Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Terakhir 3


Pertarungan Terakhir Karya Saini KM Bagian 3



Pertarungan Terakhir Karya dari Saini KM

   

   Kata Banyak Sumba setelah beberapa lama termenung.

   "Betapa bersyukur hati saya, Raden. Makin yakin saya bahwa wangsa Banyak Citra dilindungi Sang Hiang Tunggal. Begitu banyak bahaya mengepung, tapi Raden selalu dapat mengatasinya. Dan terakhir sekali, maut sudah mencengkeram, nyatanya Raden sekarang sehat dan segar. Akan tetapi, saya tetap tidak mengeti, Raden, sungguh saya tidak mengerti,"

   Kata Jasik.

   "Saya pun tidak, Sik. Akan tetapi, kita akan tetap waspada dan siaga,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Juga ada peristiwa lain yang sungguh-sungguh memalukan dan mengherankan, Raden,"

   Lanjut Jasik. Banyak Sumba bertanya dengan cahaya matanya.

   "Begini, Raden,"

   Kata Jasik, kemudian setelah ragu-ragu ia berkata.

   "setelah saya diambil dari penjara itu, saya dibawa ke dalam sebuah ruangan yang bagus. Di sana ada dua orang emban yang muda-muda dan ... cantik-cantik. Aneh, kedua orang emban itu memaksa hendak memandikan saya. Bayangkan, Raden, setua ini saya masih hendak dimandikan oleh gadis-gadis yang cantik-cantik pula. Bayangkan, tentu saja saya menolak dan mengusir kedua emban itu."

   "Pengalamanku juga demikian, Sik,"

   Kata Banyak Sumba sambil memandang Jasik yang telah bersih dan berpakaian bagus. Hidung Banyak Sumba mencium wangi bunga- bungaan. Ia tersenyum.

   "Raden, ketika saya habis mandi dan keluar hendak menanyakan tempat Raden, ternyata kedua orang emban itu menunggu di depan pintu. Begitu saya membuka pintu, mereka langsung menyerbu saya dan memerciki baju saya dengan air bunga-bungaan. Pening kepala saya oleh baunya, Raden. Sungguh-sungguh tidak biasa dan tidak betah saya di tempat ini, walaupun serbamewah, Raden."

   Jasik berkata demikian dengan sungguh-sungguh. Banyak Sumba tersenyum, lalu berkata, 'Jangan takut, Sik, kita masih banyak tugas."

   Sementara berkata demikian, Banyak Sumba berjalan ke tempat mandi yang sudah tersedia.

   Jasik membantu membuka pakaiannya, lalu menyusunnya.

   Ketika Banyak Sumba sedang mandi, Jasik berjalan dan membuka tempat pakaian yang terbuat dari kayu cendana berukir.

   Ketika peti pakaian itu dibuka, tercenganglah Jasik melihat isinya yang sangat indah.

   Bermacam-macam baju salontreng terbuat dari sutra hijau muda, kuning, dan putih keperak-perakan.

   Ikat-ikat pinggang dari kulit halus yang dihiasi.

   Ikat kepala pun ada setumpuk, bermacam-macam pula warnanya.

   Yang lebih mengherankan Jasik adalah beberapa buah badik yang bagus-bagus, di antaranya ada yang sarungnya terbuat dari gading.

   Selesai membersihkan badan, Banyak Sumba berjalan ke arah Jasik yang sedang memandangi barang-barang yang indah-indah itu.

   "Pakaian bagi berandalan dan pesolek, Sik."

   "Raden, tapi Raden terpaksa harus memilih salah satunya karena yang lama sudah robek-robek."

   "Tentu, Sik, tapi kau tahu mana yang cocok bagiku."

   "Raden, pakaian yang ada dalam peti ini cukup untuk satu pasukan pengawal,"

   Ujar Jasik. 'Ambil saja yang perlu, Sik,"

   Kata Banyak Sumba.

   Jasik berjalan menyerahkan sepasang pakaian.

   Banyak Sumba dengan cepat mengenakannya karena tak ada perhiasan emas yang dikenakannya, ia lebih menyerupai seorang santri dari sebuah padepokan daripada seorang putra bangsawan Pajajaran.

   "Saya ditunggu di ruangan tengah, Sik,"

   Kata Banyak Sumba.

   "Saya pun ditunggu di ruangan lain. Sampai nanti, Raden."

   Mereka keluar dari ruangan, lalu berpisah. Banyak Sumba segera didekati dua orang pengawal yang menghaturkan sembah kepadanya.

   "Pangeran Muda ditunggu oleh Tuan Muda di dalam untuk bercengkerama."

   Banyak Sumba mengikuti mereka.

   Setelah beberapa lama berjalan dari lorong ke lorong dalam istana dan benteng itu, tibalah Banyak Sumba di sebuah taman yang sangat luas.

   Di tengah-tengah taman itu ada sebuah bangunan kecil.

   Ke sanalah Banyak Sumba berjalan dan di tempat itu sudah menunggu Bungsu Wiratanu dengan kawan-kawannya yang Banyak Sumba telah lupa lagi namanya.

   "Raden kelihatannya sudah segar kembali sekarang,"

   Kata orang tua setengah baya yang dipanggil Paman Guru oleh Bungsu Wiratanu.

   "Silakan duduk, kami ingin sekali dapat membantu Raden untuk perjalanan yang sedang Raden lakukan,"

   Kata Paman Guru itu pula.

   Banyak Sumba duduk di atas bangku rendah yang dihampari permadani yang bagus.

   Seorang gadis segera menyodorkan baki yang berisikan penganan dan minuman.

   Belum selesai Banyak Sumba membenahi duduknya, orang tua setengah baya itu mulai berkata.

   "Sekarang, ceritakan kepada kami, apa yang dapat kami lakukan untuk Raden."

   "Ya, Saudara Banyak Sumba, kami akan senang sekali kalau dapat membantu salah seorang anggota wangsa Banyak Citra yang termasyhur itu. Tukang-tukang pantun di masa yang akan datang akan menyanyikan cerita yang mengisahkan tentang kunjungan Saudara ke sini dan apa yang kami persembahkan sebagai bantuan perjalanan Saudara."

   Menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi itu, Banyak Sumba tenang-tenang saja dan setelah berbenah, barulah ia berkata.

   "Justru saya yang diliputi pertanyaan. Saya sudah hampir meninggalkan dunia yang penuh dengan kesusahan ini, tetapi tiba-tiba saya diselamatkan. Rupanya, pertanyaan itulah yang lebih penting mendapat penjelasan karena mengenai diri saya sendiri tidak ada yang perlu dijelaskan. Saya seorang pengembara, sedangkan mengembara adalah pekerjaan putra-putra bangsawan Pajajaran yang menganggur,"

   Katanya.

   "Tidak benar, Raden. Kisah-kisah pengembaraan Raden sudah banyak kami ketahui dan pengembaraan itu bukanlah pengembaraan putra seorang bangsawan yang tidak punya kerja."

   "Paman Guru, Raden Banyak Sumba orang yang tidak suka berbicara tentang dirinya sendiri. Paman Guru harus menceritakan apa yang telah kita ketahui tentang Raden Banyak Sumba,"

   Kata Bungsu Wiratanu sambil mengusap-usap rambutnya yang mengilap dan terurai ke pundaknya bagai rambut seorang gadis.

   "Tidak, Raden Bungsu. Kita sangat ingin tahu, bukan?"

   "Jangan memaksa, Paman Guru. Raden Banyak Sumba menjadi tamu kita untuk dihibur, bukan untuk menghibur kita dengan kisah-kisah perjalanannya yang menarik hati."

   "Wah, kalau begitu, memang pada tempatnya Raden Bungsu yang bercerita,"

   Kata Paman Guru.

   "Saya pun bukanlah tukang cerita. Kalau Raden Banyak Sumba menghendaki, kita dapat memanggil tukang pantun,"

   Sambil berkata demikian, Bungsu Wiratanu menepuk tangannya, lalu muncullah para badega yang seram-seram rupanya.

   "Panggil Aki Gombal. Cepat!"

   Mereka segera meninggalkan ruangan.

   "Saya mengucapkan terima kasih untuk segala penghormatan yang telah disampaikan kepada saya dan panakawan saya,"

   Kata Banyak Sumba.

   "tetapi janganlah bersusah-susah memanggil tukang pantun karena justru saya ingin mendengar, bagaimana sampai saya lolos dari kematian itu."

   "Tidak benar Raden lolos dari kematian karena memang Raden tidak pada tempatnya untuk dihukum,"

   Kata Paman Guru.

   "Saya tidak mengerti maksud Paman."

   "Raden Bungsu akan menceritakannya,"

   Kata Paman Guru.

   "Tidak usah diceritakan lagi, Paman. Itu sudah lampau dan memang tidak menyenangkan untuk menceritakan bahaya yang baru saja kita hindarkan."

   "Tapi ini penting, Raden Bungsu. Raden Banyak Sumba ingin tahu,"

   Kata Paman Guru.

   "Tapi saya tidak pada tempatnya menceritakan, Paman. Karena kalau begitu, orang akan menganggap saya berbuat hal itu dengan harapan mendapat ucapan terima kasih."

   Banyak Sumba mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian.

   "Tidak, Raden. Paman tahu Raden berbuat demikian keluar dari hati murni, tanpa pamrih. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau Paman menceritakannya."

   "Saya tidak setuju, Paman,"

   Kata Bungsu Wiratanu.

   "Tapi Raden Banyak Sumba ingin mendengarkannya dan Raden Banyak Sumba tamu kita. Jadi, kalau kau tidak mau bercerita, Pamanlah yang akan bercerita."

   "Kalau begitu, saya tidak ikut campur,"

   Kata Bungsu Wiratanu, lalu meraih pinggang gadis yang ada di sampingnya, ia membisikkan sesuatu kepada gadis itu, mukanya tenggelam di rambut gadis yang tertawa cekikikan.

   "Begini, Raden,"

   Kata Paman Guru.

   "Sudah lama diketahui bahwa dalam kota terdapat orang-orang yang berniat jahat kepada penguasa dan keluarganya. Para badega dan jagabaya sudah mengetahui orang-orang itu, tinggal menunggu waktu untuk bertindak. Kebetulan, malam tadi adalah saat yang ditentukan untuk bertindak dan dalam usaha itu secara tidak sengaja Raden ditangkap. Pagi-pagi hukuman dilaksanakan, ternyata Raden tidak dikenal. Para jagabaya dan badega- badega memutuskan Raden akan dihukum juga karena mereka menganggap Raden sebagai anggota gerombolan penjahat itu. Tentu saja, Raden Bungsu Wiratanu tidak setuju. Ia menangguhkan niatnya untuk pergi berburu karena ia tidak mau seorang yang tidak bersalah dihukum. Ia sudah berangkat ketika mendapat kabar bahwa ada orang yang tidak dikenal ikut tertangkap dan akan dihukum. Ia menangguhkan perburuannya, lalu kembali ke sini untuk melihat sendiri orang yang tidak dikenal itu. Pagi-pagi kami menengok ke penjara, Raden Bungsu Wiratanu mengenal Raden, lalu membuktikannya, yaitu dengan melihat gambar Raden yang dibuat Raden Laya."

   "Gambar saya?"

   Tanya Banyak Sumba keheranan.

   "Ya, kami memiliki gambar-gambar orang terkenal di sini, termasuk Raden."

   "Dari mana Raden Laya mengenal dan mengetahui wajah saya?"

   "Seorang pelukis adalah orang ajaib. Ia dapat menggambarkan wajah seseorang hanya dari obrolan orang lain. Tapi baiklah, nanti Raden akan mengetahui mengapa Raden dapat digambar oleh Raden Laya."

   "Saya tidak percaya bahwa saya dapat digambar tanpa dilihat lebih dahulu."

   "Nanti Paman membuktikannya,"

   Kata Paman Guru.

   Akan tetapi, ketika itu juga datang seorang badega membawa sehelai kain sutra.

   Paman Guru mengambil kain sutra yang tergulung itu, lalu membukanya di hadapan Banyak Sumba.

   Banyak Sumba terpukau oleh gambar wajahnya sendiri.

   Memang tidak tepat benar, tetapi orang akan segera mengenalnya dengan melihat gambar itu.

   "Nah, sekarang Raden percaya. Baiklah akan Paman terangkan kemudian bagaimana gambar itu dibuat, tetapi sekarang Paman menerangkan dulu, mengapa Raden lolos dari hukuman yang tidak adil itu. Begitu Raden Bungsu mengenal Raden, segera diperintahkan olehnya tentang pembebasan Raden. Diperintahkan pula agar secara resmi pemerintah Kota Kutawaringin minta maaf kepada penguasa Kota Medang yang sah tentang kejadian itu."

   "Saya masih belum mengerti, terutama tentang gambar itu. Di samping itu, saya pun tidak mengerti, mengapa saya diselamatkan. Bukankah mungkin saya yang bermaksud jahat seperti yang lain? Dan bukankah ..."

   Banyak Sumba ragu-ragu mengatakannya, tetapi kemudian dia mengatakannya juga.

   "... Bukankah saya telah memukul dan bahkan membuat cedera jagabaya atau badega-badega?"

   "Itu soal kecil, Raden,"

   Kata Paman Guru.

   "Paman Guru, sekarang terpaksa saya menerangkannya kepada Saudara Banyak Sumba karena ternyata Paman bingung sekali menghadapi pertanyaan-pertanyaan Saudara Sumba,"

   Kata Raden Bungsu Wiratanu sambil menurunkan gadis dari pangkuannya.

   "Baiklah saya terangkan, Raden,"

   Kata Bungsu Wiratanu.

   Ia menepuk tangannya tiga kali dan pergilah para badega, embanemban, gadis, juga bangsawan-bangsawan muda yang duduk di sana.

   Hanya mereka bertiga yang tinggal dalam ruangan itu, yaitu Banyak Sumba, Bungsu Wiratanu, dan Paman Guru.

   "Begini, Saudara Banyak Sumba. Sebenarnya, keluarga kita menghadapi masalah yang sama dari lawan yang sama. Itulah sebabnya, dari dulu saya mencari-cari Saudara dan keluarga Saudara. Segala berita tentang Saudara dan keluarga Saudara kami catat, mereka yang kenal dengan Saudara kami tanyai. Akhirnya, kami beruntung dapat menggambar wajah Saudara. Laya-lah sebenarnya yang menyelamatkan Saudara, bukan saya. Dengan adanya gambar yang dibuat Laya itulah, Saudara kami kenal dan kami selamatkan."

   Bungsu Wiratanu meneguk tuak yang ada di hadapannya, lalu membersihkan bekasnya dengan saputangan sutra keemasan.

   "Begini Saudara Banyak Sumba. Tadi saya mengatakan bahwa kita sebenarnya menanggung nasib yang sama, menghadapi lawan yang sama. Lawan yang sama itu tidak lain Anggadipati. Kakak saya, Bagus Wiratanu meninggal, bukan karena kakak Saudara Jante jaluwuyung Kakak Saudara hanyalah alat yang tidak tahu-menahu. Saudara Sumba perlu mengetahui, sebelumnya Anggadipati pernah merusak muka Kakanda Bagus, yaitu dengan melemparnya ke dalam semak- semak duri. Itu terjadi ketika Anggadipati masih siswa di Padepokan Tajimalela. Dendam antara kedua orang ini, yaitu Kakanda Bagus dan Anggadipati, rupanya tidak padam-padam. Nah, pada suatu waktu, kami mendengar adanya-persaingan yang tersembunyi antara Anggadipati dengan Kakak Saudara Sumba. Kita sama-sama mengetahui bahwa puragabaya yang paling hebat dan paling besar untuk segala zaman adalah Jante Jaluwuyung, Kakak Saudara Sumba. Itu diakui oleh siapa pun. Nah, hati Anggadipati yang jahat tentu saja tidak senang, dicarinya alasan untuk memusnahkan orang yang dianggap saingannya. Dan, kesempatan itu tidaklah lama ditunggu. Seperti diketahui, Kakanda Bagus mencintai seorang gadis di Kutabarang. Nah, ketika kakak Saudara Sumba bertugas di Kutabarang, dibawalah kakak Saudara ke rumah gadis itu. Dengan tipu muslihat dan akalnya yang cerdik, diusahakannya agar seolah-olah antara kakak Saudara dan gadis itu ada pertalian batin. Ini tentu saja menyebabkan kakak saya tersinggung. Ia yang tidak banyak tahu tentang tipu muslihat, langsung mencari kakak Saudara. Begitu bertemu, ia menyerang, tidak tahu bahwa yang diserangnya adalah seorang puragabaya yang tidak ada tandingannya di Buana Pancatengah ini. Hasilnya yang menyedihkan sudah sama-sama kita ketahui. Tapi ada akibat yang lebih menyedihkan lagi, yaitu timbul alasan bagi Anggadipati untuk menghancurkan Jante Jaluwuyung. Dikatakan kepada puragabaya yang lain bahwa Jante Jaluwuyung telah melanggar tata krama kepuragabayaan, dan yang lebih busuk lagi, dikatakan kepada kawan-kawannya bahwa Jante Jaluwuyung telah gila. Karena mulutnya yang manis dan senyumnya yang meruntuhkan keragu-raguan, akhirnya Resi Tajimalela percaya akan laporannya, lalu diburulah Jante Jaluwuyung seperti seekor babi hutan. Betapapun hebatnya, kalau dikeroyok oleh tujuh orang puragabaya, ia akan kalah juga. Ia dilemparkan ke dalam jurang yang dalam. Itulah kisahnya, dan kisah yang sebenarnya itu tidak diketahui orang, ya, bahkan Saudara sendiri baru mendengarnya sekarang dari saya. Itulah yang menyedihkan, ternyata kebenaran tidak mudah dimenangkan dalam kehidupan ini."

   Mendengar kisah itu, berdebar-debarlah hati Banyak Sumba. Jantungnya berdetak dengan keras, keringat dingin membasahi dahinya. Untuk beberapa lama ia terdiam, kemudian bertanya.

   "Dapatkah Saudara Bungsu menceritakan tentang abu Kakanda Jante?"

   "Nah, benar. Abu itu telah dicuri oleh badega-badega Anggadipati dan perbuatan yang keji itu dituduhkannya kepada kami. Katanya, kami hendak menghinakan abu kakak Saudara. Ia sendirilah yang bermaksud demikian!"

   Seru Bungsu Wiratanu seperti marah. Banyak Sumba menundukkan kepala. Setelah beberapa lama menundukkan kepala, berkata pula Banyak Sumba.

   "Tapi saya dengar, justru Anggadipati yang menambah jumlah penjaga-penjaga kuil tempat menyimpan abu jenazah itu."

   "Ya,"

   Kata Bungsu Wiratanu sambil tersenyum.

   "dan juga ia terus-menerus mengunjungi kuil, ketika orang ramai-ramainya lalu-lalang, lalu menitikkan air mata buaya di hadapan guci abu jenazah Jante Jaluwuyung. Saudara Sumba, orang yang sama-sama menjadi musuh kita ini halus seperti seekor kupu- kupu, licin seperti belut, berbisa seperti seekor ular, cerdik seperti kancil, dan ...."

   Sebelum Bungsu Wiratanu menyelesaikan kata-katanya, tertawalah Paman Guru.

   "Mengapa tertawa, Paman?"

   Tanya Bungsu Wiratanu.

   "Perbandingan-perbandinganmu sungguh bagus, Raden. Memang Anggadipati ini bukan manusia. Ia siluman yang lolos dari Buana Larang. Sayang, dulu waktu Kakanda Bagus menangkapnya, tidak langsung membunuhnya. Kakanda Bagus terlalu berperikemanusiaan hingga pemuda yang sengaja mencari gara-gara itu tidak dihukumnya."

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pernahkah Anggadipati ditangkap di sini?"

   "Ya, pernah, oleh Raden Bagus Wiratanu dulu. Ia pernah dihajar babak belur oleh Raden Bagus dulu. Dan, itulah salah satu peristiwa yang menyebabkan dia memilih Raden Bagus sebagai umpan bagi kakak Raden, Raden Jante Jaluwuyung. Sungguh luar biasa cerdiknya Anggadipati ini."

   "Saya menyesal tidak membunuhnya ketika mendapat kesempatan dulu,"

   Tiba-tiba Banyak Sumba berkata.

   Kedua orang kawan bercakapnya memandang kepada Banyak Sumba, seolah-olah mereka penasaran ingin mengetahui kisah pertemuan dengan Anggadipati.

   Akan tetapi, Banyak Sumba membisu.

   Ia berkata dalam hati, kalau kisahnya demikian, ia dapat mengerti mengapa ia diselamatkan dari geraham maut oleh Bungsu Wratanu.

   Ia berkata.

   "Saya berterima kasih kepada Saudara yang telah menyelamatkan saya dari kematian. Dengan demikian, saya masih dapat melaksanakan tugas saya, yaitu berbakti kepada orangtua dengan membalas dendamnya. Di samping itu Banyak Sumba berdiam diri sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya.

   "Sebenarnya, saya harus minta maaf kepada Saudara karena saya datang ke Kutawaringin ini sebenarnya bermaksud jahat terhadap Saudara. Saya bermaksud mencelakakan Saudara karena ...."

   Sebelum Banyak Sumba melanjutkan perkataannya, Bungsu Wratanu tersenyum sambil memegang pundaknya.

   "Karena badega-badega saya telah merampas kuda Saudara dulu. Sayalah yang harus minta maaf. Saya masih ingat, beberapa bulan yang lalu saya melihat kuda yang bagus, dituntun oleh seorang pemuda tampan. Saya ketika itu berkata, alangkah bagusnya kuda yang dituntun oleh pemuda itu dan badega-badega saya menganggap saya menginginkan kuda itu. Mereka merampas kuda Saudara, bukan? Saya benar-benar menyesal dan minta maaf pada kesempatan yang baik ini."

   "Kuda tidak ada artinya dibandingkan dengan nyawa. Saudara sebenarnya dapat saja menghukum saya. Saya memang bermaksud jahat terhadap Saudara karena salah paham juga"

   "Ya, semuanya karena Anggadipati."

   "Ya, semuanya karena Anggadipati. Anggadipati yang ada di belakang segalanya. Segala kesusahan keluarga Wiratanu dan keluarga Banyak Citra disebabkan oleh seorang Anggadipati ini,"

   Kata Paman Guru sambil memandang kepada Banyak Sumba.

   Entah perasaan apa yang bergerak dalam hati Banyak Sumba.

   Ia mendengus, seperti yang biasa dilakukan oleh anggota laki-laki wangsa Banyak Citra kalau marah.

   -ooo00dw00ooo- Bab Aki Gombal Tukang Pantun Siang itu, Banyak Sumba dibawa berkeliling kota, melihat- lihat keindahan taman-taman dan bangunan-bangunan di Kutawaringin yang terkenal makmur itu.

   Setelah puas berkeliling kota, ketika mereka sedang menuju istana, bertanyalah Bungsu Wiratanu.

   "Saudara Sumba, apakah Saudara akan beristirahat dulu atau kita pergi melihat kuda?"

   Banyak Sumba yang belum merasa lelah berkata, baginya melihat kuda Bungsu Wiratanu lebih baik daripada beristirahat.

   Bungsu Wiratanu memutuskan untuk pergi ke tempat kuda- kuda.

   Setelah mereka memacu kereta dan sepanjang jalan kusir meledak-ledakkan pecut besar, yang kadang-kadang diarahkan kepada orang yang duduk terlalu tengah atau tidak mau duduk di tepi jalan, berbeloklah kereta kecil yang mewah itu ke suatu lapangan di dalam kota.

   Begitu masuk lapangan, tampak oleh Banyak Sumba berpuluh-puluh ekor kuda yang bagus-bagus.

   "Pilihlah, satu, dua, atau sepuluh ekor kuda. Saudara dapat membawanya sebagai milik Saudara sendiri."

   "Ah, tidak, Saudara Bungsu. Saudara terlalu baik kepada saya."

   "Bukan begitu, Saudara Sumba, saya hanya ingin mengganti kuda yang dirampas dari tangan Saudara dulu. Kuda itu bagus sekali, sayang sekali sudah tidak ada di sini. Saya merasa berkewajiban mengembalikannya, satu, dua, tiga, atau sepuluh. Yang lain sebagai tanda permintaan maaf. Ambillah dan pilihlah sesuka Saudara."

   Banyak Sumba turun dari kereta, lalu melompati pagar yang terbuat dari batang-batang bambu yang tidak dibelah dan diletakkan melintang.

   Dengan heran dan gembira, ia melihat kuda yang tampan-tampan dan besar-besar.

   Belum pernah ia melihat kuda bagus sebanyak itu di satu tempat.

   Sementara itu, tanpa diketahuinya, Bungsu Wiratanu berdiri di sampingnya sambil tersenyum.

   "Saudara Sumba, ambillah yang mana saja, berapa saja jumlahnya. Atau, lebih baik anggaplah kuda saya ini adalah milik Saudara juga. Setiap waktu, kalau Saudara memerlukan, ambillah. Kapan saja, kalau memerlukan kuda, datanglah ke sini."

   "Saudara Bungsu terlalu baik,"

   Kata Banyak Sumba dengan rasa terima kasih yang tulus. Setelah ragu-ragu sebentar, ia berkata.

   "Saya menyesal mengatakannya di sini bahwa sebenarnya saya bermaksud jahat terhadap Saudara. Sebenarnya saya pantas dihukum. Tapi, Saudara malah menyelamatkan dan menghormati saya. Saya tidak berhak meminta ganti untuk kuda yang dirampas beberapa tahun yang lalu. Saya tidak bermaksud meminta ganti. Bahkan sebaliknya, saya merasa berutang, bukan berutang budi yang memang tidak ternilai, tetapi lebih dari itu. Saya telah berutang nyawa kepada Saudara."

   "Janganlah berkata begitu. Bukan saya yang menyelamatkan Saudara, tetapi Sang Hiang Tunggal dan Saudara sendiri. Kalau Saudara bukan Raden Banyak Sumba, Saudara sudah tergantung di tali ijuk yang kuat itu. Saya tidak akan berbuat apa-apa karena orang asing yang masuk ke Kutawari-ngin lalu mengacau harus dihukum, walaupun tidak harus dihukum gantung. Akan tetapi, Saudara bernama Banyak Sumba dan antara keluarga Saudara dengan keluarga Wiratanu ada persamaan nasib. Keluarga kita menderita, kehilangan orang yang dicintai, dicurigai oleh sang Prabu karena satu orang yang bernama Pangeran Anggadipati. Saudara lebih beruntung daripada saya. Saudara dibolehkan pergi mencari Anggadipati dan mencari kesempatan untuk membalas dendam. Saya, sebagai anak lelaki Ayahanda yang terakhir, tidak diperkenankan pergi untuk membalas dendam. Ayahanda hanya berdoa, semoga Sang Hiang Tunggal segera melaksanakan keadilan-Nya."

   "Mudah-mudahan, dalam waktu singkat hal itu akan berlaku,"

   Ujar Banyak Sumba.

   Pikirannya telah melayang ke ibu kota Pakuan Pajajaran.

   Ia sungguh-sungguh menyesal, mengapa ia tidak mempergunakan pisau beracun itu dulu, ketika ada kesempatan untuk melemparkannya ke arah Pangeran Anggadipati.

   Sementara itu, perasaan persaudaraan berkembang dalam hatinya.

   "Pilihlah seekor atau dua ekor, berapa saja,"

   Kata Bungsu Wiratanu seraya membentangkan tangannya sambil melihat kuda yang tampan-tampan yang berkeliaran di lapangan di sekeliling benteng dan sebagian dibatasi dengan pagar bambu.

   "Saya merasa tidak berhak, Saudara Bungsu. Di samping itu, ada kuda yang saya titipkan di luar benteng."

   "Baiklah, tapi bagaimana kalau saya berkeinginan menghadiahkan kuda kepada Saudara. Bukankah akan lebih baik memiliki lebih dari seekor kuda? Di samping itu, perjalanan ke ibu kota Pajajaran bukanlah perjalanan dekat. Sekurang-kurangnya, Saudara harus mengganti dua kali."

   "Saudara Bungsu terlalu baik, saya tidak akan dapat membalas budi Saudara."

   "Pada suatu kali dan mudah-mudahan itu terjadi, Saudara akan melakukan sesuatu yang tidak akan terbayar oleh keluarga Wiratanu."

   "Ya?"

   Ujar Banyak Sumba, tidak mengerti perkataan Bungsu Wiratanu.."Saudara akan membalaskan dendam kami, keluarga Wiratanu terhadap Pangeran Anggadipati."

   Banyak Sumba termenung, lalu berkata.

   "Tapi sama sekali saya tidak bermaksud mengutangkan budi. Hanya kebetulan, keluarga kami pun mempunyai perhitungan yang harus diselesaikan dengan orang itu."

   MALAM itu, Banyak Sumba menginap di istana.

   Bungsu Wiratanu sengaja mengundang kawan-kawannya untuk memeriahkan suasana.

   Suatu pesta anak-anak muda bangsawan diselenggarakan di Kesatrian.

   Makanan yang tidak terhitung macamnya dan tidak terkira banyaknya tersedia di ruangan tengah Kesatrian yang terang oleh obor-obpr yang terbuat dari perak.

   "Pesta ini diadakan untuk beberapa maksud sekaligus. Pertama, untuk mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah menghindarkan dua keluarga, yaitu keluarga kami dan keluarga Banyak Citra dari malapetaka. Kedua, sebagai pernyataan dan ucapan selamat datang di Kutawaringin kepada Saudara Banyak Sumba. Ketiga, untuk mengeratkan persahabatan dan saling pengertian antara keluarga kami."

   Setelah berkata demikian, Raden Bungsu Wiratanu mengacungkan piala tuak yang terbuat dari emas, lalu meminumnya sedikit.

   Setelah itu, ia menyodorkan piala emas itu kepada Banyak Sumba supaya diminumnya pula sebagai tanda persahabatan.

   Banyak Sumba dengan senang hati melakukan hal itu.

   Setelah itu, acara makan dimulai.

   Juru hibur masuk, memainkan musik yang gembira, menyanyi, dan menari, di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi oleh para bangsawan yang sedang bersantap.

   Kalau seorang habis menari, bangsawan yang senang biasanya berdiri sambil membawa piala tuak, lalu menyuruh pemain itu minum.

   Kadang-kadang diberikan paha kambing atau menjangan, kadang-kadang dilemparnya uang logam.

   Bunyi-bunyian, tepuk tangan, dan orang-orang tertawa bergelak membisingkan seluruh ruangan Sementara itu, gadis-gadis simpang siur melayani para bangsawan muda.

   Kadang-kadang mereka tertawa cekikikan, kadang-kadang dengan genit berpura-pura marah terhadap bangsawan yang mengganggunya.

   Bau wangi-wangian dari tubuh mereka mengharumkan seluruh ruangan.

   Akan tetapi, karena bercampur dengan bau makanan, memusingkan kepala Banyak Sumba.

   Sementara itu, makin lama pesta makin meriah.

   Dua orang gadis yang sejak lama duduk di samping Banyak Sumba dan melayaninya makan, makin mendesaknya dan merapatkan duduknya ke arah Banyak Sumba.

   "Raden Banyak Sumba, Saudara bukan seorang pendeta, bukan?"

   Kata seorang pemuda bangsawan yang melihat Banyak Sumba kikuk menghadapi tingkah laku kedua orang gadis itu.

   "Kawan-kawan, barangkali obor-obor terlalu terang bagi Raden Banyak Sumba!"

   Kata bangsawan muda lain.

   Mereka tertawa tergelak-gelak.

   Sambil tertawa gembira, beberapa orang bangsawan muda berdiri, lalu berjalan ke arah obor-obor yang menempel di tiang-tiang ruangan.

   Mereka tidak memadamkan obor-obor itu, tetapi menuangkan tuak mereka ke atasnya.

   Kebanyakan obor-obor yang dituangi tuak itu padam seketika.

   Akan tetapi, ada yang malah menjadi berkobar-kobar dengan nyalanya yang kebiru-biruan.

   Ruangan pun akhirnya menjadi remang-remang.

   Tabuh-tabuhan makin menggila dan beberapa bangsawan yang setengah mabuk telah mulai menari-nari, sempoyongan bagai orang kemasukan siluman.

   Bayangan mereka di dinding bergerak lebih menggila lagi.

   Beberapa orang gadis mulai memasuki gelanggang.

   Alangkah tidak senonoh tingkah laku gadis-gadis di sini, pikir Banyak Sumba yang baru melihat gadis-gadis berani bertingkah seperti itu.

   Keheranannya tidak sampai di sana.

   Bungsu Wiratanu bertepuk tangan dan ruangan segera dikosongkan.

   Setelah ruangan kosong, seorang gadis berlari ke tengah-tengah ruangan, lalu menari.

   Gadis itu menari, menggeliat-geliatkan tubuhnya seperti seekor ular.

   Mula-mula dilemparkannya selendangnya, sanggulnya yang besar diuraikannya, kemudian ....

   Banyak Sumba melirik ke kiri dan ke kanan, tidak betah lagi duduk di dalam ruangan yang bersuasana asing itu.

   "Kalau Raden tidak senang di sini, marilah ke luar dengan Paman,"

   Kata Paman Guru yang tiba-tiba duduk di dekatnya.

   Banyak Sumba senang akan ajakan itu.

   Ia berdiri dan minta izin untuk keluar kepada Bungsu Wiratanu.

   Bungsu Wiratanu tidak mendengarnya karena asyik menonton penari yang berani itu.

   Dengan mengikuti Paman Guru dari lorong ke lorong, akhirnya sampailah mereka ke sebuah bangunan kecil di taman istana.

   Setibanya di ruangan kecil itu, berkatalah orang setengah baya yang disebut Paman Guru itu.

   "Raden mendapat pendidikan santri, rupanya. Tentu tidak biasa menghadiri pesta-pesta seperti yang dilakukan oleh anak-anak muda tadi. Tapi jangan berkecil hati, Paman tahu apa yang Raden senangi."

   Sementara berkata demikian, mereka sudah duduk di bangku rendah yang dihampari tikar pandan yang indah.

   Di ruangan kecil itu ada beberapa badega yang mulai menyalakan lampu-lampu minyak.

   Paman Guru menepukkan tangannya, seorang badega menyalakan lampu minyak.

   Paman Guru menepukkan tangannya lagi, seorang badega mendekat dengan membungkukkan badan.

   "Aki Gombal sudah tidur? Kalau belum, panggil dia kemari."

   Badega itu segera pergi. Sementara menunggu, Paman Guru berkata lagi.

   "Raden akan mendengar juru pantun yang paling baik dan paling jujur di seluruh Pajajaran, namanya Aki Gombal,"

   Katanya.

   "Apakah ada tukang pantun yang tidak jujur?"

   "Wah, Raden ini rupanya benar-benar masih muda. Masih belum banyak makan garam. Mencari tukang pantun yang jujur dewasa ini sama sukarnya dengan mencari gigi ayam. Mereka, bukan saja tidak lagi mengetahui tata krama kejuru- pantunan, tetapi mereka mempergunakan kesenian itu untuk kemewahan dan kehormatan. Inilah yang merusak kesenian mereka. Raden tahu bahwa pada zaman dulu tukang pantun hanya menyanyi di tempat-tempat upacara. Sekarang, di sembarang tempat mereka mau saja menyanyi. Inilah yang merendahkan derajat mereka."

   Banyak Sumba belum dapat menangkap maksud Paman Guru, tetapi ia tidak bertanya-tanya karena seorang kakek- kakek buta datang dituntun oleh anak kecil dan diiringkan badega yang disuruh Paman Guru sebelumnya.

   "Nah, kebetulan Kakek belum tidur. Kakek, coba menyanyikan cerita yang sangat disenangi oleh Gusti Tumenggung itu. Kita punya tamu terhormat dari Kota Medang. Nyanyikanlah tentang kematian seorang pahlawan Kakek-kakek itu duduk dan meletakkan kecapi di depannya. Ia berdiam diri untuk beberapa lama, bersemedi atau berdoa. Banyak Sumba tidak dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukannya karena ruangan remang-remang. Tak lama kemudian, tali-tali kecapi dipetik, nada-nada pertama berkumandang, sementara tukang pantun itu merajah, minta izin kepada para Bujangga dan Pohaci karena ia akan menyanyi dan bercerita. Selesai upacara, mulailah tukang pantun itu bercerita. Banyak Sumba terheran-heran karena cerita itu adalah tentang keluarganya dan keluarga Wiratanu. Banyak sekali cerita itu yang sama dengan semua yang dialaminya. Satu hal yang sangat berbeda dengan cerita lain yang biasa dinyanyikan oleh tukang pantun lain yaitu, tak ada satu pujian pun diberikan kepada Pangeran Anggadipati. Justru kelicikan, kecurangan, dan kekejaman Pangeran Anggadipati-lah yang ditonjolkan. Diceritakan, bagaimana untuk menutupi maksudnya yang jahat, Pangeran Anggadipati pura-pura jatuh cinta kepada Ayunda Yuta Inten. Agar tidak ada kecurigaan terhadapnya, ia menempatkan badega-badeganya sebagai penjaga guci abu jenazah. Sementara itu, ia menyuruh badega-badega lain untuk menyerbu dan merampas abu jenazah itu. Diceritakan pula bagaimana sebenarnya Pangeran Anggadipati sangat suka bermain perempuan. Tak ada putri Pajajaran yang tidak diganggunya. Wajahnya yang tampan, senyumnya yang manis, budi bahasanya yang halus, dan keturunannya yang terkenal adalah umpan berbisa bagi gadis-gadis itu. Tiba-tiba, Banyak Sumba teringat kepada Nyai Emas Purbamanik. Ia bertanya dalam hatinya, mungkinkah Anggadipati telah pula melihat gadis yang sangat cantik itu? Ia harus segera berangkat ke Pakuan Pajajaran, katanya di dalam hati. Ia akan menerima hadiah berupa kuda dari Raden Bungsu Wiratanu agar perjalanannya dapat dilaksanakan dengan cepat. Ia akan terus-menerus berlatih dan mengasah ilmunya itu sambil mampir di Padepokan Sirnadirasa. Ia akan berterus terang kepada Raden Girilaya bahwa ia mencintai Nyai Emas Purbamanik. Sementara pikirannya melayang- layang, ia tidak lagi mendengar nyanyian tukang pantun ataupun gema riuh rendah dari ruangan pesta Kesatrian. ENTAH berapa lama Banyak Sumba mengikuti renungannya. Suara tukang pantun, nyanyiannya yang serak, nada-nada kecapi yang berkumandang turun naik dengan gelombang perasaan tukang pantun itu, timbul tenggelam dalam kesadarannya. Ia tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya pada kisah yang dinyanyikan oleh tukang pantun itu, tetapi ia pun tidak dapat melepaskan diri untuk mendengarkan karena cerita tukang pantun itulah yang merangsang renungan-renungannya.

   "Raden, rupanya Raden sudah terlalu lelah?"

   Tiba-tiba Paman Guru bertanya kepada Banyak Sumba. Sebelum Banyak Sumba menjawab, Paman Guru menepukkan tangannya dan tukang pantun itu pun melambatkan petikan kecapinya, kemudian berhenti sama sekali.

   "Raden sudah terlalu lelah. Aki, nanti dalam kesempatan lain kita lanjutkan."

   "Biarlah Aki meneruskannya, bukankah ia harus menyanyi sampai pagi? Jangan terganggu oleh saya, badega-badega dan emban dapat mendengarkan ceritanya yang bagus itu, Paman Guru,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Ah, tidak perlu sampai pagi, Raden. Tadi juga Aki mulai terlambat. Jadi tidak usah sampai selesai. Kalau tadi Aki bermain, itu hanya karena Raden tidak betah di ruangan besar."

   "Oh, baiklah kalau begitu. Saya memang perlu istirahat,"

   Kata Banyak Sumba walaupun sebenarnya ia tidak mengantuk.

   "Mari Paman antar, kebetulan udara malam nyaman sekali,"

   Kata Paman Guru sambil memegang tangan Banyak Sumba. Ketika mereka sudah ada di luar ruangan, Paman Guru bertanya.

   "Bagaimana pendapat Raden tentang permainan Aki Gombal?"

   "Bagus sekali, Paman,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Ia tukang pantun terbaik di seluruh Pajajaran. Bukan hanya karena dapat menggambarkan setiap kejadian dengan tepat, bukan karena iringan kecapinya dapat mengungkapkan suasana kejadian-kejadian itu saja, tetapi karena ia seniman sejati. Ia tidak mau berdusta seperti tukang pantun lain."

   "Apakah tukang pantun lain suka berdusta?"

   Tanya Banyak Sumba.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Memang!"

   Ujar Paman Guru.

   "Saya baru mendengar tentang hal itu,"

   Kata Banyak Sumba pula.

   "Wah, Raden ini sungguh-sungguh masih muda. Raden harus mengetahui, seperti juga orang-orang biasa, tukang pantun itu banyak kebutuhannya. Mereka butuh harta benda, butuh kehormatan, dan terutama periindungan dari para bangsawan agar kebutuhan mereka dapat terpenuhi,"

   Lanjut Paman Guru.

   "Tapi saya mengetahui ada tukang pantun yang untuk keseniannya berani meninggalkan keduniawian. Mereka hidup untuk menyanyi dan menceritakan kisah-kisah yang indah dan memperkaya sastra. Banyak tukang pantun yang sebenarnya berjiwa pendeta. Mereka resi-resi yang menyebarkan perintah Sang Hiang Tunggal melalui kesenian mereka,"

   Kata Banyak Sumba. Paman Guru tersenyum mendengar perkataan Banyak Sumba itu, kemudian mengangguk-angguk sebelum berkata kembali.

   "Raden ini terlalu baik, tidak pernah curiga. Mungkin tukang pantun yang Raden ketahui memang tukang pantun yang baik. Tapi sekarang ini, beratus-ratus tukang pantun tersebar untuk mendustai rakyat Pajajaran."

   Banyak Sumba menghentikan langkahnya dan melihat ke wajah Paman Guru yang tersenyum kepadanya.

   "Begini, Raden. Pernahkah Raden mendengar kisah tentang Anggadipati dari tukang pantun?"

   "Sering,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Bagaimana cerita mereka tentang pangeran yang jahat itu?"

   "Umumnya berupa pujian setinggi langit kepada Anggadipati,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Bagaimana dengan kisah Aki Gombal tadi?"

   "Kisah Aki Gombal justru bertentangan dengan kisah-kisah yang lain. Kisah Aki Gombal banyak menceritakan hal-hal yang baru bagi saya,"

   Kata Banyak Sumba.

   "Dan hal-hal itu benar belaka, yang lain adalah dusta,"

   Kata Paman Guru. Banyak Sumba sekali lagi menghentikan langkahnya.

   "Dusta bagaimana?"

   "Tukang pantun yang memuji-muji Anggadipati adalah orang-orang Anggadipati sendiri. Mereka sebelumnya dipanggil, diberi uang emas berpuluh-puluh keping setiap orangnya, kemudian disuruh menceritakan kisah-kisah yang hebat tentang diri Anggadipati. Maksudnya jelas, supaya rakyat jadi bingung, dan kita tidak berdaya mengangkat tangan terhadapnya."

   Banyak Sumba menundukkan kepala.

   "Kalau begitu, memang benar-benar cerdik Anggadipati ini."

   "Cerdik bagai siluman dan kita, keluarga Wiratanu serta keluarga Banyak Citra yang jaya, dipermainkannya selama ini."

   "Ya,"

   Ujar Banyak Sumba, suaranya keras tanpa disengaja.

   "Itulah sebabnya, mengapa tadi Paman mengatakan bahwa Aki Gombal satu-satunya tukang pantun yang terbaik. Ia jujur dan tidak mau disuap."

   "Saya ingin bertemu kembali dengan Aki Gombal. Saya perlu keterangan lebih lanjut bagaimana cara Anggadipati menyuap tukang-tukang pantun lain."

   "Tidak perlu, Raden. Paman sendiri sudah cukup menanyainya. Dan kisahnya demikian, tukang-tukang pantun dikumpulkan, diberi uang, dan disuruh memuji-muji Anggadipati."

   "Alangkah rendahnya tukang-tukang pantun itu,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Kalau bertemu dengan yang memuji-muji Anggadipati, patahkanlah lehernya."

   "Saya pernah melemparkan seorang tukang pantun dari atas panggung."

   "Wah, Raden masih kalah oleh Raden Bungsu. Mungkin, ada lima belas atau dua puluh tukang pantun yang telah dilemparnya dari atas panggung."

   "Tapi, saya perlu menanyai Aki Gombal."

   "Tidak usah, Raden."

   "Mengapa?"

   Tanya Banyak Sumba.

   "Ia begitu sedih karena teman-temannya dianggapnya mengkhianati tugas suci sehingga kalau ditanyai tentang itu, ia akan bungkam."

   Banyak Sumba bisa mengerti keterangan itu. Ia sendiri hampir tak bisa berkata-kata lagi mendengar keterangan yang mengejutkan itu. Setelah lama termenung dan sebelum berpisah, berkatalah Banyak Sumba kepada Paman Guru.

   "Sampaikan terima kasih saya kepada Raden Bungsu, maaf saya tidak dapat mengikuti pesta sampai selesai karena harus berangkat besok subuh-subuh benar."

   "Baiklah, Raden,"

   Kata Paman Guru sambil mengundurkan diri.

   Malam itu, Banyak Sumba hampir tak bisa tidur.

   Di dadanya seolah-olah berkobaran nyala api.

   Dan Banyak Sumba tahu, kobaran api itu harus dipadamkan dengan semburan darah, darah seseorang.

   Keesokan harinya, sebelum matahari menyembulkan kepalanya di atas bukit-bukit sebelah timur, Banyak Sumba sudah siap di lapangan kecil depan istana keluarga Wiratanu.

   Raden Bungsu Wiratanu, Paman Guru, dan beberapa orang badega sudah siap pula di sana.

   "Saya tidak hanya berutang budi, tetapi berutang nyawa pula kepada Saudara,"

   Kata Banyak Sumba sambil memegang tangan Raden Bungsu setelah mereka bersalaman. 'Jangan berkata begitu, saya tahu Saudara akan dapat membayarnya. Di samping itu, kita bersaudara karena nasib yang sama. Di antara saudara tidak ada utang-mengutangi."

   "Tetap saya akan merasa berutang kepada Saudara,"

   Kata Banyak Sumba pula. Raden Bungsu hanya tersenyum, kemudian berkata tentang hal lain.

   "Saudara tidak akan mendapat kesukaran tentang kuda. Bawalah kotak lontar ini dan perli-hatkanlah isinya kepada orang-orang yang namanya tertulis di dalamnya. Mereka akan menyediakan Saudara penginapan, kuda, dan apa saja yang Saudara minta. Di Kutabarang, mereka memiliki banyak kuda yang bagus dan Saudara dapat meminta lebih daripada yang diperlukan. Di Pakuan, Saudara akan dibantu, bukan saja dengan kuda, melainkan dengan badega. Kalau Saudara memerlukan pasukan, katakanlah kepada badega-badega saya di sana. Mereka orang-orang terlatih."

   Sekali lagi, Banyak Sumba mengucapkan terima kasih.

   Ia gembira karena ternyata, bukan dia sendiri yang harus mengemban tugas yang berat dan mengorbankan masa remajanya itu.

   Ia punya banyak kawan dalam perjuangan itu dan kawan-kawan itu akan menunggunya di Pakuan Pajajaran untuk dipimpinnya dalam menyelesaikan tugas itu.

   Beberapa saat sebelumnya, Raden Bungsu menjelaskan kepadanya bahwa seratus empat puluh orang badeganya sudah siap di Pakuan Pajajaran dengan maksud menangkap atau membunuh Anggadipati dan orang-orang itu akan senang sekali menerima Banyak Sumba sebagai pemimpin.

   Banyak Sumba makin bersemangat.

   Dalam hati, ia berjanji akan membalas utang budinya kepada Bungsu Wiratanu dengan kepala Anggadipati.

   Tak lama kemudian, saat perpisahan pun tiba.

   Dengan diiringi beberapa orang badega yang menunggang kuda hingga gerbang, Banyak Sumba melambai-lambaikan tangannya di samping Jasik, yang juga kelihatan gagah dan gembira.

   Setelah melewati jalan-jalan kota yang masih sepi, sampailah mereka di gerbang Kota Kutawaringin.

   Tak lama kemudian, mereka telah melarikan kuda di jalan-jalan berdebu di luar benteng kota.

   Mereka melarikan kudanya dengan cepat selagi jalan-jalan masih sepi.

   Ketika matahari mulai hangat dan kuda mereka berkeringat, sampailah mereka di puncak sebuah bukit.

   Banyak Sumba memberi isyarat kepada Jasik yang mengejar di belakangnya supaya berhenti.

   Mereka berhenti di atas bukit sambil memandang ke sekelilingnya.

   Kota Kutawaringin tampak dengan atap ijuknya yang keabu-abuan, dengan sungai kecil yang lewat di sebelah timur dan barat, serta sungai buatan yang mengelilingi benteng.

   Ke sebelah utara, dataran rendah Tatar Sunda; kemudian akan berujung di laut yang tidak tampak.

   Ke sebelah selatan hutan-hutan lebat yang menggelap di atas gunung-gunung yang tinggi, tempat para guriang bersemayam dan pertapa menyepi di tengah binatang-binatang buas.

   Ke sebelah barat adalah Kuta-barang yang tak mungkin tampak dari atas bukit itu karena jauhnya tiga hari perjalanan.

   "Raden,"

   Tiba-tiba Jasik berkata. Banyak Sumba berpaling.

   "Raden, pada kuda saya terdapat kantong kulit yang bagus dan ketika saya buka talinya, ternyata penuh dengan uang emas."

   Banyak Sumba melihat ke arah kantong yang dikatakan Jasik.

   Tiba-tiba, ia menyadari bahwa di samping kanan pelana kudanya, agak ke depan, terdapat pula kantong yang lebih besar dan lebih indah.

   Banyak Sumba meraba kulit yang halus itu dan dapat menduga bahwa kantong besar itu berisi uang.

   Ia menyadari, Bungsu Wiratanu telah membekali dengan uang yang sangat banyak, lebih banyak daripada uang yang dibawanya dari Medang.

   "Ini utang kita, Sik. Kita harus segera menyelesaikan tugas kita. Dengan cara itulah, segala utang kita akan terbayar."

   "Raden, menurut badega-badeganya, Bungsu Wiratanu pun ingin sekali membunuh Pangeran Anggadipati, tapi mengapa Bungsu Wiratanu tidak berangkat ke Pakuan Pajajaran seperti kita?"

   Banyak Sumba termenung sebentar. Kemudian, tiba-tiba ia berkata.

   "Si Colat, Sik. Kalau ia keluar terlalu jauh dari kotanya, penjagaan terhadap dirinya menjadi sukar. Si Colat akan mudah membunuhnya."

   Jasik tidak berkata apa-apa dan mereka pun segera memacu kudanya kembali, menuju barat, ke Kutabarang. Setelah tiga hari di perjalanan, pada suatu persimpangan mereka berhenti. Banyak Sumba berkata kepada Jasik.

   "Sampaikan salamku kepada Kang Arsim, Sik. Lalu, sediakan bekal perjalanan kita ke Kutabarang. Dalam tiga hari, kita akan bertemu di Kutabarang."

   Mereka berpisah.

   Jasik langsung ke Kutabarang, sedangkan Banyak Sumba membelokkan kudanya ke arah selatan, menuju Perguruan Sirnadirasa.

   Kalau Jasik akan menyusuri jalan besar yang ramai, Banyak Sumba akan berjalan seorang diri, menyusuri jalan kecil yang hanya dapat digunakan berpapasan dua ekor kuda atau dua orang pejalan kaki.

   Ia tiba-tiba saja merasa, betapa besar arti Jasik dalam hidupnya.

   Sejak malapetaka menimpa keluarganya, Jasik tidak pernah berpisah dengan dia.

   Anak muda itu tidak pernah merasa takut, tidak pernah mengeluh selama dalam pengembaraan yang penuh dengan bahaya dan kekurangan.

   Seandainya tidak ada Jasik, Banyak Sumba yakin, betapa akan lebih sukar hidup yang dihadapinya.

   Pikiran Banyak Sumba melayang jauh ke Kota Medang yang menjadi tempat masa kanak-kanaknya, ke Padepokan Panyingkiran yang telah menjadi sunyi kembali, dan Kutabarangtempat Kang Arsim mengajar di Perguruan Gan Tanjung.

   Akhirnya, kepada Nyai Emas Purba-manik.

   "Saya akan datang kepadamu, apa pun yang terjadi,"

   Tiba-tiba ia berkata kepada seseorang yang tidak ada di hadapannya, tetapi begitu jelas tergambar dalam hatinya yang merindu.

   -ooo00dw00ooo- Bab Padepokan Sirnadirasa Ketika langit sebelah barat merah bagai tirai api, tampaklah punggung gunung yang pohon-pohonnya tcr-atur seperti sebuah taman yang besar.

   Itulah Padepokan Resi Sirnadirasa, ujar Banyak Sumba dalam hatinya dengari lega.

   Ia tidak akan kemalaman dalam hutan dan ia dapat beristirahat dengan tenang malam itu juga, seraya mencurahkan kerinduan kepada Nyai Emas Purbamanik melalui Raden Girilaya.

   Maka, dipercepatlah lari kudanya yang dengan kelelahan, mendaki dan melompati cadas-cadas.

   Tak lama kemudian, tibalah Banyak Sumba di pinggir hutan yang indah itu, lalu ia turun dari kudanya dan membelok ke kampung kecil tempat badega- badega tinggal.

   Ia menitipkan kuda di sana.

   Setelah membersihkan badan, ia berjalan kaki mendaki punggung gunung menuju Padepokan Sirnadirasa.

   Raden Girilaya menyambutnya ketika ia tiba.

   "Betapa cemas kami akan nasib Saudara. Tidak pernah ada siswa yang meninggalkan padepokan begitu lama."

   "Tidak ada bahaya yang akan menimpa saya,"

   Kata Banyak Sumba, walaupun ia tahu bahwa perkataannya itu tidak benar dan baru saja ia lepas dari ancaman kematian.

   "Bukan begitu,"

   Kata Raden Girilaya.

   "tapi kami cemas, Saudara tidak betah di sini, di tempat yang sunyi ini."

   "Saya akan selalu kembali ke tempat saya mempelajari ilmu keperwiraan karena itulah yang menjadi panggilan hidup saya,"

   Kata Banyak Sumba seraya mereka berjalan menuju gua tempat Resi Sirnadirasa tinggal. Banyak Sumba menghaturkan sembah ketika mereka sudah duduk di hadapan sang Resi. Sementara itu, para siswa yang mengetahui kedatangannya menunggu di luar.

   "Selamat datang kembali di padepokan, Raden. Bagaimana orangtuamu?"

   Tanya sang Resi.

   "Mereka menyampaikan sembah kepada Eyang."

   "Syukurlah, dan bagaimana engkau sendiri? Tampaknya sehat dan segar."

   "Tak kurang suatu apa, Eyang,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Sudahkah kau beristirahat?"

   "Saya sempat beristirahat sebentar di perkampungan badega-badega di bawah, Eyang,"

   Kata Banyak Sumba dengan agak keheranan.

   "Raden datang pada saat yang tepat,"

   Ujar sang Resi, kemudian sang Resi berpaling kepada Raden Girilaya dan berkata.

   "Sore ini, kita akan berkumpul. Ada berita yang sebenarnya sudah Eyang sampaikan kepada kalian. Tapi, rupanya Sang Hiang Tunggal menghendaki Raden Banyak Sumba ikut menghadiri pertemuan kita."

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik, Eyang, saya akan mengumpulkan kawan-kawan,"

   Ujar Raden Girilaya sebelum Eyang Resi meminta untuk mengumpulkan para siswa yang lain.

   Maka, setelah membicarakan hal-hal kecil dan setelah Eyang Resi bertanya tentang berbagai hal yang tidak penting di Kota Medang dan Kutabarang, Banyak Sumba dan Raden Girilaya pun mohon izin mengundurkan diri.

   Malam itu, ketika bulan berayun antara gumpalan- gumpalan awan yang putih bersih, berkumpullah para siswa Padepokan Sirnadirasa di lapangan kecil, duduk di atas lumut tebal tempat mereka beristirahat pada hari panas terik.

   Setelah seluruh siswa siap di lapangan kecil itu, datanglah Eyang Resi diiringi oleh Raden Girilaya dan Bagus Setra.

   Setelah Eyang Resi duduk, menyembahlah seluruh siswa kepada beliau.

   Angin bertiup semilir, hutan sepi, hanya suara air terjun sayup-sayup di sebelah utara padepokan.

   Eyang Resi berdeham, kemudian berkata.

   "Anak-anakku, tentu kalian merasa agak heran, mengapa Eyang mengumpulkan kalian. Sebenarnya, sudah dua hari berita datang ke padepokan. Akan tetapi, Eyang tidak segera memberitahukan tentang berita itu kepada kalian. Pertama, karena Eyang harus memikirkan, bagaimana cara Eyang menanggapi berita itu. Kedua, mungkin kehendak Sang Hiang Tunggal bahwa berita itu harus Eyang sampaikan setelah saudaramu, Raden Banyak Sumba, datang. Seperti kalian ketahui, Raden Banyak Sumba sudah berada di antara kalian lagi."

   Setelah berkata demikian, Eyang Resi tengadah ke arah bulan purnama. Lalu, beliau berkata pula.

   "Mungkin pula Sang Hiang Tunggal menghendaki bahwa berita,itu disampaikan kepada kalian di kala bulan purnama supaya dalam perundingan kita nanti, segalanya menjadi terang, seperti terangnya bulan purnama ini."

   Semuanya hening dan ingin segera mengetahui, berita apa sebenarnya yang hendak disampaikan Eyang Resi.

   "Anak-anakku,"

   Kata Eyang Resi melanjutkan, kemudian termenung.

   "Sesuatu hal yang mengguncangkan kerajaan telah terjadi. Seseorang yang bernama si Colat, putra bangsawan Kutawaringin dari gadis bangsawan Kutabarang, karena suatu hal dan lainnya, kini telah menyebabkan kecemasan dan ketakutan. Menurut berita yang dibawa badega-badega, yang ditulis oleh Eyang Resi Tajimalela, bangsawan yang digelari si Colat ini seorang yang kepandaiannya dalam ilmu keperwiraan mendekati kepandaian seorang puragabaya. Itulah sebabnya, para bangsawan di Kutawaringin serta beberapa pihak di Kutabarang sangat ketakutan, dan sudah lama menyampaikan jerit hati mereka kepada sang Prabu.

   "Selama ini, sang Prabu tidak tergesa-gesa bertindak karena persoalan antara si Colat dengan para bangsawan Kutawaringin, serta beberapa bangsawan di Kutabarang, belumlah jelas bagi beliau. Beliau tidak tergesa-gesa bertindak agar tidak menghukum orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, belakangan ini si Colat berbuat melebihi batas yang dapat dibayangkan. Beberapa orang bangsawan dibunuhnya dan kepala mereka diantar kepada penguasa Kutawaringin. Terakhir sekali, si Colat telah mengambil abu seorang pahlawan dari kuil Pajajaran. Itu dilakukannya hanya untuk menyakiti keluarga Wiratanu dari Kutawaringin. Seperti diketahui, wangsa Wiratanu menaruh dendam terhadap wangsa Banyak Citra karena putra sulungnya terbunuh dalam perkelahian dengan puragabaya yang gila bernama Jante Jaluwuyung. Jante Jaluwuyung ini putra sulung dari wangsa Banyak Citra. Nah, wangsa Wiratanu sangat menginginkan abu ini untuk menghinakannya. Rupanya, si Colat selain hendak menghancurkan wangsa Wiratanu secara jasmaniah, juga bermaksud menyakiti dengan berbagai cara.

   "Sang Prabu yang semula mencoba tidak berpihak sebelum persoalannya jelas, menganggap bahwa kekejaman- kekejaman si Colat sudah melebihi batas. Di samping itu, si Colat pun sudah tidak menghormati abu jenazah seorang pahlawan. Bagaimanapun, mempergunakan abu jenazah orang lain untuk kepentingan apa pun melanggar susila. Itulah sebabnya, sang Prabu membicarakan masalah ini dengan Eyang Resi Tajimalela. Dalam pembicaraan itu, diputuskan agar si Colat dihentikan dari tindakan-tindakannya.

   "Menurut Eyang Resi Tajimalela, si Colat ini mempunyai banyak anak buah. Paling sedikit tiga puluh lima orang, sebanyak-banyaknya lima puluh orang. Mereka ini memiliki ilmu keperwiraan yang lumayan tinggi, berkat pelajaran yang diberikan si Colat kepada mereka. Itulah sebabnya, Eyang Resi Tajimalela mengirim berita kepada Eyang di sini. Eyang Resi Tajimalela beranggapan bahwa tugas menangkap dan menghentikan kegiatan si Colat itu akan baik sekali untuk pendidikan kalian di sini. Padepokan Tajimalela akan mengirim seorang puragabaya dengan lima orang calon, sisa pasukan akan diambil dari berbagai perguruan yang direstui oleh sang Prabu. Di antaranya dari padepokan kita ini. Eyang Resi Tajimalela mengharapkan padepokan kita dapat mengambil bagian dalam gerakan pengamanan kerajaan ini."

   Setelah berkata demikian, Eyang Resi Sirnadirasa memandang berkeliling, kemudian menyambung pembicaraan beliau.

   "Tentu saja tak ada keharusan bagi kalian untuk mengikuti gerakan pengamanan ini. Peserta gerakan itu sukarelawan belaka. Dan kalau ada yang tidak bermaksud pergi, mereka dapat tinggal di sini, belajar terus, tidak perlu merasa malu atau tidak senonoh. Tak ada keharusan."

   Seperti biasa, Eyang Resi memberikan isyarat supaya setiap orang mengemukakan pendapat masing-masing secara bergiliran.

   Mula-mula Ginggi, Girang, dan Kunten memberikan pendapatnya.

   Mereka dengan penuh gairah bermaksud menjadi sukarelawan dalam gerakan pengamanan itu.

   Mendengar gairah itu, menyelalah Eyang Resi.

   "Anak-anakku, pertimbangkanlah sebaik-baiknya. Kalian tidak perlu memberikan jawaban malam ini juga. Perlu diketahui bahwa si Colat itu bukanlah perwira biasa. Demikian pula pengikut- pengikutnya. Mereka para perwira yang mahir dan tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak disenangi Sang Hiang Tunggal. Itulah sebabnya, kalian diharapkan hanya sebagai sukarelawan. Di samping itu, Padepokan Sirnadirasa tidak terikat oleh kewajiban menyumbang tenaga kepada kerajaan. Padepokan Sirnadirasa bukanlah Padepokan Tajimalela. Di sana siswa-siswanya diserahkan oleh orangtua mereka sebagai jaminan bagi keamanan kerajaan. Kalian datang ke sini sebagai siswa yang belajar atas kemauan sendiri. Tak ada kewajiban tambahan terhadap kerajaan, selain tunduk pada undang-undangnya. Kalian berbeda dengan puragabaya yang terikat oleh sumpah untuk hidup dan mati sebagai pelindung sang Prabu dan anak negeri."

   "Tapi, tak ada di antara kami yang hendak melewatkan kesempatan baik ini, Eyang,"

   Ujar Kuten.

   "Benar, kami tidak terikat kewajiban untuk ikut dengan gerakan pengamanan ini. Akan tetapi, sebagai warga negara kerajaan, kami ingin sekali melakukan sesuatu untuk kepentingan umum. Apalagi kalau tindakan itu ada hubungannya dengan pendidikan yang telah kami ikuti selama ini."

   "Kalau begitu, Eyang merestui, tetapi janganlah kalian merasa terpaksa. Kalau ada yang tidak bermaksud, katakanlah."

   Tak ada seorang pun yang tidak hendak ikut.

   Semuanya dengan penuh gairah menyatakan bermaksud menjadi sukarelawan.

   Banyak Sumba saja yang diam.

   Akan tetapi, tak seorang pun memerhatikannya.

   Mereka menganggap Banyak Sumba bersiap-siap pula seperti orang lain.

   Akhirnya, berkatalah Eyang Resi.

   "Kalau begitu, baiklah, Eyang akan menyampaikan berita kepada Eyang Resi Tajimalela bahwa semua siswa di sini bersedia ikut secara sukarela. Setelah surat itu tiba di Padepokan Puragabaya, Eyang Resi Tajimalela akan segera mengirim seorang calon puragabaya yang akan menjadi pemimpin kalian. Ia akan datang untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan lebih lanjut tentang berbagai hal. Dan sebelum calon puragabaya itu tiba, kalian akan berlatih lebih keras daripada biasa."

   Mendengar berita terakhir itu, berdebar-debarlah hati Banyak Sumba.

   Ia berdebar-debar bukan karena akan berhadapan dengan si Colat, tetapi karena calon puragabaya akan datang ke Padepokan Sirnadirasa.

   Peristiwa inilah yang dinanti-nantikannya karena ia harus menyelidiki ilmu kepuragabayaan sebelum berhadapan dengan Anggadipati.

   Ia merasa bahwa selama ini telah mengumpulkan ilmu banyak sekali.

   Akan tetapi, arti ilmu tersebut bagi tugasnya baru akan diketahui setelah ia berhadapan dengan seorang calon puragabaya atau puragabaya.

   Di samping berdebar-debar, ia pun tersenyum dalam hati.

   Betapa simpang siurnya dugaan orang tentang kejadian di Kuil Abu Pahlawan.

   Pihak Wiratanu beranggapan, Anggadipati-lah yang berbuat itu, sedangkan pihak kerajaan beranggapan si Colat-lah pelakunya.

   Dugaan-dugaan yang simpang siur tampak pula membawa akibat yang lebih lanjut.

   Siapa tahu karena peristiwa itu, banyak orang yang akan menanggung akibatnya tanpa disengaja.

   Perundingan selesai dan para siswa bangkit mengiringi Eyang Resi yang berjalan ke gua.

   Setiap kali ada waktu senggang dan bahkan ketika berada di atas kuda, Banyak Sumba terus-menerus merenungkan ilmu-ilmu yang telah didapatnya.

   Sering sekali tengah malam ia membangunkan Jasik, lalu mengajaknya berlatih.

   Itu dilakukannya berulang-ulang kalau renungannya tiba pada masalah atau kesimpulan tertentu.

   Banyak sekali hal yang ditemukan Banyak Sumba dalam renungannya.

   Itulah salah satu pendorong baginya untuk mendatangi kembali Padepokan Sirnadirasa.

   la ingin mencoba hasil-hasil renungannya kepada siswa-siswa Padepokan Sirnadirasa.

   Dan pada suatu malam, ia mendapat kesempatan itu.

   Di sekeliling lapangan kecil itu, para siswa bersila, Eyang Resi Sirnadirasa berada di antara mereka.

   Sebelum mereka mulai, berkatalah Eyang Resi.

   "Kalian sekarang berbaju putih semua. Nanti, kalau ikut dengan gerakan itu, kalian akan berbaju hitam. Hanya para calon puragabaya dan para puraga-bayalah yang akan berbaju putih. Sekarang mulailah. Seperti biasa, yang menang harus menghadapi lawan berikutnya. Mulai dari samping kiriku."

   Siswa yang ada di samping kiri Eyang Resi bangkit, diikuti oleh siswa yang ada di samping kirinya.

   Mereka mulai saling menyerang dan Banyak Sumba melihat dengan penuh pengertian, bagaimana siswa-siswa Sirnadirasa saling tarik dan saling dorong, berusaha menggunakan tenaga sekecil- kecilnya serta berusaha pula agar mereka tidak kena pukulan lawan dengan jalan mendekatkan tubuh mereka kepada lawan.

   Melihat gaya berkelahi siswa-siswa itu, tak sabarlah Banyak Sumba untuk segera turun ke lapangan.

   Ia menyadari bahwa banyak yang tidak dimiliki siswa-siswa Resi Sirnadirasa.

   Pertama, mereka cenderung menangkap tangan, menariknya, atau membelokkan arah pukulan atau dorongan.

   Mereka umumnya melupakan jari-jari lawan.

   Di samping itu, mereka tidak pernah menggunakan otot sebagai alat penyerang.

   Padahal, menurut Banyak Sumba, otot-otot itu dapat dipergunakan sebagai senjata yang ampuh.

   Sementara itu, Banyak Sumba pun sadar bahwa para siswa Sirnadirasa biasanya menghilangkan keseimbangan lawan, lalu memukulnya atau mendorongnya hingga jatuh.

   Bentuk serangan untuk membatasi gerakan lawan atau mengunci hingga lawan tidak dapat berkutik, hampir tak kelihatan pada mereka.

   Itulah yang menyebabkan Banyak Sumba tidak sabar untuk mencoba pendapat-pendapatnya di tengah-tengah lapangan kecil itu.

   Selagi dengan penuh perhatian Banyak Sumba memerhatikan perkelahian itu, bulan masuk ke awan.

   "Berhenti dulu,"

   Seru Eyang Resi. Beliau berdiri, lalu berjalan ke tengah-tengah lapangan. Beliau berkata.

   "Kalau malam gelap dan lawan berpakaian hitam, akan sukar bagi kalian untuk melihat sasaran yang tepat. Oleh karena itu, kalian harus merendah. Dengan demikian, kalian akan melihat lawan dengan latar belakang langit. Langit memiliki cahaya, itulah sebabnya kalian akan lebih jelas melihat lawan. Sekarang mulai lagi,"

   Kata Eyang Resi seraya berjalan kembali ke tempat duduk beliau.

   Keterangan itu sangat menarik hati Banyak Sumba.

   Banyak Sumba menyadari betapa pentingnya keterangan yang diberikan secara singkat itu.

   Sementara ia merenungkan keterangan itu, Raden Girilaya bangkit melawan pemenang yang terakhir.

   Dengan mudah, lawan-lawannya dilemparkan ke tepi lapangan atau dijatuhkan.

   Setelah jatuh, biasanya dianggap kalah dan lawan yang baru, bangkit dari duduknya.

   Ia melawan Raden Girilaya.

   Ternyata, Raden Girilaya merupakan calon perwira yang luar biasa kecerdasan serta kecekatannya.

   Di bawah sinar bulan itu, dilemparkan atau dijatuhkannya lawan-lawan itu seperti melempar atau menjatuhkan barang-barang ringan.

   Akhirnya, tibalah giliran Banyak Sumba untuk menggantikan siswa yang kalah oleh Raden Girilaya.

   Ia maju, mendekat, la mengulurkan tangan kanannya, sementara kaki kirinya maju.

   Pasangan macam ini akan mudah sekali diserang oleh lawan.

   Dengan dorongan yang tidak kuat saja akan hilang keseimbangan Banyak Sumba.

   Raden Girilaya tahu bahwa itu hanyalah pancingan.

   Ia menyerang, tapi tidak mendorong Banyak Sumba, melainkan menarik.

   Akan tetapi, begitu tangan kirinya memegang lengan Banyak Sumba pada sikut dan tangan kanannya melayang hendak menarik belikat Banyak Sumba, tangan kiri Banyak Sumba melindungi dan mengarah pada muka Raden Girilaya.

   Sementara lekuk sikutnya tiba-tiba menjepit empat jari tangan Raden Girilaya dengan keras.

   Raden Girilaya terkejut.

   Banyak Sumba melepaskannya dan tidak menjatuhkannya, la menunggu sekarang.

   Raden Girilaya yang masih belum mengerti cara-cara Banyak Sumba mulai menyerangnya, yaitu mengibaskan kedua tangan Banyak Sumba dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menangkap leher Banyak Sumba.

   Serangan itu akan diikuti dengan sapuan kaki dan Banyak Sumba akan terbaring dengan punggung rata dengan tanah.

   Akan tetapi, peristiwa itu tidak terjadi karena begitu tangan Raden Girilaya tiba di leher, dagu Banyak Sumba turun dengan cepat dan otot-otot lehernya mengerut.

   Tulang dagu dari atas, tulang selangka dari bawah, menjepit dan meregangkan jari-jari Raden Girilaya; teriakan tak tertahan terdengar.

   Dan selagi Raden Girilaya terkejut itulah, Banyak Sumba memajukan berat badannya.

   Yang semula bermaksud menyapu kaki, sekarangjadi tersapu.

   Telentanglah Raden Girilaya di atas rumput sambil memegang jari-jari tangan kirinya.

   Eyang Resi tampak berdiri keheranan, demikian juga beberapa orang siswa.

   Mereka tidak mengerti, mengapa Raden Girilaya yang berada dalam kedudukan yang menguntungkan dapat dijatuhkan Banyak Sumba.

   Eyang Resi segera duduk kembali.

   Diikuti oleh siswa-siswa yang keheranan.

   Sementara itu, Ginggi bangkit, lalu maju menghadapi Banyak Sumba.

   Begitu ia menyodorkan tangan kanannya, Banyak Sumba dengan cepat mengangkat tangan kanan lawan.

   Karena kebiasaan bersiap-siap untuk mendapat dorongan atau tarikan, Ginggi mengambangkan berat badannya di antara kedua telapak kakinya dan siap-siap untuk mundur atau maju.

   Akan tetapi, sangkaannya itu meleset.

   Banyak Sumba tidak melakukan gerakan yang diharapkan lawan.

   Dengan keras, diremasnya jari-jari Ginggi, lalu diputarkan.

   Ginggi yang terkejut mempergunakan kakinya hendak menghantam perut Banyak Sumba.

   Dengan mempergunakan perasaan yang tajam terhadap gerak-gerik dan aliran tenaga lawan, Banyak Sumba dengan mudah memilin tangan Ginggi ke arah yang menyilang arah kaki Ginggi.

   Kaki Ginggi mendesing di udara hampa, tapi tidak bertenaga karena keseimbangan badannya sudah dipegang Banyak Sumba.

   Sekarang, seperti dua orang yang sedang bersalaman mereka berhadapan, tetapi kaki Ginggi sudah tidak lagi mengusung berat badannya.

   Setiap kali Ginggi hendak menyelaraskan kedudukannya, Banyak Sumba segera memilin atau mengubah letak tangan Ginggi yang dipegang dan diputarkannya.

   Untuk beberapa lama, Ginggi berputar- putar mengelilingi Banyak Sumba, tetapi ia tidak dapat lagi berpijak kukuh.

   Eyang Resi serta para siswa sama-sama berdiri, keheranan melihat kejadian itu.

   Sadar akan perhatian mereka dan kasihan terhadap Ginggi yang terlalu lama kesakitan, Banyak Sumba memilin tangan Ginggi agak keras sehingga untuk menahan sakit dan patah, Ginggi mengubah berat badannya yang sudah tidak seimbang itu.

   Ketika Ginggi sangat condong, dengan mempergunakan kakinya, Banyak Sumba merobohkan Ginggi.

   Siswa-siswa lain bergiliran datang.

   Setiap kali mereka meraba tubuh atau anggota badan Banyak Sumba, tangan mereka terpaksa mereka tarik kembali.

   Banyak Sumba mempergunakan hampir seluruh otot dan sendi-sendi badannya untuk menggencet dan seakan hendak meremukkan jari-jari atau mematahkan sendi-sendi lawan.

   Akhirnya, Eyang Resi berdiri karena tampak beliau berpendapat, tak ada lagi siswa yang akan dapat melawan Banyak Sumba.

   Mereka berhenti berlatih dan bergerak ke gua.

   Semua berkumpul.

   "Kami ingin sekali mempelajari ilmu yang Raden perlihatkan tadi,"

   Ujar Eyang Resi.

   Banyak Sumba menceritakan pengalamannya belajar dari seorang guru yang tidak ia katakan namanya.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kemudian, ia menceritakan renungan-renungan, latihan, dan percobaan- percobaannya dengan panakawannya yang setia, Jasik.

   Akhirnya, ia mengatakan.

   "Sekarang, saya mengetahui bahwa tanpa mempergunakan berat badan seperti yang dilakukan oleh siswa-siswa di sini, saya dapat mematahkan pegangan lawan. Itu hanya dengan mempergunakan otot-otot belaka. Saya menyadari bahwa di Padepokan Sirnadirasa telah dikembangkan suatu ilmu yang sangat ampuh, yaitu ilmu mengendalikan, mempermainkan, dan mempergunakan berat badan lawan. Akan tetapi, hal itu hanya dapat dilakukan kalau kita dapat memegang lawan. Saya mencari cara-cara bagaimana supaya walaupun terpegang;saya dapat melumpuhkan tangan lawan yang memegang saya, yaitu dengan menyakitinya. Saya melakukannya dengan otot-otot saya, terutama otot-otot yang menggerakkan dua buah tulang atau lebih."

   Banyak Sumba menjelaskan semuanya itu dengan sederhana.

   Ia tidak takut bahwa siswa-siswa Padepokan Sirnadirasa akan segera merebut ilmunya, kemudian mempergunakannya untuk menghambat pelaksanaan maksud- maksudnya.

   Tampaknya, ilmu barunya itu sederhana saja.

   Akan tetapi, penjelasan yang sedikit itu memerlukan latihan- latihan untuk menguasai dan mempergunakannya dengan waktu yang tidak bisa dibilang singkat.

   "Eyang harap, Raden bersedia mengajar di padepokan ini hingga kawan-kawan dapat menguasai ilmu yang baru itu,"

   Ujar Eyang Resi.

   "Itu kehormatan bagi hamba, Eyang,"

   Jawab Banyak Sumba, walaupun pikirannya segera melayang ke arah lain.

   -ooo00dw00ooo- Bab Raden Madea Calon Puragabaya Sejak malam itu, Banyak Sumba memberikan pelajaran di Padepokan Sirnadirasa.

   Akan tetapi, siswa-siswa padepokan itu telah bertahun-tahun mempergunakan tenaga dengan cara tertentu, sehingga otot-otot mereka sudah terbiasa dan sukar mengubah cara kerjanya.

   Banyak Sumba menyadari bahwa Jasik lebih cepat menguasai ilmu itu karena tubuh Jasik tidak terikat oleh kebiasaan yang ketat.

   Sebaliknya, karena kebiasaan yang sudah membeku di dalam otot-ototnya, banyak di antara siswa padepokan yang tidak lagi menguasai ilmu baru itu.

   Terutama, para siswa yang telah lanjut dan mahir mempergunakan ilmu Padepokan Sirnadirasa.

   Walaupun begitu, tak ada seorang pun di antara siswa yang menyerah dan .menghentikan latihan.

   Yang termasuk tekun dan cerdas adalah Raden Girilaya.

   Karena mereka berada dalam satu padepokan, sering sekali sampai larut malam mereka bercakap-cakap dan bertukar pikiran tentang ilmu- ilmu keperwiraan.

   Saat itu, berulang-ulang Banyak Sumba teringat kepada Nyai Emas Purbamanik yang raut wajahnya sama dengan pemuda di hadapannya.

   Berulang-ulang Banyak Sumba hampir menerangkan hubungannya dengan gadis itu, tetapi ia tidak juga menyampaikannya.

   Setiap terasa dorongan untuk menerangkan hal itu, setiap kali pula sesuatu memberati lidahnya.

   Dorongan untuk menjelaskan segala hubungannya dengan Nyai Emas Purabamanik kadang-kadang hampir tidak tertahankan.

   Ia ingin mencurahkan kerinduannya kepada gadis itu dengan jalan mempercakapkannya dengan saudaranya, Raden Girilaya.

   Pada suatu malam, ketika mereka selesai bersemedi senja dan mulai duduk beristirahat, berkatalah Banyak Sumba kepada kawannya.

   "Berulang-ulang saya akan mengatakan sesuatu kepada Saudara, tetapi berulang-ulang saya tidak dapat mengatakannya."

   Raden Girilaya berpaling kepadanya, lalu berkata.

   "Raden Banyak Sumba, kita sudah bersaudara, bukan saja karena sama-sama menjadi siswa di padepokan, tetapi ternyata kita sangat cocok satu sama lain. Seandainya ada sesuatu yang dapat kita lakukan bagi saudara, saya akan berusaha sebaik- baiknya untuk memenuhinya."

   "Bagaimana Saudara Girilaya dapat menduga bahwa ada sesuatu yang saya perlukan?"

   Tanya Banyak Sumba agak keheranan.

   "Saya sering melihat Saudara termenung. Saya menduga ada kesusahan atau hal lain yang mengganggu hati Saudara."

   Banyak Sumba tertegun, kemudian keberaniannya untuk menerangkan hubungannya dengan Nyai Emas Purbamanik mulai berkurang.

   Ia ragu-ragu apakah keterangan yang akan disampaikannya kepada Raden Girilaya akan baik akibatnya, atau sebaliknya? Apakah ia akan mengatakan hal yang sebenarnya tidak perlu dikemukakan, kalau hanya disebabkan dorongan oleh kerinduan terhadap gadis itu? Banyak Sumba bimbang dan ketika ia berkata, apa yang dikatakannya bukanlah mengenai hubungannya dengan Nyai Emas Purbamanik.

   Ia berkata.

   "Saya pun sering melihat Saudara termenung dan saya tidak menganggap Saudara mendapat kesusahan,"

   Kata Banyak Sumba sambil tersenyum. Sekarang, Raden Girilaya berpaling kepadanya dengan penuh perhatian. Tampak ia akan menyatakan sesuatu. Ia kemudian berkata.

   "Saudara Sumba, memang saya sering termenung dan memang ada persoalan yang sering menjadi bahan renungan saya. Bahkan, telah pula saya bicarakan persoalan ini dengan Ginggi."

   "Persoalan apakah itu?"

   Tanya Banyak Sumba, perhatiannya sekarang mulai tertarik.

   "Bukan persoalan pribadi saya, tetapi persoalan ini harus menjadi bahan renungan kita semua. Saudara Sumba, keterangan Eyang Resi mengenai rencana kerajaan untuk menundukkan si Colat menyebabkan saya sering termenung."

   "Mengapa?"

   Tanya Banyak Sumba, makin tertarik.

   "Selagi masih sangat muda, saya telah menjadi pengagum si Colat ini. Bayangkan, Saudara Sumba, seorang kesatria yang berbudi dan berilmu itu dalam pandangan saya pantas untuk dijadikan teladan. Sebagai orang yang memutuskan diri untuk menjadi perwira, tentu saja sejak dulu mengenal nama dan kemasyhurannya. Saya pernah bertemu dengan dia di Kutabarang,. waktu saya masih berumur tiga belas tahun. Ia lewat di atas kudanya, seorang kesatria yang sangat tampan dan lemah lembut. Saya memandangnya dengan penuh kekaguman, penuh rasa memuja. Tak lama kemudian, saya mendengar dia meninggal dibunuh orang, lalu tampillah si Colat yang sekarang. Oh, dulu namanya bukan si Colat, Raden Geger Malela nama sebenarnya."

   Raden Girilaya termenung untuk beberapa lama. Lalu berkata kembali.

   "Gambaran tentang seorang kesatria sempurna sukar dihilangkan dari hati saya. Saya belum melihatnya lagi semenjak itu. Tentu sekarang ia telah berubah, seorang buas yang tak kenal rasa kasihan. Akan tetapi, saya tetap tidak dapat menghilangkan kebimbangan saya. Saya sering bertanya, bukankah ia menjadi buas karena tindakan orang juga? Dan bukankah yang bersalah dalam hal ini bukan dia, tetapi orang-orang yang memperlakukannya dengan kejam?"

   Kata Raden Girilaya seperti bertanya kepada dirinya.

   "Saya yakin, sang Prabu tidak sembarangan mengambil kebijaksanaan. Akan tetapi, gambaran saya tentang si Colat dulu tidak meyakinkan saya bahwa dia sebuas yang digambarkan oleh berita-berita yang saya dengar."

   "Memang, kenangan masa kecil sukar sekali dihapuskan, Saudara Girilaya,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Di samping itu, saya tahu banyak tentang keluarga Wiratanu ini,"

   Ujar Raden Girilaya.

   "Dulu, di Kutabarang sering sekali terjadi huru-hara, yaitu terjadinya perkelahian-perkelahian antara bangsawan muda. Di belakang semua perkelahian ini selalu disebut-sebut nama Bagus Wiratanu, putra sulung penguasa Kutawaringin yang sedang belajar di Kutabarang. Saya pernah melihat orang ini dan langsung tidak menyukainya. Begitu angkuh, begitu mewah, dan kasar. Saudara Sumba, kalau kita akan ikut mengepung si Colat, saya merasa seolah-olah akan memenangkan orang ini, Bagus Wiratanu yang berandalan itu."

   "Sang Prabu bijaksana,"

   Kata Banyak Sumba karena tidak ada kata-kata lain yang hendak diucapkannya.

   "Ya, saya yakin akan hal itu. Dan mungkin kalau nanti kita menemukan si Colat, perasaan saya terhadapnya langsung akan berubah."

   "Perasaan Saudara akan berubah. Saya pernah melihatnya dan meremang bulu roma saya melihat senyumnya,"

   Kata Banyak Sumba, telanjur berkata.

   "Saudara pernah bertemu dengan dia?"

   Tanya Raden Girilaya penasaran.

   "Ya"

   Kata Banyak Sumba.

   "Di mana?"

   Tanya Raden Girilaya.

   "Di sebuah hutan,"

   Jawab Banyak Sumba. Raden Girilaya memandangnya dengan penasaran. Banyak Sumba sekarang agak gugup. Ia baru menyadari bahwa percakapan itu mungkin akan membahayakan rahasianya. Ia berpikir keras untuk membelokkan percakapan.

   "Saya kira, sikap orang-orang Medang, seperti Saudara, akan seperti sikap saya sekarang,"

   Kata Raden Girilaya.

   "Mengapa?"

   Tanya Banyak Sumba.

   "Saudara Sumba pun tahu bahwa rakyat Medang dengan sendirinya membenci penguasa Kutawaringin karena orang- orang Kutawaringin ini bukan saja bermaksud menghinakan abu jenazah Jante Jaluwuyung, tapi diketahui pula bermaksud menumpas keluarga wangsa Banyak Citra."

   Banyak Sumba-lah sekarang yang penasaran. Ia hendak bertanya, tetapi tiba-tiba terkilas pikiran cerdik yang segera akan membelokkan percakapan. Ia berkata.

   "Ya, tapi janganlah diharapkan keluaraga Wiratanu akan menemukan keluarga pangeran kami yang menghilang. Kami sendiri sudah lama mencari jejaknya, tapi tidak menemukannya. Apalagi mereka yang bermaksud jahat. Kami yakin bahwa Sang Hiang Tunggal akan melindungi mereka."

   Permainan sandiwara Banyak Sumba berhasil karena tampak bahwa Raden Girilaya memperlihatkan pengertiannya. Ia berkata.

   "Saya tahu bahwa Saudara dan rakyat Kota Medang akan sangat prihatin dengan menghilangnya Pangeran Banyak Citra itu,"

   Katanya.

   "Saya ingin mengetahui lebih banyak, bagaimana Saudara dapat bertemu dengan si Colat,"

   Tanya Raden Girilaya.

   "Kami berada dalam perjalanan, maksud saya, saya dan panakawan saya, Jasik. Kami melihat rombongannya dan kami melihat kesatria tampan, tetapi dari ujung bibir sampai telinganya melintang bekas luka yang mengerikan."

   Banyak Sumba berdusta.

   Yang terbayang dalam hatinya adalah peristiwa bagaimana si Colat menyelamatkan Raden Jimat, putranya yang berumur delapan tahun, yang diculik oleh kepala jagabaya di sebelah barat Kutabarang.

   Terbayang olehnya bagaimana si Colat, seperti seorang yang menari, merobohkan lawan-lawannya dengan mudah, lalu menghilang dalam gelap.

   Dengan jawaban yang bertentangan dengan isi hati Banyak Sumba, Raden Girilaya rupanya puas.

   Mereka kemudian bercakap-cakap tentang itu dan ini.

   Ketika bintang-bintang mulai banyak bertaburan, mereka pun membaringkan diri di dalam gua yang diterangi oleh lampu minyak.

   BEBERAPA hari setelah percakapan malam itu, pada suatu tengah hari yang panas, datanglah calon puragabaya yang dinanti-nantikan itu.

   Ketika itu, Banyak Sumba sedang beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang dan berbincangbincang dengan Raden Girilaya tentang ilmu baru yang ditemukannya.

   Seorang badega beriari-lari di depan mereka.

   Ketika dipanggil, bandega itu mengatakan bahwa ia melihat dua orang penunggang kuda, yang seorang kesatria atau pendeta dan yang lain panakawannya.

   Banyak Sumba memandang ke dalam mata Raden Girilaya dengan hati berdebar-debar.

   "Calon itu,"

   Kata Raden Girilaya sambil tersenyum gembira. Sebaliknya, hati Banyak Sumba menjadi tegang karena ia tahu, suatu hal yang sangat penting akan terjadi. Dan, kejadian itu akan membawa pengaruh buruk atau pengaruh baik terhadap hidup dan tugasnya.

   "Tidakkah kita menyambutnya sekarang juga?"

   Tanya Raden Girilaya seraya memandang Banyak Sumba yang tampak tidak bergairah oleh kedatangan calon puragabaya itu.

   "Saudara Girilaya, saya ingat kepada si Colat,"

   Kata Banyak Sumba mengalihkan percakapan. Raden Girilaya tampak tertegun, tersenyum kembali, lalu berkata.

   "Si Colat pernah menjadi pujaan masa remaja saya, Saudara Sumba. Akan tetapi, yang saya puja dulu bukanlah si Colat sekarang. Saya sudah memutuskan untuk mencoba menangkapnya dan saya yakin, sang Prabu telah mengambil kebijaksanaan yang tepat."

   Mendengar perkataan itu, berdirilah Banyak Sumba.

   Kedua orang anak muda itu pun tergesa menuju ke tanah lapang tempat penghuni Padepokan Sirnadirasa menerima tamu-tamu penting dengan segala upacara.

   Di lapangan kecil itu telah berkumpul penghuni padepokan dengan Eyang Resi berdiri di tengah-tengah.

   Di hadapan beliau berdiri dua orang asing, seorang pemuda yang berumur kira-kira dua atau tiga tahun lebih muda daripada Banyak Sumba.

   Pemuda yang tampan itu berpakaian putih-putih seperti pakaian seorang pendeta.

   Tubuhnya yang semampai sekali-kali tidak memperlihatkan bahwa ia seorang calon perwira tinggi dari Padepokan Tajimalela.

   Otot-ototnya halus, tidak gempal-gempal seperti kebanyakan otot siswa-siswa di Padepokan Sirnadirasa.

   Walaupun tinggi, pemuda itu sama tinggi dengan Banyak Sumba.

   Kalau ditilik dari besarnya, mungkin berat pemuda itu hanya tiga perempat berat badan Banyak Sumba.

   Begitu pula pergelangan tangan pemuda itu, paling besar hanyalah dua pertiga pergelangan tangan Banyak Sumba.

   Semua itu tidak lepas dari perhatian Banyak Sumba, yang dalam pertemuan pertama telah mengukur kekuatan calon perwira tinggi itu.

   Panakawan calon itu seorang yang umurnya kira-kira sama dengan Kang Arsim, antara tiga puluh dan tiga puluh lima.

   Tampaknya, orang ini berlainan sekali dengan tuannya.

   Pendek, gempal, kocak, dan berpakaian nila.

   Dari otot- ototnya, Banyak Sumba melihat bahwa orang ini memendam tenaga yang besar.

   Otot-ototnya mengingatkan Banyak Sumba pada bentuk otot-otot si Gojin.

   Ketika kedua orang tamu itu bersujud menghaturkan sembah kepada Eyang Sirnadirasa, berkatalah Eyang Resi.

   "Selamat datang di padepokan kami, Raden. Semoga tenanglah Raden tinggal di sini untuk beberapa lama dan semoga terlaksanalah tugas Raden dengan baik."

   "Terima kasih dan terimalah sembah sujud hamba, Eyang. Terima pula salam Eyang Resi Tajimalela yang saya bawa untuk Eyang."

   "Terima kasih, Raden. Sekarang, marilah kita memasuki ruangan,"

   Ujar Eyang Resi sambil mengangkat calon puragabaya itu dari tempatnya berlutut.

   Seraya berjalan, Eyang Resi memperkenalkan siswa-siswa padepokan kepada calon puragabaya itu, sambil memperkenalkan kembali calon puragabaya kepada para siswa.

   Ternyata, gelar calon puragabaya itu Ma-dea.

   Nama aslinya sudah ditiadakan untuk menghilangkan asal usul kebangsawanan yang tidak boleh dibawa-bawa dalam kedudukan kepuragabayaan.

   Setiba di ruangan besar, yang sebagian terdiri dari ruangan gua dan sebagian lagi ruangan bangunan beratap ijuk, duduklah semua hadirin, berkeliling.

   Eyang Resi duduk di samping calon puragabaya yang sekarang tidak lagi ditemani panakawannya.

   "Anak-anakku, inilah tamu yang kalian nanti-nantikan selama ini. Mengenai tugas tamu kita ini, Raden Madea akan menjelaskannya sendiri kepada kalian nanti. Sekarang, sambil Raden Madea beristirahat di tengah-tengah kalian, berbincang-bincanglah kalian di sini dan nanti malam kita akan berkumpul kembali."

   Setelah berkata demikian, Eyang Resi mengundurkan diri.

   Sementara itu, Raden Madea dijamu dengan buah-buahan yang banyak didapat di hutan-hutan dekat padepokan.

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Para siswa mengelilingi tamu itu dan bercakap-cakap dengannya.

   Banyak Sumba duduk di tempat yang agak jauh, termenung memikirkan rencana-rencananya.

   Tak lama setelah itu, Raden Madea dipersilakan untuk beristirahat.

   Demikian pula para.

   Mereka siswa segera mengundurkan diri ke tempat masing- masing.

   Malam itu, setelah bersemedi senja, mereka berjalan ke arah lapangan kecil yang ditumbuhi lumut.

   Bulan terbit agak larut, tetapi karena udara jernih, cahayanya cukup menerangi mereka.

   Di lapangan kecil itu, mereka duduk.

   Setelah Eyang Resi mempersilakan, berkatalah calon puragabaya itu.

   Ia menerangkan maksud kedatangannya dan menjelaskan sebagian tugas yang diembannya.

   "Saudara-saudara,"

   Kata calon puragabaya, Raden Madea.

   "tentu saja Eyang Resi telah menjelaskan kedatangan saya ini karena sebelumnya dari Pakuan Pajajaran telah diutus dua orang badega untuk membawa berita. Akan tetapi, pada tempatnya jika saya memberikan uraian lebih lanjut sesuai dengan tugas saya dan agar Saudara mendapat gambaran yang lebih tegas lagi tentang tugas yang akan kita emban bersama dalam waktu dekat."

   Raden Madea berhenti sejenak, seluruh hadirin sunyi sehingga angin yang lewat di daun-daun hutan terdengar berdesir. Lalu, Raden Madea melanjutkan penjelasannya.

   "Saudara-saudara, dengan dukacita, sang Prabu terpaksa menetapkan bahwa seorang anak negerinya yang bernama si Colat, terpaksa harus diperlakukan sebagai binatang buas. Ia harus diburu seperti seekor harimau yang merusak ternak, seperti babi hutan yang merusak palawija, seperti ular besar yang menelan pendeta di pertapaannya. 'Apakah dosa si Colat sehingga ia harus diperlakukan seperti seekor binatang buas? Bukankah ia seorang manusia yang mempunyai budi dan karena itu dapat memimpin dirinya hidup secara layak sebagai manusia yang beradab? Saudara, dari sinilah titik tolak masalahnya. Karena riwayat hidupnya yang menyedihkan, si Colat ini telah berubah sifat-sifatnya sehingga akal budinya tidak dapat lagi menjadi pembimbingnya. Ia sangat berdukacita. Saudara-saudaranya tidak mau mengakui dan bahkan menghinakannya, kemudian saudara-saudara seayahnya hampir mencabut nyawanya dalam suatu pengeroyokan oleh para badega. Ia dilukai dan ia tidak mau kembali kepada istri yang dicintainya, seorang putri cantik lagi budiman yang telah memberinya seorang putra yang sehat dan tampan, yang dinamai Raden Jimat. Ia mengirim berita kepada istrinya lewat badega-badeganya bahwa ia telah gugur dalam pengeroyokan itu. Sebenarnya, ia masih hidup, tetapi tidak dapat bertemu dengan istrinya kembali karena bekas luka yang mengerikan, melintang dari sudut bibir hingga telinganya. Saudara-saudara dapat membayangkan. Betapa besar penderitaan orang yang dianiaya secara lahir dan batin seperti si Colat ini.

   "Seorang yang terlunta-lunta dan berdukacita seperti si Colat dapat bergantung dengan tangan kanannya kepada para Bujangga dan Pohaci. Ia terpanggil untuk menjadi pertapa. Akan tetapi, karena kelemahannya, ia dengan tangan kirinya bergantung kepada siluman. Ia mengembara mencari Gerbang Buana Larang yang kemudian dapat ditemukannya. Dari sana, dibawanya ilmu yang berbahaya. Ia seorang perwira yang sukar tandingannya. Dan, keperwiraannya itu dipergunakannya untuk membalas dendam.

   "Tiga orang bangsawan tinggi Kutawaringin dan dua orang bangsawan di Kutabarang telah dibunuhnya. Kepala bangsawan-bangsawan ini dikirimkan di atas baki kepada Tumenggung Wiratanu di Kutawaringin. Sang Prabu dapat memahami dan meraba perasaan si Colat yang selama ini telah begitu banyak menderita. Akan tetapi, kalau kekejaman yang luar biasa ini dibiarkan, anak negeri Pajajaran akan melihat contoh yang buruk. Usaha-usaha dan cara-cara yang halus telah dijalankan. Utusan-utusan telah dikirim untuk bertemu si Colat, dengan pesan sang Prabu. Pertama, agar si Colat menghentikan tindakan balas dendamnya; kedua, agar ia mau datang menghadap supaya persoalannya dapat diadili. Akan tetapi, si Colat tak pernah menuruti panggilan itu. Ini pun contoh yang tidak baik. Bukankah seorang anak yang marah tidak berhak membangkang terhadap ayah yang menyayanginya. Akhirnya, dengan rasa penuh dukacita, sang Prabu terpaksa mengambil kebijaksanaan lain.

   "Kebijaksanaan untuk menjalankan kekerasan ini didorong pula oleh peristiwa-peristiwa belakangan ini, yaitu oleh perbuatan-perbuatan anak buah si Colat. Mereka mulai merusak dan menganiaya anak negeri yang tidak berdosa, yang tidak ada hubungannya dengan pihak-pihak yang punya perhitungan dengan si Colat. Dua orang rakyat meninggal, sebelas orang pernah dianiaya, dan seorang gadis petani hilang diculik. Sang Prabu memerintahkan agar para jagabaya bergerak.

   "Namun, gerakan ini tidak segera mendatangkan hasil karena si Colat bukan lawan yang lemah. Oleh karena itu, sang Prabu mengutus seorang ponggawa ke Padepokan Tajimalela untuk membicarakan hal itu dengan Eyang Resi. Hasilnya, saya berada di sini sekarang."

   Demikian akhir kata Raden Madea sambil tersenyum. Kemudian, ia menyembah kepada Eyang Resi yang berkata.

   "Anak-anakku, kalian sudah tahu tugas-tugas kalian, yaitu membantu usaha kerajaan untuk mengembalikan keamanan dan ketenteraman hidup anak negeri ini. Raden Madea dipilih menjadi pemimpin kalian dalam gerakan ini. Sebenarnya, gerakan ini dipimpin oleh seorang puragabaya dan empat calon puragabaya. Anak buah pasukan yang terdiri dari lima puluh orang yang diambil dari berbagai perguruan. Perguruan kita mendapat kehormatan."

   Eyang Resi berpaling kepada tamu yang mengangguk dan tersenyum kepada beliau.

   "Tentu saja kehormatan itu harus kita buktikan dulu, Anak-anakku,"

   Ujar Eyang Resi sambil tersenyum pula.

   "Malam ini, kita akan memperlihatkan kepada Raden Madea apa-apa yang kita miliki di sini. Kalian akan berkelahi berpasang-pasangan, kemudian kalian akan berkelahi melawan kero-yokan-keroyokan dan selanjutnya."

   Banyak Sumba menajamkan pendengarannya.

   Ia berharap mendengar Raden Madea akan memperlihatkan keperwiraannya dengan melawan mereka, tetapi Eyang Resi tidak mengatakan hal itu.

   Banyak Sumba berbisik kepada Raden Girilaya yang duduk di sampingnya, apakah Raden Madea akan menunjukkan kepandaiannya.

   Raden Girilaya berbisik.

   "Tidak mungkin, Saudara. Para puragabaya dan calon puragabaya dilarang berkelahi, kecuali demi kepentingan pendidikan mereka dan demi kepentingan kerajaan, misalnya menyelamatkan anak negeri dan dirinya sendiri, atau menyelamatkan sang Prabu. Raden Madea akan melihat kita, mungkin memberikan nasihat-nasihat, mungkin juga tidak. Yang pasti dikemukakannya adalah hal-hal yang lebih terperinci mengenai si Colat."

   "Sayang,"

   Ujar Banyak Sumba, setengah sadar.

   "Ya?"

   Kata Raden Girilaya.

   "Sayang, kalau dapat melihat gaya berkelahinya, mungkin kita sedikit banyak akan dapat mempelajari ilmu kepuragabayaan,"

   Kata Banyak Sumba pula.

   Raden Girilaya memandang Banyak Sumba dengan keheranan.

   Banyak Sumba terkejut ketika ia menyadari bahwa ia telah berbuat yang tidak senonoh.

   Bagaimanapun, ingin mengetahui sesuatu yang dilarang kerajaan adalah tidak senonoh, apalagi kalau keinginan itu ada pada hati seorang kesatria seperti dia.

   Ia dengan gugup berkata kepada Raden Girilaya.

   "Oh, saya hanya main-main, Saudara,"

   Katanya.

   Raden Girilaya menarik napas panjang, lalu berpaling ke arah Eyang Resi dan calon puragabaya.

   Banyak Sumba termenung, meninjau kembali rencana- rencana yang sudah lama digariskan dalam pikirannya.

   Setelah acara pembicaraan selesai dan calon puragabaya itu memberitahukan tentang waktu keberangkatan para siswa, mereka pun berdiri, lalu berjalan ke arah lapangan tempat berlatih.

   Di sana, mereka memperlihatkan cara-cara perkelahian berpasang-pasangan, lalu cara pengeroyokan dan perlawanannya.

   Banyak Sumba mencoba menyelami kesan- kesan yang tergambar pada wajah Raden Madea tentang cara-cara perkelahian siswa-siswa itu.

   Akan tetapi, Raden Madea tidak memperlihatkan kesan-kesan khusus.

   Ia tersenyum, tapi apakah senyumnya itu memperlihatkan kepuasan atau bukan, Banyak Sumba tidak dapat menduganya.

   Keesokan harinya, pagi-pagi setelah latihan, mereka berkumpul kembali.

   Raden Madea membuka kain sutra tempat peta kerajaan tergambar dengan indah.

   Ia menunjukkan tempat yang akan mereka tuju, yaitu daerah-daerah pegunungan dan hutan-hutan lebat yang diketahui sebagai tempat persembunyian si Colat dengan anak buahnya.

   Setelah menerangkan beberapa hal lain tentang persenjataan anak buah si Colat, cara-cara mereka menyerang, dan tokoh-tokoh utama di samping si Colat, mereka pun bubar.

   Banyak Sumba mengharapkan Raden Madea akan mengikuti latihan mereka, tetapi Raden Madea memilih berkunjung ke gua tempat Eyang Resi.

   Banyak Sumba ikut berlatih dengan perasaan kecewa.

   SEMENJAK Raden Madea berada di Padepokan Sirnadirasa, semenjak itulah Banyak Sumba sering termenung.

   Berulang- ulang ia meninjau kembali rencana yang ada dalam pikirannya dengan maksud menggagalkan rencana itu, tetapi selalu ia mengatakan kepada dirinya bahwa kesempatan yang lebih baik belum tentu akan muncul seperti ketika itu.

   Pada suatu siang, tibalah Jasik di Padepokan Sirnadirasa.

   Maka, segalanya jadi berubah.

   Banyak Sumba berketetapan hati untuk melaksanakan rencananya itu.

   Ketika Banyak Sumba berkunjung ke tempat para badega di tempat Jasik menginap, berundinglah mereka secara sembunyi-sembunyi.

   "Sik, di padepokan ini ada seorang calon puragabaya,"

   Kata Banyak Sumba. Jasik segera menyela.

   "Sudahkah Raden mencoba keperwiraannya?"

   "Itulah soalnya, Sik. Sukar sekali bagiku untuk mengorek ilmu yang sangat berguna itu darinya. Ia tidak akan berani melanggar peraturan Padepokan Tajimalela. Kau tahu, Sik, para calon puragabaya dan puragabaya dilarang keras berkelahi kalau tidak sedang mengemban tugas untuk itu. Peraturan yang keras ini mudah dimengerti karena ilmu kepuraga-bayaan merupakan senjata yang luar biasa ampuhnya sebagai alat untuk melindungi anak negeri, kerajaan, dan sang Prabu. Itulah sebabnya, jalan satu-satunya ...."

   "Raden menyerangnya?"

   "Ya, Sik, walaupun saya tidak yakin, apakah cara itu akan berhasil, tetapi itu cara satu-satunya."

   Jasik termenung. Tampak ia pun melihat akibat besar dari cara itu. Tak lama kemudian, ia bertanya.

   "Seandainya Raden menyerangnya, bagaimana kira-kira sikap Padepokan Sirnadirasa terhadap Raden?"

   "Itulah soalnya, Sik. Mereka tentu menyesali saya dan saya tidak mungkin lagi jadi siswa di padepokan ini."

   "Apakah menurut pendapat Raden masih banyak ilmu yang harus dipelajari di padepokan ini?"

   Banyak Sumba ragu-ragu sebelum menjawab.

   Pertanyaan itu berulang-ulang ia tanyakan kepada dirinya.

   Akan tetapi, ia takut menjawabnya karena ia tahu, masalahnya bukan terletak pada jawaban pertanyaan itu, melainkan pada pertanyaan selanjutnya.

   Setelah lama termenung, ia berkata.

   "Tidak banyak lagi yang harus kupelajari di sini, Sik. Bahkan, sekarang saya mulai mengajar ilmu yang saya temukan ketika kita berjalan antara Kota Medang dan Kutawaringin,"

   Ujar Banyak Sumba.

   "Kalau begitu, apakah salahnya kalau Raden diusir dari padepokan ini. Bukan Raden yang rugi, tetapi padepokan yang akan kehilangan Raden."

   "Bukan begitu, Sik. Soalnya, saya dulu berjanji bahwa saya akan mempergunakan ilmu saya secara baik dan untuk kebaikan."

   "Lha, bukankah dengan mencoba keperwiraan puragabaya itu Raden akan menguji ilmu Raden sendiri, kemudian akan dipergunakan untuk menegakkan kehormatan keluarga?"

   Sekali lagi, Banyak Sumba termenung, la tidak berani mengemukakan masalah sebenarnya yang terletak pada Raden Girilaya.

   Raden Girilaya adalah saudara Nyai Emas Purbamanik.

   Seandainya Banyak Sumba melakukan apa-apa yang dianggap buruk Raden Girilaya, bukankah mungkin ia akan kehilangan gadis yang dicintainya itu? Ia ingin mengatakan hal itu kepada Jasik, tetapi ia merasa malu.

   Ia tentu saja dianggap Jasik sebagai anggota wangsa Banyak Citra yang tidak pantas, yang mementingkan diri sendiri daripada kehormatan keluarga.

   Jasik tentu menganggap Banyak Sumba sebagai kesatria yang lemah, mendahulukan wanita daripada tugas kesa-triaan.

   Itulah sebabnya, Banyak Sumba terdiam.

   Ia tahu, Jasik yang belum pernah tertarik oleh gadis-gadis yang ditemukannya, tidak akan dapat merasakan apa yang dirasakannya.

   Terasa olehnya bahwa tidaklah mudah memecahkan pertentangan antara kepentingan keluarga dengan kepentingan dirinya.

   Setelah menarik napas panjang, berkatalah Banyak Sumba.

   "Rupanya, cara itu memang cara satu-satunya, Sik, dan saya mengambil segala akibatnya."

   Setelah berkata demikian, terkenanglah segala kejadian di Puri Purbawisesa, ketika Banyak Sumba hendak meninggalkan puri itu.

   Alangkah indahnya pengalaman malam itu.

   Dengan kenangan yang indah itu, menyusup pulalah kesedihan ke dalam hatinya.

   Mungkin ia tidak dapat menikmati keindahan itu lagi untuk selama-lamanya karena ia seorang kesatria.

   Seorang kesatria harus mendahulukan tugas daripada kepentingan dirinya.

   Ia berpaling kepada jasik seraya berkata dalam hatinya, alangkah baiknya kalau ia jadi orang biasa, jadi pemuda kampung dan tidak sebagai kesatria.

   Ia tersenyum karena hatinya kemudian berkata, ia tidak boleh lemah, Nyai Emas Purbamanik mungkin saja suatu godaan yang dijatuhkan-Sang Hiang Tunggal di tengah-tengah perjalanannya.

   Agar ia mendapat kesukaran dalam usaha membalas dendam terhadap pembunuh Kakanda Jante dan menegakkan kembali kehormatan keluarga.

   Sekali lagi ia menarik napas panjang, kemudian berkata.

   "Baiklah, Sik. Saya akan mengambil segala akibatnya. Saya akan menyerangnya, lalu melarikan diri dari padepokan karena saya tahu, saya akan ditangkap. Bagaimanapun, saya akan dianggap mencemarkan nama padepokan. Untuk itu, besok pagi-pagi, tunggulah saya di kaki bukit sebelah timur. Sediakan kudaku, janganlah mencurigakan orang-orang di tempat para badega."

   "Apakah Raden akan menyerang malam hari?"

   "Tidak, Sik, besok pagi-pagi. Raden Madea calon puragabaya itu, biasa berlari-lari mendaki dan menuruni tebing gunung. Ia biasa melompati beberapa cadas, kemudian beristirahat di suatu tempat. Sebelum atau sesudah beristirahat itulah saya akan menyerangnya. Setelah itu, saya akan menjumpaimu. Tunggulah di sana sebelum matahari terbit karena Raden Madea biasa berlatih subuh."

   "Baiklah, Raden. Apakah segala perbekalan perlu pula disiapkan?"

   "Saya kira tidak usah, Sik. Kita harus cepat-cepat melarikan diri dari padepokan, kuda harus ringan. Perbekalan akan kita cari di Kutabarang nanti."

   "Baiklah, Raden,"

   Ujar Jasik. Mereka berpisah dan Banyak Sumba memerinci rencana yang akan dilaksanakannya keesokan harinya. KEESOKAN harinya, subuh-subuh Banyak Sumba sudah bangkit.

   "Hari masih subuh, Saudara Sumba,"

   Kata Raden Girilaya dari tikar tidurnya.

   "Saya harus pergi ke kali,"

   Kata Banyak Sumba sambil mengenakan pakaian luarnya.

   Ia melirik Raden Girilaya dan merasa lega karena Raden Girilaya bermaksud tidur kembali.

   Dengan hati-hati, Banyak Sumba mengambil beberapa buah kotak lontar kecil tempat ia mencatat berbagai hal mengenai ilmu keperwiraan yang sedang menjadi bahan renungannya.

   Diambilnya pula badik kecil, lalu disisipkan di pinggangnya.

   Setelah melekatkan ikat kepala, ia pun bangkit, lalu membuka tabir pintu gua.

   Sementara udara segar memasuki gua, ia keluar.

   Matahari belum terbit, tetapi burung-burung kecil sudah terjaga dan berbunyi.

   Banyak Sumba berjalan di antara semak-semak.

   Alas kakinya yang terbuat dari kulit kasar segera basah karena embun dari rumput.

   Ia berjalan mendaki punggung gunung.

   Agar segera tiba di tempat tujuannya, ia mulai berlari kecil.

   Ditirunya perbuatan calon puragabaya, sepanjang jalan dilompatinya bongkahan-bongkahan cadas yang menonjol di sana sini.

   Belum lama ia berlari, napasnya sudah memburu.

   Ia tertegun, termenung.

   Tiba-tiba, ia sadar bahwa semua yang dilakukan oleh calon puragabaya setiap subuh itu bukanlah permainan.

   Ternyata, perbuatan yang aneh itu ada artinya, pikir Banyak Sumba.

   Kalau saja ia saban hari berlari seperti itu, sudah barang tentu napasnya menjadi panjang.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bukankah otot-ototnya menjadi kuat karena dulu ia biasa mengangkat batu-batu besar ketika sedang belajar kepada si Gojin? Paru-paru harus diperkuat, caranya dengan berlari di udara, terbuka.

   Terasa olehnya, dadanya agak sakit karena ia tidak biasa melakukan perbuatan yang memerlukan bernapas kuat-kuat.

   Biasanya ia beranggapan bahwa dalam perkelahian, lawan harus dirobohkannya dalam waktu singkat.

   Dengan demikian, kalau memang lawan lemah, napas yang panjang tidaklah diperlukan benar.

   Akan tetapi, bagaimana kalau lawan tidak cepat roboh? Ia menyadari bahwa ia telah menemukan suatu hal yang penting, suatu bagian dari ilmu kepuragabayaan, yaitu cara memperkuat paru-paru dan memperpanjang napas.

   Sambil termenung, ia terus berjalan mendaki punggung gunung, menuju lorong di antara semak-semak yang biasa dipergunakan Raden Madea berlari pagi-pagi.

   Tiba-tiba, ia melihat Raden Madea tidak berapa jauh darinya.

   Ketika ia masih ragu-ragu, Raden Madea sudah melewatinya dan berlari ke arah puncak gunung.

   Banyak Sumba termenung, ia bingung.

   Ia harus memanggilnya, tetapi itu akan menarik perhatian padepokan.

   Kalau ia menunggu dan kemudian menghadangnya ketika calon puragabaya itu turun, perkelahian akan tidak seimbang.

   Mungkin Raden Madea ketika itu sudah kelelahan.

   Tak ada jalan lain, ia harus mengejar dan menyerangnya.

   Supaya Raden Madea marah dan mau berkelahi, ia harus menyerangnya dari belakang.

   Dengan pikiran demikian itu, berlari pulalah ia mengejar Raden Madea.

   Mula-mula, Raden Madea terus berlari, tetapi tiba-tiba berhenti, lalu berpaling.

   Ia tersenyum kepada Banyak Sumba, lalu berkata.

   "Marilah berlomba sampai puncak, kemudian kita berlomba menuruni gunung ini, turun lebih sukar, apalagi bagi Saudara yang bertubuh lebih besar daripada saya. Mari!"

   Sambil berkata demikian, Raden Madea berlari dengan cepat sekali.

   Banyak Sumba mengejarnya.

   Ketika Raden Madea menjadi lambat larinya karena semak-semak yang semakin lebat, Banyak Sumba sudah ada di belakangnya.

   Begitu berada di belakang Raden Madea, Banyak Sumba mempergunakan kaki kanannya untuk menyapu kedua kaki Raden Madea.

   Dengan mudah, tubuh Raden Madea yang semampai itu terangkat dari tanah dan jatuh ke depan, tetapi tidak tersungkur.

   Dengan mengherankan, Raden Madea berjungkir dan segera berdiri kembali, lalu beriari lagi sambil tertawa dan berseru.

   "Jangan terlalu dekat larinya, ambillah lorong lain supaya Saudara tidak terhambat kalau saya lambat."

   Banyak Sumba yang terheran-heran mulai mengerti bahwa calon puragabaya itu menyangka dia melibat kakinya secara tidak sengaja.

   Ia menggertakkan giginya karena kesal dan mendengus, seperti yang biasa dilakukan anggota laki-laki wangsa Banyak Citra kalau marah.

   Napasnya mulai tersengal- sengal, tapi ia terus berlari.

   Ia bertekad melakukan apa yang telah diperbuatnya sekali lagi dan berulang-ulang sampai Raden Madea mengerti.

   Tak lama kemudian, kesempatan itu datang kembali.

   Banyak Sumba menjangkau ujung ikat pinggang Raden Madea, lalu menariknya ke belakang.

   Raden Madea terjungkir ke belakang, lalu berdiri kembali dan terus lari sambil tertawa.

   "Saudara licik!"

   Serunya sambil tertawa-tawa.

   "Tapi baiklah, kejarlah saya."

   Banyak Sumba kehabisan akal, napasnya sudah hampir habis, sedangkan Raden Madea ternyata begitu ringan dan lincah mendaki lereng gunung yang terjal itu.

   Banyak Sumba berhenti, menunggu orang yang diburunya itu.

   Ia akan mempergunakan siasat lain.

   Ia akan langsung menyerang, tidak melibat kakinya, tetapi akan menangkap dan membantingnya.

   Sementara itu, tampak Raden Madea mulai turun.

   Banyak Sumba bersiap-siap.

   Ketika Raden Madea tinggal beberapa langkah lagi darinya dan Banyak Sumba hendak menerkamnya, tiba-tiba pinggangnya dipegang orang.

   Sepasang tangan yang pendek-pendek tapi besar-besar mengunci pinggangnya.

   Banyak Sumba mempergunakan sikutnya.

   Terdengar orang itu mengaduh ketika ujung sikutnya itu mengenai benda keras.

   Ternyata, kedua pasang tangan makin erat mengunci perutnya.

   Akhirnya, Banyak Sumba memilih salah satu jari, membuka jarinya itu dengan susah payah, kemudian akan mematahkannya.

   Sebelum Banyak Sumba sempat mematahkan jari itu, si pemegang telah melepaskan tangannya dan menyapu kaki Banyak Sumba dengan tangan kanannya.

   Banyak Sumba tidak punya pilihan lain.

   Ia menjatuhkan diri ke depan, tapi sambil memutar badannya.

   Ketika ia jatuh telentang, lawannya yang menyerang dari belakang tampak hendak menggulatnya.

   Dengan cepat, Banyak Sumba menarik lututnya ke atas dan kaki kanannya menjejak ke depan, ke arah tubuh yang menubruknya.

   Jejakan mengenai sasarannya.

   Orang itu terpental, memegang ulu hatinya.

   Seraya sempoyongan mulutnya menganga, mencari napas.

   Ternyata, orang itu badega Raden Madea.

   Banyak Sumba berdiri menghadap kepada Raden Madea.

   Ia keheranan.

   "Ada apa?"

   Tanya Raden Madea.

   "Awas, Raden!"

   Seru panakawannya seraya menyerang Banyak Sumba dari samping.

   Sambil menangkap tangan kanan Banyak Sumba dan berusaha melipatnya, panakawan itu berseru, memberi tahu tuannya bahwa Banyak Sumba bermaksud mencelakakannya.

   Merasa tangannya akan dikunci, Banyak Sumba tidak dapat berbuat lain, kecuali melawan.

   Ia berbalik.

   Dengan mempergunakan tinju kirinya, ia menghantam muka panakawan itu dengan keras.

   Darah memancar dari hidung panakawan yang berwajah bulat itu.

   Akan tetapi, panakawan itu tidaklah mundur.

   Dengan cepat, ia menubruk, mendorong dada Banyak Sumba dengan maksud menjatuhkannya ke lereng gunung.

   Banyak Sumba mempergunakan dadanya untuk mematahkan pergelangan panakawannya itu.

   Bunyi jaringan otot yang meregang terdengar, raungan yang keras keluar dari mulut panakawan yang sambil mundur memegang pergelangan tangan kirinya.

   "Tangan kirinya terkilir, Saudara, marilah saya urut,"

   Kata Raden Madea seraya mendekati panakawannya.

   Akan tetapi, Banyak Sumba tidak memberinya kesempatan.

   Begitu ia lewat, Banyak Sumba yang lebih besar menangkap leher Raden Madea, tapi ternyata ia menangkap udara.

   Begitu cepat Raden Madea menghindar hingga suara tangan Banyak Sumba keras terdengar, seperti orang yang bertepuk.

   Banyak Sumba tidak mundur.

   Ia menyerang dengan kakinya, tetapi Raden Madea lincah seperti kucing.

   "Saudara kehilangan akal sehat,"

   Kata Raden Madea sambil menghindari serangan Banyak Sumba yang bertubi-tubi.

   "Saya bermaksud membunuh Saudara,"

   Ujar Banyak Sumba, memancing kemarahan dan perlawanan calon puragabaya itu.

   "Saya tidak punya kesalahan terhadap Saudara,"

   Kata calon itu.

   Banyak Sumba berhasil menangkap tangan lawannya yang masih keheranan, lalu melipat dengan maksud membantingnya.

   Dengan cepat, kedua belah matanya menjadi gelap, tertutup telapak tangan kiri calon itu.

   Ketika Banyak Sumba mengibaskan mukanya, tiba-tiba saja kakinya sudah tidak berpijak lagi dan dia terbaring di atas semak.

   


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini