Pedang Sakti Tongkat Mustika 5
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 5
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
'A yah-ibu sendiri belum tahu pasti tentang tongkat mustika.
Akan tetapi mereka bersedia mengorbankan jiwa demi memperoleh keterangan tentang rahasia tongkat mustika tersebut.
Nampaknya tongkat mustika itu merupakan sumber bencana, entah berapa orang lagi yang akan mati bergelimpangan .....
' Setelah beristirahat satu malam tanpa bergerak didalam rimba, tenaga Aruji menjadi pulih kembali.
Langkahnya cekatan.
Akan tetapi karena perjalanannya terpotong oleh kejadian semalam ia menjadi tersesat.
Tiba-tiba saja d ibawah bukit nampak tergelar lembah ngarai yang berpen-duduk.
Pikir Aruji didalam hati .
'Paman Sarapada bertempat tinggal disebuah pertapaan bernama Mrepat Kepanasan.
Tempatnya sangat terpencil.
Mengapa justru disini nampak tergelar beberapa dusun? Apa aku tersesat?' Aruji lant as memasuki perkampungan.
Maksudnya hendak mencari penduduk untuk mint a keterangan-.
Tiba-tiba ia mendengar suara derap kuda riuh dibelakangnya.
Ampat serdadu Belanda datang mengaburkan kudanya.
Mereka bersenjata pedang dan senapan.
Terdengar mereka membentak.
"Hayo, pergi dari sini! Cepat ...!"
Sewaktu berada duapuluh langkah dibelakang Aruji mereka mencabut pedangnya dan mengancam punggung pemuda itu.
Diam-diam Aruji mengeluh dalam hati.
'Celaka! Baru saja lolos dari bahaya, kin i bertemu dengan bencana lain lagi.
Yang terancam bukan hanya aku seorang, tetapi Lingga W isnu pula.' Ia merasa ilmu kepandaiannya telah punah.
Jangan lagi bertempur melawan ampat orang, meskipun menghadapi seorang, rasanya tidak mampu lagi.
Maka melihat ancaman bahaya itu, terpaksa ia menyerah kan dirinya kepada nasib .
Selagi meneruskan perjalanan dengan menyerahkan diri kepada nasib, tiba-tiba ia melihat beberapa kompeni Belanda mengganas terhadap penduduk kampung.
Melihat hal itu Aruji mempunyai setitik harapan.
Katanya.
"Rupanya serdadu-serdadu Belanda itu sedang mengumpulkan penduduk desa, dan tidak bermaksud menangkap aku!"
Tahulah Aruji apa sebab serdadu Belanda itu mengumpulkan penduduk.
Mereka hendak merampok barang milik penduduk.
Karena merasa diri tak mampu melawan, segera Aruji menggabungkan diri dengan penduduk yang dikumpulkan itu.
Sampai disimpang tiga ia melihat seorang perwira Belanda memimpin serdadunya.
Jumlah mereka kira-kira enampuluh orang.
Mereka semua menghunus pedang.
Perwira itu lantas berseru kepada semua penduduk dengan lantangnya .
"Hai! Kalian manusia atau binatang? Kalau kalian manusia, lekas berlut ut dihadapan kami!"
Penduduk desa yang ketakutan itu segera mematuhi perint ah tersebut. Mereka menjatuhkan diri berlut ut. Melihat hal itu Lingga W isnu yang berpengalaman segera membisiki t elinga Aruji .
"Abang, lekas lemparkan pedangmu! Pastilah serdadu itu akan menggeledah mereka. Dan biasanya, siapa yang bersenjata akan dibunuhnya."
Aruji seperti diingatkan. Segera ia berpura-pura tergelint ir sambil melemparkan senjat anya kedalam semak-belukar. Setelah itu dengan merintih ia berjalan tertatih-tatih.
"Hai, kau yang berberewok!"
Teriak perwira itu kepada Aruji.
"Mengapa engkau tidak berlut ut?"
Aruji seorang pemuda angkuh hat i.
Meskipun ayannya menjadi abdi Patih Pringgalaya, tetapi dia sendiri tidak.
Ia seorang pemuda yang hidup dengan bebas.
Ia ikut menjadi anggauta laskar Raden Mas Said.
Dan Raden Mas Said berada di pihak Pangeran Mangkubumi.
Itulah sebabnya terhadap kompeni Belanda ia benci tujuh turunan! Sekarang ia mendengar perint ah agar berlut ut.
Karuan saja ia beront ak.
Dalam hati ia sudah mengambil keputusan, lebih baik mati dari pada berlut ut dihadapan lawan.
Melihat Aruji membangkang, seorang serdadu menghampiri dan mendupak lut utnya.
Karena ilmu kepandaian Aruji telah punah, ia roboh begitu kena dupak serdadu itu.
Dengan sendirinya ia jad i berlut ut.
"Kau siapa?"
Bentak serdadu itu.
"Kami berdua hidup mengemis. Ini abangku. Ia tuli. Itu sebabnya ia tidak mendengar perint ah tuan."
Sahut Lingga W isnu cepat.
"Bangsat ! "
Bentaknya lagi.
Kaki serdadu itu dilayangkan, dan Aruji kena dupak untuk kedua kalinya.
Ia roboh terjungkal.
Dengan sendirinya L ingga W isnu ikut terbanting pula.
Keruan saja Aruji gusar bukan main.
Tetapi sadar bahw a dirinya tak sanggup melawan, ia hanya dapat memaki didalam hat i.
Pada detik itu pula ia bersumpah .
'A ku bersumpah demi bumi dan langit, akan menghabiskan set iap serdadu berserta begundalnya, seorang demi seorang, sampai mereka lenyap dari muka bumi.
Kalau aku tak sanggup menghabiskan mereka, aku bukan seorang laki-laki ! ' Karena mereka dianggap pengemis, maka Aruji dan Lingga W isnu dapat melanjutkan perjalanannya.
Selagi mendekati bukit yang berada didepan dusun itu, tiba-tiba mereka mendengar teriakan yang menyayatkan hati.
Ternyata penduduk kampung itu disembelih serdadu Belanda seorang demi seorang.
Pada dewasa itu perjuangan Pangeran Mangkubumi sangat termashur.
Ia dibant u oleh sekalian penduduk Tak mengherankan pihak Belanda mengalami kekalahan total.
Karena sudah tiga tahun lamanya tidak dapat menangkap Pangeran Mangkubumi, maka Belanda mencari biang keladi.
Penduduk menjadi sasaran k ini.
Setiap kali mereka mengadakan perondaan, segera mengumpulkan penduduk kampung dengan dalih hendak mencari para gerilyawan.
Apabila maksudnya tidak tercapai, segera mereka mengadakan pembunuhan masal.
Menyaksikan hal itu, dendam dan rasa gusar Aruji k ian membara.
Ia mengeluh, mengapa menyaksikan peristiwa demikian, justeru ilmu kepandaiannya dalam keadaan punah.
Seumpama ilmu kepandaiannya belum punah, sudah semenjak tadi ia melabrak serdadu itu meskipun jumlahnya cukup besar.
Aruji memangnya seorang pemuda yang gagah perkasa.
Akan tetapi pada saat itu ia merasa diri tidak berdaya.
Itulah sebabnya setelah mengeluh sambil membant ing kaki, ia lalu melanjutkan perjalanan.
Menjelang tengah hari ia bertemu dengan seorang penebang kayu.
Ia segera menghampiri dan mint a keterangan dimanakah letak padepokan Mrepat Kepanasan, tempat tinggal pamannya Sarapada.
Tetapi penebang kayu itu menggelengkan kepalanya.
Katanya.
"Selama hidupku belum pernah mendengar nama dusun tersebut."
Dan mendengar keterangan penebang kayu itu, sejenak Aruji t ergugu.
Tetapi ia yakin, bahwa padepokan pamannya Sarapada tentu tidak jauh lagi.
Dengan sabar ia melanjutkan perjalanan kembali.
Pemandangan seberang-menyeberang jalan sangat indah kini.
Bunga-bunga sedang bermekaran dan mahkot a dedaunan hijau meresapkan penglihatan.Tetapi baik Aruji maupun Lingga W isnu masih belum b isa melepaskan diri dari penglihatan yang disaksikan tadi.
Itulah penglihatan serdadu Belanda menyembelih penduduk kampung.
Karena itu, betapa mereka berdua dapat menikmati pemandangan yang bagaimanapun indahnya.
Kata anak itu .
"Abang, Padepokan pamanmu bernama Mrepat Kepanasan. Kalau tidak salah, Mrepat Kepanasan adalah lapangan perang para Dew a-dewa. Menurut cerita ibuku, kahyangan itu sangatlah indahnya. Sekarang kita melihat seberang-menyeberang jalan ini sangat indah pula. Apakah tidak mungkin pamanmu itu bertempat tinggal disekitar sin i?"
Mendengar kata-kata Lingga W isnu, benar-benar Aruji kagum.
Pikirnya didalam hati.
'Sungguh, anak ini cerdas luar biasa! Me ngapa aku tidak dapat berpikir demikian sejak t adi?' Ia segera menyeberang kedalam gerombolan bunga.
Setelah berjalan selint asan, timbul ah set itik harapan.
Serunya kepada Lingga W isnu.
"Dugaanmu agaknya benar, adik. Bunga-bunga ini seperti ada yang mengatur."
Dengan menuruti jalan pegunungan yang berliku-liku, mereka menuju ke utara.
Selagi melayangkan pandangnya, mereka melihat suatu tebing disebelah barat.
Disitu nampak seorang tua sedang mencangkul.
Mereka segera mendekati.
Dengan sekali pandang, tahulah mereka bahwa orang itu berusia hampir mencapai limapuluh tahun.
Perawakan tubuhnya jangkung kurus.
Entah apa sebabnya melihat orang itu hati Lingga W isnu berdebar-debar.
Katanya didalam hati .
'Apakah dia yang bernama Ki Sarapada?' Selagi hendak minta keterangan kepada Aruji, pemuda itu telah menghampiri dan berkata dengan membungkuk hormat .
"Aku bernama Aruji. Dapatkah aku mohon petunjukmu? Jalan manakah yang harus kami tempuh, agar dapat bertemu dengan t abib sakti Sarapada? Kami berdua ingin bertemu untuk mohon pertolongan.
"
Mendengar pertanyaan Aruji, tahulah Lingga W isnu, bahw a orang itu bukan Ki Sarapada.
Maka dengan penuh perhatian ingin ia mendengar jawaban orang itu.
Sama sekali tak terduga, orang tua itu tetap menundukkan kepalanya dan terus mencangkul.
Beberapa kali Aruji membuka mulutnya untuk mohon keterangan, akan tetapi agaknya orang tua itu tuli.
Selagi Lingga Wisnu hendak membantu bertanya, tibatiba Aruji mencubit pahanya.
Maka ia segera membatalkan niatnya.
Dan Aruji yang biasanya mudah tersinggung, kali ini tidaklah demikian.
Ia melanjutkan berjalan dengan langkah sabar.
Kira-kira satu kilometer barulah ia berkata .
"Adikku. Paman mempunyai tabiat yang aneh sekali. Ia mempunyai murid dan pengikut yang setia. Dan t abiat mereka mirip majikannya pula. Kita telah memasuki wilayahnya, karena itu tiada boleh gegabah. Sekali kita melanggar pantangnya, tiada lagi harapan. Sekarang tiada jalan lagi selain mencari padepokan paman Sarapada dengan menyerahkan nasib kepada Tuhan Yang Maha Agung."
Setelah menikung beberapa kali, tiba-tiba mereka melihat sebidang taman bunga yang terpisah beberapa puluh meter dari pinggir jalan.
Ditengah ladang itu tampak seorang gadis dusun mengenakan pakaian hijau sedang merawat tanaman bunga sambil membungkuk.
Lingga W isnu berada diatas punggung Aruji.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu ia memperoleh penglihatan lebih luas dari pada Aruji.
Nampak gadis itu membelakangi tiga rumah atap berdiri sejajar.
Dan disekitar rumah itu sunyi-sepi.
Dengan masih menggendong Lingga W isnu, mereka menghampiri gadis itu.
Sambil membungkuk hormat ia berkata .
"Adik, eh, mbakyu. Bolehkah kami bertanya kepadamu? Jalan manakah yang harus kami tempuh agar dapat bertemu dengan paman Sarapada?"
Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang Aruji dan Lingga W isnu dengan kedua matanya bersinar tajam, sehingga membuat Aruji maupun Lingga W isnu terkejut.
'A kh ! ' kata Lingga W isnu dan Aruji didalam hati.
'Mengapa sinar matanya begitu luar biasa? L ingga W isnu menatap paras muka gadis itu.
Dibandingkan dengan Damayant i atau Linggarsih, gadis itu kalah cantik.
Kulitnya kering, kuning.
Dan mukanya agak pucat seperti kekurangan makan.
Rambutnya jarang dan berwarna agak kuning.
Pundaknya tinggi dan tubuhnya kurus.
Hal itu menunjukkan bahwa dia seorang gadis dusun yang miskin.
Dilihat dari pandang muka gadis itu, kira-kira berumur enambelas atau tujuhbelas tahun.
Tetapi karena tubuhnya kurus-kering dan kecil, nampaknya seperti kanak-kanak berumur tigabelas atau empatbelas t ahun.
Meskipun demikian, oleh rasa hati-hati, Aruji tidak berani berlaku sem-berono.
Ia memanggil adik dan mbakyu dengan berbareng, karena takut menyinggung perasaannya.
"Adik, eh mbakyu,"
Ulang Aruji.
"Numpang tanya, dimanakah letak Mrepat Kepanasan? Apa kami harus ke Timur atau ke Barat apa ke sebelah utara?"
Dengan suara dingin gadis itu menjawab.
"T ak tahu ! "
Setelah menjawab demikian, ia menundukkan kepalanya lagi.
Melihat sikap yang agak sombong dan kasar itu, hati Aruji mendongkol.
Tetapi mengingat tempat itu sangat berdekatan dengan Mrepat Kepanasan, sedapatdapatnya ia menahan rasa mendongkol nya.
Katanya kepada Lingga W isnu .
"Saudara kecil, hayolah kita berangkat. Mrepat Kepanasan adalah sebuah pertapaan sangat terkenal. Biar bagaimanapun juga kita pasti akan dapat mencari sendiri."
Tetapi Lingga W isnu tidak sependapat dengan Aruji.
Menimbang bahwa matahari sudah condong ke Barat, ia harus menemukan petunjuk yang pasti.
Rasanya akan mengalami kejadian yang tidak enak apabila sampai tersesat diwaktu malam hari.
Maka dengan sabar ia bertanya .
"mBakyu, apa ayah dan ibumu ada dirumah? Mereka tentu tahu jalan yang menuju ke Mrepat Kepanasan."
Akan tetapi gadis itu tetap saja tidak melayani.
Ia terus mencabuti rumput sambil menundukkan kepalanya.
Hati Aruji yang mudah tersinggung jadi semakin panas.
Dengan membuang muka ia melanjutkan perjalanan.
Hati Aruji t idak jahat, tetapi ia kasar.
Oleh rasa mendongkolnya ia berjalan menyeberang taman bunga itu dan menginjak beberapa rumput tetanaman.
o))00oodwoo00((o
Jilid 3 Menyaksikan hal itu buru-buru Lingga W isnu berseru .
"Abang, hati-hati!"
Oleh peringatan Lingga W isnu, Aruji tersadar akan kesembronoannya. Cepat-cepat ia menghindarkan kakinya agar jangan sampai menginjak rumpun tetanaman bunga didepannya.
"Adik kecil,gadis itu rupanya t uli! Buat apa kita bicara berkepanjangan dengan dia? Hayolah berangkat !"
Sambil berkata demikian ia melompat ke pengempangan dan meneruskan perjalanan dengan langkah panjang.
Semenjak kanak-kanak Lingga W isnu hidup dalam kemiskinan dan penuh bahaya.
Itulah sebabnya hatinya cepat menaruh iba terhadap orang orang miskin seperti dirinya.
Diperlakukan gadis itu dengan sikap dingin, ia tidak menjadi gusar.
Ia malah merasa iba kepadanya.
Ia menduga tanaman bunga itu merupakan mata pencarihan keluarga gad is itu.
Maka tak hent inya ia memberi peringatan kepada Aruji apabila kaki pemuda itu hendak menginjak t anaman.
Tiba-tiba diluar dugaan, gadis itu mengangkat kepalanya dan berseru .
"Hai ! Unt uk apa kalian pergi ke Mrepat Kepanasan?"
Aruji menahan langkah kakinya dan menjawab .
"Saudaraku ini lumpuh t erkena racun. Karena itu kami hendak menghadap beliau unt uk mohon pertolongan."
"Aku hanya pernah mendengar namanya saja. Tapi belum pernah bertemu dengan orangnya."
Kata gadis itu.
"Apa engkau kenal dengannya?"
"Belum!"
Jawab Lingga W isnu diatas punggung Aruji sambil memijit pundaknya. Perlahan gadis itu menegakkan badannya dan menatap wajah Lingga W isnu dengan sinar mata yang sangat tajam.
"Bagaimana engkau yakin bahwa dia sudi mengobati dirimu?"
Tanyanya. W ajah Lingga W isnu lantas saja menjadi suram. Jawabnya dengan berduka .
"Y a, sebenarnya akupun hanya main doa saja."
Setelah menjawab demikian, tanpa disadarinya Lingga W isnu menghela napas.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
Pikirnya didalam hati .
'Gadis ini nampaknya kenal tabiat dan perangai tabib sakti Sarapada.
Kalau begitu, tentu padepokan Mrepat Kepanasan tidak jauh lagi dari sini.' Memperoleh pikiran demikian, segera ia bisiki Aruji agar menghanpiri gadis itu lagi.
Kemudian berkata dengan hormat .
"Itulah sebabnya aku mohon petunjukmu!"
Lingga W isnu adalah seorang bocah yang memiliki ot ak cerdas luar biasa.
Dengan istilah 'petunjuk' itu, ia mempunyai dua maksud.
Yang pertama mohon keterangan kepada gadis itu dimana letak Mrepat Kepanasan.
Sedang yang kedua mohon petunjuk te ntang cara-cara mengobati lukanya.
Akan tetapi gadis itu tidak menyahut.
Dengan pandang tajam ia mengamati Aruji berdua Lingga wisnu dari kaki sampai kekepalanya.
Beberapa saat kemudian tiba- tiba ia menuding dua buah pasu berisi kotoran binatang.
Katanya memerint ah .
"Disebelah sana ada kolam berisi kotoran binatang. Ada beberapa pasu pula di tepinya. Penuhilah dua pasu dengan kotoran binatang itu! Lalu siramlah t etanaman ini dengan kotoran binatang itu!"
Setelah memberi perintah demikian, gadis itu membungkuk lagi dan meneruskan pekerjaannya menyabuti rumput.
Baik Aruji maupun Lingga W isnu terkesiap hatinya.
Mereka berdua meskipun selisih umur tetapi memiliki pengalaman h idup yang hebat.
Seringkali mereka menjumpai manusia-manusia dengan tabiat aneh.
Akan tetapi kata-kata gadis itu sangat aneh.
Betapa tidak ? Gadis itu terang seorang dusun yang miskin.
T etapi katakatanya seolah-olah perint ah majikan terhadap kulinya.
Meskipun melarat, semenjak kanak-kanak baik Lingga W isnu maupun Aruji belum pernah mengerjakan pekerjaan menyiram tetanaman dengan kotoran binatang.
Syukurlah Lingga W isnu seorang anak yana kenyang digembleng pengalaman hidup pahit.
Setelah hilang kagetnya, dalam hati lantas saja timbul rasa kasihan.
Katanya didalam hati .
"Dia begitu kurus kering. Meskipun berkemauan besar, betapa sanggup menyirami tetanaman bunga diseluruh ladang ini dengan seorang diri."
Tepat pada saat itu ia melihat wajah Aruji merah padam. Buru-buru ia berkata .
"Abang! Seorang laki-laki yang kuat menang harus menolong yang lemah. Biarlah kita membantunya.
"
"Kau berkata apa?"
Seru Aruji dengan mendongkol.
"Membantu dia!"
Sahut Lingga W isnu dengan tenang.
Tentu saja ARuji tahu maksud Lingga W isnu.
Dialah sesungguhnya yang disuruh membantu pekerjaan gadis itu.
Selama dalam perjalanan d ia merasakan kecerdikan adik kecilnya ini.
Maka sekali lagi ia percaya adiknya mempunyai rencana tertentu.
Maka dengan menggelengkan kepalanya ia menurunkan Lingga W isnu keatas tanah.
Kemudian dengan seorang diri ia mencari kolam kotoran binatang.
Setelah mengisi dua pasu penuh air kotoran binatang.
Aruji segera kembali dan menyirami tetanaman dengan menggunakan gayung.
Tetapi baru saja ia menyiram satu, dua kali, tiba t iba gadis itu berseru .
"Salah! T erlalu kent al! Bunganya lant as bisa layu nanti .......
"
Menuruti t abiatnya, Aruji pasti akan mendamprat gadis itu, yang berani menegornya demikian.
Akan tetapi mengingat bahwa Lingga W isnu mempunyai rencana tertentu, ia menguasai gejolak hatinya sedapat mungkin.
Justru demikian ia menjadi tertegun.
Sejenak kemudian ia mengerling kepada Lingga W isnu.
Bocah itu memberi isyarat agar patuh.
Oleh isyarat itu ia segera balik lagi kekolam dan melakukan perintah si gadis dusun.
Selagi hendak menyiram tetanaman, lagilagi gadis itu menegur .
"Awas, jangan sampai daun dan bunganya kena tersiram!"
Dengan sikap mengalah Aruji menyahut .
"Baik!"
Setelah berkata demikian, ia me nyiram tetanaman itu dengan hati-hati.
Justru demikian, ia dapat memperhatikan warna bunga itu.
Bentuknya sedang.
W arnanya biru t ua dan harum luar biasa.
Bunga apa itu? Selama hidupnya belum pernah ia melihat.
Tak lama kemudian kedua pasunya telah kosong kembali.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus!"
Kata gadis dusun itu.
"Coba tolong satu pikul lagi!"
Mendengar perint ah itu, Lingga W isnu yang duduk dipengempangan berseru dengan suara halus .
"Sahabatku itu harus segera berangkat. Malam ini juga kita harus menghadap tabib sakti Sarapada. Baiklah begini saja. Sepulang kami dari Mrepat Kepanasan, kami akan singgah kembali untuk membantumu ! "
"Lebih baik kalian t inggal saja disin i menyiram bunga!"
Kata gadis itu.
"Karena kulihat kalian berdua baik-baik, maka aku mint a agar kalian menyiram tetanamanku."
Mendengar alasan gadis itu, baik Aruji maupun Lingga W isnu makin menjadi heran.
Mereka berdua saling memandang.
Lingga W isnu konribali memberi isyarat.
Dan pada saat itu Aruji berpikir dalam hati .
'Apa boleh buat.
Sudah terlanjut membantu maka harus membantu sampai selesai,' Demikianlah ia memikul dua pasu berisi air kotoran binatang dan dengan telaten ia menyiram tetanaman bunga diseluruh ladang.
Dalam pada itu matahari telah turun dibalik gunung.
Sinarnya yang kuning ke emasan masih menyoroti bungabunga bir itu, sehingga memberikan penglihatan yang indah sekali.
Aruji seorang pemuda kasar.
Tetapi melihat keindahan itu didalam hati ia berkata.
'Benar-benar indah bunga ini.' Dalam pada itu Lingga W isnu yang duduk dipengempangan berseru lagi kepada gadis dusun itu .
"Ayunda! Sekarang perkenankan kami meneruskan perjalanan."
Sambil berkata demikian, ia menatap w ajah gadis itu dengan pandang mohon belas kasihan. Mendadak saja wajah gadis itu berubah angker. Katanya tegas .
"Kalian telah membantuku. Kalianpun mint a petunjukku, bukan?"
Mendengar perkataan gadis dusun itu, Aruji dan Lingga W isnu berkata didalam hati .
'Memang ! Memang aku membutuhkan petunjukmu.
Akan tetapi bantuan menyirami tanamanmu in i terbersit dari hati, menaruh belas kasihan kepadamu.
Sudahlah! Rasanya jika kini mohon bantuannya agar menunjukkan tempat Sarapada, agaknya seperti orang menagih hutang.' Pada saat itu Aruji tertawa lebar.
Katanya .
"Akh, indah benar bungamu ini."
Setelah berkata demikian, pemuda berewok itu menghampiri Lingga W isnu. Selagi hendak meneruskan perjalanan dengan menggendong Lingga W isnu, t iba- tiba gadis itu berseru memanggil .
"T ahan!"
Aruji mulai tak sabar. Dengan pandang gelisah ia menatap gadis dusun itu. Ia melihat gadis tersebut membungkuk memetik dua kuntum bunga. Katanya .
"Kau tadi berkata, bunga ini indah sekali. Nah, kuberi kalian dua tangkai bungai"
Setelah berkata demikian, ia memberikan dua t angkai bunga itu.
"Terima kasih!"
Kata Aruji dan Lingga W isnu. Dengan isyarat Lingga W isnu, Aruji membungkuk dan dimasukkan kedalam sakunya.
"Sebetulnya siapa nama kalian?"
Tanya gadis dusun itu.
"Aku Lingga W isnu, dan kakaku ini Aruji."
Jawab Lingga W isnu. Gadis dusun itu mengangguk dan berkata lagi .
"Jika kalian hendak ke Mrepat Kepanasan, lebih baik ambil jalan mengarah ke Timur Laut!"
Sebenarnya dalam hati Aruji mendongkol kepada gadis itu. Tetapi begitu mendengar petunjuknya, lantas saja hilang. Bisiknya kepada Lingga W isnu sambil t ertawa .
"Adik, benar-benar engkau bisa memandang jauh. Coba, kalau aku t adi menuruti kekasaranku, pastilah aku akan tersesat dipinggang Gunung Merapi ini."
Tapi sebaliknya, hati Lingga W isnu bercuriga.
Pikirnya didalam hati.
'J ika pertapaan Ki Sarapada berada disebelah T imur Laut, sebenarnya ia dapat menerangkan dengan tegas.
Kenapa menggunakan kata-kata.
lebih baik mengambil jalan ke T imur Laut?' Lingga W isnu meskipun baru berumur belasan tahun, akan tetapi pengalamannya terhadap manusia lebih banyak dari pada Aruji.
Maklum lah selama delapan t ahun ia d ikejar musuh musuh ayah dan ibunya t erus-menerus.
Dan semua musuh musuh itu seringkali menggunakan tipu muslihat berupa jebakan tertentu.
Karena itu set iap kali hendak mengambil keputusan, keluarganya dipaksa untuk memecahkan teka-teki atau menduga-duga tata muslihat law an terlebih dahulu.
Akan tetapi ini kali meskipun dia menaruh curiga, namun segan mendesak lebih jauh lagi.
Segera ia memberi isyarat kepada Aruji agar meneruskan perjalanan.
Baru saja mereka melint asi gundukan tanah tinggi, dihadapannya menghadang sebuah telaga yang sangat luas.
Jalan satu-satunya yang nampak didepan matanya mengarah ke jurusan Barat.
Dengan demikian petunjuk gadis dusun tadi sangat bertentangan.
"Kurang ajar perempuan itu!"
Maki Aruji.
"Kalau tak sudi memberi petunjuk, sebenarnya kita juga tak akan memaksa. Biarlah! Kalau kelak kita lewat didusunnya lagi, aku akan menghajarnya!"
Lingga W isnu pun merasa heran. Baik Aruji maupun dirinya, tadi telah berbuat baik terhadap gadis itu. Apa sebab balasannya demikian buruk? "Abang,"
Kata Lingga W isnu.
"Kurasa perempuan itu mempunyai hubungan dengan ki Sarapada, atau mungkin pula sanaknya."
"Apa engkau melihat tanda-tanda yang mencurigakan?"
Sahut A ruji.
"Kedua matanya bersinar luar b iasa."
Kata Lingga W isnu pula.
"Aku merasa bahw a ia bukan seorang perempuan dusun yang belum pernah melihat dunia."
"Benar!"
Kata Aruji mengamini.
"Kalau begitu kubuangnya saja dua t angkai bunga pemberiannya ini."
Aruji segera mengeluarkan dua tangkai bunga dari sakunya. Melihat bunga itu berwarna sangat indah, Lingga W isnu merasa sayang. Katanya .
"Perempuan itu memang patut kita sesali. Akan tetapi bunga pemberiannya ini sangat indah. Belum tentu bunga ini akan mencelakan kita."
Setelah berkata demikian, ia mengambil dua tangkai bunga itu dari tangan Aruji dan dimasuk kannya kedalam kantongnya sendiri. Kemudian memberi isyarat kepada Aruji agar meneruskan jalan menuju ke Barat.
"Hai, hati-hati sedikit! Jalan ini nampaknya licin sekali!"
Ia memberi ingat dari punggung Aruji.
Tetapi Aruji nampaknya sudah uring-uringan karena mendongkol terhadap gadis dusun tadi.
Ia berjalan dengan langkah panjang.
Makin lama makin cepat.
W aktu itu magrib telah tiba.
Semenjak tadi hati mereka sudah khawatir.
Pada siang hari, meskipun andaikata perjalanan sangat berbahaya, semuanya dapat dilihat dengan terang-benderang.
Sebaliknya, apabila malam hari tiba, suasana alam menjadi gelap-pekat.
Teringat pengalamannya kemarin malam, hati mereka makin menjadi berdebaran.
Setelah berjalan setengah jam lagi, suasana alam berubah dengan mendadak.
Pohon-pohon dan rumput-rumput yang tumbuh dikiri dan kanan jalan makin berkurang.
Akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yang gundul sama sekali.
Dan melihat pemandangan demikian, jant ung Lingga W isnu maupun Aruji memukul keras.
Kata Lingga W isnu dengan suara cemas .
"Abang, coba lihat! Selembar rumputpun tiada tampak tumbuh disini. Sungquh mengherankan!"
"Benar,"
Jawab Aruji.
"Andaikata semua tumbuhtumbuhan yang berada disin i dibabat manusia, set idaknya masih nampak bekas bekasnya. Janganjangan inilah akibat tanah gamping atau lahar Gunung Merapi ..."
Ia tidak menyelesaikan perkataannya sebaliknya set elah berdiam sejenak ia berbisik kepada Lingga W isnu .
"Sesungguhnya adikku, belum pernah aku singgah dirumah paman Sarapada. Tetapi aku yakin bahw a padepokan paman Sarapada sudah berada dekat sekali. Mungkin dialah yang menebari racun, hingga tanah disini tidak dapat ditumbuhi rumputpun."
Lingga W isnu mengangguk.
Teringat kelumpuhan jasman inya d isebabkan karena racun pula, ia menjadi ketakutan begitu mendengar kata-kata racun.
Tiba-tiba saja ia mengeluarkan dua saput angan.
Setelah menutupi pernapasannya dengan saputangan itu, ia memberikan saputangan lain nya kepada Aruji.
Katanya .
"Kau t utuplah hidungmu dengan saputangan. Mungkin sekali d isini kita akan menghisap asap beracun. Kalau abang mempunyai sehelai kain panjang, bebatlah kedua kakimu agar tidak menginjak tenpat-tempat yang beracun."
Aruji mendengarkan peringatan Lingga W isnu dengan perasaan kagum.
Ia memuji sikap hati-hati adiknya itu.
Segera ia menutupi pernapasannya dengan sehelai saputangan pemberian Lingga W isnu.
Kemudian melepaskan ikat pinggangnya dan dibebatkan pada kedua kakinya.
Dengan waspada mereka melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian kembali mereka melihat sebuah bangunan atau sebuah rumah yang bentuknya aneh sekali.
Rumah itu seperti kuburan besar tanpa pintu dan tanpa jendela.
Sedang w arnanya hitam mulus, sehingga kelihatannya menyeramkan sekali.
Sepuluh meter disekitar rumah itu berdiri pohon-pohon pendek yang daunnya berwarna merah darah.
Aruji seorang pemuda yang tak pernah mengenal takut menghadapi segala kejadian yang menyeramkan.
Pengalamannya pun banyak sekali.
Seringkali ia menghadapi lawan yang bersenjata racun jahat.
DAn kerapkali pula ia melint asi wilayah-wilayah yang berbahaya.
Akan tetapi pada saat itu dia yang mempunyai keberanian besar, tak urung mengeluarkan keringat dingin juga, begitu menyaksikan penglihatan yang aneh dan menyeramkan itu.
Bisiknya kepada Lingga W isnu .
"Adik, bagaimana pikiranmu?"
"Apakah rumah itu kira-kira tempat pertapaan tabib sakti Ki Sarapada?"
Lingga W isnu menduga.
"Jika rumah tersebut memang pertapaan Ki Sarapada, kita mohon dengan sopan-santun lalu kita mempertimbangkan perkembangan selanjutnya.
"
Aruji sudah percaya akan kecerdasan Lingga W isnu, maka dengan hati-hati ia maju terus. Kemudian dengan sikap sangat hormat ia berseru.
"Kami Aruji. Keponakan paman hari ini datang bersama seorang sahabat bernama Lingga W isnu. Kami berdua menghaturkan sembah kehadapan paman Sarapada."
Meskipun ilmu kepandaian Aruji punah, akan tetapi tidak berarti tenaganya benar-benar hilang.
Masih sanggup ia berseru dengan nyaring sekali.
Suaranya tajam dan jelas.
Apalagi ia berteriak ditengah alam yang sunyi-sepi.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara demikian dapat ditangkap lima puluh atau seratus meter dengan jelas.
Akan tetapi rumah itu tetap sunyi.
Tak terdengar suara apapun juga.
Sekali lagi Aruji berteriak.
Tetapi tetap saja tidak memperoleh jawaban.
Pemuda itu jadi agak mendongkol.
Segera ia berteriak untuk yang ketiga kali dengan sekuat tenaga.
Katanya .
"Aku kena pukulan hebat, dan adikku ini terkena racun jahat. Entah siapa yang melakukan pengeniayaan terhadap kami berdua. Kami sendiri tidak jelas. Itulah sebabnya kami datang kemari mohon pertolongan paman."
Tetapi kali in i t iada jawaban. Dalam pada itu, cuaca semakin gelap. Lingga W isnu menjadi gelisah. Tanyanya mint a pertimbangan kepada Aruji.
"Abang, apa engkau pernah bertemu dengan paman Sarapada?"
Aruji mangangguk. Katanya.
"T iga kali aku pernah bertemu dengannya."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"
Aruji tertegun. Tak berani ia mengambil keputusan. Rupanya ia terlalu mengenal tabiat pamannya, sehingga apabila kurang hati-hati jerih payahnya akan menjadi siasia belaka.
"Apa kita pulang saja dan menyerahkan nasib kepada Tuhan?"
Ujar Lingga W isnu lagi.
"Kalau demikianlah keputusanmu, biar aku menunggu nasibku. Percayalah, aku t idak akan menyesali siapapun juga."
"Aku sudah berjanji kepada kakekmu, Kyahi B asaman. Meskipun tiba-tiba pamanku menjadi raja iblis yang paling kejam dijagad ini, aku tidak akan mundur. Coba engkau menunggu disini. Biarlah aku sendiri memasuki halamannya. Mungkin pula dia enggan memberi jawaban kepadaku karena melihat dirimu."
Tanpa menunggu persetujuan, ia menurunkan Lingga W isnu dari punggungnya.
Kemudian seorang diri ia memasuki halaman rumah yang aneh itu.
Dalam hatinya la sudah rgengambil kepulasan tetap hendak menggunakan kekerasan apabila perlu.
Meskipun pernah menyaksikan kemampuan Ki Sarapada, namun ia percaya bahwa pamannya Itu hanya pandai mengobati sakit saja.
Dia yakin dalam hal ilmu berkelahi, kepandaiannya tidak, begitu tinggi .
Pohon-pohon berdaun merah itu ternyata, mempunyai cabang yang lebat sekali.
Demikian pula daunnya.
Sehingga merupakan sebuah mahkota yang rimbun.
Begitu lebat cahang rant ihg dan daunnya, sehingga meraba tanah.
Maka tidaklah mudah untuk melint asi dengan begitu.saja.
Tanpa berpikir panjang lagi, Aruji segera mengambil keputusan hendak melompati pagar pohon itu saja.
Selagi badannya masih terada di tengah udara, tiba-tiba ia mencium bau wangi itu juga kedua matanya menjadi pusing.
Dan ia roboh te rbanting di antara rimbun pohon.
Peristiwa itu tentu saja mengejutkan hati.
Lingga W isnu.
Segera ia hendak menyusul, akan tetapi kaki dan tangannya tidak dapat digerakkan.
Setiap kali berusaha akan berdiri, tubuhnya gemetaran dan terasa lemah.
Akan tetapi ia anak yang keras hati.
Segera timbul ah keputusannya hendak mencoba menghampiri Hati-hati ia bertiarap.
Kemudian merangkak maju dengan mengisutkan tubuhnya.
Ia dapat melakukan gerakan tersebut, akan tetapi tentu saja sangat lambat.
Baru saja ia merangkak beberapa meter jauhnya, tenaga jasmaninya terasa habis.
Keringat membasahi seluruh tubuhnya.
Namun dengan menguatkan diri, ia terus maju sedikit-demi sedikit.
Sekarang ia telah memasuki halaman rumah berbentuk aneh itu.
Seperti Aruji, segera ia mencium bau wangi.
Dan dadanya lantas saja menjadi sesak.
Karena tadi menyaksikan robohnya Aruji, dapatlah ia berlaku lebih hati-hati.
Dengan menguatkan diri, kerapkali ia menahan napas.
Kemudian dengan menundukkan kepalanya ia maju terus mendekati tubuh Aruji yang tergolek diatas tanah dalam keadaan tidak berkutik lagi.
Segera ia memeriksa kedua mata Aruji, ternyata tertutup rapat.
Tangan dan mukanya dingin.
Akan tetapi napasnya masih berjalan dengan baik.
Lingga W isnu menjadi bingung berbareng juga khawatir.
Katanya didalam hati .
'A kh, dia datang kemari dengan maksud mulia sekali, untuk menolong diriku.
Akan tetapi belum lagi ia bertemu dengan pamannya, sudah terbanting roboh terkena racun.
Aku sendiripun sudah menghisap hawa beracun dan tinggal menunggu waktu saja.
Tak apalah bila aku yang mati.
Tetapi dia? Dia harus hidup! Ki Sarapada adalah pamannya.
Seumpama dia datang seorang diri, pastilah dia akan menerima nasib lain.' Oleh pikiran itu, ia menjadi nekad.
Lalu mendekati rumah aneh itu.
"Paman Sarapada!"
Ia berteriak.
"Dengan tangan kosong kami datang kemari untuk memohon pertolongan. Sama sekali kami tidak mengandung maksud kurang baik. Jika paman tetap t ak sudi menenui kami, maka kami terpaksa tak dapat menghargai paman lagi ..."
Sambil berteriak ia mengamati bangunan rumah itu.
Tatawarna rumah tersebut hitam seluruhnya, sehingga seolah-olah bukan t erbuat dari kayu.
Kesannya tak ubah sekapan gerombolan liar yang berada diatas gunung.
W alaupun demikian sekitar rumah tersebut bersih luar biasa.
Tak ada sepotong kayupun atau selembar daun dikiri-kanannya.
Bahkan sebutir batu juga t idak nampak.
Beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun sambil mengasah otak.
Setelah menghampiri rumah itu, tak berani ia menyentuh karena takut terkena racun.
Tiba-tiba teringatlah dia.
Didalam sakunya terdapat beberapa potong uang perak.
Segera ia mengeluarkan sepotong uang perak dan dipergunakan untuk mengetuk dinding rumah tersebut.
Ia heran, tatkala terdengar suara 't ring'.
Maka jelaslah sudah, bahwa bangunan tersebut terbikin dari logam.
Setelah memasukkan uang peraknya ke dalam saku kembali, ia menundukkan kepala hendak menyelidiki.
Tiba-tiba bau wangi menyambar hidungnya.
Dan begitu mencium bau wangi, dadanya terasa lega dan ot aknya menjadi lebih terang.
Heran dan terkejut ia menundukkan kepalanya lagi.
Dan sekali lagi ia mencium bau wangi yang menyegarkan dadanya.
Ternyata bau wangi itu meruap dari kuntum bunga biru pemberian gadis dusun tadi.
Katanya didalam hati .
"Akh! Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat penolak racun. Sekarang terbuktilah bahw a gadis itu tidak bermaksud buruk. Bahkan dengan diam-diam ia memberi pertolongan."
Memperoleh keyakinan demikian, timbul ah keberanian Lingga W isnu.
Dengan merangkak ia maju mendekati rumah aneh itu.
Benar-benar heran.
Rumah tersebut tidak mempunyai jendela maupun pintu.
Bahkan lubang kecilpun tidak terdapat disana.
Pikirnya.
'A pakah rumah ini tidak ada penghuninya? Kalaupun ada penghuninya bagaimana bisa hidup didalam bangunan yang tidak berhawa sama sekali?! Sebenarnya besar kemauannya hendak mengadakan penyelidikan lebih lanjut.
Akan tetapi ia sudah tidak bertenaga lagi.
Setelah menimbang sejenak, ia menghampiri Aruji dan menempelkan bunga birunya pada lubang hidungnya.
Begitu Aruji mencium harum bunga biru itu, ia bersin dan tersadar.
Lingga W isnu girang bukan kepalang.
Dan lantas saja mengambil keputusan untuk kembali kepada gadis dusun yang dijumpainya petang tadi dengan maksud memohon nasehat dan petunjuknya.
Setangkai bunga biru lalu ditancapkan pada dada Aruji, sedang yang lainnya digenggamnya erat-erat seolah-olah jimat dari sorga.
Kemudian ia menunggu sampai tenaga Aruji pulih koribali.
Tak usah menunggu terlalu lama, Aruji telah dapat berdiri tegak.
Karena pemuda itu semakin percaya kepada Lingga W isnu,, ia tidak membantah tatkala diajaknya kembali kedusun untuk mencari si gadis penilik bunga biru .
Demikianlah samb il mendukung Lingga W isnu, segera ia melompati pohon-pohon merah yang ternyata sangat beracun itu.
Tetapi baru saja kedua kakinya hinggap diatas tanah, mendadak terdengarlah bentakan datang dari dalam rumah aneh itu .
"Hei "
Suara itu terdengar menyeramkan, dan mengandung rasa gusar yang bergolak hebat. Dan mendengar bentakan itu, Lingga W isnu menolehkan kepalanya. Serunya .
"Kyahi Sarapada! Apa engkau sekarang sudi menerima kami?"
Pertanyaan itu tidak memperoleh jawaban, dan tetap tak terjawab meskipun ia mengulangi seruannya beberapa kali lagi.
Tiba-tiba kesunyian malam itu dipecahkan oleh suara gedubrakan seolah-olah benda berat jatuh keatas tanah.
Dengan berbareng Aruji dan Lingga W isnu memalingkan kepalanya.
Hati mereka terkesiap tatkala kesiur ang in tajam menyambar dirinya.
Sebelum dapat berbuat sesuatu, mereka telah terbanting roboh ketanah.
Entah sudah berapa lama mereka terkapar di tanah.
Setelah menyenakkan mata, mereka ternyata berada ditengah tegalan bunga tanaman si gadis dusun.
Malam hari pada waktu itu sunyi senyap.
Diantara kesunyian malam, bunga-bunga biru yang sedang bermekaran menyiarkan bau yang sangat kuat.
Dan mencium harum bunga itu, dada Aruji.
dan Lingga W isnu menjadi lega dan semangatnya menjadi pulih kembali.
Mereka berdua masing-masing menderita luka.
Lingga W isnu semenjak turun dari Argapura boleh dikatakan lumpuh, tak bertenaga.
Sedang Aruji kecuali menderita luka parah akibat pukulan beracun, kakinya menginjak racun di halaman rumah aneh itu pula.
Maka dapatlah dibayangkan, bahwa penderitaan mereka kian menjadi hebat.
Akan tetapi aneh, Benar-benar aneh.
Setelah sadar penuh, baik Aruji maupun Lingga W isnu, dapat menggerakkan kaki dan tangannya dengan leluasa, walaupun terasa agak lemas.
Dalam hal in i, Lingga W isnu nyaris tak percaya kepada perubahannya sendiri.
Berkali-kali ia mencoba menggerakkan kaki tangannya.
Kemudian mencoba berjalan pula.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semuanya berjalan lancar.
"Hai! Benarkah ini?"
Serunya. Dan hampir berbareng dengan seruannya, Aruji pun berteriak kagum penuh sukacita .
"Adik! Kau bisa berjalan?"
"Benar! Aku bisa berjalan. Benarkah ini? Ini bukan mimpi, bukan?"
Aruji tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Serunya tinggi .
"Bukan! Bukan mimpi! Benar-benar terjadi! Engkau bisa berjalan, adikku!"
Mereka berdua lantas berpelukan hangat.
Setelah puas mereka memutuskan, untuk bermalam dirumah si gadis dusun, agar memperoleh pertolongan dan petunjuknya.
Sekonyong-konyong rumah gubuk yang berada didepannya terbuka jendelanya, dan muncullah sinar pelita.
Brak! Pintu terbuka dan gadis dusun itu kelihatan diambang pintu.
"Kisanak, masuk lah!"
Gadis itu mengundang.
"Kampungku sangat melarat dan aku sendiri sangat miskin pula. T ak dapat aku menyuguhkan makanan yang pant as kepadamu. Silahkan kalian minum teh tawar dan nasi kasar."
Dengan bergandengan tangan, Aruji dan Lingga Wisnu memasuki rumah. Buru-buru L ingga W isnu membungkuk hormat. Katanya dengan suara merendah .
"Kami berdua sungguh merasa malu, karena di tengah malam buta begini, mengganggu ketenteramanmu."
Gadis itu tersenyum dan berdiri disamping pintu mempersilahkan kedua tetamunya masuk.
Begitu masuk, baik Lingga W isnu maupun Aruji melihat bahwa perabot gubuk itu sangat sederhana.
Tiada bedanya dengan gubuk-gubuk orang miskin.
T etapi ada satu hal yang aneh.
Seluruh ruangan luar biasa bersihnya seolah-olah tiada debu menempel.
Menyaksikan hal itu, jantung Lingga W isnu memukul keras.
Kebersihan gubuknya mirip benar dengan kebersihan rumah aneh yang berpagar pohon-pohon beracun.
"Kisanak, duduklah."
Kata gadis itu lagi mempersilahkan kedua tetamunya.
Ia masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa dua tempurung kosong.
Setelah itu sebakul rasi, sepiring sayur, semangkok kuah dan tempuruk berisi air teh tawar.
Hidangan yang di sajikan sangat sederhana, akan tetapi masih mengepul asap panas.
Begitu ruap asap hidangannya tercium hidung, Lingga W isnu dan Aruji lantas tergugah rasa laparnya.
Tak usah dikatakan lagi, setelah mengarungi perjalanan yang begitu jauh mereka berdua sangat lapar.
"Terima kasih,"
Kata Lingcra W isnu sambil tertawa.
Segera ia mengisi tempurung kosongnya dengan nasi putih yang masih mengepul asap hangat.
Setelah menaruhkan sayur serta kuahnya, segera ia makan dengan bernapsu sekali.
Sebaliknya tidaklah demikian dengan Aruji.
Pemuda berewok ini tidak berani bergerak karena hatinya menaruh curiga.
Katanya didalam hati.
'Semua makanan in i t entunya sudah disiapkan t erlebih dahulu.
Kalau tidak, masakan masih begini hangat.
Aku tadi jatuh pingsan tidak sadarkan diri.
Mengapa dia bisa menduga dengan tepat bahwa aku tersadar pada jam begini? Akh,aku-harus hati-hati dan waspada terhadap penduduk sekitar Mrepat Kepanasan ini.
Biarlah aku menderita lapar, daripada mampus kena racun orang,' Memperoleh pikiran demikian, tatkala si gadis masuk kedalam bilik segera ia berbisik ke pada Lingga W isnu .
"ssti Lebih baik kau jangan makan apa-apa, dusun Ini sangat berdekatan dengan Mrepat Kepanasan. Dan paman Sarapada bertabiat aneh sekali apa engkau lupa? Jangan-jangan semuanya ini beracun'. Akan tetapi Lingga Wisnu berpendapat lain Ia mengira gadis dusun itu tidak mengandung hati kurang, baik. Apabila dia. bermaksud jahat, apa sebab tadi menghadiahkan dua kuntum bunga kepada mereka berdua? Dan ternyata sangat besar faedahnya. Disamping itu, jikalau hidangan yang disediakan ini tidak dimakan, gadis itu tentu merasa tersinggung. Selagi ia hendak menyatakan pendapatnya itu, si gadis sudah keburu keluar dari dapur. Kali in i ia membawa sebuah niru kayu. Dan diatas niru itu terdapat sebakul nasi lagi yang masih mengepulkan asap hangat. Lingga W isnu bangkit dari duduknya. Berkata .
"Terima kasih atas budi baik Ayunda. Dapatkah kami berdua menyampaikan hormat kepada ayah-bundamu?"
"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia."
Jawab gadis itu.
"Aku hidup sebatang kara di sini."
"Akh !"
Lingga W isnu berseru tertahan.
Terus ia jadi teringat kepada nasibnya sendiri.
Pada hari ini d ia pun hidup sebatang kara disin i.
Tetapi dia tidak berkata sesuatu apa.
Setelah kembali duduk, ia meneruskan makannya .
Hidangan yang disajikan berupa sayur-mayur segar yang rasanya lezat sekali.
Dengan tiada sangsi lagi, Lingga W isnu menyapu semua hidangan yang disuguhkan kepadanya.
Untuk menyenangkan hati gadis itu, sambil makan tiada hentinya ia memuji lezatnya sant apan.
Keruan saja Aruji tambah prihatin.
Dengan menghela napas perlahan ia mengawaskan Lingga W isnu yang terus menjejali mulut nya dengan tidak mengenal bahaya.
Katanya didalam hati .
'Baiklah jika engkau tidak mendengarkan nasehatku.
Akupun tidak dapat berbuat apa-apa....
Bagaimanapun juga kita berdua tidak boleh mati berbareng karena racun.' W alaupun kasar, Aruji mempunyai pengalaman pergaulan yang luas dalam masyarakat.
Maka agar tidak menyinggung hati gadis itu, ia berkata .
"Nona, harap engkau memaafkan aku. Tatkala aku mendekati rumah aneh itu, aku kena racun. Sehingga perutku t erasa tidak enak sekali. Napsu makanku lenyap sama sekali."
Mendengar perkataannya, si gadis lantas menuangkan teh pada tempurung kosong dan diangsurkan kepada Aruji. Katanya .
"Kalau begitu, minumlah air teh ini saja."
Aruji menerima perberian air teh yang di tuang ke dalam tempurung tadi.
Dengan sudut matanya, ia menjenguk kedalam tempurung W arna air teh itu ternyata kehijau-hijauan.
Sebenarnya ia haus sekali.
Akan tetapi begitu melihat warnanya, napsunya lantas hilang.
Seperti orang yang punah tenaganya, ia menaruh tempurung teh keatas meja dengan lemah-lunglai.
Si gadis tidak merasa tersinggung.
Sikapnya tenang tenang saja.
Sama sekali ia t idak menunjukkan rasa kesal atau jengkel.
Melihat Lingga W isnu menyapu habis semua hidangan yang disajikan seperti macan kelaparan, ia menjadi girang.
Sinar matanya lantas berseri-seri .
Lingga W isnu, meskipun bocah lagi berumur belasan tahun, namun memiliki ot ak cerdas luar biasa.
Sekali melirik, pandang mata gadis itu, tak luput dari perhatiannya.
Ia makan sekenyang kenyangnya, karena sudah diperhitungkan untung ruginya.
Semenjak turun dari Argapura, hatinya sudah menjadi putus asa terhadap hidup dan kehidupan.
Seluruh tubuhnya sudah berlumuran racun berbahaya.
Itulah sebabnya ia tak takut lagi menghadapi segala macam racun didunia ini.
Dan apabila hidangan yang disajikan kepadanya itu mengandung racun, makan sedikit ataupun banyak, akibatnya sama saja.
Maka ia malah membuka perutnya sebesar-besarnya dan menghabiskan ampat tempurung nasi dan menyikat semua santapan yang berada diatas meja.
Setelah selesai, gadis itu lalu hendak mengundurkan bekas-bekas hidangan.
Akan tetapi Lingga W isnu telah mendahuluinya.
Dengan rapih ia menyusun perabot makan minum diatas niru dan dibawanya ke dapur.
Kemudian dicucinya sekali.
Setelah bersih, perabotan itu lalu dimasukkannya kedalam lemari.
Melihat persediaan air dalam jembangan tinggal sedikit, segera ia me ngambil tahang dan mengambil air diselokan yang berada disamping rumah.
Dalam pada itu gadis Pemilik rumah menyapu sisa-sisa makanan yang tercecer ditanah.
Sebenarnya Lingga W isnu tidak boleh bergerak terlalu banyak.
Betapapun juga tenaganya yang datang tiba-tiba sehingga bisa menggerakkan kaki-tangannya itu adalah untuk sementara saja.
Ia sadar akan hal itu.
Justru demikian, ia mau menggunakan kesempatan sebaikbaiknya untuk membuat jasa.
Demikianlah, setelah mengisi jambangan itu penuh-penuh, ia kembali ke ruangan depan.
Aruji ternyata sudah tidur sangat nyenyak mendekam di tepi meja.
"Maaf, adik."
Kata gadis itu.
"Aku tidak mempunyai kamar tamu, untuk pelepas lelah adik hanya b isa merebahkan diri diatas bangku panjang itu."
"Terima kasih atas segala budimu ini."
Jaw ab Lingga W isnu sambil tertawa.
"Janganlah kau bersegan-segan lagi kepadaku."
Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah menutup pintu depan, ia segera masuk kedalam.
Ternyata pintu itu tidak dikuncinya.
Diam-diam Lingga W isnu kagum terhadap sikap sigadis itu.
Meskipun hidup seorang diri d i tempat yang begini sepi, namun masih berani ia menerima dua tetamu lakilaki semua.
Perlahan-lahan ia mendorong pundak Aruji dan berbisik .
"Abang, pindahlah kebangku panjang itu."
Diluar dugaan, begitu kena dorong Lingga W isnu, badan Aruji miring dan terguling diatas tanah.
Kaget Lingga W isnu meraih dan mencoba membangunkannya.
Begitu tangannya menyentuh paras Aruji, hatinya tercekat.
Ternyata paras muka pemuda berewok itu panas seperti api.
Dengan suara tertahan ia mencoba menyadarkan .
"Abang, kau kenapa?"
Ia menjadi b ingung.
Buru-buru ia mengambil pelita dan menyelidiki keadaan Aruji.
Muka Aruji nampak merah membara.
ia mirip seorang tertidur karena mabuk.
Anehnya mulutnya menebarkan ruap arak pula.
Pikirnya didalam hati .
'Aneh.
Kapan ia minum arak? Jangan lagi arak, air tehpun yang disuguhkan ia tidak berani menyentuhnya.
Tetapi apabila ia tidak m inum arak, kenapa mulutnya bau arak begini keras? Iapun mabuk pula ...' Dalam keadaan tak sadar Aruji mengigau .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"T idak! Aku tidak mabuk! Mari, mari kita minum tiga mangkok lagi!"
Lingga W isnu jadi prihatin.
Besar dugaannya bahwa mabuknya pemuda itu disebabkan perbuatan si gadis yang mungkin tersinggung hatinya.
Bukankah Aruji menolak makanan dan minuman yang dihidangkan t adi? Ia berkhawatir dan heran.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Harus membangunkan si gadis untuk memohon pertolongan? Atau membiarkan saja Aruji sampai tersadar sendiri? Sekonyong-konyong ia mempunyai pikiran.
'A kh, apakah benar begitu? Aruji takut kena racun.
Justru demikian, gadis itu malah meracunnya, karena hatinya tersinggung.
Ya benar begitu.
Nampaknya Aruji bukan mabuk sewajarnya.
Pastilah ia t elah terkena racun.' Selagi hatinya berbimbang-bimbang, dikejauhan sekonyong-konyong terdengar salak binatang liar yang sangat menyeramkan.
Di tengah kesunyian malam suara itu membangunkan bulu roma.
Salak itu memekik tinggi seolah-olah jerit seseorang yang kena aniaya.
Teringatlah ia akan tutur kata ayah-bundanya bahwa jeritan demikian adalah salak serigala kelaparan.
Tetapi masakan dipinggang Gunung Merapi ini ada kawanan serigala? Andaikata memang ada, mestinya hanya satu dua ekor saja.
Dan t idak merupakan rombongan besar.
Dengan hati berdebaran Lingga W isnu memasang telinganya.
Semakin lama salak itu semakin dekat.
Kadang-kadang diseling dengan jerit kambing hutan yang kesakitan.
Selagi hendak menengok keadaan Aruji, tibatiba pintu ruang dalam terbuka dan nampak si gadis membawa lentera.
W ajahnya nampak ketakutan.
Katanya .
"Itulah kawanan serigala ..."
Lingga W isnu mengangguk. Ia mengawaskan gadis itu dan berkata sambil menunjuk kepada Aruji .
"Ayunda ..."
Sebenarnya ia hendak mint a pertolongan tetapi pada saat itu salak kawanan serigala terdengar makin dekat.
Mendengkur hiruk-piruk salah serigala hati Lingga W isnu tergoncang.
Tak dikehendaki sendiri wajahnya menjadi pucat.
Aruji sedana dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sedang sikap gadis itu masih meragukan.
Apakah dia kawan atau lawan? Lingga W isnu belum dapat menentukan.
Apa yang harus dilakukannya? Selagi berada dalam kebingungan, ia mendengar bunyi derap kaki kuda di antara salak anjang yang kacau-balau.
Derap kaki kuda itu terdengar cepat luar biasa.
Buru-buru Lingga W isnu membungkuk dan menyeret Aruji kebawah bangku panjang.
Ia sendiri lantas melompat kedapur mencari golok.
Tetapi karena gelapgulita, golok itu tak mudah dicarinya.
Bahkan untuk memperoleh sebilah pisau dapurpun tidak dapat.
"Apakah engkau suruhan keluarga Sarapada?"
Terdengar gadis dusun itu membentak.
"Apa perlu engkau datang ditengah malam buta begini?"
Mendengar bentakan gadis itu yang sangat angker, hati Lingga W isnu menjadi lega.
Sekarang, sedikitnya mengetahui bahwa penunggang kuda itu bukan kawan si gadis.
Dengan cepat ia menerobos keluar dan masuk kedalam pekarangan belakang.
Setelah mencari batu-batu kecil, ia.
segera melompat keatas pohon dan memanjatnya tinggi-tinggi .
Seperti kemarin malam, malam itu bulan muncul dilangit.
Hanya kali ini sinarnya nampak suram.
Dibawah sinar bulan ronang-remang ia mengamati penunggang kuda yang tiba-tiba berada didepan pintu.
Dia seorang laki-laki.
Pakaiannya abu-abu.
Mungkin warna abu-abu itu disebabkan oleh sinar bulan yang remang-remang.
Ia diikut i belasan serigala yang selalu menyalak dan menjerit menyeramkan.
Terang sekali binatang itu sedang kelaparan.
Sepintas lalu, orang itu lagi diubar binatang buas itu.
Tetapi setelah diamati, ternyata sipenunggang kuda menyeret seekor kambing putih yang diikatkan pada tunggangannya.
Karena terseret kuda yang berlari sangat cepat, kambing putih itu mengembik kesakitan.
Dan menyaksikan hal itu Lingga W isnu heran bukan main.
Apakah dia seorang pemburu yang lagi memberi umpan pada belasan serigala yang memburu dibelakangnya ? "Akh!"
Lingga W isnu tersadar.
"Nampaknya orang itu sengaja hendak merusak kebun bunga ini! Kalau begitu tak dapat aku berpeluk tangan saja."
Segera ia mempersiapkan batu-batu yang. digenggamnya. Akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terdengar suara erangan.
"Aduuuuh!"
Berbareng dengan suara mengaduh itu, sipenunggang kuda mengaburkan kudanya kearah utara dan kambing yang tadi diseretnya itu ditinggalkan ditengah-tengsh kebun.
Keruan saja kambing putih itu lantas menjadi mangsa belasan serigala yang kelaparan.
Dengan mengeram, menyalak dan menggerung, belasan serigala lapar itu menerkam dan merobek-robek perut kambing putih itu.
'Jahat benar orang tadi,' pikir Lingga W isnu sambil menimpukkan dua butir batu.
Oleh timpukan itu dua ekor anjing serigala roboh terguling.
Sekali lagi Lingga W isnu menyambilkan dua butir batu.
Kali in i batu yang di sambit itu agak kecil.
Yang satu mengenai perut serigala dan yang lain menghajar kaki depan serigala yang sedang merobek perut kambing.
Meskipun tak sampai mati, kedua serigala itu lantas memekik kesakitan.
Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti bahwa musuh mereka berada diatas pohon.
Mereka mendongak dan menggeram sambil memperlihatkan taringnya.
Pandang matanya berapi-api seperti bara api.
Dan menyaksikan keganasan dan kegalakan kawanan binatang buas itu, tak terasa Lingga W isnu jadi bergidik.
Tanpa bersenjata ia merasa tak ungkulan melawan kawanan serigala ganas itu.
Apalagi sesungguhnya tenaga yang diperoleh hanya untuk sementara saja.
Sekali lagi ia mengayunkan tangannya untuk menimpuk serigala jantan yang paling besar.
Bagaikan kilat batunya menyamber tenggorokan serigala ganas itu.
Terkena sambitannya, binatang itu terguling dengan mengiang.
Kemudian kabur sekencang-kencangnya.
Sedang serigala lain yang perutnya sudah kenyang lantas turut kabur.
Kemudian serigala ketiga menyusul.
Lantas yang berikut nya dan begitu seterusnya.
Dalam, sekejab mata saja mereka semua telah lenyap dari penglihatan.
Akan tetapi kebun bunga itu sudah gugur hancur.
Lingga W isnu segera turun dari pohonnya.
Ia mendongkol dan mengutuk.
Katanya berulang- kali .
"Sayang, sayang! Sungguh sayang!"
Betapa tidak? Jerih payah gadis dusun itu hilang musnah dalam beberapa saat saja.
Pastilah gadis itu gusar bukan kepalang menyaksikan kebun bunganya hancur terinjak-injak kawanan serigala.
Syukurlah kalau hanya bergusar saja.
Kalau sampai turun semangat, pastilah ia tidak sudi lagi menanam bunga-bunga yang sangat berkhasiat itu.
Tetapi diluar dugaan, gadis itu sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang kerusakan kebunnya.
Malahan ia tertawa sambil berkata .
"Adik, terima kasih atas bantuanmu tadi."
"Aku sungguh sangat malu,"
Jawab Lingga W isnu.
"Aku sangat menyesal. Beradanya aku disini ternyata tiada gunanya. Seumpama aku ini seorang perkasa, semenjak tadi tentu telah kurobohkan penunggang kuda yang biadab itu. Jika dia dapat kurobohkan, tanaman bunga ini tentu dapat diselamatkan."
Gadis itu bersenyum manis. Berkata dengan suara tenang .
"Andaikata tidak dirusak oleh kawanan anjing liar itu, beberapa hari lagi bunga-bunga itupun akan layu sendiri."
Mendengar kata-kata gadis itu, Lingga W isnu heran berbareng tercekat hatinya.
Gadis itu seolah-olah mengerti segalanya.
Keakhliannya melebihi gadis-gadis yang hidup dikota.
Karena itu ia jadi tertarik hati.
Dengan membungkuk hormat, Lingga W isnu minta keterangan .
"Ayunda, budimu sangat besar terhadapku. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
W ajah gadis itu lantas berubah menjadi angker. Jawabnya .
"Orang memanggilku si Gawuk. Tetapi dihadapan orang lain, janganlah engkau sekali-kali memanggil Gawuk kepadaku!"
Karena dia berbicara seperti kepada anggauta keluarganya sendiri, hati Lingga Wisnu menjadi girang dan bersyukur bukan main. Ia maju selangkah lagi. Bertanya .
"Kalau aku tidak boleh memanggilmu Gawuk, lantas aku harus memanggil bagaimana? Tak sudikah engkau memperkenalkan namamu sebenarnya?"
"Kau sangat baik, adik."
Ujar gadis itu dengan tersenyum manis.
"Baiklah, karena sudah terlanjur, biarlah aku memperkenalkan namaku kepadamu. Nama lengkapku Palupi."
Orang Jawa sering memberi nama anaknya dengan suatu nama yang mengandung makna.
Tetapi Lingga W isnu lagi berumur belasan tahun.
Tentu saja ia tidak mengetahui makna Palupi.
Yang terasa dalam hatinya nama itu sangat nyaman dalam pendengaran dan perasaan.
Ia makin yakin bahw a gadis dusun itu bukanlah seorang gadis sembarangan.
"Kalau begitu aku akan memanggil nama lengkap saja,"
Kata Lingga W isnu dengan tertawa. Palupi membalas t ertawa pula. Menyahut .
"Kau sungguh ramah."
Dan oleh kata-kata itu entah apa sebabnya, jantung Lingga W isnu berdebar.
Palupi bukan seorang gadis cant ik.
Juga bukan gadis kota yang mengerti tentang kemajuan jaman.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun demikian, lagu kata-kata dan suara tawanya sangat manis dan meresapkan hati.
Kedua modal ini merupakan daya tarik luar biasa baginya.
Selagi Lingga W isnu hendak membicarakan keadaan Aruji, Palupi sudah mendahului.
Katanya dengan acuh tak acuh .
"Sebenarnya siapakah kalian berdua ini?"
"Aku sendiri bernama Lingga W isnu. Dan Abangku itu bernama Aruji."
Jawab Lingga W isnu dengan cepat.
"Oh, begitu? Keadaan Aruji sama sekali tidak berbahaya. Sekarang ingin aku menemui beberapa orang. Apakah engkau mau turut?"
Sekali lagi Lingga W isnu heran.
Siapakah yang hendak dijumpainya pada larut malam begini? Meskipun ia ing in memperoleh keterangan, namun t ak berani ia membuka mulut .
Satu hal ia merasa pasti, bahw a tindakan Palupi tentu mempunyai maksud yang penting sekali.
Maka tanpa berpikir panjang lagi ia menyahut .
"Baik. Aku ikut!"
"Tetapi sebelum berangkat, engkau harus berjanji t iga hal. Yang pertama engkau tak boleh berbicara kepada lain orang ..."
"Setuju ! "
Sahut Lingga W isnu cepat.
"Aku akan berlagak bisu."
"Itupun tak usah,"
Ujar Palupi dengan tertawa lebar.
"Apakah engkau akan berlagak bisu pula terhadapku? Engkau boleh berbicara secara wajar kepadaku. Hanya terhadap orang lain engkau kularang membuka mulut. Dan yang kedua. kau tak boleh bertempur serta tak boleh melepaskan senjata macam apapun juga. Juga engkau tidak boleh memukul orang. Pokoknya, semuanya tak boleh! Ketiga, kau t ak boleh berpisah lebih tiga langkah dari sampingku!" 0ooo-dw-ooo0 1. Nyala Lentera Dimalam Hari Lingga Wisnu merasa mendapat kepercayaan. Dengan sangat girang segera ia mengiakan. Ia yakin bahw a gadis itu akan membawanya kepada Ki Sarapada. Terus saja ia bertanya .
"Apakah kita berangkat sekarang juga?"
"Sebentar! Kita harus membawa barang sedikit."
Ujar Palupi. Dan gadis itu lantas masuk kedaiam. Kira-kira setengah jam kemudian, ia keluar dengan membawa dua keranjang bambu yang tertutup rapat, hingga tak dapat diket ahui apa isinya.
"Biarlah aku yang memikulnya,"
Kata Lingga W isnu menyambut.
Gadis itu tersenyum, tetapi tidak menolak kehendak Lingga W isnu.
Ia meletakkan kedua keranjang beserta pikulannya keatas tanah.
Lingga W isnu sebenarnya masih termasuk kanak-kanak, walaupun delapan tahun ikut ayah-bundanya hidup dari tempat ketempat, akan tetapi selama itu belum pernah ia memiku l sesuatu.
Hanya terdorong oleh rasa tata-sant un belaka, ia menawarkan diri.
Padahal tenaganya belum pulih seluruhnya.
Ia tahu bahwa keadaan dirinya yang kini b isa menggerakkan tangan dan kaki, , semata-mata suatu keajaiban belaka.
Bukankah Kyahi Basaman yang terkenal maha sakti menyatakan putus asa tentang keadaan dirinya? Begitulah ia mencoba mengangkat kedua keranjang bambu tersebut.
Ia jadi sempoyongan tatkala mencoba memikulnya, karena berat sebelah.
Yang sebelah seberat tujuh puluh kilo sedang yang lainnya ringan sekali.
Ia heran.
Akan tetapi t idak berkata sepatah katapun.
Melihat Lingga W isnu sempoyongan, gadis itu lantas meraihnya.
Katanya dengan tersenyum mengerti .
"Biarlah aku yang memikulnya. Kesehatanmu belum pulih seperti sediakala, bukan?"
Menghadapi kenyataan demikian, meskipun Lingga W isnu ingin menyenangkan hati gadis itu, tak berani menolak.
Ia menyerahkan keranjang dan pikulan itu kembali kepada pemiliknya.
Palupi mengunci pintu dari luar.
Lingga W isnu masih sempat menengok kearah Aruji yang terus tidur menggeros, sedang mulutnya masih menebarkan ruap arak.
Kemudian ia berjalan mengikut i Palupi.
"Ayunda Palupi!"
Seru Lingga W isnu.
"Bolehkah aku menanyakan sesuatu hal kepadamu?"
"Boleh saja, asal aku dapat menjawabnya."
"Jikalau engkau tak dapat menjawab, didalam dunia ini tiada seorangpun yang dapat memberi jawaban."
Kata Lingga W isnu lagi.
"Kau sendiri tahu, bahwa abang Aruji tidak minum air set etespun. Dan juga tidak makan sebutir nasi pun. Tetapi mengapa ia sampai mabuk begitu rupa?"
Palupi t ertawa geli. Jawabnya.
"Dia mabuk, justru karena tak makan dan tak minum!"
Jawaban ini sangat diluar dugaan. Lingga W isnu jadi heran, lalu katanya tak mengerti .
"Akh! Inilah benar-benar suatu kejadian yang sama sekali t ak kumengerti. Abang Aruji seorang pejuang yang banyak pengalamannya. Ia berkepandaian tinggi pula. Bertahun-tahun lamanya ia berada didalam laskar perjuangan Raden Mas Said. Didalam segala hal ia cukup berwaspada dan berhati-hati. Sebaliknya aku, anak kemarin sore yang belum pandai beringus. Kepandaianku sangat dangkal. Apa sebab abang Aruji yang selalu berwaspada dan bersikap hati-hati justru ..."
Ia tak meneruskan kata-katanya.
"Bicaralah terus terang!"
Kata Palupi.
"Kau tentu ingin mengatakan bahwa ia roboh ditanganku meskipun telah bersikap waspada dan hati-hati, bukan? Apakah engkau mengira bahwa yang berhati-hati selalu selamat? Justeru orang seperti dirimu lah yang jarang sekali mendapat celaka."
"kenapa begitu?"
Lingga W isnu semakin heran.
"Karena engkau penurut. Disuruh memikul kotoran binatang, engkau tak menolak. Disuruh makan, engkau makan dengan lahap. Selesai makan engkau beresi sendiri pula. Kau isi jambangan kosong meskipun tidak ada yang menyuruh. Kau ingin bantu pula memikul keranjang, meskipun tenagamu tidak mengijinkan."
Jawab Palupi dengan tertawa lebar.
"Terhadap bocah yang begitu penurut, masakan ada orang yang tega menurunkan tangan jahat kepadamu?"
"Oh, kalau begitu manusia hidup didunia sebaiknya menjadi seorang penurut."
Ujar Lingga W isnu sambil tertawa.
"Tetapi bagaimana caramu mencelakakan dia? Benarbenar luar b iasa. Sampai sekarang aku belum b isa menduga."
Gadis itu tidak segera menjawab. Sejenak kemudian barulah ia berkata .
"Baiklah, biarlah r ahasia in i kukatakan kepadamu. Apa engkau melihat kembang putih kecil yang berada di ruang tengah?"
Lingga W isnu mengerinyitkan dahinya.
Ia mengingatingat kembali keadaan ruang tengah di rumah Palupi.
Memang, disamping meja makan terdapat sebuah meja kecil.
Dan diatas meja kecil t ersebut terdapat jambangan kembang dengan sekuntum kembang putih.
Karena kembang itu tidak menyolok mata, ia menganggap hanya sebagai perhiasan belaka.
"Orang menamakan kembang itu, kembang layar mega!"
Kata Palupi.
"Kembang itu dapat membikin mabuk orang. Karena baunya yang sangat harum. Barang siapa mengisap harum baunya, pasti akan roboh dengan tanda-tanda orang mabuk minuman keras. Aku telah mencampurkan obat pemunahnya didalam air teh dan nasi put ih yang aku hidangkan untukmu berdua."
Mendengar keterangan Palupi, Lingga W isnu kagum berbareng takut.
Biasanya, seseorang yang hendak meracun, akan menaruh racunnya didalam minuman atau mengaduknya dalam makanan yang disajikan.
Akan tetapi cara gadis itu diluar dugaan siapapun juga, sehingga Aruji yang senantiasa bersikap waspada, masih kena dirobohkan.
"Tetapi engkau tidak usah cemas, adik. Begitu pulang aku akan memberi obat pemunahnya."
Ujar Palupi dengan suara menghibur. Mendengar perkataan Palupa, t iba-tiba timbul ah suatu pikiran didalam hat i Lingga W isnu.
"Kalau begitu, kecuali pandai menggunakan racun, ia pandai pula mengobati orang yang keracunan. Apakah kesembuhanku dengan mendadak ini oleh pertolongannya pula? Jika benar demikian, maka tak usah lagi aku bersusah payah menemui Ki Sarapada."
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia bertanya mencoba .
"Ayunda Palupi, dapatkah engkau menyembuhkan orang yang kena racun Pacarkeling?"
"Hmmm."
Dengus gadis itu.
"Hal itu rasanya sulit kukatakan."
Mendengar jawaban Palupi, Lingga W isnu tak berani mendesak lagi.
Maka benarlah prasarannya bahw a kesembuhannya ini hanya untuk sementara saja.
Samb il berjalan mengikut i, ia kini memperhatikan hal-hal yang luar biasa baginya.
Tubuh Palupi kurus kering.
Meskipun demikian dengan langkah yang ringan sekali ia berjalan sambil memiku l keranjangnya.
Sedangkan gerakangerakan tubuhnya bukan berdasarkan ilmu sakti.
Dengan sekejap mata saja mereka berdua telah melampaui tujuh kilometer lebih.
Arah perjalanannya mengarah ke Timur dan bukan ke jurusan Mrepat Kepanasan.
Mendadak saja suatu ingatan menusuk kedalam benak Lingga W isnu.
Lantas saja bocah itu bertanya .
"Ayunda Palupi, bolehkah aku menanyakan satu pertanyaan lagi? Tapi petang tatkala aku dan abang Aruji hendak ke Mrepat Kepanasan, engkau berkata bahwa lebih baik kami berdua mengarah ke Timur laut. Ternyata engkau menyesatkan perjalanan kami, sehingga kami harus berjalan me mutar. Artinya kami terpaksa melampaui jarak perjalanan duapuluh kilometer lebih jauh. Kenapa engkau berbuat begitu? Aku masih belum mengerti maksudmu."
Mendengar pertanyaan Lingga W isnu, Palupi tertawa geli. Jawabnya .
"Sudahlah ! Janganlah engkau bertanya melit-melit. Kau ingin berkata. rumah Ki Sarapada letaknya di Barat daya, sedang kita berdua kini mengarah ke Timur. Bukankah perjalanan in i yang membuatmu bertanya demikian?"
Keadaan hati Lingga W isnu kena t ebak gadis itu. Dan muka Lingga W isnu lantas saja bersemu merah. Untunglah pada saat itu malam hari sehingga perubahan air muka itu tak nampak si gadis. Sahutnya dengan suara perlahan .
"Benar. Engkau menebak tepat sekali ..."
"Jalan yang kita lalui ini bukan mengarah kepadepokan Ki Sarapada. Karena kitapun tidak bermaksud menemui Ki Sarapada."
Kata Palupi.
"Akh!"
"Apakah engkau tahu apa sebab siang tadi aku mint a kepadamu menyiram tanaman bungaku?"
Palupi memotong seruannya.
"Sesungguhnya aku lagi menguji kepadamu. Pertama, ingin aku mengetahui nilai hatimu berdua. Kedua, aku sengaja memperlambat perjalanan kalian. Dengan sengaja pula aku menyesatkan kalian. Dengan mengarah ke timur-laut jarak perjalanan kalian menjadi bertambah duapuluh kilometer lebih. Dengan sengaja aku hendak memperlambat perjalanan kalian, agar kalian tiba d i Mrepat Kepanasan pada w aktu malam hari."
"Kenapa begitu?"
Lingga W isnu minta keterangan.
"Sebab pohon-pohon merah itulah! Pohon-pohon merah itu yang memagari rumah Ki Sarapada kurang racunnya pada waktu malam hari. Dengan demikian, bunga biru yang kuberikan kepada kalian masih sanggup melawan."
Mendengar keterangan Palupi, bukan main kagum Lingga W isnu.
Sekarang ia merasa takluk berbareng terima kasih kepada gadis dusun itu.
Ternyata Palupi bermaksud menolong dirinya dengan sesungguh hati.
Kini hatinya yakin sepenuhnya, maka tanpa berkata lagi ia mengikut i terus perjalanan Palupi dengan hati mantap.
Setelah berjalan lima kilo meter lagi, mereka masuk kedalam hutan yang lebat.
Tiba-tiba Palupi berkata .
"Nah, sekarang kita sudah sampai, tetapi mereka belum datang. Biarlah kita menunggu di sini. Maukah engkau menolong meletakkan keranjang ini dibawah pohon itu?"
Sambil berkata demikian ia menuding sebuah pohon besar.
Lingga W isnu lantas saja mengerjakan apa yang dipint a gadis itu.
Setelah Lingga W isnu meletakkan keranjang dibawah pohon, Palupi menghampiri semak belukar yang berumput tinggi terpisah kira-kira lima belas langkah jauhnya.
Kemudian berkata sambil memasuki belukar itu.
"Tolong bawakan keranjang yang satu ke mari."
Tanpa berkata sepatah katapun Lingga W isnu membawa keranjang lainnya ke dalam belukar, menyusul Palupi.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mendongak menatap udara.
Dan mengamati bulan yang kini sudah doyong kebarat.
Teranglah sudah, bahw a hari telah larut malam.
Keadaan hutan itu sunyi senyap.
Yang terdengar hanyalah suara margasatwa dengan bunyi burung hantu sebagai selingan.
Kemudian Palupi memberi sebutir obat sebesar telur burung, sambil membisik .
"Kulum ini, tapi jangan kau telan!"
Tanpa ragu-ragu lagi Lingga W isnu memasukkan obat itu ke dalam mulut nya.
Rasanya sangat pahit.
Dengan menahan napas mereka menunggu.
Hanya apa yang sedang ditunggu, Lingga W isnu sama sekali tidak mengetahui dan tidak dapat menduga.
Alangkah ajaib pengalamannya, selama berada dipinggang Gunung Merapi.
Hanya dalam w aktu satu hari satu malam saja ia memperoleh pengalaman luar biasa.
D alam kesunyian itu teringatlah ia kepada Sitaresmi.
Tak terasa ia menghela napas.
Katanya didalam hati .
'A ku mendaki gunung Merapi karena mengikuti abang Aruji.
Dan sementara itu ia ikut eyang kembali ke Gunung Lawu.
Akh.
Pada saat ini, entah apa yang dilakukannya.' Memperoleh pikiran demikian, tanpa disadari ia memasukkan tangannya kedalam saku, meraba raba saputangan yang bersulamkan bunga melati, pemberian Sitaresmi.
Kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba Palupi menarik ujung baju Lingga W isnu.
Ia menuding kearah barat-laut.
Serentak Lingga W isnu berpaling kearah itu.
Dikejauhan ia melihat sinar lentera.
Aneh warna sinar lentera itu.
Biasanya sinar lentera berwarna kuning agak merah.
Tetapi kali ini tidak.
Sinarnya hijau.
Lentera itu bergerak cepat sekali dan dalam sekejab saja telah berada belasan langkah di depannya.
Oleh pantulan cahaya rembulan dan sinar lentera itu, Lingga W isnu dapat melihat dengan jelas bahw a pembawanya seorang wanita bongkok.
Jalannya terpincang-pincang dan diikut i seorang laki-laki dibelakangnya.
Dan melihat mereka, hati Lingga W isnu memukul keras.
Teringatlah dia, Mrepat Kepanasan terletak di barat-daya.
Dan mereka berdua datang dari barat daya pu la.
Maka kuat dugaannya, mereka ini suami isteri Ki Sarapada.
Oleh dugaan itu Lingga W isnu berpaling kepada Palupi untuk memperoleh kayakinan.
Akan tetapi dimalam hari tak dapat ia melihat kesan wajah Palupi dengan jelas.
Apa yang dilihat hanya sepasang mata Palupi tiba-tiba nampak berkilat.
Dengan penuh perhatian ia mengawasi kedatangan kedua orang itu.
Terasa sekali hatinya menjadi tegang.
Menyaksikan hal itu, timbul ah rasa kasatria dihati Lingga W isnu.
Meskipun hanya memiliki kepandaian yang dangkal, namun hatinya berkata .
'Jika Ki Sarapada sampai mengganggu ayunda Palupi, meskipun mati aku akan menolongnya.' Kedua orang itu berjalan semakin dekat.
Sekarang jelaslah walaupun wanita itu bercacad, namun paras wajahnya cantik.
Tetapi laki-laki yang berada dibelakangnya beroman buruk dan agaknya bersifat ganas.
Usia mereka sebaya, kira-kira ampatpuluh tahun.
Oleh pengalaman hidupnya, belum pernah bocah itu berdebar hatinya menghadapi segala hal yang mengancam dirinya.
Akan tetapi menghadapi mereka berdua, entah apa sebabnya t iba-tiba hatinya berdebardebar.
Nalurinya berkata bahwa dia lagi menghadapi sepasang suami isteri yang aneh dan gerak-gerik mereka sukar diduga.
Ku rang lebih delapan langkah didepan persembunyian Palupi, tiba-tiba mereka berdua membelok ke kiri dan berjalan lagi belasan langkah jauhnya.
Kemudian barulah mereka menghentikan langkah kaki mereka., Laki-laki yang berada di belakang wanita bongkok itu lantas berseru dengan suara nyaring.
"Kakang! Kakang Panjisangar ! menurut suratmu, kami suami-isteri pada malam hari ini harus datang kemari untuk berjumpa denganmu. Hayolah keluar!"
Seruan itu tak memperoleh jawaban. Karena itu beberapa saat kemudian wanita bongkok itu berseru nyaring pula .
"Kakang Sangar! Jika engkau t ak sudi keluar, terpaksa kami berlaku kurang ajar terhadapmu.
"
Juga kali ini tak mendapat jawaban.
Mendengar seruan yang tak berjawab itu, hati Lingga W isnu menjadi geli sendiri.
Katanya di dalam hati.
'Nah, rasakan sekarang! Inilah yang dinamakan balas membalas.
Tadi engkau tak melayani aku.
Sekarang engkau tak digubris oleh orang yang kau panggil!' Mereka berdua menunggu kira-kira seperempat jam lagi.
W anita bongkok itu meraba saku nya, kemudian mengeluarkan seikat rumput yang segera dinyalakan dengan api lent era.
Dalam sekejab mata saja, sekeliling tempat itu penuh dengan asap putih yang menebarkan bau wangi.
Teringat akan kata-kata, terpaksalah kami berkurang ajar, Lingga W isnu segera sadar bahwa asap itu tentulah asap beracun.
Iapun mengerti pula, apabila tidak memperoleh obat peminah racun dari Palupi, tentulah ia kena akibatnya dan ia mengerling kepada Palupi yang kebetulan sedang mengerling pula kepadanya.
Lingga W isnu sangat berterima kasih kepadanya.
Ia bersenyum dan memanggut beberapa kali.
Sebaliknya pandang mata gadis itu berkesan mengandung rasa cemas.
Makin lama asap itu makin tebal.
Sekonyong konyong terdengarlah seseorang bersin dari arah bawah pohon besar tempat menaruh keranjang.
Dan mendengar bersin itu, hati Lingga W isnu terkesiap.
Barulah ia tahu, bahwa isi keranjang tersebut orang hidup.
Bahwasanya ia tak mengerti soal racun adalah wajar.
Akan tetapi bahw asanya ia tetap tak mengerti bahwa dalam keranjang itu tersekap seseorang, benar-benar mengherankan dirinya sendiri.
Sekian lamanya ia berjalan mengikut i gadis itu.
Mengapa ia t ak mendengar pernapasannya sama sekali.
Sementara itu orang yang berada di dalam keranjang bersin beberapa kali lagi.
Kemudian tut up keranjang itu terbuka dan keluarlah orang itu.
Ternyata dia seorang laki-laki mengenakan jubah panjang serta berikat kepala.
Umurnya kurang-lebih limapuluh t ahun.
DAn dialah orang tua yang terlihat oleh Aruji dan Lingga W isnu sedang memacul ditengah tegalan.
Begitu kakinya menginjak bumi, dengan pandang melotot ia menatap suami-isteri itu.
Bentaknya mengguruh .
"Bagus. Kiranya kau Janggel dan Poha. Telah lama kita tak bertemu. Kiranya tanganmu makin lama makin kejam!"
Suami isteri itu mengawasi si orang tua yang berpakaian t ak rapih dan berikat kepala miring.
"Kakang Sanggar! Kau menuduh kami sangat kejam,"
Kata Janggel dengan suara dingin.
"Siapa tahu, engkau justru bersembunyi di dalam keranjang. Kakang Panji Sanggar ..."
Baru saja ia berkata demikian, laki-laki yang disebut Panji Sangar mengendus-endus udara beberapa kali.
Kemudian dengan wajah berubah ia buru-buru mengeluarkan sebutir obat ramuan yang lalu dikulumnya.
Poha, wanita bongkok itu lalu memadamkan rumput beracunnya yang lantas dimasukkan ke dalam sakunya kembali.
Katanya .
"Sayang tak ... tak keburu lagi. Sudah terlambat ..."
W ajah Panji sangar itu lantas nampak pucat bagaikan mayat. Tiba-tiba ia lalu duduk ditanah dan beberapa saat berselang, barulah ia berkata .
"Baiklah, aku kalah. Mulai sekarang tak lagi aku membuntuti kalian berdua ..."
Janggel, laki-laki beroman sangat jelek itu segera mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna merah. Ia mengangsurkan botol kecil itu seraya katanya .
"Inilah obat pemunah racun rumput Badui, anakku telah kau celakakan dengan racunmu. Maka dari itu kalau engkau menghendaki bebas dari akibat racunku, berilah obat pemunah racunmu pula! Tegasnya, marilah kita saling menukar obat pemunah!"
"Fitnah!"
Bentak Panji sangar.
"Kau maksudkan aku meracuni anakmu Sukasah? Sudah lima enambelas t ahun aku tak bertemu dengan dia. Jangan memfitnah sambarangan!"
W anita bongkok itu terbatuk-batuk. Berkata dengan suara gusar .
"Jadi engkau meminta kami menemui hanya untuk mendengarkan ocehanmu itu saja?"
Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada suaminya. Berkata lagi .
"Janggel! Hayolah kita pulang saja!"
Berbareng dengan kata-katanya ia memut ar badan dan segera hendak pergi. Akan tetapi Janggel tidak bergerak dari tempatnya. Ia masih nampak bersangsi. Katanya tak jelas .
"T api Sukasah. Sukasah bagaimana?"
W anita bongkok itu menghentikan langkahnya. Menengok sambil berkata menyahut .
"Kakang Panjisangar sangat membenci kita berdua. Dia agaknya lebih suka mati dari pada mengampuni Sukasah. Apakah engkau belum sadar juga akan hal itu?"
Masih juga Janggel belum bergerak dari t empatnya. Ia menatap Panjisanger beberapa saat lamanya. Kemudian berkata setengah membujuk.
"Kakang Panjisangar! Duapuluh tahun lamanya kita saling mendendam. Apakah sekarang belum tiba waktunya untuk melenyapkan permusuhan ini ? Aku ingin mengajukan sebuah usul kepadamu. Marilah kita saling menukar obat pemunah dan mengakhiri permusuhan kita."
Kata-katanya itu diucapkan dengan penuh perasaan, sehingga rasa hati Panjisangar terpengaruh juga. Katanya dengan suara sabar.
"Roha, adikku. Sebenarnya Sukasah kena racun apakah?"
Mendengar ucapannya, Roha tertawa dingin. Sahutnya mendongkol .
"Kakang Panji sangar ! Sampai pada saat ini engkau masih berpura-pura saja. B aiklah dengan ini kami berdua menghaturkan selamat atas berhasilnya kakang menanam bunga Badjrarinonce."
"Siapa yang menanam Badjrarinonce?"
Teriak Panji sangar t ersinggung. Tiba-tiba meledak .
"Apakah Sukasah kena racun Badjrarinonce? Kalau begitu bukan aku ! Tentu saja bukan aku! Benar, sungguh mati bukan aku!"
Ia berteriak dengan suara tinggi. Dan wajahnya mendadak bertambah pucat. Jelaslah sudah, ia terserang rasa takut. Akan tetapi Roha seolaholah tidak menghiraukan keadaan d irinya. Katanya mengejek .
"Sudahlah, kakang Panji sangar! Tak usahlah kita membicarakan hal itu lagi! Hanya satu hal yang ingin kut anyakan padamu. untuk apa engkau mint a kami datang ke mari?"
"Aku yang memint a kalian datang kemari?"
Teriak Panjisangar keheranan.
"Tidak! Sama sekali aku tak pernah memint amu datang ke mari. Tuduhanmu ini benar-benar tak kumengerti! Bahkan kalian berdualah yang membawaku kemari. Apa sebab engkau malah memutar balikkan kenyataan ini?"
Tadinya ia menggelengkan kepalanya untuk mengesahkan bahwa dalam hal in i, bukan dia yang memint a mereka berdua datang ke tempat itu.
Setelah selesai berbicara, tiba-tiba ia menjadi gusar dan menendang keranjang bambu itu yang lantas saja terpental beberapa langkah jauhnya.
"Huh!"
Dengus Roha dengan suara bersakit-hati.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah surat ini bukan kau tulis dengan tanganmu sendiri? Ah kakang Panjisangar, mataku belum lamur! Aku masih cukup awas untuk mengenal kembali gaya tulisanmu!"
Setelah berkata demikian, ia meraba sakunya dan mengeluarkan sehelai kertas yang diangsurkannya kepada Panjisangar.
Panjisangar segera mengulurkan tangannya hendak menyambut kertas itu, tiba-tiba suatu ingatan menyadarkannya.
Segera ia mengibas dengan telapakan tangannya.
Dan kertas itu terpental tinggi melayang diudara.
Hampir berbareng dengan itu, jarijarinya menyentil sebatang paku.
Dan paku itu menyambar serta memaku kertas itu pada sebatang pohon.
Menyaksikan adegan itu, hati Lingga W isnu tergoncang.
Katanya di dalam hati .
'Sungguh berbahaya! Bermusuhan dengan mereka ini.
Setiap detik kita harus berhati-hati dan berwaspada.
Orang tua itu tidak berani menyambut kertas perberian Roha, ia khawatir kalau ada ramuan racunnya.' Roha kemudian mengangkat lenteranya tinggi tinggi, dan diatas kertas terlihat beberapa deret huruf-huruf besar yang berbunyi .
Dua saudaraku seperguruan, Janggel dan Poha! Haraplah engkau datang di hutan Pengalapan setelah jam tiga malam.
Aku ingin mendamaikan suatu perkara yang maha penting.
Huruf-huruf itu berbentuk panjang-kurus sedikit melengkung, sehingga mirip perawakan tubuh Panjisangar.
Dan melihat huruf-huruf itu, Panjisangar berteriak heran .
"Akh!"
"He-he-he. Kau kenapa?"
Ejek Janggel dengan suara mendongkol.
"Itu bukan tulisanku!"
Seru Panjisangar. Kedua suami-isteri itu saling memandang dan mencibirkan bibirnya. Berkata dengan berbareng .
"Kau bilang apa?"
"Heran, sungguh heran!"
Kata Panjisangar.
"Bentuk huruf-hurufnya memang mirip dengan tulisanku. Akan tetapi ..."
Panjisangar mengusap jenggotnya dan tibatiba saja berteriak dengan suara kalap.
"Binatang! Sama sekali tak kuduga bahwa sampai pada saat ini, kalian masih main f itnah saja kepadaku. Dengan maksud apa kalian memasukkan aku ke dalam keranjang dan membawa kemari? Aku sudah bersumpah, bahwa selama hidupku tak sudi aku melihat moncongmu berdua!"
"Sudahlah, jangan berpura-pura!"
Bentak Roha si wanita bongkok itu.
"Sukasah kena racun Badjrarinonce. Katakan saja, kau mau memberikan obat pemunahnya atau tidak?"
"Kau t ahu dengan pasti bahwa, anakmu Sukasah kena bunga Badjrarinonce?"
Kata Panjisangar dengan suara tak jelas.
Tatkala mengucapkan Badjrarinonce, suaranya bergemetaran seperti ketakutan.
Lambat laun Lingga W isnu mengerti duduk persoalannya.
Ia mendoga bahwa seorang berkepandaian t inggi memegang peranan dalam peristiwa ini.
Tetapi siapakah orang itu? Tanpa di kehendaki sendiri ia mengerling kepada Palupi.
Mungkinkah gadis kurus kering ini yang memerankan mereka bertiga? Selagi Lingga W isnu merasa bimbang, mendadak terdengar suara bentakan .
"Uuh!"
Suara itu terdengar aneh dan menyeramkan hati.
Dengan meremang Lingga W isnu menoleh.
Ternyata suara tersebut meloncat dari mulut Panjisangar dan kedua suami isteri Jenggel Roha.
Ketiganya mendorongkan kedua belah tangannya masing-masing kedepan.
Dalam sekejapan saja malam yang sunyi menjadi makin hening.
Tidak ada sesuatu yang terdengar, kecuali suara.
UUhh-uuhh-uuhh-uuhh yang tiada hentinya.
Mendadak saja suara uh-uh itu berhenti.
Kemudian berkejaplah secercah sinar dingin dan lentera hijau itu padam seketika.
Lingga W isnu tahu, bahwa padamnya lentera itu adalah akibat paku Panji sanger yang dilepaskan dengan mendadak.
Beberapa saat kemudian terdengar suara meremang.
Itulah suara erangan si Jenggel laki-laki bermuka jelek.
Rupanya ia kena senjata paku Panjisangar.
Alangkah menyeramkan suasana pada malam hari itu.
Udara dan bumi seolah-olah terancam suatu bahaya maut.
Dan menyaksikan hal itu, darah kasatria Lingga W isnu meluap dengan tak dikehendaki sendiri.
Ia memegang tangan Palupi dan ditariknya ke belakang.
Ia sendiri lant as bersedia berkorban untuk melindungi jiwa gadis kurus kering itu.
Begitu suara rint ih dan erangan lenyap,keadaan sekitar hutan itu lantas menjadi sunyi-senap kembali.
Yang terdengar hanyalah bunyi margasatwa dan burungburung hantu dikejauhan.
Tiba-tiba terasa ada tangan kecil halus memegang t angan Lingga W isnu.
Dan bocah itu terkejut sekali.
Tangan anak kecil yang mint a perlindungan.
Tadi ia menduga bahwa yang memerankan mereka bertiga adalah Palup i.
Akan tetapi setelah Palupi memegang tangannya, tahulah dia bahw a gadis itupun berada dalam ketakutan.
Di tengah kesunyian itu, mendadak muncullah dua gulung asap.
Yang satu berasap putih dan yang lain berasap abu-abu.
Seperti dua ekor binatang ular, kedua gumpalan asap itu saling menyambar.
Munculnya kedua gumpalan asap itu tersusul suara orang seperti meniup api.
Lingga W isnu membuka matanya lebar-lebar untuk memperoleh penglihatan yang lebih jelas lagi.
Samarsamar ia melihat dua sinar api berada disebelah kiri dan kanan.
Di belakang sinar api duduk Panjisangar sedang di belakang sinar api yang lain, Roha berjongkok dan membungkukkan badannya ketanah.
Ternyata mereka berdua sedang berusaha meniup titik api yang seger meruapkan asap.
Tahulah Lingga W isnu kini bahw a mereka berdua tengah menggunakan senjata asap beracun untuk merobohkan.
Kira-kira seperempat jam kemudian, sekitar hutan tersebut sudah penuh dengan asap beracun.
Lingga W isnu menekap pergelangan tangan Palupi erat-erat.
Dan tangan Palupi terasa bergemetaran.
Mendadak dari sebuah pohon terdengar suara aneh.
Cepat Lingga W isnu berpaling dan mengawasi pohon itu.
Itulah pohon tempat menancap kertas Roha yang terpantek paku beracun Panjisangar.
Ia terkesiap karena kertas itu mendadak saja menyinarkan cahaya terang.
Dan dengan pertolongan sinar tersebut, kelihatanlah beberapa deretan huruf.
Melihat hal itu Panjisangar dan Roha berpaling berbareng.
Dengan sendirinya mereka berhenti meniup api beracun.
Dan dengan terbengong mengamati huruf-huruf yang mendadak muncul dengan tegar.
Hampir berbareng mereka membaca .
Surat ini kualamatkan kepada ketiga muridku.
Panjisangar, Janggel dan Roha Dengan melupakan ikatan rasa cinta kasih antara sesama saudara seperguruan, kamu bertiga saling mencelakakan.
Peristiwa ini benar-benar sangat menyedihkan hatiku.
Itulah sebabnya mulai saat ini, aku mengharap dengan sangat agar kalian bertiga cepatcepat memperbaiki pekerti yang sesat.
Dan hendaklah kalian bertiga menuntut penghidupan yang sesuai dengan cita-citaku.
Segala sesuatu mengenai kepulanganku ke alam baka, kamu bertiga bisa mengetahui dari muridku.
Palupi.
Inilah pesanku yang terakhir.
Gurumu.
Resi NGEST I TUNGGAL.
Setelah membaca bunyi surat itu Panjisangar dan Roha berseru kaget.
Dengan serentak mereka berseru berbareng .
"Apakah guru sudah wafat? Palupi ! Dimana kau?"
Perlahan-lahan Palupi menarik tangannya dari genggaman Lingga W isnu.
Ia menyalakan sebatang lilin.
Kemudian berjalan dengan t enang menghampiri mereka bertiga.
Melihat Palupi muncul, Panji sangar dan Roha berubah wajahnya.
Dengan serentak mereka membentak .
"Adik! Apakah engkau menyimpan kitab Pangusadan? Ya, pastilah himpunan ilmu ketabiban guru diwariskan kepadamu. Sekarang dimana kau simpan?"
"Kang mas Panjisangar dan ayunda Roha,"
Kata Palupi dengan sabar.
"Kamu berdua benar benar tidak mempunyai perasaan. Nilai budi kamu berdua sungguh mengecewakan guru. Dengan susah payah almarhum guru mengasuh, merawat dan mendidikmu. Budi sedemikian besarnya, bagaimana kalian hendak membalasnya? Sebaliknya, kalian tidak pernah memperhatikan kesejahteraan guru. Bahkan matihidupnya gurupun luput dari perhatian kalian. Yang kalian ingat hanya buku warisannya belaka. Benar-benar mengecewakan. Kangmas Janggel, bagaimana menurut pendapatmu?"
Janggel yang rebah ditanah akibat paku beracun Panjisangar menegakkan kepalanya dan berteriak dengan suara gusar .
"Janganlah engkau mengoceh dan berkotbah seperti gurubesar. Hayo kau perlihatkanlah kit ab warisan itu secepat mungkin kepada kami! Bukankah Sukasah engkau yang melukai? Ya, ya tak bisa salah lagi. Semua peristiwa yang terjadi pada malam in i, tentu hasil pekerjaanmu pula!"
Dengan menutup mulut, Palupi menjiratkan pandang kepada ketiga kakak seperguruannya.
"Benar-benar guru pilih kasih!"
Teriak Panjisangar dengan hati dengki.
"Sudah pasti bahw a guru menyerahkan kitab sakti tersebut kepadanya."
"Adik, coba perlihatkan kitab sakti Pangusadan guru,"
Bujuk Roha dengan suara halus, dan menambahkan lagi.
"Marilah kita beramai-ramai mempelajarinya."
Dengan pandang mata tajam, Palupi menatap mereka bertiga. Akhirnya berkata .
"Benar. Memang benar garu mewariskan kitab saktinya kepadaku."
Setelah berkata demikian, ia segera mengangsurkan selembar kertas kepada Roha.
Mereka bertiga jadi kecew a.
T adinya mereka mengira Palupi hendak memperlihatkan buku warisan gurunya.
Tak tahunya, yang diperlihatkannya hanya selembar kertas dan diangsurkan kepada Roha.
Tatkala Roha hendak menerimanya, tiba-tiba Janggel berteriak memperingatkan .
"Awaaas!"
Dan oleh peringatan itu, sadarlah Roha, akan kesemberonoannya.
Dengan cepat ia melompat mundur sambil menunjuk kearah pohon.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyaksikan pekerti ketiga kakak seperguruannya, Palupi menghela napas.
Dengan berdiam diri ia mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari bahan perak.
Ia menusuk kertas itu.
Dan dengan sekali mengayun tangannya, tertancap pada pohon.
Lingga W isnu kagum menyaksikan timpukan itu.
Katanya dalam hati.
'Benar-benar tak terduga, bahwa gadis dusun yang kurus kering in i mempunyai kepandaian tinggi.' Ia ikut memperhatikan kertas yang tertancap pada pohon itu.
Dan dengan bantuan sinar lilin Palupi, mereka semua dapat membaca tulisannya dengan jelas.
Bunyinya begini.
"Surat pusaka ini kutulis untuk muridku. Palupi.
"
AnakkuSetelah aku meninggal dunia engkau boleh menceritakan semua peristiwa yang terjadi kepada ketiga kakak seperguruanmu.
Engkau kuijinkan memperlihatkan kitab himpunanku kepada salah seorangnya,yang benarbenar memperlihatkan rasa cinta kasihnya kepadaku.
Siapa saja d iantara mereka bertiga yang tidak memperlihatkan rasa duka-c ita dan rasa kasih-sayang kepadaku sebagai murid maka perhubungan diant ara guru dan murid terputuslah.
Inilah pesanku kepadamu.
Surat terakhir dari gurumu .
Resi Ngesti Tunggal.
Dua kali sudah Lingga W isnu membaca nama Ngesti Tunggal.
Sesungguhnya siapakah yang disebut Resi Ngesti Tunggal itu? Apakah dia Panembahan Bondan Sejiwan, cikal-bakal aliran Ngesti Tunggal? Pada saat itu dapat ia memperoleh keterangan.
Satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah memperhatikan mereka berempat.
Demikianlah, set elah membaca surat wasiat itu, Panjisangar, Janggel dan Roha saling memandang dengan mulut t ernganga.
T ak dapat mereka menginkari bahw a sepak terjang mereka tadi benar-benar keterlaluan dan tidak pant as sebagai murid terhadap gurunya.
Betapa tidak? Setelah mengetahui gurunya wafat, sedikitpun mereka tidak mengatakan kata-kata dukacita.
Bahkan mereka hanya menanyakan kitab warisannya.
Unt uk beberapa saat lamanya mereka termenung seperti kehilangan diri.
Tiba-tiba seperti saling berjanji, mereka berteriak dan menerjang dengan serentak.
"Ayunda Palupi, awas!"
Seru Lingga W isnu sambil melompat dari persembunyiannya. Pada saat itu kedua tangan Roha menyambar muka Palupi. Menyaksikan ancaman bahaya itu, kembali lagi Lingga W isnu berteriak memperingatkan .
"Ayunda Palupi, awas!"
Dan cepat bagaikan kilat ia menangkis dengan sebelah tangannya.
Plaak! Seperti diket ahui, Lingga W isnu mewarisi ilmu sakti Panembahan Larasmojo, kakeknya sendiri.
Ilmu sakti Panembahan Larasmojo yang diwariskan kepada anak perempuannya, Larasati dan kemudian diajarkan sejurus dua jurus kepada Lingga W isnu, pernah mengejutkan Kyahi Basaman.
Sebab cara mengatur tata pernapasan dan tata peredaran darah sangat bertentangan dengan ajaran aliran Aristi.
Apa yang diwarisi Lingga W isnu itu sebenarnya termasuk golongan ilmu sakti yang luar biasa dahsyatnya.
Akan tetapi sangat memakan tenaga, sehingga aliran itu merupakan aliran sesat.
Seseorang yang dapat mewarisi ilmu sakti Panembahan Larasmojo, akan menjadi orang yang mempunyai tenaga sehebat rasaksa.
Karena itu Lingga W isnu meskipun berumur belasan tahun, sudah memiliki pukulan pukulan sakti yang hebat pula dayanya.
Maka begitu kena tangkisan tangan Lingga W isnu, Roha terpental dengan menjerit keras.
Begitu berhasil, Lingga W isnu membalikkan tangan dan mencengkeram pergelangan tangan Janggel.
Kemudian dengan menggunakan pukulan ilmu sakti warisan kakeknya, ia mendorong dengan meminjam tenaga lawan.
Tubuh Janggel tinggi besar.
Akan tetapi kena pukulan sakti warisan Panembahan Larasmojo, lantas saja terpental tujuh langkah lebih dan roboh terguling di atas t anah.
Maka tahulah Lingga W isnu kini, bahw a kedua suami isteri itu memang ahli dalam menggunakan racun, akan tetapi dalam hal tata berkelahi mereka tidak mempunyai kepandaian yang berarti.
Dengan hati mantap, ia kemudian memutar badannya menghadapi Panjisangar.
Akan tetapi belum lagi ia bergerak, mendadak saja orang itu bergoyang-goyang tubuhnya, kemudian roboh sendiri.
Aneh sekali, begitu roboh badannya lantas saja tak bergerak sama sekali.
"Adik!"
Kata Roha dengan meringis menahan rasa nyeri.
"Benar-benar hebat kawanmu ini. Dia masih kanak-kanak yang belum pandai beringus, akan tetapi pukulannya bukan main hebatnya. Siapa dia?"
"Namaku Lingga W isnu!"
Sahut Lingga W isnu cepat dengan suara nyaring, mendahului Palupi.
"J ika kamu suami isteri merasa penasaran, carilah aku saja."
Sebenarnya Lingga W isnu hanya menirukan cara para pendekar menantang lawannya. Sama sekali ia tidak memikirkan akibatnya dikemudian hari. Sebaliknya, Palupi lantas saja membentak dengan suara penuh sesal.
"Sudah! Mengapa engkau usilan?"
Sambil berkata demikian, gadis itu membanting banting kakinya.
Heran dan terkejut Lingga W isnu menyaksikan pekerti Palupi, sehingga ia tergugu.
Meskipun cerdas, pada saat itu tak dapat ia menebak pekerti Palupi yang membanting-banting kaki.
Dalam pada itu, Janggel dan Roha sudah dapat bangkit kembali.
Dengan pandang berkilat-kilat, mereka menatap w ajah Lingga Wisnu.
Kemudian memutar t ubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah panjang.
Dengan membungkam mulut, Palupi meniup lilinnya.
Lalu dimasukkan kembali ke dalam sakunya.
Pada saat itu, Lingga W isnu minta keterangan kepadanya.
Katanya.
"Ayunda Palupi! Kenapa Panjisangar roboh sendiri?"
Palupi menggerendeng. Ia tak segera menjawab. Hanya berkali-kali ia mendengus. Lingga W isnu hatinya menjadi tak enak sendiri. Beberapa waktu kemudian, ia berkata dengan perlahan.
"Ayunda Palupi, engkau t ak menjawab pertanyaanku. Mengapa? Apakah ayunda tidak senang lagi kepadaku?"
Mendengar ujar Lingga W isnu, Palupi mengangkat kepalanya. Dengan suara menyesal ia me nyahut .
"Mengapa engkau tidak menetapi janji? Bu kankah engkau telah berjanji tiga hal kepadaku sebelum ikut kemari? Kenapa engkau langgar semuanya?"
Diingatkan tentang janjinya, Lingga W isnu terkejut.
Benar! Ia melanggar semua janjinya.
Pertama, ia tak boleh berbicara.
Akan tetapi nyatanya ia berbicara juga.
Kedua, ia tak boleh bertempur atau melepaskan jenjata rahasia apapun atau melukai siapapun.
Juga janji yang kedua ini dilanggar pula.
Dan ketiga, ia tak boleh pisah lebih tiga langkah dari Palupi.
Nyatanya karena bertempur, ia tidak hanya berpisah tiga langkah saja, tetapi malahan lebih sepuluh langkah jauhnya.
Itulah sebabnya Lingga W isnu menjadi tertegun.
Dengan perasaan malu, ia berkata memohon belas kasihan .
"Ayunda Palupi, benar. Aku melanggar semua janjiku. Maukah engkau memaafkan kesalahanku ini? Karena melihat engkau dalam bahaya semata-mata, hatiku tak tahan lagi. Aku takut, engkau akan kena dilukakan mereka. Karena di dalam diriku in i telah penuh racun, mati dan hidup belum memperoleh kepastian, lebih baik aku yang menerima pukulan mereka dari pada ayunda. Dengan begitu, engkau memperoleh kesempatan pula untuk melarikan diri. Tetapi agaknya aku telah salah terhadap ayunda. Karena itu maafkan semua kecerobohanku ini."
"Hmm!"
Dengus Palupi, tetapi kali ini ia tertawa.
"Kalau begitu, semua yang kau lakukan tadi semata-mata karena engkau mencemaskan diriku. Pandai benar engkau mencari-cari alasan. Kau yang salah, akan tetapi akibatnya nanti kau bebankan di atas pundakku. Kau t ak percaya? Coba jawab pertanyaanku, apa sebab engkau menyebut kan namamu kepada mereka? Tentu saja mereka sangat dendam kepadamu. Tak mungkin mereka melupakan dendam ini. Pada suatu hari mereka pasti akan mencarimu. Dalam hal berkelahi, mereka tidak akan menang. Tetapi dalam menggunakan racun, apa engkau bisa menjaga diri? Karena itu, mulai sekarang hendaklah engkau selalu waspada dan berhati-hati!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba sikap Palupi menjadi lemah lembut.
Dan suaranya yang paling akhir diucapkan dengan penuh kecemasan atas keselamatan Lingga W isnu.
Mendengar keterangan Palupi, entah apa sebabnya bulu rama Lingga W isnu te rbangun serent ak.
Akan tetapi dia anak seorang pendekar berjiwa kasatria.
Lantas saja ia dapat menetapkan hatinya.
Dan pada saat itu, Palupi menegas lagi .
"Kenapa engkau tadi menyebutkan namamu kepada mereka?"
Lingga W isnu menjawab pertanyaan Palupi dengan tertawa lebar. Palupi kemudian berkata lagi .
"Akh, adik yang baik! Rupanya engkau tidak juga menyadari ancaman bahaya dikemudian hari. Sebaliknya engkau bersikap seperti seorang pahlawan hendak melindungi diriku. Kenapa engkau begitu baik kepadaku?"
Ucapan Palupi yang terakhir ini dinyatakan dengan penuh perasaan, sehingga hati Lingga W isnu terpengaruh karenanya. Halus budi pekerti gadis dusun ini, p ikirnya. Oleh pikiran itu, ia menyahut dengan penuh terima kasih.
"Ayunda, bukan aku yang memperhatikan keselamatanmu. Tetapi sebaliknya, engkaulah yang sangat memperhatikan keselamatanku, sehingga siap melindungiku semenjak tadi."
Ia sebentar menunda untuk mengesankan kata-katanya itu. Kemudian melanjutkan.
"Berkat perlindunganmu, aku lolos dari bahaya. Ayah-bunda selalu berkata kepadaku, bahwa kebajikan orang hidup ini harus baik kepada orang yang berbuat kebaikan kepada kita. Karena itu sudah wajar pula, kalau aku memandangmu sebagai sahabat sejati."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, Palupi nampak girang bukan main. Katanya menegas .
"Benarkah engkau sudi menganggapku sebagai sahabatmu?"
Ia lalu tertawa manis. Manis sekali. Meneruskan.
"Kalau begitu, biarlah aku menolong selembar jiwamu terlebih dahulu ..."
"Apa?"
Lingga W isnu heran.
"Coba nyalakan dulu lentera ayunda Roha."
Perint ah Palupi. Kemudian ia menebarkan pandangnya sambil bertanya.
"Haii Mana lentera tadi?"
Ia membungkuk mencari-cari lentera Roha yang ketinggalan. Tetapi karena gelap, tak dapat ia menemukannya.
"Bukankah dalam sakumu masih ada lilin?"
Lingga W isnu mengingatkan.
"Kau mau mati?"
Kata Palupi dengan tertawa, serta masih tetap membungkuk mencari lenteranya Roha. Berkata meneruskan.
"Lilin itu kubuat dari bahan kembang Bandjrarinonce. Haai Ee, inilah dia !"
Oleh ketekunannya, akhirnya ia dapat menemukan juga lentera itu yang segera dinyalakan.
Sesudah mendengar pembicaraan antara suami isteri Janggel-Roha, dan Panjisangar, Lingga W isnu tahu bahw a bunga Badjrarinonce pastilah merupakan bunga beracun yang sangat dahsyat.
Pada saat itu oleh cahaya lentera, Lingga W isnu melihat Panjisangar masih menggeletak di atas tanah seperti mayat.
Dan melihat keadaan Panjisangar, tiba-tiba Lingga W isnu jadi mengerti sebab-musababnya.
Terus saja ia berseru tertahan .
"Akh! Sekarang barulah aku mengerti. Jika aku tadi tidak semberono menerjang keluar tak keruan macam, pastilah suami-isteri Janggel dan Roha akan dapat kau taklukkan pula."
Palupi tersenyum, agaknya ia puas mendengar katakata Lingga W isnu. Katanya .
"Tetapi kelakuanmu tadi karena terdorong oleh maksud yang sangat baik. Adik yang baik, biar bagaimanapun juga aku merasa berhut ang budi kepadamu."
Lingga W isnu menatap gadis dusun yang bertubuh kurus-kering itu dengan perasaan kagum berbareng malu.
Pikirnya didalam hati .
'Umurnya paling banyak terpaut lima t ahun denganku.
Akan tetapi ot aknya yang penuh tipu-tipu daya, seratus kali lipat dari pada aku.
Kukira aku sudah berotak lumayan, tak tahunya dia jauh melebihi aku.' W alaupun merasa tidak berarti apabila d ibandingkan dengan kecerdasan gadis itu, tetapi sesungguhnya Lingga W isnu sendiri memiliki otak yang cemerlang pula.
Dengan sekali melihat ia dapat menebak sebab-sebab Panji sangar jatuh tak berkutik di atas tanah.
Hal itu disebabkan karena sesungguhnya lilin yang dinyalakan Palupi mengandung racun yang hebat.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Asapnya tidak berbau dan tidak berwarna.
Hal itu membuktikan betapa pandai Palupi mengelabui orang.
Jangan lagi manusia biasa.
Sedangkan suami-isteri Roha dan Janggel serta Panjisangar yang terkenal sebagai ahli racun, masih dapat diingusi terang-terangan.
Dengan demikian, apabila Lingga W isnu tidak semberono, dalam waktu yang cepat suami-isteri itu beserta Panjisangar akan roboh tak berkutik dengan sendirinya.
Akan tetapi sebelum suami-isteri Jenggel dan Roha dirobohkan dengan hawa racun itu, mereka tadi sudah menyerang dengan pukulan-pukulan kilat yang sangat hebat.
Maka kemungkinan besar sebelum mereka roboh, Palupi pun akan kena malapetaka terlebih dahulu.
Oleh pertimbangan itu, Lingga W isnu tidak mau terlalu menyalahkan diri sendiri.
Akan tetapi Palupi rupanya dapat menebak pikiran bocah itu.
Katanya sabar .
"Adik yang baik, coba pukul pundakku dengan tanganmu."
Lingga W isnu tak mengerti maksud gadis dusun itu.
Akan t etapi karena percaya bahwa gadis itu mempunyai rencana tertentu yang berada di luar dugaannya sendiri, segera ia memukul pundak Palupi dengan jari t angannya.
Dan begitu ujung jarinya menyentuh pundak Palupi, jarijari Lingga Wisnu mendadak terasa panas seperti terkena bara.
Tak sekehendaknya sendiri bocah itu melompat mundur menjauhi beberapa tindak.
Palupi t ertawa geli.
Katanya .
"Nah, engkau rasakan sekarang. Begitulah, apabila mereka menghantam diriku dengan sekuat t enaga, akan roboh begitu menyentuh pakaianku."
"Benar-benar hebat dan berbahaya!"
Kata Lingga W isnu kagum sambil memijit-mijit jari-jarinya.
"Racun apa yang kau gunakan?"
"Sebenarnya bukan racun luar b iasa. Hanya campuran bubuk ular hijau dan ular welang yang kucampurkan dengan bubuk ketonggeng biru,"
Jawab Palupi dengan sederhana. Dengan pertolongan cahaya lentera, Lingga W isnu melihat betapa jari-jarinya melepuh dengan mendadak. Katanya.
"Akh, masih untung aku tadi tidak menyentuh pakaianmu!"
"Adik yang baik,"
Kata Palupi dengan suara mohon maaf.
"Aku bukan bermaksud hendak menyakiti dirimu. Maksudku hanyalah agar engkau selalu berhati-hati dan waspada menghadapi saudara seperguruanku dikemudian hari. Dalam ilmu kepandaian, mereka jauh ketinggalan darimu. Tetapi lihatlah telapakan tanganmu, yang tadi kau gunakan untuk menangkis pukulan mereka."
Lingga W isnu mengamati tangan kirinya. Tetapi tidak melihat sesuatu yang luar biasa.
"Coba dekatkan kemari,"
Kata Palupi sambil mengangsurkan lenteranya. Dan begitu mendekatkan tangannya pada lentera, Lingga W isnu terkejut. Pada saat itu ia melihat telapakan tangannya bergaris-garis hitam. Serunya tak mengerti .
"Apa ini? Apa aku kena racun?"
"Hmm!"
Dengus Palupi.
"Apa kau kira murid Ki Sarapada t idak mempunyai ilmu pukulan beracun?"
"Akh ! "
Lingga W isnu terkejut berbareng heran.
"Kalau begitu, orang yang menyebut dirinya Ngesti Tunggal, sesungguhnya Ki Sarapada yang tulen. Tetapi kenapa kalian saudara-saudara seperguruan saling bertengkar?"
Palupi tidak menjawab.
Ia hanya menghela napas.
Kemudian ia mencabut tusuk kondenya yang t adi dipakai untuk memantek kertas tulisan Ki Sarapada yang terkait oleh paku beracun Panji sangar di pohon.
Kemudian ia memasukkan kedua benda itu ke dalam sakunya.
Dan waktu itu huruf huruf yang bercahaya pada surat pertama sudah lenyap.
"Apakah ayunda yang menulis sama surat-surat itu?"
Tanya Lingga W isnu.
"Benar,"
Sahut Palupi.
"Guru nampaknya sayang benar kepada kangmas Panjisangar pada masa mudanya. Hal itu terbukti dengan banyaknya tulisan kangmas Panjisangar yang terdapat dalam kumpulan naskah dalam peti peninggalan guru. Umpamanya catatan- catatan mengenai nama-nama kembang, tumbuhan dan ramuannya. Dengan demikian aku paham benar akan bentuk tulisannya dan itulah sebabnya dapat aku meniru bentuk hurufnya. Akan tetapi aku belum berhasil dengan sempurna, karena melupakan pengucapan hatinya."
"Tentu saja engkau tidak dapat meniru dengan sempurna, karena watakmu dan tabiatnya."
Potong Lingga W isnu cepat.
"Ayunda seorang jujur dan bersih hati. Sebaliknya kakakmu Panjisangar penuh dengan fitnah, kekejian dan kelicikan.
"
Palupi tidak membenarkan ataupun membantah, ia berdiam sejenak. Kemudian meneruskan.
"Surat wasiat guru ditulis dengan larutan tawas. Orang harus memanggang terlebih dahulu di atas api, apabila hendak membacanya. Kemudian setelah aku melakukan percobaan percobaan maka aku mengaduknya dengan sumsum harimau dan bubuk cacing phospor. Karena itu, apabila surat itu berada di dalam gelap, akan menyala sendirinya. Kau lihatlah!"
Setelah berkata demikian ia memadamkan lenteranya dan benar saja tulisan yang berada diatas kertas lantas bercahaya mengkilat.
Dan begitu lentera dinyalakan kembali sehingga kegelapan malam dikalahkan o leh cahaya lent era, nyala huruf-huruf itu lantas lenyap tak kelihatan lagi.
Dengan demikian pada kertas itu terdapat dua bentuk tulisan.
Yang pertama tulisan Palupi yang terbaca apabila keadaan terang.
Dan yang kedua tulisan Ki Sarapada yang terbaca apabila keadaan gelap pekat.
Sebenarnya hal itu sangat sederhana saja.
Baik Panjisangar maupun Janggel dan Roha pasti mengerti pula rahasia demikian.
Akan tetapi mereka tadi sedang bertempur mati-matian, sehingga kaget bukan main begitu melihat tulisan gurunya yang muncul dengan mendadak di pohon.
Sudah begitu mereka terperanjat lagi dengan munculnya Palupi setelah menyalakan lilinnya.
Mereka bertiga yang memusatkan seluruh perhatiannya kepada persoalan kitab sakti warisan gurunya, sedikitpun tidak sadar bahw a waktu itu adik seperguruannya sedang menebarkan hawa beracun melalu i lilinnya.
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Pendekar Bloon Karya SD Liong Telapak Emas Beracun -- Gu Long