Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Terakhir 2


Pertarungan Terakhir Karya Saini KM Bagian 2



Pertarungan Terakhir Karya dari Saini KM

   

   Ia berjaga-jaga menantikan fajar.

   Sementara itu, ia berdoa, mudah-mudahan Jasik selamat.

   Seandainya Jasik tertangkap dan dipaksa membuka rahasia, mungkin kesukaran akan bertambah.

   Walaupun demikian, ia yakin, apa pun yang terjadi, Jasik tidak akan membocorkan rahasia.

   Ia tahu tentang kesetiaan panakawan-panakawan wangsa Banyak Citra.

   Ketika ia sedang berdoa, terdengarlah kokok-kokok ayam jantan.

   Ia berpaling ke arah timur, langit sudah memerah.

   Tak lama kemudian, terdengar satu-dua orang di antara petani-petani yang kemalaman itu, bangun.

   Lalu, dari arah gerbang kota, terdengar trompet tiram ditiup mendayu-dayu, pertanda gerbang mulai dibuka.

   Banyak Sumba bergegas bangun, lalu berangkat ke arah gerbang kota yang cukup jauh dari pasar.

   Sementara itu, hari makin terang dan Banyak Sumba melihat kesibukan kota mulai ramai.

   Jagabaya-jagabaya berkuda berulang-ulang lewat di jalan-jalan yang luas itu.

   Mereka mengawasi orang-orang dengan teliti.

   Banyak Sumba terpaksa berulang-ulang masuk lorong.

   Ia kecewa ketika di gerbang kota ia melihat orang- orang berkerumun dan jagabaya-jagabaya sibuk memeriksa dan menggeledah mereka.

   Banyak Sumba segera menjauh dari gerbang dan berjalan sambil berpikir.

   Setelah beberapa lama berjalan, ia memasuki sebuah warung dan meminta setempurung air.

   Kepada orang-orang yang duduk-duduk dan sama-sama minum bersamanya, ia bertanya.

   "Apakah yang terjadi hingga penjagaan dalam kota ditingkatkan dan orang-orang yang keluar kota diperiksa?"

   "Kuil penyimpanan abu jenazah diserobot orang dan jenazah Puragabaya Jaluwuyung dicuri orang."

   "Tiga orang dari pencurinya tertangkap, tapi orang malah jadi bingung,"

   Kata laki-laki yang lain.

   "Mengapa?"

   Tanya Banyak Sumba.

   "Mereka tertangkap dalam keadaan pingsan. Padahal, menurut keterangan para penjaga, mereka tidak pernah berkelahi dengan pencuri-pencuri itu. Justru mereka mengejar dua orang yang melarikan diri lewat atap kuil. Mereka tidak tahu hubungan antara pencuri yang tertangkap dengan yang melarikan diri. Ketiga orang pencuri yang tertangkap bungkam dan mengatakan tidak tahu-menahu tentang kawan-kawannya yang lari. Rupanya memang ada dua kelompok pencuri, satu kelompok tiga orang dan yang lain dua orang."

   "Mengapa Saudara berpendapat demikian?"

   Tanya Banyak Sumba sambil meraba guci jenazah yang tersembunyi di balik sarungnya.

   "Demikianlah pengakuan ketiga orang pencuri yang tertangkap. Di samping itu, menurut kawan saya, seorang jagabaya, ditemukan lima ekor kuda. Tiga ekor kuda jelas milik pencuri yang tertangkap itu, sedangkan dua ekor kuda yang dititipkan di tempat lain, belum ada yang mengambil. Itulah sebabnya, para jagabaya beranggapan bahwa pencuri yang dua orang lagi yang membawa lari guci tempat jenazah, masih berada dalam kota."

   Mendengar itu, Banyak Sumba cemas. Ia masih berada dalam bahaya. Ia termenung, memikirkan bagaimana ia akan menyembunyikan benda yang tidak ternilai harganya itu. Ia berpikir sekeras-kerasnya.

   "Saya heran, mengapa orang-orang itu berusaha mencuri abu jenazah puragabaya itu."

   "Mungkin gucinya yang mahal harganya. Menurut kabar, Pangeran Anggadipati adalah sahabat puragabaya yang meninggal itu dan pangeran yang budiman itu mencarikan guci yang sangat indah untuk abu sahabatnya. Dan guci itu didapatkan dan dikirimkan dari negeri Katai. Mungkin, guci itulah yang diinginkan para pencuri, walaupun tidak besar."

   "Menurut pendapat saya, bukan itu alasannya,"

   Kata yang lain.

   "Orang tidak akan mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah benda berharga seperti guci itu. Ada alasan lain. Menurut keterangan kenalan saya, itu karena dendam. Ada orang-orang yang dendam terhadap puragabaya yang telah meninggal itu dan bermaksud menghinakan abunya. Untuk dendam atau perasaan tersinggung inilah, orang mempertaruhkan nyawanya. Memang itu perbuatan gila, tapi apa hendak dikata, orang bisa jadi buta tuli karena dendam."

   Setelah minum dan mencicipi makanan paginya, Banyak Sumba membayar, lalu meninggalkan tempat itu.

   Ia masuk keluar lorong sambil berpikir, akhirnya diputuskan untuk membeli sekeranjang besar buah pepaya.

   Ia kembali lagi ke pasar.

   Di sana, dibelinya sekeranjang pepaya, lalu ia membawanya dengan mengusung di pundaknya.

   Untuk tidak menarik kecurigaan, dilepasnya hiasan-hiasan yang memperlihatkan kebangsawanannya.

   Ia mengusutkan pakaian-pakaiannya, lalu berjalan meninggalkan pasar.

   Untuk beberapa lama, ia mengusung keranjang pepaya itu seolah- olah ia tukang dagang keliling.

   Beberapa orang memanggilnya, ia menjawab bahwa pepaya itu tidak dijual.

   Ia berjalan mencari bagian kota yang sepi.

   Setelah lama berjalan, akhirnya ditemukanlah tempat itu.

   Ia duduk di sebuah lapangan kecil, di dekat rumpun bunga.

   Ia melihat ke kanan dan ke kiri, lalu mengambil pepaya yang besar.

   Dibelahnya pepaya itu, sebagian isinya dikeluarkan.

   Ia mengeluarkan guci yang indah itu dari balik sarungnya, lalu memasukkannya ke pepaya.

   Ia merapatkan kedua belahan pepaya itu, mengambil tali dari keranjangnya, kemudian diikatkannya pada pepaya itu agar tidak terbuka.

   Dipandangnya beberapa lama pepaya tempat menyembunyikan abu jenazah itu.

   Akhirnya, ia pun menarik napas panjang.

   Setelah itu, ia bangkit, berjalan kembali menuju pintu gerbang kota.

   Akan tetapi, kemudian ia tertegun.

   Dilihatnya tiga orang jagabaya berkuda menuntun dua ekor kuda tanpa penunggang.

   Banyak Sumba segera mengenali kudanya dan kuda Jasik.

   Ia segera menghindar, cemas kalau-kalau kuda itu membauinya, lalu membuat ulah hingga ia ditemukan.

   Pertemuan dengan kuda-kudanya menyebabkan ia menyadari satu masalah lagi.

   Kalau ia sudah dapat lolos dari kota, bagaimana ia akan mendapatkan kuda untuk menghindarkan diri dari jagabaya yang banyak itu? Ia terus berjalan sambil berpikir.

   Akhirnya, ia berkata dalam hatinya, asal ada seekor kuda di dekatnya, ia akan mengambil risiko.

   Sambil berjalan, ia mengusung keranjang pepaya di bahu kirinya.

   Tangan kanannya memegang dua buah pepaya, yang satu berisi guci kecil itu.

   Setiba di pintu gerbang yang luas, ia berjalan dalam barisan orang-orang yang hendak meninggalkan kota.

   Mereka para pedagang dan petani-petani yang tinggal dalam kota.

   Ketika Banyak Sumba menyadari tidak ada di antara mereka yang membawa buah-buahan ke luar kota, sadarlah ia akan kecerobohannya.

   Bukankah biasanya buah-buahan dibawa dari luar ke dalam kota? Tidakkah usahanya membawa buah-buahan ke luar kota justru akan menimbulkan kecurigaan? Ia bimbang, berulang- ulang ia akan keluar dari barisan itu, tetapi orang-orang mendesak dari belakang.

   Bagaimanapun, mereka tergesa- gesa.

   Akhirnya, diputuskannya untuk mengambil risiko.

   Ia menghitung jagabaya yang bertugas dan kuda-kuda yang ditambatkan di dekat gerbang kota.

   Kalau keadaan gawat, ia dapat menyerang jagabaya-jagabaya itu, lalu menghambur ke arah kuda-kuda, memutuskan kendali dan sanggurdinya, lalu melompat ke punggung salah satu kuda yang paling besar.

   Segalanya telah disiapkan dalam hati.

   Ia yakin, betapapun banyaknya pengejar, kalau tanpa sanggurdi dan harus menyambung kendali dulu, akan terlambat.

   Akhirnya, tibalah gilirannya untuk diperiksa.

   "Turunkan pepaya itu,"

   Kata seorang di antara jagabaya yang menjaga paling dekat.

   Banyak Sumba tidak saja menurunkan keranjangnya, tetapi segera mengeluarkan beberapa pepaya seolah-olah membantu jagabaya-jagabaya itu.

   Jagabaya yang seorang memerhatikan, yang lain mengeluarkan pepaya itu hingga keranjang kosong.

   Kemudian, ia memberi isyarat agar Banyak Sumba memasukkan kembali pepaya-pepayanya.

   "Cepat, yang lain menunggu!"

   Tiba-tiba, seorang jagabaya mendekat. Ia memandang beberapa lama, lalu berkata.

   "Mau di bawa ke mana pepaya muda ini?"

   "Ya?"

   Tanya Banyak Sumba pura-pura tidak mendengar seraya mencari jawaban yang paling baik.

   "Mau dibawa ke mana?"

   "Untuk makanan kuda,"

   Jawab Banyak Sumba sambil berjalan ke luar gerbang. Sesampai di sebuah pasar di perkampungan yang terletak tidak jauh dari gerbang, ia mencari penjual kuda di tempat itu dan tak lama kemudian menemukannya.

   "Saya memerlukan kuda yang baik,"

   Katanya kepada penjual kuda.

   "Ini atau itu?"

   Tanya penjual kuda.

   "Berapa yang hitam ini?"

   "Dua keping emas."

   "Satu keping emas dan lima keping perak,"

   Kata Banyak Sumba. Ia bukan tidak berani membeli kuda dengan harga yang diusulkan pedagang itu, tetapi ia tidak mau dicurigai dalam keadaan tergesa.

   "Saudara tahu harga kuda, bukan? Saya tidak menjual lebih dari harga kuda yang baik,"

   Kata pedagang itu sambil berjalan ke arah kuda hitam.

   "Kalau setuju, saya pasangkan pakaiannya."

   "Kalau begitu, baiklah,"

   Kata Banyak Sumba sambil merogoh saku bajunya.

   "Saya diminta melaporkan setiap orang yang membeli kuda, jadi tunggu sebentar. Seorangjagabaya akan memeriksa Saudara dulu. Saudara tahu, malam tadi terjadi lagi penyerobotan terhadap kuil penyimpanan abu jenazah, dan pencurinya berhasil membawa lari abu jenazah puragabaya itu."

   Penjelasan itu sungguh mengejutkan Banyak Sumba. Tapi, ia tidak kehilangan akal. Ia segera berkata.

   "Ambillah dulu uang ini, saya sudah kepalang mengeluarkannya."

   "Nanti saja."

   "Ambillah!"

   Kata Banyak Sumba sambil menyodorkan uang emas itu.

   Penjual kuda itu menerimanya, lalu melangkah dengan tenang ke arah gerbang kota.

   Banyak Sumba tidak melihat jalan lain kecuali mengambil risiko.

   Kuda yang telah dibelinya itu belum berpelana.

   Kebetulan, ia melihat banyak pakaian kuda bergantungan di sana, lalu dipasangnya sendiri.

   Setelah pepaya yang berisi guci dimasukkan ke balik sarungnya, ia melompat ke atas punggung kuda yang baru dibelinya, melecutnya, lalu memacunya.

   Untuk beberapa lama tak ada yang terjadi, tetapi tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan.

   Ia tidak berpaling, tapi terus memecut kudanya sambil berpikir keras, mencari jalan-jalan yang paling baik untuk melarikan diri.

   Ia tidak mengambil jalan besar, tetapi segera berbelok-belok, memasuki lorong-lorong kecil yang simpang siur di sekeliling benteng ibu kota itu.

   Ketika ia berbelok, sempat diliriknya arah gerbang kota.

   Tampak beberapa penunggang kuda mengejarnya.

   Ia mempercepat kudanya.

   Berulang-ulang ia berpapasan dengan pejalan- pejalan yang melompat ke pinggir.

   Beberapa kereta berhenti, kusirnya memaki-maki.

   Beberapa orang wanita menjerit ketakutan.

   Banyak Sumba berusaha secepat-cepatnya menjauhi ibu kota.

   Akhirnya, sampailah ia ke tempatnya menginap.

   Setelah menyembunyikan kudanya, ia segera masuk.

   Sayup-sayup terdengar teriakan para pengejar, tapi Banyak Sumba tidak khawatir.

   Ia mengganti pakaiannya, lalu keluar ke tepi jalan.

   Para pengejar lewat sambil melihat ke kanan dan ke kiri seraya bertanya-tanya, mereka tidak mengenal Banyak Sumba yang telah mengenakan- pakaian kebangsawanannya.

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
RASA lega hanya sebentar ada dalam hatinya.

   Ia segera sadar bahwa nasib Jasik belum diketahuinya.

   Ia pun tahu,Jasik masih berada dalam benteng dan siapa tahujasik tertangkap.

   Ia tahu bahwa kalaupun Jasik tertangkap, rahasianya tidak akan terbuka.

   Jasik tidak akan menyebut-nyebut keluarga Banyak Citra.

   Akan tetapi, ia merasa tidak berhak merelakan Jasik menjadi korban demi kepentingan keluarganya.

   Banyak Sumba mulai gelisah, la bertanya dalam hati, apa yang akan dilakukannya? Ia termenung sebentar, kemudian kembali ke tempatnya menginap untuk mengambil beberapa barang pentingnya.

   Setelah itu, ia kembali, menghentikan sebuah kereta yang kebetulan lewat.

   "Paman, dapatkah saya ikut ke kota?"

   Kusir kereta itu memandangnya. Rupanya, kusir itu segera menyadari bahwa yang meminta tolong seorang bangsawan. Dengan hormat, ia menjawab.

   "Raden, sebenarnya saya tidak mendapat izin membawa siapa pun. Akan tetapi, kalau Raden mau mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Ranggawesi, beliau tidak akan keberatan dan tidak akan memarahi saya."

   Tanpa pikir panjang karena pikirannya terpusat pada nasib Jasik, Banyak Sumba segera naik.

   "Terima kasih, Paman. Kalau tidak perlu, saya tidak akan minta tolong. Saya berjanji akan menemui Pangeran Ranggawesi setelah ada kesempatan."

   "Tampaknya, Raden orang asing di ibu kota ini,"

   Kata kusir itu setelah beberapa lama mereka berjalan.

   "Ya, Paman. Saya sedang melihat-lihat ibu kota yang banyak diceritakan orang Saya datang dari Kota Medang."

   "Cerita itu akan bertambah sekarang, Raden."

   "Ya? Mengapa?"

   Tanya Banyak Sumba.

   "Tadi malam, satu peristiwa yang menggemparkan terjadi. Mungkin Raden belum mengetahui bahwa dalam kuil abu jenazah, di antara beratus-ratus guci abu jenazah pahlawan terdapat abu jenazah seorang puragabaya. Puragabaya ini bernama Jaluwuyung, sahabat Pangeran Anggadipati. Sudah lama sekali abu jenazah ini diincar oleh para pencuri. Menurut keterangan, mereka adalah pencuri-pencuri yang disuruh oleh bangsawan-bangsawan yang dendam terhadap si mati. Pangeran Anggadipati berusaha melindungi abu jenazah itu, di antaranya dengan menambah penjaga-penjaga, yaitu pengiring-pengiring yang didatangkan dari Puri Anggadipati, di sebelah selatan timur Kutabarang. Berulang-ulang percobaan pencurian digagalkan. Akan tetapi, tadi malam, menurut cerita orang-orang, datang seorang yang ketangkasan dan keperwiraannya begitu tinggi hingga para penjaga itu kewalahan. Orang itu seolah-olah dapat terbang dan menghilang. Sedangkan pukulan dan tendangannya, bayangkan! Lima orang pingsan, dua penjaga dan tiga pencuri lain."

   "Wah! Bagaimana pencuri itu memukul kawan-kawannya?"

   Tanya Banyak Sumba, pura-pura.

   "Raden, Puragabaya Jaluwuyung ini banyak sekali musuhnya. Itulah sebabnya, yang hendak menghinakan abunya pun banyak. Rupanya, mereka berebut abu jenazah itu."

   "Bagaimana dengan tiga orang pencuri yang lain?"

   "Mereka tertangkap, mereka suruhan dari Kutawaringin."

   "Orang yang memukulnya, sudahkah diketahui orang, siapa dan dari mana?"

   "Itulah yang ramai dipercakapkan dan diperdebatkan orang. Ada yang berpendapat bahwa orang itu suruhan keluarga Jaluwuyung yang dikabarkan menghilang setelah Jaluwuyung meninggal dunia. Yang lain berpendapat, walaupun tidak terus terang, bahwa orang itu sebenarnya Puragabaya Anggadipati sendiri yang dengan cerdik mengambil abu jenazah untuk menyembunyikannya di tempat yang tidak diketahui oleh lawan-lawan Jaluwuyung. Dengan menyembunyikannya sendiri, Pangeran Anggadipati akan merasa tenteram dan puas menghormati abu jenazah sabahatnya itu. Barangkali Raden mendengar, betapa besar cinta Pangeran Anggadipati kepada si mati. Saya pernah melihat beliau berlinang air mata sehabis menabur bunga di dalam kuil."

   "Oh, jadi Paman sudah pernah bertemu dengan pangeran yang terkenal itu?"

   "Wah, sering sekali, Raden!"

   "Di mana Paman sering bertemu dengan pangeran itu?"

   "Beliau sering datang ke rumah Pangeran Ranggawesi, majikan Paman. Ayunda beliau, Putri Ringgit Sari menikah dengan majikan Paman, Pangeran Ranggawesi."

   Banyak Sumba tertegun sejenak.

   Ia melirik, melihat-lihat keadaan kereta itu.

   Ditatapnya tempat duduk beledu, alas kaki berupa permadani kecil, tali kendali kulit lembut berhiaskan bunga-bungaan dari perak, kuda berwarna gambir yang kuat dan gagah.

   Dalam hatinya berkata, tentu Anggadipati, orang yang telah begitu banyak menentukan perjalanan hidupnya, sering duduk di tempat duduknya sekarang "Saya akan mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Pangeran Ranggawesi, Paman.

   Adakah Pangeran Anggadipati sering berada dengan Pangeran Ranggawesi?"

   Tanyanya.

   "Sebelum Putra Mahkota meminta beliau tinggal dalam istana, Pangeran Anggadipati tinggal bersama Pangeran Ranggawesi, Raden."

   "Mungkinkah saya dapat bertemu dengan beliau kalau saya ada kesempatan mengunjungi Pangeran Ranggawesi untuk mengucapkan terima kasih?"

   "Siapa tahu, Raden,"

   Ujar kusir itu.

   Banyak Sumba membayangkan pertemuan itu, tetapi ia ragu-ragu, ia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya kalau kesempatan itu datang.

   Ia ragu-ragu, apakah benar Pangeran Anggadipati berdosa, seperti yang diyakini oleh Ayahanda Banyak Citra? Bukankah sekarang kisah terbunuhnya Kakanda Jante.

   menjadi simpang siur, hingga ia tidak tahu lagi, siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut? Di samping itu, kalau Anggadipati membenci Kakandajante, untuk apa dia berbuat begitu banyak untuk abu jenazah Kakandajante? "Paman,"

   Tiba-tiba Banyak Sumba berkata.

   "apakah Pangeran Anggadipati sudah menikah?"

   "Belum, Raden. Begitu banyak bangsawan tinggi yang mengingininya sebagai menantu, begitu banyak putri yang mabuk kepayang, tetapi setelah peristiwa yang menyedihkan itu, hatinya seolah-olah menjadi dingin. Di samping itu, menurut yang Paman dengar dari percakapan Pangeran Ranggawesi dengan Putri Ringgit Sari, hati Pangeran Anggadipati tidak dapat dilepaskan lagi dari ikatannya terhadap Putri Yuta Inten, adik Jaluwuyung yang meninggal itu. Raden mungkin pernah mendengar bahwa Jaluwuyung itu calon iparnya. Akan tetapi, peristiwa yang menyedihkan itu terjadi dan Putri Yuta Inten bersama seluruh keluarganya menghilang. Walaupun kerajaan, atas titah sang Prabu, berusaha mencarinya, tidak ada berita tentang bangsawan- bangsawan yang menghilang itu.

   "Banyak orang yang menduga bahwa seluruh keluarga bangsawan itu dibunuh oleh bekas lawan Jante Jaluwuyung. Raden barangkali tahu, Jante Jaluwuyung pernah membunuh Raden Bagus Wiratanu, keluarga bangsawan yang kuat dan besar dari Kutawaringin. Orang menduga, keluarga Tumenggung Wiratanu dari Kutawaringin ini telah berhasil membunuh seluruh keluarga Jante Jaluwuyung sebagai balas dendam."

   "Apakah kalangan istana percaya akan kemungkinan itu?"

   Tanya Banyak Sumba.

   "Kebanyakan percaya dan keluarga Banyak Citra umumnya dianggap sudah musnah dari muka bumi. Sayang, padahal keluarga itu punya sejarah yang panjang sekali dalam kehidupan Pajajaran. Banyak anggotanya yang termasyhur, sebagai menteri atau sebagai panglima. Hanya, ada yang tidak mau percaya akan kemusnahan keluarga itu, yaitu Pangeran Anggadipati. Saya pernah mendengar Pangeran Anggadipati berkata, walaupun tidak ada bukti-bukd, hatinya seolah-olah berkata bahwa keluarga itu masih hidup."

   "Itukah sebabnya, mengapa beliau tidak mau menikah dengan putri bangsawan Pakuan Pajajaran?"

   "Bukan. Seandainya keluarga itu terbukti musnah, Pangeran Anggadipati tidak akan menikah. Beliau sudah berjanji tidak akan menikah kalau tidak dengan Putri Yuta Inten. Soal itu berulang-ulang menjadi pembicaraan keluarga beliau, termasuk majikan Paman, Pangeran Ranggawesi dan Putri Ringgit Sari."

   Mendengar cerita itu, beratlah hati Banyak Sumba, la menyadari kalau cerita kusir itu benar. Ia harus meneliti kembali segala pendapatnya tentang Anggadipati. Ia benar- benar gundah ....

   "Raden! Raden!"

   Terdengar suara Jasik.

   "Paman, berhentilah sebentar, saya turun di sini. Itu kawan yang saya cari,"

   Kata Banyak Sumba sambil berpaling ke arah suara. Jasik berlari menyusul kereta itu. Kusir menghentikan kereta. Banyak Sumba mengucapkan terima kasih, lalu berkata.

   "Saya akan berusaha untuk mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Pangeran Ranggawesi, Paman."

   "Terima kasih kembali, Raden,"

   Ujar kusir itu. Ketika itu, Banyak Sumba sudah memegang bahu Jasik dengan gembira.

   "Betapa lega hati saya, Sik."

   "Saya pun lega, Raden. Tentu Raden cemas,"

   Ujar Jasik.

   "Saya benar-benar cemas, Sik,"

   Kata Banyak Sumba.

   "ketika kebetulan melihat kuda kita dituntun oleh jagabaya. Saya menyangka kau telah tertangkap. Saya agak heran, mengapa mereka tidak mengumpankan kuda itu dan menangkap kita ketika kita hendak mengambilnya."

   "Mereka melakukan hal itu, Raden. Ketika saya sedang menghadapi tukang tunggu penyimpan kuda, tiba-tiba saya ditodong oleh beberapa mata tombak dari belakang dan dari samping saya. Mula-mula saya benar-benar ketakutan, tetapi kemudian terpikir oleh saya bahwa mereka tidak akan membunuh saya. Pasti kerajaan memerlukan keterangan- keterangan saya tentang pencurian abu Raden Jante Jaluwuyung. Maka, tenanglah saya. Ketika saya digiring ke arah asrama jagabaya dan ketika kami melewati bagian kota yang sangat ramai, saya nekat mengibaskan todongan tombak di punggung saya dengan tiba-tiba. Saya serang kelima orang jagabaya yang mengiring saya itu. Mereka terkejut dan tidak dapat menyerang ketika saya melarikan diri ke tengah orang banyak. Beberapa orang rakyat mencoba membantu jagabaya dengan menghalangi saya. Akan tetapi, mereka harus membayar untuk itu. Beberapa orang kena pukul dan kena tendangan saya. Setelah memanjati beberapa benteng rendah dan memasuki halaman orang, saya turun dijalan besar lain, lalu berjalan tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan.

   "Sang Hiang Tunggal melindungi kita, Sik."

   "Ya, Raden. Di jalan besar, ketika berjalan, saya mengucapkan syukur dan berdoa semoga tidak terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap Raden."

   "Kita harus bergerak cepat sekarang, Sik."

   "Kuda kita dirampas, Raden."

   "Oh, biarlah, Sik. Apalah artinya kuda itu dibandingkan dengan abu jenazah yang telah kita dapat?"

   "Oh, syukurlah, Raden,"

   Ujar Jasik dengan mata bersinar-sinar.

   Banyak Sumba menepuk bahu Jasik kembali, lalu mereka meninggalkan bayangan benteng ibu kota Pakuan Pajajaran.

   Beberapa kali mereka melihat pasukan-pasukan jagabaya berkuda.

   Kesibukan jagabaya ini tampak lebih daripada biasanya.

   Banyak Sumba berpaling memandangjasik.

   Mereka.saling mengerti.

   Tiga hari setelah itu, pada suatu subuh, kedua orang pengembara itu sudah mengendarai kuda mereka yang baru, menuju timur.

   Di atas pelana, mereka membawa kantong- kantong dari kulit, berisi obat-obatan dan perbekalan sekadarnya.

   Mereka akan melakukan perjalanan jauh, menuju daerah Medang.

   Perjalanan antara Pakuan Pajajaran dengan Kota Medang akan memerlukan waktu satu minggu.

   Akan tetapi, perjalanan itu akan diperlambat karena mereka berulang-ulang harus menghindar dari jalan-jalan tertentu, tempat para jagabaya dengan giat memeriksa perbekalan pengembara-pengembara untuk menemukan abu jenazah yang hilang.

   Di samping itu, kedua orang pengembara itu menyimpang ke arah tenggara setelah mereka melalui Kutabarang.

   Mula-mula, mereka mengunjungi Perguruan Gan Tunjung untuk menemui Arsim yang tentu saja cemas setelah mereka pergi tanpa berita.

   Setelah itu, mereka menyimpang kembali, menuju Padepokan Sirnadirasa.

   Banyak Sumba menghadap Eyang Resi, mohon restu untuk pulang ke tempat kelahirannya.

   Setelah itu, berbincang-bincang dengan kawan seperguruannya, terutama Raden Girilaya yang sangat gembira menyambut kedatangannya.

   Pada liari ketiga, Banyak Sumba diiringi Jasik memacu kuda mereka ke arah timur.

   Pada hari keenam, mereka tiba di Kutawaringin.

   Karena kuda-kuda mereka lelah dan perbekalan berkurang, Banyak Sumba memutuskan untuk beristirahat sehari di kota yang ramai itu.

   Kita perlu mengganti kuda dengan yang masih segar Nk- Kita dapat menjual yang sekarang.

   Di samping itu, kita lapat mencari keterangan tentang kota ini,"

   Katanya Jasik mengerti maksud Banyak Sumba yang terakhir, ia tersenyum, lalu berkata.

   "Orang pernah mengambil kuda Raden di sini, siapa tahu sudah tiba saatnya orang itu mengembalikannya sekarang, Raden."

   "Akan tiba saatnya setiap orang harus menempatkan segalanya di tempatnya semula, Sik,"

   Kata Banyak Sumba, juga tersenyum.

   Sore harinya, mereka berjalan-jalan di kota.

   Mereka mencoba mendengar keterangan-keterangan tentang berbagai hal sekitar wangsa Wiratanu.

   Akan tetapi, tidak ada keterangan berharga yang didapat.

   Justru cerita-cerita tentang pencurian abu jenazah itulah yang banyak tersebar.

   Pencuri sakti yang dapat menghilang, dapat terbang dan pukulannya merobohkan lima orang sampai pingsan, menjadi buah pembicaraan yang hangat di Kutawaringin.

   "Saya baru percaya bahwa kata-kata itu bersayap, Sik,"

   Kata Banyak Sumba setelah mendengar cerita-cerita itu.

   "Saya malah akan sukar memercayai kata-kata, setelah mendengar dusta-dusta yang hebat itu."

   "Mereka tidak berdusta, Sik. Mereka menerima cerita-cerita itu dalam bentuknya yang telah lusuh, lalu mereka terpaksa mencelupnya lagi ke dalam khayal mereka supaya cerita mereka itu bagus."

   "Ya, barangkali mereka mendengar cerita itu dari tukang pantun, pangeran-pangeran dari kerajaan dusta yang indah."

   "Dan karenanya, kita jadi termasyhur bukan, Sik."

   "Ya, Raden, dikatakan mereka bahwa saya, panakawan kesatria hitam yang dapat terbang itu, melayang mengikuti Raden sambil menyepak-nyepak hingga para penjaga kuil bergelimpangan jatuh di bawah tangga."

   Begitulah mereka bercakap-cakap di jalan-jalan Kutawaringin hingga pada suatu saat, mereka tidak sengaja mendengar berita bahwa beberapa anggota keluarga Wiratanu baru saja dibunuh dalam suatu peristiwa perampokan.

   "Dibunuh? Oleh siapa?"

   Orang yang ditanya melihat ke kanan ke kiri, lalu berbisik.

   "Oleh siapa lagi kalau bukan oleh si Colat?"

   "Si Colat?!"

   Tanya Banyak Sumba terkejut.

   "Ssst,"

   Kata orang itu. Ia tampak ketakutan dan ketika Banyak Sumba hendak bertanya lagi, orang itu segera menghindar.

   "Sik,"

   Kata Banyak Sumba.

   "rupanya benar, si Colat telah mengganas di Kutawaringin ini. Saya dengar, anggota-anggota keluarga Wiratanu yang dibunuhnya dan bukan anggota-anggota keluarga bangsawan lain. Saya ingin sekali mengetahui, mengapa si Colat berbuat demikian."

   "Raden, rupanya orang yang merebut kuda kita dulu itu punya utang pula kepada si Colat,"

   Ujar Jasik. Setelah termenung, ia berkata.

   "Sayang."

   "Mengapa sayang Sik?"

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Banyak Sumba agak heran.

   "Kalau utangnya begitu besar kepada si Colat, hingga orang itu harus membayar dengan nyawanya, mungkin ia tidak akan sempat membayar dulu kepada Raden."

   "Oh, Bungsu Wiratanu, Sik?"

   "Ya, Raden, bangsawan berandalan itu."

   "Saya sebenarnya tidak hendak berurusan dengan dia, Sik. Saya hanya hendak berurusan dengan orang yang membunuh atau terlibat dalam pembunuhan Kakanda Jante. Ternyata, kita terpaksa harus berhadapan dalam banyak hal dengan keluarga Wiratanu ini. Mula-mula ia merebut kudaku, kemudian keluarga ini mencoba pula hendak menghinakan abu Kakanda jante. Saya didesak untuk berurusan dengan mereka, Sik."

   "Tapi, tentu saja tidak sekarang, Raden."

   "Ya, Sik. Kita harus segera bertemu dengan keluarga."

   Mereka segera meninggalkan kota.

   Mereka pergi ke sebuah kampung tempat mereka menitipkan kuda dan barang-barang mereka.

   Dari orang tua di tempat mereka menginap, Banyak Sumba mendapat keterangan lebih banyak tentang kisah pembunuhan yang dilakukan terhadap anggota-anggota Wangsa Wiratanu.

   "Si Colat melakukan pembunuhan-pembunuhan itu secara berencana. Ia tidak pernah membunuh beberapa orang sekaligus. Ia membunuh pada tanggal-tanggal tertentu. Biasanya, ia membunuh pada tanggal kelahirannya, ketika bulan sabit, bulan ketujuh, kemudian pembunuhan terjadi pada tanggal peristiwa pengeroyokan yang dilakukan terhadapnya, yang menyebabkan si Colat luka. Kemudian, pada tiap hari kelahiran Tumenggung Wiratanu."

   Banyak Sumba tertegun mendengar cerita itu. Ia mendekat kepada orang tua itu, lalu bertanya.

   "Bagaimana Bapak dapat mengetahui hal itu? Bukankah cerita-cerita tentang si Colat sangat berbahaya dibicarakan di Kutawaringin ini?"

   Orang tua itu tertawa, lalu berkata.

   "Berbahaya? Setiap orang sudah tahu cerita itu."

   "Tapi, orang yang tadi menceritakan hal itu seperti takut."

   "Memang, Raden. Dalam kota, orang takut menceritakan hal itu. Akan tetapi, di luar kota, orang bebas. Di dalam kota, banyak jagabaya dan badega Tumenggung Wiratanu atau bangsawan berandal kawan Bungsu Wiratanu. Di luar kota, anak-anak buah si Colat-lah yang banyak dan orang berpihak kepada si Colat,"

   Kata orang tua itu.

   "Saya tidak mengerti, Bapak?"

   "Tentu saja, Raden orang asing, orang Medang,"

   Kata orang tua itu. Ia menarik napas, lalu berkata.

   "Begini, Raden. Ketika Tumenggung Wiratanu masih muda dan sedang belajar di Kutabarang, ia jatuh cinta kepada seorang putri bangsawan rendah di sana. Ia menikahinya, kemudian menceraikannya kembali setelah istrinya yang berada di Kutawaringin mengetahui. Istri yang di Kutabarang melahirkan seorang putra laki-laki, tampan, lemah lembut, dan budiman. Akan tetapi, ketika putranya ini telah dewasa dan memperlihatkan bakat-bakat kebangsawanan yang tinggi, terjadilah keributan. Raden Bagus Wiratanu, putra sulung Tumenggung Wiratanu yang telah meninggal, beranggapan bahwa putra ayahanda dari selir ini ingin merebut kedudukannya sebagai calon penguasa Kota Kutawaringin. Perdamaian diadakan. Putra dari selir itu bersumpah tidak mengingini kedudukan itu. Namun, ia sangat disukai bangsawan-bangsawan di sini, kabarnya mungkin karena kebu-dimanan dan ketampanannya. Atau mungkin juga karena Raden Bagus Wiratanu tidak disukai sebab sifat berandalnya. Raden tidak sukar untuk membayangkan keberandalannya, dengarlah kabar-kabar perbuatan adiknya Bungsu Wiratanu. Begitu adiknya, lebih- lebih kakaknya. Nah, karena bangsawan-bangsawan Kutawaringin sangat suka kepada putra dari selir ini, Bagus Wiratanu rupanya tetap takut. Pada suatu hari, didengar berita bahwa putra dari selir itu meninggal karena dikeroyok perampok di luar Kota Kutabarang. Setelah itu, lahirlah si Colat. Ia adalah orang lain, masih lemah lembut, masih tersenyum, tetapi bukan yang dulu. Kalau bertemu dengannya, saya sering merasa sedih melihat bekas lukanya yang memanjang dari ujung bibir ke telinga, bekas golok. Saya masih melihat senyumnya yang manis, tetapi bulu roma saya sering berdiri. Apakah karena melihat bekas lukanya yang mengerikan itu atau karena hal lain, saya tidak tahu."

   "Paman! Oh, Bapak!"

   Seru Banyak Sumba menyela. 'Apakah Bapak sering berjumpa dengan si Colat?"

   "Raden, Kota Kutawaringin dan desa-desa di sekitarnya berada di bawah kekuasaan Tumenggung Wiratanu di siang hari, tetapi malam hari adalah kerajaan si Colat."

   "Mungkinkah suatu hari nanti saya dapat bertemu dengan si Colat?"

   "Kemungkinan itu tidak terbatas, Raden. Kerajaan si Colat pun tidak terbatas. Kampung-kampung dan hutan-hutan yang membentang antara Kutawaringin dan Kutabarang adalah wilayah kekuasaannya. Siapa tahu, pada suatu hari, Raden melihat dia menunggangi kuda-kuda hitam yang terkenal, yang dinamai si Mega Wulung. Ah, begitu tampan, tetapi begitu menakutkan; begitu lemah lembut, tetapi begitu buas terhadap lawan-lawannya. Sampai kini, belum terdengar dia mengganggu rakyat. Bahkan, saya mendengar anak buahnya yang mengganggu rakyat dihukumnya dengan berat."

   Banyak Sumba termenung mendengar cerita itu.

   Sang Hiang Tunggal menjalankan kehendak-Nya dengan penuh rahasia untuk menghukum keluarga Wiratanu yang berdosa itu.

   Ia tidak tahu, apakah ia harus berlega hati atau menyesal mendengar cerita itu.

   Yang jelas dalam hatinya hanyalah, Sang Hiang Tunggal akan menjalankan segala kehendak-Nya yang hanya dimengerti oleh orang-orang bijaksana.

   "Raden, kita tidak akan mencari si Colat sekarang, bukan?"

   Tanya Jasik yang sudah rindu dengan keluarganya.

   Rupanya, ia cemas kalau-kalau Banyak Sumba mengambil kepu-tusan lain, yaitu mencari si Colat.

   Jasik mengetahui bahwa kemauan Banyak Sumba sangat keras untuk menguasai ilmu keperwiraan.

   Mungkin saja Banyak Sumba memutuskan untuk mencari si Colat dulu sebelum pulang.

   Akan tetapi, ketika itu Banyak Sumba mengerti akan isi hati Jasik dan isi hatinya sendiri.

   Banyak Sumba pun telah rindu untuk bertemu dengan keluarganya.

   Keesokan paginya, pagi-pagi sekali, mereka berangkat menuju timur, ke arah Kota Medang.

   TAK BANYAK halangan di perjalanan, selain jagabaya- jagabaya.

   terpaksa harus dihindari agar tidak memeriksa barang-barang mereka.

   Ternyata, kisah pencurian abu jenazah Kakanda Jante itu tidak saja tersebar dari mulut ke mulut, tetapi juga memengaruhi kegiatan para jagabaya.

   Mereka menahan dan memeriksa barang-barang orang-orang yang dicurigai.

   Itulah sebabnya, mengapa cerita pencurian itu begitu cepat tersebar dan berkesan dalam hati anak negeri.

   Akan tetapi, hal itu tidak menguntungkan kedua pengembara.

   Mereka terpaksa menghindari jalan besar dan melalui huma- huma atau hutan-hutan.

   Baru setelah empat belas hari perjalanan, mereka tiba di pinggiran wilayah Kota Medang.

   Kedua orang pengembara langsung menuju Padepokan Panyingkiran.

   Dengan berdebar-debar, mereka berjalan antara semak-semak karena kuda mereka telah mereka tinggalkan di kampung yang jauh dari sana.

   Makin dekat, makin tergesa- gesa mereka berjalan.

   Akan tetapi, mereka terpukau ketika mengetahui bahwa kampung kecil yang tersembunyi di puncak gunung itu sudah kosong.

   Untuk beberapa lama, Jasik dan Banyak Sumba berpandangan.

   Jasik menunduk.

   Banyak Sumba tahu, Jasik menyembunyikan air mata yang tidak tertahan meluapi kelopak matanya.

   Banyak Sumba memegang bahu Jasik tanpa berkata apa-apa.

   Dukacita hampir meremukkan dadanya.

   Mereka bergerak, berjalan tidak tentu arah dalam kampung yang lengang dan sunyi itu.

   "Raden! Sik!"

   Tiba-tiba dari dalam semak terdengar seruan. Banyak Sumba melihat Iba berlari dan merangkulnya.

   "Iba, di mana mereka?"

   Tanya Banyak Sumba dan Jasik bersama-sama.

   "Raden, baik-baik? Mereka di sana."

   "Di sana, di mana?"

   "Kita akan pergi ke sana,"

   Kata Iba.

   "Kita ke sana sekarang, Iba, mari!"

   Kata Banyak Sumba.

   Mereka segera memasuki hutan menuju selatan.

   Sepanjang jalan, Iba bercerita bahwa semuanya sehat, tetapi karena sering diketahui adanya pengintai-pengintai yang mendekati Padepokan Panyingkiran, Ayahanda akhirnya memutuskan untuk memindahkan persembunyian mereka ke hutan yang lebih lebat.

   Perjalanan untuk mencapai hutan itu, ternyata sukar dan lama.

   Hutan makin lebat, harimau-harimau mengaum, badak bergerobas di bagian hutan yang basah, monyet ingar-bingar di atas dahan.

   Tapi, semuanya tidak mereka hiraukan.

   Hati mereka sudah berada di tengah-tengah keluarga.

   Dan ketika hari mulai sore, serta Banyak Sumba melihat pagar tinggi yang terbuat dari batang-batang pohon sebesar paha, berlarilah ketiga orang kawan seperjalanan itu.

   Sementara itu, Iba berteriakteriak dengan gembira, memberitakan kedatangan mereka.

   Ketika Banyak Sumba tiba, lapangan kecil di tengah- tengah kampung penuh oleh para gulang-gulang dan keluarganya.

   Di tengah-tengah mereka, tampak Ayahanda, Ibunda, Ayunda, dan adik-adik.

   Banyak Sumba bersujud di hadapan orangtuanya, air matanya bagai hujan deras tak tertahan.

   Kemudian, dirasanya Ibunda merangkulnya, sementara Ayahanda berdiri, tapi tak sepatah kata pun dikatakannya.

   Orangtua itu menekan hatinya, walaupun di sekelilingnya para gulang-gulang dan emban-emban menangis karena terharu dan gembira.

   Malam harinya, dengan segala upacara, Banyak Sumba dan Jasik menyerahkan guci tempat jenazah Kakanda Jante disaksikan seluruh isi kampung pengungsian itu.

   Hujan air mata berulang kembali ketika Ayahanda menyampaikan kata- kata penerimaannya.

   "Semoga Jante Jaluwuyung tidur nyenyak karena ia tahu bahwa ia meninggalkan adik yang berbakti."

   Banyak Sumba melihat dalam cahaya obor, betapa orang tua yang keras itu telah sangat tua oleh penderitaan.

   Dalam tiga tahun itu, rambutnya menjadi putih, sementara matanya cekung, walaupun cahayanya masih tetap menyala-nyala oleh api dendam.

   Melihat akibat penderitaan yang tampak pada Ayahanda, Ibunda, dan Ayunda, meluap kembali kemarahan dan dendam Banyak Sumba terhadap siapa saja yang terlibat dalam peristiwa terbunuhnya Kakanda Jante.

   Mereka yang ambil bagian dalam peristiwa itu dan secara langsung atau tidak menyebabkan terbunuhnya Kakanda Jante, harus membuat perhitungan dengannya.

   Akan tetapi, berbeda dengan dahulu, kemarahan sekarang bercampur dengan kebimbangan.

   Ia menyadari bahwa siapa yang terlibat dan bagaimana pembunuhan itu terjadi, tidaklah sederhana seperti yang digambarkan oleh Ayahanda tujuh tahun yang lalu, sebelum mereka meninggalkan Kota Medang.

   Renungannya tidak mengganggunya ketika itu.

   Tidak saja pertemuan dengan mereka kembali menyebabkan kebahagiaan dalam dirinya, tetapi selesainya tugas pertama, yaitu mendapatkan abu jenazah Kakandajante, menyebabkan rasa berharga dalam dirinya.

   Walaupun tidak banyak berkata, Banyak Sumba mengetahui bahwa Ayahanda bangga akan perbuatannya.

   Demikian juga para gulang-gulang, badega, dan para emban yang ikut mengungsi.

   Mereka -bangga dan kagum terhadap segala sesuatu yang telah dilakukan Banyak Sumba.

   Jasik pun tak kurang pula mendapat pujian mereka.

   Jasik terus-menerus dikelilingi mereka, diminta menceritakan tentang segala hal yang mereka lihat selama mengembara, terutama tentang perkelahian ketika merebut guci abu jenazah itu.

   Kepada Banyak Sumba tak ada yang mau bertanya tentang hal itu, kecuali adik laki-lakinya yang bernama Tohaan Angke.

   Sudah berumur tiga belas tahun.

   "Kakanda, berapa orang yang menjaga kuil tempat abu jenazah itu?"

   Tanya Angke ketika mereka berjalan-jalan di hutan.

   "Aku tidak menghitungnya, Angke."

   "Kata mereka, paling sedikit dua puluh orang"

   Ujar Angke.

   "Kata siapa?"

   "Kata Iba dan gulang-gulang lain. Mereka sering menanyakan tentang perkelahian itu kepada Jasik."

   "Mungkin, Angke, tidak sempat kuhitung mereka. Hanya dua orang kupukul, yang lainnya, tiga orang, suruhan dari Kutawaringin."

   "Bagaimana Kakanda memukul mereka?"

   Tanya Angke.

   "Engkau tidak akan mengerti kalau kujelaskan, Angke,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Kata mereka, Kakanda memiliki ilmu pukulan yang luar biasa hingga seluruh Pajajaran mengetahuinya."

   "Kata siapa, Angke?"

   Tanya Banyak Sumba, tetapi kemudian ia menjawab pertanyaan itu dalam hatinya. Tentu gulang- gulang menceritakannya. Ia mengulangi perkataannya.

   "Engkau tidak akan mengerti, Angke."

   "Tapi Kakanda, Ayahanda mengatakan, sebentar lagi saya belajar kepada Kakanda,"

   Katanya.

   "Ayahanda sudah mengatakan demikian?"

   "Ya,"

   Jawab Angke.

   "Lebih baik, kau belajar tentang kenegaraan. Menjadi perwira cukuplah aku seorang"

   Kata Banyak Sumba seraya termenung Kemudian, ia berpaling kepada Angke, betapa mirip adiknya dengan dirinya. Haruskah adiknya mengemban tugas seperti dia? Kesedihan menyelinap ke hatinya.

   "Seharusnya, engkau mempelajari ilmu kenegaraan,"

   Kata Banyak Sumba sekali lagi, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri.

   'Akan tetapi, Ayahanda mengatakan, seluruh keluarga Wiratanu dan seluruh keluarga Anggadipati harus menanggung akibat dari kematian Kakanda Jante.

   Saya dan Galih Wungu harus membantu Kakanda kalau sudah cukup besar."

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak, Angke,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "kalian tidak perlu mengikuti jejakku. Masalahnya akan kuselesaikan sendiri dan jangan takut, masalahnya akan dapat kuselesaikan sendiri tanpa bantuan kalian."

   Sambil berkata demikian, Banyak Sumba memandang adiknya. Hatinya menjadi sayu. Dengan Ibunda, Banyak Sumba tidak pernah banyak bercakap-cakap. Wanita yang rambutnya mulai ditaburi uban karena derita itu memandang diam-diam dengan kasih sayang.

   "Hamba akan menjaga diri hamba,"

   Demikian kata Banyak Sumba kepada Ibunda, tanpa ditegur terlebih dahulu oleh wanita itu.

   "Doaku bersamamu selalu, Sumba,"

   Ujar Ibunda.

   Sementara itu, Banyak Sumba jarang berkesempatan bercakap-cakap dengan Ayunda Yuta Inten.

   Kakak perempuannya itu menyibukkan diri dalam pekerjaan kewanitaan, meramu bumbu masakan di dapur dengan emban pada pagi hari, siang harinya menyulam.

   Sementara sore dan malam hari, gadis itu terus-menerus berdoa.

   Kadang-kadang, sampai larul malam lampu minyak di ruangannya masih berkelip-kelip.

   Pada suatu kesempatan bertemu, tiba-tiba saja Ayunda Yuta Inten berkata.

   "Sumba, Pangeran Anggadipati tidak berdosa."

   Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Ia termenung, bimbang.

   "Kalau kau bertemu dengan Pangeran Anggadipati, berilah kesempatan kepadanya untuk menjelaskan persoalannya, kau akan percaya atau tidak, terserah hati nuranimu." 'Ayunda,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "saya pun mendengar cerita-cerita dan melihat kenyataan-kenyataan yang menyebabkan saya bimbang."

   "Kulihat amarah dan kebencian selalu menyala-nyala dari matamu kepada orang yang tidak berdosa itu. Janganlah kau membujuk hati kakakmu untuk melakukan pembalasan dendam yang tanpa alasan itu."

   Banyak Sumba sungguh-sungguh terpukau oleh perkataan- perkataan Ayunda Yuta Inten.

   Belum pernah Ayunda yang lemah lembut berkata setegas dan sepahit itu.

   Banyak Sumba merasa terdorong untuk menjelaskan sikapnya.

   Ia memang memendam amarah dan dendam, tetapi amarah dan dendam itu wajar baginya karena ia adik dari seorang yang dibunuh.

   Akan tetapi, arah amarah dan dendam itu sekarang menjadi kabur.

   Pangeran Anggadipati tidak lagi menjadi pusat segala usahanya.

   Ia berulang-ulang bimbang.

   Ia ingin menyatakan hal itu kepada Ayunda Yuta Inten, tetapi tidak dapat memulai kalimatnya.

   "Ayunda, hamba pun bimbang. Hamba hanya berduka-cita dan marah pada nasib kita yang buruk, tidak kepada siapa pun, apalagi pada Pangeran Anggadipad. Hamba sendiri jadi kebingungan sekarang, siapa sebenarnya yang harus menerima hukuman karena kematian Kakanda Jante. Akan tetapimudah-mudahan Sang Hiang Tunggal memberikan jalan yang sebaik-baiknya untuk menjawab persoalan hamba, persoalan kita bersama. Percayalah bahwa hamba... tidak akan berbuat seperti orang yang tidak beradab."

   Banyak Sumba tidak tahu, bagaimana ia harus mengungkapkan isi hatinya kepada gadis yang berdukacita itu.

   Mereka diam sejenak, Banyak Sumba merasakan betapa berat keheningan di antara mereka itu.

   Ia harus mengatakan sesuatu untuk meringankan suasana yang menekan itu.

   Ia berkata.

   "Guci indah tempat abu jenazah Kakanda Jante itu, disediakan oleh Pangeran Anggadipati. Sengaja didatangkannya dari negeri Katai. Setiap senja, kalau tidak Pangeran Anggadipati sendiri, selalu ada suruhannya yang datang untuk menebarkan bunga di atas dan di sekitar guci itu. Sering Pangeran Anggadipati datang ke kuil untuk berdoa bagi ruh Kakanda Jante. Cerita orang kebanyakan menyatakan, Pangeran Anggadipati tidaklah berdosa dan Kakanda jante dicintainya. Hamba pun jadi bimbang."

   Ayunda Yuta Inten tidak berkata apa-apa.

   Gadis itu menunduk dan dari guncangan badannya, Banyak Sumba tahu Ayunda Yuta Inten menangis.

   Tiba-tiba saja, Banyak Sumba ingat kepada gadis yang dicintainya, nun jauh di ufuk barat, di Pakuan Pajajaran.

   Ia mengerti dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Ayunda Yuta Inten karena ia pun telah merasakan sendiri pengalaman yang dijalinnya dengan Nyai Emas Purbamanik.

   Kesedihan yang dalam mengembang dalam hatinya.

   Banyak Sumba menyadari bahwa perubahan yang sangat besar terjadi dalam dirinya.

   Ia menyadari sekarang, berbagai masalah yang dihadapinya tidak semudah yang dibayangkannya semula, atau seperti digambarkan oleh Ayahanda.

   Ia seorang perenung dan pembimbang sekarang.

   Ia berubah.

   Akan tetapi, Ayahanda tetap tidak berubah.

   Matanya menyala-nyala seperti dulu, sedangkan pandangan- pandangannya tentang berbagai soal tiada satu pun yang berubah.

   Banyak Sumba berkata pada suatu kali kepada Ayahanda.

   "Guci itu Pangeran Anggadipati yang menyediakan, guci terindah yang hamba temukan di tempat abu jenazah para perwira. Pangeran Anggadipati membungainya setiap hari dan sering datang untuk berdoa atau menangisinya."

   Tidak disangka-sangka, Ayahanda tertawa.

   "Tidak kepalang, penjahat itu selain berhati busuk pandai juga main sandiwara. Sumba, kewajibanmulah, walaupun misalnya tidak ada urusan dengan dia, untuk membersihkan orang-orang munafik seperti itu dari bumi Pajajaran."

   "Akan tetapi, Ayahanda, masih ada Sumba, janganlah kau mudah ditipu. Mereka tahu, wangsa Banyak Citra bukanlah wangsa yang enteng, yang mudah saja diperlakukan tidak adil. Mereka tahu, siapa wangsa Banyak Citra itu, siapa aku, dan siapa engkau. Mereka tahu bahwa keperwiraanmu sukar tandingnya. Mereka tahu, kalau seorang anggota wangsa Banyak Citra mau, ia dapat menjadi negarawan yang tidak terkalahkan atau perwira yang tidak akan dapat disentuh. Mereka sudah tahu, kau telah menjadi perwira yang tangguh. Mereka takut. Lalu, mereka mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bersifat melawan dengan kekerasan. Sumba, tahukah engkau, Pamanmu Galih Wangi sekarang diserahi kekuasaan untuk mengurus Kota Medang?"

   "Ayahanda ...,"

   Kata Banyak Sumba keheranan. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya tentang peristiwa itu. Seorang wangsa Banyak Citra lain, adik kandung Ayahanda ditempatkan sebagai pengganti Ayahanda.

   "Galih Wangi didudukkan di sana dengan pangkat sebagai wakilku, demikian keterangan orang-orang kita di sana. Tapi, hati-hati, Sumba. Mereka mau menjinakkan kita. Mereka, orang-orang di Pakuan Pajajaran tahu bahwa kita tidak akan berlembut hati sebelum kita mendapatkan kepala Anggadipati. Kalau mereka tidak memberikan kepala Anggadipati di atas baki kepada kita, kita keluarga Banyak Citra akan mendapatkannya sendiri. Dan, itu tidak sukar bagi keluarga kita. Sumba, ajarilah adikmu Angke ilmu keperwiraan. Paman Wasis telah melatihnya dan sebelum kau berangkat, berikanlah asas-asas ilmumu kepadanya."

   Banyak Sumba tidak dapat berkata apa-apa mendengar perkataan Ayahanda itu.

   Ia bingung, ia bersedih hati.

   Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya, ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

   Akhirnya ia berdoa dalam hatinya memohon kepada Sang Hiang Tunggal untuk melaksanakan kehendak Nya.

   Apa pun kehendak-Nya itu, ia akan menenmanya.

   Bab Diikuti Tak Dikenal Waktu tidak boleh terbuang percuma, hukum Sang Hiang Tunggal harus segera dilaksanakan, demikian ujar Ayahanda.

   Dan pada permulaan bulan kedua sejak berada di tempat pengungsian, persiapan kebe-rangkatan dilakukan Banyak Sumba dan Jasik.

   Pada hari baik, diantar oleh derai air mata dan doa, kedua anak muda itu berangkat.

   Tiga hari mereka di perjalanan.

   Pada hari keempat, tampaklah menara-menara jaga benteng Kutawaringin.

   "Sik, kita singgah di Kutawaringin untuk berlatih,"

   Kata Banyak Sumba melirik kepada Jasik.

   "Kalau ada kesempatan, kita tagih orang yang membeli kuda Raden dulu itu,"

   Jawab Jasik sambil tersenyum. Mereka membelokkan kuda, lalu melecutnya.

   "Ha! Ha!"

   "Bapak, kami kembali,"

   Kata Banyak Sumba kepada orang tua yang menerima mereka menginap pada kunjungan terdahulu. Orang tua itu mengenali mereka, lalu menyilakan mereka duduk.

   "Bagaimana Kutawaringin, Bapak?"

   Tanya Banyak Sumba.

   "Buruk, Raden,"

   Sahut orang tua itu.

   "Buruk?' kata Banyak Sumba dengan penasaran.

   "Beberapa orang bangsawan ditangkap oleh penguasa kota, mereka mencoba menjatuhkan penguasa kota. Kota terpecah-pecah, rakyat tidak tenteram. Sewaktu-waktu dapat saja terjadi perkelahian."

   "Mengapa sampai terjadi begitu, Bapak?"

   "Raden, banyak bangsawan tidak puas terhadap kepemimpinan Tumenggung Wiratanu. Sekarang, wangsa Wiratanu sedang mendapat kesukaran karena si Colat sedang membalas dendam dengan teratur. Tiap ulang tahun Tumenggung Wiratanu, diletakkan kepala seorang bangsawan di halaman atau di tengah-tengah pendapa. Wangsa Wiratanu berada dalam kesukaran dan bangsawan-bangsawan yang tidak puas mulai bergerak. Wangsa Wiratanu yang terpojok menghadapinya dengan tangan besi. Penangkapan, pembuangan. Rakyat takut memasuki kota untuk berdagang, pasar sepi, banyak saudagar yang mengalihkan usahanya ke Kutabarang."

   "Rupanya, keluarga ini banyak utangnya,"

   Katajasik, menyela dengan tidak sengaja.

   "Di pihak lain, rakyat pun merasa lega dengan keadaan sekarang, asal saja tidak berlarut-larut. Telah lama mereka diperlakukan sewenang-wenang. Bungsu Wiratanu seenaknya saja mengambil gadis-gadis petani, bahkan gadis bangsawan diculiknya di siang bolong. Kawan-kawannya berandal belaka."

   "Bagaimana terhadap kuda orang lain, Bapak?"

   Tanya Jasik yang menjadi gembira mendengar keluarga Wiratanu dalam kesukaran.

   "Mengenai kuda jangan dikata, bahkan kereta orang boleh saja dimintanya. Dan orang tidak berani menolak. Daripada kehilangan kemerdekaan atau nyawa, lebih baik kehilangan harta. Sering terjadi, orang-orang yang berani menentang, menghilang begitu saja."

   Sore itu, ketika beristirahat di tempat mereka menginap, Banyak Sumba berkata.

   "Sik, kiranya tidak ada saat yang lebih baik bagi kita untuk menyelesaikan perhitungan dengan keluarga Wiratanu. Sekurang-kurangnya, kita memberikan pelajaran kepada pencuri kuda itu."

   Mendengar usul yang sungguh-sungguh itu, Jasik termenung. Setelah beberapa lama tidak ada jawaban, Banyak Sumba berkata kembali.

   "Seandainya kita dapat membunuh orang jahat itu, dua hal yang telah kita lakukan, Sik. Pertama, kita membalaskan dendam Kakanda Jante. Kedua, kita melaksanakan tugas Sang Hiang Tunggal, yaitu menumpas kejahatan. Bukankah Sang Hiang Tunggal bersabda bahwa dengan menumpas kejahatan, kita melindungi rakyat banyak? Tidak ada saat yang paling baik daripada sekarang."

   Untuk beberapa lama, Jasik tetap berdiam diri, lain daripada biasanya. Akan tetapi, akhirnya ia berkata.

   "Saya beranggapan bahwa akhirnya Bungsu Wiratanu akan menjadi mangsa si Colat juga, Raden. Oleh karena itu, kita ddak usah bersusah-susah menghadapi bahaya,"

   Katanya.

   Banyak Sumba termenung sebentar.

   Ia bertanya dalam hati, apa yang akan dikatakan Ayahanda kalau ia tidak sempat membalas dendam terhadap keluarga Wiratanu.

   Kalau keluarga Wiratanu ditumpas oleh si Colat terlebih dahulu, tidakkah Ayahanda akan murka terhadapnya dan menganggapnya lalai? Banyak Sumba termenung.

   Akhirnya, ia beranggapan bahwa bertindak lebih baik daripada tidak.

   Lebih baik ia mencoba, lepas dari berhasil atau tidak usahanya itu.

   Bagaimanapun, Ayahanda akan senang kalau ia berbakti, yaitu mencoba dan berusaha sekuat tenaga membunuh para anggota keluarga Wiratanu.

   "Begini, Sik. Bukankah kita akan berlaku curang kalau kita mempergunakan tangan orang lain dalam membalas dendam? Si Colat punya perhitungan sendiri, seperti juga kita. Oleh karena itu, usaha si Colat tidak usah dihubung-hubungkan dengan usaha kita. Kakandajante tidak akan senang kalau adiknya menyerahkan lawan kepada orang lain,"

   Katanya. Dalam hatinya, Banyak Sumba pun berkata bahwa Ayahanda tidak akan senang kalau ia tidak membalas dendam dengan tangannya sendiri. 'Akan tetapi, Raden, bagaimana kalau kita mencapai tujuan yang terpenting dahulu, yaitu Pangeran Anggadipati?"

   Tanya Jasik.

   "Lebih baik Bungsu Wiratanu dulu, Sik. Bukankah orang ini dapat dianggap latihan bagi kita?"

   "Kalau begitu kehendak Raden, saya setuju. Tadinya saya ingin menyatakan, lebih baik kita menghindar dari bahaya, seandainya bahaya yang kita hadapi hanya akan sedikit hasilnya. Lebih baik menghadapi bahaya yang lebih besar dengan hasil yang lebih besar. Soal Bungsu Wiratanu ini soal nomor dua."

   "Kali ini, kesempatan sangat baik, Sik. Di samping itu, saya takut si Colat mendahului kita."

   Jasik tidak berkata apa-apa lagi, walaupun tampak ia belum yakin benar.

   Sore itu, ketika malam hampir turun, kedua orang pengembara keluar dengan pakaian serbahitam.

   Mereka bergegas menuju gerbang kota yang dalam waktu tidak lama lagi akan ditutup karena malam tiba dan keadaan sangat tidak aman.

   Ketika mereka tiba di gerbang, para jagabaya tampak mengawasinya dengan tajam, tetapi tidak ada yang menghalangi mereka masuk karena Banyak Sumba dan Jasik tidak bersenjata sama sekali.

   "Sungguh keliru, Sik, kalau mereka beranggapan bahwa orang yang tidak bersenjata adalah orang yang tidak berbahaya."

   "Ya,"

   Ujar Jasik.

   "Saya yakin, si Colat membunuh tanpa mempergunakan senjata sama sekali. Ia seekor harimau yang dengan tangannya yang telanjang dapat mematahkan leher lawannya dalam satu kali gerakan."

   "Ya,"

   Ujar Jasik, ketegangan mulai terdengar dalam suaranya.

   Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba terdengar dari belakang mereka suara gerbang yang ditutup.

   Gemanya menggetarkan udara dan juga hati Banyak Sumba.

   Tiba-tiba saja Banyak Sumba menyadari bahwa mereka sekarang terkurung di sarang lawan.

   Banyak Sumba melihat ke kanan dan ke kiri dan baru disadarinya, bagaimana jagabaya yang bersenjata lengkap banyak sekali berkeliaran dan waspada.

   Kadang-kadang, lewat jagabaya berkuda, yaitu para petugas dari Pakuan Pajajaran yang dikerahkan oleh sang Prabu untuk melindungi penguasa-penguasa bawahannya.

   Banyak Sumba tidak gentar menghadapi para jagabaya itu.

   Dalam hati ia berkata.

   "Tak ada pekerjaan bagi Saudara-saudara karena saya tidak akan melibatkan Saudara-saudara pada urusan pribadi saya ini."

   Sambil berbicara demikian, ia mengatur siasat.

   Ia harus memanjati beberapa benteng.

   Itu dapat dilakukannya dengan mempergunakan tambang.

   Mula-mula ia akan menaiki pundak Jasik, lalu melompati benteng, dari seberang ia akan melemparkan tambang dan menarik Jasik ke dalam dengan bantuan pohon-pohon yang biasa ada di dalam taman-taman di bagian benteng sebelah dalam.

   Ia telah menyediakan tambang besar yang dipergunakannya sebagai ikat pinggang.

   Seandainya ada jagabaya yang memeriksanya tadi di gerbang kota, jagabaya itu tidak akan mencurigainya karena tidak banyak orang yang akan menyangka bahwa ada cara yang baik untuk melewati benteng, seperti yang akan dilakukannya.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Raden, inilah rupanya istana,"

   Ujar Jasik tiba-tiba.

   Dalam keremangan senja, tampak oleh Banyak Sumba atap bangunan besar yang menjulang tinggi.

   Di sekeliling bangunan besar itu, tampak pula cahaya obor yang banyak dipasang di sana.

   Barulah Banyak Sumba menyadari bahwa memasuki bangunan besar itu bukan suatu hal yang mudah karena para penjaga dan badega-badega wangsa Wiratanu akan lebih waspada.

   Mereka tidak akan mau menjadi mangsa si Colat di dalam kandangnya sendiri.

   Itu tidak saja akan menyedihkan, tetapi akan sangat merendahkan nama baik wangsa Wiratanu.

   Banyak Sumba baru menyadari bahwa pendapat-pendapat Jasik banyak benarnya.

   Akan tetapi, ia tidak boleh mundur, bukankah ia anggota wangsa Banyak Citra yang tidak pernah menyerah dan kata orang tidak kenal takut? Bukankah ia anggota suatu wangsa bangsawan yang terkenal dan disegani? Bahaya yang lebih besar berarti tantangan yang lebih besar.

   Wangsa Banyak Citra senang kalau mendapat tantangan.

   Demikianlah Banyak Sumba berkata-kata dalam hatinya ketika mereka membelok dan menuju kelompok warung-warung di dalam kota yang masih terang dan banyak dikunjungi laki-laki.

   Di depan sebuah kedai tuak, kedua orang pengembara ikut berhenti dan Banyak Sumba berkata.

   "Kita mencari-cari keterangan dulu, Sik."Jasik tidak menjawab. Mereka melangkah dan memasuki ruangan yang cukup terang di bawah beberapa buah lampu minyak. Mereka langsung duduk di atas bangku yang ditilami dengan tikar-tikar. Dan begitu mereka duduk, seorang gadis yang berpupur tebal segera menyodorkan kendi tuak dengan dua buah cangkir tembikar kasar.

   "Selamat datang dan selamat malam, Tuan-tuan,"

   Kata gadis itu sambil tersenyum.

   Banyak Sumba duduk, lalu menuangkan tuak ke dalam cangkirnya.

   Ia mencicipinya, tapi tidak meminumnya.

   Ia tidak ingin menarik kecurigaan orang yang banyak berkumpul di sana.

   Ia berlaku seolah-olah ia bermaksud minum-minum seperti yang lain.

   Akan tetapi, tampaknya orang-orang yang ada di sana tak urung tertarik olehnya.

   Mereka rupanya menyadari bahwa Banyak Sumba dan Jasik adalah orang asing.

   Orang-orang melihat ke arahnya dengan penuh selidik.

   Banyak Sumba dan Jasik segera meminum tuak mereka dan memakan penganan yang disajikan oleh gadis yang berpupur tebal itu.

   Mereka makan penganan diam-diam dan kalau berbicara, terpaksa mereka berbisik.

   "Sik, salah benar kita masuk ke sini. Orang-orang tampaknya curiga,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Tapi, mereka tidak akan berbuat sesuatu terhadap kita dan dalam gelap seperti ini, mudah sekali kita meloloskan diri,"

   Ujar Jasik.

   "Kita harus segera meninggalkan tempat ini, Sik."

   "Baik, Raden,"

   Katajasik sambil menyeka bibirnya dengan selampai yang dibawanya.

   Akan tetapi, sebelum mereka bangkit, dua orang laki-laki yang semula duduk di sudut, bangkit dan berjalan ke arah mereka duduk.

   Kedua orang laki- laki itu memberi salam, lalu duduk di hadapan Banyak Sumba dan Jasik.

   "Saudara, orang asing?"

   Sebelum menjawab, Banyak Sumba menarik napas dulu. Akan tetapi, tak ada jawaban lain yang dapat diberikan kepada orang itu, kecuali "Ya". Banyak Sumba berkata.

   "Ya"

   Sementara dalam hatinya ia berkata, ia dapat memukul kedua orang itu sampai pingsan sekaligus. Kalau mau, ia dapat mematahkan lehernya satu per satu.

   "Ada keperluan dagang?"

   Tanya orang yang lebih tua di antara kedua orang itu.

   "Ya,"

   Banyak Sumba menjawab, senang, karena ia diberi peluang untuk mendapatkan dusta yang baik. Ia tidak dapat berdusta lebih baik selain mengaku sebagai pedagang.

   "Saudara penjual barang-barang perhiasan?"

   "Mengapa Saudara bertanya demikian?"

   Tanya Banyak Sumba sambil tersenyum untuk menghapus kekasaran pertanyaannya.

   "Saya melihat kulit dan tangan Saudara-saudara halus dan bersih. Biasanya, tukang-tukang emas atau orang-orang yang bekerja dalam ruanganlah yang bersih seperti Saudara."

   "Petani pun dapat bersih kalau rajin mandi,"

   Ujar Banyak Sumba mencoba berkelakar untuk menghilangkan ketegangan.

   "Jadi, benarkah Saudara tukang emas?"

   "Oh, sama sekali tidak,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Saya hendak menagih kepada seseorang yang ... membeli kuda saya di sini, beberapa tahun yang lalu."

   Kedua orang itu berpandangan.

   Banyak Sumba terkejut dan sadar bahwa ia telah mengatakan hal yang sangat berbahaya.

   Ia sadar sekarang, kedua orang itu mencurigai sesuatu.

   Yang lebih tua mencoba tersenyum, kemudian setelah mencari-cari kata-kata dan tidak berhasil, ia tertawa.

   "Wah, rupanya ada suatu hal lucu yang saya tidak tahu,"

   Kata Banyak Sumba, menutup ketegangan yang dirasakannya. 'Jawaban Saudara tadi sangat lucu."

   "Mengapa?"

   "Saudara mengatakan bahwa ada orang yang membeli kuda Saudara beberapa tahun yang lalu dan sekarang akan Saudara tagih. Bukan Saudara saja yang pernah berkata begitu,"

   Kata orang itu.

   Banyak Sumba makin curiga dan ia bersiap siaga dengan seluruh tubuhnya.

   Sambil bersila ia bergeser, pasang kuda- kuda.

   Seandainya orang-orang itu bergerak menyerangnya, kaki kanannya akan menghantam ulu hati orang yang sebelah kanan, yang kiri bagian orang yang sebelah kiri.

   Kemudian, Banyak Sumba akan berdiri di bangku, menjambak rambut kedua orang itu dan mengadukan kepalanya.

   "Begini Saudara, jangan merasa saya permainkan. Di kota ini, bangsawan-bangsawan muda biasa mengambil kuda yang baik dari rakyat atau pedagang. Mereka berkata membelinya dan akan dibayar kemudian. Tapi janganlah percaya ' lidah mereka. Saudara rupanya orang asing yang sial, berdagang kuda ke sarang pencuri kuda. Mudah-mudahan saja tidak begitu dan orang yang hendak Saudara tagih itu bukan para pencuri itu."

   Seluruh ruangan terdengar tertawa dan Banyak Sumba sadar bahwa setiap orang dalam ruangan itu memerhatikan mereka dan mendengarkan percakapan yang mereka lakukan.

   "Kebetulan bukan, kebetulan orang biasa saja yang mem- beli kuda saya dulu,"

   Kata Banyak Sumba setelah sejenak berdiam.

   "Untung,"

   Kata orang itu.

   Banyak Sumba meminum tuaknya, tapi tidak banyak karena ia takut mabuk.

   Jasik mengikutinya.

   Rupanya, Jasik sadar pula bahwa warung yang mereka masuki tidaklah seaman yang disangka semula.

   Tak lama kemudian, mereka bangkit dan setelah membayar, mereka keluar.

   Mereka berjalan sambil berdiam diri.

   Banyak Sumba termenung, mematangkan siasat yang telah direncanakan sejak semula.

   "Sik, saya akan mempergunakan pundakmu dan memasuki benteng Istana Wiratanu. Kau akan saya tarik dari dalam setelah saya mengikatkan tambang pada pohon-pohonan di sana."

   "Raden, lebih baik saya yang masuk, Raden yang mengikuti saya mempergunakan tambang. Saya tidak segan mempergunakan pundak Raden. Bahaya lebih berarti bagi saya daripada sopan santun."

   "Bukan begitu, Sik,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "seorang bangsawan tidak boleh mengorbankan anak buahnya. Itu keluar dari sifat kesatriaan. Jadi, kita melakukan segalanya sesuai dengan rencana semula."

   "Raden!"

   Ujar Jasik dalam bisik yang tertahan.

   "kita diikuti!"

   "Sial!"

   Bisik Banyak Sumba.

   "rupanya setiap warung diisi dengan mata-mata di Kutawaringin!"

   "Empat orang, Raden."

   "Jangan takut, Sik."

   "Saya tidak takut Raden. Soalnya, rencana kita akan terganggu."

   "Tapi, kita tidak boleh lari, Sik. Mungkin melarikan diri lebih berbahaya. Saya belum hafal benar jalan-jalan di kota ini,"

   Lanjut Banyak Sumba. Didengarnya langkah orang mendekat dari belakang.

   "Jalan perlahan Sik, nanti kita berhenti, seolah-olah ada benda jatuh. Saya akan menunduk seolah-olah saya mencari sesuatu, lalu kita akan menyerang."

   "Baik,"

   Ujar Jasik yang segera mengerti siasat yang direncanakan oleh tuannya.

   Jasik memandang Banyak Sumba dalam gelap itu dengan penuh kekaguman.

   Ia selalu mengagumi Banyak Sumba yang sangat cepat dalam mencari siasat.

   Ia kagum ketika mendengar cara yang diusulkan Banyak Sumba untuk melewati benteng.

   Sekarang, ia kagum oleh rencana penyerangan yang begitu baik.

   Banyak Sumba melambatkan jalannya, menunggu suara langkah kaki yang makin mendekat dalam lorong lebar itu.

   Kemudian, ia berhenti dan berkata kepada Jasik.

   "Batu apiku jatuh, Sik. Gandawesiku jatuh,"

   Katanya sambil membungkuk.

   Seraya membungkuk itu, Banyak Sumba melihat bayangan empat orang mendekat.

   Jasik tidak berkata apa-apa.

   Ia menghadap kepada Banyak Sumba.

   Banyak Sumba pun merasa bahwa Jasik sudah siap.

   Ketika orang-orang yang mengikuti sekira tiga langkah l.igi dari mereka dan sambil mendekat berdeham-deham, menghamburlah Banyak Sumba.

   Dengan melompat, ia mempergunakan tendangannya ke arah ulu hati orang yang terdepan.

   Orang itu terpental dan tidak bangun lagi.

   Jasik mulai pula menghantam yang terdekat kepadanya yang sempat mengelak dan mundur jauh-jauh.

   "Tenang Saudara, tenang, kami bukan musuh!"

   Kata seseorang tiba-tiba ketika Banyak Sumba sedang memilih mangsa baru.

   "Kalian mata-mata, jangan lari,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Kami menyerah, boleh Saudara pukul atau bunuh, kalau Saudara tidak percaya bahwa kami tidak bermaksud jahat,"

   Kata seorang di antara mereka sambil berjalan, mengangkat tangan. Banyak Sumba bingung, demikian juga Jasik, yang berhenti menyerang.

   "Tenang, kami tidak bermaksud jahat, kami menyerah,"

   Kata orang itu pula yang segera dikenal oleh Banyak Sumba sebagai laki-laki yang mengajaknya mengobrol di warung tuak tadi. Banyak Sumba tidak menyerang kembali walaupun tetap siaga.

   "Kalian mengikuti kami,"

   Kata Banyak Sumba.

   "Ya, tapi bukan untuk maksud jahat,"

   Kata orang itu, sekarang telah menurunkan tangannya dan berdiri di depan Banyak Sumba.

   "Apa maksud kalian?"

   "Kami ingin tahu lebih banyak tentang Saudara. Kami tahu Saudara bukan tukang emas atau kuda. Saudara seorang bangsawan dan datang ke sini untuk maksud yang ingin kami ketahui."

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saya tidak takut kepada kalian karena itu saya tidak pernah merahasiakan sesuatu kepada kalian. Akan tetapi, kalian harus menjelaskan dulu siapa kalian. Kalian mata-mata, bukan?"

   "Kami pendatang seperti Saudara juga, dan mungkin menanggung nasib yang sama, menderita dukacita yang sama."

   Banyak Sumba tertegun mendengar penjelasan itu. Ia berpaling kepada Jasik yang juga tampak bingung.

   "Terangkan maksud kalian atau biarkan kami pergi."

   "Kami mau menerangkannya, tetapi tidak di sini,"

   Kata orang itu.

   Banyak Sumba tahu, betapa besar bahayanya kalau mengikuti kehendak orang itu.

   Akan tetapi, ia penasaran juga.

   Ia ingin tahu tentang orang-orang itu, sedangkan mengenai bahaya, bukankah ia bisa menghadapinya sebagai latihan? "Jangan percaya, Raden, marilah kita menghindar atau kita hantam mereka,"

   Kata Jasik berbisik. 'Jangan, Sik, marilah kita selidiki mereka ini. Kita pukul mereka pada saat yang tepat,"

   Bisik Banyak Sumba. Jiwa petualangnya mengalahkan kehati-hatiannya.

   "Raden, bagaimana dengan rencana kita?"

   Kata Jasik agak keras. Rupanya, laki-laki yang ada di depan mereka mendengar kata itu. Ia berkata.

   "Saya tahu, Saudara-saudara punya rencana. Siapa tahu rencana kita sama. Kami datang dari Kutabarang, mungkin dengan rencana yang sama. Kita pun berpura-pura sebagai pedagang perhiasan, siapa tahu kita akan menagih orang yang sama."

   Mendengar itu, makin penasaranlah Banyak Sumba. Ia berkata kepada Jasik, 'Jangan takut, Sik, rencana kita akan kita selesaikan juga pada waktunya."

   Setelah mereka terdiam, Banyak Sumba berkata.

   "Terangkan lebih lanjut apa yang kalian inginkan."

   "Kami tidak dapat menerangkannya di sini dan kalau ada jagabaya lewat, kita akan dicurigai,"

   Kata laki-laki itu. Banyak Sumba menyadari kebenaran perkataan orang itu. Ia memberi isyarat kepada Jasik untuk menuruti kehendak orang itu.

   "Jalanlah duluan, kami mengikuti dari belakang,"

   Kata Banyak Sumba. Ketiga orang asing itu berjalan dan mengangkat kawannya yang terbaring kena tendangan Banyak Sumba. Ternyata, orang itu pingsan.

   "Angkat!"

   Kata orang muda yang berdiri tidak jauh dari laki-laki itu.

   Banyak Sumba tahu bahwa orang muda itu adalah orang muda yang sebelumnya duduk di samping laki-laki tersebut, ketika mereka berada di warung tuak.

   Kedua orang yang belum dikenal Banyak Sumba mengangkat temannya yang pingsan, lalu mencoba membuatnya siuman dengan memanggil-manggil namanya.

   Setelah beberapa lama, baru orang itu bergerak dan mengeluh.

   Banyak Sumba memerhatikan mereka seraya merasakan kesedihan dan rasa kasihan terhadap orang yang ditendangnya itu.

   Tiba-tiba, terdengar bunyi kaki kuda yang banyak.

   Orang- orang itu bersiap untuk lari, juga Jasik dan Banyak Sumba.

   Laki-laki yang tertua tadi berseru, 'Jangan lari, tenang!"

   Mereka kemudian mencoba tenang, sementara tiga orang asing membangunkan si pingsan.

   Banyak Sumba melihat cahaya obor para jagabaya penunggang kuda dan mendengar percakapan mereka yang keras.

   Beberapa orang penunggang kuda membelok, menuju kepada mereka.

   "Hai, mengapa dia?"

   Tanya jagabaya sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi.

   "Kebanyakan minum tuak, Juragan!"

   Kata laki-laki yang paling tua.

   Para jagabaya mengawasi mereka seorang demi seorang.

   Karena tampak mereka tidak bersenjata dan berpakaian baik-baik, para jagabaya itu pun mengundurkan diri dan memecut kuda mereka mengikuti rombongan.

   Banyak Sumba menarik napas panjang karena merasa lega.

   Ketika itulah, tiba-tiba ia merasakan persahabatan terhadap keempat orang asing itu.

   Ketika itu pula timbul keingintahuannya tentang orang-orang itu, dari mana mereka datang dan apa maksud mereka.

   Dengan perubahan suasana hatinya itu, Banyak Sumba mengubah sikapnya terhadap keempat orang asing itu.

   Ia tidak memperiihatkan kecurigaan lagi, ia malah mendekati mereka dan mulai bertanya tentang orang yang pingsan itu.

   "Tak apa-apa, Saudara,"

   Kata yang tertua.

   "Maaf, saya hanya bermaksud mempertahankan diri."

   "Kami bisa memahami tindakan Saudara,"

   Kata orang tua itu pula. Banyak Sumba memegang bahu orang yang baru siuman itu sambil tersenyum kepadanya.

   "Maaf,"

   Katanya.

   Orang yang baru siuman itu mengangguk.

   Kemudian, rombongan yang terdiri dari enam orang itu berjalan.

   Mula-mula mereka menuju pusat keramaian malam di kota itu, yaitu suatu jalan besar yang di kiri kanannya penuh dengan warung minuman dan buah-buahan.

   Di ujung jalan itu terdapat pula lapangan.

   Di suatu tempat, rombongan sandiwara sedang bermain.

   Cahaya obornya yang besar mempermainkan bayangan-bayangan orang di dinding-dinding rumah sekitarnya, sedangkan suara tabuh-tabuhannya bergema dengan meriah.

   Orang banyak sekali berkerumun di dekat tempat itu dan di situ sukar sekali orang melangkah, bukan hanya karena banyak orang, tetapi karena para pedagang menebarkan dagangan yang bermacam-macam sepanjang pinggir jalan.

   Akhirnya, setelah menyelinap di tengah-tengah orang banyak, mereka sampai di sebuah warung kecil yang diterangi lampu minyak yang berkelap- kelip.

   "Di sinilah kita akan mengobrol, Saudara,"

   Kata orang yang tertua.

   Maka, sambil menundukkan kepala karena rendahnya pintu warung itu, mereka masuk.

   Seorang perempuan setengah baya segera menyediakan minuman dan makanan kecil bagi mereka.

   Banyak Sumba dan Jasik sengaja duduk di atas bangku di dekat pintu untuk kehati-hatian.

   Akan tetapi, karena kenalan-kenalan baru mereka tidak mempedihatkan gerak-gerik yang mencurigakan, mereka menjadi tenang juga akhirnya.

   Sementara itu, salah seorang dari keempat orang asing itu meminta kepada pemilik warung supaya menyalakan lampu lagi.

   Setelah ruangan menjadi lebih terang, tampaklah kepada Banyak Sumba bahwa orang asing yang paling tua kira-kira sebaya dengan Paman Wasis, sementara yang termuda, yang tampak sebagai seorang bangsawan, sebaya dengan dia dan Jasik.

   Yang dua orang lagi adalah badega- badega biasa, bertindak sebagai pengawal bangsawan muda itu.

   "Begini, Raden,"

   Tiba-tiba yang paling tua berkata kepada Banyak Sumba.

   "kami yakin, Raden bukanlah pedagang kuda. Tampaknya, Raden terlalu kaya dan terialu halus untuk menjadi pedagang kuda. Itulah sebabnya, kami penasaran dan tadi menyusul Raden. Kami ingin lebih mengetahui banyak tentang Raden,"

   Katanya. Setelah itu, orang tua itu diam sambil tersenyum memandang Banyak Sumba. Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Akhirnya, orang tua itu melanjutkan lagi kata-katanya.

   "Baiklah, tentu saja Raden tidak mau membukakan hal-hal yang Raden rahasiakan. Kami sendiri tidak berkeberatan membuka rahasia kami karena tempat ini aman. Begini, kami berempat sebenarnya bermaksud menagih kepada seseorang pula di tempat ini. Ia tidak membeli tapi merampas, bukan kuda tapi manusia. Kami harus menagihnya, bukan?"

   Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Orang tua itu melanjutkan perkataannya.

   "Raden Sungging ini, jauh-jauh datang dari Kutabarang untuk menagih kepada seseorang yang mengambil orang begitu saja darinya." 'Apakah yang diambilnya itu seorang budak belian?"

   "Kalau budak belian yang diambil, kami tidak usah jauh- jauh menyusul kemari."

   "Seorang...?"

   "Ya, seorang gadis, seorang gadis yang cantik jelita, walaupun bukan keturunan bangsawan Kutabarang,"

   Kata orang tua itu.

   Banyak Sumba sudah dapat meraba-raba tentang kisah yang terjadi di balik kedatangan orang-orang itu ke Kutawaringin.

   Gadis Raden Sungging ini rupanya direbut oleh Bungsu Wiratanu atau oleh salah seorang pengiring Bungsu Wiratanu yang juga tak kalah berandal dari tuannya.

   Banyak Sumba melirik kepada pemuda yang duduk di samping orang tua itu.

   Pemuda itu, Raden Sungging, menundukkan kepala.

   "Baiklah,"

   Kata Banyak Sumba sambil menarik napas panjang.

   "Sebaiknya, kita berterus terang. Saya akan berterus terang karena saya tidak takut oleh siapa pun, kecuali oleh pengkhianatan. Saya pun datang ke sini untuk membuat perhi-lungan dengan seseorang, seperti Saudara-saudara."

   "Syukurlah dan kita harus segera mempertemukan Saudara dengan yang lain. Begini, bagaimana kalau besok kita bertemu di sebelah selatan benteng? Di sana, kita akan bertemu dengan kawan-kawan lain. Raden, bukan kita saja yang berurusan dengan bangsawan-bangsawan Kutawaringin."

   "Ya,"

   Kata Banyak Sumba.

   "juga si Colat."

   "Ya,"

   Kata orang tua itu.

   "tetapi si Colat ini menyusahkan kita. Karena pembunuhan-pembunuhan yang sembarangan, orang yang menjadi sasaran kita jadi terjaga ketat."

   "Kami tidak tahu tentang hal-hal yang berhubungan dengan si Colat,"

   Kata Banyak Sumba berpura-pura dengan harapan akan mendapat keterangan lebih banyak.

   "Sebenarnya, si Colat ini berurusan dengan anjing tua dan bukan dengan anjing muda. Akan tetapi, anjing muda yang kita cari jadi terjaga dengan baik,"

   Kata orang yang tua. Setelah berkata demikian, orang tua itu melanjutkan pembicaraannya.

   "Tapi, marilah kita kembali kepada pembicaraan pokok. Raden, bukan hanya kita yang datang ke sini. Ada empat rombongan datang ke sini untuk menagih, di luar si Colat yang menagih kepada anjing tua. Sekarang, kami ingin mendengarkan masalah Raden, siapa yang akan Raden tagih dan berapa jumlah utang orang itu."

   Banyak Sumba termenung sebelum berkata, Jasik memberikan isyarat supaya hati-hati. Kemudian, Banyak Sumba berkata.

   "Lebih baik besok, di tempat yang kita janjikan. Saya akan menjelaskan semuanya."

   Orang tua itu tersenyum, lalu berkata setuju akan kehati- hatian Banyak Sumba.

   Mereka pun berunding untuk bertemu keesokan harinya di sebuah kampung di sebelah selatan benteng Kutawaringin.

   Orang-orang asing itu tampaknya tidak menyadari bahwa Banyak Sumba dan Jasik mempunyai rencana malam itu juga.

   Mereka menyangka bahwa Banyak Sumba baru dalam taraf menyelidiki kota.

   Sangkaan macam itu bisa dimengerti karena keempat orang itu sudah berada di Kutawaringin empat bulan lamanya.

   Mereka menyelidiki kota dan selama itu juga bertemu dengan orang-orang lain yang datang ke sana untuk tujuan membuat perhitungan dengan Bungsu Wiratanu.

   Memang tidak sukar untuk menemukan orang-orang yang hendak membalas dendam karena ternyata rakyat Kutawaringin sendiri membenci penguasa dan keluarganya.

   Bahkan, sepanjang cerita orang tua itu, penduduk Kutawaringin berharap agar terjadi sesuatu terhadap keluarga penguasanya hingga wangsa Wiratanu diganti dengan wangsa bangsawan lain yang lebih bijaksana dan adil terhadap rakyatnya.

   Mereka bercakap-cakap sambil mencicipi penganan dan minuman.

   Dari luar terdengar nyanyian dan bunyi tabuh- tabuhan yang meriah dari rombongan sandiwara rakyat.

   Cahaya obor berkobar-kobar dan bayangan bergerak-gerak di dinding sebelah dalam warung.

   Tiba-tiba, seseorang tiba sambil terengah-engah.

   Ia langsung menuju orang tua itu.

   "Mereka datang, cepat menghindar,"

   Kata pendatang itu berbisik, tetapi cukup keras untuk dapat didengar oleh seluruh isi warung yang kecil itu.

   "Sial, mari kita pergi. Raden, menghindarlah. Sampai besok."

   Mereka tergesa-gesa keluar, demikian juga Banyak Sumba dan Jasik.

   Setiba di luar, mereka terpencar ke segala arah.

   Banyak Sumba dengan Jasik berjalan bersama-sama, tidak tergesa-gesa dan menyelinap seperti yang lain.

   Mereka berjalan menuju keramaian dan ketika mereka tiba di dekat gelanggang tempat sandiwara itu bermain, berkatalah Jasik.

   "Raden, saya merasa kita diikuti." 'Jangan takut, Sik. Kita mudah lolos di tempat keramaian ini. Walaupun ada janji dengan orang-orang yang tadi, kita pun akan melanjutkan rencana kita. Sebentar lagi malam larut."

   Jasik tidak berkata apa-apa.

   Setelah sejenak menonton pertunjukan, berjalanlah kedua orang pengembara itu menuju ke selatan, mendekati benteng Istana Wiratanu yang tampak lebih tinggi daripada benteng rumah-rumah bangsawan yang lain.

   Makin dekat ke tempat itu, makin terang obor-obor.

   Banyak Sumba tidak berkecil hati karena bayangan pohon tanjung cukup gelap untuk menyembunyikan diri pada malam yang gelap seperti itu.

   "Raden, kita diikuti. Ketika berpaling, saya melihat orang berkelebatan menyembunyikan diri di balik pohon sebelah kiri jalan,"

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bisik Jasik. Banyak Sumba tertegun, tapi ia tidak menghentikan langkahnya. 'Jalan terus, kita cari tempat yang baik untuk melawan,"

   Bisik Banyak Sumba.

   Mereka mempercepat langkahnya.

   Tidak beberapa lama kemudian, Banyak Sumba melihat bayangan hitam berkelebat di bawah salah sebuah rumah di pinggir jalan yang sunyi itu.

   Dan ketika jalan membelok, tiga orang berpakaian hitam berdiri di hadapan mereka.

   "Berhenti!"

   Seru salah seorang di antara mereka.

   Banyak Sumba tidak berhenti, ia melangkah karena menurut perhitungannya ketiga orang itu akan mudah saja dirobohkannya.

   Kemudian, ia berhenti karena dilihatnya dua orang lagi keluar dari bawah bayangan pohon tanjung yang tumbuh di pinggir jalan.

   Dari arah belakang terdengar langkah dan ketika Banyak Sumba berpaling, tiga orang lagi datang.

   Tujuh orang, pikir Banyak Sumba.

   Ia harus licin dan tidak boleh memperiihatkan akan melawan.

   Tapi, ia cemas karena ia tidak dapat berbisik lagi kepada Jasik untuk mengatur siasat.

   Akhirnya, ia memaksakan diri berkata sebelum kesempatan hilang.

   "Kita tidak bersalah, Sik, jangan melawan dulu."

   "Ya, kita tidak bersalah,"

   Kata Jasik. Mungkin ia mengerti maksud Banyak Sumba. Ketika Banyak Sumba melirik, tampak Jasik tidak memperlihatkan sikap bersiap. Tapi, itu hanyalah tipuan.

   "Berhenti, jatuhkan senjata!"

   "Kami tidak membawa senjata,"

   Kata Banyak Sumba.

   "Bohong!"

   Kata orang itu, mereka mulai mengelilingi.

   "Kami tidak bersalah,"

   Kata Jasik sambil berbalik, punggungnya hampir melekat pada punggung Banyak Sumba. Banyak Sumba gembira, Jasik begitu cerdas dan pandai mengatur kedudukan dalam menghadapi pengeroyokan itu.

   "Kami tidak bersalah,"

   Kata Jasik sekali lagi untuk mengambil perhatian lawan.

   "Bohong kalian ..."

   Itulah yang ditunggu Banyak Sumba.

   Ketika lawan mengajak berdebat, mereka lengah.

   Karena yang di hadapan Banyak Sumba berada dalam jangkauan tendangan, dengan teriakan Banyak Sumba menghambur diikuti oleh Jasik.

   Orang yang berada di hadapan Banyak Sumba terpental, sedangkan yang sebelah kanan segera menerima pukulan, tetapi sempat menghindar.

   Kaki kiri Banyak Sumba menyambar yang di samping kiri dan masuk perutnya.

   Orang itu mengaduh sambil sempoyongan.

   Banyak Sumba mengejar yang sempat menghindar, tetapi bayangan hitam menyerang dari arah kanan.

   Banyak Sumba menundukkan kepalanya, menjauhi penyerangan.

   Suara orangjatuh terdengar di belakangnya, mungkin dibanting oleh Jasik.

   Banyak Sumba berhadapan dengan orang yang datang dari kanan, sementara yang sempat menghindar mulai mendekat dari sebelah kiri.

   Suara kaki kuda terdengar dari jauh.

   Banyak Sumba sadar, keadaan sangat gawat, apalagi ketika didengarnya salah seorang di antara pengeroyok berteriak-teriak memanggil jagabaya.

   Maka, Banyak Sumba tidak lagi menunggu serangan, ia mendekat dan menyerang yang sebelah kanan sebagai umpan.

   Dan ketika yang sebelah kiri menyerang, kaki Banyak Sumba sebelah kiri sudah menunggunya.

   Orang itu mengaduh dan mundur sambil memegang ulu hatinya.

   Ketika itulah, entah dari mana datangnya, suatu benda keras menyambar kepala Banyak Sumba dari samping kiri.

   Tiba-tiba obor-obor seolah-olah padam, tanah yang dipijak seolah-olah menghilang.

   Banyak Sumba lupa akan dunia sekelilingnya.

   Bab Tidak Jadi Digantung Kesadarannya perlahan-lahan kembali.

   Yang pertama dirasanya adalah rasa sakit yang tajam menusuk kepalanya sebelah kiri.

   Banyak Sumba mengerang, setelah itu didengarnya suara berbisik.

   "Raden?"

   Banyak Sumba hendak menjawab, tetapi pundaknya terasa sakit. Ia diam tidak bergerak. Dirasanya benda dingin dan berat membelit kedua belah pergelangan kakinya.

   "Raden?"

   Terdengar pula bisikan itu.

   Kesadaran Banyak Sumba berusaha melawan kesakitan dan kelemahan yang terasa menghimpit dan menggelapkan dunia.

   Perlahan-lahan, dengan rasa sakit, rasa dingin di kedua belah pergelangan kakinya, dan cahaya yang perlahan-lahan menembus kelopak matanya, kesadarannya bertambah kuat.

   Akhirnya, ia membuka matanya.

   Samar-samar, tampaklah wajah seseorang yang makin lama makin jelas baginya.

   "Sik?"

   "Ya, Raden,"

   Kata Jasik.

   Banyak Sumba menutup matanya kembali.

   Bagai sebuah paku besar, rasa sakit menusuk kepalanya di bagian kiri.

   Ketika rasa sakit itu mereda, ia membuka matanya kembali.

   Bukan wajah Jasik sekarang yang diperhatikannya, melainkan sekeliling tempatnya berbaring.

   Sadarlah Banyak Sumba bahwa dia dan Jasik berada dalam terungku yang terbuat dari batu bata.

   Banyak Sumba hendak bangkit, tetapi badannya sangat berat.

   Ia melihat ke sekelilingnya, ke jeriji-jeriji besi, tembok batu-bata yang hitam warnanya karena tua, lapangan kecil yang berada di hadapan pintu penjara yang berjeriji itu.

   Suatu hal memukau Banyak Sumba hingga ia benar-benar menjadi sadar.

   Sebuah tiang gantungan berdiri di tengah-tengah lapangan kecil, yaitu sebuah tiang kayu jati besar dan di atasnya mengusung palang kayu lain yang kuat.

   Teringadah akan peristiwa sebelumnya.

   Ia dikeroyok dan dikalahkan.

   Ia tidak merasa apa-apa, kecuali kesedihan karena semua yang dialaminya itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dihindari.Jasik lebih bijaksana dan Jasik telah memberinya peringatan.

   Sekarang segalanya terjadi dan yang lebih menyedihkannya adalah Jasik ikut menjadi korban kecerobohannya.

   "Maafkan saya, Sik."

   Jasik tidak segera menjawab, kemudian terdengar ia berbisik, 'Janganlah memikirkan saya, Raden. Marilah kita berdoa, semoga Sang Hiang Tunggal menjalankan keadilan dan kasih sayang-Nya."

   Akan tetapi, Banyak Sumba tidak dapat lagi berdoa.

   Ia mengutuk dirinya sendiri.

   Apakah artinya doa kalau malapetaka yang seharusnya dapat dihindari tidak ia hindari? Orang-orang yang diterima doanya hanyalah orang-orang yang berhati-hati, bijaksana, dan memperhitungkan segala- galanya.

   Orang-orang yang ceroboh seperti anak-anak manja yang terus-menerus meminta kepada Sang Hiang Tunggal.

   Sang Hi- ang Tunggal sudah menyediakan berbagai malapetaka bagi orang-orang macam ini dan Banyak Sumba salah seorang di antara mereka, pikirnya.

   "Maafkan saya yang menimpakan kesialan ini kepadamu,"

   Sekali lagi Banyak Sumba berkata, sementara itu ia mencoba mengangkat tubuhnya yang berat.

   "Jangan pikirkan, Raden, keluarga kami sudah bersumpah untuk mengabdi kepada keluarga Raden karena keluarga Raden pun dulu, pada zaman leluhur saya, telah mengorbankan segala-galanya demi keselamatan dan kesejahteraan keluarga kami."

   "Seharusnya, saya melindungimu dari hal-hal yang tidak perlu seperti ini,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Raden pasti dapat melindungi kita, seandainya mereka tidak mempergunakan pelanting."

   "Ya, ketika Raden tidak dapat diserang secara kesatria, mereka mundur dan mengambil pelanting dari sarung mereka. Itulah yang mengenai Raden dan juga pundak saya."

   "Salahku, Sik. Seandainya kita bertempur sambil lari, mereka tidak akan berkesempatan mengenai kita secara demikian. Soalnya, saya belum hafal benar jalan-jalan kota ini."

   "Beberapa orang dari kawan-kawan kita yang berunding di ruangan itu tertangkap pula. Mereka disimpan di penjara sebelah. Mereka tertangkap lebih dulu. Saya melihat mereka ketika diseret ke sini oleh para badega."

   Mendengar perkataan Jasik yang terakhir, Banyak Sumba melirik ke arah Jasik. Dilihatnya siku dan lutut Jasik berdarah, muncul dari balik celana pangsi dan siku salontreng hitamnya.

   "Jadi, kau diseret ke sini, Sik?"

   "Mula-mula ya, tetapi saya berkata kepada mereka bahwa mereka akan membayar mahal seandainya Raden mereka cederakan."

   Banyak Sumba termenung mendengar perkataan Jasik itu.

   "Apa maksudmu?"

   "Raden pun ketika itu diseret. Saya berteriak walaupun sudah terikat. Saya berkata, orang yang mereka seret itu bukan sembarangan dan seluruh Pajajaran akan gempar oleh kejadian itu. Para badega itu rupanya ketakutan, lalu menaikkan Raden dan saya ke dalam pedati."

   "Apa maksudmu dengan perkataan itu, Sik?"

   "Raden, saya cuma menakut-nakuti mereka. Saya sendiri tidak tahu, mengapa saya berkata begitu dalam keadaan yang sangat gawat itu."

   "Sang Hiang Tunggal memfasihkan lidahmu, Sik."

   "Ada suatu hal penting yang perlu Raden ketahui,"

   Kata Jasik. Sebelum melanjutkan perkataan, ia melirik ke luar jeriji, ke arah cuaca siang hari yang terang benderang.

   "Apakah itu, Sik?"

   "Bungsu Wiratanu datang ke sini ketika Raden masih pingsan. Ia berdiri di depan pintu dengan beberapa orang ponggawa, mereka lama bercakap-cakap, berbisik-bisik. Ada orang yang mengeluarkan kain dari dalam sakunya, seolah- olah ia meneliti Raden. Mungkin di atas kain itu ada gambar atau huruf atau ... saya tidak tahu. Apakah kira-kiranya arti perbuatan Bungsu Wiratanu dengan para pembantunya itu, Raden?"

   "Bagaimana saya tahu, Sik? Tapi... mudah-mudahan ia tidak tahu tentang kita. Saya akan mengatakan kepadanya bahwa saya datang tidak bermaksud apa-apa. Saya akan mengatakan bahwa kita melawan badega-badega Bungsu Wiratanu karena kita menyangka mereka akan merampok kita, Sik."

   "Baiklah, Raden. Saya pun kalau ditanya akan berkata begitu."

   "Baik, Sik, kita akan tetap berkata begitu kalaupun disiksa."

   "Ya, Raden. Oh, tapi bagaimana dengan kawan-kawan kita yang tertangkap itu?"

   Tanya Jasik.

   "Kawan kita?"

   Tanya Banyak Sumba.

   "Maksud saya, mereka yang berkumpul di warung dengan kita itu?"

   "Mengapa?"

   "Saya mendengar mereka disiksa dan yang seorang mengaku bahwa ia bermaksud membunuh Bungsu Wiratanu karena kekasihnya diculik." 'Apakah ia mengaku karena siksaan?"

   "Tidak, Raden. Ia dengan gagah berani berteriak mengutuk dan menantang Bungsu Wiratanu untuk perang tanding."

   Mendengar itu, Banyak Sumba termenung.

   Rasa hormatnya timbul terhadap orang yang gagah berani dan bersifat kesatria itu.

   Ia termenung dan bertanya dalam hatinya, apakah yang akan dilakukannya kalau badega-badega Bungsu Wiratanu menyiksanya? Apakah ia akan berdusta sebagai pengecut atau menghadapi hukuman yang paling berat sebagai seorang kesatria?.

   Ia termenung dan tidak dapat mengatakan apa-apa kepada Jasik.

   Ia menggerakkan kakinya dan insaflah ia, kakinya dihubungkan dengan rantai besar yang pendek.

   Ia melirik pada kaki Jasik.

   Panakawannya itu juga dirantai kakinya, rantai besar yang hanya dapat dibuka oleh pandai besi dengan alat-alatnya yang lengkap.

   "Raden!"

   Tiba-tiba Jasik berseru dengan suara tertahan.

   Dari suatu arah, berjalan rombongan kecil ke tengah- tengah lapangan.

   Rombongan itu terdiri dari tiga orang badega yang mengawal seorang tawanan.

   Banyak Sumba segera mengenal tawanan itu.

   Ia anak muda yang ditemuinya dua kali, di warung kecil di salah satu lorong kota dan warung tempat mereka berkumpul setelah itu.

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda itu dirantai kakinya dengan rantai besar.

   Ia didorong oleh ketiga orang badega itu ke tengah-tengah lapangan.

   Sayup-sayup terdengar ia berkata.

   "Tak usah kalian dorong, saya masih berkaki,"

   Katanya dan dengan gagah ia berjalan, menuju tiang gantungan.

   Banyak Sumba dan Jasik memandangnya dengan terpukau.

   Dalam waktu yang singkat sekali, peristiwa itu terjadi.

   Anak muda yang dirantai tangan dan kakinya dengan gagah naik ke panggung yang ada di bawah tiang gantungan.

   Ketika badega-bade-ga mempersiapkan pelaksanaan hukuman, berteriaklah anak muda itu.

   "Bungsu Wiratanu, kau akan segera menyusulku. Badanmu akan diberikan kepada anjing dan kepalamu sebelum teriakannya selesai, salah seorang badega menutupkan kain hitam di kepala anak muda itu. Banyak Sumba mendengar nama si Colat diserukan oleh anak muda itu, kemudian peristiwa selanjutnya Banyak Sumba tidak mau lagi melihatnya. Segalanya berjalan dengan cepat. Sebuah pedati datang ke tengah-tengah lapangan, seorang badega memutuskan tambang dengan goloknya. Tubuh yang tak bernyawa lagi diseret dan diangkat ke atas pedati. Kemudian, lapangan sepi kembali. Banyak Sumba dan Jasik kehilangan kata-kata. Mereka membisu. Tiba-tiba, suara beberapa pasang langkah terdengar. Bayangan beberapa sosok tubuh menggelapkan ruangan penjara tempat Banyak Sumba danjasik berada. Empat orang badega berbaju hitam membuka pintu besi yang berjeriji.

   "Bangun!"

   Kata seorang kepada Banyak Sumba danjasik.

   "Yang ini,"

   Kata seorang kepada yang pertama sambil melirik Banyak Sumba. Dengan kasar, tiba-tiba Banyak Sumba diangkat.

   "Saya bisa berdiri, tidak usah diangkat,"

   Banyak Sumba berdiri.

   "Raden!"

   Tiba-tiba Jasik berseru. Ia berdiri dengan tangannya yang dirantai menerjang ke arah mereka yang datang. Badega itu serempak menghantam Jasik yang dengan mudah dijatuhkan.

   "Kalian tidak tahu siapa yang akan kalian hukum! Seluruh Pajajaran akan gempar dan kalian tidak akan dapat tidur nyenyak lagi!"

   Teriakan Jasik bergema. Teriakan itu merupakan kutukan yang bercampur tangis putus asa. Banyak Sumba terharu, tapi kesadarannya mulai memudar. Ia membisu membeku. Ketika orang-orang itu hendak menyeretnya ke luar, ia berkata.

   "Tidak usah kalian paksa, saya dapat berjalan."

   Sementara itu, didengarnya Jasik berteriak-teriak me- nyeru-nyeru namanya di antara denting kunci pintu besi itu.

   Banyak Sumba tidak berani berpaling untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Jasik untuk selama-lamanya.

   Ia tahu bahwa Jasik akan segera pulang untuk memberitahukan nasibnya kepada seluruh keluarganya.

   Ia membayangkan bagaimana adiknya, Tohaan Angke, akan mulai belajar keperwiraan dan bagaimana Ayahanda akan bersumpah membalas dendam.

   Ia melangkah di belakang seorang badega yang sebelumnya memutuskan tambang bekas menggantung pemuda itu menggiringnya.

   Di belakangnya terdengar langkah tiga orang badega lain.

   Ketika berjalan menuju tiang gantungan, ia merenungkan rantai tangan dan kakinya yang berat.

   Pikirannya tiba-tiba melayang kepada suatu hal yang aneh baginya sendiri.

   Seharusnya ia minta izin untuk mandi dulu dengan air bunga-bungaan dan minta pakaian bersih.

   Bukankah ia akan menghadap kepada Sang Hiang Tunggal dan Sunan Am-bu? Ingatannya tiba-tiba meloncat kepada Putri Purbamanik.

   Ia mengigit bibirnya.

   Pikiran-pikiran itu segera lenyap ketika ia menaiki tangga panggung tiang gantung.

   Ia memasangkan tambang ke lehernya, tangannya yang berantai membantu badega-badega itu sebelum tangannya diikat ke tubuhnya.

   Ia ingin berteriak kepada Bungsu Wiratanu, seperti pemuda yang baru saja meninggalkan dunia fana ini.

   Akan tetapi, ia tidak melakukannya karena Jasik berteriak-teriak mengutuk seperti orang gila dalam ruangan yang baru ditinggalkannya.

   Kalaupun ia berteriak mengutuk Bungsu Wiratanu dan seluruh wangsa Wiratanu, kutukannya tidak akan terdengar, walaujasik berteriak sangat keras.

   Ia ingin berdoa dan ia pun berdoa sambil memejamkan mata.

   Ia minta ampun kepada Sang Hiang Tunggal akan segala dosanya dan memohon kepada Sang Hiang Tunggal agar seluruh keluarganya dilindungi....

   Tambang mulai dicoba oleh badega yang bertugas.

   Ijuk tambang besar itu terasa kasar di lehernya.

   Tapi aneh, berulang-ulang badega-badega itu menghentikan usahanya.

   Mereka berulang-ulang mengelilingi panggung kecil untuk memeriksa persiapan-persiapan itu.

   "Hai, Orang Muda! Berdoalah!"

   Kata badega yang tertua.

   "Cahaya yang kau lihat adalah cahaya dunia yang penghabisan, berdoalah!"

   Tambang perlahan-lahan ditarik dan menjadi erat.

   Tinggal beberapa saat lagi ketika seorang badega mencabut papan di bawah kakinya ....Jasik berteriak-teriak bagai gila dari arah ruangan.

   Tiba-tiba, terdengar suara derap kuda dan teriakan-teriakan.

   Para badega berhenti.

   Pintu gerbang kecil yang menuju lapangan kecil itu dibuka dengan paksa bersama geme-rincing genta-genta kuda, masuklah Bungsu Wiratanu dengan para pengiringnya yang berpakaian megah.

   Banyak Sumba memandang wajah Bungsu Wiratanu dengan tajam.

   "Berhenti! Berhenti!"

   Seru Bungsu Wiratanu dengan keras sambil memandang ke arah badega-badega yang hampir melaksanakan hukuman mati itu.

   Rombongan Bungsu Wiratanu yang berpakaian serba gemerlap itu hampir memenuhi lapangan.

   Bungsu Wiratanu turun dari kudanya diikuti oleh orang lain.

   Ia berjalan ke panggung, lalu naik tangga tempat penggantungan.

   Sambil melepaskan tali gantungan dari leher Banyak Sumba, berkatalah ia dengan ramah.

   "Selamat datang di Kutawaringin, Raden Banyak Sumba. Mohon maaf karena salah paham yang hampir saja mendatangkan malapetaka terhadap keluarga kita berdua."

   Banyak Sumba tidak dapat berkata apa-apa.

   Ia tercengang mengalami peristiwa yang tiba-tiba itu.

   Matanya berkunang- kunang ketika badega-badega membuka ikatan rantai tangan dan kakinya.

   Sementara itu, Bungsu Wiratanu memandangnya sambil tersenyum.

   Banyak Sumba tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukannya.

   Dan ketika ia kebingungan seperti itu, Bungsu Wiratanu memegang tangannya, lalu membimbingnya turun dari panggung tempat orang terhukum itu.

   Ia dibimbing, lalu dibawa ke arah seekor kuda yang tampan dan dipersilakan menungganginya.

   Ketika itulah, Banyak Sumba dapat berkata.

   'Jasik,"

   Katanya, suaranya gemetar.

   "Oh,"

   Kata Wiratanu, lalu pangeran yang berpakaian megah itu menepukkan tangannya. Seorang badega segera datang.

   "Panakawan Raden Banyak Sumba, lepaskan dan persalinkan. Cepat!"

   Bungsu Wiratanu tersenyum kepada Banyak Sumba yang telah duduk di atas pelana kuda.

   Ia memandang ke arah mata Banyak Sumba yang penuh dengan pertanyaan.

   'Jangan bertanya dahulu, Raden, segalanya akan menjadi jelas nanti, setelah kami menghormati Raden seperti tamu yang layak."

   Banyak Sumba tidak berkata apa-apa.

   Ia memandang pakaiannya yang kotor dan robek-robek, lalu melihat darah pada pakaian dalamnya yang putih.

   Ketika seorang badega menuntun kudanya, rasa sakit di kepalanya sebelah kiri mulai menusuk lagi.

   KETIKA itu, matahari telah menjalani seperempat perjalanannya.

   Udara masih sejuk, burung-burung bernyanyi di pohon-pohon yang ada di taman dalam benteng Kutawaringin.

   Cuaca terang benderang, tetapi hati Banyak Sumba benar-benar kalang kabut.

   Baru saja ia menghadapi ancaman kema-tian, tambang ijuk terasa kasar di lehernya di panggung penggantungan itu, sekarang ia dikawal oleh orang- orang bangsawan yang berpakaian serbagemerlapan.

   Bungsu Wiratanu begitu ramah dan hormat kepadanya.

   Apakah ia bermimpi? Atau, mungkinkah ia bermimpi dalam kematiannya? Apakah orang mati pernah bermimpi? Banyak Sumba meraba tangannya sendiri, lalu menarik kendali kuda tunggangannya.

   Segalanya terasa dan segalanya bukan mimpi.

   Belum pertanyaan-pertanyaannya itu terjawab, rombongan telah tiba di depan Gerbang Kesatrian, tempat Raden Bungsu Wiratanu dengan para pengiring dan sahabat-sahabatnya tinggal di dalam istana itu.

   Gerbang dibuka oleh penjaga.

   Dan begitu Taman Kesatrian tampak, berjajar gadis-gadis cantik mengelu-elukan rombongan.

   Bungsu Wiratanu melompat dari atas kudanya, lalu berjalan ke arah Banyak Sumba sambil berkata.

   "Selamat datang di Kesatrian Kutawaringin, tempat Saudara dapat beristirahat dan menginap sesuka Saudara. Silakan turun, jangan ragu-ragu, masuklah."

   Banyak Sumba tidak punya pilihan lain, kecuali menurut.

   Sebelum ia melangkah memasuki Taman Kesatrian, ia berpaling mencari Jasik.

   Ternyata, panakawannya itu dipersilakan pula untuk mengikutinya.

   Begitu Banyak Sumba memasuki Kesatrian, gadis-gadis cantik yang bersolek berlebih-lebihan segera menjemputnya, seorang di antara gadis itu membawa bokor tembaga yang berisi air hangat dan jernih.

   Di sampingnya membawa kain-kain tebal untuk mengeringkan air.

   Setiba di tangga dan sebelum memasuki ruangan tamu di Kesatrian, gadis-gadis itu menghentikan Banyak Sumba dan membersihkan tangan dan kakinya dengan air hangat, lalu mengeringkannya.

   Bangsawan-bangsawan muda lain diperlakukan demikian pula.

   Begitu Banyak Sumba duduk di atas bangku pendek dan lebar, di atas permadani yang tebal, gadis lain datang menyerahkan setumpuk kain tebal di atas baki kayu.

   Sambil tersenyum, gadis itu berkata.

   "Pangeran dipersilakan mempergunakan kain-kain yang telah diuapi untuk membersihkan wajah, tangan, atau apa saja."

   "Terima kasih,"

   Kata Banyak Sumba.

   Itulah perkataan yang pertama-tama diucapkannya setelah sekian lama membisu.

   Sementara di dalam ruangan sibuk belaka, gadis-gadis yang menjadi pelayan hilir mudik ke sana kemari.

   Banyak Sumba tak melihat seorang laki-laki pun, kecuali para bangsawan muda dan dua orang gulang-gulang yang menjaga gerbang.

   Akan tetapi, betapapun cantik seorang gadis yang ada di sana, Banyak Sumba merasa ada sesuatu yang salah dengan mereka itu.

   Senyum mereka tidak seperti senyum gadis-gadis petani atau putri-putri yang biasa ditemukannya.

   Sementara itu, cara mereka berdandan sangat berlebihan.

   Kalau mereka berkata, mereka mempergunakan lagak lagu yang agak aneh bagi Banyak Sumba.

   Cara mereka berkata mengingatkan Banyak Sumba pada cara berkata pemain sandiwara keliling yang rendah mutunya.

   Dilayani oleh gadis- gadis akan sangat menyenangkan kalau saja itu wajar.

   Akan tetapi, kewajaran itu tidak ada pada penghuni Kesatrian.

   Sementara Banyak Sumba termenung, datang makanan yang bermacam-macam jenisnya.

   Daging-daging bakar yang dibumbui, ada daging kambing, menjangan, dan lain-lain.

   Sayur-sayuran tak terhitungjumlahnya dan setelah nasi tersedia, datang pula pembawa buah-buahan yang tak terhitung jenisnya.

   "Raden Banyak Sumba, sebelum persiapan makan selesai, ingin saya perkenalkan dulu kawan-kawan ini. Yang paling ujung itu Ginggi, Rahiyang Watu, Loring, Rangga, Aria Sabrang, dan saya sendiri, Raden sudah mengenal saya, bukan?"

   Banyak Sumba melihat berkeliling pada bangsawan muda yang berpakaian mewah itu. Ia menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sementara itu, datang seorang laki-laki setengah baya, berbadan kurus berhidung besar melengkung.

   "Oh, Paman Guru. Ini Raden Banyak Sumba."

   Orang tua setengah baya itu segera mendekati dan memberi salam, kemudian sambil menggeleng-geleng kepala berkata kepada Banyak Sumba.

   "Sang Hiang Tunggal sangat kasih kepada para anggota wangsa Banyak Citra. Hampir saja malapetaka yang menimpa kita, menimpa wangsa Banyak Citra dan wangsa Wiratanu yang jaya. Mengapa Raden berkunjung tanpa memberi tahu terlebih dahulu dan berhubungan pula dengan penjahat-penjahat itu?"

   "Paman Guru,"

   Kata Bungsu Wiratanu.

   "duduklah. Mari kita makan dulu, nanti kita mengobrol dengan Raden Banyak Sumba,"

   Kata Bungsu Wiratanu.

   "Oh, baiklah, tapi Paman masih harus menghadap Ayahanda. Silakan, Anak-anak Muda, Paman pergi dulu, nanti kembali kemari,"

   Sambil berkata demikian, ia tersenyum, lalu manggut rendah sekali dan meninggalkan ruangan.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika Banyak Sumba membetulkan letak duduknya, di hadapannya telah tersedia berbagai makanan yang sangat mewah.

   Sementara itu, di samping kiri dan kanannya, dua orang gadis bersiap-siap menunggu perintahnya.

   "Marilah kita mulai,"

   Kata Bungsu Wiratanu.

   Bangsawan-bangsawan muda itu mulai mengambil makanan.

   Banyak Sumba ragu-ragu sebentar, tetapi dengan tersenyum-senyum gadis-gadis itu segera memotong daging berbumbu, lalu menaruhnya di atas piring yang ada di hadapannya.

   Betapapun laparnya, Banyak Sumba tak dapat menikmati makanan itu.

   Di samping itu, perhatiannya terganggu pula, gadis-gadis yang berada di kiri dan kanannya mendesak- desak, mereka begitu ingin melayani, seolah-olah mereka bersedia menyuapi Banyak Sumba.

   Pemandangan di sekelilingnya mengganggunya.

   Bangsawan-bangsawan muda, termasuk Bungsu Wiratanu, memperlakukan gadis-gadis itu dengan cara-cara yang menurut pandangan Banyak Sumba tidak terhormat.

   Banyak Sumba lebih banyak menunduk daripada memandang ke arah kejadian-kejadiar yang asing baginya.

   Setelah acara makan selesai, Banyak Sumba dipersilakan beristirahat.

   Dua orang gadis yang lain mengantarnya ke ruangan tempatnya beristirahat, kemudian dengan susah payah gadis-gadis itu dipersilakan ke luar oleh Banyak Sumba.

   Akan tetapi, gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa kecil berusaha untuk tetap tinggal dalam kamar dengan Banyak Sumba.

   "Kami mendapat tugas untuk menemani Raden,"

   Kata mereka.

   "Saya harus beristirahat, terima kasih atas perhatiannya,"

   Kata Banyak Sumba.

   Ia melihat ke kanan ke kiri, mencari perlengkapan membersihkan diri.

   Gadis-gadis itu rupanya mengerti.

   Mereka berlomba-lomba mengambil bokor-bokor besar, kain-kain tebal, dan pakaian bersih.

   Mereka, tanpa berkata itu dan ini terlebih dahulu, segera membuka pakaian Banyak Sumba.

   Banyak Sumba menolak dengan halus.

   Tapi, mereka mendesak seperti dua ekor kucing yang kedinginan.

   "Raden ini sangat pemalu,"

   Kata salah seorang gadis itu, rambutnya yang tebal menutup hidung Banyak Sumba hingga Banyak Sumba sukar bernapas.

   Tangan mereka pun bagai dua pasang ular.

   Terpaksa Banyak Sumba mengibaskannya.

   Akhirnya, kesabaran Banyak Sumba habis.

   Dengan agak kasar, didorongnya kedua orang gadis itu keluar ruangan, lalu ditutupkannya pintu dan dipalang dari dalam.

   Ia duduk di atas tempat tidur yang ada dalam ruangan dan tiba-tiba ia terkenang kepada Nyai Emas Purbamanik.

   Rasa rindunya meluap.

   Ia menyadari, alangkah halus, lemah lembut, dan sopan santun kekasihnya itu dibandingkan dengan gadis-gadis di Kesatrian Wiratanu itu.

   Ia sadar bahwa ia telah masuk ke tempat yang tidak baik dan memutuskan untuk secepat mungkin meninggalkan tempat itu dan pergi ke Pakuan Pajajaran.

   Ia harus bertemu dengan gadis yang dicintainya.

   LAMUNANNYA terputus karena tiba-tiba pintu diketuk.

   "Raden?"

   Terdengar Jasik memanggil. Banyak Sumba membuka pintu. Dengan keheranan, ia melihat Jasik berurai air mata sambil merangkulnya. Sebelum Banyak Sumba dapat bertanya, Jasik telah berkata.

   "Sang Hiang Tunggal telah menunjuk kasih sayang dan keadilannya. Raden selamat."

   Begitu bertumpuk pengalaman yang aneh-aneh, hingga Banyak Sumba tidak peka menerimanya.

   Ia baru menyadari bahwa ia baru saja lolos dari kematian.

   Ia pun baru bertanya dalam hati mengapa ia tidak jadi dihukum gantung.

   Terasa kembali tambang yang kasar pada lehernya.

   Ia bertanya dalam hati apakah segala yang terjadi itu impian belaka, suatu impian buruk? Tapi segalanya nyata.

   Jasik ada di hadapannya dan menangis gembira.

   Mereka berada dalam suatu ruangan yang lengkap dan mewah.

   "Kita akan pergi ke kuil dan menyerahkan persembahan di sana untuk keselamatan kita ini, Sik,"

   


Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Pendekar Bloon Karya SD Liong Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini