Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 15


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   Apalagi oleh tangan-tangan kekuasaan Mataram.

   Tetapi ternyata Ki Umbul Telu tidak akan melakukannya.

   "Kami, para penghuni padepokan ini,"

   Berkata Ki Umbul Telu selanjutnya.

   "telah sepakat untuk membuat perjanjian dengan kalian. Kami tahu, bahwa perjanjian ini tidak mempunyai ikatan apa-apa. Maksudku, masing-masing akan dapat melanggarnya. Tetapi kitapun harus menyadari, bahwa pelanggaran atas perjanjian itu akan dapat berakibat buruk bagi hari-hari kita di masa mendatang. Kita akan dapat mengambil langkah-langkah yang jauh berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Khususnya kami, penghuni padepokan ini."

   Para tawanan itu masih tetap menundukkan kepala.

   "Dengarlah keputusan yang telah kami ambil. Para penghuni padepokan ini bukan pembunuh yang dapat membunuh kalian dengan hati yang beku. Tetapi kami menghormati hidup sesama kami, termasuk kalian meskipun kalian adalah perampok dan penyamun. Bahkan kami telah memutuskan untuk melepaskan kalian dari tangan kami. Pergilah, tetapi seperti yang aku katakan, kita akan membuat perjanjian. Kami akan melepaskan kalian. Selanjutnya kalian tidak akan melakukan lagi perampokan di sepanjang bulak-bulak panjang atau di tebing-tebing sungai atau dimanapun. Kami akan bekerja sama dengan para pedagang dan para Demang untuk mengamankan lingkungan ini, karena kami sangat berkepentingan. Jika pada suatu ketika kami menjumpai kalian diantara para perampok dan penyamun, maka kami akan terpaksa menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Karena itu, maka sebelum kalian pergi, kami akan memberikan pertanda pada tubuh kalian, dipergelangan tangan kalian, akan kami buat lukisan kecil. Dengan duri dan kemudian diusap dengan reramuan, maka lukisan kecil itu tidak akan pernah hilang. Karena itu, dimanapun kita bertemu, kami akan segera dapat mengenali kalian. Bahkan kami akan memberi tahukan kepada para para pedagang, para Demang dan bahkan para petugas dari Mataram yang sempat datang ke lingkungan ini. Mereka yang menjumpai kalian dengan pertanda di tangan kalian, maka mereka akan menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Bahkan kalian akan dapat dihukum mati, karena kalian sudah melanggar janji kalian sendiri."

   Tidak seorangpun diantara para tawanan itu yang menyahut.

   Mereka masih saja menundukkan kepala mereka dengan jantung yang berdebaran.

   Pertanda di pergelangan mereka itu tentu akan mereka bawa sampai akhir hidup mereka.

   Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kemauan Ki Umbul Telu itu.

   Jika ada diantara mereka yang menolak, Ki Umbul Telu akan dapat mengambil tindakan yang lebih keras terhadap mereka.

   Sebenarnyalah mulai hari itu, setiap orang yang tertawan itu telah ditandai di pergelangan tangan mereka.

   Seorang demi seorang bergantian.

   Ada tiga orang penghuni padepokan itu yang mampu membuat lukisan di tubuh seseorang dengan duri yang kemudian diolesi reramuan yang tidak akan dapat dihapus lagi.

   Para tawanan itu baru akan dilepaskan jika luka-luka dipergelangan tangan mereka itu sudah mengering.

   Sementara itu, Ki Umbul Telu akan segera mulai menghubungi beberapa orang Demang yang daerahnya, dilalui oleh para pedagang dalam perjalanan mereka.

   Dalam pada itu, pada hari-hari yang luang itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menjelajahi bukit kecil itu.

   Di dalam dan diluar dinding padepokan.

   Mereka melihat-lihat air yang mengalir dari celah-celah batu-batu padas ke lekuk-lekuk yang lebih rendah.

   Kemudian terjadilah parit-parit kecil yang jadi aliran yang lebih besar yang dapat mengaliri sawah di kaki bukit itu.

   Sawah yang dikerjakan oleh para penghuni bukit itu serta para cantrik.

   Selain untuk mengaliri sawah, para cantrik juga membuat belumbang untuk memelihara berbagai jenis ikan.

   Sekali-sekali Glagah Putih dan Rara Wulan ditemani oleh orang-orang tertua di padepokan itu.

   Namun pada kesempatan yang lain, mereka hanya berdua saja berjalan-jalan di sekeliling bukit kecil itu.

   Ketika kepada Ki Kumuda Glagah Putih bertanya tentang beberapa batang pohon raksasa yang dipagari dan dianggap keramat, Ki Kumuda-pun menjawab.

   "Kita hormati pepohonan raksasa itu, ngger. Di sela-sela akar-akarnya yang menebar dibawah bumi, tersimpan air. Pepohonan itu sudah memberikan percikan kehidupan kepada lingkungan ini."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

   Ternyata para pemimpin di padepokan itu cukup bijaksana.

   Dengan caranya mereka mencegah para penghuni bukit itu menebang pepohonan raksasa yang membuat bukit itu tetap basah.

   Tiga buah umbul yang besar, beberapa senndang kecil yang bertebaran di lereng bukit, menyatu dengan parit-parit yang menampung air yang merembes dari sela-sela batu padas itu membuat tanah di sekitar bukit itu daerah persawahan yang subur.

   Namun sambil melihat-lihat lingkungan di sekeliling bukit kecil itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat juga melihat kemungkinan, bahwa ada satu tempat yang dapat mereka pakai untuk menyembunyikan peti kecilnya.

   Hanya petinya.

   Tanpa isinya yang sudah dilekatkan dengan tubuh Glagah Putih.

   Tetapi di luar sadar mereka ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan dengan Ki Kumuda di sisi yang agak curam dari tebing bukit kecil itu, dua pasang mata selalu mengawasi mereka.

   Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berdiri di balik gerumbul perdu di tebing bukit itu memandang ketiga orang yang berjalan dijalan setapak di bawah tebing yang agak curam itu dengan seksama.

   "Tentu dua orang yang masih terhitung muda itulah yang dikatakan sepasang suami isteri yang berilmu sangat tinggi,"

   Berkata laki-laki yang bertubuh kekar, berdada bidang. Wajah yang nampak keras dengan mata yang cekung itu merupakan ungkapan dari kekerasan hatinya serta kecerdikannya.

   "Ya,"

   Sahut seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya. Seorang perempuan yang termasuk tinggi dibanding dengan perempuan kebanyakan. Tubuhnya yang ramping itu nampak seakan-akan tidak berbobot.

   "Kita tidak akan melepaskan kesempatan ini. Merekalah sebenarnya yang telah memporak-porandakan rencana kita setelah kita herhasil memperalat Dandang Ireng, sehingga Dandang Ireng tidak berhasil merebut kekuasaan di bukit kecil itu."

   "Apa yang sebaiknya kita lakukan, kakang?"

   "Keduanya harus kita singkirkan dari bukit ini. Baru kemudian kita mencari kesempatan untuk menguasai bukit kecil itu sebagaimana yang sudah kita rencanakan dengan mempergunakan Dandang Ireng sebagai alatnya. Kita akan dapat mendirikan sebuah perguruan dengan nama sebagaimana nama perguruan yang sudah ada di sana."

   "Bukankah dengan demikian kita harus mulai dari permulaan lagi?"

   "Ya. Kita tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka kita harus segera mulai. Adalah sangat menguntungkan bahwa sekarang kita menemukan kedua orang suami isteri itu. Kita akan melenyapkan mereka sebagai pernyataan bahwa langkah kita yang baru sudah kita mulai."

   "Ya, seorang lagi?"

   Bertanya perempuan itu.

   "Bukankah orang itu salah seorang pemimpin dari perguruan ini? Bukankah orang itu yang bernama Kumuda?"

   "Ya. Tetapi apa yang harus kita lakukan atas orang itu?"

   "Jika kita melenyapkan sepasang suami isteri itu, maka kita juga harus membunuh Kumuda. Tetapi bukankah menyingkirkan Kumuda tidak akan terlalu sulit bagi kita?"

   "Jika Kumuda itu bekerja sama dengan sepasang suami isteri itu?"

   "Seberapa tinggi ilmu sepasang suami isteri yang nampaknya masih terlalu muda untuk menghadapi kita berdua, maka keduanya tidak akan banyak memeras keringat kita. Bahkan bersama Kumuda sekalipun."

   "Kumuda termasuk seorang yang berilmu tinggi. Menurut keterangan mereka yang sempat melarikan diri dan melihat cara sepasang suami isteri itu bertempur, maka keduanya berilmu sangat tinggi."

   "Jangan terpengaruh oleh laporan para cucurut itu. Mereka adalah pengecut yang tidak berguna sama sekali. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Pada kesempatan mendatang, mereka akan dapat kita jadikan umpan lagi bersama orang lain, sebagaimana mereka menyertai Dandang Ireng memasuki padepokan yang pernah dihuninya itu."

   "Jika itu pertimbangan kakang, baiklah. Jangan biarkan mereka menjadi semakin jauh."

   Keduanyapun kemudian bergerak dengan cepat.

   Bukan hanya perempuan yang bertubuh tinggi dan ramping itu sajalah yang seakan-akan tidak berbobot sehingga mampu bergerak dengan ringan, tetapi laki-laki yang bertubuh kekar itupun mampu pula bergerak dengan cepatnya.

   Ketika mereka bergerak disela-sela gerumbul perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba berhenti.

   Ki Kumudapun berhenti.

   Tetapi ia tidak segera mendengar sebagaimana didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Namun beberapa saat kemudian, maka iapun berdesis.

   "Ya". Aku mendengarnya."

   Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama.

   Mereka pun segera melihat dua sosok yang seakan-akan terbang menukik dari belakang gerumbul di atas tebing yang tidak terlalu tinggi itu.

   Dua orang laki-laki dan perempuan itupun kemudian dengan lunak menapak di hadapan Glagah Putih, isterinya dan Ki Kumuda.

   Ketiga orang itu bergeser surut setapak.

   Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata.

   "Kalian berdua telah mengejutkan kami."

   "Maaf Ki Sanak,"

   Sahut laki-laki separo baya yang bermata cekung itu. Kami tidak bermaksud mengejutkan kalian."

   "Siapakah kalian berdua dan apakah maksud kalian menghentikan kami bertiga?"

   Bertanya Glagah Putih kemudian.

   "Jadi kalian belum mengenal kami?"

   "Belum Ki Sanak."

   "Baiklah. Jika demikian kami akan memperkenalkan diri kami. Orang menyebutku Gagak Bergundung. Perempuan ini adalah isteriku Nyi Gagak Bergundung."

   Ki Kumuda terkejut mendengarkan nama itu. Hampir di luar sadarnya itupun bertanya.

   "Jadi kalian berdua inikah yang digelari Suami Isteri Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin?"

   "Kau sudah mendengar namaku, Kumuda."

   "Aku sudah mendengarnya. Tetapi kaupun sudah tahu namaku."

   "Aku dapat mengenali hampir setiap penghuni padepokan ini kecuali mereka para pemuka. Aku dapat mengenali Umbul Telu, Lampita, Kumuda dan Ganjur, kemudian masih ada beberapa orang lain pada lapisan atas murid-murid perguruan Awang-awang. Selain mereka, maka para murid perguruan inipun membuat tempat tinggal tersebar diatas bukit ini. Kecuali mereka, masih ada sekelompok anak-anak muda yang tinggal di bangunan utama padepokanmu."

   "Dimana kau tahu?"

   Orang yang menyebut dirinya Gagak Bergundung itu tertawa. Disela-sela suara tertawanya iapun berkata.

   "Tetapi ada bedanya Kumuda. Jika aku mengenalmu, bukan karena namamu yang besar dan pantas untuk dikenal. Tetapi aku sengaja berusaha mengenali orang-orang yang berada di atas bukit ini. Berbeda dengan namaku yang banyak dikenal karena kami berdua memang pantas dikenal."

   "Untuk apa kau datang kemari, Gagak Bergundung?"

   Bertanya Ki Kumuda.

   "Kami hanya ingin sekedar melihat-lihat bukitmu, Kumuda."

   "Hanya itu?"

   "Ya. Tetapi ternyata disini aku melihat dua orang yang telah mengotori bukitmu ini. Kedua suami isteri ini."

   "Kenapa kau anggap mereka mengotori bukit ini? Mereka justru telah membantu kami menghadapi saudara-saudara seperguruan kami yang tekah berkhianat."

   "Satu ceritera yang menggelikan. Apakah artinya dua orang laki-laki dan perempuan ini bagi perguruanmu yang telah memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi?"

   "Lawan kami terlalu banyak. Karena itu kami merasa sangat berhutang budi kepada keduanya yang telah terjun di kancah pertempuran dan ternyata keduanya berilmu sangai tinggi."

   "Kau telah dipengaruhi oleh sikap sombong mereka. Aku juga sudah mendengar, seakan-akan keduanya mampu menyapu lereng bukit ini yang dirayapi oleh para pengikut Dandang Ireng."

   "Ya."

   "Dengan demikian, maka kedatangan kami berdua tidaklah sia-sia."

   "Apa maksudmu?"

   Bertanya Ki Kumuda.

   "Aku, Gagak Bergundung suami istri yang tidak terkalahkan di daerah Selatan ini ingin membuktikan, apakah benar keduanya berilmu tinggi. Jika mereka mengiakan anggapan orang bahwa mereka berilmu tinggi, maka mereka harus dapat setidaknya mengimbangi kemampuan kami. Kami berdua udak mau kehilangan gelar kami, bahwa kami adalah orang-orang yang tidak terkalahkan."

   "Gagak Bergundung,"

   Bertanya Giugah Putih kemudian.

   "apakah sebenarnya alasanmu, sehingga kau menantang kami berdua untuk melawanmu. Bukankah kita belum pernah bertemu dan belum pernah saling bersinggungan kepentingan."

   "Sudah aku katakan bahwa aku tidak ingin kehilangan gelarku. Aku tidak mau ada orang lain yang dianggap berilmu sangat tinggi di daerah kuasaku. Karena itu, maka setiap orang yang muncul di dunia olah kanuragan, harus aku pangkas dan bahkan harus aku bongkar sampai keakarnya. Bukan hanya kalian berdua yang akan aku musnahkan, tetapi juga perguruan kalian. Guru kalian dan saudara-saudara seperguruan kalian. Aku yakin bahwa kalian bukan lahir dan besar di perguruan awang-awang."

   "Apakah alasanmu itu sudah cukup pantas untuk menantang orang lain untuk bertempur."

   "Tentu."

   "Bagaimana pendapatmu jika kami mengakui, bahwa kalian berdua adalah orang yang memiliki ilmu tertinggi di lingkungan ini."

   "Mungkin kau akan mengakui kebesaran namaku di hadapanku. Tetapi esok atau lusa jika kau tidak berada dihadapanku, kau akan berkata lain."

   "Bukankah kau dapat mencari kami dan membuat perhitungan?"

   "Itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Kenapa kau harus menunggu kau ingkari pernyataanmu. Bukankah sekarang kita sudah bertemu? Menurut pendapatku, agar kami tidak membuang-buang waktu kami akan membunuh kalian bertiga. Sesudah itu kami tidak akan terganggu lagi oleh keingkaran kalian terhadap pengakuan kalian dihadadapanku sekarang."

   "Gagak Bergundung,"

   Berkata Glagak Putih.

   "alasanmu itu tentu alasan yang sekedar kau buat-buat."

   Gagak Bergundung itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun berkata dengan lantang.

   "Apapun yang kau katakan, aku akan tetap membunuh kalian berdua. Apapun alasannya karena itu bersiaplah untuk mati."

   "Jadi inilah kenyataan tentang sepasang suami isteri yang bernama Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin di perbukitan di sebelah Rawa Pening itu?"

   Geram Ki Kumuda.

   "nama besarmu ternyata muncul dari kuasa kegelapan."

   "Jangan sesali nasibmu yang buruk, Kumuda. Karena aku akan membunuhmu kedua orang suami istri yang tidak tahu diri ini, maka kaupun akan mati agar kau kau tidak menjadi saksi kematian kedua orang suami isteri ini."

   "Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, Gagak Bergundung. Jika sudah waktunya datang, dimanapun serta dengan sebab apapun, maka mati itu akan menjemputku. Tetapi jika hari ini waktumulah yang akan datang, maka kau berdualah yang akan mati."

   "Aku ingin mengoyak mulutmu Kumuda. Atau kaulah yang akan mati lebih dahulu dari kedua orang ini."

   "Tidak, Gagak Bergundung,"

   Sahut Glagah Putih.

   "kau berdua atau kami berdua. Kau harus mengalahkan kami lebih dahulu jika kalian ingin bertempur melawan Ki Kumuda. Kalian berdua memang bukan lawan Ki Kumuda. Sebelum kalian dapat berbuat apa-apa, jantung kalian sudah berhent berdenyut. Tetapi jika kalian lebih dahulu bertempur melawan kami berdua, maka kalian masih akan mempunyai kesempatan untuk menikmati perbandingan ilmu diantara kita."

   "Anak iblis kalian semuanya. Baik. Kami berdua akan lebih dahulu membunuh kalian berdua. Tetapi jika Kumuda ingin melibatkan diri, kami sama sekali tidak berkeberatan, karena dengan demikian, maka pekerjaan kami akan lebih cepat selesai."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak,"

   Sahut Glagah Putih.

   "kami berdua, dan kalianpun berdua. Ki Kumuda akan menjadi saksi, apakah yang akan terjadi diantara kita."

   "Persetan anak iblis. Kesombonganmu telah menyentuh langit. Tetapi kau akan segera mati. Isterimu juga akan mati. Demikian pula Kumuda. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi bagi kami, Kumuda tidak lebih dari seekor nyamuk yang akan mati dengan sekali tepuk."

   "Beri aku kesempatan ngger,"

   Geram Ki Kumuda.

   "Biarlah aku menanggapinya paman. Kamilah yang sebenarnya menjadi sasaran mereka apapun alasannya. Karena itu, biarlah kami yang melayaninya, karena persoalannya adalah antara kami berdua dan mereka berdua."

   "Bagus,"

   Gagak Bergundung itupun menyahut dengan nada tinggi.

   "segera bersiaplah untuk mati. Mayat kalian bertiga akan aku lemparkan ke jurang itu hingga saatnya baunya mengganggu anak-anak yang sedang menggembalakan kambingnya."

   Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi iapun berkata kepada Ki Kumuda.

   "Minggirlah, Ki Kumuda. Biarlah kami berdua melayani kedua iblis dari goa Susuhing Angin ini."

   Ki Kumuda tidak menjawab.

   Ia sadari kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilaporkan para murid perguruan Awang-awang.

   Karena itu maka iapun bergeser surut.

   Yang kemudian berhadapan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan dengan Gagak Bergundung suami isteri.

   "Sayang bahwa kecantikanmu akan ikut terlempar ke jurang itu anak manis,"

   Desis Nyi Gagak Bergundung yang bertubuh tinggi melampaui kebanyakan perempuan.

   Karena itu, maka Rara Wulanpun harus mengangkat wajahnya pada saat ini berbicara dengan Nyi Gagak bergundung.

   Ada kecantikan terkesan di wajah Nyi Gagak Bergundung.

   Tetapi ada pula kesan keganasannya.

   Ketika perempuan itu tertawa, maka suara tertawanya melengking tinggi seperti suara tertawa hantu perempuan yang melihat tanah yang masih merah di pekuburan.

   "Nyi,"

   Tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya.

   "kalau aku boleh bertanya, berapa umurmu sekarang?"

   Nyi Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba iapun tertawa.

   "Untuk apa kau tanyakan berapa umurku?"

   "Wajahmu membingungkan. Kadang-kadang aku melihat kau seolah-olah baru berumur sekitar tiga puluh tahun. Tetapi kemudian wajahmu itu berkerut sehingga rasa-rasanya kau sudah berumur lima puluh tahun lebih."

   "Ternyata kau benar-benar anak iblis. Dalam keadaan yang gawat, dan bahkan umurmu akan terputus sampai hari ini, kau masih sempat bergurau."

   "Aku tidak bergurau Nyi. Aku benar-benar bingung melihat garis-garis wajahmu. Tetapi yang jelas bahwa kau adalah perempuan yang bengis tanpa kelembutan sama sekali."

   "Kau benar,. jawab Nyi Gagak Bergundung.

   "aku bukan perempuan yang cengeng yang bermanja-manja dan memanjakan orang. Selama ini kami adalah suami isteri yang sangat ditakuti karena kami membunuh orang yang tidak kami kehendaki untuk hidup terus sebagaimana kalian berdua, karena kalian berdua akan dapat mengganggu pekerjaan-pekerjaan kami di kemudian hari."

   "Apakah pekerjaanmu?"

   Nyi Gagak Bergundung terdiam sesaat. Namun sambil menggeram iapun menjawab.

   "Pekerjaanku adalah membunuh. Karena itu bersiaplah. Sebentar lagi aku akan membunuhmu."

   Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu ia melihat Glagah Putih sudah bergeser menjauh dan mulai bertempur melawan Ki Gagak Bergundung.

   "Nampaknya perempuan ini bersungguh-sungguh,"

   Berkata Rara Wulan didalam hatinya.

   "agaknya suami isteri ini benar-benar pembunuh yang tidak berjantung. Mereka dapat membasahi tangan mereka dengan darah orang-orang yang tidak bersalah sekalipun dengan tanpa debar di dada mereka."

   Karena itu, maka Rara Wulanpun harus mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia belum tahu tataran ilmu perempuan itu yang sesungguhnya, sedangkan niat perempuan itu untuk membunuhnya bukan sekedar untuk mengancamnya saja.

   "Bayangan kematianmu sudah nampak di wajahmu, perempuan cantik,"

   Desis Nyi Gagak Bergundung sambil tersenyum. Senyumnya telah menggetarkan jantung Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan menjawab.

   "Kau keliru Nyi. Yang kau lihat di sorot mataku bukan bayangan kematianku. Tetapi isyarat akan kematian lawanku. Agaknya isyarat itu sudah kau lihat sendiri."

   "Persetan kau,"

   Perempuan yang bertubuh tinggi itu tidak berbicara lagi.

   Iapun segera meloncat menyerang Rara Wulan.

   Tetapi Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya.

   Iapun segera bergeser menghindari serangan itu dan bahkan iapun segera membalas menyerang.

   Serangan Rara Wulan ternyata mengejutkan lawannya.

   Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak setangkas itu.

   Sehingga dengan demikian, maka perempuan itu seolah-olah telah diperingatkan untuk berhati-hati menghadapi perempuan yang masih terhitung muda itu.

   Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.

   Keduanya saling menyerang dan saling menghindar.

   Keduanya berloncatan dengan cepatnya.

   Ki Kumuda yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar.

   Dilihatnya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan garangnya, sementara dua orang perempuan bertempur dengan gerak yang cepat, tangkas dan cekatan.

   "Mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi,"

   Desis Ki Kumuda.

   Namun ketika mereka sudah bertempur beberapa lama, maka Ki Gagak Bergundung dan Nyi Gagak Bergundung mulai menyadari, bahwa lawan mereka adalah benar-benar orang berilmu tinggi yang mampu mengimbangi ilmu mereka.

   Karena itu, maka merekapun telah meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis.

   Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa kedua orang suami isteri yang bernama Gagak Bergundung itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi.

   Semakin lama pertempuranpun menjadi semakin sengit.

   Nyi Gagak Bergundung yang mendapat perlawanan yang mampu menahan serangan-serangannya menjadi semakin marah.

   Ia tidak mengira bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya, bahkan setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

   "Dimana anak ini menimba ilmu,"

   Desis Nyi Gagak Bergundung.

   Bahkan ia melihat unsur-unsur gerak yang mulai membingungkannya.

   Sebenarnyalah ketika pertempuran menjadi semakin sengit, serta Nyi Gagak Bergundung meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Rara Wulanpun mulai menapak ke dalam tataan gerak ilmu yang semakin rumit.

   Meskipun ia masih berpijak kepada unsur-unsur gerak dari ilmu perguruan yang diturunkan lewat Ki Sumangkar dibawah bimbingan Sekar Mirah.

   Serta ilmu yang disadapnya dari perguruan Ki Sadewa dan Kiai Gringsing lewat suaminya dan Agung Sedayu, namun segala sesuatunya telah menjadi semakin matang.

   Arti dari setiap gerakan, arah serta sasarannya menjadi semakin tajam.

   Namun dengan demikian, Nyi Gagak Bergundung yang mempunyai pengalaman yang luas itu, menjadi agak sulit untuk mengenali unsur-unsur gerak itu.

   Ia menjadi bingung untuk menyebut, perempuan yang tidak terhitung muda itu dilahirkan dari alur perguruan yang mana.

   Nyi Gagak Bergundung itupun kemudian semakin meningkatkan ilmunya untuk memaksa rara Wulan menunjukkan alas yang paling mendasar dari perguruannya.

   Dalam keadaan yang sulit, maka seseorang akan terpaksa pada ilmu yang paling dikuasainya.

   Tetapi debar di jantung Nyi Gagak Bergundung itu menjadi semakin keras.

   Ketika ia sadari bahwa unsur-unsur gerak lawannya itu masih tetap saja membingungkannya.

   Bahkan meskipun Nyi Gagak Bergundung mencoba menekan perempuan yang masih terhitung muda itu sama sekali tidak berhasil.

   Serangan-serangan Nyi Gagak Bergundung yang datang membadai, masih saja selalu dihindari oleh Rara Wulan.

   Tetapi ketika Nyi Gagak Bergundung bergerak semakin cepat, maka Rara Wulan tidak lagi selalu menghindar.

   Dengan hati-hati ia mulai menjajagi kekuatan dan tenaga Nyi Gagak Bergundung.

   Benturan-benturan kecilpun tidak lagi dapat dihindari.

   Namun benturan-benturan kecil itu sudah cukup mengejutkan Nyi Gagak Bergundung.

   "Gila anak ini,"

   Berkata Nyi Gagak Bergundung didalam hatinya.

   "dari mana ia menyadap kekuatan dan tenaga yang demikian kuatnya dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar."

   Sebenarnyalah dalam benturan-benturan yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung merasa betapa kuatnya tenaga lawannya itu.

   Tetapi Nyi Gagak Bergundung masih merasa bahwa dirinya adalah bagian dari sepasang Gagak yang namanya ditakuti oleh banyak orang.

   Bahkan gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun yang garang-pun hatinya akan menjadi kuncup jika mereka mendengar nama Gagak Bergundung.

   Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung itu masih tetap yakin, bahwa ia akan dapat menghancurkan perempuan yang sombong itu.

   Dalam pada itu, pertempuran antara Gagak Bergundung melawan Glagah Putihpun menjadi semakin sengit.

   Ki Gagak Bergundung juga menjadi heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi.

   Dalam gejolak kemarahannya, maka Ki Gagak Bergundungpun telah meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat kuat.

   Tetapi ternyata bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu masih saja mampu mengimbanginya.

   Bahkan kadang-kadang tenaga dalam lawanya itu sempat mengejutkannya.

   Ketika tataran ilmu keduanya menjadi semakin tinggi, maka serangan-serangan merekapun silih berganti mulai menembus pertahanan lawan.

   Sekali-sekali serangan Gagak Bergundung sempat mendorong Glagah Putih beberapa langkah surut.

   Namun pada kesempatan lain, Gagak Bergundunglah yang terlempar surut dan bahkan kehilangan keseimbangannya.

   Namun demikian Gagak Bergundung itu terjatuh, maka iapun segera melenting berdiri.

   Namun sentuhan-sentuhan serangan Glagah Putih yang menjadi lebih sering menembus pertahanan Gagak Bergundung.

   Bahkan sentuhan-sentuhan serangan Glagah Pulih itupun terasa mulai menyakiti tubuhnya.

   "Gila orang ini,"

   Geram Gagak Bergundung.

   "ternyata orang ini memang berilmu tinggi."

   Diatas sebuah batu padas yang besar Ki Kumuda berdiri dengan wajah yang tegang.

   Sekali-sekali ia memperhatikan Glagah Putih yang bertempur melawan Gagak Bergundung.

   Namun sejenak kemudian, perhatiannya tertuju kepada pertempuran antara Rara Wulan dan Nyi Gagak Bergundung.

   Bahkan sampai beberapa lama, Ki Kumuda tidak dapat meyakini, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu.

   Ketika kemudian terjadi benturan-benturan diantara Glagah Putih dan Gagak Bergundung, maka Ki Kumudapun mulai berpengharapan.

   Ia melihat bahwa kekuatan Glagah Putih yang didukung oleh tenaga dalamnya ternyata lebih besar dari lawannya.

   Di setiap benturan yang terjadi, maka Gagak Bergundunglah yang selalu bergetar surut.

   Demikian pula Rara Wulan yang bertempur melawan Nyi Gagak Bergundung.

   Agaknya Rara Wulan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari lawannya.

   Namun Ki Kumudapun menyadari, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi terbiasa menyimpan ilmu pamungkasnya yang hanya akan dipergunakan pada saat-saat yang paling gawat.

   Ilmu pamungkas itulah yang biasanya akan menentukan, siapakah diantara mereka yang akan mampu mengalahkan lawannya.

   Ki Kumuda meyakini bahwa Gagak Bergundung suami isteri yang namanya ditakuti oleh banyak orang itu mempunyai pegangan yang diandalkannya sebagai ilmu pamungkasnya.

   Tetapi agaknya Gagak Bergundung itu masih belum merasa perlu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya.

   Dalam keadaan yang semakin sulit karena serangan-serangan Glagah Putih yang semakin sering menembus pertahanannya, maka Gagak Bergundung tidak segera sampai pada ilmu puncaknya itu.

   Tetapi Gagak Bergundung masih akan mencoba kemampuannya mempergunakan senjata.

   Ketka Gagak Bergundung tidak lagi dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, ia tidak segera melepaskan ilmu puncaknya.

   Tetapi ditariknya goloknya yang besar yang berada di sarungnya yang melekat di punggungnya.

   "Aku akan membelah kepalamu dan menaburkan otakmu yang penuh dengan kesombongan itu anak iblis,"

   Geram Gagak Bergundung. Glagah Putih meloncat surut. Ia melihat golok yang besar, panjang dan tentu berat. Tetapi di tangan Gagak Bergundung, golok itu berputaran seperti baling-baling belarak.

   "Jangan sesali nasibmu yang buruk,"

   Berkata Gagak Bergundung lebih lanjut.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baiklah,"

   Sahut Glagah Putih.

   "aku tidak ingin kepalaku terbelah. Karena itu, maka akupun akan mempergunakan senjataku."

   Glagah Putih tidak menunggu lagi. Iapun segera mengurai ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalannya. Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Katanya.

   "Apa artinya ikat pinggangmu itu? Golokku adalah golok pusaka turun temurun. Golokku dibuat oleh seorang Empu di pertapaannya, di kaki Gunung Kendeng lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Ayahku telah membabat puluhan lawannya dengan golok ini. Kakekkulah yang telah membunuh Ki Jalak Ambal yang diakui dapat menghilang itu dan membelah dadanya. Sedangkan aku telah memenggal kepala lawan-lawanku yang jumlahnya tidak terhitung lagi."

   "Ada dua kemungkinan pada ceriteramu itu, yang kedua-duanya tidak berharga bagiku. Pertama, kau membual. Seorang pembual adalah seorang yang licik dan biasanya seorang pengecut. Kedua, jika ceriteramu itu benar, maka kau adalah bayangan kuasa kegelapan yang harus dihancurkan. Hidupmu sama sekali tidak berharga bagi sesamamu. Apalagi bagi Pencipta Jagad Raya ini. Kau adalah kerak kehidupan yang hanya akan mengotori bumi ini."

   Wajah Gagak Bergundung menjadi merah.

   Kemarahannya telah membuat jantungnya bagaikan membara.

   Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang Glagah Pulih dengan garangnya.

   Goloknya yang besar dan berat itu terayun-ayun bagaikan selembar kelaras kering yang tidak berbobot.

   Tetapi Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali.

   Setelah menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh kitab Ki Namaskara, maka Glagah Putih telah mengalami loncatan yang jauh pada tataran ilmunya.

   Karena itu, menghadapi Gagak Bergundung, Glagah Putih mampu menempatkan dirinya pada lapis yang bahkan lebih tinggi dari lawannya.

   Meskipun demikian Gagak Bergundung itupun masih saja berteriak.

   "Apapun yang kau lakukan anak iblis, golok pusakaku yang disebut Kiai Naga Padma ini akan menyelesaikan tugasnya dengan baik."

   Glagah Putih tidak menghiraukannya.

   Tetapi Ki Kumudalah yang menjadi semakin tegang.

   Nama Gagak Bergundung telah membuatnya berdebar-debar.

   Apalagi ketika ia mendengar nama golok Kiai Naga Padma.

   Tetapi bagaimana mungkin golok Kiai Naga Padma berada di tangan seorang yang muncul dari kuasa kegelapan itu.

   Menurut pendengarannya.

   Kiai Naga Padma adalah pusaka seorang pertapa yang pada masa sebelumnya banyak berbuat kebajikan dan menolong sesamanya.

   Seorang pertapa yang hanya diketahuinya dengan sebutan Kiai Pupus Kendali.

   Namun nama Kiai Pupus Kendali itu sudah lama tidak pernah disebut-sebut lagi.

   "Kakang Umbul Telu mungkin mengetahui lebih banyak tentang Kiai Naga Padma,"

   Desis Ki Kumuda.

   Sebenarnyalah bahwa golok di tangan Gagak Bergundung itu telah memaksa Ki Kumuda menjadi berdebar-debar.

   Putaran golok itu seolah-olah memunculkan bara yang kemerah-merahan di udara.

   Galagah Putih yang bertempur dengan sengitnya, harus melihat kenyataan itu pula.

   Dengan jantung yang berdebar ia mulai memperhatikan golok ditangan lawannya yang garang itu.

   "Luar biasa,"

   Berkata Glagah Putih di dalam hatinya, golok itu tentu bukan golok yang dibuat oleh pande besi kebanyakan. Golok itu tentu dibuat oleh seorang Empu yang mumpuni yang jarang ada duanya."

   Namun di tangan Glagah Putihpun tergenggam senjatanya yang dapat dipercaya.

   Meskipun ujudnya hanya sebuah ikat pinggang, tetapi senjata itu sudah terbukti memiliki kelebihan dari jenis-jenis senjata yang lain.

   Apalagi di tangan Glagah Putih yang berilmu sangat tinggi, setelah ia menguasai sebagian besar isi kitab yang menurut tanggapannya, diterimanya dari Kiai Namaskara meskipun dengan cara yang tidak dapat dimengertinya.

   Dengan demikian, maka keberadaan golok Kiai Naga Padma di tangan Gagak Bergundung, sama sekali tidak menggetarkan jantung Glagah Putih.

   Apalagi setelah mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit Gagak Bergundung yang mengira akan dapat segera menebas senjata lawannya sehingga putus, ternyata sangat mengejutkannya.

   Ketika kedua senjata itu beradu, maka seakan-akan golok yang dibanggakan oleh Gagak Bergundung itu membentur tongkat baja yang tidak tergoyahkan.

   Di luar sadarnya, Gagak Bergundung itu mengumpat kasar.

   Justru tangannyalah yang teegetar sehingga telapak tangannya terasa pedih.

   Gagak Bergundung meloncat beberapa langkah surut.

   Sedangkan Glagah Putih sengaja tidak memburunya.

   Glagah Putih sengaja memberi waktu kepada Gagak Bergundung untuk memahami apa yang baru saja terjadi.

   "Darimana kau dapatkan senjatamu itu,"

   Geram Gagak Bergundung. Glagah Putih tersenyum. Katanya.

   "Aku membelinya di pasar di padukuhan sebelah,"

   Jawab Glagah Putih sambil tersenyum.

   "pasar hampir mati karena para pedagang tidak mau singgah lagi. Pasar yang dibayangi oleh kerusuhan karena para perampok dan penyamun yang berkeliaran di jalan-jalan."

   "Persetan dengan bualanmu."

   "Jadi, menurut pendapatmu, darimana aku dapatkan senjata ini?"

   "Kau akan menyesali kesombonganmu itu."

   "Aku atau kau."

   Gagak Bergundung yang menjadi semakin marah itu telah meloncat menyerangnya pula.

   Goloknya yang besar terayun dengan derasnya mengarah ke leher Glagah Putih.

   Namun dengan tangkasnya pula Glagah Putih menggerakkan senjatanya.

   Dengan paduan antara jenis senjatanya pilihan di tangannya serta ilmunya yang sangat tinggi dilambari pula oleh tenaga dalamnya, maka Glagah Putih menangkis serangan lawannya.

   Pada saat kedua senjata pilihan itu beradu, maka segumpal bunga api telah memercik ke udara.

   Ternyata Gagak Bergundung justru telah terguncang.

   Beberapa langkah ia tergetar surut.

   Sementara itu, Glagah Putih masih berdiri tegak di tempatnya.

   Sekali lagi Gagak Bergundung mengumpat kasar.

   Namun ia tidak dapat mengelak dari kenyataan, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang sulit dibayangkannya.

   Namun Gagak Bergundung masih mempunyai harapan untuk memenangkan pertempuran itu.

   Ia masih mempunyai beberapa simpanan yang akan dapat dipergunakan untuk mengakhiri pertempuran jika tidak ada lagi jalan lain.

   Dalam pada itu, Ki Kumuda yang menjadi penasaran atas keberadaan golok itu di tangan Gagak Bergundung telah berteriak.

   "He, Gagak Berundung. Darimana kau dapatkan golok Kiai Naga Padma itu. Bukankah golok itu milik seorang pertapa yang dikenal dengan nama Kiai Pupus Kendali?"

   "Persetan dengan Pupus Kendali. Ia bukan apa-apa bagi ayahku, Pupus Kendali tidak lebih dari bilalang yang menyebut dirinya elang."

   "Kau telah membunuhnya?"

   Gagak Bergundung tidak sempat menjawab. Serangan Glagah Putih datang beruntun, sehingga Gagak Bergundung harus berloncat surut. Namun kemudian Glagah Putih justru menghentikan serangannya sambil berkata.

   "jawab pertanyaan Ki Kumuda. Kau bunuh Kiai Pupus Kendali itu?"

   "Apa pedulimu dengan Kiai Pupus Kendali. Sekarang aku akan membunuhmu anak bengal ini."

   Gagak Bergundunglah yang kemudian meloncat menyerang Glagah Putih dengan kecepatan yang tinggi.

   Namun Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Gagak Bergundung itu.

   Yang terjadi kemudian adalah pewrtempuran dengan irama yang semakin cepat.

   Gagak Bergundung merasa bahwa ia tidak mungkin beradu kekuatan dan tenaga dengan orang yang masih terhitung muda itu.

   Tetapi Gagak Bergundung akan mengandalkan pertempuran selanjutnya dengan kecepatan geraknya.

   Goloknya yang besar itu semakin cepat berputar dengan meninggalkan cahaya kemerah-merahan di udara.

   Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundungpun masih bertempur dengan garangnya melawan Rara Wulan.

   Ternyata seperti Gagak Bergundung, istrinya itupun tidak mengira bahwa ia akan berhadapan dengan seorang perempuan yang masih terhitung muda, namun berilmu sangat tinggi.

   Jika semula para pengikut Dandang Ireng melaporkan kepadanya tentang ilmu dua orang suami isteri yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih sangat meragukannya.

   Namun di medan ia benar-benar bertemu dengan perempuan sebagaimana dikatakan oleh pengikut Dandang Ireng itu.

   Seperti suaminya, maka dalam keadaan terdesak, Nyi Gagak Bergundungpun telah menarik senjatanya.

   Sebilah pedang yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkerelipan.

   "Jarang dapat dijumpai pedang yang dibuat dengan pamor yang mendebarkan itu,"

   Berkata Rara Wulan didalam hatinya. Dengan demikian iapun mengerti bahwa pedang itu bukanlah sembarang pedang. Agaknya Nyi Gagak Bergundungpun menyadari, bahwa Rara Wulan memperhatikan pedangnya yang dibanggakannya.

   "Kau perhatikan pedangku perempuan cantik,"

   Bertanya Nyi Gagak Bergundung.

   "Ya,"

   Jawab Rara Wulan.

   "pedangmu adalah pedang yang sangat bagus."

   "Bukan sekedar bagus buatannya. Tetapi pedangku adalah pedang yang bertuah. Tidak seorangpun yang dapat lolos dari ujung pedangku jika sudah terlanjur menariknya dari wrangkanya."

   "O, ya."

   "Pedangku adalah senjata pemberian guruku. Aku adalah murid perempuan terbaik di perguruanku, sehingga guruku telah mewariskan pedang ini kepadaku. Pedang yang dinamainya Kiai Samekta yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kiai Tigas Prahara."

   "Nama yang membuat kulitku meremang."

   "Tidak hanya meremang. Tetapi kulitmu akan terkoyak-koyak sebelum tubuhmu akan terkapar di jurang itu."

   "Kita akan melihat, siapakah yang lebih beruntung diantara kita."

   Nyi Gagak Bergundung tidak menyahut.

   Tetapi iapun mulai memutar pedangnya.

   Desingnya seperti gaung sendaren merpati yang terbang berputar di langit.

   Rara Wulan bergeser surut, iapun segera melepaskan selendangnya dan memegang kedua ujungnya dengan kedua tangannya.

   "Apa yang akan kau lakukan dengan selendangmu?"

   Rara Wulan tidak menjawab.

   Namun tiba-tiba saja satu ujung selendangnya itu terjulur lurus mengarah ke dada Nyi Gagak bergundung.

   Perempuan itu terkejut.

   Dengan serta merta ia memiringkan tubuhnya untuk menghindari serangan itu.

   Tetapi Nyi Gagak Bergundung itu tidak sepenuhnya terlepas dari garis serangan selendang Rara Wulan.

   Ujung selendang Rara Wulan masih juga menyentuh bahu Nyi Gagak Bergundung.

   Akibatnya ternyata sangat menyakitkan hati perempuan bertubuh tinggi ramping dan berwajah bengis itu.

   Terdengar ia berdesah tertahan.

   Namun tubuhnya menjadi goyah.

   Selangkah ia bergeser surut dan bahkan hampir saja Nyi Gagak Bergundung kehilangan keseimbangannya.

   "Anak iblis,"

   Geram Nyi Gagak Bergundung.

   "aku bunuh kau. Aku belah jantung di dadamu."

   Rara Wulan tidak menjawab.

   Tetapi perempuan itu sudah bersiap sepenunya untuk menghadapi segala kemungkinan.

   Demikianlah keduanyapun segera tenggelam dalam pertempuran yang sengit.

   Serangan Nyi Gagak Bergundungpun datang susul menyusul bagaikan ombak yang berguncang di lautan.

   Tetapi serangan Nyi Gagak Bergundung tidak meruntuhkan pertahanan Rara Wulan.

   Bahkan Nyi Gagak Bergundung merasa betapa sulitnya menembus pertahanan itu.

   Sekali-sekali ujung pedang Nyi Gagak Bergundung terjulur mengarah kesasaran.

   Namun ternyata bahwa Rara Wulan selalu saja sempat bergeser menghindar.

   Bahkan ketika Nyi Gagak Bergundung yang telah berada di tataran yang lebih tinggi dari ilmunya, sehingga tubuhnya seakan-akan dapat melayang diudara dengan kecepatan yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih saja tidak mampu menyentuh tubuh Rara Wulan dengan ujung senjatanya.

   Rara Wulanpun mampu mengimbangi kecepatan gerak Nyi Gagak Berundung.

   Bahkan dalam benturan senjata yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung justru merasakan betapa tenaga dalam lawannya menjadi semakin besar.

   Dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, serangan Rara Wulanlah yang semakin sering menembus pertahanan Nyi Gagak Bergundung.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujung selendangnya beberapa kali sempat menyentuh tubuh lawannya.

   Bahkan ketika ujung selendang Rara Wulan tepat mengenai dada Nyi Gagak bergundung, maka Nyi Gagak Bergundung itupun terdorong beberapa langkah surut dan bahkan kemudian kehilangan keseimbangan.

   Nyi Gagak Bergundung itupun jatuh terlentang.

   Untunglah bahwa segerumbul perdu sempat menahan tubuhnya sehingga tidak terguling ke dalam jurang.

   Meskipun jurang itu tidak begitu dalam, namun tumbuh-tumbuhan berduri yang tumbuh di lereng jurang itu akan dapat menyakitinya.

   Agaknya, Nyi Gagak Bergundung tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya.

   Meskipun ia bersenjata pedang pemberian gurunya, namun pedang itu tidak mampu menyentuh kulit lawannya.

   Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung telah berniat untuk mengakhiri pertempuran itu dengan mempergunakan ilmui puncaknya.

   Karena itu, demikian Nyi Gagak Bergundung itu bangkit berdiri, maka iapun justru menyarungkan pedangnya.

   Rara Wulanpun menyadari, apa yang akan dilakukan oleh Nyi Gagak Bergundung.

   Karena itu, maka Rara Wulanpun segera mengikatkan selendangnya di lambungnya.

   Namun tiba-tiba terdengar isyarat yang menghentak daun telinga.

   Tiba-tiba saja Rara Wulan melihat Gagak Bergundung bagaikan kilat menyambar pergelangan tangan isterinya.

   Sesaat kemudian, kedua bayangan itu bagaikan terbang meninggalkan arena pertempuran.

   Rara Wulan sudah siap memburunya.

   Namun terdengar Glagah Putih mencegahnya.

   "Jangan Rara."

   "Aku akan dapat mengejarnya,"

   Jawab Rara Wulan.

   "Ya. Tetapi kita memerlukan waktu yang lama. Keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik. Pada saat kita dapat menyusul mereka, maka kita tentu sudah berada di tempat yang jauh sekali."

   "Jadi menurut perhitungan kakang, kita pasti akan dapat menyusul mereka?"

   "Menurut perhitunganku dapat, meskipun masih tergantung banyak hal yang mungkin kita hadapi."

   Rara Wulan menarik nafas panjang. Yang dikatakan oleh Glagah Putih itu meyakinkan dirinya, bahwa iapun sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik. Setidak-tidaknya sama seperti Gagak Bergundung dan isterinya.

   "Tetapi kakang. Keduanya adalah orang yang sangat berbahaya. Mungkin pada suatu saat mereka akan kembali ke padepokan ini justru pada saat kita sudah pergi."

   "Ki Kumuda melihat apa yang terjadi. Ki Kumuda akan dapat melaporkannya kepada Ki Umbul Telu. Kemungkinan kembalinya Gagak Bergundung akan memacu para penghuni padepokan ini untuk semakin meningkatkan ilmu mereka, setidak-tidaknya para sesepuhnya."

   "Kita akan berbicara dengan Ki Kumuda."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian mendapatkan Ki Kumuda yang masih berdiri di tempatnya. Namun di wajahnya membayangkan hati yang kecewa.

   "Sayang, keduanya dapat melarikan diri,"

   Desis Ki Kumuda.

   "Ya. Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat baik. Mereka dapat lari seperti angin,"

   Sahut Glagah Putih.

   "Apakah mereka tidak akan kembali?"

   Bertanya Ki Kumuda.

   "Aku kira tidak dalam waktu dekat. Agaknya ada kesempatan bagi para sesepuh di padepokan ini untuk mempersiapkan diri."

   "Tetapi sulit untuk mengimbangi ilmu mereka."

   "Mungkin sendiri-sendiri, para sesepuh padepokan ini memerlukan waktu yang lama untuk dapat menyusul kemampuan Gagak Bergundung. Tetapi bukankah para sesepuh di padepokan ini dapat bekerja sama untuk menghadapi mereka. Betapapun tinggi ilmu keduanya, namun mereka tidak akan dapat melawan para penghuni padepokan ini yang juga berilmu tinggi, dalam jumlah yang jauh lebih banyak."

   Ki Kumuda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya.

   "Marilah. Kita memberikan laporan kepada kakang Umbul Telu."

   Mereka bertigapun kemudian berjalan beriring kembali kebangunan utama padepokan yang berada di atas bukit itu.

   Laporan Ki Kumuda itu sempat membuat para sesepuh yang ikut mendengarnya menjadi berdebar-debar.

   Tetapi mereka tidak akan ingkar dari tanggung jawab mereka.

   Yang harus mereka lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kemungkinan yang buruk itu, meskipun merekapun yakin, bahwa Gagak Bergundung tidak akan kembali dalam waktu dekat.

   Sementara itu, Gagak Bergundung suami isteri yang menyadari bahwa mereka berdua tidak disusul oleh kedua lawan mereka, telah berhenti di pinggir jalan.

   Dalam waktu yang singkat, mereka sudah berada di tempat yang jauh dari perguruan Awang-awang.

   "Kedua orang suami isteri itu berilmu sangat tinggi,"

   Desis Gagak Berundung.

   "mereka mampu mengimbangi ilmu kita berdua."

   "Tidak,"

   Sahut Nyi Gagak Bergundung.

   "sebenarnya aku ingin membinasakan perempuan yang sombong itu dengan ilmu pamungkasku. Tetapi kakang telah mengajakku meninggalkan arena."

   "Justru aku ingin mencegahnya, Nyi. Jika kau mempergunakan ilmu andalanmu, maka perempuan itupun akan melakukan hal yang sama. Aku pun tidak berniat untuk mempergunakan ilmu andalanku."

   "Kakang meragukan kemampuanku dan bahkan kemampuan kakang sendiri."

   "Bukan begitu. Tetapi menurut dugaanku keduanya tentu juga memiliki Ilmu yang mereka andalkan. Nah bukan aku tidak meyakini ilmu kita, teteapi seberapa tinggi ilmu pamungkas mereka. Jika ilmu mereka lebih tinggi atau setidak-tidaknya mengimbangi ilmu kita, maka dalam keadaan yang lemah, kita sulit akan akan mempertahankan diri. Seandainya kedua orang suami isteri itu mengalami kesulitan sebagaimana kita alami dalam benturan ilmu andalan yang seimbang, namun masih ada Kumuda di arena itu. Ia akan dapat berbuat lebih jauh lagi terhadap kita berdua yang menjadi lemah karena benturan ilmu andalan itu."

   "Tetapi aku yakin, bahwa ilmuku akan menghancurkan perempuan itu."

   "Yang aku ragukan, jika ilmu lawan-lawan kita mampu mengimbangi ilmu kita. Agaknya keduanya memiliki landasan ilmu yang sangat kokoh."

   Nyi Gagak Bergundung menarik nafas panjang. Tetapi kemudian sambil mengangguk iapun berkata.

   "Ya. Mungkin kakang benar. Tenaga dalam perempuan itu sangat tinggi. Ketika ujung selendangnya menyentuh dadaku, rasa-rasanya nafasku menjadi pepat dan tersumbat. Sementara itu ujung pedangku masih belum mampu menyentuh pakaiannya. Agaknya perempuan itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi."

   "Ya. Agaknya kita belum dapat menjajagi kemampuan mereka yang sesungguhnya, meskipun kita sudah bertempur beberapa lama. Mereka mampu bergerak sangat cepat."

   "Tetapi mereka tidak mengejar kita"

   "Tentu ada perhitungan lain."

   Keduanyapun kemudian terdiam.

   Sambil berjalan perlahan-lahan menyusuri tepi hutan, mereka masih merenungi kemampuan lawan-lawan mereka.

   Merekapun tertegun ketika mereka melihat seekor kijang yang berlari kencang menerobos gerumbul-gerumbul perdu di bibir hutan.

   Namun kemudian menghilang diantara pepohonan.

   "Jika saja kita dapat bergerak selincah kijang,"

   Desis Nyi Gagak Bergundung.

   Namun kedua orang suami isteri itu tidak pernah membayangkan bahwa lawan-lawan mereka yang masih terhitung muda itu pernah hidup sebagai sepasang kijang pada saat mereka menjalani laku Tapa Ngidang.

   Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundungpun bertanya.

   "Sekarang apa yang akan kita lakukan?"

   "Kita kembali ke sarang kita lebih dahulu. Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru."

   "Apakah kita akan kembali ke padepokan itu?"

   "Kita mempunyai banyak waktu. Kita tidak tergesa-gesa. Mungkin kita akan kembali kelak."

   Nyi Gagak Bergundung mengangguk-angguk.

   Keduanyapun kemudian mempercepat langkah mereka.

   Di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan telah melibatkan diri dalam kesibukan sehari-hari.

   Bahkan Ki Umbul Telu yang berusaha menghubungi beberapa orang Demang telah mengajak Glagah Putih pula bersama para tetua di padepokan itu.

   Sementara Rara Wulan yang tinggal di padepokan, berusaha untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para penghuninya.

   Dengan demikian, maka para penghuni padepokan itu telah mendapatkan pengalaman-pengalaman baru bagi ilmu mereka.

   Ternyata usaha Ki Umbul Telu tidak sia-sia.

   Beberapa orang Demang menyambut dengan baik kesediaan Ki Umbul Telu untuk bekerja sama menjaga keamanan lalu lintas di beberapa kademangan.

   untuk menghidupkan kembali kegiatan perdagangan di kademangan-kademangan ini.

   Kegiatan perdagangan itu akan memberikan arti pula bagi perguruan Awang-awang yang ingin memperluas pemasaran hasil bumi dan hasil kerajinan tangan para penghuni padepokan itu.

   Kami akan membantu memberikan latihan-latihan kanuragan kepada anak-anak muda di beberapa kademangan,"

   Berkata Ki Umbul Telu kepada Ki Demang di Karang Panjang.

   "Bagus, Ki Umbul Telu. Kami akan sangat berterima kasih."

   "Meskipun tidak dengan serta-merta, tetapi kita akan dapat merancang waktu kapan kita bergerak melawan para perampok itu,"

   Berkata Ki Umbul Telu.

   "Ya. Rencana yang akan kita susun bersama."

   "Selama ini, kami akan minta setiap kademangan mengirimkan beberapa anak muda terpilih ke perguruan kami."

   Ki Demang Karang Panjang itu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Aku akan berbicara dengan para Demang tetangga-tetangga kami. Jika mungkin aku akan mengundang empat atau lima orang Demang. Akan lebih baik jika Ki Umbul Telu bersedia hadir pula."

   "Tentu, Ki Demang,"

   Sahut Ki Umbul Telu.

   "aku akan bersedia datang. Bukankah kita akan bekerja sama? Setelah kita mempunyai kekuatan yang memadai, maka kita akan berbicara dengan para pedagang yang selama ini hanya lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar dengan memacu kuda mereka tanpa berpaling di pasar-pasar kita yang mereka lewati."

   "Ya. Kita harus berusaha merubah keadaan itu. Dengan memberikan bantuan menyelenggarakan keamanan lingkungan, agaknya mereka akan mengindahkan daerah ini. Daerah ini mempunyai banyak bahan perdagangan yang dapat memberikan keuntungan bagi segala pihak,"

   Sahut Ki Demang. Sebenarnyalah di tiga hari berikutnya, telah diselenggarakan pertemuan oleh beberapa orang Demang untuk menanggapi gagasan Ki Umbul Telu.

   "Jika Ki Umbul Telu bersedia membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda kami, maka kami akan bersedia ikut dalam rencana ini,"

   Berkata seorang Demang.

   "Tentu,"

   Sahut Ki Umbul Telu.

   "kami bersedia menerima anak-anak muda dari setiap kademangan, asal mereka bersedia menjalani satu kehidupan yang sederhana di padepokan kami."

   "Kami tentu akan membantu beban padepokan Ki Umbul Telu,"

   Sahut seorang Demang.

   Demikianlah, maka para Demang dan Ki Umbul Telu itu sepakat untuk saling membantu.

   Para Demang akan mengirimkan sekitar sepuluh sampai dua puluh lima orang anak muda untuk berlatih di padepokan Ki Umbul Telu selama dua atau tiga bulan.

   Kemudian bergantian dengan anak-anak muda yang lain, sementara yang sudah berlatih di padepokan Ki Umbul Telu akan memberikan latihan kepada kawan-kawan mereka di kademangan.

   Para Demang itu merencanakan, dalam waktu setengah tahun, maka mereka sudah siap berhubungan dengan para pedagang.

   "Kita tidak perlu tergesa-gesa,"

   Berkata Ki Demang Karang Panjang.

   "tetapi dengan langkah yang pasti kita menyongsong hari esok. Sokur jika rencana waktu itu dapat diperpendek."

   "Kita akan berbuat dengan bersungguh-sungguh dan dengan sebaik-baiknya,"

   Sahut Ki Umbul Telu.

   "Sedangkan para pedigang itu sendiri sudah mempunyai kelompok-kelompok tertentu. Mereka tentu juga sudah memiliki landasan kekuatan. Dengan bekerja bersama kita berharap bahwa daerah ini akan dapat kita amankan, sehingga arus perdagangan tidak hanya sekedar lewat tanpa meninggalkan bekas apa-apa di lingkungan kita."

   Dengan demikian, maka Ki Umbul Telu dan para Demang itu sudah membuat pijakan bersama untuk mengembalikan kesibukan perdagangan di daerah mereka masing-masing.

   Kerja sama diantara beberapa kademangan dan perguruan Awang-awang diharapkan akan dapat memecahkan masalah, meskipun tidak dengan serta-merta.

   Tetapi pijakan itu telah memberikan pengharapan bagi kesejahteraan hidup rakyat di beberapa kademangan serta di perguruan Awang-awang.

   Dengan demikian, maka keberadaan perguruan Awang-awang itu akan dapat memberikan arti yang sebenarnya bagi lingkungan disekitarnya.

   Bukan sekedar satu kehidupan yang terpisah yang berada di sebuah pebukitan terpencil.

   Sehingga dengan demikian maka ilmu mereka-pun dapat diamalkan dalam pengertian yang wajar.

   Sementara itu, selama Glagah Putih dan Rara Wulan berada di perguruan Awang-awang, maka mereka telah menemukan sebuah celah-celah di sebuah goa yang agaknya tidak pernah disentuh bahkan oleh para penghuni padepokan itu.

   Dengan demikian, maka Rara Wulanpun telah menyembunyikan peti kayunya yang manis berukiran lembut di celah-celah itu.

   "Bukankah celah-celah itu tidak basah?"

   Bertanya Rara Wulan kepada Glagah Putih.

   "Tidak. Tetapi bagaimanapun juga, celah-celah itu tetap saja lembab."

   "Aku akan membungkusnya dengan kain panjang."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kain panjang? Kau tidak sayang, bahwa selembar kain panjangmu akan kau susupkan dicelah-celah itu."

   "Untuk melindungi peti kecil itu. Kasihan peti itu jika akan segera menjadi lapuk."

   Glagah Putih tidak menyahut.

   Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah membungkus peti kecil itu dengan sehelai kain dan menyimpannya di celah-celah didalam goa itu dan menyamarkannya dengan bongkah-bongkah batu padas.

   Ketika rencana Ki Umbul Telu mulai berjalan, maka bangunan utama padepokan itu menjadi bertambah ramai.

   Bahkan ada beberapa orang anak muda yang tinggal di rumah beberapa orang keluarga yang dapat menampungnya.

   Mereka adalah anak-anak dari beberapa kademangan di sekitar padepokan itu.

   Latihan-latihan segera dimulai pula.

   Anak-anak muda itu harus menjalani kehidupan yang penuh keterikatan pada tatanan untuk menempa mereka menjadi orang-orang mampu mengendalikan diri.

   Sejak hari-hari pertama, mereka harus sudah bekerja keras, siang dan malam.

   Waktu-waktu beristirahat mereka terasa menjadi sangat sempit.

   Pada mulanya, anak-anak muda yang datang dari beberapa kademangan itu merasa sangat letih.

   Tetapi setelah mereka berada di padepokan itu sepekan, maka mereka mulai dapat menyesuaikan dirinya.

   Para murid dari perguruan Awang-awang yang memberikan latihan kepada merekapun berpijak pada tatanan perguruan, sehingga terasa sangat keras bagi anak-anak muda itu.

   Tetapi karena mereka merasa mendapat beban dari para Demang mereka masing-masing, maka merekapun berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya.

   Waktu yang hanya dua atau tiga bulan itu memang terlalu pendek untuk berlatih olah kanuragan.

   Tetapi dengan tempaan yang keras, maka agaknya hasilnya kelak akan memadai.

   Mereka tidak hanya menghadapi kesatuan prajurit atau murid-murid dari perguruan yang sudah berilmu tinggi.

   Tetapi mereka akan menghadapi para perampok yang sebagian besar tidak mendasari ilmunya dari perguruan yang manapun.

   Mereka hanya berlandaskan keberanian, kebengisan dan kadang-kadang diwarnai dengan dendam atas peristiwa-peristiwa yang telah menimpa diri mereka dan keluarganya.

   Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan yang keliru itu karena tekanan kehidupan yang terasa sangat menekan keluarganya, sehingga akhirnya mereka mencari jalan yang paling mudah, meskipun dengan kemungkinan yang terburuk dalam hidupnya Ketika segala sesuatunya sudah berjalan lancar, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan padepokan itu untuk melanjutkan perjalanan mereka.

   Namun sebelum keduanya minta diri, keduanya telah mendengar dari para tetua di padepokan itu, beberapa hal tentang dunia olah kanuragan yang mungkin akan dilewati oleh kedua orang suami isteri itu.

   Dari beberapa orang yang dituakan di padepokan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar beberapa nama dan orang-orang berilmu tinggi yang berkeliaran di dunia olah kanuragan.

   "Nampaknya selama pengembaraan, angger berdua tidak menyelam sampai ke dasar. Angger belum banyak mengenal nama-nama orang berilmu tinggi, baik yang berlandaskan ilmu dan mapan dan berkiblat kepada Kang Murbeng Dumadi, tetapi juga mereka yang berkiblat kepada kuasa kegelapan."

   "Ya,"

   Sahut Glagah Putih.

   "selama ini kami hanya menapaki permukaan."

   "Ternyata bahwa dunia olah kanuragan tidak ubahnya seperti lebarnya rimba raya. Pepohonan raksasa tumbuh di mana-mana. Sedangkan disela-selanya gerumbul-gerumbul rerungkutan liar dengan tumbuh-tumbuhan merambat dan berduri. Sulur-sulur liar serta dahan-dahan yang rapuh berpatahan silang melintang. Di dalamnya hidup berbagai jenis binatang buas, binatang berbisa serta serangga-serangga yang dapat membunuh dengan sengatnya."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun menarik nafas panjang.

   Mereka sudah mempunyai cukup pengalaman dalam pengembaraan mereka.

   Tetapi ternyata bahwa banyak nama-nama yang masih belum mereka kenal.

   Beberapa tempat dan perguruan dari para penganut tuntutan yang berbeda dan bahkan berlawanan.

   Glagah Putih dan Rara Wulan itupun teringat kepada dua dunia yang dijumpainya di rumah tua yang semula mereka kenal dihuni oleh Ki Nawaskara.

   Dunia yang tenang tenteram dan damai.

   Tetapi di dunia itu pula mereka kemudian menjumpai kehidupan yang buas dan liar.

   Yang satu menghancurkan yang lain.

   Semuanya berbuat bagi kepentingan diri masing-masing.

   Tanpa pengendalian diri dan apalagi apa yang disebut pengorbanan bagi kepentingan sesama.

   "Tetapi bukan berarti bahwa seluruh permukaan bumi ini sudah menjadi telatah kuasa kegelapan ngger,"

   Berkata Ki Umbul Telu.

   "masih ada orang yang dapat dipercaya. Masih ada orang yang bersikap jujur. Karena itu, tidak sepatutnya jika angger berdua kehilangan sama sekali kepercayaan kepada-sesama."

   "Ya. Ki Umbul Telu,"

   Sahut Glagah Putih sambil mengangguk-angguk, tetapi bukankah sulit sekali untuk memilahkan yang mana yang pantas dipercaya dan yang mana sebaliknya."

   "Kau benar ngger. Mereka yang licik dan julig justru akan menampakan diri sebagai seorang yang jujur dan baik hati. Tetapi dalam kesempatan yang mereka tunggu, maka mereka akan menerkam tengkuk dari belakang. Sementara itu, mereka yang sungguh-sungguh jujur dan berpijak pada kebenaran justru akan tersingkir, karena mereka akan selalu mengganggu langkah-langkah selingkuh di berbagai sisi kehidupan Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Sepanjang pengalaman mereka menjelajahi kehidupan yang beraneka, maka mereka membenarkan pesan-pesan Ki Umbul Telu itu. Ternyata Ki Umbul Telu bukan seorang yang hanya hidup diseputar dinding padepokannya saja. Tetapi agaknya Ki Umbul Telu dan para tetua dari perguruan Awang-awang juga memiliki wawasan kehidupan yang luas. Namun hampir diluar sadarnya ketika Glagah Putih itupun bertanya.

   "Ki Umbul Telu. Ki Umbul Telu sudah menyebut banyak nama dari orang-orang yang bergerak di dunia olah kanuragan. Bahkan mereka yang berkiblat kepada kuasa terang maupun mereka yang berada di bawah kuasa kegelapan. Tetapi Ki Umbul Telu tidak menyebut seorang yang namanya justru mengumandang sampai ke Tanah Perdikan Menoreh."

   "Siapa ngger?"

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Apakah Ki Umbul Telu pernah mendengar nama sebuah perguruan besar yang kini sedang menyusun diri kembali?"

   "Perguruan apa ngger?"

   "Perguruan Kedung Jati di bawah pimpinan seorang yang memiliki tongkat baja putih. Tongkat baja putih itu memang pertanda kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati. Bukankah di perguruan Awang-awang juga ada pertanda kepemimpinan yang baru saja kembali ke perguruan ini setelah beberapa lama di bawa oleh murid-murid yang berkhianat itu?"

   Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Ya. Aku sudah mendengar ngger. Bahkan pada suatu saat seolah-olah sepasang tongkat baja putih penanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati itu sudah kembali ke perguruan. Tetapi ternyala tidak. Tongkat baja putih yang satu adalah palsu."

   "Ya. Aku juga pernah mendengar."

   "Bukankah tongkat baja putih yang sebuah berada di Tanah Perdikan menoreh?"

   Ki Lampita justru bertanya.

   "Ya. Demikian menurut pendengaranku. Satu dari sepasang tongkat baja putih itu berada di Tanah Perdikan Menoreh."

   "Ngger,"

   Berkata Ki Umbul Telu.

   "aku memang pernah mendengar kegiatan para murid perguruan Kedung Jati yang sudah terpecah dan bahkan tenggelam untuk beberapa lama sejak Jipang dikalahkan oleh Pajang. Namun sebenarnyalah aku ingin berterus-terang kepada angger berdua. Aku tidak tahu apakah angger terlibat dalam usaha menghimpun kembali para murid dari perguruan Kedung Jati atau tidak."

   "Kami tidak terkait dengan perguruan Kedung Jati itu, Ki Umbul Telu. Aku berkata sebenarnya."

   "Aku percaya, ngger."

   Ki Umbul Telu itu terdiam sejenak. Lalu katanya.

   "Berapa waktu yang lalu, orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu memang pernah menghubungi perguruan kami. Mereka menyatakan keinginan mereka agar kami bergabung dengan perguruan Kedung Jati yang sedang menghimpun kekuatan. Tetapi kami mengatakan bahwa tidak seorangpun diantara kami yang pernah menjadi murid perguruan Kedung Jati."

   "Apakah kata mereka Ki Umbul Telu."

   "Menurut mereka, meskipun seseorang belum pernah menjadi keluarga perguruan Kedung Jati, namun mereka akan dapat dalam keluarga besar perguruan Kedung Jati. Baru kemudian akan disusun kaitan serta tatanan kekeluargaan dari perguruan Kedung Jati itu. Mereka yang sekarang berniat membangunkan kembali perguruan itu mengangankan kebesaran dan kejayaan perguruan itu sebagaimana pada masa Jipang masih tegak. Meskipun satu dari sepasang tongkat baja putih itu belum berada di tangan mereka. namun mereka yakin, bahwa pada saatnya tongkat itu akan mereka kuasai, sehingga sepasang tongkat pertanda kebesaran itu akan dapat dijadikan perlambang kebersaran perguruan Kedung Jati sebagaimana sebelumnya."

   "Bagaimana tanggapan Ki Umbul Telu ?"

   "Aku belum dapat mengambil sikap. Aku belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah kami tidak hanya akan menjadi sekedar pengikut-pengikut yang kelak akan dienyahkan. Menurut pendengaran kami, yang sekarang berada dibawah pengaruh para pemimpin perguruan Kedung Jati itu sudah cukup banyak. Tetapi dari bermacam-macam perguruan, gerombolan dan kelompok yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Ada diantara mereka para murid sebuah perguruan yang benar-benar ingin mengembangkan ilmu untuk diamalkan. Tetapi ada diantara mereka yang muncul dari sarang-sarang gerombolan penjahat yang kotor, yang akan menumpang kegiatan mereka yang berniat menegakkan kembali panji-panji perguruan Kedung Jati itu. Dengan demikian, mereka yang berniat membangun kembali perguruan itu, bekerja sama dengan kepentingan yang berbeda dengan gerombolan-gerombolan penjahat itu."

   "Apakah mereka akan menghubungi Ki Umbul Telu lagi ?"

   "Agaknya demikian. Tetapi aku tidak tahu, kapan dan kebenaran dari keterangannya itu. Namun mereka sempat meninggalkan ancaman, bahwa siapapun yang berusaha menghalangi bangkitnya perguruan Kedung Jati akan dibabat dan bahkan akan digali sampai ke akarnya sehingga tidak akan mungkin bangkit kembali. Menurut mereka yang datang, sampai saat ini perguruan Kedung Jati itu telah mampu menghimpun kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan pasukan prajurit di Demak. Sebentar lagi, maka perguruan Kedung Jati akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram."

   "Ki Umbul Telu percaya?"

   "Ngger. Aku percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan yang besar. Tetapi tentu tidak akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram. Meskipun demikian, dengan cara yang mereka tempuh, tampil dan kemudian menghilang, maka mereka pada suatu saat memang akan dapat merepotkan Mataram."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya.

   "Siapakah menurut pendengaran Ki Umbul Telu, orang yang memimpin perguruan yang sedang berusaha bangkit itu?"

   "Pemimpin yang menguasai tongkat baja itu adalah Ki Saba Lingtang. Tetapi ia mempunyai beberapa orang pendukung yang dapat diandalkan. Ki Saba Lintang bukanlah seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ada dua atau tiga orang yang ilmunya dapat diandalkan, sebagaimana Gagak Bergundung suami isteri."

   "Bagaimana dengan Gagak Bergundung?"

   Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya.

   "Maksud angger dalam hubungannya dengan perguruan Kedung Jati?"

   "Ya."

   "Aku tidak tahu, ngger. Apakah Gagak Bergundung itu akan menjadi salah seorang diantara para pendukung perguruan Kedung Jati yang sedang menyusun diri itu. Tetapi jika benar ia akan berada diantara mereka yang berniat menyusun kembali perguruan Kedung Jati, maka ia tidak akan memusuhi kami, karena perguruan Kedung Jati pun berniat untuk menyeret kami ke dalam lingkungan mereka. Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apa-apa lagi tentang perguruan Kedung Jati itu. Ia tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu terhadap tawaran perguruan Kedung Jati untuk bergabung ke dalamnya. Bahkan Glagah Putih pun kemudian telah mengalihkan pembicaraan.

   "Bagaimana pendapat Ki Kumuda dengan bualan Gagak Bergundung?"

   "Maksud angger?"

   "Tentang goloknya yang besar itu. Apakah benar golok itu golok Kiai Pupus Kendali? Sebelumnya ia mengatakan bahwa golok itu adalah pusaka turun temurun. Namun sejak semula aku sudah menduga bahwa ia hanya sekedar membual."

   "Gagak Bergundung memang menyebut golok itu bernama Kiai Naga Padma."

   "Tetapi bukankah wajar jika Kiai Naga Padma sudah dibuat beratus tahun yang lalu."

   "Menurut bualannya, ayahnyalah yang telah mengambil alih golok itu dari Kiai Pupus Kendali. Jika demikian, bukankah kakeknya tidak atau belum pernah mempergunakannya?"

   Ki Umbul Telulah yang menyahut.

   "Gagak Bergundung memang seorang pembual. Tetapi mungkin saja ayahnya telah mencuri golok itu semasa kakeknya masih hidup. Apakah Kiai Pupus Kendali itu terbunuh atau tidak, tidak ada beritanya sama sekali. Tetapi sudah lama sekali nama Kiai Pupus Kendali tidak pernah disebut lagi."

   "Ki Umbul Telu,"

   Bertanya Glagah Putih kemudian.

   "apakah Ki Umbul Telu mengetahui, dimanakah letak padepokannya?"

   "Angger akan mencarinya.?"

   "Kami adalah pengembara. Apakah salahnya jika kami berusaha melacak beberapa nama dari orang-orang yang memiliki kelebihan, namun yang sudah tidak pernah disebut lagi namanya."

   Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Kamipun baru mendengar namanya saja. Kiai Pupus Kendali adalah seseorang yang berilmu tinggi, seangkatan dengan guruku. Bahkan mungkin umurnya lebih tua."

   "Jika guru Ki Umbul Telu tidak dikhianati, bukankah ia masih ada sekarang ini?"

   Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Ya. Tetapi guru sudah tua. Kau lihat, bahwa kamipun sudah setua ini. Sudah pantas menjadi ayahmu."

   "Kami akan mencoba melacak keberadaan Kiai Pupus Kendali itu, Ki Umbul Telu. Kamipun ingin membuktikan, apakah Gagak Bergundung tidak membual tentang golok Kiai Naga Padma itu yang juga dikatakannya pusaka turun temurun."

   "Tentu ada yang sisip pada bualannya itu, ngger. Tetapi jika kau benar-benar ingin meyakinkan kebenarannya Kiai Pupus Kendali, aku hanya dapat memberi ancar-ancar. Kiai Pupus Kendali bukan seorang yang berilmu tinggi yang mendirikan sebuah perguruan. Tetapi Kiai Pupus Kendali adalah seorang pertapa yang hanya diikuti oleh tiga atau ampat orang murid utamanya. Itupun hanya menurut pendengaran kami."

   "Baiklah, Ki Umbul Telu. Agaknya kami benar-benar ingin melacaknya. Apakah aku dapat menemui atau tidak, biarlah kesempatan yang menentukan. Tetapi ancar-ancar Ki Umbul Telu sangat kami perlukan."

   "Ngger. Segalanya hanyalah menurut pendengaran kami. Kami tidak berani memastikan kebenarannya.

   "Kami mengerti, Ki Umbul Telu."

   "Kiai Pupus Kendali berada disebuah pertapaan yang terasing di kaki gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara. Menurut kata orang, pertapaannya sudah berada di daerah yang sangat dingin. Dengan demikian, maka pertapaan itu tentu berada di tempat yang agak tinggi."

   "Terima kasih Ki Umbul Telu. Dari bukit ini, kami akan menuju gunung Sumbing."

   "Kapan angger akan berangkat?"

   "Kami sepakat akan melanjutkan pengembaraan kami esok pagi."

   "Esok pagi. Begini cepat?"

   "Bukankah kami sudah cukup lama di padepokan ini?"

   Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami akan dapat singgah di padepokan ini."

   "Berhati-hatilah ngger. Kami tahu bahwa angger berdua ternyata memiliki ilmu myang sangat tinggi, sehingga angger berdua mampu mengalahkan Gagak Bergundung. Meskipun demikian, angger akan memasuki belantara yang buas, liar dan penuh menyimpan bahaya. Yang kasat mata maupun yang tidak."

   Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Keduanya sudah memiliki pengalaman yang cukup luas. Namun agaknya mereka belum menukik ke dalam rimba oleh kanuragan yang buas dan liar itu.

   "Ki Umbul Telu,"

   Berkata Glagah Putih kemudian.

   "kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Umbul Telu terhadap pengembaraan kami. Kami akan berhati-hati di perjalanan. Pengenalan kami atas beberapa nama akan sangat membantu perjalanan kami. Ciri-ciri unsur gerak yang Ki Umbul Telu beritahukan kepada kami dari beberapa orang di antara mereka, memberikan gambaran kepada kami, dunia seperti apakah akan dapat kami lewati."

   "Baiklah, ngger. Jika pada suatu saat angger merasa jemu menempuh perjalanan dalam pengembaraan angger, datanglah kembali ke padepokan kami."

   "Terima kasih, Ki Umbul Telu."

   Ternyata keempat orang tetua dari perguruan Awang-awang itu telah memberikan bekal yang cukup banyak bagi Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Merekapun dapat membayangkan, bahwa mereka memang akan ngambah hutan yang dipenuhi duri kebondotan serta rawa-rawa lumpur yang kenal yang dihuni oleh buaya-buaya yang buas serta ular-ular air yang berbisa.

   Ketika kemudian malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di bilik yang disediakan bagi mereka berdua, telah membuka-buka kembali kitab yang diberikan oleh Kiai Namaskara dengan cara yang aneh itu.

   Beberapa petunjuk mereka tekuni untuk menambah kematangan diri yang sudah mereka warisi.

   Meskipun mereka memasuki bilik mereka agak awal, namun hampir semalam suntuk mereka tidak tidur.

   Baru di dini hari keduanya sempat memejamkan mata beberapa saat.

   Ketika fajar menyingsing, keduanya telah siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.

   Namun Ki Umbul Telu masih menahan mereka.

   Ki Umbul Telu mempersilahkan kaduanya untuk minum minuman hangat serta makan pagi lebih dahulu sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

   "Kalian akan menempuh perjalanan yang berat di medan yang berat pula. Karena itu, sebaiknya kalian makan pagi lebih dahulu. Meskipun barangkali kalian akan melewati beberapa padukuhan yang cukup besar, tetapi pada umumnya, pasar yang ada di padukuhan-padukuhan itu menjadi sepi, sehingga jarang ada kedai yang masih membuka usahanya."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Glagah Putih dan Rara wulan tidak dapat menolak.

   Baru setelah mereka makan pagi serta beristirahat sebentar, maka merekapun minta diri.

   Tidak hanya keempat orang tetua dari perguruan Awang-awang itu saja yang melepas kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Tetapi beberapa orang penghuni padukuhan serta para cantrik telah ikut melepas mereka pula di pintu gerbang.

   "Terima kasih,"

   Berkata Glagah Putih dan Rara Wulan ketika mereka meninggalkan pintu gerbang.

   "Kami menunggu kalian datang kembali,"

   Berkata Ki Umbul Telu.

   "Kami akan berusaha untuk kembali lagi,"

   Sahut Glagah Putih.

   Demikianlah keduanyapun meninggalkan padepokan di atas bukit itu.

   Beberapa lamanya mereka menuruni lereng yang rendah, sehingga akhirnya merekapun sampai di sebuah dataran yang subur, yang mendapat air dari bukit kecil yang masih menyimpan kelompok-kelompok pepohonan raksasa yang untuk melindunginya, pepohonan itu telah dikeramatkan, sehingga tidak seorangpun yang mengusiknya.

   Ketika matahari mulai naik, maka dedaunan yang basah nampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya.

   Beberapa titik embun masih hinggap di dedaunan itu.

   Burung-burung liar yang hinggap dipepohonan terdengar bersiul gembira menyambut kehadiran hari yang baru.

   Panas matahari yang mulai menggatalkan kulit mengiringi perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Beberapa ratus langkah di hadapan mereka nampak sebuah padukuhan yang memanjang seakan-akan memotong jalan yang akan dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Ketika kakang dan Ki Umbul Telu berbicara tentang rencana untuk membangunkan keberanian anak-anak mudanya, apakah kakang juga singgah di padukuhan itu."

   "Kami hanya menemui para Demang, Rara. Kademangan yang membawahi padukuhan itulah yang mengaturnya. Tetapi padukuhan itu tentu sudah terlibat pula untuk mengirimkan dua atau tiga anak mudanya."

   Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.

   "Dengan demikian, jika kita nanti berjalan melalui jalan itu, kakang tentu belum dikenal oleh para penghuninya."

   "Tentu belum."

   Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.

   "Ada juga baiknya, karena perjalanan kita tidak akan terganggu."

   Glagah Putih tersenyum. Katanya.

   "Jika mereka belum mengenal kita bukan berarti bahwa tidak akan ada yang menyapa kita."

   "Jika seorang menyapa kita, maka kita cukup menjawab satu dua patah kata. Kita tidak akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menuggu sapaan mereka."

   Glagah Putih mengangguk. Katanya.

   "Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak mau diusik sama sekali."

   "Ya,"

   Rara Wulan pun mengangguk.

   Ketika kemudian mereka berjalan di tengah-tengah bulak panjang, maka mereka sempat menebak-nebak jenis padi yang sedang tumbuh dengan suburnya.

   Nampaknya air yang mengalir di parit yang memanjang menyilang jalan bulak itu tidak pernah kering di segala musim.

   "Arah parit ini tentu mengalir dari bukit itu,"

   Berkata Rara Wulan.

   "Ya, para pemimpin di padepokan itu mempunyai cara tersendiri untuk menyelamatkan hutan di pebukitan mereka,"

   Sahut Glagah Putih.

   Demikianlah mereka berjalan di kesegaran udara pagi hari.

   Ketika mereka memasuki padukuhan yang memanjang dan terhitung besar di ujung bulak, maka padukuhan itu terasa sudah sibuk menapaki hari baru.

   Beberapa orang masih belum selesai menyapu halaman yang pada umumnya cukup luas.

   Seorang perempuan membawa kelenting di lambungnya untuk mengisi gentong yang diletakkannya di sebelah pintu regol halaman rumahnya, yang disediakannya bagi para pejalan kaki yang kehausan.

   Glagah Putih dan Rara Wulan berpapasan pula dengan beberapa orang anak yang menggiring kambing mereka kepadang rumput untuk digembalakan.

   Seorang yang sudah setengah baya memanggul bajaknya menuju ke pintu gerbang padukuhan, sementara anaknya yang sedikit lewat remaja menggiring dua ekor lembu di belakangnya.

   "Padukuhan ini nampak sibuk,"

   Berkata Rara Wulan.

   "Ya. Agaknya penghuni padukuhan ini adalah orang-orang yang terbiasa bekerja keras."

   Rara Wulan mengangguk. Katanya kemudian.

   "Kakang dengar suara orang menumbuk padi?"

   "Ya. Padukuhan ini benar-benar diramaikan dengan kerja keras oleh penghuninya."

   Disebelah simpang empat keduanya terhenti sesaat. Seorang ibu muda sedang sibuk menyuapi anaknya yang menangis sambil meronta-ronta.

   "Anak itu belum lapar,"

   Desis Glagah Putih.

   "Bukankah terbiasa seorang ibu menyuapi anaknya dengan paksa. Agar anak itu menjadi kenyang dan segera tidur. Sementara itu ibunya dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Mencuci pakaian atau masak di dapur."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi iapun berdesis.

   "Nasi dengan gula kelapa."

   "Ya. Nasi dengan gula kelapa yang dilumatkan dengan sedikit air yang sudah masak."

   Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk.

   Sejenak kemudian, mereka telah berada di tengah-tengah padukuhan.

   Beberapa orang yang nampaknya juga hanya sekedar lewat di padukuhan itu, berjalan dengan cepat melintas.

   Ada yang berjalan searah, tetapi ada juga yang berlawanan arah.

   Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka tidak seorangpun yang mengenalnya.

   Baik mereka yang tinggal di padukuhan itu maupun orang-orang yang lewat.

   Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak terhambat.

   Beberapa saat kemudian, merekapun telah meninggalkan padukuhan itu.

   Mereka memasuki lagi sebuah bulak yang panjang di sebuah ngarai yang datar dan luas.

   Mereka melewati jalan yang termasuk jalan yang lebar.

   Tetapi agaknya jalan itu tidak terlalu ramai.

   Yang melewati jalan itu hanyalah orang-orang padukuhan yang pergi ke sawah atau orang orang-orang yang bepergian dari satu padukuhan ke padukuhan lain yang tidak terlalu jauh.

   "Jalan ini tentu kepanjangan jalan yang tidak aman itu,"

   Berkata Rara Wulan.

   "Ya,"

   Sahut Glagah Putih.

   "tetapi jika beberapa kademangan bersama-sama perguruan Awang-awang itu sudah benar-benar bangkit maka jalan ini akan menjadi ramai kembali. Para pedagang tidak merasa perlu untuk menunggu-menunggu yang satu dengan yang lain agar mereka dapat melintasi jalan ini dalam kelompok-kelompok yang besar bahkan para pedagang yang dapat mengupah satu atau dua orang pengawal. Jika jalan ini menjadi aman, maka pedagang-[edagang sedang dan pedagang kecilpun akan berani melintasi meski seorang diri. Dalam pada itu matahari pun menjadi semakin tinggi. Panasnya mulai terasa mengusik kulit mereka. Sementara itu nampak beberapa orang petani sedang sibuk bekerja disawah. Tidak ada yang menghambat perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ketika matahari mencapai puncak langit, mereka telah berada di sebuah padukuhan yang terhitung besar. Ada sebuah pasar di padukuhan itu. Tetapi pasar itu nampaknya sepi-sepi saja. Bukan karena hari sudah menjadi semakin siang. Tetapi nampaknya sejak pagi, pasar itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Bahkan beberapa kedai didepan pasar itupun tidak lagi dibuka, karena jarang orang yang datang untuk makan dan minum. Yang terbiasa datang ke pasar itu hanyalah orang-orang yang tinggal di padukuhan itu atau padukuhan sekitarnya saja, sehingga mereka tidak perlu singgah di kedai yang ada di depan pasar itu. Namun di pasar itu, ada juga yang menjual nasi. Nasi tumpang berdekatan dengan penjual dawet cendol. Dibentangkannya sehelai tikar pandan yang tidak terlalu lebar, yang warnanya kekuning-kuningan serta sudah koyak di sudutnya.

   "Kita berhenti sebentar, Rara,"

   Desis Glagah Putih.

   "Untuk apa?"

   "Ada dawet cendol dan nasi tumpang."

   "Apa kakang sudah lapar?"

   "Aku sudah mulai haus meskipun belum lapar. Tetapi kita akan dapat berbincang-bincang dengan penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu."

   Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk.

   "Kita dapat duduk di tikar itu."

   "Siapa yang membentangkan tikar itu? Penjual nasi atau penjual dawet?"

   "Siapapun yang membentangkan. Kita akan membeli nasi dan dawet."

   Keduanyapun kemudian berhenti di pasar itu. Merekapun duduk diatas tikar yang dibentangkan dibawah sebatang pohon waru yang rimbun. Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian memesan nasi tumpang dan dawet cendol yang segar.

   "Pasar ini nampak sepi sekali,"

   Bertanya Rara Wulan.

   "Tadi pagi pasar ini sedikit ramai,"

   Jawab penjual nasi tumpang.

   "ketika matahari naik, pasar inipun menjadi sepi."

   "Apakah biasanya pasar ini juga sepi?"

   "Hari ini sebenarnya hari pasaran. Karena itu, tadi pagi pasar ini menjadi agak ramai. Meskipun demikian, pasar ini masih saja terlalu sepi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya."

   "Kenapa?"

   "Lingkungan ini memang menjadi sepi. Para pedagang dari jauh tidak lagi mau singgah, karena pasar ini semakin terasa tidak aman."

   "Sekarang masih juga tidak aman?"

   "Ya, sekarang."

   "Sejak beberapa waktu yang lalu,"

   Sahut penjual dawet.

   "Kenapa? "

   Bertanya Glagah Putih.

   "Apakah kalian berdua bukan penghuni daerah ini?"

   "Kami hanya lewat saja, Ki Sanak."

   Penjual dawet itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putih mengacungkan mangkuknya yang telah kosong.

   "Lagi, Ki sanak. Aku haus sekali."

   Penjual dawet itu menerima mangkuk dari tangan Glagah Putih dan mengisinya lagi.

   "Nyai juga?"

   Bertanya penjual dawet itu.

   "Tidak. Sudah cukup,"

   Jawab Rara Wulan. Glagah Putih menghirup dawet cendolnya. Kemudian iapun bertanya pula.

   "Apakah sering ada orang-orang jahat yang datang kemari?"

   "Sasaran mereka adalah para pedagang yang lewat. Tetapi mereka biasanya lewat berkelompok, sehingga mereka mampu memberikan perlawanan. Kadang=kadang para pedagang itu berhasil menyelamatkan dagangan mereka. Tetapi kadang-kadang ada juga yang terpaksa harus ketinggalan jika para penyamun itu menghadang mereka. Meskipun para pedagang itu sendiri mampu menghindar, tetapi sering terjadi, beberapa bungkus dagangan mereka terjatuh atau tertinggal atau karena apapun, namun barang-barang itu akhirnya jatuh juga di tangan para perampok. Tetapi para perampok itu pun kadang-kadang harus mengorbankan satu dua orang kawan mereka yang terbunuh oleh para pedagang dan orang-orang upahan yang melindungi mereka."

   "Apakah ada juga pedagang atau orang-orang upahannya yang menjadi korban ?"

   "Ya. Pernah juga terjadi. Tetapi biasanya kawan-kawannya berusaha membawa tubuh korban itu. Jika tubuh itu tertinggal, maka tubuh itu akan mengalami perlakuan yang buruk sekali meskipun orang itu sudah mati."

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu, penjual nasi tumpang itupun berkata.

   "kemarin ada sekelompok pedagang yang lewat. Pertempuran terjadi dengan para penyamun. Tetapi para pedagang itu berhasil lolos."

   "Pertempuran itu terjadi di pasar ini?"

   "Tidak,"

   Sahut penjual dawet.

   "pertempuran itu terjadi di bulak sebelah. Bahkan seorang perampok terbunuh. Beberapa yang lain terluka. Karena itu, maka perampok itu menjadi sangat mendendam."

   Namun permbicaraan merekapun terputus. Mereka melihat beberapa orang yang berwajah garang datang dan berkerumun di depan pintu gerbang pasar.

   "Siapa mereka?"

   "Jangan memperhatikan mereka. Jika kalian berbuat wajar-wajar saja, mereka tidak akan menghiraukannya,"

   Desis penjual dawet itu. Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian beringsut. Mereka berpura-pura tidak menghiraukan lagi, beberapa orang yang berkumpul di depan pintu gerbang itu.

   "Siapa mereka itu?"

   Glagah Pitih bertanya sekali lagi. Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Aku tidak mengenal mereka dengan pasti, tetapi mereka tentu sebagian dari para perampok itu."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Glagah Putih mengangguk-angguk. Menilik sikap, pakaian serta wajah-wajah mereka, maka mereka adalah orang-orang yang garang, menakutkan dan bengis.

   "Apa yang mereka bawa dalam karung itu?"

   Bertanya Glagah Putih pula. Penjual dawet itu menggeleng sambil menjawab.

   "Aku tidak tahu. Biasanya mereka merampas karung-karung seperti itu dari para pedagang yang lewat."

   Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam. Ditangan mereka masih terdapat sepincuk nasi tumpang yang masih belum mereka habiskan. Kehadiran orang-orang itu telah membuat Glagah Putih dan Rara Wulan lambat menyuapi mulut mereka.

   "Jika sempat, menyingkir sajalah,"

   Tiba-tiba saja penjual dawet itu berdesis.

   "Kenapa? "

   "Kau orang asing di sini. Jika terjadi sesuatu, kau dapat menjadi korban."

   "Bagai,mana dengan Ki Sanak dan bibi penjual nasi itu?"

   "Setiap hari kami berada disini. Tidak ada masalah bagi kami."

   "Jika aku pergi, mereka tentu akan menjadi curiga."

   "Jangan lewat pintu gerbang itu. Tetapi lewat pintu butulan disebelah gubug bekas tempat pande besi itu menempa."

   "Bekas, Jadi mereka tidak bekerja di gubug-gubug itu sekarang."

   "Tidak. Para perampok itu melarang mereka membuat alat-alat pertanian yang katanya akan dapat dipergunakan sebagai senjata."

   "Tetapi sebaiknya duduk sajalah disitu,"

   Berkata penjual nasi tumpang, Jika kalian pergi memang akan dapat menarik perhatian mereka.

   Mtidak terlalu banyak orang disini, sehingga satu atau dua orang diantara mereka akan melihat jika kedua orang ini bangkit dan bangkit dan pergi meninggalkan tempat ini."

   Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Ia sempat berpaling sekilas memandang sekelompok orang yang berkerumun di pintu gerbang itu. Katanya.

   "Ya. Sebaiknya kalian disini saja."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian memutuskan untuk duduk saja di tikar sambil makan nasi tumpang serta menghirup dawet cendol yang segar.

   Sementara itu, beberapa orang masih saja berkerumun didepan pintu gerbang pasar.

   Mereka meletakkan tiga buah karung yang penuh terisi di sebelah pintu gerbang pasar itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak ingin meninggalkan pasar itu.

   Ia ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh sekelompok orang yang berkerumun didepan pintu pasar itu.

   Beberapa orang yang masih berkerumun dipasar itupun telah meninggalkan pasar.

   Satu dua orang yang berjualan justru berpura-pura tidak melihat apa-apa sebagaimana penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu.

   Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan wajar-wajar saja tanpa memperhatikan orang-orang yang berkumpul di depan pintu pasar itu.

   Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang masih ada di pasar itu menjadi berdebar-debar mendengar derap kaki kuda yang semakin lama semakin dekat.

   "Agaknya mereka sudah mencium berita bahwa akan ada sekelompok pedagang lewat,"

   Desis penjual dawet itu.

   "Mereka akan mencegatnya?"

   Bertanya Rara Wulan.

   "Mungkin. Tetapi biasanya mereka tidak melakukannya disini. Tetapi di bulak sebelah."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Ia melihat kedua orang penjual nasi dan dawet itu menjadi tegang.

   Tetapi sebenarnyalah Glagah Putih sendiri dan Rara Wulan juga menjadi berdebar-debar.

   Ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka seorang diantara orang-orang yang berkumpul di pintu gerbang pasar itu melangkah ke tengah jalan sambil bersuit nyaring.

   Sejenak kemudian, sekelompok orang berkuda telah berhenti pula di depan pasar.

   Seorang diantara mereka bergeser ke depan sambil mengangkat tangan kanannya.

   "Delapan hasta dari Utara,"

   Berkata orang itu. Orang yang berdiri ditengah jalan itupun menyaut.

   "Tujuh langkah dari Selatan."

   Orang yang duduk dipunggung kuda itu bergerak beberapa langkah lagi mendekati orang yang berdiri di tengah jalan.

   "Lihat, apa yang kau bawa."

   "Tujukkan dahulu mutiaramu itu,"

   Jawab orang yang berdiri di tengah jalan.

   Orang yang berkuda itu memberikan isyarat kepada seorang kawannya yang bergeser mendekatinya sambil membawa sebuah peti kayu yang tidak begitu besar.

   Ketika peti itu dibuka, maka dua orang yang sejak semula yang nampaknya memang sedang menunggu di depan pasar itu mendekat.

   "Lihatlah,"

   Berkata orang yang berdiri di tengah jalan.

   "kau yang tahu benar tentang candu."

   Kedua orang kawannyapun mendekat.

   Seorang diantara mereka menerima peti itu dan memperhatikan isinya dengan seksama.

   Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi terkejut karenanya.

   Agaknya di pasar itu telah terjadi jual beli barang terlarang.

   Candu.

   Ternyata ada pula sekelompok orang berkuda yang lewat di jalan yang tidak aman itu, sekelompok orang yang tidak kalah jahatnya dengan para perampok dan penyamun yang sering mengganggu perjalanan para pedagang.

   Orang-orang berkuda yang nampaknya juga sekelompok pedagang yang lewat, ternyata adalah sekelompok orang yang berdagang barang-barang terlarang.

   Kedua orang yang menilai candu yang ada di dalam peti itu mengangguk-angguk.

   Seorang diantaranya berkata.

   "Ya. Barangnya sesuai dengan pembicaraan."

   "Nah,"

   Berkata orang berkuda.

   "sekarang, bawa kemari barang-barangmu."

   Orang yang berdiri ditengah jalan dan menghentikan sekelompok orang berkuda itu memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membawa tiga buah karung itu mendekat.

   Orang berkuda itupun kemudian meloncat turun.

   Dua orang kawanyannyapun meloncat turun pula.

   Meskipun mereka sedang melakukan pertukaran barang dengan orang-orang yang menunggu di depan pasar itu, namun agaknya kedua belah pihak nampak tetap bersiaga.

   Kedua belah pihak agaknya tidak dapat saling mempercayai begitu saja.

   Setelah melihat-lihat isi karung itu, maka orang berkuda itupun bertanya.

   "Kalian dapat dari mana barang-barang ini?"

   "Kami adalah sekelompok perampok dan penyamun. Kami dapatkan barang-barang itu dengan cara kami."

   "Baiklah. Kami akan membawanya. Tetapi kami tidak akan segera dapat menguangkannya. Kami harus meneliti bahwa barang-barang ini tidak akan menjebak kami."

   "Terserah saja kepadamu. Persoalan diantara kita sudah selesai. Jika pada kesepakatan lain kalian lewat dengan membawa barang-barang berharga atau sejenis mutiara itu, mungkin kamilah yang akan merampokmu."

   "Tetapi mungkin pula kamilah yang akan membinasakan kalian."

   "Persetan dengan kesombonganmu."

   Orang berkuda itu tidak menjawab. Dipertintahkannya orang-orangnya untuk membawa karung-karung itu dipunggung kuda.

   "Jika kami memerlukannya lagi, dengan siapa kami harus berhubungan?"

   "Kau akan menghubungi kami?"

   "Ya."

   "Bagaimana dengan perantara itu?"

   "Aku sudah membunuhnya. Ia telah mengkhianati kami. Untunglah kami segera mengetahui. Jika kami terlambat, maka pertukaran hari ini tentu tidak akan terjadi."

   "Aku tidak berkeberatan. Kau sudah tahu, kemana perantaramu itu harus pergi. Tetapi kamilah yang akan menentukan kapan kami membutuhkannya."

   "Baiklah. Hampir setiap pasaran kami berada di pasar Seca. Setelah kami melewati, jalan-jalan yang berbahaya, maka kami akan menentukan diri dengan orang-orang lain."

   "Apakah sekelompok pedagang yang sering lewat di jalan ini juga kelompok yang sekarang berada disini?"

   "Ternyata kau sangat dungu. Tentu bukan. Yang datang bersamaku sekarang adalah mereka yang bersedia bekerja sama bersamaku khususnya dalam perdagangan mutiara itu. Tidak seorangpun dari kawan-kawan pedagang yang mengetahui, bahwa aku berdagang candu. Tidak seorangpun dari mereka yang pantas, dipercaya."

   Namun orang itupun kemudian memandang berkeliling dan berkata.

   "bagaimana dengan seisi pasar ini?"

   Tetapi orang yang agaknya pemimpin dari mereka yang berkumpul di depan pasar itupun tertawa. Katanya.

   "Tidak seorangpun yang akan berani mengkhianati kami dipasar ini. Jika itu terjadi, maka kami akan membuat pasar ini menjadi debu dan membaurkannya ke sungai yang sedang banjir. Kami berkuasa disini untuk berbuat apa saja sekehendak kami."

   Orang yang membawa candu itu mengangguk-angguk.

   Namun sejenak kemudian orang itupun telah meninggalkan pasar yang sepi itu, justru menuju ke arah dari mana mereka datang.

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak.

   Namun sejenak orang itupun berkata.

   "Baiklah. Kami akan pergi. Jika kalian dapat dipercaya, maka hubungan diantara kita ini dapat berlanjut."

   "Akupun akan menilai apakah kau tidak berkhianat."

   Orang yang membawa candu itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, orang-orang berkuda itupun telah meninggalkan pasar yang sepi itu, justru menuju ke arah dari mana mereka datang."

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Gagah Putihpun kemudian segera membayar harga nasi tumpang dan dawet cendol itu.

   "Mereka telah pergi. Bukankah akupun dapat pergi?"

   Desis Glagah Putih.

   "Tetapi mereka masih berada disitu."

   "Baiklah. Kami akan menunggu di sebelah regol pasar. Bukankah di dekat regol itu ada orang berjualan mentimun? Agaknya masih ada beberapa buah ketimun yang belum laku."

   "Hati-hatilah,"

   Desis penjual nasi tumpang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Namun merekapun kemudian bangkit dan berjalan menuju ke regol.

   "Kita tidak dapat berbuat apa-apa disini,"

   Desis Glagah Putih.

   "Kita dapat merampas candu itu dan memusnahkannya."

   "Tetapi akibatnya akan buruk sekali bagi orang-orang sepasar. Bahkan untuk selanjutnya pasar ini akan mati. Tidak seorangpun yang akan berani lagi pergi kepasar ini."

   "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

   "Jika mereka pergi, kita akan mengikuti mereka. Kita memang tidak dapat membiarkan candu itu jatuh ke tangan orang banyak."

   Rara Wulan agaknya dapat mengerti.

   Jika mereka harus berbuat sesuatu, maka mereka tidak akan mengorbankan orang-orang yang berada di pasar itu.

   Demikianlah sejenak kemudian, ketika orang-orang yang semula berkumpul di depan pasar itu pergi, maka Glagah putih dan Rara Wulan itupun keluar pula dari pasar itu.

   Mereka akan mengikuti sekelompok orang yang membawa candu itu, tetapi jangan ada kesan bahwa keduanya keluar dari dalam pasar.

   Karena itu, maka untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan hanya memperhatikan arah perjalanan mereka.

   Ketika di kejauhan mereka bebrbelok ke kiri, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun baru melangkah meninggalkan pasar itu.

   Namun dengan cepat keduanya melangkah menyusul perjalanan sekelompok orang yang membawa candu itu.

   Di jalan simpang mereka masih melihat sekelompok orang itu berbelok ke kanan.

   "Sekarang kita akan menyusul mereka."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan cepat melintasi jalan yang dilalui oleh sekelompok orang yang membawa candu itu.

   Mereka pun kemudian berbelok ke kanan memasuki sebuah bulak panjang itu, mereka telah berhasil menyusul sekelompok orang yang membawa peti candu itu.

   "Sekitar sepuluh orang, berkata Glagah Putih.

   "Ya. Kita tidak tahu tataran kemampuan mereka. Apakah kita harus berusaha menghentikan perlawanan mereka secepatnya?"

   "Ya "

   Jawab Glagah Putih.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "kita tidak ingin terjebak dalam putaran kekuatan yang tidak terlawan."

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun sudah mulai mengambil sikap.

   Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya sehingga yang dikenakan kemudian adalah pakaian khususnya.

   Namun Glagah Putih masih berdesis.

   "Jangan sebut candu Rara."

   "Kenapa ?"

   "Mereka akan dapat menganggap orang-orang yang berada dipasar itulah yang berkhianat dengan membuka rahasia candu itu kepada kita."

   "Baiklah, kakang. Kakang sajalah yang berbicara dengan mereka."

   Glagah Putih menganguk. Namun sebelum keduanya menghentikan orang-orang yang membawa peti berisi candu itu, pemimpin mereka telah memerintahkan mereka untuk berhenti.

   "Agaknya dua orang itu sengaja mengikuti kita,"

   Berkata pemimpin sekelompok orang itu. Glagah Putih dan Rara Wulanpun menyadarinya. Karena itu, maka Glagah Putihpun berhenti pula beberapa langkah dari mereka.

   "Apakah kalian berdua sengaja mengikuti kami?"

   Bertanya pemimpin kelompok itu.

   "Ya,"

   Jawab Glagah Putih.

   "Siapa kalian dan apakah maksud kalian?"

   "Kalian tentu gerombolan perampok yang dipimpin oleh Kasan Barong."

   "Siapa? "Kasan Barong."

   Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian pemimpinnya itupun menjawab.

   "Aku tidak mengenal orang yang bernama Kasan Barong. Bahkan namanyapun aku belum pernah mendengarnya."

   "Jadi siapakah yang memimpin kelompok ini?"

   "Aku. Namaku Jati Ngarang."

   "Bohong,"

   Jawab Glagah Putih sambil tertawa. Suara tertawanya bagaikan mengguncang bulak panjang itu. Bahkan jantung Rara Wulanpun telah tergetar pula mendengar suara tertawa Glagah Putih itu. Diantara derai tertawanya Glagah Putihpun berkata.

   "Ternyata Kasan Barong adalah seorang pengecut. Kenapa kau mengelak ketika kau sudah bertemu dengan aku sekarang ini."

   "Kau siapa?"

   "Namaku Lemah Bengkah. Perempuan ini adalah isteriku. Nah, sekarang kau tau, dengan siapa kau berhadapan. Kaupun tentu tahu, persoalan apa yang ada diantara kita."

   "Jangan ingkar,"

   Geram Glagah Putih.

   "kau curi kitab yang berisi ilmu kanuragan yang disebut Kitab Mega Mendung. Nah, aku datang mengemban perintah guru untuk mengambil kitab itu."

   Wajah pemimpin sekelompok orang yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu memandang beberapa orang pengikutnya berganti-ganti. Hampir diluar sadarnya iapun bertanya.

   "Siapa pernah mendengar nama Kasan Barong? Dan siapakah yang pernah mendengar sebuah kitab yang disebut Kitab Mega Mendung?"

   Para pengikutnya itu menggeleng.

   "Tentu fitnah,"

   Geram orang yang disebut Jati Ngarang.

   "Seandainya benar bahwa aku adalah orang yang kau sebut Kasan Barong yang mencuri kitab gurumu, bagaimana kau tahu, bahwa orang itu adalah aku."

   "Aku sudah mendapat ancar-ancar dari guru. Orang yang namanya Kasan Barong adalah seorang yang bertubuh tinggi, tegap, bermata tajam seperti mata elang, cerdik dan licik."

   "Bukankah ada beribu orang yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata elang?"

   "Orang itu berkeliaran dan menjadi pemimpin sekelompok penyampun di daerah ini. Jelas. Tidak ada dua atau tiga. Tetapi hanya ada satu orang saja. Kau. Meskipun namamu akan berganti seribu kali. Tetapi bayangan di kepalaku adalah tepat terungkap pada wajah, ujud dan sifat-sifatmu."

   "Persetan dengan igauanmu. Seandainya aku adalah Kasan Barong, apa yang akan kau lakukan?"

   "Aku akan mengambil kembali kitab itu."

   "Seandainya aku berhasil mencurinya, aku tentu tidak akan mengembalikannya kepadamu atau memberikannya kepada siapapun. Kecuali jika ada orang yang membelinya dengan harga yang sangat mahal."

   "Apakah aku harus memaksamu dengan caraku?"

   Orang yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu tertawa. Beberapa orang pengikutnyapun tertawa pula. Seorang yang berkumis lebat berkata di sela-sela derai tertawanya.

   "Kau hanya dua orang. Itupun seorang diantara kalian perempuan. Kami semuanya berjumlah sepuluh orang. Bagaimana mungkin kau akan memaksa kami untuk melakukan sesuatu? Apalagi yang harus kami lakukan itu tidak kami mengerti sama sekali."

   "Meskipun kami hanya berdua, jika guru tidak mempercayai kami, maka kami tidak akan mendapat perintah untuk mengambil kembali kitab itu. Beberapa pekan aku berkeliaran di daerah ini, sekarang aku menemukan orang yang aku cari. Aku tentu tidak akan melepaskan Kasan Barong yang licik itu."

   "Persetan dengan celotehmu. Pergi atau kami akan membunuhmu,"

   Geram seorang yang tubuhnya agak gemuk. Lengannya yang besar itu hampir sebesar kentongan tunggak bambu petung.

   "Aku akan pergi dengan membawa kitab Mega Mendung sebagaimana diperintahkan oleh guru."

   Pemimpin sekelompok orang yang membawa candu itupun kemudian berkata.

   "Selesaikan mereka berdua Aku akan membawa peti itu pulang."

   Namun tiba-tiba saja Glagah Pulih hampir berteriak berkata.

   "Kitab itu tentu kalian simpan didalam peti itu. Berikan peti itu kepadaku."

   "Kau gila. Ini peti berisi perhiasan. Aku memang merampoknya dari beberapa orang pedagang yang lewat."

   "Omong kosong. Jika peti itu berisi perhiasan, tunjukkan kepadaku. Aku tidak akan merampasnya."

   "Kau tidak berhak melihat hasil rampokanku. Kau bukan keluarga kelompokku."

   "Tetapi aku membawa wewenang guruku untuk mengambil kembali kitab itu."

   "Apapun yang kau katakan, kau akan mati."

   Orang yang tubuhnya agak gemuk itupun melangkah maju, sedangkan orang yang berkumis lebat itupun bergeser pula sambil berkata.

   "Aku akan menangkap perempuan ini saja. Keberadaannya di sarang kita akan memberikan banyak manfaat."

   "Persetan kau,"

   Geram orang yang agak gemuk.

   "aku akan membunuh laki-laki yang sombong ini."

   Dalam pada itu, Jati Ngarang sendiri seakan-akan tidak menghiraukan lagi keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Bersama seorang yang membawa peti berisi candu itu, mereka meninggalkan tempat itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan diri.

   Mereka tidak boleh terpancang terlalu lama dalam pertempuran melawan kedua orag itu agar mereka segera dapat menyusul Jati Ngarang dan para pengikutnya yang membawa peti itu pergi.

   Karena itu maka Glagali Putihpun kemudian berkata lantang, Bersiaplah untuk mati,"

   Namun kemudian iapun berteriak.

   "Kasan Barong, jangan tinggalkan mayat kawanmu itu disini. Jika kau pergi, kau harus membawa mayat mereka dan meninggalkan peti yang berisi kitab Mega Mendung itu."

   Jati Ngarang menggeram. Tetapi ia hanya berpaling saja. Kemudian iapun melanjutkan langkahnya.

   "Bagus,"

   Geram Glagah Putih.

   "kalian berdua akan menjadi tumbal. Tetapi setelah membunuh kalian berdua, aku akan memburu Kasan Barong itu."

   "Kau masih saja nekat menyembutnya Kasan Barong,"

   Geram orang yang agak gemuk itu.

   "tetapi aku akan segera membungkam mulutmu."

   Orang yang agak gemuk itupun segera meloncat menyerang.

   Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran.

   Namun orang itu tidak membiarkan Glagah Putih lepas dari serangannya.

   Meskipun tubuhnya agak gemuk, tetapi orang itu meloncat dengan cekatan.

   Ketika tubuhnya berputar, maka kakinya pun terayun mendatar mengarah ke kening.

   Glagah Putih bergeser selangkah surut.

   Serangan itu tidak mengenainya.

   Bahkan Glagah Putihlah yang kemudian dengan cepat meloncat menyerang.

   Orang yang bertubuh gemuk itu terkejut.

   Tetapi iapun mampu bergerak cepat menghindar.

   Namun serangan kedua Glagah Putih, tidak mampu dihindarinya.

   Kaki Glagah Putih terjulur lurus menggapai dadanya.

   Orang bertubuh gemuk itu terlempar beberapa langkah surut.

   Kemudian jatuh tercebur kedalam air yang mengalir di parit yang menjulur di pinggir jalan itu.

   Yang tertawa justru Rara Wulan.

   Katanya kepada orang berkumis lebat itu.

   "Lihat, kawanmu sempat mandi."

   Orang berkumis lebat itu menggeram. Katanya.

   "Jangan meremehkan kawanku itu. Jika ia sudah melepaskan kemampuan puncaknya, maka suamimu akan lebur menjadi abu."

   Rara Wulan tidak menjawab. Bahkan seolah-olah ia tidak mendengarnya. Bahkan iapun bertanya.

   "Apakah kau juga akan mandi?"

   Rara Wulan tidak memberi kesempatan orang berkumis lebat itu menjawab.

   Tiba-tiba saja Rara Wulanpun meloncat menyerang.

   Tangannyalah yang terjulur lurus mengenai dada orang berkumis lebat itu.

   Orang itu tidak mengira bahwa perempuan itu mampu bergerak demikian cepatnya.

   Karena itu, maka iapun tidak sempat menghindari serangan Rara Wulan itu.

   Demikian kerasnya serangan Rara Wulan, maka orang itupun bergetar surut.

   Bahkan ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya.

   Ternyata orang itupun telah terdorong dan tercebur kedalam parit itu pula.

   Dengan cepat orang itupun bangkit dan meloncat ke tanggul.

   Tetapi seluruh pakaiannya sudah terlanjur basah sebagaimana orang yang agak gemuk itu.

   Kejadian itu ternyata menarik perhatian beberapa orang kawannya yang masih belum terlalu jauh.

   Ampat orang diantara mereka menghentikan langkahnya dan bahkan berbalik kembali.

   Jati Ngarangpun berpaling.

   Tetapi kemudian ia berjalan terus sambil berkata.

   "Jangan ragu-ragu. Selesaikan kedua orang itu dengan cepat."

   "Baik Lurahe,"

   Jawab seorang diantara ampat orang yang berbalik itu. Dalam pada itu, orang yang bertubuh gemuk itupun mengumpat kasar. Dengan geram iapun berkata.

   "Setan yang tidak tahu diri. Aku benar-benar akan membunuhmu."

   "Lakukan saja kalau kau mampu. Kalau tidak, maka akulah yang akan membunuhmu."

   Orang yang bertubuh gemuk, yang pakaiannya menjadi basah kuyup itupun segera meloncat menyerang.

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung

Cari Blog Ini