Pertarungan Terakhir 6
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM Bagian 6
Pertarungan Terakhir Karya dari Saini KM
Pasukan dibagi dalam kelompok-kelompok dan berangkat menuju tempat-tempat yang ditentukan sebelumnya.
Akan tetapi, suatu pasukan besar berangkat ke arah lain, yaitu untuk menghadang jagabaya yang dikabarkan mendatangi wilayah itu.
Si Colat tinggal di puncak bukit itu.
Ia menerima laporan setiap hari dari para penunggang kuda yang datang berdua- dua dari segala jurusan.
Pada suatu pagi, si Colat berkunjung ke gubuk yang khusus disediakan untuk Banyak Sumba.
"Raden, pasukan jagabaya yang seratus lima puluh orang itu sudah berada di sekitar Kampung Murugul. Pasukan- pasukan kita sudah siap di sekitarnya. Saya harus berangkat ke tempat itu untuk memimpin penyerangan. Karena di sini tidak ada pemimpin sama sekali dan Raden satu-satunya orang yang dapat saya percaya, terpaksa saya meminta kepadamu untuk tinggal di sini dan mengawasi pengaturan serta menerima berita dari daerah-daerah."
"Berapa jauh Kampung Murugul dari sini, Kakanda?"
"Dua hari perjalanan Raden, jadi saya akan berada kembali di sini dalam waktu lima hari,"
Kata si Colat.
Mendengar perkataan si Colat itu, sebenarnya Banyak Sumba merasa lega.
Bagaimanapun, ia tidak bermaksud bertempur melawan para jagabaya yang tidak punya persoalan dengan dia.
Ia hanya bermaksud berkelahi melawan Anggadipati.
Dan kalaupun saat itu ia bersama si Colat, hal itu dilakukan dengan harapan pada suatu hari Anggadipati terpaksa akan diperintah mengatur penyerangan terhadapsi Colat.
Ketika itulah ia menghadapi Anggadipati.
"Kalau memang tidak ada orang lain yang dapat Kakanda tugaskan di sini, apa boleh buat,"
Kata Banyak Sumba. Si Colat memandang Banyak Sumba untuk beberapa saat, kemudian berkata.
"Di samping itu, saya pun tak hendak melibatkan kau dengan persoalan saya ini, Raden. Kau tidak punya kewajiban untuk ikut menghadapi mereka itu."
Banyak Sumba tidak tahu bagaimana ia harus berkata. Kemudian, ia segera mengisi keheningan.
"Baiklah, jadi saya akan mengurus di sini dan menerima berita-berita dengan Raden jimat."
"Tapi, Jimat mau ikut, Raden."
"Kakanda, bukankah itu sangat berbahaya?"
Tanya Banyak Sumba. Ia gelisah. Kalau Raden jimat ikut, tentu ia sendiri akan malu kalau tidak ikut.
"Tidak, Raden. Ia akan bersama saya tinggal di puncak bukit, di tempat mengatur siasat. Kalau ada sesuatu yang terjadi, dan itu tidak mungkin, kami sudah mempunyai jalan- jalan dan cara-cara meloloskan diri."
Banyak Sumba merasa lega karena hal itu berarti bahwa kepergian si Colat ke medan perang bukan untuk bertempur, tetapi untuk mengatur pertempuran. Ia segera berkata.
"Baiklah, Kakanda. Saya akan menunggu Kakanda di sini hingga tiba kesempatan saya untuk bertempur, nanti di Kutabarang."
"Ya, Raden,"
Kata si Colat sambil tersenyum.
Setelah itu, pembicaraan hanya mengenai soal-soal kecil, kemudian mereka pun berpisah.
Si Colat bersiap-siap untuk berangkat, sementara Banyak Sumba menghubungi anak buah si Colat yang tidak berangkat untuk menyampaikan perintah.
KETIKA si Colat tidak ada di tempat, tak banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Banyak Sumba hanya berpindah tempat, yaitu ke gubuk terbesar.
Di sana, ia menerima para penyelidik yang berdatangan dari waktu ke waktu untuk menyampaikan laporan.
Semua laporan umumnya hampir sama, yaitu mengenai bertambah sukarnya mendapat perbekalan karena kampung-kampung mulai diduduki oleh jagabaya.
"Harap disampaikan kepada Juragan bahwa kampung- kampung sekarang merupakan benteng yang bukan saja tidak lagi menjadi sumber perbekalan pasukan, tetapi juga menjadi benteng yang disebarkan lawan untuk mengepung kita."
Dari laporan-laporan yang diterimanya itu, Banyak Sumba dapat membayangkan keadaan yang dihadapi si Colat.
Karena keangkuhannya, akhirnya kerajaan memutuskan untuk memberinya pelajaran.
Si Colat benar-benar dikepung, tidak hanya diancam.
Banyak Sumba mengambil kesimpulan bahwa tidaklah tepat untuk melawan kerajaan dengan mempergunakan pasukan yang besar.
Untuk menghantam kerajaan, akan lebih bijaksana kalau mempergunakan sepuluh orang puragabaya yang paling baik.
Tapi, tentu saja mempergunakan puragabaya tidak mungkin karena para puragabaya adalah mereka yang menyerahkan hidupnya untuk kerajaan.
Jadi, sebaiknya si Colat mempergunakan orang-orang yang dididik dalam keperwiraan hingga mencapai tingkat kepuragabayaan.
Demikianlah pikiran Banyak Sumba menerawang selagi ia duduk di tengah-tengah gubuk besar, seraya menanti anak buah si Colat yang datang dari waktu ke waktu membawa berita.
Tiba-tiba, bertanyalah ia dalam hati.
"Mengapa si Colat melakukan suatu hal yang tidak bijaksana, yaitu dengan membina suatu pasukan besar?"
Pertanyaan yang muncul dengan tiba-tiba itu mengherankan dirinya sendiri.
Bagaimanapun, tindakan si Colat dengan membuat pasukan yang besar benar-benar tidak bijaksana, kalaupun tidak dapat dikatakan sia-sia.
Yang jelas, tidak ada gunanya kalau hanya untuk membalas dendam terhadap keluarga Tumenggung Wiratanu.
Apakah si Colat memiliki tujuan lain? Banyak Sumba mulai curiga.
Sementara ia masih termenung demikian, datanglah penunggang kuda dua orang, yang langsung dibawa oleh penjaganya.
"Kami dari wilayah barat, Juragan,"
Kata kedua orang penunggang kuda itu.
"Laporankanlah segalanya, nanti saya sampaikan kepada majikan kalian,"
Sambut Banyak Sumba seraya mengeluarkan beberapa helai lontar dari kotaknya, kemudian mulai bersiap untuk menulis.
Kedua penunggang kuda itu secara saling melengkapi menerangkan keadaan yang dihadapi pasukan si Colat di daerah barat.
Ternyata, keadaan di dekat Pakuan Pajajaran tidaklah seburuk di tempat-tempat lain.
Kampung-kampung pegunungan yang sukar dicapai oleh para jagabaya terpaksa masih memberikan makanan kepada pasukan si Colat.
Sikap melawan tidak tampak di sana.
Rupanya, orang-orang Pakuan Pajajaran sudah mengetahui bahwa si Colat masih jauh.
Pengepungan lebih tepat dilakukan di tempat yang benar- benar berada di sekitar persembunyian si Colat.
"Baiklah,"
Kata Banyak Sumba.
"tidak ada lagi?"
Sebelum kedua penunggang kuda itu menjawab, di luar terdengar ribut-ribut.
Banyak Sumba mengangkat kepalanya, seorang badega masuk, lalu berkata, 'Juragan Anom, ada utusan yang hendak melapor, tapi ia luka.
Ia hampir meninggal dan tidak mungkin di bawa ke sini."
Banyak Sumba memberi isyarat kepada kedua tamunya, lalu ia bangkit dan bergegas ke luar.
Dibaringkan di atas helai kulit kambing, seorang anak buah si Colat yang sudah berumur, sedang berjuang melawan malakal maut.
Dari pakaian yang basah, Banyak Sumba tahu bahwa ia luka parah.
"Seorang penduduk kampung melemparkan tombak kepadanya ketika ia lewat dijalan di bawah bayangan pagarnya,"
Kata temannya yang lebih muda.
"Mengapa tidak dibawa ke dalam ruangan agar diurus?"
Tanya Banyak Sumba.
"Laporan dapat ditangguhkan dulu,"
Sambungnya.
"Ia mau menyampaikan sesuatu kepada Juragan Colat. Ketika diberi tahu Juragan Colat tidak ada, ia meminta Juragan Anom."
Banyak Sumba berlutut, lalu berkata kepada orang tua itu.
"Paman, saya wakil Juragan Colat."
Orang tua itu membuka matanya, memandangnya dengan teliti, lalu berusaha berkata, tetapi kemudian matanya dipejamkan kembali. Sambil terpejam ia berkata.
"Saya sudah katakan dulu adanya Banyak Sumba dengan sabar menunggu lanjutan kata-kata itu. Orang tua itu membuka matanya, kemudian berkata, lagi.
"... kalau keluarga Tumenggung Wiratanu sudah habis, sudahlah. Kerajaan terlalu kuat untuk direbut... dan sang Prabu adalah pilihan Sang Hiang Tunggal... katakan kepadanya."
"Ya,"
Kata Banyak Sumba, walaupun ia tidak yakin akan apa yang ditangkapnya dari kata-kata orang yang menghadapi kematian itu.
Setelah itu, orang tua tersebut tidak berkata apa-apa lagi.
Banyak Sumba memerintahkan agar orang yang terluka itu dibawa ke gubuk terdekat.
Ia sendiri berdiri untuk beberapa lama, memandang ke arah para badega yang menggotong orang itu dengan hati-hati.
Waktu Banyak Sumba sudah berada kembali dalam gubuk besar, seorang badega datang memberi tahu bahwa orang terluka itu sudah meninggal.
Banyak Sumba pun segera mengurus hal-hal yang berhubungan dengan upacara pembakaran jenazahnya.
Malam itu, setelah larut sekali, Banyak Sumba baru dapat tidur.
Tetapi, ia terbangun subuh-subuh benar.
Sekeliling tempat itu sepi sekali, hanya kadang-kadang dari arah hutan rimba terdengar aum harimau atau teriakan binatang lain.
Banyak Sumba mencoba tidur kembali, tetapi pikirannya melayang ke arah peristiwa siang harinya.
'Juragan,Juragan,"
Tiba-tiba terdengar orang memanggil dari luar. Banyak Sumba membuka pintu, lalu memandang kepada dua orang badega yang berdiri dalam remang-remang subuh.
"Ada apa?"
"Tewas, Juragan Anom."
"Apa?"
"Raden Jimat gugur."
"Raden Jimat?!"
Tiba-tiba Banyak Sumba berseru. Berita itu datang bagaikan sebuah tinju besar menghantam kepalanya.
"Ya, kena anak panah."
"Apakah ia ikut bertempur?"
Tanya Banyak Sumba.
"Tidak. Pertempuran berjalan dengan baik, kita membunuh dan menawan anggota-anggota pasukan jagabaya itu."
"Lalu?"
"Ketika pasukan kita pulang, kami lewat di sebuah kampung. Ketika itu, Juragan Colat ingin mengetahui kesetiaan kampung itu dan menyuruh sebagian pasukan mendekatinya. Tiba-tiba, dari atas pohon-pohonan anak panah datang bagaikan hujan. Salah satu menyelusup di sela-sela baju zirah Radenjimat dan mengenai paru-parunya. Radenjimat meninggal tidak lama kemudian."
"Saya akan pergi ke sana sekarang juga!"
Kata Banyak Sumba. Kesedihan mendesak dalam kalbunya.
"Kami diperintahkan untuk mengambil pakaian dan semua senjata Raden jimat. Upacara pembakaran mayat akan dilakukan di kampung itu juga."
Banyak Sumba membantu kedua utusan itu mengambil pakaian dari senjata Raden jimat.
Sambil memegang pakaian anak itu, air matanya menitik tidak tertahankan.
Segala kenangan dengan anak itu terungkap kembali ketika helai demi helai pakaiannya diambil dari dalam peti.
Ia dapat membayangkan betapa remuk hati si Colat oleh peristiwa itu.
Setelah menyerahkan tugas kepada badega yang tertua dan menitipkan berbagai pesan, bersama sepuluh orang anggota pasukan, Banyak Sumba berangkat menuju tempat akan dilaksanakan upacara pembakaran.
Sepanjang hari, Banyak Sumba dengan pengiringnya memacu kuda mereka.
Ternyata, kampung itu berada sehari perjalanan dari bukit persembunyian mereka.
Ketika matahari turun, barulah mereka sampai.
Untung ketika itu upacara penyucian jenazah baru selesai dilakukan dan orang sedang membungkuskan kain putih sebagai baju kematian Radenjimat.
Banyak Sumba menyentuh jenazah sambil tidak dapat menahan air matanya.
Ia tidak berani melihat ke arah si Colat yang berdiri dekat jenazahnya bagaikan sebuah patung.
Ia ikut membantu para badega dan seorang pendeta yang memanjatkan doa.
Setelah jenazah selesai dipersalinkan, segala miliknya yang berupa perhiasan dan senjata diletakkan di sampingnya.
Jenazah pun diusung di atas keranda yang dihias dengan indah ke lapangan yang terletak tidak jauh dari kampung.
Sepanjang jalan, sambil berdoa, Banyak Sumba melihat mayat laki-laki bergelimpangan.
Ia menyadari bahwa kampung itu direbut dengan pertumpahan darah.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian, perhatian Banyak Sumba tertarik oleh unggun pembakaran jenazah yang disusun tinggi-tinggi di lapangan kecil dekat kampung itu.
Dalam remang-remang senja, tampak susunan unggun seperti sanggar pemujaan.
Pasukan berkeliling sekitar unggun, kira-kira jarak sepuluh langkah darinya.
Jenazah diusung oleh empat orang badega dibawa ke arah unggun.
Di depan jenazah, berjalan pendeta menabur-naburkan bunga seraya menyanyikan doa.
Di sekeliling tempat itu hening belaka.
Tiba-tiba, Banyak Sumba melihat sesuatu yang aneh dalam remang-remang cahaya sore itu.
Beberapa bagian unggun itu bergerak-gerak.
Ketika Banyak Sumba menajamkan pandangannya, tampaklah sesuatu yang mengejutkan dan menyeramkan bulu ramanya.
Ternyata, berselang-selang dengan kayu samida sebagai kayu pembakaran itu, terdapat pula manusia yang diikat satu sama lain, seperti juga kayu bakar.
Segera Banyak Sumba menyadari bahwa mereka itu adalah penduduk kampung yang menyebabkan kematian Raden Jimat.
Menyadari hal itu, gemetarlah seluruh tubuh Banyak Sumba.
Ia makin menajamkan matanya.
Ia ragu-ragu, apakah manusia yang bercampur dengan kayu bakar itu semua laki-laki atau juga termasuk perempuan.
Ini pikiran dan dendam orang gila, pikir Banyak Sumba.
Ini tidak boleh terjadi.
Sang Hiang Tunggal akan mengutuk seluruh Pajajaran, termasuk dirinya, kalau peristiwa yang buas itu terjadi.
Betapapun hatinya meronta- ronta, kakinya seolah-olah terpaku pada tanah.
Ia hanya gemetar dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Juga ketika seorang badega berjalan dengan obor besar, menuju tumpukan kayu samida dan manusia yang telah disirami dengan minyak kelapa itu.
Tubuh Banyak Sumba berguncang, hatinya berontak, tetapi badannya seperti membeku di tengah-tengah keheningan itu.
Tiba-tiba, sesuatu terjadi.
Dari arah tumpukan kayu dan manusia itu, terdengar suara kecil.
Mula-mula tidak jelas, kemudian makin lama makin keras.
Tangisan bayi.
Tangisan bayi itu makin lama makin keras.
Banyak Sumba mendengarnya dan tiba-tiba ia menyadari bahwa itu tangisan bayi manusia yang mewakili seluruh kemanusiaan yang hendak diperiakukan dengan buas.
Mendengar tangisan bayi di dalam tumpukan kayu bakar itu, berkunang-kunanglah mata Banyak Sumba.
Ia melihat badega yang membawa obor besar berjalan dan hendak menyulut unggun besar itu.
Tiba-tiba, tangisan bayi itu melengking bertambah nyaring.
Hati banyak Sumba berontak, melonjak, dan tercabutlah kakinya dari bumi.
Ia menghambur ke depan, ke arah pembawa obor itu.
"Tidak. Tidak. Jangan!"
Katanya sambil berlari. Ia menangkap obor itu, lalu membantingnya ke tanah dan memijak-mijak nyalanya hingga padam. Ia berpaling kepada si Colat, hendak mengatakan sesuatu.
"Kakanda!"
Serunya tersendat. Yang dilihatnya adalah ujung-ujung tombak menuju dadanya.
"Jangan, mari kuhabisi,"
Kata si Colat kepada anak buahnya yang menodongkan tombak kepada Banyak Sumba. Secepat kilat, si Colat mencabut trisula yang tersembunyi di balik ikat pinggang kain lebar. Ia melangkah menuju Banyak Sumba. Banyak Sumba mundur.
"Kakanda,"
Katanya berbisik.
Ia melihat mata si Colat memandang kepadanya dengan cahaya lain.
Banyak Sumba mundur.
Tapi karena kebiasaan sebagai perwira, ia menangkap gerak kedua kaki si Colat.
Ia mundur, tapi ia pun meraba kedua trisulanya yang juga terselip di bawah ikat pinggang kulit harimau tutulnya.
Ia mundur dan tiba-tiba si Colat menghambur.
Banyak Sumba melihat obor.
Ia menyangka obor itu obor lain untuk menyalakan api unggun pembakaran.
Ia mengambil risiko.
Ia mencegat gerakan si Colat dengan melanggar kaidah perkelahian puragabaya.
Ia mencegat gerakan si Colat itu dan menyusul dengan serangan putus asa karena ingin segera melepaskan diri dari perkelahian dan mencegah orang memulai pembakaran jenazah itu.
Suara daging robek dan tulang yang patah terdengar, kemudian dia dan si Colat sama-sama terpelanting.
Rasa sakit yang amat sangat menusuk seluruh tubuh Banyak Sumba.
Dengan pandangan berkunang-kunang, ia melihat si Colat terhuyung menuju kepadanya dengan kedua trisula di tangannya.
Banyak Sumba bersiap dan ketika mereka bertubrukan, tiba-tiba pandangan Banyak Sumba menjadi gelap.
Ia hanya mendengar teriakan-teriakan, kemudian segalanya gelap dan sunyi.
-ooo00dw00ooo- Bab 13 Jasik Setelah waktu yang ditetapkan tiba, dan Banyak Sumba tidak muncul dari arah Padepokan Sirnadirasa, Jasik mengambil kesimpulan Banyak Sumba meloloskan diri ke arah lain.
Ia tidak percaya kalau majikannya dapat dikalahkan calon puragabaya yang akan dipancingnya untuk berkelahi.
Ia pun tidak percaya kalau Banyak Sumba sampai tertangkap oleh para siswa Padepokan Sirnadirasa.
Pertama, karena bagi Jasik, Banyak Sumba seorang perwira yang tidak mungkin dikalahkan, bahkan oleh seorang puragabaya sekalipun.
Kedua, karena berulang-ulang Banyak Sumba mengatakan kepadanya bahwa ilmu keperwiraan di Padepokan Sirnadirasa itu tidak lengkap, walaupun sangat ampuh.
Oleh karena itu, ketika Banyak Sumba tidak muncul juga di tempat yang sudah dijanjikan, Jasik tidak cemas.
Ia berlindung di dalam hutan di tepi jalan bercabang itu.
Ia menyembunyikan diri dengan dua ekor kuda yang dibawany.i, yang seekor kudanya sendiri, yang lain kuda Banyak Sumba Akan tetapi, sampai hari panas, majikannya tidak d.u.mg juga.
Ia mulai gelisah.
Berulang-ulang ia berpaling ke aroli jalan yang datang dari Padepokan Sirnadirasa.
Tiba-tiba, lam paklah olehnya tiga orang penunggang kuda yang masih mite l.i muda.
Jelas, mereka para siswa Padepokan Sirnadirasa.
Jas i k mengundurkan diri ke dalam semak-semak sambil mengintip mereka.
Mereka melarikan kudanya cepat-cepat seraya bercakap-cakap.
Terdengar olehjasik, salah seorang berkata.
"la lari ke dalam hutan ke puncak gunung itu. Ia masuk Hutan Larangan setelah beberapa orang dipukulnya. Tapi, tangannya terkilir juga. Mungkin ia akan keluar dari Hutan Larangan itu, kemudian merayap ke jalan besar. Kita perlu mencarinya di Kutabarang."
Jasik tertawa mendengar percakapan para penunggang kuda itu.
Ia membayangkan bagaimana majikannya memukul dan menyepak para siswa Padepokan Sirnadirasa itu.
Akan tetapi, ia cemas juga ketika ia mendengar Banyak Sumba terkilir tangannya.
Kemudian, Jasik berpikir.
Ia tahu bahwa Banyak Sumba sangat cerdik.
Ia akan masuk kampung, membeli kuda, lalu berangkat ke Kutabarang.
Jadi, Jasik tidak usah menunggunya karena seperti diceritakan oleh penunggang kuda dari Padepokan Sirnadirasa itu, majikannya masuk Hutan Larangan.
Dan, itu sebelah barat Padepokan Sirnadirasa atau sebelah selatannya.
Artinya, Banyak Sumba tidak akan mengambil jalan yang sesuai dengan yang dijanjikannya.
Lebih baik, Jasik menunggu di Kutabarang, di Perguruan Gan Tunjung.
Maka, berangkatlahjasik sambil mengendarai kudanya mengikatkan kendali kuda Banyak Sumba ke pelana.
Tanpa tergesa-gesa, Jasik melarikan kudanya ke arah Kutabarang.
Ia tidak takut kemalaman karena ia tahu jalan memotong.
Pada suatu kampung, dilihatnya pula dua orang siswa Padepokan Sirnadirasa memacu kuda menuju arah Kutabarang.
Dan ketika Jasik berhenti memberi minum kudanya di kampung itu, peristiwa yang terjadi dengan majikannya sudah diketahui orang.
Jasik pura-pura tidak tahu apa-apa tentang segala yang terjadi.
Kemudian, ia bertanya kepada pedagang makanan tempat ia singgah.
"Seorang siswa Padepokan Sirnadirasa karena begitu keras keinginannya untuk menguasai ilmu kepuragabayaan telah menyerang calon puragabaya yang datang ke sana. Perkelahian terjadi dengan sendirinya. Siswa itu ternyata mahir sekali sehingga kemudian dapat meloloskan diri dari kepungan siswa lain. Orangnya tinggi besar, kulitnya hitam manis, alisnya tebal, dan matanya jernih sekali. Tingkah laku dan tutur katanya lemah lembut. Demikian kata siswa-siswa padepokan yang lewat tadi.".
"Apa yang harus kita lakukan kalau kita melihat dia?"
Tanya Jasik, pura-pura bodoh. Penunggu warung itu tertawa, lalu berkata.
"Kalau dapat kita menangkapnya, kalau tidak, segera melaporkannya kepada jagabaya."
Berabe juga, pikir Jasik.
Tapi, ia yakin, majikannya sudah memperhitungkan segalanya.
Jasik tidak lama berhenti, ia segera melanjutkan perjalanan.
Di kampung yang kemudian dilaluinya, didengarnya pula kisah majikannya dari orang- orang yang berkumpul-kumpul di pertigaan.
"Bayangkan, mula-mula melawan calon puragabaya itu, kemudian ia melawan tiga puluh orang kawan-kawan sepadepokannya, lalu masih dapat meloloskan diri. Tentu ia perwira yang luar biasa. Bagaimana kita dapat menangkapnya?"
Kata yang seorang sambil tertawa.
"Bagaimana kalau kita mempergunakan jaring?"
Tanya seorang berwajah badut.
"Jaring?"
"Wah, tentu jaringnya harus dipegang oleh lima puluh orang siswa padepokan,"
Kata yang lain.
"Bagaimana rupa siswa itu?"
"Pokoknya, ia tidak akan sukar mencari persembunyian selama di dunia ini banyak gadis,"
Kata yang berwajah badut.
"Hahaha"kata kawannya, bingung lagi.
"Gadis-gadis akan berbahagia sekali kalau dapat menyembunyikannya,"
Kata yang wajahnya seperti badut reog.
Kawan-kawannya memandang ke arah dia, mungkin mereka ingin mendapat hadiah kalau bernasib baik dapat menemukan dan menunjukkan Banyak Sumba kepada para jagabaya.
Si badut, setelah melihat ke sekelilingnya, berkata.
"Tinggi, berdada bidang, berkulit hitam manis, matanya jernih sekali, tutur kata dan tindak tanduknya lemah lembut, senyumnya akan menyebabkan gadis-gadis mabuk kepayang seperti kebanyakan minum madu. Kalau ia mencoba ilmu keperwiraannya, seratus orang seperti kita akan lumat seperti seratus ekor lalat dalam satu pukulan."
"Berapa hadiah yang akan kita terima kalau dapat menunjukkannya?"
Tanya seseorang.
"Tapi, bukankah kewajiban dan kepentingan kita juga untuk melaporkan orang yang berani mengganggu calon puragabaya?"
"Ya,"
Kata si badut.
"dan kewajiban kita pula lumat seperti lalat kalau kita mencoba-coba menangkapnya."
Jasik meninggalkan orang-orang yang bercakap-cakap itu.
Sekarang, makin jelas apa yang telah terjadi dengan Banyak Sumba.
Ketika seorang diri di tengah-tengah padang antara dua buah kampung, ia tertawa keras membayangkan apa yang dilakukan majikannya itu.
Ia mempercepat lari kudanya dan ketika senja tiba, tampaklah bukit tempat Perguruan Gan Tunjung berada.
Di sana, Jasik memberitahukan apa yang terjadi kepada Kang Arsim.
Kang Arsim tenang-tenang saja.
Ia mengangguk- angguk tanda mengerti apa-apa yang dilakukan putra pangerannya.
"Saya tidak takut. Ia akan lebih cemas tentang nasib kita daripada tentang dirinya,"
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya. Jasik pun, seperti ketika perpisahannya yang terdahulu dengan Banyak Sumba, mulai bekerja kembali sebagai pelatih pada Perguruan Gan Tunjung. Minggu berganti bulan dan bulan pun menjadi tahun. Akhirnya, berkatalah Kang Arsim kepada Jasik.
"Kita tidak dapat tinggal diam, Sik. Semalam saya bermimpi, Den Sumba datang ke sini. Ia tersenyum kepadaku seraya berkalung bunga-bungaan. Ketika ia kutanya, ia tidak menjawab."
"Apakah itu impian buruk atau impian baik, Kang Arsim?"
Tanya Jasik. Arsim menyatakan tidak tahu. Kemudian, ia mengajak Jasik berunding. Ia mengusulkan agar Jasik mencari keterangan ke Pakuan Pajajaran. Untuk itu, ia menyediakan segala perbekalan yang diperlukan.
"Sebenarnya, saya bermaksud demikian juga, Kang Arsim. Akan tetapi, bekal saya sudah tipis sekali."
"Jadi soalnya selesai, dan besok kau berangkat, Sik."
Keesokan harinya, kira-kira tengah hari, Jasik sudah berada di Kutabarang.
Ia mencari keterangan tentang seorang siswa Padepokan Sirnadirasa yang dikabarkan pernah menyerang seorang calon puragabaya.
Akan tetapi, orang-orang sudah lupa akan peristiwa itu.
Bagaimanapun, sudah lama sekali peristiwa itu terjadi dan perhatian orang sekarang berpindah kepada berita-berita tentang merajalelanya si Colat.
"Ya,"
Kata Jasik.
"siswa itu dulu menyerang seorang calon puragabaya yang mendapat tugas memimpin pasukan untuk memburu si Colat,"
"Saudara dapat menanyakan kepada dia, tetapi banyak sekali pasukan yang dikerahkan untuk mencari si Colat,"
Kata tukang warung.
"Siapakah orang itu, masih ada pertalian keluarga?"
Tanya tukang kuda yang ditanyanya.
"Ia majikan saya,"
Kata Jasik tanpa ragu-ragu.
Tukang kuda itu memandangnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Mungkin beberapa belas orang telah ditanyanya, bukan untuk mencari jawaban yang jelas, melainkan ia ingin mendapat kabar angin yang mungkin akan memberikan petunjuk di mana majikannya berada.
Namun, akhirnya ia berpendapat bahwa usahanya.sia-sia.
Ia harus pergi ke Pakuan Pajajaran.
Ia yakin, Banyak Sumba sudah berada di sana karena di sanalah Pangeran Anggadipati yang dicarinya berada.
Maka, dilengkapinya perbekalan untuk perjalanan satu minggu.
Ia berulang-ulang masuk pasar, membeli berbagai perlengkapan untuk perjalanan itu.
Dan keesokan harinya, ketika matahari belum menyembulkan wajahnya, ia sudah siap di jalan besar Kota Kutabarang, menunggu gerbang kota dibuka.
Akan tetapi, ketika itu dilihatnya kesibukan yang lain daJ ripada biasa.
Dalam kota, banyak sekali pasukan jagabaya.
Di samping itu, tampak pula pasukan sukarelawan yang berjumlah lebih besar.
Jasik bertanya kepada orang pertama yang lewat di dekatnya.
"Ada apa begini banyak pasukan bersenjata dalam kota?"
"Di luar kota lebih banyak lagi, Jang. Di sebelah selatan kota, kau dapat melihat gubuk-gubuk dan kuda mereka,"
Kata yang ditanyanya.
"Mau apa mereka berada di sini?"
"Wah, kau belum mendengar seratus lima puluh jagabaya hilang dalam hutan? Si Colat telah memakannya, menelannya bulat-bulat!"
Kata orang itu seraya membelalakkan matanya.
Jasik merasa, ia tidak akan mendapat jawaban yang jelas dari orang itu.
Maka, ditanyanya orang lain.
Akhirnya, dapat disusunnya suatu gambaran tentang apa yang terjadi di belakang peristiwa berkumpulnya pasukan itu.
Seratus lebih orang jagabaya ditugaskan untuk mencari si Colat.
Pasukan ini tidak kembali pada saat yang sudah ditentukan, padahal pasukan ini tidak mungkin tersesat.
Kerajaan memutuskan bahwa pasukan ini telah dihancurkan atau sekurang- kurangnya diikat oleh pasukan si Colat di suatu tempat.
Oleh karena itu, diputuskan untuk mengirim pasukan lain yang lebih besar.
Akan tetapi, menurut kabar, Pangeran Anggadipati menyampaikan usul yang lain.
Puragabaya sangat termasyhur ini secara sukarela mengusulkan agar ia diserahi pimpinan pasukan kecil yang akan mencari jejak para jagabaya yang hilang itu.
Anggota-anggota pasukan adalah para jagabaya pilihan, sukarelawan yang terdiri dari para pemuda dari berbagai perguruan keprajuritan dan beberapa orang puragabaya serta calon puragabaya.
Pasukan yang ada di Kutabarang besar sekali jumlahnya.
Pasukan tersebut, tidak termasuk pasukan Pangeran Anggadipati, tetapi pasukan yang akan bertugas di kampung-kampung.
Menurut berita, si Colat dengan pasukannya telah memperlakukan penduduk kampung dengan kasar dan kejam.
Mendengar berita itu, tertegunlah Jasik.
Majikannya pernah mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk bertemu dengan Pangeran Anggadipati.
Ia akan membuntutinya ke mana pun.
Bukankah majikannya akan mempergunakan kesempatan yang sangat baik, yaitu bertemu di medan pertempuran? Jasik tiba-tiba saja mendapat pikiran, siapa tahu Banyak Sumba telah menggabungkan diri dengan si Colat.
Pertama, memang telah berulang-ulang dikatakannya kepadajasik bahwa si Colat berilmu sangat tinggi.
Oleh karena itu, sebelum menghadapi Anggadipati, Banyak Sumba ingin sekali belajar kepada orang ini.
Kedua, si Colat sedang dikejar-kejar pasukan kerajaan, termasuk Pangeran Anggadipati.
Dengan pikiran seperti itu, Jasik pun memutuskan untuk menggabungkan diri dengan para sukarelawan yang akan mencari jejak para jagabaya yang hilang itu.
Dicarinya keterangan.
Akhirnya, ia sampai di gubuk tempat Pangeran Anggadipati berada.
Akan tetapi, ketika Jasik menghadap, Pangeran Anggadipati sedang menghadapi penguasa Kota Kutabarang.
Jasik diterima oleh seorang puragabaya muda yang dipanggil Rangga.
"Saudara terlambat,"
Kata puragabaya itu dengan wajah yang memperlihatkan penyesalan, 'Akan tetapi, Saudara dapat menggabungkan diri dengan pasukan lain yang tugasnya lebih ringan.
Umumnya, para pemuda menggabungkan diri dengan pasukan kedua, yaitu yang bertugas melindungi kampung- kampung,"
Kata purabaya itu melanjutkan.
"Sebenarnya, saya hendak mencari saudara saya,"
Ujar Jasik berdusta dengan harapan puragabaya itu salah mengerti.
"O,"
Ujar puragabaya itu.
"memang beberapa orang anggota pasukan adalah ipar atau saudara jagabaya yang hilang itu,"
Kata puragabaya itu. Kemudian, ia termenung.
"Tapi Anom telah memutuskan, lima puluh orang adalah batas jumlah pasukan kita ini,"
Puragabaya itu kemudian memandang kepada Jasik untuk beberapa lama.
"Saudara siswa perguruan mana?"
Tanyanya seraya melihat ke arah otot-otot Jasik.
"Saya pelatih di Perguruan Gan Tunjung, sebelah selatan Kutabarang,"
Jawab Jasik.
"Sayang. Banyak siswa yang datang dari perguruan yang kurang terkenal daripada perguruan Saudara, tetapi mereka datang lebih dulu!"
Puragabaya itu termenung lagi, tampaknya ia ingin sekali membantu Jasik. Setelah beberapa lama, ia berkata lagi.
"Mungkin Saudara harus datang kembali ke sini, menghadap Anom. Maksud saya, menghadap Pangeran Anggadipati, panglima pasukan ini."
"Kalau tidak ada tempat sebagai prajurit, barangkali saya dapat mengerjakan hal-hal lain. Saya pandai mengurus kuda dan tahu sedikit ilmu obat-obatan serta ilmu otot dan tulang."
Rangga, puragabaya itu tersenyum, lalu berkata.
"Bagus, mengapa tidak dikatakan dari tadi?"
Katanya. Ia memberi isyarat kepada salah seorang sukarelawan yang bertugas jaga di ruangan itu.
"Paman Minda, apakah beliau ada di sana?"
Sukarelawan itu memberi hormat, lalu keluar.
"Kami membutuhkan orang seperti Saudara, bukan pengurus kuda, tetapi yang tahu obat-obatan dan mengurus luka atau sendi terkilir,"
Kata puragabaya itu. Ketika itu, masuklah seorang puragabaya setengah baya yang segera dipersilakan oleh Rangga.
"Paman Minda, ini Saudara..."
"Jasik,"
Ujar Jasik.
"Ini Saudara Jasik, tahu obat-obatan dan cara-cara meramunya, bukan?"
Tanya Rangga. Jasik mengangguk.
"Ia tahu cara membetulkan tulang-tulang dan otot-otot yang terkilir. Kita membutuhkannya, tapi pasukan sudah lima puluh orang. Bagaimana pendapat Paman?" - "Memang saya membutuhkannya,"
Kata Paman Minda.
"Tunggulah di sini sampai Anom datang,"
Lanjut puragabaya setengah baya itu.
"Kau sangat saya butuhkan. Kita ini bukan saja butuh juru obat-obatan untuk pasukan, tetapi orang-orang kampung pun banyak yang luka. Banyak pekerjaan ramu-meramu, sedangkan tenaga ahli sangat kurang dalam soal itu. Kita pun harus mencari akar-akaran dan daun-daunan dalam hutan, karena kalau membawa dari kota, berapa banyak harus kita bawa? Berapa ekor kuda yang harus kita sediakan?"
Kata Puragabaya Minda itu. Jasik pun disuruh menunggu. Sore itu, Pangeran Anggadipati tiba. Mereka berunding sebentar, kemudian ketiga-tiganya, yaitu Rangga, Pangeran Anggadipati, dan Paman Minda datang ke tempat Jasik menunggu.
"Kau boleh ikut pasukan kami, Anak Muda,"
Kata Paman Minda.
Jasik merasa lega dan pandangannya segera tertuju kepada Pangeran Anggadipati yang selama ini telah hidup dalam khayalnya.
Seorang bangsawan yang berumur antara dua puluh tujuh dan tiga puluh tahun ini tampak menyorotkan wibawa yang besar dari air muka dan gerak-geriknya yang halus.
"Rangga mendukung usulnya karena melihat otot-ototmu, juga karena kau tahu mengurus kuda dan mengobati orang- orang, sedangkan Anom ini lebih memikirkan nasibmu sebagai orang yang kehilangan saudara,"
Kata Paman Minda.
"Terima kasih,"
Ujar Jasik seraya pandangannya tidak lepas dari Pangeran Anggadipati yang tersenyum kepadanya.
"Begitu tampan, begitu sempurna dalam gerak-geriknya sebagai kesatria Pajajaran, begitu berwibawa. Mungkinkah orang ini memendam maksud yang begitu jahat terhadap wangsa Banyak Citra?"
Demikian Jasik berkata-kata dalam hatinya. Ia pun sekarang mengerti, mengapa majikannya, Banyak Sumba, dulu tidak jadi melemparnya dengan pisau beracun itu.
"Pekerjaanmu akan berat sekali, Saudara,"
Tiba-tiba Pangeran Anggadipati berkata.
"Tidak diketahui berapa banyak jagabaya yang luka dan juga orang-orang kampung,"
Lanjutnya.
"Oleh karena itu, kedatanganmu sungguh-sungguh suatu anugerah bagi kami."
"Paman Minda akan senang sekali mendapat bantuan tanganmu,"
Lanjutnya.
Ketika itu, beberapa orang puragabaya lagi datang.
Walaupun mereka berpakaian hitam, tampak dari gerak-gerik mereka bahwa mereka kawan-kawan Pangeran Anggadipati.
Pangeran Anggadipati minta diri, lalu menghilang dari ruangan itu.
Jasik diajak Paman Minda ke gubuknya.
Di sana terdapat berbagai alat pengolah obat-obatan dan kantong-kantong kulit yang penuh dengan berbagai macam ramuan.
"Kau tahu tentang daun-daunan yang berkhasiat, bukari?"
"Ayah saya juru obat juga dan sejak kecil saya biasa membantunya."
"Bagus,"
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Paman Minda.
"Tapi perlu kau ketahui, Anak Muda, kita akan banyak sekali membetulkan tulang-tulang yang terkilir, terutama dari pasukan lawan. Siapa tahu kita akan membetulkan tangan si Colat yang terkilir nanti, atau tulang belikatnya. Mudah-mudahan, anak-anak tidak usah merusak atau melukainya, kecuali si Colat ini sudah benar- benar gila."
Sementara itu, Paman Minda mulai mengurus ramuan- ramuan.
Jasik membantunya.
Paman Minda terus berkata-kata dan dari kata-katanya itu, Jasik mengambil kesimpulan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Anggadipati itu akan bertindak sebagai pasukan pemukul, yang menyerang langsung ke pusat persembunyian si Colat.
Ini dimaksudkan agar kerajaan tidak kehilangan jagabaya lebih banyak dan agar persoalan si Colat segera diselesaikan.
Jasik menganggap cara pengepungan dengan mempergunakan sedikit puragabaya ini adalah cara pengepungan yang baik.
Bukan saja korban tidak akan terlalu banyak jatuh dari kedua pihak, melainkan kampung-kampung pun akan ikut terlindung dari bahaya pertempuran.
Sungguh buah pikiran yang sangat baik dari Pangeran Anggadipati, pikir Jasik.
Dan, ia mulai membayangkan kembali pangeran yang mengagumkannya itu.
Sementara itu, ia terus membantu Paman Minda memilih daun-daun terbaik untuk obat.
SETELAH tiga hari Jasik berada di perkemahan pasukan, pasukan pun berangkat menuju hutan di sebelah selatan Kutabarang, antara Kutabarang dan Pakuan Pajajaran.
Jumlah anggota pasukan seluruhnya tidak kurang dari seribu orang.
Sebagian besar dikerahkan untuk menduduki kampung- kampung sebagai pelindung rakyat setempat dari gangguan anak buah si Colat yang merajalela.
Sebagian lagi akan mencari jejak si Colat dan menghancurkannya pada saat pasukan bertemu dengan pasukan si Colat.
Pasukan terdiri dari para sukarelawan perguruan di bawah pimpinan jagabaya.
Pasukan penyerang yang terdiri dari sukarelawan pilihan dan jagabaya-jagabaya, langsung dipimpin oleh lima orang puragabaya.
Pasukan ini terdiri dari lima puluh satu orang, panglimanya Pangeran Anggadipati.
Dalam pasukan inilah, Jasik bertugas sebagai pembantu Puragabaya Minda yang ahli dalam hal obat-obatan dan mengurus otot-otot serta tulang-tulang yang patah atau terkilir.
Pasukan berjalan perlahan-lahan, tidak hanya karena jalan sukar, tetapi juga karena perbekalan yang banyak.
Akan tetapi, gerakan pasukan makin lama makin cepat juga.
Lama- kelamaan, pasukan makin kecil karena di setiap kampung ditinggalkan sebagian.
Kampung yang besar biasanya diberi lima belas sampai dua puluh sukarelawan yang bersenjata lengkap dipimpin seorang atau dua orang jagabaya.
Kampung kecil mendapat lima sampai sepuluh orang sukarelawan dengan seorang jagabaya sebagai pemimpin.
Sukarelawan itu besar artinya karena penduduk kampung yang bangkit semangat perlawanannya siap mengangkat senjata di samping mereka.
Setelah berminggu-minggu masuk hutan keluar hutan, menyeberangi perhumaan dan beristirahat dari kampung ke kampung, anggota pasukan tinggal yang lima puluh satu orang itu.
Berbeda dengan pasukan-pasukan lain, pasukan ini tidak akan menempati kedudukan atau kampung tertentu.
Pasukan ini akan terus-menerus bergerak hingga akhirnya menemukan dan menyerang pasukan inti si Colat.
Itu berarti, mereka tidak akan beristirahat.
Setiap hari, mereka melakukan perjalanan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh mata- mata yang datang dan pergi dari pasukan, atau petunjuk dari para sukarelawan yang telah lebih dahulu menduduki kampung-kampung yang ditemukan dalam perjalanan.
Salah satu petunjuk yang dijadikan pegangan pasukan adalah jejak pasukan yang terdiri dari seratus lima puluh jagabaya yang dikirimkan dari Kutabarang beberapa bulan sebelumnya.
Mula-mula keterangan tentang pasukan yang hilang ini cukup banyak diberikan oleh orang-orang kampung, tetapi makin jauh pasukan masuk ke selatan, makin sukar mencari jejak pasukan yang hilang itu.
Para puragabaya terpaksa melakukan penyelidikan sendiri.
Mereka memeriksa tanah dan dari tanah itu mereka mencari petunjuk.
Pada suatu hari, Jasik mendengar Pangeran Anggadipati berkata.
"Pertama, para jagabaya itu berpakaian zirah dan membawa senjata sebanyak-banyaknya beserta perbekalan lain-lainnya. Itu berarti, tapak kaki kuda mereka akan lebih dalam daripada tapak kaki kuda pasukan lain. Kedua, ladam kuda pasukan itu baru karena dipersiapkan lama sebelum mereka berangkat. Di samping itu, hutan-hutan yang mereka lewati dan mereka jadikan tempat menginap akan memperlihatkan daun-daun muda karena mereka akan banyak memotong dahan-dahan untuk kayu bakar dan keperluan- keperluan lain."
Dengan cara berpikir demikian itu, pasukan ternyata tidak tersesat dalam mengikuti jejak pasukan yang hilang itu.
Makin lama, makin banyak keterangan yang didapat dari kampung-kampung.
Sementara itu, tanah, hutan, sungai seolah-olah menunjukkan jalan kepada pasukan Pangeran Anggadipati, ke mana pasukan itu harus mengejar pasukan yang hilang.
Jasik sangat kagum akan keahlian para puragabaya itu.
Sementara itu, perjalanan makin lama makin masuk hutan belantara.
Jalan-jalan mulai sukar.
Sekali-sekali, pasukan harus membuat jembatan sendiri untuk dapat melintasi sungai dan jurang.
Kadang-kadang, berhari-hari mereka tidak bertemu dengan kampung.
Kalau kehabisan bekal, terpaksa mereka makan daun-daunan muda, atau kalau beruntung, daging binatang perburuan.
Tidak jarang pasukan tidak mendapat makanan dan minuman sepanjang hari, tetapi tak ada seorang pun yang mengeluh.
Pada suatu hari, tibalah mereka di sebuah kampung yang terpencil.
Pasukan berhenti dan orang-orang kampung segera datang menyambut.
"Selamat datang, Juragan. Di kampung kami, ada seorang jagabaya yang terluka parah. Kami sudah dua hari menyembunyikannya. Kebetulan Juragan tiba. Di kampung tidak ada orang yang dapat mengurus orang luka seperti itu."
Pangeran Anggadipati dengan Paman Minda segera menengok jagabaya itu.
Jasik diminta ikut serta membawa perlengkapan obat-obatan Paman Minda.
Setiba di dalam sebuah gubuk, terbaringlah di hadapan mereka seorang laki- laki yang sangat pucat karena banyak mengeluarkan darah dari luka di dadanya.
Paman Minda segera memeriksa luka jagabaya itu, lalu berkata kepada Pangeran Anggadipati.
"Untung tidak kena racun,"
Katanya. Kemudian, kepada kepala kampung yang berdiri di sampingnya ia berkata.
"Carikan madu sebanyak-banyaknya dan kalau kalian menyembelih binatang, tangguklah darahnya untuk prajurit itu."
Jasik diminta meramu dan menggodok beberapa macam tepung, daun-daunan, dan akar-akaran. Jasik segera mengerjakannya di luar gubuk. Dari dalam gubuk, terdengar Pangeran Anggadipati bertanya kepada orang yang luka itu.
"Panglimamu bernama Jaya, bukan?"
"Ya,"
Jawab orang luka itu dengan lemah.
"Baiklah, beristirahatlah. Kau akan segera sembuh,"
Lanjut Pangeran Anggadipati.
Sore itu dan dua hari selelahnya, pasukan beristirahat di kampung itu.
Bukan saja memang pasukan sudah sangat kelelahan dan kehabisan bekal, tetapi Pangeran Anggadipati memutuskan untuk menunggu hingga jagabaya itu cukup kuat.
Maksudnya agar dapat memberikan keterangan panjang lebar tentang apa yang terjadi terhadap pasukannya.
Pada hari ketiga, jagabaya itu sudah dapat bangun dan duduk.
Dari keterangan jagabaya itu diambil kesimpulan bahwa pasukan yang terdiri dari seratus lima puluh orang itu dihancurkan oleh pasukan si Colat.
Mula-mula, pasukan diserang dari depan oleh kira-kira lima puluh orang anggota pasukan si Colat.
Pasukan berkuda mengejar musuh dan memasuki suatu lembah yang sempit.
Tiba-tiba, mulut lembah tertutup oleh ikatan-ikatan ranting yang digelundungkan dari tebing bukit sebelah menyebelah.
Tak lama kemudian, berkobarlah api besar di mulut lembah, sementara pasukan berkuda terkurung di dalamnya.
Ketika itulah, tampak oleh pasukan jagabaya bagaimana dari bukit-bukit sekeliling lembah, bagaikan semut, muncul pasukan si Colat dengan panah, tombak, dan pelanting.
Pasukan jalan kaki jagabaya maju dan bermaksud memadamkan api yang menutup mulut lembah tempat pasukan berkuda terkurung.
Akan tetapi, baru saja mereka mencoba menarik dan memisahkan gulungan ranting-ranting yang berminyak dan berkobar-kobar itu, menderulah sekeliling mereka pasukan berkuda si Colat dengan pedang terhunus.
Dalam keadaan kalang kabut itulah, penderita terluka dadanya oleh pedang dan jatuh tak sadarkan diri.
Ia sadar malam hari dan melihat bagaimana mayat teman-temannya diperebutkan oleh segerombolan besar serigala, harimau, dan binatang buas lainnya.
Ia berusaha menghindar dan memanjat pohon.
Keesokan harinya, ia berjalan dan tiba di kampung terdekat, kemudian pingsan di depan -lawang kori.
"Sempatkah engkau melihat atau mengetahui adanya si Colat di antara musuh?"
"Ya, jelas sekali. Ia berdiri di puncak bukit, di antara beberapa orang pembantu utamanya, di samping seorang yang membawa panji-panji. Panglima kami berseru, serbu bukit itu, tetapi ia tidak pernah kelihatan lagi karena kami sudah benar-benar terkepung dengan rapi,"
Jawab jagabaya itu.
"Kalau begitu, sudah tiga hari si Colat meninggalkan tempat ini,"
Kata Pangeran Anggadipati.
"Lebih satu hari,"
Kata jagabaya itu.
"Kita terpaksa melakukan perjalanan malam, Paman Minda, sekurang-kurangnya saya dengan teman-teman,"
Kata Pangeran Anggadipati. Paman Minda mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata.
"Hati-hatilah."
Ketika itu juga, Pangeran Anggadipati berangkat dengan tiga orang puragabaya yang lain, termasuk Rangga.
Mereka mengambil kuda terbaik, mengenakan pakaian hitam-hitam, membawa tambang kecil, tabung obat-obatan, dan alat lain yang aneh-aneh yang baru dilihat oleh Jasik.
Setelah segalanya siap, tanpa memerhatikan kelelahan mereka, para puragabaya itu berangkat.
Keesokan harinya, sisa pasukan dipimpin Paman Minda bergerak dari kampung itu.
Sepanjang jalan, mereka melihat tanda-tanda sebagai petunjuk yang ditinggalkan para puragabaya yang berangkat lebih dahulu.
Semua petunjuk itu sangat banyak membantu hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat, walaupun jalan sangat sukar dilalui.
Ketika matahari mulai condong dan hari sangat terik, pasukan menemukan sebuah kampung yang hancur, mayat bergelimpangan di sana sini.
Pasukan segera bergerak ke arah yang ditunjukkan oleh jejak yang banyak sekali.
Baru saja pasukan bergerak, Paman Minda sudah memerintahkan agar pasukan merunduk dan menyebar.
Kuda-kuda dibawa ke belakang, senjata disiapkan.
Dari jauh, tampak oleh Jasik sepasukan besar sedang melakukan upacara, entah upacara apa.
Ketika pasukan mereka sedang bersembunyi, muncullah dari balik semak-semak Pangeran Anggadipati diikuti Rangga.
"Malam ini, kami akan menyerang si Colat. Pasukannya kita urus besok. Kita akan menyerangnya setelah selesai upacara pembakaran mayat yang akan mereka lakukan."
"Apakah penduduk kampung semuanya dibunuh?"
Tanya Paman Minda.
"Tampaknya demikian,"
Ujar Rangga.
"kami berusaha mencari sisa penduduk kampung itu, karena mayatnya tidak sebanyak yang diperkirakan dari rumah-rumah yang ada dalam kampung. Kami curiga ...,"
Lanjut Rangga.
Akan tetapi, ia tidak meneruskan kata-katanya.
Ia berpaling ke arah musuh yang jumlahnya banyak sekali yang tampak dalam remang senja itu.
Ketika mereka berbisik-bisik dalam semak itu, muncullah puragabaya yang biasa dipanggil Jalu.
'Anom!"
Kata Jalu terengah-engah.
"Si Colat berkelahi dengan seseorang yang sebelumnya tidak kita lihat di antara mereka. Pemuda itu baru saja datang, kemudian memadamkan api obor yang akan digunakan untuk membakar jenazah. Kemudian perkelahian terjadi."
"Hasilnya bagaimana?"
Tanya Pangeran Anggadipati.
"Ginggi berada di sana, saya diminta memberi tahu Anom."
"Paman Minda, tunggulah. Mungkin kita harus mengubah rencana semula,"
Kata Pangeran Anggadipati, kemudian menyelinap bersama puragabaya yang biasa dipanggil Jalu itu. Untuk beberapa lama, Jasik dengan Paman Minda merunduk saja dalam semak-semak bersama kawan- kawannya. Tak lama kamudian, muncullah Ginggi.
"Paman Minda, Anom memerintahkan penyerangan sekarang juga, selagi si Colat menghadapi kesatria itu."
Paman Minda memanggil semua jagabaya yang memimpin kelompok-kelompok kecil, lalu mulai menyanyikan lagu peperangan "Akeul ku kayu samida".
Nyanyian puragabaya setengah baya itu meremangkan bulu roma.
Seolah menggelorakan darah dalam nadi Jasik.
Para jagabaya mulai bernyanyi, makin lama nyanyian makin tinggi temponya, dan tanpa sadar mereka sudah menghambur meneriakkan nama sang Prabu.
Jasik menghantamkan goloknya ke kanan dan ke kiri, ke arah pasukan si Colat yang kebingungan dan bercerai-berai itu.
Kebingungan mereka bukan, terutama, karena mereka tidak siap siaga, tetapi karena si Colat ternyata tidak dapat memimpin mereka.
Tak lama kemudian, pertempuran berhenti dan pasukan kembali ke lapangan kecil tempat akan dilakukan upacara pembakaran jenazah salah seorang anggota pasukan si Colat.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Para jagabaya dan para sukarelawan sibuk mengurus tawanan dan orang-orang luka, Jasik sibuk di antara mereka itu.
Ia tahu bahwa lawan yang melarikan diri akan kehilangan semangat untuk menyerang kembali, setelah mendapat pukulan yang keras itu.
Di samping itu, lawan akan sukar sekali menyatukan diri, setelah dihalau ke dalam hutan dalam gelap gulita itu.
Maka, Jasik pun dengan tenang membantu para sukarelawan membebat luka-luka tidak peduli apakah yang terluka itu anggota pasukan sendiri atau anak buah si Colat.
Selagi ia hendak beristirahat, seorang sukarelawan datang menyampaikan pesan Paman Minda yang meminta Jasik untuk membantunya.
Jasik segera berangkat.
Ia menuju tanah lapang tempat berdiri unggun pembakaran yang tinggi.
Ketika tiba di sana, ia merasa keheranan melihat pembongkaran unggun itu.
Keheranannya bertambah juga ketika dari bawah tumpukan kayu samida keluar orang-orang yang diikat satu sama lain.
Laki-laki, wanita, kakek-kakek, nenek-nenek, anakanak, hingga bayi.
Mengertilah Jasik bahwa si Colat bermaksud membakar hidup-hidup orang-orang kampung dengan jenazah anak buahnya yang tewas itu.
Sungguh buas si Colat ini, pikir Jasik seraya berjalan ke arah Paman Minda yang berlutut di samping seseorang yang terbaring di rumput.
Rumput itu basah oleh darah yang tampak hitam di bawah cahaya obor.
"Si Colat sudah dingin, Anom, ia sudah tiada. Tapi, pemuda ini masih hangat dan pergelangan tangannya berdenyut, walaupun perlahan,"
Kata Paman Minda. Pangeran Anggadipati berlutut memandangi wajah pemuda itu.
"Ketika si Colat hendak mulai membakar kami, pemuda ini datang mencegah. Si Colat menyerangnya, lalu terjadi perkelahian singkat, keduanya roboh,"
Kata kepala kampung yang baru dilepaskan dari ikatannya. Orang-orang kampung yang keluar dari bawah tumpukan kayu samida berkumpul mengelilingi para puragabaya yang sedang memeriksa mayat si Colat dan tubuh satunya lagi yang terbaring di dekatnya.
"Ia menyelamatkan jiwa kami dengan jiwanya sendiri,"
Kata seseorang. Suara bayi menangis terdengar dari kelompok orang-orang kampung itu.
"Ia masih hidup,"
Kata Paman Minda seraya menundukkan kepalanya, mendengarkan detak jantung di dada pemuda itu.
Ketika itulah, lutut Jasik serasa hendak lepas.
Ia melihat, yang terbaring dan sedang didengarkan detak jantungnya oleh Paman Minda adalah Banyak Sumba.
Hatinya begitu sedih hingga air matanya tidak tertahan menitik.
Ia berjalan, tapi lututnya lemah.
Ia duduk di rumput, di belakang orang-orang kampung yang berkumpul.
"Paman Minda, selamatkanlah nyawanya,"
Kata Pangeran Anggadipati di tengah-tengah keheningan.
"Hanya Sang Hiang Tunggal yang akan menyelamatkannya."
"Kami akan berdoa. Kalau perlu, sepanjang malam kami tidak akan tidur, kami akan terus berdoa,"
Kata seorang kampung "Kami berutang nyawa kepadanya, ia terlalu baik untuk mati."
"Cepat cari pembebat supaya darahnya tidak habis,"
Kata Paman Minda. Jasik membuka ikat pinggang kainnya, lalu berjalan walaupun lututnya masih lemah.
"Buatlah usungan yang rata. Ambil dua buah tombak, letakkan ranting-ranting lurus atau pedang di atasnya. Tumpukkan sarung di atasnya, cepat!"
Paman Minda berteriak seperti marah.
Orang sibuk melakukan perintahnya, seolah-olah nyawa Banyak Sumba bergantung pada mereka itu.
Tak lama kemudian, di samping tubuh Banyak Sumba sudah terbuat satu usungan yang terdiri dari dua buah tombak yang disilang dengan ranting-ranting lurus.
Di atas ranting-ranting diletakkan tumpukan kain-kain penduduk kampung.
"Sik, Jasik!"
Seru Paman Minda. Jasik maju.
"Mari angkat perlahan-lahan! Ingat, kesalahan dalam mengangkatnya, berarti kematian baginya, hati-hati. Hati-hati! Perlahan-lahan!"
Seru Paman Minda.
Tubuh Banyak Sumba dengan hati-hati sekali dipindahkan ke atas usungan itu.
Usungan diangkat perlahan-lahan oleh Jasik dan seorang sukarelawan, kemudian mereka bergerak ke arah kampung.
Sepanjang jalan Jasik menangis, tetapi dalam gelap malam remang-remang cahaya obor, tidak ada orang yang melihat air matanya.
Banyak Sumba dibaringkan dalam ruangan terbesar di kampung itu.
Orang-orang kampung mula-mula berkumpul di sana, tetapi Paman Minda mengusir mereka dengan lemah lembut.
"Kesatria ini memerlukan udara bersih, pergilah dari sini untuk sementara."
"Tapi, kami ingin berdoa di dekatnya, Paman."
"Berdoalah di rumah masing-masing,"
Ujar Paman Minda.
Mereka menurut.
Akhirnya malam larut, hanya tiga orang yang tinggal di dalam ruangan besar itu, yaitu Paman Minda, Jasik, dan Pangeran Anggadipati.
Pangeran Anggadipati tak henti-hentinya memandangi wajah Banyak Sumba.
Mungkinkah Pangeran Anggadipati mengenalnya, tanya Jasik di dalam hatinya.
Sementara itu, Paman Minda sibuk memisahkan serbuk- serbuk halus yang terbuat dari daun-daunan, kemudian memerintahkan kepada Jasik untuk menyeduhnya.
Diraba- rabanya tulang-tulang Banyak Sumba, kemudian Paman Minda berkata kepada Pangeran Anggadipati.
"Satu rusuk kanannya patah oleh trisula si Colat, belakang kepalanya kena pukulan gada, inilah yang menyebabkan ia tidak sadarkan diri. Sedangkan yang paling membahayakan jiwanya adalah lukanya yang terlalu lama mengeluarkan darah. Dan saya takut, trisula si Colat itu disepuh dengan racun yang keras."
"Usahakanlah supaya dia hidup, Paman,"
Kata Pangeran Anggadipati. Dalam suaranya, bergetar permohonan yang keluar dari hati nuraninya.
"Saya tidak dapat menjamin,"
Kata Paman Minda.
Ia memperbaiki bebat luka Banyak Sumba di beberapa tempat seraya menambah obat-obatannya.
Hari berikutnya, Banyak Sumba belum juga sadarkan diri.
Penduduk kampung duduk di halaman di depan ruangan besar itu.
Mereka berdoa dan setiap kalijasik keluar untuk melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Paman Minda, mereka bertanya.
Jasik tidak dapat menjawab apa-apa.
Sementara itu, Jasik pun harus mengurus para sukarelawan yang luka dalam pertempuran dan juga anak buah si Colat yang tertawan.
Dari keterangan orang-orang kampung dan anak buah si Colat, jelaslah bagi Jasik bahwa Banyak Sumba mencoba mencegah kekejaman yang hendak dilakukan si Colat terhadap penduduk kampung.
Dari para tawanan didapat pula penjelasan bahwa Banyak Sumba bersama si Colat itu sudah lama, yaitu karena Banyak Sumba hendak belajar ilmu keperwiraan kepada si Colat itu.
Pada hari ketiga, berkatalah Paman Minda kepada Pangeran Anggadipati.
"Pengobatan yang lebih baik dapat dilakukan di Kutabarang."
"Apakah perjalanan tidak membahayakan jiwanya?"
Tanya Pangeran Anggadipati.
"Tidak, luka-lukanya sudah tertutup, kecuali rusuknya yang patah yang masih belum menyambung kembali. Yang menyebabkan dia tidak sadar adalah pukulan gada di kepalanya. Itu akan memakan waktu lama sekali dan pengobatan hanya dapat dilakukan di Kutabarang atau Pakuan Pajajaran,"
Ujar Paman Minda.
"Kalau begitu, marilah kita kembali ke Kutabarang, para utusan kita sudah tiba di sana sekarang,"
Ujar Pangeran Anggadipati.
"Kita harus berjalan perlahan-lahan sekali. Bagaimana dengan kemungkinan penyerangan sisa-sisa pasukan si Colat?"
Tanya Paman Minda.
"Sebagian telah menyerahkan diri, sisanya tidak akan bergerak,"
Jawab Pangeran Anggadipati.
Pada hari keempat, dengan membawa beberapa usungan, di antaranya usungan Banyak Sumba, pasukan pun kembali ke Kutabarang.
Perjalanan pulang tidak memakan waktu banyak karena pasukan tidak perlu melalui jalan-jalan yang sukar.
Sepanjang jalan, penduduk yang telah mendengar kisah pertempuran dan kematian si Colat berjajar, untuk menghormati pasukan, terutama menghormati Banyak Sumba yang namanya belum mereka ketahui.
Mereka berdoa atau menangis ketika mereka diberi tahu bahwa pahlawan yang membunuh si Colat adalah yang diusung paling depan.
Berulang-ulang, Jasik hampir tidak dapat menahan air matanya, kalau ia mendengar perkataan orang-orang kampung yang sebelumnya telah diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh anak buah si Colat.
Kutabarang bersuasana aneh, setengah berpesta setengah berkabung.
Mereka tahu bahwa riwayat si Colat sudah tamat.
Akan tetapi, mereka pun tahu bahwa pahlawan yang tidak mereka kenal belum pasti nasibnya.
Sepanjang jalan, rakyat mengelu-elukan pasukan, mereka tertawa, mereka menangis melihat usungan-usungan orang luka, terutama melihat usungan Banyak Sumba.
Sementara itu, Pangeran Anggadipati sendiri tampak sangat murung.
Berulang-ulang Jasik mendengar puragabaya itu berdoa.
Sore itu, seluruh penduduk Kutabarang pergi ke kuil kota.
Mereka mengadakan doa bersama, memohon kepada Sang Hiang Tunggal agar jiwa Banyak Sumba diselamatkan.
Sementara itu, Paman Minda meminta beberapa orang pergi ke Padepokan Tajimalela untuk meminta bantuan dari Paman Rakean yang juga ahli di bidang pengobatan.
Kesibukan luar biasa terjadi di Istana Kutabarang.
Para utusan diberangkatkan ke Pakuan Pajajaran, membawa berita kepada sang Prabu tentang apa-apa yang terjadi.
Sementara itu, usaha pengobatan terhadap Banyak Sumba makin giai pula dilakukan.
Suatu ketika, Banyak Sumba bergerak, lalu mengeluh.
Kemudian, diam kembali.
Pada suatu kali, matanya terbuka dan memandang langit-langit istana, kemudian ditutupnya kembali.
Demikianlah keadaannya beberapa hari, sementara Paman Minda dengan dibantu puragabaya setengah baya lainnya yang bernama Paman Rakean berusaha sekuat tenaga menyelamatkan jiwa Banyak Sumba.
Selama itu pula, Pangeran Anggadipati tidak pernah jauh dari bilik Banyak Sumba dibaringkan.
Hanya kalau ada urusan pasukan sukarelawan yang hendak dibubarkan dan pembagian tanda- tanda jasa harus dilakukan, baru ia meninggalkan istana.
Setelah satu pasukan selesai dibubarkan dengan segala tanda jasa dan ucapan terima kasih sang Prabu ia segera kembali ke istana menengok Banyak Sumba.
Pada hari keempat, Putra Mahkota tiba dari ibu kota.
Beliau diiringi sejumlah bangsawan pria dan wanita.
Di antara para pendatang, ternyata para kesatria dan putri-putri remaja.
Semua ingin melihat pahlawan yang membunuh si Colat itu.
Semua ingin berdoa untuk keselamatan jiwanya dari dekat.
Seluruh Pajajaran belum pernah melakukan doa bersama seperti itu.
Setiap pagi dan setiap senja, semua kuil dan pura penuh.
Para bangsawan mendapat kesempatan untuk berdoa di samping orang yang didoakan, yaitu di Istana Kutabarang.
KETIKA itu hampir sore.
Sebuah kereta besar yang berwarna keemasan tiba diiringkan kereta-kereta lainnya yang lebih kecil.
Putra Mahkota turun diiringi para kesatria dan disambut oleh Pangeran Anggadipati, Rangga, Jalu, dan Paman Minda serta Paman Rakean.
Putra Mahkota bergegas menuju bilik tempat Banyak Sumba terbaring.
"Saya akan menengok yang lain setelah yang paling parah ini,"
Kata beliau kepada Pangeran Anggadipati dan para bangsawan yang lain sewaktu Putra Mahkota menengok Banyak Sumba. 'Apa yang terjadi, Anom?"
Putra Mahkota bertanya sambil memegang pergelangan tangan Banyak Sumba.
"Dibunuhnya si Colat dalam perkelahian yang berani, tapi rupanya anak buah si Colat memukulnya dengan gada dari belakang. Namun, setelah si Colat terbunuh, pasukan kacau- balau. Saya tidak mengerjakan apa-apa, hanya menangkapi atau menghalau yang ketakutan. Dialah yang mengerjakan segala-galanya, seorang diri."
Putra Mahkota memandang wajah Banyak Sumba yang bagaikan tidur nyenyak terbaring di hadapan beliau. Jasik berdiri di sudut mendengarkan percakapan mereka.
"Yang mengherankan saya, sampai sekarang kita tidak tahu siapa sebenarnya kesatria ini."
"Saya seperti mengenalnya, Gusti Anom,"
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Pangeran Anggadipati kepada Putra Mahkota.
Percakapan mereka cuma sampai di situ karena Putra Mahkota harus menengok para prajurit yang luka lainnya dan para bangsawan sudah tidak sabar untuk melihat pahlawan yang tidak dikenal itu.
Maka, bergiliranlah mereka masuk untuk melihat Banyak Sumba, berlutut di sampingnya, dan memohon kepada Sang Hiang Tunggal agar menyelamatkan jiwa Banyak Sumba.
Ketika seorang kesatria sedang berlutut, dari arah pintu ruangan terdengar jeritan seorang putri.
Semua berpaling ke sana.
Mereka melihat seorang putri sangat cantik terhuyung- huyung menuju pembaringan Banyak Sumba, kemudian pingsan di dekatnya.
Ayahanda putri itu, seorang pangeran, segera datang.
Paman Minda membakar ramuan daun, lalu menyodorkannya ke bawah hidung Tuan Putri yang segera sadar.
"Ada apa, Anakku?"
Tanya ayahanda Tuan Putri. 'Ayahanda, Ayahanda, dialah Raden Banyak Sumba yang saya ceritakan dulu."
"Banyak Sumba!"
Seru pangeran itu sambil memapah putrinya berjalan menuju pembaringan Banyak Sumba.
"Pangeran Anggadipati!"
Seru pangeran itu sambil mencari Pangeran Anggadipati dengan matanya.
"Inilah Raden Banyak Sumba, anakku mengenalnya."
"Pamanda Purbawisesa, saya telah menduganya sejak semula, hanya tidak berani mengatakannya,"
Kata Pangeran Anggadipati. Ia berjalan ke arah pembaringan, berlutut lalu berbisik.
"Adikku... Adikku,"
Bisiknya. Ketika itulah, Jasik melihat Pangeran Anggadipati menitikkan air mata sambil memegang tangan Banyak Sumba yang lemah lunglai. Putri cantik itu pun berlutut dan sambil menangis terisak- isak memegang tangan kiri Banyak Sumba.
"Saya menunggumu lama sekali dan Kakanda kembali seperti ini,"
Kata putri itu, sementara Pangeran Purbawisesa memegang pundak putri itu, melipur hatinya. Jasik melangkah ke depan, lalu berlutut di depan Pangeran Anggadipati. Ia berkata.
"Pangeran Muda, kesatria ini Raden Banyak Sumba, putra tertua Pangeran Banyak Citra. Saya panakawannya dan sesuai dengan pesannya merahasiakan namanya. Akan tetapi, sekarang namanya sudah diketahui Jasik tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Pangeran Anggadipati bangkit, lalu memegang pundaknya.
"Tahukah engkau di mana keluarganya berada?" 'Ayah saya tinggal dengan mereka, Pangeran Muda,"
Ujar Jasik. Pangeran Anggadipati memandang wajah Jasik, lalu berkata, 'Jemputlah mereka. Bawalah pasukan pengawal dari sini, sebanyak yang kau perlukan."
Jasik meminta lima puluh orang jagabaya yang akan menjemput dan mengawal wangsa Banyak Citra.
Keesokan harinya, subuh-subuh benar, rombongan sudah berangkat.
Sepanjang jalan, Jasik melihat bagaimana kuil-kuil penuh oleh orang yang berdoa, yang memohon kepada Sang Hiang Tunggal agar Banyak Sumba diselamatkan.
Pemandangan itu mendorong Jasik segera mencapai wilayah Medang.
Maka, dipaculah kudanya seperti anak panah dan para jagabaya yang kelelahan di bawah baju zirah berulang-ulang mengeluh.
Akan tetapi, Jasik tidak memedulikannya, beberapa kali ia mengatakan bahwa tugas mereka terlalu penting untuk dilambat-lambatkan.
Setelah berganti kuda dua kali, dan setelah perjalanan dilakukan siang malam, hutan-hutan yang dikenal sekali oleh Jasik pun tampak.
Ia makin mempercepat kudanya.
Kemudian, meninggalkan para jagabaya untuk beristirahat dalam sebuah kampung di tepi jalan besar.
Dengan diiringi tiga orang jagabaya, Jasik mulai masuk hutan, menuju tempat persembunyian keluarga Banyak Citra.
Kabar itu diterima di Padepokan Panyingkiran dengan khidmat dan tabah oleh seluruh anggota keluarga.
Walaupun air mata menitik dari kaum wanita, tak ada ingar-bingar kesedihan.
Keprihatinan yang menekan wangsa Banyak Citra bertahun-tahun menumbuhkan ketabahan yang khas pada mereka.
Jasik semakin kagum terhadap watak keluarga majikannya.
"Kita semua akan pergi, anak kita membutuhkan kita di sana. Kita tidak akan bersembunyi lagi, apa pun yang terjadi,"
Kata Ayahanda Banyak Citra dengan tenang. Seluruh anggota keluarga kelihatan lega karena dengan keputusan ini, berbagai persoalan lain akan terselesaikan pula.
"Sediakan apa yang kita perlukan dan bawa pengawal sebanyak-banyaknya,"
Lanjut Ayahanda Banyak Citra.
"Pangeran Anggadipati telah memberikan kepada hamba dua buah kereta dan lima puluh pengawal, Gusti,"
Ujar Jasik tidak sengaja. Ayahanda Banyak Citra termenung, sementara Jasik merasa menyesal telah mengucapkan nama itu. Seluruh ruangan tegang. Ayahanda Banyak Citra kemudian berkata.
"Kau katakan Anggadipati telah menyelamatkan jiwa anakku dengan merawat dan membawanya ke Kutabarang. Itu tidak dapat kutolak. Kalau ia memberikan pengawal juga, itu pun tidak bisa kutolak,"
Kata beliau. Seluruh isi ruangan tampak lega pula.
"Kita pergi sekarang juga,"
Kata Ayahanda Banyak Citra.
Tak lama kemudian, di jalan besar yang membentang antara Medang dan Kutabarang, berjalan rombongan besar.
Dua buah kereta yang megah didahului dan diiringkan oleh lima puluh jagabaya yang berpakaian lengkap dan bersenjata.
Umbul-umbul dan panji-panji wangsa Banyak Citra yang telah bertahun-tahun lenyap dari angkasa Pajajaran tampak berkibar-kibar kembali.
Rakyat yang mendapat berita dari mulut ke mulut sebelumnya, tumpah dari kampung-kampung ke tepi jalan kerajaan.
Mereka ingin melihat wajah Pangeran Banyak Citra yang telah bertahun-tahun menghilang.
Mereka memberikan hormat kepada salah seorang pangeran Pajajaran yang terkenal itu.
Melihat suasana yang tidak disangka-sangkanya, lega dan lunaklah hati Pangeran Banyak Citra.
Beliau mencari-cari Jasik dengan mata beliau, lalu memanggilnya.
"Sik, kemari!"
Jasik yang mengendarai kuda di samping ayahnya, Paman Wasis, segera melambatkan kudanya, dan melarikannya di samping kereta yang dikendarai oleh Pangeran Banyak Citra dan adik-adik Banyak Sumba yang sudah berangkat remaja.
"Sik, tadi kau katakan bahwa Putra Mahkota menangguhkan perjalanan pulang hanya untuk bertemu dahulu denganku?"
"Benar, Gusti,"
Ujar Jasik.
"Mudah-mudahan, beliau sudah mendengar banyak tentang wangsa Banyak Citra,"
Ujar Pangeran Banyak Citra.
"Pasti, Gusti,"
Kata Jasik. Pangeran Banyak Citra memandang wajah Jasik yang segera menjawab.
"Gusti dan wangsa Banyak Citra menjadi lebih terkenal setelah Gusti bersembunyi. Apalagi Putra Mahkota sangat sayang dan sahabat Pangeran Anggadipati yang sangat karib."
Sekali lagi Jasik terkejut, mengapa telah mengucapkan nama itu.
Ia mencaci maki dirinya sendiri dalam hati.
Bagaimanapun, ia mengakui bahwa Pangeran Anggadipati, tutur kata dan tingkah laku kesamaannya, telah memesonanya hingga ia tidak dapat membayangkan ada orang yang dendam terhadap kesatria seperti itu.
Akan tetapi, ia pun merasa tidak bijaksana untuk menyebut-nyebut namanya terus-menerus di hadapan Pangeran Banyak Citra.
"Apakah Pangeran Anggadipati selalu dihubung-hubungkan dengan keluargaku, Sik?"
Jasik sungguh-sungguh gugup mendengar pertanyaan itu. la menenangkan diri dan memutuskan segala pikirannya. Lalu, berkata dengan tekad bulat untuk memberikan kesan yang tepat tentang segala yang dilihat dan didengarnya mengenai Pangeran Anggadipati.
"Gusti,"
Kata Jasik.
"Pangeran Anggadipati sangat bersedih hati dengan menghilangnya keluarga Banyak Citra. Beliau sangat bersedih hati karena beliau menyangka bahwa keluarga Banyak Citra dihancurkan dan dimusnahkan oleh keluarga Wiratanu."
Belum selesai Jasik berkata, Pangeran Banyak Citra menyela.
"Keluarga Wiratanulah yang hancur lebur, dari bunga hingga ke akarnya. Lanjutkan, Sik."
"Baik, Gusti,"
Lanjut Jasik.
"Waktu Putri Purbamanik datang dan mengenal Raden Banyak Sumba, hamba terpaksa membuka rahasia dan mengatakan bahwa yang membunuh si Colat itu adalah Raden Banyak Sumba. Betapa gembira hamba lihat Pangeran Anggadipati ketika itu. Beliau memegang pundak hamba dan memandang mata hamba dalam-dalam. Setelah beberapa lama, dari matanya yang sebelumnya selalu redup, bernyalalah sinar yang lain, sinar kegembiraan. Sinar kegembiraan ini makin gemilang ketika hamba menerangkan kepada beliau bahwa keluarga Banyak Citra masih hidup dan sehat sejahtera di tempat persembunyian. Ketika itu Putra Mahkota datang, menepuk-nepuk bahu Pangeran Anggadipati dan berkata.
"Berkat ketahananmu, Sang Hiang Tunggal mengembalikan kepadamu segala yang kau cintai. Bersyukurlah sahabatku,"
Demikian ujar Putra Mahkota. Ketika itu, Pangeran Anggadipati menitikkan air mata kegembiraan, lalu memegang tangan Raden Banyak Sumba sambil membisikkan namanya."
Jasik berhenti berkata karena ia melihat pangeran yang telah berambut putih itu mengangguk-angguk dan tersenyum.
Tiba-tiba, Jasik sadar bahwa orang tua itu barangkali telah hampir sepuluh tahun tidak tersenyum.
SELAMA dalam perjalanan, sering sekali Jasik dipanggil dan ditanyai tentang apa saja yang terjadi, walaupun telah sangat sering Jasik menceritakannya.
Kadang-kadang, ia dipanggil ke kereta besar tempat Pangeran Banyak Citra berada dengan Ibunda.
Tidak kurang pula seringnya dipanggil ia ke kereta Putri Yuta Inten bersama adik-adik Banyak Sumba yang masih kecil.
"Jasik, kau mengatakan bahwa yang mula-mula mengenal adikku adalah putri yang sangat cantik,"
Kata Yuta Inten kepada Jasik setelah putri itu memanggilnya.
"Ya, Tuan Putri. Putri itu sangat cantik, namanya Nyai Emas Pubamanik, putri satu-satunya Pangeran Purbawisesa yang tinggal di Pakuan Pajajaran, tetapi berasal dari Kutabarang. Putri ini begitu melihat Raden Banyak Sumba, sempoyongan dan menjatuhkan dirinya di dekatnya sambil menyeru- nyerukan nama Raden Banyak Sumba, lalu menangisinya. Ketika itu, orang-orang mulai mengenal siapa pahlawan yang dapat membunuh si Colat itu."
"Sik,"
Yuta Inten menyela.
"Ya, Tuan Putri."
"Kau lihat banyak sekali putri yang datang, bukan?"
"Ya, Tuan Putri,"
Jawab Jasik.
"Adakah,... Putri Ringgit Sari?"
"Saya tidak tahu, Tuan Putri. Saya tidak mengenal nama mereka,"
Ujar Jasik.
"Putri Ringgit Sari ini Ayunda Pangeran Anggadipati,"
Kata Yuta Inten, nama yang terakhir diucapkannya dengan cepat-cepat. Setelah tertegun, ia bertanya kembali.
"Tentu kau tidak tahu tentang putri-putri itu, tapi ... adakah putri yang selalu berdekatan dengan Pangeran Anggadipati... karena ... karena Putri Ringgit Sari akan selalu berdekatan dengan saudaranya, bukan?"
"Apakah Putri Ringgit Sari ini lebih tua atau lebih muda daripada Pangeran Anggadipati, Tuan Putri?"
Jasik kembali bertanya. Putri Yuta Inten termenung sejenak, lalu dengan suara tegang bertanya kembali.
"Jadi yang kaulihat putri yang lebih muda yang selalu dekat dengan Pangeran Anggadipati itu?"
"Ya? Saya tidak mengatakan ada putri yang selalu berdekatan duduk atau berdirinya dengan Pangeran Anggadipati, Tuan Putri,"
Ujar Jasik.
Mula-mula, ia tidak mengerti mengapa percakapan jadi kacau seperti itu, kemudian dia teringat bahwa sebenarnya Putri Yuta Inten adalah tunangan Pangeran Anggadipati.
Ia baru menyadari bahwa sebenarnya Putri Yuta Inten ingin menanyakan sesuatu yang lain, tapi tidak berani.
Tiba-tiba, Jasik tersenyum lebar.
Putri Yuta Inten tampak keheranan, lalu bertanya.
"Sik, apa yang kau tertawakan?"
"Tuan Putri, menurut kesan saya, Pangeran Anggadipati itu masih seorang diri. Saya tidak pernah melihat beliau menerima kiriman kotak-kotak lontar terukir yang wangi karena terbuat dari kayu cendana. Beliau pun tidak pernah membaca helai-helai lontar kecil dan indah di bawah bulan purnama. Yang saya ketahui adalah surat-surat yang beliau terima hanyalah surat-surat dari para pemimpin jagabaya yang melaporkan tentang medan perang dan dihancurkannya anak-anak buah si Colat."
"Jasik! Jasik! Apa yang kau ucapkan itu? Apakah kau bermimpi?"
Seru Putri Yuta Inten seperti marah.
"Saya tidak menanyakan hal itu kepadamu!"
Lanjutnya.
Betapapun kemarahan yang dibuat-buat itu, kegembiraan dan kelegaan Putri Yuta Inten tidak lolos dari mata dan hati Jasik yang mulai mengerti.
Sementara itu, rombongan makin jauh menuju arah barat.
Kampung-kampung besar kecil sudah dilewati dan orang- orang kampung tampak mengetahui bahwa yang lewat adalah rombongan Pangeran Banyak Citra.
Mereka menyambut dan menghormati rombongan pahlawan mereka.
Pada masa-masa sembahyang sore, rombongan berhenti di sebuah kampung besar untuk ikut bersembahyang.
Dalam sembahyang itu, doa khusus disampaikan untuk kesembuhan Raden Banyak Sumba, putra tertua keluarga Banyak Citra.
Jasik melirik ke seluruh keluarga majikannya.
Suasana berdoa, berharap, dan rasa bangga memancar dari keluarga itu.
-ooo00dw00ooo- Bab 14 Burung Senja Dalam kesadarannya yang seperti mimpi, Banyak Sumba merasa dirinya sedang terbaring di atas rumput tempatnya roboh setelah tukar-menukar tikaman dengan si Colat.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandangannya kabur dan rasa sakit berdenyut perlahan-lahan pada bagian-bagian badannya yang dikenai trisula si Colat.
Ia membuka matanya perlahan-lahan, tapi segera menutupkannya kembali karena cahaya yang berwarna-warni menyilaukannya.
Ia mendengar bisikan-bisikan.
"Kakanda, Kakanda."
"Anakku, Anakku."
"Adinda Banyak Sumba."
Ia mau menjawab, tapi bibirnya sangat berat.
Ia beristirahat, lalu kesadarannya menghilang kembali.
Semuanya gelap dan sepi.
Pada suatu kali, kesadarannya kembali membawa Banyak Sumba ke atas lapangan rumput di tepi kampung tempat ia terbaring setelah melawan si Colat.
Ia merasa air hujan yang hangat berjatuhan di wajahnya.
Ia membuka matanya.
Yang dilihatnya adalah bunga yang besar dan indah bentuknya.
Keemasan, pualam, merah muda, hitam, cokelat tua.
Ia memejamkan matanya kembali.
"Kakanda, Kakanda,"
Terdengar bisikan yang halus.
Ia seperti kenal suara itu, tetapi ia telah lupa suara siapa itu.
Suara itu didengarnya bertahun-tahun yang lalu.
Ia membuka matanya dan melihat bunga yang besar dan indah itu menitikkan embun ke wajahnya.
Embun itu hangat, menyenangkan.
Bunga yang besar itu menutup wajahnya.
Ia mencium baunya yang lembut.
"Kakanda, Kakanda,"
Terdengar lagi bisikan itu.
Banyak Sumba teringat kembali kepada suara itu, ia membuka matanya.
Ia melihat ke arah bunga indah yang ada di hadapannya.
Ia memejamkan pandangannya.
Ia melawan kesuraman dan kesilauan dengan kemauannya.
Ia mengernyitkan keningnya yang dingin agar dapat memandang dengan jelas.
Bunga yang besar dan indah itu berubah bentuk perlahan- lahan.
Mula-mula dilihatnya secara samar-samar dua pasang mata yang jernih, kemudian hidung yang kecil dan bibir yang merah muda.
Rambut lebat yang mengilap dilihatnya belakangan.
Ia lebih mengernyitkan keningnya, lalu berkata.
"Adinda... Purbamanik."
"Kakanda Banyak Sumba,"
Bibir yang merah muda itu menjatuhkan kata-kata, seperti bunga yang menjatuhkan daun-daun bunganya pagi hari. Banyak Sumba merasa tangan lembut meraba dadanya, lalu mendengar suara mengatakan.
"Ia tersadar, ia tersadar."
Suara langkah terdengar dan Banyak Sumba bertanya.
"Ia akan membakar orang-orang kampung itu hidup-hidup, juga bayi-bayi?"
"Tenanglah, Anakku,"
Kata seseorang. Banyak Sumba berpaling.
"Ibunda!"
Ia melihat Ibunda tersenyum.
Banyak Sumba mulai melihat bayangan wajah-wajah lain.
Ia memandang berkeliling, sambil tetap mengernyitkan keningnya karena masih sukar baginya untuk melihat terang.
Satu per satu muncullah wajah-wajah dari dalam kere- mangan itu.
Mula-mula wajah Ayahanda.
"Ayahanda,"
Bisik Banyak Sumba.
"Ya, Anakku."
Ayahanda berkata.
"Ayunda Yuta Inten,"
Katanya ketika di samping Ayahanda dilihatnya Ayunda Yuta Inten.
"Sumba, Adinda,"
Kata Putri Yuta Inten sambil menyusut air matanya.
Di samping Yuta Inten dilihatnya seorang kesatria berdiri.
Banyak Sumba termenung untuk beberapa lama.
Kesatria itu tersenyum.
Senyumannya begitu tulus, begitu wajar dan jujur, hingga Banyak Sumba pun tersenyum kepadanya, lalu berkata.
"Kakanda Anggadipati."
"Adinda Banyak Sumba,"
Kata Pangeran Anggadipati. Banyak Sumba melayangkan matanya perlahan-lahan ke samping, seseorang berdiri di samping Pangeran Anggadipati. Ia kenal pada kesatria yang berwajah agung itu. Ia menghaturkan hormat dengan air mukanya.
"Pangeran Putra, Putra Mahkota."
"Ya, Raden, rupanya kau telah kenal kepadaku,"
Kata Putra Mahkota. Mata Banyak Sumba mengikuti tangan Putra Mahkota yang menjulur di pundak seseorang. Banyak Sumba mengikuti tangan itu ke arah wajahnya.
"Sik!"
"Raden, saya menunggu lama sekali dengan dua ekor kuda, tapi kata para siswa Padepokan Sirnadirasa, Raden masuk Hutan Larangan. Jadi saya tinggalkan saja. Saya pergi ke Kutabarang menemui Kang Arsim untuk mencari berita tentang Raden."
Banyak Sumba mendengar orang tertawa menyambut penjelasan Jasik itu.
Banyak Sumba makin bertambah sadar akan keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba, ia sadar pula bahwa ia memegang sesuatu.
Ia menarik benda yang dipegangnya itu, lalu melihatnya.
Ternyata, yang dipegang itu tangan yang sangat indah, yang berkulit halus bersih dan berjari tirus.
Ia memandangi tangan itu untuk beberapa lama, lalu mengikuti bentuk lengan memandang leher yangjenjang.
la melihat bibir yang menyunggingkan senyum dan mata yang jelita.
"Adinda. Adinda Purbamanik, di manakah kita ini? Saya mimpi. Saya akan memejamkan mata kembali dan kau akan menghilang, juga yang lain yang kucintai. Saya bermimpi,"
Kata Banyak Sumba, ia memejamkan matanya.
"Kakanda! Kakanda!"
Terdengar suara cemas. Banyak Sumba membuka mata kembali. Begitu nyata yang ada di hadapannya adalah putri yang dirindukannya, Nyai Emas Purbamanik. 'Jangan tutupkan mata Kakanda, kami cemas,"
Kata Nyai Emas Purbamanik.
"Di manakah kita?"
Tanya Banyak Sumba.
"Di Istana Kutabarang,"
Kata seseorang. Banyak Sumba melihat ke arah orang itu. Seorang bangsawan, setengah baya berdiri.
"Selamat datang di Kutabarang yang bangga menerima - kedatangan Raden."
"Pamanda Penguasa Kota,"
Bisik Nyai Emas Purbamanik. Banyak Sumba tersenyum.
"Bagaimana Kakanda ada di sini?"
"la sudah benar-benar sadar kembali. Kau telah membunuh si Colat, Anakku,"
Suara Ayahanda terdengar dengan bangga.
Banyak Sumba membuka matanya lebar-lebar.
Ia mencoba mengingat-ingat.
Tapi, sukar sekali ia dapat mengerti keadaannya.
Ia memandang berkeliling.
Tampak wajah Paman Wasis.
Wajah Paman Wasis yang tersenyum kepadanya inilah yang membantu Banyak Sumba untuk menyadari diri dan sekelilingnya.
Ia ingat bahwa setelah kematian Kakanda Jante Jaluwuyung, keluarganya mengungsi ke hutan.
Di sana, ia belajar ilmu keprajuritan dari Paman Wasis.
Ia mengembara mencari guru, kudanya dirampas Bungsu Wiratanu, kemudian ia tiba di Kutabarang.
Ia beberapa kali berkelahi dalam keramaian hingga bertemu dengan si Colat.
Ia ikut si Colat menyelamatkan Radenjimat dari penculikan.
Kemudian berpisah kembali dengan si Colat.
Ia tertarik oleh seorang gadis di atas benteng Puri Pubawisesa.
Ia mengangkat kembali tangan yang selama ini dipegangnya.
Dipandangnya wajah Nyai Emas Purbamanik yang duduk di tepi balai-balainya.
"Saya ingat kembali semuanya,"
Kata Banyak Sumba.
Terdengar napas lega dari hadirin.
Banyak Sumba mengingat kembali dengan keras.
Ya, ia menyaksikan perkelahian antara dua perguruan di dalam hutan, kemudian ia mengikuti si Gojin.
Ia belajar kepada si Gojin hingga si Gojin dikalahkan oleh Eyang Resi Sirnadirasa.
Ia menggabungkan diri dengan siswa Padepokan Sirnadirasa.
Ia bertemu dengan Pangeran Anggadipati, tetapi tidak jadi melemparnya dengan pisau beracun.
Ia pergi ke Pakuan Pajaja-ran dan mengambil guci abu jenazah KakandaJante.
Ia pulang ke Medang, lalu kembali lagi ke Padepokan Sirnadirasa.
Di sana, ia berkelahi dengan Raden Madea, calon puragabaya yang akan memimpin sukarelawan dalam pengepungan si Colat.
Ia tersesat dalan hutan dan masuk ke daerah Padepokan Tajimalela.
Ia belajar seorang diri di sana.
Kemudian, ia diburu dan lolos masuk Hutan Larangan.
Setelah itu, ia kembali masuk kampung dan menggabungkan diri dengan si Colat.
Raden Jimat tewas dan ia terpaksa melawan si Colat yang akan menjadikan penduduk kampung sebagai kayu pembakaran jenazah Raden Jimat.
Kenangannya terhenti sampai di sana, ia bertanya.
"Saya melawan si Colat. Setelah itu, apa yang terjadi?"
"Engkau menyelamatkan orang-orang kampung yang hendak dibakar itu, Adinda,"
Kata Pangeran Anggadipati yang berdiri di samping Ayunda Yuta Inten.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Si Colat telah berhasil kau bunuh, tetapi engkau terluka. Kami menyerang dan menemukan kau terbaring berangkulan dengan si Colat yang sudah meninggal. Kisahmu diceritakan oleh orang-orang kampung yang kami lepaskan dari ikatan- ikatan mereka di bawah tumpukan kayu samida. Kami tidak mengenalmu hanya Kakanda merasa seolah-olah kita pernah bertemu. Memang kita pernah bertemu dan berjalan-jalan di lapangan Kota Medang, ketika kau masih berumur delapan atau sembilan tahun. Walaupun begitu, karena nadimu masih berdenyut, kami mencoba menyelamatkan hidupmu. Paman Minda dan Paman Rakean berusaha sekuat tenaga menyambung kembali rusukmu yang patah dan urat-uratmu yang putus. Seluruh Pajajaran berdoa untuk hidupmu dan engkau selamat. Panakawanmu yang setia, Jasik, tutup mulut tentang siapa sebenarnya engkau. Kemudian, Adinda Purbamanik datang. Ternyata, kalian telah berkenalan dan ia segera mengenal dan menangisi sahabat lamanya. Jasik terpaksa membuka rahasia dan ia menjemput seluruh keluarga yang sekarang ada di sini."
Baru ketika itulah Banyak Sumba melihat adik-adiknya yang kecil-kecil. Ia melambai kepada adik-adiknya itu, yang segera datang mengelilingi balai-balainya di samping Nyai Emas Purbamanik. 'Jadi, semuanya sudah selesai?"
Kata Banyak Sumba.
"Semuanya sudah selesai, Adinda,"
Kata Pangeran Anggadipati yang berpaling kepada Putri Yuta Inten di sampingnya.
MUNGKIN sudah sebulan atau lebih, dan kesehatan Banyak Sumba pulih dengan cepat sekali.
Senja itu ia berjalan-jalan dalam taman, di sebelah kanannya bergandeng gadis yang dicintainya, Nyai Emas Purbamanik.
Untuk beberapa lama, mereka berjalan tanpa mengatakan apa-apa.
Mereka hanya meresapkan apa-apa yang terasa dalam hati masing-masing.
Udara senja yang sejuk setelah panas sepanjang hari, membiru di atas benteng Kutabarang tempat Banyak Sumba dan keluarganya tinggal selama ini.
Bunga-bunga di taman menabur wanginya kepada angin kecil yang lewat bermain- main di sana.
Mereka berjalan berdiam diri, hanya alas kaki mereka berdesir di atas pasir putih yang ditebarkan di taman itu.
Jalan-jalan dalam taman itu banyak yang buntu dan berakhir pada semak-semak bunga-bungaan yang lebat yang di tengah-tengahnya dipasang bangku-bangku atau tanah- tanah berumput untuk duduk-duduk.
Mereka pun berjalan menuju tempat seperti itu.
Kemudian, Banyak Sumba duduk di atas rumput.
Ia memandang ke arah Nyai Emas Purbamanik yang mula-mula ragu untuk duduk.
Banyak Sumba memandang sambil tersenyum, kemudian gadis itu duduk pula di dekatnya.
"Kakanda, tadi Kakanda mengatakan bahwa perundingan telah selesai, tapi mengapa para bangsawan masih juga menutup diri dalam ruangan persidangan."
"Memang perundingan telah selesai, dan antara keluarga Banyak Citra dan keluarga Anggadipati tidak ada persoalan lagi, tidak ada salah mengerti lagi. Sang Prabu sendiri telah menjelaskan semuanya dan Ayahanda hanya mau percaya kepada sang Prabu,"
Jawab Banyak Sumba sambil mempermainkan rambut di kening Nyai Emas Purbamanik.
"Wahai, alangkah besar pengorbanan yang harus diberikan untuk prasangka dan salah mengerti itu, Kakanda. Pangeran Anggadipati, Ayunda Yuta Inten, dan Kakanda sendiri hampir kehilangan nyawa."
"Tapi, karena salah mengerti itu, Kakanda bertemu dengan kau, Adinda. Jadi, janganlah hanya dihitung pengorbanannya,"
Ujar Banyak Sumba berolok-olok. Nyai Emas Purbamanik menekan tangan Banyak Sumba. Untuk beberapa lama, mereka hening kembali. Kemudian, gadis yang tidak lepas dari tatapan Banyak Sumba itu bertanya kembali.
"Tapi, mengapa mereka belum juga keluar dari ruangan besar itu? Mengapa Adinda lihat tadi Pangeran Anggadipati yang tua masih juga berbincang-bincang dengan Ayahanda Banyak Citra dan Ayahanda Purbawisesa?"
Banyak Sumba tertawa. Gadis itu memandangnya tidak mengerti. Banyak Sumba berkata.
"Setelah soal besar terselesaikan dengan mudah, Ayahanda Banyak Citra tidak puas. Ia sudah terbiasa menghadapi soal-soal yang sukar. Oleh karena itu, ketika persoalan salah mengerti dijelaskan dengan mudah oleh sang Prabu, tenaganya masih terlalu banyak. Maka, dicari-carinya persoalan untuk diperdebatkan,"
Kata Banyak Sumba. Nyai Emas Purbamanik tampak cemas.
"Mungkinkah terjadi lagi salah mengerti? Soal apakah yang sekarang diperdebatkan?"
Banyak Sumba tertawa dan Nyai Emas Purbamanik yang tidak sabar menghentikannya dengan cubitan.
"Cepat katakan! Kalau tidak, saya akan lari,"
Kata Nyai Emas Purbamanik. Banyak Sumba memetik bunga, lalu diselipkannya di rambut gadis itu.
"Katakanlah, Kakanda, soal apa yang mereka perdebatkan?"
"Soal kita,"
Ujar Banyak Sumba. Nyai Emas Purbamanik memandangnya dan menunggu dengan tidak sabar lanjutan penjelasan dari Banyak Sumba. Banyak Sumba tenang-tenang saja. Baru setelah beberapa lama, ia berkata.
"Ayahanda mengusulkan dan berkeras kepala agar upacara dan pesta perkawinan kita dan Kakanda Anggadipati dilaksanakan di Kota Medang, bertepatan dengan penyerahan kekuasaan dari Pamanda Galih Wangi kepada Ayahanda. Beliau merasa berhak menuntut karena dari dua pasang calon pengantin, dua orang adalah putra-putri beliau. Sementara itu, Pangeran Anggadipati yang tua mengusulkan agar upacara dan pesta dilakukan di Puri Anggadipati, sedangkan Ayahanda Purbawisesa mengusulkan agar upacara dan pesta dilakukan di Kutabarang saja, karena bukankah beliau orang Kutabarang? Semuanya berkeras."
"Jadi bagaimana?"
Tanya Nyai Emas Purbamanik.
"Di mana akan dilakukan upacara perkawanan itu?"
"Apakah itu jadi soal besar bagimu, Adinda?"
Tanya Banyak Sumba, mengganggu. Dengan gemas, Nyai Emas Purbamanik mencubit Banyak Sumba.
"Kakanda, jawablah dengan sungguh-sungguh jangan main-main saja!"
Katanya sambil tertawa.
"Kakanda menyerah saja, terserah kepadamu, di mana kau ingin dipelaminkan."
"Bukan begitu, Kakanda, di manakah kira-kiranya akan diputuskan hari penting itu?"
"Mereka akan sama-sama berkeras hati. Kau tahu Adinda, ketiga pangeran itu termasyhur karena keras kepalanya. Maaf, maksud Kakanda, keras hati. Oleh karena itu, sang Prabu terpaksa memutuskan. Kedua pasangan calon pengantin akan dibawa ke Pakuan Pajajaran. Di sana, mereka akan dinikahkan dan dipestakan tujuh hari tujuh malam. Demikianlah beritanya,"
Kata Banyak Sumba.
"Dari mana Kakanda mendapat berita begitu?"
Tanya Nyai Emas Purbamanik yang hampir-hampir tidak percaya karena Banyak Sumba selalu bermain-main. 'Jasik saya suruh berpura-pura menjaga, padahal ia ditugaskan untuk menajamkan telinganya di sekitar ruangan perundingan itu."
"Dasar nakal!"
Kata Nyai Emas Purbamanik sambil membaringkan kepalanya di pangkuan Banyak Sumba.
"Dulu juga, Kakanda biasa mengintip, memanjat benteng, mengapa sekarang tidak boleh?"
Tanya Banyak Sumba. Ketika itu, terdengar suara langkah kaki orang.
"Ada orang datang,"
Bisik Nyai Emas Purbamanik seraya bangkit membetulkan sanggulnya.
Dari salah satu jalan di taman itu, tampaklah dua sejoli bergandengan tangan.
Kepala mereka berlekatan satu sama lain, sementara mereka berjalan perlahan sekali di bawah cahaya senja itu.
"Kakanda Anggadipati dan Ayunda Yuta Inten,"
Bisik Nyai Emas Purbamanik. 'Jangan menegur mereka, sebelum mereka berpisah,"
Kata Banyak Sumba, lalu ia melirik kepada gadis yang dicintainya yang duduk di sampingnya.
"Jangan mengintip,"
Bisiknya sambil tersenyum.
Gadis itu berpaling ke arah Min sambil tersenyum.
Dua sejoli itu lama sekali berangkulan, kemudian mereka berpisah dan pandang-memandang untuk beberapa lama.
Banyak Sumba berdeham, lalu berdiri sambil memegang tangan Nyai Emas Purbamanik.
Mereka keluar dari semak- semak bunga menuju Pangeran Anggadipati dan Putri Yuta Inten yang berdiri agak berjauhan.
"Sampurasun, Kakanda,"
Kata Banyak Sumba.
Mereka berjalan dan kedua pasangan itu saling menggabungkan diri.
Matahari hampir terbenam dan kedua pasangan itu berjalan menuju kaputren.
Yuta Inten berpegangan tangan dengan Nyai Emas Purbamanik yang bercakap perlahan-lahan tapi gembira kedengarannya, Pangeran Anggadipati berjalan di samping Banyak Sumba dengan tenang.
"Bagaimana lukamu, Adinda?"
Tanya Pangeran Anggadipati.
"Sudah sembuh benar, Kakanda, hanya kadang-kadang sambungan tulang rusuk hamba berdenyut, kalau hamba terlalu banyak mengerakkan tangan kiri atau mengangkat benda-benda yang agak berat."
"Apakah kau masih sering merasa pening?"
"Tidak lagi, Kakanda,"
Jawab Banyak Sumba.
"Yang lebih mencemaskan Paman Minda dan Paman Rakean adalah luka di kepalamu itu. Syukurlah kalau sudah baik. Bagaimana rencanamu setelah kita ke ... Pakuan Pajajaran?"
Tanya Pangeran Anggadipati.
Banyak Sumba mengerti apa yang dimaksudkan oleh Pangeran Anggadipati.
Ia sendiri tidak tahu rencana apa yang akan dilaksanakannya setelah perkawinan di Pakuan Pajajaran.
Mungkin, Ayahanda menyerahkan kekuasaan kepadanya untuk memerintah di Medang, tetapi sebenarnya ia harus mempersiapkan diri untuk beberapa tahun.
"Hamba tidak tahu tugas apa yang akan hamba terima dari Ayahanda, Kakanda,"
Ujar Banyak Sumba.
Pangeran Anggadipati tidak berkata apa-apa lagi.
Mereka berjalan dengan tenang mengikuti kedua putri itu.
Banyak Sumba memandang ke arah Ayunda Yuta Inten dan gadis yang dicintainya.
Gadis itu berceloteh perlahan-lahan dengan gembira kepada calon iparnya yang lebih tua.
Tiba-tiba, Banyak Sumba menyadari sesuatu.
Bertahun-tahun, selama ia mengembara dan hidup di hutan, hiburan yang diterimanya adalah dari burung-burung pagi yang berceloteh membangunkannya dan membukakan langit biru kepadanya.
Ia memandang ke arah Nyai Emas Purbamanik, tiba-tiba saja ia menyadari betapa beruntung hidupnya kini.
Setelah mendengar burung-burung pagi, biasanya hidupnya kosong sepanjang hari.
Betapa sunyi dan rindu ia akan kawan yang selalu berada di dekatnya.
Dan sekarang, orang yang dibutuhkannya itu tak akan dilepaskannya lagi.
Ia akan bangun pagi mendengar celoteh burung-burung pagi, tetapi ia tidak akan sepi sepanjang hari.
Dan senja, seperti senja itu, Nyai Emas Purbamanik akan berceloteh dengan suara rendah kepadanya.
Ia akan mendengarkan dengan tidak bosan-bosannya, ia akan memandangi dengan tak henti-hentinya.
Ia memandang kedua putri yang berjalan di depannya, halus dan megah, dua ekor burung merak putih dalam sepuhan cahaya senja yang keemasan.
Ia mendengar desir langkah kaki di sampingnya, suara alas kaki Pangeran Anggadipati.
Ia ingin sekali merangkul pangeran itu, tapi ia tidak berani.
Kemudian, dirasakannya tangan pangeran itu melekat di pundaknya.
"Apa pun yang kau rencanakan, Adinda, gerbang masa depan terbuka bagimu."
Ketika itu, Putri Yuta Inten dan Nyai Emas Purbamanik berhenti berjalan dan menunggu mereka di gerbang kaputren.
TAMAT Glossary.
Kuncen.
juru kunci Ki Silah.
sahabat Kaliage.
semacam kayu hutan yang berduri panjang- panjang Lahang.
tuak aren Waregu.
semacam palem yang batangnya kecil Ruyung.
bagian luar batang enau atau kelapa bagian kerasnya
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/
Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin