Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 13


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 13



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   "Ha-ha, kaupun menjunjung tinggi Hoa- san-pai, Suheng,"

   Kata Bhe Un-liang.

   "Aku dengar kabar dari pedagang-pedagang atau pengembara-pengembara yang datang dari Siam-sai, katanya Hek-eng-po tidak berani main gila di wilayah Siam-sai, hanya mendengar nama besarmu. Begitu?"

   "Ah, hanya dibesar-besarkan saja,"

   Pura-pura Sebun Him merendahkan diri.

   "Orang menganggap bahwa hanya akulah tandingan setimpal buat Majikan Hek-eng-po, tetapi aku belum pernah bertemu dengannya meskipun ingin sekali. Agaknya ia berusaha menghindari aku."

   Meskipun kedengarannya merendahkan diri, tapi jelas suatu kesombongan, nembuat alis Bhe Un-liang berkerut juga.

   Apakah orang- orang macam Pun-bu Hweshio, Tong Lam-hou, Pakkiong Liong, Ketua Bu-tong-pai dan Go-bi- pai juga tidak dihitung semuanya? Namun kehadiran Sebun Him di Liong- coan memang menguntungkan pihaknya, maka Bhe Un-liang pura-pura tidak menggubris kata- kata sombong Suhengnya tadi.

   Tak lama kemudian, Tong Gin-yan bertiga keluar ke ruangan tengah untuk menyampaikan hormat kepada Sebun Him, percakapan lalu berjalan dengan ramai dan meriah.

   **OZ** BAGIAN DUA PULUH ENAM Malam harinya, untuk menghormati kedatangan Sebun Him, Bhe Un-liang menyelengarakan sebuah pesta di rumahnya.

   Dihadiri pula oleh tokoh-tokoh masyarakat Liong-coan, perjamuan berlangsung sederhana tetapi meriah.

   Bahkan diramaikan pula dengan tarian orang-orang setempat, dan peragaan ilmu silat oleh empatbelas murid Bhe Un-liang.

   Maka rumah guru silat itu menjad meriah seolah sedang menyelenggarakan perhelatan perkawinan.

   Tetapi kemeriahan itu terguncang oleh beberapa orang yang berlari-lari dengan gugupnya sambil berteriak-teriak.

   "Kedai Liong-coan Siang-cui terbakar!"

   "Cepat tolong l"

   Orang-orangpun berlarian ke arah nyala api yang menjulang dan kelihatan menyolok di malam hari. Mereka membawa ember air, kaitan, karung basah dan sebagainya.

   "Apakah perlu kita laporkan Bhe Kausu?"

   Teriak seseorang.

   "Tidak usah!"

   Sahut lainnya.

   "Soal sekecil ini saja pasti kita bisa mengatasinya sendiri, jangan mengganggu pestanya."

   Namun ternyata kemudlan urusan itu bukan urusan kecil , tetapi menjadi urusan besar. Belum lagi api di kedai Liong-coan Siang-cui berhasil dipadamkan, dari arah lain tiba-tiba terlihat nyala api yang besar pula.

   "Lumbung gandum berikut ladang Ma Locu juga terbakar!"

   "Sebagian orang menolong ke sana, sebagian tetap di sini!"

   Demikian orang-orang itu mengatur diri. Tapi kemudian menyusul laporan bahwa bengkel besi satu-satunya di desa itupun secara aneh terbakar, lalu toko ikan juga terbakar, rumah si tukang kayu juga terbakar, sehingga bingunglah orang-orang Liong-coan.

   "Ini suatu kesengajaan!"

   Demikian berkembang dugaan mereka.

   "Kurang ajar sekali, siapa yang melakukan ini?!"

   Karena masalahnya sudah berkembang sedemikian sulitnya, tidak bisa tidak maka orangpun. melaporkannya kepada Bhe Un-liang untuk mohon petunjux. Mendengar laporan itu, suasana pestapun bubar, berganti suasana kemarahan.

   "Kurang ajar! Hek-eng-po benar-benar ingin menguji sampai di mana nyali dan kekuatanku menghadapi mereka!"

   Seru Bhe Un-liang marah. Langsung ia menyambar pedangnya yang digantungkan di dinding dan hendak melangkah keluar.

   "Tunggu dulu, Paman Bhe,"

   Pakkiong Eng mencegah.

   "Kebakaran ini nampaknya disengaja, merupakan sebuah serangan teratur, kita harus menghadapinya dengan cermat pula."

   Barulah saat itu Bhe Un-liang ingat di ruangan itu ada puteri seorang panglima terkenal yang sedikit banyak tentu paham menghadapi situasi macam itu.

   "Bagaimana usulmu, nona Pakkiong?"

   Tapi di ruangan itu juga ada Sebun Him yang tidak membiarkan peranan paling penting lepas dari tangannya.Sebelum Pakkiong Eng menyahut, Sebun Him sudah lebih dulu berkata.

   "Sute, pecah kekuatan tempur yang ada di dalam pimpinanmu menjadi lima regu. Empat regu keluar dari empat arah dan langsung membuat putaran ke kiri mengelilingi desa, satu regu tetap di tempat ini dan siap membantu ke arah mana saja yang memberikan isyarat minta bantuan!"

   Tanpa menunggu persetujuan lain- lainnya, bahkan tidak juga Bhe Un-liang sebagai tuan rumah, Sebun Him dengan gaya seorang jenderal yang berkuasa segera menetapkan kelima regu itu, dan siapa saja yang diperbantukan.

   Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng kebagian tugas pula diperbantukan kepada regu timur dan regu utara, tapi Auyang Siau-hong tidak, sebab masih lemah tubuhnya.

   Bhe Un-liang tetap di tempat bersama duapuluh lelaki bersenjata untuk siap membantu ke segala arah.

   Begitulah, Bhe Un-liang ternyata terlalu sungkan untuk mencegah Suhengnya itu mengambil alih posisi sebagai pemimpin orang- orang Liong-coan, sedangkan Pakkiong Eng juga terlalu sungkan untuk membantah seorang angkatan tua, meskipun merasa sikap Sebun Him itu agak berlebihan, tetapi siasat yang dikemukakannya ternyata boleh juga Murid-murid Bhe Un-liang dan orang-orang Liong-coan lain, melihat Bhe Un-liang diam saja terhadap Sebun Him, merekapun menurut saja.

   Regu-regu segera berpencaran ke arah yang ditetapkan, masing-masing berjumlah sekitar limapuluh sampai enampuluh orang lelaki bersenjata.

   Sebun Him sendiri membawa limapuluh orang untuk memeriksa bagian selatan desa besar Liong-coan.

   Begitulah, suasana kampung besar itu seperti dalam keadaan perang setelah belasan tahun dalam keadaan aman tenteram.

   Ada kebakaran dan ribut-ribut orang memadamkan api, ada orang-orang bersenjata berlarian ke segala arah, dan teriakan hiruk-pikuk.

   Sampai di luar desa, di pinggir hutan yang gelap, Sebun Him memimpin regunya untuk berbelok ke timur.

   Tempat itu gelap, satu-satunya penerangan hanyalah cahaya api dari arah kampung yang kebakaran.

   Bintang- bintang di angkasa tak berarti sama sekali, sedangkan sang rembulan rupanya malah melalaikan tugasnya.

   **OZ** Bersambung ke

   Jilid 24 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 24 Rombongan Sebun Him segera dikejutkan oleh suara gemeresak langkah orang yang menerjang ladang.penduduk. Langkah tergesa-gesa, menimbulkan kecurigaan.

   "Bersiaplah kalian, inilah mungkin si pembakar-pembakar itu!"

   Perintah Sebun Him kepada regunya.

   Orang-orangnya berpencaran, salah seorang dari mereka membawa sepucuk bedil bikinan sendiri yang kegunaannya sangat diragukan.

   Sering meledak pada saat tidak diperlukan, dan tidak meledak sewaku diperlukan.

   Akhirnya dia meletakkan bedilnya dan menggantinya dengan liang-tiat-kun (ruyung dua ruas) yang terselip di pinggang kirinya.

   Tapi ruyung itupun diletakkannya karena ingat bahwa kepalanya sering terhantam sendiri oleh ruyungnya pada saat latihan.

   Lalu digantinya dengan golok pendek yang terselip di pinggang kanannya.

   Setelah memegang golok, ia masih melirik bedilnya dan berpikir.

   "Apa tidak sebaiknya dengan bedil saja? Atau ruyung saja?"! Sementara itu, dari pepohonan ladang di arah Liong-coan, melompat keluar tiga sosok tubuh yang-lincah-lincah gerakannya. Satu orang bertubuh tinggi besar seperti menara besi, tapi tangan kanannya terkulai seperti orang cacad. Satu orang pendek kecil, memakai jubah hitam dan bertampang penuh bulu, seperti kelelawar. Yang ketiga bertubuh sedang biarpun malam hari tetapi kepalanya memakai caping bambu. Merekalah bekas Empat Siluman yang kini tinggal tiga. Tiat-pi-koai Wan Po, Hek-hok- koai Kongsun Gi dan Hui-thian-koai Hau It-yau. Tangan mereka menjinjing bumbung minyak dan kayu yang ujungnya menghitam terbakar, jelas merekalah pelaku pembakaran itu. Melihat orang-orang yang menghadangnya, Wan Po tertawa mengejek .

   "He, keinci-kelinci ini rupanya menyerahkan nyawa."

   "Barangkali mereka ingin dipanggang?!"

   Kongsun Gi juga terkekeh-kekeh. Tapi tertawa orang-orang Hek-eng-po itu terbungkam seketika, ketika dari antara orang-orang Liong-coan muncul seorang bertubuh tinggi besar yang menggeram seperti biruang.

   "Hei, siluman-siluman cacad, kalian kenal aku atau tidak?"

   Begitu cahaya api dari desa menimpa wajah orang itu, pucatlah wajah Wan Po bertiga. Itulah wajah yang tidak kalah mereka takuti dari Ketua Hwe-liong-pang.

   "Se.... Sebun Him...."

   Sebun Him tertawa dingin.

   "Benar, inilah aku. Malam ini dengan disaksikan Orang- orang Liong-coan, biar aku babat sisa Empat siluman sampai tak tersisa seorangpun!"

   Wan Po dan kedua adik seperguruannya benar-benar merasakan ancaman atas nyawa mereka, tertawa mengejek mereka sudah sirna, digantikan rasa ngeri. Tiba-tiba mereka berteriak-teriak minta pertolongan.

   "Pocu! Sebun Him di sini!"

   Teriakan Wan Po menggema memanggil Majikan Hek-eng-po.

   "Susiok! Susiok!"

   Sedangkan Hau It-yau memanggil-manggil Susioknya (paman guru), Jiat-jiu Lokoai (siluman tua bertangan maut).

   Mereka sekarang mirip anak-anak kecil yang menangis di tengah pasar malam karena terpisah dari tangan ibunya....

   Terbahak-bahak Sebun Him melihat kelakuan mereka.

   "Ha-ha-ha... panggillah siapa saja untuk melawan aku, nanti begitu mereka tiba di sini hanya akan menemui mayat-mayat kalian, dan mereka sendiripun akan aku bunuh sekalian!". Habis berkata demikian, Sebun Him tidak membuang waktu lagi, seperti seekor beruang besar yang menerkam lawan- lawannya, dia menerjang maju dengan dua tangan terkembang ke kedua arah sekaligus. Menggempur Wan Po dan Hau It-yau sekaligus. Maka terjadilah pertempuran satu lawan tiga di pinggir hutan itu. Meskipun Sebun Him seorang diri, tetapi gerakannya seperti prahara yang berhembus dahsyat, kekuatan sepasang tangannya yang didasari Ku-goan-sin-kang (ilmu sakti alam semesta) itu sedahsyat gunung batu yang longsor menguruk ke arah Wan Po bertiga. Ketiga siluman itu segera jatuh dalam posisi bertahan. Seandainya tangan kanan mereka belum dicacadkan oleh Kam Hong-ti dan In Ceng, gabungan mereka bertiga tetap belum bisa mengimbangi Sebun Him yang dahsyat itu, apalagi tangan kanan mereka terkulai tak berarti. Biarpun selama ini mereka sudah melatih tangan kiri mereka agar dapat menutup kekurangan, toh tidak sepenuhnya berhasil. Maka dalam tigapuluh jurus saja mereka segera megap-megap, tertekan oleh serangan Sebun Him yang membadai.

   "Mau lari ke mana kalian sekarang heh?"

   Dengus Sebun Him sambil memperhebat serangannya, sampai Wan Po yang bertubuh raksasa itupun jadi mirip setangkai pohon rapuh yang diguncang-guncang badai tanpa daya.

   Namun selama bertempur itu, ketiga siluman itu sempat merasa heran juga.

   Lama- lama nampak bahwa beberapa jurus yang dipergunakan oleh Sebun Him itu mirip dengan jurus yang sudah mereka kenal baik, yaitu jurus-jurus dari Majikan Puri Elang Hitam sendiri! Apakah sebenarnya Majikan Hek-eng- po dan Sebun Him itu seperguruan? Tapi dari mana bisa mendapatkan jawaban pertanyaan itu? "Sebun Him, ada hubungan apakah kau dengan Pocu?!"

   Tiba-tiba Hau It-yau berteriak keras.

   Ia ingin mendapatkn jawaban itu sebelum nyawanya terbang.

   Sebun Him tertegun sejenak mendengar pertanyaan itu, namun wajahnya tiba-tiba menampilkan keberingasan untuk membunuh yang mengerikan, dan jawaban dari mulutnya sama sekali tidak cocok dengan pertanyaan yang diajukan Hau It-yau.

   "Kalian harus mampus!"

   Lalu menderulah kaki kanannya ke arah Hau It-yau dengan sebuah tendangan ke lambung.

   Si Siluman Terbang sadar dirinya terlalu lemah untuk membentur dengan tangkisan,ia berusaha menggunakan kelincahannya untuk melejit ke samping.

   Tapi dua tinju Sebun Him bergerak sekaligus membentuk garis miring atas-bawah.

   Tinju kanan menjotos ke wajah, tinju kiri menyodok rendah ke perut, bersamaan.

   Tak ada lagi kesempatan menghindar, sebab di belakang Hau It-yau ada sebatang pohon yang menghalangi gerak mundurnya.

   Ia hanya sempat membelalakkan matanya untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya.

   "Kau adalah...."

   Hanya itu.

   Setelah itu tinju kanan dan kiri Sebun Him berbarengan meremukkan tulang wajah dan isi perut Hau It-yau, begitu hebat kekuatannya, sehingga pohon yang disandari oleh Hau It-yau itupun ikut patah roboh bersama tubuh Hau It-yau yang seperti karung kosong.

   Wan Po dan Kongsun Gi dengan perasaan ngeri segera membalik tubuh untuk kabur.

   Mereka ngeri bukan saja karena melihat kehebatan pukulan Sebun Him, namun juga karena mereka mulai berhasil sedikit menyingkap sebuah misteri yang sangat menakutkan, dan mungkin akan menggemparkan dunia persilatan, yang selama ini tak pernah terpikirkan olehnya.

   Bahkan mungkin juga oleh pihak-pihak lain.

   Tapi mereka tidak sempat kabur jauh.

   Suara Sebun Him yang dingin terdengar hanya tiga langkah di belakang mereka, separti.

   suara raja akherat yang melambai-lambai memanggiI mereka.

   "Jangan lari. Sudah lama aku ingin menghapus nama kalian, orang- orang cacad tak berguna!"

   Lebih dulu tulang punggung Kongsun Gi terdengar gemeretak terhantam telapak tangan Sebun Him.

   Tubuhnya terpental seperti sebuah bola, menyusup di rimbunnya pohon sayur-sayuran dan siap menjadi rabuk di tempat jatuhnya.

   Dengan nekad Wan Po memutar tubuhnya sambil berteriak putus asa.

   "Kaulah iblis yang jauh lebih licik dari kami, meskipun selama ini berkedok sebagai pendekar terhormat!"

   Itulah kalimat yang sedikit meringankan beban arwahnya menuju ke alam seberang.

   Tinju Sebun Him bagaikan palu godam yang menghantam kepalanya sampai kepala itu tertekuk ke belakang dengan tulang leher patah.

   Orang-orang Liong-coan terkagum- kagum melihat kehebatan Sebun Him, jauh lebih hebat dari Bhe Un-liang yang selama ini mereka kagumi.

   Mereka bersorak sorak melihat Sebun Him berhasil membantai tiga pengacau bertampang seram itu.

   Sedang tentang kata-kata yang diucapkan Hau It-yau maupun Wan Po menjelang ajal mereka, sedikitpun tidak masuk ke pikiran mereka yang polos karena menganggap ucapan itu tak berujung-pangkal, anggap saja kata-kata orang yang sekarat.

   Sebun Him tersenyum bangga, perintahnya.

   "Bawa mayat-mayat ini berkeliling Liong-coan dan katakan aku yang membunuhnya. Supaya pengacau-pengacau di lain tempat menjadi gentar dan mengundurkan diri!"

   "Baik, Toaya!"

   Kata orang-orang itu bersemangat.

   "Tapi kalau penjahat-penjahat di bagian lain itu ditumpas sekalian, bukankah lebih baik?"

   Sebun Him termangu sejenak lalu berkata.

   "Sudah, jalankan saja perintahku tadi. Aku akan berkeliling sendirian untuk melihat- lihat keadaan!"

   Seperti pasukan yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan, atau mirip juga kawanan pemburu yang pulang ke desa setelah berhasil menangkap tiga harimau besar, demikianlah regu selatan itu paling dulu kembali ke rumah Bhe Un-liang sambil menggotong mayat Wan Po, Kongsun Gi dan Hau It-yau.

   Mayat Hau It-yau dan Kongsun Gi masing-masing cukup digotong dua orang, namun mayat Wan Po yang tinggi besar itu harus diangkat empat orang.

   Mereka berjalan sambil bersorak-sorai, sepanjang jalan menceritakan kepada siapa saja yang ditemui tentang bagaimana kegagahan Sebun Him menumpas tiga siluman.

   Sementara itu, setelah berpisah dari regunya, Sebun Him berkelebat menghilang di kegelapan malam.

   Tidak ada yang melihat ke mana arah perginya, orang-orang Liong-coan masih saja sibuk memadamkan api, atau bersorak-sorak dalam pawai mengarak tubuh Wan Po dan adik-adik seperguruannya yang mati penasaran.

   Di beberapa daerah pinggiran Liong- coan memang terjadi bentrokan-bentrokan antara orang-orang Liong-coan melawan orang-orang yang melepaskan api dan tidak sempat mengundurkan diri.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pertempuran jadi mirip perang kecil, sebab jumlah musuh ternyata ada puluhan orang, sedang orang- orang Liong-coan melawan dengan keberanian para prajurit, berbekal ilmu silat yang pernah mereka pelajari dari Bhe Un-liang.

   Namun dalam perkelaian sengit itu, di sebuah jalan kampung dekat pintu gerbang utara, berlangsung sebuah pertempuran yang lain daripada yang lain.

   Bhe Un liang, didampingi Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng mengeroyok seorang tua kerempeng berjubah biru,berjenggot putih panjang, bermata merah seperti mata serigala.

   Orang tua itu bertangan kosong, namun tangguh sekali sehingga gabungan tenaga ketiga lawannya tak sanggup segera membereskannya.

   Hanya mendesaknya.

   Orang tua itulah Jiat-jiu Lokoai sendiri, yang memimpin orang-orang Hek-eng- po untuk menyerbu Liong-coan yang dianggapnya berani menantang Hek-eng-po.

   Sebenarnya korban di pihak Liong-coan sudah jatuh belasan orang tewas, puluhan lagi luka- luka, tapi jumlah mereka ratusan dan yang lainnya terus melawan dengan gigih dipimpin empatbelas murid Bhe Un-liang yang paling tangguh.

   Puteri Bhe Un-liang, Bhe Giok-im, dengan bersenjata pedang sepasang, ikut bertempur gigih mempertahankan kampung halamannya.

   Lawannya juga seorang perempuan, Tok-gia-kang Ciu Peng dengan senjata cambuknya yang berujung ekor kalajengking itu.

   Permainan pedang Bhe Giok-im sebenarnya cukup mantap dan cepat, Hoa-san Siang-kiam-hoat (ilmu sepasang pedang Hoa- san-pai) yang dilatihnya sejak usia delapan tahun.

   Namun usia Bhe Giok-im baru enambelas tahun, pengalamannya di dalam pertempuran yang sesungguhnya masih nol, sebaliknya lawannya yang berbedak dan bergincu tebal itu adalah gembong golongan hitam yang ganas dan berpengalaman.

   Sebentar saja Bhe Giok-im sudah terdesak oleh permainan cambuknya.

   Untung Giok-im segera mendapat bantuan dari seorang pemuda bermuka hitam, salah seorang dari empatbelas murid Bhe Kausu, yang bersenjata tombak panjang.

   Dengan gabungan dua orang itu, barulah keganasan Ciu Peng dapat dibendung.

   Orang-orang Hek-eng-po memang tak menduga perlawanan orang-orang Liong-coan begitu gigih, padahal tadinya mereka memandang rendah.

   Ketika semakin banyak orang Liong-coan keIuar rumah dengan membawa berbagai senjata, maka gembong- gembong Hek-eng-po itu menjadi ngeri sendiri.

   Mereka seperti harimau-harimau buas yang terjeblos ke sarang semut.

   Betapapun kuatnya harimau-harimau itu, namun kalau semut- semut terus merubungnya dari segala penjuru maka akhirnya akan habis juga.

   Dan semangat tempur orang-orang Liong-coan lebih menyala ketika orang-orang berteriak bahwa Tiga Siluman sudah ditewaskan oleh Sebun Him.

   Disebut-sebutnya nama Sebun Him di dalam pertempuran membuat pihak Hek-eng-po kaget.

   "Jadi Sebun Him juga hadir di tempat ini?"

   Demikian Jiat-jiu Lokoai bertanya-tanya dalam hati.

   "Kalau begitu, kenapa Pocu tidak segera menampakkan diri untuk menandinginya, sehingga Sebun Him sempat membunuh tiga keponakan muridku?"

   Tengah ia menebak-nebak jawabannya, tiba-tiba dari sebuah bukit di luar kampung Liong-coan terdengar suara seperti pekikan burung elang tiga kali berturut turut memecah kesunyian malam.

   Orang orang Hek-eng-po terkejut, sebab itulah isyarat dari sang pemimpin untuk menarik mundur semua orang-orangnya.

   "Apa yang terjadi? Kenapa Pocu bukannya membantu menghadapi Sebun Him tetapi malah menyuruh menarik diri? Jiat-jiu Lokoai semakin heran.

   "Apakah muncul tokoh lain, misalnya Ketua Hwe-liong-pang yang ikut mengacau?"

   Menyadari bahwa perkembangan tidak secerah yang diharapkan, juga timbulnya dugaan-dugaan buruk, menyebabkan hati orang-orang Hek-eng-po menjadi ciut.

   Maka ketika pekikan elang di kejauhan terdengar lagi, orang-orang Hek-eng-po segera berhamburan dalam kegelapan malam di pinggir kampung Liong-coan.

   "Jangan kejar! Terlalu berbahaya!"

   Demikian Bhe Un-liang mencegah orang- orangnya yang masih panas hatinya dan hendak mengejar musuh.

   Sebagai kelompok berjumlah banyak, memang orang-orang Liong-coan punya kekuatan di tempat terbuka, namun kalau mereka masuk ke hutan-hutan gelap, maka mereka akan menjadi makanan empuk bagi orang-orang Hek-eng-po yang berilmu tinggi semuanya itu.

   Perintah untuk tidak mengejar segera disebarkan kepada semua orang Liong-coan.

   Meskipun mereka bukan prajurit, namun ternyata cukup disiplin untuk mematuhi perintah si guru silat sekaligus pemimpin yang dihormati itu.

   Kini orang-orang Liong-coan berganti kesibukan memadamkan api dan merawat teman-teman yang luka atau tewas.

   Sementara itu, orang-orang Hek-eng-po yang mengundurkan diri itu semuanya langsung menuju ke satu arah, yaitu sebuah bukit tanah merah berjarak empat li di luar kampung Liong-coan, asal pekikan elang tadi.

   Tanah di tempat itu agak lengket sehingga mengotori sepatu.

   Kalau siang hari, banyak orang kampung Liong-coan mengambili tanah di tempat itu untuk dibentuk dan dibakar menjadi batu bata, genteng, kendi, guci dan barang-barang pecah-belah lainnya, bahkan juga patung yang indah.

   Tapi malam itu, bukit galian tanah merah itu menjadi tempat berkumpulnya pembunuh-pembunuh yang tergabung dalam Hek-eng-po.Hampir tigapuluh orang yang masih belum kering keringatnya, berdiri mengelilingi seorang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam, dan kepalanya berkerudung kain hitam pula sehingga hanya sepasang matanya yang terlihat, berkilat-kilat seperti sepasang bintang di langit.

   "Di luar dugaan, si keparat Sebun Him muncul di kampung Liong-coan dan membunuh tiga keponakan muridku, Pocu."

   Jiat-jiu Lokoai melaporkan, namun dalam kalimatnya terkandung nada menuntut dan menyalahkan.

   Kenapa sang Pocu tidak muncul di pertempuran? "Aku tahu kalian mempertanyakan kenapa aku tidak muncul di gelanggang untuk menandingi Sebun Him,begitu bukan? kata majikan Hek-eng-po dengan dingin.

   "Tetapi aku punya kesulitan sendiri sehingga menghalangi kehadiranku". Jiat-j iu Lokoai berkali-kali menghirup udara malam yang dingin untuk menekan kejengkelan yang bergejolak di hatinya, kejengkelan terhadap Majikan Hek-eng-po sendiri. Ia mencoba untuk tetap bersuara sopan.

   "Pocu, bolehkah aku mengetahui halangan apa yang menyebabkan Pocu tidak hadir di arena?"

   "Itu urusanku,"

   Sahut Majikan Hek-eng- po dengan dingin. Jiat-jiu Lokoai menjadi panas hatinya mendengar jawaban itu, dan iapun sekin berani mendesakkan pertanyaan.

   "Apakah Pocu merasa kebetulan kalau tiga orang keponakan muridku itu ditewaskan Sebun Him, karena memang sudah lama Pocu tidak membutuhkan mereka lagi, sejak mereka menjadi cacad?"

   "Ou Heng, berani benar kau bicara demikian kepadaku!"

   Majikan Hek-eng-po tiba- tiba membentak Jiat-jiu Lokoai dengan suara mengguntur.

   "Kau lupa siapa yang menyelamatkan nyamu, ketika kepalamu yang berisi tahi kerbau itu hampir saja dipecahkan oleh Pun-khong Hweshio dari Siau-lim-si?!"

   Jiat-jiu Lokai yang nama aslinya Ou Heng itu menjadi panas wajahnya karena peristiwa yang memalukan dirinya itu diungkit- ungkit pula.

   Kalau bukan Majikan Hek-eng-po yang bicara, tentu si pembicara sudah diterkamnya dan dirobek-robek tubuhnya.

   Tapi ia kini hanya bisa menggenggam tangannya erat-erat dengan tubuh gemetar, sadar takkan mampu berbuat apa-apa terhadap Hek-eng Pocu.

   "Aku minta maaf atas ucapanku tadi, Pocu,"

   Kata Jiat-jiu Lokoai akhirnya.

   "Aku maafkan, tapi lain kali jagalah mulutmu,"

   Kata Majikan Hek-eng-po.

   Patut kalau ia marah atas ucapan Jiat-jiu Lokoai tadi, sebab ucapan itu bisa menimbulkan kesan kepada pengikutnya yang lain bahwa ia tidak menghiraukan keselamatan pengikutnya, sehingga bisa mengurangi kepatuhan pengikut- pengikutnya terhadapnya.

   "Aku memaklumi kedukaanmu karena kehilangan tiga keponakan murid, akupun merasa kehilangan,"

   Demikian Majikan Hek- eng-po mencoba meredakan perasaan Jiat-jiu Lokoai.

   "Tetapi kematian mereka memang sudah menjadi resiko, siapa memperhitungkan bahwa Sebun Him tiba-tiba saja muncul di arena? Akupun tidak memperhitungkannya."

   "Pocu, bagaimana kalau kampung Liong-coan kita ratakan saja dengan tanah untuk membalas kematian orang-orang kita?"

   Jiat-jiu Lokai tiba-tiba mengusulkan.

   "Meskipun di sana ada Sebun Him, tetapi kalau Pocu bersedia maju ke garis depan, kita tentu akan berhasil menggilas hancur mereka. Bhe Un-liang dan orang-orangnya itu bukan apa- apa bagi kita, tanpa Sebun Him mereka tak berdaya. Apalagi dalam satu dua hari ini Ang- pit Tojin dan regunya akan bergabung pula dengan kita."

   "Aku setuju!"

   Jiat-jiu Longkun Ho Hong langsung mendukung usul gurunya dengan sikap beringas.

   "Kampung keparat itu harus diberi pelajaran hebat seperti Liu-keh-chung, agar semua pihak tidak memandang rendah Hek-eng-po kita!"

   "Aku juga mendukung!"

   Teriak Ho Yu- yang sambil menggosok-gosok tinju kanannya dengan telapak tangan kiri.

   "Dalam beberapa bulan ini, Hek-eng-po tidak melakukan sesuatu yang menggemparkan sehingga kita mulai dianggap lembek. Sampai seorang bekas kacang Liu-keh-chung yang bernama Liu Beng, yang kini menjad orangnya Sebun Him, berani bertingkah dengan menempelkan ratusan lembar surat tantangan kepada kita di beberapa kota!"

   "Benar! Jadikan Liong-coan sebagai kuburan raksasa! Kita bunuh semua lelaki, kita perkosa semua wanita, bakar semua rumah!"

   Teriak Biau Ek-hong.

   "Setuju! Setuju!"

   Puluhan ora Hek-eng- po lainnyapun berteriak-teriak mendukung.

   Hanya dua orang yang tidak ikut berteriak-teriak, mereka adalah dua orang yang berdiri berdampingan di barisan belakang, bersembunyi di balik bayangan orang-orang Hek-eng-po lainnya.

   Kedua orang itu hanya bertukar pandangan dengan wajah menunjukkan kekuatiran, namun tidak berkata apa-apa, sebab belum saatnya.

   "Akan aku pertimbangkan usul kalian!"

   Kata Majikan Hek-eng-po mengatasi hiruk- pikuk. Ia tidak langsung menolak, supaya tidak mengecewakan anak buahnya yang tengah kerasukan setan-setan haus darah itu.

   "Akan aku pertimbangkan, tetapi kita punya banyak musuh di dunia persilatan. Karena itu, tiap tindakan kita harus diperhitungkan dengan cermat, jangan hanya menuruti nafsu amarah kita. Tujuan akhir kita adalah menang! Menang mutlak atas semua lawan-lawan kita di dunia persilatan, jangan perhatian kita terpecah hanya oleh urusan-urusan sepele seperti membakar atau memperkosa saja, itu hanya urusan sampingan!"

   Semuanya bungkam mendengarkan kata kata sang pemimpin. Beberapa orang menjadi kecewa, dan beberapa orang lagi masih ingin mendengarkan kelanjutan ucapan Majikan Hek-eng-po.

   "Langkah pertama yang akan kita lakukan terhadap kampung Liong-coan besok pagi adalah menangkap hidup-hidup Tong Gin- yan, anak laki-laki Ketua Hwe-liong pang!"

   Yang paling terkejut mendengar rencana itu adalah dua orang yang berdiri di barisan belakang tadi.

   Lagi-lagi mereka bertukar pandangan, tetapi tetap tidak berbicara.

   Yang satu menggelengkan kepala, yang lain mengerutkan alis.

   Gerakan mereka tidak terlihat oleh orang lain karena gelapnya malam, juga tempat berdiri mereka yang di belakang.

   Sementara itu terdengar Jiat-jiu Lokoai menyambut gembira.

   "Bagus! Tapi kenapa harus ditangkap hidup-hidup? Kenapa tidak langsung dicincang saja, lalu potongan- potongan tubuhnya dikirim ke Tiau-im-hong agar Tong Lam-hou mati karena merana?!"

   "Jangan menyimpang dari perintahku! Untuk sementara ini aku butuhkan dia hidup- hidup untuk...untuk..."

   Sesaat Maji'lkan Hek- eng-po ragu-ragu untuk menyebutkan alasannya.

   "Untuk suatu rencana yang masih aku rahasiakan. Tapi, tangkap Tong Gin-yan hidup- hidup kalau ia sedang terpisah dari lain- lainnya. Ini tugasmu, Ou Heng!"

   "Baiklah, Pocu."

   "Dan setelah rencanaku terlaksana, terserah akan kau apakan bocah itu, aku tidak ikut campur. Akan kau cincang, atau kau rebus atau kau goreng, semaumulah".

   "Baik, Pocu."

   "Sekarang, kalian kembali ke pos kalian masing-masing. Tetaplah awasi kampung Liong-coan baik-baik, tetapi jangan ada yang bertindak sendiri-sendiri di luar perintahku. Yang melanggar pesanku, akan aku letakkan kepalanya di sebelah utara.Liong-coan sementara kakinya di sebelah selatan dan tubuhnya di timur, tangannya di barat!"

   Ancaman itu menggidikkan tubuh orang-orang Hek-eng-po itu, mereka paham bahwa ancaman sang pemimpin itu bukan suatu kelakar saja.

   Orang-orang itupun bubar berpencaran, sedangkan Hek-eng Pocu dengan gerakan yang seperti asap berhembus, telah menghilang dari tempatnya berdiri tadi.

   "Tindakan Pocu kali ini boleh disebut tindakan paling jantan dalam tujuh bulan terakhir ini,"

   Kata Jiat-jiu Lokoai sambil berjalan berdampingan dengan muridnya, Ho Hong.

   "setelah beberapa bulan dia membingungkan kita dengan perintah- perintahnya yang tak dapat dimengerti."

   "Benar, Suhu. Dulu dia memerintahkan kita agar menyingkiri keluarga Sebun di Siam- sai, dan belasan hari yang lalu si banci Hoa Sek-liu membawa lagi perintah Pocu agar kita meyingkir dari jalan yang bakal dilalui si bocah geblek Liu Beng yang sudah menempel surat- surat tantangan kepada kita. Perintah-perintah Pocu itu benar-benar menggemaskan tetapi kita tidak bisa tidak harus mentaatinya."

   "Ya,kalau dipikir memang membuat kita bingung. Apa hebatnya Keluarga Sebun sehingga pihak kita harus selalu mengalah ditantang tanpa boleh membalas? Kenapa keluarga Sebun tidak boleh ditumpas saja seperti kita pernah menumpas Liu-keh-chung atau Pek-kiam-pai? Memang Keluarga Sebun lebih tangguh dari Liu-keh-chung atau Pek-kiam-pai, tetapi kalau pihak kita mau mengerahkan seluruh kekuatan, dalam waktu sehari semalam saja Keluarga Sebun akan jadi debu..."

   Sementara guru dan murid itu berbicara, di arah lain ada dua orang yang tengah berbicara pula, tetapi dengan bahan pembicaraan yang jauh berbeda dan dilakukan dengan berbisik-bisik pula.

   Merekalah dua orang yang tadi berdiri di barisan belakang orang-orang Hek-eng-po.

   "Kongcu Tong Gin-yan dalam bahaya,"

   Bisik salah seorang sambil menoleh kiri kanan, meyakinkan bahwa tidak ada yang ikut menguping pembicaraan mereka berdua.

   "Dia menjadi sasaran utama Hek-eng Pocu dalam gebrakan kali ini...."

   "Salah satu dari kita harus dapat menemuinya, dan memberinya peringatan agar waspada,"

   Sahut kawannya dengan berbisik pula.

   "Kau atau aku?"

   "Biar aku saja. Ilmu meringankan tubuhku lebih baik daripadamu sehingga lebih gampang menyusup ke Liong-coan."

   "Hati-hatilah, saudara Pang. Bukan saja kau harus bisa lolos dari pengawasan iblis-iblis Hek-eng-po, tapi juga harus dapat menembus penjagaan orang-ong kampung Liong-coan yang saat ini tentu melipat gandakan penjagaan di sekeliling desa."

   "Aku akan berhati-hati. Aku tidak ingin mengalami nasib seperti Pek-ki Hu-tong-cu (wakil pemimpin regu Bendera Putih) Lu Hian- to yang gugur sebelum sempat menyampaikan berita rahasia kepada Pangcu (Ketua). Bahkan kita sendiripun belum mengetahui berita apa yang berhasil didapatkannya."

   "Keparat benar Majikan Hek-eng-po itu. Selubung dirinya begitu rapat sehingga kita belum tahu siapa dia sebenarnya..."

   "Jangan terseret emosi, saudara Ko. Petugas-petugas macam kita ini, terbawa emosi sehingga kehilangan akal sehat merupakan pantangan besar. Yakinlah, suatu saat kelak kedok jahanam itu akan terlucuti. Kita amati saja terus."

   "Semoga jayalah Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api)."

   "Selamat bekerja, saudara Pang."

   Keduanyapun berpisahan, lalu bergabung dengan orang-orang Hek-eng-po lain yang mengawasi Liong-coan dari segala penjuru.

   Kalau orang-orang Hek-eng-po mengeluarkan kata-kata kotor bernada kebencian dan kemarahan, maka merekapun ikut mengucapkannya, supaya tidak kelihatan berbeda dari yang lain.

   Tapi pada suatu kesempatan, orang she Pang, Ui-ki Hu-tong-cu (wakil pemimpin regu Bendera Kuning) dari Hwe liog-pang yang berhasil menyusup masuk Hek-eng-po itu, memisahkan diri dari orang-orang Iainnya dengan alasan yang masuk akal.

   Lalu dengan gerakan seperti seekor kelinci liar yang amat lincah dan tanpa suara, dia mendekati kampung Liong-coan.

   Seandainya bertemu dengan orang- orang macam Jiat-jiu Lokoai, ia sudah siap dengan jawaban yang dapat menghilangkan kecurigaan.

   Kalau bertemu dengan orang- orang setingkat Biau Ek-hong atau Ho Yu-yang, ia akan mampu melepaskan diri, baik secara kekerasan maupun dengan cara melarikan diri.

   Orang-orang yang cuma setingkat Biau Ek-hong atau Ho Yu-yang tak pernah dianggapnya sebagai ancaman serius bagi Pang Hui-beng.

   Paling ia harus waspada terhadap Ho Hong, Jiat-jiu Lokoai, Ang pit Tojin, Hin-heng Lojin atau Hek-eng Pocu sendiri.

   Selain itu tak ada yang diseganinya.

   **OZ** BAGIAN DUA PULUH TUJUH Api berhasil diatasi, musuh berhasil dipukul mundur, namun awan kesedihan meliputi udara kampung Liong-coan karena mereka kehilangan tujuhbelas warga kampung yang gugur, setelah dengan gagah berani membela kampung halamannya.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Meskipun pihak penyerbu meninggalkan beberapa mayat pula, bahkan kehilangan Wan Po, Kongsun Gi dan Hau It-yau yang merupakan pentolan-pentolan mereka, tapi kematian warga kampung itu merupakan pukulan kesedihan seluruh Liong-coan, terutama keluarga mereka.

   Tong Gin-yan yang biasanya ceria dengan kelakar-kelakarnya yang tak habis- habis, kini dengan mata yang berkaca-kaca dan wajah murung memandangi puing-puing kebakaran serta mayat-mayat orang Liong- coan yang tengah ditangisi keluarganya itu.

   Berkali-kali ia menarik napas dengan hati pedih.

   Ketika Bhe Un-liang berdiri di dekatnya sambil menepuk pundaknya perlahan, Tong Gin-yan berkata.

   "Bhe Taihiap, kerugian jiwa dan harta benda sebesar ini adalah tanggung jawabku semua."

   "Lho, kenapa demikian?"

   "Kalau kemarin aku tidak mampir di kedai Liong-coan Siang-cui dan bertemu dengan iblis-iblis itu, tentu masyarakat Liong- coan tak akan mengalami malapetaka sehebat ini..."

   "Hiantit (keponakan), jangan terlalu menyalahkan diri dengan mengarang alasan yang mengada-ada. Apakah salah kalau seorang musafir yang kehausan di tengah jalan mampir di sebuah kedai minuman di pinggir jalan? Dan bukankah dalam peristiwa kemarin itu kau sudah berusaha menghindari iblis-iblis itu namun mereka tetap mengejarmu? Siapa bilang ini kesalahanmu? Di Liong-coan atau di manapun, iblis tetap iblis, dan selalu mencari kesempatan untuk berbuat merugikan orang lain. Hanya kali ini kebetulan Liong-coan lah yang menjadi arena kebiadaban mereka. Sama sekali bukan salahmu!"

   Tong Gin-yan menundukkan kepalanya.

   Terkejut mendengar kenyataan yang terjadi.

   Barangkali perasaannya akan leblh ringan kalau seluruh orang Liong-coan mengutuk dan mencaci-makinya.

   Tapi justru mereka bersikap begitu baik tanpa menyalahkannya, Tong Gin- yan semakin besar rasa bersalahnya.

   Tiba-tiba anak muda itu mengangkat wajahnya dengan muka merah-padam dan gigi gemerutuk dan tinju terkepal, ia menggeram.

   "Di manapun aku jumpai orang Hek-eng-po, akan aku tumpas mereka tanpa ampun! Ini sumpahku di hadapan arwah saudara- saudaraku penduduk Liong-coan yang gugur!"

   "Bagus, Hiantit, sikap yang bersemangat!"

   Terdengar suara dari belakang mereka.

   Mereka menoleh dan melihat Sebun Him melangkah perlahan dari kegelapan mendekat ke cahaya api nang belum padam benar.

   Pendekar dari Se-shia itu kelihatan berkeringat, beberapa daun dan rumput kering menempel di pakaiannya dan sepatunya kotor dengan tanah liat berwarna merah.

   "Sikap Hiantit yang bersemangat sejalan dengan sikap Keluarga Sebun yang selalu menentang Hek-eng-po."

   "Suheng, dari mana saja kau?"

   Tanya Bhe Un-liang.

   "Setelah kau membunuh Tiga siluman, kau menghilang beberapa jam seingga membuat kami mencemaskanmu."

   "Setelah aku habisi tiga bandit itu, aku memang sengaja memisahkan diri untuk nencari kalau-kalau Majikan Hek-eng-po ada pula di sekitar pertempuran, melumpuhkan ular harus meremukkan kepalanya dulu bukan?"

   "Betul, Suheng. Apakah kau ketemukan biang iblis itu?"

   "Emmm.... tidak."

   "Tapi kami mendengar pekikan seperti suara burung elang dari arah bukit tanah merah di luar kampung, dan orang-orang Hek- eng-po berbondong-bondong menuju ke tempat itu begitu mendengarnya. Masa Suheng tidak menjumpainya? Suheng dari bukit itu bukan?"

   Tanya Bhe Un-liang polos, sambil melirik sepatu Suhengnya yang berlepotan tanah merah itu.

   Sebun Him ternyata tidak bisa dengan lancar menjawab pertanyaan itu, sesaat ia hanya tertawa terputus-putus sambil menatap wajah Bhe Un-liang dan Tong Gin-yan berganti-ganti.

   "Oh, ya, memang....memang aku sampa ke bukit tanah merah itu, tapi hanya lewat saja di sebelahnya. Tapi aku tidak melihat siapa-siapa, mungkin karena malam terlalu gelap. Besok pagi biar aku dan Tong Hiantit memeriksa ke sana, barangkali masih akan sempat menjumpai majikan Hek-eng-po dan meringkusnya sekalian. Kau bersedia bukan? Tong Hiantit? "

   Masih dipengaruhi rasa bersalahnya kepada orang-orang Liong-coan, Tong Gin-yan menjawab tanpa ragu-ragu.

   "Tentu aku siap mengiringi paman. Kalau jejak Hek-eng Pocu diketemukan, ke dasar nerakapun akan aku kejar mereka terus!"

   "Sayangnya, jejak Hek-eng Pocu itu terlalu misterius, kita tidak boleh mengharap terlalu banyak untuk menemukannya. Kalau bisa membuat kontak dengan orang-orangnya Hwe-liong-pang yang menyusup di Hek-eng- po, tentu lebih bagus, lebih gampang mencapai sasaran!"

   Kata Sebun Him. Tong Gin-yan terkejut mendengar ucapan Sebun Him yang terakhir itu.

   "Dari mana paman tahu bahwa kami menyusupkan orang-orang ke dalam Hek-eng-po?"

   "Dari Liu Beng. Ia menjadi orang kepercayaanku sekarang, dan bersama dengan empat orang gadis yang menjadi kepercaanku pula, mereka juga sedang mencoba melacak jejak Majikan Puri Elang Hitam itu. Liu Beng pernah bercerita kepadaku bahwa ia pernah bertempur bertiga bersama Hiantit dan nona Pakkiong untuk melawan Majikan Hek-eng-po. Pada malam kematian salah seorang anggota Hwe-liong- pang yang agaknya dibunuh Majikan Hek-eng- po karena kedoknya terbongkar."

   "Oh, ya, memang pernah ada peristiwa macam ltu. Saat itu Pakkiong Eng juga titip pesan kepada Liu Beng agar paman berhati- hati, sebab Hek-eng-po mempunya sebuah sarang di kota Se-shia, tidak jauh dari rumah Paman."

   "Liu Beng sudah mengatakannya kepadaku. Tapi belum lagi sempat aku menyelidiki ke toko kain Hin-seng di Jala Pak- toa-kai, Se-hia, tahu-tahu toko itu sudah terbakar habis beserta seluruh penghuninya, sehingga lenyap pulalah jejak yang hendak aku selidiki."

   "Hah, toko itu sudah terbakar?!"

   Sebun Him menganggukkan kepala.

   "Ya. Kalau aku bertemu Majikan Hek-eng-po dan beradu ilmu silat, aku yakin dia bukannya sesosok iblis yang tak bisa dikalahkan. Tapi urusan main kucing-kucingan agaknya aku harus mengaku kalah. Agaknya pihak kita harus main kucing-kucingan pula untuk menemukan jejak musuh, dalam hal ini aku kalah selangkah dari ayahmu, Hiantit, yang lebih dulu berhasil menyusupkan orang- orangnya ke Hek-eng-po...."

   Dalam ucapan itu, secara halus tefkandung sindiran bahwa pihak Serikat Naga Api lebih pintar main kucing-kucingan dibadingkan pihak Keluarga Sebun yang berani menentang Hek-eng-po secara terang- terangan.

   Tong Gin-yan membela pihaknya dengan kata-kata halus pula.

   "Paman, seorang pemburu tahu bahwa kalau ingin menangkap seekor ular berbisa bertubuh kecil di padang rumput, tentu berbeda caranya degan usaha menangkap seekor babi hutan yang dari kejauhan saja sudah nampak gerakannya."

   Sebun Him tertawa mendengar bantahan itu."Anak pintar, baiklah, yang hendak kita tangkap ini memang seekor ular berbisa yang dengan licik menyusup ke mana- mana, bukan seekor celeng yang berjalan lurus.

   Kalau diperbolehkan, aku ingin ikut dalam perburuan yang diselenggarakan Ketua Hwe-liong-pang.

   Aku ingin tahu siapa saja yang telah kalian susupkan kepada Hek-eng- po, agar bisa bekerja-sama dengannya kelak, dan tidak salah membunuh karena mengira mereka sebagai orang-orang Hek-eng-po sungguhan!"

   Tong Gin-yan ragu-ragu, Sebun Him memang telah membuktikan permusuhannya terhadap Hek-eng-po dengan membunuh Wan Po bertiga, tapi dapatkah rahasia Hwe-liong- pang dipercayakan kepadanya? Sedang dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri yang mengetahuiya hanyalah sedikit orang, bukan semua anggota Hwe-liong-pang.

   "Menyesal sekali, paman, soal sepenting ini hanyalah ayah yang akan memutuskannya. Aku tidak berani melangkahi apa yang akan Ayah gariskan ."

   Alis Sebun Him berkerut.

   "Jadi kau tidak percaya kepadaku, Hiantit? Sedangkan ayahmu adalah sahabat baikku selama bertahun-tahun, meskipun di masa muda kami pernah selisih pendapat dalam banyak hal... Baiklah, aku tak bisa memaksa."

   Jelas Sebun Him mendongkol karena tidak mendapat apa yang dimauinya, tetapi jelas ia tidak berani terlalu mendesak Tong Gin-yan.

   Kuatir kalau Tong Gin-yan malah mencurigainya.

   Praktis semalaman suntuk orang-orang Liong-coan tidak tidur sekejappun.

   Ketika api padam sama sekali, orang-orang yang tewas dan luka-luka selesai diangkut ke rumah Bhe Un-liang untuk dirawat, maka mataharipun sudah muncul di sebelah timur.

   Sebuah hari baru terbit.

   Meskipun matahari begitu cemerlang, namun itulah hari yang muram bagi masyarakat di Liong-coan, setelah kejadian dahsyat semalam.

   Atas keputusan Bhe Un-liang yang disetujui semua orang, mayat-mayat akan dikuburkan hari itu juga,direncanakan sebuah arak-arakan kehormatan seperti melepas pahlawan-pahlawan ke peristirahatan terakhir.

   Bagaimanapun juga, orang-orang yang gugur itu adalah pahlawan bagi kampung Liong-coan.

   Di hadapan orang banyak, Sebun Him memukau orang dengan peragaan kedermawanan yang tidak tanggung-tanggung.

   Dari kantongnya dikeluarkan lembaran- lembaran kertas berharga bercap bank Tin-wan di Pak-khia.

   Setiap bangunan yang rusak disumbangnya duaratus tahil emas, dan setiap keluarga yang kehilangan anggota keluarga yang gugur mendapat tigaratus tahil emas.

   Maka terpesonalah orang-orang kepadanya.

   Di pemakaman, Sebun Him berpidato.

   Begitu membakar dan memikat setiap pendengarnya, sehingga perlahan-lahan bayangan Sebun Him mulai menutup sosok Bhe Un-liang yang sudah tigapuluh tahun lebih menjadi pemimpin masyarakat Liong-coan.

   Sepanjang jalan di Liong-coan, orang tak henti-hentinya memuji Sebun Him yang sangat dermawan juga sakti sekali, jauh lebih sakti dari Bhe Un-liang.

   Buat Bhe Un-liang sendiri, tidak jadi soal perhatian rakyat bergeser dari dirinya ke diri Suhengnya, ia menganggap Suhengnya memang pantas mendapat kehor'lmatan itu.

   Ia tidak iri.

   Malah berterima kasih karena Suhengnya menguras dompetnya sendiri untuk meringankan musibah yang menimpa Liong- coan.

   Setelah orang-orang Liong-coan yang gugur diuruk tanah, orangpun berbondong- bondong meninggalkan kuburan.

   Regu-regu yang bertugas jaga segera menempati posnya masing-masing, berusaha menimbulkan rasa aman di hati rakyat, agar kegiatan sehari-hari berjalan terus.

   Ketika Tong Gin-yan hendak meninggalkan kuburan itu bersama orang- orang lain, tiba-tiba matanya menangkap suatu isyarat bisu.

   Di sebuah bong-pai (batu nisan), tanpa menarik perhatian orang lain, terletaklah dua potong ranting kering masing-masing sejengkal, diletakkan bersilangan dan sebuah batu di sudutnya.

   Itulah isyarat dari orang Hwe-liong-pang.

   Cepat ia melangkah dengan gaya wajar, ke arah batu di ujung salib itu.

   Di dekat sebuah persimpangan, kembali dilihatnya tanda serupa di kaki sebuah pohon.

   Cepat Tong Gin-yan menyapu tanda itu dengan kakinya, lalu menuju ke satu arah di luar kampung Liong- coan.

   Beberapa kali ia berpapasan dengan kelompok-kelompok orang lelaki Liong-coan yang membawa senjata semua.

   Ada yang menyapa dengan ramah, ada yang bersikap dingin karena menganggap peristiwa buruk itu adalah gara-gara tamu-tamu muda di rumah Bhe kausu itu.

   Tong Gin-yan tidak mnggubris sikap mereka, toh ia tidak akan tinggal seterusnya di Liong-coan, dan mengharap di kemudian hari mereka bisa melindungi diri sendiri.

   Ia berjalan sampai di sebuah ladang yang sunyi, penuh jerami bertebaran, dan tanda-tanda rahasia itu berhenti sampai di situ.

   Tapi ia tidak melihat seorangpun.

   Tengah celingukan, tiba-tiba terdengar suara.

   "Ui-ki Hutongcu Pang Hui-beng mengucapkan salam kepada Tong Kongcu."

   Suara itu tidak dari mana-mana, tetapi hanya dari dalam tanah, tepat di depan kaki Tong Gin-yan.

   Ketika Tong Gin-yan menyentuhkan ujung kakinya ke permukaan tanah asal suara itu, tanah di situ lebih subur,kepadatannya kurang dibanding dengan permukaan tanah di sekitarnya.

   Sebuah bumbung bambu kecil mencuat setengah jengkal dari permukaan tanah, sebagai pipa udara.

   Tapi bambu itu tersamar oleh jerami yang berserakan.

   Putera Ketua Hwe-liong-pang itu tersenyum sendiri.

   Ia kenal Ui-ki Hutongcu Pang Hui-beng yang julukannya Te-ci-cu (si tikus tanah) karena keahliannya meggangsir dan menyembunyikan diri dalam tanah sampai tak terlihat sama sekali.

   Suatu keahlian yang entah bagaimana cara melatihnya.

   Maka Tong Gin-yan pun duduk di sebuah batu dekat situ, serta bertanya perlahan.

   "Saudara Pang, enak tidur disitu?"

   Suara tertawa dari dalam tanah terdengar.

   "Lumayan juga, tapi tanah di bagian ini agaknya sering dikencingi orang-orang Liong-coan, baunya boleh juga..."

   "Kenapa saudara pilih tempat ini? Apakah tidak ingin keluar saja?"

   "Tidak bisa, setidak-tldaknya sampai hari menjadi gelap nanti barulah aku bisa meninggalkan tempat ini tanpa diketahui. Kalau keluar sekarang dan dilihat orang-orang Liong-coan yang tengah gila perang, aku akan dikeroyok mereka. Masyarakat sini akan mendapat tontonan bangkai tikus tanah terbesar di dunia..."

   Kembali Tong Gin-yan tersenyum.

   "Baiklah, kau memasang tanda-tanda rahasia, apakah yang ingin kau katakan?"

   "Langsung dan singkat saja, Kongcu. Kau diincar untuk ditangkap hidup-hidup oleh Majikan Hek-eng-po. Hati-hatilah..."

   "Baik. Hanya itu?"

   "Ya, hanya itu."

   "Bagaimana orang-orang kita yang menyusup?"

   "Baik semuanya. Kecuali saudara Lu Hian-to yang dua bulan lalu terbuka kedoknya, malang sekali. Sekarang si iblis Hek-eng-po semakin tajam mengawasi anak buahnya sendiri, dia rupanya merasa kalau banyak anakbuanya yang gadungan..."

   "Kalau begitu, hati-hatilah juga, saudara Pang. Juga untuk saudara-saudara Ko, Thio, Han dan Ji, harus hati-hati semua..."

   "Terima kasih atas perhatian Kongcu."

   Kata suara dari dalam tanah itu.

   "Akupun berterima kasih untuk peringatanmu."

   "Nah, cepat tinggalkan tempat ini, Kongcu. Jangan sampai ada orang melihat Kongcu bercakap-cakap dengan tanah sehingga mengira Kongcu sudah gila..."

   "Aku pergi, saudara Pang."

   Tong Gin- yan lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu.

   Sambil berjalan, ia berpikir alangkah besar gunanya kalau bisa mempelajari tehnik mengubur diri dalam tanah seperti Pang Hui- beng.

   Mungkin berguna untuk menguping pembicaraan musuh.

   Tiba di rumah Bhe kausu yang penuh orang luka-luka bergeletakan di mana-mana.

   Sebun Him sudah menunggunya dengan pakaian ringkas dan pedang besarnya yang menyilang punggung.

   "Hiantit, hampir saja aku menduga kau sudah diculik Majikan Hek-eng-po."

   "Aku hanya berkeliling sebentar untuk melihat situasi Paman. Apakah paman sudah siap berangkat?"

   "Seperti yang kau lihat, tinggal menunggu Hiantit saja."

   Cepat Tong Gin-yan ke kamarnya untuk berganti dengan pakaian yang ringkas, menggendong pedangnya dipunggung, lalu melangkah keluar.

   Terngiang akan peringatan Pang Hui-beng bahwa Majikan Hek-eng-po ingin menculiknya, tapi ia tidak gentar.

   Lagipula toh ia akan pergi bersama dengan Sebun Him yang konon ditakuti oleh Majikan Hek-eng-po sendiri, jadi cukup amanlah.

   Di pintu tengah, ia berpapasan dengan Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong yang tengah hilir-mudik membawa mangkuk- mangkuk obat.

   Melihat Tong Gin-yan dalam pakaian ringkas, Pakkiong Eng bertanya.

   "Hendak ke mana?"

   "Memeriksa bukit tanah merah, semalam suara pekikan elang isyarat Hek-eng- po terdengar dari sana,"

   Sahut Tong Gin-yan. Wajah Pakkiong Eng seketika berubah menampilkan kecemasannya. Tiba-tiba ia berkata.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tunggu sebentar, aku ikut."

   "Tidak usah. Jangan cemas, sebab aku pergi bersama Paman Sebun Him."

   Mendengar itu, barulah Pakkiong Eng agak lega.

   Tak lama kemudian nampak Sebun Him dan Tong Gin-yan tegap melangkah menuju ke luar desa.

   Kepada orang-orang yang berpapasan, mereka terang-terangan mengatakan akan memeriksa jejak musuh di bukit galian tanah liat itu, membuat orang- orang Liong-coan kagum akan keberanian mereka.

   Tiba di bukit itu, mereka hanya menemukan jejak kaki banyak orang.

   Dari arah Liong-coan, berkumpul menjadi kumpulan jejak simpang siur, lalu berpencaran kembali ke arah berbeda-beda.

   "Di sini semalam mereka berkumpul,"

   Kata Tong Gin-yan sambil membungkuk- bungkuk memeriksa tanah. Dalam hatinya ia heran kenapa semalam Sebun Him mengatakan tidak melihat atau mendengar apa-apa. Hanya saja keheranannya itu belum sampai menjurus menjadi suatu prasangka buruk.

   "Kita berpencaran, Hiantit,"

   Kata Sebun Him tiba-tiba.

   "Kita kelilingi bukit ini dari-dua arah sehingga kita akan bertemu di balik bukit. Kalau menemui sesuatu bahaya, segeralah bersuit untuk saling memanggil."

   Tong Gin-yan memang bernyali besar mirip ayahnya, juga tidak punya prasangka buruk apapun terhadap Sebun Him, sehingga diapun mengangguk mengiakan.

   Keduanyapun berpencaran.

   Ketika Tong Gin-yan tiba di sebelah utara bukit, dia segera menemukan sesuatu.

   Bukan cuma jejak, tapi langsung manusianya.

   Ketika mendengar suara langkah di belakangnya, dengan sigap ia memutar tubuhnya, dan berdesirlah hatinya melihat yang muncul itu adalah Jiat-jiu Lokoai.

   "He-he, bocah bernyali besar, kita bertemu lagi,"

   Jiat-jiu Lokoai menyeringai penuh ancaman sambil melangkah mendekati.

   "Kali ini aku sungguh tidak ingin menyia- nyiakan pertemuan ini, akan aku berikan dirimu sebagai oleh-oleh untuk Hek-eng-Pocu!"

   Tong Gin-yan sadar bahwa ilmu siluman tua itu beberapa tingkat di atasnya.

   Tidak mungkin dilawannya seorang diri, maka iapun memasukkan jari-jarinya ke dalam mulut dan bersuit keras, dengan keyakunan isyaratnya akan terdengar sampai seberang bukit, lalu ia menghunus pedngnya untuk bersuap-siap.

   bukan ingin menyerang, hanya bermaksud bertahan mengulur waktu selama mungkin.

   Jiat-jiu Lokoai tertawa mengejek melihat gerak-gerik calon korbannya itu.

   "He-he-he...bersuit-suit segala, memanggil siapa? Memanggil Sebun Him untuk membantu memperpanjang nyawamu? Jangan harap, saat ini nyawa Sebun Him sendiri barangkali sudah direnggut oleh Hek-eng Pocu...."

   Kagetlah Tong Gin-yan mendengar itu, merasa dirinya dan Sebun Him agaknya sudah masuk perangkap.

   Timbul penyesalan bahwa ia kurang memperhatikan peringatan Pang Hui- beng tadi.

   Kini dengan nekad ia menerjang dengan gerak Ya-long-tiau-kan (serigala liar melompati parit).

   Ujung pedangnya gemerlapan melengkung membuat gerak seolah hendak membabat leher, namun tiba-tiba berputar rendah dan menyabet ke pinggang.

   Tidak tanggung-tanggung serangannya, tangan kirinyapun menghantam dengan ilmu pukulan Hian-im-kang yang pancaran hawa dinginnya sanggup mengubah semangkuk arak panas langsung membeku menjadi gumpalan es.

   Biarpun tahu ilmunya lebih tinggi, Jiat- jiu Lokoai tidak berani memandang terlalu enteng kepada putera Ketua Hwe-liong-pang itu.

   Ia melompat mundur selangkah menghindari ujung pedang, sementara hawa dingin Hian-im-kang yang menyergapnya hanyalah dapat membuatnya berbangkis satu kali.

   Namun setelah itu liapun menerjang ke depan dan melancarkan cengkeraman beruntun ke segala sasaran di tubuh Tong Gin- yan.

   Cahaya pedang maupun udara dingin Tong Gin-yan tak mampu membendung terjanganya yang garang itu.

   Tong Gin-yan mengerahkan segala jurus dan ilmunya hanya untuk bertahan, itupun masih saja terdesak oleh si iblis tua.

   Pikirannya juga bercabang memikirkan Sebun Him yang tak membalas isyaratnya itu.

   Apakah Paman Sebun Him itu juga sudah terperangkap musuh dan mengalami musibah? Dalam meningkatkan perlawanannya, Tong Gin-yan tiba-tiba mengeluarkan pula lmu tendangannya yang disebut Pek-pian-lian- hoan-tui (tendangan beruntun dengan seratus pergantian).

   Sepasang kakinya dengan kelenturan otot yang terlatih, sanggup nenyerang lurus, melengkung atau berputar bergantian, dengan sasaran seluruh tubuh lawan dari kepala sampai ujung kaki, terutama bagian-bagian yang menjadi persendian tulang.

   Memang ia dapat bertahan puluhan jurus, namun kemenangan terakhir tetap saja sudah pasti di tangan Jiat-jiu Lokoai.

   Sepasang tangan mautnya yang terkenal itu seakan tumbuh berpuluh-puluh pasang yang menghantam dan mencakar dari segal jurusan.

   Tong Gin-yan tak sepenuhnya berhasil membentengi diri.

   Pada suatu saat, ketika anak muda itu tengah menusukkan pedang dengan pundak agak condong ke depan, Jiat-jiu Lokoai selicin belut telah berkelit miring sambil memperpendek jarak, cengkeramannya bergerak secepat kepala ular kobra dan tahu- tahu berhasil mencengkeram pergelangan tangan lawannya, langsung hendak ditarik dan ditekuk untuk melumpuhkan.

   Tong Gin-yan terseret, tapi dengan nekad ia menggerakkan tangan kiri menjotos rahang dan kaki kiri menendang lutut, dua serangan sekaligus.

   "Jangan nakal, anak manis,"

   Geram Jiat- jiu Lokoai.

   Ia menyeret dan memutar tangan Tong Gin-yan ke samping, berbareng jari-jari tangan kirinya menotok jalan darah di pinggang lawannya, membuat lawannya langsung terkulai lemas dan berakhirlah perlawanannya.

   Tubuh Tong Gin-yan yang seperti boneka kain besar yang belum diisi kapuk itupun segera dipanggul di pundak Jiat-jiu Lokoai, kepala di belakang dan kaki di depan.

   Biarpun lemas tapi Tong Gin-yan tetap sadar, ia mendengar su iblis tua mengeluarkan pekikan seperti burung elang, lalu di kejauhan terdengar jawabaan suara yang sama.

   Selanjutnya dengan langkah secepat terbang, ia membawa tubuh Tong Gin-yan ke suatu arah.

   Diam-diam Tong Gin-yan kagum juga melihat orang setua ini masih memiliki kekuatan dan ketangkasan yang jauh di atas kebanyakan orang.

   Tong Gin-yan dibawa berlari cukup jauh.

   Tanpa diberitahupun ia tahu bahwa pihak Hek-eng-po menangkapnya hidup-hidup tentu hendak dipergunakan untuk menekan Hwe-liong-pang.

   Diam-diam ia menyesal bahwa kecerobohannya membuat rencana besar dan rapi Hwe-liong-pang untuk menghancurkan Hek-eng po akan terancam berantakan.

   Terasa Jiat-jiu Lokoai melambatkan langkah.

   Tong Gin-yan membuka matanya tapi cuma bisa melihat banyak orang dengan separuh tubuh saja, pinggang ke bawah, sebab letak kepalanya yang berdekatan dengan pantat Jiat-jiu Lokoai.

   Matanya sudah berusaha melirik melihat wajah orang-orang itu, namun hasilnya hanyalah rasa pegal di sudut matanya.

   "Pocu sudah datang?"

   Terdengar suara Jiat-jiu Lokoai bertanya kepada seseorang. Seorang kakek bertubuh kurus-kecil dengan jenggot serabutan menjawab.

   "Sudah, saudara Ou. Kau rupanya berhasil menangkap anak macan dari Tiau-im-hong ini?"

   "Ha-ha, kenapa tidak? Anak macan ini di hadapanku menjadi sejinak anak kucing yang manis. Kau sendiri bagaimana? Apakah jejak Sebun Him diketemukan?"

   "Aku melihatnya berlari-lari dekat bukit tanah liat itu, dan aku berusaha mencegatnya. Tapi ia menghilang seperti hantu, lalu tiba-tiba aku dengar isyarat panggilan Pocu untuk berkumpul di tempat ini."

   Tong Gin-yan tekejut mendengar ada orang yang memanggil Jiat-jiu Lokoai degan sebutan "saudara Ou", menandakan kedudukan yang sederajat.

   Ia merasa sayang bahwa dirinya tidak bisa memperhatikan orang itu, sebab pandangannya terhalang oleh punggung penangkapnya.

   Tak lama kemudian, setelah diserahan kepada beberapa orang anggota Hek-eng-po, Tong Gin-yan diikat dengan tali kulit pada kaki dan tangannya, dan dijebloskan ke sebuah ruangan batu berlantai tanah yang gelap menyesakkan napas.

   Namun lama kelamaan matanya terbiasa juga dalam kegelapan dan bisa melihat segala sesuatunya dengan remang-remang.

   Tak lama kemudian, seberkas cahaya menerobos masuk ketika pintu ruangan itu dibuka dengan suara berkeriutan.

   Tapi mata Tong Gin-yan terasa silau menatap cahaya dari pintu, sehingga hanya memalingkan muka.

   Tapi ia tahu ada sesosok tubuh tinggi tegap melangkah masuk ke dalam ruangan itu sebelum pintu ditutupkan kembali.

   Sosok tubuh itu hanyala seperti segumpal bayangan hitam yang memancarkan hawa pembunuhan dan ancaman yang belum pernah dirasakan Tong Gin-yan dari musuh yang manapun juga.

   Pintu ditutup lagi, dan ia berdua bersama si gumpalan hawa mengerikan itu dalam ruangan batu.

   Orang itu melangkah mendekat sampai Tong Gin-yan merasakan hidungnya bergeser- geser dengan jubah bagian bawah dari orang itu.

   Hidungnya mencium semacam bau kain celupan yang khas, campur bau keringat dan bau tanah liat dari sepatu orang itu.

   "Nah, Tong Gin-yan, tidak perlu bertele- tele lagi,"

   Suara orang itu bergulung-gulung dalam perut dan memantul-mantul di dinding ruangan, seperti suara hantu tetapi hantu yang sedang pilek.

   "Anak muda, kita bicara langsung saja. Selama ini pihak Hek-eng-po tidak pernah mengutik-utik Hwe-liong-pang. Bahkan kalau anak buahku sedang berada di wilayah Se- cuan, aku perintahkan untuk bersikap sopan menghormati Hwe-liong-pang dan bendera- bendera kecil yang menjadi lambang kalian, tapi kenapa Hwe-liong-pang sebaliknya tidak bersikap bersahabat dengan kami, dengan menyusupkan banyak orang-orangnya ke dalam Hek-eng-po?"

   "Memang benar. Kalau di wilayah Se- cuan, kalian kentutpun tidak berani keras- keras karena takut kepada kami. Tetapi bagaimana kalau di luar wilayah Se-cuan?"

   "Bagaimana tindakan kami di luar Se- cuan, tidak ada hubungannya dengan Hwe- liong-pang, kami punya tujuan dan sasaran sendiri, kenapa setiap kali Hwe-liong-pang menjegal kami?"

   "Hem, selama kalian membantai orang tak bersalah dengan semena-mena, selama itu pula kami akan selalu menjegal kalian, bahkan menghancurkan kalian. Kalian kira bisa menjinakkan kami untuk tidak mengacuhkan kebiadaban kalian hanya dengan sikap pura- pura menghormati kami? Kalian keliru besar!"

   Geram kemarahan yang menggidikkan bulu tengkuk terdengar di ruangan itu. Sebuah tangan tiba-tiba terjulur dari kegelapan dan mencengkeram dada Tong Gin-yan disertai geraman.

   "Kalau begitu, Ketua Hwe-liong-pang akan segera mendapat kiriman dari kami berupa bagian-bagian tubuhmu yang terpotong-potong. Kecuali kalau ia menarik semua orang-orangnya yang menyusupi Hek- eng-po dan menghentikan gangguannya terhadap kami!"

   Mendengar itu, Tong Gin-yan merasa sedikit seram, tetapi lebih banyak rasa leganya.

   Ucapan itu menandakan bahwa Hek- eng Pocu belum tahu siapa saja diantara anak buahnya yang merupakan orang selundupan dari Hwe-liong-pang..

   Kalau sudah tahu tentu tidak akan susah-susah menangkap Tong Gin- yan, melainkan langung bertindak seperti terhadap Pek-ki Hu-tong-cu Lu Hian-to yang mati di panguan Tong Gin-yan dulu.

   Mendadak muncul gagasan Tong Gin- yan untuk menggelisahkan dan menanam saling curiga antara Hek-eng Pocu dengan anak buahnya sendiri.

   Katanya.

   "Pocu, kau pikir setelah Hwe-liong-pang menarik orang- orang yang menyusup, lalu kalian bebas dari musuh dalam selimut? Jangan bermimpi. Tujuh dari sepuluh anak buahmu adalah penyusup, bukan saja dari Hwe-liong-pang tetapi dari pihak-pihak lain yang tidak senang kepada tingkah laku kalian yang biadab. Semuanya siap untuk melucuti kedokmu dan menghancurkanmu di suatu hari kelak!"

   Jantung Hek-eng Pocu berdenyut keras, ucapan itu biarpun benar-tidaknya belum terbukti, namun suatu hal yang masuk akal.

   Pihak Hek-eng-po gemar menyusupkan orang ke pihak lain dan menteror dari dalam, maka bukan mustahil kalau pihak lainpun bertindak serupa kepada Hek-eng-po.

   Cengkeraman tangan Hek-eng-po di dada Tong Gin-yan semakin kuat, sehingga anak muda itu merasa sulit bernapas.

   **OZ** Bersambung ke

   Jilid 25 TEROR ELANG HITAM Karya.STEVANUS, S.P.

   Jilid 25

   "Pihak mana saja yang menyusupkan mata-mata ke pihakku? Lekas katakan, atau kuhancurkan tulang-tulangmu!"

   Dengan susah-payah Tong Gin-yan berusaha bernapas, lalu menjawab.

   "Mana aku tahu? Aku hanya pernah mendengar Ayah berunding dengan Pun-bu Hweshio dari Siau- lim-si dan Ciangkun Pakkiong Liong dari Pak- khia, mereka sepakat bahwa Hek-eng-po adalah ancaman bencana yang harus dimusnahkan. Lalu mereka mengatur rencana bersama untuk merusak Hek-eng-po dari dalam. Lalu...."

   Biarpun dengan megap-megap napasnya, ia lalu mengarang kisah bohong untuk menakut-nakuti Hek-eng Pocu.

   Cengkeraman di dadanya semakin kuat bahkan ujung jari-jari Hek-eng Pocu yang sebesar pisang itu mulai menyentuh-nyentuh kulit leher Tong Gin-yan.

   Agaknya si maha durjana dunia persilatan itu mulai tergoda untuk meremukkan leher Tong Gin-yan, tapi masih berusaha menahan diri.

   Tapi Tong Gin-yan terus bercerita menyerocos tanpa peduli mati-hidupnya sendiri.

   Sambil dalam hati mengucapkan selamat tinggal kepada ayahnya, ibunya, kekasihnya, dan sahabat-sahabat lainnya.

   Tapi tiba-tiba Hek-eng Pocu malah melepaskan cengkeramannya, dan bertanya.

   "Kau bilang Tong Lam-hou berunding dengan Pun-bu Hweshio,Pakkiong Liong, lalu siapa lagi?"

   Berbohong tidak boleh tanggung- tanggung, pikir Tong Gin-yan. Maka diapun menjawab dengan bersemangat.

   "Ya, perundingan itu juga dihadiri Te-sin Tojin dari Bu-tong-pai, Kim-wan Hweshio dari Go-bi-pai, Sebun Taihiap dari Se-shia... Baru saja ia menyebut nama Sebun Taihiap, tiba-tiba Majikan Hek-eng-po itu tertawa bergelak-gelak dan berkata.

   "Kau pembual besar, setan kecil! Tidak pernah ada perundingan antara orang-orang itu! Tidak pernah ada!"

   Tong Gin-yan tercengang heran, bagaimana Hek-eng Pocu mendadak mengetahui kebohongannya dengan ucapan bantahan yang bernada begitu pasti? Apakah ada ucapannya yang keliru? Tapi ia tidak mau menyerah.

   "He, bagaimana kau berani membantah hal yang benar-benar terjadi? Kau tentunya hanya membantah sembarangan untuk menenteramkan dirimu sendiri bukan?"

   Hek-eng Pocu bagaikan disengat kalajengking mendengar pertanyaan itu.

   Sadarlah dia bahwa ucapannya tadi hampir saja membuka kedoknya sendiri.

   Dalam satu detik kemarahan menguasai dirinya, cengkeraman tangannya tiba-tiba meluncur ke ubun-ubun Tong Gin-yan dan siap menghancurkannya.

   Tapi tiba-tiba ia membelokkan serangannya ke dinding batu di samping kepala Tong Gin-yan bersandar.

   Anak muda itu merasakan remukan batu muncrat mengenai pipinya dan menimbulkan rasa pedih di kulit.

   Tanpa menoleh pun dia tahu bahwa jari-jari sekuat baja itu tentu menancap di dinding batu.

   Ia merasa dalam sedetik arwahnya sudah sampai di depan meja pendaftaran Giam-lo-ong (raja akherat) namun kembali lagi bersarang di raga kasarnya.

   Tetapi dengan nyali yang besar dia menggertak.

   "Kenapa tidak jadi menghancurkan kan kepalaku? Takut pembalasan ayahku yang lebih sakti daripadamu?"

   "Aku tidak ingin memusuhi ayahmu kalau dia tldak menghalangi langkah- langkahku,"

   Sahut Hek-eng Pocu sambil menahan kemarahannya, serta berusaha agar setiap patah-katanya diwarnai akal sehatnya.

   "Aku juga enggan bermusuhan dengan Sebun Him, biarpun orang Se-shia itu terus-terusan gembar-gembor menentang aku."

   Dengan kalimat terakhirnya itu, Hek- eng Pocu berusaha menanamkan gambaran dalam otak Tong Gin-yan, bahwa dirinya dan Sebun Him adalah dua orang terpisah yang berdiri berseberangan, bahkan membenci satu- sama lain.

   Tapi kata-kata itu justru menimbulkan kecurigaan Tong Gin-yan, kenapa tanpa ditanya Hek-eng Pocu menyebut-nyebut Sebun Him? Tapi ia tidak berani sok pintar, sebab begitu ia mengutarakan kecurigaannya maka detik berikutnya tentu kepalanya akan diremuk oleh Hek-eng Pocu.

   Ia pura-pura mempercayai kata-kata Hek-eng Pocu itu, meskipun dengan nada mengejek.

   "Kau juga takut kepada Paman Sebun, sehingga tidak segan-segan membuat posmu sendiri di kota Se-shia, begitu bukan?"

   "Tidak usah lagi bicara tentang Sebun Him. Sekarang sebutkan saja nama orang- orang Hwe-liong-pang yang menyusup ke pihakku. Aku berjanji hanya akan mengusir mereka tanpa mencederai seujung rambutpun. Kau juga akan kulepaskan, sebab aku belum ada waktu untuk menjajal kekuatan Ketua Hwe-liong-pang...."

   "Belum ada waktu, atau belum ada nyali?"

   "Jaga mulutmu, anjing kecil. Sekarang sebutkan nama orang-orangmu yang menyusup itu!"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tidak tahu. Dulu ayahku yang menugaskan mereka dan hanya ayahku saja yang mengetahuinya..."

   "Bohong! Kau pasti tahu. Kalau tidak, bagaimana kau bisa mengetahui gerak-gerik anak buahku hampir seluruhnya? Kami mengincar Liong-coan, lalu kaupun muncul di Liong-coan, bukankah itu namanya sengaja menantang kami, dan juga membuktikan bahwa.kau diberitahu oleh mata-matamu?!"

   Mendengar itu, pahamlah Tong Gin-yan bahwa orang Hek-eng-po mendadak berbondong- bondong menggerebek kampung Liong-coan itu bukan sekedar memburu dirinya tetapi punya maksud tertentu entah apa? Tong Gin- yan tiba di Liong-coan hanya kebetulan lewat saja, namun pihak Hek-eng-po mengira sengaja untuk merintangi rencana mereka.

   Di samping heran, dia juga berkurang rasa bersalahnya terhadap orang-orang Liong- coan yang terbunuh.

   Ia bungkam sambil memutar otak, sementara Hek-eng Pocu terus mendesak.

   "Cepat katakan sebelum kesabaranku habis. Aku enggan bermusuhan dengan Hwe-liong- pang bukan karena takut, karena itu kalau kau menjengkelkan aku, aku tidak segan-segan mencincangmu dengan menanggung resiko perang terbuka dengan Hwe-liong-pang!"

   Tong Gin-yan mengunci mulutnya rapat-rapat.

   Ia berharap agar Hek-eng Pocu menjadi jengkel dan gelisah, sehingga mengucapkan beberapa patah kata tak terkendali yang bisa dijadikan petunjuk untuk menyingkap kedoknya.

   Pemimpin Hek-eng-po itu memang jengkel, tapi ternyata cukup kuat mengendalikan mulutnya.

   Tangannyalah yang kemudian bergerak memukul pipi Tong Gin-yan sehingga kepala anak muda itu terombang- ambing ke kiri dan kanan.

   Tong Gin-yan merasa seolah dipukuli dengan batu padas, membuat kulitnya panas dan pedih, matanya berkunang-kunang.

   Hanya dengan susah payah saja dia dapat menjaga kesadarannya.

   "Bicaralah, bangsat! Bicaralah, supaya tidak kuhancurkan kepalamu!"

   Dengan kepala pusing, Tong Gin-yan menjawab.

   "Tidak tahu! Bukan hanya Hwe- liong-pang yang ingin menghancurkan kalian, tapi juga keluarga Sebun. Tentu keluarga Sebun juga sudah memasang orang-orangnya dalam Hek-eng-po..."

   Terpengaruh oleh kemarahannya, Hek- eng Pocu terpancing dan membentak.

   "Omong kosong! Keluarga Sebun tidak mungkin..."

   Bicara sampai di situ mendadak ia sadar sudah terpancing lagi , lalu buru-buru membelokkan kata-katanya.

   "Keluarga Sebun menantang kami terang-terangan, tidak dengan menyusupkan mata-mata seperti Hwe-liong- pang yang licik!"

   Biarpun wajahnya sakit semua dan kepalanya pusing, Tong Gin-yan agak puas karena berhasil menyingkap sedikit lagi kedok Hek-eng Pocu lewat kata-katanya tadi.

   Namun ia sekaligus juga merasa sedih kalau dugaannya ternyata benar.

   Seorang pendekar terhormat sahabat karib ayahnya, akan jatuh karena kedoknya terlucuti.

   Rasanya seperti mimpi, tapi nyatanya bukan mimpi.

   "Katakan! Katakan!"

   Hek-eng Pocu semakin meluap-luap dan menambah tiga tamparan lagi yang membuat beberapa buah gigi Tong Gin-yan goyah.

   Anak muda itu merasa sangat sedih dalam hati karena dugaannya sendiri.

   Tapi kesedihannya tak mempengaruhi akalnya.

   Ia pura-pura berkelejet sedikit dan membuat kepalanya terkulai ke pundak, berlagak pingsan.

   Hek-eng Pocu dengan gemas meremas tangannya sendiri.

   Tapi sisa-sisa akal sehatnya mengingatkan dia tidak boleh menghadapi Tong Gin-yan yang cerdik itu dengan kemarahan.

   Dalam kemarahan, kata-katanya terlontar tak terkendali dan sedikit demi sedikit bisa membuka kedoknya sendiri.

   Tujuannya memancing keterangan dari Tong Gin-yan belum ada kemajuan sedikitpun, malah hampir saja kedoknya sendiri terbongkar.

   Diapun meninggalkan ruangan itu, dan berharap pada kesempatan berikutnya akan menghadapi Tong Gin-yan dengan kepala yang lebih dingin.

   "Kalau nanti kelihatannya bocah itu bisa menebak siapa diriku, aku tidak boleh ragu- ragu membunuhnya,"

   Demikian pikirnya.

   "Sehingga apa yang diketahuinya tentang diriku itu hanya akan bisa dilaporkannya kepada setan-setan neraka..."

   Entah berapa lama Tong Gin-yan dibiarkan tanpa mendapat makanan dan minum, sementara tangan dan kakinya yang terikat tali kulit itu mulai terasa sakit.

   Sekali ia berteriak-teriak minta minum dan tak ada yang menggubrisnya, malah teriakannya membuatnya semakin haus dan ia berhenti dengan sendirinya.

   Untuk mengalihkan rasa lapar dan haus, diapun berlatih pernapasan.

   Entah berapa lama, pintu dibuka lagi.

   Tong Gin-yan sekilas mellhat di luar ruangan itu cuaca sudah gelap dan ada cahaya beberapa batang obor.

   Pemimpin Hek-eng-po bagaikan sesosok hantu penjemput arwah, melangkah kembali mengunjungi tawanannya.

   "Kau masih membandel?"

   Dengus orang itu.

   "Tidak percaya bahwa aku akan melepasmu tanpa cidera, juga berani mencincangmu tanpa takut kepada Tong Lam- hou."

   "Aku harus memancing kemarahannya lagi, supaya ia bicara tak terkendali lagi,"

   Pikir Tong Gin-yan. Maka diapun menjawab.

   "Siapa percaya kepada iblis pengecut licik yang memperlihatkan wajahnya saja tidak berani?!"

   Tapi Hek-eng Pocu masih tenang- tenang saja, jari-jari tangannya terasa berkeliaran di wajah Tong Gin-yan, dan ujung jari itu berhenti di kelopak matanya.

   "Bagaimana kalau matamu kucungkil sebelah?"

   Ancamnya.

   "Baik, akan aku sebutkan nama-nama orang-orang Hwe-liong-pang yang menyusup..."

   Tong Gin-yan tiba-tiba berkata. Nada suara Hek-eng Pocu memperdengarkan kegembiraan karena mengira gertakannya berhasil melemahkan tekad anak lelaki Ketua Hwe-liong-pang itu.

   "Cepat sebutkan....!"

   "Catat baik-baik. Nama mereka Li It, Thio Ji, Lo Sam, The Si, Ciu Ngo, Tan Tiok, Lim Jit, Sun...."

   Kuping Tong Gin-yan berdenging keras ketika tamparan hebat menerpa rahangnya. Bisa dimaklumi kemarahan Majikan Hek-eng- po yang sudah bersungguh-sungguh memasang kuping hanya untuk mendengarkan sederet nama awur-awuran itu....

   "Kau rupanya benar-benar bosan hidup!"

   "Paman Sebun Him pasti akan membalas kematianku,"

   Pancing Tong Gin-yan. Tapi Hek-eng Pocu tak mempan pancingan.

   "Sebun Him hanya akan menemukan mayatmu tergantung di gapura kampung Liong-coan, dan tak akan menemukan kami."

   "He, kau selalu sesumbar berani menghadapi Sebun Him, kenapa justru terus menghindari pertemuan dengannya? Kau selalu muncul pada saat Sebun Him tidak muncul, dan menghilang pada saat Sebun Him muncul. Kapan orang-orang dunia persilatan bisa tahu kelihaianmu menghadapi Sebun Him terang- terangan di bawah sinar matahari di siang bolong?"

   Demikian ejek Tong Gin-yan memanaskan hati. Seperti seorang pemancing ikan yang mengulur tali pancingnya jauh-jauh supaya dicaplok sang ikan. Tapi "si ikan"

   Sudah lebih cerdik untuk senantiasa menghindari umpan jebakan itu.

   "Bukan hanya ingin bertempur dengan Sebun Him, suatu saat aku juga ingin bertempur dengan Tong Lam-hou, Pun-bu Hweshio atau Pakkiong Liong..."

   Sengaja ia sebutkan pula nama-nama itu agar nama Sebun Him tidak terpencil sendirian dan kelihatan terlalu menyolok untuk diperhatikan.

   "Cepat sebutkan nama-nama yang benar....."

   "Biarpun kau bunuh aku, iblis tua, kau tidak akan mendapat keterangan itu."

   "Benar-benar kau keras kepala. Baiklah, besok pagi akan kupotong kaki kananmu untuk kukirimkan ke Tiau-im-hong, ke hadapan ayahmu."

   "Ayah tidak akan melebihkan keselamatanku dari keselamatan umum!"

   "Kita lihat saja nanti. Kalau dalam sepuluh hari ayahmu belum menjawab, tangan kananmu akan dikirim lagi ke Tiau-im-hong, dan tidak sampai dua bulan, batok kepalamu akan mendapat giliran pula..."

   Habis mengancam demikian, pemimpin Hek-eng-po itu meninggalkan ruangan.

   Kejengkelannya sudah memuncak, sehingga kuatir kalau terpancing lagi oleh Tong Gin-yan, sehingga mengeluarkan kata-kata yang membuka kedoknya sendiri.

   Terkurung kegelapan yang pekat, Tong Gin-yan terikat dalam keadaan lemah, lapar, haus, dan babak belur mukanya.

   Ia berkali-kali menarik napas karena merasa pasti bahwa akhir hidupnya suda dekat.

   Sebagai manusia biasa, ia sedih juga membayangkan perpisahan selamanya dengan orang-orang yang dicintainya.

   Tapi tekadnya sudah bulat, sampai matipun tidak akan sudi menyebutkan nama orang-orang Hwe-liong-pang yang menyelundup ke Hek-eng-po.

   Mereka harus tetap terselubung supaya di satu saat kelak dapat membongkar kedok Majikan Hek-eng-po dan menghancurkannya sama sekali demi keamanan dunia persilatan.

   Dirinya sendiri siap mengorbankan nyawa untuk itu.

   Tengah ia membayang-bayangkan bagaimana kiranya pemandangan di alam akherat sana, apakah penuh iblis-iblis bermuka jelek atau bidadari-bidadari cantik, mendadak ia merasa tanah yang diduduki pantatnya itu bergerak-gerak dan ada sesuatu menyentuh- nyentuh pantatnya.

   Ia menggeser duduknya ke samping dan memperhatlikan dengan agak heran.

   Dan hatinya melonjak gembira ketika dari dalam tanah terdengar suara lirih.

   "Kongcu..."

   Itulah suara Te-ci-cu (si tikus tanah) Pang Hui-beng, wakil pemimpin regu bendera kuning dari Hwe-liong-pang yang pandai menggangsir tanah sesuai dengan julukannya.

   "Kongcu, jawablah"

   "Ya, saudara Pang?"

   Sahut Tong Gin-yan lirih karena kuatir didengar orang Hek-eng-po yang mungkin berjaga di bagian luar pintu.

   Dalam kegelapan, tiba-tiba sebutir kepala yang kotor dengan tanah muncul dari tanah.

   Sedetik lamanya Tong Gin-yan merasa dirinya berada di alam dongeng, sedang berhadapan dengan Tou It-hou, tokoh jaman dinasti Tong yang konon bisa menyusup dan berjalan di dalam tanah.

   Atau si dewa cebol Mo Sui dalam cerita Liat-kok, sahabat karib dari si ahli strategi perang Sun Cu yang mengarang buku "Seni Perang"

   Yang terkenal.

   Lalu menyusul leher, kedua pundak, kedua tangan dan dada Pang Hui-beng dari dalam tanah.

   tapi setengah badan bagian bawah tetap terkubur dalam tanah.

   Benar- benar mirip kemunculan dewa bumi.

   Sepasang tangannya memegang sepasang alat mirip belati, tapi juga mirip bor, sedikit mirip pahat, ujungnya melebar seperti sekop, dan di bagian pegangannya ada empat lubang untuk menempatkan empat jari tangan kecuali jari jempol.

   Jelas itulah sepasang alat andalan Pang Hui-beng yang membuatnya selama ini merajai para tikus tanah dan orong- orong.

   Ia letakkan sepasang alat penggangsirnya, mengeluarkan sebilah belati kecil dari balik baju dan memutuskan tali yang mengikat Tong Gin-yan.

   Katanya.

   "Aku dengar kabar, begitu fajar menyingsing, Kongcu benar-benar akan dibunuh. Karena itu harus cepat pergi...."

   "Apakah aku juga harus menyusup tanah?"

   "Tidak sulit, Kongcu ikuti aku saja. Tanah yang akan aku lewati sudah aku gemburkan, cukup dengan mengerahkan tenaga di kedua pundak dan di kepala, kita akan bisa menyuruk maju seperti cacing-cacing raksasa. Masa kita kalah dari cacing?"

   "Baiklah. Kebetulan aku juga shio tikus."

   Tong Gin-yan sempat juga berkelakar.

   "Ayolah, fajar tidak lama lagi."

   Sesaat kemudlan mereka berdua benar- benar menyusup dalam tanah seperti cacing.

   Tentunya pengalaman baru yang menyenangkan bagi Tong Gin-yan seandainya tubuhnya tidak sedang remuk dan mulutnya tidak kemasukan seekor cengkerik.

   Ia harus menyuruk setapak demi setapak sambil memejamkan mata agar matanya tidak kemasukan tanah.

   Dalam hati merasa heran juga, bagaimana dalam keadaan seperti itu Pang Hui-beng bisa menentukan arah dengan tepat.

   Mungkin ia memang keturunan dewa tikus dan memliki naluri tikus.

   Mereka kembali menjadi manusia di sebuah belukar sepi, ratusan langkah dari tempat berkumpulnya orang-orang Hek-eng-po yang agaknya belum menyadari bahwa tawanan mereka sudah kabur.

   Di tempat munculnya mereka, sudah menunggu dua laki- laki, yang membantu menarik Tong Gin-yan keluar dari bawah tanah.

   "Saudara Ko dan saudara Ji,"

   Tong Gin- yan menyapa dua orang yang menunggunya itu.

   "Terima kasih kalian menyelamatkan nyawaku."

   "Kami menyampaikan salam kepada Kongcu."

   Dua orang yang menunggu Tong Gin- yan itu adalah jagoan-jagoan Hwe-liong-pang yang menyelundup menjadi anggota Hek eng- po karena ditugaskan oleh Ketua Hwe-liong- pang.

   Yang satu bernama Ko Tian-beng, berjulukan Tiat-kak-lok (rusa bertanduk besi) dan menjadi Jing-ki Hu-tong-cu, wakil pemimpin regu bendera hijau di Hwe-liong- pang.

   Satunya lagi adalah Ji Tek-hong berjuluk Tui-beng-pat-hui-po (delapan kampak terbang pemburu nyawa) dan berkedudukan dalam Hwe-liong-pang sebagai Lam-ki Hu- tong-cu, wakil pemimpin regu bendera biru.

   Tapi dalam penyusupan mereka di Hek- eng-po, tentu saja menyembunyikan nama, ciri-ciri senjata dan kepandaian khas mereka yang gampang dikenali.

   "Apakah Kongcu baik-baik saja?"

   Tanya Ji Tek-hong biarpun di keremangan ini hari ia melihat Tong Gin-yan dalam keadaan babak belur mukanya.

   "Sangat baik. Majikan Hek-eng-po ternyata ramah sekali dan sering membelai- belai pipiku dengan mesra tapi agak bertenaga. Nah, dari sini ke kampung Liong-coan harus lewat arah mana?"

   "Kongcu hendak kembali ke kampung itu?"

   "Ya,"

   "Jangan langsung dari arah ini, sebab akan menemui penjagaan Hek-eng-po yang melingkari Liong-coan seperti gelang raksasa. Memutarlah lewat jalan setapak di sebelah selatan bukit tanah merah itu, di sana yang menjaga adalah saudara Thio dan saudara Han.

   "Luar biasa, jadi kampung Liong-coan sudah dikepung oleh Hek-eng-po?"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar, orang Liong-coan maupun luar Liong-coan tidak mungkin keluar masuk tanpa lepas dari pengamatan. Kami sendiri heran kenapa si keparat Hek-eng Pocu menaruh perhatian sedemikian besar kepada kampung terpencil itu?"

   "Mungkinkah karena di kampung itu kebetulan sedang ada Sebun Taihiap dari Se- shia yang dikenal luas sebagai musuh utama Hek-eng-po?"

   Mendengar disebutnya nama Sebun Him hati Tong Gin-yan bergetar aneh dengan naluri kecurigaan. Ia lalu berpesan kepada anak buahnya.

   "Kalian bekerjalah lebih hati-hati. Hek-eng Pocu agaknya mulai merasa ada penyelundup-penyelundup asing bercampur dengan anak buahnya, ia tentu akan mempertajam pengamatan atas orang- orangnya. Kalian harus hati-hati. agar kulit bunglon kalian jangan terlucuti..."

   "Baik, Kongcu."

   Sahut mereka bertiga.

   Sesaat Tong Gin-gan berpikir menimbang-nimbang apakah perlu mengatakan kecurigaannya kepada tokoh tertentu, atau idak usah? Akhirnya ia memutuskan untuk memperingatkan anak buahnya, tetapi tanpa menyebutkan nama tokoh itu supaya tidak menimbulkan kegoncangan, sebab tokoh itu dalah seorang tokoh yang sangat terhormat dan bernama harum, orang akan sulit mempercayai bahwa dialah sebenarnya Hek-eng Pocu itu sendiri.

   Lagi-pula Tong Gin-yan merasa belum ada.bukti yang kuat untuk melontarkan tuduhan terang-terangan, maka ia cuma berkata.

   "Kalau kalian mendapat suatu berita rahasia, jangan sembarangan disampaikan kepada orang lain kecuali ayah atau aku atau para sesepuh Hwe-liong-pang yang terpercaya lainnya. Jangan kepada orang di luar Hwe- liong-pang, meskipun kepada seorang pendekar bernama harum yang menjadi sahabat karib ayah. Paham?"

   Ketiga Hu-tong-cu itu tercengang mendengar pesan yang begitu serius.

   "Kami paham, tetapi kenapa demikian?"

   "Hanya sebuah dugaan dan sikap hati- hati. Naluriku mengatakan bahwa orang yang berkedok Majikan Hek-eng-po itu sebenarnya juga seorang yang punya kedok lain sebagai seorang pendekar terhormat. Bahkan sahabat baik ayah...."

   "Siapakah kira-kira?"

   "Aku tidak berani menyebut namanya, sebab dugaanku belum pasti, bahkan aku sangat berharap agar dugaanku meleset. Tapi aku cuma memperingatkan kalian, hati-hati terhadap seorang pendekar yang mengaku sahabat baik ayah, dan dengan ucapan manisnya berusaha mengorek keterangan tentang siapa-siapa saja orang-orang kita yang menyusup Hek-eng-po, dengan alasan hendak diajak kerjasama menghancurkan Hek-eng-po. Hati-hati saja terhadap tokoh macam itu."

   Ketiga Hu-tong-cu itu tegang wajahnya.

   Benar-benar berbahaya bahwa mereka terlibat dalam pertentangan di mana garis antara kawan dan musuh begitu kabur, tidak jelas, sehingga tiap tindakan kecilpun harus diperhitungkan secermat-cermatnya.

   Itulah semacam perang yang jauh lebih berbahaya dari perang berhadapan muka secara langsung.

   "Kami perhatikan pesan Kongcu sebaik- baiknya."

   "Terima kasih. Sekarang sebaiknya kita berpisah dulu." **OZ** BAGIAN DUA PULUH DELAPAN Kampung Liong-coan. Meskipun orang-orang tahu bahwa di Iuar kampung berkeliaran orang-orang Hek- eng-po mengintai mereka, tapi orang-orang Liong-coan, terutama kaum lelakinya, bukan sejenis manusia-manusia bernyali tikus yang lalu bersembunyi saja dalam rumah. Mereka tetap bekerja seperti biasa. Petani-petani di ladangnya, peternak-peternak menggembala peliharaan mereka di lapangan belukar, bahkan yang bernyali benar-benar besar ada yang berani ke bukit untuk mengambil tanah llat, meskipun harus dengan kelompok besar yang membawa senjata, dan ternyata mereka pulang tanpa kurang suatu apa sehingga semakin besarlah hati orang-orang Liong-coan. Mereka mendapat kenyataan, kalau berani mempertahankan diri, tidak sembarangan orang berani mengusik mereka. Namun demikian terasa juga ketegangan. Regu-regu keamanan dibentuk dan bertugas berjaga secara bergiliran di gapura-gapura kampung atau di simpang- simpang jalan. Tiap lelaki yang masih kuat berkelahi dibagi-bagi dalam regu-regu itu dengan tugas selang-seling, sehari berjaga dan sehari bekerja mencari nafkah. Tiap sore halaman rumah Bhe Kausu penuh dengan orang-orang lelaki, bahkan juga beberapa gadis-gadis, yang latihan silat. Kadang-kadang halaman tidak cukup luas sehingga orang yang latihan meluber sampai ke jalanan di depan rumah. Pada suatu siang, kelihatan belasan lelaki bersenjata berjaga-jaga di mulut jalan kampung yang menghadap ke bukit tanah liat. Mereka duduk-duduk di bawah pohon, di atas batu, atau bahkan tiduran dirumput. namun tidak pernah kehilangan kewaspadaan dengan senjata-senjata tetap di dekat mereka. Ada juga yang membawa sepucuk bedil Portugis, meskipun di pinggangnya masih membawa golok juga. Yang lain membawa panah, lembing, rantai, tombak, tongkat panjang dan pendek.

   "Sampai kapan kampung kita yang tenang ini terus dalam kadaan terancam macam ini?"

   Salah seorang dari mereka tiba- tiba melontarkan pertanyaan. Karena semuanya bungkam tak ada yang menjawab, si penanya menjawabnta sendiri.

   "Ini semua gara-gara si pemuda she Tong dan dua gadis yang datang ke kamung ini dan sekarang ada di rumah Bhe Kausu. Mereka membawa malapetaka buat kita!"

   "Mereka tidak bermaksud demikian,"

   Salah seorang lainnya membela tamu-tamu Bhe Un-liang itu.

   "Mereka dalam perjalanan dan tahu-tahu dihadang dan terkurung di kampung ini , kau kira mereka sendiri suka merepotkan kita seperti ini?"

   Tapi orang yang bersikap sengit tadi membantah.

   "Ini juga gara-gara sikap Bhe Kausu yang terlalu lemah. Kenapa mereka bertiga tidak diusir saja, malah diperlakukan seperti tamu-tamu penting? kalau mereka diusir kampung kita akan jadi aman kembali, persetan dengan mati hidupnya mereka!"

   Kata-kata yang "menyerempet"

   Bhe Un- liang itu terasa terlalu tajam bagi kuping sebagian besar orang di situ.

   Maklumlah, sudah berpuluh tahun Bhe Un-liang dihormati sebagai pemimpin rakyat setempat, yang tidak diangkat oleh pemerintah kekaisaran tetapi oleh penduduk sendiri.

   Selama itu juga Liong- coan meningkat kesejahteraannya dan ketertibannya.

   Tapi seperti biasa, begitu kegoncangan muncul, naka gerutuan ikut muncul pula.

   Sementara orang yang membela Bhe Un-liang dan tamu-tamunya tadi telah berkata lagi.

   "Kalau kita usir tamu-tamu kita tanpa pedulikan keselamatan mereka, maka kampung kita yang ramah ini akan segera dicap kampung yang kejam, mementingkan diri sendiri, dan kampung-kampung lain akan enggan berdagang lagi dengan kita. Masalahnya bukan sekedar melindungi tiga tamu asing, tetapi membela keadilan dan menentang kesewenang-wenangan itu ajaran leluhur nenek-moyang kita. Bagaimana kita bisa berpeluk tangan melihat tiga orang tak bersalah itu hendak dibantai orang-orang asing lainnya di kampung kita?"

   "Tapi kampung kita lalu mendapat kesulitan, beberapa teman kita malah mati. Itu tanda bahwa Bhe Kausu tidak lagi becus memimpin, sebaiknya dia serahkan kepemimpinan kepada orang lain."

   "Tidak ada yang lebih bijaksana memimpin kampung ini selain Bhe Kausu. Justru di saat kegoncangan ini kita butuhkan pimpinannya. Kata pepatah, kapal manakah yang tidak pernah terpukul gelombang?"

   Pemuda yang selalu mengkritik Bhe Un- liang itu bernama The Coan, anak seorang kaya di kampung itu yang sudah lama memang tidak suka kepada Bhe Un-liang yang kebijaksanaan-kebijakaanaannya selalu dianggap menguntungkan golong miskin dan merugikan golongan kaya.

   Selama ini keluarga The hanya bungkam, namun perkembangan baru di Liong-coan membuat mereka berani buka mulut merongrong kewibawaan Bhe Un- liang.

   The Coan terus mengecam.

   "Memang kita butuh pimpinan Bhe kausu, tapi akhir- akhir ini sudah tak sempat memperhatikan kita lagi, hanya memperhatikan terus tamu- tamunya yang cantik-cantik itu. Hem, maklum juga, dia kan sudah cukup lama menjadi duda?"

   Sedang yang membela Bhe Un-liang bernama Kwe Hok-siang, satu dari empatbelas murid utama Bhe Un-liang. Keruan ia menjadi gusar mendengar ucapan The Coan yang seolah menuduh guru yang dihormatinya itu sebagai hidung belang.

   "Tutup mulutmu, A- coan! Tidak sepatutnya kau mencerca Bhe Kausu yang sudah bertahun-tahun memimpin kita dengan adil, bijaksana, tidak digaji sepeserpun, tanpa kenal elah dalam segala cuaca, bahkan tidak jarang beliau berkorban hartanya sendiri demi kepentingan orang sekampung. Tidakkah kita bisa bersikap berterima kasih kepadanya?!"

   Sikap The Coan tetap saja sinis.

   "Berterima kasih sih memang, tapi tindakannya melindungi tiga orang asing dengan membahayakan nyawa seluruh kampung ini benar-benar tidak aku setujui. Kini malah terpikat kepada perawan-perawan cantik sehingga melupakan kepentingan orang banyak, mirip dengan raja-raja dinasti Beng dulu yang...."

   Kata-katanya terhenti. Kwe Hok-siang tidak mencegahnya dengan kata-kata peringatan lagi, tapi langsung dengan jotosannya yang mengenai bibir The Coan sehingga terjengkang.

   "Kurang ajar!"

   The Coan melompat bangun dan balas menjotos.

   "Kau pikir hanya kau saya yang bisa berkelahi?!"

   Keduanya sama-sama pernah diajar silat oleh Bhe Un-liang dan saat itu sempat bertukar beberapa pukulan dan tendangan, sebelum teman-teman mereka berlompatan untuk memegangi dan memisahkan mereka.

   "He, jangan berkelahi! Kalian bertetangga sejak kecil, kenapa hanya urusa beda pendapat saja terus berkelahi?! Tugas kita menjaga keamanan, bukan malah membikin rusuh dengan ulah kalian!"

   "Karena A-coan sudah menghina pemimpin yang sama-sama kita hormati!"

   Berkata Kwe Hok-siang dengan hati panas, masih meronta-ronta dalam pegangan kawan- kawannya.

   "Dia harus menarik kata-kata penghinannya tadi!"

   The Coan balas berteriak tak kalah sengitnya.

   "Karena Bhe Kausu memang harus minggir! Harus digantikan orang lain yang lebih pandai!"

   "Tidak ada yang lebih memperhatikan kesejahteraan kita daripada Bhe Kausu!"

   "Sebun Taihiap lebih gagah dan lebih pantas memimpin! Perhatiannya kepada kampung kita juga luar biasa, dalam beberapa hari saja udah mengeluarkan seribu tahil lebih untuk berbagai keperluan!"

   Begitulah, berpuluh tahun Bhe Un-liang memeras tenaga dan pikirannya unuk kampung Liong-coan, tahu-tahu dalam berapa hari saja sudah.tergeser kewibawaannya oleh orang yang membawa seribu tahil perak.

   Uang memang berkuasa.

   Apalagi orang Liong-coan hampir tidak pernah melihat uang sebanyak itu, termasuk orangtua The Coan yang tergolong kaya di kampung itu.

   Tapi Kwe Hok-siang dengan berani berteriak.

   "Aku justru muak kepada Sebun Him! Ia hanya seorang tamu tapi berani mengatur macam-macam melancangi tuan rumahnya! Aku tidak sudi menghormatinya, biar dia kakak seperguruan Bhe Kausu!"

   Setelah saling menghamburkan kata- kata cacian yang menyangkut pula nama Bhe Kausu dan Sebun Him, kedua anak muda yang marah itupun berpisah.

   The Coan dengan mendongkol meninggalkan kelompoknya dan mengatakan akan berjaga di tempat lain saja.

   Separuh lebih dari kelompok itupun memisahkan diri untuk mengikuti The Coan.

   Meskipun mereka pergi dengan baik-baik, tanpa saling menjotos atau memaki, namun sudah mulai nampaklah gejala perpecahan di antara orang-orang Liong-coan, setelah selama bertahun-tahun hidup rukun.

   Kwe Hok-siang dan enam orang temannya yang tetap tinggal di tempat itupun tak bisa mencegah pecahnya regu itu.

   Mereka hanya membatin, alangkah kuatnya pengaruh uang sehingga bisa memecah-belah sesama teman.

   Kwe Hok-siang dengan sedih menatap rombongan The Coan sampai menghilang di dekat tikungan.

   Katanya.

   "Aku tahu kenapa A- coan ngotot ingin mendepak Bhe Kausu, sebab ia mendendam kepada Bhe Kausu. Ayahnya pernah hendak mendirikan rumah hiburan dan tempat pengisapan madat di kampung ini, tetapi Bhe Kausu melarangnya dengan tegas, lalu merekapun mendendam. Kalian paham artinya rumah hiburan? Tempat dimana perempuan-perempuan cantik menjual tubuhnya kepada para hidung belang. Kalau tempat itu benar-benat hadir di kampung kita, bayangkan saja akibatnya..."

   Tengah mereka bercakap-cakap, mendadak dari arah bukit tanah liat terihat seorang berjalan sempoyongan dengan langkah setengah diseret.

   Setelah diperhatikan, orang yang melangkah sempoyongan dengan penampilan kusut dan babak belur itu ternyata adalah Tong Gin-yan yang kabarnya hilang diculik musuh dua hari yang lalu.

   Kwe Hok-siang yang pertama kali melompat menyambut dengan gembira.

   "Saudara Tong, kau selamat?!"

   Yang lain-lain segera mengerumuni dan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi.

   Namun Tong Gin-yan hanya menjawab dengan sebuah keluhan pendek dan roboh terkulai.

   Kelaparan dan kehausan selama dua hari masih bisa ditahan, tapl siksaan Majikan.Hek-eng-po itulah yang menyebabkannya lemah.

   "A-heng dan A-song, gotong saudara Tong ke rumah Bhe Kausu, lain-lainnya tetap berjaga di sini saja!"

   Kwe Hok-siang segera mengatur teman-temannya.

   Orang-orang di rumah Bhe Un-liang gempar mendapat kiriman itu.

   Pakkiong Eng yang dalam dua hari saja kelihatan bertambah kurus dan murung, segera menyambut tubuh kekasihnya, hampir saja menjerit dan menangis tetapi ditahankannya kuat-kuat.

   Bhe Un-liang segera menjadi sibuk.

   Lebih dulu menyuruh orang menggotong tubuh Tong Gin-yan untuk dibaringkan di kamarnya, memeriksa luka-lukanya, lalu menjadi sibuk dengan racikan obat-obatnya.

   Tiga orang gadis cantik, Pakkiong Eng, Auyang Siau-hong dan Bhe Giok-im turut sibuk pula membantu menyiapkan apa yang perlu untuk pengobatan.

   Ketika Sebun Him di ruangan lain diberitahu bahwa Tong Gin-yan sudah kembali setelah lolos dari tawanan Hek-eng-po, maka wajah pendekar itu berubah seakan-akan mendengar berita bahwa matahari mulai besok akan terbit dari barat.

   Sekilas wajahnya memberi kesan tak menentu, lalu menampakkan kegembiraan yang ditujukan kepada orang-orang, dan berkata.

   "Ha-ha-ha....bagus...bagus, syukurlah kalau dia selamat. Tidak percuma kemarin malam aku temui pemimpin Hek-eng-po dan menggertaknya agar melepaskan putera sahabatku itu. Ternyata Majikan Hek-eng-po benar-benar mematuhi kata-kataku...."

   Buat sebagian orang kampung Liong- coan, Sebun Him sudah dikagumi melebihi dewa-dewa dalam kuil, maka ucapannya itupun menimbulkan reaksi kagum pada sebagian orang.

   Betapa hebatnya Sebun Taihiap ini, hanya dengan gertakannya saja ia bisa menyuruh Majikan Hek-eng-po melepaskan tawanannya...

   Sementara itu, Sebun Him sudah melangkah ke kamar tempat Tong Gin-yan dirawat.

   Begitu melihat tubuh Tong Gin-yan yang berbaring, Sebun Him bersikap sebagai seorang tua yang sangat mengasihi terus hendak menubruk memeluk Tong Gin-yan.

   Namun dengan rasa kaget yang tak terkira, Tong Gin-yan berteriak sambil menolakkan tangannya.

   "Paman Sebun, aku tidak apa-apa..."

   Di mata Bhe Un-liang, Pakkiong Eng, Auyang Siau-hong dan Bhe Giok-im yang tidak memahami alasan Tong Gin-yan berbuat demikian, adegan itu nampak janggal.

   Kenapa dengan Tong Gin-yan sehingga ingin dipeluk Sebun Him pun tidak mau? Wajah Sebun Him berubah sesaat, namun kemudian tidak memaksa lagi.

   Ia duduk di pinggir pembaringan dan berulang kali mengatakan rasa senangnya bahwa Tong Gin-yan kembali tanpa kurang suatu apa.

   Dikisahkannya dirinya sendiri yang katanya kebingungan dan amat sedih selama dua hari, dan dilengkapi pula dengan sumpah kelak akan membunuh Majikan Hek-eng-po yang telah berani melukai Tong Gin-yan sedemikian rupa.

   Orang-orang dalam ruangan itu begitu berjejal-jejal, membuat udara jadi panas.

   Bhe Un-liang kemudian dengan hormat meminta agar semua orang keluar ruangan, memberi kesempatan kepada si terluka untuk mendapat udara segar.

   Tapi Sebun Him tiba-tiba berkata.

   "Sute, kalau diperbolehkan aku ingin bicara berdua saja dengan Tong Hiantit". Biarpun ia memakai kata-kata "kalau diperbolehkan", namun nada suara seorang penguasa terkandung dalam kata-katanya, sehingga permintaan ltu harus ditafsirkan "harus diperbolehkan."

   Yang terkejut adalah Tong Gin-yan, entah kenapa dia tiba-tiba membayangkan jangan-jangan Sebun Him hendak membunuhnya.

   Cukup dengan menekan jempol tangannya ke urat Gi-bun-hiat di tenggorokan, kaburlah nyawa Tong Gin-yan nantinya, lalu Sebun Him bisa saja keluar kamar itu sambil pura-pura menangis dan mengabarkan kepada semua orang bahwa "Tong Hiantit tidak tertolong lagi."

   Demikianlah gambaran menakutkan terbentuk dalam angan-angan Tong Gin-yan. Karena itu, begitu mendengar Sebun Him hendak menemaninya sendiri di kamar, Tong Gin-yan cepat-cepat memegangi kepaIanya sambil mengeluh pura-pura.

   "Aduh... kepalaku sakit sekali. Aku hanya ingin istirahat. Paman Sebun, bagaimana kalau bicara lain kali saja?"

   "Baiklah, kalau begitu aku tidak akan mengajaknya bicara,"

   Kata Sebun Him pantang mundur.

   "Aku hanya akan menungguinya di samping pembaringan."

   "Itulah mirip seekor kucing disuruh menjaga sepotong ikan asin,"

   Pikir Tong Gin- yan waspada. Karena itu, terpaksa dengan menebalkan mukanya ia berkata.

   "Aku...biar ditemani A-eng saja...."

   Begitulah, antara Tong Gin-yan dan Sebun Him terjalin perasaan saling curiga yang tidak terang-terangan.

   Semakin Sebun Him bersikeras menungguinya, semakin takut Tong Gin-yan.

   Sebaliknya semakin keras Tong Gin- yan menolak ditemani, Sebun Him merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh anak muda itu dari dirinya.

   Tapi karena anak muda itu sudah terang-terangan menyatakan hanya ingin ditemani Pakkiong Eng, maka Sebun Him pun meninggalkan ruangan dengan wajah jengkel.

   Sedang Pakkiong Eng yang sudah ada di ambang pintupun menjadi merah wajahnya mendengar kata-kata Tong Gin-yan tersebut.

   Auyang Siau-hong memandangnya sambil menahan senyumnya, sambil mendorong pundak Pakkiong Eng balik ke kamar.

   "Adik Eng, kalau kau dampingi dia mungkin akan cepat sembuh."

   Setelah berdua saja dalam kamar, dan Pakkiong Eng duduk di kursi di samping pembaringan, ia mengomeli Tong Gin-yan.

   "Kau benar-benar bermuka tebal, Yan-ko, apakah tidak malu bicara seperti tadi di depan begitu banyak orang?"

   "Ketika aku ditawan Hek-eng Pocu, hampir saja aku merasa tak akan berjumpa denganmu lagi,"

   Sahut Tong Gin-yan dengan suara yang malah dikeraskan supaya kedengaran orang-orang di luar ruangan.

   Tapi ia miringkan tubuh di kasur, jari telunjuknya dicelupkan ke air teh di meja samping pembaringan, dan menggoreskan huruf-huruf di permukaan meja.

   Lihat keluar, apakah ada orang lain yang mendengar pembicaraan? Gerak-gerik Tong Gin-yan menyadarkan Pakkiong Eng bahwa kekasihnya itu agaknya ingin mengatakan sesuatu yang penting dan rahasia, tapi terang bukan soal cinta.

   Maka Pakkiong Eng menjenguk keluar pintu dan jendela untuk memeriksa sekitar.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di dekat jendela, nampak Sebun Him sedang membungkuk-bungkuk memeriksa_ jemuran daun-daun obat di halaman belakang rumah Bhe Un-liang itu.

   Pakkiong Eng kembali ke dekat Tong Gin-yan dan berbisik.

   "Paman Sebun sedang memeriksa daun-daun obat di dekat jendela."

   Sebenarnya Pakkiong Eng tidak memiliki kecurigaan apapun terhadap Sebun Him yang pernah menjadi tuan rumahnya yang ramah setengah bulan lebih tapi terpengaruh oleh sikap Tong Gin-yan, ia jadi ikut-ikutan berhati- hati pula.

   Tong Gin-yan lalu sengaja berkata keras-keras supaya terdengar dari luar pula.

   "Aduh, anginnya keras sekali, A eng, tutup saja pintu dan jendelanya!"

   Jendelapun ditutup oleh Pakkiong Eng, juga pintu.

   Kedua orang muda dalam kamar itu kemudian melakukan dua macam pembicaraan.

   Dengan mulut, mereka bicara tentang hal-hal ringan untuk mengelabuhi siapa pun yang menguping di luar ruangan.

   Dengan menulis huruf-huruf air teh di permukaan mejalah maka pembicaraan yang sebenarnya berlangsung.

   Kalimat pertama yang dituliskan Tong Gin-yan membuat Pakkiong Eng tercengang.

   "Aku menduga keras bahwa Majikan Hek-eng-po sebenarnya adalah seorang tokoh terhormat yang ...."

   Jari-jari Tong Gin-yan berhenti menulis karena ragu-ragu, namun sesaat kemudian dilanjutkan.

   "kita kenal baik, dan ada di kampung Liong-coan ini pula."

   Wajah Pakkiong Eng berkerut heran, iapun menulis.

   "Kau yakin?"

   "Ada dugaan keras."

   "Paman Sebun?"

   "Siapapun yang bertubuh tinggi besar, berilmu tinggi, berlogat bicara daerah Siam- sai, dan kain pakaiannya celupan bikinan Tiang-an yang berbau khas, ia patut dicurigai."

   Padahal tokoh di tempat itu yang menuhi syarat-syarat yang disebutkan Tong Gin-yan itu hanyalah Sebun Him.

   Meskipun Tong Gin-yan tidak menuduh terang-terangan, tapi jelas menaruh kecurigaan kepada tokoh itu.

   Sedangkan Pakkiong Eng tidak gampang menerimanya.

   Sambil mulutnya bicara keras tentang kembang-gula buatan Liong-coan yang dikirim sampai di Pak-khia dalam jumlah belasan gerobak, jari-jari tangannya menulis di permukaan meja.

   "Selama ini Paman Sebun menentang Hek-eng-po sangat gigih, bahkan lebih gigih dari Hwe-liong-pangmu itu!"

   Tong Gin-yan bungkam dan tak segera menuliskan jawabannya, memang tak gampang meyakinkan Pakkiong Eng.

   Di Liong- coan memang cuma Sebun Him yang tingg besar, bicara logat Siam-sai dan memakai kain celupan Tiang-an, tapi di luar kampung itu bukankah ada berjuta-juta orang macam itu? Siam-sai termasuk propinsi barat-laut, dan orang-orang dari propinsi itu tidak sedikit yang bertubuh tinggi besar seperti Sebun Him, karena mereka keturunan orang-orang Liao atau Hui yang sudah terlebur dalam kebudayaan Han.

   Tengah ia kebingungan menjawab, di halaman belakang terdengarlah suara anak laki-laki Bhe Un-liang yang terkecil, usianya baru sepuluh tahun, sedang bercakap-cakap sendiri dengan suara yang diubah-ubah.

   Mudah ditebak bahwa anak itu tentu sedang bermain- main dengan boneka-boneka wayang potehi kesayangannya, hanya itulah kerjanya sehari- hari, dan ia punya satu kotak besar boneka potehi.

   Mendengar suara si kecil berlagak sebagai Ki Dalang, itu biasa saja, namun bagi Tong Gin-yan tiba-tiba menimbulkan ilham untuk menjawab pertanyaan terakhir Pakkiong Eng yang sulit tadi.

   Maka diapun menulis di meja.

   "Hanya dengan dua tangan, seorang dalang bisa memainkan berpuluh-puluh peranan dari boeka-boneka wayangnya. Ia juga bisa memainkan boneka wayang di tangan kanan bertempur sengit dengan boneka di tangan kiri, sampai para penonton percaya bahwa kedua boneka itu benar-benar saling bermusuhan."

   Tong Gin-yan menghentikan tulisannya dan menatap wajah kekasihnya yang masih ragu-ragu.

   Tiba-tiba kupingnya yang tajam menangkap desir halus di luar jendela, desir kain pakaian yang bergesekan dengan dinding tembok.

   Cepat-cepat ia hapus permukaan meja yang sudah penuh tulisan air teh itu dan berkata keras-keras.

   "A-eng, Majikan Hek-eng- po yang begitu garang, ternyata ketakutan kepada Paman Sebun, itu dapat aku simpulkan dari sikap dan kata-katanya sendiri...."

   


Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Pisau Kekasih Karya Gu Long Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung

Cari Blog Ini