Api Di Bukit Menoreh 17
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17
Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja
Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja
"Apa maksud peringatanmu itu?"
"Jika mungkin, apakah kita juga dapat bergerak di bawah permukaan, sehingga kehidupan sehari-hari Seca tidak terpengaruh karenanya? Jika kita bergerak dipermukaan, maka gerakan kita akan banyak menghadapi tantangan. Tetapi jika kita bergerak di bawah permukaan, maka kita hanya akan berhadapan dengan kelompok-kelompok tertentu. Kita tidak mengusik kekuatan Ki Demang yang mengamankan lingkungan ini, yang jumlahnya serta kekuatannya terhitung besar."
"Cukup,"
Bentak orang yang bertubuh agak gemuk itu.
"kau mau mengajari aku, ya ?"
"Tidak, bukan maksudku. Aku hanya mengandalkan pengenalanku yang lebih mendalam tentang daerah ini. Jika Seca tetap tenang, maka kita akan tetap dapat memanfaatkan lingkungan ini untuk perdagangan jangka panjang kita karena kita tidak akan berhadapan dengan kekuatan Ki Demang. Mungkin kita dapat memenangkan pertarungan yang mungkin terjadi. Tetapi selanjutnya Seca akan menjadi pasar yang sepi seperti kuburan. Apakah yang kita dapatkan dengan kemenangan kita disini?"
Orang yang agak gemuk itu mengerutkan dahinya. Katanya.
"Apakah mungkin kita bergerak di bawah permukaan?"
"Kita ketemukan Sutasuni. Kita ketahui tempat Panji Kukuh. Kita pancing satu pertarungan di luar kademangan ini."
"Bagaimana mungkin kita memancingnya keluar kademangan?"
"Kita bicarakan hubungan jual beli. Kita akan melakukan jual beli itu diluar kademangan Seca."
"Apakah mereka percaya?"
"Dermagati mencari Sutasuni dengan alasan itu. Jual beli. Penyerahan barang dan uang dilakukan di luar kademangan untuk menghindari kekuatan Ki Demang yang besar. Kita berpengharapan untuk dapat menghancurkan kekuatan Panji Kukuh, sehingga gerombolan itu tidak akan mengganggu kita untuk selanjutnya."
Orang yang bertubuh agak gemuk itu nampak berpikir. Pendapat seorang pembantunya itu sempat masuk di akalnya, sehingga iapun berkata.
"Tetapi ketemukan Dermagati dan Sutasuni."
"Baik, Ki Lurah."
"Setelah kau bawa Dermagati dan Sutasuni kemari, maka aku akan mengambil keputusan."
Berapa orangpun kemudian melangkah keluar. Ketika mereka turun ke jalan, maka mereka telah berpencar. Glagah Putih dan Rara Wulan melihat mereka lakukan.
"Mungkin mereka juga mencari orang yang disebut-sebut bernama Sutasuni itu. Orang yang dicari oleh orang separo baya dipenginapan."
"Kita lihat, kemana mereka pergi."
"Mereka berpencar."
"Kita ikuti yang dua orang itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Dengan hati-hati keduanya mengikuti dua orang diantara beberapa orang yang berpencar itu.
Batang pohon gayam yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan utama kademangan Seca agaknya telah memberikan perlindungan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ternyata kedua orang itu justru pergi ke penginapan tempat Glagah Putih dan Rara Wulan menginap.
Di pendapa penginapan itu masih ada beberapa orang yang duduk-duduk sampai berbincang kesana-kemari.
Suara gamelan masih terdengar ngerangin.
Meskipun gamelan yang ditabuh itu tidak lengkap seperangkat, tetapi suaranya cukup menyentuh.
Apalagi di sepinya malam.
Sementara angin yang berhembus perlahan menaburkan udara dingin.
Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki halaman penginapan itu pula.
Petugas yang menyapanya pada saat keduanya pergi, berpapasan pula di halaman.
"Sampai ke mana saja Ki Sanak berdua berjalan jalan?"
Bertanya petugas penginapan itu.
"Hanya mengikuti jalan utama ini. Ki Sanak."
"Tetapi kalian keluar regol halaman cukup lama."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa pendek.
Tetapi keduanya tidak langsung menuju ke bilik mereka.
Mereka melihat kedua orang yang mereka ikuti itu justru berbicara dengan tiga orang.
Mereka duduk di pringgitan, tidak jauh dari para penabuh gamelan.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di pendapa itu sekali-sekali sempat memperhatikan mereka.
"Nampaknya mereka berbicara bersungguh-sungguh,"
Desis Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu, apakah yang mereka bicarakan.
"Agaknya seorang diantara mereka itulah yang bernama Sutasuni. Yang seorang adalah seorang yang sudah separo baya yang mencari Sutasuni dan menanyakan kepada salah seorang pengrawit,"
Desis Glagah Putih. Rara Wulan mengangguk. Glagah Putih dan Rara Wulanpun terdiam. Panggraita mereka menangkap sesuatu yang bakal terjadi. Tetapi mereka tidak tahu, apakah yang akan terjadi itu.
"Kita tidak dapat mencampurinya lebih jauh,"
Berkata Glagah Putih.
"karena itu, kita lupakan saja orang yang bernama Sutasuni itu. Kita besok akan pergi ke pasar untuk melihat, apakah saudagar yang memperdagangkan barang-barang terlarang itu esok berada di pasar."
"Kita juga harus berhati-hati terhadap para pengikut Jati Ngarang,"
Desis Rara Wulan.
"Ya. Ternyata di kademangan yang tenang di permukaan ini, terdapat gejolak yang besar di bawahnya. Arus yang mengalir di kedalaman agaknya cukup besar, meskipun gejolaknya sama sekali tidak mengganggu ketenangan permukaan."
"Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?"
"Tidur,"
Jawab Glagah Putih.
"Kita harus tidur bergantian,"
Desis Rara Wulan.
"Ya. Kau berjaga-jaga sekarang. Nanti gantian akulah yang tidur."
"Aku yang mengajarimu."
Glagah Putih tertawa.
Keduanyapun kemudian pergi ke pakiwan mencuci kaki dan tangan mereka.
Kemudian mereka pergi ke bilik mereka.
Tidak ada yang menarik terjadi dipenginapan.
Glagah Putih dan Rara Wulan memang berniat tidur bergantian.
Namun dalam pada itu, para pengikut orang yang bertubuh agak gemuk itu telah berhasil menemukan Dermagati dan Sutasuni.
Seperti biasanya Sutasuni memang bermalam di penginapan itu, tempat Glagah Putih dan Rara Wulan menginap.
Dengan ramah, maka Dermagati dan Sutasuni itupun telah diajak menemui orang yang berperawakan agak gemuk itu.
"Ya. Aku sudah berjanji untuk mengajak Sutasuni menemui Ki Guntur Ketiga. Karena itu, maka aku persilahkan kalian pergi menemuinya,"
Berkata pembantu orang yang berperawakan agak gemuk itu.
"Apakah aku harus pergi menemuinya? Bukankah kalian itu kepercayaan Ki Guntur Ketiga?"
"Ya. Kami adalah pembantu Ki Guntur Ketiga."
"Karena itu, biarlah kami berbicara dengan Ki Sanak saja. Semuanya sudah siap untuk dilaksanakan."
"Sebenarnya akupun dapat mengambil keputusan. Tetapi sebaiknya kau bertemu sendiri dengan Ki Guntur Ketiga, Sutasuni. Segala sesuatunya tentu akan dapat dibicarakan dengan tuntas."
Sutasuni itu berpikir sejenak. Namun kawannya menggeleng sambil berkata.
"Tidak perlu. Kita bicarakan saja disini, sekarang."
"Jangan begiu,"
Jawab pembantu Guntur Ketiga.
"bukankah kita harus saling mempercayai tetapi juga saling menghargai?"
"Jika aku datang menemui Guntur Ketiga, maka ia akan dapat menuntut untuk bertemu dengan Ki Panji Kukuh."
"Memang mungkin sekali Ki Guntur Ketiga ingin berbicara dengan Ki Panji Kukuh. Tetapi apa salahnya? Mereka adalah pemimpin dua kelompok pedagang yang akan bekerja sama untuk dapat saling menguntungkan. Tanpa kepercayaan, maka hubungan kedua kelompok ini akan menjadi sangat rapuh. Yang satu selalu mencurigai yang lain."
"Tidak perlu,"
Kawan Sutasuni itupun menyahut.
"kita bicarakan tuntas disini, atau tidak sama sekali."
"Jangan berkata seperti itu, Ki Sanak,"
Berkata pembantu Guntur Ketiga. Sutasuni agaknya menjadi gelisah. Ketika ia memandang berkeliling, maka beberapa orang ternyata sedang memperhatikan mereka yang pembicaraanya mulai menghangat.
"Kita bicara di bilikku,"
Berkata Sutasuni.
"disini kita akan dapat menarik perhatian banyak orang."
Kedua orang pengikut Guntur Ketiga itupun menjadi ragu-ragu. Namun kemudian seorang diantara merekapun berkata.
"Baik. Kita bicarakan di dalam bilik Sutasuni."
Mereka berlimapun kemudian meninggalkan pringgitan masuk ke dalam bilik Sutasuni.
Bilik yang terhitung besar, yang ternyata sudah dipesannya lebih dahulu.
Adalah kebetulan sekali bahwa bilik itu berada disebelah bilik Glagah Putih.
Rara Wulan yang sudah membaringkan tubuhnya di pembaringan dan matanya sudah separo terpejam, tiba-tiba telah terbuka lebar-lebar ketika ia mendengar pembicaraan di bilik sebelah.
Pembicaraan yang agaknya kurang sejalan, sehingga suasananya agak menjadi panas.
"Bukankah sederhana sekali,"
Berkata kawan Sutasuni.
"bawa uangnya kemari. Kemudian, bawa barang-barang yang kau butuhkan itu. Bukankah tidak ada masalah apa-apa yang menyulitkan."
"Pelaksanaannya sebagaimana kau katakan itu memang sederhana. Tetapi tidak hanya itu masalahnya."
Kepercayaan Guntur Ketiga itupun bertanya.
"Apakah barangnya ada disini?"
"Tidak. Barangnya masih ada pada Ki Panji Kukuh. Tetapi akulah yang bertanggungjawab agar barang itu sampai kepadamu demikian uangnya kau berikan."
"Sutasuni,"
Berkata pembantu Guntur Ketiga.
"Ki Guntur Ketiga menghendaki segala sesuatunya berlangsung dengan baik. Ki Guntur Ketiga menginginkan pertukaran itu dilakukan langsung dari tangan ke tangan. Karena itu, maka hal itu akan dapat dilakukan diluar kademangan ini agar tidak menarik perhatian. Biarlah Ki Panji Kukuh membawa barangnya, sedangkan Ki Guntur Ketiga membawa uangnya."
"Jika cara itu yang dikehendaki, tentu saja dapat dilakukan."
"Karena itu, marilah kita pergi menemui Ki Guntur Ketiga."
"Dimana pertukaran itu akan dilaksanakan menurut Ki Guntur Ketiga."
"Bukankah tidak terlalu jauh dari kademangan ini terdapat hutan yang membujur sampai ke pinggir sungai. Nah, di ujung hutan yang menjorok sampai ke tanggul sungai itu kita akan bertemu. Ditepian sungai itu."
Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya iapun berkata, Jika demikian, apa gunanya aku bertemu langsung dengan Ki Guntur Ketiga? Bukankah semua bahan pembicaraan telah kita sepakati disini."
"Tetapi biarlah Ki Guntur Ketiga mengambil keputusan langsung setelah kau menemuinya."
"Aku dapat mengambil keputusan tanpa hadirnya Ki Panji Kukuh."
Mungkin ada perbedaan watak antara Ki Panji Kukuh dengan Ki Guntur Ketiga.
Tetapi aku anjurkan, sebaiknya kau datang kepadanya.
Marilah aku antar kalian.
Kamilah yang akan mempertannggungjawabkan keselamatan kalian.
Selebihnya, Ki Guntur Ketiga tentu tidak akan mencelakai kalian karena ia sangat mengharapkan pertukaran itu berlangsung dengan baik."
Bilik disebelah bilik Glagah Putih itu menjadi hening sejenak. Namun kemudian terdengar Sutasuni berkata.
"Baiklah. Kami akan menemui Ki Guntur Ketiga."
"Bagus. Ternyata kau sangat bijaksana."
Kepada seorang kawannya Sutasunipun berkata.
"Dermagati. Katakan kepada Ki Panji Kukuh bahwa aku menemui Ki Guntur Ketiga untuk membicarakan pelaksanaan pertukaran esok."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ikut bersamamu Sutasuni."
"Itulah sifat licikmu. Jika pembicaraan mengenai pertukaran ini seleai pelaksanaannya pun berlangsung dengan lancar, maka kau tentu akan mendapatkan bagianmu seperti sudah kita bicarakan."
"Bukan hanya aku yang licik. Sutasuni. Kaupun licik. Karena itu, aku harus mendengar pembicaraan itu langsung."
"Baiklah,"
Sahut Sutasuni. Lalu katanya kepada kawannya.
"Kau adalah yang menghadap Ki Panji Kukuh. Katakan bahwa aku menemui Ki Guntur Ketiga. Jika sebelum fajar aku tidak datang menemuinya, terserah tidakan apa yang akan diambil oleh Ki Panji Kukuh."
"Jadi kau masih saja curiga, Sutasuni?"
"Tidak. Aku hanya ingin berhati-hati."
Demikianlah, maka lima orang yang berada di dalam bilik Sutasuni itupun segera meninggalkan ruangan.
"Pembicaraan yang sangat menarik,"
Desis Glagah Putih.
"Apakah kita akan berdiam diri?"
"Kita belum tahu waktu yang pasti yang dipilih oleh kedua belah pihak."
"Ya. Karena itu, kita harus berada di sana sejak dini hari esok pagi."
"Tidak Rara. Salah seorang mengatakan, bahwa jika sebelum fajar ia tidak kembali, maka berarti sesuatu terjadi padanya. Sehingga karena itu, maka pertemuan itu tentu dilakukan setelah fajar. Setelah orang itu kembali menemui pemimpinya dan membicarakan pelaksanaannya."
"Jika demikian, maka kita dapat menunggu saat matahari terbit."
"Ya."
"Dengan demikian, kita sempat tidur sejenak, jika kita ingin melihat permainan yang menegangkan itu."
"Ya. Kita bangun menjelang fajar. Mudah-mudahan tidak ada perubahan apa-apa yang terjadi."
Sebenarnyalah sesaat kemudian, bergantian keduanyapun menyempatkan diri untuk tidur barang sebentar. Menjelang fajar keduanya telah berbenah diri. Namun mereka tertegun ketika mereka mendengar dibilik sebelah dua orang berbicara.
"Bersiaplah. Kita akan ke ujung hutan itu."
"Kau mempercayai sepenuhnya janji Ki Guntur Ketiga."
"Kita tidak akan dapat percaya kepada siapapun. Kita harus segera bersiap. Ki Panji Kukuh akan membawa kekuatan penuh."
"Tetapi tidak bersama-sama. Kita akan pergi lebih dahulu mempersiapkan medan sebaik-baiknya."
"Kau kira Guntur Ketiga tidak membawa seluruh kekuatannya?"
"Guntur Ketiga tentu membawa semua kekuatan yang ada padanya. Ki Panji Kukuh memerintahkan agar kita tidak mulai mengambil langkah-langkah yang salah. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, apa boleh buat."
Glagah Putih menggamit Rara Wulan untuk memperhatikan pembicaraan itu. Sejenak kemudian, terdengar langkah kedua orang itu keluar. Pintu bilik itupun terdengar tertutup kembali.
"Mereka pergi ke ujung hutan untuk mempersiapkan medan,"
Berkata Glagah Putih hampir berbisik.
"Ya. Agaknya akan terjadi sesuatu yang gawat di ujung hutan itu."
"Kita akan melihat, apa yang akan terjadi."
"Tetapi bagaimana dengan saudagar itu?"
"Agaknya peristiwa di ujung hutan itu lebih penting untuk diketahui. Jika saudagar yang berhubungan dengan Jati Ngarang itu tidak terlibat, maka kita akan dapat mencari sepekan lagi di pasar ini pula."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.
"Jika demikian kita harus segera berangkat pula."
Keduanyapun segera meninggalkan penginapan itu. Namun mereka sudah tidak melihat kedua orang yang berbicara di bilik sebelah.
"Seorang dari kedua orang yang berbicara tadi tentu Sutasuni,"
Berkata Glagah Putih.
"Ya. Agaknya Sutasuni termasuk orang penting di kelompoknya sehingga ia mendapat tugas untuk mempersiapkan medan."
"Lalu, sekarang kita pergi ke mana?"
Bertanya Rara Wulan.
"Kita akan langsung pergi ke ujung hutan. Tetapi kita akan berada di seberang sungai. Bukankah mereka merencanakan untuk melakukan pertukaran atau katakan jual beli di tepian?"
"Ya, kakang. Tetapi agaknya disekitar tempat itu akan bertebaran kekuatan dari kedua belah pihak. Mungkin mereka akan berhadapan denngan terbuka, tetapi mungkin masing-masing akan menyembunykan kekuatan mereka sehingga jika sampai saatnya, kekuatan itu akan dipergunakan."
"Tetapi mungkin juga sama sekali tidak dipergunakan."
"Ya,"
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Demikianlah merekapun segera pergi menuju ke ujung hutan tidak terlalu jauh dari padukuhan Seca yang terhitung ramai itu.
Namun keduanya memang harus sangat berhati-hati.
Mereka sadari, bawa yang akan bertemu di ujung hutan itu adalah kekuatan-kekuatan dari lingkungan perdagangan gelap yang cukup kuat, sehingga jika terjadi benturan, akan merupakan benturan yang sengit.
Tetapi mungkin pula mereka menemukan titik temu dalam pembicaraan mereka, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.
Yang dilakukan oleh Glagah Putih dan Rata Wulan mula-mula justru menyeberngi sungai.
Baru di seberang mereka dengan hati-hati pergi menuju ke tepian di sebelah ujung hutan yang menjorok sampai ke tanggul sungai.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan adalah dua orang suami isteri yang berilmu tinggi, sehingga keduanya mampu menempatkan diri merek a di satu tempat yang tersembunyi, namun yang dari tempat itu mereka dapat melihat tepian sungai yang memanjang sampai ke tikungan.
"Agaknya mereka akan melakukan pertukaran atau katakan jual beli di dekat tikungan sungai itu. Tepiannya agak lebih luas dari bagian lain, berbisik Glagah Putih. Rara Wulan mengangguk. Namun merekapun terdiam, bahwa dikeremangan pagi menjelang matahari terbit, mereka melihat beberapa orang yang merunduk dan hilang masuk ke dalam hutan.
"Siapakah mereka, kakang? Orang-orang Panji Kukuh atau orang-orang Guntur Ketiga?"
Glagah Putih menggeleng. Katanya.
"Kita tidak mengetahui sama sekali ciri-ciri mereka. Rara. Kitapun mungkin akan keliru menebak, yang manakah Panji Kukuh dan yang manakah Guntur Ketiga."
"Kita mengenal seorang diantara mereka. Dimana Sutasuni berdiri, maka orang itu tentu Panji Kukuh."
"Ya. Agaknya pada saat-saat yang menentukan, Sutasuni akan tetap berada diantara para pengikut Panji Kukuh."
Sementara itu, mataharipun mulai naik ke atas cakrawala.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu, sampai kapan mereka akan menunggu.
Tetapi agaknya pertukaran itu akan dilakukan tidak terlalu siang.
Mereka melihat beberapa orang lagi menghilang ke dalam hutan.
Namun merekapun melihat pula beberapa orang yang agaknya orang-orang dari kelompok yang lain, berada di seberang sebagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Hati-hati Rara. Ada diantara mereka yang bersembunyi di hadapan kita."
"Ya, kakang. Agaknya mereka mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan orang-orang yang masuk ke dalam hutan."
"Bagaimanapun juga perdagangan gelap ini tentu akan saling mencurigai. Mereka memang tidak pernah percaya kepada siapapun juga. Bahkan kepada kawan-kawan mereka sendiri."
Rara Wulan tidak menjawab.
Sementara itu, langitpun menjadi semakin cerah.
Matahari mulai memanjat langit.
Rasa-rasanya matahari itu bergerak lamban sekali.
Namun akhirnya saat-saat yang ditunggu itupun datang pula.
Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, berkumis tebal tetapi berjenggot tipis, telah turun ke tepian.
Beberapa orang mengiringinya di belakang.
Seorang diantara mereka adalah Sutasuni.
"Tentu orang itu yang menyebut dirinya Sutasuni,"
Berkata Rara Wulan.
"Yang mana? "
Bertanya Glagah Putih.
"Seorang diantara mereka yang kita lihat berbicara di penginapan dengan dua orang yang kita ikuti itu. Mereka berbicara di pringgitan, namun kemudian pindah ke bilik sebelah bilik yang kita pergunakan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.
"Jika demikian, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu tentu Panji Kukuh."
"Agaknya memang demikian."
Keduanya terdiam.
Keduanya memperhatikan orang yang bertubuh tinggi itu dengan sungguh-sungguh.
Apalagi karena jarak mereka tidak terlalu dekat.
Orang yang bertubuh tinggi itupun menengadahkan wajahnya.
Nampaknya ia memandang Matahari pagi yang memanjat langit semakin tinggi.
"Mana orang yang bernama Guntur Ketiga itu? "
Geram orang yang bertubuh tinggi.
"Ia berjanji akan datang pada saat matahari sepenggalah,"
Jawab orang yang bernama Sutasuni.
"Apakah kau yakin bahwwa orang itu tidak berbohong?"
"Agaknya orang itu bersungguh-sungguh, Ki Panji.
"Mereka datang,"
Desis Sutasuni.
"Ya. Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk, mereka membawa pengikutnya cukup banyak."
"Ya Guntur Ketiga tentu bukan seorung yang jujur. Menilik bicaranya yang terlalu ramah. Sikapnya yang lembut serta tertawanya terlalu banyak meski dipaksakannya. Namun dibalik bicaranya yang lembut itu, Guntur Ketiga adalah orang yang sangat sombong. Licik dan tentu seorang yang kejam,"
Berkata Sutasuni. Ki Panji Kukuh itupun berkata.
"Berhati-hatilah."
"Kalau beberapa saat lagi ia tidak datang, aku akan meninggalkan tempat ini. Aku harus segera berada di pasar. Ada beberapa pembicaraan lain yang harus aku tuntaskan. Bukan hanya sekedar perdagangan gelap ini saja. Tetapi aku juga berdagang kain dan kerajinan dari perak, emas serta batu permata."
"Kita tunggu sampai matahari sepenggalah,"
Desis Sutasuni.
Orang yang disebut Ki Panji itupun berjalan hilir mudik.
Beberapa orang pengikutnya berdiri termangu-mangu di sekitarnya.
Beberapa saat kemudian, sekelompok orang nampak berjalan menyusuri sungai itu menuju ke tikungan.
Yang berjalan paling depan adalah seorang yang bertubuh agak gemuk.
Bajunya terbuka di dadanya, karena keringat selalu mengalir dari lubang-lubang kulitnya.
Ki Panji Kukuh yang hanya dengan beberapa orang pengikutnya yang berdiri di tepian itu menjadi tegang.
Orang yang bernama Guntur Ketiga itu membawa kekuatan melampaui kebutuhan dalam hubungan perdagangan gelap.
"Orang itu tidak dapat dipercaya,"
Berkata Panji Kukuh.
"tetapi kita menunggu, apa yang mereka lakukan. Kita jangan mulai dengan sikap dan perbuatan yang dapat memancing kekeruhan. Kita akan berbuat apa saja, menyesuaikan diri dengan orang yang kita hadapi. Sokurlah jika perdagangan kita akan dapat saling menguntungkan dengan mereka."
Sutasuni mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah Guntur Ketiga datang dengan sekelompok pengikutnya.
Selain mereka, Guntur Ketiga juga sudah menempatkan beberapa orangnya di seberang sungai.
Sejenak kemudian, maka Guntur Ketigapun telah berada di tepian yang lebih luas.
Sambil tertawa iapun berjalan kearah orang yang berdiri menunggunya itu.
"Aku tentu berhadapan dengan Ki Panji Kukuh."
"Ya. Bukankah yang datang ini Ki Guntur Ketiga."
"Tepat Ki Panji. Aku adalah Guntur Ketiga. Aku datang untuk membuka sebuah hubungan baru yang saling menguntungkan."
"Ya, Ki Guntur Ketiga. Aku berharap demikian."
"Nah, bukankah orang-orang seperti kita tidak pernah mempunyai banyak waktu untuk berbasa-basi? Karena itu maka kita akan mulai dengan hubungan jual beli diantara kita."
"Aku sependapat, Ki Guntur Ketiga."
"Kau sudah membawa barangnya?"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya."
"Nah, berikan kepada kami. Kami akan memberikan uangnya."
"Kita akan melakukan jual beli dari tangan ke tangan. Tunjukkan uangmu. Aku akan menunjukkan barang yang kau kehendaki."
"Bagus,"
Sahut Ki Guntur Ketiga sambil tertawa pendek.
"agaknya kita akan dapat membuat hubungan diantara kita ini berkelanjutan. Ki Panji Kukuh tentu menyadari, sikap jujur dari masing-masing pihak akan membuat hubungan bukan hanya hari ini. Tetapi selama mungkin dapat kita pertahankan."
"Aku sependapat, Ki Guntur Ketiga."
"Nah, mana barang-barangmu itu?"
"Kami membawanya. Tetapi tunjukkan uangmu."
Ki Guntur Ketiga memberikan isyarat kepada seorang pengikutnya yang membawa kampil. Katanya.
"Aku membawa uang perak dan uang emas. Karena itu, nampaknya ringkas dan tidak terlalu banyak."
"Itu lebih baik. Ki Guntur Ketiga,"
Sahut Ki Panji Kukuh. Pengikut Ki Guntur Ketiga itupun kemudian menyerahkan kampil kepadanya. Sambil meneiinia kampil itu, maka Ki Guntur Ketigapun berkata.
"Mana barang itu?"
Panji Kukuhpun kemudian memerintahkan orangnya untuk membawa peti yang berisi candu itu maju selangkah. Ketika peti kecil itu dibuka, maka Guntur Ketigapun melihat isinya sebagaimana telah dibicarakan. Ki Guntur Ketiga itupun tertawa. Katanya.
"Bagus Ki Panji Kukuh. Serahkan peti itu kepadaku."
"Baik. Tetapi Ki Guntur Ketigapun harus menyerahkan uang itu pula kepadaku. Aku akan menghitungnya, apakah uang itu sesuai dengan pembicaraan kita atau tidak."
Namun tiba-tiba sikap Guntur Ketigapun berubah. Iapun mengangkat tangannya sambil berkata.
"Anak-anak, ambil peti itu."
"Kenapa?"
Bertanya Panji Kukuh.
"kami tentu akan menyerahkannya. Tetapi mana uang itu? "
Guntur Ketiga tidak menghiraukannya. Bahkan sekali lagi ia berteriak.
"Cepat. Selesaikan mereka segera. Kita tidak mempunyai banyak waktu."
Para pengikut Guntur Ketigapun segera bergerak.
Jumlah mereka jauh lebih banyak dari para pengikut Panji Kukuh.
Namun demikian mereka bergerak, maka merekapun terkejut.
Beberapa orang muncul dari dalam hutan.
Sebelum para pengikut Guntur Ketiga itu menyadari apa yang terjadi, maka berpuluh anak panahpun meluncur dari busurnya.
Beberapa orang langsung terdorong beberapa langkah surut.
Di dada mereka tertancap anak panah yang dilontarkan oleh para pengikut Panji Kukuh dari atas tanggul.
"Curang kau Panji Kukuh,"
Teriak Guntur Ketiga.
"Kau sudah menyiapkan pengikutmu untuk merunduk orang-orangku."
"Jika segala sesuatunya berjalan wajar, aku tidak akan mempergunakan mereka. Tetapi kau berniat berbuat curang, sehingga akupun terpaksa mempertahankan diri."
"Persetan. Aku akan membunuhmu."
Guntur Ketiga itupun segera meloncat menyerang Panji Kukuh dengan serunya. Namun Panji Kukuhpun telah siap menghadapinya. Sutasuni yang sudah terlibat dalam pertempuran masih sempat berteriak.
"Guntur Ketiga, inikah caramu berhubungan dagang?"
"Setan kau Sutasuni. Aku bukan pedagang. Tetapi aku berniat menemui Panji Kukuh untuk merampoknya. Nah, sebentar lagi, aku akan membawa sekotak candu itu tanpa harus membayar sekepingpun."
"Kau memang tidak perlu membayar sekepingpun. Tetapi kau justru harus membayar dengan nyawamu,"
Geram Panji Kukuh.
"Kesombonganmu bagaikan menyentuh langit. Tetapi kau akan mati Panji Kukuh. Orang-orangmu akan kami tumpas habis di tepian sungai ini."
Panji Kukuh tidak menjawab.
Tetapi Panji Kukuh itu telah menyerang pula dengan garangnya.
Keduanyapun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang seru.
Sementara itu, orang-orang Guntur Ketiga yang berada di seberangpun telah turun pula ke tepian.
Untuk beberapa saat serangan-serangan anak panah para pengikut Panji Kukuh masih meluncur dari atas tanggul.
Namun bersamaan dengan itu, beberapa orang telah berloncatan turun dengan senjata di tangan.
Pertempuran di tepian itupun segera berkobar dengan sengitnya, ternyata jumlah merekapun kemudian tidak terpaut banyak.
Meskipun semula jumlah para pengikut Guntur Ketiga lebih banyak, tetapi serangan-serangan anak panah dari tanggul itu telah mengurangi jumlah itu.
Guntur Ketiga yang bertempur melawan Panji Kukuh itupun telah meningkatkan kemampuannya.
Namun ternyata Panji Kukuhpun masih saja mampu mengimbanginya.
Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin lama semakin seru.
"Ternyata Guntur Ketigalah yang telah memulainya,"
Desis Rara Wulan yang masih berada di balik rimbunnya gerumbul perdu.
"Ya,"
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Panji Kukuh berniat berdagang dengan jujur."
"Namun perdagangan itu tetap saja perdagangan yang terlarang."
"Ya, kakang benar."
Keduanya terdiam.
Mereka memperhatikan pertempuran di tepian itu dengan saksama.
Nampaknya kekuatan keduanya seimbang, sehingga pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit.
Beberapa orang telah terkapar di tepian.
Yang terdengar di sela-sela teriakan-teriakan kemarahan, juga erang kesakitan.
"Apakah yang dapat kita lakukan, kakang?"
"Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Rara. Kita tentu tidak akan dapat berpihak pada salah satu pihak. Kitapun tidak akan dapat menghadapi kedua kelompok itu."
"Apakah kita akan melaporkan kepada Ki Demang Seca?"
"Waktunya tidak akan cukup. Jika kita pergi menemui Ki Demang sekarang, maka pertempuran itu tentu sudah selesai."
"Tetapi pertempuran itu sedang berlangsung, kakang."
"Maksudku, demikian Ki Demang dan pasukannya datang pertempuran itu sudah selesai. Salah satu pihak tentu sudah dikalahkan oleh pihak yang lain."
"Tetapi Ki Demang dapat menyaksikan bekas pertempuran itu serta menilai apa yang telah terjadi disini."
"Baiklah, Rara. Kita mencoba untuk melaporkan kepada Ki Demang Seca."
Namum sebelum mereka meninggalkan persembunyiannya, maka mereka telah menyaksikan puncak dari pertempuran itu.
Guntur Ketiga dan Panji Kukuh telah meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.
Ternyata keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Baik Guntur Ketiga maupun Panji Kukuh mampu melontarkan ilmu andalan mereka untuk menyerang tanpa sentuhan kewadagan.
Ketika seleret sinar lepas dari telapak tangan Guntur Ketiga meluncur ke arah Panji Kukuh, dengan tangkasnya Panji Kukuh meloncat menghindarinya.
Sebaliknya ketika Panji Kukuh melontarkan ilmunya pula Guntur Ketigapun mampu pula menghindar.
Namun selam kedua orang itu, nampak bahwa para pengikut Panji Kukuh memiliki kelebihan dari para pengikut Guntur Ketiga.
Satu-satu orang-orang Guntur Ketiga terpelanting jatuh di tepian berpasir.
Meskipun para pengikut Panji Kukuh juga sudah menyusut, tetapi jumlah korban yang terkapar di tepian, agaknya lebih banyak para pengikut Guntur Ketiga daripada pengikut Panji Kukuh.
Karena itulah maka Guntur Ketiga yang semula yakin akan dapat menghancurkan gerombolan Panji Kukuh dan merebut jalur lintasan perdagangan gelap itupun mulai menjadi gelisah.
Apalagi ketika Guntur Ketiga telah sampai ke ilmu puncaknya.
Panji Kukuh masih mampu mengimbanginya.
Karena itulah, maka Guntur Ketiga tidak mempunyai pilihan lain.
Ia tidak mau mati.
Ia masih ingin berbuat sesuatu di kemudian hari untuk membalas kekalahannya itu.
Karena itu, maka Guntur Ketiga itupun segera meneriakkan isyarat bagi orang-orangnya yang masih tersisa.
Ternyata bahwa para pengikut Guntur Ketiga adalah orang-orang yang setia.
Ketika mereka mendengar isyarat yang diteriakkan oleh Guntur Ketiga, maka merekapun segera bergerak dengan cepatnya dalam satu putaran.
Namun kemudian di tepian itu telah terjadi kekisruhan.
Orang-orang Guntur Ketiga, telah berlari-larian tidak menentu.
Dalam keadaan yang kacau itulah, maka Guntur Ketiga dan dua pengawal terpilihnya telah melarikan diri dari arena.
Sementara beberapa orang pengikutnya telah menyediakan diri mereka untuk menjadi tumbal usaha Guntur Ketiga melarikan diri.
Namun Panji Kukuh tidak membiarkannya terlepas dari tangannya.
Ketika Guntur Ketiga itu sedang memanjat tebing, maka Panji Kukuh telah menyerangnya dengan ilmu pamungkasnya.
Seleret sinar putih meluncur dengan cepatnya dan tepat mengenai punggung Guntur Ketiga.
Terdengar teriakan nyaring.
Guntur Ketiga yang kecewa marah dan mendemdam itu berteriak sehingga rasa-rasanya bumipun telah berguncang.
Namun orang itupun kemudian menggeliat sehingga tangan-tangannya tidak lagi berpegangan tebing sungai yang dipanjatnya.
Guntur Ketiga itupun terjatuh kembali ke tepian.
Dua orang pengawalnyapun telah meloncat turun pula.
Dengan cepat seorang diantara merekapun segera mendukung Guntur Ketiga di pundaknya, sedang yang lain berusaha melindunginya.
Panji Kukuh ternyata membiarkan dua orang pengawal itu membawa tubuh Guntur Ketiga pergi.
Ketika para pengikut Guntur Ketiga yang sudah kehilangan pemimpinnya itu berusaha untuk melarikan diri, Panji Kukuh mengisyaratkan agar para pengikutnya tidak mengejarnya.
"Kita tinggalkan tempat ini secepatnya,"
Berkata Panji Kukuh yang ternyata juga terluka.
"bawa kawan-kawan kita yang terbunuh dan terluka."
Perintah itupun segera dilaksanakan oleh para pengikut Panji Kukuh.
Orang-orangnya yang masih tersisa segera membantu kawan-kawannya yang terluka apalagi yang menjadi parah, sedangkan yang lain mengusung kawan-kawan mereka yang terbunuh.
Yang kemudian tertinggal di tepian itu adalah beberapa sosok mayat dan orang-orang yang terluka parah sehingga tidak dapat meninggalkan tepian itu.
Mereka adalah para pengikut Guntur Ketiga.
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak.
Namun sambil menarik nafas panjang, Glagah Putihpun berkata.
"Kita tidak mendapat kesempatan untuk pergi kepada Ki Demang atau Ki Bekel, Rara."
"Ya. Akhir dari pertempuran itu berlangsung demikian cepatnya."
Namun dalam pada itu, baru saja orang-orang terakhir Panji Kukuh meninggalkan tepian, telah datang sekelompok orang bersenjata ke bekas arena pertempuran itu.
"Menurut pengenalanku, mereka adalah para petugas kademangan ini Rara. Mereka adalah pasukan yang sering kita temui sedang meronda."
"Agaknya sudah ada yang menyampaikan peristiwa ini kepada Ki Demang, Kakang."
"Ya."
Sebenarnyalah bahwa yang datang itu adalah Ki Demang, Ki Bekel dan beberapa orang bebahu serta sepasukan petugas di kademangan Seca.
"Nampaknya kademangan Seca benar-benar kademangan yang kokoh, kakang,"
Berkata Rara Wulan.
"mereka mempunyai petugas cukup banyak dan agaknya juga cukup kuat. Para petugas itu agaknya benar-benar orang orang yang terlatih."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katannya.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini sangat menarik Rara. Seharusnya kademangan-kademangan yang lain berusaha menirunya. Bukankah jika kademangan itu terlindungi dari kejahatan, akan mempunyai akibat yang baik bagi kesejahteraan rakyatnya? "
"Ya, kakang. Tetapi bagi kademangan yang sudah terlanjur dibayangi oleh kejahatan, mereka akan mengalami kesulitan untuk memulainya."
"Harus ada keberanian untuk melakukannya. Tetapi beberapa kademangan yang pernah kita lalui, sudah akan mencobanya. Jika perguruan Awang awang itu benar-benar akan ikut tampil, maka aku berkeyakinan, bahwa setidak-tidaknya untuk satu ruas tertentu, jalur perdagangan itu akan dapat diamankan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Demang, Ki bekel dan para bebahu sibuk memperhatikan bekas arena pertempuran di tepian.
"Yang tersisa adalah orang-orang dari satu pihak,"
Berkata Ki Jagabaya di kademangan Seca.
"Ya. Agaknya yang lain sempat membawa kawan-kawan mereka."
"Di antara mereka masih ada yang hidup Ki Demang, meskipun terlalu parah."
"Kita akan mencoba menyelamatkannya, agar kita mendapat keterangan serba sedikit tentang peristiwa ini."
"Ya, Ki Demang."
Ki Jabagaya itupun kemudian memerintahkan beberapa orang untuk membawa mereka yang terluka, tetapi masih hidup ke kademangan. Sementara yang lain akan dikuburkannya di padang perdu di ujung hutan itu. Dalam pada itu Ki Bekelpun berkata.
"Kademangan kita terpilih menjadi salah satu landasan perjuangan Ki Saba Lintang untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati. Kita harus benar-benar membersihkan kademangan ini."
Kata-kata itu, benar-benar telah mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Agaknya keberhasilan kademangan Seca membersihkan dirinya dari kejahatan itu ada kaitannya dengan usaha Ki Saba Lintang membangun kembali perguruannya.
Dalam pada itu, Ki Demangpun berkata.
"Agaknya pertempuran ini terjadi antara dua kekuatan yang bergerak dibawah permukaan di Seca, Ki Bekel. Agaknya mereka gerombolan-gerombolan yang melakukan perdagangan gelap, yang nampaknya sedang berebut jalur perdagangan."
"Kita harus mengetahui lebih banyak tentang hal itu, Ki Demang,"
Sahut Ki Bekel.
"Tugasmu bertambah berat Ki Jagabaya,"
Berkata Ki Demang.
"Aku akan melakukannya, Ki Demang. Bukankah Ki Saba Lintang telah memberikan bantuan pembeayaan bagi pasukan keamanan yang sudah kita susun disini? Selain itu, kita sendiri mampu menggali sumber dana untuk memperkuat pasukan yang harus mengamankan lingkungan ini."
"Bukan kekuatan kewadagan saja, Ki Jagabaya. Tetapi harus ada beberapa orang yang mampu melihat gejolak di bawah permukaan. Meskipun daerah ini nampaknya aman dan tenang, tetapi jika di daerah ini ada perdagangan gelap, maka Seca tetap saja merupakan daerah yang tidak bersih. Bahkan perdagangan gejap itu akibatnya akan lebih parah dari kejahatan yang terbuka."
"Aku mengerti, Ki Demang."
"Nah. Kita harus mengakui kelemahan mengetahui kekuatan, bahwa ada dua gerombolan yang telah berselisih dan bahkan bertempur di tepian ini."
"Ya, Ki Demang."
"Nah, sekarang lakukan apa yang harus kau lakukan Ki Jagayaba. Berhati-hatilah. Kami akan kembali."
"Baik. Ki Demang. Aku akan menyelesaikan tugas ini."
Beberapa saat kemudian.
Ki Demang, Ki Bekel dan beberapa orang yang datang bersamanya itupun per meninggalkan tepian.
Sementara it Ki Jagabaya dan sekelompok orang masih sibuk menyelenggarakan penguburan orang-orang yang terbunuh, yang ditinggal begitu saja di tepian oleh kawan-kawannya yang melarikan diri dari medan untuk menyelamatkan diri.
Glagah Putih dan Rara Wulan masih tetap berada di persembunyiannya.
Namun Glagah Putih pun kemudian berkata.
"Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Ada sesuatu yang sangat menarik untuk kita bicarakan."
"Perguruan Kedung Jati."
"Ya. Agaknya daerah ini akan menjadi salah satu daerah penyangga bagi lahirnya kembali perguruan Kedung Jati yang besar itu."
"Suatu hal yang sangat menarik."
"Daerah ini akan menjadi salah satu daerah yang harus kita perhatikan. Panggraitaku melihat adanya dua arus yang sengaja dibuat agar berbenturan di tempat yang tenang ini."
"Maksud kakang?"
"Jika permukaan Ki Saba Lintang menghendaki ketenangan, tetapi ia justru mengaduk agar dibawah permukaan terjadi kekacauan. Mudah-mudahan panggraitaku ini salah, bahwa benturan-benturan yang terjadi antara Guntur Ketiga dan Panji Kukuh itu juga terjadi atas permainan Saba Lintang."
"Apakah Saba Lintang dapat bermain sampai sejauh itu, kakang?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab.
"Kenapa tidak? Saba Lintang adalah seorang yang sangat licik. Pada beberapa waktu yang lalu ilmunya dalam olah kanuragan tidak begitu tinggi, sebagaimana orang-orang yang ada di sekitarnya. Tetapi otaknya ternyata sangat cerdik."
"Tetapi siapa tahu, bahwa ia sekarang telah menguasai ilmu tertentu yang dapat membuatnya meloncat jauh dari satu tataran ke tataran berikutnya."
"Hal seperti itu memang dapat terjadi, Rara. Tetapi aku tetap saja curiga, bahwa bukan Ki Saba Lintang yang membuat daerah ini menjadi tenang. Tetapi Ki Saba Lintang menemukan daerah Seca yang tenang ini dan dengan kecerdikannya ia berusaha menguasainya. Sementara itu, ia telah menyusun rencana yang lain, untuk membuat gejolak di bawah permukaan yang pada suatu saat akan muncul dengan dahsyatnya ke permukaan, sehingga Ki Demang, Ki Bekel dan para bebahu tidak mampu mengatasinya."
"Memang mungkin, kakang. Agaknya para bebahu di kademangan ini sama sekali tidak mencurigainya. Agaknya Ki Demang dan Ki Bekel masih belum tahu, bahwa Ki Saba Lintang adalah orang yang berbahaya, yang suatu ketika akan dapat meledakkan satu peristiwa yang tidak diduga sebelumnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.
"Mungkin kita akan tinggal di daerah ini tidak untuk sehari dua hari. Tetapi mungkin akan lebih lama lagi."
"Tetapi kita sudah dikenal oleh Ki Saba Lintang."
"Tentu Ki Saba Lintang tidak akan segera berada di tempat ini. Mungkin orang-orangnya sajalah yang akan datang dan mempersiapkan daerah ini sesuai dengan rencananya. Bukan Seca yang tenang, aman dan damai, tetapi justru Seca akan kehilangan wajahnya seperti sekarang ini."
"Apa sebenarnya keuntungan Saba Lintang?"
"Saba Lintang sedang membangunkan suasana dan citra buruk bagi Mataram sekarang ini setelah Panembahan Senapati wafat. Selebihnya, maka usahanya untuk menyusun kembali perguruan Kedung-Jati akan menarik banyak perhatian."
"Kakang,"
Berkata Rara Wulan kemudian.
"sebaiknya mbokayu Sekar Mirah tidak hanya berdiam diri. Sebaiknya mbokayu Sekar Mirah juga berbuat sesuatu dengan tongkat baja putihnya itu. Mbokayu Sekar Mirahtentu akan lebih mapan jika ia bersedia menyatakan diri untuk memegang kendali kepemimpinan perguruan Kedung Jati."
"Ya. Aku mengerti. Tetapi aku tidak tahu, apakah mbokayu Sekar Mirah akan bersedia melakukannya?"
"Ada dua jalur yang dapat ditempuh. Pertama, mencari dan kemudian membawa tongkat baja putih yang ada di tangan Ki Saba Lintang itu ke Mataram. Kedua, minta agar mbokayu Sekar Mirah bersedia bangkit dan mengangkat tongkat baja putihnya, serta menyatakan diri sebagai pemimpin perguruan Kedung Jati."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Katanya.
"Kita masih harus berbicara dengan kakang Agung Sedayu dan mBokayu Sekar Mirah."
"Ya. Pada saatnya kita akan pulang dan berbicara kepada mereka."
"Sekarang, yang akan kita lakukan adalah mengamati kademangan Seca. Apa yang akan terjadi kemudian di belakang ini."
"Kita akan pergi ke pasar. Mungkin pedagang yang menjadi penyalur perdagangan terlarang itu ada di pasar. Demikian pula satu atau dua orang pengikut Jati Ngarang."
Demikianlah, maka keduanyapun segera meninggalkan tempat itu.
Namun mereka harus tetap berhati-hati karena Ki Jagabaya dan beberapa orang masih ada di tepian.
Mereka masih harus menyelesaikan tugas mereka.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun sudah menjadi semakin jauh dari ujung hutan itu.
Namun dalam pada itu matahari telah melampaui puncaknya.
"Pasar sudah menjadi semakin sepi,"
Berkata Rara Wulan.
"Belum tentu Rara. Pasar itu adalah pasar yang besar dan hari ini adalah hari pasaran. Meskipun tidak seramai pagi tadi. Mudah-mudahan pasar itu masih tetap ramai. Pedagang-pedagang yang datang dari jauh tidak akan meninggalkan pasar itu. Bahkan mungkin mereka akan tetap berada di pasar sampai sore untuk membicarakan jalur perdagangan mereka dihari-hari mendatang. Hubungan para pedagang itu tentu masih akan berkelanjutan. Tidak hanya terbatas sampai hari ini."
"Ya. Mudah-mudahan kita masih menemukan sesuatu di pasar itu."
Demikianlah ketika mereka berdua sampai di pasar, maka pasar itu memang masih ramai.
Meskipun matahari sudah mulai mengarungi langit disisi Barat, tetapi para pedagang masih tetap saja berada di pasar, kecuali mereka yang berjualan kebutuhan sehari-hari."
"Nah, pasar masih ramai, Rara."
"Tentu kedai-kedai masih tersedia berbagai macam makanan, sehingga kita dapat memilihnya."
"Ah, kau,"
Desis Glagah Putih. Rara Wulan tertawa sambil berkata.
"Aku haus dan lapar. Apakah kakang tidak?"
"Tentu,"
Jawab Glagah Putih.
"hanya orang-orang yang perutnya tidak bekerja dengan baik sajalah yang tidak merasa lapar pada hari-hari seperti ini."
"Tetapi kakang dapat tidak makan selama tiga hari penuh."
"Apa kau tidak?"
Rara Wulan tertawa. Katanya.
"Melihat keadaan serta lingkungan."
Glagah Putihpun tertawa pula. Namun katanya kemudian.
"Sebaiknya kita melihat-lihat keadaan pasar lebih dahulu sebelum kita singgah di kedai. Agaknya di Seca, kita akan menemukan kedai dimana saja selama sehari-hari."
Rara Wulan mengangguk. Katanya.
"Baiklah, kakang. Kita pergi ke pasar lebih dahulu."
Sebenarnyalah kedua orang suami isteri itupun melangkah menuju ke pintu gerbang pasar.
Meskipun hari menjadi semakin siang, tetapi masih banyak orang yang berada di dalam pasar.
Namun Glagah Putih tidak menemukan orang yang dicarinya.
Ia tidak melihat pedagang yang ternyata juga telah melakukan perdagangan gelap itu.
"Apakah ia juga berada di jalur perdagangan Guntur Ketiga atau Panji Kukuh?"
Desis Glagah Putih.
"Mungkin saja kakang sehingga karena benturan antara dua kekuatan itu, pedagang itupun tidak berada di pasar meskipun hari pasaran. Atau mungkin sekali orang itu sudah meninggalkan pasar setelah matahari semakin tinggi, bahkan kemudian melampaui puncaknya."
"Ya. Tetapi ternyata bahwa kita tidak hanya hari ini berada di Seca. Kita akan berada disini sedikitnya sepekan untuk melihat perkembangan keadaan serta pengaruh tangan-tangan Ki Saba Lintang."
"Baiklah kakang. Tetapi kita juga harus memperhitungkan banyak hal. Penginapan kita terhitung penginapan yang mahal."
Glagah Putih tersenyum.
Disadarinya bahwa mereka berdua tidak mempunyai bekal terlalu banyak.
Tetapi jika perlu mereka tidak boleh terlalu memperhitungkan pengeluaran untuk mendapatkan tambahan bekal perjalanan jika saja mereka dapat mempertanggungjawabkannya.
Dengan nada rendah Glagah Putihpun berkata.
"Agaknya kita perlu berada di penginapan itu. Agaknya Sutasuni juga berada di penginapan yang sewanya memang agak lebih mahal dari penginapan yang lain."
Rara Wulan tertawa. Katanya.
"Aku juga lebih senang bermalam di penginapan itu daripada di penginapan dekat pasar itu. Nampaknya penginapan di dekat pasar itu tidak terlalu bersih. Halaman sampingnya yang sering dugunakan untuk berhenti pedati-pedati para pedagang itu nampaknya seperti kubangan. Mereka yang membawa pedati itu selalu mencuci pedatinya di tempat itu, tanpa menghiraukan parit buangannya, sehingga tempat itu nampak menjadi seperti kubangan. Bilik-biliknyapun terlalu kecil dan tidak bersih, sementara itu ada ruangan-ruangan yang lusuh dengan amben bambu atau kayu yang besar yang dapat dipergunakan untuk tidur sekaligus lima atau enam orang."
Glagah Putihpun menyahut sambil tersenyum pula.
"Tentu saja. Harga sewa disebuah penginapan tentu juga ditentukan oleh tempat dan pelayanan."
Glagah Putih terdiam sejenak. Lalu katanya.
"Nah, apakah kita akan singgah di sebuah kedai? Agaknya pedagang yang kita cari itu tidak akan dapat kita ketemukan."
"Marilah,"
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah berada di sebuah kedai yang tidak terlalu ramai.
Meskipun demikian, sudah ada beberapa orang yang telah berada di kedai itu.
Namun terasa suasana yang tenang.
Orang-orang yang duduk dikedai itu dapat menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan dengan sebaik-baiknya.
"Tidak ada berita tentang pertempuran di tepian itu yang sampai di sini,"
Desis Glagah Putih.
"Belum kakang. Tetapi agaknya beritanya akhirnya akan sampai juga di padukuhan induk kademangan ini. Para petugas dari kademangan itu. Satu dua orang tentu ada yang menceritakannya kepada orang lain. Mungkin keluarganya atau sahabat dekatnya. Namun akhirnya kabar itupun akan meluas sampai ke seluruh kademangan."
"Tetapi ketika berita itu tersebar, waktu telah berjalan beberapa lama, sehingga tidak lagi menimbulkan persoalan yang menghentakkan ketenangan di kademangan ini."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Ketika ia berpaling kepada orang-orang yang ada di kedai itu, maka rasa-rasanya kehidupan di Seca itu memang terasa tenteram.
Ketika pelayan kedai itu mendatangi mereka, maka Glagah Putihpun segera memesan makanan dan minuman bagi mereka berdua.
Sebenarnyalah selama mereka berada di kedai itu, sama sekali tidak mendapat gangguan dari siapapun.
Suasana dan keadaan di sekitar kedai itupun nampak tenang-tenang saja.
Bahkan ketika mereka melihat dua orang petugas yang lewat, rasa-rasanya para petugas itupun nampak sebagaimana suasana di padukuhan induk kademangan Seca itu.
"Apakah para petugas itu juga belum tahu apa yang terjadi?"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desis Rara Wulan.
"Mungkin mereka sudah tahu. Tetapi mereka sengaja bersikap seperti itu agar tidak membuat orang-orang yang bertemu dengan mereka bertanya-tanya."
Beberapa saat lamanya mereka berada di kedai itu.
Ketika mereka merasa sudah cukup, maka keduanyapun membayar harga makanan dan minuman yang sudah mereka pesan.
Ternyata peristiwa yang terjadi di ujung hutan itu tidak membuat gejolak di permukaan.
Kademangan Seca masih saja tetap tenang.
Kehidupan berjalan seperti biasanya.
Yang biasanya ramai dikunjungi orang masih saja tetap ramai.
Ketika senja kemudian turun, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di penginapan.
Ternyata penginapan itupun sudah menjadi lebih lengang.
Bilik-bilik yang tersediapun sudah banyak yang kosong.
Meskipun masih asa satu dua orang tamu yang menginap.
"Kademangan ini esok akan menjadi sepi, kakang."
Berkata Rara Wulan.
"Ya. Lebih sepi dari har-hari pasaran."
"Tetapi menurut kakang, kita masih akan tetap tinggal disini sepekan ini?"
"Kita akan melihat suasana, Rara."
Rara Wulan mengangguyk-angguk.
Sebenarnya di hari berikutnya Seca memang nampak lebih sepi.
Ketika keduanya pergi ke pasar, maka pasar itu sudah tidak seramai seperti hari sebelumnya.
Meskipun bukan hari pasaran, namun masih juga ada pedagang yang datang untuk membeli atau menjual dagangan mereka.
Namun seperti hari-hari sebelumnya, Seca tetap saja merupakan sebuah tempat yang tenang.
Hari itu tidak ada yang menarik untuk diperhatikan.
Justru karena ini, maka Rara Wulanpun berkata.
"Jika sepekan kita berada disini tanpa berbuat apa-apa. Aku akan menjadi kurus, kakang."
Glagah Putih tertawa. Katanya.
"Tidak. Justru kau akan menjadi gemuk."
"Aku tidak mau, lebih baik aku menjadi kurus daripada aku menjadi gemuk."
Kau tidak akan dapat bertambah kurus, Rara. Ketika kita berada di hutan menjalani laku. kau tidak juga menjadi kurus."
"Ah tentu badanku menyusut waktu itu."
"Apakah bajumu menjadi longgar?"
Rara Wulan tersenyum. Namun ia menjawab.
"Ya. Sedikit."
"Sejak semula bajumu memang longgar. Bukankah kau memang lebih senang memakai baju yang longgar?"
"Sudahlah. Biar saja aku menjadi kurus atau menjadi gemuk, apakah ada bedanya bagimu kakang?"
"Tentu."
"Katakan, apa bedanya?"
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.
"Kau tidak mau menjawab, kakang. Tetapi apa yang kau tertawakan."
"Tidak apa-apa,"
Jawab Glagah Putih.
"Kau tentu mentertawakan aku. Kau tentu membayangkan, bagaimana ujudku jika aku menjadi gemuk."
"Tidak, tidak."
Glagah Putihpun segera bergeser menjauh. Jari-jari Rara Wulan tiba-tiba saja telah mencubit lengannya.
"Sakit, Rara."
Keluh Glagah Putih. Rara Wulan melepaskannya sambil berkata.
"Nah, kau harus menjalani laku agar kau dapat memiliki ilmu kebal seperti kakang Agung Sedayu." -ooo0dw0ooo-
Jilid 364 GLAGAH PUTIH yang telah bergeser menjauh itu mengangguk-angguk. Katanya.
"Ya. Aku akan menjalani laku untuk menjadi kebal seperti kakang Agung Sedayu."
Ketika Rara Wulan mendekat, Glagah Putih masih juga bergeser menjauh. Tetapi Rara Wulanpun kemudian berkata.
"aku tidak apa-apa. Aku tidak akan menyakitimu lagi."
Glagah Putih nampak ragu-ragu. Tetapi Rara Wulan memang tidak mencubitnya lagi.
"Kakang,"
Berkata Rara Wulan kemudian.
"bagaimana pendapatmu jika kita berbuat apa-apa selama kita ada disini?"
"Berbuat apa?"
"Kita pergi keluar kademangan Seca. Kita pergi ke hutan. Kita akan membaca kitab itu lagi. Bukankah masih ada beberapa hal yang masih dapat kita pelajan untuk memperluas wawasan kita menjelang tugas-tugas yang tentu akan menjadi semakin berat."
"Tetapi kita tidak akan dapat melihat peristiwa yang terjadi di sini. Misalnya, jika para pengikut Ki Saba Lintang datang kemari. Atau bahkan Ki Saba Lintang sendiri."
Rara Wulan menarik nafas panjang.
Namun Rara Wulan tidak lagi mengajak Glagah Putih meninggalkan kademangan Seca.
Ketika senja turun, maka kesepian kademangan itupun telah dipecahkan oleh kedatangan beberapa orang berkuda.
Mereka datang bersama-sama dan langsung pergi ke penginapan di sebelah pasar.
Glagah putih dan Rara Wulan yang baru berjalan-jalan setelah mandi dan berbenah diri, tertarik sekali dengan kedatangan sekelompok orang berkuda itu.
"Aku ingin tahu, siapakah mereka itu,"
Desis Glagah Putih.
"Tetapi kepada siapa kita akan bertanya?"
"Kepada penunggu penginapan itu. tentu tidak seorangpun yang mencurigai kita. jika kita masuk ke penginapan itu. Bukankah banyak orang yang keluar masuk di penginapan?"
"Tetapi para petugas itu tentu hafal, apakah seseorang menginap di penginapan itu atau tidak."
"Kita justru akan bertanya kepada mereka."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya.
"Tentu, para petugas itu mengenal, setidak-tidaknya tahu siapakah mereka itu."
"Kita tidak tahu, apakah para petugas itu bersedia membantu kita. Jika yang terjadi sebaliknya?"
"Maksudmu, para petugas itu justru mencurigai dan bahkan menangkap kita?"
Rara Wulan mengangguk.
"Bukankah kita tidak berbuat apa-apa. Kita hanya bertanya, siapakah orang-orang berkuda itu. Apakah itu sudah terbiasa atau baru sekarang setelah terjadi kerusuhan di ujung hutan itu."
Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Katanya.
"Baiklah, kakang. Kita akan mencoba bertanya kepada petugas di penginapan itu."
"Dengan beberapa keping uang, semuanya akan menjadi semakin lancar."
Rara Wulanpun tersenyum. Katanya.
"Ya. Dilingkungan seperti Seca ini, keping-keping uang akan sangat bearti."
Dengan kesepakatan itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun pergi ke penginapan di sebelah pasar itu.
Sebenarnyalah penginapan itu memang menjadi ramai.
Tetapi hampir semua orang yang berada di penginapan itu adalah laki-laki.
Sehingga karena itu.
keberadaan Rara Wulan dipenginapan itu telah menarik perhatian beberapa orang.
Orang-orang yang datang berkuda, yang sedang beristirahat di serambi dengan mengenakan pakaian seadanya, beringsut pergi ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki penginapan itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun langsung menemui petugas yang berada diserambi di sebelah pintu utama penginapan itu.
"Perempuan itu juga akan menginap disini,"
Desis seseorang yang sedang beristirahat itu.
"Yang, ia datang bersama laki-laki itu."
"Siapakah laki-laki itu? "
"Tentu suaminya."
"Siapakah yang mengatakan bahwa laki-laki itu suaminya?"
"He?"
Orang- orang itupun kemudian tertawa. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun nampak asyik berbincang dengan petugas di penginapan itu, setelah Glagah Putih dengan diam-diam menyerahkan beberapa keping uang kepadanya.
"Kami tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya ingin tahu saja, karena kami bukan orang Seca."
"O. Kalian dari mana?"
"Kami dalang dari jauh. Kami adalah pengembara yang kebetulan saja lewat kademangan ini. Kami pun bermalam di padukuhan induk ini karena kami ingin mengenal Seca lebih dalam."
"Baiklah,"
Desis petugas itu.
"mereka adalah para pedagang dari jauh. Mereka biasanya memang menempuh perjalanan dalam kelompok-kelompok yang agak besar. Dengan demikian maka mereka akan dapat melawan jika di jalan mereka bertemu dengan sekelompok perampok atau penyamun. Namun setelah mereka sampai di tempat yang aman seperti Seca, serta daerah-daerah di sekitarnya, maka merekapun biasanya telah berpencar. Jadi yang kau lihat itu hanya sebagian saja dari sekelompok pedagang yang melintasi daerah yang sering dilanda kerusuhan."
"Tetapi bukankah hari ini bukan hari pasaran?"
"Mereka memang tidak akan membuka dagangan mereka di Seca. Tetapi mereka akan melanjutkan perjalanan mereka ke Tumenggungan atau ke Keparak atau kemana saja. Setelah mereka sampai di Seca, maka mereka sudah merasa aman. Besok mereka akan meneruskan perjalanan. Mungkin mereka akan berpencar dengan tujuan yang berbeda. Sementara yang lain sudah sampai di tempat yang lain pula untuk bermalam di sana. Tetapi mereka tentu akan mencari tempat yang aman seperti kademangan Seca, meskipun lingkungannya lebih kecil."
"Dengan demikian, apakah di Seca ini tidak pernah terjadi kerusuhan atau perbuatan apapun yang melanggar paugeran?"
"Tentu pernah juga terjadi. Tetapi jarang sekali. Bahkan di Seca ini pernah juga terjadi raja pati. Juga pemah terjadi perampokan. Dua orang yang menginap di sebuah penginapan, tetapi tidak di penginapan ini, justru mereka berada di penginapan yang lebih baik, telah didatangi oleh beberapa orang untuk merampoknya. Meskipun para petugas dengan cepat menanganinya, tetapi sampai sekarang perampok itu masih belum dapat tertangkap dan itu berarti bahwa perampok itu tidak akan tertangkap basah."
Rara Wulanlah yang kemudian bertanya.
"Aku tidak melihat perempuan menginap di penginapan ini."
"Memang tidak. Penginapan ini adalah penginapan yang sederhana. Perempuan yang menginap biasanya mencari tempat yang lebih baik."
"Jika yang menginap itu para pedagang, bukankah mereka mempunyai banyak uang sehingga mereka akan dapat menginap di tempat yang lebih baik karena mereka tidak perlu merisaukan uang lagi."
"Para pedagang adalah orang-orang yang biasanya hemat. Apalagi mereka adalah sekelompok laki-laki yang mereka dapat tidur dimana saja."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-aggguk.
Ternyata bahwa beberapa orang berkuda itu hanyalah beberapa orang pedagang yang kemalaman.
Karena menurut pengertian mereka, Seca adalah lingkungan yang aman, maka mereka memilih untuk bermalam di Seca.
Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tertarik lagi kepada mereka.
Apalagi menurut pendengarannya, maka pedagang yang telah berhubungan dengan Jati Ngarang itu berada di Seca di hari-hari pasaran.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Beberapa orang laki-laki di penginapan itulah yang perhatian mereka tertarik pada Rara Wulan.
Mereka memang berharap bahwa perempuan cantik itu bermalam di penginapan itu.
Tetapi ternyata perempuan dan laki-laki itu akan pergi meninggalkan penginapan.
Beberapa orang pedagang yang sudah terlalu sering mengembara itu ternyata telah dipengaruhi kesan yang kurang baik terhadap Rara Wulan, justru karena Rara Wulan telah memasuki lingkungan penginapan mereka.
Penginapan yang jarang didatangi oleh seorang perempuan.
"Jangan biarkan perempuan itu pergi,"
Desis seorang pedagang.
"Nampaknya laki-laki itu menjadi bimbang untuk bermalam di sini melihat keberadaan kita disini."
"Menilik ujud lahiriahnya, laki-laki itu bukan laki-laki yang kaya. Aku akan dapat membayar lebih banyak dari laki-laki itu."
"Lalu kau mau apa ?"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita ikuti mereka."
Tiga orang laki-laki yang bertubuh kekar, kemudian telah mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan.
Dalam pada itu, malampun menjadi semakin malam.
Di jalan-jalan yang gelap, telah dipasang beberapa oncor jarak.
Demikian pula diregol-regol rumah orang-orang yang berkecukupan, sehingga Seca bukanlah sebuah kademangan yang gelap gulita.
"Tiga orang mengikuti kua, Rara,"
Desis Glagah Patih.
"Ya. Tetapi apakah kita mempunyai persoalan dengan mereka? Seandainya mereka para pedagang yang juga membuka jalur perdagangan gelap, bukankah mereka tidak mengenal kita?"
"Aku tidak tahu. Mungkin mereka para pengikut Ki Saba Lintang yang pernah mengenali kita di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mungkin juga para pengikut Guntur Ketiga atau Panji Kukuh."
"Bukankah para pengikut Guntur Ketiga dan Panji Kukuh tidak mengenal kita?"
"Kita berhenti sejenak ketika kita mendengar orang mengalunkan tembang di rumah orang yang dikatakan sedang melahirkan itu. Bahkan seseorang telah mempersilahkan kita untuk singgah. Menurut pendapatku, rumah itu adalah sarang atau setidak-tidaknya tempat pemberhentian mereka yang telah terlibat dalam benturan kekuatan antara Guntur Ketiga dengan Panji Kukuh."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya.
"Mungkin mereka adalah orang-orang di antara mereka. Mereka agaknya mengira bahwa keberadaan kita di regol halaman rumah itu dalam rangka tugas-tugas kita bagi salah satu pihak yang berebut jalur perdagangan gelap itu."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Iapun kemudian berdesis.
"Mereka nenjadi semakin dekat, kakang."
"Berhati-hatilah. Tetapi mungkin juga mereka tidak mengikuti kita. Kebetulan saja mereka berjalan searah dengan kita."
Rara Wulan mengangguk. Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu sudah berada di belakang Glagah Putih dan Rara Wulan, Seorang diantara ketiga orang itu berdesis.
"Ki Sanak. Berhentilah."
Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti. Dengan nada berat Glagah Pulih bertanya.
"Ada apa Ki Sanak menghentikan kami ?"
"Kau mau membawa perempuan itu kemana?"
Bertanya seorang yang lain. Pertanyaan itu bagaikan ujung duri kemarung yang menusuk jantung Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun mereka masih berusaha menahan diri.
"Apa maksudmu, Ki Sanak? "
Bertanya Glagah Putih. Orang itupun menjawab sambil tersenyum-senyum.
"Tadi kau bawa perempuan itu ke penginapan. Mungkin ada yang memesannya, tetapi orangnya ingkar janji. Karena itu, berikan saja perempuan itu kepadaku. Aku akan membayar lebih mahal."
Rara Wulan ternyata tidak mampu lagi menahan dirinya.
Kata-kata itu telah membuat jantungnya bagaikan membara.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan telah mengayunkan tangannya, menampar wajah orang itu.
Demikian kerasnya sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Bahkan hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya.
Demikian kemarahan bergejolak di dalam dadanya, sehingga Rara Wulan justru tidak dapat berkata sepatah katapun.
Bukan saja orang yang ditampar Rara Wulan itu yang terhuyung-huyung beberapa langkah surut, tetapi kedua orang kawannyapun telah bergeser mundur pula.
"Perempuan edan. Kau berani menampar wajahku, he?"
Bibir Rara Wulan menjadi gemetar. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Glagah Putihlah yang kemudian menggeram.
"Kau rendahkan martabat isteriku."
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun orang yang sudah disakiti Rara Wulan itupun melangkah maju. Iapun menjadi sangat marah. Dengan geram iapun berkata.
"Siapapun perempuan ini, tetapi ia sudah berani menyerang aku."
"Ia tidak akan melakukannya, jika mulutmu tidak lancang. Kau hinakan isteriku dengan semena-mena. Bukankah itu sangat menyakitkan hati."
"Jika perempuan itu bukan jalang, kenapa kau bawa ia ke penginapan?"
"Kami mencari saudara kami yang mungkin menginap di penginapan itu. Hati kalianlah yang kotor dan ditumbuhi bulu serigala, sehingga kalian selalu berprasangka buruk terhadap orang lain."
"Bukankah kau ajar isterimu dapat memberikan penjelasan dengan kata-kata sehingga tidak perlu dengan cara yang kasar itu?"
"Kekasaranmu lebih menyakitkan hati,"
Geram Rara Wulan.
"untunglah bahwa aku tidak mengoyak mulutmu."
"Baik. Katakan aku bersalah. Tetapi aku tidak senang dengan caramu. Yang kau lakukan sudah berlebihan, sehingga aku tidak mau menerimanya."
"Bagiku sakit di kewadaganku tidak terasa sangat mengganggu, tetapi sakit hatiku akan membekas untuk waktu yang lama."
"Persetan. Jadi kau tetap merasa tidak bersalah dengan memukulku?"
"Tidak. Aku tidak bersalah. Aku berhak memukul mulutmu. Bahkan mengoyakkannya sekalipun."
"Suaramu seperti gelora prahara di lautan. Seakan akan kau mampu menangkap angin. Kau harus minta maaf kepadaku. Jika kau tidak melakukannya, maka aku juga akan menyakitimu."
"Aneh,"
Sahut Glagah Putih.
"kaulah yang seharusnya minta maaf. Bukan isteriku. Lakukan atau aku akan memaksamu."
"Iblis kau. Kau kira kau ini siapa. Bukankah aku sudah mengaku bersalah. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak merasa bersalah."
"Isteriku memang tidak bersalah. Ia berhak berbuat lebih jauh lagi. Bagi kami, kehormatan dan harga diri lebih berarti dari segala-galanya."
"Kau kira aku tidak mempunyai harga diri?"
Namun seorang kawannya tiba-tiba berkata.
"Jangan banya bicara lagi. Jika isterinya tidak mau minta maaf padamu, pukuli saja orang itu sampai pingsan. Kemudian kita bawa isterinya itu pergi. Kita akan memaksanya minta maaf dengan cara kita. Bukankah kita dapat melakukannya?"
Laki-laki yang disakiti Rara Wulan itupun menyahut.
"Baik. Baik. Aku akan membuat laki-laki itu pingsan. Kita akan membawa isterinya, siapapun perempuan itu."
"Kau kira kau dapat berbuat sekehendakmu di Seca yang tenang dan tentram ini? Setiap saat beberapa orang peronda akan lewat. Jika kau ketahuan berbuat jahat disini, maka kau akan ditangkap."
"Aku mengenal Seca dengan baik. Para peronda akan bekerja lebih keras menjelang hari-hari pasaran. Sementara ini, hari pasaran masih beberapa hari lagi. Sampai tengah malam, baru akan ada dua orang peronda lewat jalan ini."
"Jika demikian kebetulan sekali,"
Sahut Glagah Putih.
"Kenapa kebetulan?"
"Aku mempunyai kesempatan untuk membunuhmu."
"Gila,"
Geram orang itu.
"bersiaplah. Aku tidak hanya akan membuatmu pingsan. Tetapi aku akan membunuhmu dan membawa isterimu pergi. Katika para peronda datang, mereka hanya akan menemukan mayatmu. Tetapi kau sudah tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Kau tidak akan dapat melaporkan kepada mereka, siapakah yang telah membawa isterimu."
"Bukan kau yang membunuhku, tetapi aku yang akan membunuhmu dan melemparkan mayatmu di simpang ampat itu."
"Dengar,"
Berkata orang itu.
"aku adalah pedagang yang hampir setiap hari menempuh perjalanan menembus daerah-daerah yang dibayangi oleh para perampok dan para penyamun. Tetapi aku justru merupakan alap-alap bagi para penyamun itu, setiap kali terjadi benturan kekerasan dengan para penyamun, maka aku akan dapat menyelesaikannya dengan baik."
"Menyelesaikan dengan baik?"
"Maksudku, aku selalu membunuhnya. Bukan hanya seorang tiap kali terjadi benturan. Kadang-kadang dua dan kadang-kadang tiga. Sehingga akhirnya para penyamun itu tidak akan berani menghentikan aku. Maksudku para penyamun yang sudah mengenal aku."
"Tetapi aku bukan penyamun. Tetapi kami berdua akan sekedar mempertahankan harga diri dari kehormatan kami."
"Mengapa kau masih saja berbicara tanpa ujung pangkal,"
Seorang kawannya tiba-tiba saja membentak.
"cepat lakukan. Kami berdua akan mengamati agar isterinya tidak pergi ke mana-mana."
"Bersiaplah,"
Geram orang yang telah ditampar oleh Rara Wulan.
"aku benar-benar akan membunuhmu, seperti membunuh para perampok di bulak-bulak panjang itu."
Glagah Putih memang tidak menjawab lagi.
Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, maka orang yang wajahnya telah ditampar oleh Rara Wulan itupun meloncat menyerang.
Namun Glagah Putih dengan cepat bergeser, sehingga sarangannya itu sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Bahkan kemudian sambil menggeliat, Glagah Putih telah membalas menyerangnya dengan kakinya yang terayun berputar mendatar.
Serangan Glagah Putih yang datang demikian cepat itu benar-benar tidak terduga, sehingga orang itu tidak sempat menghindarinya.
Karena itu, maka ayunan kaki Glagah Putih itu telah mengenai keningnya.
Demikian kerasnya sehingga orang itu terpelanting jatuh menimpa sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Orang itu mengaduh tertahan.
Kemudian jatuh terkulai di bawah pohon itu.
Kawan-kawannya terkejut.
Demikian cepatnya laki-laki itu dapat menyelesaikan kawannya, sehinga kawannya itu tidak berdaya.
Yang terdengar hanyalah erang kesakitan.
"Nah, siapa yang berikutnya,"
Berkata Glagah Putih.
Kedua orang kawannya termangu-mangu.
Namun tidak seorang diantara mereka yang akan mencoba lagi.
Kawannya yang tidak segera bangkit itu adalah seorang diantara mereka yang dibanggakan pada saat-saat iring-iringan para pedagang itu bertemu dengan sekelompok perampok di bulak-bulak panjang.
"Pergilah,"
Berkata Glagah Putih kemudian.
"bawa kawanmu itu. Ingat apa yang telah terjadi disini, karena mungkin esok atau kapan saja kita masih akan bertemu lagi. Kalau tidak di Seca mungkin di tempat yang lain."
Kedua orang itu tidak menjawab.
Namun keduanya segera berjongkok membantu kawannya yang hampir pingsan itu bangkit dan memapahnya meninggalkan Glagah Putih tanpa mengatakan apa-apa.
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri saja memandangi ketiga orang itu melangkah tertatih-tatih meninggalkan mereka.
Namun dalam pada itu, justru karena perhatian Glagah Putih dan Rara Wulan tertuju kepada ketiga orang laki-laki yang telah menyinggung garga dirinya itu, maka ia tidak tahu, bahwa dua orang sedang mengawasinya.
Mereka adalah Ancak Liman dan seorang saudara seperguruannya.
Keduanya bersembunyi di belakang pohon perdu tidak terlalu jauh dari arena perkelahian itu.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan pergi meninggalkan tempat itu, maka Ancak Limapun berkata.
"Agaknya kedua orang suami isteri itulah yang dimaksudkan oleh Ki Bekel."
"Orang yang harus kau singkirkan?"
"Ya. Mereka akan dapat mengganggu jalur perdagangan gelap itu."
"Apakah kita akan menanganinya?"
"Jangan bodoh. Keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Kau lihat bagaimana mereka mengalahkan lawannya hanya dalam sekejap."
"Jadi?"
"Kita ikuti mereka, dimana mereka menginap. Kemudian kita akan laporkan kepada guru. Bersama guru dan saudara-saudara kita yang lain, maka kita akan menyingkirkan mereka. Dengan demikian maka mereka tidak akan mengganggu kita lagi. Jalur hubungan antara Ki Samektaguna dan Jati Ngarang akan kita putuskan. Kita akan menghancurkan gerombolan Jati Ngarang dan menguasai hubungan dengan Samektaguna."
"Lalu bagaimana dengan Bekelmu itu?"
"Dengan memercikkan sedikit buihnya saja. Bekel edan itu tentu sudah tersenyum-senyum. Kita akan membiarkannya dalam keadaan yang sekarang, karena kebetulan Ki Bekel itulah yang mempunyai wilayah pertukaran barang-barang gelap itu. Ia akan dapat kita pergunakan untuk meredam sikap Ki Demang. Setidak tidaknya untuk sementara."
Saudara seperguruan Ancak Liman itu mengangguk-angguk.
"Nah, jangan lepaskan orang itu. Kita akan mengikutinya dari kejauhan. Tetapi kita harus berhati-hati."
Keduanyapun kemudian beranjak pula dari tempatnya.
Mereka masih melihat Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi semakin jauh, ketika mereka berjalan di bawah cahaya oncor di pinggir jalan.
Dengan hati-hati keduanya mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan dari jarak yang agak jauh.
Mereka sadar, bahwa keduanya adalah orang yang berilmu tinggi.
Kecuali mereka langsung melihat bagaimana laki-laki itu mengalahkan lawan-lawannya dalam sekejap.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ancak Limanpun tahu, bahwa kedua orang itu telah mampu mengalahkan Jati Ngarang.
Namun Ancak Liman yakin, bahwa bersama guru serta saudara-saudara seperguruannya, mereka akan dapat menyingkirkan kedua orang suami isteri itu.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin pergi ke mana-mana lagi.
Merekapun langsung pergi ke penginapan mereka, sementara jalan-jalan di Secapun telah mulai menjadi sepi.
"Agaknya mereka bermalam di penginapan itu,"
Desis Ancak Liman.
"Meskipun bukan yang terbaik, tetapi penginapan itu terhitung penginapan yang lebih mahal dari penginapan di dekat pasar itu,"
Sahut kawannya.
"Agaknya keduanya mempunyai uang yang cukup pula."
"Kita akan merampoknya?"
"Jangan gila. Jangan menimbulkan benturan dengan para petugas di Seca yang terhitung kokoh ini."
"Lalu?"
"Kita akan membuat perhitungan yang mapan. Tetapi sebelum hari pasaran mendatang, keduanya harus sudah kita singkirkan."
Saudara seperguruannya mengangguk. Katanya.
"Kita akan berbicara dengan guru."
Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu.
Mereka sudah tahu, dimana kedua orang suami isteri yang telah menjumpai perdagangan gelap dan bahkan telah.merampasnya dari Jati Ngarang itu bermalam.
Ketika kemudian mereka kembali ke penginapan mereka yang terletak di dekat pasar, tetapi bukan penginapan yang dipergunakan oleh para pedagang itu, merekapun segera memberitahukan kepada guru mereka tentang sepasang suami isteri yang mereka cari.
"Kami telah menemukannya,"
Berkata Ancak Liman kepada gurunya serta saudara-saudara seperguruannya yang lain.
"Bagus,"
Berkata guru Ancak Liman.
"akupun yakin, menurut penilikan ilmuku, maka kita akan dapat membinasakan mereka. Apalagi Nyai Sendawa sudah langsung merestuinya. Tetapi jika kita berhasil, kita tidak boleh melupakannya"
"Melupakan siapa?"
"Para danyang dan terutama Nyai Sendawa."
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus memberikan korban kepadanya."
"Apa yang harus kita korbankan?"
"Apa saja. Tetapi biasanya kita serahkan sepengadeg pakaian yang berwarna ungu."
"O. Tetapi siapakah yang akan memiliki pakaian itu? Bukankah Nyai Sendawa itu tidak memerlukannya?"
Berkata Ancak Liman.
"Bodoh kau. Nyai Sendawa tentu memerlukannya pakaian. Tetapi tidak dalam ujud kewadagannya. Ujud kewadagan pakaian itu akan dilorot oleh juru kuncinya. Orang yang menjaga dan membersihkan tempat itu setiap kali. Orang yang memberinya makan disetiap malam Jum'at dan Selasa Kliwon."
Ancak Liman dan saudara-saudara seperguruannya hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka saja.
Dalam pada itu.
merekapun segera membicarakan cara untuk memancing sepasang suami isteri itu keluar dari padukuhan Seca.
Mereka berharap bahwa mereka dapat menyingkirkan sepasang suami isteri itu di tempat yang terasing dan tidak dengan cepat memanggil para petugas di kademangan Seca.
"Kita ambil isterinya Kita bawa keluar untuk memaksa suaminya itu mencarinya."
"Bagaimana kita dapat mengambil isterinya. Setiap saat mereka selalu berdua."
"Tetapi pada suatu saat tentu akan ada kesempatan. Mungkin perempuan itu pergi membeli sesuatu di luar penginapan."
"Mungkin. Tetapi untuk membawa isterinya bukan satu hal yang mudah. Isterinya agak berbeda dengan kebanyakan perempuan. Agaknya isterinya juga memiliki ilmu yang tinggi."
"Mungkin,"
Berkata guru Ancak Liman.
"tetapi apakah kemampuan kita terlalu tidak berarti sehingga untuk menculik seorang perempuan saja, betapapun tinggi ilmunya, tidak akan mungkin?"
"Tentu mungkin,"
Berkata Ancak Liman.
"kita akan melakukannya."
"Kita harus selalu mengawasinya, sejak malam ini,"
Berkata guru Ancak Liman pula.
"Kenapa harus sejak malam ini? Bukankah di malam hari mereka tidak akan pergi ke mana-mana. Kita akan mengawasinya sejak fajar. Mungkin besok pagi-pagi sekali perempuan itu memerlukan membeli sesuatu. Mungkin makanan atau bahkan makan pagi."
"Ya. Sejak fajar. Jangan terlambat. Bahkan jangan sampai kita kehilangan jejak seandainya mereka meninggalkan penginapan itu. Sebernarnyalah, sebelum fajar keduanya sudah berada di tempat yang mereka anggap aman, tidak terlalu jauh dari penginapan Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun ketika fajar mulai nampak semburat di langit, mereka melihat sepasang suami isteri itu keluar dari penginapan.
"Setan. Mereka juga pergi berdua,"
Geram Ancak Liman.
"Apakah mereka akan meninggalkan penginapan dan meneruskan perjalanan?"
"Tidak. Nampaknya mereka hanya akan berjalan-jalan saja. Mereka agaknya belum berbenah diri dan menunjukkan sikap untuk menempuh perjalanan jauh."
Saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
"Apakah kita akan mengikuti mereka?"
"Tidak. Tidak perlu. Mereka tentu akan kembali."
"Hati-hatilah. Mereka pergi ke arah ini."
Keduanyapun kemudian duduk diatas batu di pinggir jalan. Mereka pura-pura tidak menghiraukan sama sekali ketika Glagah Putih dan Rara Wulan itu lewat. Namun selelah mereka berjalan jauh, maka Ancak Liman itupun berkata.
"Gila orang itu. Jika kita harus membunuh mereka, sayang perempuan itu."
"Jika demikian, setelah kita culik, perempuan itu tidak akan pernah kembali kepada suaminya?"
"Tentu. Bukankah kita harus membunuh mereka. Jika kita tidak mau menyakiti perempuan itu, kita bunuh saja suaminya."
"Kasihan ketiga orang pedagang yang semalam dipermalukan oleh laki-laki itu."
"Salah mereka sendiri."
Keduanya tertawa. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh. Dalam pada itu saudara seperguruan Ancak Liman itupun bertanya.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
"Kita akan tetap disini untuk mengawasi mereka. Jika perempuan itu keluar sendiri dari penginapan, kita akan menyergapnya. Kita akan membawanya pergi dan kemudian memberitahukan suaminya, dimana perempuan itu kita sembunyikan agar suaminya datang menjemputnya."
Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Namun agar mereka tidak dicurigai, maka merekapun telah berpindah tempat diarah lain dari jalan yang dilewati oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Mereka tentu akan kembali lewat jalan ini pula. Karena itu, kita sebaiknya berada di arah yang lain."
Saudara seperguruanyapun mengangguk-angguk. Beberapa lama keduanya menunggu. Mereka mengawasi arah yang ditempuh oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya tidak segera kembali.
"Kemana saja kedua orang itu?"
Desis saudara seperguruan Ancak Liman.
"Tetapi yang jelas mereka akan kembali. Menilik sikap dan ujud mereka, mereka belum siap untuk meninggalkan penginapan itu."
Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah berada beberapa puluh langkah dari mereka. Mereka justru datang dari arah yang tidak mereka duga.
"Setan itu berjalan melingkari padukuhan ini,"
Geram Ancak Liman. Tetapi mereka sudah tidak mempunyai kesempatan uuntuk menyingkir. Yang dapat mereka lakukan adalah sekali lagi berpura-pura tidak memperhatikan Glagah Putih dan Wulan itu Glagah Putih dan Rara Wulanpun berjalan tidak berpaling.
"Untunglah mereka tidak menghiraukan kita,"
Desis Ancak Liman.
"Ya. Jika saja mereka memperhatikan kita, maka mereka akan dapat mencurigai kita."
"Ya. Ternyata mereka terlalu yakin bahwa Seca adalah sebuah lingkungan yang aman."
"Karena itu, mereka agak kurang berhati-hati. Nah, sekarang apa yang kita lakukan ?"
"Ternyata kau memang bodoh sekali. Sudah aku katakan, kita menunggu kesempatan untuk mengambil perempuan itu."
"O. Ya. Seharusnya aku sudah tahu."
Keduanyapun terdiam.
Mereka memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki regol halaman penginapan mereka.
Glagah Putih dan Rara Wulan nampaknya memang tidak memperhatikan kedua orang yang berada di luar penginapan.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan mencurigai mereka.
Sejak mereka mininggalkan penginapan itu untuk berjalan-jalan, keduanya sudah tertarik dengan keberadaan kedua orang yang duduk dipinggir jalan.
Karena itu, mereka sengaja melingkar dan kembali ke penginapan dari arah yang berlwanan.
Ternyata kedua orang itu masih ada didekat penginapan mereka, tetapi sudah bergeser ke arah yang lain pula.
"Apa maksud mereka, kakang?"
Desis Rara Wulan.
"Agaknya mereka adalah dua orang diantata para pedagang itu pula. Mungkin mereka orang-orang terbaik yang tidak rela kawannya mengalami perlakuan yang buruk."
"Mereka mendendam ?"
"Ada dua kemungkinan. Mendendam atau mereka juga mempunyai anggapan yang keliru tentang kita."
"Maksud kakang? Apakah kita akan menanggapi mereka atau kita akan membiarkan saja apapun yang akan mereka lakukan asal mereka tidak memasuki penginapan ini dan memaksakan kekerasan terjadi?"
"Rara. Sebaiknya kita mempercepat kemungkinan yang akan terjadi. Jika mereka memang berniat buruk, biarlah segera mereka lakukan, sehingga kita akan segera dapat mengambil sikap pula."
"Maksud kakang?"
"Kita pancing mereka."
"Dipancing dengan apa?"
"Pergilah keluar Rara. Apakah mereka mengganggumu atau tidak."
"Jika mereka menggangguku?"
"Jangan langsung mengambil tindakan. Lakukan sesuai dengan kemauan mereka. Kita akan tahu, apa sebenarnya yang mereka kehendaki. Mungkin bukan sekedar merendahkan martabat kita, tetapi ada kepentingan lain. Jika yang mereka lakukan sekedar sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang semalam, maka mereka tidak akan mengawasi kita sejak fajar. Bahkan mungkin demikian mereka melihat kita keluar, mereka akan langsung mendatangi kita."
"Mungkin mereka menunggu kita tidak bersama-sama."
"Itulah yang aku maksudkan."
"Baiklah, aku akan keluar sendiri, kakang. Tetapi awasi aku. Jangan lepaskan aku sendiri. Mungkin ada diantara mereka orang-orang berilmu tinggi. Tetapi mungkin pula mereka menunggu orang lain, bukan kita."
"Jika mereka menunggu orang lain, pergilah ke pasar Rara. Belilah nasi megana dengan pepes teri."
Rara Wulan tertawa. Namun kemudian iapun membenahi dirinya. Pakaian khususnya dan senjatanya, selendang."
Demikianlah, maka Rara Wulanpun kemudian melangkah keluar dari halaman penginapan.
Dengan hati-hati Glagah Putih mengamatinya.
Seolah-olah Glagah Putih yang keluar pula dari regol halaman penginapan itu, telah melepas Rara Wulan pergi sendiri.
Untuk beberapa lama Glagah Putih berdiri di depan regol, sementara Rara Wulan berjalan seorang diri di jalan yang mulai menjadi ramai.
Seca memang sudah bangun.
Beberapa orang telah turun ke jalan.
Ada diantara mereka yang pergi ke pasar.
Ada yang pergi ke tempat-tempat mereka bekerja.
Ada pula yang pergi ke sawah.
Beberapa pedati telah nampak di jalan-jalan pula.
Orang-orang berkuda dan kesibukan-kesibukan lainnya.
Hari itu memang bukan hari pasaran di pasar seca.
Tetapi di Seca yang nampak tenang itu, kesibukan berjalan lebih dari padukuhan-padukuhan dan kademangan yang lain.
Para pedagang berkuda yang menginap di penginapan dekat pasar itupun masih belum meninggalkan Seca.
Ada diantara mereka yang melihat-lihat pasar itu untuk mempelajari perkembangan perdagangan di pasar Seca.
Diantara kesibukan itulah, Glagah Putih berusaha dengan hati-hati untuk tetap mengawasi Rara Wulan dari kejauhan.
Dalam pada itu, kedua orang yang memang menunggu Rara Wulan keluar seorang diri dari penginapan itu, telah mendapat satu kesempatan yang baik.
Perempuan yang mereka tunggu itu benar-benar telah keluar dari regol penginapan.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suaminya memang mengantarnya.
Tetapi hanya sampai ke regol halaman.
Kemudian dilepasnya isterinya pergi seorang diri.
Ketika Rara Wulan berjalan lewat depan kedua orang yang berpura-pura tidak memeperhatikannya itu, Rara Wulanpun berpura-pura tidak menghiraukan mereka pula.
Rara Wulanpun berjalan seakan-akan tidak akan terjadi apa-apa atas dirinya.
Sebenarnyalah beberapa saat setelah Rara Wulan lewat, maka kedua orang itupun segera bangkit berdiri.
Merekapun kemudian berjalan pula searah dan tidak jauh di belakang Rara Wulan.
Rara Wulan yang memang sudah mencurigai mereka, menyadari sepenuhnya, bahwa kedua orang itu berjalan mengikutinya.
Karena perhatian kedua orang itu tertuju kepada Rara Wulan yang berjalan agak cepat menuju ke pasar, maka mereka tidak menyadari, bahwa diantara orang-orang yang berjalan dijalan yang terhitung ramai itu, serta di sela-sela pedati dan kesibukan yang lain, Glagah Putih mengikuti mereka di belakang.
Dalam pada itu, Rara Wulanpun terhenti sejenak, ketika tiba-tiba saja kedua orang laki-laki yang menunggunya dipinggir jalan itu berjalan di sebelah kiri dan di sebelah kanannya.
"Diam sajalah anak manis,"
Desis Ancak Liman.
"Ada apa? "
Bertanya Rara Wulan sambil berpaling kepada Ancak Liman.
"Kami memerlukan bantuanmu. Karena itu, marilah kita berjalan-jalan sebentar."
"Apa maumu? Bantuan apa yang kau inginkan?"
"Sudahlah, jangan ribut. Jika kau ribut, maka perhatian orang banyak akan tertuju kepada kita."
"Katakan, apa maumu?"
"Diamlah."
"Kalau kau tidak mengatakannya, aku akan berteriak. Para petugas akan segera berdatangan untuk menangkap kalian."
Namun tiba-tiba dilambung Rara Wulan terasa ujung pisau belati yang runcing menekan. Sementara kawan Ancak Liman itupun berkata.
"Jangan berteriak perempuan cantik. Aku sayang akan kecantikanmu jika aku terpaksa melubangi lambungmu dengan pisauku ini."
"Tetapi katakan, apa yang harus aku lakukan."
"Ikut saja kami. Nanti kau tahu sendiri apa yang harus kau lakukan."
Rara Wulan tidak melawan.
Ia ikut saja kemana kedua orang itu membawanya.
Ketika mereka bertiga berjalan lewat jalan yang ramai di sebelah pasar, tidak ada orang yang memperhatikan mereka.
Mereka tidak melihat pisau ditangan salah seorang dari laki-laki yang berjalan di sebelah perempuan itu.
Namun seorang perempuan, yang melihat Rara Wulan berjalan diapit oleh kedua orang lelaki pada jarak yang hampir lekat itu mencibirkan bibirnya sambil berdesis.
"Perempuan apa yang membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu oleh kedua orang laki-laki. Apalagi di siang hari seperti ini."
Sementara itu, seorang diantara para pedagang yang semalam melihat Rara Wulan di penginapan bersma laki-laki yang diaku suaminya itu memperhatikannya dengan mulut ternganga.
"Ternyata perempuan itu memang perempuan binal,"
Desisnya kemudian.
Apalagi ketika pedagang itu melihat Rara Wulan dibawa masuk ke penginapan yang juga berada di dekat pasar itu.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang mengikutinya melihat, bahwa Rara Wulan telah dibawa masuk ke dalam penginapan itu.
Tetapi ia tidak segera bertindak.
Glagah Putih yang sedang memancing dengan umpan yang sangat berharga itu justru kembali ke penginapannya.
"Orang-orang itu tentu akan menyampaikan maksud mereka, kenapa mereka mengambil Rara Wulan,"
Berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Karena itulah, maka Glagah Putih justru menunggu di penginapannya.
Sebenarnyalah, sesuai dengan perhitungan Glagah Putih, maka beberapa saat kemudian, dua orang telah datang ke penginapan itu untuk mencarinya.
Dua orang telah menemui petugas di penginapan itu.
Seorang diantara merekapun berkata.
"Ki Sanak. Aku ingin bertemu dengan Glagah Putih. Seorang yang menginap di penginapan itu bersama isterinya."
"O,"
Petugas itu mengangguk angguk.
"Silahkan duduk sebentar Ki Sanak. Aku akan memberitahukan kepada orang yang kau maksud."
Kedua orang itupun kemudian duduk di seirmbi depan, sementara petugas di penginapan itu telah menemui Glagah Putih yang ada dibiliknya.
"Ada dua orang yang mencari Ki Glagah Putih,"
Berkata petugas itu.
"Ada persoalan apa?"
"Aku tidak tahu. Aku persilahkan Ki Glagah Putih menemuinya di serambi depan."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Sebenarnyalah bahwa ia sudah tahu, siapakah kedua orang itu.
Tentu orang yang telah menculik Rara Wulan atau kawan-kawannya.
Ketika Glagah Putih kemudian duduk di amben panjang di serambi itu, maka seorang diantara kedua orang itu berkata sambil tersenyum.
"Ki Glagah Putih. Maaf bahwa kami telah mengganggumu."
"Ada keperluan apa, Ki Sanak?"
Bertanya Glagah Pulih.
"Kami mengundang Ki Glagah Putih untuk datang ke bulak pategalan di sebelah Barat padukuhan Seca. Disana ada segerumbul pohon buah-buahan yang berada di dekat tikungan sungai kecil yang mengalir diantara pategalan-pategalan itu."
"Ada apa? "
Bertanya Glagah Putih.
"Isteri Ki Glagah Putih yang bernama Rara Wulan ingin bertemu dengan Ki Glagah Putih."
"Isteriku ? Kenapa isteriku berada di sana?"
"Isterimu telah mengikuti seorang laki-laki. Mereka berkenalan sejak tiga tahun yang lalu. Tiba-tiba saja mereka bertemu di dekat pasar. Agaknya isterimu terkenang masa-masa yang manis tiga tahun yang lalu, sehingga isterimu itu telah mengikuti laki-laki itu."
"Isteriku mengikut seorang laki-laki?"
"Ya. Karena itu datanglah ke pategalan. Jemput isterimu itu dan bawa perempuan itu pergi."
Glagah Putih termangu-mangu sejanak. Namun iapun kemudian berkata.
"Persetan dengan isteriku. Jika ia mengikut seorang laki-laki, biarlah ia pergi. Aku tidak peduli lagi kepadanya."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang yang lain-pun berkata.
"Ki Glagah Putih. Istrimu itu menunggu kedatanganmu."
"Buat apa aku datang menemuinya? Apakah aku harus dengan resmi menyerahkan isteriku itu kepada laki-laki yang telah diikutinya itu."
"Aku tidak tahu, tetapi sebaiknya Ki Glagah Putih pergi kesana."
"Aku tidak mau."
"Bukan maksud laki-laki itu agar Ki Glagah Putih menyerahkan isterimu kepadanya. Tetapi sebaliknya. Laki-laki itu tidak dapat membawa isterimu pergi. Ia sudah beristeri. Karena itu, maka ia ingin mengembalikan isterimu kepadamu. Tetapi sebagai seorang laki-laki, ia ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya meskipun itu bukan karena salahnya."
"Tidak perlu. Jika laki-laki itu memang tidak mau membawa isteriku pergi, maka campakkan saja ia di pinggir jalan. Apakah ia akan kembali menemui aku atau mau pergi kemana saja. itu terserah kepadanya. Aku tidak memperdulikannya lagi."
Kedua orang itu menjadi bingung. Agaknya mereka merasa bahwa mereka telah salah ucap sehingga laki-laki itu tidak berniat untuk datang menemui isterinya. Namun seorang diantara merekapun segera berkata.
"Ki Glagah Putih. Persoalannya sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada persoalan-persoalan yang harus dibicarakan. Karena itu, aku minta Ki Glagah Putih pergi menemui perempuan itu. Selanjutnya, biarlah Ki Glagah Putih membicarakan langkah-langkah berikutnya dengan perempuan itu sendiri."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sebenarnyalah bahwa ia ingin segera melihat keadaan Rara Wulan. Karena itu. maka iapun tidak lagi memepersoalkannya lebih lanjut. Iapun kemudian berkata.
"Dimana perempuan itu sekarang."
"Sudah aku katakan, di bulak pategalan. di tikungan sungai kecil yang tebingnya dalam dan curam."
"Baiklah. Tetapi jika benar katamu, bahwa perempuan itu telah mengikut seorang laki-laki, maka aku tidak akan mempedulikan lagi."
Glagah Putih berhenti sejenak. Namun kemudian iapun bertanya.
"Tetapi siapakah Ki Sanak berdua."
"Aku adalah saudara dari laki-laki yang diikuti oleh isterimu itu. Aku diminta untuk segera menghubungimu."
Glagah Putih pun kemudian bertanya.
"Apakah kalian berdua bersedia mengantar kau?"
"Baik Ki Sanak. Jika kau memerlukan bantuanku, aku tidak akan berkeberatan. Kami berdua akan membawa Ki Glagah Putih untuk menemui isterimu itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian.
"Aku akan melaporkannya kepada para petugas di kademangan."
"Buat apa? Persoalannya adalah persolan antara kau dan isterimu. Kenapa harus melaporkannya kepada para petugas."
"Biarlah mereka menjadi saksi, apakah yang akan dilakukan dan apa yang akan dikatakan oleh isteriku."
"Tidak perlu, Ki Sanak. Marilah kita pergi sebelum laki-laki yang diikuti isterimu itu berubah sikap. Jika ia berubah sikap dan benar-benar pergi bersama isterimu, maka kau akan menyesal."
"Tidak. Aku tidak akan menyesal. Biarlah perempuan itu dibawa pergi atau ia pergi atas kemauannya sendiri."
"Jangan melakukan kesalahan yang akan dapat membuatmu menyesal seumur hidupmu."
Akhirnya Glagah Putih terdiam.
Iapun kemudian mengikut saja kedua orang laki-laki yang menjemputnya itu.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih yang mengikuti kedua orang itu sudah keluar dari padukuhan.
Kedua orang itu mengajak Glagah Putih berjalan lebih cepat lagi.
"Buat apa tergesa-gesa,"
Berkata Glagah Putih.
"sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan menyesal kehilangan perempuan yang selingkuh."
Meskipun demikian, Glagah Putihpun telah mempercepat langkahnya pula.
Beberapa saat lamanya mereka berjalan di sepanjang bulak.
Namun kemudian merekapun berbelok ke arah pategalan yang luas.
Pategalan yang sudah mulai banyak ditumbuhi pohon buah-buahan.
Seperti yang dikatakan oleh kedua orang itu, mereka menuju ke sebuah pategalan yang nampaknya lebih tua dari lingkungan di sekelilingnya.
Di pategalan itu sudah terdapat pohon buah-buahan yang lebih besar dari pategalan di sekitarnya.
Sedangkan segerumbul pepohonan yang subur terdapat di sebuah tikungan sebuah sungai kecil.
Airanyapun tidak begitu banyak, mengalir diantara bebatuan.
Bagaimanapun juga Glagah Putih menjadi berdebar-debar ia tidak tahu, ada berapa orang serta tataran ilmu mereka yang telah menunggunya di pategalan itu.
Ketika Glagah Putih berjalan semakin dekat, ia melihat Rara Wulan duduk diatas sebuah batu.
Sedangkan tiga orang laki-laki yang garang menungguinya.
Seorang duduk pula di atas batu itu.
Sedangkan yang dua orang berdiri bersandar pepohonan.
"Bukankah itu isterimu? "
Bertanya salah seorang dari mereka yang berjalan bersama Glagah Putih "Ya. Semakin dekat dan semakin jelas aku melihat wajahnya, aku menjadi semakin muak."
"Bagaimanapun juga ia adalah isterimu. Kau harus datang kepadanya, apapun yang kemudian akan kau lakukan."
Glagah Putih tidak menjawab. Sejenak kemudian, Glagah Putih dan kedua orang yang datang ke penginapannya itupun telah memasuki pategalan itu pula. Demikian Rara Wulan melihat Glagah Putih, maka iapun segera bangkit berdiri.
"Yang mana laki-laki yang kau maksud? "
Bertanya Glagah Putih. Namun Ancak Limanpun segera berkata.
"Aku tidak berkata sebenarnya kepadamu. Aku berbohong. Tetapi aku tidak menyesal, bahwa hampir saja aku gagal membawamu ke mari."
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi?"
"Kami telah mengambil isterimu dengan paksa."
"Dengan paksa? Apa maksudmu?"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ancak Liman tertawa. Iapun kemudian berkata kepada gurunya.
"Guru, laki-laki inilah suami perempuan itu. Hampir saja aku gagal membawanya kemari, karena aku berbuat mempermainkannya, tetapi justru karena itu, laki-laki ini hampir saja tidak mau datang."
"Selamat siang Ki Sanak,"
Berkala guru Ancak Liman itu sambil tertawa. Glagah Putihpun memperhatikan lima orang laki-laki yang berada di sekelilingnya. Kepada Ancak Liman iapun berkata.
"Kaukah yang tadi pagi bersama seorang kawanmu di dekat penginapanku?"
"Ya, kenapa?"
"Apa sebenarnya yang ingin kau lakukan atas aku dan isteriku. Jika kau telah berbohong, katakan apa yang sebenarnya terjadi."
"Kami telah mengambil isterimu dengan paksa,"
Berkata guru Ancak Liman. Namun iapun kemudian bertanya kepada Ancak Liman.
"Apa yang telah kau katakan kepadanya?"
"Aku mengatakan kepadanya, bahwa isterinya telah mengikuti seorang laki-laki yang pernah dikenalnya tiga tahun lalu. Maksudku untuk membuatnya marah. Laki-laki itu memang marah, tetapi hampir saja ia tidak mau pergi menemui isterinya."
"Kau memang bodoh Ancak Liman. Kau membuatnya ketakutan sehingga ia tidak berani menyusul isterinya."
"Tetapi ia sudah berada disini sekarang, guru."
"Baiklah aku berterus-terang kepadanya."
"Silahkan guru. Semakin cepat pekerjaan kita selesai, tentu akan menjadi semakin baik."
"Ki sanak,"
Berkata guru Ancak Liman.
"dengarkan kata-kataku."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dipandanginya guru Ancak Liman itu dengan tajamnya.
"Kami memang sengaja mengundangmu, Glagah Putih. Kami akan membunuhmu."
"Membunuhku? "
Sebenarnya Glagah Putih memang tidak terlalu terkejut. Ia sudah menduga bahwa orang-orang itu akan berbuat jahat. Namun Glagah Putih masih ingin tahu, apa sebabnya mereka memusuhinya.
"Ki Sanak,"
Berkata Glagah Putih kemudian.
"bukanlah kita belum pernah bertemu sebelumnya. Kita juga tidak mempunyai persoalan apa-apa diantara kita. Kenapa tiba-tiba kau berniat membunuhku?"
"Sengaja atau tidak sengaja kau sudah memasuki lingkaran perdagangan gelap di jalur ke tiga ini."
"Perdagangan gelap di jalur ketiga, apa maksudmu?"
"Kau telah merampas candu dari tangan Jati Ngarang. Kau telah membuka rahasia perdagangan gelap itu, sehingga pada suatu saat, jalur perdagangan itu akan terganggu. Mungkin kau akan berbicara dengan orang-orang yang akan dapat memusuhi kami. Karena itu, maka orang-orang yang akan dapat memusuhi kami. Kami itu, maka orang-orang yang berbahaya sebagaimana kau dan isterimu, harus dibinasakan. Kami tidak ingin jejak-jejak perdagangan kami dapat dilacak."
"Apakah kau para pengikut orang yang mengaku bernama Jati Ngarang itu ? Seorang yang licik yang mengingkari tanggung jawabnya setelah ia mencuri kitab perguruan kami?"
"Orang itu adalah Jati Ngarang. Bukan orang lain sebagaimana kau katakan."
"Orang itu tentu Kasan Barong yang telah mencuri kitab perguruanku."
"Ia bukan Kasan Barong, bukan Macan Barong bukan Gajah Barong. Tetapi ia adalah Jati Ngarang. Seorang pemimpin segerombolan perampok yang kemudian telah melakukan perdagangan terlarang dengan seorang pedagang yang biasanya diburunya untuk dirampok."
"Siapapun orang itu,"
Sahut Glagah Putih.
"tetapi perdagangan terlarang itu sangat merugikan orang banyak."
"Kau yang bodoh,"
Sahut guru Ancak Liman.
"perdagangan ini sangat menguntungkan sehingga taruhannya adalah nyawa. Karena itu, kau yang telah memasuki alur perdagangan di jalur ketiga itu, akan segera kami binasakan. Seharusnya kau dan isterimu. Tetapi kami masih harus berpikir ulang untuk membunuh isterimu."
"Kenapa ? "
Bertanya Glagah Putih.
"Pertanyaan yang bodoh. Tetapi sudahlah. Aku tahu bahkan kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga kau dan isterimu mampu mengalahkan segerombolan Jati Ngarang meskipun pada saat itu Jati Ngarang tidak membawa seluruh kekuatannya."
"Kalau kalian tahu. bahwa kami berdua telah berhasil mengalahkan Jati Ngarang dengan gerombolannya, apa yang sekarang kalian lakukan."
"Sudah aku katakan, bahwa kami akan membunuhmu."
"Ki Sanak. Kami tidak bermusuhan dengan kalian. Bahkan agaknya kita baru kali ini bertemu. Namun kalian sudah berniat membunuh kami."
"Sudah aku katakan pula, alasanku untuk membunuhmu."
"Baik. Jika kalian ingin membunuh kami, maka keinginan kalian itu telah menggelitik niat kami pula untuk membunuh kalian. Rara Wulan. Kemarilah. Kita akan bersiap menghadapi mereka berlima. Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Diamatinya orang-orang yang berdiri di sebelah menyebelah. Namun agaknya orang-orang itu akan membiarkannya bergerser mendekati suaminya.
"Jika mereka sudah berniat membunuh kita, maka apa salahnya jika kitalah yang membunuh mereka."
Guru Ancak Liman tertawa. Katanya.
"Meskipun jumlah kami lebih sedikit dari jumlah para pengikut Jati Ngarang pada saat itu kau mengalahkannya, tetapi aku dan murid-muridku bukannya segerombolan pencuri jemuran seperti gerombolan Jati Ngarang. Karena itu, maka sebaiknya kalian tidak usah melawan, karena perlawanan yang akan kalian berikan hanya akan mempersulit jalan kematian kalian saja."
"Apapun yang terjadi, kami tentu akan mempertahankan nyawa kami. Apalagi sekedar menghadapi lima orang penyamun kecil yang tidak berarti apa-apa. He, kenapa kalian tidak terlibat dalam pertempuran antara gerombolan Guntur Ketiga dengan gerombolan Panji Kukuh. Gerombolan-gerombolan itulah yang baru pantas diperhitungkan dalam jalur perdagangan gelap. Tetapi kalian berlima tidak lebih dari kecoak-kecoak kecil yang tidak berarti apa-apa."
"Apa yang kau ketahui tentang gerombolan Guntur Ketiga ? Dan bahkan gerombolan Panji Kukuh?"
Glagah Putih tertawa. Katanya.
"Mereka ada disini sekarang. Ternyata kalian mereka anggap seperti seekor nyamuk yang hanya dapat membuat kulit menjadi gatal. Tetapi kalian tidak akan berarti apa-apa di dalam jalur perdagangan mereka."
"Cukup,"
Geram Ancak Liman. Namun iapun kemudian berkata.
"Jika kalian berdua bersedia berbicara tentang Guntur Ketiga atau tentang Panji Kukuh, maka kami akan mengampunimu."
Glagah Putih tertawa. Katanya.
"Mereka akan datang menggilas kajian seperti buah durian menggilas mentimun. Karena itu, minggir sajalah dari jalur perdagangan gelap ini."
Ancak Liman mengumpat kasar. Katanya.
"Jangan mencari sandaran untuk menghindari dari tangan kami. Apapun yang kau katakan, kau akan mati. Tentang isterimu. kami masih akan membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri."
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya.
"Bagus. Tetapi kaljan tidak akan dapat berbicara apa-apa dalam jalur perdagangan gelap itu. Memang mungkin kalian akan mendapat percikan kesempatan. Tetapi tentu tergantung kepada kekuatan-kekuatan raksasa yang ada di jalur perdagangan gelap itu. Mungkin kalian mengira bahwa ketenangan dan kedamaian yang ada di Seca itu tidak mengandung gejolak di bawah permukaan. Dengar. Yang ada di bawah permukaan adalah kekuatan Guntur Ketiga, Panji Kukuh dan masih ada satu gerombolan yang lain yang masih tersamar di Seca. Tetapi di tempat lain, gerombolan ini sudah menguasai jalur perdagangan gelap disisi Selatan. Sebenarnya bahwa kau tidak tahu apa-apa tentang jalur perdagangan di Seca. Jika kau berbicara tentang jalur ke tiga, maka kau pantas untuk ditertawakan."
"Persetan dengan igauanmu. Aku tidak peduli. Yang penting aku datang untuk membunuhmu."
"Karena kau telah merebut barang terlarang dari tangan Jati Ngarang dan menyerahkannya kepada Ki Demang?"
"Ya."
Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya.
"Kau telah termakan oleh permainanku yang rumit."
"Permainan apa?"
Bertanya guru Ancak Liman.
"Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan juga menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang dikatakan oleh Glagah Putih, yang seakan-akan melingkar-lingkar tanpa ujung pangkal. Ia tidak tahu apa yang dimaksud Glagah Putih dengan permainannya yang rumit itu. Namun akhirnya Glagah Putihpun berkata.
"Baiklah. Jika demikian, maka kalianpun harus dibersihkan dari jalur perdagangan ini, sebagaimana Jati Ngarang yang menjadi bingung ketika aku menuduhkan mencuri kitab perguruanku."
"Semuanya omong kosong,"
Bentak guru Ancak Liman.
"awasi perempuan itu. Aku akan membunuh laki-laki bengal ini."
Ketika guru Ancak Liman itu bergeser setapak maju, maka Glagah Putihpun justru bergeser kesamping mengambil jarak dari Rara Wulan. Katanya kepada Rara Wulan.
"Hati-hatilah Rara Wulan. Jika empat orang itu mencoba mengganggumu, singkirkan saja mereka. Kau tidak bersalah jika kau terpaksa membunuhnya."
"Tutup mulutmu,"
Bentak Ancak Liman. Hampir berteriak iapun berkata kepada gurunya.
"Serahkan orang itu kepadaku, guru. Aku akan mencekiknya sampai mati."
"Akulah yang akan menanganinya. Nampaknya ia orang yang berbahaya."
Ancak Liman tidak menjawab.
Tetapi bersama tiga orang saudara seperguruannya.
Ancak Liman mengawasi Rara Wulan yang berdiri dibawah sebatang pohon jambu mete yang sudah besar dan bahkan sudah berbuah.
Guru Ancak Liman dan Glagah Putihpun segera mempersiapkan diri.
Agaknya guru Ancak Liman itu ingin mencoba kemampuan Glagah Putih seorang diri.
Karena itu, maka ia tidak memerintahkan murid-muridnya untuk ikut terlibat dalam pertempuran itu.
Sejenak kemudian, maka guru Ancak Lirpan itupun mulai menyerang.
Serangan-serangannya masih saja terkesan lamban, sehingga Glagah Putih dengan mudah selalu dapat menghindarinya.
Bahkan sekali-sekali Glagah Putihpun telah membalas serangan-serangan Ancak Liman dengan serangan-serangan pula.
Tetapi serangan-serangan yang terasa masih sangat lemah.
Namun semakin lama serangan-serangan kedua belah pihakpun menjadi semakin cepat dan semakin kuat.
Guru Ancak Liman itupun berloncatan dengan cepatnya, seakan-akan mengikuti tubuh lawannya dan menyerangnya dari segala arah.
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi bingupg.
Dengan mantap ia menghadapi serangan-serangan itu.
Kadang-kadang Glagah Putih meloncat menghindar.
Namun kadang-kadang Glagah Putih sengaja membentur serangan guru Ancak Liman itu.
Glagah Putihpun kemudian juga mempercepat serangan-serangannya.
Dengan kemampuannya bergerak cepat, Glagah Putih akhirnya mampu menembus pertahannan guru Ancak Liman.
Serangan kakinya yang mengenai lambung telah menggetarkan tubuhnya.
Terasa serangan yang mengenai lambungnya itu telah membuat pernafasannya menjadi sesak serta nyeri yang serasa meremas isi perutnya.
Guru Ancak Liman itu bergeser surut untuk mengambil jarak.
Sambil meraba lambungnya yang keskaitan.
guru Ancak Liman itupun berkata.
"Kau telah menyakiti aku. Karena itu, maka tidak ada lagi jalan bagimu untuk menghindar dari kematian."
Glagah Putih tidak menjawab.
Namun iapun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk menghadapi puncak kemarahan guru Ancak Liman itu.
Sebenarnyalah guru Ancak Liman itupun telah benar-benar sampai kepada tataran tertinggi ilmunya.
Dari ubun-ubunnya telah mengepul asap yang tipis agak kemerah-merahan.
Glagah Putih melihat asap itu.
Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati.
Sebenarnyalah serangan-serangan orang itu selanjutnya bagaikan telah menghamburkan udara panas.
Angin yang bergetar oleh ayunan tangan dan kakinya, bahkan seluruh tubuhnya, terasa menjadi semakin panas.
first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo
Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long