Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 17


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 17



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   Plok! dan pedang buntung Ayu Sarini.

   kena ditangkapnya.

   Itulah salah satu tata-tipu muslihat rumah perguruan Sekar Teratai yang bernama Cengkeraman Rajawali.

   "Bukankah ini tata-muslihat ilmu cengkeraman rajawali? Cocok atau tidak dengan aslinya?"

   Ia menegas.

   Kembali Genggong Basuki terhenyak heran.

   Juga Nawawi.

   Didalam hati mereka berkata .

   'Benar.

   Memang ajaian rumah perguruan Sekar Teratai.

   Hanya saja, kenapa bocah ini bisa melakukannya dengan sempurna? Guru sendiri belum tentu mampu berbuat demikian ,..' Ayu Sarinipun tercengang keheranan sampai t erteguntegun Ia merasa d iri seperti mati kut u.

   Tatkala mengalihkan pandang, ia melihat suaminya menghampiri pemuda itu.

   Berkatalah suaminya dengan nada hati-hati .

   "Memang benar. Engkau telah menggunakan salah satu ajaran tata-muslihat perguruan kita. Tetapi sekarang, aku ingin mencoba-coba kepandaianmu supaya terbuka mataku.'' "Kakang Nawawi. Eh, biarlah aku memanggilmu kakang saja, mengingat perbedaan usia,"

   Sahut Lingga W isnu dengar sabar.

   "Gurumu terkenal dengan sebutan pendekar Narantaka pula. Dengan begitu, pastilah engkau telah mewarisi ilmu sakti Sardula Jenar dan Sapu Jagad. Apakah engkau sudah dapat membelah batu dan menghancurkan batang besi?"

   Nawawi sekararg tidak berani lagi merendahkan ucapan-ucapan Lingga W isnu. Dengan hati-hati ia menjawab.

   "Akh, aku baru saja belajar ku litnya. Tak berani aku berkata bahwa aku sudah belajar de..... ada kalimat kurang...

   "'Tidak usah engkau merendahkan diri, kakang."

   Ujar Lingga W isnu.

   "Seumpama engkau sedang berlatih ilmu tangan kosong dengan gurumu dan gurumu benar-benar menggunakan seluruh kepandaiannya, berapa jurus engkau dapat melawannya ?"

   "Sepuluh jurus yang pertama,"

   Jawab Nawawi cepat "Benar-benar sepuluh jurus ?"

   Lingga w isnu menegas.

   "Benar. Sepuluh Jurus. Sebab seringkali aku berlatih berlawan-lawanan. Hanya saja setelah meningkat ke jurus sebelas dan seterusnya aku dalam kesulitan."

   "Bagus. Gurumu terkenal dengan sebutan Narantaka. Kepandaiannya berkelahi dengan tangan kosong sudah sangat sempurna. Karena itu sungguh mengagumkan bahw a engkau sanggup melawannya sampai sepuluh jurus. Tak mengecewakan engkau membawa-bawa nama gurumu"

   "Akh, sebenarnya kepandaianku masih terpaut jauh dengan kemahiran guru.

   "

   Kata Nawawi Sudah barang tentu Ayu Sarini tidak senang suaminya benar-benar mengakui Lingga wisnu sebagai paman gurunya, maka tegurnya dengan suara menyesali.

   "Kakang Nawawi"

   Apakah hatimu sudah meringkas kena gertak bocah itu?"

   Nawawi kaget seperti tersengat lebah. Katanya .

   "Akh, ya."

   "Akh ya, bagaimana?"

   Lingga W isnu menegas.

   "Apa yang harus kubuktikan lagi agar engkau percaya bahwa aku adalah paman gurumu?"

   "Mari k ita mencoba-coba sebentar. Bila engkau ..."

   "Oh, begitu?"

   Potong Lingga W isnu.

   "Baiklah, bila engkau dapat melayani aku sampai lima jurus, kau boleh berkata kepada siapapun bahwa aku penipu besar. Setuju?" 0oo-dw-oo0 Mendengar kata-kata Lingga W isnu, Genggong Basuki bertiga heran berbareng lega hati. pikir Genggong Basuki di dalam hati .

   "Bocah ini benar-benar besar mulut . Mustahil engkau sanggup merobohkan Nawawi dalam lima jurus saja?' dengan pikiran itu ia berkata .

   "Baiklah! Akulah yang menghitung."

   Genggong Basuki dan Ayu Sarini mundur keluar gelanggang.

   Dan semua hadirin melepaskan pandangnya kearah Lingga W isnu dan Nawawi dengan penuh perhatian.

   Nawawi benar-benar tak berani merendahkan Lingga W isnu.

   Hatinya penuh kebimbangan.

   Karena itu ia bersikap hati-hati.

   Ia membungkuk hormat sebagai layaknya seorang keponakan terhadap pamannya.

   Lalu berkata .

   "Bila nant i ternyata masih terdapat kekurangankekuranganku, haraplah sudi memberi saran dan nasehat."

   Perlahan-lahan Lingga W isnu menghampirinya. Setelah bersiaga bertempur, ia berkata .

   "Jurusku yang pertama adalah Kidang Kumba.. Kau mengertikan? Nah, sambutlah."

   Nawawi tercengang mendengar perkataan Lingga W isnu.

   Ia jadi geli sendiri, pikirnya di dalam hati .

   'Hmm, engkau hendak menggunakan tipu muslihat, bukan? Dimanakah pernah terjadi seseorang memberitahukan ragam sebelum menggempur lawan? Kalau tidak bertujuan mengakali? Kidang Kumba membidik sasaran atas.

   Pastilah engkau hendak menyerang bawah.

   Nah, biarlah aku menjaga perut.

   Bila te benar-benar menyerang perut, aku akan membarengi menyodok dadamu..

   ' setelah berpikir demikian, ia memanggut sambil menyahut .

   "Baik. Kau seranglah I"

   Berkata demikian, Nawawi mempersiapkan kedua tangannya. Benar-benar ia hendak melindungi perutnya. Pemuda itu berseru .

   "Hai! Kenapa kau tak percaya?"

   Ia menunda serangannya. Dan berseru lagi.

   "T angkislah dengan kedua tanganmu! Kau tak akan sanggup menyongsong pukulan dengan sebelah tangan."

   Nawawi terperanjat.

   Sama sekali tak terduga duga, bahw a Lingga W isnu benar-benar menyerang dengan jurus Kidang Kumba.

   Masih untung, Lingga W isnu menunda serangannya.

   Kalau tidak, hidungnya pasti akan menyemburkan kecap merah.

   Teringat akan himpunan tenaga Lingga W isnu yang dahsyat tadi, gugup ia menyusulkan sebelah tangannya.

   Dengan begitu benarlah kata Lingga W isnu, bahw a ia harus menapak pukulannya dengan dua belah tangannya.

   Bres! Tubuhnya tergetar dan mundur selangkah bergoyangan.

   "Bagus!"

   Seru Lingga W isnu memuji.

   "Sekarang, seranganku yang kedua terdiri dari tiga jurus sekaligus yang kugabungkan menjadi satu. Jurus Gajah Marabah, Guntur Geni dan Sardula langking menerkam jant ung. Bagaimana engkau hendak melawannya?"

   Tanpa berpikir lagi, Nawawi menjawab.

   "Aku akan meramahkan dengan t iga jurus pula. Jurus Tinjomaya, Bramasta dan Garuda Yaksa."

   "Dua yang benar. Tapi yang ketiga, tidak tepat,"

   Ujar Lingga W isnu seperti seorang guru mengajar muridnya. Memang, sengaja ia berlaku demikian unt uk membuat Nawawi t akluk benar-benar.

   "Kau tak percaya? Mari kujelaskan. Titik penjagaan Garuda Yaksa berada disekitar dada. Tujuannya memunahkan sambil membalas menyerang. Bila lawan akan. mengadu tenaga, itulah bagus. Kalau tidak, terpaksalah engkau membalas menyerang. Untuk menyerang balik, kau harus menarik jari-jarimu dahu lu yang sudah terlanjur terbuka menjadi suatu cengkeraman. Kemudian memutar pergelangan untuk kau buat tenaga tolak. Dengan demikian, engkau meninggalkan separo garis pertahananmu. Karena itu, kau t akkan sanggup menahan gempuranku jurus Sardula lengking menerkam jantung."

   "Kalau begitu aku akan menggunakan jurus Habra Markata,"

   Sahut Nawawi cepat.

   "Ha, itu benar!"

   Ujar Lingga W isnu.

   "Nah sambutlah!"

   Sambil berkata demikian, Lingga W isnu melancarkan serangannya.

   Cepat dan gesit sekali, Nawawi mengadakan pembelaan.

   Ia menjaga tangan kanan lawan.

   Akan tetapi tangan kanan Lingga W isnu hanya terangkat sedikit.

   Sedang tangan kirinya tiba-tiba yang menerjang sasaran.

   Seru Lingga W isnu .

   ''Dalam suatu perkelahian, kau tak boleh terlalu kokoh memegang keharusan jurus-jurus ajaran.

   Semuanya bisa berubah menurut keadaan.

   Pastilah gurumu pernah berpesan demikian."

   Diperlakukan sebagai kanak-kanak, lambat laun Nawawi mendongkol juga.

   Diam-diam ia mempersiapkan serangan balasan apabila sudah dapat memunahkan t iga jurus serangan itu.

   Tetapi kegesitan dan kecepatan gerak Lingga W isnu diluar perhitungannya.

   Sebat luar biasa Lingga.

   W isnu melejit kekiri dengan membuka dadanya.

   Cepat-cepat Nawawi menjodohkan tangannya.

   Tapi mendadak pergelarannya kena tekap dari ditarik.

   Buru-buru ia menahan diri dengan menjagangkan kedua kakinya kuat-kuat.

   Ternyata Lingga W isnu tidak hanya menarik saja.

   Ia melesat kesamping dan tiba-tiba sudah berada dibelakang punggung Nawawi.

   Ia menggempur pantatnya, sebelum Nawawi sempat memutar tubuhnya.

   Plok, dan kedua kaki Nawawi gempur garis pertahanannya.

   Ia terhunyuk ke depan.

   Dan baiu b isa membalikkan tubuh setelah berjuang dengan susah-payah.

   "Bagus,"seru Lingga W isnu gembira.

   "Sekarang jurusku yang kelima. Jurus terakhir. Hati-hatilah, aku hendak menagunakan jurus 'menyembah keblat'. Nawawi heran. Bukankah jurus 'menyembah keblat' itu hanya digunakan untuk permulaan kali sebagai penghormatan kepada lawannya bertanding? Jurus itu sama sekali t idak masuk hitungan. Lingga W isnu rupanya dapat membaca hatinya. Berkata .

   "Apakah kau sangka jurus menyembah keblat hanya untuk upacara saja? Apakah kau kira jurus itu tiada faedahnya untuk menghadapi lawan? Sebenarnya kau harus dapat meraba apa maksud pendiri aliran Sekar Teratai menciptakan jurus itu. Yakinlah bahw a tiada satu juruspun ciptaan pendiri Sekar Teratai yang tidak dipersiapkan untuk melumpuhkan lawan agar dapat merebut kemenangan. Kau lihat sajalah, kalau tidak percaya!"

   Setelah berkata demikian, ia mengedapkan tubuhnya dan meliuk seakan-akan gendewa.

   Tangan kanannya membuat tinju dan ditekap oleh tangan kirinya.

   Kemudian membuat gerakan membungkuk hormat.

   Ia maju selangkah dan kedua tangannya menyerang dengan berbareng.

   Semuanya itu dilakukan dengan cepat dan tiba-tiba.

   Gugup Nawawi mengadakan pembelaan.

   Tahu-tahu pahanya kena tinju.

   Tubuhnya terhuyung dan mundur roboh.

   Tepat pada saat itu, Lingga W isnu melompat menyambarnya.

   Ia menjagangnya beberapa saat, lalu direbahkan dengan perlahan- lahan dan hati-hati.

   Nawawi melompat bangun.

   Terus saja ia membungkuk hormat dan berkata dengan hormat .

   "Maafkan paman. Mataku terlalu lamur sehingga t idak mengenal paman dengan segera."

   Cepat-cepat Lingga W isnu membalas hormatnya. Menjawab .

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mengingat, usia kakang lebih tua, lebih baik kita saling menyebut kakak-adik saja."

   "Akh, tak berani aku berbuat demkian. Mungkin paman jauh lebih senang, manakala kusebut dengan adik. Akan tetapi bijla guru mendengar, apa jadinya?"

   Sahut Nawawi cepat.

   "Lagi-pula ilmu kepandaian paman benar-benar luar-biasa dan berada jauh diatas tingkatanku. Lima jurus tadi, benar-benar jurus ilmu Sardula. Paman telah meribuka mataku. Dikemudian hari, aku akan menekuni petunjuk-petunjuk paman yang sangat berharga itu."

   Nawawi benar-benar memegang perkataannya.

   Dikemudian hari ia berlatih menurut petunjuk-petunjuk Lingga W isnu.

   Dan ia menjadi seorang pendekar kenamaan yang jarang sekali tandingannya.

   Sampai berusia lanjut, ia menghormati paman gurunya yang muda belia itu.

   Pada saat itu, Lingga W isnu hanya tersenyum.

   Tak dapat ia menolak alasan Nawawi.

   Memang, kalau guru Nawawi akhirnya mendengar betapa sikap muridnya itu terhadap dirinya, bisa-b isa dikut ungi kedua lengannya.

   Genggong Basuki dan Ayu Sarini kin i tak dapat lagi bersangsi, setelah menyaksikan Lingga W isnu dapat merobohkan Nawawi dengan lima jurus.

   W alaupun demikian, Genggong Basuki masih yakin akan ketangguhannya sendiri.

   Pikirnya di dalam hati .

   'A ku memang murid tertua pendekar Purbaya.

   Akan tetapi ilmu pedangku, kuperoleh dari paman Sugiri dan bibi Sukesi.

   Dia tadi selalu melawan musuhnya dengan tangan kosong.

   Mungkin dia hebat dalam tata-berkelahi dengan tangan kosong.

   Tapi belum tentu ia mahir dalam ilmu pedang.' Selagi berpikir demikian, Ayu Sarini berseru kepadanya.

   "Kakang, kau belum mencoba ilmu pedangmu."

   Itulah pucuk dicint a ulam tiba alias kebetulan sekali. Terus saja ia menghadap Lingga W isnu. Berkata dengan suara angkuh ;

   "T uan! Sekarang giliranku. Aku biasa menggunakan pedang. Karena itu lawanlah aku dengan pedang pula."

   Genggong Basuki sudah merubah sebutan bangsat kecil menjadi tuan.

   Sedikit banyak ia sudah menghargai.

   Akan tetapi sebutan tuan itu sendiri, kurang sedap dalam pendengaran Lingga W isnu.

   Apalagi d ia bersikap tinggi hati.

   'Rupanya dia terlalu yakin pada kepandaian sendiri.

   Mungkin sekali ia sudah mencapai tataran kesempurnaan.' pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   'Melihat gerak-geriknya, gurunya tidak hanya satu.

   Biarlah kumint a keterangannya.' Memperoleh pikiran demikian, ia bertanya mint a keterangan .

   "Menurut kabar, engkau adalah murid tertua kakang Purbaya. Tapi kakang Purbaya sesungguhnya seorang ahli tata-berkelahi dengan tangan kosong. Sebaliknya kau terkenal dengan pedangmu. Apakah kabar itu tidak benar?"

   "Benar atau t idak, apa perduli t uan?"

   Sahut Genggong Basuki cepat.

   "Aku memang murid tertua pendekar Purbaya. Ilmu pedangku kuperoleh dari suami isteri Sugiri-Sukesi, paman dan bibi guruku. Kenapa? Apakah aku tidak berhak lagi menyebut diriku sebagai murid Sekar T eratai? Paman Botol panilispun pernah mengajari aku satu dua jurus. Apakah aku t idak berhak membawabawa nama rumah perguruan Sekar Teratai?" 'A kh, scmbong benar manusia in i?' pikir Lingga W isnu lagi di dalam hati. 'Sifat dan perangainya ternyata jauh berbeda dengan Nawawi. Pant as sepak terjangnya keterlaluan. Biarlah kuhajarnya benar-benar, agar dikemudian hari tidak merusak nama baik rumah perguruan Sekar Teratai. Mungkin sekali, d ia akan biia merubah sepak terjangnya setelah kuberi pengalaman pahit. Mudah-inudahan ...' Memperoleh keputusan demikian, Lingga W isnu menyahut dengan menegakkan kepala. Katanya .

   "Untuk mengadu pedang bukanlah soal sulit. Hanya saja, set elah kau kalah wajib engkau mendengar perkataanku. Barangkali tidak terlalu sedap bagi pendengaranku."

   "Sekarang belum ada keputusan siapa yang menang dan kalah. Karena itu kalau tuan hendak berbicara tentang menang dan kalah adalah terlalu pagi. Tuan buktikan dahulu!"

   Ujar Genggong Basuki dengan mengulum senyum. Kemudian ia melintangkan pedangnya didepan dadanya dan mengambil tempat di sebelah kiri.

   "Kakang Genggong Basuki! Pedang tidak boleh kau angkat terlalu tinggi. Dia adalah paman guru kita!"

   Seru Nawawi, Tetapi Genggong Basuki t idak menggubris seruan adik seperguruannya'.itu.

   Ia t ahu, peraturan tata-tertib rumah perguruan Sekar Teratai.

   Bahwasanya apabila angkatan muda berlatih pedang dengan angkatan tua, maka pedang angkatan muda tidak boleh diangkat terlalu tinggi.

   Sebab gerakan pedang itu sendiri merupakan tatatertib kehormatan.

   Kecuali itu,- anggauta angkatan muda tidak diperkenankan berdiri disebelah kiri Tapi pada saat itu ia.

   menganggap Lingga W isnu bukan paman gurunya.

   Karena itu dia menempati setelah kiri dan mengangkat pedangnya tinggi diatas dada.

   Dengan tangan kiri ia menggenggam hulu pedang kemudian menantang .

   "Silahkan, tuan!"

   Betapa sabar Lingga akhirnya mendongkol juga.

   Meskipun demikian ia tidak segera menerima tantangan Genggong Basuki.

   Ia menoleh Kepada Songgeng Mint araga dan berkata .' "Paman Songgeng! Maafkan, aku tadi memanggil paman dengan saudara.

   Sebab pada saat itu aku memperkenalkan diri sebagai adik seperguruan pendekar Bondan Sejiwan ..."

   "Akh, tak mengapa. Janganlah meributkan hal itu. Itulah perkara kecil yang sama sekali tak ada harganya dibicarakan,"

   Jaw ab Songgeng Mint araga.

   "Terima kasih, paman. Sekarang, bolehkah aku memint a pertolongan beberapa murid paman untuk membawakan sepuluh batang pedang kemari?"

   "Kenapa tidak? Janganlah engkau bersegan-segan terhadapku. Apa artinya sepuluh batang pedang? Jiwaku sendiri k ini adalah seumpama milikmu. Tentu saja muridmiridku akan bersedia melakukan perint ahmu dengan ikhlas."

   Ujar Songgeng Mint araga.

   Rara W itri yang mendengar percakapan itu segera, memberi tanda kepada beberapa murid ayah nya agar mengambil sepuluh batang pedang.

   Segera mereka masuk kedalam rumah dan datang kembali dengan membawa sepuluh batang pedang.

   Mengingat Lingga W isnu telah menolong jiwa gurunya, mereka bahkan memilihkan pedang-pedang yang istimewa.

   Kemudian kesepuluh batang pedang itu di letakkan diatas meja yang berada t ak jauh dari Lingga Wisnu.

   Semua hadirin mengarahkan pandangnya kepada Lingga W isnu, mereka berteka-teki dan mencoba menebak apa maksud Lingga W isnu menghendaki sepuluh batang pedang dibawa kehadapannya- Apakah dia hendak memilih sebatang di antaranya? Akan tetapi diluar dugaan, Lingga W isnu justru memungut pedang buntung Ayu Sarini.

   Kemudian sambil t ertawa ia berkata.

   "Biarlah aku memakai pedang buntung ini saja."

   Sudah barang tentu para hadirin tercengang keheranan.

   Bagaimana mungkin sebatang pedang buntung dapat melawan pedang Genggong Basuki? Banyak diant ara mereka menganggap pemuda itu terlalu sombong dan takabur.

   Sebaliknya Genggong Basuki merasa diri direndahkan.

   Ia gusar bukan kepalang.

   Bentaknya .

   "Benar-benarkah engkau hendak menggunakan pedang buntung itu?"

   "Kau boleh mulai menyerang "

   Sahut Lingga W isnu sambil menjepit pedang buntung itu diantara ibu jari dan jari t elunjuknya.

   "Kau benar-benar tak memandang mata padaku Jika kau nant i mampus jangan sesalkan diriku!"

   Teriak Genggong Basuki. Ia kini merubah sebutan t uan dengan engkau. Artinya, ia tak dapat menguasai d iri lagi Ia lantas memutar pedangnya. Dan diantara cahaya pedangnya yang berkilauan, ia menggerung .

   "Awas!"

   Genggong Basuki benar-benar menikam.

   Arah bidikannya kepada pundak kanan.

   Menurut perhitungannya, itulah bagian yang lemah.

   Sebab Tangga W isnu, hanya dapat, menjepit pedangnya.

   Dengan demikian, tak dapat ia bergerak leluasa.

   Ruangan serambi depan Songgeng Mint araga yang terisi kurang lebih empat ratus orang, sepi dengan t ibatiba.

   Mereka semua membungkam mulut dan mengarahkan seluruh perhatiannya ke gelanggang pertempuran.

   Mereka melihat, betapa cepat dan dahsyat serangan pedang Genggong Basuki yang disertai himpunan tenaga sakti.

   Tatkala ujung pedangnya hampir mencapai sasaran, sekonyong-konyong Lingga W isnu menangkis dengan pedang buntungnya.

   Kedua senjata tajam itu lantas saja berbenturan.

   Setelah suara nyaring pedang lenyap dari pendengaran, para hadirin terperanjat dan tertegun keheran-heranan.

   Mereka mendengar suara pedang patah dan runtuh bergemelontangan diatas lantai.

   Ternyata itulah pedang Genggong Basuki yang mendadak saja patah menjadi tiga bagian.

   Bagaimana bisa begitu? mereka bertanya-tanya di dalam hati.

   Ilmu tangkisan apakah yang digunakan Lingga W isnu untuk membabat pedang Genggong Basuki sampai patah? Selagi hadirin tercengang keheran-heranan, Lingga W isnu menuding ke meja samping.

   Berkata.

   "Jangan khawatir! Aku telah mint a kepada paman Songgeng Mintaraga agar menyediakan sepuluh batang pedang. Nah, tukarlah pedangmu yang buntung itu. Kau boleh memilih sesuka hatimu."

   Sekarang, barulah hadirin mengerti, apa sebab Lingga W isnu tadi memohon sepuluh batang pedang kepada Songgeng Mintaraga.

   Dan yang heran dan menyesal, adalah Rara W itri dan beberapa murid yang mengambil sepuluh batang pedang itu.

   Kalau tahu begitu, tidak bakalan mereka memilihkan pedang yang justru istimewa.

   Genggong Basuki terperanjat berbareng gusar luar biasa.

   Tanpa membuka mulutnya ia membuang pedang buntungnya.

   Kemudian melompat ke meja sambil menyambar sebilah pedang.

   Setelah itu menerjang Lingga W isnu dengan sekonyang konycng.

   Terdorong oleh rasa gusarnya, ia menyerang sehebat-hebatnya seumpama seekor kerbau gila hendak merobek-robek siapapun yang merintanginya.

   Dengan seluruh tenaganya, ia membabat kebaw ah.

   Otak Lingga W isnu memang cerdas luar b iasa dan ia menduga, bahwa Genggong Basuki hanya menggertak saja.

   Karena itu tak sudi ia menangkis atau melompat tinggi.

   Dan dugaannya tepat benar.

   Genggong Basuki benar-benar mengurungkan sasaran b idikannya, Tibatiba saja pedangnya di tarik dibuatnya menikam perut.

   Melihat berkelebatnya pedang, Lingga W isnu segera menangkis dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya..

   Tak! Dan untuk kedua kalinya, pedang Genggong Basuki patah menjadi tiga bagian.

   Tak mengherankan, Genggong Basuki menjadi kalap.

   Tanpa menunggu perkataan Lingga W isnu ia telah melompat keluar gelanggang dan menyambar sebilah pedang lagi.

   Kemudian mengulangi serangannya dengan dahsyat.

   Akan tetapi, untuk yang ketiga kalinya, pedangnya patah lagi dalam segebrakan saja.

   Sekarang larut lah sebagian besar kesombongan hatinya.

   Ia berdiri t ertegun bagaikan patung yang tak pandai membuka mulut.

   Ia heran dan penasaran.

   "Hai, tuan kecil!"

   Seru Ayu Sarini dari luar gelanggang.

   "Kenapa engkau melawan ilmu pedang kakang Genggong Basuki dengan ilmu iblis? Apakah ini namanya mengadu kepandaian?"

   Lingga W isnu merasa dirinya kena tegur. Segera ia melempar pedang buntungnya. Kemudian ia mengambil dua batang pedang. Yang sebatang diberikan kepada Genggong Basuki. ia berpaling kepada pendekar wanita yang garang itu sambil ber senyum. Katanya .

   "Ini bukan ilmu iblis, nyonya. Kau mengaku murid Sekar Teratai. Masak tidak mengenal ilmu sakti Esmu Gunting?"

   Selagi ia berbicara, tiba-tiba Genang Basuki menggunakan kesempatan itu. Dengan kecepatan kilat, ia menikam punggung Lingga W isnu dan setelah itu baru ia berteriak .

   "Awasi"

   Lingga W isnu tahu kecurangan lawannya. Namun ia tak bersakit hati. Sambil mengelak kesamping, ia menirukan bunyi teriakannya seraya menggerakkan pedangnya .

   "Awas!"

   Genggong Basuki menyerang dengan tipu-tipu ajaran suami isteri Sugiri-Sukesi ltulah ilmu pedang pengejar angin atau Mayang Seta.

   Kali ini tidak sudi ia membiarkan pedangnya sampai kena bentrok.

   Ia bergerak sepesat angin.

   .itulah keistimewaannya ilmu pedang Mayang Seta yang berint ikan pada kecepatan bergerak.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan ilmu pedang itu, Ki Sambang Dalan pada zaman mudanya d ikenal sebagai pendekar tiada bayangan, juga Genggong Basuki sudah semenjak belasan tahun lamanya, disebut sebagai pendekar t anpa bayangan.

   Selama itu, ilmu pedang dan kecepatannya memang tiada lawannya.

   Maka tidak mengherankan betapa ia yakin kepada kemenangannya.

   Tapi mendadak, ia terkejut bukan main.

   Pantatnya seperti terbentur sebuah benda dingin.

   Cepat ia memut ar pedangnya sambil membabatkan Namun pantatnya masih saja tertempel benda dingin itu- Kali ini ia benarbenar-kaget sampai punggungnya berkeringat dingin.

   Untuk membebaskan diri, ia menubruk kedepan sambil menjatuhkan diri.

   Kemudian melompat tinggi jauh ke depan lagi.

   Tetapi masih saja pant atnya terasa dingin.

   Dalam sekejapan tadi, ia melihat benda apakah yang terasa dingin pada pant atnya.

   Itulah ujung pedang Lingga W isnu.

   Keruan saja ia sibuk bukan main.

   Sekali lagi ia menjatuhkan diri samb il bergulingan.

   Namun ke mana saja ia bergerak, ujung pedang Lingga W isnu tetap menempel pantatnya.

   Karena putus asa, ia jad i nekat.

   Pedangnya diputar berserabutan.

   Ha, sekarang terjadi ujung pedang Lingga W isnu tidak lagi menempel dipantatnya.

   Tapi t atkala hendak berdiri, tahu-tahu ujung pedang sudah berada di depan dadanya.

   Kalau saja Lingga W isnu menyorongkan pedangnya sedikit saja, tamatlah riwayatnya sebagai pendekar tanpa bayangan.

   0oodwoo0 Ia kini benar-benar merasa takut dan bingung.

   Itulah perasaan takut dan bingung untuk yang pertama kalinya dialaminya.

   Selamanya, ia membanggakan diri sebagai seorang ahli pedang tercepat diempat penjuru dunia, sampai sudah tidak merasa malu menyematkan sebutan sebagai pendekar tanpa bayangan seperti eyang gurunya.

   Kini, ternyata ia mati kut u menghadapi kegesitan Lingga W isnu yang bisa bergerak cepat pula seperti dirinya.

   Bahkan kecepatan Lingga W isnu berada di atasnya.

   Lingga W isnu mengamat-amati, wajah Genggong Basuki yang pucat lesi.

   Seluruh tubuhnya bermandikan keringat.

   Betapun juga ia jadi iba hati.

   Bukankah Genggong Basuki kemenakan muridnya sendiri? Adalah keterlaluan sekali bila d ibuatnya malu dihadapan umum.

   Maka segera ia menarik pedangnya dan mundur selangkah.

   "Inilah pedang Sekar Teratai yang sejati,"

   Katanya.

   "Apakah engkau belum pernah mempelajarinya?"

   Genggong Basuki melompat bangun sambil menggibriki pakaiannya. Diam-diam ia menenangkan diri sambil mengatur pernapasannya kembali. Kemudian menjawab dengan menundukkan kepala .

   "Itulah ilmu pedang Mayang Seta."

   "Benar."

   Kata Lingga W isnu.

   "Kau sudah mengenal namanya. Masakan belum mampu menguasai?"

   Genggong Basuki mencoba menguasai diri. Perlahanlahan ia menegakkan kepalanya. Kemudian menyahut .

   "Marilah mengadu pedang dengan cara yang wajar! Ilmumu terlalu campur-aduk."

   "Campur aduk bagaimana?"

   Lingga W isnu heran.

   "Y ang kupergunakan adalah ilmu pedang Sekar Teratai yang aseli. Baiklah, kalau kau belum merasa puas. Lihat, akulah kini yang mendahului menyerang. Coba kau pertahankan!"

   Lingga W isnu benar-benar menyerang, Perlahan-lahan cara menyerangnya.

   Dan Genggong Basuki segera menggerakkan pedangnya untuk menangkis..

   Setelah itu dengan suatu kecepatan ia hendak lakukan serangan balasan.

   Tetapi pada saat itu mendadak saja Lingga W isnu menekan pedangnya.

   Buru-buru ia menarik pedangnya.

   Heran! Pedangnya seperti kena tempel sebatang besi berani yang kuat luar biasa.

   Ia jadi sibuk.

   Melihat Genggong Basuki sibuk dalam usahanya hendak menarik pedangnya, Lingga W isnu tersenyum.

   Dua kali ia memut ar pedangnya.

   Dan pergelangan tangan Genggong Basuki ikut terputar dua kali pula.

   Sekarang ia menariknya dengan mengerahkan himpunan tenaga sakti t ujuh bagian.

   Dan pedang Genggong Basuki kena direnggutnya dan dilemparkan keatas lantai.

   "Bagaimana? Apakah kau masih ingin mencoba lagi?"

   Kata Lingga W isnu sabar.

   Rasa penasaran Genggong Basuki makin menghebat.

   Ia sekarang jadi nekad, Dengan membungkam mulut ia menyambar sebatang pedang lagi dari atas meja.

   Kemudian menyerang pundak kiri Lingga W isnu.

   Sekarang ia menikam dengan cara yang lain.

   Pedangnya ditusukkan dan ditarik silih berganti dengan cepat.

   Ia sadar, bahw a dalam hal mengadu himpunan tenaga sakti, merasa diri kalah jauh.

   Lingga W isnupun tidak memutar pedangnya lagi.

   Setelah mengelakkan beberapa tikaman Genggong Basuki.

   ia menikam dada si bandel itu.

   Itu lah serangan yang hebat sekali.

   Mau tak mau Genggong Basuki harus menangkis.

   Trang! Dan untuk kesekian kalinya pedang Genggong Basuki jadi terlepas dari genggamannya.

   Kali ini sampai ment al t inggi keudara hampir mencapai langitlangit.

   Genggong Basuki benar-benar menjadi kalap.

   Tak sudi ia menunggu pedangnya turun dari udara.

   Dengan sekali meloncat, ia menyambar sebatang pedang baru lagi.

   Kemudian maju lagi hendak menyerang.

   "Apakah benar-benar engkau tak mau menyerah?"

   Bentak Lingga W isnu.

   Ia lantas membolang-balingkan pedangnya mematikan daerah gerak Genggong Basuki.

   Dan diancam gerakan pedang demikian..

   Genggong Basuki terpaksa membatalkan maksudnya, Namun masih saja ia mencoba membebaskan diri.

   Ia mengelak samb il menarik tubuhnya kebelakang.

   Menyaksikan kehandalannya, Lingga W isnu jadi mendongkol.

   Ia menggertak sambil menyambar kaki sibandal itu, dengan perlahan.

   Namun karena himpunan tenaga saktinya sangat besar, tubuh Genggong Basuki terangkat naik dan akhirnya roboh terbanting diatas lantai.

   Kemudian Lingga W isnu mengancamkan ujung pedangnya pada tenggorokan Menegas .

   "Benar-benar kau tak mau menyerah?"

   Selama hidupnya, belum pernah Genggong Basuki terhina seperti pada saat itu.

   Ia mendongkol, gusar dan malu bukan main.

   Karena tak dapat menguasai d iri, akhirnya ia jatuh pingsan.

   Ayu Sarini melompat kedalam gelanggang melihat kakaknya rebah tak berkutik.

   Segera ia menyerang kalang-kabut an sambil berteriak .

   "Kalau kau bunuh dia, bunuhlah kami berdua pulaI"

   Tergetar hati Lingga W isnu mendengar teriakan Ayu Sarini dan melihat keadaan Genggong Basuki.

   W ajah Genggong Basuki pucat-lesi.

   Kedua matanya melotot menatap langit-langit.

   Kedua gundu matanya sama sekali tak bergerak.

   Tubuhnya tak berkutik pula.

   Benarbenarkah ia mati karena penasarannya? Ia lantas membungkuk hendak memeriksa pernapasan.

   Pada saat itu, ia melihat berkelebatnya kedua tangan Ayu Sarini menyerang dirinya.

   Tak sudi ia mengelak atau mencoba melawannya.

   Ia hanya mengerahkan himpunan tenaga saktinya kuat-kuat sambil membenturkan baju mustikanya yang tak mempan oleh senjata tajam macam apapun.

   "Jangan khawatir! Kakakmu belum mati,"

   Kata Lingga W isnu setelah memeriksa pernapasannya.

   Tetapi Ayu Sarini sudah kalap.

   Kedua tangannya terus menggebuki punggung Lingga W isnu asal jad i saja.

   Setiap kali membal, ia menambah tenaga pukulannya.

   Keruan saja Nawawi yang berada di luar gelanggang terkejut menyaksikan isterinya memukuli paman gurunya.

   Terus saja ia melompat dan menarik t ubuh Ayu Sarini.

   "Lepas! Lepas! Biarlah aku ikut mati!"

   Seru pendekar wanita itu.

   "E-eh - lepas bagaimana? Kau tak boleh ikut mati. Bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Kau baru boleh mati manakala aku lah yang t erjengkang mampus,"

   Ujar Nawawi membadut.

   Rupanya dengan cara demikianlah ia harus melayan i watak isterinya yang angin-anginan itu.

   Tetapi Ayu Sarini tetap menbandal.

   Ia menjagangkan kedua kakinya karena emoh kena tarik.

   Dan kedua tangannya masih saja berserabutan memukuli Lingga W isnu, meskipun agak terenggang.

   Maka terpaksalah Nawawi menggerahkan tenaganya untuk menarik mundur.

   Karena masing-masing saling berkutat, akhirnya mereka jadi tarik-tarikan sendiri.

   Sebenarnya itulah pemandangan yang lucu sekali.

   Tetapi mengingat t abiat Ayu Sarini yang garang dan ganas, tiada seorangpun yang berani tertawa.

   "Eh, kau bandel sekali!"

   Seru Nawawi geram.

   "Bukankah aku suamimu?"

   Sekar Prabasin i yang semenjak tadi memperhatikan mereka berdua, perlahan-lahan menghampirinya. Berkata menawarkan jasa .

   "Biarlah kut olong. Biar kugigit pant atnya! Aku ingin tahu, apakah pantatnya keras atau tidak?" ' Mendongkol hati Ayu Sarini mendengar ucapan Sekar Prabasin i. Tapi teringatlah dia bahwa pemuda itu benci kepadanya. Bagaimana kalau dia benar-benar membuktikan ancamannya. Kalau pantatnya sampai kena gigit seorang pemuda di depan unum, wah, bisa runyam. Oleh karena itu, ia segera menjatuhkan diri dan duduk bersimpuh di atas lantai. Kemudian menangis karena mendongkol.

   "Hai, kenapa menangis? Aku kan belum sampai menggigit pantatmu?"

   Teriak Sekar Prabasini tersenyum Sebenarnya Nawawi ikut tersinggung.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Betapa juga, bukankah Ayu Sarini isterinya yang syah? Bagaimana ia bisa membiarkan pant at isterinya dibicarakan seorang pemuda didepan umum? Tapi mengingat pemuda itu adalah sahabat paman gurunya, terpaksa ia menelan rasa kehormatannya.

   Sekonyong-konyong, di luar dugaan, Ayu Sarini melompat bangun dan menggempur pundak Sekar Prabasini.

   Itulah serangan "yang terjadi sangat cepat dan tibatiba.

   Sekar Prabasini tak sempat mengelak atau menangkis.

   Sedangkan Lingga W isnu tak mau menghalang-halang i.

   Maka pundak Sekar Prabasini benar-benar kena gebuk.

   Sekar Prabasini kaget sampai berteriak tertahan.

   Tetapi pada saat itu juga, Ayu Sarini memekik tinggi.

   Kemudian duduk mendeprok sambil memjijat mijat kedua tangannya.

   Pekiknya .

   "Aduh tanganku! Tanganku!"

   "Kenapa t anganmu?"

   Tanya suaminya gugup.

   Ia kaget tatkala melihat tangan Ayu Sarini menjadi bengkak kemerah-merahan.

   Sekejap itu pulalah t ahulah ia, bahw a hal itu terjadi akibat kena pentalan himpunan tenaga sakti Lingga W isnu.

   Pantas saja, Lingga W isnu tak mau menangkis atau mencoba menghalang-halangi tatkala Ayu Sarini menyerang Sekar Prabasini.

   Sebaliknya rombongan murid-murid para pendekar, mengira bahw a bengkaknya tangan Ayu Sarini adalah akibat menyerang Sekar Prabasin i.

   Karena Sekar Prabasini tadi diperkenalkan sebagai putera Bondan Sejiwan, mereka percaya bahwa pemuda itu berkepandaian t inggi.

   Oleh pekik Ayu Sarini, Genggong Basuki tersadar.

   Segera ia berdiri dan membungkuk hormat tiga kali kepada Lingga W isnu.

   Katanya.

   "Paman Lingga. Benar-benar aku menyesal. Aku seorang keponakan yang tak tahu diri. Sekarang sudilah paman menolong Ayu Sarini?"

   Sikap Lingga W isnu berbeda dengan tadi. Ia bersikap kaku dan berwibawa. Sama sekali ia t idak mendengarkan permint aan Genggong Basuki. Sahutnya pendek .

   "Apakah kau insyaf atas kesalahanmu?"

   Tak berani Genggong Basuki berkeras kepala seperti tadi. Ia menundukkan kepala. Lalu menjawab .

   "Y a, paman. Aku salah. Aku bersalah merobek-robek surat kesaksian kakang Songgeng Mint araga. Juga tidak seharusnya aku membantu kakang Srimoyo."

   Lingga W isnu menghela napas. Katanya memberi nasihat .

   "Memang, aku sangat menyesal apa sebab kau merobek surat kesaksian itu. Hampir saja kau menimbulkan korban entah berapa puluh orang. Karena itu, hendaklah engkau bisa berpikir panjang sebelum berbuat. Tentang sikapmu membantu paman Srimoyo, sama sekali tidak salah itulah perbuatan setia-kawan yang sejati. Karena itu, engkau bahkan harus dipuji. Hanya saja kau belum tahu kedudukan paman Srimoyo sebenarnya."

   Genggong Basuki heran. Bertanya .

   "Bukankah kakang Srimoyo salah seorang pendekar Parwati yang kenamaan? Apa maksud paman menyangsikan kejujurannya?"

   "Kau tadi belum sampai membaca bunyi pantangan kelima angger-angger Sekar Teratai."

   Jawab Lingga W isnu tak langsung.

   "Paman tadi menyuratiku membaca pantangan yang ketiga, ketujuh dan kesebelas,"

   Kata Genggong Basuki.

   "Pantangan ketiga, ialah larangan membunuh tanpa sebab Ayu Sarini telah melanggar pantangan ini. Karena itu wajib ia memohon maaf kepada kakang Songgeng Mint araga dan membayar kerugian."

   "Huh ...,"

   Dengus murid-murid Songgeng Mint araga dengan berbareng.

   "Masakan tangan kutung hanya memperoleh ganti rugi saja? Enak saja kau bicara."

   Genggong Basuki merasa p ihaknya bersalah. Maka ia menutup mulut. Lingga W isnu kanudian mengarahkan pandangnya kepada Songgeng Mint araga dan sekalian muridnya. Berkata dengan nyaring .

   "Perbuatan keponakan muridku memang keterlaluan. Aku menyesal sekali. Tunggulah sampai luka rekan Pramana sembuh. Aku akan berdaya upaya sampai dia dapat menggunakan sebelah tangannya dengan sempurna. Ilmu itu bukan berasal dari rumah perguruan Sekar Teratai' Mereka semua tahu, betapa tinggi ilmu kepandaian Lingga W isnu. Bila pemuda itu bersedia menjadi guru Pramana, adalah menguntungkan sekali, Lagi pula, dia sudah menolong jiwa gurunya. Maka mereka menerima usul Lingga W isnu dengan puas. Setelah suasana reda kembali, Lingga W isnu melanjutkan perkataannya kepada Genggong Basuki .

   "Sekarang, bagaimana bunyi pant angan yang ketujuh?"

   "Itulah larangan memutuskan suatu hal t anpa diselidiki dahulu. Sedangkan bunyi pantangan yang kesebelas, ialah larangan bergaul dengan penjahat. Siapakah yang paman maksudkan dengan penjahat? Kakang Srimoyo adalah seorang pendekar."

   Mereka yang hadir dalam pesta perjamuan itu, tentu saja tidak mengenal bunyi angger-angger rumah perguruan Sekar Teratai.

   Kecuali anak-anak murid rumah perguruan itu sendiri.

   Begitu mendengar bunyi angger kesebelas mereka semua terkejut.

   Genggong Basuki dikatakan Lingga W isnu melanggar pantangan, karena bergaul dengan penjahat.

   Apakah.

   mereka rombongan penjahat? Didalam hal ini, Srimoyolah yang sangat tersinggung.

   Dengan berjingkrak ia berseru .

   "Apakah aku seorang penjahat ?"

   Mendengar seruan Srimoyo, cepat-cepat Ling ga W isnu menyahut .

   "Paman Srimoyo, janganlah salah paham. Bukan paman yang kami maksudkan."

   "Lant as siapa?"

   Srimoyo menegas.

   Sastra Demung dan lain-lainnya ingin pula memperoleh ketegasan.

   dw Lingga W isnu menyapu hadirin dengan pandang matanya yang tajam.

   Kemudian berhenti kepada Suramerto dan Mangun Sentono yang nampak duduk meringkas diantara tetamu.

   Tatkala Lingga W isnu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba masuklah beberapa murid Songgeng Mintaraga menendang Pramana.

   Murid-murid itu menyampaikan kabar gembira kepada Pramana, setelah Lingga W isnu menyatakan bersedia mewariskan suatu ilmu kepandaian kepadanya.

   Oleh rasa syukur dan girang hati, Pramana mint a dihadapkan kepada Lingga W isnu agar bisa menyampaikan rasa terima kasih, lukanya yang masih basah tidak dihiraukan.

   Lingga W isnu kagum kepada ketahanan dan kemauan keras Pramana.

   Ia membalas hormat tatkala calon muridnya itu menghaturkan rasa terima kasihnya.

   W ajah Pramana pucat lesi, namun sikapnya gagah luar biasa.

   "T uan telah menyelamatkan jiwa guruku. Sekarang malahan bersedia pula menjadi guruku. Budi tuan besar benar tak terbalas lagi. Aku hanya bisa menghaturkan rasa t erima kasihku yang tak terhingga ..."

   "Jangan panggil aku dengan sebutan tuan. Panggil saja aku adik. kakang atau saudara,"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Akh, bagaimana aku bisa memanggil demikian? W alaupun usia tuan lebih muda dari padaku, namun kedudukan tuan sebagai guru. Maka perkenankan, aku memanggil guru terhadap tuan. Sekiranya tidak diperkenankan, aku akan memanggil dengan sebutan tuan atau tuanku."

   Kata Pramana dengan sungguhsungguh. Tak dapat Lingga W isnu mengatasi alasan Pramana. Ia menoleh kepada Songgeng Mintaraga. Berkata .

   "Paman, Tak kusangka, bahwa murid paman sangat gagah dan cerdik sekali. Khawatir kalau akan menarik kesanggupanku, maka cepat-cepat ia datang untuk menyatakan rasa terima kasihnya meskipun masih menderita luka parah."

   Songgeng Mintaraga tertawa, sahutnya .

   "Anak Lingga, kau pandai berkelakar."

   Dan demikianlah, setelah menyatakan rasa terima kasih berulangkali, Pramana digendong kembali dan dibawa masuk ke dalam kamarnya. Lingga W isnu mengikuti dengan pandang matanya. Kemudian beralih kepada Ayu Sarini yang masih merint ih-rint ih.

   "Lengan Pramana, engkaulah yang menabas. Luka yang dideritanya sepuluh kali lipat sakitnya dari pada lukamu. W alaupun demikian sama sekali ia tak merint ih atau mengerang."

   Lingga W isnu berkata. Kemudian ia menghampiri hendak memeriksa.

   "Jangan raba! Aku isteri orang!"

   Damprat Ayu Sarini.

   "T ak perlu kau menolong aku! Aku mati atau tidak, apa perdulimu?"

   Panas muka Lingga W isnu didamprat demikian.

   Ia merasa malu dan serba salah.

   Sebentar ia melemparkan pandang kepada Sekar Prabasin i hendak mint a jasajasanya.

   Akan tetapi Sekar Prabasini mengenakan pakaian laki-laki.

   Diapun tak dapat menyentuh kulit Ayu Sarini.

   Akhirnya, teringatlah dia kepada Rara W itri, Maka dengan suara lembut ia berkata .

   "Adik, maukah engkau mewakili diriku?"

   Tepat pada waktu Rara W itri hendak mengangguk, terdengarlah pintu gerbang tergedor dari luar.

   Memang, setelah pesta perjamuan mulai, pintu gerbang rumah Songgeng Mint araga merupakan Markas Besar Laskar Lawu yang tertutup rapat.

   Itulah sebabnya, Suramerto dan Mangun Sentono tak dapat berkutik.

   Dan pada saat hadirin menoleh, pintu gerbang itu terjebak lebar.

   Dan masuklah dua orang yang berdandan sebagai petani dusun.

   Hadirin terkejut.

   Siapakah mereka berdua itu yang sanggup membuka pintu gerbang dari luar? Pastilah mereka bukan sembarang orang.

   Seperti saling berjanji, hadirin mengamat-amati mereka.

   Yang berjalan disebelah kiri; seorang laki-laki berusia lebih kurang 55 tahun.

   Dan yang berada di sampingnya seorang perempuan sebaya umurnya.

   Dia menggendong seorang anak berumur dua atau tiga tahun.

   Pandang mereka tajam luar biasa.

   Dan tiba-tiba saja Ayu Sarin i melompat bangun dan lari menyongsongnya sambil berseru girang .

   "Paman Sugiri! Bibi Sukesi!"

   Nawawi dan Genggong Basuki pun ikut lari menyongsong.

   Nawawi menirukan seruan isterinya.

   Sedang Genggong Basuki menanggilnya sebagai guru.

   Maka sekarang tahulah hadirin, bahwa mereka berdua adalah dua suami-isteri Sugiri-Sukesi - mu rid Ki Sambang Dalan yang berkekepandaian sangat tinggi.

   Lingga W isnu tak dapat berdiam diri saja.

   Mendengar seruan Ayu Sarini, segera ia mengikut i Genggong Basuki dan Nawawi menyongsong mereka Dengan sekilas pandang ia menatap wajah kedua kakaknya seperguruan itu.

   Sugiri berwajah sederhana.

   Dia nampak matang dan sifatnya tenang berwibawa.

   Sedang Sukesi berwajah galak.

   Kesannya tak beda dengan Ayu Sarini.

   Ayu Sarini memperlihatkan kedua tangannya kepada Sukesi seperti hendak mengadu.

   Tatkala Lingga W isnu hendak membungkuk hormat, Sukesi sedang menundukkan pandang kepada dua tangan Ayu Sarini yang bengkak.

   Kedua alisnya bergerak gerak.

   Sambil mengurut-ngurut, ia bertanya .

   "Kenapa?"

   Itulah pertanyaan yang diharap-harapkan - Terus saja Ayu Sarini berputar sambil menuding Lingga W isnu. Dengan masih menahan rasa mendongkol dan penasarannya, ia menjawab .

   "Bibi, dialah orangnya. Dia mengaku sebagai paman guru. Tapi ia melukai kedua tanganku dan mematahkan pedang pemberian bibi."

   Lingga W isnu terkejut.

   Jawaban Ayu Sarini benarbenar mengandung racun.

   Iapun menyesal apa sebab sampai mematahkan pedang Ayu Sarini.

   Kalau saja ia tahu bahwa pedang itu pemberian kakaknya seperguruan, pastilah tidak akan perbuat begitu.

   Maka cepat-cepat ia membungkuk hormat sambil berkata mohon maaf .

   "Sama sekali tak kuketahui bahw a pedang itu pemberianmu. Maafkan kelancangan adikmu ..."

   "Adik? Adik dari mana?"

   Dengus Sukesi heran. Pendekar wanita itu lantas berpaling kepada suaminya. Mereka berdua saling pandang. Kata Sukesi mint a pembenaran .

   "Kabarnya, memang guru mempunyai seorang murid muda belia. Apakah dia? Kalau benar dia, kenapa tak tahu diri?"

   "Belum pernah aku bertamu dengan dia,.'' sahut suamirya pendek.

   "Hmm .,."

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengus Sukesi .

   "Meskipun andaikata dia mewarisi seluruh kepandaian guru, mestinya harus sadar dan tahu diri. Bahwasanya ilmu kepandaian itu tiada batasnya. Kalau merasa diri sudah pandai, diatasnya masih ada dewa. Dewapun harus tahu diri pula, bahwa diatasnya masih ada Yang Menguasainya. Hm ... baru saja ia memperoleh sekelumit kepandaian., lantas saja menghina yang lemah. Pantaskah itu? Seumpama Ayu Sarini salah, bukankah masih ada gurunya? Biarlah dia yang menegur. Kita berdua hanya bisa memperingatkan saja."

   "Kakang Genggong Basuki juga menerima hinaan, bibi."

   Ayu Sarini mengadu "Apa?"

   Sukesi terperanjat. Sepasang alisnya terbangun.

   "Ha, kami berdualah yang wajib menghajarnya bila dia salah. Kenapa paman gurunya ikut campur?"

   Lingga W isnu merasa diri bersalah. Lalu menjawab .

   "Kalau begitu, maafkan kelancangan adikmu."

   "Kau telah mematahkan pedang pemberianku. Artinya kau sama sekali tidak menghargai kakakmu,"

   Kata Sukesi sengit.

   "Andaikata guru sangat sayang kepadamu, masakan engkau lantas berlagak dan sama sekali tidak menghargai kakakmu seperguruan?"

   Lingga W isnu bungkam.

   Dan segenap hadirin jad i tak enak hati.

   Mereka melihat betapa galak pendekar wanita itu.

   Kata-katanya makin lama makin sengit.

   Tanpa mengusut latar belakangnya, lantas saja menjatuhkan palu hukuman.

   Alangkah keterlaluan! 0odwo0 1.

   Pertempuran Kacau Murid-murid Songgeng Mintaraga gelisah bukan main.

   Sebaliknya Srimoyo, Amir Hamzah, Genggong Basuki, Nawawi dan Ayu Sarini mendapat angin baru.

   Mereka kini bisa menegakkan kepalanya kembali.

   Tak usah menunduk lagi karena merasa malu dan segan.

   "Bibi!"

   Kata Ayu Sarini.

   "Setelah mengaku sebagai paman guru, tiba-tiba diapun datang membawa-bawa nama pendekar Kebo W ulung."

   "Kebo W ulung siapa? Bondan Sejiwan, maksudmu?"

   Potong Sukesi sengit.

   "Benar, Bondan Sejiwan! Dia selalu mengagulagulkannya. Dan atas nama pendekar itu pula ia merobohkan kakang Genggong Basuki dan kakang Nawawi ..."

   Mendengar kata-kata Ayu Sarini, cuping hidung Sukesi bergerak-gerak.

   Suatu tanda, bahwa darahnya meluapDan melihat hal itu, Lingga W isnu tetap bersikap sabar dan mengalah.

   Sebenarnya tak sengaja suami isteri Sugiri dan Sukesi datang pada pesta perjamuan itu.

   Sudah satu tahun lebih, mereka merantau untuk mencarikan obat anaknya satu-satunya.

   Itulah anak yang digendong Sukesi.

   Kaswasih, namanya.

   Menurut para ahli, Kaswasih mendelita penyakit dalam semenjak didalam kandungan.

   Terjadi akibat goncangan hebat, t atkala ibunya berkelahi melawan seorang musuh tangguh.

   Dan untuk bisa menyembuhkan penyakit dalam itu, mereka harus menemukan sebutir atau dua butir buah mustika yang jarang sekali t erdapat dalam dunia.

   Tetapi sebagai orang tua, mereka tak kenal lelah dan putus asa.

   Dari tempat ke tempat, mereka merant au.

   Tapi selama itu, Kaswasih bertambah kurus dan kurus.

   Tak mengherankan, mereka jadi cemas dan gugup.

   Menuruti nasehat seorang tua, mereka mendaki Gunung Lawu menghadap Kyahi Basaman dan melihat penyakit yang diderita Kaswasih, Kyahi Basaman teringat kepada Lingga W isnu.

   Cucu muridnya itupun dahulu menderita penyakit macan.

   demikian.

   Entah bagaimana kabarnya.

   Kyahi Basaman tidak mendengar lagi.

   Dengan lemah-lunglai suami-isteri Sugiri Sukesi melanjutkan perjalanannya Kalau Kyahi Basaman saja tidak sanggup mengobati, siapa lagi yang dapat menolong? Tatkala memasuki daerah W onogiri mereka mendengar kabar, bahw a muridnya berada dikota itu.

   Teringatlah mereka bahwa muridnya selalu berjalan bersama Ayu Sarini dan Nawawi.

   Diapun banyak sahabatnya.

   Mungkin sekali dia bisa menolong.

   Maka berangkatlah mereka mencarinya.

   Dan demikianlah,, mereka tiba di rumah Songgeng Mint araga.

   Sukesi memang seorang pendekar yang keras tabiatnya.

   Gampang sekali tersinggung hatinya.

   Apalagi pada waktu itu ia sedang bersedih hati memikirkan anaknya.

   Mendengar muridnya kena hina, ia bersakit hati.

   Hinaan itu sendiri seolah-olah penghinaan terhadap anaknya yang kurus kering seperti monyet kecil.

   Tadinya ia masih mau bersabar karena Lingga W isnu disebut paman guru oleh Ayu Sarini.

   Tetapi satelah mendengar pula bahw a Lingga W isnu datang dengan membawabawa nama Bondan Sejiwan, ia merasa seperti ditantang.

   Seketika itu juga ia berpaling kepada suaminya dan mint a keterangan dengan suara sengit .

   "Coba katakan padaku, apakah Kebo Wulung masih hidup?"

   "Menurut kabar, ia sudah meninggal. Tetapi apakah benar demikian, hanya Tuhan yang tahu."

   Jawab Sugiri.

   Pendekar ini masih bisa bersikap tenang, meskipun hatinya berduka.

   Sekar Prabasini mendongkol menyaksikan Lingga W isnu kena t egur pulang-balik, dengan kata-kata kasar.

   Iapun mendengar Sukesi menyinggung-nyinggung nama ayahnya pula.

   Nada suaranya mengejek dan merendahkan.

   Keruan saja tak dapat ia menahan diri.

   Terus saja membentak .

   "Kau bilang, diatas manusia masih ada dewa. Kenapa kau menghina orang?"

   "Kau siapa?"

   Sukesi membalas membentak dengan gusar.

   "Dialah anak manusia Bondan Sejiwan."

   Ayu Sarini memberi keterangan.

   Mendengar keterangan Ayu Sarini, sekonyong konyong tangan Sukesi bergerak.

   Di antara sinar lampu, nampaklah sebuah benda berkeredep menyambar Sekar Prabasin i.

   Kaget Lingga W isnu menyaksikan hal itu.

   Hendak ia mencegah tetapi sudah tidak terburu lagi.

   Pada saat itu Prabasini memekik.

   Pundak kirinya kena terhajar paku Cundamanik, meskipun sudah berusaha mengelak.

   Oleh rasa kaget.

   Lingga Wisnu melompat dan memegang pundak Sekar Prabasini.

   Dilihatnya paku Cundamanik itu menancap dalam dipundak kiri.

   Sekar Prabasini kesakitan.

   Tak dapat lagi ia menahan diri.

   Hendak ia membalas menyerang tetapi buru-buru Lingga W isnu mencegahnya.

   Berkata membujuk .

   "Jangan bergerak! Biar aku menolongmu dahulu."

   Dengari dua jarinya, Lingga W isnu menjepit ujung paku Cundamanik, Ia mencabut perlahan-lahan dan tetap.

   Ia berlega hati, karena paku itu tidak bercabang.

   Setelah tercabut kira-kira tigaperempat bagian, ia mengerahkan himpunan tenaga saktinya.

   Dan paku Cundamanik dapat di cabutnya.

   Kemudian dilemparkan keatas lantai.

   Rara W itri menghampiri dengan membawa sapu tangan.

   Ia menyerahkan sapu t angan itu kepada Lingga W isnu.

   Dengan sapu tangan itu Lingga W is nu menyusuti darahnya.

   Setelah bersih Rara W itri menyerahkan sapu tangan lagi..

   Dan segera Lingga W isnu membalutnya..

   "Dengarlah perkataanku,"

   Bisik Lingga W isnu sambil membalut.

   "Jangan layani dia."

   "Kenapa?"

   Sekar Prabasin i bertanya dengan hati penasaran.

   "Kita berdua harus menghormati. Merekalah kakak seperguruanku. Karena itu tak dapat aku berlawanlawanan."

   Sekar Srabasin i menatap wajah Lingga W isnu dan melihat pemuda itu bersungguh-sungguh, t erpaksalah ia memanggut dengan lesu.

   Meskipun hatinya mendongkol dan penasaran bukan main., tapi ia terpaksa menahan diri.

   Lingga W isnu bersyukur melihati Sekar Prabasini menguasai d iri.

   Ia khawatir, mengingat t abiat kawannya itu gampang sekali meluap darahnya.

   Sekarang, meskipun menderita luka, masih sudi mendengarkan sarannya.

   Itulah suatu tanda bahwa Sekar Prabasini agaknya mau melakukan apa saja demi kepentingannya Keruan saja ia bergirang hati dan merasa bahagia.

   Sukesi menunggu sampai Lingga W isnu selesai membalut luka Sekar Prabasin i.

   Sebagai seorang yang termasuk golongan pendekar besar, perlu ia membawa sikapnya demikian.

   Kemudian berkata dengan mencibirtan bibir .

   "Aku sendiri belum pernih bertemu dengan pendekar yang menamakan dirinya Kebo Wulung. Kabarnya ia seorang sakti yang berkepandaian sangat tinggi, sampai kemasyurannya menggetarkan jagad. Tetapi, ternyata anaknya tak dapat mengelakku sambaran pakuku saja. Padahal, aku hanya mencoba-coba. Kalau begitu, apakah Kebo W ulung hanya bernama belaka?"

   Sekar Prabasini melemparkan pandang kepada Lingga W isnu.

   Kalau menuruti kata hatinya, ia ingin membalas mendamprat.

   Tetapi ia sudah berjanji kepada Lingga W isnu, tidak akan melayani Sukesi.

   Sebaliknya pada saat itu, Lingga W isnu tertegun-tegun seperti kehilangan pegangan.

   Di dalam hati pemuda itu berpikir 'A yuna Sukesi benar-benar berada dalam kesalahpahaman yang hebat.

   Jika aku bant ah, ia pasti akan merasa ku tentang.

   Rasa marahnya akan menghebat jadinya.

   Biarlah aku berdiam diri saja.' Rupanya Sukesi bisa rnenebak kesulitan Lingga Wisnu.

   lalu berkata memutuskan "Kau membungkam mulut.

   Apakaj karena kau segan berbicara dihadapan hadirin? Atau kau sengaja mengesan pada kami, bahwa engkau benar-benar anggauta Sekar Teratai sehingga demi menjaga pamor rumah perguruan tak sudi bertengkar dengan kami? Baiklah, tak jauh dari sin i terdapat Sebuah bangunan rusak.

   Itulah bangunan dari tangsi Kompeni Belanda yang telah ditinggalkan.

   Nah, aku harap engkau esok hari datang menemui kami, menjelang matahari tenggelam.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kami ingin mencoba kepandaianmu, apakah benar-benar engkau Adalah adik seperguruan kami"' Semua orang tahu.

   Meskipun Sukesi seolah-olah sudah setengah mengakui bahwa Lingga W isnu adik seperguruannya dan walaupun maksudnya hanya untuk mencari keyakinan dengan jalan menguji kepandaian pemuda itu, sebenarnya merupakan tantangan belaka Tak mengherankan, Songgeng Mintaraga yang merasa berhutang budi terhadap Lingga W isnu, jadi sibuk dan berkhawatir.

   Cepat-cepat ia berdiri.

   Dan setelah membungkuk hormat dengan Merangkap kedua tangan didepan perutnya, ia berkata dengan suara rendah .

   "T uan sekalian adalah sepasang pendekar besar pada jaman in i. Pendekar Sukesi terkenal ilmu pedangnya Mayang Seta. Dan pendekar Sugiri temashur sebagi seorang sakti bertangan guntur. Maka bukan kepalang girang hati kami atas kedatangan tuan sekalian. mengundang saja, sebenarnya t iada keberanianku. Maka - "

   "Hm ..."

   Sukesi memotong dengan mendengus.

   Ia menoleh pada suaminya Tapi suaminya nampak gelisahPendekar itu jadi tak enak sendiri memperoleh penghormatan berlebih-lebihan, karena usianya sebaya dengan Songgeng Mint araga.

   Bahkan Songgeng Mint araga lebih tua dan kedudukannya sebenarnya tinggi di masyarakat sebagai komandan Laskar Lawu yang terkenal.

   "Anak Lingga datang kemari, bukan bertujuan untuk membuat malu murid tuan berdua, kata Songgeng Mint araga mencoba menjelaskan, dia datang karena mendengar aku dalam kesulitan dan bermaksud mendamaikan suatu persengkataan, Ketiga murid tuan berdua mengetahui sendiri dengan jelas. Karena itu, perkenankan aku esok pagi menyelenggarakan suatu pesta tersendiri untuk menyambut kedatangan tuan berdua, Juga sebagai pernyataan syukur dan gembira atas bertemunya tuan berdua dengan adik seperguruan Sekar Teratai ..."

   Tetapi Sukesi tidak merasukkan kata-kata Songgeng Mint araga didalam pendengarannya.

   Dia bahkan membuang mukanya.

   Tatkala Songgeng Mintaraga menyinggung istilah adik seperguruannya, ia seperti diingatkan.

   Terus saja berkata menegas kepada Lingga W isnu .

   "Bagaimana? Kau berani datang atau tidak?"

   "Dimanakah aku harus menemui ayunda berdua? Meskipun kakang dan ayunda hendak melukai aku, takkan berani mengelak ..."

   Sahut Lingga W isnu.

   "Hm ... siapa yang mengidzinkan engkau memanggil aku "ayunda?"

   Dengus Sukesi galak.

   "T ulen atau palsu tentang dirimu, harus kubuktikan dahulu. Jangan panggil ayunda dahulu kepadaku. Juga aku melarang engkau memanggil kakang terhadap suamiku. Tunggu sampai aku mengujimu dan baru kita membicarakan tentang panggilan itu. Mario"

   Sukesi menarik tangan Ayu Sarini dan mendahului berjalan meninggalkan pesta perjamuan- Baik Lingga W isnu maupun Songgeng Mint araia tak berani mencegahnya.

   tertegun-tegun tatkala mengikuti kepergian mereka dengan pandang matanya.

   Tiba-tiba Lingga W isnu melihat sesuatu yang bergerak diant ara hadirin.

   T erus saja ia lari melesat sambil berteriak .

   "Hei, tunggu!"

   Semenjak tadi Lingga W isnu selalu membagi pandang dan perhatiannya kepada Suramerto dan Mangun Sentono yang nampak duduk diant ara hadirin.

   Disampingnya duduk pula seorang berkumis dan bercambang tebal dengan perawakannya yang tinggi besar.

   Lingga W isnu belum kenal siapakah dia.

   Tapi melihat keakrabanya, pastilah ia t ermasuk sekutu mereka berdua.

   Kesan orang itu gagah, Pandangnya berpengaruh.

   Dikemudian hari Ia memperkenalkan diri sebagai seorang pendekar Ugrasawa.

   Orang' menyebutnya dengan nama T runo- taruna.

   Tatkala Songgeng Mint araga memperlihatkan dua helai kesaksian, Suramerto dan Mongun Sentono mulai gelisah.

   Mereka berdua berbisik b isik dengan wajah berubah Kemudian Lingga W isnu Menyinggungnyinggung tentang kawanan penjahat.

   Syukur suamiisteri Sukesi-Sugiri datang, Sewaktu Lingga W isnu mengarahkan pandangnya kepada mereka berdua.

   Sekarang yakinlah mereka, bahwa bocah itulah yang, mencuri surat perint ah dan dua helai surat kesaksian kemarin malam Segera mereka berbisik kepada Trunotaruna agar meninggalkan pesta perjamuan saja.

   T etapi Tru-notaruna tak mau bergerak dari t empat duduknya.

   Katanya .

   "T unggu- sampai pada saatnya."

   Mereka berdua menghela nafas Namun nampak tunduk.

   Maka jelaslah, bahw a Trunotaruna berpengaruh besar terhadap mereka berdua.

   Dan tatkala menyaksikan betapa Lingga W isnu menjadi jinak menghadapi suami isteri Sugiri-Sukesi, mereka berdua diam-diam ikut bersyukur dan girang.

   Mereka memuji kebesaran Tuhan atcs kemarahannya.

   Justru pada saat itu, Trunotaruna lalu berkata .

   "Sekarang saatnya yang baik. Nanti, bila suami -isteri Sugiri-Sukesi meninggalkan pesta perjamuan, kita bertiga mengikuti seakan akan pengiringnya. Kalian berdua menusup diant ara rombongan Sekar Teratai. Kukira, Lingga W isnu takkan berani berbuat apa-apa."

   Suramerto dan Mangun Sentono mendengar saran Trunotaruna.

   Maka begitu Sukesi memut ar tubuh hendak meninggalkan pesta perjamuan cepat cepat mereka berdua mendekati rombongan murid.

   Dan apabila rombongan murid mulai bergerak hendak mengikuti Sugiri-Sukesi keluar serambi , cepat-cepat ia mendahului.

   Akan tetapi pandang mata Lingga W isnu benar-benar tajam.

   Gerak-gerik mereka tak luput dari pengamatannya, meskipun lagi menghadapi kesulitan.

   0odwo0 Sebaliknya Sukesi salah paham.

   Ia mengira, Lingga W isnu hendak mencegah kepergiannya atau menghalangi sebentar.

   Sebagai seorang pendekar yang merasa berkedudukan t inggi, t ak senang ia diperlakukan demikian.

   Semua ucapan dan gerakannya merupakan undang-undang yang tiada batal oleh alasan apapun.

   Maka bentaknya .

   "Benar-benar kau manusia busuk tak tahu diri! Kau berani mengganggu aku?"

   Membentak demikian, ia memut ar tubuhnya seraya melayangkan tangannya.

   Arah sasarannya kepala, Itulah salah satu macam serangan yang biasanya tak pernah gagal.

   Ia melatihnya terus menerus selama tigapuluh tahun lebih dengan suaminya, Pernah ia meruntuhkan tujuhbelas ekor burung yang t erbang bertebaran dengan seraangannya itu.

   Bisa dibayangkan betapa cepat dan bahayanya.

   Hati Lingga W isnu tercekat, Cepat ia mengelak.

   Tangan Sukesi lewat diatas pundak dan menyerenpet selint asan- Meskipun demikian ia merasa pedas sekali.

   Insyaflah ia, bahw a kakaknya seperguruan itu benarbenar tinggi ilmu kepandaiannya.

   Sebaliknya, Sukesi terperanjat heran.

   Ia jadi penasaran.

   Cepat ia membalikkan t angan dan membabat pinggang, Kali ini ia mengerahkan tenaganya.

   Menghadapi serangan ini, Lingga W isnu merasa wajib menahan diri.

   Ia menjejakkan kakinya dan meloncat mundur melint asi meja dan kursi Dengan demikian, dua kali berturut-turut Sukesi gagal serangannya.

   Karena masih megendong anaknya, tak dapat ia bergerak dengan leluasa.

   Teringat pula bahw a ia telah memutuskan untuk mengadu kepandaian esok petang, terpaksa ia menelan rasa mendongkol dan penasaranDan ia meneruskan berjalan dengan membimbing tangan Ayu.

   Sarini.

   Suramerto dan Mangun Sentono tidak sudi kehilangan kesempatan yang bagus itu.

   Juga Trunotaruno yang berada dibelakangnya.

   mereka lantas menerobos keluar rombongan dari lari secepat-cepatnya.

   "Hai! Mau lari kemana? Berhenti!"

   Seru Lingga W isnu.

   Karena terpaksa melompat untuk menghindarkan serangan Sukesi, jaraknya k ini kian menjauh dari mereka bertiga.

   namun - Lingga W isnu tidak mau kehilangan mangsanya.

   Tak ubah seekor burung, ia terbang melint asi kursi dan meja.

   Tangannya berkelebat dan menyambar Trunotaruna, yang roboh kena cengkeraman Lingga W isnu.

   "Ih, celaka!"

   Tronotaruna mengeluh didalam hati.

   "Baru saja aku keluar dari rumah perguruan, kena dirobohkan seorang bocah dengan satu gebrakan ..."

   Dan baru saja ia mengeluh demikian, tubuhnya dilemparkan Lingga W isnu balik dan jatuh dilantai serambi depan Dalam pada itu, Suramerto dan Mangun Sentono sudah berhasil lolos dari p int u gerbang.

   W aktu itu bulan sipit nampak remang-remang-tersapu awan hitam.

   Suasana malam gelap pekat, Benar-benar Tuhan melindungi mereka berdua.

   Begitu melint asi tirai malam, tubuh mereka tiada nampaklagi.

   Mereka seperti hilang teraling ib lis.

   Lingga W isnu tak berani mengejar.

   Ia tahu, mereka berdua jago yang mempunyai kepandaian tinggi.

   Kalau tidak, masakan pantas menjadi sahabat Songgeng Mint araga yang dihormati.

   dan disegani pendekar itu.

   Dalam malam gelap, mereka bisa menyedang balik.

   "Biarlah untuk sementara mereka kabur. Aku sudah berhasil menangkap kawannya seorang Pastilah aku dapat manperoleh keterangan dari mulut nya,"

   Pikir Lingga W isnu. Ia lantas manut ar tubuhnya hendak balik kembali memasuki gerbang. Sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang berseru kepadanya' .

   "Hai, sahabat kecil! Baru sepuluh - tahun aku tidak bertemu denganmu. Dan kepandaianmu sudah maju begini pesat! Selamat! Selamati"

   Goncang hati Lingga W isnu mendengar suara itu.

   Itulah suara yang pernah dikenalnya dan senant iasa meresap di dalam perbendaharaan hatinya.

   segera ia menoleh dan melihat seorang t ua mengempit Suiamerto dan Mangun Sentono.

   Orang itu berkumis dan berjenggot awut-awutan.

   Rambut, alis, kumis dan jenggotnya sudah putih semua.

   Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Gumbrek pendekar sakti yang dahulu mewarisi ilmu berlari kepada Lingga Wisnu.

   "Guru!"

   Seru Lingga W isnu girang. Terus saja ia lari menghampiri dan bersembah. Ki Ageng' Gumbrek tertawa berkakakan. Sahutnya .

   "Eh, semenjak kacau perutmu berubah Dahulu kau t ak sudi menyebutku guru. Akupun tak sudi engkau menyebut aku sebagai gurumu, Kau menyembah pula padaku. Apa-apaan, nih .... Hai, coba lihat, siapa dia yang berada dibelakang- ku!"

   Lingfla W isnu mengalihkan pandang Ia melihat.

   seorang laki-laki berusia kurang lebih 48 tahun.

   Rambutnya sudah setengah beruban.

   W ajahnya menceritakan suatu perbendaharaan pengalaman yang matang- Dan melihat orang itu; Lingga W isnu kian menjadi girang.

   Dialah Arya Puguh yang dahulu melindungi mati-matian sampai nyaris mengorbankan jiwanya sendiri.

   Cepat ia lari menghampiri dan merangkulnya erat-erat.

   "Paman!"

   Serunya penuh haru.

   "Paman cepat menjadi tua."

   Arya Puguh tertawa senang. Sama sekali ia tak bersakit hati atau tersinggung. Sahutnya .

   "Inilah penanggungan orang yang hidup dalam kancah perjuangan. Perhatian hidup terlalu terbagi-bagi."

   Lingga W isnu memeluknya kian erat. Alangkah jauh beda keadaannya dengan Ki Ageng Gumbrek. Meskipun usia orang tua itu sudah lanjut, namun raut wajahnya nampak segar bugar.

   "T api paman tak kurang suatu apa, bukan?"

   Kata Lingga W isnu.

   "Seperti kau lihat, hidungku tetap satu. Tiada yang kurang."

   Sahut Arya Puguh. Mereka berdua lalu berjalan bergandengan tangan. Hati mereka berdua terharu tergoncang pertamuan itu. Kalau saja tidak mendengar suara Srimoyo, mereka tidak, akan tersadar.

   "Hai!"

   Seru pendekar itu.

   "Kakang Suramerto dan Mangun Sentono adalah tetamu undanganku. Kenapa kau perlakukan demikian?"

   Lingga W isnu seolah-olah tidak menggubris seruan Srimoyo. Ia menghadap kepada Songgeng Mint araga. Kemudian para hadirin. Memperkenalkan mereka berdua yang baru datang.

   "Beliau ini Ki Ageng Gumbrek, salah seorang guruku. Dan dia Arya Puguh, salah seorang pembantu Panglima Sengkan Turunan. Dia seorang ahli imu bertangan kosong. Mahir dalam ilmu sakti SarduJa Jenar. Sewaktu mula-mu la belajar berkelahi, dialah guruku yang pertama."

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketua-ketua rombongan, terperanjat mendengar nama Ki Ageng Gumbrek.

   Nama itu tidak lagi asing bagi mereka.

   Namun pendekar sakti itu, tak berketentuan tempat tinggalnya.

   Ia bergerak dari tempat ke tempat tak ubah iblis.

   Namun ilmu kepandaiannya sangat tinggi.

   Termasuk golongan angkatan tua yang sejajar dengan guru mereka semua.

   Karena itu, serentak mereka membungkuk hormat.

   Dan menyaksikan mereka membungkuk hormat, sekalian hadirin buru-buru berdiri tegak menyambut kedatangan pendekar berambut awutawutan itu.

   "Sudahlah, sudahlah! Jangan menghormat orang seperti malaikat!"

   Seru Ki Ageng Gumbrek.

   "Aku adalah manusia yang sebenarnya tiada gunanya. Kerjaku hanya makan nasi atau menabuh kecapi. Sama sekali tiada perhatianku terhadap masalah penghidupan yang hanya meruwetkan hati melulu. Tapi pada suatu hari aku mendengar beberapa orang berkusak-kusuk hendak menjual jasa terhadap kompeni Belanda. Ha, inilah lain! Seseorang boleh jahat, boleh jadi maling! Tapi kalau sampai mau menjual bangsa dan negara kepada orang asing adalah keterlaluan! Maka tak dapat lagi aku t inggal berpeluk tangan. Segera aku menyusul kemari. Kudengar malam ini, para pejuang kesejahteraan bangsa dan negari sedang berkumpul. Nah, hendak kulaporkan penghianat-penghianat itu kemari ..."

   "Siapakah yang berhianat?"

   Srimoyo tersinggung. Sebab dia merasa sibuk melahirkan suatu persekutuan balas dendam akhir-akhir in i.

   "Apakah mereka bertiga? Mereka adalah pendekar- pendekar kenamaan Ugrasawa semenjak belasan t ahun yang lalu ..."

   "Benar. Di.antaranya, mereka bertiga inilah."

   Jawab Ki Ageng Gumbrek dengan tegas. Kaget dan heran, Srimoyo mendengar bunyi jawaban Ki Ageng Gumbrek. Membela .

   "T idak mungkin! Mereka bertiga adalah sahabatku semenjak belasan tahun yang lalu. Akh, tanganlah memfitnah demikian. Fitnah lebih jahat daripada membunuh!"

   Ki Ageng Gumbrek tersenyum lebar. Sambil membanting Suramerto dan Mangun Setono di atas lantai, ia menjawab .

   "Aku adalah orang baik. Belum pernah aku memfitnah orang, mendendam atau mencampuri masalah penghidupan. Secara kebetulan sekali, tatkala aku hendak mencuri ayam di kota, mendengar kusak-kusuk mereka. Mereka berada ditangsi Belanda. Dan merencanakan hendak menghancurkan Laskar Perjuangan anak-Adik Raden Mas Said Maka ku.ikuti mereka dan kuamat-amati sepak terjangnya. Kenapa aku memfitnah?"

   Srimoyo adalah seorang pendekar yang seringkali menggunakan perasaannya semata dari pada pertimbangan akalnya. Ia jadi tersinggung. Menaikkan suaranya .

   "Apakah paman mempunyai bukti?"

   Ki Ageng Gumbrek- tertawa bekakakan. Menyahut .

   "Bukt i! Masakan aku perlu mempunyai bukt i untukmu? Ucapan Ki Ageng Gumbrek sudah menjadi jaminan. Apa yang kukatakan, itulah Undang undang yang berlaku."

   Tentu saja, siapapun tak dapat menerim dengan alasan ini. Srimoyo jadi panas hati Berkata tak senang hati .

   "Apakah alasannya untuk bisa mempercayai, terhadap set iap patah perkataan paman?"

   Sekarang Ki Ageng Gumbrek yang ganti tersinggung kehormatannya. Dengan gundu mata berputar, ia membentak "Kau murid Prangwedani, bukan? Gurumu sendiri t idak berani mengucap demikian terhadapku. Kenapa kau begitu?"

   Sastra Danung yang mengetuai rombongan anak murid Ugrasawa tak senang mendengar kata-kata Ki Ageng Gumbrek.

   Itulah kata-kata seseorang yang ingin menang sendiri.

   Ia lantas maju menghampiri Srimoyo.

   Tatkala itu Lingga W isnu cepat-cepat bertindak.

   Ia kenal perangai dan tabiat gurunya.

   Kalau sampai kalap, akan jadi kacau-balaulah.

   Segera ia memperlihatkan dua helai surat.

   Berkata kepada Srimoyo .

   "Paman, tolong kau bacakan bunyi surat ini, agar hadirin dapat mendengar dan mengadili."

   Dua kali sudah Srimoyo dikacaukan oleh lembaran surat itu.

   Yang pertama, surat kesaksian.

   Dan yang kedua, adalah surat ini, yang kini berada ditangannya.

   Dengan hati berdegupan, ia membaca.

   Dan baru membaca beberapa deret kalimat, ia kaget sampai berjingkrak.

   Itulah surat perint ah patih Pringgalaya terhadap Suramerta dan Mangun Sentana.

   Surat perint ah untuk mengadu damba para pendekar dan laskar perjuangan, agar saling bunuh-membunuh.

   Dan mereka berdua dibantu oleh seorang kepercayaan Komandan Kompeni Belanda di Surakarta, bernama Truno Taruna.

   Surat perintah itu diperkuat oleh dua tanda t angan dan dua cap jabatan.

   Tanda tangan Patih Pringgalaya dan Komandan Kompeni - Belanda.

   0oodwoo0 Setelah Srimoyo selesai membaca surat itu, para hadirin gempar.

   Kartolo, ketua rcmbongan - Puji Rahayu, melompat dan mendekati T runo Taruna.

   Membentak .

   "Benarkah engkau anak murid Ugrasawa?"

   Truno Taruna dalam keadaan runt uh semangat. Tak dapat ia segera menjawab. Ia menoleh kepada Sastra Demung. Dan Sastra Demung jadi tak enak hati. Maklum lah dia ketua rombongan Ugrasawa. Terus saja ia menghampiri sambil menegas .

   "Jawablah pertanyaan rekan Kartolo!"

   Truno Taruna mati kutu. Merasa terdesak kepojok, mendadak ia jadi nekad. Kumisnya bergerak. Kedua gundu matanya bergerak-gerak. Menjawab pendek .

   "Benar. Aku anak murid Ugrasawa."

   "Bohong!"

   Bentak Sastra Denung. 'belum pernah aku melihat t ampangmu. Kau murid siapa?"

   "Aku bawahan Musafigiloh, murid Panembahan Panyingkir."

   "Kalau begitu, kau pengacau Jahanam Musafigiloh sudah lama meninggalkan rumah perguruan. dia seorang penghianat terkutuk. Kau menyebut-nyebut namanya Bagus!"

   Bentak Sestra Demung sengit. Tangannya melayang. Dan Truno Taruna dihajar pulang-balik sampai kedua pipinya babak-belur.

   "Kau menghajar orang yang tidak berdaya. Apakah tidak malu?"

   Teriak Truno taruna.

   "Aku rmemang pengikut Musafigil oh Dia memang seorang pendekar yang mengerti kehendak zaman dan tidak lama lagi seluruh Jaw a ini akan diduduki kompeni Belanda, Karena itu, Musafigilloh bergabung dengan kompeni Belanda. Bukan sebagai penghianat tetapi justru hendak memajukan bangsanya pula. Musafig illoh bercita-cita agar negeri kita menjadi sebuah negara merdeka. Duduk sama rendah, berdiri sama tinagi dengan bancpa lain di dunia in i. tidak lagi menjadi hamba--sahaya Su ltan atau Sunan yang hidupnya Sesungguhnya hanya menjadi budak besar belaka."

   Belum lagi selesai Truno Taruna menyatakan isi hatinya, tinju Sastra Demung sudah mendarat di dadanya.

   Dan kena pukulan itu, Truno Taruna roboh tak sadarkan d iri.

   Menyaksikan hal itu, semua hadirin puas.

   tetapi Suramerta dan Mangun Sentana terbang semangatnya.

   Mereka sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, mereka jadi berputus asa."

   Sastra Demung perlu mencerahkan nama rumah perguruannya yang tercemar oleh Truno TarunaKatanya nyaring .

   "Memang sudah semenjak lama menjadi suatu kerincuhan Sidalam rumh perguruan kami. Panembahan Panyingkir mati oleh suatu penghianatan. Peristiwa itu terjadi sepuluh tahun yang laiu. Musaf igilloh adalah murid penghianat yang menamakan diri Panembahan Panyingkir. Tetapi sesungguhnya, pembunuh panembahan Panyingkir itu ialah seorang Cina bernama Lie Kong. Salah seorang mata-mata Belanda yang berkepandaian sangat tinggi. Tegasnya, meskipun Musafig illoh be rada di dalam rumah perguruan kami, bukan termasuk anggauta Ugrasawa Dia dan Lie Kong adalah seumpama dua duri yang mengeram di dalam tubuh. Untung ketua kami, Anung Damidibrata segera dapat bertindak cepat. Namun mereka berdua sudah berhasil menghilang dari rumah perguruan atas petunjuk-petunjuk seorang bernama Truno Taruna. Dia tadi mengaku diri sebagai pengikut Musafigiloh. Pasti dialah orangnya. Sekarang, karena sudah ternyata kejahatannya, sebaiknya kita bunuh saja."

   "Jangan! Biarkan mereka hidup sehari dua hari lagi."

   Lingga W isnu mencegah.

   "Biarlah dia memberi keterangan yang lebih luas lagi tentang mata-rant ai penghianatannya. Kukira akan sangat berguna bagi kelanjutan perjuangan kita."

   Lingga W isnu sesungguhnya punya alasannya sendiri.

   Mendengar Sastra Demung menyebut seorang bernama Musafig illoh, teringati lah dia kepada pengalamannya sepuluh tahun lalu, tatkala dia datang ke rumah perguruan Ugrasawa dengan Kyahi Basaman.

   Dialah dahulu seorang anak yang memiliki ot ak cerdas luar biasa, sampai pula Kyah i Basaman mengaguminya.

   Kalau sekarang dia dinyatakan sebaaai seorang penghianat, pant ilah tidak bekerja seorang diri.

   Ia percaya, bahwa mata-rant ai pengkhianatan itu pasti terlebar sangat luas.

   Saran Lingga W isnu disetujui hadirin.

   Anak murid Songgeng Mint araga lalu menggusur Truno Taruna ke dalam kamar tahanan.

   Dan karena sudah larut malam, pesta perjamuan ditutup.

   Dan pada saat itu.

   Srimoyo menghampiri Songgeng Mint araga.

   la menyesal bukan main, bahw a atas kebodohannya - kalau saja Lingga W isnu tidak ikut mencampuri peristiwa persengketaan itu.

   pastilah perbuatannva akan menimbulkan bencana besar bagi perjuangan semesta.

   Alangkah besar dosanya.

   Dosa yang tak terampuni lagi.

   Oleh karena itu, ia mint a maaf kepada Songgeng Mint araga dan menyatakan terima kasih Kepada Lingga W isnu.

   Katanya lagi .

   "Saudara Lingga, rasa terima kasihku tak terhingga. Mataku benar-benar lamur sampai tidak mengerti diriku menjadi kuda tolol. Inilah akibatnya orang yang terburu napsu. Yang hanya menuruti gejolak napsu pribad i. Andaikata saudara tidak membukakan kedua mataku, dosa yang bakal kuderita tiada lagi memperoleh keampunan.

   "Akh, siapapun akan berbuat demikian dan sesaat karena tidak menyadari. Paman berani mengakui kesalahan, Itulah, suatu bukti, bahwa paman sesungguhnya seorang kasatria. Kalau aku mengetahui Sinimerto dan Mangun Sentono, itulah suatu kebetulan belaka."

   Lingga W isnu membesarkan hati.

   Kemudian ia menceritakan betapa supt perint ah itu diperolehnya.

   Lega hati Srimoyo mendengar tutur kata Lingga W isnu.

   Segera ia mengajak rombongannya pulang.

   Sementara tetamu-tetamu lainnya bubaran pula.

   Songgeng Mint araga memasukkan Suramerto dan Mangun Sentono ke dalam kamar tahanan.

   Ia berjanji kepada Lingga W isnu hendak mencari keterangan sebanyak-banyaknya dari mulut mereka 0odwo0 Sekarang sunyilah suasana serambi rumah Songgeng Mint araga.

   Songgeng Mintaraga.

   membawa Arya Puguh beristirahat di kamar sebelah.

   Sedang Sekar Prabasini tetap mendampingi Lingga W isnu yang duduk berbicara dengan Ki Ageng Gombrek.

   "Kau bawa saja dia kekamarmuI"

   Ujar Ki Ageng Gumbreg kepada Rara W itri.

   Sudah barang t entu, wajah Rara W itri berubah hebat.

   Masakan dia disuruh membawa seorang pemuda ke kamarnya? Karena tidak berani membant ah perintah Ki Ageng Gumbrek, ia hanya berpura-Jrura tidak mendengar.

   Ki Ageng Gumbrek tertawa lebar.

   Ia dapat membaca keadaan hati gadis itu.

   Katanya .

   "Neng! diapun seperti engkau. Masakan t ak tahu?"

   Rara W itri terbelalak. masih ia tak percaya. Menoleh kepada Lingga W isnu dan mint a keyakinan .

   "Apakah dia ..."

   "Y a ..

   "

   Lingga W i snu mengangguk dengan t ertawa. Lalu berkata kepada Sekar Prabasini "Perananmu sudah cukup. Pakaianmu bukankah menyiksamu?"

   Luka dipundak mengganggu ketegaran Sekar Prabasin i. Ia nampak letih dan kesakitan. Sahutnya malas.

   "Pakaianku dirumah penginpan. Kalau aku merasa terbelenggu, tinggal membuka penutup kepala ini. Kenapa susah-payah?"

   Lingga W isnu kenal tabiatrya. Gadis itu tidak boleh dipaksa. Maka ia mengalihkan pembicaraan kepada Ki Ageng Gumbrek.

   "Bagaimana guru bisa segera tahu, bahwa ia seorang wanita?* "Namanya pun kukenall juga. Bukankah dia Sekar Prabasin i?"

   Sahut Ki Ageng Gumbrek.

   "Hai, dari siapa guru mengetahui namanya?"

   Lingga W isnu heran.

   "Dari mu lut mu."

   Jawab Ki Ageng Gumbrek. Lingga W isnu saling pandang dengan Sekar Prabasini. Tatkala hendak mint a keterangan, Ki Ageng Gumbrek berkata .

   "Sebenarnya sudah lima hari ini aku dan pamanmu mengikutimu dengan diam-diam. Kalau aku lantas mengetahui temanmu berjalan itu, sudahlah pantas. Aku senang, karena ternyata engkau seorang kasatria benar. Sama sekali tak mengganggunya. Lagi pula ilmu kepandaiaranu maju sangat jauh. Meskipun belum t entu dapat menjajari gurumu, akan tetapi aku sudah bukan tandingmu lagi ..."

   "Guru memuji aku berlebih-lebihan,"

   Kata Lingga W isnu dengan muka merah.

   "Seumpama benar, itupun berkat ajaran dan petunjuk-petunjuk guru dahulu."

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku membicarakan keadaanmu sekarang Dan bukan dahulu,"

   Potong Ki Aaeng Gumbrek.

   "Sekarangpun aku seringkali menemui kesukarankesukaran juga. Alangkah senangku, bila memperoleh petunjuk-petunjuk guru."

   "Begitu? Ha, hal itu sangat mudah, apabila kau pintakan kepada tuan rumah sebotol atau dua botol minumai keras. Tuan rumah tidak kikir, bukan?"

   Ujar Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa lebar.

   Rara W itri jad i sibuk.

   Lantas saja ia berlari-larian masuk kedalam kamar dan kembali dengan membawa empat botol minuman keras.

   Sudah barang tentu, Ki Ageng Gumbrek girang bukan kepalang.

   Terus saja ia meneguk sebotol habis..

   Lalu berbicara dengan nerocos seolah-olah t ak dapat lagi menguasai mu lut nya.

   Akhirnya berkata .

   "Kalau kau ingin mengetahui persekutuan penghianatan, pergilah sekarang juga. Aku sendiri sudah mempunyai kawan berbicara. Inilah botol-botolku ..."

   "Eyang!"

   Tiba-tiba Sekar Prabasini berseru.

   "Eyang?"

   Ki Ageng Gumbrek membelalakkan matanya.

   "Kau sahabat muridku, karena itu panggillah aku paman. Lagi pula aku tidak mempunyai isteri. Selamanya jejaka. Kalau saja aku mau kau panggil paman adalah karena terpaksa saja."

   Sekar Prabasin i tertawa. Lucu, guru Lingga W isnu yang seorang ini. Lalu memperbaiki diri. Katanya .

   "Baiklah. Mulai saat ini aku akan menyebutmu paman. Tadi paman berkata, bahwa paman sudah mengikuti kami berdua. slama lima hari yang lalu. Kalau begitu pasti tahu pula sepak terjang kakak-seperguruan kakang Lingga. Bagaimana pendapat paman?" ''Mereka memang keterlaluan. Maksudku si perempuan itu!"

   Sahut Ki Ageng Gumbrek sambil menepuk botolnya. 'Biarlah besok aku membantumu."

   "T api sebenarnya tak ingin aku berlawan-lawanan dengan mereka,"

   Ujar Lingga W isnu.

   "Apakah guru sudi mendamaikan saja?"

   "Apa yang kau takutkan?' suara Ki Ageng Gumbrek meninggi.

   "Hajar saja perempuan galak itu! Seumpama gurumu menegormu, katakan saja bahwa akulah yang memerint ahmu!"

   Lingga W isnu kenal adat Ki Ageng Gumbrek yang angin-anginan itu.

   Tak dapat pendekar tua itu diajak berbicara berkepanjangan.

   T api mendengar dia sanggup membantu, hatinya terhibur.

   Dan karena melihat Ki Ageng Gumbrek terbenam dalam minuman keras, L ingga W isnu mengajak Sekar Prabasini kembali ke rumah penginapan.

   Sudah barang tentu Songgeng Mint araga dan Rara W itri menjadi sibuk.

   Dengan sungguh sungguh mereka mengusulkan agar Lingga W isnu dan Sekar Prabasini menginap saja di rumahnya.

   "Besok aku menginap disini,"

   Kata Lingga W isnu.

   "Sekarang ini, idzinkan dia berganti pakaian dahulu."

   Karena Lingga W isnu bersungguh-sungguh hendak mengantar Sekar Prabasin i dahulu ke rumah penginpan, Songgeng Mintaraga dan Rara W itri tak berani menahannya. Dengan terpaksa mereka melepas pemuda yang telah menolong jiwanya.

   "Aku mesti segera balik,"

   Kata Lingga W isnu meyakinkan "Bukankah kedua guruku berada disin i ?"

   Lega hati Songgeng Mint araga mendengar janji L ingga W isnu yang meyakinkan hatinya.

   Maklumlah, belum sempat ia membalas budinya.

   Dan setelah Lingga W isnu dan Sekar Prabasin i keluar gerbang, cepat ia menyediakan beberapa botol minuman lagi untuk Ki Ageng Gumbrek.

   Kemudian Rara W itri masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.

   W aktu itu kira-kira pukul tiga menjelang pagi hari, tatkala Lingga W isnu dan Sekar Prabasini berjalan keluar rumah Songgeng Mint araga mereka berjalan bergandengan, karena, malam hari sangat pekat.

   Dunia agaknya terancam hujan lebat.

   "Bagaimana? Apakah kita kembali ke rumah penginapan?"

   Sekar Prabasini mint a keputusan.

   "Hari sudah larut malam. Penjaga penginapan mungkin sudah tidur lelap. Bagaimana kalau k ita melihatlihat rumah peninggalan paman Srimoyo?"

   Lingga W isnu usul.

   "Bagus. Tapi kurasa tidak perlu tergesa-gesa. Bukankah dia berjanji dengan hendak segera meninggalkan rumah kediamannya itu? Lebih baik kita berjalan mengadakan penyelidikan. Bukankah gurumu tadi berkata, bahwa ingin menyaksikan persekutuan penghianatan, sebaiknya kita cepat-cepat berangkat."

   Lingga W isnu seperti teringatkan. Terus saja ia membawa Sekar Prabasini berjalan cepat. Tetapi dimana dia harus pergi? Tiba-tiba teringatlah dia pula kepada tempat pertemuannya dengan kedua kakaknya seperguruan besok petang.

   "Mari, kita meninjau bangunan bekas tangsi Belanda itu. Ingin kutahu, apa sebab ayunda Sukesi memilih tempat itu."

   Ajak Lingga W isnu.

   Sekar Prabasini mengangguk.

   Sambil menahan rasa nyerinya, ia mencoba mengikuti Lingga W isnu yang berjalan cepat.

   Sebenarnya, rasa kantuk dan lukanya mengganggu ketegaran tubuhnya.

   Tapi entah apa sebabnya, rasa gairah hidupnya selalu bersedia berada didamping Lingga W isnu.

   Rasa enggan sekali, bila berpisah dari padanya.

   W alaupun demikian, luka tetap luka.

   Lambat laun pundak dan lengannya terasa menjadi kaku juga.

   Tak dapat lagi ia menggerakkan tangannya dengan leluasa.

   Diam-diam ia mengeluh.

   T atkala hendak menyatakan rasa gangguan itu, terdengar Lingga W isnu berkata .

   "Adik, sifat ayunda Sukesi menyerupai Ayu Sarini. Kedua-duanya senang bersenjata pedang. Apakah mereka berdua memang guru dan murid? Memilik Ayu Sarini menperoleh pedang dari ayunda Sukesi, mungkin dia muridnya. Bukankah Genggong Basuki menyebut ayunda Sukesi sebagai gurunya pula,-meskipun dia murid kakang Purbaya."

   Sekar Prabasini tertawa melalui hidungnya, menyahut.

   "Kau selalu memikirkan mereka dan sama sekali tidak memikirkan diriku."

   Ditegor demikian, barulah Lingga W isnu te ringat akan luka yang dideritanya. Pikirnya .

   "Aku mempunyai himpunan tenaga sakti pelindung jasman i. Sebaliknya dia tidak. Akh, benar benar aku tak memperhatikan lukanya ...' Memperoleh pikiran demikian, dengan suara mint a maaf dia menyahut .

   "Lukamu tidak begitu membahayakan, adik.."

   Lingga W isnu hendak meraih lengan.

   mendadak ia melihat t iga bayangan melint asi ketinggian.

   Cepat Lingga wisnu membawa Sekar Prabasini bersembunyi di balik batu kurang lebih berjarak seratus meter, pandang mata Lingga W isnu mengenali bayangan yang berada di depan itu.

   "Hai"

   Ia berbisik terkejut kepada berbisik Sekar Prabasin i.

   "Genggong Basuki! Dia tadi berangkat bersama ayunda Sukesi dan kakang Sugiri. Kenapa dia berada disini ? Apakah dua orang dibelakangnya ayunda....bukan! Mereka laki-laki semua !"

   "T ahan mereka!"

   Sahut Sekar Prabasini.

   "Untuk apa?"

   "Gurumu berkata, bahwa ada persekutuan penghianatan. Kalau ingin tahu, kita harus segera berangkat. Kau tadi heran pula terhadap Genggong Basuki. Dia murid kakakmu Purbaya yang tertua. Kenapa dia murid kedua kakakmu Sukesi dan Sugiri? Ingat pulalah tut ur kata pendekar Sastra Demung, tentang sepak terjang Musafigilloh. Siapa tahu, diapun pengikut Musafig illoh,"

   Ujar Sekar Prabasini.

   Lingga W isnu seperti tersadarkan.

   Meskipun tuduhan demikian sangat samar-samar, tapi entah apa sebabnya, perasaaanya seperti membenarkan perkataan Sekar Prabasin i.

   Terus saja ia melemparkan pandangnya kepada t iga sosok bayangan yang berlari-lari d idepannya Sekarang ia melihat suatu keanehan.

   Genggong Basuki seperti di kejar dua orang.

   Siapakah mereka? Pikirnya sibuk .

   'Genggong Basuki terlalu yakin kepada kepandaiannya sendiri.

   Tidak gampang-gampang ia menyerah.

   Kenapa kini membiarkan diri kena di kejar orang? Pastilah pengejarnya bukan sembarang orang ...' "Cepat tahan I"

   Bisik Sekar Prabasini.

   Lingga W isnu percaya.

   Kawannya berjalan itu cerdas ot aknya.

   Diapun banyak pengalamannya.

   Pastilah dia menpunyai alasan, apa sebab menyuruh menahan larinya Genggong Basuki.

   Maka cepat-cepat ia memungut sebutir batu.

   Kemudian ditimpukkan.

   Tepat timpukan Lingga wisnu.

   Genggong Basuki roboh terjungkal.

   Pan dua orang pengejarnya segera menangkapnya.

   "Genggong Basuki, kau tolol!"

   Bentak laki-laki berperawakan sedang.

   "Hm ..."

   Genggong Basuki menggerendang.

   "Musafigiloh. Kau boleh mencincang aku atau membunuh aku, tapi jangan mencoba menghina aku."

   "Siapa yang menghinamu?"

   Musafigiloh tertawa terbahak-bahak.

   "Semenjak dahulu aku berusaha membantumu. Tidak hanya untuk merebut kedudukan semulia-mulianya bagimu, tapipun calon isteri yang cant ik luar biasa ..."

   Hati Lingga W isnu tergetar.

   Itulah lagu suara yang paling berkesan di dalam hati sanubarinya.

   Suara seorang pendekar Ugrasawa yang cerdik luar biasa.

   Yang dahulu pernah mengelabui kakek-gurunya Kyahi Basaman.

   Menurut keterangan Sastra Demung, dialah murid musuh rumah perguruan Ugrasawa bernama Lie Kong yang membunuh Panembahan Panyingkir.

   Dan dalam beberapa detik itu, teringatlah Lingga W isnu kepada pengalamannya yang pahit.

   Hampir saja ia mati kena tangan jahat orang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir itu.

   'Nampaknya Genggong Basuki menghadapi kesukaran.' pikirnya didalam hati.

   'A ku harus menolongnya.

   ' Oleh pikiran itu, tangannya meraba raba mencari segumpal tanah.

   Tiba-tiba Sekar Prabasini menyentuh tangannya.

   Berbisik perlahan sekali .

   "Sabar dahulu. Dia menyebut kedudukan dan calon isteri yang cantik. Apakah kau tak tertarik?"

   Genggong Basuki seperti mati kut u dihadapan Musafig illoh.

   Ia nampak gelisah.

   Namun ke beranian serta sifat bandelnya, tiada sama sekali.

   Mau t ak mau, Lingga W isnu heran benar.

   Apakah dia takut menghadapi keroyokan Musafigilloh dan temannya? W alaupun kalah, tiada alasannya d ia menundukkan kepala seakan-akan moncong kerbau kena tuntun majikannya.

   "Aku salah seorang anggota rumah perguruan Sekar Teratai. Tak boleh aku bergaul dengan orang jahat,"

   Kata Genggong Basuki.

   "Kenapa kau menyebut-nyebut tentang kedudukan dan ..."

   Musafig illoh tertawa terbahak-bahak lagi dan memotong perkataan Genggong Basuki. Lalu membentak.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bahw asanya engkau anak-murid Sekar Teratai, aku sudah tahu semenjak dahulu. Kenapa? Apakah kau t idak tertarik lagi? Baiklah, kalau begitu calon isterimu kukangkangi sendiri. Kau tak perlu lagi berhubungan dengan aku. Bukan kah aku orang jahat?"

   Genggong Basuki hendak membuka mulutnya. Tibatiba orang yang berada disamping Musafig illoh menyambung .

   "Kau belum memberi laporan kepada kami. Lalu berusaha kabur ditengah malam buta. Apakah kau menghendaki kami membongkar rahasiamu d ihadapan Ki Sambang Dalan? Ha-ha-ha! Aku ingin melihat tampangmu, apakah kau masih berani mengaku sebagai anak murid Sekar Teratai."

   Terkejut hati Lingga W isnu mendengar orang itu menyinggung-nyinggung nama Ki Sambang Dalan yang ketua rumah perguruan Sekar Teratai.

   Apa maksudnya dengan kata-kata membongkar rahasia? Ia melihat Genggong Basuki bergelisah bukan kepalang, setelah mendengar ancaman itu.

   Pastilah rahasia yang sangat menentukan! Pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   Dia berani menentang tentang janji kedudukan dan calon isteri yang cant ik luar biasa.

   Tapi begitu mendengar istilah membongkar rahasia, ia nampak gelisah.

   Sebenarnya rahasia apakah yang menggelisahkan dirinya? "Aku bukan kabur.

   Tapi aku tak mau berbicara di sin i,"

   Kata Genggong Basuki dengan suara bergetar.

   "Kenapa?"

   Bentak Musafigilloh.

   "Guruku berada di sini."

   "Guru yang mana lagi?"

   Ejek Musafigil oh. Kemudian tertawa melalui hidungnya. Ia menoleh kepada kawannya membagi pandang. Lingga W isnu seolah-olah melihat wajah Genggong Basuki berubah. Menjawab dengan menahan rasa mendongkolnya .

   "Kenapa lau mendesak aku terus-menerus?"

   "Selamanya aku baik terhadapnu. Tapi kau selalu menyusahkan aku. Ingat pulalah kedudukanku. Aku bertanggung jawab langsung kepada pemerintah"sahut Musafig illoh. Kemudian ia menambahkan kepada temannya.

   "Manusama! Kau jelaskan kepadanya apa sebab kita mencarinya."

   Sekarang tahulah Lingga W isnu siapa orang itu. Menilik namanya, dia berasal dari Maluku. Kata Manusama kepada Genggong Basuki .

   "Mayor De Pool sudah berkenan menerimamu. Beliau menaruh kepercayaan hingga kau diberinya tugas penting. Kau ditugaskan untuk meracun pendekarpendekar yang sedang berkumpul di sin i. Kenapa t ak kau laku kan?"

   "T ak dapat aku berbuat begitu. Selain tak berdaya, kedua guruku tiba-tiba datang pula."

   Jawab Genggong Basuki.

   "Guru, guru. Selalu saja kau menyebut nyebut guru untuk menyusahkan kami berdua,"

   Gerendeng Musafig illoh.

   "Apakah engkau hendak membangkang perint ah Mayor De Pool? Kau tahu sendiri, apa hukumannya terhadap seorang kepercayaannya yang menghianati."

   "Bunuhlah aku!"

   Tantang Genggong Basuki cepat.

   "Memang aku tak pantas lagi h idup di dunia. Aku seorang yang berdosa besar. Setiap kali memejamkan mataku, bayangan guruku selalu berada dihadapanku ."

   "Berkali-kali kau menyebut guru. Guru yang mana?"

   Potong Musafigilloh.

   "Guruku yang pertama. Purbaya"

   Sahut Genggong Basuki dengan suara menggeletar.

   "Karena itu, aku akan sangat berterima kasih bila kau mau membunuhku."

   "Baik!"

   Bentak Manusama jengkel. Orang itu mencabut pedang pendeknya dan mengayunkan tangannya.

   "T ahan!"

   Cegah Musafigil oh.

   "Manusama b ila dia t etap membangkang, tak perlu kita sendiri yang membunuhnya. Biarlah dia mempertanggung-jawabkan kesalahannya sendfiri. Nah, kita bebaskan saja dia!"

   "Membebaskan? Lantas, bagimana kita ber-tanggung jawab terhadap atasan??' seru Manusama dengan suara menebak-nebak.

   "Dia membunuh gurunya sendiri, Purbaya. Dia berdosa terhadap diri sendiri dan rumah perguruannya. Pastilah dia akan dibunuh oleh kaumnya sendiri. Apa perlu kita bersusah payah mengotori senjata?" 0oodwoo0 Ucapan Musafigilloh itu tak ubah halilint ar menyambar hati Lingga W isnu. T atkala mengadu kepandaian dengan Genggong Basuki, ia melihat kehandalan dan kekurangajaran kemenakannya itu. W alaupun Nawawi sudah memperingatkan, namun tetap ngotot. Rupanya dia bermaksud membunuh gurunya sendiri. Hai, mimpipun rasanya t akkan pernah terjadi. 'Kenapa dia sampai membunuh gurunya?' pikir Lingga W isnu pada detik itu. 'Dan kenapa pula kakang Purbaya bisa dibunuhnya? W alaupun Genggong Basuki memiliki ilmu pedang ajaran kakang Sugiri-Sukesi. rasanya belum cukup sebagai bekal membunuhnya. Kakang SugiriSukesi sendiri, belum tentu bisa...' Mendadak terlint aslah bayangan cerita Sekarringrum, tentang teraniayanya pendekar Bondan Sejiwan. 'Apakah kakang Purbaya juga kena racun sebelum terbunuh?' pikir Lingga W isnu. Dan hatinya terdoncang hebat.

   "Musafigilloh!"

   Kata Genggong Basuki dengan suara bergemetaran.

   "Kau sudah t'bersumpah tidak akan membocorkan rahasia in i. Kenapa kau membuka mulut?'"

   Musafig illoh tertawa tawar. Sahutnya .

   "Kau ini hanya ingat sumpahku saja. Tetapi lupa kepada sumpah sendiri. Kau sudah bersumpah padaku, bahw a mulai waktu itu kau akan patuh kepada perint ahku. Sekarang, katakan terus terang, engkau atau aku yang melanggar sumpah? - Kalau k ini aku membuka rahasia, adalah didepan orang kita sendiri, Manusama akan menutup mulut selama engkau tidak membangkang perint ahku."

   "Baik. Tapi betapapun juga aku tak akan mau mengulangi sejarah dengan meracun para pendekar sebelum membunuhnya. bukannya takut kepada mereka, tetapi karena aku jelek-jelek t ergolong seorang kasatrya, juga. Apalagi engkau justru menghendaki aku membunuh semua pendekar, termasuk kakek guru dan guruku. tak dapat aku berbuat demikian,"

   Sahut Genggong Basuki. Mendengar kata-kata Genggong Basuki, benarlah dugaan Lingga W isnu. Kakak seperguruannya mati terbunuh oleh racun atau dibunuh setelah punah tenaganya. Pada saat itu, ia mendengar Musafigilloh tertawa lagi. Kita larang itu.

   "Kakang Genggang Basuki- S iapakah yang tidak mengetahui bahwa engkau seorang kasatrya dan bukannya aku menyuruhmu membunuh mereka dengan racun jahat. Aku hanya menghendaki supaya mereka lumpuh. Kemudian kita tawan. Sekarang, marilah kita rundingkan dibenteng tangsi Kasunanan. Di sana, kawankawan sudah berkumpul. Mayor De Pool hadir pula."

   "Kenapa ke sana?"

   Genggong Basuki terkejut.

   "Mengapa?"

   "Kedua guruku justru mengadakan perjanjian di t angsi itu dengan seseorang."

   "Kapan?"

   "Esok petang. Setelah matahari t enggelam."

   "Akh, kalau begitu kebetulan,"

   Kata Musafigilloh sambil menyarungkan pedangnya perlahan lahan.

   "Lagi pula, apabila cepat hadir, sebelum matahari terbit, sudah selesai. Dan esok petang kita bisa mengepung gurumu beramai-ramai. Kau tak usah ikut serta. Meskipun kedua gurumu ggagah perkasa, masakan bisa melawan kita yang berjumlah banyak?"

   Genggong Basuki hendak menyatakan pendapatnya. Tiba-tiba Musafigil oh menyambung perkataannya. .

   "Putri pendekar Sri Ngrumbini itu memang cantik bagaikan bidadari- Namanya sedap pula didengar Suskandari. Nama yang merdu bukan main. Di dalam dunia ini, sukarlah dicarikan tandingnya. Sayang sekali, manakala dia kau serahkan kepadaku."

   "Musafigilloh! Lidahmu benar-benar jahat!"

   Teriak Genggong Basuki.

   "Bagus! Bagus!"

   Musafig illoh tertawa menang.

   Ia meraba-raba kantongnya, kemudian memperlihatkan sebuah benda.

   Karena suasana malam itu gelap.

   Lingga W isnu hanya melihatnya dengan samar-samar.

   Ia menoleh kepada Sekar Prabasin i.

   Gadis inipun bernapsu pula ingin melihat benda itu.

   Dan pada saat itu, terdengar Genggong Basuki berseru tertahan .

   "Hai! Itu kan tusuk kondenya .-!"

   "Benar. Apakah kau tak percaya? Lihat"

   Kata Musafig illoh.

   Ia menarik pedangnya.

   Kemudian melemparkan trusuk konde itu tinggi di udara dengan tangan kirinya.

   Trang! Ia menetak tusuk konde itu dengan pedangnya.

   Lingga W isnu menggunakan tusuk konde Suskandari sebagai senjata melawan pedang dan golok keluarga Dandang Mataun.

   Ia tahu, bahwa meskipun tidaklah sekuat senjata pusaka, namun tidak gampang-gampang kena dipatahkan senjata tajam.

   Apalagi Musafig illoh hanya menetaknya.

   Perbuatannya itu hanya untuk membuktikan kepada Genggong Basuki, bahw a tusuk konde Suskandari memang lain bila d ibandingkan dengan tusuk konde lumrah.

   "Kau lihat buktinya, bukan?"

   Ujar Musafigilloh.

   "Tusuk konde manakah yang tahan tetakan pedang, kalau bukan tusuk konde seorang pendekar? Kau periksalah lebih cermat lagi! Bukankah ini deretan huruf-huruf namanya? Tusuk konde ini dulu milik ibunya ..."

   "Musafigilloh ...l"

   Kata Genggong Basuki dengan suara parau.

   "Bagaimana engkau memperoleh tusuk konde itu? Dari siapa? Dimana d ia sekaradg? Berapa waktu yang ]alu, dia selalu berada dengan paman Botol Pinilis."

   Musafig illoh tersenyum. Ia menoleh kepada Manusama. Berkata .

   "Manusama, mari kita berangkat! Mulai sekarang kita tidak memerlukan manusia seperti dia lagi."

   Musafig illoh tidak hanya menggertak saja. Ia membuktikan ucapannya. Dengan langkah lebar, ia mengarah ke utara. Manusama mengikuti dari belakang.

   "Musafigilloh!"

   Seru Geiggong Basuki.

   Apakah Suskandari kau tawan? Paman Botol Pinilis bermusuhan dengan pihakmu.

   Karena Suskandari mengikuti paman dia selalu berada ditengah tengah para pendekar yang menentang kompeni Belanda.

   Apakah dia jatuh ditangkap kompeni? Hidup atau sudah mati?"

   Musafig illoh berhenti melangkah. Menoleh sambil menjawab .

   "Benar. Suskandari memang berada dalam tangan kami. Dia benar-benar seorang gadis cant ik. Aku sendiri belum beristeri. Biarlah kumohon idzin kepada Mayor De Pool. agar dia diserahkan kepadaku. Bila aku bermaksud mengawininya, pastilah di dzinkan."

   Genggong Basuki menjerit tertahan. Katanya sambil menghampiri .

   "T ak dapat kau berbuat begitu. Bukankah dia ..

   "

   "Benar.". Musafigilloh menghela napas.

   "Sebenarnya, seorang kasatrya t idak akan merenggut isteri kawannya. Percayalah, Musafigilloh lebih menghormati tali persahabatan dari pada tergiur paras cantik. Tetapi dia belum menjadi isterimu. Lagipula engkau akan menghianati kami. Karena itu, tiada lagi persahabatan antara kita berdua. Tegasnya, mulai saat ini, tiada lagi suatu ikatan apapun diant ara kita. Masing-masing boleh berbuat sesuka batinya."

   Genggong Basuki tergugu. Beberapa saat kemudian barulah dia berkata mint a belas kasihan.

   "Musafigilloh dan saudara Manusama. Maafkanlah aku. Pikiranku lagi kusut. Aku merasa bersalah kepada kalian."

   Musafig illoh tertawa terbahak-bahak. Serunya .

   "Nah, beginilah baru benar! Sekarang aku dapat memberi jaminan, bahwa Suskandari pasti akan menjadi isterimu. Tetapi, ingat! Kau harus melaksanakan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Bila sudah berhasil meracun pendekarpendekar terutama aliran Parwati, artinya, hari pernikahanmu sudah dekat. Setelah itu, pendekar pendekar aliran Aristi. Sementara aku membasmi rumah perguruan Ugrasawa, hendaklah engkau menaruhkan bubuk racun terhadap guru dan kakek gurumu. Percayalah, aku tidak akan membunuh para pinisepuh Sekar Teratai. Cukup kalau kami t awan hidup hidup. Kau sendiri tidak perlu berkecil hati, seolah-olah berdosa terhadap gurumu. Sebab kedudukan gurumu dalam hal ini, hanyalah merupakan jalanan dalam mencapai nasib baikmu yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Kelak pemerint ah yang syah, tidak akan melupakan jasamu. Kau akan diangkat menjadi seorang Adipati dan jaminan yang layak selama h idupmu. Dan disamping itu seorang isteri secantik bidadari, Nah, siapapun akan merasa iri hati kepadamu."

   "Janganlah engkau berbisa tentang pangkat segala. Cukuplah sudah, apabila ..."

   Musafig illoh tertawa. Berkata mengalihkan penbicaraan .

   "Oh, ya. Bagaimana kau tadi bisa jatuh?"

   "Entahlah. Barangkali akulah yang sedang sial. Rupanya kakiku menyaruk batu. Secara kebetulan membalik memukul betisku."

   Sahut Genggong Basuki.

   Pengakuan Genggong Basuki membuktikan betapa ahli Lingga W isnu dalam ilmu melempar.

   Genggong Basuki sama sekali tak pernah menduga bahw a dirinya kena serangan gelap.

   Dia hanya merasa terpukul oleh kepingan batu yang secara kebetulan mengenai betisnya.

   Batu itu tepat membentur salah satu urat yang membuat kakinya kejang dengan tiba-tiba.

   Dan kemudian jatuh karena kehilangan keseimbangan.

   "Bukan sial, namanya. T etapi mujur!"

   Seru Musafigilloh dengan tertawa.

   "Itu suatu tanda bahwa engkau bernasib baik dan sudah ditakdirkan bakal menjadi suami seorang isteri yang sangat cantik. Sebab, seumpama betismu tidak t erpukul pentalan batu, kami berdua tidak akan sanggupi mengejarmu. Dan engkaupun tak akan tersadarkan dari kesesatanmu, Apabila-sampai terjadi demikian, bukan saja namamu akan hancur tetapi usaha kitapun akan gagal bubar. Kecuali itu, Suskandari yang cant ik jelita akan menjadi isteri Musafigil oh."

   Musafig illoh berbicara seolah-olah sedang bercanda. Tetapi tiap patah katanya, t ak ubah sebilah pisau tajam menusuki hati Genggong Basuki. Pendekar yang galak itu, tiba-tiba saja kehilangan kegarangannya. Dengan menghela nafas ia berkata perlahan .

   "Jadi ... ke mana aku harus pergi?"

   "Kau. ingin bertemu dengan Suskandari atau tidak?"

   Sahut Musafigilloh dengan suara menang lalu menambahkan lagi.

   "Mari kita ke benteng Kasunanan dahulu menghadap Mayor De Pool. Setelah beres aku antarkan engkau menemui Suskandari. Percaya sajalah, Suskandari akan menjadi milikmu. Dan seumur hidupmu kau akan| berterima kasih kepada Musafigilloh."

   "Baik. Mari kita pergi"

   Kata Genggong Basuki.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sebenarnya, bagaimana Suskandari sampai bisa berada dalam tanganmu?"

   "Itulah berkat pertolongan letnan Manusama."

   Jawab Musafig illoh sambil tertawa. Ia berpaling kepada Manusama dan mengejapkan moanya.

   "Ha, baru kali ini aku menyebut dihadapanmu bukan? Sebagai seorang perwira, besar kekuasaannya. Meskipun begitu, dia bersedia mengalah terhadapku. Selagi dia makan-minum di sebuah warung dengan ketiga pembantunya, ia melihat tiga orang yang menarik perhatiannya. Setelah diselidiki, ternyata tokoh-tokoh yang ada harganya untuk diambil. Letnan Manusama membiarkan yang tua tak terusik. Tetapi yang dua orang, Ha-ha-ha. Tetapi kau tak usah cemas. Legakan hatimu, karena calon isterimu yang cant ik kami perlakukan sebagai tetamu yang terhormat."

   Lingga W isnu mengeluh.

   T iga orang yang disebutkan itu, siapa lagi kalau bukan Botol Pinilis, Suskandari dan Harimawan? Teringat akan uang bekal laskar Panglima Sengkan Turunan, ia jadi sibuk.

   Pikirnya .

   'Dengan susah payah kakang Botol Pinilis merebut uang perbekalan kembali dari tangan keluarga Dandang Mataun.

   Sekarang Harimawan tertawan.

   Jangan-jangan uang perbekalan berada padanya.

   Jika sampai, kena terampas oleh pihak kompeni, kesulitannya untuk merampas kembali sepuluh kali lipat jadinya ...' Memperoleh pikiran demikian, segera menajamkan telinganya.

   Ia yakin, kakak seperguruannya itu tidak akan tinggal diam.

   Apalagi bila uang perbekalan itu sampai kena terampas.

   Dia pasti bersedia mengorbankan jiwanya.

   Tetapi baik Musaf igilloh maupun Manusama, tidak menyinggung lagi soal penangkapan itu.

   Keruan saja ia jadi bingung.

   "Kakang Genggong,"

   Kata Musafigilloh sambil menyarungkan pedangnya.

   "Bila kau sudah berhasil melumpuhkan, para pendekar Parwati, semenjak itu akan bertambah-tambah kekuatan kita. Apalagi, bila kaum Ariati, Ugrasawa dan Sekar Teratai sudah dapat kukuasai. Hem, kita tinggal menggertak saja kepada pihak kompeni, untuk mint a sebagian tanah. Kita akan menjadi majikan, tanpa banyak kesulitan. Kau tak perlu menyangsikan hadirnya Letnan Manusama. W alaupun dia orang Maluku, tetapi didalam hatinya, ia tak mau menjadi budak Belanda selama hidupnya."

   Musafig illoh berbicara dengan suara tegar dan yakin seolah-olah seluruh pendekar di segenap penjuru sudah dikuasinya.

   Genggong Basuki dan Manusama ikut menyatakan rasa syukurnya pula.

   Kadang-kadang mereka menyumbangkan tertawanya.

   Tetapi bunyi tertawanya pahit.

   "Kau ingin bertemu dengan calon isterimu, bukan? Dia sekarang berada di Sukoharjo. Mari k ita berangkat."

   Kata Musafig illoh menutup perkataannya.

   Ia mendahului berjalan.

   Manusama mendampingi.

   Dan Genggong Basuki mengikut i dengan terpincang-pincang.

   Habislah sudah segala keangkeran dan kegarangannya.

   Di serambi rumah Songgeng Mint araga tadi, dia bersikap angkuh serta t inggi hati.

   Pandang matanya meremehkan siapa saja yang berada di penglihatannya.

   Sekarang dengan Musafigil oh, ia tak ubah seekor anjing yang sibuk mengibas-ngibaskan ekornya.

   Lingga W isnu tahu, apa sebab kemenakan muridnya itu bersedia berhamba kepada Musafigil oh.

   Kecuali tergila-g ila terhadap Suskandari, dia merasa berdosa karena membunuh gurunya sendiri.

   Benar-benar manusia pengecut dari berbahaya! Lingga W isnu belum pernah bertemu dengan pendekar Purbaya.

   Akan tetapi ia merasa dirinya wajib menuntut keadilan.

   Dan tiba-tiba saja ia bergerak hendak mengejar si laknat itu.

   Sekar Prabasini agaknya sudah dapat menebak hatinya.

   Cepat menyanggah "Jangan! Kau tak akan dapat berbuat seorang diri.

   Kalau kau dapat mengetahui penghianatannya, hanyalah karena kebetulan saja.

   Dapatkah engkau memaksa gurumu dan sekalian saudara mempercayai laporanmu? Kedudukanmu pada saat ini tidak menguntungkan.

   Kedua kakak seperguruanmu curiga padamu.

   Bila mereka mendengar matinya paman Purbaya lewat mulut mu, justru engkaulah yang mula-mula akan ditangkapnya.

   Sebab, siapapun, tak akan percaya paman Purbaya mati di tangan muridnya.

   Akupun tidak, seumpama aku salah sarang murid gurumu.

   Apa arti kepandaian Genggong Basuki, bila d ibandingkan dengan gurumu? Apalagi jika engkau membunuh Genggong Basuki pula ...

   Karena itu, paling kita harus mencari saksi.

   Dan saksi itu kecuali kedua kakak seperguruanmu yang rnencurigaimu, set idak-tidaknya seorang pendekar tua seperti Ki Ageng Gumbrek."

   Lingga W isnu seperti tersadar dari tidur lelap.

   Tak dapat ia membantah pendapat Sekar Prabasini.

   Bahkan diam-diam ia heran, apa sebab kali.

   ini Sekar Prabasini bisa berbicara begitu panjang dan matang.

   Perlahanlahan ia mengamat-amati wajahnya.

   Kemudian berkata terharu .

   "Benar. Hatiku kalut sehingga pikiranku tidak bekerja. katakan padaku, apakah yang harus kulakukan"

   Sekar Prabasini tersenyum lebar. Sahutnya;

   "Mereka akan berunding di tangsi Kasunanan. Kalau engkau ingin mengetahui corak persekutuan itu lebih luas lagi, berangkatlah sekarang. Aku sendiri akan mencoba mencari saksi."

   "Siapa-"

   "Ki Ageng Gumbrek dan paman Songgeng Mint araga."

   Jawab Sekar Prabasini.

   "T api awas, kalau kau ing in melihat Suskandari, jangan tinggalkan aku!"

   Lingga W isnu tertawa geli. Kumat lagi wataknya, pikir pemuda itu. Selagi hendak membuka mulut, Sekar Prabasin i berkata lagi .

   "Kau cukup meninggalkan tanda-tanda tertentu sepanjang jalan. Dan aku akan segera menyusulmu.

   "

   Sekar Prabasini tidak menunggu persetujuan Lingga W isnu.

   Setelah berkata demikian ia pergi.

   Lingga W isnu tertegun.

   Aneh, perasaannya.

   Dahulu ia dapat pergi atau.

   berpisah tanpa kesan.

   Sekarang, begitu gadis itu meninggalkannya ia merasa seperti kehilangan.

   Dengan pandang terlongong-longong ia mengikuti kepergian Sekar Prabasin i dengan gundu-matanya, sampai bayangannya hilang digelap malam.

   0oodwoo0 Setelah menghela napas, ia mengalihkan pandang kearah menghilangnya Musaf igil oh bertiga.

   Dipusatkannya perhatiannya, Kemudian lari mengejar.

   Dari SeJatan ia berlari-larian kearah utara.

   T etapi setelah lari beberapa waktu lamanya, tiada sesosok bayanganpun yang terlint as dihadapannya.

   Suasana larut malam itu sunyi malah.

   "Ke mana mereka pergi? Celaka! Aku harus meninggalkan t anda-tanda arah kepergianku. Akan tetapi aku sendiri belum memperoleh kepastian, pikir Lingga W isnu di dalam hati. Kalau dipikir, baru beberapa menit ketiga orang itu pergi. Tetapi dalam waktu sesingkat itu mereka pergi lenyap seperti tertelan iblis. Tanda-tanda dan jejaknya sama sekali tak terlihat. W alaupun demikian, ia percaya akan dapat mengejarnya. Baru saja ia sampai diperbatasan kota, tiba-tiba muncul ah seseorang dari gerombolan rumput. Orang itu muncul sambil menarik goloknya. Cepat Lingga W isnu melompat. Bagaikan anak panah, tubuhnya berkelebat melewatinya. Crang itu heran. Apakah ia salah melihat? Bukankah tadi dilihatnya sesosok bayangan berkelebat mendatangi. Kenapa tiba-tiba lenyap? Orang itu bercelingukan menebarkan penglihatannya sambil mergucak-ucak mata. Tetap saja tak dapat menangkap bayangan Lingga W isnu, yang melint as sangat cepat dan lenyap dibalik tabir malam. Hampir satu jam Lingga W isnu berlari larian ke sana ke mari, akan tetapi masih belum memperoleh petunjukpetunjuk. Tiba-tiba ia melihat sebuah bangunan yang menarik perhatian. Bangunan itu bertingkat dua. Tegak berdiri sangat tinggi dan dilindungi pagar tembok yang sangat kokoh. Dan melihat bangunan itu, Lingga W isnu berpikir . 'Apakah ini yang dinamakan tangsi Kasunanan?' Samar-samar ia melihat sinar api. Dan melihat sinar api itu, ia berpikir lagi ..

   


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Pedang Bunga Bwee Karya Tjan ID

Cari Blog Ini