Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 7


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 7



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Begitu menoleh kembali, dihadapannya sudah berdiri si Pemuda berpakaian putih.

   Ia kaget dan heran setengah mati.

   "Apakah dia setan?"

   Pikirnya.

   "Bagaimana mungkin! Belum habis suara sambaran senjata bidiknya, tahu-tahu orangnya sudah berdiri di hadapanku."

   Pemuda itu tertawa nyaring halus. Tanyanya tegas.

   "Apakah orang bertopeng itu temanmu berjalan?"

   "Bukan,"

   Jawab Mundingsari. Paras muka pemuda itu berubah. Dengan mendadak ia memutar badannya dan melesat turun ke bawah.

   "Saudara! Nanti dulu. Bolehkah aku mendengar namamu?"

   Seru Mundingsari dengan hormat.

   Tetapi ia tak memperoleh jawaban.

   Dengan gerakan secepat kilat, bayangan putih itu berkelebat di depan matanya.

   Lalu hilang dari pengamatan memasuki tirai malam yang remang-remang.

   Mundingsari berdiri tertegun.

   Ia kagum luar biasa.

   MENCARI BENDE MATARAM - 4 SEIRING SETUJUAN PADA KEESOKAN HARINYA dengan seekor kuda dan sebatang pedang pemberian Sanjaya, Mundingsari meneruskan perjalanannya.

   Sebelum berangkat mening- galkan Kota Magelang, ia memberi khabar tentang tercurinya kepala Wirapati kepada Kartodirun.

   Penjual nasi itu setengah girang, setengah berduka pula.

   Setelah berpikir dengan seksama, ia menganjurkan agar Mundingsari segera meninggalkan Kota Magelang untuk mencari Sangaji.

   Kuda tunggangannya termasuk seekor kuda jempolan.

   Dalam waktu setengah hari saja, ia sudah meninggalkan Kota Magelang puluhan kilometer jauhnya.

   Ia mengambil jalan pegunungan dan jalan pedusunan yang sunyi.

   Itulah sebabnya, disepanjang jalan ia tak kena ganggu gugat.

   Selagi melarikan kudanya kencang-kencang secara iseng ia menoleh.

   Ternyata dikuntit oleh seorang yang mengenakan pakaian saudagar.

   Bajunya potongan Cina1).

   Bercelana panjang, bersarung di atas lutut, dan mengenakan peci muslim.

   Semuanya dari bahan tipis.

   Ia seperti seorang perantau dari Minangkabau.

   Tunggangannya seekor kuda Kuningan2) kecil namun kuat.

   Ia bersikap acuh tak acuh.

   Mundingsari biasanya senang mencari kawan berjalan.

   Tapi kini hatinya murung.

   Setelah memperoleh kesan siapa yang mengikuti dirinya, ia tak menaruh perhatian lagi.

   Pada waktu magrib tiba, sampailah dia di kota kecil, lima puluh kilometer dari Banyumas.

   Ia berhenti di sebuah losmen.

   Sewaktu menambatkan kudanya, tak sengaja ia menoleh.

   Mendadak ia melihat saudagar tadi.

   Ia terkejut.

   Bagaimana mungkin saudagar itu dapat mengejar dirinya, sedang kuda tunggangannya kuda pasaran.

   Begitu memasuki losmen, ia lantas bersikap waspada.

   Tapi ternyata saudagar itu tidak menginap di losmennya.

   Ia jadi tertawa sendiri.

   Mundingsari memang seorang pendekar kawakan3).

   Meskipun saudagar itu tidak terlalu mencurigakan, akan tetapi bersikap waspada jauh lebih baik daripada tidak.

   Memperoleh pikiran demikian, ia segera mengobati lukanya.

   Kemudian duduk bersemadi menghimpun semangat.

   Tatkala tidur, ia berbantal pedang pemberian Sanjaya.

   Dan keesokan harinya, ia berangkat sebelum fajar menyingsing.

   Si pelayan heran, apa sebab ia berangkat begitu tergesa-gesa.

   Setengah bergurau pelayan itu berkata.

   "Tuan! Pada zaman ini, banyak penyamun berkeliaran dimana-mana akibat pajak negeri yang bermacam- macam banyaknya. Karena itu, pernah aku mendengar suatu nasihat. 'Sebelum malam tiba, lekaslah cari penginapan. Dan berangkatlah setelah terang tanah'!"

   Mundingsari tidak melayani.

   Ia hanya tersenyum.

   Setelah membayar sewa kamar, ia benar-benar berangkat menyongsong fajar hari.

   Jalan yang diambahnya sunyi sepi.

   Sampai di luar kota, ia mendongak ke angkasa.

   Bulan sisir masih memancarkan cahayanya.

   Bintang minting bergetar lembut.

   Burung yang beristirahat dalam mahkota daun, belum memperdengarkan kicaunya.

   Itulah suatu tanda, bahwa pagi hari masih agak jauh.

   Cepat ia mengaburkan kudanya mengarah ke barat.

   Menjelang tengah hari, sampailah dia di perbatasan Karesidenan Banyumas dan Jawa Barat.

   Karena matahari terasa terik, ia mencari pohon rindang.

   Ia menahan kudanya.

   Tatkala menjelajahkan pandangnya ke semua penjuru, ia melihat saudagar kemarin, la kaget dan kecurigaannya makin kuat.

   Pikirnya.

   "Tidak mungkin secara kebetulan ia sejalan dengan jalan yang kuambah. Aku berangkat sebelum fajar hari. Masakan dia pun secara kebetulan merencanakan berangkat sebelum fajar hari pula? Agaknya ia sengaja mengikuti perjalananku."

   Sekarang ia mengamat-amati orang itu lebih cermat.

   Ternyata paras mukanya agak berminyak.

   Penutup kepalanya tidak lagi sebuah peci muslim.

   Tapi topi besar dari daun pisang.

   Sebuah bungkusan memanjang menggamblok pada punggungnya.

   Dilihat sepintas lalu mirip kantong bekal makan berbentuk panjang.

   Kesan muka, dandanan dan kudanya tetap mengingatkan orang sebagai seorang saudagar.

   Kalau saja Mundingsari tidak mempunyai prasangka yang bukan- bukan, orang itu tak lebih daripada manusia lumrah.

   Setelah mengerling sekali lagi, Mundingsari melecut kudanya, dan kabur dengan secepat-cepatnya.

   Ia hendak mengujinya sekali lagi pula untuk memperoleh keyakin- an.

   Satu jam kemudian, ia menoleh.

   Saudagar itu tak nampak bayangannya.

   Hatinya jadi lega.

   Mundingsari adalah seorang pendekar yang sangat berhati-hati.

   Meskipun hatinya lega masih ia merasa perlu untuk menghindar sejauh mungkin.

   Kudanya dilarikan terus menerus.

   Ia memotong jalan atau menye- berangi sawah ladang.

   Pada waktu magrib, tibalah ia di Kota Banjar.

   Banjar sebuah kota lebih kecil apabila dibandingkan dengan Banyumas.

   Rumah penginapannya hanya sebuah.

   Setelah mendapat kamar dan makan malam, segera ia hendak beristirahat.

   Ia merasa pasti, bahwa saudagar itu tidak bakal sampai di kota secepat dia.

   Tapi baru saja ia hendak berbaring, mendadak ia mendengar suara pelayan ribut menyambut tetamu.

   Ia melongok.

   Ternyata saudagar itu sudah tiba di penginapan.

   Sekarang benar-benar ia kaget.

   Ia tak bersangsi lagi.

   Saudagar itu memang sedang menguntitnya.

   Cepat-cepat ia mengunci pintu kamarnya sambil memasang kuping.

   Ia mendengar saudagar itu memesan makan malam dan minta pula disediakan air panas pencuci muka.

   Dan setelah makan, ia memasuki kamar yang berada di depan kamarnya.

   Hati Mundingsari jadi gelisah.

   Ia menenteramkan diri sambil memegang pedangnya erat-erat.

   Setelah malam ia menunggu.

   Keadaannya aman tenteram.

   Mau tak mau ia terpaksa berpikir.

   Katanya di dalam hati.

   "Bilamana ia bermaksud jahat, dalam dua hari ini pasti dia akan menyerang. Sebaliknya bilamana bermaksud baik semenjak tadi dia harus sudah menegurku. Apa sebab dia tidak menyerang maupun menegur aku? Lawan atau kawan?"

   Karena belum memperoleh kepastian, ia perlu berlaku cermat.

   Buntalan pakaiannya yang berada di atas meja di hadapkan ke timur.

   Dan semua barang bekalnya, ditaruh dengan diberi tanda-tanda tertentu.

   Setelah selesai ia hendak memancing.

   Dengan membawa pedangnya, ia keluar kamar mencari kamar mandi.

   Perlahan-lahan ia mencuci mukanya agar memperoleh kesegarannya kembali.

   Tatkala membuka pintu kamar mandi, ia mengintip keluar.

   Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berkelebat.

   Dan berbareng dengan bergeraknya pintu kamar mandi, bayangan itu meloncat di atas genteng dan mendekam rendah.

   Cepat luar biasa Mundingsari melesat keluar sambil menimpukkan butiran batu.

   "Siapa?"

   Tetapi bayangan itu seperti bisa melenyapkan diri.

   Mundingsari bercuriga.

   Dia tadi bermaksud hendak mengintip.

   Tak tahunya, dia sendiri malah kena intip.

   Dengan langkah panjang ia kembali ke kamarnya dan membesarkan nyala lampunya.

   Perubahan besar tiada, namun hatinya terkejut juga.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Buntalan di atas meja yang tadi menghadap ke timur nampak bergeser kiblatnya.

   Terang sekali akibat kena sentuh orang, la lantas memeriksa.

   Ternyata tali ikatannya terlepas.

   Buru-buru ia membuka mulut kantong.

   Ia heran karena baik pakai- annya maupun uangnya tidak terganggu sama sekali.

   Setelah menimbang-nimbang sebentar.

   Mundingsari memutuskan untuk kabur secepat mungkin.

   Setengah jam-an lamanya ia membiarkan kudanya lari menubras- nubras.

   Tatkala melihat sepetak hutan menghadang di depannya, ia melompat turun.

   Kemudian memasuki hutan belantara itu dengan menuntun kudanya.

   Belum lama ia beristirahat, tiba-tiba terdengarlah ringkik kuda yang dilarikan cepat pula.

   Anehnya, kuda yang mendatang itu memasuki hutan pula.

   la melongo dan melihat si saudagar semalam.

   Melihat saudagar itu tidak berkawan, hati Mundingsari jadi mantap.

   Sambil mencabut pedangnya, ia meloncat menghadang.

   "Apa sebab Tuan menguntit aku?"

   Saudagar itu tertawa melalui hidungnya berbareng menahan kendali kudanya. Ia menyalakan korek. Lalu dilemparkan pada tebaran rumput kering. Sebentar saja rumput kering itu terbakar. Setelah mengembarakan pandangnya, barulah dia menjawab.

   "Kau jalanlah menyusur jalanmu sendiri. Dan aku akan berjalan pula di atas jalanan sendiri. Mengapa Tuan bercuriga tak keruan?"

   Mundingsari tahu, apa maksud orang itu membakar rumput di sekitarnya.

   Itulah cara untuk memeriksa keadaan di sekelilingnya.

   Siapa tahu ada musuh yang bersembunyi.

   Inilah suatu bukti, bahwa saudagar itu se- orang perantau yang berpengalaman.

   Ia kagum atas tindakannya yang cepat dalam waktu sependek itu.

   Mundingsari lantas melintangkan pedangnya.

   Ia tertawa terbahak-bahak.

   "Perjalanan Tuan di tengah malam buta ini, benar- benar mengherankan aku. Eh bagaimana bisa sama dengan keputusanku. Apakah ini suatu kebetulan belaka?"

   Orang itu tertawa pula terbahak-bahak.

   "Di tengah malam buta mengaburkan kuda tunggangannya begitu cepat, bukankah suatu perbuatan yang mengherankan aku pula?"

   Mundingsari melengak4). Ia memuji kecerdikan orang itu. Mau tak mau ia menghela napas.

   "Baiklah. Mari kita berbicara terus terang saja,"

   Akhirnya ia berkata mengalah.

   "Aku seorang buruan. Siapakah kau?"

   "Kau buruan dan aku adalah seorang yang menguntit buruan,"

   Ujar orang itu.

   "Jika begitupaling tidak kau seorang alat negara,"

   Kata Mundingsari dengan tertawa besar.

   "Baiklahaku bersiap sedia melayani engkau."

   "Bukan akutapi engkau yang berkata begitu,"

   Ujar orang itu lagi.

   "Siapakah kesu-dian berkelahi denganmu? Jika engkau seorang buruan, mengapa tak cepat-cepat kabur?"

   Mundingsari heran.

   "Sebenarnya, siapakah engkau!"

   "Di hadapan seorang ksatria seperti dirimu, tidak bakal aku berdusta. Tapi tolong katakan, sebenarnya engkau siapa?"

   "Bukankah aku sudah memberi keterangan?"

   "Apakah sebab musababnya engkau menjadi buruan?"

   Orang itu minta keterangan lebih jelas lagi.

   "Kau berdosa apa?"

   "Aku menyelundup ke dalam pesanggrahan hendak mencoba mencuri kepala seorang pendekar, Wirapati namanya,"

   Jawab Mundingsari dengan berani.

   "Kepala siapa kau curi? Wirapati?"

   Orang itu menegas.

   "Nah, aku sudah berbicara terus terang kepadamu. Sekarang giliranmu, siapakah engkau!"

   Tanya Mundingsari dengan hati mendongkol. Ia merasakan kelicikannya. Selalu saja dia main bertanya tanpa mem- beri keterangan tentang dirinya dengan berterus terang.

   "Aku adalah seorang yang telah melindungimu dengan diam-diam,"

   Jawab orang itu di luar dugaan.

   "Kita sebenarnya adalah seiring dan sejalan. Ingin aku bertemu dengan pendekar yang sudah berhasil mencuri kepala Wirapati. Aku mohon kau antarkan."

   Gundu mata Mundingsari bergerak-gerak. Ia jadi beragu. Katanya di dalam hati.

   "Agaknya dia tidak bermaksud menangkap diriku. Tapi apa sebab ia ingin bertemu dengan si pencuri kepala?"

   "Apakah engkau masih bersangsi terhadapku?"

   Orang itu menegas.

   "Pertimbangkan dan pikirkan! Seumpama aku ini seorang hamba pemerintah, pastilah aku sudah turun tangan terhadapmu. Aku mengikutimu dua hari dua malam. Namun aku belum turun tangan juga..."

   Mundingsari tak menyahut. Ia mendekati kuda tunggangan orang itu dengan langkah perlahan. Ia mengamat-amatinya sebentar. Dan kuda itu lantas mengangkat kepalanya begitu kena didekati seorang asing.

   "Kuda ini termasuk kuda Kuningan. Pendek kecil tapi kuat. Namun kalau diharapkan bisa berlari kencang... Hm. Karena itu sungguh mengherankan, bagaimana caramu bisa membawanya berlari cepat."

   Mundingsari kagum. Tiba-tiba ia menyambar sadainya.

   "Hai! Mau apa?"

   Bentak orang itu.

   Begitu sadai kena raba, kuda itu berjingkrak sambil mengangkat kapalnya.

   Mundingsari mundur selangkah.

   Tetapi dengan selintas pandang, ia melihat sebuah cap api bersembunyi di belakang sadai.

   Itulah cap kesatuan Kompeni Mangkunegaran.

   Lantas saja ia tertawa berkakakkan.

   "Sekarang tahulah aku, siapa dirimu,"

   Katanya nyaring.

   Mundingsari memang seorang pendekar yang bersikap hati-hati, berwaspada dan cermat.

   Ia seorang berpengalaman pula.

   Pengalamannya tatkala ikut membantu Pangeran Bumi Gede, mengkisiki bahwa semua kuda kompeni atau kuda kesatuan militer pasti mempunyai tanda cap api.

   Ia bercuriga terhadap potongan kuda sekecil itu.

   Sebagai seorang pendekar yang dilahirkan di daerah Cirebon, ia kenal jelas kuda asal Kuningan.

   Kuda itu meskipun kuat, tetapi tak dapat berlari cepat.

   Keistimewaannya terletak pada keuletannya mendaki tanjakan.

   Karena Kuningan terletak di atas pegunungan.

   Teringat betapa dengan kuda demikian, saudagar itu bisa mengejar kepesatan kudanyaia mendugapastilah kudanya termasuk seekor kuda yang terlatih baik.

   Siapa yang bisa melatih kuda Kuningan menjadi kuda jempolan selain kesatuan militer? Dugaannya tepat.

   Ia lantas menyingkap sadai dan melihat cap api tanda kesatuan militer dalam waktu sekelebat.

   Memangorang yang menyamar sebagai saudagar itu sesungguhnya seorang perwira dari istana Mangkunegoro.

   Tidak hanya itu.

   Dia bahkan menantu Sri Mangkunegoro.5) Pangkatnya waktu itu letnan satu.

   Menjabat komandan kompeni kesatuan laskar Mang- kunegoro yang diperbantukan di Magelang.

   Sengaja ia membiarkan Mundingsari bebas bergerak.

   Tujuannya yang utama hendak menangkap si pencuri kepala Wirapati.

   Ia merasa pasti, bahwa pencuri kepala Wirapati setidak-tidaknya kawan Mundingsari.

   Dengan membiarkan Mundingsari bebas bergerak, ia berharap akan bertemu dengan pencuri yang dikehendaki, apabila sudah bertemu dua-duanya akan dibereskan.

   Itulah yang dinamakan, sekali menepuk dua lalat mati sekaligus.

   Begitu mendengar ucapan Mundingsari, hatinya tidak menjadi gugup.

   Kedoknya memang dapat terbongkar, namun ia bisa berkedok lain dengan tertawanya.

   Itulah suatu bukti, bahwa dia bukan seorang perwira biasa.

   Paling tidakia seorang perwirayang mengenal politik.

   Dia mendadak bisa licin bagaikan belut.

   Katanya dengan suara nyaring.

   "Benar-benar hebat mata Tuan. Kalau begitu Tuan cukup berharga untuk menjadi sahabatnya."

   La tertawa berkakakkan lagi. Sejenak kemudian meneruskan.

   "Apakah engkau pernah mendengar nama Letnan Suwangsa? Jika engkau mengharap agar aku tidak mengambil tindakan kekerasan terhadapmu, nah antarkan aku kepada orang yang mencuri kepala Wirapati?"

   Mundingsari tercekat hatinya.

   Pada dewasa itu terdapat empat orang perwira Kompeni Belanda yang terdiri dari bangsa sendiri.

   Keempat-empatnya terkenal sebagai ahli pedang kenamaan.

   Di Barat, Kapten Merta Sasmita yang tewas menghadapi Sanjaya.

   Di CJtara, Aria Prawira.

   Kelak diangkat menjadi Bupati Tegal.

   Di Selatan, Letnan Mangun Sentika.

   Dan di Timur, Letnan Suwangsa.

   Di antara empat orang tersebut, Suwangsa merupakan ahli pedang yang berbahaya dan paling unggul.

   Dengan pedangnya itulah, ia menarik perhatian Sri Mangkunegoro.

   Lalu dipungut menjadi menantunya.

   Mundingsari pernah menyaksikan ketangguhan Kapten Merta Sasmita tatkala perwira itu bertempur mati-matian melawan San-jaya.

   Dibandingkan dengan dirinya, ia kalah jauh dalam segala halnya.

   Kemudian ia pernah mengadu kepandaian melawan Letnan Mangun Sentika di atas dinding pesanggrahan Kompeni Magelang.

   Dalam beberapa gebrakan saja, ia sudah merasa tak berdaya.

   Kini ia berhadap-hadapan dengan Letnan Suwangsa.

   Dan kepandaian perwira ini, melebihi ketiga rekannya.

   Mau tak mau ia menarik napas dalam-dalam untuk menen- teramkan hatinya.

   "Baiklah,"

   Katanya setelah berdiam beberapa saat lamanya.

   "Aku akan mengantarkan engkau. Aku menjadi orang berjasa pula bukan?"

   Ia maju mendekati dengan langkah kuyu.

   Mendadak di luar dugaan siapa saja pedangnya menebasLetnan Suwangsa kaget bukan kepalang.

   Dalam kagetnya ia melompat ke samping.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Gerakannya cepat luar biasa.

   Dengan tertawa merendahkan, jari-jarinya menyentil.

   Hebat akibatnya.

   Tebasan pedang Mundingsari mempunyai daya berat melebihi seratus kati.

   Namun kena sentilan Letnan Suwangsa, terpukul balik dengan sekaligus.

   Dan pada detik itu, tangan Letnan Suwangsa sudah menggenggam sebatang pedang yang bersinar hijau.

   Terang sekali itulah pedang istana Mangkunegoro.

   "Kau jaga lututmu!"

   Mundingsari sudah kenyang berlawanan dengan musuh-musuh tangguh.

   Detik-detik merupakan saat-saat yang menentukan.

   Maka ia terus mencecar dengan tikaman-tikaman maut.

   Namun Letnan Suwangsa sama sekali tak gentar.

   Dengan tertawa lebar, ia membalas menikam.

   Bret! Dan pundak Mundingsari.

   tergores pedangnya.

   Hati Mundingsari tercekat, la tahu maksud lawannya itu.

   Sekiranya dia berkelahi dengan sungguh-sungguh, ia tadi dapat mencoblos tulang pundaknya.

   Sebaliknya dia hanya menggores pundaknya belaka.

   Maka teranglah maksudnya, bahwa dia hanya ingin menawannya untuk memperoleh keterangan-keterangan yang dikehendakinya.

   Dahulu sewaktu mengabdi kepada Pangeran Bumi Gede, Mundingsari berkedudukan setingkat dengan Suwangsa.

   Ilmu kepandaiannya tidak boleh dipandang rendah.

   Ia mempunyai ilmu keturunan keluarga yang menjadi pamor dan ciri khas perguruannya.

   Itulah pukulan Menahan Laut Membongkar Bumi.

   Dalam keadaan terjepit, ia hendak menggunakannya.

   Tiba-tiba saja pedangnya menebas ke samping merupakan suatu babatan mengarah pinggang.

   Itulah gerakan menahan laut.

   Dan kedua kakinya membarengi dengan meloncat seraya menendang.

   Barangsiapa menghadapi serangan ini, tidaklah dapat terlolos.

   Bilamana dapat mengelakkan babatan pedangnya, dia akan termakan tendangan kakinya.

   Sebaliknya bila menghindari tendangan, pinggang atau lengannya bakal kena terbabat kutung.

   Tetapi Letnan Suwangsa benar-benar seorang jago pedang yang tinggi ilmu kepandaiannya.

   Diserang secara demikian, dengan gampang ia melesat mundur.

   Dan mendorong kaki Mundingsari dengan tangan kirinya dari samping.

   Dan serangan Mundingsari menumbuk udara kosong.

   Mundingsari sadar akan bahaya.

   Pukulan andalannya ternyata gampang digagalkan.

   Cepat-cepat ia melancarkan serangan berantai.

   Pedangnya diobat- abitkan6).

   Lalu melompat mundur dengan mendadak.

   Letnan Suwangsa tahu, bahwa ia akan kabur.

   Letnan itu lantas memburu.

   Di luar dugaan, Mundingsari menghantam sebatang pohon kering yang kena jilat api.

   Batang kering itu dilemparkan kepada kuda lawan.

   Dan pada saat itu, ia sudah berada di atas punggung kudanya.

   Inilah suatu tipu muslihat untuk memperoleh waktu.

   Begitu kena sambaran barang berapi, kuda Letnan Suwangsa berjingkrakan.

   Gntuk menguasainya kembali, Letnan Suwangsa membutuhkan waktu beberapa saat lamanya.

   Dan pada saat itu, Mundingsari telah kabur jauh.

   Letnan Suwangsa tertawa berkakakkan untuk menghibur kemendongkolannya.

   Sebagai seorang jago pedang, keberaniannya melebihi manusia lumrah.

   Lantas saja ia mengeprak kudanya.

   Lalu mengubar buruannya dengan pedang diancamkan.

   Mundingsari sibuk bukan kepalang.

   Dalam kekalapannya, ia menggunakan tipu muslihat gertakan, la berteriak-teriak.

   "Kawan! Bantulah aku!"

   Di luar dugaannya sendiri, di dalam hutan mendadak terdengar meringiknya seekor kuda, ia jadi tercengang. Inilah yang dinamakan orang. main-main jadi sungguhan. Sebaliknya Letnan Suwangsa tidak takut. Dengan berseru keras, ia menantang.

   "Suruh keluar semua kawan-kawanmu! Aku tak takut!"

   Tetapi ia perlu berwaspada, karena Mundingsari benar-benar mempunyai kawan yang bersembunyi. Sekarang rasa mendongkolnya berubah menjadi gusar. Pada saat itu ia mengambil keputusan cepat. Katanya di dalam hati.

   "Dialah barangkali yang mencuri kepala bangsat Wirapati. Kalau begini anjing itu harus kubunuh dahulu, agar tak menyukarkan aku...."

   Dan berpikir demikian ia menghantam perut kudanya berlari lebih cepat lagi.

   Betapapun juga, Mundingsari berdoa juga di dalam hati.

   Mudah-mudahan pendatang yang masih berada di pinggir hutan itu seorang pendekar tangguh yang dapat diandalkan.

   Setelah berdoa demikian, ia kini berjuang untuk meloloskan diri dari kejaran Letnan Suwangsa.

   Ia lantas main petak, la menerobos pagar hutan, berbelok, menikung dan menerjang semak belukar.

   Dengan cara demikian, Letnan Suwangsa dapat dibuatnya terhambat gerakannya.

   Meskipun demikian, Letnan Suwangsa memang bukan seorang perwira lumrah.

   Otaknya cerdas dan cemerlang.

   Melihat musuhnya main petak, ia pun segera mengimbangi dengan bermain potong.

   Beberapa kali ia berhasil.

   Hanya saja untuk segera dapat membekuk Mundingsari dalam dua tiga gebrakan, tidaklah mungkin.

   Lambat-laun ia menjadi jengkel.

   Dengan mata merah, ia meraup segenggam peluru timah.

   Lalu ditimpukkan dengan sekaligus.

   Semuanya mengarah kepada bagian- bagian tubuh yang berbahaya.

   Dan mendengar sambaran peluru itu, buru-buru Mundingsari mendekam di atas punggung kudanya sambil menyapukan pedangnya, la berhasil menghalau beberapa butir peluruh timah.

   Tiba-tiba Letnan Suwangsa menabas empat batang pohon yang menjadi perintangnya.

   Begitu pohon-pohon itu roboh tertabas, sebuah pelurunya menyambar.

   "Sekarang, cobalah elakkan! Aku ingin tahu!"

   Serunya.

   Mundingsari lagi menghalau sisa sambaran peluru yang terdahulu.

   Sekarang dengan tiba-tiba ia kena diserang selagi sibuk.

   Maka tanpa dapat berdaya lagi punggungnya kena timpuk, la meloncat turun ke tanah sambil membolang- balingkan pedangnya.

   Kemudian lari dengan membung- kukkan badan memasuki semak belukar.

   Tatkala ituia sudah sampai di tengah hutanyang penuh semak berduri.

   Tak menghiraukan segala, ia menusup masuk.

   Pedangnya ditabas-tabaskan untuk membuka jalan.

   Tentu saja tak dapat ia mengharapkan bisa kabur secepat-cepatnya.

   Tetapi Letnan Suwangsa pun tertambat-tambat duri semak-semak pula.

   Beberapa kali, pakaiannya terkait-kait ranting-ranting tajam.

   Ia memaki kalang kabut.

   Pedangnya terpaksa digunakan.

   Ia berhasil.

   Tetapi dengan demikian, buruannya jadi dapat kabur jauh.

   Tatkala itu belum fajar penuh-penuh.

   Suasana hutan masih gelap pekat .

   Dengan cara menusup-nusup, gerakan Mundingsari tak mudah terlihat.

   Letnan Suwangsa murka bukan main.

   la menyalakan api dan membakar rumput-rumput kering.

   Beberapa saat lamanya petak itu lantas terbakar.

   Ia tak menunggu sampai apinya menjalar.

   Dengan tangkas melompat dari punggung kudanya, kemudian lari memotong.

   Setiap kali terintangi gerumbul belukar, ia main bakar.

   Setelah berlari-larian ke segala penjuru, hutan jadi terbakar benar.

   Letikan dan jilatan api menebarkan cahaya terang benderang.

   Makin lama Letnan Suwangsa makin lancar larinya.

   Sebentar saja ia hampir dapat menyusul buruannya.

   Itulah disebabkan ia memperoleh penglihatan terang, lagipula lari tanpa berkuda lebih leluasa, la dapat menerobos, membelok, menusup dan melompat semak belukar.

   Bilamana terhadang deret pohon, ia bisa memotong.

   Selagi demikian, suara derap kuda terdengar makin nyata.

   Penunggang kuda itu berada di luar petak hutan, la tak takut.

   Malahan ia berharap agar musuh yang bersembunyi itu segera nampak di depannya.

   Sebaliknya, kala itu Mundingsari sedang berjuang mati-matian untuk meloloskan diri dari kaitan duri-duri dan kepadatan gerumbul hutan, la mencoba menerobos keluar dari petak hutan.

   Tetapi petak hutan itu panjangnya melebihi tiga kilometer.

   Tak dapat ia segera melintasi.

   Sebagai pengejar, Letnan Suwangsa menang mantap.

   Melihat buruannya keri-puhan, ia tertawa tergelak-gelak untuk menciutkan hatinya.

   "Hayo! Kau hendak kabur kemana lagi? Lihat yang terang!"

   Berbareng dengan ancamannya, ia menimpukkan butir-butir peluru timahnya.

   Mundingsari dapat memukul balik peluru pertama dan kedua yang mengancam tenggorokannya.

   Pedang warisan Pringgasakti memang tajam.

   Setiap kali dipukulkan, peluru timah hancur berkeping-keping.

   Tetapi peluru yang ketiga tepat mengenai lututnya.

   Tak dikehendakinya sendiri, ia jatuh berlutut.

   Tatkala itu ia berada di batas tepi hutan.

   Rimbun hutan tidak sepadat tadi.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cahaya bulan sisir dan cuaca menjelang fajar, cukup - memberi kecerahan.

   Ia jadi mengeluh.

   Pastilah penglihatan Letnan Suwangsa tak dapat lagi terkecoh.

   Dugaannya benar.

   Dengan tertawa berka-kakan, perwira itu menghampiri buruannya.

   "Hayo! Coba bergerak!"

   Hardiknya penuh kemenangan.

   Sekonyong-konyong suara derap kuda yang membayangi dari luar tadi, kian nyata.

   Letnan Suwangsa menoleh.

   Hatinya tercekat tatkala melihat seekor kuda putih lari mendekati dengan suatu kecepatan kilat.

   Penunggangnya nampak tak ubah bayangan putih.

   Dan melihat penglihatan itu, Letnan Suwangsa tertegun.

   Tatkala memperoleh kesadarannya kembali, bayangan putih itu telah berada di depannya dan meloncat ke tanah.

   Ternyata dia seorang pemuda kira-kira berusia sembilan belas tahun.

   Perawakan tubuhnya langsing luwes.

   Parasnya sangat cakap.

   Dia mirip seorang anak ningrat yang baru untuk pertamakalinya keluar dari pagar dinding istana.

   Pemuda berpakaian putih mengamat-amati Letnan Suwangsa.

   Begitu melihat, lantas ia berkata.

   "Ah! Kukira siapa. Tak tahunya Letnan Suwangsa dari markas Legiun7) Mangkunegaran. Kenapa kau mengubar-ubar dia?"

   Letnan Suwangsa terkejut. Pemuda itu ternyata sudah mengenal dirinya, sedang dia sendiri tidak. Dalam hal ini ia sudah kalah satu gebrakan. Membentak sambil menu- dingkan pedangnya! "Siapa kau?"

   "Aku orang pelancongan,"

   Jawab pemuda itu sederhana.

   "Baik. Kalau mengaku orang pelancongan, jangan mencampuri urusan orang lain!"

   "Tiada niatku hendak mencampuri. Hanya saja, aku paling muak melihat orang menggunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah,"

   Tangkis pemuda itu. Dan mendengar tangkisan itu, kembali Letnan Suwangsa ter- cekat hatinya. Ia jadi penasaran. Segera ia berpaling penuh-penuh kepadanya. Bantahnya.

   "Kata-katamu sungguh menggelikan. Lihatlah yang terang! Dia sudah dewasa penuh-penuh. Gsianya jauh melampaui dirimu yang masih belum pandai beringus. Kekuatannya melebihi kau pula. Bagaimana kau menuduh aku menindas yang lemah?"

   Pemuda itu tertawa tawar. Berkata merendahkan.

   "Di seluruh penjuru dunia ini, siapakah yang tak kenal kebesaran namamu. Kau seorang ahli pedang kenamaan. Masakan melayani seorang rakyat yang sama sekali tak mempunyai nama? Apakah perbuatanmu bukan menindas yang lemah? Karena itu tak dapat aku membiarkan kebiasaanmu itu berlarut lagi dalam pergaulan hidup."

   Tertarik hati Mundingsari mendengar kata-kata pemuda itu yang rata-rata mengandung falsafat umum.

   Dengan mengerahkan tenaga ia mencoba menghimpun kekuatannya.

   Kemudian memijat-mijat dan menggosok- gosok uratnya yang menjadi kejang oleh timpukan peluru timah.

   Ia merasa malu sendiri.

   Sebab pemuda itulah yang dahulu mengganggu Senot Muradi, mengacau penjara dan membunuh beberapa serdadu dengan tim- pukan sisir bambu.

   Dan di depan Letnan Suwangsa ia di sebut sebagai seorang yang sama sekali tak mempunyai nama.

   Padahal Sultan Kanoman sendiri mengenal dirinya sebagai seorang pendekar andalannya.

   Letnan Suwangsa tentu saja tidak mengerti apa yang bergolak di dalam hati Mundingsari.

   Ia mendongkol mendengar ucapan pemuda itu.

   "Jadi kau kini hendak menjadi seorang pahlawan? Bagus! Tetapi jika aku mengambil tindakan terhadapmu, nanti aku dikatakan menindas yang lemah dengan suatu kekuatan. Sungguh menggelikan."

   Ia lantas tertawa berkakakan sampai tubuhnya terguncang-guncang. Sebagai seorang ahli pedang kenamaan, benar-benar lagak lagumu mengecewakan hatiku,"

   Kata pemuda itu.

   "Sungguh! Sama sekali tak kuduga, bahwa Raden Mas Suwangsa yang terkenal sebagai seorang ahli pedang sebenarnya berotak setumpul kerbau."

   "Kau bilang apa?"

   Bentak Letnan Suwangsa bergusar.

   "Aku berkata, otakmu setumpul kerbau,"

   Pemuda itu menekan kata-katanya.

   "Sebagai seorang perwira mestinya engkau sudah harus tahu apakah ukuran kuat dan lemah. Benarkah seseorang dikatakan sebagai orang kuat, manakala dia memiliki otot-otot mendongkol dan tubuh sebesar kerbau? Benarkah ukuran kuat dan lemah ditentukan pula oleh selisih usia? Hm... hm... Baiklah kunyatakan terus terang. Seumpama aku tidak mengingat dirimu seorang perwira Mangkunegaran, sudah semenjak tadi aku menghajar mulutmu."

   Bukan main tajam kata-kata pemuda itu. Tapi justru demikian, Letnan Suwangsa menjadi sadar. Pikirnya di dalam hati.

   "Bocah ini paling tinggi berusia dua puluh tahun. Aku sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kalau aku melayani benar-benar tiada harga. Menang pun tiada mente-narkan nama. Sebaliknya kalau kalah, merosotkan harga diri."

   "Hai!"

   Hardik pemuda itu.

   "Mengapa kau menutup mulut?"

   Setelah menghardik demikian, pemuda itu menghunus pedangnya yang menyinarkan cahaya kemilau.

   Gku'ran pedang itu termasuk pendek.

   Tetapi perbawanya meresap ke dalam hati.

   Letnan Suwangsa terkesiap.

   Tak dikehendaki pula ia melemparkan pandang kepada kuda putih yang menunduk menggerumiti rerumputan.

   Pikirnya.

   "Bocah ini memiliki dua mustika yang tiada taranya. Kuda dan pedang. Murid siapakah dia?"

   Memperoleh pikiran demikian, tak boleh ia memandang rendah. Lalu berkata menegas.

   "Jadi benar- benar engkau hendak mencampuri urusan ini?"

   "Jangan mengumbar mulut tiada gunanya! Kau seranglah aku!"

   "Bocah!"

   Akhirnya Letnan Suwangsa membentak lantaran jengkel.

   "Lebih baik kau pulang mencari gurumu! Belajarlah sepuluh lima belas tahun lagi! Orang seperti aku ini, tidak boleh ikut-ikutan mempunyai cara berpikir seperti dirimu."

   "Kau mau menyerang atau tidak?"

   Pemuda itu tidak menghiraukan kata-katanya.

   "Kalau tidak akulah yang akan mengambil kepalamu."

   "Coba gerakkan pedangmu sejurus saja di depanku. Aku ingin tahu, siapakah gurumu!"

   Kata Letnan Suwangsa.

   "Baik. Kaulihatlah yang terang!"

   Seru pemuda itu dan terus menikam.

   Dengan tenang, Letnan Suwangsa menyentil serangan pedang itu dengan jari kirinya.

   Tapi sama sekali tak terduga! Mendadak tikaman pedang itu yang nampaknya menggunakan jurus biasa, mempunyai perubahan yang aneh dan cepat luar biasa.

   Di tengah jalan sekonyong- konyong berubah sasarannya.

   Kini tidak menikam, tapi memapas jari dengan mendadak.

   Tetapi Letnan Suwangsa memang seorang ahli pedang yang tidak sembarangan.

   Pada saat pedang nyaris memapas jarinya, ia membalikkan tangan dan mencoba merampasnya.

   Sebaliknya pedang mustika pemuda itu merubah gerakannya lagi.

   Dengan suara berdesing, pedang lewat di sisi telinga Letnan Suwangsa.

   Dan Letnan Suwangsa membalas serangan itu dengan menyambar lengan lawannya.

   Dalam suatu pertarungan antara para ahli, menang dan kalah hanya dtentukan oleh suatu selisih sehelai rambut terbagi tujuh.

   Pada saat itu Letnan uwangsa yang berada di atas angin, meskipun tadi ia keripuhan.

   Dengan menyodokkan gerakannya, ia akan dapat mematahkan lengan si Pemuda.

   Menyaksikan hal itu, Mundingsari sampai berseru kaget.

   Tanpa memedulikan lututnya y c.-z rrasih terasa lunglai, ia meloncat de-- - renggenjotkan kedua tangannya pada AKan tetapi selagi tubuhnya berada di udara, tiba-tiba ia mendengar suara Letnan Suwangsa menyatakan kekagetannya.

   Ternyata pada saat terancam bahaya, pemuda itu menarik pedangnya untuk menghantam pergelangan tangan Letnan Suwangsa.

   Ini adalah suatu pembelaan diri yang bagus bukan main.

   Apabila Letnan Suwangsa tidak menarik pukulannyadia pun akan menderita lengan patah.

   Cepat bagaikan kejapan kilat, Letnan suwangsa meloncat ke samping.

   Dengan begitu kedua-duanya lolos dari lubang jarum.

   Dan pada waktu itu, Mundingsari mendarat di atas tanah dengan napas lega.

   Namun suatu gelombang baru terjadi lagi dengan tak terduga-duga.

   Biasanyaapabila kedua musuh terpencarmereka akan memperbaiki kedudukannya dahulu sebelum mengulangi pertarungannya yang baru.

   Akan tetapibaik pemuda berbaju putih itu maupun Letnan Suwangsamempunyai pikiran yang sama.

   Masing-masing hendak mendahului sebelum lawan sempat memperbaiki kedudukannya.

   Dalam hal ini Letnan Suwangsa menang cepat.

   Itulah disebabkan, ia menang pengalaman.

   Baru saja pemuda berbaju putih menggerakkan pedangnya, kedua tangan Letnan Suwangsa sudah membuat lingkaran.

   Lalu memotong garis pembelaannya.

   Pemuda berbaju putih itu lantas terkunci kedua tangannya.

   Ia tak dapat bergerak lagi.

   Sesungguhnya Letnan Suwangsa adalah ahli waris ilmu pedang seorang sakti yang bersembunyi di belakang layar.

   Dia telah menerima ajaran menggunakan tenaga keras dan lembek dengan berbareng.

   Dia pun mengetahui belaka tentang rahasia atau kunci-kunci rahasia ilmu pedang yang terda- pat di persada bumi ini.

   Gerakan tangannya sukar di duga dia bisa merubah sasaran pada sembarang waktu yang dikehendaki.

   Mundingsari tentu saja belum sampai pengertiannya pada rahasa inti pati suatu ilmu pedang.

   Dia pun bukan seorang ahli pedang.

   Dia biasa menggunakan senjata golok.

   Meskipun demikian secara naluriah ia merasakan suatu bahaya mengancam pemuda itu.

   Tak terasa ia menjerit.

   "Celaka! Awas!"

   Hampir berbareng dengan jeritan Mundingsari, Letnan Suwangsa dan pemuda itu pun memekik pula.

   Pandang mata Mundingsari tak dapat mengikuti perkembang- annya.

   Gerakan mereka berdua begitu cepat, sehingga mengaburkan penglihatan.

   Tahu-tahu Letnan Suwangsa mundur sempoyongan dengan lengan baju terobek.

   Menyaksikan hal itu jadi kaget.

   Mundingsari menjadi girang.

   Serunya penuh syukur.

   "Sahabat kecil, bagus! Sungguh bagus!"

   Mundingsari tak tahu, bahwa sebenarnya pergelangan tangan jagonya kena terpukul.

   Kalau dihitung-hitung jagonya yang kalah seurat.

   Dalam pada itu, wajah Letnan Suwangsa nampak menjadi guram.

   Melihat lengan bajunya kena robek, ia menjadi merah padam.

   Dadanya serasa ingin meledak.

   Maklumlahdia seorang ahli pedang yang membawa keharuman namanya semenjak belasan tahun yang lalu.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi kini, lengan bajunya kena dirobek oleh seorang pemuda yang masih belum hilang pupuknya.

   Selagi demikian, pemuda itu telah melancarkan serangan-serangan berantai yang cepat luar biasa.

   Dalam keadaan tenang, mestinya Letnan Suwangsa dapat melayani dengan tangan kosong, belaka.

   Tetapi hatinya sedang panas.

   Dengan tangan kirinya tak dapat ia melayani lagi.

   Mau tak mau terpaksa ia menggunakan pedangnya.

   "Nahapa yang kukatakan tadi,"

   Ejek pemuda itu.

   "Kalau siang-siang engkau menggunakan pedangmu, bukankah jauh lebih baik? Tapi kau membandel. Rasakan akibatnya!"

   Selagi berbicara serangannya tak pernah kendor.

   Tiba- tiba menikam tenggorokan.

   Letnan Suwangsa terkesiap.

   Bagaikan kilat ia menangkis dengan satu elakan.

   Kemu- dian membalas menyerang dengan gerakan lebih cepat agi.

   Setelah bergebrak beberapa jurus lagi, hilanglah kesabaran Letnan Suwangsa.

   Ia merasa malu tak sanggup merobohkan lawan pemuda itu.

   Terpaksalah ia menggunakan ilmu simpanannya.

   Tiba-tiba bergetar dan mengunci bidang gerak lawan.

   Dikunci demikian, pemuda itu malah sempat memuji.

   "Bagus!"

   Katanya.

   Tiba-tiba tanpa memedulikan keselamatan diri, pedangnya didorong masuk menikam dada.

   Letnan Suwangsa tercekat hatinya.

   Memang ia bisa menangkis dorongan itu.

   Tetapi dengan demikian, pedangnya terpaksa berbenturan.

   Ia tahu pulamutu pedangnya kalah jauh dengan pedang mustika lawan.

   Memangdengan mengandal pada tangannyaia bisa meruntuhkan pedang lawan ke tanah.

   Tetapi pedangnya sendiri akan terkutung menjadi dua bagian.

   Bila terjadi demikian, alangkah besar malunya.

   Sebab sebagai seorang ahli pedang, pedangnya kena tertabas kutung oleh seorang lawan muda belia.

   Biar bagaimana juga, justru benturan tak dapat dielakan lagi.

   CIntuk menolong akibatnya, cepat ia menarik tenaga kerasnya.

   Sebagai gantinya ia menggunakan tenaga lembek.

   Dengan suara nyaring, pedangnya kebentrok.

   Cepat ia mencoba menempel.

   Meskipun demikian, tak urung pedangnya somplak juga sedikit.

   Dengan demikian, gebrakan ini dimenangkan pemuda itu.

   malahan sangat gemilang.

   Hanya saja sebagai seorang pemuda, ia belum mengenal batas, la seperti mendapat hati.

   Dengan cepat ia menahaskan pedangnya.

   Tujuannya kini hendak meng-utungkan pedang lawan.

   Trang! Pedangnya membentur.

   Tapi kali ini, akibatnya tidak seperti yang diharapkan.

   Suara benturan itu hampir tidak menerbitkan suara.

   Mundingsari yang menonton pertarungan itu dari luar gelanggang, menajamkan matanya.

   Dengan pikiran tegang ia mencoba mengetahui sebab musababnya.

   Sekonyong-konyong dilihatnya pedang pemuda itu kena ditarik oleh pedang Letnan Suwangsa.

   "Ah!"

   Pikirnya terkejut.

   "Perwira itu pandai menggunakan ilmu menghisap tenaga lewat pedangnya. Benar-benar ia sudah mencapai puncak kemahiran!"

   Sesungguhnya demikianlah halnya. Dengan mengerahkan gabungan tenaga keras dan lembek, Letnan Suwangsa berhasil menempel pedang lawan. Kemudian dengan hati-hati ia menghisapnya. Beberapa saat kemudian, butiran keringat telah memenuhi dahi pemuda itu.

   "Ha... bagaimana?"

   Ejek Letnan Suwangsa dengan suara menang.

   "Apanya yang bagaimana?"

   Sahut pemuda itu dengan tersenyum.

   Tiba-tiba saja di luar dugaan siapa pun pemuda itu mencelat tinggi.

   Dan pedangnya lolos dari himpitan tenaga musuh.

   Hal itu terjadi karena kesem- bronoan Letnan Suwangsa sendiri.

   Setelah berhasil menghisap tenaga lawan, ia memandang rendah.

   Lalu timbullah kepuasannya untuk melampiaskan suatu ejekan.

   Selagi berbicara tentu saja, perhatiannya terpecah.

   Pemuda berbaju putih yang berilmu tinggi itu, tak sudi menyia-yiakan kesempatan bagus baginya.

   Cepat luar biasa ia mencelat tinggi berbareng membetot8) Begitu turun ke tanah ia menikam dari samping.

   Penuh sesal dan rasa mendongkol, Letnan Suwangsa mengibaskan pedangnya untuk mengulangi hisapannya.

   Sudah barang tentu pemuda itu tak dapat dijebaknya lagi.

   Tak sudi ia membiarkan pedangnya kena tempel.

   Dengan gerakan gesit luar biasa ia kini melayani Letnan Suwangsa dengan berputaran seperti kupu-kupu men- cium bunga.

   Letnan Suwangsa kagum luar biasa.

   Beberapa kali pedangnya hampir-hampir dapat ditempelkan.

   Tapi setiap kali hendak bersintuh, bocah itu selalu dapat meloloskan diri.

   Setelah memperhatikan gerak-gerik pemuda itu, mendadak saja hatinya tergun- cang.

   Teringatlah dia kepada seorang pendekar yang sudah"

   Mengundurkan diri dari pergaulan.

   Dan pendekar itu bermukim di sebuah pulau dan terkenal sebagai tokoh sakti kelas wahid.

   Apakah dia murid Adipati Surengpati? Pikirnya sibuk.

   Gntuk meyakinkan dugaannya, segera ia mengubah tata berkelahinya.

   Tak mau lagi ia mengumbar nafsunya untuk menyerang.

   Sebaliknya ia lebih banyak membela diri.

   Walaupun demikian, ia berlaku sangat waspada.

   Sebab gerakan pedang pemuda itu, cepat luar biasa dan perubahannya sukar diduga.

   Lambat-laun timbullah keputusan-nya untuk melawan dengan cara demikian saja.

   Sekali-kali ia menyerang, kemudian menutup diri dengan rapat.

   Ia berharap tenaga lawan akan habis sendiri.

   Perhitungannya ternyata tepat sekali.

   Diperlakukan demikian, perlahan-lahan pemuda itu nampak menjadi lelah.

   Napasnya mulai tersengal-sengal.

   Dan perkem- bangan itu membuat hati Mundingsari berdebaran.

   Ia tahu, kedua belah pihak sudah menggunakan ilmu pedangnya tingkat tinggi.

   Meskipun bukan seorang ahli, namun dapat ia merasakan siapakah yang lebih unggul.

   Ternyata Letnan Suwangsa menang pengalaman dan latihan.

   Lambat-laun jagonya berada di bawah angin.

   Celakalah, kalau kena dirobohkan.

   Tatkala itu, tenaganya sudah pulih kembali.

   Punggungnya yang tadi kena ganggu timpukan peluru timah, kini tak terasa nyeri lagi Setelah melancarkan aliran darahnya, segera ia memungut pedangnya.

   Kemudian sambil membentak ia memasuki gelanggang hendak membantu jagonya.

   Tetapi Letnan Suwangsa bukan seorang perwira sembarangan.

   Matanya awas luar biasa.

   Begitu melihat gerakan Mundingsari, secepat kilat ia memindahkan pedangnya ke tangan kiri.

   Kemudian tangan kanannya meraup segenggam butir peluru timah dari sakunya.

   Setelah mendesak pemuda lawannya dengan dua tikaman beruntun, tangan kanannya memperoleh kesempatan untuk menimpukkan peluru timahnya.

   Ia tak ragu-ragu berbuat demikian, karena merasa diri bakal kena kerubut.

   Daripada didahului, lebih baik mendahului.

   Celakalah Mundingsari.

   la baru saja memperoleh tenaganya kembali.

   Meskipun tangan dan kakinya dapat bergerak dengan leluasa, tetapi tenaganya belum pulih seluruhnya.

   Kakinya masih terasa lemas, la melihat sambaran butiran peluru.

   Maksudnya hendak mencelat mengelak.

   Tetapi kakinya tak dapat mengikuti kehendak hatinya.

   Peluru timah Letnan Suwangsa lantas saja singgah di lehernya.

   Dan ia roboh terjungkal untuk yang kedua kalinya.

   Walaupun demikian, sesungguhnya dia bukan seorang pendekar yang belum berarti.

   Begitu roboh, kakinya meletik.

   Dan pada saat itu ia mendengar seruan pemuda jagonya.

   "Bagus. Aku pun akan mencontoh..."

   Bagaikan hujan gerimis, tiba-tiba tampaklah menyambarnya butir-butir berkilatan menghujani Letnan Suwangsa.

   Ternyata senjata bidik pemuda itu belasan biji-sawo yang berjarum pada ujungnya.

   Itulah senjata bidik istimewa.

   Mimpi pun tak pernah, bahwa biji sawo bisa digunakan sebagai peluru pembidik yang sangat berbahaya.

   "Bagus!"

   Teriak Mundingsari kegirangan. Dengan meletik ke udara, Letnan Suwangsa mengebaskan pedangnya. Belasan senjata bidik pemuda itu, dapat disapunya runtuh. Tetapi dua butir di antaranya menghantam pundaknya.

   "Lihatlah yang terang!"

   Teriak pemuda itu sambil menikam.

   Walaupun Letnan Suwangsa seorang ahli pedang kenamaan, namun untuk mengelakkan sambaran dua butir biji sawo beracun itu tidaklah mungkin lagi.

   Tetapi memang dia seorang jago yang namanya sejajar dengan pendekar-pendekar kelas satu pada dewasa itu.

   Dengan mengerahkan tenaga saktinya, ia membentak keras.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan kena bentakan itu dua biji sawo yang menghantam pundaknya terpental balik dan rontok ke tanah.

   Berbareng dengan itu ia menangkis pedang pemuda lawannya sambil terus melanjutkan tikaman balasan.

   Pemuda berbaju putih itu kaget luar biasa.

   Sama sekali tak diduganya bahwa belasan biji sawonya bisa dielakkan.

   Malahan dua di antaranya rontok ke tanah oleh suatu tenaga bentakan.

   "Benar-benar mengagumkan", pujinya dalam hati.

   "Benar-benar nama Raden Mas Suwangsa bukan nama kosong. Ilmu mujizatnya seperti guru. Tak mengherankan namanya dijajarkan orang dengan nama guru."

   Melihat keadaan yang sangat berbahaya itu, Mundingsari tidak menghiraukan lukanya.

   Dengan memutar pedangnya ia masuk ke dalam gelanggang.

   Pada saat itu, ia mendengar pemuda jagonya bersiul melengking.

   Kuda putihnya lari menghampiri bagaikan kilat.

   Segera pemuda itu mencecar Letnan Suwangsa dengan serentet serangan beruntun.

   Tiba-tiba tangannya menyambar lengan Mundingsari dan dibawanya mencelat tinggi.

   Begitu turun, ia berada tepat di atas sadai kudanya dengan menempatkan Mundingsari di belakangnya.

   Kemudian kudanya membawanya kabur bagaikan bayangan.

   Buru-buru Letnan Suwangsa mencari kuda tunggangannya.

   Dengan berteriak keras ia melompat di atasnya.

   Dan dikaburkan secepat-cepatnya untuk mencoba memburu.

   Kudanya pun termasuk kuda pilihan.

   Tetapi dibandingkan dengan kuda putih pemuda itu, masih kalah jauh.

   Semakin lama jarak pengejaran semakin jauh.

   Dan akhirnya Letnan Suwangsa hanya dapat melihat satu titik putih di jauh sana.

   Kemudian lenyap dari penglihatan.

   Mau tak mau Letnan Suwangsa menghela napas berulang kali.

   Sadar bahwa ia takkan dapat memburunya ia menarik kendali kudanya.

   Lalu turun ke tanah memeriksa pundaknya.

   Dua bentong merah menandai kulitnya yang kuning bersih.

   Ia merasa syukur, karena peluru pemuda tadi bukan mengandung racun.

   Walaupun hatinya mendongkol, namun terbintik rasa terima kasih juga.

   Waktu itu fajar hari telah tiba.

   Mundingsari yang menggamblok di belakang punggung pemuda itu, kagum luar biasa menyaksikan kecepatan kuda yang membawanya kabur.

   Meskipun dibebani dua orang, namun tenaganya tak berkurang.

   Pohon-pohon dan semak belukar yang dilintasi seperti berterbangan terbawa angin.

   Mendadak teringatlah dia, bahwa kuda Letnan Suwangsa kuda jempolan.

   Ia menoleh.

   Selagi menoleh, punggung kuda ter-goncang hebat.

   Ternyata binatang itu sedang melompati sebuah parit lebar.

   Buru- buru ia menjepit perut kuda lebih kencang lagi.

   Meskipun demikian badannya terguncang juga nyaris terpelanting.

   "Jangan bergerak!"

   Pemuda itu memperingatkan. Oleh peringatan itu, tidak berani ia menggerakkan tubuhnya. Benar saja. Pada detik itu, kuda putih yang membawanya kabur melesat lebih cepat lagi. Dan tak lama kemudian fajar hari tiba dengan diam-diam.

   "Nahsekarang kita boleh beristirahat!"

   Kata pemuda itu sambil melompat turun. Paras mukanya tidak berubah. Napasnya pun tidak terdengar memburu pula.

   "Benar-benar kuda mustika!"

   Seru Mundingsari kagum.

   "Itulah yang dinamakan seekor kuda cocok dengan majikannya. Sekarang bolehkah aku mengenal namamu?"

   Pemuda itu tidak menyahut.

   Sekonyong-konyong tangannya diulur hendak merampas pedang pemberian Sanjaya.

   Secara wajar, tangan Mundingsari bergerak hendak mempertahankan.

   Senjata bagi tiap pendekar merupakan jiwanya sendiri.

   Kehilangan senjata, artinya bakal kehilangan pegangan.

   Tetapi gerakan pemuda itu jauh lebih cepat.

   Sebelum dapat berbuat sesuatu pedang Sanjaya sudah pindah di tangan pemuda itu.

   Mundingsari benar-benar terkejut.

   Hendak ia membuka mulut, tapi kedahu-luan pemuda itu.

   "Darimana kau peroleh pedang ini?"

   Tanyanya sambil membolang-balingkan di depan mata.

   "Ini adalah pedang pusaka tuanku Sanjaya,"

   Jawab Mundingsari menebak-nebak.

   "Kenapa dia menyerahkan pedangnya kepadamu?"

   Pemuda itu menegas dengan suara lembut. Da mendengar suara lembut itu, Mundingsari agak tenteram hatinya. Ia yakin pemuda itu tidak bermaksud jahat. Maka ia menceritakan peristiwa yang terjadi di Sigaluh. Lalu mengakhiri dengan kata-kata.

   "Tapi aku sangat menyesal, karena tak dapat membantunya. Apalagi menolongnya. Tuanku Sanjaya gugur kena kerubut empat orang...."

   Teringat akan peristiwa itu, kedua kelopak matanya basah kuyup. Meneruskan.

   "Dengan pikiran bingung aku tiba di Magelang. Di kota itu pun aku gagal hendak mencoba mencuri kepala pendekar Wirapati yang kukagumi."

   Sampai di situ, tiba-tiba pemuda itu menabas- nabaskan pedang warisan Sanjaya di udara. Ia berputar mengarah matahari terbit. Kemudian berkata dengan perlahan.

   "Ah, Paman! Belum pernah aku melihat Paman. Tetapi aku pernah mendengar riwayat hidupmu. Kuyakinkan dari sini, bahwa perbuatan Paman itu tidak mengecewakan. Paman... Paman.... Paman Wirapati pasti ikut berbangga hati pula."

   Mendengar kata-kata pemuda itu, hati Mundingsari terguncang.

   Rasa tangisnya lenyap dengan mendadak.

   Didengar dari lagu suaranya, pemuda itu seperti mempunyai hubungan rapat baik dengan Sanjaya maupun Wirapati.

   Ia segera hendak menegas.

   Tetapi pemuda itu nampak menundukkan kepalanya diam-diam.

   Ia seperti lagi mengheningkan cipta.

   Setelah itu, di luar dugaan ia memasukkan pedang Sanjaya ke dalam sarungnya.

   Kemudian digantungkan pada pinggangnya.

   "Mohon dengan sangat Tuan mengembalikan pedang itu,"

   Kata Mundingsari setengah terkejut.

   "Mengapa begitu?"

   Sahut pemuda itu sambil berputar menghadapi. Mundingsari menyapu keguraman wajahnya. Dengan suara rendah ia berkata.

   "Tuan adalah penolong jiwaku. Budi Tuan setinggi gunung. Entah dengan apa kelak aku membalas budi itu.... Aku pun tahu, Tuan agaknya berkenan kepada pedang ini. Sebenarnya harus aku menyerahkan demi budi Tuan. Tetapi.... tetapi.... maafkan. Tak dapat aku menyerahkan pedang itu kepada Tuan. Sebab menurut pesan tuanku Sanjaya yang penghabisan kali, aku harus menyerahkan pedang itu kepada puteranyai Lagipula di dalamnya tersembunyi suatu perkara besar."

   "Perkara apa?"

   Pemuda itu menegas dengan suara tawar.

   "Pedang itu harus kuserahkan kepada pendekar besar Sangaji,"

   Jawab Mundingsari dengan suara mantap.

   Sangaji adalah seorang pendekar besar yang terkenal pada zaman itu.

   Iblis pun segan kepadanya.

   Karena itu menurut ukuran lumrah pastilah pemuda itu akan segera mengembalikan pedang Sanjaya kepada Mundingsari begitu mendengar nama Sangaji disebut-sebut.

   Akan tetapi, ternyata pemuda itu bersikap tak pedulian.

   Malahan ia menegas lagi.

   "Mengapa harus diserahkan kepada pendekar besar Sangaji?"

   Mundingsari mengira, ia kurang meyakinkan pemuda itu. Maka ia menjawab dengan suara ditekan-tekan.

   "Tidak hanya pedang itu. Tapi pun robekan baju yang berlumuran darah. Tuanku Sanjaya dan tuanku Sangaji adalah saudara angkat. Pada waktu tuanku Sanjaya hendak mengarungi perjalanannya yang terakhir, teringatlah dia kepada saudara angkatnya itu, ia berpesan kepadaku agar mempersembahkan sobekan bajunya yang berlumuran darah. Tuanku Sanjaya ber- harapsetelah melihat bajunya yang berlumuran darah tuanku Sangaji akan menun-tutkan dendam terhadap musuh-musuh yang bersembunyi di belakang layar. Se- tidak-tidaknya tuanku Sanjaya meninggalkan pesan agar tuanku Sangaji pandai menjaga dirisupaya tidak menjadi korban kelicikan lawan. Kecuali itu tuanku Sanjaya mohon dengan sangat agar tuanku Sangaji berusaha mencari putera satu-satunya yang tiba-tiba lenyap. Setelah bertemu hendaklah sudi menerimanya sebagai murid. Dan pedang itu hendaklah diserahkan kepadanya."

   "Apakah putera Paman Sanjaya anak nakal dahulu yang bertemu dengan aku di tepi telaga?"

   Pemuda itu menegas.

   "Benar. Namanya Senot Muradi,"

   Jawab Mundingsari.

   "Baiklah. Mana baju berdarah itu?"

   "Ini,"

   Sahut Mundingsari cepat sambil memperlihatkan baju peninggalan Sanjaya. Di luar dugaan, tiba-tiba sobekan baju berdarah itu kena sambar. Karena tak berjaga-jaga, pemuda tu dapat merampasnya.

   "Kau...! Kau...,"

   Seru Mundingsari dengan suara bergemetaran.

   "Apakah maksudmu? Engkau memang penolong jiwaku. Tetapi pedang dan baju itu bukan milikmu. Tak dapat aku menyerahkan kepadamu."

   Tetapi dengan sikap acuh tak acuh, pemuda itu memasukkan robekan baju Sanjaya ke dalam saku celananya.

   "Pendekar besar Sangaji tidak mudah kautemukan. Dia seorang pemimpin besar seluruh perjuangan bersenjata di Jawa Barat. Kau belum kenal jalan dan perjuangan laskarnya. Sekali bertemu dengan salah seorang raja mudanya kau bisa celaka. Apalagi kalau mereka menaruh curiga kepadamu. Karena itu, biarlah aku yang mempersembahkan."

   Alasan pemuda itu masuk akal. la jadi bingung. Dengan suara tersekat-sekat, ia mencoba meyakinkan pemuda itu.

   "Ini... ini......"

   Tapi kata-kata hatinya macet di tenggorokan.

   la melihat pemuda itu memukul udara.

   Dan tiba-tiba ia kena didorong berputaran oleh pukulan angin yang tidak nampak.

   Buru-buru ia mencoba bertahan dengan menancapkan kedua kakinya.

   Tapi ia malah terjengkang, pemuda itu berkelebat di belakangnya.

   Ia memukul udara lagi.

   Dan tubuhnya kena terangkat dan tiba-tiba dapat berdiri bangun tegak.

   Diperlakukan demikiansudah barang tentu Mundingsari kaget berbareng bergusar.

   Dengan mata merah ia berputar menghadapi pemuda itu.

   "Inilah pukulan udara kosong,"

   Kata pemuda itu.

   "Meskipun kau belum pernah melihatnya, tetapi setidak-tidaknya pasti mengenal siapa pemiliknya."

   Mundingsari terkejut.

   Teringatlah dia dahulu kepada peringatan sang Dewaresi tatkala ia mencoba Titisari.

   Begitu Titisari memukul udara sang Dewaresi lantas tak berani gegabah lagi.

   Itulah pukulan udara kosong ilmu sakti Adipati Surengpati9).

   Sekarang pemuda itu menggunakan pukulan udara kosong pula.

   Maka ia segera bertanya minta keterangan.

   "Apakah hubunganmu dengan Gusti Adipati Surengpati?"

   Pemuda itu tersenyum. Tetapi jawabnya mengambil jalan berputar.

   "Setelah engkau kenal pukulan tadi, masihkah engkau tidak sudi menyerahkan pedang dan robekan baju berdarah kepadaku? Biarlah aku yang membawanya..."

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tapi ini... ini..."

   "Ini apa?"

   Bentak pemuda itu.

   "Dengan membawa baju dan pedang itu sebagai bukti sebenarnya aku pun mempunyai suatu kepentingan pula. Ingin aku mohon pertolongan tuanku Sangaji agar merampas kembali uang kawalanku yang kena begal."

   Pemuda itu mengerutkan alisnya. Menegas.

   "Gang kawalan? Gang kawalan apa?"

   Dengan menguasai diri, Mundingsari lalu mengisahkan perjalanannya dari Cirebon.

   Diceritakan pula bagaimana ia terpaksa membantu peleton Kompeni untuk mengawal uang belanja.

   Bagaimana terjadinya suatu perampasan.

   Dan akhirnya bagaimana cara orang bertopeng itu mempermainkan peleton Kompeni di sebelah timur Banyumas.

   "Benarkah perampasan itu terjadi di sebelah timur Banyumas?"

   Pemuda itu menegas lagi.

   "Orang bertopeng itu pulalah yang berhasil mencuri kepala pendekar Wirapati."

   Mundingsari menguatkan.

   "Tetapi sungguh! Tak dapat aku menebak asal usulnya. Itulah sebabnya aku hendak mohon pertolongan tuanku Sangaji."

   Sekonyong-konyong paras muka pemuda itu berubah hebat. Katanya sambil bersiul memanggil kudanya.

   "Kalau begitukita harus balik kembali.... Jadi dialah yang mencuri kepala Paman Wirapati? Baiklahurusan ini pun serahkan kepadaku. Mari kita berangkat mencarinya."

   Selagi Mundingsari berbimbang-bimbang, pemuda itu telah melompat di atas punggung kudanya. Bentaknya.

   "Hayo!"

   Dan mendengar ajakan setengah memaksa itu, tanpa bersangsi lagi ia melompat di belakangnya.

   Dan kuda putih itu segera kabur secepat angin.

   Menjelang tengah harimereka tiba di Purwokerto.

   Waktu itu Purwokerto masih merupakan sebuah kota kecil.

   Dan begitu tiba di pinggir kota, pemuda itu berkata menerangkan.

   "Kota ini termasuk kota penting di wilayah Banyumas. Esok hari kita bisa tiba di tempat tujuan dalam keadaan segar bugar. Biarlah aku membelikan seekor kuda untukmu."

   Ia memasuki sebuah rumah makan.

   Setelah berpesan, ia segera pergi untuk membeli seekor kuda.

   Kudanya sendiri ditambatkan di tepi ja4an.

   la minta tolong kepada seseorang untuk mencarikan serbuk kering dan gula tetes.

   Selagi Mundingsari hendak bersantap, pemuda itu sudah kembali dengan menuntun seekor kuda hitam lekam.

   Kuda itu nampak gagah perkasa.

   Dan melihat hal itu, Mundingsari heran bukan main.

   Bagaimana cara pemuda itu bisa memperoleh seekor kuda begitu cepat? "Paman Mundingsari!"

   Seru pemuda itu.

   "Sebenarnya kita dapat menunggang seekor kuda bersama-sama. Tetapi karena kita akan melintasi sebuah kota ramai, takut aku menarik perhatian orang. Bagaimana? Kau senang tidak dengan kuda ini?"

   Mundingsari tertawa.

   Pemuda ini gagah pikirnya tapi perasaannya agak lembut dan masih berbau kanak- kanak.

   Sebenarnya ia ingin memperoleh keterangan siapakah dia sebenarnya.

   Tapi melihat pemuda itu selalu menyembunyikan dirinya, tak berani ia bertanya melit- melit.

   Pada keesokan harinya, sampailah mereka pada sebuah dusun bernama Kalijering.

   Pemuda itu mengajak bermalam di dusun itu.

   Dia mencari sebuah gubuk penjagaan sawah.

   Di gubuk itulah, ia merencanakan penyelidikan.

   "Tak mungkin orang bertopeng itu berada di dusun sesunyi ini,"

   Mundingsari meyakinkan.

   "Apa guna kita membuat penyelidikan di sini?"

   Pemuda itu melototkan matanya.

   "Paman seorang pendekar kawakan. Masakan tak pernah mendengar nama besar pendekar Kebo Bangah?"

   "Apa hubungannya dengan dusun ini?"

   Mundingsari kaget sampai berjingkrak.

   "Anak keturunannya bermukim di sekitar dusun ini. Masakan kau tak pernah mendengar kabar itu!"

   Panas muka Mundingsari kena semprot demikian.

   Katanya sulit? "Andaikata benar...

   tak mungkin anak keturunan pendekar besar itu merampas uang di tengah jalan.

   Seumpama benar punsetelah merampas uang pastilah tidak bakal berani bermukim pada tempat yang sudah terkenal."

   "Habagus!"

   Rupanya Paman pun pernah mempunyai pengalaman merampok. Kalau begitu, pastilah Paman bisa mencari dimanakah tempat persembunyiannya,"

   Tungkas pemuda itu.

   "Bagaimana aku tahu?"

   Sahut Mundingsari dengan suara tinggi.

   "Sekiranya tahu, sudah semenjak dahulu aku mencarinya sendiri."

   "Kalau begitu, mari kita kembali ke tempat perampasan uang kawalanmu,"

   Pemuda itu memutuskan, la lantas melompat di atas punggung kudanya.

   Dan Mundingsari terpaksa mengikuti, meskipun hatinya mulai merasa kesal.

   Tapi pada saat itu ia merasa diri menjadi orang kalah maka tak berani ia membuka mulut.

   Di sepanjang jalan, pemuda itu selalu menggariskan sederet kalimat tantangan dengan ujung pedangnya.

   Dan melihat hal itu hati Mundingsari jadi geli.

   Tak sanggup ia menguasai rasa usilnya.

   Lalu berkata meyakinkan!.

   "Pekerjaan begini ini adalah sia-sia belaka. Merasa dirinya merampas uang, pastilah dia kabur sejauh mungkin. Masakan sempat membaca bunyi tantangan segala...."

   "Dia berani merampas uang kompeni di tengah jalan. Itulah membuktikan bahwa ia seorang perampok yang berkepala besar,"

   Pemuda itu membela diri.

   "Dan seorang yang berkepala besar paling jengkel mem- peroleh tantangan. Jika ia membaca tulisanku ini, pasti dia bakal mencari aku untuk membuktikan kebesaran namanya."

   Mundingsari membungkam mulut. Meskipun alasannya kekanak-kanakan, tetapi masuk akal pula. Tetapi dengan cara begitu, perjalanan jadi tak dapat cepat. Baru pada hari kedua, sampailah mereka di tempat orang bertopeng perampok uang.

   "Tak jauh dari sini terdapat sebuah gunung bernama Gunung Tugel,"

   Kata pemuda itu.

   "Apakah kau pernah mendengar kawanan perampok Gunung Tugel yang mengenakan pakaian seragam hitam?"

   "Sedikit-sedikit pernah aku mendengar khabarnya,"

   Sahut Mundingsari.

   "Tetapi yang merampok dahulu tidak mengenakan pakaian seragam. Lagipula mereka takkan berani berlawan-lawanan dengan pihak kompeni."

   "Bagus alasanmu,"

   Kata pemuda itu dengan suara girang. Itulah disebabkan Mundingsari mau menerima cara berpikirnya.

   "Mari kita mencoba menyelidiki. Tak ada buruknya, bukan?"

   Mundingsari mengemukakan alasannya, bahwa cara penyelidikan demikian tidak ada gunanya.

   Tapi pemuda itu kokoh pendiriannya.

   Dia seperti mempunyai pegangan tertentu.

   Betapapun juga, ia jadi tertarik.

   Gunung Tugel terletak di sebelah utara Sigaluh.

   Sebenarnya belum boleh disebut sebuah gunung penuh.

   Hanya saja lebih kurang daripada sebuah bukit.

   Setelah terkenal sebagai sarang gerombolan perampok, kesannya makin garang dan menyeramkan.

   Jalan besar yang melingkarinya makin hari makin sunyi dari keramaian lalu lintas.

   Hanya orang yang bosan hidup saja berani mengambah jalan tersebut.

   Seperti semenjak di Kalijaring, pemuda itu selalu main menulis tantangan di tempat-tempat tertentu.

   Kini bahkan menggunakan kata-kata makian kalang kabut.

   Dan setiap kali membaca bunyi tantangan yang penuh dengan makian kalang kabut itu, Mundingsari tertawa geli dalam hatinya.

   Tatkala tiba di kaki Gunung Tugel, dari kejauhan nampaklah serombongan saudagar mendatangi.

   Pemuda itu cepat-cepat menyelinap di belakang gerombolan belu- kar.

   Mundingsari tertawa lagi.

   "Setelah kau mencari seorang penjahat, maka setiap orang yang bakal berpapasan lantas kau kira kawanan penjahat pula."

   Pemuda itu tertawa mendengar teguran halus itu.

   "Gunung Tugel ini terkenal sebagai sarang perampok semenjak sepuluh tahun yang lalu. Penduduk sekitar gunung tahu belaka. Mereka kejam bagaikan iblis. Seka- rangkita melihatserombongan saudagar berani melintasi jalan ini. Bukankah mengherankan? Seorang tokoh seperti Letnan Suwangsa mengenakan pakaian saudagar pula...."

   Mundingsari kaget.

   Alasannya pemuda itu masuk akal.

   Dan diingatkan cara penyamaran Letnan Suwangsa hatinya tercekat.

   Segera ia melompat di belakang gerombol belukar seraya menajamkan penglihatan.

   Rombongan itu terdiri dari lima orang.

   Mereka mengenakan pakaian saudagar kaya.

   Hal itu memang menarik hati benar-benar.

   Sayang mereka melintas dengan cepat, sehingga raut-mukanya tak mudah dikenal.

   "Mari kita ikuti dari jauh,"

   Ajak pemuda itu.

   "Jadi tidak mendaki gunung?"

   Mundingsari menegas.

   "Bukankah tujuan kita mencari penjahat dan bukan mencari gunung?"

   Sahut pemuda itu dengan mata didelikkan.

   Mundingsari membungkam.

   Tapi aneh adalah adat pemuda itu.

   Kata-katanya seperti dibantahnya sendiri.

   Tiba-tiba saja di tengah jalan ia membelokkan kudanya berbalik mengarah ke gunung.

   Keruan saja Mundingsari jadi bingung.

   Tanyanya minta keterangan.

   "Sebenarnya maksudmu bagaimana?"

   "Katanya, aku kau suruh mendaki gunung. Nah marilah kita daki."

   "Hai! Bukankah kita lagi mencari seorang penjahat dan bukan mencari gunung?"

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Mundingsari. Itulah kata- kata si Pemuda itu sendiri. Dan mendengar perkataan itu, si Pemuda berbaju putih tertawa geli.

   "Kita seiring sejalan. Karena itumasing-masing harus berani berkorbanuntuk melegakan kawan seiring dan sejalan."

   Mau tak mau Mundingsari tertawa juga.

   Lucu cara berpikir pemuda itu.

   Tetapi cukup menarik hati.

   PENJAHAT BERTOPENG HAMPIR MENDEKATI WAKTU MAGRIB pemuda itu belum juga mendaki gunung.

   Masih saja ia berputar- putar tak keruan jun-trungnya.

   Lambat-laun Mundingsari menduga, bahwa dia hendak menunggu petang tiba.

   Dengan demikian tak gampang-gampang orang melihat gerak-geriknya.

   Waktu itu musim "semi".

   Semua mahkota daun dan rerumputan nampak menghijau.

   Ratusan aneka bunga liar memenuhi persada bumi.

   Keharumannya menusuk hidung.

   Sekitar Gunung Tugel banyak terdapat tempat- tempat bersejarah.

   Pemandangan dalam cuaca mendekati magrib indah bukan main.

   Tetapi pemuda itu nampak hilang kegembiraannya.

   Sekonyong-konyong ia memutar kudanya, Mundingsari mengira, sekarang tibalah waktu mendaki gunung untuk menyelidiki kawananan perampok.

   Tetapi dugaannya ternyata meleset.

   Sekali menghardik kudanya, ia melesat turun ke tenggara.

   Buru-buru Mundingsari mengaburkan kudanya pula.

   Sewaktu melintasi pohon-pohon yang digunakan sebagai papan kalimat tantangan, pemuda itu menarik kendali kudanya.

   Ternyata di bawah tulisannya terdapat sederet tulisan yang cukup terang.

   "Mari kita bertemu di Wonosobo."

   Apakah artinya ini? Pemuda itu merenungi sejenak.

   Sesudah menimbang-nimbang ia membedalkan kudanya lagi.

   Lalu menje-nguki tempat-tempat ia menaruh kalimat tantangannya.

   Ternyata di bawah deret kalimat tantangannya terdapat tulisan tersebut sebagai jawaban.

   Yakin akan hal itu, alisnya terbangun dengan mendadak.

   "Paman! Percaya tidak? Penjahat itu benar-benar berkepala besar. Mari kita susul!"

   Tanpa menunggu jawaban Mundingsari, ia mendahului berjalan. Kudanya putih melesat bagaikan anak panah. Tujuannya kini mengarah ke timur. Kira-kira jam delapan malam, sampailah ia di sebuah dusun kecil yang agak ramai.

   "Paman! Kita terus, ataukah mencari penginapan di sini?"

   Tanyanya minta pertimbangan. Mundingsari menjawab dengan suara setengah menggerendeng.

   "Saudara kecil? Aku tahu, ilmu kepandai-anmu sangat tinggi. Akan tetapi rupanya engkau belum mempunyai pengalaman banyak dalam pergaulan. Karena itu lebih baik kita mencari penginapan."

   "Hm,"

   Pemuda itu menggerutu.

   "Sekiranya aku takut, masakan aku berani mencarinya? Kalau begitu, mari kita terus!"

   Tanpa menunggu persetujuan, kuda putihnya dilarikan lagi.

   Syukur waktu itu bulan agak gede.

   Kecerahannya memancarkan cahaya merata ke seluruh alam.

   Dan selagi mereka hendak melintasi dusun itu, tiba-tiba terdengar suatu kesibukan di pendapa kelurahan.

   "Eh, galak benar suara itu. Mari kita lihat!"

   Ajak Mundingsari.

   Setelah berkata demikian, ia turun menambatkan kudanya.

   Dia kini berganti tidak usah menunggu persetujuan temannya berjalan.

   Bukankah tadi dia berkata sebagai teman seiring dan sejalan harus berani mengorbankan diri masing-masing untuk melegakan hati? Ternyata pemuda itu diri.

   Dia pun lantas turun dari kudanya dan menambatkan pada sebatang pagar.

   Yang berada di pendapa itu ternyata hanya empat laki-laki.

   Yang tiga menyandang tak keruan.

   Sedang yang seorang, mungkin sekali kepala desa.

   "Pak Lurah! Kau ini cuma menghargai pakaian. Melihat kami berpakaian begini lantas menolak kami untuk menginap di sini,"

   Teriak tiga tetamu itu. Kemudian yang tinggi jangkung menegas.

   "Apakah alasanmu menolak kami menginap di sini?"

   "Tuan,"

   Sahut Kepala Desa.

   "Sungguh! Kami tidak berkeberatan menerima siapa saja bermalam di sini. Asal saja membawa surat keterangan lengkap. Kalau tidak, kami bakal kena salah."

   "Dusta!"

   Bentak si Tinggi jangkung.

   "Apakah seorang pelancong harus membawa surat keterangan dimana- mana? Peraturan apakah itu?"

   "Benar! Peraturan apakah itu?"

   Yang bertubuh ketat ikut menguatkan.

   "Semenjak bayi, kita dilahirkan di bumi ini. Bumi ini adalah bumi Tuhan. Selamanya Tuhan tidak pernah mengadakan peraturan surat keterangan segala. Masakan kau berani berlaku begitu?"

   "Ini adalah perintah Tuan,"

   Kepala Desa mencoba memberi keterangan.

   "Perintah apa? Perintah melanggar hak kebebasan orang!"

   Bentak si ketat.

   "Siapa yang memberi perintah?"

   "Tentu saja atasan kami."

   "Cuh!"

   Orang bertubuh ketat itu meludah ke tanah.

   "Jadi Kompeni? Atau begundal-begundal Kompeni, bukan? Binatang! Tanah ini, adalah tanah tiap insan. Tanah kita. Tanah leluhur kita. Kompeni itu datang dari mana? Apa haknya menjirat penduduk dengan tetek bengek?"

   Temannya seorang yang semenjak tadi membungkam mulut, tiba-tiba menaruhkan setumpuk uang di atas meja. Katanya pela-han.

   "Dengan syarat ini dapatkah engkau kini menerima kami menginap di sini?"

   Melihat tumpukan mata uang itu, mata Kepala Desa itu terbelalak. Lantas saja ia membungkuk hormat seraya berkata.

   "Kalau Tuan memaksa, terkecuali."

   "Terkecuali bagaimana?"

   "Boleh menginap di sini,"

   Jawab Kepala Desa.

   "Hm,"

   Gerendeng orang itu.

   "Di matamu ini selain gemerincing uang tiada harganya. Kau mau memberi makan minum kepada kami atau tidak? Kalau mau, terimalah uang ini."

   "Mau! Mau!"

   Sahut Kepala Desa buru-buru. Mundingsari pada saat itu, menarik lengan kawannya berjalan. Setelah dibawa menjauh, ia berbisik.

   "Sst... hati-hati! Perampasan uang dahulu, dimulai pula dari orang-orang yang mengenakan pakaian tak keruan itu.

   "Bagus!"

   Seru pemuda itu dengan berbisik.

   "Kalau begitu, mari kita menginap di kelurahan pula."

   "Jangan!"

   Mundingsari tak setuju.

   "Rupanya penduduk di sini kena pengaruh lalu lintas umum sehingga menempatkan mata uang diatas harga manusia. Mari! Dengan uang pula kita mencari penginapan."

   Pemuda itu mengangguk.

   Ia menganggap pertimbangan Mundingsari cerdik.

   Segera ia menghampiri kudanya.

   Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara tertawa dingin di seberang jalan.

   Cepat ia menoleh.

   Pada saat itu melihat berkelebatnya sesosok bayangan.

   Gerakannya gesit luar biasa.

   "Siapa?"

   Bentak Mundingsari.

   Hebat suara bentakkannya.

   Ketiga orang yang hendak menginap di kelurahan kaget dengan serentak.

   Mereka memburu keluar.

   Tetapi pada saat itu, Mundingsari dan si baju putih telah lenyap dari penglihatan.

   Kedua pendekar itu menggertak kudanya dan memburu bayangan tadi.

   Arahnya ke timur.

   BAIK PEMGDA ITU maupun Mundingsari termasuk pendekar-pendekar yang pandai menunggang kuda.

   Namun sekian lamanya mereka mengubar bayangan itu, tetap saja tak berhasil.

   Akhirnya seperti berjanji mereka berhenti di dekat gubuk di tepi sawah.

   "Bagaimana?"

   Pemuda itu minta pertimbangan.

   "Kudaku bukan kuda sembarangan kuda, namun kita tak berhasil mengejarnya."

   "Soalnya bukan kita tak dapat menyandaknya10) tetapi karena kita kehilangan arah larinya,"

   Jawab Mundingsari dengan meng-gerendeng.

   "Dengan berkuda kita terpaksa mengambah jalan besar. Sebaliknya, dia mengandal kepada kecepatan berlarinya. Dia bisa menerjang sawah ladang. Kalau perlu bersembunyi di belakang gerumbul belukar. Sekalipun kudamu mampu menjajari kecepatan angin, kali ini engkau ter-kicuh." 10) menyusul * "Terkicuh bagaimana?" 'Orang-orang yang hendak menginap di kelurahan tadi, mengingatkan aku kepada rombongannya. Bukan mustahil mereka sebenarnya anak buahnya. Apakah bayangan tadi tidak bermaksud memancing kita berdua agar menjauhi mereka?"

   "Ah! Mengapa baru sekarang kau berkata begitu? Mari!"

   Ajak pemuda itu. Dan tanpa menunggu jawaban Mundingsari, ia memutar kudanya dan balik kembali ke kampung. Sebentar saja mereka sudah tiba di depan kelurahan. Seraya melompat dari punggung kudanya, pemuda itu menegas lagi kepada Mundingsari.

   "Apakah Paman yakin, bahwa bayangan tadi mempunyai sangkut paut dengan mereka yang menginap di sini?"

   "Aku curiga melihat gerakan bayangan tadi yang begitu gesit,"

   Jawab Mundingsari.

   "Gerakannya mengingatkan aku kepada orang bertopeng yang merampas uang perbekalan kawalanku."

   "Kalau begitu biarlah aku mencaci mereka."

   "Jangan! Di dalam dunia yang lebar ini, seringkali terdapat orang-orang luar biasa,"

   Mundingsari mencegah.

   "Siapa tahumereka sebenarnya bukan segerombolan dengan penjahat bertopeng. Aku hanya menduga, bahwa menilik pakaian yang dikenakan dan gerak-geriknya...."

   "Ah, bagaimana sih sebenarnya?"

   Potong pemuda itu dengan suara jengkel.

   "Tadi Paman berbicara begitu sekarang begini."

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ditegur demikianMundingsari agak keripuhan. Sahutnya dengan suara tersipu.

   "Demi Tuhan! Sebenarnya aku hanya menduga saja. Sedang maksudku yang benar, aku tak setuju engkau datang lantas mema- ki-makinya. Lebih baik kita usut dengan perlahan-lahan saja. Dengan begitu tidak akan mengejutkan penduduk."

   Pemuda itu dapat dibuatnya mengerti. Katanya kemudian.

   "Baiklah, mari kita masuk! Aku tidak akan memaki mereka. Tetapi aku akan memaki bayangan yang lenyap tadi. Kalau mereka merasa tersinggung, pasti akan menegur aku."

   Setelah berkata demikian, dengan suara nyaring ia mencaci bayangan tadi kalang kabut. Kemudian dengan di kuti Mundingsari, ia memasuki halaman kelurahan yang nampak remang-remang. Mundingsari berpikir di dalam hati.

   "Pemuda ini tinggi ilmunya. Tapi tingkah lakunya seperti gadis brengsek". Memikir demikian ia tertawa geli dalam hati. Datang di serambi depan, Kepala Kampung menyongsongnya. Katanya dengan membungkuk hormat.

   "Tuan mencari siapa?"

   "Mana mereka tadi yang mau menginap di sini?"

   Sahut pemuda itu dengan suara tegas.

   "Ah! Apakah Tuan tadi yang melarikan kuda mengarah ke timur?"

   "Benar..."

   "Kebetulan,"

   Ujar Kepala Desa itu.

   "Mereka tadi tidak jadi menginap di sini. Seorang tetamu datang membawa mereka melanjutkan perjalanan. Kemudian mereka meninggalkan suatu tanda perkenalan untuk disampaikan kepada Tuan."

   "Siapa yang perintah?"

   "Mereka bertiga tadi,"

   Jawab Kepala Kampung.

   "Aku tak berani banyak berbicara. Mereka bersikap galak. Mereka berkata, bahwa Tuan berdua pasti balik kemari."

   "Hm,"

   Gerendeng pemuda berpakaian putih itu.

   la menoleh kepada Mundingsari.

   Pendekar itu menghampiri meja dan mengamat-amati sebuah kotak kecil yang di- katakan sebagai tanda perkenalan.

   Lama sekali ia tidak membuka mulut.

   Kemudian ia merogoh sakunya dan mengeluarkan se-genggam uang.

   "Kami berdua akan menginap di sini. Bagaimana apakah engkau bisa menerima?"

   "Tentu-tentu saja. Mereka telah pergi sedang kamar yang kami sediakan belum tersentuh. Silakan! Cuma sajasewanya tidak perlu uang sebanyak itu."

   "Kau terima saja,"

   Sahut Mundingsari yang telah mengenal kelemahan Kepala Kampung itu. Benar saja. Begitu mendengar ucapan Mundingsari, Kepala Desa yang mata duitan itu memancar matanya. Dengan mem-bungkuk-bungkuk ia berkata.

   "Terima kasih, terima kasih. Moga-moga Tuan berdua puas dengan kamar yang telah kami sediakan buat kamar penginapan para pelancong. Apakah Tuan membutuhkan makan dan minum?"

   "Tidak! Kau berilah serbuk dan rumput kepada kuda- kuda kami. Kami akan segera beristirahat,"

   Kata Mundingsari. Kepala Desa membungkuk lagi. Hendak ia menjalankan perintah tetamunya, tiba-tiba pemuda berbaju putih itu bertanya.

   "Apakah empat tetamumu tadi benar-benar tiada lagi di dalam rumahmu?"

   "Benardemi Tuhanmereka sudah pergi,"

   Kepala Desa bersumpah.

   "Ah walaupun kasartetapi sesungguhnya belum pernah aku mempunyai tetamu begitu dermawan. Segenggam uang yang sudah diberikan kepada kami, tak mau dimintanya kembali."

   Kepala Kampung itu membahasakan diri dengan kami. Artinya itu ia menaruh hormat kepada empat tetamunya tadi. Mundingsari tak sudi kalah gertak. Ia mengeluarkan sepotong uang emas dan diangsurkan kepada tuan rumah seraya berkata.

   "Ini boleh kau ambil lagi."

   Kepala Desa itu girang bukan main. Setelah membungkuk-bungkuk hormat beberapa kali, ia meninggalkan serambi rumah.

   "Paman! Rupanya kau mau adu kedermawanan dengan keempat tetamu tadi,"

   Kata si Pemuda.

   "Semenjak mencari jejak penjahat bertopeng, beberapa kali aku bertemu dengan orang-orang aneh dan luar biasa,"

   Sahut Mundingsari menyimpang. Lalu ta- ngannya meraba-raba kotak di depannya.

   "Kenapa tidak kau buka saja? kata pemuda itu dengan suara tak mengerti. Tanpa menyahut, Mundingsari membawa kotak itu ke dalam kamar. Setelah mengajak pemuda itu memasuki kamarnya, segera ia menutup pintu rapat-rapat. Ia me- letakkan kotak itu di atas meja. Kemudian mengeluarkan belatinya.

   "Kenapa tidak kau buka saja?"

   Kata pemuda itu dengan suara tak mengerti.

   "Paman! Akan kau mengapakan kotak ini?"

   Kata si Pemuda minta penjelasan.

   Mundingsari tetap membungkam.

   Ia mundur beberapa langkah.

   Kemudian menyam-bitkan belatinya.

   Trak! Dan tutup kotak itu terpental jatuh di atas lantai.

   Pemuda itu keheran-heranan menyaksikan pekerti Mundingsari.

   Apa sebab begitu rewel? Dibuka dengan tangan maupun degan belati bukankah setali tiga uang? Mundingsari tak menghiraukan kesan rekanya, la menghampiri kotak yang telah terbuka, la menjenguk isinya.

   Lalu berkata dengan suara girang.

   "Tulen."

   "Apanya yang tulen?"

   Pemuda itu tambah tak mengerti.

   "Inilah surat undangan Ki Jaga Saradenta,"

   Seru Mundingsari keheran-heranan.

   "Aku melihat Ki Jaga Saradenta mati rebah bersandar pada tangga rumahnya. Masakan mataku sudah lamur? Apakah artinya ini? Jangan-jangan kepala pendekar Wirapati yang berada di atas tombak pesanggrahan Kompeni Belanda sebenarnya bukan kepala pendekar Wirapati yang tulen!"

   Mendengar ucapan Mundingsari, pemuda itu kaget sampai berjingkrak. Sepasang alisnya lantas saja terbangun. Tangannya lantas berkelebat menyambar surat undangan itu.

   "Jangan raba dulu!"

   Cegah Mundingsari.

   "Siapa tahu kalau semua ini suatu jebakan belaka. Bukankah engkau datang di atas genteng pesanggrahan untuk merebut kepala pendekar mulia itu?"

   Pemuda itu membatalkan niatnya. Ia menganggap cegahan Mundingsari beralasan.

   "Benar,"

   Sahutnya penuh ingn tahu.

   "Bagaimana menurut pendapat Paman?"

   "Entahlah. Ada hal-hal yang belum dapat kumengerti dengan segera,"

   Kata Mundingsari.

   "Terang sekali aku melihat orang bertopeng itu telah berhasil merebut kepala pendekar Wirapati. Seumpama surat undangan ini adalah permainan gilanya, apakah maksudnya? Sebaliknya bila surat undangan ini bukan dari dia, lantas siapa? Apakah ada seorang gagah menggunakan nama Ki Jaga Saradenta untuk suatu maksud tertentu? Melihat kotak ini, sudahlah timbul rasa curigaku. Sebab aku kenal macam kotak ini. Aku pernah melihatnya tatkala beberapa tahun yang lalu berkunjung ke rumah nDoromas Sanjaya. Itulah sebabnya, aku berjaga-jaga dengan menggunakan belati sebagai alat pembuka. Kukirapastilah akan tertuar suatu gumpalan racun atau suatu alat pembunuh lainnya yang bisa menikam dengan tiba-tiba. Tetapi kedua-duanya tiada. Lantas aku berani menyatakan, bahwa surat undangan ini adalah surat undangan tulen. Hanya sajabagaimana aku menerangkan tentang Ki Jaga Saredenta yang pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa dia sudah mati disamping rumahnya."

   Mendengar keterangan Mundingsari, diam-diam pemuda itu mengagumi kecermatannya. Baru saja ia hendak membuka mulut, Mundingsari berkata lagi.

   "Ada lagi sesuatu yang mencurigakan."

   "Apa?"

   "Ki Jaga Saredenta di Sigaluh. Tapi bunyi undangan ini meminta kedatangan kita berdua ke Wonosobo. Bukankah jawaban maklumat tantanganmu berbunyi di Wonosobo pula?"

   "Ah, benar!"

   Pemuda itu terkejut.

   "Siapa yang main gila?"

   "Keduabagaimana Ki Jaga Saradenta tahu bahwa kita memiliki kuda tunggangan yang hebat sehingga mampu mencapai Kota Wonosobo sebelum esok tengah hari? Kau pikirkan saja, jarak ke Wonosobo puluhan pai jauhnya. Bacalah yang cermat! Kita diminta datang untuk menghadiri suatu pertemuan sebelum matahari mencapai titik tengah. Coba kuda kita ini macam kuda tunggangan lumrahmasakan bisa mencapai Kota Wonosobo secepat harapannya?"

   Pemuda itu merenungi bunyi surat undangan. Kemudian tertawa geli.

   "Paman boleh cermat, tetapi jangan keterlaluan. Rasa curiga Paman berlebih-lebihan. Kalau yang mengundang kita ini mempunyai niat menghabisi nyawa kita, apa perlu menunggu sampai kita tiba di Wonosobo? Sebaliknya aku malah kuat dugaanku bahwa engkau salah lihat. Yang mengundang ini benar-benar Eyang Jaga Saradenta. Sebab Eyang kenal kuda putihku ini. Mari malam ini kita beristirahat! Esok sebelum matahari muncul kita berangkat."

   Setelah berkata demikian, pemuda itu keluar dari kamar Mundingsari dan memasuki kamarnya sendiri.

   Setelah mengen-dorkan pakaiannya, segera ia bersemadi menyegarkan badan.

   Keesokan harinya sebelum fajar menyingsing mereka berdua sudah melarikan kudanya mengarah ke timur.

   Kuda putih milik pemuda itu, memang seekor kuda jempolan.

   Sebaliknya kuda Mundingsari adalah kuda pasaran.

   Walaupun demikian, larinya termasuk kuat dan ulat.

   Sesudah lari kencang-kencang, keempat kakinya seperti terlatih.

   Lantas saja dapat menjajari larinya kuda putih.

   Tatkala matahari sepenggalah tingginya, mereka sudah memasuki wilayah Wonosobo.

   Agar tidak menarik perhatian orang, mereka berdua turun dari kudanya dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sambil menuntun kudanya.

   Di sepanjang jalan mereka bertemu dan berpapasan dengan orang-orang luar biasa yang menuntun kudanya pula.

   Itulah suatu peraturan tata tertib untuk menghormati tuan rumah.

   Diam-diam Mundingsari heran.

   Pikirnya bolak-balik.

   "Ki Jaga Saradenta seorang demang yang memerintah wilayah Sigaluh. Tak kusangka pengaruhnya besar sampai meraba wilayah Wonosobo. Mereka ini nampaknya menerima undangannya pula. Eh, sesungguhnya Ki Jaga Saradenta lagi mengadakan suatu pertemuan apa?"

   Tiba-tiba mereka berpapasan dengan empat tetamu yang dilihatnya semalam hendak menginap di kelurahan. Melihat mereka, pemuda berbaju putih lantas saja hendak bergerak. Buru-buru Mundingsari mencegah.

   "Sst! Jangan gegabah dahulu. Kita melihat perkembangannya. Masakan takut bakal kehilangan mereka?"

   Mendongkol hati pemuda berbaju putih itu.

   Dengan melirikkan matanya, ingin ia melototi temannya berjalan.

   Tapi Mundingsari membuang mukanya ke arah lain.

   Tepat sebelum matahari mencapai titik tengah mereka telah tiba di Wonosobo.

   Wonosobo dahulu bukan Kota Wonosobo sekarang.

   Yang memerintah negeri bernama Jayanegara.

   Jayanegara seorang bupati yang terkenal sakti dan disegani orang.

   Tetapi pertemuan itu bukan berada di halaman kabupaten.

   Sebaliknya berada di sebuah perkebunan yang luas.

   Di tengan kebun terdapat sebuah lapangan terbuka.

   Di tengah lapangan itu berdirilah sebuah panggung yang dicat dengan tergesa- gesa.

   Jelaslah bahwa panggung itu baru saja didirikan beberapa hari yang lalu.

   Beberapa penyambut tetamu, mengantarkan Mundingsari dan pemuda berbaju putih itu masuk ke dalam arena.

   Kemudian dipersilakan duduk di belakang sebuah meja yang letaknya di sebelah timur.

   Baik Mundingsari maupun pemuda berbaju putih itu, tak mengenal tetamu-tetamu yang ikut menghadiri pertemuan.

   Tetamu-tetamu itu pun seperti mereka berdua.

   Dengan berbicara kasak-kusuk mereka saling minta keterangan apa sebab Ki Jaga Saradenta dengan persetujuan Bupati Jayanegara mengadakan pertemuan besar itu.

   Demikianlah tatkala matahari mencapai titik tengah seorang laki-laki tua naik ke atas panggung.

   Orang itu berusia kurang lebih sembilan puluh tahun.

   Meskipun demikian, gerakannya masih gesit.

   Setelah membungkuk memberi hormat kepada para hadirin, ia berkata lantang.

   "Saudara-saudara datang dari jauh semata-mata karena surat undanganku. Benar-benar aku terharu dan kagum. Karena itu perkenankan aku si tua bangka ini menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga. Kecuali anak-anak murid Gunung Damar yang sedang mempunyai urusan gawat, pendekar besar Sangaji, Adipati Surengpati dan pendekar Gagak Seta yang berhalangan datang semuanya, sudah tiba dengan sela- mat. Dengan demikian, pertemuan ini merupakan suatu pertemuan raksasa. Karena para hadirin datang dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Inilah untuk yang pertama kali pula, pendekar-pendekar gagah di penjuru tanah air berkumpul menjadi satu. Benar-benar aku si tua bangka sangat terharu dan berbesar hati. Silakan saudara-saudara mencicipi hidangan seada-nya. Maklumlah aku si tua bangka bukan termasuk seorang yang berada."

   Mundingsari semenjak tadi ternganga-nganga keheranan.

   Benar-benar orang tua itu Ki Jaga Saradenta.

   Kalau begitu siapakah yang pernah dilihatnya tewas bersandar pada dinding rumahnya? Apakah di dalam dunia ini ada dua orang yang sama rupa? Mengingat waktu itu malam gulita dan dengan Ki Jaga Saradenta ia tak pernah bertemu sekian tahun lamanya, ia jadi me- ragukan kesaksiannya sendiri.

   "Mungkin sekali mataku lamur,"

   Pikirnya di dalam hati.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekarang Ki Jaga Saradenta mengumpulkan pendekar- pendekar gagah dari seluruh penjuru tanah air. Ini bukan suatu pekerjaan gampang. Walaupun Ki Jaga Saradenta terkenal sebagai seorang gagah, tapi mustahil dia mempunyai pengaruh begini besar. Apakah orang-orang ini rnemenuhi undangannya bukan karena mengingat kegagahan pendekar besar Sa-ngaji? Ya, pastilah begitu. Soalnya sekarang, apa maksud Ki Jaga Saradenta mengumpulkan pendekar-pendekar gagah ini?"

   Setelah para tetamu undangan makan dan minum sepuasnya, Ki Jaga Saradenta naik lagi ke atas panggungnya. Kemudian berpidato dengan suara nyaring.

   "Saudara-saudara yang hadir di sini adalah para pejuang yang gagah dan sahabat yang kekal. Sewaktu mudaku, pernah aku ikut pula mencoba-coba mengadu untung dengan mengikuti Gusti Mangkubumi11) merebut negeri. Karena itu meskipun usiaku sudah hampir mencapai seabad rasanya masih ingin aku ikut serta membicarakan keadaan negeri. Saudara-saudara, keadaan dalam 11) Sultan HB 1 negeri kita makin buruk. Rakyat dmana-mana mengeluh karena dikejar-kejar demam pajak dan ancaman Kompeni Belanda. Ini semua akibat perbuatan Patih Danurejo. Sekarang Gusti Pangeran Diponegoro yang tadinya ikut mengendalikan pemerintahan pada zaman Sultan Hamengku Buwana II dan III terpaksa pulang kembali ke Tegalrejo. Tetapi justru Beliau pulang ke kampung, namanya dibuat kambing hitam oleh Patih Danurejo dengan begundal-begundalnya. Aku yakin, bahwa saudara-saudara yang berdarah ksatria sejati tidak akan tetap tinggal diam bertopang dagu belaka. Tetapi berjuang melindungi kesejahteraan rakyat dan negara secara perorangan dan tanpa pimpinan samalah halnya seekor ular tanpa kepala. Tegasnya saudara-saudaraingin aku meniru sepak terjang muridku Sangaji yang sudah berhasil menghimpun suatu himpunan orang-orang gagah di Jawa Barat. Sampai sekarang namanya menggetarkan bumi, dan laskar perjuangan Jawa Barat ternyata tidak gampang-gampang dapat dihancurkan Kompeni Belanda dengan kekuatan macam apa pun juga. Saudara- saudarahayolah kita mencari seorang pemimpin yang pantas memimpin kita semua. Aku bukan seorang peramal. Tetapi pulangnya Gusti Pangeran Diponegoro ke Tegalrejo pasti mempunyai ekornya yang panjang. Pendek kata, sebelum hujan bukankah kita lebih baik bersedia payung?"

   Undangan Ki Jaga Saradenta ternyata tidak kepalang tanggung.

   Mengingat kepentingan tanah air, tetamu- tetamu yang diundangnya tidak hanya terdiri dari kaum pecinta-pecinta negera saja tapi pun kepala-kepala begal yang bersembunyi di dalam rimba raya.

   Maka tak mengherankan, ajakan Ki Jaga Saradenta untuk bersatu di bawah satu bendera tidak segera memperoleh persetujuan.

   Bagi kepala-kepala begal yang hidupnya tergantung pada rejeki baik belaka, kekacauan negara merupakan sawah ladang yang subur.

   Sebaliknya ajakan Ki Jaga Saradenta disambut dengan penuh semangat oleh para pandekar.

   Tetapi jumlah mereka hanya tujuh bagian dari seluruh yang hadir.

   Dalam pada itu, Ki Jaga Saradenta menyiratkan pandang kepada semua tetamunya.

   Sebentar ia membiarkan tetam-tetamu berbisik-bisik menyatakan isi hatinya.

   Apabila suara bisik itu makin lama terasa makin menjadi sibuk, segera ia mengetuk meja.

   Lalu berkata nyaring mengatasi suara mereka.

   "Saudara-saudara, perkenankan aku menyumbangkan sedikit pendapatku. Hadirin di sini terdiri dari berbagai golongan yang mempunyai kepentingan hidup masing- masing. Baiklah begini saja. Perserikatan yang kita adakan ini sama sekali tidak mengganggu gugat pekerjaan atau mata pencaharian saudara-saudara masing-masing. Yang pentinghimpunan ini merupakan suatu perserikatan di bawah satu bendera. Maaf seumpama salah seorang anggota kita yang kebetulan menjadi seorang pamong desa mempunyai urusan dengan salah seorang anggota kita yang kebetulan bermata-pencaharian mengganggu ketertiban umum, hendaklah perkaranya diajukan kepada Ketua Perserikatan yang bakal kita pilih nanti. Kepadanyalah semua perkara yang bertentangan kita serahkan. Dia akan memutuskan. Dan kita semua wajib patuh kepadanya."

   "Bagus!"

   Terdengar serombongan tetamu yang mengenakan pakaian seragam polisi desa.

   Rombongannya dengan serentak dapat menyetujui saran Ki Jaga Saradenta.

   Sebab apabila di kemudian hari terjadi suatu perampokan atau suatu perampasan di jalan, mereka tinggal mengadu kepada Ketua Himpunan.

   Dengan tak usah turun tangan sendiri barang yang kena dirampok atau dirampas bakal dikembalikan tak kurang suatu apa.

   Ini merupakan suatu keuntungan besar bagi pekerjaan mereka.

   Golongan polisi pada waktu itu perlu mempunyai hubungan rapat dengan golongan perampok atau penyamun.

   Perlunya manakala terjepit suatu kesukaranmereka bisa minta pertolongan dan bantuan.

   Maka saran Ki Jaga Saradenta untuk mewajibkan calon Ketua Himpunan mengurus segala sengketa pada hakekatnya sangat menguntungkan mereka yang bekerja sebagai polisi atau pamong desa.

   "Ki Jaga Saadenta!"

   Tiba-tiba terdengar suatu seruan nyaring.

   "Kalau begitu, lebih baik engkaulah yang menjadi Katua Himpunan."

   Ki Jaga Saradenta tertawa meringis.

   "Aku sudah terlalu tua. Lihatlah, rambutku sudah beruban. Dua atau tiga hari lagi, aku bakal masuk kubur. Bagaimana aku bisa kalian harapkan menjadi seorang tokoh yang berarti? Biarlah aku mengusulkan seorang gagah yang mempunyai harapan gemilang di masa depan. Dialah seorang pemuda yang belum cukup berumur 25 tahun. Tapi ilmu kepandaiannya sudah ting- gi. Dia putera seorang pendekar besar pula. Namanya Daniswara. Saudara Daniswara silakan naik ke atas panggung biar saudara-saudara pecinta tanah air mengenal wajah-mu. Begitu mendengar ucapan Ki Jaga Saradenta, semua tetamu memanjangkan lehernya menoleh ke arah pandang mata tuan rumah. Dan pada saat itu, tiba-tiba melesatlah seorang pemuda ke atas panggung dengan suatu gerakan yang gesit luar biasa. Ia lantas berdiri di samping Ki Jaga Saradenta. Perawakan pemuda itu tinggi besar. Alisnya tebal, matanya besar dan berbere-wok pendek kaku. Gsianya mungkin tidak tepat 25 tahun. Tapi terang sekali belum mencapai tiga puluh tahun. Dengan pandang matanya yang tajam ia menyapu semua hadirin. Mereka yang hadir heran dan terkejut. Kebanyakan dari mereka belum pernah mengenal pemuda yang mendapat pujian Ki Jaga Saradenta begitu tinggi. Di antara mereka adalah Mundingsari yang paling terperanjat. Mula-mula hatinya terkejut tatkala melihat gerakan pemuda berberewok itu. Setelah menyaksikan perawakan tubuhnya segera ia mengenalnya sebagai si penjahat bertopeng yang merampas uang kawalannya.

   "Saudara-saudara!"

   Seru Ki Jaga Saradenta kemudian.

   "Aku tahu, saudara Daniswara baru saja muncul dalam percaturan umum. Tetapi dengan berbekal ilmu kepandaiannya yang sangat tinggi namanya dengan cepat telah menggetarkan bumi. Beberapa kali sepak terjangnya pernah mengejutkan hati kami kaum angkatan tua. Mula-mula dengan seorang diri, ia menaklukkan pendekar Watu Gunung dari Gunung Mandalagiri yang mencoba menyusup ke Jawa Tengah. Kemudian dengan sebelah tangannya, ia merobohkan rombongan Gtusan Suci dari Pulau Lombok. Dan pada beberapa hari yang lalu dengan dibantu beberapa orang saja dia berhasil merampas uang Kompeni Belanda yang harganya ribuan ringgit. Walaupun ilmunya sangat tinggi, namun saudara Daniswara ini segan memperlihatkan mukanya dengan terang-terangan di depan umum. Itulah sebabnya apabila sedang bekerja dia selalu mengenakan topeng."

   Keterangan Ki Jaga saradenta disambut dengan perasaan kaget oleh para hadirin.

   Terutama golongan polisi dan golongan penyamun.

   Nama seorang penjahat yang mengenakan topeng akhir-akhir ini sangat terkenal dan menjadi pembicaraan mereka.

   Di luar dugaan sekarang muncul di sini.

   "Saudara-saudara,"

   Ki Jaga Saradenta meneruskan keterangannya.

   "Merampas uang negara bukanlah suatu pekerjaan mudah. Selain membutuhkan suatu keberanian juga harus berbekal ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Sebab mereka bersenjata senapan. Tapi nyatanya menghadapi kecekatan 'saudara Daniswaramereka tewas semua. Hanya dua tiga orang yang berhasil meloloskan diri. Itu pun berkat kelapangan budi saudara Daniswara. Cobaapakah pemuda yang bijaksana beginibukan pantas menjadi pemimpin kita?"

   Mundingsari berdebaran hatinya.

   Wajahnya terasa panas.

   Dengan mata tajam ia mengamat-amati air muka Ki Jaga Saradenta.

   Ia mengenal Ki Jaga Saradenta seba- gai seorang pendekar yang gagah, jujur, berangasan, tidak senang berbicara banyak dan benci kepada segala macam pujian.

   Tapi apa sebab kali ini, dia meninggalkan adatnya? Selagi berpikir demikian, tiba-tiba ia mendengar Ki Jaga Saradenta menangis menggerung-gerung.

   Pendekar yang sudah berusia tua itu, menangis dengan mem- bungkuk-bungkuk.

   Suara tangisnya terdengar sedih menyayatkan hati.

   Setelah menangis beberapa waktu lamanya, ia lalu berkata dengan sesenggrukan.

   "Saudara-saudara, izinkan aku menangis. Menangisi rekanku Wirapati yang mati terpenggal tangan Kompeni biadab. Tapi di-balik itu, perkenankan aku menyatakan hormatku kepada pemuda ini. Seperti saudara ketahui, Wirapati adalah sahabatku yang berhati bersih, agung dan gagah. Tapi ia mati di tangan kaki tangan Patih Danurejo. Kepalanya dipancang pada sebuah tiang bendera yang ditaruh di atas tembok pesanggrahan Kompeni. Mendengar hal itu, aku masuk ke Kota Magelang hendak mencoba merebut kepala sahabatku. Aku berhasil membunuh sembilan orang begundal Kompeni Belanda, tetapi gagal merampas kepala sahabatku Wirapati. Juga saudara Daniswara ini. Dengan seorang diri ia memasuki penjara. Membunuh belasan orang, namun tak berhasil menolong sahabatku Wirapati. Walaupun demikiandengan keberaniannya yang mengagumkan ia berhasil merampas kepala sahabatku Wirapati dari tiang bendera. Itulah suatu pekerjaan luar biasa. Atas nama keluarganya, dengan ini aku menyatakan hormatku. Dengan demikian, kini aku dapat mengubur jenazah sahabatku dengan lengkap... Saudara-saudara sekalian, dengan bukti inicukuplah sudah aku mempertaruhkan seluruh kepercayaanku kepadanya untuk memimpin himpunan kita ini. Dia benar-benar lawan Belanda dan musuh pemerintahan Danurejo yang terang-terangan merusak kesejahteraan rakyat..."

   Mundingsari tercekat hatinya.

   Apakah karena alasan itu, Ki Jaga Saradenta rela meninggalkan adat kebiasaannya untuk menyatakan rasa terima kasihnya terhadap Daniswara.

   la mengerling kepada pemuda berbaju putih temannya berjalan.

   Wajah pemuda itu nampak berubah cepat.

   Tangannya menekan hulu pedangnya erat-erat.

   "Saudara!"

   Buru-buru ia mencegah.

   "Jangan terburu nafsu. Dengarkan dahulu sampai selesai. Baru kita melihat gelagat."

   Untungwaktu itu hadirin sedang bersorak menyatakan rasa kagumnya terhadap Daniswara, sehinga bisikan Mundingsari tenggelam dalam riuh sorak sorai.

   Pemuda berbaju putih itu sendiri, agaknya patuh kepada peringatan Mundingsari.

   la melepaskan tangannya dari hulu pedangnya.

   Meskipun demikian pandang matanya tajam luar biasa.

   Dengan berkilat-kilat ia mengikuti semua gerak gerik yang terjadi di atas panggung.

   Heran Mundingsari menyaksikan sikap pemuda itu yang garang.

   Sifat kekanak-kanakannya mendadak lenyap.

   Nampak sekali, bahwa pemuda itu menaruh curiga dan bersiaga bertempur.

   Apakah dia bernafsu untuk merebut kepala Wirapati? Teringatlah Mundingsari bahwa pemuda itu pun muncul di atas genteng pesanggrahan Kompeni, tatkala terjadi perjuangan merebut kepala Wirapati.

   Apakah hubungannya pemuda itu dengan Wirapati? Mundingari sibuk menebak-nebak.

   Sementara itu, Ki Jaga Saradenta sudah berhenti menangis.

   Sesudah mengusap air matanya kering-kering, ia berkata.

   "Saudara-saudara, tadi aku berkata bahwa saudara Daniswara adaah putera seorang pendekar besar. Pastilah banyak di antara para hadirin yang sudah kenal naman ayahnya."

   "Siapa? Siapa? Siapa?"

   Sahut para hadirin dari mulut ke mulut.

   "Tiga puluh tahun yang lalukita mengenal tujuh orang saktiyang namanya akan tetap abadi,"

   Kata Ki Jaga Saradenta dengan suara nyaring.

   "Yang pertama. Kyai Kasan Kasambi. Kedua. Gusti Mangkubumi 1. Ketiga. Aria Singgela alias Kebo bangah. Keempat. Adipati Surengpati. Kelima. Kyai Haji Lukman Hakim. Keenam. Adipati Aria Samber Nyawa. Dan ketujuh. Gagak Seta. Dan saudara Daniswara ini adalah putera pendekar besar Aria Singgela alias Kebo Bangah. Siapa yang belum pernah mendengar nama pendekar besar itu?"

   Mendengar keterangan Ki Jaga Saradenta, semua hadirin menyatakan kekagumannya dan rasa hormatnya. Sebaliknya gundu mata pemuda berbaju putih itu bergerak-gerak tiada hentinya. Mundingsari bertambah- tambah rasa herannya.

   "Apakah Ki Jaga Saradenta sedang membual?"

   Ia mencoba menebak. Pemuda itu mendengus. Menjawab menyimpang.

   "Bagus! Apa sebab nama pendekar Gagak Seta ditaruh paling bawah? Hm.... Kalau dia putera Kebo Bangah, lebih tepat kalau menjadi seorang ahli racun. Apa sebab dia bernafsu hendak memimpin orang mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda? Apakah dia bukan lagi bermimpi di siang hari bolong?"

   Sebagai bekas pengikut Pangeran Bumi Gede, sudah barang tentu Mundingsari kenal siapa Kebo Bangah.

   Bahkan ia pernah bertemu muka sebagai ayah sang Dewaresi yang gagah perkasa.

   Dan Kebo Bangah memang seorang pendekar yang terkenal sebagai pendekar beracun.

   Kalau pemuda itu berkata bahwa Daniswara lebih tepat menjadi seorang ahli racun, tidaklah terlalu salah.

   Hanya saja, kata-katanya seperti menggenggam suatu maksud tersembunyi.

   Lagi pula sungguh mengherankan.

   Pemuda itu usianya pasti belum mencapai dua puluh tahun.

   Tetapi agaknya dia paham akan sejarah asal-usul pendekar-pendekar besar.

   Kebo Bangah sendiri namanya sesungguhnya sangat tenar.

   Kalau tidak, masakan namanya dijajarkan dengan nama-nama tokoh utama yang merajai bumi Jawa.

   Meskipun orangnya sudah tiada lagi, namun namanya yang cemerlang masih mengejutkan orang.

   Baru saja Ki Jaga Saradenta memperkenalkan nama ayah jagonya, seluruh hadirin menjadi sibuk.

   Mereka mem- perbincangkan dan merundingkan.

   Pada umumnya, mereka kagum dan menghormati nama pendekar Kebo Bangah.

   Tetapi terhadap puteranya yang baru saja muncul dalam percaturan hidup, belum dapat meyakinkan hati mereka.

   Walaupun menurut keterangan Ki Jaga Saradenta, Daniswara telah melakukan hal-hal yang mengagumkan.

   Mundingsari yang berpengalaman segera dapat menebak gelagatnya.

   Pikirnya.

   "Orang-orang yang menghadiri pertemuan ini bukan terdiri dari sembarang orang. Mereka datang pula dari seluruh penjuru tanah air. Pastilah mereka tidak bisa dengan gampang disuruh tunduk dengan begitu saja. Ah, Daniswara harus bekerja keras untuk mentaklukkan mereka."

   Daniswara sendiri tahu akan hal itu. Dengan matanya yang tajam, ia menyapu para hadirin. Kemudian berkata dengan suara nyaring angker.

   "Saudara-saudara waktu ini dunia terasa makin menjadi kalut. Hidup dalam zaman demikian adalah neraka bagi orang-orang yang gagah pecinta bangsa dan anah air. Sebaliknya mengharapkan kebahagiaan dari tangan seorang seperti Patih Danurejo untuk membereskan kekalutan dunia samalah halnya mengharapkan runtuhnya langit. Itulah sebabnya, saran Ki Jaga Saradenta untuk segera membentuk suatu perserikatan dapat kusetujui penuh-penuh. Hanya saja, kalau dia lantas menunjuk aku sebagai pemimpinnya, ooo alangkah menggelikan. Bukankah di sini hadir para pendekar pecinta bangsa dan tanah air yang berkepandaian sangat tinggi? Kukira di antara para hadirin ada seorang lain yang lebih tepat daripada diriku."

   Baru saja ia selesai berbicara, kesibukan segera terjadi lagi. Malahan kali ini diseling dengan suara teriakan- teriakan keras sewaktu mengemukakan pendapatnya.

   "Kenapa saudara Daniswara bersikap segan-segan?"

   Tegur Ki Jaga Saradenta dengan suara tak senang.

   "Semenjak dahulu seorang pendekar besar muncul dari angkatan mudanya!"

   Seru seseorang.

   "Saudara Daniswara pantas malahan tepat sekali menjadi pemimpin perserikatan ini. Hayo saudara Daniswara jangan segan-segan. Aku mendukungmu."

   "Benar kami pun mendukungnya. Siapakah yang bisa melawan keberaniannya sewaktu merampas uang belanja Kompeni Belanda,"

   Teriak seseorang lagi. Seseorang berperawakan pendek bulat, berseru nyaring.

   "Aku ingin bertanya, siapa di antara kita yang berani mengacau pesanggrahan Kompeni Belanda di Magelang yang dijaga dengan berlapis-lapis? Karena itu aku membenarkan pendapat rekan Jaga Saradenta, bahwasanya dengan dua macam pekerjaan itu saja sudah cukup meyakinkan orang untuk mengangkat dia sebagai pemimpin perserikatan kita."

   Tetapi seorang bertubuh kurus-jangkung yang duduk di sebelah utara, tiba-tiba berdiri serentak sambil berteriak.

   "Kedudukan sebagai seorang pemimpin perserikatan bukannya seperti seorang calon penjual tempe. Kedudukannya sangat penting. Sebab dia harus bertanggungjawab tidak hanya kepada bangsa dan tanah air saja, tetapi pun Tuhan semesta alam. Dia boleh gagah. Boleh sesakti malaekat, tetapi dia masih hijau. Pengalamannya masih kurang."

   Si Pendek bulat menjadi panas hati. Balasnya sengit.

   "Siapa merasa tak puas, boleh main coba-coba melawan aku. Hayo, naiklah ke panggung!"

   Sekonyong-konyong melompatlah seorang yang mengenakan pakaian pedagang ke atas panggung. Dialah salah seorang yang hendak menginap di kelurahan semalam. Dengan tertawa lebar dia berkata nyaring.

   "Siapa yang hendak menjadi pemimpin perserikatan ini, aku tak peduli. Sebaliknyaaku adalah seorang pedagang. Sebelum berangkat berdagang, aku harus mengetahui berapa kekuatan modalku. Seumpama aku menemukan seorang yang sanggup memberi modal melebihi modalkuah, barulah aku sudi mengakuinya sebagai majikanku."

   Mundingsari mengawaskan pedagang itu.

   Dialah orang yang berlaku dermawan kepada kepala desa semalam.

   Menyaksikan keberaniannya menggenderangkan tantangan, diam-diam ia bersyukur tidak sampai kebentrok semalam.

   Baru selesai pedagang itu menggenderangkan tantangannya, si pendek bulat segera melompat ke atas panggung.

   Katanya membentak.

   "Aku seorang penyamun. Kebetulan sekali engkau mengumumkan diri sebagai seorang pedagang bermodal. Maukah engkau membagi modalmu itu?"

   Lucu kata-kata si pendek bulat itu, meskipun ia berusaha untuk menggarangkan suaranya.

   Banyak di antara hadirin yang bersenyum lebar.

   Dalam pada itu si pedagang menjadi mendongkol.

   Bentaknya pula! "Baiklah.

   Kau ingin aku membagi modalku? Ingin kulihat berapa besar kantongmu."

   Setelah membentak demikian, ia mengeluarkan senjatanya.

   Dan begitu meli- hat senjatanya, semua orang terkejut.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ternyata senjatanya berbentuk sebilah golok melengkung.

   Pada ujungnya, merentep segerombol bola-bola kecil.

   Semuanya terdiri dari emas murni.

   "Ah kenapa dia tampil di atas pangung,"

   Gerutu seorang yang duduk di dekat Mundingsari.

   "Sebenarnya siapakah dia?"

   Pemuda berbaju putih minta keterangan.

   "Ahadik masih terlalu muda. Pantas belum kenal siapa dia,"

   Kata orang itu.

   "Dialah yang terkenal bernama Amat Sodik pada tiga puluh tahun yang lalu. Hidupnya sebagai seorang perampok. Setelah berhasil mengumpulkan harta, dia mengubah cara hidupnya menjadi seorang pedagang. Menjadi perampok dia berhasil. Menjadi pedagang dia lebih berhasil lagi. Tak peduli harta dagangnya itu dari mana, tapi nyatanya dia menjadi seorang kaya raya. Sebutlah seorang milyarder. Maka ia mampu membuat sebilah golok melengkung dari emas murni. Orang-orang menyebut senjatanya dengan nama . Pulasari. Tajamnya luar biasa. Sekali menabas lantas cespleng."

   "Cespleng bagaimana?' "Artinya tidak sampai mengulang. Sekali jadi,"

   Jawab orang itu.

   "Dia sudah menjadi seorang milyarder. Apa sebab ikut serta memperebutkan kedudukan sebagai seorang pemimpin perserikatan? Apa sih enaknya menjadi se- orang pemimpin perserikatan?"

   Tanya si Pemuda minta ketegasan. Mundingsari tersenyum, sedang orang . yang berbicara tak menjawab. Memang pemuda itu masih muda belia. Belum banyak ia mengenal orang semacam Amat Sodik.

   "Siapakah lawan Amat Sodik itu?"

   Dia minta keterangan lagi.

   "Seperti yang dinyatakan sendiri, dia hidup sebagai penyamun.

   Namanya Kari-mun.

   Tapi ia menyematkan nama Umarmaya agar jauh lebih mentereng.

   Kukira dia salah seorang anggota pimpinan gerombolan penyamun yang bersarang di atas Gunung Tugel."

   "Nama itu menarik sekali. Benarkah Umarmaya nama seorang pahlawan Arabia dalam ceritera Menak?"

   Kata si Pemuda dengan bersenyum.

   "Ingin kulihat apakah dia benar-benar seorang pahlawan hebat."

   


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung

Cari Blog Ini