Pedang Sakti Tongkat Mustika 19
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 19
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Tatkala ditarik, ternyata sebatang tongkat yang terbuat dari pualam murn i berlapis emas dan Bertabur berlian.
Samar samar ia melihat ukiran huruf yang berbunyi.
tongkat mustika penguasa dunia.
, Membaca huruf itu, ia tersenyum.
Pengukir huruf ini terlalu rendah menilai budi manusia.
Benarkah kehidupan manusia ini berada dalam pengaruh harta benda semata? Tetapi tatkala ia memut ar-mutar hulunya, penutupnya terlepas.
Tongkat itu ternyata berlubang seperti serubung.
Ia melongoknya dan menemukan segulung lontar yang terbuat dari kulit.
Entah kulit apa.
Segera ia membebernya.
Ternyata sebuah peta.
Ia lantas memeriksanya dengan teliti.
Peta itu melukiskan tempat-tempat dan gunung gunung dengan jelas.
Terdapat pula sungai sungai dan letak tanah.
Dan dibawahnya terdapat petunjuk-petunjuknya.
Bagaimana cara mempertahankan dan menyerang.
dw Teringatlah Lingga W isnu, bahwa itulah peta pada zaman Airlangga merebut negeri dari kekuasaan laskar Sriwijaya.
T iba-tiba ia heran sendiri, apa sebab dia dapat membaca dan memahami bahasanya.
Bukankah Airlangga hidup pada abad kedua belas? Tatkala pandang matanya sampai di sudut peta, terukirlah huruf yang berbunyi Trunajaya.
Dan membaca itu, ia heran dan kaget.
Pikirnya didalam bati.
"T runajaya? Bukankah pahlawan Madura yang dapat meruntuhkan tahta raja Kartasura? Bagaimana petanya dapat berada dalam ruang ini? Sebenarnya harta benda ini warisan Trunajaya atau Airlangga?"
Ia menjadi bingung sendiri.
Tiba-tiba teringatlah dia kepada ayah bundanya.
Bukankah keluarganya hancur akibat perebutan tongkat mustika ini? Tak terasa ia mengucurkan air mata "Entah sudah berapa jiwa korban untuk memperoleh peta ini.
Peta yang sesungguhnya tiada gunanya lagi.
Lihatlah, peta ini hanya melukiskan sebagian daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, Daya gunanya tidak begitu menarik lagi.
Ia memperhatikan sederet tulisan lagi yang belum dibacanya, Bunyinya.
Bila tongkat ini muncul, tanah Jawa akan cerah bagaikan sinarnya matahari "Hem' Lingga W isnu mendengus.
"Peta terkutuk! Ayah terpaksa mengorbankan jiwanya dengan sia-sia, Kabarnya, tongkat mustika ini berada diatas kepundan Gunung Lawu di seberang jembatan Jala Angin, Tak tahu mendekam disini. Sekarang telah kutemukan. Untuk apa ..?"
Sekonyong-kcnyong teringatlah dia, bahwa disekitar Surakarta sedang berkecamuk peperangan yang menentukan antara Gusti Said dan pihak Belanda, Bila peta ini dipersembahkan kepadanya, alangkah akan banyak artinya.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia bangkit, Maksudnya hendak kemulut sumur lagi dan berteriakteriak mint a pertolongan.
Ia akan menjelaskan, bahwa harta benda telah diketemukan.
Baginya yang penting hanyalah hendak menyerahkan peta itu kepada para pejuang.
"Kalau paman Songgeng Mint araga memperoleh peta ini, Musafigiloh bukan berarti apa apa lagi""
Pikirnya lagi Tatkala tiba dipint u pualam, ia terperanjat.
Ternyata pintu yang tadi ditutupnya kini terkancing rapat.
Ia mencoba memasukkan kunci emasnya.
Ternyata lubang kunci tidak cocok.
Sekarang t ahulah dia, bahwa pintu itu mempunyai dua lubang kunci.
Kunci dari luar dan kunci dari dalanu Itulah suatu hal yang tak pernah terlint as dalam pikirannya"
"Aduh, celaka"
Ia mengeluh. Kali ini ia mengeluh hebat. Sebab pintu itu tak dapat digempurnya seperti pintu batu tadi.
"Didalam ruangan memang tersedia permata, emas dan perak. Tetapi t iada sebutir beras dan seteguk air. Apakah gunanya hartabenda itu semua? Kini ia terancam bahaya kelaparan dan dahaga. Eila perut kosong dan tenggorokan kering akan merupakan suatu siksa yang hebat luar biasa. Dalam kesedihan dan kepiluannya, ia jadi berputus asa. Katanya.
"Akh! Agaknya aku ditakdirkan mati di Gunung Lawu. Di Gunung Lawu ini ayahku terdidik. Di Gunung Lawu ini pula, ayah bundaku dan sekalian saudaraku mati dengan hati penasaran. Di Gunung Lawu ini, aku menderita luka parah. Sekarang akupun bakal mati di Gunung Lawu juga. Mati ditengah harta benda dan sebatang tongkat mustika ..."
Menghadapi ancaman maut, secara naluriah Lingga W isnu lantas berteriak teriak.
Harapannya, semoga suaranya terdengar dari luar goa.
Sepuluh lima belas k ali ia berteak...
sehingga telinganya terasa pengang dan tuli akibat pentalan suaranya sendiri.
Namun hasilnya sia-sia belaka.
Akhirnya ia duduk bersimpuh di depan pintu pualam itu.
Katanya kepada dirinya sendiri.
"Kata orang, seseorang dapat bertahan satu minggu dengan perut kosong. Tetapi aku sudah berlatih semadi. Barangkali masih dapat aku bertahan sampai sepuluh hari. Selama sepuluh hari itu, biarlah aku berusaha melari jalan keluar. Siapa tahu ...?"
Tentu saja perkataannya itu lebih condong kepada kata-kata hiburan untuk diri sendiri.
W alaupun demikian, hatinya agak tenteram.
Ia lantas bangkit dan berjalan perlahan lahan, menghampiri timbunan harta benda, Pada saat itu berbagai kenangan berkelebat di benaknyac Teringatlah dia kepada ayah bunda dan kelucirganya.
Kepada kakek seperguruan dan paman seperguruan yang sayang kepadanya.
Kepada Palupi gadis ajaib dilereng Gunung Merapi.
Kepada Aruji, kakak angkatnya.
Paman Ganjur, gurunya Kyahi Sambang Dalan dan Ki Ageng Gumprek.
Dan yang terakhir Sekar Prabasin i.
"Akh, Prabasin i. Tiada harapan kita bakal dapat bertemu kembali ..."
Keluhnya.
Boleh dikatakan belum lama berselang ia berkenalan dengan Prabasini, Dalam kebanyakan hal, ia selalu berselisih pendapat.
Dia berhati keras dan bengis.
Akan tetapi kadang kala menjadi lemah lembut.
T eringat akan nasibnya yang sama dengan dirinya, ia jadi tertarik.
Malah merasa diri senasib sepenanggungan.
0odwo0
"Sekarang dia bakal hidup sebatang kara benar. T iada ayah-bunda. Tiada saudara, Mungkin sekali ia akan berusaha mencarimu, t etapi dimanakah dia akan mencari diriku?"
Pikirnya lagi Justru dia berpikir demikian teringatlah dia kepada gadis puteri pemilik rumah. Sifat gadis itu lain lagi. Dia seorang yang lemah lembut, akan tetapi berani bertanggung jawab. Pikirnya lagi didalam hati.
"Bila kedua sifat itu bergabung menjadi satu, aku akan mempunyai seorang gadis yang sempurna wataknya. Apalagi bila d itambah dengan sifat-sifat Suskandari, Barangkali di dunia ini tiada bandingnya."
Terkurung didalam goa itu, perasaan Lingga W isnu tergoncang sehingga bersifat liar.
Ia jadi mengada-ada.
Sadar akan hal itu, ia mencoba mengatasi.
Digerayanginya tongkat mustika yang berada ditangannya.
Maka tiba-tiba ia menyentuh sebongkok lembaran lontar lagi.
Kali ini sudah tersulam rap i, sehingga berbentuk sebuah kitab.
"Hai, Kitab apakah ini?"
Ia tertarik Ia hendak membalik-balik lembaran lemrannya"
Tibatiba ia tertarik kepada setumpuk kertas minyak buatan Tiongkok.
Setelah dibaca ternyata meriwayatkan perjalanan dan perjuangan Trunajaya merebut kekuasaan Belanda.
Tentu saja, ia tak merasa berkepentingan.
Sebab isinya hanya elan-elan perjuangan bangsa dan petunjuk-petunjuk caranya melawan kesatuan Belanda.
Sekarang ia menekuni kitab lontar itu.
Judulnya.
Rahasia Ilmu Manunggal, Ia membalik lembarannya yang pertama.
Kemudian membacanya.
Beginilah bunyi tulisan itu.
"Hidup ini bergerak. Rasa ini tent eram. Anganangan itu kebijaksanaan. Budi seumpama jiwa* Dan pakerti merupakan saluran."
"Apakah artinya ini?"
Ia berpikir. Ia seolah-olah pernah menyentuh pengertian demikian. Maka ia membaca terus. Lambat laun ia tertarik. Setelah t ammat ia menarik napas dalam. Berkata kepada diri sendiri.
"Akh, barulah aku kini mengenal diriku. Dibandingkan dengan penulis kitab ini, diriku tak lebih dari pada cahaya kunang kunang, Ia mencoba mencari nama penulisnya. Hanya. terdapat nama sandi yang berbunyi. Sabda Palon. dibawahnya terdapat keterangan. Sabda itu wewengan. Palon itu palu atau kepastian yang tak dapat ditawartawar. Barang siapa b isa menyelami kitab ini. akan memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan lagi. Tertarik oleh bunyi elan itu, ia mengulangi membaca lagi. Sedikit demi sedikit ia mencoba mendalami dan memahami. Ternyata isi nya melingkupi seluruh ilmu jasman i dan ilmu sakti. Keruan saja ia girang bukan kepalang. Serunya didalam hati.
"Bila aku memahami isi kitab ini, maka aku akan mengerti dan mengetahui seluruh int i ilmu-ilmu sakti yang terdapat didunia ini "
Sekarang, samar samar ia mu lai mengerti apa sebab tokoh-tokoh sakti memperebutkan tongkat mustika in i.
Ternyata isinya luar b iasa dahsyat dan luas.
Pant aslah bila disebut Kitab Ilmu Manunggal.
Sebab semua sarwa sakti yang terdapat didunia ini tercakup didalamnya.
Tetapi tiba-tiba teringatlah dia, bahw a dirinya kini terkurung didalam sebuah goa yang dindingnya tak dapat tertembus oleh senjata tajam macam apapun juga.
Semangatnya jadi runtuh.
Namun Lingga W isnu seperti sudah terlatih.
Semasa kanak-kanak ia senantiasa terancam bahaya maut.
Didalam rasa putus harapan, masih bisa ia tertawa.
Maka kini pun begitu juga.
W alaupun tiada gambaran dan pegangan bagaimana caranya dapat keluar dari kurungan goa.
perasaannya menyuruhnya agar membaca dan menekuni kitab tertersebut.
Katanya kepada dirinya sendiri.
"Dahulu aku hidup dengan tak set ahuku. Masakan aku perlu memikirkan cara matiku?"
Ibarat pelita yang hendak padam karena kehabisan minyak, tiba-tiba ia memperoleh percikan minyak tanah.
Seketika itu juga, dia jadi acuh tak acuh terhadap dirinya sendiri seperti dahulu semasa kanak-kanak.
Ia lantas membaca dan membaca.
Mula-mu la rasa lapar dan dahaga mengganggu dirinya Lambat-laun perasaan itu menipis dan menipis.
Tahu-tahu ia tertidur nyenyak sekali.
Tatkala terbangun, tak tahulah sudah berapa jam tertidur demikian.
Bukit permata yang didepannya tetap menyala terang-benderang seperti t adi.
"Sekarang aku akan mencoba berlatih mengikuti petunjuk-petunjuk kitab ini,"
Katanya kepada diri sendiri.
Ia lantas membaca bagian pakarti yang mengutamakan tenaga himpunan.
Setelah menarik napas panjang, ia menghampiri dind ing goa.
Kemudian tenaga himpunan itu dilepaskan.
Di luar dugaan, dinding batu itu rontok beberapa bongkah.
Menyaksikan hal itu, ia jadi gembira.
"Tenagaku bertambah. Tapi aku masih merasakan suatu kekurangan. Apakah aku harus bergerak dengan hati tenteram?"
Pikirnya.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memperoleh pikiran demikian, segera ia melakukan.
Dipusatkan seluruh tenaganya.
Kemudian dilepaskan dengan hati tenang.
Dan hatsilnya sungguh-sungguh diluar dugaan, Dinding yang terbuat dari batu pualam itu rompal sebagian.
Puas hati Lingga W isnuc Ia yakin, bila rahasia pengendapan itu sudah dapat dikuasai pasti akan dapat merobohkan batu pualam itu.
Akan tetapi hebatnya adalah soal rasa dahaga.
dengan mengeluarkan tenaga himpunan, keringatnya terhisap keluar.
Ia jad i merasa dahaga sehingga tenggorokannya terasa kering, Menahan rasa lapar, rasanya ia masih sanggup untuk satu atau dua hari lagi-Tetapi menahan rasa dahaga kesulitannya sekian kali lipat..
Memang, menurut pengalaman seseorang, dapat menahan lapar sampai seminggu lamanya.
Kemudian baru mati.
Sebaliknya orang tak dapat menahan rasa dahaga lebih dari tiga hari.
Ia akan mati dengan tibatiba.
Sekarang ia mencoba menahan rasa lapar dan dahaga, Hebatnya tak terkatakan.
Untuk sekedar melupakan, ia kembali menekuni kitab lontar itu.
Kemudian tertidur dengan tak set ahunya.
Tatkala terbangun, kembali ia menghafal.
Dan Dan pada saat itu ia dapat, membaca bunyi kitab lontar itu diluar kepala Pikirnya didalam hati.
"Ilmu sakti warisan pendekar Bondan Sejiwan sudah hebat luar biasa. Tetapi bila dibandingkan dengan isi kitab ini, rasanya hanya, sebesar biji asam. Sayang ... walaupun hebat luar biasa, tak dapat aku memperlihatkannya kepada para ahli. Selagi berpikir demikian, tiba-tiba telinganya yang kini menjadi tajam luar b iasa, menangkap suatu bunyi. Terlalu perlahan bunyi itu. Setelah diperhatikan, rasanya seperti seseorang sedang menggali t anah, diluar dinding.
"Siapa diluar?"
Ia berseru gembira.
Ia yakin, orang itu pasti mendengar suaranya, mengingat dirinyapun dapat menangkap suara dari luar.
Hal itu berkat dinding pualam itu yang telah rompal sebagian.
Tetapi ia lapa, bahw a pendengaran orang itu kini berbeda jauh dengan pendengarannya, meskipun telinga seorang pendekar "Siapa?"
Ia mengulang seruannya, Tetap saja tiada jawaban.
Sekarang ia yakin benar, bahw a orang itu sedang membongkar dinding bagian luar.
Dengan bernapsu ia mengerahkan tenaganya dan menggempur pintu.
Kali in i, pintu batu pualam sama sekali tak bergeming.
Bahkan tangannya menjadi sakit dan nyeri.
"Akh, ya ..."
Ia menyadari kesalahannya.
"Aku terlalu bernapsu sehingga hanya bersumber kepada kekuatan jasman iah. Sebaliknya kalau aku berlaku tenang, sumbernya berada pada HIDUP yang tak terbatas. Ia hendak mengulangi, akan tetapi takut kehilangan tenaga terlalu banyak. Maka ia mencoba berseru untuk yang ketiga kalinya. Tetapi tetap saja hening tak terjawab.
"Akh,"
Ia mengeluh "Rupanya hanya seorang. apa artinya tenaga seorang melawan batu pualam in i? Kut aksir paling cepat sepuluh hari lagi baru sampai dilapis dinding. Dan pada saat itu, aku sudah .,,"
Tengah ia melamun, t iba-tiba dilihatnya sepercik sinar masuk ke dalam.
Sinar itu datang dari bawah pintu batu pualam.
T ak usah dijelaskan lagi! bahwa orang itu sudah berhasil membongkar tanah berbatu sebesar jari.
Bagaimanapun juga, hati Lingga W isnu lega juga.
"Apakah maksudnya? Apakah dia hanya bermaksud membuat lobang untuk saluran makanan dari luar? Ya, kukira begitu. Sebab, tenaga manusia saja tidakkan mampu membongkar pintu pualam ini. Sekiranya demikian, sudah semenjak dahulu goa ini kena bongkar orang dari luar. Tapi mengapa lubang, terlalu kecil? Untuk terowongan segenggam nasipun sudah sulit, apalagi sepiring nasi atau semangkok air .."
Ia memasang kupingnya.
Usaha membongkar tanah berbatu dari luar berhenti.
Sebagai gant inya, ia mendengar sebuah benda keras didorong dari luar melalu i lubang sebesar jari tangan itu.
Ia lantas menunggu.
Tak lama kemudian percikan sinar dari luar itu padam.
Tetapi suara dorongan kian terdengar tajam.
Tiba-tiba klint ing! Ia melihat sebuah benda berwarna kuning.
"Hai, kunci!"
Serunya didalam hati,. Teringatlah dia kepada kunci emasnya. Segera ia memungutnya dan membandingkan. Bentuk dan panjangnya sama. Karena Berotak cerdas, lantas saja ia dapat menebak. Pikirnya didalam hati;
"Entah siapa yang memiliki kunci itu. Barangkali inilah kunci yang bertentangan,"
Segera ia memasukkan kelubang kunci. Benai-benar tepat. Tak sabar lagi ia memut ar dan daun pintu batu pualam itu terbuka. Dan didepannya berdiri seorang gadis yang membuat penglihatannya hampir tak percaya.
"Sekar Prabasini!"
Serunya bergemetaran Gadis itu tidak segera menjawab.
Kedua matanya nampak berlinang W aktu itu matahari hampir condong kebarat.
Sinarnya lembut di atas pegunungan.
Air mata Sekar Prabasini yang kena cahayanya jadi berkemilauan.
Dia membawa pedang ditangan kirinya.
Sedang tangan kanannya membawa sebatang linggis, Pada ujung pedangnya masih nampak sisa lumpur.
Tetapi yang paling indah bagi penglihatan Lingga W isnu adalah senyumnya yang membayangkan kebahagiaan hati.
'Sekar Prabasini!"
Kata Lingga W isnu mengulangi seruannya..
"Siapakah yang membawamu kemari? Perkenankan aku mengucapkan terima kasih kepadamu"
"Berterima kasih kepadaku?"
Sahut Sekar Prabasini.
"Hampir saja aku membunuhmu. Kenapa engkau berterima kasih?"
Setelah berkata demikian, ia memasuki ruang goa dengan langkah perlahan lahan. Dengan pandang mata berkilat-kilat ia melayangkan matanya. Tatkala melihat timbunan permata yang cemerlang, ia berkata perlahan.
"Aku bersedih hati, tatkala kau meninggalkan aku dengan begitu saja. Hatimu alangkah kejam! Kemudian aku membongkar petunjuk petunjuk sandi di halaman rumah Srimoyo. Kuketemukan dua buah kunci emas, dan keterangannya yang menyebutkan kunci luar dan kunci dalam. Maka sudahlah dapat aku mengira ngira bagaimana tempat penyimpanan harta ini "Kenapa engkau memancing anak buah pendekar Srimoyo agar mengikuti perjalananmu?"
Lingga W isnu menyela.' "Karena aku khawatir, engkau akan kehilangan jejakku,"
Jawab Sekar Prabasini cepat.
Aku Percaya., bila mereka membicarakan dirku, pasti engkau tidak akan tinggal diam mereka akan mengikuti jejakku.
Sebaliknya engkau akan menguntitnya.
Mereka berjumlah seribu dua ribu orang.
Tetapi apa artinya bagimu? Bila engkau berkemauan menyapu mereka, dengan mudah pasti berhasil" '"Akh!"
Lingga W isnu te rharu. Pikirnya didalam hati.
"Sebenarnya yang penting, ia berusaha merenggut diriku dari Suskandari, Apabila ia dalam bahaya, masakan aku akan tinggal diam. Bukankah aku meninggalkannya karena hendak, menolong Suskandari yang berada dalam bahaya pula?"
"Keluarga yang memiliki rumah itu sebenarnya salah seorang kakekku."
Kata Sekar Prabasini meneruskan perkataannya.
"Dialah satu-satunya keluarga yang bermusuhan dengan keluarga Dandang-Mataun. Hal itu baru kuketahui. setelah bertemu dan berbicara."
"Akh, pantas! Mereka mempunyai ilmu tata berkelahi mirip keluarga Dandang Mataun'"
Potong Lingga W isnu.
"Siapakah namanya?"
"Eyang Argajati,"
Sahut Sekar Prabasini. Kemudian meneruskan dengan tersenyum.
"Dan puteri satu-satunya itu, bernama Saraswati. Cant ik, bukan?"
Panas wajah Lingga W isnu mendengar ucapan Sekar Prabasin i. Gadis itu seperti dapat menebak hatinya. Teringat akan lamunannya sebentar t adi, ia merasa malu sendiri.
"Oleh persetujuannya, aku sengaja meletakkan kunci bagian luar ditepi telaga. Sekar Prabasini meneruskan perkataannya lagi.
"Bila sampai diket emukan orang, diapun tidak akan dapat keluar lagi. Bukankah dia akan mati terkunci didalam?"
"Tetapi bagaimana kalau dia t idak menutup pint u?"
"Hal itu sudah kita pikirkan masak-masak. Kita semua sudah bersiaga di luar goa w"
"Lalu bagaimana kau tahu, bahwa akulah yang membawa kunci itu?!"
"Sebenarnya mula-mula tidak kuketahui. Aku hanya menyebut namamu dan sama sekali tidak menggambarkan perawakan tubuhmu. Nah, hampir saja aku membuatmu susah."
Sahut Sekar Prabasini dengan nada menyesal. Lingga W isnu menghela napas. Berkata.
"W aktu itu engkau berada dimana?"
"Aku berada diluar goa sebelah in i dan sedang berusaha membongkar. Sebab jalan masuk belum kuketahui. Tatkala engkau terperosok didalam lubang sumur yang seolah olah jebakan itu, barulah terbuka pikiranku."
"Pantas. Saraswati berteriak terkejut. Kiranya dia pun tidak mengetahui."
Pikir Lingga W isnu didalam hati.
Sekarang mereka berdua berada di dalam goa harta karun.
Masing-masing seperti telah memperoleh bagiannya.
Sekar Prabasini puas karena dapat mencari harta peninggalan ayahnya Sedangkan Lingga W isnu puas dengan Tongkat Mustika yang diketemukan.
"Sekarang akan kita mengapakan harta sebanyak ini?"
Lingga W isnu mencoba memahami jalan pikiran Sekar Prabasin i.. Gadis itu tersenyum manis. Jawabnya.
"Benarlah kata sepercik perkataan ayah didalam surat wasiatnya. Bila harta karun, in i kita ketemukan, kita akan menjadi manusia baru. Semua orang akan tunduk. Betapa tidak? Harta in i seumpama dapat membeli bumi tanah Jawa. Dan engkau memiliki kepandaian tinggi. Siapakah yang dapat melawan?"
Lingga W isnu tersenyum. Katanya.
"Adik! Ilmu kepandaian ayahmu memang hebat. Tetapi disini aku menemukan sebuah kitab lontar yang rremuat seluruh rahasia int i ilmu sakti. Memang ,,. setelah kubaca, kitab itu, rasanya ..."
Lingga W isnu tidak perlu menyelesaikan ucapannya.
Sekar Prabasini sudah dapat menebaknya.
Pastilah kitab itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, sebab kitab itu akan merupakan pedoman hidup.
Nilainya jauh letih tinggi dari pada bukit harta itu sendiri Demikianlah, setelah puas memeriksa harta peninggalan itu, mereka menutup pintu goa kembali.
Masing-masing membawa sebuah kunci sebagai hak milik.
Meskipun tidak terucapkan, masing-masing sadar bahw a salah seorang tidak akan dapat memasuki goa itu, Sebab kunci yang satu merupakan alat pembuka dari luar.
Sedang yang kedua kunci pembuka dari dalam.
Seumpama yang seorang dapat membuka pintu goa, ia akan terhalang sebuah pintu yang melindungi timbunan harta itu.
Sebab sekatan pintu itu hanya dapat dibuka dengan kunci kedua.
"Mari kuperkenalkan dengan keluarga eyang Argajati."
Kata Sekar Prabasin i.
"Kau pun dapat nant i berbicara sepuas puasmu dengan Saraswati. Kaupun dapat mengawininya malahan sekaligus Suskandari pula ..."
"Hai! Mengapa demikian?"
Seru Lingga W isnu tak mengerti.
"Bukankah engkau kini sudah menjadi manusia terkaya didunia? Jangan lagi hanya beristerikan dua atau tiga orang. Seratus orangpun dapat. Akupun tak usah khawatir tidak akan mendapat bagian cinta kasih. Sebab kau kini telah menemukan rahasia ilmu tersakti didunia. Pastilah t enagamu melebihi tenaga seribu kuda."
Lingga W isnu menggelitik pinggang Sekar Prabasini.
Dan Prabasin i lari kegelisahan.
o0dw0o DENGAN BERGANDENGAN tangan, mereka mendaki ketinggian.
T atkala tiba diatas t ebing mereka mendengar suara berisik.
Itulah suara beradunya beberapa senjata tajam.
Karena itu mereka terkejut.
Kemudian lari kencang seakan-akan sedang berlomba.
Dan benar saja.
Dari kejauhan nampaklah delapan orang sedang terkurung rapat diant ara dua tebing ketinggian Tatkala tiba diatas tebing mereka mendapatkan dua tebing ketinggian yang pernah menyulitkan kedudukan Lingga W isnu tatkala kena serbu kerbau.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Letak tebing itu seperti pagar alam yang mengurung satu petak seluas dua ratus persegi.
Sebenarnya masih cukup leluasa untuk gerakan delapan orang.
Akan t etapi karena luas petaknya tersekat onggok onggok batu, bidang geraknya terasa sempit.
Gerakan jasmani seseorang seakan-akan mudah ditentukan oleh letak tanah.
Kakek Argajati.
pemilik rum ah padepokan berdiri t egak dibelakang sebuah batu raksasa.
Dia membekal sepucuk senjata yang luar biasa bent uknya.
Sebatang tongkat panjang yang dilengkapi dengan penggaet.
Sedang pangkalnya berbentuk bula.
Bulatan itu terbuat dari baja putih.
Apabila tongkat digerakkan, cahayanya berkejapkejap kena pantulan cahaya matahari.
Ia menghadapi seorang musuh yang bergerak sangat gesit.
Musuh itu bersenjata pedang.
Gerak-geriknya luar biasa cepat.
Setiap gerakan pedangnya membaca suara berdengung, hingga membuat kakek Argajati berkecil hati juga.
Dia lebih perkasa dari pada laki-laki lainnya; Pedangnya terus menerus menyambar-nyambar tiada hentinya.
Sekar Prabasini berhenti berlari.
Dengan tegak ia memperhatikan mereka dengan seksama.
Ia melihat kakek Argajati terkuiung musuh, akan tetapi nyaris pertahanannya masih kuat, ingin membantu kakek itu, karena dialah satu-satunya leluhur yang berpihak pada ibunya.
Bila sampai t ewas, ia akan kehilangan semuanya.
Oleh pertimbangannya itu, dengan serentak ia menghunus pedangnya.
Tapi waktu hendak melompat memasuki gelanggang ia melihat Lingga W isnu berdiri terpaku dengan pandang terlongcng-longong.
"Hei! Kenapa?"
Tegornya.
"Kau tadi yang bersemangat memburu kemari. Sekarang kau melihat kakekku dalam bahaya, kenapa justeru tertegun? Sebenarnya kau mau membantu atau tidak?"
"LihatlahI"
Lingga W isnu mengeluh."Siapa mereka!"
Sekar Prabasin i melemparkan pandang ke arah telunjuk Lingga W isnu. Hatinya tercekat melihat siapa mereka berdua. Ternyata mereka Sugiri dan Sukesi, kedua kakak seperguruan Lingga W isnu.
"Aku sudah berjanji hendak datang padanya. Tapi karena terlibat persoalan ini, tak sempat lagi aku mengingat-ingat perjanjian itu, Sekarang mereka datang kemari. Bukankah mereka hendak melabrak diriku?"
Ujar Lingga W isnu berkhawatir.
"T idak. Mereka datang kemari semata-mata karena kemaruk harta karun ini,"
Bantah Sekar Prabasini.
"Kedua kakakku itu bukan manusia rendah,"
Potong Lingga W isnu tersinggung.
"Siapa bilang mereka manusia rendah?"
Kata Sekar Prabasin i tak sudi mengalah.
"Tapi ingatlah kepada Genggong Basuki, Ayu Sarini dan lainnya. Bukankah mereka biasa berbuat demikian? Bagi mereka, harta benda adalah t ujuan utamanya. Lingga W isnu terdiam. Dalam hati ia mengakui kemungkinan itu. Bukankah dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan perundingan antara pemuda itu dengan Musafigiloh? Teringat hal itu, hatinya bergeridik.
"Saudara seperguruanmu itu bertabiat mau menang sendiri. Cara berpikirnya pendek dan cupat. Kalau Genggong Basuki bisa bekerja sama dengan Musafigiloh, kenapa dia tak bisa mengambil-ambil hati kedua gurunya itu?' kata Sekar Prabasini, .
"Benar,"
Sahut Lingga W isnu setengah menggerendeng. W alaupun demikian belum juga ia bergerak. Masih ia berbimbang bimbang. Pikirnya didalam hati;
"Mereka berkesan tak baik terhadapku sehingga mengesankan salah paham. Bila aku berpihak kepada paman Argajati, bukankah rasa permusuhan ini kian menjadi besar? Tepat pada saat itu, ia melihat berkelebatnya pedang pendekar Srimoyo menikam seorang tua. dialah perempuan penjual kedai yang dahulu berpura-pura t uli, tubuhnya lemah dan kakinya terantuk-antuk bila sedang berjalan. Akan. tetapi gerak-geriknya kini bagaikan langit dan bumi perbedaannya. Dengan gesit, ia mengadakan perlawanan. Dia bersenjata tongkat pula. Tapi baru dua gebrakan, Sugiri datang menolong. Hampir saja nyonya itu terpapas kepalanya. Syukur, dia masih berkesempatan berlindung dibalik batu besar. Dan menyaksikan hal itu, hati Lingga Wisnu tercekat.
"Bukankah penunggu warung yang baik hati terhadapku?"
Serunya tertahan.
"Benar, Dialah isteri kakek Argajati, Dan yang bergerak disampingnya itu, puterinya kedua. Namanya Rara W itri,"
Sahut Sekar Prabasini, Ya Nama Rara W itri masih teringat segar dalam benaknya, seorang gadis sederhana yang menyulam kembang, apabila sudah melayani teh dan penganan terhadap tetamunya.
"Sebenarnya ilmu kepandaiannya tidak rendah. Hanya saja, ia kin i menghadapi pendekar-pendekar yang sudah mempunyai nama. Tentu saja, dia jad i kerepotan."
"Kalau k au senang padanya, kenapa t idak cepat-cepat menolong?"
Tegor Sekar Prabasini tak sabar.
Gadis itu melihat Rara W itri terdesak.
Dengan matimatian dia bertahan sedapat dapatnya.
Dia timbul dan hilang dari balik batu seakan-akan sedang bermain kucing kucingan.
Melihat ancaman bahaya.
Sekar Prabasin i tidak memperdulikan Lingga W isnu lagi, Serentak ia melompat memasuki gelanggang dan merabu seorang laki-laki yang mendesak Rara W itri.
Pada waktu itu Lingga W isnu sudah memperoleh ketetapan hati.
Ia berdoa semoga dengan perkelahian ini kedua kakak seperguruannya dapat disadarkan.
Maka dengan menghunus pedangnya, dia berteriak nyaring.
"Hai! Kiranya tuan-tuan yang pernah kukenal"
Setelah berteriak demikian, ia melesat dan memukul mundur penyerang Rara Witri. Berseru dengari gembira.
"Adik! Kau jagalah keblat barat daya. Sekar Prabasini akan berada ditenggara. Dan adik Saraswati akan menjaga keblat timur laut. Jangan biarkan mereka lolos!"
Dengan menjejakkan kakinya, ia melesat kesana kemari.
Enam pendekar yang pernah di kenalnya dalam pesta perjamuan, dibuatnya bingung.
Betapa tidak? Karena tubuhnya mendadak saja berubah seumpama sesosok bayangan yang dapat bergerak kesana kemari dengan leluasa.
Sebentar ia membantu kakek Argajati,Sebentar pula menolong nyonya tua.
Kemudian mengulurkan tangan terhadap kerepotan Saraswati dan Rara W itri, Setelah merabu segerombolan musuh yang membuat repot barisan petani yang sebenarnya belum pandai berkelahi, 0odwo0 Sukesi dan Sugiri mendongkol.
Lagi-lagi bocah itu! Sebenarnya tiada niatnya datang kepinggang Lawu itu.
Mereka tiba di tempat perjanjian menjelang petanghari menunggu Lingga W isnu.
Akan tetapi Lingga Wisnu tidak datang.
Sebagai gant inya, Genggong Basuki yang datang, Dengan memutar balikkan kenyataan, mereka dibujuk untuk mengejar Lingga W isnu kepinggang Gunung Lawu sambil mencari obat sakti dikabarkan, bahw a disekitar t elaga Sarangan seringkali terdapat akar akar obat yng luar biasa mustajab.
Kyahi Basaman yang sakti menggunakan waktu senggangnya menjelajah wilayah itu.
Karena disibukkan perkara anak dan Lingga W isnu, Sukesi segera menerima ajakan Genggong Basuki, Dan demikian, ia tiba di tempat itu dengan suaminya Srimoyo serta pendekar-pendekar lainnya.
Sedang Genggong Basuki yang menggengam maksud lain akan segera menyusul.
Srimoyo mendongkol terhadap nyonya tua penunggu kedai.
Dengan menudingkan jari t elunjuknya, ia berteriak kepada Tawon Kemit.
"Hai! Bukankah 'Dia sipenunggu kedai? Dimanakah anak perempuannya yang menyulam bunga? Benar dia, kan?"
"Benar,"
Sahut Tawon Kemit.
"Tatkala kita lewat, dialah yang menyuruh anaknya perempuan menyulam bunga yang kesepuluh. Dia mencoba pula memperoleh keterangan tentang Lingga W isnu. Agaknya dia kenal pemuda itu. Kalau begitu, dialah kawan anak jadah itu!"
Lingga W isnu tahu, bahwa nyonya rumah itu mengenal namanya berkat kisikan Sekar Prabasini. Karena itu tak mengherankan, ia mencoba memperoleh keterangan diantara pengunjung kedainya.
"Dia menyuruh menyulam bunga. Tapi sebenarnya sedang mencatat kepala-kepala kita. Lihat', tuding Srimoyo dengan gemetar. Tawon Kemit menebarkan penglihatan. Di atas tiap batu yang nampak berserakan itu, nampak sebuah kepala seolah-olah muncul di baliknya. Setelah diperhatikan, kepala kepala itu tidak bergerak. Dan hatinya memukul tatkala mengenal wajah-wajahnya, Bukankah itu kepala-kepala mereka yang pernah datang di pesta pertemuan? "Bangsat!"
Teriak Tawon Kemit dengan dada serasa hendak meledak.
Delapan teman-temannya yang mendengar teriakan Tawon Kemit segera mengerti peristiwa yang sudah terjadi delapan kawannya yang mendahului perjalanan, ternyata mengalami nasib buruk.
Kepalanya kena pancung dan kini diletakkan diatas batu-batu kubu pertahanan .
Sekarang hawa amarah mereka, ditumpukkan kepada nyonya tua itu.
Dengan serentak mereka menyerbu.
Akan tetapi kakek Argajati tentu saja tidak membiarkan isterinya kena ancaman..
Dengan melambaikan tangannya, kedua anak serta petani-petani bergerak menghalangi.
Dan terjadilah pertempuran seru tak kenal ampun lagi Hebat cara berkelahinya kakek Argajati.
Kumis dan jenggotnya yang sudah putih berkibaran kena angin.
Tangannya memutar senjatanya yang berbentuk aneh.
Sebentar ia melabrak kesana dan sebentar lagi kemari Ia dibantu oleh barisan petani yang membawa pacul dan linggis sebagai senjata.
Dan apabila kena desak, petani-petani itu cepat cepat bersembunyi dibalik kubu-kubu batu.
Sukesi yang berdarah panas, penasaran menghadapi cara pertahanan yang licik itu.
Dengan penuh dendam ia berseru.
"Kalian bekuklah perempuan itu dahulu. Janganlah kalian kena dikacaukan oleh jumlah lawan yang banyak.' Betapapun juga, Sukesi termasuk seorang pendekar yang berpengalaman dan berkepandaian tinggi. Pengliatannya tajam dan meyakinkan. Ia bahkan mendahului menyerang Argajati untuk memecah kekuatan. Pedangnya berkelebat menangkis cempuling Kemudian hendak membalas menikam. Akan t etapi baru satu gebrakan saja, kakek itu telah lari bersembunyi dibalik batu. Sebagai gantinya, isterinya menusuk dari belakang. Segera ia memut ar dan membabatkan pedangnya. Lagi-lagi ia kecew a. Setelah ia menyerang, nyonya tua itu lari bersembunyi di balik batu yang berada disebelahnya. .Sedang demikian, ia mendengar angin berdesir dari arah samping. Ia berbalik dan tiba-tiba saja sebatang pedang berkelebat didepan matanya. Cepat ia mengendapkan diri sambil menangkis.
"Bagus!"
Terdengar suara pujian. Itulah pujian seorang gadis yang gagal menyerang dirinya.
"Siapa kau?"
Bentaknya.
"Aku Saraswati. Kau sendiri siapa?"
"Aku Sukesi. Nah, terimalah pe mbalasanku!"
"Hm. Masakah begitu mudah?"
Ejek Saraswati .
Kedua pendekar wanita itu lantas saja bertempur dengan serunya.
Akan t etapi Sukesi seorang ahli pedang murid Kyahi Sambang Dalan, Saraswati bukan lawannya yang setimpal.
Dalam dua gebrakan saja, pedang Saraswati hampir saja terlepas dari genggamannya.
Syukur, waktu itu nyonya tua muncul lagi dan membantu anaknya.
Dengan demikian Sukesi dikerubut dua orang.
Namun kepandaiannya masih jauh dari cukup untuk menghadapi mereka berdua.
Justeru dalam keadaan demikian, Sugiri datang membantu.
Sudah barang tentu, nyonya tua dan Saraswati hampir tak dapat bergerak lagi.
"Jangan takut!"
Terdengar seru seorang, Dialah Sekar Prabasin i yang masuk ke dalam arena pertarungan dengan pedangnya.
Sugiri terperanjat.
Namun dia adalah guru Genggong Basuki.
W alaupun sedang menggendong anaknya, dapat ia bergerak dengar, leluasa Dengan tongkatnya, ia menangkis.
Dan kena t angkisannya, pergelangan tangan Sekar Prabasini tergetar.
"Hati-hati!"
Ia memperingatkan Argajati dan Rara W itri yang datang membantu.
Sekarang, pertarungan mati-matian terjadi pada satu tempat.
Anak-anak buah Argajati berjumlah jauh lebih banyak.
Akan tetapi mereka kena dikurung Sukesi berdelapan.
Maklum lah, pengikut Sukesi dan Sugiri, masih terdapat Tawon Kemit, Srimoyo, Kajat Pace dan Kartala, Sedangkan yang dua adalah pembantu Srimoyo yang terpercaya, W alaupun kepandaiannya agak lemah, namun jauh diatas ke pandaian para petani anakbuah Argajati.
Sukesi yang cerdas, melihat kekacauan mereka.
Segera ia mengerti apa sebabnya.
Teriaknya "Perhatikan letak batu-batu itu.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rupanya batu-batu yang mereka sengaja atur demikian rupa sehingga menjadi kubu-kubu pertahanan.
Bila terdesak mereka akan segera bersembunyi dibaliknya.
Mungkin sekali ada terowongan penghubungnya.
Karena itu, jangan beri kesempatan kepada mereka untuk dapat melarikan diri Kita berjumlah delapan.
Rasanya cukup untuk mengurung mereka seorang demi seorang."
Petunjuk Sukesi benar-benar tepat.
Pengikutnya segera mentaati.
Masing-masing men cari lawan.
Karena itu, kakek Argajati dan semua anak buahnya tak dapat berkutik lagi atau berusaha saling membantu seperti tadi.
Syukur pada saat itu, datanglah Lingga W isnu.
Dengan pedang Kebo W ulung yang t ajam luar biasa, pemuda itu merabu mereka sekaligus.
Untunglah, dia t ak bermaksud melakukan pembunuhan.
Bila mempunyai niat demikian, mereka semua bukan lawannya.
Sukesi dan Sugiri yang merasa d ipermainkan Lingga W iliiu dengar serentak maju berbareng Sebaliknya Lingga W isnu tak sudi melayani kedua saudara seperguruannya itu dengan sungguh-sungguh.
Ia hanya memutar pedangnya kencang-kencang tak ubah kitiran.
Lalu melesat kekiri kekanan, maju dan mundur untuk menggebu lainnya.
Pedangnya menikam, menusuk dan membabat.
Karena mereka semua kenal kepandaian pemuda itu, tiada seorang pun yang berani mencobacoba menangkis.
Hanya Sukesih dan Sugiri saja yang berani menghadapi .
"Akh, bagus! Bagus sekali!"
Seru Saraswati dengan kagum.
Ia sekarang mau mengerti bahwa kepandaian Lingga W isnu sesungguhnya jauh sekali berada diatasnya.
Kalau dahulu bertempur dengan sungguhsungguh, dia dan ayahnya bukan musuhnya yang set impal.
Kakek Argajatipun diam-diam bergembira pula.
Dengan hati lega ia memandang, Sekar PrabasiniSerunya.
"Prabasin i! Kalau begitu, aku rela mati. Kau memperoleh perlindungan seorang pendekar yang berkepandaian sangat t inggi. Hidupmu akan aman damai tak kurang suatu apa."
Sekar Prabasin i menoleh. Ia membagi senyumnya dengan perasaan bahagia. Memang, dengan masuknya Lingga W isnu semua musuh dapat diundurkan. Bahkan Sukesi dan Sugiri. yang berkepandaian tinggi menjadi bingung pula.
"Prabasin i!"
Seru Saraswati.
"Mari kita Ikut menghajar salah seorang diantara mereka.."
Sekar Prabasini tertawa lebar. Dasar ia seorang gadis yang berhati liar, maka ajakan itu sangat menggembirakan. Sahutnya penuh semangat;
"Mari! T api rezeki ini harus k ita bagi pula kepada Rara W itri. Diapun harus membuktikan bahw a dirinya sesungguhnya pandai menyulam."
Sekar Prabasini tidak begitu senang terhadap suami isteri Sugiri.
Maka mereka berdualah yang dijadikan sasaran.
Tetapi begitu terbentur pedang pendekar wanita itu, senjatanya nyaris terpental keudara.
Syukur selain gesit ia memperoleh bantuan Saraswati dan Rara W itri, Dengan demikian, ia memperoleh bantuan Saraswati dan Rara W itri.
Demikian, ia memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya, Sukesi seorang wanita pendekar pedang.
Dialah murid pendekar besar Kyabi Basaman.
Gagal merabu Sekar Prabasin i, dapat ia bergerak dengan gesit dan cekatan,.
Menghadapi serangan Saraswati dan Rara W itri, sama sekali ia tak gentar atau gugup Dengan lincahnya ia mengelak.
Saraswati pun tidak mau kalah.
Dia pun dapat bergerak dengan cepat pula.
Setelah menarik pedangnya, ia maju merangsak.
Tikamannya mengarah muka, dada dan pinggang.
Sedang Rara W itri menyerang kaki,.
Dan diserang demikian, terpaksalah Sukesi mundur karena bidang geraknya sangat sempit.
Kecuali lapangan penuh manusia, batu kubu-kubu merupakan penghalang pula.
Namun sebenarnya Sukesi dapat melawan mereka berdua dengan mudahnya.
Ia bergerak mundur untuk menghimpun tenaga dan memusatkan pikiran.
Diluar dugaan, Saraswati dan Rara witri yang sudah terlatih menghadapi lawan tangguh diant ara batu-batu kubunya mendesak dari kiri kanan.
Tiba-tiba sebilah pedang memotong gerakan pedang mereka.
Itulah pedang Lingga W isnu yang tak rela menyaksikan kakaknya seperguruan kena desak.
"Hai! Kenapa begitu?"
Seru Saraswati heran..
"Biarlah aku sendiri yang membereskan, sahut Lingga W isnu dengan tersenyum manis . Saraswati t etap tak mengerti apa maksud pemuda itu. Akan tetapi melihat senyumnya, hatinya jadi lapang. Ia percaya, pemuda itu niscaya mempunyai t ujuan tertentu. Maka itu dengan mengedipkan matanya ia memberi isyarat kepada adiknya agar mundur. Kakek Argajati yang menyaksikan pertempuran itu dari luar gelanggang, heran pula. Bertanya kepada. Linggu W isnu.
"Sebenarnya siapakah dia?"
"Malah yang mengira aku sebagai musuhnya,"
Sahut Lingga W isnu dengan tertawa. Sukesi mendongkol mendengar ucapan Lingga W isnu. Dengan suara nyaring ia berkata.
"Hmm, Siapa kesudian menerima jasa-jasa baikmu. Nanti atau esok, kau harus mencoba-coba merasakan ujung pedangku. Kenapa kau tak menepati janji?"
"Sebentar lagi ayunda akan mengerti apa sebabnya.."
"Sebab apa?"
Sukesi mendongkol.
"Itulah gara-gara muridmu yang sangat kau cintai dan kau agul-agulkan."
Jawab Lingga W isnu.
"Kenapa muridku Genggong Basuki?"
"Kau lihat sajalah nanti."
Makin mendongkol hati Sukesi.
la merasa dipermainkan pemuda itu.
Maka dengan sungguh sungguh ia menyerang.
Lingga W isnu tidak mau melayani.
Akan tetapi ia diserang.
Karena itu terpaksa pula ia menangkis.
Hanya saja, ia tak mau pergunakan pedangnya yang tajam luar b iasa.
Sebab bila pedang Sukesi sampai terbabat kutung, rasa permusuhannya akan bertambah-tambah.
Maka ia mengulurkan tangan kirinya dan membentur pergelangan.
Dan kena benturan himpunan tenaga saktinya, Sukesi terpental mundur hingga terhuyung beberapa langkah.
Kali in i, Sukesi benar-benar terkejut.
"Hai!"
Serunya heran didalam hati "Itulah ilmu tenaga sakti rumah perguruan Dieng, Benar-benarkah dia murid guru?"
Lingga W isnu tak mau memperlihatkan keunggulannya, Iapun berpura-pura mundur tiga langkah. Lalu berkata menasehati.
"Lebih baik ayunda mundur.Ayunda masuk dalam perangkap musuh,"
Mendengar kata-kata Lingga W isnu, hati Sukesi terbakar. Dengan gusar ia membentak "Ayunda? Kau menyebut diriku dengan ayunda? Siapakah ayundamu?"
Setelah berkata demikian, ia menyerang lagi dengan hebat. Lingga W isnu mengelak sambil berkata lagi.
"Ayunda! Sebenarnya apakah kepentinganmu datang kemari?"
"Aku mencari dirimu. Kenapa kau mengingkari janji?"
"Bila hanya soal itu, kita nanti dapat membicarakan,"
Tiba-tiba Srimoyo ikut membuka mulutnya. Seru pendekar itu..
"Saudara Lingga! Aku sudah kau kalahkan, sehingga rumahku jatuh ditanganmu. Sekarang serahkan harta yang berada disin i."
"Harta? Harta apa? Siapakah yang memberi keterangan padamu, bahwa aku mempunyai harta disin i?"
Lingga W isnu berpura pura dungu.
"Hm. Janganlah kau mengingusi diriku lagi. Semua gerak-gerikmu tak luput dari pengamatan kami."
"Kami siapa?"
Belum lagi Srimoyo sempat menjawab, sekonyongkonyong terdengarlah suara berisik. semua penjuru muncul ah puluhan serdadu, Dan diant ara mereka nampak Genggong Basuki dan Musafigiloh.
"Ha, apakah mereka yang mengkisiki dirimu?"
Lingga W isnu menegas. Srimoyo tertegun sejenak. Kemudian berseru setengah tak percaya.
"Memang dia.. Genggong Basuki. Tapi kenapa dia berada ditengah-tengah serdadu kumpeni?"
Dengan munculnya puluhan serdadu itu, kedua belah pihak menghentikan pertarungan.
Lingga W isnu mengarahkan perhatiannya kepada Musafigiloh.
Pendekar itu sudah dikenalnya semenjak beberapa hari yang lalu.
Ia belum mengenal tataran kepandaiannya.
Akan tetapi ia teringat, bahwa pendekar itu berotak cemerlang sampai pernah membuat Kyahi Basaman kagum.
Genggong Basuki yang berada di sampingnya seperti menjadi tawanannya.
Rambutnya awut-awutan.
Dahinya pucat pandang matanya kuyu.
Ia disampingi pula oleh seorang perwira Maluku yang berkulit hitam.
Menyaksikan hal itu.
Lingga W isnu menghela napas.
Ia jadi kasihan berbareng mendongkol.
Pikirnya didalam hati.
"Rendah benar martabat pemuda itu. Rumah perguruan kemasukan seorang penghianat. Alangkah menodai nama guru. Dia pasti tahu pula, bahw a Sukesi dan Sugiri hadlir pula. Kenapa dia berani memperlihatkan dirinya? Akh, pastilah dia kena cekuk Musafigilch dan perwira itu. Musafig iloh yang selama itu belum pernah mengadu kepandaian dengan Lingga W isnu berpanas hati mengingat peristiwa di benteng beberapa hari yang lalu. Segera ia berseru nyaring.
"Hai, bangsat Lingga! Syukur kau berada disini, pinggang gunung ini memang pantas untuk menjadi tempat kuburmu."
Setelah berseru demikian, dia melambaikan tangannya. Dan duapuluh orang serdadu segera mendekam membidikkan senapannya. Menyaksikan hal itu, Sukesi dan Sugiri saling pandang. Kenapa Genggong Basuki ikut serta, dalam rombongan itu, pikirnya.
"Genggong!"
Seru Sukesi mencari keyakinan.
"Apakah kau kena tawan mereka? Berkatalah terus terang! Jangan takut, kami akan se era menolongmu,"
Kedua bibir Genggong Basuki bergerak-gerak. Akan tetapi Musafigiloh mendahului, kata pendekar cerdik itu.
"Saudara Genggong Basuki adalah anggauta kami semenjak beberapa tahun yang lalu.. Dia kini berada dalam dinasnya. Karena itu, tak dapat lagi mengenal siapa guru dan siapa kawan,"
Sudah beberapa tahun? Sukesi tercengang Selagi tercengang-cengang. Sekar prabasini menyahut .
"Memang hebat muridmu. Sudah sekian tahun kau diingusi, namun belum sadar. Malahan mencurigai adik seperguruan sendiri. Hebat! Sungguh!"
Merah padam wajah Sukesi mendengar dampratan Sekar Prabasini. Sugiri suaminya yang menggendong anak satu-satunya, tertegun-tegun. Tak terasa ia menoleh kepada Lingga Wisnu, T atkala itu Lingga W isnu sedang menegor Sekar Prabasini Kata pemuda itu.
"Adik, Siapapun takkan mengira. Karena ini jangan kau persalahkan ayundaku.."
"Hm."
Dengus Sekar Prabasini.
"Siapa ayundamu? Bukankah dia tak sudi kau panggil ayunda. Inilah hebat! Saudara seperguruan diingkari, sebaliknya mengakui musuh menjadi murid yang harus dipercaya. Sungguh bagus! Itulah pahlawan sejati."
Hebat benar sindiran Sekar Prabasin i. Dada Sukesi seperti meledak. Akan tetapi tak dapat melampiaskan rasa amarahnya kepada nona itu. Sebab ia menghadapi suatu kenyataan Namun masih ia mencari suatu keyakinan. Serunya.
"Hai, Genggong Basuki! Benar-benarkah engkau bekerja padanya?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
W ajah Genggong Basuki nampak kian pucat. Jelas sekali, bahw a hatinya menderita hebat. Namun disampingnya berdiri Musafig iloh yang berbisik padanya.
"Jawablah terus-terang! Seorang laki-laki sejati bukan seorang banci. Ataukah aku harus mengabarkan tentang paman gurumu Purbaya?"
Mendengar nama Purbaya disebut sebut, tubuh Genggong Basuki menggigil. Maka dengan memaksakan diri, ia menjawab .
"Y a ... memang ... aku ..."
Belum lagi ia menjelaskan jawabannya, Sukesi sudah menjerit. Dengan pedang terhunus pendekar wanita itu melompat menyerang. Lingga W isnu terkejut. Gugup ia berteriak.
"Ayunda! Jangan terburu napsu!'* Peringatan Lingga W isnu tepat sekali. Pada detik itu, tiba-tiba t erdengarlah suara meletus, Sukesi mengerang, Lengannya kena sambar peluru, sehingga mencicirkan darah segar "Semua bersembunyi dibalik batu!"
Seru Lingga W isnu. Sekar Prabasini meloncat dibalik batu sambil berseru .
"Hai, pendekar-pendekar gagah! Apakah kamu golongan mereka?"
Srimoyo dan T awon Kemit berbimbang bimbang. Tibatiba terdengar Genggong Basuki berteriak.
"Saudara Srimoyo dan Tawon Kemit, jangan lepaskan bocah itu! Rampas hartanya!"
Mendengar teriakan Genggong Basuki.
Srimopyo dan Tawon Kemit tertegun-tegun.
Sebaliknya Sukesi dan Sugiri gusar bukan kepalang.
Tak peduli apakah seruan Genggong Basuki itu akibat kena ancaman Musafigiloh, akan tetapi Ucapannya benar-benar memuakkan.
Teriak Sukesi nyaring kepada Sugiri.
"Kakang! Jangan pedulikan diriku. Aku hanya luka luar. Biarlah kugendong sibuyung. Bunuh dia!"
Sugiri menyerahkan anaknya kepada SukesihKemudian melompat dengan pedang terhunus. Lingga W isnu yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik mereka berdua, cepat menyanggah.
"Kangmas, jangan terburu napsu! Menyingkirkan lawar yang terang adalah mudah. Akan tetapi mengelakkan panah dari balik punggung sangat susah. Mari, kita bereskan dahulu laknat laknat ini!"
Sugiri pandai berpikir.
Memang, semenjak melihat sepak terjang dan gerak gerik Lingga W isnu, dalam hatinya ia sudah setengah mengakui.
Karena itu, dapat ia menerima saran pemuda itu.
Apalagi, nampaknya bermaksud baik dan lebih dapat dipercayai daripada Genggong Basuki.
Maka serentak ia berbalik menghadap Srimoyo dan Tawon Kemit.
Inilah kejadian diluar dugaan dua pendekar itu.
Buruburu mereka melompat Akan tetapi gerakan Sugiri sangat cepat.
Dengan t iba-tiba saja pedang Sugiri sudah berkelebat didepan matanya.
Dalam seribu kerepotannya, mereka masih bisa berdaya dengan mengorbankan anak-buahnya.
Seperti sudah berjanji, mereka melemparkan dua orang anakbuahnya.
Seketika itu juga terdengarlah suara jerit menyayatkan hati.
Dua orang itu mati terpotong tubuhnya"
Sekarang pertempuran menjadi serabut an.
Diantara meletusnya senapan-senapan serdadu yang mengepung rapat, empat orang lagi t erpotong pedang Sugiri, Dengan demikian, kini tinggal Srimoyo dan Tawon Kemit yang bertahan sedapat-dapatnya.
Syukur, Musafigiloh tidak tinggal diam.
Beberapa orang ahli pedangnya datang membantu.
Kecuali itu senapan terus meletus tiada hentinya.
Lingga W isnu menjadi gelisah juga meskipun belum ada yang jatuh menjadi korban selain Sukesi.
Hal itu disebabkan, karena letak lapangan pertempuran sangat menguntungkan, Batu-batu raksasa yang merupakan kubu-kubu pertahanan membantu melindungi.
Juga lempeng pegunungan dan semak belukar.
Akan tetapi bila diberondong terus menerus dan terkepung rapat, lambat-laun akan terjepit pula.
Maju menyerbupun tak dapat.
Maka satu-satunya jalan, hanyalah menunggu.
"Akh, menghadapi pertempuran jarak jauh semua kepandaian jadi t ak berarti"
Ia mengeluh. Ia jadi t eringat kepada peta di dalam goa. Sekarang iapun jadi mengerti betapa besar faedah peta itu menghadapi suatu pertempuran jarak jauh. Maka berkatalah ia didalam hati .
"Bila kesukaran in i dapat kuatasi. segera aku akan mencari guru untuk menyerahkan peta warisan."
Selagi dalam keadaan demikian, tiba-tiba terjadilah suatu perubahan yang mengherankan serdadu-serdadu yang mengepung lereng pegunungan mendadak jadi kacau balau.
Dua bayangan berkelebat kesana kemari Gerombolan serdadu yang diserbu roboh berserakan.
Karena serangan dua bayangan itu sangat cepat, tak sempat lagi mereka mengisi bubuk mesiu, apalagi mencoba-coba menembak.
Lingga W isnu mengangkat kepalanya.
Begitu memperhatikan, segera ia dapat mengenal dua bayangan itu, Dengan gembira dia berseru kepada Sekar Prabasini.
"Adik! Lihat, siapa mereka berdua, Ki Ageng Gumbrek dan kakang Botol Plnilis,"
Sukesi yang sedang menderita luka, terkejutmendengar seruan Lingga W isnu.
Dengan memeluk anaknya, ia berdiri tertatih tatih.
Begitu melihat Botol Pinilis ia tertegun keheranan.
Apalagi, Lingga W isnu menyebutnya sebagai kakak.
Dan ucapannya benarbenar terpancar dari hati yang tulus.
Seketika itu juga, delapan bagian rasa mendongkolnya terhadap Lingga W isnu sirna.
"Paman! Paman Gumbrek!"
Seru Sekar Prabasini.
"Kau datanglah kemari!"
Ki Ageng Gumbrek t ak bersakit hati di panggil dengan sebutan paman. Dengan tertawa lebar ia menyahut .
"Eh, anak nakal. Kau t unggulah saja! Sebentar lagi aku akan datang padamu. Suruhlah muridku mendaki kemari, agar kekunyuk-kekunyuk ini cepat mampus!"
Lingga W isnu yang mendengar seruan Ki Ageng Gumbrek segera melesat keatas. Tahulah dia, bahwa orang ini pasti menemukan suatu kesulitan. Tatkala tiba diatas, Botol Pinilis segera menyambut .
"Adik! Kau baik-baik saja, bukan?"
"Berkat doa restu kakak. Bahkan ayunda Sukesi dan kangmas Sugiri berada disin i pula."
Sahut Lingga W isnu.
"Ha, justru karena mereka berada disini, membuat aku harus menyusulmu kemari."
Kata Bot ol Pinilis. Dan selama dia berbicara, senjatanya terus-menerus menggebu musuh.
"Anak. Lingga!"
Sambung Ki Ageng Gumbrek "W ilayah ini sudah terkepung rapat Kau bicaralah yang banyak., Bukankah sebentar lagi kita akan berangkat bersama ke neraka?"
Lingga W isnu kenal perangai gurunya yang satu ini. Dibalik sendau-guraunya, terdapat masalah sebenarnya Dan selamanya dia tak pernah membicarakan sesuatu, bila keadaan tidak terlalu sungguh-sungguh. Tak heran hatinya tercekat. Segera ia berkata .
"Guru! Wilayah in i milik eyang Argajati."
"Siapa Argajati?!"
Potong Ki Ageng Gumbrek cepat.
"Dengan sendirinya pemilik wilayah ini. sahut Sekar Prabasin i yang tiba-tiba saja sudah ikut pula menyusul.
"Bukankah kakang Lingga sudah ,.."
"Sst, Jangan bergurau"
Tegor Lingga Wisnu. Kemudian meneruskan perkataannya kepada Ki Ageng Gumbrek .
"Apakah guru sudi menemui, Mungkin sekali d ia mempunyai jalan keluar"
"Akh! Apakah dia mempunyai minuman keras dan kecapi?"
Ujar Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa. Kemudian kepada Botol Pinilis.
"Hai, anak muda! Mari turun. Kita diundang tuan rumah."
Setelah berkata demikian, Ki Ageng Gumbrek mendahului turun. Gesit sekali gerakannya, sehingga Sekar Prabasini tak dapat menyusulnya, Syukur, ia ditemani Botol Pinilis yang meninggalkan musuhmusuhnya. Katanya .
"Hanya adik Lingga yang dapat menjajari kegesitan gurunya. Biarlah kita melindungi dari belakang."
Gerombolan serdadu yang kena serbu Ki Ageng Gumbrek dan Botol Pinilis tak dapat berbuat sesuatu kecuali hanya berteriak teriak dengan penasaran.
Sedang Musafig iloh dan Genggong Rasuki tiada nampak lagi batang hidungnya.
Dengan demikian, Bot ol Pinilis dan Sekar Prabasini tiba didataran bawah dalam keadaan selamat t ak kurang suatu apapun.
Lingga W isnu segera memperkenalkan Ki Ageng Gumbrek kepada Argajati..
Setelah mendapat keterangan siapa Ki Ageng Gumbrek, orang tua itu cepat-cepat membungkuk hormat.
Lalu berkata.
"Bila wilayah ini sudah terkepung rapat, mari kita mencari jalan keluar, Kebetulan wilayah ini banyak goanya. Leluhur kami dahulu membuat sebuah tembusan secara iseng saja. Tak tahunya, pada hari ini ada gunanya."
Sugiri dan Sukesi terkejut tatkala melihat datangnya kakaknya seperguruan Botol Pinilis. Cepat-cepat mereka membungkuk hormat. Seru Botol Pinilis .
"Adik Sugiri dan Sukesi, Aku datang untuk kamu berdua. Sebenarnya banyak yang hendak kubicarakan. Tapi untuk sementara, kita tunda dahulu. Mari kita ikut i dahulu petunjuk petunjuk tuan rumah,"
Gunung Lawu terletak di atas wilayah Madiun dan Surakarta.
Dan telaga Sarangan berada diwilayah Mad iun atau W engker.
Pada dewasa itu, letak tanahnya belum seindah sekarang.
Juga jalannya su lit penuh kerikil tajam dan batu-batu licin.
Semak belukar menutupi letak tanah.
Dan petak hutan yang tak pernah, teraba kaki manusia, hampir menyerupai rimba raya yang menakut kan.
Manakala matahari nyaris condong kebarat, awan putih menutupi persada gunung.
Lalu embun dan titik hujan mulai t urun dan memuramkan seluruh penglihatan.
Argajati segera memimpin perjalanan ke goa persembunyian, sedang Saraswati menghampiri Sukesi dengan pandang keibuan.
Katanya lembut .
"Bibi, bolehkah aku menolongmu?"
Sukesi seorang pendekar w anita yang angkuh. Apalagi Saraswati tadi berada di pihak lawannya. Meskipun lengannya terluka, ia menyahut .
"Biarlah! Aku bisa menolong diriku sendiri."
Tapi Saraswati tak mau mengalah. Dengan suara tetap lembut, ia mengambil hati. Katanya .
"Adik kecil itu, biarlah aku yang menggendongnya,"
Saraswati mengarahkan perhatiannya kepada si anak.
Hal itu menyentuh hati nuraninya si ibu.
Sukesi lantas saja melemparkan pandang kepada Sugiri unt uk mint a pertimbangan.
Sugiri bersenyum seraya mengangguk kecil.
Memperoleh isyarat itu, dengan bersenyum pula ia menyerahkan anaknya.
Dan dengan hati lega Saraswati menerima sianak dalam gendongannya.
Kedua matanya berseriseri.
Bukankah dalam hal ini, ia menang? Dan semuanya itu tidak luput dari pengamatan Lingga W isnu.
Pemuda itu jadi terharu Dalam hati, ia kagum terhadap puteri kakek Argajati, Lagak lagunya memang berbeda jauh dengan Sekar Prabasini yang beradat panas dan liar.
Argajati tiba-tiba mendekam dan menempelkan kupingnya ditanah.
Ia hendak mengetahui, apakah sekitar lembah itu terdapat seseorang atau tidak.
Setelah memperoleh keterangan keamanan, ia mengajak semua pengikutnya melint asi rimba.
Beberapa saat kemudian.
sampailah rombongan itu pada sebuah jurang yang curam.
Jurang curam yang tertutup semak belukar dan rerumputan yang lebat.
Sebuah batu menjarok diantara tebing jurang, Dan berkatalah orang tua itu .
"Bukankah hanya mirip sebuah jurang yang berbatu terjal? Mari! Kita lintasi batu itu. Dibaliknya, tuan-tuan akan melihat peninggalan leluhur kami," , Mereka semua golongan pendekar yang berkepandaian tinggi. Maka dengan mudahnya, mereka dapat meloncati seberang jurang. Kemudian melint asi batu itu. Dan dibalik batu itu, nampaklah sebuah goa yang tertutup rumpun rotan. Argajati menyibakkan rumpun rotan itu, Lalu masuk kedalam goa. Lingga W isnu, Botol Pinilis, Ki Ageng Gumbrek dan lain- lainnya segera menyusul pula. Menarik benar bentuk goa itu. Kecuali panjang terdapat undak-undakan. Dan setelah melint asi tangga yang penghabisan, sampailah mereka pada sebuah terowongan yang sempit. Banyak sekali terdapat tikungan-tikungan dan simpangan-simpangannya. Dengan demikian, manakala seseorang dapat memasuki goa itu niscaya takkan mudah mencapai akhir tujuan. Dan bila sampai t ersesat, belum tentu dapat menemukan jalan yang diambahnya tadi. Demikianlah, setelah berjalan berliku-liku, sampailah mereka diujung terowongan. Dan begitu tiba diujung terowongan, mereka semua kagum. Mereka menghadapi sebuah goa lebar dan luas. Sebuah goa tanpa langit. Atau beratapkan langit. Tegasnya, sebenarnya merupakan suatu bidang tanah, yang bertebing tinggi, bila orang mendongak, ia akan melihat awan bergerak. Dan bila merunt uhkan pandang, ia akan melihat suatu bidang tanah rendah, Dlsana terdapat sebuah terowongan lagi. Kedalam terowongan itu mereka masuk. Empat orang menyandang petani datang menyambut. Ruang goa terang benderang oleh nyala api buah jarak dan obor bambu. Didalaranya terdapat sebuah meja panjang dan panjang dan belasan kursi terbuat dari batu tergosok halus.
"Mari duduk."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Argajati mempersilahkan.
"Sekarang kita bisa berbicara seleluasa leluasanya.
"
Mereka segera duduk diatas kursi masing masing.
isteri Argajati segera melayani Sukesi yang terluka.
W alaupun tidak senang memperoleh kemanjaan itu, akan tetapi Sukesi tidak menolak.
Ia tahu, bahwa nyonya rumah sedang melakukan jasa-jasa baik terhadapnya.
Apalagi pandang mata Botol Pinilis yang berwibawa, membuat hatinya jadi segan juga.
"Sukesi! Kau dengarlah kata-kataku,"
Botol Pinilis mulai membuka suaranya.
"Bagus! Bagus!"
Tungkas Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa terbahak-bahak.
"Sebentar lagi akan terjadi suatu pameran adu tinju, Memang, sudah lama aku ing in melihat bagaimana cara kalian bertanding mengadu otot. Pada hari ini aku bakal melihat siapa diant ara sesama murid Sambang 'Dalan yang paling jempolan, Lingga W isnu tercekat hatinya. Ia kenal adat dan perangai gurunya yang satu ini. Di balik sendau guraunya bersembunyi suatu sindiran yang tajam luar b iasa. Bukankah di hendak berkata, bahwa diant ara sesama murid Kyahi Sambang Dalan sebenarnya terjadi suatu salah paham yang bisa mengakibatkan keretakan? Lingga W isnu lantas mengerti, apa sebab Ki Ageng Gumbrek dahulu menganjurkan supaya melawan t antangan Sukesi dan Sugiri. Syukur, dia tidak jadi mengadu kepandaian dengan kedua kakaknya seperguruan itu. Bila sampai terjadi, niscaya ia akan d iejek terus menerus oleh Ki Ageng Gumbrek. Botol Pinilis berdiri dari kursinya dengan serentak. Buru-buru ia membungkuk hormat kepada Ki Ageng Gumbrek sambil berkata.
"Sama sekali kami tidak akan bertengkar. Kami hanya ingin memberi keterangan atas dasar petunjuk-petunjuk Ki Ageng."
Botol Pinilis menyebut Ki Ageng Gumbrek dengan Ki Ageng.
Artinya, dia menghormati dan menjunjung tinggi.
Apabila dia membawa alasan, bahw a kata-katanya terjadi atas dasar petunjuknya.
Betapapun juga, hati Ki Ageng Gumbrek puas juga.
Orang tua itu lantas mengangguk perlahan.
Botol Pinilis kemudian berputar kepada Sukesi dan Sugiri."
"Sukesi! Hampir saja kalian berdua meruntuhkan nama perguruan kita. Bukankah kalian sudah mendengar, bahw a guru mengambil seorang pewaris baru? Pew aris guru seorang pemuda yang masih sangat muda usianya. Kenapa kalian tidak dapat menduga sebelumnya? Bukankah gerak-gerik dan gaya ilmunya akan segera mengingatkan kepada rumah perguruan kita? Syukur, aku mendapat kisikan dari Ki Ageng. Kalau tidak, kita bisa runyam."
Memperoleh tegoran Botol Pinilis. Sukesi dan Sugiri berdiri dengan gugup. Kemudian dengan berbareng, mereka membungkuk hormat kepada kakaknya seperguruan. Kata mereka hampir berbareng .
"Maaf. Mata kami benar-benar lamur."
"Kenapa lamur? Kukira, kalian sengaja menutup penglihatan. Apakah dibelakang peristiwa ini terjadi suatu unsur yang menjahati?"
Botol Pinilis menegas.
"Benar,"
Sahut Sukesi dengan menghela napas.
"Itulah anak didik kita Genggong Basuki."
"Y a, Genggong Basuki."
Ujar Botol Pinilis dengan nada mengeluh.
"Tak pernah kusangka. bahwa dia ... Untunglah, lagi-lagi Ki Ageng yang berjasa dalam hal ini Apalagi kita tadi sudah melihat buktinya. Lingga W isfm jadi tak enak sendiri.. Segera ia menyambung "Kakang Botol Pinilis, Tersesatnya Genggong Basuki ada sebabnya. Dia harus berkata begitu karena tekanan"
"Tekanan seseorang belum merupakan alasan yang tepat,"
Tiba-tiba Sekar Prabasini memotong, Dia berlagak seorang pendekar yang berani dan berkepandaian tinggi seumpama tak pernah gentar terhadap tingginya angkasa dan perkasanya sebuah gunung.
Kenapa dia mendadak bisa tunduk oleh suatu tekanan seorang manusia yang terdiri dari darah daging? Kalau aku, lebih baik mati dari pada ditekan begitu."
Tajam ucapan Sekar Prabasini, Akan tetapi dibalik ketajamannya mengandung unsur kebenaran. Dan yang paling tersinggung di antara mereka adalah Sugiri dan Siukesi. Sebab didepan gadis itu, mereka berdua pernah memperlihatkan keangkuhannya.
"Sudahlah.. Hatiku kini sudah lega, karena aku sudah berhasil mendamaikan adik-adikku seperguruan. Kau sendiri bagaimana Sukesi?"
Kata Botol Pinilis mengalihkan pembicaraan.
Tanpa berkata lagi, ia menghadap Lingga W isnu dan membungkuk hormat.
Sikapnya itu segera diikut i pula oleh suaminya.
Keruan saja yang keripuan adalah L ingga W isnu.
Maka itu cepat-cepat ia membalas hormat sambil berkata.
"Ayunda sekalian. Tak berani adikmu menerima penghormatanmu. Biarlah untuk selama hidup, aku berbakti kepada ayunda berdua."
"Terima kasih. Akan tetapi di dalam hal ini, kami berdua pantas memint a maaf."
"Sama sekali ayunda berdua tidak bersalah terhadapku. Sebab siapapun dapat bersikap demikian,"
Jawab Lingga W isnu dengan sungguh-sungguh.
"Sudahlah, Sudahlah!"
Tungkas Ki Ageng Gumbrek.
"Hatiku senang sudah, karena kalian kin i sudah saling mengenal. Akupun menjadi saksinya pula. bahw a bocah itu benar benar murid Sambang Dalan. Bahkan dia menerima pula beberapa jurus dariku. Apakah kalian tidak percaya atau mau menguji diriku?"
Botol Pinilis tertawa. Sahutnya mewakili.
"Siapa yang berani mencoba-coba dengan Ki Ageng? Guru kami sendiri tidak akan sanggup berlawan-lawanan dengan Ki Ageng,"
"Bohong! Bohong! Itu sanjung puji berlebih-lebihan."
Seru Ki Ageng Gumbrek dengan menggoyang-goyangkan tangannya.
Sampai disitu selesailah sudah suatu jurang salah paham Sugiri, Sukesi dan Lingga W isnu sudah dapat didamaikan.
Sekarang mereka membicarakan masalah Genggong Basuki, Suskandari dan Harimawan.
Sementara itu tuan rumah telah menyajikan makan minum dan minuman keras yang sangat memuaskan.
"Suskandari sebenarnya bukan muridku,"
Kata Botol Pinilis.
"Hanya saja, ia rapat berhubungan dengan muridku Harimawan.. Tadinya mereka kusuruh menunggu disuatu tempat. Tapi t atkala aku t iba ditempat itu. mereka berdua tiada. A pakah adik Lingga mendengar kabar beritanya?"
Lingga W isnu kemudian menceritakan semua pengalamannya.
Ia melihat Puguh Harimawan kena tawanan tentara Belanda.
W alaupun Suskandari hanya dipercakapkan, akan tetapi jelas bahw a diapun kena tawan pula.
Bahkan dijadikan sandera demi kelancaran mencapai maksud kumpeni.
"Akh, kenapa tidak kau katakan dengan terus terang saja?"
Tungkas Sekar Prabasin i tidak senang.
"Bukankah dia dijadikan alat pemikat pendekar besar Genggong Basuki ?"
Merah w ajah Lingga W isnu kena tegor Sekar Prabasini.
Sebagai seorang pemuda yang berperasaan halus, tak dapat dia berkata dengan demikian dihadapan orang banyak.
Tapi karena Sekar Prabasin i sudah menegor demikian, terpaksa ia menyatakan dugaannya.
Semua orang yang mendengar tutur-kata Lingga W isnu menghela nafas.
Dan pada hari.
itu juga, mereka bersepakat hendak mencari Suskandari dan menganggap kumpeni Belanda sebagai musuhnya utama ooodwooo PA DA MALAM hari itu, mereka masih berada didalam goa.
Karena goa mirip ruang rumah, kesedapan mulai meresap didalam hati.
Apalagi, dalam goa itu terdapat beberapa bilik lengkap dengan alat tidurnya.
Isteri kakek Argajati, Saraswati dan Rra W itri sibuk melayani para tamu.
Mereka dibantu oleh beberapa orang penduduk yang memakai pakaian petani.
Maka makan minum sangat lancar.
Dalam hal ini, Ki Ageng Gumbrek yang merasa gembira.
Ia jadi teringat kehidupan diatas Gunung Dieng tatkala bertemu untuk pertama kalinya dengan Lingga W isnu.
Sukesi segera mengundurkan diri didalam b ilik persediaannya.
Ia mulai merasa demam.
Apalagi anaknya yang kesakit-sakitan perlu untuk dibawa tidur siang-siang.
Syukur, keluarga Argajati mempunyai obat mujarab.
W alaupun belum merupakan obat mustika dunia, akan tetapi menolong menidurkan sianak, De ngan demikian agak meringankan penanggungan orang tuanya.
Sugiri yang pendiam menyertai isterinya masuk kedalam kamar.
Akan tetapi tatkala malam hari tiba, ia keluar juga dan duduk di antara hadirin.
Dengan penuh minat, ia memperhatikan setiap pembicaraan orang, Dan dengan diam-diam pula ia memperhatikan gerak gerik Lingga W isnu yang halus dan sopan.
Tanpa merasa, ia mulai berkenan terhadap adik seperguruannya yang bungsu itu "Eh, saudara Argajati! Kau tadi menerangkan, bahwa leluhurmu yang membangun goa ini.
Sebenarnya untuk apa?"
Kata Ki Ageng Gumbrek mint a keterangan. Kakek Argajati tersenyum lebar sambil meraba-raba jenggotnya. Setelah diam menimbang-nimbang, ia menyahut .
"Panjang ceritanya. Apakah saudara-saudara sekalian sudi mendengarkan peristiwanya? "Malam in i, hatiku sedang tegar, Meskipun kita terkepung musuh, akan tetapi aku bergembira karena menyaksikan anak-anak murid sahabatku sudah damai dan rukun kembali."
Ujar Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa. Argajati mengangguk. Lalu membagi pandangnya kepada Botol Pinilis, Sugiri, Lingga W isnu dan Sekar Prabasin i. Mereka semua menyatakan sependapat dengan Ki Ageng Gumbrek Kata Botol Pinilis .
"Bila k isah itu terlalu panjang, biarlah kami bergadang sepanjang malam. Aku tidak berkeberatan."
"Kalau begitu, aku mempunyai w aktu panjang, biarlah kami bergadang sepanjang malam ..."
Ujar kakek Argajati. Kemudian mulai bercerita ..
"Leluhurku bernama Pita W ahyu Absari,"
"Hai! Bukankah dia yang terkenal dengan gelar Rara W indu?"
Ki Ageng Gumbrek memotong.
"Benar, bagaimana saudara mengenal nama gelarnya?"
Pandang mata kakek Argajati berseri-seri.
"Pada zaman mudaku, siapapun kenal nama yang menggetarkan jagad itu. Dialah seorang pendekar wanita tanpa t anding pada zamannya. Bahkan, mungkin sampai sekarangpun belum ada yang sanggup melawan kesaktiannya andaikata dia masih hidup."
Sahut Ki Ageng Gumbrek lancar Pernyataan Ki Ageng mungkin tidak berlebih lebihan. Akan t etapi leluhurku itu mungkin wafat. Dialah b ibiku."
Kata kakek Argajati dengan bangga.
"Apakah dia yang membangun goa ini?"
"Benar,"
"K&Iatf begitu, wajib aku menghormati."
Ujar Ki Ageng Gumbrek,.
Diluar dugaan orang tua itu lantas saja berdiri tegak dan membungkuk hormat ke setiap penjuru dinding.
Keruan saja.
Botol Pinilis, Sugiri dan Lingga W isnu jadi keripuhan.
Bila orang tua yang berwatak angin-anginan bisa berbuat demikian niscaya tokoh Rara W indu itu bukan sembarangan.
Maka seperti berlomba mereka bertiga ikut berdiri dan membungkuk hormat pula.
Menyaksikan peristiwa itu, pandang mata kakek Argajati kian berseri-seri.
Setelah mereka duduk kembali diatas kursinya masing-masing, segera ia melanjutkan ceritanya yang telah terpotong.
Katanya .
"Leluhurku Pita W ahyu Absairi yang kelak bernama Rara W indu, berasal dari Jawa barat. Dia bergaul rapat dengan seorang pemuda bernama Kesawa. Mereka berdua pemuja pemuja pahlawan negara seperti Raden W ijaya pendiri kerajaan Majapah it Ciung W anara, Panembahan Senopati dan lain-lainnya. Karena mereka ahli-ahli pedang, masing-masing dilambungkan anganangannya hendak ikut serta mendirikan suatu jasa besar bagi negara dan bangsa. Tatkala itu Jawa Barat sedang dilanda kancah peperangan. Itulah sepak terjang pahlawan pahlawan Banten melawan kumpeni Belanda. Mereka menggabungkan diri dan berjuang dengan tujuan hendak merebut dunia. Dalam beberapa waktu saja, mereka berhasil membentuk laskar pejuang yang setia dan setujuan. Mereka bergerak disekitar Sukabumi dan Jayakarta. Seringkali mereka berhasil menumpas begundal-begundal kumpeni yang didatangkan dari negeri seberang. Bahkan pula pernah menghancurkan satu peleton serdadu Belanda.
"Sayang, sejarah menghendaki bangsa Belanda menang perang. Daerah demi daerah bersedia tunduk dan takluk pada panji-panji ben dera Eelanda. Rara W indu terdesak mundur sampai disekitar w ilayah Gunung Cakrabuwana. W alaupun demikian, dia tak kenal payah. Dengan semangat yang tak terluntur, masih saja dia melakukan perlawanan. Anak-buahnya kini terdiri dari pemuda-pemuda Parahiyangan yang bersemangat kebangsaan. Kasawa berasal dari Jawa Tengah. Dia bersedih hati karena mendengar warta tentang kemajuan tentara Belanda melanda-hampir seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ingin sekali ia pulang ke kandang untuk membendung pasukan pejuang penentang tentara Belanda. Hal itu disampaikan kepada Kara windu dengan maksud agar mendapat bantuan, Akan tetapi Rara W indu bersikap dingin saja. Jawab Rara Windu .
"Kau sendiri tahu, bahwa akupun sedang sibuk mengatasi masalahku sendiri. Bagaimana mungkin aku mengulurkan tangan keseberang sedang ruhah sendiri lagi kebakaran hebat,"
Sedih hati Kesawa memperoleh jawaban kekasihnya itu.. Kemudian ia mencoba mint a pendapat pemudapemuda Jawa Barat. T api mereka bahkan mengejek dan sama sekali t idak menghargai. Kata mereka serentak.
"Uruslah urusanmu sendiri. Kami rakyat Pasundan pernah dikecewakan manusia Gajah Mada. Dahulu Gajah mada menghancurkan raja dan rakyat kami. Kenapa kini kau mengharapkan bantuan kami?"
Semenjak itu, Kesawa seringkali berselisih paham dengan Rara W indu.
Iapun melihat suatu pergaulan terlalu bebas antara pemuda dan pemudinya bila dibandingkan dengan adat istiadat Jawa Tengah yang tertutup.
Rara Windupun tak terkecuali Maka ia mencoba memperingatkan.
Dan oleh peringatan itu, lagi Rara W indu memperlihatkan giginya.
Mereka berdua lantas bertengkar untuk kesekian kalinya.
Dan akhirnya, Kesawa mengambil keputusan pulang kekandang dengan seorang diri.
Ia melint asi hutan belukar dan mendaki gunung Beberapa tahun kemudian, ia bermukim di gunung ini.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gunung Lawu dan merubah namanya dengan Kyahi Basaman ""."
"Akh, eyang Basaman!"
Seru Lingga W isnu.
"Dialah kakek guruku. Guru almarhum ayahku,"
Kakek Argajati mengangguk dengan tersenyum manis. Sahutnya .
"Jadi, dialah kakek gurumu? Kalau begitu, kita termasuk keluarga sendiri,"
Lingga W isnu hendak berbicara, karena berbagai kenangan berkelebatan didalam ot aknya.
Ia teringat kepada ayah bunda dan saudara saudaranya.
Teringat kepada jembatan Jala Angin yang berada dipuncak gunung.
Teringat kepada pendekar berjubah kelabu yang membawa kakaknya perempuan, Sudarawerti ,.., Akan tetapi ia segera menahan diri..
karena tak mau memotong cerita kakek Argajati yang mulai menarik hati.
"Sepuluh tahun lamanya mereka berdua berpisah,"
Kakek Argajati meneruskan ceritanya.
Karena Rara W indu adalah seorang wanita yang berhati keras seumpama baja.
Tak sudi ia mencari atau menyusup.
Dalam hal keperibadian tak mau ia mengalah Tetapi setelah berpisah sepuluh tahun, barulah ia sadar bahw a insan yang sangat dicintainya hanyalah pemuda itu..
Banyak ia bergaul dengan pemuda-pemuda lain Akan tetapi tiada yang menyamai Kesawa.
Baik dalam hal kepandaian, maupun sepak terjangnya Sadar akan hal in i, barulah ia menyesal Dengan menutup telinga dan membungkam mulut., ia meninggalkan tanah Pasundan.
Semua ejekan, sindiran dan caci maki tak dihiraukan, Angin, hujan badai, hutan rimba diterjangnya.
Dan setelah berputar--putar beberapa lamanya, diket emukan tempat beradanya Kesawa..
Akan tetapi pada saat itu Kasawa sedang turun gunung membantu perjuangan Trunajaya melawan kumpeni Belanda.
Rara W indu salah paham.
Ia mengira dirinya ditolak mentah-mentah oleh Kesawa.
Maka ia bersumpah akan memusuhi Kesawa sepanjang hidupnya dan tak sudi meninggalkan tempat beradanya.
Demikianlah, maka Rara W indu mendirikan pertapaan di tempat ini.
ia menamakan pertapaan Argajati.
Dan nama pertapaan ini kusematkan pada diriku sebegai batu peringatan.
Akan tetapi pada suatu hari ia didatangi seorang pendekar yang menamakan diri W arok Jaganala.
W arok Jaganala tak senang melihat seorang wanita bermukim di Gunung Lawu.
itulah suatu penghinaan dan mengotori kesucian gunung.
Maka dia datang hendak mengusir Tentu saja, Rara W indu yang berhati keras bersitegang.
Dia justru kian mantap hendak bermukim digunung.
Rupanya, hendak ia membawa pengaruh pergaulan di Jawa Barat itu yang lebih bebas daripada disini Katanya .
"Apakah dunia ini dicipt akan hanya untuk laki-laki saja?"
Kedua orang itu lantas bertempur dengan sengitnya.
Akan tetapi W arok Jaganala adalah keturunan anak murid W arok Suramenggala.
Ilmunya hebat tak terkatakan.
Setiap gerakannya membawa angin berderun-derun sehingga ilmu parangnya terkenal dengan sebutan.
Ilmu Hujan Badai.
Rara W indu kena tikam dan roboh kedalam jurang.
Syukur, dia bernasib baik.
Dia tertolong seorang sakti bernama Hajar Pangurakan, Hajar Pengurakan sebenarnya kakak seperguruan W arok Jaganala.
W aktu itu dia sedang berpesiar ke telaga Sarangan dengan salah seorang muridnya bernama Kemasan.
Tepat pada saat itu, ia mendengar suara berderunya pedang W arok Jaganala yang terkenal dengan nama parang.
Bergegas ia menghampiri dan melihat melayangnya tubuh Rara W indu jatuh kedalam jurang.
Bagaikan burung, ia melesat dan masih sempat menolongfeeira W indu.
"Jaganala adalah adik seperguruanku,"
Kata Hajar Pangurakan.
"Dia memilih jalan sesat. Merampok, memberandal dan berwatak mau menang sendiri. Sebenarnya ingin aku memberantasnya. Akan tetapi guru tidak memperkenankan, Karena itu, aku hanya dapat mengeluh dari kejauhan. Sekarang engkau berada di sin i. Biarlah aku mematangkan ilmu pedangmu. Harapanku semoga dikemudian hari, kau dapat membatasi malang melint angnya Jaganala."
"Rara W indu kemudian dibawa ke pertapaannya yang berada diseberang Jembatan Jala Angin, Sepuluh tahun lamanya d ia melatih diri. Setelah itu, tiada kabar beritanya, Akan tetapi sebenarnya dia balik kemari dengan membangun sebuah goa persembunyian. Dan inilah goa buah karya leluhurku, Rara W indu. Dipertapaan ini, ia mengambil seorang laki-laki yang diangkatnya menjadi saudara tua. Itulah ayahku. Karena Rara W indu sangat, baik, maka ayah menyematkan nama pertapaannya kepadaku,"
"Oh, jadi ayahmu yang menyematkan nama Argajati?"
Ki Ageng Gumbrek menegas.
"Benar. Apakah ada celanya?"
"T idak! Sama sekali tidak. Artinya kau menyematkan nama Argajati bukan atas kemauan sendiri. Sebaliknya terjadi unt uk mengakrabkan suatu pergaulan "
"Benar."
Sahut kakek Argajati.
"Dan ayahmu itu niscaya yang bernama Kemasan. Bukankah begitu?"
"Kenapa Ki Ageng bisa menetak tepat?"
Kakek Argajati heran.
"Mudah sekali,"
Sahut Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa menang.
"Menurut ceritamu, Rara W indu seorang wanita yang berhati sangat keras. Dalam hatinya hanya ada seorang manusia yang kebetulan bernama Kesawa. Karena itu, tidaklah mudah dia mengangkat seorang saudara. Apalagi saudara itu diakuinya sebagai saudara tua. Siapa yang dapat kebagian rezeki demikian besar, selain Kemasan murid Hajar Pangurakan yang kebetulan saja ikut serta menolong dirinya tatkala jatuh ke dalam jurang."
"Akh, benar-benar tepat penglihatan Ki Ageng,"
Kakek Argajati tertawa kagum. lalu ia meneruskan ceritanya.
"Dalam pada itu W arok Jaganala telah merajai dunia. Ia merupakan seorang pendekar tanpa tanding. Tiada seorangpun yang berani mencoba-coba, Sebab selain berkepandaian sangat tinggi, diapun bersahabat dengan Kesawa atau Kyahi Basaman. Juga dua saudara seperguruan Kyahi Basaman yang bernama Anung Danusubrata dan Prangwedani, Pada suatu hari. W arok Jaganala, Anung Danusubrata dan Parangwedani datang mengunjungi Kyahi Basaman, Diluar dugaan, ia d icegat Rara W indu ditengah jalan. Pendekar w anita itu berdiri dengan gagah ditengah jalan dengan pedang panjang dipinggangnya, Ia tersenyum manis Dan hal itu membuat W arok jaganala dan dua kawannya tercengang-cengang. Bagaimana mungkin, Rara W indu berkeliaran di tengah jalan dengan pedang diwilayah Kyahi Basaman yang dengan demikian bukankah berarti menantang Kyahi Basaman yang berkepandaian tinggi? Mereka tak tahu, bahwa antara Rara W ifldu dan Kyahi Basaman tersulam peristiwa hubungan yang istimewa.
"Jaganala! Aku tahu, pada suatu kali kau n iscaya datang kemari. Karena itu aku sudah menghadangmu semenjak beberapa waktu lamanya. Bukankah kau mengira aku sudah mati?"
"Siluman perempuan! Benar-benarkah kau masih hidup?"
Jaganala heran berbareng terperanjat "Aku benar-benar hidup.
Semula aku menunggumu dipertapaanku.
Tapi kau tak datang-datang juga.
Maka tahulah aku, bahwa kau menganggap diriku sudah mati di dasar jurang.
Itulah sebabnya aku menghadangmu kemari, karena mendengar kabar persahabatanmu dengan pemilik w ilayah in i."
Sahut Rara W indu.
"Bagus! Jadi kau masih berpenasaran terhadapku? Baiklah, mari kita uji kepandaian kita masing-masing. Kebetulan sekali aku bawa dua sahabatku. Mereka bisa menjadi saksiku. Nah, hunuslah pedangmu!"
"Aku tidak bersenjata pedang, tapi hanya sebatang tongkat. Lihatlah yang jelas!"
Seru Rara W indu sambil menghunus sebatang tongkat yang dari sebuah sarung pedang. Ternyata sarung pedang yang berada di pinggangnya itu sebenarnya pembungkus sebatang tongkat yang merupakan senjata andalannya.
"Hm. Tongkat apa itu?"
Warok Jaganala mendengus.
"Inilah sebatang tongkat mustika,"
Jawab Rara Windu.
"Kau mencari matimu sendiri, hah? Bagaimana caramu bisa membunuh aku?"
"Jaganala! Bukannya, aku takut padamu, tetapi aku menerima tongkat ini sebagai warisan leluhurmu. Karena itu, meskipun kau pernah menikam diriku dan merobohkan aku ke dalam jurang, tapi aku tak berniat menuntut dendam untuk membalasmu. Cukuplah sudah, bahw a didunia in i masih ada aku yang dapat melawan kepandaianmu,"
W arok Jaganala tertawa Ia mengira Rara W indu takut kepadanya. Maka dengan senjata parangnya yang termashur, ia maju selangkah sambil menggertak .
"Perempuan iblis, hayo majulah!"
Mereka berdua bertempur dengan sengit.
W arok Jaganala bersenjata parang.
Gerakan parangnya membawa angin beiderun-derun.
Sebaliknya, Rara Windu melayani dengan cekatan.
W alaupun hanya bersenjata tongkat, namun parang tak dapat menahasnya.
Setelah bertempur kurang lebih dua ratus jurus, W arok Jaganala mulai terdesak.
Akhirnya parangnya kena terpental miring dan terlepas dari t angannya.
"Nah, pergilah! Kau boleh mencari aku lima t ahun iagi, untuk mencari keputihan. Dengan demikian, aku memberi kesempatan padamu agar hatimu puas. Tapi pada saat itu, aku tidak akan mengampuni kau lagi."
Kata Rara W indu.
Setelah berkata demikian Rara W indu melesat meninggalkan gelanggang.
Baik Anung Danusubrata dan Prangwedani heran tak kepalang menyaksikan ketangguhan Rara W indu.
Sebaliknya W arok Jaganala amat penasaran.
Hatinya panas, bagaikan seorang kebakaran jenggot.
Dia menyumpah-nyumpah dan memaki-maki.
Akhirnya memut uskan hendak, mencari Rara W indu lagi setelah berlatih lima tahun.
Demikianlah, tahun berganti tahun.
Hari yang dijanjikan tiba.
Anung Danusubrata dan Prangwedani berkunjung kerumah W arok Jaganala.
Kemudian mereka bertiga mencari Rara W indu.
Kali ini, mereka mendaki pertapaan Argajati.
Begitu bertemu berkatalah W arok Jaganala i "W indu! Aiu sudah berlatih lima tahun.
Apakah kau masih hendak bersenjata sebatang tongkat? W alaupun mengenai diriku, niscaya tiada gunanya sama sekali.
Kulitku takkan mempan oleh semua senjata tajam dipersada bumi ini.
Percayalah! Jawab Rara Windu .
"Dengarkanlah kata-kataku. Lima tahun yang lalu, aku telah mengampuni, Kedua teman mu itu pula yang merjadi saksinya. Aku mengampuni karena mengingat leluhurmu. Aku tidak membunuhmu atau melukaimu, karena aku dahulu ditolong oleh kakakmu Hajar Pangrakan. Tapi kita sekarang sudah cukup tua. Umur kita masing-masing sudah melampaui limapuluh tahun, Karena itu, kalau dapat, biarlah kita habisi saja permusuhan ini. Sebab tongkat mustika ini sebenarnya merupakan hadiah leluhurmu. Hal ini kukemukakan bukan karena aku t akut padamu, Tapi demi tujuan hidup manusia yang sejati."
W arok Jaganala tertawa terbahak bahak. Sahutnya .
"Benar-benar kau pandai berbicara. Kau berkata, bahw a umurku sudah melampaui lima puluh tahun. Justru demikian, kau harus sadar bahw a umur set inggi itu tidak akan mudah terkecoh. Siapa yang sudi mendengar ocehanmu kecuali kau harus meninggalkan gunung Lawu. Inilah pertapaan guruku turun menurun. Kau manusia dari barat, nah pulanglah kekandangmu,"
Panas hati Rara W indu mendengar ucapan W arok Jaganala. Meskipun sudah lanjut usianya, namun wataknya yang keras masih saja melengket pada sanubarinya. Maka dengan sengit ia membentak .
"Jaganala! Benar-benar kau manusia jahat, Apakah kau kira tongkat ini tak dapat memunahkan kesaktianmu? Karena kau menolak maksud baikku, terpaksalah aku menghajarmu benar-benar. Nah, berkatalah teras terang. Kau hendak melawan aku seorang diri atau dengan bantuan dua orang temanmu itu?"
Membentak demikian, Rara W indu menyiratkan pandang kepada Anung Danusubroto dan Prangwedari. Anung Danusubrata kemudian menyahut.
"Rara w indu! Aku bernama Anung Danusubrata. Jelekjelek, akulah ketua golongan Ugasrawa yang berkedudukan diatas gunung Cakrabuwana. Tegasnya, aku dan kau berasal dari Jawa Barat- Belum pernah aku bermusuhan denganmu. Juga untuk selama-lamanya tidak. Aku datang kemari semata-mata menemani saudara Jaganala. Sekarang kau dan saudara Jaganala hendak menguji diri. Tapi bila saudara Jaganala kalah, berilah aku kesempatan mencoba-coba kepandaianmu."
Mendengar kata-kata Anung Danusubrata, Rara Windu membungkuk hormat. Katanya gembira .
"Oh, jadi engkau berasal dari Jawa Barat? Sudah sering aku mendengar namamu Sekarang aku diperkenankan untuk dipertemukan dan dikenalkan. Baiklah, aku menerima usulmu , Prangwedani yang belum memberi keterangan, segera membuka mulutnya. Berkata .
"Aku Prangwedani, Ketua golongan Parwati yang berkedudukan di Kartasura. Dalam hal ini, aku tak ikut serta. Biarlah aku menjadi saksi saja. Kalau pada hari ini aku berada difeini semata-mata karena Kyahi Basaman termasuk sesama rumah perguruan dari leluhur kami."
Rara W indu mengangguk"
Kemudian menatap W arok Jaganala kembali. Serunya nyaring .
"Nah, mari kita mu lai. Kau menghendaki apa? Aku bersedia meluluskan semua permint aanmu ."
Sebenarnya, dalam hati, Anung Danusubra tak ingin membantu Jaganala.
Akan tetapi teringatlah dia, bahw a kegesitan, para W indu lima tahun lewat, la kagum dan mengakui kalah.
Sekarang lima tahun lewatlah sudah.
Niscaya kehebatannya jadi bertambah.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka ia hendak melihat dahulu.
Bila rasa-rasanya dapat melawan, ia akan mencoba Dalam, nada itu, W arok Jaganala menjawab tancangan Rara W indu .
"Aku ingin kalah dengan hati puas. Kembalilah mengambil pedangmu. Tak mau aku kau lawan dengan sebatang tongkat "
Rara W indu tersenyum lebar. Jawabnya.
"Aku sudah berkeputusan hendak melayani kau dengan sebatang tongkat. Jika kau memaksa aku harus bersenjata pedang, cobalah usir aku dari t empatku!"
"Perempuan siluman!"
Bent ak Jaganala sambil menghunus senjata parangnya.
"Bukan aku menghinamu. T api dengan pernyataanmu jelaslah sudah, bahwa kau tidak memperoleh kemajuan berarti selama lima tahun. Tak dapatkah engkau menyadarkan diri, bahwa sebatang rumputpun dapat digunakan sebagai senjata tajam melebihi sebatang pedang?"
"Hm, kau hendak menyatakan diri sudah mencapai tingkatan setinggi itu? Kau perempuan siluman bermulut besar!"
Hati Jaganala mendongkol bukan main.
Terus saja ia melompat menikam, Akan tetapi itulah gerakan tipu muslihat belaka.
Yang benar adalah gerakannya yang kedua.
Tiba-tiba saja dengan suara mengaung, parangnya membabat pinggang.
Itulah serangan yang hebat luar biasa.
Terus saja biasanya tak pernah ia gagal.
Lima tahun sudah, ia melatih dan mencobanya.
Tikamannya itu berhasil dalam satu kali jadi.
Akan tetapi menghadapi Rara W indu, ia menumbuk batu.
Tiba-tiba saja ujung parangnya kena tangkis tongkat.
Ia kaget, tatkala parangnya kena tergempur miring.
Namun sama sekali ia tidak menjadi gugup.
Gesit luar biasa ia memut ar parangnya.
Seketika itu juga, tubuh Rara W indu kena terkurung rapat, Rara W indu ternyata tak bergeming dari tempatnya.
Sama sekali ia tak menghiraukan serangan yang berbahaya itu.
Tongkatnya berputar pula dan menangkis set iap titik bidang gerak, Dengan demikian, parang W arok Jaganala tergempur miring pada saat-saat tertentu.
"Bagus! A da juga kemajuanmu. Hanya saja kau terlalu bernapsu."
Serunya dengan tertawa.
Setelah berseru demikian, benar-benar ia dapat membuktikan.
Ia mundur selangkah kemudian meloncat miring dan melesat kedepan sambil menikamkan tongkatnya.
Dan pada detik itu, Warok Jaganala nampak terhuyung huyung mundur langkah.
Ia heran karena Rara W indu mengetahui tata muslihatnya.
Seketika itu juga, wajahnya pucat dan bersemu merah.
"Janganlah kau cepat-cepat berbesar hati. Jaganala adalah gudang semua rahasia ilmu sakti dibumi Jaw a in i. Awas!"
Bentaknya dengan hati geram. Rara W indu melayani serangannya yang kedua. Kali ini lebih hebat. Akan tetapi dengan tenang, Rara W indu mengejek .
"Lima tahun kita berpisah. Ternyata kepandaianmu sama saja. Sama sekali tiada kemajuanmu, Apakah ilmumu hanya berpangkal pada tata muslihat belaka? Mustahil kau dapat mengalahkan aku,"
Rara W indu tidak hanya mengejek.
Berkali-kali ia memperlihatkan kelebihannya.
Maka mau tak mau, Jaganala jadi berputus asa.
Baru kali ini, ia kalah.
Inilah pengalaman nya yang pahit selama malang-melintang tiada tandingnya.
Karena merasa t idakkan dapat merebut kemenangan, sekonyong-konyong ia melompat keluar gelanggang dan membuang parangnya, la menghela napas dan kepalanya tunduk.
Para W indu tidak memburu.
Ia menatap wajah Jaganala yang pucat lesi berbareng merah padam.
Terang sekali, ia berput us ask dan mendongkol.
Seketika itu juga, teringatlah dia kepada Hajar Pangurakan kakak seperguruan Jaganala.
Dialah yang memberi petunjuk petunjuk berharga kepadanya, sehingga dapat mengalahkan Jaganala dengan mudah.
Sebenarnya ilmu sakti rumah perguruan Jaganala tak terlawan.
Kepandaian Jaganala pun tidak rendah.
Andaikata ia tak memperoleh petunjuk kakaknya seperguruan belum tentu dia dapat merobohkannya.
Hanya saja Jaganala terlalu berkepala tinggi.
Dan ketinggian hatinya itu membuat dirinya t erlalu menggampangkan lawan.
"Sayang! Andaikata hatinya lapang dan tidak bengis, kemajuannya sekarang ini bukan main besarnya,"
Rara W indu mengakui di dalam hati.
Selagi Rara windu bermenung-menung, ia melihat wajah Jaganala kian pucat.
Tubuhnya bergemetaran pula.
Itulah akibat rasa mendongkol dan penasaran yang luar biasa.
Terdorong oleh rasa itu, dia tadi menyerang dengan mengerahkan seluruh kebisaannya.
Sekarang tenaganya terkuras habis.
Tak mengherankan, ia menggigil karena tubuhnya tak tahan lagi kena dingin hawa gunung.
"Mari masuk!"
Ajak Rara Windu.
Dengan berdiam diri, Jaganala mengikut i Rara W indu masuk kedalam rumah pertapaan.
Di dalam ruang pertapaan terdapat pendiangan.
Dapat ia memanaskan badannya.
Apabila rasa hangat mulai merayap t ubuhnya, ia nampak menjadi segar.
Kemudian berkata dengan suara menyesali diri sendiri "Sebenarnya hatiku harus terbuka tatkala kau menyebutkan asal tongkatmu itu.
Betapa gilanya aku berlawan-lawanan dengan tongkat, leluhurku.
Aku merasa malu dan berdosa.
Maafkanlah aku."
"Janganlah kakak bersedih hati". Rara W indu menghibur.
"Usia kita sudah mendekati tiga perempat abad. Karena itu, tiada gunanya kita dibelenggu oleh persoalan yang sudah lampau. Terus terang kukatakan padamu, bahwa ilmu kepandaianmu sebenarnya maju jauh,"
"Hm."
Jaganala mendengus.
"Benar."
Kata Rara W indu meyakinkan.
Hanya saja kakak terlalu kena pengaruh w atak pribadi yang kurang cermat.
Hal itu disebabkan, karena kakak masih dibelenggu napsu mau menang sendiri sehingga tidak memperhatikan asal-usul perlawanan musuh, Kau lupa bahw a aku berasal dari Jawa Barat Sedikit banyak aku pernah belajar ilmu pedang, sebelum memperoleh pelajaran dari Hajar pengurakan, .Dengan demikian, ilmu pedangku merupakan ilmu gabungan antara rumah perguruan kakak dan rumah perguruanku.
Ilmu kepandaianku sama dengan ilmu ke pandaian kakak Hajar Pangurakan.
Itulah sebabnva, mula-mula aku kalah melawan dirimu.
Selelah aku menerima petunjukpetunjuk dari kakak Hajar Pangurakan, segera aku menggabungkan, akibatnya kau kena kukalahkan.
Sekarang kau mencoba melawan diriku dengan ilmu kepandaianmu sendiri yang kau coba menggabungkan dengan petunjuk-petunjuk dua sahabatmu ini.
Usaha penggabungan itu bagus sekali.
Hanya saja terlalu pendek.
Kau hanya mempunyai waktu lima tahun.
Sedangkan aku sudah mahir, kakak baru mencoba-coba.
Inilah letak rahasia kekalahan kakak.
Tapi apabila kakak tidak terlalu terburu napsu lagi dan sudi.
menekuni sepuluh tahun lagi, hatsilnya akan mengagumkan.
Pada waktu itu aku pasti dapat kau kalahkan."
W arok Jaganala memanggutkan kepalanya.
Lima tahun memang cukup lama untuk menggertak kepandaian seorang pendekar berkepandaian sedang.
Tapi menghadapi Rara W indu sebenarnya ia harus mempunyai perhitungan lain.
Dia bukan seorang pendekar sembarangan.
Dan biasanya wanita lebih cermat dari pada laki-laki.
Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia membungkuk hormat sambil berkata "Kalau begitu, biarlah adik yang mewarisi ilmu kepandaian rumah perguruan kita.
Biarlah aku pergi saja ..."
"Kakak hendak kemana?"
Rara W indu terperanjat.
"Y ang terang, aku tidak akan kembali ke wilayah ini. Aku malu kepada guru yang mengasuh aku dengan sungguh-sungguh dan penuh cinta kasih"
Jawab Jaganala dengan suara penuh sesal Mendengar jawaban Jaganala, Rara W indu berkata sungguh-sungguh dengan lembutnya "Kakak! Aku memanggilmu dengan kakak, karena petunjuk-petunjuk kakak kita Hajar Pangurakan Menurut urut an tingkatan, aku berada dibawahmu.
W alaupun aku berasal dari Jawa Barat, tapi aku merasa hidup kembali semenjak bertemu dengan kakak Hajar Pangurakan.
Bagaimana kalau kita sekarang hidup di atas Gunung Lawu ini demi melanjutkan patilasan guru? Menurut kakak Hajar Pangurakan, guru bermukim diseberang Jembatan Jala Angin.
Mungkin sekali, kita belum dapat mencapai pertapaannya mengingat kepandaian kita masih rendah.
Tapi bila kita bertekun dengan sungguh dan mau menekuni semua warisan guru, niscaya kita berdua akan dapat menyusul guru, Kakak kita Hajar Pangurakan sekarangpun sudah sanggup berada disana.
Untuk sementara biarlah kita bermukim dibawahnya.
Bagaimana? Apakah kau sudi menerima tawaranku?"
Selama hidupnya, W arok Jaganala tak pernah berkeluarga.
Karena itu, ia terharu mendengar tawaran Rara W indu.
Itulah suatu tawaran yang timbul dari hati yang tulus bersih.
Maka ia menatap adiknya seperguruan yang sakti itu dengan penuh pertanyaan, Anung Danusubrata dan Prangwedani yang ikut mendengarkan, menganjurkan agar Jaganala menerima tawaran Para W indu, Dan oleh anjuran itu akhirnya W arok Jaganala mengangguk.
--ooo0dw0ooo-
Jilid 11 Tamat ANUNG DANUSUBRATA dan Prangwedani yang ikut mendengarkan, menganjurkan agar Jaganala menerima tawaran Rara W indu. Dan oleh anjuran itu, akhirnya W arok Jaganala mengangguk .
"Rara W indu. Terimalah dahulu permint aan maafku. Aku sekarang sudah sadar akan kesesatanku."
Kata W arok Jaganala dengan sungguh sungguh."
"Rara.."
Tiba-tiba Anung Danusubrata berkata.
"Saudara berdua kini bersatu padu. Bila ilmu yang hendak saudara bina kelak menjadi suatu kenyataan, hebatnya t ak terlukiskan lagi. Akan tetapi siapakah yang baka! menerima warisan saudara berdua? Apakah di atas gunung terdapat kahyangan bidadari? Atau saudara berdua hendak membawa ilmu kepandaian saudara keliang kubur?"
Itulah suatu pernyataan yang mengejutkan hati mereka berdua. Beberapa saat lamanya, mereka terdiam. Akhirnya Rara Windu berkata.
"Aku berada diatas gunung ini beberapa tahun lamanya. Selama itu, aku berkenalan dan menanam bibit persahabatan Akupun tidak bermaksud-membawa ilmu kepandaian guru ke liang kubur. Bahkan bila sampai terjadi demikian aku berarti, menghianati dan membunuh cita-cita guru. Hanya saja, untuk menemukan seorang murid memang sangat sulit,"
Arung Danusubrata nampak gelisah. Prangwedani yang semenjak tadi berdiam diri, menyumbangkan pikirannya .
"Hal itu janganlah saudara pikirkan. Percayalah, bahw a didunia ini terdapat suatu perjodohan. Bila perjodohan itu . tiba, Tuhan akan membawakan seorarg murid untuk saudara berdua. Sebaliknya b ila Tuhan menghendaki ilmu kepandaian saudara berdua musna manusia seluruh dunia in i tidak akan dapat beriht iar apapun juga."
Rara W indu dan W arok Jaganala mengucapkan terima kasih.
Akan tetapi didalam hati Prangw edani dan Anung Danusufcrata timbul suatu keyakinan, bahwa murid itu sulit diperoleh.
Hanya saja mereka berdua tidak menyatakan hal itu, karena akan mementahkan suatu persetujuan yang sudah matang.
Demikianlah, semenjak itu, hilanglah warta berita, tentang Rara W indu dan Jaganala.
Mengingat usianya, mestinya mereka berdua sudah wafat.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bila sudah wafat, kenapa di dunia belum terpercik suatu berita tentang seorang pemuda atau pemudi yang berkepandaian tinggi? Maka benarlah keyakinan pendekar Prangwedani dan Anung Danusufcrata bahwa baik Rara W indu maupun Jaganala akan sulit memperoleh pewarisnya yang tepat, 0odwo0 SAMPAI DISITU, selesailah sudah cerita kakek Argajati.
Mereka yang mendengar, memperoleh kesannya masing-masing, Yang paling hebat adalah Lingga W isnu, Berbagai ingatan dan kenangan berkelebat didalam benaknya, Teringatlah dia, betapa ayah bundanya dikejar oleh seluruh pendekar dipenjuru tanah air ini.
Mereka terdiri dari pendekar pendekar golongan Parwati dan Ugrasena yang diketuai oleh Prangwedani dan Anung Danusubrata, Pernah pula Kyahi Basaman dikerumuni pendekar pendekar yang menanyakan tentang tongkat mustika.
Bukan mustahil, bahw a Prangwedani dan Anung Danusubrata diam-diam tertarik kepada tongkat mustika yang dibawa bawa Rara Windu.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
Terus saja ia bertanya kepada kakek Argajati;
"Apakah pendekar Jaganala senang mengenakan jubah abu-abu?"
Kakek Argajati tercengang mendengar pertanyaan itu, Dengan menebak-nebak ia menjawab;
"Aku sendiri belum pernah bersua. Tapi menurut kabar, dia senang jubah pendeta tatkala masih malang melint ang. Hanya saja apakah jubahnya berwarna abu abu atau hitam aku sendiri kurang jelas. Kenapa anak tertarik soal itu?"
Lingga W isnu tertegun.
Mulutnya terbungkam, karena ia teringat kepada ingatannya masa kanak-kanak tentang seorang yang mengenakan jubah.
Kakak perempuannya, Sudarawerti hilang musna dengan munculnya seorang pendekar yang mengenakan jubah abu-abu.
Pendekar jubah abu-abu yang menyibukkan dan mengherankan ayah-bundarjya pula Sayang waktu itu dia setengah pingsan.
Ingatannya kabur antara munculnya tokoh Podang W ilis, paman gurunya, dan pendekar jubah abuabu.
Akan tetapi masih teringat segar dalam ot aknya, bahw a dia menyerukan hilangnya Sudarawerti diatas punggung Podang wilis, Karena mereka semua menunggu jawabannya maka ia mengisahkan riwayat hidupnya dan keanehan keanehan yang ditanggung keluarganya.
Dan mendengar riwayat hidupnya, Sekar prabasini tertegun oleh rasa terharu.
Baru sekarang ia mendengar riwayat hidup pemuda yang dipujanya itu.
Diluar dugaannya, penderitaannya jauh melebihi penderitaannya sendiri.
"Coba ulangi sekali lagi!"
Kata Ki Ageng Gumbrek. Orang t ua ini agaknya menaruh perhatian besar.
"Ulangi sekali lagi seolah-olah kau berada ditengah kancah pertempuran itu!'' Lingga W isnu meluruskan ingatannya. Kemudian ia mengisahkan peristiwa yang menyedihkan hatinya itu seolah-olah dirinya tak ikut serta memegang peranan. Katanya tersekat-sekat tapi lancar "T ak sempat lagi ayah berbicara berkepanjangan. Beberapa orang datang meluruk kebawah. Gerak-gerik musuh baru ini, lebih mantap dan perkasa. Namun ayah sama sekali tak gentar. Dengan pandang tajam, ayah mengawasi mereka. Tiba-tiba diatas ketinggian ayah melihat seorang mengenakan jubah abu-abu. Siapa dia, ayah tak dapat mengenalnya.
"Selagi ayah mencoba mengamat-amati orang berjubah abu-abu itu, kakak Mardanus sudah melompat menerjang sambil berteriak.
"Manusia serigala. Kalian ganas melebihi binatang. Hayo maju!"
Akupun ikut menyerbu. Sebenarnya aku sama sekali tak berkepandaian. Hanya terdorong oleh hati kesal dan panas, aku ikut ikutan saja. Tentu saja ayah jadi berkhawatir. Terdengar ayah berteriak nyaring.
"Umardanus! Lingga! Kembali!"
Kakak terperanjat tatkala mendengar bahwa ayah menyebut namaku. Dia menoleh dan melihat diriku. Cepat-cepat ia mengurungkan ke hendaknya dan menyeret aku mundur.
"Dan orang berjubah abu-abu?"
Potong Ki Ageng Gumbrek.
"Dia berdiam saja. Akupun tidak sempat memperhatikan. Tatkala ayah bunda terbunuh dan kakak Mardanus melompat ke dalam jurang, dia menyambar kakakku perempuan Sudarawerti. Kakakku Sudarawerti mencoba melawan. Akan tetapi tiada gunanya. Entah bagaimana selanjutnya ingatanku sudah kabur."
Jawab Lingga W isnu. Ki Ageng Gumbrek menghela napas. Dahinya berkerut-kerut. Ia mencoba menduga duga. Lalu mengerling kepada Argajati yang berdiri tertegun. Bertanya minta pertimbangan .
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
Kakek Argajati. berbimbang-bimbang. Lalu menjawab.
"Kalau menilik wilayah pertempuran, kemungkinan besar dialah warok Jaganala. Apalagi dia mengenakan jubah abu-abu. Akan tetapi masakah dia masih h idup? Bila h idup, paling tidak sudah berumur seratus tahun lebih."
"Kyahi Basaman sampai sekarang masih hidup segar bugar. Masakan Rara W indu dan warok Jaganala mendahului usianya?"
Kakek Argajati tertawa. Menyahut.
"W alaupun usia manusia berada di tangan Tuhan, akan tetapi pertimbangan Ki Ageng masuk akal. Namun ..."
"Namun apa?"
"Betapapun juga, aku masih ragu-ragu", jawab kakek Argajati cepat.
"Dalam usia selanjut itu, masakan dia masih senang berkeliaran dan usilan terhadap segala peristiwa di dunia?"
"Menurut tutur katamu, dia berwatak mau menang sendiri. Dia malang melint ang tanpa tandingan. Dan jangan lupa, dia membutuhkan seorang murid yang hendak diwarisi kepandaiannya ."
Tiba-tiba Sekar Prabasin i menyambung.
"T api kenapa dia tidak sudi membantu ayah bunda kakak Lingga?"
Ki Ageng Gumbrek tertawa. Sahutnya.
"Sebenarnya otakmu cerdas. T api kau jadi tolol karena terpengaruh cerita Lingga. Bukankah mereka yang mengeroyok ayah Lingga terdiri dari kaum Parwati dan Ugrasena? Setidak-tidaknya yang paling besar jumlahnya."
"Y a, lantas apa alasannya?"
"Bukankah Anung Danusubrata dan Prangwedani adalah sahabatnya? Menggebuk anjing piaraan samalah halnya menggebuk majikannya."
Sekar Prabasin i sebenarnya dapat menjawab pertanyaannya sendiri tanpa bant uan siapapun.
Akan tetapi ia sengaja berbuat demikian untuk mengesankan kisah h idup Lingga W isnu kepada Sugiri dan keluarga Argajati.
Dalam pada itu pagi hari telah menyingsing, dengan tak terasa.
Masing-masing terlibat dalam diri masingmasing.
Akhirnya t uan rumah berkata.
"Mungkin sekali tenaga tuan-tuan sekalian sangat kita butuhkan untuk mengusir serdadu Belanda yang mengepung pertapaan ini. Karena itu, apakah tuan-tuan tidak perlu beristirahat? Kami telah menyediakan kamar peristirahatan walaupun sangat sederhana. Mereka menerima saran tuan rumah. Dan masingmasing lantas memasuki kamar. Sekar Prabasini berada dalam satu kamar dengan Saraswati. Sedang Rara W itri menemani ibunya. Sekar Prabasini mencoba menidurkan diri tetapi pikirannya terpancang terus kepada pendekar yang mengenakan jubah abu-abu. Dia seorang gadis berhati keras. Tak mengherankan, ia kena belenggu sifat kekerasan hatinya. Sebaliknya Lingga W isnu memikirkan tentang tongkat yang diketemukan di dalam goa. Pikirnya.
"Apakah tongkat yang dibawa pendekar wanita Rara W indu bukannya tongkat yang kuketemukan di dalam goa? Bila benar, bagaimana cara Rara W indu memasukkan?"
Hal itu membuat hatinya bimbang sendirl T etapi t okoh Rara W indu tak pernah hapus dari ingatannya.
Ia memikirkan masa depan Sekar Prabasini.
Karena jasa Sekar Prabasin i, goa harta karun itu diketemukan.
Dalam hal ini, secara kebetulan pula ayahnya ikut mengambil saham yang paling besar.
Sekarang dia menemukan tidak hanya t imbunan harta karun, tapipun sebuah kitab himpunan ilmu sakti yang t iada taranya.
Menurut pantas, Sekar Prabasini berhak memiliki separohnya.
Dengan berbagai pikiran itu, Lingga W isnu bergulakgulik diatas tempat tidurnya.
Akhirnya ia tertidur juga dengan tak setahunya sendiri.
Tatkala bangun, mereka semua sudah sibuk bersiap-siap.
Ki Ageng Gumbrek menyambut dengan tertawa lebar.
Serunya riang.
"Hei bocah! Kita tidak boleh terkurung terus dalam goa ini. Kita harus mencoba mendobrak. Mati atau hidup bukan perkara kita. Serahkan saja nasib kita kepada Tuhan diatas kepala kita ..."
"Benar."
Lingga W isnu mengangguk.
Kemudian menoleh kepada kakek Argajati yang nampak berenungrenung.
Meskipun tak terucapkan, Lingga W isnu bermaksud mint a pertimbangan.
Sebab betapapun juga, tuan rumah itu lebih faham liku-liku wilayahnya daripada pihaknya.
"Sebenarnya, ananda Sukesi harus sehat dahulu seperti sediakala."
Ujar orang tua itu.
"Apakah pertapaan ini kian terkepung rapat?"
Sekar Prabasin i menegas. Dia seorang gadis yang senantiasa tak bersabar hati. Kakek Argajati mengangguk. Jawabnya.
"Menurut laporan, mereka bahkan berusaha membongkari t anah."
Hati Lingga Lingga W isnu tercekat.
Teringatlah dia kepada Musafigiloh yang berotak encer.
Kalau memperoleh kesempatan, pemuda itu niscaya dapat menemukan lubang sumur goa harta benda.
Dia mempunyai tenaga serdadu yang dapat mendatangkan meriam sew aktu-waktu.
Dan dengan bantuan meriam, pintu goa lambat-laun pasti terbongkar juga.
Maka dengan wajah berubaa ia berkata.
"Kalau begitu, biarlah kuselid iki."
Berkata demikian, ia memberi isyarat mata kepada Sekar Prabasini.
Dan pada saat itu ia melihat pandang mata Saraswati yang lembut.
Gadis itu seperti hendak mengatakan sesuatu, akan tet api segera menahan diri.
Mereka berdua diant arkan seorang petani sampai di mulut goa yang berada di seberang.
Setelah itu mereka melanjutkan perjalanannya tanpa petunjuk lagi.
Seperti kemarin, mereka melalui lorong-lorong yang berliku-liku.
Dan selama berjalan, mereka berdiam diri.
Perjalanan begini bagi Sekar Prabasini terasa membelenggu dirinya.
Maklum lah, dia seorang gadis berjiwa bebas, setengah liar dan panas hati.
Maka-meledaklah ucapannya.
"Apakah kau tak sudi berbicara lagi setelah berkenalan dengan Saraswati? Gadis itu memang menarik."
Lingga W isnu tercengang berbareng geli. Sahutnya bersenyum.
"Adik? Mengintip musuh, kita harus dapat menahan diri meskipun banyak yang hendak kukatakan padamu."
"Kalau mau bicara, berkatalah. Apa sih ruginya? Kalau khawatir kena didengar musuh, bukankah kita bisa berhenti dulu? Musuh yang mengepung pertapaan ini, kan t idak bakal lari?"
"Benar. Tapi aku memikirkan goa itu. Goa warisan ayaymu,"
Ujar Lingga W isnu. Mendengar ayahnya disebut-sebut, Sekar Prabasini terdiam. Betapapun juga, kata-kata Lingga W isnu mengenai lubuk hatinya dengan jitu. Sahutnya mengalah.
"Apakah kau khawatir mereka dapat menembus goa kita?"
"Mereka memiliki meriam, sedang kita belum mengambil faedah isi goa itu. Selain tongkat dan pedang ini."
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id