Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 18


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 18



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   "Katanya Kompeni Belanda pernah mempunyai tangsi di daerah sini. Gedung mana lagi yang pantas menjadi tangsi Belanda, selain bangunan ini? Tapi mengapa ada sinar lampu? Ha, jangan jangan inilah gedung yang dikatakan Musafigilloh sebagai tempat pertemuan ...' Selagi ia berpikir demikian, sekonyong konyong melesatlah sesosok bayangan keluar dari sebuah jendela. Gerakan orang itu cepat luar biasa. Dan dalam sekejap mata. saja lenyaplah bayangannya. Sekiranya bukan Lingga W isnu yang bermata tajam, berkelebatnya bayangan itu tak akan tertangkap oleh penglihatan. Tak usah dikatakan lagi, bahw a orang itu memiliki kepandaian yang sangat, tinggi. Siapa? pikir Lingga W isnu, ia lantas menghampiri bangunan itu. Setibanya disamping gedung, dengan menjejakkan kakinya, Lingga W isnu melesat ke atas tembok pagar. Sekonyong-konyong hatinya tergetar. Ia mendengar suara orang yang sangat dikenalnya. Itulah suara Cocak Abang, salah seorang anggota Dandang Mataun yang berangasan. Dia berbicara dengan Manusama, dibawah rindang sebatang pohon. Kata Cocak Abang .

   "Musafigilloh benar-benar seorang yang tak tahu diri. Dia bukan wakil pemerint ah. Bukan pula ketua aliran. Tapi lagaknya seperti seorang pembesar. Malam sudah mendekati pagihari. Kenapa kita harus berkumpul lagi?"

   Manusama mendeham.

   Lalu menjawab .

   Gembira hati Lingga W isnu mendengar percakapan itu.

   Siapa lagi yang dibicarakan, kalau bukan Suskandari dan Harimawan.

   Hati-hati ia mendekati jendela dan mengintai ke dalam.

   Ternyata pertemuan itu dilangsungkan disebuah pendapa dalam yang tertutup oleh bangunan tinggi.

   Cocak Abang dan Manusama mencampurkan diri di antara hadirin yang berjumlah kira-kira enam puluh orang.

   Seorang Belanda berpakaian milite r duduk diatas kursi.

   Musaf igilloh yang berdiri didepannya berkata nyaring .

   "Saudara Genggong Basuki sudah sadar kembali., dialah murid tertua aliran Sekar T eratai angkatan kedua. Bila si tua Sambang Dalan sudah mampus, kurasa dialah yang bakal menggantikan menggantikan kedudukannya."

   "Dan gurunya?"

   Potong orang Belanda itu.

   "Bukankah gurunya sudah mati?"

   "Tetapi betapapun juga, dia seorang yang tinggi akalnya. Oleh petunjuknya, aku dapat membekuk dua orang penting. Yang perempuan dibawanya ke Sukoharjo. Dan yang muda disekap disin i."

   "Hem, apanya yang hebat?"

   Dengus Cocak Abang.

   "Bocah dogol itu pernah kami t angkap dirumah kami."

   "Akh, ya, ha-ha-ha ... orang Belanda itu tertawa terbahak-bahak.

   "Bukankah dia mat' karena makan racun Arsenikum?"

   "Benar. Itulah berkat jasanya mayor,"

   Kata Musafig illoh. Sekarang tahulah Lingga W isnu, bahwa orang Belanda itulah yang disebut-sebut sebagai Mayor De Pool.

   "T api, mayor ..."

   Kata Musafigilloh lagi "Dideoan hadirin in i, hendaklah dia keterangannya apa sebab sampai hati membunuh gurunya sendiri. Dengan keterangannya sendiri, sejarah kelak tidak akan mengutuki kita."

   "Benar! Benari Y a, kenapa kau sampai hati membunuh gurumu sendiri?"

   Tanya Mayor De Pool. Genggong Basuki nampak mendongkol memperoleh pertanyaan demikian. Sebelum menjawab, ia mengerlingkan matanya kepada Musafigilloh. Katanya dengan suara terpaksa .

   "Hal itu karena demi membalas budi saudara Musafig illoh yang sangat besar. Aku sangat kagum dan rela mengabdi padanya."

   Musafig illoh tertawa menang. Ujarnya .

   "Kakang Genggong Basuki! Semua yang hadir disini adalah teman-tanan sendiri, kakang tak perlu bersegansegan. Katakanlah dengan t erusterang saja. Kakang bisa berbicara dengan bebas. Baiklah, kalau kakang masih saja merasa segan, biarlah aku yang mewakili dirimu,"

   Ia berhenti mint a idzin. Kemudian berkata nyaring kepada Mayor De Pool.

   "Puteri seorang pendekar wanita bernama Sri Ngrumbini adalah seorang gadis yang cantik luar biasa. Gadis itu bernama Suskandari. Dengan saudara Genggong Basuki, usianya terpaut tujuh belas tahun. Antara gurunya dan pendekar Sri Ngrumbini sudah terjadi kata sepakat, bahwasanya Mereka berdua kelak akan hidup sebagai suami-isteri. Di luar dugaan, gadis itu jatuh hati kepada seorang pendekar muda bernama Lingga W isnu. Eh, bukan begitu. Dia dirampas pendekar muda itu."

   "Dimana"

   Mayor De Pool menegas.

   "Menurut kabar, mereka berdua pernah berkenalan tatkala masih kanak-kanak. Kemudian mereka berjumpa kembali di rumah keluarga Dandang Mataun. Salah seorang anggauta keluarga Mataun hadir disini. Dia bersedia menjadi saksi,"

   Kata Musaf igil oh lancar. Kemudian menoleh mencari tempat Gocak Abang.

   "Ha, itulah dia. Teman seperjuangan kita yang baru, saudara Cocak Abang."

   Cocak Abang yang berdiri di samping Manusama, menganggut. Dan melihat anggukan Cocak Abang, Mayor De Pool nampak puas.. Ia mengalihkan pandangnya lagi kepada Musafigilloh yang belum selesai berbicara. Kata pemuda itu .

   "Oleh rasa marah, kakang Genggong Basuki mint a bantuanku. Aku bersumpah hendak membantunya. Dan rupanya alam membant u maksud kita yang baik. Secara kebetulan, dia bisa kita tangkap bersama si dogol ..."

   Mendongkol Lingga W isnu mendengar kata-kata Musafig illoh.

   Jelas sekali, bahw a keterangan pemuda itu banyak sekali bohongnya.

   Akan tetapi hadirin seperti kena sihirnya.

   tereka menelan saja semua ucapannya.

   Mayor De Pool tertawa terbahak-bahak.

   Serunya .

   "Aku tidak bisa menyalahkan atau mencela kelemahan saudara Genggong Basuki. Semenjak dahulu kala, orang bersedia mati demi calon isterinya yang cantik jelita. Bila mereka berdua kelak terangkat jodohnya, hm ... siapapun akan merasa beriri hati."

   Berbagai bayangan berkelebat didalam benak Lingga W isnu.

   Ia jadi teringat tatkala tadi berhadapan-hadapan dengan Genggong Basuki.

   Kemenakannya itu seperti mengenal dirinya.

   W alaupun terbintik rasa hormatnya, akan tetapi dia membandal karena dengki.

   Kenapa? Dia pulalah yang terus mengacau.

   Akh, sama sekali tak terduga, bahwa hal itu terjadi karena ada latar belakangnya.

   Itulah mengenai Suskandari.

   "Hm, benar-benar gila! Benar-benar edan, kalau dia bersedia berhianat dan membunuh gurunya, karena tergila-g ila paras cant ik. Atau sebenarnya penghianatan itu terjadi set elah membunuh gurunya? Hai, kenapa dia sampai begitu tersesat?' pikir Lingga W isnu seorang diri. Dalam pada itu, Musafigilloh masih melanjutkan perkataannya .

   "Suskandari kami tangkap dengan si dogol. Kabarnya dia murid paman guru kakang Genggong-Basuki yang bernama Botol Pinilis. Orang itu bersahabat erat dengan Panglima Sengkan Turunan. Pastilah si dogol itu mendapat keterangan tentang laskar Panglima Sengkan Turunan. Bahkan menurut saudara Cocak Abang, dia pulalah yang pembawa uang bekal laskar berandal."

   Mayor De Pool seperti diingatkan. Segera memberi perint ah .

   "Coba bawa masuk tawanan itu!"

   Jantung Lingga W isnu berdegupan.

   Ia memut uskan hendak menolong pemuda itu, bila dia terancam bahaya.

   Segera ia merangkak mendekati ruang pertemuan itu.

   Hampir berbareng dengan gerakannya, empat orang menggusur seorang t ahanan dari dalam kamar sebelah.

   Dialah Harimawan.

   Tangannya terbelenggu.

   Meskipun demikian, nampak gagah dan tak mengenal takut.

   Tatkala lewat di depan Musafigil oh, ia merbuka mulut nya dan menyemburkan ludahnya.

   Musafigil oh mengelak.

   Tangannya melayang menampar pipi.

   P lok!! Tak dapat Harimawan menghindari.

   Seketika itu juga, pipinya bengkak membiru.

   "Binatang! Kau berlut utlah dihadapan Mayor De Pool!"

   Bentak serdadu yang mengiringkan.

   Harimawan memang seorang pemuda yang bandel dan berani.

   Sama sekali ia tak mau berlutut atau mengangga.

   Bahkan dengan tiba-tiba ia menyemburkan ludahnya.

   Karena jaraknya sangat dekat Mayor De Pool tak dapat mengelakkan dan gundulnya kena dihinggapi sebuah gumpalan ludah Harimawan yang kental beriak.

   Musafig illoh mendongkol bukan main.

   Sekali melompat, ia mengayunkan kakinya.

   Dan pemuda itu roboh terjungkal diatas lantai.

   ''BangsatI Apakah kau benar-benar sudah bosan hidup?"

   Makinya. Harimawan meletik bangun. Garang ia membalas membentak .

   "Hmm, kau kira aku takut mati? Kau boleh membunuh aku sekarang juga. Tapi jangan harap kau bisa mengorek mulut ku!"

   Musafig illoh bisa menahan diri. melihat Mayor De Pool menyusuti ludah Harimawan, perlu ia menaikkan derajat perwira itu dihadapan hadirin. Katanya nyaring .

   "Mayor! Pemuda ini memang luar biasa. Kepandaiannya melebihi keempat murid Ki Sambang Dalan. Karena itu, tak boleh kita menganggap enteng padanya ..."

   "Betulkah itu?"

   Mayor de Pool menyahut cepat. W ajahnya yang suram agak menjadi jernih.

   "Bagaimana dengan gurunya sendiri? Masakan dia lebih unggul?"

   Musafig illoh mendeham. Menjawab.

   "Murid Ki Sambang Dalan lima orang. Bot ol pinilis, Purbaya, Sugiri-Sukesi dan Lingga W isnu. Mereka berlima, kecuali Lingga W isnu, kalah dalam hal apa saja. Maka betapa penting arti dia, tak usah kita jelaskan lagi"

   Cocak Abang dan Manusama tercengang mendengar keterangan Musafigilloh tentang kepandaian Harimawan.

   Sebab kedua-duanya pernah menyaksikan kepandaian murid Botol Pinilis itu.

   Tapi tak lama kemudian tahulah mereka, apa sebab Musafigilloh mengangkat-angkat kepandaian Harimawan.

   Maksudnya untuk menolong muka Mayor De Pool yang kena semprot ludah.

   "Hoo, jadi dia murid Botol Pinilis? Siapa namanya?"

   Mayor De Pool mint a keterangan.

   "Harimawan,"

   Jawab Musafigilloh.

   "Jadi, dia kemenakan berandal Lingga W isnu itu? Bagusi Benar-benar besar jasamu!"

   Mayor De Pool menghadiahkan pujian dengan tertawa lebar.

   "Petang tadi. Lingga W isnu meruntuhkan nama para pendekar beruntun-runtun. Mereka lantas menyatakan bersedia berada dibawah perint ahnya. Maka dapatlah dia kita buat semacam barang tanggungan, agar Lingga W isnu menjadi jinak."

   Tercengang Lingga W isnu mendengar percakapan itu. Mereka bisa menyebut dan membawa bawa namanya begitu lancar. Agaknya mereka sudah agak lama mengenal namanya. Mungkin sekali, namanya sudah dibuat penbicaraan mereka.

   "Binatang,"

   Maki Harimawan.

   "Kau jangan bermimpi yang bukan-bukan. Pamanku itu hanya tunduk kepada eyang guru. dia seorang yang gagah perkasa. Biarpun kamu semua maju berbareng, belum pantas menandingi sepatunya saja ..

   "

   Cocak Abang yang pernah merasakan ketangguhan Lingga W isnu, merah padam wajahnya. Tetapi Musafig illoh yang pandai berpikir, tertawa terbahakbahak. Katanya .

   "Harimawan! Kau memuji paman-gurumu terlalu tinggi. Karena itu, ingin sekali kami bertemu dan berkenalan. Kebetulan sekali, kau sekarang berada disin i. Biarlah malam in i, kau kusekap disin i. Aku tanggung, paman gurumu itu akan datang kemari menolongmu. Dan pada saat itu, kami semua muncul. Aku ingin tahu, dia dapat berbuat apa!"

   Harimawan marah bukan kepalang. Itulah suatu perbuatan licik dan terkutuk. Serunya .

   "Kau seperti kura-kura yang hanya berani memperlihatkan punggungnya, tetapi memnyembunyikan kepalanya. Kalau kau menganggap diri seorang pendekar, tantanglah pamanku itu secara berhadaphadapan."

   Musafig illoh tidak bersakit hati kena damprat demikian. Ia bahkan tertawa kian nyaring. Katanya lagi .

   "Akh, ternyata kau cint a benar kepada paman gurumu itu. Agaknya harganya melebihi uang perbekalan yang kau bawa. Bukankah engkau yang membawa uang perbekalan itu?"

   Harimawan terkesiap. Ia merasa terjebak. Namun ia tak merasa gentar. Setelah berdiam diri sejenak, ia menjawab "Benar. Memang aku yang membawa uang perbekalan. Duaribu keping uang emas."

   "Ha, bagus! Sekarang, dimana uang itu?"

   "Apakah kalian benar-benar menginginkan uang itu?"

   Harimawan menegas, Ia sekarang hendak menggunakan kecerdikannya.

   Pikirnya di dalam hati ; 'Pastilah dia menginginkan uang itu.

   Aku harus berpura-pura akan menunjukkan di mana uang perbekalan itu berada.

   Sebelumnya aku mint a agar membebaskan belengguku.

   Setelah bebas, bukankah aku dapat melawannya? Meskipun mati, barangkali masih dapat aku membunuh dua atau tiga orang ...' Oleh pikiran itu, hati Harimawan menjadi tenang.

   Tetapi Musafigilloh bukanlah tandingannya dalam hal mengadu kepandaian maupun kecerdikan.

   Ia seperti dapat membaca isi hati Harimwan.

   Sahutnya .

   "Memang benar, kami membutuhkan uang itu. Jumlahnya cukup lumayan untuk beaya menguburmu secara baik-baik. Bukankah uang perbekalan itu telah kau telan?"

   Harimawan tertegun. Didalam hati ia mengutuk kalang-kabut . Dasar wataknya keras hati ia lantas mengikuti jebakan Musafigilloh. Katanya.

   "Benar. Uang perbekalan itu memangnya sudah kutelan. Lihatlah, perutku menjadi buncit!"

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Oh, begitu?"

   Musafigilloh tertawa terbahak-bahak.

   "Kalau begitu, biarlah kuperiksa isi perutmu. Dengan begitu, aku dapat membuktikan kepada hadirin, bahw a ucapanmu tidak dusta,'' Musafig illoh tidak hanya menggertak. Benar benar ia hendak membuktikan ucapannya. Ia menghunus pedangnya dan diancamkan ke perut Harimawan. Membentak .

   "Coba, katakan sekali lagi, bahw a uang perbekalan itu berada di dalam perutmu!"

   "Kau tak percaya? Buktikanlah sendiri."

   Bukankah sudah aku katakan, bahwa engkau boleh membunuhku dimana saja atau kapan saja. Tapi jangan harap dapat mengorek mulutku."

   Setelah berkata demikian, Harimawan menyemburkan ludahnya.

   Tetapi Musafigilloh bukan Mayor De Pool.

   Sekali menggerakkan kepalanya, ia bisa mengelakkan semburan ludah.

   Kali ini hatinya panas.

   Terus saja ia bergerak hendak menikam perut Harimawan.

   Sekonyongkonyong melesatlah sesosok bayangan kedalam ruang pertemuan itu sambil membentak.

   "Inilah Lingga W isnu!" ---o0odwo0o--Musafig illoh memutar tubuhnya. Tangan kirinya menyambar kearah leher. Tapi dengan gerakan yang sangat indah, bayangan itu dapat mengelak. Ternyata bayangan itu seorang pemuda sangat tampan, dengan mengenakan ikat kepala persegi empat dan pakaian singsat. Lingga W isnu tersirap darahnya. Segera ia mengenali, siapa pemuda itu. Dialah Sekar Prabasin i yang menyamar sebagai seorang pemuda.

   "Hai, begitu cepat dia datang,' pikirnya. Oleh perasaan girang dan syukur, ia sampai berseru tertahan. Untunglah pada saat itu ruang pertemuan jadi sibuk, semua hadirin lagi bersiaga bertempur. Mereka yang hadir pada pertemuan itu, belum mengenal Sekar Prabasini. Kecuali Genggong Basuki dan Cocak Abang. Mereka berdua mempunyai dendamnya masing-masing. Genggong Basuki mendongkol, karena Sekar Prabasini adalah teman Lingga W isnu yang ikut menertawakan kekalahannya. Dan Cocak Abang berdendam hati, karena gadis itu anak musuh besarnya. Karena gara-garanya, keluarga Dandang Mataun sampai mengalami kekalahan. Cocak Ijo sampai mati pula. Karena itu, mereka berdua segera bergerak hendak maju. T atkala itu terdengar Musafigilloh membentak .

   "Sebenarnya siapa engkau? Pastilah engkau bukannya Lingga W isnu!"

   "Aku Lingga W isnu. Murid kelima Kyahi Sambang Dalan,"

   Jawab Sekar Prabasini.

   "Mengapa engkau menangkap kemenakan muridku? Bebaskanlah dia! Dalam segala halnya, akulah yang bertanggung jawab!"

   Pada saat itu sekonyong-konyong terdengar suara tertawa melalui hidung. Dialah Cocak Abang dan kata pendekar berangasan itu .

   "Anak jadah! Kau bisa mengelabuhi orang. Tetapi mataku belum lamur. Mungkin sekali hadirin belum pernah melihat dan mengenal Lingga W isnu, tapi kau tahu sendiri bukan? Aku telah mengenal iblis itu dengan baik,"

   Ia kemidian berpaling kepada Mayor De Pool. Berkata seperti mengadu .

   "Mayor, sebenarnya dia seorang perempuan. Dialah keponakanku. Namanya Sekar Prabasini. Tatkala meninggalkan rumah, ia berangkat bersama-sama dengan Lingga W isnu dan Botol Pinilis. Karena itu, kita harus bersiap-siaga."

   Mendengar laporan Cocak Abang, Mayor De Pool segera berteriak nyaring .

   "Letnan Manusama. Bawa beberapa orang berjagajaga di luar tangsi. Hajar set iap musuh yang hendak mencoba masuk."

   Letnan Manusama memberi hormat.

   Dalam sekejab mata terdengarlah teriakan-teriakan anak buahnya yang bersiap-siap menyambut kedatangan musuh.

   Menyaksikan hal itu, wajah Sekar Prabasin i berubah.

   Segera ia bertepuk tangan memberi tanda sandi.

   Dan melompatlah dua orang pendekar melewati pagar tembok.

   Merekalah Songgeng Mint araga dan Aria Puguh.

   "T angkap mereka!"

   Perint ah Musafigil oh.

   Empat orang serdadu segera menerjang.

   Akan tetapi mereka bukan tandingan Songgeng Mint araga berdua.

   Dalam tiga jurus saja, mereka semua sudah terluka.

   Letnan Manusama cepat-cepat membantu dengan pedang ditangan.

   Tetapi Aria Puguh yang berada disamping Songgeng Mint araga melepaskan pukulan yang termasyur.

   Itulah pukulan Sapu Jagad yang dahulu pernah diajarkan kepada Lingga W isnu.

   Seketika itu juga Letnan Manusama terpental mundur tujuh langkah.

   Cocak Abang tentu saja tak tinggal diam.

   Begitu melihat Letnan Menusama terpental mundur dalam satu gebrakan saja, segera ia melesat ke gelanggang dan menghantam Songgeng Mint araga dengan pukulan yang menerbitkan deru angin dahsyat.

   Lingga W isnu segera mengenal pukulannya.

   Itulah salah satu jurus Sapt a Prahara, ilmu sakti kebanggaan keluarga Dandang Mataun dengan sekaligus.

   Kemampuan masing-masing tidak begitu nampak.

   Sekarang, ia kagum terhadap pukulan Cocak Abang.

   Benar-benar dia seorang pendekar yang tangguh dan berbahaya.

   Pantaslah, kakakseperguruannya, Botol Pinilis, selalu mencemaskan dirinya t atkala memasuki gelanggang.

   Songgeng Mint araga tak berani ayal lagi.

   Cepat-cepat ia mengerahkan ilmu saktinya yang bernama Rajah Pideksa.

   Ilmu sakti Rajah Pideksa adalah ilmu pukulan yang mengandung racun.

   Masih teringat segar didalam benak Lingga W isnu, betapa Aruji dahulu menderita hebat tatkala kena pukulan ilmu itu.

   Untunglah, dia tertolong oleh Palupi, sehingga jiwanya dapat diselamatkan..

   Maka begitu kedua sakti berbenturan, baik Cocak Abang maupun Songgeng Mint araga terhuyung satu langkah.

   Ilmu sakti Sapt a Prahara, mengandung tenaga keras dan murni, sedang ilmu Rajah P ideksa lembek dan dingin.

   Kedua pendekar itu masing-masing sudah melampaui masa latihan sepuluh tahunan.

   Himpunan tenaga sakti mereka sudah mencapai tataran tinggi.

   Dalam bentroknya tangan yang pertama tadi, himpunan tenag sakti mereka kira-kira sebanding.

   Cocak Abang terkejut.

   Suatu hawa yang sangat dingin menembus urat pergelangan tangan dan menusuk sampai ke ketiak.

   Sebaliknya Songgeng Mintaraga kena terserang hawa panas, sehingga darahnya bergolak dalam rongga dadanya.

   Ia terperanjat dan menentang lawannya dengan pandang tajam.

   Sekilas pandang, ia melihat betapa pucat wajah Cocak Abang.

   Gundu matanyapun menjadi merah.

   Itulah suatu tanda bahwa racun dingin Rajah Pideksa menyerang urat-urat nadi lawannya, sehingga Cocak Abang harus mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk membendungnya.

   Menyaksikan hal itu, diam-diam ia bergirang hati.

   Katanya didalam hati.

   'Syukurlah, himpunan tenaga saktinya masih kalah set ingkat denganku.

   W alaupun demikian, dialah lawanku yang terberat selama ini.' Segera ia mengambil keputusan untuk mendahului menyerang.

   Ia maju selangkah dan menghantam lagi dengan Rajah Pideksa.

   Tenaga sambarannya bergelombang memenuhi empat penjuru.

   Dengan demikian, tak dapat Cocak Abang mengelak.

   Mau tak mau ia harus membendung gelombang racun Rajah Pideksa dengan pukulan Sapta Prahara.

   Memang tenaga kedua pendekar itu, benar-benar sebanding.

   Hanya saja sif at ilmu sakti yang dimiliki masing-masing agak berbeda.

   Ilmu sakti Sapt a Prahara adalah warisan leluhur Cocak Abang.

   Dandang Mataun dahulu memperolehnya, dari hasil masa bertapanya.

   Karena itu sifatnya murni bersih.

   Sebaliknya, Rajah Pideksa adalah ilmu sakti yang mengandung racun.

   Dengan demikian, meskipun himpunan tenaga sakti mereka sama kuat, namun kedudukan Cocak Abang agak merugikan.

   Sebab, sebagian t enaganya harus digunakan untuk membendung dan menugusir hawa beracun.

   Untuk dapat mengimbangi tenaga lawan, ia harus mengerahkan tenaga jauh lebih besar.

   Itulah sebabnya, setelah mengadu himpunan tenaga sakti tiga kali, Cocak Abang lantas saja terpukul mun dur.

   Disudut lain, Aria Puguh menghadapi keroyokan Letnan Manusama dan Sersan Rabun.

   Letnan Manusama berperawakan tinggi tegap.

   Dan Sersan Rabun berperawakan pendek bulat.

   Kedua duanya bersenjata pedang.

   Karena itu, Aria Puguh terpaksa pula melawan mereka dengan pedangnya.

   W alaupun dikerubut dua orang, dia nampak t angguh dan dapat berkelahi dengan hati mantap.

   Dengan rasa cemas, Musaf igilloh mengikuti pertempuran Cocak Abang dengan Songgeng Mint araga.

   Sebagai salah seorang keluarga Dandang Mataun, Cocak Abang memiliki tenaga pukulan yang dahsyat luar biasaPendekar itu sudah t erkenal namanya semenjak puluhan tahun yang lalu.

   Kenapa kali in i ia tak dapat bertahan menghadapi adu tenaga dengan lawannya? Napasnya sudah mulai tersengal-sengal.

   Keadaanya sudah payah sekali, sesudah mengadu tenaga yang ke sembilan kalinya.

   Musafigilloh kenal watak dan perangai keluarga Dandang Mataun.

   Biasanya tak sudi memperoleh bantuan.

   Tetapi dia sedang menghadapi kekalahan.

   Masakan akan dib iarkan saja? Memperoleh pikiran demikian, segera ia mencabut pedangnya dan menyerang Songgeng Mint araga.

   Hebat jurus serangannya.

   Begitu pedangnya berkelebat, Songgeng Mintaraga terpaksa meompat mundur.

   Dan Cocak Abang dapat bernapas lega, kini.

   Mereka berdua lantas mendesak Songgeng Mint araga dengan hebatnya.

   Setelah Songgeng Mint araga dan Aria Puguh turun kegelanggang, sebenarnya Sekar Prabasin i ingin segera melarikan diri.

   Tetapi ia kena dicegat Genggong Basuki yang menyerang dengan pedangnya.

   Dalam mengadu ilmu pedang.

   Sekar Prabasini bukan lawan Genggong Basuki.

   Dalam keadaan terdesak, gadis itu melepaskan pukulan-pukulan aneh yang diperolehnya dari kitab warisan ayahnya.

   Ia mempelajari pukulan-pukulan itu apabila sedang beristirahat.

   Manakala kurang je las, ia memperoleh keterangan dari Lingga W isnu.

   W alaupun belum pernah berlatih dengan sungguh sungguh, namun pukulan-pukulan itu adalah warisan ayahnya yang memang aneh Sifatnya dan dahsyat luar biasa.

   Bagaikan kilat ia melepaskan tiga pukulan berantai.

   Itulah pukulan pukulan yang dicangkok ayahnya dari sari-sari ilmu pedang Ugrasawa, Parwati dan Aristri..

   Sedangkan tikaman yang keempat adalah sari-sari ilmu pedang Sekar Ginabung.

   Genggong Basuki terperanjat bukan kepalang.

   Oleh kagetnya, hampir-hampir saja ia tak dapat menangkis.

   Untung, ia memiliki gerakan yang cepat luar biasa.

   Dengan menjejakkan kakinya, ia melompat mundur.

   Kemudian melesat maju dari samping sambil menyambarkan pedangnya.

   Mayor De Pool, yang selama itu memperhatikan jalannya pertempuran, ikut menarik pedangnya pula.

   Melihat Genggong Basuki kena terdesak mundur, ia segera melorpat membantu.

   Dengan demikian, Sekar Prabasin i kena dikerubut dua orang.

   Ilmu pedang Genggong Basuki sudah mencapai tataran kesempurnaan.

   Dalam pertempuran panjang Sekar Prabasini bukan tandingnya.

   Apalagi dia memperoleh bantuan Mayor De Pool.

   W alaupun Sekar Prabasin i mengenal bermacam-macam sari ilmu sakti, perlahan-lahan ia jad i t erdesak mundur.

   Semuanya itu tak terlepas dari pengamatan Lingga W isnu.

   Segera ia hendak muncul dan menolong Sekar Prabasin i.

   Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara Ki Ageng Gumbrek yang muncul diatas pagar tombok.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sambil menggeragoti paha ayam, orang tua itu berteriak nyaring .

   "Hei, anakku perempuan! Kau mundurlah saja. Inilah pertempuran antara laki-laki laki-laki. Engkau sendiri nant i saja bertempur dengan Lingga W isnu ."

   Orang tua itu lantas tertawa terkekeh-kekeh.

   Dan wajah Sekar Prabasin i terasa panas.

   Menuruti hatinya ingin ia mendamprat.

   Tetapi betapa ia memperoleh kesempatan? W aktu itu Genggong Basuki dan Mayor De Pool menyerang ia secara berbareng.

   Maka jawabnya .

   "Baik kek. Manusia in i mengaku sebagai anak murid Sekar Teratai. Tetapi nyatanya, ia menjadi budak Belanda. Karena itu, meskipun aku seorang perempuan ingin menghajarnya. Kau tolonglah menghajarnya."

   "Apanya yang harus kuhajar? Gundu matanya atau gundu anunya? Bilanglah'!"

   Sahut Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa semakin riuh.

   Kali ini Sekar Prabasin i benar-benar merah wajahnya.

   Sebagai seorang gadis, tak dapat ia membayangkan gundu yang lain, kecuali gundu mata.

   Namun secara naluriah, tahulah dia gundu apa yang dimaksud oleh si tua itu.

   Maka cepat ia mengalihkan pembicaraan .

   "Harimawan ternyata anak murid Sekar Teratai yang set ia. Tolonglah dia! Jangan lupakan dia!"

   "Baik ... baik!"

   Sahut Ki Ageng Gumbrek sambil terbatuk-batuk.

   "Anak yang baik, pasti mempunyai gundu yang baik pula."

   Sudah barang tentu, pembicaraan mereka berdua tidak terlepas dari pendengaran Mayor De Pool.

   Segera perwira in i berteriak-teriak pada anak buahnya untuk mencegat gerakan maju Ki Ageng Gumbrek yang masih bercokol diatas pagar dinding.

   Tapi Ki Ageng Gumbrek bukan manusia lumrah.

   Kepandaiannya set araf dengan Kyahi Sambang Dalan.

   Selagi anak-buah Mayor De Pool bersiaga dibawah pagar d inding, tiba-tiba ia menimpukkan tulang paha ayamnya.

   Hebat akibatnya.

   Meskipun hanya tulang paha ayam, akan tetapi disertai tenaga dahsyat.

   Dan dengan suara mengaung, tulang paha ayam itu menyambar kearah Mayor De- Pool.

   "Hai, buduk! Kau harus mampus dahulu!"

   Teriak Ki Ageng Gumbrek.

   Mayor De Pool seperti terpaku tatkala melihat tulang paha ayam mengarah padanya.

   Tapi karena belum takdirnya mati, seseorang mengulurkan tangan untuk menolongnya.

   Itulah Musafigilloh.

   Pendekar muda ini, memang seorang yang memiliki perasaan tajam dan kecerdikan yang mengagumkan.

   Begitu mendengar pembicaraan Sekar Prabasini dan Ki Ageng Gumbrek, ia sudah dapat menduga.

   Meskipun yang dibicarakan adalah Genggong Basuki, namun tahulah dia bahwa sasaran Ki Ageng Gumbrek justru kepada Mayor De Pool.

   Pada detik yang sangat berbahaya, ia mendorong Mayor De Pool.

   Kena tenaga dorongan, perwira itu terpental mundur ke belakang sebatang pilar besi penjangga atap rumah Dan tepat pada saat itu, tulang paha ayam Ki Ageng Gumbrek menghantam pilar itu.

   Pilar itu patah menjadi tiga bagian.

   Genting atap lantas saja runt uh berhamburan.

   Dan bagaikan kejapan kilat, Ki Ageng Gumbrek tahu-tahu sudah berada di depan Musafigilloh.

   Betapa cepatnya ia mampu bergerak, sukar dilukiskan lagi.

   Keadaan menjadi kalut .

   Mereka yang berada di dalam ruang pertemuan itu melompat mundur menghindari.

   Kesempatan itu dipergunakan sebaik baiknya oleh Sekar Prabasin i.

   Gadis itu lantas meninggalkan Genggong Basuki.

   Sekar Prabasini sudah hampir mencapai pintu gerbang, tatkala tiba-tiba kakinya kena disambar tiga batang pedang.

   Hati Sekar Prabasini seolah-olah t erbang, dan seluruh tubuhnya menjadi dingin.

   Ia tergencet dari belakang dan dari depan.

   Dengan mati-matian, ia berhasil mengelakkan dua pedang yang menyambar dari depan.

   Tetapi yang dari belakang tepat sekali menghantam kakinya.

   Untunglah, pedang yang menghantam kakinya itu, bukan bagian yang tajam.

   Itulah gerakan pedang yang membalik setelah luput dari sasaran.

   W alaupun demikian karena yang menghantam memiliki himpunan tenaga yang kuat luar biasa, ia rcboh di atas t anah.

   Orang yang merobohkan Sekar Prabasin i adalah Genggong Basuki.

   Dalam keadaan kalut ., tak sudi ia melepaskan mangsanya.

   Melihat Sekar Prabasini hendak kabur, ia melompat mengejar.

   Tatkala itu Letnan Manusama dan Sersan Rabun menghadang.

   Itulah kesempatan yang bagus sekali.

   Begitu Sekar Prabasin i sibuk menangkis kedua pedang lawannya, ia menikam dari belakang dan sasarannya ternyata dapat dihindari.

   Namun dengan kecepatan kilat, ia menarik pedangnya dan kembali bagian tumpulnya m menghantam kaki Sekar Prabasin i.

   Setelah itu maju selangkah dan membalikkan pedangnya.

   Karena berniat hendak menangkap gadis itu hidup-hidup, ia menghantamkan hulu pedangnya.

   Pada saat itu sekonyong-konyong pedang Letnan Manusama berkelebat menangkis gagang pedang Genggong Basuki.

   Dan berbareng dengan peristiwa itu, nampaklah sesosok bayangan melesat keluar dari dinding pagar dengan kecepatan yang sulit dilukiskan.

   Genggong Basuki berpaling kepada Letnan Manusama.

   Dan membentak dengan suara mendongkol sekali .

   "Mengapa engkau membiarkan dia kabur dan menangkis pedangku?"

   "Menangkis?"

   Letnan Manusama melotot.

   "Bukankah engkau yang memukul balik gagang pedangku? Kenapa ....?"

   "Jangan bergurau! Ayo kejar!" ---oo0dw0ooMereka segera memburu keluar. Di samp ing pintu gerbang, mereka bertemu dengan seorang Kopral yang patah kakinya sehingga tak dapat berdiri lagi. Segera mereka menghampiri dan menanyalah Letnan Manusama.

   "Mana dia?"

   "Siapa?"

   Kopral itu terbelalak.

   "Perempuan tadi ... Yang lari melintasi pagar t embok."

   "Perempuan yang mana? Kami tak melihat seorang manusiapun."

   Kopral itu heran. Letnan Manusama gusar bukan main. Bentaknya .

   "Apa kau buta? Kalau kau tidak bertemu dengan manusia, kenapa kakimu patah? Setan kau! Jelas sekali, perempuan itu melint asi pagar tembok. Kenapa matamu tak melihat?"

   Seorang serdadu datang menghampiri kopral itu, sambil membangunkan rekannya .

   "Letnan! Yang melompat melint asi pagar tembok adalah kopral ini. Aku ikut jadi saksinya, bahw a tiada seorangpun yang lari keluar tangsi."

   Mau tak mau Letnan Manusama menggaruk garuk kepalanya. Menegas agak sabar .

   "Kenapa engkau yang melompat pagar tembok?"

   Dengan tergegap-gegap dan menahan rasa sakit, Kopral itu menjawab .

   "Aku ... aku ... kena ditangkap dan .. dan dilemparkan keluar."

   "Siapa yang melemparkan? "Entah. Tadi Letnan membicarakan seorang perempuan. Kalau dialah yang lari keluar, maka dia pulalah yang melemparkan diriku, sehingga kakiku patah."

   Tak dapat Letnan Manusama mengumbar rasa marahnya.

   Dia menghadapi suatu kenyataan.

   Kopral itu patah sebelah kakinya.

   Pastilah bukan akibat dipatahkan dengan tangannya sendiri.

   Teringat akan tegoran Genggong Basuki, ia menoleh kepada pendekar itu dan bertanya mint a keterangan .

   "Mengapa engkau tadi memukul pedangku? Apa maksudmu? Apakah engkau sudah hendak beringkarlagi? Bukankah engkau sudah berjanji di hadapan kami akan set ia dan taat pada perint ah? Jangan engkau mencoba mempermainkan kami I"

   Genggong Basuki meluap darahnya. Namun karena merasa diri berada dibawah perint ah, ia menahan darahnya yang bergolak. Jawabnya ;

   "Sebenarnya bukan aku yang memukul pedangmu. Tapi justru engkaulah yang menangkis pedangku sew aktu aku hendak memukul kepala perempuan itu."

   "Omong kosong!"

   Bentak Letnan Manusama.

   "Apa perlu aku memukul gagang pedangmu? Hei, janganlah engkau memandang rendah padaku. Kau tahu, aku seorang Letnan. Mencapai tingkatan perwira tidaklah mudah. Pangkat ini tidak hanya kuterima semacam hadiah dari kakek. Tetapi aku tebus dengan darah dan kesetiaanku. Kau berkata, aku memukul gagang pedangmu, seolah olah sengaja memberi kesempatan kepada perempuan itu untuk melarikan diri. Apakah engkau menuduhku seorang penghianat?"

   Ia berhenti mengesankan dan sambil memelototkan matanya. Berkata lagi .

   "Sekarang, aku bertanya kepadamu, apa sebab engkau tidak menggunakan ujung pedangmu? Kenapa engkau hanya memukul dengan gagang pedang? Hm.. jangan Kau mencoba mengelabui mataku. Ingat aku seorang Letnan. Seorang perwira Kompeni Belanda!"

   Diberondong dengan pernyataan dan tuduhan demikian, betapapun juga tersinggung kehormatan Genggong Basuki.

   Dia adalah seorang pendekar yang angkuh.

   Sebagai murid pendekar Purbaya yang tertua, ia memiliki kepandaian yang tertinggi diantara saudarasaudara seperguruannya.

   Apalagi, ia mewarisi pula ilmu pedang Sugiri-Sukesih.

   Karena itu, ia dihormati oleh saudara-saudara seperguruannya.

   Bahkan paman gurunya sendiri, Sugiri dan Sukesi, menghargainya pula.

   Sekarang ia kena hina oleh seorang Letnan.

   Tuduhan seolah-olah ia membant u Sekar Prabasini meloloskan diri, merbuat darahnya bergolak hebat.

   Dengan merah padam ia menjawab .

   "Jangan engkau menuduhku dengan sembarangan saja. W alaupun engkau seorang Letnan tak layak berbicara demikian dihadapanku. Jelek-jelek aku mempunyai kedudukan pula, yang setaraf dengan kedudukanmu. Jelas sekali, engkaulah yang memukul gagang pedangku. Kenapa engkau justru berbalik menuduhku? Coba, dapatkah engkau membuktikan bahw a akulah yang memukul pedangmu?"

   Semenjak tadi Letnan Manusama berkesan kurang baik terhadap Genggong Basuki. Kalau saja Musafig illoh tadi tidak mencegahnya, ujung pedangnya sudah menikam perut pendekar itu. Maka ia membentak pula .

   "Binatang! Kau benar-benar menghina seorang perwira. Kau bilang , kedudukanmu setaraf dengan kedudukanku. Apa kedudukanmu dalam aliran rumah perguruan? Apakah rumah perguruan Sekar Teratai set araf kedudukannya dengan kedudukan Kompeni Belanda yang menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara? Binatang! Enak saja kau mengumbar mulut."

   Setelah memaki demikian ia membabatkan pedangnya dengan sungguh-sungguh.

   Genggong Basuki pun segera menangkis tanpa segan-segan lagi.

   Begitu kedua pedang itu berbenturan, mereka berdua mundur setengah langkah.

   Genggong Basuki terkejut.

   Tangannya tergetar dan panas.

   Sama sekali tak diduganya, bahwa orang Maluku itu mempunyai himpunan tenaga yang kuat.

   Bahkan lebih unggul dari tenaganya sendiri.

   Sebaliknya letnan Manusama tak kurang-kurang pula rasa terkejutnya.

   Lengannya mendadak t erasa pegal.

   Pikirnya didalam hati .

   'Pantaslah Musaf igilloh mengharapkan tenaga bantuannya.

   Dia memiliki tenaga yang luar biasa dahsyatnya, setelah berpikir demikian, ia membentak kalap "Benar berani engkau melawanku? Sebenarnya engkau hendak membantu kami atau seorang matamata?"

   Letnan Manusama hendak mengulangi serangannya. Tiba-tiba sesosok bayangan menangkis pedangnya, letnan Manusama menoleh. Dan melihat Musafig illoh berada didepannya sambil berkata.

   "Manusama! Sabar dahulu!"

   "Ha, Musafigilloh! Coba adililah peristiwa ini!"

   Teriak Letnan Manusama. Musafig illoh mengalihkan pembicaraan. Bertanya .

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kemana larinya perempuan tadi?"

   "Ha, justru itulah soalnya."

   Sahut Letnan Manusama.

   "Dialah yang melepaskan."

   "Aku!"

   Bentak Genggong Basuki.

   "Apa keuntunganku melepaskan dia?"

   Selagi mereka bertengkar.

   Ki Ageng Gumbrek, Songgeng Mintaraga dan Aria Puguh sudah tiada nampak batang hidungnya lagi.

   Melihat Sekar Prabasini terbebas dari kepungan serdadu, mereka menyerang kesanakemari dengan sepenuh tenaga Setelah itu dengan berbareng mereka keluar pagar tembok.

   Dan sebentar saja t ubuh mereka lenyap dari penglihatan.

   )o0oo-d-w-oo0o(

   Jilid 10 1.

   PEREMPUAN PENUNGGU KEDAI YANG MENOLONG membebaskan Sekar Prabasini dari ancaman bahaya adalah Lingga W isnu.

   Semenjak tadi pemuda ini memperhatikan pertempuran antara Sekar Prabasin i dan pengeroyoknya dengan rasa cemas.

   Menuruti kata hati, ingin ia segera muncul dan melabrak budak-budak kompeni itu.

   Akan tetapi suatu perhitungan lain menusuk benaknya.

   Teringatlah dia, bahva se lama tadi Mayor De Pool belum memerint ahkan anak buahnya menggunakan senjata bidik.

   Pikirnya didalam hati.

   'Apakah mereka menunggu kedatanganku? Mungkin begitu.

   Bila aku muncul, barulah mereka bersenapan.

   Kalau mereka menggunakan senapan, alangkah bahayanya.

   W alaupun aku memiliki kepandaian sepuluh kali lipat lagi, susah lah melawan mereka.

   Mungkin sekali aku bisa menyelamatkan diri, akan tetapi untuk menolong Sekar Prabasini sangatlah sulit ...' Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia menahan diri.

   Dengan hati-hati ia mengikuti pertempuran itu.

   Dilihatnya Genggong Basuki membalik pedangnya untuk memukul kepala Sekar Prabasin i.

   Hati Lingga W isnu tersirap.

   Tak usah dijelaskan lagi, bahw a Genggong Basuki bermaksud menangkap Sekar Prabasini hidup-hidup.

   Untuk apa, bila tidak dipersiagakan sebagai umpan dirinya? Setelah berhasil menangkap dirinya bukankah perkara gampang saja menyelesaikan mereka yang kena tangkap hidup-hidup? Kalau mau diperkosa, mungkin bisa dihidupi.

   Kalau tidak, tinggal menarik pelatuk senapan.

   Bukankah mudah? Dan teringat akan kemungkinan-kemungkinan ini, bulu kuduk Lingga W isnu bergeridik.

   Dan pada saat itu timbul an tekatnya hendak menolong Sekar Prabasini.

   Prabasin i dan Suskandari benar-benar dalam bahaya, pikirnya d idalam hati.

   Mereka terancam kehormatan dirinya.

   Aku sendiri hanya t erancam hidupku, bila sampai tertangkap.

   Tapi mereka berdua akan dirusak dahulu kehormatannya sebelum mati.

   Ih...

   Oleh keputusan itu, segera ia melesat turun dan mendorong pedang Manusama agar memukul gagang pedang Genggong Basuki.

   Tata himpunan tenaga sakti Lingga W isnu pada saat itu sudah mencapai t ataran yang tinggi luar b iasa, sehingga dapat dengan sesuka hatinya.

   Sifatnya halus dan dahsyat.

   Genggong Basuki dan Manusama yang berkepandaian tinggi sampai dapat dikelabuhi tanpa merasa.

   Setelah pedang mereka terbentrok, masing-masing saling menuduh dan menyalahkan.

   Tentu saja Lingga W isnu tak sudi menyia-nyiakan kesempatan itu..

   Sebelum para serdadu sadar akan bahaya, cepat luar biasa menyambar seorang kopral dan dilemparkan keluar pagar tembok.

   Dia sendiri terus melesat keluar pintu gerbang dengan menggendong Sekar Prabasini, Sekar Prabasini sebenarnya terkejut, tatkala dirinya kena sambar suatu tenaga dahsyat.

   Tatkala melihat siapa penolongnya, hatinya tenang luar biasa.

   Perint ahnya.

   "Pulang dahulu! Kita perlu berunding!"

   Lingga W isnu mengangguk. Dan dengan kecepatan kilat, ia membawa Sekar Prabasini menghilang kegelapan. Setelah berlari larian sekian lamanya, tibatiba Sekar Prabasini meniup telinganya sambil berkata.

   "Eh! Apakah aku hendak kau gendong terus menerus?"

   Lingga W isnu tersadar, dengan muka merah, ia menurunkan gadis itu ketanah. Lalu bertanya cepat untuk menghalau rasa malunya.

   "Sebenarnya apa lagi. yang harus dirundingkan?"

   Sekar Prabasini memang seorang gadis yang nakal. Sebenarnya wajahnya terasa panas juga, karena kena gendong. Namun mendengar pemuda itu hendak membelokkan persoalan, ia justeru tidak menghendaki. Sahutnya.

   "Aku senang sekali, bila kau gendong terus-menerus. Dengan begitu tak sia-sialah aku bila terpaksa mengorbankan jiwaku."

   Terharu hati Lingga W isnu mendengar ucapan Sekar Prabasin i. Ia t erhenyak sejenak. Kemudian berkata.

   "Kau cepat sekali datang. Apakah kau segera berangkat begitu bertemu dengan guruku?"

   Sekar Prabasini mengangguk sambil menggeribiki pakaiannya. Menjawab.

   "T anda-tanda arah kepergianmu sangat jelas, sehingga tidak menyukarkan kami Paman Puguh bergemetaran karena marah, setelah menyaksikan penghianatan Genggong Basuki dengan mata-kepalanya sendiri. Sekarang, kita dapat membawa persoalan pembunuhan itu kepada mereka berdua. Kurasa paman Gumbrek mempunyai pengaruh besar untuk meyakinkan kedua kakakmu seperguruan.

   "Bagus! Kalau begitu biarlah aku menolong Suskandari dahulu. Tentang janjiku terhadap ayunda Sukesi bisa didamaikan, bukan..."

   "Eh, kenapa begitu bersemangat? Lagi pula, siapakah yang menjanjikan perdamaian itu?"

   Damprat Sekar Prabasin i.

   "Memang..... Suskandari cantik luar biasa ..."

   Lingga W isnu jadi serba salah.

   Ingin ia memberi penjelasan betapa bahaya kedudukan Suskandar.

   Akan tetapi bukankah Sekar Prabasini sudah mendengar sendiri dari mulut Musafigiloh? W alaupun masih samarsamar namun dapat ditebak dengan mudah apakah rencana pihak kompeni terhadap gadis itu.

   "Prabadisi! Sudah kukatakan, bahwa gadis itu adalah temanku bermain-main sew aktu masa kanak-kanak,"

   Ia mencoba mekeyakinan lagi.

   "Apakah kau menyesal berhubungan dengan diriku?"

   Sekar Prabasini memotong.

   "Menyesal? Mengapa menyesal?"

   Lingga Wisnu heran Sekar Prabasini tertawa nakal. Sahutnya.

   "Syukurlah bila kakang tidak menyesal. Dengan begitu hatiku senang."

   "Sebenarnya, apakah maksud pertanyaan itu?"

   "Aku hanya ingin memperingatkan kakang saja."

   Jawab Sekar Prabasin i.

   "Y ang pertama tentang harta warisan itu. Bukankah sudah kita ketemukan tandatandanya? Kemudian janji pertemuan dengan kedua kakakmu seperguruan. Kalau kau sibuk menolong si cant ik, kukhawatirkan kakang bakal tenggelam didalam masalahnya."

   "Masalah apa?"

   Lingga Wisnu penasaran.

   "Masalah si cant ik. Bukankah Suskandari bidadari cant ik nomor satu didunia? Kalau tidak, kalau tidak, masakan Genggong Basuki sampai.. sampai..."

   Sekar Prabasin i tidak menyelesaikan perkataannya.

   Ia lantas lari mendahului.

   Dan terpaksalah Lingga W isnu mengiringkan.

   Meskipun mendongkol, ia tertawa geli juga didalam hati.

   Sekar Prabasini ternyata tidak kerumah Songgeng Mint araga untuk bertemu dengan Ki Ageng Gumbrek atau tuan rumah.

   Dia kembali ke penginapan dan terus saja masuk ke dalam kamarnya.

   Hal itu membuat Lingga W isnu gelisah.

   "Kalau aku menuruti saja kemauannya, bukankah aku jadi kanak-kanak lagi?"

   P ikirnya.

   "Suskandari berada dalam bahaya. Setiap detik banyak artinya. Kalau aku lalai sedikit saja, akibatnya mungkin sangat parah. Biarlah aku keluar dengan diam-diam."

   Lingga W isnu tak mau berpikir panjang-panjang lagi, apa akibatnya esok hari bila Prabasini melihat dirinya tiada dalam kamar.

   Setelah berada di luar halaman penginapan, ia berlari-larian kencang seolah-olah di kejar iblis.

   Perjalanannya mengarah ke barat Bukankah Musafig iloh t adi menyebut nyebut kota Sukaharja? Tak lama kemudian ia menemukan t anda-tanda jejak sepatu.

   Niscayalah sepatu-sepatu kompeni Belanda atau serdadu-serdadu bumi-putera.

   Ia girang bukan kepalang.

   Tatkala tiba di Sukaharja, fajar hari telah menyingsing.

   "Niscaya Suskandari berada dalam penjagaan kuat..."

   Pikirnya didalami hati.

   "T api bagaimana nant i akibatnya, aku harus menolongnya. Semalam aku main bersembunyi. Sekarang, biarlah aku terang-terangan saja. Sebab bila lalai sedikit saja Suskandari dalam bahaya besar. Kalau hal itu. sampai terjadi, bagaimana aku harus bertanggung jawalb terhadap ibunya?"

   Setelah makan pagi, segera ia mencari benteng yang disebutkan Musafigiloh.

   Ternyata yang disebut benteng, sebenarnya sebuah gedung milik seorang hartawan Cina, Mungkin sekali pemiliknya d itangkap atau diancam demikian rupa, sehingga terpaksa menyerahkan kediamannya yang serba mewah.

   Dengan sekali pukul saja daun pintu gedung itu terbang dan menimpa dua jambangan emas yang hancur berderai.

   Hati Lingga W isnu pagi itu memang sedang mendidih.

   Ia merasa dipermainkan dan jijik terhadap Genggong Basuki yang mengaku telah membunuh kakaknya seperguruan Purbaya.

   Walaupun belum pernah berjumpa, akan tetapi sebagai salah seorang adiknya seperguruan sudah sewajarnya wajib ia menuntut balas.

   Alangkah keji murid khianat itu..

   Karena itu, ia bertekad hendak mengadu kepandaian serta melampiaskan hawa amarahnya.

   Bagaimana akibatnya, ia tak mem-perdulikan lagi.

   Dengan langkah lebar ia berteriak.

   "Hai orang-orang jahanam! Suruhlah Musafig iloh dan Genggong Basuki keluar menemui aku!"

   Tiba-tiba belasan orang datang berlari-larian dari kamar sebelah menyebelah.

   W aktu itu, hari masih terlalu pagi.

   Kebanyakan di antara mereka masih menikmati selimut nya masing-masing.

   Tahu-tahu mereka terkejut, tatkala mendengar hancurnya pint u dan dua jam-bangan ikan.

   Dengan serentak mereka keluar dan melihat datangnya Lingga W isnu, segera mereka bersiaga.

   Bentaknya.

   "Siapa kau?"

   Lingga w isnu tak sudi membuang buang waktu lagi.

   Ia mendorongkan tenaga himpunan saktinya dan bagaikan rumput kering belasan orang itu terpental membentur dinding dan jendela.

   Kemudian Lingga W isnu melompat meng hampiri pintu tengah.

   Dan begitu pintu t engah itu hancur berderai, nampaklah Musafi- giloh dan Genggong Basuki sedang makan-minum dengan gembiraMusafig iloh dan Genggong Basuki sebenarnya mendengar suara hiruk-p iruk diseramb i depan.

   Mereka memerint ahkan Cocak Abang untuk menyelidiki.

   Tetapi Lingga W isnu sudah tiba didepan mereka.

   Dengan sekali sambar, Lingga W isnu melemparkan Cocak Abang yang hendak mencapai pintu tengah kedalam.

   Musafig iloh cepat melompat sambil membentangkan kedua tangannya.

   Tangkapannya tepat.

   Meskipun demikian ia terhuyung beberapa langkah.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan menyaksikan hal itu, tokoh-tokoh pendekar rumah perguruan Ugrasawa yang berkhianat terperanjat.

   Mereka tahu.

   Cocak abang yang hendak menyelidik itu, bukan tokoh sembarangan.

   Sedang Musafigiloh adalah pemimpin mereka.

   Namun dalam satu gebrakan saja sudahlah jelas siapa yang lebih unggul.

   Tapi sebenarnya Lingga W isnu terperanjat juga.

   Ia sudah menggunakan hampir seluruh himpunan tenaga saktinya.

   Namun mereka berdua bisa mempertahankan diri dan t ak kurang suatu apa.

   Itulah suatu tanda, bahwa kesaktian Musafigiloh tidak boleh dipandang ringan.

   Selagi terperanjat, Lingga W isnu bergirang hati pula.

   Ia melihat Suskandari berada diant ara mereka, duduk disebelah kiri Genggong Basuki dan Manusama.

   Sejenak ia tertegun melihat Suskandari.

   Sebaliknya Suskandari berseru girang.

   "Kakang Lingga!"

   Dengan serentak Suskandari bangkit cari tempat duduknya.

   Sekonycng-konyong ia bergemetaran dan roboh diatas kursinya kembali.

   Tahulah Lingga W isnu, bahw a Suskandari kena siksa tertentu.

   Dengan hati panas, ia melompat hendak menolong.

   Tiba-tiba punggungnya terasa kena pukulan Genggong Basuki dan Manusama yang dilontarkan dengan berbareng.

   Tetapi Lingga Wisnu tidak menghiraukan Kesaktiannya cukup kuat menahan pukulan mereka.

   Tangannya terus menyambar.

   Dan sebentar saja, Suskandari sudah berada dalam pelukannya.

   Dengan menjejakkan kakinya, ia membawa Suskandari terbang melint asi meja perjamuan.

   Tentu saja anak-buah Musafigiloh tidak tinggal diam.

   Dengan serentak mereka bergerak mengepung.

   Tetapi Lingga W isnu tidak sudi memberikan kesempatan.

   Dengan sebelah tangannya menggempur sambil melompat mundur.

   "Suskandari, apakah kau bisa bergerak?"

   Bisiknya.

   "Kedua kakiku serasa lumpuh."

   Jawab si gadis.

   Teringatlah Lingga W isnu kepada sepak terjang gadis itu tatkala dahulu melawan keluarga Dandang Mataun..

   Sekarang ia nampaknya ia tak berdaya.

   Maka tak usah dijelaskan lagi, bahw a ia lumpuh akibat siksa Musaf igiloh dan kawan-kawannya.

   "Biarlah kakimu kupijat."

   Kata Lingga W isnu.

   "Apakah kau sudi kupanggul di atas pundakku?"

   Belum gadis itu menjawab, paras muka Lingga W isnu terasa panas sendiri. Meskipun bermaksud baik akan tetapi sangat t idak sedap didalam penglihatan. Apalagi di hadapan orang banyak lagi musuh pula. Maka mengurungkan niatnya. Bisiknya.

   "Sebentar lagi aku akan melompat mundur. Carilah pegangan kuat-kuat agar tidak terlempar, apakah kedua tanganmu dapat bergerak dengan leluasa?"

   "Dapat."

   Sahut gadis itu.

   Legalah hati Lingga W isnu.

   Dengan tidak menyia-nyiakan waktu, ia mendorongkan tenaga himpunannya..

   Lalu pada saat itu pula, ia berjungkir-balik tinggi diudara dan melesat keluar pintu.

   Seperti kelelawar ia terbang melint as, tatkala anak buah Musafig iloh memburu dengan berteriak-teriak, tubuhnya lenyap dari penglihatan.

   Itulah salah satu kepandaian warisan almarhum pendekar Bondan Sejiwan..

   Ki Ageng Gumbrek berkata bahw a kepandaian Kyahi Sambang Dalan masih berada diatasnya.

   Akan tetapi bila Kyahi Sambang Dalar.

   pada saat itu menyaksikan kepandaian muridnya yang bungsu itu, pasti akan tertegun-tegun heran.

   Dalam tata napas dan pengalaman, mungkin dia lebih berpengalaman.

   Akan tetapi mengenai kepandaian itu, di dunia ini pada hakekatnya hanya Bondan Sejiwan yang memiliki.

   Dan kini sudah di warisi Lingga W isnu dengan sangat sempurna.

   Dengan berlari-larian kencang, Lingga W isnu memanggul Suskandari.

   Kira-kira menjelang tengah hari, ia sudah berada di penginapan.

   Tatkala memasuki kamar Sekar Prabasin i, gadis itu tiada nampak batang hidungnya.

   "Suskandari, baiklah kau beristirahat dahulu dalam kamarku."

   Kata Lingga W isnu.

   Ia tidak menunggu persetujuan gadis itu.

   Setelah merebahkannya diatas tempat t idur, ia segera kembali ke kamar Prabasini.

   Tadi ia melihat setumpuk kertas diatas meja.

   Karena itifi segera ia membawa Suskandari ke dalam kamarnya sendiri agar dapat membaca tumpukan kertas Prabasini tanpa terganggu.

   Ternyata isinya hanya suatu corat coret.

   Setelah di amat-amati mirip sebuah peta penunjuk.

   Dibawahnya terdapat suatu keterangan pendek .

   "Telah kuselidiki rumah itu. Kutemukan peta ini. Aselinya berada padaku. Kalau tetap pada rencana semula, susullah aku. Kalau hatimu berada pada kekasihmu itu, jangan mencoba menemui aku lagi."

   Lingga W isnu terpaksa tersenyum pahit. Dan entah apa sebabnya, hatinya tiba-tiba terasa sakit dan iba. Pikirnya.

   "Latar belakang penculikan Suskandari rasanya tidaklah sederhana. Kalau aku sampai terlibat, akan menyia-nyiakan harapan Prabasini. Suskandari memang temanku bermain semasa kanak-kanak. Ibunya sangat baik kepadaku. Akupun berhutang budi. Sebaliknya Prabasin i adalah puteri tunggal pendekar Bondan Sejiwan. Seumpama tidak mewarisi kepandaian ayahnya, jiwaku sudah lama melayang. Kalau d itimbang-timbang aku berhutang jiwa kepada keluarganya. Dia k ini menjadi anak yatim pula. Aku, tak boleh aku membiarkan dia pergi seorang diri ..."

   Memperoleh pikiran demikian, perlahan-lahan ia memasukkan surat Prabasini ke dalam sakunya.

   Kemudian bergegas ia menjenguk Suskandani yang masih saja belum dapat bergerak.

   Lingga W isnu segera memeriksanya.

   Setelah berenung-renung sejenak, ia berpikir didalam hati.

   "Agaknya dia dibuat salah urat. Aku harus memijatmijat pangkal pahanya. Hal ini tidak mungkin terjadi. Kalau begitu, biarlah kuserahkan saja kepada paman Songgeng Mint a-raga. Mungkin sekali Ki Ageng Guiribrek masih berada di tempat kediamannya. Dengan pertolongan mereka. Suskandara pasti akan pulih kembali. Teringat pulalah dia, bahw a Puguh, Harimawan niscaya masih menunggu kedatangannya. Dengan demikian, Suskandari tidak merasa asing sementara ia mengejar Sekar Prabasini Dengan pertimbangan demikian., berkatalah ia kepada Suskandari "Suskandari! Di kota ini ada seorang sahabat kita. Bagaimana kalau kau kuserahkan kepadanya?"

   "Kemana aku akan kau bawa dan akan kau serahkan kepada siapa, terserah padamu belaka. Asalkan t idak kau serahkan kepada Genggong Basuki,"

   Sahut Suskandari.

   Teringatlah Lingga W isnu akan pembicaraan Musafig iloh semalam.

   Sebenarnya ingin ia memperoleh kabar tentang peristiwa penahanan terhadap gadis itu, akan tetapi hatinya sangat gelisah memikirkan Sekar Prabasin i.

   Maka setelah memperoleh persetujuan Suskandari segera ia mendukungnya ke rumah Songgeng Mint araga.

   Benar saja.

   Songgeng Mint araga.

   Ki Ageng GumbrekAria Puguh dan Harimawan seperti sedang menunggunya.

   Begitu ia muncuj dengan membawa Suskandari, mereka berdiri menyambut "Nah, benar tidak kataku tadi,"

   Kata Ki Ageng Gumbrek dengan t ertawa terbahak-bahak.

   "Lingga pasti mengejar mereka ke Sukaharja untuk menolong gadis Ngrumbini. Sebenarnya mulia hati. Tetapi gadis manakah yang dapat di nsyafkan de mikian."

   Lingga W isnu tahu siapa yang dimaksudkan Ki Ageng Gumbrek. Ia hanya membalasnya dengan tersenyum. Dan setelah menyerahkan Suskandari, segera ia berpamit. Katanya kepada Ki Ageng Gumbrek dan Aria Puguh.

   "Sebenarnya aku tidak menepati janji terhadap kedua kakakku-seperguruan. Entah hukuman apa lagi yang akan kuterima nanti."

   "Akh, tentang mereka itu, serahkan saja kepadaku,"

   Sahut Ki Ageng Gumbrek.

   "Malahan ingin aku menyaksikan betapa engkau menghajarnya kalang kabut."

   Lingga W isnu kenal mulut Ki Ageng Gumbrek yang jahil.

   Kalau d ilayani niscaya akan menjadi-jadi.

   Maka setelah membungkuk hormat, segera ia meninggalkan rumah kediaman Songgeng Mint araga.

   Sebenarnya, Songgeng Mintaraga mencegahnya.

   Bukankah dia belum makan siang? Tapi ia sudah kehilangan kegembiraan.

   W alaupun semalam penuh tidak memejamkan mata, namun tiada niatnya hendak beristirahat.

   Ia kembali ke penginapan.

   Setelah membayar beaya penginapan, kembali ia menekuni peta corat-coret Sekar Prabasin i.

   Disebelah timur terlukis sebuah gunung.

   Kemudian sebuah telaga.

   Dipojok kertas t erdapat huruf L dan S"

   T ak usah ia berpikir terlalu lama. Gunung dengan huruf L itu pasti Lawu. Sedang telaga S adalah telaga Sarangan.

   "Apakah harta karun itu berada disana? pikirnya pulang balik. Dan dengan kepala berteka-teki ia berjalan mengarah ke t imur. Kalau aku t ahu bakal kembali mendaki Gunung Lawu, tidaklah perlu sampai t iba di W onogiri, pikirnya. Ia berjalan cepat sampai matahari condong ke barat. Dan pada waktu itu barulah teringat bahwa dirinya belum makan siang. Maka segera ia singgah ke kedai sederhana yang kebetulan nenjual nasi. W alaupun lauk-pauknya sangat miskin, namun karena lapar ia makan dengan lahap sekali. Dua hari dua malam, Lingga W isnu melakukan perjalanan. Dan pada hari ketiga sampailah ia disebuah telaga yang jernih airnya. Segera ia berhenti dan duduk berjuntai diatas batu yang mencongak ditebingnya. Udara kala itu biru jernih. Matahari bercahaya cerah namun tidak menyakiti tubuh, karena tertahan lapisan hawa gunung yang sejuk. Sekarang, ia merasa agak lelah. Maka ia mencari suatu keteduhan dan membaringkan diri diatas rerumputan yang hijau muda. Tak terasa ia tertidur. Tatkala menjenakkan mata, matahari sudah condong ke barat Perasaan tubuhnya menjadi segar bugar. Dan cleh perasaan itu, dapatlah ia menikmati pemandangan yang berada disekitarnya. Ia berpaling dan melihat sebuah kuburan tua yang berbatu nisan. Tiba-tiba jant ungnya memukul. Dilihatnya batu nisan itu berhuruf berukir. Samar samar ia melihat huruf. P u r b a y a. Bergegas ia menghampiri Kemudian membersihkan debu dan kotoran yang menutupi. Jelas sekali itulah kuburan yang sudah t ua sekali. Dan tulisan itu berbunyi. Disini beristirahat kasatria sakti Purbaya.

   "Purbaya?"

   Ia berkomat-kamit.

   "Apakah makam kakakku-seperguruan Purbaya?"

   Mau tak mau ia jadi berpikir keras. Dan berkata didalam hati.

   "Purbaya adalah nama kakakku seperguruan. ia diwartakan mati terbunuh Muridnya sendiri mengakui hal itu. Tetapi kuburan ini sudah tua. Apakah kakang Purbaya di makamkan begini rupa agar tidak segera diket ahui oleh orang?"

   Tergoncang hati Lingga W isnu memperoleh dugaan itu.

   Tiba-tiba datanglah seorang bocah penggembala kerbau.

   Bocah itu berada diatas kerbaunya dengan menidurkan diri.

   Aneh nya lagi, ia sedang sibuk membaca buku.

   Sama Sekali ia tak menghiraukan arah penggembalaannya, Dibiarkan kerbaunya berjalan sekehendaknya sendiri.

   "Bocah, ini berlagak seperti seorang pendekar besar atau seorang pelajar yang kutu buku."

   Pikir Lingga W isnu geli didalam hati. Namun perasaannya menyuruhnya agar berhati-hati dan berwaspada terhadap bocah itu. Maka tegurnya Halus.

   "Gus! *) Telaga ini bernama apa? Dan kuburan siapakah ini?" (* = panggilan unt uk anak laki-laki). Bocah itu memandangnya sejenak. Kemudian tertawa panjang. Setelah itu, barulah ia menyahut.

   "Niscaya tuan datang dari jauh. Telaga itu kami sebut Telaga puteri. Dan kuburanran itu adalah kuburan keluarga kami."

   Heran Lingga W isnu mendengar keterangannya. Kuburan kami? Tak terasa ia menegas .

   "Apa? Kuburan keluargamu?"

   Bocah itu tidak segera menjawab. Ia tertawa geli. Sejenak kemudian berkata. 'W alaupun dari jauh, nampaknya t uan bukan, seorang yang goblok. Pastilah pula bisa membaca bunyi huruf pada batu nisan itu.. Masakan tuan belum kenal nama. Purbaya?"

   Hati Lingga W isnu seperti kena ditebak. Memang ia justru lagi d isibukkan oleh nama yang dibacanya. Selagi sibuk mencari kata- kata untuk menjawab ucapan bocah itu, berkatalah dia lagi.

   "Sepanjang ingatan tuan, kasatria siapa saja yang mengenakan nama Purbaya?"

   Mau tak mau, kehormatan Lingga W isnu tersinggung juga. Namun ucapan bocah itu justru menggugah dirinya. Sahutnya.

   "Adik agaknya hendak menguji aku. Sepanjang ingatanku hanya dua orang. Y ang pertama adalah salah satu nama tokoh W ayang Gatutkaca. Dia dipanggil atau disebut sebagai Aria Purbaya. Dan yang kedua, panglima perang Mataram dijaman Sultan Agung. Dialah yang memimpin penggempuran terhadap benteng Jan Pieter Zoon Coen di Jayakart a."

   "Y a, benarlah begitu."

   Bocah itu lalu duduk tegak diatas kerbaunya.

   "Tetapi sebenarnya masih ada seorang lagi. Itulah leluhur kami yang datang dari Kartasura. Beliau bertapa dipuncak Gunung Lawu. Bertapa terusmenerus sampai ajalnya sampai. Dan jenazahnya dimakamkan d isini. Nama lengkapnya leluhur kami; Pangeran Purbaya dari Kartasura. Beliau dikuburkan disin i, ditepi telaga yang bernama Telaga Puteri. Sebab isteri beliau musna t atkala mandi di telaga itu ..."

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah berkata demikian, bocah itu melanjutkan perjalanannya tanpa mempedulikan Lingga W isnu. Sekarang dia tidak membaca buku lagi. Akan tetapi meniup seruling yang berbunyi sangat merdu.

   "Bocah itu pasti berpendidikan."

   Pikir Lingga W isnu clidalam hati. Dia mengaku anak keturunan Pangeran Purbaya yang bermakam di sini. Agaknya, dia tidak berdusta. Sayang aku belum mengenal namanya. Eh .."

   Apakah kakang Purbaya sebenarnya termasuk salah seorang kerabatnya? Jangan-jangan dia anak kakang Purbaya, Hendak ia mengejar, tetapi bocah itu sudah menghilang dibalik anak bukit.

   Maka ia menghempaskan diri lagi diatas rerumputan yang dipilihnya tadi.

   Ia seperti merasakan sesuatu.

   Tetapi apa itu; ia sendiri tidak tahu.

   Perasaan itu hanya berkelebat di dalam benaknya.

   Setelah cukup beristirahat, ia bangkit dan melanjutkan perjalanannya.

   Ia memasuki sebuah dusun yang berada di tengah lapangan terbuka.

   Karena pikirannya masih terpancang pada nama Purbaya, ingin ia memperoleh keterangan lebih luas lagi.

   Siapa t ahu, keluarga kakaknya seperguruan itu berada didusun itu.

   Tetapi nama Purbaya memang terlalu banyak dikenakan orang.

   Siapapun berhak menyematan nya.

   Tiada larangan dan tiada hukumnya.

   "Akh, sudahlah,"

   Ia memutuskan.

   "Aku kemari untuk menyusul Prabasini Kenapa aku terlibat dalam soal itu. Biarlah begitu saja ... Nanti bila sudah jelas, barulah aku ikut campur . Ia tahu bunyi keputusannya itu, hanya untuk menghibur dirinya yang sudah jadi usilan. Karena itu ia tertawa seorang diri. Mentertawai dirinya sendiri. W aktu itu matahari masih panas, meskipun sudah condong kebarat. Sekarang ia merasa lapar dan dahaga. Dilayangkan pandangnya mencari sebuah kedai, Tetapi dusun itu terlalu miskin. Sama sekali tiada terdapat seorang penduduknya yang berjualan. Bahkan penduduknya seperti bersembunyi di dalam rumahnya masing-masing.

   "Aneh,"

   Pikir Lingga W isnu di dalam hatinya.

   "Dusun ini seperti berada dalam keadaan perang. Sunyi sepi Terlalu sunyi, malah"

   Ia sudah melalui dua petak sawah.

   Masih saja ia belum melihat seorang penduduk yang dapat diajaknya berbicara.

   Apalagi membayangkan sebuah kedai yang menjual makanan-dan minuman.

   Leher dan perutnya kini benar-benar mulai mengganggu.

   Ia layangkan matanya kekanan dan kekiri Siapa tahu, mungkin diant ara rumah-rumah penduduk yang terlindung oleh kerindangan pohon-pohon terselip sebuah kedai yang menjual makanan dan minuman.

   Syukurlah setelah melampaui sepetak sawah lagi, samarsamar nampaklah sebuah kedai yang berada ditepi jalan Kedai itu berbentuk seperti paseban seorang hamba kerajaan.

   Atapnya dari jerami kering dan dindingnya terbuat deri bambu dan setengah papan.

   Penunggu seorang perempuan tua kira-kira berumur tujuhpuluh tahun.

   Dan melihat semuanya, legalah hati Lingga W isnu.

   "Aneh! Sekian lamanya aku melint asi dusun dusun pegunungan. Rasanya seperti kisah seorang pengembara mengarungi samudera pasir, kata Lingga W isnu didalam hati. Lingga W isnu segera singgah. Di depan halaman terdapat sebuah pasu air tempat pencuci kaki. Itulah salah satu adat istiadat pada zaman itu yang dikenalnya dengan baik. Kaka segera ia membasuh kakinya. Dan terdengarlah perempuan tua itu berteriak ke dalam rumah.

   "Nok! ada tamuuu ...!" (Nok = panggilan unt uk seorang gadis kecil). Dari dalam rumah, muncul ah seorang gadis kira-kira berumur tujuhbelas tahun. Ia datang dengan membawa secangkir air teh dan sepiring penganan diatas niru yang seolah-olah sudah d isediakan jauh sebelumnya. Dan dengan tersenyum pendek, ia meletakkannya di depan meja Lingga W isnu. Lingga W isnu memperhatikan gadis itu. Dia tidak begitu cantik. Akan tetapi serasi dan lembut. Pakaian yang dikenakan dari bahan kasar. Berbaju cerah dan berkain batik Parangkusuma. Kulitnya lunak berwarna kuning keputih-putihan. Jelaslah sudah, bahw a dia bukan keturunan seorang penduduk aseli. Paling tidak, ia berdarah priyayi. Apalagi gerak-geriknya lembut dan sopan. Setelah menyajikan hidangan itu, dia kembali masuk ke dalam. Diam-diam Lingga W isnu melongokkan matanya. Ternyata gadis itu sedang duduk menyulam sepunting bunga. Semenjak zaman dahulu, lembah lawu ini seringkali dilint asi para bangsawan. Mungkin sekali dia salah seorang keturunannya. Atau memang anak keturunan bangsawan Purbaya yang disebut sibocah tadi. Pangeran dari Kartasura? Teringat akan hal itu, ia mencoba mengajak berbicara dengan nenek penunggu kedai. Kemudian bertanya.

   "Sebenarnya bagaimana aku harus memanggilmu?"

   Nenek itu tertawa. Menjawab.

   "Aku tidak mempunyai nama. Orang-orang kampung menyebutku nenek. Nah, panggil saja aku nenek tua. Atau simbah!"

   Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah Lingga W isnu bahwa nenek itu tak senang memperkenalkan namanya.

   Segera ia mengalihkan pembicaraan dan sama sekali tidak menyinggung-nyinggung tentang makam atau nama yang dimakamkan di dekat Telaga Puteri.

   Selagi demikian, datanglah empat orang menunggang kuda.

   Mereka bertubuh kasar.

   Gerak geriknya seperti bajingan murah.

   Dengan berbareng mereka meloncat dari atas kudanya dan langsung menghampiri si nenek.

   Kata seorang yang bertubuh kekar.

   "Hai, nek! Apakah kau kemarin melihat seorang gadis menunggang kuda lewat disini?"

   Nenek itu memiringkan kepalanya. Menyahut .

   "Kau berkata apa?"

   Orang itu nampak mendongkol. Lalu membentak .

   "Aku bertanya padamu, apakah kau kemarin melihat seorang gadis menunggang kuda lewat disin i?"

   Nenek itu tertawa terkekeh-kekeh sambil menggelenggelengkan kepalanya. Dan Lingga W isnu terkesiap hatinya. Pikirnya.

   "Apakah bukan Sekar Prabasini yang dimaksudkan?"

   Memperoleh dugaan demikian. Lingga W isnu memperhatikan mereka berempat Melihat dandanannya mereka seperti anak-buah pendekar Srimoyo. Mengapa mereka mengejar Sekar Prabasini ? "Bagaimana? Kau lihat t idak?"

   Bentak oraing itu-. Nenek itu masih saja tertawa. Jawabnya.

   "Kupingku ini memang aneh. Kalau diajak bicara perlahan-lahan, bisa mendengar Tetapi kalau mendengar suara kasar, malan buntu."

   Lingga W isnu tahu, bahwa nenek itu hanya berpurapura tuli. Maka tahu pulalah ia, bahw a nenek itu menggenggam suatu rahasia. Sebaliknya empat orang itu jadi tidak bersabar lagi. Kata yang bertubuh besar.

   "Gadis itu merampok rumah kami. Ia membongkar sumur. Kemudian minggat. Setelah kami periksa sumur itu, belasan batang panah beracun berloncat dari dalam Dua orang teman kami, mati sekaligus. Karena itu kami datang hendak menangkapnya. Taruhkata engkau tuli, pasti matamu dapat melihatnya."

   Tetapi nenek itu masih saja tertawa ketolol-tololan.

   Dan orang bertubuh kekar itu kehilangan kesabarannya.

   Tiba-tiba saja ia maju dan hendak menghantam nenek itu.

   Menyaksikan hal itu.

   Lingga W isnu t ak tinggal diam.

   Ia melompat dan menghalangkan tangannya.

   Suatu bentrokan tak dapat dihindarkan lagi.

   Dan orang itu mundur sempoyongan dengan mata.

   terbelalak.

   "Siapa kau?"

   Bentaknya "Nenek itu kurang pendengarannya Kenapa kau hendak main pukul?"

   Lingga W isnu membalas membentak.

   "Lagipula bagaimana kalian tahu, bahwa gadis yang kalian cari itu lewat disini?"

   "Gadis itu meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan ke mana dia hendak pergi. Karena itu kami mengejarnya."

   Sahut orang bertubuh kekar itu. Tapi karena ia merasakan kehebatan t enaga Lingga W isnu, ia lantas membalik tubuh. Dengan suatu isyarat mata, ia mengajak ketiga temannya meninggalkan w arung.

   "Hai!"

   Tiba-tiba nenek tua itu memanggil.

   "Kau tadi bertanya apa? Sudah kukatakan telingaku ini aneh Kalau diajak berbicara keras, tidak mendengar. Terlalu perlahan juga tuli Sebaliknya kalau sedang, pandai ia mengangkat tiap patah perkataanmu. Coba ulangi pertanyaanmu dan berbicaralah dengan suara sedang"

   Orang bertubuh kekar itu membalikkan badannya. Berkata dengan suara sedang.

   "Kami mencari seorang gadis menunggang kuda. Apakah engkau melihat dia lewat di sini?"

   "Oh, gadis cantik menunggang kuda ...?"

   Ulang nenek itu.

   "Benar .. kemarin kulihat dia pada waktu begini in i. Dia malahan singgah disini"

   Dia berpesan padaku, bila ada yang mencarinya diharapkan menyusul ke Telaga Sarangan."

   Hati Lingga W isnu tergetar.

   Tiada sangsi lagi, bahw a gadis itu niscaya Sekar Prabasini.

   Ia meninggalkan pesan untuk dirinya.

   Dan orang bertubuh kekar itu lantas melompat ke atas pelana kudanya.

   Kemudian dengan berderap, ia membawa ketiga temannya mengarah ketimur.

   "Nok! Catat!"

   Seru nenek itu kepada gadis itu yang sedang menyulam.

   "Sudah. Nih, lihat!"

   Sahut gadis itu sambil perlihatkan sulamannya.

   Ternyata jumlah bunga sulamannya sudah menjadi tujuh.

   Siapa yang dua orang lagi, pikir Lingga W isnu Pemuda itu sibuk sendiri Dalam hatinya ia merasa heran.

   Pastilah gadis dan nenek itu bukan tokoh-tokoh sembarangan.

   Akan tetapi ia tidak t akut.

   Ia percaya pada kepandaiannya sendiri.

   Andaikata mereka berdua musuh dalam selimut yang akan merugikan dirinya, rasanya ia tak perlu gentar menghadapinya.

   "Sebenarnya siapakah gadis yang dicarinya itu?"

   Ia bertanya mint a keterangan. Nenek tua itu tertawa ramah. Sahutnya.

   "Anak! Kau seorang baik hati. Biarlah aku memberi keterangan kepadamu. Gadis itu tidak memperkenalkan namanya. Ia cantik, tapi sepak terjangnya kejam Kemarin ia melukai dua orang tetamu."

   "Salahnya sendiri,"

   Sambung gadis itu.

   "Mereka mengganggu Malahan tak tahu diri Merekalah yang mencoba menggerayang. Dan gadis itu lalu menghajarnya. Hebat caranya. Dengar sekali gerak, kedua musuhnya kena di lukai Kemudian berkata. Kalau masih ingin menuntut dendam carilah aku disekitar Telaga Sarangan!"

   Heran Tangga W isnu mendengar keterangan gadis itu. Pikirnya.

   "Sekar Prabasini hendak membongkar harta karun atas petunjuk peta ayahnya.. Mestinya harus dilakukan dengan diam-diam. Tapi apa sebab ia justru menghendaki agar diikut i orang?"

   Lingga W isnu mencoba memahami, tetapi tetap tak mengerti maksudnya. Ia tahu. Sekar Prabasin i jauh berpengalaman dalam masalah hidup liar dari pada dirinya. Iapun cerdik pula. Gerak-geriknya sulit diduga dan sering kali mengandung maksud yang dalam.

   "Baiklah, nek Akupun akan segera pergi"

   Akhirnya ia berkata.

   Nenek itu memanggut.

   Ia mengerlingkan matanya ke dalam.

   Lingga W isnu mengikuti pandang nenek itu dengan diam-diam.

   Sekarang jumlah bunga itu menjadi delapan.

   Tahulah dia, bahwa dirinya sudah t ercatat pula.

   Ia lantas berangkat.

   Setelah meninggalkan dusun itu, segera ia berlari-lari mengarah ke t imur.

   Memang, dalam perjalanan jarak jauh, menunggang kuda lebih menguntungkan tetapi kuda tak dapat diajak menerobos atau memotong perjalanan dengan melewati jurang atau hutan gerumbul yang padat.

   Sebaliknya, Lingga W isnu yang memiliki kepandaian tinggi dapat dengan leluasa memotong arah perjalanan.

   Dengan ilmu saktinya, dapat ia melompati jurang-jurang dan mendaki bukit dengan cepat.

   Ia tak merasa canggung, karena sudah biasa hidup diatas gunung.

   Dan sebentar saja Telaga Sarangan sudah nampak didepan matanya Ia beristirahat sejenak ditepi telaga memperhatikan pemandangan sekitarnya.

   Pada dewasa itu, telaga Saiangan belum seindah sekarang.

   Telaga itu masih tertutup rimbun belukar.

   Disana-sini masih terdapat gugusan-gugusan liar sehingga kesannya menyeramkan.

   Hut an padat memagarinya.

   Dan sekali-kali terdengar aum binatang buas yang mencari mangsa.

   Lingga W isnu kemudian membuat sebuah rakit Setelah selesai, ia naik di diatasnya dan mengayuhnya tak ubah sebuah perahu.

   Tiba-tiba ia.

   melihat sesuatu yang gemerlap tergantung diatas sebatang pohon.

   Apa itu? Bergegas ia membawa rakitnya menepi.

   Setelah diperhatikan ternyata sebuah kunci terbuat dari emas murni Keruan saja Lingga W isnu merasa heran.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pikirnya.

   "Kunci siapakah in i?"

   Ia membolak-balikkannya kunci itu. Sama sekali tiada tanda-tandanya. Lalu memberanikan diri untuk menciumnya. Ia kaget. Itulah bahu wangian yang dikenalnya. Katanya didalam hati.

   "Kunci Prabasini, Apa maksudnya? Kenapa kunci ini sengaja digant ungkan diatas pohon ini? Bagaimana kalau sampai diket emukan lain orang? Atau ,.. atau ia berada dalam bahaya?"

   Memperoleh pikiran demikian, hatinya tergetar. Perasaan gugup menyelimut i dirinya. Pikirnya lagi.

   "Kunci Prabasini ini berada disini. Niscaya Prabasin i t ak jauh dari t empat ini pula."

   Segera ia memperbaiki letak pakaiannya.

   Tatkala hendak melangkahkan kakinya, ia melihat suatu coratcoret diatas sebuah batu.

   Begini bunyinya.

   Ditetaga Sarangan Diatas Gunung Lawu Dengan kunci emas Mencari harta leluhur "Hei! Kenapa Prabasini sengaja memancing kedatangan orang?"

   Seru Lingga W isnu heran didalam hatinya.

   "Apakah maksudnya?"

   Dengan terlongong-longong ia duduk di atas batu. Ia mencoba memahami dan memecah teka-teki Sekar Prabasin i, Katanya di dalam hati.

   "Tempat beradanya harta karun itu masih merupakan teka-teki besar. Sekarang Prabasini menambah teka-teki baru lagi. Apa maksudnya?' Tak usah disangsikan lagi, bahw a harta karun itu berada diatas gunung. Akan tetapi dimana letaknya? Gunung Lawu termasuk gunung raksasa. Bukankah dirinya tak ubah sebatang jarum diatas permukaan laut? Harta itu sendiri, baginya tidak terlalu penting. Yang dikhawatirkan bila jatuh ditangan para penjahat atau penghianat negeri Lingga W isnu kemudian naik ke atas rakitnya lagi. Dalam hai ini, ia tak boleh gegabah. Pasti ada liku-likunya yang pelik. Lagi pula siapa tahu, kalau dirinya sedang diint ip orang. Ia mengayuh perahunya, ke tengah telaga. Maksudnya agar memperoleh penglihatan yang luas. Seberang menyeberang t elaga, t erasa indah dan agung. Meskipun seram, akan tetapi lebih aman dan damai bila dibandingkan dengan kesibukan kota-kota besar.

   "Biarlah aku mengelilingi telaga ini agar lebih mengenal letak tanahnya. Di atas permukaan air, siapakah yang akan mengganggu diriku. Malahan, aku akan segera melihat orang-orang tertentu yang berkeliaran disekitar t elaga."

   Pikirnya didalam hati,.

   Perlahan-lahan ia menyimpan kuncinya.

   Kemudian berlagak sebagai seorang yang tengah berpesiar, Dilayangkan penglihatannya dari seberang keseberang.

   Apabila petanghari tiba, ia mendarat dan tidur diatas pohon.

   Hawa gunung luar biasa d inainnya.

   Untunglah tadi ia membekal penganan dari kedai si nenek.

   Dan sambil menggerumuti penganan, Dia memperhatikan alam sekitarnya.

   Berjam jam ia memperhatikan.

   Tahu-tahu ia tertidur.

   Tatkala hawa dingin membangunkannya, matahari sudah muncul dilangit timur.

   Dengan sekali loncat, Lingga W isnu mendarat diatas tanah, Bertiduran di tengah alam terbuka bagi Lingga W isnu bukan merupakan suatu hal yang asing..

   Dahulu semasa masih berada diatas Gunung Dieng, seringkali ia bertiduran diatas dahan pohon.

   Begitu turun diatas tanah, keadaan tubuhnya menjadi segar bugar.

   Ia menunggu sampai matahari sepengalah tingginya.

   Setelah mandi segera ia mencari bekas jejak kaki Prabisini, Tak lama kemudian sampailah ia disebuah ketinggian.

   Dengan berlari-larian, ia mendaki bukit itu.

   Begitu tiba di atasnya, ia heran.

   Di-bawah sana tergelar petak sawah yang indah.

   Nampak pula taman bunga yang teratur.

   Harumnya semerbak memasuki hidungnya.

   "Milik siapa sawah dan taman bunga itu? ia menebaknebak.

   "Apakah seorang pertapa?"

   Ia menuruni bukit itu dan mendaki bukit lagi yang berada disebelahnya.

   Sambil berjalan, ia mencoba mencari kemungkinan-kemungkinannya.

   Setelah ubekubekan beberapa saat lamanya, ia melihat dua kanakkanak sedang menggembala kerbau.

   Teringat kepada bocah penggembala kerbau kemarin, ia lant as bersikap hati-hati dan waspada.

   Dua penggembala kerbau itupun memperhatikan dirinya.

   Pandang matanya keheran-heranan dan penuh curiga.

   Mereka saling memandang dan saling memberi isyarat mata.

   Lingga W isnu kemudian menghampiri.

   Bertanya.

   "Adik berdua! Aku datang kemari untuk berpesiar. Apakah ada jalan untuk mendaki ke atas?"

   Kedua penggembala kecil itu saling memandang. Salah seorangnya menyahut dengan suara nyaring.

   "Aku tak tahu."

   Mendongkol hati Lingga W isnu mendengar dan melihat sikapnya yang acuh tak acuh.

   Bila d ibandingkan dengan sikap nenek dan gadis kemarin, alangkah jauh.

   Meskipun nenek dan gadis itu bersikap rahasia, akan t etapi mereka ramah-tamah.

   Tiba-tiba ia merasa heran Kedua bocah itu mendadak melompat turun dari kerbaunya masing-masing..

   Kemudaan saling memaki.

   Setelah itu saling melempari tanah basah.

   Bahkan kedua kerbaunya diadu dan membiarkan merusak t anaman "Lucu kedua bocah ini,"

   Pikir Lingga W isnu didalam hati "Mereka tadi nampak bersatu padu dan aman damai. Dengan mendadak mereka bertengkar, saling memaki dan saling melempari t anah."

   Ia lantas maju dua langkah hendak melerai.

   Tetapi kedua bocah itu telah terlanjur berkelahi.

   Tidak hanya sampai disitu saja, mereka bahkan menghardikhardik kerbaunya agar berkalahi dengan sungguhsungguh.

   Keadaannya lantas menjadi kacau balau.

   Celakalah Lingga Wisnu.

   Jalan yang sedang diambilnya terlalu sempit.

   Sekarang, kedua kerbau itu saling seruduk dan saling menguber.

   Tiba-tiba saja larinya mengarah padanya.

   Kedua bocah itu nampak terkejut.

   Keduaduanya segera melompat keatas kerbaunya masingmasing.

   Mereka berteriak teriak dalam usahanya hendak menguasai binatangnya.

   Tetapi kerbau mereka bahkan makin menggila.

   Lingga W isnu terperanjat.

   Tak terasa ia memekik.

   Secara wajar, himpunan tenaga saktinya dikerahkan untuk menahan lajunya dua kerbau yang menyeruduk kearahnya.

   Mengingat kedua bocah itu, tak berani ia menggunakan sepenuh tenaga.

   Ia hanya mengerahkan tenaga tiga bagian saja.

   W alaupun demikian, kedua kerbau itu dapat ditolaknya ke kiri dan ke kanan hingga roboh membentur tebing gunung.

   Ia sendiri membarengi dengan berjongkok di antara kedua perutnya.

   Ia selamat Tapi sekonyong-konyong ia mendengar kedua anak memekik tinggi.

   Jantungnya berdegupan.

   Pikirnya se lint as.

   "Celaka! Apakah aku menggunakan tenaga terlalu besar sehingga melukai mereka? Kalau benar demikian, aku melukai dua bocah yang tidak berdosa."

   Cepat ia berputar. Dilihatnya kedua kerbau itu lari meubras-nubras menuruni bukit. Tapi kedua anak itu, tak nampak. Apakah mereka terlempar? "Hai!' kemana mereka?"

   Ia heran berbareng terkejut. Tatkala ia melayangkan matanya hendak mencari dimana mereka kini berada, muncul ah dua orang petani dari tikungan. Mereka lalu berseru nyaring.

   "Setan! Masakan dihari terang benderang ada penjahat masuk kemari?"

   Mendengar seruan mereka, Lingga W isnu menjadi gugup. Cepat-cepat ia berteriak.

   "Eh, kang! Nanti dulu. Aku bukan penjahat". Lingga W isnu merasa, bahw a seruan dua orang petani itu dialamatkan kepadanya. Maka ia hendak memberi keterangan siapa dirinya. Tetapi kedua petani itu tidak menggubris. Bentak salah seorangnya.

   "Kau bukan penjahat? Kenapa kau lukai kerbau kamj dan kau culik anak-anak kami?"

   Lingga W isnu heran. Dengan terbata-bata ia menyahut.

   "Aku menculik anakmu? Kapan .... mereka ... mereka ..

   "

   Dua petani itu memotong perkataan Lingga W isnu dengan tertawa merendahkan. Dengan nada mengejek mereka menirukan ucapan Lingga W isnu.

   "Mereka ... mereka ... mereka kenapa? Kalau bukan kau culik, apa sebab mereka lenyap?"

   "Untuk apa aku menculik anakmu?"

   Lingga W isnu mendongkol,.

   "Siapa tahu hatinya orang? Bisa saja kau jual."

   Mau tak mau, Lingga W isnu te rtawa geli juga. Dengan sabar ia berkata .

   "Coba kau periksa dahulu kerbaumu. Luka atau t idak! Setelah itu, carilah kedua anakmu. Jangan lantas menuduh orang"

   Kedua petani tiba-tiba saja menjadi marah"

   Dengan paculnya masing-masinp mereka maju dan menyerang berbareng.

   Sudah barang tentu, Lingga W isnu heran berbareng terkejut la heran menahadapi dua orang petani yang berwatak begitu ganas.

   Sebaliknya ia terkejut menyaksikan kesehatan dan tenaganya, W alaupun seorang petani biasa bekerja berat, namun tenaga mereka melebihi kekuatan petani lumrah.

   Karena itu tak berani Lingga W isnu memandang ringan.

   Terpaksa Lingga W isnu mengelak sambil menyambarkan tangannya hendak merampas kedua pacul mereka.

   Diluar dugaan kedua petani itu melolonglolong seperti sedang kebakaran rumah .

   "Tolong! Tolong! Ada pembunuh! Perampok !"

   Lingga W isnu mendongkol dan geli hati. Katanya kepada mereka.

   "Mengapa kalian menyebut aku seorang pembunuh. Jika aku benar-benar berniat hendak mengambil jiwamu, sudah semenjak tadi kalian t ak bernapas ?"

   Dengan sekali sambar, kedua pacul itu dapat dirampasnya kemudian dilemparkan ke atas tebing.

   Tepat pada saat itu datanglah delapan orang yang membawa pacul pula.

   Sedang kedua petani tadi lari mengundurkan diri, mereka berdelapan menyerang dengan berbareng.

   Mau tak mau hati Lingga W isnu jadi kesal juga.

   Pikirnya mendongkol;

   "Akh, aku jadi berkelahi tak keruan-keruan. Kalau menang, apakah yang kumenangkan.. Kalau kalah, celaka benar .,,"

   Karena delapan orang itu menyerang dari kiri kekanan, belakang depan terpaksalah ia bergerak dengan gesit.

   Tujuannya hanya hendak melarikan diri.

   Ia melompat mundur.

   Tiba-tiba ia menjadi heran.

   Kedelapan orang itu telah mengurung rapat.

   Kemana saja ia bergerak, salah seorang diant ara mereka telah menghadangnya dengan menyabatkan paculnya.

   Agaknya mereka telah berlatih semenjak lama, pikirnya.

   Teringatlah dia kepada cara berkelahi keluarga Dadang Mataun, Meskipun berbeda jauh, akan tetapi pada dasarnya tidaklah beda.

   Maka terpaksalah ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.

   Tentu saja mereka biakan tandingnya Lingga W isnu.

   Sebentar saja, ia telah dapat memecahkan kepungan mereka.

   Hanya saja, karena tidak menggunakan kekerasan, masih saja mereka dapat mengurung rapat.

   Lebih hebat lagi mereka t idak t ahu diri.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
W alaupun sudah dapat dibobolkan masih saja mereka mengotot.

   Lambat laun Lingga W isnu mendongkol juga.

   Tengan sekali menjejakkan kakinya ia melesat sejauh sepuluh langkah.

   Kemudian berseru.

   "Janganlah kalian memaksa aku untuk berkelahi dengan sungguh-sungguh. Bila aku menggunakan pukulanku, pastilah kalian akan menderita luka."

   "Apa yang kau maksudkan dengan sungguh-sungguh itu!"

   Bentak seorang yang rupanya menjadi pemimpinnya.

   "Kau anjing bangsat! Apakah kau kira kami t akut?"

   Mendongkol hati Lingga W isnu. Pikirnya didalam hati.

   "Mereka ini bandel. Biar kukutungkan pacul mereka. Ingin kut ahu apelkah mereka takut atau tidak."

   Memperoleh keputusan demikian, ia meraba hulu pedangnya. Mendadak terdengarlah seseorang berseru dari ketinggian.

   "Hei! Kenapa kalian berkelahi?"

   Lingga W isnu mendongak dan melihat seorang berusia tua.

   Rambut dan jenggotnya telah memutih, dandanannya mirip seorang petani, akan tetapi wajahdan pandang matanya jernih.

   Maka tahulah Lingga W isnu, bahwa erang itu niscaya memiliki kepandaian tinggi "Penjahat ini melukai kerbau dan menculik anak kami."

   Sahut seorang.

   "Kerbau yang mana? Kerbau kita tak kurang suatu apa. Juga anak-anak kita."

   Ujar orang t ua itu. Kemudian ia memanggil.

   "Sidin! Samijo!"

   Lingga W isnu mengerlingkan matanya dan melihat dua ekor kerbau datang dengan langkah tenang. Dan dibawah perutnya, mendadak muncul dua bocah tadi yang tertawa cekikikan.

   "Eh, kurang ajar!"

   Maki Lingga W isnu dalam hati "Pantaslah kerbau-kerbau lari berputaran seperti terkendalikan, Alihkan, mereka berada dibawah perutnya.

   Kepandaiannya menunggang kerbau melebihi kepandaian se orang prajurit berkuda.

   Dan kedelapan petani ini datang menyerang dengan tiba-tiba.

   Disengaja atau tidak? Kalau begitu baiklah aku berwaspada.

   Orang tua yang berada diket inggian itu lalu berkata kepada kedelapan petani yang mengerubut Lingga W isnu.

   "Kamu benar-benar petani-petani biadab yang tak tahu tata-sopan. Hampir-hampir saja kalian melukai seorang pesiar yang t ak berdosa. Hayo .... Kenapa kalian tidak mohon maaf?"

   Kedelapan petani dan kedua penggembala kecil yang sudah mempersatukan diri itu, lalu menghadap Lingga W isnu. Dengan berbareng mereka membungkuk hormat. Kemudian meninggalkan tempat itu dengan berdiam diri..

   "Apakah tuan datang untuk berpesiar?"

   Tanya orang tua itu.

   "Benar"

   Sahut Lingga W isnu singkat.

   "Gunung Lawu adalah gunung bersejarah semenjak zaman dahulu. Takkan tammat tuan mengagumi. Juga sawah ladangnya yang indah permai, takkan dapat menghilangkan duka cita tuan. Kecuali bila tuan berada di gunung ini beberapa hari lamanya."

   Kata orang tua itu dengan ramah. Lingga W isnu merasakan keramahan itu. Nampaknya dia sopan pula. Maka tanyanya dengan hormat.

   "Bolehkah aku menyebut nama eyang?" (Eyang = kakek).

   "Akh, tak usah tuan menyebut aku eyang atau tuan. Lebih baik kita saling mengengkau Dengan demikian perasaan kita jad i lebih bebas. Dan pergaulan kita akan terasa lebih akrab"

   Lingga W isnu menyetujui saran itu. Jawabnya .

   "Benar."

   "Selama hidupku, aku berdiam di atas gunung ini."

   Kata orang tua itu.

   "Dusun tempat kediamanku disebut orang. Karang Teleng. Bila tuan hendak menginap beberapa hari di gunung ini, silahkan menginap dirumahku, '' "Kau baik sekali, eyang. Terima kasih. Hanya saja aku khawatir akan mengganggu saja,"

   Orang tua itu tertawa lebar. Sahutnya.

   "Kenapa tuan berkata begitu? Inilah peristiwa yang sederhana saja. Tuan datang kemari untuk berpesiar. Kebetulan sekali aku mempunyai sebuah gubuk. Lalu, tuan berkenan menginap digubukku. Bila cocok, kita berdua akan jadi sahabat. Bila tidak tuan dapat pergi dengan bebas merdeka.. Apakah yang mengganggu diriku?"

   Lingga W isnu heran dan girang mendengar kata-kata orang tua itu.

   Tak usah disangsikan lagi, bahw a pelajar atau seorang yang berpendidikan.

   Maka segera ia menghampiri dan membungkuk hormat..

   Ia merasa puas dapat berkenalan dengan dia.

   Memang, didalam hatinya, ia bermaksud mencari seseorang yang dapat menemani atau memberi petunjuk petunjuk yang berharga dalam pencarian mencari harta warisan Bondan Sejiwan Syukurlah, bila bisa memberi kabar tentang beradanya Sekar Prabasini.

   Orang t ua itu menunjuk kearah lereng gunung sambil berkata.

   "Desa Karang Teleng terletak di lereng gunung itu. Disana tiada terdapat sesuatu yang berharga, kecuali sayur-mayur dan sekedar ikan kering. Bila tuan hendak berpesiar, silahkan dahulu. Sebentar malam hendaklah tuan singgah digubukku. Kami akan berusaha menyediakan ikan segar dan minuman hangat. Mungkin sekali k ita dapat berbicara berkepanjangan.

   "

   "Terima kasih,"

   Sahut Lingga W isnu bergembira.

   Didalam hatinya ia berkata "Orang tua ini luar biasa.

   Bila sikapnya tidak mengandung maksud, pastilah dia seorang pendekar yang berkepandaian tinggi.

   Sekiranya tak berhasil menemukan harta warisan leluhur Sekar Prabasin i, berkenalan dengan dia sudah merupakan suatu keuntungan besar bagiku.

   Delapan petani-petani tadipun bukan manusia lumrah.

   Perlu aku berkenalan dan bersahabat dengan mereka ..

   "

   Lingga Wtsnu kemudian mendaki gunung.

   Lagaklagunya benar-benar seorang pesiar.

   Tetapi sebenarnya ia selalu memasang matanya.

   Setiap tempat dicarinya dengan teliti dan selalu dirasukkan kedalam perbendaharaan ingatannya.

   Sampai tengah hari; Lingga W isnu berjalan berputaran..

   Kadang-kadang ia melihat seorang petani sedang mengharap sawah dan beberapa orang penebang pohon.

   Mereka memperhatikan dirinya dengan diamwdiam seolah-olah sedang menyelidiki.

   Ia heran dan merasa syak.

   Namun ia tak takut.

   Dengan diam-diam pula, ia memperhatikan tempat dan kelilingnya, Dan memberi tanda-tanda t ertentu dengan jari atau geseran kakinya.

   Tatkala matahari hampir memasuki petang hari, ia duduk berjuntai diatas batu, Agar tak dicurigai, ia berpura-pura merokok.

   Dan batu koreknya (batu letikan) disimpannya di dalam sakunya.

   Semenjak hendak mendaki gunung, ia sudah mempersiapkan batu letikan.

   Siapa t ahu akan banyak faedahnya dimalam hari.

   Matahari telah tenggelam kini.

   Segera kita kembali ke rumah orang tua itu, hendak menepati janji.

   Ternyata rumah tua itu seperti rumah seorang kepala kampungSerambi depannya lebar dan luas.

   Berpagar batu dan berpintu gerbang.

   Begitu tiba didepsn pintu gerbang, seseorang membuka pintu itu dengan perlahan-lahan.

   Lalu muncul ah seorang gadis yang cantik luar b iasa.

   Pandang matanya bersinar tajam.

   Kulit wajahnya halus.

   Perawakan tubuhnya padat semampai.

   "Akh!"

   Lingga W isnu terkejut.

   "Kecantikan dan kemanisannya merupakan gabungan perwatakan Sekar Prabasin i dan Suskandari. Heran ... benar-benar mengherankan. Di atas gunung yang sunyi senyap begini, berdiam seorang gadis cantik jelita tiada taranya."

   Lingga W isnu hendak membuka mulutnya atau gadis itu telah mendahului. Dia tertawa manis sekali sambil berkata lembut.

   "Apakah tuan yang datang kemari untuk berpesiar? Ayah telah membicarakan diri t uan "

   Lingga W isnu mengucapkan terima kasih.

   Lalu mengikuti gadis itu masuk ke dalam, pekarangan rumah yang dilalu inya, penuh bunga aneka-warna yang semerbak harumnya.

   Bila pemilik rumah tidak berpendidikan, mustahil dapat mengatur petamanan itu demikian serasi serta indah.

   Rasanya t idak kalah dengan t aman bunga di kota besar.

   Orang tua - ayah gad is itu - sudah menghadang diserambi depan dengan tertawa ramah.

   Diatas meja benar-benar telah tersedia beberapa botol minuman keras dan beberapa piring ikan segar.

   "Bagaimana kesan tuan tentang Telaga Sarangan kami?"

   "Benar hebat dan agung."

   Jawab Lingga W isnu dengan sungguh-sungguh.

   "Keindahannya, lebih menarik daripada T elaga Puteri ."

   "Apakah tuan pernah melihat Telaga Puteri juga?"

   Potong orang tua itu.

   "Secara kebetulan aku lewat dan berkesempatan menikmati keindahannya."

   Ujar Lingga W isnu. Dan orang tua itu tertawa lebar"

   Katanya;

   "Hanya sayang sekali. Seseorang jarang sekali dapat menghargai keindahan gunung dan telaganya. Mereka lebih tertarik kepada jabatan tinggi, pangkat besar dan logam yang berwarna kuning. Sayang, bukan?"

   Mendengar ucapan orang tua itu, Lingga W isnu terperanjat. Pikirnya didalam hati.

   "Ia menyebut-nyebut logam kuning. Bukankah emas yang dimaksudkan? Apakah dia sudah dapat menduga maksud kedatanganku kemari? Akh, aku terlalu curiga. W alaupun harta warisan itu berada digunung ini, belum tentu dia mengetahui. Sekiranya mengetahui, masakan dia t inggal diam?"

   Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya jadi tenteram kembali.

   Tatkala tuan rumah mempersilahkan meneguk minuman keras, ia dapat melayani dengan baik dan wajar.

   Kemudian berbicara tentang kesenian, kebudayaan, wayang kulit- dan sejarah.

   Ternyata orang tua itu dapat berbicara banyak tentang semuanya itu.

   Terutama masalah seni wayang kulit dan sejarah..

   Dengan demikian mereka berbicara seperti dua sahabat yang akrab.

   Hanya saja masing masing tidak menanyakan nama dan asal usul seolah-olah suatu pant angan besar.

   Setelah meneguk beberapa gelas minuman, orang tua itu nampak menjadi pusing.

   Dengan tertawa mohon maaf, ia berkata.

   "Tenagaku tidak sekuat zaman dahulu. Kepalaku sudah pusing. Perkenankanlah aku mendahului beristirahat. Pemandangan sekitar dusun ini sangat indah diwaktu bulan purnama. Bila tuan ingin menikmati keindahannya, silahkan Tuan tak usah bersegan-segan. Pintu depan tidak akan kami t utup. Dengan demikian, tak perlu tuan mengetuk. Tolak saja, dan pintu akan terbuka, Apakah tuan membutuhkan seorang teman? Biarlah anak kami menyertai tuan"

   "Baik sekali orang in i,"

   Pikir Lingga W isnu.

   "ia seolah-olah mengetahui isi hatikuku. Memang, ingin aku menikmatr malam bulan purnama. Siapa tahu aku memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga,"

   La lantas mengucapkan terima kasih. Dan tatkala orang tua itu mengundurkan diri, anak gadisnya telah berada disisinya Berkata manis.

   "Apakah tuan untuk yang pertama kali ini datang kemari?"

   "Y a."

   Sahut Lingga W isnu kaku.

   "Ayah berkata, bahwa tuan datang dari arah Telaga Puteri. Mungkin tuan datang dari Kartasura. T etapi entah dimana dan kapan ".. aku seperti pernah melihat wajah tuan."

   "Akh, kau pandai berkelakar."

   Sahut Lingga W isnu dengan tertawa.

   "Sebenarnya aku ingin berkenalan denganmu pada t ahun-tahun sebelumnya, Sayang, baru sekarang aku mengenalmu.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "

   Gadis itu tertawa. Tetapi tidak menanggapi ucapan Lingga W isnu. Katanya mengalihkan pembicaraan.

   "Silahkan! Kamar untuk tuan tidak begitu baik. Maklum, rumah pegunungan,"

   Lingga W isnu menjenguk kamarnya, Ternyata bersih dan menyenangkan. Jendelanya menghadap sebuah kolam ikan yang ditanami berbagai tetanaman bunga. Harum bunganya menusuk lubang hidung. Gadis itu kemudian mengundurkan diri. Katanya dengan lembut.

   "Pemandangan sekitar rumah ini menggairahkan. Makin mendalami makin terasa keindahannya yang abadi. Tapi ent ahlah. Orang kota biasanya lebih tertarik kepada harta benda."

   Lingga W isnu terkejut. Pikirnya didalam hati. Dia pun menyebut-nyebut harta benda seperti ayahnya. Apakah keluarga in i benar-benar sudah mengetahui maksud kedatanganku."

   Kalau begitu aku harus berwaspada.

   0odwo0 Lingga W isnu tidak segera menidurkan diri.

   Teringatlah dia kepada Sekar Prabasin i Kemana perginya gadis itu? Aku tersesat kemari, akan tetapi setidaktidaknya memperoleh kamar dan pelayanan yang baik.

   Sedang dia mungkin sekali menginap ditengah alam.

   Akh ..

   ia mengeluh didalam hatinya.

   Tak terasa ia melemparkan pandangnya keluar jendela.

   Bulan gede sedang memancarkan cahayanya.

   Hatinya tertarik.

   Segera ia mengerubungi dirinya dengan pakaian tebal, kemudian keluar halaman mereguk keindahan malam.

   Ia mendengar desah gelombang Telaga Sarangan.

   Lalu berjalan mendaki bukit dan berdiri didekat batu.

   Telaga Sarajgan yang kena pantulan cahaya rembulan amat indah bila dijenguk dari atas.

   Kegedeannya dipantulkan kembali oleh permukaan air.

   Kesannya agung dan menyedapkan perasaan.

   Selagi ia tertawan keindahan telaga itu tiba-tiba ia mendengar suara tembang (nyanyian) seorang gadis yang berbunyi begini.

   Samengko kang tinutur.

   sembah katri kang sayekti katur mring Hyang Sukema, suksmanen sehari-hari arahen dipun kacukup sembahing jiwa sut eng ngong.

   alih bahasa.

   Sekarang yang akan dikatakan tentang sembah ketiga yang benar Kepada Hyang Suksma Hendaklah kau lakukan setiap hari Resapkanlah dalam perasaanmu Kedalam a lam jiwamu.

   Itulah lagu gambuh yang menganjurkan kepada tiap Insan agar bersembah kepada Yang Maha Kuasa dengan bersungguh-sungguh.

   Kalau diartikan lebih mendalam, mengandung peringatan pula terhadap siapapun yang terlalu condong kepada harta benda dan kesenangan lahiriah.

   Dalam hal ini, Lingga W isnu merasa diri menjadi sasarannya.

   W alaupun pencarian harta itu semata-mata untuk menuruti kehendak Sekar Prabasini, namun siapakah yang dapat rnembaca hatinya.

   Maka ia merasa perlu untuk memberi keterangan tentang dirinya.

   Sahutnya.

   Didalam dunia ini ada juga seorang laki-laki Berdiri t egak dengan sebilah pedang ditangan Apakah arti permata dan kesenangan lahiriah Bila dibandingkan dengan tugas suci pada tiap kasatria sejati Sekali hidup kemudian mati Bertempur menghancurkan angkara murka.

   Begitu kata-kata Lingga W isnu bergaung hilang diant ara celah-celah bukit, muncul ah gadis, puteri pemilik rumah, diant ara batu-batu yang mencongak dipermukaan bumi.

   Dengan bersenyum ia memandang Lingga W isnu.

   Kemudaan melambaikan tangannya dengan perlahan, Lingga W isnu menghampiri T atkala berada didepannya sekira lima langkah, berkatalah gadis itu.

   "Apakah benar-benar engkau bercita cita hendak menghancurkan angkara murka?"

   "T ak tahulah aku,"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Tapi kukira, bila laki-laki itu sudah mengutuhkan pilihannya, tidakkan mungkin mengundurkan diri. Kata pepatah bahasa, lebih hidup satu hari menjadi harimau dari pada satu tahun menjadi kambing sembelih."

   Mendengar ucapan Lingga W isnu, gadis itu berubah wajahnya. Dengan tertawa dingin melalui dadanya, ia berkata.

   "Kau datang kemari hendak mencari harta bukan? Janganlah bermimpi yang bukan bukan..! "

   Dengan sekonyong-konyong gadis itu menghunus pedang pendek yang bersinar h ijau. Kemudian menikam Lingga W isnu dengan gerakan cepat luar biasa. Sudah barang tentu Lingga W isnu kaget bukan main. Ia mengelak cepat pula. Menegas.

   "Hai! Kenapa?"

   Gadis itu tidak menyahut.

   Ia menikam.

   Kali in i sangat gesit.

   Karena dia bersungguh sungguh, tak berani Lingga W isnu semberono.

   Segera ia mengimbangi dengan gesit pula.

   Hanya saja ia tidak melakukan perlawanan.

   Setiap kali d itikam, ia melompat mundur.

   Karena itu ia terdesak sampai dengan tiba-tiba berada ditengah-tengah kubu batu.

   "T ahan! Berilah aku kesempatan berbicara Dengarkan dahulu .

   "

   Belum lagi ia menyelesaikan perkataannya, muncullah beberapa orang dari balik batu.

   Diantara mereka t ampak orang tua pemilik rumah.

   Ia bersenjata cempuling Tatkala melompat keatas batu, dengan ganas ia menyerang.

   Hebat sambaran cempulingnya Maka tahulah Lingga W isnu bahwa orang tua itu sudah cukup terlatih dan pandai menguasai senjatanya, Tenaganya pun cukup tinggi.

   0oodwo00

   "Eyang!"

   Seru Lingga W isnu.

   "Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Kenapa sikapmu mendadak berubah?"

   "Hm!,; dengus orang tua itu "Apakah engkau tidak merasa sendiri? Mulanya kusangka engkau tetamu terhormat. Tak tahunya engkau seorang penjahat yang gila harta benda."

   Dalam pada itu, delapan petani t adi, ikut muncul pula. Beberapa orang diant ara mereka berkata hampir berbareng.

   "Memang semenjak pagi tadi, sudah kami ketahui siapa engkau sebenarnya. Kau manusia jahat yang gila harta. Hayo, bunuhlah dia "

   Sekarang, mereka tidak hanya bersenjata pacul belaka.

   Tetapi pedang, golok, cagak dan tongkat besi.

   Dengan serentak mereka menerjang.

   Lingga W isnu mengeluh.

   Ia tidak diberi kesempatan untuk berbicara.

   Maka terpaksa ia mengadakan perlawanan.

   Dengan sekali hunus pedang Kebo W ulung berkelebat.

   Dan dua senjata mereka terkutung dengan mudah.

   Sudah barang t entu, para petani t erperanjat sehingga mundur dengan tergesa gesa.

   Syukur, Lingga W isnu tidak mengejar.

   Serunya .

   "T ahan!"

   "Apa yang harus ditahan?"

   Teriak orang tua pemilik rumah dengan tertawa terbahak-bahak.

   "W alaupun engkau memiliki pedang mustika, tetapi kami sudah mengurungmu. Percayalah, tidak akan dapat engkau berbuat banyak!"

   Lingga W isnu biasa bergaul dengan orang-orang tua yang aneh tabiatnya seperti gurunya sendiri dan Ki Ageng Gumbrek.

   Selamanya ia menghormati dengan hati tulus.

   Juga kali ini..

   Meskipun diserang orang tua itu bertubi-tubi, tak mau ia membalas atau mendesaknya.

   Arah sasarannya kepada orang lain.

   Akan tetapi gerakan mereka gesit dan aneh luar biasa.

   Kalau diserang ia mundur dan yang lain menggantikan.

   Tegasnya, mereka menyerang den mundur dengan bergantian.

   Merekapun tidak sudi membiarkan senjatanya kena bentrok pedang mustika Lingga W isnu yang tajam luar b iasa.

   Karena itu, lambat laun Lingga W isnu mendongkol juga.

   Sekarang ia memperhatikan kesepuluh lawannya, Kecuali orang tua dan gadis itu, kepandaian kedelapan petani itu t idaklah seberapa.

   Hanya karena mereka maju mundur dengan bergantian, tak pernah seorangpun kena dilukai.

   "Coba, kuarahkan seorang saja. Ingin ku tahu, bagaimana cara mereka mempertahankan diri."

   Pikir Lingga W isnu didalam hati, Memperoleh pikiran demikian, Lingga W isnu segera ijendesak seorang petani. Petani itu berlari-larian sekeliling batu. Lalu lenyap"

   Sebagai gant inya, gadis putera pemilik rumah menyerang dengan pedang pendeknya.

   Selagi Lingga W isnu menghadapi gadis itu dengan ragu-ragu, ia diserang dari belakang dan samping.

   Cepat-cepat ia mendesak dan menyerang gadis itu dengan gesit.

   Mereka semua menghilang dibalik batu.

   Sebagai gantinya adalah orang tua pemilik rum ah.

   "Hai!"

   Pikir Lingga W isnu.

   "Merekapun pandai bertempur seperti keluarga Dandang Mataun."

   Memperoleh ingatan itu, ia segera memperhatikan gerak-gerik mereka. Benar-benar tiada bedanya. Apakah mereka mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga Dandang Mataun?"

   Sekali lagi ia mencari keyakinan.

   Setelah yakin benar segera ia bersuit nyaring.

   Pedangnya berkelebat keberbagai penjuru..

   Sekali bergerak, sasarannya tiga tempat.

   Dan mereka lantas saja menjadi gempar dan terperanjat.

   Sebenarnya, bila mau Lingga W isnu dapat merobohkan mereka dengan mudah.

   Akan tetapi ia tak sampai hati melukai mereka.

   Tujuannya kini hanya hendak menerobos keluar dari kepungan, Ujung pedangnya bergerak gerak tiada hentinya.

   Dan ia menyerang tiga sasaran sekaligus.

   Malahan pada suatu kali, ia menyerang tujuh sasaran dengan berant ai.

   Seketika itu juga, garis pertahanan mereka kacau balau.

   Lingga W isnu sengaja mengarah kepada gadis itu.

   Dengan gesit ia memburu, setiap kali memunahkan serangan yang lain.

   Sebentar saja gadis itu.

   terdesak sampai dipint u luar.

   Ia memekik ketakutan.

   Dan mendengar pekiknya Lingga W isnu menghentikan serangannya, Itulah suatu kesalahan besar bagi Lingga W isnu.

   Hal itu diketahuinya benar.

   Sebab ia takut melukai gadis itu, Justru pada saat itu, bumi yang diinjaknya amblong.

   Gadis itu membarengi dengan pekikan tinggi ..

   Lingga W isnu kaget.

   Ia kaget karena tubuhnya terjebur kedalam lubang.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Iapun kaget dan tertegun sejenak mendengar pekikan gadis itu untuk yang kedua kalinya.

   Kenapa? Pada detik itu, ia membagi perhatian.

   Kepada bumi yang diinjak dan gadis itu.

   Tahu-tahu Rubuhnya telah terbanting masuk ke dalam lubang.

   Sekarang barulah ia teringat untuk menolong dirinya sendiri.

   Tetapi telah kasep.

   W alaupun mempunyai kepandaian tinggi, tetapi karena gerakannya terhenti, membuat dirinya kehilangan pegangan.

   Tak keburu lagi, ia menolong dirinya sendiri.

   Satu-satunya perbuatan yang dapat dilakukan in i,, hanyalah mencoba menghambat lajunya, Ia kemudian berjungkir balik.

   Tatkala kedua kakinya meraba dasar tanahnya, ternyata lembab seperti berlumpur.

   Tahulah ia kini, bahw a dirinya jatuh kedalam sumur yang sangat dalam.

   Sumur itu gelap gulita sehingga penglihatannya tak dapat melihat kedua tangannya.

   Teringatlah dia, bahw a di dalam sakunya tersimpan sebuah batu letikan.

   Maka ia menyalakannya.

   Dan dengan bantuan letikan batu api itu, dapatlah ia melihat sekelilingnya Ia merobek lengan bajunya dan membakarnya.

   Api lantas menyala.

   Tetapi baunya sangat tajam serta nyaris menyesakkan napas.

   Selint asan, ia melihat betapa dalam dasar sumur yang diinjaknya itu.

   Tiada harapan untuk dapat merayap keatas.

   Dasar tanahnya pun tidak rata.

   Untunglah, didepan matanya terlihat sebuah lubang, Doanya.

   "Mudah-mudahan sebuah terusan,"

   Karena mempunyai penerangan istimewa, ia lantas memasuki terusan itu.

   Ternyata sebuah terowongan mirip lorong dibawah t anah.

   Selangkah demi selangkah, ia maju akhirnya tibalah dia kepada dinding batu buntu.

   Lingga W isnu menghela napas panjang.

   Ia berkata perlahan.

   "Hai! Tak pernah kusangka, bahwa disinilah ajalku sampai ... Semua orang memang mati. Tapi aku akan mati sangat kecewa. Mati tersekap didalam lubang sumur diatas Gunung Lawu , .." -0ooo0dw0ooo01. TONGKAT MUSTIKA TETAPI Lingga W isnu bukan seorang pemuda yang mudah berputus asa. Semenjak kanak-kanak ia pernah mengalami penderitaan-penderitaan hebat melebihi manusia lainnya. Begitu ia berputus asa bangkitlah rasa amarahnya. Hal itu terjadi, karena ia merasa dipermainkan nasib. Menurut nasehat orang-orang tua, ia wajib berhati mulia. Sekarang ia korban dari kemuliaan hatinya sendiri. Coba andaikata tadi ia tidak mengenal iba terhadap gadis itu, tidakkan mungkin ia sampai terperosok ke dalam sumur. Tiba-tiba ia menghantam dinding yang menghalang didepannya. Kena hantamannya dinding itu t ergetar dan nampak bergerak-gerak. Melihat hal itu sepercik harapan timbul didalam hatinya "Apakah ini dinding buatan?"

   Serunya didalam hati.

   Oleh harapan itu segera ia bekerja.

   Sekarang ia tidak menggunakan tinjunya.

   Akan tetapi pedang Kebo Wulung yang tajam luar biasa.

   Ia membongkar den mengoiekngorek dinding itu gempur sedikit demi sedikit dan meluruk kebawah.

   Sekarang ia yakin.

   Dinding sumur itu benar-benar dinding buatan.

   Tambalan dan lapisannya selalu bergerak-gerak.

   Maka harapan Lingga W isnu kian menjadi besar.

   Segera ia mengerahkan seluruh himpunan tenaga saktinya.

   Lalu dilepaskan dengan dibarengi teriakan nyaring.

   Inilah yang pertama kalinya, in menggunakan seluruh himpunan tenaga saktinya, yang meledak bagaikan dinamit.

   Dinding sumur itu ambrol dan ternyata berlubang mirip terowongan.

   Tanpa bersangsi lagi.

   Lingga W isnu masuk merangkak.

   Sebentar saja sampailah ia d i dalam ruang lain.

   Hatinya tergetar dan heran, tatkala kedua matanya menjadi silau.

   Ia memejamkan matanya sejenak.

   Kemudian menjenakkan dengan perlahan-lahan.

   Beberapa saat lamanya ia membuat penelitian dan penyelidikan.

   Diperhatikan apa yang membuat matanya menjadi silau.

   Setelah memperoleh penglihatan.

   tegas, ia gembira bukan kepalang.

   Disana terdapat sebuah terowongan.

   Dan cahaya itu datang dari terowongan t ersebut.

   Bergegas ia memasuki terowongan itu yang tidak begitu panjang bila dibandingkan dengan terowongan yang telah dilalu inya.

   Tapi kembali lagi ia tiba pada d inding pembatas.

   Ia memperhatikan sebentar.

   Samar-samar ia melihat bentuk dinding itu seperti pintu, Pintu itu terbuat dari batu pualam yang t ermashur liat luar b iasa.

   Tajam senjata biasanya tak dapat merusaknya.

   Biasanya batu pualam berwarna hijau.

   Tapi pintu itu berwarna putih.

   Dengan demikian, termasuk batu pualam yang jarang terdapat didunia Melihat bentuknya yang luar biasa, maka harganya tak ternilai lagi.

   Lingga W isnu menyimpan Pedang Kebo Wulung.

   Hatihati ia meraba pintu pualam itu.

   Halus dan licin.

   Ia meraba-raba sampai akhirnya d iketemukannya lubang kunci.

   Melihat lubang kunci itu, harapannya menjadi semakin besar.

   Teringatlah dia kepada kunci emas.

   Dan dengan berdoa ia mengeluarkan kunci emas dari dalam sakunya.

   Hati-hati ia memasukkannya.

   Ternyata tepat sekali.

   Dan dengan bersorak ge mbira di dalam hati, ia memut ar.

   Klik! Pintu didorongnya terbuka.

   Dan begitu terbuka kedua matanya Benar-benar silau..

   Meskipun belum melihat dengan tegas, namun hatinya sudah dapat menebak.

   Itulah harta karun.

   Harta warisan yang diketemukan pendekar Bondan Sejlwan .

   Segera ia masuk dan menutup pintunya kembaliKemudian, ia menyimpan kuncinya kembali didalam sakunya.

   Sekarang ia membuka matanya lebar-lebar.

   Akh, benar.

   Di depannya terdapat timbunan permata dan emas tak ubahnya sebagai bukit.

   Meskipun ruang itu sebencinya gelap gulita, tetapi bercahaya terang benderang oleh pantulan cahayanya.

   Seketika itu juga, ia tertegun.

   Perasaannya seperti di alam mimpi.

   Benarkah ia kini berada dide-pan bukit harta karun yang tak terhitung lagi jumlahnya? Lingga W isnu menghampiri dan mengaduk-aduknya, tiba-tlba tangannya menyentuh suatu benda panjang.

   


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pedang Inti Es Karya Okt Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung

Cari Blog Ini