Bunga Di Kaki Gunung Kawi 43
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 43
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja
Dengan suara yang tergetar Jajar itu berkata "Ampun Tuan Puteri. Hamba mendengarnya. Tetapi kawan Kuda Sempana itu tidak akan bersedia melakukannya."
"Kau harus mencoba mengatakannya. Akuwu Tunggul Ametung tidak ingin menyerahkan barang-barang itu tanpa kehadiran kakang Mahisa Agni supaya kami tidak diingkarinya."
"Tetapi orang itu tidak akan mau diingkari pula Tuanku, seperti yang pernah dikatakannya Apabila Mahisa Agni dibawa serta, maka itu berarti membunuh diri bagi kawan Kuda-Sempana, sebab tidak ada lagi yang akan menghalangi seandainya orang itu akan ditangkap setelah menyerahkan Mahisa Agni."
Dada Ken Dedes berdesir.
Kenapa Jajar yang gemuk ini dapat menebak perhitungan Akuwu Tunggul Ametung ? Tetapi Ken Dedes tidak dapat berbuat lain.
Iapun tidak ingin menjadi sumber pemerasan yang akan dapat di lakukan oleh Kebo Sindet terus menerus, apabila Mahisa Agni belum dilepaskan.
Karena itu maka katanya "Terserahlah kepadanya.
Tebusan itu terlampau mahal.
Karena itu, jaminannya harus cukup kuat, dan tidak ada kemungkinan untuk ingkar."
Jajar itu mengerutkan keningnya. Sejenak nalarnya menjadi pepat dan harapannya menjadi pecah berserakan Kalau ia tidak berhasil membawa perhiasan itu, Kebo Sindet akan mengambil jalan lain yang tidak diketahuinya.
"Nah, lakukanlah perintah Akuwu Tunggul Ametung Jajar."
"Sulit Tuanku. Ampun, tetapi hamba kira, hal itu tidak akan dapat terjadi."
"Bukan kau yang harus menjawab. Tetapi Kebo Sindet, Kawan Kuda-Sempana itu."Jajar itu terbungkam. Tetapi ia memutar otaknya. Namun kini tidak ada jalan lain kecuali menjunjung titah itu.
"Apapun yang akan aku lakukan "
Katanya di dalam hati.
Tiba-Tiba terbersit ingatan dikepala Jajar yang gemuk itu, adiknya yang dijumpainya diperjudian dengan beberapa orang kawan-kawannya, orang-orang yang liar dan hampir tidak terkendali.
Orang yang hidupnya tanpa arah dan tujuan.
Sejenak jajar itu berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.
Wajahnya menjadi tegang, dan dadanya terasa menjadi bergetar.
"Adapun yang akan aku lakukan, tetapi aku memerlukan anak- anak gila itu.
Katarya didalam hatinya.
"Juru taman "
Terdengar suara Ken Dedes "lakukanlah. Besok kau harus menyampaikan hasil pembicaraarimu kepadaku. Mungkin aku turun ketaman, tetapi mungkin kau akan kau panggil keistana."
Jajar itu mengangguk dalam-dalam "Hamba Tuanku. Hamba hanya dapat menjunjung titah Tuanku."
"Baiklah, sekarang pergilah kepekerjaanmu."
Sekali lagi jajar itu membungkuk dalam-dalam, kemudian mundur dari hadapan Permaisuri itu.
Tetapi itu ia sama sekali tidak melakukan pekerjaannya.
Ia kembali ketempat nya bersembunyi.
Dibalik dinding disini regol butulan.
Sambil menggeretakkan giginya, dibantingnya dirinya diatas tanah berdebu.
Perlahan-lahan jajar itu menggeram "Setan alas Bukan salahku kalau Mahisa Agni itu mampus dipenggal leherrya.
Atau digantung dialun-alun Tumapel oleh iblis berwajah mayat itu."
Wajah jajar itu menjadi kian menegang.
Ia men coba mencari jalan penyelesaian yang menguntungkannya.
Dicobanya menghubungkan persoalan itu dengan adik dan kawan-kawannya.
Mungkin dapat ditemukan pemecahan yang baik buatnya.Tiba-Tiba jajar itu tersenyum.
Ia menemukan suatu cara yang baginya sangat menyenangkan.
"Baik. Aku akan mempergunakan anak-anak itu "
Katanya didalam hati "Besok aku akan menghadap Permaisuri.
Kenapa aku tidak dapat mengatasi persoalan ini ? Oh, ter nyata bahwa aku masih mampu mempergunakan otakku yang cemerlang.
Aku akan mengatakan kepada Permaisuri, bahwa Kuda-Sempana dan kawannya menyetujui permimaan Permaisuri itu.
Tetapi sebelum hari itu sampai, maka Kuda- Sempana dan kawannya harus dimusnakan.
Salah seorang dari anak-anak gila itu akan menjadi kawan Kuda-Sempana untuk menerima perhiasan itu.
Tak perlu ada Mahisa Agni.
Tidak perlu takut bahwa pembawa perhiasan itu akan mengenal orang yang sebenarnya sama sekali bukan Kuda-Sempana dan kawannya.
Sebab begitu orang yang bertugas membawa perhiasan itu, datang mudah-mudahan aku sendiri yang akan diperintahkannya, atau satu dua orang prajurit, katakanlah lima sampai sepuluh, mereka pasti akan segera disergap oleh anak-anak liar yang kerjanya memang hanya berkelahi itu.
Nah selesailah persoalannya.
Kami kemudian harus lari.
Lari dan.bersembunyi untuk beberapa lama bersama anak-anak itu.
Aku yakin bahwa adikku mampu mengumpulkan kawan-kawannya lebih dari lima belas orang dihari terakhir itu, sedang dihari sebelumnya aku memerlukan tidak lebih dari sepuluh orang untuk menyingkirkan Kuda-Sempana dan kawannya itu."
Jajar yang gemuk itu tersenyum kiri.
Wajahnya tidak lagi tegang dan dadanya tidak lagi berdebaran.
Perlahan-lahan ia berdiri, dan ia berjalan mondar-mandir sambil memilin kumisnya.
Tiba-Tiba saja langkahnya terhenti ketika teringat olehnya, bahwa selama ini ternyata ada orang-orang yang tak dikenal selalu mengintipnya.
Satu atau dua orang menurut perhitungannya.
"Siapakah mereka ?"
Jajar itu berdesis.
"Tetapi merekapun akan dimusnakan juga oleh anak-anak gila itu "
Dijawabnya sendiri pertanyaannya "mereka tidak akan berarti apa-apa. Mungkin mereka kawan-kawan Kuda-Sempana yang bertugas, mengamati keadaan."
Jajar yang gemuk itu kini tersenyum lagi.
Orang-Orang itu sama sekali tidak diperhitungkannya.
Yang akan dihadapinya hanyalah dihari pertama Kuda-Sempana dan kawannya yang berwajah mayat, kemudian dihari berikutnya, prajurit-prajurit Tumapel yang bertugas mengawal tebusan itu.
"Tetapi bagaimanakah kalau Akuwu sendiri yang mengantarkan perhiasan itu ?"
"Ah tidak mungkin. Bodoh sekali kalau Akuwu Tunggul Ametung sampai merendahkan dirinya membawa tebusan itu."
Sekali lagi jajar itu tersenyum.
Tersenyum, dan ham pir setiap saat ia tersenyum karena kemenangan yang bakal didapatnya.
Kemenangan atas Kuda-Sempana serta kawannya, dan kemenangan atas Akuwu Tunggul Ametung dan Permaisurinya "Aku akan menjadi kaya raya.
Anak-Anak gila itu akan menjadi pelindungku yang setia asal aku selalu memberi makan yang cukup."
Demikianlah kerja jajar gemuk itu sehari-harian Ia sama sekali tidak peduli apakah Permaisuri masih berada ditaman atau sudah kembali.
keistana.
Ia sama sekali tidak menyentuh tanaman yang harus disiangi atau disiram.
Tetapi kedua kawannya yang telah menganggapnya benar-benar gila itu sama sekali tidak menegurnya.
Apalagi ketika mereka melihat jajar yang gemuk itu tersenyum- senyum sendiri.
Ketika matahari suYah menjadi semakin rendah dibarat, maka tidak seperti biasanya, kali ini Jajar itu tergesa-gesa pulang.
Ia tidak menunggu sampai gelap dan tidak lagi berjalan sambil mengumpat- umpat.
Jajar yang gemuk itu melangkah keluar regol sambil tertawa kepada para penjaga.
"He, kenapa kau ter-tawa ?"
Bertanya seorang penjagaJajar itu sama sekali tidak menjawab.
Bukan sepantasnya prajurit rendahan menegurnya.
Seorang yang kaya raya, yang memiliki kekayaan yang tiada taranya.
Tiga padukuhan lengkap dengan segala isi dan sawah ladangnya.
Segala macam iwen dan raja kaya.
Perhiasan emas intan dan karang kitri.
Tetapi prajurit itu tidak tahu apa yang bersarang dikepala jajar yang gemuk itu.
Karena ilu, maka prajurit itupun menjadi heran.
Ketika dua orang juru taman lain lewat pula diregol itu maka ia bertanya - He, kenapa kawanmu juru taman yang gemuk itu.
"Aku tidak tahu.. Mungkin ia menjadi gila "
Jawab mereka hampir berbareng.
Prajurit itu tersenyum.
Ia sependapat dengan kedua juru taman itu, bahwa Jajar yang gemuk, yang selalu tertawa-tawa saja hari ini, tetapi yang kemarin terlampau gelisah dan cemas itu, agaknya telah menjadi gila.
Tetapi Jajar yang gemuk itu sama sekali tidak mempedulikan apa saja kata orang tentang dirinya.
Ia sebentar lagi akan menjadi seorang yang kaya raya.
"Aku harus bertemu dengan Kuda-Sempana dan kawannya hari ini "
Katanya didalam hati "mungkin pertemuan yang terakhir kalinya.
Aku harus menentukan tempat untuk bertemu besok.
Tetapi iblis itu tidak akan tahu, bahwa besok adalah harinya yang terakhir.
Besok mereka akan dikirim keneraka oleh adikku dan kawan- kawannya."
Jajar itu masih saja tersenyum. Otaknya yang dibang gakannya, ternyata sudah tidak mampu bekerja dengan baik. Ia tidak mau membayangkan apa kira-kira yang akan terjadi dihari batas yang telah ditentukan.
"Biarlah aku. pikirkan besok. Tetapi pada dasarnya, seorang dari kawan-kawan adikku akan memegang peranan sebagai kawan Kuda Sempana. Yang lain bersembunyi. Kalau tebusan itu datang, maka segera harus disergap.""Heh"
Jajar itu menarik nafas dalam-dalam. Sama sekali tidak dihiraukannya kakinya yang lecet tersandung batu. Jajar itu tidak merasa pula ketika kakinya menyentuh duri kemarung.
"Dimana hari ini kawan Kuda-Sempana itu akan menemui aku ?"
Desisnya. Sekali-kali Jajar itu berpaling. Tetapi ia tidak melihat Kuda- Sempana dan kawannya.
"Apakah aku pulang terlampau siang, sehingga kedua nya tidak berani menampakkan ciirinya ?"
Gumamnya "tetapi aku harus bertemu hari ini.
Tidak ada kesempatan lagi.
Besok adalah hari keempat.
Kedua setan itu harus lenyap.
Lusa hari yang terachir, hari yang dijanjikan oleh Permaisuri.
Hari yang menentukan perubahan hidupku.
Dan aku akan segera menjadi kaya raya."
Ketika jajar itu sekali lagi berpaling, tampaklah keningnya menjadi berkerut-merut. Ia melihat dua orang berjalan searah dengan langkahnya. Lambat-Lambat, seolah-olah membuat jarak yang tetap dari padanya. Jajar itu menjadi curiga.
"Siapakah mereka ? Apakah mereka sekedar orang yang lewat saja dijalanan ini, ataukah mereka orang- orang yang sengaja mengikuti aku ?"
Hati Jajay yang gelisah itu menjadi semakin gelisah.
"Aku harus berhenti. Siapapun orang-orang itu harus aku ha dapi. Lebih baik sekarang dan berhadapan dari pada aku diintainya dan tiba-tiba saja disergapnya."
Jajar itu berhenti. Ia melangkah menepi dan bersen dar pada sebatang kayu. Tetapi tiba-tiba ia melihat dari arah lain, seorang laki-laki berjalan berlawanan arah dengan kedua orang yang disangka mengikutinya. Kecurigaannya kian bertambah.
"Huh, ternyata mereka telah mencegat aku dari arah yang berlawanan pula selain kedua orang yang telah mengikuti aku."Jajar itu tiba-tiba meraba lambungnya. Ketika tangannya menyentuh hulu kerisnya yang kecil, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.
"Mereka akan mengantarkan nyawa mereka, siapapun mereka itu. Tetapi mereka pasti bukan Kuda-Sempana dan kawannya itu."
Semakin lama kedua orang yang datang dari arah belakang, dan seorang dari arah lain itu menjadi semakin dekat.
Tetapi Jajar itu kemudian mengerutkan keningnya.
Ternyata kedua orang itu telah mengenalnya.
Keduanya adalah prajurit-prajurit Tumapel.
Karena itu maka ia mengumpat perlahan "Setan alas.
Agaknya prajurit-prajurit Tumapel yang berkeliaran disini.
Tetapi mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian keprajuritannya ?"
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jajar itu kemudian berpaling kearah yang lain.
seorang yang berjalan perlahan-lahan kearahnya Tetapi orang itu, aku belum mengenalnya.
Ketika kedua prajurit itu menjadi semakin dekat, maka Jajar itu maju selangkah.
Tetapi wajahnya sudah tidak lagi setegang sebelumnya.
Apalagi ketika ia melihat prajurit itu tertawa sambil menyapanya "He, apakah kau menunggu Kami ?"
"Kalian mengejutkan aku. Aku sangka kalian orang-orang asing yang mengikuti aku ?"
"He"
Kedua prajurit itu terkejut "kenapa kau merasa dirimu diikuti oleh orang asing, Apakah kau mempunyai persoalan."
"Oh"
Jajar itu tergagap "Tidak. Tidak apa-apa"
"Tetapi kenapa kau terlampau bercuriga ?"
Jajar itu tidak menjawab. Ketika orang yang berjalan kearah yang berlawanan itu lewat dihadapannya, maka sam bil berbisik ia bertanya kepada kedua prajurit itu "Kau ke nal orang itu.?"
Kedua prajurit itu berpaling, mengawasi orang yang baru saja lewat itu pada punggungnya. Hampir bersamaan mereka menggelengkan kepala mereka "Tidak. Aku belum kenal."
"Kenapa ia berusaha menjumpai aku disini?""Siapa ?"
"Orang itu. Mungkin ia akan berbuar sesuatu seandainya kalian tidak disini."
"Ah"
Salah seorang dari kedua prajurit itu berdesah "kau terlampau berprayangka..
Kenapa kau tampaknya begitu gelisah dan gugup.
Bukankah yang kau lewati ini jalan umum ? Setiap orang dapat saja melewati jalan ini seperti kau dan aku.
Kenapa kau menjadi bingung dan curiga.
Lihat, itu seorang lagi lewat.
O, ia tidak berjalan kearah ini, ia berbelok kekanan masuk kedalam padesan.
Dan lihat dibelakang kita masih ada orang lewat meskipun tidak menuju kemari pula.
Kenapa kau mencemaskannya ?"
Diajar gemuk itu menarik nafas da!am-am.
"Ya, ya. Mereka hanya orang-orang lewat.
Jajar itu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba "Tetapi kenapa kau tidak mengenakan pakaian keprajuritan ? Kain bang, setagen hijau dan ikat pinggang kulit berwarna kuning, tidak menyandang pedang atau tombak, meskipun celana yang kau pakai itu celana keprajuritanmu ?"
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak.
Lalu keduanya bersama-sama tertawa pendek.
Salah seorang dari mereka menjawab sambil mengamat-amati pakaiannya sendiri "Kau terlampau banyak memperhatikan orang lain.
Baiklah aku menjawab pertanyaanmu.
Sekarang kami, aku dan kawanku ini sedang tidak bertugas.
Kami mendapat ijin beristirahat seminggu dirumah.
Itulah sebabnya kami diperkenakan memakai pakaian kami sendiri, bukan pakaian keprajuritan."
Jajar itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia mengamat-amati pakaian kedua prajurit itu. Dan Jajar itupun bertanya pula "Tetapi celanamu adalah celana keprajuritan."
Suara tertawa kedua prajurit itu kian mengeras.
Bahkan salah seorang dari mereka tidak dapat lagi menahan air matanya yang membasahi pelupuknya "Kau lucu sekali katanya.
Baiklah, pertanyaan itupun akan aku jawab Aku tidak malu seandainya kau tahu keadaan kami sebenarnya.
Aku tidak mempunyai celana yanglain yang pantas.
Itulah sebabnya aku mempergunakan celana ini untuk berjalan-jalan."
"Kenapa kalian berdua? Apakah kalian berdua tidak memiliki celana berbareng seperti berjanji? Aku adalah seorang Jajar. Seorang abdi yang paling rendah. Juga dibandingkan dengan kalian prajurit yang paling kecil, seharusnya aku masih lebih kecil lagi. Tetapi aku mempunyai celana selain celana peparing dari istana."
"Oh"
Prajurit yang layn mengangguk-angguk "kau benar. Tetapi kau harus tahu sebabnya. Kau tidak mempunyai anak dan isteri. Tetapi kami? Apakku lima dan anak kawanku ini tiga. Tetapi kenapa kau terlampau merebutkan pakaian kami?"
"Tidak apa-apa"
Jajar itu menggeleng. Tetapi tiba-tiba tatapan matanya tersangkut kepada seseorang dikejauhan. Dan tiba-tiba pula ia berdesis "Siapa itu?"
"He"
Kedua prajurit itu terkejut "siapa saja apa pedulimu. Kenapa kau tampak bingung dan gelisah ?"
"Tidak apa-apa."
"Dan kau akan tetap berdiri saja disitu? Apakah kau tidak akan pulang."
"Aku memang akan pulang."
"Marilah kita berjalan bersama-sama "
Ajak prajurit itu.
"Pergilah dahulu. Aku berjalan kemudian."
Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi merekapun kemudian minta diri untuk berjalan mendahului. Meskipun demikian ketika mereka berpaling, Jajar itu masih bertanya "Kenapa kalian berpaling?"
Kedua prajurit itu tidak menjawab.
Yang terdengar hanyalah suara tertawa mereka melambung dibawa angin.
Namun terdengar Jajar yang gemuk itu mengumpat "Setan alas.
Apa kerja prajurit- prajurit itu berkeliaran disini? Bukan kah rumahnya diujung lain dairi kota ini?"Tetapi kedua prajurit itu tidak mendengar.
Keduanya berjalan terus meskipun sekali-kali mereka masih juga berpaling.
Ketika kedua prajurit itu telah menjadi kian jauh, Jajar itupun meneruskan langkahnya.
Tetapi setiap kali ia melihat seseorang lewat dijalan itu pula, hatinya menjadi berdebar-debar.
Setiap kali ia selalu menengok kebelakang, seolah-olah takut diikuti oleh seseorang yang akan berbuat jahat kepadanya.
Kegelisahan Jajar itu menjadi semakin tajam, seperti matahari yang semakin menurun.
Catayanya yang ke- \merah-merahan memancar menyebar dilangit yang jernih.
Tiba-Tiba Jajar yang gemuk itu bergumam "Aku harus bertemu dengan kawan Kuda-Sempana itu hari ini.
Tetapi kenapa ia tidak menjumpai aku seperti biasanya?"
Dan Jajar yang kemarin mengumpat-umpat karena Kebo Sindet menemuinya diperjalanan itu, kini justru mengharap dapat bertemu dimanapun.
Tetapi hampir ia meloncat ketika tiba-tiba saja ia mendengar seseorang menyapanya, dekat sekali disampingnya ke tika ia memasuki padesan "O, kau terlampau siang pulang hari ini Ki Sanak."
Darahnya tersirap ketika ia melihat dua orang duduk diatas batu tepat ditikungan.
Ia tidak segera dapat mengenal wajah keduanya, karena keduanya memakai tudung kepala, yang dibuat dari anyaman daun kelapa, hampir menutup seluruh wajahnya.
Tudung kepala yang sering dipergunakan diwaktu hujan meskipun dalam ukuran yang kecil.
Tetapi suara yang mempunyai ciri tersendiri itulah yang langsung memperkenalkannya kepada keduanya.
"Kaukah itu ? "
Jajar itu hampir berteriak.
"Kenapa kau berteriak ? "bertanya -bertanya Kebo Sindet.
"Kalian mengejutkan aku."Kebo Sindet dan Kuda-Sempana segera berdiri. Dengan wajahnya yang beku Kebo Sindet memandangi Jajar yang gemuk itu, seolah- olah baru kali ini dilihatnya. Dan Jajar itu menjadi kian gelisah sehingga terloncat pertanyaannya "Kenapa kau heran melihat aku ?"
Kebo Sindet itu menggeleng "Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi kau tampaknya terlalu gugup dan gelisah."
"Siapa yang bilang ?"
"Baiklah. Kau tidak gugup dan gelisah. Tetapi bagaimana kabarnya Permaisuri itu ?"
Jajar itu menarik nafas dalam-dalam.
Diedarkannya pandangan matanya scolah-olah mencari seseorang Tetapi ia tidak melihat orang lain.
Meskipun demikian dicobanya untuk menembus rimbunnya dedaunan dan gerumbul-gerumbul perdu disekitarnya.
Tetapi ia tidak melihat seseorang.
"Katakan "desak Kebo Sindet.
"Aku hampir ke hilangan kesabaran. Kau sudah kehilangan tiga hari dengan hari ini. Waktumu tinggal besok dan lusa."
Jajar itu tidak segera menjawab. Ia masih mencoba mencari-cari dengan penuh kecurigaan, kalau-kalau ada orang lain yang mendengarnya.
"Katakan"
Sekali lagi Kebo Sindet mendesak "jangan takut didengar orang lain. Bukankah ini bukan rahasia lagi?"
"Tetapi"
Jajar itu menjawab terbata-bata "kita berbicara dijalan yang mungkin dilewati orang-orang lain yang sama sekali tidak berkepentingan."
"Aku tidak mencemaskannya"
Sahut Kebo Sindet "siapapun yang rnendengar dan mengetahui pembicaraan ini, aku tidak berkeberatan."
Jajar itu mengerutkan keningnya.
Baginya kata-kata Keko Sindet itu terdengar sangat aneh.
Seharusnya ia merahasiakan dirinya dansetiap pembicaraan.
Semakin banyak orang yang mengenalnya, maka bahaya baginya menjadi semakin besar.
Agaknya Kebo Sindet dapat meraba perasaan Jajar yang gemuk itu, maka katanya "Jangan cemas.
Mahisa Agni masih berada ditanganku.
Sesuatu yang terjadi atasku, maka nasib Mahisa Agni akan menjadi terlampau buruk.
Aku berjanji dengan kau sampai lusa.
Apabila dipagi harinya aku tidak kembali, maka orangaku akan segera berbuat sesuatu atas Mahisa Agni."
Dada Jajar itu berdesir.
Tetapi tiba-tiba ia menggeram meskipun hanya didalam hati "Aku tidak peduli.
Besok Kebo Sindet harus sudah binasa.
Aku tidak peduli apa yang akan terjadi atas Mahisa Agni.
Biar saja ia dibunuh, ia bukan sanak, bukan kadangku."
"Kenapa kau diam seperti sudah menjadi pikun. Apakah kau tidak bertemu lagi dengan Permaisuri?"
Bertanya Kibo Sindet.
"Hari ini aku telah bertemu"
Berkata Jajar yang gernuk itu sambil memandang berkeliling. Ia masih saja bercuriga. Dijalan ini ia. bertemu dengan dua orang prajurit. Dengan orang-orang asing yang belum dikenal dan orang-orang yang seakan-akan hilir mudik mengawasinya.
"Ternyata kau penakut"
Kebo Sindet hampir membentak "benar jalan ini adalah jalan umum.
Setiap orarig dapat saja lewat dijalan ini.
Bagimu sebenarnya lebih baik.
Tidak akan ada orang yang mencurigaimu karena kau bertemu dengan seseorang dan berbicara denganmu dijalan yang ramai ini.
Ayo, katakanlah."
Jajar itu meng angguts-anggutskan kcpalanya.
Kemudian dengan hati-hati dikatakannya apa yang dikehendaki oleh Permaisuri.
Dibatas waktu yang diberikan, Permaisuri akan mengi rim orang untuk menyerahkan perhiasan itu, tetapi dengan syarat, Mahisa Agni harus dibawa serta.
Jajar itu menjadi ngeri, dan seluruh bulunya tegak berdiri ketika ia melihat sorot mata Kebo Sindet.
Meskipun wajahnya masih saja membeku, tetapi mata itu seolah-olah menjadi merah membara."Begitukah kehendak Permaisuri."
Tanpa sesadarnya Jajar itu mengangguk dan berdesir "Ya"
"Dan kau tidak menjelaskan bahwa aku tidak akan bersedia menerima syarat itu ?"
"Sudah aku katakan."
"Kenapa syarat itu masih juga diajukan kepadaku?"
Mata Kebo Sindet menjadi semakin menyala "Aku tidak mau masuk kedalam wuwu.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku bukan seorang anak yang dungu.
Kau tahu, bahwa dengan demikian kaupun tidak akan mendapatkan apa-apa.
Mungkin kau akan ikut serta ditangkap bersama aku setelah Mahisa Agni itu lepas bersama tebusan yang akan dirampasnya kembali.
Tumapel mempunyai prajurit yang tidak terhitung jumlahnya.
Apakah kita akan dapat melawan."
"Sudah aku katakan kepada Permaisuri."
"Tetapi ia tidak mau mendengarkan begitu ? Baiklah. Kalau demikian persoalan kita sudah selesai. Kau tidak akan mendapat kesempatan lagi."
"Tunggu"
Jajar itu benar berteriak.
"Apa lagi."
"Sebenarnya aku sudah membuat perhitungan, bahwa kau pasti akan menolak. Tetapi aku tidak dapat membantah perintah Permaisuri. Apa yang aku lakukan hanyalah sekedar sebuah permainan."
Kebo Sindet tidak segera menjawab. Matanya yang terpancang diwajahnya yang beku memandangi Jajar itu seakan-akan ingin melihat sampai kepusat jantungnya.
"Apa maksudmu ?"
Desis Kebo Sindet itu kemudian. Keringat dingin telah membasahi segenap tubuh Jajar yang gemuk itu. Tetapi otaknya mencoba bekerya sekuat-kuatkemampuannya. Sejenak kemudian ia berkata "Bukankah waktu yang kau berikan masih dua hari."
"Tetapi hanya akan membuang waktu saja bagiku."
Jajar itu menggeleng "Tidak."
Jantungnya dicengkam oleh kecemasan. Jika demikian rencananya akan bubrah. Akan pecah berserakan seperti harapannya untuk mendapatkan perhiasan yang akan bernilai seluas tanah perdikan yang besar.
"Sudah aku katakan, bahwa aku hanya sekedar menyenangkan bati Permaisuri itu "
Berkata Jajar itu "tetapi dengan demikian aku akan mendapat .kesempatan untuk berbicara lebih banyak.
Besok aku akan menyampaikan keterangan seperti yang kau katakan, bahwa kau akan menolak.
Besok sore aku memerlukan kau.
Aku yakin bahwa tidak akan ada pilihan lain dari Permaisuri itu kecuali memenuhi tuntutanmu."
"Kau terlampau berbelit-belit."
"Aku memerlukan sikap yang berbelit-belit untuk memaksa Permaisuri mempercayaiku. Kalau aku menolak untuk menyampaikan syarat ini kepadamu, maka aku akan kehilangan kesempatan, sebab aku menolak perintah Tuanku Permaisuri. Nah, besok kita akan bertemu. Aku tidak mau ber-teka-teki dan selalu gelisah. Katakan, dimana kau akan menemui aku besok. Waktu kita tinggal sedikit. Kau selama ini hanya menurut kemauanmu saja. Sebaiknya kita berbicara dengan pasti."
Kebo Sindet tidak segera menjawab. Tetapi sorot matanya masih belum pudar. Sejenak dipandanginya Kuda-Sempana yang berdiri membeku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan seolah- olah ia menjadi acuh tidak acuh saja menanggapi pembicaraan itu.
"Bagaimana?"
Jajar itulah yang kini mendesak "dimana besok kita dapat bertemu? Katakan dengan pasti, supaya aku membuat perhitungan yang pasti pula.
Waktuku tinggal dua hari.
Kalau aku masih harus banyak ber-teka-teki, maka aku tidak segera dapat memusatkan perhitunganku atas tawaran-tawaran Permaisuri."Tiba-Tiba Jajar itu mendengar Kebo Sindet menggeram "Jangan memaksa.
Aku akan menjumpaimu dimana saja aku inginkan.
Jangan pula membuat tawaran-tawaran yang tidak masuk akal.
Kau masih mendapat kesempatan.
Tetapi ingat, kalau dua hari ini telah lewat dan kau masih belum mendapatkan tebusan itu, tidak ada ikatan apa-apa lagi diantara kita."
"Baik. Aku akan mencoba, dalam dua hari ini. Tetapi katakan dimana aku besok bisa bertemu, berbicara agak panjang tanpa kecurigaan terhadap keadaan disekitar kita."
"Apakah yang harus dibicarakan ?"
"Apa yang akan disampaikan Permaisuri besok kepadaku."
"Permaisuri tinggal mengatakan ya atau tidak."
"Lalu, apakah utusannya lusa harus membawa tebusan itu berkeliling kota dan menunggu kau menjumpai mereka itu ditempat yang kau sukai ? "
Kebo Sindet terdiam sejenak. Lalu katanya "Baik, aku akan menentukan tempat itu. Tetapi tidak sekarang. Aku tidak perlu cemas, sebab Mahisa Agni masih ditanganku."
"Nah, kita bicara besok. Tetapi dimana? Kenapa kau cemaskan tempat yang akan kau tentukan itu, sedang kau tidak mencemaskan tempat yang akan kau pakai untuk menerima tebusan lusa?"
Sekali lagi Kebo Sindet terdiam sejenak. Dipandanginya Jajar yang gemuk itu seakan-akan ingin melihat sampai kepusat dadanya.
"Aku akan temui kau besok."
"Mudah-Mudahan aku dapat menekan Permaisuri, sehingga tebusan itu akan dapat kau bawa besok."
"Hem"
Kebo Sindet menggeram "apa ada kemungkinan demikian?"
"Tentu. Permaisuri berhati lemah. Agaknya Akuwu sudah tidak berkeberatan. Soalnya, bagaimana Permaisuri yakin bahwakakaknya selamat. Kalau ini kau jamin kelak, maka aku kira tidak akan ada kesukaran lagi."
Kebo Sindet tidak menjawab.
"Bagaimana?"
Bertanya Jajar yang gemuk.
"Pergilah. Besok aku temui kau sesuka hatiku. Jangan mengatur aku. Aku dapat berbuat apa saja yang aku sukai."
"Tetapi kau memerlukan tebusan itu bukan?"
Kebo Sindet terdiam.
"Mudah-Mudahan aku besok telah membawanya. Aku harui memaksa dan menakut-nakuti Permaisuri."
"Mudah-Mudahan. Tetapi kau tidak perlu tahu, dimana aku akan menjumpaimu."
"Hem"
Jajar itulah yang menggeram.
"Terserah kepadamu. Aku sudah mencoba. Tetapi aku harap kau benar-benar dapat menjumpai aku."
"Pasti."
"Baiklah."
Jalyar itupun segera pergi meninggalkan Kebo Sindet dan Kuda-Sempana.
Sejenak kemudian kedua orang itupun pergi pula, tetapi kearah yang berlawanan.
Disepanjang langkahnya Jajar itu menggerutu tidak habis- habisnya, bahkan mengumpat-umpat.
Seakan-akan Kebo Sindet itu telah mengetahui rencananya untuk membinasakannya besok, sehingga orang itu tidak mau mengatakan dengan pasti, di mana besok mereka dapat bertemu.
"Bagaimana aku akan menyiapkan orang-orangku"
Gumam Jajar itu "Setan alas. Orang itu benar-benar seperti setan."
Tetapi sekali lagi Jajar yang gemuk itu hampir terlonjak. Tiba- Tiba saja ia bertemu ditikungan, kedua prajurit yang telah dijumpainya tadi."Kau terkejut?"
Bertanya salah seorang prajurit itu. Jajar itu mengerutkan keningnya "Gila. Apa kerja mu disini."
"Bukankah kau sudah bertanya ? Aku sedang beristirahat dan menikmati masa istirahat kami. Jelas. Kami berjalan-jalan saja kemana kami suka."
Tetapi kecurigaan Jajar itu kian bertambah. Dengan gemetar ia berkata "Kau sengaja mengintip aku bukan?"
"He"
Prajurit-prajurit itu terkejut "kau terlampau bercuriga.
Kenapa aku harus mengintip kau.
Tanpa mengintip aku melihat kau dari kejauhan, dari sudut desa itu.
Bukan kah kau berbicara dengan dua orang yang memakai tudung kepala dari daun kelapa Akulah yang seharusnya mencurigaimu.
Kau berbicara dedgan orang-orang aneh.
Bukankah tudung kepala macam itu biasa dipakai dihari hujan ? Kedua orang itu memakainya dihari yang cerah.
Tidak pula sedang panas terik, karena matahari hampir tenggelam.
Apakah kedua kawanmu itu tidak sengaja menyembunyikan wajah-wajah mereka."
"Gila kau. Kenapa kau berpikir sampai sedemikian jauh ?"
Jajar itu menjadi cemas.
"Karena itu, jangan terlampau mencurigai orang. Seandainya kau sedang berbicara tentang judi sekalipun aku tidak akan mempedulikan."
"Baik. Baik"
Jajar itu menjawab dengan serta-merta "aku memang sedang berbicara tentang judi Orang itu adalah seorang dukun yang sakti, yang dapat memberi petunjuk-petunjuk tentang cara-cara untuk memenangkan perjudian."
Kedua prajurit itu meng-anggukkan kepalanya. Salah seorang bergumam "Dan kau percaya?"
"Aku percaya "
Sahut Jajar itu. Kedua prajurit itu hampir bersamaan tertawa. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian mereka melihat wajah Jajar yang berkerut-merut."Kenapa kalian tertawa ?"
Bertanya Jajar itu.
"Tidak apa-apa."
"Apakah kalian tidak percaya bahwa dalam pemusatan pikiran seseorang akan dapat mengenal petunjuk atau getaran-getaran yang dapat memberinya tanggapan atas sesuatu yang bakal terjadi meskipun samar-samar"
Desak Jajar itu "He"
Salah seorang prajurit itu menyahut dengan serta-merta "Kau agaknya telah menjadi seorang yang mendalami masalah- masalah getaran alam semesta dalam tanggapan alam yang kecil ? Seperti Sena melihat Dewa Ruci didalam ceritera pewayangan yang dapat menimbulkan tanggapan timbal balik? Diri dalam kediriannya dan diri didalam rangkuman alam semesta.
Dewa Ruci yang hadir karena kehadiran Sena setelah berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang dicita-citakan, dan kemudian Sena itu hadir didalam diri Dewa Ruci dalam pencahariannya.
Dan apa yang diketemukan ? Keserasian tanggapan yang utuh.
Begitu ?"
Prajurit itu berhenti sejenak, lalu katanya "Aku pernah juga mendengar ceritera itu"
Dan tiba-tiba prajurit itu berdesis "Aku tidak menolak seseorang mempunyai kemampuan yang melebihi manusia yang lain.
Itu adalah pertanda kebesaran Yang Maha Agung.
Tetapi aku kira kelebihan kurnia Yang Maha Agung itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar bagi kemanusiaan.
Bukan untuk menolongmu berjudi."
"Jadi kau tidak percaya ?"
Jajar itu menegangkan lehernya.
"Aku percaya kepada kemampuan yang demikian."
"Kenapa kau tertawa ?"
Kedua prajurit itu justru tertawa semakin keras.
Salah seorang dari mereka berkata "Pergilah ketempat perjudian itu.
Kau nanti lupa kepada petunjuk-petunjuk yang telah kau dapatkan dari padanya.
Kalau kau menang, pergunakanlah kemenanganmu untuk kebaikan""Persetan "desis Jajar yang gemuk.
Tetapi tiba-tiba ia berdesis -- K-enapa kalian mengawasi aku.
Kalian men curigai aku dan tidak percaya bahwa kedua orarg itu tidak mempunyai kepentingan apa- apa dengan aku selain petunjuk-petunjuknya "Siapa yang bilang ? Kau jangan mengigau Jajar.
Pergilah kalau kau mau pergi."
Jajar itu menggeretakkan giginya.
Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia menjadi semakin bercuriga kepada kedua prajurit itu.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Karena itu maka dengan wajah yang tegang, ia melangkah pergi.
Ketika ia berpaling, ia mengumpat sejadi-jadinya didalam hatinya karena salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya "Kenapa kau berpaling ?"
"Setan alas "
Desisnya. Dan ia masih mendengar kedua prajurit itu tertawa.
"Tidak ada waktu untuk meributkan orang gila itu"
Jajar itu bergumam kepada diri sendiri.
Langkahnya menjadi semakin cepat.
Meskipun sekali-sekali ia masih juga berpaling.
Ia mengumpat sekali lagi ketika dilihatriya bayangan ke dua prajurit itu menjadi semakin jauh, dan suasana disekitarnyapun menjadi semakin suram.
Ketika ia menengadah kan wajahnya kelangit, dilihatnya bayangan merah yang redup masih menyangkut dipinggiran mega putih yang berarak.
"Aku harus menemui anak-anak liar itu"
Jajar itu berkata kepada diri sendiri "Tetapi dimana besuk aku menemui kawan Kuda- Sempana, dan dimana-dimana anak-anak itu harus menyiapkan dirinya ?"
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jajar itu mencoba mengusir kejenglelannya. Ia ingin memusatkan pikirannya kepada persoalan yang akan dihadapinya besuk.
"Sayang"
Ia bergumam "aku tidak tahu apa yang akan terjadi, sehingga aku tidak segera menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melenyapkan Kuda-Sempana dan kawannya itu."Sekali-Sekali Jajar itu menghentak-hentakkan kaknya.
la ingin mengusir semua gangguan didalam kepalanya.
Ia ingin segera menemukan cara yang baik untuk membunuh Kebo Sindet.
"Persetan"
Tiba-tiba ia menggeram "aku besuk harus menemui Permaisuri. Mengatakan bahwa Kuda-Sempana dan kawannya bersedia menerima tawarannya. Tatapi besuk aku harus dapat membunuh orang-orang yang tamak itu Tetapi di mana ?"
"Hem"
Sekali lagi ia menggeram.
Tanpa sesadarnya langkahnya menjadi semakin cepat.
Matahari telah lenyap dibalik bukit.
Dikejauhan Jajar itu melihat cahaya pelita dari balik dinding rumah.
Sinarnya satu-satu berloncatan lewat lubang-lubang pintu yang belum tertutup rapat.
Tiba-Tiba Jajar itu tertegun.
Ia berhenti ditengah jalan.
Wajahnya menegang dan matanya yang sipit itu menjadi semakin sipit "Aku harus menemukan cara"
Desisnya.
Setelah mengerutkan keningnya, maka diayunkannya lagi kakinya.
Wajahnya kemudian menjadi terang.
Katanya kepada diri sendiri "Aku besok akan menghadap Permaisuri.
Sesudah itu aku akan pulang, jauh sebelum waktunya.
Aku kira Kuda-Sempana dan kawannya itu tidak akan dapat menjumpai aku dijalan.
Mereka tidak akan mengira bahwa aku akan pulang terlampau siang.
Aku kemudian harus menyiapkan anak- anak itu disekitar rumahku.
Kuda-Sempana dan kawannya yang berwajah mayat itu pasti akan mencariku dirumah."
Jajar itu tersenyum sendiri.
Langkahnya kini menjadi semakin ringan.
Ketika ia memasuki sebuah lorong sempit, diantara halaman-halaman yang rimbun, langkahnya menjadi-menjadi semakin cepat.
Ia ingin segera sampai ketempat perjudian.
Bukan saja ia ingin segera ikut bermain dadu, tetapi ia ingin segera tertemu dengan adiknya dan kawannya, anak-anak muda yang liar dan buas.
Yang tidak mempunyai tujuan hidup sama sekali.
Hidup bagi mereka adalah apa yang mere ka layukan dan apa yang ingin mereka lakukan.
Tanpa pertimbangan peradaban dan ikatan-ikatan pergaulan yang berlaku.Jajar yang gemuk itu tersenyum sendiri.
Seakan-akan ia telah menemukan apa yang dicarinya.
Pemecahan yang paling baik, paling menguntungkan dan hasil yang sebanyaknya.
Perhiasan tiga pengadeg.
"Hem "
Jajar itu menarik nafas.
Serasa semua angan-angan itu telah terjadi.
Seakan-akan ia telah menjadi seorang yang kaya raya, meskipun hidup ditempat yang terpencil.
Seraya kaki-kakinya menjadi berat, dan langkahnya telah membuat bekas-bekas yang dalam diatas tanah yang dilewatinya.
"O, aku akan memiliki kekayaan yang seluas tanah perdikan yang paling kaya, meskipun aku harus pergi dari Tumapel"
Jajar itu tersenyum.
Ia menjadi kecewa ketika ia telah sampai didepan sebuah halaman yang luas, agak jauh didalam padesan yang sepi.
Regolnya yang besar selalu tertutup rapat.
Jajar itu terpaksa menghentikan angan-angannya yang terbang tinggi sampai kesela-sela bintang yang berhamburan dilangit.
Ia telah sampai ditempat yang ditujunya.
Tempat perjudian.
Perlahan-lahan didorongnya pintu regol yang besar itu.
Ketika pintu itu terbuka sed kit, dilibatnya beberapa anak-anak muda berdiri disekitar regol itu.
"Siapa?"
Salah seorang dari mereka menyapa. Jajar itu tidak menjawab. Tetapi ia langsung melangkah masuk.
"O, kau"
Desis salah seorang dari mereka.
Jajar itu masih belum menjawab.
Seperti seorang Senapati perang ia melangkah diantara prajurit-prajuritnya.
Sambil memandang kekiri dan kekanan ia mengangguk-angguk kecil.
Baru sejenak kemudian ia berdesis "Apakah kawan-kawanmu sudah lengkap ?"
Salah seorang dari anak-anak muda itu yang ternyata adalah adiknya menjawab "Apakah kau memerlukan kami sekarang?""Tidak, tidak sekarang"
Jawab Jajar itu. Tetapi lalu "Apakah didalam sudah banyak orang."
"Kau akan ikut berjudi ?"
Bertanya adiknya.
"Sedikit, aku akan menghilangkan pening dikepala."
"Sudah banyak orang. Tetapi tidak ada yang pantas untuk disebut. Mereka penjudi-penjudi kecil yang tidak berarti. Jajar itu mengerutkan kcningnya. la sebenarnya juga termasuk penjudi-penjudi kecil yang tidak begitu berarti. Tetapi ia berkata didalam hatinya "Sebentar lagi aku akan menjadi seorang yang besar dan terhormat disini. Aku akan membawa uang sekampil besar. Kalau kalah, sama sekali kalah, kalau menang aku akan menjadi semakin kaya. Tetapi seandainya aku kalah, uang sekampil itupun tidak akan berarti apa-apa bagiku." ---ooo0dw0ooo---
Jilid 35 TETAPI jajar itu tidak langsung masuk ke dalam. Ia ingin berunding dengan anak-anak gila itu dahulu. Katanya.
"Ayo, siapa di antara kalian yang akan mewakili kawan-kawanmu untuk berbicara dengan aku? Jangan terlampau banyak supaya aku tidak bingung. Dua orang saja, tiga dengan adikku."
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Lalu tanpa berjanji mereka menunjuk dua orang yang seakan-akan telah mereka jadikan pimpinan mereka.
"Mari, kita berbicara. Tetapi jika kalian membocorkan rahasia pembicaraan ini, maka terkutuklah kalian sampai ke anak cucu."
Kedua orang yang ditunjuk oleh kawan-kawannya itu tertawa. Salah seorang dari mereka berkata.
"Aku tidak mempunyai anak cucu. Istri pun aku tidak mempunyainya.""Kalian harus kawin. Sesudah ini, sesudah pekerjaan ini selesai."
"Oh, apa yang akan kami pergunakan untuk kawin? Perempuan pasti menginginkan sesuatu. Rumah, pakaian, sawah dan tetek bengek."
"Sesudah pekerjaan kalian selesai, maka kalian pasti akan memilikinya. Memiliki semua yang kalian perlukan itu."
"Kalau aku mempunyai kekayaan, aku akan berjudi,"
Sela yang lain.
"Kenapa begitu?"
Bertanya jajar itu.
"Hidup seperti yang dilakukan oleh orang-orang itu, adalah kehidupan yang tidak jujur. Orang mengikat diri dalam suatu ikatan yang tidak dikehendakinya sendiri."
"He,"
Jajar itu mengerutkan keningnya.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Kenapa kau juga tidak kawin saja? Nah, bukankah kau juga sependapat, bahwa hidup yang demikian itu adalah kehidupan yang menjemukan? Seperti burung yang memasukkan dirinya sendiri ke dalam sangkar? Adalah bohong sama sekali, bahwa seseorang dapat mendapatkan kesenangan, yang menurut orang cengeng disebut kebahagiaan di dalam perkawinan."
"Kau lucu,"
Desis jajar itu.
"Tidak. Tidak lucu. Aku berkata sebenarnya seperti apa yang sebenarnya tersimpan di dalam dada setiap orang. Kau lihat ketidakjujuran itu? Aku mempunyai kawan yang kawin. Katanya ia berbahagia. Tetapi apa yang dilakukan? Sambil bersembunyi- sembunyi ia mencari perempuan lain. Sedang istrinya tidak tahu sama sekali. Istrinya menganggap suaminya adalah orang yang paling suci. Begitukah hidup yang baik, yang jujur? Sebaliknya, kawanku yang lain. Suaminya merasa istrinya yang paling tercinta adalah seorang perempuan yang bersih seputih kapas. Tetapi apa yang terjadi? Aku sendiri pernah lima kali diterimanya di dalam rumahnya selagi suaminya berada di sawah, menunggu air di malamhari. Bertanyalah kepada adikmu, kepada orang yang lain. Nah bukankah mereka selalu diselimuti oleh kebohongan dan ketidakjujuran? Katakan ada suami istri yang bersih. Tetapi apakah kau yakin, bahwa suami istri itu tidak selalu menentang perasaan sendiri?"
Jajar itu mengerutkan keningnya.
Ia memang tidak kawin, tetapi bukan karena alasan-alasan yang diucapkan oleh anak itu.
Ia tidak kawin karena merasa dirinya tidak mampu untuk kawin.
Bukan karena alasan-alasan lain.
Bukan karena ia takut untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang diucapkan oleh anak itu.
"Bagaimana?"
Anak muda yang berambut kusut tanpa di sisir itu mendesak.
"kau sependapat?"
Jajar itu belum menjawab.
Ia merasakan ketidaksamaan dalam hal itu.
Tetapi jajar itu tidak dapat mengucapkan.
Jajar itu tidak dapat menyusun kalimat-kalimat yang baik untuk mengatakan perasaannya.
Ia tidak dapat mengerti apa yang disebut kejujuran di dalam hal ini.
Apakah seseorang yang tidak membiarkan segala macam keinginan terpenuhi itu tidak jujur? Ia dapat mengerti tentang laki-laki atau perempuan yang diam-diam telah meninggalkan kebersihan perkawinannya.
Tetapi ia tidak mengerti pendapat anak yang liar itu bahwa suami istri yang mengekang diri untuk mempertahankan nilai-nilai perkawinannya yang putih itu pun dianggapnya tidak jujur, karena menentang perasaan sendiri.
Tetapi akhirnya jajar itu hanya bergumam.
"Kau hanya ingin membenarkan sikapmu."
Anak itu tertawa pendek.
"Kau salah. Aku ingin jujur terhadap diriku sendiri. Aku tidak mau membohongi diriku sendiri. Inilah aku."
"Bagaimana kau?"
"Aku lakukan apa yang aku ingini. Aku tidak mau terikat oleh apapun. Aku adalah manusia yang bebas. Manusia yang tidak menjadi budak peradaban dan segala macam adat dan peraturan- peraturan yang dibuat manusia sendiri untuk mengikat dirinya sendiri dan mengajari membohongi diri."Jajar itu terdiam sejenak. Sekali lagi ia mendapatkan kesulitan untuk mengatakan perasaannya. Tetapi perasaannya sama sekali tidak sesuai dengan pikiran itu.
"Bagaimana?"
Anak itu masih tertawa. Jajar itu mengangguk- anggukkan kepalanya.
"Nah, kau sependapat?"
Tetapi jajar itu menjawab.
"Aku tidak tahu. Tetapi apakah dengan demikian kau tidak hanya sekedar ingin membenarkan sikapmu yang liar dan tidak terkendali? Kau hanya meminjam istilah yang dapat menyelamatkan perasaanmu sendiri dari kejaran-kejaran kegelisahanmu. Kau mencoba untuk menyembunyikan diri dari ketakutan dan kecemasan tentang hari-harimu yang mendatang, karena kau sekarang hanya sekedar dikuasai oleh nafsu yang tidak terkendali. Lalu kau menyebutnya dengan kata-kata yang dapat memberimu ketenteraman, yaitu kejujuran. Begitu? Dengan demikian kau dapat membebaskan dirimu dari jalan dan pandangan hidup yang berlaku. Dengan bangga kau berkata, Aku jujur terhadap diriku. Aku tidak mau membohongi diri sendiri. Aku ingin berbuat seperti ini, memanjakan nafsu, begitu?"
Anak muda itu terperanjat mendengar jawaban jajar yang gemuk itu. Ia tidak menyangka bahwa jajar yang tidak juga kawin itu beranggapan demikian. Karena itu sejenak justru ia tidak dapat mengucapkan sesuatu.
"He,"
Jajar itu menghela nafasnya.
"kita telah salah memilih bahan pembicaraan. Aku mempunyai keperluan yang khusus. Tidak ingin berbicara tentang jalan hidup kita masing-masing. Ayo kita berbicara."
"Heh,"
Anak muda itu agaknya masih belum puas.
"kau tidak senang melihat aku memilih jalan hidup seperti ini. Tetapi kau ingin berbuat jauh lebih dahsyat dari apa yang kita lakukan."
Jajar itu mengerutkan keningnya, tetapi lalu tersenyum. Akalnya ternyata masih dapat menguasai dirinya.
"Kita telah memilih jalan hidup kita masing-masing. Jalan yang berbeda tetapi mempunyaibeberapa persamaan. Aku menginginkan apa yang aku ingini, dan kau memilih apa yang kau pilih. Tetapi keduanya tidak dibenarkan oleh ukuran peradaban yang wajar."
Wajah anak muda itu menegang, tetapi ia pun kemudian tertawa pula.
"Marilah, kita berbicara. Kita adalah orang-orang yang liar, tetapi jujur terhadap diri sendiri."
Jajar itu pun kemudian melangkah pergi diikuti oleh adiknya dan kedua anak-anak muda yang akan mewakili teman-temannya ke sudut halaman itu. Tetapi meskipun demikian jajar itu masih sempat berpikir.
"Seandainya semua orang berbuat demikian, jujur sejujur- jujurnya terhadap perasaan sendiri tanpa mau mengikatkan diri kepada ketetapan peradahan yang telah disetujui bersama, apakah yang kira-kira akan terjadi? Tidak ada ikatan antara seseorang dan orang yang lain. Tidak ada perkawinan, tidak ada keluarga."
Tetapi jajar itu kemudian berdesis.
"Persetan! Aku harus mendapatkan perhiasan tiga pengadeg. Aku harus menjadi kaya raya. Aku akan kawin dengan perempuan yang paling cantik."
Tiba-tiba ia mengernyitkan keningnya.
"Tetapi bagaimana kalau perempuan yang paling cantik itu tidak jujur. Ia kawin bukan karena ia mencintai aku, tetapi karena kekayaanku. Lalu seperti yang dikatakan oleh anak ini, ia menerima orang lain di dalam rumahku."
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Persetan! Persetan!"
Jajar itu menggeretakkan giginya.
Akhirnya mereka berhenti di sudut halaman, di tempat yang terlindung oleh gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di sana-sini.
Dengan hati-hati jajar itu menceritakan apa yang ingin dilakukannya besok, sesuai dengan rencananya.
"Kalian jangan gagal,"
Desis jajar yang gemuk itu.
"kalau kalian gagal, maka semua rencana akan gagal juga."
"Percayalah. Terhadap seekor harimau loreng kami tidak takut. Apalagi Kuda Sempana berdua.""Tunggulah di sekitar halaman rumahku. Kalau mereka telah masuk, jangan tunggu lebih lama lagi. Pancinglah mereka dengan segala macam persoalan. Kalau kalian kemudian berkelahi, bunuh saja keduanya. Mayatnya harus disembunyikan, sampai pihak istana selesai mengurus penyerahan tebusan itu, kita tidak mempunyai urusan lagi."
Kedua anak-anak muda dan adik jajar yang gemuk itu mencoba membayangkan apa yang harus mereka lakukan.
Mereka harus bersiaga tanpa diketahui oleh kedua orang yang dimaksud oleh jajar yang gemuk itu.
Kemudian apa bila mereka telah berada di dalam rumah, maka mereka harus menyergapnya.
Mengepung rumah itu supaya mereka tidak lolos, dan menyeret mereka ke dalam perkelahian.
"Apakah kalian telah mengerti apa yang akan kalian lakukan?"
Jajar itu bertanya. Ketiganya mengangguk-anggukkan kepalanya. Adiknya menyahut.
"Ya, kami sudah tahu. Dan kami akan melakukan sebaik- baiknya."
"Hati-hati. Kuda Sempana adalah seorang bekas pelayan dalam istana yang mendapat kepercayaannya. Kemampuannya berkelahi tidak kalah dengan seorang prajurit, bahkan seorang prajurit pilihan."
Adik jajar itu tertawa pendek.
"Aku sudah tahu, apa yang mampu dilakukan oleh seorang pelayan dalam. Aku tahu pula kemampuan seorang prajurit pilihan sekalipun. Aku sendiri akan dapat menyelesaikannya."
"Tetapi kawannya itu,"
Potong jajar yang gemuk.
"Apakah kawan Kuda Sempana itu mempunyai nyawa rangkap tiga?"
Sahut anak muda yang lain.
"kita kini telah berempat. Apalagi ditambah dengan beberapa kawan. Betapapun dahsyat orang itu, tetapi ia tidak akan mampu melawan kami. Mungkin seorang lawan seorang pun aku mampu membunuhnya. Tetapi supaya kita yakinbahwa rencana ini tidak gagal, akan membawa kawan lima orang lagi, sehingga kita berjumlah sembilan orang."
"Sembilan orang? jajar itu mengulangi.
"Kuda Sempana sendiri memerlukan dua orang untuk dapat membunuhnya segera, dan kawannya itu akan dibunuh beramai-ramai oleh tujuh orang. Bukankah begitu."
"Berlebih-lebihan. Tetapi biarlah hatimu menjadi tenteram,"
Potong adiknya.
"Kau tahu apa yang dapat lakukan dan yang sering kami lakukan."
"Ya aku tahu. Kalian terlampau sering berkelahi dan memang mampu untuk melakukannya."
"Nah, apakah kalian masih mencemaskan nasib kami atau mencemaskan nasib Kuda Sempana dan kawannya?"
"Aku percaya. Sembilan orang. Kalau kita gagal dengan sembilan orang, maka baiklah kita bersama-sama membunuh diri. Kita akan menjadi sangat malu,"
Berkata jajar yang gemuk itu. Ketiga anak-anak muda itu tertawa. Salah seorang, dari mereka berkata.
"Jadi kau yakin?"
"Aku yakin di hari pertama. Besok untuk membunuh Kuda Sempana dan kawannya. Tetapi bagaimana di hari kedua. Lusa?"
"Berapa orang kau butuhkan?"
"Aku belum tahu pasti, siapakah dan berapakah jumlahnya, orang-orang yang harus datang untuk menyerahkan tebusan itu. Tetapi besok aku akan minta kepada Permaisuri, bahwa Kuda Sempana dan kawannya minta supaya mereka menyerahkan uang itu aku sendiri dan hanya satu dua orang pengawal."
"Apa Permaisuri dan Akuwu Tunggul Ametung akan menyetujuinya?"
Bertanya adiknya.
"Aku akan berusaha. Aku dapat mengatakan bahwa apabila tidak demikian maka Kuda Sempana dan kawannya itu tidak bersediamembawa Mahisa Agni, karena mereka curiga bahwa orang-orang Tumapel akan berbuat curang."
Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau memang pintar,"
Salah seorang dari mereka bergumam.
"Mudah-mudahan Permaisuri cukup bodoh untuk menyetujuinya."
"Mahisa Agni baginya terlampau berharga."
"Lalu berapa orang kau perlukan? Tiga atau lima?"
"Hus,"
Jajar itu berdesis.
"jangan terlampau memandang ringan persoalan ini. Mungkin Permaisuri menyediakan beberapa orang prajurit untuk mengawasi serah terima itu."
"Ya, tetapi berapa orang yang kau perlukan? itu saja. Aku tidak sempat memikirkan segala macam persoalannya."
"Aku tinggal menyediakan. Sebut saja. Kalau kau masih perlu mempertimbangkannya, pertimbangkan saja lebih dahulu di dalam kepalamu sebelum kau menyebut jumlahnya."
"Setan alas!"
Geram jajar itu.
"Kalian memang terlampau malas. Otak kalian akan menjadi tumpul, setumpul lutut kalian itu."
"Aku tidak sempat."
"Baiklah. Aku minta kalian datang bersama-sama kawan-kawan kalian sebanyak lima belas orang."
"He, sebanyak itu? Apakah kita akan berperang melawan Tumapel? Berapa orang prajurit yang akan ikut kau pada saat penyerahan itu. Berapa? Ada sepuluh orang atau lebih? Kau menghina kami. Kalau yang datang hanya lima orang, maka lima orang sudah cukup untuk melawan mereka dan membinasakan. Seorang menurut katamu akan menjadi Kuda Sempana di dalam kegelapan, dan seorang lagi menjadi kawannya. Sedang yang seorang menjadi bayangan Mahisa Agni. Tiga orang. Begitu bukan maksudmu? Dengan demikian maka jumlah yang diperlukan sebanyak-banyaknya adalah sepuluh orang dengan kau sendiri.""Kalian tidak usah ikut berpikir. Otak kalian sudah terlanjur tumpul. Biarlah aku saja yang memikirkan. Kau hanya tahu jumlah yang aku perlukan. Kau tidak akan tahu dari mana aku mendapatkan angka itu. Lima belas orang. Apakah kalian bersedia?"
"Setan alas! Kau pun setan alas!"
Geram salah seorang dari anak- anak muda itu.
"Nah, bagaimana. Apakah di antara kalian tidak ada sejumlah itu?"
"Hem,"
Adik jajar itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian.
"Ya, kami sanggupi. Jangankan lima belas seratus pun akan dapat terkumpul dalam malam ini sebelum matahari muncul."
"Benar begitu?"
Bertanya jajar itu ragu-ragu. Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Mereka merasakan keragu-raguan jajar yang gemuk itu, seolah-olah jajar itu kurang mempercayai mereka. Karena itu maka salah seorang dari mereka berganti bertanya.
"Kau tidak percaya? Apakah kau ingin membuktikan?"
"Bukan, bukan karena aku tidak percaya. Tetapi baiklah. Aku kira kita tidak memerlukan orang begitu banyak. Lima belas orang saja. Kalau kalian kurang yakin, kalian dapat menambah menurut pertimbangan kalian sendiri."
"Kalau kau bertanya tentang pertimbangan kami, maka lima orang sudah cukup untuk melawan lima belas orang prajurit seperti yang kau katakan. Apakah kau tidak percaya?"
"Aku percaya. Tetapi aku memerlukan keyakinan dan kepastian. Itulah sebabnya, maka lebih baik kita kelebihan tenaga daripada kita mengalami kegagalan."
"Lalu apa lagi yang harus kami kerjakan?"
"Tidak ada. Tetapi ingat. Sesudah itu aku akan meninggalkan Tumapel. Kalian sebaiknya ikut aku."
"Buat apa?""Kalian menjadi pelindungku yang baik, dan kalian pun harus menghindari kejaran prajurit-prajurit Tumapel."
"Mereka tidak mengenal kami. Hanya kaulah yang pasti dikenal dan dicurigai, meskipun kau berpura-pura berada di pihak mereka. Tetapi kami tidak. Kalau upah kami sudah kau berikan, maka terserahlah kepadamu, ke mana aku akan pergi. Aku tidak memedulikanmu lagi."
"He? Kalian tidak takut kepada prajurit-prajurit Tumapel?"
"Hanya kaulah yang tahu, bahwa kami yang menyerang mereka. Meskipun ada satu dua di antara para prajurit itu yang masih hidup, tetapi mereka tidak mengenal kami. Kalau pihak istana kemudian tahu, bahwa kami terlihat di dalamnya, maka sumbernya adalah kau."
"Setan alas!"
Geram jajar itu.
"Kalian sudah mulai mengancam. Tetapi itu mustahil. Aku ingin, aku pun tidak dicurigai. Aku ingin mendapat kesan bahwa aku pun terbunuh di antara prajurit-prajurit Tumapel yang mati. Dengan demikian tidak akan ada orang yang mencari aku. Prajurit-prajurit Tumapel mudah-mudahan mengira bahwa sergapan itu dilakukan oleh orangnya Kuda Sempana."
"Mudah-mudahan,"
Desis adik jajar yang gemuk itu.
"Nah, sekian saja untuk malam ini. Jangan lupa. Kepung rumahku. Kalian harus bersiaga di sekitar rumahku sejak matahari turun. Jangan menunggu malam. Banyak tempat untuk bersembunyi. Halaman rumahku cukup rimbun."
"Aku tahu,"
Jawab salah seorang dari mereka.
"halaman rumahmu besar-besar seperti hutan alang-alang. Kau seorang juru taman di istana, tetapi rumahmu sendiri tidak pernah mendapat perawatan. Apalagi halaman dan taman."
Juru taman itu tersenyum. Katanya.
"Sebentar lagi aku akan meninggalkan rumah yang jelek itu. Sekarang aku akan masuk ke dalam rumah perjudian itu. Jangan lupa persetujuan yang telah kita buat.""Kau akan ikut berjudi?"
Bertanya adiknya.
"Ya."
"Kau akan terlambat bangun besok pagi. Kau akan kehilangan kesempatan bertemu dengan Permaisuri."
Jajar itu mengerutkan keningnya.
"Lakukanlah dahulu rencana besarmu ini. Jangan tenggelam dalam perjudian, sebelum kau berhasil."
Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau pintar juga. Baiklah aku pulang. Tetapi hati-hati, kalau kalian gagal, kita bersama akan digantung di alun-alun Tumapel, menjadi tontonan meskipun di hari pertama kalian berhasil membunuh Kuda Sempana dan kawannya itu."
"Jangan takut."
Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak dipandanginya ketiga anak muda itu berganti-ganti, seolah-olah ingin melihat kekuatan yang tersimpan di dalam diri mereka.
Jajar itu terkejut ketika tiba-tiba saja salah seorang dari ketiga anak-anak muda itu bertanya.
"Kau masih tetap ragu-ragu?"
"Tidak, tidak. Aku sudah tidak ragu-ragu lagi."
"Apakah kau ingin membuktikan aku mencabut pohon semboja itu."
"Tidak, tidak, aku sudah percaya."
"Atau meloncati atap regol halaman ini?"
"Tidak, tidak. Aku sudah percaya."
Anak-anak muda itu tertawa.
"Baiklah,"
Desis salah seorang dari mereka.
"aku pun percaya bahwa kau juga mampu melakukannya. Sekarang pulanglah, dan tidurlah dengan nyenyak.""Baiklah,"
Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu minta diri kepada anak-anak muda itu.
Di perjalanan pulang, jajar itu kadang-kadang tersenyum seorang diri.
Terbayang kemenangannya yang akan terjadi besok.
Wajah yang beku sebeku mayat itu tidak akan dapat mengganggunya lagi.
Mata yang memancar seperti bara dalam kebekuan wajah itu tidak akan membuatnya kehilangan akal lagi.
Ketika jajar itu kemudian berbaring di pembaringannya, maka senyum itu masih juga membayang di wajahnya.
Sejenak kemudian juru taman yang gemuk itu telah tertidur dibelai oleh mimpi yang menyenangkan sekali.
Ketika matahari menjenguk dari balik perbukitan di ujung timur, jajar itu telah berjalan dengan tergesa-gesa ke istana.
Jarak itu terasa terlampau jauh.
Ia ingin segera bertemu dengan permaisuri dan menipunya.
Membohonginya.
Tetapi yang akan dilakukan bukan sekedar menipu dan berbohong, tetapi sesudah menipu dan bohong, yang akan dilakukan adalah pembunuhan.
Pembunuhan yang keji tanpa memikirkan akibat dan pertanggungan jawab atas perbuatannya itu.
Ketika ia melewati regol-regol halaman istana, regol luar kemudian regol dalam dan regol taman, jajar itu sama sekali sudah tidak sempat berpaling kepada para penjaga.
Ia berjalan saja dengan tergesa-gesa seolah-olah regol itu segera akan ditutup.
Para penjaga yang melihatnya saling berpandangan sejenak.
Lalu mereka tersenyum.
Para prajurit itu telah mendengar cerita tentang juru taman yang mereka sangka telah menjadi gila.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi ia tidak berbahaya,"
Desis salah seorang prajurit.
"E, siapa bilang,"
Sahut yang lain.
"hampir saja ia berkelahi dengan kedua kawannya yang lain."
"Itulah, ia tidak berbahaya. Ia masih sempat merasa takut melawan kedua kawannya, seperti kedua kawannya yang ragu-ragu, sehingga perkelahian itu menjadi urung. Kalau jajar itu menjadibenar-benar gila dan berbahaya, maka ia tidak akan terlalu banyak bicara. Mungkin kedua kawannya itu telah dikelewangnya."
"Kasihan,"
Desis yang lain.
"tetapi apakah kegilaannya itu tidak membahayakan Permaisuri."
"Tidak. Terhadap Permaisuri ia benar-benar takut. Sekali dua kali ia dipanggil. Ia menundukkan kepalanya hampir mencium tanah."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka memandangi jajar yang berjalan tergesa-gesa itu sampai hilang dibalik dinding-dinding yang tinggi.
Jajar itu sendiri segera pergi ke taman.
Tetapi ia menjadi kecewa ketika ia belum melihat permaisuri berada di taman itu.
"Aku harus menunggu. Oh, hampir gila aku dibuatnya. Menunggu adalah pekerjaan yang menjemukan sekali. Menunggu dan menunggu itulah yang akan membuatku gila."
Kali ini jajar yang gemuk itu tidak mau menunggu di bawah pohon sawo kecik.
Ia merasa tersiksa duduk bersandar pohon yang besar dan rindang itu.
Ia ingin melewatkan waktunya dengan kesibukan, agar ia tidak merasakan kejemuan yang mengoyak dadanya.
Jajar yang gemuk itu segera mengambil alat-alatnya.
Cangkul dan sebuah parang.
Dengan nafas terengah-engah ia mengaduk tanah untuk mencoba menyiangi tanaman.
Tetapi karena hatinya tidak berada di pekerjaannya, maka pekerjaannya pun tidak dapat dilakukannya dengan baik.
Namun yang dilakukan itu telah mengherankan kedua kawannya yang datang kemudian.
Sambil berbisik mereka berkata.
"He, ia telah mau bekerja."
Tetapi mereka menjadi terperanjat.
"O, pohon kembang gambir itu akan mati kalau ia berbuat demikian. itu sama sekali tidak menyiangi, tetapi menebas akar- akarnya sampai habis,"
Desis salah seorang dari mereka."Biar sajalah,"
Berkata yang lain.
Kedua jajar yang lain itu kemudian sama sekali tidak menghiraukannya lagi.
Mereka pun segera bekerja di tempat yang lain.
Di sudut-sudut taman.
Memotong daun-daun yang kuning, dan mencabut rerumputan liar yang tumbuh di sana sini, di antara tanaman bunga-bungaan yang sedang semarak.
Tetapi ternyata bukan jajar yang gemuk itu saja yang gelisah.
Ternyata permaisuri pun telah diganggu oleh kegelisahannya.
Ia ingin segera mendengar keterangan jajar yang gemuk itu, apakah Kebo Sindet bersedia membawa Mahisa Agni.
Kalau Kebo Sindet itu bersedia, maka berjalanlah rencana Akuwu Tunggul Ametung, meskipun tidak jujur sepenuhnya.
Tetapi terhadap orang-orang seperti itu, Akuwu Tunggul Ametung memang perlu bertindak untuk mencegah perbuatan yang serupa di masa-masa mendatang.
Tetapi apabila Kebo Sindet menolak, akuwu masih mempunyai waktu untuk menentukan sikapnya.
Karena kegelisahan itulah maka Ken Dedes pun hari ini telah mengejutkan para emban dan emban pemomongnya yang setia.
Meskipun hari masih terlampau pagi, tetapi Ken Dedes telah bersiap turun ke taman untuk bertemu dengan jajar yang gemuk itu.
Tetapi keheranan para emban tidak setajam kedua kawan jajar yang gemuk itu.
Para emban tahu, bahwa Permaisuri gedang dirisaukan oleh orang-orang yang telah mengambil Mahisa Agni dan menyembunyikannya.
Sedang para juru taman tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Keheranan mereka memuncak, ketika mereka melihat permaisuri turun ketaman jauh lebih cepat dari kebiasaannya.
Kedua jajar itu tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Apalagi ketika permaisuri langsung memanggil jajar yang gemuk yang dengan gelisahnya mengisi waktunya dengan segala macam pekerjaan yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang membuat beberapa macam tanaman menjadi layu.Ketika jajar yang gemuk itu menghadap permaisuri maka dadanya serasa akan bengkah.
Berjejal-jejal persoalan yang akan dikatakannya bersama-sama.
Tetapi justru karena itu, maka mulutnya masih saja terbungkam.
"Bagaimana juru taman?"
Bertanya Ken Dedes langsung pada persoalannya.
"apakah kau sudah bertemu dengan Kebo Sindet dan mengatakan pesanku kemarin."
Jajar itu membungkuk dalam-dalam, jawabnya gemetar.
"Hamba Tuanku, hamba telah bertemu dan menyampaikan pesan Tuan Putri kepadanya."
"Apa katanya?"
Ken Dedes hampir tidak sabar lagi menunggu jajar itu membuka mulutnya.
"Tuanku,"
Jajar itu mencoba mengatur nafasnya yang terengah- engah.
"hamba telah menyampaikannya dan menyarankannya untuk dapat mengerti maksud Tuan Putri."
"Ya, lalu bagaimana jawabnya?"
"Tuan Putri, ampun, ternyata Kebo Sindet, kawan Kuda Sempana itu dapat mengerti. Ia dapat menerima pesan itu dengan beberapa syarat pula."
"Apakah syarat itu?"
"Tuanku. Ampunkan hamba. Sama sekali bukan maksud hamba untuk melakukannya, tetapi semata-mata atas pesan Kebo Sindet itu."
"Ya, katakanlah. Katakanlah selengkapnya."
Jajar yang gemuk itu menelan ludahnya. Ditenangkannya dadanya yang bergelora. Supaya ia tidak salah lidah, maka diaturnya kata demi kata sebaik-baiknya di dalam kepalanya.
"Katakanlah jajar,"
Permaisuri ternyata sudah tidak sabar lagi.
"Ampun Tuanku. Kebo Sindet itu memberikan suatu syarat, seperti juga Tuanku memberikan suatu syarat. Karena orang-orangTumapel yang sudah dikenalnya adalah hamba, tetapi ini sama sekali bukan maksud hamba sendiri Tuanku, maka Kebo Sindet itu minta hambalah yang membawa uang tebusan itu. Selain itu Tuanku, Kebo Sindet mengharap, agar tidak terlalu banyak pengawalan. Jika demikian kepercayaan Kebo Sindet akan turun. Pengawalan prajurit atas barang-barang itu jangan lebih dari tiga orang termasuk hamba sendiri. Kemudian setelah itu, barulah Kakanda Tuanku, Mahisa Agni akan ditinggalkan di tempatnya."
Ken Dedes mengerutkan keningnya.
Tuntutan Kebo Sindet itu ternyata cukup berat.
Ken Dedes telah mendengar bahwa Kebo Sindet adalah orang pilih tanding.
Orang yang memiliki banyak kelebihan dari kebanyakan orang.
Karena itu, hitungan yang dipesankan adalah hitungan yang terlampau berbahaya.
Dua orang prajurit.
Tetapi Ken Dedes tidak ingin membuat sesuatu keputusan.
Ia akan menyampaikannya saja kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Biarlah Akuwu Tunggul Ametunglah yang mengambil keputusan.
Masih ada waktu sehari lagi besok.
Sejenak kemudian Permaisuri itu bertanya lagi.
"Apakah Kebo Sindet sudah menentukan tempat penyerahan itu?"
Jajar yang gemuk itu mengerutkan keningnya. Jawabnya.
"Sudah Tuanku. Kebo Sindet mohon penyerahan itu dilakukan di ujung jalan raja yang membelah kota ini, Tepat di perbatasan. Di luar gapura kota."
Ken Dedes menarik nafas.
Gapura itu terletak menjorok agak ke tengah-tengah bulak.
Adalah sulit bagi Akuwu Tunggul Ametung untuk menyiapkan pasukan yang tersembunyi.
Meskipun demikian, hal ini pun akan diserahkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Hal yang serupa itu, akuwu pasti lebih memahaminya daripada dirinya.
Tetapi bahwa Kebo Sindet telah sedia memenuhi syarat yang diberikan oleh Akuwu Tunggul Ametung, dengan membawa Mahisa Agni sebagai syarat penyerahan itu, telah memberinya sedikitketenteraman.
Kemungkinan untuk membebaskan kakaknya itu dari tangan Kebo Sindet menjadi lebih besar.
Karena itu, maka kini permaisuri menjadi demikian tergesa-gesa untuk bertemu dengan Akuwu Tunggul Ametung.
Ia tidak ingin bercengkerama di taman.
Karena itu, maka segera ia berdiri dan berkata kepada emban- embannya.
"Aku akan kembali ke istana."
Para emban dapat merasakan, betapa kegelisahan yang sangat telah mencengkam dada permaisuri itu.
Ia hampir-hampir tidak sempat lagi memikirkan dirinya sendiri.
Apalagi akhir-akhir ini.
Segenap perasaan dan pikirannya terikat kepada persoalan kakaknya, Mahisa Agni.
Tetapi ketika permaisuri itu baru saja melangkah, terdengar jajar yang gemuk itu bertanya.
"Bagaimana Tuanku, apakah Tuanku bersedia?"
Ken Dedes termenung sejenak. Ia tidak dapat memutuskan sendiri. Ia harus bertemu dengan Akuwu Tunggul Ametung lebih dahulu.
"Besok aku beri tahukan itu kepadamu jajar."
"Ampun Tuanku. Hamba mendapat pesan, bahwa hari ini hamba harus mendapat keputusan. Kalau tidak, maka semua pembicaraan akan dianggap batal."
Kening permaisuri itu tampak berkerut. Ia tidak mau kehilangan kesempatan lagi. Karena itu maka jawabnya tanpa memikirkan akibatnya.
"Ya. Aku terima. Tetapi aku harus menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Kalau ternyata ada perubahan, maka aku akan memberitahukan kepadamu."
"Tetapi hamba harus mendapat kepastian Tuanku."
Sekali lagi Ken Dedes termangu-mangu. Lalu katanya.
"Ya, aku setujui."
Jajar itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia menyembah.
"Hamba Tuanku. Hamba tinggalmenyampaikan semua pesan dan kesanggupan Tuanku kepada Kebo Sindet itu."
"Ya, katakanlah. Besok permintaan itu akan dipenuhi."
"Hamba Tuanku. Besok pada saat matahari telah terbenam. Hendaklah Tuanku memerintahkan hamba untuk pergi bersama dua orang prajurit, untuk menyampaikan tebusan itu di luar gapura kota."
"Ya,"
Sahut Ken Dedes pendek.
Permaisuri itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan taman.
Ia segera ingin menghadap Akuwu Tunggul Ametung untuk menyampaikan hasil pembicaraan itu.
Tetapi alangkah kecewa hati permaisuri itu ketika ternyata Akuwu Tunggul Ametung baru berada di paseban depan.
Dihadap oleh beberapa tetua pemerintahan dan pemimpin prajurit.
Karena itu maka Permaisuri itu masih harus menunggu sampai pembicaraan itu selesai.
Dan dengan demikian maka ia harus berada di dalam biliknya dalam kegelisahan yang sangat.
Sementara itu, jajar gemuk yang masih tinggal di taman, hampir- hampir tidak dapat menguasai dirinya.
Hampir-hampir ia benar- benar menjadi gila.
Ia merasa bahwa sampai saat ini rencananya berjalan lancar.
Permaisuri yang gelisah itu dengan mudah dapat ditipunya.
Kalau benar besok ia mendapat tugas untuk menyampaikan tebusan itu bersama hanya dua orang prajurit, maka semuanya akan berlangsung dengan mudahnya.
Dua orang prajurit itu akan dibunuhnya bersama adik dan kawan-kawannya.
Mayatnya akan ditinggalkan saja di gapura kota.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akuwu Tunggul Ametung pasti menyangka, bahwa Kebo Sindet telah berkhianat.
Tetapi Kebo Sindet sendiri malam nanti harus sudah binasa bersama Kuda Sempana.
Kebo Sindet harus sudah mati, sehingga tidak akan dapat mengganggu penyerahan besok.
Jajar itu tersenyum-senyum sendiri.
Kini ia yakin bahwa ia akan berhasil.
Berhasil mendapatkan tebusan tiga pengadeg perhiasan seorang permaisuri akuwu yang kaya raya."Heh, nasibku akan segera berubah,"
Desisnya. Ketika kemudian dua orang kawannya juru taman lewat di sampingnya, ia sama sekali tidak mau berpaling. Ia merasa bahwa kedua orang itu sama sekali bukan sepadannya. Keduanya adalah orang-orang yang bernasib jelek untuk sepanjang hidupnya.
"Aku akan memiliki tanah yang luas, rumah yang besar dan kekayaan yang melimpah-limpah,"
Ia masih berangan.
"hanya orang-orang yang bodoh yang bertahan pada nasibnya yang jelek. Hanya penakut yang malas yang sama sekali tidak berani dan tidak mau berbuat apa-apa, nasibnya akan selalu malang."
Tiba-tiba, jajar itu mengerutkan keningnya.
Teringat olehnya usahanya untuk menghindari pertemuan dengan Kebo Sindet hari ini.
Ia harus pulang sebelum waktunya.
Kalau ia pulang terlambat, Kebo Sindet pasti akan menunggunya, atau mengawasi pintu regol dari kejauhan kemudian mengikutinya, dan mengejutkannya di tengah jalan.
"Sekarang akulah yang harus menentukan tempat pertemuan,"
Katanya di dalam hati.
"aku harus pulang jauh sebelum waktunya. Aku akan menunggu kedua orang itu di rumah. Kalau mereka menunggu aku agak jauh di luar regol halaman ini, dan menjelang senja aku masih juga belum keluar, mereka pasti akan mencariku di rumah."
Jajar itu segera membasahi dirinya.
Ia tidak akan menunggu lebih lama lagi.
Semakin cepat akan menjadi semakin baik.
Ia akan pulang, jauh sebelum waktunya, sebelum Kebo Sindet dan Kuda Sempana menungguinya dari kejauhan.
Tetapi jajar itu tidak merasa perlu minta diri kepada kedua kawannya.
Kini ia merasa bahwa kedua orang itu sudah bukan kawannya lagi.
Karena itu, ia sama sekali tidak merasa perlu untuk berbicara dengan mereka.
Sejenak kemudian dengan tergesa-gesa jajar itu berjalan meninggalkan taman.
Masih jauh dari waktu yang seharusnya,Matahari baru sampai di puncak langit.
Dan panasnya serasa, menghunjam di ubun-ubun.
Tetapi jajar itu sama sekali tak menghiraukannya.
Ia melangkah semakin cepat.
Dilaluinya jalan-jalan yang tidak pernah dilewatinya.
Nyidat lewat halaman-halaman yang kosong, disela-sela rumpun- rumpun bambu liar.
Kemudian meloncati parit dan pagar-pagar batu yang terlampau tinggi.
"Aku harus segera sampai ke rumah,"
Geramnya.
"sebelum setan alas itu menyusulku. Kalau mereka tidak tahu, bahwa aku sudah pulang, maka mereka pasti menungguku sampai hari hampir gelap. Barulah mereka akan mencariku ke rumah. Sementara itu anak-anak gila itu telah bersiap menyergapnya dan menyeretnya ke lubang kubur."
Jajar itu tertawa sendiri.
Kakinya masih melangkah dengan cepatnya, melemparkan debu yang putih.
Ketika jajar itu sampai ke rumahnya, maka ia mendapatkan kebanggaan baru kepada dirinya.
Ia bangga bahwa perhitungannya kali ini ternyata benar.
Kebo Sindet masih belum sempat menungguinya di jalan-jalan atau di mana saja yang dihendakinya, karena Kebo Sindet selalu menganggap bahwa jajar itu pulang pada saat matahari turun di barat.
"Ia pasti akan datang ke rumah ini,"
Desis jajar yang gemuk itu.
"tetapi nanti setelah matahari turun. Ia kini pasti menunggu aku lebih dahulu, agak jauh di luar regol. Tetapi aku tidak akan muncul sampai matahari terbenam. Nah, sekarang orang berwajah mayat itu baru ia tahu, bahwa ia tidak dapat berbuat sekehendaknya atasku. Hari ini akulah yang menentukan tempat pertemuan."
Tetapi meskipun demikian jajar itu masih juga diganggu oleh kegelisahan. Kalau Kebo Sindet itu datang terlampau cepat sebelum anak-anak gila itu ada di sekitar rumah ini, maka rencananya masih juga belum akan berjalan dengan baik.
"Kalau orang-orang itu datang terlampau cepat, aku berusaha menahannya dengan segala macam cara,"
Katanya di dalam hati,"mungkin aku dapat berpura-pura merebus air, atau baru mandi atau baru apa saja. Tetapi mudah-mudahan mereka datang setelah senja."
Bagi jajar yang sedang menunggu senja itu, terasa matahari berjalan terlampau malas. Waktu yang hanya setapak demi setapak maju itu terasa jauh lebih lama dari hari-hari biasa.
"Oh,"
Jajar itu mengeluh.
"aku hampir mati karena menunggu- nunggu dan menunggu. Kali ini matahari sengaja mempermainkan aku. Setan alas!"
Tetapi betapa terasa lambannya, namun matahari semakin lama menjadi semakin rendah di ujung barat.
Sinarnya menjadi semakin redup dan memerah seperti darah.
Saat-saat yang bagi jajar yang gemuk itu sangat mendebarkan.
Sebentar lagi ia akan terlibat dalam suatu tindakan yang berbahaya dan menentukan.
Namun taruhannya cukup besar.
Nyawa atau tiga pengadeg perhiasan Permaisuri Akuwu Tumapel.
"Seberapa kekuatan kedua orang itu,"
Desisnya.
"aku percaya kepada anak-anak muda itu. Berkelahi adalah pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka bukan sekedar orang-orang liar yang tidak berarti. Tetapi mereka berguru pula untuk mempelajari ilmu berkelahi. Sembilan orang akan hadir di sini nanti, untuk membunuh yang dua orang itu. Meskipun keduanya bernyawa rangkap, tetapi keduanya tidak akan mampu melepaskan dirinya. Dua orang dari anak-anak muda itu mampu memecah batu dengan tangannya, sedang adikku mampu mematikan kesadaran seseorang dengan ketukan-ketukan pada tubuhnya."
Namun bagaimanapun juga, dada jajar itu menjadi semakin berdebar-debar.
Hari pun semakin lama menjadi semakin suram, sejalan dengan dada jajar yang gemuk itu, yang menjadi semakin berdentingan.
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Kuda Sempana masih berdiri saja seperti patung di dalam bayangan dedaunan yang rimbun agak jauh dari regol istana.
Seperti dugaan jajar yang gemuk, maka KeboSindet selalu mengawasi regol itu.
Setiap kali ia melihat jajar yang gemuk itu keluar dan memilih jalan, maka ia pun segera mendahuluinya dan menemuinya di tempat-tempat yang mereka kehendaki.
Tetapi kali ini mereka telah terlampau lama menunggu, namun jajar yang gemuk itu belum juga keluar dari halaman istana.
"Waktunya untuk pulang telah lama lampau,"
Desis Kebo Sindet. Kuda Sempana tidak menjawab dan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya.
"Apakah ia dapat melepaskan diri dari pengawasanku?"
Kebo Sindet meneruskan. Tetapi Kuda Sempana masih tetap berdiam diri.
"Orang yang bodoh itu tidak akan dapat lepas lagi dari tanganku,"
Geram Kebo Sindet.
"mungkin ia akan mengkhianati aku. Tetapi itu tidak akan dapat terjadi. Aku akan mengejarnya sampai ke ujung bumi."
Kebo Sindet berhenti sejenak lalu.
"Kalau ia telah menerima tebusan itu dan berusaha melarikannya, maka ia akan mengalami nasib yang paling jelek dari mereka yang pernah menjadi korbanku."
Kuda Sempana masih tetap dalam kediamannya. Kebo Sindet pun kemudian terdiam. Ia menyesal bahwa ia terlambat datang. Dan sekali lagi ia menggeram.
"Jajar itu pasti pulang jauh sebelum waktunya, supaya ia sendiri yang dapat menentukan di mana kita akan bertemu. Baiklah kali ini aku mengalah. Aku akan datang ke rumahnya, menanyakan keputusan terakhir. Besok adalah hari yang terakhir menurut ketentuanku. Kalau besok persoalan ini masih belum selesai, mungkin aku akan mengambil keputusan yang akan sangat menyakitkan hati bagi Permaisuri yang kikir itu, atau bahkan mengejutkannya dan menyesalinya."
Kali ini Kuda Sempana berpaling.
Ia tahu benar, bahwa Kebo Sindet telah kehilangan sisa-sisa kesabarannya.
Ia memeliharaMahisa Agni dengan harapan yang seolah-olah tidak akan dapat didapatkannya.
Karena itu, ia akan merasa tidak berguna lagi untuk membiarkan Mahisa Agni hidup lebih lama lagi.
Kuda Sempana sendiri tidak tahu, bagaimanakah tanggapan perasaannya atas persoalan itu.
Ia tidak tahu, apakah ia bergembira apakah kecewa.
Yang dapat dirasakannya adalah jantungnya berdebar semakin cepat.
"Kalau kali ini gagal, maka aku akan berbuat langsung menurut caraku,"
Kebo Sindet masih menggeram. Tetapi wajahnya yang beku masih tetap beku seperti mayat.
"Apakah kau mengira bahwa jajar itu masih berada di dalam taman?"
Bertanya Kebo Sindet kemudian. Kuda Sempana menggelengkan kepalanya.
"Tidak,"
Jawabnya pendek.
"Ya, aku sependapat. Jajar itu pasti sudah pulang,"
Kebo Sindet berdesis.
"mari kita lihat ke rumahnya. Kalau malam ini ia tidak pulang, itu berarti ia telah berkhianat. Ia telah menerima tebusan itu, tetapi tidak diserahkannya kepadaku, dan berusaha menghindarkan dirinya."
Kebo Sindet berhenti sejenak. Lalu katanya.
"Seandainya tidak, biarlah ia hari ini merasa menang karena aku mencarinya di rumahnya. Biarlah ia merasa menang dengan kemenangannya. Kesenangannya yang terakhir. Sebab umur jajar itu pun tinggal sehari besok. Diserahkan atau tidak diserahkan tebusan itu, jajar itu besok akan mati. Kalau ia menerima tebusan dan menyerahkannya kepadaku, ia akan mati supaya ia tidak terlampau banyak menuntut. Kalau ia gagal ia pun akan mati pula, karena ia telah menelan waktuku sepekan ini."
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Jajar itu pun bernasib jelek.
Berhasil atau tidak berhasil, ia akan dibunuh oleh Kebo Sindet dengan alasan apapun.
Tetapi hal itu sudah diduga pula oleh Kuda Sempana.
Setiap orang yang tidak berguna lagi bagi Kebo Sindetsetelah mereka mengadakan hubungan macam apapun, pasti akan dibunuhnya.
Ia menyadari bahwa kelak akan sampai juga saatnya, ia sendiri, Kuda Sempana akan dibunuh juga oleh Kebo Sindet itu.
Tetapi Kuda Sempana sendiri sama sekali sudah tidak menghiraukannya.
Hidup baginya seolah-olah telah berhenti.
Ia memang sudah mati dalam hidupnya.
Sekali lagi Kuda Sempana berpaling ketika ia mendengar Kebo Sindet berkata.
"Marilah kita pergi ke rumah jajar gila itu. Aku ingin melihat ia mengangkat dadanya atas kemenangannya kali ini, supaya aku besok puas mencekiknya."
Tetapi Kuda Sempana tidak menjawab.
Ia berjalan saja di belakang Kebo Sindet yang melangkah pergi.
Jajar yang gemuk itu, yang menunggu Kebo Sindet di rumahnya, masih juga selalu dicengkam oleh kegelisahan.
Sekali-sekali ia menjengukkan kepala keluar pintu.
Sekali-sekali ia berjalan hilir mudik di halamannya.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat di sudut halaman rumah seberang, seorang anak muda duduk di bawah pohon yang rindang.
Anak muda itu adalah adiknya.
Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya sinar-sinar merah di langit menjadi semakin redup.
Bayangan pepohonan menjadi semakin samar, karena sinar senja yang semakin suram.
"Anak-anak itu sudah ada di sekitar halaman rumah ini,"
Katanya di dalam hati. Jajar itu kemudian tersenyum sendiri.
"Kasihan Kuda Sempana dan orang yang berwajah mayat itu. Mudah-mudahan nyawanya tidak menjadi hantu yang selalu menggangguku kelak."
Jajar itu tertawa sendiri.
Lambat, tetapi semakin lama menjadi semakin keras, sehingga suara ketawanya mengejutkannya sendiri.
Ketika jajar itu sadar akan dirinya, maka ketawanya pun segera berhenti.
Ia masih harus menunggu Kebo Sindet dan Kuda Sempana.
Ia masih harus menyelesaikan pekerjaan yang besar ini.Kalau ia berhasil malam ini dengan lancar, maka besok pun mudah- mudahan akan lancar pula.
Membinasakan prajurit-prajurit yang mengawalnya untuk menyerahkan perhiasan sebagai tebusan Mahisa Agni.
"Terpaksa,"
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gumam jajar itu.
"aku terpaksa mengorbankan beberapa orang. Malam ini Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Besok malam para prajurit Tumapel dan yang kemudian sekali pastilah Mahisa Agni sendiri. Kalau Kebo Sindet tidak kembali pada waktunya, maka orang-orang yang ditugaskannya menunggui Mahisa Agni pasti akan membunuhnya seperti pesan Kebo Sindet. Atau orang-orang itu pun akan mengkhianatinya. Mereka akan berbuat sendiri, tanpa Kebo Sindet menghubungi permaisuri untuk mendapatkan tebusan. Tetapi mereka pasti akan menyesal, sebab begitu mereka dapat berhubungan dengan pihak istana, begitu mereka akan dimakan oleh ujung senjata."
Jajar itu kemudian segera masuk ke rumahnya. Tanpa sesadarnya terasa bulu-bulunya meremang. Pembunuhan yang tidak tanggung-tanggung. Kadang-kadang tebersit juga di kepalanya pertanyaan.
"Apakah korban yang berjatuhan itu seimbang dengan barang-barang yang diingini."
Jajar itu berdesah. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menggeretakkan giginya.
"Persetan korban-korban yang berjatuhan itu. Bukan salahku. Aku hanya mengingini barang- barang itu. Mereka hanyalah sekedar korban akibat keadaan yang telah melibatkan mereka ke dalam persoalan ini."
Tetapi jajar itu pun tidak dapat duduk dengan tenang menunggu tamu-tamunya. Ia selalu saja gelisah dan cemas. Kadang-kadang ia mencemaskan dirinya sendiri, tetapi kemudian ia mencemaskan kedua orang yang ditunggu-tunggunya.
"Jangan-jangan mereka tidak mau datang ke rumah ini."
Jajar itu hampir terlonjak ketika ia mendengar pintu rumahnya yang belum tertutup rapat diketuk orang.
Dengan tangkasnya ia meloncat ke pintu dan ditariknya pintu leregannya kuat-kuatsehingga daun pintunya hampir-hampir meloncat lepas dari bingkainya.
"Setan alas!"
Jajar itu mengumpat ketika yang dilihat berdiri di muka pintu itu adalah adiknya.
"Kenapa kau?"
"Aku ingin memberitahukan bahwa kawan-kawan telah siap berada di sekitar halaman rumah ini."
"Ya, ya aku sudah menyangka. Ketika kau duduk di sekitar halaman depan."
"Aku menunggu mereka saat itu."
"Jadi mereka baru saja datang."
"Ya, baru saja."
"Gila!"
"Kenapa?"
"Kalian terlambat."
"He,"
Adiknya terkejut.
"aku di sini sejak sore. Aku belum melihat seorang pun datang ke rumah ini."
"Memang, memang belum. Tetapi kalian ternyata datang terlampau lambat. Seandainya mereka datang beberapa saat yang lampau, maka semua rencana akan gagal."
"Oh,"
Adik jajar yang gemuk itu menarik nafas.
"seandainya. Hanya seandainya. Kau terlampau gelisah dan kecemasan. Jangan takut, kita akan menyelesaikan pekerjaan kita dengan baik. Orang- orang itu hanya orang-orang yang besar mulutnya saja."
"Jangan kau anggap bahwa kau sekarang sedang bermain-main."
"Baiklah. Aku akan menganggap bahwa aku tidak sedang bermain-main. Aku akan menunggu bersama kawanku."
"Pergilah supaya kau tidak mengganggu."
Adik jajar yang gemuk itu segera meninggalkan pintu rumah kakaknya hilang di dalam kegelapan.Jajar itu kini duduk lagi di dalam kegelisahannya.
Semakin lama ia menjadi semakin ragu-ragu, apakah Kebo Sindet dan Kuda Sempana akan benar-benar datang ke rumah ini? Tetapi ternyata jajar itu tidak perlu menunggu lebih lama lagi.
Sekali lagi ia meloncat ke pintu ketika ia mendengar suara ketukan pada pintunya yang masih sedikit terbuka.
Sekali lagi ia menarik pintu leregnya sehingga berderak-derak.
"Selamat malam Ki Sanak,"
Terdengar suara berat di muka pintu. Suara itu membuat dada jajar itu berdesir. Terasa pengaruh yang aneh menjalari urat darahnya.
"Apakah kau sudah tidur?"
Suara itu terasa semakin memberat di pendengaran jajar yang gemuk dan bermata sipit itu.
"Tidak, tidak. Eh, maksudku belum,"
Jajar itu tiba-tiba menjadi tergagap.
"Kalau belum kau pasti sudah kantuk sekali. Begitu?"
"Juga belum,"
Perlahan-lahan ia berhasil menguasai perasaannya.
"aku kira aku memang sedang menunggu kalian."
"Terima kasih,"
Sahut Kebo Sindet.
"apakah aku datang terlampau lambat?"
"Ya, kau datang terlampau lambat."
"Bukankah kemarin aku tidak menyebutkan waktu dan tempat. Aku akan menemui di mana saja dan kapan saja."
Jajar itu tertegun sejenak. Tetapi kemudian ia tersenyum dan berkata.
"Kau terpaksa datang kepadaku."
"Ya, aku terpaksa datang kepadamu. Tetapi aku memang menghendaki demikian."
"Bohong, kau memang tidak dapat berbuat sekehendakmu atasku. Kali ini akulah yang menentukan tempat dan waktu."Kebo Sindet yang berwajah beku itu sama sekali tidak menunjukkan sikap apapun. Tetapi ia menjawab.
"Aku ingin mendengar keputusan terakhir dari Permaisuri. Nah, katakanlah. Kau sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Besok semuanya harus sudah selesai. Aku tidak memerlukan tawar menawar lagi. Jawab yang harus aku dengar adalah, ya atau tidak."
Jajar itu tidak segera menjawab.
Dadanya terasa berdebaran.
Tetapi ketika diingatnya, bahwa di sekeliling halaman rumahnya telah dikerumuni oleh anak-anak muda kawan-kawan adiknya, maka hatinya menjadi mekar.
Bahkan ia kemudian mengangkat dadanya sambil menengadahkan wajahnya.
Katanya.
"Kebo Sindet. Apakah benar-benar kau tidak menginginkan tawar menawar lagi?"
"Tidak,"
Jawab Kebo Sindet pendek.
"Sama sekali?"
"Sama sekali."
Jajar yang gemuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini sikapnya menjadi berubah.
Ia mengharap bahwa anak-anak muda itu telah berada dekat dengan rumahnya, untuk sebentar lagi berbuat sesuatu memancing persoalan dengan Kebo Sindet dan Kuda Sempana.
Betapa dada jajar itu berdesir apabila dilihatnya wajah yang beku, tetapi dengan sepasang mata yang membara, namun adiknya dan kawan-kawannya telah memberinya harapan.
"Bagaimana Ki Sanak. Apakah yang dikatakan oleh Permaisuri itu?"
Jajar itu tersenyum. Jawabnya.
"Bagaimana aku harus mengatakannya? Kau hanya ingin mendengar jawaban, ya atau tidak. Padahal ia sama sekali tidak berkata demikian."
Tetapi mau tidak mau dada jajar itu pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak melihat perubahan sikap dan wajah pada kedua orang tamu-tamunya. Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Kedua wajah itu seolah-olah telah mati membeku."Begitu?"
Terdengar suara Kebo Sindet datar.
"Ya,"
Jawaban itu meloncat begitu saja dari mulutnya.
Kebo Sindet sejenak berdiam diri.
Jajar itu melihat ia memiringkan kepalanya.
Dan wajah yang beku itu mengangguk.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu jajar itu meremang.
Wajah yang beku itu masih membeku.
Tetapi daripadanya terpancar sesuatu yang mengerikan, sehingga tanpa sesadarnya jajar itu meraba kerisnya yang kecil yang disembunyikannya di bawah kain panjangnya.
Dada jajar itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Kebo Sindet berpaling kepada Kuda Sempana dan berkata.
"Kuda Sempana. Rupa-rupanya persoalan kita dengan juru taman ini sudah selesai. Aku tidak perlu menunggu sampai besok untuk menentukan sikap. Sejak saat ini aku dan jajar yang gila ini sudah tidak mempunyai ikatan apa-apa. Bukankah begitu?"
Jajar itu mencoba menenangkan hatinya. Dengan suara bergetar ia menjawab.
"Bukan maksudku. Kaulah yang tidak mau mendengar pesan Permaisuri itu kepadaku. Kau hanya ingin mendengar jawab, ya atau tidak. Padahal Permaisuri tidak berkata demikian"
Tetapi Kebo Sindet menggelengkan kepalanya.
"Bukan itu. Aku dapat mengerti kalau kau memang berbuat dengan jujur. Bahwa kau hanya dapat menyampaikan pesanku dan pesan Permaisuri yang kikir itu. Tetapi bukan soal itu. Ada soal lain yang memaksa aku mengambil keputusan, bahwa hubungan kita putuskan sampai di sini saja. Kini sudah tidak ada ikatan apapun lagi di antara kau dan aku."
Jajar yang sedang berdebar-debar itu dengan sekuat tenaganya mencoba menenangkan hatinya. Setiap kali dibesarkannya hatinya dengan rencananya yang matang. Setiap kali ia mencoba berkata di dalam hatinya.
"Anak-anak itu telah siap untuk berbuat."
Tetapi yang meloncat dari mulutnya adalah suara tertawanya. Suara tertawa yang dipaksakannya. Di antara derai suara tertawanya ia berkata tersendat-sendat.
"Kebo Sindet. Bukan akuyang mengundang kau kemari. Bukan aku yang minta kita saling berhubungan dalam soal ini. Kaulah yang datang sendiri. Sekarang kau ingin memutuskan hubungan ini, kenapa aku berkeberatan?"
"Sikapmu lain dengan sikapmu kemarin."
"Itu adalah perkembangan persoalan yang terjadi di dalam diriku. Aku yang sekarang telah maju satu hari dari yang kemarin. Persoalan-persoalan di dalam diriku pun telah maju pula satu hari. Yang satu hari inilah memang yang telah mengubah segenap sikap dan rencanaku."
"Dan karena itulah maka kau mengundang kelinci-kelinci untuk membunuh dirinya."
Kata-kata itu benar-benar mengejutkan hati jajar yang gemuk itu. Terasa dentang jantungnya menjadi semakin keras dan darahnya menjadi semakin deras mengalir. Wajahnya menjadi merah seperti soga. Dengan gemetar ia bertanya.
"Apa maksudmu?"
"Aku mendengar desah nafas yang memburu di sekitar rumah ini. Ayo, jangan berdiri di muka pintu. Masuklah. Mungkin kalian ingin berkenalan dengan Kebo Sindet."
Dada jajar itu menjadi semakin berdebaran.
Ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang ini mempunyai pendengaran yang sedemikian tajamnya.
Ia sendiri, yang mengerti bahwa ada anak- anak muda di sekitar rumahnya, sama sekali tidak mendengar suara apapun.
Tetapi Kebo Sindet telah mendengar bahwa ada beberapa orang di sekeliling rumahnya.
Dengan demikian jajar yang gemuk itu justru terdiam untuk sesaat.
Ia menjadi seolah-olah membeku di tempatnya.
Dentang jantungnya terasa akan memecahkan dadanya.
"Ayo Ki Sanak yang baik. Panggillah orang-orang yang sedang mengintip di luar dinding. Barangkali semakin dekat akan semakin baik bagi mereka. Mereka dapat melihat dengan jelas, siapakah Kebo Sindet yang telah menyembunyikan Mahisa Agni. Apakahmereka, yang sedang bersembunyi di sekitar rumah ini prajurit- prajurit Tumapel atau siapa saja bagiku tidak akan ada bedanya."
Jajar yang gemuk itu masih mematung.
Bahkan matanya seolah- olah tidak berkedip.
Dengan sekuat tenaganya ia berjuang untuk menguasai perasaan sendiri.
Dalam pada itu yang terdengar adalah suara tertawa di luar pintu.
Hanya perlahan-lahan saja, tetapi sangat menyakitkan hati.
Kebo Sindet dan Kuda Sempana serentak berpaling.
Suara tertawa itu benar-benar telah menyinggung perasaan mereka.
Apalagi Kebo Sindet yang berhati batu itu.
Lamat-lamat mereka melihat sebuah bayangan berdiri di luar pintu.
Seorang anak muda yang bertolak pinggang.
"Inikah orang yang bernama Kebo Sindet dan Kuda Sempana,"
Desisnya. Mata Kebo Sindet yang tajam itu segera melihat orang yang tertawa itu. Melihat segala lekuk di dalam tubuhnya, dan lebih dari itu ia dapat melihat bahwa anak muda itu adalah anak muda yang kasar dan bengis.
"Siapa kau?"
Bertanya Kebo Sindet dengan nada datar. Anak muda, salah seorang dari pemimpin-pemimpin anak-anak muda yang liar itu melangkah maju. Kini ia berdiri tepat di muka pintu sehingga bentuk wajahnya menjadi semakin jelas.
"Ternyata kalian bukan prajurit-prajurit Tumapel,"
Desis Kebo Sindet.
"Ya, kami memang bukan prajurit-prajurit Tumapel. Kami adalah anak-anak muda yang mengagumi nama Kebo Sindet. Kali ini kami ingin melihat orangnya dari dekat bersama Kuda Sempana."
"Marilah,"
Jawab Kebo Sindet.
"kalau kau ingin melihat Kebo Sindet dari dekat. Mendekatlah jangan takut. Aku tidak akan segera menggigit."Anak muda yang berdiri di muka pintu itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian sekali lagi terdengar suara tertawanya yang menyakitkan hati.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku kira kau memang tidak akan dapat menggigit. Aku kira gigimu tidak cukup tajam untuk membuat luka pada kulit kami."
Kuda Sempana yang acuh tak acuh itu tiba-tiba menggerakkan kepalanya.
Dipandanginya anak muda yang masih berdiri di muka pintu itu.
Tersirat pada wajah itu sifat-sifatnya yang kasar dan liar.
Ketika kemudian ia memandang wajah Kebo Sindet, maka Kuda Sempana itu mengerutkan keningnya.
Ternyata wajah Kebo Sindet masih juga membeku.
Tetapi kebekuan wajah Kebo Sindet itu telah membuat hati jajar yang gemuk menjadi semakin berdebar-debar.
Wajah itu benar- benar tidak melontarkan kesan apapun meskipun ia telah melihat seseorang berdiri di muka pintu.
Bahkan wajah itu seolah-olah acuh tak acuh saja atas apa yang dihadapinya.
Ketika debar jantung jajar itu menjadi semakin keras, kegelisahan yang semakin memuncak justru karena kediaman Kebo Sindet, maka untuk melepaskan diri dari ketegangan di dalam dirinya itu, maka jajar yang gemuk itu pun berteriak.
"He, Kebo Sindet nasibmu ternyata tidak sebaik yang kau sangka. Kau mengira bahwa kau dapat berbuat sekehendak hatimu atasku? Kau salah. Aku ternyata mempunyai rencana sendiri. Aku telah menentukan bahwa tebusan itu harus jatuh di tanganku. Kalau kau menolak berbicara tentang hal itu selain jawab, ya atau tidak, maka kau pasti akan menyesal. Sebab aku telah mengambil alih semua persoalan. Besok seseorang akan menamakan dirinya Kebo Sindet dan menerima tebusan itu sepenuhnya. Seorang yang lain di dalam gelap malam akan menjadi Mahisa Agni. Perjanjian dengan Permaisuri telah siap. Tebusan itu diberikan dan Kebo Sindet akan membawa Mahisa Agni untuk diserahkan. Tetapi orang-orang Tumapel itu tidak akan sempat menyadari apa yang terjadi, sebab mereka akan binasa seperti kau berdua malam ini. Kau dan KudaSempana terpaksa aku bunuh bersama-sama. Supaya akulah kelak yang akan menerima tebusan itu."
Tetapi dada jajar itu menjadi semakin tegang.
Ia tidak melihat Kebo Sindet menjadi terkejut atau marah atau apapun.
Wajahnya masih saja sebeku wajah mayat.
Tetapi matanya menjadi seolah- olah berbahaya.
Itulah satu-satunya perubahan yang menyatakan perasaannya.
Tetapi kesan yang didapatnya terlampau sulit.
Tanpa disangka-sangka, maka Kebo Sindet itu pun berkata perlahan-lahan.
"Tetapi bagaimana dengan nasib Mahisa Agni sendiri? Ia akan binasa di tempat persembunyiannya. Kalau aku tidak kembali pada saatnya, maka orang-orangku akan membunuhnya."
"Itu bukan urusanku!"
Teriak jajar itu untuk meredakan detak jantungnya. Tetapi dengan pertanyaan itu, maka jajar yang gemuk itu melihat sesuatu yang membuatnya sedikit berbesar hati. Masih dengan suara lantang ia meneruskan.
"Nah, kau mulai merasa takut. Kau akan menipu kami dengan licik. Tetapi Mahisa Agni itu sama sekali tidak akan mempengaruhi keputusanku untuk membunuhmu sebab sebenarnya kami tidak ada sangkut paut apa- apa dengan anak itu. Matilah kalau Mahisa Agni akan mati."
Mata Kebo Sindet yang menyala itu seolah-olah menjadi semakin membara. Tiba-tiba orang itu menggeram.
"Ternyata kau lebih jahat dari setiap penjahat yang aku kenal."
"Apakah kau sendiri tidak sedang merencanakan kejahatan?"
Jawab jajar yang gemuk itu.
"Ya, aku memang sedang merencanakan kejahatan. Tetapi tidak dengan licik dan pengecut."
"Setiap rencana kejahatan adalah licik dan pengecut. Sebab rencana itu pasti disembunyikan dan tidak beradu dada, seperti kau menyembunyikan Mahisa Agni."Kebo Sindet terdiam. Ia masih belum bergeser dari tempatnya. Tetapi matanya yang tajam melihat beberapa bayangan bergerak di dalam kegelapan.
"Aku kira aku sudah tidak dapat menghindar lagi,"
Desisnya. Jajar itu tertawa. Hampir berbareng anak muda yang berdiri di depan pintu itu pun tertawa pula.
"Memang,"
Desis anak muda itu.
"kau sudah tidak akan dapat menghindar lagi."
"Baik,"
Jawab Kebo Sindet. Wajahnya masih tetap dalam kebekuannya. Dan itu sangat menyakitkan hati.
"aku akan melayani kalian. Berapa orang semuanya?"
Anak muda yang berdiri di dekat pintu mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Kebo Sindet kemudian melangkah dengan tenangnya perlahan-lahan dengan acuh tak acuh ke halaman rumah itu sambil berkata.
"Di sini kita akan bermain-main."
Perbuatan Kebo Sindet itu ternyata telah mencengkam perasaan mereka.
Jajar yang gemuk, anak-anak muda yang ganas dan liar, seolah-olah mereka melihat seorang senapati yang berwibawa lewat di hadapan mereka.
Karena itu maka sejenak mereka berdiri saja mematung sambil memandangi langkah satu-satu Kebo Sindet, diikuti oleh Kuda Sempana yang tidak kalah tenangnya.
Anak muda itu pun agaknya acuh tak acuh saja, meskipun sekali-sekali ia berpaling dan mencoba melihat berapa orang yang sudah menunggu mereka di halaman.
Tetapi Kuda Sempana tidak berhasil menghitungnya.
Ia hanya dapat melihat bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di sisi pepohonan atau di belakang gerumbul- gerumbul liar yang bertebaran di halaman yang gelap dan kotor itu.
Baru ketika Kebo Sindet telah berada di tengah-tengah halaman itu, jajar yang gemuk dan anak-anak muda itu menyadari keadaannya.
Karena itu dengan serta-merta mereka berloncatan mengepungnya.
Ketika satu dua orang sudah mulai bergerak, maka yang lain-lain pun segera mengikutinya dengan tanpa mendapat perintah."Marilah anak-anak,"
Terdengar nada suara Kebo Sindet yang berat.
"aku memang sudah menyangka, bahwa juru taman itu akan berkhianat. Nah, sekarang kalian telah mengambil sikap. Bukan salahku apabila aku memutuskan segenap hubungan yang telah kita buat, dan membatalkan semua pembicaraan."
Jajar yang gemuk itu masih dicengkam oleh perasaan aneh di dalam dirinya. Tetapi ia memaksa mulutnya untuk menjawab.
"Jangan banyak bicara. Bersedialah untuk mati. Kau sudah terlampau banyak membuat dosa."
"Dan agaknya kau baru mulai, jajar yang gemuk. Tetapi sayang bahwa permulaan ini akan merupakan akhir dari segala kebodohanmu."
Jajar itu tidak segera menjawab. Tetapi adiknyalah yang menyahut.
"O, kau salah hitung Kebo Sindet yang perkasa. Mungkin kau menganggap kami seperti anak-anak nakal yang tidak tahu betapa tajamnya taring harimau. Tetapi kau salah. Satu-satu dari kami pasti akan dapat mematahkan taring-taring harimau yang betapapun buasnya, apalagi mematahkan lehermu dan leher Kuda Sempana itu."
Kebo Sindet tidak menyahut. Dipandanginya bayangan yang bergerak-gerak di sekitarnya. Ia sempat menghitungnya, meskipun tidak tepat benar.
"Delapan sampai sepuluh orang,"
Desisnya.
"Sembilan orang,"
Salah seorang dari anak-anak muda itu berkata lantang.
"apakah kau menggigil mendengar jumlah itu."
Acuh tak acuh Kebo Sindet berkata.
"Latihan yang menarik."
Kemudian ia berpaling kepada Kuda Sempana. Dipandanginya anak muda yang berdiri mematung itu, Kebo Sindet tidak ingin Kuda Sempana itu mendapat cidera. Mungkin ia masih memerlukannya untuk beberapa lama. Karena itu maka katanya.
"Kuda Sempana, hati-hatilah. Marilah kita bermain bersama, berpasangan."
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.
Ia sendiri tidak mempunyai nafsu apapun dalam menghadapi anak-anak liar itu.Tetapi naluri untuk mempertahankan hidupnya masih mengalir di dalam tubuhnya, sehingga karena itulah maka ia pun segera menempatkan dirinya di belakang Kebo Sindet.
"Bagus,"
Desis Kebo Sindet.
"cobalah pertahankan dirimu. Aku yakin bahwa dengan ilmu yang kau miliki, ditambah dengan beberapa unsur dari Kemundungan, kau akan mampu melayani anak-anak yang bodoh itu."
Kuda Sempana tidak menjawab.
Tatapi ia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan.
Ia ternyata masih memilik keinginan untuk tetap hidup, meskipun ia sendiri tidak tahu untuk apa sebenarnya ia mempertahankan hidupnya.
Jajar yang gemuk, adiknya dan anak-anak muda yang liar itu kini sudah mengepungnya rapat-rapat.
Sembilan orang.
Salah seorang dari mereka berkata disela-sela nada suara tertawanya yang menyakitkan hati.
"He, apakah kau benar-benar akan melawan? Sebaliknya kalian berdua menyerah saja. Kami akan berbaik hati, membunuh kalian dengan cara yang kalian kehendaki, tetapi apabila kalian melawan maka kami akan dapat berbuat apa saja atas kalian."
Kebo Sindet yang berwajah beku itu menjawab dengan suara yang seolah-olah bergulung di dalam perutnya.
"Aku pernah membunuh orang dengan cara yang menyenangkan sekali. Apakah kalian ingin mencoba atasku? Aku adalah pembunuh yang telah mempergunakan segala macam cara untuk membunuh korbanku. Aku kira aku mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak daripada kalian. Nah, barangkali kalian ingin mendapat satu dua contoh dari antara kalian."
"Setan alas!"
Jajar yang gemuk itu mengeram.
"Sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa, masih juga kau dapat menyombongkan diri, Kebo Sindet. Apakah kau sedang mencoba mengatasi ketakutan yang mencengkam dadamu dengan segala macam bualan yang tidak berarti itu?""Mungkin,"
Suara Kebo Sindet menjadi semakin berat.
"mungkin kau benar. Tetapi cobalah bertanya kepada dirimu sendiri, apakah kau tidak juga sedang mencoba mengatasi ketakutan dan keragu- raguanmu?"
"Tidak. Kami yakin, bahwa kau akan terbunuh malam ini."
"Jangan tergesa-gesa,"
Salah seorang pemimpin anak-anak muda itu berkata.
"Aku senang sekali melihat orang yang bernama Kebo Sindet ini dilanda oleh perasaan takut. Lihat, wajahnya yang sebeku mayat itu menjadi semakin pucat."
"Silakan,"
Jawaban Kebo Sindet itu benar-benar tidak terduga- duga.
"silakanlah kalau itu dapat menyenangkan hati kalian. Kesenangan, yang terakhir sebelum kalian mati bersama-sama. Tetapi cepat sedikit. Aku sudah tidak sabar. Aku mempunyai banyak persoalan, tidak sekedar melayani kalian, kelinci-kelinci yang bodoh. Aku akan melayani lawan-lawan yang jauh lebih berharga. Mungkin Empu Sada, mungkin Empu Gandring atau Panji Bojong Santi. Bukan kelinci-kelinci kecil seperti ini."
"Nama-nama itu pun tidak menggetarkan dadaku,"
Jawab adik jajar yang gemuk itu.
"Tetapi baiklah, kita akan lebih cepat."
Lalu.
"Marilah kawan-kawan, kita bergembira malam ini."
Kesembilan orang yang sudah bersiap untuk melawan Kebo Sindet dan Kuda Sempana itu segera mendesak maju.
Sejenak kemudian mereka telah berdiri hanya beberapa langkah dari kedua orang yang berdiri di tengah-tengah kepungan, Kebo Sindet dan Kuda Sempana.
Ketika Kebo Sindet sekali lagi mencoba menandang berkeliling untuk mengetahui apakah masih ada orang lain yang berdiri di sisi pepohonan atau di belakang gerumbul, terdengar salah seorang dari anak-anak muda itu berdesis.
"Kau sedang mencari jalan untuk lari? Jangan mengharap keluar dari kepungan kami. Usaha kami untuk membunuh seseorang tidak pernah gagal. Atau kau sedang mencoba menunggu tetangga-tetangga untuk datang membantumu atau setidak-tidaknya untuk mencegah perkelahian ini? Kau punakan kecewa. Rumah-rumah itu bertebaran agak jauh. Seandainya mereka mendengar suara kami, mereka pun tidak akan berani keluar dari rumahnya."
Kebo Sindet tidak menjawab.
Tetapi ia mendapat keyakinan, bahwa memang hanya sembilan orang itu sajalah yang berada di halaman ini.
Tetapi ternyata sikap Kebo Sindet itu menggelisahkan hati jajar yang memang sedang gelisah dan tegang itu.
Sekilas diingatnya beberapa hari berturut-turut, beberapa orang selalu sedang mengintainya.
"Apakah mereka orang-orang Kebo Sindet?"
Pertanyaan itu selalu saja mengganggunya.
"Persetan!"
Akhirnya ia membulatkan hatinya.
"Orang ini harus dibunuh. Kalau ia membawa kawan-kawannya, maka biarlah kawan- kawannya itu terbunuh juga."
Dengan demikian maka jajar itu menjadi semakin bernafsu. Ketika ia masih melihat adik dan kawan-kawannya berdiri mengelilingi Kebo Sindet dan Kuda Sempana, maka katanya.
"Apakah kita masih menunggu orang ini mati ketakutan?"
"Marilah,"
Sahut yang lain sambil melangkah maju.
Kebo Sindet pun telah bersiaga sepenuhnya.
Tetapi sungguh-sungguh di luar dugaannya, bahwa serangan yang pertama meluncur dari salah seorang anak-anak muda itu, adalah serangan tanpa senjata.
Sebuah serangan tangan yang cepat dan berat, seakan-akan sebuah ayunan palu besi mengarah ke pelipisnya.
Dengan cepat pula Kebo Sindet menghindar.
Selangkah ia mundur sambil merendahkan dirinya.
Tetapi yang penting baginya, ia menjadi semakin dekat dengan Kuda Sempana.
Serangan yang pertama itu justru memberinya peringatan, bahwa sebenarnya anak-anak muda itu bukanlah anak-anak yang hanya sekedar senang membuat keributan.
Tetapi ternyata mereka benar-benar mempunyai bekal untuk berbuat demikian.
Tetapi kesempatan untuk menilai serangan yang pertama itu tidak terlampau banyak.
Sesaat kemudian kesembilan orang itutelah bergerak bersama-sama.
Mereka hampir berbareng menyerang Kebo Sindet dan Kuda Sempana dari segala arah.
Beruntun seperti ombak memukul pantai.
Serangan yang datang itu benar-benar membuat Kebo Sindet terperanjat Ternyata anak-anak muda itu memiliki suatu cara yang baik untuk berkelahi bersama-sama.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya hal itu telah sangat biasa mereka lakukan.
Berkelahi dalam kelompok-kelompok serupa itu.
"Kuda Sempana, harus dapat mengatasi keadaan ini,"
Berkata Kebo Sindet di dalam hatinya, karena itu maka ia berdesis Kuda Sempana.
"Tarik senjatamu! Jangan hiraukan gerak-gerak tipuan mereka. Biarkan saja mereka berlari-lari melingkari kita. Hanya serangan-serangan yang langsung mengarah kepadamu sajalah yang perlu kau layani."
Kuda Sempana tidak menjawab.
Tetapi ia tidak menjadi bingung melihat sikap anak-anak muda itu.
Apalagi ketika ia mendengar petunjuk Kebo Sindet, maka segera ia dapat membedakan, yang manakah serangan-serangan yang sebenarnya di arahkan kepadanya, dan yang manakah yang sekedar membuatnya bingung dan mengacaukan perhatiannya.
Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Pedang Inti Es Karya Okt