Cindewangi Melanda Istana 2
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo Bagian 2
Cindewangi Melanda Istana Karya dari Kirjomuljo
Sedangkan makin lama, terasa kini bahwa utjapan Tjindewangi akan segera berachir dan ia harus melepaskan anak panahnja untuk Majangkembar, hanja tinggal beberapa saat.
Tjindewangi agak gusar pula, sama sekali rakjat Gunung Tunggal tidak bergontjang sedikitpun hatinja setelah menghadapi kenjataan bahaja jang membajangi kemudian melandjutkan dengan segala kekuatannja jang masih tersisa.
"Ja, sahabat sahabatku. Aku jakin kau ingin bitjara tetapi tidak mungkin, Dan aku akan segera pamit. Tentu semua utjapanku achirnja kini hanja merupakan pengharapan, pengharapanku jang akan kekal kepada63 rakjat Gunung Tunggal. Bahwa satu waktu akan sampai kepada djaman, dimana rakjat akan bisa hidup dalam satu pemerintahan jang baik.. Satu djaman dimana rakjat akan merasa mentjintai dan ditjintai oleh kekuasaan. Dimana hidup terasa seperti hidup dialam terbuka, hidup dialam pikiran dan merasaan jang terbuka, lepas dari bajangan ketakutan dan ketjenderungan kearah patah hidup. Mungkin memang masih lama sahabatku, karena kini kekuasaan Radja masih besar dan kuat. Tetapi tak ada kekuatan manapun dapat membendung kehendak hati nurani, djika kehendak hati itu merupakan kehendak bangsa, sahabatku. Nah. kukira waktu akan tiba saatnja. Sebentar kemudian aku akan mendaki puntjak Gunung Tunggal dan lenjap bersama suaraku, bersama hatiku dan bersama seluruh tjita2.ku. Kuharap sahabat2. ku bisa mendengar suaraku, suara hati jang kekal dan hidup sepandjang djaman. Sebagaimana suaramu jang sebenarnja. Tetapi dapatkah kalian sekarang mengatakan bahwa suara hati kita selamanja harus terpendam?"
Suara Tjindewangi begitu mendesak dan menjajat seluruh jang mendengarnja, hingga salah seorang tiba2 mendjadi kalap dan berteriak.
"Tidak Tindewangi Suara hati kami akan hidup dan sewaktu"
Waktu meledak sehebat2nja melawan kekuasaan manapun jang membendungnja,"
"Ja, Tjindewangi, suara kami akan terbakar dan membakar sularah Keradjaan manapun"
Tiba-tiba sorak mendjadi gemuruh dan teriakan-2 tiba-tiba meledak.
Hingga tak dapat terdengar djelas apa jang diteriakan.
Keadaan mendjadi gontjang, sama sekali gontjang.
Panglima Galing merasa bahwa waktunja tiba dan memberi anda agar semua lampu dimatikan.
Tetapi sebelum obor sempat dimatikan, Prameswari jang sudah memuntjak kemarahan dan kegusarannja, telah menarik tali busurnja kuat-kuat.
Udjung anak panah telah tepat terarah tubuh Tjindewangi.
*** Tjindewangi Melanda Istana Kolektor Ebook64 BAGIAN VIII SEKARKEMBAR jang sedjak melihat pantjaran tjahaja mata Tjindewangi telah mendjadi gusar, bertambah lagi gusar, setelah melihat Majangkembar, makin bertambah gusar setelah Tjindewangi rmengutjapkan kata demi kata jang langsung menjentuh hati nuraninja.
Kalau tidak ingat bahwa Sekarkembar berada disamping Prameswa, ingin dia rasanja berteriak mendjawab setiap kata2 Tjindewangi, berteriak sekuat tenaga, karena segala sesuatu ternjata adalah Seperti apa jang diutjapkan olehnja.
Ingin dia rasanja mendjerit.
-Ja, Tjindewangi.
Aku tak pernah merasa damai dalam hidupku.
Hidupku selalu diudjung ketakutan, kesangsian dan dibajangi malapetaka."
Sedjak semula aku melhat ibuku direnggut oleh seorang pengawal istana, kemudian diserahkan kepada seseorang bangsawan sebagai tawanan pembangkang.
Hinga achirnia ajahku harus menebus dengan mengangkat sumpah untuk mendjadi pengawal istana.
Aku terdampar Tjindewangi dalam kegelisahan hidup matiku.
Hingga aku terpisah dengan saudara kandungku.
Hingga harus menerima nasibku sehagai seorang selir termuda.
Selir termuda, rasanja hidup penh kemewahan.
Tetapi hatiku, hatiku Tjindewang selalu diliputi bajangan keruntuhan, djika saatku mendjadi tua tiba atau datang kemudian seorang wanita jang lebih muda dan lebih djelita.
Dan aku tidak mempunjai hak untuk membela diriku.
Tidak ada hak itu Tjindewangi tidak ada kesempatan lain, ketjuali aku hanja menjerah akan dilemparkan kemana.
Dan kebanjakan dari mereka, kemudian hanja ada satu, djalan.
Hlidup mendjual diri kepada siapapun.
Djelas dalam hal ini jang paling suka membeli wanita2 jang terdampar ialah pengawal2 Radja.
Kau tahu Tjindewangi, bagaimanakah perangai pengawal-pengawal."
Tetapi tiba-tiba Sekarkembar tersentak dari alam pikirannja jang sedang bergontjang melondjak2, karena Prameswari membentak.
"Ingat perintahku Sekarkembar. Kau lepaskan anak panah sesaat setelah kulepaskan anak panahku."
Bajangkan Tjindewangi.
Aku jang merasa getir melihat kenjataan bagaimana ibuku direnggut oleh bangsawan bangsawan Kini aku terpaksa65 melajani seorang bangsawan, karena aku tak tahu djalan keluar jang lebih baik.
Karena memang tak ada djalan keluar itu.
Bajangkan Tiindewangi, bajangkan betapa aku sebenarnja merasakan kegetiran jang harus kutelan setiap hari, setiap waktu, setiap saat.
Kini makin djelas bagi Sekarkembar betapa perbedaan antara Tjindewangi dan Prameswari, betapa perbedaan wadjah dan pantjaran tjahaja dimatanja.
Seorang memiliki pantjaran ketjintaan, ketulusan, keberanian dan bersahadja.
Jang lain menggenggam pandangan penuh ketjemburuan hidup, penuh ketjemburuan angan-angan, penuh kekcdjaman jang sangat terlampau dingin dan terlampau dangkal apa jang selalu terutjapkan.
Lebih-lebih setelah melihat hadirnja Majangkembar .disisi Tjindewangi terasa betapa artinja Majangkembar.
Sama sekali Sekarkembar sekarang dalam kekalutan batin jang sangat rusuh, hingga bentakan jang terachir dari Prameswari tak didengarnja.
Sekalipun mendengar mungin akan mendjerit dalam hatinja.
"Djelas Prameswari, bagaimana hamba bisa melepaskan anak panahku? Bagaimana Puteri? Hamba bisa membunuh saudara kandungku? Dan mungkin djuga sebenarnja Prameswari tidak pada tempatnja membunuh Tjindewangi."
Hingga achirnja Prameswari membentak lebih keras, karena tak bisa lagi menguasai perasaan setelah melihat beberapa orang berteriak berpaling kepada Tjindewangi. Setelah mendengar bagaimana teriakan sebagian rakjat seakan"
Akan merupakan sebuah gunung jang petjah, dan mengalirkan lahar dalam hatinja. Prameswari dengan perasaan gusar jang memuntjak.
"Sekarkembar. Siapkan panahmu. Siapkan, Djangan terlambat."
Tetapi teriakan ini achirnja menjebabkan Sekarkembar mendjadi gelap pikirannja, dan panah jang teiah direntangkan terlepas.
Tidak mengarah kepada Majangkembar tetapi langsung menembus lambung Prameswari jang seketika mendjerit dan rebah.
sedangkan panah jang telah direntangkan terlepas keatas hilang ditelan kegelapan.66 Tetapi djeritan Prameswari sama sekali hilang ditelan suara gemuruh jang tiba tiba meledak bersamaan dengan padamnja obor-obor disekeliling Tjindewangi.
"Hidup Tjindewangi."
Di susul dengan teriakan ribuan orang jang lain dari seluruh pendjuru pedukuhan kaki lereng Gunung Tunggal.
"Hidup Tjindewangi. Hanjurkan Keradjaan Gunung Tunggal."
Teriakan gemuruh ini terdengar bertubi-tubi, bersamaan pula dengan meluntjurkan anak2 panah jang telah disiapkan dan melajangnja tombak-tombak kearah sasarannja.
lalah pasukan-pasukan Keradjaan Gunung Tunggal jang kurang bersedia uttuk melawan serangan besar jang mendadak, tanpa diduga lebih dahulu.
Hanja Wuungseto samar samar masih mendengar djeritan itu.
karena berada ditempat jang terdekat dengan tempat Sekarkembar, hingga setelah dljelas ia melihat Panglima Galing berhasil menjelamatkan Tjndewangi dan Majangkembar, Wulungseto mentjari tempat dimana djeritan itu berasal.
Betapa terkedjur Wulung seto menghadapi kenjataan ditempat itu, seorang puteri rebah ketanah dengan anak panah menantjap dilambungnja.
Dan seoang lagi putri muda djelita jang sama rupa dengan majangkembar, berdiri terpaku Seluruh tubuhnja gemetar.
Wulungseto menatap tidak mengerti "Siapa kau.
Dan siapa dia? "
"Hamba Sekarkembar. Dan puteri ini Prameswari. Prameswari hendak membunuh Tjindewangi. Hamba tidak sadar, panah jang harus hamba arahkan Majangkembar terlepas beralih arah"
"Dan kau siapa ?"
"Aku pasukan Ki Ageng Tunggal, kekasih Tjindewangi. Trima kasih atas tindakanmu "
Dan kita memang memerlukan kau Sekarkembar. Ikutlah aku kuminta kau bersedia,"
"Kemana ?"
"Memulai peperangan pengharapan."
"Tetapi siapa kau?-67
"Wulungseto.
"
"Oh Wulungseto, Wulungseto. Aku 1elah lama mendengarnja. Kemanapun kau bawa aku kuserahkan djiwa ragaku. Kuserahkan djiwaragaku Wulungseio, untuk pengharapan semua jang terdampar dibawah kaki kekuasaan Radja."
Ditengah suara-suara gemuruh dan Suara , gemuruhnja dalam hari sendiri, Wulungseto masih sempat memberikan kepada salah seorang pengawalnja untuk memberitahu kepada Ki Ageng Tunggal, agar setelah keadaan reda, menguburkan djenasah Prameswari Radja Gunung Tunggal baik baik.
Kemudian tanpa menunggu keadaan selandjutnja, Wulngseto telah mematju kudanja dengan memapah ekarkembar menudju keibukota Keradjaan.
Sekarkembar sama sekali belum mengetahui apakah jang harus dikerdjakannja.
Dan kuda putih Wulu ngseto se-akan2 seperti anak panah jang meluntjur dalam kegelapan malam, hanja meninggalkan derap.
Derap kejakinan bahwa akan tertjapai achirnja satu kemenangan dipihak Ki Ageng Tunggal.
Sekalipun Wulungseto merasa bahwa perdjalanan menudju keibu kota bukan hal jang mudah malam itu, karena pasukan "
Pasukan Keradjaanpun telah menjiapkan Semua kekuatannja untuk menjelamatkan Keradjaan Gunung Tunggal, karena pasti salah seorang dari pasukan Keradjaan berhasil meloloskan diri dan memberitahukan semua kedjadian dikaki gunung.
Pertempuran sengit seorang melawan seorang berlangsung dikaki Gunung Tunggal, bahkan sampa mereka hampir tidak mengetahui dengan djelas siapa lawan siapa kawan, disebabkan sama sekali kedua pasukan itu sudah berbaur, bertjampur mendjadi satu.
Pasukan-pasukan Ki Ageng Tunggal hanja berpedoman bahwa pasukan Keradjaan berpakaian lengkap.
Tetapi tidak sedikit pula pasukan Panglima Galing jang masih berpakaian lengkap dan tidak sempat memberi tanda sedikitpun.
Hingga achirnja Panglima Galing mengambil tindakan sejepatnja "Pasukan Galing mundur keutara, Pasukan Galing undur keutara._68 Ternjata Panglima Galing berhasil memisahkan pasukan2-nja dengan bauran tentara Keradjaan jang makin terdesak keselatan.
Karena pihak rakjat jang meluap kemarahannja dan perasaan dendam, sama sekali tidak bisa dikendalikan lagi.
Berteriak sekuat tenaga dan menjerang, menjerang dan berteriak sekuat mungkin.
Seakan-akan merasa datang waktunja untuk melampiaskan semua isi hatinja jang selama ini terpendam.
Terpendam djauh kedalam oleh tekanan kekuasaan dan tekanan kekedjaman jang tiada taranja.
Panglima Galiag sendiri kemudian terdjun kekantjah peperangan kusus ingin menemukan Singopati uotok ditundjukkan djalan matinja.
Mungkin Singopati merasa maksud ini, waktu melihat sekilas kuda Panglima Galing menjelinap ditengah tengah pertempuran.
Singopati mentjari djalan keluar meloloskan diri.
Dan berhasil mematju kudanja untuk memberitahukan semua kedjadian dikaki Gunung kepada pihak Keradjaan.
Tetapi tiba2 tanpa terduga oleh Panglima Galing, seseorang berkuda hitam menjilang dari arah samping sambil melontarkan sebuah tombak sangat tjepatnja, tepat mengenai djarak hanja dua djari dari lengan Panglima Galing.
Langsung melajang mengenai seorang dari pasukan Keradjaan jang sedang mengajunkan pedangnja kearah pasukan Ki Ageng Tunggal Jang telah sedemikan terdesak keadaannja.
Lelaki itu meraung sekuat-kuatnja kemudian langsung rebah tanpa bisa bergerak lagi.
Dan Panglima Galing seketika menoleh bersama dengan meluapnja kemarahan dan perasaan terkedjut.
Seketika Panglima Galing ingat bahwa seorang Panglima berkudah hitam, tidak lain adalah Wirodirjo.
Seorang Panglima jang terkenal tangguh dan litjin dalam segala hal.
Litin dan litjik djika perlu, litik dan pendjilat djika lebih diperlukan, pendjilat dan berhati dingin terhadap kekedjaman jang luar biasa sebagai kemenangannja.
Hingga tanpa melihat lagi adanja bahaja kelitjikan Panglima Wirodirjo, Panglima Galing membelokkan kudanja mengedjar kemana larinja kuda lhitam itu dalam keadaan gelap, kamudian lebih gelap lagi69 karena kuda itu lari masuk kedalam hutan disebelah barat pedukuhan kaki Gunung tunggal jang terkenal dengan nama Pedukuhan Tegalmajit.
Karena dikaki Gunung Tunggal itulah sedjak lama dipakai untuk melaksanakan atau membuang djenazah-djenazah para terhukum dengan tjara jang lain"
Lain, menurut kemauan kekuasaan Keradjaan sepandjang djamannja.
Panglima Galing merasa bahwa disinilah telah dimulai kelitjikan Panglima Wirodirjo dengan masuk kedalam hutan jang sangat terlampau gelap.
Djelas bahwa keuntungan pertama telah diperolehkannja.
Karena Panglima Galing menaiki kuda putih sedangkan Panglima Wirodirjo menaiki kuda hitam Dan selama ini Panglima Wirodirjo terkenal seorang jang selalu memakai tjara melompat keatas pohon bila dikedjar, dan kemudian menjambar dari atas pohon terhadap siapa jang mengedjarnja.
Selama ini djarang orang jang bisa bertahan melawan Panglima Wiro Dirjo bila dilarikan kudanja untuk memindahkan tempat berlaga, kedalam hutan.
Panglima sempat mempertimbangkan hal ini, hingga kemudian sebelum sambaran Panglima Dirjo terdjadi terhadap dirinja, Panglima Galing telah membelokan kudanja menghindari tjara demikian.
Bahkan kemulian Panglima Galinglah sekarang jang mengambil tempat jang lebih baik, ialah merajap dari belakang melalui sebuah bukit ketjil, setelah melepaskan kudanja.
Ternjata dugaan Panglima Galing tak meleset, Wirodirjo telah menanti diatas pohon jang terlihat karena gemerlapan tjahaja ukiran keris pusakanja jang dihiasi dengan intan permata.
Panglima Galing achirnja memutuskan tak perlu lagi menantangnja untuk perang tanding setjara terbuka, karena ternjata Wirudirjo telah mendahului bersikap litjik.
Bersamaan dengan teriakan Panglima Galing memanggil Wirodirjo, sebuah tombak telah melajang.
Tepat mengenai djantung Wirodirjo, seketika terguling terkapar ditanah tanpa utjapan sepatah katapun.
Pangima Galing segera kembali kedaerah pertempuran, tetapi ternjata periempuran telah reda.
Pasukan Keradjaan telah mundur berantakan menudju keselatan, sebagian lari entah menudju kemana, dan sebagian telah terkapar memenuhi tanah lapang dikaki Gunung Tunggal.70 Karangselo langsung memerintahkan pasukan untuk mengedjar pasukan Keradjaan jang mundur keselatan.
Sementara itu Ki Ageng Tunggal memerintahkan pasukannja, bahkan seluruh pasukan jang tinggal untuk berkumpul dan beristirahat.
Waktu itu hari telah mendjelang tengah malam.
jang pasti bahwa benteng batu besi akan segera selesai tertjiptakan oleh Keradjaan Laut Selatan.
Benteng satu-satunja jang djelas merupakan penghalang paling besar bagi pasukan2 Ki Ageng Tunggal untuk merebut istana Keradjaan.
Waktu itulah sehilangnja suara Ki Ageng Tunggal memerintahkan, meledaklah sorak gemuruh dari seluruh pasukan berbaur teriakan rakjat jang merasa mendapatkan kemenangan gilang-gemilang "Hidup Ki Ageng Tunggal, hidup Tjindewangi."
Sebaliknja Tjindewangi, Ki Ageng Tunggal dan Panglima Galing terdesak perasaan haru, masing masing membasah air matanja sampai kepipi masing masing. Ki Ageng Tunggal mengutjapkan sesuatu jang hampir tidak terdengar.
"Satu permulaan jang baik telah kita tjapai Tjindewangi. Tetapi kurasa djalan masih terlampau djauh menudju Keradjaan Gunung Tunggal.
"Memang masih terlampau djauh Ki Ageng.
"Dimana Majangkembar?"
"Mengaso Ki Ageng."
"Tak ada jang meninggal diantara pimpinan? "
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak."
"Sekarang panggillah Gondomino, agar dia memerintahkan untuk menguburkan semua majat jang tertinggal disini. Baik kawan maupun lawan. Djangan ada seorangpun jang masih tinggal terkapar."
Daerah pedukuhan Tegalmajit nampak sunji, diliputi kepedihan dan perasaan terlampau getir, ternjata ribuan tentera dan rakjat telah meninggal.
Ratusan luka-Iuka dan bahkan sebagian tak bisa diketemukan, hilang dalam kegelapan.
Tiba tiba Ki Ageng Tunggal dan Tjindewangi seakan2 disentakkan dari keharuan masing masing, waktu pengawal Wulungseto datang menghadap menjampaikan ;71
"Prameswari telah wafat Ki Ageng. Wulungseto telah menemukan tempat didekat sebuah pobon besar." _ Prameswari ?"
"Ja, Prameswari berkenan hendak membunuh Tjindewangi, tetapi terbunuh sendiri oleh puteri Sekarkembar."
"Sekarang dimana Sekarkembar?"
"Bersama Wulungseto menudju ke istana.
"
Tjindewangi terdiam, betapapun ia telah pernah mengalami sakit hati terhadap dirinja, perasaan harunja tak bisa tertahankan, Sedangkan Ki Ageng Tunggal merasa bahwa segala sesuatu nampaknja terdjadi atas satu djalan, djalan menudju Keradjaan Gunung Tunggal jang dikehendaki rakjat.
Sekarkembar satu - satunja seorang wanita jang mengetahui adanja terowongan dibawah istana Panglima Honggo.
Telah bertemu pada permulaannja.
"Ja, Tjindewangi. Kurasa semua djalan menudju kepada pengharapan kita semua. Puteri Sekarkembar akan bisa mendekatkan semua djalan.
"
"Tetapi tiba-tiba suasana hening itu dipetjahkan oleh kedarangan Karangselo bersama kedua pengawalnja, nampak sangat gusar dan marah "Adjaib Ki Ageng. Disebelah utara istana Keradjaan Gunung Tunggal tiba-tiba telah berdiri sebuah benteng besar."
"Benteng besar ?"
"Benteng besar dari batu besi jang nampak sangat kuat dan nampak dipertahankan hampir seluruh tentera Keradjaan- Sedangkan djalan menudju ke ibukota sulit bila tidak melalui benteng itu Ki Ageng."
Seketika semuanja terpaku oleh berita itu.
Hanja Tjindewangi tidak, sebab ia telah mengetahui sebelumaja.
Tetapi apakah sekarang hendak dikatakan Ki Ageng Tunggal menatap Tiindewangi dan kemudan Panglima Galing, seakan-akan bertanja Bagaimana kita akan melampaui benteng itu ? *** BAGIAN IX LEWAT TENGAH MAIAM, Singopati telah berhasil mentjapai istana Gunung Tunggal dan langsung menudju kepos pengawal isana, untuk dapat segera miata bertemu menghadap Radja atau Mamanda Patih Kepala pengawal istana hanja bisa menghadapkan kepada Mamanda Path, jang berkata langsung kepada Singopati denqan nada sedih.
"Bagaimanapun pentingnja soal, kau tunggu disini dulu. Karena sedang berada dalam puntjak-puntjak kemurkaannja,"
Aneh memang kalau dipikirkan setjara sehat, dalam keadaan demikian gawatnja. Bagaimana dalam puntjak kemarahannja mengenai tidak adanja Prameswari.
"
"Murka bagaimana?"
"Murka karena Prameswari pergi tanpa pamit entah kemana ? Dan semua selirpun berbondong-bondong pergi ingin melihat arak arakan Tjindewangi. Dan rereka semuanja tidak kembali sampai saat ini ?"
"Tidak."
"Kalau tidak kembali sampai saat ini pasti puteri-puteri itu telah mendjadi korban pertempuran.
"
"Pertempuran jang mana ?"
"Pertempuran antara kita melawan pasukan2 Ki Ageng Tunggal jang telah berbaur disana, bahkan kemudian hampir seluruh rakjat jang ada berbalik kepada Tjindewangi.
"
"Dan sekarang tentera Keradjaan dalam keadaan bagaimana ? "
"Sebagian besar gugur. Entah selandjutnja kalau aku setjepatnji hendak menghadapkan persoalan ini. -73 Monjet Tunggal, betul-betul sekarang telah mendjadi monjet Gunung Tungal. Tetapi bagaimana kau berani nenanggung akibatnja djika Radja mendjadi kalap ? "
"Mamanda Patih memandang perlu atau tidak persoalan demikian kita hadapkan kepada Kadja Apakah kita akan membiarkan sampai tentera kita semuanja hantjur sama sekali dan kita menunggu sampai tentera Ki Ageng Tunggal menjerbu kemari, menghantjur leburkan semua jang kita banggakan sepandjang djaman dan sepandjang anak tjutju kita semuanja."
Mamanda Patih makin nampak gusar, karena dalam keadaan demikian Baginda bisa terdjadi mengambi! tjambuk dan mengajunkannja sepuas hati Baginda entah bagaimana.
korban jang menggelepar setengah mampus.
Tetapi kemudian dengan nekad achirnja mengadjak Pangima Singopati untuk mentjobanja .
"Baiklah, mari kita tjoba. Tetapi sediakan sadja punggungnja kalau terdjadi hal-hal jang buruk bagi kita.
"
"Ja, mestinja tidak Mamanda. Karena saat ini soal jang paling penting selamatnja Keradjaan Gunung Tunggal."
"Ja, memangi itu jang pling penting."
Kedua orang bangawan itu kemudian dengan menahan nafas menjusuri gang-gang istana menudju keruangan dimana Radja sedang marah marah kepada seorang bangsawan lain.
Waktu keduanja hendak mengetok, tiba-tiba dkedjutkan oleh.
bentakan Baginda "Djadi djelasnja bagaimana? "
"Djelasnja hamba tidak bisa menemukan para puteri semuanja,"
"Tidak bisa bagaimana. Kau tidak bisa menemukan serombongan selir-selir jang berangkat berbondong bondong dan seorang Prameswari jang hanja satu-satunja di Keradjaan. goblok. Kau betul2 sudah mendjadi goblok. Djelas tak mungkin mereka itu hilang atau lari. Mereka akan lari kemana? Mereka akan menemukan hidup jang lebih baik dimana? Dimana? ada tempat jang lebih baik dari istana pualam ini ? Dimana ? Tjoba katakan? Oh apakah jang akan terdjadi atas istana ini. Apakah jang akan terdjadi. Rasanja seakan akan bertambah gelap, bertambah gelap dan sedemikian kalut didalam hati, kalut dimanapin. -74
"Nah tjoba katakan sekarang, katakan dengan pikiran jang agak baik dan djangan dulu gemetar, aku tidak akan mengajunkan tjamtbuk malm ini. Tjoba katakan kira - kira dimanakah perempuan-perempuan itu."
"Bagaimana hamba bisa tahu Baginda"
"Oh memang otakmu jang tidak bisa berdjalan lagi dengan baik."
"Pedukuhan Tegalmajit begitu luas Baginda, ribuan tentera dan rakjat entah tentera dari mana berbaur mendjadi satu dalam satu keadaan jang nampak akan mendjadi kalut. Bagaimana hamba akan bisa menemukan serombongan selir Baginda."
"Kaupun tidak menanjakan kepada seseorang ?"
Tiba tiba suara Baginda mendjadi rendah nadanja, dan terdengar mulai lunak, hingga pengawal jang gemetar seluruh tubuhnja itu mulai kembali tenang, merasa agak lega karena jakin akan terhndar dari malapetaka, petjah kulitnja oleh tjambuk Baginda.
"Ja, ada kalanja seseorang memang mungkin sekali tidak berdaja menghadapi suatu kenjataan. Aku memahami, maka djanganlah sekarang kau mendjadi gusar. Ada saatnja Pula aku meraa tidak berdaja seperti sekarang ini. Kau berapa anakmu ?"
"Lima orang Baginda.
"
"Tjukup banjak, dan kuharap djangan kau tambah lagi. Sebab mungkin keadaan Keradjaan ini akan berubah.
"
"Ja, Baginda. Hambapun telah sedjak lama tidak menginginkan tambahan anak."
"Ibumu masih ?"
"Masih Baginda.
"
"Tetapi aku jakin hahwa ajahmu telah tidak ada lagi."
"Betul Baginda, betul sekali dugaan itu."
"Tetapi tjoba tjeriterakan sekali lagi keadaan dipedukuhan Tegalmajit. Betapakah kalutnja hingga kau tidak bisa menemukan apa jang harus kau tjari.
"
BegItu perkataan Baginda sangat berubah mendjadi lunak. hingga Mamanda Patih dan singopatipun merasa lega. Ada kemungkinan75 segala akan mendjadi baik dan mereka akan bisa melaporkan segala kedjadian Jang baru terdjadi degan tenang dan terperintji."
Mamanda Patih telah sempat menjalakan rokok dan mengepul asapnja tinggi tinggi, dan Singopatipun sempat memperbaiki pakaiannja jang telah sangat kusut. Keduanja tersenjum. Mamanda Patih mengatakan dengan suara jang sangat ringan.
"Nah, kita dapat segera akan menghadap. Djangan khawatir. Baginda telah mendjadi lunak kembali.
"
Mereka berdua keasjikan hingga tidak mendengar apa jang disampaikan pengawal itu kepada Baginda, hanja tiba- tiba kemudian terdengar bentakan Baginda jang lebih keras.
Terlampau amat keras bersamaan dengan suara tjambuk jang terajun dan mengelupaskan kulit punggung seorang, kemudian terdengar suara tubuh orang jang rebah terbentur papan pintu.
"Itu namanja perbuatan jang goblok. Kau mungkin tidak merasakan betapa aku mulai panas darahku, sesak nafasku dan seakan"
Akan telah mulai tersumbat karena tidak adanja seorang perempuan dalam istana. Dan apakah ini bukanlah suatu pertanda bahwa Tjindewangi lebih mempunjai arti dari Radja dihati mereka?"
Suasana.
tiba tiba terdiam, hanja terdengar suara langkah Baginda jang terdengar mondar-mandir kesana kemari tidak menentu dan kemudian terdengar lagi Baginda membentak entah kepada siapa.
-Apakah ini tidak berarti bahwa sebenarnja kekuasaanku tidak sampai kehati mereka? Ja, tetapi tidak.
Aku sudah memulai satu sedjarah dan harus kuselamatkan, Aku harus rebut kembali mereka seluruh rakjat Gunung Tunggal ketanganku, Tentu djalan jang terdekat hanjalah kekerasan.
Ja kekerasan jang halus, kehalusan jang getir dan paduan dari keduanja agar kekuasaanku akan bisa dilaksanakan.
Djelas rentjanaku akan kususun satu persatu."
Waktu itu Baginda kemudian membuka pintu dan melangkah terhujung keluar.
Mamanda patih dan Singopati tjepat2 bersembunji dibalik sebuah tiang besar untuk menghindari tjambuk Baginda jang masih tergenggam ditangan.
Mereka berdua djelas mendengar apa jang76 dikatakan Baginda sambil terhujung menudju kepintu gerbang istana, diraba tangga istana membudjur kebawah begitu djauh dan megah.
"Ja, akan kususun sebuah rentjana terperintji. Bagaima perempuan2 itu agar mendjadi kembali menjegani diriku, segan karena takut, takut karena tahu bahwa siapa jang melawan kehendak Radja akan mendapakan peladjaran jang manis ialah terkelupasnja kulit sepotong demi sepotong, sampai seluruhnja. Sampai seluruhnja hingga nampak tubuh mereka jang sebenarnja. Tubuh dalam telandjang alam sedjati. Dan Prameswari sebaiknja jang paling dahulu menerima peladjaran. Sekalipun kemudian peladjaran jang manis kemudian tidak berguna lagi baginja. Karena dia pasti akan menemui adjalnja sebelum kulitnja terkelupas seluruhnja."
Mamanda Patih makin gemetar sekarang, dan sama sekali tidak bisa bergerak dari tempatnja sembunji.
Begitu djuga Singopati mendjadi gusar, tak tahu apa jang hendak dikerdjakan.
Setelah terdiam sesaat seakan akan berpikir sangat dalam Baginda senjum senjum sambil membajangkan.
"Lalu sebaiknja. Peladjaran jang amat manis ini kuberikan kepada Mamanda Patih sendiri. Ja, tentu sangat lutju akan terdjadinja. Mamanda Patih jang telah ubanan dan mempunjai otak jang sudah kurang baik itu. diberi peladjaran sematjam itu. Tetapi ada kalanja aku perlu melihat bagaimana kumis Mamanda jang sebenarnja salah tempat menurut keberaniannja itu. Bagaimana kumis itu akan rontok satu persatu. Ja, memang benar seharusnja kumis itu sudah lama harus dirontokkan djika ingat bahwa Mamanda sebenarnja tidak mampu berbuat apapun, ketjuali sekarang kegemarannja main2 ditaman keputrian. Oh Mamanda, kenapa semuanja ini harus terdjadi terhadap Mamanda sendiri."
Tetapi djelas hal ini bukanlah hal jang lutju.
Djelas bahwa Mamanda mendengar utjapan-2 Baginda makin mendjadi terasa membeku darahnja.
Nafasnja Sama sekali terasa terhenti diudjung tenggorokannja dan udjung djarinja terasa telah semuanja rontok satu"
Satu. Beberapa kali Mamanda menelan ludah, tetapi tidak ada jang77 tertelan karena terlampau kering. Sebaliknja keringatlah sekarang jang mengalir dengan rasa dingin.
"Tidak Singopati. Aku tidak akan mau mendjadi permainan sematjam itu. Aku lebih baik mati dengan tjaraku sendiri. Setelah rasa ketjewa sedjak lama ini memburu hidupku."
"Ketjewa jang mana? Mamanda Patih ketjewa? "
"Ja, karena kubajangkan bahwa Baginda tidak akan sampai kepada ketjenderungan jang sangat memuakkan demikian. Semuanja jang dikerdjakan, semuanja jang menudju kepada jang buruk dan lebih buruk."
Singopati merasakan pula bahwa hal itu benar, tetapi sekarang bagaimana harus menjelamatkan keradjaan. Itu jang mendjadi soal.
"Ja tetapi sekarang Mamanda. Bagaimana nasib Keradjaan? Apakab kita akan meninggalkannja?"
"Apa jang akan bisa diselamatkan dari Keradjaan. Sekalipun mungkin bisa menang? Apanja?"
"Bagaimanapun Keradjaan misalkan sampai terdjadi menang, akan rontok djuga dari dalam, eniah pelahan-pelahan entah terdjadi dalam waku singkat.
"
"Tjoba katakan apanja? Apanja?"
Perkataan Mamanda Patih ternjata tidak sadar mendjadi lebih keras dari berbisik, hingga terdengar oleh Baginda jang telah melamun dipuntak tangga-istana.
Lamunan jang penuh mala petaka dan diburu oleh perasaan sakit hati, tjemas dan sematjam tjemburu terhadap Tjindewaagi.
Baginda berpaling menoleh kearah datangnja suara, tetapi tidak seorangpun nampak.
Dan untunglah bahwa Baginda agak malas untuk mentjarinja.
Dan kemudian Bagindapun sangsi akan pendengarannja.
Berpikir bahwa suara itu hanja bajangan suara jang memburunja.
Baginda kembali menudju ketengah.tengah ruangan jang terbesar dalam istana, ruangan dimana Baginda biasa bertachta waktu diadakan hari-hari menghadap.
Tetapi waktu itu Baginda merasa sangat sunji, sangat terlampau sunji setelah melihat kekanan dan kekiri.
Hanja nampak semuanja jang kosong, diam dan mati.78 Baginda merasakan sesuatu kesunjian jang makin gelap Makin gelap meliang terlampau dalam.
"Achirnjapun aku sendiri disini. Oh, aku tinggal sendirii. Ja memang aku tahu semua tentara Keradjaan ada disekelilingku, bahkan kini tengah dikerahkan seluruhnja untuk mempertahankan istana dan keradjaan. Tetapi terasa mereka tidak ada lagi. Oh, dimanakah kalian? Masihkah kalian ada disekeliling istana?"
Suara teriakan itu kemudian kembali terdengar sebagai gema. -Oh, dimanakah kalian? Masihkah kalian ada disekitarku.
"
Sekali lagi Baginda berteriak lebin keras dan gema itu kembali lebih keras pula. -Tetapi kenapa kalian diam? Bajanganpun tak nampak."
Mamanda Patih makin lama makin gusar karena terasa bahwa Baginda makin gelap hatinja, makin rusuh dan menjadii gusar dalam arti sedalam-dalamnja.
Tetapi apakah jang akan dilakukan, Mamanda Patih sama sekali diliputi kesangsian dan kekawatiran, djika tjambuk jang digenggam oleh Baginda tiba-tiba terajun dan mengelupaskan seluruh kulit tubuhnja Padahal djelas sudah bahwa pasukan-pasukan Ki Ageng Tunggal dan Panglima Galing waktu itu telah menudju keIstana, begitu dalam pikiran Mamanda.
Hingga terlahir pertanjaannja .
"Tetapi seninggalmu, apakah kau jakin bahwa pasukan Ki Ageng Tunggal akan menudju kemari dalam waktu singkat?"
Singopati hanja bisa mengangguk dan menatap Mamanda Patih, hingga pertanjaan terulang lagi.
"Dalam waktu singkat, artinja mungkin malam ini mereka akan mentjapai istana? "
"Mungkin."
Waktu inilah kegusaran Mamanda Patih benar - benar telah mentjapai pada puntjaknja hingga tak ada kemungkinan lain keijuali Mamanda mentjoba sesuatu, dengan hati jang telah bersedia meaerima segala kedjadian jang mungkin kan menimpanja .79
"Baginda. Mamanda mobon didjinkan menghadap dan menjampaikan sesuatu jang penting. Adakah Baginda dalam keadaan berkenan hati'?"
"Ja Mamanda."
"Hamba bersama Singopati.
"
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ja sangat kebetulan. Dialah jang kutunggu-tungu. Tetapi kupikir sekarang bahwa Mamanda tidak usah menjampaikan sesuatu. Aku telah merasa bahwa hal itu hanja mengenai bahwa malapetaa akan datang pada waktu jang singkat. Apakah benar begitu?"
"Ja. Baginda."
"Nah sudah jelas. Lalu apa jang hendak kau kerdjakan sekarang?"
Djelas bahwa Mamanda akan menjertai Baginda dalam keadaan bagaimanapun.
"Oh. tetapi kupikir tidak Mamanda. Sebaiknja kau keluar sekaiang, semuanja keluar. Aku merasa bahwa aku selama ini sebenarnja sendirian. Aku akan merasakan kesendirian itu sampai kepada puntjaknja. Dan mungkin sampai pada achir hajatku.
"
Tiba-tiba Baginda membentak lebih keras. -Keluarlah kalian, sebelum kusobek muka kalian semuanja."
Mamanda Patih dan Singopati terpaksa menuruti perintah Baginda, meninggalkan tempat mereka bersembunji dengan seluruh tubuhnja gemetar. Baginda bergumam sendirian.
"Nah achirnja sampailah aku pada puntjak kesendirianku. Puntjak kesunjian dan puntjak ketakutanku menghadapi kenjataan jang sebenarnja., BERSAMBUNG D
Jilid II Pulau Cemara, 01-07-19 / 09.46 WIB / Koleksi Kolektor Ebook80818283 DISCLAIMER
Kolektor E-Book
adalah sebuah wadah nirlaba bagi para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih mediakan dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih media diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital sesua kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka! Team Kolektor Ebook84 TJINDEWANGI MELANDA ISTANA Seri Tjindewangi
Jilid II Karya KIRJOMULJO Gambar Luar & Dalam Drs.
OYI SOEDOMO Penerbit SINTA RISKAN Jl Judonegaran 22 Jogja Idjin Pemeriksaan Naskah NO.
POL.
6/ Btj./02 /69/ Intel Jogjakarta 3-2 1969 Credit Ebook.
Sumber Pustaka .
Pak Gunawan AJ Sumber Image .
Koh Awie Dermawan Editor Yons first share in
Kolektor E-Book
85 PRAKATA TERDJADI ATAU TIDAK kisah Tjindewangi-Wulung seto ini, seorang tidak bisa mengatakan dengan benar.
Tetapi sampai sekarang didaerah pegunungan pualam, jang memandjang tidak kurang dari 30 km.
dicaerah pantai Kediri Selatan masih sering terlihat, bajangan seekor elang putih jang melajang lajang ditengah malam.
Disaat-saat akan terdjadi perubahan-perubahan besar, baik perubahan kearah jang baik maupun jang buruk.
Merupakan bajangan pengharapan dari rakjat, merupakan bajangan pengharapan djaman jang kekal.
Dan bajangan itu kata orang adalah pendjilmaan Wulung seto jang menjesal, jang mengharapkan dan mendorong hati nurani bangsa Indonesia untuk bisa kembali kepada kedjajaan dan kebesarannja, seperti djaimannja.
Dan terus mentjari siapakah pendjilmaan Tjindewangi? Ja, sebab Tjindewangi berkata, bahwa mereka akan bisa bertemu kembali satu saat, diwaktu bangsa Indonesia kembali djaja dan besar.
Entah kapan dan siapakah pendjilmaan Tjindewangi? Djaman akan mengatakan.
Penulis86 BAGIAN I TJAHAJA KEMERAHAN mulai membajang dilangit sebelah timur, kehidupan terasa mulai merajap.
Hanja dipedukuhan Tegalmajit, Sama sekali belum nampak kesibukan mulai.
Ketjuali beberapa pengawal jang sedang bertugas, dan beberapa penduduk jang sengadja merebus air untuk disumbangkan kepada pasukan pasukan Ki Ageng Tunggal jang hampir seluruhnja masih tidur karena terlampau tjapai.
Sedangkan Ki Ageng Tunggal sendiri, bersama sama Panglima Galing, Karangselo dan Tjndewangi Sama sekali beium dapat memedjamkan matanja sedjak lewat tengah malam, untuk menentukan langkah manakah jang akan diambil untuk mentjapai Keradjaan Gunung Tunggal.
Nampak masing2 diliputi ketegangan jang mentjengkam karena mengingat bahwa segala sesuatu jang direntjanakan tiba2, dihadapkan satu kenjataan ada benteng jang terbangun dari batu besi, disebelah utara Istana.
Apa jang lebih menjakitkan hati Ki Ageng Tunggal terutama, ialah bukan adanja benteng itu sendiri.
Tetapi benteng dibangun oleh Keradjaan Laut Selatan jang harus dibel dengan seribu gadis Gunung Tunggal.
Seribu gadis,sama halnja.
mendjual sebagian dari rakjat Gurung Tunggal, sama sekali sebagian dari bumi pertiwi sebagian martabat Keradjaan, sebagian dari martabat rakjatnja.87 Hingga terutjapkan achirnja oleh Ki Ageng Tunggal,.
jang terasa sebagai satu sumpah "Kita tidak terlambat.
Kita harus mengedjar waktu sebelum seribu gadis itu diserahkan."
Panglima Galing menjela "Ja. tetapi seribu gadis itupun sempat dikumpulkan Ki Ageng. Mereka merentjanakan dalam upatjara Tjindewagi ini dan ternjata semuanja berantakan.
"
"Ja, tetapi dalam dua tiga hari ini akan terdjadi hal itu. Dijka kita tidak setjepatnja menjerang istana- "
"'Tetapi dalam keadaan persendjataan kita sekarang ini tak mungkin kita menjerang benteng batu besi itu Ki Ageng."
"Ja, memang tidak mungkin. Kita akan menjerang benteng batu besi untuk mengelabui. Karangselo akan memimpinnja. Dan pasukan jang lain akan menjerang melaui barat, dengan djalan memutari pegunungan Anom dan gunung Kembar. Wulungseto akan mendjemput kita."
Tiba-tiba Tjindewangi menjela dengan suara jang sangat pasti tetapi sangat mengedjutkan, hingga menjebabkan mereka saling menatap tadjam-tadjam ? "Dan saja akan memasuki Istana.
"
Ki Ageng Tunggal Terutama jang merasa terlampau sajang kepada Tjindewangi dahinja berkerut, matanja bergetar.
"Dengan tjara bagaimana ? Istana dalam pengawalan jang sangat kuat saat ini?"
"Saja akan menjamar diantara pasukan. Tentu Ki Ageng tidak keberatan bila sebagian pasukan jang belum dikenal barbalik kepada kita perlu mengantarkan djenazah Prameswari kepada Radja. Kita bisa memasuki istana dan kedatangannja djenazah Prameswari akan meruntuhkan hati Radja.
"
"Ja, memang runtuh. Akan runtuh hati Baginda. Tetapi dua kemungkinan akibat dari keruntuhan itu. Baginda akan mendjadi gusar dan patah hatija atau sebaliknja terbakar kemarahannja dan akan mendjadi kalap. Baginda akan mendjadi lebih kedjam. Bersediakah kau menangung akibat keadaan Baginda jang akan berbahaya itu ? -88
"Kita telah memulai Ki Ageng. Harus menjelesaikan. Diatas satu pengharapan. Panglima Galing menatap Tjindewangi. Karangselo menatap Ki Ageng seakan akan ingin berkata agar Ki Ageng menjarankan lain. Ki Ageng Tunggal merasakan hal ini hingga kemudjan menatap Panglima Galing. Masing2 tergontjang oleh satu perasaan. Berat bila Tjindewangi sekali lagi hilang dari sisi mereka. Tetapi Ki Ageng Tunggal hanja bisa mengatakan.
"Tak adakah renjana jang lain. Kupikir itu terlampau sangat berbahaja. Tjoba katakan, dengan tjara bagaimana kau akan menjamar dalam pasukan jang ketjil itu?"
"Hal ini memang belum terpikir oleh Tjindewangi, bagaimana akan menjamar ?"
Bagaimana akan memasuki istana bila achirnja pasukan pengantar tertahan diluar ? Kemudian Ki Ageng menjela.
"Ketjuali kalau kau bisa mendekati beberapa orang selir Baginda jang masih selamat, kau bisa memakai pakaian serupa mereka. Sepintas lalu akan tersamar. Kemudian terserah kepadamu djika telah sampai dalam istana."
Tjindewangi mengangguk. Tetapi sebelum Tjindewangi mendjawab, tiba tiba Ki Ageng Tunggal tertegun dan kemudian menoleh, membersit kini tjahaja kemanusiaan dipandangannja.
"Tetapi Tjindewangi, dapatkah kau melakukan hal itu? Kau seret djenazah seorang wanita sekalipun itu lawan kita, untuk meruntuhkan hati seseorang? Dapatkah kau melakukan?"
Tjindewangi memang merasakan bahwa hal itu sangat berat dihatinja. Dia merasakan sesuatu hal jang sangat pahit dilakukan.
"Tetapi Ki Ageng. kalau ada djalan lain pati saja tidak akan melakukan. Hanja disaat demkian, dimana kita dalam keadaan melawan kekuasaan jang tiada taranja, kita melawan sesuatu jang akan memusnahlan peradaban. Apakah itu salah?"
"Salah memang tidak. Sebab satu permulaan bagi siapapun, memulai dengan memaafkan perbuatan karena satu alasan, akan kembali89 terulang perbuatan itu. Tidak Tjindewangi aku tidak bisa melepaskan kau membawa djenazah Prameswari untuk memasuki istana.
"
"Lalu manakah djalan jang lain? Kalau ada jang lebih baik tentu saja akan memilihnja "
Semuanja terdiam. Achirnja Panglima Galinglah jang melihat suatu kemungkinan lain, untuk Tjindewangi.
"Saja pikir Ki Ageng. Maksud mengantarkan kembali djenazah Prameswari keistana bukanah satu hal jang salah. Tergantung Baginda sendiri, bagaimana menanggapi kedjadian itu. Kalau perlu djenazah kita serahkan langsung ke Kepatihan. Mamanda Patih Keradjaan tjukup mempunjai tanggung djawab atas djenazah itu. Waktu memang sangat mendesak, Timdewangi harus masuk keistana. Sebelun Baginda mengadakan perdjandjian2 lain dengan Keradjaan Laut Selatan. Perdjandjian ini akan lebih berbahaja dan merupakan malapetaka jang lebih lama dan mungkin tidak bisa dilenjapkan oleh sekian keturunan kita. Saja jang minta Ki Ageng, djika Tjindewangi melakukan permuaan jang salah.
"
Ki Ageng Tunggal, terdiam. Pandangannja menatap djauh kepuntjak Gunung Tunggal, mendjawab dengan suara jang penuh getaran jang getir.
"Kalau tidak ada djaan lain. Sedjarah menudju kebalikan selalu dimulai dengan menggigit sesuatu jang getir. Berangkatlah Tjindewangi. Ini sedjarahmu, sedjarah rakjat Gunung Tunggal." *** Mendjelang tengah hari, dengan diam diarn pasakan2 berkuda Ki Ageng Tunggal bergerak melalui djalan disebalik bukit Anorn dan Bukit Kembar jang terletak; sebelah barat Keradjaan Gunung Tunggal sedang pasukan- pasukan jang berdjalan kaki mrebes kehutan menudhu kebarat untuk kemudian bertemu dipedepokan Kjai Anom. Dimana disana akan bersatu dengan pasukan rakjat didaerah pedukuhan dimana Karangselo berasal, pedukuhan Kembangsore dan seluhnja dari daerah barat, untuk90 segera bisa menjerbu ke Istana. Dimana pastkan-pasukan Wulungseto, Wirosno dan Gondomino telah menanti didalam kota, Karangselo langsung memimpin pasukannja untuk menjerang benteng batu besi hanja sebagai serangan tipuan, agar seluruh perhatian tentera Keradjaan dipusatkan kebenteng batu-besi. Sedangkan Panglima Galing bersama beberapa pengawal terpertjaja, mengikuti perdjalanan Tjindewangi menudju ibu kota dengan membawa djenazah Prameswari, setelah berhasil membudjuk beberapa selir Radja jang selamat dari peristiwa berdarah itu. Setelah perdjalanan Tjindewangi jang diantarkan kira kira 20 tentera Keradjaan jang belum dikenal berpaling dari Baginda Radja mendekati ibu-kota, segera Panglima Galing akan memisahkan diri kemudian menjatukan diri dengan Ki Ageng Tunggal, dipadepokan Gunung Anom. Begitulah mereka meninggallkan pedukuhan Tegalmajit, dengan perasaan haru jang sangat dalam. perasaan jang menjala karena satu pengharapan dan sedih setelah melihat beberapa djumlah mereka jang gugur dihari kemarin, baik dari kawan maupun lawan. Tjindewangi meneteskan airmata waktu melepas Karangselo. Ki Ageng Tunggal mengusap apa jang membasah dipipinja waktu melepaskan Tjindewangi dan Ki Ageng Tunggal sendiri, berangkat paling belakang menjertai pasukan berkuda menudju kepadepokan Gunung Anom. Dan dalam sekedjap pedukuhan Tegalmajit telah mendjadi sunji. Sebaliknja daerah sekelilingnja, seakan-akan digetarkan oleh langkah langkah jang pasti dan bergedjolak kegembiraan jang meluap.luap. Hingga terasa hutan-hutan belantara diarah barat, bergerak. Menjuarakan suatu njanjian jang belum pernah terdengar, Njanjian kemanusiaan, njanjian kebangsaan dan njanjian merasa satu nasib, satu arah dan satu pengharapan. Adanja kehidupan jang lebih baik dihadapan mereka. Perdjalanan Wulungseto menudju ibukota Keradjaan, sama sekali tidak menemui kesulitan. Sekarkembarpun ternjata seorang wanita periang dan banjak tjakap jang mempesonadan banjak tawa-tawa djika Wulungseto menggoda atau sedang melutju untuk meringankan perasaannja jang tegang itu, achirnja Sekarkembar.91
"Kau ternjata lelaki jang sangat menjenangkan. Sajang bahwa telah mentjintai Tjindewangi. Tjoba hal itu belum terdjadi. Aku akan berusaha sampai mati untuk bisa kau tjintai.
"
Wulungseto bahkan kemudian menggodanja.
"Ja, misalkan, Misalkan aku akan beralih ketjintaan? "
"Oh, djangan begitu Seto. Itu bukan seorang lelaki jang baik."
"Masak."
"Ja. Dan itu djelas satu perbuatan jang bodoh. Karena Tjindewangi lebih dari aku dalam segala galanja."
"Tetapi misalaja, kenjataannja begitu. Karena kaupun ternjata lebih mempesona?"
"Tidak Wulungseto, tidak usah dimisalkan. Aku siapa Wulungseto. Hanja seorang selir termuda hanja itu. Dan kemudian akan mendjadi tua. Benar Panglima Honggo sudah tewas, akan datang djuga nanti Panglima lain untuk mengambilnja."
"Ja, itulah misalkan aku jang mengambilnja?"
"Kukatakan sudah tidak usah dimisalkan. ? Tetapi kalau memang benar. Akan kutjintai kau sampai achir hajatku. Dan akan kurenggut tjinta asmaramu habis habis, sampai aku merasakan satu hal jang tidak mungkin dalam kenjataan. Ja, Wulungseto akan kurenggut nafasmu sampai titik terachir kehidupanku Tetapi itupun hanja misal. Tidak Seto, Tjindewangi merupakan tjahaja dalam kegelapanku. Kau djangan membuat misal.-. Begitulah sepandjang perdjalanan malam itu Sama sekali djarak tak terasa djauh. Tetapi tiba2 mendjelang subuh, tjahaja kemerahan mulai membajang diantara ada dan tiada. Sekarkembar dikedjutkan oleh kedjadian. Seorang wanita tengah ditangap beberapa kali menggelepar oleh tjambuk dengan bentakan2.
"Ngakulah sekarang sebelum kupenggal lehermu. Kau jang membunuh selir Pangeran Sendang. Karena kau tjemburu. Semua orang tahu kau tjemburu dan ternjata kau lari sampai kemari."
Seketika tubuh Sekarkembar gemetar didekapan Seto.
Sama sekali gelap.92 Dan diuar dugaan Wulungseto jang tclah jakin Sekarkembar satu-satunja penolong, tiba-tiba Sekarkembar berbalik alam pikirannja.
Berbalik bukan karena untuk berpaling bersama-sama kakak kandungnja, berbalik melawan Baginda.
Tetapi ketakutan bahwa Sekarkembar telah membunuh Prameswari, satu-satunja pekerdjaan jang belum pernah ia kerdjakan, menjebabkan Sekarkembar mendjadi gusar dan rusuh hatinja.
"Tetapi Wulungseto. Aku tak bisa memasuki ibu-kota Keradjaan. Seto aku tak berani."
Bajangan djenazah Prameswari seakan akan menghantui perdjalananku. Seio tinggalkan aku disini, djangan aku kau bawa menasuki ibukota."
Wulungseto tersentak dan mendjadi gelisah menghadapi seseorang jang memang belum pernah mengalani hal.
hal sematjam itu.
Menghadapi hati jang masih remadja "Sekarkembar.
Ketahuilah.
Aku sangat memerlukan kau.
Bukan hanja aku Seluruh rakjat Gunung Tunggal mengharapkan kau."
"Apakah jang diharapkaa. Apakah aku harus membunuh Baginda sama sekali? Itulah jang hendak kudjauhi. Membunuh, membunuh. Aku tak bisa lagi membunuh siapapun Seto, tjukup sekali ini. Tjukup Seto, tjukup sekali ini."
"Aku tidak menjuruh kau membunuh."
"Pokoknja tinggalkan aku disini, kebetulan peduluhan disebelah barat ini asalku. Aku akan bisa kembali kepada saudara saudaraku jang lain. Aku tidak bisa Seto, tidak membunuh lagi. Dan itu pasti bahwa aku kau bawa ke ibukota Keradjaan,hanja untuk membunuh lagi. Mungkin Baginda, munglin Patib Keradjaan."
Wulungseto terdiam, merasa bahwa Sekarkembar tidak bisa lagi dengan uijapan apapun untuk bisa dibudjuk.
Dipandangan matanja benar.benar membajanglan ketakuan jang membelokkan mata arahnja hingga nenudju Wulungeo kepedukuhan jang ditundjukkan Sekarkembar.
Sekedar untuk berpikir dan menenangkan kegontjangan hati Sekarkembar.93 Padahal, seharusnja hari itu djuga ia harus mentjapai istana Panglima Honggo, karena seorang jang telah didjumpainja ditengah djalan jang mengabarkan bahwa istana Panglima Hoggo terkepung oleh pasukan"
Pasukan Radja.
Wulungseto harus melepaskan pasukan jang terkepung itu, dengan batu dan pasukan jang bersembunji dikampung-kampung.
Dan dalam hati Wulungseto sangat marah kepacda Sekarkembar.
Tetapi kenjataannja memang demikian.
Hati Sekarkembar gontjang karena tekanan dari dalam.
*** Koleksi Kolektor Ebook94 BAGIAN II PEDUKUHAN dimana Sekarkembar dilahirkan dan hidup sedjak anak2 sampai mendjelang masa remadja, ,memang ketjil.
Tetapi tjukup indah, terletak disebuah simpang anak sungai, itepian hutan dan tidak terlampau lebat pepohonannja.
Bila tak ada jang mendjadi soal, mungkin Wulungseto akan senang tinggal disana untuk beberapa waktu.
Dan memang pedukuhan itu nampak tenteram, karena kerusuhan-kerusuhan dan kegelapan timbulnja pemberontakan hampir2 tidak terasakan oleh desa jang terasing.
Bahkan Wulungseto setiba dipintu desa, terkedjut mendengar suara suara gamelan jang hanja terdiri dari beberapa gendang, nada2 jang terdengar dari kaju dan beberapa dari bambu.
Penduduk disitu sedang mengadakan perajaan perkawinan salah seorang gadisnja.
Jang mengedjutkan lagi tiba2 Sekarkembar disambutnja sebagai gadis dari keluarga desa itu, dimana Sekarkembar memang terkenal baik.
Lebih-lebih setelah terdengar oleh mereka bahwa Sekarkembar berhasil diambil selir oleh seorang Panglima.
Hingga dalam keadaan risau, gontjang dan tegang Sekarkembar terpaksa mendjadi ramah dan nampak girang sekali.
Wulungseto se-akan2 terbelah hatinja, menghadapi kenjataan itu dan menghadapi bentjana baginja sebagai Seorang jang bertanggung djawab atas keselamatan pasukan2 Ki Ageng Tunggal jang telah berada didalam ibukota.
Pajahnja lagi tiba-tiba Wulungseto dipanggil oleh mereka itu beramai - ramai sebagai Panglima Honggo dengan sikap hormat tetapi gembira, kegembiraan jang terlampau bangga.95
"Aduh Paduka Panglima Honggo. Hamba seluruh penduduk desa hamba, sangat bergembira dan sangat tidak menjangka segala galanja Paduka. Karena Paduka telah berkenan menghadiri perajaan kami jang sangat terlampau sederhana. Maafkan djika pelajanan hamba akan mengetjewakan. Sebab ilu pasti mengetjewakan,"
Wulungseto jadi merasa bingung, bertjampur perasaan geli, tetapi jang paling mendesak bahwa Sekarkembar tiba2 tergontjang hatinja.
Ia berpikir bahwa djelas akan datang pengawal2 istana jang menuduh bahwa dia memalsukan Panglima Honggo.
Wulungseto tak bisa mengelak akan sambutan dan sebutan Panglina Honggo, dari pada sudah mendjadi kehebohan pada permulaannja, djawabnjapun mendjadi menggelikan hatinja sendiri.
"Ja. ja, baiklah. Akupun hanja mampir. Tidak menduga kalian sedang mengadakan perhelatan. Anggap sadja aku berdua sedang menengok rumah. Djadi djangan disusahkan.
"
"Ja, tetapi bagaimanapun kundjungan paduka adalah satu kehormatan bagi kami semua. Tiba2 kepala desa itu tambah membingungkan lagi bagi Wulungseto, karena tiba-tiba kepala desa berteriak, nampak marah"
Marah "Hei, kenapa kalian mbengong. Memang Sekarkembar itu bertambah tjantik. Tetapi ini kundjungan Panglima Honggo, adalah satu kebanggaan buat kita semua."
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika hampir seiuruh penduduk desa itu, mendatangi dan langsung menjerbu memanggul Wulungseto dan Sekarkembar diarak beramal-ramai menudju ketempat mempelai perempuan dan didudukan diatas tempat jang paling tinggi.
Hingga Wulungseto sama sekal makin rusuh hatinja.
Berpikir keras, bagaimana bisa melepaskan diri dari kedjadian itu.
Bagaimana bisa melepaskan Sekarkembar dari gontjangan perasaannja.
Tetapi apa hendak dikerdjakan.
Bahkan kemudian hidangan keluar jang terdiri dari makanan2 ajam dalam segala matjam masakan ajam.
Sedulang kusus jang berisi seekor ajam utuh dan seekor angsa langsung dihadapkan kepada Wulungseto dan Sekarkembar.96 Kemudian suara2 gendang makin riuh, penari2 wanita jang belium waktunja keluar diminta keluar.
Dan kepala desa itu tiba-tiba bersembah.
"Hamba atas nama keluarga Sekarsemi, mohon atas pengharapan jang sangat besar Paduka, agar Paduka berkenan memberi nama tua kepada kedua mempelai. Ja memang hanba agak ter-gesa2. Tetapi ini permohonan jang sangat berarti bagi hamba semuanja.
"
"Ja, saja tidak keberatan. Tapi harap kalian djuga tidak ketjewa bahwa sebentar lagi aku harus kembali keistana.
"
"Ja, asalkan nama itu sudah Paduka berikan.
"
"Baiklah nama kedua mempelai semoga tidak mengetjewakan ialah Wulungsekar. Itu kalau kalian semua tidak keberatan."
"Ah tentu tidak Paduka, tentu tidak.
"
"Nah dapatkah sekarang aku mengaso sebentar?"
"Sudah hamba sediakan Paduka, sudah hamba sediakan."
Wulungseto agak merasa lega, seteiah kepala desa menundjukkan sebuah ruangan. Setelah berhasil Wulungseto masuk kedalam kamar, Sekarkembar senjum2 mengalami kedjadian jang agak aneh sekalipun dalam hatinja masih gontjang.
"Lalu bagaimana sekarang Paduka Panglima Honggo? "
"Sekarang kukatakan jang sebenarnja Sekarkembar. Lebih dulu tenangkan hatimu dan djangan takut kau kuadjak keibukota. Dan aku ingatkan djangan lagi sebut aku Panglima Honggo. Nanti beliau hidup kembali sungguh2."
Sekarkembar agak bisa reda kegontjangannja setelah berada didalam kamar, kemudian merasa memang Wulungseto sangat menarik dan mengagumkan.
"Ja Panglima, tetapi kenapa aku harus pergi ke ibukota. Sangat berbahaja bagiku Seto. Aku harus bersembunji disini untuk sementara waktu."
"Kalau belum tahu Sekar. Ingatlah seluruh nasib pasukan2 Ki Ageng Tunggal ada ditanganmu.-97
"Bagaimana bisa ditanganku. Bahkan aku mungkin hanja akan membuat kerepotan dan bentjana?"
"Tidak, ada ditanganmu Sekar. Tenangkan hatimu dan segera kita akan berangkat menudju kesana."
"Bagaimana bisa segera. Kita dalam sambutan penduduk disini."
"Bisa, harus bisa. Kita tidak bisa terlambat seharipun.
"Ja tetapi kenapa aku harus ikut kesana. Aku tidak ingin membunuh orang lagi. Tidak ingin berperang Tidak ingin membuat bentjana."
"Kau harus kesana. Tidak untuk membunuh orang."
"Pasti, kau akan bertempur disana. Dan aku tidak menjukai hal itu. Aku membunuh Prameswaripun sudah merasa gelap hatiku. Oh, Seto. Aku hanja seorang wanita jang tak berdaja Seto. Aku hanja ingin hidup berbahagia, lepas dari gangguan2 jang menakutkan, Seto tinggalkan aku dan biarlah aku kembali hidup sebagai seorang desa jang tidak mengenal kemewahan Tetapi hatiku damai. Hati. hatiku Seto. Selalu merindukan perdamaian itu. Seto kenapa kau diam, kau tidak ingin membebaskan aku dari kegelapan ini? "
"Aku tidak hanja harus membereskan kau sendiri Sekar. Seluruh kegelapan rakjat Gunung Tunggal dibebaskan dari kegelapan, dan untuk itu hanja kau bisa menolong Sekarkembar, kau mesti tundjukkan dimana pintu terowongan istana Honggo jang menudju keistana Baginda."
Mendengar perkataan itu diluar dugaan Wulungseto Jang mengharapkan Sekarkermbar akan menjadari keadaan dirinja, menjadari kepentingannja.
Tiba2 Sekarkembar menatap pandangan Wulungseto, dan mendadak mendjadi pujat.
Sama sekali putjat dan kemudian membalikkan dirinja, mengutjapkan sesuatu jang terputus putus "Seto.
Satu itu tidak mungkin Seto.
Satu itu.
Mana mungkin ?"
"Kenapa tidak mungkin ? "
"Aku bisa tahu hal itu atas nama sumpah mati, Seto, Mana mungkin aku menundjukkan. Mana mungkin?"
"Oh. Jang lain kuserahkan diriku padamu. Kau ingin aku mengerdjakan apapun. Tetapi satu itu Seto. Ob satu itu. Aku bersumpah untuk bisa tahu dan sumpah itu dengan sangsi seluruh keluargaku akan98 dimusnakan. Oh, Seto. Aku belum reda dari perasaan gontjangku setelah membunuh Prameswari, masih terbajang jenazah itu. Masih terbajang dan terasa membajangi, memburuku, Dan kini kau hadapkan aku kepada bajangan lain. Bajangan sumpah, sumpah mati Wulungseto untuk seluruh keluargaku."
"Tetapi ingatlah bahwa keselamatanmupun tergantung kepada berhasil tidaknja perdjuangan Ki Ageng Tunggal."
Wulungseto menjesal djuga sampai membentak Sekarkembar, karena tidak dapat menguasai perasaannja lagi, hingga Sekarkembarpun makin gontjang. Hingga meledaklah tangisnja.
"Seto, Bunuhlah aku, Itu jang sebaiknja bunuhlah aku. Tetapi menundjukkan satu itu tidak mungkin. Tidak mungkin Seto. Bunuhlah aku, itu mungkin jang lebih baik untuk membebaskan diriku dari segala bajangan jang menakutkan itu. Seto, Seto, Seto, bunuhlah aku.
"
Wulungseto makin terdesak kini pada satu sudut, dimana terasa keadaan akan mendjadi bertambah rumit.
Sebaliknja diluar makin ramai terdengar suara-suara riuh, karena tukang2 banjol mulai naik keatas dan mengotjok perut mereka.
Mereka bermain dengan penuh kesungguhan dan semangat jang meluap2 karena mendapatkan kundjungan orang besar jang mungkin akan berkenan mengambil mereka masuk keistana Gunung Tunggal.
Sedangkan jang diharapkan akan membawa keistana dalam keadaan kebingungan sendiri kebingungan jang menanggung nasib seluruh pemberontakan Ki Ageng Tunggal.
Wulungseto melihat kini satu kenjataan bahwa tidak ada djalan lain ketjuali membangkitkan kembali keberanian Sekarkembar dan mulailah dengan senjum, senjum seorang lelaki jang marasakan adanja pesona.
Ja memang kenjataannja.
Sekarkembar jang bertubuh langsing, tidak terlampau tinggi dengan muka jang bening.
Tjahaja dimatanja menbajang alam kegembiraan kekanak-kanakan, tangisnja begitu tulus dan tidak mengandung apapun ketjuali tangis kebingungan, kerisauan hati tetapi dju-ga tangis jang mempesonakan.
Nampaknja Sekarkembarpun merasa bahwa pandangan mata Wulungseto mulai redup terdesak, sudut bibirnja mulai bergetar dan99 membjang kemudian senjumnja dari samar-samar terdesak oleh pandangan mata jang tergetar oleh desakan pandangan Wulungseto.
Wulungseto mulailah membuka pertjaka panjang bernada lain.
-- ja.
baiklah aku tidak akan memaksamu Sekar.
Kenjataan adanja sumpahmu memang berat.
Akupun mungkin akan bisa menemukan dimana pintu terowongan itu.
Pasti akan bisa.
Harus bisa, Hanja mungkin agak terlambat djika tanpa bantuanmu Sekar."
"Ja aku pasti membantumu, apapun akan kukerdjakan. Ketjuali melanggar sumpah itu. Satu itu Seto, jang lain katakan apa jang harus kukerdjakan."
Sekarkembar mulai terpesona, darah kewanitaannja dalam usia muda itupun mulai terasa pelahan-lahan terbakar oleh api tanpa njala, terbakar dari udjung djarinja demi udjung djari jang seketika tersentak lebih keras waktu terutjapkan oleh Wulungseto, kata2 jang menjentuh hatinja.
"Aku baru merasakan benar-benar sekarang Sekarkembar."
"Merasakan apa? "
"Pantas bahwa Panglima Honggo mentjintaimu. Hingga ia serahkan satu2-nja rahasia istana "
"Pantas bagaimana ?"
"Pantas Panglima Honggo ambruk dipangkuanmu.
"
"Ah."
"Ah, apa jang kau herankan. Akupun misalkan belum mengutjapkan djandji kepada Tjindewangi"
"Misalkan belum bagaimana? "
"Misalkan kau sudi "
"Sudi bagaimana? "
"Ja. sudi. Sudi. Sudi demikian "
"Ah, delas dan terang itu sangat lutju. Aku siapa Seto. Hanja seorang selir dari seorang jang telah meninggal. Dan itu musuhmu."
"Tetapi kaupun sekarang terpaksa memusuhinja. Djelas bahwa Keradjaan kini akan mengedjarmu sebagai seorang jang bersalah. Sekalipun kau tidak membuka rahasia atas sumpahmu. Tak ada djalan lain bagimu, hanja memihak Ki Ageng Tunggal jang pasti akan mentjapai100 kemenangannja. Dan sumpahmupun kukira tidak sedemikian berat. Kau ber sumpah atas nama siapa? "
"Atas nama Keradjaan? "
"Djika Keradjaan ini runtuh? Dan sekarang sedang dalam perdjalanan keruntuhan itu. Terhadap siapa kau beraumpah? "
"Terhadap hati nuraniku sendiri.
"
"Oh ingatlah Sekarkembar. Djika Radja menang dalam pertarungan sedjarah sekarang ini Kaupun akan dibunuh Baginda. Semuanja akan terbunuh, Ki Ageng Tunggal Tjindewangi, Majangkembar kakakmu sendiri. Dan aku Sekar. Akupun akan terbunuh sebagai seorang pengchianat jang dihinakan. Mungkin aku akan mati dengan pelahan"
Lahan, melalui siksaan jang luar biasa, Aku akan dibiarkan merasakan itu selama mungkin.
Sampai aku tidak mampu menahannja.
Seluruh rakjat, Sekarkembar jang menaruh setia kepada Ki Ageng akan rnusnah sama sekali.
Dan kenjataannja sukar, dua pertiga dari rakjat Gunung Tunggal tetap setia kepada Ki Ageng Tunggal."
Kini Wulungseto mulai merasakan adanja kegontjangan dalam hati Sekarkembar melandjutkan sambil mendekati bahkan menggenggam udjung tangan Sekarkembar.
"Dan djika itu terdjadi Sekar, aku tidak dapat lagi membuat satu misal lagi. Satu misal antara kau dan aku. Dan misa! itu bisa mendjadi kenjataan, tanpa merusakkan djandjiku kepada Tjindewangi. Oh, Sekarkembar, nasibku ditanganmu sekarang. Nasib rakjat Gunung Tunggal ada ditanganmu. Sebalikaja nasibmupun tergantung apakah rakjat menang atau tidak.
"
"Ja Seto. Aku tahu sekarang"
"Lalu misalkan Ki Ageng Tunggal benar-benar mentjapai kemenangannja. Apakah kau bersumpah menjelamatkan diriku?"
"Djelas."
"Lalu bagaimana tentang misal itu"
"Aku bisa bitjara kepada Tjindewangi. Bahwa tanpa kau Ki Ageng Tunggal tak bisa mentjapai kemenangannja.
"
Sekarkembar merasakan betapa pandangan mata Wulungseto sedemikian beratnja mendesak kedalam hatinja.
Getaran dalam hatinja101 makin tidak tertahankan, genggaman pada udjung djarinja seakan akan genggaman api dan terasa kini sesaat mendjadi gelap.
Nafasnja tersendat dan ia hanja mengutjapkan sesuatu jang hampir tidak terdengar "Oh Seto, Seto.
Apapun jang terdjadi Seto.
Tetapi dapatkah kau kuharapkan mendjadi pelindungku selamanja?"
Wulungsetopun kini benar-benar merasakan suatu kenjataan dalam hatinja.
Utjapan jang hanja sekedar tipu muslihat kini benar benar menjebabkan hatinja runtuh terbakar oleh kenjataan tubuh Sekarkembar jang tiba-tiba membalik dan memeluknja erat-erat.
Nafas mereka masing"
Masing terasa dilanda oleh nafas kehidupan jang tidak dikenalnja.
Keramaian diluar makin hangat, hingga pepohonan seluruh desa itu seakan digerakan udjung - udjung daunnja, terajun angin jang makin keras bertiup.
Hanja kepala desa jang makin bingung.
Karena Wulungseto dan Sekarkembar tidak lagi muntjul-muntjul, sedangkan hanja pamit hendak berganti pakaian.
Tetapi kemudian salah seorang berbisik kepada kepala desa itu.
sama sekali tak terdengar bisikan.
Hanja nampak djelas kepala desa itu mendjadi tersenjum dan tertawa tawa ketjil.
"Ja masih muda bagaimana? Dimana tempatpun djadi. Kau dulu djuga muda.
"
"Ja tetapi aku tidak sedemikian djauh. Belum pernah aku terlampau lama dalam kamar kalau aku sedang mertamu.
"
Waktu itulah ketika sendja mulai memerah, Suara Suara gendang makin memuntjak dan sampai kepada puntjaknja, tidak djauh dari pedukuhan iu nampak debu berhamburan dari arah lereng Gunung Tunggal menudju kearah istana.
Tidak lain debu itu dihamburkan oleh iring2an tentara berkuda jang mengiring dua buah kereta.
Kereta djenazah Pramewari dan kereta para selir istana jang hendak dikembalikan kepada Baginda.
***102103 BAGIAN III TJINDEWANGI TELAH berhasil menjamar diantara selir-selir istana jang telah berdjandji melindunginja.
Dan sebaliknjapun Tjindewangi telah memberi djaminan kepada mereka, bahwa mereka akan diselamatkan djika Ki Ageng Tungga berhasil merebut istana.
Bahkan salah seorang telah bersumpah setia, sekalipun Baginda jang mendapatkan kemenangan misalnja, ia akan berbalik selamanja dan lari bersama Tjindewangi meninggalkan istana.
Atau terbunuh sama sekali.
Tjindewangi terkedjut bukan main, karena selir itu jang paling djelita.
termuda dan nampak paling pendiam.
Berwadjah lembut dan pandangannja sangat redup.
Sama sekali tak nampak satupun dari pantjaran2 seorang wanita jang berani, seorang wanita jang mempunjai pendirian kuat dan bersedia menanggung satu akibat jang getir.
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hingga Tjindewangi sangat tertarik dan menatap tadjam2 sambil berkata.
"Siapa kau sebenarnja?"
"Tjempakawangi.
"
"Ajahmu? "
"Aku tak tahu siapa ajahku"
"Ibumu? "
"Ibukupun tak tahu."
"Oh. Lalu selama ini kau ikut siapa!"
"Aku ikut ejang Guno. Seorang wanita pelajan istana."
"Dan bagaimana bisa terdjadi Baginda mengambilmu? "
"Satu ketika waku Baginda sedang mengumpulkan gadis gadis untuk dikirim kepada Keradjaan Laut Selatan, aku termasuk dalam penggrebegan itu . Ejang Guno, wania jang telah tua itu melawan. Dan meninggal."
"O ..-104
"Tetapi aku tidak dikirim kesana, diharuskan tinggal diistana. Dan aku bersumpah Tjindewangi. Baginda belum berhasil merenggut perawanku selama ini. Untuk itu aku akan dipantjung djika masih tetap melawan sampai nanti lewat bulan gelap."
"Dan kau akan masih melawan?"
"Ejang telah wafat untuk kesutjianku Tjindewangi. Apakah aku akan menghina dan mengetjewakan ejang Guno"
Tjindewangi tak bisa melandjutkan pertanjaannja.
Matanja mulai mengambang titik- tiik air mata.
Airmata keharuan, kebanggaan dan kekaguman akan kenjataan jang dihadapi.
Kenjataan pada seorang wanita, jang bersedia menerima akibat apapun untuk kehormatan dan martabatnja.
Hingga Tjindewangi merasa kini, bahwa iapun tidak sendiri.
Ia merasa bahwa dia berdiri di antara wanita.wanita lain jang djuga mempunjai keinginan dan pengharapan jang sama.
Ia diantara wanita-wanita lain jang mempunjal nasib bahkan jang lebih buruk.
Bahkan kemudian ternjata bahwa pandangan-pandangan wanita wanita dalam kereta itupun sama, ialah satu pengharapan akan terlepasnja dari nasib jang buruk.
Hidup ditengah2 tjengkeraman ketakutan dan ketidak pastian akan masa depannja.
Malam mulai turun dan kegelapan malam, membajangi perdjalanan iring iringan itu.
Tetapi perdjalanan Tjindewangi ternjata tidak mudah, seperti apa jang diharapkan.
Malam itu djuga Baginda Radja Gunung Tunggal jang 1elah mulai reda dari kebingungan, kegusaran dan perasaan gelisah terlampau gelisah.
Bisa kemudian merasakan bahwa dia seorang Baginda jang mempunjai kekuasaan.
Merasa bahwa dia harus setjepatnja bertindak untuk menjelamatkan Keradjaan.
Dan kegusaran terhadap tidak kembalinja Prameswari bersama-sama selir-selir istana, kini berbuah mendjadi kemarahan.
Kemarahan sematjam dendam, dendam sematjam putus asa.
Putus asa jang terlampau gelap.
Hingga achirnja mendjadi kegontjangan jang membalikkan seluruh djiwaraganja.
Kegontjangan jang menjebabkan Baginda tiba tiba mendjadi lebih kedjam, ganas dan haus akan pembunuhan Matanja bertambah liar dan membajangkan kemurunga getir.105
"Pokolknja Maranda. Perintahkan seluruh tentara-tentara keradjaan untuk membunuh setiap orang jang mengutjapkan atau terbukti menaruh setia kepada Ki Ageng Tunggal monjet. Perintahkan kepada pengawal pintu gerbang ibukota Keradjaan. Pendjarakan Prameswari bersama-sama semua selir2 jang sekarang telah mendjadi monjet semuanja. Hadapkan kepadaku, dan siapkan hukuman mati buat mereka itu. Lalu kini siapkan rentjana rentjana bagaimana kita bisa meminta bantuan Keradjaan Laut Selatan. Bagaimanapun sjaratnja."
"Ja, tetapi Baginda, Prameswari tidak berdosa. Selir2 istana djuga hanja hanjut oleh arus keinginan melihat bagaimana Tiindewangi meninggal. Hanja itu."
"Mereka itu sudah mendjad monjet. Dosa atau tidak, tidak lagi pantas kembaii hidup mewah dalam istana. Mengenai perdjandjian kita Keradjaan Baginda telah mempunjai tanggungan jang berat untuk menukar pentjiptaan istana-istana pualam disepandjang pantai dan benteng batu besi."
"Pokoknja apa sadja asalkan Keradjaan selamat."
"Tetapi Baginda ?"
"Tetapi apanja? Pokoknja Mamanda sekarang berangkat dan laksanakan perintahku ini. Atau perlu djuga aku siapkan sebuah tiang gantungan buat Mamanda." -Tentu tidak Baginda." -Nah, kalau begitu sekarang berangkat dan djangan kembali sebelum perintah itu terbukti. bahkan kalau perlu sebagian dari pengawal istana, Supaja tjari itu monjet- monjet perempuan"
Mamanda Patih tidak bisa lagi mendjawab sekalipun dalam hatinja gelisah, karena sebenarnja Keradjaan dalam keadaan keliwat gawat.
Baginda memerintahkan mengurusi perempuan2.
Achirnja dengan atiuh tak atjuh, Mamanda Patih pergi meninggalkan istana.
la benar2 sekarang tidak ada lagi hati sedikit pun untuk mati2an membela Keradjaan.
Bahtan kalau perlu ia akan benar berchianat dan berbalik sama sekali.
Hingga ketika bertemu Pimpinan Pengawal Istana dengan nada jang tidak enak kedengaran, Mamanda patih memerintahkan106
"Perintah Baginda ini harus dikerdjakan. Pendjarakan djika Prameswari dan seluruh selir istana kembali. Kedua, bunuh semua orang jang setia kepada Ki Ageng Tunggal. Ketiga, kalau perlu sepasukan harus tjari dimana Prameswari berada, dljika sampai besok tidak djuga kembali keistana. Keempat, oh hanja itu. Belum ada lagi jang keempat."
Mamanda patih tanpa menanti djawaban dari Pimpinan Pengawal Istana telah pergi menjebabkan Pimpinan Pengawal Istana heran, bingung dan geli.
Kemudian mendjadi sadar apakah perintah itu benar atau main2.
Tetapi kemudian Mamanda Patih menoleh dan mengulangi "Ini perintah betul2 tidak main2.
Djangan mbengong begitu."
Perintah terpaksa didjalankan dan malam itu djuga seluruh pengawal pintu gerbang ibu kota telah memperkuat pendjagaan dan pengawalan untuk menangkap semua orang jang masuk ibu kota, terutama mereka menanti kedatangan Prameswari dengan selir2 istana.
Pendjagaan berlipat ganda kuat dan ketatnja, lebih2 setelah mendjelang pagi hari.
Sebab mereka memperhitungkan bahwa paling lambat siang hari itu akan datang kembali Prameswari keistana.
Surojudo jang diserahi oleh Ki Ageng Tunggal membawa Tjindewangi dan djenazah Prameswari, langsung mendahului iring2an untuk menemui pengawal pengawal pintu gerbang sebelah barat, dengan tenangnja mengatakan.
"Kami tentera Keradjaan, perlu menghadapkan Sang Prameswari kepada Radja. Prameswari telah wafat"
Kepala pengawal Pintu Gerbang seketika mendjadi bingung, apakah jang harus dikerdjakan djika Pramewari telah wafat.
"Perintah Baginda, kami harus menangkap Prameswari dengan semua puteri.
"
"Menangkap bagaimana ? "
Menangkap dan memendjarakan, sampai ada perintah lebih landjut. Maka sebaiknja kau katakan kepada seluruh pengawalmu agar djangan membuat kekisruhan,.
"
"Ini tidak mungkin Prameswari telah wafat.
"
"Ja. tetapi jang lain ?-107
"Jang masih hidup dan perlu setjepatnja menghadap Baginda uniuk memberikan laporan2 jang sangat penting bagi Baginda."
"Pokoknja serahkan Prameswari dan semuanja. Kau tunggu disini, sampai aku mendapat perintah selandjutnja"
Surojudo terdesak kini, kepada masalah bagaimana menjelamatkan Tjinlewangi. Pasti penggeledahan akan dlakukan se"
Tjermat2nja. Surojudo kembali setelah mendjawab dengan ramah tanpa mentjurigakan sedikitpun.
"Baiklah kalau itu memang perintah Baginda.
"
"Ja memang itu perintah Bapinda"
"Dari kalian tak ada jang ingin mendjemput kesana?"
Inilah satu2 nja akal Surojudo bagaimana bisa mengurangi kekuatan pengawal - pengawal dipintu gerbang, sedang ia jakin bahwa pasukan jang hendak mendjemput iring2an akan tidak banjak djumlahnja.
"Ja tentu2, aku pun tidak begitu pertjaja bahwa kalian akan menurut perintahku. Siapkan pasukan, menjemput dan menggeledah rombongan jang datang. Ingat djangan sampai lepas seorangpun."
Surojudo mendahului mematju kudanja sebelum pengawal"
Pengawal siap mendjemput dan ketika sampai langsung memerintahkan.
"Siapkan sendjata, lutjuti pasukan jang datang. Kemudian segera pakai semua pakaiannja. Ingat djangan membuat gaduh. Semuanja menjebar dan sembunji. Sampai ada perintah lain."
Pasukan pengawal segera menjusul dan dalam keadaan gembira, karena mereka itu akan mendapatkan pemandangan jang sangat menarik.
etidak tidaknja mereka akan mengalami bagainana menjeret puteri2 istana, bagaimana mereka akan bisa dan sempat menjentuh pipi puteri.
Hingga mereka beroatjuan tanpa kesiap siagaan jang penuh menghadapi bentjana.
Pengawal-pengawal dengan ganasnja turun dari kuda dan mengepung dua kereta itu dengan bentakan.
"Awas, siapa lari akan kugantung sekarang djuga."
Bagaimanapun telah dinasehati oleh Surojudo dan Tjindewangi sebagian besar dari mereka mendadak mendjadi putjat, dua orang diantaranja menangis.
Surojudo tinggal tenang bersama keempat tentera jang sengadja tidak bersembunji.
Sebaliknja pengawal2 perbatasan itu108 mulai liar matanja melihat puteri2 jang lusuh, tidak teratur dan hampir sebagian besar pakaiannja robek, sehingga beberapa bagian tubuhnja menggusarkan pengawal-pengawal jang haus akan hal sematjam itu.
Waktu itulah Surojudo memberi tanda penjerangan dimulai dan.
serentak seluruh anggota pasukan jang telah siap dan pilihan menjergap pengawal-pengawal jang sedang kalap dibakar nafsu birahi.
Sementara itu Surojudo melarikan dua kereta dengan keempat pengawalnja untuk menemui Kepala Pengawal "Kita kedjar pasukan Wulungseto.
Anak buahmu sedang bertempur mati2-an disana.
lbu kota dalam bentjana "
"Masak?"
"Lihatlah debu disana "
Kepala Pengawal Perbatasan mendjadi gusar seketika.
Lupa memerintahkan untuk menahan kereta Prameswari dan memerintahkan sebagian besar dari pasukan jang ada untuk menolong anak buahnja.
Surojudo melihat kesempatan jang baik, langsung melarikan dua kereta itu menerobos pintu gerbang setelah sebagian besar pasukan pengawal pergi.
Sedangkan pasukannja sendiri telah diperintahkan kalah atau menang agar setjepatnja mengundurkan diri, setelah mengadakan pertempuran dengan pasukan pengawal jang menjusulnja.
Surojudo langsung menudju keistana Panglima Galing jang telah dikuasai pasukan jang setia kepada Ki Ageng Tunggal untuk memikirkan lebih landjut apakah jang larus dikerdjakan dengan djenazah Prameswari., Kepala pengawal dengan hati bangga kembali kepos semula karena ternjata pasukan Wulungset telah lari sebelum mengadakan perlawanan.
Sekalipun ada sedikit dendam, dua puluh orang anak buahnja semuanja tewas.
Tetapi sampai diposnja Kepala pengawal seketika tersentak setelah menanjakan dimana Prameswari ditempatkan "Kami membiarkan mereka langsung keistana.
Karena tidak ada perintah menahannja lebih landjut."
"Bangsat."
Seketika pengawal itu menggelepar kena tendangan jang terajun oleh perasaan marah dan gusar, langsung mematju kudanja untuk109 mengedjarnja, Tetapi sampai dipintu gerbang istana, terkedjut setelah menanjakan. Karena didjawab dengan tertawa-tawa.
"Djenazah apa. Tak ada kereta sepotongpun datang kemari. Apa kau sudah ikut ikut djadi monjet? "
"Monjet bagaimana? Sekarang tidak main main monjet. Ini betul2. Prameswari wafat dan selir2 sudah masuk kelingkungan istana."
"Ja, tetapi tidak ada sepotongpun roda kereta datang kemari. Itu jang djelas."
Baru setelah Kepala Pengawal Perbatasan mendjelaskan kedjadiannja setjara terperintji mendadak pengawal2 istana mendjadi gusar dan tjemas, djika hal ini sampai terdengar Baginda.
Seketika tu diperntahkan semua teniera Keradjaan jang tidak bertugas untuk menggeledah seluruh rumah dalam ibukota.
Terutam di-rumah2 jang telah ditjurigainja.
"Tjepat, djangan terlambat. Kau tahu mesti bahwa dalam kereta itu pasti ada salah seorang dari Ki Ageng Tunggai jang menjusup kedalam lingkungan istana."
Sehari itu djuga keributan terdjadi dalam ibukota, dimana beberapa orang kena pukul dan tendangan.
Bahkan beberapa orang telah menemui adjalnja karena mendjengkelkan tentera2 Keradjaan.
Sampai sendja tenggelam, sama sekali kereta Prameswari tidak diketemukan.
Djedjaknjapun bahwa Prameswari telah disembunjikan kemana, seorang tidak dapat memberi tiik2 terang.
Hingga malam itulah Mamanda Patih memegangi kepalanja lebih keras, setelah mendengar laporan mengenai hilangnja kereta Prameswari di dalam kota dan telah mendjadi djenazah.
Mamanda Patih hingga bergumam sendirian .
"Monjet. Siapakah sekarang sebenarnja telah mendjadi monjet?"
Dengan langkah terhujung-hujung, Mamanda Patih menudju kekamar selirnja jang termuda, langsung merebahkan diri sambil memegangi kepalanja.
"Oh, Rumi, Ruminingrum. pidjitlah kepalaku Rumi"
Ruminingrum terkedjut, karena malam itu sebenarnja bukan gilirannja Mamanda tidur bersama-sama dia. Malam itu giliran selir tertua,110 hingga tanpa persiapan jang rapi Rumi mendekati, mengerdjakan perintah Mamanda Patih.
"Nah. oh agak ringan kepalaku sekarang. Dan Rumi, kemudian djawablah pertanjaanku. Kau mungkin masih baik otakmu, masih muda dan mungkin belum djadi monjet. Bagaimana sekarang. Tjoba pikir dan berilah aku petundjuk. h malam ini, betul - betul aku tidak bisa lagi berpikir. Otakku seakan-akan sudah remuk. Tjoba pikir. Baginda perintah agar menangkap Prameswari. Ini sudah perbuatan gila, ja to. Ini jang pertama ini sudah merupakan perbuatan jang tidak benar. Keduanja, Baginda perintah agar menangkapi selir-selir istana. Tjoba pikirkan . Ini lebih lutju, lebih dari perbuatan monjet sebagaimana Baginda tiap hari memaki-maki siapapun, dengan kata kata monjet. Semua selir, tjoba kalau mereka benar - benar dihukum mati, aku lagi jang merangkak-rangkak mentjari gantinja. Lalu sekarang ternjata pengawal-pengawal perbatasan ibu kota, lebih monjet lagi. Mereka sampai bisa terdjadi meloloskan kereta Prameswari. Pada hal Prameswari sudah wafat. Nah, sebelumnja naik sedikit memidjitnja. Nah. sekarang pikirlah lagi. Apakah aku harus melaporkan kedjadian malam, ini atau tidak?"
Ruminingrum belum sempat berpikir karena terkedjut dan heran. Bertjampur kini perasaan sedih, bertjampur lagi perasaan tjemas Karena berita berita adanja pasukan-pasukan Wulungseto telah merembes kedalam ibukota.
"Ja. tentu harus dilaporkan. Besokpun Baginda akan murka lebih murka.
"
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ja tetapi malam ini murka Baginda sedang mentjapai puntjaknja jang tertinggi. Aku tahu, Ini akan berakibat bahwa tjambuk Baginda akan diajunkan, mengelupaskan kulit-kulitku jang sudah makin berkerut ini."
Djelas akan sangat mudah Oh, kaupun ternjata sudah ikut serta tidak benar otakmu Ja, semuanja sudah mulai tidak benar otaknja,"
Mamanda Patih bangkit meninggalkan kamar Rumi dan kembali memegangi kepalanja. ***111
"Wafat dan lolos. Bagaimana sebenarnja laporanmu itu? Apa majat perempuan itu bisa berlari ? "
"Tidak dernikian Baginda. Prameswari jang telah wafat itu diangkut dibelakang dalam satu kereta."
"Dibelakang kereta jang mengangkut puteri2 selir istana. Tetapi atas kisruhnja keadaan, karena pasukan Wulungseto, ja pasukan Ki Ageng Tunggal menjerang. Maka dua kereta itu tidak terpikirkan dan tak sempat ditahannja. Langsung menjerbu ke pintu gerbang, dalam wilajah ibu kota ini."
"Nah djadi djelas pengawal-pengawal perbatasan itupun sekarang sudah djadi monjet?"
"Ja, ja, keadaan makin mendjadi gelap. Tjindewangi lepas, rakjat berontak. Sekarang tentera Keradjaan jang disuruh menangkap perempuan2pun tidak bisa lagi kerdja. Dan sekarang apa maunja Mamanda. Tjoba aku ingin dengar apa jang sekarang harus dikerdjakan ?"
"Ja, tentera Keradjaan telah hamba perintahkan menggeledah seluruh tempat. Harus ketemu djenazah itu,"
"Ja ja, itu sudah baik. Lalu jang lain?"
"Benteng batubesi telah hamba pertahankan sampai titik darah penghabisan?"
"Dan sekarang darah mereka sudah habis?"
"Belum Baginda. Pasukan Ki Ageng Tunggal ternjata hanja menjerang benteng setjara ketjil2an. Tetapi terus menerus dengan sendjata jang dilemparkan dari djauh."
"Lalu."
"Ibukota telah siap menghadapi segala kemungkinan jang bagaimanapun gawatnja."
"Djadi menurut pendapatmu Istana tak mungkin diserbu?"
"Tidak Baginda. Itu hal jang sangat mustahil.
"
"Kalau dalam kota ini sebenarnja sudah penuh dengan pasukan2 musuh ?"
"Laporan resmi belum hamba terima mengenai soal itu."
"Oh, djadli Mamanda hanja akan bertindak setelah ada laporan resmi. Baik, memang itu sikap jang bidjaksana. Tetapi akan lebih112 bidjaksana sekarang bila Mamanda mengaso. Lepaskan badju Kepatihan dan istirahat untuk selamanja. Lepaskan sekarang dan djangan menunggu aku makin mendjadi marah dan muak"
Seketika Mamanda Patih mendjadi putjat, sama sekali putjat pasi dan seluruh tubuhnja gemetar, Sebab tahu bahwa hal ini kemudian akan dilandjutkan Baginda berteriak memanggil pengawal jang akan menjeret dia kedalam pendjara, beberapa hari kemudian ia akan mendjadi urusan algodjo-algodjo istana.
Ternjata gambaran itu benar.
"Hei, Pengawal. Seretlah monjet tua ini. Terserahlah kepadamu akan kau apakan. Pokoknja aku sudah mendjadi muak melihat mukanja. Djelas."
Suasana mendjadi sunji seketika, hanja terdengar suara langkah Mamanda Patih jang diseret oleh dua orang pengawal, langkah jang meronta - ronta karena desakan rasa takut dan menggugat.
"Baginda. Apakah dosa hamba?"
"Dosamu tidak besar. Sebab ternjata bahwa Mamanda Patih tidak lebih dari seorang perantara. Perantara perintahku dan perantara laporan dari para Panglima-panglima. Dan pekerdjan itu kukira sudah tjukup lama, sekarang tak diperlukan lagi."
Baginda terduduk setelah Mamanda Patih pergi, memegangi kepalanja. Terasa kini mulai pusing-pusing. Tiba - tiba seorang pengawal melaporkan bahwa Surojudo hendak menghadap, soal Prameswari.
"Surojudo mohon melaporkan sesuatu jang sangat penting Baginda."
"Soal mana jang penting. Kini semua orang sudah tidak tahu mana jang penting mana jang tidak? "
"Soal Prameswari Baginda.
"
"Suruh masuk."
"Ja, Baginda."
"Tetapi siapa Surojudo?"
"Apakab Baginda lupa, Surojudo Panglima dari Gunung Timur."
"Oh ja ja, jang matanja tinggal satu itu?-113
"Ja Baginda. suruh masuk, Aku memang sedjak lama kagum dan ingin bertemu sekarang. Mungkin dia bisa kuharapkan sesuatu jang lebih besar dari para panglima jang lain."
Surojudo masuk, mentjoba menenangkan diri menghadapi Baginda.
Sebab hal ini akan menentukan apakah Tjindewangi akan berhasil atau tidak masuk kedalam istana.
Baginda menatap dengan tadjam kepada Surojudo,memang ada tersirat dalam hati Baginda sesuatu jang aneh.
Kenapa bahwa djustru Surojudo jang djarang sekali menghadap tiba-tiba muntjul dalam keadaan dipuntjak kegawatan dewasa itu .
Hingga Bagindapun djadi agak hati hati.
"Nah. Sebelumnja kusampaikan salamku. Rasanja sudah lama kita tidak bertemu. Apa hendak kau sampaikan di saat-saat segenting ini?"
"Sebelumnja hamba mohon maaf. Hamba hendak menjampaikan berita jang sesungguhnja. Sang Prameswari telah wafat."
"Ja. aku sudah mendengarnja. hanja belum djelas terdjadinja "
"Hamba jang membawa Sang Prameswari dari daerah pertempuran dipedukuhan Tegalmajit."
"Kau tahu kenapa?"
"Tidak, Hamba hanja menemukan djenazah disuatu tempat jang terlindung sepohon buah pohon besar, dan tempat itu agak meninggi. Beliau masih memegang sebuah busur."
"Lalu?"
"Bersama Sama selir selir istana djenazah Prameswari hamba bawa kembali keistana. Tetapi betapa terkedjut hamba, sampai diperbatasan ditjegat oleh pengawal pengawal bahwa ada perintah dari Baginda untuk menangkap semua selir istana, Tentu hamba tidak pertjaja. Hal itu sangat mustahil. Masakan Baginda akan memerintahkan hal sematjam ini disaat segenting ini. Terpaksa hamba mempergunakan akal untuk meloloskan djenazah sang Prameswari. Tetapi kalau perintah ini memang benar, terserah ditangan Baginda sekarang, segera djenazah akan hamba persembahkan keistana,"
Ketika itu Baginda merasa bahwa ada benarnja perkataan Surojudo disaat segenting ini, penangkapan penangkapan para selir selir istana dan Prameswari hanja akan menambah kekeruhan.114
"Ja, ja, Memang perintah itu benar. Tetapi kurasakan kini perkataanmu benar. Hanja akan menambah kekeruhan. Baiklah sekarang hadapkan semua jang kau bawa, aku akan menguburnja dalam keadaan darurat, Tetapi bagaimana sekarang keadaan pasukan2 Keradjaan setelah timbulnja pemberontakan Monjet Tunggal? "
"Hampir seluruh tewas di Tegalmajit. Sebagian ketjil berhasil melarikan diri keselatan. Berita selandjutnja hamba belum tahu, karena hamba jakin membawa djenazah Prameswari lebih penting,"
"Dimana sekarang Panglima Galing?."
"Hamba tidak tahu. keadaan mendadak mendjadi katjau. Kita tidak tahu mana kawan mana lawan. Pasukan-pasukan Ki Ageng Tunggal tiba tiba menjerang dan mereka berbaur dengan rakjat jang melihat. Mungkin Panglima Galingpun tewas. Tjindewangi djuga hamba tidak tahu. Kami diserang dalam waktu hari turun malam."
"Dan sekarang dimana kau berdiri? "
"Djelas hamba berdiri dipihak Keradjaan Gunung Tunggal. Hamba masih kembali untuk membawa djenazah.
"
"Baiklah. Hadapkan sekarang semua perempuan jang kau bawa. Dan djenazah Prameswari setjara diam diam. Aku akan memanggil semua Panglima jang masih tinggal. Kembalilah segera kuminta kau memberi gambaran jang djelas. Agar mereka itu terbuka matanja. Agar mereka terbuka matanja, bahwa Keradjaan menghadapi bentjana besar jang mereka sangka hanja main2"
Surojudo mundur dan meningalkan istana. Sedangkan Baginda kini benar-benar merasakan adanja satu kemungkinan jang sangat getir. Hingga berteriak sekeras-kerasnja memanggil pengawal.pengawal.
"Panggil semua Panglima sekarang djuga. Djangan seorangpun tinggal dirumah."
Para Panglima termasuk Singopati telah lengkap menghadap dan menunggu.
Tetapi Baginda sama sekali tidak keluar dari kamarnja, hanja Surojudo jang tahu kenapa? Karena para selir sudah kembali keistana.
Termasuk Tjindewangi jang langsung masuk kedalam taman Keputrian tanpa diketahui Baginda.
Hingga Surojudo achinja berbisik.115
"Harap bersabar sadja. Kalian tidak usah kawatir. Karena Baginda tidak lagi dalam keadaan murka. Bahkan perintah membunuh para selir telah ditjabut dan sekarang berdua bersama selinja jang termuda. Karena Prameswari telah wafat."
Sebetulnja tidak, demikian Baginda dalam kamar menghadapi Prameswari jang telah walat dalam keadaan gelap dan tak menentu hatinja murung.
Wafatnja Prameswari benar-benar merupakan tekanan berat dan merupakan titik titik kegelapan istana.
Dan perkataan Surojudo dalam keadaan jang buruk bagi Baginda menimbulkan kedjengkelan para Panglima, Salah seorang melontarkan kata kata jang bernada pahit.
"Djadi maksudnja apa Baginda memanggil kita semuanja?"
Surojudo merasakan adanja kesempatan jang makin baik untuk menggontjangkan kepertjajaan para Panglima terbadap Baginda, pelahan"
Pelahan menusukkan djarumnja dengan nada-nada jang lebih mantap.
"Ja, djelas untuk merundingkan semua kesulitan Keradjaan dewasa ini. Hanja tentu soal berpisah dengan para selir djuga merupakan hal jang sangat menggelisahkan."
Para nglima makin berisikan, hampir semuanja melontarkan kata-kata kedjengkelan dan kemarahan. Terutama Singopatl, kemudian berisik lebih keras.
"Kalau begini tjaranja. Kupikir tak perlu lagi kita mempertahankan istana. Selalu kita dilatalan monjet, apakah sekarang kita ini memang benar-benar monjet?"
Surojudo makin gembira dalam hati, kemudian menemukan akal jang lebih halus, tiba-tiba mengeluarkan permainan sematjam dadu dari kantongojia, sambil bergurau mengatakan.
"Sudahlah, kita perlu tunggu perintah. Sekarang dari pada menganggur apakah tidak lebih baik kita bermain-main gundu? Pokoknja djangan risau. Toh Ki Ageng Tunggal tidak akan sampai kedalam Istana, Pertjajalah bahwa benteng batu-besi akan mampu menahan semua serangan dari manapun.
"
Adjakan Surojudo achirnja mendapatkan sambutan jang baik dan sama sekali mereka, melepaskan ketegangan-ketegangan dalam hati116 mereka masng-masing dan semuanja mengelilingi Surojudo jang mulai bermain sebagai bandar.
"Pokoknja semuanja akan beres. Kita menanti sambil gembira Apakah perlu kita djengkel atau tjemas. Nah. Kau lihat sekarang dadu ini bergambar kidjang, harimau kambing dan monjet dua sisi jang lain kosong."
"Apakah semua dari kalian membawa uang? "
"Seribu untuk kidjang"
"Seribu untuk kambing.
"
"Seribu untuk monjet. Aku kira tentu akan keluar monjet. Sebab sudah banjak sekarang diantara kita didjadikan monjet oleh Baginda.
"
"Dua ribu untuk monjet."
"Lima ribu untuk monjet"
Surojudo makin menghangatkan suasana agar mendjadi kalap, dan makin kalap.
"Selirku boleh kau ambil kalau keluar monjet.
"
Suasana makin mendjadi riuh, karena jang keluar sisi jang kosong. Menjebabkan mereka jang kalah mendjadi panas hati dan berteriak.
"Dua selir untuk kidjang. Kupikir sekarang tak ada gunanja pula selir banjak banjak, kalau keadaan makin katjau balau."
"Tiga selir untuk harimau.
"
Surojudo menjela diantara lontaran kata2 jang terdesak hati panas.
"Lo. jangan banjak-banjak. Kalau kena aku tak adalagi selirku. Sekarang tjari agak sulit, karena kalian tahu Baginda harus mengumpulkan seribu gadis untuk sjarat perdjandjian dengan Keradjaan Laut Selatan.
"
"Pokoknja kalau berani? Kalau tak berani sini aku ambil alih djadi bandar."
"Boleh2, sekarang kau pegang bandar.
"
Suasana riuh itu, makin djelas kedengaran hingga samar-samar sampai kedengaran dari kamar dimana Baginda duduk merenung memandangi wadjah Prameswari sambil bitjara tak menentu.117
"Pertanda apakah sekarang, pertanda apa jang kau bawa Sekaragung Tanpa satu sebab jang djelas kau meninggalkan? Dan bagaimana seorang bisa melepaskan anak panah kepadamu? Ini satu hal jang mustahil. Kau djauh dari tempat dimana kerusuhan berlangsung dan tersembunji. Anak panah itu djelas berasal dari samping. Oh, Sekaragung. Atau ini pertanda akan datangnja keruntuhanku ? "
Suara diluar makin riuh, bahkan kemudian disertai gelak tertawa.
Hingga Baginda meluap kemarahannja.
Merasa adanja penghinaan dan kegilaan dari mereka.
Dengan langkah jang gemetar oleh perasaan marah, Baginda menghempaskan pintu kembali sambil berteriak keras.keras.
"Hei. Monjet-monjet. Tak dapatkah kau membuka matamu dan telingamu. Bahwa Prarneswari telah wafat. Dan kau semuanja mendjadikan istana ini sematjam pasar?"
Suasana mati tiba-tiba, semuanja gemetar mendengar teriakan"
Teriakan itu, Kini Surojudo bisa mengetahui sampai dimana watak para Panglima. Hatinja agak lapang, merasakan bahwa untuk meruntuhkan Keradjaan Gunung Tunggal bukan hal jang sangat mustahil. Teriakan Bagnda makin dekat dan makin keras terdengar.
"Kalian sudah mencjadi bisu semuanja. sama sekali diam tak mendjawab."
"Kami semuanja menanti perintah Baginda.
"
"Aku tahu sekarang apa jang kau rasakan Apakah kalian memang menghendaki hanjurnja keradjaan? -Tentu tidak Baginda. Kami semuanja hanja lupa. Mungkin karena tekanan keadaan, hingga kami semuanja perlu sedikit hiburan?"
Baginda kini makin liar pandangan matanja, nampak bajangan kemurungan dan kemarahantja, dan menatap satu-persatu para Panglima.
"Kalau kuberiahu sekarang kenjataan jang sebenarnja. Pasukan "pasukan Ki Monjet Tungal, telah berhasl menewaskan118119 kan hampir semua pasukan Keradjaan jang mengiringi arak2-an Tjindewangi. Dan pasukan itu jang menamakan dirinja Wulungseto, jang sudah mendjadi kabar umum adalah tjalon suami Tjindewangi, telah mengganggu pasukan-pasukan pengawal perbatasan. Entah siapa dari para Panglima itu, djelas ada jang telah membalik. Sekarang aku bertanja. Apakah dari antara kalian ada jang tidak lagi menaruh setia kepada Keradjaan? Ada atau tidak ?"
Baginda makin tadjam dan ganas menatap seorang demi seorang. Memang waktu itu suasana seakan-akan ditjengkam oleh maut.
"Aku Radja Gunung Tunggal ingin mendengar sumpahmu sekali lagi. Sumpah jang sedjati. Djawablah seorang demi seorang. Masih setiakah kalian terhadap Kekuasaan Radja Gunung Tunggal? "
Satu persatu mereka achirnja menjatakan sumpahnja, sekalipun dengan kata-kata jang bernada berat. Salah seorang nampak mengutjapkan dengan tersendat-sendat, hingga Radja berteriak keras.
"Kau, sumpahmu kurasakan palsu. Pengawal, seret dia dan bunuh sekarang djuga dimanapun djadi.
"
Sambil berkata demikian Baginda mendorong seorang Panglima sampai hampir terdjatuh dan diterima oleh dua pengawal, diseret keluar. Hingga ia berteriak. -Baginda, hamta masih setia. Hanja hamba memang agak gentar sekali ini, karena tjemas."
"Bunuh dia kalau perlu kubur hidup- hidup. Djangan dibiarkan dia mengobra! kata-kata, Dan ingat. Siapa lagi jang hendak membangkang Kekuasaan Radja Gunung Tunggal. Katakan terus terang."
Suasana makin sunji dan masing-masing menundukkan kepala, ketjuali Surojudo jang mengikuti keadaan jang menguntungkan dengan hati-hati.
***120 BAGIAN IV.
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
WULUNGSETO BARU behasil mendapatkan Sekarkembar setelah hari turun malam, saat mana Sekarkembar memandangi dengan tersejum, senjum dari puntjak perasaan bahagia dan damai.
Waktu itu pula Wuungseto meninggalkam desa itu menudju kearah ibukota Keradjaan Gunung Tunggal.
Dalam hati Wulungseto merasa adanja suatu kesalahan terhadap Tjindewangi.
Tetapi dapatkah ia menghindari? Keadaan mendesak bagi Wulungseto mengerdjakannja.
Kini tingga! masaah bagaimana Wulungseto bisa meloloskan diri dari pengawalan pintu gerbang ibakota jang makin diperkuat, setelah adanja sunpah setia dari para Panglima.
Sedangkan Surojudo sendiri tidak tahu dari mana Wulungseto akan memasuki ibukota, Wulungseto hanja bisa mengharapkan Sekarkembar akan bisa mentjari djalan kcluar.
"Kau rasa dapatkah kita memasuki ibukota malam ini Sekar?"
"Aku tak tahu. Tetapi melalui pintu selatan mungkin ada salah seorang pimpinan jang mengenalku.
"
"Dengan tjara bagaimana? "
"Kau tahu, adakalanja seorang lelaki bisa menundukkan hat wanita, hingga sumpahnja lebur. Tetapi adakalanja seorang lelaki merangkak dikaki wanita. Dan aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Ingat Seto, aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Tidak untuk orang lain. Tetapi harapan Sekarkembar sebetulnja sama sekali meleset. Pimpinan pengawal pintu selatan telah diganti. Seorang jag sama sekali setia dan sangat besar keinginannja untuk mendapatkan nama. Kedjam dan tidak mengenal ampun lebih dari itu Ia seorang| jang berhati membatu terhadap perempuan. Sedangkan waktu sangat mendesak.121 Sebab subuh hari besok, telah ditentukan penjerangan besar2an terhadap istana Panglima Honggo untuk membersihkan pasukan2 jang bersembunji disana. Subuh hari besok dan segala persiapan telah dikerdjakan se"
Baik2nja.
Bahkan perintah Baginda agar sama sekali meratakan istana itu, Meratakan sama sekali djangan ada seorang bisa lolos.
Sebab hal itu berarti memungkinkan pula Baginda melarikan diri melalui terowongan djika keadaan memaksa.
Mendjelang subuh, ja mendjelang subuh djika Wulungseto terlambat, pasukannja akan sama sekali hantjur.
Sedangkan Tjindewangi sendiri, kemudian mendapatkan kenjataan bahwa Baginda telah mendjadi sedemikian berubah.
Sama sekali tidak mengatjuhkan selir2nja.
Baginda tinggal merenung dalam kamar djenazah Prameswari dan dalam keadaan gusar.Tentu hal itu akan menghadapkan Tjindewangi dalam dua kemungkinan.
Dapatkah ia menundukan Baginda atau Baginda akan mendjadikan Tjindewangi perangkap atau perisai bagi penjerangan jang menentukan, djika saatnja tiba2 meleset.
Sedangkan Surojudo sama sekali tidak nampak memberi berita apapun.
Malam makin terasa mentjekam seluruh penduduk ibukota, berita akan terdjadi peperangan besar telah merajap, Memang sengadja disiarkan oleh pasukan Ki Ageng Tunggal setjara berlebihan.
Djalan2 nampak mati, tak ada pendjual2 apapun jang berani keluar.
lstana pualam jang tjemerlang nampak muram, sama sekali nampak tanpa penghuni.
Hingga setelah malam lewat tengah malam, suasana telah mati sama"
Sekali, hanja terdengar suara - suara langkah para pengawal dan tentera Keradjaan jang mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Baginda sendiri achirnja nampak keluar dari kamar, berdjalan digang-gang istana tanpa tadjuan, dan langkah itu makin terasa berat, makin berat dan seakan-akan terseret-seret.
Matanja mulai telah nampak tjekung oleh tekanan batin lebih"
Lebih setelah melihat dari tjelah djendela istana jang bisa langsung memandang kedjauh lepas.
Terlihat betapa kesunjian sekeliling istana, sampai keperbatasan ibukota.122 Dan kesunjian makin mentjekam, merupakan kegelapan tanpa udjung.
Waktu itulah Tjindewangi memutuskan untuk menemui Baginda, setelah berembug dengan Tjempakawangi untuk memberi tahu.
Tjempakawangi memberanikan diri mendekati Baginda jang tengah djauh memandang dengan pandangan kosong dan menjapa .
"Baginda. Berkenankah Baginda. mengidjinkan hamba untuk menjampaikan sesuatu."
"Baginda tanpa menoleh sedikipun dan mendjawab dengan atjuh tak atjuh.
"Menjampaikan apa? Kabar bahwa semua selir kelaparan? "
"Tidak Baginda.-"
"Semua Panglima telah membalik?"
"Tidak Baginda."
Baginda sesaat terdiam, kemuramannja agak surut seakan-akan melihat suatu tjahaja, mendengar suara Tjempakawangi jang lembut tetapi menggigit mendesakkan suatu perasaan mesra.
"Atau kau telah bersedia memberi sesuatu kepadaku malam ini?"
Tjempakawangi terdiam, hingga Baginda mempunjai pengharapan bahwa tebakannja terachir ini benar. maka Baginda menoleh menatapnja "Ja, apa itu jang benar?"
"Tjindewangi hendak menghadap Baginda."
"Hah."
Baginda seakan-akan tersambar petir jang tak bersuara. nalasnja mendjadi kentjang oleh kegontjangan hati.
"Berkatalah jag benar. Apakah Tjindewangi telah mendjadi majat dan majat itu masuk kemari? "
"Tidak Baginda!"
"Djelas itu hanja omorganmu. Atau kau jang melihat bajangan dan karena kau telah mendjadi monjet, otakmu tidak lagi bekerdja dengan baik.-123
"Tidak Baginda.Tjindewangi jang sebenarnja hendak menghada djika Baginda berkenan?"
"Perlunja?"
"Hamba tak tahu,"
"Baik, baiklah kau hadapkan sekarang. Tetapi djika kau man"
Main sekalipun kau jang paling djelita diantara jang lain. Besok kusediakan untukmu sebuah tiang gantungan."
Tjempakawangi mundur meninggallkan Baginda dan Baginda benar-benar sekarang mendjadi gusar oleh seribu satu matjam hal, terutama dalam soal terachir ini dimana Tjindewangi jang harus telah mendjadi majat, kini mohon untuk menghadap.
Masih hidup.
Dan bagaimana bisa terdjadi? bagaimana bisa terdjadi Tjindewangi bisa masuk keistana, melewati pengawalan istana jang telah iperintahkan meadjaga sekuat kuatnja.
Hingga Baginda berkata-kata sendiri tanpa disadari "Oh, keadaan apakah ini.
Keadaan matjam apa sekarang ini.
Semuanja mengherankan.
Semuanja menggusarkan.
Semuanja menjebabkan hatiku makin gelap.
Tjindewangi, Tjindewangi, manusia apakah dia in.
Bisa membawa segala soal jang tidak masuk diakal sama sekali.
Oh.
Siapakah kau Tjindewangi? Siapakah kau Tjindewangi.
Atau sebenarnja bajangan jang tak pernah ada.
*** Wulungseto jang hanja mengharapkan kemampuan Sekarkembar untuk bisa lolos dari pintu gerbang sebelah selatan, achirnja mendapatkan keadaan jang lebih baik dan sama sekali tidak terduga.
Waktu Wulangseto turun dari kudanja setelah hampir mendekati pintu gerbang ibokota, tiba-tiba nampak didaerah sekitar pintu gerbang terdjadi kebakaran besar, jang makin besar.
Ternjata kebakaran tersebut adalah akal dari Surojudo jang setjara untung-untungan mungkin akan sangat berguna bagi pasulan"
Pasukan Ki Ageng Tunggal jang akan menjusup Kedalam kota,124 Keadaan ini digunakan setjepat jepatnja oleh Wulungseto, dengan mematju kudanja menerdjang diantara keributan kebakaran dan kedjar-kedjaran antara beberapa pengawal dengan orang-orang jang ditjurigai.
Pengawalan mendjadi katjau dan Wulungseto berhasil meloloskan diri dati pendjagaan jang kuat tetapi dalam keadaan katjau itu.
Dan berhasil sampal ditempat jang telah ditentukan untuk mengetahui keadaan dalam kota lebih djauh.
Tetapi betapa terkedjut Wulungseto setelah mendapatkan keterangan bahwa istana Panglima Honggo jang telah diduduki pasukan pasukan Ki Ageng Tunggal telah dikepung rapat oleh perintah Baginda.
Wulungseto merasakan hal ini memang djelas, karena di istana Panglima Honggolah satu-satunja istana jang bisa menjelamatkan Baginda djika keadaan bertambah buruk.
Maka sebelum teriambat mendjelang subuh, waktu ditentukan penjerangan serentak, Wulungseto mengerahkan semua pasukan jang bersembunji dalam kota untuk membobolkan kepungan itu.
Djelas bahwa pasukan-pasukan Keradjaan dalam lebih banjak, lebih kuat dan lebih mengetahui keadaan tempatnja.
Hanja karena sama sekali tidak menduga bahwa akan ada penjerangan tiba-tiba.
Pasukan"
Pasukan Wulungseto berhasil memboboikan kepungan dan hampir seluruh pasukan berhasil masuk kedalam istana Panglima Honggo hanja dengan beberapa korban.
Singopatilah jang paling menaruh dendam dan merasa malu, saat itu djuga dikerahkan seluruh pasukan jang ada, untuk mengepung kembali dan merebut istana Honggo.
Seluruh pasukan jang ada, seluruh kekuatan persendjataan dipusatkan untuk merebut kembali.
Tetapi sampai distana Honggo.
Betapa terkedjut Singopati setelah memasuki istana Honggo.
Istana terdapat kosong.
sama sekali kosong dan ia tidak mengetahui sama sekali adanja rahasia jang terdapat dalam istana.
mereka hanja mendapatkan beberapa kamar jang terkuntji dan setelah dibuka hanja diketemukan wanita- wanita jang terkurung dan beberapa lelaki pegawai istana.
Hingga Singopati mendjadi kalap dan langsung memaksa mereka untuk bitjara "Kau pasti tahu kemana pasukan-pasukan monjet itu lari.-125
"Bagaimana kita tahu, kita semuanja dalam kamar sedjak lusa malam."
"Kalian mesti bitjara, apakah kalian memang sudah mendjadi begundal Ki Ageng Tunggal pengchianat itu."
"Kami tidak tahu, sama sekali tidak tahu, tidak tahu."
"Beberapa lelaki dan wanita achirnja kena tjambuk hingga beberapa orang menggelepar dan seorang wanita selir tertua Panglima Honggo sendiri tewas karena terkedjut dan tidak tahan menahan beratnja tjambukan itu.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen