Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 39


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 39



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Meskipun sebenarnya mereka lebih senang merayakan hari perkawinan Akuwu itu di Tumapel.

   Namun mereka tidak dapat menyanggah perintah atasannya, bahwa mereka harus berangkat ke Padang Karautan, sambil membawa bekal dan makanan khusus selama hari-hari peralatan.

   Pada hari yang ketiga maka Padang Karautan menjadi lebih meriah lagi.

   Mereka melihat pemimpin rombongan telah datang bersama beberapa orang pengawal.

   Pemimpin rombongan prajurit- prajurit yang diperbantukan kepada Ken Arok, yang menurut perintah Akuwu maka pemimpin rombongan itu akan menjadi pembantu Ken Arok pula.

   Sebab menurut Akuwu Tunggul Ametung, maka Ken Arok tidak akan dapat terus-menerus mengawasi pekerjaan yang akan dilakukan sehari semalam bergantian.

   "He,"

   Teriak salah seorang prajurit.

   "lihat, pemimpin kita itu telah datang. Rombongan kecil itu pasti membawa makanan lebih banyak lagi."

   Hampir berbareng kawan-kawannya pun tertawa. Berkata salah seorang.

   "Apakah perutmu masih belum penuh juga?"

   "Perutku dapat menggelembung. Karena itu maka perut ini tidak pernah penuh berapa pun makanan aku masukkan."

   Kawan-kawannya sekali lagi tertawa. Bahkan Ki Buyut Panawijen yang duduk-duduk di antara mereka bersama orang-orang Panawijen pun ikut tertawa juga.

   "Jangan malu Ki Buyut,"

   Teriak prajurit itu pula.

   "kalau Ki Buyut dan orang-orang Panawijen malu, maka bukan salah kami apabila kalian tidak mendapat bagian. Kalau besok juru madaran itu kembali ke Tumapel, maka kita akan mengalami masa paceklik lagi. Makan nasi kurang matang, sambal wijen, dan jangan keluwih. Nah, lihat,itu orang-orang baru telah berdatangan lagi. Mereka pasti membawa makanan lebih banyak dan lebih enak."

   Meledaklah suara tertawa seolah-olah membelah Padang Karautan.

   Kegembiraan yang tidak tertahankan setelah mereka bekerja keras tanpa mengenal istirahat.

   Ken Arok sendiri duduk di atas sebuah batu beberapa langkah dari Ki Buyut Panawijen.

   Tampaklah ia tersenyum-senyum melihat tingkah-laku prajurit-prajuritnya dan orang-orang Panawijen yang sedang bergembira.

   Selama ini ia tidak dapat memaksa mereka bekerja.

   Tiga hari bendungan itu seolah-olah tidak disentuhnya.

   sendang dan susukan induk itu pun dibiarkannya tidak digarap selama ini untuk memberi kesempatan kepada orang-orangnya menikmati kegembiraan.

   Ken Arok mengharap, mudah-mudahan kegembiraan ini akan dapat menjadi pendorong kerja yang akan datang.

   Kerja yang lebih keras.

   Apalagi dengan orang-orang baru yang masih segar.

   Dengan wajah yang masih dihiasi dengan sebuah senyuman, Ken Arok menatap Padang Karautan yang berwarna kekuning-kuningan.

   Semakin lama rombongan kecil prajurit-prajurit Tumapel itu menjadi semakin dekat.

   Debu yang tipis mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang berlari tidak terlampau cepat melintas padang rumput yang luas.

   "Siapakah yang akan dikirim oleh Akuwu untuk membantu aku di sini?"

   Bertanya Ken Arok kepada salah seorang prajurit yang baru datang tiga hari yang lampau. Tetapi prajurit itu menggeleng sambil menjawab.

   "Kami tidak tahu, siapakah yang akan datang itu. Tetapi pemimpin pasukan yang membawa kami kemarin berkata, bahwa tiga hari lagi akan datang perwira yang akan diperbantukan dalam pembuatan bendungan ini."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap bertanya-tanya di dalam hati.

   "Siapakah orang yang akan datang itu?"

   Ken Arok mengharap bahwa orang itu akan dapatdiajaknya bekerja bersama.

   Seorang yang mengerti arti dari kerjanya.

   Ketika rombongan itu menjadi semakin dekat, maka tampaklah wajah Ken Arok menjadi semakin berkerut.

   Di antara mereka yang datang itu tampaklah seorang perwira remaja yang belum lama mendapat wisuda kenaikan tingkat.

   "Hem,"

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   "kenapa anak itu yang dikirim kemari?"

   Tetapi Ken Arok tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima tenaga yang dikirimkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepadanya.

   "Bukankah ia hanya membantu aku mengawasi para prajurit yang sedang bekerja? Mudah-mudahan sikapnya tidak mengendorkan hasrat dari setiap orang di sini. Mulutnya agak terlampau lancang. Dan sikapnya yang kekanak-kanakan kurang meyakinkan sikap seorang pemimpin,"

   Desisnya di dalam hati.

   Ketika rombongan itu sudah menjadi dekat benar, maka Ken Arok pun berdiri menyambutnya bersama dengan Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang prajurit.

   Tampaklah wajah anak muda itu berseri-seri meskipun dibasahi oleh keringat yang meleleh dari kening.

   Dengan lantangnya ia berkata hampir berteriak.

   "Ah, padang ini telah membakar kulitku kakang."

   Ken Arok mencoba tersenyum. Jawabnya.

   "Besok kau akan dapat merendam dirimu di dalam air."

   Perwira yang masih muda dalam usia maupun dalam jabatan itu tertawa. Katanya.

   "Ya, aku akan merendam diri. Apakah sendang yang kau buat itu sudah berair?"

   Ken Arok menggeleng.

   "Belum,"

   Jawabnya.

   "tetapi kau dapat merendam diri di bendungan."

   "Bendungan yang dibuat oleh Mahisa Agni?"

   "Ya,"

   Sahut Ken Arok.

   "sekarang adalah tugas kita untuk menyelesaikan bendungan itu sepeninggal Mahisa Agni."Perwira muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya.

   "Apakah kau ikut membuat bendungan itu pula bersama para prajurit?"

   "Tentu,"

   Sahut Ken Arok. Ken Arok terkejut ketika perwira itu kemudian berkata.

   "Aku hanya mendapat tugas membantumu membuat sendang buatan itu. Bendungan itu adalah pekerjaan orang-orang Panawijen. Prajurit- prajurit yang aku bawa dan yang mendahului aku adalah tenaga- tenaga yang diperbantukan kepadamu untuk sendang buatan itu."

   "Ah,"

   Ken Arok berdesah. Dengan serta-merta ia memandangi wajah Ki Buyut Panawijen yang berkerut. Tetapi Ken Arok itu segera menyahut.

   "Ya, begitulah. Aku memang meminta kepada Akuwu tenaga yang akan membantuku menyelesaikan sendang itu. Sedangkan bendungan dan parit-paritnya akan dilakukan oleh orang-orangku yang lama. Yang telah berada di padang ini sebelum kalian datang."

   Perwira itu ingin membantah kata-kata Ken Arok, tetapi segera Ken Arok menyambung kata-katanya.

   "Turunlah. Inilah Ki Buyut Panawijen."

   "O,"

   Anak muda itu mengangguk kecil. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya. Tampaklah betapa malasnya ia berjalan mendekati Ken Arok.

   "Jadi orang tua inilah Ki Buyut Panawijen?"

   Ia bertanya kepada Ken Arok.

   "Ya, Ngger. Akulah Buyut Panawijen,"

   Orang tua itu mengangguk dengan hormat. Sekali lagi anak muda itu mengangguk kecil, katanya.

   "Namaku Kebo Ijo, Ki Buyut."

   "O, jadi Angger bernama Kebo Ijo?"

   "Ya,"

   Sahut Kebo Ijo pendek, kemudian kepada Ken Arok ia berkata.

   "di manakah sendang buatan itu?""Itu,"

   Ken Arok menunjuk agak ke tengah.

   "agaknya pepohonan yang aku tanam telah tumbuh baik meskipun masih harus disiram setiap hari."

   Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Apakah hari ini kalian tidak bekerja?"

   Ia bertanya.

   "Kami di sini sedang beristirahat merayakan perkawinan Akuwu."

   Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Kenapa kau tidak pergi ke Tumapel menyaksikan perkawinan itu?"

   "Aku lebih senang berada di sini. Di antara batu-batu dan brunjung-brunjung bambu. Di antara tanaman-tanaman yang telah mulai tumbuh ngrembaka. Di antara para prajurit yang menari-nari menurut irama yang khusus."

   "Sayang kau tidak melihatnya,"

   Desis Kebo Ijo.

   "Kenapa?"

   "Gadis Panawijen itu memang cantik. Cantik sekali. Sepantasnyalah, bahwa kakang Mahendra pernah tergila-gila kepadanya, dan Kuda Sempana benar-benar menjadi gila. Apakah kau belum pernah melihat wajah gadis itu?"

   "Sudah, tetapi hanya sekilas,"

   Jawab Ken Arok.

   "Aku sama sekali tidak melihat kelebihan dari gadis-gadis cantik yang lain. Tetapi entahlah dalam pakaian kebesarannya."

   Mendengar jawaban Ken Arok itu Kebo Ijo tertawa terbahak- bahak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang.

   Beberapa orang prajurit berpaling memandanginya.

   Dan Ki Buyut Panawijen pun mengerutkan keningnya.

   Orang tua itu dalam sekilas dapat melihat perbedaan antara kedua pemimpin yang mendapat tugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat itu.

   Meskipun keduanya masih muda, tetapi Ken Arok tampak jauh lebih matang dari pemimpin yang bernama Kebo Ijo itu.

   Di sela-sela suara tertawanya terdengar ia berkata.

   "Sudah sepantasnyalah kau ditempatkan di Padang Karautan ini. Setiap harikau hanya bergaul dengan batu-batu, brunjung-brunjung bambu, pedati, waluku, dan lembu."

   "Kenapa?"

   Ken Arok mengerutkan keningnya.

   "Seandainya kau berada di Tumapel pun kau tidak akan dapat menilai seorang gadis. Ternyata kau tidak melihat kelebihan yang tidak ternilai pada permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu."

   "Sudah aku katakan. Aku hanya melihatnya sekilas. Pertama- tama aku melihatnya pada saat Akuwu mengambilnya di Padukuhan Panawijen. Kemudian hampir tidak pernah lagi aku melihatnya cukup lama. Sekali lagi Kebo Ijo tertawa.

   "Mungkin,"

   Katanya.

   "pada saat kau mengambilnya di Panawijen maka gadis itu adalah gadis padepokan. Pakaiannya adalah pakaian padesan sehari-hari. Tetapi setelah ia mengenakan pakaian seorang puteri keraton, maka wajahnya memancar seperti matahari."

   Kemudian sambil berpaling kepada Ki Buyut Panawijen, ia berkata.

   "Kau dapat juga berbangga Ki Buyut, bahwa dari padukuhanmu yang kering itu telah lahir seorang gadis yang cantik seperti matahari. Tetapi sinarnya yang panas telah mengeringkan padukuhanmu sehingga kau harus bersusah-payah membuat bendungan baru di sini."

   "Ah,"

   Ken Arok memotong.

   "kau masih juga senang bergurau. Beristirahatlah. Mungkin kau haus atau lapar. Silakan. Orang- orangmu sudah tahu, ke mana kau harus pergi sekarang. Telah disediakan sebuah gubug untukmu."

   "Apa aku dapat beristirahat di tempat serupa kandang kambing ini?"

   "Sekian lamanya aku di sini, aku selalu dapat tidur nyenyak,"

   Sahut Ken Arok. Sejenak Kebo Ijo menebarkan pandangan matanya berkeliling. Tampaklah keningnya berkerut-merut dan mulutnya bergerak-gerak. Tetapi ia masih berdiam diri."Apakah yang membuatmu heran?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Hem,"

   Anak muda itu bersungut-sungut.

   "ternyata aku telah dilemparkan ke dalam neraka. Kenapa aku yang mendapat tugas di padang panas ini, kenapa bukan orang lain?"

   "Di sini tidak ada sesuatu yang dapat menyegarkan hati. Tidak ada gadis-gadis cantik, tidak ada penari yang lincah, tidak ada selingan apa pun kecuali batu melulu."

   "Aku di sini jauh lebih lama daripadamu,"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Ken Arok.

   "tetapi aku tidak mengeluh."

   "Mungkin kau sudah biasa hidup di Padang Karautan sejak sebelum kau menjadi pelayan dalam di Tumapel."

   Terasa dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Kebo Ijo itu Tetapi ketika ia melihat wajah Kebo Ijo, maka segera ia menyadari bahwa Kebo Ijo sama sekali tidak bersungguh-sungguh.

   Ia berkata apa saja sekehendak hatinya tanpa menghiraukan perasaan orang lain.

   Karena itu maka Ken Arok itu bahkan tersenyum sambil menjawab.

   "Ya, mungkin aku memang dilahirkan di Padang Karautan. Tetapi kau pun harus berusaha menyesuaikan dirimu. Seorang prajurit pada suatu saat akan berada di suatu tempat yang sama sekali tidak menyenangkan. Dalam peperangan mungkin kau harus berada di tanah yang berlumpur, atau mungkin di padang yang lebih panas dari Karautan, atau mungkin di lereng-lereng bukit."

   "Dalam peperangan hal itu wajar sekali terjadi. Tetapi di masa- masa orang lain bergembira ria di jalan-jalan Kota Tumapel, aku harus berada di dalam tungku yang panasnya bukan main."

   "Ah,"

   Desah Ken Arok.

   "jangan mengeluh saja. Kau harus memberi contoh kepada prajurit-prajuritmu, bahwa mereka harus tahan menghadapi keadaan."

   Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Kemudian ia berpaling memandangi prajurit-prajurit yang duduk bergerombol-bergeromboldi antara gubug-gubug yang bertebaran. Beberapa orang pengawal yang datang bersamanya masih saja berdiri di belakangnya.

   "Mereka pun sebenarnya tidak senang terdampar di padang kering ini."

   "Mungkin,"

   Sahut Ken Arok.

   "tetapi kau dan aku harus menumbuhkan kegairahan kerja. Jangan mengendorkan nafsu bekerja mereka. Beberapa hari lagi kau dan prajuritmu akan dapat menyesuaikan dirinya dengan udara padang yang kering ini. Dan kau seharusnya tidak mengeluh lagi."

   Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.

   "Di mana aku harus beristirahat."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Sikap Kebo Ijo tidak begitu menyenangkannya. Tetapi ia memanggil juga seorang prajurit dan berkata kepadanya.

   "Bawalah tamu-tamumu ini ke tempat yang sudah disediakan."

   "He,"

   Potong Kebo Ijo.

   "kau sangka aku di sini sekadar menjadi tamumu? Tidak, aku di sini menjadi tawananmu yang mulai besok atau lusa harus bekerja berat di atas api neraka."

   Ken Arok tersenyum, tetapi ia tidak menyahut. Prajurit yang dipanggilnya segera membawa Kebo Ijo dan para pengawalnya ke tempat yang memang sudah disediakan. Beberapa buah gubug kecil dengan sehelai tikar pandan yang masih baru.

   "Ah,"

   Sekali lagi Kebo Ijo berdesah.

   "macam inikah tempat yang diperuntukkan bagi kami?"

   "Semuanya hanya seperti ini,"

   Sahut prajurit itu.

   "Bagaimana dengan Ken Arok?"

   "Tak ada bedanya, bahkan tikar yang dipakainya adalah tikar yang sudah usang."

   Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Dipandanginya prajurit itu dengan pandangan yang aneh, sehingga prajurit itu menundukkan kepalanya."Apa kau bilang?"

   Desis Kebo Ijo.

   "Ken Arok justru memakai tikar yang usang?"

   "Ya,"

   Sahut prajurit itu.

   "Bodoh, bodoh sekali,"

   Gumam Kebo Ijo.

   "sebagai pimpinan ia berhak memilih. Bukan hanya sekadar soal tikar, tetapi soal apa pun juga."

   Mata Kebo Ijo terbelalak ketika ia mendengar prajurit itu menjawab.

   "Ya, memang ia berhak untuk memilih dalam hal apa pun. Tetapi itu tidak pernah dilakukannya. Ia tidak pernah memilih. Yang selalu dipakainya adalah yang tersisa setelah para prajuritnya memilih lebih dahulu."

   "Huh,"

   Geram Kebo Ijo.

   "ia telah menghilangkan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Salahnyalah kalau bawahannya kelak tidak lagi menghormatinya dan tidak mematuhinya."

   Prajurit itu mengerutkan keningnya.

   Tetapi ia tidak berani menjawab.

   Namun dengan demikian maka ia mendapat kesan bahwa pemimpinnya yang baru ini agak berbeda sifat dan tabiatnya dengan pemimpinnya yang lama, Ken Arok.

   Bagi prajurit itu, sikap Ken Arok sama sekali tidak merendahkan dirinya atau menghilangkan kewibawaannya.

   Tetapi justru para prajurit menjadi segan dan hormat kepadanya, tanpa membuat garis pemisah antara pemimpin dan yang dipimpin.

   Keakraban di antara mereka telah mendorong mereka untuk berbuat banyak dengan penuh kerelaan.

   Bukan sekadar memenuhi kewajiban sebagai bawahan yang harus patuh terhadap atasan.

   Tetapi ada dorongan dari dalam diri sendiri untuk bekerja keras bersama-sama dengan penuh keikhlasan.

   "Agaknya tidak demikian dengan pemimpin yang baru ini,"

   Desah prajurit itu di dalam hatinya, kemudian.

   "tetapi ia hanya sekadar membantu Ken Arok. Segalanya masih tetap ada di dalam tanggung jawab pemimpin yang lama itu."Kebo Ijo itu pun kemudian masuk ke dalam gubug kecil yang diperuntukkannya sendiri. Di sampingnya adalah gubug yang agak besar yang diperuntukkan bagi para prajurit yang mengawalnya pada saat ia datang ke Padang Karautan. Namun agaknya Kebo Ijo sama sekali kurang puas terhadap keadaan ini. Gubug ini terlampau jelek. Tak ada apa-apa di dalamnya selain sebuah gendi air, sebuah tikar, dan sebuah bancik lampu yang dipergunakan di malam hari.

   "Di mana aku harus meletakkan ganti pakaianku?"

   Tiba-tiba Kebo Ijo itu berteriak. Prajurit yang mengantarnya masih berdiri di luar gubug itu. Ketika ia mendengar Kebo Ijo berteriak, maka segera ia mendekatinya.

   "Di mana aku harus menyimpan pakaianku? Apakah di sini tidak ada glodok, atau paga, atau apa pun?"

   Prajurit itu menggeleng.

   "Tidak."

   "Apa yang diperbuat Ken Arok dengan pakaiannya?"

   "Dibungkus, dan diletakkan di samping pembaringannya."

   "Ah,"

   Kebo Ijo berdesah.

   "malas sekali. Di sini ada bambu, ada tenaga, ada tali. Kenapa tidak disuruhnya membuat paga atau apa pun?"

   Prajurit itu tidak menjawab.

   "Yang pertama-tama dilakukan oleh prajurit-prajuritku adalah membuat paga."

   Kebo Ijo itupun kemudian tergesa-gesa keluar dari gubugnya dan pergi mendapatkan sekelompok prajurit yang sedang makan sambil berbicara seenaknya.

   Mereka tertawa sepuas-puasnya.

   Seorang dari mereka yang cukup jenaka, ternyata baru berceritera tentang pengalaman mereka yang lucu.

   Suara tertawa itu terputus ketika mereka mendengar Kebo Ijo yang tiba-tiba saja berada di samping mereka, berteriak.

   "Berhenti. Apa yang kalian lakukan selama tiga hari di sini mendahului aku?Kalian tidak dapat mempersiapkan tempat untukku dengan baik. Sekarang buatlah sebuah paga untukku. Lihat di sana ada setumpuk bambu. Cepat. Hari ini paga itu harus sudah siap untuk tempat pakaianku."

   Para prajurit itu terkejut. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun terdengar suara Kebo Ijo.

   "Cepat. Lakukan perintahku."

   Tetapi para prajurit itu masih saja duduk keheranan. Dipandanginya wajah Kebo Ijo yang tegang. Dan sekali lagi mereka mendengar Kebo Ijo berteriak.

   "Cepat. Ayo lakukan perintahku. Membuat sebuah paga untukku. Jumlah kalian telah cukup banyak untuk melakukannya. Kalian tidak perlu mencari orang lain lagi. Coba berapa orang yang bergerombolan disini. Sebelas, ah, malahan dua belas orang."

   Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya.

   "Apakah kami harus membuatnya sekarang?"

   "Oh, ternyata kau tuli. Aku sudah bilang, selesaikan paga itu hari ini juga."

   "Tetapi kami bukan prajurit-prajurit yang baru datang tiga hari yang lalu. Kami telah lama berada di Padang Karautan ini."

   "Aku tidak peduli. Lakukan perintahku. Aku adalah orang kedua sesudah Ken Arok di sini. Semua harus tunduk pada perintahku. Baik ia baru datang tiga hari yang lalu, maupun sudah lama berada di sini."

   Sekali lagi prajurit-prajurit itu saling berpandangan.

   Tetapi satu- dua dari mereka telah berdiri, meskipun sambil bersungut-sungut di dalam hati.

   Hari ini mereka sebenarnya masih diizinkan untuk beristirahat.

   Tetapi ketika mereka mulai melangkah, maka langkah itu pun terhenti.

   Mereka melihat Ken Arok berjalan mendatanginya.

   Dengan nada datar ia bertanya.

   "Ada apa dengan kalian?"

   "Aku memerintahkan kepada mereka untuk membuat sebuah paga,"

   Sahut Kebo Ijo."O,"

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "kau perlu sekali dengan paga itu?"

   "Ya, aku harus meletakkan pakaianku. Di dalam gubugku sama sekali tidak ada tempat yang pantas."

   Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak.

   Para prajurit itu sebenarnya masih harus menikmati masa istirahatnya untuk menyambut hari- hari gembira.

   Tetapi ia tidak dapat menolak perintah Kebo Ijo meskipun ia berwenang.

   Dengan demikian maka ia akan membuat anak muda itu malu dan seterusnya mengurangi kepatuhan para prajurit terhadapnya.

   Dalam keadaan yang demikian, maka Kebo Ijo pasti akan berusaha untuk menebus kewibawaannya dengan perbuatan yang aneh-aneh yang barangkali terlampau keras.

   Sejenak Ken Arok berdiri saja dengan penuh kebimbangan.

   Apakah sebaiknya yang pantas dilakukan.

   Ia harus cukup bijaksana sehingga persoalan itu dapat dipecahkannya tanpa membuat pihak- pihak yang bersangkutan menjadi kecewa.

   Tetapi belum lagi Ken Arok mendapatkan cara yang dianggapnya baik, maka sekali lagi ia mendengar Kebo Ijo membentak.

   "Ayo, cepat. Apalagi yang kau tunggu? Aku memerlukan paga itu segera."

   Seperti digerakkan oleh sebuah tenaga, maka para prajurit itupun bersama-sama berpaling memandangi Ken Arok seakan minta pertimbangan kepadanya, apakah saat-saat yang terasa sangat menggembirakan itu harus segera diputuskan hanya karena sebuah paga.

   Ken Arok merasakan betapa tatapan mata para prajuritnya itu bertanya kepadanya, dan lebih daripada itu menunggu keputusannya.

   Namun sekali lagi hatinya tersentuh pula oleh kewajibannya untuk mempertahankan kewibawaan Kebo Ijo.

   Kalau ia membatalkan perintah itu berdasarkan wewenangnya, maka hal yang serupa akan menjadi kebiasaan para prajurit itu.

   Karena itu maka Ken Arok kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata.

   "Ya, baiklah. Lakukanlah perintah itu."Alangkah kecewanya hati para prajurit itu. Tanpa mereka sengaja mereka menebarkan pandangan mereka ke arah kelompok- kelompok yang lain yang masih dengan gembira menikmati masa- masa istirahat mereka. Perasaan yang selama ini tidak pernah tumbuh di dalam dada mereka, terasa kini mulai menjamah hati mereka. Iri. Mereka merasa iri bahwa kawan-kawan mereka itu masih dapat duduk sambil bergurau dan menikmati makanan yang melimpah-limpah. Tetapi mereka sekelompok yang hanya kebetulan saja duduk di dekat gubug Kebo Ijo, tiba-tiba saja telah mendapat pekerjaan yang menjemukan. Membuat paga. Seandainya hari itu juga mereka harus melanjutkan kerja mereka bersama-sama, maka mereka tidak akan merasa malas seperti itu. Tetapi Ken Arok telah membenarkan perintah Kebo Ijo, sehingga karena itu maka mereka terpaksa juga melangkahkan kaki-kaki mereka yang serasa menjadi terlampau berat, ke arah setumpuk bambu di sebelah perkemahan itu. Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika mereka mendengar Ken Arok berkata.

   "He, apakah tidak ada yang kalian lupakan?"

   Salah seorang dari mereka bertanya.

   Apakah yang tertinggal?"

   "Tidak ada seorang pun diantara kalian yang membawa alat untuk memotong, memecah, dan meraut bambu."

   "Oh,"

   Para prajurit itu pun kemudian berdesah.

   "Ambillah,"

   Berkata salah seorang di antara mereka kepada prajurit yang paling muda. Dengan malasnya prajurit muda itu berjalan ke dalam gubug tempat menyimpan segala macam alat-alat. Langkahnya satu-satu seperti anak itu sedang kelaparan.

   "He, inikah cara kalian bekerja,"

   Bentak Kebo Ijo.

   "langkahmu seperti cacing kelaparan. Kau sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang prajurit Tumapel yang perkasa."Prajurit itu tcrkejut. Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah mengambil segala macam alat yang mereka perlukan. Ketika ia berlari-lari kembali, maka didukungnya berbagai macam pisau dan kelewang.

   "Cepat, lakukan perintahku,"

   Teriak Kebo Ijo sambil bertolak pinggang.

   Sikapnya telah menumbuhkan kesan yang kurang menyenangkan bagi para prajurit Tumapel yang berada di Padang Karautan itu.

   Namun ketika mereka sedang melangkah beberapa langkah lagi, mereka mendengar Ken Arok berkata pula.

   "He, kalian masih juga kelupaan sesuatu."

   "Apa lagi?"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bertanya salah seorang dari mereka. Ken Arok tcrsenyum ketika ia mendengar Kebo Ijo menggeram. Agaknya Kebo Ijo menjadi jengkel juga terhadap Ken Arok yang seolah-olah sengaja menghambat para prajurit itu.

   "Itu,"

   Ken Arok menjawab sambil menunjuk makanan yang masih berserakan.

   "kalian boleh membawa makanan itu, supaya kalian dapat bekerja dengan tenang. Hari ini adalah hal yang sangat khusus. Di hari-hari di mana kalian bekerja, maka aku akan mengambil tindakan apabila aku melihat salah seorang dari kalian ternyata membawa makanan. Tetapi di hari istirahat ini pekerjaan kalian adalah makan, sedangkan pekerjaan yang lain itu adalah pekerjaan sambilan. Tetapi ingat. Hari ini paga itu harus sudah siap. Tetapi itu bukan berarti bahwa kalian harus bekerja dengan wajah berduka. Tidak ada larangan buat tertawa. Asal tertawa itu tidak memperlambat pekerjaan kalian."

   Para prajurit itu sejenak tertegun diam. Namun tiba-tiba mereka itu tersenyum. Bahkan prajurit yang paling muda, yang dengan malasnya telah mengambil alat-alat mereka, kini dengan sigapnya meloncat dan memungut beberapa macam makanan yang disukainya.

   "Bawa semuanya. Serahkan alat-alat itu kepada orang lain."Perintah ini pun dilakukannya dengan cepatnya. Jauh lebih cepat daripada saat ia berlari-lari ke tempat simpanan alat-alat.

   "Nah, cepat. Sekarang pergi ke timbunan bambu, secepat kalian mengambil makanan itu."

   Para prajurit itu tidak dapat menahan tawa mereka.

   Tetapi sikap mereka pun kini segera berubah.

   Dengan lincahnya mereka melangkah ke arah setumpuk bambu.

   Dan kemudian dengan cepat pula mereka mengerjakannya.

   Membuat sebuah paga.

   Namun tangan mereka tidak henti-hentinya menyuapi mulut mereka.

   Ada satu-dua di antara mereka yang memecah bambu sambil berdendang.

   Ada yang meraut belahan bambu sambil berkelakar.

   Sesaat Kebo Ijo dan Ken Arok masih memandangi mereka dari kejauhan.

   Mereka melihat para prajurit itu bekerja dengan cekatan.

   Meskipun pekerjaan itu bukan pekerjaan mereka, tetapi ada di antara mereka yang memang cukup cakap untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dari bambu.

   Beberapa orang prajurit yang lain, yang juga duduk di dalam kelompok-kelompok, akhirnya melihat juga kawan-kawannya yang sibuk membuat paga.

   Beberapa dari antara mereka mendatangi para prajurit yang sedang bekerja itu sambil bertanya.

   "Apakah yang kalian lakukan?"

   Salah seorang dari mereka menjawab.

   "Membuat paga."

   "Buat apa?"

   "Tempat pakaian."

   "He,"

   Prajurit yang bertanya itu membelalakkan matanya.

   "baru sekarang kau berpikir untuk membuat tempat pakaian? Agaknya kau menunggu pakaianmu menjadi kumal, baru kau buat rak-rakan untuk menyimpannya."

   "Hus,"

   Desis prajurit yang sedang bekerja itu.

   "bukan untuk kami sendiri. Tetapi kami membuat untuk pemimpin kami yang seorang itu, yang akan membantu Ken Arok memimpin kami. Kebo Ijo.""O,"

   Prajurit itu tiba-tiba menutup mulutnya. Ketika ia berpaling, ia masih melihat Kebo Ijo berdiri bertolak pinggang di tempat yang agak jauh.

   "Ia pasti tidak mendengar,"

   Desis prajurit itu pula.

   "Tetapi sikapmu pasti membuatnya marah. Orang itu agaknya pemarah dan keras."

   "Oh,"

   Tiba-tiba prajurit itu pun berjongkok pula di antara mereka yang sedang bekerja.

   "aku akan ikut membantu kalian. Apakah kalian tidak menghabiskan hari istirahat ini, dan membuat paga ini besok."

   "Paga ini harus jadi hari ini juga."

   "Bukan main."

   Beberapa orang prajurit yang semula hanya berdiri saja melihat- lihat satu demi satu ikut pula berjongkok dan membantu membuat paga itu.

   Ada yang membantu meraut bambu-bambu yang telah dibelah, ada yang mengerat dan membuat lubang-lubang purus.

   Ada yang membuat tali dan ada yang mulai nglanji potongan- potongan bambu itu.

   Di kejauhan Ken Arok yang masih berdiri di samping Kebo Ijo berkata.

   "Lihat, pekerjaan itu akan cepat selesai. Yang turut bekerja menjadi semakin banyak. Kini telah lebih dari duapuluh lima orang berjongkok di sana meskipun sebagian dari mereka hanya duduk- duduk sambil berbicara. Tetapi suasananya menjadi lebih jernih."

   "Kau terlalu memanjakan prajurit-prajuritmu,"

   Sahut Kebo Ijo.

   "sebenarnya kau tidak perlu terlampau bermanis-manis. Sejak aku datang, aku sudah melihat kelemahanmu. Apalagi ketika prajurit yang mengantarkan aku berkata serba sedikit tentang kau. Katanya, kau selalu mengalah terhadap prajurit-prajuritmu. Untuk segala hal kau lebih senang mempergunakan sisa dari prajurit-prajuritmu. Seharusnya kau tidak berbuat demikian. Dan aku tidak akan berbuat demikian. Aku akan bersikap seperti sikap seorang perwira, sebenarnya perwira. Aku tidak akan terlampau lunak danmemanjakan prajurit-prajuritku. Supaya mereka tahu bagaimana mereka harus bersikap terhadap atasannya."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab.

   "Bagiku sikap yang berlebih-lebihan itu tidak perlu. Aku ingin mengendalikan mereka sebaik-baiknya. Tidak dengan kekerasan seperti yang kau bayangkan. Lihat, bukankah pekerjaan itu selesai juga dengan caraku. Dan para prajurit itu tidak merasa tersinggung dan terganggu."

   "Tetapi setiap kali kita harus bermanis-manis. Setiap kali kita harus berpura-pura meskipun sebenarnya dada kita bengkah karena kemarahan atas sikap mereka yang memuakkan, kita harus tersenyum-senyum dan tertawa-tawa. Coba lihat prajurit-prajuritmu yang telah lama berada di Padang Karautan ini. Mereka terlampau malas seperti cacing kelaparan. Tetapi kalau mereka mendapat makanan, maka mereka berebutan seperti serigala."

   "Ah,"

   Ken Arok semakin tidak senang mendengar kata-kata Kebo Ijo.

   Ia tahu sifat dan watak anak muda itu.

   Meskipun perkenalannya dengan adik seperguruan Witantra ini belum terlampau akrab, tetapi ia sudah membayangkan, alangkah jauh sifat dan wataknya dari kakak seperguruannya itu.

   "Lihat,"

   Berkata Kebo Ijo.

   "kau akan melihat perbedaan sikap mereka setelah aku berada di sini."

   "Aku tidak menghendaki,"

   Sahut Ken Arok.

   "aku menghendaki suasana di padang rumput Karautan ini tetap seperti semula."

   Kebo Ijo terkejut mendengar jawaban Ken Arok sehingga ia berpaling. Tetapi dilihatnya Ken Arok masih tetap berdiri dengan tenangnya memandangi orang-orang yang sedang bekerja membuat paga untuk Kebo Ijo itu.

   "Kau akan tetap memelihara prajurit-prajuritmu menjadi pemalas,"

   Bertanya Kebo Ijo.

   "Kau belum pernah melihat mereka bekerja di bendungan."

   "Di bendungan?."Ya, di bendungan dan sendang buatan itu."

   "O, jadi prajurit-prajuritmu juga kau pekerjakan di bendungan itu."

   "Ya."

   "Itu pun tidak akan aku lakukan. Prajurit-prajurit dari Tumapel hanya boleh bekerja di sendang buatan. Bendungan itu adalah tugas orang-orang Panawijen. Kalau semua kau kerjakan, lalu apakah kerja orang-orang Panawijen? Tidur dan menghabiskan bekal makanan kita?"

   "Seharusnya kau tidak mengucapkan kata-kata itu,"

   Sahut Ken Arok.

   "kau harus melihat dulu. Baru kau menilai apa yang kau lihat."

   "Aku sudah melihat cara mereka bekerja. Dan aku sudah dapat menilai. Juga tentang orang-orang Panawijen ini."

   "Kalau bendungan itu tidak siap, dari mana sendang itu akan mendapat air?"

   Kebo Ijo terdiam sejenak. Tampaklah wajahnya berkerut-merut. Lalu katanya.

   "Ya, barangkali begitu, tetapi baik terhadap orang- orang Panawijen dan kepada para prajurit, kita harus bersikap keras. Kita jangan membuat kebiasaan jelek antara bawahan dan atasannya."

   "Apakah aku juga harus bersikap demikian terhadapmu?"

   Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Kebo Ijo sehingga dadanya serasa berdentang.

   Sejenak prajurit muda itu justru terbungkam.

   Tetapi matanya seolah-olah hendak menyala.

   Wajahnya yang tegang menjadi kemerah-merahan seperti bara.

   Dengan nafas yang seakan-akan menyumbat kerongkongan ia bertanya.

   "Apakah maksudmu?"

   Tetapi Ken Arok masih tetap tenang. Ia masih saja memandangi orang yang bekerja membuat paga bagi Kebo Ijo. Dengan nada datar ia berkata.

   "Kau ingin aku bersikap keras tehadap bawahanku.Kalau kau tidak sependapat dengan aku, maka apakah kau juga bermaksud supaya aku memaksamu."

   Dada Kebo Ijo kini benar berdentangan.

   Ia tidak menyangka bahwa Ken Arok akan bersikap demikian terhadapnya.

   Selama ini ia menganggap bahwa Ken Arok adalah seorang pelayan dalam yang tidak begitu penting.

   Adalah kebetulan saja bahwa ia mendapat tugas di Padang Karautan.

   Seperti biasanya Akuwu kadang-kadang tidak terlampau panjang berpikir tentang sesuatu masalah yang tidak dianggapnya penting.

   Misalnya tentang pembuatan sendang dan taman di Padang Karautan, sehingga ia menunjuk saja orang yang terdekat pada saat keinginannya itu tumbuh.

   Agaknya saat itu Ken Arok lah yang lagi menghadapnya, sehingga anak itulah yang diserahi untuk melakukan tugas itu.

   Kebo Ijo tidak pernah berpikir bahwa Akuwu Tunggul Ametung pernah menyaksikan sendiri, bagaimana Ken Arok berkelahi melawan Mahisa Agni ketika mereka sedang melarikan Ken Dedes, dan bagaimana anak muda itu dengan sebuah gerakan yang sama sekali tak terduga-duga telah membunuh seorang prajurit.

   Apa yang dilihat itu ternyata tetap teringat oleh Akuwu Tunggul Ametung yang senang sekali melihat keperkasaan para prajurit dan pelayan dalamnya.

   Dan karena keperkasaannya pulalah maka Witantra berada di dekat Akuwu itu, dan dahulu juga Kuda Sempana.

   Karena hal yang serupa pula maka Kebo Ijo tepat mendapat wisuda dan bahkan kemudian diserahi untuk memimpin sejumlah prajurit menyusul Ken Arok di Padang Karautan ini.

   Tetapi kini tiba-tiba Kebo Ijo menghadapi sikap pelayan dalam yang dianggapnya tidak penting itu, betapa menyakitkan hatinya.

   Sehingga untuk sejenak justru mulutnya terbungkam dan tubuhnya menjadi gemetar seperti kedinginan.

   Selama itu Ken Arok hanya berdiam diri saja.

   Ia masih saja memandangi orang-orangnya yang sedang bekerja.

   Seolah-olah ia acuh tak acuh saja atas sikap Kebo Ijo yang menjadi sangat marah kepadanya.Sejenak kemudian maka terdengar Kebo Ijo menggeram.

   "Kau tidak akan dapat menakut-nakuti aku."

   "Aku tidak menakut-nakutimu. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu tentang dirimu sendiri. Aku kira kau pasti tidak senang mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Terlampau keras dan kasar, tanpa mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Tanpa kesempatan untuk beristirahat dan tertawa."

   "Ternyata kau pengecut,"

   Sahut Kebo Ijo yang hampir tidak dapat mengendalikan kemarahannya.

   "kau tidak berani mempertanggungjawabkan kata-katamu sendiri."

   "Kenapa?"

   Bertanya Ken Arok masih dalam sikapnya.

   "Aku kira kau juga hanya dapat menakut-nakuti para prajurit itu sehingga kau tidak berani bertindak keras terhadap mereka. Sedangkan apabila para prajurit itu berani menentangmu, maka kau surut tidak hanya satu-dua langkah. Tetapi kau surut sampai ke batas yang paling aman bagimu."

   Kini Ken Arok memalingkan kepalanya. Masih dalam nada yang datar ia bertanya.

   "Apakah maksudmu?"

   "Kau pengecut,"

   Kebo Ijo mengulangi.

   "Kau tidak berani memberikan perintah sebagai seorang pemimpin. Kau hanya berani membujuk mereka dengan kemanjaan yang berlebih-lebihan supaya mereka tidak marah kepadamu."

   "Kau yakin begitu?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Aku yakin,"

   Jawab Kebo Ijo.

   "sekarang kau mencoba menakut- nakuti aku. Tetapi kau tidak berani mempertanggungjawabkan. Dengan licik kau memutarbalikkan arti kata-katamu."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Sedangkan Kebo Ijo berbicara terus.

   "Apalagi kau sama sekali tidak berhak berbuat apa pun juga atasku. Aku mendapat perintah langsung dari Tuanku Akuwu."

   "Bagaimana bunyi perintah itu?"Kebo Ijo terdiam sejenak. Tetapi kamudian ia menjawab.

   "Aku mendapat perintah untuk membantumu. Hanya membantu. Dan itu tidak berarti bahwa aku berada di bawah perintahmu."

   "Kau berada di bawah perintahku,"

   Sahut Ken Arok tegas.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekali lagi Kebo Ijo terdiam.

   Sekali lagi darahnya serasa mendidih dan wajahnya merah membara.

   Namun selama itu ternyata Ken Arok telah mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu atas anak yang agaknya keras kepala ini.

   Ia harus menunjukkan kewibawaannya atasnya menurut cara yang diingini oleh Kebo Ijo sendiri.

   Selama ia belum berbuat sesuatu, maka Kebo Ijo pasti masih akan merupakan penghalang bagi setiap rencana dan pelaksanaannya sesuai dengan cara yang selama ini telah ditempuhnya dengan hasil yang cukup baik.

   Ia tidak senang sama sekali apabila Kebo Ijo tiba-tiba saja telah mengubah suasana yang baik di dalam kerja yang berat ini.

   Karena itu, maka ia akan berbuat sesuai dengan keinginan Kebo Ijo sendiri.

   Sejenak kemudian terdengar Kebo Ijo itu menggeram.

   "Kau akan membuktikan bahwa kau bukan seorang pengecut?"

   "Bukan itu soalnya. Tetapi sesuai dengan pendapatmu sendiri, aku akan berbuat sesuatu atasmu apabila kau tidak tunduk akan perintahku."

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   Suara Ilebo Ijo gemetar.

   "Memaksamu."

   "Oh,"

   Tiba-tiba Kebo Ijo menyingsingkan kain panjangnya dan menyangkutkannya pada ikat pinggangnya yang lebar dan terbuat dari kulit ular.

   "itukah keinginanmu?"

   Tetapi Ken Arok masih tetap berdiam diri. Bahkan kini ia telah memandangi para prajurit yang bekerja itu lagi, seolah-olah ia tidak tanggap apa yang dilakukan oleh Kebo Ijo.

   "He,"

   Berkata Kebo Ijo itu lantang.

   "ayo, apakah yang kau kehendaki?"Ken Arok berpaling. Bahkan ia bertanya.

   "Apa yang sedang kau lakukan?"

   Mata Kebo Ijo terbelalak karenanya. Jawabnya.

   "Bukankah kau akan mencoba memaksakan pendirianmu kepada Kebo Ijo yang kau sangka akan bertekuk-lutut dan menyembah kepadamu. Ayo, lakukan kalau kau ingin memaksa aku."

   "Ya, aku memang ingin memaksamu. Jadi kau harus tunduk kepada perintahku. Itu saja."

   "Aku tidak mau."

   "Bagaimana kalau prajuritmu berbuat seperti kau. Tidak mau tunduk kepadamu."

   Kemarahan Kebo Ijo ternyata telah membakar kepalanya sehingga hampir-hampir tidak terkendali.

   Bahkan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menunjukkan kepada Ken Arok, bahwa ia memang tidak dapat ditakut-takuti atau diancam dengan cara apa pun.

   Ia akan tetap pada pendiriannya.

   "Kalau prajuritku tidak tunduk kepadaku, aku pukul ia sampai pingsan."

   "Bagaimana kalau ia melawan?"

   "Aku ikat dan aku seret di belakang punggung kuda. Nah, bukankah kau akan melakukannya atasku yang kau anggap bawahanmu?"

   "Bagiku tidak perlu. Aku dapat melaporkan hal itu kepada atasanku. Bukankah kau sekarang prajurit pengawal istana? Bukankah menurut susunan keprajuritan, kau termasuk dalam lingkungan kekuasaan kakak seperguruanmu, Witantra?"

   "Itulah sebabnya kau tidak berhak memerintah aku."

   "Tetapi pimpinan di sini adalah aku. Aku dapat melaporkan apa yang terjadi atasmu. Kepada kakang Witantra dan bahkan mungkin langsung kepada Akuwu Tunggul Ametung.""Setan alas,"

   Kebo Ijo menggeram.

   "kau memang pengecut. Kau tidak berani bertindak dengan kekuatanmu sendiri. Kau akan menyalahgunakan kekuasaan yang ada padamu.

   "Itulah yang sebaik-baiknya. Aku tidak ingin bertindak sendiri. Aku tidak ingin memutuskan hukuman yang memang bukan wewenangku. Dan aku tidak ingin berbuat sewenang-wenang."

   "Aku sangka bahwa kau adalah seorang laki-laki. Ternyata kau lebih dari betina pengecut yang sama sekali tidak berarti."

   Ken Arok kini mengerutkan keningnya. Wajahnya menegang, tetapi ia masih tetap berusaha untuk tidak bertindak tergesa-gesa.

   "Kau baru saja datang di Padang Karautan. Jangan membuat persoalan. Kau seorang prajurit yang tahu kewajiban seorang prajurit. Kalau kau melakukan perintahku, maka itu sudah cukup. Kau tidak perlu berbuat aneh-aneh di sini. Sekarang beristirahatlah. Besok kau akan mulai melakukan kewajibanmu. Tetapi ingat, akulah pemimpin di sini."

   "Aku tidak peduli,"

   Jawab Kebo Ijo yang benar-benar sudah tenggelam dalam kemarahannya.

   "aku tidak mau tunduk kepadamu. Bahkan aku ingin membuktikan bahwa kau benar-benar seorang pengecut."

   "Bagaimana kau akan membuktikan?"

   "Aku mengharap kau berani bertindak atas wewenang yang menurut perasaanmu telah kau terima. Ayo, kau harus memaksa aku. Kalau perlu dengan kekerasan. Sesudah itu terserah kepadamu, apakah kau akan melaporkannya kepada kakang Witantra atau kepada Akuwu Tunggul Ametung. Aku tidak berkeberatan untuk digantung seandainya aku dianggap bersalah menentang sikapmu yang cengeng terhadap anak buahmu?"

   "Maksudmu kau ingin berkelahi?"

   Dada Kebo Ijo tergetar. Meskipun maksudnya memang demikian tetapi keterus-terangan itu telah menghentak jantungnya. Namun akhirnya ia menjawab.

   "Ya, aku ingin berkelahi."Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun ingin berbuat demikian. Tetapi ia tidak mau dihanyutkan oleh kemarahannya saja. Ia harus tetap menyadari apa yang akan dilakukannya, supaya ia tidak terlepas dari pengendalian diri. Maka katanya kemudian.

   "Apakah kau sudah berpikir masak-masak?"

   "Seribu kali kuulangi. Aku tetap dalam pendirianku. Aku ingin melihat apakah orang yang ditempatkan di Padang Karautan ini sudah tepat."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Baiklah kalau kau memang ingin berbuat demikian."

   "Bagus,"

   Hampir berteriak Kebo Ijo menyahut. Tetapi ia masih melihat Ken Arok berdiri saja dengan tenangnya, meskipun wajahnya menjadi semakin tegang.

   "Ayo bersiaplah."

   "Aku bukan seorang yang terlampau bodoh untuk melakukannya sekarang. Para prajurit itu akan melihat kita berkelahi. Mereka akan kehilangan kepercayaannya kepada pemimpinnya."

   Sekali lagi mata Kebo Ijo terbelalak. Dengan gagap ia bertanya.

   "Lalu, apakah maksudmu sebenarnya?"

   "Aku memang tidak berkeberatan kita mencoba untuk sekali- sekali berkelahi. Tetapi tidak di hadapan para prajurit. Sungguh memalukan. Menang atau kalah, kita sudah kehilangan kewibawaan atasnya. Selanjutnya akan memberikan contoh yang sama sekali tidak baik atas mereka, dan mereka pun akan saling berkelahi satu sama lain sebagai cara untuk menyelesaikan setiap persoalan."

   "Jadi, bagaimana?"

   "Aku masih ingin memisahkan masalahnya. Aku kira aku dapat menganggap bahwa persoalan ini adalah persoalan kita. Katakanlah kita yang masih terlampau muda. Aku akan menarik garis pemisah antara persoalan ini dengan kedudukan kita masing-masing. Aku mengharap kau tidak akan dianggap bersalah. Tetapi kita harus bersikap jantan. Siapa yang kalah harus mengakui kekalahannya.""Itu sama sekali tidak menarik. Kita harus mempertaruhkan sesuatu untuk setiap kemenangan dan kekalahan. Mungkin jabatan, mungkin kehormatan, di hadapan saksi-saksi."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   Ternyata Kebo Ijo adalah seorang yang terlampau yakin akan dirinya dan justru keyakinannya itulah yang telah mendorongnya untuk bersombong diri.

   Ia menyadari benar-benar kelebihan-kelebihan yang ada di dalam dirinya, dan ia ingin melihat orang lain mengagumi kelebihannya itu.

   Tetapi Ken Arok tidak ingin menanggapi sikap yang demikian.

   Ia masih mementingkan kewajibannya sebagai seorang pemimpin.

   Ia harus mempertahankan kepercayaan orang-orangnya dan memelihara ketertiban sejauh mungkin tanpa menunjukkan kekuasaan dan apalagi kekerasan terhadap bawahannya.

   "Apa katamu sekarang?"

   Bentak Kebo Ijo ketika Ken Arok tidak segera menjawab.

   "Kita jadikan para prajurit itu saksi. Siapakah di antara kita yang berhak untuk mendapat taruhan."

   "Sudah aku katakan,"

   Sahut Ken Arok.

   "perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang terlampau bodoh. Kita tidak perlu saksi- saksi. Kita percaya kepada kejujuran dan kejantanan diri. Ayo, apakah yang ingin kita pertaruhkan? "Terserah kepadamu,"

   Sahut Kebo Ijo.

   "Kau yang menentukan."

   "Bagus. Kita pertaruhkan jabatan kita. Kalau kau kalah, maka akulah yang memimpin prajurit-prajurit Tumapel di sini. Kau harus tunduk kepada semua perintahku. Kau menjadi pembantuku di sini meskipun Akuwu Tumapel tidak mengingininya."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Taruhannya cukup bernilai.

   Tetapi Ken Arok harus cukup sadar, bahwa ia akan menghadapi perkembangan keadaan yang mungkin saja tidak dikehendaki.

   Kebo Ijo yang terlampau membiarkan perasaannya berbicara itu akan cepat kehilangan kesadaran dan perkelahian yang demikian akan berkembang tak terkendali.

   Tetapi ia tidak dapatmencari seorang saksi pun dalam perkelaihan itu.

   Satu orang sudah cukup banyak untuk menyebarkan hal itu kepada seluruh prajurit di Padang Karautan dan orang-orang Panawijen, dan bahkan seluruh prajurit Tumapel.

   Lalu apa kata mereka tentang para pemimpin mereka.

   Para perwira yang bertengkar satu sama lain, bahkan berkelahi.

   "He,"

   Kebo Ijo membentak sekali lagi.

   "kenapa kau diam saja? Apakah kau menjadi cemas, bahwa suatu ketika kau akan mendapat perintah yang berlebih-lebihan daripadaku? Aku tidak sekejam itu terhadap bawahanku yang tunduk kepadaku. Kau pun tidak akan aku perlakukan terlampau keras seandainya kau tidak selalu menentang keputusan-keputusan yang aku buat."

   "Hem,"

   Ken Arok menggelengkan kepalanya.

   "Witantra pun tidak akan berbuat serupa kau ini meskipun ia kakak seperguruanmu. Kau terlampau meyakini kelebihanmu. Mungkin akhir-akhir ini kau mendapat banyak kemajuan. Tetapi jangan terlampau berbangga."

   "Jangan banyak berbicara,"

   Potong Kebo Ijo.

   "kita buktikan saja. Aku telah menemukan kekuatan di dalam diriku. Kekuatan yang hampir tidak pernah dapat diungkapkan. Aku akan segera melampaui kakang Witantra. Mungkin kakang Mahendra kini sudah tidak dapat mengalahkan aku."

   Terasa sebuah gejolak melanda dinding-dinding jantung Ken Arok.

   Ia pun masih cukup muda.

   Untunglah bahwa ia menyadari dirinya.

   Dirinya yang baru saja bangkit dari reruntuhan yang mengerikan dari watak dan sifat orang-orang tua yang mengasuhnya.

   Untunglah bahwa ia menyadari bahwa kadang- kadang ia masih juga dapat lupa diri dan berbuat kasar, sekasar pada saat-saat ia berkeliaran di Padang Karautan.

   Tetapi kali ini ia cukup sadar.

   Cukup berusaha untuk tidak kehilangan kesadaran itu.

   (bersambung 31) koleksi .

   Ki Ismoyoretype .

   Ki Sukasrana Proofing .

   Ki Hartono Rechecking .

   Ki Arema ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 31

   "AYO, kita tentukan. Di mana kita akan berkelahi apabila kau menghindari saksi-saksi. Mungkin kau tidak ingin mendapat malu atau mungkin kau akan berbuat curang, mengingkari perjanjian ini."

   "Nanti kita tentukan, di mana kita akan menguji diri."

   "Tidak nanti, sekarang."

   Ken Arok menggeleng.

   "Tidak. Aku tidak mau. Aku harus menunggui orang-orang yang sedang bekerja itu sampai selesai supaya mereka tidak kehilangan gairah. Supaya mereka tidak merasa bahwa mereka kehilangan kesempatan mereka beristirahat karena kau."

   "Persetan dengan cecurut-cecurut itu. Itu adalah kuwajibannya. Melakukan perintah atasannya."

   "Sejak semula kita berbeda pendirian. Kita masih belum menentukan siapa yang kalah dan menang di antara kita. Karena itu sampai saat ini aku masih tetap pimpinan tertinggi dari setiap orang yang berada di Padang Karautan ini. Kau juga masih tetap di bawah perintahku. Tetapi aku beri kau keleluasaan. Kalau kau mau beristirahat, beristirahatlah. Jangan ganggu aku dengan cara-cara yang selalu aku lakukan selama ini. paga itu pasti siap sebelum malam."Darah Kebo Ijo serasa mendidih di kepalanya. Sikap Ken Arok benar-benar menyakitkan hatinya. Meskipun Ken Arok itu seolah- olah bersikap acuh tak acuh saja, namun justru sikap yang demikian itu terasa sangat mengganggu. Ternyata Ken Arok sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Ken Arok ternyata sama sekali tidak menjadi cemas, apalagi takut. Tetapi Kebo Ijo pun cukup percaya kepada diri sendiri. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya akhir-akhir ini membuatnya semakin rongeh. Meskipun di hadapan gurunya ia tampak baik dan tenang, tetapi di saat-saat lain, di saat ia tidak bersama gurunya, maka kadang-kadang ia menyadi seperti kuda lepas kendali. Kini Kebo Ijo seolah-olah sudah tidak menghiraukan lagi peringatan- peringatan yang diberikan oleh Mahendra, seandainya ia dianggap bersalah. Tetapi ia masih segan terhadap kakak seperguruannya yang tertua, Witantra, yang kebetulan menyadi senapatinya pula di dalam susunan keprajuritan.

   "Jadi apa maumu?"

   Bertanya Kebo Ijo sambil menggeram.

   "Nanti malam kita pergi ke sendang buatan. Kita akan mendapat banyak waktu untuk berkelahi. Semalam suntuk. Kalau masih juga belum selesai, kita teruskan malam berikutnya."

   "Bagus,"

   Sahut Kebo Ijo lantang.

   "aku akan melayanimu empat puluh malam. Tetapi aku kira tidak sampai tengah malam aku sudah dapat menyelesaikannya."

   Sekali lagi terasa sebuah gejolak yang tajam melanda dinding- dinding jantung Ken Arok.

   Bahkan sejenak ia terdiam.

   Namun pandangan matanya menyadi semakin tajam.

   Meskipun demikian, Ken Arok selalu berusaha untuk tidak kehilangan keseimbangan perasaan.

   Dan ia mendengar Kebo Ijo berkata terus ,"Bagaimana? Apakah kau tidak senang mendengar kata-kataku?"

   "Ya, kata-katamu memang memuakkan,"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab Ken Arok."Persetan. Adalah hakku untuk berkata apa saja sesuka hatiku. Kalau kau mau marah, marahlah. Jangan menunda kemarahanmu itu, supaya kau tidak akan kehilangan."

   "Aku memang marah, dan aku memang tidak ingin menyembunyikan kemarahan. Tetapi aku tidak pernah berbuat sesuatu dalam kemarahanku."

   "Bohong,"

   Kebo Ijo itu berteriak lagi.

   "kau memang pembohong dan pengecut."

   "Jangan berteriak-teriak,"

   Potong Ken Arok.

   "jangan membuat kesan yang jelek terhadap para prajurit. Sebaiknya kau tersenyum dan kalau tidak mampu, pergilah beristirahat."

   Terdengar Kebo Ijo itu menggeram.

   Tetapi ia tidak berhasil memancing kemarahan Ken Arok sehingga kehilangan keseimbangan diri.

   Karena itu, maka Kebo Ijo itu sendirilah yang harus menahan diri dan menunda pelepasan kemarahannya sampai malam nanti.

   Dengan wajah yang gelap ia berkata.

   "Baik, aku akan tidur. Sebelum malam paga itu harus sudah siap. Aku akan mengatur pakaianku sebelum gelap. Sesudah itu, aku akan pergi ke sendang buatan menunggumu."

   "Baik. Pergilah. Aku sudah muak mendengar suaramu dan melihat tampangmu,"

   Sahut Ken Arok. Kebo Ijo yang sudah mulai melangkahkan kakinya, bahkan tertegun. Ketika ia berpaling ia melihat Ken Arok berjalan meninggalkannya.

   "Ke mana kau?"

   Bertanya Kebo Ijo.

   "Aku akan membantu orang-orang yang sedang bekerja itu."

   Sejenak Kebo Ijo terpaku di tempatnya.

   Perwira muda itu tidak mengerti sikap Ken Arok.

   Ia menerima tantangannya, namun sementara itu keperluannya dicukupinya.

   Ia tidak menolak permintaannya untuk membuat sebuah paga .

   Ia tidak membuatperintah lain kepada para prajurit itu, ia sama sekali tidak melarang, dan bahkan akan membantunya.

   "Ah, betapa liciknya,"

   Geram Kebo Ijo itu tiba-tiba.

   "ia ingin mempengaruhi perasaanku supaya aku kehilangan kemarahanku. Ia sengaja menunda perkelahian itu untuk meredakan hatiku. Ternyata ia kini dengan tanpa malu-malu telah membantu para prajurit menyiapkan keperluanku. Hem, kenapa ia tidak saja berterus-terang dan minta maaf kepadaku? Tetapi biarlah ia menyadari, bahwa aku tidak senang terhadap sikapnya yang cengeng. Aku tidak ingin memanjakan para prajurit di sini. Dan aku ingin mengurungkan perkelahian nanti malam meskipun barangkali aku tidak akan terlampau menyakitinya. Aku pernah mendengar beberapa kelebihan anak muda itu. Tetapi ia tidak pernah mendapat tuntunan secara teratur, sehingga mungkin ia hanya mampu berbuat beberapa kelebihan yang liar. Namun ia tidak dapat berbuat sesuka hatinya."

   Dengan wajah yang berkerut-kerut Kebo Ijo melangkah kembali ke dalam gubugnya. Gubug yang sangat menjemukan bagi Kebo Ijo yang baru saja menempatinya. Pakaiannya masih berada dalam sebuah keranjang yang diletakkannya di samping tikar pembaringannya.

   "Ken Arok memang pemalas. Ia dapat memerintahkan beberapa prajurit menjiapkan sebuah amben, sebuah paga, dan kalau mungkin sebuah geledeg kayu. Tetapi di sini tidak ada apa-apa selain rumput kering dan tikar pandan yang kasar ini."

   Sementara itu, Ken Arok telah berada di antara para prajurit yang sedang bekerja membuat paga.

   Beberapa orang melihat sikap Kebo Ijo yang aneh dari kejauhan.

   Bahkan ada yang melihat anak muda itu menyingsingkan kain panjangnya.

   Tetapi mereka tidak melihat suatu perubahan sikap Ken Arok, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa Kebo Ijo sedang berceritera.

   Begitu asyik dan mantapnya ia mengucapkan ceriteranya, sehingga ia membuat beberapa gerakan yang aneh-aneh.Para prajurit itu sama sekali tidak menyadari, bahwa Ken Arok dan Kebo Ijo telah membuat perjanjian untuk berkelahi di sendang buatan nanti malam.

   Apalagi sikap Ken Arok terhadap mereka sama sekali tidak berubah.

   Pemimpin mereka itu masih tetap tersenyum dan bahkan kemudian membawa para prajurit itu dalam suatu percakapan yang lucu.

   Dengan demikian maka pekerjaan mereka telah mereka lakukan dengan tanpa merasa kehilangan atas sisa hari istirahat mereka.

   Mereka bekerja sambil bergurau, tertawa, dan yang tidak mereka lupakan adalah makan.

   "Jangan takut kehabisan,"

   Teriak salah seorang prajurit yang menyuapi mulutnya berlebih-lebihan.

   "juru masak istana masih berada di sini."

   "Tetapi sampai kapan? Hari ini adalah hari terakhir kita dapat bermalas-malasan. Tetapi apakah hari terakhir pula bagi mulut- mulut kita untuk bekerja keras?"

   "Tidak,"

   Ken Aroklah yang menyahut.

   "madaran istana akan berada di sini tujuh hari tujuh malam. Besok kalian sudah bekerja kembali, tetapi persediaan makan kalianlah yang berbeda dengan hari-hari biasa."

   Hampir bersamaan para prajurit itu bersorak.

   "Tetapi jangan kalian lepaskan bambu di tangan kalian,"

   Ken Arok memperingatkan.

   "Sudah hampir selesai. Sebentar lagi paga ini sudah berdiri."

   "Bagus,"

   Desis Ken Arok.

   "lebih cepat selesai lebih baik."

   Para prajurit itu pun kemudian mempercepat kerja mereka.

   Meskipun mereka masih tetap melakukannya sambil bergurau, namun tangan mereka menjadi semakin lincah menggerakkan alat- alat mereka.Sebentar kemudian maka paga yang dimaksudkan itu sudah dapat didirikan.

   Dengan tali-tali ijuk maka setiap bagiannya diikat baik-baik.

   Tiang-tiangnya, belandar, dan pengeret-nya.

   Palang- palang dan kemudian galar.

   "Bagus,"

   Desis Ken Arok.

   "paga itu cukup baik. Tiga rak-rakan sudah cukup. Tetapi agak terlalu panjang."

   "O,"

   Sahut salah seorang prajurit.

   "mungkin pakaiannya terlampau banyak. Kalau tidak, maka sebagian akan dapat dipakai untuk meletakkan barang-barang yang lain."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya.

   "Bawa paga ini ke gubuk Kebo Ijo. Ia masih terlampau lelah. Jangan membantah apa pun yang dikatakannya. Besok ia akan berubah apabila ia sudah tidak lelah lagi. Ia seorang pemimpin yang baik. Mungkin ia lebih keras daripada aku dalam beberapa hal, tetapi maksudnya harus dapat kalian mengerti selaku prajurit-prajurit yang taat pada tugas-tugasnya sebagai seorang prajurit."

   Para prajurit itu mengerutkan keningnya.

   Peringatan itu ternyata memberikan kesan yang aneh di dalam hati para prajurit itu.

   Seakan-akan Ken Arok ingin mengatakan kepada mereka, bahwa mereka harus berusaha menyesuaikan diri mereka dengan pemimpin mereka yang baru.

   Sementara itu Ken Arok berkata selanjutnya.

   "Kalau kau menjumpai sikapnya yang keras bahkan seakan-akan tampak kasar, kalian jangan terkejut. Itu adalah wataknya. Tetapi ia bermaksud baik,"

   Ken Arok berhenti sejenak, lalu diteruskannya.

   "Seperti pada saat ia memerintahkan kepada kalian membuat paga . Mungkin kalian terkejut dan kurang senang. Tetapi pemimpinmu yang baru itu tahu, bahwa membuat paga dan dilakukan bersama-sama oleh sepuluh orang bahkan lebih, sama sekali tidak akan memberati kalian meskipun kalian sedang beristirahat. Bukankah pekerjaan itu cepat selesai dan kalian masih sempat menikmati kegembiraan bersama kawan-kawan kalian yang lain."Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi ketika mereka menengadahkan wajah-wajah mereka ke langit, maka mereka melihat langit seolah-olah terbakar oleh sinar-sinar senja yang tersisa. Ken Arok melihat wajah-wajah mereka yang kecewa, karena hari- hari yang menyenangkan ini sudah hampir habis.

   "Kalian masih mempunyai semalam lagi. Malam nanti kalian dapat menghabiskan semua yang masih tersisa di hatimu dalam kegembiraan ini. Obor-obor akan dipasang. Makan yang paling enak akan disiapkan. Jangan menyesali sepotong hari yang hilang karena paga itu."

   Prajurit-prajurit itu pun kemudian tersenyum. Salah seorang diri yang berkata.

   "Marilah kita mandi. Kita habiskan malam ini dengan sebaik-baiknya. Besok dan seterusnya kita sudah akan terbenam lagi di bendungan atau di sendang itu."

   Yang lain pun kemudian tertawa pula.

   "Nah, sekarang bawa paga itu kepada Adi Kebo Ijo,"

   Berkata Ken Arok kemudian.

   Beberapa orang pun kemudian mengangkat paga itu dan membawanya kepada Kebo Ijo.

   Di dalam gubugnya Kebo Ijo sedang berbaring untuk melepaskan penatnya.

   Meskipun ia tahu bahwa di langit warna-warna merah telah menyala, tetapi ia masih saja berbaring diam.

   Angan- angannya membubung tinggi seolah-olah ingin menggapai awan.

   Dinikmatinya kembali saat wisudanya.

   Kemudian disesalinya perintah Akuwu yang mengirimkannya ke padang yang kering dan sepi ini.

   "Gila,"

   Gerutunya. Kebo Ijo merasa dirinya terlampau malang. Ia membayangkan isterinya yang belum lama dikawininya, pasti merasa sepi juga di rumah.

   "Di sini aku berkumpul dengan orang-orang gila seperti Ken Arok. Kenapa Ken Arok itu mendapat kedudukan yang baik di dalamlingkungan pelayan dalam. Tetapi agaknya Akuwu kecewa juga atasnya ternyata ia dikirim ke Padang Karautan ini."

   Tiba-tiba ia terkejut sendiri. Desisnya.

   "Jadi, apakah demikian juga terhadapku?"

   Lalu dijawabnya sendiri.

   "Ah, pasti tidak. Aku mempunyai kedudukan yang berbeda dengan Ken Arok. Ken Arok adalah seorang yang sepantasnya dilemparkan di padang ini. Sedangkan aku dikirim Akuwu untuk mengawasinya. Asal kami pun berbeda. Aku kira Ken Arok adalah anak padesan atau anak padang-padang rumput. Aku dilahirkan di Tumapel. Di dalam lingkungan orang- orang besar."

   Tiba-tiba Kebo Ijo itu terkejut ketika ia mendengar langkah- langkah kaki mendatanginya. Sambil berbaring saja ia berteriak.

   "He, siapa itu?"

   "Kami,"

   Terdengar seseorang menyahut.

   "kami mengantarkan paga yang telah selesai kami buat."

   Dengan malasnya Kebo Ijo pun bangkit.

   "Bawa masuk."

   Para prajurit pun kemudian membawapaga itu masuk ke dalam gubug Kebo Ijo.

   "Ah,"

   Kebo Ijo berdesah.

   "macam itulah kecakapan kalian membuat perkakas?"

   Para prajurit itu saling berpandangan. Mereka kemudian berdiri dengan gelisah ketika mereka melihat Kebo Ijo meraba-raba paga itu dan menggoyang-goyangkannya.

   "Tidak sampai sebulan paga ini sudah roboh,"

   Katanya.

   "padahal aku berada di padang ini sampai taman itu dibuka. Kalian benar- benar bodoh."

   Tak seorang pun yang menjawab.

   "Apalagi yang kalian tunggu he? Kenapa kalian masih berdiri saja di situ? Apakah kalian menunggu aku memuji-muji kalian atas pekerjaan kalian yang jelek ini?"Para prajurit itu terkejut. Kemudian satu demi satu mereka melangkah keluar meninggalkan gubug Kebo Ijo itu. Dengan dahi yang berkerut mereka melihat, bayangan hitam dari langit seolah- olah hendak menerkam mereka dan seluruh Padang Karautan. Satu-satu bintang mulai bermunculan. Warna-warna senja yang menyangkut pinggiran awan yang hanyut di udara, semakin lama menjadi semakin pudar. Para prajurit itu pun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa ke gubug masing-masing. Salah seorang dari mereka berkata.

   "Semua orang telah siap mengitari makan mereka. Aku masih belum mandi."

   "Kau kira aku juga sudah mandi? Bukankah kita sekelompok yang sedang sial ini masih belum mandi seluruhnya."

   "Ayo, cepat kita mandi. Kalau kita terlambat, maka kita tidak akan mendapat bagian. Kita hanya akan menemukan sisa-sisa makan mereka."

   "Kita pasti terlambat. Lihat,"

   Berkata salah seorang dari mereka sambil menunjuk ke tempat terbuka di samping perkemahan mereka.

   "Obor-obor telah dipasang. Mereka telah duduk berkeliling."

   "Uuah,"

   Prajurit yang termuda di antara mereka menyahut.

   "aku akan menyesal sepanjang umurku kalau aku tidak dapat ikut makan bersama kali ini."

   Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara lirih di belakangnya.

   "Jangan takut. Aku akan menunggu kalian."

   Tersentak mereka berpaling. Ternyata di belakang mereka berdiri Ken Arok sambil tersenyum.

   "Itulah agaknya yang selalu kalian pikirkan. Sekarang, cepat, pergi mandi. Kami akan menunggu kalian supaya kalian tidak menyesal sepanjang umur kalian."

   Para prajurit itu pun tersenyum pula. Salah seorang dari mereka menjawab.

   "Mumpung. Mumpung kami mendapat kesempatan. Belum tentu kesempatan yang serupa akan datang di saat yang lain nanti."Kawan-kawannya pun tertawa pula.

   "Ayo, cepat mandi. Kalau kalian terlampau lama, maka kami tidak akan menunggu kalian. Makan bersama itu akan segera aku buka."

   Para prajurit itu pun tertawa.

   Tetapi langkah mereka benar-benar menjadi semakin panjang.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan tergesa-gesa mereka pergi ke bendungan untuk mandi.

   Di tempat yang terbuka, para prajurit dan orang-orang Panawijen telah duduk dalam satu lingkaran yang luas, bersap-sap.

   Hari ini mereka akan menikmati acara yang meriah.

   Makan bersama.

   Obor- obor telah dipasang hampir setiap sepuluh langkah.

   Beberapa orang yang bertugas telah sibuk menyiapkan makan mereka.

   Ken Arok berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

   Diawasinya orang-orang yang duduk sambil berkelakar itu.

   Mereka tampak gembira.

   Satu dua di antara mereka mempercakapkan perkawinan Akuwu Tunggul Ametung dengan Ken Dedes.

   Terutama orang-orang Panawijen.

   Mereka pada umumnya merasa bangga, bahwa gadis dari Padepokan Panawijen akan menjadi seorang permaisuri Tumapel.

   Tetapi sebagian para prajurit itu sama sekali tidak mempedulikannya.

   Mereka hanya menjadi gelisah ketika makanan masih juga belum dibagi-bagikan.

   Ternyata Ken Arok menepati janjinya.

   Ia menunggu beberapa orang yang sedang mandi setelah mereka membuat paga bagi Kebo Ijo.

   Baru setelah semua orang berkumpul, maka Ken Arok menyuruh seorang prajurit yang paling jenaka di antara mereka, untuk membuka acara makan bersama itu.

   Dengan gayanya yang khusus prajurit itu berdiri di dalam lingkaran, dan dengan lucunya ia mengucapkan beberapa patah kata.

   Setiap kali terdengar kawan- kawannya tertawa meledak.

   Orang-orang Panawijen pun tertawa pula terkekeh-kekeh sehingga ada di antara mereka yang terpaksa memegangi perut mereka yang belum terisi.

   Ken Arok berdiri saja sambil tersenyum-senyum.

   Namun tiba-tiba wajahnya berkerut ketika tiba-tiba saja Kebo Ijo telah berdiri di sampingnya.

   Aku menunggumu di sendang buatan itu,"

   Desisnya.Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya.

   "Baik. Aku akan menyelesaikan acara ini. Dan aku akan segera pergi ke sendang itu."

   "Kau menunggu marahku lilih? "

   Dada Ken Arok berdesir. Tetapi ia tidak ingin mengganggu kegembiraan orang-orangnya bersama orang-orang Panawijen. Jawabnya pelahan-lahan.

   "Tidak, justru aku menunggu kau menjadi semakin marah. Aku ingin kita berkelahi dengan sungguh-sungguh."

   "Setan alas,"

   Kebo Ijo berdesis.

   "Jangan keras-keras,"

   Potong Ken Arok. Ia masih tetap menyadari keadaan sepenuhnya.

   "jangan merusak suasana."

   "Persetan dengan acara gila-gilaan ini,"

   Jawab Kebo Ijo.

   "atau kita manfaatkan pertemuan ini sama sekali?"

   "Buat apa?"

   "Kita buat acara yang pasti paling meriah. Kita berkelahi di tengah-tengah arena ini."

   "Kau gila. Sudah aku katakan bahwa aku tidak mau memberi mereka contoh yang jelek."

   "Kalau begitu, cepat, pergi ke sendang itu."

   "Aku akan menyelesaikan acara ini. Sebaiknya kau ikut pula bergembira bersama para prajurit dan orang-orang Panawijen itu."

   "Huh, aku bukan termasuk orang-orang yang dapat digembirakan oleh sebungkus nasi gebuli.

   "Oh, kau salah. Yang membuat mereka bergembira bukan sebungkus nasi gebuli. Tetapi mereka merasakan kemesraan hubungan antara mereka. Itulah yang menggembirakan."

   "Omong kosong. Kegembiraan yang demikian hanyalah untuk prajurit-prajurit rendahan dan orang-orang padesan seperti orang- orang Panawijen. Cepat, selesaikan acaramu yang gila ini. Aku hampir tidak sabar. Aku akan pergi dahulu. Kalau lewat tengahmalam kau tidak datang, aku anggap kau kalah dalam pertaruhan ini, dan kekuasaan di sini berada di tanganku. Akulah yang berhak mengatur semuanya. Aku ingin menghilangkan setiap kebiasaan yang jelek di sini. Cengeng, bermanja-manja, dan malas. Sama sekali bukan sikap dan sifat seorang prajurit Tumapel yang perkasa."

   Ken Arok tidak segera menyahut.

   Ia menganggap bahwa lebih baik ia berdiam diri supaya Kebo Ijo tidak berteriak-teriak.

   Apabila anak itu kehilangan pengendalian diri, maka ia pasti akan berteriak- teriak dan berbuat di luar sadarnya.

   Dengan demikian maka akan dapat timbul hal-hal yang tidak dikehendakinya.

   Tetapi Kebo Ijo itu mendesaknya.

   "Bagaimana?"

   Ken Arok mengangguk.

   "ya, aku sanggupi,"

   Jawabnya.

   "Bagus,"

   Sahut Kebo Ijo.

   "aku akan pergi saja dari tempat yang memuakkan ini. Biarlah mereka makan makanan yang belum pernah mereka makan. Tetapi bagiku makanan-makanan itu sama sekali tidak menimbulkan selera lagi. Aku akan berbaring saja di bilikku, lalu pergi ke sendang itu. Seleraku hari ini adalah berkelahi."

   "Baik,"

   Jawab Ken Arok.

   "kita berjanji saja.. Tepat tengah malam."

   "Bagus."

   Kebo Ijo pun kemudian meninggalkan tempat yang riuh oleh suara gelak tertawa itu.

   Suara gelak tertawa yang baginya sangat mengganggu perasaannya.

   Ia ingin melihat para prajurit itu hormat kepadanya di segala tempat dan waktu.

   Dalam pertemuan yang demikian, maka ia harus mendapat tempat yang terhormat dan khusus.

   Tidak berada bersama-sama dalam lingkungan para prajurit dan orang-orang Panawijen seperti Ken Arok dan Ki Buyut.

   "Betapa bodohnya mereka itu. Mereka merendahkan dirinya,"

   Gumamnya di sepanjang langkahnya menuju ke biliknya.

   Wajahnya menjadi sedemikian gelap.

   Seolah-olah tengah malam datangnya terlampau lama.Ken Arok dapat mengerti juga pendirian Kebo Ijo.

   Tetapi ia berpendirian lain.

   Kewibawaan tidak perlu dibangunkan dengan membuat garis pemisah antara pemimpin dan yang dipimpin.

   Setiap kali para pemimpin harus menunjukkan kelebihannya dalam keadaan yang wajar.

   Memberi petunjuk-petunjuk dan contoh-contoh yang baik.

   Memang sekali-sekali perlu berbuat keras, tetapi dalam batas-batas kewajaran.

   Tidak berlebih-lebihan.

   Apalagi sengaja dipamerkan berlandaskan kekuasaan.

   Sementara itu kegembiraan orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel berjalan dengan riuhnya.

   Setiap kali terdengar suara tertawa.

   Meskipun mereka telah mendapatkan makan masing- masing, tetapi suara kelakar mereka masih saja terdengar.

   Orang- orang itu mulai mengelompokkan diri dalam lingkaran-lingkaran yang lebih kecil.

   Dan di antara mereka mulai timbul permainan- permainan yang lucu.

   Setiap kelompok mempunyai cara masing- masing untuk bergembira dan tertawa.

   "Kalau mereka telah lelah, maka mereka akan berhenti dengan sendirinya,"

   Guman Ken Arok.

   Maka dengan diam-diam ditinggalkannya tempat yang riuh itu.

   Ia ingin memenuhi janjinya terhadap Kebo Ijo.

   Karena itu maka dibenahinya pakaiannya.

   Mungkin ia harus berkelahi dengan sepenuh tenaganya.

   Ia belum tahu pasti kekuatan Kebo Ijo.

   Tetapi ia dapat menduganya, bahwa anak itu pasti sudah menjadi semakin maju.

   Sejenak ia singgah ke dalam gubugnya.

   Disuapinya mulutnya dengan beberapa potong makanan dan beberapa teguk minuman.

   Ia tahu dan menyadari bahwa ia sedang melakukan suatu permainan yang berbahaya.

   Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk menundukkan Kebo Ijo.

   "Tetapi kalau aku tidak dapat memenangkan perkelahian ini, maka semua jabatanku pasti akan lenyap bersama kekalahanku. Apabila Akuwu mendengarnya, mungkin aku akan ditarik kembali ke Tumapel, untuk menerima kemarahannya. Bahkan mungkin akuakan dapat disingkirkan. Akuwu pasti tidak akan senang mendengar hal ini terjadi."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian desahnya.

   "Itu akan lebih baik daripada Kebo Ijo selalu mengganggu semua rencana dan cara yang aku lakukan. Kalau ia menang, biarlah ia mengambil-alih pimpinan dengan akibat yang paling pahit yang dapat terjadi atasku. Tetapi kalau aku berhasil, aku tidak akan diganggunya lagi."

   Sejenak kemudian Ken Arok itu berdiri. Sekilas dipandanginya pedangnya yang tersangkut di dinding. Tetapi kemudian ia menggeleng.

   "Tidak perlu. Senjata akan sangat berbahaya bagi orang-orang yang kadang-kadang dapat lupa diri. Kebo Ijo adalah seorang yang mudah kehilangan pengendalian diri, dan aku agaknya bukan seorang yang terlalu kuat bertahan dalam kesadaran yang penuh. Biarlah aku tidak usah membawa senjata apa pun."

   Sejenak kemudian Ken Arok itu pun melangkah keluar.

   Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang-bintang sudah jauh berkisar.

   Tetapi lamat-lamat ia masih mendengar gelak tertawa di pinggir perkemahan, dan ia masih melihat cahaya api obor yang seolah-olah memancar ke langit.

   Pelahan-lahan ia berjalan meninggalkan perkemahannya.

   Langkahnya berdesir di antara gubug-gubug yang sepi.

   Tetapi Ken Arok sengaja tidak melalui gubug Kebo Ijo.

   Ia ingin berjalan sendiri.

   Biarlah Kebo Ijo itu mendahuluinya atau menyusulnya kemudian.

   "Aku masih mempunyai waktu,"

   Desis Ken Arok.

   "masih belum tengah malam."

   Dalam kesepian padang rumput Karautan, Ken Arok melangkah setapak demi setapak.

   Dipandangnya parit induk yang membujur di samping kakinya.

   Parit itu sudah cukup dalam dan lebar.

   Apabila air sudah naik dari bendungan, maka parit induk itu sudah cukup dapat menampung airnya, dan mengalirkannya sampai ke sendang buatan.

   Di sepanjang susukan itu beberapa kali Ken Arok harus meloncati parit-parit yang bercabang-cabang.

   Seperti akarpepohonan yang menghujam langsung ke dalam bumi, demikianlah parit-parit itu menjalar ke seluruh bagian Padang Karautan yang akan dijadikan tanah persawahan.

   Alangkah jauh perbedaan perasaan yang dialaminya.

   Dahulu ia juga selalu berkeliaran di padang ini.

   Tetapi kini terasa bahwa kehadirannya di Padang Karautan itu bermanfaat.

   Tidak saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi banyak orang yang memerlukan tempat tinggalnya.

   Malam pun menyadi semakin malam.

   Ken Arok masih melangkah pelahan-lahan.

   Dilepaskannya pandangan matanya sejauh-jauh dapat dicapainya.

   Dipandanginya bintang-bintang di langit dan mega yang keputih-putihan memulas wajah yang kehitam-hitaman yang terbentang dari ujung bumi ke ujung yang lain.

   Sekali-sekali terasa desir yang halus terasa di dalam dada anak muda itu.

   Anak muda yang tidak pernah menikmati masa-masa mudanya dengan wajar.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun justru karena itulah, maka ia menjadi cukup dewasa menghadapi berbagai masalah.

   Ia tampak jauh lebih matang daripada anak-anak muda sebayanya.

   Dan kini ia akan berhadapan dengan anak muda yang masih kekanak-kanakan, Kebo Ijo.

   "Kemampuan anak itu terlampau tinggi dibandingkan dengan sifat kekanak-kanakannya,"

   Katanya di dalam hati.

   "apabila tidak ada keseimbangan, maka hal itu akan berbahaya baginya sendiri dan bagi lingkungannya."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berdesis.

   "Kini akulah yang pertama-tama akan mempertaruhkan diri. Kalau aku kalah, maka akulah korban di antaranya. Dan korban- korban semacam itu akan terus-menerus berjatuhan."

   Ken Arok menengadahkan wajahnya ketika terasa angin kencang mengusap tubuhnya.

   Dingin malam mulai merayapi kulitnya yang berwarna merah tembaga karena terik matahari yang setiap hari menyengatnya.Langkahnya terhenti ketika ia mulai menginjakka kakinya di atas tanah yang mulai dipagarinya.

   Bagian dari taman yang sedang dibuatnya.

   Di tengah-tengah taman itulah ia membuat sebuah sendang .

   Ternyata justru Kebo Ijolah yang belum sampai ke tempat itu.

   Karena itu maka ia masih harus menunggu.

   Diletakkannya tubuhnya di atas sebongkah batu yang masih belum dipasang.

   Tetapi ternyata ia tidak menunggu terlalu lama.

   Di dalam gelapnya malam ia melihat sesosok bayangan mendekati sendang itu.

   Belum lagi ia sempat menegurnya, didengarnya bayangan itu telah memanggil namanya keras-keras.

   "He, Ken Arok. Di mana sendang itu? Apakah kau sudah berada di sana?"

   Sengaja Ken Arok tidak segera menjawab. Ia menyadari bahwa dirinya berada di bawah lindungan pepohonan yang masih belum terlampau tinggi, sehingga tempatnya duduk pasti lebih gelap dibandingkan dengan tempat-tempat yang terbuka.

   "Ken Arok, he Ken Arok. Apakah kau belum datang?"

   "Gila,"

   Desis Ken Arok di dalam hatinya.

   "seandainya aku belum datang, siapakah yang harus menjawab?"

   Kemudian didengarnya Kebo Ijo itu menggerutu.

   "Setan alas. Aku masih harus menunggu. Kalau ia tidak datang tengah malam, maka aku akan mengambil-alih semua pimpinan. Disetujui atau tidak disetujui oleh Akuwu,"

   Kebo Ijo terdiam sejenak. Dan bayangan yang lamat-lamat di dalam gelapnya malam itu menjadi semakin dekat. Dan sekali lagi terdengar Kebo Ijo itu bergumam.

   "Inilah agaknya taman dan sendang buatan itu."

   Anak muda itu kini berhenti melangkah. Sambil bertolak pinggang ia memandang berkeliling. Tetapi ternyata gelap malam telah mengganggunya.

   "Hem,"

   Ia berdesis.

   "sampai kapan aku harus menunggu."

   Tetapi tiba-tiba ia terlonjak. Selangkah ia mundur namun jelas bagi Ken Arok, bahwa anak itu benar-benar lincah dan tangguh.Begitu ia tegak berdiri, maka ia pun telah siap untuk melawan setiap serangan yang datang.

   "Siapa kau he?"

   Kebo Ijo berteriak.

   "ayo, mendekatlah. Kita berhadapan secara jantan."

   Ternyata Kebo Ijo telah dikejutkan oleh desir kaki Ken Arok yang sedang berdiri. Ia sengaja memperdengarkan geraknya supaya Kebo Ijo mengetahui bahwa seseorang telah menunggunya. Karena itu maka sambil tertawa pendek Ken Arok berkata.

   "Jangan terkejut Adi Kebo Ijo. Aku sudah lama menunggumu."

   "Demit, tetekan,"

   Kebo Ijo mengumpat.

   "kenapa kau diam saja ketika aku memanggil namamu? Ken Arok, apakah kau ingin menyerang aku dengan diam-diam he?"

   "Tidak Kebo Ijo,"

   Jawab Ken Arok.

   "aku mencoba mendengar pendapatmu tentang taman ini. Tetapi kau tidak mengucapkan pendapat itu. Bahkan kau selalu menggerutu dan mengumpat- umpat saja."

   "Jelek,"

   Desis Kebo Ijo.

   "taman ini jelek sekali. Akuwu Tunggul Ametung pasti tidak akan puas melihatnya."

   Ken Arok melangkah maju. Sekali lagi ia tertawa pendek sambil berkata.

   "Mudah-mudahan Akuwu tidak sependapat dengan kau. Aku mengharap bahwa taman ini akan menggembirakan hatinya dan hati permaisurinya."

   "Mungkin kau dapat menggembirakan hati permaisurinya. Permaisuri yang meskipun cantiknya melampaui bintang pagi, tetapi ia berasal dari Panawijen. Tamanmu ini pasti akan lebih baik dari taman di padepokan gadis itu. Tetapi berbeda dengan Akuwu Tumapel. Akuwu itu sejak kecilnya hidup di dalam lingkungan yang baik. Itulah sebabnya maka Akuwu pasti mampu menilai tamanmu itu."

   "Aku tidak berkeberatan,"

   Sahut Ken Arok.

   "seandainya Akuwu tidak tidak puas dengan taman itu, maka itu akan menjadi pelajaran bagiku, bahwa aku masih belum mampu memenuhi tugasku.""Dan kau akan mendapat hukuman darinya. Kau akan dipecat dari jabatanmu."

   "Biarlah."

   "Mungkin kau akan dihukum gantung."

   "Biarlah. Kalau memang seharusnya demikian."

   "Gila. Kau mudah berputus-asa,"

   Geram Kebo Ijo.

   "ayo, sekarang kita selesaikan persoalan kita. Apakah kau tetap pada pendirianmu? Atau barangkali kau sudah mengubah keputusanmu untuk mengurungkan niatmu berkelahi dan tidak lagi berkeras kepala tentang sikap dan pendirianmu yang salah itu."

   Ken Arok memandangi Kebo Ijo dengan tajamnya.

   Tetapi dalam kegelapan, Kebo Ijo tidak dapat melihat sorot mata Ken Arok yang seolah-olah menyalakan api.

   Tetapi yang didengar oleh Kebo Ijo, Ken Arok itu menarik nafas dalam-dalam.

   Anak muda itu masih mencoba untuk menahan gelora di dadanya.

   Meskipun penghinaan itu hampir tak tertahankan, namun ia masih tetap mengingat diri, bahwa setiap perbuatannya pasti akan dilihat oleh segenap prajurit Tumapel di Padang Karautan, orang-orang Panawijen, dan bahkan seluruh prajurit Tumapel dan Akuwu Tunggul Ametung.

   Kebo Ijo yang merasa kata-katanya tidak terjawab, dan bahkan Ken Arok masih diam saja mematung, mengulanginya.

   "He, Ken Arok. Bagaimanakah sikapmu sekarang. Apakah kau masih tetap ingin memaksakan caramu itu terhadapku? Kalau kau merasa bahwa perkelahian tidak akan menguntungkan kedudukanmu, maka kau masih mempunyai kesempatan untuk mengubah pendirianmu. Aku tidak bernafsu menggantikan kedudukanmu, tetapi dengan cara- cara yang pernah kau pergunakan itu harus kau tinggalkan. Kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk berbuat menurut caraku atas prajurit-prajurit Tumapel di sini."

   "Kebo Ijo,"

   Sahut Ken Arok pelahan-lahan.

   "sebenarnya persoalan yang kau katakan itu sudah tidak penting lagi bagimu. Aku tahutanpa soal atau ada soal, kau hanya ingin berkelahi. Kau hanya ingin menunjukkan kelebihanmu."

   "Bohong,"

   Sahut Kebo Ijo hampir berteriak.

   "kau yang akan mempergunakan kekerasan dan memaksaku."

   "Itu hakku sebagai pimpinan di sini."

   "Omong kosong."

   "Baiklah. Tidak ada jalan lain daripada berkelahi,"

   Berkata Ken Arok akhirnya.

   "marilah. Apakah kau sudah siap?"

   "O,"

   Desis Kebo Ijo.

   "jadi kau tidak dapat menilai sikapku. Apakah sikapmu ini sama sekali tidak meyakinkanmu bahwa aku sudah siap memukul tengkukmu. Mudah-mudahan tengkukmu tidak akan patah karenanya."

   Terdengar Ken Arok menggeram. Kebo Ijo itu ternyata terlampau sombong melampaui dugaannya.

   "Ayo, berbuatlah sesuatu,"

   Bentak Kebo Ijo itu kemudian. Sekali lagi Ken Arok menggeram. Kini ia melangkah maju beberapa langkah sehingga jarak mereka menjadi lebih dekat.

   "Ternyata kau memang bodoh,"

   Gumam Kebo Ijo.

   "kalau kau mulai benar-benar dengan perkelahian ini karena kesombonganmu, maka kau akan menyesal, sebab kau akan kehilangan semuanya."

   Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian bersiap menghadapi setiap kemungkinan.

   "Ayo mulailah,"

   Teriak Kebo Ijo. Ken Arok tidak bergerak. Ia berdiri saja di tempatnya. Kaki- kakinya yang kuat merenggang, seolah-olah terhujam ke dalam tanah.

   "He, apakah kau gila?"

   Kebo Ijo semakin berteriak.

   "Ayo, mulailah. Aku ingin melihat apa yang dapat kau lakukan?"Ken Arok masih tetap berdiam diri. Namun kediamannya itu ternyata telah membuat Kebo Ijo gelisah, sehingga sekali lagi ia berteriak-teriak.

   "He, Ken Arok. Ayo, mulailah. Apakah kau takut? Kalau kau memang tidak berani berbuat sesuatu, katakanlah. Aku akan memaafkan kau."

   Tetapi Ken Arok masih tetap tidak berkata sepatah kata pun.

   Dengan demikian maka kegelisahan Kebo Ijo itu pun memuncak.

   Ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, sehingga kakinya beringsut setapak maju.

   Tiba-tiba Ken Arokpun memiringkan tubuhnya.

   Lambat tetapi penuh keyakinan, lututnya merendah.

   "Gila,"

   Geram Kebo Ijo.

   Kini ia benar-benar tidak akan menunggu lagi.

   Sikap Ken Arok telah meyakinkannya.

   Meskipun sejenak ia menjadi heran melihat sikap itu.

   Sikap itu benar-benar meyakinkan.

   Bukan sikap seekor serigala liar tanpa pegangan.

   Sesaat kemudian terdengar gigi Kebo Ijo beradu.

   Ketika di kejauhan terdengar burung hantu memekik dengan nada suaranya yang berat, maka terdengar suara Kebo Ijo melengking.

   "Baiklah Ken Arok, kalau kau takut memulai, akulah yang akan memulainya."

   Sebelum gema suara itu lenyap, maka Kebo Ijo telah meloncat dengan tangkasnya, seperti lidah api yang melenting di udara.

   Tetapi ternyata Ken Arok pun telah cukup siap menunggu serangan itu.

   Itulah sebabnya, maka serangan yang pertama itu sama sekali tidak berbahaya bagi Ken Arok.

   Dengan lincahnya ia menarik tubuhnya ke sisi, merendah, dan tangannya menyambar lambung.

   Namun Kebo Ijo sama sekali tidak terkejut melihat gerakan itu.

   Gerakan yang sederhana, yang hampir selalu dijumpainya pada permulaan serangan.

   Dengan cepatnya ia menggeliat, berputar di udara, dan kemudian demikian ia menginjak tanah, maka segera ia melenting dan menyambar lawannya dengan tumitnya.Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat.

   Kebo Ijo yang marah itu menjadi semakin marah.

   Ia tidak menyangka bahwa gerakan-gerakan Ken Arok cukup cermat dan teratur.

   Tidak seperti yang disangkanya.

   Anak itu menurut pendengarannya tidak begitu memperhatikan ikatan-ikatan dan unsur-unsur gerak yang tersusun.

   "Mungkin ia menemukan bentuk dari seorang guru,"

   Desis Kebo Ijo di dalam hatinya.

   "sepengetahuanku, Lohgawe, orang yang terdekat dengan Ken Arok, bukan seorang yang menekuni olah kanuragan seperti guruku."

   Tetapi ia harus menghadapi kenyataan.

   Ternyata Ken Arok tidak dapat dikalahkan semudah dugaannya.

   Meskipun anak muda itu seorang pelajan dalam, namun ia mempunyai cukup kemampuan untuk mengimbanginya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tata gerak keduanya semakin lama menyadi semakin cepat.

   Kebo Ijo, murid Panji Bojong Santi, ternyata memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan.

   Seperti seekor burung srigunting ia meloncat dan menyambar-nyambar.

   Lincah, cepat namun betapa tangannya seakan-akan menjadi seberat timah.

   Dada Ken Arok menyadi berdebaran.

   Ia melihat kecepatan gerak lawannya.

   Ternyata Kebo Ijo telah benar-benar mendapat banyak pengetahuan tentang tata gerak dalam olah kanuragan.

   Ken Arok sendiri tidak terlampau banyak mempelajari ilmu tata bela diri dengan teratur.

   Bahkan secara terperinci ia sendiri tidak dapat mengerti dari mana ia menemukan kekuatan yang dikagumi oleh orang lain.

   Kekuatan yang tidak ada pada kebanyakan orang.

   Dalam perkelahian dengan Kebo Ijo, Ken Arok harus ber-hati- hati.

   Ia tidak boleh kehilangan pengamatan diri.

   Ia harus tetap sadar dan menjaga jangan sampai terjadi bencana atas dirinya sendiri dan atas lawannya.

   Yang membuat Ken Arok cemas adalah kesadarannya, bahwa ia tidak mampu untuk mengukur kekuatan sendiri secara teliti.

   Ia tidak dapat mengerti, ukuran kekuatan-kekuatan yang dilontarkannya.Dengan demikian, setiap kali ia harus menjajagi sampai di mana daya tahan lawannya.

   Namun kadang-kadang dirinya sendirilah yang mengalami goncangan-goncangan.

   Terhadap Kebo Ijo, Ken Arok juga berusaha untuk mencari-cari keseimbangan.

   Ketika perkelahian itu berlangsung beberapa lama, maka ia segera meyakini, bahwa ia memiliki beberapa kelebihan dari lawannya.

   Tetapi sampai di mana kekuatannya harus dilontarkan dalam perlawanan ini, masih harus dijajaginya.

   Karena itu, setiap kali Ken Arok berusaha untuk membentur serangan Kebo Ijo.

   Dengan sebagian dari tenaganya ia berusaha untuk menemukan keseimbangan kekuatan.

   Tetapi kadang-kadang ia terlampau sedikit memberikan tenaganya, sehingga Ken Arok itu sendiri terlontar beberapa langkah surut dan berusaha untuk menemukan keseimbangannya kembali.

   Dalam keadaan yang demikian, Kebo Ijo merasa bahwa lawannya tidak kuasa mengimbangi kekuatannya.

   Anak muda itu sama sekali tidak berusaha mengekang diri.

   Setiap kali ia melepaskan seluruh kekuatannya.

   Apalagi apabila ia merasakan perlawanan lawannya terlampau menjengkelkannya.

   Semakin lama Kebo Ijo menyadi semakin berdebar hati.

   Ia merasa bahwa lawannya tidak cukup kuat untuk melawan tenaganya.

   Ia merasa bahwa ia masih mempunyai beberapa kelebihan yang lain selain kekuatan tenaga, ia mampu bergerak terlampau cepat dan memiliki unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawannya.

   Dengan demikian maka Kebo Ijo menjadi semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan lawannya.

   Geraknya menyadi semakin cepat dan tangkas.

   Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak dengan cepat dan membingungkan, seolah-olah menyadi berpasang-pasang tangan yang mematuk dari segenap arah.

   Setiap kali terasa desir angin me-nyambar-nyambar tubuh lawannya yang beberapa kali terpaksa meloncat surut membuat jarak dari padanya."Ayolah,"

   Teriak Kebo Ijo.

   "jangan berlari-lari saja. Kita sedang berkelahi, bukan sedang bermain kejar-kejaran."

   Ken Arok tidak segera menjawab.

   Tetapi kini ia sudah menemukan ancar-ancar.

   Sampai di sini Kebo Ijo masih merasa dirinya melampaui kekuatan lawannya.

   Dan Ken Arokpun menjadi semakin mantap bahwa dengan ukuran kekuatan itu, ia tidak akan mencelakakan lawannya dan juga dirinya sendiri.

   Dengan demikian maka Ken Arok kini tinggal melayani lawannya.

   Ia tidak ingin mengalahkan dengan menjatuhkan Kebo Ijo atau membuatnya pingsan atau hal-hal yang jelas menunjukkan kemenangannya.

   Ia ingin membiarkan Kebo Ijo bertempur dengan sepenuh tenaganya, kemudian menjadi kelelahan.

   Karena itu maka perkelahian itu masih tetap seimbang.

   Setiap kali Kebo Ijo meningkatkan daya kemampuannya, setiap kali ia tidak dapat melampaui lawannya.

   Lawannya itu seakan-akan selalu saja berada dalam keadaannya.

   Maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit.

   Mereka bergerak semakin cepat dan cepat.

   Loncatan-loncatan yang hampir tidak dapat diikuti oleh mata yang wajar.

   Gerak-gerak yang aneh dan membingungkan.

   Namun keduanya mampu mengamati setiap unsur perlawanan masing-masing.

   Yang kemudian menjadi berdebar-debar adalah Kebo Ijo.

   Setiap ia mendesak lawannya dengan kecepatan gerak yang dianggapnya telah dapat melampaui kecepatan gerak lawannya, namun setiap kali lawannya bergerak semakin cepat pula.

   Sehingga akhirnya Kebo Ijo itu sudah sampai pada puncak kemampuannya.

   Puncak kekuatannya dan puncak ketangkasannya.

   Dikerahkan segala macam ilmu yang ada padanya.

   Namun Ken Arok itu masih saja tetap dapat mengimbanginya, meskipun setiap kali anak muda itu masih juga meloncat menjauhinya, mengambil jarak daripadanya, dan kemudian meneruskan perlawanannya.

   "Apakah orang ini kerasukan setan,"

   Pikir Kebo Ijo.

   "setiap kali ia tidak dapat menyamai kecepatan gerakku. Tetapi setiap akumeningkatkan tata gerakku, jarak itu masih saja tetap sama. Aku tidak dapat menguasainya. Dan ia masih saja mampu menghindar dan kadang-kdang malahan menyerang."

   Tetapi Kebo Ijo tidak dapat menemukan jawabannya.

   Meskipun kadang-kadang serangannya datang mengejut seperti hentakan angin ribut, namun ia tidak mampu menjatuhkan lawannya, bahkan tidak pula dapat mengejutkan.

   Sehingga, Kebo Ijo itu semakin lama menjadi semakin berdebar-debar.

   "Apakah aku berkelahi melawan setan Padang Karautan dan bukan melawan Ken Arok,"

   Katanya di dalam hatinya.

   "apakah ada setan yang mewujudkan dirinya seperti Ken Arok?"

   Ternyata betapapun ia berusaha, namun ia tidak mampu menguasai lawannya yang disangkanya terlampau mudah untuk dikalahkannya.

   Bahkan, ternyata bukan lawannya itu yang menjadi bingung karena gerakan-gerakannya yang cepat, tetapi lambat-laun maka Kebo Ijo sendirilah yang kebingungan.

   Bagaimana ia harus melawan dan mengalahkan orang yang dianggapnya tidak cukup ilmu untuk mengimbanginya.

   Betapa dadanya dicekam oleh kebingungannya, sehingga tiba-tiba saja terkilas di dalam otaknya untuk mempergunakan apa saja yang dimilikinya.

   Ilmu yang paling dahsyat sekalipun.

   Ken Arok kemudian melihat bahwa Kebo Ijo telah benar-benar mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya.

   Anak muda itu meloncat-loncat seperti tatit yang menyambar-nyambar di langit.

   Tangannya bergerak semakin cepat dan nafasnya berdesakan di lubang hidungnya.

   Tetapi ia tidak berhasil menjatuhkan lawannya.

   Kebo Ijo masih merasakan benturan-benturan yang berat dan seimbang.

   Meskipun ia sudah sampai ke puncak kekuatannya, namun lawannya masih juga mampu mengimbanginya.

   Bahkan sekali-sekali ia merasakan sentuhan-sentuhan tangan lawannya, yang menyerang dengan gerak yang tidak dimengertinya.

   Namun, justru karena itu maka dada Kebo Ijo menjadi semakin bergelora.

   Darahnya serasa mendidih sampai di kepala.

   Ternyata ia berhadapan dengan seorang yang sama sekali berbeda daridugaannya.

   Seorang yang cukup tangguh dan cekatan.

   Meskipun tampaknya Ken Arok tidak melampauinya, namun ia tidak berhasil untuk mengalahkannya.

   Tata gerak Ken Arok yang disangkanya tidak teratur dan liar karena anak muda itu tidak pernah mendapat tuntunan dari seorang yang berilmu, ternyata justru mengejutkannya.

   Tata gerak itu memang aneh.

   Kadang-kadang sama sekali tidak dimengertinya.

   Tetapi yang melontarkan tubuh Ken Arok dengan loncatan-loncatan yang membingungkan itu bukan sekadar gerakan-gerakan yang liar tidak terkendali.

   Gerakan-gerakan itu ternyata mempunyai hubungan yang teratur dan tersusun.

   Meskipun susunannya sama sekali tidak lazim dan bahkan sebagian besar belum pernah dikenalnya.

   Tetapi itu tidak berarti bahwa Ken Arok tidak mengenal tata gerak yang wajar seperti yang dipergunakannya.

   Anak muda itu seolah-olah mempunyai pengamatan yang sangat tajam.

   Unsur- unsur gerak yang khusus dari perguruannya tidak mampu untuk membuat Ken Arok itu menjadi bingung.

   Bahkan benturan-benturan yang direncanakannya, sama sekali tidak mampu untuk mengejutkannya.

   Dalam pada itu, Ken Arok sendiri menjadi semakin lama semakin tenang.

   Kini ia telah mendapatkan ukuran yang semakin mantap.

   Kebo Ijo telah sampai pada puncak kemampuan dan kekuatannya.

   Kalau ia tetap bertahan dalam tingkatan itu, maka ia hanya tinggal menunggu saja, kapan Kebo Ijo menjadi lelah dan berhenti dengan sendirinya.

   Pekerjaannya tinggallah merangsang supaya Kebo Ijo mengerahkan segala kekuatannya, memeras tenaganya, sehingga dengan demikian, maka ia akan menjadi lebih cepat lelah.

   Tetapi semakin susut tenaga Kebo Ijo, maka hatinya menjadi semakin menyala.

   Kemarahannya sudah tidak tertahankan lagi, sehingga ia sudah bertempur benar pada puncak kemampuannya.

   Ia sama sekali sudah tidak mengekang diri, apa pun akibatnya.

   Bahkan semakin memuncak kemarahannya, bayangan tentang aji pamungkasnya menjadi semakin jelas pula.

   Aji Bajra Pati.Sesaat ia masih mencoba untuk mempergunakan kekuatannya secara wajar.

   Ia masih berusaha untuk menemukan titik-titik kelemahan lawannya.

   Tetapi ia sama sekali tidak berhasil.

   Kekuatan lawannya seolah-olah meningkat dan kelincahannya pun menyadi semakin membingungkannya sejajar dengan meningkatnya serangan-serangannya.

   Akhirnya Kebo Ijo kehilangan segenap pertimbangannya.

   Perkelahian itu baginya bukan sekadar mempertaruhkan jabatannya, tetapi ia sudah tidak mempedulikan lagi apa yang akan terjadi.

   Sehingga ia yakin bahwa ia sudah tidak akan mampu lagi mengalahkan lawannya, meskipun ia menyerangnya seperti burung rajawali di langit, dan membenturnya seperti seekor gajah yang sedang mengamuk.

   Lawannya benar-benar seperti sebongkah gunung yang tegak dengan garangnya.

   Yang tidak tergerakkan oleh angin dan badai yang betapapun dahsyatnya.

   Itulah sebabnya maka Kebo Ijo sampai pada puncak kemarahannya, marah dan malu.

   Seandainya ia tidak mampu mengalahkan lawannya, lalu apakah kata Ken Arok itu kemudian? Apakah ia harus tunduk dan menyembahnya.

   Melakukan perintahnya tanpa dapat berbuat apa pun.

   "Tidak,"

   Kebo Ijo menggeram di dalam hatinya.

   "aku tidak mau. Biar sajalah aku dihukum gantung karena aku telah membunuhnya. Tetapi itu lebih baik daripada aku harus bersimpuh di hadapannya."

   Ketika kemudian angin padang bertiup semakin kencang, maka darah Kebo ljo pun mengalir semakin cepat.

   Terasa kepalanya menjadi panas dan pening.

   Ia sudah tidak mampu lagi untuk berpikir terlampau banyak.

   Dengan demikian maka segera ia meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak dari lawannya.

   Ia memerlukan kesempatan betapapun pendeknya, untuk membangunkan kekuatan Aji Bajra Pati.

   Semula Ken Arok tidak menaruh prasangka apa pun.

   Ia menyangka bahwa Kebo Ijo sudah mulai lelah dan inginmendapatkan kesempatan untuk bernafas.

   Tetapi tiba-tiba yang dilihatnya sangat mengejutkannya.

   Ken Arok kemudian melihat Kebo.

   Ijo bersikap dalam pemusatan pikiran dan tenaga.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Membangun segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, yang dalam keadaan yang wajar seolah-olah tersimpan di belakang urat-urat nadinya.

   Namun dalam mateg Aji Bajra Pati maka kekuatan-kekuatan itu pun seolah-olah terbangunkan, merayap di sepanjang urat nadinya, menjalar ke permukaan tubuhnya.

   Kekuatan itu seolah-olah mengalir menurut kehendak, berpusar di tangan Kebo Ijo.

   Tangan yang kemudian menjadi gemetar oleh tekanan kekuatannya yang memerlukan saluran.

   Sikap itu telah benar-benar mengejutkan Ken Arok.

   Ia segera menyadari apa yang akan terjadi.

   Ia tahu benar bahwa sikap pemusatan pikiran dan kekuatan itu adalah suatu sikap yang akan sangat membahayakan baginya.

   Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Ijo sedang membangunkan suatu kekuatan yang betapa dahsyatnya.

   Tetapi Ken Arok tidak mendapat banyak waktu untuk berpikir.

   Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mencegah dengan kata-kata dan ia pun yakin bahwa Kebo Ijo pasti tidak akan mendengarkannya.

   Apalagi Bajra Pati itu kini sudah tersalur ke tangannya.

   Dengan demikian maka Ken Arok telah kehilangan sekesempatan untuk mencegah Kebo Ijo menggunakan ilmu pamungkasnya.

   Betapa hati Ken Arok itu menjadi bingung.

   Apakah yang akan dilakukannya.

   Ia tidak menyangka sama sekali bahwa kegelapan hati Kebo Ijo akan sampai sedemikian jauh sehingga dalam taruhan yang serupa itu, ia sudah berusaha melepaskan aji yang seharusnya disimpannya untuk suatu keharusan yang tidak dapat dihindarinya dalam pertaruhan hidup dan mati.

   Tetapi dalam perselisihan di antara kawan sendiri, maka ia sudah demikian bernafsu untuk mempergunakan aji pamungkasnya itu.Ternyata hati Kebo Ijo telah benar-benar menjadi gelap.

   Ketika ia melihat Ken Arok terpaku seperti patung, maka hatinya bahkan berdesis.

   "Mampuslah kau anak yang gila. Yang tidak tahu diri. Yang ingin melawan kekuatan Kebo Ijo, murid Panji Bojong Santi."

   Bersamaan dengan itu, maka terdengar suara Kebo Ijo menggeram.

   Semakin keras, dan tanpa menahan diri lagi maka segera ia meloncat melontarkan seluruh kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya yang dibangunkannya berlandaskan ilmu yang oleh gurunya disebut Aji Bajra Pati.

   Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat.

   Ternyata Ken Arok tidak dapat lagi menghindari benturan itu, sehingga tidak ada pilihan lain baginya daripada membentur kekuatan Aji Bajra Pati.

   Benturan itu ternyata telah menimbulkan akibat yang dahsyat pula.

   Kebo Ijo sendiri terlempar surut beberapa langkah, sedangkan Ken Arok terdorong ke belakang setapak, kemudian terhuyung- huyung sejenak.

   Dengan susah-payah ia mencoba untuk menahan keseimbangan dirinya.

   Tetapi anak muda itu pun jatuh terduduk, bersandar pada kedua tangannya.

   Ketika ia mengangkat wajahnya yang pucat maka dilihatnya Kebo Ijo terguling beberapa kali.

   Sejenak suasana diterkam oleh kesenyapan.

   Yang terdengar hanyalah gemerisik angin menyentuh dedaunan gerumbul-gerumbul taman yang masih belum begitu rimbun, di antara desah nafas kedua anak-anak muda yang seolah-olah membeku di tempatnya.

   Tetapi sejenak kemudian Ken Arok mencoba menjulurkan kakinya.

   Kemudian menggeliat perlahan.

   Dengan susah-payah ia mencoba untuk berdiri.

   Menggerakkan kaki-kakinya dan tangannya.

   Ketika ia menarik nafas dalam-dalam, maka dadanya terasa sedikit nyeri.

   Tetapi sekali dua kali, maka perasaan nyeri itu pun berangsur hilang.

   "Hem,"

   Ia berdesah.

   Dadanya pernah pula dihantam oleh sebuah ilmu yang tidak kalah dahsyatnya, yang dilontarkan oleh seorang yang lebih jauh memiliki pengalaman dan kematangan dalamilmunya.

   Kebo Sindet.

   Saat itu matanya menjadi gelap dan ia pun jatuh pingsan.

   Tetapi kali ini ia berhasil membebaskan dirinya dari cedera yang dapat ditimbulkan oleh Aji Bajra Pati, karena yang melepaskan aji itu masih belum cukup masak.

   Sementara itu Kebo Ijo sendiri untuk beberapa lama tidak dapat menggerakkan tubuhnya.

   Terasa dadanya sendiri seperti telah meledak ketika kekuatan Aji Bajra Pati seolah-olah telah membentur sebuah dinding baja setebal depa tangannya.

   Kekuatannya sendiri telah melemparkannya dan membantingnya di tanah begitu kerasnya, sehingga tulang-tulangnya terasa seakan- akan remuk terpatah-patah.

   Sejenak ia memejamkan matanya.

   Memusatkan segala sisa-sisa tenaganya.

   Pelahan-lahan ia mencoba menarik napas.

   Berulang kali meskipun terasa betapa pedihnya.

   Namun lambat-laun perasaan sakit di sekujur badannya itu pun terasa berkurang.

   Ketika ia membuka matanya, maka alangkah terkejutnya.

   Dilihatnya sesosok bayangan tegak berdiri di hadapannya.

   Sepasang kakinya yang merenggang serta sikapnya yang meyakinkan itu menambah dadanya menjadi sesak.

   Pelahan-lahan ia mencoba bangkit, tetapi kekuatannya belum mengizinkannya.

   Karena itu maka ia hanya mampu mengumpat dengan suara gemetar.

   "Anak setan. Kau tidak mampus juga."

   Yang berdiri di hadapannya itu adalah Ken Arok.

   "Ayo,"

   Desis Kebo Ijo.

   "kalau kau mampu, bunuhlah aku. Aku tidak saja mempertaruhkan jabatan, tetapi aku mempertaruhkan kehormatan. Dan kehormatanku bernilai sama dengan jiwaku."

   Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju.

   "Apa yang kau tunggu lagi,"

   Terdengar suara Kebo Ijo di antara desah nafasnya yang sesak.

   "Cepat, lakukanlah."

   Tiba-tiba dalam keremangan malam Kebo Ijo itu melihat Ken Arok menggelengkan kepalanya.

   Pelahan-lahan ia menyawab,"Tidak Kebo Ijo.

   Aku tetap pada perjanjian kita.

   Yang kita pertaruhkan adalah kekuasaan di Padang Karautan ini atas para prajurit Tumapel."

   "Tidak. Hanya ada dua pilihan. Membunuh atau dibunuh. Ayo bunuhlah aku."

   "Jangan kau turuti perasaanmu."

   "Cepat sebelum aku dapat bangkit dan akulah yang akan membunuhmu."

   "Jangan terlampau keras hati."

   "Aku adalah seorang laki-laki. Aku adalah seorang perwira Tumapel yang perkasa. Seorang prajurit hanya akan mengakhiri perlawanannya apabila nyawanya telah terpisahkan dari tubuhnya. Hanya seorang pengecutlah yang mundur setengah jalan hanya sekadar untuk menyelamatkan hidupnya."

   "Apakah kau berpendirian demikian?"

   "Ya."

   "Dalam segala keadaan?"

   Kebo Ijo terdiam sejenak. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Ken Arok, sehingga dengan suaranya yang parau ia bertanya.

   "Apakah maksudmu dalam segala keadaan."

   "Maksudku, bahwa bagimu tidak ada jalan surut, betapapun keadaanmu."

   "Ya, meskipun aku terluka di dalam, tetapi aku tetap dalam pendirianku. Hidup atau mati. Membunuh atau dibunuh."

   Ken Arok menarik keningnya.

   Sejenak ia berdiam diri sambil memandangi Kebo Ijo yang masih berbaring di tanah.

   Kini ia mencoba bangkit sambil bertelekan padu tangan-tangannya.

   Terdengar ia mengaduh pendek.

   Dadanya tiba-tiba terasa nyeri oleh tekanan tangannya yang menahan tubuhnya.

   Tetapi ia berusaha terus.

   Bahkan ia berkata.

   "Ken Arok, aku hampir mampuberdiri dan berkelahi lagi. Aku akan segera membunuhmu. Kalau kau ingin mempergunakan kesempatan, cepatlah. Pergunakan sekarang. Kau mampu bertahan atas kekuatan Aji Bajra Pati. Dengan demikian kau pun pasti mempunyai ilmu pamungkas yang akan dapat kau pergunakan membunuhku dengan tanganmu. Tanpa sehelai senyata apa pun."

   Ken Arok tidak segera menjawab.

   Tetapi ia merasa aneh mendengar kata-kata Kebo Ijo yang menganggapnya mempunyai sebuah ilmu yang sedahsyat Bajra Pati.

   Sejenak Ken Arok itu berpikir tentang dirinya sendiri.

   Ia tidak pernah belajar pada seorang guru pun sebelum ia bertemu dengan Lohgawe.

   Orang tua itu pun sama sekali tidak mengajarnya berkelahi.

   Tidak menuntunnya dalam olah kanuragan.

   Orang tua itu hanya memberinya beberapa nasihat supaya ia menjauhi cara hidupnya yang lama, dan menuntunnya untuk menemukan hidupnya yang baru.

   Selain itu, Lohgawe hanya memberitahukan kepadanya beberapa hal mengenai tubuh manusia, tubuhnya sendiri itu juga.

   Dan yang terakhir orang tua itu menuntunnya untuk mempelajari cara-cara memusatkan pikiran, kehendak, dan semua getar di dalam dirinya.

   Lambat-laun dan dengan pelahan-lahan sekali.

   "Hanya itu,"

   Desisnya di dalam hati.

   "sama sekali bukan ilmu kanuragan. Bukan unsur-unsur gerak dalam tata bela diri. Bukan pula kemampuan untuk membangunkan sebuah ilmu yang dahsyat, sedahsyat Aji Bajra Pati dan Aji Bayang. Tetapi aku telah mampu melepaskan diri dari kehancuran."

   Wajah Ken Arok tiba-tiba menegang karena persoalan di dalam dirinya sendiri. Ia seolah-olah sudah lupa bahwa di hadapannya Kebo Ijo sedang merangkak-rangkak untuk mencoba bangun.

   "Aku berkelahi asal saja aku berkelahi,"

   Berkata Ken Arok itu seterusnya di dalam hatinya.

   "Aku hanya mencoba menirukan unsur-unsur gerak yang pernah aku lihat dilakukan oleh Mahisa Agni, Witantra, Kuda Sempana, dan para prajurit yang lain. Tetapi, apakah pemusatan pikiran, kehendak, dan segala macam getar didalam diri ini termasuk juga membangunkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh kita untuk segala kepentingan? Termasuk dalam olah kanuragan, tidak saja dalam hasrat, kemauan, dan keinginan lahir dan batin, tetapi juga dalam membangunkan kekuatan dan kekuatan-kekuatan simpanan di dalam tubuh ini?"

   Justru pertanyaan itulah yang tumbuh di dalam diri Ken Arok.

   Dan ia mencoba untuk menilai apakah yang sedang dilakukannya.

   Pada saat ia melihat lawannya mempersiapkan diri, memusatkan pikiran dan perasaan membangun Aji Bajar Pati, maka ia pun dengan segenap tekad, hasyrat dan kehendak, telah mempersiapkan dirinya untuk melawannya, seperti pada waktu ia menghadapi aji yang akan dilepaskan oleh Kebo Sindet.

   Ternyata apa yang dilakukannya itu adalah pengerahan segenap kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya yang didasarinya pada pemusatan pikiran, kehendak, dan segala macam getar di dalam dirinya.

   Tetapi Ken Arok tetap tidak tahu, lalu kekuatan apakah dan dorongan oleh ilmu apakah, maka ia mampu membangunkan kekuatan itu.

   Yang diketahuinya kini adalah, apabila ia menghendaki, maka ia dapat mengimbangi kekuatan Bajra Pati dalam tataran yang belum terlampau sempurna, dan dapat menyelamatkannya dari kekuatan aji yang dilepaskan oleh seorang Kebo Sindet.

   Dan Ken Arok kini meyakini, semuanya itu sebagian besar adalah karena latihan-latihan memusatkan pikiran yang dipelajarinya dari Lohgawe.

   Sebelum itu apa yang dilakukan adalah seperti seekor serigala liar di Padang Karautan, meskipun pada saat-saat yang serupa itu apa yang dilakukan telah mengherankan bagi orang banyak.

   Seolah-olah tubuhnya menjadi kebal dan tidak dapat disakiti oleh lawannya, seperti pada saat ia berkelahi untuk pertama kali melawan Mahisa Agni.

   Bagaimanapun juga ia terbanting, terdorong, dan bahkan jatuh terjerembab dan terguling-guling di tanah, tetapi ia selalu bangkit kembali dan melawan membabi-buta.Ken Arok itu tersadar ketika tiba-tiba saja ia melihat Kebo Ijo telah berdiri di hadapannya.

   Meskipun masih belum tegak benar namun anak muda itu sudah berteriak.

   "Ayo, aku ternyata masih belum kau kalahkan. Kita akan segera mulai lagi."

   Angin malam terhembus semakin kencang. Usapan yang sejuk di tubuh Kebo Ijo telah membuatnya bertambah segar. Tetapi sekali- sekali masih terasa dadanya menyadi nyeri. Meskipun demikian sejenak kemudian ia berteriak pula.

   "Ayo, Ken Arok, kita mulai lagi."

   "Kau masih ingin berkelahi?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Aku belum kau kalahkan. Hanya mautlah pertanda yang paling jelas, siapakah yang kalah, dan siapakah yang menang."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah anak muda yang berdiri terhuyung-huyung di hadapannya itu dengan dada yang berdebaran. Alangkah keras hatinya. Tetapi tiba-tiba Ken Arok itu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak Kebo Ijo. Aku kira kita sudah cukup lama berkelahi. Kalau seseorang mencari aku dan datang kemari, melihat kita berkelahi maka akibatnya kurang baik."

   "Persetan dengan alasanmu yang memuakkan itu. Kau selalu mengatakan tentang prajurit-prajurit Tumapel. Biarlah mereka belajar dari peristiwa ini. Biarlah mereka tahu, bahwa bagi prajurit Tumapel hanya ada dua pilihan dalam setiap perkelahian. Menang atau mati."

   "Sikap itu amat terpuji Kebo Ijo. Tetapi terhadap lawan, lawan bebuyutan. Tidak terhadap kawan sendiri yang hanya sekadar bcrmain-main. Katakanlah sedang bertaruh dengan taruhan yang sama sekali tidak berarti."

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata-kata itu menyentuh hati Kebo Ijo juga.

   Sejenak ia berdiam diri memandangi Ken Arok yang berdiri tegak seperti sebatang tugu yang kokoh.

   Tetapi sejenak kemudian di dalam hati Kebo Ijo itu terjadi lagi sebuah pergolakan.

   


Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Pedang Inti Es Karya Okt Dara Pendekar Bijaksana Karya OPA

Cari Blog Ini