Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 20


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 20



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Seru Jiat-jiu Lokoai tanpa kelihatan takut menghadapi ancaman keroyokan sekian banyak orang. Orang yang hendak mengeroyoknya pun menghentikan langkah mereka untuk mendengarkan apa yang hendak diucapkan oleh iblis yang telah cacad itu.

   "Dengarkan, aku kini hanyalah seorang tua cacad yang tak punya guna lagi, tempat berteduhpun tidak ada lagi. Tapi aku tidak ingin menjadi cengeng dengan meratapi semua itu, kalau aku takut mati, kenapa aku datang kemari seorang diri? Nanti kalian akan mencincang tubuhku pun aku tak peduli lagi. tetapi sebelum aku mati, aku harus membongkar kedok orang yang membuatku cacad dan tak berguna! Setelah itu, matipun aku puas!"

   "Bunuh dia! Jangan biarkan dia menyebarkan kata beracunnya!"

   Sebun Him menghasut orang banyak, namun dia sendiri tak berani sembarangan bergerak sebab Tong Lam-hou berdiri beberapa langkah di depannya. Sedangkan Tong lam-hou berkata sebaliknya.

   "Jiat-jiu Lokoai, dosamu ber- tumpuk terhadap para sahabat dunia persilatan. Namun kalau kau membongkar rahasia Hek-eng Pocu, barangkali sahabat dunia persilatan akan bersedia mempertimbangkan keringanan....."

   "Tidak!"

   Teriak Jiat-jiu Lokoai.

   "Orang she Tong keparat! Aku kemari tidak mempedulikan lagi mati hidupku, tidak untuk mengemis keringanan hukuman segala! Aku kemari untuk dendamku sendiri!"

   Lalu dengan mata ber-api ia menatap Sebun Him.

   "Orang she Sebun itulah Hek-eng Pocu yang sebenarnya! Dua rekanku, Hin-heng Lojin dan Ang-pit Tojin juga sudah dibunuhnya karena mengetahui rahasianya! Aku sendiri beruntung dapat melarikan diri meskipun dengan tangan cacad, ketika terjadi pertempuran di luar kota Long-tiong di bawah hujan lebat beberapa hari yang lalu! Hem, orang she Sebun, kau tentu memperhitungkan aku tidak berani datang kemari bukan? Ternyata kau keliru, aku siap kehilangan nyawaku, asal kau juga kehilangan semua kehormatan dan kebanggaanmu....!"

   Sekian banyak kata dilontarkan Jiat-jiu Lokoai, sebagian besar isinya hanyalah caci- maki dan kutukan.

   Namun toh iblis itu juga me-nyebut "Sebun Hiong dibunuh Liu Jing- yang serta "Hin-heng Lojin dan Ang-pit Tojin juga kau bunuh itu membuat para pendekar mulai mencurigai Sebun Him.

   Tidak mungkin Jiat-jiu Lokoai berani mempertaruhkan nyawa untuk muncul di Tiau-im-hong, kalau tidak terdorong dendam yang sangat besar kepada Sebun Him.

   Sementara itu, cacian Jiat-jiu Lokoai semakin gencar, bukan saja Sebun Him kena semprot, tapi pendekar lain juga kena.

   "Dan kau Tong Lam-hou, mudahan kau dan seluruh nenek moyangmu kelak menitis tidak sebagai manusia tetapi sebagai keledai, babi, anjing, kodok, macan, itik, ayam, kadal..... Dan masih panjang lagi caci-makinya sehingga se-olah ia pegawai kebun binatang yang sedang mengabsen semua binatang peliharaannya.

   "Kalian semua mengaku pendekar, tapi cuma kerbau tolol yang gampang dikelabui si bangsat Sebun Him ini, sama bodohnya dengan kami yang ber-tahun menjadi budak Hek-eng pocu tanpa tahu siapa dia sebenarnya.

   "Sekarang dengar dan buka kuping busuk kalian! Hek-eng Pocu adalah Sebun Him! Yang membunuh Sebun Hiong adalah Liu Jing- yang! Dan yang membunuh Liu Jing-yang adalah si bangsat itu sendiri karena ia tahu Liu Jing-yang lah pembunuh anaknya! Akupun hendak dibunuhnya karena tahu rahasianya, setelah mendengar percakapannya dengan Liu Jing-yang yang mengira Hek-eng Pocu bukan mertuanya sendiri. Ha-ha-ha, menantu yang malang!"

   Hakekatnya, semua penjelasan anak buah Lau Hong dan A-liu tadi masih kalah gamblang dari penjelasan Jiat-jiu Lokoai yang diselang-seling caci-maki dan kutukan.

   Dari barisan Hoa-san-pai, seorang gadis remaja tiba menghunus pedang dan menyerang Sebun Him sambil berteriak kalap di tengah tangisnya.

   "Supek! Jadi kau sendiri yang membunuh ayah?!"

   Kepandaian gadis itu, Bhe Giok-im, puteri Bhe Un-liang, sudah tentu jauh di bawah Sebun Him.

   Sedangkan Bhe Un-liang yang mengajari silat Bhe Giok-im sejak kecil saja bukan tandingan Suhengnya yang menguasai ilmu Kun-goan-sin-kang ini, apalagi puterinya.

   Yang membuat Sebun Him gugup bukanlah karena serangan Bhe Giok-im berbahaya, namun karena ia merasa terlucuti kedoknya habisan di Tiau-im-hong ini.

   Barisan pendukungnya yang tadinya hendak dimanfaatkan untuk menghancurkan Tong Lam-hou, sahabatnya sendiri yang hendak dilenyapkan karena dianggap menyaingi pamornya di dunia persilatan, kini berbalik akan menjadi lawannya.

   Tapi Sebun Him juga tidak ingin binasa mentah, ia masih punya "rencana cadangan"

   Untuk menyelamatkan diri dari Tiau-im-hong.

   Setelah itu ia akan ke Pak-khia untuk bergabung dengan Tit-hun-ong untuk merampas tahta, lalu menjadi Siam-sai Sun-bu (Gubernur Siam-sai).

   Setelah itu, biarpun orang dunia persilatan membencinya, ia tidak takut lagi, toh sudah menjadi gubernur.

   Tapi itu baru impian, sedang saat itu ia menghadapi kenyataan berupa pandangan mata penuh kemarahan dari ribuan pendekar di lereng Tiau-im-hong, termasuk orang Hoa- san-pai yang tadinya dengan fanatik mendukungnya habisan.

   "Suheng, benar tidak kau yang membunuh Suheng Bhe Un-liang?!"

   Tanya Kong Beng-thian sambil melotot marah. Sambil terus-menerus menghindari serangan Bhe Giok-im yang kalap, Sebun Him menjawab.

   "Itu perintah Pangeran In Si agar lancar jalannya menuju tahta. Kalau aku menjadi gubernur Siam-sai, pihak Hoa-san-pai juga akan mendapat muka terang dan banyak keuntungannya!"

   Begitulah, Sebun Him merasa tidak ada gunanya ingkar lagi, toh ia masih punya "rencana cadangan"

   Yang meyakinkan kemenangannya.

   Karena itulah ketika beberapa pendekar berlompatan hendak mengeroyoknya, termasuk Kong Beng-thian dan Seng-kim Tojin yang menjadi saudara seperguruannya sendiri, Sebun Him tidak ragu lagi.

   Sekali terkam ia berhasil merampas pedang Bhe Giok-im dan menelikung gadis itu dan dengan pedangnya sendiri dipalangkan di leher Bhe Giok-im sambil membentak.

   "Jangan ada yang bergerak, supaya leher gadis ini tidak usah aku tebas putus!"

   Dengan tindakan itu, jelaslah Sebun Him tidak ingin tedeng aling lagi.

   Kemarahan kaum pendekar semakin bergelora, namun tidak ada yang berani bertindak gegabah karena kuatir keselamatan Bhe Giok-im, hanya caci-maki yang diperdengarkan.

   Sementara itu sebagian pendekar telah mengepung Jiat-jiu Lokoai yang punya setumpuk hutang darah.

   Namun Jiat-jiu Lokoai hanya tertawa ter-bahak menghadapi kepungan para pendekar tersebut.

   Ejeknya.

   "Keledai tolol! Ber-tahun ditipu Sebun Him tanpa merasa, dan sekarang kalian ingin menjadi pahlawan termasyhur dengan jalan membunuh orang tua cacad seperti aku? He- he, jangan harap! Jiat-jiu Lokoai hanya akan mati oleh Jiat-jiu Lokoai sendiri!"

   Habis itu, iblis tua itu membenturkan kepalanya sendiri ke sebatang pohon sehingga batok kepalanya retak, dan tamatlah riwayat iblis tua bertangan maut itu.

   Kini semua perhatian terpusat hanya kepada Sebun Him yang terpencil seorang diri, kehilangan semua kawan, hanya berperisai Bhe Giok-im yang masih dalam cengkeramannya.

   "Sebun Him, kau benar tidak tahu malu, menyandera seorang yang jauh lebih lemah untuk menyelamatkan diri!"

   Teriak Kong Beng-thian yang tidak lagi memanggil dengan sebutan antara sesama saudara seperguruan.

   "Dengar, kalian!"

   Sebun Him tak menggubris caci-maki orang banyak.

   "Aku adalah tangan kanan dari Pangeran In Si, putera sulung Kaisar Khong-hi yang kelak akan menggantikan ayahandanya bertahta! Seujung rambut saja kalian melawan aku, kalian bisa dianggap memberontak dan dihukum mati!"

   Gertakan itu memang berhasil membuat sebagian pendekar urung untuk maju.

   Bermusuhan dengan Hek-eng-po masih boleh juga, tapi bermusuhan dengan pemerintah kekaisaran? Itu tak terbayangkan oleh mereka yang bernyali kecil.

   Namun yang kena gerak itu hanya sebagian kecil orang, sedang sebagian besar tidak peduli apa yang diucapkan Sebun Him dan terus mendesak maju menyempitkan kepungan dengan marah.

   Dari antara para pendekar itu tiba terdengar suara seseorang.

   "Siapa bilang Pangeran In Si akan naik tahta karena dia anak tertua? Saat ini dia justru sudah dilucuti semua gelarnya dan kehilangan hak untuk tahta, karena komplotannya di Liong-coan dan di tempat lainnya sudah terbongkar semua!"

   "Bicara sembarang saja! Siapa yang pentang mulut itu?!"

   Bentak Sebun Him ke asal suara.

   "Aku!"

   Sahut seseorang yang berpakaian seperti kaum petani dengan celana digulung sampai ke lutut dan berbaju pendek memakai pula caping bambu yang tepinya melengkung ke bawah.

   Tanpa disuruh, ia segera membuka tudungnya dan tampaklah wajah seorang lelaki berusia setengah abad yang bercahaya terang.

   Ia berpakaian seperti petani, namun kulit wajahnya tidak kasar terkena matahari seperti umumnya petani, melainkan nampak terawat dengan baik, begitu pula jenggot dan kumisnya.

   "Kau?!"

   Hampir bersamaan Sebun Him dan Tong Lam-hou menyerukan kata yang sama.

   Hanya nadanya berbeda.

   Sebun Him suaranya bernada kaget, sedang Tong Lam- hou bernada gembira karena bertemu sahabat lama.

   Di antara para pendekar juga sudah ada yang mengenal orang itu.

   Pakkiong Liong, Panglima Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang), orang kepercayaan Kaisar Khong-hi di dalam pemerintahan dan ketentaraan.

   Kesaktiannya juga terkenal, sehingga ia dijuluki Pak Liong (Naga dari Utara) sebagai timpalan Tong Lam-hou yang dijuluki Lam Hou (Macan dari Selatan).

   Meski kedengarannya mengomel, namun sambutan Tong Lam-hou justru bernada akrab dan gembira.

   "Ha, tamu dari Pak-khia ini benar tidak sopan, begitu datang tidak langsung menemui tuan rumah tetapi malah menonton ramai lebih dulu....."

   Sedang To Li-hua, isteri Tong Lam-hou berkata sambil tertawa.

   "Paiuko (kakak misan), aku pikir kau yang sudah menjadi orang istana ini sudah lupa kepada kami orang pedalaman yang kakinya penuh lumpur ini....."

   Sahut Pakkiong Liong.

   "Mana bisa aku melupakan kalian? Tetapi, mana A-eng?"

   Rupanya Pakkiong Liong ini meninggalkan Pak- khia karena mencemaskan anak gadisnya, Pakkiong Eng, yang sekian lama tidak pulang.

   Apalagi ketika mendengar kabar anak gadisnya terlibat pula pertentangan dengan Hek-eng-po, keruan Pakkiong Liong semakin cemas.

   Ia minta ijin untuk cuti beberapa lama kepada Kaisar, dan begitu diijinkan maka Tiau-im-hong lah tujuan pertamanya.

   Karena saling menyapa dengan sahabat lama, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong nyaris lupa di tempat itu masih ada Sebun Him yang menyandera Bhe Giok-ing.

   Perhatian mereka baru kembali ke soal pokok, ketika mendengar jeritan Bhe Giok-im yang diseret secepat terbang oleh Sebun Him ke bawah lereng.

   Para pendekar mencoba dan menghadang, namun betul tak berdaya karena semua mencemaskan keselamatan Bhe Giok-im.

   Saat itulah Pakkiong Liong serta Tong Lam-hou melompat bagaikan dua ekor belalang raksasa, melewati atas kepala para pendekar untuk mengejar Sebun Him.

   Menyusul empat kakek Hulubalang Utama Hwe-liong-pang juga berlompatan mengejar dengan gerakan lebih pesat dari para pendekar umumnya.

   Lalu delapan Tongcu juga ikut mengejar, disusul tujuh Hutongcu yang tadinya berjumlah delapan orang namun Pek-ki Hu-tongcu Lu Hian-to sudah tewas oleh Sebun Him, sedang penggantinya belum diangkat.

   Melihat kehebatan jago Hwe-liong- pang tersebut, para pendekar yang tadi menentang Hwe-liong-pang merasa betapa sebenarnya tidak sulit bagi Tong Lam-hou untuk menumpas penentangnya, tetapi toh Ketua Hwe-liong-pang itu memilih jalan tanpa kekerasan.

   Memilih cara 'menangkap ikan tanpa mengeruhkan airnya'.

   Disamping rasa kagum dan hormat, para bekas penentang itu juga malu karena mereka tadi telah gembar-gembor hendak menumpas Hwe-liong-pang segala.

   Padahal kalau benar terjadi bentrokan kekerasan, maka bukan Hwe-liong-pang yang tertumpas, melainkan diri mereka sendirilah.

   "Saudara Sebun, berhenti!"

   Bentak Tong Lam-hou yang dengan tiga lompatan saja sudah tiba di belakang Sebun Him dalam jarak kurang dari lima langkah.

   Tangannya sudah siap menghantam dengan Hian-im-kang, kalau perlu langsung membunuh Sebun Him alias Hek-eng Pocu demi menyelamatkan nyawa Bhe Giok-im yang tak berdosa.

   Sementara Pakkiong Liong terbawa oleh nalurinya sebagai panglima yang sudah biasa main siasat perang, tidak memburu langsung dan lurus ke arah Sebun Him, melainkan memutar ke samping dalam sebuah lengkungan besar.

   Ia biarkan Tong Lam-hou sahabatnya itu menjadi 'pasukan penggempur', sedang dirinya sendiri mengambil peranan sebagai 'pasukan sayap' yang menyergap dari rusuk musuh.

   Cuma kali ini bukan 'pasukan besar', tapi hanyalah 'pasukan' terkecil di dunia yang menggempurnya maupun sayapnya hanya beranggotakan satu 'prajurit' saja.

   Sebun Him cepat memutar tubuh dan menyodorkan Bhe Giok-im sambil mengejek.

   "Silahkan pukul, saudara Tong!"

   Janggal juga mendengar dua orang itu tetap saling memanggil dengan sebutan 'saudara' tetapi sudah menjadi musuh besar satu sama lain.

   Dengan sudut matanya Tong Lam-hou sempat melihat Pakkiong Liong menyusup di antara orang banyak hendak menyergap dari rusuk.

   Karena itu Tong Lam-hou pun segera menyesuaikan peranannya, ia akan memancing perhatian Sebun Him hanya ke arah dirinya.

   "Saudara Sebun, gadis itu betapapun juga adalah keponakan muridmu sendiri, puteri dari saudara seperguruanmu Bhe Un-liang. Seharusnya saudara......"

   Dan seterusnya.

   Sengaja Tong Lam-hou bicara ber-tele dengan tekanan suara yang meyakinkan untuk menarik perhatian Sebun Him.

   Sesaat kedua bekas sahabat tersebut saling berbantahan dengan beberapa kalimat keras, sampai Pakkiong Liong dari samping melenting bagaikan anak panah lepas dari busurnya.

   Dua tangannya dengan bentuk cengkeraman menyerang sekaligus ke lengan dan tengkuk Sebun Him.

   Itulah gerak Thian- liong-tam-jiau (Naga Langit Mengulur Kuku).

   Sebun Him terkejut, serangan kilat datang dari samping dan ia tak sempat memutar 'tameng'nya untuk menangkis.

   Tapi dengan cepat ia membela diri dengan gerak Hwe-liong-kui-tong (naga pulang ke gua), memutar tubuh dan membabatkan telapak tangannya mendatar ke dada Pakkiong Liong.

   Benturan amat bertenaga terjadi antara dua tokoh terkenal itu, masing terhuyung beberapa langkah.

   Detik itu juga Tong Lam- hou melesat seperti seekor elang menyambar anak ayam, Bhe Giok-im berhasil disambarnya dan dijauhkan dari Sebun Him.

   Seperti menonton adu jago saja, para pendekar bersorak-sorai melihat kerjasama yang rapi dari si Naga Utara dan si Macan Selatan untuk merebut tawanan dari cengkeraman si Beruang Barat.

   Sementara Sebun Him sendiri memucat wajahnya kemudian menjadi merah padam penuh kemarahan.

   "Hem, tidak kusangka hari ini aku mendapat kehormatan begitu besar sehingga untuk menghadapiku seorang diri saja Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong harus maju bersama untuk mengeroyok!"

   Tong Lam-hou berkata kepada Bhe Giok-im dengan suara yang sengaja dikeraskan.

   "Nona kecil, hari ini kau mendapat kehormatan begitu besar sehingga Supekmu sampai mohon perlindunganmu untuk beberapa menit!"

   Itulah dampratan balasan untuk Sebun Him yang juga telah melakukan perbuatan rendah dengan menyandera Bhe Giok-im.

   Waktu itulah Sebun Him merasa sudah tiba saatnya untuk menjalankan "rencana cadangannya".

   Tiba saja mulutnya memekik keras seperti seekor elang di padang pasir.

   *Oz* BAGIAN EMPAT PULUH EMPAT Tidak usah menunggu sampai gema suitan itu habis memantul di lereng perbukitan Bu-san, orang segera paham apa arti pekikan Sebun Him tersebut.

   Dari kaki bukit muncul puluhan orang berpakaian aneka ragam, bertampang buas dan memegang senjata.

   Hanya puluhan orang, namun kemudian disusul puluhan orang lagi, puluhan orang lagi, puluhan orang lagi, dari segala penjuru dan sekejap kemudian jumlah mereka mencapai ribuan orang.

   Seperti rombongan semut saja, mereka menyerbu ke atas gunung sambil ber- teriak.

   Kiranya inilah wujud nyata dari "rencana cadangan"

   Sebun Him.

   Kalau dirinya tidak dapat mempertahankan kedok sebagai pendekar yang budiman, maka ia sudah siap menumpas lawannya dengan cara kekerasan, tak peduli berapapun korban yang jatuh.

   Ia sadar, setelah memperoleh kemenangan dengan cara itu, ia akan dibenci dunia persilatan, tetapi ia tidak peduli lagi.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia tidak butuh dicintai, ia hanya butuh kemenangan dan kekuasaan dengan jalan apapun.

   Tenaga yang dikerahkan itu adalah bandit sewaan dari banyak gunung, sungai atau hutan.

   Dengan uangnya yang sebanyak air di laut, tidak sulit Sebun Him menggerakkan orang yang sudah biasa menghargai nyawa orang lain dengan hitungan uang.

   Merekalah kaum perampok, bajak sungai, pembunuh bayaran, pelarian yang dicari pemerintah kekaisaran karena melanggar hukum, bekas pemberontak pengikut Peng-se-ong yang tak punya lagi tempat berteduh setelah Peng-se-ong kalah perang, dan segala macam manusia pengacau masyarakat lainnya.

   Sebagian juga orang Hek-eng-po yang tetap bersedia diperintah meskipun akhirnya mereka tahu bahwa Hek- eng Pocu tak lain adalah Sebun Him.

   Dengan janji uang, gampang saja mereka digerakkan untuk menyerbu Tiau-im- hong.

   Kalau kelompok itu bergerak sendiri, mereka gentar terhadap Hwe-liong-pang, namun mereka banyak teman sampai jumlahnya ribuan, nyali mereka jadi besar.

   Selain orang yang bertempur karena upah, sebagian dari mereka juga orang jahat yang mendendam kepada Hwe-liong-pang karena berbagai alasan.

   Ada yang terusir dari propinsi Se-cuan dan terpaksa meninggalkan "ladang mereka yang gemuk subur, yang dimaksud ladang adalah arena tempat mereka memperoleh hasil haram.

   Sebagian bekas pengikut Peng-se-ong Bu Sam-kui ikut menyerbu dengan alasan dendam, karena di jaman pemberontakan mereka dulu Tong Lam-hou memimpin Hwe- liong-pang untuk mengganggu pihak pemberontak dengan cara memutuskan jalur perbekalan sehingga pemberontakan gagal, meskipun Bu Sam-kui sempat menjadikan dirinya Kaisar di kota Hing-ciu.

   Sudah tentu orang Hwe-liong-pang dan para pendekar tidak mau disembelih begitu saja.

   Mereka segera menyambut serbuan itu dengan sengit.

   Bertemulah dua gelombang manusia bersenjata berjumlah besar yang segera saling bantai dengan sengit di lereng itu.

   Begitulah, Tong Lam-hou dengan segala jalan sudah mencoba menghindarkan pertumpan darah, namun toh pertumpahan darah pecah juga.

   Seluruh lereng sudah riuh rendah dengan suara logam senjata berbenturan, teriakan kemarahan, bahkan sekali dua kali terdengar letusan senapan yang dibawa oleh para penyerbu.

   Namun senapan jaman abad delapanbelas itu hanya bisa ditembakkan satu kali, setelah itu tidak ada kesempatan untuk mengisi peluru yang ke dua, dan senapan tidak lagi ditembakkan melainkan dijadikan tongkat pemukul......

   Jumlah para penyerbu itu memang sangat banyak, hampir dua kali lipat jumlah orang Hwe-liong-pang digabung dengan para pendekar.

   Di pihak penyerbu juga tidak sedikit jumlah jago tangguh, sehingga para pendekar sedikit demi sedikit terdorong surut ke atas gunung.

   Melihat itu, Sebun Him tertawa gembira.

   "He-he, kalau benar aku adalah Hek- eng Pocu, kalian keledai dungu ini bisa berbuat apa terhadapku?!"

   Tong Lam-hou yang sudah benar muak akan tingkah Sebun Him tersebut tidak menjawabnya dengan kata, melainkan menghunus pedangnya dan langsung menyerang bekas sahabatnya itu dengan marah.

   Sebun Him tidak berani melawan Tong Lam-hou dengan tangan kosong, maka iapun menghunus pedangnya yang besarnya dan beratnya satu setengah kali lebih berat dan besar daripada pedang biasa, lalu melawan.

   Ia seorang kidal yang memainkan pedangnya dengan tangan kiri.

   Terulanglah pertempuran seperti waktu mereka masih muda dulu, ketika Sebun Him sedang begitu bersemangatnya mengangkat nama di dunia persilatan, sehingga tidak segan mencari gara dengan Tong Lam-hou yang waktu itu sudah lebih dulu terkenal.

   Kemudian ketika Sebun Him sudah terkenal pula, maka iapun bersahabat dengan Ketua Hwe-liong-pang tersebut, meskipun diam menyusun kekuatan lewat Hek-eng-po untuk memenuhi macam ambisinya.

   Kini, pertempuran itu berulang kembali.

   Tetapi jauh lebih dahsyat daripada dahulu.

   Sebab Sebun Him maupun Tong lam-hou sudah sama makin sempurna ilmunya.

   Maka pertarungan itupun seperti bertemunya seekor beruang yang amat kuat dengan seekor harimau jantan yang tangkas dan garang, atau dua angin topan yang bertabrakan dan membentuk pusaran yang mengerikan.

   Pedang mereka berkelebatan memenuhi udara, membungkus bayangan tubuh pemiliknya masing, dan kadang berbenturan dengan suara yang memekakkan telinga.

   Tekanan kekuatan di sekitar gelanggang begitu hebat, sehingga tak seorangpun kecuali Pakkiong Liong yang sanggup berada di pinggir arena dalam jarak kurang dari tiga tombak.

   Pihak kawan atau lawan sama menyingkir jauh dari arena yang maha dahsyat tersebut.

   Pakkiong Liong diam mengangguk- anggukkan kepala, mengagumi adu kekuatan antara dua pendekar seangkatannya itu.

   "Sebun Him mengalami kemajuan hebat, tetapi A-hou juga tidak menguatirkan keadaannya. Selama ini agaknya dia bukan cuma menghisap tembakau atau menyirami kembang saja...."

   Namun Pakkiong Liong tidak ingin hanya berpeluk tangan saja, sebab di seluruh lereng yang luas itu sudah terjadi pertarungan hebat antara ber-ribu orang.

   Ia harus membantu para pendekar yang terdesak oleh gerombolan campur-aduk berjumlah besar itu.

   Dari tempat yang agak tinggi, Pakkiong Liong melihat betapa empat Hiangcu, delapan Tongcu dan tujuh Hutongcu Hwe-liong-pang dengan gigih membendung serangan lawan, bahu-membahu dengan anggota Hwe-liong- pang yang lain dan ratusan pendekar.

   Selain itu, To Li-hua, isteri Tong Lam- hou sekaligus adik sepupu Pakkiong Liong, ikut bertempur dengan sebatang pedang di tangan, meskipun tingkat ilmu silatnya paling hanya sebanding dengan seorang Hutongcu.

   Sekelompok orang Hwe-liong-pang yang tangguh bertempur di sekitar nyonya ketua mereka untuk melindunginya.

   Di sebelah lain, nampak tiga hweshio Ngo-bi-pai ditambah seorang pendekar lainnya ternyata masih juga kewalahan menghadang amukan seorang tua berambut putih dan bermuka merah, yang memainkan sebatang tombak Hong-thian-kek (tombak yang ujungnya diapit sepasang lengkung besi yang menghadap keluar).

   Di jaman Manchu seperti sekarang ini, orang lelaki umumnya menguncir panjang rambutnya, tapi orang tua bertombak itu menggelung rambutnya seperti jaman dinasti Beng dulu.

   Pakkiong Liong terkejut mengenali orang tua itu.

   "Hah, ternyata orang ini masih hidup, malah semakin gagah saja kelihatannya. Aku kira dulu dia sudah mati dalam pertempuran di luar kota Seng-toh....."

   Kiranya orang tua itu dulu adalah seorang jendral di pihak pemberontakan Raja Muda Bu Sam-kui, namanya Thi Keng-giok.

   Pasukannya pernah berhadapan dengan pasukan Pakkiong Liong, menjelang jatuhnya kota Seng-toh, ibukota propinsi Se-cuan, ke tangan tentara kekaisaran.

   Pakkiong Liong mengira orang itu sudah tewas, nyatanya saat ini dijumpainya Thio Keng-giok mengganas kembali di Tiau-im-hong.

   "Ini bagianku!"

   Tekad Pakkiong Liong dalam hati.

   Lalu tubuhnya melambung tinggi, melompati orang yang berlaga mengadu nyawa.

   Dengan dua lompatan saja, jarak antara dirinya dan Thio Keng-giok yang ber- puluh tombak itu sudah diseberanginya dan tiba di dekat Thio Keng-giok.

   "Kita bertemu kembali, sahabat lama!"

   Seru Pakkiong Liong sambil melepaskan sebuah pukulan.

   Bukan pukulan maut, hanya pukulan penggertak agar Thi Keng-giok melepaskan lawannya.

   Keempat lawan dari Thio Keng-giok sebenarnya sudah megap menghadapi terjangan si bekas jendral perkasa itu.

   salah seorang pendeta Ngo-bi-pai bahkan sudah pincang karena pinggulnya sempat tersapu tangkai tombak lawan.

   Maka dengan kedatangan Pakkiong Liong terbebaslah mereka dari himpitan berat tersebut.

   "Bagus! Kau datang, anjing Manchu!"

   Bentak Thio Keng-giok yang rupanya juga masih mengenal Pakkiong Liong.

   "Sedikitnya hari ini aku bisa mengirim arwahmu ke akherat untuk bersujud mohon ampun kepada Hong- siang (Kaisar)!"

   Yang dimaksud "kaisar"

   Dalam ucapannya sudah tentu bukan Kaisar Khong-hi yang bertahta saat itu, namun Bu Sam-kui yang saat sebelum keruntuhannya masih sempat menjadikan dirinya Kaisar di Hing-ciu.

   "Kau sajalah yang menghadap kaisar gadunganmu itu di neraka,"

   Ejek Pakkiong Liong.

   "Sedangkan tenagaku masih dibutuhkan Kaisarku untuk membantu pemerintahan yang semakin lama semakin berjalan mantap....."

   "Keparat Manchu, jangan bermulut besar!"

   Bentak Thio Keng-giok murka karena teringat akan gagalnya pemberontakan junjungannya.

   "Kalau bukan karena pengecut Kheng Cin-tiong di propinsi Hok-kian dan Siang Ci-sin di propinsi Kui-tang mendadak berkhianat, tentu junjunganku sekarang sudah berhasil mendirikan dinasti baru yang lebih baik dari dinasti manusia liar dari Liau-tong macam sekarang ini! Apalagi si bangsat Ong Hu-sin kemudian ikutan menakluk pula! Kalau tidak, saat ini bangsa Han pasti sudah berkuasa kembali!"

   Pakkiong Liong tertawa mengejek.

   "Semua orang kau sebut pengkhianat, bagaimana dengan Bu Sam-kui sendiri, junjunganmu itu? ia malah pengkhianat ganda! Sebagai panglima dinasti Beng, dia malah menakluk kepada kami dan menyerahkan kota San-hai-koan untuk kami lewati. Kami mengingat jasanya dan mengangkatnya sebagai gubernur di Hun-lam dan Se-cuan, tapi dasar watak pengkhianat, dia memberontak juga kepada kami. Dan sekarang ia sudah menjadi Kaisar di antara cacing tanah!"

   Kalah berdebat, Thio Keng-giok menjadi murka.

   Disertai bentakan keras, tombaknya segera menusuk dengan gerak Liong-bun-ko- long (main ombak di pintu naga).

   Pakkiong Liong dengan lincah menghindari, kemudian melawannya hanya dengan tangan kosong.

   Maka bertempurlah dua orang itu, landasannya lebih banyak karena urusan politik masa lalu.

   Kalau ada juga sangkut pautnya dengan kemelut yang sedang berlangsung di Tiau-im-hong, itu hanyalah karena Thio Keng- giok kebetulan adalah tenaga bantuan yang diundang oleh Sebun Him dengan janji tertentu, sedangkan Pakkiong Liong kebetulan sedang tiba di Tiau-im-hong mencari puterinya.

   Ketika balatentara Manchu menerobos San-hai-koan gara menakluknya Bu Sam-kui kepada Kekaisaran Manchu, antara Pakkiong Liong dan Thio Keng-giok pernah juga bekerja sama menghadapi tentara Li Cu-seng yang menduduki Pak-khia setelah merobohkan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng pada tahun 1644.

   Kemudian Bu Sam-kui memberonak kepada pemerintah baru, kekaisaran Manchu, dengan dukungan Gubernur Hok-kian Kheng Cin-tiong serta Gubernur Kui-tang Siang Ci-sin, wilayah pemberontakan bahkan sampai ke propinsi Ou-lam.

   Tapi Gubernur Hok-kian dan Kui-tang kemudian menarik dukungan mereka karena kuatir kehilangan kedudukan setelah melihat tentara Manchu menang di sebagian besar garis perang.

   Maka Bu Sam-kui jadi bertempur seorang diri, sedikit saja ia mendapat bantuan para pendekar bangsa Han, meskipun ia menjanjikan bahwa pemberontakannya demi untuk "membangun kembali dinasti Beng.

   Pendekar bangsa Han sulit mempercayai slogan itu, sebab mereka masih ingat betapa Bu Sam-kui menyerahkan kota San-hai-koan sehingga bangsa Manchu berhasil masuk menguasai Tiong-goan, juga sulit melupakan bagaimana Bu Sam-kui menjadi algojonya pemerintah Manchu ketika memburu Kui-ong Cu Yu-long yang bergelar Eng-lek-te, keturunan sah dinasti Beng, dan membunuh pangeran itu biarpun sudah lari sampai ke Birma.

   Kerajaan Birma tak sanggup melindungi Cu Yu-long, karena gentar akan tetangga raksasanya di utara.

   Itulah sebabnya slogan pemberontakan Bu Sam-kui "Kebangkitan Kembali Dinasti Beng itu tidak mempan untuk menarik dukungan para pejuang Han.

   Keruntuhan Bu Sam-kui menjadi pasti setelah jendral bawahannya yang menguasai Kam- siok, Ong Hu-sin, tidak tahan menghadapi tekanan tentara Manchu dan menakluk pula.

   Maka hancurlah Bu Sam-kui, tokoh yang gampang berubah pendirian itu.

   Pertempuran Pakkiong Liong dan Thio Keng-giok sangat sengit, namun tidak sehebat pertempuran antara Tong Lam-hou dan Sebun Him, sebab bagaimanapun ngototnya Thio Keng-giok, ia masih kalah beberapa tingkat di bawah Pakkiong Liong.

   Maka biarpun yang satu bertangan kosong, yang lain memegang tombak, yang memegang tombak panjang justru terdesak hebat.

   Sia-sia Thi Keng-giok mencoba memanfaatkan panjang tombaknya untuk menahan agar Pakkiong Liong tidak bisa mendekatinya.

   Pakkiong Liong me-nyusup selicin belut di bawah, atas atau samping samaran tombaknya dan tetap "melekat di tubuh Thio Keng-giok, pas jaraknya untuk pukulan dan tendangan, sebaliknya terlalu pendek dan merepotkan untuk tombak Thi Keng-giok.

   Dengan demikian, tombak bukan lagi senjata yang menghasilkan keunggulan, malah menjadi semacam benda yang membuatnya serba salah dan canggung.

   Dari tengah kawanan penyerbu segera muncul seorang bersenjata golok bertangkai panjang (koan-to) yang berseru.

   "Goanswe! Aku membantumu!"

   Yang dipanggil "Goanswe dan hendak dibantu itu bukan Pakkiong Liong, meskipun Pakkiong Liong juga seorang jendral di Pak- khia, melainkan Thio Keng-giok.

   Koan-to orang tersebut dengan kekuatan hebat segera ditebaskan ke pinggang Pakkiong Liong.

   Hanya saja, sebelum tebasan itu membuat lengkungan sempurna, gerakannya telah terhenti di tengah jalan, sebab seorang kakek berpakaian putih model Korea telah meluncur menghadangnya dan langsung menendang tangkai golok sehingga berubah arah, tidak lagi membahayakan Pakkiong Liong.

   Si pemegang golok terkejut.

   Apalagi tendangan si kakek pakaian putih itu ternyata beruntun dan secepat kilat, mengherankan juga bahwa seorang setua itu masih memiliki kelenturan otot dan persendian kaki yang demikian sempurna.

   Tapi kalau pemegang golok itu tahu bahwa si kakek adalah Oh Yun- kim yang berjuluk Bu-eng-tui (tendangan tanpa bayangan), tentunya ia tidak perlu heran lagi.

   Oh Yun-kim berdarah Korea, karena itu ia kurang peduli pertikaian ber-larut antara orang Han dan Manchu, apalagi yang dibumbui intrik politik.

   Sebagai pendekar, ia cuma kenal dua golongan manusia; golongan pengacau dan golongan bukan pengacau.

   Golongan pengacau dia lawan, golongan bukan pengacau ia bantu, habis perkara.

   Itu sudah menjadi alasan kuat baginya untuk menentang gerombolan yang digerakkan oleh Sebun Him tersebut.

   Ketika lawan mundur untuk mencoba mengatur jarak yang menguntungkan bagi golok panjangnya, Oh Yun-kim justru melesat ke depan.

   Sambil melayang, sepasang kakinya melancarkan rangkaian tendangan yang entah ke berapa kali-nya, ujung kakinya yang ber- jari kuat itu, terutama jempol kakinya, mendarat telak di samping leher musuhnya sehingga musuh roboh tanpa bangun lagi.

   sesudah itu, ia mencari musuh baru.

   Robohnya orang bersenjata golok koan- to itu hanya berselisih beberapa detik dengan robohnya Thio Keng-giok terkena sabetan telapak tangan Pakkiong Liong tepat di rusuknya.

   Meskipun pihak penyerbu kehilangan beberapa tokoh jagoannya, namun karena jumlah mereka yang berlimpah, maka tetap saja pihak pendekar dan Hwe-liong-pang harus bekerja matian untuk membendung serbuan musuh.

   Korban mulai berjatuhan dari kedua pihak, membuat suasana penuh dendam semakin panas dan tak terkendalikan lagi.

   Dengan ilmunya yang tinggi, Pakkiong Liong menyusup kian kemari untuk "mempreteli jagoan musuh yang dianggapnya cukup berbahaya.

   Dengan demikian, meskipun Pakkiong Liong merobohkan orang tidak sebanyak para pendekar atau jago Hwe-liong- pang, namun yang dirobohkannya justru pentolan musuh dan ini cukup membuat kacau barisan mereka.

   Hanya saja, untuk menghentikan seluruh gelombang serangan musuh, agaknya masih diperlukan waktu yang panjang.

   Sementara itu, biarpun mata Tong Lam- hou hanya terpusat kepada lawan tunggalnya yang tangguh, namun kupingnya dapat mendengar suara riuhnya pertarungan massal tersebut.

   Setiap kali mendengar sebuah jerit kematian, setiap kali pula Tong Lam-hou merasa sebatang jarum ditancapkan di hatinya, pedih sekali mendengar suara dari orang yang mati sia-sia itu.

   Dan kalau mengingat bahwa biang keladi dari kematian itu adalah Sebun Him alias Hek-eng Pocu yang tengah dihadapinya, maka ia terpaksa harus melupakan hubungan baik masa lalu dan membulatkan tekad untuk menumpas habis biang kerusuhan itu tanpa ampun.

   Ia yakin, kalau Sebun Him lumpuh, maka segala macam gerombolan campur aduk itu akan lumpuh pula karena mereka berkelahi hanya demi uang.

   Kalau orang yang membayar sudah lumpuh, yang dibayarpun tanpa disuruh lagi akan mundur.

   Waktu itu, pertarungannya melawan Sebun Him masih kelihatan seimbang, namun sebenarnya sudah berat sebelah.

   Sebun Him sudah mengerahkan ilmu kebanggaannya, Kun-goan-sin-kang yang membuat gerakannya berbobot ribuan kati seperti gunung batu yang longsor, bahkan jurus ganas yang dipelajarinya dari gulungan kulit kuno itupun sudah mewarnai gerak pedang di tangan kiri serta telapak tangannya, namun tak sanggup mendesak Tong Lam-hou sejengkalpun.

   Padahal Tong Lam-hou belum sampai ke puncak ilmunya, Hian-im-kang.

   Sepasang kakinya juga belum bergerak dengan Pek-pian Lian-hoan-tui (tendangan beruntun seratus pergantian) yang terkenal itu.

   Tapi setelah Ketua Hwe-liong-pang itu memutuskan untuk menghabisi lawan secepatnya, maka ilmu simpanannya pun dikeluarkan semua.

   Terdengar ia membentak, gerakan pedangnya pun semakin cepat, sekaligus mulai terasa hawa dingin menusuk kulit menghambur keluar dari setiap gerakannya.

   Seolah setiap gerakannya diikuti hamburan jarum es tak terlihat yang menyusup ke pori dan urat lawannya dan membekukan darah.

   Bukan itu saja, pipa tembakau sepanjang tiga jengkal yang terselip di pinggangnya itupun dicabut dengan tangan kiri, dan digerakkan untuk mengincar urat pentung di sekujur tubuh Sebun Him.

   Kemudian diikuti tendangan sepasang kakinya yang makin lama makin gencar dan tak gampang dipecahkan.

   *Oz* Bersambung ke

   Jilid 38 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 38 TAMAT Nyata, Ketua Hwe-liong-pang itu sudah memutuskan untuk bertempur habisan, tidak ada ampun lagi.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akibatnya segera terasa oleh Sebun Him.

   Ia mulai merasakan kaku pada seluruh tubuhnya, karena dirinya dikungkungi hawa dingin yang hebat sekali.

   Biarpun tenaga sakti Kun-goan-sin-kang sudah disalurkan melawan hawa dingin tersebut, tapi "jarum es tak berwujud itu terus saja merupakan gangguan yang makin lama terasa makin berat, makin dalam menyusup ke dalam segenap uratnya dan membuat gerak silatnya semakin kaku.

   Bahkan ia kemudian bersin tiga kali, dan mencoba memperpanjang jarak untuk mengurangi pengaruh hawa dingin itu.

   Tapi Tong Lam-hou melompat mengejarnya dan terus menyerang bagaikan prahara dahsyatnya.

   "Tong Lam-hou, kau bersikap keterlaluan terhadapku!"

   Teriak Sebun Him marah, namun juga bernada panik. Tanpa mengurangi gencarnya serangan pedang, pipa dan tendangannya, Tong Lam- hou membalas.

   "Siapa yang keterlaluan? Di Ban-siong-tin aku sudah tahu siapa yang sembunyi di balik kedok Hek-eng Pocu, namun aku tetap bungkam menjaga rahasiamu dengan harapan agar kau sadar dan menghentikankegiatan jahatmu. Tapi kau malah menyebar fitnah, jiwa sebanyak ini kau hasut untuk menumpahkan darah menjadi alat ambisimu!"

   Sebun Him terpaksa bertahan habisan dan sendirian pula.

   Ada beberapa orang upahannya yang dipanggil untuk membantunya, namun orang itu tak mampu mendekati arena karena tertahan udara dingin yang terpancar dari gerakan Tong lam-hou.

   Sesaat Sebun Him kebingungan untuk melepaskan diri.

   Akhirnya timbul niatnya yang keji.

   Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya, ia putar pedangnya sekuat tenaga.

   Untuk sesaat Tong Lam-hou tertahan oleh pertahanan yang sangat ketat tersebut, sedangkan Sebun Him tiba melompat jauh, menyusup ke arah barisan kaum pendekar dan orang Hwe-liong-pang.

   Tanpa kenal belas kasihan, Sebun Him me-nyusup di antara orang yang ilmunya jauh lebih lemah dari dirinya, sambil mengayun pedang ke kiri dan kanan dengan dahsyatnya.

   Rupanya ia membuka jalan berdarah, dan di antara orang yang dibabatnya itu termasuk dua imam saudara seperguruannya sendiri, Seng-kim dan Seng-bok Tojin.

   Tapi ia tak peduli, ia mengambil korbannya sambil terus menyusup menjauhkan diri dari Ketua Hwe- liong-pang.

   Alangkah marahnya Ketua Hwe-liong- pang melihat siasat keji itu.

   Seandainya Sebun Him menyusup ke dalam gerombolannya sendiri, tentu Tong Lam-hou tidak akan segan menggunakan pedangnya untuk membabat kaum pengacau itu.

   Namun Sebun Him justru lari ke tengah orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar, sudah tentu Tong Lam-hou tidak bisa meniru tindakannya untuk main babat semaunya saja.

   Ia mengejar, namun berusaha membuka jalan dengan mulutnya yang ber- teriak.

   "Beri aku jalan! Beri jalan, sahabat!"

   "Awas, si iblis mengamuk!"

   "Beri jalan untuk Tong Pangcu!"

   "Beri jalan untuk Tong Pangcu!"

   Dengan cara itu, sudah tentu Tong lam- hou jadi lebih lambat dari Sebun Him.

   Ada yang dengan tangkas menghindari, memberi jalan, tapi ada yang gerakannya lambat sehingga Tong Lam-hou harus menyingkirkan mereka tanpa mencederai.

   Ia juga tidak bisa menggunakan hawa dingin Hian-im-kangnya sebagai pembuka jalan, sebab yang terlambat menghindar bisa langsung mati membeku.

   Sekilas timbul pikirannya untuk balas membabat se-banyaknya nyawa di antara kaum pengacau itu, tetapi ia sadar bahwa hal itu tidak menyelesaikan masalahnya.

   Sebun Him tidak akan merasa rugi atau menyesal seujung rambutpun seandainya orangnya terbantai habis semua di Tiau-im-hong.

   Dengan uangnya yang banyak, dalam waktu singkat ia akan dapat mengumpulkan lagi sebanyak itu, bahkan lebih banyakpun bisa.

   Karena itulah Sebun Him sebagai akar masalahnya, dikejar terus dengan ngotot.

   Tujuan Sebun Him memang lepas dari arena itu, tidak peduli lagi berapa ratus nyawa yang bakal melayang di tempat itu.

   Semakin lama selesainya keributan itu, semakin menguntungkan baginya, agar ia dapat meninggalkan Tiau-im-hong se-jauhnya.

   Tetapi ketika ia sudah sampai di "pinggiran arena di mana pertempuran tidak sepadat di bagian tengah, kurang belasan langkah peluang untuk kabur, sedang Hwe- liong Pangcu masih tertinggal jauh di belakangnya, mendadak dari lereng gunung muncullah segerombolan orang yang tengah memanjat naik.

   Dua pemuda dan seorang gadis yang berjalan paling depan itu menunjukkan ketangkasan yang mengejutkan, setingkat dengan mendiang anaknya, Sebun Hiong.

   Sedang di belakang mereka ada puluhan orang bersenjata yang mengikuti namun dengan gerakan yang lebih lambat.

   "Itu dia Sebun Him!"

   Gadis yang berpakaian putih itu bukan lain adalah Pakkiong Eng, berteriak sambil menuding ke arah Sebun Him.

   Melihat Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng menyerbu ke arahnya, itu bukan hal aneh bagi Sebun Him.

   Sejak lama ia sadar bahwa kedua pasangan itu sudah mencurigai dirinya sebagai Hek-eng Pocu.

   Tapi betapa kaget Sebun Him melihat Liu Beng dengan sepasang tongkat besi di tangan juga ikut bersama kedua muda- mudi itu.

   Terhadap Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng, ia tidak akan segan membabat leher mereka, tetapi terhadap Liu Beng? Sejak ia tahu bahwa Liu Beng adalah darah dagingnya sendiri yang dilahirkan oleh kekasihnya, seorang gadis dusun di kaki gunung Hoa-san, maka kasih sayangnya terhadap Liu Beng tidak kalah besar dari kasih sayangnya terhadap Sebun Hiong.

   Bahkan terhadap Liu Beng masih ditambah rasa iba, sebab dirinya tidak dapat memperlihatkan kasih sayangnya sebagai ayah secara terangan.

   Ia juga membuat Liu Beng dan ibunya hidup menderita, bahkan Liu Beng sempat menjadi seorang kacung rendahan di rumah keluarga Liu ber-tahun lamanya.

   Selagi ia ragu bagaimana cara menghadapi Liu Beng, justru Liu Beng yang langkahnya paling cepat sampai ke hadapannya dan langsung berteriak marah.

   "Bangsat durjana! Demi arwah orang Liu-keh- chung yang telah kau bantai dengan biadab, aku harus memecahkan batok kepalamu!"

   "A-beng...."

   Seru Sebun Him dengan hati tersayat, karena anaknya sendiri tidak tahu bahwa dia adalah ayahnya, bahkan menggempurnya dengan sengit.

   Waktu itulah ber-turut tongkat kanan Liu Beng menggempur turun, dihindari oleh Sebun Him dan membelah sebongkah batu sebesar anak kambing yang dikenainya.

   Kemudian Liu Beng memutar tubuh, tongkat kiri menyabet mendatar, dihindari lagi, dan mematahkan sebatang pohon.

   Dua gerakan Liu Beng itu sebenarnya membuka peluang lebar bagi Sebun Him untuk membalas menembuskan pedangnya ke tubuh Liu Beng, namun ia tidak melakukannya.

   Ia sudah kehilangan Sebun Hiong dan tak mau kehilangan Liu Beng.

   Apa artinya kejayaan yang bakal diraihnya kalau tidak punya anak yang akan mewarisinya? Sementara itu, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng yang sudah menyerbu tiba dengan pedang masing.

   Maka Sebun Him harus menghadapi tiga anak muda itu seperti dulu lagi.

   Sementara itu, rombongan yang mengikuti mereka adalah orang bekas pegawai Sebun Him, yang kemudian tahu bahwa merekalah yang selama ini diperalat Sebun Him.

   Orang itu segera mengepung Sebun Him dengan penuh kemarahan.

   Kemarahan Sebun Him melihat pemberontakan pegawainya itupun ditumpahkan kepada Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng.

   "Setan kecil, tentu kalian yang menghasut mereka untuk melawan aku! Kalian harus mampus!"

   Di bawah tekanan Sebun Him yang dahsyat, masih sempat Tong Gin-yan menjawab.

   "Bukan menghasut, paman Sebun, namun membuka mata yang selama ini paman tutupi dengan kebohongan!"

   "Keparat!"

   Teriak Sebun Him geram.

   Juga gelisah, sebab ia tahu bahwa Ketua Hwe- liong-pang sedang mengejarnya, sementara anak muda itu menghadang usahanya untuk kabur.

   Dengan kebencian dan kemarahan me- luap, ingin rasanya ia me-motong tubuh Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng, tetapi Liu Beng menjadi perintang yang tak gampang dilewati padahal ia tidak ingin melukai Liu Beng seujung rambutpun.

   Timbul pikiran untuk melumpuhkan Liu Beng lebih dulu dengan totokan, setelah itu barulah ia akan membunuh dua korbannya tanpa penghalang yang berarti.

   Tapi kalau ia menekan Liu Beng, maka Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng tidak membiarkannya.

   Belum lagi maksudnya tercapai, beberapa bekas pegawainya yang bernyali besar telah ikut menyerbu ke arah bekas majikan mereka.

   "Jangan!"

   Teriak Tong Gin-yan kaget, menguatirkan nasib bekas pegawai Sebun Him yang berilmu rendah dan hanya bermodal keberanian serta kemarahan itu.

   Seruan itu tidak menyelamatkan orang malang tersebut.

   Dengan langkah berputar Boan-liong-jiau-po (naga berputar langkah), Sebun Him lolos dari kepungan tiga lawn mudanya, lalu menerjang sengit.

   "Budak tak tahu diri! Kalian hendak berkhianat kepadaku? Mampuslah!"

   Pedangnya membuat cahaya perak melebar yang menyabet miring dari bawah ke atas.

   Dua orang bekas pegawainya tersabet perutnya, dua lagi terpenggal lehernya.

   Namun pegawai lainnya dengan berani tetap menghadang.

   Mereka ingat bagaimana keluarga atau perguruan mereka dibantai Hek- eng-po lalu ditolong Sebun Him, padahal kini mereka sudah tahu bahwa Hek-eng Pocu tak lain adalah Sebun Him juga.

   Kini mereka nekad mempertaruhkan nyawa untuk membalas sakit hati keluarga atau perguruan mereka.

   Seperti binatang buas yang terjepit, Sebun Him meng-ayunkan pedangnya ke arah bekas pegawainya.

   Beberapa dada atau punggung terbelah, beberapa butir kepala melayang copot dari badannya.

   Namun Sebun Him tiba merasa punggungnya dingin pedih, sebab ujung pedang Pakkiong Eng berhasil masuk sejengkal dalamnya.

   "Bangsat! Keparat! Bedebah! Sundel!"

   Sederetan caci-maki terhambur dari mulut Sebun Him, sambil membalikkan tubuh dan menghantamkan tangannya dengan gerak Pai- san-un-jiu (ayunan tangan menggeser gunung).

   Tenaga yang dahsyat meluncur ke arah Pakkiong Eng.

   Pakkiong Eng terkejut, insyaf kalau dirinya kena pukulan itu akan hancurlah kepalanya.

   Namun ia tak dapat segera menarik pedangnya yang terjepit otot punggung Sebun Him yang keras itu, meskipun luka itu sudah melebar akibat Sebun Him memutar tubuh tadi, sementara gagang pedang masih digenggam erat oleh Pakkiong Eng.

   "A-eng, lepaskan pedang!"

   Teriak Tong Gin-yan.

   Lupa akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri, hanya ingat maut yang mengancam kekasihnya, Tong Gin-yan lepaskan pedangnya sendiri dan melompat menubruk Pakkiong Eng sehingga sama jatuh ter-guling.

   Pukulan dahsyat Sebun Him menderu hanya berjarak setengah jengkal dari kepala mereka.

   Angin pukulan itu mengenai segumpal batu yang langsung remuk menjadi kerikil lembut.

   Yang menyerbu Sebun Him untuk menolong Pakkiong Eng ternyata bukan cuma kekasih sang gadis, tetapi juga Liu Beng yang merasa berhutang budi kepada Pakkiong Eng ketika dulu hampir dibunuh Lo-san Su-koai.

   Ia menolong dengan caranya sendiri, sepasang tongkat besinya menggebuk sejajar mendatar dengan jurus Siang-san-kai-lou (sepasang gajah membuka jalan).

   Tongkat kiri luput, namun tongkat kanan berhasil mengenai gagang pedang Pakkiong Eng yang masih menancap di punggung Sebun Him.

   Seperti paku di tembok yang dipukul dengan palu, begitu gagang pedang yang terpukul itu amblas lebih dalam ke tubuh Sebun Him hingga tembus ke depan.

   Sebun Him meraung seperti binatang liar.

   Dengan kecepatan kilat ia memutar tubuh dan menjambret ke samping, Liu Beng yang terlambat menjauhkan diri kontan kena tercengkeram dadanya sehingga kesakitan dan tubuhnya lumpuh, pedang di tangan kiri Sebun Him sudah teracung di udara dan dengan sekali tebas akan terbelahlah tubuh Liu Beng.

   Tapi demi melihat wajah Liu Beng yang menatapnya tanpa gentar, pedang Sebun Him tertahan di udara dan tak kunjung turun.

   Dilihatnya wajah Liu Beng itu ada bagian yang mengikuti garis wajah ibunya, bagian lainnya mengikuti garis wajah Sebun Him sendiri kalau sedang bercermin, itulah sebabnya dulu banyak pegawai yang mengatakan wajah Liu Beng mirip wajah Sebun Hiong.

   Kini, Sebun Him seakan menghadapi wajahnya sendiri di waktu muda, juga wajah gadis desa yang ditinggalkannya dalam keadaan mengandung, juga wajah Sebun Hiong yang telah tewas....

   Se-jahatnya Sebun Him, ia adalah manusia yang masih punya setitik sisa hati nurani.

   Hatinya lemas seketika.

   Wajah yang tadinya merah padam dan menakutkan berubah menjadi pucat, matanya memancarkan rasa pedih dan kecewa yang lebih nyeri dari pedang yang menembus punggungnya.

   Cengkeramannya pada dada Liu Beng lepas, ia terhuyung mundur dan berkata ter-patah.

   "A-beng, tahukah kau..... telah..... membunuh a.....ayahmu sen....diri?"

   Sebun Him alias Hek-eng Pocu yang telah runtuh tubuh maupun semangatnya itupun per-lahan jatuh di atas lututnya, pedangnya yang besar digunakan sebagai tongkat untuk menumpu badannya agar tidak roboh.

   Tapi toh akhirnya ia roboh juga terlentang, dan menggeliat pedih ketika gagang Pedang Pakkiong Eng tertekan tanah dan menusuk lebih dalam lagi.

   Sementara itu Liu Beng berdiri seperti patung batu dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar.

   Kata terkahir Sebun Him tadi seperti guntur yang meledak di atas kepalanya dan membuat sukmanya kabur.

   Apa artinya "membunuh ayah sendiri"? Hek-eng Pocu yang berlumur sejuta kejahatan inikah ayahnya? Tanpa sadar tangannya menggenggam bandul kalung di lehernya, menyentuh ukiran gambar beruang dan huruf "Beng"

   Disebaliknya. Beruang. Gambar beruang yang mirip sekali dengan lukisan besar di tembok depan rumah keluarga Sebun di Se-shia.....

   "Tidak! Tidak!"

   Liu Beng tiba berteriak.

   "Kata ibuku, ayahku adalah seorang pendekar terhormat dan budiman. Bukan iblis jahanam macam kau!"

   Sebun Him menggeliat sedikit, pedih di tubuhnya, pedih pula hatinya. Desisnya.

   "A- beng, dulu ibumu tertipu oleh penampilanku, bahkan beberapa jam yang lalu masih banyak yang tertipu oleh topeng yang menempel di mukaku. Namun sekarang topeng itu sudah lepas, inilah ayahmu...."

   Ketika itulah sekelompok bekas pegawai Sebun Him sudah menyerbu maju sambil mengayunkan senjata, siap membuat Sebun Him menjadi daging cincang. Namun sesosok bayangan kelabu berkelebat secepat kilat, menangkis senjata itu sambil berseru.

   "Hentikan!"

   Pencegah itu adalah Tong Lam-hou, ketua Hwe-liong-pang.

   Betapapun marahnya bekas pegawai keluarga Sebun tersebut, namun wibawa ketua Hwe-liong-pang membuat mereka mengkeret dan tidak berani menerjang apa yang dilarang oleh tokoh besar itu.

   Sekilas Tong Lam-hou menyapukan pandang ke sekitarnya, hatinya lega melihat Tong Gin-yan serta Pakkiong eng tidak luka suatu apapun, meskipun pakaian mereka penuh tanah dan kulit mereka lecet akibat berguling menghindari pukulan Sebun Him tadi.

   Tapi pandangannya kemudian tertancap ke arah Sebun Him yang menggeletak lemah dengan ujung pedang nongol di dadanya.

   "Saudara Sebun, kau...."

   Kata Tong Lam-hou tidak sampai ke ujungnya, pedangnya diletakkan dan pipa tembakaunya diselipkan kembali ke pinggangnya, lalu berjongkok di samping tubuh Sebun Him yang lemah tanpa membekaskan permusuhan sedikitpun.

   "Saudara Sebun, parahkah lukamu?"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebun Him menyeringai dan berdesis lirih lewat celah bibirnya yang pucat.

   "Kau boleh tertawa sekarang, Tong Lam-hou, nikmati kemenanganmu....."

   Tong Lam-hou menggelengkan kepala sambil menarik napas, katanya.

   "Kau sudah bersahabat berpuluh tahun denganku, saudara Sebun. Kau tahu isi hatiku, benarkah aku mengharapkan kemenangan semacam ini?"

   Sesaat Sebun Him hanya bisa membungkam. Lalu.

   "Ya, aku tahu. Akulah yang salah. Tapi kenapa kau masih juga memanggilku "saudara?"

   Api kebencian dan kemarahan di mata Sebun Him tiba padam, dengan lemah ia berkata.

   "Sauda..... eh, Tong Pangcu, kalau kau masih juga memanggilku saudara, maukah kau memenuhi permintaanku sebelum aku mati?"

   "Coba katakan, akan kupertimbangkan."

   "Pertama, anak dan isteriku di Se-shia sama sekali tidak tersangkut semua kejahatan yang kuperbuat selama ini. Mereka tertipu olehku selama ber-tahun, seperti banyak orang juga tertipu olehku selama ini. Aku kuatir, setelah aku mati, keluargaku di Se-shia akan menjadi sasaran balas dendam musuhku, padahal puteriku sedang mengandung calon cucuku....."

   "Aku mengerti, saudara Sebun. Selesai urusan di sini, akan aku kirimkan orangku untuk melindungi mereka."

   "Terima kasih. Kau sebenarnya seorang sahabat yang baik, Pangcu, namun selama ini aku hanya melihatmu sebagai perintang ambisiku, karena mata batinku keruh oleh nafsu jahatku. Namun detik ini, aku merasa diriku terlalu tidak berharga menjadi sahabatmu, Pangcu. Aku tak berani lagi memanggilmu "saudara Tong seperti dulu, aku silau memandang wajahmu...."

   "Lupakan yang lalu, sahabat. Asal kau menyadari kekeliruanmu, kita tetap bisa menjadi sahabat untuk ber-sama memperjuangkan perdamaian dan kesejahteraan bagi sesama. Yang penting, lukamu harus segera diobati dan pertumpahan darah tanpa guna ini harus....."

   Sebun Him menggerakkan sedikit kepalanya, yang dapat diartikan sebagai gelengan.

   "Percuma lukaku diobati, aku sudah sampai kepada hukuman yang diturunkan langit kepadaku lewat pedang Pakkiong Eng. Pangcu, permintaan yang ke dua.... maaf kalau aku merepotkanmu....."

   "Katakan, saudara....."

   Mata Sebun Him menatap Liu Beng sebagai ganti telunjuknya yang sudah tak kuat diangkat lagi.

   "Anak muda bernama Liu Beng itu anakku, Pangcu, meskipun ia tidak mau mengakui aku, tapi itu bukan salahnya, aku memang bukan seorang ayah yang patut dibanggakan. Namun aku mohon Pangcu suka memperhatikannya, kalau ia hendak menyeleweng dari jalan kebenaran, luruskanlah kembali. Jangan sampai mengikuti jejak kejahatanku......"

   "Aku bersumpah, saudara Sebun,"

   Sahut Tong Lam-hou. Lalu ia menoleh ke arah Liu Beng dan bertanya.

   "Anak muda, kaukah yang bernama Liu Beng? Tidakkah dalam detik terakhir hidup ayahmu ini kau mau membuatnya sedikit lega dengan mengakuinya sebagai ayah?"

   Liu Beng berdiri tidak jauh dari tubuh Sebun Him sehingga semua percakapan antara Sebun Him dengan Ketua Hwe-liong-pang itu didengarnya semua.

   Perasaannya bergolak terlalu hebat.

   Dua gelombang dahsyat bertabrakan dan membuat dirinya tenggelam dalam pusaran perasaannya tanpa tahu harus mengambil arah yang mana.

   Seumur hidup, yang didambakannya hanya mencari ayah kandungnya.

   Yang paling dibenci dan didendamnya adalah Hek-eng Pocu yang telah menghancurkan tempat bernaungnya di Liu- keh-chung.

   Namun kini kenyataan terbentang di hadapannya, ternyata orang yang paling didambakannya sekaligus juga yang paling dibencinya.

   Mendengar teguran Ketua Hwe-liong- pang, Liu Beng menggelengkan kepala kuat sehingga air matanya yang meleleh itu terpercik sampai ke pundaknya.

   "Tidak! Tidak! Dia bukan ayahku! Dia bukan ayahku!"

   Baru saja ia berteriak demikian, tapi ketika melihat kepala Sebun Him per-lahan terkulai di pangkuan Ketua Hwe-liong-pang, maka Liu Beng pun bobol pertahanannya. Ia berlari maju untuk meletakkan pipinya sendiri di pipi Sebun Him sambil berteriak.

   "Ayah....! Ayah......!"

   Detik terakhir hidupnya, Sebun Him sudah kehabisan daya hidup untuk menggerakkan biar hanya ujung jarinya, atau mengucapkan sepatah katapun. Namun seruan "ayah"

   Dari Liu Beng itu masih sempat menyusup ke telinganya dan mengantar lepas arwahnya dari raganya. Tong Lam-hou menepuk pundak Liu Beng dan berkata.

   "Anak baik, dari anak buahku sudah kudengar tingkah lakumu yang membanggakan dunia persilatan. Meskipun selanjutnya kau akan memakai marga Sebun di depan namamu, namun......"

   "Aku harus memakai marga Sebun?"

   Tanya Liu Beng.

   "Ya, kau sudah memanggilnya sebagai ayah tadi. Kenapa kalau marga Sebun? Apakah memakai marga itu akan membuatmu menjadi jahat? Tidak, Sebun Beng......."

   Sengaja Ketua Hwe-liong-pang memberi tekanan suara pada nama baru Liu Beng tersebut, baru melanjutkan katanya.

   "..... yang penting adalah bagaimana sepak terjangmu. Kau sekarang dibebani untuk menggosok nama marga Sebun yang telah dinodai Sebun Him........"

   Liu Beng yang telah menjadi Sebun Beng itupun meng-angguk.

   Tong Lam-hou sebenarnya masih merasa perlu bicara banyak lagi untuk memulihkan keseimbangan jiwa dan kebangkitan semangat Sebun Beng untuk menghadapi hari depan, tapi pertempuran di lereng tersebut masih belum selesai, masih banyak nyawa beterbangan lewat ujung senjata.

   Ia harus menghentikan mereka dulu.

   Maka urusan di tempat itu diserahkannya kepada Tong Gin-yan yang akan dibantu Pakkiong Eng.

   Tentang jenazah Sebun Him, pegawai keluarga Sebun yang memberontak, menghibur Sebun Beng dan lainnya.

   Sedang Tong Lam-hou menyusup kembali ke tengah arena saling bantai itu dan berulang kali meneriakkan tentang kematian Sebun Him.

   Gerombolan yang dibawa Sebun Him itu memangnya bertempur demi upah, maka mendengar kalau pengontrak mereka sudah mati, mereka tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan pertempuran.

   Sebagian besar dari mereka segera lari mengundurkan diri seperti orang dalam pasar yang tengah kebakaran.

   Banyak pendekar dan anak buah Hwe- liong-pang masih merasa penasaran dan berusaha untuk membunuh musuh yang sedang mundur, tapi Tong Lam-hou berteriak mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi.

   Namun demikian, dilandasi tenaga dalamnya yang dahsyat, Tong Lam-hou berseru kepada orang yang tengah mundur itu.

   "He, kalian dengarlah peringatanku! Kalau kalian berani melakukan perbuatan tercela lagi di kemudian hari, kalian sama saja dengan menentang Hwe-liong-pang! Kalian bisa saja sembunyi setelah melakukan perbuatan jahat, namun umur kalian di tempat persembunyian kalian tidak akan lebih dari lima tahun dihitung mulai dari hari ini! Hwe-liong-pang pasti akan menemukan kalian dan membuat kalian menyesal dilahirkan oleh ibu kalian!"

   Meskipun orang terdepan dari barisan pecundang itu sudah sampai di kaki Tiau-im- hong, namun suara Ketua Hwe-liong-pang masih terasa mendenging di telinga mereka.

   Keruan mereka semakin ketakutan, sepasang kaki juga terayun semakin deras membawa lari nyawa yang hanya satu itu.

   Mereka tidak berani mengabaikan ancaman itu, sebab tahu bahwa Hwe-liong-pang punya banyak pos di mana.

   Sulit berbuat kejahatan di wilayah Se- cuan tanpa lolos dari pelacakan Hwe-liong- pang.

   Pertempuran selesai, tinggal mayat dan orang luka bergelimpangan di mana dari kedua pihak.

   Para pendekar berebutan menanyakan bagaimana kesudahan Sebun Him.

   Tapi Tong Lam-hou lebih dulu memerintahkan anak buahnya untuk menyingkirkan mayat, dan berusaha mengobati yang terluka, tidak peduli kawan atau lawan.

   Setelah itu, barulah para sesepuh perguruan dikumpulkan di aula untuk diberi tahu apa yang terjadi.

   Sementara itu, alangkah leganya Pakkiong Liong ketika melihat Pakkiong Eng tak kurang suatu apapun.

   Di hadapan ayahnya, Pakkiong Eng bukan lagi Pek-ma Tok-hing (pengembara tunggal berkuda putih) yang perkasa, melainkan pulih menjadi seorang anak tunggal yang nakal dan manja.

   Seperti terbang ia menyongsong ayahnya dan sesaat kemudian sudah menyusup dalam pelukan ayahnya yang terasa kokoh dan memberikan rasa aman baginya.

   Pakkiong Liong mencium jidat anaknya itu, namun kemudian mengomel.

   "Setan cilik, ketika kau kutugasi mencari jejak Pangeran In Ceng, batas waktu yang kutetapkan hanya setahun dan harus segera pulang. Tapi rupanya kau keenakan keluyuran di luar rumah sehingga tidak pulang setahun lebih. Membuat aku terpaksa meninggalkan tugasku di samping Hong-siang....."

   Sementara itu Tong Gin-yan juga sudah mendekati Pakkiong Liong untuk memberi salam.

   "Paman Pakkiong....."

   Masih memeluk anaknya, Pakkiong Liong tersenyum penuh makna sambil berkata lagi.

   "Pantas A-eng betah keluyuran di luar rumah. Kiranya karena ditemani orang yang bisa diajak mencari jangkrik dan memburu layang putus...."

   Wajah Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng sama menjadi merah mendengar sentilan itu. sementara Oh Yun-kim yang ada di dekat situ juga ikut nimbrung.

   "Ah, Pakkiong Ciangkun, Ciangkun ini seperti belum pernah menjadi muda saja....."

   Keruan Pakkiong Liong dan Oh Yun-kim tertawa keras bersama, sementara pasangan yang di-olok itu hanya bungkam dengan salah tingkah.

   Sementara itu, pembicaraan Tong Lam- hou dengan tokoh persilatan sudah selesai.

   Dengan permintaan yang amat diberi tekanan, Tong Lam-hou memohon agar para pendekar menghapuskan dendam dan tidak mengganggu keluarga Sebun di Se-shia maupun Sebun Beng yang sama sekali tidak tersangkut-paut dengan kejahatan Sebun Him sebagai Hek-eng Pocu.

   Mereka sendiri tertipu, tidak menyangka bahwa orang yang paling mereka hormati dan cintai itu adalah dalang kejahatan yang sepuluh tahun telah mengguncangkan, menggentarkan dan menggusarkan dunia persilatan.

   Tokoh itu hampir semua meng- anggukkan kepala mendengar permohonan yang ber-sungguh dari Ketua Hwe-liong-pang.

   Ada yang mengangguk karena digerakkan rasa kagum akan kelapangan dada Hwe-liong Pangcu mengampuni keluarga musuhnya.

   Yang lainnya, meskipun kepala mengangguk namun di dalam hati menganggap Ketua Hwe-liong- pang itu amat tolol, kenapa tidak tuntas melakukan babat rumput sampai ke akarnya? *Oz* BAGIAN EMPAT PULUH LIMA Lima belas hari Pakkiong Liong berada di Tiau-im-hong untuk memuaskan rasa rindunya kepada sahabat sejak mudanya.

   Pagi dan sore kedua orang itu bercerita, mulai dari cerita ringan yang mengundang gelak tawa maupun bahan pembicaraan yang membuat alis kelabu mereka berkerut menandakan keprihatinan.

   Terutama kalau membicarakan tentang makin merosotnya kesehatan Kaisar Khong-hi, sementara puteranya yang berjumlah banyak sudah memupuk kekuatan masing untuk merebut tahta.....

   Selama itu pula Tiau-im-hong makin sepi, sebab para pendekar sekelompok demi sekelompok berpamitan untuk kembali ke tempat masing, membawa teman mereka yang luka atau tewas.

   Meskipun Tong Lam- hong sebenarnya tidak mengusir mereka, bahkan menawarkan perawatan di Tiau-im- hong sampai yang luka menjadi sembuh.

   Jenazah Sebun Him dibawa ke Se-shia oleh orang Hoa-san-pai, Sebun Beng ikut dalam rombongan itu untuk menjelaskan peristiwa selengkapnya kepada isteri dan anak Sebun Him.

   Namun ia tidak punya pamrih sedikitpun untuk mengangkangi harta Sebun Him yang berlimpah, sebab di Liu-keh-chung maupun di keluarga Sebun ia sudah melihat beberapa contoh bagaimana orang yang bergelimang harta dan mengaku berpendidikan tinggi malah melakukan hal yang mencelakakan sesama.

   Kalau isteri Sebun Him mau menerimanya dalam rumah keluarga Sebun, Sebun Beng akan merasa terima kasih sambil menjaga Sebun Giok dan calon anaknya, yang kini bukan lain adalah adiknya.

   Tapi kalau isteri Sebun Him mengusirnya, Sebun Beng pun akan merasa lebih suka hidup seperti burung terbang di udara, berkelana sambil mengamalkan kebajikan, dan sepasang tongkatnya siap menggebuk siapa saja yang mengacau kesejahteraan sesama.

   Dan Tiau-im-hong menjadi semakin sepi ketika Pakkiong Liong dan puterinya pun berpamitan untuk kembali ke Pak-khia.

   Pakkiong Liong tidak ingin meninggalkan sisi Kaisar Khong-hi terlalu lama, sebab di sisi Kaisar ada seorang dorna yang mulutnya berbisa, Liong Ke-toh, ipar Kaisar sendiri.

   Ia kuatir selama kepergiannya maka Liong Ke-toh akan mendapat peluang untuk menyingkirkan pejabat setia yang tidak disukainya dan kemudian menggantikannya dengan bonekanya sendiri.

   Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng tentu berat dengan perpisahan itu, namun lega juga karena ayah mereka beberapa kali bicara menyerempet tentang diri mereka dan nampaknya gembira dengan hubungan mereka berdua.

   Hari ketika Pakkiong Liong memutuskan untuk pulang ke Pak-khia, Tong Lam-hou dan puteranya mengantarkannya berjalan kaki sampai ke kaki Tiau-im-hong.

   "A-liong,"

   Kata Tong Lam-hou, tetap memanggil Pakkiong Liong dengan panggilan semasa mudanya, tak peduli Pakkiong Liong adalah pembantu terdekat Kaisar Khong-hi.

   "Dalam waktu kurang dari setahun, aku dan isteriku akan ke Pak-khia pula. Isteriku ingin menengok ibunya yang semakin tua, selain itu juga kalau kau tidak keberatan, aku ingin membicarakan urusan anak kita....."

   Pakkiong Liong tersenyum sambil melirik Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng yang berjalan puluhan langkah di belakang mereka. Sahutnya.

   "Aku senang sekali mendengarnya. Masih ingat ketika dulu kita hampir saja saling bunuh di kaki bukit Hek-ku-nia, tak terduga kelak cucumu adalah cucuku juga ya..."

   "Ha-ha, benar. Mudahan mereka menemukan kebahagiaan dan menjadi penyambung persahabatan kita."

   Pakkiong Eng dan ayahnya pun kemudian meninggalkan Tiau-im-hong, dan masih saling melambaikan tangan sampai jauh sekali.

   Pakkiong Eng menaiki kuda putihnya, Hui-soat (si Salju Terbang), sementara Pakkiong Liong mendapat kuda pinjaman dari Hwe-liong-pang.

   Setelah ayah dan anak itu tak terlihat lagi, Tong Lam-hou menepuk pundak anak lelakinya dan berkata sambil tertawa.

   "Jangan kehilangan semangat se-olah tak akan melihatnya lagi. Tidak sampai setahun, akan aku boyong A-eng dari tangan ayahnya kemari. Sekarang, bantu ibumu mengawasi orang yang luka dan para tawanan."

   "Baik, ayah."

   Tong Lam-hou kini sendirian memandang dataran hijau yang terbentang di hadapannya, dipagari deretan pegunungan Bu- san yang menjadi benteng alamiah dalam suasana perang.

   Dataran hijau yang menghasilkan beras sehingga Se-cuan dijuluki gudang beras Cina itupun akan diperebutkan dan mungkin hancur ter-injak kaki tentara kedua belah pihak.

   Perang.

   Itu gambaran yang mengerikan, namun kenyataan itu selalu ada.

   Tong Lam-hou menarik napas berat.

   Kemelut Hek-eng-po sudah padam, namun sebuah kemelut lain yang jauh lebih dahsyat sudah membayang di depan mata.

   Kemelut perebutan Singgasana Naga di Pak-khia.

   Pakkiong Liong dan Pun-bu Hweshio sama sahabat baik Tong Lam-hou.

   Namun dalam kemelut mendatang, jangan kedua sahabatnya tersebut akan bersimpang jalan? Bahkan berbenturan langsung? Pakkiong Liong teguh dengan pendiriannya bahwa Pangeran In Te, putera Kaisar yang keempat belas yang saat ini memegang seluruh kekuasaan militer di tangannya, adalah calon terbaik untuk menggantikan Kaisar Khong-hi.

   Tetapi Pun-bu Hweshio ngotot bahwa martabat bangsa Han harus dipulihkan tanpa kekerasan, itu hanya bisa dengan naiknya Pangeran In Ceng, putera keempat, ke tahta.

   Selain itu, agaknya bangsa Han harus merebut martabatnya dengan perang.

   "Mudahan tidak ada perang lagi,"

   Tong Lam-hou bicara sendirian sambil menengadah, seolah berbisik memohon ke Langit.

   "Supaya petani dapat berangkat ke sawah sambil menyanyi, supaya anak tumbuh tanpa tahu apa artinya kekerasan, supaya semua orang bersaudara......"

   Harapannya adalah harapan sebagian besar manusia juga.

   Sebelum menciptakan pedang dan bedil, manusia sudah punya CINTA lebih dulu.

   Tapi harapan indah itu kadang musnah oleh segelintir manusia yang kebetulan sedang pegang kuasa.

   T A M A T Yogyakarta, Senin Wage 16 Juni 1986 Pojokdukuh, 28 Juni 2019; 22.48 WIB Teror Elang Hitam Stevanus, S.P.

   Pustaka.

   Koh Awie Dermawan
Kolektor E-Book
Rewriter & Pdf Maker . OZ Teror Elang Hitam Stevanus, S.P. Pustaka. Koh Awie Dermawan
Kolektor E-Book
Rewriter & Pdf Maker . OZ

   

   

   

   

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo

Cari Blog Ini