Pertarungan Terakhir 1
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM Bagian 1
Pertarungan Terakhir Karya dari Saini KM
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ SERI KESATRIA HUTAN LARANGAN ~ Bara Dendam Menuntut Balas ~ Karya . Saini KM Sbook Oleh Manise di Dimhad Website Ebook oleh . Dewi KZ
http.//kangzusi.com/ atau
http.//
http.//dewikz.byethost22.com/ Synopsis .
Menggabungkan diri pada gerombolan penjahat si Colat merupakan pilihan yang masuk akal bagi Banyak Sumba.
Sebagai musuh kerajaan, gerombolan si Colat diburu oleh pasukan puragabaya.
Dengan begitu, Banyak Sumba berharap bisa bertemu Pangeran Anggadipati dan membalaskan kematian kakaknya.
Selain itu,dia juga bisa belajar kesaktian si Colat yang konon setara dengan para puragabaya itu.
Akhirnya, Banyak Sumba memang berhasil bertemu kembali dengan Pangeran Anggadipati.
Sudah lama Banyak Sumba menantikannya.
Dendam kesumat yang berlipat-lipat sudah demikian memuncaknya hingga tak sanggup lagi ditahankan.
Darah yang tertumpah harus dibayar dengan darah.
Nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Akankah dendam Banyak Sumba terlunaskan dalam pertarungan terakhirnya? Bagaimana pula kisah cintanya dengan Emas Purbamanik yang tertahan oleh dendam yang belum terlunaskan? Komentar .
"Karya Saini K.M. ini memiliki orisinalitasnya sendiri." Jakob Sumardjo akademisi dan pengamat sastra "Saya merasakan adanya penceritaan yang mengalir tenang, sabar, dan matang yang pada gilirannya menjelma kejernihan." Seno Gumira Adjidarma, pertulis dan jurnalis Biodata Singkat Penulis . Saini K.M. dilahirkan di Sumedang pada 16 Juni 1938. la merupakan salah satu pemrakarsa berdirinya Jurusan Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, la pernah memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sayembara yang diadakan oleh Direktorat Kesenian Depdikbud, penghargaan sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Anugeiah Sastra dari Yayasan Forum Sastra Bandung pada 1995, dan penghargaan SEA Write Award pada 2001. Isi Buku . Bab Kesempatan Bab Si Rambeng Bab Diikuti Orang-Orang Tak Dikenal Bab Tidak Jadi Digantung Bab Aki Gombal Tukang Pantun Bab Padepokan Sirnadirasa Bab Raden Madea Calon Puragabaya Bab Hampir Tersesat Bab Kesasar ke Padepokan Tajimalela Bab 10 Bersepakat dengan Si Colat Bab 11 Penyesalan Bab 12 Malakal Maut Bab 13 Jasik Bab 14 Burung Senja Bab Kesempatan Banyak Sumba memandang wajah Pangeran Anggadipati beberapa lama, hatinya terhenyak. Kebencian dan dendam yang disangkanya akan meluap dan mengguncangkan jiwanya, ternyata tidak dirasakannya. Hatinya kosong. Kalaupun ada perasaan, hanyalah perasaan duka-cita. Ia ragu- ragu dan tidak percaya, mana mungkin seorang kesatria yang begitu halus, yang dari wajahnya memancarkan sifat pendeta dan ketenteraman jiwa, dapat menjadi pembunuh keji seperti yang digambarkan oleh pembawa berita ke Kota Medang? Akan tetapi, hatinya berkata pula, justru siluman sering menempati hati orang yang tidak disangka-sangka. Dengan mempergunakan orang-orang yang tidak disangka-sangka seperti itu, siluman dapat menimpakan malapetaka yang sebesar-besarnya kepada manusia. Jadi, mengapa harus ragu- ragu? Banyak Sumba bermaksud mengeraskan hati, ia tidak mau lagi memandang wajah Pangeran Anggadipati. Ia memandang ulu hati puragabaya itu, ulu hati yang akan dijadikan sasaran pisau beracun yang ada di pinggangnya. Tetapi, matanya tertarik oleh Putra Mahkota. Banyak Sumba terpukau melihat wajah Putra Mahkota yang sangat bermuram durja itu. Di samping itu, tampak Putra Mahkota sangat pucat dan lemah. Teringatlah Banyak Sumba akan cerita orang-orang bahwa Putra Mahkota di samping mengelilingi kerajaan untuk menyampaikan belasungkawa kepada rakyat, beliau pun berpuasa. Beliau beriktikad mengunjungi seluruh kuil yang ada di kerajaan, seandainya hujan tidak turun juga. Melihat wajah Putra Mahkota yang sedang tersenyum dan melambai-lambaikan tangan, mendengar rakyat yang berseru- seru bahagia karena dapat melihat wajah.junjungannya, mencairlah tekad Banyak Sumba. Ia termenung dan terharu. Rasa kasih sayang meluap dari hatinya. Ia ragu-ragu sejenak. Tidak disadarinya, ia kemudian berseru-seru seperti rakyat yang lain.
"Hidup Putra Mahkota! Hidup Pajajaran!"
Dengan Jasik dan Arsim, Banyak Sumba bertemu di suatu tempat yang telah dijanjikan, yaitu di bawah benteng yang bersemak.
Jasik dan Arsim sudah menumpuk jerami agar Banyak Sumba tidak akan cedera jika melompat dari atas benteng.
Ternyata, Banyak Sumba tidak perlu turun melompati benteng.
Ia datang menemui kedua orang panakawannya melalui pintu gerbang kota.
Melihat kedatangannya tidak menurut rencana, kedua orang panakawan itu memandangnya penuh tanda tanya.
"Saya menangguhkan rencana itu, Sik,"
Kata Banyak Sumba dengan nada minta maaf. Panakawannya tidak berkata apa-apa, mereka tetap memandang kepadanya, seolah-olah meminta penjelasan. Banyak Sumba terdorong untuk berkata.
"Saya tidak dapat melakukan pembunuhan selagi Putra Mahkota berada di sini. Sang Hiang Tunggal akan mengutukku, seandainya upacara suci dinodai dengan darah. Apa pula kata orang tentang keluargaku, seandainya sampai kulakukan pembunuhan yang keji itu,"
Katanya.
Mendengar penjelasan itu, kedua orang panakawannya tetap membisu.
Arsim melihat ke langit, sementara Jasik menunduk, memerhatikan rerumputan.
Sikap mereka itu dirasakan oleh Banyak Sumba sebagai sikap menyesali.
Ia malu karena sebelumnya begitu panjang lebar menerangkan rencana pembunuhan itu.
Di samping itu, betapa berkobar- kobar cara ia menerangkan rencana itu.
Karena itu, Banyak Sumba terdorong untuk menambahkan penjelasan lagi.
"Di samping itu,"
Katanya.
"saya tak sampai hati melakukan serangan secara licik, Sik, Kang Arsim, betapapun kejinya Anggadipati. Sebagai kesatria, kita harus menghadapinya secara kesatria. Saya malu oleh diri sendiri kalau harus membunuh sembunyi-sembunyi, mempergunakan pisau beracun, lalu melarikan diri seperti pengecut. Oleh karena itu, saya putuskan menangguhkan rencana dan membuat rencana lain yang pantas bagi kehormatan wangsa Banyak Citra. Saya akan melakukan hal itu, walaupun tentu akan memakan waktu lebih lama daripada kalau saya membunuh Anggadipati dengan pisau beracun ini,"
Katanya sambil memegang ikat pinggangnya yang lebar itu.
Ia teringat bahwa saat hendak mencabut pisau dan melemparkannya, ia tidak berpikir tentang kelicikan atau kehormatan seorang kesatria, tetapi ia silau oleh sorot wajah Pangeran Anggadipati yang begitu agung dan mulia.
"Kalau begitu, marilah kita pulang saja dahulu,"
Kata Arsim.
Akhirnya, mereka bertiga menuntun kuda masing-masing, menyusuri sungai kecil yang melingkari benteng di tempat itu.
Di suatu tempat, Banyak Sumba berhenti.
Kedua orang panakawannya pun berhenti.
Banyak Sumba mengambil pundi-pundi dari balik bajunya.
Dibukanya tutup pundi-pundi itu, lalu dilemparkannya ke sungai.
Tiba-tiba, suatu hal yang aneh terjadi.
Air dari tempat jatuhnya pundi-pundi itu bergejolak, dan naiklah uap berwarna nila.
Air menjadi kehitaman.
Ikan-ikan kecil bergelepar dan mati, demikian juga yang besar-besar, menggeliat-geliat kemudian terapung.
Melihat kejadian itu, melongolah Jasik dan Arsim.
Banyak Sumba tertegun sejenak, kemudian berkata.
"Isi pundi-pundi itu terkutuk, diambil oleh tukang-tukang tenung dari sungai-sungai Buana Larang, tempat para siluman memandikan tubuh mereka yang busuk,"
Katanya.
Para panakawan memandang kepadanya.
Tidak seorang pun mengatakan apa-apa.
Kejadian-kejadian yang aneh dan hebat biasa berlaku pada anggota-anggota wangsa Banyak Citra yang termasyhur itu.
Tak lama kemudian, mereka pun telah berada di atas pelana kuda masing-masing, lalu memacunya ke arah selatan menuju Perguruan Gan Tunjung.
Sepanjang jalan itu, Banyak Sumba tidak berkata-kata.
Pikirannya dipenuhi oleh masalah yang makin lama makin mencekamnya.
Makin jelas bahwa masalah yang dihadapinya bukanlah bagaimana ia harus berusaha menjadi pendekar yang tangguh dan dapat mengalahkan seorang puragabaya.
Untuk itu, ia bertekad menambah ilmunya dan keyakinan serta kepercayaan akan kemampuan dirinya makin baik.
Ia tidak takut melawan siapa pun.
Akan tetapi, ternyata, ia berulang-ulang menghadapi kebimbangan.
Kebimbangan itu mencapai puncaknya pada saat yang sangat penting.
Ia tidak dapat melaksanakan tugasnya ketika kesempatan untuk membunuh Anggadipati tiba.
Itu bukanlah disebabkan ia takut, tetapi ada sesuatu yang menyebabkannya bimbang.
Ada masalah-masalah yang tidak dapat dijawabnya, dan itulah sebabnya ia termenung.
Setelah mereka tiba di Perguruan Gan Tunjung, Banyak Sumba masih tetap tidak banyak berbicara.
Rupanya, Jasik melihat kemurungan Banyak Sumba.
Ia mendekat dan bertanya.
"Raden bersusah hati, apakah saya dapat menolong Raden? Walaupun saya tidak cerdas, biasanya saya punya cara lain yang dapat Raden pergunakan."
"Ya, Sik. Kautahu, saya bukanlah penakut. Tetapi ketika saya melihat Anggadipati mendekat, seolah-olah ada cahaya yang menyilaukan mata hati saya. Saya menghindari sorot wajahnya dan hanya melihat sasaran pisau saya. Namun demikian, saya masih juga tidak dapat bertindak. Putra Mahkota yang ... juga saya sayangi, walaupun saya baru melihatnya juga menolong nyawanya. Saya tidak menganggap bahwa Anggadipati memiliki kesaktian atau hal-hal gaib yang melindunginya. Saya menganggap, diri saya yang memiliki cacat. Kau tahu saya bukan penakut, tetapi saya bimbang ketika itu."
"Apa rencana Raden sekarang?"
Tanya Jasik.
"Saya tidak tahu, Sik. Saya akan kembali ke kampung si Gojin mengembalikan kuda kepada Aria Banga. Selanjutnya, mungkin saya akan mencari tempat yang baik untuk bertapa, untuk menemukan jawaban dari pertanyaan saya. Saya akan memohon petunjuk kepada Sang Hiang Tunggal."
"Raden, ada tugas yang pasti tidak menimbulkan keragu- raguan Raden. Siapa pun akan sependapat bahwa abu Kakanda Jante adalah hak wangsa Banyak Citra. Itulah sebabnya, kita dapat memulai tugas kita dari yang ringan itu. Soal Anggadipati, kita tangguhkan dahulu. Soalnya... sudah hampir tiga tahun kita mengembara."
"Benar, Sik. Saya sependapat denganmu. Tetapi saya akan tetap gelisah kalau pertanyaan-pertanyaan saya tidak terjawab. Saya akan pergi dulu kepada si Gojin. Saya akan bersemedi di dalam hutan, kemudian segera kembali ke sini. Rencana yang pertama adalah mengambil abu Kakanda dan kita dapat kembali ke Kota Medang, meminta restu Ayahanda untuk melakukan tugas selanjutnya. Tugas yang pertama adalah belajar, kedua membalas dendam dan membela kehormatan keluarga."
"Tidakkah Raden kekurangan biaya?"
Tanya Jasik sambil memegang pinggangnya, tempat dia menyimpan uangnya.
"Tidak Sik, saya dapat berhemat di luar Kota Kutaba-rang. Barangkali, pada masa-masa yang akan datang, saya akan perlu bantuanmu. Simpanlah uang itu."
"Baik, Raden. Kita akan segera pergi ke Pakuan untuk mengambil abu Kakanda Jante,"
Lanjut Jasik.
Banyak Sumba tahu bahwa Jasik sudah rindu sekali untuk pulang.
Ia pun lebih sangat rindu.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Banyak Sumba berangkat seorang diri menuju kaki Gunung Mandalagiri, ke kampung si Gojin.
Ketika ia tiba di kampung si Gojin keesokan harinya, hari telah senja.
Diucapkannya terima kasih kepada Raden Aria Banga yang telah meminjamkan kudanya, lalu ia beristirahat.
Pagi-pagi keesokan harinya, ia berlatih seperti biasa.
Sementara itu, ia pun bertanya kepada para petani yang ditemuinya, apakah mereka mengetahui padepokan atau pertapaan yang dapat dikunjunginya.
Banyak keterangan yang diterimanya, tetapi umumnya tempat orang-orang berilmu itu sangat jauh.
Bahkan, banyak yang berada di luar wilayah Kuta-barang.
Ia pun merencanakan untuk pergi ke Kutabarang, lalu dengan Jasik berangkat ke Pakuan Pajajaran.
Menurut berita, abu Kakanda Jantejaluwuyung disimpan di sana.
la bermaksud mengambil abu itu, lalu kembali ke Kota Medang untuk menengok keluarga yang sangat dirindukannya.
Selama perjalanan, akan dicarinya keterangan-keterangan tempat pertapa yang termasyhur bijaksana dan dapat menjawab rahasia hati manusia.
Rencananya itu ternyata tidak dapat dijalankannya.
Keesokan harinya, suatu peristiwa terjadi di kampung si Gojin.
Pagi-pagi sekali terdengar suara si Gojin mencaci-maki dan menantang.
Banyak Sumba segera keluar dari gubuknya, lalu berdiri di depan serambi.
Si Gojin bertolak pinggang, menghadapi tiga orang asing yang baru tampak hari itu.
Di antara ketiga orang pendatang itu, seorang sudah sangat tua berpakaian perjalanan yang terdiri dari pangsi dan salontreng nila.
Dari pakaiannya itu, Banyak Sumba tidak dapat menduga, apakah orang tua itu seorang petani atau seorang pendeta.
Dua orang yang lain sangat mudah diperkirakan.
Mereka yang sangat muda ini berpakaian seperti santri-santri padepokan.
Mereka mengenakan salontreng putih, celana pangsi, serta sarung terikat di pinggang.
Ketiga orang itu mengenakan terompah yang sama potongannya, yaitu terompah kulit kasar yang tidak disamak dan tanpa hiasan apa-apa.
Perhatian Banyak Sumba terhadap ketiga orang pendatang itu tidak terputus karena si Gojin berteriak.
"Kalian tidak dapat memaksa aku menyuruh Raden Aria Banga pergi dari sini. Ia datang ke sini dengan kehendaknya, ia akan kubiarkan pergi dari sini kalau dia menghendaki."
"Saya mendapat keterangan dari ayah orang muda itu, kau mendapatkan keuntungan karena adanya Raden Aria Banga di sini,"
Kata orang tua itu dengan tenang.
"Apa pedulimu? Ia datang ke sini karena tertarik oleh ayam-ayamku. Kalau dia membeli ayam itu, aku menjual dengan harga yang disetujui bersama."
"Kau tahu Raden Aria Banga masih sangat muda. Engkau tidak berhak mengambil kesempatan dari kemudaannya. Orang muda belum dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Engkau tidak boleh mempergunakan kelemahan anak muda itu demi kepentingan sendiri. Oleh karena itu, izinkan kami membawanya pulang,"
Kata orang tua itu, tetap tenang.
"Ia tidak mau pulang dan menyuruhku menghadapi kalian."
"Kami diminta oleh ayahnya untuk memaksa dia pulang, kalau perlu,"
Kata orang tua itu. Kedua orang pengiringnya diam saja.
"Ia mewakilkan kepadaku, juga untuk dipaksa kalau perlu,"
Kata si Gojin sambil tertawa.
"Kalau perlu, kami pun akan memaksamu untuk melepaskan Raden Aria Banga,"
Kata orang tua itu, tidak disangka-sangka.
Si Gojin tertegun, lalu tertawa.
Ia bertolak pinggang, kemudian tertawa kembali.
Orang tua itu melangkah ke arahnya, walaupun gerakannya halus, tampak sekali ia tidak takut kepada si Gojin.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua itu berjalan menuju si Gojin.
Setelah berdekatan, ia memandang mata si Gojin.
Si Gojin bingung, kemudian tertawa kembali, walaupun tidak sekeras sebelumnya.
Tiba-tiba, si Gojin menangkap leher orang tua itu.
Tapi entah bagaimana, dengan secepat kilat, si Gojin telah terbaring.
Si Gojin segera bangun.
Ketika bangun, ia melihat Banyak Sumba.
Setelah berdiri kembali, si Gojin bersiap.
Rupanya, ia sangat marah dan malu dengan Banyak Sumba.
Dari sikap kakinya, Banyak Sumba tahu bahwa si Gojin bermaksud memukul orang tua itu sampai mati.
Akan tetapi, orang tua itu dengan cepat maju, dan kedua tangannya memegang tangan si Gojin.
Ia tidak memegang dengan seluruh jarinya melingkar, tetapi melekatkan kedua tapak tangannya pada kedua tangan si Gojin.
Si Gojin mengibaskan kedua tangan itu dengan keras ke samping Tiba-tiba, ia terjatuh kembali dan telentang.
Ia segera bangkit dan menghambur, menubruk orang tua itu.
Orang tua itu menggerakkan tangannya sedikit, sambil memindahkan kedua tapak kakinya.
Si Gojin melesat lalu tersungkur, kira-kira tiga langkah di belakang orang tua itu.
"Lebih baik kaukatakan kepada Raden Aria Banga agar dia mengikuti kami, pulang ke Kutabarang."
"Tidak!"
Seru si Gojin.
Ia bangkit, sambil terengah-engah bersiap-siap kembali melakukan serangan.
Orang tua itu diam saja.
Si Gojin mendekat, mengembangkan kedua tangannya hendak menangkap orang tua itu.
Banyak Sumba dapat meramalkan, si Gojin akan mengambil keuntungan dari tenaganya yang besar.
Si Gojin tentu bermaksud menangkap orang tua itu, lalu mengangkat dan membantingnya.
Serangan itu akan sukar sekali dihindarkan.
Si Gojin adalah orang yang tinggi dan besarnya hampir dua kali tinggi orang tua itu.
Akan tetapi, orang tua itu tenang saja dan tidak menghindarkan diri, walaupun si Gojin makin lama makin dekat.
"Seru ibu-bapakmu yang ada di Buana Larang, hai Tua Bangka!"
Seru si Gojin.
Ketika dilihatnya orang tua itu tidak bergerak, tampak si Gojin bimbang.
Ia mendekat, mendekat.
Lalu ditangkapnya leher orang tua itu.
Tangan si Gojin mulai mengeras, orang tua itu meraba tengkuknya.
Kemudian, ia memegang kelingking si Gojin dan melipatnya ke belakang.
Si Gojin terpaksa melepaskan pegangannya dan mencoba memukul dengan sisi tangan kanannya yang masih bebas.
Orang tua itu mengendalikannya dengan terus melipat kelingking si Gojin dan mengikuti gerak lengan si Gojin yang hendak melepaskan kelingkingnya.
Mereka melingkar-lingkar sejenak, kemudian si Gojin jatuh kembali.
Banyak Sumba tidak tahu dengan cara apa orang tua itu menjatuhkan si Gojin.
"Sekarang, suruh Raden Aria Banga keluar,"
Kata orang tua itu. Si Gojin tidak menjawab. Dengan terengah-engah, ia duduk di tanah sambil memegang kelingking tangan kirinya.
"Suruh dia keluar,"
Kata orang tua itu.
"Tidak, Tua Bangka!"
Seru si Gojin, mendelik.
"Bawa keluar dia, Anak-anak!"
Kata orang tua itu kepada kedua anak muda yang mengiringnya.
"Awas kalau berani!"
Seru si Gojin.
Santri-santri itu melangkah ke gubuk terbesar tempat tinggal Aria Banga.
Mereka tidak perlu masuk karena Raden Aria Banga keluar.
Tampak ia menyerah kepada suruhan-su- ruhan ayahnya.
Ketika Banyak Sumba masih terpukau, keempat orang itu telah pergi meninggalkan kampung si Gojin.
Banyak Sumba tidak rrienunggu mereka menghilang dari pandangannya untuk segera bersiap-siap mengikuti rombongan itu.
Ia mengambil barang-barangnya yang sedikit, lalu berjalan ke arah si Gojin.
Banyak Sumba berkata.
"Paman, saya sudah cukup lama belajar kepada Paman dan saya beranggapan sudah dapat menguasai apa yang Paman ajarkan kepada saya. Saya mengucapkan terima kasih dan menyatakan rasa utang budi yang sebesar-besarnya. Saya pun ingin menyampaikan pernyataan terima kasih itu secara perlambang karena sebenarnya saya tidak akan dapat membayar utang budi itu."
Sambil berkata demikian, Banyak Sumba menyodorkan sepasang pakaian hitam yang terbuat dari sutra Katai.
Ia pun memberikan beberapa keping uang emas dalam kantong kecil yang terbuat dari kulit halus yang disamak.
Si Gojin memandangnya sebentar, tampak wajahnya kelam.
Kemudian, ia menarik napas panjang, tersenyum.
Ia menerima pemberian itu sambil menepuk-nepuk bahu Banyak Sumba.
"Kau murid yang tabah dan tangguh, Raden,"
Katanya.
Banyak Sumba segera mohon diri, lalu bergegas meninggalkan lawang kori kampung kecil itu.
Samar-samar tampak rombongan yang hendak dikejarnya.
Banyak Sumba pun berlari mengejar empat orang penunggang kuda yang melarikan kudanya perlahan-lahan karena harus melalui jalan- jalan sempit dan naik-turun lembah-lembah kecil di kaki Gunung Mandalagiri.
Bab Si Rombeng Banyak Sumba berlari dan terus berlari.
Ia berharap dapat mendekati para penunggang kuda itu hingga dapat memanggil mereka.
Ia akan meminta untuk diterima sebagai siswa kakek- kakek itu dan menanyakan tempat tinggalnya.
Akan tetapi, ia kelelahan.
Betapapun lambatnya penunggang kuda melarikan kuda mereka, jalan di semak-semak itu sukar dilalui.
Banyak Sumba menghadapi banyak sekali hambatan.
Untung, suatu ketika, para penunggang kuda itu berhenti.
Ternyata mereka sudah tiba dijalan besar yang bercabang ke dua arah.
Satu arah ke utara, menuju Kutaba-rang, arah lain ke selatan menuju ke daerah berhutan.
Banyak Sumba mempercepat larinya.
Para penunggang kuda itu bergerak kembali.
Penunggang kuda yang muda-muda ke utara, sementara orang tua itu ke selatan.
Banyak Sumba hampir putus asa, tetapi terpikir olehnya suatu gagasan.
Jalan ke selatan itu lengang dibandingkan dengan ke utara.
Artinya, tidak akan banyak jejak kuda di jalan itu.
Banyak Sumba dapat membuntuti kakek-kakek itu dengan mengikuti jejak kudanya.
Kalau perlu, ia akan melupakan kelelahannya dan terus mengikuti jejak kuda itu hingga ia dapat menemukan kuda yang dapat dibelinya.
Dengan timbulnya gagasan itu, bangkit kembalilah semangatnya.
Ia mulai berjalan di jalan besar itu seraya memandang ke arah kakek-kakek yang mulai menghilang di belokan.
Sepanjang hari, Banyak Sumba berjalan.
Ia tidak menghiraukan kelelahannya.
Sambil berjalan, ia berulang- ulang menundukkan kepala mengawasi jejak kaki kuda yang jelas di atas jalan berdebu itu.
Sambil terus melangkah, ia berdoa, mudah-mudahan ia dapat menemukan kampung besar agar dapat membeli atau meminjam kuda.
Ia terus berjalan hingga hari bertambah panas.
Pada suatu ketika, ia terkejut.
Ia kehilangan jejak kuda itu.
Ia bingung sebentar, lalu kembali tergesa-gesa.
Ternyata, kakek-kakek itu membelok ke kiri, memasuki semak-semak, kemudian melintasi sungai kecil dan masuk ke hutan.
Banyak Sumba bimbang sejenak.
Kalau ia terus berjalan dan kemalaman di hutan yang tidak dikenalnya, mungkin ia akan menghadapi bahaya.
Siapa tahu hutan itu dihuni oleh binatang-binatang buas yang sukar dihindari, seperti ular sanca.
Hal seperti itu sangat mungkin karena Banyak Sumba melihat kedua sungai yang diseberangi berawa-rawa.
Di sana pun dilihatnya banyak sekali jejak babi hutan dan bin&tang lainnya.
Di tempat-tempat seperti itu, biasanya hidup ular-ular besar yang sukar dilawan.
Kalau kakek-kakek itu masuk hutan, mungkin karena ia mengambil jalan pintas.
Dengan berkuda, kakek-kakek itu mungkin akan sampai ke daerah yang lebih aman selagi hari masih siang.
Lain halnya dengan Banyak Sumba yang berjalan kaki.
Ia mungkin akan kemalaman di hutan berawa-rawa yang berbahaya itu.
Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuatnya bimbang.
Akhirnya, ia mengambil keputusan.
Ia akan memasuki hutan itu.
Kalau diperkirakan hutan itu luas dan tidak dapat ditembus sebelum senja, ia akan kembali ke jalan besar atau ke daerah yang lebih aman.
Ia pun berjalan kembali.
Ternyata, ketika mengikuti jejak kuda itu, ia mendaki punggung gunung yang landai yang makin lama makin tinggi.
Ia merasa lega ketika menyadari hutan itu makin berubah sifatnya.-Rawa-rawa dengan sifat-sifatnya makin jauh ditinggalkan.
Ia berjalan di daerah yang kering dan bercadas-cadas.
Ia tahu bahwa daerah itu cocok sekali sebagai tempat tinggal harimau tutul, tetapi ia tidak menganggap binatang itu berbahaya.
Namun, kelegaan hatinya itu tidak lama.
Jejak kuda itu makin sukar ia temukan di antara semak-semak di tanah yang keras.
Berulang-ulang ia kehilangan jejak dan berulang-ulang pula ia harus kembali ke tempat yang telah dilaluinya.
Ia hampir putus asa ketika tiba di suatu tempat, yaitu bagian hutan yang bertebing-tebing.
"Berhenti!"
Tiba-tiba ia mendengar orang berkata.
Banyak Sumba berpaling ke arah datangnya suara itu'dan dilihatnya empat orang pemuda datang mengelilinginya.
Banyak Sumba tidak bersiap-siap, bukan saja karena pemuda-pemuda itu tidak kelihatan mengancam, tetapi ia pun tidak merasa bersalah.
"Saudara datang dari mana dan ada maksud apa?"
"Saya mengikuti seorang kakek yang menuju ke tempat ini. Saya bermaksud belajar kepadanya,"
Jawab Banyak Sumba.
"Saudara... Saudara Banyak Sumba?"
Seorang di antara pemuda itu bertanya. Banyak Sumba berpaling kepadanya.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara Girilaya!"
Seru Banyak Sumba dengan gembira seraya memegang tangan Raden Girilaya, bekas guru keperwiraan di Puri Purbawisesa. Raden Girilaya memegang bahunya dan sambil tersenyum berkata.
"Sungguh tidak saya sangka kita akan bertemu di sini!"
"Saya pun menyangka Saudara berada di Pakuan Paja- jaran,"
Ujar Banyak Sumba.
"Wah, itu cerita yang panjang, saya pergi ke sana, tetapi akhirnya terdampar di sini."
"Saya datang ke sini dengan susah payah, dengan maksud belajar kepada seorang tua yang "Oh, Eyang Resi,"
Kata seorang di antara pemuda itu.
"Kita akan membawa Saudara menghadap beliau nanti. Sekarang, marilah ke tempat saya dulu,"
Kata Raden Girilaya sambil menuntun Banyak Sumba.
Yang lain minta diri untuk kembali ke tempat masing-masing.
Raden Girilaya mengacungkan tangannya, lalu mereka berpisah.
Banyak Sumba mengikuti Raden Girilaya melewati semak- semak yang tumbuh di antara bongkah-bongkah cadas yang besar-besar.
Ternyata, di beberapa tempat di bagian gunung yang bercadas-cadas itu terdapat bangunan-bangunan kecil terbuat dari kayu dengan atap ijuk dan serasi dengan alam sekitarnya, hingga Banyak Sumba sukar melihatnya.
Setelah beberapa lama berjalan dan bertemu dengan beberapa orang kawan Raden Girilaya, mereka tiba di tempat yang agak lapang di bawah sebuah tebing yang tinggi.
Raden Girilaya menyelinap di celah cadas, lalu ia masuk ke gua diikuti Banyak Sumba.
Ternyata, gua itu cukup luas.
Di dalamnya bersih dan terang oleh cahaya yang datang dari celah-celah yang tidak kelihatan.
Sementara itu, di sudut ruangan dinyalakan sebuah lampu minyak kelapa.
Banyak Sumba melihat kotak-kotak lontar bertumpuk, kotak pakaian dari rotan, cerek air dari tanah, dan dua helai kulit kambing sebagai alas, mengilap di bawah cahaya yang datang dari luar itu.
Banyak Sumba dipersilakan duduk.
Mereka pun mulai saling bertanya tentang keadaan masing-masing, tentang pengalaman mereka, tentang Pakuan Pajajaran, dan Puri Purbawisesa.
Ternyata, Raden Girilaya tidak dapat memenuhi keinginannya untuk belajar ilmu kenegaraan di Pakuan Pajajaran.
Ia sudah terlalu tua, demikian keterangan pamannya yang ada di Pakuan Pajajaran.
Di samping itu, ia sudah cukup berilmu sebagai perwira.
Oleh karena itu, bangsawan itu menganjurkan agar dia melanjutkan pelajaran keperwiraannya.
Ia diberi nasihat untuk menjadi murid Resi Sirnadirasa, tempatnya tidak jauh dari Kota Kutabarang walaupun tidak banyak diketahui orang.
Dan, kembalilah Raden Girilaya ke Kutabarang hingga akhirnya tiba di Padepokan Sirnadirasa.
Banyak Sumba menceritakan pengalamannya sejak menggantikan Raden Girilaya sebagai pengajar ilmu keperwiraan.
Walaupun demikian, ia merahasiakan perkenalan dan hubungannya dengan Putri Purbamanik.
"Tampaknya Saudara begitu berhasrat menguasai ilmu keperwiraan, sampai Saudara tiba di tempat ini,"
Kata Raden Girilaya tersenyum.
"Seperti Saudara juga, ilmu keperwiraan adalah jalan hidup saya. Dan, saya merasa senang sekali dapat bertemu dengan Saudara di sini. Besar harapan saya untuk mendapat pertolongan Saudara agar maksud saya dapat terlaksana,"
Lanjut Banyak Sumba.
"Eyang Sirnadirasa akan senang menerima Saudara di sini. Saya akan menjelaskan semua yang saya ketahui tentang Saudara, terutama bahwa Saudara pernah bekerja di Puri Pur- bawisesa. Ada syarat yang harus dipenuhi oleh calon-calon siswa, yaitu setiap calon harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu. Akan tetapi, sumpah itu bukanlah hal yang berat karena sebenarnya setiap orang baik bersumpah demikian kepada dirinya sendiri,"
Demikian Raden Girilaya menjelaskan.
"Dapatkah saya mengetahui isi sumpah itu sekarang?"
Tanya Banyak Sumba dengan keingintahuan yang keras. Ia merasa cemas kalau sumpah yang harus diucapkan akan memaksa dia membuka rahasianya, terutama alasan dia belajar ilmu keperwiraan itu.
"Tidak banyak,"
Jawab Raden Girilaya.
"Saudara cukup menyatakan di hadapan Eyang Resi dan para siswa lain bahwa demi Sang Hiang Tunggal, Saudara tidak akan mempergunakan ilmu yang didapat dari Eyang Resi untuk kejahatan dan kepentingan diri sendiri. Saudara hanya mempergunakan ilmu itu dalam mengagungkan Sang Hiang Tunggal. Di samping itu, Saudara bersedia menerima hukuman seberat-beratnya sebagaimana yang ditetapkan oleh Dewan Perguruan, seandainya Saudara merasa berbuat salah dan melanggar sumpah Saudara sendiri."
Banyak Sumba terdiam, ia merasa gamang menghadapi sumpah itu.
Apakah ia akan sanggup mengucapkan sumpah itu tanpa bimbang? Apakah membalas dendam demi kehormatan keluarga dianggap kejahatan atau tidak? Banyak Sumba kembali menghadapi masalah yang tidak pernah dapat dijawabnya sendiri.
Ia menarik napas panjang, lalu berkata.
"Saya bersedia mengucapkan sumpah itu,"
Katanya tanpa diketahuinya apa yang mendorongnya mengatakan hal itu. Raden Girilaya tampak tidak merasakan kebimbangan Banyak Sumba karena ia terus berkata.
"Sekarang beristirahatlah dulu di sini, saya akan memberitahukan kedatangan Saudara kepada Eyang Resi,"
Katanya.
"Sungguh, saya malu oleh kebaikan Saudara,"
Ujar Banyak Sumba.
"Tak ada kebaikan saya kepada Saudara. Apa yang saya lakukan demi Sang Hiang Tunggal juga. Setiap tamu akan saya perlakukan seperti Saudara,"
Katanya sambil tersenyum.
Banyak Sumba memandang pemuda yang bangkit untuk pergi itu.
Dalam hatinya ia berkata, Raden Girilaya adalah contoh terbaik dari kesatria Pajajaran.
Ia tiba-tiba merasa terharu.
Ia tidak tahu, apakah ia cukup berharga untuk bergaul dengan kesatria-kesatria Pajajaran.
Ia tahu, dengan tugas membalas dendam yang diembannya, sukar sekali baginya untuk dapat menempatkan diri di antara mereka.
Sambil memandang berkeliling di dalam ruangan gua yang terang oleh cahaya lampu dan cahaya matahari, ia terus termenung.
Kesatria Pajajaran menyediakan dirinya untuk kepentingan kerajaan, kepentingan sang Prabu yang berarti kepentingan warga kerajaan seluruhnya.
Kepentingan kerajaan berada di atas segala-galanya bagi para kesatria seperti Raden Girilaya dan kawan-kawannya.
Akan tetapi, bagaimana kalau mereka menghadapi nasib seperti yang dihadapinya? Kalau kakak Raden Girilaya dibunuh orang dengan keji, apakah yang akan dilakukan kesatria itu? Banyak Sumba tidak dapat menjawab pertanyaannya.
Karena lelah, ia tidak berusaha menjawabnya.
MALAM itu, Banyak Sumba dibawa oleh Raden Girilaya ke tempat Resi Sirnadirasa.
Seperti juga dalam gua Raden Girilaya, di sana terdapat kotak-kotak lontar, beberapa helai kulit kambing sebagai tikar, lampu minyak kelapa yang cahayanya terang, cangkir-cangkir dari tanah dan kotak-kotak besar tempat menyimpan pakaian, senjata dan barang-barang berharga.
Eyang Resi yang berpakaian putih, sedang membaca-baca tulisan pada janur kelapa yang tergulung.
"Ketika kedua pemuda itu datang, orang tua itu mengangkat mukanya dan mempersilakan mereka masuk dan duduk dengan ramah.
"Maaf, Anak-anak, ada yang kurang jelas dalam tulisan ini,"
Katanya ketika kedua orang pemuda itu sudah duduk di atas kulit kambing yang tergelar.
"Silakan, Eyang,"
Ujar Raden Girilaya. Kemudian, Raden Girilaya berbisik, tulisan yang ada pada janur kelapa itu adalah surat yang diterima Eyang Resi dari bekas murid beliau di Pakuan Pajajaran.
"Raden,"
Tiba-tiba orang tua itu berkata kepada Girilaya.
"kita akan menerima tamu bulan depan atau akhir bulan ini. Seorang calon puragabaya berada dalam perjalanan menuju perbatasan timur kerajaan. Perwira itu bermaksud berkenalan dengan siswa-siswa di sini."
"Kami sangat senang mendengar berita itu, Eyang."
"Ya, siapa tahu kalian akan menjadi pembantu perwira itu di kemudian hari."
Aneh, hati Banyak Sumba berdebar-debar mendengar berita itu. Sementara itu, dalam hatinya dijalinlah sebuah rencana. Tapi, ia segera mendesak rencana itu ke bawah kesadarannya. Ia mulai mendengarkan kembali percakapan guru dan murid itu.
"Raden, dari mana kau datang?"
Tanya Eyang Resi kepada Banyak Sumba.
"Dari daerah Medang, Eyang Resi."
"Alangkah jauhnya!"
Seru Eyang Resi.
"Saya sudah lama tinggal di Kutabarang, Eyang Resi."
"Oh, memang banyak sekali orang Pajajaran yang menetap di Kutabarang. Ya, dari seluruh kerajaan datang ke Kutabarang dan menjadi kaya di sana. Atau, menjadi orang berilmu."
"Raden Banyak Sumba ini masih merasa kekurangan ilmu, Eyang,"
Sela Raden Girilaya.
"Bagus, ilmu tidak akan ada habisnya. Kalaupun seluruh lontar, janur, dan daun-daunan lain dikeringkan untuk dijadikan surat dan seluruh senjata diubah menjadi pisau pa- ngot, tidak akan tertuliskan ilmu yang diturunkan oleh Sang Hiang Tunggal. Jadi, janganlah kau puas, Raden."
"Saya datang ke sini karena alasan itu, Eyang."
"Baiklah, Raden Girilaya sudah menceritakan maksud Raden. Besok pagi kita laksanakan upacara itu."
Sesuai yang dijanjikan, keesokan harinya ketika matahari terbit, Banyak Sumba disumpah.
Isi sumpah tidak banyak bedanya dengan yang diceritakan Raden Girilaya.
Akan tetapi, Banyak Sumba kurang memerhatikan kata-kata dan isi sumpah itu.
Hatinya gelisah dan bimbang.
Upacara itu akhirnya selesai juga.
Siswa-siswa memberi salam kepada Banyak Sumba, menyatakan bahwa Banyak Sumba adalah saudara mereka, lebih dekat daripada saudara sekandung karena mereka bersaudara dalam penyerahan diri kepada kebaikan dan kepada Sang Hiang Tunggal.
Banyak Sumba tidak gembira oleh uluran persaudaraan ini.
Harinya bimbang dan gelisah.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Raden Girilaya yang menjadi teman seguanya membangunkan.
Tak lama kemudian, semua santri di bawah pimpinan Eyang Resi telah berlari-lari melompati cadas-cadas dan jurang-jurang sempit, mendaki punggung gunung, menuruni lembah, menaiki pohon, dan menuruni tebing dengan berpegang pada akar- akar.
Sebagai siswa baru, Banyak Sumba hampir tak dapat mengikuti mereka karena kelelahan.
Akan tetapi, kemauannya yang keras tidak mengizinkan dia menyerah.
Ia terus mengikuti kawan-kawannya.
Akhirnya, tibalah mereka di lapangan kecil di dalam hutan.
Para santri mulai berlatih dan Raden Girilaya mendekati Banyak Sumba.
Pemuda itu tersenyum.
"Saudara Sumba,"
Katanya.
"suatu yang lucu terjadi."
"Apakah itu?"
Tanya Banyak Sumba.
"Saya diberi tugas oleh Eyang Resi untuk mengajar Saudara,"
Kata pemuda itu sambil tetap tersenyum, lalu melanjutkan kata-katanya.
"Padahal, dulu Saudara dapat mengalahkan saya dengan mudah, bukan?"
Banyak Sumba tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia hanya tersenyum.
"Baiklah, saya akan mencoba memenuhi perintah Eyang Resi. Kalau saya dikalahkan, saya akan menyerahkan tugas saya itu kembali."
Kemudian, Raden Girilaya mengajak Banyak Sumba untuk bertanding.
Dalam beberapa gerakan saja, Banyak Sumba sudah terjatuh.
Raden Girilaya sudah berubah.
Ia sudah sangat maju.
Dalam pertandingan itu, tubuh dan tangan Raden Girilaya seolah-olah licin.
Pukulan-pukulan Banyak Sumba yang dilakukan dengan terkendali, semuanya meleset.
"Saya menyerah dan bersedia menjadi siswa Saudara,"
Kata Banyak Sumba sambil tersenyum dan bangkit dari rumput tempatnya terjatuh.
Ia sangat penasaran dan ingin sekali segera mengetahui rahasia ilmu dari Padepokan Sirnadirasa itu.
Ketika mereka beristirahat, mulailah Raden Girilaya menjelaskan ilmu itu.
"Dulu, saya melihat lawan sebagai benda yang menjadi sasaran pukulan dan tendangan. Setelah datang ke sini, pandangan saya berubah. Di samping sebagai sasaran pukulan dan tendangan, saya pun menganggap lawan sebagai tenaga, kekuatan, atau tekanan yang dalam perkelahian bergerak ke berbagai arah, khususnya pada tubuh kita. Kalau kekuatan ini mengenai kita, mungkin kita cedera. Sebaliknya, kalau tenaga itu tidak mengenai kita, tenaga itu akan mengganggu keseimbangan tubuh lawan. Nah, dalam keadaan tidak seimbang ini, kita menyerang lawan. Kita mendorong atau menarik ke arah mana berat badan atau tenaga lawan akan jatuh. Maka, tanpa mempergunakan tenaga banyak, kita akan menjatuhkan lawan,"
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya.
"Apakah kita tidak boleh mempergunakan pukulan?"
Tanya Banyak Sumba setelah termenung.
"bukankah dengan pukulan yang tepat mengenai sasaran, lawan akan jatuh?"
"Ya, tapi kita berkelahi tidak selalu untuk menyakiti lawan. Mungkin kita melawan seseorang hanya untuk meyakinkan dia bahwa sebaiknya dia tidak usah melawan kita. Kita harus mengasihi lawan."
Banyak Sumba termenung.
Ia tidak mengerti maksud kawan seperguruannya itu, tetapi ia diam saja.
Kemudian, ia minta diberi contoh tentang cara-cara yang diterangkan Raden Girilaya itu.
Mulailah mereka berlatih kembali, bersama dengan siswa-siswa lain.
Berulang-ulang Banyak Sumba jatuh, tetapi samar-samar ia mulai mengerti inti ilmu dari Padepokan Sirnadirasa.
Hari itu, sebelum latihan selesai dan para siswa mulai mengerjakan huma padepokan, dua kali Banyak Sumba dapat menggagalkan serangan Raden Girilaya.
Eyang Sirnadirasa yang memerhatikan mereka berlatih, berkata kepada Banyak Sumba.
"Engkau sangat berbakat, Raden, cepat sekali kau mengerti."
"Tapi, begitu sering saya jatuh, Eyang, berpuluh-puluh kali. Saya belum sanggup menjatuhkan Raden Girilaya."
"Tapi kau dapat menghindari serangannya, Raden,"
Ujar Eyang Sirnadirasa.
"Raden Sumba sangat berbakat, Eyang. Dulu, dalam dua gerakan saya dijatuhkannya dengan ilmu keras. Sekarang mulai licin, Eyang."
"Ya, Eyang melihatnya. Besok coba lagi, Raden,"
Katanya.
Dua hari, seminggu, dua minggu di padepokan itu, Banyak Sumba berlatih, semedi merenungkan ilmunya, bercakap- cakap, dan bertanya kepada siswa-siswa lain.
Akhirnya, ia jarang dijatuhkan Raden Girilaya.
Bahkan, beberapa siswa lain dapat dijatuhkannya.
Ia makin keras berlatih, makin sering termenung, memikirkan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalam latihan, la harus cepat menguasai ilmu itu, kewajiban keluarga memanggilnya.
Ia pun telah rindu kepada ayah-bunda, kakak, dan adik-adiknya.
Pada suatu hari, bertanyalah Banyak Sumba kepada Raden Girilaya.
"Saudara, kapankah seorang siswa padepokan dianggap tamat belajar di sini ?"
"Saudara Sumba, Padepokan Sirnadirasa ada hubungannya dengan Padepokan Tajimalela, tempat calon-calon puragabaya dilatih,"
Sahut Raden Girilaya. Mendengar itu, ber-debarlah hati Banyak Sumba. Akan tetapi, ia berusaha menyembunyikan apa yang terjadi dalam hatinya. Ia menunduk. Kemudian, Raden Girilaya melanjutkan penjelasannya.
"Padepokan ini bukan saja diketahui, bahkan direstui oleh sang Prabu. Siswa-siswa di sini dianggap setingkat lebih rendah daripada para puragabaya. Akan tetapi, hendaknya Saudara tidak salah mengerti. Kalau kita setingkat lebih rendah, bukan berarti kita ini hebat-hebat. Sama sekali tidak. Dalam ilmu lahiriah, mungkin kita tidak jauh daripada para puragabaya. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ruhani, kita bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka. Saudara ketahui bahwa para puragabaya sebenarnya pendeta-pendeta yang memuja Sang Hiang Tunggal dengan otot-otot dan tulang-tulang mereka. Tentu saja di samping dengan cara- cara biasa, yaitu dengan hidup suci dan menguasai mantra- mantra. Kalau siswa-siswa di sini dianggap baik, itu karena tugas-tugas kepuragabayaan sering sekali diserahkan kepada kita, kalau tugas itu tidak terlalu berat."
"Tugas-tugas macam apakah itu?"
Tanya Banyak Sumba penasaran.
"Misalnya, kalau ada orang jahat yang harus ditangkap. Kalau orang jahat itu sudah merajalela dan para jagabaya kewalahan, Resi Tajimalela biasanya mengerahkan calon-calon puragabaya. Pertama, untuk mengendalikan perampok itu; kedua,. untuk menguji keberanian, ketabahan, dan keterampilan calon-calon puragabaya itu. Akan tetapi, perampok-perampok itu sering tidak begitu tangguh untuk dihadapi oleh para calon puragabaya. Biasanya, Resi Tajimalela mengutus seseorang untuk menghubungi Eyang Sirnadirasa dan menyerahkan tugas-tugas menumpas orang jahat kepada padepokan kita ini."
"Sudah seringkah padepokan ini mendapat tugas?"
"Menurut keterangan siswa-siswa yang lebih tua dahulu memang sering, tetapi sekarang makin jarang. Hal itu disebabkan mutu para jagabaya makin lama makin baik. Di samping itu, kemakmuran terus-menerus meningkat, hingga orang-orang tidak lagi perlu hidup dari kejahatan."
Mendengar keterangan itu, Banyak Sumba agak kecewa. Ingin benar ia ikut melaksanakan salah satu tugas itu. Sementara ia termenung, Raden Girilaya berkata kembali.
"Saya ingin sekali mendapat tugas seperti itu. Belum lama ini, si Gojin, tukang sabung ayam yang kampungnya tidak berapa jauh dari Kutabarang, membujuk salah seorang putra bangsawan untuk berboros-boros di rumahnya. Kebetulan, Eyang Sirnadirasa perlu memberi penjelasan kepada dua orang siswa di sini tentang beberapa cara menjatuhkan lawan dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Sebenarnya, saya sudah mengusulkan agar si Gojin dihadapi oleh siswa-siswa yang lebih lanjut. Akan tetapi, setelah dipertimbangkan si Gojin dianggap terlalu sepele untuk dihadapi oleh siswa-siswa. Jadi, si Gojin ini diperlakukannya sebagai contoh untuk percobaan saja. Eyang Resi memberikan contoh cara menjatuhkan orang yang bertenaga besar seperti si Gojin. Sebelumnya, Eyang Resi menjelaskan bahwa makin besar tenaga seseorang, makin besar amarahnya, dan makin mudah pula ia dijatuhkan. Menurut kawan-kawan yang mengikuti Eyang Resi, penjelasan Eyang Resi telah diberikan dengan baik sekali melalui si Gojin itu."
"Mungkinkah ada tugas-tugas semacam itu dalam waktu dekat ini?"
Tanya Banyak Sumba yang ingin sekali ikut mengambil bagian. Raden Girilaya termenung, kemudian berkata.
"Beberapa waktu yang lalu, Eyang Resi mengatakan kepada kami, siswa-siswa yang lebih lama di sini, bahwa seorang penjahat besar telah membunuh beberapa orang bangsawan di Kutawaringin. Nama orang itu si Colat."
Mendengar kabar itu, berdebarlah hati Banyak Sumba.
Dapatkah ia menghadapi si Colat yang luar biasa itu? Bukankah lebih baik kalau ia berguru kepada si Colat setelah berguru kepada Resi Sirnadirasa? Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, Raden Girilaya berkata.
"Tapi, si Colat ini tinggi sekali ilmunya. Eyang Resi mengatakan bahwa kemungkinan diserahkan kepada kita tipis sekali. Resi Tajimalela tidak akan sampai hati kalau siswa-siswa di sini menjadi korban. Akan tetapi, menurut Eyang Sirnadirasa, bukan tidak mungkin diadakan tugas gabungan, yaitu para calon puragabaya ditugaskan menghadapi si Colat, sementara siswa-siswa dari sini ditugaskan menghadapi anak buahnya. Mereka ini dikabarkan berilmu lumayan tinggi. Di samping itu, umumnya mereka tega membunuh, seperti juga si Colat yang meremehkan nyawa manusia dan tidak takut lagi akan Sang Hiang Tunggal."
Sore itu, ketika Banyak Sumba seorang diri dalam gua, timbullah pikiran yang dianggapnya baik.
Lebih baik tidak terpengaruh oleh kesempatan-kesempatan yang tidak ada dalam rencananya semula.
Lebih baik ia berpegang pada rencananya semula, yaitu mencari guru yang tinggi ilmunya, mencoba ilmunya itu, kemudian mempergunakannya bagi kepentingan kehormatan keluarganya.
Ia bertekad belajar hingga tamat di Padepokan Sirnadirasa, kemudian mencari si Colat dan belajar kepadanya.
Belajar kepada si Colat ini sangat penting baginya karena si Colat-lah salah seorang yang dikabarkan menguasai ilmu kepuragabayaan.
Apakah orang itu jahat atau tidak, tidak masalah baginya.
Yang menjadi persoalan, bagaimana caranya agar ia secepat mungkin dapat menguasai ilmu setinggi-tingginya, lalu dengan secepat- cepatnya membunuh Anggadipati, Jakasunu, dan Wiratanu dengan begundal-be-gundalnya.
Tanpa diketahuinya, Raden Girilaya memasuki ruangan, lalu duduk di dekatnya.
"Rupanya ada masalah berat yang sedang Saudara pikirkan,"
Kata Raden Girilaya sambil tersenyum.
"Tidak,"
Ujar Banyak Sumba dengan kikuk karena merasa kepergok.
"Kalau begitu, barangkali ada seorang gadis di suatu tempat yang dengan harum rambutnya menghimbau- himbau?"
Lanjut Raden Girilaya sambil tersenyum.
Perkataannya tiba-tiba membawa ingatan Banyak Sumba ke Puri Purbawisesa.
Kerinduan kepada gadis itu tiba-tiba mendesak dalam dadanya.
Ia menunduk.
Ketika ia mengangkat mukanya, Raden Girilaya sedang memandangnya.
Tiba-tiba saja, Banyak Sumba menyadari bahwa raut muka Raden Girilaya sama dengan raut muka Nyai Emas Purbamanik.
Bagaimanapun, Nyai Emas Purbamanik ada hubungan darah dengan Raden Girilaya.
Maka, perasaan persaudaraan yang selama ini terjalin antara dia dan pemuda itu menjadi lebih erat.
"Saudara Sumba, kita sudah cukup dewasa untuk punya kekasih, mengapa harus bingung kalau saya mengatakan hal- hal seperti itu?"
Tanya Girilaya sambil tersenyum.
"Saudara ini alim sekali rupanya, apakah Saudara bermaksud menjadi pendeta?"
Tanya Girilaya pula dengan nada bersenda gurau. Nada senda gurau ini meringankan perasaan Banyak Sumba. Ia berterima kasih kepada Raden Girilaya yang sangat pandai menenggang rasa. Ia mulai tersenyum.
"Sudah lama kita bersahabat, Saudara Sumba. Tidak ada salahnya kita menceritakan tentang diri kita masing-masing. Ada peribahasa bahwa dukacita akan menjadi lebih ringan kalau ditanggung bersama, demikian pula kebahagiaan akan lebih semarak kalau dibukakan. Nah, berceritalah tentang diri Saudara, tentang gadis-gadis, dan pengalaman-pengalaman. Jangan dipendam sendiri pengalaman dan lain-lainnya itu,"
Lanjutnya.
"Tapi tidak ada yang harus saya ceritakan, kecuali yang telah Saudara ketahui sendiri,"
Ujar Banyak Sumba.
"Ah, Saudara Sumba ini sangat pemalu. Jadi, saya yang harus memulai memberi contoh,"
Lanjutnya pula sambil tersenyum.
"Senang sekali saya kalau dapat mendengar cerita-cerita dari Saudara,"
Kata Banyak Sumba.
"Tapi, Saudara harus menukarnya nanti. Saudara Sumba sudah pernah mengunjungi ibu kota Pakuan Pajajaran?"
"Belum.Justru mengunjungi Pakuan merupakan keinginan saya yang sampai sekarang belum terpenuhi."
"Oh, Saudara Sumba harus, sekali lagi harus mengunjunginya. Pakuan Pajajaran sungguh-sungguh kota yang memesonakan. Gerbangnya dapat dimasuki delapan kereta bersama-sama. Di dalamnya, kita akan melihat bangunan-bangunan yang besar dan indah. Setiap kali saya melihat bangunan besar, saya langsung menganggapnya istana Sang Prabu. Akan tetapi, sangkaan saya meleset. Apa yang saya sangka istana bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan istana Sang Prabu. Saya belum pernah melihat orang sebanyak di ibu kota Pakuan. Menurut perhitungan kerajaan, Pakuan Pajajaran berpenduduk 50.000 orang. Bayangkan, Saudara Sumba! Kota-kota yang kita anggap besar penduduknya, kebanyakan tidak lebih daripada lima ribu orang. Pakuan Pajajaran sepuluh kali lebih besar daripada kota-kota yang biasa kita temukan di dataran utara ini. DanRaden Girilaya tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya.
"Bukankah tidak sukar diduga bahwa di antara lima puluh ribu orang itu ada gadis cantik yang menyebabkan kita mabuk kepayang?"
"Tidak usah di antara lima puluh ribu orang, di antara sepuluh orang saja mungkin seorang pemuda dapat mabuk kepayang,"
Ujar Banyak Sumba, juga sambil tersenyum.
"Tapi, saya bukanlah orang yang mudah mabuk kepayang, Saudara Sumba. Ketika itu, saya berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan kota. Dari suatu tingkap yang tinggi, pada sebuah rumah besar, tampak tiga orang gadis. Salah seorang di antaranya memandang ke arah saya. Dan seperti monyet yang dipandang oleh ular besar, saya tidak dapat memalingkan muka. Sejak itulah, saya bukan saya yang dulu lagi, Saudara Sumba. Coba, apakah yang akan Saudara perbuat kalau tiba-tiba hati Saudara terjatuh atau tertinggal di dalan rumah asing tempat gadis itu berada?"
Banyak Sumba termenung sambil memandang kepada Raden Girilaya yang tersenyum di hadapannya.
Terbayang olehnya bagaimana dia mengalami hal yang sama ketika melihat Putri Purbamanik di atas benteng memandang kepadanya.
Seperti yang dikatakan Raden Girilaya, ia pun seperti seekor monyet yang ditatap ular sanca yang besar, tidak bisa bergerak dan beranjak dari tempatnya.
"Ah, mengapa Saudara Sumba begitu lama memikirkan pertanyaan saya itu?"
Tanya Raden Girilaya agak keheranan.
"Karena ... karena saya tidak tahu apa yang akan saya perbuat kalau ada gadis yang menyebabkan saya mabuk kepayang seperti itu,"
Katanya berbohong. Kemudian, berhenti sejenak, untuk mengambil napas. Banyak Sumba melanjutkan kata-katanya.
"Kalau ada gadis yang punya kekuatan untuk menggerakkan hati saya seperti itu, saya akan menaiki tingkap atau benteng rumahnya,"
Katanya. Mendengar itu, Raden Girilaya agak terkejut.
"Wah, tapi itu sangat berbahaya. Siapa tahu ada badega atau ponggawa yang melihat kita dan berteriak seolah-olah kita pencuri dan kita dikeroyok,"
Katanya.
"Bukan kita pencuri, tapi gadis itu yang mencuri hati kita,"
Jawab Banyak Sumba bercanda.
"Saudara Sumba yang berani menaiki benteng seperti itu hanya ada dalam cerita, yaitu cerita Puragabaya Anggadi-pati ketika perwira hebat itu jatuh cinta kepada seorang gadis di Kota Medang yang bernama Yuta Inten, kabarnya cantik luar biasa. Oh, apakah Saudara pernah melihat dan mengenal gadis termasyhur itu yang sekarang menghilang entah ke mana?"
"Saya ... saya pernah mendengarnya ... tapi saya tidak tahu ... oh ... saya tidak tinggal di dalam kota. Keluarga saya memiliki puri agak jauh dari kota,"
Katanya berbohong.
"Baiklah, mari kembali pada masalah yang sedang kita hadapi. Tentu saja saya tidak melompat ke jendela rumah gadis itu. Saya mencari Mak Comblang yang tidak sedikit jumlahnya di Pakuan Pajajaran. Dan tidak selang beberapa hari, saya sudah dapat berhubungan dengan gadis itu. Namanya Pembayun Wungu, putri sulung keluarga besar bangsawan di sana dan sayaRaden Girilaya terus menceritakan pengalamannya, tetapi pikiran Banyak Sumba terbang ke Puri Purbawisesa, membayangkan Nyai Emas Purbamanik. Alangkah rindu ia bertemu dengan gadis itu, dan alangkah jauh rasanya gadis itu sekarang Bukan saja jarak antara Padepokan Sirnadirasa memang jauh, tetapi nasibnya yang belum menentu terasa memberikan jarak yang lebih jauh dan belum tentu dapat ditempuhnya. Ia menundukkan kepalanya dan sadar bahwa penderitaan Ayunda Yuta Inten sekarang menimpa dirinya, walaupun tidak tepat benar. Bagaimanapun, Ayunda terpaksa tidak dapat berhubungan dengan Pangeran Anggadipati karena permusuhan yang terjadi antara keluarga Banyak Citra dan keluarga Anggadipati akibat tindakan kejam Anggadipati sendiri. Ternyata, tindakan itu mengambil korban lain, yaitu dia sendiri. Seandainya segalanya tidak terjadi, hubungannya dengan Nyai Emas Purbamanik tentu akan lancar dan tidak terhambat.
"Saudara Sumba, mengapa Saudara bersedih?"
Banyak Sumba terkejut dan mengangkat kepalanya malu-malu. Raden Girilaya tidak berkata apa-apa, tetapi pandangan matanya terus bertanya.
"Saya mencintai seorang gadis. Karena sesuatu, sekarang cinta kami tidak menentu. Itulah sebabnya, mengapa saya sekarang berada di sini?"
"Oh, jadi Saudara berkelana dan jadi guru ilmu keperwi- raan untuk melupakan kesedihan itu?"
"Ya,"
Jawab Banyak Sumba setelah tertegun sebentar.
Sampai disitulah percakapan mereka ketika itu karena seseorang datang memasuki gua mereka.
DI PADEPOKAN Sirnadirasa, Banyak Sumba terus berlatih dengan yang lain.
Karena ketekunannya, ilmu baru dari padetang ilmunya yang baru itu.
Banyak Sumba menyadari hal itu, lalu berkata.
"Dari ayahmu, saya belajar kecepatan dan ketepatan. Dengan bantuan ayahmulah, saya mulai menyadari bahwa hidup kita sehari-hari dapat menyebabkan semua anggota badan kita tidak bekerja sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, ketika kita mulai mempelajari ilmu berkelahi, ayahmu menyuruh kita bergerak dan mempergunakan seluruh anggota badan kita sebanyak mungkin. Kita harus melompati jurang-jurang rendah, menyelundup di bawah dahan-dahan pohon perdu, memanjat, berguling, merangkak, dan lain-lain. Tanpa kita sadari, kita menjadi lebih cepat dan lebih lincah daripada kebanyakan orang. Kita sudah membuktikannya berulang-ulang. Kau pun tahu, betapa mudahnya kaukalahkan orang-orang di gelanggang Kutabarang dulu. Itu semua berkat pengajaran dan latihan ayahmu, Paman Wasis.
"Akan tetapi, kita pun menyadari bahwa pukulan kita paling kuat hanya sampai membuat orang pingsan, itu pun kalau mengenai sasaran yang baik. Berbeda halnya dengan pukulan si Gojin, bukan saja dapat membuat orang pingsan tetapi dapat meremukkan, bahkan dapat membunuh. Itulah yang berbulan-bulan, siang malam kupelajari di tempat si Gojin. Nanti, kalau ada kesempatan, kau pun dapat mempelajarinya dariku, Sik, juga Kang Arsim, kalau mau."
"Tentu saja saya mau, Raden,"
Ujar Arsim sambil mendekat.
"Nah, suatu hari, dengan keheranan saya melihat bagaimana Gojin yang tinggi besar itu dijatuhkan berulang- ulang oleh seorang kakek-kakek. Ternyata, kakek-kakek ini adalah seorang resi yang bernama Sirnadirasa. Maka, kususullah dia ke padepokannya. Di sana, saya mempelajari tentang tenaga dan keseimbangan. Secara kasarnya, kupelajari adanya tiga macam tenaga atau penggunaan tenaga. Pertama tenaga besar, seperti kalau kita sedang mengangkat batu besar atau mengunci lawan. Tenaga kedua adalah tenaga ledak, yaitu seperti yang kita pergunakan kalau kita menyentik telinga anak. Ketiga, tenaga yang mengalir, seperti yang kita gunakan kalau mengikuti tekanan lawan, bukan untuk menyerah tetapi mengarahkannya ke arah yang kita inginkan."
"Lebih baik kita lakukan, Raden, saya ingin sekali mencoba,"
Kata Jasik.
"Baiklah, Sik, tapi ingin saya simpulkan bahwa dua hal yang saya dapatkan dalam pengembaraan ini, yaitu di samping kecepatan dan ketepatan yang saya dapat dari ayahmu, saya telah mempelajari dan melaksanakan ilmu pukulan dan ilmu penggunaan tenaga."
Sore itu, ketika para siswa di Perguruan Gan Tunjung sudah beristirahat, kedua orang panakawannya berjalan ke tempat-tempat sekitar perguruan.
Di tanah lapang yang biasa dipergunakan oleh siswa-siswa Gan Tunjung berlatih, mulailah ketiga orang itu bersabung.
Kedua orang panakawan itu tidak berdaya menghadapi tuannya.
Seperti permainan, Jasik dan Arsim dengan mudah dilemparkan atau dikunci oleh Banyak Sumba.
Juga ketika mereka menyerang Banyak Sumba bersama-sama, keduanya tak mampu merobohkan Banyak Sumba.
Suatu ketika, berhentilah Jasik dan sambil terengah-engah berkata.
"Saya bersyukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah memberi Raden segala kepandaian itu."
Banyak Sumba duduk di bawah sebatang pohon rindang di tepi lapangan, diikuti kedua orang panakawannya.
"Sekarang, marilah kita membuat rencana, Sik."
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita segera pergi ke Pakuan Pajajaran, mengambil abu jenazah Raden Jante. Pulangnya kita lewat Kutawaringin, kalau mungkin melakukan sesuatu,"
Kata Jasik.
"Itulah yang ada dalam hati saya,"
Kata Banyak Sumba.
"dan kita akan segera ke Panyingkiran."
"Ya,"
Ujar Jasik dengan bersemangat.
"Bagaimana dengan Kang Arsim?"
"Saya sudah berkata kepada Jasik, saya tidak usah pergi ke Pakuan Pajajaran. Saya lebih baik membekali Raden dengan apa yang mampu saya berikan." -"Sayang sekali, Kang Arsim."
"Saya rasa, saya akan lebih berguna kalau tinggal di sini, Raden,"
Kata Arsim. Banyak Sumba mengerti dan menghargai sekali kebijaksanaan panakawannya itu.
"Raden dapat memilih, membawa uang atau saya belikan kuda,"
Lanjut Arsim.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kang Arsim. Soal itu, Jasik akan lebih tahu. Bagaimana, Sik?"
Jasik termenung.
SELANG sehari setelah percakapan di lapangan dekat Perguruan Gan Tunjung, pada subuh berembun, berangkatlah Banyak Sumba dan Jasik dari perguruan itu.
Arsim mengantarnya sampai lawang kari, lalu melambai sambil mengucapkan doa.
Kedua orang pengembara itu melambai, lalu memacu kuda mereka masing-masing menuju Kota Kutabarang.
Ketika matahari terbit, mereka berada di dalam kota.
Beberapa perlengkapan dibeli Jasik, lalu kedua orang penunggang kuda itu berangkat lagi.
Dengan melalui gerbang kota sebelah barat, mereka meninggalkan kota pelabuhan yang mulai sibuk.
Mula-mula jalan lurus ke barat melalui hutan kecil, huma- huma, dan kelompok kampung-kampung.
Ketika hari mulai panas, jalan mulai membelok ke selatan.
Pendakian-pendakian landai mereka lalui.
Sementara itu, kampung-kampung mulai berpagar tinggi.
Hutan-hutan mulai lebat, kadang-kadang menjangan atau babi hutan melintasi jalan walaupun di siang bolong.
Ketika sore tiba, mereka singgah di sebuah kampung untuk menginap.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat lagi.
Pada hari kedua, tengah hari, mereka tiba di pasar buah-buahan yang letaknya tidak jauh dari Puri Purbawisesa.
"Sik, kita akan menginap di kampung dekat puri,"
Kata Banyak Sumba sambil memandang ke menara-menara di atas benteng Puri Purbawisesa.
Kerinduannya mulai memberati hatinya.
Dan ketika mereka berjalan mendekati puri itu, ber- debar-debarlah hadnya.
Apakah kekasihnya masih seperti dulu? Mungkinkah ketika ia tidak berada di dekatnya, gadis itu berubah pendiriannya? Hal itu tidak mustahil, pikir Banyak Sumba.
Siapakah yang mau bertunangan dengan seorang buronan seperti dia? Mungkinkah gadis itu telah membocorkan rahasianya sehingga Puri Purbawisesa yang penuh dengan kenang-kenangan itu, sekarang menjadi perangkap baginya? Mungkinkah puri itu sekarang menjadi tempat malapetaka? Banyak Sumba tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri, tetapi ia bertekad untuk memasuki puri, apa pun yang akan terjadi.
Kenangannya pada kejadian-kejadian sebelum ia meninggalkan puri itu, membuatnya seperti mabuk.
Ia mengabaikan segala bahaya yang mungkin menunggunya di puri itu.
Puri itu makin lama makin dekat, akhirnya tibalah Banyak Sumba danjasik di bawah bayangan dinding yang tinggi.
Ketika itu, matahari sudah condong ke barat.
Banyak Sumba menghentikan kudanya, memandang seluruh puri.
Jasik pun menghentikan kudanya dan berdiri di samping tuannya.
"Kita akan tidur di kampung sebelah selatan itu, Sik. Nanti malam saya akan memasuki puri setelah saya menyelidiki apakah orang-orang sudah mengetahui rahasia kita di sini."
"Saya akan menemani Raden,"
Kata Jasik.
"Jangan Sik,"
Ujar Banyak Sumba sambil memandang mata Jasik, menyelidiki apakah Jasik mencurigai sesuatu.
Tampak cahaya mata Jasik penuh dengan pertanyaan.
Banyak Sumba tidak sanggup berterus terang kepada panakawannya.
Kalau ia mengatakan bahwa ia ingin berjumpa dengan seorang putri, dan untuk itu menantang bahaya yang mungkin menunggu di sana, panakawannya akan menyesalinya.
Bagaimanapun, berulang- ulang Banyak Sumba menyimpang dari rencana semula karena hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tugasnya.
Banyak Sumba merasa malu oleh panakawannya itu.
Akan tetapi, hatinya berat untuk tidak mengunjungi puri itu terlebih dahulu sebelum pergi ke Pakuan Pajajaran yang jauh.
"Kalau berbahaya, lebih baik saya ikut."
"Tidak, Sik, saya hanya berkunjung kepada Paman Salti-win,"
Kata Banyak Sumba berbohong.
Memang ia akan berkunjung kepada Paman Saltiwin, orang tua yang baik hati dan sayang kepadanya, tetapi bukan Paman Saltiwin yang menariknya memasuki puri itu.
Jasik pun tidak memaksa untuk menemaninya, walaupun dari cahaya matanya tampak kecemasan.
Tak lama kemudian, mereka melarikan kudanya kembali, menuju kampung yang tidak jauh letaknya dari puri itu.
Di kampung itu, Banyak Sumba cukup dikenal karena pernah lama tinggal di sana sambil mengajar anak-anak ponggawa ilmu berkelahi.
Banyak Sumba bertanya tentang berbagai hal mengenai berbagai peristiwa dan isi puri, tetapi para petani yang hidup dengan damai itu tidak mengetahui berita-berita.
Mereka tidak tahu apa-apa tentang kejadian-kejadian di dalam puri.
Oleh karena itu, ketika malam tiba dan Banyak Sumba berjalan ke arah puri, ia tidak tahu, apakah bahaya menunggunya atau tidak.
Walaupun tidak tahu apa-apa tentang bagaimana sikap orang di dalam puri itu, Banyak Sumba merasa lebih baik berhati-hati daripada ceroboh.
Ditunggunya malam menjadi gelap, kemudian ia menyelundup bersama-sama dengan para pamagersari yang datang paling belakang, memasuki gerbang yang terbuka sedikit.
Ia segera menuju rumah Paman Saltiwin.
Hatinya berdebar-debar, bukan karena merasa berada dalam bahaya, tetapi karena ia berada di tempat kekasihnya berada.
Paman Saltiwin merangkulnya dan bertanya dengan suara nyaring, Banyak Sumba berbisik dan meminta agar mereka bicara perlahan-lahan.
Banyak Sumba menerangkan kedatangannya, kemudian bertanya keadaan di puri sepeninggalnya.
Ia bertanya tentang Tuan Putri.
"Tak ada perubahan, Raden. Tak ada yang perlu Raden takuti di sini, walaupun Raden sedang melaksanakan tugas rahasia. Mengenai Tuan Putri, segera setelah Raden pergi, beliau juga berangkat ke Pakuan Pajajaran. Asih beliau bawa. Dari Asihlah, Paman tahu bahwa ... antara Raden dan Tuan Putri telah terjalin kasih sayang."
Perkataan orang tua itu menyenangkan hati Banyak Sumba, tetapi juga menggugah kerinduan dan sedikit kekecewaan. Walaupun begitu ia tetap bertanya.
"Paman, tahukah Paman mengapa Tuan Putri berangkat ke Pakuan Pajajaran?"
"Sama sekali tidak tahu, Raden. Tuan Putri tidak mengatakan apa-apa. Yang Paman tahu, Ayahanda Pangeran Pur-bawisesa berada di sana."
Mendengar penjelasan itu, Banyak Sumba termenung.
Mungkinkah gadis yang dicintainya itu pergi ke Pakuan Pajajaran untuk memberitakan tentang dia, tentang di mana dia berada, dan apa yang hendak dilakukannya? Pertanyaan itu mulai menyiksanya.
Mungkinkah kekasihnya, gadis yang selama ini dicintainya, mengkhianatinya dengan menyebarkan berita tentang dirinya di kalangan bangsawan-bangsawan tinggi di Pakuan Pajajaran? Pertanyaan-pertanyaan itu bagai pukulan yang bertubi-tubi menimpa kepalanya.
Banyak Sumba menunduk.
"Raden, jangan berkecil hati. Tidak sukar mencari tempat Pangeran Purbawisesa, walaupun Pakuan Pajajaran sangat luas dan orang sangat banyak di sana,"
Kata Paman Saltiwin ketika melihat Banyak Sumba murung oleh penjelasannya "Terima kasih, Paman. Saya akan menemukannya di Pakuan Pajajaran,"
Ujar Banyak Sumba, seolah-olah kata- katanya meluncur dengan sendirinya.
Lalu, mereka pun bercakap-cakap tentang itu dan ini.
Larut malam Banyak Sumba diantar ke gerbang puri, lalu keluar melalui pintu kecil.
Malam itu, Banyak Sumba sukar memicingkan matanya.
Subuh-subuh ia membangunkan Jasik.
Mereka pun segera berangkat.
SETELAH empaj hari berada di perjalanan, termasuk satu hari untuk istirahat kuda mereka, pada hari kelima, tampak menara-menara jaga Kota Pakuan Pajajaran yang tingginya melebihi pohon kelapa.
Banyak Sumba mempercepat lari kudanya dijalan yang lebar, diikuti Jasik yang juga tidak sabar untuk segera memasuki kota.
Akan tetapi, perjalanan mereka tidak dapat dilakukan dengan cepat karena makin dekat dengan kota, makin banyak orang yang lalu-lalang.
Demikian juga, berbagai macam kendaraan, kereta, dan pedati beriring- iring ke segala arah, yang pusat perjalanannya adalah kota yang megah dan besar.
Setelah beringsut-ingsut, akhirnya kedua orang pengembara itu dapat juga mencapai gerbang kota.
Mereka masuk ke tengah-tengah kesibukan kota yang menyebabkan mereka keheranan.
Begitu banyak orang, jalan-jalan yang lebar, kendaraan, dan bangunan-bangunan dari batu bata atau kayu yang megah.
Entah berapa lama mereka menjelajahi jalan lebar itu.
Banyak Sumba berkata.
"Sik, sudah saatnya kita mencari tempat menginap."
"Ya, Raden. Kita punya banyak kesempatan melihat-lihat kota nanti,"
Ujar Jasik yang tampak masih belum puas menikmati tamasya kota itu.
Setelah itu, mereka menepi, turun dari kuda masing-masing.
Banyak Sumba bertanya- tanya kepada orang-orang yang berada di dekatnya tentang tempat menginap di dalam kota.
Beberapa tempat ditunjukkan orang, tetapi ketika Banyak Sumba dengan panakawannya ke tempat-tempat menginap itu, semuanya sudah penuh.
Akhirnya, Banyak Sumba memutuskan untuk menginap di kampung di luar kota.
Jasik tampak kecewa, tetapi tak ada pilihan lain kecuali meninggalkan kota itu untuk sementara.
Maka, kedua orang pengembara itu pun berangkat ke arah gerbang kota sebelah utara, lalu menuju kampung terdekat.
Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan tempat menginap dan menitipkan kuda.
Akhirnya, beristirahatlah mereka.
Banyak Sumba merenungkan bagaimana cara mereka mengambil abu jenazah Jante Jaluwuyung.
Sambil duduk-duduk di serambi rumah tempat mereka menginap, Banyak Sumba berkata kepada Jasik.
"Sik, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu di mana abu jenazah Kakandajantc diletakkan di dalam kuil itu. Kalau tidak, saya takut kita akan membuang waktu lebih banyak. Itulah sebabnya, kita akan menyelidiki dulu bentuk kuil itu." ' Tidakkah hal itu akan menimbulkan kecurigaan?"
Tanya Jasik.
"Tentu saja kita harus berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan. Di samping itu, kita tidak akan bertanya kepada orang-orang yang mungkin mencurigai kita."
"Kalau perlu, saya saja yang memasuki kuil itu, Raden. Raden dapat berjaga-jaga di luar." 'Justru sebaliknya, Sik. Sayalah yang masuk, kau yang . berjaga di luar,"
Kata Banyak Sumba.
"Baiklah, saya akan mencoba mengobrol dengan penjaga kuil itu. Kalau dia lengah, Raden segera memasuki kuil."
"Mungkin saya tidak akan memasukinya dari jalan biasa, Sik. Kalau perlu, saya akan masuk dari atas, melalui pohon, seandainya di sana ada pohon tinggi yang dapat saya jadikan jembatan."
"Baiklah, kalau begitu, akan lebih mudah tugas saya, Raden."
"Mudah-mudahan,"
Kata Banyak Sumba. Hatinya mulai berdoa. Tiba-tiba ia tertegun, teringat kepada Putri Purbamanik. Kesadaran bahwa ia berada di dekat gadis yang dicintainya itu, menyebabkan kerinduan menyesak dalam dadanya.
"Kita akan memasuki kota pada sore hari, ketika orang- orang mencari hawa, Sik,"
Katanya. Setelah tertegun sebentar, ia melanjutkan perkataannya.
"Kita akan melihat-lihat tamasya kota sambil menyelidikinya."
Dalam hatinya, Banyak Sumba berdoa, mudah-mudahan ia dapat bertemu dengan kekasihnya.
Sore itu, sebelum matahari dekat benar ke puncak-puncak bukit di sebelah barat, kedua orang pengembara itu berangkat dari kampung tempat mereka menginap dan memasuki ibu kota kerajaan melalui gerbang sebelah utara.
Ketika menikmati tamasya kota dan orang-orang yang hilir mudik di sana, tak henti-hentinya mata Banyak Sumba mencari-cari, kalau-kalau ia dapat bertemu dengan gadis yang dirindukannya.
Akan tetapi, di antara begitu banyak orang ia tidak melihat gadis yang dicintainya itu.
"Sik, mari kita melihat-lihat istana sang Prabu,"
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya kepada Jasik. Ia berharap dapat bertemu Putri Purbamanik di sekitar istana itu.
"Mari, Raden, saya pun ingin sekali melihat istana untuk saya ceritakan nanti kepada orang-orang di kampung kita,"
Kata Jasik.
Mereka bergegas mengikuti jalan besar menuju pusat kota karena di sanalah istana sang Prabu berada.
Makin mendekad tengah-tengah kota, makin banyak orang yang sedang beristirahat dan menghibur diri.
Dan ketika mereka berada beberapa ratus langkah lagi dari istana, begitu banyaknya orang di lapangan luas sekitar istana, hingga Banyak Sumba bertabrakan dengan pejalan-pejalan yang lain.
Akhirnya, tibalah kedua orang pengembara itu ke suatu tempat yang batasnya dibuat dari pohon bunga-bungaan.
Dari seberang batas itu terdapat taman yang indah sekali, di belakang taman menjulang bangunan besar yang atapnya terbuat dari batu berukir, bata, dan kayu.
Pada bagian-bagian tertentu, kayu- kayu berukir itu kayu cendana yang harum baunya.
Banyak Sumba memandang bangunan itu dari jauh dengan penuh kekaguman.
Ia tidak berani melangkahi batas yang terdiri dari pohon bunga-bungaan itu.
Bukan karena taman di seberang batas itu begitu indah, tetapi tidak ada orang lain yang berani menyeberangi batas itu.
Banyak Sumba termenung saja, kagum memandangi istana yang ada di seberang batas itu.
Jasik terdengar bercakap-cakap tidakjauh dari tempatnya berdiri.
Jasik terdengar bertanya, 'Apakah tidak diperbolehkan orang memasuki daerah di dalam batas kebun bunga itu?"
Tanya Jasik.
"Rupanya Saudara pendatang,"
Ujar yang ditanya.
"Ya, kami datang dari Kota Medang,"
Kata Jasik.
"Oh, alangkah jauhnya. Tentu Saudara tidak tahu soal batas ini. Memang, kebun bunga yang melingkari taman yang lebih dalam ini batas. Akan tetapi, tidak berarti orang dilarang mendekati istana. Bagaimanapun, istana itu milik seluruh warga kerajaan. Saudara tahu, kayu-kayu, batu-batu, dan bata-bata itu diambil dari seluruh kerajaan. Setiap sungai di seluruh Pajajaran memberikan batunya, setiap hutan memberikan kayu-kayunya, sedangkan bumi Pajajaran memberikan tanahnya yang dibuat jadi batu bata. Mengapa orang tidak mau mendekati istana dan merasa puas berjalan di dalam jarak tertentu? Karena rakyat tahu, di istana orang tidak sedang bersenang-senang. Di sana, orang bekerja karena banyak urusan. Orang-orang tidak mau berisik di tempat-tempat yang terlalu dekat ke istana. Kalau sang Prabu sedang beristirahat, mereka akan merasa menyesal kalau mengganggu dengan tidak sengaja. Saya pun tidak mau melintasi kebun bunga ini kalau tidak terpaksa. Saya cukup puas kalau mengunjungi istana pada hari-hari upacara saja,"
Kata orang itu. Setelah itu, Jasik berkata lagi.
"Kami ingin sekali mengetahui tempat kuil penyimpanan abu jenazah."
"Oh, di sebelah barat. Nah, puncaknya dapat Saudara lihat dari sini, di belakang pohon pakis haji itu."
"Terima kasih,"
Kata Jasik. Ia mendekati Banyak Sumba, lalu berkata.
"Raden, hari makin senja."
Mereka berpandangan.
Banyak Sumba masih penasaran untuk dapat bertemu dengan Nyai Emas Purbamanik, tetapi hari memang sudah menuju senja, tugas berat menunggunya.
Maka, tanpa berbicara, ia melangkah ke arah barat diikuti panakawannya yang setia.
Tak lama kemudian, mereka tiba di kuil itu.
Banyak Sumba kecewa melihat kuil itu dijaga ketat sekali.
Di gerbang depan, berdiri empat orang bersenjata tombak, sementara pintu-pintu kecil kalau tidak tertutup, masing-masing dijaga oleh seorang gulang-gulang.
Banyak Sumba berpaling kepada Jasik.
"Heran, Raden, seharusnya tidak perlu penjagaan ketat, apalagi pada senja hari, ketika orang-orang membawa sajen,"
Kata Jasik. Banyak Sumba melangkah mendekad Jasik, lalu dengan setengah berbisik ia berkata.
"Bagaimana kalau kita pura-pura membawa sajen dan masuk kuil setelah agak remang-remang?"
"Itu tidak mungkin, Raden. Menurut keterangan bapak tempat kita menginap, hanya orang-orang yang dikenal penjaga yang diizinkan masuk."
"Aneh,"
Ujar Banyak Sumba.
"apakah bapak tempat kita menginap mengatakan hal-hal lain, misalnya apa sebabnya penjagaan begitu ketat?"
"Saya tidak berani bertanya lebih banyak, Raden. Saya takut si Bapak menjadi curiga karena pertanyaan-pertanyaan saya itu."
Banyak Sumba diam, kemudian mereka melangkah.
Beberapa kali mereka berjalan mengelilingi kuil yang besar itu.
Mereka berjalan di antara orang-orang yang sedang menikmati udara senja yang sejuk.
Mereka bertindak seperti orang lain, pura-pura jalan-jalan agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Ketika melihat balai-balai yang kosong di taman sebelah kiri kuil, mereka duduk di sana sambil melihat-lihat orang-orang yangjuga duduk-duduk di balai-balai sambil beristirahat atau bercengkerama.
Tak berapa lama kemudian, datang seorang kakek-kakek tua menuntun anak kecil, mungkin cucunya.
Kakek-kakek itu berdiri sejenak dekat mereka, kemudian berkata.
"Maaf, Anak-anak Muda, lutut kakek gemetar kalau terlalu banyak berjalan, bolehkah ikut duduk?"
"Silakan, Kakek,"
Kata Banyak Sumba dan Jasik bersamaan. Orang tua itu membiarkan cucunya berlari-lari di lapangan, sementara ia duduk di balai-balai tempat kedua orang pengembara itu duduk. Setelah beberapa lama terdiam, berkatalah kakek-kakek itu.
"Di masa kakek muda, penghuni Pakuan tidak sebanyak ini. Sekarang, hampir tidak ada jalan yang aman untuk orang tua, kereta-kereta simpang siur, pejalan-pejalan yang tergesa-gesa mungkin menyenggol dan menyebabkan orang tua terjatuh."
"Kakek, apakah dulu kuil ini dijaga seperti sekarang?"
Tanya Jasik. Kakek itu berpaling kepada Jasik, lalu mendekatkan telinganya. Jasik mengulang pertanyaannya.
"Apakah waktu Kakek muda, kuil ini dijaga seperti sekarang?"
"Oooh, tidak, tidak, Anak Muda. Belum lama kuil ini dijaga. Biasanya hanya kuncen yang ada di sana. Kira-kira, musim panen yang lalu terjadi keributan, tentu Anak Muda tidak tahu. Anak Muda datang dari mana?"
"Dari Kota Medang, Kakek."
"Oooh, pantas. Beberapa bulan yang lalu, ada orang yang mencoba mencuri pundi-pundi abu jenazah. Oleh karena itu, sekarang kuil dijaga ketat,"
Kata kakek-kakek itu. Banyak Sumba hampir tersentak dari duduknya.
"Mencuri abu jenazah? Bagaimana hal itu terjadi, Kakek?"
"Oooh, begini Anak Muda. Barangkali engkau pernah mendengar ada seorang puragabaya yang gila. Puragabaya ini menjadi gila dan membunuh banyak bangsawan di hutan dekat Kutabarang. Nah, terpaksa kawan-kawannya dari Padepokan Tajimalela menangkapnya. Tetapi ketika hendak ditangkap, puragabaya gila ini melawan dan terjatuh ke dalam jurang. Sahabat-sahabatnya sangat bersedih, lalu dengan segala upacara besar membakar dan menyimpan abu jenazahnya dalam kuil para pahlawan ini. Tapi, tentu saja ada orang yang tidak setuju abu jenazah puragabaya itu disimpan dalam kuil sebagaimana haknya, walaupun puragabaya itu gila. Dalam adat kerajaan, setiap puragabayatidak disebutkan waras atau gilakalau meninggal, abunya berhak disimpan dalam kuil agung ini. Tapi tentu saja, keluarga bangsawan-bangsawan yang terbunuh oleh puragabaya itu tidak setuju. Mereka beranggapan bahwa puragabaya yang pernah membunuh bangsawan Pajajaran, tidak berhak abunya disimpan dalam tempat yang mulia. Itulah sebabnya, beberapa bulan yang lalu, ada serombongan pemuda yang mencoba mengambil guci abu jenazah puragabaya itu. Untung, kuncen berteriak-teriak dan banyak jagabaya di tempat ini, hingga maksud itu dapat digagalkan."
Sementara kakek-kakek itu berkata-kata, berulang-ulang Jasik dan Banyak Sumba berpandangan.
Banyak Sumba baru menyadari bahwa semua yang diceritakan kakek-kakek itu benar-benar suatu hal yang tidak mustahil.
Di samping itu, ia pun menyadari, ternyata tugasnya yang pertama itu tidak dapat dipandang sebagai tugas yang enteng.
Sekarang, kuil itu dijaga dengan ketat.
Ia pun menyadari, ancaman Wangsa Wiratanu untuk menghinakan abu jenazah Kakanda Jante Jaluwuyung bukan sekadar ancaman.
Ternyata, ancaman itu hampir terlaksana.
Seraya termenung, Banyak Sumba terkenang pengalamannya ketika Raden Bungsu Wiratanu merebut kudanya di Kutawaringin.
Tentu kesatria berandalan semacam itu yang memimpin usaha pengambilan abu jenazah Kakanda Jante.
Rupanya, dinasibkan baginya untuk berhadapan dengan keluarga Wiratanu, demikian pikir Banyak Sumba.
Ia ingin sekali dapat kesempatan berhadapan dengan Raden Bungsu Wiratanu untuk mengembalikan penghinaannya.
Bukan saja karena orang itu telah merebut kudanya, tetapi juga telah berani hendak menghinakan abu jenazah anggota keluarga wangsa Banyak Citra.
Banyak Sumba mendengus.
Jasik melirik kepadanya.
"Kakek,"
Kata Jasik.
"Adakah di antara pencuri abu jenazah itu tertangkap?"
"Wah, sialnya tidak ada yang tertangkap. Mereka rupanya orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan itu. Mungkin mereka pencuri-pencuri yang disewa,"
Lanjut kakek-kakek itu. Setelah termenung, kakek-kakek itu berkata.
"Ya, mungkin mereka pencuri-pencuri yang dibayar. Orang yang menyuruh mereka sebenarnya hanya perlu dengan isi guci, yaitu abu jenazah. Mungkin sekali gucinya akan diambil oleh pencuri- pencuri itu dan dijual. Saya tahu, guci abu jenazah puragabaya itu bagus sekali. Kata orang, dibuat di negeri Katai. Sengaja didatangkan ke sini oleh Pangeran Anggadipati, sahabat karib puragabaya yang gila itu. Kakek pernah melihat guci yang indah itu dengan tulisan pada landasan kayu yang menjadi tatakannya. Kalau tidak salah, tulisan itu menyatakan tanda kasih sayang dari Pangeran Anggadipati kepada si mati. Memang, Pangeran Anggadipati ini sering sekali datang ke kuil untuk berdoa dan membawa bunga-bunga yang segar. Menurut berita, sebenarnya si mati itu calon ipar Pangeran Anggadipati ini, tapi Kakek lupa lagi bagaimana ceritanya. Tapi cerita-cerita tentang Pangeran Anggadipati dan si mati sering sekali dinyanyikan oleh juru-juru pantun."
Percakapan antara kakek-kakek itu dan Jasik terus berlangsung.
Akan tetapi, Banyak Sumba mulai terpecah perhatiannya.
Ia sangat tertarik oleh keterangan-keterangan kakek-kakek itu, tetapi suatu persoalan mulai mengganggu pikirannya.
Benarkah Anggadipati telah menyediakan guci yang bagus dan mengunjungi kuil untuk membaca doa-doa dan membungai abu jenazah Kakanda Jante? Seandainya hal itu benar, tidakkah hal itu bertentangan dengan anggapan Ayahanda dan ia sendiri bahwa Anggadipati sebenarnya iri dan benci terhadap Kakanda Jante? Ketika peristiwa yang menyedihkan itu terjadi, yaitu ketika Kakandajante terbunuh, datang dua rombongan keluarga Banyak Citra.
Kedua rombongan itu membawa berita yang berbeda.
Rombongan yang pertama menyatakan Kakanda Jante dibunuh dengan keji.
Rombongan kedua menyatakan Kakanda jante tidak sengaja terbunuh.
Ayahanda memilih berita yang pertama dan upacara ikrar pembalasan dendam pun dilakukan di lapangan Kota Medang.
Semenjak itu, Banyak Sumba beranggapan bahwa Kakanda jante dibunuh karena akan menjadi puragabaya yang terlalu perkasa.
Akan tetapi, berulang-ulang ia mendengar kisah yang lain dari tukang pantun ataupun dari rakyat biasa.
Umumnya, cerita- cerita itu menyatakan bahwa Pangeran Anggadipati sangat kasih kepada Kakanda jante dan kematian itu karena kecelakaan.
Ia mencoba untuk tidak memercayai cerita-cerita itu, akhirnya ia pun bimbang.
Sekarang, cerita itu terdengar lagi dari kakek-kakek itu.
Cerita terakhir tentang perhatian Anggadipati pada abu jenazah Kakandajante sungguh- sungguh mengguncangkan keyakinannya.
Ia benar-benar bimbang.
Siapa tahu Anggadipati memang benar-benar seorang kesatria budiman, seperti dikisahkan dalam nyanyian tukang-tukang pantun dan cerita-cerita rakyat kerajaan yang mencintai puragabaya itu.
"Raden,"
Kata Jasik. Banyak Sumba bangkit dari renungannya. Hari menuju malam, cuaca remang-remang, orang-orang mulai beranjak untuk pulang. Obor-obor mulai dipasang di sepanjang jalan. Lampu-lampu minyak bergantungan di depan rumah.
"Mari kita pergi dari sini, Sik,"
Kata Banyak Sumba seraya berdiri.
Jasik mengucapkan selamat berpisah dan terima kasih kepada kakek-kakek yang mulai memanggi1 cucunya.
Mereka berjalan ke suatu jalan agak sunyi, tidak jauh dari kuil itu.
Di tempat itu, Banyak Sumba berhenti dan untuk pertama kalinya menyatakan kebimbangannya kepada panakawannya.
"Sik, saya sungguh-sungguh menjadi bimbang sekarang. Kau tahu bahwa salah satu tugasku adalah membunuh Anggadipati. Akan tetapi, kau pun mendengar bagaimana orang bercerita tentang kisah kematian Kakanda Jante. Kisah itu umumnya bertentangan dengan anggapan Ayahanda dan anggapanku. Anggadipati tidak bersalah, Anggadipati sayang kepada Kakanda. Saya tidak percaya, tetapi cerita kakek-kakek itu sungguh mengguncangkanku, Sik."
"Kita dapat menyelidiki kebenaran kisah itu, Raden. Masih ada waktu bagi kita untuk menyelidikinya setelah tugas pertama kita selesai. Marilah kita ambil dulu abu jenazah itu. Siapa tahu, dari tulisan pada guci abu jenazah, kita akan mendapat keterangan lebih lanjut tentang kisah itu."
Setelah termenung sebentar, berkatalah Banyak Sumba.
"Saya tidak merasa menyesal dengan gagalnya rencana saya membunuh Anggadipati dengan pisau itu, Sik. Siapa tahu kalau saya berhasil membunuhnya, ternyata saya membunuh orang yang tidak bersalah. Kalau begitu, apa yang akan terjadi pada Ayunda Yuta Inten?"
Banyak Sumba menarik napas panjang karena lega.
Dalam hatinya, ia bersyukur tidak jadi membunuh puragabaya itu.
Ia tahu, Ayunda Yuta Inten mencintai Pangeran Anggadipati dengan seluruh jiwa raganya, dengan seluruh hidupnya, apa pun yang dikisahkan orang tentang puragabaya itu.
Ia tahu bahwa Ayunda Yuta Inten terus-menerus bertapa demi kepentingan keluarga dan juga orang yang dikasihinya itu.
Alangkah sengsara hidup Ayunda Yuta Inten dan alangkah tabahnya wanita yang disayanginya itu.
Ia merasa hormat dan rindu kepada ayundanya.
Ia ingin berbuat sesuatu yang membahagiakan Ayunda, tetapi selama ini, dukacita wanita itulah yang dicarinya.
Sekarang, ia mulai bimbang.
Tanpa disadarinya, ia mulai berharap semoga kakek-kakek itu yang benar supaya ia tidak harus membunuh Pangeran Anggadipati dan Ayunda Yuta Inten tidak harus berdukacita.
Semangatnya bangkit untuk segera mengambil abu jenazah itu dan ia berpaling kepada Jasik yang dengan teliti mengawasi kuil itu dari tempat gelap.
"Sik, barangkali Sang Hiang Tunggallah yang menghalangiku ketika pisau beracun itu akan kulemparkan terhadap puragabaya itu,"
Kata Banyak Sumba, kemudian ia melanjutkan perkataannya.
"Mudah-mudahan, tulisan pada guci itu membesarkan harapan-harapanku."
"Raden, penjaga-penjaga di samping kiri meninggalkan tempatnya,"
Kata Jasik. Banyak Sumba memandang ke arah itu. 'Sik, janganlah kau terlalu memikirkan penjaga-penjaga itu, mereka bukan persoalan yang berat. Yang perlu kita pikirkan, ke mana kita akan lari setelah menemukan guci itu?"
Jasik memandang Banyak Sumba dengan penuh pertanyaan. Banyak Sumba terdorong untuk menjawab.
"Begini, Sik. Saya terpaksa akan memukul salah seorang atau dua orang penjaga sampai pingsan, lalu kita memasuki kuil. Kita akan mengambil guci itu, lalu melarikan diri. Yang penting sekarang adalah menentukan jalan-jalan yang akan kita lalui ketika melarikan diri."
"Tapi..."kata jasik. Ia tidak melanjutkan perkataannya. Sebagai seorang yang telah biasa bergaul dengan anggota wangsa Banyak Citra, ia percaya bahwa anggota wangsa Banyak Citra dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Ia percaya kepada Banyak Sumba dan siap menuruti perintahnya.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang, ikutilah saya,"
Kata Banyak Sumba. Mereka pun berjalan, tidak menuju kuil, tetapi mengelilingi kuil. Di suatu mulut lorong, Banyak Sumba berhenti. Ia berkata.
"Lorong inilah yang paling sepi. Kalau kita melarikan diri ke sini, tidak akan-terlalu banyak orang yang melihat kita."
Jasik memandang ke arah lorong itu. Dilihatnya hanya beberapa pintu rumah yang masih terbuka dan memancarkan cahaya lampu ke arah jalan. Sementara itu, beberapa orang tua masih bercakap-cakap di halaman.
"Raden, kalau rencana kita undurkan waktunya sebentar, mungkin lorong ini akan lebih sepi lagi."
"Tidak, Sik. Saat ini tidak disangka orang sebagai waktu untuk melakukan pencurian guci itu. Kalau malam sudah sedikit larut, para jagabaya mulai meronda. Kita akan mudah disergap oleh orang-orang yang bersenjata seperti para jagabaya. Orang-orang yang tidak bersenjata merupakan persoalan yang lebih kecil bagi kita."
Jasik rupanya mengerti. Banyak Sumba pun mulai berjalan menuju salah satu pintu kuil sebelah kiri, tempat berdiri dua orang penjaga.
"Raden, apakah yang akan Raden lakukan?"
"Saya akan memukul penjaga-penjaga itu sampai pingsan lalu kita masuk ke dalam kuil. Mungkin kau akan menunggu di luar untuk berjaga, tetapi kalau tidak perlu, kau boleh masuk bersama saya."
Jasik tidak menjawab, ia mengikuti majikannya yang melangkah dengan tenang ke arah pintu kuil di sebelah kiri itu.
Setiba mereka di sana, kira-kira beberapa langkah lagi dari para penjaga, salah seorang dari para penjaga itu mendekati mereka sambil mengawasi wajah mereka dalam cahaya remang lampu-lampu minyak.
"Hai, siapakah Ki Silah ini?"
Katanya.
"Kami pengembara,"
Sahut kedua orang pengembara itu.
"Mau ke mana, Saudara-saudara? Tidakkah Saudara- saudara beristirahat di malam yang gelap ini?"
"Kami pendatang dan tidak menginap di dalam kota,"
Jawab Banyak Sumba.
"Tapi, sebentar lagi gerbang kota ditutup,"
Kata penjaga itu, kecurigaannya mulai berkurang.
"Kami berjanji untuk bertemu dengan teman di sini, lalu kami ke luar kota bersama-sama. Teman kami sedang ada urusan dengan saudaranya di sebelah barat."
Penjaga itu sudah kehilangan curiganya, rupanya, terutama karena tampak Banyak Sumba seorang yang sangat lemah lembut sikapnya.
"Sudah lamakah Saudara menjadi penjaga di kuil ini."
"Ah, baru musim panen yang lalu, semenjak ada usaha pencurian guci puragabaya Jante Jaluwuyung."
"Pencurian?"
Kata Banyak Sumba, pura-pura heran.
"Ya, tapi tentu saja gagal. Pencuri-pencuri yang akan menghinakan abu jenazah akan terkutuk untuk selama- lamanya,"
Kata penjaga itu.
"Untuk apa pencuri-pencuri itu menghinakan abu jenazah?"
Tanya Banyak Sumba untuk lebih menghilangkan kecurigaan penjaga itu. Ketika itu, penjaga yang lain mendekat dan ikut mengobrol. Penjaga baru itu berkata.
"Wah, tentu Saudara pendatang."
"Memang,"
Kata Banyak Sumba.
"dan kami merasa aneh kalau ada orang yang mencoba mencuri abu jenazah."
"Kisahnya begini. Puragabaya Jante Jaluwuyung ini seorang puragabaya yang hebat. Ia membunuh beberapa orang bangsawan. Di antara yang terbunuh adalah anggota wangsa Wiratanu dari Kutawaringin dan satu keluarga bangsawan di Kutabarang. Nah, saudara-saudara korban ini tentu saja ingin membalas dendam. Mereka berusaha membalas dendam terhadap saudara-saudara dan anggota keluarga puragabaya Jante Jaluwuyung. Akan tetapi, menurut cerita orang, keluarga puragabaya ini menghilang. Itulah sebabnya, pembalasan dendam mereka lakukan terhadap abu jenazah puragabaya itu. Mereka mencoba mencuri abu jenazah ini untuk menghinakannya. Sayang mereka tidak tertangkap. Kalau tertangkap, kita akan mengetahui, apakah pencuri itu datang dari Kutawaringin atau Kutabarang."
"Tapi, bagaimana saudara tahu bahwa pencuri-pencuri itu akan menghinakan abu jenazah ... puragabaya itu?"
"Kuncen kuil mengatakan, ketika mereka dba di tempat guci itu, salah seorang pencuri itu berseru kepada kawan- kawannya. Ini dia, abu si Jahanam itu!"
"Oh!"
Kata Banyak Sumba. Ketika itu, kedua orang penjaga berdiri berdampingan satu sama lain, tapi tidak terlalu dekat. Banyak Sumba mengharapkan mereka berdiri lebih berdekatan. Ia bertanya.
"Apakah ada anggota-anggota keluarga puragabaya itu yang sering datang menjenguk abu dan berdoa di sini?"
"Saya sudah katakan tadi, anggota keluarga si mati itu menghilang, mungkin karena takut oleh pembalasan dendam. Akan tetapi, Pangeran Anggadipati selalu datang ke sini. Setiap hari besar, beliau datang membawa bunga dan berdoa di sini,"
Katanya.
"Saya pernah melihat beliau menangis di depan guci itu,"
Kata penjaga yang lain.
"Mereka bersahabat karib dan sudah seperti saudara ketika Puragabaya jante Jaluwuyung ini hidup. Bahkan, saya dengar, Pangeran Anggadipati sudah bertunangan dengan adik perempuan Puragabaya jante Jaluwuyung itu. Kasihan kalau saya melihat Pangeran Anggadipati datang ke sini. Begitu bermuram durja beliau. Saya pernah mendengar Pangeran Anggadipati berkata kepada Puragabaya Rakean. Pangeran Anggadipati menyatakan, kalau saja ia tahu di belakangnya ada jurang, ia tidak pernah akan menghindarkan diri waktu diserang oleh Jante Jaluwuyung yang sedang kemasukan itu. Ketika itu, Puragabaya Rakean berkata kalau Pangeran Anggadipati menahan serangan Jante Jaluwuyung, yang akan menjadi korban akan lebih dari seorang, bukan Jante saja tetapi juga Pangeran Anggadipati. Memang, peristiwa itu suatu kecelakaan yang menyedihkan sekali. Saya mengerti mengapa Pangeran Anggadipati begitu bersedih hati."
"Saya mendengar bahwa guci tempat abu jenazah puragabaya yang mati itu sangat indah,"
Kata Banyak Sumba.
"Memang, yang paling indah di antara guci-guci puragabaya yang lain. Pangeran Anggadipati mendapatkannya dari sahabatnya yang mengembara ke negeri Katai,"
Kata penjaga itu.
"Saya belum pernah melihat cinta seorang sahabat seperti diperlihatkan Pangeran Anggadipati kepada si mati,"
Kata penjaga yang lain.
"Pangeran Anggadipati seorang budiman. Ia selalu baik terhadap orang-orang di sekelilingnya. Bahkan ketika ia mendapat laporan abu jenazah akan dicuri, tidak marah. Ia hanya berkata bahwa usaha pencuri-pencuri itu dapat dimengerti. Walapun begitu, katanya, para pencuri itu akan mengurungkan maksudnya kalau mereka tahu bahwa Jante Jaluwuyung tidak bersalah karena puragabaya itu membunuh dalam keadaan tidak sadar. Dan, kata Pangeran Anggadipati, sebenarnya tidak sepantasnya mereka meneruskan balas dendam kepada orang yang tidak berdaya seperti si mati yang sudah tidak akan melawan. Pembalasan dendam itu hanya akan mengotorkan tangan mereka di mata Sang Hiang Tunggal."
"Ya, Pangeran Anggadipati itu sangat pengampun,"
Kata penjaga yang satu.
"Ia seorang pendeta yang perwira atau ia seorang pahlawan yang juga bersifat pendeta."
"Ia seorang puragabaya sejati,"
Kata kawannya.
"Saya mengerti sekarang, mengapa beliau begitu banyak dinyanyikan oleh tukang-tukang pantun dan dipuja-puja dalam cerita-cerita rakyat."
Kedua orang penjaga itu sekarang duduk berdampingan.
Sebenarnya, Banyak Sumba kasihan kepada penjaga-penjaga itu, dua orang baik yang ramah kepadanya.
Sambil meminta maaf kepada kedua orang penjaga itu, Banyak Sumba menghantamkan tinju kanannya ke ulu hati yang satu, sedangkan tinju kirinya menyusul menghantam ulu hati yang lain.
Pelajaran yang diterimanya dari si Gojin tidak mengecewakannya.
Kedua orang penjaga itu terjatuh dan tidak bergerak lagi.
Mereka pingsan sebelum menyadari bahwa mereka diserang.
"Sik, sembunyikan di tempat gelap,"
Kata Banyak Sumba seraya mengangkat salah satu korbannya dan membawanya ke bawah bayangan kuil, lalu membaringkannya.
Jasik yang kagum melihat daya pukul tuannya, tertegun sejenak, lalu segera mengikuti tindakan tuannya.
Kedua penjaga itu dibaringkan di tempat tersembunyi.
Untuk lebih menyembunyikan keduanya, sarung hitam yang mereka pakai ditutupkan pada mereka.
"Mari kita masuk, Sik."
"Tidakkah lebih baik saya menunggu di luar?"
"Tidak perlu, Sik."
"Bagaimana kalau penjaga lain datang ke pintu itu?"
"Mereka tidak akan segera menemukannya dan kita sudah akan menemukan guci itu,"
Ujar Banyak Sumba sambil menyeret tangan Jasik.
Jasik menurut dan mereka mengendap-endap memasuki kuil.
Mereka berjalan di lorong yang remang-remang diterangi lampu-lampu minyak.
Lampu kecil yang berkelap-kelip itu makin suram cahayanya karena asap dupa yang tebal mengalun memenuhi ruangan.
Dalam cahaya remang itu, Banyak Sumba melihat bunga-bunga rampai berserakan di lantai, sementara dinding lorong kuil dipenuhi guci-guci indah tempat jenazah.
Sebagai seorang bangsawan, Banyak Sumba mengetahui bahwa guci-guci pada lorong pertama adalah tempat abu jenazah para ponggawa kerajaan yang berjasa.
Guci-guci para puragabaya terdapat pada dinding lorong tingkat kedua dari kuil itu, sedangkan abu jenazah keluarga sang Prabu terdapat pada puncak kuil dalam ruangan pualam yang berada di pusat kuil.
Di sanalah Kuncen berada.
Karena Banyak Sumba tidak akan memasuki ruangan itu, kemungkinan untuk kepergok tidak besar, kecuali kalau penjaga-penjaga yang pingsan itu siuman.
Dan karena mengejar waktu, Banyak Sumba bergegas memasuki tingkat kedua kuil itu, lalu berjalan sambil memeriksa guci-guci di sana.
Ia mengambil salah satu lampu yang terletak di dinding lorong, lalu dipergunakannya untuk menerangi guci-guci yang diperiksanya.
Akhirnya, dilihatnya sebuah guci yang indah buatannya dan dihiasi untaian bunga yang masih segar.
Banyak Sumba segera melangkah ke sana, lalu mempergunakan lampu.
Dalam remang-remang itu, ia melihat nama Jante Jaluwuyung Jantungnya terhenyak, denyutnya seolah-olah berhenti.
Akan tetapi, hanya sebentar ia tertegun.
Ia merangkul guci itu, lalu mengangkatnya.
Ia melepaskan sarungnya, lalu dibungkus-kannya pada guci itu.
Kemudian, disandangnya guci itu dengan sarung.
Sebelum melangkah dari tempat itu, ia mendengar desir langkah orang.
Kedua orang pengembara itu saling memandang.
Banyak Sumba memberi isyarat kepada Jasik untuk menyelinap di sudut lorong.
Kemudian, dipadamkannya lampu-lampu yang ada di dekatnya.
Mereka berdiri melekatkan dada mereka ke dinding lorong yang penuh dengan guci.
Tak lama kemudian, terdengar langkah mendekat dan muncul tiga sosok tubuh dalam remang-remang itu.
Banyak Sumba dan Jasik lebih merapatkan tubuh mereka pada dinding lorong kuil sambil tetap mengawasi para pendatang.
"Penjaga,"
Bisik Jasik.
"Tapi mereka tidak bersenjata panjang,"
Ujar Banyak Sumba. Ketika Jasik hendak berkata lagi, Banyak Sumba menutup mulut Jasik karena salah seorang di antara ketiga pendatang itu berjalan ke arah mereka.
"Di sini tempatnya,"
Bisik orang itu agak keras. Kedua temannya mengikuti. Ternyata, mereka berjalan menuju tempat guci abu jenazah Kakandajante yang sekarang sudah kosong.
"Bawa lampu,"
Kata orang itu kepada salah seorang temannya.
"Tidak usah pakai lampu, kau kan, sudah hafal?"
"Bawalah lampu. Daripada keliru lebih baik kita hati-hati. Jangan takut karena Sang Hiang Tunggal merestui usaha kita. Bukankah restu Sang Hiang Tunggal juga kalau penjaga pintu kiri itu meninggalkan kewajibannya?"
"Tapi kita harus hati-hati. Kalau mereka kembali akan melihat gerak-gerik kita di dalam,"
Bisik yang lain.
"Hai!"
"Apa?"
"Guci itu tidak ada."
"Hah?!" 'Jahanam! Penjaga-penjaga itu lebih pintar daripada kita. Mereka meninggalkan tugas, tetapi guci itu mereka bawa, jahanam!"
"Mari kita pergi ke pintu dan kita tunggu mereka. Kita potong kepala mereka untuk kenang-kenangan,"
Kata salah seorang di antara mereka.
Mendengar percakapan mereka itu, sadarlah Banyak Sumba bahwa orang-orang itu datang dengan maksud yang sama dengan dia, yaitu mencuri abu jenazah Kakanda jante.
Tiba- tiba, kemarahannya meluap, hingga napasnya hampir terhenti.
Ia mengeratkan sarungnya yang juga membungkus guci di pinggangnya.
Ia berkata kepada Jasik dengan nyaring.
"Sik, orang-orang ini harus diajar tahu diri!"
Katanya.
Ketiga pendatang itu tampak terkejut mendengar suara yang datang dari sudut lorong.
Mereka hendak lari atau bersiap, tetapi seperti seekor harimau lapar Banyak Sumba menghambur menghantamkan tangan dan kakinya ke arah tubuh mereka.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jasik pun memilih mangsanya dan menerkamnya tanpa ampun.
Teriakan-teriakan terdengar, bunyi guci-guci yang berjatuhan dan pecah pun menambah ingar-bingar suara perkelahian.
Dari luar terdengar lenguh trompet tiram tanda bahaya dan suara kaki-kaki terdengar menyerbu ke dalam kuil.
"Ikuti saya!"
Seru Banyak Sumba kepada Jasik yang baru saja memukul lawannya hingga pingsan.
Banyak Sumba berlari ke arah pintu kuil sebelah kiri, tempat tadi mereka masuk.
Sepanjang jalan, ia memukul lampu-lampu yang terletak di tiap sudut lorong kuil itu.
Akan tetapi, sebelum mereka dapat mencapai pintu itu, mereka melihat penjaga-penjaga berlari dengan pedang terhunus ke arah mereka.
Banyak Sumba ber-balik, demikian juga Jasik.
Mereka menuju pintu kuil yang lain, tapi baru saja mereka melangkah, datang kira-kira empat atau lima orang penjaga.
Kedua orang pengembara itu terpaksa berlari menuju pusat kuil.
"Padamkan lampu-lampu!"
Seru Banyak Sumba kepada Jasik, sementara ia sendiri memukuli lampu-lampu yang ada didekatnya. Maka, kuil pun jadi gelap gulita. Akan tetapi, tak lama kemudian, mereka dapat melihat kembali, setelah terbiasa dalam gelap itu.
"Bawa obor! Bawa obor!"
Terdengar penjaga-penjaga berteriak dari tingkat dua kuil itu. Banyak Sumba kebingungan sejenak, kemudian dilihatnya cahaya dari atas.
"Sik, kita hanya dapat meloloskan diri melalui lubang itu,"
Katanya sambil tengadah.
"Tapi, lubang itu terlalu tinggi, Raden,"
Ujar Jasik.
"Ambil sarung bajingan-bajingan itu!"
Seru Banyak Sumba. Jasik melepaskan sarung-sarung korbannya yang bergelimpangan di lantai lorong. Sementara itu, para penjaga ribut di luar.
"Hai, para penjaga yang sial, siapa berani naik ke tingkat dua akan menjadi korban pertama,"
Kata Banyak Sumba. Suaranya bergema dalam kuil itu.
"Obor! Obor!"
Terdengar suara dari luar.
"Coba naik ke tingkat dua, siapa yang mau jadi korban pertama?"
Seru Banyak Sumba. Kemudian berbisik.
"Sik, gunakan pisaumu, jadikan sarung-sarung itu kain panjang.
"
Jasik melakukan perintah itu. Sementara itu, terdengar langkah mendekat dari arah bawah. Banyak Sumba mengendap, lalu memegang salah satu dari orang-orang yang pingsan itu.
"Keluar atau kalian kami bunuh seperu tikus!"
Seru orang dari luar. Banyak Sumba menyeret orang pingsan itu ke tikungan lorong, ia berseru.
"Coba naik kalau berani!"
Sambil berkata demikian, dilemparkannya orang pingsan itu ke bawah, ke arah suara penjaga-penjaga.
"Si Iba, bawa keluar!"
Seru penjaga-penjaga itu, mungkin mereka menyangka orang yang dilemparkan itu kawan-kawannya, penjaga pintu kiri.
"Siapa yang mau jadi mayat pertama, naiklah!"
Seru Banyak Sumba. Ia berlari ke arah Jasik, lalu berkata.
"Siap, Sik?"
"Sudah, Raden."
"Sekarang, naiklah ke pundakku, lalu melompatlah kau ke lubang itu!"
"Lebih baik Raden yang naik ke pundak saya, saya yang ditarik."
"Tidak, Sik, saya lebih besar. Kau dapat menyangkutkan tali itu ke satu dinding kuil."
"Baik, Raden, maaf,"
Katanya. Jasik naik ke pundak Banyak Sumba yang berdiri tegak. Tapi, Jasik tidak bisa mencapai lubang itu.
"Melompat!"
Seru Banyak Sumba.
Jasik melompat dan bergantung untuk beberapa lama.
Banyak Sumba tidak segera menolongjasik mendorong kakinya, ia berlari ke tikungan lorong.
Begitu ia tiba di sana, dilihatnya sesosok tubuh muncul mengendap.
Ia menghantamkan kakinya ke tubuh orang yang menjerit dan bergelundung ke bawah, kc tingkat pertama kuil, melalui tangga itu.
"Siapa lagi?!"
Seru Banyak Sumba sambil berlari ke arah Jasik. Akan tetapi, dengan tangannya yang kuat, Jasik sudah dapat naik dan mulai mengulurkan tali yang terbuat dari kain sarung yang disambung-sambungkan.
"Sangkutkan, Sik, kalau-kalau kau tidak kuat menarik tubuhku."
"Baik, Raden."
Banyak Sumba menangkap ujung tali itu dan dengan mudah memanjat.
Ketika ia bergantung, dilihatnya sesosok tubuh keluar dari tikungan dan menghambur kepadanya.
Ia berusaha menggunakan kakinya sambil bersiap menghindarkan serangan yang berbahaya dari pedang yang ada di tangan penyerang.
Akan tetapi, orang itu tersandung pada tubuh yang bergelimpangan dalam gelap.
Banyak Sumba mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya dengan memanjat lebih cepat.
Penyerang baru datang.
Ia bersiap menghindar, walaupun kedudukannya sangat tidak menguntungkan.
Penyerang itu menghantamkan pedangnya, tepat ketika Jasik menarik Banyak Sumba.
Hanya suara pedang mengenai batu yang terdengar dalam gelap.
Dan, kedua pengembara itu sekarang sudah berada di atap kuil.
"Kita lari lewat pohon,"
Kata Banyak Sumba.
"selamatkan dirimu, kita bertemu di tempat menginap."
Sambil berkata begitu, Banyak Sumba merangkak mendekat ke cabang pohon yang menjulur.
"Cegat! Cegat! Mereka keluar kuil! Obor! Obor!"
"Mereka lewat atap!"
Terdengar suara lain berseru.
Banyak Sumba melompat ke pohon, untung-untungan dalam gelap itu.
Terdengar suara ranting-ranting patah dan risik daun.
Jasik didengarnya pula mengikuti langkahnya, sementara itu di sekeliling kuil makin banyak obor menyala.
Banyak Sumba menuruni pohon, lalu melompat ke dalam gelap, menyelinap lalu berjalan.
Ia tertegun ketika melihat beberapa orang lari ke arahnya, ia bersiap-siap.
"Ada apa ribut-ribut di kuil?"
Tiba-tiba salah seorang dari pendatang itu bertanya kepadanya. 'Ada yang mencoba mencuri abu jenazah,"
Kata Banyak Sumba.
"tapi pencuri-pencurinya sudah terkepung di dalam,"
Lanjutnya setelah ragu-ragu. Tiga orang rakyat itu berlari ke kuil. Yang seorang lari, tapi kemudian berhenti.
"Kau siapa?"
Orang itu bertanya sambil mencoba melihat wajah Banyak Sumba dalam remang-remang yang diterangi cahaya obor dari jauh itu.
Banyak Sumba tertegun, tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali menyelamatkan diri.
Ditendangnya ulu hati orang itu hingga terpental dan tidak berkutik lagi.
Rupanya, perbuatannya itu dilihat orang karena tak lama kemudian, terdengarlah teriakan-teriakan dan orang-orang berlari ke arahnya.
Banyak Sumba segera berlari kembali, menjauh dari tempat itu seraya memanfaatkan gelap malam.
Sepanjang gelap malam itu, Banyak Sumba mengembara dalam kota.
Dicarinya jalan-jalan yang menuju arah dinding kota sambil berhati-hati dan menghindari para jagabaya yang meronda.
Kadang-kadang didengarnya derap kaki kuda dan seruan-seruan perintah di jalan-jalan besar.
Banyak Sumba menyadari bahwa kejadian di kuil telah diketahui jagabaya dan mereka meningkatkan kegiatannya cepat sekali.
Ketika subuh hampir tiba, Banyak Sumba memutuskan untuk meninggalkan kota setelah gerbang dibuka.
Sambil menunggu pagi, ia berjalan ke arah pasar karena di sana ia dapat beristirahat dengan aman, di antara para petani yang kemalaman.
Setiba di sana, dibaringkan tubuhnya di antara tumpukan sayuran segar.
Ia berbuat demikian agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Akan tetapi, ia tidak berani tidur, betapapun ia lelah dan mengantuk.
Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Pendekar Cacad Karya Gu Long Pendekar Cacad Karya Gu Long