Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 7


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 7



Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja

   

   "Untunglah bahwa kau adalah seorang yang memiliki tenaga yang luar biasa, sehingga kau dapat mengalahkan kedua penyamun itu"

   Berkata yang lain.Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi.

   Semakin banyak ia memberikan keterangan, akan dapat memancingnya ke dalam pembicaraan yang menyulitkannya.

   Ternyata orang tua yang menolong Mahisa Bungalan itu sama sekali tidak menyambung pembicaraan tentang kedua penyamun itu Sehingga dengan demikian, maka pembicaraan itupun tidak berkepanjangan.

   Tetapi hal itu agaknya telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi orang tua itu di rumahnya.

   Ketika orang tua itu kemudian pulang bersama dengan Mahisa Bungalan, dan mendapatkan cucu laki-lakinya telah tertidur nyenyak, maka orang tua itupun kemudian mengajak Mahisa Bungaian duduk di serambi depan rumahnya.

   "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu ngger"

   Berkata kakek tua itu.

   Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

   Tetapi iapun pergi juga ke serambi depan mengikuti orang tua itu.

   Sejenak mereka duduk sambil berdiam diri, Seakan-akan dedaunan menyusuri dahan-dahan yang terguncang perlahan-lahan.

   orang tua yang duduk di amben bambu di serambi itu nampak menjadi bersungguh-sungguh.

   Di bawah obor lampu minyak di sudut rumahnya, Mahisa Bungalan melihat, bahwa orang tua itu benar-benar ingin membawa suatu masalah baginya.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak ingin bertanya lebih dahulu.

   Ia menunggu saja, apa yang akan dikatakan oleh orang tua itu kepadanya.

   Namun untuk beberapa saat, orang tua itu masih berdiam diri.

   Tatapan matanya merayap ke kejauhan, menyusup diantara gelapnyu malam.

   Sekali-sekali nampakwajahnya menegang.

   Namun kemudian terdengar ia berdesah perlahan-lahan.

   "Padukuhan ini adalah padukuhan yang sepi ngger"

   Desis orang tua itu perlahan-lahan.

   Mahisa Bungalan berpaling.

   Dipandanginya wajah orang tua itu sejenak.

   Kemudian jawabnya "Tetapi padukuhan ini benar-benar sebuah padukuhan yang tenang kek.

   Penghuninya hidup rukun dan ramah.

   Mereka merasa satu keluarga besar yang diikat oleh lingkungan dan keadaan"

   Orang tua itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya. Padukuhan ini seolah-olah sebuah rumah yang besar dari satu keluarga yang hidup rukun"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

   Namun demikian ia melihat sesuatu yang asing pada tatapan mata orang tuu itu.

   Beberapa saat Mahisa Bungalan menunggu.

   Dan orang tua itupun berkata perlahan-lahan "Kedatanganmu ke padukuhan ini, semula memberikan harapan kepadaku ngger.

   Tetapi ternyata aku harus malu kepada diriku sendiri"

   "Apakah yang kau maksud kek?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Apaboleh buat. Aku memang harus mengatakannya kepadamu. Siapapun kau sebenarnya, tetapi penilaianku atasmu dalam waktu yang pendek ini telah menumbuhkan kepercayaanku, bahwa kau termasuk orang yang berusaha untuk memberikan pengabdian kepada sesama. Kau tentu bukan orang yang sejalan dengan kedua orang yang terbunuh itu, meskipun aku juga belum mengenal mereka"

   Berkata orang tua itu pula.Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak tahu arah pembicaraan orang tua itu.

   "Angger"

   Berkata orang itu pula "ketika aku melihat kau duduk di bawah pohon preh, maka akupun berusaha untuk mengenalmu.

   Menilik sikap dan keadaan lahiriahmu, maka kau tentu orang yang memiliki kelebihan.

   Itulah sebabnya, maka aku berusaha untuk mengenalmu.

   Aku berharap, bahwa kau adalah orang yang baik dan dapat dipercaya.

   Dalam pembicaraan yang singkat, aku memang mendapat kesan yang demikian, sehingga harapankupun menjadi semakin besar"

   "Apakah yang sebenarnya kakek harapkan?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Baiklah aku berterus terang. Aku berharap, bahwa aku akan mendapatkan seorang kawan"

   "Kawan?"

   Mahisa Bungalan mengulang.

   "Ya. Seorang kawan. Aku sedang mengemban kewajiban yang dibebankan oleh keluargaku. Ketika aku melihatmu, maka aku ingin minta bantuanmu untuk melakukan kewajiban ini. Aku ingin membuatmu anak muda yang mampu membantuku. Aku ingin mengajarimu barang satu dua langkah olah kanuragan"

   Orang tua itu berhenti sejenak, Lalu "tetapi itu adalah angan-anganku sebelum kau terluka parah"

   Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Di luar sadarnya ia bertanya "Kakek menjadi kecewa karena aku sama sekali tidak mempunyai bekal dalam olah kanuragan? Kakek kecewa setelah melihat aku jatuh pingsan?"

   "Ya. Aku kecewa sekali"

   Berkata orang tua itu. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Demikianlah yang ada padaku kek. Memang sama sekalitidak berarti. Dan akupun harus mengakui, bahwa aku tidak akan mampu mengemban tugas yang betapapun ringannya"

   Tiba-tiba saja orang tua itu tertawa.

   Sekilas membayang kembali sifat orang tua yang agaknya memang periang itu.

   Namun kemudian kembali wajahnya menjadi bersungguh- sungguh.

   Katanya "Angger salah mengerti.

   Yang aku maksud, aku menjadi sangat kecewa bahwa aku tidak akan dapat mengajarimu olah kanuragan dan kemudian membantuku"

   "Memang tidak ada kemungkinan sama sekali padaku kek"

   Sekali lagi orang tua itu tertawa.

   katanya pula "Itulah yang lucu dan membualku malu kepada orang yang memiliki ilmu yang tinggi, kemudian sengaja atau tidak.

   sengaja, kau telah membunuhnya, maka akupun sadar, bahwa bukan aku yang pantas mengguruimu, tetapi akulah yang harus berguru kepadamu"

   "Ah"

   Mahisa Bungalan berdesah "kakek memang suka bergurau. Tetapi kali ini, kakek telah membanting aku ke dalam suatu pengakuan akan kekerdilanku"

   "Sama sekali tidak ngger. Aku berani bersikap demikian terhadapmu, karena aku tahu, kau bukan saja seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, tetapi kau juga seorang yang berjiwa seluas lautan"

   "Jangan memuji kakek. Katakanlah yang sebenarnya"

   "Aku sudah mengatakah yang sebenarnya. Kau ternyata memiliki kemampuan jauh di atas dugaanku. Karena itu, justru aku mulai ragu-ragu, apakah aku akan dapat mohon pertolongan itu kepadamu. Karena dengan keadaanmu yang aku lihat pada perkelahianmu itu, maka tentu kauadalah seseorang yang sudah mengemban tugas sekarang ini"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dulam.

   la menjadi semakin yakin, bahwa orang tua itu memang orang yang suka bergurau.

   Untuk menyatakan persoalan yang sungguh-sungguh itupun ia sempat pula untuk bergurau.

   Tetapi Mahisa Bungalan percaya, bahwa orang tua itu berkata dengan sungguh-sungguh menurut caranya.

   Orang tua itu agaknya benar-benar memerlukan pertolongan.

   Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun berkata "Kek, jika benar kakek memerlukan kawan untuk menjalankan kewajiban kakek yang dibebankan oleh keluarga kakek, cobalah, barangkali aku yang tidak memiliki bekal apapun juga ini, akan dapat membantu"

   "Ah, kau aneh anak muda"

   Sahut orang tua itu "sudah aku katakan, kau tentu mengemban tugas yang penting"

   "Seandainya demikian, tugasku tidak dibatasi oleh waktu. Karena itu, jika memang diperlukan, aku dapat berbuat sesuatu menurut kemampuanku. Asal aku tidak harus terikat di tempat ini selama-lamanya"

   Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Tugas itu cukup menggelisahkan"

   "Apakah yang kakek maksud?"

   "Anak itu. Cucuku"

   "Bagaimana dengan anak itu?"

   Bertanya Mahisa Bungalan dengan sungguh-sungguh. Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Mahisa Bungalan yang justru menjadi tegang.

   "Anak muda"

   Berkata orang tua itu "jika aku mengatakan sesuatu kepadamu, maka aku sudahmempertaruhkan nyawaku. Jika sikapku ini keliru, maka aku harus mempertanggung-jawabkannya dengan seluruh hidupku"

   "Kakek membuat aku berdebar-debar"

   "Aku juga menjadi berdebar-debar"

   Jawab orang tua itu "tetapi aku sudah berniat untuk mengatakannya"

   Mahisa Bungalan menjadi bingung. Tetapi ia tidak berkata apapun juga. Ia menunggu, apa yang akan dikatakan oleh orang tua itu selanjutnya.

   "Angger"

   Berkata orang tua itu "

   Jika aku selah pilih, dan ternyata angger adalah justru orangnya yang sedang memburu anak itu, maka nasibnya akan menjadi sangat buruk"

   Wajah Mahisa Bungalan benar-benar menjadi tegang. Dengan nada dalam ia bertanya "Apakah maksud kakek, bahwa sedang memburu anak itu?"

   "Jika. Sekali lagi, jika angger ini justru orang yang mendapat tugas, atau mendapat upah, atau dengan alasan apapun juga, justru sedang memburu anak yang aku sembunyikan itu, maka aku sudah membuka satu pintu pagar bagi langkah maut dan akibatnya aku harus mempertaruhkan segala-galanya untuk mempertahankannya"

   Aku menjadi semakin bingung kek"

   "Tentu, jika kau bukan orang yang aku maksud kau menjadi bingung. Tetapi jika kau adalah orang yang aku maksud, maka kau tentu berpura-pura bingung"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, lebih baik baginya untuk diam dan mendengarkan keterangan orang tua itu."Angger"

   Orang itu berkata lebih lanjut "baiklah aku berterus terang, bahwa anak itu adalah cucuku yang lahir dari anak perempuanku"

   Mahisa Bungalan mendengarkan ceritera itu dengan seksama.

   "Nyawanya kini ada dalam bahaya"

   Berkata orang tua itu selanjutnya "kelahirannya tidak disukai oleh keluarga ayahnya. Dan ibunya telah menjadi korban ketidak-sukaan mereka"

   "Apa yang telah dilakukan terhadap ibu anak itu?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Aku kurang mengerti. Tetapi ibunya bagaikan hilang ditelan bumi. Aku tidak tahu, dimanakah ibunya kini berada. Namun yang aku tahu, di tengah malam anak itu datang kepadaku diantar oleh seorang pelayan"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai menangkap persoalan yang diceriterakan oleh orang tua itu, Tetapi ia masih menunggu orang tua itu meneruskan ceriteranya.

   "Pelayan itu menyerahkan cucuku kepadaku. Tetapi kami tidak dapat melepaskan diri dari kejaran orang yang marah itu. Ketika mereka datang menyusul, maka terpaksa aku mempertahankan cucuku. Demikian pula pelayan yang setia itu. Tetapi ia bernasib buruk. Ia terbunuh dalam perkelahian yang tidak seimbang. Sehingga aku terpaksa melarikan diri menyelamatkan cucuku itu"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk di luar sadarnya.

   Sementara ia terkejut ketika orang tua itu berkata "Nah, sekarang katakan.

   Apakah kau termasuk salah seorang, atau orang yang diupah, atau dengan alasan apapun, ikut memburu cucuku yang aku ajak bersembunyi di sini?"Sejenak Mahisa Bungalan memandang wajah orang tua itu.

   Namun dalam sekilas ia melihat, bahwa pada mata itu memancar sesuatu yang tidak dilihatnya selama ia berada di rumahnya.

   Ia melihat semacam bara yang membakar hati orang tua itu.

   Kemarahan, kebencian dan tanggung jawab.

   Bahkan pada bara api itu ia melihat, bahwa orang tua itu sama sekali tidak gentar terhadapnya, meskipun orang tua itu sudah melihat, bagaimana ia membunuh dua orang yang mangejarnya dengan dendam karena kematian Gagak Branang.

   Karena itu, ketajaman rabaan batin Mahisa Bungalan segera mengetahui, bahwa orang tua itu bukannya orang tua yang ketakutan di bawah pohon preh seperti yang dilihatnya.

   Sebenarnyalah bahwa orang tua itu tentu memiliki bekal yang dapat dipergunakannya untuk menghadapinya apabila perlu.

   Namun bagaimanapun juga, Mahisa Bungalan masih menganggap bahwa orang tua itu adalah orang tua yang suka bergurau.

   Orang tua yang sebenarnya seorang periang.

   Karena itu, maka sambil menjajaginya Mahisa Bungalan berkata "Kakek tua.

   Apakah dengan sikap itu, kakek telah menantang aku?" -oo0dw0oo-

   Jilid 06

   "AKU TIDAK GILA"

   Berkata kakek itu.

   Lalu "Aku tidak bermaksud demikian.

   Aku ingin meyakinkan, apakah kau termasuk orang yang berniat buruk itu.

   Jika demikian, aku sudah bertekad untuk melindungi cucuku""Kakek menantang aku? Baiklah.

   Aku adalah Mahisa Bungalan anak Mahendra.

   Marilah, dengan atau tidak dengan tuduhan itu"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang tua itu menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa Bungalan sejenak. Namun tiba-tiba saja ia melihat bibir Mahisa Bungalan tidak dapat menahan senyum.

   "Ah, kau anak muda. Kau bergurau?"

   Mahisa Bungalan tertawa. Katanya "Kakek memang lucu. Kenapa tiba-tiba saja kakek menghubungkan aku dengan orang-orang yang berniat jahat itu?"

   "Aku hanya berhati-hati ngger. Tetapi sejak semula aku menganggap, bahwa kau tentu bukan dari golongan mereka"

   "Dan sekarang? Apakah kakek sudah yakin?"

   "Nampaknya aku sudah yakin. Kau adalah Mahisa Bungalan, anak Mahendra. He, bukankah kau tadi mengatakannya demikian?"

   "Ya. Aku adalah anak Mehendra. Apakah kakek kenal Mahendra?"

   Orang tua itu menggelengkan kepalanya, katanya "Tidak ngger. Aku tidak mengenalnya. Tetapi dengan demikian aku bertambah yakin, bahwa kau bukan salah seorang yang sedang memburu cucuku itu"

   "Jika kakek sudah yakin, nah, katakanlah. Apa yang harus aku lakukan"

   "Aku ingin mendapat bantuanmu melindungi anak itu ngger"

   "Kakek juga bergurau. Kakek tentu seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Kakek sudah melihat akubertempur melawan dua orang itu. Tetapi seandainya aku adalah pemburu anak itu, maka kakek akan melawan aku"

   "Itu adalah kewajibanku"

   Gumam orang tua itu.

   "Aku dapat membedakan getar suara kakek yang penuh dengan keyakinan. Seolah-olah kakek ingin mengatakan, bahwa jika aku hanya seorang diri, maka aku tidak akan dapat mengalahkan kakek yang tua ini. Nah, kakek, kakek jangan bersembunyi lagi. Aku tahu, kakek memerlukan seorang yang sakti. Mungkin benar kakek masih memerlukan seorang kawan karena kakek benar-benar menghadapi kekuatan yang luar biasa"

   Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau bukan saja seorang yang berilmu tinggi. Tetapi kau adalah seorang anak muda yang cerdik?"

   "Jangan memuji lagi, kek. Jika kakek memang mempercayai aku, katakan, kewajiban apakah yang harus aku lakukan"

   Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Mahisa Bungalan dengan saksama, seolah-olah ia masih ingin melihat isi dada anak muda itu.

   "Anak muda"

   Desis orang tua itu "aku mempercayaimu. Karena itu, aku akan mohon kepadamu, bersamaku menyelamatkan anak itu"

   "Ya. Apakah harus aku lakukan?"

   "Untuk sementara tidak apa-apa. Belum saatnya kita berbuat sesuatu. Menurut penilaianku, belum ada seorangpun diantara mereka yang mengetahui bahwa anak itu berada disini"Mahisa Bungalanlah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Sukurlah. Tetapi sampai kapan aku harus menunggu?"

   "Angger Mahisa Bungalan. Kita akan menentukan suatu waktu untuk membawa anak itu pergi ke tempat yang tidak akan dijangkau lagi oleh orang-orang yang mendengkinya itu"

   "Kemana kek?"

   Bertanya Mahisa Bungalan. Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun jawabnya "Aku belum perlu mengatakan, apakah sebab yang sebenarnya dan kemana aku akan membawanya"

   "Aku mengerti"

   Jawab Mahisa Bungalan "kecurigaan itu tentu masih ada"

   Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Bukan begitu ngger. Tetapi sebelum kita melakukannya, jika angger berkenan, aku ingin berbuat sesuatu"

   "Apakah yang akan kakek lakukan?"

   Orang tua itu termangu-mangu sejenak.

   Lalu "Angger Mahisa Bungalan.

   Aku mohon maaf sebelumnya.

   Bukan karena aku deksura atau tidak tahu diri.

   Tetapi selama ini aku belum pernah melihat seorang anak muda yang memiliki kemampuan dan kecerdasan berpikir seperti angger Mahisa Bungalan.

   Karena itulah, maka aku ingin memberanikan diri untuk menawarkan sesuatu kepada angger"

   Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.

   "Angger. Aku melihat bahwa ilmu angger adalah ilmu yang lengkap dan matang. Namun betapapun juga, bahwa yang dimiliki oleh seseorang, belum tentu dimiliki orang lain. Meskipun aku adalah orang yang tidak berarti, tetapiaku memiliki yang agaknya belum angger miliki, meskipun apa yang angger miliki sudah jauh lebih banyak dari yang aku miliki"

   "Mahisa Bungalan. Aku telah menyiapkan sebuah parang bagi angger saat angger bertempur. Angger memiliki ilmu pedang yang luar biasa. Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa yang dimiliki oleh seseorang, belum tentu dimiliki oleh orang lain"

   Orang tua itu berhenti sejenak lalu "angger Mahisa Bungalan.

   Karena aku ingin minta tolong kepadamu, maka akupun ingin agar kau tidak mengalami sesuatu apabila bahaya yang sebenarnya itu datang.

   Jika angger tidak berkeberatan, maka aku ingin memperlengkap ilmu yang sudah angger miliki.

   Yang tinggi tingkatnya dan yang matang.

   Namun ternyata bahwa aku memiliki sesuatu yang baru sedikit angger miliki"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Tawaran itu membesarkan hatinya.

   Tetapi iapun harus berhati-hati karenanya.

   Ia tidak boleh dengan begitu saja mempercayai seseorang.

   Karena itu, maka iapun harus menjajaginya.

   Ilmu apakah yang akan diberikan oleh orang tua itu.

   Mungkin ilmu yang akan dapat meningkatkan pengabdiannya.

   Tetapi jika ilmu itu dijiwai dengan ilmu yang hitam, maka ia akan dapat terperosok ke dalam keadaan yang bertentangan dengan keinginannya.

   Agaknya orang tua itu dapat melihat keragu-raguan pada wajah Mahisa Bungalan, sehingga iapun kemudian berkata "Angger Mahisa Bungalan.

   Sudah barang tentu segalanya tergantung kepadamu.

   Tetapi aku bermaksud baik.

   Mungkin agak aneh, bahwa seseorang dengan begitu saja bersedia memberikan ilmunya kepada orang lain jika tidak ada pamrih apapun juga.

   Dan akupun mengakui, dan memang sudah aku katakan, bahwa aku memang mempunyai pamrih.

   Dan pamrih itu Sudah aku katakan"Mahisa Bungalan menarik nafas panjang.

   Diluar sadarnya iapun kemudian mengangguk-angguk kecil.

   Katanya "Tentu aku akan sangat berterima kasih, kek.

   Tetapi aku sebaiknya dapat melihat, apakah yang kakek maksudkan dengan kelebihan itu.

   Apakah yang ada pada kakek itu dapat menyatu dengan bekal yang memang sudah ada padaku.

   Jika keadaannya sebaliknya maka justru aku akan kehilangan.

   Benturan ilmu di dalam diriku, akan dapat membuatku menjadi orang yang paling dungu di muka bumi ini"

   Orang tua itu mengangguk-angguk.

   Katanya "Angger benar.

   Dan setelah aku melihat ilmu yang ada padamu, maka aku kira, apa yang aku tawarkan padamu itu sama sekali tidak akan bertentangan.

   Namun demikian, ada baiknya aku mengetahui, jenis ilmu apa sajakah yang memang sudah ada padamu.

   Maksudku, bukan bentuk wantahnya, tetapi jiwa dari ilmu yang angger miliki itulah"

   Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang tua itu berkata "Marilah ngger. Kita pergi ke kandang sebentar"

   Mahisa Bungalan masih saja ragu-ragu.

   Tetapi orang tua itupun kemudian berdiri dan melangkah tanpa menghiraukan Mahisa Bungalan lagi.

   Mahisa Bungalanpun kemudian berdiri mengikutinya.

   Mereka melingkari rumah dan menuju ke kandang.

   Tetapi mereka tidak memasuki kandang yang gelap.

   "Kita masuk ke sebelah dapur itu ngger. Ruang itu adalah ruang yang jarang sekali dibuka. Udaranya mungkin terasa pengab. Bahkan cucuku itupun tidak pernah memasuki ruangan itu"

   Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ada sepercik keragu-raguan di dalam hatinya. Namun iapunkemudian mengikuti orang tua itu memasuki sebuah pintu ke dalam. ruang yang gelap.

   "Aku akan menyalakan lampu"

   Berkata orang tua itu.

   Mahisa Bungalan menunggu sejenak ketika orang tua itu meraba-raba dinding dan membawa sebuah lampu minyak keluar.

   Sejenak kemudian iapun telah kembali dengan lampu yang menyala.

   Dengan demikian maka Mahisa Bungalanpun dapat melihat seluruh ruangan itu.

   Tidak ada yang menarik perhatiannya.

   Ruangan itu seolah-olah kosong.

   Tetapi Mahisa Bungalan melihat beberapa jenis senjata tersangkut di dinding, beberapa utas tali terentang antara tiang dengan tiang dan beberapa tonggak bambu yang tertanam dengan ketinggian yang tidak sama.

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya dalam hati "Ternyata orang tua ini memiliki sanggar yang tersembunyi"

   Justru karena itu, maka Mahisa Bungalanpun menjadi lebih berhati-hati. Ia belum tahu pasti, apakah orang tua itu benar-benar dapat dipercaya.

   "Silahkan duduk ngger"

   Berkata orang tua itu.

   Mahisa Bungalan termangu-mangu, ia tidak melihat sebuah amben atau dingklik kayu.

   Karena itu, maka ia tetap saja berdiri.

   Namun iapun kemudian mengerutkan keningnya ketika ia melihat orang tua itu mendekati sebuah tonggak bambu yang tertanam.

   Tonggak itu tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.

   Tanpa menghiraukan Mahisa Bungalan, maka iapun kemudian duduk di atas tonggak bambu itu.

   Bukan dengan kaki yang berpijak lantai sanggar untuk menjaga menjaga keseimbangannya.

   Tetapi iapun telahmengangkat kedua kakinya dan disilangkannya seperti seorang yang sedang duduk bersila.

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Ia sadar, bahwa orang tua itu memiliki keseimbangan tubuh yang baik sekali, sehingga ia dapat duduk dengan cara yang aneh itu.

   "Hanya permainan keseimbangan"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   "Silahkan"

   Sekali lagi orang tua itu mempersilahkan.

   Mahisa Bungalan termangu-mangu.

   Apakah iapun akan melakukannya duduk di atas ujung tonggak bambu setinggi amben?.

   Karena Mahisa Bungalan masih saja termangu-mangu, maka sekali lagi ia mempersilahkan "Duduklah ngger"

   Mahisa Bungalan tidak tahan lagi, dengan nada yang dalam ia berkata "Jangan bermain-main demikian kek.

   Marilah kita bersikap seperti orang-orang yang telah dewasa.

   Aku tahu, kakek senang bergurau.

   Tetapi menghadapi persoalan yang sungguh-sungguh, maka sebaiknya kita bersikap bersungguh-sungguh pula"

   "O"

   Wajah orang tua itu berkerut "jadi kau tidak berani melihat sikapku ngger. Bahwa dalam usia setua aku, keseimbanganku masih tetap utuh"

   "Aku cukup heran kakek. Bahwa dalam usia setua kakek, keseimbangan kakek masih tetap utuh"

   Namun sekali lagi Mahisa Bungalan terkejut.

   Orang tua itu bagaikan berkisar.

   Yang dilihatnya kemudian, orang tua itu bergeser dan melenting beberapa jengkal.

   Ketika ia mencapai keseimbangannya lagi, maka ia sudah berdiri di atas lututnya pada ujung patok bambu itu.Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Tetapi ia mulai menjadi jengkel dengan sikap orang tua yang masih saja bergurau itu.

   Ketika sekali lagi orang tua itu melenting dan tiba-tiba saja ia bagaikan berputar di udara, dan melekat pada ujung patok bambu itu pada kepalanya, Mahisa Bungalan duduk memeluk lututnya di atas lantai.

   Ia bahkan menggeretakkan giginya ketika ia melihat orang tua itu bermain-main dengan kakinya.

   Kaki itu sekali terbuka kemudian terkatup kembali.

   Bahkan kadang-kadang diputarnya kedua kakinya searah dan berlawanan arah.

   Mahisa Bungalan benar-benar menjadi jemu, bahkan muak.

   Tetapi ketika ia hampir saja berteriak, tiba-tiba saja wajahnya menjadi tenang.

   Terlonjak Mahisa Bungalan berdiri.

   Selangkah ia maju.

   Diamat-amatinya patok bambu yang bertebaran di beberapa tempat dalam sanggar itu.

   Bahkan diluar sadarnya ia telah meraba dan mengguncang salah satu diantaranya.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi patok itu benar-benar tertanam dalam lantai tanah sanggar itu.

   Ketika kemudian orang tua itu melenting dan berdiri pada kedua kakinya, Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Maaf Kiai.

   Kini memang mempunyai cara tersendiri untuk meyakinkan orang lain bahwa Kiai adalah seorang yang luar biasa.

   Tetapi cara Kiai yang nampaknya hanya bergurau itu membuat aku kurang sabar menunggu"

   Orang itu tersenyum.

   Katanya "Itulah kelebihanku dari padamu.

   Permainan keseimbangan.

   Seandainya angger Mahisa Bungalan dapat juga bermain keseimbangan, namun kelebihanku adalah, bahwa aku tidak segan-segan melakukannya, meskipun angger akan marah kepadaku"Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Dengan hati yang berdebar-debar ia melihat patok tempat orang tua itu bermain-main telah terhujam semakin dalam.

   Bahkan kemudian patok yang semula setinggi amben itu telah menghunjam sampai setinggi mata kaki.

   "Adalah kekuatan yang luar biasa. Nampaknya ia tidak berbuat apa-apa. Tetapi ia dapat menekan patok itu sedemikian dalamnya"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   "Nah ngger. Ini adalah suatu permainan yang barangkali tidak penting bagi angger. Namun demikianlah yang barangkali dapat aku tunjukkan pada permulaan rencanaku untuk membuat angger memiliki sesuatu yang belum angger miliki. Aku tahu bahwa angger telah memiliki kekuatan yang luar biasa, yang tersalur dalam ungkapan ilmu tanpa senjata, dan terpusat pada tangan angger, maka angger akan dapat memecahkan batu padas sebesar gubug di sawah. Kekuatan itu pernah kau lihat tersalur pada permainan pedang angger yang tidak ada duanya. Namun angger, dengan kekuatan dasar yang lebih besar dan kecepatan bergerak yang lebih tangkas, maka angger akan menjadi seorang yang memiliki bekal sangat besar. Kemudian dengan bekal yang terserahlah apa yang akan angger perbuat. Apakah angger akan berada di jalur jalan pengabdian, atau sekedar menuruti keinginan pribadi atau bahkan akan mempergunakan kelebihan itu untuk tujuan yang bertentangan dengan kemanusiaan, itu sepenuhnya tergantung kepada angger sendiri, aku mohon, angger dapat membantuku, mambawa anak itu ke suatu tempat yang akan aku katakan kemudian"

   Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu.

   Ia sadar, bahwa ia sudah dibekali ilmu oleh ayahnya, Mahendra, oleh pamannya Witantra dan Mahisa Agni, dan beberapacabang perguruan yang luluh menjadi satu ilmu yang dahsyat.

   Tetapi agaknya oreng tua itu tidak akan mempengaruhi ilmunya dengan unsur-unsur gerak.

   Tetapi dengan kemampuan dasar yang mengalami segala macam ilmu yang ada padanya.

   Jika kekuatan dasarnya memang meningkat, maka dalam pemusatan dan pelepasan ilmu pamungkasnyapun tenaga itu tentu akan menjadi berlipat ganda.

   Demikian juga kemampuannya bergerak akan menjadi semakin cepat dan tangkas dalam puncak ilmunya.

   "Angger Mahisa Bungalan"

   Berkata orang tua itu "segalanya itu masih merupakan satu tawaran.

   Kau masih mempunyai waktu untuk memikirkannya.

   Bahkan seandainya kau bersedia membantuku untuk mengantar cucuku, tetapi menolak keinginanku untuk menambah- sesuatu pada angger Mahisa Bungalan, akupun akan mengucapkan beribu-ribu terima kasih, karena anggerpun memang sudah memiliki ilmu yang memadai.

   Tetapi dengan demikian maka hutangku akan menjadi terlalu besar kepadamu.

   Apalagi jika pada Suatu saat di perjalanan, kau mengalami luka betapapun kecilnya karena kau sedang membantuku, maka hutangku tidak akan tertebus sepanjang sisa umurku yang mungkin sudah tidak sepanjang umurmu lagi"

   "Kek, apakah kakek yakin, bahwa dengan memiliki bekal tambahan yang dapat kakek berikan pada dasar kekuatan dan kecepatan bergerak, aku akan selamat dari segala gangguan di perjalanan?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "O, tentu tidak ngger. Tentu tidak. Tetapi segala usaha itu akan baik dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak kita inginkan. Namun usaha itu merupakan suatu kewajiban bagi kita"Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai yakin bahwa ilmu orang tua itu bukannya ilmu dari dunia yang hitam, yang dapat mempengaruhi sikap dan cara berpikir seseorang, sehingga pandangan hidupnyapun akan terpengaruh pula karenanya.

   "Angger Mahisa Bungalan"

   Berkata orang tua itu "aku tidak tergesa-gesa. Aku menunggu kapan saja kau akan menjawab. Tetapi sekali lagi, aku hanya memiliki sesuatu yang barangkali tidak begitu berharga. Namun hal itu akan dapat membantu yang sudah ada pada diri angger"

   "Aku akan memikirkan kakek. Besok aku akan mengatakan, apakah aku bersedia atau tidak"

   Mahisa Bungalan berhenti sejenak, Lalu "tetapi kenapa kakek memilih aku?"

   "Angger Mahisa Bungalan"

   Jawab kakek itu "hampir setiap hari aku mencari seseorang yang dapat menolongku.

   Tetapi aku tidak pernah menjumpainya.

   Sekali-kali aku melihat satu dua orang anak muda yang dengan kepala tengadah memamerkan kemampuannya.

   Tetapi selain hanya kesombongan yang kosong.

   Adalah kebetulan sekali aku melihat angger mengalami bencana di perjalanan karena dua orang kasar itu.

   Namun semuanya telah teratasi"

   "Dan karena itu kakek memilih aku?"

   Orang tua itu mengangguk sambil menjawab "Ya ngger"

   Mahisa Bungalan menarik naias dalam-dalam.

   Rasa- rasanya ia memang tidak dapat menolak permintaan orang tua itu untuk menolongnya, mengantar cucunya ke tempat yang akan ditentukan kemudian.

   Namun mengenai ilmu itu sendiri, ia masih tetap ragu-ragu.

   Ia sudah memiliki dasar ilmu yang sangat dahsyat dari ayahnya, Mahisa Agni dan Witantra.

   Ia hanya tinggal mengembangkankesempurnaannya saja di dalam dirinya, meskipun Mahisa Bungalan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang akan menjadi sempurna.

   Orang tua yang mengetahui keragu-raguan Mahisa Bungalan itupun berkata "Marilah, kita akan beristirahat.

   Tetapi yang perlu angger ketahui adalah, bahwa yang dapat aku berikan kepadamu adalah sekedar dorongan kemampuan dan ilmu yang sudah ada pada angger sendir Pada saat-saat permulaan, angger dapat mengetahui, apakah yang akan aku berikan itu akan justru dapai menganggu ilmu yang sudah angger miliki, atau benar- benar dapat memacu untuk berkembang lebih cepat tanpa menyisipinya dengan unsur-unsur lain.

   Ilmu yang sudah ada pada angger itu akan tetap pada bentuk, ujud dan sifatnya"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian "Baiklah kakek. Aku akan memberikan jawabannya besok"

   Orang tua itu tersenyum.

   Katanya "Angger memang seorang yang cukup berhati-hati.

   Tetapi justru karena itu, aku semakin mengagumimu.

   Sekali lagi aku harus mengakui, bahwa pada dasarnya ilmu yang kau miliki adalah jauh lebih baik dari ilmuku sendiri.

   Tetapi hanya karena ketuaanku sajalah, maka aku dapat memberikan sesuatu yang belum angger miliki.

   Meskipun sebenarnya, banyak sekali yang angger miliki tetapi tidak aku punyai"

   Dengan demikian, maka merekapun kemudian keluar dari sanggar yang tidak begitu luas itu setelah lampu dipadamkannya.

   Masing-masing segera pergi ke dalam biliknya dan berbaring di pembaringan.

   Dalam pada itu, Mahisa Bungalan tidak segera dapat memejamkan matanya.

   Ia mencoba untuk menguraitawaran orang tua yang ternyata telah mendapat beban seorang cucu.

   Bukan saja dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari dari segi jasmani dan rohaninya, namun ternyata masih ada masalah lain yang harus diperhatikan, yaitu keselamatannya.

   "Siapakah sebenarnya anak itu?"

   Pertanyaan itu selalu menganggunya. Tetapi menilik ujud dan sikapnya, anak itu adalah anak yang baik dari lingkungan yang baik pula"

   Berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri. Beberapa hal yang dikenalnya dalam waktu dekat itu mulai diingat-ingatnya. Sikap, perkataan dan tingkah lakunya.

   "Iapun orang tua yang baik. Aku tidak melihat tanda- tanda kekelaman hati. Entahlah jika mataku memang kabur memandanginya"

   Desis Mahisa Bungalan. Namun akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menjajagi ilmu orang tua itu. Apakah yang akan diberikan kepadanya.

   "Jika ilmu itu bertentangan dengan sikap dan pandangan hidupku, maka aku akan menolaknya"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   Dengan keputusannya itu, maka akhirnya Mahisa Bungalanpun mulai merasa, matanya menjadi berat.

   Bahkan kemudian ia berkata kepada diri sendiri "Jika ia berniat jahat kepadaku, maka nyawaku tidak akan diselamatkannya"

   Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia sadar bahwa orang tua itu telah menolongnya karena ia memerlukannya.

   Tetapi akhirnya Mahisa Bungalanpun telah tertidur nyenyak.

   Ketika matahari mulai membayang di langit, maka isi rumah itupun telah terbangun pula.

   Sepertibiasanya Mahisa Bungalan telah membantu pekerjaan mereka sehari-hari.

   Anak laki-laki yang disebut cucunya itupun dengan rajinnya menyapu halaman dan kebun di belakang.

   Sehari itu, Mahisa Bungalan mencoba mengetahui sifat dan watak anak laki-laki itu.

   Ia ingin mengetahui serbu sedikit latar belakang dari kehidupannya.

   Namun agaknya anak itu telah mendapat pesan dari kakaknya, bahwa ia harus berhati-hati.

   Karena itu maka anak itu nampaknya mempunyai perasaan yang tertutup.

   Ia tidak mudah mengatakan sesuatu.

   "Pesan saja tidak cukup kuat untuk mengatupkan hatinya"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "tentu ada sesuatu yang pernah terjadi atasnya, sehingga meskipun ia masih kanak-kanak, tetapi ia sudah mampu menyembunyikan sesuatu.

   Menyembunyikan keadaan dirinya dan bersikap sangat hati-hati.

   Tentu sesuatu yang terjadi itu benar-benar mengguncang perasaannya dan sangat berkesan di hatinya"

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak memaksanya untuk berbicara.

   Ia hanya sekali-kali saja bertanya sambil tersenyum.

   Namun jika kening anak itu mulai berkerut, Mahisa Bungalan segera mengalihkan pembicaraannya.

   Meskipun Mahisa Bungalan tidak mendapatkan keterangan apapun juga tentang anak itu, namun ia mulai tertarik kepadanya.

   Anak itu ternyata adalah anak yang rajin.

   Rendah hati dan sama sekali tidak menunjukkan kemanjaannya.

   Adalah wajar sekali bahwa sekali-kali anak itu menginginkan sesuatu.

   Tetapi tidak berlebih-lebihan dan dengan pengertian yang tinggi terhadap kemampuan dan kemungkinan yang dapat diadakan oleh kakeknya yang tua dan miskin.Ketika kemudian langit menjadi merah dan matahari tenggelam di Barat.

   Mahisa Bungalan mulai menilai dirinya sendiri.

   Ia menjadi berdebar-debar juga menghadapi ilmu yang akan diberikan oleh orang tua itu, meskipun secara kasar ia dapat merabanya.

   Seperti dikatakan oleh orang itu, bahwa ilmu itu akan berkisar kepada pernafasannya dan mengungkapkan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya.

   Demikianlah, maka akhirnya Mahisa Bungalanpun bersedia untuk menerima ilmu orang tua itu, yang menurut pengakuannya, satu-satunya kemungkinan yang dapat diberikan kepada Mahisa Bungalan, karena pada bagian yang lain, justru Mahisa Bungalan telah memiliki jauh lebih lengkap Tetapi yang akan diberikan itu akan dapat menjadi alas dan pendukung dari setiap kemungkinan perkembangan ilmu Mahisa Bungalan.

   Ketika malam kemudian turun, dan cucu kakek tua itu sudah tertidur, nyenyak, maka mulailah Mahisa Bungalan berada di ruang yang terasing itu.

   Seperti yang sudah di katakan oleh kakek tua itu, maka yang kemudian diberikan kepada Mahisa Bungalan adalah tuntunan pernafasan.

   "Kau tentu sudah mempelajarinya dengan baik"

   Berkata orang tua itu "tetapi ada kemungkinan untuk mengembangkannya dengan cara yang khusus. Cara yang kebetulan saja aku temukan di luar kehendakku sendiri, karena seseorang yang tidak banyak dikenal telah memberikannya kepadaku"

   "Siapakah orang itu kakek?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Aku menemukan seorang tua yang sudah sangat lemah terbaring di hutan ilalang. Aku tidak tahu, apakah sebabnya dan siapakah orang tua itu?""Bukankah kakek dapat bertanya kepadanya?"

   Orang tua itu menggeleng.

   Jawabnya "Tidak banyak kata-kata yang dapat diucapkan.

   Ketika ia yakin, bahwa aku tidak berbuat jahat dan justru berusaha menolongnya, maka iapun memberikan beberapa petunjuk kepadaku tentang sebuah kitab rontal yang disimpannya.

   Agaknya ia juga berusaha memperkenalkan dirinya.

   Tetapi aku tidak jelas, siapakah orang itu dan darimana asalnya"

   "Apakah ada tanda-tanda penganiayaan atau bekas- bekas perkelahian atau tindakan kekerasan yang lain?"

   Orang tua itu menggeleng.

   Katanya "Nampaknya tidak.

   Orang itu memang sudah terlalu tua.

   Aku menduga, hanya sekedar menduga, karena aku tidak mempunyai saksi akan kebenarannya, bahwa orang tua itu telah duduk di sebuah batu hitam untuk waktu yang lama di tempat itu.

   Aku melihat sebuah batu hitam tidak jauh dari tempat orang itu terbaring.

   Aku melihat beberapa buah lubang di seputar batu itu, nampaknya seperti bekas jari-jari tangan"

   "Bekas jari-jari tangan?"

   "Bayangkan, betapa besar kekuatannya. Orang itu duduk bertapa di atas sebuah batu, sementara tangannya menyentuh batu hitam itu dengan meninggalkan bekas- bekas jari. Agaknya hal itu dilakukannya di saat-saat terakhir dari hidupnya, sebelum ia dengan ikhlas, berbaring di rerumputan ilalang di saat terakhir. Namun sebelum ia meninggalkan segala-galanya, ia masih menunggu seseorang untuk menguasai ilmunya yang luar biasa itu"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata "Dan kakek menguasai isi kitab rontal itu?"

   Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "Aku sudah mencobanya.

   Tetapi bekalku terlampau sedikit,sehingga yang aku capaipun tidak memadai.

   iMeskipun demikian ada sebagian daripadanya yang benar-benar aku pahami.

   Yaitu dasar dari segalanya yang dapat memberikan landasan pada ilmu yang manapun juga, karena sifat dan wataknya yang hanya merupakan pendukung saja"

   Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.

   "Tetapi bahwa ia kemudian terasing itulah yang mengherankan. Sampai saat ini aku tidak mengetahui, apakah ia mempunyai satu dua orang murid yang tidak dapat ditemuinya di saat terakhirnya, atau orang tua itu memang tidak mempunyai seorang muridpun sehingga ia menyerahkan kitab itu kepada orang yang terakhir ditemui di saat ia menjelang kembali ke Tuhan Yang Maha Esa"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya "Kek. Apakah isi yang lain dari kitab itu?"

   Orang tua itu termangu-mangu.

   Katanya kemudian "Ada, bermacam-macam ngger.

   Tetapi yang lain akan dapat menumbuhkan persoalan yang memerlukan banyak pertimbangan.

   Mungkin dapat menumbuhkan pertentangan di dalam diri.

   Mungkin dapat menimbulkan benturan dan pergolakan di dalam tubuh dan penyaluran ilmu yang berbeda.

   Meskipun jika seseorang yang sudah memiliki pengamatan yang kuat, akan segera mengetahui, apakah dasar-dasar ilmu yang ada dan yang akan diserap itu dapat atau tidak dapat saling mengisi atau luluh sama sekali.

   Bahkan seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna akan dapat memanfaatkan ilmu yang bagaimanapun juga jauh berbeda sifat dan wataknya untuk mengisi sudut-sudut yang kosong dari ilmunya sendiri.

   Karena itulah, maka seseorang yang sudah berilmu tinggi, ilmunya justru akan lebih cepat berkembang"Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

   Ia sadar, bahwa bukan wewenangnya untuk bertanya lebih jauh tentang kitab itu.

   Jika hal itu bukan suatu pantangan, orang tua itu tentu akan mengatakannya atau bahkan menunjukkannya.

   Namun yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan adalah "Kek, dengan rontal itu di tangan kakek apakah persoalannya tidak bergeser dari persoalan yang kakek katakan.

   Apakah yang kakek sembunyikan dan yang ingin kakek sampaikan ke tempat yang belum kakek katakan itu justru kitab rontal itu, dan bukan cucu kakek"

   Orang tua itu mengerutkan keningnya.

   Namun kemudian katanya "Bukan ngger.

   Bukan.

   Aku berkata sebenarnya, bahwa cucukulah yang harus aku selamatkan.

   Kitab itu tidak seorangpun yang mengetahuinya, selain kau.

   Namun kemudian terserah kepadamu, apakah kau akan mengaduk ketenangan dengan berceritera tentang kitab rontal itu, sehingga banyak orang yang akan mengaku berhak memilikinya karena mereka adalah murid orang tua yang meninggalkan kitab rontal itu kepadaku"

   Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.

   Dipandanginya wajah orang itu.

   Nampaknya ia bersungguh-sungguh.

   Bukan sekedar bergurau seperti yang sering dilakukannya.

   Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun menjawab "Apakah untungnya aku berbuat demikian? Seandainya aku ingin membuat kisruh, aku tidak akan berceritera kepada siapapun tentang kitab itu.

   Dan akulah orang pertama-tama akan mengaku bahwa aku adalah murid dari orang tua yang meninggal itu.

   Bahkan jika kakek tidak memberikan juga kitab itu, aku dapat memanggil beberapa orang yang dapat membantuku"Orang tua itu tersenyum.

   Jawabnya "Aku percaya kepadamu ngger.

   Justru karena kepercayaanku itulah, aku mengatakan kepadamu serba sedikit tentang kitab rontal itu"

   Ia berhenti sejenak, Lalu "Nah, sekarang bersiaplah. Aku ingin mulai dengan bentuknya yang paling sederhana dari ungkapan kekuatan raksasa yang ada di dalam dirimu yang akan dapat mendorong kekuatanmu berlipat. Apalagi dengan kekuatan cadanganmu"

   Mahisa Bungalanpun segera mempersiapkan diri.

   Sejenak kemudian maka keduanya telah tenggelam dalam pemusatan pikiran dengan mengatur pernafasan mereka, sesuai dengan petunjuk dari orang tua itu.

   Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah mulai dengan sangat berhati-hati.

   Ia mulai dengan menjajagi kemungkinan yang tidak dikehendakinya yang dapat terjadi atasnya.

   Namun ternyata bahwa dasar-dasar pengungkapan kekuatan yang diberikan orang tua itu, sama sekali tidak menumbuhkan gangguan di dalam dirinya.

   Sehingga dengan demikian, Mahisa Bungalanpun telah meningkatkan penempaan dirinya sesuai dengan petunjuk orang tua itu.

   Beberapa saat telah dilaluinya.

   Cara yang dilakukan oleh orang tua itu, tidak terlalu berbeda dengan cara-cara yang telah dipelajari oleh Mahisa Bungalan.

   Namun ada beberapa hal yang menyimpang dan seolah-olah memberikan tekanan yang mendalam pada bagian-bagian tertentu dari cara-cara yang pernah dipelajarinya.

   Untuk beberapa saat lamanya, maka Mahisa Bungalanpun duduk dengan menyilangkan tangan di dadanya berhadapan dengan orang tua itu.

   Dengan kalimat- kalimat pendek sambil memejamkan matanya orng tua itu memberikan tuntunan.

   Terus menerus.Di luar sadar, maka Mahisa Bungalanpun telah sampai pada kemungkinan berikutnya.

   Seolah-olah di luar kehandaknya, maka iapun mulai berdiri karena petunjuk orang tua itu.

   Kata demi kata diucapkan, seolah-olah mencengkam kesadaran Mahisa Bungalan sehingga anak muda itu melakukan apa saja yang dikehendaki oleh kakek itu.

   Sejenak keduanya telah berdiri berhadapan dengan tangan bersilang di dada.

   Kemudian keduanya mulai membuat gerakan-gerakan keseimbangan.

   Mahisa Bungalan telah mempelajari ilmu kanuragan dengan lengkap sebelumnya.

   Karena itu, gerak-gerak keseimbangan itu sama sekali tidak ada yang baru baginya.

   Namun demikian, dengan petunjuk-petunjuk khusus dari orang tua itu, seakan-akan ada yang mengalir disepanjang urat darahnya.

   Namun Mahisa Bungalan cukup berhati- hati.

   Ia tidak dengan begitu saja menerima yang baru di dalam dirinya.

   Demikian ia merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya, maka iapun segera memusatkan pikirannya untuk membangun kembali kesadarannya seutuhnya.

   Ia mulai menjajagi perasaan yang asing itu, apakah mempunyai pengaruh yang tidak dikehendakinya.

   Namun rasa-rasanya yang asing itu justru dapat sejalan dengan ilmu yang telah ada padanya.

   Yang asing itu tidak banyak menumbuhkan masalah di dalam dirinya, karena yang baru itu bagaikan menempatkan diri sebagai kekuatan yang mengalami kemampuan yang memang sudah ada dalam dirinya.

   Meskipun demikian Mahisa Bungalan tetap berhati-hati.

   Ia tidak menerima terlalu banyak pada hari pertama.

   Sehingga karena itulah, maka lewat tengah malam iapunmenyatakan kepadaa orang tua itu, untuk menghentikan penyaluran ilmu itu.

   "Aneh"

   Berkata orang tua itu "kau sudah lelah?"

   Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku harus menilai, apa yang telah terjadi dalam diriku. Sebelum aku dapat memutuskan apakah aku akan melanjutkannya besok malam"

   Orang tua itu mengangguk-angguk Ia mengerti, bahwa Mahisa Bungalan memang cukup berhati-hati"

   Karena itu.

   maka orang tua itupun tidak memaksanya.

   Iapun kemudian menghentikannya, dan mengajak Mahisa Bungalan keluar dari sanggarnya.

   Orang tua itupun mengerti, bahwa Mahisa Bungalan Ingin menjajagi perkembangan di dalam dirinya.

   Karena itu, maka dibiarkannya Mahisa Bungalan melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.

   Ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak segera dapat tidur malam itu.

   Setelah membersihkan dirinya di pakiwan, maka iapun memasuki biliknya.

   Tetapi ia masih tetap berdiri tegak untuk beberapa saat lamanya, meskipun pintu biliknya sudah ditutupnya.

   Sambil berdiri tegak, Mahisa Bungalan seolah-olah meneliti seluruh bagian tubuhnya.

   Ia mencoba mengungkapkan segala macam ilmu yang pernah dimilikinya lebih dahulu.

   Luluhnya ilmu yang diterima dari ayahnya dan pamannya Witantra yang bersumber pada perguruan yang sama, serta ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni.

   Namun seperti yang dirasakannya sebelumnya, segalanya tidak terganggu.

   Bahkan ia merasa, bahwa yang dilakukannya bersama orang tua itu, seolah-olah telah memberikan kemantapan pada setiap unsur ilmu di dalam dirinya."Aku harus mencoba dengan tata gerak"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   Sehingga karena itulah, maka dimalam yang kelam itupun, dengan sangat hati-hati, agar tidak mengejutkan anak yang sedang tidur, iapun pergi keluar rumah.

   Mahisa Bungalan menyadari, bahwa orang tua itu sendiri tentu belum tidur pula, dan mengetahui bahwa ia telah pergi keluar rumah.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak mempedulikannya.

   Ketika ia sudah berdiri di kebun belakang, di tempat yang terlindung, ia berdiri tegak sambil menjajagi pernafasannya.

   Sedikit demi sedikit, ia memusatkan segenap perasaan dan pikirannya.

   Dengan sangat hati-hati ia merasakan pada setiap tarikan dan pelepasan nafasnya.

   Namun yang terasa, seakan-akan pernafasannya menjadi semakin lancar dan ruang-ruang di dalam rongga paru- parunya seakan-akan menjadi bertambah lapang.

   Sehingga dengan demikian, maka dukungan pernafasannya pada dasar ilmunya terasa menjadi semakin mantap.

   Perlahan-lahan Mahisa Bungalanpun kemudian menggerakkan tangannya.

   Kedua tangannya diangkatnya tinggi.

   Kemudian direntangkannya ke samping dan dijulurkannya ke depan.

   Demikian dilakukannya beberapa kali, semakin lama semakin cepat.

   Mahisa Bungalan sama sekali tidak merasakan hambatan apapun juga.

   Bahkan pernafasannya yang lapang, seakan- akan membuat gerakan tangannya semakin ringan dan cepat.

   Beberapa saat kemudian, iapun berhenti.

   Yang kemudian digerakkannya adalah kakinya.

   Sebelah kakinya, kemudian berganti dengan kakinya yang lain.

   Akhirnya Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Sambil berdesah iaberkata kepada diri sendiri "Aku menemukan sesuatu di sini"

   Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan memutuskan untuk mengikuti latihan-latihan berikutnya dari orang tua itu meskipun ia masih harus tetap berhati-hati.

   Ia tidak boleh lengah, bahwa tiba-tiba saja telah disusupi dengan ilmu yang akan dapat menghambat, bahkan mengganggu ilmu yang telah ada dalam dirinya.

   Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan telah duduk di serambi untuk mengeringkan keringatnya setelah ia mencuci kaki dan tangannya.

   Udara malam yang sejuk dan semilirnya angin yang dingin, membuat tubuh Mahisa Bungalan terasa menjadi segar.

   Namun dengan demikian, akhirnya Mahisa Bungalanpun menjadi mengantuk.

   Karena itu, maka iapun kemudian memasuki rumah dan biliknya.

   Sejenak ia berbaring, sehingga akhirnya iapun tertidur dengan nyenyaknya.

   Di malam berikutnya, ia telah berada pula di dalam sanggar kecil itu bersama kakek penghuni rumah itu.

   Dengan hati-hati Mahisa Bungalan menerima petunjuk- petunjuknya dan melakukannya.

   Setingkat demi setingkat.

   Namun, karena pada dasarnya, Mahisa Bungalan telah memiliki bekal yang cukup, maka segalanya dapat dilakukannya dengan lancar.

   Ia memiliki keseimbangan dan ketahanan tubuh yang sudah dalam tingkat yang tinggi.

   Karena itulah, maka ia sama sekali tidak mengalami kesulitan apapun juga untuk menerima ilmu yang pada hakekatnya, hanyalah merupakan alas dan dukungan dari ilmu yang telah ada padanya.

   Demikianlah Mahisa Bungalan telah melakukannya, untuk beberapa lamanya.

   Setiap malam ia telah berada didalam sanggar itu bersama dengan orang tua yang menuntunnya dalam latihan-latihan yang khusus, tetapi yang setelah ditekuninya, sangat bermanfaat bagi dirinya dan ilmunya.

   Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun akhirnya percaya, bahwa orang tua itu sama sekali tidak bermaksud buruk.

   Ia benar-benar telah memberikan sesuatu yang berguna baginya dan bagi masa depannya.

   "Yang aku alami di sini, jauh lebih bermanfaat dari yang pernah aku alami di kedua padepokan kecil itu"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   Namun apabila ia teringat kepada seorang gadis padepokan Kenanga, maka hatinyapun menjadi berdebar-debar.

   Wajah itu seolah-olah masih saja melekat di rongga matanya, dan setiap kali telah kembali di dunia angan-angannya.

   "Apakah aku masih mungkin kembali kepadanya"

   Berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak mengatakannya.

   Dalam pada itu, maka kemampuan Mahisa Bungalan telah meningkat.

   Ia dapat bergerak jauh lebih cepat dari yang dapat dilakukannya sebelumnya.

   Dan kekuatannyapun seakan-akan telah berlipat pula.

   Apalagi jika ia telah mengerahkan kekuatan cadangannya, maka Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang memiliki kekuatan bagaikan raksasa.

   Dengan kecepatan bergerak dan kekuatan yang berlipat, maka Mahisa Bungalan benar-benar telah menjadi seorang yang pilih tanding.

   Ternyata bahwa Mahisa Bungalan mengalami penempaan diri untuk beberapa hari lamanya.

   Pekan pertama dilaluinya dengan peningkatan kecepatan geraknyasementara pada pekan kedua, Mahisa Bungalan telah membentuk dirinya menjadi seorang yang mempunyai kekuatan seekor gajah.

   Dan pada pekan ketiga Mahisa Bungalan telah berhasil mengetrapkan kecepatannya bergerak dan kekuatannya yang berlipat pada alas dari ilmunya dengan mapan.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Luar biasa"

   Desis orang tua itu "kau sekarang menjadi seorang anak muda yang jarang ada bandingnya"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam penuh kesungguhan ia berkata "Aku mangucapkan banyak terima kasih, kek"

   Orang tua itu tertawa. Jawabnya "Apa yang kau dapatkan adalah hasil kerjamu sendiri. Aku hanya mengarahkannya dan memberikan petunjuk jalan yang harus kau tempuh"

   "Dan aku telah menemukan sesuatu yang sangat berharga bagiku"

   "Tetapi, bukankah aku sudah mengatakan, bahwa aku mempunyai suatu permintaan setelah kau meningkatkan ilmumu pada alas dan dukungan yang telah berhasil kau kuasai itu"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Ia tidak akan dapat ingkar janji.

   Orang tua itu telah berterus terang sejak semula, bahwa ia memerlukan pertolongannya untuk mengantarkan cucunya ke tempat yang belum dikatakannya.

   Karena itu, maka katanya kemulian "Kek.

   Aku sama sekali tidak berkeberatan untuk melakukannya, selama permintaan kakek itu tidak bertentangan dengan hati nuraniku""Aku mengerti ngger.

   Aku sudah mencoba mengenalmu sejak pertama kita bertemu.

   Kau tentu bukan seorang yang mudah goyah dalam sikap dan pendirian.

   Karena itu.

   akupun telah mempertimbangkan segala-galanya.

   Juga permintaanku kali ini"

   "Apakah yang harus aku kerjakan?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Aku memerlukan seorang kawan untuk mengantarkan cucuku kepada ayahnya. Itu adalah yang sebenarnya. Aku tidak berpura-pura atau menutupi keadaan yang memang telah dibebankan kepadaku"

   "Apakah aku dapat mengerti, kemana kita akan pergi?"

   "Cucuku itu adalah putera seorang Pangeran di Kediri. Pangeran Kuda Padmadata. Seorang Pangeran yang memiliki beberapa pucuk senjata pusaka yang menjadi rebutan beberapa orang keluarga istana Kediri. Diantaranya sebuah tombak bernama Kiai Saptapratala dan sepucuk keris, Kiai Rontek. Beberapa orang keluarga Pangeran Kuda Padmadata ingin mendapatkan kedua pusaka itu, sementara cucuku adalah pewaris dari kedua pusaka itu yang sah. Jika cucuku masih tetap hidup, maka ialah yang akan mewarisi pusaka-pusaka itu. Sehingga dengan demikian, maka beberapa orang telah berusaha untuk melenyapkannya"

   "Apakah Pangeran Kuda Padmadata sama sekali tidak berbuat sesuatu dengan sikap dan perbuatan beberapa orang atas anak laki-lakinya itu?"

   "Pangeran Kuda Padmadata tidak mengetahuinya"

   "Bagaimana mungkin?"

   Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya kemudian "Itu adalah nasib buruk dari anak perempuanku.Ketika ia didatangi oleh seorang laki-laki yang lelah dalam perburuan bersama dua orang pengiringnya, maka anak perempuanku telah memberikan apa yang dibutuhkannya, terutama minum dan makan.

   Ternyata laki-laki itu adalah Pangeran Kuda Padmadata, yang mengambil anak perempuanku menjadi isterinya.

   Ketika ia kembali ke Kediri, maka ditinggalkannya salah seorang pengiringnya, yang kelak akan menjadi saksi, bahwa anak yang bakal lahir dari perempuan itu adalah anaknya.

   Tetapi yang terjadi adalah tidak seperti yang diharapkan.

   Adik Kuda Padmadata ingin mewarisi semua peninggalan kakaknya kelak.

   Dengan diam-diam ia berusaha melenyapkan keturunan Pangeran Kuda Padmadata.

   Untunglah bahwa cucuku masih sempat diselamatkan.

   Tetapi anak perempuanku, hilang tanpa aku ketahui dimana ia sekarang.

   Apakah ia sudah mati atau masih hidup, tidak seorangpun yang mengetahui kecuali mereka yang telah datang ke rumahnya di malam yang buta itu dengan maksud yang sangat jahat"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mempercayai ceritera orang tua itu. Orang tua itu tentu tidak membohonginya.

   "Aku sudah mengira bahwa anak kecil itu bukan keturunan pidak pedarakan"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   Sementara itu, orang tua itupun berkata selanjutnya "Sekarang, aku ingin membawa anak itu kepada ayahnya.

   Meskipun saksi yang seorang itu telah terbunuh, namun aku masih mempunyai satu macam bukti yang akan dapat aku tunjukkan kepada Pangeran Kuda Padmadata"

   "Apakah bukti itu kek?"

   Bertanya Mahisa Bungalan."Kalung yang dipakainya.

   Kalung itu adalah cincin ibunya.

   Cincin yang diberinya pengikat yang dapat dipergunakannya sebagai kalung di lehernya.

   Pengikat itu sama sekali tidak berharga.

   Tetapi cincin yang terikat itulah yang akan dapat dipakainya sebagai bukti kenyataan dirinya, bahwa ia adalah anak Pangeran Padmadata"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

   Dengan demikian berarti bahwa ia harus pergi ke Kediri.

   Ke daerah yang berada di bawah kekuasaan Singasari.

   Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.

   Ia sudah mengenal daerah yang pada suatu saat telah dikalahkan oleh seorang Akuwu Singasari yang bernama Ken Arok.

   Yang untuk seterusnya, masih tetap berada di bawah kekuasaan Singasari yang kini diperintah oleh dua orang bersaudara yang digelari Dua Ekor Ular di Satu Sarang.

   "Apakah angger ragu-ragu"

   Bertanya orang tua itu.

   "Tidak kakek. Aku tidak ragu-ragu. Aku bersedia membantu kakek, membawa anak itu ke Kediri. Menyerahkannya kepada Pangeran Padmadata"

   "Terima kasih ngger. Tetapi tantangannya tentu akan berat sekali. Mungkin saat ini, satu dua orang sedang mengintai anak itu. Karena orang-orang yang menginginkan kematiannya, tentu tidak akan berhenti mencarinya"

   Orang tua itu berhenti sejenak, Lalu "tetapi agaknya sampai saat ini, mereka belum menemukan anak itu disini"

   "Mudah-mudahan mereka tidak menemukannya, dan kita dapat membawanya tanpa gangguan di perjalanan"

   Berkata Mahisa Bungalan."Mudah-mudahan. Tetapi kita harus berhati-hati. Segala kemungkinan dapat terjadi. Juga kemungkinan yang buruk atas kita berdua dan anak yang tidak tahu menahu itu"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi iapun sudah membayangkan, bahwa kemungkinan yang paling buruk itupun akan dapat terjadi.

   "Menurut Kakek, kapan kita akan berangkat ke Kediri?"

   Bertanya Mahisa Bungalan kemudian.

   Orang tua itu termangu-mangu sejenak.

   Nampaknya ia sedang mencoba merenungi keadaan.

   Namun akhirnya ia menggeleng sambil berkata "Aku tidak pasti ngger.

   Aku akan mencoba melihat keadaan.

   Meskipun aku sudah mendapat seorang kawan yang dapat aku percaya, namun aku tidak boleh meninggalkan sikap berhati-hati"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

   "Angger Mahisa Bungalan"

   Berkata orang tua itu "selain membawa anak itu kepada ayahnya, sebenarnya aku masih juga berniat untuk menemukan ibu anak itu. Jika ia mati, aku dapat mengetahuinya dengan pasti. Jika ia masih hidup, mungkin kita masih akan dapat menyelamatkannya"

   Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk.

   "Tetapi untuk menyelidikinya, tentu akan merupakan suatu kerja yang sangat rumit"

   Berkata orang tua itu pula.

   "Kek"

   Berkata Mahisa Bugalan "manakah yang lebih dahulu dikerjakan. Membawa anak itu kepada ayahnya kemudian mencari ibunya, atau berusaha menemukan ibunya dan jika ia masih hidup, membawanya bersama- sama kepada ayahnya"

   "Itulah yang membingungkan ngger"

   Jawab orang tua itu.Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan bertanya "

   Kek, apakah Pangeran Kuda Padmadata itu benar-benar tidak pernah menengok atau sekedar mendengar kabar berita dari isteri dan anaknya?"

   Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "Aku tidak mengerti ngger.

   Mungkin Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah melupakan isteri dan anaknya.

   Justru orang-orang lainlah yang ingat akan hal itu.

   Adik laki-lakinya adalah sumber dari perbuatan jahat ini.

   Di Kediri, Pangeran Kuda Padmadata juga mempunyai seorang isteri yang setataran dalam jajaran kebangsawanan.

   Agaknya isterinya yang tidak mempunyai seorang anak laki-laki, ikut serta dalam rencana jahat ini, agar semua warisan Pangeran Kuda Padmadata tidak diwarisi oleh anak laki-laki satu-satunya, tetapi adik laki-lakinya saja, yang tentu masing-masing akan mendapat bagian karena jasanya.

   Dan bukan mustahil bahwa sebenarnya antara adik laki-laki Pangeran Kuda Padmadata dan isteri Pangeran itu ada hubungan khusus yang tidak pantas dilakukan oleh para bangsawan.

   Bahkan oleh setiap orang yang telah bersuami isteri"

   Mahisa Bungalan termangu-mangu. Dengan ragu-ragu iapun bertanya "Kini sudah banyak mengetahui tentang mereka?"

   "Sebelum terjadi peristiwa yang pahit itu bagi anakku, beberapa hal tentang keluarga Pangeran Kuda Padmadata pernah aku dengar dari pengikutnya yang ditinggalkannya itu. Ialah yang pada saat-saat tertentu datang ke Kediri untuk mengambil bekal hidup bagi dirinya sendiri dan bagi anak dan cucuku"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Nasib itu ternyata merupakan nasib yang kurang baik. Tetapi yanglebih parah lagi adalah, sikap adik dan isteri Pangeran Kuda Padmadata itu.

   "Agaknya Pangeran itu sendiri berhati lemah"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Ya"

   Sahut orang tua itu "ia memang seorang Pangeran yang berhati lemah"

   Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.

   Namun kemudian katanya "apakah kakek bermaksud untuk melihat-lihat keadaan lebih dahulu? Jika demikian, sebelum kakek memutuskan untuk pergi ke Kediri, apakah aku dapat melihat-lihat tempat tinggal anak perempuanmu itu sebelum ia hilang?"

   Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kerja itu akan mengandung bahaya yang sangat besar. Orang-orang yang berbuat jahat itu benar-benar orang yang tidak berperi-kemanusiaan"

   "Aku tidak akan berbuat apa-apa kek. Kecuali jika terpaksa aku harus membela diri"

   Orang tua itu masih saja ragu-ragu.

   Namun akhirnya ia berkata "Jika angger ingin berjalan lewat tempat itu, aku persilahkan.

   Tetapi kau tidak perlu berbuat apa-apa.

   Banyak masalah yang dapat timbul.

   Mungkin ada orang diantara mereka yang pernah melihat angger di sekitar tempat ini.

   sehingga hal itu merupakan jalan bagi mereka untuk mencari cucuku di daerah ini"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti keberatan orang tua itu. Agaknya yang dihadapi benar- benar sekelompok orang-orang jahat yang liar dan buas.

   "Baiklah, kek"

   Berkata Mahisa Bungalan "aku berjanji untuk tidak berbuat apa-apa.

   Aku akan berjalan melewati tempat itu sebagaimana seorang perantau yang lewat""Baiklah ngger.

   Sebelum lenyap, anakku tinggal di padukuhan Rambi di daerah Badas Selatan.

   Hutan di daerah Badas Selatan adalah hutan perburuan bagi para bangsawan di Kediri.

   Di hutan itulah Pangeran Kuda Padmadata berburu dan singgah sejenak di padukuhan Rambi"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dari orang tua itu ia mendapat beberapa petunjuk arah. Sebagai seorang perantau, maka iapun segera dapat mengingat mengetahui, kemana ia harus pergi.

   "Hutan di daerah Badas Selatan itu akan dapat memberikan perlindungan kepadaku"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Tetapi berhati-hatilah ngger. Aku tidak mengira, bahwa kau akan memberikan pertolongan sedemikian jauh, sehingga kau sama sekali tidak memperhitungkan bahayanya"

   "Sudah aku katakan, kek. Aku tidak akan berbuat apa- apa. Aku sudah berjanji untuk membantu membawa cucu kakek ke Kediri. Agaknya itulah tugas yang terpenting bagiku, sementara perjalananku ke Rambi adalah sekedar untuk melengkapi pengertianku tentang daerah ini dan hubungan antara padukuhan itu dengan cucu Kakek"

   Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian "kita harus bergantian berada di sisi anak ini. Jika angger sudah kembali, barulah aku dapat melihat, apakah jalan ke Kediri dapat diselusupi"

   "baiklah Kakek. Aku tidak akan terlalu lama. Mudah- mudahan aku tidak mengalami sesuatu di perjalanan"

   Demikianlah, di hari berikutnya Mahisa Bungalan meninggalkan rumah kakek tua itu, menuju ke tempat yangsangat berbahaya bagi laki-laki yang telah kehilangan ibunya itu.

   Sesuai dengan petunjuk kakek tua yang telah menolong mengobatinya, maka Mahisa Bungalanpun berjalan menyusuri bulak-bulak panjang sebagai seorang perantau.

   Padukuhan yang ditujunya adalah sebuah padukuhan yang cukup besar dan terletak di dekat hutan perburuan.

   Tetapi padukuhan itu jaraknya cukup panjang.

   Ia harus bermalam semalam di perialanan.

   Baru disenja berikutnya ia akan sampai padukuhan Rambi dan daerah Badas Selatan.

   Agaknya kakek tua itu berusaha untuk bersembunyi di tempat yang tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh.

   Tetapi karena ia hanya seorang diri, maka ia tidak dapat berbuat sesuatu, la tidak berani meninggalkan cucunya yang selalu diintai oleh bahaya.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena itu, maka ia terpaksa membiarkan anak perempuannya hilang tanpa bekas.

   Tidak banyak hal yang menarik di perjalanan.

   Mahisa Bungalan sama sekali tidak singgah di rumah siapapun atau di banjar-banjar padukuhan.

   Ketika malam turun, Mahisa Bungalan justru bermalam di sebuah hutan kecil yang tidak terlalu lebat.

   Di pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah mencuci mukanya pada sebuah parit yang berair bening.

   Kemudian iapun melanjutkan perjalanannya yang masih cukup panjang.

   Di sebuah padukuhan Mahisa Bungalan melihat beberapa orang sedang berselisih.

   Bahkan mereka saling berkelahi Tetapi karena menurut pengamatan Mahisa Bungalan tidak membahayakan jiwa mereka, apalagi beberapa orang berusaha melerainya, maka ia sama sekalitidak mencampurinya, agar ia tidak terlibat ke dalam persoalan yang tidak diketahuinya.

   Menjelang tengah hari, maka Mahisa Bungalanpun singgah di sebuah kedai kecil di pinggir sebuah pasar.

   Seorang perempuan tua menunggui kedai kecil yang miring dan hampir tidak terawat Pada kedai itu hanya didapatkannya minuman semelak pace dengan gula kelapa.

   Beberapa potong ketela pohon dan ubi.

   Namun ternyata semelak pace itu terasa segar sekali di kerongkongan Mahisa Bungalan yang haus.

   Kemudian beberapa potong ubi telah dimakannya pula.

   "Apakah hutan itu termasuk hutan perburuan?"

   Bertanya Mahisa Bungalan kepada perempuan tua pemilik kedai itu.

   Perempuan itu menggeleng.

   Jawabnya "Bukan, bukan hutan perburuan.

   Hutan itu adalah hutan peliharaan di bagian tepi, dibatasi oleh sebuah sungai yang lebar.

   Hutan yang diambil beberapa macam getah dari beberapa jenis pohon yang dapat dipergunakan sebagai obat-obatan.

   Bahkan ada diantaranya getahnya yang berbau harum dan dapat dipergunakan untuk mengharumkan ruangan dengan dibakar.

   Diujung adalah pohon yang justru dipagari, karena terdapat beberapa jenis pohon cendana"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya "Siapakah yang memelihara hutan itu nek?"

   "Para bangsawan dari Kediri"

   "Apakah mereka sering datang kemari?"

   Perempuan itu menggelengkan kepalanya Katanya "Tidak. Atau katakanlah, jarang sekali. Tetapi mereka menanam orang yang mengawasi hutan itu dan menyerahkan hasilnya setiap selapan sekali""Ke Kediri?"

   "Ya. Ke Kediri"

   "Dan di mana letak hutan perburuan itu?"

   "Masih agak jauh, ngger. Aku tidak tahu pasti di mana letaknya. Tetapi aku memang pernah mendengar bahwa di daerah Badas Selatan, terdapat hutan perburuan"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

   Ketika ia menengadahkan wajahnya maka dilihatnya matahari berada di puncak langit.

   Karena itu, maka Badas Selatan memang masih agak jauh.

   Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan mengetahui, bahwa para bangsawan Kediri yang seolah-olah sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi untuk memerintah, karena mereka telah berada di bawah kekuasaan Singasari, telah mempunyai kesibukannya sendiri.

   Mereka menghabiskan waktunya dengan berburu atau kepentingan-kepentingan lain bagi diri mereka sendiri.

   Pasar itu telah menjadi sepi.

   Tidak banyak lagi orang yang berjual beli.

   Tetapi di sudut pasar itu, seorang pandai besi masih sibuk mengerjakan pekerjaannya.

   Agaknya ia menerima pesan perkakas pertanian yang tergesa-gesa untuk dipergunakan.

   "Pandai itu sibuk sekali"

   Desis Mahisa Bungalan.

   "Ya"

   Jawab perempuan tua itu "kasihan"

   "Kenapa?"

   "Ia harus mengerjakan pekerjaan yang sama sekali tidak disukainya"

   "Kenapa? Bukankah ia memang seorang pandai besi?""Dua orang memaksanya untuk membuat senjata. Meskipun pandai besi itu dapat mengerjakannya, tetapi hal itu tidak biasa dilakukan. Apalagi ia tahu, bahwa jika senjata itu selesai, ia tidak akan menerima upah sekeping uang pun"

   "Bagaimana mungkin hal itu terjadi?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Dua orang itu sangat ditakuti oleh siapapun juga di daerah ini?"

   "Siapakah mereka? Apakah mereka memang penduduk daerah ini?"

   "Bukan. Mereka adalah pengawal-pengawal yang ditugaskan untuk mengawasi pohon-pohon cendana itu"

   "Apakah mereka sudah lama di sini?"

   "Belum terlalu lama. Dahulu, pengawasannya tidak pernah dilakukan dengan cara seperti itu"

   Keterangan itu sangat menarik perhatian Mahisa Bungalan.

   Karena itu, ia bertanya lebih banyak lagi tentang pandai besi dan pembantunya yang masih bekerja keras itu "Apakah ada perubahan yang terjadi pada cara pengawasan hutan cendana dan kayu yang menghasilkan getah berharga itu?"

   "Ya. Tetapi aku tidak tahu pasti"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia masih meneguk semelak pacenya yang segar dengan sepotong ubi. Baru kemudian, setelah ia membayar harganya, maka iapun minta dirikepada perempuan tua itu.

   "Sudahlah nek. Terima kasih. semelak pace dengan gula kelapa itu segar sekali"

   "Jika kau lewat anak muda, singgahlah barang sebentar"Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya "Besok saatnya aku kembali melalui jalan ini, aku akan singgah Mungkin nenek menemukan pace sukun. Tentu akan semakin segar"

   "Disini jarang sekali ada pace sukun"

   Sahut nenek itu. Mahisa Bungalanpun kemudian melangkah pergi meninggalkan nenek tua itu. Tetapi ia tidak langsung melanjutkan perjalanan. Dengan ragu-ragu ia mendekati pandai besi yang masih bekerja keras dengan pembantunya itu.

   "Paman sangat sibuk nampaknya"

   Sapa Mahisa Bungalan ketika ia sudah berdiri beberapa langkah di dekat perapian pandai besi itu.

   Pandai besi yang rambutnya sudah mulai disulam warna putih itu berpaling, tetapi hanya sejenak.

   Iapun segera tenggelam kembali ke dalam kerjanya.

   Namun demikian, ia masih sempat menjawab "Aku harus menyelesaikan dua pucuk pedang ini segera, agar aku dapat bekerja seperti biasa untuk makan anak dan isteriku"

   "O, paman membuat pedang?"

   "Hampir sepekan aku mengerjakannya. Hanya sekali- sekali aku berhenti mengerjakan pekerjaan kecil yang segera dan ditunggui oleh sanak yang membutuhkan. Selebihnya waktuku habis untuk menempa pedang yang sangat besar dari baja yang sangat keras ini"

   "Pedang siapakah yang paman kerjakan itu?"

   Sambil bekerja terus orang itu menjawab "Pengawal hutan itu"

   "Di manakah rumah mereka?"

   "Juga di dalam hutan itu"Menarik sekali bagi mahisa Bungalan. Pengawal yang tinggal di hutan dan berbuat sewenang-wenang kepada orang yang lemah. Tetapi seperti yang dikatakan, bahwa Mahisa Bungalan tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan permasalahan dalam perjalanannya. Apalagi ia tidak berkepentingan dengan pengawal-pengawal itu. Namun diluar kehendaknya, tiba-tiba saja bertanya "Paman, apakah paman mengetahui, siapakah yang telah nyengker beberapa jenis tanaman berharga itu?"

   Pandai besi itu mengerutkan keningnya.

   Kemudian jawabnya "Aku tidak tahu pasti ngger.

   tetapi dahulu daerah ini dimiliki oleh para bangsawan dari Kediri seperti daerah di ujung Selatan yang menjadi daerah perburuan.

   Bahkan beberapa jenis kayu-kayuan di hutan itu telah diberi landa dan patok-patok siapakah yang memilikinya"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Jadi tidak hanya satu orang sajalah yang memilikinya"

   "Tepat"

   Jawab Pandai besi itu.

   Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.

   Hampir saja ia bertanya, dua orang pengawal itu, menunggu hutan milik siapa.

   Tetapi niatnya diurungkannya, karena Pandai Besi itu tentu tidak mengetahuinya pula.

   Agar perjalanannya tidak terganggu, yang mungkin akan dapat mengganggu seluruh rencana perjalanannya, maka Mahisa Bungalanpun segera meninggalkan tempat itu.

   Ia ingin segera sampai kedaerah hutan perburuan bagi para bangsawan Kediri.

   "Nampaknya sangat aneh, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak mengetahui nasib anak dan isterinya"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Ada sedikitkecurigaan pada Pangeran itu, bahwa sebenarnya iapun terlibat pula dalam rencana yang jahat itu.

   "Ah"

   Desahnya "aku hanya berprasangka.

   Mungkin Pangeran itu memang seorang yang berjiwa lemah, yang berada di bawah kuasa isterinya, sehingga meskipun ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa.

   Ia harus mengikhlaskan anak dan isterinya yang di ambilnya dari padukuhan itu menjadi korban ketamakan isteri bangsawannya dan bahkan juga adiknya sendiri"

   Sambil melangkah meninggalkan pasar itu, Mahisa Bungalan selalu berpikir tentang dua orang pengawal yang garang itu.

   Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti.

   Tiba- tiba saja ia bertemu dengan dua orang yang agak lain dari orang-orang padukuhan.

   Meskipun kedua orang itu berpakaian seperti kebanyakan orang-orang di daerah itu, namun ada beberapa perbedaan yang nampak pada keduanya.

   Di luar sadarnya Mahisa Bungalan mendatangi orang- orang itu.

   Namun iapun terkejut ketika salah seorang dari keduanya membentak "He, anak gila.

   Apa yang kau lihat?"

   Mahisa Bungalan menyadari keadaannya.

   Karena itu, maka iapun segera menundukkan kepalanya sambil bergeser menjauh.

   Tetapi salah seorang dari kedua orang itu mendekatinya.

   Tiba-tiba saja kakinya telah menendang Mahisa Bungalan yang sama sekali tidak bertahan dan membiarkan tubuhnya terdorong beberapa langkah, dan jatuh terguling di tanah.

   Beberapa orang yang melihatnya menahan nafas.

   Anak itu nampaknya bukan orang jahat.

   Bahkan nenek tua pemilik kedai di sebelah pasar itu.

   Ia masih melihat anak yang baru saja berhenti di kedainya itu terjatuh.Kedua orang yang berpapasan dengan Mahisa Bungalan itu memandanginya sejenak.

   Keduanya tiba-tiba saja tertawa meledak.

   Salah seorang dari keduanya berkata "Anak setan.

   Aku kira kau bukan pengemis gila soperti itu.

   Pergilah, agar aku tidak mencekikmu"

   Mahisa Bungalan tertatih berdiri.

   Tiba-tiba saja ia meloncat berlari meninggalkan kedua orang itu.

   Keduanya tertawa semakin keras, tetapi mereka tidak mengejar Mahisa Bungalan.

   Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak berlari terlalu jauh.

   Beberapa puluh langkah ia berdiri.

   Nampaknya ia kelelahan, sehingga nafasnya menjadi tersengal-sebgal.

   Ketika ia berpaling dilihatnya kedua orang itu telah melangkah menuju ke pandai besi yang sedang menggarap pedang.

   "Hem"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam "nampaknya kedua orang itulah pengawal hutan dari para bangsawan di Kediri itu. Nampaknya mereka memang garang dan menakut-nakuti orang"

   Tetapi seperti yang dikatakan kepada kakek yang ditinggalkannya, Mahisa Bungalan tidak ingin membuat perkara. Karena itu ia tidak kembali dan mempersoalkan kedua orang itu.

   "Aku akan meneruskan perjalananku. Jika ada waktu aku memang wajib membebaskan orang-orang padukuhan di sekitar hutan itu dari tingkah laku kedua orang pengawal yang gila itu. Tetapi jika dengan demikian, dendam kawan- kawannya justru tertuju kepada orang-orang padukuhan itu, akan membuat keadaan mereka semakin buruk"

   Mahisa Bungalan kemudian meneruskan perjalanannya.

   Ia menuju ke tempat yang ditunjuk sebagai hutan perburuanitu.

   Dari sana ia dapat melihat, mungkin juga mendengar ceritera tentang isteri seorang Pangeran yang ditinggalkan suaminya dan kemudian justru hilang dari rumahnya.

   Perjalanan Mahisa Bungalan selanjutnya tidak mengalami gangguan apapun juga.

   Sebelum gelap ia sudah sampai ke tempat yang ditujunya.

   Karena ia tidak ingin menginap di rumah seseorang atau dibanjar padukuhan, maka iapun langsung menuju ke hutan perburuan di dekat padukuhan Rambi di daerah Badas bagian Selatan.

   Mahisa Bungalan sempat beristirahat sejenak.

   Untunglah bahwa pada saat itu tidak ada seorangpun yang sedang berburu di hutan itu.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Seharusnya Pangeran itu sering berburu di hutan ini sambil menengok isteri dan anaknya. Kecuali jika ia menjadi kecewa dan menyesal, bahwa ia sudah kawin dengan seorang gadis padesan"

   Desis Mahisa Bungalan.

   Kecurigaannya kepada Pangeran Kuda Padmadata menjadi semakin tajam, justru karena Pangeran itu tidak berbuat apa-apa dan nampaknya justru tidak tahu apa-apa.

   Ketika malam menjadi semakin larut, maka Mahisa Bungalanpun kemudian meninggalkan hutan itu, menuju ke padukuhan.

   Dengan hati-hati ia mendekati dinding padukuhan dan ketika ia yakin tidak seorangpun yang melihatnya, maka iapun segera meloncat masuk.

   Mahisa Bungalan sengaja tidak melalui regol padukuhan, agar tidak seorangpun yang mempersoalkan kehadirannya.

   Biasanya di dekat regol terdapat gardu dan anak-anak muda yang meronda.

   Di dalam padukuhan yang sepi itu, Mahisa Bungalan segera mencari rumah seperti yang disebutkan oleh kakek tua yang kehilangan anak perempuannya itu.

   Satu-satu iamengenal pertanda yang diberikan kepadanya.

   Pohon nyamplung yang besar di sudut padukuhan.

   Kemudian jalan menyilang di bawah sebatang pohon preh yang sudah sangat tua, yang di bawahnya terdapat mata air kecil, tetapi merupakan sumber air bagi padukuhan itu.

   Meskipun sumber air itu tidak begitu besar, tetapi air itu tidak pernah kering di sepanjang musim.

   Setelah beberapa kali ia memotong jalan dan menyusuri dinding halaman, sampailah ia kesebuah rumah yang agak besar dengan halaman yang cukup luas.

   "Inilah rumahnya"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hati. Tetapi rumah itu memang sepi. Tidak ada sebuah obor atau lampupun yang terpasang. Di luar atau di dalam rumah.

   "Seperti rumah hantu"

   Desis Mahisa Bungalan sambil merayap mendekati.

   Dengan ketajaman pendengarannya ia mencoba mengetahui, apakah ada seseorang yang berada di dalam rumah itu.

   Namun menurut pendengaran Mahisa Bungalan, rumah itu benar-benar telah kosong.

   Karena itulah, maka Mahisa Bungalanpun kemudian memberanikan diri untuk menyusup masuk.

   Dengan hati-hati ia membuka pintu belakang.

   Ternyata pintu itu memang tidak diselarak.

   "Gelap sekali"

   Desisnya.

   Karena itu, maka iapun menunggu sejenak.

   Setelah matanya terbiasa, maka mulailah ia melihat dalam keremangan.

   Tetapi mata Mahisa Bungalan adalah mata yang terlatih baik, sehingga meskipun tidak jelas, tetapi ia dapat melihat bayang-bayang.

   Beberapa langkah ia masuk ke ruang dalam.

   Tetapi rumah itu benar-benar sepi.

   Beberapa macam perabotnyamasih berserakkan.

   Agaknya sejak rumah itu ditinggalkan dalam hiruk-pikuk, tidak seorangpun yang memeliharanya.

   Apalagi ketika kemudian Mahisa Bungalan menyentuh sarang laba-laba bergelantungan di dalam rumah itu.

   "Rumah ini benar-benar tidak pernah diambah orang"

   Katanya di dalam hati. Namun karena itu, maka iapun berniat untuk tetap berada di rumah itu. Bukan saja malam itu, tetapi juga di esok hari.

   "Tidak ada yang akan memasuki rumah ini"

   Desisnya.

   Ia yakin hal itu, karena sarang laba-laba yang menyangkut di wajahnya dan bagian tubuhnya yang lain.

   Karena itulah, maka Mahisa Bungalan tidak berniat meninggalkan rumah itu.

   Bahkan iapun kemudian masuk ke dalam bilik dan mendapatkan sebuah pembaringan.

   Tetapi karena pembaringan itu ternyata kotor sakali ketika tangannya meraba, Mahisa Bungalan tidak bermaksud untuk tidur di pembaringan itu.

   Yang dilakukannya kemudian adalah justru duduk lantai sambil bersandar dinding.

   Namun dengan cara demikian iapun dapat tidur dengan nyenyak.

   Menjelang fajar, Mahisa Bungalan telah bangun, cahaya pagi mulai menyusup lewat lubang-lubang dinding.

   Namun justru karena itu, maka ia mulai melihat dengan jelas.

   betapa kotornya rumah yang kosong itu.

   Bahkan beberapa, bagian dari dindingnya telah miring.

   Yang lain berlubang itu sebagian lagi telah runtuh.

   "Aku tidak meraba bagian yang runtuh itu semalam"

   Berkata Mahisa Bungalan. Tetapi dengan bekas-bekas itu, ia semakin yakin, bahwa pernah terjadi pergulatan di dalam rumah itu."Agaknya pengawal yang setia itu berusaha bertaihan dan melarikan cucu kakek tua itu"

   Berkata Mahisa ungalan di dalam hatinya.

   Ketika Mahisa Bungalan bangkit dan mengibaskan pakaiannya, maka debupun menghambur sehingga Mahisa ungalan terpaksa melangkah berpindah tempat.

   Untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Bungalan tidak berbuat sesuatu.

   Ia membersihkan sebuah dingklik kayu dan duduk sambil merenungi isi rumah itu.

   Beberapa macam perabotnya, temasuk perabot rumah yang baik.

   Tetapi sama sekali tidak nampak lagi ujud yang sebenarnya karena tidak pernah diraba oleh perawatan tangan.

   Ketika matahari semakin tinggi, Mahisa Bungalan justru menjadi bingung.

   Ia tidak dapat keluar dari rumah itu.

   Jika seseorang melihatnya, maka akan timbul kecurigaannya, sehingga mungkin akan dapat mendatangkan persoalan baginya.

   Karena itu, ia justru merasa terbelenggu oleh kehadirannya di dalam rumah itu.

   "Nanti malam aku harus meninggalkan rumah ini"

   Geramnya "aku menyesal bahwa aku sudah berada di dalamnya hingga pagi"

   Karana itulah maka Mahisa Bungalan telah menghabiskan waktunya dengan melihat-lihat isi rumah itu.

   Ia menemukan beberapa macam senjata dari kayu.

   Sebuah gerobag kecil yang agaknya ditarik oleh seekor kambing.

   Di dalam geledeg justru ia masih menemukan beberapa potong pakaian yang telah menjadi rapuh.

   Beberapa macam barang yang berserakan.

   Agaknya sebelum meninggalkan tempat itu, beberapa orang telah mencari sesuatu atau sengaja menghamburkan seluruh isi rumah itu.Tetapi Mahisa Bungalan tidak menemukan sesuatu yang dapat memberikan suatu petunjuk apapun mengenai hilangnya anak perempuan kakek yang malang itu.

   Namun pada suatu sudut yang kotor, Mahisa Bungalan melihat sesuatu.

   Ia melihat bekas darah menitik.

   Namun iapun melihat sepotong ujung pedang yang nampaknya telah patah.

   Meskipun ujung pedang itu tidak terlalu panjang, dan barangkali tidak berarti sama sekali bagi pedang yang patah, namun hal itu telah menarik perhatiannya.

   "Pengawal hutan itu menyuruh seorang pandai besi membuat pedang"

   Berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri"

   Namun Mahisa Bungalan telah berbantah dengan dirinya sendiri.

   Mereka telah menyuruh pandai besi itu membuat dua buah pedang.

   Tidak hanya satu.

   Tetapi menurut pertimbangan Mahisa Bungalan, mungkin saja yang seorang ingin juga mempunyai sebilah pedang yang baru.

   Berbagai macam pertimbangan telah berkecamuk di kepala Mahisa Bungalan.

   Ia memutar balik segala ke mungkinan.

   Namun ia tidak menemukan kepastian, selain dugaan-dugaan.

   "Meskipun demikian, aku akan mencobanya"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   Tetapi ia tidak dapat segera keluar dari rumah itu.

   Ia harus menunggu sampai gelap dan padukuhan itu menjadi sepi.

   Demikian padukuhan itu menjadi sepi, maka Mahisa Bungalanpun segera meninggalkan halaman rumah itu.

   Dengan hati-hati ia merayap agar tidak seorangpun melihatnya.

   Ujung pedang yang patah itu telah dibawanya.Mungkin ada gunanya untuk mengetahui masalah yang sedang diamatinya.

   Malam itu, meskipun Mahisa Bungalan telah berhasil keluar dari padukuhan itu, namun ia masih bermalam di hutan perburuan.

   Di rumah yang kosong itu, ia masih menemukan beberapa ontong jagung.

   Namun ia berbuat cukup berhati-hati, sehingga api yang dinyalakan tidak akan nampak dari kejauhan.

   Dalam dinginnya malam ia sempat membakar beberapa ontong jagung.

   Meskipun jagung itu terlalu tua dan keras, tetapi Mahisa Bungalan dapat sekedar mengisi perutnya.

   Dengan memotong beberapa jenis pohon merambat, Mahisa Bungalan mendapatkan air jernih untuk dapat di minumnya, meskipun hanya beberapa tetes saja.

   Di pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalanpun melangkah kembali, menempuh perjalanan pada arah yang berlawanan.

   Sebagai seorang perantau, maka iapun dapat mengenal jalan dengan baik, sehingga ia tidak tersesat ke jalan yang berbeda.

   Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat pasar yang dilaluinya.

   Ia sudah memperhitungkan waktu, bahwa ia akan sampai ke tempat itu, menjelang pasar menjadi sunyi, tetapi masih belum kosong sama sekali, sehingga ia masih dapat menemui nenek tua dan pandai besi yang sedang bekerja keras itu.

   Ketika nenek tua penjual semelak itu melihat Mahisa Bungalan, maka dengan serta merta ia bertanya "Apakah kau mau minum lagi anak muda?"

   Mahisa Bungalan tersenyum.

   Namun katanya "Nanti Nek.

   Aku belum punya uang.

   Aku ingin menjual sesuatu kepada pandai pandai besi itu dahulu"Nenek tua itu mengerutkan keningnya.

   Namun katanya "Apakah ia akan dapat membelinya, la tidak mendapat upah apapun dari kedua orang yang memesan pedang kepadanya itu"

   "Siapa tahu. Barang yang akan aku jual adalah barang yang mungkin berharga baginya"

   Nenek tua itu mengangguk-angguk. Namun katanya "Anak muda. Jika kau ingin minum, minumlah meskipun kau tidak mempunyai uang. Aku tidak akan menjadi lebih miskin lagi dengan memberimu minum barang seteguk"

   "Terima kasih nek, terima kasih. Tetapi biarlah aku mencoba menghubungi pandai besi itu lebih dahulu"

   Nenek tua itu tidak menahannya. Ia hanya memandangi saja ketika Mahisa Bungalan kemudian mendekati pandai besi yang berkeringat itu. Sejenak Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia melangkah setapak maju.

   "Kau mau apa anak muda?"

   Bertanya pandai besi "Paman"

   Berkata Mahisa Bungalan "aku ingin menjual sesuatu pada paman"

   Orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan tajamnya. Kemudian tiba-tiba saja ia membentak "Jangan ganggu aku. Kau lihat aku bekerja keras tanpa mendapat upah. Aku harus menyelesaikan kerja ini segera, karena aku harus makan dengan seluruh keluargaku"

   "Tetapi barang yang aku miliki adalah barang yang barangkali penting bagi paman"

   "Pergi"

   Bentak pandai besi itu "jangan ganggu aku.

   Sehari ini aku tidak sempat mengerjakan pekerjaan yang lain kecuali menyelesaikan pedang ini, karena terdapatbeberapa hal sesuai dengan keinginan pemiliknya, Aku masih harus membawanya kepada seseorang yang dapat memberikan hulu berukir sebelum menyerahkannya kepada pemiliknya.

   Karena itu kesempatanku untuk mencari makan dalam beberapa hari ini sangat sempit.

   Dan kau datang untuk mengganggu aku"

   "Maaf paman. Tetapi aku mempunyai bahan yang barangkali dapat paman pergunakan untuk membuat pedang itu"

   "Kau gila. Pedang ini sudah tidak memerlukan bahan lagi. Aku tinggal menyelesaikannya. Kedua orang itu masih saja selalu mencela, bahwa buatanku adalah buatan yang sangat kasar. Tentu saja, pandai besi di kota-kota itu dapat bekerja jauh lebih baik, lebih halus dan lebih tekun, karena mereka mendapat upah yang cukup dan bahan yang memang bagus"

   "Tetapi paman, aku juga membawa bahan yang sangat bagus. Aku persilahkan paman untuk melihatnya"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   Tanpa menunggu jawaban orang itu, maka Mahisa Bungalanpun mengambil potongan pedang yang diketemukannya di dalam rumah kotor itu.

   Dengan ragu- ragu ditunjukkannya potongan pedang itu sambil berkata "Inilah paman.

   Paman dapat membelinya dengan harga sekehendak paman"

   Pandai besi itu memandang sepotong ujung pedang di tangan Mahisa Bungalan. Tiba-tiba saja ia membentak "Anak dungu. Buat apa sepotong ujung pedang itu bagiku Aku tidak memerlukannya. Apa lagi membelinya"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba saja pandai besi itu melangkah ke belakang perapian. Dipungutnya sebilah pedang yang patah ujungnya dan melemparkannya kepada Mahisa Bungalan "Nih, kalaukau mau beli, belilah. Pedang itu masih jauh lebil panjang dari potongan pedangmu"

   Mahisa Bungalan termangu-mangu. Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian ia memungut pedang itu sambil berguman "Pedang ini buntung paman"

   "Itu lebih panjang dari potongan pedangmu"

   Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

   Dengar tangan bergetar ia mencoba untuk menghubungkan kedua potongan pedang yang patah itu.

   Hatinya bergejolak ketika ternyata bahwa potongat pedang yang diketemukannya itu adalah potongan pedang yang dilemparkan oleh pandai besi itu.

   Karena itu, dengan serta rnerta ia bertanya "Apakah pedang ini milik salah seorang dari kedua orang yang memesan pedang kepada paman"

   "Ya. Aku harus membuat pedang seperti itu"

   Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian katanya "Jadi paman tidak memerlukan po tongan pedangku meskipun hanya sekedar diambil sebagai bahan. Mungkin tidak untuk membuat pedang, tetapi untuk membuat kejen bajak atau tajam parang"

   "Cukup. Kau sudah mengganggu aku. Pergilah"

   Mahisa Bungalan meninggalkan pandai besi itu setelah menyerahkan pedang yang patah.

   Tetapi ujung pedang itu masih juga dibawanya.

   Selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati nenek tua penjual semelak itu.

   Kemudian duduk dengan lemahnya di sisi perempuan tua itu.

   "Bagaimana?"

   Bertanya perempuan tua itu."Paman pandai besi itu tidak mau membelinya nek"

   Jawab Mahisa Bungalan.

   "Tidak apa. Minumlah jika kau ingin minum semelak Aku mengambil buah pace di kebun sendiri"

   "Tetapi gula kelapanya?"

   "Gula kelapanya tidak terlalu mahal ngger. Marilal minumlah"

   Berkata nenek itu sambil memberikan semangkuk semelak. Mahisa Bungalan tidak dapat menolak belas kasihan nenek tua itu. Iapun menerima semangkuk semelak sambil berkata "Aku mengucapkan banyak terima kasih, nek"

   Nenek tua itu tersenyum. Sekali lagi ia memersilahkan "Minumlah"

   Mahisa Bungalanpun kemudian duduk bersandar sebatang pohon dadap di sisi warung yang miring itu.

   Nampaknya ia sedang menikmati semelak pace yang segar di panasnya siang hari.

   Namun Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua orang yang dijumpainya ketika ia berangkat Dua orang yang sedang memesan dua bilah pedang kepada pandai besi yang malang itu.

   "Yang seorang dari keduanya masih berpedang"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "sedang yang seorang membawa senjata yang lain. Sebuah tongkat besi. Orang itulah agaknya yang pedangnya patah"

   Sambil meneguk semelaknya Mahisa Bugalan berpikir tentang kedua orang itu, tentang pedang yang patah dan ujung pedang yang diketemukan, dan tentang isteri Pangeran Kuda Padmadata yang hilang itu.

   Ia mencoba menghubungkan peristiwa-peristiwa yang nampaknya berdiri sendiri-sendiri.Tetapi yang ternyata yang satu berkait dengan yang lain.

   "Nek"

   Bertanya Mahisa Bungalan kemudian "apakah kedua orang itu yang kemarin mendorong aku jatuh?"

   "Ya ngger. Karena itu, duduk sajalah disini. Mudah- mudahan ia tidak memperhatikanmu"

   "Bagaimana kalau mereka melihatku?"

   "Asal kau tidak berbuat sesuatu, maka mereka tentu akan membiarkanmu duduk sambil minum"

   Mahisa Bungalan termangu-mangu.

   Kedua orang itu sudah berdiri di dekat pandai besi yang sedang menyelesaikan pedang yang dipesan oleh kedua orang itu.

   Meskipun lamat-lamat, namun ketika kedua orang itu membentak, Mahisa Bungalan dapat mendengarnya "He, ternyata kasar sekali.

   Yang harus kau kerjakan adalah pedang Bukan parang pembelah kayu.

   Mengerti?"

   "Ya, ya tuan. Aku mengerti"

   "Jika sekali lagi aku datang, dan kau belum berhasil membuat pedang seperti yang aku pesankan, maka kepalamu akan aku penggal disini"

   "Ya, ya tuan. Tetapi kemampuanku sangat terbatas. Mungkin jauh di bawah kepandaian pandai besi di kota- kota besar, tuan"

   "Persetan. Lakukan perintahku"

   "Ya, ya tuan"

   Mahisa Bungalan berdesis sambil meletakkan mangkuknya "Nek, mungkin salah seorang dari kedua orang tua itu bersedia membeli sepotong besi baja"

   "Apa maksudmu?"

   Bertanya nenek tua itu."Aku mempunyai sepotong besi baja. Aku akan menjualnya kepada kedua orang itu"

   "Jangan kau lakukan ngger. Lihat, orang itu sedang marah-marah. Seandainya ia memerlukan barangmu, maka barang itu tentu akan diambilnya saja tanpa memberimu sekeping uangpun"

   "Ah, aku akan mencoba nek. Jika nasibku baik"

   "Jika nasibmu buruk?"

   "Apaboleh buat. Barang ini hanya aku dapatkan di pinggir jalan. Aku tidak akan kehilangan"

   "Tetapi jangan sekarang"

   Berkata nenek tua itu. Namun Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Bahkan katanya "Jika aku mendapat uang, aku akan membeli semelakmu lagi nek"

   Nenek tua itu mencoba mencegahnya "Jangan anak muda. Jangan mencari perkara"

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya.

   Iapun kemudian berdiri dan berjalan menuju ke arah kedua orang yang sedang marah-marah itu.

   Beberapa langkah di hadapan pandai besi itu ia berhenti.

   Namun kemudian ia maju lagi sambil berkata "Tuan, apakah tuan memerlukan sesuatu yang barangkali penting bagi tuan"

   Kedua orang yang sedang mengamat-amati pedang yang belum siap seperti yang mereka kehendaki sambil menggeremeng itu berpaling. Mereka heran melihat Mahisa Bungalan mendekatinya.

   "He, pengemis yang malas. Apa maumu?"

   Bertanya salah seorang dari keduanya."Tuan, apakah tuan bersedia membeli sepotong besi baja?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Bodoh"

   Pandai besi itulah yang berteriak "pergi, pergi"

   Kedua orang itu termangu-mangu. Salah seorang dari keduanya bertanya "Apa yang kau maksud?"

   Mahisa Bungalan mengeluarkan sepotong besi baja ujung sebilah pedang yang patah sambil berkata "Apakah tuan mau membeli sepotong besi baja yang barangkali dapat tuan pergunakan untuk membuat senjata? Aku memerlukan uang untuk membeli semelak, tuan"

   Ketika keduanya melihat ujung pedang itu wajah mereka menegang. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya membentak "He, darimana kau dapatkan barang itu he?"

   Sebelum Mahisa Bungalan menjawab, pandai besi itu sudah mendahului berteriak "Pergi. Pergilah cepat"

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak segera pergi.

   Bahkan ia masih berkata "Tuan.

   Aku menemukan ujung pedang ini di sebuah rumah di padukuhan Rambi di daerah Badas Selatan.

   Apakah tuan kenal rumah itu? Pedang tuan yang patah itu ternyata pangkal dari ujung pedang yang aku ketemukan"

   Wajah kedua orang itu menegang. Sementara Mahisa Bungalan berkata seterusnya "Nah, apakah kata tuan?"

   Kedua orang itu masih diam mematung memandangi ujung pedang yang dibawa oleh Mahisa Bungalan itu.

   Namun dalam pada itu, pandai besi yang menjadi sangat cemas melihat nasib Mahisa Bungalan segera mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya yang besar sambil berkata "Ini, aku mempunyai sekeping uang.

   Pergilah, cepat pengemis dungu"Mahisa Bungalan tersenyum melihat wajah pandai besi yang tegang itu.

   Katanya "Paman sangat baik.

   Ternyata hati paman lembut meskipun paman nampaknya kasar.

   Tetapi paman tidak usah mencemaskan nasibku.

   Aku memang ingin tahu, apakah kedua orang ini mengetahui asal usul potongan pedang yang sesuai dengan pangkal pedang dari salah seorang diantara meraka"

   "Siapa kau he?"

   Tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang itu menggeram.

   "Aku adalah seorang perantau, tuan. Aku menemukan ujung pedang ini. Nah, aku kira pedang tuan tidak patah dengan sendirinya. Tentu ada sebabnya. Apakah tuan dapat mengatakan, apakah sebabnya? Justru di rumah yang kini kosong, karena menurut para tetangganya, penghuni rumah itu telah hilang dalam satu keributan?"

   "Diam"

   Teriak salah seorang dari keduanya. Teriakan itu benar-benar telah menggetarkan seisi pasar. Pandai besi itu menjadi pucat. Dan penjual semelak itu menjadi gemetar.

   "O, ngger. Kenapa kau tidak pergi saja"

   Gumamnya. Tetapi yang hanya dapat didengarnya sendiri.

   "Ki Sanak"

   Berkata Mahisa Bungalan kemudian "sebaiknya kau beli ujung pedang ini dengan sebatang pohon cendana yang sudah cukup besar, yang dapat aku buat menjadi sebuah peti sebesar geledeg untuk menyimpan pakaian.

   Atau barangkali kau mempunyai pendok emas atau timang tretes berlian.

   Jika kau tidak mau memberikan tebusan itu, aku akan menghadap Pangeran Kuda Padmadata dan menyampaikan masalah hilangnya isteri dan anaknya"Wajah kedua orang itu menjadi merah padam.

   Salah seorang dari keduanya menggeram "Apakah kau sudah gila? Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan?"

   "Ya. Aku tahu pasti, dengan siapa aku berbicara. Kalian adalah orang-orang yang telah datang ke rumah isteri pangeran Kuda Padmadata. Bertempur dengan pengawalnya yang pilih tanding, sehingga pedangmu patah. Pengawal itu sempat membawa putera Pangeran itu lari. Tetapi kalian sempat menyusulnya dan membunuh pengawal itu"

   "Gila"

   Kedua orang itu menggeram "kau harus mati"

   "Jangan kau bunuh aku. Beri aku tebusan untuk membungkam mulutku"

   Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Namun tiba- tiba saja diluar dugaan, salah seorang dari keduanya itu berteriak "Membungkam mulutmu dengan cara yang paling baik adalah ini"

   Mahisa Bungalan sudah mengira.

   Karena itu, ia sudah bersiap.

   Ketika orang itu dengan tiba-tiba menarik pedangnya dan menusuk dadanya, ia sempat meloncat menghindar.

   Nenek tua penjual semelak itu terpekik.

   Ia memejamkan matanya dan dengan serta merta memutar tubuhnya, membelakangi peristiwa yang mengerikan itu.

   Sementara pandai besi itupun berdiri gemetar sambil kebingungan.

   Namun ia masih sempat melihat Mahisa Bungalan menghindarkan dirinya.

   "Jangan marah Ki sanak"

   Berkata Mahisa Bungalan "aku hanya ingin beberapa keping uang, atau sepotong emas dan beberapa butir berlian.

   Kenapa kau marah dan akan membunuhku?"Orang itu tidak menjawab.

   Iapun kemudian menyerang Mahisa Bungalan dengan kasar.

   Bahwa Mahisa Bungalan sempat menghindarkan dirinya pada serangannya yang pertama, agaknya telah memperingatkannya, bahwa anak itu bukan seorang pengemis sewajarnya.

   Mahisa Bungalan kemudian meloncat ke balik perapian tiba-tiba saja telah memungut pedang yang patah ujungnya.

   Sambil mengacungkan pedang itu ia berkata "Bukan aku yang mulai dengan pertengkaran ini.

   Tetapi adalah kebetulan sekali.

   Sebenarnya aku tidak ingin terlibat ke dalam persoalan-persoalan yang kurang aku pahami ujung dan pangkalnya.

   Tetapi akupun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini"

   Kedua orang itupun kemudian berpencar.

   Mereka melangkah mendekati Mahisa Bungalan dari dua arah.

   Namun Mahisa Bungalanpun kemudian bergeser menjauhi pandai besi itu, agar jika benar-benar ia harus bertempur, ia mendapat kesempatan yang cukup.

   Ternyata bahwa kedua orang itu tidak banyak berbicara lagi.

   Dengan serta merta keduanya telah menyerang Mahisa Bungalan.

   Yang seorang dengan pedang, yang lain dengan sepotong besi.

   Mahisa Bungalan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Karena itu, maka serangan kedua orang itu sama sekali tidak mengenainya.

   Ia sempat mengelak, dan bahkan iapun telah mulai dengan serangan-serangannya.

   Ternyata bahwa Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang cekatan dan tangkas.

   Ia bukan saja hanya mampu menghindar, tetapi serangan-serangannya kemudian telah membuat lawannya menjadi bingung.

   Sejenak kemudian pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ternyataanak muda yang disangkanya pengemis itu adalah anak muda yang luar biasa.

   Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang mendapat alas bagi ilmunya dari kakek anak laki-laki yang terancam jiwanya itu, ternyata benar-benar menjadi semakin perkasa.

   Geraknya menjadi semakin cepat, kekuatannyapun seolah- olah menjadi berlipat dalam ilmu yang memang sudah dimilikinya.

   Sejenak pandai besi itu berdiri kebingungan.

   Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

   Ia tidak mengerti bagaimana ia harus menilai anak muda dungu yang akan menjual sepotong ujung pedang kepadanya itu.

   Namun dalam pada itu ternyata bahwa anak muda yang disangkanya perantau dungu itu dapat menempatkan diri untuk melawan dua orang penjaga hutan peliharaan itu, Dua orang yang selama itu telah menjadi hantu yang sangat ditakuti oleh orang-orang di sekitarnya.

   Jika ia ingin makan, maka tidak ada kedai yang berani memaksanya untuk membayar harga makanan yang dimakannya.

   Jika ia menghendaki, apapun akan di berikan oleh orang-orang di sekitar hutan itu.

   Bahwa seandainya kedua orang itu memerlukan anak atau isteri mereka.

   Tetapi kini dua orang itu berhadapan dengan seorang anak muda yang tidak dikenal sebelumnya.

   Anak muda yang disangka seorang perantau yang tidak mampu berbuat sesuatu kecuali minta-minta kepada siapapun yang mempunyai belas kasihan.

   Dengan wajah yang tegang dan tubuh gemetar, pandai besi itu di luar sadarnya telah menyaksikan perkelahian yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.

   Dua orang yang menjadi hantu di daerah itu, adalah dua orang luar biasa.

   Keduanya memiliki kekuatan yang tidak ada taranyasementara keduanya memiliki ilmu pedang yang tidak ada duanya.

   Tetapi lawannya adalah anak muda yang tangkas dan ternyata memiliki tenaga raksasa.

   Sekali-sekali senjata mereka saling bentur.

   Namun ternyata bahwa yang telah patah itu benar-benar merupakan senjata yang sangat mengerikan bagi kedua lawanya.

   Semakin lama kemudian semakin nampak, bahwa kecepatan bergerak Mahisa Bungalan sulit diimbangi oleh kedua orang itu.

   Dengan demikian, maka keduanyapun semakin lama menjadi semakin terdesak.

   Meskipun demikian, keduanya adalah orang yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam kemungkinan.

   Karena itu, untuk bertahan lebih lama lagi, merekapun telah bertempur semakin lama semakin garang, kasar dan bahkan keduanya seakan-akan menjadi buas.

   Namun bagaimanapun juga, mereka berdua tidak dapat mengatasi kemampuan Mahisa Bungalan.

   Meskipun keduanya berusaha menyerang anak muda itu dari arah yang berlawanan, namun keduanya tidak berhasil membuat Mahisa Bungalan menjadi bingung dan apalagi dengan ujung senjata, berhasil menyentuh tubuh anak muda itu.

   Yang kemudian justru terjadi adalah sebaliknya.

   Ketika Mahisa Bungalan menjadi muak terhadap kebuasan dan keliaran kedua lawannya, maka ia tidak ingin bertempur lebih lama lagi.

   Dengan garang, iapun kemudian menyerang dengan senjatanya yang telah patah.

   Dengan loncatan-loncatan cepat ia membuat kedua lawannya kadang-kadang kehilangan arah.

   Selagi Keduanya kebingungan, maka terdengar salah seorang dari kedua orang itu mengeluh.

   Orang yang bersenjata sepotong besi itu terdesak surut.

   Ternyata bahwalengannya telah tersobek oleh ujung senjata yang telah patah itu.

   "Gila"

   Geram orang bersenjata tongkat besi itu.

   Tetapi ia tidak sempat mengumpat untuk kedua kalinya, karena sekali lagi senjata Mahisa Bungalan menyobek pundaknya.

   Yang terdengar sekali lagi adalah rintihan kesakitan.

   Namun agaknya orang itu masih berusaha untuk melawan.

   Namun Mahisa Bungalan ternyata benar-benar mampu bergerak cepat Serangannya sempat mendesak salah seorang lawannya yang bersenjata pedang, sementara iapun kemudian meloncat dan memukul tengkuk lawannya yang telah terluka itu, tidak dengan tajam pedangnya, tetapi justru dengan tangkainya.

   Terhuyung-huyung orang itu jatuh di tanah.

   Ia sama sekali tidak menyadari lagi, apa yang telah terjadi, Dunia menjadi gelap dan iapun telah menjadi pingsan.

   Sementara itu Mahisa Bungalan tinggal menghadapi seorang lawannya.

   Karena itu, maka pekerjaannya tidak terlalu berat lagi.

   Ketika lawannya menyerangnya dengan ujung pedang, Mahisa Bungalan sengaja tidak menghindarnya.

   Dibiarkannya pedang lawannya terjulur, namun tiba-tiba saja ia telah menangkis dangan pedang patahnya dan memutar menghentak.

   Demikian cepat dan kuatnya, sehingga lawannya tidak mampu lagi bertahan.

   Rasa-rasanya pedangnya telah terputar dan tangannya bagaikan tersentuh bara api.

   Dengan demikian maka pedangnya itupun telah terlepas dari tangannya dan jatuh di tanah.

   Tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk bertahan.

   Karena itu maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh,kecuali melarikan diri.

   Tetapi demikian ia meloncat, terasa tengkuknya tersentuh sesuatu.

   Ketika ia mencoba untuk melenting menghindari sentuhan berikutnya, terasa tubuhnya menjadi sangat lemah, sehingga seolah-olah tulang-tulangnya telah terlepas dari kulitnya.

   Orang itupun tiba-tiba telah terjatuh.

   Ketika ia berusaha untuk berdiri, maka tubuhnya bagaikan menjadi timah yang sangat berat, sedangkan kekuatannya bagaikan telah lenyap sama sekali.

   "Kau akan lari?"

   Terdengar suara Mahisa Bungalan. Orang itu masih dapat bergerak. Ia masih berdiri tegak. Tetapi kemampuannya bergerak menjadi terbatas sekali.

   "Kau tidak akan dapat lari. Aku telah menyentuh pusat syarafmu, sehingga sebagian dari kekuatanmu telah membeku"

   Berkata Mahisa Bungalan. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, kekuatannya tidak mampu lagi untuk melakukan sesuatu.

   "Tetapi kau masih dapat berjalan sampai ke tempat persembunyianmu. Tunjukkan, dimanakah isteri Pangeran Kuda Padmadata itu kau sembunyikan"

   "Aku tidak tahu. Aku tidak kenal Pangeran Kuda Padmadata"

   "Kau benar-benar tidak mengenalnya?"

   "Tidak. Aku adalah abdi seorang Pangeran yang lain, yang memiliki beberapa batang pohon cendana di hutan itu, serta beberapa jenis pohon yang getahnya berbau wangi"

   


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Lentera Maut -- Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id

Cari Blog Ini