Senopati Pamungkas 17
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 17
Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto
Bahwa utusan yang datang dari tlatah Turkana sungguh istimewa.
Masih muda, jelita tak tertandingi, akan tetapi ilmunya setara dengan sekian banyak utusan yang datang.
Baik dari Tartar, Jepun, maupun Hindia sendiri.
Nyai Demang bisa memperkirakan betapa tangguh dan hebatnya Ratu Ayu Dan sesungguhnya, kalau dihitung-hitung sejak semula, jumlah utusan dari berbagai penjuru jagat ini sudah diatur sedemikian rupa untuk pertempuran secara langsung dan menyeluruh.
Secara bersamaan.
Dalam perhitungan para ksatria tingkat jagat ini, nama Upasara tidak termasuk.
Tempat yang sesungguhnya ialah untuk Ratu Ayu! Hanya karena satu dan lain hal, Ratu Ayu tak bisa datang tepat pada saat yang dijanjikan.
Sehingga Upasara bisa mengikuti pertarungan.
Nyai Demang masih ingat.
Bahwa sebelum masuk ke gelanggang pertarungan, Upasara semacam diuji lebih dulu.
Pantas atau tidak dalam perebutan gelar Lelananging jagat! Hal itu tak terjadi andai Ratu Ayu yang masuk ke gelanggang.
Keunggulan Ratu Ayu telah diakui oleh Kiai Sambartaka.
Juga Naga Nareswara.
Itu yang didengar oleh Gendhuk Tri.
Tapi Gendhuk Tri sama sekali tak ambil peduli, dan menganggap Naga Nareswara sekadar membual.
Ia dijuluki Raja Segala Naga, dan lalu asal menyebutkan nama Ratu Ayu Bawah Langit.
Biar dianggap setanding.
Memang, dibandingkan dengan Nyai Demang maupun Jaghana, Gendhuk Tri paling kalah dalam pengalaman mengetahui apa yang terjadi di tlatah lain.
Bahkan perihal tlatah Melayu saja, Gendhuk Tri baru mengetahui belakangan setelah kembalinya Senopati Anabrang.
Sebaliknya Nyai Demang boleh dikatakan sangat ingin mengetahui segala sesuatu yang terjadi di luar laut dan gunung yang pernah dilihatnya.
Itu pula sebabnya sejak dini, Nyai Demang senang mempelajari berbagai bahasa manca.
Termasuk bahasa dari tlatah Tartar.
Sehingga boleh dikatakan, dirinya satu-satunya yang bisa berbicara secara langsung dan jelas.
Itu pula yang menyebabkan rasa ingin tahunya untuk mendekati Kiai Sambartaka.
Jaghana sedikit berbeda.
Boleh dikatakan tak pernah mengenal dunia di luar batas hutan Perguruan Awan.
Akan tetapi, ia adalah murid langsung Eyang Sepuh.
Yang pernah berhubungan langsung sejak berguru.
Jaghana adalah murid kepercayaan.
Pada saat-saat tertentu Eyang Sepuh banyak berbicara mengenai segala kejadian di jagat.
Termasuk saat bakal diadakan pertemuan untuk memperebutkan siapa yang sesungguhnya berhak atas Kitab Bumi, siapa yang paling murni menjalankan kitab yang banyak diperebutkan itu.
Secara jelas Eyang Sepuh mengatakan bahwa sebenarnya hal itu lebih menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang tiada artinya lagi.
Manusia menjadi tua oleh usia dan waktu, akan tetapi pikiran dan nafsu ternyata tetap tak bisa dikendalikan.
Dalam pertempuran terakhir sebelum meninggalkan Perguruan Awan, Eyang Sepuh menyebut-nyebut bahwa pada waktu yang telah ditentukan akan datang Tamu dari Seberang, tamu-tamu dari tlatah Tartar, Jepun, Hindia, Turkana.
"Semua teman lama. Kecuali yang datang dari tlatah tapel wates. Saya dengar masih muda dan sedang mencari jodohnya."
Hanya itu yang disinggung oleh Eyang Sepuh.
Tapi bahwa Eyang Sepuh mengingatkan secara khusus, menandakan bahwa Ratu Ayu memang mempunyai kedudukan yang luar biasa.
Eyang Sepuh memang menyebut Turkana sebagai tlatah tapel wates, atau negeri perbatasan.
Karena konon negeri itu merupakan perbatasan antara dunia yang masih setia dengan ajaran-ajaran serupa dalam Kitab Bumi, dan ajaran-ajaran lain yang sama sekali tak diketahuinya.
Itu pula yang membuat Jaghana secara khusus mengingatkan Upasara Wulung.
Bahwa kalau Ratu Ayu masih di Keraton, dan apalagi menjadi tamu kehormatan Baginda Raja, keinginan mencari Halayudha bisa berakibat lain.
Karena Halayudha dengan segala kelicikannya mampu memancing semua empu bertarung.
Dan ia sendiri tinggal di Keraton untuk melihat hasil akhir, setelah tak bisa menguasai Naga Nareswara.
Jaghana juga tak bisa menganggap enteng Halayudha.
Biar bagaimanapun, Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh Dodot Bintulu.
Saudara seperguruan Ugrawe yang di saat kehancuran Keraton Singasari membuktikan diri sebagai yang sangat perkasa.
Halayudha yang sama ini pula sudah mempelajari secara tuntas segala isi Bantala Parwa.
Masih harus ditambah mempelajari secara langsung dari Naga Nareswara.
Terakhir sempat menawan Kama Guru dari Jepun.
Dengan segala akal yang dimiliki, sedikit-banyak Halayudha sekarang ini lawan yang setanding bagi Upasara Wulung.
Kalau ia berhasil menarik Ratu Ayu ke pihaknya, Upasara akan menghadapi lawan yang berat.
Dalam soal pertarungan ilmu silat, Jaghana masih melihat ada kemungkinan untuk mengungguli lawannya satu demi satu.
Namun dalam soal mengatur tipu muslihat, jelas Upasara Wulung bukan apa-apanya dibandingkan Halayudha.
"Kakang tak perlu takut segala kuntilanak atau tuyul perempuan. Walau rasanya juga perlu hati-hati."
Upasara mengangguk pelan kepada Gendhuk Tri, lalu memandang ke arah Nyai Demang.
"Nyai punya wawasan seluas samudra seluas langit. Apakah Nyai sependapat dengan kabar-kabar tentang kehebatan Ratu Ayu Bawah Langit?"
Nyai Demang melirik Gendhuk Tri, seakan memanfaatkan pujian Upasara sebagai kelebihannya atas Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri pura-pura membersihkan telinga.
Seakan tidak mendengar, walau hatinya panas.
Wilanda yang mencuri pandang, jadi menunduk malu.
Menertawakan dirinya sendiri.
Kenapa ia masih memperhatikan persaingan Gendhuk Tri dan Nyai Demang yang memperebutkan perhatian Upasara? "Sesungguhnya saya tak mengetahui tentang Ratu Ayu.
Di jagat hanya ada satu wanita yang paling ayu.
Adimas Upasara pasti tahu siapa itu."
Tanpa menyebut nama Gayatri, Nyai Demang sudah membuat wajah Upasara berubah sedikit merah.
"Hanya memang Kiai Sambartaka menyebut-nyebut bahwa utusan dari Turkana ini perlu mendapat perhatian. Kiai sempat murka karena saya menjawab bahwa sesungguhnya saya tak pernah mendengar nama Ratu Ayu Bawah Langit atau Bawah Selokan.
"Waktu saya tanya kenapa perlu perhatian, Kiai Sambartaka menerangkan bahwa sesungguhnya banyak sekali dasar-dasar persamaan antara Bantala Parwa di tlatah Jawa ini dengan kitab-kitab di Jepun, Hindia, Tartar. Karena sumbernya sama.
"Kembangan yang ada, hanya pada pengolahan bagian tertentu. Tetapi ciri-ciri dasarnya masih sama.
"Sementara yang berkembang di tlatah Turkana boleh dikatakan berbeda dasar-dasarnya. Tlatah Turkana merupakan tapal batas budaya yang memiliki dasar-dasar budaya Bantala Parwa, dengan tlatah budaya yang sama sekali berbeda.
"Betul atau tidak, saya sendiri belum mengetahui, Adimas.
"Bagi saya yang lebih menarik adalah bahwa ternyata Ratu Ayu ini sedang mencari jodohnya."
"Sungguh tak tahu malu.
"Bagaimana mungkin ia wanita baik-baik kalau mengaku anak ratu dan calon ratu tapi mengumbar kata-kata mencari jodoh? Seekor ular betina atau cacing tak setebal itu wajahnya."
"Itulah bedanya.
"Ratu Ayu mewakili suatu tlatah yang berbeda."
"Ini bukan berbeda.
"Ini saru, memalukan, hina, menjijikkan."
Nyai Demang tersenyum lebar.
"Paman Wilanda pernah mendengar kecemburuan?"
"Siapa yang cemburu, jangan bicara seenaknya."
Nyai Demang malah tertawa.
"Kok ada yang merasa? Saya kan tidak menyebut nama siapa-siapa. Betul tidak, Paman Wilanda? Jangan hanya mengangguk dalam hati. Nanti yang bersangkutan tidak tahu. Perasaannya sudah tumpul, sudah kebal."
Gendhuk Tri bukan tandingan Nyai Demang dalam sindir-menyindir.
Senopati Sariq AKHIRNYA menjelang malam, Upasara memutuskan akan tetap menuju Keraton, ditemani oleh Gendhuk Tri.
Sedangkan Nyai Demang akan menyusup lebih dulu.
Jaghana serta Wilanda dengan berat hati melepaskan kepergian Upasara.
"Tempat kami di antara rumput dan kehijauan daun. Maafkan kami tak bisa menyertai Anakmas."
Sebaliknya, Upasara juga meminta maaf.
"Paman, sayalah yang bertanggung jawab dan diserahi tugas Eyang Sepuh untuk berdiam di Perguruan Awan. Namun saat ini rasanya saya masih perlu berkelana."
"Berangkatlah, Anakmas. Dengan iringan doa dan cahaya Dewa."
Upasara menunduk hormat.
Jaghana membalas.
Demikian juga Wilanda.
Walaupun dalam Perguruan Awan tidak ada tata tertib untuk saling menyembah, akan tetapi sikap penghormatan masih tetap dilakukan.
Bagi Upasara Wulung, kebiasaan selama ini tak bisa berubah begitu saja.
Demikian juga sikap Wilanda kepada Upasara.
Biar bagaimanapun, ia dulunya prajurit Keraton Singasari, di mana Upasara masih termasuk Ksatria Pingitan.
Menjelang munculnya rembulan, rombongan berpisah.
Upasara melanjutkan perjalanan menuju ke Keraton.
Gendhuk Tri merasa sangat girang karena kini bisa mendampingi Upasara terus-menerus.
Beberapa langkah, Gendhuk Tri sudah memperingatkan agar sebaiknya Nyai Demang segera berangkat.
"Kalau kamu ingin segera bertemu Dewa Maut, kenapa tidak berangkat lebih dulu?"
"Enak saja bicara. Bukankah kamu yang ingin segera bertemu dengan Senopati Turkana yang bernama Sariq? Jangan dikira saya tidak mengetahui."
"Atau justru Adimas yang ingin segera bertemu...?"
Upasara menggelengkan wajahnya perlahan.
"Mbakyu Demang, pikiranku sekarang ini dipenuhi keinginan untuk segera bertemu dengan Senopati Halayudha. Di saat Keraton sedang berada dalam kekacauan, di situ Senopati Halayudha makin mempertontonkan kemampuannya untuk memutarbalikkan kenyataan."
"Kakang takut menghadapi Halayudha yang sebelah kakinya sudah menginjak lubang kubur?"
"Takut, karena Senopati Halayudha katengen, dekat dengan Baginda Raja. Dengan kekuasaan seperti itu, Halayudha bisa berbuat apa saja yang membahayakan Keraton dan penduduk."
"Coba Kakang terima pengangkatan Baginda sebagai mahapatih. Tak akan begini jadinya."
Upasara menghela napas. Bayangan tubuh ketiganya menggeliat dalam cahaya bulan.
"Saya tak mampu. Darah Kakang terlalu kotor."
"U-uh. Apa Kakang pikir darah Halayudha tua itu lebih biru?"
Lalu, Gendhuk Tri beralih mengajak bicara Nyai Demang seakan tak ada ganjalan hati.
"Kalau di Keraton ada mahapatih, bukankah Halayudha itu tak bisa berbuat apa-apa?"
"Seharusnya begitu,"
Jawab Nyai Demang dingin.
"Akan tetapi masalahnya menjadi lain. Baginda Raja terlalu dekat dan percaya kepada Halayudha.
"Satu hal yang bisa membahayakan Baginda sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Baginda melupakan bahwa sewaktu merebut takhta, juga karena kepercayaan yang diberikan kepada beliau. Kebetulan saat itu hampir semua senopati perangnya bisa diandalkan. Akan tetapi, ada yang tidak.
"Ini yang kurang disadari Baginda."
"Kalau ia celaka, biar saja.
"Kenapa kita harus memikirkan nasibnya, kalau ia justru memerintahkan menggempur habis Perguruan Awan?"
Ganti Nyai Demang yang menghela napas.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mulutmu bisa bawel, karena kamu tak tahu ujung-pangkal persoalan."
"Baik, aku bawel. Aku tak tahu ujung persoalan. Sekarang katakan, kenapa?"
"Saya sendiri tak memedulikan Baginda. Sengsara atau tidak, bagi saya tak ada bedanya.
"Akan tetapi Baginda adalah raja kita semua. Raja semua penduduk Majapahit. Baginda masuk angin, seluruh Keraton dan tata pemerintahan bisa berantakan. Sekali Baginda tidak berkenan sesuatu, ratusan prajurit yang merasakan akibatnya.
"Kini Baginda menghadapi tantangan yang agaknya tidak terlalu disadari. Pertama, dari dalam, yang bisa menjungkirbalikkan takhta. Kedua, utusan dari Turkana. Kalau kedua kekuatan ini bergabung, semua akan terjadi. Entah malam ini atau esok pagi."
Upasara mengangguk membenarkan.
"Apa betul Ratu Turkana itu sedemikian saktinya?"
"Naga Nareswara pasti pernah bercerita."
"Tidak. Naga Nareswara hanya menceritakan bahwa senopati yang mengiringi terdiri atas jago-jago utama. Di antaranya yang disebut Sariq."
Nyai Demang menghela napas. Agak berat.
"Sariq dalam bahasa Turkana bisa berarti kuning. Ia memang senopati utama yang dibawa Ratu Ayu Bawah Langit. Dua senopati yang lainnya ialah Senopati Uighur dan Senopati Karaim.
"Ketiganya merupakan senopati pilihan. Sewaktu prajurit Tartar mampu menaklukkan seluruh jagat raya ini menyerbu masuk Keraton Turkana, ketiganya berhasil mempertahankan diri. Ketiganya bahkan bisa meloloskan diri bersama Ratu Ayu, dan kemudian berkelana ke seluruh jagat."
"Untuk apa melarikan diri kalau memang sakti?"
"Untuk menyempurnakan ilmunya. Sejauh yang saya dengar, ilmu silat seperti yang terdapat dalam Bantala Parwa atau Jalan Budha juga ada di negeri Turkana.
"Ratu Ayu termasuk yang mempelajari secara mendalam."
"Huh!"
"Menurut Kiai Sambartaka, sebenarnya itulah bagian yang diburu, yang dikejar oleh empu-empu di seluruh kolong langit. Barang siapa bisa mempelajari sampai habis, dialah yang menguasai semua ilmu silat di dunia."
"Aha, kalau begitu Kakang Upasara ini tanpa tanding."
Upasara mengeluarkan suara perlahan.
"Saya telah membaca hingga habis. Telah berlatih hingga selesai. Seperti juga Halayudha, seperti juga Paman Sepuh dan Eyang Sepuh.
"Akan tetapi pencapaian kita masing-masing berbeda, tergantung bersih atau tidaknya hati kita.
"Walaupun saya telah mempelajari secara mendalam sampai halaman penghabisan, akan tetapi ternyata belum apa-apa.
"Kalau kita ingat, Eyang Sepuh masih menunjukkan adanya bait terakhir yang perlu dipelajari."
"Padahal Kakang sudah mempelajari!"
"Semua sudah mempelajari, akan tetapi belum bisa menangkap intinya. Adik sendiri sudah membaca dan mempelajarinya. Juga Mbakyu Demang."
Nyai Demang memandang ke arah langit. Matanya berkejap-kejap.
"Sungguh aneh Bantala Parwa ini. Namanya sudah aneh sekali. Kitab Bumi, tapi isinya adalah Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Seperti dua bagian, akan tetapi kidungannya sama.
"Dua Belas Jurus Nujum Bintang berisi serangan-serangan yang ganas. Sedangkan Delapan Jurus Penolak Bumi justru berisi kebalikannya. Jumlahnya tidak sesuai. Dua belas dilawan dengan delapan.
"Ah, sudahlah, saya tak bisa memahami."
"Lalu, bagian mana yang dimaksud dengan 'bait terakhir' oleh Eyang Sepuh? "Jangan-jangan masih ada kitab lanjutannya?"
"Pasti tidak,"
Upasara memotong dengan mantap.
"Justru Eyang Sepuh tidak menyebut kitab yang lain. Eyang Sepuh menyebut 'bait terakhir, tak terbaca di hati'.
"Paman Jaghana juga tidak mengatakan bahwa selama ini ada kitab lain yang setanding atau merupakan lanjutan."
"Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Kalau Kakang tak mampu memecahkan, pasti orang lain juga tak bisa. Buat apa susah-susah. Biar saja kita bertiga menghadapi ketiga senopati Turkana itu. Rasanya kita tak bakal kalah.
"Soal Ratu Ayu, lebih gampang membereskannya. Kita lempari cacing pasti ia kelojotan dan melolong minta ampun."
Upasara melirik ke arah Nyai Demang.
"Apa yang Mbakyu pikirkan?"
Gendhuk Tri jadi gondok lagi. Upasara lebih memperhatikan Nyai Demang.
"Saya justru kuatir kalau mempelajari sampai bait terakhir, jangan-jangan akan seperti Eyang Sepuh. Moksa, seluruh jiwa-raga lenyap bersama.
"Rasa-rasanya ada kaitan dengan itu."
Dari suaranya, Upasara bisa menangkap bahwa Nyai Demang lebih menguatirkan kelanjutan mempelajari Kitab Bumi.
Dengan kata lain, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan bait terakhir Kitab Bumi! Tawaran Ratu Azeri Baijani DUGAAN Upasara beralasan.
Nyai Demang sangat peka dan bisa menyelami kemampuan bahasa.
Daya tangkapnya sangat luar biasa.
Dari rangkaian kidungan yang bisa dihafalkan luar kepala dengan baik, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan kuncinya.
Mengetahui dengan tepat bagaimana mencari bait terakhir.
Barangkali belum pasti sekali, akan tetapi telah menemukan sesuatu yang bisa dipakai pegangan.
Kalau hal itu dihubungkan dengan keadaan Dewa Maut, lebih masuk akal lagi.
Dewa Maut yang terkurung di gua bawah Keraton mampu memecahkan rahasia jalan buntu, juga dari Kitab Bumi! Dengan cara menangkap yang berbeda, memberikan hasil yang berbeda jauh.
Namun Upasara tidak mendesak lebih jauh.
Gendhuk Tri yang makin penasaran karena menyadari bahwa Upasara maupun Nyai Demang tenggelam alam pikiran masing-masing.
Karena tak tahan akan kejengkelan sendiri, Gendhuk Tri melesat lebih dulu, dan segera bergegas menuju Keraton.
Karena tidak dipanggil atau dilarang, Gendhuk Tri makin keras memacu tubuhnya.
Dalam sekejap ia telah meninggalkan Upasara dan Nyai Demang.
Dan semakin jauh meninggalkan, Gendhuk Tri jadi makin kencang.
Ilmu meringankan tubuh dikerahkan sepenuhnya.
Selendangnya berkibaran menyentuh tanah hanya untuk mengambil tenaga, yang melontarkan tubuhnya jauh ke depan.
Maka ketika matahari mulai bersinar, bayangan tubuh Gendhuk Tri sudah berada di tapal batas Keraton.
Dilihat dari usianya, Gendhuk Tri memang masih lebih suka menuruti suara hatinya secara seketika.
Tidak memedulikan perhitungan yang lain.
Pertimbangan ini-itu tak didengarkan.
Yang paling mengetahui sifat-sifat Gendhuk Tri barangkali hanya Mpu Raganata maupun Jagaddhita.
Namun keduanya sudah kembali ke alam baka.
Baru ketika tenggelam dalam suasana Keraton, Gendhuk Tri sadar bahwa kini Keraton dihiasi warna-warni.
Hampir di setiap rumah dipasang janur kelapa dan bunga yang indah.
Bahkan di pasar atau perempatan jalan dipasang kembang telon, bunga tiga warna, sebagai tanda syukur.
"Apa sekarang ini panenan berhasil baik? Apakah kalian sudah bisa menanam padi di atas batu karang?"
Pertanyaan yang kurang ajar ini tak menemukan jawaban.
Baru setelah mendekati Keraton, Gendhuk Tri mengetahui bahwa di sitinggil-lah yang merupakan pusat kegiatan.
Tak bisa menahan dirinya, Gendhuk Tri bertanya kepada salah seorang prajurit yang tengah bertugas membersihkan ukiran kayu dan menambahi ukiran batu di pinggir sitinggil.
"Ke bagian bawah pohon sana."
Gendhuk Tri gregetan.
Hampir saja selendangnya bergerak menampar.
Akan tetapi perhatiannya tertuju ke bawah pohon beringin yang berada di tengah alun-alun.
Ia segera mendekat.
Dan langsung ditarik, dimasukkan ke dalam barisan.
Berkumpul bersama para wanita, gadis-gadis yang lain.
"Masih kurang... Masih kurang..."
Salah seorang prajurit menghitung kembali barisan.
"Hari ini kita akan mulai latihan. Akan tetapi jumlahnya masih kurang. Baginda Raja berkenan bahwa tarian persembahan nanti ditarikan oleh 999 penari.
"Maka jika kalian masih mempunyai saudara perempuan, kakak, adik, embok, segera panggil kemari!"
Alis mata Gendhuk Tri terangkat.
Dalam hatinya merasa geli.
Ia masuk dalam barisan penari yang dipersiapkan untuk mengadakan tarian di depan Ratu Ayu.
Namun Gendhuk Tri merasa senang juga.
Ia adalah penari Keraton sejak masih bayi.
Sebelum diculik oleh Mpu Raganata dan dididik Jagaddhita, ia adalah penari.
"Kalau masih kurang, kenapa jumlahnya tidak dikurangi saja. Seadanya saja. Toh tak ada yang menghitung."
Suara Gendhuk Tri terdengar sangat lantang. Karena ia satu-satunya wanita yang berani bersuara.
"Tidak bisa. Tidak bisa. Baginda Raja menitahkan 999 penari."
"Saya tahu,"
Jawab Gendhuk Tri tanpa peduli sorot mata tajam menyelidik ke arah dirinya.
"Tapi sampai bayi dalam kandungan dihitung, tak akan pernah mencapai jumlah sekian itu."
Pemimpin prajurit melotot ke arahnya.
"Kenapa paman-paman prajurit ini tidak memakai kain saja? Pasti jumlahnya bisa mendekati."
Meskipun kedengarannya berolok-olok, apa yang dikatakan Gendhuk Tri masuk akal juga. Mengumpulkan wanita sejumlah 999 perlu mengerahkan seluruh penduduk wilayah Keraton hingga ke batas terakhir.
"Siapa namamu? Kenapa kamu berani begitu lancang?"
Gendhuk Tri menyembah.
"Ampun, Paman.
"Nama saya Gendhuk Tri, saya penari Keraton. Saat ini lima saudara saya sudah di sini, ibu saya, mertua saya, sudah berkumpul. Dan rasanya tidak ada tambahan lagi."
Gendhuk Tri memperlihatkan wajah ketakutan dan tubuhnya seolah menggigil.
"Sangat memalukan bagi prajurit kalau memakai kain dan selendang. Kamu bisa dihukum karena penghinaan ini."
"Maaf, Paman prajurit yang mulia.
"Sebenarnya hamba ingin mengusulkan, kenapa tidak putri-putri Keraton saja yang diajak? Namun hamba lebih takut dianggap menghina."
Gendhuk Tri makin keras tertawa dalam hati.
Ia sudah membayangkan bahwa jika putri-putri Keraton diajak berlatih menari, masalah yang timbul akan sangat menyulitkan.
Tapi yang membuat Gendhuk Tri merasa sangat puas ialah bahwa ia bisa menyaksikan putri Keraton, yang bahkan terkena sinar matahari pun takut, akan dijemur di bawah terik matahari! Mereka yang selalu melulur tubuhnya, kini disuruh berdiri di lapangan terbuka.
Usul Gendhuk Tri justru dianggap masuk akal.
Prajurit yang agaknya memegang pimpinan itu segera melaporkan kepada pemimpin yang lebih tinggi.
"Gendhuk, kamu anak siapa?"
Gendhuk Tri menoleh. Baru menangkap bahwa yang bertanya adalah wanita yang duduk di sebelahnya, yang tak berani menoleh atau memandang ke arahnya. Takut mendapat teguran dari prajurit yang mengawasi.
"Saya anak kedua Pak Toikromo."
"O, kalau begitu kita masih saudara."
Gendhuk Tri manggut-manggut hormat.
"Saya tidak mimpi apa-apa bakal mendapat wahyu kehormatan diajak menari bagi Gusti Ratu Ayu Azeri Baijani."
Gendhuk Tri manggut-manggut.
"Saya juga tidak menyangka, Ibu...
"Katanya Gusti Ayu sangat cantik jelita, mengalahkan kita semua yang dikumpulkan menjadi satu."
Yang diajak bicara memandang aneh pada Gendhuk Tri.
"Saya kira kamu bukan saudara saya, Gendhuk."
Gendhuk Tri meleletkan lidahnya.
Lalu pelan-pelan mundur, dan di luar pengetahuan para prajurit ia menuju ke arah samping sitinggil.
Dengan berendap-endap, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa di tempat itu juga sedang ada persiapan luar biasa.
Kalau di bawah pohon di alun-alun yang dikumpulkan para gadis, di tempat ini adalah para perjaka.
"Siapa tahu sayalah yang dipilih."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kamu yang terpilih, sebelum namamu disebut, kamu sudah mati karena kaget!"
"Jangan begitu. Nasib manusia kan ditentukan Dewa yang mengatur jagat ini. Kita hanya menjalani saja."
Di tempat ini, Gendhuk Tri bisa mendengar lebih banyak.
Bahwa karena Ratu Ayu Azeri Baijani sedang mencari jodoh, para pemuda semua dikumpulkan.
Siapa tahu ada yang terpilih.
Sekilas saja Gendhuk Tri bisa mengetahui bahwa yang ikut berkumpul hampir semuanya sentana atau kerabat Keraton.
"Tapi bagaimana kita bisa meladeni. Untuk mandinya saja, Gusti Ayu perlu air sangat panas, lalu air dingin untuk merendam diri. Bisa-bisa sebelum menyiapkan air kita telah mati kelelahan."
Gendhuk Tri tertarik. Biar bagaimanapun, ia adalah gadis yang sedang tumbuh. Meskipun penampilannya asal-asalan, akan tetapi mendengar pembicaraan mengenai perawatan tubuh, hati wanitanya tergerak juga.
"Kalau kita yang berhasil menerima tawaran Gusti Ratu Ayu, kan bukan kita yang menyediakan air. Sudah ada prajurit yang bertugas.
"Heh, selama ini sudah ada yang pernah mengintip Gusti mandi apa belum? Jangan-jangan Bagin..."
Suaranya terhenti.
Wajah ketakutan terbayang jelas.
Pertemuan Raja dengan Ratu KETIKA Gendhuk Tri terlibat dalam berbagai kesibukan di luar Keraton, di dalam Keraton sebenarnya terjadi kesibukan yang lebih tinggi.
Lebih tinggi suasananya karena menyangkut tata krama di antara dua pemimpin tertinggi.
Antara Baginda Kertarajasa Jayawardhana dan Ratu Ayu Azeri Baijani.
Yang membuat Baginda sedikit masygul ialah bahwa Ratu Ayu, sejak kedatangannya di Keraton Majapahit dan ditempatkan dalam ruang utama Keraton, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan menemui.
Dalam tata krama tingkat bangsawan tinggi, hal itu sungguh tercela.
Bisa diartikan bahwa Ratu Ayu segan datang menghadap dan tak mau mengakui keunggulan atau wibawa tuan rumah.
Ini berarti tidak menganggap Baginda adalah raja yang harus didatangi.
"Taruh kata ia ayu bagai sinar pelangi. Taruh kata keraton pemerintahannya mencakup beberapa tlatah yang luas, tidak seyogyanya sebagai tetamu ia bertindak begitu kurang ajar.
"Apakah ia merasa lebih tinggi derajatnya daripada aku?"
Halayudha nampak gemetar ketika menghaturkan sembah sambil menunduk rendah sekali.
"Seribu maaf, Baginda.
"Rasanya kurang pantas Baginda memperhatikan seorang perempuan. Hal ini tak perlu Baginda turun tangan sendiri. Cukup salah seorang senopati untuk memperingatkan.
"Baginda adalah raja yang mendapat wahyu dari Dewa Segala Dewa, memerintah secara resmi. Sedangkan Ratu Ayu hanyalah ratu dalam pelarian.
"Masih baik Baginda berkenan memberi tempat yang bagus dengan semua keperluannya."
"Bagaimana kalau Mahapatih yang memberi peringatan?"
Mahapatih Nambi menghaturkan sembah.
"Sebelum Baginda menitahkan, hamba sudah bersiap menjalankan titah."
Lagi-lagi Halayudha menghaturkan sembah.
"Mahapatih masih terlalu tinggi derajat dan pangkatnya, duhai, Baginda. Cukup pesuruh, bawahan Baginda.
"Mohon ampun atas kelancangan hamba."
"Menurut kamu, siapa yang pantas?"
Halayudha menyembah lagi. Lebih dalam.
"Baginda adalah raja yang bijaksana yang terdengar sampai ke tlatah tapel wates jagat. Para senopati agung Keraton Majapahit, ibarat kata ikan di laut dan burung di hutan, mendengar nama besarnya.
"Hamba sama sekali tak dikenal. Hamba hanyalah gedibal, alas kaki, Baginda. Biarlah hamba yang menemui. Kalau hamba gagal tak bisa menemui, Keraton tak kehilangan muka. Kalau berhasil, berarti tingkat dan derajat Ratu Ayu jauh di bawah Baginda."
Baginda mengangguk.
"Sebelum matahari terbenam nanti, saya ingin mendengar bagaimana jawaban Ratu Ayu."
"Sendika dawuh, siap menjalankan perintah Baginda."
Begitu mendapat perintah, Halayudha segera bergegas menemui Ratu Ayu di tempat kediamannya.
Di pintu menuju ke kamar Ratu Ayu, Senopati Sariq mengangguk hormat.
Kelihatan jelas bahwa di balik sikapnya yang ramah dan merendah, tersembunyi satu kekuatan yang besar.
Di balik pakaiannya yang berseliweran, tersembunyi tubuh gagah yang gesit.
Di balik terompah yang dikenakan, ada sepasang kaki yang cekatan bergerak.
"Maaf, Senopati Agung dari negeri yang tak mengenal batas langit, saya menyampaikan sesuatu bagi Ratu Ayu."
Sariq nampak bimbang sesaat. Mendadak dari ruangan dalam terdengar suara yang merdu.
"Katakanlah apa maumu."
Halayudha menunduk dan menyembah. Lalu duduk dan menyembah kembali.
"Duh, Ratu Ayu, sungguh hamba tak berani mengatakan secara langsung. Akan tetapi sebagai abdi yang hanya menjalankan perintah, biarlah hamba membunuh diri karena telah berbuat kurang ajar."
"Kamu adalah senopati utama, kenapa perlu merendahkan diri semacam itu?"
Sariq tetap menunduk, bersila sebagaimana Halayudha. Hanya pendengaran dan sikapnya menunjukkan kesiapsiagaan.
"Ampun, Ratu Ayu Bawah Langit, hamba hanya sekadar menyampaikan apa yang diminta Baginda. Berat hamba mengatakan, seakan lidah hamba tak bisa bergerak. Rasa malu dan sungkan yang membuat berat untuk mengutarakan."
"Katakan, Paman Halayudha."
"Baginda menghendaki Ratu Ayu menyerahkan rajutan bulu domba yang berwarna-warni sebagai tanda asok bulu bekti glondong pengareng-areng."
Sariq mengertakkan gerahamnya.
Tangannya bergeser ke arah pedang melengkung bagai bulan sabit di pinggangnya.
Permintaan Baginda tak bisa ditafsirkan lain.
Rajutan bulu domba sebagai babut pramudani, atau babut permadani, adalah karya budaya negeri Turkana.
Untuk merajutnya diperlukan seni dan keahlian tertinggi.
Dengan meminta itu sebagai glondong pengareng-areng, sebagai tanda upeti, sama juga mengatakan Ratu Ayu sebagai ratu yang di bawah kekuasaan Baginda! Hanya bawahan yang memberikan glondong pengareng-areng kepada atasannya.
Hanya raja bawahan yang mengakui kekuasaan raja yang lebih berkuasa melakukan hal itu.
Barangnya bisa jadi tak seberapa, meskipun tetap yang utama.
Bahkan dalam istilah pun disebutkan sebagai kayu gelondongan untuk arang atau kayu bakar.
Akan tetapi arti simbolis dari itu ialah pengakuan kekuatan yang lebih tinggi.
Dan sesungguhnya itu pula yang diinginkan oleh Raja Tartar, Khan, ketika mengutus para pendekarnya ke tanah Jawa.
Agar raja di Jawa mengakui kebesaran negeri Tartar! Itu yang ditolak Baginda Raja Sri Kertanegara! Bukan karena barang yang diminta, akan tetapi ini masalah kehormatan.
"Saya bisa mengerti,"
Terdengar suara dari dalam kamar dengan nada yang tak berubah.
"Baginda Kertarajasa telah membuktikan diri lebih perkasa.
"Di seluruh penjuru jagat ini aku sudah mengelilingi, sudah menginjak tanahnya, dan menyaksikan sendiri. Di mana pun aku berada, panji-panji kebesaran Tartar yang menguasai. Baik di negeri Cina sendiri, di Jepun, bahkan sampai ke Turkana.
"Tapi Baginda Jayawardhana mampu mengusirnya.
"Hanya di tanah Jawa yang sering becek karena hujan inilah prajurit utama Khan bisa dipukul mundur.
"Paman Sariq, sampaikan yang diminta Baginda."
Meskipun nampak tidak setuju, Sariq menunduk hormat sambil menyembah.
"Apa lagi yang dikehendaki Baginda?"
"Hanya dua hal, Gusti Ratu Ayu yang jelita.
"Yang pertama telah hamba sampaikan. Yang kedua... yang kedua... ah, Baginda berkenan mengambil Gusti Ayu sebagai garwa ampil."
Kali ini Senopati Sariq tak bisa menahan diri.
Diambil sebagai garwa ampil, ialah sama juga dijadikan selir, dijadikan istri kesekian yang secara resmi tidak berhak atas kehormatan dan upacara-upacara penting Keraton.
Tugas utamanya hanyalah mendampingi Baginda, sebatas kamar tidur! Dalam upacara penting, tak berhak bersanding dengan Baginda! Ini penghinaan yang kelewat batas.
Mengarungi hampir seluruh jagat raya, menginjak berbagai bumi di bawah langit, rasanya Senopati Sariq belum pernah mendengar penghinaan yang begitu menjijikkan.
"Gusti Ratu."
"Sariq... aku yang diminta, bukan kamu."
"Maafkan kelancangan hamba.
"Namun rasanya hamba tak rela."
"Cukup, Sariq!"
Senopati Sariq menyembah dengan hormat. Halayudha tetap menunduk, meskipun memperhatikan reaksi yang kecil.
"Beribu ampun dan maaf. Dalam pandangan hamba, pertemuan resmi nanti adalah pertemuan dua raja yang sama derajatnya, sama-sama pilihan Dewa. Akan tetapi... duh... Gusti Ratu..."
"Jangan merasa bersalah karena menyalahi titah Raja.
"Sebagai senopati, itu pantangan utama."
"Maha terima kasih atas petunjuk Gusti Ratu."
"Paman Halayudha, sampaikan kepada Baginda.
"Saya tidak berkeberatan diambil sebagai garwa ampil. Siapa saja bisa menjadi pendamping saya. Hanya saja sejak semula saya sudah berjanji. Barang siapa mampu mengungguliku, itu yang akan kuhormati sepanjang hidupku.
"Karena kudengar kalian mempunyai ilmu Tepukan Satu Tangan yang sejajar dengan Jalan Budha, aku ingin menjajalnya.
"Sampaikan sekarang juga.
"Sebelum matahari tenggelam, aku sudah mendengar kesediaan Baginda." 64 Langkah Jong SENOPATI SARIQ menghirup napas lega. Ternyata Ratu Ayu yang disembah dan diabdi selama ini tetap tak bergeser dari niatan semula. Hanya yang mampu mengalahkan Ratu Ayu berhak menjadi suaminya. Berhak atas hidup dan matinya Ratu Ayu. Tak peduli ia raja atau rakyat biasa. Sekaligus ini tantangan. Apakah Baginda berani menerima tantangan terbuka ini? Selama dalam penjelajahan, belum pernah ada yang mampu mematahkan keunggulan ilmu Ratu Ayu. Itu pula sebabnya Ratu Ayu terus-menerus berkelana dari satu negeri ke negeri yang lainnya. Hanya untuk mencari siapa yang bisa mengungguli ilmunya. Satu hal yang tak diketahui oleh Halayudha ialah bahwa rombongan Ratu Ayu memang mencari pemecahan atas ilmu yang sekarang dikuasai. Ada kepercayaan kuat, jika ada yang mampu mengalahkan, ilmu orang tersebut bakal bisa dipadu dengan ilmu yang dimiliki Ratu Ayu, dan akan merupakan ilmu yang paling dahsyat di jagat ini. Dengan bekal itu, Ratu Ayu bermaksud mengusir senopati dari Tartar yang kini menduduki negerinya! Dalam perjalanan berkelana, Ratu Ayu teringat gurunya pernah mengatakan bahwa di seantero jagat ini hanya ada beberapa negeri yang unggul ilmu silatnya. Yaitu tanah Jawa, tanah Jepun, Hindia, maupun Cina yang jelas sudah dikuasai bangsa Tartar. Dari sekian banyak cabang dan aliran pada pohon utama aliran persilatan, ada garis persamaan sebagai sumber utama. Yaitu yang di tanah Jawa dikenal dengan sebutan ilmu Tepukan Satu Tangan, yang diciptakan oleh seorang empu yang namanya menggema ke seluruh penjuru jagat, yaitu Eyang Sepuh. Kebetulan sekali Eyang Sepuh pernah mengirimkan undangan untuk mengadakan pertemuan dan menentukan siapa sebenarnya yang paling menguasai ilmu tersebut. Tertarik oleh kabar itu, Ratu Ayu datang ke tanah Jawa. Senopati Sariq yang selalu mendampingi siang dan malam, meyakini apa yang menjadi keyakinan Ratu Ayu. Hanya perpaduan antara ilmu Ratu Ayu dan ilmu yang bisa mengalahkan, menjadi senjata utama untuk membebaskan negerinya! Diam-diam Senopati Sariq menunggu, apa yang akan dijawab oleh Baginda. Halayudha sendiri segera menyampaikan secara langsung, dalam penuturannya sendiri. Air matanya mengalir ketika melaporkan.
"Duh, Baginda... Ratu Ayu tidak ingin sowan, tidak ingin menghadap Paduka, sebelum Paduka yang mulia mampu memecahkan rahasia ilmu 64 Langkah Jong, yang menjadi kebanggaan Ratu Ayu dan para senopatinya."
Baginda menjadi merah wajahnya.
"Mahapatih, apakah kamu mendengar apa yang dikatakan Halayudha?"
"Sembah bekti hamba, Baginda."
"Apa katamu?"
"Ratu Ayu sangat berlebihan.
"Tak bisa tidak, bilamana Baginda berkenan, biarlah hamba yang menyelesaikan."
"Aku tahu, kamu yang bakal menyelesaikan.
"Tapi apakah kamu pernah mendengar mengenai 64 Langkah Jong yang diunggulkan itu?"
Bahwa jong bisa berarti payung, bisa pula berarti tertutup, semua mengetahui. Akan tetapi kaitannya dengan ilmu 64 Langkah Jong, itu yang masih merupakan tanda tanya.
"Pengetahuan hamba sangatlah dangkal, Baginda.
"Akan tetapi kalau tidak salah, ini ilmu silat yang jurus-jurusnya berdasarkan permainan di negeri Turkana."
Halayudha memuji kecerdasan Mahapatih Nambi. Sungguh tak disangkanya bahwa Mahapatih bisa menerangkan dengan tepat. Karena pada pikirnya tadi, Baginda akan mendengar penjelasan darinya.
"Permainan apa?"
"Duh, Baginda, mudah-mudahan dijauhkan dari bencana jika keterangan hamba keliru.
"Di negeri Turkana ada permainan di antara putra-putri raja. Permainan ini menggunakan sebuah papan, yang dibagi menjadi 64 kotak.
"Yang memainkan dalam peperangan dua orang.
"Masing-masing pemain mempunyai enam belas biji yang dilompatkan menuju baris terakhir lawannya. Caranya dengan melompati biji permainannya sendiri, atau melompat biji lawan. Setiap kali melompati biji lawan, berarti ia makan dan menang.
"Pemain yang masih menyisakan biji paling banyak di garis akhir lawan adalah yang menjadi pemenang." ''Hmmmmm, itu yang menjadi andalan ilmu silat mereka?"
"Tepat apa yang disabdakan Baginda.
"Permainan ini kita sebut jong, sebab biji yang kita mainkan tertutup kemungkinannya untuk mundur. Tidak dibenarkan mundur. Jadi hanya bisa maju sepetak ke depan, atau ke samping kiri dan kanan, atau menyerong. Tapi tak pernah mundur."
"Itu yang akan kelihatan dalam permainan silat mereka? "Hmmmmm, menarik juga.
"Mahapatih, apakah menurut pendapatmu ilmu silat mereka cukup tangguh?"
"Begitulah yang hamba dengar, Baginda."
Baginda menahan udara di dada.
"Kamu sependapat, Halayudha?"
Diiringi sembah hormat, Halayudha berkata.
"Serumit dan setinggi apa pun, namanya permainan, tetap saja permainan. Di desa yang paling ujung, anak-anak telah memainkan. Maafkan kelancangan hamba, Baginda.
"Hamba tak pernah takut atau gentar dengan sesumbar mereka. Yang lebih membuat prihatin hamba, ialah kelancangan Ratu Ayu menilai Baginda."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seluruh ruangan menjadi senyap. Halayudha sendiri seperti menahan dendam.
"Apa katanya?"
Ruangan masih tetap senyap. Semua pendengaran tertuju kepada Halayudha. Mendadak terdengar suara tepukan keras, nyaring. Mahapatih dan semua senopati yang hadir terkejut. Halayudha menampar bibirnya hingga berdarah.
"Mulut hamba ini busuk kalau sampai menirukan apa yang dikatakan Ratu Ayu."
Melihat dengan lirikan bahwa bibir Halayudha berdarah, tak urung Mahapatih tergetar juga. Dalam perkiraannya, Halayudha menghukum bibirnya yang akan mengucapkan sesuatu yang lancang.
"Katakan!"
Suara Baginda terdengar nyaring. Halayudha menampar pipinya kembali. Kali ini lebih banyak darah mengalir. Halayudha mengambil gigi yang tanggal dan dengan hati-hati menyimpan di balik kainnya.
"Ratu Ayu mengatakan bahwa walaupun pasukan Tartar terusir karena serangan Baginda, akan tetapi sesungguhnya Baginda bukanlah raja yang besar. Masih jauh di bawah bayang-bayang kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara.
"Baginda Raja Singasari telah membuktikan kebesarannya dengan mengirimkan armada ke tlatah Siam, ke Tartar, sementara Baginda Raja junjungan kita yang mulia, dikatakan lebih banyak mengurusi wanita...."
Tangan Baginda menepak paha.
Dua tangan secara serentak.
Kemudian meninggalkan pertemuan.
Yang tertinggal hanya kesunyian.
Tak ada yang mulai bergerak sedikit pun.
Mahapatih dan semua senopati utama mendengarkan sendiri apa yang diucapkan Halayudha dan mendidih darahnya.
Ini penghinaan yang paling rendah.
Mengungkit masalah lama.
Apalagi membandingkan dengan Baginda Raja Sri Kertanegara! Sesuatu yang tak boleh terdengar, walau secara samar.
Tapi justru kini diucapkan secara terbuka.
Bagi para senopati dan prajurit, membela Raja adalah tugas utama dan mulia.
Bukan benar atau tidak yang diucapkan Ratu Ayu, akan tetapi kalimat itu merupakan penghinaan yang tidak ada ampunannya lagi.
Halayudha memang tepat menusuk jantung perasaan.
Mencerabut akar kepekaan budaya bangsanya.
Intrik mengenai Baginda Raja Sri Kertanegara dengan Baginda Jayawardhana merupakan pertentangan yang pelik dan rumit.
Yang bergema karena pemilihan senopati.
Lebih banyak pengikut Baginda yang sekarang menduduki jabatan dan kepangkatan tinggi.
Dibandingkan dengan senopati yang dulu mengabdi Keraton Singasari.
Halayudha mampu meniupkan api permusuhan di kalangan prajurit, kemudian menjalar ke kalangan senopati.
Kini telah mencapai puncak kobaran.
Baginda sendiri menjadi murka.
Berarti suatu perang terbuka.
Pada saat itulah semua rencana yang selama ini tertunda-tunda akan bisa dilaksanakan.
Halayudha Menebus Dosa MERASA bagian pertama rencananya berhasil, Halayudha melakukan langkah berikutnya.
Dengan menghela napas berat, Halayudha bersujud ke arah kursi yang tadi diduduki Baginda.
Selintas matanya yang jeli seperti menangkap bayangan salah seorang dayang-dayang Baginda ada yang nampak berbeda.
Cara menunduknya terlalu dalam, melebihi yang lain.
Hanya Halayudha yang menangkap kelainan ini.
Tidak senopati yang lain.
Bukan karena Halayudha lebih hafal satu per satu dayang-dayang yang biasa mengiringi Baginda, melainkan karena indra keenam yang dimiliki mengisyaratkan sesuatu.
Kelebihan Halayudha dalam soal kejelian dan mengatur strategi boleh dikatakan sulit ditandingi.
Senopati lain pasti tak berpikir bahwa akan ada seorang wanita yang berani menyamar sebagai dayang-dayang.
Karena risikonya terlalu tinggi.
Lagi pula kalau berniat jahat juga susah melaksanakan.
Barisan dayang-dayang selalu mengiringkan Raja, akan tetapi tempatnya jauh di belakang.
Dan bergerak sedikit saja, boleh dikatakan tidak mungkin.
Halayudha merasa bahwa salah seorang dayang-dayang itu sedang menyamar, akan tetapi sama sekali tak menyangka bahwa yang menyamar sebagai dayang itu adalah Nyai Demang.
Andai mengetahui, barangkali jalannya peristiwa akan lain.
Adalah keinginan Nyai Demang sendiri untuk menerobos masuk ke dalam Keraton karena ingin mengetahui dari dekat seperti apa keelokan Ratu Ayu.
Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyamar sebagai dayang.
Bagi Nyai Demang hal ini tak terlalu merepotkan.
Adat-istiadat Keraton sangat dikuasai.
Seluk-beluk dan liku-liku Keraton bisa dihafal luar kepala, karena Nyai Demang bahkan pernah menyusup ke dalamnya.
Maka tak terlalu sulit menculik salah seorang dayang yang tubuhnya mirip dengannya.
Dan ia mengganti pakaiannya lalu mengikuti iringan.
Tak ada yang mencurigai, karena dayang-dayang yang lain selalu menunduk dan boleh dikatakan tak pernah melirik ke arah yang lain.
"Duh, Baginda.
"Hamba abdi tak tahu diri dan membuat Baginda murka. Sungguh tidak pantas hamba berkata selancang ini. Mohon Baginda memberi ampunan, jalan yang lapang bagi arwah hamba..."
Halayudha cukup lama berbicara, cukup jelas kata-katanya, dan cukup perlahan mengambil keris dari salah seorang prajurit. Baru kemudian menghunus, mengangkat tinggi, dan menusuk ke arah perutnya.
"...Biarlah hamba, Halayudha yang tak berarti ini, menebus dosa."
Jarak waktunya cukup lama, agar ada seseorang yang menghalangi niatan Halayudha bunuh diri.
Itu rencana Halayudha.
Agar semua yang hadir melihat penyesalan dirinya.
Tapi, di luar dugaannya, tak ada senopati yang bergerak.
Bukan karena ingin membiarkan Halayudha membunuh diri, melainkan masih tercekam akan kemurkaan Baginda.
Ini yang membuat Halayudha mencelos.
Tapi jelas, ia tak bisa mengurungkan begitu saja.
Bisa terbuka semua kedoknya.
Dalam saat kritis, Halayudha tetap menusuk ke arah perutnya, hanya arahnya sedikit dimiringkan.
Saat itulah Nyai Demang bergerak.
Kedua tangannya terangkat, disertai teriakan sedikit kaget.
Saat itu tenaganya disalurkan sepenuhnya, membentur tangan Halayudha, dan arah yang miring itu menjadi lurus.
Langsung menembus ke arah perut.
Senopati Wide yang bereaksi pertama.
Segera menyambar ke arah Halayudha.
Perut itu tertancap keris.
Dengan segera Halayudha diamankan.
Dibawa ke dalam.
Dan pertemuan menjadi guncang.
Bahkan setelah Nyai Demang berteriak, tak ada yang curiga, hal ini bisa dimengerti.
Karena teriakan itu lebih mirip sebagai kekagetan.
Demikian juga dengan gerakan tangannya.
Tak banyak yang menduga bahwa saat itu Nyai Demang mengirimkan tenaga dalam.
Jalan pintas inilah yang dipilih Nyai Demang.
Sejak dalam perjalanan, ketika mendengar semua kebusukan Halayudha dari Upasara, Nyai Demang sudah menetapkan tekad.
Bahwa Halayudha harus disingkirkan dengan cara yang licik pula.
Tak ada cara lain, untuk menghindarkan perang terbuka dengan Upasara.
Sebab dalam perkiraan Nyai Demang, betapapun hebat ilmu yang dimiliki Upasara, hasil akhir yang akan keluar sebagai pemenang bisa sangat berbeda.
Ketangguhan tapi lugu diri Upasara adalah makanan empuk bagi Halayudha.
Sewaktu gegeran di dalam, segera Nyai Demang mengundurkan diri ke arah dalam.
Hanya karena tidak sepenuhnya hafal dengan tempat persinggahan Ratu Ayu, ia telah memasuki pelataran di mana Ratu Ayu menginap.
Baru sadar sewaktu sesosok tubuh yang tinggi, kokoh, dengan jenggot lebat, menghadang jalannya.
"Maaf, kami mendengar jeritan di dalam Keraton, apa yang sesungguhnya terjadi?"
Hampir Nyai Demang mendongak dan menghardik, kalau tidak ingat bahwa dirinya berperan sebagai dayang.
"Senopati Halayudha membunuh diri."
"Apa benar yang dikatakan orang itu, Senopati Uighur?"
Suara lembut dari dalam ruangan, dan samar-samar Nyai Demang mencium bau harum.
Itulah suara Ratu Ayu.
Sungguh luar biasa.
Pendengaran yang sempurna.
Boleh dikatakan mereka berada dalam pelataran yang cukup jauh dari bangunan, akan tetapi Ratu Ayu bisa mendengarkan dengan jelas.
Padahal Nyai Demang merasa berbicara dengan nada rendah.
"Begitulah, Ratu Ayu."
"Uighur, kalau masih bisa ditolong, kenapa kamu tidak segera ke sana?"
"Siap menjalankan tugas, Gusti Ratu."
Senopati Uighur masih berdiri ragu.
"Berjalanlah. Lakukan apa yang saya perintahkan. Tak perlu kuatir tak ada yang menjaga.
"Saya masih bisa menjaga diri. Kalau dayang itu begitu ringan langkahnya, pastilah di sini para senopati ilmunya sangat tinggi. Akan tetapi tak perlu kuatir. Saya bisa mengatasi."
Senopati Uighur menyembah dan segera berlalu dengan cepat. Nyai Demang berdiri di tengah pelataran untuk beberapa saat.
"Dayang yang montok, apa yang akan kaukatakan? Kenapa kamu termangu di situ?"
"Ratu Ayu, pendengaranmu sungguh tajam luar biasa. Ilmu macam apa yang Ratu gunakan?"
Terdengar tawa kecil, lembut.
"Saya tak melihatmu, Dayang. Tetapi saya tahu bahwa tubuhmu sangat montok, gemuk berisi. Goyangan lebih berat ke belakang, berarti pantatmu sangat gede. Mendengar arus udara ketika kamu menarik napas, rasanya lebih pantas kamu menjadi prajurit daripada dayang. Nada bicaramu terlalu berani untuk hamba sahaya."
"Nama saya Nyai Demang."
"Karena kamu sudah berada di pelataran, kenapa tidak masuk ke dalam?"
"Saya akan dihukum mati. Tak pernah ada aturan seorang dayang menyambangi tetamu terhormat."
"Tata krama Keraton, di mana pun sama.
"Akan tetapi karena kamu bukan dayang, berarti peraturan itu tidak berlaku. Mendekatlah, rasanya saya bahagia melihat kaum wanita yang begitu berani dan mampu menerobos ke dalam Keraton."
Merasa telah diketahui mengenai penyamarannya, Nyai Demang mendekat ke arah bangunan. Sampai di dekat salah satu pintu, Nyai Demang bersila sambil menyembah.
"Tubuhmu pasti bagus sekali, Nyai Demang. Teramat sempurna. Angin di kanan dan kiri tubuhmu seimbang. Bagaimana kamu bisa merawat dengan baik?"
Nyai Demang tak bisa menentukan dengan pasti di arah mana Ratu Ayu berada. Ada beberapa pintu di depannya. Pada salah satu pintu, nampak seorang berjaga.
"Itu Senopati Sariq."
"Senopati Kuning, terimalah hormat Nyai Demang."
Sariq ganti membalas dengan hormat.
"Ah, pengetahuanmu sangat luas, Nyai.
"Pasti sedikit-banyak kamu mengetahui asal-usul kami."
"Tata bicara Gusti Ratu Ayu sungguh menakjubkan. Begitu banyak tetamu dari seberang, akan tetapi rasanya tak ada yang sefasih Gusti Ratu."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyai Demang merasa akrab dan dekat dalam waktu sekejap. Rerasan Hati Wanita "TERIMA kasih atas pujian Nyai... Sungguh bahagia lelaki yang menjadi suami Nyai."
"Ah, rasanya Gusti Ratu tak perlu berbasa-basi semacam itu. Betapa lebih getir kalau dikenang. Betapa lebih mudah membayangkan lelaki yang menjadi suami Ratu Ayu akan merasa lebih bahagia."
Rasanya Nyai Demang mendengar helaan napas. Dan terdengar desahan dalam bahasa tertentu. Nyai Demang mengikuti desahan itu.
"Nyai, kamu mengerti bahasa Turkana?"
"Tidak.
"Tak lebih dari beberapa patah kata. Barangkali kalau sempat belajar, hamba bisa mengerti beberapa. Karena dalam pengucapan dan pembentukan kata, rasanya sama dengan tata bicara di tanah Jawa."
"Ya, ya... Kamu betul sekali, Nyai.
"Sariq, kenapa tetamu kita yang terhormat semacam Nyai Demang tak disambut dengan baik?"
Senopati Sariq segera menghidangkan minuman, yang diberikan dalam kantong kulit. Nyai Demang segera meneguk air susu itu.
"Kamu tahu apa yang saya desahkan tadi?"
"Gusti Ratu mendesahkan kata ev? Yang berarti rumah?"
"Mahatinggi Yang Menguasai Alam Semesta... Kamu sungguh luar biasa, Nyai."
"Tidak, hamba hanya mengetahui beberapa patah kata. Tapi rasanya hamba mendengar desahan evlerim..."
"Artinya rumahku."
"Apakah evlerime, berarti pergi ke rumahku?"
"Nyai, masuklah!"
Senopati Sariq menunduk, mempersilakan Nyai Demang.
Sekilas Nyai Demang masih melihat ada senopati lain yang berjaga.
Nyai Demang melangkah masuk ke dalam salah satu ruangan.
Melewati pintu, Nyai Demang berjongkok.
Ruangan yang ditempati Ratu Ayu penuh dengan gumpalan asap yang berbau sangat harum, menusuk, tapi tidak mengganggu.
Lantainya semua tertutup babut pramudani yang sangat elok.
Hanya tak begitu jelas gambarnya, karena ruangan tak begitu terang.
"Silakan duduk di kursi, Nyai."
Suara itu muncul dari balik kabut asap tipis.
Samar-samar Nyai Demang melihat bayangan Ratu Ayu Azeri Baijani.
Mata yang indah, cokelat, dan bersinar, di bawah sepasang alis mata yang lentik.
Hidung mancung, lurus, tapi mengesankan kelembutan di atas bibir yang tipis.
Di bagian kepala seperti memakai tutup kain yang berjumbai-jumbai.
Selebihnya adalah kulit yang elok.
Bahkan sebagai sesama wanita, Nyai Demang terkesima.
"Hampir sepuluh tahun aku tak dilihat orang. Tidak juga senopatiku yang paling setia. Sungguh tak menyesal hari ini bertemu dengan Nyai."
"Nyai Demang menghaturkan sembah bekti kepada Gusti Ratu."
Sekali lagi Ratu Ayu meminta Nyai Demang duduk di kursi atau balai-balai yang ada, akan tetapi Nyai Demang tetap tak bergerak.
"Nyai, dari mana kamu mempelajari bahasa saya?"
"Hamba hanya mendengar sepotong.
"Hanya mengetahui bahwa ev adalah rumah. Evler adalah rumah-rumah. Sedangkan kuda adalah at, dan kuda-kuda menjadi atlar, sedangkan kudaku, atlarim!"
Ratu Ayu menggelengkan kepalanya.
"Tadinya saya menyangka hanya sayalah wanita yang mampu menguasai tata bicara. Sungguh tak dikira, ada juga wanita yang perkasa. Sungguh murah hati Penguasa Jagat Raya ini.
"Nyai, tata bicara apa yang kamu bisa?"
Dalam sekejap, Ratu Ayu dan Nyai Demang berbicara dalam tata bicara Cina, Hindia, sedikit Jepun, dan akhirnya kembali lagi.
"Nyai belum pernah sekali pun ke tanah Hindia, Cina, dan Jepun?"
"Tanah Jawa ini pun baru seputar Keraton, Gusti."
"Jangan panggil Gusti. Saya tidak ingin mendengar dari Nyai. Kita sesama wanita yang tak perlu memanggil Gusti kepada sesama, juga tidak kepada kaum lelaki."
Suaranya tetap lembut, tapi terasakan gelora perasaan yang dalam.
"Kalau saja di negeri Turkana ada seorang seperti Nyai, pasukan Tartar yang busuk itu sudah lama terusir.
"Ah, begitu panjang dan jauh saya mencari sahabat.
"Nyai, salahkah jika kita kaum wanita menjadi prajurit? Menjadi penerus negeri? Salahkah, Nyai?"
"Tidak.
"Tetapi sangat jarang."
"Nyai tahu, negeri Turkana adalah negeri yang paling elok di dunia. Yang paling indah tak terkatakan. Yang membuat manusia-manusia lelaki berhati busuk ingin memperebutkan dan menghancurkan.
"Ratusan tahun silih berganti kaum lelaki yang menjadi raja menaklukkan dan menginjak-injak negeri kami. Dari negeri Siprus, dari negeri Sasanid, dari negeri padang pasir pimpinan Umayat, dan kini bangsa Tartar, yang dipimpin Khan.
"Apakah kami tak berhak merebut tanah tumpah darah kami sendiri? Kalau kaum lelaki lebih menerima, apakah hal itu bisa dibiarkan saja? "Nyai, katakanlah. Apakah saya salah kalau saya menginginkan kembalinya takhta yang dikoyak oleh Khan?"
"Tidak, Ratu Azeri."
"Saya tahu tanah ini tanah yang dikasihi Sang Maha Pencipta. Tanah yang mampu berdiri sendiri, yang mempunyai wanita seperti Nyai.
"Tetapi sesungguhnya Sang Mahakuasa tidak pilih kasih. Tidak hanya memilih tanah Jawa ini. Juga negeri saya, Turkana."
Lalu mendadak terdiam. Nyai Demang menunggu.
"Ada keributan di Keraton, Nyai."
Nyai Demang berusaha menangkap suara-suara yang samar dan tak jelas.
"Uighur agaknya menemui kesulitan.
"Keinginannya untuk menolong tidak diterima."
"Saya tak mendengar apa-apa, selain suara yang tak jelas."
Ratu Ayu kembali ke kursinya.
"Uighur akan bisa mengatasi.
"Nyai akan bisa mempelajari, kalau mau. Ilmu ini sangat biasa untuk dilatih. Bagilah seluruh ruang ini menjadi 64 bagian. Setiap bagian, jaraknya sama.
"Kalau dari kamar ini ke Keraton ada sekian ratus langkah, bagilah menjadi 64 bagian yang sama. Delapan bagian ke samping kiri dan kanan.
"Sehingga jarak antara kamar dan Keraton menjadi delapan petak saja. Seperti dalam permainan Lompat Turkana, setiap jarak yang jauh bisa menjadi pendek dengan melompati bagian yang bisa dilompati.
"Kalau dari kamar ini ke Keraton ada pohon, ada tiang, kita bisa melompati jarak itu."
Nyai Demang menggelengkan kepalanya.
"Hamba bisa menangkap sebagian."
"Nyai akan mampu melatih dengan cepat.
"Barang siapa mampu mempelajari tata bicara dengan cepat, ia bisa mempelajari segalanya!"
Kembali suaranya menggeletar, walau tetap perlahan dan merdu.
"Banyak alasan saya datang ke tanah Jawa ini. Pertama, karena hanya inilah satu-satunya negeri yang mampu mematahkan Khan. Kekuasaan Khan tak berlaku di negeri ini.
"Yang kedua, karena di tempat ini ada seorang yang bernama Eyang Sepuh, yang telah menciptakan ilmu Tepukan Satu Tangan. Suatu penguasaan rasa yang luar biasa. Dengan satu tangan bisa mengeluarkan suara lebih nyaring dari tepukan dua tangan.
"Apa bedanya dengan Jalan Budha? "Apa bedanya dengan Lompat Turkana, yang memperpendek jarak? Bukankah ilmu congklak yang luar biasa dari Tartar bisa dipecahkan dengan mudah oleh seorang yang tak bernama di tempat ini?"
Nyai Demang ingin mengatakan bahwa "seseorang yang tak bernama"
Itu adalah Upasara Wulung. Dan itu bukan seseorang yang tak bernama. Akan tetapi Ratu Ayu masih melanjutkan.
"Agaknya tanah ini memang diciptakan secara lain. Saya iri dengan tanah luhur ini.
"Nyai, bahagialah kamu karenanya."
Mendadak Ratu Ayu terdiam sesaat.
"Sayang, sungguh sayang. Pertemuan kita agak terganggu. Hmm, akan segera terjadi pertumpahan darah yang tak diinginkan.
"Uighur tak bisa dikeroyok dengan cara seperti itu.
"Sariq!"
Terdengar jawaban hormat.
"Mereka yang memaksa pertarungan sia-sia."
Darah Nyai Demang menjadi beku seketika.
Ratu Ayu merangkapkan kedua telapak tangan.
Matanya tertutup rapat.
Gegeran di Kamandungan RATU AYU sedang memusatkan perhatiannya.
Bibirnya mengeluarkan bisikan tipis, seirama dengan gerak tangannya yang halus.
Walau tidak tahu secara persis apa yang dibisikkan oleh Ratu Ayu, Nyai Demang yakin bahwa Ratu Ayu sedang memberi perintah kepada para senopatinya yang kini terkepung.
Mendengar arah kejadian, Nyai Demang memperkirakan gegeran yang terjadi berlangsung di Kamandungan.
Suatu tempat di luar Keraton sebelum sitinggil.
Di situ memang ada pelataran yang luas.
Ini berarti para senopati Turkana cukup menaruh hormat, sehingga pertarungan tidak terjadi dalam wilayah di jantung Keraton.
Padahal, seharusnya bisa terjadi di bagian dalam.
Nyai Demang memuji kerendahhatian senopati Turkana.
Pujian yang lebih merupakan kekaguman tertuju kepada Ratu Ayu.
Yang bisa mengirimkan suara dari kamarnya ke arah Kamandungan.
Cukup jauh, karena melewati pekarangan, bagian Keraton, dengan segala dinding tebal dan pintu berlapis yang sama tebalnya.
Dan Ratu Ayu Bawah Langit ini cukup dengan berbisik.
Nyai Demang membandingkan dengan Eyang Sepuh.
Karena selama ini yang mampu melakukan pengiriman suara jarak jauh secara sempurna hanyalah Eyang Sepuh.
Dengan tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya, Eyang Sepuh mampu berhubungan dengan orang lain tanpa perlu memperlihatkan diri.
Eyang Sepuh pernah membuktikan di tengah kerumunan para prajurit Tarik sewaktu akan merebut Singasari dari tangan kekuasaan Raja Jayakatwang.
Di antara para prajurit dan ksatria yang cukup tinggi ilmunya, Eyang Sepuh mampu membisikkan sesuatu kepada Upasara.
Juga kepada Gayatri.
Tanpa bisa didengar oleh orang yang berada di sebelahnya.
Benar-benar pengaturan tenaga dalam yang luar biasa.
Nyai Demang sedikit pun tidak menyangsikan keunggulan serta kekuatan tenaga dalam Ratu Ayu.
Namun ia juga memperhitungkan, bahwa agaknya Ratu Ayu tidak hanya menyandarkan kepada kekuatan tenaga dalam semata.
Melainkan juga semacam mantra yang memungkinkan bisa saling berbicara pada jarak jauh.
Karena para senopatinya sudah seperasaan dan sehati, hal semacam ini bisa dicapai.
Meskipun jelas, bukannya tanpa latihan yang keras dan kemampuan yang mendukung.
Bagaimanapun caranya, nyatanya Ratu Ayu mampu melakukan.
Tidak percuma namanya disejajarkan dengan tamu-tamu seberang yang lain.
Tak berbeda jauh tingkatnya dengan Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, maupun Kama Kangkam.
Bedanya, kalau Kiai Sambartaka datang sendirian, dan Kama Kangkam disertai dua muridnya, serta Naga Nareswara dengan tiga muridnya, Ratu Ayu tidak kepalang tanggung.
Delapan pengikutnya yang setia datang menyertai.
Dan kalau dilihat selintasan, kemampuan kedelapan pengikutnya yang sekaligus menjadi senopatinya tak berbeda jauh darinya.
Kalau sekarang kedelapan senopati Turkana ini maju secara serentak, bisa membahayakan para senopati Majapahit.
Senopati Sariq, Uighur, Karaim, rata-rata setingkat lebih tinggi dari senopati Keraton.
Atau bahkan lebih tinggi dari senopati Keraton.
Atau bahkan malah setingkat dengan tiga Naga yang dipimpin Naga Nareswara maupun kedua murid Kama Kangkam.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada tingkat ini, hanya Upasara yang mampu mengungguli.
Meskipun juga tidak mudah untuk memperoleh kemenangan.
Pada tingkat-tingkat yang sudah mencapai tataran begitu tinggi, sedikit saja kealpaan bisa membuat fatal.
Ratu Ayu masih terus berbicara dengan senopatinya, dan sesekali melirik ke arah Nyai Demang.
"Aneh sekali, kenapa senopati Keraton begitu bernafsu melindas kami? Bagaimana mungkin dalam sekejap terjadi perubahan sikap separah ini? "Nyai, bangsamu sungguh sangat perasa. Bahkan sangat keterlaluan."
Darah Nyai Demang sempat bergolak. Kalau tadi merasa dekat dan akrab karena dikagumi sebagai sesama wanita, kini Nyai Demang merasa bagian dari bangsa dan tanah airnya! Bukan sesama wanita.
"Pasti ada sebab yang sangat penting."
"Ya. Akan tetapi mereka tak akan mampu mengungguli delapan senopati Turkana. Hanya ada satu yang kelihatan agak kuat, yaitu Mahapatih.
"Kalau saya ikut terjun, apakah ada yang mampu menahan?"
Nyai Demang tak mau kalah.
"Dari segi jumlah, senopati Keraton jauh lebih besar. Betapapun keunggulan kalian menjadi tak ada artinya."
"Apa artinya kemenangan kalau hanya mengandalkan jumlah yang besar?"
"Tidak ada artinya jika itu terjadi pada pertarungan para ksatria, Ratu Ayu. Akan tetapi sekarang ini bukan lagi pertarungan para ksatria. Ini pertarungan antara hidup dan mati untuk membela negeri.
"Ratu Ayu telah membuat kami bangkit semua secara serentak.
"Kali ini Ratu ayu menghadapi seluruh negeri."
Ratu Ayu menghela napas.
"Barangkali ini kunci kemenangan kalian atas serangan pasukan Tartar. Sejengkal tanah kalian bela bersama sampai nyawa terakhir. Ini kekuatan yang luar biasa. Sementara di Turkana, justru sebaliknya yang terjadi.
"Kekuatan kami tercerai-berai.
"Padahal kalau satu lawan satu, Khan itu masih tetap bukan tandinganku. Juga rajamu, Nyai."
Nyai Demang mengeluarkan suara di hidung.
"Di negeri kami, seorang raja tidak selalu perlu turun tangan secara langsung. Seorang raja lebih mementingkan kebijaksanaan, dan bukan mencari pengesahan dalam pertarungan seperti ini."
"Dengan kata lain, Nyai mengatakan saya lebih sakti?"
"Masih harus dibuktikan."
Mata Ratu Ayu yang cokelat seperti mengeluarkan sinar tajam. Menikam.
"Apakah di negerimu ini ada yang mampu mengirimkan suara dengan ilmu Lompat Turkana seperti yang kulakukan?"
"Lebih dari itu pun ada, Ratu Ayu."
Sejenak Ratu Ayu menghela napas pendek.
"Kalau benar begitu, rasanya saya perlu turun tangan untuk menjajalnya. Rasanya ia baru pantas menjadi tandinganku.
"Nyai, siapa orang itu?"
Sejenak Nyai Demang merasa sangsi. Akan tetapi, mengatakan atau tidak, bisa berarti banyak. Mengatakan karena memang kenyataannya begitu. Kalau tidak menyebutkan nama, bisa dianggap asal membual.
"Ratu Ayu telah menyebutkan sendiri."
"Eyang Sepuh?"
"Eyang Sepuh, guru kami."
"Saya mendengar nama besar dan harum Eyang Sepuh.
"Tolong katakan, dari segi mana Eyang Sepuh mampu mengungguli saya? "Pandanganmu sangat luas, dan saya patut mendengarkan."
Pujian Ratu Ayu terdengar sangat tulus.
Dan memang diutarakan secara jujur.
Nyai Demang bisa merasakan.
Bahwa di balik sikapnya yang serba tersembunyi, di balik dendam dan keinginannya merebut kembali takhta Turkana dari tangan bangsa Tartar, Ratu Ayu tetap mempunyai jiwa ksatria.
Bahkan di balik pertanyaan itu, Ratu Ayu menghormati bahwa Nyai Demang akan menjawab secara jujur pula.
Bukan sekadar mengagungkan Eyang Sepuh karena kebetulan ia guru Nyai Demang.
"Bagaimana, Nyai? Apa hebatnya Tepukan Satu Tangan?"
Nyai Demang menunduk.
"Ratu memang luar biasa. Mampu memperpendek jarak dengan Lompat Turkana. Sehingga jarak jauh menjadi pendek. Tapi ini hanya terbatas kepada suara.
"Eyang Sepuh telah mencapai sesuatu yang lebih dari itu. Beliau mampu memindahkan badannya dari suatu ruang ke ruang yang lain tanpa bergerak.
"Sehingga pada saat yang sama, seakan berada pada dua tempat atau lebih secara bersamaan."
"Apa itu?"
"Kami menyebutnya moksa."
"O,"
Suara Ratu Ayu seperti patah.
"Saya mendengar ilmu semacam itu juga ada di tlatah Hindia, Jepun, dan di tanah Jawa ini. Di negeri kami, cara berlatih pernapasan untuk moksa juga bisa dipelajari.
"Saya telah mempelajari, Nyai."
"Kenapa tidak dimunculkan?"
"Sulit. Moksa adalah tingkat di mana antara ada dan tiada tidak berbeda. Tingkat antara roh dan raga menyatu, tak bisa dipisahkan. Tingkat antara mati dan hidup susah dipisahkan.
"Kalau saya menjajal ilmu itu, saya kuatir tak ingin kembali ke Turkana dan menjalankan keinginan semula."
Nyai Demang mengangguk dan membenarkan.
Ini memang bagian yang paling menguatirkan, yang oleh Eyang Sepuh disebut sebagai ajaran "bait terakhir yang tak terbaca di hati".
Lompat Turkana SEMENTARA itu, Gendhuk Tri yang sejak tadi masih berada di sekitar sitinggil, segera menyusup ke arah Kamandungan, melalui pintu benteng.
Suara hiruk-pikuk di dalam menyerap perhatiannya.
Dan begitu sampai di bagian dalam Keraton, lidahnya terjulur tanpa terasa.
Di depan Keraton, kedelapan senopati Turkana membentuk barisan dua lapis.
Sekali bergerak, yang berada di belakang meloncati yang ada di depan, langsung melabrak musuh.
Sementara barisan yang di depan, yang diloncati, juga serentak meloncati dan menyerbu ke arah senopati Keraton.
Karena kedelapan senopati melompat dan menyerang dengan sangat cepat, barisan para senopati Keraton seperti kucar-kacir.
Susunan pertahanan menjadi buyar.
Senopati Sariq berada paling depan.
Kalau menemui lawan seimbang, hanya memutar ke arah samping.
Tempatnya yang kosong segera diisi Senopati Uighur atau Karaim.
Begitu juga yang lainnya.
Serangan mendadak yang sangat rapi dan kuat.
Setiap penghalang disikat dengan tebasan pedang melengkung.
Juluran lidah Gendhuk Tri lebih menunjukkan kekaguman.
Matanya pernah menyaksikan barisan murid Kiai Sumelang Gandring yang merangsek maju secara bersamaan.
Juga pernah menyaksikan dua murid Kama Kangkam yang menyatu.
Dua bentuk barisan, yang kokoh bertahan, dan yang kuat melabrak.
Akan tetapi yang disaksikan sekarang, sungguh luar biasa.
Kedelapan senopati menggunakan Lompat Turkana seperti dalam permainan 64 petak.
Masing-masing saling melompat ke depan, dan atau ke samping kiri maupun kanan.
Tak pernah mundur.
Dalam sekejap saja, mereka telah masuk mendesak hingga pintu Keraton, sementara para senopati Majapahit tersisih di sebelah kiri dan kanan.
Hanya saja para senopati Turkana ini tidak melabrak terus dan masuk ke dalam, akan tetapi berbalik, siap menghadapi lawan yang bersiaga dari depan.
Dari sekian banyak senopati Keraton, hanya Mahapatih yang nampak bisa mengimbangi.
Ia selalu berhasil memaksa lawan tidak melompati tubuhnya, akan tetapi memakai gerakan memiring.
Hanya saja karena ia seolah sendirian, dalam sekejap saja seperti mendapat keroyokan.
Terpaksa bertahan sambil minggir.
"Kok bisa begini jadinya? "Sungguh tidak lucu kalau Keraton bisa dicabik-cabik dengan cara murahan seperti ini."
Suara Gendhuk Tri terdengar lantang.
Akan tetapi tak ada yang memperhatikan.
Dari sitinggil terdengar keributan yang lain.
Para calon penari menjadi bubar dengan sendirinya.
Begitu pula para calon yang berharap dipilih sebagai suami oleh Ratu Ayu.
Sementara para prajurit berkumpul dan masuk ke Kamandungan untuk melibatkan diri dalam pertempuran.
Namun mereka hanya menambah korban yang berjatuhan.
Pedang bagai bulan melengkung itu setiap kali berayun, seperti membuat lawan mundur atau terluka.
Di tengah ketakberdayaan karena serangan yang mengagetkan, dari arah sitinggil menerobos masuk seorang lelaki.
"Kakang, aku ikut."
Gendhuk Tri langsung terjun ke tengah gelanggang.
"Kita jajal mereka. Aku jadi ingin tahu."
Gendhuk Tri segera melepaskan selendangnya.
"Senopati Majapahit, jangan berdiri terlalu dekat dengan lawan. Beri jarak. Kosongkan di depan, atau merapat. Sehingga mereka tak mampu melompati.
"Jangan takut bau kambala."
Gendhuk Tri rada terperangah.
Ia tak menyangka sama sekali bahwa lelaki yang masuk ke gelanggang bukan Upasara Wulung! Bentuk tubuhnya sama, wajahnya mirip sekali, nada suaranya juga sama! Hanya rambutnya yang kemudian tergerai, membuat Gendhuk Tri yakin bahwa lelaki itu bukan Upasara Wulung.
Apalagi ketika menggertak maju sambil memainkan kantar dengan gerakan cepat.
"Mari aku cuci kalian. Katanya kambing takut sama air."
Dengan gesit, lelaki itu maju menerjang.
Kantar, atau tombak pendek yang biasanya digunakan sebagai perisai, menyabet maju.
Kebetulan yang dihadapi adalah Senopati Chagatai, yang mencongkel dengan pedang lengkungnya.
Lelaki itu terus menggebrak maju dengan desakan yang kuat, seolah menempel.
Senopati Kazakh yang berada di belakangnya, tak bisa melompati.
Tetap menunggu di belakang! Dalam saat yang bersamaan, Gendhuk Tri juga mendesak maju.
Selendang warna-warni mengebut ke arah wajah lawan.
Tidak seperti biasanya, Gendhuk Tri kali ini tidak membuat jarak.
Ia mendesak maju.
Sabetan pedang Senopati Karaim digulung dalam satu selendang, sementara tangannya yang bebas mengancam lawan.
Senopati Karaim mengegos ke samping.
Gendhuk Tri menyambar dengan kaki.
Ke arah terompah lawan.
"Kena kamu, kambing."
Tanpa sadar, Gendhuk Tri mengikuti apa yang dikatakan lelaki yang mirip Upasara Wulung.
Dengan menyebutkan kata kambing, seperti tadi ia mendengar ucapan kambala, yang artinya pakaian bulu domba.
Bahwa yang dikenakan para senopati itu pakaian bulu domba tanpa lengan atau bukan, tak jadi soal.
Senopati Karaim tak menyangka bahwa terompahnya yang digasak.
Sewaktu menarik mundur kakinya, Senopati Uighur yang di belakangnya berseru keras.
Hampir saja pedang melengkung mengenai kawan sendiri.
"Kanyasukla, sebagai anak kampung, ilmumu boleh juga. Mari kita ajar mereka main lompatan."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hati Gendhuk Tri menjadi berbunga-bunga.
Karena ia dipanggil dengan sebutan kanyasukla yang berarti perawan suci.
Rasanya, sepanjang hidupnya tak pernah ada lelaki yang memanggil begitu menyenangkan hatinya.
Satu-satunya yang menyayanginya hanyalah Dewa Maut.
Yang mau melakukan apa saja bagi Gendhuk Tri.
Akan tetapi, Dewa Maut memanggilnya dengan sebutan tole, panggilan buat anak lelaki.
Tak pernah terdengar panggilan yang menyejukkan hati kewanitaannya.
Tidak juga Upasara Wulung yang dikagumi.
Paling jauh hanya menyebut adik manis.
Sekarang ada yang menyebut dengan manis, lembut, dan menganggapnya sebagai gadis.
Dan yang memanggil itu adalah seorang lelaki yang Hmmmmm, tak kalah dengan kakang pujaannya.
Mendapat hati, Gendhuk Tri tak berpikir panjang lagi.
Kedua kakinya menjejak tanah, dan tubuhnya melayang ke atas, jungkir-balik ke arah belakang.
Apa yang dilakukan Gendhuk Tri memang tak terduga.
Justru karena mengandung bahaya.
Meloncat ke udara sambil membalikkan tubuh untuk menghadapi barisan Lompat Turkana sama juga adu panas dengan sumber api.
Akan tetapi justru karena lawan tak menduga itulah pedang melengkung Senopati Uighur bisa tercabut.
"Bagus. Aku juga dapat satu!"
Lelaki itu berseru keras sambil merampas sebilah pedang.
Ia berdiri berjajar dengan Gendhuk Tri.
Rambutnya yang panjang tergerai di belakang bahunya.
Wajahnya gagah, dengan kedua tangan membuka.
Salah satu tangannya memegang pedang melengkung.
Serentak dengan itu delapan senopati Turkana membalikkan tubuhnya.
Menghadapi lelaki gagah dan Gendhuk Tri.
Senopati Sariq meloncat ke depan.
"Sungguh mengagumkan.
"Sepasang senopati yang bisa membaca barisan kami. Apakah Sariq kali ini berhadapan dengan ksatria dari Perguruan Awan yang bernama Upasara Wulung?"
"Hei, domba kuning! Tahu diri sedikit.
"Yang bisa merebut congkelan pintu bukan hanya dia, tapi aku juga merampas. Bahkan lebih dulu. Bagaimana kamu seenaknya saja memujinya tanpa melirik aku? "Apa perlu kucabuti dulu bulu domba di tubuhmu itu?"
Lelaki itu tertawa bergelak. Gendhuk Tri sadar bahwa cara tertawa yang kasar itu membuatnya sangat berbeda dari Upasara.
"Siapa suruh kamu menertawai aku? Apaku yang lucu?"
Lelaki itu menggaruk rambut di belakang telinga. Wajahnya jadi sedikit berubah.
"Kanyasukla, aku tertawa bukan karena kamu lucu. Karena Senopati Sariq ini kamu sebut domba kuning. Alangkah lucunya. Domba tak pernah bisa kuning walau makan emas sekalipun."
"Itu tidak lucu sama sekali."
Maha Singanada SELURUH Kamandungan jadi senyap.
Semua perhatian terserap ke pembicaraan antara Gendhuk Tri dan lelaki gagah yang rambutnya dibiarkan terurai.
Merupakan perubahan yang ganjil.
Dalam beberapa saat sebelumnya, seakan seluruh senopati Keraton dibikin tak berdaya.
Lalu mendadak muncul pasangan yang dalam satu gertakan mampu mematahkan Lompat Turkana.
Kini juga setelah bisa unggul, mereka seolah bertengkar sendiri.
"Maaf, pertanyaan saya belum terjawab.
"Sebelum melanjutkan permainan, perkenankan saya mengetahui nama besar Ksatria."
"Bukankah tadi Sariq telah menyebutkan nama Upasara?"
"Kalau begitu, terimalah hormat saya."
Sariq membungkuk memberikan hormat. Gendhuk Tri berteriak marah.
"Ngaco! Mulut bau, dandanan kamu seperti anak kampung, berani mengaku nama besar Kakang Upasara? "Sehari mandi seratus kali, kamu tetap tak akan menyamai bayangan Kakang Upasara!"
Lelaki yang mengaku Upasara terkekeh. Walau dalam gusar, sebenarnya Gendhuk Tri memuji. Karena menyebut-nyebut mandi seratus kali. Yang berarti juga mengakui bahwa kulit lelaki itu lebih putih dan lebih bersih daripada warna kulit Upasara.
"Senopati Sariq, begitu banyak orang menyebut katanya aku ini mirip Upasara Wulung. Bahkan kalian yang baru datang dari Turkana juga terkecoh.
"Terus terang aku tak tahu apakah Upasara cukup tampan hingga bisa disejajarkan dengan diriku."
"Ngaco belo. Kamu ini anak kadal."
Lelaki itu mengangkat alisnya. Rambutnya bergerak-gerak.
"Hei, kupanggil kamu kanyasukla, karena kuanggap kamu masih suci pikirannya. Ternyata pikiran kamu sudah terjerumus kepada pemujaan lelaki."
"Siapa memuja lelaki.
"Jangan asal buka mulut. Upasara adalah kakangku."
"Nah, ketahuan sekali pikiranmu sudah ruwet. Aku hanya menyebut kamu memuja lelaki. Bukan menyebut memuja kekasih atau suamimu."
Gendhuk Tri menggertak.
Dua tangan bergerak serentak.
Empat ujung selendang menyambar secara bersamaan.
Dengan menggoyangkan kepalanya, sambaran empat ujung selendang tersapu minggir oleh rambut lelaki itu.
Dua tangan yang bergerak secara serentak dipegang erat.
"Tunggu! Apa hubunganmu dengan Mpu Raganata?"
"Lepaskan!"
Gendhuk Tri meronta. Ternyata pegangan itu tidak bersungguh-sungguh.
"Tahu apa kamu tentang Mpu Raganata?"
Lelaki itu menatap Gendhuk Tri dengan tajam. Sorot matanya begitu menukik dalam, sehingga Gendhuk Tri menunduk dengan warna merah di pipi. Malu. Sungkan. Gerah. Lelaki itu tak memedulikan Gendhuk Tri. Ia berbalik menghadapi Sariq.
"Namaku Maha Singanada.
"Senopati Sariq, jangan salah paham. Ini namaku yang sesungguhnya. Bukannya aku sengaja memasang nama artinya mengaum keras seperti singa, dan seekor singa sanggup menelan delapan ekor kambing.
"Cukup jelas? "Maha Singanada juga berarti gelaran Dewa Syiwa sebagai senopati perang.
"Aku perlu menjelaskan agar kalian semua yang ada di sini tidak salah kaprah bahwa aku adalah Upasara Wulung.
"Setelah soal nama, mari kita lanjutkan permainan menarik ini.
"Sudah lama aku mendengar permainan anak-anak dari Turkana ini, dan sekarang bisa menjajalnya."
Dalam hati, Gendhuk Tri merasa dongkol tujuh kali.
Nada bicaranya sangat ketus, tinggi hati, menunjukkan kepongahan.
Tanpa tata krama sedikit pun.
Boleh dikatakan sangat kurang ajar! Bahkan Gendhuk Tri yang selalu bicara seenaknya, tetap merasa ucapan Singanada sangat kasar.
Dan sedikit mengherankan bahwa ada pemilik nama yang memakai tambahan maha, serta mengucapkan tanpa merasa risi.
Sariq mengangguk.
"Saya akui keunggulan Singanada pada gebrakan pertama. Akan tetapi, marilah kita jajal dari awal.
"Silakan kalian berdua maju.
"Biar kami berdua yang menghadapi."
Uighur melompat, mendampingi.
"Agar tidak dikatakan curang, jumlah kita sama."
Singanada menggeleng.
"Majulah berdua atau berdelapan, aku masih bisa menghadapi sendiri.
"Aku tak ingin melibatkan orang lain. Karena ini urusanku pribadi.
"Aku datang untuk melihat apakah benar ada Ratu Ayu Bawah Langit yang benar-benar ayu. Ataukah hanya nenek-nenek yang sulit mencari jodohnya."
Uighur melompati tubuh Sariq dan menggempur.
Singanada bergerak sama cepatnya.
Begitu Uighur bergerak, Singanada mendahului melompat ke atas.
Kantar di tangannya berpindah dari kiri ke kanan dengan cepat.
Antara menyerang dan bertahan.
Dua bayangan saling bertempur di atas.
Sariq menderum keras.
Walaupun ada dua orang bertempur di atas, tubuhnya tetap menyela di tengah.
Pedang lengkungnya menyodet ke arah perut.
Singanada menggeliat, tubuhnya terjatuh di arah belakang Sariq, dengan tangan lebih dulu.
Kedua kakinya menggunting! Sariq tak mau kalah cepat reaksinya.
Begitu pedang lengkungnya mengenai udara kosong, tubuhnya segera menggulung, dan melesak masuk ke dalam.
Lolos dari guntingan kaki.
Bergulingan di tanah sambil menyabit keras.
Terdengar suara angin tajam karena sobekan pedang lengkung.
Uighur tak kalah lincah.
Dengan memakai kaki Singanada sebagai tumpuan, badannya melesat ke angkasa.
Singanada mengaum keras.
Pedang lengkung yang menyabet ke arahnya diterkam.
Dengan kantar untuk menindih.
Tidak mengelak atau mengegos.
Tapi menindih.
Dengan demikian, senjata Sariq terbenam di tanah.
Di bawah tindihan kantar! Pada saat yang sama, rambut Singanada menyambar.
Bagai ratusan jarum yang menusuk secara bersamaan.
Sariq mengempos semangatnya.
Ia bisa melepaskan pedang lengkung dan membuang tubuhnya.
Tetapi itu tak dilakukan.
Ia tetap membetot pedang dengan satu tangan, dan tangan yang lain menolak sambaran rambut! Gelombang tenaga yang disalurkan seakan menembus jalan buntu.
Akan tetapi dalam kejap berikutnya, ternyata tekanan tindihan mengendor.
Karena saat itu tubuh Uighur sudah turun.
Melayang tepat di atas tubuh Singanada.
Yang justru sedang melonjak ke atas.
Kantar yang tadi dipakai untuk menyerang, sekarang dipakai untuk menahan.
Berfungsi sebagai perisai.
Kali ini, justru Singanada yang memakai tenaga turun Uighur sebagai tumpuan untuk melayang.
Begitu tubuhnya melayang di udara, tangan kanan yang memegang kantar terulur ke arah Sariq yang tengah tengadah.
Terpaksa menyampok keras.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hingga tertahan geraknya mumbul ke atas.
Kejadian berlangsung sangat cepat-keras-berbahaya.
Karena Gendhuk Tri tidak ikut terjun ke dalam gelanggang, Singanada seperti dikeroyok dua.
Ini terus terang membuat Sariq merasa kurang enak.
Akan tetapi tak bisa berbuat lain.
Karena tekanan serangan Singanada amat kuat.
Yang membuat Sariq menjadi lebih waspada ialah karena ternyata Singanada mampu memindahkan serangan atas dan serangan bawah dengan sama kuat dan sama gesit.
Keunggulan serangan di tengah udara bisa diimbangi, sedangkan serangan bawah, jelas Singanada lebih unggul.
Ini mengherankan.
Biasanya seorang ksatria lebih menguasai satu jenis penyerangan.
Di atas atau di bawah.
Gendhuk Tri pun terheran-heran.
Bumi Mengaum DAN penasaran.
Betapa tidak, kalau dalam satu gebrakan saja Maha Singanada bisa langsung menebak ilmunya mempunyai kaitan dengan Mpu Raganata.
Gendhuk Tri jadi memperhatikan dengan lebih saksama.
Dalam waktu tak terlalu lama, dirinya menyaksikan munculnya jago-jago yang unggul.
Sejak Naga Nareswara, kemudian Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, serta pemunculan kembali Paman Sepuh.
Lalu ditambah Ratu Ayu dengan senopati-senopatinya.
Semuanya serba aneh, menimbulkan tanda tanya.
Akan tetapi dengan segera bisa dilacak asal-usulnya.
Tidak demikian dengan Maha Singanada.
Menyeruak begitu saja, dengan kemampuan yang cukup memesona.
Dengan penglihatan yang tajam.
Sekali gebrak sudah mengetahui kunci permainan Lompat Turkana, menebak jurus-jurus ilmu yang bersumber dari Mpu Raganata, main silat di tanah dan di angkasa sama mengagumkan.
Gendhuk Tri merasa bisa memainkan silat sambil bergulingan di tanah untuk memperdaya lawan.
Akan tetapi, walau ilmu mengentengkan tubuhnya termasuk kuat, tak bisa seunggul penguasaan di bawah.
Ini sebenarnya memang ciri-ciri utama seorang jago silat.
Mereka yang berlatih di daerah pegunungan, dengan sendiri lebih maju penguasaan ilmu mengentengkan tubuhnya.
Ciri-ciri semacam ini, bisa ditandai pada setiap jago silat yang dikenal Gendhuk Tri.
Bahkan Dewa Maut, di masa jayanya, adalah jagoan bertarung di atas sungai.
Kalaupun kemudian bertempur di darat, ciri-ciri itu masih terasakan.
Inilah yang membuat Gendhuk Tri merasa sangat heran.
Tanda tanya yang sama terucapkan oleh Ratu Ayu Azeri Baijani yang berada dalam kamarnya.
"Nyai mengenal ksatria bernama Maha Singanada?"
"Rasanya tidak, Ratu."
"Boleh juga ksatria satu ini. Dasar-dasar yang dimiliki sangat kuat dan cukup terlatih. Kalau benar ini juga bagian ilmu Kitab Bumi, sungguh... tanah Jawa ini luar biasa. Tanah yang sangat subur melahirkan ksatria kelas satu.
"Kenapa Gendhuk Tri tidak ikut bertarung?"
"Kalau begitu, bukan Maha Singanada. Pasti Upasara Wulung."
Ratu Ayu tersenyum.
"Ksatria yang menjadi pewaris Perguruan Awan dan berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan di Trowulan? - "Hmmm, boleh juga.
"Boleh juga.
"Rasanya saya perlu menemui."
Nyai Demang memperlihatkan wajah kurang senang. Ratu Ayu bukannya tidak menangkap perasaan kecut yang tersimpan.
"Barangkali ini lelaki yang saya cari..."
Hanya saja, di ujung kalimatnya, Ratu Ayu mendadak berhenti.
Pikirannya kembali dipusatkan untuk mengikuti jalannya pertarungan.
Nyai Demang tak bisa menahan dirinya.
Kedua tangannya membuat sembah, lalu mundur sambil tetap berjongkok.
Sampai di pintu luar, segera melesat ke arah Kamandungan.
Apa yang disaksikan, membuat Nyai Demang membelalak dan mengerutkan keningnya sekaligus.
Hingga kedua alisnya berjauhan dan bertemu beberapa kali.
Yang membuat Nyai Demang terheran-heran bukan karena para senopati Keraton hanya berada di depan kori utama, pintu utama, menuju ke dalam Keraton.
Bukan pula Gendhuk Tri yang berdiri bengong dengan pandangan kosong.
Juga bukan wajah Maha Singanada yang sekelebatan mirip Upasara Wulung.
Melainkan gerakan-gerakan yang dilakukannya.
Rasanya seperti pernah dikenali.
Pernah dikenali dengan baik.
Hanya tak bisa segera dipastikan di bagian mana ia mengenali gerakan itu.
Pernah dimainkan seseorang ataukah hanya dari bayangan dalam pikiran ketika mempelajari kitab-kitab ilmu silat.
Sementara itu Singanada makin ganas bergerak.
Kantar di tangannya mengurung lawan, menyodok, menekan pedang lengkung lawan.
Sariq maupun Uighur seakan terdesak.
Akan tetapi Sariq bukanlah senopati sembarangan.
Bukan ksatria yang sekadar di belakang memainkan ilmunya.
Dengan barisan Lompat Turkana, bersama dengan Uighur, keduanya tetap bisa bertahan.
Lompat Turkana yang berdasarkan gerak jong, gerak payung atau gerakan tertutup di belakang, tak memberi kesempatan Singanada untuk menguasai dari arah mana pun.
Bahkan sebaliknya mereka berdua selalu naik-turun dan menggasak maju.
Kalaupun Singanada mampu menerobos ke arah belakang, keduanya langsung berbalik.
Titik lemah di bagian belakang juga menjadi kekuatan.
Singanada mengertakkan giginya.
Kedua tangannya terangkap menjadi satu, kantar ditarik pendek melekat ke tubuhnya.
Kaki kanan terangkat, dengan paha lurus ke depan.
Sariq menjajal dengan sabetan pedang lengkung yang seakan mencungkil pinggang.
Bersamaan dengan itu, Uighur sudah memotong bagian atas, jika Singanada meloncat.
Dalam situasi seperti itu, jalan menyerang Singanada yang lebih kuat meloncat ke atas.
Tidak dengan menyapu kuda-kuda lawan, merebut sisi bawah pertahanan.
Akan tetapi justru dengan berani, Singanada tidak meloncat atau menyergap lawan.
Sabetan pedang ke arah pinggang ditangkis dengan gerakan pendek.
Seolah kantar yang ditempelkan ke pinggangnya cukup aman untuk menahan.
Memang.
Namun pedang lengkung itu dalam sekejap bisa berubah arah.
Ke dada.
Dengan sangat cepat.
Singanada menarik kantar ke atas.
Menyambut sabetan ke dada, yang kembali diubah arahnya ke arah leher kanan dan kiri.
Tiga kali kantar Singanada membentur lembut.
Sementara Uighur yang meloncat sudah turun ke bawah.
Sariq sendiri melihat bahwa meskipun lawan tidak terlalu terdesak, akan tetapi sekali ini tak mampu bergerak leluasa.
Maka dengan menggeser satu tindak, Sariq merangsek maju.
Dengan kaki satu tetap terangkat, Singanada melayani.
Ke arah mana pedang lawan menyapu dan mendesak, ia menangkis.
Begitu kesiuran angin tubuh Uighur menyerbu, Singanada mengubah geraknya.
Kaki kanan yang terangkat dalam keadaan tertekuk mendadak terbuka.
Lepas di antara sabetan pedang Sariq yang mendadak menarik mundur tubuhnya.
Kaki kanan itu terus bergerak lurus ke atas, karena Singanada menjatuhkan tubuhnya ke belakang.
Uighur berseru kaget.
Tendangan Singanada sudah berada di depan wajahnya! Sabetan pedang untuk memotong bisa ditepis oleh kantar yang bahkan menariknya turun.
Terkesima kegesitan Singanada yang luar biasa cepat mengubah gerakan, Uighur hanya bisa menarik kedua tangan dengan melindungi dada.
Pedangnya terlepas.
Kaki kanan Singanada berhasil menendang dada Uighur.
Yang telah melindungi dengan kedua tangan.
Perhitungan Uighur bukannya tidak ada.
Dengan melindungi dada, kedua tangannya tidak sekadar mempertahankan diri.
Akan tetapi juga berusaha membekuk kaki kanan itu.
Sekali puntir, rontoklah seluruh tulangnya.
Hanya saja tenaga sodokan Singanada begitu liat, sehingga tenaganya yang untuk menyerang terpaksa ditarik.
Dengan demikian cukup kuat menahan tendangan.
Meskipun tubuh Uighur jadi berjumpalitan di udara.
Sariq menggebrak maju dengan ganas melihat Uighur terdesak.
Akan tetapi Singanada telah berubah.
Tubuhnya bagai menggeliat dengan pusaran tenaga kuat, bibirnya mengeluarkan teriakan bagaikan auman singa, menubruk ke arah Sariq.
Pedang Sariq diterkam.
Ditempel oleh kantar-nya, dan dengan satu putaran keras, tubuh Sariq terlempar.
Melayang di tengah udara.
Sampai ke gapura Keraton, dan dengan cepat melayang kembali.
Sudah berjajar dengan Uighur.
Keenam senopati Turkana yang lain juga dengan sangat cepat dan bersamaan membentuk barisan.
Singanada berdiri di tengah lapangan Kamandungan dengan gagah.
Tangan kanan dan kiri terbuka.
Kedua kakinya membentuk kuda-kuda, seolah sedang menunggang kuda.
Tubuhnya sedikit miring.
Pandangan matanya menyipit.
"Timinggila Kurda...,"
Desis Nyai Demang gemetar.
Tak bisa lain.
Itulah jurus yang mirip sekali dengan Timinggila Kurda, atau jurus Ikan Paus Murka, yang ada di dalam Kitab Bumi.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya saja, kalau Paman Sepuh memainkan secara murni sebagai gerakan ikan paus atau ikan gajah, Singanada memakai gerakan singa.
Karsa Putra Mahkota SlNGANADA bergerak setapak demi setapak.
Makin gagah karena rambutnya bergerak-gerak mengikuti irama langkahnya, dan sinar sang surya yang mulai condong membuat bayangannya menjadi lebih hidup.
"Cukup..."
Terdengar teriakan Mahapatih. Singanada berhenti. Mahapatih Nambi menghadap ke arah Sariq.
"Baginda tidak menghendaki pertarungan dilanjutkan. Kecuali kalau memang Ratu Ayu memaksa."
Sariq berdiri tegak.
"Bukan kami yang mulai, Mahapatih."
"Senopati Sariq, saya membawa sabda Baginda.
"Pertarungan tak perlu dilanjutkan, kecuali kalau Ratu Ayu memaksa. Sebagai tuan rumah, Baginda ingin mengundang Ratu Ayu untuk membicarakan dengan baik.
"Apakah cukup jelas?"
Sariq mengernyitkan kening. Menangkap suara yang dibisikkan Ratu Ayu.
"Sebagai tetamu, Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani, junjungan rakyat negeri Turkana yang elok, tidak ingin berbuat kurang ajar. Kalau tuan rumah memaksa, tak ada pilihan lain.
"Kami datang tidak untuk mengemis atau minta belas kasihan.
"Juga tidak untuk dihina.
"Sebagai sesama ksatria, kami datang dan juga akan pergi. Mohon sabda junjungan kami disampaikan kepada Baginda."
Gendhuk Tri yang mendadak merasa jengkel.
"Huuuuu, sudah baik-baik bertarung, kok jadinya bicara melulu.
"Kamu juga kampungan. Kenapa berhenti? Takut, ya?"
Jari Gendhuk Tri menuding ke arah Singanada.
"Kalau takut, aku akan berdiri di tempat kamu berada."
Gendhuk Tri tersentak.
"Aku berada di sini bukan karena takut. Tetapi karena aku tak mau main keroyok. Masa begitu saja kamu tidak tahu."
"Tadi memanggil Kakang."
Wajah Gendhuk Tri bersemu merah.
"Aku menyesal memanggilmu Kakang. Ternyata kamu begitu takut mendengar aba-aba prajurit Keraton yang tua dan gembrot itu. Ksatria macam apa kamu ini?"
Singanada menyelipkan kantar ke pinggangnya. Matanya mengawasi Mahapatih dan para senopati Majapahit yang mengiringkan Sariq bersama para senopati Turkana kembali ke dalam Keraton.
"Akan kujawab kalau kaukatakan apa hubunganmu dengan Mpu Raganata."
"Sudah terang aku saudara seperguruan Mpu Raganata. Kenapa kamu masih bertanya? Mau berguru padaku? Puasa empat puluh hari, mandi keramas sampai bersih, kuku dipotong, dan nanti akan kupertimbangkan."
Singanada tertawa bergelak.
"Omongan kamu termasuk kurang ajar. Jarang di tanah Jawa ini ada yang berani bicara selancang mulutmu.
"Tapi aku suka.
"Kanyasukla, tolong katakan kepada Mpu Raganata, apakah beliau tidak malu mempunyai cucu murid yang ilmunya pas-pasan tapi mulutnya bawel."
Singanada tertawa keras. Tubuhnya bergoyang.
"Singanada."
"Namaku Maha Singanada. Kecuali dengan panggilan Kakang, kamu harus menyebut namaku secara lengkap.
"Lain kali kita bertemu lagi.
"Kalau ilmumu sudah agak maju."
Mana mungkin Gendhuk Tri begitu saja menerima ucapan penghinaan seperti ini? Tubuhnya melesat, dan serentak dengan itu empat kibaran selendangnya yang warna-warni menyerbu. Pada saat yang bersamaan Nyai Demang juga melayang ke angkasa.
"Tunggu, adik manis."
Singanada melirik ke arah Nyai Demang.
Bibirnya menyunggingkan senyum.
Gendhuk Tri merasa kelewat jengkel! Jengkel karena melihat senyuman genit Singanada.
Senyum nakal dan murahan kepada Nyai Demang.
Jengkel karena Nyai Demang menahannya.
Jengkel karena Nyai Demang hanya ingin menarik perhatian Singanada.
Jengkel karena Nyai Demang membalas senyuman dengan tambahan mengangguk kepalanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Nyai Demang yang jelita?"
Nyai Demang makin lebar senyumnya. Gendhuk Tri yang tadi ditarik menjadi makin dongkol. / "Dasar lelaki buaya!"
Nyai Demang mengangguk dengan sikap hormat.
"Sayalah yang bernama Nyai Demang. Mengenai jelita atau tidak, kakek-kakek yang lebih tahu."
"Juga anak-anak muda.
"Putra Mahkota Bagus Kala Gemet menceritakan Nyai. Sebelum beliau terpesona kepada Ratu Ayu."
"Beliau?"
Bagi Nyai Demang dan Gendhuk Tri, cara Singanada menyebutkan Bagus Kala Gemet dengan penghormatan beliau, cukup menimbulkan rasa ganjil.
Kalau tadi menyebut Mpu Raganata dengan sebutan yang sama, bisa diterima.
Akan tetapi tidak untuk Bagus Kala Gemet.
Walaupun Kala Gemet adalah putra mahkota, akan tetapi di kalangan para ksatria tidak terlalu menimbulkan kesan hormat.
Maka cukup mengherankan kalau Singanada menyebutnya sebagai beliau.
"Beliau yang terhormat, junjungan rakyat, Pangeran Pati Bagus Kala Gemet."
Singanada justru mengucapkan lebih jelas.
"Rasanya apa yang dikatakan beliau tak meleset. Nyai memang jelita."
Wajah Nyai Demang tertekuk. Ada warna marah.
"Apakah begitu kasar tata kramamu, Maha Singanada?"
"Barangkali begitu.
"Makin lama tanah Jawa ini makin mengerikan, karena sedikit bicara salah saja menjadi orang kasar, dungu, dan tak beradab. Dan saya salah satu contohnya.
"Maafkan, kalau saya kasar.
"Maafkan."
"Maha Singanada, kalau saya boleh tahu.. apakah Adimas belum lama kembali ke tanah Jawa?"
Sejenak wajah Singanada berubah.
"Nyai lebih tahu daripada saya.
"Suatu hari saya akan berguru kepada Nyai."
Tanpa mengucapkan kata tambahan, tanpa anggukan, Singanada berjalan meninggalkan Nyai Demang dan Gendhuk Tri. Langsung masuk ke dalam Keraton. Sama sekali tak memedulikan. Nyai Demang mencekal Gendhuk Tri.
"Biar saja."
"Apa hakmu hingga saya ditahan-tahan, diperingatkan, seperti ini?"
Gendhuk Tri mengibaskan tangannya.
"Adikku..."
Suara Nyai Demang berubah nadanya menjadi lembut, penuh dengan kasih seorang kakak.
"Akan terjadi banyak peristiwa yang lebih ramai.
"Kita menyangka semua tetamu kita ketahui, akan tetapi ternyata masih ada yang tersembunyi."
"Kakangmbok tahu siapa dia?"
Nyai Demang tersenyum, menggandeng Gendhuk Tri ke arah pinggir. Berjalan ke luar, ke arah sitinggil.
"Kenapa kamu tidak bertanya mengenai kakangmu Upasara lebih dulu?"
Sindiran Nyai Demang mengenai sasaran. Tepat dan menukik.
"Aku sedang marah sama Kakang. Hingga tak perlu kutanyakan."
"Kalau begitu saya tak perlu bercerita."
Gendhuk Tri mati kutu. Tapi tetap tak mau mengalah.
"Apa pun yang terjadi terhadap Kakang, biar ditanggung sendiri. Kakang sudah lebih dari dewasa."
Lagi-lagi Nyai Demang tersenyum.
"Mudah-mudahan bukan karena hatimu sedang kesengsem Maha Singanada."
Gendhuk Tri menggigit bibirnya.
"Kakangmbok kenal dia?"
"Dua kali sudah pertanyaan itu diulang."
"Hmmm. Aku tertarik bukan karena apa. Karena ia disangka Kakang Upasara. Terus terang aku tak rela. Ia lelaki kasar, mulutnya kotor, matanya jelalatan, dan sama sekali tak mengenai tata krama. Memandang saja aku lebih suka mengupah orang lain."
Kali ini senyum Nyai Demang merekah sempurna. Menutup rasa ingin tahu hubungan antara Maha Singanada dan Putra Mahkota. Bibit Beringin dan Bibit Rumput GENDHUK TRI berhenti melangkah.
"Bagaimana kalau kita menyelinap masuk ke dalam Keraton?"
"Biasanya kamu segera melakukan, tanpa minta pertimbangan. Apakah kuatir ditertawai karena ingin membuntuti Maha Singanada?"
Gendhuk Tri benar-benar tak bisa berkutik.
Hati Nyai Demang welas juga.
Iba melihat Gendhuk Tri yang hanya bisa menggaruk-garuk rambutnya.
Walaupun mereka berdua tak pernah bisa akur, akan tetapi Nyai Demang bisa menempatkan diri sebagai kakak yang baik.
"Sebenarnya itu jalan yang terbaik. Hanya saja kini pasti penjagaan sangat kuat, dan kehadiran kita telah diketahui. Tak bisa sembarangan lagi.
"Lebih baik kita tunggu malam nanti.
"Kalau benar ada pesta penyambutan Ratu Ayu, segalanya toh bisa kita ketahui bersama."
Gendhuk Tri mengangguk.
"Aku masih penasaran mengenai Singanada.
"Jangan ditertawakan. Aku nangis nanti."
"Saya sendiri penasaran."
"Tetapi Nyai...,"
Suara Gendhuk Tri kembali meninggi, karena mengucap Nyai dan bukan memanggil dengan sebutan Kakangmbok yang lebih akrab.
"...bisa menebak dia baru saja datang ke tanah Jawa. Memangnya berasal dari mana? Turkana?"
"Menurut perhitunganku, Maha Singanada baru saja kembali ke tanah kelahirannya ini. Ilmu yang dimainkan, walau banyak sekali perbedaannya, menunjukkan persamaan dasar dengan Kitab Bumi. Bahkan auman singa yang dipamerkan sebelum memunculkan jurus semacam Timinggila Kurda, jelas sekali sumbernya."
"Gerakanku juga bisa ditebak langsung dari Eyang Guru Raganata."
Nyai Demang menjadi bersungguh-sungguh.
"Inilah yang menjadi kekuatiranku.
"Maha Singanada adalah orang dalam. Ksatria Keraton yang mendapat tempat. Nama yang dipakai, singa besar yang mengaum, tak bisa tidak menunjukkan rasa hormat dan hubungan dengan Baginda Sri Kertanegara! "Di saat Baginda Raja memegang takhta, banyak senopati yang dikirim ke tlatah seberang. Di antaranya ke Pamalayu. Bisa jadi Maha Singanada adalah salah satu di antaranya."
"Mana mungkin? "Dia masih kelihatan muda. Jauh berbeda dari Senopati Anabrang yang sudah kakek-kakek."
"Karena Senopati Anabrang ketika berangkat sudah menjadi senopati. Siapa tahu Maha Singanada masih dalam kandungan ibunya, atau setidaknya masih bayi? "Kalau memang begitu, usianya baru sekitar 25 atau 30 tahun.
"Memang masih sangat muda.
"Tapi tidak terlalu muda untuk menentukan pasangan."
"Aku tak tertarik lelaki yang kotor pandangannya dan kasar."
"Jangan kuatir, adik manis.
"Saya tidak akan merebutnya. Saya tahu diri sudah terlalu tua untuknya.
"Saya justru berpikir hal lain. Dilihat dari kemampuannya, Maha Singanada mampu menghadapi lawan-lawan yang bakal bermunculan."
"Tidak kalau menghadapi Upasara.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Denganku saja belum tentu. Kenapa dirisaukan?"
"Karena kemampuannya yang luar biasa. Telah dibuktikan sendiri dalam menghadapi dua senopati tangguh dari Turkana. Bahwa sekarang kita mampu memecahkan barisan dan ilmu Lompat Turkana, tak terlalu luar biasa.
"Akan tetapi dalam sekejap sudah bisa membaca cara pemecahan ilmu Lompat Turkana, itu luar biasa. Nyatanya semua senopati Keraton tak mampu.
"Padahal kurang apa mereka itu?"
Gendhuk Tri membenarkan dalam hati. Mereka berada di salah satu sudut alun-alun yang terlindung bayangan pohon beringin. Sehingga tidak begitu menarik perhatian yang sedang berlatih menari.
"Kenapa menguatirkan?"
"Karena Maha Singanada, kalau tak salah, mengabdi kepada Putra Mahkota Bagus Kala Gemet."
"Kalau iya, di mana bagian yang perlu dikuatirkan?"
Nyai Demang memandang pohon beringin. Memegang akar yang menonjol di permukaan tanah. Tangan yang lain mencabut rumput.
"Lihat ini.
"Yang satu sebesar kaki, yang lain sebesar rambut. Namanya sama, akar. Yang satu akar beringin dan yang lain akar rumput. Meskipun awalnya sama, akan tetapi perkembangannya jadi jauh berbeda.
"Putra Mahkota adalah akar beringin.
"Akan menjadi besar. Menjebol apa yang menghalangi.
"Sekarang ini saja sudah banyak tingkah. Dibantu oleh Maha Singanada, bisa makin menjadi-jadi. Didampingi Senopati Sora, yang mau tak mau bisa menuruti, merupakan bahaya besar. Direstui oleh Raja, putra mahkota yang sekarang ini benar-benar kekuatan raksasa yang akan mengguncang."
"Nyai kok tahu hal-hal semacam ini?"
"Saya dibesarkan dalam lingkungan sebagai abdi dalem, sebagai pegawai kecil. Suami saya demang, lurah dari dusun kecil.
"Mau tidak mau saya jadi mengerti.
"Karena justru keluarga kamilah yang pertama kali merasakan bencana. Seperti ketika Raja Muda Jayakatwang mengadakan kraman, memberontak.
"Suami saya yang terkena dan sangat menyedihkan harus mengakhiri hidupnya. Di satu pihak dianggap membantu pemberontak, sedang di pihak yang lain malah mendapat hukuman dari Keraton dan dari pemberontak."
Suara Nyai Demang terdengar sedikit parau.
Walau hanya sebentar.
Perasaan Gendhuk Tri tergugah.
Untuk pertama kalinya ia sedikit mendengar latar belakang Nyai Demang.
Selama ini yang diketahui hanyalah apa yang dilihat dan diduga.
Tak pernah diduga bahwa kehidupan masa lalu Nyai Demang penuh dengan cobaan.
Walau tidak tahu persis, Gendhuk Tri bisa memperkirakan bahwa keluarga Nyai Demang hancur menjelang pemberontakan dan juga pengkhianatan Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang.
Suara Nyai Demang kembali normal.
"Semua sudah berlalu, tak perlu disesali. Suamiku, semoga Dewa Agung memberi tempat yang layak, demang yang setia, mengabdi sepenuhnya kepada Baginda Raja. Hanya kebetulan tanah di mana suamiku diserahi tugas untuk menjaga termasuk wilayah Gelang-Gelang.
"Jauh sebelum Raja Muda Jayakatwang berkhianat, suamiku sudah sowan ke Keraton dan mengisikkan rencana busuk itu. Tetapi laporan itu dianggap racun belaka.
"Persoalannya malah diserahkan kepada prajurit Gelang-Gelang. Kami sekeluarga dibunuh dengan cara yang paling menjijikkan. Mayat suamiku, anak-anakku, ditarik kuda sehingga berbentuk segumpal lumpur berdarah."
"Dan Nyai bisa selamat?"
Gendhuk Tri melihat air mata menggelinding di pipi Nyai Demang.
Untuk pertama kalinya Gendhuk Tri melihat Nyai Demang berkaca-kaca matanya karena haru.
Selama ini yang dilihatnya Nyai Demang selalu bergembira, selalu bersuka ria, dan mengobral senyuman.
"Saya selamat karena saya wanita yang hina.
"Para pembunuh itu tertarik tubuh saya. Maka saya tidak dibunuh. Saya diberi makanan enak, dan saya menyenangkan mereka.
"Adakah yang lebih hina daripada itu, adikku? "Suami dibunuh, anak-anak disiksa, dan saya bersenang-suka-ria? "Adakah yang lebih nista daripada itu? "Tak ada yang mengampuni saya. Kecuali suami saya, Pak Demang yang setia, dan Dewa Yang Maha agung.
"Saya mempertahankan hidup untuk membalas dendam. Untuk mencuci kotoran yang dilekatkan dalam keluarga kami. Keluarga Demang.
"Ah, sudahlah."
"Maaf."
Gendhuk Tri menunduk. Air matanya jatuh. Tubuhnya gemetar. Nyai Demang menyeka matanya.
"Semua sudah berlalu. Saya mampu mempelajari ilmu silat serba sedikit, walau membaca sangat banyak. Saya bisa membalaskan dendam. Dan akan menghancurkan semua lelaki yang tergila-gila melihat tubuh saya.
"Tidak peduli siapa saja! "Ah, tapi ternyata Dewa Yang Maha agung menunjukkan jalan yang lebih baik dan lebih lurus.
"Semua harus melewati liku-liku, sebelum menemukan apa yang dicari."
Daya Asmara Galih Kaliki NYAI DEMANG menyandarkan punggungnya ke pohon.
Yang muncul adalah bayangan masa silam, di mana ia berusaha bangkit dan mencoba meyakinkan siapa saja yang menjadi atasan suaminya, bahwa suaminya sesungguhnya tidak berdosa.
Suaminya bukan pengkhianat.
Suaminya abdi Singasari yang tulus dan bekti.
Tak ada yang peduli.
Yang dijumpai adalah senyum nakal, ajakan asmara berahi.
Nyai Demang makin murka.
Tapi tak bisa berbuat sesuatu.
Selain melenyapkan dan menghancurkan lelaki yang tertarik padanya.
Daya berahi asmara dipakai sebagai senjata untuk memikat dan menghancurkan lawan.
Sambil berlatih terus, agar lawan-lawan yang lebih perkasa bisa dikalahkan nantinya.
Namun, kekuatannya tak sebanding dengan kemampuannya.
Dengan mudah bisa membaca berbagai kitab, dengan tekun Nyai Demang bisa memaksa diri berlatih, akan tetapi hasilnya belum seperti yang dikehendaki.
Makin banyak ksatria dan pendekar yang bisa mengalahkannya.
Satu demi satu, Nyai Demang menghancurkan mereka.
Tak peduli penduduk biasa, atau sentana, kerabat Keraton.
Sampai suatu ketika Nyai Demang bertemu dengan seorang lelaki.
Yang gagah, kasar, dan sedemikian tergila-gila padanya.
Lelaki itu kini tinggal kenangan.
Lelaki itu adalah Galih Kaliki.
Yang dengan tulus, dengan murni, mencintai, mengejarnya, dan mau berbuat apa saja asal bisa berdekatan dengan Nyai Demang.
Daya asmara semacam ini tak pernah dirasakan.
Nyai Demang tergetar.
Ambruk semua gagasannya tentang membalas dendam, menyiksa lelaki yang menjamahnya.
Justru oleh Galih Kaliki yang penampilannya sangat sederhana dan kasar.
Itu adalah masa-masa yang membimbangkan.
Setiap kali Nyai Demang ingin memberi hati kepada Galih Kaliki, setiap kali pula Nyai Demang sadar akan sumpah dendamnya untuk membunuh lelaki yang menjamahnya.
Setiap kali teringat suaminya, anak-anaknya yang terhina dan dikutuk.
Maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah menghindar.
Nyai Demang selalu menghindar dari Galih Kaliki.
Setiap kali berdoa memohon petunjuk Dewa Yang Maha agung.
Akankah ia menerima Galih Kaliki? Apakah penerimaan Galih Kaliki atau lelaki lain akan membuat arwah suaminya tidak tenteram? Bagi Nyai Demang, selama hatinya belum bisa tenteram, ia akan tetap membalas dendamnya.
Dengan cara apa saja.
Nyai Demang berharap, semoga hatinya mendengar bisikan Dewa Yang Maha agung mengenai doanya.
Sebab sebelum hatinya tenteram, ia tak bisa menerima kehadiran lelaki secara apa adanya.
Itulah sebabnya Nyai Demang tak peduli harus membunuh raja, karena raja yang memerintah itu juga menghendaki tubuhnya.
Walau memang percobaan itu gagal.
Dan petunjuk itu mulai membisiki secara perlahan.
Saat-saat yang tenteram berada di Perguruan Awan.
Saat itu Nyai Demang mulai tak begitu tersiksa kalau harus mengobrol dengan Galih Kaliki.
Lalu datanglah berbagai peristiwa.
Sehingga Galih Kaliki, lelaki yang pertama dijumpai memiliki daya asmara murni padanya, kembali ke asal hidupnya.
Nyai Demang-lah yang paling sedih dan merana.
Tapi semua itu berhasil disimpan baik-baik, jauh di lubuk hatinya yang paling tersembunyi.
Tak ada yang mengetahui.
Tak ada yang bertanya.
Baru hari ini.
Itu pun hanya sebagian yang bisa diceritakan kepada Gendhuk Tri secara tidak langsung.
"Maaf, Nyai."
Wajah Nyai Demang kembali tersenyum. Semua kebekuan dan perasaan yang tersimpan dalam hatinya lenyap secara seketika. Tak terbayangkan sedikit pun di wajah, maupun sinar matanya.
"Tak apa.
"Semua sudah berlalu."
"Apakah Kakang Upasara tahu hal ini?"
"Tidak kalau kamu tidak bercerita."
"Aku tak akan menceritakan, kalau Nyai tak mau."
Nyai Demang terdiam.
Upasara adalah lelaki yang lain lagi dalam hidup Nyai Demang.
Upasara Wulung secara terus terang memperlihatkan niatnya yang tertarik padanya.
Saat itu Nyai Demang menyadari sedikit bergolak perasaannya, manakala mengetahui bahwa Upasara masih terlalu hijau dalam petualangan asmara.
Boleh dikatakan terlalu hijau.
Namun saat itu Nyai Demang sudah memutuskan untuk tidak menjadikan Upasara bagian dari korban pembalasan dendamnya.
Ia merasa sayang kepada Upasara yang, rasa-rasanya, inilah salah satu putranya jika tumbuh besar.
Andai tidak diseret kuda! Pengalaman hidup dalam belantara daya asmara, membuat Nyai Demang sering tersenyum simpul melihat tingkah Gendhuk Tri.
Di mata Nyai Demang, semua perasaan Gendhuk Tri yang disembunyikan bisa terbaca dengan jelas.
"Di mana Kakang Upasara sekarang?"
"Mana saya tahu?"
"Kan perginya bersama-sama."
"Memang. Akan tetapi begitu masuk ke Keraton, Upasara memilih tempat lain. Saya menuju balai pertemuan."
"Kakang Upasara menuju kaputren?"
"Bisa jadi."
Kali ini, Nyai Demang menjawab dengan jujur. Tidak bermaksud mempermainkan perasaan Gendhuk Tri.
"Nyai, kenapa Kakang Upasara sangat setia kepada Gayatri yang sudah diperistri Raja?"
Nyai Demang meluruskan punggungnya. Tak lagi menempel ke pohon.
"Nanti kamu akan mengetahui sendiri.
"Akan mengalami sendiri.
"Namun sesungguhnya inilah yang perlu kita pikirkan. Perhatian Adimas Upasara kepada Permaisuri Rajapatni sedemikian besar. Dan ini beralih ke putri-putrinya, Tunggadewi maupun Rajadewi.
"Padahal Putra Mahkota Kala Gemet justru tak menyukai kehadiran dua putri ini."
"Aku mendengar hal itu.
"Tetapi kenapa ia tidak menyukai?"
"Soal takhta."
"Takhta? "Mana mungkin. Begini, Nyai, walaupun umur saya berdiam di Keraton ditambah, saya tetap akan bodoh mengenai masalah takhta. Akan tetapi semua tahu bahwa sudah pasti jatuh ke Kala Gemet. Untuk apa merisaukan adik-adiknya yang perempuan?"
"Ini ada hubungannya dengan Adimas Upasara."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gendhuk Tri menepuk jidatnya sendiri.
"Kakangmbok, kenapa tidak cerita sampai tuntas saja? Atau Kakangmbok ingin agar adikmu ini mati penasaran?"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Delapan Kitab Pusaka Iblis Karya Rajakelana Pedang Inti Es Karya Okt