Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 32


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 32



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Tetapi disawah-sawah di sisi jalan orang tua itu melihat berjuta-juta kunang-kunang yang berkeredipan, seakan-akan bersaing dengan bintang yang bertaburan di wajah langit yang biru pekat.

   Empu Sada bahkan semakin mempercepat kudanya.

   Kini Empu Sada mencoba melupakan padepokannya.

   Yang dihadapinya adalah sebuah perjalanan ke Panawijen.

   Ia merasa langkah kaki kudanya itu terlampau lambat.

   "Mudah-mudahan aku tidak terlambat."

   Katanya di dalam hati.

   Ketika kudanya telah meninggalkan lingkungan tanah persawahan padepokannya, maka Empu Sada berhasil melepaskan kenangannya atas padepokannya itu.

   Dicobanya untuk membayangkan apa yang akan terjadi, dan apa saja yang dapat dikerjakan.

   Tetapi apabila ia terlambat dan MahisaAgni mengalami sesuatu, maka ia telah ikut serta menjerumuskan anak Jun Rumanti itu ke dalam bencana.

   Karena itu maka Empu Sada itu memacu kudanya lebih cepat.

   Seakan-akan didengarnya kembali kedua orang prajurit Tumapel yang bertugas di Padang Karautan itu berceritera tentang beberapa lumbung yang terbakar di Panawijen.

   Peristiwa itu seakan tergambar jelas di dalam angan-angannya.

   Semakin direnungkannya, maka iapun menjadi semakin yakin bahwa itu hanyalah sekedar akal Kebo Sindet untuk memancing Mahisa Agni.

   Sebenarnyalah bahwa apa yang terjadi adalah demikian.

   Sebelum kedua prajurit Tumapel kembali menghadap Akuwu untuk memberikan beberapa laporan, maka datanglah dua orang tua kePadang Karautan memberitahukan bahwa Panawijen tumbuh kebakaran.

   Tetapi kebakaran itu bukanlah kebetulan saja terjadi.

   Kebakaran yang terjadi dengan tiba-tiba itu ternyata telah digarap oleh tangan yang licik.

   Setelah melihat setiap kemungkinan, dan setelah mengenal berapa persoalan lebih banyak lagi atas Mahisa Agni, Panawidjen dan Kuda Sempana sendiri, maka Kebo Sintlet telah menemukan sebuah cara untuk menjebak Mahisa Agni.

   Demikian mahalnya Mahisa Agni bagi kedua iblis itu, maka segala cara telah dilakukan untuk menjeratnya.

   Bagi mereka, Mahisa Agni akan merupakan sebuah barang yang sangat berharga.

   Ia adalah kakak seorang gadis yang sebentar lagi akan naik jenjang perkawinan.

   Tidak dengan sembarang orang, tetapi dengan Akuwu Tumapel.

   Bukankah Mahisa Agni akan dapat menjadi barang taruhan untuk mendapatkan harta benda yang tidak ternilai banyaknya.

   Pada saat kedua bersaudara itu menemukan caranya, maka keduanya menjadi sangat bergembira, seakan-akan Mahisa Agni telah berada ditangannya.

   Keduanya menganggap bahwa Mahisa Agni mempunyai kedudukan yang penting pada saat-saatperkawinan, sebagai kakak gadis bakal permaisuri itu.

   Meskipun Akuwu dapat mempergunakan kekuasaanya untuk berbuat seperti yang dikehendaki, namun manurut peristiwa yang pernah terjadi, Ken Dedes merasa sangat terikat kepada kakaknya, sehingga apabila mungkin, maka segala usaha pasti akan dilakukan untuk menyelamatkannya.

   "Kalau usaha itu gagal,"

   Berkata Wong Sarimpat.

   "kita masih dapat memaksa Kuda Sempana untuk memberi seluruh kekayaannya kepada kita."

   "Huh, apakah kekayaan kelinci itu cukup banyak."

   Sahut Kebo Sindet.

   "pekerjaan kita ini tidak boleh gagal."

   Dengan rencana itu, maka pergilah kedua hantu dari Kemundungan itu ke Panawijen. Mereka telah membawa Kuda Sampana serta. Dangan segala macam akal, mereka telah membujuk Kuda Sempana untuk membatunya.

   "Jangan kau bawa-bawa ayahku pula."

   Katanya. Mendengar permintaan itu Wong Sarimpat tertawa terbahak- bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Katanya.

   "Apakah salahnya seorang ayah membantu anaknya untuk mencapai cita- citanya. Bukankah wanita sama nilainya dengan pusaka cita-cita."

   "Tetapi aku sudah cukup dewasa. Dan bukankah paman berdua adalah dua orang yang tidak ada tandingnya. Karena itu, jangan ayahku dibawa-bawa. Ia sudah cukup menderita melihat tingkah lakuku selama ini."

   "He,"

   Kebo Sindet memandangi wajah Kuda Sempana dengan tajamnya. Meskipun wajahnya yang mati itu tidak bergerak, tetapi sorot matanya seakan-akan langsung menembus dada.

   "Kuda Sempana."

   Berkata Kebo Sindet dengan nada yang berat.

   "memang aku bermaksud minta kepada ayahmu untuk menolong kita. Tetapi percayalah bahwa ia tidak akan banyak tersangkut. Ia hanya akan berbuat sedikit."

   "Apakah yang harus dilakukan?""Memberitahu Mahisa Agni, bahwa di Panawijen timbul kebakaran."

   "He."

   Kuda Sempana terkejut.

   "apakah paman akan membakar Panawijen."

   "Ya."

   Terasa dada Kuda Sempana berdesir. Betapa gelap hatinya, namun ia anak Panawijen sejak lahir. Panawijen Yang kini telah menjadi kering itu akan dibakar. Alangkah mengerikan.

   "Bagaimana pertimbanganmu?"

   "Mengerikan."

   Desisnya. Kembali terdengar Wong Sarimpat tertawa terbahak-bahak. Katanya di sela-sela derai tertawanya.

   "Kau benar-benar anak cengeng. Kau sudah basah di tengah-tengah banjir. Kau tidak akan dapat kembali, sebab bagimu akibatnya tidak ada bedanya."

   "Tetapi tidak menyeret orang lain untuk hanyut bersamamu."

   Sahut Kuda Sempana. Suara tertawa Wong Sarimpat menjadi semakin keras, begitu kerasnya sehingga dada Kuda Sempana serasa akan terpecahkan olehnya.

   "Kuda Sempana."

   Berkata Kebo Sindet. Wajahnya yang membeku itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan nama sekali.

   "sudah aku katakan, bahwa ayahmu hanya akan membantu, memberitahukan kepada Mahisa Agni, bahwa di Panawijen telah terjadi kebakaran."

   "Tidak ada gunanya."

   "Kenapa?"

   "Mahisa Agni telah mengenal ayahku. Ia tidak akan percaya."

   Wong Sarimpat tiba-tiba mengerutkan keningnya, sedang Kebo Sindetpun terdiam sejenak. Tetapi sesaat kemudian ia berkata,"Bagus. Ada jalan lain yang lebih baik. Lebih baik bagi kita dan lebih baik bagi ayah Kuda Sempana."

   "Apakah itu."

   Bertanya adiknya.

   "Ayah Kuda Sempana hanya mendorong seseorang atau dua orang untuk menyusul Mahisa Agni ke Padang Karautan."

   "Tak seorangpun yang berani."

   "Ayahmu harus memberi jaminan, bahwa tidak akan ada gangguan apapun di Padang Karautan. Ayahmu harus memilih orang-orang yang dapat dibujuknya. Dalam keadaan seperti sekarang, maka setiap orang Panawijen pasti ingin menjadi pahlawan. Apalagi kalau ayahmu dapat membujuk dan memberi mereka sekedar upah."

   Kuda Sempana tidak menjawab.

   Tetapi terasa dadanya menjadi pepat.

   Ia tidak mengerti, apakah sebenarnya yang kini dikehendaki? Mahisa Agni atau apa? Ia sendiri tidak tahu apakah ia akan tetap berada di dalam sarang dua serigala bersaudara itu.

   Seperti seorang yang kehilangan akal Kuda Sempana menundukkan kepalanya di atas punggung kudanya.

   Panawijen semakin lama menjadi semakin dekat.

   Ketika mereka memasuki daerah persawahan maka terasa dada Kuda Sempana berdebar terlampau cepat.

   Daun-daun yang kuning berguguran, tanah yang kering dan terpecah-pecah, memberikan kesan yang mengerikan, seperti terpecahnya hati dan perasaannya.

   Sekarang ia datang untuk membuat bencana baru.

   Dalam udara yang kering dan panas itu maka sepercik api akan dapat menjadikan Panawijen itu karang abang.

   "Apakah aku harus menyaksikan kampung halamanku ini menjadi neraka?"

   Kuda Sempana itu menjadi semakin tidak mengerti tentang dirinya sendiri.

   Sehingga akhirnya ia tidak mampu lagi untuk berpikir.

   Ia berbuat tanpa dapat diyakininya sendiri, apakah yang dilakukan itu berarti baginya.Kuda Sempana itu terkejut ketika tiba-tiba Kebo Sindet berkata.

   "Kita berhenti di sini. Kita sembunyikan kuda-kuda kita. Kita akan masuk ke Panawijen tampa diketahui oleh siapa pun. Kita akan menyalakan api. Beberapa buah lumbung dan rumah harus terbakar."

   Kuda Sempana sudah mendengar sebelumnya, bahwa mereka akan membakar Panawijen, tetapi ketika Kebo Sindet itu mengatakannya sekali lagi, maka dadanya menjadi berdebar-debar.

   "Apakah aku akan membiarkan kampung halamanku musnah dimakan api?"

   Desisnya di dalam hati. Tetapi ia menjadi termangu-mangu ketika Kebo Sindet yang seakan-akan mengerti perasaannya berkata.

   "Jangan cemas Kuda Sempana. Aku tidak akan membakar seluruh padukuhan Panawijen. Aku hanya akan membakar beberapa buah lumbung dan rumah di sekitarnya."

   "Panawijen kini sedang menderita kekeringan. Kalau lumbung- lumbung terbakar, maka mereka pasti segera akan mati kelaparan."

   "Sudah aku katakan, tidak semua lumbung akan aku bakar."

   "Yang satu atau dua lumbung itu pengaruhnya akan besar sekali bagi Panawijen."

   "Jadikanlah mereka korban dari cita-citamu. Jadikanlah mereka umpan kailmu. Kalau ikan yang akan kita pancing itu ikan yang besar, maka umpannyapun harus cukup besar pula yang akan aku jadikan umpan?"

   Dada Kuda Sempana berdesir.

   Sendirian itu merupakan ancaman baginya.

   Karena itu maka iapun berdiam diri.

   Betapa hatinya menukik, tetapi ia berhadapan dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Dua iblis kakak beradik yang benar-benar berhati iblis.

   Dengan demikian maka Kuda Sempana tidak dapat ber buat apa- apa lagi.

   Ia harus menurut saja ketika mereka menarik kuda-kuda mereka ke dalam gerumbul yang telah kekuning-kuningan.

   Kemudian sejenak mereka menunggu hari menjadi gelap.Ketika lamat-lamat dikejauhan terdengar bunyi burung kedasih, maka berkatalah Kebo Sindet.

   "Hari telah malam. Marilah kita lakukan pekerjaan kita."

   Kuda Sempana tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.

   Ia harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perasaannya.

   Tetapi ia tidak dapat menolak.

   Peristiwa demi peristiwa telah menghantam perasaan Kuda Sempana yang semakin lama menjadi semakin kosong.

   Semakin tidak dapat dimengertinya sendiri.

   Malam itu Kuda Sempana menyaksikan api yang melonjak kendara.

   Dengan hati yang pedih ia melihat orang-orang Panawijen saling berlari dan berteriak-teriak ngeri.

   Namun orang-orang itu kemudian menemukan keseimbangan.

   Mereka tidak lagi berlari-lari, tetapi beberapa orang laki-laki yang tinggal di padukuhan karena beberapa hal, yang pada umumnya adalah orang tua-tua telah berusaha untuk memadamkan api itu.

   Mereka mencoba merobohkan rumah-rumah dan pepohonan di sekitar api yang sedang menyala-nyala, sehingga mereka dapat membatasi, supaya api itu tidak menjalar semakin luas.

   Meskipun demikian, Panawijen telah menjadi geger.

   Perempuan- perempuan yang berani membantu mencoba memadamkan setidak- tidak membatasi supaya api tidak menjalar.

   Dari kejauhan Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Kuda Sempana menyaksikan hiruk pikuk itu dengan tanggapan mereka sendiri- sendiri.

   Kebo Sindet melihat api itu dengan wajahnya yang membeku, sedang Wong Sarimpat tampak tertawa-tawa kecil.

   Sekali-sekali tangannya mengusap wajahnya yang gembung.

   Wajah yang basah dilapisi oleh keringat.

   Disamping mereka, Kuda Sempana menyaksikan api itu dengan hati yang tersayat-sayat.

   "Nah, lihatlah."

   Berkata Kebo Sindet.

   "kampung halamanmu sama sekali tidak musnah. Bukankah hanya sebagian kecil dari padukuhan itu yang terbakar. Lihatlah, mereka telah berhasil menguasai api."

   Kuda Sempana tidak menjawab."Kita akan segera melakukan tugas berikutnya. Nah, Kuda Sempana, antarkan aku ke rumah ayahmu."

   "Apakah yang akan paman lakukan?"

   "Antarkan aku ke rumah ayahmu."

   "Ayah pasti tidak ada di rumah. Ayah pasti sedang bergulat dengan api itu pula."

   "Tidak apa, kita tidak tergesa-gesa. Kita dapat menunggunya sampai nanti lingsir wengi atau bahkan sampai besok pagi sekalipun."

   Kuda Sempana tidak dapat menjawab lagi.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka mau tidak mau kedua iblis kakak beradik itu harus dibawanya pulang ke rumah orang tuanya.

   Betapa liciknya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat membujuk ayah Kuda Sempana.

   Kebo Sindet yang berwajah beku itu sekali-sekali dapat juga tersenyum sambil berkata.

   "Untuk kepentingan anakmu Kaki."

   Kuda Sempana sama sekali tidak sempat menolak. Ia diam saja seperti patung mendengarkan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berkata berkepanjangan. Hanya sekali-sekali ia terpaksa mengiakan apabila Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bertanya kepadanya.

   "Kaki."

   Berkata Kebo Sindet.

   "anakmu memang menghendaki aku menangkap Mahisa Agni hidup-hidup."

   Orang tua itu memandangi anaknya dengan sorot mata yang aneh. Tetapi Kebo Sindet segera berkata.

   "Tetapi persoalannya tidak saja menyangkul anak Kaki. Ada banyak persoalan. Kalau bapak bersedia membantu kami, maka nasib bapak tidak akan sejelek sekarang ini. Kaki tidak akan dapat menggantungkan nasib Kaki kepada Kuda Sempana yang kini sudah bukan seorang Pelayan Dalam yang terhormat lagi. Apakah bapak pernah melihat emas sebesar ini?"Mata ayah Kuda Sempana itupun terbelalak melihat sekeping emas murni.

   "Apakah itu benar-benar emas."

   Ia bertanya.

   "Bertanyalah kepada Kuda Sempana."

   Orang tua itu menelan ludahnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Hatinya masih dipenuhi oleh keragu-raguan.

   "Pekerjaan Kaki tidak berat. Carilah dua atau tiga orang yang bersedia pergi ke Padang Karautan untuk menyampaikan kabar ini kepada Mahisa Agni. Hanya itu."

   Ayah Kuda Sempana itu masih saja berdiam diri. Tetapi sorot matanya tidak juga lepas dari sekeping emas murni yang masih di tangan Kebo Sindet.

   "Nah bagaimana?"

   Bertanya Kebo Sindet. Sekali lagi ayah Kuda Sempana itu menelan ludahnya.

   "Kau akan menerima emas ini untuk pekerjaan yang tidak berarti. Membujuk dua atau tiga orang untuk memberitahukan kebakaran ini kepada Mahisa Agni."

   Ayah Kuda Sempana itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali dipandanginya wajah anaknya yang buram, dan kemudian kembali matanya tersangkut pada emas yang bercahaya- cahaya itu.

   "Tak seorang pun yang berani pergi ke Padang Karautan."

   Gumam ayah Kuda Sempana itu seakan-akan kepada diri sendiri.

   "Kau dapat memberi tahukan, bahwa sekarang Padang Karautan telah tidak berbahaya lagi. Hantu Karautan telah dibinasakan oleh Mahisa Agni."

   Ayah Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Katanya.

   "Kalau ada yang berani menyeberangi padang ini, maka hal itu pasti sudah dilakukan tanpa seorang pun yang membujuknya. Tetapi mereka belum tahu, bahwa Padang Karautan kini sudah tidak menakutkan lagi seperti pada masa-masa yanglampau. Kau dapat membujuk mereka supaya mereka menjadi berani, itu saja. Atau kau sendiri yang akan pergi?"

   "Seandainya aku tidak bertemu dengan hantu Padang Karautan, maka bagiku Mahisa Agni adalah seorang yang aku takuti lebih dari hantu yang manapun juga. Perbuatan Kuda Sempana selama ini telah cukup menjadi alasan baginya untuk membunuhku."

   Kuda Sempana mengangkat wajahnya, tetapi kemudian wajah itu kembali menunduk. Dengan wajah yang suram anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.

   "Terserahlah kepadamu Kaki."

   Berkata Kebo Sindet.

   "emas ini sangat tergantung kepada perbuatanmu."

   Sekali lagi ayah Kuda Sempana itu menelan ludahnya.

   "Pikirkanlah."

   Gumam Wong Sarimpat pula.

   Kuda Sempana tidak dapat berbuat apapun.

   Ia tahu betapa kasarnya kedua kakak beradik itu.

   Kalau ia berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya, maka kedua orang itu dapat berbuat sekehendaknya atas dirinya dan bahkan ayahnya itu pula.

   "Pekerjaan itu bagiku bukanlah perkerjaan yang mudah."

   Berkata ayah Kuda Sempana.

   "Kaki hanya tinggal membujuk mereka untuk tidak takut berjalan di Padang Karautan. Bukankah Mahisa Agni dapat berbuat banyak untuk kepentingan kampung halamannya?"

   "Tetapi Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat demikian, sebab bukankah tuan hendak menangkapnya bersama anakku ini."

   Sekali lagi Kuda Sempana mengangkat wajahnya, tetapi yang menjawab adalah Kebo Sindet.

   "Benar, demikianlah. Mudah- mudahan anakmu mendapat kepuasan karenanya. Dengan demikian maka hidupnya tidak akan selalu diracuni oleh rasa dendam yang tidak dapat dilepaskannya. Kalau Mahisa Agni itu sudah ada ditangannya, maka anak pasti akan menemukan kembali keseimbangan jiwanya."Orang tua itu sekali lagi memandangi wajah anaknya yang suram. Tetapi dalam kesuraman itu tidak tampak olehnya nyala matanya yang memancarkan dendam di hatinya. Kuda Sempana sendiri tiba-tiba menjadi acuh tak acuh saja pada pembicaraan itu. Ia benar-benar telah kehilangan pengertian tentang dirinya sendiri. Ia tidak tahu apakah ia masih juga mendendamnya sampai sekarang. Dalam pada itu, ayah Kuda Sempana berpikir dengan tegangnya. Sekali-sekali matanya menjadi silau oleh kilatan emas di tangan Kebo Sindet.

   "Bagaimana?"

   Terdengar suara Kebo Sindet berat. Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat ayah Kuda Sempana perlahan-lahan mengangguk sambil menjawab.

   "Baiklah. Akan aku coba. Sebenarnya setiap orang disini berkeinginan untuk memberitahukannya kepada Mahisa Agni apa yang telah terjadi, tetapi mereka masih saja dibayangi oleh ketakutan kecemasan tentang Padang Karautan."

   "Kalau kau dapat meyakinkan tentang Padang itu, maka segala maksud kita akan tercapai, dan kau akan memiliki emas yang sekeping ini untuk menyelamatkan sisa-sisa hari tuamu dari kemiskinan dan sengsara. Apakah kau juga mengharap bahwa kerja Mahisa Agni membuat bendungan itu akan selesai? Omong kosong. Bendungan itu tidak akan pernah selesai. Orang-orang Panawijen tidak boleh menggantungkan harapannya pada bendungan itu. Sebab besok atau lusa Mahisa Agni sudah berada di tanganku. Nah, dengan demikian kalian harus pergi mengembara mencari tempat baru untuk hidup kalian orang Panawijen."

   Ayah Kuda Sempana mengangguk-anggukan kepalanya.

   "Lakukanlah."

   Berkata Kebo Sindet kemudian.

   "Aku menunggu di sini."

   Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih juga ragu-ragu. Tetapi ketika terpandang olehnyakilatan warna kekuning-kuningan yang memancar dari sekeping emas itu, ia berkata.

   "Baiklah, akan aku coba mencari dua tiga orang yang paling berani."

   Ayah Kuda Sempana itupun akhirnya meninggalkan mereka. Ditemuinya beberapa orang yang sedang bergerombol membicarakan kebakaran yang baru saja terjadi.

   "Sebaiknya Mahisa Agni diberi tahu."

   Berkala salah seorang dari mereka.

   "Ya, tetapi siapakah yang berani melakukannya?"

   Mereka kemudian terdiam, beberapa laki-laki tua saling berpandangan.

   "Hanya Mahisa Agni lah yang dapat memberi kita cara supaya kita tidak mati kelaparan di sini. Beberapa lumbung kita terbakar. Hampir sepertiga dari persediaan makan kita telah musnah."

   Ayah Kuda Sempana mendengarkan dengan penuh minat pembicaraan itu.

   Dengan dada yang berdebar-debar ia menangkap perasaan hampir setiap orang Panawijen.

   Mereka berkeinginan untuk memberitahukan kepada Mahisa Agni.

   Ketika orang-orang itu kembali terdiam, maka berkatalah ayah Kuda Sempana.

   "Tak ada orang lain yang dapat menolong kita, selain Mahisa Agni."

   Beberapa orang berpaling kepadanya.

   Tetapi ada juga di antara mereka yang membuang mukanya.

   Ayah Kuda Sempana ternyata kurang disenangi di antara mereka karena sifat dan kelakuan anaknya.

   Hampir setiap orang Panawijen menganggap, bahwa apa yang terjadi itu adalah akibat dari pertentangan yang berlarut-larut antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni karena nafsu Kuda Sempana yang tak terkendalikan.

   "Jalan satu-satunya adalah memberitahukan kepada Mahisa Agni apa yang telah terjadi."

   Gumam ayah Kuda Sempana itu.Tak seorang pun menanggapnya. Bahkan hampir setiap orang mengumpat di dalam hati.

   "Kami semua tahu, tetapi siapakah yang akan pergi ke Padang Karautan?"

   Karena tak seorang pun yang menyahut, maka ayah Kuda Sempana itu meneruskannya.

   "Kalau saja aku masih mendapat kepercayaan, maka aku akan pergi ke Padang Karautan."

   Kini sekali lagi beberapa orang berpaling kepadanya. Ternyata kata-katanya yang terakhir telah menarik banyak perhatian.

   "Tetapi sayang. Aku takut. Bukan karena Padang Karautan, tetapi aku takut melihat wajah Mahisa Agni. Bahkan mungkin aku akan dicekiknya."

   Diantara beberapa orang itu terdengar salah seorang bertanya.

   "Kenapa kau takut kepada Mahisa Agni?"

   "Aku harus menyadari, betapa besar dosa anakku terhadapnya dan terhadap kampung halaman."

   "Mahisa Agni bukan pendendam. Kalau kau berani menyeberangi Padang Karautan pergilah kepadanya."

   "Padang Karautan sama sekali tidak menakutkan bagiku. Hantu Karautan yang mengerikan itu telah dibinasakan oleh Mahisa Agni. Tetapi yang mengerikan bagiku kini justru Mahisa Agni itu sendiri."

   Mereka sejenak terdiam. Beberapa orang ternyata mulai merenungkan kata-kata ayah Kuda Sempana itu. Bahkan salah seorang daripada mereka bertanya.

   "Apakah benar Mahisa Agni telah membinasakan hantu Padang Karautan?"

   "Itu sudah lama terjadi. Sebelum Mahisa Agni mulai membangun bendungan itu. Apakah kalian tidak mendengar ceritera dari Patalan, Jinan atau Sinung Sari?"

   Orang-orang yang mendengar jawaban itu mengangguk- anggukkan kepala mereka. Tetapi untuk sejenak mereka masih saja berdiam diri. Namun demikian, timbullah beberapa masalah baru di dalam kepala mereka.

   "Kalau benar kata orang itu, maka perjalananke Padang Karautan tidak lagi berbahaya seperti waktu-waktu yang lalu."

   "Sayang."

   Desis ayah Kuda Sempana itu perlahan-lahan.

   "Kenapa."

   Bertanya ialah seorang dari mereka.

   "Sayang, Mahisa Agni mempunyai kesan yang tidak baik terhadapku."

   "Itu hanya perasaanmu saja. Mahisa Agni bukan seorang pendendam."

   "Tetapi kesalahan anakku sudah bertimbun setinggi gunung Semeru."

   Kembali mereka terdiam. Dan kembali masalah itu bergolak di dalam dada mereka. Bahkan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata.

   "Kalau ada seseorang yang mau menemani aku, maka akupun bersedia pergi ke Padang Karautan."

   Dada ayah Kuda Sempana melonjak mendengar kesanggupan itu. Serasa sekeping emas murni yang berkilat-kilat itu telah berada di tangannya. Namun ia berusaha untuk menghapuskan setiap kesan di wajahnya. Bahkan dengan nada yang parau ia berkata.

   "adalah suatu jasa yang tiada taranya bagi kita di sini, apabila ada kesediaan salah seorang dari kita untuk berangkat. Sayang, aku bukanlah orang yang dapat melakukannya."

   Akhirnya ayah Kuda Sempana itu mendengar seorang lagi berkata.

   "Marilah, kita pergi bersama-sama. Aku sudah terlalu tua. Seandainya aku bertemu dengan bahaya di Padang Karautan, dan darahku akan dihisapnya habis, maka aku pun tidak akan menjesal lagi. Sisa umurku pun pasti sudah tidak akan banyak lagi."

   Dada ayah Kuda Sempana menjadi semakin berdebar-debar.

   Kalau mereka benar-benar berangkat ke Padang Karautan, dan Mahisa Agni berhasil diseretnya ke pedukuhan ini, maka emas yang sekeping itu akan jatuh di tangannya.

   Emas itu akan dapat memberinya kebahagiaan bagi sisa-sisa hidupnya.

   Ia akan pergi kedaerah yang jauh, menjual emas itu dan menukarkannya denganhalaman, rumah dan sawah yang sudah siap untuk digarap.

   Tidak lagi ia akan bekerja keras bersama anak isterinya membuka tanah dan mempersiapkannya menjadi tanah persawahan.

   Kegembiraan di hati orang tua itupun akhirnya meluap membakar segenap perasaannya.

   Hampir-hampir ia tidak dapat mengendalikan dirinya.

   Hanya dengan sekuat tenaganya ia mampu menahan melontarnya kegembiraan yang berlebih-lebihan itu, ketika ia mendengar keputusan dari keduanya, bahwa mereka benar-benar akan pergi ke Padang Karautan.

   "Kita pergi berkuda."

   Berkata salah seorang dari ke dua laki-laki tua itu.

   "Baiklah"

   Jawab yang lain.

   "kita akan segera sampai. Dan berkuda adalah jalan yang paling aman."

   "Kapan kita berangkat?"

   "Besok pagi-pagi. Kita menempuh perjalanan di siang hari supaya kita tidak selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan."

   Beberapa orang lain yang mendengar percakapan itu menangguk-anggukkan kepala mereka dengan lontaran ucapan terima kasih.

   Kehadiran Mahisa Agni akan memberikan petunjuk yang akan bermanfaat bagi mereka, untuk menghindarkan diri dari bahaya kelaparan.

   Ketika matahari melemparkan sinarnya yang pertama di pagi hari berikutnya, maka sebagian besar orang-orang Panawijen berdiri berkerumun di ujung desa.

   Diantara mereka dua laki-laki tua berdiri memegangi kendali kuda.

   Sekali-sekali dilayangkannya pandangan mata mereka ke daun-daun yang kekuning-kuningan serta ditebarkannya ke atas sawah dan pategalan yang kering kerontang.

   Orang-orang Panawijen itu sedang melepas dua orang yang mereka anggap sebagai orang-orang yang paling berani diantara mereka.

   Dua laki-laki tua itu akan menghubungkan padukuhan mereka dengan Padang Karautan karena beberapa buah lumbung mereka terbakar.

   Kalau bendungan itu tidak segera dapatmengangkat air keatas Padang Karautan, maka mereka akan terancam bahaya yang mengerikan.

   Persediaan makanan mereka akan habis, dan bencana itu pun akan menghentikan usaha pembangunan bendungan itu pula, karena orang-orang yang sedang bekerja itu tidak akan lagi mendapat persediaan makanan.

   Karena itu maka Mahisa Agni harus segera tahu.

   Ia harus segera menentukan sikap, untuk mengatasi meskipun hanya bersifat sementara.

   Demikianlah maka orang-orang Panawijen itu kemudian melihat kedua laki-laki tua itu naik ke atas punggung kuda.

   Melambaikan tangan-tangan mereka dan kemudian melecut kuda-kuda mereka meninggalkan Panawijen seperdi dua orang pahlawan yang berangkat kemedan perang.

   Beberapa orang yang menyaksikan keberangkatan itu berdiri tertegun.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terasa dada mereka bergetaran.

   Ketika debunya yang putih mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang berlari meninggalkan kampung halaman mereka, maka beberapa orang perempuan menekan dada mereka sambil bergumam.

   "Mudah-mudahan mereka selamat sampai ke tujuan."

   Ayah Kuda Sempana berdiri juga di antara orang-orang yang melepas kedua laki-laki tua itu.

   Wajahnya pun tampak suram sesuram wajah-wajah orang Panawijen yang lain.

   Tetapi hatinya tertawa cerah secerah matahari pagi yang bersinar di atas Padang dan pegunungan.

   Didalam dadanya berkumandang gemerincing emas sekeping yang kuning berkilat-kilat.

   "Hem."

   Katanya di dalam hati.

   "alangkah mudah-mudahnya memiliki emas murni sebesar itu. Kalau aku tahu, maka aku tidak akan menderita selama ini. Minum air yang harus diambilnya langsung dari sungai sejauh itu dan makan terlampau terbatas karena kecemasan bahwa suatu ketika akan kehabisan persediaan. Dengan emas itu, maka Panawijen dan bendungan itu tidak akan berarti lagi bagiku."

   Ketika ayah Kuda Sempana itu mengangkat wajahnya, maka kepulan debu yang putih itu pun sudah menjadi semakin jauh.Beberapa orang telah melangkahkan kakinya meninggalkan ujung desa kembali kerumah masing-masing.

   Namun di sepanjang jalan pulang, mereka masih saja memperbincangkan kedua laki-laki tua yang sedang melakukan perjalanan yang selama ini seakan-akan tabu mereka lakukan.

   Sekali ayah Kuda Sempana itu menarik nafas dalam-dalam.

   Dibiarkannya orang-orang lain meninggalkannya seorang diri.

   Tetapi begitu orang yang terakhir hilang masuk ke mulut lorong, maka ayah Kuda Sempana itupun segera meloncati parit yang kering dan berjalan cepat lewat pematang-pematang yang pecah-pecah pulang ke rumahnya.

   Di rumahnya, Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Kuda Sempana masih menunggunya.

   Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu saja dibayangi oleh kegelisahan, ia tidak yakin bahwa usaha ayah Kuda Sempana akan berhasil.

   Meskipun demikian harapan untuk itu masih ada juga pada mereka.

   Sedang Kuda Sempana sendiri kini benar- benar menjadi acuh tak acuh saja.

   Ia sendiri tidak tahu, apakah ia mengharapkan usaha ayahnya berhasil atau tidak.

   Karena itu ketika ayah Kuda Sempana itu muncul dari balik pintu rumahnya, maka yang perpertama-tama bertanya adalah Wong Sarimpat.

   "Bagaimana Kaki. Apakah usahamu berhasil?"

   "Sebagian."

   Jawab ayah Kuda Sempana.

   "kedua orang laki-laki tua itu telah berangkat."

   Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang beku itu tampak bergerak-gerak. Sebuah senyum yang samar-samar telah menggerakkan bibirnya.

   "Mudah-mudahan Mahisa Agni bersedia datang."

   Desis Kebo Sindet.

   "Menilik sifat-sifatnya dan kelakuannya dimasa yang lampau ia pasti akan datang untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi di padepokan ini."

   Sahut ayah Kuda Sempana."Mudah-mudahan ia tidak datang dengan sepasukan prajurit dari Tumapel yang kini berada di Padang Karautan."

   "Mudah-mudahan."

   Mereka pun kemudian terdiam sejenak, tenggelam dalam angan- angan masing-masing.

   Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah membayangkan, betapa Ken Dedes terpaksa melepaskan bermacam-macam perhiasan dan benda-benda berharga untuk membebaskan kakaknya.

   Sementara itu ia harus berusaha memberikan kesan bahwa usaha menculik Mahisa Agni ini dilakukan oleh Empu Sada yang disangkanya telah mati.

   Sementara itu kedua laki-laki tua dari Panawijen telah menjadi semakin jauh dari pedukuhannya.

   Kini dihadapan mereka terbentang sebuah Padang rumput yang luas yang seakan-akan tidak bertepi.

   Cahaya matahari yang sudah semakin tinggi seakan- akan menyala membakar Padang rumput yang kering itu.

   "Alangkah panasnya."

   Gumam salah seorang dari mereka. Yang seorang untuk sejenak tidak menjawab. Matanya seakan- akan menjadi silau menatap udara yang sedang mendidih dibakar oleh terik matahari.

   "Kita akan menjadi kering seperti rerumputan itu."

   Berkata orang yang pertama.

   "Menurut pendengaranku, sebaiknya kita menyusul aliran sungai itu. Setiap saat kita tidak akan kehabisan air. Setiap kali kita haus, kita akan dapat segera minum. Hanya menurut pendengaranku di beberapa bagian tebing sungai ini menjadi sangat curam."

   Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi tatapan matanya membayangkan betapa jantungnya menjadi berdebar-debar. Matahari yang memanjat semakin tinggi seakan-akan langsung menghunjamkan sinarnya kekepala mereka.

   "Kita berkuda."

   Desis kawannya yang ternyata memiliki tekad lebih besar.

   "kita tidak akan sampai sehari penuh berjemur di Padang Karautan."Kawannya mengangguk-anggukan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab.

   "Ya. Kita berusaha supaya kita cepat sampai."

   "Marilah."

   Keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka menyusur sungi yang membelah Padang Karautan itu.

   Meskipun mereka tidak berani berpacu terlampau cepat, tetapi perjalanan itu jauh lebih cepat daripada mereka berjalan kaki.

   Kuda-kuda mereka itupun agaknya dapat mengerti juga, bahwa penumpang- penumpang mereka adalah orang-orang tua yang tidak begitu tangkas memegang kendali.

   Sehingga langkah kaki-kaki Kuda itupun seolah-olah terayun seenaknya.

   Ternyata mereka mendapat banyak keuntungan dengan jalan yang mereka pilih.

   Ketika bumbung air mereka tuntas, maka mereka dapat mengambilnya langsung ke dalam sungai, sekaligus membiarkan kuda-kuda mereka yang kehausan minum pula.

   Dengan bumbung yang penuh berisi air itulah maka mereka meneruskan perjalanan mereka menuju ke tempat Mahisa Agni membangun bendungan.

   Meskipun di sepanjang jalan mereka selalu dicemaskan oleh nama yang selama ini menakutkan mereka, ialah hantu Karautan, namun akhirnya merekapun menjadi semakin lama semakin dekat pula dengan lingkaran kerja Mahisa Agni dan orang-orang Panawijen yang dibantu oleh sepasukan prajurit dari Tumapel.

   Kedatangan kedua orang tua-tua itu telah mengejutkan Mahisa Agni dan Ki buyut Panawijen.

   Dipersilahkannya kedua orang itu duduk beristirahat, sementara Mahisa Agni mengakhiri kerja hari itu karena matahari telah hampir lenyap ditelan cakrawala.

   Mahisa Agni dan Ki Buyut tidak sempat membersihkan dirinya lebih dahulu.

   Dengan hati berdebar-debar ditemuinya ke dua orang tua-tua yang baru saja datang dari Panawijen.

   Kedatangan mereka bagi Mahisa Agni dan Ki Buyut dan bahkan bagi seluruh orang-orang Panawijen yang sedang bekerja di Padang Karautan, merupakan suatu hal yang sangat menarik perhatian.

   Mereka tahu, bahwaapabila tidak terpaksa sekali, maka tidak akan ada seorang pun yang berani melintasi Padang yang menakutkan bagi mereka.

   Kedua laki-laki tua itupun tidak membiarkan Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen terlalu lama digelisahkan oleh teka-teki tentang kedatangan mereka.

   Segera mereka menceriterakan apa yang telah terjadi di padukuhan mereka.

   Mereka berbicara ganti berganti dan saling tambah menambahi sehingga ceritera tentang kebakaran di Panawijen itu menjadi sebuah ceritera yang menegangkan hati Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen.

   Dengan dada yang berdebar-debar beberapa orang lain mendengar juga ceritera tentang kebakaran itu.

   Sehingga tiba-tiba salah seorang berkata.

   "Kita tidak lagi mempunyai persediaan makan. Apakah kita masih juga mampu bekerja untuk membuat bendungan ini?"

   Suasana kemudian menjadi sepi. Pertanyaan itu hinggap pula di setiap dada orang-orang Panawijen, bahkan juga Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen.

   "Bagaimana mungkin kebakaran itu dapat terjadi?"

   Bertanya Mahisa Agni. Kedua laki-laki itu menggelengkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka menjawab.

   "Tak seorang pun yang tahu sebabnya. Tetapi udara di Panawijen akhir-akhir ini terasa sangat panas."

   "Apakah demikian panasnya sehingga memungkinkan lumbung- lumbung padi dan jagung itu terbakar dengan sendirinya?"

   Sekali lagi kedua laki-laki tua itu menggelengkan kepala mereka.

   "Kami tidak tahu. Tetapi menurut pengamatan kami, tak ada seorang pun bahkan anak-anak yang bermain-main di dekat lumbung-lumbung itu, apalagi bermain-main dengan api."

   Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen menekurkan kepala mereka.

   Kini terbayang kembali kesulitan-kesulitan yang bakal mereka alami.

   Mereka baru saja mendapatkan kejutan yang mendorong orang- orang Panawijen bekerja lebih keras dengan kedatangan Prajurit-prajurit dari Tumapel.

   Tetapi peristiwa ini pasti akan memperlemah lagi usaha mereka menyelesaikan bendungan itu.

   Mungkin untuk sementara Mahisa Agni dapat mencoba mengatasi dengan menanam apa saja di sepanjang lereng-lereng sungai dan dataran- dataran serta lembah-lembah yang basah.

   Tetapi tanah itu tidak seberapa luas.

   Sedangkan seluruh mulut yang ada di Panawijen harus disuapinya.

   Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara tertawa perlahan-lahan.

   Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ken Arok berdiri di belakang orang-orang Panawijen yang mengerumuni kedua laki-laki tua itu.

   Ketika anak muda itu beradu pandang dengan Mahisa Agni, maka katanya.

   "Jangan risau Agni. Besok aku akan mengirim dua orang prajurit ke Tumapel. Aku akan memberikan laporan apa yang telah kami kerjakan di sini. Dan aku akan dapat memberikan laporan tentang Panawijen itu pula. Peristiwa itu sama sekali bukan peristiwa yang penting. Bukankah aku pernah berkata, bahwa Tuanku Akuwu menyanggupkan bantuan apa saja yang kau perlukan? Coba katakan, berapakah jumlah lumbung yang terbakar itu? Sepuluh atau dua puluh barak? Berapa pikul padi dan jagung yang telah terbakar?"

   Ken Arok berhenti sejenak. Dipandangnya setiap wajah yang tiba-tiba kembali bersinar.

   "jangan kalian cemaskan."

   Mahisa Agni menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Ken Arok itu.

   Sekali lagi kepalanya jatuh tepekur.

   Kebaikan bati Tunggul Ametung yang melimpah-limpah itu telah menggetarkan perasaannya.

   Sekilas dikenangnya puteri gurunya, Ken Dedes.

   Namun Mahisa Agni itu pun kemudian menggigit bibirnya.

   "Terima kasih."

   Terdengar ia berdesis.

   "terima kasih atas hadiah yang tiada taranya itu."

   Masih terdengar suara tertawa perlahan yang meluncur di antara bibir Ken Arok. Wajahnya Yang seolah-olah bersinar seperti harapan di dalam hati. Dengan penuh keyakinan ia berkata.

   "Agni, Tumapel tidak akan kekurangan beras dan jagung. Bahkan seandainya seluruhPanawijen itu terbakar sekalipun. Jangan risaukan kebakaran itu. Kita selesaikan bendungan kita dan sesudah itu aku masih mempunyai satu tugas lagi, barangkali kalian sudi membantu. Membuat sebuah taman yang akan dihadiahkan oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung kepada permaisurinya kelak."

   "Tentu."

   Sahut Mahisa Agni dengan serta merta.

   "apalagi sekedar membangun sebuah taman. Apapun yang harus kami lakukan, maka kami tidak akan dapat ingkar lagi."

   Wajah Ken Arok menjadi semakin cerah karenanya.

   Wajah yang bagi Mahisa Agni memiliki beberapa perbedaan dari wajah-wajah yang pernah dikenalnya.

   Tetapi Mahisa Agni tidak dapat mengatakan, apakah sebabnya maka ia melihat perbedaan itu.

   Sejenak mereka saling berdiam diri.

   Orang-orang Panawijen kini tidak lagi kehilangan harapan untuk menjelesaikan bendungannya setelah mendengar janji Ken Arok.

   Tetapi meskipun demikian kebakaran di Panawijen itu menimbulkan teka-teki pula di dalam dada mereka.

   Agaknya kebakaran itu bukan saja menumbuhkan teka-teki di dalam dada Mahisa Agni.

   Ia merasa mempunyai tanggungjawab untuk melihat, apakah sebenarnya yang telah terjadi.

   Selanjutnya mencegah jangan sampai terulang kembali.

   Meskipun ia yakin juga seperti Ken Arok, bahwa Akuwu Tunggul Ametung bersedia memberi mereka beras dan jagung berapa saja yang mereka butuhkan, tetapi untuk terlampau menggantungkan diri kepada bantuan itu bagi Mahisa Agni adalah kurang bijaksana.

   Orang-orang Panawijen harus mecoba sejauh mungkin mencukupi kebutuhan diri sendiri.

   Hanya apabila keadaan tidak memungkinkan lagi, maka bantuan Akuwu Tunggul Ametung itu akan menjadi sandaran terakhir bagi mereka.

   Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Agni berkata.

   "Ken Arok, terimakasih kami orang-orang Panawijen tiada tara bandingnya atas segala bantuan yang telah kami terima. Namun jangan berarti bahwa kami harus menyandarkan diri kami kepada bantuan-bantuan itu saja. Biarlah kami mencoba mencapaikedewasaan kami. Karena itu, aku ingin melihat apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen. Aku ingin berusaha agar kebakaran semacam itu tidak terulang kembali."

   "Apakah hal itu perlu sekali kau lakukan Agni?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Perjalanan berkuda ke Panawijen tidak terlampau jauh. Kalau besok pagi aku berangkat, maka pagi berikutnya aku sudah berada di tempai ini kembali."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebagai orang yang telah mengenal Padang Karautan melampaui siapa saja, Ken Arok membenarkan perhitungan Mahisa Agni. Tetapi terasa sesuatu mengganggu perasaannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata.

   "Pekerjaan itu dapat kau lakukan besok lusa, seminggu bahkan sebulan yang akan datang. Sekarang tungguilah pekerjaan ini. Pekerjaan yang memberi harapan bukan saja kepadamu sendiri."

   Mahisa Agni termenung sejenak. Tetapi hatinya telah mendorongnya untuk berkata.

   "Sehari dua hari tidak akan mengganggu Ken Arok. Aku ingin sekali melihat dan berbuat sesuatu untuk mencegah kebakaran itu terulang. Bahkan mungkin aku dapat menemukan tanda-tanda lain. Mungkin seseorang telah menjadi panas hati melihat hasil kerja orang-orang Panawijen."

   Ken Arok tidak segera menyahut.

   Dicobanya untuk mengerti perasaannya sendiri.

   Aneh.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia tidak mengerti dengan pasti bahaya yang dapat mengancam Mahisa Agni di perjalanan, tetapi seakan- akan sesuatu bakal terjadi.

   Ia pernah melihat Kuda Sempana berkelahi dengan Mahisa Agni di Padang ini.

   Ia tahu benar bahwa Kuda Sempana mempunyai seorang guru yang sakti.

   Empu Sada.

   Tetapi ia tidak tahu banyak tentang mereka itu.

   Kesepian sekali lagi mencengkam suasana.

   Ken Arok masih juga berdiri di tempatnya sambil mengerutkan keningnya, sedang Mahisa Agni yang duduk di antara kerumunan orang-orang Panawijen bersama dua laki-laki tua yang baru saja datang, menekurkan kepalanya, seakan-akan terbayanglah di rongga matanya nyala apiyang menggapai langit menelan beberapa buah lumbung dan rumah-rumah di Panawijen.

   Dalam kesenyapan itu hampir semua kepala berpaling ketika mereka mendengar seseorang berkata perlahan-lahan.

   "Agni. Aku sependapat dengan angger Ken Arok. Padang Karautan bukanlah jalan yang lapang selapang Padang itu sendiri bagimu."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Ia melihat pamannya Empu Gandring berdiri di luar lingkaran orang-orang Panawijen seperti Ken Arok.

   Dan terbayang di wajah orang tua itu kekhawatiran dan kecemasan.

   Berbeda dengan Ken Arok Empu Gandring mempunai perhitungan-perhitungan yang lebih jelas tentang setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas kemanakannya itu.

   "Kau seharusnya dapat menghubungkan peristiwa-peristiwa yang pernah kau alami Agni."

   Berkata Empu Gandring itu.

   "Karena itu, sabarkanlah dirimu. Tunggulah sampai beberapa saat."

   Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya dua laki-laki tua yang baru saja datang dari Panawijen itu berganti-ganti. Tiba-tiba salah seorang laki-laki itu berkata.

   "Kami mengharap sekali kehadiran Mahisa Agni. Kami ingin mendapatkan kepastian bahwa kami tidak akan mati kelaparan."

   "Aku memberikan jaminan itu."

   Sahut Ken Arok.

   "Tetapi orang-orang Panawijen belum mendengarnya."

   "Bukankah kau dapat mengatakan kepada mereka."

   Sejenak kedua laki-laki itu terdiam. Namun salah seorang dari mereka berkata.

   "Entahlah, aku tidak tahu apa sebabnya. Tetapi tiba-tiba aku merasa bahwa aku tidak berani kembali berdua dengan kawanku ini, Apalagi setelah aku mendengar bahwa Padang Karautan masih juga menyimpan banyak bahaya."

   Kini semua orang terdiam.

   Beberapa di antara mereka saling berpandangan.

   Ada juga yang menjadi gelisah.

   Rumah-rumahsiapakah yang terbakar itu? Jangan-jangan rumah mereka telah menjadi abu.

   Tetapi tak seorang pun yang bertanya, sebab seandainya mereka mendapat kesempatan, maka mereka pun tidak akan berani melihat ke Panawijen.

   Dalam pada itu terdengar Ken Arok bertanya.

   "Tetapi Kaki berdua telah berani menempuh perjalanan kemari. Ternyata Kaki tidak juga mengalami sesuatu di perjalanan. Kenapa Kaki berdua tidak berani kembali kepadukuhan Kaki?"

   Kedua laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab.

   "Aku tidak tahu sebabnya Ngger. Aku juga tidak tahu apakah yang telah mendorong aku sehingga aku berani menyeberangi Padang Karautan. Tetapi apabila kini ternyata Padang itu berbahaya, sedangkan Mahisa Agni saja masih juga harus berhati-hati, apalagi kami berdua."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Jalan pikiran orang tua-tua itu dapat dimengertinya. Yang menyahut kemudian adalah Empu Gandring.

   "Kalian telah lanjut usia. Mungkin sebaya atau bahkan lebih tua dari padaku. Karena itu maka justru kalian tidak akan terganggu di sepanjang perjalanan. Tak ada seorang pun yang akan mengganggu orang- orang tua. Aku pun berani menyeberangi Padang itu, sebab aku juga sudah tua. Apakah kalian bersedia apabila kami bertiga pergi, melintasi Padang Karautan?"

   Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu saling berpandangan sesaat. Salah seorang dari mereka kemudian menjawab.

   "Kalau kami berdua harus pulang ke Panawijen, maka kami mengharap bahwa kami akan mendapat kawan yang sekiranya akan dapat melindungi kami. Kalau kami pergi bersama orang-orang tua sebaya dengan kami, maka aku rasa, kehadiran seorang kawan itu tidak akan banyak memberikan ketenteraman di hati kami."

   Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban itu. Ken Arok pun dengan serta merta bergeser setapak. Diamatinya orang tua yang bernama Empu Gandring dengan sudut matanya. Tetapi EmpuGandring sendiri hanya tersenyum. Katanya.

   "setidak-tidaknya kita mempunyai seorang lagi untuk kawan bercakap-cakap. Dengan demikian kita akan dapat melupakan ketegangan di sepanjang perjalanan. Bukankah kita akan berjalan siang hari?"

   "Yang kami perlukan bukan seorang kawan bercakap-cakap."

   Sahut salah seorang laki-laki tua dari Panawijen itu.

   "tetapi seseorang yang akan menyelamatkan kami dari setiap bencana yang dapat menerkam kami di sepanjang perjalanan kami. Aku kira tak ada duanya yang dapat aku sebut namanya selain Mahisa Agni. Mahisa Agni akan dapat memberi perlindungan kepada kami di sepanjang perjalanan kami. Sedang orang-orang Panawijen akan mendapatkan ketenangan mendengar janji itu diucapkan oleh Mahisa Agni sendiri."

   Hampir bersamaan, Mahisa Agni, Ken Arok dan Ki Buyut Panawijen berpaling memandangi wajah Empu Gandring. Tetapi orang tua itu masih juga tersenyum.

   "Hem."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   "orang-orang tua itu tidak tahu siapakah paman Empu Gandring. Mereka menyangka bahwa Empu Gandring adalah seorang tua seperti mereka itu sendiri."

   Tetapi permintaan orang-orang tua itu benar-benar telah membuat kepala Mahisa Agni pening, la sendiri ingin sekali melihat, apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen.

   Tetapi ia menyadari juga, bahwa setiap kali ia akan dapat ditelan bahaya.

   Meskipun demikian Mahisa Agni merasa, bahwa ia berkepentingan sekali datang ke Panawijen.

   Bahaya itu adalah baru suatu kemungkinan.

   Ia dapat pergi siang hari, berpacu di Padang yang kering.

   "Apakah bahaya itu mengintai juga di siang hari? Betapapun kuatnya keinginan seseorang untuk mencelakai aku, tetapi aku sangka mereka tidak akan berjemur di terik panas seperti itu. Mereka pun pasti menyangka bahwa aku selalu memilih waktu di malam hari, di udara yang sejuk. Dan apakah aku sekarang ini sudah menjadi seorang pengecut?"Perasaan itu selalu berdentangan di dalam dada Mahisa Agni. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata.

   "Ki Buyut, Paman Empu Gandring dan kau Ken Arok. Aku ternyata tidak dapat memilih selain memenuhi permintaan kedua orang-orang tua ini. Meskipun demikian aku harus berhati-hati. Aku akan pergi ke Panawijen di siang hari."

   Ketiga orang itu terdiam sejenak. Tampaklah wajah-wajah itu menjadi tegang. Bahkan orang-orang Panawijen yang berkerumun itu pun menjadi tegang pula.

   "Apakah itu sudah menjadi keputusanmu Agni?"

   Bertanya Ken Arok. Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menjawab.

   "Ya."

   "Keputusan yang tergesa-gesa."

   Desis Empu Gandring.

   Kedua orang laki-laki yang datang dari Panawijen itu berpaling kepada Empu Gandring.

   Mereka menjadi tidak senang mendengar kata-katanya yang seolah-olah selalu berusaha merintangi kepergian Mahisa Agni ke Panawijen.

   Sehingga karena itu salah seorang berkata.

   "Kenapa kau mencoba mencegah kepergiannya? Bahkan kau sendiri akan mengantarkan kami?"

   Mahisa Agni terperanjat mendengar kata-kata itu. Hampir-hampir ia menyahut, tetapi ternyata Empu Gandring mendahuluinya.

   "Maafkan aku ki sanak. Mungkin aku terlampau mencemaskan nasib anak muda itu."

   "Ia telah dapat menilai dirinya sendiri."

   Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, sahutnya.

   "Mungkin. Mungkin demikian. Tetapi ia masih terlampau muda. Darahnya masih terlampau cepat mendidih."

   "Itulah anak-anak muda yang berani dan bertanggungjawab. Memang kita orang-orang tua kadang-kadang tidak dapat mengerti tentang anak-anak muda apalagi seperti Mahisa Agni. Itu adalah karena kebodohan kita masing-masing."Empu Gandring tidak menjawab lagi. Ia tidak dapat berbincang dengan kedua laki-laki tua dari Panawijen itu. Tetapi dengan demikian Mahisa Agni lah yang menjadi gelisah. Pamannya adalah seorang yang sukar dicari duanya. Orang tua itu telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan orang-orang yang pilih tanding. Gurunya, Panji Bojong Santi, Empu Sada dan lain-lainnya. Untunglah bahwa Empu Gandring memiliki kesabaran yang cukup sehingga ia dapat dengan wajar menanggapi kata-kata kedua laki-laki tua dari Panawijen yang tidak mengenalnya itu. Yang kemudian terdengar adalah salah seorang laki-laki tua itu berkata.

   "Angger Mahisa Agni. Aku harap kau mendengarkan suara hati orang-orang Panawijen. Mereka cukup puas apabila mereka melihat Angger datang ke Panawijen. Memberikan beberapa keterangan dan memberikan ketenteraman kepada mereka. Apalagi janji yang telah diucapkan oleh angger yang agaknya seorang pemimpin dari Tumapel. Dengan demikian maka orang-orang Panawijen tidak selalu dikejar-kejar oleh kegelisahan karena bayangan bahaya kelaparan yang akan menimpa mereka."

   Mahisa Agni tidak segera menjawab. Sejenak ditatapnya wajah pamannya yang suram. Tetapi laki-laki tua dari Panawidjen itu berkata.

   "Jangan hiraukan orang-orang lain. Apalagi mereka yang bukan orang Panawijen. Mereka tidak dapat merasakan betapa kecemasan telah mencengkeram seluruh padukuhan. Tanah yang kering kerontang, daun-daun yang menjadi kuning dan gugur di tanah. Kini beberapa lumbung desa kami terbakar."

   Detak jantung Mahisa Agni serasa menjadi berdentangan di dalam dadanya. Hampir-hampir ia berkata.

   "siapakah laki-laki tua yang memang sebenarnya bukan orang Panawijen itu. Tetapi ia adalah seorang yang dapat berbuat banyak di Padang Karautan ini."

   Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar ia berkata perlahan-lahan.

   "Sebenarnyalah demikian Agni. Segala sesuatu tergantung kepadamu. Dihadapanmu terbentang banyak pekerjaan dan kewajiban yang terlampau sulit."Dahi Mahisa Agni menjadi semakin berkerut merut. Tetapi keinginannya untuk pergi ke Panawijen sangat mendesaknya. Ia dapat membayangkan betapa orang-orang yang tinggal di Panawijen menjadi terlampau gelisah dan cemas. Perempuan dan anak-anak pasti tidak akan dapat tidur nyenyak karena hantu kelaparan yang selalu menakut-nakuti mereka.

   "Paman."

   Berkata Mahisa Agni kemudian.

   "aku terpaksa pergi ke Panawijen. Tetapi kali ini aku akan pergi di siang hari. Mudah- mudahan aku terhindar dari segala macam bahaya."

   Tanpa mereka sengaja, maka Empu Gandring dan Ken Arok saling berpandangan. Dan tanpa berjanji pula mereka berdesis.

   "Kau jangan pergi seorang diri."

   Mahisa Agni memandangi wajah pamannya dan Ken Arok berganti-ganti.

   "Aku hanya akan pergi sehari saja."

   "Sehari atau seminggu bahaya itu bagimu sama saja Agni."

   Berkata pamannya.

   Mahisa Agni menyadari kata-kata pamannya itu.

   Tetapi apakah ia harus mengecewakan orang-orang Panawijen yang sedang dicengkam oleh ketakutan itu? Mahisa Agni tidak dapat melupakan, bahwa kekeringan yang menimpa Panawijen itu adalah akibat dari sikap gurunya yang sedang kehilangan ke seimbangan.

   Ia tidak dapat melemparkan kesalahan itu ke pada orang lain berturutan, sehingga akhirnya kesalahan itu akan dibebankan kepada Kuda Sempana.

   Tidak.

   Ia harus turut bertanggung jawab atas akibat dari kekhilafan gurunya itu.

   Apalagi ketika terpandang olehya wajah-wajah laki-laki tua yang datang dari Panawijen dengan sepenuh harapan.

   Karena itu maka Mahisa Agni pun kemudian berkata.

   "Paman, aku tidak dapat mengecewakan orang-orang Panawijen. Bukan karena aku selalu dapat mengatasi setiap kesulitan dan memberi apa saja yang mereka butuhkan tetapi mereka memerlukan kawan untuk ikut serta merasakan kecemasan dan kegelisahan. Adalah hanya karena pertolongan Yang Maha Agung lah kemudian apabiladapat kita temukan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan itu. Kali ini, dalam hal kekurangan persediaan bahan makanan, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah menjadi lantaran untuk meringankan beban kita."

   Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian terloncat dari bibirnya.

   "Baiklah Agni. Kalau kau tidak dapat lagi merubah keputusanmu."

   Sebelum Empu Gandring menyelesaikan kalimatnya, salah seorang laki-laki tua dari Panawijen itu memotong.

   "Keputusan itu adalah keputusan yang paling bijaksana."

   Empu Gandring sama sekali tidak menanggapinya. Ia masih berkata kepada Mahisa Agni.

   "Berangkatlah besok pagi. Aku pergi bersamamu."

   Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu mengangkat wajahnya. Sambil memandangi Empu Gandring salah seorang dari mereka bertanya.

   "Buat apa kau ikut dengan Mabisa Agni?"

   Mahisa Agni tidak lagi dapat menahan dirinya. Terasa sesuatu mendesak di dalam dadanya. Dan tanpa sesadarnya ia membentak.

   "Kaki. Aku sudah memenuhi permintaanmu. Tetapi jangan terlampau banyak mempersoalkan orang lain yang sama sekali tidak kau ketahui keadaannya."

   Kedua laki-laki itu benar-benar terkejut mendengar Mahisa Agni membentak, sehingga keduanya menjadi terbungkam.

   Wajah merekapun menjadi pucat dan bibir mereka menjadi gemetar.

   Mereka tidak tahu kenapa tiba-tiba Mahisa Agni menjadi marah kepada mereka.

   Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.

   Dengan sareh ia berkata.

   "Biarkan mereka menyatakan pikirannya Agni."

   Dada Mahisa Agni seakan-akan menjadi sesak. Perlahan-lahan ia berdesis.

   "Maafkan aku Kaki. Bukan maksudku menyakiti hatimu."

   Sejenak kemudian mereka terdampar ke dalam suasana yang sepi.

   Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu masih gemetar.

   Merekabenar-benar tidak menyadari apa yang sedang mereka lakukan.

   Tanpa mereka kehendaki, mereka telah ikut serta menjerumuskan Mahisa Agni ke dalam bahaya.

   Yang mereka angan-angankan adalah, bahwa apabila mereka berhasil membawa Mahisa Agni datang ke Panawdjen, maka mereka akan menjadi pahlawan.

   Mereka dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.

   Mereka sama sekali tidak mengerti keadaan Mahisa Agni sebenarnya, dan mereka tidak merasa, bahwa merekapun ternyata telah terjebak dalam suatu akal yang licik dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Dalam pada itu terayata bukan saja Empu Ganring yang menjadi cemas atas nasib Mahisa Agni.

   Ken Arokpun merasakan sesuatu yang tidak dapat dimengertinya sendiri.

   Karena itu maka kemudian ia berkata.

   "Mahisa Agni. Aku akan menyiapkan tujuh orang yang terpilih, untuk mengawanimu pergi ke Panawijen."

   Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

   Ia tidak menyangka akan mendapat tawaran itu.

   Tetapi sayang, bahwa hati kecilnya meronta.

   Ia sama sekali bukan seorang pemimpin, tetapi juga bukan seorang penakut.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena itu, maka pangawalan tujuh orang prajurit akan membuatnya menjadi canggung.

   Karena itu maka jawabnya.

   "Terima kasih Ken Arok. Terima kasih atas kebaikanmu itu. Tetapi maaf aku tidak dapat menerimanya. Pengawalan prajurit sama sekali bukanlah hakku, dan sama sekali tidak sepantasnya terjadi. Aku hanya seorang anak padesan yang tidak berarti."

   "Jangan terlampau merendahkan dirimu Agni."

   Sahut Ken Arok.

   "aku sama sekali tidak memandang siapakah kau. Tetapi aku merasakan suatu ketidak wajaran. Sedang kau sekarang sedang dibebani oleh tugas yang cukup berat."

   Mahisa Agni menggeleng lemah.

   "Terima kasih Ken Arok. Tetapi maaf, aku kira aku tidak akan dapat menerimanya."

   "Apakah kau tersinggung karenanya?"

   Bertanya Ken Arok.

   "aku sama sekali tidak ingin menganggapmu seperti kanak-anak yangmasih selalu memerlukan dayang dan pengasuh. Tidak. Tetapi Padang Karautan memang menyimpan seribu macam rahasia."

   "Rahasia itu sekarang telah berada di tanganmu."

   "Satu di antaranya."

   Jawab Ken Arok.

   "tetapi aku pernah melihat tiga hantu Karautan berkumpul di sini, kemudian hadir seorang sakti yang bernama Empu Sada. Setelah itu ternyata di Padang ini telah singgah pula seorang yang barnama Empu Gandring. Akhir-akhir ini di Padang ini pula berkeliaran penunggang kuda tanpa pelana, hantu dari Kemundungan yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Sebelumnya di hutan menjelang Padang ini terdengar pula seorang berkasa kulit harimau, guru kakang Witantra, Panji Bojong Santi. Nah, Agni. Apakah tujuh orang prajurit itu masih kau anggap berlebih-lebihan."

   Mahisa Agni tidak segera menjawab.

   Kata-kata yang diucapkan oleh Ken Arok itu sama sekali tak dapat disangkalnya.

   Ia mengakui bahwa semuanya itu benar-benar membuat Padang ini semakin banyak menyimpan rahasia.

   Tetapi bagaimanapun juga, Mahisa Agni merasa canggung apabila ia harus mendapat pengawalan tujuh orang prajurit Tumapel.

   Karena itu dengan berat hati ia berkata.

   "Terima kasih Ken Arok. Aku dapat menerima kemurahan Akuwu Tunggul Ametung atas bendungan yang sedang kita bangun. Aku tidak akan menolak seandainya nanti Akuwu Tunggul Ametung memberikan hadiah bahan makanan kepada kami, orang-orang Panawijen yang kelaparan. Tetapi aku tidak dapat menerima kebaikan hatimu, justru untukku sendiri. Aku tidak dapat berjalan seperti seorang Senapati yang dikawal oleh prajurit-prajuritnya."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   Mahisa Agni bukanlah sanak dan bukan kadangnya.

   Tetapi ia merasa sesuatu telah memaksanya untuk mencoba melindunginya.

   Sejenak mereka saling berdiam diri.

   Dua laki-laki tua dari Panawijen itu duduk membeku.

   Nama-nama yang disebut oleh Ken Arok sebagian besar belum pernah mereka dengar.

   Tetapi suasanapembicaraan itu membayangkan kepada mereka bahwa di Padang Karautan itu memang tersimpan berbagai macam persoalan.

   Tetapi kedua laki-laki itu sama sekali tidak dapat mengerti kenapa Mahisa Agni menolak ketujuh orang prajurit yang diberikan oleh Ken Arok kepadanya.

   Bukankah dengan demikian perjalanan mereka akan menjadi bertambah aman? Mereka sama sekali tidak merasakan kejanggalan dan keseganan itu.

   Bahkan mereka sama sekali tidak berpikir tentang keadaan diri sendiri dalam hubungannya dengan para prajurit itu.

   Keheningan itu kemudian dipecahkan oleh suara Ken Arok.

   "Agni, kalau demikian, maka aku akan ikut besertamu."

   Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga duduknya berkisar setapak. Dengan serta merta ia menjawab.

   "Ken Arok, jangan hiraukan aku. Lakukanlah kewajiban yang dibebankan kepadamu oleh Akuwu Tunggul Ametung. Memimpin para prajurit dan Pelayan Dalam istana untuk membantu membuat bendungan ini. Tetapi jangan mempersulit dirimu dan menghiraukan hal-hal yang kecil yang bukan kewajibanmu, tetapi justru dapat mendatangkan bencana bagimu."

   Ken Arok menggelengkan kepalanya, katanya.

   "Aku dapat bersikap sebagai seorang pemimpin dari para prajurit ini, tetapi aku juga dapat bersikap sebagai Ken Arok pribadi, Ken Arok yang untuk pertama kalinya bertemu dengan Mahisa Agni di Padang Karautan ini. Karena itu, maka biarlah aku melepaskan pakaian kepemimpinanku sejenak dan menyerahkan kepada orang lain. Aku, Ken Arok akan pergi bersamamu menyeberangi Padang ini. Aku ingin mengenangkan kembali segarnya udara terbuka, hijaunya daun-daun perdu dan panasnya terik matahari. Jangan menolak Agni. Sebab menolak atau tidak, aku mempunyai kebebasan untuk melakukannya. Pergi ke Panawijen atau tinggal di sini."

   Sejenak Mahisa Agni terbungkam.

   Sama sekali ia tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.

   Karena itu maka sekali lagi suasana menjadi sepi.

   Kadang-kadang terdengar beberapa orang yang duduk di sekitar Mahisa Agni itu saling berbisik.

   Kadang-kadangmereka mengangguk-anggukkan kepala mereka, namun kadang- kadang wajah-wajah itu menjadi sangat tegang.

   Mahisa Agni sendiri sejenak tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.

   Ia tidak menyangka bahwa begitu besar perhatian orang- orang di sekitarnya terhadap dirinya.

   Terbersitlah rasa terima kasih yang menyentuh hatinya, tetapi ia pun menjadi canggung pula karenanya.

   Ia biasa hidup sebagai seorang anak padepokan yang bertanggung jawab.

   Yang biasa meletakkan kewajiban pada usaha sendiri.

   Tetapi kini ia harus menghadap suatu kenyataan yang lain meskipun persoalannya dapat dimengertinya.

   Meskipun demikian Mahisa Agni masih mencoba menjawab.

   "Ken Arok, aku sekali lagi mengucapkan terima kasih kepadamu. Aku memang tidak akan dapat menolak apalagi melarang, seandainya kau dengan kehendakmu sendiri ingin menjelajahi Padang Karautan ini. Tetapi apakah dengan demikian kau tidak justru meninggalkan kewajiban yang dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepadamu?"

   "Itu adalah tanggung jawabku Agni. Seandainya aku akan dianggap mengabaikan kewajibanku sekalipun, maka akulah yang akan menerima akibatnya."

   Mahisa Agni tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia tabu benar, bahwa sama sekali bukan maksud Ken Arok untuk memaksa kehendaknya atasnya, tetapi apa yang dilakukannya itu terdorong oleh perasaan cemas dan gelisah. Akhirnya Mahisa Agni berkata.

   "Baiklah. Kalau kau ingin juga pergi menyeberangi Padang Karautan ini. Aku tahu bahwa itu bukan semata-mata karena kau telah merindukan udara Padang yang luas ini, bukan karena kau ingin mendengar angin yang gemerisik membelai dedaunan yang mulai kering menguning. Tidak pula karena kau ingin melihat angin pusaran yang menaburkan debu dan rerumputan kering. Tetapi karena kau melihat sesuatu yang mencemaskan hatimu. Tentang aku."Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan.

   "Terserah kepadamu Agni. Apakah yang akan kau katakan tentang aku."

   Keduanya pun kemudian terdiam.

   Angin senya bertiup semakin lama semakin kencang.

   Tiba-tiba mereka melihat kilat memancar.

   Dada Mahisa Agni berdesir.

   Tanpa disadarinya Ditatapnya langit di luar gubugnya.

   Tetapi langit itu tampak bersih.

   Satu dua bintang telah mulai menampakkan dirinya, berkeredipan seperti batu permata.

   "Hem, apakah sudah akan sampai waktunya musim basah tiba."

   Pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

   "Bendungan itu masih belum siap seluruhnya. Tetapi menilik mangsa, hujan baru akan datang dua bulan lagi, dan banjir yang pertama menurut kebiasaan akan datang kira-kira tiga bulan lagi."

   Mahisa Agni terkejut ketika pamannya berkata.

   "Apakah kita sudah menjatuhkan putusan? Besok kau pergi bersama aku dan angger Ken Arok?"

   Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab.

   "Demikianlah paman."

   "Baiklah."

   Sahut pamannya.

   "sekarang aku akan beristirahat. Besok kita berangkat pagi-pagi."

   "Silahkan paman."

   Jawab Mahisa Agni.

   "Aku juga akan mempersiapkan diri."

   Berkata Ken Arok.

   "aku akan menyerahkan pimpinan kepada seseorang dan memerintahkan dua orang untuk pergi ke Tumapel. Ke dua prajurit akan melaporkan keadaan di Padang ini dan akan menyampaikan berita kebakaran di Panawijen. Aku yakin kalau Tuanku Akuwu Tunggul Ametung akan menyangupi memberi bantuan kepada orang-orang Panawijen. Setidak-tidaknya bagi orang-orang Panawijen yang berada di Padang Karautan ini, sehingga mereka tidak perlu mengurangi persediaan makan dari lumbung-lumbung yang masih ada di Panawijen.""Terima kasih Ken Arok."

   Desis Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya.

   Getar dadanya serasa semakin cepat mengalir.

   Bantuan- bantuan yang datang itu telah mengharukan perasaannya.

   Akhirnya perasaan terima kasih yang tidak terhingga dipanjatkannya kepada Yang Maha Agung.

   Hanya karena tangan- Nya lah maka semua itu dapat terjadi.

   Sejenak kemudian Ken Arok telah meninggalkan Mahisa Agni yang masih duduk tepekur.

   Beberapa orang lainpun satu-satu beranjak pula dari tempat duduk mereka, kembali kegubug-gubug masing-masing.

   Mereka menjadi gelisah setelah mereka mendengar berita kebakaran di Panawijen.

   Tetapi mereka pun menjadi gelisah pula mendengar pembicaraan orang-orang penting di sekitar mereka.

   Mereka ingin Mahisa Agni melihat bekas-bekas kebakaran itu untuk memastikan sebab-sebabnya, tetapi mereka juga mengharap di dalam hatinya, agar Mahisa Agni tidak usah pergi ke Panawijen, sebab menurut pendengaran mereka, Padang Karautan benar-benar merupakan Padang yang dipenuhi oleh seribu macam rahasia.

   Tetapi mereka tidak dapat mengatakan kepada Mahisa Agni, kepada Ken Arok atau kepada paman Mahisa Agni.

   Mereka juga tidak dapat mengatakan kepada kedua laki-laki tua yang baru datang dari kampung halaman mereka, bahwa sebaiknya Mahisa Agni tidak usah mereka ajak kembali ke Panawijen.

   Namun satu dua orang berpendapat bahwa sebaiknya Mahisa Agni pergi saja ke Panawijen, supaya apabila ia kembali ke Padang ini, ia dapat mengatakan apa yang telah terjadi.

   Sehingga dengan demikian mereka tidak selalu dihantui oleh bayangan yang mungkin sangat ber lebih-lebihan.

   Ketika tempat itu menjadi semakin sepi, maka Mahisa Agni terkejut mendengar suara Ki Buyut Panawijen dekat di sampingnya.

   "Angger, aku juga ingin turut ke Panawijen."

   "Oh."

   Mahisa Agni mengangkat wajahnya dan dengan serta merta ia berkata.

   "Jangan Ki Buyut. Aku sudah meninggalkanpekerjaan ini. Sebaiknya Ki Buyut lah yang kini menunggui mereka supaya mereka tidak menjadi kehilangan gairah."

   "Tetapi aku juga ingin melihat apa yang terjadi itu ngger."

   "Lain kali Ki Buyut. Biarlah Ki Buyut tetap bersama mereka yang sedang bekerja. Aku, paman Empu Gandring dan Ken Arok telah meninggalkan Padang ini. Para prajurit Tumapel itu pun diserahkannya kepada orang lain. Karena itu sebaiknya Ki Buyut tetap berada di sini."

   Ki Buyut Panawijen menatap wajah Mahisa Agni dengan pancaran kekecewaan hatinya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Dicobanya untuk mengerti kata-kata Mahisa Agni itu.

   "Ki Buyut."

   Mahisa Agni meneruskan.

   "kerja yang besar ini tidak akan dapat kita tinggalkan bersama-sama. Aku telah melihat sekali- sekali kilat memancar di langit. Sebentar lagi kita akan sampai pada musim basah. Sebelum banjir yang pertama mengaliri sungai ini, maka bendungan kita harus sudah meyakinkan, bahwa ia tidak akan hanyut karenanya."

   Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih saja berdiam diri.

   "Karena itu."

   Mahisa Agni meneruskan.

   "kita harus bekerjya keras untuk menyelesaikannya. Untunglah bahwa kita mendapat bantuan para prajurit dari Tumapel itu."

   Ki Buyut Panawijen masih mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya perlahan-lahan.

   "Baiklah ngger. Biarlah aku tinggal di sini menunggui mereka yang sedang bekerja."

   "Terima kasih Ki Buyut."

   Sahut Mahisa Agni.

   "mudah-mudahan semuanya dapat kita selesaikan bersama-sama."

   Ki Buyut kemudian meninggalkan Mahisa Agni kembali kegubugnya.

   Udara masih juga terasa agak panas, meskipun angin telah bertiup agak kencang.

   Gelap malam pun semakin lama menjadi semakin pekat.

   Ketika Mahisa Agni menengadahkanwajahnya, dilihatnya dari celah tutup keyong gubugnya, bintang- bintang sudah berpijaran di langit yang biru hitam.

   Kedua laki-laki tua yang datang dari Panawijen masih berada di dalam gubug itu.

   Ketika suasana menjadi semakin sepi, dan tidak ada orang lain di dalam gubugnya, maka salah seorang daripadanya bertanya.

   "Agni, siapakah orang tua itu?"

   "He."

   Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

   "bukankah itu Ki Buyut. Apakah kalian telah melupakannya?"

   "Bukan. Bukan Ki Buyut. Apakah aku sudah gila sehingga aku tidak mengenalnya lagi."

   Sahut orang itu.

   "maksudku orang tua yang selalu mencoba menghalangi kau pergi ke Panawijen."

   Dahi Mahisa Agni menjadi berkerut merut.

   Terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi ia tidak akan dapat mengatakan lain daripada keadaan sesungguhnya.

   Dengan demikian maka untuk selanjutnya kedua orang itu akan bersikap lebih hati- hati.

   Namun hal itu pasti akan mengejutkan mereka.

   Tetapi menurut pendapat Mahisa Agni demikianlah sebaiknya-baiknya.

   Maka jawabnya.

   "Kaki, laki-laki tua itu adalah salah seorang dari mereka yang disebut-sebut sebagai orang aneh di Tumapel. Ia seorang pembuat keris. Kerisnya hampir tak ada duanya di dunia ini. Tetapi membuat keris baginya tidak seperti pembuat-pembuat keris yang lain. Belum pasti setahun sekali ia menghasilnya sebuah keris. Bahkan mungkin dua tahun. Tetapi apabila sebuah keris disiapkannya, maka keris itu pilih tanding."

   Kedua laki-laki itu memandangi wajah Mahisa Agni dengan tegangnya. Tetapi mereka tidak segera tahu, siapakah orang itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka bertanya.

   "Siapakah orang itu?"

   "Orang itu telah pula disebut-sebut namanya oleh Ken Arok."

   "Ya, siapakah namanya?"

   "Empu Gandring.""O."

   Kedua orang itu terbungkam.

   Mereka mendengar nama itu tadi disebut pula seorang anak muda pemimpin prajurit dari Tumapel dalam deretan nama-nama yang asing bagi mereka, tetapi kesan yang mereka tangkap adalah terlampau dahsyat.

   Justru karena itu maka mereka tidak lagi mengucapkan sepatah katapun.

   Dada mereka seakan-akan tersumbat oleh penyesalan.

   Yang berbicara kemudian adalah Mahisa Agni, katanya.

   "Nah, sekarang beristirahatlah. Besok kita berangkat pagi-pagi supaya kita sampai di Panawijen sebelum sore hari."

   "Begitu cepat?"

   "Tidak terlampau cepat. Perjalanan yang sedang."

   Kedua orang itu tidak menjawab lagi.

   Mahisa Agni telah menyediakan untuk mereka sehelai tikar pandan yang dibentangkan di atas setumpuk rumput-rumput kering.

   Malam pun kemudian menjadi semakin dalam.

   Setapak demi setapak bintangi berkisar kebarat menuju kecakrawala.

   Angin malam yang sejuk berhembus dari Selatan.

   Dan embun pun kemudian setetes-setetes menitik dan hinggap di dedaunan yang menguning.

   Ketika fajar menyingkap kehitaman langit di ujung Timur, maka Mahisa Agni dan Kawan-kawannya pun telah bersiap.

   Kedua laki-laki tua dari Panawijen, Empu Gandring dengan sebilah keris raksasa di punggungnya, Ken Arok dengan pedang di lambung dan Mahisa Agni sendiri.

   Seperti Ken Arok Mahisa Agnipun membawa pedang pula tergantung pada ikat pinggang kulit yang lebar.

   Terasa oleh orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel, bahwa orang-orang yang berangkat melintasi Padang Karautan itu benar-benar telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

   Ketika langit menjadi semakin terang, maka mereka pun segera berangkat, dilepas oleh Ki Buyut Panawijen dan orang lain yang sebentar lagi akan mulai pula bekerja menyelesaikan bendungan itu.Sejenak kemudian maka kuda-kuda itu pun segera berpacu.

   Tetapi mereka tidak dapat berjalan seperti yang mereka kehendaki, karena kedua laki-laki tua dari Panawijen itu tidak berani menunggang kuda terlampau kencang.

   Karena itu maka perjalanan itu pun merupakan perjalanan yang terlampau lambat bagi Mahisa Agni, Empu Gandring, apalagi Ken Arok.

   Meskipun demikian, namun mereka pun menjadi semakin lama semakin mendekati pedukuhan Panawijen.

   Pedukuhan yang semakin lama menjadi semakin kering.

   Namun dengan demikian, bagi Mahisa Agni semakin lama semakin didekatinya bahaya yang bersembunyi di dalam pedukuhan itu.

   Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah menunggunya dengan sepenuh harapan tentang berbagai keuntungan yang akan mereka dapatkan dari pemerasan yang akan mereka lakukan.

   Betapapun lambatnya perjalanan itu, tetapi akhirnya Panawijen telah berada di hadapan hidung mereka, setelah beberapa kali mereka berhenti melepaskan lelah dan haus, karena kedua laki-laki tua dari Panawijen itu.

   Mereka tidak memiliki ketahanan seperti Mahisa Agni, Empu Gandring yang meskipun sudah tua pula dan apalagi Ken Arok, seorang yang paling mengenal Padang Karautan melampaui yang lain-lain.

   Sejenak kemudian mereka pun telah memasuki padukuhan itu.

   Mereka berlima disambut dengan penuh gairah oleh orang-orang Panawijen.

   Apalagi setelah mereka melihat Mahisa Agni, maka mereka pun menjadi seakan-akan anak-anak yang sudah lama tidak melihat ayahnya pergi merantau, dan kini ayah itu kembali pulang.

   Belum lagi Mahisa Agni sempat beristirahat, maka beberapa orang-orang telah menemuinya dan masing-masing berceritera dalam nada yang berbeda-beda tentang kebakaran yang terjadi dipadukuhan mereka.

   Tentang beberapa buah lumbung dan rumah- rumah yang lain."Nanti aku akan melihat."

   Berkata Mahisa Agni.

   "sekarang apakah kalian tidak ingin memberi kesempatan kami untuk beristirahat sebentar."

   "Oh."

   Orang-orang Panawijen itu saling berpandangan sejenak. Kemudian merekapun menjawab hampir bersamaan.

   "Silahkan. Silahkan anakmas beristirahat di rumah Ki Buyut."

   "Terima kasih."

   Sahut Mahisa Agni.

   "aku akan beristirahat di padepokanku."

   Mahisa Agni pun kemudian pergi kepadepokannya, padepokan yang pernah didiaminya sejak kanak-kanak.

   Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menunggu dengan berdebar-debar di rumah Kuda Sempana.

   Ketika ayah Kuda Sempana datang, maka dengan tergesa-gesa Wong Sarimpat bertanya.

   "He, apakah kau melihat Mahisa Agni. Bukankah orang- orang ribut menyambut kedatangannya. Anak-anak itu akan menjadi terlampau congkak. Seakan-akan ia sudah menjadi seorang Akuwu di Panawijen."

   "Aku melihatnya."

   Sahut ayah Kuda Sempana.

   "anak muda itu datang berlima."

   "Berlima?"

   Wong Sarimpat mengerutkan alisnya, sedang wajah Kebo Sindet yang beku masih juga membeku.

   "siapa saja mereka?"

   Ayah Kuda Sempana menggeleng.

   "Aku tidak tahu. Yang seorang sudah agak tua, membawa sebuah keris yang besar di punggungnya."

   "Empu Gandring."

   Gumam Wong Sarimpat.

   "Yang seorang lagi agaknya prajurit atau Pelayan Dalam seperti Kuda Sempana dahulu. Wajahnya tampan dan bermata terang."

   "Siapakah anak itu Kuda Sempana?"

   Bertanya Wong Sarimpat. Kuda Sempana menggeleng. Jawabnya kosong.

   "Aku tidak tahu.""Kau pasti tahu."

   Sahut Wong Sarimpat.

   "kau pernah menjadi seorang prajurit atau seorang Pelayan Dalam."

   "Tetapi aku tidak melihat siapa orang itu."

   Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya.

   "Ya, kau memang tidak melihat tetapi seharusnya kau dapat mengira-ngirakan siapakah orang itu."

   "Ada beratus-ratus Pelayan Dalam dan prajurit pengawal di dalam istana. Aku tidak dapat mengenal seluruhnya."

   "Tetapi siapakah yang berwajah tampan dan bermata terang."

   Tiba-tiba Wong Sarimpat membentak.

   "Jangan terlampau keras berteriak."

   Kebo Sindet memperingatkannya.

   "kita tidak berada di Kemundungan. Kita berada di dalam sebuah pedukuhan. Di Kemundungan, suaramu yang keras dan serak itu hanya akan didengar oleh dinding-dinding padas lereng bukit. Di sini suaramu akan dapat membuat bayi-bayi menjadi pingsan."

   "Oh."

   Wong Sarimpat mengusap mulutnya seakan-akan ia akan menghapus suaranya yang telah terlanjur terlontar. Tetapi kembali ia bertanya merkipun agak perlahan-lahan.

   "Siapa?"

   "Banyak di antara mereka yang tampan dan bermata, terang."

   Sahut Kuda Sempana seakan-akan acuh tak acuh.

   "Witantra, Sura, Kukma, Mitra"

   "Cukup."

   Sekali lagi Wong Sarimpat berteriak dan sekali lagi Kebo Sindet memperingatkannya.

   "Wong Sarimpat. Apakah kau tidak mempunyai otak?"

   Wong Sarimpat terdiam. Tetapi mulutnya masih saja kumat- kamit, dan ia mengumpat tak habis-habisnya di dalam hati.

   "Mungkin kau tidak mengenal anak itu Kuda Sempana."

   Berkata Kebo Sindet dengan wajah yang beku.

   "tetapi siapakah yang dua lagi?"Ayah Kuda Sempana menjawab.

   "Yang dua adalah laki-laki tua dari Panawijen yang menjemput mereka."

   Kebo Sindet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada Wong Sarimpat ia berkata.

   "Kita sudah pasti. Siapa pun prajurit muda itu, tetapi ia bukan orang-orang yang wajib kita perhitungkan. Kau dapat menahan Empu Gandring, dan aku akan melarikan Mahisa Agni."

   Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Kemudian kau lebih baik meninggalkan Empu Gandring. Ia tidak akan dapat menyusulmu. Kudamu pasti lebih baik dari pada kudanya."

   Wong Sarimpat masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Kalau anak muda yang seorang itu mampu membuat perlawanan, maka sementara Kuda Sempana harus mengikat Mahisa Agni dalam perkelahian. Hanya sebentar. Aku akan membunuh prajurit muda yang tampan itu. Aku tidak tahu siapa ia, tetapi kalau ia mencoba menghalang-halangi aku, maka terpaksa aku akan membunuhnya."

   "Baik."

   Geram Wong Sarimpat.

   "aku akan membunuh Empu Gandring, tidak hanya sekedar menyingkirkannya dari Mahisa Agni."

   "Kau tidak perlu membual Wong Sarimpat."

   Berkata Kebo Sindet. Kemudian kepada Kuda Sempana ia berkata.

   "Dan kau Kuda Sempana, kau akan dapat melepaskan dendam hatimu. Sekendakmulah, apa yang akan kau lakukan atas anak muda itu kelak di Kemundungan. Sedang aku mempunyai kepentingan sendiri dengan Mahisa Agni itu. Tetapi aku tidak akan mengecewakanmu."

   Sementara itu, setelah Mahisa Agni dan kedua orang lainnya, Empu Gandring dan Ken Arok, beristirahat sejenak, minum air legen yang manis langsung dari bumbung yang di turunkan dari deresan pohon nyiur, dan sedikit makan beberapa jenis makanan, mereka pun segera pergi ketempat ke bakaran.Mereka melihat beberapa lumbung dan rumah terbakar hampir musna.

   Abu yang lembut masih saja berhamburan disentuh angin yang agak kencang.

   Di sana sini masih teronggok reruntuhan yang tersisa.

   Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok melihat sisa-sisa kebakaran itu dengan saksama, sementara beberapa orang mengerumuninya dari kejauhan.

   Tiba-tiba Empu Gandring yang tua itu mengerutkan keningnya.

   Ia melihat beberapa hal yang kurang wajar menurut penilaiannya.

   Karena itu maka digamitnya Ken Arok dan di panggilnya Mahisa Agni mendekat.

   "Kau lihat onggokan abu di sini?"

   Bertanya Empu Gandring. Kedua anak muda itu menggangguk.

   "Dan kau lihat rumah sebelah yang belum terbakar habis?"

   Sekali lagi keduanya mengangguk.

   "Aku akan menyebutkan suatu kemungkinan, tetapi aku tidak dapat memastikan kebenarannya. Kalau menurut dugaanku, maka lumbung ini pasti lebih dahulu terbakar dari rumah itu. Bukankah di sisi sebelah ini kebakaran agaknya lebih sempurna dari sisi yang lain."

   "Ya."

   Sahut Mahisa Agni.

   "Tetapi rumah itu terbakar disisi yang berlawanan dari lumbung ini. Kalau rumah itu terbakar oleh api yang menjalar dari lumbung ini, maka sebelah yang terdekat dengan lumbung inilah yang akan terbakar lebih dahulu. Tetapi bukankah yang terjadi sebaliknya? justru yang di sisi ini rumah itu masih tersisa meskipun tinggal seonggok kayu."

   Kedua anak-anak muda itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Mereka segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa api yang membakar rumah itu bukanlah yang menjalar dari lumbung ini.

   Kenyataan yang kecil itu telah cukup membuat mereka bercuriga.Apakah mungkin karena panasnya udara timbul api dari dua tempat yang berbeda? Yang hampir bersamaan telah membakar dua macam bangunan itu? Dalam pada itu terdengar Ken Arok berdesis.

   "Ada tangan yang menyalakannya."

   Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang mata Mahisa Agni kini menjadi menyala seperti api yang membara. Terdengar giginya gemeretak. Dengan dada yang berdentangan ia menggeram.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku sependapat. Ada orang yang mencoba mengacaukan kerja kita."

   "Jangan kau tanggapi dengan hati yang gelap Agni. Adalah sudah, menjadi kebiasaan, bahwa setiap kerja yang baik dan bermanfaat, apalagi kerja yang besar, pasti akan ditemuinya berbagai macam rintangan dan gangguan. Kini kau juga menjumpai rintangan dan gangguan itu."

   "Jadi apakah kita akan membiarkan saja mereka itu paman?"

   "Tentu tidak Agni. Tetapi hati kita harus tetap jernih supaya kita tetap dapat melihat dengan terang. Kita harus pasti siapakah yang kita hadapi."

   Empu Gandring berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang berkerumun di kejauhan. Kemudian katanya.

   "Kau jangan membuat orang-orang itu menjadi semakin bingung dan cemas. Buatlah mereka tenang."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan isi dadanya yang sedang bergolak.

   "Berilah mereka ketenangan, supaya mereka tidak akan menambah bebanmu yang telah menjadi semakin berat itu."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan iapun dapat mengerti ketika pamannya berkata.

   "Kau harus berkata kepada mereka, bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi. Kebakaran ini adalah kebakaran yang wajar karena suatu kecelakaan saja. Dan kau harus menyampaikan kepada mereka kesanggupan Angger KenArok. Adalah lebih baik apabila angger Ken Arok menyampaikannya sendiri."

   Mahisa Agni pun kemudian memandangi wajah-wajah yang memancarkan kecemasan dan ketidak tentuan. Namun kepala anak muda itu masih saja mengangguk-angguk.

   "Baiklah"

   Gumamnya. Sambil berpaling kepada Ken Arok, Mahisa Agni berkata.

   "Apakah kau tidak berkeberatan?"

   "Aku mendahului keputusan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku yakin bahwa demikianlah yang akan terjadi?"

   "Jadi bagaimana?"

   "Baiklah."

   Ketiganya, bersama dua laki-laki yang menjemput mereka ke Padang Karautan dan beberapa orang tua yang menunggu mereka agak jauh di samping bekas-bekas kebakaran itu pun segera menemui orang-orang Panawijen.

   Mahisa Agni mencoba untuk menenangkan hati mereka dengan beberapa keterangan.

   Dan akhirnya dipersilahkannya Ken Arok sendiri memberi penjelasan kepada orang-orang Panawijen itu.

   Agaknya kesanggupan Ken Arok telah dapat memberi mereka ketenteraman.

   Mereka tidak lagi digelisahkan oleh masa depan yang mengerikan.

   Bahaya kelaparan yang selalu menghantui mereka beberapa hari terakhir.

   "Aku telah mengirimkan dua orang prajurit ke Tumapel."

   Berkata Ken Arok.

   "mudah-mudahan mereka segera datang. Sebelum padi yang terakhir kalian masukkan kedalam lesung, maka pasti telah datang padi dan jagung dari Tumapel. Kalian tidak akan dibiarkan kelaparan sampai tanah yang kalian garap menghasilkan. Sampai bendungan di Padang Karautan itu dapat mengangkat air, mengairi sawah-sawah kalian yang pasti akan lebih subur dari sawah-sawah kalian di Panawijen ini."Alangkah lapang hati mereka. Meskipun daun-daun di padukuhan mereka menjadi semakin kuning dan berguguran, namun hati mereka menjadi tenteram. Tetapi tidak demikian dengan Mahisa Agni sendiri. Hatinya selalu diganggu oleh kemarahan dan kegelisahan, meskipun ia tidak tahu, bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat saat itu berada di pedukuhan itu pula. Sebenarnya bukan seja Mahisa Agni Yang menjadi gelisah. Tetapi juga Empu Gandring dan Ken Arok. Dugaan mereka atas timbulnya kebakaran karena kesengajaan telah menumbuhkan berbagai persoalan di dalam dada mereka. Itulah sebabnya, maka setelah mereka kembali kepadepokan dan beristirahat di serambi samping, maka senjata-senjata mereka tidak juga terpisah daripada tubuh mereka. Empu Gandring yang melihat kekuatan-kekuatan yang seimbang dengan dirinya yang menurut dugaannya adalah Empu Sada, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat membiarkan kerisnya melekat di punggung, meskipun ia sedang duduk menikmati beberapa macam makanan padepokan Panawijen. Sedang Ken Arok meletakkan pedangnya di pangkuannya. Mahisa Agni sendiripun tidak juga melepas pedangnya tersangkut di lambungnya. Beberapa orang cantrik yang masih tinggal di padepokan itu sibuk menjediakan makan dan minuman mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Mahisa Agni.

   "Apakah aku dapat menyimpan senjata-senjata kalian?"

   Mahisa Agni menggeleng.

   "Jangan."

   Cantrik itu terdiam, tetapi wajahnya menjadi kecut. Terbayanglah suatu pertanyaan di dalam wajah itu.

   "Kenapa senjata-senjata itu tidak juga ditempatkan."

   Namun cantrik itu tidak mengucapkannya.

   Sementara itu cahaya di langit pun menjadi semakin lama semakin merah.

   Mega yang berarak-arak dan awan yang seolah- olah tersangkut di langit memantulkan cahaya matahari yanghampir tenggelam, dan memancarlah layung di langit.

   Warna yang tajam menusuk ke dalam serambi samping padepokan Panawijen.

   Warna itu seolah-olah menambah kegelisahan yang tersimpan di dalam dada Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok.

   Warna itu seperti tajamnya ujung senjata yang berputar di langit, disoroti oleh cahaya senja.

   Tiba-tiba Mahisa Agni berdiri dari tempatnya.

   Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata.

   "Aku akan ke sanggar sebentar paman."

   "Apa yang akan kau perbuat?"

   "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat sanggar guruku yang telah lama tidak dipergunakan."

   Empu Gandring merasa heran.

   Padepokan ini adalah padepokan guru Mahisa Agni.

   Tetapi untuk melepas Mahisa Agni pergi dari sisi sebelah Timur ke sisi sebelah Barat, terasa begitu berat.

   Seakan- akan Empu Gandring sedang melepas seorang anak kecil bermain- main ditepi sumur.

   "Aku terlampau dibayangi oleh perasaanku sendiri."

   Berkata orang tua itu di dalam hatinya. Karena itu maka di cobanya untuk mempergunakan pikiran jernihnya. Anak muda itu hanya akan pergi ke sanggar. Tidak lebih dari tigapuluh langkah dari tempat itu.

   "Pergilah."

   Jawabnya kemudian.

   "tetapi hati-hatilah. Rumah ini sudah lama tidak kau kenal."

   "Baiklah paman."

   Mahisa Agnipun segera meninggalkan pamannya.

   Pesan itu adalah pesan yang aneh baginya, tetapi ia merasa bahwa pesan itu sudah wajar diucapkannya.

   Seakan-akan anak muda itu sendiri merasa bahwa ia berada di suatu medan yang berbahaya.

   Dengan pedang di lambung Mahisa Agni pun segera pergi ke sanggar gurunya.

   Perlahan-lahan dibukanya pintu sanggar itu.

   Terdengar suara berderit, dan seberkas sinar senja yang temaram melontar masuk.Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Terasa udara agak panas mengalir dari dalam.

   Remang-remang dilihatnya tiang-tiang kayu nangka yang kekuning-kuningan.

   Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah naik anak tangga dan memasuki sanggar.

   Ketika kakinya menyentuh lantai, debu yang tipis menggelepar di bawah kakinya.

   Mahisa Agni pun kemudian melangkah terus masuk ke dalam sanggar.

   Ia tidak menutup pintunya, terlampau rapat karena dengan demikian sanggar itu akan menjadi gelap sekali.

   Dengan sisa-sisa sinar senja ia mencoba mengamati isi sanggar gurunya itu.

   "Pusaka itu masih berada di sini."

   Desisnya.

   "tak seorang pun yang tahu tempatnya selain aku."

   Dengan ragu-ragu Mahisa Agni mencoba membuka sepotong papan lantai dan meraba-raba kedalamnya. Ketika tangannya menyentuh sebuah peti kecil, maka ia menarik nafas dalam-dalam.

   "Peti ini masih di sini."

   Desisnya.

   Mahisa Agni itu pun segera duduk menghadap pintu sanggar yang masih sedikit menganga.

   Sambil melihat keluar, kalau-kalau ada orang yang melihatnya, ia membuka peti kecil itu.

   Hati-hati ia meraba ke dalamnya, dan kini tangannya menyentuh sebuah benda yang dingin.

   "Inilah pusaka itu."

   Katanya di dalam hati.

   Dengan dada yang berdebar-debar diangkatnya benda kecil dari dalam peti itu.

   Mata Mahisa Agni menjadi bersinar-sinar ketika ia melihat sebuah pusaka kecil berkilat-kilat di tangannya.

   Trisula.

   Seperti didorong oleh tenaga yang aneh, cepat-cepat ia memasukkan trisulanya kembali.

   Segera menutup peti itu, dan menempatkan kembali sepotong papan lantai itu pada tempatnya, dan mengembalikan semuanya seperti sediakala.

   Tak ada bekas apapun yang ditinggalkannya.

   Tak seorang pun tahu, bahwa ada sepotong kayu lantai yang dapat diangkat, dan di dalamnya tersimpan pusaka itu.Sejenak Mahisa Agni duduk tepekur.

   Di luar senja menjadi semakin beringsut menjelang malam.

   Langit yang kemerah-merahan menjadi semakin kelam.

   Dan sanggar itu pun manjadi semakin gelap.

   Empu Gandring dan Ken Arok masih duduk di serambi samping.

   Mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali.

   Kepala mereka tampak tepekur.

   Ketika seseorang memasang sebuah lampu dinding di samping mereka, mereka hanya menganggukkan kepala sambil bergumam.

   "Terima kasih."

   Namun sesudah itu mereka terdiam kembali. Yang kemudian bertanya adalah Ken Arok.

   "Paman, kenapa Mahisa Agni terlampau lama berada di dalam sanggar itu?"

   Empu Gandring tidak segera menjawab.

   Meskipun sebenarnya hatinya sendiri selalu diliputi oleh kegelisahan.

   Dipandanginya warna-warna yang kelam di halaman.

   Tetapi agaknya tak satupun yang dilihatnya.

   Agaknya Ken Arok tidak dapat menahan kegelisabannya, sehingga iapun kemudian berdiri.

   Perlahan-lahan ia berdesis.

   "Aku ingin melihat kesanggar sebentar paman. Apakah Agni sedang bersemadi?"

   "Aku kira tidak Ngger. Tetapi baiklah kalau kau ingin melihatnya. Tetapi kau pun harus ber-hati-hati pula."

   "Baik paman."

   Ken Arok pun kemudian melangkah meninggalkan serambi samping pergi ke sanggar di sisi yang lain dari halaman rumah itu.

   Dengan hati-hati Ken Arok melihat setiap gerak dan mendengarkan setiap bunyi di halaman.

   Di sana-sini beberapa orang cantrik telah menyalakan pelita-pelita di sudut-sudut rumah.

   Ken Arok berhenti beberapa langkah dari sanggar.

   Ia tidak ingin mengganggu Mahisa Agni.

   Dari tempatnya berdiri, Ken Arok melihat remang-remang pintu sanggar itu tidak tertutup rapat.Tetapi malam pun menjadi semakin malam.

   Dan Mahisa Agni masih juga belum keluar dari sanggar.

   Meskipun demikian Ken Arok masih juga belum beranjak dari tempatnya.

   Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia melihat sesosok bayangan mendekati sanggar itu.

   Bayangan yang hanya dilihatnya lamat-lamat itu berhenti sejenak di muka pintu.

   Tetapi bayangan itu kemudian tidak segera-segera pergi.

   "Siapakah ia?"

   Desis Ken Arok di dalam hatinya.

   "Agaknya ia menunggu Mahisa Agni keluar."

   Tetapi Ken Arok tidak begitu mencemaskannya. Agaknya bayangan itu tidak sengaja menyembunyikan diri. Ia berdiri saja di samping pintu sanggar.

   "Mungkin seorang cantrik."

   Berkata Ken Arok di dalam hatinya.

   Sejenak kemudian ia melihat pintu sanggar itu bergerak.

   Bayangan yang menunggu di samping pintu itu surut selangkah.

   Sementara itu, mata Ken Arok yang tajam melihat Mahisa Agni tersembul ke luar dari dalamnya.

   Tiba-tiba Mahisa Agni itu terloncat kesamping anak tangga sanggarnya.

   Agaknya ia terkejut ketika ia melihat seseorang menunggunya dimuka pintu sanggar.

   Tetapi orang yang menunggunya itu pun terkejut pula, sehingga iapun terloncat mundur.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa?"

   Terdengar Mahisa Agni bertanya.

   "Aku Agni."

   "O."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   "kau membuat aku terkejut cantrik. Apa kerjamu di sini?"

   "Aku ingin bertanya kepadamu Agni, apakah kau memerlukan lampu. Tetapi aku tidak berani mengganggumu, masuk ke dalam sanggar."

   Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, dan beberapa langkah daripadanya, di dalam kegelapan, Ken Arok punmenarik nafas dalam-dalam pula.

   "Benar dugaanku."

   Katanya di dalam hati.

   "ia seorang cantrik." ( bersambung ke

   Jilid 26 ) Koleksi . Ki Ismoyo scanning . Ki Ismoyo Retype . Ki Sukasrana Proofing . Ki Mahesa Cek ulang . Ki Arema ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 26 KEN AROK itu pun kemudian mendengar Mahisa Agni menjawab.

   "Tidak cantrik. Aku sudah lama tinggal di dalam sanggar".

   "Oh, baiklah"

   Sahut cantrik itu.

   "Kini aku akan kembali ke serambi samping".

   "Marilah". Keduanya pun kemudian berjalan meninggalkan sanggar itu beriringan setelah Mahisa Agni menutup pintu rapat-rapat. Mahisa Agni berjalan di depan dan cantrik itu berjalan di belakang. Dalam keremangan sinar pelita di kejauhan Ken Arok melihat keduanya semakin lama semakin jauh dari padanya. Tetapi, darah Ken Arok itupun kemudian seakan-akan berhenti mengalir. Kali ini ia melihat sesosok bayangan yang mengendap- endap di belakang Mahisa Agni dan cantrik yang mengikutinya. Bayangan itu meloncat dari sisi sanggar ke tempat terlindung yang lain di belakang cantrik yang berjalan di belakang Mahisa Agni. Sebelum Ken Arok sempat berbuat sesuatu, ia melihat bayangan itumenyambar cantrik yang berjalan di belakang Mahisa Agni tanpa menimbulkan suara apapun. Ken Arok adalah seorang yang memiliki tanggapan yang cepat menghadapi persoalan yang demikian. Ia adalah seorang pelayan dalam istana Tumapel dan sebelum itu ia adalah seorang hantu yang menakutkan. Karena itu segera ia tahu, bahwa sekejap lagi, maka Mahisa Agni lah yang akan mendapat sergapan dari bayangan itu. Karena itu dengan serta merta ia berteriak.

   "Agni. Awas di belakangmu. Aku kira ia bukan seorang cantrik". Dengan gerak naluriah, segera Mahisa Agni yang mendengar teriakan Ken Arok meloncat ke samping. Dengan serta pula tangannya menarik hulu pedangnya dan terjulur lurus, tepat ke arah bayangan yang handak menerkamnya. Dalam pada itu tubuh cantrik yang berjalan di belakang Mahisa Agni telah terbaring di tanah. Terdengar ia merintih, tetapi suara itu pun segera berhenti. Dada Mahisa Agni yang memang telah di liputi oleh kemarahan dan kegelisahan itu rasa-rasanya meledak melihat kehadiran orang yang sama sekali tak dikehendakinya. Apalagi ketika ia melihat cantrik yang sama sekali tidak tahu menahu tentang segala macam persoalan itu terbaring diam di tanah. Meskipun Mahisa Agni masih mendengar deru nafasnya, namun serangan yang licik itu telah membakar segenap urat darahnya. Dengan suara bergetar terdengar Mahisa Agni bertanya.

   "Siapakah kau?"

   Orang-orang yang berdiri di hadapannya itu tidak segera menjawab. Dalam keremangan tampaklah wajahnya membeku seperti wajah sesosok mayat. Selangkah orang itu maju, dan selangkah Mahisa Agni surut.

   "Siapa kau?"Orang itu masih juga berdiam diri. Wajahnya masih juga membeku mengerikan. Ken Arok yang melihat kehadiran orang itu tidak dapat tinggal diam. Namun, ketika ia akan melangkahkan kakinya terdengar desis di belakangnya.

   "Kau akan kemana anak muda?"

   Pertanyaan itu pun telah benar-benar mengejutkan hati Ken Arok.

   Cepat ia meloncat dan memutar tubuhnya.

   Kini ia berdiri berhadapan dengan seorang yang bertubuh kekar meskipun tidak cukup tinggi.

   Wajahnya yang kasar memancarkan sinar kebencian.

   Tetapi orang itu tertawa.

   Katanya pula.

   "jangan terkejut, apakah kau belum pernah mengenal aku?"

   Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah itu dengan tajamnya. Ternyata sinar mata Ken Arok tidak dapat ditundukkan oleh orang itu, sehingga orang itu berhenti tertawa. Terdengar suaranya parau.

   "He, anak muda. Sebut namamu". Ken Arok masih tetap tidak menyahut. Kakinya yang merenggang seolah-olah dalam-dalam menghunjam kepusat bumi. Tangannya tanpa sesadarnya telah berada dihulu pedangnya.

   "Kau tidak mau menjawab"

   Bentak orang yang berdiri di hadapan Ken Arok itu.

   "Baik. Kalau kau tidak mau menjawab, akulah yang akan menyebutkan namaku. Wong Sarimpat".

   "Hem"

   Ken Arok menggeram.

   Segera ia menyangka bahwa yang berdiri di hadapan Mahisa Agni adalah Kebo Sindet.

   Karena itu maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

   Kecemasan dan kegelisahan yang dirasakannya sejak mereka berangkat dari padang Karautan kini ternyata terjadi.

   Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak segera berbuat sesuatu.

   Mereka masih saja berdiri di tempatnya.

   Agaknya mereka masih menunggu.

   "Mereka menunggu Empu Sada"

   Pikir Ken Arok.

   "Hem, apakah Mahisa Agni harus mengalami bencana itu.Tiba-tiba Ken Arok terkejut ketika Wong Sarimpat sekali lagi membentaknya keras-keras.

   "Ayo, sebut namamu ". Ken Arok yang berdiri seperti batu karang itu masih berdiam diri. Ia tidak beranjak dari tempatnya ketika Wong Sarimpat maju selangkah mendekatinya. Tetapi langkah Wong Sarimpat tiba-tiba terhenti ia mendengar seseorang menegurnya "Wong Sarimpat, tunggu. Jangan hanya berani mengganggu anak-anak". Kini Wong Sarimpat lah yang memutar tubuhnya menghadap suara itu. Dari dalam kegelapan ia melihat sesosok tubuh berjalan dengan tenang mendekatinya. Empu Gandring.

   "Hem, kau pande keris itu pula". desis Wong Sarimpat.

   "Ya". Tiba-tiba mereka mendengar Kebo Sindet berkata.

   "Nah. Sekarang sudah lengkap. Kami sengaja menunggu Empu Gandring, supaya kami tidak kau sangka hanya berani mengganggu anak- anak".

   "Jadi bagaimana?"

   Sahut Empu Gandring.

   Dilihatnya beberapa langkah dari padanya, Kebo Sindet berdiri berhadapan dengan Mahisa Agni yang seolah-olah membeku dengan pedang terjulur.

   Empu Gandring segera dapat menduga, apa yang kira-kira akan terjadi atas kemanakannya.

   Sekali dipandanginya Pelayan dalam yang bernama Ken Arok itu.

   Apakah berdua dengan Mahisa Agni mereka mampu setidak-tidaknya menyelamatkan diri mereka? Tetapi, ia tidak dapat berbuat lain dari menghadapi kenyataan itu.

   Meskipun Empu Gandring tampaknya masih tenang-tenang saja, namun gejolak di dalam dadanya terasa menyentuh-nyentuh dinding jantungnya.

   Bahaya yang kini dihadapinya, bukan sekedar bermain-main seperti pada saat ia menghadapi seorang Wong Sarimpat dan seorang Empu Sada.

   Ia masih sempat mengganggu kedua orang itu sebelum mereka harus bertempur.Kini, yang dihadapi adalah dua orang sekaligus.

   Wong Sarimpat dan Kebo Sindet, bahkan mungkin Empu Sada yang segera akan menyusul.

   "Empu Gandring"

   Terdengar suara Kebo Sindet dalam nada yang datar.

   "aku sebenarnya tidak ingin mengganggumu. Aku hanya akan mengambil Mahisa Agni. Kali ini, kau jangan menghalangi aku lagi. Sebab, pasti tidak akan ada gunanya. Dengarlah, jangan menjawab dahulu. Kalau kau melawan, dan kita berkelahi, maka sementara kau melawan Wong Sarimpat, maka aku telah sempat membunuh anak muda dari istana Tumapel itu. Kemudian membuat Mahisa Agni lumpuh. Sesudah itu kami berdua, aku dan Wong Sarimpat akan membunuhmu bersama-sama. Nah bagaimana pertimbanganmu Empu Gandring?". Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia menjawab masih dalam ketenangan "Rencana itu kedengarannya baik sekali. Beberapa hari kau perlukan waktu untuk menyusun rencana itu? Aku kira kau telah mengaturnya jauh sebelum hari ini. Sejak lumbung itu terbakar. Kemudian kau membuat orang-orang Panawijen gelisah dan menjemput Mahisa Agni ke Padang Karautan. Akhirnya rencana itu sampai pada puncaknya seperti yang kau katakan itu".

   "Tepat"

   Jawab Kebo Sindet singkat.

   "Dan kau merasa bahwa kau mampu melakukannya?"

   "Bagaimana penilaianmu Empu?"

   Yang menyahut kemudian adalah Ken Arok. Suaranya bergetar seperti guruh yang menggetarkan udara.

   "Hem. Ternyata kalian berhasil menyelesaikan sebagian dari rencana itu, tetapi bagaimana selanjutnya?"

   Kebo Sindet tidak segera menjawab.

   Terasa di dadanya pengaruh suara Ken Arok yang agak aneh.

   Anak muda itu ternyata memiliki beberapa kelainan dengan anak-anak muda sebayanya.

   Dengan Mahisa Agni misalnya, atau Kuda-Sempana.Tetapi sebelum Kebo Sindet menyahut, terdengar suara tertawa Wong Sarimpat.

   "O, kau juga berani mengucapkan kata-kata itu? Kau benar-benar anak yang luar biasa". Ken Arok tidak menyahut. Ditatapnya wajah Wong Sarimpat yang kasar dan liar itu. Yang berkata kemudian adalah Kebo Sindet. Suaranya bergulung- gulung seolah-olah melingkar-lingkar saja di dalam perutnya.

   "Jangan mengungkiri kenyataan. Kalian akan mati hari ini. Kau anak muda, kaupun akan mati pula apabila kau berpihak kepada Mahisa Agni". Belum lagi mulut Kebo Sindet terkatup rapat, orang itu menjadi terkejut. Ternyata Ken Arok tidak mau terlampau banyak berbicara. Seperti tatit ia meloncat menyerang, bukan Wong Sarimpat tetapi justru Kebo Sindet yang berdiri agak jauh dari padanya. Dalam waktu yang pendek itu, Ken Arok berusaha membuat pertimbangan. Baginya lebih baik melepaskan Wong Sarimpat yang sudah berdiri berhadapan dengan Empu Gandring. Ia percaya bahwa Empu Gandring akan mampu menyelesaikannya, setidaknya untuk mengikat demit dari Kemundungan itu. Sedang di pihak lain Mahisa Agni benar-benar berada dalam bahaya. Meskipun dirinya sendiri tidak yakin bahwa ia dapat bertahan melawan Kebo Sindet, namun ia mengharap bahwa berdua dengan Mahisa Agni, ia dapat menggabungkan kekuatan. Kebo Sindet sendiri terkejut bukan buatan menerima serangan itu. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda itu mampu membuat gerakan demikian cepatnya. Jauh lebih cepat dari apa yang dapat di lakukan oleh Kuda-Sempana. Tetapi, Kebo Sindet adalah setan tua yang memiliki pengalaman sedalam lautan. Dengan cekatan pula ia meloncat menghindari serangan Ken Arok. Bahkan dengan menjejakkan kakinya, ia melingkar dan alangkah anehnya gerak Kebo Sindet itu. SebelumKen Arok mampu berdiri tegak di atas tanah, maka serangan lawannya itu telah melandanya seperti angin taufan. Alangkah dahsyatnya serangan itu. Empu Gandring masih sempat melihat apa yang terjadi. Seperti Kebo Sindet, ia heran melihat kemampuan Ken Arok. Tetapi keheranan dan kekagumannya itu dibarengi oleh perasaan cemas yang menghentak dadanya. Ia tahu akibat dari perbuatan anak muda itu. Kebo Sindet pasti akan marah dan setan tua yang berwajah beku itu akan segera memberikan serangan balasan. Tidak tanggung-tanggung. Serangan itu pasti serangan mematikan. Dan kini ia melihat Kebo Sindet benar-benar berbuat demikian. Ia melihat tangan Kebo Sindet terayun dengan kecepatan yang luar biasa. Sudah pasti di luar kemampuan Ken Arok untuk menghindarinya. Orang tua itu hanya dapat menahan nafasnya. Jarak antara keduanya tidak terlampau dekat, sedang di sampingnya berdiri Wong Sarimpat yang pasti akan mampu menghalanginya apabila ia ingin berbuat sesuatu. Serasa dada Empu Gandring itulah yang tersentuh tangan Kebo Sindet. Dengan wajah yang tegang ia melihat apa yang akan terjadi atas anak muda dari istana Tumapel itu. Apa lagi ketika ia mendengar ledakan tertawa Wong Sarimpat yang gila. Tetapi, tiba-tiba suara tertawa Wong Sarimpat terputus. Selangkah ia maju dengan mata yang menyala. Bahkan tanpa sesadarnya Empu Gandring pun meloncat maju mendekati Ken Arok yang terbanting di atas tanah kerena sentuhan tangan Kebo Sindet. Kedua orang tua yang telah masak itu hampir-hampir tidak percaya melihat apa yang terjadi. Bahkan Kebo Sindet sendiri seolah-olah terpaku di tempatnya. Adalah tidak mungkin sama sekali bahwa ia melihat anak muda yang bernama Ken Arok, yang terbanting dengan kerasnya karena dorongan tangan Kebo Sindet yang sedang marah, setelah terguling beberapa kali, segera berusaha bangun kembali.Meskipun mula-mula Ken Arok kehilangan keseimbangannya dan terhuyung-huyung hampir terjatuh lagi, tetapi akhirnya ia mampu tegak berdiri dengan garangnya seperti batu karang di tengah- tengah lautan. Dengan tangannya ia mengusap dadanya yang terasa panas bukan buatan seperti terbakar karena sentuhan tangan Kebo Sindet yang sedang marah. Namun, lambat laun ia berhasil menguasai rasa sakit itu. Ketika Ken Arok itu telah berhasil berdiri tegak kembali, maka tanpa sesadarnya terdengar Kebo Sindet berdesis.

   "Setan manakah yang manjing ke dalam tubuhmu itu anak muda. Kau berhasil menyelamatkan dirimu meskipun aku dapat menyentuh tubuhmu. Kalau kau tidak bernyawa rangkap, maka hal itu tidak akan mungkin terjadi pada seorang manusia biasa. Bahkan Empu Gandring pun pasti tidak akan mampu bertahan apabila tanganku berhasil mengenai dadanya."

   Ken Arok yang masih berdiri tegak itu menggeram.

   Kini, kemarahannya pun memuncak sampai ke ubun-ubun.

   Tubuhnya yang dibakar oleh kemarahan itu menggigil seperti orang kedinginan.

   Perlahan-lahan mulutnya bergerak dan terdengarlah ia berkata.

   Mahisa Agni yang seakan-akan membeku di tempatnya melihat peristiwa itu menjadi terkejut.

   Yang didengarnya itu adalah suara yang pernah didengarnya di Padang Karautan.

   Suara hantu yang menakutkan.

   "Kebo Sindet,"

   Suara itu terdengar parau dan dalam. Lontaran getarannya menghantam dada mereka yang mendengarnya.

   "jangan menyombongkan diri dengan kekuatan aji-ajimu. Meskipun aku tidak memiliki ilmu macam apapun, tetapi kejahatan yang kau lakukan pasti akan mencelakakanmu. Kalau tidak saat ini, pasti akan datang suatu ketika kau hancur menjadi debu".

   "Ancaman seseorang yang telah berputus asa"

   Jawab Kebo Sindet dalam nada datar. Kata-kata ita seakan-akan bergulung- gulung saja di dalam perutnya.

   "adalah hanya kebetulan saja bahwa kau terlepas dari bahaya maut. Tetapi kalau aku mengulangnyasekali lagi, maka kau tidak akan lagi dapat menyebut nama ayah bundamu."

   Ken Arok tidak menjawab. Dengan tangan gemetar dijulurkannya pedangnya sambil berkata.

   "Aku sudah siap". Agaknya kemarahan Kebo Sindet sudah tidak tertahankan lagi. Hampir tak tertangkap oleh pandangan mata biasa ia melenting, meloncat ke arah Ken Arok. Demikian cepatnya sehinga kali ini pun Ken Arrok tidak sempat berbuat banyak. Ia hanya mampu menggerakkan ujung pedangnya mengarah kepada lawannya. Tetapi, sekali lagi gerakan Kebo Sindet tak dapat diikutinya. Sekali lagi Kebo Sindet melenting, dan kali ini Ken Arok benar-benar tidak mampu mengikuti kecepatan gerak itu. Empu Gandring berdesis perlahan. Terasa bulu-bulunya meremang membayangkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Ken Arok. Kini ia ingin mencoba mempengaruhi gerak Kebo Sindet, tetapi dengan tiba-tiba Wong Sarimpat menghalangnya dengan sebuah sambaran kaki pada lambung Empu Gandring. Terpaksa Empu Gandring menghindari serangan itu, dan terpaksa ia tidak dapat berbuat sesuatu atas Kebo Sindet. Yang dilihatnya adalah sekali lagi Ken Arok terpelanting jatuh sesudah pedangnya terloncat dari tangannya. Mahisa Agni masih saja berdiri membeku. Kesadarannya seolah- olah terhisap habis-habis oleh peristiwa itu. Ia hanya mampu menggerakkan biji-biji matanya, mengikuti bayangan Ken Arok terbanting jatuh. Tetapi, sekali lagi mereka menjadi heran dan kagum bercampur- baur. Mereka melihat Ken Arok itu berguling beberapa kali. Lalu dengan tertatih-tatih ia berdiri di atas kedua lututnya. Bahkan kemudian anak muda itu telah tegak kembali. Tegak seperti tonggak baja yang kokoh kuat. Orang-orang tua yang melihat peristiwa itu hampir tidak dapat mempercayai penglihatannya. Mereka melihat tata gerak Ken Arok tidak terlampau jauh terpaut dari Mahisa Agni dan anak-anak mudayang memiliki kelebihan yang lain. Tetapi bahwa Ken Arok tidak lumat karena tangan Kebo Sindet adalah benar-benar di luar dugaan. Kebo Sindet sendiri yang telah dua kali mengenainya, sejenak terpaku seperti patung. Bahkan tanpa sesadarnya ia berdesis.

   


Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Pendekar Bloon Karya SD Liong

Cari Blog Ini