Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 12


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 12


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   "Among Asmara. Kau tentu tahu, bahwa hari ini Genduk Miyat akan ditontoni oleh seorang anak muda yang mencintai dan dicintainya. Kau tidak dapat mengganggunya lagi."

   "Paman tidak dapat ingkar. Paman dan ayah sudah bersetuju, bahwa aku dan Genduk Wiji akan menjadi suami isteri."

   "Tetapi kau sudah menikah lebih dari satu kali. Maka pembicaraanku dengan ayahmu yang sebenarnya juga belum matang itu aku anggap gugur."

   "Paman yang meremehkan aku. Jika sekarang ada seorang laki-laki yang menginginkan Genduk Wiji maka orang itu harus menakar kemampuan dengan aku sebagai laki-laki. Aku tantang laki-laki itu bertanding sampai seorang diantara kita mati."

   "Nanti dulu, Among Asmara. Sejak tadi kau sebut Genduk Wiji."

   "Ya genduk Wiji."

   "Nampaknya kau mengigau. Genduk Wiji sudah menikah sejak tiga tahun yang lalu."

   "Jadi siapa yang akan ditontoni sekarang?"

   "Genduk Miyat."

   "Siapakah Genduk Miyat itu?"

   "Adik Genduk Wiji."

   "Bohong. Paman bohong . Jika benar ada gadis lain, tunjukkan kepadaku gadis itu."

   Ki Bekelpun kemudian melambaikan tangannya sambil berkata.

   "Bawa Genduk Miyat itu kemari. Biarlah Among Asmara melihat dengan mata kepalanya, siapakah yang akan ditontoni malam ini."

   Sejenak kemudian, maka pintu pringgitanpun terbuka.

   Dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang masih muda mengiringkan Rara Wulan melintasi pringgitan mendekati Among Asmara.

   Among Asmara terkejut.

   Perempuan itu adalah perempuan, yang ditemuinya di kedai itu.

   Tetapi perempuan itu mengaku bersama suaminya."

   "Paman. Apakah paman sedang bermain-main?"

   "Kenapa. Gadis inilah Genduk Miyat yang akan ditontoni malam ini."

   "Tetapi aku pernah bertemu dengan perempuan itu bersama seorang laki-laki yang disebut suaminya."

   "Akulah itu,"

   Sahut Glagah Putih yang berdiri di belakang Rara Wulan.

   "Kami mengaku suami isteri waktu itu, agar perjalanan kami menjadi aman. Waktu itu aku mendapat tugas yang berat menjemput Miyat dari rumah paman. Justru untuk menjalani upacara sekarang ini."

   Among Asmara termangu-mangu sejenak.

   Ia memandang Rara Wulan dengan hampir tidak berkedip.

   Perempuan yang berpakaian kusut yang dilihatnya di kedai itu, ternyata adalah seorang perempuan yang cantik sekali.

   Dibawah sinar lampu minyak yang kemerah-merahan, wajah Rara Wulanpun menjadi kemerah-merahan juga.

   Dikenakannya pakaiannya yang baru.

   Diriasnya wajahnya sedikit dan disisirnya rambutnya dengan rapi.

   "Kenapa aku tidak melihat kecantikan itu waktu aku bertemu dengan perempuan ini di kedai itu,"

   Berkata Among Asmara di dalam hatinya. Hampir diluar sadarnya Among Asmarapun bertanya.

   "Jadi gadis inikah yang malam ini ditontoni?"

   "Ya,"

   Jawab Ki Bekel.

   "gadis ini adalah adik Genduk Wiji."

   "Tetapi siapakah yang disebut-sebut oleh ayah tentang gadis yang akan dijadikan isteriku?"

   "Dahulu ayahmu memang pernah berbicara tentang Genduk Wiji. Tetapi bukankah pembicaran yang mentah itu telah semakin kau mentahkan dengan pernikahanmu yang bahkan terjadi berulang kali itu?"

   "Baiklah. Aku akan melupakan Genduk Wiji. Tetapi aku akan nontoni Genduk Miyat."

   "Nanti dulu,"

   Sahut Ki Bekel.

   "Genduk Miyat sekarang sedang ditontoni orang. Seorang anak muda yang jika jodoh, akan menjadi suaminya."

   "Persetan dengan anak muda itu. Jika ia berkeras, maka aku akan menantangnya. Siapakah yang masih tetap hidup malam ini, maka ia akan menjadi suami Genduk Miyat."

   "Akulah laki-laki yang akan nontoni,"

   Sahut Glagah Putih.

   "Kau ?"

   "Kami sudah setuju untuk menikah. Kami saling mencintai. Malam ini, aku datang untuk memenuhi urutan upacara. Sebenarnya aku tidak perlu lagi nontoni karena aku sudah mengenal Genduk Miyat dengan baik."

   Among Asmara termangu-mangu. Iapun kemudian berpaling kepada seorang pengiringnya.

   "Inikah laki-laki itu?"

   "Menurut pengertianku bukan laki-laki itu, Ki Lurah."

   "Bukankah kau yang menyampaikan suratku kepada keluarganya agar membatalkan niatnya untuk nontoni malam ini?"

   "Ya,"

   Sahut orang itu.

   "Surat itu sudah aku terima,"

   Sahut Glagah Putih.

   "kau mengancam agar upacara malam ini dibatalkan. Tetapi menurut pendapatku, aku tidak perlu mendengarkan ancamanmu. Terus-terang, aku sama sekali tidak menjadi ketakutan. Jika kau malam ini menantangku, maka aku akan melayanimu."

   "Setan kau laki-laki sombong. Sejak di kedai itu aku sudah menduga, bahwa kau adalah laki-laki yang sangat sombong. Tetapi sekarang kau harus menanggung akibat dari kesombongan itu."

   "Akibat apa?"

   Bertaya Glagah Putih.

   "Sebenarnya aku ingin melumatkanmu ketika aku melihatmu menyombongkan diri di kedai itu. Kau bayar pelayan kedai itu dua kali lipat dari yang seharusnya kau bayar. Kau telah menggelitik perasaanku. Tetapi kawan-kawanku waktu itu mencegahku,"

   Orang itu berhenti sejenak, lalu.

   "Nah, sekarang mereka tidak akan mencegah aku lagi. Mereka yang pada waktu itu bersamaku di kedai itu, sekarang mereka juga ada, disini. Mereka akan menyaksikan, bagaimana aku menghancurkan tubuhmu sehingga menjadi debu."

   "Aku tidak peduli apa yang telah aku lakukan dikedai itu. Aku juga tidak peduli akan perasaanmu. Yang penting, jika kau sekarang ingin menantangku, mari. Kita akan turun ke arena. Siapa yang menang akan menjadi suami Genduk Miyat."

   "Bagus,"

   Teriak Among Asmara yang telinganya terasa menjadi panas. Ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki yang begitu sombongnya seperti laki-laki yang berdiri di sebelah Genduk Miyat itu."

   "Miyat,"

   Berkata Glagah Putih.

   "jangan gelisah. Aku akan segera menyelesaikannya."

   "Kakang,"

   Berkata Rara Wulan tiba-tiba.

   "aku ingin mengulangi bebana yang pernah aku katakan kepadamu. Aku mau menjadi isteri seorang laki-laki yang dapat mengalahkan aku. Karena itu, sebelum laki-laki yang menyebut dirinya bernama Among Asmara itu berkelahi melawanmu, biarlah ia berkelahi melawanku. Jika ia dapat mengalahkan aku, barulah ia pantas menjadi suamiku. Tetapi masih ada lagi satu bebana. Ia harus mengalahkanmu."

   "Iblis betina,"

   Geram Among Asmara.

   "permainan apa yang sebenarnya kalian lakukan ?"

   "Bukan apa-apa. Bukankah wajar, bahwa seorang perempuan yang sedang memilih seorang suami mempunyai bebana? Nah, sekarang kau harus memasuki lingkaran sayembara itu. Jika kau dapat mengalahkan aku, maka barulah kau pantas menjadi suamiku. Tetapi masih ada satu tahap lagi yang harus kau lakukan, mengalahkan calon suamiku yang malam ini memasuki upacara nontoni. Upacara yang telah kau kacaukan itu."

   "Baik. Baik,"

   Geram Among Asmara.

   "aku akan menunjukkan kepadamu, bahwa aku adalah seorang laki-laki. Aku akan memaksamu untuk tunduk kepadaku, melakukan semua perintahku dan menuruti semua kemauanku."

   "Jika saja kau mampu mengalahkan calon suamiku. Ia adalah seorang laki-laki yang pernah mengalahkan aku, sehingga aku bersedia menjadi calon isterinya."

   Namun Glagah Putihpun berkata.

   "Sebaiknya berikan laki-laki itu kepadaku. Aku akan mengupasnya seperti sebuah pisang koja."

   "Tidak. Ia harus mampu mengalahkan aku lebih dahulu."

   Glagah Putih yang menyebut namanya Wiguna itupun berkata.

   "baiklah jika itu yang kau kehendaki."

   Namun Among Asmara itupun berkata.

   "Aku merasakan suasana yang tidak sewajarnya disini. Baik. Apapun yang kalian lakukan, kalian akan menyesal. Aku akan membunuh semua orang yang telah mempermainkan aku. Aku tidak peduli apakah perempuan itu Genduk Miyat atau Genduk Wiji atau siapapun juga, aku akan tetap membawanya. Mungkin pada suatu saat nanti, jika aku sudah menjadi jemu, ia akan mengalami nasib buruk karena kesombongannya saat ini."

   "Sudahlah. Jangan menakut-nakuti. Aku sudah bukan anak kecil lagi."

   Rara Wulan yang disebut Genduk Miyat itupun segera melangkah maju dan turun kehalaman sambil menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya."

   "Ternyata kalian sudah mempersiapkan sebuah permainan yang menurut kalian akan menarik. Tetapi kalian akan menyesal. Perempuan itu akan aku hinakan di hadapan kalian semuanya."

   "Jangan banyak berbicara lagi, Among Asmara. Kita akan berkelahi. Apapun tujuan dari perkelaian ini, namun aku ingin membuatmu menjadi jera, orang cengeng."

   "Iblis betina. Kenapa kau sebut aku cengeng?"

   "Namamu adalah penanda, bahwa kau adalah seorang laki-laki cengeng."

   "Bersiaplah. Semakin lama telingaku menjadi semakin panas."

   Rara Wulan tidak menjawab.

   Tetapi iapun segera mempersiapkan diri.

   Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di halaman rumah Ki Bekel itu telah membuat lingkaran.

   Mereka berdiri berkeliling untuk melihat apa yang akan terjadi dengan perempuan yang disebut Genduk Miyat itu.

   Sementara itu, para bebahu, termasuk Ki Bekel sendiri, menjadi tegang.

   Apakah perempuan itu akan dapat memenangkan perkelahian itu.

   Bahkan mereka telah mencemaskan keselamatan Genduk Miyat.

   Jika Among Asmara yang berilmu tinggi itu tidak dapat mengendalikan kemarahannya maka mungkin sekali perempuan itu akan terbunuh di arena.

   Namun untuk menenteramkan hatinya, Ki Bekel itu berkata kepada diri sendiri.

   "Jika perempuan itu berani melakukannya, ia tentu telah memiliki bekal yang dianggapnya cukup."

   Rara Wulan yang merasa dirinya mulai memasuki laku Tapa Ngrame itu, memang merasa kewajiban untuk menolong sesama.

   Dalam hal ini adalah Ki Bekel dan keluarganya serta keluarga bakal menantunya itu.

   Demikianlah maka kedua orang yang berada di dalam arena itu mulai memper siapkan diri mereka sebaik-baiknya.

   Among Asmara semakin menyadari, bahwa ia telah berada di tengah-tengah sebuah permainan yang telah disiapkan.

   Tetapi justru karena itu, maka Among Asmara merasa kebetulan sekali.

   Dengan demikian ia akan dapat menunjukkan kelebihannya kepada sekian banyak orang, yang esok akan menyebarkan berita kemenangannya itu.

   Malam itu ia akan membawa Genduk Miyat dan untuk seterusnya perempuan itu tidak akan kembali.

   "Jika ternyata Ki Bekel telah mempersiapkan kekuatan padukuhan ini untuk menjebakku, maka mereka yang berani menghalangi aku akan menjadi seperti babadan ilalang. Aku dan kawan-kawanku akan membunuh orang-orang pedukuhan ini sebanyak-banyaknya,"

   Berkata laki-laki berkumis tipis itu.

   Sebenarnyalah anak-anak muda yang berada di sekitar rumah Ki Bekel itu sudah siap untuk melaksanakan perintah apapun juga.

   Sesumbar itu memang membuat telinga Rara Wulan yang dikenal sebagai Genduk Miyat, menjadi panas.

   Tetapi ia sendiri tidak dapat, menyadarinya dengan serta merta.

   Ia berada ditengah-tengah arena sehingga segala sesuatunya harus memakai tatanan.

   "Among Asmara,"

   Berkata Rara wulan kemudian.

   "marilah kita mulai sayembara tanding ini."

   Among Asmara menggeram. Namun iapun segera mempersiapkan diri. Ia ingin segera menundukkan perempuan itu. Kemudian membunuh laki-laki yang mengaku akan nontoni itu.

   "Genduk Miyat,"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkata Among Asmara.

   "aku tidak tahu, permainan dan jebakan apakah yang sudah kalian rencanakan. Tetapi akhirnya segalanya adalah, bahwa kau akan ikut bersamaku nanti setelah aku membunuh laki-laki yang dalam lakon ini akan nontoni kau."

   Rara Wulan mengerutkan dahinya.

   Agaknya perasaan Among Asmara cukup tajam sehingga ia dapat mencium lakon yang sudah disiapkan itu.

   Tetapi Rara Wulanpun tidak peduli.

   Yang penting baginya adalah mematahkan niat Among Asmra untuk bertindak semena-mena karena ia memiliki ilmu yang tinggi.

   Dengan demikian, maka Rara Wulan yang telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang dikenakan kemudian adalah pakaian khususnya, telah bersiap menghadapi lawannya yang disebut-sebut berilmu tinggi.

   "Mudah-mudahan bekal ilmuku cukup memadai,"

   Desis Rara Wulan.

   Bahkan perkelahian ini akan dapat dipergunakan pula oleh Rara Wulan untuk menjajagi kemampuannya setelah ia menjalani laku, bertapa ditengah-tengah hutan di kaki Gunung Merapi beberapa pekan itu.

   Sejenak kemudian, maka Among Asmara yang ingin segera mengalahkan lawannya itupun telah meloncat menyerang.

   Tetapi Rara Wulan yang sudah siap untuk melawannya itu dengan cepat pula bergeser mengelakkan serangan itu.

   "Perempuan iblis,"

   Geram Among Asmara.

   Ia ingin dengan cepat menguasai Rara Wulan yang disebut sebagai Genduk Miyat itu.

   Bahkan ia benar-benar berniat untuk mempermalukan Genduk Miyat itu dihadapan orang banyak, karena menurut pendapatnya, bahwa Genduk Miyat berani menantangnya itu adalah sikap yang telah mempermalukannya pula.

   Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.

   Kawan dan para pengikut Among Asmara memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran.

   Agaknya perempuan yang disebut Genduk Miyat itu memang mempunyai bekal yang cukup memadai.

   Namun dalam pada itu, halaman rumah Ki Bekel itu semakin lama menjadi semakin penuh.

   Anak-anak muda yang semula dipersiapkan di sekitar rumah Ki Bekel itu, satu-satu telah menyelinap masuk.

   Mereka ingin melihat pertempuran yang terjadi di halaman antara Among Asmara dan seorang perempuan yang bernama Miyat, yang kemudian mengaku sebagai anak Ki Bekel yang akan ditontoni malam itu.

   Sebenarnyalah pertempuran di arena itu semakin lama menjadi semakin sengit.

   Among Asmara yang ingin dengan cepat menundukkan Genduk Miyat dan mempermalukannya dihadapan banyak orang sebelum ia harus bertempur melawan laki-laki yang pernah ditemuinya di kedai itu, telah meningkatkan ilmunya dengan cepat.

   Tetapi Genduk Miyat itupun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu nampaknya masih saja tetap seimbang.

   Dalam pertempuran itu, barulah Rara Wulan dapat menilai kemampuan dirinya.

   Meskipun ia selalu berlatih bersama Glagah Putih, tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya itu ia sempat menilai kemampuan diri.

   Demikian pula Glagah Putih yang berdiri di luar arena pertempuran.

   Ia melihat kemajuan yang sangat pesat pada kemampuan Rara Wulan.

   Langkahnya nampak sangat ringan.

   Dengan demikian Rara Wulan mampu bergerak jauh lebih cepat.

   Itupun Glagah Putih tahu pasti, bahwa Rara Wulan masih belum sampai ke tataran tertinggi dari ilmunya itu.

   Dari ayunan tangan dan kakinya, Glagah Putihpun mengetahui, bahwa tenaga dan kekuatan Rara Wulanpun menjadi semakin besar.

   Apalagi jika ia kemudian mulai merambah ke tenaga dalamnya.

   Namun dalam pada itu, justru karena Among Asmara sendiri langsung berada di arena menghadapi Rara Wulan, ia tidak dapat langsung menilai kemampuan lawannya.

   Apalagi Rara Wulan sengaja untuk tidak dengan serta merta meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

   Yang dilakukannya adalah sekedar mengimbangi tingkat ilmu Among Asmara.

   Sebenarnyalah bahwa Among Asmara memang seorang yang berilmu tinggi.

   Tetapi ia bukan lawan yang setingkat dengan Genduk Miyat yang telah menempa diri dengan menjalani berbagai laku yang berat.

   Karena itulah, maka Among Asmara masih saja bernafsu untuk segera mengalahkan Genduk Miyat dan mempermalukan dihadapan orang banyak.

   Semakin lama mereka bertempur, maka kemarahan di jantung Among Asmarapun semakin membakar isi dadanya.

   Nafsunya untuk mempermalukan Genduk Miyatpun semakin menyala pula di dadanya.

   Namun Among Asmara itu tidak segera dapat mengalahkan Genduk Miyat itu.

   Glagah Putih yang kemdian meyakini bahwa Among Asmara itu tidak berbahaya bagi Rara Wulan, tidak lagi menjadi sangat tegang.

   Meskipun jika Rara Wulan membuat kesalahan, Among Asmara masih saja tetap orang yang berbahaya baginya.

   Pertempuran itupun bagi orang-orang yang menyaksikannya, semakin lama menjadi semakin mengangkan.

   Kawan-kawan Among Asmara menjadi heran bahwa Among Asmara yang berilmu tinggi itu tidak segera dapat mengalahkan perempuan yang telah merendahkannya itu.

   Bahkan mereka melihat, pertempuran itu menjadi semakin rumit.

   Agaknya Among Asmara memang sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

   Sementara itu, ternyata Rara Wulan sengaja membiarkan lawannya mengerahkan segenap ilmunya.

   Ia ingin membiarkan Among Asmara itu kehabisan tenaga sehingga perlawanannya akan berhenti dengan sendirinya.

   Sedangkan yang dilakukan oleh Rara Wulan adalah sekedar menggelitik, agar Among Asmara meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

   Sebenarnyalah Among Asmara yang marah itu menjadi kehilangan kendali.

   Untuk dapat segera menundukkan Genduk Miyat, Among Asmarapun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

   Dengan demikian, maka serangan-serangan Among Asmarapun kemudian datang seperti angin prahara.

   Rara Wulan merasakan tekanan serangan Among Asmara pada puncak kemampuannya itu.

   Angin yang panas berdesir menyentuh kilitnya.

   "Agaknya Among Asmara telah sampai ke ilmu puncaknya,"

   Berkata Rara Wulan didalam hatinya.

   Dengan demikian Rara Wulanpun menjadi berhati-hati.

   Namun dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya, Rara Wulan dapat mengatasi arus udara yang panas karena ilmu puncak Among Asmara.

   Rara Wulan tidak segera berusaha menghentikan perlawanan Among Asmara.

   Ia justru memanfaatkan perkelahian itu untuk mengenali ilmunya lebih jauh lagi.

   Rara Wulan justru ingin tahu, tingkat daya tahan tubuhnya.

   Kemampuannya memperingan tubuh serta tenaga dan kekuatanya serta kemampuan tenaga dalamnya.

   Rara Wulan bahkan mempergunakan Among Asmara untuk menilai dirinya sendiri.

   Glagah Putih yang berbeda diluar lingkaran arena pertempuran itu, tanggap akan sikap Rara Wulan.

   Dengan demikian maka Glagah Putihpun telah ikut pula menilai kemampuan Rara Wulan.

   Among Asmara yang berilmu tinggi itu adalah orang yang tepat untuk menjajagi tingkat kedalaman ilmu Rara Wulan.

   Kemarahan Among Asmara telah membakar ubun-ubunnya.

   Jarang ada orang yang mampu mengatasi serangan-serangannya.

   Apalagi setelah ia meningkatkan ilmunya sampai kepuncak.

   Angin pukulannya yang panas beberapa kali telah menerpa perempuan yang mengaku bernama Genduk Miyat itu.

   Tetapi perempuan itu seakan-akan tidak terpengaruh karenanya.

   Dengan ringan ia berloncatan menghindar.

   Namun pada saat-saat perempuan itu tidak sempat melenting menghindar serangannya, maka rasa-rasanya serangnnya itu tidak berbekas.

   "Apakah perempuan ini benar-benar iblis betina,"

   Pertanyaan itu telah menggelitik jantungnya.

   Namun Rara Wulan masih saja membiarkan Among Asmara mengerahkan kemampuannya.

   Serangan demi serangan telah dilancarkan.

   Tetapi perempuan yang menyebut dirinya Genduk Miyat itu tidak dapat ditundukkan.

   Karena Rara Wulan selalu memancing Among Asmara mengerahkan kemampuannya, maka semakin lama tenaga Among Asmarapun menjadi semakin menyusut.

   Meskipun ilmunya masih tetap berada di puncak, tetapi dukungan kewadagannya mulai menurun.

   Among Asmara mulai menjadi lelah selelah beberapa lama mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan ilmunya.

   Rara Wulan masih saja berloncatan dengan tangkasnya.

   Serangan-serangannya masih saja datang dengan cepatnya.

   Kakinya bergerak seakan-akan tidak menyentuh tanah.

   Serangan-serangan Rara Wulan justru semakin sering menyentuh tubuh Among Asmara yang tenaganya mulai menyusut.

   Gerak Rara Wulan yang cetap itu mampu menyusup disela-sela pertahanan dan bahkan serangan-serangan Among Asmara.

   Disela-sela arus udara panas serangan-serangan ilmu pamungkasnya.

   Semakin lama, Among Asmara itu tidak saja menjadi semakin marah.

   Tetapi iapun menjadi semakin gelisah.

   Perempuan sombong yang ditemuinya dikedai itu, ternyata memang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

   Tetapi dihadapan banyak orang, termasuk kawan-kawannya serta para pengikutnya Among Asmara tidak mau semakin dipermalukan.

   Karena itu, maka dikerahkan segenap kemampuannya, ilmunya serta sisa tenaganya.

   Seperti harimau yang telah terluka.

   Among Asmara menyerang Rara Wulan.

   Dihadapan kawan-kawannya dan para pengikutnya, ia tidak mau kehilangan harga dirinya.

   Kawan-kawannya dan para pengikutnya selalu mengaguminya sebagai seorang berilmu tinggi yang tidak pernah terkalahkan.

   Segala keinginannya pasti tidak dapat digapainya.

   Perempuan manapun yang dikehendakinya tentu berhasil dimilikinya.

   Jika tidak berhasil dibujuknya, justru karena Among Asmara adalah seorang laki-laki yang tampan, maka dilakukannya dengan ancaman dan bahkan kekerasan sebagaimana dilakukannya malam itu.

   Tetapi tiba-tiba ia telah terbentur pada kenyataan, bahwa perempuan yang diinginkannya itu sendirilah yang menantangnya.

   Pertahanan Rara Wulan memang sedikit terguncang oleh hentakan serangan lawannya.

   Namun hanya sesaat.

   Rara Wulanpun segera mampu membuat keseimbangan dengan meningkatkan sedikit kemampuannya, karena Rara Wulan memang belum sampai pada puncak ilmunya yang sangat tinggi itu.

   Bahkan sejenak kemudian, justru serangan-serangan Rara Wulan semakin sering mengenai tubuh Among Asmara.

   Udara panas yang terlontar bersamaan dengan serangan-serangan kewadagan Among Asmara tidak banyak berpengaruh atas lawannya yang meningkatkan daya tahan tubuhnya, tetapi juga bergerak semakin cepat untuk menghindar.

   Sentuhan tangan dan kaki Rara Wulan, semakin lama semakin terasa menyakiti tubuh Among Asmara.

   Beberapa kali ia terhuyung-huyung oleh serangan kaki Rara Wulan.

   Bahkan ketika Rara Wulan meluncur dengan menjulurkan kakinya menyamping dan mengenai langsung dada Among Asmara, maka Among Asmara itu tidak mampu mempertahankan keseimbangannya.

   Beberapa langkah ia terlempar surut dan kemudian bahkan terbanting jatuh.

   Dengan cepat Among Asmara berusaha untuk bangkit berdiri.

   Tetapi demikian ia tegak, Rara Wulan tiba-tiba saja sudah berdiri di depan hidungnya.

   Tangannya tiba-tiba saja terjulur menghantam perutnya, sehingga Among Asmara itu terbungkuk sambil menyeringai kesakitan.

   Kedua tanganya diluar sadarnya memegangi perutnya yang bagaikan terhimpit segumpal batu.

   Nafasnyapun menjadi sesak.

   Tetapi Rara Wulan tidak menyerang lagi.

   Ia bahkan melangkah surut dan membiarkan Among Asmara berdesak menahan sakit.

   "Alembana,"

   Berkata Rara Wulan kemudian.

   "Namaku Among Asmara,"

   Suaranya terdengar serak. Ia masih menyeringai menahan sakit didada dan perutnya.

   "Sekehendakku,"

   Sahut Rara Wulan.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"bahkan aku ingin menyebutmu Ula Dumung."

   Mata Among Asmara terbelalak. Mulutnya menggeram menahan kemarahan yang menyesakan di dadanya.

   "Bocah edan. Kau berani menghina aku."

   "Aku ingin menghina dan merendahkanmu serendah-rendahnya Kalau kau marah, marahlah. Aku akan memukuli kau sampai gigimu tanggal semuanya. Tidak satupun yang tersisa."

   "Aku bunuh kau."

   "Aku yang akan membunuhmu,"

   Bentak Rara Wulan. Mata Among Asmara menjadi merah. Namun ketika ia berpatah kata, Rara Wulan telah mendahuluinya, sebelumnya ia mengucapkan sepatah kata, Rara Wulan telah mendahuluinya.

   "Jangan gerakkan kawan-kawanmu dan para pengikutmu. Kami sudah siap untuk membantai mereka jika mereka mencoba untuk membelamu. Selebihnya, kau tidak akan pernah melihat akhir dari pertempuran itu. Kau tidak akan pernah melihat kawan-kawamu dan pengikutmu mati malang melintang ini karena kaupun akan mati lebih dulu."

   "Persetan. Jangan mencoba menakuti aku."

   Tetapi baru saja mulutnya terkatub, Rara Wulan telah meloncat, memutar tubuh Among Asmara dan sekaligus kedua tangannya memegang dagu dan dahinya.

   "Jika kau mencoba membuka mulutmu, aku akan memutar kepalamu sehingga lehermu akan patah. Kau akan mati sebelum orang-orangmu sempat bergerak."

   Among Asmara terdiam. Ia tidak dapat mengelak dari kenyataan. Tangan Rara Wulan yang memegangi kepalanya itu bagaikan lempeng-lempeng baja yang mengimpit tulang kepalanya.

   "Katakan, apakah kau menyerah atau tidak."

   Among Asmara tidak segera menjawab.

   Harga dirinya masih mengekangnya untuk mengaku kekalahannya.

   Tetapi tangan Rara Wulan mulai menekannya.

   Lehernya mulai terasa sakit.

   Jika perempuan itu menghentakkan kepalannya, maka lehernya benar-benar akan patah.

   "Katakan selagi kau sempat. Menyerah atau tidak?"

   Rara Wulan menekan kepala Among Asmara semakin keras, sehingga sambil meyeringai menahan sakit, Among Asmara itupun berkata dengan suara tertahan.

   "Baik. Baik. Aku menyerah."

   Rara Wulan mengendorkan tangannya. Katanya.

   "Ulangi. Lebih keras lagi agar kawan-kawanmu mendengarnya."

   "Aku menyerah,"

   Berkata Among Asmara lebih keras lagi. Rara Wulanpun kemudian mendorong Among Asmara sehingga orang itu terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.

   "Bangun orang cengeng,"

   Bentak Rara Wulan. Tertatih-tatih Among Asmara itupun bangkit berdiri.

   "Nah. Camkan ini. Bahwa kau telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Selama ini banyak perempuan yang telah menjadi korban. Korban nafsumu. Mereka tidak dapat melawanmu dengan cara apapun juga. Kau ajak kawan-kawanmu dan pengikut-pengikutmu untuk memenuhi kemauanmu yang kotor itu."

   Among Asmara tidak dapat berbuat apa-apa. Meski ia menjadi sangat marah, namun ia harus mendengarkan perempuan itu berkata selanjutnya.

   "Nah. Seharusnya dalam keadaan seperti ini kau sempat melihat ke dalam dirimu sendiri. Ternyata bahwa kau bukannya orang yang tidak terkalahkan. Bahkan oleh seorang perempuan."

   Among Asmara masih tetap berdiri di tempatnya. Kakinya masih saja agak goyah.

   "Sekarang kau dapat memilih. Pulang atau menghancurkan diri sendiri bersama kawan-kawan dan orang-orangmu."

   Among Asmara masih termangu-mangu. Sehingga Rara Wulanpun membentaknya.

   "Cepat. Ambil sikap. Pulang atau mati disini bersama kawan-kawan dan orang-orangmu."

   Karena Among Asmara masih saja diam, maka Glagah Putihpun kemudian berteriak.

   "Bersiaplah. Kita akan menyelesaikan masalah ini dengan cara kita. Anak-anak muda dari padukuhan ini tidak usah melibatkan diri. Jika mereka mendendam kepada kami."

   Teriakan Glagah Putih memang tidak jelas ditunjukkan kepada siapa.

   Seolah-olah ia mempunyai sekelompok kawan yang siap berada di tempat itu selain orang-orang padukuhan itu.

   Namun teriakan Glagah Putih mamu mengguncang jantung kawan-kawan dan para pengikut Among Asmara.

   Mereka segera menjadi gelisah.

   "Among Asmara,"

   Berkata Rara Wulan kemudian.

   "pergilah sebelum aku berubah pikiran. Jika kau tiak pergi segera, berarti kau tetap menantangku sehingga aku harus menyelesaikan pertarungan ini. Tetapi ingat, jika kau masih melakukan seperti apa yang kau lakukan sekarang dan sebelumnya, maka aku akan datang kerumahmu. Aku akan menghancurkanmu sampai lumat. Sekarang, cepat pergi bersama kawan-kawanmu."

   Among Asmara tidak dapat berbuat lain.

   Tetapi ketika ia bergeser, maka ia hampir saja terjatuh jika seorang kawannya tidak segera menangkapnya.

   Dipapah oleh kawannya.

   Among Asmarapun pergi ke kudanya yang tertambat.

   Dibantu oleh kawannya, dengan susah payah Among Asmara naik kepunggung kudanya.

   Tetapi ketika kawan-kawannya akan meloncat naik, Glagah Putihpun berteriak.

   "Kalian harus mengetrapkan unggah-ungguh dan sopan santun."

   Kawan-kawan dan para pengikut Among Asmara itu termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putihpun berkata.

   "Tidak seharusnya kalian berkuda di halaman. Jika saja Among Asmara itu tidak terluka, maka iapun tidak pantas berkuda di halaman. Ketika kalian datang tanpa turun dari kuda kalian memasuki halaman rumah Ki Bekel ini, kalian sudah menyinggung perasaan kami. Karena itu, tuntun kuda kalian keluar regol. Baru kalian dapat naik dan segera pergi."

   Jantung kawan-kawan dan para pengikut Among Asmara itu bergejolak.

   Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

   Mereka membayangkan di halaman itu ada beberapa orang yang berilmu tinggi yang siap melumatkan mereka jika mereka mencoba untuk melawan.

   Karena itu, maka kawan-kawan dan para pengikut Among Asmara itupun kemudian menuntun kuda mereka keluar dari regol halaman.

   Seorang diantara mereka keluar dari kudanya sendiri, juga menuntun kuda Among Asmara.

   Sejenak kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda berjalan di jalan didepan regol halaman rumah Ki Bekel.

   Tetapi kuda-kuda itu tidak dapat berlari terlalu kencang karena keadaan Among Asmara.

   Sebenarnyalah bahwa perasaan Among Asmara benar-benar terpukul oleh peristiwa yang baru saja terjadi.

   Among Asmara yang sebelumnya dikenal sebagai seorang penakluk perempuan dengan cara apapun juga, telah dikalahkan oleh seorang perempuan di arena terbuka.

   Dihadapan banyak orang dan bahkan dihadapan kawan-kawan dan pengikutnya.

   Dalam perjalanan meninggalkan rumah Ki Bekel itu, Among Asmara baru menyadari, bahwa ia telah menjadi bahan permainan perempuan yang disebut Genduk Miyat itu.

   Perempuan itu sengaja membiarkannya berloncatan mengerahkan kemampuannya bahkan sampai tingkat kemampuan tertingginya.

   Perempuan itu telah membiarkannya mengerahkan segenap tenaga dan ilmunya, sehingga akhirnya Among Asmara itu kehabisan dukungan kewadagannya.

   Tenaga dan kekuatannya menyusut perlahan-lahan sehingga akhirnya rasa-rasanya ia tidak lagi mampu berdiri.

   Pada saat yang menentukan, maka perempuan itu telah menghentikan perlawannya.

   Among Asmara menarik nafas panjang.

   Ternyata ada juga perempuan yang berilmu tinggi.

   Meskipun ia sudah sampai ke puncak ilmunya, namun perempuan itu seakan-akan tidak tersentuh oleh udara panas yang melingkar-lingkar bebareng dengan angin serangannya.

   Perempuan itu telah merendahkannya sehingga Among Asmara itu sama sekali tidak berharga.

   Dendam di jantung Among Asmara memang bergejolak.

   Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan.

   Jika ia berusaha membalas dendam, maka persoalannya justru akan menjadi berkepanjangan.

   Jika ia datangi esok atau lusa rumah Ki Bekel, maka perempuan yang berilmu tinggi itu dengan laki-laki yang dikatakan akan nontoni tentu akan datang pula ke rumahnya.

   Rumahnya dan bahkan seisinya tentu akan dihancurkannya.

   Keluarganya akan dilumatkan tanpa dapat memberikan perlawanan.

   Sementara itu, kekecewaan yang sangat telah mencengkam jantungnya.

   Ternyata bahwa ia bukan seorang laki-laki seperti yang dibayangkan sendiri.

   Ia bukan seorang yang segala kehendaknya tidak terlawan.

   Among Asmara menyadari, bahwa yang terjadi tentu sebuah jebakan.

   Perempuan yang disebut Genduk Miyat itu tentu ada hubungannya dengan Ki Bekel.

   Tetapi bahwa permpuan dan laki-laki yang berperan dalam lakon yang mereka susun akan nontoni itu sudah melibatkan diri, maka persolannya akan menjadi lain.

   Among Asmara yang terluka dibagian dalam tubuhnya serta luka-luka pula dikulitnya tahu, alasan perkelahiannya dengan perempuan itu, maka gurunya justru akan sangat marah kepadanya.

   Gurunya bahkan pernah memperingatkannya.

   Waktu itu ia telah berusaha untuk meninggalkan kebiasaan buruknya.

   Tetapi ketika ia kembali ke dalam pergaulan dengan kawan-kawan yang lama.

   maka kebiasaannya itu telah kambuh kembali.

   Dan malam itu.

   Among Asmara telah membentur kenyataan yang sebelumnya belum pernah dibayangkan.

   Sementara itu, sepeninggal Among Asmara, maka Ki Bekelpun segera mempersilahkan tamu-tamunya kembali duduk di pringgitan.

   Iapun mengucapkan terimakasih kepada rakyatnya yang telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

   Sedang Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah dipersilahkannya duduk bersama tamu-tamunya yang mengiringi seorang anak muda yang nontoni anak perempuan Ki Bekel itu.

   Baik Ki Bekel maupun keluarga anak muda yang nontoni itu telah mengucapkan terima kasih berulang kali kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Kami tidak akan pernah melupakannya,"

   Berkata Ki Bekel.

   "Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu dan saling menolong ? Kali ini aku dapat membantu Ki Bekel. Tetapi pada kesempatan lain dan dalam persoalan yang berbeda, mungkin sekali aku yang akan minta bantuan Ki Bekel."

   "Jika saja aku mampu, aku tentu tidak akan berkeberatan."

   Dalam pada itu, malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan ikut hadir dalam upacara nontoni di rumah Ki Bekel. Bahkan setelah upacara selesai, Ki Bekel minta Glagah Putih dan Rara Wulan untuk bermalam di rumahnya.

   "Jangan di banjar, ngger. Tetapi angger Wiguna dan angger Miyat aku minta bermalam di sini saja. Dirumahku."

   "Terima kasih, Ki Bekel. Nampaknya Ki Bekel dan keluarga Ki Bekel masih akan sibuk sampai esok. Malam ini agaknya beberapa orang anak muda dan tetangga-tetangga Ki Bekel akan berjaga-jaga sampai dini untuk ikut memeriahkan upacara ini."

   "Angger berdua akan dapat beristirahat digandok."

   "Ki Bekel. Kami mengucapkan terima kasih. Tetapi sebaiknya biarlah kami bermalam di banjar saja."

   Ki Bekel tidak dapat mencegah.

   Ia mengerti maksud kedua orang suami istri yang telah menyelamatkan ana perempuannya itu.

   Jika mereka bermalam di rumahnya, agaknya mereka tidak akan sempat tidur.

   Merekapun tentu akan ikut berjaga-jaga sampai dini.

   Sementara itu, esok pagi mereka akan meneruskan perjalanan mereka.

   Dengan demikian, maka Ki Bekel terpaksa melepaskan keduanya pergi ke banjar.

   Tetapi seorang pembantunya telah diperintahkannya untuk membawa makanan dan minuman ke banjar.

   Sebenarnyalah bagi Glagah Putih dan Rara Wulan merasa lebih bebas berada di bajar.

   Mereka dapat segera berbaring di amben bambu yang agak besar meskipun dibilik yang sempit di serambi belakang banjar pedukuhan.

   Namun seperti biasanya jika mereka berada di tempat yang kurang mereka kenal, maka merekapun tidur bergantian Pagi-pagi sekali keduanya sudah bangun.

   Ketika Rara Wulan mandi di pakiwan, Glagah Putih menimba air untuk mengisi jambangan.

   Namun pada saat mereka berbenah diri dan siap untuk berangkat melanjutkan perjalanan, maka dua orang anak muda telah datang sambil membawa minuman hangat serta makan pagi yang masih mengepul.

   "Ki Bekel menjadi repot,"

   Desis Rara Wulan.

   "Tidak, Nyi. Ki Bekel juga harus menyediakan minuman dan makan bagi mereka yang berjaga-jaga di rumahnya."

   "Apakah mereka masih disana?"

   "Baru saja mereka pulang, setelah makan pagi serta minum minuman hangat."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata.

   "Ki Sanak. Tolong sampaikan kepada Ki Bekel bahwa kami berdua mohon diri. Setelah minum dan makan, kami langsung akan melanjutkan perjalanan."

   "Apakah kalian tidak akan menemui Ki Bekel lagi?"

   "Sudahlah. Aku kita kau tidak perlu datang lagi ke rumah Ki Bekel. Sampaikan saja kepada Ki Bekel. Kami mengucapkan terima kasih bahwa kami dapat bermalam di banjar padukuhan ini. Kami juga sudah mendapatkan makan dan minum secukupnya. Mudah-mudahan pada kesempatan lain, kami dapat singgah lagi di rumah Ki Bekel itu."

   "Baik, Ki Sanak,"

   Jawab anak muda itu.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "kami akan menyampaikannya."

   Dengan demikian, maka setelah minum dan makan pagi, serta menitipkan mangkuk-mangkuk yang kotor itu kepada penunggu banjar, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah bersiap untuk berangkat melanjutan perjalanan.

   Namun karena Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyatakan diri untuk tidak singgah di rumah Ki Bekel, maka ternyata justru Ki Bekel, Nyi Bekel dan anak gadisnya yang semalam di tontonilah yang datang ke banjar.

   Sekali lagi mereka mengucapkan terima kasih, serta berharap bahwa pada kesempatan lain, kedua suami isteri itu sempat singah di padukuhan itu.

   Pada saat matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah meninggalkan banjar padukuhan itu.

   Mereka berjalan terus menuruni jalan-jalan yang menuju ke Barat masih di kaki Gunung Merapi.

   Rara Wulan masih juga menggendong peti kecilnya.

   Sementara Glagah Putih berjalan sambil melenggang.

   Namun kemudian Glagah Putih telah memotong sebatang kayu metir yang tumbuh dipinggir jalan dengan pisaunya.

   Kayu metir itupun kemudian dikulitinya dan membuatnya menjadi sebatang tongkat yang dibawanya sepanjang perjalanan.

   Dipagi yang cerah mereka berjalan menyusuri jalan yang agak menurun.

   Di jalan itu terdapat jalur jejak roda pedati yang nampaknya menjadi semakin dalam.

   Nampaknya sudah ada usaha untuk mengeraskan jalan itu dengan bebatuan.

   Namun batu-batu itu mulai menyibak.

   Jilid 360 TERASA udara masih segar.

   Masih pula terdengar kicauan burung-burung liar di pepohonan yang tumbuh berjalan di pinggir jalan, yang disiang hari dapat menjadi pelindung dari teriknya panas matahari.

   Tetapi di pagi hari, mereka justru merasa hangat berjalan di bawah sinarnya yang mulai menggatalkan kulit.

   Jalan yang mereka lalui memang bukan jalan utama yang ramai, meskipun sekali-sekali pedati yang membawa hasil bumi melintas Tetepi pagi itu, jalan itupun nampak sepi.

   Bahkan sawah-sawahpun sepi.

   Tidak ada petani yang turun ke sawah pagi itu, karena agaknya kerja di sawah memang sudah selesai.

   Namun di jalan yang terasa sepi itu, Glagah Putih dan Rara Wuian terkejut.

   Tiba-tiba seorang meloncat dari balik segerumbul pohon jarak kepyar dan berdiri sambil bertolak pinggang di tengah-tengah jalan.

   Langkah Glagah Putih dan Rara Wulan terhenti.

   Selangkah Glagah Putih bergeser maju sambil berkata.

   "Ki Sanak mengejutkan kami."

   Orang itu tertawa. Katanya.

   "Aku perlu berbicara dengan kalian berdua."

   "Tentang apa Ki Sanak?"

   "Aku merasa heran terhadap kemampuan perempuan yang disebut Genduk Miyat itu, yang semalam telah ditontoni."

   Wajah Rara Wulan berkerut. Sementara itu Glagah Putihpun berkata.

   "Kau siapa Ki Sanak? Apa pula hubunganmu dengan peristiwa semalam?"

   "Permainan kalian sangat rapi. Kalian telah menjebak Among Asmara sehingga Among Asmara merasa sangat terhina."

   "Apakah kau mempunyai hubungan dengan Among Asmara?"

   "Aku gurunya."

   "O,"

   Glagah Putih Mengangguk-angguk.

   "hatimu terluka oleh kekalahan Among Asmara?"

   "Bukankah itu wajar? Kalian telah mempermalukan muridku. Kalian telah merendahkan muridku serendah-rendahnya, sehingga ia menjadi tidak berharga di mata kawan-kawannya dan pengikutnya."

   "Jika terjadi demikian, siapakah yang bersalah?"

   "Aku tahu, muridku bersalah. Aku sudah pernah memperingatkannya. Akupun masih akan memperingatkannya. Tetapi kalian telah mempermalukannya keterlaluan. Seharusnya kalian tidak mempermalukan muridku seperti itu."

   "Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia tidak direndahkan sampai serendah-rendahnya, maka ia tidak akan menjadi jera. Jika kau, gurunya, pernah menegurnya dan Among Asmara masih juga kembali ke sifat buruknya, apakah itu sudah sepantasnya? Apakah kau sebagai gurunya tidak merasa tersinggung dan direndahkan oleh muridmu sendiri? Lalu apakah tidakanmu terhadap muridmu itu?"

   "Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia masih mengulanginya, maka Among Asmara harus dihukum. Ia telah menyalah gunakan kemampuannya untuk tujuan yang buruk, yang justru akan memperburuk citra perguruannya."

   "Jadi, apa maksudmu sekarang? Bukankah yang aku lakukan sejalan dengan keinginanmu itu Ki Sanak."

   "Tetapi Among Asmara berada di dalam bingkai perguruanku? Aku gurunya yang wenang mengajarinya atau menghukumnya. Bukan orang lain. Apalagi yang kau lakukan bukan sekedar menghukum Among Asmara. Tetapi kau sudah merendahkan ilmunya. Kau sudah meremehkan perguruannya. Sedangkan pemimpin dari perguruan itu adalah aku."

   "Tetapi yang dilakukan Among Asmara justru di luar perguruannya. Ia sudah merugikan orang lain. Bahkan yang dilakukan adalah kesalahan yang mendasar sekali. Dengan paksa mengambil seorang perempuan untuk dijadikan istrinya. Bukankah itu merupakan satu perbuatan yang sangat nista justru dengan mengandalkan ilmunya? Ilmu yang diajarkan di perguruannya? Ilmu yang diajarkan oleh gurunya?"

   "Tetapi perguruanku tidak mengajarkan sifat yang nampak pada kelakuan Among Asmara. Justru karena itu aku harus menghukumnya. Tetapi aku tidak mau ada orang lain yang memandang rendah pada perguruanku? Seolah ilmu yang aku ajarkan itu tidak berarti apa-apa, sehingga Among Asmara justru dipermainkan oleh seorang perempuan. Aku tidak akan merasa tersinggung seandainya kau hukum Among Asmara tanpa mempermainkannya. Yang aku lakukan bukan pelepasan dendam karena kekalahan muridku. Tetapi karena harga diri perguruanku sudah kau remehkan. Kau anggap ilmu yang dimiliki oleh Among Asmara itu tidak berarti sama sekali, sehingga kau telah mengalahkannya dengan cara yang sangat menyakitkan. Kau biarkan Among Asmara kehabisan nafas sehingga tidak mampu berbuat apa-apa lagi."

   "Maaf Ki Sanak,"

   Sahut Rara Wulan.

   "aku tidak bermaksud meremehkan ilmunya. Aku tidak bermaksud merendahkannya. Maksudku semata-mata untuk membuatnya jera."

   "Itu yang kau katakan kepadaku sekarang,"

   Berkata orang itu.

   "tetapi aku tidak yakin, bahwa itulah yang kau lakukan semalam."

   "Ki Sanak. Itulah yang ingin aku lakukan."

   "Aku tidak mempercayaimu."

   Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Aku tidak dapat memberikan penjelasan lebih banyak lagi. Aku tidak dapat memaksamu percaya."

   "Nah, sekarang aku datang untuk memperbaiki citra perguruan. Aku ingin menunjukkan kepadamu, bahwa puncak ilmu di perguruanku tidak lebih rendah dari puncak ilmumu."

   "Jadi, apa maksudmu, Ki Sanak?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Aku ingin menakar ilmu dengan kalian. Siapapun yang akan bersedia membuat perbandingan ilmu itu."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya.

   "Apakah itu perlu, Ki Sanak?"

   "Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa perguruanku tidak seburuk yang kalian sangka."

   Glagah Putih dan Rara Wulan saling bepandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih berkata.

   "Baiklah. Ki Sanak. Jika itu yang kau kehendaki. Jika dengan demikian kau mendapat kepuasan dan merasa tidak direndahkan lagi."

   "Tetapi aku muak dengan kesombonganmu. Kau tidak perlu mengalah untuk mendapat pujian, bahwa kau adalah seorang yang baik hati, berbudi luhur, menghindari perselisihan dan puji-pujian cengeng yang lain karena kau dapat memberikan kepuasan kepadaku. Jika itu kau lakukan, kau sama sekali bukan orang yang baik hati, orang yang berbudi luhur, berkorban untuk orang lain atau sebutan-sebutan yang lain, karena jika kau mengalah itu sebenarnya tidak lebih dari satu sikap sombong yang sangat berlebihan saja."

   "Baik. Jika demikian, kita akan mencari tempat terbaik. Tidak dijalan ini."

   "Dimana ?"

   "Ditikungan sungai itu. Disebelah pohon besar itu. Kita tidak akan merasa terganggu oleh siapapun, karena tempat itu jarang sekali dikunjungi orang."

   "Baiklah. Aku akan menuruti maumu."

   Orang itupun kemudian melangkah mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan meloncati parit dan berjalan menyusuri pematang. Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian bergerak mengikuti mereka. Namun Rara Wulan sempat berdesis.

   "Apakah orang itu tidak akan menjebak kita, kakang? Ia merasa bahwa muridnya telah kita jebak semalam, sehingga iapun membalas dengan menjebak kita."

   "Jika orang itu menjebak kita, kita akan mempergunakan segenap kemampuan kita untuk melindungi diri kita. Kita tidak mau menjadi pengewan-ewan, dipermalukan atau bahkan kita akan dibunuh beramai-ramai. Tetapi sebaiknya kita tidak berprasangka buruk."

   "Ya, kakang."

   Keduanyapun kemudian terdiam.

   Mereka berjalan disepanjang pematang menuju ke sebatang pohon raksasa yang agaknya tumbuh dipinggir sungai.

   Beberapa langkah di hadapan mereka, orang yang mengaku guru Among Asmara itu telah meloncat dari tanggul sungai turun ke tepian yang berpasir dan berbatu-batu yang menebar di mana mana.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhenti sejenak di atas tanggul.

   Ditebarkannya pandangan mereka ke mana-mana.

   Sepanjang tepian dan bahkan ke sela-sela semak-semak di seberang sungai.

   Namun mereka tidak melihat seorangpun.

   Orang yang mengaku gurunya Among Asmara yang sudah berdiri di tepian itu agaknya dapat membaca kecurigaan Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Katanya.

   "Jangan menganggap bahwa aku licik seperti kalian yang telah menjebak muridku. Aku tidak akan menjebakmu. Aku memang mengundang dua orang saudara seperguruanku. Tetapi tidak untuk melibatkan diri. Mereka akan menjadi saksi, apakah ilmu dari perguruan kami sedemikian rendahnya, sehingga harus dihinakan oleh sepasang pengembara seperti kalian berdua."

   Tiba-tiba saja orang itu bertepuk tangan.

   Glagah Putih dan Rara Wulan memang agak terkejut ketika mereka melihat dua orang yang meluncur dari dahan pohon raksasa itu dan kemudian berdiri tegak di tepian.

   Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak memperhatikan pohon raksasa itu.

   Mereka tidak mengira bahwa dua orang dengan susah payah memanjat pohon itu dan bersembunyi di balik rimbun daunnya yang kecil-kecil seperti daun preh.

   "Nah, marilah. Turunlah. Kita seharusnya berkenalan lebih dahulu."

   Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian turun dari atas tanggul dengan hati-hati. Nampaknya tebing tanggul yang rendah itu memang agak licin.

   "Kau lihat,"

   Berkata guru Among Asmara kepada kedua orang yang datang kemudian.

   "bukankah mereka anak-anak yang sangat sombong? Kenapa mereka harus menuruni tanggul itu dengan hati-hati, bahkan berpegangan pohon-pohon perdu ? Kenapa mereka tidak meloncat saja langsung ke tepian?"

   Seorang diantara mereka menjawab.

   "Ya. Aku yakin sekarang. Keduanya memang sangat sombong. Ketika kau berbicara tentang kesombongan mereka, aku masih ragu-ragu untuk mempercayainya. Tetapi sekarang, aku sudah meyakininya."

   Glagah Putih dan Rara Wulan memang tertegun sejenak mendengar pembicaraan yang dengan sengaja diucapkan dengan keras itu.

   Tetapi mereka tetap saja menuruni tebing itu sambil berpegangan batang-batang perdu yang tumbuh di tebing yang rendah itu.

   Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berdiri di tepian.

   Rara Wulan masih menggendong peli kecil dengan selendangnya.

   "Nah, dihadapan para saksi, kita akan mengukur kemampuan kita,"

   Berkata guru Among Asmara itu.

   "tetapi sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri kami. Namaku Ki Narasembada. saudara seperguruanku yang tinggi ini bernama Ki Tenaya Siji dan yang satunya kurus kering itu kita sebut Ki Wreksa Aking."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk, hormat. Namun mereka juga agak heran, bahwa ternyata orang berilmu tinggi itu bertebaran di mana-mana. Dengan nada rendah Glagah Putihpun berkata.

   "Ki Narasembada tentu sudah tahu namaku. Namaku Wiguna dan ini isteriku. Namanya Miyat."

   Orang yang bertubuh tinggi itupun menyahut.

   "Nama yang bagus. Kalian pantas mengenakan nama itu."

   "Sayang sekali, kalian terlalu sombong,"

   Berkata orang yang bertubuh kurus.

   "Kami sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Kami berbuat wajar-wajar saja menurut perasaan kami. Tetapi jika itu kalian anggap sebagai satu sikap yang sombong, terserah saja kepada kalian."

   "Kau sama sekali tidak berbuat dengan wajar,"

   Sahut orang yang bertubuh kurus. Namun kemudian iapun berkata.

   "Tetapi semuanya itu terserah kepada kalian berdua. Kalau kalian merasa mapan dengan tingkah laku kalian, lakukan saja. Kami tidak berhak untuk merubahnya."

   "Aku setuju,"

   Sahut Ki Narasembada.

   "yang penting sekarang adalah membuktikan bahwa kau tidak dapat menghina perguruan kami."

   "Bukankah yang dimaksud Ki Narasembada adalah aku. kakang,"

   Berkata Rara Wulan.

   "Biarlah kali ini aku yang melayaninya."

   Rara Wulan tidak memaksa. Ia sadar, bahwa Glagah Putih tidak dapat melepaskannya menghadapi orang yang nampaknya memang berbahaya itu. Ki Narasembada tentu memiliki kelebihan dalam segala hal dari muridnya. Among Asmara.

   "Bagus,"

   Berkata Ki Narasembada.

   "aku kira kalian masih juga akan menyombongkan diri dengan menghadapkan perempuan itu dalam pertarungan ini."

   "Jika itu yang kau kehendaki ?"

   Tiba-tiba saja Rara Wulan menyahut.

   "Biarlah aku saja yang menghadapi, Ki Narasembada."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ki Narasembada itupun kemudian berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya sambil berkata.

   "Kalian akan menjadi saksi bahwa perguruan kita bukan perguruan tataran bawah. Bahwa perguruan kita memiliki landasan ilmu yang tinggi, sehingga tidak seharusnya dihinakan sebagaimana diperlakukan alas Among Asmara."

   "Baik, kakang,"

   Jawab Ki Tenaya Siji.

   "kami akan menjadi saksi bahwa perguruan kita adalah salah satu dari perguruan yang terbaik."

   Ki Narasembada itupun kemudian berkata.

   "bersiaplah Wiguna. Kita akan segera mulai."

   Glagah Putih pun telah mempersiapkan dirinya pula. Kepada Rara Wulan iapun berkata.

   "Miyat. Perhatikan, apa yang akan terjadi disini. Kau telah membuktikan, bahwa Among Asmara bukan apa-apa bagimu. Sekarang aku juga akan membuktikan, bahwa perguruan yang dipimpin oleh Ki Narasembada tidak akan mendapat menyamai tataran perguruan kita. Apalagi jika guru kita sendiri yang hadir disini. Maka Ki Narasembada harus mengakui tujuh kali, bahwa perguruannya tidak dapat diperbandingkan dengan perguruan kita."

   "Persetan kau orang yang sangat sombong. Kau akan kami permalukan disini. Meskipun tidak dihadapan banyak orang, tetapi kau harus malu kepada dirimu sendiri. Bahkan aku berharap bahwa gurumu akan bersedia datang. Jika tidak hari ini. maka kapan saja ia akan datang, aku akan menerimanya dengan senang hati."

   "Apakah dengan demikian hanya kamilah yang dapat disebut sangat sombong?"

   "Cukup."

   Glagah Putih terdiam.

   Namun ia justru bergeser selangkah maju mendekati Ki Narasembada dengan tenangnya.

   Melihat sikap Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu, jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguaruannypun terasa berdebar.

   Sikap itu menunjukkan kepercayaan diri yang sangat tinggi.

   Wiguna itu masih sangat muda di mata Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruannya.

   Karena itu, seberapapun tinggi ilmunya, namun pengalamannya tentu belum begitu luas.

   Wawasannya masih sangat terbatas, sehingga kemenangannya atas Among Asmara telah membuatnya semakin sombong.

   Sikapnya bukan karena keyakinannya serta percaya diri yang tinggi, tetapi semata-mata karena kesombongannya, sehingga sulit baginya untuk menghargai orang lain.

   "Aku harus membuatnya jera. Ia harus mengakui bahwa diluar diri mereka berdua, terdapat ilmu yang lebih tinggi."

   Dalam pada itu, Glagah Putih justru menyesuaikan diri dengan anggapan Ki Narasembada.

   Sebagai seorang yang sangat sombong, maka Glagah Putih telah membuka serangannya.

   Dengan derasnya Glagah Putih meloncat menyerang dengan kakinya.

   Namun serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

   Ki Narasembada dengan gerak yang sangat sederhana telah menghindarinya.

   Namun serangan Glagah Putih itu justru membuai Ki Narasembada menjadi ragu-ragu.

   Jika laki-laki muda itu memiliki ilmu setingkat saja dengan perempuan yang mengembara bersamanya itu, maka ia tidak akan meyerang dengan serangan yang sangat sederhana itu.

   Karena itu, Ki Narasembada justru menjadi semakin berhati-hati.

   Ia tidak segera membalas menyerang, tetapi diperhatikannya sikap laki-laki muda yang menyebut dirinya Wiguna itu dengan sungguh-sungguh.

   Namun penggraita Glagah Putihpun cukup tajam pula.

   Ia pun segera merasakan sikap Ki Narasembada sebagai satu sikap yang sangat berhati-hati.

   Karena itu, ketika Glagah Putihpun kemudian menyerang pula, maka serangannya benar-benar menjadi sangat berbahaya.

   Dengan demikian, maka pertempuranpun segera meningkat menjadi semakin bersungguh-sungguh.

   Keduanyapun dengan cepat meningkatkan, ilmu mereka.

   Ki Narasembada mengukur kemampuan Glagah Putih dengan kemampuan Rara Wulan yang telah dilihatnya dengan diam-diam, pada saat Rara Wulan mengalahkan Among Asmara.

   Namun Ki Narasembada sengaja tidak melibatkan diri untuk menjaga kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi.

   Bukan saja atas muridnya, tetapi juga atas dirinya sendiri.

   Kecuali atas dasar pertimbangan itu, Ki Narasembadapun membiarkan Among Asmara mendapat pelajaran dari kenyataan yang dihadapinya.

   Beberapa saat kemudian, pertempuran di tepian itu menjadi semakin sengit.

   Ki Narasembada telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

   Ia sadar sepenuhnya bahwa laki-laki yang masih muda itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi.

   Namun Glagah Putihpun dengan cepat pula meningkatkan ilmunya pula.

   Seperti Rara Wulan, maka Glagah Putih seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengenali kemampuan ilmunya sendiri setelah ia menjalani laku bersama-sama dengan isterinya di hutan yang lebat, di kaki Gunung Merapi.

   Glagah Putih memang menemukan banyak hal yang terasa baru di-dalam dirinya.

   Tenaganya yang semakin kuat, tubuhnya yang seakan-akan bertambah ringan, kecepatannya bergerak serta yang kemudian dikenalinya pula daya tahannya yang semakin tinggi serta tenaga dalamnya yang bertambah besar.

   Glagah Putihpun berusaha mengenali pula kendali atas tenaga dan kemampuannya, sehingga Glagah Putih dapat mengaturnya sesuai dengan kehendaknya.

   Dengan demikian, maka kemampuan dan ilmunya benar-benar tunduk sepenuhnya atas kehendak dan kendali nalar budinya.

   Dalam pada itu, pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit.

   Ki Narasembada yang memang berilmu tinggi itu meningkatkan ilmunya pula semakin tinggi.

   Namun Glagah Putih masih saja mampu mengimbanginya.

   Namun menghadapi Ki Narasembada Glagah Putih tidak dapat memperlakukannya sebagaimana Rara Wulan memperlakukan Among Asmara.

   Ki Narasembada benar-benar seorang yang sangat berbahaya bagi Glagah Putih.

   Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran.

   Justru mereka yang tidak langsung berada di arena mampu melihat lebih tajam benturan ilmu yang semakin tinggi dari keduanya.

   Kedua orang itu semakin lama menjadi semakin heran melihat betapa ringannya Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu berloncatan.

   Tubuhnya seakan-akan sama sekali tidak mempunyai bobot yang membebaninya.

   Selain keringanan tubuh Glagah Putih, maka keduanya juga melihat, betapa serangan-serangan Ki Narasembada yang mengenai tubuh Glagah Putih sama sekali tidak menggetarkannya.

   Bahkan ketika terjadi benturan kekuatan, maka yang tergeser surut adalah Ki Narasembada.

   Sebenarnyalah Ki Narasembada sendiri mulai merasakan kelebihan Glagah Putih.

   Demikian cepatnya laki-laki muda itu bergerak, sehingga kadang-kadang Ki Narasembada tidak sempat mengimbanginya.

   Serangan-serangan Glagah Putihlah yang lebih sering mengenainya.

   Bahkan semakin lama semakin menyakitinya, ketika kaki Glagah Putih yang terayun mendatar bersamaan dengan tubuhnya yang berputar mengenai keningnya, maka terasa sesaat matanya menjadi kabur.

   Namun ketika serangan yang sama untuk kedua kalinya menyambarnya, Ki Narasembada sempat menghindar dengan merendahkan diri.

   Bahkan dengan cepat kakinya menyapu kaki Glagah Putih yang kemudian menyentuh tanah.

   Tetapi dengan kecepatan yang sangat tinggi, Glagah Putih sempat melenting.

   Dengan bertumpu pada kedua tangannya yang menapak di tanah, maka sekali Glagah Putih berputar di udara.

   Dengan lembutnya, kedua kakinyapun kemudian menapak diatas tanah.

   Pada saat yang bersamaan, dengan menghentakkan kemampuannya, Ki Narasembada telah meloncat dengan menjulurkan kakinya mengarah ke punggung Glagah Putih yang membelakanginya.

   Namun dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, Glagah Putih telah berbalik sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

   Demikian kedua kaki Ki Narasembada membentur kedua tangannya yang bersilang, Glagah Putih telah menghentakkannya.

   Benturan yang keras telah terjadi, Glagah Putih tergetar selangkah surut.

   Namun Ki Narasembada seakan-akan telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di pasir tepian.

   Hampir saja tubuhnya menimpa sebuah batu yang besar.

   Ki Narasembada harus menahan sakit di punggunya.

   Meskipun Ki Narasembada itu dengan cepat bangkit, namun terasa punggungnya menjadi sangat sakit.

   Seakan-akan tulang belakangnya telah menjadi retak.

   Namun Ki Narasembada masih memiliki ilmu puncaknya.

   Karena itu, ketika ia telah berdiri tegak maka iapun berkata.

   Kau memang luar biasa Wiguna.

   Ilmumu ternyata lebih lengkap dari ilmuku."

   Glagah Putih tertegun. Namun iapun kemudian menjawab.

   "Jangan menyanjung Ki Narasembada. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu pamungkas yang sangat dahsyat. Ilmu ini masih belum begitu nampak jelas pada Among Asmara. Dan bahkan nampaknya ia masih agak merasa gagap mengetrapkannya. Tetapi kau tentu berbeda."

   "Ya. Aku menguasai kuasa panasnya api di dalam diriku. Aku akan dapat melontarkannya dan membakar tubuhmu menjadi abu. Jika kekuatan ini tidak nampak atau belum mampu dikuasai sepenuhnya oleh Among Asmara, maka aku, gurunya tentu memiliki kelebihan daripada muridku itu."

   "Aku tahu, Ki Narasembada. Tetapi jika aku berani menghadapimu sekarang, aku tentu mempunyai ilmu andalan yang akan dapat meredam panas apimu itu. Jika ilmu kita berbenturan, maka aku tidak tahu, apa yang akan terjadi, karena kita belum tahu ukuran kemampuan kita masing-masing. Sementara itu, bukankah semula kita tidak berniat benar-benar saling menghancurkan."

   "Apakah kau menjadi ketakutan?"

   "Ya. Aku memang menjadi ketakutan kalau kau tidak mampu menahan deraan ilmuku. Seandainya ilmu kita berbenturan, maka ilmu yang lebih lemah akan memantul dan menyakiti diri sendiri di tambah oleh dorongan ilmu yang lebih kuat."

   "Kau memang sombong sekali Wiguna"

   "Tetapi aku tidak berniat menyombongkan diri."

   "Apapun yang terjadi. Kau tidak dapat terus menerus menghina ilmu puncak dari perguruanku. Bahkan seandainya salah seorang diantara kita harus mati."

   "Kita dapat mencapai tujuan tanpa membahayakan jiwa kita masing-masing."

   "Apa yang harus kita lakukan menurut gagasanmu?"

   "Disana ada tebing berbatu padas. Kita akan mempergunakannya sebagai sasaran serangan berlandaskan pada ilmu puncak kita masing-masing. Kita akan dapat menilai ilmu siapakah yang lebih baik diantara kita."

   Ki Narasembada termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya, maka keduanyapun mengangguk hampir bersamaan. Agaknya keduanya sependapat dengan laki-laki muda yang dikenalnya bernama Wiguna itu.

   "Baik,"

   Berkata Ki Narasembada kemudian.

   "kita akan melepaskan serangan kita terhadap tebing di seberang sungai kecil ini. Berdasarkan hasilnya, maka yang kalah harus mengaku kalah. Jika kau kalah Wiguna, kau harus mengerti, bahwa kemampuan Among Asmara bukan ukuran tingkat kemampuan puncak perguruan kami."

   "Ya,"

   Jawab Glagah Putih.

   "jika aku kalah, aku akan mengakui kelebihan perguruan Ki Narasembada. Tetapi sebaliknya Ki Narasembada juga harus mengakui kenyataan yang terjadi."

   Dengan kesepakatan itu, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri di tepi sungai kecil itu menghadap ke tebing berbatu padas di seberang.

   "Silahkan Ki Narasembadapun segera mempersiapkan diri. Ia mengarahkan serangannya kepada segerumbul pohon perdu yang tumbuh di tebing seberang yang berbatu padas. Sejenak Ki Narasembada memusatkan nalar budinya untuk mempersiapkan ilmu puncaknya. Kedua orang saudara seperguruanyapun menjadi tegang pula. Di perguruan mereka, mereka mengakui bahwa Ki Narasembada adalah orang yang memiliki tingkat ilmu tertinggi, sehingga ia telah mewarisi kedudukannya tertinggi di perguruannya. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi tegang pula. Mereka tidak mengetahui sejauh manakah kemampuan ilmu puncak Ki Narasembada. Sesaat kemudian, maka Ki Narasembadapun telah sampai pada puncak kemampuannya. Terdengar Ki Narasembada berteriak nyaring. Kedua tangannya terjulur ke depan dengan telapak tangannya terbuka menghadap ke segerumbul semak yang berada di tebing berbatu padas di seberang. Seleret sinar telah memancar dari kedua telapak tangan Ki Narasembada. Begitu cepatnya menyambar gerumbul liar di tebing seberang. Tiba-tiba saja, lidah api seakan-akan telah menjilat gerumbul-gerumbul liar itu. Dalam sekejap gerumbul liar itupun telah menjadi hangus. Sementara itu, tebing berbatu padas itupun menjadi retak-retak sehingga beberapa gumpal batu padaspun runtuh jatuh ketepian berpasir. Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada menarik nafas panjang. Ki Narasembada memang orang yang terbaik di dalam olah kanuragan daripada yang lain. Ki Narasembada masih dapat membuktikan kelebihannya untuk menjaga harga diri perguruannya. Di seberang bukan saja gerumbul liar itu menjadi hangus bagaikan dijilat lidah api yang panasnya melampaui panasnya bara kayu melandingan. Ki Narasembadapun kemudian menghela nafas panjang. Kemudian iapun bergeser setapak surut sambil berkata.

   "Sekarang giliranmu Wiguna. Aku ingin tahu, apakah kau mampu melakukannya. Bahkan seandainya kau sentuh tebing itu dengan unsur kewadaganmu."

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya.

   "Aku akan menyerangnya dari sini, Ki Narasembada. Aku juga tidak akan mempergunakan sentuhan kewadagan."

   "Bagus. Lakukan. Jika kau dapat melukai tebing itu lebih parah lagi, aku akan menundukkan kepalaku dihadapanmu."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak.

   Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu.

   Diamatinya gerumbul perdu yang telah hangus menjadi arang.

   Daun-daunnya telah rontok menjadi debu.

   Glagah Putih tidak mau gagal.

   Glagah Putih tidak ingin dipermalukan oleh Ki Narasembada.

   Karena itu, maka Glagah Putih lelah memusatkan nalar budinya, menggugah ilmunya pada tataran tertinggi.

   Sejenak Glagah Putih berdiri tegak.

   Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang.

   Tetapi Glagah Putih tidak memiliki kemampuan sebagaimana Agung Sedayu menyerang dengan sorot matanya yang memancarkan ilmunya.

   Tetapi Glagah Putih tidak saja berlandaskan ilmu yang telah dimilikinya pada saat ia berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

   Tetapi setelah ia menjalani laku, maka segala-galanya telah menjadi semakin meningkat.

   Karena itu, dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah menyentuh bagian atas dada kirinya dengan ujung jari tangan kanannya serta menyentuh bagian atas dada kanannya dengan dua jari tangan kirinya, sehingga kedua tangannya bersilang.

   Kemudian di julurkannya tangannya lurus ke depan.

   Tetapi telapak tangannya tidak lagi menghadap ke arah sasarannya.

   Kedua telapak tangannya yang terbuka justru menelungkup.

   Ketegangan telah mencengkam tepian itu.

   Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya bediri mematung.

   Jantung mereka menjadi berdebaran melihat sikap Glagah Putih.

   Bahkan ketika mereka melihat cahaya samar kebiruan pada saat jari-jari tangan Glagah putih yang bersilang menyentuh bagian atas dadanya.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bersamaan dengan terjulurnya tangan Glagah Putih maka seakan-akan dari kesepuluh jari-jarinya telah meluncur butir-butir cahaya yang kebiru-biruan sebagaimana nampak pada saat kedua tangan Glagah Putih bersilang dan menyentuh bagian atas dadanya itu.

   Sesaat kemudian, terdengar gemuruh.

   Butir-butir cahaya yang meluncur dari jari-jari tangan Glagah Putih itu seakan-akan telah meledak dan meruntuhkan tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu.

   Batu-batu padas yang pecah bukan saja berguguran, tetapi pecahan-pecahan batu padas itu terlempar ke segala arah dan berhamburan jatuh di tepian.

   Jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya itupun terguncang.

   Mereka tidak mengira, bahwa kemampuan ilmu laki-laki yang masih terhitung muda itu demikian besarnya sehingga sulit untuk dicari bandingnya.

   Gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di tebing berbatu padas itu tidak saja menjadi hangus.

   Tetapi tercerabut sampai ke akarnya dan lumat menjadi debu yang kemudian diterbangkan angin.

   Glagah Putih kemudian menelengkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya.

   Sesaat kedua tangannya itu bergerak menurun dan kemudian tergantung di sisi tubuhnya yang masih berdiri tegak.

   Glagah Putih justru terkejut ketika Ki Narasembada yang kemudian diikuti oleh kedua saudara seperguruannya berdiri di hadapan Glagah Putih sambil membungkuk hormat.

   Dengan nada berat Ki Narasembadapun berkata.

   "Aku harus mengakui dengan jujur, bahwa kau berada di tataran yang jauh lebih tinggi dari tataran ilmuku. Ilmu tertinggi di perguruanku."

   "Sudahlah,"

   Glagah Putihpun kemudian menggapai bahu Ki Narasembada sambil mengangkatnya.

   "Berdiri tegaklah. Tidak ada yang harus di sanjung lagi."

   "Kami tidak dapat ingkar dari kenyataan yang kami hadapi."

   "Baiklah. Tetapi sudahlah. Lupakan saja semuanya yang telah terjadi."

   "Jika saja kau tidak mempunyai gagasan untuk membuat perbandingan ilmu dengan mempergunakan tebing di seberang sebagai sasaran, maka aku tentu sudah lumat oleh kemampuan ilmumu."

   "Sekali lagi aku katakan kepada Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruanmu, bahwa aku sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi aku sekedar menyatakan kekecewaanku, bahwa salah seorang murid di perguruanmu dan bahkan mungkin dengan satu dua saudara seperguruannya, telah menyalahgunakan kemampuan yang dimilikinya. Sementara itu, para pemimpin di perguruan itu gagal mencegahnya. Atau bahkan mungkin tidak bertindak apa-apa sama sekali."

   "Kami tidak akan ingkar, bahwa kamilah yang harus bertanggung jawab,"

   Sahut Ki Narasembada.

   "kami akan menertibkan murid-murid kami dengan cara yang lebih baik lagi."

   "Hati-hatilah dengan Among Asmara. Jika ia mendendam terhadap Ki Bekel dan anaknya yang semalam di tontoni, Ki Narasembadalah yang harus bertanggung-jawab."

   "Ya. Aku akan bertanggung-jawab."

   "Kenapa orang itu harus berganti nama? Bukankah namanya sendiri yang diterimanya dari orang tuanya sudah cukup baik?"

   "Ya. Ia akan kembali kepada namanya sendiri."

   "Nah, apakah sekarang masih ada persoalan yang menggelitik Ki Narasembada? Mumpung aku masih ada di sini."

   "Aku akan mengucapkan terima kasih kepada Genduk Miyat yang telah dapat menahan diri terhadap muridku, Among Asmara."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya.

   "Maksud Ki Narasembada?"

   "Genduk Miyat tidak membunuhnya. Seandainya saat itu dilakukannya, aku tentu akan berusaha menyelamatkannya. Nah, keterlibatanku malam itu akan dapat membunuhku pula."

   "Tetapi bukankah perlakuan Miyat terhadap Among Asmara itu yang membuat Ki Narasembada menemui kami sekarang ini?"

   "Karena ketidak tahuanku. Karena itu, aku minta maaf sekaligus mengucapkan terima kasih."

   "Baiklah. Kita tidak akan mempersoalkannya lebih panjang lagi. Tetapi tolong, kendalikan Among Asmara."

   "Aku berjanji."

   "Terima kasih."

   Dengan demikian, maka Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannyapun minta diri. Ketika mereka akan meninggalkan tepian, Ki Narasembada berkata.

   "Aku persilahkan Ki Sanak berdua singgah di padepokan kecilku. Kami tinggal di pinggir sungai kecil ini, beberapa ratus patok ke arah udik. Sungai kecil ini akan melingkari sebuah gumuk kecil di kaki Guhung Merapi. Kami tinggal di gumuk kecil itu."

   "Terima kasih. Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami dapat singgah. Apakah Among Asmara juga berada di padepokan itu?"

   "Tidak. Ia sudah tidak tinggal di padepokan. Tetapi ia tinggal di rumahnya."

   "Itulah sebabnya pengawasan Ki Narasembada tidak cukup ketat terhadap murid yang sudah terlanjur mewarisi ilmu yang cukup tinggi."

   "Itu salah kami. Kami akan memperbaiki kesalahan itu."

   Ketiga orang itupun kemudian menaiki tebing di seberang, di sebelah tebing yang runtuh dan berjalan menyusuri tanggul ke arah udik.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian justru duduk di sebuah batu yang besar di bawah sebatang pohon yang rimbun yang tumbuh di tanggul sungai kecil itu.

   "Ternyata mereka orang-orang yang jujur,"

   Desis Glagah Putih.

   "Ya,"

   Sahut Rara Wulan.

   "Sikapnya wajar."

   "Agaknya Ki Narasembada benar-benar akan mengawasi muridnya, khususnya Among Asmara."

   "Ya. Aku bahkan yakin, bahwa Ki Narasembada akan memberikan peringatan yang keras terhadap Among Asmara dan saudara-saudara seperguruannya yang mendukung sikap dan tindakannya."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata.

   "Rara. Permainanku hari ini justru menyadarkan kepadaku, bahwa aku dan tentu juga kau telah memikul tanggung jawab yang sangat berat."

   "Maksud kakang?"

   "Ilmu kita sudah meningkat semakin tinggi. Sementara itu, apakah kita yakin bahwa kita pada suatu saat tidak tergoda oleh kemampuan kita sehingga kita benar-benar akan menjadi orang-orang yang sombong dan terjerumus ke dalam tingkah laku yang keluar dari jalan yang seharusnya?"

   Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Itulah sebabnya kakang, orang-orang tua selalu memberikan pesan agar kita tidak pernah terlepas dari kesadaran kita tentang diri kita sendiri."

   "Itulah yang sulit."

   "Kita harus berusaha, kakang. Kita akan saling mengingatkan. Kita akan saling membantu dalam kelemahan jiwani yang memang mungkin datang mencengkam kita."

   "Kita memang harus berjuang dan memohon kepada Yang Maha Agung, sumber dari segala sumber Kuasa di segala ruang dan waktu. Semoga kurnia-Nya tetap berada dalam kendali-Nya. Sehingga kita, peraganya, tidak berjalan sendiri menurut kemauan kita semata-mata."

   Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

   Pernyataan Glagah Putih adalah satu pengakuan akan kelemahan jiwa seseorang yang mudah tergoda oleh gebyar kehidupan keduniawian.

   Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri merenungi jalan kehidupan yang akan mereka lalui dengan bekal yang meyakinkan di dalam olah kanuragan.

   Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun berkata.

   "Rara. Apakah kita perlu memberikan sebutan atas ilmu kanuragan yang kita sandang sekarang ini."

   "Nama?"

   "Bukankah ilmuku dan ilmumu telah lebur? Kau tidak dapat lagi menyebut ilmumu dengan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Aku juga tidak akan dapat menyebut lagi Aji Sigar Bumi, serta ilmuku yang lain yang tidak mempunyai sebutan apa-apa. Meskipun kau masih tetap memiliki Aji Pacar Wutah yang masih dapat kau terapkan jika kau kehendaki, demikian pula aku, tetapi dalam puncak kemampuan kita, kita memerlukan sebutan yang pantas. Di dalam kitab itu tidak ada petunjuk, apa-apa tentang sebutan atas ilmu yang tercantum di dalamnya. Bukan sekedar tulisan yang tidak berarti apa-apa. Tetapi setelah kita jalani laku, maka apa yang tertulis di dalam kitab itu telah ternyata dalam diri kita."

   "Kakang akan memberi sebutan pada puncak ilmu kita?"

   "Kalau mungkin apa salahnya?"

   "Aku sependapat kakang."

   "Nah, sekarang kita akan mencari nama itu."

   Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas.

   Kemudian dipandanginya tebing berbatu padas yang berguguran.

   Rara Wulan sendiri juga mampu melakukannya, meskipun mungkin masih selapis dibawah kemampuan Glagah Putih.

   Namun apa yang dapat dilakukan oleh Rara Wulan, telah melampaui kemampuan ilmunya Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

   "Sebutan apa yang akan kakang pergunakan?"

   "Berbeda dengan sebutan ilmu yang pernah kita dengar. Kita tidak perlu mempergunakan sebutan yang mengesankan kekerasan. Bukankah ada sisi yang lembut dari ilmu yang telah kita warisi lewat kitab itu?"

   "Ya, kakang."

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Kemudian iapun merenungi beberapa kata yang pantas untuk menyebut ilmunya. Namun akhirnya Glagah Putih itupun menggeleng sambil berdesis.

   "Aku tidak menemukan nama yang mapan untuk ilmu kita."

   "Jadi?"

   "Bagaimana jika kita sebut saja dengan Aji Namaskara."

   "Aji Namaskara,"

   Ulang Rara Wulan.

   "Bagaimana menurut pendapatmu?"

   "Baik, kakang. Ilmu itu akan selalu mengingatkan kita kepada Ki Namaskara. Orang yang langsung atau tidak langsung telah mewariskan ilmu itu kepada kita. Karena Ki Namaskara mewariskan ilmu itu tanpa nama, maka kita sebut saja Aji Namaskara Seandainya nama itu masih terdengar agak janggal, semakin lama akan semakin terbiasa bagi telinga kita. Bukankah nama itu hanya akan disebut-sebut di antara kita saja?"

   "Ya."

   "Nah, baiklah. Sejak sekarang kita sebut ilmu puncak kita itu dengan Aji Namaskara."

   Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis.

   "Ya. Aji Namaskara."

   Keduanyapun kemudian sejenak termenung.

   Agaknya mereka sedang merenungi nama yang baru saja mereka ucapkan untuk menyebut ilmu puncak yang mereka kuasai setelah menjalani laku yang berat di dalam hutan di kaki Gunung Merapi.

   Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putihpun berkata.

   "Baiklah. Sekarang kita akan melanjutkan perjalanan kita."

   "Marilah kakang,"

   Sahut Rara Wulan sambil bangkit berdiri. Keduanyapun kemudian meninggalkan tepian itu. Mereka menaiki tebing yang tidak terlalu tinggi. Merekapun berjalan beberapa saat menyusuri tanggul.

   "Kita akan kembali ke jalan yang kita lalui tadi,"

   Berkata Glagah Putih.

   "Ya, kakang,"

   Jawab Rara Wulan sambil melangkahi parit yang membujur disepanjang kotak-kotak sawah.

   Selanjutnya keduanyapun berjalan meniti pematang diantara tanaman yang nampak hijau.

   Beberapa saat kemudian, merekapun telah melangkahi parit lagi dan turun ke jalan yang tadi mereka lewati.

   Ternyata jalan yang mereka lewati memang jalan yang tidak terlalu banyak dilalui orang.

   Mereka tidak terlalu sering berpapasan dengan seseorang.

   Tidak pula ada orang yang jalan seiring dengan mereka.

   "Jalan ini terasa terlalu sepi,"

   Berkata Rara Wulan kemudian.

   "Ya. Padahal didepan terdapat beberapa padukuhan yang cukup besar. Sawahnyapun nampak subur terbentang sampai ke batas hutan yang membujur di cakrawala."

   Rara Wulan mengangguk. Katanya.

   "Mungkin kerja di sawah telah selesai. Tanaman tumbuh dengan subur. Para petani tinggal menunggu padi yang telah bunting itu berbuah dan menjadi kuning. Kemudian memetiknya dan membawanya ke lumbung."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Pada saat padi bunting justru para petani menjadi tegang.

   Kadang-kadang jika nasib buruk, justru hama datang menyerang.

   Hama walang sangit dapat datang setiap saat menghisap biji yang masih agak cair, sehingga ketika padi itu berbuah, maka butir-butirnya telah kosong.

   Yang ada hanyalah kulitnya yang tegak mencuat dari batangnya.

   Namun padi yang kosong, yang nampaknya menengadah itu sama sekali tidak memberikan apa apa kepada para petani yang menanam dan memelihara dengan tekun sebelumnya.

   Namun jika nasib baik, maka padi itu akan menghasilkan buah yang berisi.

   Namun justru semakin berisi, maka buah padi itu akan nampak semakin merunduk.

   Buah padi yang merunduk itu adalah buah padi yang seolah-olah tahu membalas budi kepada para petani yang menanam dan memeliharanya dengan tekun.

   Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan yang panjang menuju ke sebuah padukuhan yang terhitung besar.

   Sementara itu, matahari telah mulai bergerak menurun.

   Sambil menengadahkan wajahnya Rara Wulanpun berkata.

   "Ternyata kita cukup lama berada di tepian."

   "Ya,"

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Glagah Putih mengangguk.

   "kita telah kehilangan banyak waktu. Jika saja kita berjalan terus, maka kita tentu sudah melampaui beberapa bulak panjang dan beberapa padukuhan."

   "Tetapi bukankah kita tidak berada dalam batasan waktu? Ternyata permainan kakang di tepian ada juga artinya."

   "Maksudmu?"

   Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya.

   "Kita sempat memberi nama terhadap ilmu puncak kita."

   "Ya,"

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   "selain itu kitapun semakin mengenali diri kita dan semakin mencemaskan ketahanan jiwa kita terhadap godaan duniawi."

   "Bukankah dengan demikian kita dapat lebih mengenali pula sisi-sisi kehidupan kita? Yang gelap, yang suram dan yang terang?"

   "Ya. Satu dorongan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ingat di setiap saat akan keberadaan-Nya dan Kuasa-Nya."

   Rara Wulan menarik nafas panjang.

   Namun untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri.

   Dalam pada itu, mataharipun menjadi semakin rendah.

   Keduanya telah melintasi padukuhan yang cukup besar yang membujur sepanjang jalan yang mereka lalui.

   Mereka berjalan lewat di depan bangunan yang cukup besar.

   Banjar padukuhan itu.

   Namun padukuhan itu tidak terlalu ramai.

   Halaman-halaman rumah yang luas menjadikan jarak antara tetangga menjadi jauh.

   Tanah yang tidak rata, gumuk-gumuk kecil yang ada di padukuhan itu agaknya telah membuat jarak antara seseorang dan orang yang lain.

   "Gumuk-gumuk kecil itu dapat longsor jika hujan lebat turun,"

   Desis Rara Wulan.

   "Ya. Tetapi agaknya hal itu jarang sekali terjadi."

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   Di ujung padukuhan mereka berpapasan dengan beberapa orang anak yang pulang dari padang sambil menggiring kambing mereka.

   Anak-anak itu berpaling memandang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan kerut di dahi.

   Mereka belum pernah melihat keduanya lewat jalan utama di padukuhan mereka.

   Tetapi mereka tidak bertanya apa-apa.

   "Kambing mereka nampak gemuk-gemuk,"

   Berkata Glagah Putih kemudian.

   "Tentu di sekitar ini terdapat padang rumput yang luas."

   "Atau padang perdu."

   "Mereka tidak akan menggembalakan kambing mereka kepadang perdu dekat dengan hutan itu. Di hutan itu tentu berkeliaran binatang buas."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Ketika mereka kemudian berjalan di tengah-tengah bulak berikutnya, maka mataharipun menjadi semakin rendah.

   Cahaya matahari yang menjadi semakin lunak menebar diatas kotak-kotak sawah yang bertingkat, semakin lama semakin menurun.

   Di belakang mereka, puncak Gunung Merapi nampak kemerah-merahan.

   Beberapa lembar awan nampak mengambang di lambung gunung.

   Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di sebuah banjar padukuhan.

   Ternyata orang-orang padukuhan itu sangat baik, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan diperlakukan sebagai seorang tamu.

   Penunggu banjar itu telah menyediakan makan malam bagi keduanya.

   Bahkan di pagi hari, penunggu banjar itu sudah menyediakan ketela pohon yang direbus dengan legen kelapa.

   Setelah mengucapkan terima kasih, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan padukuhan itu untuk meneruskan perjalanan mereka.

   "Ki Sanak,"

   Bertanya Glagah Putih kepada penunggu banjar.

   "aku sekarang berada di padukuhan mana?"

   "Ki Sanak berada di padukuhan Watu Palang. Jika Ki Sanak berjalan terus, maka Ki Sanak akan sampai kepadukuhan Tegal Reja. Kalau Ki Sanak berjalan terus ke barat, maka Ki Sanak akan sampai ke Kali Praga."

   "Kali Praga,"

   Ulang Rara Wulan.

   "Ya. Kali Praga Ki Sanak akan menempuh perjalanan di dataran yang luas. Namun Ki Sanak masih akan menjumpai padang perdu, hutan dan rawa-rawa. Baru kemudian Ki Sanak akan sampai ke dekat satu lingkungan yang ditebari dengan bangunan-bangunan kuna berupa candi-candi."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

   Ia belum pernah melewati padukuhan Tegal Reja.

   Iapun belum pernah menjelajahi daerah yang menyimpan banyak peninggalan bangunan lama meskipun mereka tahu tentang bangunan-bangunan kuna itu.

   Tanah perdikan Menoreh adalah dataran yang dibatasi oleh dinding yang berujud rangkaian panjang sebuah pegunungan yang disebut Pegunungan Menoreh di sisi Barat.

   Pegunungan yang membujur ke Utara sampai ke tlatah yang akan dilewatinya jika mereka tidak sengaja berjalan melingkar.

   "Terima kasih, Ki Sanak. Kami mohon diri."

   "Berhati-hatilah di perjalanan. Kalian akan menempuh daerah yang gawat. Meskipun daerah yang akan kalian lalui menjadi jalan pintas para pedagang, tetapi biasanya mereka melintas dalam rombongan yang cukup kuat. Mereka tidak mau terperosok ke dalam kesulitan karena sekelompok perampok yang menghadang mereka. Jika mereka melintas dalam kelompok yang agak besar, maka mereka akan dapat saling membantu melawan para perampok itu. Terlebih-lebih di sekitar penyeberangan di Kali Praga."

   "Penyeberangan yang bagaimana yang Ki Sanak maksudkan? Apakah di Kali Praga itu ada beberapa tukang satang dengan rakitnya menunggu orang-orang yang menyeberang?"

   "Pada keadaan yang sewajarnya, tidak. Orang dapat menyeberang tanpa bantuan rakit dan tukang satang."

   Sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan mengucapkan terima kasih sebelum mereka beranjak meninggalkan padukuhan itu.

   Ketika mereka keluar dari padukuhan Watu Palang, mereka masih melihat kabut yang tipis menebar di bulak yang panjang.

   Namun kabut itu perlahan-lahan terangkat oleh cahaya matahari yang baru terbit.

   Jalan membujur panjang dihadapan mereka.

   Menusuk di antara kotak-kotak sawah yang luas.

   Diujung jalan itu nampak sebuah padukuhan yang lamat-lamat mencuat dari balik kabut yang menipis.

   Namun di arah lain mereka melihat hutan yang agaknya masih lebat di ujung kaki Gunung Merapi.

   "Kita akan pergi ke Tegal Reja,"

   Berkata Glagah Putih.

   "Apakah kita akan menyeberang?"

   "Ya. Kita akan menyeberang Kali Praga. Tetapi kita tidak akan menuju ke Selatan agar kita tidak sampai di Tanah Perdikan kembali."

   Rara Wulan tersenyum. Katanya kemudian.

   "Pada dasarnya Kali Praga dapat diseberangi."

   "Ya. Seperti yang dikatakan penunggu banjar di Watu Palang. Tetapi jika banjir, agaknya kita akan sulit menyeberang."

   "Kau lihat langit bersih, kakang. Bukankah sekarang tidak sedang mangsa rendeng? Di musim hujan mungkin Kali Praga banjir hampir setiap hari."

   "Ya. Tetapi tentu tidak perlu hari ini. Mungkin esok atau bahkan lusa."

   "Kenapa harus esok atau bahkan lusa?"

   "Mungkin ada yang menarik perhatian di sepanjang jalan. Tetapi bukankah jalan masih panjang."

   "Tetapi seperti dikatakan oleh penunggu Banjar, kita harus berhati-hati karena kita akan melalui jalan yang agaknya mempunyai banyak hambatan."

   "Ya. Meskipun demikian, jalan ini masih saja menjadi jalur perjalanan para pedagang yang akan menuju ke daerah Barat. Agaknya cara mengatakannya terbalik Rara. Bukan para pedagang itu mumilih jalan yang meskipun banyak hambatannya. Tetapi justru karena jalan ini banyak dilalui para pedagang yang dianggap membawa banyak uang dan barang-barang berharga, maka daerah ini telah mengundang kelompok-kelompok orang yang berniat jahat. Mereka yang ingin memiliki banyak uang dan barang-barang berharga melalui jalan pintas."

   Rara Wulan tersenyum. Katanya.

   "Ya. Agaknya kau benar kakang. Sebelum para penjahat itu berdatangan jalan ini tentu merupakan jalan yang aman dan terhitung dekat dengan tujuan para pedagang yang menuju ke Barat itu. Sehingga mereka memilih melalui jalan ini. Namun lambat laun, jalan inipun menjadi jalan yang berbahaya."

   "Tentu semula para pedagang itu lewat tanpa harus menunggu beberapa orang kawan. Mereka agaknya menyeberang jalan ini sendiri-sendiri atau berdua saja. Namun mereka kemudian menjadi sasaran kejahatan yang seakan-akan terpanggil untuk melakukannya disini."

   "Ya. Dengan demikian maka para pedagang itupun mendapatkan akal. Mereka melintas bersama-sama sehingga mereka akan dapat melawan jika sekelompok perampok menghentikan mereka."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Rara Wulanpun kemudian berkata.

   "Tetapi kita tidak usah merasa cemas. Kita tidak mempunyai apa-apa, sehingga tidak ada seorang penjahatpun yang akan mengganggu kita."

   "Kita membawa uang,"

   Desis Glagah Putih.

   "Tidak seberapa dibanding dengan benda-benda berharga yang dibawa oleh para pedagang."

   "Ada yang lebih berharga."

   Rara Wulan mengangguk. Katanya.

   "Ya. Kitab ini."

   Glagah Putihpun tiba-tiba berkata.

   "Bagaimana pendapatmu jika kitab itu kita sembunyikan saja di tempat yang tidak akan pernah didatangi seseorang."

   "Dimana?"

   "Didalam goa misalnya. Goa yang tidak akan pernah menarik perhatian orang."

   "Kalau petinya rusak dan kitabnyapun kemudian rusak pula?"

   "Bukankah kitab itu tidak boleh diketahui isinya oleh siapapun kecuali kita?"

   "Bagaimana jika kita musnahkan saja?"

   "Kita masih belum tuntas. Rara. Kita belum menemukan Tuk Kawarna Susuhing Sarpoa Selain itu, masih ada lagi bagian-bagian dari laku yang harus kita selesaikan, meskipun tidak harus dengan serta-merta."

   Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.

   "Ya. Kita masih harus menuntaskannya."

   "Bagaimana jika kitab itu tidak usah kita tempatkan dalam peti kecil itu?"

   "Lalu?"

   "Petinya saja yang kita sembunyikan."

   "Kalau rusak?"

   "Tidak apa-apa."

   "Peti itu buatannya bagus sekali kakang. Aku sebenarnya senang pada bentuk dan ujudnya"

   "Jika demikian, biar saja kitab itu tersimpan didalam peti itu."

   Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun kemudian Rara Wulan itupun berkata.

   "Kakang. Sebaiknya kitab itu tidak ditempatkan lagi didalam peti ini. Kakang membawa kitabnya. Aku membawa petinya. Jika ada orang yang tertarik pada peti ini, maka kita tunjukkan bahwa peti itu kosong."

   "Kitab ini dapat rusak, mungkin karena keringat. Tetapi mungkin karena gerak tubuhku. Apalagi jika aku harus berloncatan dan bahkan berguling dan berputaran."

   "Kitab itu kita bungkus dengan kain. Kita dapat membeli kain di pasar yang akan kita lewati. Entah nanti, entah esok. Jika kitab itu ada didalam peti ini akan dapat terjadi salah paham. Apalagi jika kita akan melewati jalan yang mempunyai banyak hambatan. Mereka tentu akan mempertanyakan isi peti ini. Jika kita harus membukanya, maka kitab itu akan snagat menarik perhatian mereka. Tetapi jika peti itu kosong, maka mereka tidak akan mempersoalkannya lagi."

   "Tetapi mereka tentu masih juga akan bertanya, kenapa peti kosong itu kau bawa kemana-mana?"

   "Peti itu semula berisi perhiasan peninggalan orang tua. Tetapi sudah di rampas orang sebelumnya."

   Glagah Putih tertawa. Tetapi iapun berkata.

   "Baiklah. Jika kita sudah mempunyai sepotong kain, maka kitab kecil yang ada didalam peti kecil itu akan kita bungkus dan aku akan menyelipkannya dibawah bajuku. Tetapi aku harus mengenakan setagenku diluar bajuku agar kitab itu tidak meluncur jatuh."

   "Kau pakai baju gondil. Kau bawa kitab itu didalam baju gondil-mu."

   Glagah Putih tertawa lebih panjang.

   Namun suara tertawanya berhenti.

   Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berpaling karena mereka mendengar derap kaki beberapa ekor kuda yang berlari di belakang mereka.

   Beberapa saat kemudian beberapa orang penunggang kuda melarikan kuda mereka mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Ada diantara mereka yang berpaling kepada kedua orang suami isteri itu.

   Tetapi yang lain sama sekali tidak menghiraukannya.

   "Tentu mereka para pedagang dan saudagar yang diceriterakan oleh penunggu banjar itu,"

   Desis Rara Wulan.

   "Ya. Sekelompok saudagar dan pedagang yang cukup kuat. Para pedagang dan saudagar yang berkeliling sampai ke tempat yang jauh, mereka tentu memiliki bekal kemampuan dan ilmu yang tinggi. Bahkan ada diantara mereka yang masih membawa satu dua orang pengawal yang kuat untuk melindunginya dari orang-orang yang berniat jahat. Jika mereka bergabung dalam satu kelompok yang agak besar, maka kelompok-kelompok penjahatpun akan berpikir ulang jika mereka berniat mencegat perjalanan para pedagang dan saudagar itu."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   Dengan cara yang demikian, maka para pedagang dan saudagar itu tidak akan diganggu di perjalanan.

   Baru setelah mereka sampai di tempat yang aman mereka saling memisahkan diri.

   Tetapi tempat yang aman itupun pada suatu saat tentu akan menjadi tidak aman pula.

   Para penjahat, perampok dan penyamun yang mencium bahwa para pedagang dan saudagar itu telah berpisah dan menuju ke tujuan mereka masing-masing maka merekapun akan datang ketempat itu.

   Yang kemudian nampak di depan, adalah debu yang dihamburkan oleh kaki kuda yang berlari, iring-iringan orang berkuda itupun kemudian segera hilang dari pandangan mata mereka.

   Keduanyapun kemudian meneruskan perjalanan mereka.

   Jalan yang mereka lalui masih berada di bulak yang luas.

   Padukuhan yang ada di hadapan mereka masih berjarak beberapa ratus kotak.

   "Akhirnya daerah ini akan menjadi daerah yang aman dengan sendirinya. Para perampok dan penyamun akhirnya akan pergi karena tempat ini tidak lagi memberikan kemungkinan kepada mereka untuk merampas harta benda para pedagang dan saudagar yang lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar. Meskipun sebenarnya para pedagang dan saudagar itu juga saling bersaing, tetapi di perjalanan yang gawat mereka saling membantu."

   Rara Wulan masih mengangguk-angguk.

   Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka sampai di simpang empat di tengah-tengah bulak yang sepi itu.

   Beberapa orang bermunculan dari balik gerumbul perdu yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan yang menyilang jalan yang dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Berhenti,"

   Berkata seorang diantara mereka. Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhenti.

   "Ada apa kalian menghentikan perjalanan kami, Ki Sanak?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Jangan berpura-pura tidak tahu."

   Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya.

   "Aku tidak berpura-pura. Tetapi aku benar-benar tidak tahu maksud kalian."

   "Baiklah,"

   Berkata seorang yang lain.

   "aku tidak mau berbelit-belit. Berikan apa saja yang kalian punya kepada kami."

   "O,"

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   "jadi kalian ingin merampok?"

   "Ya."

   "Kenapa tidak kau lakukan tadi ketika sekelompok orang berkuda lewat? Mereka adalah pedagang dan saudagar-saudagar yang tentu kaya. Mereka tentu membawa uang dan barang-barang berharga yang dapat kalian rampas dan kalian bawa kesarang kalian."

   "Gila. Mereka terdiri dari banyak orang."

   Glagah Putih memandang para perampok itu seorang-seorang. Mereka memang hanya terairi dari lima orang. Mereka tentu akan membuat pertimbangan ulang jjka mereka akan merampok sekelompok pedagang dan saudagar berkuda yang baru saja lewat.

   "Ki Sanak,"

   Berkata Glagah Putih.

   "kenapa kalian hanya berlima? Bukankah kalian tahu, bahwa para pedagang dan saudagar yang lewat jalan ini tentu tidak hanya satu atau dua orang. Mereka tentu berkelompok agar mereka dapat mempertahankan dirinya jika mereka bertemu dengan sekelompok perampok."

   Seorang diantara jaereka menjawab dengan jujur.

   "Sebenarnya kami tidak hanya berlima. Kami telah membuat kesepakatan dengan beberapa orang kawan kami yang lain. Tetapi agaknya mereka terlambat datang. Mereka tentu memperhitungkan bahwa jika ada sekelompok pedagang lewat, tentu tidak sepagi ini. Tetapi menurut dugaan kami, nanti tentu masih ada lagi sekelompok pedagang yang lewat. Mudah-mudahan kelompoknya lebih kecil dari kelompok yang besar yang baru saja lewat."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.

   "Baiklah. Tunggu saja kawan-kawanmu. Nanti kalian dapat menghentikan sekelompok pedagang yang akan lewat."

   "Tetapi kami tidak membiarkan kalian berdua lewat begitu saja tanpa menyerahkan uang dan barang-barang milik kalian."

   "Kami tidak mempunyai apa-apa,"

   Jawab Glagah Putih.

   "kami adalah dua orang pengembara."

   "Pengembara?"

   "Ya. Kami sedang menjalani laku. Kakekku meninggalkan warisan kepadaku pengetahuan tentang pengobatan dan penglihatan tembus ruang dan waktu. Tetapi aku harus menjalani laku. Kami harus mengembara tiga tahun tanpa pulang. Mendatangi tempat-tempat yang keramat dan mencari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan."

   Para penyamun itu termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika ada diantara mereka yang memandangi peti yang di emban dengan selendangnya.

   "Apa yang kau bawa?"

   Bertanya salah seorang diantara para penyamun itu kepada Rara Wulan.

   "Bukan apa-apa,"

   Jawab Rara Wulan.

   "Berikan kepadaku,"

   Geram penyamun itu. Tetapi Glagah Putilah yang menjawab.

   "Yang dibawanya adalah sebuah peti yang berisi kitab. Laku yang kami jalani sekarang dasarnya adalah bunyi kitab itu."

   "Bohong. Kalian tentu membawa barang berharga di selendangnya itu."

   Glagah Putihpun kemudian mendekati Rara Wulan sambil berkata.

   "Tunjukkan kepadanya, bahwa yang ada di dalam gendonganmu itu adalah sebuah peti kecil yang berisi kitab yang menuntun laku yang sedang kita jalani sekarang."

   Rara Wulan menjadi agak ragu. Namun iapun kemudian mengambil peti kecil itu dan membukanya. Yang ada di dalam peti kecil itu memang hanya sebuah kitab kecil.

   "Nah, kau percaya sekarang bahwa kami tidak mempunyai apa-apa kecuali kitab kecil itu? Jika kau tidak percaya, kau dapat membaca isinya serba sedikit untuk meyakinkan kebenaran kata-kataku."

   "Tidak. Aku tidak perlu melihat isi kitab itu."

   "Bukankah kau harus yakin bahwa aku tidak berbohong ?"

   Tiba-tiba saja orang itu membentak.

   "Aku tidak dapat membaca. Buat apa aku melihat isi kitabmu ?"

   "Jika demikian biarlah kami lewat."

   "Tunggu,"

   Berkata yang lain.

   "jika kau mengembara selama tiga tahun, kau tentu membawa bekal uang cukup banyak."

   Glagah Putih tertawa. Katanya.

   "Ki Sanak. Kami tidak sedang menempuh perjalanan untuk ngenggar-ngenggar penggalih, sehingga kami membawa banyak uang untuk bekal perjalanan. Tetapi kami sedang menjalani laku. Kami makan dan minum apa saja yang kami temui di perjalanan kami. Suatu kali kami mendapat perlakuan baik dari penghuni sebuah padukuhan. Kami mendapat suguhan makan dan minum. Namun pada kesempatan lain, kami menemukan pohon buah-buahan liar di pinggir-pinggir hutan. Sekali-kali kami melibatkan diri dalam kerja di sawah atau ikut sambatan atas ijin pemiliknya, maka kami akan mendapat, uang serba sedikit. Setidak-tidaknya kami akan mendapat makan dan minum di hari itu."

   Para penyamun itu termangu-mangu. Namun agaknya mereka mempercayai keterangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, seorang diantara mereka yang agaknya mereka anggap sebagai pemimpin, berkata.

   "Biarlah mereka pergi."

   Tetapi seorang diantara mereka berkata.

   "Kenapa kita tidak minta perempuan itu singgah barang sebentar di sarang kita ?"

   "Tutup mulutmu. Kau selalu membuat kita semuanya kehilangan kabegjan. Kehilangan kesempatan untuk mendapat rejeki."

   Orang itu terdiam. Dalam pada itu, Glagah Putihpun berkata.

   "Terima kasih Ki Sanak. Kami akan meneruskan perjalanan kami. Perjalanan kami masih panjang. Kami baru menjalani laku ini selama setengah tahun."

   "Pergilah. Jangan lewat jalan ini lagi,"

   Geram pemimpin sekelompok penyamun itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian beranjak meninggalkan tempat ini.

   Namun sebelum mereka pergi, mereka melihat beberapa orang datang lewat jalan simpangan menemui para penyamun yang sudah ada di bulak itu.

   "Kau biarkan orang itu pergi?"

   Bertanya seorang di antara mereka yang baru datang.

   "Ya."

   "Kenapa ?"

   "Mereka adalah pengembara yang sedang menjalani laku atas perintah guru mereka. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali membawa kepala mereka."

   Orang yang baru datang itu mengangguk-angguk.

   Namun ternyata mereka tidak mengehentikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan terus dengan jantung yang berdebaran.

   Jika orang-orang yang baru datang itu bersikap lain, maka keduanya terpaksa mengambil sikap yang lain pula.

   Namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih mendengar seseorang berkata.

   "Kalian datang terlambat. Ada beberapa orang pedagang dan saudagar berkuda lewat."

   "Kalian tidak menghentikan mereka?"

   "Mereka lewat dalam kelompok besar. Kami tidak ingin membunuh diri disini."

   Agaknya mereka masih berbincang panjang.

   Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi semakin jauh, tidak dapat mendengarkan lagi.

   Glagah Putih dan Rara Wulan masih berjalan menyusuri jalan yang sama.

   Beberapa kali ia melewati padukuhan.

   Namun mereka masih juga melihat jejak kaki kuda di jalan yang dilewatinya.

   Karena itu, merekapun tahu bahwa para pedagang dan saudagar itu melewati jalan yang mereka lewati itu pula.

   Dalam pada itu jalan yang mereka lewati semakin lama justru nampak menjadi semakin ramai.

   Beberapa jalur jalan bermuara dijalan yang mereka lewati itu.

   "Kita menuju ke tempat yang agaknya lebih ramai dibandingkan tempat yang telah kita lewati."

   Glagah Putih mengangguk.

   "Apakah kita sudah sampai di Tegal Reja?"

   "Tentu belum,"

   Jawab Glagah Putih.

   "tetapi jalan ini tentu menuju ke Tegal Reja."

   Rara Wulanpun mengangguk pula.

   Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang agaknya cukup besar, maka mereka telah melewati sebuah pasar.

   Pasar yang cukup luas.

   Tatapi agaknya pasar itu telah mengalami masa surut.

   Pasar itu sudah tidak banyak dikunjungi orang.

   Apalagi hari sudah semakin siang.

   "Dihari pasaran, mungkin pasar ini masih juga ramai,"

   Berkata Rara Wulan.

   "Tetapi menilik bangunannya, serta sisi-sisi yang telah ditumbuhi rerumputan dan bahkan batang ilalang itu, pasar ini sudah menjadi jauh menyusut. Sebagian dari bangunan-bangunan yang ada di pasar ini tidak dipergunakan lagi. Tempat para pande besi bekerja di sudut pasar itupun nampaknya tidak pernah lagi disentuh."

   Keduanya justru berhenti di depan pasar yang menjadi semakin lengang itu.

   "Masih ada sebuah kedai yang buka,"

   Berkata Glagah Putih.

   "kita dapat singgah sebentar."

   Rara Wulan mengangguk.

   Ketika keduanya memasuki kedai yang masih terbuka pintunya itu, tidak seorangpun yang berada di dalamnya kecuali pemilik kedai itu.

   Agaknya dagangannyapun tidak terlalu banyak.

   Hanya sekedarnya saja.

   Tidak terdapat seorang pelayanpun didalam kedai itu, sehingga segala sesuatunya cukup dilakukan oleh pemiliknya sendiri.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah memesan minuman.

   Ketika mereka bertanya tentang makan yang tersedia di kedai itu, pemilik kedai itu menjawab.

   "Disini hanya disediakan nasi tumpang Ki Sanak."

   "Tidak ada yang lain?"

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bertanya Rara Wulan.

   "Tidak. Tidak banyak orang yang datang ke pasar ini sekarang. Bahkan semakin lama semakin menyusut."

   "Kenapa?"

   Bertanya Rara Wulan.

   "Tidak banyak lagi pedagang dari tempat yang jauh datang ke pasar ini. Dahulu, pasar ini merupakan tempat pemberhentian para pedagang dari tempat-tempat yang jauh. Disebelah pasar itu terdapat rumah yang besar, yang dipergunakan sebagai penginapan. Setiap hari halamannya yang luas, terisi oleh beberapa buah pedati. Disini para pedagang membawa dagangan yang kemudian diambil oleh para pedagang dari tempat yang berbeda. Mereka kadang-kadang saling menukar barang-barang dagangan mereka."

   "Apakah sekarang tidak lagi?"

   "Tidak."

   "Kenapa?"

   Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Sudahlah."

   Orang itu berhenti sejenak, lalu iapun tiba-tiba bertanya.

   "Apakah Ki Sanak mau makan atau tidak? Yang ada hanya nasi tumpang."

   "Jika tidak ada yang lain, baiklah,"

   Jawab Rara Wulan.

   Pemilik kedai itu kemudian menyiapkan minuman dan nasi tumpang bagi kedua orang tamunya.

   Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk diamben yang panjang termangu-mangu memandang berkeliling.

   Kedai itu memang sederhana saja.

   Meskipun ruangannya cukup luas, tapi sebagian tidak lagi dipergunakan.

   "Pada saatnya kedai ini tentu sebuah kedai yang besar,"

   Berkata Rata Wulan.

   "Ya, menilik sisa-sisa parabot yang dipergunakannya sekarang. Tetapi sejalan dengan menyusurnya pasar di sebelah, maka kedai inipun telah menyusut pula. Agaknya demikian pula kedai-kedai yang lain. Bahkan mungkin satu dua diantaranya sudah ditutup."

   Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.

   "Agaknya pemiliki kedai itu tidak mau menyebut penyebabnya meskipun jelas. Tentu karena tidak banyak lagi pedagang yang datang ke pasar itu. Sedang para pedagang itu tidak mau mengalami kesulitan dengan para perampok dan penyamun. Sehingga pasar inipun kemudian tidak lebih dari pasar bagi orang-orang yang menjual hasil kebunnya. Mereka yang berbelanjapun hanyalah mereka yang memerlukan kebutuhan dapur sehari-hari."

   Pembicaraan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki memasuki kedai itu dan duduk dekat Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata keduanya adalah bebahu padukuhan itu. Pemilik kedai itu dengan serta-merta mendatangi keduanya sambil bertanya.

   "Minum Ki Jagabaya? Ki Kamituwa?"

   "Ya,"

   Jawab orang yang disebut Ki Jagabaya.

   "Makan?"

   Bertanya pemilik kedai itu.

   "Makan Ki Kamituwa?"

   Bertanya Ki Jagabaya.

   "Terima kasih. Aku sudah makan dirumah."

   "Tadi pagi?"

   "Aku sarapan sudah agak siang."

   Ki Jagabaya itupun kemudian menjawab pertanyaan pemilik kedai itu.

   "Tidak. Aku hanya akan minum. Apakah kau punya makanan?"

   "Sudah habis Ki Jagabaya."

   "Baiklah, beri saja kami minum."

   Pemilik kedai itu segera menyiapkan minuman bagi Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa. Dalam pada itu, kedua orang bebahu itu memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang makan nasi tumpang. Dengan nada ragu Ki Jagabaya bertanya.

   "Maaf Ki Sanak. Aku ingin bertanya, apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini? Rasa-rasanya aku belum pernah melihat Ki Sanak berdua."

   "Kami memang tidak tinggal di sekitar tempat ini, Ki Jagabaya,"

   Jawab Glagah Putih.

   "Ki Sanak tahu bahwa aku Jagabaya di kademangan ini?"

   "Tadi, pemilik kedai itu menyebut Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa."

   "O,"

   Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa itu tertawa.

   "Jika demikian Ki Sanak ini tinggal dimana?"

   Bertanya Ki Kamituwa.

   "Kami berdua adalah suami isteri yang tinggal di Banyu Asri, dekat Jati Anom."

   "Jati Anom ? Begitu jauh. Lalu apa keperluan Ki Sanak sampai ke mari?"

   "Kami sedang dalam pengembaraan Ki Kamituwa. Kami meningkan kampung halaman kami, karena kami tidak dikehendaki lagi keberadaan kami di rumah oleh orang tua kami."

   "Maksud Ki Sanak."

   "Orang tuaku dan orang tua isteriku tidak merestui pernikahan kami, sehingga kami terusir dari rumah mereka. Dari rumah orang tuaku dan dari rumah isteriku. Karena itu, kami mengembara atas nasehat seorang tua yang pandai. Pengembaraan ini menjadi laku, menyongsong masa depan kami berdua."

   "Tetapi kenapa kalian lewat daerah kami yang terhitung daerah yang gawat ini."

   "Kami tidak tahu bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat, sehingga kami telah mengembara di lingkungan ini."

   "Darimana kau kemudian mengetahui bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat?"

   "Pemilik kedai ini memberitahukan kepadaku."

   "Tidak Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa,"

   Potong pemilik kedai itu.

   "aku hanya mengatakan bahwa dahulu banyak pedagang yang lewat dan berhenti disini. Sekarang tidak lagi."

   Kedua orang bebahu itu mengangguk-angguk. Ki Jagabayapun kemudian berkata.

   "Orang itu tentu tidak akan berani berkata terus-terang. Banyak perampok dan penyamun disekitar tempat ini. Kami para bebahu menjadi pusing memikirkannya. Kesejahteraan rakyat kami menjadi jauh menyusut. Pasar ini hampir mati. Jika semula rakyat kami dapat mengais rejeki sedikit dipasar ini, sekarang tidak lagi. Kedai-kedaipun tidak lagi banyak dikunjungi orang."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jagabayapun berkata.

   "Kami tidak dapat berbuat banyak. Para pedagang yang kemudian lewat dalam kekompok-kelompok yang besar, tidak banyak yang singgah di pasar ini. Mereka langsung pergi ke tempat-tempat yang lebih ramai dan jauh dari para perampok dan penyamun karena lingkungannya yang lebih baik. Lingkungannya mempunyai kekuatan untuk melawan perampok dan penyamun."

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini