Bunga Di Kaki Gunung Kawi 31
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 31
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja
"Kau benar Nini. Kau benar. Aku hidup seperti kapuk yang diterbangkan angin. Kemana angin bertiup, ke arah itulah aku terbang. Namun kini, meskipun mungkin aku akan hanyut lagi tanpa aku ketahui, tetapi aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Tuan Puteri. Dan tentu saja kepadamu, setelah aku tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakmu."
Emban pemomong Ken Dedes itu kini mengerutkan keningnya.
Ditatapnya wajah orang yang menyebut dirinya Makerti itu.
Wajah itu sama sekali tidak dapat dikenalnya sebagai wajah seorang yang pernah bernama Pranuntaka.
Puluhan tahun yang lampau.
sejak Mahisa Agni masih di dalam dukungan ia bertemu untuk yang terakhir kalinya.
Karena itu, maka wajah laki-laki tua itu telah berubah sama sekali.
Pengalaman yang pahit, yang pedih dan segala macam pengalaman yang lain telah mencetak muka laki-laki itu menjadi wajah Empu Sada yang hidup di dalam dunia yang asing.
Tetapi wajah perempuan itupun telah berubah pula.
Tak ada lagi sisa-sisa kecantikan wajah seorang gadis yang bernama Jun Rumanti.
Tak ada lagi senyum yang cerah dan suara tawa yang renyah.
Namun sorot mata itu masih setajam sorot mata Jun Rumanti.
"Kaki Makerti."
Berkata emban itu.
"apakah sebenarnya yang akan kau sampaikan kepada Tuan Puteri?."
Empu Sada ragu-ragu sejenak.
Tetapi ia harus mengatakan setidak-tidaknya sebagian dari seluruh keterangannya.
Apabila tidak demikian, maka ia pasti tidak akan mendapat kepercayaan dari perempuan tua itu.
Apalagi setelah diketahuinya bahwa Mahisa Agni adalah anaknya."Rumanti."
Desis Empu Sada.
"Sekali lagi, jangan sebut nama itu."
Potong perempuan itu.
"O, maafkan aku Nini."
Empu Sada menelan ludahnya, lalu ia meneruskan.
"ada yang akan aku sampaikan kepada Tuan Puteri justru dalam hubungannya dengan anakmu itu."
"Ya katakanlah."
"Anakmu kini berada dalam bahaya Nini."
"Sudah lama ia berada dalam bahaya, sejak ia mengurungkan niat Kuda Sempana, muridmu, untuk mengambil Ken Dedes menjadi isteri dengan caranya yang kasar."
"Ya, ya. Kau benar. Tetapi kini bahaya itu menjadi semakin besar."
"Kaukah yang mengatakan itu? Kau salah seorang yang membahayakan baginya."
"Sudah aku katakan. Aku kembali terbentur pada suatu keadaan yang memaksaku menjadi sekali lagi berputus-asa. Bukan karena sisa-sisa kebaikan hatiku sehingga aku menyadari kejahatan serta kekeliruanku di masa-masa yang lampau, tetapi aku kini sedang berputus asa. Empu Sada bukan seorang yang pantas mendapat tempat dimana pun. Ia adalah seorang yang tidak akan berguna bagi siapa pun, seperti Pranuntaka tidak akan berguna bagi siapa pun juga. Tetapi Nini, kali ini, aku mengharap kau mendengarkan kata-kataku, selagi aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku kerjakan. Aku sendiri tidak yakin, apakah sikap ini akan berlaku seterusnya. Aku ragu-ragu terhadap diriku sendiri. Dan orang seperti aku, yang sudah kehilangan kepercayaan kepada dirinya sendiri, adalah orang yang paling tidak berguna."
Emban tua itu mengernyitkan alisnya. Terasa kejujuran memancar dari setiap kata Empu Sada. Apalagi ketika Empu Sada itu berkata.
"Nini, berilah aku kesempatan. Selain tentang Mahisa Agni, aku ingin mohon maaf kepada Tuan Puteri atas segala kelakuanku di masa-masa yang lewat. Aku tidak tahu, apakah aku tidak akan kambuh kembali. Tetapi sekarang, percayalah, bahwa hatiku sedang gelap, sehingga tidak ada jalan lain daripada menyerahkan diri dalam keputus asaan. Nini jangan menunggu aku menjadi gila. Ketika aku masuk ke dalam halaman ini, memangterbersit kehendak yang gila itu. Kenapa tidak saja lebih baik bagiku mengambil Ken Dedes untuk kepentingan yang bermacam-macam. Untunglah, bahwa aku sedang berada dalam ketakutan. Aku tidak berani menghadapi lawan-lawanku yang kini mengelilingi aku. Empu Purwa, ayah gadis itu, Empu Gandring yang selalu berada di dekat Mahisa Agni, Panji Bojong Santi yang pernah mengurungkan niatku menculik Tuan Puteri di jalan ke Panawijen dan yang paling gila adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Keduanya itulah yang paling berbahaya bagiku dan bagi Mahisa Agni. Muridku, Kuda Sempana kini ada pada mereka. Adalah suatu bahaya yang tak terkirakan, bahwa kedua setan itu ingin menangkap Mahisa Agni tidak untuk Kuda Sempana, tetapi justru untuk memeras Tuan Puteri Ken Dedes dan Tuanku Tunggul Ametung."
Dada perempuan tua itu berguncang mendengar kata-kata Empu Sada.
Tiba-tiba tumbuhlah kepercayaan di dalam hatinya, bahwa Empu Sada benar-benar sedang dalam keputus asaan.
Namun sejalan dengan itu, maka hatinyapun kini dicengkam oleh kecemasan tentang anaknya.
Karena itu, maka emban itupun menjadi gelisah.
Sejenak ia berdiam diri dalam ke bimbangan.
Tetapi perempuan tua itu terhenyak ketika ia mendengar seorang prajurit menegurnya, prajurit yang membawa Empu Sada masuk kehalaman dalam.
"Kaki, bagaimana dengan Kau? Apakah kau masih juga betah berdiri di situ sampai pagi untuk memaksa menghadap Tuan Puteri Ken Dedes."
Empu Sada tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah perempuan tua dihadapannya, seolah-olab minta kepadanya untuk menjawab pertanyaan prajurit itu.
"Aku harus kembali ketempatku bertugas."
Berkata prajurit itu lebih lanjut.
"aku sudah mencoba menolongmu Kaki. Tetapi keputusan terakhir memang tidak terletak ditanganku."
Empu Sada masih berdiam diri. Karena Empu Sada tidak segera menjawab, maka kem bali prajurit itu berkata.
"Bagaimana Kaki?"
Dalam kebimbangan kemudian Empu Sada menjawab.
"Bukan aku yang menentukan tuan, tetapi emban pemomong Ken Dedesitu. Tergantung kepadanya, apakah aku diperbolehkan menghadap atau tidak."
Prajurit itu berpaling, memandangi wajah emban tua yang kini menjadi tegang penuh kebimbangan, Sejenak mereka saling berdiam diri.
Empu Sada menunggu dengan hati yang berdebar-debar, sedang prajurit itu menjadi heran.
Ia melihat beberapa perubahan sikap pada laki-laki tua yang kini agaknya menjadi bertambah sigap.
Di dalam pada itu emban tua itu masih juga dicengkam oleh kebimbangan.
Tetapi ia dapat mengerti keterangan Empu Sada.
Ia dapat mempercayainya, bahwa kali ini ia bermaksud baik.
Kalau ia bermaksud jahat, maka ia tidak perlu berbantah lagi.
Mungkin dengan sebuah sentuhan ia sudah menjadi pingsan.
Prajurit-prajurit yang berdjumlah empat orang yang sama sekali tidak bersiaga itu akan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Dan adalah tidak mustahil, bahwa ia akan berhasil mengambil puteri itu tanpa dapat ditangkap oleh para penjaga.
Hanya kalau Akuwu Tunggul Ametung mengetahuinya, maka pusakanja akan mungkin dapat melawan orang tua itu.
Dalam kebimbangan perempuan tua itu mendengar prajurit itu bertanya kembali.
"Bagaimana Nyai. Apakah orang tua itu diperkenankan menghadap, ataukah ia harus keluar?"
Perempuan tua itu menggigit bibirnya. Tampaklah kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam. Diawasinya Empu Sada dan prajurit itu berganti-ganti. Akhirnya terdengar ia bersuara lirih.
"Biarlah ngger, laki-laki tua ini menghadap Tuan Puteri. Kalau nanti ternyata Tuan puteri tidak berkenan, maka biarlah ia keluar halaman."
"Tetapi ia tidak boleh berkeliaran sendiri di halaman ini Nyai."
Sahut prajurit itu.
"kalau Tuan Puteri tidak berkenan maka aku harus mengantarkannya keluar."
"Baiklah kalau demikian, marilah ikut aku. Kau dapat menunggu di luar sampai laki-laki ini meninggalkan istana."
"Sampai kapan aku harus menunggunya?"
"Tidak akan sampai besok.""Ah."
Prajurit itu mengeluh, tetapi kemudian ia berkata.
"apakah aku akan dibiarkan lapar? Sore tadi aku belum makan Nyai. Seharusnya sebentar lagi aku akan diganti oleh prajurit yang bertugas semalam sentuk nanti. Aku akan segera kembali pulang dan makan."
"Jangan takut."
Sahut perempuan tua itu.
"kau dapat pergi ke dapur. Kau akan dapat memecahkan perutmu nanti, Ngger."
Prajurit itu tersenjum.
"Baiklah kalau demikian."
"Ikutlah kami."
Kata perempuan itu, dan kepada Empu Sada ia berkata.
"Marilah kita mencoba menghadap Tuan Puteri."
"Aku percaya kepadamu Nini, untuk kepentingan anakmu pula."
"Sst."
"O."
Laki-laki yang menyebut dirinya Makerti itupun terdiam.
Mereka kini berjalan sepanjang dinding istana lewat halaman belakang.
Dari tangga mereka memasuki serambi belakang untuk menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang hampir tidak sabar lagi menanti pemomongnya.
Ketika didengarnya suara pemomongnya itu di luar pintu biliknya, maka dengan tergesa-gesa ia keluar.
Ia ingin segera mendengar tentang laki-laki yang menyebut dirinya pamannya dan bernama Makerti.
"Tuan Puteri."
Berkata pemomongnya ketika Ken Dedes sudah berada di luar pintu biliknya.
"seorang laki-laki tua kini menunggu Tuan Puteri di ruang belakang."
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya.
"Apakah benar, bahwa ia adalah pamanku Bibi?"
"Silahkanlah puteri. Tuan Puteri akan dapat bertanya kepadanya sendiri."
Tetapi Ken Dedes menangkap keragu-raguan di dalam kata-kata perempuan tua itu sehingga kemudian sambil mengerutkan keningnya ia bertanya.
"Apakah kau sudah pernah mengenalnya?"
Emban pemomong Ken Dedes itu menjadi semakin bimbang. Ia tidak segera tahu, bagaimana ia harus menjawab. Karena itu maka sejenak emban tua itu berdiri saja mematung.
"Bagaimana bibi?"
Desak Ken Dedes."Tuan Puteri."
Jawab emban itu kemudian.
"hamba tidak dapat mengatakannya apakah hamba pernah mengenalnya atau belum dalam hubungannya dengan pengakuan laki-laki tua itu. Tetapi dalam persoalan yang lain, hamba memang pernah mengenalnya sebagai orang dari padukuhan Ngarang."
"Dalam hubungannya dengan aku?"
"Hamba tidak tahu Tuan Puteri, tetapi sebaiknya Tuan Puteri menemuinya dan bertanya langsung kepadanya."
"Apakah orang itu tidak berbahaya?"
"Di tangga belakang ada seorang prajurit yang menunggunya Tuan Puteri, di samping Pelayan Dalam yang sedang bertugas."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih saja ragu-ragu untuk berbuat.
"Bagaimana nasehatmu bibi?"
"Menurut pendapat hamba Tuan Puteri, Tuan Puteri dapat menemuinya dan bertanya langsung kepadanya."
"Baiklah. Aku percaya kepadamu."
Ken Dedes itupun segera melangkah keruang belakang diiringi oleh pemomongnya. Meskipun demikian sebenarnya di dalam dada keduanya, masih menyala keragu-raguan. Tetapi emban tua itu bergumam di dalam hatinya.
"Aku mengharap bahwa laki-laki itu masih mempunyai sisa-sisa harga diri dan perasaan."
Ketika Ken Dedes memasuki ruangan belakang, dilihatnya seorang laki-laki duduk bersila sambil tumungkul.
Kekhidmatannya ternyata telah mengurangi perasaan bimbang di hati Ken Dedes.
Ken Dedes itu pun kemudian duduk di atas sebuah batu hitam yang dialasi oleh selapis kulit kayu yang dihias dengan ukir-ukiran benang berwarna emas.
Ditatapnya laki-laki tua yang masih saja duduk tepekur seakan-akan tidak berani bergerak meskipun hanya ujung jari kakinya.
Ken Dedes itu pun tidak segera bertanya sesuatu kepada laki-laki yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu.
Dicoba untuk mengingat-ingat apakah ia pernah mengenal seorang laki-laki seperti yang kini duduk di hadapannya.
Tetapi betapa gadis itu berusaha, namun ia tidak berhasil menemukan ingatan tentang seorang laki-laki tua yang bernama Makerti.Sekilas Ken Dedes memandangi pemomongnya yang duduk dekat di sampingnya.
Bagaimanapun juga, ternyata perempuan itu masih juga menyimpan keragu-raguan di dalam hatinya, apalagi setelah diketahuinya, bahwa sebenarnya laki-laki tua itulah yang bernama Empu Sada.
Karena itu, maka pemomong Ken Dedes itu duduk dekat di sisi kaki Ken Dedes, bahkan seolah-olah bersandar kepada gadis itu.
"Kiai."
Sapa Ken Dedes kemudian Perlahan-lahan.
"maafkan aku Kiai, bahwa aku merasa belum mengenalmu. Baik namamu dan bahkan wajahmu. Adalah suatu kemungkinan bahwa aku telah lupa kepada seseorang yang pernah aku kenal sebelumnya. Tetapi cobalah kau menjelaskan, bagaimanakah hubunganmu dahulu, aku pasti akan menjadi ingat kembali kepadamu."
Tetapi Empu Sada tidak segera dapat menjawab. Bahkan kepalanya yang tunduk itu seakan-akan menjadi semakin tunduk.
"Kiai."
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berkata Ken Dedes pula.
"mungkin Kiai dapat berceritera tentang keluargaku, tentang ibuku semasa hidupnya dan tentang ayahku. Mungkin Kiai dapat berceritera tentang diriku di masa kanak-kanakku. Dengan demikian aku akan dapat mengingatnya kembali atau setidak-tidaknya dapat meyakinkan diriku bahwa kau adalah pamanku."
Mpu Sada masih belum menjawab.
Kepalanya masih menunduk dalam-dalam.
Namun laki-laki tua itu menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat.
Ketika ia telah berhadapan dengan gadis itu, tiba-tiba terkenanglah kembali apa yang pernah dilakukannya.
Ia pernah berusaha merebut gadis itu untuk muridnya Kuda Sempana.
Apakah dengan demikian tidak akan berarti merenggut gadis itu dari dunianya yang sekarang dan melemparkannya kedalam satu dunia yang gelap? Memang ia tidak mempunyai anak seorang gadis.
Ia tidak dapat membayangkan betapa perasaan seorang gadis tentang dirinya, tentang dunia di sekitarnya dan tentang masa depannya.
Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ken Dedes, alangkah pedih hatinya.
Seandainya, Ya, seandainya saat itu Panji Bojong Santi tidak menghalanginya, maka apakah jadinya gadis yang kini duduk dihadapannya itu? wajah yang cerah sumringah itu pasti akan menjadi suram dan muram.
Kuda Sempana pasti akanmembawanya hidup dalam suatu dunia yang gelap yang tersembunyi.
"O."
Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam.
"Ternyata Yang Maha Agung masih melindunginya."
Ken Dedes yang masih saja melihat orang tua itu terdiam, hatinya menjadi berdebar-debar.
Kenapa ia tidak menjawab sepatah katapun? Kembali Ken Dedes berpaling kepada emban pemomong.
Tetapi emban itu pun menundukkan kepalanya pula.
Ken Dedes itu kemudian justru menjadi gelisah.
Sekali lagi ia mencoba bertanya.
"Kiai, bukankah Kiai telah datang untuk bertemu dengan aku? Bukankah Kiai yang bernama Makerti dan mengaku sebagai pamanku?"
Ken Dedes itu pun kemudian melihat laki-laki tua itu bergerak. Setapak ia bergeser, namun justru ia bergeser mundur. Perlahan- lahan ia mengangkat wajahnya.
"Ampun Tuan Puteri."
Desisnya perlahan.
Tetapi kembali ia terdiam.
Kembali kepalanya menunduk.
Tetapi dalam sekejap itu, Ken Dedes telah melihat wajahnya.
Wajah itu benar-benar telah mengejutkannya.
Ken Dedes melihat mata orang tua itu menjadi terlampau suram dan bahkan menjadi basah.
"Katakanlah Kiai."
Minta Ken Dedes, seperti seorang gadis kepada kakeknya yang tua.
"Ampun Tuan Puteri."
Berkata orang tua itu tersendat-sendat, seakan-akan lehernja tersumbat oleh kata-katanya.
"Ya katakanlah."
Ketika orang tua itu kembali mengangkat wajahnya, kini Ken Dedes benar-benar melihat setitik air menetes dari matanya.
"Kenapa kau Kiai?"
Bertanya Ken Dedes. Emban tua yang mendengar pertanyaan itupun mengangkat wajahnya pula, dan Dilihatnya pula titik air di mata laki-laki itu.
"Ampun Tuanku."
Berkata Empu Sada patah-patah.
"hamba telah berani membohongi Tuan Puteri. Tetapi percayalah Tuan Puteri, bahwa maksud hamba adalah baik."Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menangkap maksud orang tua itu.
"Hamba belum pernah melihat tuanku sejelas saat ini. Hamba belum pernah melihat betapa cerah wajah Tuan Puteri. Hamba belum pernah mengetahui betapa bersih hati Tuan Puteri. Selama ini mata hambalah yang telah dibutakan oleh kegelapan hati."
"Kiai."
Potong Ken Dedes dengan heran.
"aku tidak mengerti apakah sebenarnya yang kau maksudkan."
"O."
Empu Sada menelan ludahnya.
"Tuan Puteri adalah sesoca Tumapel yang tidak ada duanya. Alangkah bahagianya Empu Purwa mempunyai seorang Puteri seperti tuanku. O, sungguh gila Kuda Sempana yang berkeinginan memperisteri Tuan Puteri. Sepantasnyalah bahwa Kuda Sempana menjadi alas kaki tuanku."
Ken Dedes menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu ujung pangkal kata-kata laki-laki tua yang mengaku pamannya dan bernama Makerti itu. Apalagi ketika laki-laki itu berkata seterusnya dengan nafas yang terengah-engah.
"Tetapi Tuanku, adalah hamba yang paling bersalah, sehingga Kuda Sempana itu menjadi semakin gila. Namun syukurlah bahwa Tuan Puteri masih selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung."
Sejenak Ken Dedes terpukau oleh keadaan yang tidak dimengertinya. Dipandanginya laki-laki tua itu dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya yang bening. Dalam pada itu Empu Sada masih berkata terus.
"Seandainya hamba tidak terseret dalam kegilaan yang serupa, maka Kuda Sempana pasti dapat hamba kendalikan. Sekarang semuanya telah hancur. Hidupku dan masa depan Kuda Sempana itu sendiri. Tetapi adalah wajar dan setimpal dengan kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan."
Ken Dedes masih diam mematung.
Sedang emban pemomongnya pun seakan-akan terbungkam pula.
Tetapi emban tua itu dapat merasakan betapa hati orang yang mengaku bernama Makerti itu terpecah belah.
Empu Sada adalah seorang yang hidup dalam arusnya angin ribut, sehingga karena itu, maka hatinya seakan-akan telah menjadisekeras baja dan perasaannya pun telah menjadi tumpul.
Namun tiba-tiba seperti cahaya matahari dipagi hari, wajah Ken Dedes yang cerah telah menerangi segenap relung hati orang tua itu.
Relung hati yang karena keadaan telah sedikit terbuka, dan kini cerahnya sinar matahari itu langsung mencairkan kepekatan yang kelam yang selama ini mewarnainya.
Sesaat Ken Dedes masih diam termangu-mangu.
Namun ketika kembali ia melihat laki-laki tua itu menundukkan kepalanya, maka berkatalah gadis itu.
"Kiai, aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Aku tidak mengerti apa yang ingin kau nyatakan kepadaku. Tetapi bahwa kau telah menyebut nama Kuda Sempana benar- benar telah mengejutkan hatiku. Nama itu bagiku adalah nama yang dapat mendirikan segenap bulu romaku. Karena itu, katakanlah mansud kedatanganmu sendiri."
Empu Sada masih menundukkan kepalanya. Ia menjadi ragu- ragu untuk mengucapkan kata-kata. Tetapi kembali Ken Dedes mendesaknya.
"Katakanlah keperluanmu Kiai. Atau cobalah meyakinkan aku, bahwa kau adalah pamanku."
"Ampun Tuan Puteri."
Desis Empu Sada kemudian. Tetapi kini kepalanya menjadi semakin menunduk.
"ampunkanlah hamba. Bahwa sebenarnya hamba memang bukan paman Tuan Puteri."
Dada Ken Dedes berdesir mendengar pengakuan itu.
Sejenak ia berpaling kepada pemomongnya.
Tetapi pemomongnya itu tidak sedang memandanginya.
Bahkan pemomongnya itu dengan tajamnya sedang memandang kepada laki-laki tua yang masih saja menundukkan kepalanya.
"Jadi, siapakah kau sebenarnya?"
Bertanya Ken Dedes.
"dan apakah hubunganmu dengan Kuda Sempana? Kau telah menyebut namanya, babkan menghubung-bungkannya dengan dirimu sendiri."
Empu Sada itu memperbaiki letak duduknya. Dengan susah payah ia kini herhasil mengatur perasaannya yang tiba-tiba saja telah menjadi cair setelah bertahun-tahun membeku. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Perlahan-lahan ia berkata.
"Tuan Puteri yang baik. Mungkin pengakuan hamba akan mengejutkan Tuan Puteri. Tetapi perkenankanlah hamba lebih dahulu berjanji, bahwa sebenarnyalah maksud kedatangan hambakali ini adalah terdorong oleh penyesalan dan ketakutan yang selama ini telah mengejar-ngejar hamba. Hamba tidak dapat ingkar lagi. Hamba tidak dapat melarikan diri, karena ketakutan itu tumbuh di dalam hati hamba. Hamba tidak dapat bersembunyi kemanapun, selain pasrah diri dihadapan Tuan Puteri. Hamba akan bersedia menerima apa saja hukuman yang akan Tuanku jatuhkan. Tetapi sebelumnya hamba ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin berguna bagi Tuan Puteri dan Kakanda Tuan Puteri Mahisa Agni."
Wajah Ken Dedes tampak berkerut. Diawasinya laki-laki tua itu dengan sorot mata yang menjadi tegang. Dengan ragu-ragu Ken Dedes itu bertanya.
"Jadi, apabila kau sebenarnya bukan pamanku apakah kau juga tidak bernama Makerti dan tidak datang dari pedukuhan yang kau sebut Ngarang? Apabila demikian, siapakah kau sebenarnya, dan apakah yang kau ceriterakan semuanya itu akan berarti bagiku?"
"Tuan Puteri. Demikianlah hamba. Hamba memang tidak bernama Makerti. Tetapi hamba benar-benar berasal dari Pedukuhan Ngarang. Namun beberapa puluh tahun yang lampau hamba telah meninggalkan pedukuhan itu, merantau dari satu tempat kelain tempat, sehingga Akhirnya hamba menetap tidak terlampau jauh diluar kota Tumapel."
Wajah Ken Dedes menjadi semakin tegang. Kini ia segera ingin tahu, siapakah tebenarnya laki-laki tua itu. Maka katanya.
"Kiai, aku tidak mengerti apakah gunanya kau berbohong. Aku tidak mengerti maksud kedatanganmu yang sebenarnya. Tetapi sebutkan dahulu, siapakah kau."
"Percayalah Tuan Puteri, bahwa hamba tidak akan membuat bencana lagi. Hamba telah menyesali perbuatan hamba."
"Ya siapakah kau dan apa hubunganmu dengan Kuda Sempana?"
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dibulatkannya tekadnya. Apa saja yang akan terjadi tidak akan diingkarinya. Maka katanya sambil menahan nafas.
"Tuanku, janganlah tuanku terkejut. Hamba akan berkata dengan jujur, siapakah hamba ini sebenarnya. Tuanku. Hamba bersedia seandainya Tuan Puteri ingin membelah dadaku."
"Ya, Ya, tetapi siapa kau Kiai?""Tuan Puteri, yang sudi menyebut nama hamba, hamba inilah yang dikenal bernama Empu Sada."
Seperti tersengat seribu lebah, Ken Dedes terkejut bukan buatan.
Wajahnya yang cerah tiba-tiba menjadi seputih kapas.
Darahnya seakan-akan berhenti mengalir.
Sesaat ia terpaku di tempatnya namun tiba-tiba ia terloncat berdiri.
Hampir saja ia berteriak memanggil prajurit atau Pelayan dalam atau si apapun untuk mengurangi ketakutannya.
Tetapi emban pemomongnya tiba-tiba memeluk kakinya sambil berkata lirih.
"Tenanglah Tuan Puteri, tenanglah. Laki-laki yang bernama Empu Sada itu kini bukan lagi seperti seekor serigala yang lapar. Tetapi ia tidak lebih dari seekor kucing yang telah dijinakkan."
Meskipun Ken Dedes tidak berteriak karena emban pemomongnya itu, namun debar dijantungnya masih belum berkurang.
Wajahnya masih putih dan tegang, sedang nafasnya menjadi terengah-engah.
Dipandanginya Empu Sada dengan sorot mata ketakutan dan kecemasan.
Ken Dedes itu pernah mendengar, bahwa orang yang mencegatnya di hutan dalam perjalanannya ke Panawijen adalah Kuda Sempana bersama gurunya yang bernama Empu Sada.
Dan orang yang selama ini menghantuinya itu tiba-tiba duduk dihadapannya.
Tetapi Empu Sada tidak bergerak.
Kepalanya masih tumungkul hampir menyentuh lantai.
Kedua tangannya rapat berpegangan satu dengan yang lain.
Namun meskipun demikian, debar didadanya pun menjadi kian cepat.
Iapun menjadi cemas apabila gadis itu tidak segera dapat menguasai dirinya, maka akibatnya akan menjadi sangat sulit baginya.
Namun ia sudah pasrah diri.
Dan akibat yang bagaimanapun juga telah bulat untuk diterimanya.
Ken Dedes yang melihat laki-laki tua itu masih juga tepekur, serta kata-kata pemomongnya yang lembut dan sareh, telah membuatnya menjadi agak tenang.
Meskipun demikian ia masih dicengkam oleh kecemasan dan keragu-raguan tentang laki-laki tua yang duduk dihadapannya itu.
Empu Sada kemudian dapat merasakan, bahwa hati Ken Dedes menjadi bertambah tenang.
Agaknya kata-kata pemomongnya telah dapat meredakan luapan ketakutan yang menerkam dirinya.
Karenaitu untuk meyakinkan maka orang tua itu berkata sareh.
"Tuan Puteri. Benarlah kata emban pemomong tuanku. Hamba kini bukan lagi serigala kelaparan di hutan-hutan rimba, tetapi hamba kini tidak lebih dari seekor kucing yang telah dijinakkan. Hamba tinggal menerima apa saja yang sepantasnya dipikulkan atas pundak hamba, sebab hamba telah banyak sekali berbuat kesalahan di hadapan Tuan Puteri dan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan menurut penilaian hamba kini, hamba telah banyak sekali berbuat dosa dihadapan Yang Maha Agung. Itulah sebabnya hamba kini menghadap Tuan Puteri."
"Tetapi."
Sahut Ken Dedes terbata-bata.
"kalau kau bermaksud baik, kenapa kau menipu aku, emban pemomongku dan para prajurit penjaga dengan memakai nama lain dan mengaku pamanku?"
"Itupun salah satu bentuk pengakuan atas segala kesalahan hamba Tuan Puteri. Hamba menjadi ketakutan menyebut nama hamba sendiri. Bayangan dosa dan noda itu selalu melekat pada nama Empu Sada, sehingga hamba merasa bahwa Empu Sada tidak sepantasnya diperkenankan menghadap Tuan Puteri. Karena itulah maka hamba mencari akal, bagaimana hamba dapat berhadapan dengan Tuan Puteri untuk menyampaikan sebuah ceritera yang menarik bagi Tuan Puteri, demi keselamatan Kakanda Tuan Puteri sendiri, Mahisa Agni."
Wajah Ken Dedes yang seputih kapas itu kini telah menjadi agak kemerah-merahan. Meskipun demikian tubuhnya masih terasa gemetar.
"Duduklah Tuan Puteri."
Pemomongnya mempersilahkan.
Perlahan-lahan Ken Dedes kembali meletakkan tubuhnya di atas batu hitam yang beralaskan klikaning kaju yang dihiasi dengan benang-benang yang berwarna keemasan.
Namun untuk sesaat gadis itu masih saja berdiam diri.
Debar jantungnya masih terasa terlampau cepat, sedang kedua belah tangan dan kakinya masih saja gemetar.
Tetapi perasaannya kini telah mulai dapat dikuasainya.
Apalagi ketika ia masih melihat Empu Sada itu duduk tepekur diam hampir tidak bergerak sama sekali."Tuan Puteri."
Berkata Empu Sada kemudian.
"ke datangan hamba menghadap tuanku dengan segala macam akal, adalah karena hamba ingin dapat langsung menyampaikan permohonan maaf kehadapan tuanku serta ingin menyampaikan sebuah kisah yang barangkali tidak menarik, tetapi barangkali akan dapat memberikan jalan bagi Mahisa Agni melawan keadaan yang kurang menguntungkannja."
Empu Sada berhenti sejenak. Dicobanya untuk merasakan tanggapan Ken Dedes akan kata-katanya itu. Dan didengarnya Ken Dedes bertanya.
"Apakah yang terjadi dengan kakang Mahisa Agni? Bukankah ia selama ini berada di Padang karautan untuk menyelesaikan bendungannya?"
"Hamba Tuan Puteri."
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Empu Sada.
"justru Mahisa Agni berada di Padang itulah maka bahaya selalu mengitarinya"
"Empu Sada,"
Berkata Ken Dedes yang sudah menjadi semakin tenang.
"sepengetahuanku, bahaya yang paling dahsyat yang selama ini mengejarnya adalah bahaya yang ditimbulkan oleh ketamakan Kuda Sempana dan gurunya yang bernama Empu Sada. Apabila kau sekarang benar-benar sudah menghentikan usahamu untuk mencelakakannya, maka aku sangka Kakang Mabisa Agni akan dapat menjaga dirinya sendiri terhadap Kuda Sempana meskipun seandainya Kuda Sempana berbuat curang."
"Tidak Tuan Puteri."
Jawab Empu Sada.
"karena itulah maka hamba dengan segala akal yang licik berusaha menemui Tuan Puteri. Bahaya yang sekarang mengancam Mahisa Agni bukan saja datang dari Kuda Sempana. Bahkan Kuda Sempana pun pada saatnya pasti akan mengalami bencana yang tidak kalah dahsyatnya dari Mahisa Agni sendiri."
Ken Dedes mengerutkan keningnya, katanya.
"Aku tidak mengerti Empu Sada."
"Tuan Puteri,"
Berkata Empu Sada.
"perkenankanlah hamba berceritera tentang diri hamba dan tentang diri Kakanda tuanku Mahisa Agni."
"Katakanlah Empu."
Sahut Ken Dedes.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Sesaat ditengadahkannya wajahnya, namun kembali wajah itu menunduk.Digesernya dirinya senjari maju, dan sejenak kemudian mulailah ia berceritera tentang dirinya.
Empu Sada yang telah benar-benar merasa bersalah itu berceritera dengan sejujur-jujurnya, apa yang pernah dilakukan atas Mahisa Agni.
Usahanya menemui Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dan diceriterakannya pula saat ia hampir mati terbunuh oleh kedua iblis yang mengerikan itu.
Ken Dedes mendengarkan ceritera Empu Sada itu dengan dada yang berdebar-debar.
Hatinya semakin lama menjadi semakin cemas, sedang wajahnya menjadi semakin tegang.
Perlahan-lahan ia dapat merasakan bahaya yang sedang mengancam Mahisa Agni.
Bahaya yang justru ditimbulkan oleh orang yang kini dengan menyesal menceriterakannya kepadanya.
Akhirnya Empu Sada itu berkata.
"Tuan Puteri, hamba dapat membayangkan, bahwa di Padang Karautan kini merayap-rayap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, mengintai Kakanda Tuan Puteri, Angger Mahisa Agni yang setiap saat siap untuk meloncat dan menerkamnya."
Wajah Ken Dedes yang sudah mulai memerah itu kini lelah menjadi pucat kembali.
Terasa debar dadanya menjadi semakin deras, dan kecemasan yang sangat telah menghinggapinya.
Bahkan bukan saja Ken Dedes.
Emban pemomongnya yang semasa mudanya bernama Jun Rumanti itu pun menjadi cemas.
Terlalu cemas.
Mahisa Agni adalah satu-satunya anaknya.
"Kenapa semuanya itu kau lakukan Empu?"
Bertanya Ken Dedes tanpa sesadarnya.
"Hamba sedang dilibat oleh kekelaman hati Tuan Puteri."
"Kalau kau tidak mengalami kegagalan dan bahkan hampir mati pula karenanya, maka aku kira kau tidak akan berbuat seperti sekarang."
Berkata Ken Dedes dengan penuh penyesalan.
"Hamba Tuan Puteri. Sebenarnyalah demikian. Karena itu, maka kedatangan hamba kemari bukan karena sisa-sisa kebersihan hati hamba yang mekar di dalam dada hamba, tetapi hamba datang kemari karena hamba telah ditelan oleh ketakutan dan keputus- asaan. Hamba tidak tahu lagi apa yang akan hamba lakukan, sedang hamba tidak dapat menyembunyikan diri kemana pun. Ketakutan, kecemasan dan keputus asaan itu selalu memeluk hatihamba. Maka dalam keadaan yang demikian itulah hamba datang menghadap."
Ketegangan hati Ken Dedespun menjadi semakin meningkat.
Ia tidak segera tahu, apa yang harus dilakukannya.
Namun tiba-tiba ia mengangkat dagunya.
Sejenak ia merenung, namun tiba-tiba Wajahnya menjadi agak cerah.
Perlahan-lahan ia berkata tidak kepada Empu Sada tetapi kepada pemomongnya.
"Bibi, bukankah beberapa hari yang lalu Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengirim sepasukan prajurit ke Padang Karautan untuk membantu Kakang Mahisa Agni?"
Emban itupun menengadahkan wajahnya yang mulai dijalari oleh aliran darahnya kembali. Dengan serta-merta ia menjawab.
"Ya, Ya Tuan Puteri. Pasukan itu telah berangkat minggu yang lalu. Pasukan itu kini pasti sudah berada di Padang Karautan dan telah sempat membantu pekerjaan Angger Mahisa Agni."
Empu Sada yang mendengar pembicaraan itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera berani memotong untuk bertanya. Yang berbicara kemudian adalah Ken Dedes.
"Bukankah dengan demikian, maka bahaya yang mengancam kakang Mahisa Agni dapat dikurangi?"
"Hamba Tuan Puteri, mudah-mudahan demikianlah hendaknya. Namun bagaimanapun juga, adanya Prajurit-prajurit itu di sekitar angger Mahisa Agni, pasti berpengaruh juga pada dirinya. Empu Sada tidak segera mengerti pembicaraan itu. Karena itu ketika keduanya berhenti sejenak, maka diberanikannya dirinya bertanya.
"Jadi, apakah maksud Tuan Puteri mengatakan bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengetahui bahaya yang mengancam kakanda Tuan Putri itu."
"Bahaya itu sudah diketahuinya sejak lama."
Sahut Ken Dedes.
"sejak Kakanda Mahisa Agni bertemu dengan Akuwu Tunggul Ametung yang saat itu berada di Panawijen."
Ken Dedes berhenti sejenak. Tanpa disengaja ia telah mengungkat kembali peristiwa pahit yang pernah dialaminya. Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia berhasil menguasai dirinya kembali dan berkata.
"Bahwa bahaya itu menjadi semakin besar, ternyata pula setelah kau mencegatku di hutan pada saat aku pergi ke Panawijen bersama kakang Witantra.Tetapi, bahwa kemudian bahaya itu menjadi semakin besar dan besar. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung masih belum mengetahuinya. Terlibatnya dua orang kakak beradik yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas permintaanmu itu pun masih belum diketahui pula. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa dari Tumapel telah dikirim sepasukan prajurit di bawah pimpinan seorang Pelayan Dalam yang masih muda, bernama Ken Arok. Seorang Pelayan Dalam yang meskipun masa jabatan belum terlalu lama, tetapi ia adalah seorang anak muda yang menurut pendengaranku, mumpuni dalam olah krida."
Empu Sada itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya mulutnja berdesir.
"Syukurlah kalau demikian. Mudah- mudahan segalanya menjadi baik. Semoga Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tetapi, kedua setan itu terlampau licik. Ia akan dapat menemukan akal untuk memisahkan Angger Mahisa Agni dari lingkungannya. Tetapi mudah-mudahan kali ini tidak. Karena itu adalah sebaiknja bahwa Angger Mahisa Agni segera diberi tahu akan bahaya yang mengancamnya."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Empu Sada, bahwa Mahisa Agni harus segera mengetahui bahaya yang mengintainya itu.
"Tetapi aku harus menyampaikannja kepada Akuwu Empu. Akuwu akan mengutus seseorang untuk menyampaikannya kepada Kakang Mahisa Agni."
"Semakin cepat semakin baik Tuanku."
"Tuan Puteri."
Tiba-tiba emban pemomongnya itu memotong.
"hamba dengar bahwa hari ini ada seseorang yang datang dari padang Karautan. Mungkin orang itu membawa laporan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tentang keadaan prajurit Tumapel yang berada di sana. Mungkin orang itu dapat mengatakan apa yang telah terjadi di padang itu, dan orang itu pun akan dapat menerima pesan apabila ia segera akan kembali."
"Seseorang datang dari Padang Karautan?"
Bertanya Ken Dedes dengan bati yang berdebar-debar karena berbagai macam tanggapan akan kedatangan orang itu.Ternyata bukan saja Ken Dedes yang menjadi berdebar-debar mendengar berita tentang kedatangan seseorang dari padang Karautan, namun Empu Sada pun mendjadi cemas pula.
"Apakah yang dikatakan oleh prajurit itu."
Bertanya Ken Dedes kepada pemomongnya.
"Belum aku ketahui Tuan Puteri."
Sahut pemomongnya "prajurit itu sedang berusaha untuk menghadap Akuwu sore ini. Mungkin prajurit itu sudah menyampaikan laporannya kepada Tuanku Tunggul Ametung."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dadanya masih saja berdebar-debar. Meskipun demikian ia mencoba untuk menghibur dirinya sendiri. Katanya di dalam hati.
"Kalau terjadi sesuatu Akuwu pasti sudah memberitahuku."
Namun agaknya Empu Sada masih ingin bertanya, katanya.
"Apakah prajurit itu dapat ditemui dan bertanya kepadanya tentang Padang Karautan setelah ia menghadap Akuwu dan menyampaikan laporannya."
Emban itu berpikir sejenak. Jawabnya kemudian.
"Mungkin juga dapat bertanya kepadanya setelah ia menghadap Akuwu."
"Apakah mungkin kau dapat memanggilnya Nini?"
"Aku tidak tahu siapakah yang datang."
"Para prajurit yang bertugas barangkali dapat mengatakan, siapakah yang baru saja menghadap Akuwu."
Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.
"Mungkin juga aku dapat mencobanya."
Tetapi tiba-tiba dipandanginya Empu Sada itu dengan hati yang ragu.
Apakah ia akan meninggalkan momongannya berdua dengan Empu Sada yang selama ini telah menghantui gadis itu? Apakah ia dapat mempercayai orang tua itu sepenuhnya? Emban itu menjadi bimbang.
Karena itu ia tidak segera bangkit dari tempatnya.
Emban tua itu masih juga termanggu-mangu ketika Empu Sada memandanginya dengan gelisah dan cemas.
Bayangannya tentang Padang Karautan terlampau suram bagi Mahisa Agni.
Apakah seseorang yang datang dari Padang Karautan itu tidak menyampaikan laporan tentang sesuatu bahaya yang telahmenimpa anak muda itu? Apakah seseorang itu tidak melaporkan bahwa Mahisa Agni telah hilang dari lingkungan mereka? Tetapi Empu Sada tidak mengucapkannya.
Ia takut kalau Ken Dedes menjadi semakin cemas pula.
Karena itu, maka Empu Sada itu pun bahkan terdiam sambil menundukkan kepalanya.
Sejenak ketiga orang itu saling berdiam diri.
Ken Dedes pun masih juga dibayangi oleh kecemasan tentang kakaknya, Mahisa Agni.
Sedang emban pemomong Ken Dedes itu, yang sebenarnya adalah ibu Mahisa Agni kemudian tidak pula kalah cemasnya.
Di dalam hatinya pun merayap pula gambaran-gambaran yang mengerikan yang dapat menimpa anaknya.
Karena itu, maka ia pun sebenarnya ingin segera mendengar, ceritera apakah yang telah dibawa oleh seseorang itu dari padang rumput Karautan yang garang.
Tetapi emban tua itu tidak dapat meninggalkan Ken Dedes seorang diri.
Empu Sada telah meninggalkan bekas yang hitam di sepanjang langkahnya.
Karena itu, maka apa yang dilakukannya masih juga menimbulkan keragu-raguan di dalam hati.
Karena emban tua itu tidak segera beranjak dari tempatnya, maka Empu Sada pun kemudian mengangkat wajahnya.
Ia ingin bertanya, kenapa emban itu tidak segera mencari prajurit yang datang dari Padang Karautan untuk segera mendapat jawaban atas teka-teki yang berkecamuk di dalam hati mereka.
Tetapi ketika Empu Sada melihat sorot mata emban itu, kembali ia menundukkan kepalanya sambil berdesah di dalam hati.
"Hem, agaknya Rumanti belum dapat melepaskan momongannya sendiri bersama aku. Tetapi itu bukan salahnya. Itu adalah salahku."
Kesepian itu akhirnya telah menjesakkan dada Empu Sada yang gelisah, sehingga duduknya pun menjadi gelisah pula.
Tetapi ia tidak berani berkata sepatah kata pun, apalagi mendesak supaya emban itu segera memanggil prajurit yang datang dari Karautan.
Dengan demikian kecurigaannya dapat menjadi semakin bertambah, seakan-akan ia memaksanya untuk meninggalkan Ken Dedes seorang diri.
Tetapi agaknya yang bertanya kemudian adalah Ken Dedes, katanya.
"Bagaimana bibi?"Emban itu menjadi agak kebingungan. Ia tidak dapat pergi, tetapi bagaimana ia akan mengatakannya? Namun tiba-tiba ia mendapat akal. Mungkin ia tidak perlu pergi mencarinya sendiri atau bertanya-tanya ke halaman. Bukankah di belakang, di tangga serambi ada seorang prajurit dan para Pelayan dalam yang bertugas? Karena itu, maka katanya.
"Tuan Puteri. Biarlah hamba memanggil seorang prajurit di serambi belakang. Ia akan dapat lebih cepat menemukan kawannya yang datang dari padang Karautan."
"Panggillah,"
Sahut Ken Dedes tanpa mengerti maksud embannya.
Namun ketika emban itu sempat memandang wajah Empu Sada, maka Dilihatnya orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan ia memuji ketrampilan emban pemomong Ken Dedes itu.
Sejenak kemudian emban itu berdiri dan melangkah kepintu, tetapi tidak sampai di luar pintu.
Dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit terdengar suaranya memanggil seorang prajurit yang sedang bertugas.
Akhirnya ketika prajurit itu telah menghadap, maka berkatalah emban itu.
"Silahkanlah Tuan Puteri, mungkin prajurit ini dapat menemukannya lebih cepat."
Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Apakah yang harus dicarinya? Namun ia menarik napas dalam-dalam ketika ia mendengar Ken Dedes kemudian menjelaskan maksudnya.
"Hamba Tuan Puteri."
Sahut prajurit itu kemudian.
"memang siang tadi hamba melihat tidak hanya seorang, tetapi dua orang yang datang dari Padang Karautan. Mungkin mereka telah menghadap Akuwu Tunggul Ametung."
"Kalau mereka telah menyampaikan laporannya, panggillah mereka kemari."
Perintah Ken Dedes kepadanya.
Prajurit itu terdiam sejenak.
Ia tidak mengerti, kenapa Ken Dedes ingin segera mendengar secara langsung laporan Prajurit-prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan siang tadi.
Adalah tidak lajim bahwa seseorang selain Akuwu Tunggul Ametung memanggil seorang prajurit untuk mendengarkan laporannya secara langsung.Apabila reseorang tersangkut dalam satu persoalan, maka biasanya Akuwu Tunggul Ametung sendirilah yang akan memanggilnya dan mempersoalkan dengan orang yang berkepentingan itu.
Tetapi kali ini yang memberinya perintah adalah bakal Permaisuri Tunggul Ametung itu sendiri, yang selama ini belum pernah ada.
Karena itu maka prajurit itu sejenak menjadi ragu-ragu.
Ken Dedes melihat keragu-raguan prajurit itu.
Maka katanya kemudian.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah tentu apabila laporan itu bukan laporan rahasia yang hanya boleh didengar oleh Akuwu. Meskipun demikian, aku akan dapat bertanya kepadanya tentang keadaan padang itu, tentang Kakakku Mahisa Agni dan tentang bendungan yang baru dibuatnya."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian kepala itu membungkuk dalam-dalam. Terdengar ia berkata.
"Hamba Tuan Puteri. Biarlah hamba cari prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan itu."
"Carilah. Hal-hal yang penting. Akuwu sendiri pasti akan memberitahukan kepadaku. Aku tidak memerlukan hal-hal yang penting itu. Aku hanya ingin mendengar kabar tentang bendungan dan Kakakku Mahisa Agni."
Prajurit itu pun segera mohon diri, beringsut mundur, dan kemudian meninggalkan ruangan itu untuk mencari ke dua kawannya yang siang tadi baru saja datang dari padang Karautan.
"Orang-orang itu pasti pulang ke rumah masing-masing."
Katanya di dalam hati.
"kesempatan untuk menengok keluarga."
Tetapi, prajurit itu tidak segera keluar halaman. Ditanyakannya kepada Pelayan Dalam di tangga halaman depan, apakah ada prajurit dari padang Karautan yang sedang menghadap langsung Akuwu Tunggul Ametung.
"Siang tadi."
Sahut Pelayan Dalam itu.
"menghadap bersama pemimpin Pengawal Istana kakang Witantra."
"O,"
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"mereka pasti sudah pulang. Mungkin sudah tidur mendengkur di sisi anak- anaknya."
Pelayan dalam itu tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.Prajurit itu pun kemudian pergi ke regol tempat ia bertugas.
Kepada kawan-kawanya dijelaskannya apa yang harus di lakukan.
Sejenak kemudian maka berderaplah kaki-kaki kudanya menyusur jalan kota.
Akhirnya kedua prajurit itu benar-benar diketemukannya di rumah masing-masing.
Alangkah terkejutnya kedua prajurit itu ketika datang seorang kawannya ke rumah.
Mereka menyangka bahwa ada sesuatu yang penting.
Tetapi, mereka memberengut ketika mereka mendengar keperluan prajurit itu.
"Apakah Tuan Puteri belum mendengar laporanku lewat Tuanku Akuwu?"
"Belum,"
Sahut kawannya itu. Ketika mereka menemui prajurit yang seorang lagi yang baru saja datang dari Padang Karautan, maka katanya "bukankah ini telah malam. Apakah tidak dapat ditunda sampai besok?"
"Tuan Puteri ingin segera mendengar laporanmu."
"Kami sudah melaporkannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung."
"Tetapi belum kepada Tuan Puteri."
"Ah,"
Prajurit itu berdesah. Tetapi iapun membenahi pakaiannya. Kemudian merekapun dengan tergesa-gesa pergi ke Istana untuk menghadap Ken Dedes.
"Kenapa tidak siang tadi?"
Prajurit yang seorang masih saja menggerutu.
"Aku melihat kalian datang, tetapi aku tidak melihat kalian pergi bersama Ki Witantra. Apakah kalian lewat regol yang lain?"
"Ketika aku datang Ki Witantra ternyata sudah berada di Istana. Aku keluar lewat regol yang itu-itu juga, tetapi agaknya kau baru mengambil rangsum, atau baru memakannya di belakang gardu."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka pun kemudian terdiam.
Hanya derap kuda mereka sajalah yang terdengar memecah sepi malam, menghantam dinding-dinding halaman di sisi-sisi jalan.
Angin malam yang dingin mengalir mengusap tubuh-tubuh mereka yang lembab oleh keringat dan embun.Kedua prajurit itu pun kemudian dihadapkan kepada Ken Dedes yang hampir tidak sabar menunggunya.
EmMpu Sada yang sudah mulai terkantuk-kantuk pun menjadi terbangun kembali.
"Kemarilah,"
Berkata Ken Dedes mempersilahkan kedua prajurit itu. Kedua prajurit itu pun beringsut maju. Mereka menjadi agak canggung. Mereka belum pernah menghadap gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.
"Apakah kalian baru datang dari padang Karautan?"
Bertanya Ken Dedes.
"Hamba Tuan Puteri,"
Jawab salah seorang dari mereka dengan suara parau, karena mereka masih juga dihinggapi oleh rasa kantuk.
"Apakah ada sesuatu yang penting terjadi di Padang Karautan sehingga kau berdua harus melaporkannya kepada Akuwu?"
"O, tidak Tuan Puteri."
Sahut salah seorang prajurit itu.
"tidak ada yang penting. Hamba hanya menyampaikan laporan bahwa prajurit-prajurit Tumapel telah sampai dengan selamat dan telah mulai bekerja dengan baik membantu orang-orang Panawijen membuat bendungan."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Bersyukurlah ia di dalam hati bahwa tidak ada sesuatu yang penting terjadi.
"Bagaimana dengan bendungan itu dan kakang Mahisa Agni?"
"Kakanda Tuan Puteri, Mahisa Agni kini baru pergi ke Panawijen tuanku. Ada sedikit bencana yang menimpa padukuhan itu. Tetapi sama sekali tidak berarti dan tidak mengganggu pekerjaan yang besar itu."
Ken Dedes mengerutkan keningnya mendengar berita tentang Panawijen. Karena itu maka dengan serta merta ia bertanya.
"Bencana apa lagi yang telah menimpa pedukuhan itu? Pedukuhan itu telah menjadi kering, dan sekarang apa yang telah terjadi?"
"Tetapi bencana itu tidak mencemaskan Tuan Puteri. Bahkan bencana yang kecil itu dapat saja dilupakan."
"Ya, tetapi apa yang terjadi."
"Justru karena Panawijen telah menjadi kering, maka udara di padukuhan itu pun menjadi sangat panasnya, sehingga karena itumaka di padukuhan itu telah terjadi ke bakaran kecil. Beberapa buah lumbung dan rumah terbakar habis. Tetapi karena beberapa orang tua masih tinggal di pedukuhan itu, dan perempuan, maka dengan pasir dan sisa-sisa pohon pisang yang masih ada maka api dapat dibatasi. Ternyata mereka berhasil memisahkan api yang berkobar itu dengan daerah di sekitarnya, sehingga api tidak menjalar lebih besar lagi."
"O, kasian Panawijen."
"Tetapi Tuan Puteri tidak usah cemas. Hamba telah menyampaikan semuanya itu kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung atas perintah pimpinan yang ditugaskan di padang Karautan, Ken Arok."
"Bagaimanakah tanggapan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung?"
"Tuanku Akuwu hanya tertawa saja mendengar laporan hamba. Tetapi Akhirnya Tuanku Akuwu memerintahkan kepada kakang Witantra untuk menyampaikan perintah kepada yang berkepentingan, menyediakan padi dan jagung untuk membantu orang-orang Panawijen yang telah kehilangan sebagian dari bahan makanan mereka. Sedang sawah-sawah mereka sendiri dalam keadaan kering dan tidak mungkin menghasilkan di musim kering seperti ini."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah.
"Beruntunglah Panawijen mempunyai seorang Akuwu yang baik."
Sejenak ruangan itu menjadi sunyi.
Tetapi Ken Dedes sudah tidak lagi dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan.
Bencana itu memang bukan bencana yang besar yang dapat menggelisahkannya.
Mungkin karena persoalan yang kecil itulah maka Akuwu tidak segera memanggilnya dan memberitahukan kepadanya tentang apa yang telah terjadi di Panawijen, bahkan mungkin lusa Akuwu Tunggul Ametung baru akan memberitahukannya.
Tetapi tanggapan Empu Sada agak berbeda dengan tanggapan Ken Dedes.
Sesaat dipandangnya wajah emban tua yang duduk di sisi Ken Dedes itu.
Tetapi agaknya emban tua itupun merasa bahwa tidak terjadi sesuatu di padang Karautan.
Emban tua itu beberapakali mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa suatu kesan yang mendebarkan hatinya.
Namun Empu Sada masih menahan diri untuk tidak berkata sesuatu.
Ia masih menunggu, barangkali prajurit itu masih ingin menyampaikan beberapa persoalan kepada Ken Dedes.
Tetapi prajurit itu masih juga terdiam.
Ken Dedes dan pemomongnya pun masih juga belum berkata sesuatu.
Ruangan itu masih juga diliputi oleh kesenyapan.
Yang terdengar hanyalah desah angin yang menyentuh dedaunan di petamanan di luar ruangan itu.
Para prajurit yang sedang bertugas duduk terkantuk-kantuk sambil memeluk senjata mereka.
Prajurit yang duduk di tangga di belakang ruangan belakang itupun sudah mengantuk pula.
Seharusnya ia sudah selesai dengan tugasnya dan pulang kerumah, minum air hangat dan makan sekenyang-kenyangnya.
Tetapi ia masih saja duduk di tangga istana bersama beberapa Pelayan Dalam di ujung tangga yang lain.
"Perutku lapar."
Gumamnya seorang diri. Tiba-tiba di kejauhan dilihatnya cahaja yang melontar dari celah-celah pintu.
"Disana itu masih ada orang. Mungkin seorang Pelayan yang dapat pergi ke dapur sejenak mengambil rangsum tambahan buatku."
Tetapi prajurit itu tidak berani meninggalkan tempatnya.
"Emban tadi mengatakan, bahwa aku akan dapat pergi ke dapur. Tetapi bagaimana dengan laki-laki tua itu?"
Akhirnya kembali prajurit itu duduk mengantuk sambil menahan lapar yang mengganggu perutnya.
Di dalam ruangan yang sepi itu Empu Sada menjadi gelisah.
Keterangan prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan itu baginya membawa kesan yang lain.
Bukan sekedar beberapa buah lumbung yang terbakar.
Bukan sekedar beberapa orang Panawijen telah kehilangan tempat tinggalnya.
Tetapi jauh lebih mendebarkan dari pada itu.
Isi lumbung yang terbakar, rumah-rumah yang hangus menjadi abu, akan segera dapat diganti.
Lumbung-lumbung akan segera dapat dibangun kembali, bahkan Akuwu Tunggul Ametung telah memerintahkan untuk mengirimkan jagung dan padi ke Panawijen.
Tetapi yang mencemaskannya adalah, kenapa hal itu terjadi?Apakah benar, hanya sekedar karena udara yang panas maka lumbung-lumbung itu terbakar? Tetapi seandainya seseorang telah membakarnya, apakah mereka hanya sekedar ingin melihat orang- orang Panawijen kelaparan, ataukah ada tujuan lain? Akhirnya Empu Sada tidak dapat menahan pertanyaannya lagi.
Dengan hati-hati ia berkata.
"Angger, Prajurit-prajurit yang baru datang dari Padang Karautan, apakah kebakaran yang timbul di Panawijen itu disebabkan oleh udara yang panas, atau karena seseorang kurang berhati-hati sehingga menimbulkan bencana itu, atau oleh sebab yang lain lagi?"
Kedua prajurit itu mengangkat wajahnya, kemudian mereka berpaling kepada laki-laki tua itu. Sejenak mereka menjadi ragu- ragu. Namun kemudian terdengar Ken Dedes berkata.
"Jawablah pertanyaan itu."
"Hamba Tuanku."
Sahut salah seorang dari mereka.
"tetapi hamba tidak tahu pasti apa yang telah menyebabkannya. Dua orang tua yang tinggal di Padukuhan Panawijen telah datang kepadang Karautan dan memberitahukannya kepada Kakanda Tuan Puteri, yang segera ingin melihatnya sendiri ke Panawijen."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia sudah menyangka bahwa Mahisa Agni pasti akan datang sendiri ke Panawijen untuk menyaksikan bencana itu betapa kecilnya.
Karena itu ia sama sekali tidak terkejut mendengar keterangan prajurit itu.
Berbeda dengan Ken Dedes, Empu Sada merasa sesuatu berdesir di dadanya meskipun tidak segera tampak pada wajahnya.
Tetapi laki-laki tua itu kemudian bertanya pula.
"Dengan siapakah Angger Mahisa Agni pergi ke Panawijen?"
"Dengan pamannya"
Sahut prajurit itu. Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Yang dimaksud pamannya pastilah Empu Gandring.
"Hanya berdua?"
"Tidak."
Sahut prajurit itu.
"meskipun Adi Mahisa Agni ingin pergi seorang diri, tetapi pamannya menasehatkannya untuk membawa beberapa orang kawan."
"Ya, siapakah Kawan-kawannya itu?"
"Ken Arok sendiri."Empu Sada mengerutkan keningnya. Meskipun tidak segera terucapkan, tetapi di dalam kepalanya berkecamuk berbagai macam persoalan. Ia menjadi curiga, bahwa di padukuhan Panawijen telah timbul kebakaran betapapun kecilnya. Kemudian dua orang laki-laki tua yang tinggal di Panawijen datang kepadang Karautan untuk memberitahukan kebakaran itu kepada Mahisa Agni. Bahwa ada dua orang laki-laki tua berani melintasi padang Karautan itu telah menarik perhatiannya pula. Tiba-tiba Empu Sada itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat menggelisahkan. Katanya di dalam hati.
"Ini pasti pokal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk memikat Mahisa Agni datang ke Panawijen. Mudah-mudahan Empu Gandring cukup waspada. Tetapi agaknya Empu Gandring belum mengenalnya. Kelicikan dan kecurangan bukan soal bagi mereka berdua."
Empu Sada itu pun menjadi gelisah. Tetapi kegelisahannya itu masih saja dicoba untuk disembunyikan.
"Angger,"
Berkata Empu Sada kemudian kepada kedua prajurit itu.
"kapankah Angger ke Padang Karautan."
"Lusa aku akan kembali. Aku masih semalam lagi berada di Tumapel."
Empu Sada meng-angguktan kepalanya. Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata.
"Tuan Puteri, apakah masih ada yang ingin tuanku ketahui?"
"Aku kira untuk sementara tidak Kiai."
"Apakah tuanku ingin berpesan kepada mereka."
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ken Dedes terdiam sejenak. Kepada emban pemomongnya ia bertanya.
"Apakah yang penting aku pesankan kepada mereka bibi?"
Emban tua itu mengangkat kepalanya. Ditatapnya kedua prajurit itu sejenak. Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata.
"Tuanku, tak ada yang lebih penting tuanku pesankan, daripada mengharap agar Angger Mahisa Agni menjadi lebih berhati-hati. Bahaya akan dapat selalu menerkamnya setiap saat. Beritahukan kepada kedua prajurit itu, bahwa mereka harus berhati-hati pula."Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.
"Kau dengar kata-kata bibi emban itu? Mungkin dapat kau beritahukan kepada Kakang Mahisa Agni bahwa ia harus berhati-hati terhadap dua orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bukankah begitu Kiai?"
"Ya, ya tuanku."
Sahut Empu Sada. Tiba-tiba Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata.
"Ya, aku pernah mendengar nama itu. Menurut ceritera yang pernah aku dengar, di Padang Karautan sekarang berkeliaran kedua orang bersaudara itu. Yang pernah bertemu dengan Adi Mahisa Agni dan pamannya adalah salah seorang dari mereka yang bernama Wong Sarimpat."
"He,"
Empu Sada terkejut mendengar keterangan itu.
"jadi Wong Sarimpat lelah mencoba menjumpai Angger Mahisa Agni."
Kedua prajurit itu terkejut mendengar pertanyaan Empu Sada. Tetapi sejenak kemudian mereka menjawab.
"Ya. Aku tidak tahu kebenaran dari ceritera itu. Mahisa Agni sendiri tidak pernah mengatakannya."
"Kalau demikian, dari siapa mereka mendengar ceritera itu?"
"Ki Buyut Panawijen."
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kalau demikian maka hanya Ki Buyut lah yang diberi tahu bahwa bahaya itu pernah ditemui oleh Mahisa Agni.
Untunglah bahwa pamannya Empu Gandring ada bersamanya.
Tetapi agaknya Ki Buyut telah mengatakannya pula kepada orang lain, sehingga akhirnya ceritera itu pun tersebar diantara orang-orang Panawijen dan para prajurit dari Tumapel.
Dada Empu Sada berguncang ketika prajurit itu berkata seterusnya.
"Tetapi Wong Sarimpat bukanlah bahaya yang sebenarnya bagi adi Mahisa Agni. Sumber dari bahaya yang selalu membayangi anak muda itu adalah Kuda Sempana dan gurunya."
Perlahan-lahan Empu Sada melepaskan tarikan nafas yang tiba- tiba terasa seolah-olah berhenti.
Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun.Kesunyian sekali lagi menghinggapi ruangan itu.
Malam yang bertambah malampun terasa semakin sepi Dikejauhan terdengar bunyi kentongan dalam nada dara muluk.
Hampir tengah malam.
Sejenak kemudian terdengar Ken Dedes berkata.
"Aku kira keperluanku dengan kalian telah selesai. Kalian dapat kembali ke rumah kalian. Besok kalau kalian akan kembali ke Padang Karautan aku ingin bertemu dengan kalian sekali lagi."
"Hamba tuan puteri."
Sahut kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Sesaat kemudian maka keduanya telah mohon diri dan meninggalkan ruangan itu.
Prajurit yang menjemputnya masih saja duduk mengantuk di tangga belakang.
Ketika ia melihat kedua prajurit itu pergi, maka ia pun mengumpat di dalam hatinya.
Empu Sada yang masih duduk di dalam ruangan belakang bersama dengan Ken Dedes dan emban tua itupun menujadi semakin tidak tenteram.
Setiap orang menganggap bahwa Kuda Sempana dan dirinya adalah sumber bencana bagi Mahisa Agni.
Dan ia pun tidak akan dapat mengingkari.
Dengan demikian, apabila Mahisa Agni kali ini benar-benar masuk ke dalam jebakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka dirinyalah yang harus bertanggung jawab.
Karena itu, karena ketegangan yang mencengkam jantungnya Empu Sada tidak lagi dapat duduk lebih lama.
Sejenak kemudian maka ia pun mohon diri pula untuk meninggalkan ruangan itu.
"Tuanku."
Berkata Empu Sada.
"sebenarnya hamba ingin menyampaikan pesan ini juga kepada Tuanku Tunggul Ametung. Tetapi hamba tidak berani. Hamba merasa diri hamba yang kotor. Karena itu tuanku, hamba mengharap bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung akan dapat mendengarnya dari Tuan Puteri. Mungkin Tuanku Tunggul Ametung akan mempunyai suatu sikap yang dapat menyelamatkan Angger Mahisa Agni, atau bahkan menangkap kedua setan dari Kemundungan itu. Kalau ada orang lain yang mau mencoba menangkapnya, maka hamba menyediakan diri hamba untuk ikut serta. Mungkin Panji Bojong Santi dengan sepasukan prajurit, atau mungkin orang lain menurut pertimbangan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung."Ken Deries mengangguk-anggukkan kepalanya, Jawabnya.
"Baik Empu, aku akan menyampaikannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Apabila kedua orang itu telah tertangkap, maka akan tenteramlah hatiku."
"Demikianlah Tuanku. Dan kini perkenankanlah hamba mohon diri. Setiap kali hamba bersedia untuk memenuhi panggilan Tuanku. Bukan saja untuk suatu pekerjaan yang berat, bahkan untuk digantung pun hamba akan datang."
Ken Dnles mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata.
"Baiklah Empu. Aku akan memberitahukan kepadamu apabila ada sesuatu yang penting untuk kau ketahui."
Empu Sada itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula diantar oleh emban pemomong Ken Dedes.
Di luar pintu bilik emban itu terkejut melihat seorang prajurit hampir tertidur pada kedua tangannya yang memeluk lututnya.
Ketika prajurit itu mendengar langkah keluar, ia pun terkejut pula dan segera memperbaiki letak duduknya.
Tetapi segera ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya emban tua itu bersama laki-laki yang telah dibawanya masuk.
"Hem."
Desis prajurit itu.
"kapan aku harus pergi ke dapur."
"O."
Emban tua itu tersenyum.
"aku lupa membawamu ke dapur. Pembicaraan kami terlampau asyik, sehingga aku tidak ingat lagi bahwa kau ada disini."
"Terlalu."
"Apakah sekarang kau masih lapar?"
"Tidak, aku sudah tidak lapar lagi. Aku telah makan kenyang- kenyang di sini."
"Makan apa?"
"Angin."
Sahut prajurit itu sambil bersungut.
"O."
Emban itu tertawa.
"marilah, aku ambilkan rangsum tambahan buatmu."
"Tidak, aku sudah tidak lapar."
"Jangan mutung."
"Tidak."
Kemudian katanya kepada laki-laki tua yang menyebut dirinya Makerti.
"marilah Kaki, apakah kau sudah cukup?"
"Sudah ngger.""Marilah aku antar kau keluar halaman istana ini."
"Tetapi apakah angger tidak makan dahulu?"
"Tidak."
"Aku juga tidak dijamu makan meskipun aku bertamu hampir separo malam."
"Separo malam lebih."
Prajurit itu membetulkan.
"O, ya, separo malam lebih."
Koleksi . Ismoyo Retype . Sukasrana Proofing . Wiek (Wijil) Rechecking . Arema ---ooo0dw0ooo---
Jilid 25 KEDUANYAPUN kemudian meninggalkan halaman belakang.
Terkantuk-kantuk prajurit itu membawa Empu Sada keluar.
Dilewatinya regol dalam yang bertugas di regol itu ternyata sudah berganti orang.
Demikian pula di regol halaman.
Kawan-kawannya bertugas telah pulang kerumah masing-masing.
"Darimana?"
Bertanya penjaga yang baru.
"Aku bertugas di kamar bakal permaisuri."
Sahut prajurit yang kantuk itu.
"He?"
"Ya, hanya aku sajalah satu-satunya prajurit yang bertugas di sana dari seluruh Tumapel. Menyenangkan sekali. Makan minum dan apa saja yang kuminta. Tuan Puteri sendirilah yang memberinya"
Prajurit-prajurit yang sedang bertugas itu tertawa. Mereka tahu bahwa prajurit itu sedang lapar dan menunggu seseorang yang diantarnya itu sampai tengah malam.Ketika mereka telah sampai di luar regol, maka segera prajurit itu berkata.
"Kaki Makerti, tugasku sudah selesai. Kaki telah keluar dari halaman istana. Karena itu terserahlah kepada Kaki. Apakah kau akan bermalam di rumahku?"
"Terima kasih Ngger, terima kasih. Aku akan pergi ke tempat saudaraku."
"Kaki mempunyai saudara di kota ini?"
"Ya, aku akan mencarinya. Rumahnya di dekat pasar."
"Silahkan,"
Berkata prajurit itu.
Ia sudah merasa sangat lelah dan kantuk.
Karena itu maka segera ditinggalkannya laki-laki tua itu seorang diri.
Dengan langkah panjang prajurit itu berjalan pulang.
Untunglah bahwa rumahnya tidak terlampau jauh dari istana.
Tetapi ia harus bersedia jawaban kalau isterinya bertanya kenapa ia pulang lambat.
Isterinya kadang-kadang menjadi cemburu, karena seorang kawannya yang dekat, baru-baru ini telah mengambil seorang isteri muda.
Sepeninggal prajurit itu, hati Empu Sada menjadi semakin gelisah.
Terbayang diangan-angannya, Mahisa Agni kini sedang merangkak masuk ke dalam jebakan yang dipasang oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sejenak Empu Sada masih saja berdiri termangu-mangu.
Ia sama sekali tidak dapat mencuci tangan terhadap apa yang akan terjadi dengan Mahisa Agni.
Orang tua itu terkejut ketika tiba-tiba seorang prajurit mendekatinya sambil bertanya.
"Bagaimana Kaki, apakah Kaki tidak tahu kemana akan pergi?"
"O,"
Sahut Empu Sada terbata-bata.
"tidak, tidak Ngger. Aku sedang melamun. Alangkah senangnya hidup kemenakanku itu. Aku ikut bergembira pula bersamanya."Prajurit itu terheran-heran. Kemudian iapun bertanya.
"Siapakah kemanakanmu itu?"
Empu Sada memandangi prajurit itu dengan saksama.
Barulah ia menyadari, bahwa prajurit-prajurit itu bukanlah prajurit-prajurit yang menerimanya siang kemarin.
Tetapi meskipun demikian, prajurit-prajurit yang bertugas mendahuluinya pasti telah memberitahukan kepada mereka, tentang dirinya.
Karena itu maka katanya.
"Apakah Angger tidak mendapat pemberitahuan bahwa aku baru saja menghadap kemanakanku. Ken Dedes?"
"O."
Prajurit itu mengerutkan keningnya.
"Ya, ya. Jadi kaukah orang Yang bernama Makerti ? O, Ya, ya. Pradjurit yang mengantarmu itu adalah prajurit yang telah dikatakan oleh pimpinan yang bertugas sebelum kami. Lalu, bagaimana sekarang?"
"Aku akan pergi kerumah saudaraku di samping pasar."
Sahut Empu Sada.
"Apakah Kaki memerlukan pengantar?"
"Tidak, tidak Ngger. Terima kasih."
Empu Sada itu pun segera melangkah pergi meninggalkan regol istana itu.
Tertatih-tatih ia berjalan menyusup kedalam gelapnya malam.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar obor dari regol yang memancar kemerah-merahan, akhirnya tidak lagi dapat mencapainya.
Angin malam tang silir berhembus perlahan-lahan mengusap tubuh orang tua itu Meskipun embun setitik-setitik turun dari langit, tetapi tubuh Empu Sada telah menjadi basah karena keringatnya.
Ketegangan perasaannya tidak lagi dapat disembunyikannya.
"Kasihan,"
Desisnya seorang diri.
"Apakah aku hanya akan berpangku tangan? Mudah-mudahan Empu Gandring dapat menyelamatkannya. Tetapi apakah Empu Gandring mampu menghadapi kedua iblis itu bersama-sama. Kalau Ken Arok, pemimpin pasukan yang berada di Padang Karautan itu pergi pula bersama Mahisa Agni, maka aku mengharap orang itu akan dapatmembantunya bersama-sama Mahisa Agni sendiri. Tetapi bagaimanakah dengan kekuatan Ken Arok itu?"
Hati Empu Sada pun menjadi semakin tidak tenang.
Ketika ia kemudian berpaling, dan regol istana itu sudah tidak dilihatnya, maka langkahnyapun segera menjadi semakin cepat.
Dengan sigapnya ia melontarkan kakinya, meloncat-loncat seperti seekor kijang di padang perburuan.
Ia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia menjadi bernafsu untuk segera sampai ke rumahnya.
Demikian kuat desakan keinginannya, sehingga tanpa dikehendakinya sendiri, orang tua itupun kemudian berlari semakin cepat menuju ke padepokannya.
Empu Sada tidak lagi menghiraukan, apakah ada seseorang yang melihatnya berlari-lari.
Bahkan kemudian dikerahkannya segenap kemampuannya.
Dan Empu Sada itu pun berlari secepat tatit.
Ketika Empu Sada sampai kepadepokannya, maka dengan serta- merta diketuknya pintu rumahnya sambil memanggil-manggil nama muridnya.
"Sumekar, Sumekar."
Alangkah terkejutnya muridnya itu.
Segera ia bangkit dan berlari membukakan pintu.
Ia menyangka bahwa gurunya sedang dikejar oleh bahaya.
Ketika pintu telah terbuka, dan dilihatnya Sumekar berdiri di mukanya, Empu Sada tertegun sejenak.
Ditatapnya wajah muridnya yang masih belum menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan.
Sekali-sekali Sumekar masih menggosok-gosok matanya yang merah.
"Tutuplah pintu."
Perintah Empu Sada kemudian ketika ia telah meloncat masuk. Sumekar pun melakukan saja perintah itu. Tetapi Sumekar itupun semakin terkejut ketika gurunya itu berkata.
"Sumekar, pergilah ke sumur. Adus kramas. Siapkan dirimu dalam kemampuan tertinggi."Sejenak Sumekar berdiri kaku. Dengan sorot mata bertanya- tanya dipandanginya gurunya. Ia tidak segera menangkap maksud kata-katanya itu. Ketika Empu Sada melihat Sumekar masih saja berdiri termangu- mangu maka diulanginya perintahnya.
"Sumekar, pergilah adus kramas. Bersihkan dirimu lahir dan batin. Cepatlah."
Sumekar tidak membantah lagi. Segera ia pergi ke perigi. Disiapkannya beberapa jambangan air dan diambilnya seberkas merang. Sambil membakar merang itu, hatinya selalu bertanya- tanya.
"Apakah sebenarnya maksud guru. Hari masih malam. Kenapa aku harus mandi?"
Tetapi Sumekar Yang patuh itu melakukan perintah itu dengan baik.
Dibersihkannya tubuhnya meskipun dingin malam sampai menggigit tulang.
Ternyata gurunya pun mandi pula.
Gurunya pun agaknya telah membersihkan dirinya seperti yang dilakukannya.
Ketika Sumekar telah selesai dan kembali ia menghadap gurunya, maka berkatalah Empu Sada.
"Sumekar. Kau sudah cukup dewasa, umurmu, persiapan jiwamu dan ilmumu. Karena itu, Sumekar, hari ini adalah hari yang kau nanti-nanti selama ini. Kau berada di padepokanku meskipun bukan semata-mata untuk itu, tetapi ilmu tertinggi pasti menjadi keinginan setiap murid."
Tiba-tiba dada anak muda itu berdesir. Ia tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia dihadapkan pada kesempatan yang memang diharapkannya. Begitu tiba-tiba. Tetapi ia tidak sempat bertanya. Gurunyalah yang kemudian berkata.
"Masuklah ke dalam bilik belakang, tempat kau berlatih. Jangan ganggu adik-adik seperguruanmu yang sedang tidur. Biarlah mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan dirimu."
Sumekar hanya dapat mengikuti perintah itu.
Meskipun beberapa pertanyaan terselip di dalam hatinya, kenapa peristiwa itu terjadi tanpa disangka-sangkanya lebih dahulu.Tetapi Sumekar tidak sempat menanyakannya.
Hatinya yang berdebar-debar menjadikannya semakin tegang.
Ketika Sumekar dan Empu Sada telah berada di dalam bilik yang gelap di bagian belakang halaman rumahnya, maka gurunya itupun segera menutup pintu.
Sebab slarak kayu nangka telah mengancing pintu itu rapat-rapat.
"Sumekar."
Berkata gurunya. Meskipun gelapnya bukan main, namun lambat laun, Sumekar dapat melihat bayangan gurunya.
"kau benar-benar telah cukup mempunyai bekal untuk menerima ilmu tertinggi dari perguruanku. Bahkan kau telah memiliki beberapa kelebihan dari kakak-kakak seperguruan mu. Ada beberapa unsur yang aku berikan kepadamu, tetapi tidak aku berikan kepada kakak- kakakmu. Apalagi ketika aku telah meyakini kesalahanku pada masa-masa yang lampau, dan melihat bahwa kau memiliki beberapa kelebihan sifat dari kakak-kakak sebelummu. Maka apa yang kau terima adalah melampaui dari apa yang telah dimiliki oleh Cundaka, Kuda Sempana dan apalagi yang lain-lain. Sehingga menurut perhitunganku, nanti apabila kau dapat memahami Aji Kala Bama dengan baik, maka kau tidak akan lagi berada di bawah kakak- kakak seperguruanmu. Bahkan seandainya kakak-kakak seperguruanmu, mungkin Kuda Sempana, mempunyai beberapa kelebihan waktu daripadamu, dan seandainya ia menerima beberapa petunjuk dan unsur-unsur gerak dari orang lain, maka kau tidak perlu mencemaskan dirimu. Ketekunanmu selama ini memang dapat dibanggakan. Apalagi kau selama ini tidak mempunyai kesibukan lain daripada memperdalam ilmu di perguruanku ini. Berbeda dengan Cundaka, pedagang keliling yang tamak dan Kuda Sempana Pelayan Dalam yang gila itu."
Sumekar tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya saja memandang jari-jari kakinya yang seolah-olah dipulas oleh warna yang hitam.
"Sumekar."
Terdengar suara Empu Sada lunak.
"Ya guru."
Sahut muridnya."Apakah kau sudah siap."
"Sudah guru. Aku telah menyiapkan diri menurut ke mampuan yang ada padaku."
"Bagus. Kau cukup rendah hati dan tidak sombong. Kelebihanmu dari kakak-kakakmu bukan saja pada ilmu dan un sur-unsur gerak, tetapi juga pada sifat dan budimu. Aku tidak pernah menyinggung masalah watak sebelumnya dengan kakak-kakak sebelummu. Apabila mereka memenuhi syarat yang aku berikan, maka mereka dapat segera menerima puncak ilmu itu. Tetapi ketahuilah, sebagai seorang pedagang, meskipun aku memperdagangkan ilmu, maka milikku pasti harus lebih baik dari milik orang lain. Ilmuku pun harus lebih baik dari ilmu orang lain. Karena itu, maka tidak pernah aku mencoba memberikan sebaik-baiknya kepada mereka. Aku memberi seperti orang berjual beli. Sedikit mungkin untuk harga yang semahal mungkin. Aku tidak pernah mempedulikan untuk apa saja ilmu itu kelak. Tetapi kini tidak, Sumekar. Untuk pertama kalinya aku berpesan kepada seorang muridku, bahwa ilmu hanya berguna bagi pengabdian. Ilmu yang dipergunakan untuk hal-hal yang sebaliknya, pasti akan berarti bencana. Bencana bagi manusia dan kemanusiaan."
Sumekar menjadi semakin tumungkul. Terasa kata-kata gurunya itu seolah-olah menyusup ke dalam jantungnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri, maka kepalanya pun mengangguk-angguk kecil.
"Nah, Sumekar."
Berkata gurunya.
"kini berdoalah di dalam hati. Mulailah dengan kesiapan tertinggi untuk menerima Aji Kala Bama. Kau sendirilah yang sebenarnya harus menghisap Aji itu sesuai dengan pemusatan nalar dan rasa. Aku hanya akan menuntunmu."
Sumekar membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berdesis.
"Aku telah siap guru."
Demikianlah maka keduanya kemudian tenggelam dalam pengerahan segenap kemampuan lahir dan batin.
Empu Sada telah bertekad untuk menjadikan muridnya yang seorang ini sebagaipewaris yang paling sempurna dari ilmunya.
Penyesalan atas masa lampau telah mendorongnya untuk berbuat sendiri yang seakan- akan ingin dipergunakannya untuk mengurangi kesalahan-kesalahan itu.
Ia mengharap bahwa muridnya yang seorang ini dapat menerapkan ilmunya untuk kebajikan, seperti apa yang dilihatnya atas murid-murid Panji Bojong Santi dan apalagi murid Empu Purwa.
Meskipun seandainya muridnya tidak akan dapat berbuat seperti mereka, namun setidak-tidaknya muridnya tidak menyalah-gunakan ilmu yang dimilikinya dan betapa kecilnya akan dapat menyerahkan ilmu itu untuk suatu pengabdian.
Malam berjalan terus bintang-bintang di langit bergeser semakin jauh ke barat, seperti permata yang bertaburan pada sebuah permadani yang berputar pada bola langit yang bulat.
Angin yang basah mengalir lembut mengisap dedaunan yang nyenyak tertidur berselimutkan embun.
Akhirnya, langit yang kelam itu menjadi semburat merah oleh warna fajar.
Perlahan-lahan cahaya yang memancar dari balik cakrawala merayap semakin tinggi.
Dan berhamburanlah kokok ayam jantan di antara kicau burung-burung liar di fajar pagi.
Kedua murid Empu Sada pun kemudian terbangun dari tidurnya.
Seperti biasa mereka segera melakukan pekerjaan mereka.
Menimba air bersama para pelayan.
Membersihkan halaman dan isi rumah.
Semula mereka tidak memperhatikan bahwa mereka tidak segera menjumpai Sumekar di dalam rumah itu.
Tetapi lambat laun terasa sesuatu yang kurang.
"Dimanakah Kakang Sumekar?"
Desis yang seorang. Kawannya menggelengkan kepalanya.
"Aku belum melihatnya."
Jawabnya.
Ketika kemudian mereka bertanya kepada para pelayan, maka tak seorang pun yang melihatnya.
Tak seorang pun yang mengerti kemana anak muda itu pergi.Tetapi, kedua murid Empu Sada itu melihat pintu bilik di halaman belakang tertutup rapat.
Karena itu maka berkata salah seorang dari mereka.
"Mungkin kakang Sumekar ada di dalamnya."
Tetapi keduanya tidak yakin akan hal itu. Mereka sama sekali tidak mendengar langkah apapun di dalam bilik itu. Bahkan bilik itu seolah-olah sedang tertidur nyenyak meskipun matahari telah mulai melepaskan sinarnya yang kekuning-kuningan.
"Mungkin kakang Sumekar tidur di dalamnya"
Berkata salah seorang dari mereka.
"Apakah guru juga pergi?"
Kawannya mengangkat bahu katanya.
"Tak seorang pun yang dapat mengatakan tentang guru. Apakah guru ada di rumah ataukah sedang pergi."
Keduanya pun kemudian terdiam.
Mereka meneruskan kerja mereka, membersihkan rumah dan halaman.
Para pelayan pun melakukan pekerjaan mereka seperti biasa.
Tetapi kali ini Sumekar tidak ada di antara mereka.
Biasanya Sumekar lah yang memimpin mereka dan memberi beberapa petunjuk tentang pekerjaan yang harus mereka lakukan hari itu.
Namun mereka tidak dapat berpangku tangan, membiarkan padepokan itu terbengkalai karena Sumekar tidak mereka temui.
Kedua murid Empu Sada itu semakin siang menjadi semakin gelisah.
Kalau Sumekar tidur di dalam bilik itu, ia pasti sudah terbangun.
Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak berani mengetuk pintu yang masih saja tertutup itu.
Sehari itu padepokan Empu Sada yang sunyi terasa menjadi semakin sunyi.
Kedua muridnya dan para pelayan hampir-hampir tidak berbicara satu sama lain.
Mereka lebih banyak merenung dan menebak di dalam hati.
Tetapi pintu bilik di halaman belakang itu masih juga tertutup, dan mereka masih juga belum menemukan Sumekar, apalagi guru mereka, Empu Sada.Baru ketika matahari lingsir ke Barat menjelang senja, maka hati kedua murid Empu Sada itu menjadi berdebar-debar.
Mereka melihat pintu bilik itu bergerak-gerak.
Sejenak kemudian mereka mendengar pintu itu bergerit.
Kedua murid Empu Sada itu tidak tahu kenapa mereka menjadi berdebar-debar.
Meskipun mereka tahu bahwa bilik itu memang bilik yang khusus, tetapi kali ini mereka merasa hati beberapa perbedaan dari hari-hari yang lampau.
Mereka seakan-akan melihat, bahwa di belakang pintu yang sedang bergerit itu tersembunyi sebuah rahasia yang besar.
Ketika pintu itu terbuka dada kedua murid itupun berdesir.
Hampir tidak sabar mereka menunggu, siapakah yang berada di dalam bilik itu.
Mereka menahan nafas ketika kemudian mereka melihat guru mereka, Empu Sada melangkah keluar pintu dengan wajah yang pucat.
Tetapi ketika Empu Sada itu melihat kedua muridnya, maka orang tua itu tersenyum.
Perlahan-lahan ia berkata.
"Kakakmu ada di dalam bilik itu."
Kedua muridnya termangu-mangu. Ia tidak tahu maksud gurunya. Apakah mereka harus masuk ke dalam bilik itu? Tetapi keduanya tidak berani bertanya. Mereka hanya memandang saja ketika gurunya berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam rumah.
"Apakah yang sudah terjadi?"
Bisik salah seorang dari mereka.
"Entahlah"
Sahut yang lain.
"Marilah kita lihat."
Ajak yang pertama.
Kawannya menjadi agak ragu-ragu.
Tetapi kemudian mereka melangkah memasuki bilik yang khusus mereka pergunakan untuk berlatih.
Mereka tertegun ketika mereka melihat Sumekar sedang mengemasi beberapa macam senjata.
Beberapa macam benda yangtidak mereka mengerti.
Mereka melihat beberapa batang besi yang melengkung dan beberapa senjata terpatah-patahkan.
Di sudut ruangan mereka melihat sebuah batu yang pecah berserakan.
"Apa Yang telah terjadi."
Tiba-tiba terloncat sebuah pertanyaan dari salah seorang dari mereka.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak apa-apa."
Jawab Sumekar tersenyum.
Ketika ia tegak berdiri, maka kedua tangannya mengusap peluh yang membasahi wajahnya.
Tiba-tiba salah seorang murid Empu Sada itu mengerutkan keningnja.
Batu-batu Yang pecah berserakan, senjata-senjata yang patah dan keringat Sumekar Yang seakan-akan terperas dari dalam tubuhnya ternyata telah memberinya petunjuk.
Dengan suara gemetar ia berdesis.
"Kala Bama."
Sumekar berpaling kearah adik seperguruannya itu. Tampaklah wajahnya berkerut. Tetapi kemudian ia berdesis.
"Ya. Tetapi jangan membual."
"Tidak."
Jawabnya.
"berbahagialah kakang Sumekar yang telah mendapat kesempatan memiliki Aji Kala Bama."
"Pada saatnya kalian pun akan memilikinya pula."
Kuda murid Empu Sada itu menggelengkan kepalanya. Dengan wajah Yang suram salah seorang berkata.
"Tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Aku tidak akan dapat menyediakan syarat yang diminta oleh guru untuk itu."
Sumekar mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia tersenyum.
"Tidak. Syarat itu tidak akan memberatimu lagi."
Kedua murid Empu Sada Yang muda itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak tahu maksud kata-kata Sumekar.
"Marilah."
Berkata Sumekar.
"bantulah aku membersihkan tempat ini."Kedua adik seperguruannya itu segera membantu membersihkan tempat itu. Namun hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti, bahwa apa yang terjadi itu sama sekali tidak menimbulkan suara sedikit pun. Demikian tajamnya pertanyaan itu membelit hatinya, sehingga salah seorang dari mereka tanpa lesadarnya bertanya.
"Kakang, bagaimana mungkin hal ini terjadi tanpa suara?"
"Ah, tentu saja apa yang terjadi ini menimbulkan suara yang amat ribut."
"Tetapi kami tidak mendengarnya."
"Kau masih tidur."
Sahut Sumekar.
"semuanya terjadi sebelum fajar. Sesudah itu aku pun menjadi pingsan hampir sehari penuh."
Kembali kedua adik seperguruan Sumekar itu saling berpandangan.
"Pingsan hampir sepanjang hari."
Desis mereka di dalam hati. Dengan demikian mereka dapat membayangkan betapa beratnya saat-saat yang harus dilewati selama seseorang menerima puncak tertinggi ilmu dari perguruan Empu Sada. Sejenak kemudian Sumekar itu pun berkata.
"Belajarlah dengan tekun. Menerima ilmu tertinggi itu benar-benar memerlukan kesiapan yang cukup. Lahir dan batin."
Kedua adik-adik seperguruan Sumekar itu pun mengangguk- anggukkan kepalanya. Dan Sumekar berkata seterusnya.
"Perguruan Empu Sada kini telah berubah warnanya. Bukan perguruan yang dahulu. Dari perguruan ini untuk seterusnya harus memancar kebajikan. Ilmu yang kalian terima harus menjadi pelita bagi mereka yang kegelapan, bukan sebaliknya. Dan pelita itu harus bersinar terang. Bukan pelita yang ditutup di bawah belanga. Betapapun terangnya pelita itu, namun sinarnya yang tertutup sama sekali tidak berarti. Tetapi pelita, itu harus menyala, bersinar dan menerangi keadaan di sekitarnya."
Kedua adik seperguruan Sumekar itu ternganga-nganga mendengar keterangan kakaknya.
Mereka belum pernah mendengar hal-hal yang demikian sebelumnya.
Mereka hanya sekedar menerima petunjuk mengenai beberapa macam ilmu gerakmenirukan dan memahami.
Kemudian setiap kali, pada saatnya, mereka harus menyerahkan uang atau benda-benda berharga.
Kalau tidak, maka mereka pun harus berhenti.
Tak ada lagi tambahan ilmu yang akan mereka terima.
Itu saja.
Sementara itu Empu Sada telah berada di dalam biliknya.
Terasa betapa sepi dunianya.
Namun setelah ia memberikan ilmu tertinggi kepada muridnya, terasa bahwa dadanya menjadi agak lapang.
Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia seakan-akan didorong dalam suatu keharusan untuk dengan segera mewariskan ilmunya.
Bahkan tidak saja seperti yang pernah diberikannya kepada murid-muridnya yang lain, maka Sumekar telah menerima lebih banyak dari mereka.
Betapa lelahnya lahir dan batin, maka anak muda itu jatuh pingsan hampir sehari penuh.
Kini dada Empu Sada menjadi lapang.
Lapang tetapi sepi, seperti sepinya Padang rumput Karautan Yang luas.
Orang tua itu berkali- kali menarik nafas dalam-dalam.
Tanpa dikehendakinya, maka direbahkannya dirinya di pembaringannya.
Ia pun merasa lelah sekali, setelah dengan penuh kesungguhan diturunkannya ilmu terakhirnya kepada Sumekar.
Tetapi dalam kesepian itu tumbuhlah segenap kenangan masa lampaunya.
Seorang demi seorang datang dan pergi dari angan- angannya.
Empu Sada menjadi berdebar-debar ketika terbayang kembali betapa ia dikecewakan oleh seorang gadis Yang bernama Jun Rumanti.
"Aku menjadi kehilangan keseimbangan."
Desisnya.
"dan lahirlah seorang Empu Sada yang telah mengotori jagad."
Empu Sada menggigit bibirnya. Alangkah cupet budinya. Perbuatannya benar-benar telah tersesat.
"Kita bersama-sama telah hancur,"
Desahnya kemudian.
"aku, Jun Rumanti dan suaminya yang meninggal itu."
"Tetapi."
Tiba-tiba Empu Sada bangkit.
"Jun Rumanti telah melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki yang baik, yang telah berbuat kebajikan. Lalu apa yang dapat aku lahirkan? Anaktidak, tingkah laku pun tidak. Apalagi pengalaman terhadap manusia dan kemanusiaan."
Empu Sada itu termenung sejenak.
"Aku baru mencoba,"
Katanya di dalam hati.
"mudah-mudahan Sumekar itu dapat berbuat baik seperti Mahisa Agni."
Angan-angan orang tua itu pun kini seakan-akan terhisap di seputar Mahisa Agni. Kembali terbayang anak muda itu merayap masuk kedalam perangkap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
"Anak itu anak Jun Rumanti."
Desisnya.
"kalau aku tahu sebelumnya."
"Tetapi mudah-mudahan aku belum terlambat."
Tiba-tiba orang tua itupun meloncat dari pembaringannya.
"alangkah bodohnya aku. Kenapa aku berbaring saja di pembaringan, sedang bahaya yang sebenarnya telah siap menerkam anak itu?"
Sejenak Empu Sada menjadi ragu-ragu.
"Jangan-jangan kehadiranku akan disambut oleh para prajurit Tumapel di Padang Karautan."
"Tidak, aku akan pergi ke Panawijen. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Mahisa Agni."
Empu Sada itu pun kemudian membulatkan hatinya.
Disadarinya bahwa sebenarnya kegelisahan telah mencengkamnya sejak ia bermaksud menemui Ken Dedes di istana, apalagi setelah diketahuinya bahwa Mahisa Agni adalah anak Jun Rumanti.
Empu Sada itu pun kemudian membenahi dirinya.
Dihirupnya semangkuk air hangat yang disediakan untuknya dan dimakannya beberapa suap nasi.
Terasa betapa nikmatnya setelah ia bekerja keras lebih dari sehari penuh.
Dikenyamnya makanan itu dengan sepenuh minat.
"Alangkah enaknya makanan ini dan alangkah segarnya air padepokanku."
Sejenak kemudian Empu Sada meraih tongkat panjangnya. Dibelainya tongkat itu seperti membelai kekasih. Perlahan-lahan ia melangkah keluar biliknya."Aneh,"
Desisnya.
"berpuluh tahun aku tinggal di padepokan ini, tetapi seakan-akan aku menjadi orang asing di sini."
Diamatinya setiap bagian rumahnya. Rumah yang didiaminya sejak lama. Tetapi seakan-akan ia belum pernah melihatnya. Ukiran pada pangkal tiang. tlundak dan ajuk-ajuk yang disungging dengan warna-warna yang cerah. Lampu dinding dan lampu gantung.
"O, rumah ini rumah yang cukup baik."
Pikirnya. Tiba-tiba Empu Sada ingat pada kekayaannya yang tersimpan di bilik sebelah, di dalam lubang yang hanya diketahuinya sendiri. Peti yang disandingnya sama sekali bukanlah kekayaan yang sebenarnya.
"Aku sudah tidak memerlukannya lagi."
Desisnya.
"Aku sudah tidak memerlukan kekayaan duniawi. Ternyata benda-benda itu tidak dapat memberi aku apa-apa."
Karena itu maka dipanggilnya Sumekar. Diajaknya anak muda itu berbicara seorang diri.
"Sumekar."
Berkata Empu Sada.
"hari ini aku akan pergi."
Sumekar mengerutkan keningnya. Dengan bimbang ia bertanya.
"Kemana guru?"
"Ah, apakah kau pernah mengetahui kemana aku pergi?"
"Kadang-kadang guru."
"Ya, kadang-kadang aku memberitahu kepadamu kemana aku pergi, tetapi sebagian besar dari pengembaraanku, tak seorang muridku pun yang mengetahuinya."
Sumekar tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam- dalam.
"Sumekar."
Berkala gurunya kemudian.
"kau adalah penerus dari padepokan Empu Sada. Kalau aku lambat kembali, atau bahkan tidak kembali sama sekali, maka kau lah yang wajib meneruskan tata kehidupan di padepokan ini. Kau harus mangerti apa yang sebaiknya dilakukan. Kau harus mulai mengenali musim untuk menanami sawah. Kau harus mengenal mangsa dan wataknya.Bukan saja ilmu beladiri dan olah kanuragan. Para pembantumu harus selalu bekerja dengan baik dan rajin."
Sumekar menjadi heran mendengar pesan gurunya. Tanpa disadarinya sekali lagi ia bertanya.
"Kemanakah guru akan pergi?"
Empu Sada memandangi wajah anak muda itu. Ia melihat sorot mata yang tulus. Tetapi ia tidak dapat memberitahukannya. Karena itu maka jawabnya.
"Aku akan pergi seperti aku pergi di waktu- waktu yang lalu. Tetapi kali ini aku mempunyai kepentingan yang lain. Aku tidak lagi ingin mendapatkan benda berharga. Ternyata benda-benda berharga, kekayaan dan mas picis itu sama sekali tidak memberi apa-apa kepadaku. Aku masih tetap seorang pengembara, yang hampir setiap hari menanggung lapar dan haus diperjalanan. Aku masih juga tetap seorang yang berpakaian kumal seperti ini. Aku tidak mengenakan timang tretes berlian, tidak menyelipkan keris berwrangka emas dan ditaburi oleh permata. Tidak memakai kampuh yang diwarnai dengan gemerlapnya prada. Tidak. Sehingga karena itu maka apa yang aku cari selama ini ternyata tidak berarti apa-apa bagiku."
Sumekar menjadi semakin tunduk. Dirasakannya bahwa diantara kata-kata gurunya itu terselip suatu penjesalan yang tiada taranya.
"Sumekar."
Berkata gurunya lebih lanjut.
"ternyata aku telah keliru mencari bekal dalam hidupku. Aku sangka emas picis raja brana itu akan memberiku ketentraman dan kebahagiaan. Tetapi ternyata bukan. Bukan itu Sumekar. Mungkin kekayaan akan dapat menjadi salah satu syarat untuk menemukan ketentraman dan kebahagiaan, namun apa bila syarat itu berubah menjadi tujuan, maka hidup kitapun akan jatuh kedalam genggamannya. Maka akan celakalah kita karenanya. Aku adalah contoh yang paling dekat Sumekar. Aku hidup dalam perbudakan yang aku jeratkan sendiri keleherku. Aku menjadi liar dan buas untuk mendapatkan harta kekayaan, sedang harta kekayaan itu sama sekali tidak berguna bagiku."
Empu Sada berhenti sejenak. Ditatapnya wajah muridnya yang tunduk. Sejenak kemudian Empu Sada itu meneruskan.
"Bukankahkau lihat Sumekar bahwa kekayaanku tidak memberi aku apa-apa. Jasmaniah apa lagi rokhaniah. Nah, kenanglah apa yang terjadi atasku. Mudah-mudahan akan dapat menjadi petunjuk bagi hidupmu kelak."
Sekali lagi Empu Sada berhenti. Tatapan matanya kini menjadi kian pudar. Lalu katanya.
"Meskipun telah terlambat Sumekar, aku kini ingin mendapat bekal yang lain. Aku sudah terlambat. Aku sudah tua. Aku harus menemukan sesuatu yang berarti dalam hidupku betapapun kecilnya. Ternyata kekayaan yang terbaik di dalam hidup ini adalah hubungan yang erat antara kita dengan Yang Maha Agung. Hubungan yang paling mesra indah ketentraman dan kebahagiaan sejati."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata gurunya itu meresap langsung ke dalam kalbunya. Sentuhan-sentuhan yang menggeser hatinya telah menumbuhkan pahatan yang dalam. Yang tidak mudah terhapus oleh sentuhan-sentuhan yang lain.
"Karena itu Sumekar."
Berkata gurunya lebih lanjut.
"aku menganggap bahwa apa yang aku miliki selama ini sama sekali tidak berarti lagi bagiku. Semuanya akan aku serahkan kepadamu. Terserahlah, apa yang akan kau perbuat dengan semuanya itu. Mungkin kau akan dapat membangun sesuatu yang berarti bagi padepokan ini, atau mungkin kau merasa perlu untuk menolong orang-orang miskin di sekitar kita, atau apapun yang kau anggap perlu. Apabila kau mengenal pemiliknya, alangkah senang hatiku kalau kau sempat mengembalikan kepadanya."
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sumekar mengangkat wajahnya. Ia tidak begitu mengerti maksud kata-kata gurunya itu, sehingga gurunya menjelaskan.
"Sumekar, semua kekayaan yang pernah aku dapatkan dengan jalan apapun, kini aku serahkan saja kepadamu untuk keperluan yang kau anggap penting sesuai dengan pendirianmu."
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar.
Ia tahu benar, bahwa gurunya menyimpan kekayaan tiada taranya.
Sekarang kekayaan itu diserahkannya kepadanya, tetapi dengan pesan yang mengikatnya.
Tetapi pesan itu telah membesarkan hatinya.
Karena itu makaSumekar itu berkata dengan tajimnya.
"Terima kasih atas kepercayaan itu guru. Mudah-mudahan aku akan dapat melakukan pesan yang guru berikan. Mudah-mudahan akupun tidak akan jatuh ke dalam cengkeramannya. Memperhambakan diri kepada harta benda itu."
"Aku percaya kepadamu Sumekar, apalagi setelah kau melihat sendiri contoh yang paling baik yang dapat kau saksikan."
Sumekar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab.
"Mudah- mudahan guru. Mudah-mudahan yang Maha Agung selalu memberi sinar terang di dalam hatiku."
Empu Sada pun kemudian mengajak Sumekar masuk ke dalam biliknya.
Ditunjukkan segala rahasia yang selama ini seakan-akan hanya diketahuinya sendiri.
Ditunjukkannya celah dan lubang- lubang tempat harta bendanya tersimpan.
Meskipun Sumekar telah menyangkanya, tetapi ketika ia sempat melihat sendiri apa yang disimpan gurunya, darahnya seakan-akan membeku karenanya.
Sesaat ia berdiri seperti patung.
Sekali-sekali dipejamkannya matanya seakan-akan ia tidak yakin atas apa yang dilihatnya.
"Jangan heran."
Berkata gurunya.
"ini adalah ujud dari bencana yang selama ini membelengguku. Kini aku menjadi gembira dan berterima kasih kepada Yang Maha Agung yang telah membebaskan aku dari padanya."
Sumekar tidak menjawab. Matanya masih melekat pada benda- benda yang berkilauaan itu.
"Sisihkan milik Kuda Sempana. Aku masih mengharap ia kembali kepadaku. Aku akan mencoba membebaskannya dari belenggu yang dijeratkannya sendiri pula. Meskipun bentuknya agak berbeda, tetapi kedua-duanya dikendalikan oleh nafsu duniawi. Kuda Sempana pun telah dicekik oleh nafsunya. Nafsu memiliki seorang gadis cantik yang bernama Ken Dedes. Meskipun ujudnya tidak sama dengan benda-benda yang telah menjeratkan, namunwataknya tidak jauh berbeda. Kedua-duanya digerakkan oleh nafsu duniawi."
Sumekar masih berdiam diri, tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau Kuda Sempana kelak menyadari keadaannya, maka barang-barangnya itu akan dapat sedikit menghiburnya."
Empu Sada berhenti sejenak, lalu katanya.
"Apakah kau mengerti maksudku Sumekar."
"Ya guru,"
Jawab Sumekar.
"aku mengerti."
"Baik. Manfaatkan harta benda ini untuk kepentingan sesama. Dengan demikian, aku akan dapat pergi dengan dada yang lapang. Aku kini merasa bahwa tanganku telah lepas dari belenggu yang selama ini menjeratku. Aku kini menjadi manusia yang bebas. Dalam sisa-sisa umurku aku akan berusaha untuk menjadikan hidupku berarti, berarti bagi sesama betapapun kecil arti itu."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi tanpa sesadarnya ia bertanya.
"Kemanakah guru akan pergi?"
"Pertanyaanmu telah kau ucapkan untuk ketiga kalinya Sumekar. Maaf, aku tidak dapat menjawab, karena aku sendiri belum menentukan sikap. Kemana dan untuk apa aku pergi."
Sumekar menggigit bibirnya.
Ia merasa bahwa pertanyaanya itu agak mengganggu gurunya.
Sebelumnya ia sama sekali tidak bernafsu untuk mengetahui kemanakah gurunya akan pergi.
Sekali dua kali ia mengucapkan pertanyaan serupa itu.
Tetapi pertanyaan itu meluncur saja dari bibirnya tanpa suatu maksud.
Pertanyaan itu diucapkannya hanya sekedar untuk memperpantas sikap.
Tetapi kini anak muda itu benar-benar ingin tahu, kemanakah gurunya akan pergi.
Namun sayang, gurunya tidak memberitahukannya.
"Sumekar."
Berkata Empu Sada.
"kau kini menjadi wakilku. Wakil dalam segala persoalan. Kau jugalah yang harus menuntun adik- adik seperguruanmu. Tetapi ingat, tuntunlah ia lahir dan batinnya. Bahkan seandainya ada kakak-kakak sepergurumu yangberkepentingan dengan padepokan ini, maka segala persoalannya harus kau terima sebagai wakilku. Kalau aku lambat kembali atau tidak kembali sama sekali, kembangkanlah nama padepokan ini sebaik-baiknya. Kau mengerti?"
Sumekar mengangguk, jawabnya.
"Ya guru."
"Terima kasih,"
Sahut gurunya.
"aku percaya kepadamu."
"Tetapi,"
Berkata Sumekar kemudian.
"apakah yang dapat aku lakukan terhadap kakak-kakak seperguruanku? Mereka tahu siapa aku dan mereka merasa bahwa mereka lebih berhak untuk berbuat seperti itu."
"Tetapi aku pun berhak menentukan siapakah yang aku percaya untuk mewakili aku."
Sahut gurunya.
"Sumekar, meskipun kau masih muda, tetapi kau aku anggap mencukupi syarat untuk berbuat demikian. Seandainya ada yang mencoba memaksakan kehendaknya, maka kau pun dapat bertahan atas sikap itu, bahkan seandainya dengan kekerasan sekalipun. Tak seorang pun yang dapat aku percaya menerima harta benda sebanyak ini tetapi tidak untuk dirinya sendiri, selain kau."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tugas itu bukan tugas Yang ringan. Namun gurunya berkata selanjutnya.
"Baiklah. Kalau kau memerlukan bukti kepercayaanku. Tongkatku akan aku tinggalkan untukmu, sebagai pertanda bahwa aku telah menyerahkan segala sesuatunya kepadamu."
Sekali lagi darah Sumekar terasa berhenti mengalir.
Agaknya gurunya benar-benar telah melepaskan padepokan ini.
Terasa oleh anak muda itu, seakan-akan pertemuannya dengan gurunya kali ini adalah kali yang terakhir.
Ketika gurunya menyerahkan tongkatnya, maka Sumekar menerimanya dengan tangan gemetar.
Tetapi sentuhan tangannya pada tongkat itu merasakan, bahwa tangan gurunya pun gemetar pula.Ternyata Empu Sada merasakan sebuah goncangan pada perasaannya pada saat tongkat itu lepas dari tangannya.
Tongkat itu adalah ciri dirinya dan juga senjatanya.
Seorang yang bertongkat panjang adalah seorang yang bernama Empu Sada, seperti Panji Bodjong Santi dengan kasa kulit harimaunya, seperti Empu Gandring dengan keris raksasanya.
Dan kini tongkat itu lepas dari tangannya.
Namun untuk suatu, kepentingan yang tidak kalah besarnya dari setiap kepentingan yang akan dihadapinya.
"Guru."
Desis Sumekar setelah ia menerima tongkat.
"aku hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih. Tetapi bagaimana dengan guru sendiri? Bukankah tongkat ini ciri kebesaran guru dan merupakan senjata guru pula."
Empu Sada tersenyum. Tetapi senyumnya membayang seperti bulan disaput awan. Suram.
"Aku tidak memerlukannya lagi Sumekar. Aku tidak ingin lagi mempergunakan akan senjata untuk menimbun harta benda yang tidak berarti apa-apa dalam hidupku. Aku tidak lagi ingin memamerkan namaku yang kotor itu lewat tongkatku. Bahkan aku ingin kalau aku dapat meninggalkankan bahkan melupakan masa- masa lampauku, apabila mungkin."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
la merasakan keanehan sikap gurunya.
Sikap itu bukan sekedar sikap penjesalan, tetapi sikap itu telah sangat merisaukannya.
Sejenak keduanya saling berdiam diri.
Yang terdengar kemudian adalah nafas Sumekar yang terengah-engah.
Di luar bilik Empu Sada terdengar kedua murid Empu Sada yang lain terbatuk-batuk.
Mereka sedang menyalakan lampu-lampu di dalam rumah.
Tetapi mereka tidak berani masuk kedalam bilik gurunya, seperti setiap hari.
Yang berani masuk kedalam bilik itu hanya Sumekar selain gurunya sendiri.
Hanya apabila perlu sekali seorang dua orang berani dengan tergesa-gesa.
"Sumekar."
Berkata Empu Sada kemudian.
"ternyata hari telah terlampau gelap. Ambillah pelita dan terangilah bilik ini. Untukseterusnya bilik ini adalah bilikmu sambil menjaga semua harta benda itu, sampai suatu ketika harta benda itu habis terbagi dan jatuh ketangan yang benar memerlukannya."
Kali ini Sumekar tidak dapat lagi menahan pertanyaannya meskipun ia ragu-ragu mengucapkannya.
"Guru, kenapa guru merasa bahwa guru akan lambat kembali dan bahkan mungkin tidak kembali sama sekali."
Sekali lagi Empu Sada tersenyum. Senyum yang suram. Katanya.
"Aku tidak tahu. Jangan tanyakan itu lagi. Sekarang, pasanglah pelita, dan seterusnya aku akan pergi meninggalkan padepokan ini."
"Guru."
Potong Sumekar.
"Jangan bertanya lagi. Lakukan perintahku. Ambillah pelita. Bilik ini telah terlampau gelap."
Sumekar tidak berani bertanya lagi.
Betapa hatinya diliputi oleh seribu satu macam pertanyaan, namun ia tidak berani mengucapkannya.
Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar.
Di luar bilik di ruang dalam telah terpasang lampu dinding.
Nyala apinya bergetar karena angin yang menyusup lubang-lubang dinding.
Sumekar pergi kebelakang untuk mengambil pelita yang setiap hari dipasangnya di bilik Empu Sada.
Ternyata pelita itu telah menyala.
Ketika ia mengambil pelita itu, terdengar adik seperguruannya bertanya.
"Kakang, apakah yang kau bicarakan dengan guru? Apakah penting sekali?"
Sumekar menggeleng.
"tidak. Tidak ada apa-apa."
Tetapi wajah adik seperguruannya masih saja dibayangi oleh keinginannya untuk mengetahui serba sedikit apakah yang sedang mereka bicarakan.
"Aku merasa, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar,"
Desah salah seorang adik seperguruannya itu."Tidak apa-apa."
Sahut Sumekar.
"adalah soal biasa saja yang dipesankan guru kepadaku. Rajin bekerja, tekun berlatih dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela."
Kedua adik ieperguruannya itu mengerutkan keningnya. Pesan itu tidak pernah didengarnya. Tetapi ketika mereka akan bertanya lagi, Sumekar berkata.
"Nanti sajalah kita berbicara. Guru menunggu di dalam bilik yang terlampau gelap."
"Pelita itu telah lama terpasang."
Sahut salah seorang adik seperguruannya.
"tetapi aku tidak berani membawanya masuk ke dalam bilik guru."
Sumekar tersenyum, meskipun senyumnya tidak terlampau.
Dengan pelita di tangan Sumekar berjalan masuk kembali ke dalam rumah, kemudian ke dalam bilik gurunya.
Tetapi ketika ia sampai kedalam bilik itu, gurunya tidak dijumpainya di dalam.
Yang ada di dalam bilik itu hanyalah tongkatnya saja yang telah diserahkannya kepadanya.
"Kemanakah Empu Sada."
Desis Sumekar didalam hatinya.
Tetapi Sumekar tidak segera mencarinya.
Disangkanya gurunya sedang pergi keluar sebentar.
Tetapi ternyata gurunya tidak segera ditemuinya kembali ke dalam biliknya.
Sejenak ia menunggu, tetapi gurunya belum juga datang.
Betapa terkejut anak muda itu ketika tiba-tiba ia mendengar kaki kuda berderap.
Dengan sigapnya ia meloncat langsung liwat pintu depan.
Dan apa yang dilihatnya benar-benar telah menghentikan arus darahnya.
Ia melihat gurunya berpacu di atas kudanya.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Guru."
Teriak Sumekar. Gurunya berpaling. Ditariknya kekang kudanya untuk memperlambat derap kakinya. Masih di atas punggung kuda orang tua itu berkata.
"Selamat tinggal Sumekar. Kaulah kini ketua padepokan ini. Kerjakanlah pesanku selama aku pergi, atau bahkan apabila aku tidak kembali lagi.""Guru."
Banyak yang akan diteriakkannya, tetapi yang terloncat dari mulutnya hanyalah satu kata.
Sumekar masih melihat gurunya tersenyum.
Namun sejenak kemudian kuda yang ditumpanginya meloncat keluar regol halaman.
Dan hilanglah gurunya dari pandangan matanya.
Sejenak Sumekar berdiri mematung.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya.
Ia melihat gurunya pada saat-saat terakhir seperti orang asing yang baru dikenalnya.
Perubahan sikap dan perbuatannya benar-benar telah membingungkannya.
Hampir- hampir ia tidak percaya, bahwa orang yang sedang melarikan kudanya itu adalah Empu Sada yang sebelumnya pernah menuntunnya dalam ilmu tata beladiri.
Seandainya kemudian orang itu memberinya ilmu tertinggi, Kala Bama, maka mungkin ia tidak lagi percaya bahwa orang itu adalah Empu Sada.
Tetapi Empu Sada itu telah pergi.
Apapun yang pernah dilakukan, namun orang itu adalah gurunya.
Telah bertahun-tahun ia berada di dalam padepokan itu sebagai seorang murid.
Bahkan seandainya Empu Sada itu tidak berubah pada saat-saat terakhir, namun ia tidak dapat mengingkarinya bahwa ia pernah berguru kepadanya.
Dan ia tidak tahu, kenapa ia terdampar kedalam perguruan itu meskipun ia tahu sebelumnya, bahwa hidup gurunya diliputi oleh suatu rahasia yang kelam.
Sumekar itu tersadar ketika ia mendengar salah seorang adik seperguruannya bertanya.
"Kakang, apakah guru pergi?"
Sumekar berpaling. Dilihatnya dua anak-anak yang masih sangat muda. Ditariknya nafas panjang-panjang. Jawabnya.
"Ya. Guru telah pergi."
Sejenak mereka saling berdiam diri.
Pandangan mata mereka masih saja melekat pada regol halaman.
Tetapi mereka sudah tidak melihat sesuatu.
Hanya pelita yang redup sajalah yang masih tergantung dan bergoyang ditiup angin.Malam menjadi semakin sepi.
Yang terdengar adalah pertanyaan adik seperguruan Sumekar.
"Kemanakah guru pergi?"
Sumekar menggelengkan kepalanya. Jawabnya.
"Aku tidak tahu."
Ketika Sumekar berpaling memandang kedua adik seperguruannya itu dilihatnya bahwa kedua wajah itu menjadi keheran-heranan mendengar jawaban Sumekar, sehingga Sumekar merasa perlu untuk menjelaskan.
"Sebenarnyalah aku tidak tahu kemana guru pergi. Bukankah aku baru saja mengambil pelita dari belakang? Ketika aku kembali ke dalam bilik, ternyata guru telah tidak ada di dalam. Aku sangka bahwa guru hanya keluar sebentar. Tetapi yang aku dengar adalah derap seekor kuda."
Kedua adik seperguruannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mereka masih juga diliputi oleh keheranan. Bahkan Sumekar itu tanpa dikehendakinya sendiri bergumam lirih.
"Mungkin guru akan sangat lambat kembali atau bahkan tidak sama sekali."
"He,"
Kedua adik seperguruannya itu terkerljut.
"Apakah guru tidak akan kembali?"
Kini Sumekar lah yang terkejut. Sejenak ia terdiam, namun kemudian terpatah-patah ia menjawab.
"Maksudku, guru belum pasti kapan akan kembali."
"Dari mana kakang tahu?"
Sekali lagi Sumekar tergagap. Namun kemudian jawabnya.
"Guru mengatakannya dari atas punggung kuda."
Kedua adik seperguruannya itupun mengangguk-anggukkan kepadanya. Salah seorang dari mereka berkata.
"Ya aku mendengar lamat-lamat. Mungkin guru tidak kembali."
Wajah kedua anak-anak muda itupun menjadi suram, seperti Sumekar merekapun tahu bahwa gurunya adalah seorang yang diliputi oleh seribu macam rahasia.
Bahkan kedua anak-anak itu merasa bahwa mereka tidak akan dapat sampai tangga tertinggidari perguruan Empu Sada karena syarat-syarat yang harus disediakan tidak akan pernah mencukupi.
Tetapi meskipun demikian kepergian gurunya itu mempengaruhi perasaannya juga.
Mereka pun merasakan kesedihan pada saat perpisahan yang aneh.
Dalam pada itu, Empu Sada sendiri berpacu di dalam gelap.
Dilepaskan segelap himpitan perasaannya dengan berpacu seperti dikejar hantu.
Disentuhnya setiap kali perut kudanya yang meloncat semakin lama semakin cepat.
Orang tua itu ingin segera menjauhi padepokannya.
Ia takut kalau padepokan yang telah didiaminya berpuluh tahun itu akan menariknya kembali.
Dengan sepenuh hati ia berusaha memutuskan hubungan antara dirinya dengan padepokannya.
Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia berusaha berbuat seperti itu.
Angin malam yang dingin terasa semakin kencang mengusap tubuh Empu tua yang sedang melarikan kudanya itu.
Sekali-sekali terdengar orang tua itu berdesah.
Ketika ia berpaling, maka yang dilihatnya hanyalah sebuah dinding hitam kelam yang seakan-akan berlari secepat lari kudanya, mengikutinya dibelakang.
Pendekar Bloon Karya SD Liong Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen