Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 19


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   Sahut orang itu sambil membelalakkan matanya."

   Glagah Putih pun bergeser surut sambil menjawab.

   "Tetapi perbuatan Ki Sanak membuat istriku ketakutan."

   "Isterimu memang penakut. Bukankah aku bersikap wajar-wajar saja?"

   "Tidak. Itu tidak wajar. Ki Sanak tahu, bahwa ia adalah isteriku. Ia duduk disampingku. Tetapi Ki Sanak mendekatinya dan bertanya, siapakah namanya? Kenapa Ki Sanak tidak bertanya kepadaku."

   "Gila. Kau gila. Aku pecahkan kepalamu."

   "Jangan. Ki Sanaklah yang telah menakuti isteriku. Ki Sanak tidak dapat menyalahkan aku."

   "Diam,"

   Bentak orang itu.

   "Jika kau tidak mau diam, aku akan memukulmu sampai pingsan."

   "Jangan. Tetapi Ki Sanak harus minta maaf kepada isteriku."

   "Cukup, cukup,"

   Teriak orang yang marah itu. Dalam pada itu, petugas penginapan itupun berlari-lari mendatangi keributan itu. Dengan hati-hati ia bertanya.

   "Apa yang terjadi. Ki Sanak?"

   "Laki-laki itu membuat isteriku ketakutan, ia menggamit isteriku dan bertanya siapa namanya?"

   Orang itu tiba-tiba saja telah menampar mulut Glagah Putih. Terdengar Glagah Putih mengaduh kesakitan.

   "Tunggu, Ki Sanak. Kita harus menyelesaikannya dengan baik. Ki Sanak tidak boleh melakukan kekerasan."

   "Diam kau pelayan edan. Kau tidak usah turuti campur."

   "Aku petugas disini Ki Sanak. Sudah sewajarnya aku berusaha untuk menjaga ketenangan di penginapan ini."

   "Singkirkan laki-laki dan perempuan cengeng itu."

   "Aku akan membawanya menyingkir. Tetapi Ki Sanak jangan menakut-nakuti lagi."

   "Cukup Bawa mereka pergi."

   Selagi orang itu membentak. Sela Aji telah datang dengan tergesa-gesa. Dengan nada tinggi iapun bertanya.

   "Ada apa?"

   Glagah Putihlah yang menyahut.

   "Laki laki itu menakut-nakuti isteriku."

   "Tidak. Aku hanya bertanya, siapa namanya."

   "Pertanyaanmu itulah yang membuatnya ketakutan."

   "Ya. Isteriku duduk disampingku. Laki-laki itu datang langsung menggamitnya dan bertanya siapa namanya. Kenapa ia tidak bertanya kepadaku?"

   Sela Aji memandang orang itu dengan dahi yang berkerut. Kemudian iapun berkata.

   "Sudahlah, tinggalkan mereka. Atas nama Ki Murdaka, aku peringatkan sekali lagi, agar kalian tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat persoalan yang rumit di kademangan ini."

   "Aku tidak berbuat apa-apa Ki Sela Aji. Kedua orang itulah yang cengeng."

   "Kalau begitu, jangan sentuh orang yang cengeng."

   Ternyata bahwa wibawa Sela Aji masih tetap tinggi. Beberapa orang itupun bergeser surut. Namun seorang diantara mereka berkata.

   "Laki-laki dan perempuan itulah yang keterlaluan. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tetapi mereka sengaja membuat keributan untuk menarik perhatian."

   "Sudah, sudah,"

   Sahut Sela Aji.

   "jauhilah mereka jika kalian tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang cengeng."

   Orang-orang itupun segera menjauh. Namun dalam pada itu, di halaman Sutasuni dan seorang kawannya berdiri termangu-mangu. Glagah Putih segera menggamit Rara Wulan. Mereka pun segera turun dari pendapa dan mendapatkan Sutasuni.

   "Ki Sanak yang semalam merasa terganggu itu?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Ya. Mereka memang orang-orang yang tidak tahu aturan."

   "Sebenarnya aku ingin melawan. Tetapi aku hanya seorang diri dihadapan sekian banyak orang."

   "Tetapi orang-orang itu sekali-sekali harus dibuat jera. Apakah kau tahu, siapakah mereka itu?"

   Glagah Putih termangu mangu sejenak. Ia merasa heran, bahwa Sutasuni dari gerombolan Panji Kukuh tidak mengenal Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati. Setidak-tidaknya mengenali namanya. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata.

   "Entahlah. Tetapi mereka datang dalam kelompok yang jumlahnya cukup banyak."

   "Mereka harus dibuat jera."

   "Kalau terjadi perselisihan lagi antara Ki Sanak dengan orang-orang itu, apalagi jika terjadi benturan kekerasan, kami akan berpihak kepada Ki Sanak."

   "Kami siapa maksudmu?"

   "Aku dan isteriku."

   "Kau dan isterimu ini?"

   "Ya. Serba sedikit ia mampu melindungi dirinya sendiri."

   "Baik. Nanti malam aku akan memanggil kawan kawanku. Mereka harus dibuat jera."

   "Ajak kami berdua."

   "Baik. Kami akan mengajak kalian berdua."

   "Jika demikian, kami akan bersembunyi saja di bilik Ki Sanak."

   "Di bilikku?"

   Bertanya Sutasuni dengan heran.

   "Ya. Kenapa?"

   "Kau dan isterimu?"

   "Ya. Kami merasa tidak aman lagi di bilik kami sendiri."

   Sutasuni masih tetap ragu-ragu. Namun kemudian katanya.

   "Sekehendak kalian sajalah. Tetapi bilik itu sudah terisi oleh dua orang. Aku dan kawanku ini. Sementara itu aku telah memanggil kawan-kawanku agar malam nanti mereka dalang kemari. Aku akan memberi sedikit pelajaran kepada orang-orang yang merasa seakan-akan penginapan ini milik mereka. Lebih dari itu, agaknva mereka merasa bahwa di Seca ini mereka dapat berbuat sesuka hatinya tanpa ada orang yang mampu mencegahnya."

   "Nah. Jika demikian, satu kebetulan. Sudah aku katakan, aku dan isteriku ada di pihakmu."

   Sutasuni kemudian tidak menolak ketika Glagah Putih dan Isterinya berada di biliknya, meskipun biliknya tidak terlalu luas. Tetapi di bilik itu cukup tempat untuk duduk-duduk mareka berempat.

   "Yang datang itu tentu para penjahat,"

   Berkata Glagah Putih.

   "agaknya mereka akan menguasai Seca yang damai ini. Mungkin mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perdagangan terlarang."

   "Tidak,"

   Sahut Sutasuni.

   "perdagangan terlarang di daerah ini ada di satu tangan. Yang berusaha untuk mengganggu akan disingkirkan."

   "Jangan-jangan justru orang-orang itu yang memiliki jalur tunggal perdagangan gelap di daerah ini?"

   "Bukan mereka."

   "Jadi mereka siapa?"

   "Tidak tahu. Tetapi mungkin kawan-kawanku nanti akan mendapat keterangan dari orang-orang yang mendapat tugas sandi."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Ketika malam menjadi semakin malam, maka suara gamelanpun mulai menjadi lebih tenang.

   Gending-gendingnyapun dipilih gending-gending yang tidak membangkitkan suasana yang gelisah.

   Namun di pendapa itu.

   para pengikut Ki Saba Lintang masih tetap saja ramai oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang menjadi semakin banyak.

   Bahkan di pendapa itu, beberapa orang mulai minum tuak.

   Ketika Ki Sela Aji datang untuk memberi peringatan, maka seorang yang sudah separo baya, yang baru malam itu datang untuk bermalam di penginapan itu berkata.

   "Jangan terlalu merunduk di hadapan Murdaka. Bukankah sekali-sekali kita boleh bergembira? Mumpung tugas kami masih belum terlalu berat. Mumpung kita baru mulai, sehingga kita mempunyai waktu untuk bersenang-senang dengan minum tuak dan sebagainya."

   "Tetapi jika ada yang mabuk?"

   "Ki Sela Aji. Kami bukan anak-anak lagi. Kami sudah terbiasa minum tuak. Kami dapat menjaga diri kami."

   "Ki Murdaka berkeberatan jika kalian minum tuak."

   "Katakan kepada Ki Murdaka, agar Ki Murdaka ikut minum bersama kami."

   "Tetapi Ki Saba Lintangpun berkeberatan jika kalian bermabuk-mabukan di sini, di Seca. Di tempat yang sedang kami persiapkan untuk menjadi salah satu landasan bagi perguruan kami."

   Orang yang sudah separo baya itu tertawa. Katanya.

   "Jika kau laporkan hal ini kepada Ki Saba Lintang, maka kau tentu akan ditertawakannya."

   Ki Sela Aji tidak dapat memaksa.

   Orang itu adalah seorang yang berilmu tinggi, yang menjadi salah seorang pembantu Ki Saba Lintang memimpin perguruan Kedung Jati.

   Ternyata seorang kawan Sutasuni telah mendengar pembicaraan itu.

   Karena itu, maka orang itupun segera mendatangi Ki Sutasuni di biliknya.

   Orang itu terkejut ketika ia melihat ada dua orang laki laki dan perempuan yang berada di dalam bilik itu pula.

   "Katakan. Mereka ada di pihak kita,"

   Desis Sutasuni. Orang itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya iapun berkata.

   "Yang berada di penginapan ini adalah para pengikut Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati."

   "He. Perguruan Kedung Jati."

   "Ya."

   "Dari mana kau tahu?"

   "Aku mendengar pembicaraan mereka di pendapa. Seorang yang agaknya mendapat tugas untuk mengawasi para pengikut Ki Saba Lintang itu mencegah agar mereka tidak bermabuk-mabukan. Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu tidak mau mendengarkan."

   Wajah Sutasuni menjadi tegang. Dengan suara berat dan dalam iapun berdesis.

   "Jadi mereka yang berada di Seca sekarang adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati ?"

   Tiba-tiba saja Glagah Putihpun bertanya.

   "Kenapa jika mereka dari perguruan Kedung Jati."

   "Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar. Bahkan perguruan yang pengaruhnya hampir sama besarnya dengan pengaruh Mataram sendiri."

   "Ah,"

   Desah Glagah Putih.

   "Kau harus percaya. Banyak perguruan-perguruan kecil yang berhimpun menyatu dengan perguruan Kedung Jati."

   "Kau dan kawan-kawanmu juga?"

   "Tidak. Jalan kami berbeda. Kami adalah sekelompok orang yang tidak bergabung dengan siapa-siapa."

   "Jika demikian, ajak kawan-kawanmu untuk menghancurkan perguruan Kedung Jati itu sekarang."

   "Kami tidak berurusan."

   "Jadi apakah urusan kalian di Seca ini? Urusan kalian tentu kelak akan berbenturan dengan kepentingan Ki Saba Lintang."

   Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng sambil berkata.

   "Tidak. Urusan kami tidak akan benturan dengan urusan orang-orang Kedung Jati. Urusan orang-orang dari perguruan Kedung Jati adalah tentang masa depan Mataram dalam hubungannya dengan Jipang dan Demak. Sedangkan urusan kami semata-mata urusan perdagangan."

   "Perdagangan ? Perdagangan yang berlangsung di bawah permukaan ?"

   Sutasuni mengerutkan dahinya. Namun Glagah Putihpun dengan cepat berkata.

   "Itu urusanmu. Aku hanya ingin bergabung untuk mengajari orang-orang yang ada di penginapan ini agar mereka mengerti sedikit unggah-ungguh. Tetapi sudah tentu tidak akan dapat kami lakukan tanpa orang lain."

   "Baik. Akupun ingin memberi sedikit pelajaran kepada mereka. Meskipun mereka dari perguruan Kedung Jati, tetapi persoalannya bukan persoalan kelompokku dengan perguruan Kedung Jati. Tetapi aku ingm memberi peringatan kepada mereka, bahwa mereka berada di rumah kakeknya sendiri. Bahkan pemimpin mereka sendiri menjadi marah melihat tingkah laku mereka. Dengan demikian jika kita berkelahi dengan mereka, maka para pemimpin mereka tentu akan membantu mereka. Bahkan para pemimpin mereka tentu akan berusaha berusaha mencegah mereka dan mungkin menghukum mereka. Tidak akan ada akibat buruk yang akan terjadi pada kelompokku yang ditimbulkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Apalagi mereka juga tidak tahu, siapakah kami ini."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, maka seperti yang diduga oleh Sela Aji, maka beberapa orang kawannya yang sedang minum tuak di pendapapun menjadi mabuk.

   Dengan marah Sela Ajipun kemudian membentak-bentak mereka dan memaksa mereka masuk ke dalam bilik mereka masing-masing.

   "Aku sudah memperingatkan kalian agar kalian tidak minum tuak."

   Tetapi orang yang sudah separo baya, yang ternyata tidak mabuk meskipun ia minum tuak terbanyak menjawab.

   "Inilah laki-laki Sela Aji. Tuak adalah minuman yang wajar bagi laki-laki. Mereka harus banyak-banyak minum agar mereka tidak mudah menjadi mabuk. Jika mereka selalu kau kekang, maka mereka benar-benar akan menjadi pemabuk."

   "Terserah apa yang akan kalian lakukan pada saat-saat kalian tidak sedang mengemban tugas."

   Orang itu tertawa. Katanya.

   "Kau ajari mereka menjadi perempuan. Perempuanpun perempuan cengeng. Seharusnya kau tidak usah terlalu tunduk kepada Murdaka."

   "Ia memerintahkan agar aku menjaga tingkah laku saudara-saudara kita atas nama Ki Saba Lintang sendiri."

   "Tetapi kau tidak boleh memperlakukan kami seperti kanak-kanak."

   "Bagaimanapun juga, kita harus menjaga agar kita dapat menjalankan tugas kita dengan baik. Kita tidak boleh memberikan gambaran buruk tentang tingkah laku kita kepada orang-orang Seca. Pada saatnya kita akan membuat landasan bagi perguruan kita di tempat ini, sehingga keberadaan kita disini tidak akan menggoyahkan ketenangan dan kedamaian hidup disini."

   Orang yang sudah separo baya, yang tidak mabuk itupun kemudian melangkah pergi sambil bergumam.

   "Sulit bekerja sama dengan orang-orang muda yang merasa dirinya berkuasa."

   Sela Aji tidak menyahut.

   Dibiarkannya orang-orang itu bergeramang sambil berjalan menuju ke biliknya.

   Namun dalam pada itu, kedua orang yang berada di bilik yang beradu dinding dengan bilik Sutasuni itupun telah mabuk pula.

   Dalam keadaan tidak mabuk saja, mereka sudah sangat mengganggu.

   Apalagi ketika kedua-duanya menjadi mabuk, sehingga tingkah laku mereka sangat tidak terkendali.

   Sutasuni menjadi sangat tidak senang terhadap sikap mereka.

   Ia benar-benar merasa terganggu.

   Sehingga karena itu.

   maka iapun berkata kepada kawannya.

   "Siapkan kawan-kawan kita yang bersedia membantu. Kita akan membungkam mereka yang berteriak-teriak. Bukankah mereka yang ada di penginapan ini tidak terlalu banyak sehingga apa yang akan kita lakukan itu tentu akan mendapat perhatian para pemimpin mereka."

   Tetapi kawannya menjadi ragu-ragu. Katanya.

   "Tetapi mereka adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati, Ki Sutasuni."

   "Aku tidak peduli."

   "Jika terjadi perselisihan dan bahkan perkelahian, mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka akan menjadi marah kepada orang-orang yang mabuk itu. Tetapi merekapun tentu akan mencari Ki Sutasuni."

   "Aku akan pergi dari penginapan ini. Kau kira aku dapat bermalam dengan tenang disini?"

   "Pergi ke mana?"

   "Hari pasaran telah lewat. Tentu ada penginapan yang mempunyai bilik yang kosong."

   "Mereka akan menyebar dan memasuki setiap penginapan."

   "Aku akan tidur di pategalan. Bukankah kita terbiasa melakukannya? Kita memang dapat bermanja-manja disini. Tetapi kita pada dasarnya adalah bukan orang-orang yang manja."

   Kawan Sutasuni itu masih saja ragu-ragu. Namun Sutasunipun membentak.

   "Cepat. Kau dengar suara-suara gaduh yang semakin keras itu. Aku sangat membencinya."

   Kawan Sutasuni itu tidak sempat berpikir lagi.

   Iapun segera pergi untuk memanggil beberapa orang kawan yang menginap di penginapan lain yang tersebar untuk menghindari perhatian orang terhadap gerombolan Panji Kukuh.

   Setelah gerombolan Guntur Ketiga di hancurkan oleh Panji Kukuh, belum ada gerombolan lain yang dapat menyainginya, sehingga perdagangan gelap dibawah permukaan di Seca itu seakan-akan dikuasainya sepenuhnya.

   Jika ada kelompok-kelompok kecil yang menghubunginya, maka kelompok-kelompok itu berada dibawah kendalinya.

   Kawan Sutasuni tidak memerlukan waktu banyak.

   Beberapa saat kemudian, orang itu sudah kembali sambil berkata.

   "Beberapa orang itu sudah siap di luar penginapan. Mereka akan masuk jika suasana sudah menjadi gaduh."

   Sutasuni menarik nafas panjang. Iapun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan sambil berkata.

   "Nah, apakah kau benar-benar mau ikut atau tidak? Tetapi ini bukan permainan sur kulon sur wetan di halaman pada saat terang bulan. Kami benar-benar akan berkelahi. Jika kalian merasa tidak mampu melindungi diri sendiri, sebaiknya kalian tidak usah ikut. Masih ada waktu untuk meninggalkan penginapan ini atau kembali ke bilik kalian."

   "Tidak,"

   Jawab Glagah Putih.

   "kami sudah memutuskan untuk ikut bersama kalian."

   "Tetapi kami tidak akan sempat melindungi kalian. Jika terjadi sesuatu atas kalian, itu adalah tanggung jawab kalian sendiri."

   "Ya. Mereka telah meremehkan isteriku. Aku ingin menghajar mereka. Tetapi tentu tidak dapat kami lakukan hanya berdua saja."

   "Baik. Ikutlah jika kalian mau ikut. Tetapi kalian harus melindungi keselamatan kalian sendiri."

   Sejenak kemudian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya telah keluar dari biliknya.

   Di belakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya.

   Ternyata yang menjadi ramai, ribut oleh igauan dan suara suara gaduh tidak hanya di bilik sebelah bilik Sutasuni.

   Sela Aji dan Demung Pungut sudah tidak mampu lagi menguasai mereka yang sedang mabuk.

   Apalagi beberapa orang yang baru datang di Seca bersama Ki Saba Lintang sendiri dan ditempatkan dipenginapan itu.

   Sutasuni sangat benci suasana seperti itu.

   Karena itu ketika orang yang berada dibilik di sebelah biliknya itu meneriakkan tembang dengan irama yang sama sekali tidak mapan.

   Sutasuni telah mengetuk pintu biliknya.

   Tidak dengan tangannya, tetapi dengan batu sebesar telur itik.

   "He, diam kau pemabuk,"

   Teriak Sutasuni yang marah.

   Orang yang berada di dalam bilik itu terkejut juga meskipun mereka sedang mabuk.

   Kesadarannya masih tetap ada meskipun sudah tidak lurus lagi.

   Karena itu, maka orang itu terdiam sejenak.

   Namun kemudian terdengar kedua orang yang sedang ada di dalam berteriak hampir berbareng.

   "He. iblis manakah yang telah berani mengganggu ketenangan kami."

   "Kalianlah yang telah mengganggu orang lain. Kemarin malam sebelum kau mabuk, kau sudah mengganggu. Apalagi sekarang setelah kalian mabuk."

   "Aku tidak mabuk,"

   Terdengar seorang menjawab dengan suara parau. Tetapi yang seorang lagi agaknya tidak dapat mengekang diri. Dalam mambuknya orang itu menjadi marah. Sambil mengumpat-umpat diangkatnya selarak pintunya.

   "Aku bunuh kau,"

   Teriaknya kemudian.

   Begitu pintu terbuka, orang itupun segera mengayunkan selarak pintu yang ada ditangannya itu kearah kepala Sutasuni.

   Namun Sutasuni sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu.

   Ketika selarak pintu itu terayun, maka Sutasumpun segera mengelak.

   Tetapi demikian selarak pintu itu terayun tanpa menyentuh tubuhnya.

   Sutasunipun segera melontarkan serangan kakinya terjulur lurus mengenai orang itu, sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

   Orang itu terdorong kebali masuk ke dalam biliknya menimpa kawannya yang sedang bergerak keluar.

   Keduanyapun terjatuh saling menindih didalam biliknya.

   Tetapi keduanya dengan cepat bangkit sambil berteriak-teriak marah.

   Dengan garangnya keduanyapun segera meloncat keluar.

   Merekapun dengan serta merta telah menyerang Sutasuni sambil berteriak-teriak kasar.

   Beberapa orang kawannya memang belum tidur.

   Ada diantara mereka yang mabuk, setengah mabuk atau mereka yang kesadarannya masih utuh, tetapi kepalanya mulai terasa pening.

   Ketika mereka mendengar kegaduhan itu, maka merekapun segera berlari-larian keluar dari bilik mereka.

   Beberapa orang yang berdatangan itu ternyata sama sekali tidak berniat melerai perkelahian.

   Tetapi merekapun segera membantu kawannya menyerang Sutasuni.

   Dengan demikian maka kedua orang kawan Sutasunipun segera melibatkan diri mereka.

   Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiam diri.

   Namun beberapa saat kemudian orang-orang dari perguruan Kedung Jati itupun menjadi semakin banyak.

   Dengan demikian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya segera mengalami kesulitan.

   Apalagi orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu pada dasarnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

   Sedangkan kawan-kawan Sutasuni yang lain masih berada di luar halaman penginapan.

   Karena itu, maka seperti yang dijanjikan Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memasuki arena perkelahian.

   Dengan tangkasnya mereka berdua berloncatan diantara orang-orang yang berilmu tinggi itu.

   Sutasuni dan kawan-kawannya memang agak terkejut.

   Mereka tidak mengira bahwa Glagah Putih dan isterinya adalah orang-orang yang memiliki bekal kanuragan yang tinggi, sehingga diantara para pengikut Ki Saba Lintang itu, Glagah Putih mampu untuk melindungi dirinya sendiri.

   Bahkan demikian pula isterinya.

   Karena itu, maka Sutasunipun menjadi semakin mantap.

   Dengan garang Sutasuni menyerang orang-orang yang sedang mabuk dan setengah mabuk itu.

   Apalagi ketika beberapa orang kawannya berdatangan memasuki halaman penginapan itu, sehingga perkelahian itupun semakin seru.

   Petugas di penginapan itupun telah datang pula.

   Tidak hanya seorang.

   Tetapi beberapa orang.

   Mereka berusaha untuk melerai perkelahian itu.

   Sambil berteriak-teriak mereka menyibak orang-orang yang sedang terlibat dalam perkelahian yang semakin menjadi sengit.

   Tetapi para petugas yang meskipun memiliki bekal serba sedikit dalam olah kanuragan itu, tidak mampu berbuat apa apa.

   Ketika orang-orang yang terlibat dalam perkelahian meningkatkan kemampuan mereka, maka para petugas itu justru harus menepi, karena perkelahian itu akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka.

   Orang yang di pringgitan menggamit Rara Wulan dan bertanya namanya, telah berada di arena perkelahian itu pula.

   Ia memang menjadi heran, bahwa perempuan itu terlibat dalam perkelahian itu pula.

   Dengan mulut yang berbau tuak, orang itu mencoba, untuk memanfaatkan kegaduhan itu.

   Karena itu, maka orang itu sengaja menyelinap diantara kawan-kawannya mendekati Rara Wulan.

   Tiba-tiba saja orang itu telah menyergap Rara Wulan dan langsung menyekapnya dari belakang, pada saat Rara Wulan sedang menghindari serangan salah seorang pengikut Ki Saba Lintang.

   Rara Wulan terkejut.

   Dengan gerak naluriah, sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Rara Wulanpun sedikit pada pijakan kakinya, Rara Wulan telah menghantam lawannya dengan sikunya tepat diarah ulu hati.

   Orang yang menyekap Rara Wulan itu terkejut, ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak secepat itu.

   Karena itu, maka dekapannyapun terlepas dan bahkan sambil menyeringai kesakitan orang itu terdorong surut selangkah.

   Sementara Rara Wulanpun bergerak selangkah pula maju.

   Dalam pada itu.

   selagi orang itu belum sempat memperbaiki keadaannya.

   Rara Wulan telah melenting sambil memutar tubuhnya.

   Kakinya bergerak mendatar menyambar dagu orang itu.

   Orang itu sama sekali tidak mampu mempertahankan keseimbangannya.

   Ia terlempar beberapa lagkah dan kemudian jatuh terbanting di tanah.

   Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri.

   Tetapi ia masih harus menyeringai menahan sakit di dagu dan arah ulu hatinya, sehingga nafasnya terasa sesak.

   Namun Rara Wulan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi terhadap orang itu.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seorang yang lebih muda dan orang itupun telah menyerangnya pula.

   Namun Rara Wulan telah bersiap menghadapinya.

   Sementara itu, perkelahianpun menjadi semakin sengit.

   Sutasuni dan kawan-kawan sempat merasa heran melihat Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur.

   Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, yang tidak kalah dari kebanyakan para pengikut Panji Kukuh.

   Bahkan kemampuannya keduanyapun tidak lebih rendah dari kemampuan Sutasuni sendiri.

   Sejenak kemudian perkelahian itupun menjadi semakin seru.

   Sela Aji dan Demung Pugut agaknya terlambat mendatangi arena perkelahian itu sehingga perkelahian itu sudah merambat ke halaman.

   Beberapa orang kawan Sutasuni telah melibatkan diri pula berkelahi melawan orang-orang dari perguruan Kedung Jati.

   Di halaman, Glagah Putih dan Rara Wulan justru nampak lebih garang dari kawan-kawan Sutasuni dan bahkan Sutasuni sendiri.

   Beberapa orang yang berkelahi bersama-sama melawannya sulit untuk dapat bertahan terlalu lama.

   Bergantian mereka terlempar dari arena dan jatuh berguling-guling di halaman.

   Ketika Sela Aji dan Demung Pugut sampai di halaman, maka iapun segera berteriak-teriak serta mencoba menghentikan perkelahian itu.

   "Berhenti, berhentilah pemabuk,"

   Teriak Sela Aji.

   "Aku akan membunuh mereka,"

   Teriak orang yang sudah separo baya yang datang di Seca kemudian bersama Ki Saba Lintang.

   "Tidak, berhentilah."

   "Aku tidak mabuk Sela Aji. Aku tahu itu. Tetapi aku tidak senang diperlakukan seperti ini oleh orang-orang sombong yang merasa dirinya memiliki kademangan ini."

   "Kita akan membicarakannya."

   "Itu tidak perlu."

   Namun Sutasuni berteriak.

   "Mereka telah mengganggu kami."

   Sela Aji menjadi kebingungan. Demung Pugutpun berteriak-teriak pula.

   "Berhentilah. Nanti kita akan menyelesaikan persoalannya."

   Tetapi orang-orang yang berkelahi itu tidak mau berhenti.

   Bahkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu telah mengerahkan kemampuan mereka.

   Mereka yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta datang dari sebuah perguruan yang besar, ingin menunjukkan kebesaran mereka.

   Menurut pendapat mereka, orang-orang lainlah yang harus mengalah dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat apa saja sesuka hati mereka.

   Ternyata Sela Aji dan Demung Pugut tidak mampu lagi melerai mereka yang berkelahi.

   Para petugas penginapan itupun telah mencoba pula membantu Sela Aji dan Demung Pugut.

   Mereka ikut berteriak-teriak agar perkelahian itu berhenti.

   Tetapi merekapun tidak berhasil pula.

   Dalam pada itu, Sutasuni yang merasa sangat terganggu itupun telah berkelahi dengan meningkatkan kemampuannya pula.

   Ia sadar, bahwa yang dilawan adalah orang-orang dari sebuah perguruan yang besar.

   Orang-orang yang tentu berilmu tinggi.

   Namun dalam pada itu, Sutasuni itu sempat mengagumi Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Keduanya berkelahi dengan garangnya.

   Kemampuan mereka benar-bepar cukup tinggi, sehingga dapat mengimbangi lawan-lawan mereka.

   Namun lawan semakin lama semakin banyak.

   Sutasunipun merasa bahwa bersama kawan-kawannya mulai mengalami kesulitan.

   Hanya Glagah Putih dan Rara Wulan sajalah yang masih mampu berloncatan kesana-kernari.

   Kemampuan lawan-lawan mereka sama sekali tidak membatasi gerak kedua orang suami isteri itu.

   Namun akhirnya Sutasunipun berkata dengan suara lantang.

   "Tinggalkan tempat ini. Kita sudah menyatakan sikap kita. Biarlah para petugas serta pemilik penginapan ini yang nanti menertibkan mereka yang tidak mempunyai tatanan. Yang sama sekali tidak menghargai orang lain. Seca akan menjadi neraka jika mereka itu akan tinggal di lingkungann ini."

   "Tidak. Jangan salah paham,"

   Teriak Sela Aji. Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan lagi. Iapun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.

   "Kita mencari penginapan lain yang lebih tertib dari penginapan ini."

   "Tunggu Ki Sanak. Aku akan berbicara,"

   Teriak Sela Aji pula. Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan. Ia sempat berkata kepada Glagah Putih.

   "Ki Sanak. Ajak isterimu pergi meninggalkan penginapan yang ribut ini."

   Tidak ada yang dapat mencegah lagi.

   Mereka segera bergeser menuju ke pintu regol halaman yang terbuka.

   Sela Aji dan Demung Pugutpun berlari ke pintu regol itu pula.

   Ketika Sutasuni dan kawan kawannya serta Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu regol, maka Sela Aji dan Demung Pugut mencoba untuk menghalangi kawan-kawan mereka yang akan mengejar keluar regol.

   "Jangan keluar regol halaman. Jangan berkelahi di luar. Kalian akan merusak ketenangan hidup orang-orang Seca yang selama ini mereka pertahankan."

   Orang-orang yang sedang mabuk, setengah mabuk dan yang tidak mabuk sama sekali, memang berhenti dipintu. Sementara Sela Ajipun berteriak pula.

   "Kembali ke bilik kalian masing-masing. Jaga ketenangan penginapan ini. Jangan mengganggu orang lain yang juga sedang menginap di penginapan ini."

   "Mereka harus diajar untuk menghormati kita. Bukankah kita orang-orang dari perguruan Kedung Jati yang besar."

   "Agar kita dihormati, maka kitapun harus menghormati orang lain."

   Orang yang sudah separo baya itu menyahut.

   "Kitalah yang terbesar. Orang lain yang harus menghormati kita. Jika perlu kita akan memaksa mereka dengan kuasa yang ada pada kita."

   "Bukan begitu maksud Ki Saba Lintang. Khususnya di kademangan ini."

   Dalam pada itu.

   selagi mereka masih berbantah di dalam regol halaman regol halaman penginapan, sekelompok petugas dari Seca telah berdatangan.

   Mereka adalah petugas yang dibentuk oleh Ki Demang di Seca untuk tetap mempertahankan keamanan di kademangan ini.

   Tetapi orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu telah meremehkan mereka.

   Dengan nada tinggi seorang berkata.

   "Suruh mereka mencuci mangkuk dan menimba air di pakiwan."

   "Diam,"

   Teriak Sela Aji yang menjadi benar-benar marah. Sementara Demung Pugut pun berteriak pula.

   "Apa yang kalian lakukan akan kami laporkan kepada Ki Saba Lintang."

   "Kau kira Ki Saba Lintang tidak memperdulikan tingkah laku kalian di tempat yang lain. Tetapi tidak di Seca ini."

   Sementara itu pemimpin sekelompok petugas dari kademangan itupun menemui Sela Aji sambil bertanya.

   "Apa yang terjadi disini, Ki Sanak.'' Ternyata salah seorang petugas di penginapan itu telah melaporkan apa yang telah terjadi di penginapan itu kepada para petugas.

   "Hanya sedikit salah paham, Ki Sanak."

   Jawab Sela Aji.

   "seseorang meresa terganggu oleh orang lain."

   Pemimpin sekelompok petugas dari kademangan Seca itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu iapun bertanya pula.

   "Tetapi terjadi perkelahian antar kelompok melawan kelompok."

   "Ya,"

   Jawab Demung Pugut.

   "semula hanya dua orang yang biliknya bersebelahan. Yang satu merasa terganggu oleh yang lain. Terjadi perselisihan. Perselisihan itu berkembang demikian cepatnya, sehingga petugas di penginapan ini tidak sempat melerainya. Kawan-kawan mereka yang terlibat dalam pertengkaran itu saling membantu, sehingga akhirnya terjadi perkelahian antara kelompok melawan kelompok. Tetapi seperti yang Ki Sanak lihat, perkelahian itu sudah selesai. Sekelompok diantara mereka yang berselisih telah meninggalkan halaman penginapan ini."

   "Mereka pergi ke mana ?"

   "Tentu saja kami tidak tahu,"

   Jawab Sela Aji.

   "Yang pergi itu orang yang merasa terganggu atau justru orang yang dianggap mengganggu? "

   "Mereka adalah orang yang merasa terganggu."

   Pemimpin sekelompok petugas itu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Baiklah. Jika demikian persoalannya sudah selesai. Orang-orang yang merasa terganggu itu sudah meninggalkan penginapan ini."

   "Aku tidak tahu, apakah mereka akan kembali atau tidak. Mungkin mereka akan kembali membawa kawan-kawan mereka."

   "Mudah-mudahan tidak,"

   Jawab pemimpin sekelompok petugas itu.

   "meskipun demikian, kami akan selalu mengawasi penginapan ini. Jika terjadi kerusuhan lagi, biarlah petugas penginapan ini memukul kentongan. Namun aku minta, orang-orang yang bermalam di penginapan ini dapat saling menjaga. Bertimbang rasalah, sehingga tidak akan terjadi kerusuhan-kerusuhan. Selama ini Seca adalah sebuah kademangan yang aman."

   "Baik, Ki Sanak. Kami akan mencoba menjaga agar kami tidak mengganggu orang lain."

   Para petugas kademangan itupun kemudian telah meninggalkan penginapan itu. Kepada petugas di penginapan itu, pemimpin sekelompok petugas itupun berkata.

   "Jaga penginapanmu dengan baik. Jika terjadi kekisruhan lagi, bunyikan kentongan. Kami akan segera datang."

   "Baik Ki Sanak,"

   Jawab salah seorang petugas di penginapan itu. Sejenak kemudian, para petugas itupun meninggalkan regol halaman penginapan. Sementara itu, seorang yang berkumis lebat bertanya kepada kawannya.

   "Gerombolan tikus-tikus itu tadi ingin menertibkan kita?"

   Mendengar pertanyaan itu, beberapa orangpun tertawa. Seorang diantara mereka berkata.

   "Kami menghormati tugas-tugas mereka. Karena itu, kita tidak akan mengganggunya."

   Namun Sela Ajipun membentak.

   "Mereka adalah orang-orang yang terlatih."

   Tetapi beberapa orang masih saja mentertawakannya. Wajah Sela Aji menjadi merah. Tetapi Demung Pugut yang lebih tua berkata.

   "Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Jantungmu akan dapat berhenti berdetak."

   "Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi kata-kataku."

   "Bukankah kau sudah bertahun-tahun bergaul dengan mereka."

   "Tetapi kali ini kita mengemban tugas agak berbeda. Seharusnya mereka dapat mengerti."

   "Mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak sendiri. Jangan hiraukan mereka lagi."

   Sela Aji menarik nafas panjang.

   Bersama Demung Pugut, Sela Ajipun segera meninggalkan regol dan ke pendapa langsung menuju biliknya.

   Namun bilik disebelahnya itupun sudah kosong.

   Ketika Sela Aji menjenguk lewat daun pintu yang terbuka, didalam bilik sebelahnya itu tidak lagi terdapat seorangpun.

   Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang meninggalkan penginapannya, mengikuti Sutasuni dan kawan-kawannya.

   Ternyata mereka tidak berada di satu penginapan.

   Beberapa orang menginap di penginapan di sebelah Barat pasar.

   Yang lain di penginapan yang kurang terpelihara di sebelah Selatan pasar.

   Penginapan yang sekedarnya saja dipergunakan untuk meletakkan tubuh di amben besar yang dipergunakan untuk beberapa orang sekaligus.

   "Aku akan langsung menghadap Ki Panji Kukuh,"

   Berkata Sutasuni.

   "Bagaimana dengan kami?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Apa rencanamu selanjutnya,"

   Sutasuni justru bertanya.

   "Aku tidak punya rencana apa-apa."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jadi untuk apa kau berada di Seca?"

   "Kami berdua adalah pengembara. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lain."

   "Kalian tidak terikat dengan siapapun?"

   "Tidak. Kami tidak terikat dengan siapa-siapa. Terakhir kami mencoba berhubungan dengan Jati Ngarang. Tetapi ternyata di Seca kami tidak dapat menemuinya. Aku sudah dua kali pasaran berkeliaran di pasar ini."

   "Jati Ngarang? Untuk apa?"

   "Kau kenal dengan Jati Ngarang?"

   "Pencuri ayam dan jemuran itu. Untuk apa kau berhubungan dengan sejenis kecoa itu?"

   "Jati Ngarang menawarkan hubungan perdagangan yang menarik buat kami berdua."

   "Tinggalkan Jati Ngarang. Jika kau mau, ikut aku."

   Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Sementara Sutasuni berkata.

   "Kalian berdua adalah orang-orang berilmu tinggi. Kalian pantas berada di dalam lingkungan yang terhormat. Kenapa kalian memilih berhubungan dengan Jati Ngarang yang berada di luar hitungan itu?"

   "Kami baru akan mulai. Kami tidak tahu jalur yang lebih pantas dari Jati Ngarang."

   Sutasuni termangu-mangu sejenak.

   Ia sudah melihat, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.

   Keduanya mampu bertempur dengan garang melawan orang-orang dan perguruan yang besar, Kedung Jati.

   Kedua orang itu sama sekali tidak menjadi gentar, sementara di dalam pertarungan keduanya mampu menunjukkan kelebihan mereka.

   "Ki Sanak,"

   Berkata Sutasuni.

   "jika bersedia bersama kami. aku akan menyampaikannya kepada Ki Panji Kukuh."

   "Maksud Ki Sanak?"

   "Daripada kalian berhubungan dengan cucurut seperti Jati Ngarang, aku kira lebih baik kalian berada didalam lingkungan kami."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Kepada Rara Wulan Glagah Putih itupun bertanya.

   "Bagaimana pendapatmu?"

   "Kita akan melihat dahulu, apakah kita sesuai atau tidak. Selama ini kita tidak pernah merasa tidak terikat dengan sisapun,"

   Jawab Rara Wulan.

   "Dalam perdagangan gelap, dapat saja seseorang tidak terikat dengan siapapun. Tetapi dengan demikian tidak ada satu lingkungan yang akan dapat melindunginya. Dalam perdagangan gelap, orang-orang yang demikian biasanya akan hilang begitu saja tanpa ada yang mengetahuinya kemana perginya. Untuk selamanya ia tidak akan pernah muncul kembali."

   "Jika orang itu tidak merugikan segala pihak?"

   "Mereka dapat menjadi ular berkepala bukan hanya dua. Meskipun mula-mula tidak ada niat untuk berbuat seperti itu, namun akhirnya orang-orang yang tanpa ikatan itu akan memilih kaitan yang terbaik bagi diri mereka. Nah, pada saat-saat yang demikian itulah, maka orang-orang yang merasa dirinya tanpa ikatan itu akan hilang."

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya Glagah Putih mengangguk sambil berkata.

   "Baiklah. Kami setuju bergabung dengan kalian."

   "Baik. Aku akan menyampaikan kepada Ki Panji Kukuh. Siapakah sebutan kalian yang pantas aku sampaikan kepada Ki Panji?"

   "Kenapa dengan sebutan itu?"

   "Jarang sekali orang menyebutkan namanya sendiri yang sebenarnya. Biasanya mereka memilih nama yang dapat memberikan dukungan bagi kerja yang dilakukannya."

   "Apakah namamu juga bukan namamu sendiri?"

   "Namaku memang Sutasuni. Aku tidak dapat membuat nama lain yang lebih baik dari namaku sendiri."

   "Ki Panji Kukuh ?"

   "Itu bukan namanya sendiri. Tetapi kita tahu, bahwa orang itulah yang dimaksud dengan Ki Panji Kukuh."

   Glagah Putih tersenyum. Katanya.

   "Aku lebih senang memakai namaku sendiri meskipun barangkali tidak terasa garang."

   "Siapa namamu?"

   "Carangkerep. Aku tidak tahu kenapa orang tuaku memberiku nama Carangkerep. Tetapi aku sering juga dipanggil Nagagundala."

   "Bagus. Kami akan memanggilmu Nagagundala. Nama itu lebih seram."

   "Apakah aku pantas disebut Nagagundala ?"

   "Ujudmu memang tidak. Tetapi ilmumu akan dapat mengejutkan lawan-lawanmu."

   "Terserah sajalah."

   "Isterimu ?"

   "Namanya sendiri Mawanti. Tetapi panggil saja Nyi Nagagundala."

   Rara Wulan mengerutkan dahinya. Suaminya sering memakai nama lain. Tetapi selalu berganti-ganti, sehingga setiap kali ia harus mengingat-ingat siapakah namanya pada satu saat.

   "Baik. Baik. Aku akan menghubungi Ki Panji Kukuh. Kau tunggu saja di sini."

   "Disini?"

   Sutasunipun kemudian berkata kepada seorang kawannya "Bawa Ki Nagagundala ini kepanginapanmu."

   "Isterinya?"

   "Ya, kedua-duanya."

   "Tetapi keberadaan Nyi Nagagundala akan membuat penginapan itu gaduh. Tidak ada seorang perempuanpun menginap di penginapan sebelah Selatan pasar itu. Disana hanya ada beberapa amben panjang di barak yang luas memanjang."

   "Tidak apa-apa. Aku akan berbicara dengan Ki Panji Kukuh."

   "Baik. Tetapi kami akan menunggu diluar regol halaman penginapan."

   "Terserah kepadamu."

   Ki Sutasuni itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan bersama dua orang kawannya.

   Mereka pergi ke penginapan di sebelah Selatan pasar.

   Tetapi seperti yang dikatakan kawan Sutasuni, mereka tidak masuk ke dalam penginapan itu agar keberadaan Rara Wulan tidak menarik perhatian.

   Beberapa lama mereka berada di halaman penginapan yang sudah sepi itu.

   Dalam kegelapan tidak segera nampak perbedaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.

   Sementara itu, petugas di penginapan itupun tidak bekerja setertib petugas di penginapan yang ditinggalkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Bahkan setelah lewat tengah malam, merekapun telah tidur mendengkur di gardu di sebelah sayap kanan penginapan itu.

   "Apakah orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu tidak akan mencari kita sampai kemari?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Nampaknya tidak. Orang yang mengawasi keberadaan mereka di Seca agaknya tidak akan membiarkan orang-orangnya itu mencari kita."

   Glagah Putih terdiam. Rara Wulanlah yang kemudian berdesis.

   "Setelah kita pergi, maka mereka akan berbuat sekehendak hati di penginapan itu. Orang-orang yang mabuk dan setengah mabuk itu akan menjadi semakin mabuk. Agaknya Sela Aji dan Demang Pugut sudah tidak berdaya lagi."

   "Ya, mereka akan tenggelam dalam dunia yang lain didalam alam mabuk mereka."

   Tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis.

   "Malam ini adalah malam yang mengandung seribu kemungkinan."

   Rara Wulan tidak menjawab.

   Ia hanya menarik nafas panjang sambil menyilangkan tangannya didadanya.

   Sementara itu, Sutasuni telah menemui Ki Panji Kukuh yang berada di penginapan, di sebelah Barat pasar.

   Kedatangan Sutasuni agaknya telah mengejutkannya.

   Sambil mengusap matanya yang sudah terpejam beberapa saat, iapun bertanya.

   "Ada apa malam-malam begini kau mencari aku?"

   "Kami telah berkelahi, Ki Panji."

   "Berkelahi dengan siapa dan ada persoalan apa?"

   "Persoalannya sebenarnya tidak penting. Tetapi orang itu sangat menjengkelkan."

   "Katakan, apa yang terjadi."

   Sutasunipun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi.

   "Orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu sangat menjengkelkan. Aku tidak tahan lagi."

   "Kau membuka permusuhan dengan orang-orang dari perguruan Kedung Jati? Jika itu yang kau lakukan, maka kau telah memanggil bencana. Mungkin tidak hanya bagi dirimu sendiri. Tetapi bagi kita semuanya."

   "Mereka tidak tahu, siapa kami yang telah berkelahi dengan mereka di penginapan itu."

   "Tetapi mereka akan segera mengetahuinya. Bukankah mereka akan berada disini untuk beberapa hari?"

   "Kami tidak tahu, Ki Panji. Tetapi agaknya memang begitu."

   Mereka sedang mengamati kademangan Seca. Mungkin mereka akan menjadikan kademangan ini salah satu landasan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali perguruan Kedung Jati."

   "Jika mereka menemukan kalian, maka kalian akan menjadi debu."

   "Tentu tidak malam ini, Ki Panji. Tetapi jika itu terjadi pada kesempatan lain, kami memang akan menjadi debu."

   "Pikirkan itu. Apakah kau akan pergi meninggalkan Seca atau kalian mempunyai pertimbangan lain?"

   Sutasuni menggeleng. Namun seperti yang sudah disinggungnya serba sedikit, maka Sutasuni itupun mengulanginya.

   "Bagaimana dengan sepasang suami isteri yang aku sebutkan itu? Nampaknya mereka masih sangat lugu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas, sehingga dalam waktu singkat, mereka sudah akan memiliki bekal yang lengkap, apa yang harus mereka lakukan jika mereka berada di lingkungan kita."

   "Kau percaya kepada sepasang suami isteri itu?"

   "Ya. Aku mempercayai mereka."

   "Kau belum menyebutkan namanya."

   "Namanya Carangkerep. Tetapi dengan bangga ia sebut dirinya Nagagundala."

   "Nagagundala?"

   "Ya. Ki Panji."

   "Dari mana ia mendapatkan nama yang seram itu?"

   "Entahlah. Mungkin ia pernah mendengar nama seperti itu. Yang ia tahu, nama itu baik dan memberikan kesan yang garang."

   "Baiklah. Bukankah kita tidak akan mengecewakannya hanya karena pilihan namanya. Mungkin banyak diantara kita yang mempunyai nama sampai dua atau tiga."

   "Bahkan nama Ki Panji sendiri."

   "Hus. Kau tidak usah berkata begitu."

   "Maaf Ki Panji."

   "Aku memakai namaku dengan resmi. Bukankah saat itu kita yang masih bersarang di hutan dan di goa-goa, aku memerintahkan untuk membuat jenang abang, jenang putih dan jenang baro-baro serta jajan pasar untuk meresmikan namaku? Ki Panji Kukuh."

   "Tetapi Ki Panji sudah memakai nama yang lain sebelumnya."

   "Sudah. Sudah. Apa peduli kita tentang nama. Yang penting, kau berani mempertanggungjawabkan keberadaannya diantara kita?"

   "Aku akan bertanggungjawab Ki Panji."

   "Jika demikian, panggil sepasang suami isteri itu kemari."

   "Baik. Ki Panji."

   Sutasunipun kemudian meninggalkan Ki Panji, sementara kawannya yang tidak ikut bersama Sutasuni.

   masih sempat menceriterakan kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Beberapa saat kemudian.

   Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghadap Ki Panji Kukuh di penginapannya.

   Mereka berada di sebuah bilik yang khusus, satu-satunya bilik tang terpisah dari ruangan-ruangan yang panjang yang berisi amben-amben yang panjang pula.

   "Kalian tertarik untuk ikut bersama kami dalam pekerjaan kami yang berat dan bahkan mempertaruhkan nyawa?"

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Aku tertarik kepada pekerjaan yang mempunyai tantangan yang tinggi. Demikian pula isteriku. Kami berdua ingin memanfaatkan ilmu yang telah beberapa tahun kami pelajari."

   "Dimana kalian berdua berguru?"

   "Kami berguru di Bukit Wahyu."

   "Bukit Wahyu? Aku belum pernah mendengar nama Bukit itu."

   "Salah satu puncak Bukit di daerah Pegunungan Kidul, sebuah Bukit Karang yang satu sisinya menghadap ke laut. Di Gunung Wahyu ada sebuah goa yang cukup luas. Disitulah guruku tinggal. Sedangkan padokan Cahya Andadari yang dipimpin oleh guruku itu, terletak di sekitarnya. Kami para cantrik harus mencari tempat berteduh kami sendiri-sendiri dalam ereng-ereng Bukit Wahyu dan sekitarnya. Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kemudian iapun bertanya.

   "Siapakah nama gurumu yang memimpin padepokan Cahya Andadari itu?"

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Glagah Putih tidak ingin dicurigai. Karena itu, ia menjawab dengan lancar.

   "Namanya Ki Ageng Cahya Raina."

   "Cahya Raina,"

   Desis Ki Panji Kukuh.

   "semuanya terdengar asing. Kalau aku belum pernah mendengar namamu itu wajar-wajar saja karena agaknya kau baru saja memasuki dunia petualangan. Tetapi aku yang sering berkeliaran sampai kemana mana sebelum aku menemukan jalur perdagangan yang memikat ini, juga belum pernah mendengar nama gurumu."

   "Guru adalah seorang yang jarang sekali keluar, Ki Panji. Sejak guru berada di goanya, seingatku, baru sekali menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Waktu itu guru pergi ke Gersik."

   "Gersik? Untuk apa?"

   "Aku tidak tahu, Ki Panji."

   Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk.

   Demikian lancarnya Glagah Putih menjawab pertanyaan-pertanyaannya, sehingga sama sekali tidak berkesan bahwa jawaban-jawaban itu hanyalah sekedar isapan jempol saja.

   Bahkan jika saja Rara Wulan tidak mengetahui sendiri, masa-masa lalu Glagah Putih, maka mungkin sekali ia ikut mempercayainya."

   "Baiklah,"

   Berkata Ki Panji Kukuh kemudian. Lalu katanya.

   "Menurut laporan Sutasuni, kau telah terlibat dalam perkelahian di penginapanmu?"

   "Ya, Ki Panji. Orang-orang yang datang kemudian itu mencoba mengganggu isteriku. Sementara itu, Ki Sutasuni agaknya juga merasa sangat terganggu, sehingga kami dapat bekerja sama menghadapi mereka."

   "Sebelum kalian bertemu dengan Sutasuni, apa sebenarnya yang akan kalian lakukan di Seca ini?"

   "Kami telah berhubungan dengan Jati Ngarang. Kami ingin ikut serta berada dalam garis perdagangan gelapnya. Jati Ngarang mempunyai sumber yang dapat memberinya pasokan barang-barang terlarang itu."

   "Jati Ngarang adalah seekor kecoa kecil bagi perdagangan terlarang ini."

   "Ya. Ternyata menurut Ki Sutasuni, Jati Ngarang tidak mempunyai arti apa-apa. Tetapi orang-orang perguruan Kedung Jati itulah yang harus mendapat perhatian lebih bersungguh-sungguh."

   "Kenapa?"

   "Menurut pendengaranku, yang tadi sudah aku katakan kepada Ki Sutasuni dalam perjalanan kemari, mereka akan membuat salah satu landasan bagi perjuangan mereka."

   "Aku yang mengatakan itu kepadamu?"

   Sahut Ki Sutasuni.

   "O. Maksudku kita sama-sama mendengarnya,"

   Sahut Glagah Putih.

   "bukankah salah seorang dari mereka menyebut-nyebutnya ketika ia berteriak-teriak mengendalikan orang-orangnya yang berkelahi melawan kita?"

   Ki Panji Kukuh tertawa.

   Ia mendapat kesan bahwa orang yang menyebut dirinya Nagagundala itu adalah seorang yang lugu.

   Nampaknya ia memang baru turun dari perguruannya dengan membekali dirinya dengan ilmu yang tinggi.

   Tetapi pandangannya terhadap dunia yang luas ini masih sangat sempit.

   "Baiklah,"

   Berkata Ki Panji Kukuh.

   "aku tidak keberatan kau berada di lingkunganku. Tetapi kau harus menurut segala perintahku, yang kadang-kadang aku berikan lewat Sutasuni."

   "Ya, Ki Panji."

   Tetapi untuk sementara kau jangan berada di Seca.

   Kau dan Sutasuni harus menyingkir untuk dua tiga hari selama orang-orang dari perguruan Kedung Jati ada disini, karena kau dan Sutasuni telah membuka permusuhan dengan mereka.

   Meskipun persoalan adalah persoalan yang sangat kecil, tetapi permusuhan itu akan dapat berkembang jika kau bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang.

   Sementara itu perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang sangat besar."

   "Kenapa kita tidak mengusir mereka?"

   "Mengusir mereka?"

   Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya.

   "Ya, mengusir mereka. Bukankah kita dapat melakukannya sekarang?"

   Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tertawa.

   "Kau benar benar belum mempunyai wawasan sama sekali tentang dunia olah kanuragan. Jika kau ingin melakukankan petualangan, maka kau harus mempelajari dunia yang akan kau ambah, agar kau tidak tersuruk ke dalam serigala yang lapar."

   "Tetapi, bukankah kita mempunyai kekuatan cukup sekarang? Sementara itu, Ki Saba Lintang berada di Seca hanya dengan beberapa orangnya saja, karena mereka mengira bahwa Seca itu aman tanpa ada gejolak?"

   "Pikirannya masuk akal Ki Panji,"

   Sahut Sutasuni.

   "Kau sependapat? Kau ingin membunuh diri dengan memusuhi perguruan Kedung Jati?"

   "Ki Panji. Jika kita membunuh ular dengan meremukkan kepalanya, maka tubuh dan ekornya tidak akan berbahaya lagi."

   "Apa maksudmu?"

   "Satu kelemahan dari Ki Saba Lintang. Tetapi barangkali karena ia menganggap bahwa Seca itu adalah daerah yang aman tentram."

   "Jadi?"

   "Jika benar Ki Saba Lintang akan membuat salah satu landasan bagi perguruannya di Seca, maka jalur perdagangan kita tentu akan berhenti Lambat atau cepat, Ki Saba Lintang akan mengetahui jalur perdagangan kita itu. Karena itu sebelum mereka benar-benar membuat landasan di Seca bagi perguruan Kedung Jati, maka sebaiknya kita menggagalkannya."

   "Maksudmu, kita memberikan kesan bahwa Seca tidak aman. Kita akan mengganggu keberadaan Ki Saba Lintang dengan menimbulkan kekacauan di Seca?"

   "Tetapi tidak tanggung-tanggung. Ki Panji. Kita hancurkan kepala ular yang kita bunuh itu."

   Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya. Sementara Glagah Putih berkata.

   "Jika kita berhasil membunuh Ki Saba Lintang malam ini, maka perguruan Kedung Jati tentu akan menjadi kacau. Bahkan perguruan manapun yang kehilangan pemimpinnya, akan menjadikan perguruan itu seperti sarang semut ngangrang yang diperciki air. Semut-semut yang garang itu akan buyar dan berlarian kemana-mana tanpa arah."

   Ki Panji tertawa. Katanya.

   "Otakmu terang juga Carangkerep."

   "Gelarku Nagagundala,"

   Sahut Glagah Putih. Ki Panji tertawa semakin keras, sehingga Sutasunipun berdesis.

   "Ki Panji dapat mengganggu ketenangan tidur orang lain."

   "Bagaimana menurut pendapatmu, Sutasuni?"

   "Ki Panji. Jika kita berhasil, maka perguruan Kedung Jati tentu akan pecah. Para pemimpinnya tentu akan berebut, siapakah yang akan menjadi pemimpin tertinggi. Mereka tidak akan sempat mencari keterangan, siapakah yang telah menyerang pada saat mereka berada di Seca. Bahkan beberapa orang akan merasa berterima kasih kepada kita. karena Ki Saba Lintang kita musnahkan ketika ia sedang lengah dan berada di Seca dengan kekuatan yang kurang memadai."

   "Kau tahu. seberapa besar kekuatan Ki Saba Lintang di Seca sekarang ini?"

   "Sebagian mereka berada di banjar padukuhan, sebagian lagi di penginapan yang sering aku pergunakan itu."

   "Apakah menurut perhitunganmu, kekuatan kita cukup untuk menghancurkan mereka, sebagaimana kita membunuh ular?"

   "Kekuatan mereka terpecah. Kita akan menyerang banjar . Sementara itu, ada tenggang waktu bagi para pengikutnya yang ada dipenginapan untuk datang ke banjar."

   "Kau sudah perhitungkan para petugas di kademangan ini?"

   "Mereka tidak akan banyak berpengaruh. Jika orang-orang kita terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan para pengikut Ki Saba Lintang, mereka akan membuat pertimbangan dua tiga kali untuk terjun ke dalamnya."

   "Sutasuni. Apakah kau yakin akan berhasil?"

   "Aku yakin, Ki Panji. Apalagi orang-orang yang berada di penginapan itu sedang mabuk. Hampir semuanya. Bagi kita yang akan kita lakukan adalah satu perjuangan untuk mempertahankan jalur perdagangan kita. Mungkin mereka bahkan tidak sekokoh kekuatan Guntur Ketiga."

   "Jika demikian, besok kau persiapkan orang-orang kita. Besok malam kita akan menyerang banjar itu."

   "Kenapa besok malam. Ki Panji? Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sebagian besar mabuk. Itu sekarang. Belum tentu besok mereka juga mabuk lagi. Apalagi setelah Ki Saba Lintang sendiri berusaha mencegahnya."

   "Jadi menurut pendapatmu. sekarang kita menyerang mereka?"

   "Ya, sekarang. Mereka tentu benar-benar lengah."

   Ki Panji Kukuh nampak ragu-ragu. Tetapi akhirnya iapun berkata.

   "Baiklah. Tetapi kita memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri."

   "Masih ada waktu, Ki Panji. Di dini hari kita menyerang mereka. Yang mabuk tentu masih berada dalam pengaruh tuak. Bahkan mungkin ada diantara mereka yang menjadi semakin mabuk. Mereka agaknya membawa tuak ke dalam bilik-bilik mereka."

   "Jika demikian, hubungan orang-orang kita di semua penginapan dan mereka yang berada di rumah Sura Kenthus. Semuanya, agar kita tidak menyesal nanti."

   "Baik, Ki Panji,"

   Sahut Sutasuni. Sutasunipun bergerak cepat. Beberapa orang telah membantunya menyampaikan perintah Ki Panji Kukuh. Ternyata alur kepeimpinan Ki Panji Kukuh berjalan dengan baik. Dalam waktu yang singkat, semua pengikutnya telah siap.

   "Kita akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang sendiri dengan beberapa orang petugas terlatih dari kademangan ini. Dalam waktu yang tidak terlalu lama. maka orang-orang yang menginap di penginapan itupun akan berdatangan di banjar pula."

   "Ya. Mereka yang sedang mabuk,"

   Sahut Sutasuni.

   "Baiklah. Kita harus memilah orang-orang kita. Kita harus memilih, siapakah yang patas menghadapi Ki Saba Lintang dan para pengawal terpilihnya itu."

   "Aku menawarkan diri,"

   Berkata Glagah Putih.

   "aku akan mencoba apakah pemimpin tertinggi dari perguruan yang besar seperti perguruan Kedung Jati itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi."

   "Menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang sendiri bukanlah orang yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi satu dua pengawalnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi."

   "Bukankah diantara kita ada Ki Panji Kukuh, ada Ki Sutasuni dan beberapa orang yang lain."

   "Baik. Kau akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang. Biarlah aku dan orang-orangku mengamankan pertarunganmu dengan Ki Saba Lintang agar tidak terganggu."

   "Terima kasih,"

   Jawab Glagah Putih.

   "Lalu. bagaimana dengan isterimu?"

   "Bukankah kita tidak akan memasuki arena perang tanding ? Jika perlu, biarlah isteriku membantuku melawan Ki Saba Lintang. Tetapi jika hal itu tidak perlu, maka biarlah ia mencari lawannya sendiri."

   Ki Panji Kukuhpun kemudian berkata kepada Rara Wulan.

   "Nyi. Kau dengar kata-kata suamimu?"

   "Ya, Ki Panji,"

   Jawab Kara Wulan.

   "aku akan mencari lawan sendiri di medan. Tetapi aku akan mempersiapkan diri membantu suamiku jika ia memerlukannya."

   "Baiklah. Jumlah kita cukup banyak. Tugaskan sekelompok diantara kita untuk menghalau para petugas dari kademangan ini."

   "Ya, Ki Panji,"

   Jawab Sutasuni. Demikianlah, maka menjelang dini hari, pasukan Ki Panji Kukuhpun telah bergerak menuju ke banjar. Mereka menyusup dengan diam-diam di jalan-jalan yang sepi. Setiap kelompok telah memilih jalan mereka sendiri-sendiri.

   "Semuanya harus segera berada di sekitar banjar. Hindari bentrokan dengan para peronda, agar tujuan kita untuk mengepung banjar tidak ketahuan lebih dahulu, sehingga para peronda itu mengirimkan isyarat. Jika keadaan memaksa, maka kalian harus berusaha membungkam para peronda itu,"

   Berkata Ki Panji Kukuh jika aku memberi isyarat, semuanya akan bergerak menurut tugas mereka masing-masing.

   Yang harus menghalau para petugas kademangan Seca berbeda orangnya dengan mereka yang akan menghadang orang-orang dari penginapan.

   Meskipun mereka sedang mabuk, namun pada dasarnya mereka adalah orang yang berilmu tinggi."

   Semuanya menjadi jelas.

   Para pemimpin kelompokpun segera membawa kelompok mereka masing-masing menuruni jalan.

   Mereka memencar dan memilih jalan yang berbeda-beda.

   Ki Panji Kukuh sendiri telah menyusuri sebuah lorong kecil yang justru merupakan jalan pintas.

   Ki Panji Kukuh bersama Sutasuni, Glagah Putih, Rara Wulan dan beberapa orang terbaik itu akan berada di seberang jalan, di depan banjar.

   Merekalah yang akan memasuki halaman banjar mendahului para pengikut Ki Panji Kukuh yang lain, agar mereka dapat langsung berhadapan dengan Ki Saba Lintang dan para pengawalnya yang terbaik."

   Beberapa saat kemudian, dengan menghindari pertemuan dengan tiga orang peronda, maka Ki Panji Kukuhpun telah berada di mulut lorong, didepan regol halaman rumah di sebelah banjar itu.

   Dengan hati-hati Ki Panji Kukuh dan orang-orang yang bersamanya, justru memasuki halaman rumah di depan banjar itu dengan mengendap-endap.

   "Kita tunggu sebentar, Ki Panji,"

   Desis Sutasuni.

   "mungkin kawan-kawan kita masih berada di perjalanan."

   Ki Panji mengangguk. Perlahan-lahan Ki Panji itupun berbisik.

   "Banjar itu kelihatannya sepi sekali. Hanya ada dua orang petugas kademangan ini yang berdiri di regol. Mungkin ada juga yang duduk-duduk didalam. Tetapi penjagaan di banjar ini sama sekali kurang memadai."

   "Satu kelengahan. Ki Panji. Mereka dan bahkan siapa saja tidak akan mengira, bahwa kita akan mendatangi banjar malam ini. Setiap orang telah terlena dalam satu anggapan, bahwa kademangan Seca adalah kademangan yang aman dan tenang, tanpa ada gejolak sama sekali."

   "Perkelahian di penginapanmu agaknya tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap orang-orang dari perguruan Kedung Jati, meskipun kau dan kedua orang suami isteri itu menunjukkan ilmu yang memadai."

   "Mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka, sehingga mereka tentu meremehkan orang lain. Apalagi di Seca yang diam ini."

   Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba iapun bertanya.

   "Apakah kira-kira semua orang kita sudah berada di tempatnya?"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Agaknya sekarang semuanya sedang merangkak ke tempat sebagaimana sudah kita rencanakan."

   "Kalau begitu, kita akan segera memberikan isyarat."

   Sutasuni mengangguk sambil berdesis.

   "Biarlah anak panah sendaren itu dilontarkan."

   "Kau yakin bahwa semua orang akan mendengarnya?"

   "Ya. Ki Panji. Suara panah sendaren itu akan terdengar dari sekeliling banjar ini. Bahkan kita tidak akan menerbangkan satu panah sendaren. Tetapi tiga yang akan dilontarkan ketiga arah yang berbeda."

   "Bagus."

   "Namun sementara itu. kita harus sudah memasuki halaman banjar. Begitu mereka tergerak oleh anak panah sendaren yang tentu akan mereka dengar, kita sudah berada di hadapan hidung mereka, sehingga mereka tidak mempunyai banyak kesempatan. Sementara itu orang-orang kitapun sudah memasuki lingkungan banjar itu pula."

   Sejenak kemudian, maka Ki Panji Kukuh serta para pengikutnya yang menyertainya telah bersiap.

   Demikian pula Glagah Putih yang telah menawarkan diri untuk menghadapi Ki Saba Lintang serta Rara Wulan yang akan memilih lawannya di medan pertempuran.

   Sejenak kemudian, maka tiga orang pemanah telah siap dengan anak panah sendaren.

   Mereka mengarahkan panah sendaren mereka ketiga arah yang berbeda.

   Satu akan terbang di atas banjar.

   Satu di sebelah kiri dan satu lagi disebelah kanan.

   Sutasuni berdiri di belakang ketiga orang pemanah itu.

   Bagaimanapun juga nampak ketegangan di wajahnya.

   Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar, yang tidak ada bandingnya.

   Kini gerombolannya telah menyulut permusuhan dengan perguruan yang terbesar itu.

   Jika mereka gagal membunuh pemimpin perguruan Kedung Jati.

   maka mereka harus menepi untuk beberapa lama.

   Tetapi segala sesuatunya sudah disiapkan.

   Karena itu, maka Sutasuni itupun berkata kepada orang pemanah itu.

   "Jika kami mencapai pintu gerbang dan membunuh kedua orang petugas itu, maka kalian harus melontarkan panah sendaren itu ke arah yang telah ditentukan."

   "Baik, Ki Sutasuni,"

   Jawab ketiganya hampir bersamaan.

   Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Panji Kukuh serta orang-orang yang bersamanya termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan telah bergerak dengan cepat menuju ke pintu gerbang banjar padukuhan.

   Kedua orang yang bertugas di pintu gerbang di terkejut.

   Tetapi mereka tidak mempunyai waktu untuk merenungi kedatangan beberapa orang yang berloncatan dari balik dinding halaman di seberang jalan.

   Ketika orang-orang itu tiba-tiba saja menyerang, maka kedua orang itupun mencoba untuk membela diri mereka.

   Sebagai seorang petugas yang telah terlatih, maka mereka tidak dengan mudah mengulurkan leher mereka untuk ditebas.

   Ketika kedua orang itu bertempur melawan dua orang pengikut Ki Panji Kukuh, maka Ki Panji Kukuh sendiri dengan beberapa orang pengikutnya serta Glagah Putih dan Rara Wulan, telah mema suki regol halaman banjar.

   Pada saat yang bersamaan, maka tiga buah panah sendaren telah terlepas dari busurnya, meluncur naik ke angkasa yang gelap.

   Anak panah sendaren itu memang mengejutkan.

   Beberapa orang petugas kademangan Seca yang berjaga-jaga di banjar itu terkejut, serentak mereka bangkit dan mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

   Meskipun mereka tidak tahu.

   siapa yang telah melepaskan panah sendaren.

   serta dengan maksud apa.

   namun naluri mereka sebagai petugas yang berpengalaman, telah memberikan peringatan bahwa mereka sedang dalam bahaya.

   Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka beberapa orang telah menghambur ke halaman.

   Sebagian dari mereka telah berlarian menuju kearah mereka.

   Namun yang lain langsung berlari ke pendapa banjar.

   Pertempuran pun segera terjadi.

   Para petugas yang ada dibanjar itu jumlahnya terlalu sedikit.

   Namun sebagai petugas yang sudah terlatih mereka mencoba untuk mengatasi kesulitan yang terjadi.

   Sementara itu, seorang diantara merekapun telah sempat berlari ke serambi serta meraih pemukul kentongan.

   Sesaat kemudian terdengar suara kentongan dalam irama titir telah mengumandang diseluruh kademangan.

   Peristiwa yang langka terjadi di kademangan Seca itu telah membuai rakyat Seca menjadi ketakutan.

   Kentongan yang berbunyi dengan irama dara muluk itu benar-benar telah mengguncang kademangan Seca.

   Beberapa orang yang berada di banjar itupun terkejut.

   Ki Saba Lintang yang memang berada di banjar itupun terkejut pula.

   Dengan sigapnya Ki Saba Lintang dan beberapa orang pengiringnya yang berada di banjar itupun segera bangkit berdiri.

   Sebagai seorang yang berpengalaman sangat luas, maka Ki Saba Lintang dan para pengiringnya yang berada di banjar itu, tidak segera kehilangan akal.

   Dua orang pengawal Ki Saba Lintang segera memasuki biliknya sambil berkata.

   "Agaknya sesuatu yang tidak kita kehendaki telah terjadi, Ki Saba Lintang."

   "Ya. Bersiaplah " .

   "Kami sudah siap, Ki Saba Lintang."

   Ki Saba Lintangpun mengangguk-angguk sambil berkata.

   "Bagus. Kita harus keluar dari banjar ini. Jangan terjebak di ruangan yang sempit ini."

   Para pengawalnyapun tidak menjawab.

   Merekapun segera mengiringi Ki Saba Lintang yang keluar dari dalam biliknya.

   Ketika ia berada di ruang dalam, maka beberapa orang berilmu tinggi yang datang bersamanya, telah bersiap pula.

   Diantara mereka terdapat pula Ki Murdaka yang datang mendahului Ki Saba Lintang.

   "Lingkungan yang tidak pernah nampak bergejolak dipermukaan itu, tiba-tiba saja telah terguncang,"

   Desis seorang pembantu terdekat Ki Saba Lintang.

   "Aku mohon maaf, Ki Saba Lintang,"

   Berkata Murdaka.

   "kami yang datang mendahului Ki Saba Lintang, sama sekali tidak melihat kemungkinan buruk ini bakal terjadi."

   "Aku tahu. Aku tidak menyalahkan kalian yang datang lebih dahulu. Agaknya ada orang yang mempunyai perhitungan yang tajam yang menyergap kita malam ini. Mereka yang menyadari bahwa kedatangan mereka tidak akan diperhitungkan lebih dahulu."

   "Hal itu dapat terjadi karena kebodohan kami."

   "Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Sekarang kita sudah terjebak ke dalam satu serangan yang tidak kita duga sebelumnya. Kita akan melawannya. Kita harus yakin, bahwa kekuatan kita cukup besar untuk menghadapi gerombolan yang manapun juga. Orang-orang yang berada di penginapan itu tentu akan segera berdatangan pula."

   Dalam pada itu, pertempuranpun telah terjadi di halaman banjar. Para petugas kademangan yang jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Seorang diantara merekapun berlari ke ruang dalam sambil berkata.

   "Ampun Ki Saba Lintang. Kami tidak dapat menahan mereka yang dalang menyerang banjar ini."

   "Apakah mereka terlalu banyak jumlahnya?"

   "Dibandingkan dengan kami, para petugas dari kademangan, jumlah mereka memang terlalu banyak."

   Ki Saba Lintangpun kemudian telah berteriak memberikan aba-aba.

   "Jangan biarkan mereka memasuki ruangan ini. Kitalah yang akan menyongsong mereka di luar."

   Sejenak kemudian, dua orang pengawal telah mendahului keluar lewat pintu pringgitan.

   Mereka masih melihat orang-orang terakhir dari pasukan di kademangan itu bertempur melawan beberapa orang yang telah memasuki halaman kademangan.

   Namun orang-orang terakhir itupun sempat berpengharapan ketika mereka melihat orang-orang yang berada diruangan dalam itu berloncatan keluar.

   Mereka tahu, bahwa orang-orang yang berada di ruang dalam itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

   Namun, demikian orang-orang yang berada di ruang dalam itu menghambur turun ke halaman, maka beberapa orang yang lain telah berlari-larian di halaman samping dan bahkan di halaman belakang.

   Mereka berloncatan dari luar dinding halaman banjar itu.

   Pertempuran yang keraspun tidak dapat dihindarkan.

   Ki Saba Lintang, para pengawalnya serta orang-orang berilmu tinggi yang menjadi pembantu kepemimpinan Ki Saba Lintang pun segera terlibat dalam pertempuran itu.

   Sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

   Mereka mampu bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan.

   Tenaga dalam merekapun melampaui tataran tenaga dalam orang-orang yang terlatih sekalipun.

   Karena itulah, maka Ki Panji Kukuh, Sutasuni serta orang-orang terbaiknya segera memilih lawan-lawan mereka.

   Sedangkan mereka yang ilmunya tidak terlalu tinggi, telah bergabung dua atau tiga orang bersama-sama menghadapi seorang lawan.

   "Jika kita membunuh ular, maka kita harus meremukkan kepalanya,"

   Pesan itu terngiang disetiap telinga para pengikut Ki Panji Kukuh.

   Dalam pada itu, seorang yang telah dikenal oleh Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai Ki Murdaka pada saat mereka merunduk untuk melihat orang-orang yang berada di banjar itu justru sebelum Ki Saba Lintang datang, bertempur dengan garangnya.

   Dengan garang pula orang itupun berteriak nyaring.

   "Setan alasan. Siapakah kalian yang telah dengan licik menyergap kami, he? Bukankah kami tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Seandainya ada persoalan diantara kita, bukankah kita dapat membicarakannya?"

   Tidak seorangpun yang menjawab. Namun pertempuran berlangsung terus.

   "Baik. Baik. Jika kalian semuanya bisu atau barangkali tuli. Ketahuilah, inilah pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati. Akulah yang bergelar Ki Saba Lintang. Siapa yang ingin aku penggal kepalanya, marilah. Mendekatlah."

   Beberapa orang yang mendengar suara Ki Murdaka itu menjadi berdebar-debar.

   Mereka belum melihat Glagah Pulih langsung menghadapinya seperti yang dijanjikannya.

   Namun yang datang menghadapi orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu adalah justru Rara Wulan sambil bertanya.

   "Kaukah yang bergelar Ki Saba Lintang?"

   "Ya,"

   Sahut Ki Murdaka.

   "Kau begitu setia kepada pemimpinmu sehingga kau telah menjadikan dirimu sasaran serangan ini justru untuk melindungi Ki Saba Lintang yang sebenarnya."

   "Persetan. Siapakah kau, he?"

   "Namaku Nyi Naga... Nagagemulung, eh, bukan. Naga ""

   Ki Mandarakapun membentak.

   "Cukup. Aku tidak perlu tahu namamu. Jika kau sebut sebuah nama yang kau sendiri tidak ingat, itu tentu bukan namamu. Nah, sekarang jika kau sengaja mati tanpa nama, majulah. Jarang sekali aku menemui perempuan binal seperti kau ini."

   "Memang jarang sekali. Tetapi apakah kau pernah mendengar nama Nyi Yatni atau Nyi Dwani atau barangkali nama beberapa orang perempuan yang lain yang tentu juga kau sebut binal ?"

   "Darimana kau kenal nama-nama itu ?"

   "Perempuan-perempuan binal biasanya saling mengenal, meskipun hanya namanya."

   "Persetan. Bersiaplah. Kau akan segera mati."

   "Mudah-mudahan tidak. Aku akan berubah untuk melindungi nyawaku."

   "Setan betina,"

   Murdaka itupun menggeram.

   "Nah Ki Murdaka, aku sudah siap. Kita dapat mulai sekarang. Lihat, Ki Saba Lintangpun telah berhadapan dengan lawannya pula. Bukankah orang yang berdiri di tangga terakhir pendapa banjar itu yang bernama Ki Saba Lintang."

   Murdaka memang menjadi semakin berdebar-debar.

   Agaknya perempuan itu pernah bertemu, setidak-tidaknya melihat orang yang bernama Ki Saba Lintang sehingga ia tidak dapat berpura-pura lagi.

   Apalagi perempuan itu sudah tahu namanya pula.

   Karena itu, maka Ki Murdakapun tidak merasa perlu untuk mendapatkan penjelasan dari perempuan yang dinilainya sangat sombong itu.

   Sekejap kemudian, maka dengan serta-merta Ki Murdakapun telah meloncat menyerang Rara Wulan.

   Tetapi Rara Wulan sudah bersiap sepenuhnya.

   Karena itu, maka Rara Wulanpun dengan tangkasnya menghindari serangan-serangan Ki Murdaka.

   Bahkan Rara Wulanpun segera membalas menyerangnya pula.

   Di depan pendapa, Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah berhadapan dengan Glagah Putih.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan kerut di dahinya, Ki Saba Lintang memandangi Glagah Putih dengan seksama "Mungkin kita pernah bertemu.

   Ki Saba Lintang.

   Setidak-tidaknya kita pernah saling melihat di Tanah Perdikan Menoreh.

   Kau sudah beberapa kali mengunjungi Tanah Perdikan itu."

   "Ya. Agaknya kau sengaja datang dari Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui aku disini."

   "Aku memang sedang memburumu."

   "Kau mendendam ?"

   "Bukan karena dendam. Tetapi Nyi Agung Sedayu yang pernah kau palsukan itu, kini justru menginginkan tongkat baja putih yang kau bawa. Mbokayu Agung Sedayulah yang berniat memimpin perguruan Kedung Jati. sehingga sepasang tongkat baja putih itu harus berada di tangannya."

   "Persetan dengan perempuan yang tamak itu. Seharusnya ia dapat bekerja sama dengan aku. Kami berdua akan menjadi pemimpin perguruan ini. Pemimpin yang dihormati bahkan oleh Sultan di Mataram."

   "Mbokayu Agung Sedayu ingin memimpin perguruan Kedung Jati bersama-sama dengan suaminya, kakang Agung Sedayu. Tidak dengan kau."

   "Persetan, itu pikiran yang bodoh. Agung Sedayu tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Baik dari Kangjeng Adipati Harya Perangsang maupun Ki Patih Mantahun."

   "Itu tidak akan menjadi soal. Keturunan siapapun jika memiliki sepasang tongkat baja itu, maka ia akan menjadi pemimpin perguruan Kedung Jati."

   "Omong kosong."

   "Mbokayu juga tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Kenapa kau berniat untuk bersama-sama mbokayu Agung Sedayu memimpin perguruan Kedung Jati?"

   "Persetan. Agaknya kaulah yang telah menggerakkan segerombolan orang ini untuk menyergap kami."

   "Ya. Mereka adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka datang memburumu. Memburu tongkat baja putih itu. Karena itu, jika kau serahkan saja tongkat baja putih itu, maka tidak akan ada persoalan lagi."

   "Mulutmu lancang sekali. Aku tahu bahwa kau tentu mempunyai bekal ilmu yang cukup jika kau berani memburuku. Tetapi agaknya malam ini kau akan mati."

   "Aku sudah siap untuk menjawab. Tetapi ia mulai bergeser beberapa langkah. Beberapa saat kemudian, keduanyapun sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sebagai orang yang berilmu tinggi. maka keduanyapun segera telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi pula. Dalam pada itu, pertempuran di halaman banjar itupun menjadi semakin seru. Apalagi ketika orang-orang yang berada di penginapan sudah berdatangan. Merekapun segera melibatkan diri dalam pertempuran pula. Jumlah para pengikut Ki Panji Kukuh memang lebih banyak. Tetapi para pengikut Ki Saba Lintang mempunyai ilmu yang rata-rata lebih tinggi. Meskipun demikian, para pengikut Ki Panji Kukuh yang memiliki pengalaman pada jalur perdagangan gelap itupun menggenangi halaman banjar itu dan memaksa para pengikut Ki Sabat Lintang untuk memeras kemampuan mereka. Namun sebagian besar dari pada pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sedang mabuk Bahkan ada yang menjadi mabuk berat, sehingga dengan demikian mereka tidak dapat meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak. Sela Aji dan Demung Pugut telah berada di arena pertempuran itu pula. Ketika seorang yang mabuk berdiri terhuyung-huyung di sebelahnya, Sela Aji itupun telah menampar wajahnya sambil berteriak.

   "Nah, inilah hasilnya jika kau tidak mau mendengarkan perintah Ki Murdaka. Kau yang mabuk itu kini berada di medan pertempuran. Terserah kepadamu, apakah kau akan tetap mabuk sehingga ujung pedang lawan akan mengoyak jantungmu, atau kau berusaha untuk bangkit dan melindungi dirimu sendiri."

   Orang itu memang terkejut sejenak.

   Tetapi kemudian matanya menjadi redup lagi.

   Meskipun demikian, karena ia memang berilmu tinggi, maka iapun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang semakin seru.

   Tetapi orang-orang yang mabuk itu tidak dapat mengerahkan ilmunya sampai ke puncak.

   Kepalanya yang pening, tulang-tulangnya yang terasa menjadi lemah, merupakan hambatan yang mengekang mereka.

   Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit.

   Orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu memiliki beberapa kelebihan.

   Tetapi selain jumlah mereka lebih sedikit, sebagian dari merekapun sedang dalam keadaan mabuk.

   Sementara itu, Rara Wulanpun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Ki Murdaka.

   Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

   Sekali-sekali Ki Murdaka harus berloncatan beberapa langkah surut.

   Namun sekejap kemudian, keduanya telah terlibat kembali dalam pertempuran yang keras.

   Ki Panji Kukuh sempat melihat pertempuran itu sekilas.

   Bagaimanapun juga Ki Panji Kukuh harus mengagumi kemampuan Rara Wulan yang berloncatan seperti anak kijang di rerumputan.

   Namun Ki Murdakapun bertempur dengan garangnya.

   Sekali-sekali terdengar orang itu menggeram seperti seekor harimau yang marah.

   "Kenapa justru perempuan itu yang harus bertempur melawan Ki Saba Lintang,"

   Bertanya Ki Panji Kukuh didalam hatinya. Sambil bertempur diantara beberapa orang lawannya, Ki Panji Kukuhpun telah melihat pula Glagah Putih yang sedang bertempur melawan seorang yang berilmu sangat tinggi pula.

   "Agaknya lawan Ki Nagagundala itu juga seorang yang akan menentukan perjalanan perguruan Kedung Jati pula."

   Tetapi Ki Panji Kukuh tiba-tiba saja telah menghadapi seorang yang janggutnya jarang dan tidak begitu panjang, yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya.

   Orang tua itu bertubuh kecil.

   Tingginya sedang-sedang saja.

   Namun geraknya nampak sangat ringan.

   Tubuhnya bagaikan kapuk randu yang diterbangkan angin pusaran, berputaran di arena pertempuran itu, sehingga akhirnya hingga di hadapan Ki Panji Kukuh.

   Namun sebelum Ki Panji Kukuh menyapanya, orang itu sudah bertanya lebih dahulu.

   "Kau siapa Ki Sanak. Kau mengamuk seperti harimau lapar."

   Ki Panji Kukuh memang tidak berniat menunjukkan jati dirinya serta gerombolannya. Karena itu, maka iapun menjawab sekenanya.

   "Namaku Singa Wereng. Kau siapa ?"

   "Apakah kau pernah mendengar nama Watu Kenari ?"

   "Watu Kenari ?"

   "Ya."

   Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Ia belum pernah mendengar nama itu. Meskipun demikian, ia harus berhati-hati. Menilik sikapnya maka orang itu agaknya berilmu sangat tinggi.

   "Nah, sebaiknya kau bujuk Ki Saba Lintang untuk menyerah."

   Tetapi orang yang menyebut dirinya Watu Kenari itu tertawa pendek. Katanya.

   "Agaknya kau belum berkenalan dengan perguruan Kedung Jati, sehingga kau dan kawan-kawanmu berani membuat persoalan dengan kami."

   "Persetan dengan perguruan Kedung Jati. Kami tidak ikhlas melepaskan Seca ini ke dalam pengaruhnya. Selama ini kamilah yang berpengaruh disini."

   "Kau harus mempelajari keseimbangan kekuatan lebih banyak lagi. Suatu gerombolan yang betapapun besarnya, yang berani melawan perguruan Kedung Jati, itu berarti telah membunuh dirinya."

   "Tetapi ternyata kalian termasuk Ki Saba Lintanglah yang akan mati malam ini."

   Watu Kenari itu tertawa. Katanya.

   "Kau agaknya telah bermimpi. Bangunlah dan lihatlah kenyataan di halaman banjar ini."

   "Kau lihat, bahwa Ki Saba Lintang sendiri sudah tidak berdaya,"

   Desis Ki Panji Kukuh.

   Watu Kenari meloncat surut.

   Hampir diluar sadarnya iapun segera berpaling kepada Ki Saba Lintang.

   Ki Panji Kukuh mengikuti pandangan matanya.

   Ternyata orang itu memperhatikan lawan laki-laki yang dengan bangga mengganti namanya dan Nagagundala itu.

   Namun tiba-tiba orang itu berpaling kepada Ki Murdaka yang bertempur dengan isteri Nagagundala sambil berkata hampir berteriak.

   "Ternyata Ki Saba Lintang ada disana. Perempuan yang sangat sombong dan mencoba menghadapinya itu akan segera dihancurkan."

   Ki Panji Kukuh memang menjadi agak bingung.

   Yang manakah sebenarnya yang bernama Ki Saba Lintang.

   Tetapi ia tidak sempat merenungi mereka terlalu lama.

   Sejenak kemudian, maka Watu Kenari itupun telah meloncat menyerangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.

   Tetapi Ki Panji Kukuhpun telah bersiap sepenuhnya sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.

   Bahkan Ki Panji Kukuh yang garang itupun dengan cepat pula membalasnya menyerang.

   Demikianlah, maka pertempuranpun segera menjadi semakin seru.

   Keduanyapun berioncatan dengan cepat sehingga kaki mereka seakan-akan tidak berjejak lagi diatas tanah.

   Beberapa saat kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi di mana-mana.

   Ki Sutasuni telah terlibat pula melawan seorang yang beril mu tinggi.

   Sedangkan orang-orangnyapun bertempur dengan garangnya pula.

   Para pengikut Ki Panji Kukuh itu tetap saja berpegang pada pesan, bahwa jika mereka membunuh ular, maka mereka harus meremukkan kepalanya.

   "Karena itu, maka setiap orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu berniat untuk membunuh lawan-lawan mereka. Sebenarnyalah bahwa orang-orang berilmu tinggi yang sedang mabuk itupun segera mengalami kesulitan. Kepala mereka masih terasa pening, sementara kesadaran mereka belum pulih sepenuhnya. Dalam keremangan cahaya lampu minyak di kejauhan, maka mata mereka yang redup itupun menjadi semakin kabur. Agaknya Sutasuni telah memilih waktu yang tepat, justru pada saat orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu banyak yang mabuk. Ki Murdaka menjadi sangat marah kepada mereka. Ia sangat benci kepada orang-orang yang tidak menuruti perintahnya.

   "Mampuslah kau pemabuk,"

   Geramnya sambil berloncatan.

   "Ya. Mereka akan segera mampus. Kaukah yang mengajari mereka mabuk ?"

   Bertanya Rara Wulan.

   "Persetan kau perempuan binal,"

   Geram Murdaka. Rara Wulan justru tertawa sambil menjawab.

   "Kau memang akan banyak kehilangan pengikut-pengikutmu. Jika mereka tidak menyerah, mereka akan mati."

   "Jangan membual. Sebentar lagi kau akan terbaring diam di halaman banjar ini. Kau tidak akan sempat lagi menyesali kesombonganmu. Orang-orangmupun akan hancur menjadi debu."

   Rara Wulan tertawa pula. Katanya.

   "Ki Murdaka. Begitu pastikah bahwa kau akan mengalahkan aku ?"

   "Aku adalah Murdaka yang digelari Alap-alap Alas Roban."

   "Alap-alap Alas Roban,"

   Rara Wulan mengulang.

   "Nah, jika kau merasa sebagai seekor burung merpati, maka kau akan segera tercengkam oleh kuku-kukuku."

   "Tidak. Aku tidak pernah merasa diriku seperti burung merpati. Tetapi akulah kakek penyumpit, yang setiap hari berburu burung di hutan. Burung alap-alap adalah burung yang paling menyenangkan untuk diburu, justru karena kelincahannya."

   "Persetan dengan bualanmu, perempuan binal."

   "Tetapi sumpitku tidak pernah gagal. Aku adalah pembidik terbaik di tlatah Mataram ini."

   Ki Murdaka tidak memberi kesempatan Rara Wulan lebih banyak berbicara.

   Karena itu, maka iapun segera menyerangnya pula dengan garangnya.

   Tetapi Rara Wulan benar-benar seorang perempuan yang tangkas.

   Meskipun ia seorang perempuan, tetapi ia memiliki banyak kelebihan.

   Tenaga dalamnya yang sangat besar, membuat perempuan itu udak ter getar sama sekali jika terjadi benturan-benturan.

   Bahkan serangan-serangan Murdakapun jarang sekali dihindari oleh Rara Wulan, tetapi dengan lambaian tenaga dalamnya, Rara Wulan telah membentur serangan-serangan Murdaka yang sangat berbahaya itu.

   Dengan demikian, maka Murdakapun harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi lawannya.

   Ditingkatkannya ilmunya menjadi semakin tinggi.

   Namun tataran ilmu Murdaka yang ditingkatkan itu tidak pernah dapat menjadi lebih tinggi dari tataran ilmu Rara Wulan.

   Karena itulah, maka serangan-serangan Ki Murdaka tidak terlalu menyulitkan bagi Rara Wulan, meskipun Rara Wulan harus selalu berhati-hati.

   Namun Murdaka yang merasa bahwa serangan-serangannya sulit menguak pertahanan Rara Wulan yang rapat dan kokoh itupun tiba-tiba telah menarik pedangnya.

   Sebilah pedang yang berkilat-kilat agak kemerah-merahan.

   Rara Wulan melenting surut selangkah.

   Diamatinya pedang Murdaka yang seakan-akan bercahaya di keremangan malam.

   "Kau akan menjadi santapan yang agak berbeda dan pedangku ini. Seingatku, aku belum pernah membunuh perempuan dengan pedangku. Bukan berarti bahwa aku tidak pernah membunuh perempuan. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi jika berani menghalangi aku, sebagaimana kau lakukan sekarang ini, maka ia akan mati. Tetapi yang pernah terjadi, aku membunuh perempuan dengan tanganku. Tetapi kau pun perempuan binal. Kau mempunyai kelebihan dari kebanyakan perempuan yang pernah aku kenal."

   "Pedangmu pedang yang luar biasa,"

   Desis Rara Wulan.

   "Kau menjadi ketakutan karenanya ?"

   "Tidak. Aku tidak menjadi ketakutan. Tetapi aku justru mengaguminya. Tetapi aku tidak ingin memilikinya. Jika kau mau, biarlah pedangmu diketemukan oleh orang-orang Seca yang esok akan membersihkan halaman banjar ini."

   Telinga Murdaka menjadi bagaikan disentuh api. Dengan geram ia membentak.

   "Tutup mulutmu. Atau aku yang akan mengoyaknya."

   "Jangan marah, Ki Murdaka. Menurut guruku, jika seseorang bertempur tanpa dapat mengendalikan kemarahannya, maka ia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan baik."

   Murdaka meloncat mundur selangkah. Dipandanginya Rara Wulan sambil berdesis.

   "Kau benar perempuan binal. Aku harus mengendalikan kemarahanku."

   Namun Rara Wulan tidak sempat menjawab.

   Murdakapun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar, menebas ke arah lambung.

   Rara Wulan meloncat surut, sehingga pedang lawannya itu terayun setebal jari di depannya tanpa menyentuh pakaiannya Rara Wulan tidak meremehkan senjata lawannya.

   Pedang itu adalah pedang yang sangat baik.

   Tentu pedang yang sudah sangat akrab dengan pemiliknya.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya pula.

   Selendang yang menjadi andalannya menghadapi segala jenis senjata.

   "Anak setan kau perempuan sombong. Kau kira pedangku tidak dapat menebas putus selendangmu itu. Kapuk yang ditiupkan ke mata pedangkupun akan terbelah. Apalagi selendangmu itu."

   "Kita lihat saja nanti, Ki Murdaka."

   Murdaka tidak menjawab lagi.

   Kemarahannya bagaikan membakar ubun-ubunnya.

   Namun justru ia mencoba melakukan sebagaimana dipesankan oleh lawannya.

   Jika ia kehilangan akal, maka ia tidak akan dapat menghadapi lawannya dengan penalaran yang jernih, sehingga segala sesuatunya akan menjadi kabur.

   Karena itu, bagaimanapun juga jantungnya bergejolak, Ki Murdaka berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya serta mempergunakan penalarannya yang jernih.

   Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin seru.

   Ketika Rara Wulan mulai memutar selendangnya maka lawannyapun mulai menyadari, bahwa selendang di tangan perempuan itu bukan selendang kebanyakan.

   Apalagi Murdakapun mengerti, bahwa perempuan itu memiliki tenaga dalam yang sangat besar.

   Sehingga selendangnya itu dapat terjulur mematuknya seperti sebatang tombak.

   Menebas seperti pedang namun selendang itu dapat pula menjerat seperti seutas tali.

   "Gila. Dari mana ia mendapatkan ilmu serta tenaga dalam sebesar itu ?"

   Bertanya Murdaka di dalam hatinya.

   Namun Murdaka tidak sempat mencari jawabannya.

   Selendang itu berputaran semakin cepat.

   Menebas, mematuk dan sekali-sekali menjerat pedangnya seperti tangan-tangan gurita raksasa yang mengerikan.

   Sementara itu, Glagah Putihpun bertempur melawan Ki Saba Lintang yang meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

   Sambil tertawa pendek Ki Saba Lintang itupun berkata.

   "Apakah kau menjadi heran? Ilmuku memang sudah menjadi berlipat dua kali. Jika sebelumnya kau sudah mengagumi aku, maka sekarang aku akan merasa dirimu tidak berharga sama sekali."

   "Ya,"

   Sahut Glagah Putih.

   "ilmumu memang sudah meningkat semakin tinggi. Aku memang menjadi semakin kagum kepadamu. Tetapi belum sampai pada batas kecemasan. Karena setinggi-tinggi ilmumu, aku masih akan dapat menjangkaunya."

   Ki Saba Lintang tertawa pula. Katanya.

   "Kau tidak tahu, apa yang sedang kau hadapi. Bahkan seandainya kau panggil Agung Sedayu sekalipun, ia tentu akan terheran-heran sampai saat jantungnya tertembus tongkat baja putihku."

   "Tetapi kenapa kau mempergunakan orang lain sebagai kedok keberadaanmu di sini ? Kenapa Murdaka itu harus mengaku, bahwa ia adalah Ki Saba Lintang."

   "Kau memang terlalu dungu untuk dapat mengerti ?"

   "Bukankah itu mencerminkan betapa ketakutannya kau menghadapi seranganku malam ini."

   "Kenapa aku menjadi ketakutan? Aku justru merasa senang dapat bertemu kau dan orang-orangmu di sini, sehingga aku tidak perlu memburumu sampai ke Tanah Perdikan Menoreh."

   "Tetapi bukankah kau tentu merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?"

   "Buat apa aku pergi ke Tanah Perdikan itu jika aku dapat membunuhmu di sini."

   "Tetapi tongkat baja putih yang berada di tangan mbokayu Sekar Mirah itu berada di Tanah Perdikan Menoreh."

   Wajah Ki Saba Lintang menegang. Kemudian ia pun berkata dengan nada berat.

   "Ya. Aku akan mengambilnya. Jika terpaksa aku akan membunuh Sekar Mirah dan Agung Sedayu."

   "Kau tidak akan dapat melakukannya."

   "Kenapa ? Kau ragukan kemampuanku serta kekuatan perguruan Kedung Jati setelah aku bekerja keras akhir-akhir ini?"

   "Ya. Justru kau akan mati di sini. Pengikutmu yang hanya dapat mabuk-mabukan itupun akan dilindas oleh kekuatan Tanah Perdikan Menoreh."

   Tetapi Ki Saba Lintang masih juga tersenyum. Sambil berloncatan menghindari serangan-serangan Glagah Putih, Ki Saba Lintang itupun berkata.

   "Baiklah. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang lebih baik setelah kemampuanmu menjadi berlipat."

   Keduanyapun bergerak semakin cepat.

   Serangan-serangan Ki Saba Lintang datang seperti angin prahara.

   Namun Glagah putih tidak terguncang karenanya.

   Pertempuran di halaman banjar itupun berlangsung dengan sengitnya.

   Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan untuk menguasai medan.

   Beberapa orang petugas dari kademangan Seca masih sempat menyaksikan pertempuran itu.

   Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberpa orang bebahu telah berada di halaman banjar itu pula.

   Namun mereka justru mencegah para petugas yang tersisa, serta kawan-kawan mereka yang baru berdatangan untuk tidak tergesa-gesa melibatkan diri.

   "Keduanya mempunyai kekuatan yang sangat besar,"

   Berkata Ki Demang.

   "keduanya mempunyai orang-orang yang berilmu tinggi. Ki Saba Lintang dan Ki Murdakapun telah terlibat pula dalam pertempuran Ki Saba Lintang dan Ki Murdaka. Bahkan Ki Sela Aji, Ki Demung Pugut dan yang lain-lain juga telah menghadapi lawan-lawan yang seimbang. Sementara itu mereka yang datang menyerang banjar itu jumlahnya lebih banyak. Bahkan hampir berlipat."

   Ki Jagabaya dan para bebahu itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dengan nada berat Ki Jagabaya berkata.

   "Ternyata kita telah lengah. Selama ini kita tidak melihat kekuatan yang ada di Seca, yang ternyata mampu mengimbangi kekuatan perguruan Kedung Jati."

   "Tidak. Yang ada disini hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh kekuatan perguruan Kedung Jati. Mereka tidak mengira bahwa disini mereka akan mendapat gangguan dari satu kekuatan yang cukup besar, yang sebelumnya tidak pernah nampak di Seca,"

   Sahut Ki Demang.

   "Perguruan Kedung Jati tentu akan menyalahkan kita,"

   Desis Ki Kabayan.

   "Mungkin mereka akan menyalahkan kita, bahwa kita memberikan keterangan bahwa Seca adalah satu kademangan yang aman."

   "Karena itu, agaknya lebih baik melibatkan diri. Kita mempunyai beberapa orang petugas yang akan dapat membantu Ki Saba Lintang."

   "Tetapi itu akan menimbulkan dendam dari kekuatan yang sebelah. Jika Ki Saba Lintang tidak mampu bertahan, maka pihak yang lain itu akan menghancurkan kita pula, karena kita berpihak kepada Ki Saba Lintang."

   Para bebahu itu mengangguk-angguk.

   Sementara itu pertempuran di halaman banjar itupun menjadi semakin garang.

   Kedua belah telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

   Bahkan Ki Saba Lintangpun telah memutar tongkat baja putihnya untuk melawan Glagah Putih.

   "Kaulah yang menjadi heran melihat kemampuanku sekarang,"

   Berkata Glagah Putih sambil mengurai ikat pinggangnya. Ki Saba Lintang tidak lagi tersenyum-senyum. Tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Sambil memutar tongkat baja putihnya maka Ki Saba Lintang itupun berkata.

   "Kemampuanmu memang mengejutkan. Tetapi tongkat baja putihku akan mengakhiri kesombonganmu itu."

   Glagah Putih melangkah surut beberapa langkah. Diurainya ikat pinggangnya sambil berdesis.

   "Marilah Ki Saba Lintang. Kita akan menuntaskan pertempuran itu."

   Ki Saba Lintang menggeram.

   Iapun segera meloncat menyerang sambil mengayunkan tongkat baja putihnya ke arah ubun-ubun Glagah Putih.

   Namun Glagah Putih sudah siap menghadapinya.

   Dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat menghindar, sehingga tongkat baja putih Ki Saba Lintang itu tidak mengenainya.

   Namun Ki Saba Lintang tidak memberi kesempatan.

   Ki Saba Lintang itupun dengan cepat pula memburunya sambil menjulurkan tongkat baja putihnya mematuk ke arah dada.

   Glagah Putih tidak sempat menghindar.

   Karena itu, maka Glagah Putih telah menangkis serangan itu dengan ikat pinggangnya.

   Satu benturan yang keras sekali telah terjadi.

   Tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang adalah tongkat baja putih yang jarang ada duanya.

   Sementara itu, ikat pinggang Glagah Putih adalah bukan ikat pinggang kulit kebanyakan.

   Keduanyapun berloncatan surut.

   Tangan Ki Saba Lintang terasa menjadi panas.

   Demikian pula telapak tangan Glagah Putih.

   Benturan yang keras sekali itu telah membuat senjata keduanya tergetar.

   Ki Saba Lintang mengumpat didalam hatinya.

   Ia tidak mengira bahwa anak Tanah Perdikan Menoreh itu sudah mampu meningkatkan ilmunya sampai ketataran yang sangat tinggi.

   Bahkan dalam pertempuran bersenjatapun Ki Saba Lintang telah diimbangi oleh kemampuan Glagah Putih yang hanya bersenjata ikat pinggangnya.

   Di sisi-sisi lain dari pertempuran itu, orang-orang Ki Panji Kukuh lebih banyak menguasai arena.

   Selain jumlah orang-orangnya lebih banyak dari orang-orang perguruan Kedung Jati, orang-orang dari perguruan Kedung Jati yang tidak terlalu banyak itu, diracuni oleh tuak di kepalanya, sehingga mereka tidak dapat berpikir jernih.

   Karena itu, maka keadaan orang-orang dari perguruan Kedung Jati semakin menjadi sulit Mereka mulai terdesak.

   Dan bahkan korbanpun telah berjatuhan.Dengan demikian, maka para pengikut Ki Panji Kukuh menjadi semakin percaya diri.

   Orang-orang yang mulitmya berbau tuak itu, seorang demi seorang menjadi semakin menyusut.

   Namun orang-orang berilmu tinggi dari perguruan Kedung Jati itulah yang kemudian mengejutkan.

   Mereka telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak.

   Tidak ada orang yang dapat menghentikan Sela Aji yang mengamuk seperti seekor harimau yang lapar di tengah-tengah kawanan serigala liar.

   Sementara itu Demung Pugut telah menghadang Sutasuni yang bertempur dengan garangnya.

   Ketika Sela Aji itu berhasil melumpuhkan lawannya, maka iapun kemudian bergerak seperu kuda liar.

   Tidak ada yang dapat mengendalikannya.

   Ia berloncatan dari satu tempat ke tempat yang lain, melonjak, menerjang dan menyepak dan bahkan menginjak-injak siapa saja yang mencoba menghalanginya.

   Kawan-kawannya yang sudah menjadi cemas, tiba-tiba saja telah bangkit pula.

   Mereka menjadi semakin garang menghadapi lawan-lawan mereka.

   Mereka telah menunjukkan tataran mereka yang sebenarnya sebagai pengikut dari perguruan Kedung Jati.

   Para pengikut Ki Panji Kukuhpun terhentak.

   Tetapi korban telah berjatuhan silang melintang di halaman banjar itu.

   Sementara Ki Panji Kukuh sendiri masih terikat dalam pertempuran melawan Watu kenari.

   Seorang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi, yang dapat membuat tubuhnya seringan kapas.

   Korban di kedua belah pihak bertebaran di mana-mana.

   Sementara itu Ki Demang dan Ki Jagabaya tetap menahan para petugasnya untuk tidak berpihak lagi.

   "Tetapi beberapa orang kawan kita sudah terbunuh, Ki Demang."

   Berkata seorang petugas yang hampir tidak mampu lagi mengekang diri.

   "Ya. Mereka telah menjadi korban, karena mereka bertugas di banjar pada saat serangan itu datang. Tetapi dalam kekalutan yang tidak kita mengerti itu, sebaiknya kita tidak turut campur. Jika kita terlibat dalam permusuhan yang tidak kita mengerti, maka kita akan terseret kedalam permusuhan yang berkepanjangan. Seca tidak lagi akan dapat menjadi sebuah kademangan yang tenang yang akan dapat berpengaruh pada arus perdagangan. Jika arus perdagangan datang dan pergi ke Seca ini terhalang, maka Seca akan menjadi satu lingkungan yang tidak ada bedanya dengan kademangan-kademangan lain yang berada dibawah bayangan para perampok. Apalagi jika Seca berada di bawah bayangan pertentangan antara dua kekuatan yang besar. Petugas yang merasa kehilangan beberapa orang kawannya itu tidak dapat memaksakan kehendaknya, ia memang melihat pertempuran yang sengit. Korban berjatuhan di mana-mana dari kedua belah pihak. Di sengitnya pertempuran itu, ternyata Sutasuni yang telah dihadang oleh Demung Pugut itu mengalami kesulitan yang semakin mendesaknya. Demung Pugut ternyata seorang yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Pedangnya yang berputar itu seakan-akan merupakan gumpalan asap kelabu yang mengelilinginya. Namun senjata Sutasuni mengalami kesulitan untuk menembus gumpalan asap kelabu itu. Ujung pedang Demung Pugutlah yang mulai tergores di Tubuh Sutasuni. Semakin lama semakin banyak. Meskipun dengan kekuatannya yang sangat besar, sekali-sekali Sutasuni berhasil menguak pertahanan Demung Pugut dan menggoreskan senjata di tubuhnya, namun ujung pedang Demung Pugutlah yang lebih sering menyentuh tubuh Sutasuni. Darahpun mengalir semakin lama semakin banyak. Sutasuni mulai meragukan keyakinannya sendiri, bahwa para pengikut Ki Panji Kukuh itu akan dapat menghancurkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Keseimbangan pertempuran di halaman banjar itu masih belum menentu. Jika semula para pengikut Ki Panji Kukuh yang jumlahnya lebih banyak itu telah mendesak lawannya, namun Sela Aji dan beberapa orang berilmu tinggi, mulai mengubah keseimbangan itu. Mereka mengamuk tanpa dapat dihambat lagi, sehingga beberapa orang berilmu tinggi yang lain, yang mulai menjadi cemas telah menemukan kepercayaan diri mereka kembali. Tetapi mereka menghadapi lawan yang jumlahnya lebih banyak, yang telah bertempur dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga satu dua orang dari perguruan Kedung Jati itu tidak mampu mengatasinya. Sementara itu Ki Murdaka masih terikat dalam pertempuran melawan Rara Wulan. Selendang Rara Wulan berputar melingkar. Namun kadang-kadang nampak menggeliat dan menggapai-gapai. Pada kesempatan yang lain, selendang itu terjulur mematuk seperti sebatang tombak berlandean panjang. Ki Murdaka yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi itu harus mengerahkan kemampuannya. Ternyata ketajaman pedangnya tidak mampu memotong selendang Rara Wulan yang aneh itu. Bahkan sentuhan-sentuhan ujung selendang itu telah mulai mengoyak pakaiannya dan bahkan melukai kulitnya. Namun pedang Ki Murdaka yang bagaikan membara itupun sangat mengerikan. Di kegelapan pedang itu bagaikan lidah api yang panjang yang terjulur dari tangan Ki Murdaka. Tetapi Ki Murdaka tidak segera berhasil menguasai perempuan yang bersenjata selendang itu. Bahkan Ki Murdaka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Ki Murdaka mulai mengalami kesulitan. Agaknya memang tidak ada pilihan lain bagi Ki Murdaka. Meskipun yang dihadapi adalah seorang perempuan, tetapi ia adalah seorang perempuan yang berbeda dengan kebanyakan perempuan. Apalagi ketika Ki Murdaka sempat memperhatikan arena pertempuran yang tidak menentu. Korban yang bergelimpangan di halaman banjar, sehingga kemungkinan buruk akan dapat terjadi pada Ki Saba Lintang yang sebenarnya. Ki Murdaka itu menyempatkan diri meloncat surut. Sekilas ia melihat, bahwa Ki Saba Lintang sendiri masih terikat dalam pertempuran yang sengit. Bahkan Ki Saba Lintang telah mempergunakan tongkat baja putihnya. Namun lawannyapun agaknya memiliki senjata yang mampu mengimbangi tongkat baja putihnya itu.

   "Aku tidak mempunyai pilihan lain,"

   Berkata Ki Murdaka didalam hatinya.

   "aku tidak akan mampu menghentikan perlawanan perempuan ini dengan pedangku"

   Karena itu, maka Ki Murdakapun telah sampai pada keputusan untuk mempergunakan ilmu pamungkasnya.

   Karena itu, maka Ki Murdaka itupun telah mencoba menghentakkan ilmu pedangnya yang sangat tinggi.

   Namun ia tidak berhasil menyelesaikan pertempuran.

   Ia hanya sempat mendesak Rara Wulan beberapa langkah surut.

   Namun Rara Wulanpun segera menemukan kembali keyakinannya dan bahkan mulai menekan Ki Murdaka kembali.

   Jilid 366 KI MURDAKAPUN akhirnya sampai pada satu pilihan yang menentukan. Dengan geram iapun bergumam.

   "Aku tidak peduli jika tubuh perempuan itu akan menjadi lumat."

   Dengan tangkasnya Ki Murdakapun segera berloncatan surut untuk mengambil jarak.

   Tiba-tiba saja dilepaskannya pedang pusakanya itu.

   Rara Wulan terkejut.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia segera menyadari, apa yang akan dilakukan oleh lawannya.

   Karena itu dengan cepat dikalungkannya selendangnya di lehernya, serta mempersiapkan diri menghadapi ilmu puncak lawannya yang belum diketahuinya seberapa tingginya.

   Dengan demikian, maka Rara Wulan tidak berani meremehkan lawannya, ia tidak ingin hancur dalam benturan ilmu yang tidak akan dapat dielakkannya lagi.

   Sebenarnyalah Ki Murdaka telah memusatkan nalar budinya.

   Dengan sepenuh daya kemampuan ilmunya, Ki Murdaka itu telah melontarkan serangannya ke arah Rara Wulan.

   Seleret sinar kemerah-merahan telah meluncur dari telapak tangannya, mengarah ke dada Rara Wulan.

   Namun pada saat yang hampir bersamaan, Rara Wulanpun telah meluncurkan ilmu puncaknya pula.

   Ilmunya yang disebutnya Aji Namaskara.

   Kedua kekuatan ilmu yang nggegirisi itupun akhirnya saling berbenturan.

   Udara di halaman banjar itupun telah terguncang.

   Glagah Putih dan Ki Saba Lintang yang sedang bertempurpun sempat berloncatan surut untuk mengambil jarak.

   Akibat dari benturan itupun ternyata sangat mendebarkan jantung.

   Rara Wulan tergelar beberapa langkah surut.

   Sejenak ia terhuyung-huyung untuk mempertahankan keseimbangannya.

   Namun ternyata Rara Wulan itupun jatuh pada lututnya Untuk beberapa saat Rara Wulan berusaha untuk bangkit berdiri.

   Meskipun masih agak goyah, namun akhirnya Rara Wulanpun berhasil berdiri tegak.

   Sementara itu, ternyata Aji Namaskara benar-benar memiliki kekuatan yang sangat tinggi.

   Kekuatan ilmu Ki Murdaka tidak mampu menembus kekuatan Aji Namaskara.

   Ki Murdaka tidak saja tergetar surut.

   Tetapi Ki Murdaka telah terlempar beberapa langkah dan kemudian terbanting jatuh.

   Agaknya kekuatan serta daya tahannya benar-benar tidak mampu mengatasi getar kekuatan ilmu lawannya yang meskipun telah tertahan dalam benturan dengan ilmunya sendiri, namun Aji Namaskara itu masih mampu menusuk sampai ke jantung.

   Tubuh Ki Murdaka memang tidak hancur lumat menjadi debu.

   Tubuhnya masih tampak utuh tergolek di halaman banjar.

   Namun nafas Ki Murdaka itupun telah putus.

   Sela Aji berlari kearahnya.

   Iapun segera berjongkok dan mencoba untuk mengangkat kepala Ki Murdaka.

   Namun Ki Murdaka itu telah tidak bernafas lagi.

   Sela Aji menggeram.

   Tetapi iapun tidak dapat mengingkari kenyataan.

   Setinggi-tinggi ilmu Sela Aji, masih belum setataran dengan ilmu Ki Murdaka.

   Ketika ia berpaling, dilihatnya Rara Wulan berdiri tegak memandanginya dengan tajamnya.

   Wajahnya yang tegang nampak menantangnya.

   Perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan akibat dari benturan yang baru saja terjadi.

   Dalam pada itu, tiba-tiba saja Demung Pugutpun mendekatinya.

   "Kau tidak akan dapat melawannya,"

   Desis Demung Pugut.

   "Bagaimana dengan paman ?"

   "Aku sudah menyelesaikan lawanku."

   "Kita lawan perempuan itu berdua."

   "Lihat keadaan Ki Saba Lintang. Nampaknya keadaan kita akan menjadi sulit."

   "Aku telah membunuh banyak orang."

   "Tetapi lawan Ki Saba Lintang itu adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Sementara perempuan itu telah menghentikan perlawanan Ki Murdaka."

   "Jadi?"

   Sejenak keduanya termangu-mangu.

   Sementara Rara Wulan yang masih berdiri tegak itupun sedang mengatur pernafasannya.

   Jika kedua orang itu siap melawannya, maka Rara Wulan harus mempergunakan sisa-sisa tenaganya.

   Benturan yang telah terjadi itu sangat mempengaruhinya.

   Tetapi Rara Wulan berhasil menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya setelah benturan itu terjadi.

   Meskipun demikian, jika terpaksa, ia masih akan sanggup bertempur melawan kedua orang itu.

   Sejenak suasana menjadi sangat tegang sepeninggal Ki Murdaka.

   Beberapa orang berilmu tinggi dari perguruan Kedung Jati yang masih bertahan, menjadi berdebar-debar pula.

   Dalam pada itu, Ki Panji Kukuh yang bertempur melawan Watu Kenaripun menjadi gelisah.

   Ia melihat Sutasuni tersungkur di tanah.

   Sementara itu, lawannya benar-benar seorang yang berilmu tinggi.

   Dengan demikian maka harapan Ki Panji Kukuh tinggal suami isteri yang mengaku bernama Nagagundala itu.

   Ketika Rara Wulan dapat menghentikan perlawanan Ki Murdaka, Ki Panji Kukuhpun bergumam.

   "Habislah ceritera tentang Ki Saba Lintang."

   "Bodoh kau,"

   Geram Watu Kenari.

   "orang itu bukan Ki Saba Lintang."

   "Ia menyebut dirinya Ki Saba Lintang."

   "Kau memang dungu,"

   Geram Watu Kenari.

   Sementara itu, iapun meningkatkan serangan-serangannya pula.

   Agaknya Watu Kenaripun menjadi tidak sabar lagi.

   Ia melihat Ki Saba Lintang yang sebenarnya juga mulai mengalami kesulitan.

   Meskipun tongkat baja putihnya berputaran menyambar-nyambar, namun agaknya senjata lawannya mampu mengimbangi kegarangan tongkat baja putih itu.

   Karena itu, maka Ki Watu Kenaripun ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan cepat.

   "Jika aku berhasil, biarlah aku segera berhasil. Jika aku harus mati, biarlah aku tidak melihat Ki Saba Lintang mengalami tekanan yang tidak teratasi."

   Dengan demikian, maka Watu Kenaripun segera meningkatkan ilmunya hingga ke puncaknya.

   Panji Kukuh adalah seorang pemimpin dari sekelompok orang yang berada pada jalur perdagangan terlarang.

   Ki Panji Kukuhpun memiliki ilmu yang diandalkan pula.

   Karena itu, sejenak kemudian, maka keduanya telah siap dengan ilmu pamungkas mereka.

   Ketika masing-masing melontarkan serangan yang dilandasi dengan ilmu puncak mereka, maka dua percik sinar meluncur dari arah yang berlawanan.

   Benturan yang dahsyatpun telah terjadi.

   Kedua ilmu yang tinggi yang berbenturan itu seakan-akan telah meledakkan halaman banjar.

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung

Cari Blog Ini