Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 18


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 18



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Semuanya membawa senjata, menandakan merekalah orang dunia persilatan.

   Rombongan yang terdiri dari belasan itu segera masuk ke warung dan penuhlah warung kecil itu.

   tong Gin-yan bertiga bagaikan terkepung di tengah.

   Lalu disusul suara ribut dari orang itu memesan berbagai jenis makanan dan mnuman, membuat si pemilik warung dan bocah tanggung pembantunya jadi sibuk luar biasa.

   Tong Gin-yan tidak menggubris mereka.

   Mendengar pembicaraan orang itu, agaknya mereka terdiri dari dua golongan silat yang berjalan bersama.

   Dari Hoa-san-pai dan Ngo- bi-pai, dua perguruan yang hubungannya dengan Hwe-liong-pang biasa saja, tidak dingin dan tidak hangat.

   Mereka agaknya dari Se-shia untuk menghadiri pemakaman Sebun Hiong.

   Perhatian Tong Gin-yan tetap tidak terusik, sampai salah seorang dari mereka yang tegap berewokan tiba menuding ke meja kasir sambil berseru.

   "He, lihat, saudara! Bendera kaum iblis itu!"

   Semua orang menoleh ke arah yang ditunjuk.

   Tong Gin-yan juga ikut memutar tubuh untuk melihat apa gerangan yang disebut "bendera kaum iblis itu.

   Alangkah kagetnya anak muda itu ketika tahu bahwa "bendera kaum iblis itu tak lain adalah bendera Hwe-liong-pang yang berada di meja kasir.

   Seketika orang itu menjadi ribut.

   Si pemilik warung yang tengah membawa nampan berisi mangkuk makanan di depan si tegap berewokan, tiba dicengkeram dadanya oleh si berewokan dan dibentak.

   "Bangsat! Warungmu ini ternyata adalah cabang dari kekuatan kaum iblis yang bersarang di puncak Tiau-im-hong ya? Kau tentu mencoba untuk meracuni kami! Pemilik warung yang sama sekali tak pandai bersilat keruan terkejut mendapat perlakuan tak diduga itu. ketika si berewokan meng-guncang tubuhnya, nampan yang dipegangnya beserta mangkuk di atasnya pun jatuh remuk ke tanah.

   "Tuan.... apa maksudmu....?"

   Tanyanya gemetar.

   "Jangan pura bodoh! Berapa ratus orang sudah kau racuni?!"

   "Aku.... tidak me.....mengerti maksud... tu...tuan... Kalau tuan.... ti.. tidak...."

   Si tegap berewokan habis kesabarannya.

   "Baik! Kalau kau bukan anggota komplotan iblis Hwe-liong-pang atau Hek-eng- po, cepat bakar bendera kecil itu jadi abu dan teriakkan "Tong Lam-hou cucu kura keras!"

   Pemilik warung itu memang tidak setia kepada pihak manapun kecuali kepada warungnya sebagai sumber nafkahnya. Maka demi menyelamatkan sumber nafkahnya itu apapun yang diperintahkan oleh tamu galak itu akan diturutinya. Jawabnya.

   "Baik.... baik... kalau itu kehendak tuan. To... tolong lepaskan bajuku....."

   Dengan gerakan menyentak, si berewok melepaskan si tukang warung sehingga ter- huyung.

   Si tukang warung berjalan ke arah bendera kecil dan sudah mengulurkan tangan untuk mencabutnya.

   Tapi bendera kecil itu seolah bernyawa, tiba bisa melayang sendiri meninggalkan tempatnya, dan tiba di tangan Tong Gin-yan yang selangkahpun tidak meninggalkan tempat duduknya.

   Ia telah menggunakan ilmu Kim- liong-jiu (tangan menangkap naga) untuk menyedot bendera kecil itu dari tempatnya semula.

   Wajah putera Hwe-liong Pangcu itu nampak merah padam karena marahnya.

   Dengan kupingnya sendiri ia mendengar orang itu menyuruh tukang warung membakar bendera Hwe-liong-pang, mencaci Hwe-liong-pang sebagai "komplotan iblis dan lebih lagi mencaci ayahnya sebagai "anak kura, makian khas orang propinsi Se-cuan yang paling kurang ajar.

   Keruan sekalian tamu terkejut dan mengalihkan pandangan kepada Tong Gin-yan.

   Kim-liong-jiu yang diperagakannya tadi membutuhkan tenaga dalam tingkat tinggi, maka semua orangpun tahu bahwa si pemuda baju hitam yang duduk bersama dua orang gadis ayu itu adalah pendekar berilmu tinggi.

   "Siapa saudara?!"

   Bentak si tegap berewokan sambil meraba gagang pedangnya. Mata Tong Gin-yan mencorong bagaikan mata seekor harimau yang sedang marah, menatap si berewokan itu.

   "Aku Tong Gin-yan. Anak dari orang yang kau caci dan kau fitnah dengan mulutmu yang kotor itu!"

   Semua orang terkejut. Tapi si berewokan segera menghunus pedangnya dengan suara berdesing.

   "Bagus! Kiranya kau adalah anak Tong Lam-hou si dalang kebiadaban Hek-eng-po dan cucu dari si iblis besar Tong Wi-siang! Terimalah pedangku!"

   Si berangasan itu bukan lain adalah Kong Beng-thian, pendekar Hoa-san-pai yang berjuluk Jiat-ing-kiam (pedang bayangan maut).

   Sekali tubuhnya melejit meninggalkan tempat duduknya, sekaligus ia melompati dua meja dan menikamkan pedangnya ke tengah mata Tong Gin-yan.

   Kedudukan Kong Beng-thian dalam perguruan Hoa-san-pai memang sederajat dengan Sebun Him, namun tidak demikian dengan kepandaiannya.

   Sebun Him berhasil mencapai tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari rekan seangkatannya disebabkan ketika masih muda beruntung menemukan ajaran ilmu sakti Kun-goan-sin-kang, ilmu dari luar Hoa-san-pai.

   Itulah sebabnya meskipun Kong Beng-thian seangkatan dengan Sebun Him, tapi serangannya itu tidak tergolong berbahaya bagi Tong Gin-yan.

   Seandainya Tong Gin-yan harus menghadapi Sebun Him yang ilmunya hampir setingkat dengan ayah Tong Gin-yan, tentu ia akan terjungkal dalam waktu singkat.

   Menghadapi jurus jago Hoa-san-pai itu, Tong Gin-yan bahkan tidak merasa perlu untuk bangkit dari duduknya.

   Bendera Hwe-liong- pang ditaruh di meja, lalu kedua tangannya bergerak berbareng sambil sedikit memiringkan tubuh menghindari ujung pedang lawan.

   Dengan gerak Liong-ting-hou-tiau (naga meluncur, macan melompat), telapak tangan kiri memukul ke lengan lawan dan telapak tangan kanan naik untuk merebut pedang.

   Ilmu Kong Beng-thian sebenarnya juga bukan kelas kambing, hanya saja ia punya satu kelemahan, yaitu terlalu berangasan wataknya dan kurang perhitungan.

   Kelemahan itulah yang mengakibatkan ia kehilangan muka saat itu.

   Lengannya yang memegang pedang tiba terasa menggigil oleh hawa dingin hebat yang menyusup dari telapak tangan Tong Gin- yan, hawa Hian-im-ciang, membuat pegangannya kendor dan diapun harus melepaskan pedangnya terampas oleh Tong Gin-yan.

   Sedang dirinya sendiri harus melompat mundur dengan gigi bercatrukan kedinginan, namun setelah ia mengerahkan tenaga dalamnya, keadaannya pulih kembali.

   "Yan-ko, tahan dirimu, agaknya ada kesalah-pahaman!"

   Pakkiong Eng berusaha mencegah pertikaian lebih lanjut.

   Namun darah muda Tong Gin-yan sedang mendidih karena ayah dan kakeknya telah dicaci-maki.

   Dalam kemarahannya, ia telah melakukan sesuatu yang membuat situasi makin panas.

   Pedang Kong Beng-thian dipegang tangkainya dengan tangan kiri, sedang jari telunjuk dan jempol tangan kanannya menjepit ujung pedang.

   Sekali ia kerahkan tenaga, patahlah pedang baja itu menjadi dua potong dan dilempar ke tanah.

   Berubahlah wajah orang Hoa-san-pai melihatnya.

   Hoa-san-pai dijuluki juga Se-gak-kiam- pai (Aliran Pedang Gunung Barat), pedang adalah lambang kehormatan mereka, dan kini lambang kehormatan itu dipatahkan Tong Gin- yan dan dilempar ke tanah seperti barang rongsokan saja.

   Keruan saja mereka menjadi murka, terdengar suara gemerincing ber-turut, tujuh orang Hoa-san-pai sudah menghunus pedang secara serentak berdiri dari tempat duduk mereka.

   Orang Hoa-san-pai itu malu terhadap orang Ngo-bi-pai, teman seperjalanan mereka.

   Di antara orang Hoa-san-pai, hanyalah Seng-hua Tojin yang belum menghunus pedang dan tetap duduk di bangkunya.

   Namun menilik mukanya yang sudah mirip pantat babi, imam inipun agaknya siap turun tangan terhadap Tong Gin-yan.

   "Kalian mau apa?"

   Tanya Tong Gin-yan dingin menantang.

   "Aku siap menghadapi keroyokan orang terhormat dari perguruan Se-gak-kiam-pai!"

   Sendirian itu membuat lawan ragu untuk maju, betapapun marahnya mereka.

   Mereka sadar pihak mereka memikul nama besar perguruan mereka, memalukan sekali kalau main keroyok, menandakan tidak percaya diri sendiri.

   Selagi orang Hoa-san-pai dilanda kebimbangan, berkatalah Seng-hua Tojin dengan suara berat bergetar.

   "Anak muda, jangan besar mulut! Kau kira hanya untuk menghadapi iblis kecil she Tong semacammu saja orang Hoa-san-pai harus mengeroyok?"

   "Hem,"

   Tong Gin-yan hanya mendengus. Waktu itulah Auyang Siau-hong ikut bicara.

   "Tuan pendekar yang mulia dari Hoa- san-pai dan lainnya, ijinkan aku bicara. Jangan lanjutkan pertikaian, sebab sebenarnya tak ada permusuhan apa antara Hoa-san-pai dan Hwe-liong-pang, kecuali soal gengsi. Padahal kedua pihak adalah sama pendekar yang menghadapi tugas yang lebih mulia, yaitu menumpas Hek-eng-po, komplotan iblis yang sebenarnya."

   Meskipun sikap Seng-hua Tojin terhadap auyang Siau-hong bisa dibilang cukup sopan, namun kelihatan sikap memandang remeh pula.

   "Nona kecil, kau siapa?"

   Sebutan "nona kecil itulah yang memperlihatkan pandangan remehnya. Auyang Siau-hong kemudian merasa perlu untuk meminjam nama dan kedudukan ayahnya di kalangan persilatan, untuk menambah bobot suaranya di kuping orang Hoa-san-pai itu.

   "Aku bernama Auyang Siau-hong, puteri Ketua Ki-lian-pai Auyang Peng-hong...."

   "Oh, kiranya puteri Ketua Ki-lin-pai...."

   Sahut Seng-hua Tojin datar saja. Sikap memandang remehnya tetap tidak berubah, maklum bahwa Ki-lian-pai cuma sebuah perguruan kecil yang tak sebanding dengan Hoa-san-pai yang nomor satu di wilayah barat.

   "Nona kecil, perguruanmu terhitung ada sedikit punya nama di wilayah tengah, kenapa nona bergaul dengan iblis kecil Hwe-liong-pang ini?"

   Sementara itu, Pakkiong Eng diam membatin.

   "Oleh imam hidung kerbau ini Yan- ko disebut "iblis kecil dan enci Hong disebut "nona kecil dan kalau dia tahu siapa diriku, mungkin akan disebutnya aku "orang Manchu kecil. Semuanya serba dianggap kecil...."

   Auyang Siau-hong sendiri menahan rasa mendongkolnya menghadapi keangkuhan imam ini.

   "Totiang yang terhormat, kenapa Totiang menyebut Hwe-liong-pang sebagai komplotan iblis? Yang aku ketahui, selama ini Hwe-liong-pang berbuat banyak perbuatan bajik untuk menegakkan keadilan, membasmi angkara murka......"

   Kata Auyang Siau-hong terpotong oleh suara mengejek Seng-hua Tojin dan beberapa orang lainnya, bukan cuma orang Hoa-san-pai tetapi juga Ngo-bi-pai.

   "He-he-he....nona kecil, kau benar masih hijau dalam pengalaman. Ketahuilah, Hwe-liong-pang dan Hek-eng-po ibarat dua permukaan dari sekeping mata uang. Sama dipimpin oleh Tong Lam-hou untuk menguasai dunia persilatan. Hwe-liong- pang pura berbuat kebajikan agar semua orang kagum, namun Hek-eng-po menteror dan mengganas untuk menyingkirkan siapa saja yang merintangi ambisi Tong Lam-hou, mewarisi ambisi Tong Wi-siang bapaknya, untuk menguasai jagat. He-he-he.... satu tangan berlumuran darah, sementara tangan lainnya tetap bersih, itulah akal busuk Tong Lam-hou!"

   Seandainya ada guntur meledak sejengkal di depan hidung mereka, agaknya Tong Gin-yan, Pakkiong Eng, dan Auyang Siau- hong tidak akan sekaget mendengar ucapan Seng-hua Tojin barusan.

   Tong Gin-yan yang paling tidak tahan lantas menggebrak meja dan berseru.

   "Hidung kerbau keparat! Dari mana kau dengar desas- desus yang berbisa itu?!"

   "Desas-desus berbisa katamu, iblis kecil?!"

   Sambar si imam tak kalah kerasnya.

   "Kata yang berasal dari mulut seorang pendekar agung mulia seperti Sebun Him itu kau anggap desas-desus berbisa?!"

   "Keparat! Sebun Him sendirilah Hek-eng Pocu! Kenapa kejahatannya ditimpakan kepada ayahku?!"

   "Kurang ajar! Kalian berani memfitnah Sebun Sute?! Itu berarti memfitnah Hoa-san- pai juga!"

   Tong Gin-yan dan temannya insyaf, kelicikan Sebun Him ternyata mendahului langkah mereka.

   Belum sempat mereka mencari bukti nyata untuk membongkar kejahatan Sebun Him, Sebun Him sudah lebih dulu melemparkan fitnah ke alamat Hwe-liong- pang.

   Bermodal nama besar pribadinya serta ditulang-punggungi Hoa-san-pai, terang saja ucapan Sebun Him mendapat tempat di hati orang banyak.

   Apalagi diucapkan pada saat yang tepat, yaitu ketika puteranya sendiri tewas.

   Maka bersihlah Sebun Him dari kecurigaan.

   Sebaliknya Hwe-liong-pang memang punya noda hitam dalam sejarahnya.

   Sebagian orang Hwe-liong-pang pernah menyeleweng dan berbuat se-wenang di jaman lampau, maka gampang saja orang dibangkitkan kecurigaannya terhadap Hwe- liong-pang.

   Pakkiong Eng yang mewarisi bakat ayahnya dalam adu siasat, mau tak mau harus mengakui bahwa pihak Hwe-liong-pang kalah posisi dalam "percaturan melawan Sebun Him yang licik itu.

   "Kalian bisa bicara apa lagi?"

   Ejek Seng- hua Tojin melihat Tong Gin-yan bertiga ter- mangu.

   "Kalian tentu kaget sekali bahwa kejahatan kalian yang di-tutupi begitu rapi ternyata terbongkar oleh Sebun Sute, bukan?"

   "Tidak!"

   Tiba Auyang Siau-hong menghunus pedang dan berdiri dengan gagahnya.

   "Kalian tertipu oleh Sebun Him, Hek-eng Pocu yang sebenarnya itu! kalian tertipu!"

   "Nona kecil, minggirlah ke samping, jangan ikut campur!"

   Bentak Seng-hua Tojin.

   "Mengingat kau masih muda, kurang pengalaman, kekeliruanmu bersahabat dengan iblis kecil she Tong ini bisa kumaafkan. Apalagi kau puteri Ketua Ki-lian-pai. Tapi iblis kecil ini harus ditumpas sebagai tebusan nyawa keponakan muridku, Sebun Hiong!"

   "Aku tidak mau minggir!"

   Auyang Siau- hong bersikeras.

   "Aku tidak bisa tinggal diam melihat yang hitam dikatakan putih dan yang putih dikatakan hitam! Biarpun ilmu silatku rendah, aku akan membela sahabatku, membela keyakinanku bahwa mereka tidak bersalah!"

   "Nona kecil, kau rupanya sudah kena sihir jahat iblis kecil itu sehingga lebih mempercayainya daripada mempercayai hasil penyelidikan seorang pendekar mulia seperti Sute Sebun Him ya? Jangan salahkan kami kalau kami tidak sungkan lagi terhadapmu...."

   "Siau-hong, minggirlah,"

   Tong Gin-yan ikut membujuk, karena tahu kepandaian Auyang Siau-hong yang rendah itu takkan dapat membendung orang Hoa-san-pai yang sebenarnya sedang diperalat Sebun Him tanpa mereka sadari.

   "Biarlah aku coba kepandaian tuan malaikat suci bersih ini. Tuan yang gemar menempelkan cap iblis kepada lain orang, sementara menganggap diri sendiri dewa sempurna yang tak mungkin bertindak keliru. Tapi aku tidak heran. Mereka orang Hoa-san-pai, Sebun Him juga orang Hoa-san-pai, tentu saja membela orang sendiri secara matian tak peduli benar atau salah...."

   "Iblis kecil, mulutmu yang menyebarkan bisa itu harus dibungkam!"

   Seru Seng-hua Tojin.

   Sepasang telapak tangannya menghantam pinggiran meja di hadapannya, dan meja itu tiba berpusing meluncur ke arah Tong Gin-yan.

   Mangkuk, piring, sumpit, poci arak dan benda lain di atas meja berhamburan bagaikan makhluk bernyawa, menyerang Tong Gin-yan.

   Putera Hwe-liong Pangcu itu waspada, ia sadar bahwa kemahiran yang ditunjukkan oleh Seng-hua Tojin itu bukan sekedar gwa- kang seperti Kong Beng-thian tadi, melainkan permainan lwe-kang yang lebih sulit dihadapi.

   Dengan cepat meja berpusing itu tiba di depan Tong Gin-yan, mengancam menyodok dada Tong Gin-yan dengan tepi mejanya sendiri.

   Sementara "senjata terbang berupa mangkuk, poci, sumpit dan lainnya telah menyerbu datang pula dengan kecepatan kilat.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam mendorong meja itu, si imam menggunakan tekhnik penyaluran tenaga yang disebut Kek-san-ta-gu (dari balik gunung memukul kerbau).

   Tenaganya menyerang Tong Gin-yan secara tidak langsung, lewat mejanya sendiri yang dipukul ke depan, lalu mejanya sendiri membentur meja Tong Gin-yan, jadi berantai dua kali.

   Sebagai anak muda yang berdarah panas, sebenarnya Tong Gin-yan tidak suka adu kepandaian dengan cara ber-belit seperti itu, ia lebih suka saling gebrak dengan jurus silat dengan sasaran tubuh lawan.

   Tapi kini mau tak mau harus melayani permainan tenaga dalam Seng-hua Tojin itu.

   Sementara Auyang Siau-hong sudah ditarik ke samping oleh Pakkiong Eng.

   Tong Gin-yan membentak perlahan kelihatannya tetap duduk di bangkunya, namun sebenarnya pantatnya tidak menempel bangku karena ia dengan kaki lebar memasang kuda Co-ma-se (sikap menunggang kuda).

   Tangan kiri dengan tenaga secukupnya menahan tepi meja agar jangan menyodok dadanya, tangan kanan mengerahkan Kim- liong-jiu seperti ketika mengambil bendera tadi, melakukan gerakan se-olah meraup sesuatu di tengah udara.

   Baik Tong Gin-yan maupun Seng-hua Tojin sama kaget oleh hasil benturan tenaga dengan cara aneh itu.

   tong Gin-yan merasa lengan kirinya tergetar, menandakan tenaga yang dikirim si imam lewat dua meja itu cukup besar.

   Sedangkan Seng-hua Tojin kaget melihat gerak Kim-liong-jiu si anak muda berhasil membelokkan arah benda yg beterbangan tersebut ke arah lain tanpa menyentuhnya.

   "Boleh juga lwe-kang anak iblis ini,"

   Geram Seng-hua Tojin dari dalam hati.

   Tadinya ia memandang rendah, sebab biasanya pendekar muda kurang memperdalam lwe- kang, lebih suka membesarkan otot untuk berkelahi dengan cara kekerasan atau untuk sekedar bergaya.

   Meskipun Tong Gin-yan tidak kalah dalam "acara adu tenaga dalam itu, namun ia memang tidak menyukainya.

   Ia menyukai bertempur yang benar.

   Karena itulah ia menghunus pedangnya, tidak menunggu sampai Seng-hua Tojin menunjukkan "acara sulapan berikutnya.

   Ia segera mendahului menyerang.

   Dua meja di depannya ditendangnya ber-turut sehingga melayang ke arah Seng- hua Tojin semua.

   Tendangannya itupun ternyata bukan tendangan kasar yang sekedar cepat dan bertenaga, melainkan membuat kedua meja itu melayang seperti sebuah jurus.

   Meja pertama melayang ke kepala si imam, sedang meja ke dua tidak melayang lurus tapi melengkung dari samping untuk menggempur bagian samping lawan.

   Seperti serangan si imam tadi, serangan Tong Gin-yan inipun disertai mangkuk, sumpit, pinggan dan lain yang tumpah ke arah Seng-hua Tojin semua, bahkan potongan daging rusa panggang.....

   Seng-hua Tojin harus melompat meninggalkan bangkunya, mengebaskan kedua lengan jubahnya beberapa putaran untuk menghalau serangan.

   Tapi toh pinggangnya terbentur sudut meja yang melayang dari samping, dan pundaknya terciprat kecap bumbu daging rusa.

   Dari hasil adu lempar meja itu, jelaslah Seng-hua Tojin di pihak yang kalah.

   Itu cukup diketahui oleh rombongannya, membuat hati orang Hoa-san-pai jadi sedikit kecut.

   Seng-hua Tojin adalah tokoh unggulan perguruan, namun aganknya kepandaiannya masih kalah setingkat dari "iblis kecil she Tong itu.....

   Seng-hua Tojin sendiri paham dirinya sudah kalah, mukanya semakin merah tua karena malu dan marah.

   Sekali tangannya bergerak ke belakang pundak dengan kecepatan tak terlihat, pedangnya telah terhunus di tangannya.

   "Iblis kecil, cicipilah Hoa-san-kiam-hoat (ilmu pedang Hoa-san)!"

   Bentaknya, dan membuka dengan jurus Liong-leng-hong-bu (naga melingkar dan burung hong menari). Bentakannya tadi tidak terdengar, sebab tenggelam oleh bentakan Tong Gin-yan yang lebih keras.

   "Hidung kerbau, cicipilah Tiam-jong-kiam-hoat (ilmu pedang Tiam-jong)! Karena jumlah kata dalam kalimat maupun susunan kalimatnya sama, maka kedua orang itu seakan melakukan paduan suara. Hanya kata "cicipilah yang terdengar berbarengan dan serasi, sedangkan kata sebelum dan sesudahnya bertumpukan dan ternyata seruan Seng-hua Tojin kalah keras. Sudah katanya kalah keras, pedangnyapun kalah cepat. Jurus "naga melingkar, hong menari itu sebenarnya terdiri dari dua goresan melingkar sebagai upaya membingungkan arah dan disusul tusukan telak ke sasaran yang sebenarnya. Tapi si imam baru sempat melakukan satu lingkaran, pedangnya sudah tercongkel ke atas oleh pedang Tong Gin-yan sehingga hampir lepas dari tangan. Menyusul kaki kiri Tong Gin-yan menyepak ke rusuk si imam. Ilmu pedang si imam mengandung unsur keindahan, sedang ilmu pedang Tong Gin-yan mempersetankan gerak manis sebagai hiasan belaka. Itulah ilmu pedang yang disusun khusus untuk berkelahi. Melulu untuk berkelahi. Maka bingunglah Seng-hua Tojin menghadapi keganasannya. Kakinya diangkat, lututnya mencoba melindungi rusuknya dari tendangan Tong Gin-yan. Dan hasilnya, si imam terdorong keras ke belakang, punggungnya membentur meja dan jubah kuningnya kembali terhias beberapa titik kecap asin....

   "Hidung kerbau, supaya kau ada peluang untuk menang, hayolah suruh begundalmu untuk maju semua! Jangan malu!"

   Dalam kemarahannya toh Tong Gin-yan sempat juga menggunakan akalnya.

   Ia sadar dirinya akan mampus tercincang apabila orang Hoa-san-pai semua maju mengeroyoknya.

   Maka sengaja ia mengejek, menantang untuk dikeroyok, tujuan sebenarnya justru untuk memagari mereka dengan harga diri mereka sendiri agar tidak main keroyok.

   Benar juga, demi gengsi pribadinya juga gengsi perguruannya, Seng-hua Tojin bertekad akan bertempur sendirian apapun akibatnya.

   Ketika melihat orangnya hendak ikut maju, diapun membentak.

   "Tetap di tempat kalian! Iblis kecil ini nanti mengira nama besar Hoa- san-pai didapatkan hanya karena main kerubut!"

   Habis itu ia meluncur dan pedangnya berkelebatan kencang sehingga berujud segulung cahaya perak yang menyilaukan yang menggempur Tong Gin-yan.

   Lawannya yang umurnya separuh kurang dari umur si imam itupun menyambut dengan beringas.

   Maka di dalam warung itu bertemulah dua gaya ilmu pedang, dua arus kemarahan.

   Pemilik warung hanya meratapi nasibnya, entah ia berdosa kepada dewa yang mana sehingga warungnya mendapat cobaan seberat itu? Cahaya pedang saling membelit, menggulung, membentur dengan suara berdentangan.

   Tapi tidak sampai limapuluh jurus, betapapun bernafsunya Seng-hua Tojin untuk menunjukkan ilmu pedang Hoa-san-pai, ia tetap harus mengakui tekanan lawan semakin berat.

   Ia mulai sering mundur dan mundur terus, bahkan ber-putar di antara meja warung yang semakin banyak terjungkal berantakan.

   Sedang Tong Gin-yan memburu terus, ia masih mendongkol mengingat orang Hoa-san-pai itu hampir saja membakar bendera Hwe-liong-pang dan telah mencaci- maki ayah dan kakeknya....

   Di sisi lain, betapapun sulit keadaannya, Seng-hua Tojin tetap enggan membuka mulut untuk minta bantuan orang lain, meskipun dalam hati mulai mengharapkannya.

   Ia tak menduga kalau "iblis cilik ini ternyata begini beringas....

   Pemimpin rombongan Ngo-bi-pai adalah seorang pendeta yang sekujur tubuhnya penuh bulu lebat, kecuali kepala gundulnya yang menjadi ciri khas kaum pendeta.

   Namanya Gong-sim Hweshio, tapi lebih dikenal dengan nama olokan Mao-mao Hweshio, si pendeta berbulu.

   Melihat kesulitan rekannya dari Hoa- san-pai, pendeta ini segera menghunus pedangnya dan berseru dari pinggir arena.

   "Toyu, menghadapi iblis cilik ini kita harus bahu-membahu. Kita tidak sedang dalam arena pi-bu!"

   Baru saja Seng-hua Tojin hendak membuka mulut untuk menjawab, ia sudah buru melompat mundur karena pedang Tong Gin-yan berdesir dekat sekali di mukanya. Ia selamat, tetapi jenggotnya terbabat tiga perempat lebih, hanya dua senti dari janggutnya.

   "Kau kelihatan lebih muda dan tampan sekarang, hidung kerbau...."

   Ejek Tong Gin- yan. Lalu pedangnya berputar seperti badai menerjang sambil berkata lagi.

   ".... lebih bagus lagi kalau gelung imammu yang menjemukan itu dibabat sekalian."

   Seng-hua Tojin terkesiap.

   Alangkah kehilangan muka kalau kondenya terbabat pula.

   Matian ia putar pedang membela diri, tapi tetap ggal.

   Konde rambutnya benar terbabat putus sehingga rambutnya terurai tak keruan.

   Bagi imam yang angkuh itu, lebih baik jika lehernya dipenggal sekali, daripada dipermainkan sehebat itu.

   Di luar dugaan siapapun, dia tiba melompat mundur dan pedangnya digoreskan kuat ke lehernya sendiri! "Jangan!"

   Kata yang sama terlontar dari mulut Tong Gin-yan, Pakkiong Eng, Gong- sim Hweshio dan Kong Beng-thian secara bersamaan.

   Tapi terlambat.

   Imam itu langsung jatuh terkapar dengan urat leher putus, matanya mendelik, meng-geliat sebentar dan kemudian tewaslah ia menjadi korban dari gengsinya sendiri....

   Tong Gin-yan berdiri ter-mangu, tak menyangka lawannya brwatak begitu keras sehingga lebih suka menggorok leher sendiri daripada mengakui kemenangan lawan.

   Ia merasa gagal memahami watak orang lain.

   Dikiranya semua orang sama terbuka pikirannya seperti dirinya sendiri.

   Kalau kalah ya mengaku kalah, kalau masih sempat memperpanjang hidup dengan langkah seribu ya langkah seribu, seperti waktu ia menghadapi Jiat-jiu Lokoai dulu.

   Tak terpikir Seng-hua Tojin membunuh diri cuma karena gengsi....

   Sementara itu, Pakkiong Eng menduga bahwa urusan akan semakin sulit dibereskan dengan matinya Seng-hua Tojin.

   Tapi ia tidak menyalahkan Tong Gin-yan.

   Kalau pihak Hoa- san-pai begitu matian mempertahankan gengsi, memangnya pihak Hwe-liong-pang tidak boleh mempertahankan gengsi pula setelah benderanya hendak dibakar, dan ayah Tong Gin-yan dicaci-maki dengan keji? Benar juga, dengan mata merah menyemburkan kemarahan dan pedang terhunus, orang Hoa-san-pai mulai melangkah mengurung Tong Gin-yan.

   Kong Beng-thian mengambil pedang di tangan Seng-hua Tojin sebagai ganti pedangnya yang tadi patah, dan menggeram sengit.

   "Dengan pedang Seng-hua Suheng ini, akan kucincang tubuhmu, iblis cilik, agar arwah Suheng tenteram di alam baka..."

   Orang Hoa-san-pai mengepung di lingkaran dalam, sedang orang Ngo-bi-pai di lingkaran luar.

   Dengan demikian, Tong Gin-yan terkurung dua lapis kekuatan.

   Bukan kesulitan yang ditakuti putera Ketua Hwe-liong-pang ini, namun kesalahpahaman yang semakin men- jadi itu justru memberi keuntungan besar bagi Sebun Him, baing keladi yang asli, yang selama ini bersembunyi dengan rapi di balik namanya yang harum sebagai "penentang Hek- eng-po yang paling gigih.

   "Kalian diracuni salah-paham dan terlalu mendesak diriku,"

   Kata Tong Gin-yan menyesal.

   "Kenapa tidak kalian selidiki dulu dengan teliti tentang duduk perkara yang sebenarnya, dan mempercayai bulat semua fitnahan Sebun Him terhadap kami, mentang dia segolongan dengan kalian?"

   "Singkirkan dulu urusan lain, kita bicarakan hutang-piutang darah yang di depan mata!"

   Bentak Kong Beng-thian sambil maju selangkah.

   "Kematian Seng-hua Suheng harus dibalas!"

   "Tapi tadi kalian tidak melihat dan mendengar apa yang terjadi? Atau berlagak buta-tuli? Seng-hua Tojin membunuh diri dengan pedang sendiri, aku bahkan sudah berteriak mencegahnya!"

   "Tapi kaulah penyebab kematiannya! Suheng bunuh diri karena kau hina dia kelewat batas!"

   "Baik, aku tadi memang membuatnya malu, tapi kalian lupa sebabnya? Pihak kalian menyuruh si tukang warung membakar bendera Hwe-liong-pang dan mencaci ayah serta mendiang kakekku, apakah juga bukan penghinaan kelewat batas?"

   "Itu bukan penghinaan, tapi membeber kenyataan. Kakek dan ayahmu memang iblis besar! Hwe-long-pang memang patut dicaci, dikutuk, bahkan ditumpas....."

   Tong Gin-yan tertawa mengejek dan menyambung ucapan Kong Beng-thian itu dengan nada sinis.

   "..... sedangkan Hoa-san- pai patut dikagumi, dihormati dan ditaati semua katanya biarpun merupakan fitnah, begitu?!"

   "Jangan banyak mulut! Pokoknya hari ini kehormatan Hoa-san-pai hanya dapat dicuci bersih dengan muncratnya darah iblis Hwe- liong-pang semacam dirimu!"

   Tong Gin-yan geleng kepala menghadapi sikap keras kepala dari orang yang mengepungnya itu.

   "Sayang sekali. Hoa-san-pai adalah sebuah perguruan besar dan berpengaru, punya peluang besar untuk ikut ambil bagian dalam peningkatan keamanan dan kesejahteraan umat manusia. Tapi apa yang kalian lakukan? Kalian hanya mem-buang waktu untuk ngotot mempertahankan gengsi, membanggakan ilmu pedang paling unggul untuk menindas golongan lain, mencari nama besar. Hm, sayang sekali. Dan kekerdilan jiwa kalian itu dimanfaatkan oleh iblis Hek-eng Pocu yang sebenarnya untuk keuntungannya sendiri. Kalian diperalat oleh iblis itu, namun kalian masih saja tidak sadar dan mabuk kebanggaan sebagai pembela kebenaran...."

   Ucapan itu terputus karena Kong Beng- thian telah membentak dan menikam.

   Kali ini si Pedang Bayangan Maut tidak mau dipecundangi seperti tadi, maka biarpun marah ia menyerang dengan cermat dan penuh perhitungan.

   Gerakannya adalah aba bagi semua orang Hoa-san-pai untuk bergerak serempak.

   Sebelas batang pedang lainnya pun segera bergerak dari segala penjuru dengan berbagai jurus dan berbagai sasran di tubuh Tong Gin- yan.

   Maka dalam sedetik saja tubuh Tong Gin- yan bagaikan dilingkupi jaring cahaya pedang dari delapan penjuru.

   Menghadapi gabungan jago Hoa-san- pai itu, Tong Gin-yan tidak ingin terlena sedetikpun.

   Sepasang kakinya dengan gesit seolah meluncur di atas es licin melakukan langkah Ih-sing-hoan-wi (merubah bentuk pindah kedudukan) agar tubuhnya tidak menjadi sasaran diam dari ujung pedang lawan.

   Dibarengi pedangnya berputar kencang membuat perisai lebar untuk membendung serangan dari segala penjuru.

   Terdengar suara berkerontangan dari pedang yang saling berbenturan.

   Orang Hoa- san-pai yang mengepung terdiri dari berbagai angkatan dan tingkat kemahiran ilmu pedang, ada yang tinggi ada yang rendah.

   Yang rendah ilmu pedangnya segera kehilangan pedang karena tersapu lepas oleh putaran pedang Tong Gin-yan yang sangat bertenaga.

   Tetapi ujung pedang Kong Beng-thian serta seorang jago lainnya yang setingkat dengannya, berhasil menerobos pertahanan Tong Gin-yan dan melukai lengan serta pundak anak muda itu.

   Bagaimanapun rapatnya putaran pedang Tong Gin-yan, tak mungkin menghalau duabelas batang pedang musuh sekaligus, apalagi adanya orang sekaliber Kong Beng- thian.

   Luka yang didapatnya itu menyadarkan Tong Gin-yan bahwa ruangan warung yang sempit itu sangat tidak menguntungkan untuk menghadapi keroyokan sekian banyak musuh, ia bisa terjepit dan tercincang.

   Ia harus keluar.

   Namun jalan keluar terjaga oleh orang Ngo- bi-pai.

   *Oz* Bersambung ke

   Jilid 34 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 34 Tiba Tong Gin-yan membentak keras dan mengerahkan segenap kekuatan dan kecepatannya, dengan mengambil resiko maut, ia membuka jurus pertahanan totalnya menjadi jurus serangan total ke segala arah.

   Ber-turut Pat-hong-hong-ih (hujan angin delapan penjuru) dan Hui-boh-liu-coan (air terjun berpusar) dilancarkan dengan sengit.

   Akibat terbukanya pertahanan, pedang seorang saudara seperguruan Kong Beng-thian berhasil menyelonong kembali melukai pundaknya.

   Namun sebagian besar musuh juga berhasil dipaksa berlompatan mundur oleh serangannya, seorang murid Hoa-san-pai yang kurang tangkas menghindar atau menangkis, bahkan tersabet pinggangnya hingga berdarah.

   Peluang yang hanya sepersekian detik selagi musuh melonggarkan kepungan untuk mengatur gelombang serangan baru, segera digunakan Tong Gin-yan untuk meninggalkan arena yang kurang menguntungkan tersebut.

   Jalan keluar yang dipilihnya bukan pintu atau jendela yang dijaga murid Ngo-bi-pai, melainkan dengan menjebol atap warung yang hanya terbuat dari jerami yang diikat pada ranting rapuh.

   Tubuhnya melambung tegak lurus ke atas, pedangnya merobek atap dan ia menerobos keluar bagaikan seekor ikan lumba keluar dari permukaan air.

   Tindakan itu memang agak di luar dugaan musuhnya, sehingga sesaat lamanya mereka terperangah.

   Tapi detik berikutnya Kong Beng-thian berteriak.

   "Jangan biarkan lolos!"

   Jagoan mabuk dendam itupun segera berhamburan keluar memburu Tong Gin-yan.

   Orang Hoa-san-pai tetap maju di lapisan terdepan, sedang orang Ngo-bi-pai tetap hanya membantu mengepung di lingkaran luar agar "iblis kecil itu tidak dapat kabur.

   Si tukang warung lega melihat mereka melanjutkan pertempuran di luar, tetapi warungnya sudah terlanjur porak-poranda seperti habis dilewati serombongan gajah mengamuk...

   Di luar warung, karena tempatnya luas maka Tong Gin-yan lebih leluasa memperagakan kelincagan langkahnya yang ber-liku, atau serangan lompatan yang membuat kepungan musuh tak pernah berhasil mapan, seperti permukaan air yang senantiasa diguncang angin.

   Tubuhnya yang melejit kian kemari membuat pihak Hoa-san-pai senantiasa menyesuaikan diri dalam cara mengurung lawan lincah itu, tak pernah berhasil memaku Tong Gin-yan di satu titik pertahanan seperti ketika masih dalam warung tadi.

   Tetapi Tong Gin-yan sendiri sadar sepenuhnya, dirinya sendiri tak mungkin lolos juga, meskipun ia masih punya ilmu andalan yang belum keluar, Hian-im-ciang.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia mengeluh dalam hati, ia benar membenci perkelahian konyol dengan pihak Hoa-san-pai yang tidak membawa kebaikan apapun bagi kedua pihak.

   Hanya karena ulah adu-domba Hek-eng Pocu alias Sebun Him.

   Kalau ada kesempatan, ia ingin meninggalkan arena saja, bahkan juga seandainya ia berpeluang memenangkan perkelahian.

   Tapi peluang itu tidak ada.

   Selain itu, ia juga di pihak yang lebih merugikan.

   Ia berusaha menghindari sejauh mungkin agar pedangnya tidak lagi membunuh seorangpun dari Hoa-san-pai, kematian seorang Seng-hua Tojin sudah cukup.

   Kalau ia ragu membunuh, sebaliknya pihak Hoa-san- pai justru sangat bernafsu mencincangnya dengan pedang.

   Melihat kesulitan Tong Gin-yan, Pakkiong Eng jadi penasaran, katanya.

   "Enci Hong, kau pergilah dulu, biar aku dan Yan-ko nanti menyusulmu...."

   Tetapi Auyang Siau-hong juga menghunus pedangnya dan menjawab tegas.

   "Ucapan apaan itu, adik Eng? Membeberkan yang salah dan yang benar adalah kewajiban semua orang yang punya hati nurani! Mari kita ber-sama membantu Yan-ko!"

   "Tetapi.... tetapi mereka tahu kau puteri Ketua Ki-lian-pai, tindakanmu bisa melibatkan Ki-lian-pai dalam permusuhan dengan Hoa- san-pai dan Ngo-bi-pai...."

   "Aku tak peduli. Sekalipun kedua perguruan itu jauh lebih besar dari Ki-lian-pai, apa mereka lalu dibiarkan saja menuduh dan menghukum orang tak bersalah dengan se- wenang? Hayo maju!"

   Melihat tekad temannya demikian bulat, Pakkiong Eng merasa berterima kasih juga.

   Ilmu Auyang Siau-hong tidak tinggi, namun selama melakukan perjalanan bersama Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng, Auyang Siau-hong juga memetik keuntungan dalam segi peningkatan ilmu pedangnya, sebab ia mendapat banyak petunjuk berharga dari kedua sahabatnya tersebut.

   Tapi untuk bisa bergabung dengan Tong Gin-yan, mereka harus menembus lebih dulu lapisan luar penjagaan orang Ngo-bi-pai.

   Begitu melihat kedua gadis itu menghunus pedang dan mendekati arena, Gong-sim Hweshio cepat menghadang dan membentak.

   "Jiwi Siocia, kalau kalian bukan anggota Hwe- liong-pang, lebih baik jangan ikiut campur. Apalagi nona kecil puteri Ketua Ki-lian-pai ini...."

   Karena yang dihadapi cuma dua gadis di bawah usia dua puluh tahun, maka si pendeta penuh bulu agak memandang enteng.

   Apa bahayanya makhluk yang mirip boneka porselen ini? Pikirnya.

   Tapi ia kaget ketika pedangnya yang ditodongkan tiba dibelit dan diputar oleh pedang Pakkiong Eng, hampir lepas dari tangan kekar si pendeta kalau ia tidak cepat melangkah mundur.

   "Kau saja yang mundur, bapak pendeta yang berbulu...."

   Kata Pakkiong Eng sambil balas menodongkan pedangnya. Sebetulnya diapun kaget bahwa pedang si hweshio tidak terlepas dari tangan karena pelintirannya tadi. Itu menandakan hweshio inipun bukan lawan ringan.

   "Kurang ajar, kalian ternyata bersimpati kepada iblis cilik itu dan harus dihajar pula!"

   Bentak Gong-sim Hweshio.

   Kemudian ia menyerang kedua gadis itu dengan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat gaya Ngo-bi-pai.

   Maka bertempurlah mereka, dan kedua "boneka porselen itu ternyata mampu merepotkan si hweshio berbulu, terutama Pakkiong Eng yang memainkan Thian-liong- kiam-hoat (Ilmu Pedang Naga Langit) ajaran ayahnya.

   "Thian-liong-kiam-hoat!"

   Gong-sim Hweshio berseru kaget dan terdesak mundur.

   "Kau apanya Pakkiong Liong?"

   "Aku puterinya!"

   Sahut Pakkiong Eng sambil terus mendesak tanpa sungkan lagi, sebab ia mencemaskan keselamatan Tong Gin- yan yang menghadapi kerubutan orang Hoa- san-pai.

   Terdengar kain robek ketika pedang si gadis menggoreskan luka memanjang dari pundak sampai ke punggung telapak tangan Gong-sim Hweshio.

   Bagian pakaian yang namanya dulu "lengan baju sekarang hanyalah seperti sehelai bendera salah pasang di pundak Gong-sim Hweshio.

   Tentu saja penampilan angkernya jadi kacau.

   "Pantas! Pantas kalau si anjing Manchu cilik bersahabat dengan iblis cilik!"

   Si pendeta berbulu mencak marah.

   Nah, betul juga ramalanku, pikir Pakkiong Eng.

   Akhirnya kudapatkan juga sebutan itu.

   si anjing Manchu cilik.

   Karena Gong-sim Hweshio sendirian tak mampu membendung Pakkiong Eng, apalagi ditambah Auyang Siau-hong, maka orang Ngo-bi-pai lainnya segera maju mem-bentak dan mengeroyok kedua gadis itu.

   Mula agak sungkan juga sekian banyak lelaki gagah mengepung dua gadis muda, namun keadaan telah memaksa agar kulit muka sedikit ditebalkan.

   Dengan demikian terjadilah dua lingkaran perkelahian di pinggir jalan besar itu.

   tong Gin-yan dikepung orang Hoa-san-pai sedangkan Pakkiong Eng dan Auyang Siau- heng digempur ber-tubi orang Ngo-bi-pai.

   Tengah perkelahian berlangsung sengit, mendadak dari arah barat jalan itu, juga dari arah kota Se-shia, kembali muncul serombongan orang berpakaian aneka ragam dan membawa senjata semua.

   Kemungkinan besar merekalah rombongan jago silat yang baru pulang dari Se-shia pula untuk melayat Sebun Hiong.

   Melihat munculnya orang itu mengeluhkah Tong Gin-yan dalam hatinya.

   "Celaka duabelas! Kaum kepala batu yang kuhadapi ini saja sudah cukup merepotkan, kalau ditambah dengan musuh baru maka aku benar akan mati tercincang sebagai iblis cilik di tempat ini...."

   Karena terjepit keadaan sulit pulalah maka Tong Gin-yan mulai bersikap lebih keras terhadap lawannya, tidak peduli akan memakan korban.

   Seorang murid Hoa-san-pai yang masih muda tersambar tendangan Pek- pian-lian-hoan-tui (tendangan berantai seratus pergantian) Tong Gin-yan sehingga terkapar muntah darah.

   Sementara rombongan orang yang baru datang itu sudah melihat ada pertempuran di tengah jalan tersebut dan mulai ber-teriak.

   "He, ada perkelahian! Mari kita lihat!"

   "Bukankah mereka itu teman dari Hoa- san-pai dan Ngo-bi-pai?!"

   "Dan yang dikeroyok itu bukankah Tong Kongcu, putera Hwe-liong Pangcu Tong Taihiap?"

   "Tentu mereka bertempur gara desas- desus di Se-shia itu!"

   Orang itu segera ber-larian mendekati arena pertempuran. Berbagai senjata yang mereka bawa mereka acungkan sambil ber- seru.

   "Tahan! Kedua belah pihak harap menahan diri!"

   "Teman sendiri! Teman sendiri!"

   Rombongan itu campur-aduk dari perguruan Jing-sia-pai, Khong-tong-pai, dan tokoh perorangan dari wilayah Ou-lam dan Se-cuan, kentara dari logat bicara mereka.

   "Tong Kongcu dan saudara Kong Beng- thian, harap kalian suka mendengarkan ucapanku sebentar dan menghentikan gerak pedang kalian!"

   Seorang tokoh Jing-sia-pai yang berwujud seorang lelaki kurus kecil setengah abad, berjenggot seperti jenggot kambing, bukan cuma berteriak dari luar arena tetapi juga langsung menyelinap ke tengah arena.

   Kedua belah pihak terpaksa menahan senjata masing karena sama tidak ingin melukai si penengah dari Jing-sia-pai ini.

   Jalan terobosan si jenggot kambing segera ditiru oleh beberapa temannya ke arah lingkaran pertempuran antara Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong yang dikepung orang Ngo-bi-pai.

   Para petugas "gencatan senjata itu menunjukkan ilmu silat yang baik sehingga mereka berani masuk arena dengan resiko tertikam pedang kedua belah pihak yang bertikai.

   Begitulah, hadirnya mereka membuat perkelahian terhenti, semua orang memisahkan diri untuk menggerombol dalam kelompok masing.

   Jadi ada tiga kelompok sekarang.

   Kong Beng-thian langsung saja melepaskan jerat agar rombongan baru itu begabung ke pihaknya.

   "Saudara Cukat, harap kau ketahui bahwa iblis cilik Hwe-liong-pang itu sudah menyebabkan kematian Suheng Seng-hua Tojin! Kalau tidak ditumpas, pasti korban berikutnya akan jatuh......!"

   Tong Gin-yan menarik napas, satu lagi ia berhasil mengenali sifat jiwa sempit dari orang macam Kong Beng-thian dari golongan lurus, yang tak segan memutar-balik kenyataan untuk membenarkan diri sendiri demi mencari dukungan bagi pendapatnya.

   Si jenggot kambing yang bernama Cukat Hui-goan kaget, kalau sudah ada korban jiwa, urusan barangkali akan sulit didamaikan.

   Ia menoleh ke arah Tong Gin-yan dan bertanya.

   "Benarkah itu, Tong Siaupangcu?"

   Panggilan "Siaupangcu" (Ketua Muda) bernada menghormat itu kontan saja membuat Kong Beng-thian dan konconya mengerutkan kening tanda hatinya tak suka. Tong Gin-yan tidak langsung menjawab, namun malah balik bertanya.

   "Paman Cukat, seandainya ada orang luar hendak menghinakan lambang kehormatan Jing-sia- pai, menyebut Jing-sia-pai sebagai komplotan iblis, me-maki leluhurmu dengan kata kotor di depan umum, paman akan berbuat apa?"

   "Sudah tentu aku akan membela kehormatan perguruan dan leluhurku biarpun ilmu silatku rendah. Dan berusaha menghapuskan tuduhan keji itu..."

   "Itualh. Kami dan mereka sama makan di warung itu. lalu mereka tanpa hujan angin tiba hendak membakar bendera Hwe-liong- pang dan menyurh si tukang warung mencaci- maki ayah dan mendiang kakekku. Kami bertempur, sedangkan Seng-hua Tojin mati membunuh diri."

   "O, kiranya demikian. Saudara Kong dan saudara Gong-sim Taisu, kita orang yang berkecimpung dalam dunia persilatan, seumur hidup kita entah mengalami pertempuran berapa ratus kali. Ada kalanya menang dan kita bangga, tapi ada kalanya kalah dan kecewa atau malu. Kalau hanya kalah terus bunuh diri, bukankah kaum pendekar lama habis? Bukan terbunuh musuh tapi terbunuh senjatanya sendiri? Aku pikir, Seng-hua Tojin itu juga agak sempit pikirannya...."

   Begitulah, meskipun Cukat Hui-goan berhasil melerai perkelahian, tapi gagal menjadi penengah yang netral.

   Maklumlah, pusat perguruannya ada di gunung Jing-sia-san di propinsi Se-cuan, jadi satu propinsi dengan Hwe-liong-pang yang bermarkas di Tiau-im- hong.

   Tetangga.

   Namun yang membuat Cukat Hui-goan condong kepada Hwe-liong-pang bukan karena kekuatan Hwe-liong-pang, tapi karena sikap bertetangga baik yang berpuluh tahun ditunjukkan oleh Hwe-liong-pang terhadap Jing-sia-pai yang jauh lebih kecil.

   Ketika seorang murid Jing-sia-pai bentrok dan dilukai anggota Hwe-liong-pang, pihak Jing-sia- pai sebenarnya mendongkol tapi tak berani menuntut Hwe-liong-pang.

   Tak terduga justru Tong Lam-hou sendiri dengan rendah hati mengunjungi Jing- sia-pai untuk minta maaf dan membawakan obat bagi murid Jing-sia-pai yang terluka.

   Sendiri, tanpa pengawal, tanpa sikap agungan dari seorang ketua sebuah perserikatan terkuat di wilayah barat.

   Alhasil, kemarahan dan kemendongkolan larut habis dalam acara minum bersama yang penuh keakraban.

   Kecuali itu, Hwe-liong-pang di Se-cuan adalah kelompok yang dicintai rakyat, karena kekuatan yang mereka miliki digunakan sepenuhnya untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan.

   Kong Beng-thian yang berangasan itu langsung terbakar hatinya oleh ucapan Cukat Hui-goan.

   "Saudara Cukat, benar katamu bahwa kalah menang adalah urusan biasa. Tapi karena kematian Suheng gara iblis cilik Hwe- liong-pang itu, kami harus menuntut balas!"

   "Saudara Kong, ingat kata emas nabi kita Khong-hu-cu dalam kitab Lun-gi. apa yang kita sendiri tidak mau, jangan diberikan kepada orang lain. Saudara Kong menuduh Hwe-liong-pang sebagai kaum iblis, apakah terpengaruh hanya oleh desas-desus dari mulut usil di Se-shia itu? bagaimana kalau misalnya muncul kabar angin bahwa Hek-eng Pocu itu sebenarnya...... sebenarnya adalah..... saudara sendiri? Tapi jangan marah, ini hanya umpama lho. Apakah saudara mau dituduh sembarangan seperti itu?"

   Biarpun Cukat Hui-goan sudah berpesan "jangan marah, tetapi toh pihak Hoa-san-pai jadi merah paham wajahnya.

   Apalagi ketika mendengar orang di pihak Cukat Hui-goan ber-ramai bicara serabutan mendukung ucapan si jenggot kambing yang bicara dengan santai, kalimat demi kalimat sambil men- jungkitkan ujung bibirnya yang sebelah kiri, yg merupakan kebiasaannya sejak kecil.

   "Saudara Cukat, kabar yang bersumber dari Suheng Sebun Him sendiripun berani kau anggap mulut usil? Dia orang terhormat, katanya bisa dipercaya. Sedang, siapa tidak tahu sejarah Hwe-liong-pang yang penuh noda hitam? Sangat masuk akal kalau durjana Hek-eng Pocu itu sebenarnya adalah Tong Lam-hou sendiri. Eh, saudara Cukat, jangan kau juga termasuk anggotanya?"

   Kini ganti murid Hoa-san-pai dan Ngo- bi-pai yang ber-teriak mendukung serangan balik itu.

   Orang di pihak Cukat Hui-goan ber- teriak marah, tapi Cukat Hui-goan sendiri kelihatan tetap tenang sambil mengelus jenggot kebanggaannya.

   Katanya kalem.

   "Tentang sejarah masa lalu, perguruan atau kelompok mana yang tidak pernah punya anggota yang menyeleweng? Hwe-liong-pang begitu, tapi Hoa-san-pai, Ngo-bi-pai, juga kami sendiri dari Jing-sia-pai? Masih ingat peristiwa berdarah di Ki-lian-san duapuluh lima tahun yang lalu? Peristiwa itu membuktikan dalam setiap kelompok ada penyelewengnya, dan kita tidak boleh main gempur tanpa pandang bulu lagi. tapi desas-desus tentang Hwe-liong Pangcu itu tidak dapat dipertanggung jawabkan...."

   "Jadi secara tidak langsung kau menuduh Sebun Suheng menyebarkan desas- desus tak bertanggung jawab, begitu?"

   "Ya, tidak. Mungkin Tong Pangcu maupun Sebun Taihiap sama tidak bersalah, keduanya sama tokoh terhormat penentang Hek-eng-po, lalu Hek-eng Pocu yang sebenarnya itulah yang menyebarkan desas- desus agar kedua pendekar itu baku hantam dan si Hek-eng Pocu itulah yang bakal mengeruk keuntungan. Kita jangan gampang termakan siasat adu domba."

   "Pintar kau bersilat lidah. Tapi pendapatmu itu baru merupakan dugaan kabur saja bukan? Mana buktinya?"

   "Ya memang baru dugaan. Tapi tuduhan terhadap Hwe-liong Pangcu itu apakah juga sudah ada buktinya? Baru kabar angin juga kan?"

   Keruan Kong Beng-thian bungkam kalah debat. Namun sedetik kemudian jagoan Hoa- san-pai itu meraung marah.

   "Kata Sebun Suheng tak mungkin keliru! Dia pasti benar!"

   Cukat Hui-goan menarik napas.

   "Begini hebat kalian percaya kepada Sebun Him, tapi apakah kalian tidak tahu bahwa Tong Pangcu juga punya pendukung di luar Hwe-liong-pang yang mempercayai setiap patah katanya, siap membelanya matian dari tuduhan fitnah?"

   Ucapan itu bukan sekedar gertak sambal.

   Ketika orang Hoa-san-pai dan Ngo-bi- pai dengan beringas siap untuk bergerak, maka orang Jing-sia-pai dan Khong-tong-pai juga menghunus senjata mereka dan siap berkelahi di pihak Tong Gin-yan.

   Kalau pertempuran meledak, agaknya bukan cuma Seng-hua Tojin yang akan berangkat ke nirwana.

   Tapi pada detik sepanas bara itu, terdengarlah suara Tong Gin-yan meredakan keadaan.

   "Tuan yang berjiwa lapang dari Hoa- san-pai, Ngo-bi-pai, Jing-sia-pai dan Khong- tong-pai, aku mohon dengan hormat sudilah tuan menyimpan senjata masing. Jangan lagi ada setetes darahpun tertumpah percuma karena masing melihat persoalan yang sama dari sendiri. Berilah waktu kepada kami dari Hwe-liong-pang untuk membersihkan diri dari tuduhan palsu tersebut."

   Lalu Tong Gin-yan membungkuk hormat dalam ke arah Kong Beng-thian.

   "Tentang kematian Seng-hua Tojin, kalau kalian anggap aku penyebabnya, terserahlah. Setelah persoalan fitnah ini selesai dengan tersingkapnya kedok Hek-eng Pocu yang sebenarnya, aku akan datang ke Hoa-san tanpa senjata dan seorang diri, kalian boleh minta pertanggung jawabam macam apapun dari diriku...."

   "Itu tidak adil....."

   Pakkiong Eng hendak memprotes keputusan Tong Gin-yan itu, namun ia bungkam ketika melihat Tong Gin- yan mengisyaratkannya agar diam.

   Betapapun panas hati Kong Beng-thian, namun ia sadar kali itu tidak mungkin memaksakan kehendak.

   Pihaknya pasti akan kalah, karena gabungan Jing-sia-pai dan Khong-tong-pai berjumlah lebih banyak dari campuran Hoa-san-pai dan Ngo-bi-pai.

   Pihak lawan juga masih diperkuat oleh si "iblis cilik dan si "anjing Manchu cilik yang tak bisa dianggap enteng.

   Maka orang Hoa-san-pai dan Ngo-bi- pai itupun segera meninggalkan tempat itu dengan membawa mayat Seng-hua Tojin.

   Mereka agaknya begitu marahnya sampai lupa membayar harga makanan dan minuman di warung tadi....

   Cukat Hui-goan meng-gelengkan kepala sambil menarik napas melihat kelakuan orang itu.

   "Percuma mereka memelihara jenggot panjang itu. Jenggot semakin panjang, tapi akal mereka malah semakin pendek seperti anak kecil saja...."

   "Paman dan saudara sekalian, terima kasih atas pertolongan kalian sehingga pertumpahan darah lebih lanjut terhindar,"

   Kata Tong Gin-yan kemudian kepada Cukat Hui-goan sambil menghormat.

   "Tapi seluruh Hwe-liong-pang lebih berterima kasih lagi atas masih kuatnya kepercayaan kalian terhadap Hwe-liong-pang biarpun beredar fitnahan keji itu."

   Semua membalas hormat dan bicara diwakili oleh Cukat Hui-goan.

   "Siaupangcu, satu tindakan nyata lebih meyakinkan itikad baik ketimbang gembar-gembor sejuta kata berbunga. Dengan mata kepalaku sendiri sudah aku lihat tindakan orang Hwe-liong- pang terhadap rakyat kecil di Se-cuan, karena itu kami tidak akan terpengaruh biarpun sejuta desas-desus buruk ditiupkan orang. Sekarang, ke mana tujuan Siaupangcu?"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mencari anak macan ke sarang macan,"

   Sahut Tong Gin-yan penuh tekad.

   "Mencari bukti kejahatan Hek-eng Pocu dan membongkar kedoknya!"

   Sengaja Tong Gin-yan menghindari kata yang menyebut langsung Sebun Him di Se-shia, sebab itu sama saja dengan menuduh sebelum ada bukti, jadi tak ubahnya dengan orang Hoa-san-pai tadi.

   "Siaupangcu, itu gawat sekali. Kami menawarkan tenaga kami untuk ikut mendatangi sarang macan itu...."

   "Terima kasih banyak, paman. Tetapi tenaga bantan di belakangku sudah cukup kuat. Seluruh anggota Hwe-liong-pang bertekad membuktikan fitnahan itu tidak benar. Tetapi kalau paman ingin membantu juga, aku pinta kesediaan paman untuk satu hal....."

   "Dengan senang hati, Siaupangcu. Katakanlah...."

   "Kalau paman di tengah jalan menjumpai pertikaian gara desas-desus ini, sukalah paman berusaha mendamaikan mereka se-bisanya. Jangan sampai darah tertumpah, baik dari pihak yang mempercayai desas-desus maupun pihak yang bersimpati kepada Hwe-liong-pang, sebelum persoalannya menjadi jelas benar. Tunggulah sampai bukti dibeberkan....."

   Kepala berjenggot kambing itu mengangguk mantap.

   "Baik, Siaupangcu. Kalau Hwe-liong Pangcu berhasil mendidik dan menanamkan sikap sebijaksana ini atas diri Siaupangcu, kami lebih tidak percaya lagi bahwa Hwe-liong Pangcu adalah Hek-eng Pocu yang suka mengganas itu...."

   "Paman terlalu memuji. Aku ucapkan terima kasih atas kesediaan paman, itu akan sangat besar artinya agar para pendekar jangan sampai berbaku hantam karena termakan siasat Hek-eng Pocu."

   "Apa Siaupangcu sudah tahu, atau ada dugaan siapakah orang yang bersembunyi di balik kedok Hek-eng Pocu itu?"

   Jawaban Tong Gin-yan terpaksa agak berbohong supaya tidak menimbulkan gejolak yang semakin berdarah di rimba persilatan.

   "Selama ini kami bertiga memang berusaha menyelidikinya dan mendapat beberapa petunjuk yang masih kabur. Tetapi belum patut kita mencurigai siapapun..."

   Kedua pihak saling mengucapkan salam perpisahan dan kemudian berpisah ke arah tujuan masing.

   Sebelum pergi, Tong Gin-yan mencari si tukang warung untuk mengganti kerusakan warungnya.

   Namun si tukang warung serta bocah tanggung pembantunya itu sudah kabur entah ke mana....

   Maka mereka bertiga pun berkuda kembali ke arah kota Se-shia.

   *Oz* BAGIAN TIGA PULUH SEMBILAN Perjalanan ke Se-shia cuma makan waktu setengah hari karena sudah dekat.

   Namun dalam jarak yang singkat itu Tong Gin- yan mendapat ujian berat.

   Bukan saja ujian ketangguhan ilmu silatnya, tetapi juga ujian kesabarannya dan kedewasaannya dalam mengatasi gejolak akibat desas-desus bahwa ayahnya adalah Hek-eng Pocu.....

   Sepanjang jalan, ia bersama kedua teman gadisnya harus melewati hadangan kaum persilatan yang punya dendam kepada Hek-eng-po.

   Dua kali pula melerai pertikaian antara yang menerima dan yang menolak desas-desus itu.

   Di suatu tempat, sekelompok orang yang bersimpati kepada Hwe-liong-pang hampir saja membantai habis sekelompok orang lainnya yang bersikeras mempercayai desas-desus itu.

   Alangkah dibutuhkan kesabaran untuk melerai orang yang darahnya sudah mendidih tersebut.

   Alangkah sulitnya membujuk kedua belah pihak agar mau menyarungkan senjata mereka lebih dulu.

   "Celaka tiga belas,"

   Keluh Tong Gin-yan dalam hati.

   "Beberapa kelompok yang bertikai ini kebetulan kutemui dan bisa kudamaikan. Tapi bagaimana di tempat lain? Barangkali, entah di mana, sudah terjadi bentrokan dan beberapa nyawa sudah melayang secara konyol....."

   Sementara Pakkiong Eng yang menyaksikan sendiri betapa meluasnya pengaruh desas-desus tersebut, membatin pula.

   "Tak kusangka Sebun Hiong yang begitu jujur dan berwatak kesatria, mempunyai ayah selicik itu. Aku tidak sudi lagi memanggil "paman kepada Sebun Him si durjana...."

   Dan yang bergolak dalam otak Auyang Siau-hong lainlagi.

   "Liu Beng harus berhasil diyakinkan bahwa ia mengabdi kepada tuan yang keliru. Yang dikiranya pendekar luhur budi itu adalah dalang kerusuhan dan sumber fitnah...."

   Karena rintangan yang mereka temui itulah maka jarak pendek ke Se-shia terasa menjadi jarak yang begitu panjang.

   Ketika hari gelap, barulah mereka tiba di luar tembok kota itu, namun tidak bisa masuk kota sebab pintu gerbang sudah ditutup, jematan sudah dikerek naik.

   Tapi rombongan kecil yang hanya terdiri tiga orang itu memang tidak ada perlunya masuk kota Se-shia.

   "Sarang macan"

   Yang hendak mereka selidiki itu adalah rumah keluarga Sebun tang terletak di luar tembok kota, bukan di dalamnya.

   Mereka berbelok menyusuri parit pelindung kota.

   Pakkiong Eng berjalan di depan karena dialah yang tahu letak rumah itu, bahkan pernah tinggal di dalamnya selama setengah bulan lebih.

   Saat itu tiba si gadis ingat, malam pertama ia menginap di rumah pendekar itu, si "paman Sebun mengujinya bertempur di taman bunga, dan ketika ingat pula pertempuran melawan Hek-eng Pocu bersama Tong Gin-yan dan Liu Beng, nampaklah banyak persamaan antara Sebun Him dan Hek-eng Pocu.

   Bentuk tubuhnya, tingkat kepandaiannya, gaya bertempurnya yang seperti beruang mengamuk dengan serangan yang mengalir beruntun seperti gunung batu yang longsor....

   Urutan kejadian di kampung Liong-coan memperjelas dugaan itu.

   di sana, Sebun Him dan Hek-eng Pocu seolah berhadapan sebagai musuh sengit yang ingin saling membunuh, namun di tempat sesempit Liong-coan, anehnya "kedua tokoh tersebut tidak pernah saling kepergok.

   Hek-eng Pocu muncul, Sebun Him menghilang entah ke mana.

   Sebun Him muncul, Hek-eng Pocu tidak nongol, cuma anak buahnya.

   Hek-eng Pocu berperan sebagai penyerang dari pihak luar, Sebun Him berlagak membela di pihak Liong-coan.

   Dan hasilnya, Liong-coan berhasil diubah dari sebuah desa yang tenteram menjadi salah satu basis kekuatan dan perbekalan buat Pangeran In Si di masa depan.

   Keberhasilan Pangeran In Si akan berarti keberhasilan Sebun Him pula sebagai pendukung utamanya.

   Cuma, kematian Sebun Hiong di Ban- siong-tin itu betapapun juga tetap merupakan teka-teki tak terpecahkan oleh Pakkiong Eng.

   Tiba Tong Gin-yan berkata.

   "A-eng, tidak mungkin kita menyelidiki rumah keluarga Sebun dengan berkuda di malam hari seperti ini. Akan gampang sekali diketahui oleh pihak mereka...."

   Tanpa berkata, Pakkiong Eng mengangguk setuju pendapat kekasihnya itu.

   pakaiannya sendiri serba putih sesuai kebiasaannya, sedangkan kudanya juga putih mulus, si Salju Terbang.

   Itu buaknlah dandanan orang yang hedak menyelundup di malam hari, sangat menyolok mata.

   "Habisbagaimana?"

   "Kau harus berganti pakaian hitam, sedang kuda ini harus dititpkan di suatu tempat yang aman."

   Soal pakaian hitam tidak masalah, sebab dalam bungkusan pakaian Tong Gin-yan ada tiga setel pakaian hitam yang bisa dipinjamkan kepada Pakkiong Eng meskipun harus diikat di sana-sini karena tentu akan agak kedodoran.

   Kebalikan dari Pakkiong Eng yang suka pakaian serba putih, Tong Gin-yan menggemari warna hitam.

   "warna khas Hwe- liong-pang". Soal meitipkan kuda juga tidak jadi masalah, namun muncul sebuah soal lain yang rumit. Tentang diri Auyang Siau-hong. Gadis itu lebih aman ditinggalkan di suatu tempat, atau dibawa menyelundup masuk ke "sarang beruang keluarga Sebun? Melihat kedua sahabatnya me-lirik ke arahnya dengan sikap bimbang, Auyang Siau- hong dapat segera menangkap maksud mereka meskipun mereka tidak mengatakannya karena kuatir membuatnya tersinggung. Namun Auyang Siau-hong tidak tersinggung, malah berkata dengan tahu diri.

   "Kalian mencemaskan aku, bukan? Meskipun aku ingin ikut membantu kalian, tetapi dengan kepandaian silatku yang belum memadai maka aku malah akan membebani kalian, bukan membantu. Karena itu, kalian tinggalkan saja aku, aku yang akan menjaga kuda...."

   "Enci Hong,"

   Kata Pakkiong Eng dengan agak sungkan.

   "Bukannya kami memandang rendah padamu, tetapi tempat yang akan kami masuki itu...."

   "Aku mengerti, aku mengerti, adik Eng dan Yan-ko. Kalian bicara seperti bukan terhadp sahabat saja, pakai sungkan segala. Adik Eng, cepat salin dengan pakaian hitam dan berangkatlah. Tinggalkan kuda kalian kepadaku. Jangan kuatir, tidak akan kujual...."

   "Bantuan berharga bukan berujud ilmu silat saja, tetapi juga sikap penuh pengertian seperti inilah,"

   Kata Tong Gin-yan untuk sedikit membesarkan hati Auyang Siau-hong.

   "Tetapi kita cari tempat aman itu lebih dulu. Tidak di tengah jalan seperti ini...."

   Tidak jauh dari situ mereka temukan sebuah rumah kosong yang sudah tiga perempat ambruk, namun yang seperempat bagian itu masih bisa dipakai tempat berlindung.

   Di sekitar rumah ada belukar yang agaknya bekas kebun sayur, sebab masih ada bekas pagar dan bambu penyangga tanaman merambat yang sudah morat-marit.

   Di salah satu sudut, bersarang sekawanan rubah liar yang untuk sementara akan menemani Auyang Siau-hong.

   Kuda dituntun dan ditambatkan di tempat yang tidak gampang dilihat.

   Pakkiong Eng memakai pakaian hitam pinjaman Tong Gin-yan, tapi tidak melepaskan lebih dulu pakaian putihnya melainkan langsung dirangkapkan saja.

   "Pas?"

   Tanya Tong Gin-yan.

   "Pas, tapi baunya hampir membuatku pingsan,"

   Sahut Pakkiong Eng. Auyang Siau-hong tertawa terkikik dan Tong Gin-an bersungut.

   "jangan mentertawai, Siau-hong. Ketahuilah, pakaian Liu Beng baunya tujuh kali lipat dari kepunyaanku...."

   Bicara soal Liu Beng, Auyang Siau-hong kemudian berpesan.

   "Yan-ko dan adik Eng, seandainya di rumah keluarga Sebun kalian kepergok Liu Beng, tolong.... tolong jangan sakiti dia meskipun dia membela Sebun Him...."

   Berbarengan kepala Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng mengangguk, yang menjawab Pakkiong Eng.

   "Liu Beng sahabat kami. Ia membela Sebun Him bukan karena jahat, tetapi justru karena terlalu jujur dan polos sehingga dapat diperalat Sebun Him. Sedangkan terhadap orang Hoa-san-pai tadi kami bisa memaafkan, apalagi terhadap seorang sahabat yang tengah tertipu musuh."

   "Terima kasih. Berangkatlah kalian berdua."

   "Enci Hong, kau juga harus ber-hati. Kita sudah ada di garis depan."

   Setelah itu, dengan gerakan lincah dan ringan, berkelebatlah dua sosok tubuh berpakaian serba hitam ke arah rumah keluarga Sebun.

   Setelah ditinggalkan sendirian dalam kegelapan dan kesunyian di rumah bobrok itu, gampang sekali pikiran Auyang Siau-hong membayangkan yang bukan.

   Misalnya, bagaimana kalau dari arah kebun belukar sana muncul seorang wanita bergaun putih yang jalannya melayang dan kepalanya dijinjing dengan tangan? Bagaimana kalau dari balik pohon itu tiba muncul sesosok jerangkong yang me-lambai? Bulu kuduk Auyang Siau- hong bergidik, namun dengan mengeraskan hati ia buang pikiran tentang hal seram itu jauh.

   Sekilas timbul pikiran untuk menyalakan api dari bekas runtuhan kayu kerang yang berserakan agar keadaan menjadi terang.

   Tapi setelah di-pikir, gagasan itupun disingkirkannya.

   Saat itu, keadan di sekitar rumah keluarga Sebun maupun di sekitar markas Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong sana merupakan dua titik paling rawan dalam dunia persilatan.

   Itulah tempat panas di mana kesalah pahaman paling gampang meledak menjadi baku hantam berdarah.

   Siapa tahu cahaya api bisa menarik perhatian, entah pihak mana, dan Auyang Siau-hong akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan keberadannya di situ, juga tentang kuda yang tertambat itu.

   Bahkan tidak ada cahaya api pun tempat itu kemudian didekati oleh derap langkah seseorang.

   Auyang Siau-hong bersiap, pedangnya dihunus per-lahan tanpa suara dan digenggam erat tangkainya.

   Lalu berusaha meleburkan keberadaan dirinya di kegelapan malam, matanya ditajamkan mengawasi arah datangnya langkah kaki dari sela pintu bobrok.

   Gadis itu semakin tegang ketika langkah kaki itu terdengar memasuki rumah tersebut.

   Sesosok bayangan pendek gemuk terlihat, bahkan kemudian orang yang datang tersebut me-manggil dengan suara tertahan.

   "Suhu.... Suhu....."

   Kini yang membuat Auyang Siau-hong tercengang bukanlah karena asingnya suara itu, namun justru karena mengenal suara itu selama sepuluh tahun lebih.

   Itulah suara Kam Hun-siong, murid Ki-lian-pai.

   Otak Auyang Siau-hong mulai diputar keheranan.

   Kenapa Kam Hun-siong selarut malam ini keluyuran di tempat sepi dekat rumah keluarga Sebun? Kenapa pula ia me-manggil "Suhu"

   Yang dimaksudnya tentu ayah Auyang Siau- hong, Ketua Ki-lian-pai Auyang Peng-hong yang berjuluk Lam-ih-kiam-khek? Apa barangkali merekapun sedang mengintai rumah keluarga Sebun karena ingin membalskan dendam Liu-keh-chung yang tertumpas Hek-eng-po? Ya, siapa tahu? Demikian dalam otak gadis itu bergalau bermacam pertanyaan yang tak terjawab.

   Seandainya Kam Hun-siong bukanlah calon suami yang dipilihkan oleh ayahnya untuk dinikahkan dengannya, tentu Auyang Siau-hong akan keluar dari sembunyinya untuk mendapatkan teman ber-cakap.

   Namun ternyata ia tetap memilih meringkuk di tempat persembunyiannya sambil mengawasi gerak- gerik Suhengnya dari kegelapan.

   Masih beberapa kali Kam Hun-siong me- manggil Suhunya sambil mondar-mandir dan kemudian duduk.

   Untung sampai detik itu Kam Hun-siong tidak melangkah ke halaman belakang dan melihat tiga ekor kuda yang tertambat.

   Tak lama ia menunggu, ada suara langkah mendekat lagi.

   "Hun-siong...... Hun- siong............."

   "aku di sini, Suhu......"

   Kam Hun-siong bangkit sambil menyahut.

   Kali ini Auyang Siau-hong hapal, itulah suara ayahnya.

   Di tengah ketegangan dan kesunyian bertemu dengan ayah dan kakak seperguruannya, mestinya suatu peristiwa menyenangkan.

   Tapi Auyang Siau-hong justru semakin meringkas tubuh di tempat tersembunyi, kuatir kalau ditemui oleh mereka, diseret pulang ke Ki-lian-pai untuk dipaksa menikah dengan Kam Hun-siong.

   Ia hanya mau pulang kelak bersama Liu Beng.

   Di tengah kegelapan, tanpa menyalakan api, ketua Ki-lian-pai dan Kam Hun-siong kemudian berbicara perlahan.

   Tapi Auyang Siau-hong tetap dapat mendengarkan karena tempat itu sunyi.

   "Bagaimana? Ketemu jejaknya?"

   Tanya ketua Ki-lian-pai Auyang Peng-hong. Terdengar Kam Hun-siong membuang napas keras dan kepalanya nampak menggeleng.

   "Dua hari dua malam kami bertiga mengaduk kota Se-shia, sampai lorong busuk dan sudut gelap sudah kami periksa semua, namun dia tak ditemukan jejaknya. Hasil penyelidikan Suhu sendiri bagaimana? Apakah Suhu sudah masuk ke dalam rumah keluarga Sebun?"

   "Hus, memangnya aku punya nyawa rangkap sembilan sehingga berani masuk menyelidiki benteng itu? aku cuma menunggu di luar tembok, mencegat dan menyuap beberapa tahil kepada pegawai keluarga Sebun yang keluar berbelanja. Dan keterangan yang kudapatkan sama saja. Dia menghilang. Isterinya yang sedang hamil menangis terus karena mencemaskan nasibnya, pegawai keluarga Sebun sudah disebar untuk mencarinya.....

   "Rupanya dia ketakutan setelah kita kirimi surat bergambar itu dan memilih minggat dari rumah ayah mertuanya."

   "Tindakan kita memang agak gegabah. Sekarang lenyaplah peluang kita untuk ikut mendapat bagian harta karun..."

   "Tetapi, Suhu, dalam penyelidikan hari ini, aku menemukan di belakang penginapan Lam-hiu ada sesosok mayat gelandangan di tumpukan sampah. Pakaian gelandangan itu dilucuti semua, lehernya memar dan patah seperti kena pukulan keras. Di dekat mayat ada setumpuk pakaian bagus. Aku menduga sesuatu....."

   "Apa?"

   "Dia merebut pakaian gelandangan itu untuk menyamar dengan mencopot pakaiannya sendiri. Dan kemungkinan besar sudah jauh meninggalkan Se-shia. Mungkin dua hari perjalanan, sebab mayat gelandangan itu nampaknya sudah dua hari mati, sudah agak bau dan berair...."

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalau begitu, masih ada harapan kalau kita kejar dia. Kita jelaskan bahwa maksud kita bukanlah agar dia meninggalkan kedudukannya sebagai menantu Sebun Him, melainkan agar.... agar..... he-he-he....... dia sedikit membagi rejeki kepada kita....."

   Di tempat sembunyinya Auyang Siau- hong tahu siapa orang yang sedang mereka bicarakan, tak lain tak bukan adalah Liu Jing- yang, kakak sepupunya yang kini menjadi menantu keluarga Sebun.

   Tapi pembicaraan antara ayahnya dan Kam Hun-siong itupun membuat gadis itu sedih, marah dan muak karena ia dapat menangkap garis besarnya.

   Ia iri kepada Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng yang punya ayah begitu membanggakan, sedang ayahnya sendiri berwatak begitu rendah.

   Karena gejolak hatinya, tanpa sadar siku tangannya menyentuh tembok di sebelahnya dan menimbulkan suara perlahan.

   Namun itu sudah cukup membuat Auyang Peng-hong melompat dengan waspada sambil mencabut pedangnya.

   "Siapa?!"

   Bentaknya. Kam Hun-siong pun ikut mencabut pedangnya. Sekilas Auyang Siau-hong ragu, keluar atau tidak? Akhirnya ia memutuskan juga untuk keluar sambil berkata dengan nada sedih.

   "Ayah, setelah kau hampir menghancurkan kebahagiaanku dengan memaksa aku menikah dengan lelaki yang tidak kucintai, sekarang ayah juga ingin menghancurkan ketenteraman keluarga Piauko Liu Jing-yang?"

   "Sumoai, jadi kau sudah mendengarkan pembicaraan kami barusan?"

   Tanya Kam Hun- siong. Sedangkan Auyang Peng-hong membentak.

   "Kau anak kecil mengerti apa?! Kau minggat dari Ki-lian-san, membuat kami semua pusing kepala memikirkanmu, ibumu sampai sakit......"

   "Ah, ibu sakit?"

   Auyang Siau-hong kaget.

   "Ya, itu gara ulahmu!"

   Kata ayahnya.

   Ia tahu bahwa puterinya dekat sekali dengan isterinya, maka sengaja digunakannya pancingan itu agar puterinya mau pulang ke rumah tanpa perlu di-seret.

   Meskipun kaget mendengar ibunya jatuh sakit, namun rasa ingin tahu Auyang Siau-hong terhadap perundingan rahasia tadi belum terhapus seluruhnya.

   "Ayah dan Kam Suheng, buat apa mengganggu ketenteraman keluarga Piauko? Apa kesalahan Piauko terhadap kalian, sehingga....."

   Sebagai seorang ayah, bagaimanapun juga Auyang Peng-hong ingin menjaga citranya sebagai "ayah yang baik di hadapan anaknya.

   Dan karena kasak-kusuknya sudah terdengar oleh puterinya, maka satunya cara untuk membersihkan dirinya ialah dengan cara memburukkan Liu Jing-yang, berusaha meyakinkan puterinya bahwa Piauko-nya itu memang patut diperlakukan buruk.

   "A-hong, apa yang kulakukan atas diri Liu Jing-yang ini bukan karena aku ngiler harta bendanya sebagai ahli waris Sebun Him (padahal sangat ngiler), melainkan sekedar hukuman atas tingkah laku busuknya sendiri!"

   Katanya.

   "Piauko-mu itu bukan orang baik!"

   "Bukan orang baik? Apa yang telah dilakukannya?"

   Kam Hun-siong si "calon suami juga ikut campur, bicaranya senada dengan Suhunya.

   "Benar kata Suhu, Sumoai. Kami sebagai pendekar penegak kebenaran dari Ki- lian-pai tidak bisa tinggal diam melihat orang sejahat Liu Jing-yang menempati kedudukan yang begitu bagus dan kuat sebagai menantu keluarga Sebun, itulah sebabnya kami menggunakan siasat untuk membuatnya mencelat dari kedudukannya. Bukankah begitu, Suhu?"

   "Benar sekali!"

   Sambung Ketua Ki-lian- pai. Murid berotak gemilang, dalam hatinya Auyang Peng-hong memuji Kam Hun-siong.

   "Tapi tadi ayah dan Suheng bicara pula tentang tidak kebagian rejeki segala, apakah macam ini tingkah para penegak kebenaran?"

   Sindir Auyang Siau-hong.

   "Kejahatan apa yang pernah dilakukan Piauko Liu Jing-yang?"

   Tanpa menunggu isyarat gurunya, Kam Hun-siong langsung membeberkan.

   "Piauko- mu itu kelihatannya saja lemah lembut, terpelajar dan sopan santun, sebenarnya dialah serigala berbulu domba. Di Liu-keh-chung, dialah yang membunuh Liu Tek-san. Dan sebagai menantu keluarga Sebun, dialah yang membunuh Sebun Hiong! Ha-ha-ha.... semua orang begitu tolol, mengira Sebun Hiong dibunuh Hek-eng-po, padahal di Ban-siong-tin Suhu melihat sendiri bagaimana Liu Jing-yang menikam punggung iparnya itu....."

   Muka Auyang Siau-hong memucat mendengar penuturan Kam Hun-siong, tidak menduga kalau kakak sepupunya, Liu Jing- yang itulah yang membunuh Sebun Hiong.

   Pantas Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng kebingungan menghadapi teka-teki itu.

   tak terduga dirinyalah yang menemukan jawabannya.

   "Ayah, benarkah itu?"

   Dalam hatinya, sebetulnya Ketua Ki- lian-pai agak menyesal mendengar Kam Hun- siong nyerocos tanpa sempat dicegahnya.

   Itu berarti tambah satu orang lagi yang mengetahui rahasia Liu Jing-yang, rahasia yang bisa digunakan menekan Liu Jing-yang agar kelak kalau sudah memegang kekuasaan di keluarga Sebun "membagi rejeki kepadanya, kalau tidak, diancam akan disebarluaskan rahasianya itu.

   Namun atas pertanyaan puterinya tersebut, ketua Ki-lian-pai tidak bisa menjawab lain kecuali menganggukkan kepala.

   "Tapi kau harus jaga rahasia ini lebih dulu...."

   Ternyata memang sulit mengendalikan ledakan emosi Auyang Siau-hong setelah mengetahui hal itu.

   "Kenapa harus dirahasiakan? Tadi ayah dan suheng mengaku sebagai pendekar penegak kebenaran, harusnya menyebar luaskan kenyataan ini agar diketahui semua orang! Gara matinya Sebun Hiong inilah Sebun Him bebas dari kecurigaan sebagai Hek-eng Pocu! Sebaliknya ketua Hwe- liong-pang Tong Lam-hou malah dituduh orang banyak sebagai...."

   "Apa?! Sebun Him adalah Hek-eng Pocu?!"

   Kali ini ketua Ki-lian-pai kaget. Memang sudah mendengar desas-desus bhawa Hek-eng Pocu sama orangnya dengan Hwe- liong Pangcu, namun apa yang diucapkan anak gadisnya itu merupakan hal baru yang mengejutkan.

   "A-hong, jangan sembarangan bicara! Dari mana kau dapatkan berita itu?"

   "Bukan sekedar dari mulut usil, melainkan dari pengalaman yang aku dapatkan sendiri selama melakukan perjalanan bersama Yan-ko dan Adik Eng...."

   "Siapa kedua temanmu itu?"

   "Yan-ko adalah puter Hwe-liong Pangcu, adik Eng adalah puteri Panglima Pasukan Naga Terbang dari Pak-hia, Pakkiong Liong. Mereka menolongko sehingga aku berhutang budi...."

   "Kau tentunya sudah gila, bocah goblok!"

   Tiba ketua Ki-lian-pai membentak marah.

   "Kau bisa menyeret seluruh Ki-lian-pai menuju kehancuran! Berani benar kau bersahabat dengan anak seorang tokoh yang sedang menghadapi tuduhan para pendekar dunia persilatan! Berani pula kau memanggil "adik kepada puteri seorang Panglima Manchu yang juga dibenci orang banyak! Di mana mereka sekarang?!"

   Tak terduga Siau-hong menjawab berani.

   "Ayah, kalau Ki-lian-pai tidak berani menyuarakan kebenaran, berpangku tangan melihat kebenaran diputar-balikkan, lebih baik tidak usah lagi mengaku sebagai perguruan penegak kebenaran. Keadilan sedang terancam sekarang ini, Sebun Him yang sebenarnya adalah Hek-eng Pocu malah di-puja seperti dewa, Tong Lam-hou yang hidup sederhana dan berbuat banyak untuk kesejahteraan rakyat Se-cuan malah sedang difitnah, Ki-lian- pai harus memihak Hwe-liong-pang!"

   "Berlagak pintar kau?! Ayo ikut kami, menengok ibumu yang sakit!"

   "Tidak! Beberapa kali aku berhutang nyawa pada Yan-ko, aku tidak bisa membiarkan dia difitnah tanpa dosa!"

   "A-hong, seandainya kau bermaksud demikian, modal apa yang bisa kau gunakan untuk menjadikan dunia persilatan percaya padamu?! Kau cuma bocah bau kencur, apapun yang kau teriakkan tidak akan digubris orang...."

   "Orang boleh saja tidak menggubris aku, tapi mana berani tidak menggubris Ketua Ki-lian-pai Lam-ih Kiam-khek Auyang Peng- hong yang perkasa....."

   Siau-hong mencoba merayu ayahnya agar berpihak kepadanya.

   Tapi ayahnya tak bergeming sedikitpun sebab punya perhitungan sendiri.

   Nafsunya untuk memiliki kekayaan dengan memeras Liu Jing-yang tetap menguasai pikirannya, dan usaha pemerasannya hanya akan berhasil kalau rahasia pengkhianatan Liu Jing-yang itu hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan orang kepercayaannya seperti Kam Hun-siong.

   Kalau rahasia itu sudah disebarluaskan sehingga bukan rahasia lagi, apa gunanya? Demi tercapainya nafsunya tersebut, persetanlah dengan banjir darah yang bakal terjadi di Tiau- im-hong....

   Namun di hadapan anak gadisnya sudah tentu dia tidak mau membeberkan rencananya, demi citra "ayah yang baik itulah.

   "A-hong, buat apa ikut campur yang bukan urusan kita, apalagi urusan berbahaya. Yang penting, kita pulang ke Ki-lian-pai sambil mencoba menemukan Liu Jing-yang...."

   "untuk mendapat rejeki tidak halal itu?!"

   Sindir puterinya. Keruan ketua Ki-lian-pai naik pitam.

   "Bocah durhaka, kalau ayah berhasil dengan rencana ayah ini, bukankah ibumu dan kau juga akan ikut menikmati hasilnya? Hayo pulang!"

   Hati Auyang Siau-hong seperti di-iris ketika melihat kebejatan watak ayahnya yang dulu dikaguminya itu, namun kini kedok itu sudah terlucuti.

   Ayahnya tidak beda dengan Sebun Him atau Liu Jing-yang, menyelubungi kebusukan dengan topeng pendekar luhur budi.

   Karena pepat hatinya, tanpa pikir panjang lagi Auyang Siau-hong tiba membacokkan pedang ke lehernya sendiri, ia merasa lebih baik mati daripada melihat tindak-tanduk ayahnya yang memuakkan.

   Namun sisi tajam pedang itu belum sempat memotong urat lehernya yang mematikan, baru menggores kulitnya hingga berdarah, Auyang Peng-hong telah melompat maju sambil berteriak kaget.

   Tangannya berhasil menahan gerakan lebih lanjut dari usaha membunuh diri puterinya itu, bahkan merebut pedangnya.

   Lalu memeluk tubuh puterinya yang terkulai pingsan dengan leher berlumuran darah.

   Dibantu Kam Hun-siong, ia mencoba menaburkan obat luka dan membalut luka itu untuk menghentikan darah.

   Namun ia juga tak hentinya menggerutu.

   "Anak goblok, tolol, berpikiran sempit! Memangnya gampang membesarkanmu dari kecil, sehingga kau gampang saja ingin mati daripada menuruti maksud ayah? Ayah toh bertujuan membahagiakan hidupmu, menjamin masa depanmu...."

   Selesai membalut luka, mereka segera meninggalkan tempat itu sebelum kepergok oleh Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng.

   Auyang Siau-hong yang pingsan dipanggul oleh Kam Hun-siong.

   *Oz* BAGIAN EMPAT PULUH Segesit dan seringan dua ekor kucing hitam, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng merunduk mendekati dinding rumah keluarga Sebun yang dalam kegelapan seperti sebuah kotak raksasa warna hitam.

   Di atas tembok, terlihat bayangan pegawai keluarga Sebun yang hilir-mudik meronda, memanggul macam senjata atau membawa lentera kertas.

   "Benar sarang elang...."

   Tong Gin-yan berdesis sambil merunduk di balik bayangan sebuah pohon ketika melihat betapa rapatnya penjagaan rumah itu di malam hari.

   "Tapi sarang elang hitam ini, malam ini akan diobrak-abrik oleh putera-puteri Harimau Selatan dan Naga Utara,"

   Desis Tong Ginyan membesarkan hati.

   Harimau Selatan dan Naga Utara adalah julukan Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong, sepasang panglima kekaisaran yang sangat disegani duapuluh lima tahun yang lalu.

   Namun sekarang, tinggal Pakkiong Liong yang masih berada dalam pemerintahan pusat, tetap mendampingi Kaisar Khong-hi agar tidak terpengaruh oleh si dorna Liong Ko- toh, saudara ipar Kaisar sendiri.

   Sedang Pakkiong Liong adalah saudara sepupu Kaisar.

   Namun Pakkiong Eng menyentuhkan ujung jarinya ke lengan Tong Gin-yan sambil berbisik.

   "Ssst, bukan hanya kita yang sedang menyelidiki rumah ini. Lihat...."

   Telunjuk gadis itu kemudian menunjuk ke suatu arah. Di depan mereka berdua, ternyata juga ada dua bayangan hitam lainnya yang sedang me-runduk mendekati tembok rumah keluarga Sebun. Seorang bertubuh kurus, seorang lagi tegap membawa toya.

   "..... ditambah murid si keledai gundul dari Siong-san,"

   Desis Tong Gin-yan lirih.

   Ia kenali si tegap pembawa toya itu yang agaknya adalah Si Liog-cu alias Pangeran In Ceng, sedang si kurus itu siapa lagi kalau bukan Kam Hong-ti, Pendekar Besar dari Kanglam yang namanya mengguncangkan duna persilatan? "Apakah kita akan bergabung dengan mereka?"

   Tanya Pakkiong Eng ber-bisik. Sahut Tong Gin-yan berbisik pula.

   "Landasan kepentingan mereka berbeda dengan kita, apalagi dalam suasana saling mencurigai seperti sekarang ini, baiknya kita dan mereka kerja sendiri."

   Pakkiong Eng mengangguk. Sesaat suasana sunyi. Di depan, kam Hong-ti dan In Ceng bergeser maju, sedang Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng mengambil jarak sekitar tigapuluh langkah di belakang mereka agar tidak diketahui.

   "A-eng..."

   Tiba Tong Gin-yan berbisik lagi.

   "Ada apa?"

   "Besok kau ingin anak laki atau perempuan...?"

   Keruan muka Pakkiong Eng jadi merah padam dan mencubit keras pinggang si anak muda.

   Jengkelnya bukan main bahwa dalam situasi seperti itu Tong Gin-yan masih bisa bicara menyeleweng jauh dari persoalan yang dihadapi.

   Sementara itu, di depan terlihat Kam Hong-ti dan in Ceng mulai bergerak lagi.

   dinding rumah keluarga Sebun tinggi sekali, kira delapan kali tinggi orang dewasa yang disusun berdiri.

   Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng saja merasa tidak mampu melewatinya dengan sekali lompat, tetapi Kang-lam Taihiap Kam Hong-ti dengan enak mengapungkan tubuhnya melesat ke atas, hanya dalam satu kejapan mata, tubuhnya sudah lenyap di balik dinding.

   Bahkan pegawai keluarga Sebun yang meronda itupun tak melihat apa, terbukti mereka tidak bereaksi.

   Pakkiong Eng diam membatin.

   "Pangeran In Ceng benar mendapat bantuan berharga dari orang selihai itu. Pangeran ke empatbelas In Te benar mendapat saingan berat di kemudian hari....."

   Tapi Pakkiong Eng boleh lega bahwa di pihak Pangeran In Te juga ada orang sekaliber ayahnya sendiri, Pakkiong Liong, mungkin juga ditambah Ketua Hwe-liong-pang meskipun keterlibatannya tidak akan terlalu langsung.

   Sementara itu, In Ceng juga mulai memanjat tembok.

   Namun ilmu meringankan tubuhnya tidak selihai Kam Hong-ti, maka kedatangannya segera diketahui pegawai keluarga Sebun yang rata pandai bersilat.

   Terdengar bentakan, disusul suara benturan senjata yang riuh-rendah dari balik dinding.

   "Ini kesempatan kita...."

   Bisik Pakkiong Eng.

   Tanpa menunggu jawaban lagi, ia memutar ke sisi lain rumah besar itu kemudian melompat ke atas dinding.

   Karena dinding itu terlalu tinggi untuk dilewati dalam satu lompatan saja, maka ketika Pakkiong Eng mencapai dua pertiga ketinggian, ia menjejakkan kakinya ke tembok untuk mendapatkan pantulan baru agar sampai ke atas.

   Tong Gin-yan melakukan hal serupa.

   Sepasang orang muda itu menganggap kehadiran Kam Hong-ti dan In Ceng di bagian lain rumah itu menguntungkan mereka, sebab banyak penjaga tertarik ke tempat keributan.

   Juga seandainya mereka kepergok Sebun Him, tenaga Kam Hong-ti mudah-mudahan bisa membantu.

   Mereka turun di sebuah kebun bunga yang sepi, berunding sebentar sambil berjongkok di kegelapan.

   "Ke mana?"

   Tong Gin-yan bertanya.

   Pakkiong Eng pernah tinggal cukup lama di rumah itu, ia tahu ada sebuah tempat yang disebut Keng-koan (balai buku), tempat di mana Sebun Him berada ber-hari.

   Tempat yang oleh pegawai ditakuti melebihi kandang macan.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siapapun tidak berani memasukinya kalau tidak dipanggil atau disuruh Sebun Him sendiri.

   Dugaan Pakkiong Eng, tempat itu barangkali menyimpan rahasia Sebun Him yang paling dirahasiakan, bahkan juga dari putera-puterinya sendiri yang dilarang masuk ke situ.

   "Kita ke Keng-koan...."

   Sahut Pakkiong Eng akhirnya.

   "Tempat macam apa itu?"

   "Resminya, tempat Sebun Him menyimpan bukunya dan membacanya. Namun sering kali ia ber-hari masuk Keng- koan dan tidak keluar selangkahpun, itu memungkinkan kita menemukan kunci pembuka semua misteri selama ini."

   "Kalau kepergok Sebun Him sendiri, lalu bagaimana?"

   "Ya kita dengan sopan ucapkan begini. Selamat malam, Hek-eng Pocu, sudilah kau minggir sebentar agar kamar ini bisa kami obrak-abrik untuk menemukan rahasiamu..."

   "Jangan berkelakar...."

   "Apa hanya kau saja yang boleh berkelakar, dan aku tidak?"

   Bisik mereka terputus, ketika sekelompok pegawai keluarga Sebun dengan senjata terhunus lewat dekat tempat sembunyi mereka, menuju ke suatu arah. Yang memimpin regu kecil itu adalah Liu Beng dengan sepasang tongkat besinya. *Oz* Bersambung ke

   Jilid 35 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 35 Setelah mereka lewat, Pakkiong Eng melejit keluar diikuti Tong Gin-yan.

   Sebagai orang yang pernah tinggal hampir satu bulan di rumah itu, Pakkiong Eng hapal jalan yang menuju Keng-koan atau Keng-pong, maka dialah yang berjalan di depan.

   Ia juga tahu tempat di mana ia harus sembunyi kalau kepergok pegawai yang terlatih seperti prajurit itu.

   Ketika mereka berdua tiba di tempat yang dimaksud, penjagaan sekitarnya memang nampak lebih ketat dari tempat lain.

   Semuanya adalah abdi pilihan yang menonjol ilmu silatnya dan teruji kesetiannya, Pakkiong Eng kenal wajah itu.

   bahkan kenal nama beberapa orang dari mereka.

   Mereka adalah bekas jagoan yang oleh Sebun Him dirantai dengan tali batin yang disebut "hutang budi.

   Mula keluarga atau kelompok mereka dibantai oleh Hek-eng-po, lalu Sebun Him bak dewa penolong muncul menyelamatkan dan menampung mereka di rumahnya sebagai pembantunya.

   Maka kalau mereka sudah disuruh jaga, biarpun kepala protol juga tidak akan bergeming dari tempatnya, karena hutang budi kepada Sebun Him si "penolong luhur budi itulah....

   Tapi ketika Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng berdua sampai di situ, ternyata sikap penjaga tangguh itu kelihatan kurang wajar.

   Berdiri seperti patung, hanya matanya yang bisa melirik ke sana-sini.

   Biarpun prajurit paling disiplinpun tidak mungkin bersikap setegang itu.

   "Urat mereka semua telah tertotok...."

   Bisik Tong Gin-yan.

   "Siapa kira pelakunya? Kalau Sebun Him sendiri, tidak mungkin memperlakukan anak buahnya seperti ini,"

   Balas Pakkiong Eng.

   "Paling masuk akal adalah Kanglam Taihiap, seandainya bertemu dengan Sebun Him, Kam Hong-ti tetap lawan yang alot biarpun masih muda. Tapi yang perlu, kita terjang ke dalam."

   Waktu itu memang pintu Keng-pong terbuka lebar, menandakan bahwa tempat yang "angker dalam rumah Sebun Him itu kini sudah diterobos orang.

   Namun sebelum Tong Gin-yan bergerak, dua sosok bayangan ber-larian datang.

   Mereka adalah seorang tua membawa tombak yang oleh Pakkiong Eng dikenal sebagai Ho Kian, Ciangkui (kepala urusan rumah tangga) keluarga Sebun, dan seorang lagi lebih dikenalnya sebab itulah Liu Beng dengan sepasang tongkat besinya.

   Begitu melihat keadaan jagoan keluarga Sebun yang tertotok itu, Liu Beng berteriak kaget.

   "Celaka, Ciangkui! Keng-pong ini menurut Toaya sebelum pergi, harus dijaga rapat. Tapi kini agaknya ada yang menerobos masuk! Tentu pihak Hek-eng-po atau Hwe- liong-pang menggunakan kesempatan mengobrak-abrik tempat ini selagi Toaya pergi!"

   Pedih hati Tong Gin-yan mendengar sahabat yang dihargainya itupun menyamakan Hwe-liong-pang dengan Hek-eng-po.

   Tapi bisa dimaklumi, Liu Beng yang terlalu polos dan jujur itu biarpun tidak sama artinya dengan tolol, tentu pikirannya sudah "dicekoki oleh Sebun Him.

   Sedang bagi Pakkiong Eng, mendengar ucapan Liu Beng tentang "selagi Toaya pergi melegakan hatinya.

   Itu artinya Sebun Him sedang tidak di rumah, padahal orang itulah lawan yang menakutkan, baik sebagai Sebun Him yang tersenyum ramah maupun sebagai Hek-eng Pocu yang bengisnya tidak tanggung- tanggung.

   Ciangkui Ho Kian nampak lebih gugup dari Liu Beng, tiba ia menggerakkan jari tangannya untuk membuka totokan pada urat abdi utama keluarga Sebun tersebut.

   Di tempat sembunyinya, Tong Gin-yan terkesiap melihat gaya totokan Ho Kian si bujang tua itu.

   bukan cuma lihai, tetapi gayanyapun mengingatkan Tong Gin-yan kepada seorang tokoh yang sudah menghilang belasan tahun silam.

   Seorang tokoh golongan hitam yang diuber pihak Hwe-liong-pang karena kejahatannya.

   Mungkinkah Ho Kian ini ada hubungan dengan tokoh tersebut? Sementara abdi yang tertotok itu sudah bebas semua, salah seorang dari mereka segera berseru.

   "Ciangkui dan Huciangkui, seorang musuh lihai telah menyergap kami dan masuk ke Keng-pong...."

   Baru habis kalimat itu, Ho Kian telah melompat masuk ke Keng-pong atau Keng- koan itu sambil memutar tombak di depan tubuhnya.

   Jangan dilihat tubuhnya yang kurus dan agak bungkuk itu, gerakan Ho Kian ternyata tangkas luar biasa, juga menunjukkan matangnya pengalaman dalam dunia persilatan.

   Liu Beng juga menyusul masuk.

   Dengan gayanya yang khas, bukan melompat dengan ringan, tetapi melangkah lebar seperti seekor gajah mengamuk.

   Demi menjunjung tinggi pesan sang majikan untuk menjaga Keng-pong rapat, maka abdi yang barusan tertotok itupun ber- bondong masuk dengan senjata terhunus untuk menangkap si penyelundup.

   Dari gerak- gerik mereka nyata mereka memang jagoan yang cukup tangguh.

   Namun belum sampai mereka ke pintu Keng-pong, dua sosok bayangan hitam sudah "berhembus melayang seperti angin saja mendahului mereka.

   "He, ada dua musuh lagi!"

   "Tahan mereka!"

   Seorang abdi bersenjata golok tebal dan berat sekuat tenaga membacok ke punggung Pakkiong Eng.

   Namun luncuran tubuh Pakkiong Eng ke depan lebih cepat dari golok si abdi sehingga golok hanya membacok angin, sedang Pakkiong Eng sudah masuk Keng-pong menyusul Tong Gin-yan.

   Sementara itu yang sedang mengobrak- abrik Keng-pong memang bukan lain adalah Kam Hong-ti, si pendekar dari Kanglam yang masih muda, tubuhnya kurus, mukanya pucat dan tampangnya seperti orang berpenyakit asma.

   Di dalam Keng-pong ada ratusan, mungkin ribuan kitab, yang sudah berceceran di lantai dalam keadaan terbuka, namun si pendekar Kanglam masih juga mengobrak- abrik lemari buku lainnya, agaknya sedang mencari sesuatu.

   Tiba diketemukannya segebung surat terikat tali sutera.

   Ia buka salah satu sampul hanya untuk dibaca alamat dan pengirimnya.

   Alamat tujuan ialah.

   Abdiku yang tangguh dan bermasa depan gemilang, Sebun Him di Se- shia.

   Sedang si pengirim ialah Tit-hun-ong dari Pak-khia.

   Seperti orang kalau menemukan harta karun tak ternilai, begitulah gembiranya Kam Hong-ti menemukan apa yang di-carinya dengan menempuh bahaya.

   Tanpa melihat tulisan di surat lainnya, ia ikat kembali berkas itu dan dimasukkan ke bajunya.

   Saat itulah Ho Kian, Liu Beng masuk, disusul Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng, disusul dengan abdi setia Sebun Him.

   Ruangan yang biasanya sunyi meyeramkan itu kini jadi ramai seperti dalam pasar.

   Ho Kian masih sempat melihat Kam Hong-ti mengantongi berkas surat itu, maka murkanya bukan kepalang.

   "Kam Hong-ti, percuma namamu disebut-sebut sebagai pendekar agung tetapi kelakuannya seperti maling saja!"

   Lalu ujung tombaknya mematuk seperti ular ke arah leher Kam Hong-ti, dibarengi dupakan kakinya ke arah pinggang.

   Ketangkasan bujang tua keluarga Sebun ini memang mengejutkan, kalau ia berkecimpung di dunia persilatan, barangkali tidak sulit mendapatkan nama besar di satu daerah.

   Cuma kali ini lawannya adalah Kam Hong-ti, si pendekar yang namanya menggetarkan Kanglam, bahkan sekali-dua kali namanya dibicarakan sampai di sidang istana.

   Tangannya terulur seenaknya dan tahu leher tombak Ho Kian sudah tercengkeram erat.

   Sekali sentak ke atas, tubuh Ho Kian yang ngotot memegangi tombaknya itu terlempar ke atas sampai membentur langit kemudian memantul kembali menimpa sebuah rak buku yang langsung roboh dan bukunya berserakan.

   Tapi di samping Ho Kian masih ada Liu Beng yang tak kenal takut, anak angkat dan sekaligus murid tunggal si Gajah Gemuk Pemabuk Hong Thai-pa yang di wilayah timur sama terkenalnya dengan Sebun Him di wilayah barat.

   Melihat Ho Ciangkui tak berkutik dalam segebrakan saja, Liu Beng membentak dan maju.

   Sepasang tongkatnya menyambar bersilangan dengan gerak Lo-kang-ji-siang (dua gajah mengaduk sungai).

   Begitu hebat pembawaan tenaga Liu Beng, sehingga beberapa helai kertas yang bertaburan di lantai terangkat naik oleh deru serangannya.

   Bagaikan sesosok bayangan yang meluncur di lantai saja, tahu tubuh Kam Hong-ti telah berpindah tempat, dekat sekali di samping Liu Beng, tangannya mencengkeram lengan Liu Beng.

   Namun sebelum Kam Hong-ti membanting lawannya seperti halnya tadi membanting Ho Kian, Pakkiong Eng telah berteriak.

   "Kam Taihiap, jangan lukai dia!"

   Kam Hong-ti tercengang heran juga bahwa di tempat itu mendadak bermunculan pula Pakkiong Eng dan Tong Gin-yan yang pernah menolongnya ketika hampir mati terkepung prajurit di Tai-tong-hu dulu.

   Sementara Pakkiong Eng berteriak mencegah, terlihat Tong Gin-yan bertempr membendung abdi keluarga Sebun yang hendak menyerbu masuk.

   Namun putera Hwe-liong pangcu itu nampaknya tidak menggunakan jurus mematikan, biarpun menghadapi keroyokan belasan jagoan keluarga Sebun.

   Hal itu membuat Kam Hong-ti bimbangkan desas- desus belakangan yang mengatakan Tong Lam-hou adalah Hek-eng Pocu....

   Karena seruan cegahan Pakkiong Eng tadi, Kam Hong-ti lepaskan cengkeramannya pada lengan Liu Beng.

   Kakinya yang sudah diangkat untuk menendang rusuk Liu Beng itupun tidak jadi ditendangkan, dan ia melompat mundur.

   Liu Beng juga melompat mundur.

   Karena kekuatannya yang hebat, lengan Liu Beng penuh otot sampai sekeras besi, namun bekas cengkeraman jari Kam Hong-ti yang kurus seperti cakar ayam itu ternyata membuat lengannya sangat kesakitan pada bekas yang dipegang tadi.

   Diam Liu Beng kaget, betapa hebat kekuatan si pendekar kurus tadi.

   Juga dibuktikan dengan tak berkutiknya Ho Ciangkui dalam segebrakan saja.

   Melihat Pakiong Eng, Liu Beng berteriak gembira.

   "Pakkiong Siocia!"

   Panggilnya kepada gadis yang pernah menyelamatkan nyawanya dari keganasan Hek-eng-po. Namun begitu melihat Tong Gin-yan, mata Liu Beng tiba menyemburkan api kemarahan dan menggeram.

   "Bagus! Anak si durjana Hek-eng Pocu itu datang untuk menyerahkan nyawa! Aku harus membunuhnya untuk membalaskan kematian Sebun Siauya dan lenyapnya Liu Siauya yang pasti diculik pula oleh orang Hek-eng-po!"

   Llu ia menyerbu seperti gajah.

   Tongkat kanan menghajar kepala Tong Gin-yan, sementara tongkat kiri sudah diluruskan ke samping, siap menyusulkan hantaman ke arah pinggang atau pinggul.

   Tong Gin-yan belum mengerahkan segenap tenaganya dalam menghadapi belasan ujung senjata abdi keluarga Sebun itu, namun menghadapi sepasang tongkat bekas gergajian sumbu roda kereta di tangan Liu Beng, ia tidak berani lengah.

   Ia pernah melihat sendiri kehebatan Liu Beng.

   Cepat ia memutar langkah dengan Boan-liong-jiau-po (naga berputar langkah), menjauhi lawannya sekaligus menangkis hntaman tongkat kanan Liu Beng ke kepalanya.

   Tongkat dan pedang bertabrakan di udara, keduanya sama terhuyung mundur.

   Tapi tongkat kiri Liu Beng telah menyusul menyerbu, dihindari dengan melompat mundur oleh Tong Gin-yan.

   "Saudara Liu, sabarlah! Dengar penjelasanku!"

   "Penjelasan apa lagi?! sebun Siauya sudah terbunuh olehmu, iblis Hek-eng-po!"

   Dengus Liu Beng sambil terus mendesak maju.

   Sepasang tongkatnya bergulung seperti prahara yang hebat.

   Sementara itu abdi keluarga Sebun lainnya telah berganti lawan.

   Kali ini mengepung Kam Hong-ti, dipimpin oleh Ho Kian yang meskipun baru saja terbanting keras namun masih sanggup bertempur.

   Hanya Pakkiong Eng yang dibiarkan.

   Orang keluarga Sebun masih segan kepada gadis yang pernah menjadi tamu terhormat di tempat itu, dan sahabat mendiang tuan muda mereka.

   Tapi Pakkiong Eng tidak mau tinggal diam saja, ia sama sekali tidak suka kalau Tong Gin-yan atau Liu Beng mendapat luka.

   "Hentikan, saudara Liu kau salah paham! Hwe- liong Pangcu bukan Hek-eng Pocu, itu cuma fitnah! Justru Sebun Him majikan kalian itulah Hek-eng Pocu!"

   Penjelasan itu bukan meredakan kemarahan Liu Beng, malah mengobarkannya semakin hebat. Sambil tetap menggempur Tong Gin-yan ber-tubi, Liu Beng menggeram.

   "Pakkiong Siocia, biarpunaku menghormatimu sebagai dewi penolongku, tapi kalau kau berani menghina dan memfitnah majikanku, aku tidak akan sungkan lagi terhadapmu!"

   Kebandelan Liu Beng membuat Pakkiong Eng habis sabar juga. Kata tidak ada gunanya lagi, tiba ia melompat maju dan pedangnya menikam ke jalan darah Jing-ling- hiat di lengan Liu Beng. Keruan Liu Beng kaget.

   "Pakkiong Eng Siocia, kau...."

   Liu Beng sedikit mengangkat lengannya untuk menyelamatkan urat Jing-ling-hiatnya, sebenarnya tongkatnya yang kiri berpeluang untuk membalas menyerang Pakkiong Eng namun itu tidak dilakukannya karena ragu.

   Sama ragunya dengan Tong Gin-yan terhadap Liu Beng tadi, meskipun dengan ilmunya yang lebih tinggi sebenarnya ia banyak kesempatan merobohkan Liu Beng.

   Keragu-raguan Liu Beng itulah membat kaki Pakkiong Eng menerobos pertahanannya secepat kilat, ujung kakinya mengenai jalan darah Yang-tai-hiat di lutut dan membuat Liu Beng roboh.

   "Pakkiong Siocia, kau membela pembunuh Sebun Siauya?!"

   Seru Liu Beng penasaran sambil mencoba meronta bangun kembali. Tapi ujung kaki Pakkiong Eng kembali menyentuh tubuhnya di urat Ki-keng-hiat dan habislah daya perlawanan Liu Beng kecuali kesadarannya dan kemampuan bicaranya.

   "Maafkan aku, sahabatku,"

   Kata Pakkiong Eng.

   "Aku harus bertindak begini supaya kau mau mendengarkan penjelasan, bukan cuma mengamuk membabi-buta...."

   Liu Beng bungkam dengan perasaan bergolak, matanya masih memancarkan rasa penasaran, tetapi kupingnya mulai sedikit terbuka.

   Sementara itu, Ho Kian yang tengah mengeroyok Kam Hong-ti dibantu belasan orang abdi keluarga Sebun yang sebagian besar sudah terkapar tak berdaya kena tangan atau kaki Kam Hong-ti yang berkelebatan bagai kilat.

   Si pengurus rumah tangga Sebun Him itu cemas melihat Liu Beng sudah ditaklukkan, itulah pertanda buruk bagi pihaknya.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mungkin bukan saja rahasia Sebun Him yang bakal terbongkar, tapi juga rahasia pribadinya sendiri yang disembunyikannya ber- tahun di bawah perlindungan Sebun Him.

   Karena pikirannya mulai kacau, maka permainan silatnya pun kacau.

   Maka gampang saja Kam Hong-ti mencengkeram dan menyapu kakinya, kali ini terbanting lebih keras dari yang tadi sehingga matanya ber-kunang dan tulangnya seperti dilolosi habisan.

   Sudah tentu abdi lainnya hanya ibarat boneka jerami di hadapan Kam Hong-ti, dengan gampang mereka dirobohkan satu persatu dengan totokan atau pukulan ringan.

   "Ringan"

   Menurut ukuran Kam Hong-ti, tapi cukup membuat mereka bergelimpangan di lantai.

   Hanya saja, tidak ada yang tewas.

   Rasa belas kasihan dalam jiwa Kam Hong-ti menyelamatkan nyawa mereka.

   Pertempuran usai, orang dari pihak keluarga Sebun telah dilumpuhkan semua.

   Waktu itulah Kam Hong-ti saling bertukar salam dengan Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng.

   Namun sikap Kam Hong-ti kentara agak mencurigai sepasang muda-mudi itu.

   "Sungguh kebetulan kita bertemu kembali di sini, sahabat. Apa yang kalian cari di tempat ini?"

   "Kam Taihiap sendiri mencari apa?"

   Bukan menjawab, Pakkiong Eng malah balas bertanya.

   Kam Hong-ti tahu bahwa Tong Gin-yan serta Pakkiong Eng berdiri di kubu Pangeran ke empatbelas In Te yang merupakan saingan terberat Pangeran ke empat In Ceng.

   Namun yakin akan ketangguhan diri sendiri, Kam Hong-ti menjawab terangan.

   "Aku mencari surat yang membuktikan persekongkolan Sebun Him dan Pangeran In Si."

   "Kalau begitu kepentingan kita tidak sama,"

   Kata Tong Gin-yan lega sebab tidak harus bentrok dengan pendekar yang hebat itu.

   "Kami masuk kemari hanya untuk mencari bukti bahwa Sebun Him sendirilah Hek-eng Pocu, bukan ayahku, seperti fitnah busuk yang belakangan ini beredar di luaran...."

   "Bohong!"

   Ho Ciangkui yang menggeletak tiga perempat mati itu ternyata masih berani mengeluarkan suara garang.

   "Hek-eng Pocu adalah Hwe-liong Pangcu!"

   Namun justru karena berteriak itulah maka Tong Gin-yan menoleh ke arahnya, dan teringat kembali gaya silat Ho Kian tadi yang mengingatkannya akan seorang tokoh golongan hitam yang menjadi buruan Hwe- liong-pang karena kejahatannya.

   Ditatapnya Ho Kian tajam, lalu tertawa dan bertanya.

   "Seng Kian-ho, sudah berapa tahun kau sembunyi di keluarga Sebun?"

   Bagaikan ada petir meledak di atas kepalanya, begitu kagetnya Ho Kian.

   "A... apa... kata... mu? Kau bicara.... ke...kepada sia...pa?"

   "Kepadamu, memangnya kau kira kepada siapa?"

   Putera Hwe-liong Pangcu itu melangkah mendekati Ho Kian yang tergeletak tak berdaya. Dicengkeramnya kulit wajah Ho Kian dan ditariknya kuat.

   "Yan-ko, jangan...."

   Pakkiong Eng berdesis lirih sambil memalingkan wajahnya ke tempat lain, karena sebagai seorang gadis, biarpun gadis dalam dunia persilatan,ia ngeri kalau harus melihat kulit wajah seseorang terkelupas hidup.

   Ia mengira kekasihnya begitu marah karena fitnah yang beredar sehingga ingin menyiksa Ho Kian.

   Namun ketika menabahkan hatinya untuk melirik, heranlah ia.

   Kulit wajah Ho Kian memang terkelupas, tapi di balik kulit wajah itu ada wajah lainnya.

   Wajah seorang lelaki bertampang pucat karena ber-tahun kulitnya bersembunyi di balik kulit palsu, namun tidak setua Ho Kian yang ternyata hanya pribadi samaran.

   Semua yang ada di ruangan itu tercengang heran, tidak terkecuali Liu Beng dan abdi keluarga Sebun lainnya.

   Tiba seorang abdi keluarga Sebun berteriak marah.

   "He, kau.... kau yang dulu membunuh keluargaku! Untung aku ditolong oleh Sebun Toaya saat itu!"

   Orang itu menatap Ho Kian yang nama sebenarnya Seng Kian-ho, penuh kebencian.

   Seandainya tubuhnya tidak lumpuh oleh totokan, tentu ia sudah bangkit dan membacok Seng Kian-ho.

   Ia dulunya seorang guru silat yang cukup lihai di sebuah kota kecil, hidupnya bahagia, sampai orang Hek-eng-po yang antara lain adalah Seng Kian-ho ini membasmi keluarganya tanpa alasan yang jelas.

   "Untung"

   Saat itu Sebun Him menampakkan diri menolongnya sehingga jadilah ia abdi keluarga Sebun dengan ikatan hutang budi. Juga ikatan dendam karena dianggapnya ia dan Sebun Him sama memusuhi Hek-eng-po. Namun kini keyakinannya goyah.

   "Kalian keliru semuanya, tertipu oleh Sebun Him yang mengaku sebagai penolong namun sebenarnya dialah juga dalang dari semua malapetaka...."

   Saat orang mulai ragu itulah Tong Gin-yan berusaha mempengaruhi mereka.

   "Di kota kecil Liong-coan, kota yang mendadak diserbu Hek-eng-po, Sebun Him juga muncul ber-pura menolong. Tapi dengan caranya sendiri dia relah merebut hati penduduk Liong-coan sehingga kini kota itu dalam cengkeramannya dan sedang dibina untuk penopang ambisinya...."

   Kam Hong-ti sebenarnya acuh tak acuh saja akan pertikaian antara keluarga Sebun dengan Hwe-liong-pang, saling menuduh yang memecah belah dunia persilatan.

   


Kuda Putih Karya Sd Liong Kuda Putih Karya Sd Liong Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini