati sampai air matanya bercucuran membasahi pipi.

   Hampir mendekati petang hari pembakaran mayat itu selesai.

   Lingga W isnu mencari sebuah guci.

   Apabila api telah padam, ia mengumpulkan abu dan sisa-sisa tulang Sekarningrum dan dimasukkan ke dalam guci itu.

   Kemudian menutupnya rapat-rapat.

   Dua kali ia membuat sembah sambil berkata .

   "Bibi, tenangkan hatimu! Pasti aku akan memenuhi harapanmu, menguburmu disamping atau didalam satu liang kubur suamimu ..."

   W aktu petang hari tiba, semuanya sudah siap untuk berangkat meneruskan perjalanan. Dan berkatalah Botol Pinilis kepada Lingga W isnu .

   "Adik, aku hendak ke Sukawati untuk mengantarkan emas ini kepada Panglima Sengkan Turunan. Laskar Raden Mas Said sudah bersiaga penuh disepanjang jalan Karangpandan. Mereka hendak mengadakan pukulan terakhir terhadap serdadu-serdadu Belanda yang bertangsi di dalam kota Surakarta. Akh, sebentar lagi gerakan penyerbuan itu bakal terjadi. Dan emas ini merupakan perbekalan yang menentukan. Syukur, engkau telah menyelamatkan. Sekiranya tidak, perjuangan Raden Mas Said menunt ut keadilan untuk kandas ditengah jalan ..."

   Mendengar kata-kata Botol Pinilis, Sekar Prabasini jadi perasa.

   Katanya setengah berbisik seolah-olah kepada dirinya sendiri .

   'A kh, tak pernah terbayang dalam hatiku, bahwa emas itu merupakan modal perjuangan yang begitu berharga.

   Andaikata kakang Botol Pinilis tidak datang, pastilah aku akan mengandaskan perjuangan laskar Panglima Sengkan Turunan ..."

   Puguh Harimawan teringat, bahwa gadis itulah yang membuat gara-gara.

   Tatkala ia d itugaskan mengawal emas perbekalan itu, tiba-tiba Sekar Prabasin i muncul dan merampasnya.

   Karena itu, mendengar ucapan Sekar Prabasin i, hatinya jad i terhibur, Terus saja ia menyambung .

   "Syukurlah, asal saja kau insyaf, aku ikut senang."

   Itulah sindiran hebat bagi pendengaran Sekar Prabasin i yang bertabiat luar biasa dan selamanya belum pernah ia mau mengalah terhadap siapapun.

   Bukankah terjadinya perampasan itu lantaran Puguh Harimawan tak becus menyelamatkan? Maka ia berkata tak langsung kepada Botol Pinilis .

   "Kakang Botol Pinilis hatiku tenteram apabila kakang sendiri yang membawa emas itu ke Sukawati.. dengan begitu tidak akan menerbitkan suatu gara-gara lagi."

   Mendongkol hati Puguh Harimawan mendengar perkataan Sekar Prabasini. Benar-benar ia dianggap manusia tak berguna. Menuruti kata hati, ingin membalas dengan dampratan. Tapi oleh pandang tajam gurunya, ia batal sendiri.

   "Bagaimana kalau adik sekalian ikut pergi ke Sukawati?"

   Botol Pinilis bertanya.

   "Kakang, kurasa lebih baik aku ke Karangpandan dahulu untuk menemui guru,"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Apakah guru berada disana?"

   Botol Pinilis menegas.

   "Benar. Mula-mula ke Sukawati, Kemudian ke Karangpandang. Akupun akan bisa bertemu dengan kakang Puguh."

   "Guru dan adinda Puguh tidak lagi berada di Karangpandan,"

   Kata Botol Pinilis.

   "Kabar yang aku terima, beliau berada di sekitar W onogiri. Dan adinda Puguh membantu Panglima Sengkan Turunan di Sukawati."

   Hati Lingga W isnu tergerak. Berkata setengah berseru.

   "Ha, kalau begitu biarlah aku mencari guru di daerah Wonogiri. Tak jadi aku ke Karangpandan. Bagaimana pendapat kakang?"

   Botol Pinilis mendeham dua kali sebelum menjawab. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, berkata .

   "Pada saat ini, Pangeran Sengkan Turunan membutuhkan peribantu-pembantu yang tangguh. Adik mempunyai kepandaian begini sempurna., Bila datang bersamaku kepadanya, pastilah akan membuat gembira hatinya. Akan tetapi dikemudian hari - aku percaya bahw a adik pasti tidak akan tinggal diam dan akhirnya maribant u perjoangan rakyat menuntut keadilan."

   Merah wajah Lingga W isnu mendengar kata-kata kakak seperguruannya itu. Cepat-cepat ia menyahut .

   "Kakang, dalam segala halnya, aku taat dan tunduk padamu. Bimbinglah aku agar aku menjadi manusia berharga dikemudian hari."

   Botol Pinilis tertawa. Ia t erharu mendengar sikap adik seperguruannya yang halus sekali budi pekertinya. Katanya "Hebat budi pekertimu, adik. Aku kagum dan hormat padamu. Baiklah kita berpisah sampai di sin i saja."

   Setelah berkata demikian. Botol Pinilis memutar tubuhnya dan berangkat meneruskan perjalanan, Puguh Harimawan dan Suskandari segera berpamit pula. Kata Suskandari .

   "Kakang, kau rawatlah dirimu baik-baik."

   Lingga W isnu memanggut.

   "Kau berjanji?"

   Suskandari menekankan. Kembali lagi Lingga W isnu memanggut. Dan Suskandari nampak puas. Pandang matanya berseri seri. Katanya lagi .

   "Aku ingin melihat dirimu selalu dalam keadaan segar bugar."

   "Akupun mengharapkan agar engkau melatih petunjuk-petunjukku,"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Dengan menekuni petunjuk-petunjukku, artinya kau akan selalu teringat kepadaku."

   "Tentu, sejak hari ini aku pasti akan menjadi manusia lain."

   Suskandari berjanji.

   "Bagus! Aku senang mendengar janjimu. Sampaikan salam baktiku kepada bibi. Katakan kepada bibi, bahwa aku senantiasa teringat padanya."

   Suskandari tersenyum lebar, matanya bercahaya. Sahutnya .

   "Ibupun seringkali menyebut-nyebut dirimu. Akh, bila kini mengetahui bahw a engkau sudah tumbuh menjadi seorang dewasa, pastilah ibu akan sangat bergirang hati. Nah, kakang. Kita berpisah dahulu."

   Suskandari kemudian memutar tubuhnya, memisah diri untuk menyusul Botol Pinilis dan Puguh Harimawan yang sudah berjalan mendahului.

   Mereka mengarah ke barat daya.

   Beberapa kali Suskandari menoleh.

   Dan Lingga W isnu membalasnya dengan lambaian tangan.

   Pada lambaian tangan yang ketujuh, bayangan mereka bertiga telah lenyap dibalik rimbun dusun.

   o-dw-o "Hmm!"

   Tiba-tiba terdengar Sekar Prabasini mendengus.

   "Dari pada selalu melambaikan tangan seperti wayang kulit tertiup angin, kan lebih baik menyusul saja!"

   Lingga W isnu tercengang.

   Inilah ucapan Sekar Prabasin i yang tak diduganya sama sekali.

   Sebagai seorang pemuda yang belum berpengalaman tak dapat ia menebak keadaan hati gadis itu.

   Sebaliknya, melihat Lingga W isnu tergugu, Sekar Prabasin i berkata dengan suara menekankan .

   "Kenapa tak kau susul saja? Sebenarnya, kaupun harus pergi bersama dia. Dengan begitu, perpisahan ini tidak akan mengharukan hatimu, bukan?"

   Sekarang barulah Lingga W isnu tersadar, apa sebab gadis itu tiba-tiba marah padanya. Sama sekali ia tidak mendongkol atau tersinggung. Bahkan ia jad i tertawa geli. Katanya memberi keterangan ;

   "Kau belum tahu hubunganku dengan dia, bukan? Tatkala masih kanak-kanak, pernah aku terancam bahaya besar Ibunyalah yang menolongku. Sejak itu, aku bergaul dan bermain-main dengan dia."

   Sekar Prabasini membuang pandang. Hatinya kian mendongkol. Tiba-tiba saja ia mengambil segenggam batu dan dilemparkan asal jad i ke segala penjuru. Sebuah batu menghantam dinding tebing dari hancur. Katanya setengah berseru .

   "Bagus! Bagus sekali! ? Kalian berdua sudah sejak kanak-kanak. Jadi. Sudah lama bergaul, bukan?"

   Lingga W isnu mengenal tabiat Sekar Prabasini yang luar biasa. Ia membiarkannya saja. Justru demikian, Sekar Prabasini semakin panas hatinya. Berkata sengit .

   "Dengan dia, kau banyak bicara. Dengan dia, kau sering tertawa. Tetapi aku, kau biarkan saja. Mengapa kau membuatku mendongkol selalu?"

   "Kapan? Kapan aku membuatmu mendongkol? Kapan aku membiarkan dirimu ..."

   Lingga W isnu tercengang.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Iddih ..."

   Potong Sekar Prabasini.

   "Dia memang gadis manis. Apalagi sejak kanak-kanak kau sudah.bergaul. Sudah menjadi kawan bermain. Sebaliknya aku? Aku seorang gadis sebatang kara. Tiada berayah-bunda ..."

   Setelah berkata demikian, Sekar Prabasin i menangis menggerung- gerung. Tentu saja, hati Lingga W isnu jadi tak enak melihat Sekar Prabasini menangis demikian rupa. Katanya mencoba membujuk .

   "Janganlah kau menuruti perasaanmu belaka. Marilah kita berdamai. Bukankah kita berdua akan selalu berjalan bersama-sama?"

   Mendengar ucapan Lingga W isnu, hati Sekar Prabasini agak terhibur. Tangisnya behenti dengan tiba-tiba, dan wajahnya nampak bersemu merah lembut. Sahutnya.

   "Apa yang hendak kita damaikan? Kau pergilah menyusul adikmu yang manis itu. Aku seorang anak sebatang kara. Apa perlu kau perhatikan diriku? Biarkan saja aku terombang-ambing dari ujung langit ke ujung langit. Biarkan aku seperti sebuah sampan, tergulunggulung gelombang dari laut ke laut ..."

   Bingung juga Lingga W isnu menghadapi gadis yang bertabiat luar biasa ini.

   Ia kehilangan akalnya.

   Tak tahu lagi ia, apa yang harus d ilakukan.

   Ia jadi membungkam mulut .

   Sekar Prabasin i menjadi jengkel sekali melihat Lingga W isnu tertegun-tegun kehilangan akal.

   Hatinya panas bukan main.

   Terus saja ia menyambar guci abu ibunya.

   Dan pergi dengan langkah lebar.

   Tentu saja Lingga W isnu tersentak kaget.

   Serunya gugup .

   "Hei! Kau akan ke mana?"

   "Hei, hei apa?"

   Sahut Sekar Prabasini sengit.

   "Kau akan ke mana?"

   "Apa perdulimu?"

   Mau tak mau Lingga W isnu terpaksa menyusul.

   Ia mencoba mengajak berbicara, akan tetapi gadis itu tetap membungkam mulut.

   Sikapnya sengit dan tak perduli, sampai t iba di sebuah kota kecil.

   Karena malam hari telah tiba, Lingga W isnu mencari sebuah pondokan untuk menginap.

   Sekar Prabasini membeli seperangkat pakaian laki laki.

   Ia hendak menyamar sebagai seorang pemuda seperti dahulu.

   Lingga W isnu tahu gadis itu tak membekal uang cukup.

   Dahulu.

   ia meninggalkan rumah asal pergi saja.

   Maka ia memberinya dua keping emas.

   Tetapi Sekar Prabasini menolaknya.

   Katanya .

   "Aku tak butuh uangmu. Kau simpan saja untuk adikmu yang manis. Kau tunggu saja di sin i.. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang hartawan. Percaya, tidak?"

   Lingga W isnu tak dapat menebak hatinya.

   Ia segera menutup pintu kamarnya set elah gadis itu mengundurkan diri.

   Dan baru pada keesokan harinya ia mengerti makna kata-kata Sekar Prabasini.

   Karena tatkala mereka meneruskan perjalanannya terdengarlah percakapan orang sepanjang jalan, bahw a seorang hartawan di kota itu semalam kebobolan.

   Sekantong emas dan uang tunai seribu ringgit hilang lenyap digondol maling.

   Lingga W isnu mengerutkan kening.

   Ia mengerling kepada Sekar Prabasin i.

   Gadis itu sekarang nampak segar-bugar dan gagah perkasa.

   Ia menyelipkan sebuah kantong dipinggangnya.

   Dan kedua saku celananya terdengar bergemerincing.

   Katanya, ia sekarang memiliki uang seribu ringgit, yang diterimanya dari dewa Narada yang semalam turun dari langit.

   Maka tahulah Lingga W isnu bahwa kawannya berjalan itulah yang semalam menjadi maling.

   Diam-diam ia mengeluh di dalam hati.

   Gadis in i cerdik dan gagah.

   Akan tetapi tabiatnya memang luar biasa.

   Ia merasa diri tak dapat melayani.

   Ingin ia berjalan seorang diri.

   Tetapi ia tak sampai hati untuk meninggalkan gadis itu seorang diri.

   Bukankah gadis itu seorang yatim-piatu? Bukankah ia sudah berjanji pula t erhadap almarhum ibunya? Hari itu, t ibalah mereka di Karang pandan.

   Masih saja Sekar Prabasin i membungkam mulut.

   Ia berjalan seenaknya sendiri.

   Kadang-kadang lewat pengempangan sawah.

   Kadang pula menyeberang sungai, Malahan dua tiga kali memanjat pohon dan tidur beristirahat diatas dahan.

   Dan Lingga W isnu terpaksa mengikuti serta menunggu dengan sabar hati.

   Pikirnya.

   'Sampai kapan dia mengumbar adatnya ini? Hum, mudah-mudahan aku dikaruniai T uhan usus panjang ...' Tatkala matahari condcng ke barat, tiba-tiba terlihatlah awan hitam datang berarak-arak.

   Udara cepat sekali menjadi hitam kelam.

   Hujan deras mulai mengancam.

   Angin bergulungan menghantam dinding-dinding gunung, sehingga memantulkan suara beraungraung.

   Mereka berdua mempercepat langkah, agar dapat mencapai sebuah dusun tak jauh didepannya.

   Tetapi baru saja berjalan lima atau enampuluh tindak, hujan telah t urun dengan derasnya.

   Lingga W isnu tadi membeli payung.

   Dengan demikian ia tidak usah khawatir kehujanan.

   Sebaliknya, Sekar Prabasin i yang sedang mengumbar adatnya, terus saja berlari-lari untuk mencari t empat berteduh.

   Tetapi sudah sekian lamanya ia berlari-larian, tetap saja tak nampak olehnya sebuah rumah atau gubuk untuk tempat berlindung.

   Tak mengherankan ia jad i basah kuyup.

   Namun ia t ak sudi menyerah kalah.

   Masih saja ia berlarilarian kesana kenari seperti seekor tikus hendak membebaskan diri dari sebuah kubang air.

   Lingga W isnu lari menghampiri.

   Dengan cepat ia dapat menyusulnya, bahkan melewatinya kemudian ia menyerahkan payungnya sambil berkata .

   "Pakailah payungku ini."

   Sekar Prabasini membandal. Tak sudi ia menerima belas kasih siapapun. Dengan mengatupkan bibir, ia menolak payung itu kesamping.

   "Adik,"

   Kata Lingga W isnu membujuk.

   "Bukankah kita berdua sudah mengangkat saudara? Kita telah bersumpah, hendak mati dan hidup bersama. Senang dan susah akan kita pikul bersama juga. Kenapa engkau bersikap demikian t erhadapku?"

   Mendengar ucapan Lingga W isnu, kekerasan hati Sekar Prabasini luluh. Sahut gadis itu .

   "Baik. Jadi kau tidak senang apabila aku marah kepadamu? Jika begitu, engkau harus berjanji kepadaku."

   "Coba sebutkan!"

   Kata Lingga W isnu.

   "Kau boleh mengikat janji kepadaku. Dan aku akan selalu menerima dan taat kepada janji yang mengikatku."

   "Benar begitu?"

   Sekar Prabasini mencibirkan bibir.

   "Kalau begitu, dengarkan! Semenjak hari ini kau harus berjanji t idak akan berjumpa lagi dengan Suskandari. Bila kau terima syaratku ini, segera aku akan mohon maaf kepadamu."

   Dan ia tertawa manis.

   Manis sekali ..

   Lingga W isnu tertegun.

   Ia merasa diri sulit menerima perjanjian itu.

   Ia merasa berhut ang budi terhadap Suskandari.

   Juga terhadap ibunya.

   Kepada mereka berdua ia hendak membalas budinya.

   Karena itu, tak dapat ia menerima syarat Sekar Prabasini.

   "Memang sudah kuduga, bahwa kau takkan dapat mengabaikan adik Suskandari yang manis luar biasa ..."

   Gerendeng Sekar Prabasini. Kemudian dengan mendadak, ia lari menubras ditengah hujan lebat.

   "Hai, Prabasini! Prabasini "

   L ingga W isnu gugup.

   Sekar Prabasini tidak menghiraukan.

   ia lari terus.

   Makin lama makin menggila.

   Syukurlah, pada sebuah tikungan ia melihat sebuah barak kosong.

   Segera ia berteduh dan bermaksud bersembunyi.

   Akan tetapi Lingga W isnu dengan tiba-tiba saja sudah berada dibelakangnya.

   Gadis itu dalam keadaan basah kuyup.

   Padahal ia mengenakan pakaian bahan t ipis.

   Maka bentuk tubuhnya yang ketat padat nampak menggiurkan.

   "Kau memang senang menghina diriku,"

   Katanya menggerutu.

   "Menghina bagaimana?"

   SJtfe W isnu heran.

   "Sesudah tidak memperoleh perhatianmu - kau senang sekali aku dalam keadaan begini."

   Secara wajar Lingga W isnu meruntuhkan pandang kepadanya.

   Dan kulit Sekar Prabasini yang hanya teraling sehelai pakaian tipis, tiba-tiba saja mendebarkan hatinya.

   Ia jad i tahu diri.

   Terus saja ia menanggalkan pakaian rangkapnya dan diselimut kannya.

   Mendadak saja, Sekar Prabasini menangis menggerung-gerung.

   Dan kembali lagi Lingga W isnu tercengang-cengang.

   Kesalahan apa lagi yang diperbuatnya? Ia tak tahu, bahwa dengan tiba-tiba saja Sekar Prabasini teringat akan cinta kasih ibunya, begitu Lingga W isnu menyelimut i tubuhnya yang basah kuyup dengan kain rangkap yang kering hangat.

   Dan ibunya kini telah tersimpan rapat didalam guci yang dibawanya.

   Lingga W isnu membiarkan gadis itu menangis sepuaspuasnya.

   Menghadapi gadis yang bertabiat luar biasa itu,, ia harus dapat menahan diri.

   Hanya saja, sampai hujan berhenti, masih saja Sekar Prabasini menangis sedih.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suatu kali ia melihat gadis itu mencuri pandang kepadanya.

   Anehnya, begitu beradu pandang, tangisnya makin menjadi-jadi.

   "Baiklah,"

   Pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   'Aku ingin tahu, sampai kapan kau betah menangis.

   Apakah air matamu melebihi lautan teduh? Hm.

   Benar-benar aku ingin tahu' Tentu saja Sekar Prabasini tak mengetahui apa yang terpikir didalam hati pemuda itu.

   Ia terus menangis dan menangis sampai tiba-tiba terdengar suara langkah terantuk-antuk batu menghampiri barak.

   Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki memajang seorang perempuan.

   Nampaknya perempuan itu menderita sakit.

   Ia merint ih dan mengerang.

   Laki-laki itu iba kepadanya.

   Ia mencoba meringankan penderitaannya dengan kata kata bujukan dan hiburan.

   Dan oleh munculnya mereka berdua, Sekar Prabasini berhenti menangis.

   Tak sengaja, ia memperhatikan gerak-geriknya.

   Juga Lingga W isnu tak terkecuali.

   Dan tiba-tiba saja timbullah suatu pikiran didalam hatinya ; 'Laki-laki itu membujuk dan menghibur isterinya yang lagi menanggung sakit.

   Kalau aku berpura-pura sakit, mungkin sekali Sekar Prabasini menaruh perhatian kepadaku,' pikir pemuda itu didalam hati.

   Tak lama kemudian, sepasang suami isteri itu melanjutkan perjalanannya dengan tertatih-tatih.

   Sebentar Sekar Prabasini mengikut i dengan pandang matanya.

   Lalu bersiap-siap hendak meneruskan perjalanannya pula.

   Selagi hendak meninggalkan pintu keluar, sekonyong-konyong ia mendengar Lingga W isnu memekik tertahan .

   "Duh ... aduuuuh!!"

   Kaget ia memut ar t ubuh.

   Dan pada saat itu ia melihat Lingga W isnu meliuk-liuk menahan sakit.

   Kedua tangannya menekan perut dan mengaduh terusmenerus.

   Oleh rasa kaget, Sekar Prabasin i melompat dengan membawa gucinya.

   Kemudian diletakkan diatas tanah sambil berseru gugup .

   "Kenapa?"

   Lingga W isnu t ak menjawab. Ia rebah terduduk diatas tanah. Keringat dingin membasahi seluruh t ubuhnya.

   "'Kenapa? Sakit perut?"

   Sekar Prabasini menegas.

   Tetap saja Lingga W isnu tak menyahut.

   Ia rebah terduduk di atas t anah.

   Keringat dingin terus keluar dan ia meringis kesakitan, terus merint ih.

   Tetapi di dalam hatinya ia berkata.

   'Sekali bermain sandiwara, tidak boleh kepalang tanggung.' Memperoleh keputusan demikian, ia menahan napas.

   Sebagai, seorang pemuda yang tinggi ilmunya, dapat ia mengatur napasnya sesuka hatinya.

   Dan begitu napasnya tertahan, sekujur badannya dingin dengan mendadak.

   "Sebenarnya kau kenapa?"

   Sekar Prabasini gugup tak keruan.

   Kali ini hatinya benar-benar sibuk.

   Ia meraba pergelangan tangan Lingga W isnu.

   Dingin! Dan ia lantas menangis kebingungan.

   Maklumlah, selamanya belum pernah ia merawat orang sakit.

   Bahkan ibunyalah, yang selalu merawat dirinya b ila sakit.

   Karena itu, cepat sekali ia kehilangan akal Lingga W isnu benar-benar tak mau kepalang tanggung.

   Dengan tersekat-sekat ia berkata .

   "Adik ... agaknya sakitku ini tak dapat disembuhkan lagi. Kau berangkatlah seorang diri. Jangan pedulikan aku ..." 'T api kenapa? Kenapa kau mendadak sakit? Kenapa?"

   Sekar Prabasini setengah menjerit.

   "Dik, sebenarnya aku mempunyai penyakit turunan,"

   Sahut Lingga W isnu dengan suara lemah.

   "Setiap kali aku menjadi sedih atau merasa mendongkol, penyakit itu kambuh. Sekarang hatiku pepat, sedih dan mendongkol. Perutku lantas ... adduuh .. adduuuh ..."

   Benar-benar Sekar Prabasini kebingungan.

   Lupa dia kepada adat-istiadat pada zaman itu, terus saja ia menubruk dan merangkul.

   Lalu mengurut-urut dada dan perut Lingga W isnu.

   Lingga W isnu jadi kegelian sendiri.

   Ia malu dan kikuk kena peluk seorang gadis.

   Apalagi kena peluk seorang gadis basah kuyup yang membuat bentuk badannya jadi jelas dan gairah.

   "Kakang Lingga, tak boleh kau mati. Memang akulah yang membuat hatimu sedih, mendongkol dan pepat."

   Sekar Prabasini meratap.

   "Memang aku seorang gadis tak tahu diri. Seorang gadis sebatang kara yang berkepala batu. Kakang, aku berjanji tidak akan membuatrnu sedih, pepat dan mendongkol ..."

   Mau tak mau Lingga W isnu tertawa di dalam hati.

   Ia berhasil dalam peranannya.

   Berkata di dalam hati .

   'A ku kini kena peluknya.

   Kalau sandiwaraku bubar tengah Jalan, aku bakal dicap sebagai seorang pemuda kurang sopan ...' dan ia terus merint ih panjang dan pendek.

   Kemudian mengeluh mengambil hati .

   "T ak dapat aku hidup lebih lama, adik. Kalau aku sampai mati, jangan kau bakar diriku. Aku takut panas. Karena itu kubur saja dengan wajah tengkurap. Lalu .. lalu... carilah..kakang Botol Pinilis dan kabarkan tentang nasibku ini ... adduuuh ..."

   "T idak! Tak boleh kau mati!"

   Sekar Prabasini menangis.

   "Sebenarnya aku hanya berbohong dan bermain sandiwara kepadamu. Aku tidak marah kepadamu. Yang kuharapkan, agar engkau menaruh perhatian kepadaku. Kakang ... aku sayang padamu ... Jika kau mati, akupun akan bunuh diri dan mati disampingmu ..."

   Hati Lingga W isnu tergetar. Gadis itu berkata dengan sungguhi-sungguh di antara air matanya yang bercucuran. Mustahil dia sedang .bersandiwara seperti dirinya. Maka ia berpikir di dalam hatinya .

   "Akh, tak kukira bahwa ia cinta kepadaku."

   Dan aneh, memperoleh pikiran demikian, mendadak saja hatinya terselimut perasaan syukur dan bahagia.

   


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long

Cari Blog Ini