Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 22


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 22



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Beberapa umbul-umbul dan rontek berkibaran pula di sekitar tandu gadis Panawijen.

   Namun rumput-rumput kering dan pohon-pohon perdu yang layu, sama sekali tidak tertarik untuk menatap kemegahan itu.

   Seandainya mereka dapat berbisik, maka akan terdengarlah bisikan sayu.

   "Air, air."

   Meskipun rerumputan dan pepohonan itu tidak meneriakkannya, tetapi apa yang tampak oleh mata Ken Dedes dan para prajurit Tumapel itu ada ungkapan dari jerit tumbuh-tumbuhan itu. Dan hati Ken Dedes pun menjerit pula.

   "Kenapa daerah ini menjadi kering kerontang?"Di kejauhan Ken Dedes melihat lamat-lamat sebuah pedesaan yang hijau. Ya. Ia masih melihat warna itu. Hijau. Dan pedesaan itu adalah Panawijen. Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Mudah-mudahan penglihatannya bukan sekedar sebuah khayalan. Karena itu, maka kepada seorang prajurit yang berjalan di sisinya. Ken Dedes minta untuk memanggil panglima dari pasukan pengawalnya. Dengan tergesa-gesa Witantra berjalan menyongsong barisannya mendekati tandu Ken Dedes. Kemudian dengan hormatnya ia bertanya.

   "Apakah perintah Tuan Putri?"

   Meskipun sudah berpuluh bahkan beratus kali Ken Dedes mendengar sebutan yang diberikan kepadanya oleh Akuwu Tunggul Ametung, namun kadang-kadang masih terdengar aneh di telinganya.

   Apalagi kini ia berada dekat dari desanya.

   Sehingga sebutan tuan putri itu pun menjadi semakin janggal.

   Ia tidak ingin sebutan itu, tetapi ia tidak berani melawan kehendak Akuwu Tunggul Ametung.

   "Kakang,"

   Berkata Ken Dedes itu kemudian.

   "aku menjadi sangat bimbang atas penglihatanku. Bukankah kita telah hampir sampai ke Panawijen?"

   Witantra menganggukkan kepalanya.

   "Hamba, Tuan Putri."

   "Bukankah yang tampak itu padukuhan Panawijen?"

   "Kalau hamba tidak salah, Tuan Putri."

   "Bukankah kau pernah mengunjungi Panawijen?"

   "Hamba, Tuan Putri."

   "Seharusnya kau tahu pasti, apakah itu Panawijen?"

   "Tuan Putri adalah gadis Panawijen sejak kecil. Agaknya Tuan Putri menjadi ragu-ragu pula atas daerah ini."Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dengan demikian ia mendapat kesimpulan bahwa bukan saja dirinya yang menjadi bimbang atas pengamatannya, tetapi juga Witantra. Sejenak Ken Dedes berdiam diri. Tetapi ia tidak dapat menahan diri. Sehingga kembali ia bertanya.

   "Kakang Witantra, penglihatan atas daerah ini sangat mencemaskan sekali."

   Witantra tidak menjawab. Tetapi hatinya mengiakannya. Bahkan ia menambahkan di dalam hatinya.

   "Daerah ini seperti hutan yang terbakar."

   Karena Witantra tidak segera menjawab, kembali Ken Dedes berkata.

   "Kakang, bagaimana menurut pendapatmu. Seharusnya sebelum kita sampai ke Panawijen yang sudah tampak itu, kita melalui suatu bulak persawahan yang panjang dan subur. Tetapi yang kita lihat adalah sebuah lapangan yang kering."

   Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya.

   "Tuan Putri, aku pun menjadi sangat cemas melihat keadaan daerah ini."

   Tiba-tiba teringatlah Ken Dedes kepada embannya.

   Embannya itu tidak bersedia mengikutinya ke Panawijen.

   Apakah karena emban itu tidak akan tahan melihat keadaan ini setelah ia menyaksikannya beberapa hari yang lalu, pada saat ia menjemput Mahisa Agni.

   Tetapi kenapa emban tua itu sama sekali tidak mengatakan kepadanya tentang kampung halamannya.

   Tetapi hari Ken Dedes masih cukup tenang ketika semakin lama Panawijen menjadi semakin jelas.

   Warna-warna hijau yang memancar dari padukuhan itu telah menenteramkan hatinya.

   Meskipun ia tidak lagi melihat batang-batang padi yang hijau subur, serta tidak lagi melihat air yang tergenang melimpah-limpah dan mengalir di parit-parit, namun Panawijen masih hijau seperti Panawijen pada saat ditinggalkannya.

   Yang ada di sawah-sawah kini hanyalah tanaman palawija.

   Tanaman-tanaman itu pun tampak betapa hausnya.

   Daun-daunnya yang kecil dan kekuning-kuningan.

   Batangnya yang kerdil dan tanah yang berbongkah-bongkah seperti akan pecah.Ken Dedes menjadi semakin ingin lebih cepat sampai.

   Tetapi ia harus menahan dirinya.

   Ia harus bersikap tenang.

   Kini ia menjadi pusat perhatian setiap prajurit Tumapel.

   Ia tidak lagi dapat berbuat menuruti luapan-luapan perasaannya.

   Seandainya Ken Dedes yang duduk di dalam tandu itu adalah Ken Dedes yang masih tinggal di Panawijen beberapa waktu yang lalu, maka gadis itu pasti akan meloncat dan berlari mendahului.

   Tetapi Ken Dedes yang sekarang tidak berbuat demikian.

   Betapa perasaannya menjadi berdebar- debar, namun ia duduk saja di dalam tandunya.

   Yang mendebarkan hati Ken Dedes bukan saja Panawijen yang lain dari Panawijen yang ditinggalkan, tetapi apakah nanti yang akan dikatakannya kepada kakak angkatnya? Apakah yang akan diucapkannya dan bagaimanakah kira-kira tanggapan kakak angkatnya itu? Ken Dedes sama sekali tidak berpikir tentang gadis- gadis kawan-kawannya bermain.

   Juga tidak tentang tetangganya.

   apapun yang akan dikatakan oleh mereka.

   Tetapi bagaimana dengan Mahisa Agni? Semakin dekat dengan padukuhan Panawijen hati Ken Dedes menjadi semakin berdebar-debar.

   Debu yang putih menghambur dari belakang kaki-kaki para prajurit Tumapel mengepul di bawa angin yang lemah.

   Kampung halaman, tempat Ken Dedes dibesarkan, tempat gadis itu bermain-main setiap hari, kini terasa sangat asing baginya.

   Sejenak ia mereka-reka, bagaimana ia harus bersikap.

   Bagaimana ia harus meyakinkan Mahisa Agni, bahwa ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima kesempatan yang datang.

   Bagaimana ia akan mengatakan, bahwa Mahisa Agni tidak perlu merasa tersinggung, bahwa ia menerima Akuwu Tunggul Ametung sebelum minta izinnya karena keadaan yang hampir tak dapat dikuasainya.

   Bukankah kemudian akuwu telah ingin mendapat kesempatan menemuinya untuk menjelaskan persoalannya dan memenuhi adat tata cara? Tetapi angan-angan Ken Dedes selalu saja diganggu oleh panasnya udara, teriknya matahari dan parit-parit yang kering.Bahkan sampai beberapa tonggak di muka padukuhan Panawijen, sawah-sawahnya juga sama sekali tidak berair.

   Tidak ada batang- batang padi yang hijau, tidak ada tanam-tanaman yang subur.

   Witantra masih juga berjalan di samping tandu Ken Dedes.

   Namun hatinya juga selalu dililiti oleh berbagai pertanyaan tentang Panawijen yang kering.

   Padukuhan di hadapannya masih nampak hijau gelap.

   Pepohonan masih juga berdaun rimbun.

   Tetapi semakin dekat mereka dengan padukuhan itu, semakin jelas bagi mereka, bahwa di antara daun- daun yang hijau itu, bertebaranlah daun-daun yang mulai mengering.

   Dengan dada yang berdebar-debar maka iring-iringan itu kini telah mendekati Panawijen.

   Beberapa ratus langkah lagi mereka akan menginjakkan kaki-kaki mereka, di atas jalan induk padukuhan yang terasa sangat asing itu.

   Beberapa orang anak-anak yang sedang bermain-main, telah melihat iringan yang hampir memasuki desa mereka.

   Dengan tergesa-gesa anak itu berlarian, berteriak-teriak memanggil ibu-ibu mereka.

   Tetapi sebagian dari mereka menjadi ketakutan.

   Mereka masih ingat beberapa waktu yang lampau, ketika beberapa ekor kuda membawa Kuda Sempana datang ke padukuhan itu untuk merampas seorang gadis putri Empu Purwa.

   Tetapi beberapa orang tua-tua melihat bahwa iringan itu bukanlah iring-iringan orang berkuda.

   Bahkan mereka melihat, di dalam iring-iringan itu terdapat sebuah tandu.

   Karena itu maka orang-orang tua mencoba membicarakan di antara mereka, apakah sebenarnya yang mereka saksikan itu.

   "Panji itu adalah panji-panji kebesaran Tumapel,"

   Berkata salah seorang yang berambut putih seperti kapas. Di sampingnya, seorang laki-laki kurus yang berjanggut panjang dan telah memutih pula menyahut.

   "Ya. Hanya Akuwulah yang berhak mendapat kehormatan dengan rontek, umbul-umbul dan panji kebesaran itu.""Apakah Akuwu akan datang sekali lagi ke padukuhan ini seperti pada saat Akuwu itu merampas Ken Dedes, putri Empu Purwa,"

   Desis laki-laki yang pertama. Laki-laki berjanggut putih menggelengkan kepalanya. Katanya.

   "Akuwu yang sekarang tidak akan telaten bepergian sejauh ini dengan naik tandu. Kalau yang datang itu Akuwu Tunggul Ametung, maka Akuwu itu pasti naik kuda."

   "Kalau begitu siapakah yang datang? Tanda-tanda itu mengatakan bahwa di dalam tandu itu adalah Akuwu, atau ayah bundanya. Tetapi ayah bundanya sudah tidak ada. Mungkin pula permaisurinya. Tetapi Akuwu belum bepermaisuri."

   Keduanya kemudian berdiam diri.

   Anak-anak sudah berlari-lari bersembunyi ke dalam rumah masing-masing.

   Tetapi kedua orang tua itu mendapat firasat yang lain.

   Iring-iringan itu sama sekali tidak mencemaskan mereka.

   Karena itu maka kepada seorang perempuan yang mengintip dari balik pagar batu halamannya ia berkata.

   "Tidak apa-apa. Keluarlah, dan sambutlah iring-iringan itu. Mungkin sesuatu yang akan mendatangkan kebaikan bagi padukuhan kita ini."

   Perempuan itu menjadi ragu-ragu. Tetapi orang tua itu menjelaskan.

   "Kalau mereka ingin berbuat jahat, mereka tidak akan membawa tandu itu. Mereka pasti datang berkuda dengan pedang terhunus."

   Tetapi perempuan itu tidak mau keluar seorang diri.

   Segera ia berlari ke rumah tetangganya.

   Ajakannya itu pun kemudian tertebar dari pintu ke pintu, sehingga beberapa orang, walau pun dengan ragu-ragu, keluar dari rumah-rumah mereka, berdiri di tepi-tepi jalan menyambut kedatangan iring-iringan itu.

   Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat.

   Laki- laki tua dan perempuan berdiri berjajar di mulut padukuhan.

   Semakin lama semakin banyak.

   Ketika biyung-biyung mereka berani melihat iring-iringan itu, maka anak-anak pun bermunculan pula,meskipun mereka tidak berani terlampau dekat dengan orang tua mereka.

   Ken Dedes melihat beberapa orang di mulut lorong padukuhannya.

   Semakin lama semakin jelas.

   Ia melihat dua orang tua yang pernah dikenalnya.

   Di dekatnya adalah perempuan- perempuan dan agak ke belakang beberapa anak-anak kecil dengan ragu-ragu berdiri di regol-regol halaman rumah.

   Tetapi sekali lagi Ken Dedes menjadi heran.

   Ia tidak melihat anak-anak muda yang biasanya berkeliaran di sawah-sawah dan tegalan.

   Hati Ken Dedes menjadi semakin gelisah.

   Panawijen benar-benar terasa asing baginya.

   Ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka orang-orang itu pun menepi, memberi kesempatan yang sebaiknya.

   Mereka menyangka bahwa iring-iringan itu pasti akan langsung menuju ke rumah Ki Buyut Panawijen, atau hanya sekedar lewat di padukuhan ini untuk tujuan yang lebih jauh.

   Ketika ujung dari iring-iringan itu hampir menginjakkan kakinya di pedesaan itu, maka orang-orang Panawijen segera membungkuk dalam-dalam.

   Mereka mencoba menghormat orang-orang besar dari Tumapel yang datang dalam sikap kebesaran.

   Sidatta yang berjalan di ujung iring-iringan itu menganggukkan kepalanya pula.

   Namun segera ia berhenti dan berpaling ke arah Witantra.

   Ia belum tahu ke mana iring-iringan itu harus dibawa.

   Witantra menangkap pertanyaan itu, tetapi karena ia sendiri belum mendapat perintah, maka segera ia bertanya.

   "Ke mana kita akan pergi Tuan Putri. Apakah kita akan pergi ke padepokan ayahanda Tuan Putri?"

   Ken Dedes mengangguk, jawabnya.

   "Ya Kakang. Aku akan terus langsung menemui Kakang Mahisa Agni."

   Kini Witantra segera maju mendampingi Sidatta.

   Ia telah mengenal jalan, menuju ke padepokan di ujung desa Panawijen.Ketika iring-iringan itu kemudian masuk ke dalam padukuhan dan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu melihat tandu di antara derap para prajurit menjadi semakin dekat, maka hati mereka pun tiba-tiba berdesir.

   Darah mereka serasa akan berhenti mengalir ketika mereka melihat siapakah yang duduk di dalam tandu itu.

   Tiba-tiba seorang perempuan tua berdesis.

   "Apakah aku bermimpi?"

   Perempuan lain yang berdiri di sampingnya mengusap matanya sambil bergumam.

   "Kita semuanya sedang bermimpi. Arak-arakan ini hanya dapat terjadi di dalam mimpi."

   Seorang perempuan yang lebih tua lagi mencubit perempuan yang mengusap matanya itu. Ketika yang dicubit berjingkat, maka katanya.

   "Kau tidak bermimpi. Kalau kau merasakan sentuhan orang lain maka kau tidak sedang tidur."

   Tandu itu menjadi kian dekat.

   Iringan rontek dan umbul-umbul telah melewati mulut jalan, kini sebuah panji-panji berkibar dihembus angin.

   Kemudian beberapa orang prajurit di sisi jalan, dan di antara mereka adalah tandu itu.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tandu yang sangat bagus dan berukir.

   Di dalamnya duduk seorang gadis muda yang cantik seperti patung terindah di candi-candi.

   Kulitnya yang kuning sekuning temugiring, dengan pakaian kebesaran yang berwarna cemerlang, seperti golek yang diwarnai oleh juru sungging yang sempurna.

   Tetapi bukan kecantikan gadis itu yang telah memesona mereka, bukan pakaiannya yang cemerlang dan bukan keperkasaan para prajurit Tumapel yang memandu panji-panji, tetapi yang telah mencengkam jantung mereka adalah, bahwa wajah gadis itu pernah dilihatnya.

   Gadis itu adalah gadis yang pernah menjadi buah bibir rakyat Panawijen.

   Gadis yang pernah meruntuhkan air mata dari setiap mata perempuan Panawijen.

   Seorang perempuan yang sudah ubanan berdiri dengan mulut ternganga memandangi gadis di dalam tandu itu.

   Bahkan dengan serta-merta terloncat dari sela-sela bibirnya.

   "Ken Dedes, adakah kau Ken Dedes putri Empu Purwa."Ken Dedes yang duduk di dalam tandu itu pun tergetar dadanya. Dijulurkannya kepalanya sambil menjawab terbata-bata.

   "Ya, Bibi. Aku Ken Dedes."

   Perempuan-perempuan itu pun seakan-akan menjadi terpaku diam.

   Hati mereka benar-benar bergelora, dan jantung mereka berdegupan semakin keras.

   Tetapi iring-iringan itu berjalan terus.

   Ken Dedes hanya dapat menjulurkan sebagian dari badannya dan melambaikan tangannya.

   Ia sebenarnya ingin meloncat turun dan memeluk perempuan-perempuan yang telah dikenalnya dengan baik itu.

   Tetapi ia menjadi ragu-ragu.

   Apakah hal itu tidak akan di anggap menyalahi kedudukannya? Ken Dedes sendiri sebenarnya tidak ingin mendapat penghormatan yang terlampau berlebih- lebihan.

   Tetapi ia sendiri masih belum tahu benar batas-batas yang dapat dilakukan dan yang sebaiknya tidak dilakukan sebagai seorang calon permaisuri.

   Karena itu, dengan ragu-ragu ia hanya sempat melambaikan tangannya dari atas tandunya.

   Kalau kali ini ia keras hati datang ke Panawijen dengan sebuah iring-iringan kebesaran, hanyalah karena hatinya terlampau kecewa atas sikap Mahisa Agni yang dirasakannya terlampau keras.

   Terlampau menghargai diri sendiri tanpa melihat kepentingannya sebagai seorang adik.

   Iring-iringan dari Tumapel itu kini telah memasuki Panawijen lebih dalam lagi.

   Sejenak kemudian Ken Dedes melihat gadis-gadis Panawijen berlarian menyambut iring-iringan itu.

   Beberapa orang yang dikenalnya baik-baik hampir-hampir tak dapat mengendalikan diri mereka.

   Bahkan ada pula di antara mereka yang berteriak- teriak.

   "Ken Dedes. Ken Dedes."

   Ken Dedes masih melambaikan tangannya.

   Tidak disadarinya bahwa dari sepasang matanya mengalir butiran-butiran air yang menetes satu dua di pangkuannya.

   Ken Dedes benar-benar terharu melihat kampung halamannya.

   Sejenak ia dapat melupakan daun- daun kuning yang berguguran semakin lama semakin banyak tanpa ada pupus-pupus hijau yang tumbuh dari ujung-ujung ranting pepohonan.Gadis-gadis Panawijen itu pun menjadi sangat terharu melihat Ken Dedes yang pernah hilang dari kampung halamannya.

   Mereka menyangka bahwa mereka tidak akan pernah dapat melihat gadis itu lagi.

   Namun tiba-tiba gadis itu datang dalam suatu iring-iringan yang megah, iring-iringan yang belum pernah dibayangkan akan dapat dilihatnya.

   "Apakah Kuda Sempana itu kini menjadi orang yang sangat kaya raya, sehingga mampu memelihara prajurit dan perlengkapan sebanyak dan semewah itu,"

   Desis seorang gadis yang bertubuh tinggi semampai. Kawannya yang agak lebih pendek daripadanya berdiri di atas ujung kakinya sambil memanjangkan lehernya.

   "Aku tidak melihat Kuda Sempana."

   "Ya. Aku pun tidak,"

   Sahut gadis yang tinggi.

   Keduanya kemudian terdiam.

   Mereka tidak dapat menebak apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ken Dedes itu.

   Tetapi Ken Dedes pun sejak memasuki padukuhannya selalu diliputi oleh sebuah pertanyaan yang belum terjawab pula.

   Ia tidak melihat seorang laki-laki muda dan bahkan hampir tidak dilihatnya laki-laki selain orang-orang tua.

   Hal itu telah menambah kegelisahannya di samping keharuan yang menusuk-nusuk hati.

   Namun ia masih belum sempat untuk bertanya kepada seseorang, ke mana gerangan setiap laki-laki dari padukuhannya.

   Apakah Mahisa Agni pun tidak ada di padepokannya? Dan apakah karena laki-laki Panawijen menjadi ketakutan akan sesuatu, sehingga mereka pergi meninggalkan Padukuhan ini.

   Kedatangan Ken Dedes telah benar menimbulkan berbagai tanggapan bagi para penduduk Panawijen yang melihatnya.

   Mereka belum pernah mendengar kabar yang meyakinkan sampai ke kampung halamannya, bahwa Ken Dedes kini justru seorang bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.

   Mahisa Agni yang mengetahui dengan pasti akan hal itu, sama sekali tidak mengatakannya kepadakawan-kawannya atau kepada siapa pun, karena hatinya sendiri yang menjadi resah.

   Orang-orang Panawijen itu pun kemudian berbondong ikut pula di belakang iring-iringan itu, sehingga semakin lama menjadi semakin panjang.

   Perempuan-perempuan tua, gadis-gadis anak- anak dan laki-laki tua.

   Hampir semua penghuni yang tinggal, mengikuti iringan itu sepanjang jalan padukuhan mereka.

   Tetapi Ken Dedes masih belum melihat seorang anak muda pun.

   Ia belum melihat Ki Buyut Panawijen.

   Belum melihat laki-laki yang pernah dikenalnya selain yang sudah terlampau tua dan sudah dipenuhi oleh uban di atas kepalanya.

   Witantra yang kini berjalan di samping Sidatta pun melihat keganjilan itu.

   Tetapi disimpannya pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan yang mengetuk hati Ken Dedes itu di dalam hatinya.

   Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Sidatta.

   Tetapi perwira itu agaknya tidak sempat memperhatikan para penyambutnya.

   Matahari semakin tinggi mendaki langit, maka iring-iringan itu pun menjadi semakin dalam memasuki padukuhan Panawijen.

   Iring- iringan itu langsung menuju ke padepokan di ujung padukuhan itu.

   Padepokan Empu Purwa.

   Ketika orang-orang Panawijen mengetahui arah dari iring-iringan itu segera mereka berbisik di antara sesama.

   Seorang perempuan yang kurus berdesis.

   "Apakah gadis itu akan pulang kembali?"

   Perempuan yang berjalan di sisinya menyahut.

   "Mungkin gadis itu belum tahu bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan padukuhannya karena hatinya yang sedih kehilangan gadis satu- satunya."

   Keduanya terdiam.

   Namun mereka menjadi iba di dalam hati.

   Ken Dedes sendiri, merasa bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di padukuhannya.

   Tanah yang kering, anak-anak muda yang seakan-akan lenyap dari padukuhannya adalah pertanda yang pertama-tama dapat dilihatnya.Untuk menghibur diri sendiri ia berkata di dalam hatinya.

   "Mungkin anak-anak muda Panawijen yang bukan anak-anak muda yang cukup berani. Mungkin mereka menjadi ketakutan melihat iring-iringan ini sehingga mereka bersembunyi. Nanti apabila mereka menyadari bahwa kami tidak akan berbuat sesuatu, mereka pasti akan datang kembali. Tetapi Kakang Mahisa Agni pasti berpendirian lain. Kakang Mahisa Agni adalah bukan seorang penakut sehingga ia pasti tidak akan turut bersembunyi dengan anak-anak muda yang lain."

   Karena pikiran itulah, maka Ken Dedes berjalan terus menuju ke padepokannya.

   Ketika iringan itu membelok pada tikungan terakhir, hati Ken Dedes berdesir keras.

   Di kejauhan ia melihat ujung lorong yang dilalui itu.

   Di sisi lorong itulah terletak padepokannya.

   Padepokan Empu Purwa.

   Dengan gelora yang semakin cepat di dalam dada gadis itu, maka iring-iringan itu menjadi semakin dekat dengan regol halaman Padepokan Empu Purwa.

   Yang mula-mula sampai di regol itu adalah Sidatta dan Witantra.

   Sejenak mereka berdiri tegak sambil memandangi halaman padepokan itu.

   Sidatta belum pernah melihatnya, karena itu ia tidak melihat perubahan yang terjadi.

   Meskipun demikian ia berkata di dalam hatinya.

   "Padepokan ini agaknya kurang terpelihara. Taman- tamannya menjadi layu dan rerumputannya menjadi kering. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun tentang tanggapannya itu."

   Berbeda dengan Witantra.

   Ia pernah melihat halaman yang dahulu sejuk segar.

   Halaman yang diwarnai oleh kehijauan dedaunan dan bunga yang beraneka warna.

   Kini yang dilihatnya adalah daun-daun kering, rumput-rumput kering dan bunga-bunga yang layu.

   Kuning gersang.

   Dilumuri oleh debu yang putih.

   Meskipun Witantra seorang prajurit yang hampir tidak sempat menikmati warna-warna tetumbuhan, namun hatinya serasa dilandaoleh suatu perasaan yang aneh.

   Halaman ini sekarang seperti padang rumput yang kering.

   Sementara itu tandu Ken Dedes berjalan semakin maju.

   Di mukanya berjalan Mahendra dan kemudian Kebo Ijo dengan beberapa orang prajurit.

   Mereka pun kemudian berhenti pula di belakang Witantra dan Sidatta.

   Para prajurit itu pun kemudian menyibak, memberi jalan kepada para pengusung tandu untuk maju mendekati regol halaman itu.

   Demikian tandu itu sampai di depan regol, terdengarlah Ken Dedes memekik kecil.

   Tanpa ada sesadarnya kedua belah tangannya menutupi mulutnya.

   Matanya tiba-tiba terbeliak dan jantungnya memukul terlampau keras.

   Apa yang dilihatnya tentang halaman rumahnya benar-benar telah menghentak dadanya sehingga serasa akan pecah.

   Sejenak para pengusung tandu itu tertegun.

   Mereka mendengar Ken Dedes memekik kecil, sehingga mereka tidak segera melangkahkan kaki-kaki mereka memasuki halaman.

   Dalam pada itu, dari sisi pendapa rumah di padepokan itu, muncullah beberapa emban.

   Emban yang telah dikenal oleh Ken Dedes.

   Emban kawannya bermain sejak kanak-kanak.

   Betapa hatinya tergetar ketika ia melihat emban-emban itu berdiri tegak dengan wajah yang pucat.

   Bukan saja pucat karena ketakutan melihat iring-iringan prajurit itu, namun wajah itu memang pucat dan sayu.

   Tubuh-tubuh mereka tiba-tiba telah menjadi semakin kurus.

   Sekurus tanaman di halaman padepokan itu.

   Sesaat Ken Dedes terpaku diam.

   Bagaimana mungkin semuanya segera berubah dalam waktu yang tidak terlampau lama.

   Bagaimana mungkin emban-emban itu menjadi cepat bertambah kurus dan sayu.

   Wajah-wajah yang dahulu memancar gembira, kini menjadi seolah-olah pelita yang kehabisan minyak.

   Wajah emban-emban itu demikian suramnya sehingga hampir-hampir Ken Dedes tak percaya, bahwa emban itulah yang dahulu pernah dikenalnya.Ken Dedes kemudian, setelah melihat keadaan padepokannya, benar-benar tidak lagi dapat menguasai dirinya.

   Ia tidak lagi teringat akan kedudukannya.

   Ia tidak peduli apakah yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan sebagai seorang bakal permaisuri.

   Dengan serta-merta ia berteriak.

   "Aku akan turun. Aku akan turun."

   Para pengusungnya terkejut mendengar teriakan itu, mereka menjadi ketakutan dan dengan tergesa-gesa mereka meletakkan tandu.

   Ken Dedes pun segera meloncat turun dari tandu itu.

   Sesaat ia memandangi para emban yang berdiri di sisi pendapa.

   Tampaklah betapa wajah para emban itu menjadi tegang.

   Hampir tidak percaya mereka melihat, bahwa yang turun dari tandu dalam pakaian yang cerah itu adalah Ken Dedes.

   Ken Dedes yang tidak dapat lagi menahan diri segera berlari-lari mendapatkan emban-emban itu.

   Seorang emban yang sebaya benar dengan Ken Dedes, yang hampir setiap hari bermain bersama, berkumpul dalam setiap saat, mengerjakan pekerjaan mereka bersama, ternyata menjadi sangat terharu.

   Seperti Ken Dedes ia pun tidak dapat mengendalikan dirinya.

   Sambil berlari pula ia menyongsong gadis yang pernah dianggapnya hilang itu.

   Sejenak kemudian keduanya saling berpelukan dan bertangisan.

   Para emban yang lain pun segera berkumpul, mengelilingi kedua gadis itu.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Witantra, Sidatta, Mahendra dan para prajurit yang lain melihat pertemuan itu dengan hati yang tersentuh-sentuh pula.

   Tetapi mereka kini berdiri saja mematung, menunggu perintah apa yang harus mereka lakukan.

   Tetapi rupanya Ken Dedes yang sedang meluapkan rasa rindunya kepada orang-orang yang pernah dikenalnya baik-baik dan seolah- olah tidak akan bertemu lagi itu, tidak lagi memedulikan para pengiringnya.

   Dengan air mata yang satu-satu menetes, maka gadis itu kemudian berjalan diiringkan oleh beberapa orang embanmemasuki pendapa rumahnya dan hilang dibalik pintu di belakang pendapa.

   Witantra menggigit bibirnya.

   Ketika berpaling ke arah Sidatta, perwira itu mengangkat bahunya.

   "Kita tidak mendapat perintah apapun,"

   Desis Witantra. Sidatta mengangguk. Kemudian Witantra harus mengambil sikap sendiri untuk melindungi keamanan bakal permaisuri. Maka katanya kepada Sidatta.

   "Kau di sini bersama para prajurit, aku akan berada di halaman belakang supaya tidak seorang pun yang tidak kita kehendaki memasuki halaman ini dari belakang."

   "Apakah ada regol butulan di halaman belakang?"

   Bertanya Sidatta. Witantra tersenyum, jawabnya.

   "Aku belum pernah melihat halaman belakang. Tetapi adalah berbahaya sekali kalau kita tidak sempat mengawasinya. Seandainya tidak ada regol butulan sekalipun agaknya untuk meloncati dinding batu setinggi ini tidak terlampau sulit."

   "Mungkin seseorang atau beberapa orang akan dapat memasuki tempat ini lewat belakang Kakang, tetapi apakah mereka akan dapat membawa Tuan Putri meloncat dinding ini?"

   "Adi Sidatta."

   Sahut Witantra.

   "Seseorang yang menjadi kecewa, bahkan merasa bahwa usahanya telah gagal, akan dapat berbuat hal-hal di luar dugaan. Orang yang demikian akan dapat menjadi berputus asa dan berpendirian, lebih baik dihancurkan sama sekali daripada tidak berhasil memiliki."

   "Hanya orang yang berputus asa yang berbuat demikian."

   "Ternyata Kuda Sempana dan Empu Sada pun telah menjadi putus asa. Apa yang dilakukan sekarang sebenarnya adalah luapan dendam yang tak dapat diendapkan. Aku sangka Kuda Sempana sudah tidak lagi mengharap akan memiliki Ken Dedes sepertiimpiannya masa-masa lampau. Apa yang dilakukan sekarang adalah, pancaran dari hati yang gelap."

   Sidatta menganggukkan kepalanya.

   Ia sependapat dengan Witantra.

   Bukan saja dalam persoalan ini, persoalan seorang gadis, namun dalam persoalan-persoalan yang akan terjadi pula perbuatan serupa.

   Keinginan yang gagal memang dapat menimbulkan perbuatan yang tidak terduga-duga.

   Kisah-kisah kidung dan kakawin-kakawin mengatakan, betapa kadang-kadang orang mengorbankan dirinya, keluarganya dan bahkan negerinya untuk mendapatkan suatu cita-cita.

   Kalau cita-cita itu menjadi kabur, maka yang tinggal hanyalah bentuk keputusasaan.

   Demikian pulalah yang terjadi dalam pemerintahan.

   Seorang gadis akan sama bentuknya dengan sebuah pusaka dan jabatan.

   Seseorang yang gagal mendapatkan gadis idaman, atau sebuah pusaka keramat atau sebuah keinginan untuk memangku jabatan agung, maka akibatnya dapat mengerikan sekali.

   Kegagalan itu akan dikorbankan tanpa kesadaran bahkan kadang-kadang timbullah malapetaka apabila kegagalan itu dibakar oleh pandangan yang mengerikan, yang bertekad untuk hancur bersama, gagal bersama.

   Karena pendirian yang demikian itu, akan terjadi, membakar perahu yang sedang berlayar di tengah lautan, hanya karena orang itu tidak tahan melihat orang lain menjadi nakhoda, bukan dirinya sendiri.

   Betapa indahnya sebuah cita-cita, namun apabila dilandasi oleh hati yang hitam, pikiran yang kelam dan cara-cara yang sesat, maka akan lenyaplah keindahan yang hakiki.

   Dan manusia akan menjadi korban dari ketamakan mereka sendiri.

   Manusia akan menggali liang di mana ia sendiri akan terperosok ke dalamnya.

   Hanya mereka yang menyadari dirinya, menyadari kemanusiaannya yang lahir dari sebuah kekuasaan yang Maha Kuasa, akan dapat membuat neraca yang seimbang dari usaha, perjuangan dan cita-cita lahiriahnya dengan kewajiban yang membebaninya akibat dari adanya, atas kuasa dari Yang Maha Kuasa itu, sehingga akan terpenuhilah Kebaktian yang utuh kepadaYang Maha Esa dan pengabdian yang tulus kepada kemanusiaannya sebagai suatu sikap rohaniah dan badaniah.

   Tetapi ternyata bahwa Kuda Sempana telah menjadi bureng, menjadi kehilangan keseimbangan, sehingga apa yang akan dilakukan mungkin sekali di luar perhitungan.

   Karena itu, maka Witantra tidak dapat membiarkan halaman belakang tanpa pengawasan.

   Bersama saudara seperguruannya, dan dua orang prajurit ia pergi ke halaman belakang dan duduk di bawah sebatang pohon kemuning.

   Namun alangkah memelasnya.

   Pohon yang rindang itu, selalu meruntuhkan daun-daunnya yang telah menjadi kekuning-kuningan.

   Apabila hujan tidak segera turun, maka padukuhan Panawijen pasti akan dilanda kekeringan yang dahsyat.

   "Apakah sebabnya?"

   Pikir Witantra.

   Tetapi ia tidak bertanya kepada siapa pun.

   Mahendra dan Kebo Ijo pun kemudian duduk beristirahat di bawah rimbunnya dedaunan pula.

   Di sudut lain tampak kedua prajurit Tumapel duduk pula bersandar dinding halaman.

   Udara di padepokan itu terasa panas sekali.

   "Pohon bunga-bungaan dan taman sudah menjadi kering,"

   Pikir Witantra di dalam hatinya.

   "lalu apakah kerja para emban yang menunggui padepokan ini, apabila untuk menyiram tanaman- tanaman itu saja tidak dapat dilakukan?"

   Tetapi Witantra itu berpikir lain ketika ia melihat kolam-kolam yang kering.

   Kolam-kolam yang tidak berair.

   Di halaman depan, Sidatta segera mengatur para prajuritnya.

   Beberapa orang segera dapat beristirahat, sedang dua orang bergantian harus tetap berada di regol halaman.

   Mereka harus mengawasi setiap keadaan yang mungkin dapat berakibat tidak seperti yang diharapkan.Perempuan dan orang-orang tua, anak-anak dan gadis-gadis yang mengikuti iring-iringan itu pun kemudian berdiri berjejal-jejal di luar regol.

   Mereka kini yakin benar, bahwa yang berada di atas tandu itu memang Ken Dedes yang pernah dilarikan orang.

   Tetapi alangkah mengherankan, bahwa gadis itu kini kembali dalam keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangka.

   Tetapi orang-orang Panawijen itu tidak berani memasuki regol halaman karena di dalam halaman itu dilihatnya para prajurit Tumapel bertebaran dan dua orang penjaga yang berdiri di sisi sebelah menyebelah regol halaman.

   Witantra yang di halaman belakang dan Sidatta kini tinggal duduk menunggu, apa yang seharusnya mereka lakukan.

   Dalam pada itu, Sidatta memerintahkan kepada para prajurit yang berkewajiban untuk menyiapkan perbekalan mereka.

   "Kita akan tinggal di sini sampai kapan Kakang?"

   Bertanya perwira bawahan Sidatta. Sidatta menggeleng sambil tersenyum.

   "Aku tidak tahu. Tetapi menurut pesan Akuwu, Tuan Putri harus segara kembali, sesudah bertemu dengan kakaknya, Mahisa Agni. Bahkan Tuan Putri diharap untuk kembali bersama-sama dengan kakaknya itu."

   Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ken Dedes yang masuk ke dalam rumahnya tanpa memberikan pesan apapun itu, masih saja belum menampakkan dirinya.

   Sementara itu Ken Dedes yang berada di dalam rumah, segera dikerumuni oleh para endang.

   Betapa banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Ken Dedes dari para endang itu, tetapi betapa pula banyak pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya sendiri.

   Karena itu, sebelum ia mengatakan tentang dirinya, maka yang pertama-tama ditanyakannya adalah "Di mana Kakang Mahisa Agni?"

   Para endang itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mereka menjadi ragu-ragu untuk menjawab, sehingga Ken Dedes mendesaknya.

   "Di mana Kakang Agni?"Salah seorang endang mencoba untuk mengatakan jawabnya.

   "Ke padang rumput Karautan."

   "Ke padang Karautan? Apa kerjanya di sana?"

   "Membuat bendungan,"

   Sahut endang yang lain. Dahi Ken Dedes tampak berkerut-kerut. Tiba-tiba ia pun teringat akan semua penglihatannya di sepanjang jalan. Kering kerontang. Sehingga dengan serta-merta ia bertanya.

   "Endang, kenapa sawah- sawah di Panawijen menjadi kering. Halaman padepokan ini pun menjadi kering dan bahkan Panawijen tampak begini gersang?"

   Kembali para endang menjadi ragu-ragu. Namun Ken Dedes mendesaknya lagi, sehingga seorang endang terpaksa menjawab.

   "Bendungan kita itu pecah."

   "Pecah?"

   Ken Dedes terkejut bukan buatan.

   Umur bendungan itu sudah melampaui umurnya.

   Musim hujan dan banjir telah berpuluh kali dilalui hanya dengan kerusakan-kerusakan kecil yang segera dapat diperbaiki.

   Tetapi kenapa tiba-tiba bendungan itu pecah.

   Endang yang mengatakannya bendungan itu berkata pula.

   "Empu Purwalah yang memecahkan bendungan itu."

   "Ayah? Jadi ayah yang memecah bendungan itu?"

   Endang itu mengangguk.

   Tetapi wajahnya menjadi tegang.

   Ia menyesal bahwa ia telah mengatakannya.

   Tetapi kata-kata itu telah terlanjur meloncat dari mulutnya.

   Keringat Ken Dedes segera mengalir membasahi pakaiannya yang cemerlang.

   Ia tidak dapat mengerti kenapa ayahnya memecah bendungan itu.

   Sehingga karena itu maka ia bertanya pula.

   "Kenapa Ayah memecahkan bendungan itu?"

   Endang itu menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu. Mungkin Kakang Mahisa Agni dapat menjawab pertanyaan itu."

   Hati Ken Dedes menjadi kian berdebar-debar. Sekali lagi ia bertanya.

   "Di mana Kakang Agni.""Ke padang Karautan. Setiap laki-laki dan anak-anak muda pergi ke padang Karautan untuk membangun bendungan itu."

   "Beberapa hari yang lampau Kakang Agni telah datang ke Tumapel,"

   Sahut Ken Dedes.

   "Ya, pada saat itu semua orang telah berangkat ke padang Karautan. Tinggal Kakang Agni dan beberapa orang yang masih menyelesaikan beberapa pekerjaan di sini. membuat tampar ijuk dan patok-patok. Begitu Kakang Agni datang dari Tumapel, segera mereka berangkat menyusul yang telah berangkat lebih dahulu bersama Ki Buyut Panawijen."

   Terasa sesuatu bergolak di dalam Dada Ken Dedes.

   Banyak benar yang telah terjadi sepeninggalnya di kampung halamannya ini.

   Namun keterangan emban itu bagi Ken Dedes merupakan jawaban pula atas pertanyaan yang selalu mengganggunya sejak ia memasuki padukuhan Panawijen.

   Sejak ia memasuki padukuhan ini, ia tidak melihat seorang pun laki-laki dan anak-anak muda Panawijen.

   Itulah agaknya, maka setiap laki-laki kecuali orang-orang tua tidak ada di rumah.

   Ternyata mereka sedang berada di padang rumput Karautan untuk membuat bendungan yang baru.

   Tetapi keinginan Ken Dedes untuk segera bertemu dengan Mahisa Agni rasa-rasanya tak dapat ditunda-tunda.

   Apalagi ia memang mendapat pesan dari Akuwu Tunggul Ametung, supaya segera kembali bersama-sama dengan Mahisa Agni sebagai tebusan atas hukuman yang telah dijatuhkannya kepada Mahisa Agni dan emban pemomongnya.

   Tetapi Mahisa Agni kini tidak ada di rumah.

   Tiba-tiba Ken Dedes menyadari keadaannya.

   Ia datang sebagai seorang calon permaisuri yang disertai oleh serombongan prajurit.

   Karena itu, maka katanya.

   "Biarlah aku minta seseorang memanggil Kakang Mahisa Agni."

   Para endang itu pun saling berpandangan.

   Alangkah besarnya kekuasaan Ken Dedes kini.

   Ia dapat memerintahkan seseorang untuk kepentingannya.Dan para endang itu pun kemudian melihat bahwa hal itu benar terjadi.

   Ketika Ken Dedes keluar dari rumahnya dan berdiri di pendapa sambil melambaikan tangannya, maka segera menghadaplah Sidatta.

   Sambil mengangguk dalam-dalam Sidatta bertanya.

   "Apakah ada perintah Tuan Putri."

   "Oh,"

   Dada setiap endang yang berdiri di belakangnya melonjak.

   Serasa mereka berada di dalam mimpi.

   Ken Dedes datang dengan pakaian yang cemerlang.

   Memanggil seorang perwira yang gagah hanya dengan lambaian tangannya.

   Kini perwira itu membungkuk hormat di hadapannya sambil menyebutnya Tuan Putri.

   "Di manakah Kakang Witantra?"

   Bertanya Ken Dedes.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Di halaman belakang Tuan Putri,"

   Jawab Sidatta.

   "Panggillah,"

   Perintah Ken Dedes. Sekali lagi Sidatta menganggukkan kepalanya. Kemudian ia meninggalkan Ken Dedes yang masih berdiri saja di pendapa. Seorang endang yang tidak dapat menahan diri tiba-tiba berbisik.

   "Siapakah orang itu?"

   Ken Dedes berpaling. Betapapun hatinya sedang risau, namun ketika terpandang mata endang yang aneh itu, ia tersenyum. Jawabnya.

   "Namanya Sidatta. Ia adalah seorang perwira dari prajurit pengawal Akuwu."

   "He,"

   Endang itu terkejut. Pandang matanya menjadi semakin aneh. Kawan-kawannya pun terkejut pula. Hampir tidak percaya endang itu bertanya pula.

   "Kenapa ia begitu hormat kepadamu?"

   Senyum Ken Dedes menjadi semakin lebar. Namun kemudian ia bertanya.

   "Apakah yang dikatakan oleh emban pemomongku beberapa hari yang lalu atau oleh Kakang Mahisa Agni?"

   Endang itu menggelengkan kepalanya, jawabnya.

   "Tak ada yang dikatakan selain berita keselamatan."

   "Tidak dikatakan di mana aku berada?"Endang itu berpikir sejenak, jawabnya.

   "Di Tumapel."

   "Maksudku, di Tumapel aku tinggal di rumah siapa?"

   Para endang itu pun saling berpandangan.

   Tetapi mereka benar- benar tidak banyak mengerti tentang keadaan Ken Dedes, sehingga kemudian mereka itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Tiba-tiba seorang endang yang lain, yang agak lebih muda dari Ken Dedes berkata.

   "Kau belum menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang dirimu. Kamilah yang selalu menjawab pertanyaanmu."

   Sekali lagi Ken Dedes tersenyum, tetapi ia tidak sempat menjawabnya, karena Witantra dan Sidatta kini telah naik ke pendapa.

   "Kakang Witantra,"

   Berkata Ken Dedes kemudian.

   "ternyata Kakang Mahisa Agni tidak berada di rumah."

   Witantra mengangguk, katanya.

   "Menurut pertimbangan Tuan Putri apakah yang sebaiknya kami lakukan?"

   Sejenak Ken Dedes berdiam diri.

   Ketika ia memandang ke halaman dilihatnya beberapa orang prajurit sedang beristirahat sambil mencari tempat untuk berteduh.

   Karena itu, tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu.

   Apakah mereka tidak terlampau lelah, apabila beberapa di antaranya harus langsung menuju ke padang Karautan?"

   Dalam keragu-raguan itu terdengar Witantra bertanya.

   "Barangkali seseorang tahu ke mana ia pergi?"

   Ken Dedes mengangguk sambil menjawab.

   "Ya. Menurut para endang, Kakang Mahisa Agni pergi ke padang rumput Karautan untuk membuat bendungan."

   Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata.

   "Apakah menurut pertimbangan Tuan Putri, salah seorang dari kami perlu memanggilnya?"Ken Dedes masih ragu-ragu. Ia melihat betapa tubuh para prajurit itu telah dilumuri oleh keringat mereka yang seperti diperas dari dalam tubuh mereka. Tetapi Witantra berkata.

   "Apabila demikian, maka biarlah salah seorang dari kami pergi menyusulnya. Mahendralah satunya orang yang pernah melihat tempat di mana bendungan itu akan dibangun."

   "Bagaimana menurut pendapatmu Kakang Witantra?"

   "Apabila berkenan di hati Tuan Putri."

   "Apakah Mahendra tidak terlampau lelah?"

   "Ia akan pergi berkuda."

   "Sendiri?"

   "Ia sudah mengenal padang Karautan. Ia sudah mengenal hantu padang. Meskipun demikian biarlah Adi Sidatta pergi bersamanya."

   "Hamba akan melakukannya,"

   Berkata Sidatta.

   "Apabila kalian tidak terlampau lelah, terserahlah kepada Kakang Witantra. Tetapi, pesanku Kakang, jangan menimbulkan kesan yang dapat membuat keadaanku lebih sulit. Kakang Agni hatinya terlampau keras."

   Sidatta mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah Witantra dilihatnya orang itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab.

   "Ya Tuan Putri. Hamba telah mengenal serba sedikit tentang kakak Tuan. Memang kakak Tuan Putri berhati keras, namun jujur. Karena itu, biarlah nanti Adi Sidatta dan Mahendra dapat menyesuaikan dirinya menghadapi kakak Tuan Putri."

   Hati Sidatta menjadi bertanya-tanya. Bukankah kakak Ken Dedes itu juga seorang anak muda Panawijen. Seorang anak pedesaan? Tetapi pertanyaan itu dibiarkannya melingkar-lingkar di dalam dadanya.Sementara itu Ken Dedes berkata pula.

   "Apabila terdapat kesulitan, jangan mencoba memaksa. Aku ingin Kakang Mahisa Agni datang kemari. Tetapi kalau terpaksa, aku akan menjemputnya sendiri ke Padang Karautan."

   Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya.

   "Baik Tuan Putri. Biarlah Mahendra dan Adi Sidatta berangkat sekarang."

   "Terserah kepadamu Kakang."

   Keduanya kemudian mengundurkan diri dari pendapa. Namun tampak betapa wajah Sidatta memancarkan beberapa macam pertanyaan. Meskipun pertanyaan itu tetap disimpannya, tetapi Witantra dapat merasakannya, sehingga katanya.

   "Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang berhati keras. Telah beberapa kali ia berkelahi melawan Mahendra, tetapi Mahendra selalu dikalahkan."

   "Adi Mahendra dikalahkannya?"

   Bertanya Sidatta yang menjadi keheran-heranan.

   "Ya,"

   Sahut Witantra.

   "anak itu melampaui Mahendra dalam banyak hal."

   Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya.

   "Apakah nanti kalau anak muda itu bertemu dengan Adi Mahendra tidak akan terjadi sesuatu?"

   Witantra menggelengkan kepalanya. Katanya.

   "Tidak. Mahendra telah minta maaf kepadanya."

   "Minta maaf?"

   Sidatta menjadi bingung.

   "Ya. Mahendra selalu di pihak yang bersalah."

   Sidatta tidak berkata apa-apa lagi.

   Ia tahu benar sifat pemimpinnya itu.

   Ia tidak pernah berkata lain daripada menurut tanggapannya yang sewajarnya.

   Meskipun orang itu saudara seperguruannya, kalau ia berbuat salah, maka Witantra akan berkata demikian.

   Witantra pun kemudian segera memanggil Mahendra dari halaman belakang, sementara perwira yang seorang lagiditugaskannya mengawasi halaman belakang itu.

   Dalam pada itu Ken Dedes telah kembali masuk ke dalam rumahnya.

   Orang-orang yang masih berkerumun di luar regol menjadi kecewa ketika mereka melihat Ken Dedes tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk menemuinya.

   Tetapi mereka tidak segera pergi.

   Sejenak kemudian Mahendra dan Kebo Ijo pun telah datang menemui Witantra.

   Dengan berbagai macam pesan, maka Witantra minta kepada Mahendra untuk memanggil Mahisa Agni di padang Karautan bersama dengan Sidatta.

   Mahendra menarik nafas dalam-dalam.

   Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni seolah-olah tidak mau lagi mempersoalkan hubungan antara adiknya dan Akuwu Tunggul Ametung.

   Mahendra mengerti betapa perasaan Mahisa Agni tersinggung.

   Ia merasa dikesampingkan oleh adiknya sebelum ia mengambil keputusan.

   Ia tidak mau menerima keadaan adiknya itu, sebagai sesuatu yang telah terlanjur.

   Tetapi ia tidak mau menolak perintah kakaknya.

   Sehingga karena itu maka jawabnya.

   "Baik Kakang, Aku akan mencoba bersama Kakang Sidatta."

   Setelah keduanya berkemas, sedikit mengisi perut mereka dengan bekal yang mereka bawa, maka segera mereka meninggalkan halaman padepokan menuju ke padang Karautan.

   Demikian mereka meninggalkan pedesaan, maka segera terasa, sinar matahari menyengat tubuh mereka.

   "Bukan main panasnya,"

   Desis Mahendra. Sidatta tersenyum. Jawabnya.

   "Sebuah perjalanan yang hangat."

   Mahendra mengangguk. Kemudian katanya pula.

   "Kita akan menyusur tidak jauh sepanjang sungai yang mengalir lewat padang itu. Pada sungai itulah bendungan akan dibangun. Tetapi bukan itu soalnya. Kalau kita kehausan, kita akan segera mendapatkan air."Sekali lagi Sidatta tersenyum. Kemudian mereka memacu kuda mereka meninggalkan kepulan debu yang putih. Mereka meluncur di jalan-jalan di antara sawah-sawah yang mengering menuju ke padang rumput Karautan yang panasnya bukan main. Tetapi perjalanan dengan kuda adalah jauh lebih cepat daripada berjalan dengan kaki. Meskipun sekali-sekali mereka beristirahat di tebing-tebing sungai untuk mengambil air, dan memberi kuda mereka minum, namun waktu yang mereka perlukan tidak terlampau panjang. Sebelum matahari terbenam, mereka telah sampai ke tempat yang pernah dikenal oleh Mahendra.

   "Kita hampir sampai,"

   Desis Mahendra sambil mengusap peluhnya. Sidatta mengangguk. Wajahnya menjadi merah kehitaman dibakar oleh terik matahari.

   "Kuda kita terlampau lelah,"

   Berkata Sidatta.

   "Kita berjalan perlahan-lahan,"

   Sahut Mahendra.

   "mudah- mudahan di tempat mereka bekerja terdapat sisa makanan hari ini. Perutku terlampau lapar."

   Sidatta tertawa.

   Tetapi tertawanya masam sekali, sebab sebenarnya perutnya pun telah menjadi lapar.

   Tetapi saat itu udara telah menjadi sejuk.

   Matahari telah terlampau rendah, bahkan sejenak kemudian warna merah di langit selapis demi selapis menjadi semakin hitam.

   Mahendra dan Sidatta berjalan terus.

   Kuda-kuda mereka kini tidak lagi berpacu terlampau cepat.

   Sebentar lagi mereka sudah akan sampai di tempat yang mereka tuju.

   Dalam pada itu, langit pun semakin lama menjadi semakin pekat.

   Satu-satu bintang seakan muncul dari balik tirai yang hitam.

   Sidatta sekali-sekali melayangkan pandangan matanya jauh ke garis cakrawala.

   Padang rumput ini seolah-olah tidak bertepi."Adi Mahendra,"

   Berkata Sidatta kemudian.

   "apakah orang Panawijen akan membangun di tengah padang yang seluas ini?"

   "Ya,"

   Sahut Mahendra sambil mengangguk.

   "Mereka harus membuat saluran-saluran baru."

   "Tetapi kalau mereka berhasil,"

   Sahut Mahendra.

   "maka mereka akan dengan leluasa membuat suatu perencanaan menurut selera mereka. Mereka dapat mengatur sekehendak hati, sawah-sawah, ladang dan saluran-saluran air."

   "Kenapa mereka tidak memilih tempat lain. Menebas hutan misalnya? Mereka akan langsung mendapat suatu daerah yang tidak seterik padang ini."

   Mahendra menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu. Mungkin mereka merasa bahwa dengan membuka padang rumput ini, pekerjaan mereka jauh lebih ringan daripada menebas hutan. Kalau mereka berhasil membuat susukan yang besar dan mengalirkan airnya ke tengah-tengah padang rumput ini, maka padang ini pasti akan menjadi daerah yang subur."

   "Tebing ini terlampau dalam,"

   Desis Sidatta.

   "untuk menaikkan air dari dalam sungai itu, pasti diperlukan pekerjaan yang maha berat."

   Mahendra tersenyum. Kemudian katanya.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau dengar suara gemuruh."

   Sidatta memasang telinganya baik-baik.

   "Ya, lamat-lamat dibawa angin."

   "Suara yang hilang timbul itu adalah suara jeram-jeram."

   "Oh,"

   Sahut Sidatta.

   "kalau demikian, maka orang-orang Panawijen pasti membuat bendungan di atas jeram-jeram itu."

   Mahendra mengangguk.

   "Kalau begitu kita sudah dekat,"

   Berkata Sidatta.

   "mari kita percepat perjalanan ini."Tanpa menjawab ajakan itu, Mahendra menggerakkan kendali kudanya sehingga kudanya berjalan lebih cepat lagi. Suara jeram itu ternyata telah menjadi semakin jelas, dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka disela-sela semak- semak yang tumbuh sepanjang tepi sungai, mereka telah melihat beberapa perapian yang menyala. Itu adalah perkemahan orang- orang Panawijen yang sedang bekerja membuat sebuah bendungan. Mahendra dan Sidatta semakin mempercepat kudanya. Langit kini telah menjadi hitam. Namun bintang-bintang berdesakan memenuhi wajah yang kelam itu. Ternyata suara derap kudanya telah mendahului mereka. Beberapa orang yang mendengar derap kuda itu terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka ingin menyampaikannya kepada Mahisa Agni yang ada di antara mereka. Tetapi Mahisa Agni sendiri telah mendengar derap itu pula.

   "Aku mendengar derap kuda, Paman,"

   Desisnya. Pamannya Empu Gandring yang duduk memeluk lututnya mengangkat wajahnya. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab.

   "Ya. Aku mendengar."

   Mahisa Agni kemudian berdiri. Katanya.

   "Aku akan melihatnya."

   "Hati-hatilah,"

   Pesan pamannya.

   Mahisa Agni itu pun kemudian melangkah di antara kawan- kawannya yang sedang beristirahat setelah hampir sehari penuh mereka melakukan pekerjaan mereka, membangun sebuah bendungan.

   Dengan kemauan yang bulat mereka bekerja dengan sepenuh tenaga.

   Tak ada tempat bagi mereka yang hanya mampu berbicara dan berteriak-teriak tentang bendungan yang rusak.

   Tentang kesulitan dan tentang kelaparan yang mungkin akan melanda mereka.

   Yang penting bagi penduduk Panawijen kini adalah bekerja.

   Bekerja.

   Bendungan itu harus segera jadi, sebelum persediaan di dalam lumbung-lumbung mereka terkuras habis.Anak-anak muda Panawijen menyadari, bahwa kini bukan masanya lagi untuk berbaring-baring di pasir tepian sungai sambil berdendang dan bergurau.

   Bukan masanya lagi untuk bersenang- senang dan mengadakan jamuan makan di antara mereka.

   Yang harus mereka lakukan kini adalah bekerja dan prihatin.

   Mahisa Agni kini telah berdiri di luar batas perkemahan orang- orang Panawijen.

   Beberapa langkah ia maju lagi untuk menyongsong dua bayangan orang-orang berkuda yang sudah semakin dekat.

   Tetapi melihat derap dan langkah kuda itu, Mahisa Agni menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang yang ingin berbuat jahat terhadap mereka yang sedang membuat bendungan itu.

   Meskipun demikian beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi cemas dan berdebar-debar, meskipun kecemasan itu disimpannya saja di dalam hati.

   Salah seorang dari mereka yang duduk di samping Sinung Sari berbisik.

   "Sinung Sari. Siapakah yang datang itu?"

   Sinung Sari menggelengkan kepalanya sambil berbisik pula.

   "Aku tidak tahu."

   "Bukankah kau dahulu pernah datang bersama dengan Mahisa Agni kemari? Dan bukankah kau berhasil mengalahkan hantu Karautan atau siapa yang kau katakan dahulu? Kuda Sempana barangkali? Mungkin orang itu datang kembali. Apakah kau tidak akan melawannya."

   Dada Sinung Sari berdesir.

   Memang ia pernah menyombongkan dirinya terhadap kawan-kawannya.

   Kalau benar yang datang itu Kuda Sempana atau siapa pun yang akan mengganggu mereka, apakah yang akan dilakukan? Ternyata Jinan dan Patalan yang mendengar pertanyaan itu menjadi berdebar-debar pula.

   Tetapi mereka menjadi lega ketika mereka mendengar suara Mahisa Agni menyambut orang yang datang itu.

   "Kau Mahendra."Tetapi segera Mahisa Agni mengerutkan keningnya ketika ia melihat seorang prajurit datang bersama Mahendra itu. Sebelum Mahendra menjawab, maka keduanya telah berloncatan turun dari kuda mereka. Dengan akrabnya Mahendra kemudian bertanya.

   "Bagaimana bendunganmu Agni?"

   Mahisa Agni tersenyum kosong.

   Bendungan itu belum lagi dimulai.

   Yang mereka kerjakan selama ini barulah persiapan- persiapan untuk bendungan itu.

   Menancapkan patok-patok, mengisi brunjung-brunjung dengan batu-batu dan membuat barak-barak untuk berteduh di siang hari apabila mereka sedang beristirahat.

   Maka jawab Agni kemudian.

   "Bendunganku sudah hampir siap. Siap untuk dimulai."

   Mahendra tertawa. Katanya kemudian.

   "Kau mungkin belum mengenal kawan seperjalananku. Namanya Sidatta, adalah salah seorang perwira dari pasukan Kakang Witantra."

   Mahisa Agni mengangguk hormat dan Sidatta pun pula.

   "Marilah Tuan,"

   Mahisa Agni mempersilakan.

   "tetapi alangkah jeleknya tempat yang dapat kami pakai untuk menerima Tuan."

   "Terima kasih,"

   Sahut Sidatta.

   "Kami dapat mengerti, bahwa Tuan berada di tempat pekerjaan yang sedang Tuan lakukan dengan tekad yang luar biasa. Membuat sebuah bendungan, membuat susukan dan menggali parit-parit adalah pekerjaan raksasa bagi padukuhan Tuan."

   "Mudah-mudahan kami berhasil,"

   Gumam Mahisa Agni. Maka mereka pun kemudian dibawa oleh Mahisa Agni duduk di antara anak-anak muda Panawijen. Tetapi atas permintaan Mahendra maka mereka mengambil tempat agak terpisah.

   "Ada yang akan aku katakan,"

   Bisik Mahendra. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Mahendra. Apalagi ia datang beserta seorang perwira dari Tumapel.Mahendra yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni segera berkata.

   "Tetapi soalnya sama sekali tidak penting."

   Mahisa Agni menggigit bibinya.

   Ia tahu bahwa Mahendra hanya ingin menenangkannya sebelum mereka membicarakan persoalan yang sebenarnya.

   Tetapi bagi Mahisa Agni, persoalan yang menyangkut dirinya sendiri dengan istana Tunggul Ametung adalah menjemukan sekali.

   berkali-kali persoalan itu selalu membayanginya.

   Mengganggu ketenangannya dan pasti akan dapat mengganggu rencana kerja yang telah masak dan kini telah dimulai dilakukan bersama-sama dengan seluruh rakyat Panawijen.

   Tidak ada bedanya dengan Kuda Sempana dan Empu Sada.

   Orang-orang itu pasti akan mengganggu pekerjaannya pula dengan caranya.

   Mungkin dengan orang-orang yang disebutnya bernama Wong Sarimpat dan mungkin dengan orang-orang lain lagi.

   Meskipun bentuknya berbeda, tetapi akibatnya akan sama saja.

   Memperlambat pekerjaan itu.

   Bahkan mungkin dengan kekuasaan yang ada pada Akuwu Tunggul Ametung, gangguan yang datang daripadanya akan justru lebih besar.

   Tetapi Mahisa Agni mencoba menahan perasaannya.

   Ia tidak segera menyahut.

   Ia menunggu apalagi yang akan di katakan oleh Mahendra.

   Mahendra itu pun kemudian bergeser maju.

   Ditatapnya wajah Mahisa Agni.

   Sekali ia memandang berkeliling.

   Dan sambil berbisik ia berkata.

   "Agni. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak ingin mengganggumu."

   Dada Mahisa Agni berdesir. Sambil mengangguk ia berkata.

   "Katakanlah Mahendra."

   "Baik,"

   Sahut Mahendra. Kemudian sekali lagi ia bergeser maju. Katanya.

   "Agni. Pagi-pagi benar aku sudah berjalan dari perkemahan di tengah-tengah hutan. Hampir tengah hari aku sampai ke padepokanmu di Panawijen. Baru sekejap aku beristirahat, aku harus berjalan kembali kemari. Aku ingin berterus terang Agni."Mahendra berhenti sesaat, dan dada Mahisa. Agni pun menjadi kian berdebar-debar. bahkan Sidatta pun menjadi berdebar-debar pula. Dalam pada itu Mahendra meneruskan.

   "Aku ingin berterus terang kepadamu, tetapi tidak kepada orang lain. Agni, aku agak terlampau lapar."

   "He?"

   Mata Mahisa Agni terbelalak. Getar di dadanya bertambah cepat, namun kemudian anak muda itu tertawa.

   "Hem,"

   Gumamnya.

   "segenap otot-ototku menjadi tegang."

   Sidatta pun kemudian menggamit Mahendra sambil bertata.

   "Ah, terlampau berterus terang Adi. Seorang ksatria tidak akan kelaparan meskipun tidak makan empat puluh hari empat puluh malam."

   Mahendra tertawa pula.

   "Aku tidak malu kepada Mahisa Agni. Tetapi mungkin aku malu kepada orang lain."

   "Kalau hanya itu keperluanmu, maka aku akan memenuhinya dengan senang hati,"

   Berkata Mahisa Agni sambil tertawa. Kemudian ia pun bangkit dan berjalan ke barak, mengambil bekal yang diminta oleh Mahendra. Nasi jagung dan sambal kacang.

   "Apakah anak muda itu mau juga makan makanan seperti ini,"

   Gumamnya.

   "tetapi apa boleh buat. Aku tidak mempunyai yang lain."

   Dengan menjinjing sebuah bungkusan kecil Mahisa Agni berjalan kembali ke tempat Mahendra dan Sidatta menunggu.

   Semula ia tidak menaruh perhatian apa-apa atas cerita Mahendra tentang perjalanannya.

   Tetapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya.

   Mahendra itu pagi-pagi benar sudah harus berangkat dari sebuah perkemahan di tengah hutan.

   Kenapa dari sebuah perkemahan.

   Kalau ia hanya pergi berdua, kenapa mereka terpaksa berkemah di tengah hutan.

   Kenapa mereka tidak menempuh jalan lain, sepanjang padang rumput atau langsung menemuinya seperti yang pernah dilakukan oleh Mahendra dahulu di padang ini.

   Tetapi anak muda itu telah pergi ke padepokannya, padepokan Empu Purwa.Kini dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar kembali.

   Bukan karena kebetulan Mahendra menyebut semuanya itu.

   Pasti tersembunyi sesuatu maksud di belakangnya.

   Karena itu langkah Mahisa Agni menjadi semakin panjang.

   Ia ingin segera mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh Mahendra berdua dengan Sidatta.

   Ketika Mahisa Agni sudah duduk di samping Mahendra kembali, maka segera ia bertanya.

   "Mahendra, dari manakah kau sebenarnya? Apakah kau baru saja menempuh perjalanan yang panjang sehingga kau terpaksa bermalam di perjalanan?"

   Tetapi Mahendra telah mengecewakan Mahisa Agni, sebab ia menyahut.

   "Bungkusan apakah yang kau bawa ini?"

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Sebenarnya ia segera ingin tahu, dari mana dan untuk apa Mahendra datang ke padepokannya dan kemudian setelah beristirahat hanya sesaat yang pendek ia harus dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu dan datang ke padang ini, sehingga anak muda itu menjadi sangat lapar.

   Meskipun sebenarnya Mahendra lapar, tetapi ia tidak perlu dengan tergesa-gesa dan berterus terang mengatakannya kepada Mahisa Agni.

   Maksud Mahendra adalah untuk mengurangi ketegangan yang tampak di wajah Mahisa Agni.

   Tetap dalam pada itu, setelah wajah Agni membayangkan senyum tiba-tiba kini wajah itu menjadi tegang kembali.

   Mahendra menjadi ragu-ragu.

   Apakah caranya itu dapat berhasil untuk berbicara dengan Mahisa Agni tanpa sikap yang tegang kaku.

   Mahisa Agni yang sudah menjadi tegang kembali itu, menyerahkan bungkusannya sambil menjawab.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nasi jagung. Apakah kau dan Tuan Sidatta biasa makan nasi jagung?"

   "Oh tentu,"

   Sahut Mahendra.

   "di Tumapel kami juga makan nasi jagung. Bukankah begitu Kakang Sidatta?"

   Sidatta mengangguk sambil tersenyum.

   "Ya. Aku juga biasa makan nasi jagung.""Apalagi sambal kacang,"

   Sela Mahendra setelah melihat isi bungkusan itu.

   "Apakah kau sendiri tidak makan Agni?"

   "Baru saja,"

   Sahut Agni dengan dada yang berdebar-debar. Ia seakan-akan menjadi tidak bersabar menunggu Mahendra menyelesaikan makan. Seolah-olah terasa Mahendra sengaja makan terlalu lambat seperti juga Sidatta. Bahkan kemudian Mahendra itu berkata.

   "Maaf Agni. Aku perlu air. Aku terlampau haus."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berdiri juga untuk mengambil bumbung berisi air. Dalam pada itu ketika Mahisa Agni sedang meninggalkan Mahendra berdua dengan Sidatta, terdengar Mahendra berbisik.

   "Kau lihat Kakang. Baru melihat wajah-wajah kita, Mahisa Agni telah menjadi tegang. Aku tahu, ia sudah jemu membicarakan masalah adiknya yang satu itu. berkali-kali ia selalu diganggu oleh persoalan itu."

   Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya. Desahnya.

   "Melihat sikapnya maka anak muda itu benar-benar keras hati."

   "Sebenarnya tidak. Ia anak muda yang baik. Ia tidak mendendam seseorang. Aku pernah berkelahi melawannya karena kesalahanku. Tetapi aku selalu saja dikalahkan. Meskipun ia menang atasku, namun ia tidak berbuat apa-apa atasku ketika aku minta maaf. Ia tidak menghina aku dan tidak ingin membalas dendam. Aku tidak tahu kenapa ia bersikap terlampau keras terhadap adiknya. Mungkin karena ia menjadi banyak kehilangan karena hilangnya adiknya itu. Ayah angkatnya yang juga menjadi gurunya, bendungan, sahabatnya yang juga bakal iparnya yang bernama Wiraprana yang dibunuh oleh Kuda Sempana, dan ia sendiri hampir terbunuh untuk mempertahankan adiknya. Tiba-tiba ia mendengar adiknya menerima lamaran Tunggul Ametung yang turut melarikan gadis itu."

   "Perasaannya tersinggung karenanya,"

   Desis Sidatta."Tersinggung agak terlampau parah,"

   Sambung Mahendra. Tetapi percakapan itu terhenti ketika Mahisa Agni datang sambil membawa bumbung air. Mahisa Agni menjadi semakin kecewa ketika ia melihat nasi jagung Mahendra masih hampir utuh. Karena itu maka katanya.

   "Nasi itu sama sekali tidak memenuhi seleramu Mahendra?"

   "Oh, tidak,"

   Sahut Mahendra.

   "aku senang sekali makan nasi jagung dan sambal kacang."

   Mahisa Agni tidak menyahut. Ia mencoba menyabarkan diri menunggu sampai mereka selesai makan. Tetapi hatinya yang selalu bergolak itu tidak dapat ditahannya. Maka terloncatlah pertanyaannya.

   "Dari manakah kalian berdua Mahendra?"

   Mahendra berhenti menyuapi mulutnya. Tetapi ia masih ragu- ragu untuk menjawab. Namun di luar kehendaknya Sidattalah yang menjawab.

   "Kami baru saja menempuh sebuah perjalanan."

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia menunggu Sidatta meneruskan, tetapi orang itu berdiam diri sambil meneguk setebuk air dari bumbung. Karena Sidatta tidak meneruskan kata-katanya maka kembali Agni bertanya.

   "Perjalanan jauh? Tetapi apakah kalian telah singgah ke padepokanku di Panawijen?"

   "Ya,"

   Sahut Mahendra. Ia tidak dapat menyembunyikan persoalan yang sebenarnya. Tetapi ia ingin mengatakannya dengan cara yang lain.

   "Kami berjalan-jalan bersama Kakang Witantra."

   Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin curiga. Katanya.

   "Apakah Witantra sekarang berada di padepokanku di Panawijen?"

   "Ya,"

   Sahut Mahendra acuh tak acuh sambil menyuapi mulutnya.

   "perjalanan yang sama sekali tidak menarik. Kami harus berjalan kaki dari Tumapel, lewat tengah hutan, untuk menghindari terik matahari."

   "Kenapa?"Seolah-olah tidak ada soal yang penting sama sekali, Mahendra menjawab.

   "Kami mengantarkan adikmu."

   "Ken Dedes?"

   Desis Mahisa Agni.

   "Ya. Ia sedemikian rindunya kepadamu sehingga ia memaksa untuk menemuimu. Tetapi setelah kami sampai di padukuhanmu, kau tidak ada. Dengan serta-merta aku harus berjalan lagi ke padang rumput Karautan."

   "Bohong!"

   Tiba-tiba terdengar suara Mahisa Agni semakin tegang.

   Sidatta mengerutkan keningnya.

   Benar juga pesan Witantra dan Ken Dedes.

   Mahisa Agni bersikap agak terlampau keras.

   Tetapi Mahendra sama sekali tidak terkejut.

   Ia masih tetap menyuapi mulutnya.

   Bahkan kemudian sambil tertawa ia berkata.

   "Ah, nasimu benar-benar luar biasa. Enak dan cepat menjadi kenyang."

   "Aku tidak percaya Mahendra,"

   Berkata Agni tanpa menghiraukan kata Mahendra.

   "kalian datang untuk menangkap aku dan membawa aku menghadap Akuwu Tumapel karena aku pernah meninggalkan Tumapel sebelum aku menghadap."

   Mahendra mengerutkan keningnya.

   Tetapi wajahnya masih tetap tenang, dan mulutnya masih tetap mengunyah makanannya.

   Meskipun demikian, degup jantung Mahendra tidaklah setenang wajahnya.

   Bahkan ia kemudian menjadi cemas, bahwa caranya itu pun tidak akan menyenangkan Mahisa Agni.

   Sidatta yang duduk di samping Mahendra sudah tidak lagi dapat menelan makanannya dengan lancar.

   Ia tidak pula bersabar mendengarkan cara Mahendra mengatakan maksudnya.

   Dalam pada itu terdengar Mahendra menjawab.

   "Ah. Kenapa kami harus menangkapmu? Bukankah tidak ada alasan? Jangan berprasangka Mahisa Agni."

   Mahisa Agni terdiam.

   Ia melihat Mahendra itu masih saja sibuk dengan nasi jagung dan sambal kacang, seolah-olah memang tidakada sesuatu yang penting.

   Tetapi kenapa ia begitu tergesa-gesa mencarinya.

   Apakah benar hanya karena Ken Dedes segera ingin menemuinya? Tetapi menilik cara Mahendra makan dan ketenangannya menyampaikan cerita perjalanannya, terasa bahwa Mahendra memang tidak sedang mengemban tugas yang terlampau penting.

   Sidatta sekali menggeser duduknya dengan gelisah.

   Tetapi ia memahami cara Mahendra menyampaikan maksudnya, sehingga karena itu, ia mencoba untuk menahan perasaannya.

   Tiba-tiba terdengar Mahendra berkata.

   "Adikmu ada di Panawijen sekarang Mahisa Agni."

   "Biar sajalah,"

   Jawab Mahisa Agni kosong. Mendengar jawaban itu dahi Mahendra berkerut dan terasa dada Sidatta berdesir.

   "Ia sangat rindu kepadamu,"

   Mahendra meneruskan.

   "Anak itu telah menjadi seorang besar di Tumapel. Apalagi yang diharapkan dariku?"

   "Bukankah ia adikmu?"

   "Pada masa kita masih kanak-kanak ia adikku. Tetapi sekarang kami menempuh jalan hidup kami masing-masing. Ia tidak memerlukan aku lagi, dan aku tidak memerlukannya."

   Mahendra tersenyum.

   Senyum yang aneh.

   Namun ia hampir kehabisan akal untuk mencari jalan supaya ia dapat mengajak Mahisa Agni pergi ke Panawijen.

   Kalau ia tidak dapat membawa Mahisa Agni ke Panawijen, maka kemungkinan terbesar adalah Ken Dedes sendiri akan datang ke padang Karautan untuk mengambil Mahisa Agni dan membawanya ke Tumapel.

   Dalam keadaan yang demikian segalanya akan dapat terjadi.

   Ken Dedes membawa serombongan prajurit yang sedang mengemban tugas dan di sini banyak anak-anak muda yang pasti akan berpihak kepada Mahisa Agni.

   Tetapi Mahendra tidak mengetahui bahwa anak-anak mudayang berada di padang ini sebagian terbesar adalah anak-anak muda seperti Sinung Sari, Jinan dan Patalan.

   Meskipun demikian Mahendra masih mencoba berkata.

   "Aku tadi belum mendapat hidangan apa-apa di padukuhanmu Agni. Seharusnya aku besok pagi-pagi harus sudah sampai di sana pula. Tetapi aku kira aku tidak akan kembali ke Panawijen."

   Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Bukan saja Mahisa Agni, tetapi juga Sidatta. Tetapi agaknya Mahendra memang sedang memutar otaknya untuk memancing Mahisa Agni ke Panawijen.

   "Kenapa?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   "Kau tahu perasaanku Agni,"

   Berkata Mahendra tiba-tiba dengan wajah yang bersungguh-sungguh.

   "Aku sudah menerima keadaan yang aku hadapi sebagai suatu kenyataan yang tak dapat aku ingkari. Tetapi meskipun demikian, aku tidak akan dapat melihat gadis itu bersedih dan menangis terus menerus."

   "Kenapa?"

   "Gadis itu merasa bahwa hidupnya kini benar-benar tinggal sebatang kara. Seolah-olah semua orang yang dikenalnya pada masa kanak-kanaknya, semua orang yang pernah dikasihinya sejak ia masih kanak-kanak telah meninggalkannya. Ayahnya dan kau." (bersambung ) Koleksi . Ki Ismoyo Retype . Ki Raharga Proofing . Ki Raharga Recheck/Editing. Ki Sunda ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 18 MAHISA AGNI menundukkan wajahnya.

   Terasa dadanya berdesir.

   Ia lebih senang mendengar bahwa Ken Dedes itu mengumpat- umpat dan mengutuknya.

   Ia akan menghadapi dengan dada tengadah seandainya Ken Dedes itu mengirimkan beberapa orang untuk menangkap dan menghukumnya.

   Tetapi Ken Dedes itu menangis.

   Mahendra melihat wajah Mahisa Agni tertunduk.

   Sekilas ia memandang wajah Sidatta yang tegang.

   Di dalam hati perwira itu berkata.

   "Anak muda yang keras hati. Tetapi hatinya adalah hati malam. Hatinya mudah sekali menjadi luluh karena haru, bukan karena cemas dan takut."

   Tetapi kini Mahendralah yang menjadi cemas.

   Ia telah mengatakan sikap Ken Dedes yang belum pasti benar terjadi.

   Kalau kemudian kedatangan Mahisa Agni disambut dengan wajah yang merah tegang karena marah, kalau kedatangan Mahisa Agni kemudian disambut oleh sikap yang sama sekali berlawanan dengan apa yang dikatakan, maka Mahisa Agni pasti akan merasa ditipunya.

   Mahendra menarik nafas dalam-dalam.

   Tetapi ia harus dapat mengajak Mahisa Agni ke Panawijen.

   Kini sejenak mereka saling berdiam diri.

   Mahisa Agni sekali-sekali terdengar menarik nafas dalam-dalam.

   Mahendra masih saja menghadapi sisa-sisa makanannya dan sekali-sekali tangannya masih menyentuh sambal kacang.

   Tetapi debar di hatinya terasa menjadi semakin cepat.

   Dalam pada itu Sidatta merenungi perapian tidak jauh daripadanya.

   Apinya menjilat-jilat seperti sedang menari- nari.

   Di kejauhan dilihatnya beberapa anak muda terbaring di atas alas rerumputan kering.

   Dingin padang mulai merayap tubuhnya.

   Mahisa Agni yang tertunduk itu masih juga tertunduk.

   Kalau benar kata Mahendra, maka anak itu akan mengalami siksaan batin meskipun ia akan menjadi seorang permaisuri.

   Dalam pada itu tiba- tiba diingatnya kata-kata ibunya.

   Kata-kata emban pemomong KenDedes yang sudah semakin tua.

   Sebenarnya hatinya sedang dibakar oleh sebuah perasaan yang mementingkan dirinya sendiri.

   Bukan sekedar perasaannya tersinggung karena keputusan Ken Dedes di luar persetujuannya.

   Tetapi jauh lebih dalam daripada itu.

   Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Seolah-olah udara padang rumput itu menjadi sedemikian tipisnya.

   Mahendra memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi pada Mahisa Agni dengan seksama.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi ia masih belum mendapat kesimpulan apakah Mahisa Agni akan bersedia datang memenuhi undangan adiknya.

   Sejenak mereka masih berdiam diri.

   Sidatta berusaha untuk menahan diri, dan memberi kesempatan kepada Mahendra untuk membujuk Mahisa Agni.

   Dalam pada itu Mahendra pun kemudian berkata.

   "Bagaimana Agni. Apakah kau besok pagi-pagi benar bersedia datang ke Panawijen?"

   Mahendra menjadi kecewa ketika Mahisa Agni menggeleng.

   "Tidak Mahendra. Aku tidak sempat meninggalkan pekerjaan ini. Aku harus selalu berada di antara kawan-kawanku yang sedang membangun bendungan ini."

   Tanpa dikehendakinya sendiri Mahendra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakan untuk melunakkan hati Mahisa Agni. Namun dalam pada itu terdengar Sidatta berkata.

   "Sebaiknya kau datang Adi Mahisa Agni."

   Mahisa Agni memandangi wajah perwira itu.

   Wajahnya tenang dan dalam.

   Perwira itu adalah seorang perwira yang bermata cekung.

   Bibirnya banyak membayangkan senyum, tetapi wajah itu berkesan sebuah tekanan yang pernah membebani hidupnya.

   Tetapi Mahisa Agni tidak ingin menilai perwira itu, dan perwira itu pun tidak ingin bercerita tentang dirinya, tentang penderitaan hidup yangpernah dialaminya, sehingga meskipun ia masih muda, tetapi perasaannya telah cukup mengendap.

   Bahkan Mahisa Agni menjadi bertanya-tanya di dalam hati.

   "Apakah perwira ini yang sebenarnya bertugas untuk menangkapnya?"

   Mahendra pun menjadi berdebar-debar pula. Ia tidak mengharapkan bahwa karena kejengkelan, kekecewaan dan ketidaksabaran Sidatta, maka perwira itu akan dapat menimbulkan salah paham. Tetapi Sidatta itu berkata sekali lagi.

   "Tuan Putri sangat mengharap kedatanganmu."

   Dada Mahisa Agni berdesir.

   Sebutan untuk Ken Dedes itu benar- benar telah menggelitik telinganya.

   Tetapi ia tidak segera menjawab.

   Keragu-raguan dan kebimbangan yang sangat telah mengganggu perasaannya.

   Ada keinginannya untuk memenuhi permintaan Ken Dedes oleh dorongan berbagai perasaan.

   Ingatan tentang ibunya, tentang pergaulan masa kanak-kanaknya dan tentang berbagai macam kenangan masa silam.

   Tetapi apabila tiba- tiba ia terantuk pada dirinya sendiri, hatinya meronta.

   "Persetan dengan anak itu!"

   "Maaf Kakang Sidatta,"

   Sahut Mahisa Agni.

   "aku tidak dapat datang."

   Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Mahendra memandanginya dengan cemas.

   Sudah tentu ia tidak dapat melarang Sidatta mengucapkan perasaannya.

   Dengan demikian ia akan menyinggung perasaan perwira.

   Tetapi yang diucapkan oleh Sidatta kemudian adalah.

   "Sayang sekali."

   Kemudian kepada Mahendra Sidatta itu berkata.

   "Adi Mahendra, kalau Adi Mahisa Agni tidak bersedia menemui adiknya, Tuan Putri Ken Dedes, maka adalah salah kami semua para pengawal."Sekarang Mahendralah yang tidak tahu maksud Sidatta mengucapkan kata-kata itu Mereka memang tidak mengadakan persetujuan apa yang harus mereka katakan, sehingga mereka telah membuat cara masing-masing untuk memancing kesediaan Mahisa Agni. Tetapi Mahendra menyadari, agaknya Sidatta pun sedang mencoba melunakkan hati Mahisa Agni. Dengan ragu-ragu Mahendra menjawab.

   "Ya Kakang, kitalah yang bersalah."

   Mahendra sama sekali tidak mengerti, kesalahan apa yang telah dilakukannya, namun ia merasa wajib untuk mengiakan, supaya cara Sidatta tidak terganggu.

   Tetapi Sidatta benar-benar menjadi kecewa.

   Ia ingin Mahendra bertanya, kenapa kesalahan itu diletakkan kepadanya dan kawan- kawannya supaya ia mendapat jalan untuk menjelaskan.

   Sebuah persoalan yang telah dikarangnya.

   Karena itu dengan menggigit bibirnya Sidatta menarik nafas dalam-dalam.

   Melihat wajah Sidatta yang berkerut-kerut Mahendra menjadi heran.

   Kemudian timbullah kekhawatirannya, bahwa ia telah membuat tanggapan yang salah.

   Tetapi tidak dengan sengaja, Mahisa Agni itu bertanya.

   "Kenapa kalian yang bersalah?"

   Sekali lagi Sidatta menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Semula Tuan Putri telah menyangka bahwa Adi Mahisa Agni berada di padang ini. Tuan putri telah memerintahkan kepada kami untuk langsung datang kemari karena betapa rindunya Tuan Putri kepada satu-satunya kadang yang masih ada. Tetapi kamilah yang menasihatkannya, supaya Tuan Putri datang lebih dahulu ke Panawijen. Mungkin Adi masih berada di padepokan, dan kemungkinan yang lain adalah, Tuan Putri akan tidak tahan panas matahari yang terik. Tetapi ketika kami sampai di padepokan Adi, ternyata padepokan itu kosong. Yang ada hanyalah para cantrik dan endang. Betapa kecewa hati Tuan Putri. Yang dilakukan pertama- tama adalah menangis. Memanggil kami dan betapa Tuan Putrimarah kepada kami. Sebelum kami sempat duduk, aku dan Adi Mahendra harus berangkat lagi menebus kesalahan kami. Tetapi kalau Adi Mahisa Agni tidak bersedia datang, makan apabila kesalahan ini didengar oleh Akuwu Tunggul Ametung, maka kedudukan kami akan terancam. Lebih daripada itu, Tuan Putri akan menjadi sangat bersedih. Adalah pasti Tuan Putri akan menjadi berangkat kemari betapapun alam menghalang-halanginya dengan terik matahari, haus dan mungkin gangguan-gangguan yang lain."

   Kata-kata itu serasa menusuk-nusuk ulu hati Mahisa Agni. Kalimat demi kalimat menghunjam ke dalam dadanya seperti pisau yang sejari demi sejari menembus semakin dalam. Tiba-tiba dalam kepedihan itu Mahisa Agni memotong dengan kasarnya.

   "Cukup! Cukup!"

   Sidatta terdiam mendengar Mahisa Agni tiba-tiba membentak- bentak.

   Tetapi perwira itu tidak menunjukkan sikap apapun.

   Ia masih tetap duduk dengan tenangnya sambil memandangi nyala api yang sedang menjilat udara.

   Dalam pada itu, Mahendralah yang menjadi semakin cemas.

   Tetapi ia menjadi agak tenang ketika ia melihat Sidatta tetap dalam sikapnya.

   Sidatta yang meskipun umurnya tidak terlampau jauh terpaut dari umur Mahendra dan Mahisa Agni, namun karena pengalaman hidupnya yang luas, segera dapat merasakan, bahwa di dalam hati Mahisa Agni kini terjadi suatu pergolakan.

   Ia mengharap mudah- mudahan pergolakan di dalam dada Mahisa Agni itu akan mendorong Agni untuk dapat memenuhi maksud kedatangan mereka.

   Kembali suasa menjadi kian sepi.

   Beberapa anak-anak muda Panawijen telah tertidur nyenyak.

   Namun beberapa yang lain mendengar lamat-lamat Mahisa Agni memotong kata-kata tamunya dengan keras.

   Terasa dada mereka berdesir.

   Tetapi mereka tidak melihat sikap-sikap yang menegangkan hati.

   Karena itu, maka kembali mereka menikmati masa-masa istirahat mereka.Sidatta kini membiarkan Mahisa Agni berbicara dengan diri sendiri.

   Dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya, namun sekali-sekali tangannya tampak memegangi keningnya yang menjadi berat dan pening.

   Tiba-tiba kesepian suasana itu dipecahkan oleh kata-kata Agni.

   "Kau membingungkan aku, Kakang Sidatta."

   Sidatta berpura-pura terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya.

   "Kenapa?"

   Kembali Mahisa Agni terdiam. Kembali wajahnya menunduk dan terdengar sekali-sekali ia berdesah. Namun kembali dengan tiba-tiba Mahisa Agni berkata sambil meremas tangannya.

   "Tidak. Aku tidak akan pergi. Biar anak itu marah, mengumpat-umpat atau mengutukku sekali. Aku tidak ada sangkut paut lagi dengan Ken Dedes. Hidupku lebih penting bagi rakyat Panawijen daripada untuknya. Seandainya ia akan datang kemari biarlah ia datang. Biarlah ia dibakar terik matahari, biar ia kalap ditelan hantu sekalipun."

   Sidatta menggelengkan kepalanya. Katanya.

   "Tidak Adi. Tuan putri tidak akan mengumpat-umpat, memaki atau mengutuk seandainya Adi Mahisa Agni tidak mau datang ke Panawijen. Tetapi Tuan Putri itu pasti hanya akan dapat menangis dan merasa dirinya tidak berharga di mata saudara tuanya. Ia tidak akan memerintahkan menangkap tuan, tetapi ia akan meratap dan merasa dirinya dikejar-kejar oleh dosa karena telah melukai hati kakaknya."

   "Oh,"

   Terdengar Mahisa Agni berdesah.

   Kini kedua tangannya memegang kepalanya erat-erat seperti ia takut kepala itu akan terlepas dari lehernya.

   Kembali Sidatta membiarkan Mahisa Agni bertengkar dengan perasaan sendiri.

   Ia dihadapkan pada dua kemungkinan yang saling bertentangan.

   Dalam keraguan itu kembali terdengar suara ibunya terngiang di telinganya.

   Suara yang seakan-akan telah mendoronguntuk pergi ke Tumapel beberapa hari yang lampau.

   Kini ia dihadapkan lagi pada keadaan yang serupa.

   Ragu-ragu.

   Malam yang kelam menjadi semakin kelam.

   Di kejauhan terdengar burung malam melagukan lagu yang sayu.

   Tiba-tiba dalam keheningan itu Mahisa Agni berkata lemah.

   "Baiklah aku besok akan pergi bersama kalian."

   Mahendra terkejut mendengar kesediaan yang terasa terlampau tiba-tiba itu, sehingga ia bergeser maju sambil mengulangi kata-kata Agni.

   "Kau bersedia?"

   Mahisa Agni mengangguk. Sidatta tersenyum. Katanya.

   "Tuan putri akan sangat bergembira karena kesediaan Adi Mahisa Agni."

   Mahisa Agni tidak menyahut, tetapi kembali wajahnya terhunjam ke tanah.

   Sedang Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Meskipun ia merasa bersyukur karena kesediaan Mahisa Agni itu, tetapi ia menjadi iba pula.

   Bahkan ia kini menjadi cemas.

   Mereka berdua, Mahendra dan Sidatta ternyata telah mempergunakan kelemahan hati Mahisa Agni untuk memaksanya pergi ke Panawijen.

   Tetapi apabila kedatangan besok disambut oleh adiknya dengan sikap yang bertentangan dengan yang dikatakannya, maka dapat dibayangkan, betapa terpecah-belah hati anak muda itu.

   Tetapi Mahendra tidak dapat berbuat lain, seperti juga Sidatta tidak mempunyai cara lain untuk memaksa Agni datang ke Panawijen, meskipun seperti Mahendra, Sidatta pun menjadi cemas.

   Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni berkata.

   "Kalian telah menyulitkan perasaanku. Tetapi biarlah aku sekali ini menuruti kehendak Ken Dedes. Mungkin pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir. Mungkin ia akan memberikan pesan atau mungkin ia akan memaki-maki aku. Mudah-mudahan perasaanku sendiri tidak menjadi tersiksa karenanya setelah aku, melihat anak itu. Anak yang tidak tahu diri."Sidatta dan Mahendra tidak menyahut. Terbayang di dalam kepalanya, betapa hati Mahisa Agni telah benar-benar terluka. Luka karena tersinggung perasaan. Namun dugaan itu kurang tepat seperti apa yang sesungguhnya terjadi. Tak seorang pun selain ibu Mahisa Agni sendiri yang tahu, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam dada Mahisa Agni. Malam yang menjadi semakin malam telah menelan perkemahan itu. Hampir semua orang telah tertidur. Mahisa Agni pun kemudian mempersilakan kedua tamunya beristirahat di atas sehelai tikar pandan. Ketika kemudian ia kembali ke tengah-tengah perkemahan itu dilihatnya Ki Buyut Panawijen pun telah tertidur. Tetapi ia melihat pamannya duduk memeluk lututnya, masih seperti ketika ditinggalkannya seolah-olah orang itu sama sekali tidak bergerak.

   "Siapakah mereka Agni?"

   Bertanya gurunya.

   "Mereka adalah orang-orang Ken Dedes yang datang untuk memanggil aku ke Panawijen besok,"

   Sahut Mahisa Agni.

   Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ia pernah mendengar persoalan antara Agni dan anak gurunya itu.

   Namun belum seluruhnya.

   Empu Gandring belum mengetahui sedalam- dalamnya persoalan yang seolah-olah selalu menghantui perasaan kemenakannya itu.

   Karena itu maka dengan hati-hati ia bertanya.

   "Apakah kau besok akan pergi juga ke Panawijen."

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Jawabnya lirih.

   "Ya, Paman. Aku telah mengatakan kepada mereka bahwa aku akan datang memenuhi panggilan itu. Apakah Paman tidak setuju?"

   "Kenapa aku tidak setuju, Agni? Aku mengharap segala sesuatu menjadi baik. Kalau kau tidak bertemu dengan adikmu, maka kau tidak akan mendengar keterangan yang langsung diucapkan. Mungkin dengan demikian kalau telah salah paham, akan segera dapat diakhiri. Yang tidak dapat kau mengerti dapat langsung kau tanyakan kepadanya, yang tidak kau setujui kau langsung dapat menyampaikannya. Hanya persoalan menjadi baik dengan pembicaraan yang baik. Tetapi kalau salah paham itu kau simpansaja di hatimu, maka untuk seterusnya tidak akan ditemukan pengertian di antara kalian."

   Mahisa Agni menganggukkan, kepalanya. Desisnya.

   "Mudah- mudahan, Paman. Sebenarnya aku sudah jemu mengurus soal Ken Dedes yang akan kawin dengan Tunggul Ametung. Ketika mereka mulai dengan persoalan itu, mereka sama sekali tidak membawa aku dalam pembicaraan, tetapi kemudian persoalan itu selalu mengganggu aku ke mana aku pergi."

   "Karena itu,"

   Sahut pamannya.

   "segera kau selesaikan soal itu. Apakah keberatannya? Untuk seterusnya kau tidak akan terganggu lagi."

   Mahisa Agni terdiam. Namun debar jantungnya menjadi semakin cepat.

   "Beristirahatlah Agni,"

   Desis pamannya kemudian. Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab.

   "Ya, Paman."

   Perlahan-lahan anak muda itu bangkit dan berjalan ke sebuah gubuk dengan atap anyaman daun kelapa.

   perlahan-lahan pula ia membaringkan dirinya pada sehelai tikar.

   Namun untuk seterusnya Mahisa Agni tidak segera dapat memejamkan matanya.

   Bahkan seolah-olah semua peristiwa yang pernah dialami, kembali membelit angan-angannya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seruling, amben bambu, teritisan.

   Kemudian tangis Ken Dedes, dan ibunya yang mencoba menghibur gadis itu, kemudian betapa dadanya serasa pecah, ketika ia mendengar Ken Dedes menyebut nama Wiraprana.

   Mahisa Agni memejamkan matanya sambil menggeleng- gelengkan kepalanya.

   Ia mencoba mengusir kenangan yang pahit itu.

   Tetapi kenangan itu selalu datang mengganggunya.

   Betapa tubuhnya sehari-harian diperas oleh kerja membuat bendungan, namun Mahisa Agni sama sekali tidak dapat tidur sekejap pun.

   Ia terkejut ketika tanpa disengaja, ia memandang langit di timur telah dilapisi oleh warna semburat merah.Bahkan sejenak kemudian beberapa orang kawannya telah bangun dan satu dua di antaranya telah pergi ke sungai untuk mengambil air.

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Ketika kemudian ia bangkit dan pergi ke tempat Sidatta dan Mahendra beristirahat, ternyata mereka pun telah bangun pula.

   Pagi itu, Mahisa Agni terpaksa meninggalkan kawan-kawan mereka.

   Meskipun hatinya masih saja dikejar oleh keragu-raguan, namun ia tidak membatalkan niatnya untuk pergi ke Panawijen.

   Setelah minta diri kepada Ki Buyut dan pamannya Empu Gandring beserta kawannya, maka Mahisa Agni pun kemudian pergi ke Panawijen bersama dengan Sidatta dan Mahendra.

   Di sepanjang jalan, Mahendra menceritakannya serba sedikit apa yang dilihat dan dialaminya di perjalanan.

   Diceritakannya pula, bahwa Empu Sada telah mencoba membantu muridnya merampas Ken Dedes.

   Untunglah bahwa gurunya, Panji Bojong Santi, dalam saat yang tepat telah menolong mereka.

   "Seandainya Guru tidak ada, maka Empu Sada pun tidak akan berhasil membawa Tuan Putri,"

   Berkata Mahendra.

   Mahisa Agni yang mendengarkan cerita itu dengan getar di dadanya, menarik nafas dalam-dalam.

   Betapa bencinya kepada Kuda Sempana yang masih saja ingin mendapatkan gadis itu tanpa menghiraukan keadaan dan kenyataan.

   Tetapi Mahisa Agni tertarik pada cerita terakhir Mahendra, sehingga ia bertanya.

   "Kenapa Empu Sada tidak juga akan berhasil apabila Panji Bojong Santi tidak menolong kalian."

   "Ada orang lain yang telah siap menolong pula."

   Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

   "Siapa?"

   Ia bertanya.

   "Empu Purwa.""He,"

   Mahisa Agni terkejut, tetapi kemudian katanya.

   "apakah kau sedang bergurau?"

   Mahendra menggeleng.

   "Tidak. Aku tidak sedang bergurau. Empu Purwa benar-benar hadir menurut guruku."

   Mahisa Agni memandang wajah Mahendra dengan tajamnya.

   Namun kemudian kembali wajahnya merenungi padang yang luas terbentang di hadapannya.

   Kembali angan-angannya melambung pada masa-masa yang silam dan pada masa-masa yang tak pernah dialaminya.

   Terasa suatu dunia yang aneh melingkar-lingkar di dalam benaknya.

   Dunia kenyataan yang tak dapat diingkarinya, bercampur baur dengan dunia angan-angannya yang berbenturan dengan segala macam kekecewaan dan penyesalan.

   Tetapi Mahisa Agni tidak menumpahkannya kepada siapa pun.

   Dunia itu tetap menjadi rahasia bagi dirinya sendiri.

   Sementara itu di Panawijen, Ken Dedes menunggu Mahendra dan Sidatta dengan gelisah.

   Menurut perhitungan Witantra, lewat tengah hari secepat-cepatnya Mahendra baru akan datang.

   Dengan atau tidak dengan Mahisa Agni.

   Namun Ken Dedes yang hampir tidak sabar menunggu itu pun telah memerintahkan kepada Witantra untuk mengatur para prajuritnya, supaya Mahisa Agni melihat, bahwa yang hadir di Panawijen kini adalah seorang bakal permaisuri.

   Seorang yang mempunyai kesempatan dan kemungkinan yang gemilang di hari depan.

   Hampir semalam penuh Ken Dedes mereka-reka, bagaimana ia harus bersikap nanti apabila Mahisa Agni datang.

   Kadang-kadang kekecewaannya kepada kakak angkatnya itu sedemikian menyembul dari permukaan pertimbangannya, sehingga kadang-kadang timbullah keinginannya untuk memperlihatkan kebesarannya.

   Namun kadang-kadang timbul pula perasaannya yang lain.

   Perasaan seorang gadis yang memerlukan perlindungan dari saudara laki- lakinya.

   Tetapi bagaimanapun juga, ia harus menunjukkan kepada Mahisa Agni, bahwa ia bukan seorang gadis kecil lagi.

   Bukan seorang gadis yang dapat merengek seperti pada saat-saat ia masih tinggal dipadepokan ini.

   Bukan lagi Ken Dedes yang hanya pantas melayani Mahisa Agni makan di dapur, menuangkan sayur dan menyediakan kendi untuk minum.

   Bukan lagi anak-anak yang berlari-lari mencari Mahisa Agni, apabila dilihatnya sesuatu yang mencemaskan hatinya, berteriak-teriak hanya karena seekor kambing yang lepas dari ikatannya masuk dan mengucak dedaunan dalam pertamanannya.

   "Tidak,"

   Katanya di dalam hati.

   "aku sudah dewasa. Kakang Mahisa Agni pun harus bersikap dewasa dalam persoalanku. Aku harus dapat menunjukkan kepadanya, bahwa dalam keadaan ini aku mempunyai pertimbangan yang benar. Bukan sekedar karena berputus asa. Kebesaranku akan melimpah kepada Kakang Mahisa Agni dan seluruh padukuhan Panawijen."

   Ken Dedes itu pun kemudian hatinya menjadi tetap.

   Ia akan menyambut Mahisa Agni dalam sikap kedewasaan.

   Berbicara dengan sikap yang dewasa.

   Karena itu, ketika kemudian matahari mencapai puncak langit, maka Ken Dedes pun telah bersedia duduk di pendapa padepokannya.

   Ia telah memerintahkan kepada Witantra untuk menjaga regol halamannya dan beberapa petugas lain di sudut- sudut pendapa.

   Witantra sendiri duduk bersila di pendapa itu bersama-sama Kebo Ijo.

   Namun betapa Kebo Ijo mengumpat-umpat di dalam hatinya.

   Katanya.

   "Gadis Panawijen ini terlalu banyak bertingkah. Apa pula perlunya tata cara resmi yang tidak dilakukan di istana ini. Bukankah ia belum seorang permaisuri? Hem, apalagi nanti, apabila Ken Dedes itu telah resmi menjadi seorang permaisuri. Kami setiap hari masih harus mencium telapak kakinya."

   Tetapi ketika ia melihat kakak seperguruannya duduk tepekur dengan khidmatnya, maka ia pun menundukkan kepalanya.

   Ken Dedes sendiri, duduk di tengah-tengah pendapa, di depan pintu masuk ke ruang dalam.

   Di atas sehelai tikar yang putih.

   Di belakangnya duduk beberapa endang yang berumur sebayanya.

   Para endang itu sendiri tidak tahu, kenapa ia harusduduk pula di belakang Ken Dedes.

   Tetapi ketika mereka melihat para prajurit yang dengan sikapnya yang garang berada di sekitar halaman dan di sekeliling pendapa, bahkan panji-panji dan umbul- umbul pun dipasang pula, mereka sama sekali tidak berani menanyakannya.

   Terasa pula, bahwa Ken Dedes kini bukan lagi Ken Dedes yang dahulu.

   Apalagi setelah mereka mendengar bahwa Ken Dedes adalah seorang gadis yang bakal menjadi permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.

   Meskipun mereka tidak dapat mengerti hubungan peristiwa yang telah terjadi atas Ken Dedes itu, namun mereka kini melihat suatu kenyataan, bahwa Ken Dedes mendapat kesempatan yang tidak pernah diimpikan.

   Kalau semula mereka meratap dan menangisi gadis yang dilarikan oleh Kuda Sempana, namun kini mereka melihat kebesaran gadis itu.

   Dan mereka pun menjadi ikut bangga pula karenanya.

   Ken Dedes yang duduk di tengah-tengah pendapa itu merasa, betapa ia sudah terlampau lama menunggu, namun Mahendra masih belum juga datang.

   Dengan gelisahnya ia berkali-kali mengingsar tubuhnya.

   Sekali ke sisi kemudian kembali ke tempat semula.

   Pandangan matanya seolah-olah tersangkut di regol halaman.

   Dari sana nanti Mahendra akan datang bersama Sidatta dan Mahisa Agni.

   "Bagaimana kalau Kakang Mahisa Agni tidak mau datang?"

   Desahnya di dalam hati.

   Kekecewaan Ken Dedes menjadi semakin bertambah-tambah.

   Mahisa Agni benar-benar seorang yang tinggi hati.

   Seorang yang tidak mau melihat kepentingan orang lain.

   Seorang yang hanya dapat berpikir menurut kepentingan dan keinginan diri sendiri.

   Seorang yang diperbudak oleh ledakan-ledakan perasaan tanpa disertai dengan nalar dan pikiran.

   Semua peristiwa selalu ditanggapinya dengan hati yang gelap.

   "Alangkah menjemukan,"

   Geramnya di dalam hatinya.

   "Kakang Mahisa Agni benar-benar menjemukan. Sekali-sekali ia harus mendapat pelajaran bahwa sikapnya sama sekali bukan sikap yang baik. Bukan sikap yang dapat dibanggakan. Baik bagi dirinya sendiri,maupun oleh keluarga di sekitarnya. Aku kira, ayah tidak pernah mengajarinya demikian."

   Kemudian perasaannya pun meledak-ledak pula. Katanya di dalam hatinya.

   "Ia harus datang. Ia harus datang. Ia harus bersedia pergi ke Tumapel, menemui Akuwu Tunggul Ametung. Biarlah seandainya ia tidak mau merestui perkawinanku. Tetapi ia harus belajar menghormati orang lain. Menghormati mereka yang seharusnya mendapat kehormatan yang sepantasnya. Apabila ia datang, ia harus melihat kebesaran Akuwu Tumapel. Maksud baik yang terkandung di dalamnya dan kewajibannya sebagai seorang saudara tua terhadap adiknya."

   Dengan demikian sikap Ken Dedes pun menjadi semakin garang.

   Dipaksanya dirinya untuk dapat menunjukkan kebesaran yang diwakilinya dari Istana Tumapel.

   Ia ingin membuat Mahisa Agni tunduk karena wibawa kebesaran Akuwu Tunggul Ametung.

   Baru kemudian, anak muda itu akan mudah menerima keterangannya setelah ia dicengkam oleh kewibawaan itu.

   Tetapi Mahisa Agni tidak juga segera datang.

   Dalam pada itu, Mahendra, Sidatta dan Mahisa Agni masih berada di perjalanan.

   Perjalanan yang seolah-olah menyusur sepanjang tepi neraka.

   Betapa panasnya udara dan betapa panasnya terik matahari.

   Berkali-kali mereka terpaksa berhenti.

   Mengambil air ke sungai dan membiarkan kuda-kuda mereka minum dan sekedar beristirahat.

   Sejenak kemudian barulah mereka berjalan kembali.

   "Alangkah beratnya pekerjaanmu, Agni.

   "gumam Mahendra.

   "membuat bendungan di bawah terik matahari yang seakan-akan membakar punggung."

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.

   Pekerjaannya memang pekerjaan yang cukup berat.

   Apalagi bagi penduduk Panawijen yang selama ini seolah-olah dimanjakan oleh keadaan alam di sekelilingnya.

   Rakyat Panawijen merasa bahwa apapun yang diletakkan di tanah, pasti akan tumbuh dan memberikan hasil bagimereka.

   Makanan mereka seolah-olah begitu saja meloncat dari dalam bumi tanpa banyak kesulitan.

   Air yang melimpah dan jenis tanah yang subur.

   Tetapi kini mereka harus bekerja keras.

   Tidak ada pilihan lain daripada bekerja keras.

   Kerja yang mula-mula terasa betapa beratnya.

   Namun kemudian meresap ke dalam setiap diri rakyat Panawijen, bahwa adalah menjadi kewajiban mereka untuk mengerjakan pekerjaan itu apabila mereka tidak ingin menjadi kelaparan.

   Apabila mereka tidak ingin dikutuk oleh anak cucu mereka karena mereka telah menyia-nyiakan saat-saat hidup mereka yang berharga.

   Karena itu apabila bendungan itu kemudian dapat berwujud, maka bendungan itu akan menjadi kebanggaan rakyat Panawijen pada masanya.

   Akan menjadi kenangan bagi anak cucu, bahwa pada masanya, rakyat Panawijen telah bekerja keras membuat peninggalan yang berharga bagi mereka.

   "Adalah suatu kebanggaan bagimu Agni, bahwa kau mampu menggerakkan seluruh isi padukuhan Panawijen untuk melakukan pekerjaan yang pasti akan sangat bermanfaat itu,"

   Berkaca Mahendra pula.

   "Kerja itu didorong oleh suatu kesadaran, bahwa kami bersama- sama memerlukannya, Mahendra. Akan berbeda apabila pekerjaan itu hanya akan bermanfaat bagiku saja. Apabila aku dapat menggerakkan seluruh rakyat Panawijen untuk kepentinganku sendiri, barulah aku merasa bangga. Aku akan merasa, bahwa aku mempunyai pengaruh yang kuat atas mereka. Kecuali apabila aku menipu mereka. Menipu rakyat. Seolah-olah aku membawa mereka dalam satu kerja yang besar untuk kepentingan bersama, tetapi sebenarnya kerja itu hanya untuk kepentinganku atau beberapa orang yang dekat dengan aku."

   "Untunglah bahwa yang kini terjadi tidak demikian. Tidak kedua- duanya. Tidak untuk aku sendiri karena kekuasaan atau pengaruhku atas mereka, juga bukan suatu penipuan atas rakyat itu. Mudah- mudahan aku dan para pamong padukuhan Panawijen serta KiBuyut akan selalu mendapat tuntunan dari Yang Maha Agung, bahwa kerja ini adalah kerja kita untuk kita. Bendungan itu kami bangun untuk kepentingan kami. Bukan kami yang dikorbankan untuk bendungan itu."

   Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Di sampingnya Sidatta mendengar kata-kata Mahisa Agni itu dengan seksama.

   Sama sekali tak disangkanya, bahwa di Panawijen, seorang anak pedesaan akan dapat berkata demikian.

   Alangkah bahagianya Panawijen memiliki sepasang kakak beradik Mahisa Agni dan Ken Dedes.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang bertekad keras, memandang setiap kesulitan sebagai tantangan yang harus diatasinya.

   Sedang adiknya, adalah seorang gadis yang cantik.

   Yang tanpa disangka-sangka, setelah mengalami kepahitan perasaan yang mencengkam jantungnya, maka ia telah dituntun memasuki bilik kanan istana Tumapel.

   Demikianlah perjalanan itu menjadi semakin dekat dengan padukuhan Panawijen.

   Matahari di langit kini telah melampaui puncak ketinggian.

   Panas yang dilontarkannya seolah-olah menghunjam di ubun-ubun.

   Namun semakin dekat perjalanan itu, hati Mahendra dan Sidatta menjadi semakin berdebar-debar.

   Apakah benar Ken Dedes akan bersikap demikian mengharukan.

   Bagaimanakah sakit hati Mahisa Agni, apabila sikap yang ditemui akan berbeda.

   Bagaimanakah kalau benar Ken Dedes itu akan menyambut dengan wajah yang merah karena marah, dengan kata-kata yang keras yang melontarkan kekecewaan hatinya.

   Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak berbuat lain.

   Meskipun mereka tidak saling berjanji, tetapi apa yang bergolak di dalam hati mereka adalah serupa.

   Agni sendiri kemudian menjadi risau pula.

   Tiba-tiba jantungnya segera menjadi semakin cepat berdetak.

   Sekali-sekali ia menarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan gelora di dalam dadanya.

   Apabila dipandangnya wajah Mahendra, ia menjadi iri.

   Anak muda itu justru lebih dahulu daripadanya, dapat menguasaidiri dan melihat kenyataan, meskipun Mahendra ini dahulu pernah menjadi hampir gila dan hampir saja membunuh Wiraprana.

   Pada saat itu, ia berdiri di pihak, bahkan menjadikan dirinya Wiraprana itu untuk melawan Mahendra.

   Tetapi di hati Mahendra itu kini seolah- olah sama sekali tidak berbekas lagi.

   Ia dapat melihat, mengantarkan, bahwa menerima perintah-perintah Ken Dedes dengan hati yang sama sekali tidak membayangkan apa yang pernah terjadi.

   "Hem,"

   Mahisa Agni menarik nafas, kemudian di dalam hatinya ia berkata.

   "aku berkumpul dengan gadis itu sejak kanak-kanak. Gambaran-gambaran tentang dirinya, jauh lebih dalam terpahat di dinding hatiku daripada Mahendra."

   Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu mengumpat-umpat sendiri di dalam hati. Katanya.

   "Persetan! Aku tidak peduli lagi dengan gadis itu. Aku tidak mempunyai kepentingan sama sekali. Kalau aku kini datang kepadanya, adalah karena aku menjadi iba kepadanya. ini adalah suatu sikap yang baik."

   Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa sendiri kepada angan- angannya.

   Seolah-olah ia adalah seorang yang sangat baik hati.

   Yang mementingkan kepentingan orang lain jauh lebih dahulu dari kepentingannya.

   Apalagi anggapan itu tumbuh di dalam angan- angannya sendiri.

   Untuk seterusnya, mereka bertiga seolah-olah telah kehilangan kesempatan untuk saling berbicara.

   Mereka masing-masing dicengkam oleh kegelisahan mereka sendiri-sendiri.

   Apalagi ketika kemudian tampak di kejauhan, padukuhan Panawijen yang masih cukup hijau, seperti segerombol gerumbul yang tumbuh di antara padang yang kering kerontang.

   Yang terdengar kemudian adalah derap kuda-kuda mereka.

   Tanpa mereka kehendaki, maka kuda-kuda itu pun berjalan semakin cepat, seakan-akan terasa oleh binatang-binatang itu, bahwa perjalanan yang panas itu hampir berakhir.Ladang dan sawah-sawah telah mereka lalui.

   Hampir tak ada bedanya dengan padang rumput Karautan.

   Panas.

   Namun sejenak lagi mereka telah sampai ke ujung lorong yang memasuki padukuhan Panawijen.

   Terasa angin yang sejuk tiba-tiba menampar wajah-wajah mereka, sehingga dengan serta-merta mereka menarik nafas dalam-dalam.

   Lindungan dedaunan dan silirnya angin di padukuhan telah membuat kuda-kuda mereka bertambah tegar.

   Tetapi hati merekalah yang kini tidak menjadi semakin sejuk.

   Bahkan terasa dada mereka bertambah panas oleh kegelisahan masing-masing.

   Sidatta dan Mahendra berdoa, mudah-mudahan Ken Dedes itu tidak terlampau mengecewakan kakaknya.

   Apabila demikian, maka hati Mahisa Agni yang keras itu pun akan menjadi semakin membatu.

   Beberapa gadis-gadis muda dari Panawijen ketika melihat Mahisa Agni dan kedua orang kawan seperjalanan memasuki padukuhan, dengan serta-merta berteriak hampir bersamaan.

   "Agni, adikmu telah kembali."

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum sambil menyahut.

   "Ya. Aku kembali karena Ken Dedes."

   Namun jawabannya itu tidak melontar dari dasar hatinya yang tulus. Ia telah mencoba memulas perasaannya. Mendengar jawaban itu gadis-gadis Panawijen itu pun menyahut.

   "Berbahagialah adikmu Agni. Aku dengar, kau akan beripar dengan Sang Akuwu Tunggul Ametung."

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia mencoba tersenyum pula sambil menjawab.

   "Adalah karunia bagi keluarga kami."

   Gadis-gadis itu tidak lagi berteriak-teriak ketika Mahisa Agni dan kawan-kawannya menjadi semakin jauh.

   Yang tinggal adalah kepulan debu yang putih.

   Sidatta mencoba memandang wajah Mahisa Agni.

   Tetapi terasa olehnya, bahwa apa yang diucapkan bukanlah yang dirasakannya.Ia tersenyum, meskipun hatinya pedih.

   Tetapi untuk mencoba menghilangkan kejemuannya Sidatta berkata.

   "Adi Mahendra, ternyata gadis-gadis Panawijen cantik-cantik. Apakah Adi Mahendra tidak ingin meniru Akuwu Tunggul Ametung, mengambil satu dari mereka."

   Dada Mahendra berdesir. Tetapi segera ia menjawab.

   "Tentu Kakang. Aku akan melamar salah seorang dari mereka. Biarlah Mahisa Agni memilih untukku. Bukan begitu Agni."

   Mahisa Agni mengangguk kaku. Ia tahu bahwa Mahendra tersentuh pula perasaannya. Namun sekali ia mengagumi kebenaran hati anak muda itu, sehingga sama sekali tak berkesan pada wajah dan sikapnya.

   "Sayang, anak laki-lakiku masih terlampau kecil. Kalau aku kelak akan memilih menantu, maka aku akan selalu ingat pada gadis- gadis Panawijen,"

   Berkata Sidatta kemudian.

   Mahendra tersenyum.

   Tetapi ia tidak menyahut, sehingga kembali mereka terlempar dalam kediaman.

   Kuda-kuda mereka kini telah menelusuri jalan Padukuhan Panawijen.

   Derap kaki-kaki kuda mereka di atas tanah berbatu-batu terdengar seperti derap jantung mereka sendiri.

   Semakin ia mendengar semakin keras.

   Bahkan ketika mereka telah menjadi demikian dekatnya, derap kuda mereka telah tidak mereka dengar lagi.

   Mereka disibukkan oleh suara yang riuh di dalam hati masing- masing.

   Ketika itu, maka para penjaga regol di halaman rumah Ken Dedes telah melihat kedatangan mereka bertiga.

   karena itu, maka salah seorang daripadanya segera masuk ke halaman dan melaporkannya kepada Witantra.

   "Benarkah Adi Sidatta?"

   Bertanya Witantra.

   "Menurut penilikan kami, sebenarnyalah demikian. Berapa ekor kuda yang kau lihat? Tiga."Witantra menganggukkan kepalanya. Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata.

   "Tuan Putri, agaknya Adi Mahisa Agni bersedia datang. Ternyata yang datang adalah tiga ekor kuda."

   Dada Ken Dedes berdesir.

   Bahkan kemudian menjadi berdebar- debar semakin lama semakin cepat.

   Dicobanya kemudian menenangkan hatinya dan bersikap seperti yang telah direncanakan.

   Kalau Mahisa Agni nanti datang, maka ia akan menyambutnya dengan sikap seorang yang cukup dewasa.

   Ia akan memandangi Mahisa Agni itu sesaat.

   Tidak perlu dengan tersenyum atau tertawa.

   Kemudian mempersilakan Mahisa Agni itu duduk.

   Ditanyakannya bagaimana keadaannya selama ini, apakah ia selalu sehat-sehat saja.

   Pertanyaan-pertanyaan itu harus pendek- pendek dan hanya beberapa masalah yang paling penting.

   Seterusnya ia harus bertanya kenapa bendungan itu pecah, bagaimana mereka sekarang membuat bendungan yang baru.

   Yang terakhir ia harus mengajak Mahisa Agni pergi ke Tumapel.

   Jangan ditanyakan kesediaannya, tetapi lebih condong pada suatu perintah yang harus ditaati.

   Perintah dari seorang Akuwu yang berkuasa di Tumapel dan sekitarnya.

   Ketika Ken Dedes itu kemudian mendengar derap kuda-kuda itu, maka terasa jantungnya mengembang.

   Bukan oleh kebanggaan, tetapi oleh suatu perasaan yang aneh.

   Tiba-tiba darahnya mendidih dibakar oleh kegelisahan.

   Namun darah itu kemudian serasa membeku ketika ia melihat para penjaga regol menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

   Tentu mereka memberikan hormat kepada perwiranya Sidatta.

   Dan benarlah.

   Sesaat kemudian dilihatnya seekor kuda muncul dari regol itu, kemudian disusul yang lain, kuda Mahendra.

   Yang terakhir dengan penuh keragu-raguan adalah kuda Mahisa Agni.

   Mahisa Agni sendiri telah turun dari punggung kudanya.

   Dituntunnya kuda itu memasuki halaman.

   Halaman rumah yang didiaminya sejak kanak-kanak.

   Tetapi ketika ia melihat beberapa orang prajurit, umbul-umbul dan panji-panji, maka terasa bahwa ia telah terdampar ke suatu daerah yang asing.Sejenak Mahisa Agni tegak seperti patung.

   Ketika matanya beredar di sekeliling halaman itu, maka hatinya berguncang.

   Rumah yang didiaminya sejak kanak-kanak, padepokan gurunya itu, seolah- olah kini telah diduduki oleh orang asing yang tak dikenalnya.

   Hampir saja perasaannya meledak melihat keadaan itu, seandainya matanya tidak segera terbentur pada seorang gadis yang duduk di tengah-tengah pendapa, dihadapi oleh Witantra dan Kebo Ijo.

   Hati Mahisa Agni berdesir.

   Gadis itu adalah putri Empu Purwa.

   Putri satu-satunya dari pemilik padepokan ini, sehingga bagaimanapun juga, Mahisa Agni harus merasa, bahwa Ken Dedes lebih berhak atas padepokan ini daripada dirinya.

   Tetapi lebih daripada itu dadanya pun berguncang pula.

   Dilihatnya Ken Dedes seolah-olah bintang yang bercahaya cemerlang di tengah-tengah langit yang gelap pekat.

   Seorang gadis dalam pakaian kebesaran di antara para endang yang sederhana, pendapa padepokan yang sederhana pula, di tengah-tengah halaman yang hampir menjadi kering.

   Dalam guncangan-guncangan perasaan itu, Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung.

   Kakinya serasa menjadi beku dan seluruh aliran darahnya seolah-olah berhenti.

   Ia tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

   Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan dihadapkan pada suatu kelompok orang-orang yang berada dalam sikap-sikap resmi.

   Ia tidak menyangka, bahwa di padepokan itu seolah-olah telah terjadi suatu sidang pasewakan.

   Mahendra dan Sidatta melihat perubahan yang terjadi pada wajah Mahisa Agni.

   Wajah yang mula-mula menjadi tegang, namun kemudian wajah itu telah berubah menjadi beku.

   Namun mereka berdua pun selalu diliputi oleh kecemasan akan sikap Ken Dedes terhadap kakaknya.

   Apakah sikap itu akan menyayat hati Mahisa Agni, atau akan meluluhkannya? Kalau Ken Dedes bersikap keras maka Mahendra dan Sidatta yakin, bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat ditundukkan.

   


Telapak Emas Beracun -- Gu Long Pendekar Cacad Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini