Panasnya Bunga Mekar 8
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 8
Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang itu orang yang sedang pingsan itu berganti-ganti. Kemudian dengan nada datar ia bergumam"Baiklah kau memang tidak tahu menahu, biarlah aku pergi"
Tetapi ketika Mahisa Bungalan melangkah, orang itu hampir berteriak "He, kau tinggalkan aku dalam keadaan begini?"
"Kenapa?"
"Aku hidup tidak, matipun tidak. Jika kau ingin mem bunuhku, bunuhlah. Tetapi jangan kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini"
"Itu urusanmu"
Jawab Mahisa Bungalan "
Kalau kau memang ingin mati, kau dapat membunuh dirimu. Kau dapat terjun ke dalam sumur, atau menggantung diri, atau masuk ke dalam perapian yang sedang menyala"
"Tidak. Jangan tinggalkan aku dalam keadaan seperti ini"
Minta orang itu.
"Aku tidak peduli"
Jawab Mahisa Bungalan. Tetapi orang itu masih saja berteriak "Bunuhlah aku"
"Aku tidak akan membunuhmu, Tetapi aku akan menyembuhkanmu jika kau mengatakan yang sebenarnya tentang isteri Pangeran Kuda Padmadata"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika Mahisa Bungalan melangkah menjauh, orang itu berteriak "Kembalilah. Aku akan mengatakannya "
Mahisa Bungalan kemudian melangkah kembali mendekati orang itu. Lalu katanya "Nah, sekarang katakanlah apa yang kau ketahui tentang puteri itu"
"Ia sudah mati"Seperti warna merah membayang di wajah Mahisa Bungalan. Namun kemudian katanya "Kau jangan ber bohong"
"Aku berkata sebenarnya"
"Dimana ia kau bunuh?"
"Bukan aku. tetapi kawan-kawanku"
"Ya, dimana"
"Di rumahnya"
"Dan mayatnya?"
"Kami tinggalkan di rumahnya"
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan tertawa.
Katanya di antara suara tertawanya "Kau ingin menipu aku lagi.
Jika mayat itu kau tinggalkan, tentu tetangganya akan mengurusinya.
Menyelenggarakannya sebagaimana mestinya.
Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui tentang mayat itu"
"Tentu tidak ada yang mengetahuinya. Tidak ada yang berani memasuki rumah itu sepeninggal kami"
"Jadi mayat itu masih tetap berada di dalam rumah?"
"Ya"
Mahisa Bungalan tidak segera menjawab.
Kemarahannya tiba-tiba saja telah membakar jantungnya sehingga tangannya telah terayun menghantam wajah orang itu.
Orang itu melihat tangan Mahisa Bungalan bergerak.
Ia masih manyadari akibatnya, sehingga orang itupun berusaha untuk menghindar.
Tetapi rasa-rasanya tubuhnya tidak lagi dapat dikuasainya.
Ia sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri.
Justru usahanya untuk menghindar,serta dorongan tangan Mahisa Bungalan yang sebenarnya tidak begitu keras itu telah melemparkannya jatuh di tanah.
"berdiri"
Bentak Mahisa Bungalan "atau aku akan menginjak perutmu"
Tertatih-tatih orang itu berdiri. Betapa sulitnya. Namun akhirnya ia berhasil tegak. Meskipun demikian kakinya terasa gemetar karena tubuhnya yang menjadi sangat berat.
"Sudahlah. Jangan banyak bicara. Aku menjadi muak. Karena itu lebih baik aku pergi saja"
"Jangan, jangan pergi"
Orang itu berteriak pula.
"Tidak ada gunanya aku menungguimu disini"
Ketika Mahisa Bungalan melangkah, orang itu berteriak lagi sambil berkata "Baiklah. Baiklah aku berkata sebenarnya"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Dengan geram ia berkata "Jangan memperbodoh aku.
Jika mayat itu tetap berada di dalam rumah, tentu aku sudah menemukannya.
Sekarang, katakan yang sebenarnya.
Aku benar-benar sudah muak melihat wajahmu dan mendengar suaramu"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu "Ia berada di hutan itu. Kami telah menyembunyikannya"
"Kau tidak berbohong?"
Bertanya Mahisa Bungalan.
"Tidak. Aku tidak berbohong"
"Tetapi kenapa ia tidak kau bunuh saja?"
Bertanya Mahisa Bungalan.
Orang itu mengerutkan keningnya.
Dengan heran ia bertanya "Kau tidak mau mendengar jawabanku bahwa ia sudah aku bunuh""Aku tidak perlu jawabanmu, tetapi aku perlu kenyataan.
Ia pasti masih hidup.
Tetapi kenapa kau tidak membunuhnya, atau orang yang memerintahkanmu tidak membunuhnya?"
Orang itu menjadi bingung.
Ia sadar, bahwa pada suatu saat tentu akan sampai sebuah pertanyaan kepadanya, siapakah yang telah memerintahkannya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Hidup dalam keadaan seperti yang dialaminya adalah hidup yang paling menderita.
Keadaan tubuhnya tidak akan lebih baik dari pada orang yang cacat paling parah.
"Ia masih hidup"
Desisnya "sepengetahuanku, ia masih diperlukan untuk memancing agar anak laki-lakinya dapat ditangkap pula. Mungkin ia masih dapat dipergunakan dengan cara apapun juga untuk mempertemukannya dengan anak laki-lakinya"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Marilah, antarkan aku kepadanya. Biarlah kawanmu tetap disini. Pandai besi itu akan mengikatnya erat-erat"
Orang itu termangu-mangu. Namun Mahisa Bungalan kemudian mendorongnya sehingga orang itu hampir saja jatuh terjerembab, justru karena tubuhnya rasa-rasanya tidak dapat dikuasainya lagi.
"Berjalanlah"
Perintah Mahisa Bungalan "Kakiku berat sekali"
"aku dapat membuatmu lumpuh sama sekali dan aku akan dapat meninggalkan di pinggir hutan, sehingga anjing liar akan menerkammu selagi kau masih hidup, tetapi lumpuh"Orang itu menjadi ngeri. Tetapi ia percaya bahwa anak muda itu dapat memperlakukannya demikian. Karena itu, maka ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia berjalan betapapun beratnya menuju kehulan peliharaan yang di dalamnya terdapat beberapa batang pohon cendana. Dalam pada itu sepeninggal Mahisa Bungalan, maka pandai besi itupun telah melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan. Orang yang pingsan itupun diikatnya erat-erat pada sebatang pohon, agar apabila ia sadar, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu, Mahisa Bungalanpun menjadi semakin dekat dengan hutan peliharaan. Namun ia tidak percaya sepenuhnya kepada orang yang telah tidak mampu berbuat apa-apa itu lagi. Ia masih tetap berhati-hati. Mungkin di hutan itu terdapat beberapa orang kawan-kawannya yang mengawal isteri Pangeran Kuda Padmadata yang berasal dari padukuhan itu. Tertatih-tatih orang itupun berjalan memasuki hutan. Sikapnya yang nampak ragu-ragu dan gelisah, membuat Mahisa Bungalan semakin berhati-hati. Beberapa langkah di dalam rimbunnya dedaunan pada hutan peliharaan yang nampak teratur pada bagian tepinya itu. Mahisa Bungalan melihat jalan setapak. Menurut pengamatan Mahisa Hungalan, jalan itu adalah jalan yang sering diambah kaki manusia yang hilir mudik masuk dan keluar hutan itu.
"Tentu bukan jalan yang hanya dilalui oleh dua orang saja berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Semakin dalam ia masuk, maka ia semakin memperhatikan keadaan di sekelilingnya.Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika ia mendengar orang itu berkata agak keras "Kau jangan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti"
"Aku hanya menghendaki kau berjalan di depanku. Setiap saat aku akan dapat membunuhmu dengan mudah, tetapi jika seseorang membunuhku lebih dahulu dari arah yang tidak aku ketahui, maka untuk seluruh sisa hidupmu, kau akan mengalami nasib yang buruk dengan keadaan seperti yang kau alami sekarang. Tidak seorangpun yang akan dapat membebaskanmu selain orang-orang dari perguruanku. Padahal, aku adalah satu-satunya murid guruku, sementara guruku tidak akan dapat kau jumpai dimanapun juga orang mencarinya"
Orang itu menjadi tegang.
Tetapi ia masih berpengharapan bahwa kawan-kawannya dapat menolongnya.
Menangkap Mahisa Bungalan dan memaksanya mengobatinya, membebaskannya dari kekangan syaraf yang gila itu.
Karena itu, maka katanya "Kau jangan berbuat terlalu kejam kepadaku Ki Sanak.
Tetapi jika kawan-kawanku memaksamu, apakah kau juga tetap akan ingkar? Seandainya hidupmu ditukar dengan pembebasan syarafku, apakah kau bersedia?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya berbisik "Aku mendengar sesuatu. Aku tahu, kau sedang memberikan aba-aba kepada kawan-kawanmu yang ada di sekitar tempat ini, agar mereka tidak membunuhku"
"Jangan berprasangka buruk"
Orang itu berkata semakin keras "aku bermaksud baik"
Tetapi pendengaran Mahisa Bungalan yang tajam tidak dapat dikelabuinya.
Karena itu.
ia berbuat sesuatu agar ia tidak terjerat kepada tindakan biadab orang-orang itu.
Jika orang-orang di hutan itu mengetahui persoalannya denganpasti, maka orang itu tentu tidak akan segan-segan mempergunakan isteri Pangeran Kuda Padmadata untuk memaksanya menyerah.
Karana itu, maka katanya kemudian perlahan-lahan "Kau cerdik.
Aku telah terjebak ke dalam satu lingkungan.
Tetapi kau masih tetap lumpuh meskipun tidak mutlak"
"Kau akan dipaksa untuk membebaskan aku"
Katanya semakin berani. Mahisa Bungalan menyadari, pendengarannya yang tajam telah menduga suara di sekitarnya. Dengan demikian ia dapat menduga bahwa lebih dari dua orang yang sudah mengepungnya.
"Tiga atau empat orang. Aku tidak boleh berbuat terlalu baik hati kepada mereka, jika aku sendiri tidak ingin terjebak dan mati"
Karena itu, seolah-olah Mahisa Bungalan menggenggam pedang patah yang ternyata dibawanya itu semakin erat.
Pedang itu akan sangat berguna baginya, jika keadaan memang memaksanya berbuat demikian.
Beberapa langkah kemudian Mahisa Bungalan berkata "Kita berhenti disini.
Marilah kita menyelesaikan masalah kita.
Aku tidak tahu, kemana kau akan membawa aku"
Orang itu termangu-mangu. Namun katanya "Aku akan membawamu sesuai dengan permintaanmu, karena orang itu.."
Kata-katanya terputus.
Mahisa Bungalan tahu, bahwa orang itu akan memberikan isyarat, tentang apa yang akan dilakukannya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Uungalan telah menyentuh bagian bawah telinga orang itu dengan ibu jarinya, sehingga iapun telah terdiam.
Rasa-rasanya mulutnya manjadi kejang dan ia tidak dapat lagi mengucapkan kata-kata, kecuali hanya sekedar menggeram.
Mahisa Bungalan memandang orang itu dengan tajamnya.
Dangan nada dalam ia berkata hampir berbisik "Itulah yang kau kehendaki.
Kau sekarang tidak dapat mengucapkan kata-kata.
Aku masih dapat berbuat lebih buruk lagi dengan mengganggu pendengaran dan penglihatanmu.
Jika perlu aku terpaksa melakukannya"
Orang itu akan menjawab, tetapi tidak sepatah katapun yang dapat diucapkan.
Dalam pada itu, seperti yang diduga oleh Mahisa Bungalan, bahwa beberapa orang sedang mengintipnya, ternyata tidak salah.
Pada saat yang sudah diperhitungkan, maka orang-orang itupun benar-benar telah berloncatan mengelilinginya dengan pedang terhunus.
"Tiga orang"
Desis Mahisa Bungalan. Ketiga orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan sorot mata penuh kemarahan. Bahkan salah seorang dari mereka tidak sabar lagi melihat keadaan kawannya. Dengan serta merta ia bertanya "Apa yang telah terjadi denganmu?"
Tetapi ketiga orang itu terkejut, bahwa kawannya sama sekali tidak menjawab. Ia hanya dapat memberi mereka isyarat dengan tangannya. Tetapi tidak jalas, apakah yang dimaksudkannya.
"Ia memang bisu"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Tidak mungkin. Aku masih mendengar suaranya ketika ia memasuki hutan ini"
Jawab salah seorang dari mereka.
"O, apakah begitu? tetapi sejak aku mengantarkannya, aku mengira ia memang bisu""Kau mencoba untuk membohongi kami"
Berkata salah seorang dari mereka.
"Kenapa aku membohongimu. Lihatlah, kau dapat menyaksikannya sendiri. Ia benar-benar bisu"
Sikap Mahisa Bungalan membuat orang-orang itu semakin marah.
Ketiganya menganggap, bahwa tidak ada kemungkinan lain kecuali membunuh anak muda itu.
Karena itu, maka salah seorang dari mereka, yang agaknya adalah orang tertua diantara mereka berkata "tidak ada kesempatan bagi anak gila ini untuk keluar dari hutan ini hidup-hidup.
Ia harus kita bunuh dan mayatnya akan kita lempar ke hutan yang dihuni oleh binatang buas itu"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjawab "Jika hal itu kau lakukan, maka nasib kawanmu inilah yang paling buruk. Tidak ada orang yang akan dapat menyelamatkannya dari keadaannya"
"Guru tentu dapat mengobatinya. Kami sudah mengira bahwa kaulah yang telah membuatnya demikian"
"Hanya aku yang dapat menyembuhkan gangguan syaraf itu. Tidak ada orang lain"
"Persetan"
Geram yang tertua "bunuh orang itu"
Mahisa Bungalanpun segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.
Agaknya orang-orang itu bukannya orang- orang yang dapat diajaknya berbicara.
Sejenak kemudian, maka salah seorang dari ketiga orang itu telah meloncat mendekat sambil menjulurkan senjata, sementara yang lain telah menyerang Mahisa bungalan dari arah belakang.
Tetapi Mahisa Bugalan telah bersiap.
Dengan tangkasnya ia meloncat menghindar.
Sekali ia berputarsetengah lingkaran.
Namun tiba-tiba senjatapun telah menyambar dengan cepatnya.
Tetapi serangan Mahisa Bugalan itu bukannya serangan yang sebenarnya.
Ketika lawannya meloncat menghindar, maka iapun segera bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang lebih berat, karena ketiga orang lawannya itupun tentu akan menyerangnya bersama-sama.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan seakan-akan telah mengerahkan landasan ilmunya.
Terasa sesuatu telah menjalari seluruh urat nadinya, sehingga sekejap kemudian, maka rasa-rasanya seluruh tubuhnya telah dialiri oleh nafas kemampuannya yang jarang ada duanya.
Dengan demikian, maka ketika kemudian Mahisa Bungalan meloncat, terasa betapa tubuhnya menjadi ringan, namun kekuatannya bagaikan berlipat ganda.
Karena itulah, maka perlawanan Mahisa Bungalanpun menjadi semakin sengit.
Ia berloncatan bagaikan sikatan.
Namun sentuhan senjatanya melontarkan kekuatan seperti seekor gajah.
Tetapi ketiga orang lawannya adalah orang-orang yang telah kaya dengan pengalaman.
Mereka adalah orang-orang yang hampir disegenap umurnya dikerumuni oleh kekerasan dan perkelaian.
Karena itu maka dengan garangnya mereka melawan Mahisa Bungalan yang bertempur seorang diri melawan mereka bertiga.
Seorang dari antara mereka yang seakan-akan telah menjadi bisu itu menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar.
Ia sadar sepenuhnya atas apa yang terjadi, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Tenaganya seakan-akan telah lenyap sementara mulutnya bagaikan menjadi kejang.
Dengan demikian maka yang dapat dilakukannya hanyalah menyaksikan apa yang akan terjadi.Demikianlah maka sejenak kemudian Mahisa Bungalan telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Jika dipasar ia bertempur melawan dua orang lawan, kini ia berhadapan dengan tiga orang yang memiliki kemampuan setingkat.
Karena itu, maka.
ia harus bertempur dengan hati-hati serta mengerahkan kemampuannya agar ia tidak menjadi korban.
Tetapi akibatnya, bahwa Mahisa Bungalanpun tidak dapat mengamati diri, bahwa ia tidak akan melakukan pembunuhan.
Dalam perang yang seru, maka seseorang akan sulit untuk menguasai diri sebaik-baiknya agar tidak melakukan sesuatu yang dapat merampas jiwa seseorang.
"Aku masih terlalu muda untuk mati"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "karena itu, semoga Tuhan Yang Maha Penyayang melindungi aku"
Tetapi ketiga orang lawan Mahisa Bungalan itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Pengalaman mereka menghadapi berbagai macam lawan, telah menempatkan mereka pada arah yang berbeda.
Mereka menyerang berganti-ganti, susul menyusul dari segala arah.
Namun Mahisa Bungalan memang memiliki kecepatan dan ketangkasan bergerak, sehingga serangan-serangan itu tidak mengenainya.
Namun demikian, ketiga orang lawannya tidak mengurangi tekanannya.
Mereka mempergunakan berbagai cara untuk membuat Mahisa Bungalan menjadi kebingungan.
Ketika pertempuran itu meningkat semakin cepat, maka ketiga orang lawannya itupun telah bertempur dalam satu lingkaran yang bergerak.
Di antara pepohonan hutan, ketiga orang itu seakan-akan telah berputar mengitari Mahisa Bungalan sambil menyerang berganti-ganti.Sejenak Mahisa Bungalan tergetar.
Putaran itu membuatnya menjadi gelisah.
Namun kemudian, iapun berhasil menyesuaikan diri.
Justru Mahisa Bungalanpun mulai bergerak agar lawannya tidak selalu berada pada putaran yang tetap.
Ketika Mahisa Bungalan berloncatan diantara putaran lawannya, kadang-kadang putaran itu memang terganggu.
Serangan yang memusat pada salah seorang diantara mereka, kadang-kadang telah menghentikan putaran itu.
Namun kedua orang lawannya segera berhasil menolong kawannya yang didesak oleh Mahisa Bungalan dan sejenak kemudian mereka telah berada dalam putarannya kembali.
"Gila"
Desis Mahisa Bungalan.
Di luar sadarnya, kemarahan yang menghentak di dalam dirinya telah memeras segenap kemampuannya.
Ternyata pada keadaan yang demikian, alas pada kecepatan bergerak dan kekuatan tenaganya menjadi semakin berkembang.
Mahisa Bungalan seakan-akan menjadi semakin ringan, namun tenaganya menjadi semakin besar berlipat ganda.
Karena itu, maka pedangnya yang telah patah pada ujungnya itu berputar semakin cepat Kemampuan kakinya yang melontarkan tubuhnya menyusup pepohonan seakan- akan tidak terbatas lagi.
Bahkan kemudian putaran lawannya bukannya merupakan persoalan yang membingungkannya lagi.
Kecepatan bergerak Mahisa Bungalan ternyata telah berhasil melontarkannya keluar dari kepungan yang berputar itu.
Bahkan dengan perhitungan yang matang, Mahisa Bungalanlah yang berlari-larian memutari ketiga orang itu.
Demikian cepatnya, sehingga ketiga orang itu justru merasa terkepung oleh beberapa orang bersenjata pedang yang patah."Gila"
Geram mereka hampir bersamaan.
Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu.
Namun akhirnya, salah seorang dari mereka telah memotong gerak Mahisa Bungalan, sementara kedua orang kawannya telah menyerangnya bersama-sama.
Tetapi serangan itu justru telah mengejutkan ketiga orang itu sendiri.
Mahisa Bungalan yang terpotong putarannya, justru meloncat ke samping.
Dengan putaran yang cepat dan loncatan selangkah surut, Mahisa Bungalan telah mengambil ancang-ancang.
Karena itu, ketika ia kemudian meloncat maju.
maka ayunan pedangnya mengarah ke kening salah seorang lawannya yang telah memotong geraknya.
Demikian cepatnya, sehingga orang itu tidak sempat mengelak.
Yang dilakukannya adalah menyilangkan pedangnya untuk menangkis pedang Mahisa Bungalan.
Tetapi yang dilakukan Mahisa Bungalan benar-benar diluar perhitungan mereka.
Ayunan pedangnya itu ternyata telah ditariknya.
Mahisa Bungalan yang kemudian merendah pada lututnya itupun melenting dan berputar, justru menyerang orang yang berada selangkah di sampingnya.
Pedang patahnya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya.
Dengan tangkasnya lawannya telah menangkis serangan Mahisa Bungalan dengan memukul pedang patah itu.
Mahisa Bungalan tidak menahan pukulan itu.
Bahkan ia mempergunakan dorongan pedang lawannya untuk kemudian memutar pedangnya dan sekali lagi menyerang lawannya itu.
Yang dilakukan adalah demikian cepatnya.
Namun lawannya berusaha untuk menangkis sekali lagi.Tetapi Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuannya dan kecepatannya bergerak.
Ketika lawannya menangkis, maka ia sempat memutar pedangnya sehingga pedang lawannya justru tidak menyentuh pedangnya.
Tetapi pada saat yang demikian, dada lawannya telah terbuka.
Namun Mahisa Bungalan tidak dapat mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Pada saat ia menusuk dada lawannya, maka seorang lawannya yang lain telah menyerangnya pula, sehingga Mahisa Bungalan harus menghindar.
Karena itulah, maka serangannyapun tidak berhasil mengenai dada lawannya.
Namun sebuah goresan kecil telah menyobek kulit lawannya itu pada lengannya.
Terdengar orang yang terluka itu menggeram.
Sementara Mahisa Bungalan sudah meloncat dan berkisar menghadapi lawan-lawannya yang lain "Anak iblis"
Desis seorang lawannya.
Mahisa Bungalan tidak menjawab.
Sementara orang yang tidak berdaya di pinggir arena itupun menjadi berdebar-debar juga.
Ia tahu bahwa Mahisa Bungalan sangat berbahaya.
Tetapi ia tidak dapat mengatakan sepatah katapun kepada kawan-kawannya untuk memperingatkan mereka agar mereka lebih berhati-hati menghadapi anak muda itu.
Di pasar, seorang kawannya telah pingsan sementara ia sendiri telah kehilangan tenaga dan suaranya.
Namun yang dapat dilakukannya hanyalah berdesah dan kebingungan.
Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Sementara itu, kekuatan yang terungkap oleh kemampuan ilmu Mahisa Bungalan terasa menjadi semakin mapan.
Kecepatan bergerak dan kekuatantenaganya justru semakin lama menjadi semakin bertambah-tambah.
Sementara lawannya menjadi semakin telah karena mereka telah mengerahkan segenap kemampuan.
Betapa tinggi daya tahan ketiga orang lawannya, namun melawan Mahisa Bungalan dengan mengerahkan segenap kemampuannya tenaganya seakan-akan semakin terhisap habis.
Yang tergores lengannya, merasa lukanya semakin pedih.
Apalagi karena luka itu telah tersentuh keringatnya yang bagaikan diperas dari tubuhnya.
Namun demikian luka itu sama sekali tidak mengganggunya.
Ia masih mampu bertempur seperti kedua orang kawannya yeng lain.
Sementara ketiga orang kawannya bertempur, orang yang seakan-akan menjadi bisu di pinggir arena itu mencoba berpikir.
Tiba-tiba saja ia berniat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Meskipun ia tidak bertenaga, tetapi orang lain tentu tidak mengetahuinya selain Mahisa Bungalan sendiri, dan ketiga orang kawannya.
Karena itu, maka timbullah niatnya untuk kembali ke gubugnya di tengah-tengah hutan.
Ia akan membawa perempuan yang disembunyikan di dalam gubug itu kepada ketiga orang kawannya.
Dengan isyarat ia akan memaksa Mahisa Bungalan menyerah.
Jika tidak, maka ia akan membunuh perempuan itu, atau salah seorang dari kedua orang kawannya itu tentu akan dapat melakukannya.
Oleh pikiran itu, maka iapun kemudian beringsut selangkah demi selangkah.
Ia masih mampu berjalan menuju ke gubugnya.
Kemudian memaksa perempuan itu berjalan dengan ancaman pedang pada punggungnya"Tidak ada pedang lagi digubug itu"
Desisnya di dalam hati "pandai besi itu lamban benar menyiapkan pedang kami"
Namun orang itu mengharap bahwa mereka akan dapat menemukan senjata. Mungkin parang, mungkin cundrik atau jenis senjata apapun juga. Namun ternyata Mahisa Bungalan melihatnya berkisar. Bahkan Mahisa Bungalan melihat orang itu meninggalkan arena.
"Gila"
Desis Mahisa Bungalan "kenapa aku tidak melumpuhkannya saja?"
"Tetapi ia masih harus berhadapan dengan ketiga orang lawannya. Kegelisahannya kemudian telah menumbuhkan hentakan kekuatan sehingga ilmu yang dipelajarinya dari orang tua itu, yang seolah-olah menjadi alas kemampuannya, ternyata semakin kuat berpengaruh atas dirinya. Karena itulah, maka Mahisa Bungalanpun seolah-olah mampu bergerak seperti loncatan kilat di langit. Menyambar dengan dahsyatnya. Pedangnya, meskipun sudah patah, namun merupakan isyarat maut yang setiap saat berputar menghampiri ketiga orang lawannya berganti- ganti. Ketiga orang yang berjalan tertatih-tatih itu sudah tidak nampak lagi, maka kegelisahan Mahisa Bungalanpun meningkat. Namun dengan demikian, yang tidak begitu dikenalnya pada dirinya sendiri, telah muncul dari dalam dirinya. Justru ilmu yang mengalasi ilmu yang pernah dimilikinya lebih dahulu. Karena itu, maka Mahisa Bungalan kadang-kadang masih keheranan terhadap kemampuannya sendiri. Namunyang semakin lama semakin mapan dan dikenalnya dengan baik. Bahkan kemudian Mahisa Bungalan dengan sengaja telah menghentakkan kecepatan dan segenap kekuatannya. Ia ingin menjajagi. sampai dimanakah puncak kemampuan yang sebenarnya dimiliki atas alas dari ilmunya. Namun demikian, maka Mahisa Bungalan benar-benar merupakan seekor burung sikatan yang bergerak secepat kilat, namun juga seekor gajah yang kekuatannya tidak terkira. Ternyata kemudian, ketiga orang lawannya tidak mampu lagi mengimbangi ilmu Mahisa Bungalan yang dahsyat itu. Mereka sama sekali tidak berhasil terus menerus menghindari kecepatan bergerak Mahisa Bungalan yang selalu mengejarnya. Karena itu, maka dalam keadaan yang tidak dapat dihindari lagi, senjata Mahisa Bungalan telah menggores pada tubuh lawannya pula. Bukan sekedar segores kecil, tetapi ternyata pundak lawannya telah disobeknya. Belum lagi gema teriakannya lenyap, maka yang lain telah mengaduh pula. Mahisa Bungalan yang marah itupun telah berhasil melukai dada lawannya yang lain. Dalam pertempuran berikutnya, maka Mahisa Bungalan tidak lagi membuat pertimbangan-pertimbangan khusus bagi lawangnya. Apalagi karena orang yang sudah dibuatnya tidak berdaya itu, bagaikan hilang dibalik rimbunnya dedaunan hutan. Dengan demikian, maka yang ingin dilakukannya, adalah menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Kemudian menyusul orang yang telah melarikan diri itu.
"Ia tidak akan dapat pergi jauh"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.Demikianlah, dalam puncak kemarahan dan kegelisah annya.
Mahisa Bungalan telah bertempur dengan segenap kemampuan dan kekuatannya.
Seorang demi seorang, ketiga lawannya telah dilukainya.
Bahkan sejenak kemudian, seorang lawannya yang tidak dapat lagi bertahan karena darahnya yang mengalir bercururan dari lukanya telah kehilangan segenap kekuatannya dan jatuh terkulai bersandar sebatang pohon yang besar.
Dua orang lawannya tidak banyak berarti lagi bagi Mahisa Bungalan yang kemampuannya seakan-akan sama sekali tidak susut.
Bahkan pedangnya mampu bergetar lebih cepat dan lebih kuat, menebas lawannya seorang demi seorang, sehingga akhirnya ketiga-tiganya telah roboh di tanah.
Demikian ketiga lawannya telah dilumpuhkan, maka Mahisa Bungalanpun dengan tergesa-gesa berlari mencari orang yang telah hilang itu.
Namun Mahisa Bungalan ternyata masih sempat berpikir.
Ia sadar, bahwa orang itu tidak akan berbahaya lagi bagi siapapun juga.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seandainya ia menemukan sebuah pisau belati sekalipun, ia tidak akan mempunyai kekuatan cukup untuk menusuk seseorang sehingga membahayakan jiwanya.
Karena itu, Mahisa Bungalan justru tidak ingin segera menangkapnya.
Bahkan ketika ia sudah berhasil menemukan jejaknya pada rerumputan dan ranting-ranting yang patah terseret kakinya, maka iapun hanya mengikutinya saja.
Seperti yang diduga oleh Mahisa Bungalan, maka gubug orang itu sudah tidak terlalu jauh.
Dari antara semak-semak Mahisa Bungalan kemudian melihat orang itu tertatih-tatih menuju ke pintu sebuah gubug kecil.Namun Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar dengan sebilah bindi di tangan.
Dengan dada tengadah ia memandang orang yang datang tertatih-tatih.
"He, kenapa kau?"
Orang itu tidak dapat mejawab. Ia mencoba memberikan isyarat. Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu tidak segera menangkapnya.
"Di mana kawan-kawanmu he?"
Orang itu bertanya lebih keras. Tetapi yang ditanya tidak dapat menjawab.
"Apa kau menjadi tuli? Atau bisu?"
Orang bertubuh tinggi besar itu terkejut karena kawannya itu mengangguk sambil menunjuk mulutnya.
"Kau bisu? Kenapa?"
Orang itu ternyata dapat memberikan isyarat yang lain.
Ia mencoba menunjuk bagian di bawah telinganya yang ditetak dengan jari oleh Mahisa Bungalan.
Orang itu mengerutkan keningnya.
Selangkah ia maju dan kemudian mengamat-amati bagian yang ditunjuk oleh orang yang menjadi bisu itu.
Dengan jari-jarinya ia mencoba meraba.
Kemudian memijit dan menekan.
Namun ia tidak berhasil membebaskannya dari gangguan syaraf yang telah dilakukan oleh Mahisa Bungalan.
Karena itu, maka orang itupun menggeram.
Sejenak ia memandang ke sekelilingnya.
Sementara orang yang menjadi bisu itu mencoba menunjuk ke arah arena pertempuran yang telah ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan itu.Agaknya orang itu mengerti, bahwa orang yang telah menjadi bisu itu menunjuk ke tempat yang gawat.
Karena itu, maka iapun segera meloncat sambil berkata "Jaga perempuan itu"
Orang yang bisu itu tidak dapat menjawab.
Ia hanya melihat kawannya yang bertubuh raksasa itu meninggalkannya menuju ke tempat yang ditujunya.
Mahisa Bungalan membenamkan diri di tempat persembunyiannya.
Ia tidak ingin dilihat oleh orang bertubuh raksasa itu, karena, ia belum yakin, bahwa di gubug itu tidak ada orang lain lagi yang akan dapat mencelakai perempuan yang disebutnya.
Demikian orang bertubuh raksasa itu hilang, maka Mahisa Bungalanpun segera meloncat dari balik gerumbul dan langsung berlari ke pintu gubug itu.
Betapa terkejutnya orang yang telah terganggu syarafnya itu.
Namun ia benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia hanya dapat menyaksikan Mahisa Bungalan berlari memasuki gubug kecil di dalam hutan itu.
Sejenak kemudian terdengar jerit tertahan.
Ketika Mahisa Bungalan mendorong pintu yang diselarak dari luar, maka seorang perempuan telah berdiri ketakutan di sudut sambil berteriak "Pergi, pergi"
Mahisa Bungalan tertegun.
Ia sadar, bahwa perempuan itu telah mengalami tekanan jiwa yang luar biasa.
Adalah masuk akal bahwa perempuan itu tidak dibunuh karena anak laki-lakinya masih belum dapat diketemukan.
Mungkin perempuan itu masih akan dapat dipergunakan untuk umpan agar anak laki-lakinya dapat ditangkapnya.
Tetapi apabila anak laki-lakinya itu sudah berada di tangan orang-orang yang liar dan buas itu, maka nasib mereka berdua tentu akan menjadi sangat buruk.
Apalagi nasibperempuan yang ada di dalam bilik itu.
Perempuan yang tidak terlalu buruk.
Bahkan wajah itu pernah memikat seorang Pangeran yang sedang pergi berburu.
Karena Mahisa Bungalan masih tetap di tempatnya, maka sekali lagi perempuan itu berteriak "Pergi, pergi.
Atau bunuh aku sama sekali"
Mahisa Bungalan yang masih memegang sebilah pedang itupun maju selangkah. Namun agaknya perempuan itu salah paham. Karena itu sekali lagi ia menengadahkan dadanya sambil berkata "Bunuh aku. Bunuh saja"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Baru sejenak kemudian ia berkata "Aku tidak bermaksud buruk"
"Omong kosong. Kembalikan anakku atau bunuh aku"
"Cobalah dengar kata-kataku"
Berkata Mahisa Bungalan "aku bukan dari antara orang-orang yang telah menangkapmu. Aku adalah orang yang datang dengan maksud yang lain"
"Omong kosong"
"Aku akan membuktikan. Kau lihat pedangku yang merah karena darah. Aku sudah bertempur melawan beberapa orang yang barangkali mendapat tugas menjagamu dan sekaligus mencari anakmu yang diselamatkan oleh kakeknya itu. Jangan takut. Mungkin kau perlu berhubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata"
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Lalu "Siapa kau?"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Lalu "Aku utusan Pangeran Kuda Padmadata. Keadaanmu sudahdidengarnya. Karena itu, maka Pangeran sudah mengutus aku untuk melihat keadaanmu"
Wajah orang itu nampak berubah. Tetapi kemudian ketakutan itu telah menjalar lagi di hatinya. Dengan suara nyaring ia berteriak "Jangan menipu aku. Aku belum pernah melihatmu"
"Aku memang seorang anak padesan. Aku mendapat perintah dari kakek tua yang menyembunyikan cucunya setelah mengalami keadaan yang pahit, mereka berhasil berhubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata. Karena itu, saluran perintah yang sampai kepadaku, sebenarnyalah perintah Pangeran Kuda Padmadata"
Perempuan itu masih ragu-ragu.
"Kakek tua itu tentu ayahmu. Dan cucu laki-lakinya itu tentu anakmu. Mereka masih selamat. Mereka menunggumu sebelum mereka dan kau akan bersama-sama menghadap Pangeran Kuda Padmadata"
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba- tiba ia berteriak "Kau akan menjebakku. Pangeran Kuda Padmadata sudah bersiteri di Kediri. Seorang puteri bangsawan. Jika kau membawaku kesana maka aku akan dibunuhnya"
"Mungkin Pangeran Kuda Padmadata dapat mengingkarimu. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia akan dapat mengingkari anaknya sendiri"
"Justru anak itu adalah sasaran yang utama. Anak itulah yang akan dibunuhnya. Aku bukan apa-apa bagi mereka. Tetapi anak itu"
Mahisa Bungalan menjadi gelisah.
Nampaknya perempuan yang dicengkam oleh ketakutan itu tidak lagi dapat mudah mempercayai seseorang.Sementara itu, ketika Mahisa Bungalan berlari memasuki gubug kecil itu, orang yang sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi dan menjadi bisu itu, telah berusaha dengan secepat dapat dilakukan, menyusul orang yang bertubuh tinggi kekar.
Tertatih-tatih ia berjalan diantara semak- semak.
Betapa letih dan penat tulang-tulangnya tidak dihiraukannya.
Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi dan kekar itu telah sampai kearena pertempuran yang telah ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan.
Yang ditemuinya adalah tiga orang kawannya yang telah terbaring diam.
Karena darah yang mengalir tidak tertahankan, maka mereka tidak dapat bertahan lebih lama lagi, sehingga maut ternyata telah menjemputnya.
"Gila"
Teriak orang bertubuh tinggi kekar itu.
Namun ia tidak melihat seorangpun di sekitarnya.
la sadar bahwa orang yang telah berhasil membunuh ketiga orang kawannya itu telah meninggalkan mereka.
Betapa hatinya menjadi panas bagaikan disentuh bara.
Meskipun orang yang telah membunuh kawannya itu tentu orang yang luar biasa, namun orang bertubuh raksasa itu merasa, bahwa apabila ia sempat bertemu, maka ia akan mencoba apakah orang itu dapat mengalahkannya.
Selagi ia termangu-mangu diantara beberapa sosok mayat itu, maka orang yang bisu itu datang berlari kecil sambil terhuyung-huyung.
Hanya itulah yang mampu dilakukannya.
"He, apa yang kau lihat?"
Bertanya orang bertubuh raksasa itu. Dengan nafas terengah-engah kawannya yang telah menjudi bisu itu memberikan isyarat sambil menunjuk ke arah gubug yang ditingalkannya."la pergi kesana?"
Orang bertubuh tinggi itu bertanya.
Orang yang bisu itu mengangguk.
Tidak perlu keterangan lebih banyak lagi.
Orang bertubuh raksasa itupun berlari kembali ke gubug yang ditinggalkannya.
Sementara orang yang telah kehilangan sebagian besar dari kemampuannya itu tiba-tiba saja telah terjatuh karena kelelahan.
Nafasnya menjadi tersengal-sengal dan badannya seakan-akan menjadi lumpuh sama sekali.
Dalam keadaannya, ia telah melakukan sesuatu yang melampaui kekuatan yang ada padanya.
Dalam pada itu, maka orang bertubuh raksasa itupun dengan tangkasnya meloncati gerumbul-gerumbul perdu menuju ke gubug yang ditinggalkannya.
Mahisa Bungalan yang masih berada di dalam gubug itupun segera mendengar langkah orang berlari.
Dengan gelisah ia berkata "Nah, dengar.
Salah seorang dari mereka telah datang.
Itu berarti bahwa aku harus bertempur lagi.
Aku harus membunuh atau dibunuh"
Peremnuan itu masih tetap dicengkam dalam kebingungan.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat menunggu lebih lama lagi.
Sejenak kemudian, ia mendengar derak pintu patah.
Meskipun pintu depan gubug itu terbuka, tetapi orang bertubuh raksasa itu telah menerjang uger-uger pintu itu, sehingga pecah berserakan.
Sejenak kemudian, Mahisa Bungalan melihat seorang bertubuh raksasa itu telah berdiri di muka pintu.
Dengan suara yang gemuruh ia berteriak "Menelungkuplah.
Aku akan memecahkan kepalamu dengan bindiku ini"Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.
Sementara perempuan itu benar-benar menjadi ketakutan, sehingga di luar sadarnya ia telah jatuh terduduk.
"Cepat, sebelum aku marah. Jika aku marah, maka aku tidak akan segera memecahkan kepalamu. Tetapi aku akan memecahkan kakimu, tanganmu dan tulang-tulang igamu. Kau akan bertahan hidup dalam keadaan yang demikian barang tiga empat hari"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Aku sudah dengan sengaja memasuki sarang serigala.
Karena itu, maka aku akan bertahan atas segala akibat yang dapat terjadi.
Aku sudah melumpuhkan lima orang kawanmu.
Sekarang kau tinggal seorang diri"
"Persetan, tetapi aku seorang diri tidak kalah dengan lima orang kawanku yang telah kau bunuh itu"
Mahisa Bungalanpun melihat, bahwa orang itu adalah seorang yang tentu memiliki kemampuan yang luar biasa.
Tubuh raksasanya telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu tentu memiliki kekuatan yang sangat besar.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun harus berhati- hati Ia tidak boleh gagal, jika ia gagal, maka bukan ia sendirilah yang akan menjadi korban, tetapi juga perempuan yang ke takutan itu tentu akan mengalami akibat yang sangat buruk.
"Aku sudah berjanji kepada kakek tua itu untuk tidak mencari perkara. Tetapi aku tidak akan dapat melewatkan kesempatan untuk menolong perempuan itu"
Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh tinggi besar itupun tidak sabar lagi. Selangkah ia maju dengan bindi yang besar mulai terayun di tangannya."Kau akan bertempur di tempat yang sempit ini?"
Bertanya Mahisa Bungalan.
Tetapi orang itu tidak menjawab.
Tiba-tiba saja bindinya terayun deras sekali mengarah ke pundak Mahisa Bungalan.
Agaknya orang itu benar-benar belum ingin memecahkan kepalanya.
Tetapi sekedar ingin melumpuhkannya, meskipun Mahisa Bungalan percaya bahwa orang itu pasti akan membunuhnya pula pada akhirnya.
Tetapi dengan cara perlahan-lahan.
Ayunan bindi yang besar itu sama sekali tidak mengecilkan hati Mahisa Bungalan.
Meskipun Mahisa Bungalanpun menyadari, bahwa yang dilakukan oleh orang itu bukannya batas kemampuannya.
Dengan mudah Mahisa Bungalan dapat menghindarinya, tetapi yang kemudian ternyata mengejutkannya adalah akibat ayunan bindi yang tidak mengenainya itu.
Bindi itu ternyata telah menyentuh tiang gubug kecil itu.
Demikian keras ayunannya, sehingga tiang gubug itu telah terangkat dengan derasnya dan terlempar ke samping.
Dengan demikian maka dinding gubug itupun telah berderak dan terbuka.
Bahkan ternyata kemudian karena tiangnya terangkat dan terlempar, maka atapnyapun telah runtuh karenanya meskipun tidak dengan serta merta.
Terdengar perempuan itu memekik.
Mahisa Bungalan yang ada di dalam gubug itu pula bergeser selangkah.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata bahwa tidak seluruh atapnya runtuh, karena masih ada beberapa tiang yang lain yang tetap berdiri.
Namun dengan demikian, gubug itu telah menjadi berserakan.
Dengan tangkasnya Mahisa Bungalan meloncat menyusup diantara reruntuhan atap itu menuju ke pintu.
"Jangan lari"
Teriak raksasa itu.Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya.
Iapun meloncat dengan cepat keluar gubug yang runtuh itu, sementara lawannya telah mengejarnya.
Demikianlah yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan Di tempat tarbuka ia berhenti sambil mengacukan pedangnya yang sudah patah sambil berkata "Kemarilah.
Kita mendapat tempat yang lebih baik disini untuk bermain- main"
Orang bertubuh raksasa itu melangkah mendekat. Wajahnya menjadi tegang oleh kemarahan. Ternyata Mahisa Bungalan sama sekali tidak gentar melihat sikapny4a.
"Jangan menyesal bahwa kau akan mengalami nasib yang sangat buruk disini "
Orang itu menggeram.
"Kau atau aku? Jika kau mampu melakukan apa saja untuk menyakiti korbanmu, kau kira aku tidak? Beruntunglah kawan-kawanmu yang aku bunuh dengan cepat, tetapi, terhadapmu mungkin aku mempunyai pertimbangan lain seperti orang yang aku buat setengah lumpuh dan bisu itu"
"Persetan"
Orang itu berteriak "akulah yang akan membunuhmu"
Tetapi ternyata Mahisa Bungalanpun berteriak lebih keras "Aku yang akan membunuhmu. Aku akan membawa perempuan itu karena aku memerlukannya"
"Gila"
Orang itu mamekik tinggi. -oo0dw0oo-
Jilid 07 MAHISA Bungalan menyahut lebih keras "Kau gila. Berjongkoklah dan menyembah. Aku adalah utusan Pangaran Kuda Padmadata"
Kata-kata itu ternyata mengejutkan orang bertubuh raksasa itu. Namun kemudian wajahnya menjadi semakin membara. Katanya "Jika kau benar utusan Pangeran Kuda Padmadata. maka kau benar-benar harus dihukum picis"
"Aku membawa perintah, membunuh siapa saja yang mencoba merintangi usahaku membebaskan perempuan itu, dan membawanya kembali kepada suaminya. Pangeran Kuda Padmadata dan kemudian mencari anaknya yang hilang. Jika aku dapat menangkap kau hidup, atau orang yang setengah lumpuh dan bisu itu, akan dapat kami peras untuk menunjukkan, dimana anak Pangeran Kuda Padmadata itu kalian sembunyikan"
Orang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak menunggu.
Ia langsung meloncat menyerang dengan garangnya.
Bindinya terayun deras sekali.
Bukan sekedar untuk menakut-nakuti benar-benar serangan maut.
Namun Mahisa Bungalan masih sempat mengelak.
Bahkan kemudian meloncat maju dangan pedang terjulur lurus mangarah ke dada lawannya.
Tetapi orang bertubuh raksasa itupun mampu bergerak dengan tangkas.
Ia mengelak ke samping, sementara dengan bindinya ia berusaha memukul pedang Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan yang belum berhasil menjajagi kekuatannya, tidak membiarkan pedangnya terlepas dari tangannya.
Karena itu.
muka lapun segera menariknya, namun dengan putaran yang cepat pedang itu langsungmematuk orang bertubuh raksasa itu.Sekali lagi lawannya harus menghindar bahkan bindinya kemudian terayun langsung munyambar kepala Mahisa Bungalan.
Tetapi Mahisa Bungalunpun dengan cepat menunduk, sehingga bindi itu terayun dekat di atas kepalanya.
Desir angin yang menyentuh tubuh Mahesa Bungalan memberikan isyarat kepadanya, bahwa orang itu adalah orang yang memiliki kekuatan yang luar biasa.
Dengan demikian maka pertempuran itupun segera meningkat semakin dahsyat.
Mahisa Bungalan bergerak semakin cepat, sementara lawannya memiliki kekuatan raksasa yang sulit dicari duanya.
Mahisa Bungalan telah bertempur beberapa rambahan.
la sudah bertempur melawan dua orang cli sebelah pasar.
Kemudian melawan tiga orang yang telah terbunuh di hutan.
Kini ia harus bertempur dengan seorang yang agaknya adalah pimpinan mereka.
Namun yang seorang ini ternyata memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari kawan- kawannya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi heran pada dirinya sendiri.
Meskipun ia sudah bertempur tiga rambahan.
Namun ia sama sekali tidak merasa letih.
Kekuatannya masih belum susut.
Bahkan semakin deras keringatnya mengalir, kekuatannya jusru seolah-olah semakin bertambah-tambah.
Ayunan pedangnya menjadi semakin deras dan gerakannya semakin cepat.
Pedang yang telah patah itu bagaikan berputaran mengelilingi lawannya.
Sekali-sekali sentuhannya seolah-olah menyusup disetiap lubang putaran bindi lawannya.
Betapapunbesar tenaga dan kemampuan orang yang bertubuh raksasa itu, namun dengan memeras segenap kemampuannya melawan kecepatan gerak MahisaBungalan, maka tenaganya mulai menjadi surut.
Bindinya tidak lagi berputar seperti baling-baling, sementara kakinya menjadi semakin berat.
Namun demikian, bindinya masih tetap berbahaya bagi Mahisa Bungalan.
Jika bindi itu berhasil menyentuh tubuhnya, maka kulitnya akan terkelupas dan tulang- tulanghya akan diremukkannya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan masih tetap berhati- hati.
Namun kecepatannya bergerak telah membingungkan lawannya.
Justru semakin lama semakin cepat.
Pada saat kekuatan dan kemampuan lawannya susut, kekuatan dan kemampuan Mahisa Bungalan justru seolah- olah menjadi berlipat.
Karena itulah, maka orang bertubuh raksasa itu mulai merasa terdesak.
"Menyerahlah"
Berkata Mahisa Bungalan "katakan dimana anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata. Katakan siapa yang menyuruhmu melakukan pengkhianatan itu. Katakan untuk apa semuanya itu kau lakukan, dan berapa kau mendapat upah"
Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati. Hampir berteriak orang itu menjawab "Persetan. Kaulah yang harus menyerah agar aku tidak akan membunuhmu dengan perlahan-lahan"
"Jangan sebui lagi. Kata-kata itu merangsang aku untuk melakukannya. Jika kau berulang kali mengatakannya, rnaka aku benar-benar akan menangkapmu hidup dan menghukum picis sampai mati. Mungkin kau akan mati dalam tiga hari, tetapi mungkin lebih"
"Persetan"
Orang itu menggeram.
Namun terasa bulu tangkuknya meremang, la sudah menyadari, bahwa ia mulai terdesak.
Karena itu, jika benar-benar seperti yangdikatakan oleh orang itu, maka alangkah tersiksanya mati perlahan-lahan.
Karena itu, maka orang bertubuh raksasa yang tidak mengenal siapa sebenarnya lawannya itupun mulai membuat perhitungan.
Lebih baik baginya untuk mati bertempur daripada mati perlahan-lahan.
Perhitungan itulah yang tidak disadari Mahisa Bungalan.
la tidak sengaja mendesak orang itu untuk memilih mati.
la hanya ingin memaksa lawannya untuk menyerah.
Namun agaknya yang terjadi adalah berbeda dengan yang diharapkannya.
Orang bertubuh raksasa itu benar-benar telah bertempur dengan mengerahkan segenap tenagna dan kemampuannya.
Mahisa Bungalan merasakan betapa orang itu menghentak-hentak dengan sepenuh tenaganya.
Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan merasa, bahwa kekuatannya sudah menjadi semakin susut.
"Jangan kau paksa dirimu"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Persetan"
Orang itu berteriak "jangan banyak bicara. Aku akan membunuhmu dan mencincangmu sampai lumat"
"Jangan kau bohongi dirimu sendiri. Tenagamu mulai susut. Menyerahlah. Aku hanya memerlukan keterangan- keterangan itu"
Orang bertubuh raksasa itu tidak menghiraukannya.
Namun dengan demikian, untuk mengimbangi kemampuannya yang mulai susut, maka iapun bertempur semakin liar dan buas.
Perhitungannya menjudi semakin kabur Bahkan kadang-kadang orang bertubuh raksasa itu telah kehilangan pengendalian dan perhitungan nalar.Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan justru menjadi semakin berhati-hati.
Orang yang menjadi liar itu dapat berbuat apa saja diluar perhitungan.
Namun, Mahisa Bungalan membiarkannya menjadi semakin letih.
Bahkan kemudian orang itu mulai terseret oleh ayunan bindinya yang berat itu, ia terhuyung-huyung beberapa langkah.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Bungalan, akan dengan mudah menghunjamkan pedangnya yang patah.
Namun ia tidak melakukannya, la memang ingin menangkap orang itu hidup-hidup.
Kemudian menanyakan beberapa hal kepadanya tentang Pangeran kuda Padmadata.
Perlahan-lahan namun pasti orang bertubuh raksasa itu akan kehilangan kekuatannya.
Sekali-sekali ia kehilangan keseimbangan.
Bindinya tidak lagi dapat dikuasainya.
Bahkan matanya mulai memancarkan keputus-asaan yang mencengkam jantungnya.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak menusuk dadanya dengan pedang.
Dibiarkannya saja lawannya kehabisan tenaga dan jatuh terbaring di tanah dengan nafas tersengal.
Ternyata bahwa orang bertubuh raksasa itu benar-benar tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Ketika ia mengayunkan bindinya memukul kepala Mahisa Bungalan, maka justru orang itu sendiri terbanting jatuh di tanah.
Sejenak Mahisa Bungalan menunggu.
Dengan susah payah orang itu berusaha berdiri.
Namun ketika ia berhasil tegak, maka pedang Mahisa Bungalan telah melekat di punggungnya.
"Apakah kau benar-benar tidak ingin hidup lagi?"
Bertanya Mahisa Bungalan.Betapapun beraninya orang bertubuh raksasa itu, dan betapapun kuat pertimbangannya untuk memilih mati dari pada hidup untuk mengalami siksaan, namun ketika terasa pedang lawan melekat di punggung, ternyata bahwa iapun tidak berani bergerak dan berbuat sesuatu.
"Lepaskan senjatamu yang hanya memberati tanganmu saja"
Berkata Mahisa Bungalan. Karena orang itu tidak segera melakukannya, maka Mehisa Bungalan telah menekan punggungnya sambil menggeram "Cepat. Lakukan"
Orang itu tidak dapat melawan. Bindinyapun kemudian dilepaskannya jatuh di tanah. Demikian bindinya terlepas, maka Mahisa Bungalanpun kemudian mendorongnya sehingga orang itu jatuh tertelungkup. Dengan suara tertahan ia berdesah.
"Duduklah"
Perintah Mahisa Bungalan. Orang itupun kemudian duduk di tanah dengan nafas terengah-engah.
"Jawablah pertanyaanku"
Berkata Mahisa Bungalan. Orang itu termangu-mangu sejenak.
"Apakah hubunganmu dengan Pangeran Kuda Padmadata?"
Bertanya Mahisa Bungalan. Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu- mangu. Namun ia tidak menjawab.
"Jawablah. Meskipun aku tidak tergesa-gesa. Tetapi semakin cepat agaknya semakin baik"
Orang itu membetulkan letak duduknya.
Namun sebenarnyalah ia justru mencoba beristirahat untuk memperbaiki pernafasannya.
Niatnya untuk tidak membiarkan dirinya terperas masih tetap menyala dihatinya.
Bahkan ketika nafasnya mulai teratur maka keberaniannya telah tumbuh lagi di dalam jantungnya.
"Apakah kau tidak dapat menjawab?"
Desak Mahisa Bungalan.
"Aku akan menjawab"
Berkata orang itu "tetapi apakah aku diperkenankan mengatur pernafasan sejenak, agar aku dapat berbicara dengan lancar"
Mahesa Bungalan mengerutkan keningnya. Kemudian sambil mengangguk ia berkakta "Aku memberimu waktu sekadarnya"
"Terima kasih"
Berkata orang itu sambil terengah-engah.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Bungalan bertempur melawan raksasa itu, perempuan yang masih berada di dalam gubug itu telah mengintip apa yang telah terjadi.
Tetapi karena sebagian gubug itu telah roboh, maka ia tidak berhasil keluar dari dalamnya.
Karena itu, ketika ia menganggap bahwa pertempuran itu sudah selesai, maka iapun telah memanggil "Ki sanak.
Tolonglah aku keluar dari tempat ini"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Bungalan berpaling.
Adalah diluar sadarnya, bahwa iapun kemudian melangkah mendekat mengangkat atap yang roboh menutup jalan keluar dari gubug itu.
Pada saat itu, maka orang bertubuh raksasa itu telah merasa dirinya menjadi segar kembali, la merasa mendapat kesempatan untuk berbuat seminim sesuatu.
Pada saat Mahisa Bungalan mengangkat atap untuk membuka jalan dengan sebelah tangannya, maka dengan serta merta orang yang bertubuh raksasa itu telah meloncat meraih bindinya dengan sigapnya ia meloncat dengan bindi terayun tepat keatas kepala Mahisa Bungalan.Perempuan yang melihat orang meloncat, menjerit sekuat-kuatnya.
Sementara Mahisa Bungalanpun telah mendengar langkah kaki di belakangnya.
Karena itu, dengan serta merta, diluar kemampuannya untuk mengendalikan dirinya, maka ia berpaling.
Sekilas ia melihat bindi yang terayun ke kepalanya.
Dengan cepatnya ia merendah dan bergeser ke samping.
Namun ternyata ia tidak dapat membebaskan diri seluruhnya.
Ternyata bahwa bindi itu masih menyentuh pundak kirinya sehingga kulitnya terkelupas.
Pada saat itulah, maka pertimbangannya bagaikan menjadi pepat.
Yang dikerjakan kemudian adalah sebelah tangannya yang masih menggenggam pedang itupun terjulur lurus ke depan.
Yang terdengar adalah teriakan tertahan.
Pedang Mahisa Bungalan yang patah ujungnya itu tiba-tiba saja telah menghunjam ke perut orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Bungalan terhentak sesaat.
Namun iapun kemudian menarik pedangnya dan membiarkan raksasa itu roboh di tanah.
Mati.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Kematiannya itu terlalu cepat terjadi.
Sebenarnya ia tidak ingin membunuh orang itu.
Jika memungkinkan, orang itu akan di bawanya kepada kakek tua yeng sedang melindungi cucunya itu.
Jika ia sependapat, maka orang itu akan dihadapkannya kepada Pangeran Kuda Padmadata.
Biarlah ia memberikan keterangan kepada Pangeran itu tentang isteri dan anaknya yang hilang dan memberitahukan kepadanya, siapakah yang telah berkhianat.
Tetapi orang itu telah mati.Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Ia masih mempunyai dua orang yang hidup diantara mereka.
Seorang yang dibuatnya hampir lumpuh dan bisu.
Ia dapat menyembuhkannya dan kemudian memaksa orang itu untuk berbicara.
"Tetapi yang diketahuinya tentu sangat terbatas"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hati, yang paling banyak mengetahui tentu orang bertubuh raksasa yang terbunuh itu.
Namun Mahisa Bungalan tidak dapat terlalu lama merenung.
Iapun segera berusaha menolong perampuan yang terkurung itu.
Ketika perempuan itu berhasil keluar dari gubug yang sebagian telah runtuh itu, maka kecurigaannya terhadap Mahisa Bungalanpun menjadi semakin berkurang, la sudah melihat, bagaimana Mahisa Bungalan telah bertempur mempertaruhkannyawanya melawan raksasa yang telah menyekapnya di dalam gubug itu.
"Marilah"
Berkata Mahisa Bungalan "sebelum hal ini mempunyai akibat yang tidak kita kehendaki. Ikutlah uku"
"Apakah benar Ki Sanak utusan Pangeran Kuda Padmadata?"
Bertanya perempuan itu. Dengan tidak langsung memang demikian, tetapi marilah kita meninggalkan tempat ini. Mungkin ada satu dua orang yang tidak senang melihat peristiwa ini dan melaporkan kepada orang yang tidak kita kehendaki"
"Aku tidak melihat orang lain kecuali raksasa itu dengan kelompoknya"
Jawab perempuan itu.
"Siapa tahu di bagian hutan yang lain. Penjaga hutan yaug ditumbuhi oleh pohon-pohon yang khusus, yangmeskipun tidak bersangkut paut secara langsung, tetapi ingin mendapat keuntungan dari peristiwa ini"
Perempuan itu tidak menjawab.
Tetapi ia mengangguk kecil.
Sementara itu, maka Mahisa Bungalanpun membawa perempuan itu sambil mencari orang yang telah dibuatnya setengah lumpuh dan bisu.
Bagaimanapun juga, orang itu akan dapat dipergunakannya, la akan dapat menyembuhkannya dengan membuka simpul-simpul syarafnya yang telah membeku karena sentuhan jari-jarinya.
Namun Mahisa Bungalan terkejut ketika menemukan orang itu terbaring di atas rerumputan.
Matanya terpejam, dan nafasnya sudah tidak mengalir lagi.
"Ia mati"
Mahisa Bungalan berdesis "apakah ada orang lain yang membunuhnya?"
Sejenak Mahisa Bungalan berjongkok di samping orang itu.
Namun kemudian diketahuinya bahwa orang itu telah memaksa diri untuk bergerak terlalu banyak, melampaui kemampuannya.
Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa orang itu telah mencoba membuka simpul-simpul syarafnya dengan cara yang salah.
"Urat darahnya benar-benar telah membeku dan menutup saluran karena kesalahannya sendiri"
Berkata Mahisa Bungalan "dalam keadaan yang lemah, seharusnya ia tidak berbuat demikian"
Perempuan itu tidak tahu, apa yang telah terjadi. Karena itu ia sama sakali tidak mengatakan sesuatu.
"Masih ada satu orang lagi"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Mungkin orang itu dapat diajak berbicara"Dengan tergesa-gesa Mahisa Bungalan membawa perempuan itu menuju ke pasar, ia masih mempunyai harapan untuk dapat bertanya serba sedikit terhadap orang yang telah dilukainya, tetapi ia tidak dibunuhnya.
Namun sakali lagi Mahisa Bungalan harus kecewa.
Orang itupun ternyata meninggal.
Darahnya terlalu banyak mengalir dari luka-lukanya, sehingga jiwanya tidak dapat tertolong lagi.
Dengan demikian, Mahisa Bungalan telah melakukan pembunuhan berturut-turut atas beberapa orang pengawal.
Namun ia tidak dapat menghindarinya bahwa hal itu harus terjadi.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun menyerahkan mayat-mayat itu kepada orang-orang yang masih ada di pasar, untuk menyelenggarakan sebagaimana mestinya.
"Lakukanlah. Keluarga mereka tentu akan mengucapkan terima kasih"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Tetapi bagaimana jika mereka justru marah kepada kami"
Bertanya salah seorang dari mereka.
"Katakanlah, seorang perwira dari Singasari telah membebaskan seorang isteri Pangeran dari Kediri yang berada di bawah kekuasaan beberapa orang pengawal hutan tertutup itu dengan maksud yang tidak diketahui. Yang mati terbunuh itulah orang yang telah menahan seorang perempuan, isteri seorang Pangeran meskipun perempuan itu sendiri berasal dari padesan. Katakanlah, bahwa perwira Singasari itu akan membawa perempuan itu kepada suaminya di Kediri"
Orang-orang di pasar itu termangu-mangu. Sejenak mereka memandang Mahisa Bungalan yang pernah mereka lihat sebelumnya. Pandai besi yang masih ada di pasaritupun berkata "Aku minta maaf tuan. Ternyata tuan adalah seorang perwira dari Singasari"
"Lakukanlah yang aku katakan. Jangan takut. Ajaklah kawan-kawanmu yang justru bersembunyi karena peristiwa ini. Semua pengawal telah terbunuh diluar kehendakku. Lima atau enam orang, dengan seorang yang bertubuh raksasa itu"
Pandai besi itu mengangguk-angguk.
"Lain kali aku akan datang. Aku akan melihat, apakah ada yang berusaha membalas dendam, justru kepada orang yang tidak bersalah. Jika ada, maka prajurit-prajuritku akan menghancurkan mereka sampai lumat"
"Ya, ya tuan. Kami akan melakukannya"
Mahisa Bungalan yang sudah melangkah meninggalkan pandai besi itu tertegun. Dilihatnya perempuan penjual semelak itu memandanginya dengan perasaan takut dan cemas. Apalagi ketika Mahisa Bungalan mendekatinya.
"Ampun tuan. Aku tidak mengetahui siapa tuan sebenarnya"
Mahisa Bungalan tersenyum. Diambilnya beberapa keping uang dan diberikannya kepada perempuan itu.
"Aku sudah berhasil menjual ujung pedang patah itu. Karena itu, aku ingin membayar semelak yang sudah aku minum"
"Tetapi ini terlalu banyak tuan"
Berkata perempuan itu. Mahisa Bungalan hanya tertawa saja. Kemudian diajaknya isteri Pangeran Kuda Padmadata itu meninggalkan pasar itu dengan langkah yang semakin lama semakin cepat.
"Kita ke mana?"
Bertanya perempuan itu.Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Untuk sejanak ia ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata "Aku akan pargi ke rumah seseorang kakek tua yang dengan penuh tanggung jawab melindungi cucunya yang dalam ancaman maut"
"Maksudmu ayahku?"
Bertanya perempuan itu.
"Ya"
"Ki Wastu?"
Perampuan itu berusaha meyakinkan dirinya.
"Agaknya namanya memang demikian. Tetapi aku memanggilnya kakek saja"
"Ayah. Tentu ayah. Apakah anak laki-lakiku masih hidup?"
"la berada di bawah perlindungan kakeknya"
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Desisnya "Tuhan Yang Maha Kuasalah yang melindungi anakku"
"Kau akan menemuinya di padukuhan yang agak jauh. Kita akan berjalan panjang"
Mahisa Bungalan yang berjalan bersama perempuan itu, harus bermalam di perjalanan.
Namun dimalam berikutnya Mahisa Bungalan tidak ingin berhenti lagi di perjalanan.
Meskipun perlahan-lahan tetapi keduanya berjalan terus.
Betapa lelahnya perempuan itu.
Sekali-sekali ia berhenti untuk beristirahat.
Tetapi bayangan wajah anaknya seakan- akan telah memberikan kekuatan baru kepadanya, sehingga ia masih mau berjalan terus.
"Betapapun lambatnya"
Berkata perempuan itu "aku akan meneruskan perjalanan.
Anakku seolah-olah tidak sabar lagi menunggu aku"Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnya ada perasaan iba juga terhadap perempuan itu.
Namun rasa-rasanya iapun ingin segera sampai ke padukuhannya untuk memberikan kenyataan yang akan dapat menjadi pancadan tugasnya berikutnya.
Ternyata bahwa perempuan itupun memiliki keluhanan tubuh yang luar biasa.
Dorongan perasaannya telah membuatnya menjadi seorang perempuan yang luar biasa.
Hampir tengah malam, mereka memasuki jalan panjang menuju ke padukuhan tempat tinggal kakek tua yang disebutnya bernama Ki Wastu.
Pedukuhan yang panjang dan sepi.
Agaknya ada juga perasaan ngeri pada perempuan itu melihat gelap yang terbentang di hadapannya.
Namun apabila ia mengingat bahwa kawannya berjalan adalah seorang laki-laki yang memiliki kemampuan seakan-akan tidak ada batasnya, yang telah berhasil membunuh sekitar enam orang pengawal hutan itu, maka iapun menjadi tenang.
Bagi perempuan itu rasa-rasanya bulak itu menjadi sangat panjang.
Perjalanan mereka menjadi sangat lambat.
Namun untuk mempercepat langkahnya, ia merasa terlalu berat.
Meskipun demikian, akhirnya merekar memasuki padukuhan yang tidak begitu ramai.
Mahesa Bungalan yang berjalan dengan seorang perempuan itu berusaha untuk menghindari gardu-gardu parondan.
la membawa perempuan itu memasuki padukuhan lewat regol butulan yang sudah dikenalnya dengan baik.
Ketika mereka memasuki halaman, maka hati Mahisa Bungalanpun menjadi berdebar-debar pula seperti perempuan itu.
Betapa kakinya seolah-olah tidak dapatdiangkatnya lagi, namun dengan penuh harapan ia membayangkan anaknya sedang tidur nyenyak di dalam rumah itu.
Perlahan-lahan Mahisa Bungalanpun kemudian mengetuk pintu.
Ia tidak perlu mengulanginya, karena ia tahu pendengaran kakek tua itu masih sangat tajam.
Perlahan-lahan kakek tua itu melangkah ke pintu.
Dengan suara ragu ia bertanya "Siapa di luar?"
"Aku kek"
"Mahisa Bungalan? O, kau kembali ngger"
Berkata orang tua itu.
Namun demikian, ketika tangannya mulai membuka selarak, ia menjadi ragu-ragu.
Apakah Mahisa Bungalan benar-benar dapat dipercaya, jika ia pergi dengan sikap pura-pura, kemudian kembali dengan membawa beberapa orang kawan, maka nasib cucunya ada dalam bahaya.
Karena itu, maka ketika ia kemudian menarik selarak pintu, selarak itu tidak dilepaskannya.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kemampuannya yang luar biasa, ia akan dapat mempergunakan selarak itu untuk manghadapi segala kemungkinan.
Perlahan-lahan pintupun berderit Ketika kemudian pintu itu didorong ke samping, maka orang tua itu terkejut Lamat-lamat dalam keremangan malam ia melihat bayangan seseorang.
Ketika sekilas sinar lampu minyak jatuh ke wajah orang itu, maka tiba-tiba saja orang tua berdesis "Kau kau?"
Perempuan itu tidak dapat menahan diri. Iapun meloncat memeluk laki-laki tua itu sambil memanggil "Ayah, ayah"Orang tua itupun kemudian menuntun perempuan itu ke ruang dalam, kepada Mahisa Bungalan ia berdesis "Tolong ngger. Tutup pinlu itu"
Mahisa Bungalanpun kemudian menutup pintu dan menyelaraknya"
"Dimana anakku ayah?"
Bertanya perempuan itu. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Bersyukurlah"
Lalu kepada Mahisa Bungalan ia berkata "Kau berusaha membebaskannya ngger?"
"Yang Maha Kuasalah yang melakukannya. Adalah kebetulan bahwa aku adalah alat untuk melakukan hal itu"
Jawab Mahisa Bungalan.
"Aku mengerti"
Desis orang tua itu.
"Dimana anakku?"
Sekali lagi perempuan itu bertanya.
"Ia sedang tidur ngger. Jangan kau kejutkan anak itu. Ia berada di dalam bilik itu"
Perempuan itu termangu-mangu, terasa matanya menjadi panas, sementara air matanya mengalir semakin deras.
Sejenak perempuan itu masih mematung.
Namun iapun kemudian melangkah ke pintu bilik.
Ia mencoba menahan hati sekuat-kuatnya.
Namun ketika ia melihat ke dalam bilik itu lewat pintu yang terbuka, maka ia tidak berhasil menahan perasaannya lagi.
Sambil berlari meledaklah tangisnya.
Dengan serta merta ia telah memeluk anaknya yang sedang tidur nyenyak.
Anak itu terkejut.
Ketika ia menyadari dirinya, ia merasa berada di dalam pelukan seseorang.
Ia merasa titik-titik air yang hangat meleleh di wajahnya.Baru kemudian ia mengerti, hahwa ia telah berada di dalam pelukan ibunya.
"Ibu"
Hanya kata-kata itu yang dapat meloncat dari mulutnya, karena iapun telah menangis seperti ibunya.
Kakek tua itupun berdiri tegak diluar pintu.
Bagaimanapun juga ia merasa tenggorokannya bagaikan tersumbat Mahisa Bungalan duduk di amben bambu.
Ia tidak melihat apa yang terjadi di dalam bilik itu.
Tetapi ia dapat membayangkan, betapa rindunya seorang ibu yang terpisah dengan anaknya karena keadaan yang gawat, dan bahkan telah mengancam jiwa mereka masing-masing.
Kakek tua itupun kemudian meninggalkan anak dan cucunya di dalam biliknya.
Dengan kepala tunduk ia melangkah mendekati Mahisa Bungalan dan duduk di sebelahnya.
"Tidak ada kata-kata yang dapat mencakup perasaan terima kasihku"
Berkata kakek tua itu. Mahisa Bungalan menarik nafas. Katanya "Sudah aku katakan, bahwa Yang Maha Kuasalah yang menghendaki semuanya ini terjadi. Aku hanya sekedar alat"
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Aku tidak menyangka, bahwa kau berhasil membawa anak perempuanku itu kembali kepadaku dan kepada anaknya. Aku merasa hidup ini demikian cerahnya"
"Tetapi yang terjadi ini bukan akhir dari segala-galanya"
"Aku mengerti. Tetapi bagiku, yang terjadi kemudian tidak penting lagi. Seandainya besok aku mati, aku tidak akan menyesal""Kau mementingkan dirimu sendiri"
Berkata Mahisa Bungalan. Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya "Aku tidak mengerti anak muda. Kenapa aku mementingkan diriku sendiri"
"Jika kau sudah menemukan kelapangan hati karena anakmu telah kembali kepadamu. Tetapi bagaimana dengan anak dan cucumu. Kau mati dengan dada lapang, karena kau tidak melihat anak dan cucumu itu akan diseret lagi oleh orang-orang yang ingin menyingkirkannya dari urutan keluarga Pangeran Kuda Padmadata"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata "Ya. Aku mementingkan diriku sendiri"
Mehisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu iapun bertanya "Jika demikian, apa yang akan kau lakukan"
"Menjaga anak dan cucuku"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Itulah yang penting bagimu kek. Bukankah kau sudah berniat untuk membawa anakmu sampai kepada suaminya dengan membawa anaknya serta?"
Orang tua itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya. Aku akan membawa mereka kepada Pangeran Kuda Padmadata"
Mahisa Bungalan memandang tekad yang menyala di dalam hatinya.
"Kau telah menemukan niatmu kembali. Aku sudah menduga, jika anakmu telah kembali kepadamu, muka kau akan merasa bahwa semuanya teluh selusin""Anakmas"
Berkata orang tua itu "aku adalah orang tua yang sebenarnya tidak ingin terlibat dalam kesulitan- kesulitan yang menjemukan.
Aku lebih senang hidup dalam ketenangan yang damai.
Jika di masa yang lalu, darahku masih mendidih, karena aku menjadi iba melihat cucuku yang kehilangan ayah bundanya, maka rasa-rasanya kehadirannya telah membuat jantungku membeku.
Aku mulai membayangkan kembali ketenangan hidup tanpa sentuhan sikap kasar dan apalagi kegarangan ilmu kanuragan"
Mahisa Bungalan termenung sejenak, la melihat kebenaran pada kata-kata orang tua itu. Jika ia merasa damai dengan sikap diamnya, maka hal itu tentu lebih baik baginya"
Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata "Kakek.
Seperti yang kakek katakan, bahwa salah seorang diantara kita akan berada di dekat anak itu, karena setiap saat tentu akan datang orang yang mencarinya dengan maksud jahat.
Karena itu.
maka sebaiknya aku atau kau yang pergi untuk mencari hubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata"
"Aku akan pergi ke Kediri"
Berkata orang tua itu. Lalu "Aku akan menghadap Pangeran Kuda Padmadata, apapun yang akan terjadi atasku"
Mahisa Bungalan menggeleng lemah. Katanya "Tidak kakek. Biarlah aku saja yang pergi. Sebaiknya kakek berada di dekat anak dan cucumu"
"Akulah yang berkewajiban untuk melakukannya"
Berkata kakek tua itu.
"Mungkin benar. Tetapi akan tidak salah pula jika orang lain yang melakukannya jika itu dikehendakinya dengansuka rala. aku kira itu lebih baik daripada akulah yang harus tinggal di rumah ini bersama anak dan cucumu"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Ia mengerti, bahwa dalam keadaan yang mendebarkan itu, Mahisa Bungalan masih ingat kepada unggah-ungguh.
Memang tidak sepantasnya di rumah itu tinggal Mahisa Bungalan dan anaknya yang masih terhitung muda pula, sementara keduanya bukan sanak kadang.
Karena itu untuk beberapa saat ia merenung, la mencoba menimbang, yang manakah yang akan lebih baik dilakukan.
Pergi ke Kediri atau tinggal bersama anak dan cucunya.
"Kau jangan mencoba mencari pilihan "
Berkata Mahisa Bungalan yang seolah-olah mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang tua itu "aku tidak minta kau mempertimbangkan. Tetapi aku memberitahukan kepadamu, bahwa aku akan pergi ke Kediri untuk melakukan kewajiban perikemanusiaan ini"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian "Baiklah ngger.
Tetapi biarlah kau memberi kesempatan kita membuat pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan selanjutnya.
Karena itu, kau tidak usah tergesa- gesa pergi.
Mungkin kita memerlukan waktu dua tiga hari untuk memecahkan beberapa masalah tentang diri anakku dan cucuku"
"Sepanjang waktu itu, makanyala api di dalam dadamu yang sudah mulai buram itu akan padam"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Tidak ngger. Meskipun aku cenderung untuk melupakan segala-galanya dengan membangunkan ketenangan hidup bagiku dan anak cucuku. Namun masalah ini memang harus diselesaikan dengan Pangeran Kuda Padmadata. Namun untuk melakukannya kita tidakakan dapat tergesa-gesa. Mungkin ada persoalan yang dapat kita perhitungkan dan pertimbangkan sebelum kau berangkat ke Kediri untuk mencari Pangeran Kuda Padmadata itu"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Baiklah kek. Sudah tentu kita tidak dapat melakukannya dengan tergesa-gesa"
"Sukurlah ngger. Kita akan membuat beberapa pembicaraan. Aku juga ingin mendengar keterangan dan pendapat anak perempuanku tentang suaminya itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
Sudah barang tentu pendapat anak perempuan orang tua itu tidak akan dapat diabaikan.
Karena itu, maka orang tua itupun mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
Tetapi agaknya Mahisa Bungalan lebih senang berada di luar ruangan dalam rumah itu.
Karena itu atas ijin orang tua itu.
Mahisa Bungalanpun beristirahat pada sisa malam yang pendek itu di sanggarnya yang tertutup.
Beberapa saat Mahisa Bungalan masih tenggelam dalam angan-angannya.
Namun kemudian matanyapun mulai terpejam oleh kantuk yang jarang dipergunakan itu.
Ketika ia terbangun, rumah itu masih sepi.
Tetapi ia sudah mendengar desir langkah kaki di belakang.
Dengan demikian maka Mahisa Bungalanpun mengetahui, bahwa orang tua itupun telah bangun dan berada di halaman belakang.
Mahisa Bungalan yang kemudian membuka pintu dan melangkah keluar melihat orang tua itu menuju ke pakiwan.
Mengambil timba yang terbuat dari upih, mengetrapkan pada senggot dan sejenak kemudian terdengar senggot itu berderit.Mahisa Bungalanpun kemudian pergi ke sudut rumah mengambil sapu lidi.
Seperti biasanya, iapun kemudian membersihkan halaman rumah itu.
Pekerjaan itu dilakukannya dengan telaten sejak ia tinggal pada kakek tua itu.
Bahkan kadang-kadang iapun menimba air, mengisi pakiwan dan jambangan di dapur apabila kakek tua itu sedang melakukan pekerjaan yang lain.
Namun kadang- kadang Mahisa Bungalanpun membelah kayu bakar dengan kapak atau kerja lain yang tidak pernah di sisihkannya.
Tetapi sejak hari itu.
rumah kakek tua itu mempunyai seorang penghuni baru.
Seorang perempuan yang kurus dan pucat.
Namun ketika Mahisa Bungalan melihat wajahnya di siang hari dalam keadaan yang jauh berbeda dengan keadaan di dalam gubug di pinggir hutan itu, maka Mahisa Bungalanpun berkata kepada diri sendiri "Perempuan itu memang cantik.
Itulah agaknya Pangeran Kuda Padmadata jatuh cinta kepadanya meskipun ia hanya seorang perempuan padesan"
Namun dalam pada itu, kematian yang ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan di hutan itu, telah menumbuhkan kesulitan bagi beberapa orang penghuni padukuhan di sekitarnya.
Juga orang-orang yang biasa berada di dalam pasar termasuk pandai besi itu.
Tetapi mereka tidak mengalami bencana yang parah.
karena menilik sikap dan kata-kata mereka, orang-orang itu memangtidak mengetahui apakah yang telah terjadi.
Ternyata seorang penghubung telah datang ke gubug itu dan menemukan keadaan yang mendebarkan.
Penghubung itu sudah tidak menemukan mayat sesorangpun.
Yang didengarnya adalah keterangan beberapa orang yang ikut mengubur beberapa sosok mayat yang ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan.Tetapi orang-orang itu tidak dapat menceriterakan dengan terang, siapakah Mahisa Bungalan itu, dan dibawa kemanakah perempuan yang disembunyikan di hutan itu.
"Kami harus mencarinya sampai ketemu"
Geram penghubung itu. Laporan itupun kemudian dibawanya kepada pemimpinnya. Seorang yang mendapat kepercayaan untuk melakukan segala cara untuk melenyapkan ibu dan anak laki-laki itu.
"Gila"
Ia menggeram "apa kerja kelinci-kelinci di hutan itu?"
"Semuannya terbunuh"
Jawab penghubung itu.
"Berapa orang yang datang ke hutan itu?"
"Menurut penglihatan orang-orang di sekitarnya, hanya satu orang saja yang datang"
"Satu orang. Itu sudah perbuatan gila"
Geram orang itu "semula aku sudah ingin membunuh perempuan itu.
Tetapi pendapat bahwa perempuan itu akan dapat dijadikan umpan untuk menemukan anaknya, ternyata justru sebaliknya.
Jika perempuan itu sudah mati, maka kita tidak usah menjaganya.
Sekarang kita kehilangan orang itu.
Jika kita tidak menemukannya, maka segala usaha dan korban ternyata sia-sia"
Orang yang mendapat kepercayaan untuk melaksanakan rencana yang besar itupun benar-benar telah merasa dihinakan oleh seorang yang telah berhasil membunuh beberapa orang pengikutnya.
Karana itu, maka dengan jantung yang membara ia berteriak "Aku akan melihat orang itu dan mengelupas kulitnya"Penghubung itu hanya dapat menundukkan kepalanya.
Ia tidak dapat mengatakan apapun juga, karena bahan yang didapatkannya di sekitar tempat kejadian itupun hanya sedikit pula.
Dalam pada itu, Ki Wangut, orang yang mendapat kepercayaan itu, segera melakukan tindakan-tindakan yang dianggapnya penting.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia memanggil beberapa orang pengikutnya yang lain yang rasa-rasanya memiliki kemampuan yang lebih dapat dipercaya.
"Orang-orang itu mati"
Berkata Ki Wangut.
"Apakah hal itu mungkin dilakukan oleh seorang. Betapa tinggi ilmunya, namun melawan lima atau enam orang sekaligus dalam tataran para penjaga itu agaknya sukar unluk dapat dipercaya.
"Orang itu tidak melakukannya sekaligus"
Berkata Ki Wangut "nampaknya orang itu telah bertempur melawan sebagian demi sebagian. Sekelompok yang terpecah-pecah, itu memungkinkannya untuk menebas habis tanpa tersisa seorangpun. Ia tentu memiliki ilmu setan"
Geram salah seorang dari para pengikut itu.
"Dan kau mulai gentar?"
Bertanya Ki Wangut. Suara tertawa meledak. Orang yang dianggapnya takut itupun tertawa berkepanjangan.
"Diam"
Bentak Ki Wangut "jangan menyelimuti kekerdilanmu dengan suara tertawamu yang memuakkan itu.
"Kau jangan menganggap aku takut Ki Wangut"
Jawab orang itu. Kau harus mengerti, kapan aku pernah mengenal takul?""Sekarang, setelah kau tahu bahwa seorang anak iblis telah berhasil membunuh enam orang sekaligus"
"Itu dugaan yang keliru. Aku tidak ingin menyelubungi perasaanku dengan kepura-puraan. tetapi aku benar-benar menganggap alangkah dungunya yang enam orang itu. Bukan alangkah tinggi ilmu yang seorang itu"
Ki Wangut mengerutkan keningnya. Lalu dengan ragu- ragu ia bertanya "Apakah kau berani menghadapinya?"
"Jika aku dapat menemukan, maka aku bersedia untuk berperang tanding"
"Kau sombong"
Berkata Ki Wangut "cobalah menilai dirimu sendiri"
"Katakan kepadaku Ki Wangut, apukah kira-kira aku tidak dapat melakukan seperti yang dilakukan olah orang itu. Dua demi dua akan dapat aku bunuh pula seperti yang pernah terjadi"
Berkata orang itu dengan dada tengadah "kau kenal aku dengan baik Ki Wangut. Kau kenal orang- orang mu yang mati itu dengan baik pula. Karena itu, jangan kau rendahkan aku di hadapan orang lain"
Ki Wangut mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya "Kau jangan berlagak di hadapanku.
Seandainya aku membenarkan kata-katamu, itu bukan berarti bahwa aku mengharapkan keajaiban pada dirimu.
Kau tidak lebih dari orang-orang terbunuh itu.
Kelebihanmu hanyalah karena kau dapat berteriak sangat keras, sehingga suaramu dapat mengganggu orang lain yang mendengarnya.
Tetapi bagi orang-orang mumpuni, maka perbuatan semacam itu hanya akan ditertawakan saja"
"Kau benar tidak percaya akan kemampuanku Ki Wangut. Apakah aku harus menunjukkan untuk mempertuhankan harga diriku? Aku akan dapatmempergunakan segala jenis senjata dengan baik. Ilmu pedangku mumpuni. Ilmu tombakku tidak ada duanya di daerah ini. Sementara aku dapat mempergunakan senjata apapun juga. Kapak, linggis, bahkan cambuk dan tampar. Apakah aku harus menunjukkan bahwa dengan tanganku aku dapat menghantam batu karang?"
"Aku percaya bahwa kau dapat menghantam batu karang. Semua orang yang tangannya tidak cacat akan dapat melakukannya, tetapi apakah yang akan terjadi atas karang itu?"
"Aku dapat memecahkannya"
Teriak erang itu.
"Itulah yang masih harus diuji"
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian katanya "Aku akan pergi. Aku akan mencari perempuan itu sampai dapat"
"Kau menjadi gila. Kau tidak dapat melakukannya tanpa perhitungan yang mapan"
Orang itu termangu-mangu sejenak.
Namun sorot matanya yang menyala, seolah-olah tidak lagi dapat dikendalikan.
Harga dirinya benar-benar telah tersinggung.
Tetapi ia tidak berani berbuat apa-apa terhadap Ki Wangut itu sendiri, karena ia tahu, betapa tingginya ilmu orang yang bernama Ki Wangut itu.
"Kita akan menentukan langkah yang paling baik yang dapat kita lakukan"
Berkata Ki Wangut.
"Yang mana?"
Bertanya salah seorang dari pengikutnya.
"Aku mempunyai perhitungan bahwa perempuan itu telah dibawa kepada anak laki-lakinya. Karena itu, jika kita berhasil menemukannya, kita akan menemukan ke dua- duanya"
Ia berhenti sejenak, lalu "sementara itu, tentu adaorang yang akan menghubungi Pangeran Kuda Padmadata karena peristiwa ini"
"Ya"
Desis salah seorang yang lain.
"Kita harus memperhitungkan sebaik-baiknya Kita harus membagi orang-orang yang ada pada kita. yang jumlahnya telah susut dengan enam orang"
Suara Ki Wangut merendah, seakan-akan ia menyesali apa yang telah terjadi dengan ke enam orang pengikutnya itu. Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa menjalankan perintah tanpa mampu memikirnya.
"Salah seorang dari kita harus mengawasi istana Pangeran Kuda Padmadata"
Berkata Ki Wangut "jika ada orang yang belum dikenal bermaksud menemui Pangeran itu, maka orang itu pantas dicurigai"
"Apakah salah seorang dari kita harus berada di depan istana itu terus menerus untuk waktu yang tidak terbatas?"
Bertanya salah seorang pengikutnya.
"Kau memang tidak mempunyai otak"
Sahut Ki Wangut "kita dapat berhubungan dengan satu dua orang pengawal di istana itu.
Kita mengenal beberapa orang diantara mereka.
Kita dapat memberi mereka sekedar uang.
Sementara salah seorang dari kita minta untuk berada di dalam pondoknya di halaman belakang istana itu.
Salah seorang dari kita akan mengaku anak keluarganya dan tinggal di rumahnya untuk waktu yang tidak ditentukan, karena orang yang akan tinggal itu mengaku berasal dari jauh"
Pengikutnya mengangguk-angguk.
Mereka memang mengetahui bahwa beberapa orang di istana Pangeran Padmadata akan dapat diajaknya bekerja bersama."Sementara itu, beberapa orang yang lain mencari perempuan itu ke segala sudut tanah ini.
Jika perempuan itu dapat diketemukan, maka tidak ada ampun lagi baginya Bunuh saja bersama anak laki-lakinya dan orang-orang yang berusaha melindunginya"
Para pengikutnya mengangguk-angguk.
"Kematiannya akan mendatangkan hadiah yang besar, karena pekerjaan ini juga merupakan taruhan yang sangat besar"
Desis Ki Wangut, kemudian "jangan terlalu banyak pertimbangan seperti yang sudah. Akhirnya kita kehilangan sebagian dari hasil yang pernah kita peroleh"
"Siapakah yang akan pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata"
Bertanya salah seorang dari mereka.
"Aku sendiri"
Berkata Ki Wangut "aku akan menunggu orang asing yang akan datang ke istana itu.
Aku tidak boleh memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara.
Karena itu aku harus sanggup membungkamnya.
Mungkin orang itu benar-benar seorang pesuruh yang tidak memiliki kemampuan apapun selain karena ia mengetahui letak istana itu.
Tetapi mungkin pula yang datang itu adalah orang yang telah membunuh enam orang sekaligus di hutan peliharaan itu"
Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja.
"Nah, kita akan berangkat ke tugas kita masing-masing. Empat orang akan mencari perempuan itu. Sementara kalian akan dapat mencari bekal bagi hidup kalian di perjalanan di sepanjang jalan pula"
Para pengikutnya mengangguk-angguk.
Mereka mengerti maksud Ki Wangut Selain mencari perempuan dan anaknya, maka mereka akan mencari makan dengan cara apapun juga.Ki Wangutpun kemudian menunjuk empat orang yang dianggapnya memiliki kemampuan yang cukup untuk mencari perempuan dan anaknya, yang harus dibunuh di manapun mereka diketemukan.
Namun demikian ia berpesan kepada pengikutnya yang lain "Kalian kali ini dapat beristirahat.
Tetapi pada suatu saat, kalian akan mendapat tugas pula.
Meskipun demikian dalam setiap kesempatan kalian harus membantu kawan-kawanmu yang lain.
Bahkan jika sengaja atau tidak sengaja kalian menemukan perempuan itu, maka kalianpun mempunyai kewajiban yang sama.
Membunuh mereka tanpa ampun"
Ke empat orang yang memang pernah melihat perempuan yang pernah disekap itupun kemudian minta diri.
Mereka akan mulai dengan tugas mereka.
Tugas yang waktunya tidak dapat ditentukan.
Mungkin dalam waktu pendek.
Tetapi mungkin mereka memerlukan waktu yang sangat lama.
Sementara itu, maka Ki Wangutpun segera mempersiapkan dirinya pula.
Ia harus segera pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata dan berada di istana itu untuk beberapa saat lamanya.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berada di rumah Ki Wastu sudah bersiap-siap untuk pergi ke Kediri.
Tetapi ia masih menunggu sikap yang tegas dari anak perempuan Ki Wastu itu sendiri.
"Aku sudah melupakannya"
Berkata perempuan itu "lebih baik kita tidak membuat hubungan apapun lagi dengan Pangeran Kuda Padmadata. Hal itu hanya akan menyakitkan hatiku saja"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnya iapun sependapat dengan anak perempuannya.Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan berkata "Kek.
Mungkin kakek dan anak perempuan kakek itu dapat menerima keadaan ini.
Mungkin kalian tidak lagi memerlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam hidup kalian kemudian.
Tetapi kalian harus ingat, bahwa ada orang-orang yang masih akan mencari kalian dengan maksud yang sangat jahat Apakah dengan demikian kalian akan dapat merasa tenang.
Mungkin dalam waktu satu dua pekan, mereka belum menemukan kalian.
Tetapi usaha mereka tidak akan berhenti dalam satu dua pekan.
Mereka usaha terus mencari.
Mungkin dalam satu dua bulan.
Bahkan mungkin terbilang tahun.
Mereka harus menyakinkan diri, bahwa tidak ada orang lain yang akan ikut serta memperhitungkan warisan Pangeran yang kaya itu, meskipun hal ini barang kali tidak pernah terpikir oleh kalian"
Ki Wastu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Ia mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu benar.
Mungkin dalam waktu satu dua bulan, atau katakan untuk dua tahun, Ki Wastu dan anaknya dapat melepaskan diri dari pengamatan orang-orang yang menghendaki kematiannya.
Namun jika pada suatu waktu orang itu dapat menemukannya, maka persoalannya tentu akan segera membakar ketenangan yang mereka dambakan.
"Aku kira, kau benar ngger. Orang-orang itu tentu tidak akan melupakannya, selama mereka masih dicemaskan oleh kemungkinan halnya seorang putera laki-laki Pangeran Kuda Padmadata yang akan berhak atas warisan yang akan ditinggalkan, maka sekelompok orang akan merasa tidak tenang"
Berkata Ki Wastu kemudian.
"Jadi, bagaimana menurut pertimbangan kakek?"
Bertanya Mahisa Bungalan.Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya "Baiklah anakmas.
Kita akan mempertimbangkan sebaik-baiknya.
Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa.
Kita akan melihat perkembangan keadaan.
Jika angger tergesa-gesa pergi ke Kediri, mungkin di Kediri kini justru telah dipasang jebakan"
"Apa yang dapat mereka lakukan?"
Bertanya Mahisa Bungalan.
"Kemudian beberapa orang pengawal itu tentu akan membawa akibat Mungkin kawan-kawan mereka mulai berpencaran mencari anak dan cucuku. Sebagian mungkin akan pergi ke Kediri, jika ada orang yang tidak dikenal pergi menghadap Pangeran Kuda Padmadata membawa seorang anak laki-laki atau seorang perempuan yang pernah mereka sembunyikan di hutan itu. Bahkan mungkin mereka telah mendapat perintah yang lebih garang lagi dari pemimpin mereka. Bunuh setiap orang yang mencurigakan. Seperti yang kau cemaskan, dapat saja tiba-tiba muncul sekelompok orang di padukuhan ini untuk berusaha merebut cucuku"
"Karena itu, kita tidak boleh merasa bahwa persoalannya telah selesai"
"Tetapi juga tidak tergesa-gesa bertindak. Kita masih nempunyai waktu"
Mahisa Bungalan tidak menjawab.
Ia sependapat dengan orang tua itu, bahwa segalanya harus dipertimbangkan sebaik-baiknya agar mereka tidak terjebak dalam suatu perangkap maut yang tidak dapat dihindari lagi.
Karena itu, maka meskipun Mahisa Bungalan telah bersiap-siap, namun ia tidak segera berangkat.
Ia masih tetap berada di padukuhan itu untuk beberapa hari.
Bahkan ternyata Mahisa Bungalan dengan cermat mengawasiorang-orang yang datang atau lewat di padukuhan itu.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak mustahil bahwa yang lewat itu adalah kawan-kawan orang yang telah dibunuhnya.
Bukan saja untuk mencari orang yang telah membunuh mereka, tetapi juga mencari perempuan yang telah dibebaskannya beserta anak laki- lakinya.
Semua orang yang pernah melihat aku telah mati "
Berkata Mahisa Bungalan jika ada orang yang mencari aku, mereka tentui sekedar mendapat gambaran dari orang lain"
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak meninggalkan kewaspadaan.
Demikian pula kakek tua yang menjaga cucunya itu, sehingga dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dan kakek tua itu telah mengatur waktu agar mereka dapat bergantian berada di rumah.
Jika kakek tua itu pergi ke tanah garapan yang dibukanya di padukuhan itu, maka Mahisa Bungalan berada di rumah dengan mengerjakan segala macam pekerjaan.
Kadang- kadang ia membelah kayu dengan kapak.
Namun kadang- kadang ia hanya menganyam perkakas mencari ikan yang dibuatnya dari bambu.
Dengan telaten Mahisa Bungalan membuat icir dan bengkeng.
Membuat kepis dan bahkan pernah ia mencoba membuat jala dari lawe.
Namun ternyata untuk waktu yang cukup lama jalanya masih belum siap untuk dipakai di sungai yang tidak terlalu jauh.
Namun kadang-kadang kegelisahannya hampir tidak dapat dikendalikannya lagi.
Ia ingin lebih cepat bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata dan menyampaikan peristiwa yang pernah terjadi atas isteri dan puteranya.
Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan benar-benar telah ingin menunda kepergiannya, ketika ia melihat duaorang berkuda lewat di padukuhan itu, kebetulan saat ia berada di sawah.
Kedua orang itu, meskipun tidak terlalu banyak menghiraukan keadaan di sekitarnya di padukuhan itu, namun ada semacam getaran di dalam jiwa Mahisa Bungalan yang memberitahukan kepadanya, bahwa sepantasnya ia mencurigai kedua orang itu.
"Mungkin keduanya adalah orang yang bernasib kurang baik, karena tiba-tiba saja aku telah mencurigainya. Tetapi tidak ada salahnya untuk berhati-hati"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Ternyata kedua orang yang kebetulan saja lewat di bulak yang pendek, di sebelah tanah garapan Mahisa Bungalan dan kakek tua itu, tidak menghiraukannya.
Mereka sekedar lewat saja memasuki padukuhan tempat kakek tua dan Mahisa Bungalan tinggal.
"Apa yang akan mereka kerjakan di padukuhan itu"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Namun karena kegelisahannya itu, maka iapun kemudian memanggul cangkulnya dan segera kembali ke rumahnya, melalui regol, ia sudah tidak melihat kedua orang berkuda itu.
Namun ia masih melihat tapak kaki kuda itu menyelusuri jalan padukuhan.
Sejenak Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu.
Namun iapun kemudian mencoba menelusuri tapak kaki kuda itu.
Tetapi langkahnya tertegun kelika seorang tetangga berkata kepadanya "He, kamu akan pergi kemana?"
Mahisa Bungalan ragu-ragu sejenak. Ia masih membawa cangkul. Tetapi ia telah berjalan di jalan yang menuju ke rumah kakek tua yang telah memeliharanya, sejak ia terluku parah.Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan menjawab "
Lihat, ada tapak kaki kuda"
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya kenapa dengan lapak kaki kuda?"
"Bukankah dengan demikian ternyata ada dua orang asing memasuki padukuhan ini?"
"Kenapa dengan orang asing? Jalan ini adalah jalan yang panjang, yang kebetulan saja membelah padukuhan kita. Bukankah wajar jika ada dua atau seorang yang lewat. Berkuda alau tidak berkuda?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
la mengerti bahwa orang itu menjadi heran terhadap sikapnya.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata "Aku masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa masih ada orang jahal yang lewat daerah ini, seperti pada saat perlama kali aku datang.
Aku mengalami perlakuan yang sama sekali tidak menyenangkan"
Orang itu mengangguk-angguk.
Iapun mengerti, bahwa pada saat itu Mahisa Bungalan telah diserang oleh orang- orang yang tidak dikenal sebelumnya.
Untunglah bahwa ia sempat melawan dan dapat mengalahkan kedua orang itu meskipun ia terluka, sehingga ia harus dirawat oleh kakek tua itu.
Agaknya Ki Wastu berhasil menyembuhkannya dan menahan perantau muda itu untuk tinggal bersamanya.
"Tetapi bukankah orang-orang berkuda itu tidak berbuat sesuatu?"
Tiba-tiva saja orang itu bertanya. Mahisa Bungalan menggeleng, jawabnya "Tidak. Telapi entahlah nanti kalau pada kesempatan lain"
Orang itu menarik nafas. Ia mengerti bahwa karena pengalamannya, maka Mahisa Bungalan menjadi mudahmencurigai orang lain. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian tidak berkata lagi. Katanya "Sudahlah, aku akan pergi ke kali"
"Silahkan"
Jawab Mahisa Bungalan yang termangu- mangu.
Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Bungalan meneruskan langkahnya mengikuti tapak kaki kuda itu.
Namun ternyata bahwa kedua orang penunggang kuda itu hanya melalui jalan di tengah-tengah padukuhan itu tanpa berhenti dan singgah.
Meskipun demikian, Mahisa Bungalan menyampaikan hal itu kepada Ki Wastu.
Agaknya orang tua itupun menjadi gelisah.
Meskipun belum ada tanda-tanda apapun juga, namun karena kecemasan yang memang sudah ada di dalam hatinya, maka peristiwa-peristiwa yang belum pasti akan dengan mudah dapat menggetarkan jantungnya.
"Anakmas, aku sudah melarang anak dan cucuku keluar halaman. Jika mereka akan mencuci pakaian, biarlah mereka mencucinya dengan air sumur berkata orang tua itu.
"Mudah-mudahan mereka benar-benar orang lewat saja"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian "namun ada semacam kecurigaan yang tidak mendasar di hatiku"
"Seseorang kadang-kadang dipengaruhi oleh perasaannya. Kadang-kadang seseorang mendapat firasat tentang sesuatu yang akan terjadi. Meskipun sekedar isyarat, namun jika kita dapat mengurainya, maka isyarat itu akan dapat memberikan petunjuk"
Berkata Ki Wastu. Lalu "Tetapi kadang-kadang kita juga dipengaruhi oleh kecemasan di dalam diri kita sendiri, sehingga yang sebenarnya tidak ada apa-apa, membuat kita menjadi gelisah""Apa salahnya kita berhati-hati kakek"
Jawab Mahisa Bungalan.
"Ya. Kita memang harus berhati-hati"
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi lebih cemas lagi, ketika selang dua tiga hari, ia melihat lagi dua orang berkuda yang lewat.
Mereka seolah-olah dua orang yang sedang menempuh perjalanan yang menyenangkan.
Tidak tergesa-gesa dan sangat terlarik oleh keadaan di sekitarnya, jalan yang mereka lalui.
Seperti beberapa saat lampau, kelika Mahisa Bungalan sedang berada di sawah, ia melihat dua orang berkuda menuju ke padukuhannya.
Seperti yang pernah terjadi, iapun kemudian segera pulang dan mengikuti telapak kaki kuda itu.
Ia tidak berhenti sampai ke regol sebelah, tetapi ia menyelusuri beberapa puluh tonggak lagi.
Ternyata ke dua orang penunggang kuda itu telah berbelok menuju ke padukuhan sebelah.
Padukuhan yang tidak lebih besar.
Tetapi padukuhan itu mempunyai sebuah pasar.
Dengan pakaian yang dipakainya turun ke sawah, Mahisa Bungalan tidak dapat pergi ke pasar.
Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian yang lebih bersih.
Meskipun pakaian petani seperti yang sering dipakai oleh penghuni padukuhan itu.
Ketika ia sampai ke pasar, maka Mahisa Bungalan masih melihat dua ekor kuda tertambat.
Dengan hati yang berdebar-debar ia mendekati sebuah kedai.
Ternyata kedua orang penunggang kuda itu berada di dalam kedai.
Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu Ia tidak biasa masuk ke dalam kedai, karena pasar itu letaknya dekat dengan padukuhannya Orang-orang di pasar itupun telah mengenalnya pula, sebagai salah seorang anggauta keluargakakek tua itu, sehingga jika ia masuk ke dalam kedai itu, banyak orang yang akan menjadi heran.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Untuk mengisi kegelisahannya, maka iapun kemudian berjongkok menghadapi alat-alat pertanian yang dijajakan dekat kedai itu.
Beberapa saat Mahisa Bungalan melihat-lihat alat-alat besi yang sederhana.
Ia melihat-lihat sebuah kapak pembelah kayu yang besar.
Namun agaknya Mahisa Bungalan tidak menyukainya.
Kemudian dilihatnya sebilah parang.
Tetapi parang itupun kemudian diletakkannya sambil menggelengkan kepalanya.
"Buatan pandai besi dari Sanggurda"
Berkata penjual alat-alat pertanian itu "manakah yang lebih baik dari buatan Sanggurda ini?"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya. Buatannya memang baik. Tetapi aku kira bahannya, yang kurang baik. Apakah benar barang-barang ini buatan Sanggurda?"
Penjualnya menjadi ragu-ragu. Namun iapun tersenyum sambil menjawab "Aku kira buatan Sanggurda. Entahlah jika aku keliru"
Mahisa Bungalan tertawa pula. Namun tiba-tiba saja tertawanya tertahan ketika ia mendengar salah seorang dari antara mereka yang duduk di kedai itu bertanya "He, nenek. Padukuhan ini termasuk padukuhan yang besar. Bukankah begitu?"
"Ya. ya Ki Sanak. Tetapi sebenarnya padukuhan ini bukannya padukuhan yang cukup besar. Tetapi karena letaknya di antara beberapa padukuhan yang jaraknya hampir sama, maka padukuhan ini seolah-olah menjadipusat hubungan antara beberapa padukuhan di sekitar padukuhan ini. Karena itulah agaknya padukuhan ini mempunyai pasar"
Orang di kedai itu terdiam. Ketika Mahisa Bungalan berpaling ke dalam, dilihatnya orang yang berbicara itu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya "Bukankah daerah ini semakin lama menjadi semakin ramai?"
"Agaknya memang demikian Ki Sanak"
Jawab nenek tua penjual di warung itu.
"Apakah banyak orang-orang baru yang tinggal di padukuhan ini nenek?"
Tiba-tiba orang itu bertanya.
Pertanyaan itu membual Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.
Sejenak ia menunggu dengan tegang.
Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar penjual di kedai itu menjawab "Tidak ada orang baru di padukuhan ini.
Yang aku lihat sehari-hari adalah orang-orang yang sama.
Mungkin ada satu orang yang tidak aku kenal masuk ke dalam warung ini, tetapi mereka bukan penghuni padukuhan ini.
Sebenarnyalah orang-orang di padukuhan ini justru tidak banyak yang memasuki warungku.
Justru orang-orang dari padukuhan yang jauh yang singgah sebentar minum minuman panas dan makanan hangat"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Padukuhan ini menyenangkan sekali. He, nenek. Apakah padukuhan sebelah menyebelah tidak banyak dikunjungi orang-orang pendatang baru yang membuka sawah dan pelegalan di daerah ini?"
Terdengar nenek itu menjawab "Aku tidak tahu Ki Sanak. Nampaknya tidak ada"Mahisa Bungalan terkejut ketika penjual alat-alat pertanian itu bertanya "Apakah tidak ada yang sesuai dengan kebutuhan Ki Sanak?"
"Aku baru mengingat-ingat"
Jawab Mahisa Bungalan. Namun dadanya menjadi berdebar-debar karena ia mendengar seorang yang juga berada di warung itu menjawab "Di padukuhan sebelah ada orang baru"
"Di mana?"
Ternyata kata-kata itu telah menarik perhatian orang-orang berkuda itu.
"Padukuhan sebelah"
Jawab orang yang menyebut orang baru itu.
"Laki-laki atau perempuan"
Bertanya salah seorang penunggang kuda itu.
"Laki-laki"
"Siapa? Tua, muda?"
"Masih muda. la kawin dengan gadis padukuhan sebelah. Kemudian ia tinggal bersama mertuanya membantu bekerja di sawah karena mertuanya sudah sangat tua"
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan yang seorang dari mereka telah menghentakkan tangannya di pahanya sendiri.
Namun tiba-tiba nenek penjual di warung itu bertanya "Apakah Ki Sanak berkepentingan dengan orang-orang baru yang tinggal di padukuhan ini?"
"Tidak. Aku hanya sedang mencari saudaraku perempuan dan anak laki-lakinya. Ia telah menghilang dari rumah ketika diketahuinya suaminya kawin lagi. Aku tidak tahu ke mana ia pergi. Karena itu, aku sedang mencarinya. Mungkin ia tinggal bersama orang tuanya yang sudah tua""O"
Desis perempuan itu "kasihan. Kenapa suaminya meninggalkannya?"
"Aku tidak tahu. Aku ingin bertemu dengan saudara perempuanku itu, aku akan bertanya kepadanya lebih teliti lagi, agar aku tidak dikendalikan oleh anggapan yang keliru yang dapat membawaku ke jalan yang sesat"
"Bagus. Bagus Ki Sanak. Segala sesuatunya memang harus diperhitungkan baik-baik"
Sahut nenek tua itu. Sementara itu, penjual alat-alat pertanian itu mengangkat sebuah parang sambil bertanya "Apakah parang ini juga kau anggap kurang baik Ki Sanak?"
"Sudah aku katakan"
Sahut Mahisa Bungalan "bahannyalah yang agak mengecewakan"
Penjual barang-barang besi itu mengangguk-angguk.
Sementara Mahisa Bungalan berusaha mendengar pembicaraan di dalam warung itu.
Tetapi ternyata yang mereka bicarakan sudah lain sama sekali.
Mereka tidak menyebut-nyebut lagi lentang perempuan dan anaknya laki-laki.
Mahisa Bungalan menjadi kecewa.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tidak mendengar percakapan terakhir antara kedua orang berkuda itu dengan nenek pemilik warung.
Namun demikian, ia sudah menduga, bahwa kedua orang itu tentu ada hubungannya dengan hilangnya isteri Pangeran Kuda Padmadata dari tempat pengasingannya.
Ternyata bahwa kedua orang itu bertanya tentang seorang perempuan dan anak laki-lakinya.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih mencoba untuk menunggu.
Tetapi ia tidak mau terlibat lagi dengan pertanyaan-pertanyaan penjual alat-alat pertanian itu.
Karena itulah maka iapun kemudian berkata "Mudah-mudahan lain kali kau membawa sesuatu yang sesuai dengan kebutuhanku"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Pilihanmu terlalu sulit"
Desis penjual itu. Mahisa Bungalan tersenyum. Namun iapun kemudian bergeser dan bersandar dinding warung itu. Katanya "Aku ingin beristirahat. Aku lelah sekali"
Penjual barang-barang besi itu tidak menggapainya. Bahkan ia bergumam di dalam hatinya "Orang itu tentu tidak mempunyai uang"
Sementara itu, orang di dalam warung itu benar-benar sudah tidak membicarakan lagi tentang perempuan dan anak laki-lakinya.
Bahkan agaknya keduanya sudah membayar harga makanan dan minuman yang mereka beli.
Kemudian keduanya berdiri dan minta diri.
Namun pada saat itu, seorang lain yang juga berada di warung itupun keluar bersama dengan keduanya.
Adalah diluar dugaan Mahisa Bungalan, bahwa orang itu adalah tetangganya yang nampaknya baru saja menjual hasil kebunnya dan singgah di warung itu pula.
"He, kau"
Orang itu menyapa Mahisa Bungalan yang duduk bersandar dinding.
Mahisa Bungalan hanya mengangguk saja sambil tersenyum.
Ia tidak ingin menjawab, agar pembicaraannya tidak berkepanjangan.
Tetapi orang itu justru berkata kepada kedua orang penunggang kuda "Orang itu juga orang baru disini"
Kedua orang penunggang kuda itu mengerutkan keningnya. Yang seorang kemudian bertanya sambil memandang Mahisa Bungalan "Apakah benar ia orang baru?""Ya. Ia tinggal di rumah kakek tua di padukuhan sebelah. Bukan padukuhan ini. Sepadukuhan dengan aku"
Kedua orang itu mengangguk-angguk.
Tetapi agaknya ia tidak tertarik kepada Mahisa Bungalan yang duduk bersandar dinding.
Tetapi keterangan orang itu kemudian bagaikan menyengat jantung Mahisa Bungalan.
Kelika ia berkata "Bahkan kemudian ia telah disusul oleh saudara perempuannya yang kini tinggel bersamanya"
Kedua orang penunggang kuda itu menegang sejenak. Namun yang seorang dari mereka berkata "Yang aku cari adalah saudara perempuanku, bukan saudara perempuan orang lain"
Kawannya nampak ragu-ragu sejenak. Namun ketika yang berbicara itu kemudian melangkah kekudanya, yang lainpun mengikutinya pula.
"Kita harus meyakinkan bahwa, apakah perempuan itu benar-benar perempuan yang kita cari"
"Kau bodoh"
Desis yang lain "kita tidak boleh tergesa- gesa.
Kita harus yakin lebih dahulu sebelum kita bertindak.
Sebab, jika kita sudah bertindak, ternyata orang itu bukannya yang kita cari, maka orang yang sebenarnya akan mendengar dan bersembunyi lebih jauh lagi dari kemungkinan pengamatan kita"
"Jadi maksudmu?"
Bertanya yang lain.
"Kita berusaha mengetahui dimana rumahnya. Itu tidak sulit. Lain kali kita datang lagi ke warung itu dan bertanya dimanakah rumah mereka. Kita akan berusaha melihat, apakah perempuan itu benar-benar yang kita cari""jika benar, kita akan langsung mengambilnya atau membunuhnya bersama anaknya"
"Jika rumah itu tidak ada orang lain. Ingat, bahwa enam orang telah terbunuh oleh seorang saja yang telah membebaskan perempuan itu. Tidak mustahil bahwa yang seorang itu adalah orang yang bersandar dinding itu"
"Apakah orang itu sedang mengamati kita?"
"Aku tidak tahu. Tetapi kita harus bertindak cepat, sebelum mereka melarikan diri"
Kedua orang berkuda itupun segera memacu kudanya kembali ke tempat mereka tinggal untuk sementara bersama kawan-kawannya yang lain. Mereka akan segera melakukan pengamatan atas seorang perempuan yang telah di sebut diluar warung itu.
"Hari ini kita harus mematangkan rencana. Besok kita akan pergi ke warung itu untuk mengetahui dimana rumah orang yang dimaksud. kita akan langsung mengirimkan orang yang belum dikenal untuk pergi ke rumah itu dengan alasan apapun juga. Jika kita sudah yakin, kita akan datang, tidak satu dua orang, tetapi bersama-sama karena yang akan kita hadapi adalah orang gila yang telah membunuh enam orang sekaligus"
Kawannya mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa jika mereka datang seorang saja, maka mungkin sekali mereka, akan mengalami nasib seperti kawan-kawannya di hutan peliharaan itu.
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Telapak Emas Beracun -- Gu Long Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung