Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 25


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   "Seandainya yang datang bukan Ki Lurah Agung Sedayu, seandainya yang datang itu seorang Lurah prajurit yang garang, maka yang terjadi di Prancak akan berbeda. Ini harus kalian mengerti, karena jika pada saat yang lain karena sesuatu alasan prajurit Mataram harus datang lagi ke padukuhan ini, mungkin sekali yang datang adalah orang lain."

   Orang-orang yang mendengarkan sesorah Ki Demang itu mengangguk-angguk kecil.

   Mereka membayangkan, seandainya yang datang itu sepasukan prajurit yang keras dan garang, maka yang akan terjadi tentu berbeda.

   Mereka mengerti, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang memiliki kendali yang kuat atas dirinya, sehingga seluruh pasukannyapun rasa-rasanya sangat terkendali.

   Sedangkan sepasukan prajurit yang lain, meskipun mereka mengemban pesan yang sama, namun tingkah laku mereka akan dapat sangat berbeda, sehingga akan dapat merugikan kademangan Prancak itu sendiri.

   Demikianlah, setelah Ki Demang selesai dengan sesorahnya, maka Ki Demangpun mempersilahkan Ki Lurah Agung Sedayu untuk memberikan beberapa pesan kepada para Bekel dan para bebahu di seluruh kademangan Prancak.

   Tidak banyak yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

   Ki Lurah minta bahwa orang-orang Prancak itu semakin percaya diri.

   Jika mereka terbius oleh sikap orang lain, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk sebagaimana yang telah terjadi itu.

   "Orang lain mempunyai kepentingan yang sangat berbeda dan bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan rakyat Prancak,"

   Berkata Ki Lurah.

   "bahkan mungkin sekali rakyat Prancak akan kehilangan kebebasannya menentukan langkahnya sendiri. Kuasa yang sebenarnya akhirnya akan berada di tangan mereka yang datang dari luar Prancak itu."

   Pesan Ki Lurah itu benar-benar telah menyentuh perasaan para pemimpin di Prancak itu.

   Terutama orang-orang Babadan dan padukuhan disebelah.

   Demikianlah, maka dalam penemuan itu rakyat Prancak lelah dihadapkan pada kenyataan tentang diri mereka.

   Karena itu, maka dalam pertemuan itu, seakan-akan telah lahir kembali kademangan Prancak yang baru, dengan jiwa yang baru pula.

   Demikianlah, maka penemuan itu justru tidak berlangsung terlalu lama.

   Setelah sesorah Ki Demang dan Ki Lurah Agung Sedayu, maka pertemuan itupun segera diakhiri.

   "Pertemuan ini sudah berakhir sampai disini. Aku tidak ingin pembicaraan yang berkepanjangan. Yang aku ingin pesan-pesanku kalian dengar dan kalian cerna. Baru pada kesempatan lain, jika ada yang perlu kita bicarakan, akan kita bicarakan."

   Pada kesempatan itu pula, Ki Lurah Agung Sedayu minta diri kepada pada bebahu kademangan, kepada para Bekel dan bebahu padukuhan-padukuhan di Prancak.

   "Besok kami akan meninggalkan kademangan ini. Kami akan kembali ke Mataram dengari membawa para tawanan. Diantara mereka adalah Nyi Demang muda yang telah menyurukkan kademangan Prancak ke dalam bencana ini."

   "Tetapi bibi sudah sangat menyesali perbuatannya, Ki Lurah,"

   Berkata Ki Demang.

   "Sokurlah. Tetapi masih ada kesalahannya yang lain. Nyi Demang telah berusaha membunuh petugas yang dikirim oleh Mataram dengan mempergunakan racun."

   Ki Demang Prancak itu menarik nafas panjang.

   Sementara Ki Bekel menundukkan kepalanya dalam-dalam.

   Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa.

   Apalagi NyiDemang yang muda itu sendiri minta agar Ki Demang tidak minta ampun baginya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

   Hukuman yang akan diterimanya akan melepaskannya dari cengkaman perasaan berdosa yang tidak berkeputusan.

   Demikianlah, sejenak kemudian maka para Bekel itupun telah meninggalkan rumah Ki Demang di Prancak.

   Mereka masing-masing membawa persoalan di padukuhan mereka sendiri-sendiri.

   Padukuhan yang selama terjadi perselisihan itu udak menentukan sikap, merasa menyesal pula.

   Mereka merasa bahwa sikap mereka telah membuat perpecahan semakin menjadi-jadi.

   Malam itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mempersiapkan pasukannya.

   Esok pagi mereka akan meninggalkan kademangan Prancak kembali ke Mataram.

   Para tawananpun telah diberitahu, bahwa esok mereka akan dibawa oleh pasukan Mataram itu meninggalkan Prancak.

   Mereka akan diikat tangan mereka agar mereka tidak dapat berbuat macam-macam di sepanjang perjalanan.

   Malam itu, maka para prajurit Matarampun telah bersiap-siap untuk kembali ke Mataram esok pagi.

   Ki Lurah Agung Sedayu telah memerintahkan agar para prajurit itu tetap waspada menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi disepanjang perjalanan.

   "Gerombolan perampok kadang-kadang tidak berdiri sendiri,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "jika saja Raden Mahambara dan Raden Panengah mempunyai sahabat-sahabat yang merasa kehilangan. Apalagi Raden Mahambara adalah seorang yang mempunyai daerah pengembaraan yang luas. Mungkin sahabat-sahabatnya merasa kehilangan sehingga mereka berniat untuk membalas dendam."

   Para prajuritpun mengerti pesan yang diberikan oleh Ki Lurah itu.

   Karena itu, maka merekapun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya di perjalanan mereka esok.

   Demikianlah, di malam itu, Ki Demang dan para bebahu kademangan Prancak berada di banjar sampai malam.

   Mereka mengucapkan selamat jalan kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta pasukannya.

   Juga kepada mereka yang bukan termasuk dalam jajaran keprajuritan yang telah ikut pula menertibkan Prancak yang telah dilanda oleh keresahan.

   Pagi-pagi sekali para prajuritpun telah bersiap.

   Mereka pun telah mempersiapkan para tawanan yang akan mereka bawa ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka para tawanan itu terpaksa telah diikat tangannya di punggungnya.

   Hanya Nyi Demang sajalah yang tidak diikat tangannya.

   Bahkan Nyi Demang itu selalu ditemani oleh Nyi Lurah Agung Sedayu dan Rara Wulan utau bergantian.

   Nyi Demang sendiri tidak mempunyai pikiran untuk berusaha melarikan diri.

   Ia justru ingin segera sampai ke Mataram untuk menerima hukumannya.

   Dengan menjalani hukumannya, maka Nyi Demang akan merasa tidak mempunyai hutang lagi.

   Kejahatannya telah dibayarnya dengan menjalani hukuman yang ditimpakan kepadanya.

   Sebelum matahari terbit, maka segala sesuatunya telah siap.

   Para prajurit dan para tawanan telah makan pagi semuanya, sehingga mereka akan dapat berjalan dengan tenaga penuh.

   Beberapa orang prajurit telah mempersiapkan impes untuk membawa air.

   Jika mereka haus di perjalanan, maka mereka tidak perlu bersusah payah mencari sumber air yang bersih untuk minum.

   Demikianlah, maka iring-iringan para prajurit yang membawa tawanan itu telah meninggalkan padukuhan induk kademangan Prancak sebelum matahari terbit.

   Perjalanan mereka memang tidak dapat terlalu cepat.

   Para tawanan yang terikat tangannya, berjalan agak lambat.

   Bahkan ada yang merasa diperlakukan tidak wajar sehingga kadang-kadang timbul juga sedikit keributan antara para tawanan dan para prajurit.

   "Kalian adalah tawanan kami,"

   Berkata seorang pemimpin kelompok yang mendengar seorang tawanan mengumpat-umpat karena tangannya terikat.

   "Kenapa kami diperlakukan seperti seekor binatang?"

   "Kau sadari kesalahanmu atau tidak?"

   "Meskipun kami bersalah, tetapi wajarkah kami diperlakukan seperti ini?"

   "Jadi, bagaimana kami memperlakukan seorang tawanan? Seorang perampok yang telah memberontak dan melawan para petugas."

   "Tetapi itu bukan alasan untuk memperlakukan aku seperti ini."

   "Kau tidak dapat menuntut apa-apa."

   "Persetan aku,"

   Geram tawanan yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itu.

   "jika saja tanganku tidak terikat."

   "Jika tanganmu tidak terikat, kenapa?"

   "Kau hanya berani membentak-bentak orang yang tangannya terikat."

   Pemimpin kelompok itu menjadi sangat marah. Jantungnya bagaikan disentuh api. Ia adalah salah seorang diantara para prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, maka ia menjadi sangat tersinggung.

   "Kalau tanganmu tidak terikat kau mau apa? katakan!"

   "Kau tidak akan dapat membentakku karena aku akan mengoyakkan mulutmu."

   Tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu berteriak kepada seorang prajuritnya.

   "Lepaskan ikatan tangannya. Biarlah ia membuktikan kata-katanya."

   "Bagus,"

   Berkata orang itu.

   "ternyata kau benar-benar seorang laki-laki. Kau akan menyesali perbuatanmu ini."

   "Persetan kau."

   Perselisihan itu ternyata telah dilaporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

   Ki Lurahpun kemudian telah menghentikan iring-iringan itu.

   Iapun kemudian melangkah disisi pasukannya mendekati pemimpin kelompok yang memerintahkan melepaskan ikatan seorang tawanannya.

   "Apa yang terjadi ?"

   Bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Orang itu menantangku,"

   Jawab pemimpin kelompok yang kemudian melaporkan sikap orang bertubuh tinggi itu.

   "Kau beri ia kesempatan?"

   "Ya."

   "Bagus, kau buktikan bahwa kau adalah prajurit dari Pasukan Khusus."

   Ki Lurahpun kemudian telah memerintahkan para prajuritnya untuk berhati-hati mengawasi para tawanannya, selagi seorang prajuritnya akan memberi kesempatan tawanan yang menantangnya itu untuk bertarung.

   Kedua orang itupun kemudian telah berdiri berhadapan.

   Beberapa orang prajurit telah melingkarinya membentuk sebuah arena.

   Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga menyaksikannya didalam lingkaran arena itu.

   Kedua orang itupun telah berdiri berhadapan Pemimpin kelompok itu telah melepas senjatanya dan menyerahkannya kepada seorang prajuritnya.

   Karena lawanan itu tidak bersenjata, maka pemimpin kelompok itupun akan menghadapinya tanpa senjata.

   Beberapa saat kemudian, kedua orang itupun mulai bergeser.

   Namun dengan lantang perampok yang bertubuh tinggi itu bertanya.

   "Jika aku menang, apakah tanda kemenangan yang aku dapatkan?"

   "Kau akan dibebaskan,"

   Ki Lurahlah yang menjawab. -ooo0dw0ooo-

   Jilid 370 NAMUN prajurit yang telah tersinggung itupun menggeram.

   "Tetapi sebaliknya jika kau gagal, maka kau akan terkubur disini. Kau tidak akan pernah sampai ke Mataram."

   Dahi perampok yang bertubuh tinggi itu berkerut.

   Tetapi ia sudah bertekad untuk mengadu nasib melawan prajurit itu.

   Ia merasa sebagai seorang perampok, ia sudah banyak berpengalaman dalam dunia olah kanuragan.

   Sejenak kemudian, maka kedua orang itu sudah mulai berloncatan saling menyerang.

   Keduanyapun bergerak dengan cepat.

   Serangan-serangan mereka datang seperu angin prahara.

   Saling menghentak dan saling mendesak.

   Perampok yang bertubuh tinggi itu memang seorang yang disegani oleh kawan- kawannya.

   Para tawanan yang sempat menyaksikan pertempuran itu tidak dapat berharap terlalu banyak.

   Tetapi ada diantara mereka yang berharap agar kawannya itu menang sehingga mendapat kebebasan.

   Mungkin ia akan dapat menghubungi gerombolan-gerombolan lain yang sudah dikenalnya untuk membantu membebaskan mereka.

   Tetapi yang lain justru berpikir lain.

   Mereka menjadi cemas jika kawannya itu dapat memenangkan pertarungan sehingga mendapatkan kebebasannya.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang itu akan dapat memimpin sekelompok orang lain untuk memburu harta karun yang ditinggalkan oleh Raden Mahambara dan Raden Panengah untuk dirinya sendiri, sehingga orang lain dalam gerombolan itu tidak akan mendapatkan bagiannya.

   Jika harta karun itu masih belum diketemukan.

   maka masih ada harapan mereka, besok setelah mereka keluar dari hukuman akan dapat ikut menikmati harta karun tersebut.

   Sedangkan yang lain lagi, justru menjadi cemas jika orang bertubuh tinggi itu menang.

   Jika Ki Lurah itu tidak ingkar, dan benar-benar memberikan kebebasan kepada orang bertubuh tinggi itu, maka dendam para prajurit justru akan ditumpahkan kepada mereka yang masih tertawan.

   Sehingga dengan demikian, maka mereka akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi.

   Dengan tanggapan yang berbeda-beda itu, para tawanan menyaksikan pertempuran itu dengan sangat tegang.

   Bahkan para prajurit yang berdiri di seputar arenapun menjadi sangat tegang pula.

   Mereka akan merasa sangat tersinggung jika kawan mereka itu dapat dikalahkan oleh seorang perampok yang sebelumnya telah tertangkap dan menjadi tawanan.

   Dalam pada itu.

   Pertempuran itu sendiri berlangsung dengan sengitnya.

   Orang bertubuh tinggi itu memang seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas dalam pengembaraannya di dunia olah kanuragan, sehingga karena itu, maka ia memiliki ketrampilan yang tinggi, serta berbagai macam unsur gerak yang kadang-kadang sempat mengejutkan prajurit dari Pasukan Khusus itu.

   Sekali-sekali orang bertubuh tinggi itu justru mampu mendesak lawannya.

   Semakin lama unsur-uasur gerak orang bertubuh tinggi itu menjadi semakin keras dan kasar.

   Teriakan-teriakan yang melengking tinggi terlontar dari mulurnya Bahkan sekali-sekali terdengar umpatan-umpatan yang kasar.

   Ketika serangan kaki orang bertubuh unggi itu tepat mengenai dada lawannya, maka prajurit itupun telah terdorong beberapa langkah surut.

   Orang bertubuh unggi itu tidak memberinya kesempatan.

   Iapun segera memburu.

   Tubuhnya melenting sambil berputar dengan kaki terayun mendatar.

   Dengan kerasnya kaki orang bertubuh tinggi itu menyambar kening pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu.

   Prajurit itu terpelanting dan terbaring jatuh.

   Dengan sigapnya orang bertubuh tinggi itu meloncat, kakinya terjulur untuk menginjak dada prajurit yang terpelanting jatuh itu.

   Namun ternyata prajurit itu sudah berguling beberapa kali, bahkan kakinyapun dengan cepat menyapu kaki orang bertubuh tinggi itu demikian kuatnya, sehingga orang bertubuh tinggi itupun terpelanting jatuh pula.

   Ketika orang bertubuh tinggi itu meloncat bangkit, ternyata prajurit itu mampu bergerak lebih cepat.

   Demikian orang bertubuh tinggi itu berdiri tegak, maka prajurit itu meluncur seperti anak panah yang terlepas dari busurnya.

   Kakinya terjulur dengan derasnya, menghantam dada orang bertubuh tinggi itu.

   Demikian kerasnya, sehingga orang itu telah terlempar surut.

   Tubuhnyapun jatuh berguling menimpa pematang sawah di pinggir jalan yang dilewati oleh iring-iringan itu.

   Kemudian tubuh itu terguling masuk ke dalam lumpur.

   Tertatih-tatih orang itu berusaha bangkit.

   Kemudian meloncat naik ke jalan.

   Pakaian dan tubuhnya penuh dengan lumpur yang basah.

   Orang itu menggeram.

   Sementara itu prajurit dari Pasukan Khusus itu seakan-akan dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang bertubuh tinggi itu untuk memperbaiki keadaannya.

   Orang itu menggeram, diusapnya wajahnya yang bagaikan mengenakan topeng.

   "Anak iblis,"

   Geram orang itu.

   Prajurit itu berdiri tegak seperti patung.

   Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

   Ki Lurah Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar pula melihat pertarungan itu.

   Namun kemudian ia sempat melihat, kelebihan prajuritnya dari lawannya.

   Meskipun lawannya mempunyai banyak pengalaman namun landasan ilmunya masih kurang mencukupi.

   Demikianlah maka pertarungan itupun menjadi semakin sengit.

   Perampok yang bertubuh tinggi itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya.

   Tetapi ternyata bahwa ia tidak mampu mengalahkan prajurit dari Pasukan Khusus itu.

   Beberapa kali justru serangan prajurit itulah yang menembus pertahanannya.

   Kaki prajurit yang terjulur lurus menyambar demikian cepat, sehingga orang bertubuh tinggi itu tidak sempat mengelak.

   Demikian derasnya kaki prajurit itu menghantam lambung sehingga orang bertubuh tinggi itu mengaduh kesakitan.

   Di luar sadarnya orang bertubuh tinggi itu menekan lambungnya dengan kedua telapak tangannya sehingga tubuhnya sedikit terbungkuk.

   Namun pada saat itu prajurit itupun meloncat sambil memutar tubuhnya.

   Kakinya yang terayun mendatar telah menyambar wajahn/a sehingga orang itu terlempar sekali lagi.

   Tubuhnya yang bagaikan meluncur itu telah membentur sebatang pohon perindang yang tumbuh di pinggir jalan.

   Pohon turi.

   Pohon turi itupun bagaikan diguncang.

   Namun tubuh perampok itupun kemudian terkulai jatuh di rerumputan di atas tanggul.

   Tertatih-tatih orang bertubuh tinggi itu berusaha untuk bangkit berdiri.

   Tetapi demikian ia melangkah maju, maka kaki prajurit dari Pasukan Khusus itu telah menghentak langsung ke dadanya.

   Sekali lagi orang itu mengaduh.

   Sekali lagi ia terpelanting.

   Tubuh itupun kemudian telah tercebur kedalam parit dibelakang tanggul diseberang yang lain.

   Meskipun airnya tidak terlalu deras, namun orang itu telah terbenam di air parit yang bening itu.

   Dengan susah payah orang itu berusaha merangkak naik ke tanggul parit.

   Tetapi tubuhnya sudah menjadi terlalu lemah.

   Air di parit itupun telah masuk ke dalam mulut dan hidungnya pula.

   Akhirnya tubuhnya telah terkulai di atas tanggul parit itu.

   Tubuh itu dan seluruh pakaiannya menjadi basah kuyup.

   Namun dengan demikian, sebagian lumpur yang melekat di wajah dan pakaiannya sempat larut ke dalam air di parit itu.

   Prajurit itupun menggeram, ia sudah sampai pada bagian terakhir dari pertempuran itu.

   Ia dapat dengan serta merta meloncat menerkam leher perampok yang bertubuh tinggi itu dan mencekiknya sampai mati.

   Tetapi orang itu tidak melakukannya.

   Dengan berdiri tegang sambil merenggangkan kakinya prajurit itu menggeram.

   Tetapi kemudian ia justru berteriak kepada seorang tawanan.

   "Tolong kawanmu itu. Aku tidak akan membunuhnya disini. Aku akan membawanya ke Mataram."

   Tawanan yang mendapat perintah itu menjadi bingung. Tangannya sendiri terikat dibelakang punggung. Bagaimana ia dapat menolong kawannya yang hampir pingsan itu. Tetapi prajurit itupun memerintahkan kepada seorang prajuritnya.

   "Lepaskan tali ikatannya itu. Biarlah ia menolong kawannya atau menggantikannya di arena."

   Seorang prajuritpun kemudian melepaskan talinya sambil bertanya kepadanya.

   "Apakah kau juga akan mencoba melawan seorang prajurit?"

   "Tidak,"

   Jawab orang yang sudah dilepaskan tali pengikat tangannya.

   "Tolong. Bantu kawanmu itu berjalan. Jika ia tidak mau berusaha bangkit dan berjalan sendiri ke Mataram, maka aku akan mengikat kakinya dan menyeretnya sepanjang jalan sampai ke Mataram."

   Kawannya yang telah dilepas tali pengikat tangannya itupun kemudian berusaha untuk membantunya bangkit berdiri. Tetapi luka-luka orang itu, bukan saja yang kasat mata, tetapi luka di bagian dalam tubuhnya agaknya cukup parah.

   "Kenapa tidak kau bunuh saja aku?"

   Bertanya orang bertubuh tinggi itu.

   "Tidak. Persoalanmu masih belum selesai. Kau harus diperiksakan dan diadili di Mataram. Mungkin kau akan digantung di alun-alun. Tetapi tentu bukan aku yang akan melaksanakannya."

   "Buat apa aku harus pergi ke Mataram jika akhirnya aku juga akan dihukum mati. Kau telah memenangkan pertarungan ini. Kau berhak membunuhku sekarang. Karena itu bunuh saja aku dan lempar mayatku ke tebing sungai."

   "Kau sangat menjengkelkan,"

   Geram prajurit itu.

   "tetapi kau tidak akan mati secepat itu. Kau harus tahu kesalahanmu dan kau akan mati sebagai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakanmu."

   "Apa bedanya ?"

   "Banyak sekali bedanya."

   "Jika aku menolak."

   "Sudah aku katakan, aku sendiri akan menyeretmu. Kami akan mengikatkan tali dipergelangan kakimu. Kemudian menyeretmu sepanjang perjalanan ke Mataram. Jika kami sudah jemu, maka kawan-kawanmu sendirilah yang akan menyeretmu seperti menyeret balok kayu bergantian."

   "Persetan. Sebaliknya kau bunuh saja aku."

   Tetapi prajurit itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan iapun segera menyampaikan laporan kepada Ki Lurah Agung Sedayu, bahwa barisan itu sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.

   "Bagus,"

   Sahut Ki Lurah Agung Sedayu. Ditepuknya pundak prajurit yang berdiri tegak itu sambil berkata.

   "Bagus. Kau masih tetap mampu mengendalikan dirimu meskipun kau tidak dapat dianggap bersalah jika kau kemudian membunuhnya."

   Dengan nada berat prajurit itu berkata.

   "Aku hampir tidak tahan, Ki Lurah. Orang itu sengaja memancing kemarahanku agar aku membunuhnya."

   "Justru karena itu, kau tidak melakukannya."

   "Ya, Ki Lurah. Aku harus berbuat bertentangan dengan kemauannya. Apalagi untuk membunuhnya. Aku memang merasa tidak berhak selama masih ada kesempatan untuk membiarkannya hidup."

   "Bagus. Kau sudah melakukan sesuatu yang benar."

   "Ya Ki Lurah."

   Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Sedangkan dua orang tawanan telah mendapat perintah untuk membantu perampok yang bertubuh tinggi itu berjalan secepat perjalanan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.

   "Aku tidak mampu lagi,"

   Desis prajurit yang bertubuh tinggi itu.

   "Prajurit itu tidak main-main. Kau akan benar-benar diikat pergelangan kedua kakimu dan diseret sampai ke Mataram. Kamilah yang harus melakukannya, sementara prajurit itu akan berjalan dibelakang kami dengan cambuk di tangan."

   "Tetapi dadaku terasa sakit sekali. Tulang punggungku serasa akan patah, sedangkan kakiku sudah tidak berdaya sama sekali. Nafaskupun agaknya sudah hampir terputus.

   "Salahmu. Kenapa kau cari perkara,"

   Geram kawannya yang seorang lagi.

   "akhirnya kau sendiri yang menderita. Bahkan mungkin kau pun akan dapat menimbulkan kesulitan pada kami."

   "Karena itu, bunuh saja aku dan tinggalkan mayatku dipinggir jalan. Biar saja mayat itu dimakan burung-burung pemakan bangkai atau binatang buas dari hutan diseberang padang perdu itu."

   "Kau gila. Kamilah yang akan digantung. Kecuali jika kau mati dengan sendirinya."

   "Kalian ternyata juga anak iblis."

   "Kita semuanya anak iblis,"

   Sahut kawannya yang membantunya berjalan. Orang itu terdiam. Tetapi luka di bagian dalam tubuhnya benar-benar telah menyiksanya. Apalagi ia harus tetap berjalan dibantu oleh dua orang kawannya menuju ke Mataram."

   "Perjalanan yang panjang."

   Tetapi iring-iringan itu ternyata tidak langsung pergi ke Mataram.

   Tetapi iring-iringan itu menuju ke Tanah Perdikan menoreh, yang jaraknya lebih pendek dari perjalanan ke Mataram.

   Namun Ki Lurah Agung Sedayu ternyata bukan seorang yang bengis.

   Ia mengerti keadaan perampok yang terluka itu.

   Karena itu, maka perjalanan pasukan itupun telah diperlambatnya pula.

   "Kita akan menempuh perjalanan ini lebih dari sehari penuh,"

   Berkata seorang prajurit.

   "Ya. Kita sudah berhenti terlalu lama dengan memanjakan perampok itu. Memberinya kesempatan untuk berkelahi melawan seorang diantara kita."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kata-katanya memang membuat hati ini menjadi panas. Kami adalah mahluk yang berperasaan pula. Kami tidak dapat untuk merasa buta dan tuli terus menerus."

   "Tetapi ia masih beruntung, bahwa ia masih tetap hidup."

   "Baginya, kematian akan lebih menyenangkan."

   "Ya?"

   Keduanyapun terdiam.

   Sebenarnyalah perjalanan pasukan prajurit dari pasukan Khusus yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh itu terhambat cukup lama.

   Pertarungan itu sendiri, sementara perjalanannya agak diperlambat.

   Selain prajurit yang terluka itu, Nyi Demang yang muda itu pun tidak, dapat berjalan lebih cepat.

   Bahkan setiap kali ia tidak mampu melangkah, sehingga ia memerlukan beristirahat beberapa saat.

   "Apakah kami harus membuat usungan Nyi Demang. Kami dapat membuat tandu sederhana dari bambu. Jika kami sampai di padukuhan nanti, kami akan membuat tandu itu."

   "Tidak usah Ki Lurah. Tidak usah. Kasihan orang yang harus memikulnya."

   "Kami mempunyai banyak kawan disini. Nyi Demang. Biarlah para tawanan itu nanti bergantian memikulnya."

   "Tidak. Tidak perlu. Aku akan berusaha untuk berjalan terus. Ini tentu bagian dari hukuman yang harus aku sandang. Aku tidak boleh ingkar."

   "Hukuman bagi Nyi Demang masih belum diputuskan. Ada yang berkewajiban untuk memutuskan hukuman apakah yang harus Nyi Demang terima."

   Tetapi biarlah aku berjalan saja. Nyi Lurah Agung Sedayu dan angger Rara Wulan juga hanya berjalan saja. Jika mereka dapat melakukannya, akupun harus dapat. Apalagi aku adalah seorang tawanan disini."

   Sekar Mirah tersenyum. Katanya.

   "Kami sudah terbiasa Nyi Demang. Setiap hari kami berada di sawah, di teriknya sinar matahari. Di musim menuai, kami menuai padi dari satu bulak ke bulak yang lain. Bahkan ada diantar kami yang harus mencari lahan yang dapat memberikan kerja kepada kami sampai tiga ampat hari tanpa pulang. Kami berjalan dari satu tempat ke tempat lain tanpa merasa lelah. Nyi Demang muda itu mengerutkan dahinya. Katanya.

   "Nyi Lurah adalah isteri seorang Lurah Prajurit. Segala sesuatunya tentu sudah tercukupi. Buat apa Nyi Lurah pergi ikut menuai padi ?"

   "Berapa penghasilan seorang Lurah Prajurit, Nyi Demang. Kami harus mencukupi kebutuhan kami dengan menggarap sawah kami. Kakang Lurah Agung Sedayu telah mendapat sebidang tanah yang dapat digarap dari Ki Gede Menoreh sejak kakang Agung Sedayu belum menjadi seorang prajurit. Ternyata ketika Kakang Agung Sedayu ditetapkan menjadi seorang prajurit, tanah itu dibiarkannya kami garap sampai sekarang. Nah, siapakah yang harus menggarap sawah jika bukan kami yang tinggal di rumah ? Kakang Agung Sedayu setiap hari berada di barak prajurit untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang Lurah Prajurit."

   "Nyi Lurah dapat mengupah seseorang atau dua orang atau lebih."

   "Memang ada yang membantu kami menggarap sawah. Tetapi kami sendiri harus turun pula ke dalam lumpur. Sedangkan Nyi Demang tentu tidak pernah melakukannya."

   "Jika aku boleh berkata jujur, aku memang tidak pernah turun ke sawah, Nyi Lurah. Tetapi jalan hidupku adalah memalukan sekali. Justru karena aku tidak ingin hidup sebagaimana masa kanak-kanak dan masa remajaku. Aku tidak ingin mengalami kesulitan karena ketiadaan. Ayahku itu seorang yang miskin. Ia tidak pemah memenuhi keinginanku, sehingga aku merasa sangat tersiksa diantara kawan-kawanku. Tetapi aku tidak pernah memikirkan, bahwa apa yang dapat diberikan orang tuaku kepadaku itu sudah segala-galanya. Bahkan seluruh hidupnya. Baru kemarin hatiku terbuka sehingga aku merasa sangat bersalah kepada ayahku."

   "Masih ada waktu, Nyi Demang. Masih ada waktu untuk merubah segala-galanya."

   "Itulah sebabnya aku berkeras untuk dihukum agar bebanku menjadi bertambah ringan, meskipun hukuman seberai apapun tidak akan pernah dapat menghapus dosa-dosaku. Terutama sikapku kepada ayahku. Ayahku adalah seorang yang sepanjang hidupnya tidak pernah merasakan ketenangan didalam hidupnya. Pada masa mudanya ayah telah memberikan segala-galanya kepada keluarganya tanpa memikirkan diri sendiri. Sedangkan di hari tuanya aku telah menyia-nyiakannya, sehingga keadaan ayah tidak lebih baik dari kehidupan seorang budak di rumahku. Di rumah anaknya sendiri."

   Pembicaraan itupun terhenti ketika iring-iringan pasukan Mataram yang membawa tawanan itu melanjutkan perjalanan.

   Nyi Demang memaksa dirinya berjalan tertatih-tatih diapit oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan.

   Ketika senja turun, maka iring-iringan itupun telah berhenti di padang perdu.

   Ki Lurah Agung Sedayu telah berbicara dengan para pemimpin kelompok, dengan Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Seharusnya kita dapat langsung sampai ke Tanah Perdikan,"

   Berkata seorang pemimpin kelompok.

   "jika saja perjalanan kami tidak terhambat."

   "Tetapi kenyataannya, sekarang kita berada disini. Tanah Perdikan Menoreh memang sudah tidak terlalu jauh lagi,"

   Sahut Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Apakah kita dapat meneruskan perjalanan ?"

   Bertanya seorang pemimpin kelompok. Tetapi pemimpin kelompok yang lain menyahut.

   "Kita membawa tawanan yang agak banyak jumlahnya. Perjalanan di malam hari akan mengundang kemungkinan buruk. Apalagi jalan tentu sangat gelap di lengkeh-lengkeh pegunungan."

   Akhirnya Ki Lurah Agung Sedayu dan para pemimpin kelompok itu sepakat untuk bermalam di padang perdu.

   Esok pagi mereka akan melanjutkan perjalanan yang sudah tidak terlalu panjang lagi.

   Malam itu, para prajuritpun telah menebar.

   Mereka berbaring dimana saja.

   Diatas rerumputan kering, di atas batu-batu padas atau duduk bersandar pepohonan.

   Sedangkan yang lain tetap dalam tugas mereka mengamati keadaan di sekeliling mereka serta menjaga para tawanan, agar mereka tidak berbuat macam-macam.

   Sekar Mirah dan Rara Wulan diluar pengetahuan Nyi Demang, bergantian mengawasinya.

   Dalam pada itu, diluar jangkauan pengamatan para prajurit yang bertugas, dua orang justru mengawasi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sedang beristirahat itu.

   Mereka tidak tahu pasti, apakah mereka seluruhnya terdiri dari para prajurit atau hanya sebagian dan bahkan sebagian kecil saja.

   "Tetapi mereka membawa pertanda keprajuritan,"

   Desis yang seorang.

   "Mungkin saja sebagian dari mereka adalah prajurit Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan yang lain adalah anak-anak muda Tanah Perdikan itu."

   "Entahlah. Tetapi menurut perhitunganku, yang datang ke Seca waktu itu bukan para prajurit. Sikapnya, cara mereka menyerang dan bahkan pada saat pertempuran berlangsung, aku tidak melihat tanda-tanda keprajuritan di antara mereka."

   "Aku tidak ingin menghubungkan serangan di Seca itu dengan pasukan yang sedang beristirahat itu."

   "Kenapa ?"

   Kawannya itu menarik nafas panjang. Dengan nada dalam iapun menjawab.

   "Mimpi yang paling buruk yang pemah aku alami. Kekalahan kita di Seca itu benar-benar kekalahan yang sangat pahit. Hampir saja Ki Saba Lintang sendiri mengalami bencana. Padahal kita berada di Seca dengan orang-orang terbaik yang ada pada waktu itu."

   "Justru karena itu."

   "Justru karena itu kenapa ?"

   "Kita balas kekalahan kita di Seca pada waktu itu."

   "Sekarang ?"

   "Ya, sekarang."

   "Kaulah yang sedang bermimpi buruk. Berapa kekuatan yang kita bawa sekarang ?"

   "Bukankah kita datang untuk menghukum Raden Mahambara dan Raden Panengah yang telah berani merendahkan para murid perguruan Kedung Jati ? Bukankah kita membawa kekuatan yang cukup untuk menghancurkan gerombolan perampok di ujung hutan itu ? Namun ternyata bahwa prajurit Mataram telah mendahuluinya. Gerombolan Raden Mahambara telah dihancurkan oleh prajurit Mataram itu."

   "Bukankah dengan demikian, kekuatan Mataram lebih besar dari kekuatan gerombolan Raden Mahambara ?"

   "Ya, sebelum pertempuran itu berlangsung. Tetapi setelah pertempuran itu terjadi, maka kekuatan Mataram tentu sudah menyusut. Menilik berita tentang kekuatan gerombolan Mahambara dan anaknya Raden Panengah, maka kekuatan Mataram itupun tentu sudah jauh menyusut. Kekuatan Mataram itu tentu tidak sebesar kekuatan Mataram pada saat pasukan itu mulai menyerang gerombolan Raden Mahambara."

   Kawannya terdiam sejenak.

   "Bahkan kekuatan Mataram setelah menyusut itu tentu tidak sebesar kekuatan Raden Mahambara selagi gerombolan itu masih utuh. Karena itu, menurut perhitunganku, jika pasukan kita siap untuk menumpas kekuatan Raden Mahambara, maka kitapun tentu dapat menghancurkan prajurit Mataram sekarang ini."

   "Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan."

   "Lalu untuk apa kita mengikuti pasukan Mataram itu. Untuk apa pula kita memerintahkan agar pasukan kita membayangi pasukan Mataram itu, jika akhirnya kita tidak berbuat apa-apa ?"

   "Aku tidak tahu, apakah Ki Saba Lintang akan membenarkan tindakan kita ini."

   "Maksudmu kita harus minta ijin kepada Ki Saba Lintang lebih dahulu ?"

   "Ya."

   "Kenapa kau tiba-tiba menjadi dungu ?"

   "Kenapa ?"

   "Jika kita pergi menemui Ki Saba Lintang untuk minta ijin lebih dahulu, maka baru besok lusa kita akan sampai disini lagi. Sementara itu, para prajurit itu sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh."

   Kawannya termangu-mangu sejenak.

   "Sebagaimana kita lihat, bahwa pasukan itu membawa tawanan cukup banyak. Ki Lurah Agung Sedayu tentu tidak akan mengira bahwa tiba-tiba saja kita datang menyerang. Sementara itu kita teriakkan kepada para tawanan, bahwa kita datang untuk membebaskan mereka. Pasukan Mataram yang dipimpin Ki Lurah Agung Sedayu itu tentu akan mengalami kesulitan. Para tawanan itu tentu akan bergejolak. Jika kita benar-benar dapat menyusup dan melepaskan mereka, maka mereka tentu akan berpihak kepada kita, karena mereka tidak tahu, siapakah kita sebenarnya. Baru kemudian, setelah para prajurit Mataram itu kita hancurkan, maka kita akan membantai orang-orang Raden Mahambara itu sebagai pelaksanaan perintah yang kita junjung sekarang ini."

   "Aku tidak yakin bahwa Ki Saba Lintang tidak menyalahkan kita."

   "Aku tidak akan pernah melupakan serangan yang tiba-tiba sehingga membuat Seca menjadi neraka. Untunglah bahwa aku sempat melarikan diri. Jika tidak, maka aku tentu sudah dibantai oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak tahu apakah orang-orang yang datang ke Seca itu juga ada didalam pasukan itu. Tetapi pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu tentu pasukan Mataram dan berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mungkin ada diantara para prajurit itu yang ikut pergi ke Seca pada waktu itu."

   Kawannya masih saja termangu-mangu.

   "Nah. Jika kita dapat menghancurkan pasukan Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu, Ki Saba Lintang tentu akan berterima kasih kepada kita. Kita sudah membalaskan sakit dan dendam hatinya karena serangan yang tiba-tiba yang dialaminya di Seca yang kelihatannya aman dan damai itu."

   "Sebaiknya kita bicarakan dengan para sesepuh di pasukan kita sekarang ini."

   "Baiklah. Marilah. Jangan banyak kehilangan waktu."

   Keduanya itupun kemudian merangkak meninggalkan tempat persembunyiannya, kembali ke induk pasukannya yang berada di tempat yang agak jauh dari pasukan Mataram itu."

   Kedua orang itupun bergegas mencari beberapa orang pemimpin dari pasukan dari perguruan Kedung Jati yang berhenti dan beristirahat tidak di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat.

   Ada diantara para pemimpin itu yang sudah tertidur.

   Namun merekapun segera bangkit dan berkumpul di bibir hutan itu.

   "Ada apa?"

   "Pasukan Mataram itu,"

   Jawab salah seorang dari kedua orang yang telah mengawasi pasukan Mataram itu.

   "Ya, pasukan Mataram. Kenapa dengan mereka ? Apakah pasukan itu mengetahui bahwa kita berada disini dan bahkan mereka merayap kemari ?"

   "Tidak, Ki Wiratuhu. Yang ingin kami usulkan, apakah kita dapat menyerang dan menghancurkan prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu ?"

   "Apa katamu ?"

   "Mereka sekarang beristirahat di padang perdu itu. Mereka membawa banyak tawanan, para pengikut Raden Mahambara dan Raden Panengah."

   "Kau ingin menyurukkan kepalamu ke dalam api ?"

   "Pasukan itu memang pasukan yang kuat. Mereka mampu mengalahkan gerombolan yang dipimpin Raden Mahambara. Tetapi setelah kedua pasukan itu, maksudku pasukan Mataram dan pasukan Raden Mahambara bertempur, maka keduanya tentu telah banyak kehilangan. Pasukan Raden Mahambara telah dihancurkan. Sebagian dari mereka tertawan dan akan dibawa ke Mataram. Bukankah dengan demikian pasukan Mataram itu sudah tidak sekokoh saat mereka datang ? Sementara itu, kitapun sudah siap menghadapi gerombolan Raden Mahambara."

   "Menurut perhitunganmu, pasukan Mataram itu sudah menjadi lemah sementara pasukan kita masih utuh? Sedangkan pasukan kita telah disiapkan untuk menumpas gerombolan Raden Mahambara yang telah menodai keutuhan wilayah perguruan Kedung Jati dan bahkan telah meremehkan keberadaannya yang meliputi wilayah dari pesisir Lor sampai ke pesisir Kidul termasuk tlatah Mataram dan di dalamnya terdapat Tanah Perdikan Menoreh."

   "Ya, Ki Wiratuhu."

   Ki Wiratuhu itupun berpaling kepada seorang yang janggutnya sudah memutih sambil bertanya.

   "Bagaimana pendapat kakang Umbul Geni?"

   "Ingat. Di Seca Ki Saba Lintang datang bersama orang-orang berilmu sangat tinggi. Orang-orang muda yang memiliki bekal yang membanggakan. Tetapi mereka tidak banyak dapat memberikan perlawanan."

   "Bukan begitu, Ki Umbul Geni. Kami memberikan perlawanan yang sangat keras. Korban di pihak orang-orang Tanah Perdikanpun cukup banyak. Tetapi kedatangan mereka yang tiba-tiba, sementara kami memang agak lengah, telah membuat pasukan kami porak poranda. Ki Saba Lintang sendiri hampir saja dapat dikuasai oleh seorang pemimpin pasukan dari Tanah Perdikan itu yang sebenarnya masih terhitung muda. Tetapi orang itu dapat mengalahkan Ki Saba Lintang sendiri."

   "Apakah orang itu sekarang ada di dalam pasukan Mataram itu bersama-sama dengan Ki Lurah Agung Sedayu?"

   "Entahlah."

   "Bagaimana pendapat Ki Umbul Geni dan para pemimpin yang lain?"

   "Terserah kepada Ki Wiratuhu,"

   Jawab seorang yang bertubuh raksasa.

   "aku siap berbuat apa saja. Seandainya kita menyerang para prajurit Mataram itupun aku sudah siap pula. Kemudian kita binasakan para tawanan yang telah merendahkan keberadaan perguruan Kedung Jati."

   "Kita dapat memanfaatkan para tawanan itu dahulu. Jika ada diantara kita yang sempat menyusup ke dalam pasukan Mataram dan melepaskan para tawanan, kita akan dapat mengatakan kepada mereka bahwa kami datang untuk membantu mereka melepaskan diri. Baru kemudian, setelah pasukan Mataram itu kita binasakan maka kita akan menyelesaikan para tawanan itu. Karena sebenarnya tugas kita adalah menghancurkan para pengikut Raden Mahambara sampai orang yang terakhir."

   "Tetapi kita jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Marilah kita lihat pasukan Mataram itu."

   "Tidak banyak yang dapat kita lihat,"

   Jawab orang yang telah mengawasi pasukan Mataram itu.

   "mereka tidak banyak memasang obor. Hanya ada beberapa oncor jarak. Jika oncor itu padam, telah disambung dengan oncor yang lain atau udik."

   "Tentu disambung. Diantara mereka ada beberapa orang tawanan. Orang-orang Mataram tidak akan menjadi terlalu lengah dengan tanpa menyalakan oncor atau obor di tempat mereka beristirahat."

   Demikianlah, maka Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Geni bersama kedua orang pengawas itu telah pergi ke perkemahan para prajurit Mataram di padang perdu yang terbuka.

   Seperti yang dikatakan oleh para pengawas, maka di perkemahan itu tidak banyak terdapat obor atau oncor.

   Meskipun demikian di beberapa tempat, masih tetap menyala oncor jarak yang dirangkai panjang.

   Sementara itu para prajurit yang bertugas masih tetap berjaga-jaga di tempat-tempat yang sudah ditentukan.

   Demikianlah keempat orang itupun merayap mendekati perkemahan itu.

   Oncor yang terlalu sedikit itu tidak dapat menerangi seluruh perkemahan.

   Meskipun penglihatan orang-orang dari perguruan Kedung Jali itu cukup tajam, namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang ada di padang perdu itu.

   Ki Wiratuhu ternyata masih saja ragu-ragu.

   Tetapi Ki Umbul Geni berdesis perlahan.

   "Yang kita lihat dalam keremangan itu adalah para prajurit, mungkin orang-orang Tanah Perdikan dan para tawanan. Menurut penglihatanku, pasukan itu tidak terlalu kuat. Mungkin sebelum terjadi pertempuran antara prajurit Mataram melawan para perampok yang bersarang di ujung hutan itu, pasukan Mataram adalah pasukan yang sangat kuat. Dan itu terbukti bahwa mereka dapat menghancurkan para perampok yang bersarang di ujung hutan. Tetapi selelah pertempuran itu, kekuatan Mataram tentu menjadi jauh menyusut."

   "Bagaimana menurut pendapatmu ?"

   "Kita ambil kesempatan ini. Ki Saba Lintang tentu akan sangat berterima kasih kepadaku. Dengar, jika di dalam pasukan yang dipimpin Ki Lurah iiu terdapat perempuan, maka perempuan itu tentu Nyi Lurah Agung Sedayu itu sendiri. Kau tahu bahwa pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati yang satu lagi berada di tangan Nyi Agung Sedayu. Nah, jika kali ini kita berhasil mendapatkannya, maka kau dapat membayangkan, bahwa kita akan mendapat pujian dan bahkan mungkin tempat terhormat di lingkungan perguruan Kedung Jali yang sedang dibangun ini."

   "Ya. Tetapi kemungkinan lain, tongkat baja pulih itu akan memecahkan kepala kita."

   "Bukankah itu kemungkinan yang wajar dari satu pertaruhan. Menang atau kalah. Kalau menang kita akan mukti, kalau kalah kita akan mati."

   "Baiklah jika itu keputusanmu. Marilah kita temui para pemimpin yang menyertai kita. Tetapi kita sadari bahwa para pemimpin perguruan ini yang lain, yang dibanggakan oleh Ki Saba Lintang dan dibawanya ke Seca berhasil dibinasakan oleh orang-orang Tanah Perdikan itu."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sebenarnya mereka tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Mereka hanya berhasil menjilat Ki Saba Lintang, sehingga mereka mendapat kesempatan lebih dari kita. Tetapi kita akan membuktikan, bahwa kita tidak kalah dari mereka. Justru kitalah yang berhasil mengumpulkan sepasang tongkat baja putih itu."

   Tetapi seorang diantara kedua orang pengawas itupun berkata.

   "Sebenarnya orang-orang Tanah Perdikan tidak mempunyai banyak kelebihan. Mereka tidak ada bedanya dengan para perampok di ujung-ujung hutan itu. Mereka adalah orang-orang kasar dan bahkan buas dan liar."

   "Kau jangan mengada-ada. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang terlatih sebagaimana seorang prajurit."

   "Kabar itulah yang sampai ketelinga kita. Tetapi ketika aku sendiri menghadapi mereka, maka mereka adalah orang orang liar yang tidak jauh berbeda dengan para perampok dan penyamun. Mereka hanya mengandalkan keberanian, kekuatan tenaga kewadagan dan teriakan-teriakan kasar. Memang ada satu dua diantara mereka yang berilmu tinggi, tetapi jumlahnya dapat dibilang dengan jari satu tangan."

   "Siapapun mereka, namun akhirnya mereka dapat memporak-porandakan pengawal-pengawal terbaik Ki Saba Lintang.

   "Ya. Itu memang tidak dapat dipungkiri, meskipun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh juga hancur lebur."

   "Sudahlah. Marilah kita kembali ke induk pasukan. Kita siapkan pasukan kita untuk menghancurkan orang-orang Tanah Perdikan dan kita ambil tongkat baja putih itu dari tangan Nyi Lurah Agung Sedayu."

   Demikianlah, maka Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Genipun segera kembali ke induk pasukan mereka, sementara kedua orang pengawas itu ditugaskan untuk tetap mengawasi pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.

   Setelah mengadakan pembicaraan yang mendalam, maka akhirnya para pemimpin dari orang-orang yang menyebut dirinya murid-murid dari perguruan Kedung Jati itupun sepakat untuk menyerang pasukan Mataram yang sedang berkemah di padang perdu itu.

   "Seperti saat mereka menyerang Ki Saba Lintang di Seca, maka kamipun akan menyerang mereka. Mereka tentu tidak mengira bahwa akan datang serangan yang begitu tiba-tiba sebagaimana Ki Saba Lintang di Seca juga tidak mengira sama sekali bahwa akan datang serangan dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."

   "Namun Ki Saba Lintang sempat meragukan, apakah serangan yang tiba-tiba di Seca itu benar-benar orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya diantara mereka tidak terdapat seorang yang dikenal oleh Ki Saba Lintang bahwa ia benar-benar orang Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Saba Lintang tidak akan percaya bahwa yang menyerangnya di Seca adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."

   "Itu karena Ki Saba Lintang terkejut sekali bahwa dengan tiba-tiba saja ia sudah dihadapkan kepada sepasukan lawan."

   "Mungkin. Tetapi apapun yang terjadi di Seca, malam ini kitalah yang akan mengejutkan mereka."

   "Mengejutkan mereka dan menghancurkan mereka."

   Demikianlah, maka pasukan dari perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu serta Ki Umbul Geni itupun segera mempersiapkan diri.

   Orang-orang yang kemudian menganggap dirinya murid dari perguruan Kedung Jati itu menjadi gembira karenanya.

   Mereka merasa sangat kecewa ketika mereka ketahui bahwa para pengikit Raden Mahambara dan Raden Panengah itu sudah dihancurkan oleh orang-orang Mataram.

   Ketika mereka berangkat, mereka sudah mereka-reka apa saja yang akan mereka lakukan terhadap lawan-lawan mereka.

   Mereka yang merasa sudah berhasil menyadap ilmu kanuragan, ingin mencoba seberapa jauh kemampuan yang telah mereka kuasai itu.

   Ketika mereka mendapat perintah untuk bersiap menghadapi pasukan Mataram, maka kegembiraan merekapun telah tumbuh kembali.

   Apalagi ketika para pemimpin mereka memberi penjelasan, bahwa pasukan Mataram yang berhasil menghancurkan gerombolan Raden Mahambara itupun telah mengalami penyusutan kekuatan sehingga kekuatan pasukan Mataram yang tersisa itu tidak sekokoh gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara.

   "Kita manfaatkan para tawanan. Jika ada di antara kita yang berhasil menyusup dan melepaskan para tawanan, maka kita harus dapat menyurukkan mereka kedalam pertempuran. Kita katakan kepada mereka, bahwa kita datang untuk melepaskan mereka. Baru kemudian, setelah pasukan Mataram kita hancurkan, maka orang-orang Mahambara itupun kita selesaikan sampai orang terakhir sebagaimana perintah yang kita terima karena Mahambara telah berani meremehkan kita."

   Perintah dari KiWiratuhu telah mengalir lewat para pemimpin kelompok sampai ke setiap orang didalam pasukan dan perguruan Kedung Jati itu.

   "Kita akan mengambil tongkat baja putih itu bagi kebesaran nama Ki Saba Lintang. Sepasang tongkat baja putih itu harus berada di tangan Ki Saba Lintang."

   Dengan demikian, maka pasukan yang dipimpin okh Ki Wiratuhu itupun segera mempersiapkan diri.

   Mereka segera membenahi segala sesuatunya.

   Mereka telah memeriksa senjata-senjata mereka yang sebelumnya mereka anggap tidak akan segera dipergunakan.

   Baru kemudian, Ki Wiratuhu itupun memerintahkan pasukannya untuk bergerak mendekati perkemahan pasukan Mataram.

   Dalam pada itu, sebagian besar para prajurit Mataram memang sedang beristirahat.

   Meskipun demikian para prujunt yang sedang bertugas tidak menjadi lengah.

   Bahkan ada diantara mereka yang tidak hanya berjaga-jaga di tempat tertentu.

   Tetapi ada diantara prajurit Mataram itu yang berjaga-jaga sambil bergeser diri satu tempat ke tempat yang lain.

   Dari balik satu gerumbul ke gerumbul yang lain.

   Agaknya telah terjadi sentuhan-sentuhan dari getaran naluri keprajuritan mereka.

   Agaknya penglihatan para prajurit itu lebih tajam dan dua orang pengawas yang ditinggalkan oleh Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Geni.

   Ternyata dua orang prajurit Mataram telah dapat melihat lebih dahulu dua orang pengawas dan perguruan Kedung Jati itu.

   Seorang diantara mereka telah menggamit yang lain sambil menunjuk ke arah kedua orang pengikut Ki Wiratuhu itu.

   Kawannya mengangguk kecil.

   Namun keduanya tidak bergeser lebih maju lagi.

   Bahkan seorang diantara mereka berdesis.

   "Awasi mereka. Aku akan memberikan laporan kepada Ki Lurah, bahwa ada dua orang yang sedang mengamati kita."

   "Berhati-hatilah."

   "Kaulah yang harus berhati-hati. Mungkin selain kedua orang itu masih ada orang lain lagi."

   "Baiklah. Kita memang harus berhati-hati."

   Sejenak kemudian, maka seorang dari kedua orang itupun segera meninggalkan tempatnya.

   Dengan sangat berhati-hati orang itu merangkak surut.

   Ternyata Ki lurah masih juga belum tidur, ia masih duduk bersama dua orang pemimpin kelompok yang bertugas.

   Disebelahnya Nyi Lurah duduk bersama Nyi Demang muda yang masih belum mau tidur juga.

   Sedang disebelah Nyi Lurah, Rara Wulan nampaknya sempat tidur meskipun agak gelisah.

   Sedangkan dibawah sebatang pohon, Glagah Putih sempat tidur sambil bersandar pohon itu.

   Ketika pengawas itu memberi laporan kepada Ki Lurah bahwa ada dua orang yang tidak dikenal sedang mengawasi perkemahan mereka, maka Ki Lurahpun segera memanggil Glagah Putih serta beberapa orang pemimpin kelompok yang lain.

   "Ternyata perjalanan kita yang sudah tidak terlalu jauh lagi ini masih akan mengalami hambatan,"

   Berkata Ki Lurah.

   "Ada apa kakang ?"

   "Dua orang sedang mengawasi perkemahan kita."

   "Siapakah mereka, kakang ?"

   "Kita tidak tahu. Tetapi mereka agaknya tidak hanya berdua saja."

   "Ya, kakang,"

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya.

   "Apakah yang harus kami lakukan, kakang ?"

   "Kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi kita tidak usah membuat para prajurit menjadi ribut. Kita akan menyebarkan perintah untuk bersiap-siap tanpa harus membuat perkemahan ini bergejolak."

   Glagah Putih tennangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya.

   "Maksud kakang ?"

   "Biarlah mereka mempersiapkan diri di tempat mereka sekarang berada. Kita belum tahu, apakah inakMid kedua orang itu. Yang penting, setiap kelompok diketahui dengan pasti tempatnya, pemimpinnya dan kesiagaan senjata serta perlengkapan yang diperlukan. Demikian ada perintah, maka dalam sekejap mereka telah siap untuk menyusun gelar. Mungkin kita tidak akan mempergunakan gelar yang sulit. Bahkan mungkin sekali kita akan mempergunakan gelar emprit neba atau bahkan kita akan terlibat dalam perang brubuh. Yang penting setiap orang telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bukan berarti kita mengabaikan kemungkinan akan datangnya bahaya. Tetapi seandainya ada gerombolan yang akan menyerang kita, mereka tentu akan menunggu fajar. Mereka tidak akan berani dengan serta-merta menyerang kita di gelapnya malam, kecuali jika mereka tidak mempergunakan perhitungan wajar."

   "Jadi kita akan menyebarkan perintah ini tanpa merubah kedudukan para prajurit sekarang ini ?"

   "Ya. Tetapi aku akan memerintahkan kepada mereka yang bertugas untuk melipatkan kewaspadaan. Jika mereka meliat perkembangan yang membahayakan, mereka harus segera memberikan laporan kepadaku."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   "Kau juga harus hati-hati Glagah Putih."

   "Jika kakang mengijinkan, aku akan mengajak Rara Wulan untuk melihat-lihat keadaan. Kami-akan meyakinkan apakah kedua orang itu tidak sendiri."

   "Rara Wulan masih tidur."

   "Aku akan membangunkannya."

   "Terserah kepadamu, Glagah Putih."

   Glagah Putihpun kemudian membangunkan Rara Wulan. Perempuan itu terkejut, sehingga dengan serta-merta iapun segera bangkit dan duduk.

   "Ada apa kakang?"

   Glagah Putih kemudian membertahukan kepadanya bahwa mereka perlu melihat keadaan sebentar.

   Rara Wulanpun kemudian bangkit berdiri.

   Ternyata ia tidak banyak bertanya.

   Iapun segera berbenah diri dan siap untuk pergi bersama Glagah Putih.

   Keduanyapun kemudian menyelinap kedalam gelap bersama pengawas yang telah melaporkan tentang keberadaan kedua orang yang tidak dikenal itu.

   Dengan hati-hati Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada disebelah pengawas yang satu lagi, yang tidak berunjuk dari tempatnya sementara kawannya memberikan laporan kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

   Orang itupun kemudian memberikan isyarat, bahwa kedua orang itupun masih tetap berada ditempatnya.

   "Apakah mereka berhubungan dengan seseorang ?"

   "Sejak aku melihat mereka, tidak ada seorangpun yang menghubungi mereka."

   Glagah Putihpun mengangguk-angguk.

   Diperhatikannya lingkungan yang ada disekitar tempat itu.

   Ia mulai menduga-duga, dari manakah datangnya kedua orang yang mengawasi para prajurit Mataram itu.

   Namun sebelum Glagah Putih mendapatkan kesimpulan, maka dilihatnya dua orang telah mendatangi kedua orang yang sedang mengawasi para prajurit Mataram itu.

   Seorang diantara mereka adalah Ki Umbul Geni.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun berusaha untuk beringsut lebih dekat.

   Tetapi ternyata sulit bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan.

   Sehingga dengan demikian, maka keduanya masih saja tetap berada ditempat mereka.

   Glagah Putih dan Rara Wulan serta kedua pengawas dan antara prajurit Mataram itupun mendengar lamat-lamat keempat orang itu berbincang.

   Tetapi mereka tidak mendengar, apa saja yang mereka bicarakan.

   Namun dengan mempertajam pendengarannya, berlandaskan Aji Sapta Pangrungu yang semakin dipertajam saat keduanya menempa diri berdasarkan Kitab Ki Namaskara, maka merekapun dapat mendegar serba sedikit isi pembicaraan keempat orang itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulan memang terkejut mendengar pembicaraan mereka.

   Keempat orang itu menyebut-nyebut nama Ki Saba Lintang serta pasukan dari perguruan Kedung Jati.

   Hampir diluar sadarnya, Glagah Putihpun berdesis perlahan ditelinga Rara Wulan.

   "Ternyata mereka orang-orang perguruan Kedung Jati."

   "Ya,"

   Sahut Rara Wulan berbisik.

   "mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang."

   "Darimana mereka tahu, bahwa pasukan dari Mataram itu berada disini."

   Keduanya terdiam. Diantara keempat orang itu masih ada yang berbicara lagi.

   "Nah, hati-hatilah. Awasi mereka. Pasukan kita berhenti tidak terlalu jauh dari tempat ini. Ki Wiratuhu akan memperhitungkan, kapan kita akan bergerak."

   "Apakah kita akan menunggu fajar."

   "Mungkin menjelang fajar. Kita akan menyerang dari arah Timur."

   Keempat orang itupun terdiam. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata.

   "Aku akan kembali ke induk pasukan. Aku akan memberikan laporan kepada Ki Wiratuhu."

   "Silakan Ki Umbul Geni."

   Dua orang diantara merekapun kemudian meninggalkan kedua orang yang lain, yang masih tetap mengawasi para prajurit Mataram dari balik gerumbul perdu.

   Namun mereka tidak mengira, bahwa keberadaan mereka telah diketahui oleh para prajurit Mataram.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian bersepakat untuk melihat pasukan yang dikatakan berada tidak terlalu jauh dari tempat itu.

   Kepada kedua orang prajurit Mataram itu mereka berpesan agar mereka menjadi lebih berhati-hati.

   "Jika kami berdua diketahui oleh para pengikut Ki Saba Lintang, maka aku akan melarikan diri ke arah yang lain. Tetapi aku akan berusaha memberikan isyarat kepada kalian, agar kakang Lurah Agung Sedayu segera dapat mengambil sikap."

   Kedua orang prajurit itu mengangguk. Hampir berbareng keduanya berdesis perlahan.

   "Baik."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera beringsut, tetapi keduanya harus melingkar untuk dapat melampaui kedua orang pengawas dari perguruan Kedung Jati itu.

   Dengan sangat berhati-hati, dengan mengetrapkan ilmunya meringankan tubuh serta menyerap bunyi yang timbul karena sentuhan tubuhnya dengan gerumbul-gerumbul perdu serta tanah berbatu batu padas, keduanya bergerak ke arah orang yang disebut Ki Umbul Geni itu bergerak.

   Akhirnya, keduanyapun berhasil mengetahui, dimana para pengikut Ki Saba Lintang itu berkemah.

   "Pasukan yang kuat,"

   Desis Glagah Putih.

   "Kenapa mereka tiba-tiba saja berada disitu ?"

   Bertanya Rara Wulan sambil berbisik.

   "Entahlah. Mungkin kebetulan, tetapi mungkin ada alasan lain. Bahkan mungkin mereka akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk membalas sakit hati Ki Saba Lintang saat mereka berada di Seca.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jika mereka akan pergi ke Tanah Perdikan, mereka akan membawa pasukan lebih banyak lagi. Meskipun pasukan itu cukup kuat. Tetapi Ki Saba Lintang tentu tahu, bahwa kekuatan itu tidak akan dapat menembus pertahanan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun serangan itu datang dengan tiba-tiba. Seandainya mereka mampu menghentak menusuk langsung sampai ke padukuhan induk, namun beberapa saat kemudian, mereka tentu sudah akan terusir lagi. Selain para pengawal Tanah Perdikan yang kuat, prajurit dari Pasukan Khusus akan segera datang dengan kekuatan penuh."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berdesis.

   "Bagaimanapun juga, pasukan itu merupakan bahaya yang besar bagi prajurit Mataram. Kita harus segera memberitahukan kepada kakang Agung Sedayu. Nampaknya seperti yang dikatakan oleh orang yang bernama Umbul Geni itu, mereka akan menyerang menjelang fajar dari arah Timur."

   "Agaknya mereka akan memanfaatkan saat matahari terbit, sehingga pasukan Mataram itu akan menjadi silau."

   "Ternyata mereka cukup cermat sehingga mereka sempat memperhitungkan saat matahari terbit."

   "Kita harus menyambut mereka dengan kesiagaan yang tinggi. Mungkin kakang Agung Sedayu akan mempersiapkan pasukan untuk menyerang dari arah lambung."

   Keduanyapun kemudian sepakat untuk kembali dan melaporkan apa yang dilihatnya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

   Ternyata Ki Lurah menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap laporan Glagah Putih.

   Iapun segera memerintahkan para petugas di dapur untuk pada saatnya menyiapkan makan dan minum para prajurit.

   Ki Lurahpun segera mengatur kelompok-kelompok yang harus mengawasi para tawanan.

   "Ikat tangan dan kaki mereka. Kita tidak boleh terjebak oleh keberadaan para tawanan itu. Jika para pengikut Ki Saba Lintang sempat memanfaatkan mereka, maka kita benar-benar akan mengalami kesulitan."

   Para pemimpin kelompok yang diserahi mempertanggungjawabkan para tawanan itupun segera menghubungi para prajuritnya untuk melakukan lugas itu.

   "Hati-hati. Jangan memperlihatkan kesibukan yang menarik perhatian."

   Demikianlah maka semua orang didalam pasukan Mataram itu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

   Namun dua orang pengawas yang ditempatkan oleh para pengikut Ki Saba Lintang itu tidak menyadari akan kesiagaan prajurit Mataram.

   Mereka mengira bahwa prajurit Mataram itu masih saja lengah sehingga mereka akan segera dikacaukan oleh serangan para pengikut Ki Saba Lintang yang tiba-tiba saja.

   "Mereka akan kehilangan nafas perlawanan mereka seperti Ki Saba Lintang sendiri ketika ia berada di Seca. sehingga Ki Saba Lintang itu terpaksa melarikan diri."

   "Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang boleh melarikan diri. Mereka harus dimusnahkan sampai orang terakhir. Demikian pula para pengikut Raden Mahambara. meskipun Raden Mahambara sendiri sudah mati."

   Malampun merambat perlahan menjelang dini hari.

   Sementara itu, para prajurit Matarampun telah mempersiapkan din sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan.

   Namun mereka tidak menampakkan kesibukan mereka Mereka tetap berada di tempat mereka masing-masing.

   Namun mereka telah memeriksa senjata-senjata mereka.

   Para pemimpin kelompok telah memberikan perintah, jika isyarat itu terdengar, mereka harus bergerak kemana.

   Para pemimpin kelompokpun telah memberitahukan bahwa pasukan dari para pengikut Ki Saba Lintang itu akan menyerang dari arah Timur, agar pada saat matahari terbit, mereka menjadi silau.

   "Tetapi jika kita sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya maka cahaya matahari itu tidak akan terlalu mengganggu,"

   Berkata para pemimpin kelompok. Namun memang ada beberapa kelompok yang mendapat tugas untuk sedikit melingkar dan menyerang dari arah lambung.

   "Kita akan memasang gelar Glatik Neba,"

   Berkata Ki Agung Sedayu kepada para pemimpin kelompok.

   "karena itu, kita akan dapat mulai dari tempat kita masing-masing."

   Namun dalam pada itu, para prajurit yang bersenjata panah telah siap untuk menahan gerak maju para pengikut Ki Saba Lintang.

   Mereka dengan sangat hati-hati, agar tidak menarik perhatian para pengawas itu, telah bergerak lebih maju.

   Mereka berusaha untuk terlindung di balik pepohonan.

   Mereka akan menyerang dengan tiba-tiba para pengikut Ki Saba Lintang yang akan merunduk pasukan Mataram itu.

   Dalam pada itu, di dini hari.

   pasukan Ki Saba Lintangpun telah mulai bergerak.

   Dua orang, yang diamatinya adalah Ki Umbul Geni, telah bergerak mendahului pasukan mereka.

   "Bagaimana dengan orang-orang Mataram itu ?"

   Bertanya Ki Umbul Geni.

   "Mereka adalah pemalas. Mereka masih tetap tidak beranjak dari tempat mereka masing-masing, kecuali ketika terjadi pergantian para petugas yang berjaga-jaga."

   "Apakah mereka masih belum tahu. bahwa akan datang serangan menjelang fajar ?"

   "Tidak. Jika mereka tahu. maka mereka tentu akan mempersiapkan diri. Yang aku lihat hanyalah kesibukan pergantian tugas itu saja seperti yang sudah aku katakan."

   Ki Umbul Geni mengangguk-angguk.

   Menurut pendapatnya, kelengahan orang-orang Mataram itu akan menentukan sekali.

   Jika mereka terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba.

   maka mereka tidak akan sempat terpikir.

   Mereka akan memasuki arena pertempuran tanpa persiapan sama sekali, sehingga mereka akan banyak kehilangan kesempatan.

   Bahkan mungkin masih ada diantara mereka yang belum sempat benar-benar sadar akan apa yang terjadi ketika ujung senjata lawannya menghunjam di jantungnya.

   Ki Wiratuhu telah memerintahkan pasukannya untuk bergerak dengan sangat berhati-hati.

   "Jangan bangunkan harimau yang sedang tidur,"

   Pesan Ki Wiratuhu.

   "jaga agar gerakan kita tidak mereka lihat. Baru kemudian, dengan tiba-tiba saja kita mencukuri mereka."

   Sebenarnyalah pasukan Ki Wiratuhu itu tergerak dengan sangat hati-hati.

   Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka orang-orang didalam pasukan itu benar-benar telah merangkak.

   Pasukan Ki Wiratuhu itupun kemudian menempatkan diri di arah Timur dan perkemahan para prajurit Mataram.

   Dalam pada itu, para prajuritpun telah memerintahkan para tawanan untuk tidak melakukan gerakan-gerakan yang dapat memaksa para prajurit itu bertindak lebih keras.

   Setelah diikat kaki dan tangannya, maka para tawanan itu diperintahkannya untuk tetap duduk di tempatnya dalam kegelapan, karena merekapun telah dijauhkan dari oncor-oncor yang ada.

   Namun oncor-oncor yang kemudian padam karena kehabisan biji jarak atau karena sebab lain, tidak dinyalakan kembali atau disambung dengan oncor-oncor yang baru oleh para prajurit Mataram.

   Dengan demikian, maka gerakan-gerakan kecil para prajurit Mataram itu tidak dapat dilihat oleh kedua orang pengawas yang dipasang oleh Ki Wiratuhu.

   Demikianlah, maka pasukan Mataram itupun tinggal menunggu serangan dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu.

   Sementara itu, Ki Wiratuhupun telah memberikan isyarat agar pasukannya segera mempersiapkan diri.

   "Sebentar lagi, fajar akan menyingsing,"

   Perintah Ki Wiratuhu.

   "kita akan segera bergerak mendekat. Tetapi kita akan memanfaatkan saat matahari terbit. Karena itu, maka semua orang didalam pasukan kita harus menyesuaikan diri."

   Pasukan yang merangkak itu sudah benar-benar bersiap.

   Jarak mereka dengan pasukan Matarampun telah menjadi semakin dekat.

   Sementara langitpun mulai menjadi merah.

   Ki Wiratuhupun segera berada di sebelah kedua orang pengawas serta Ki Umbul Geni dengan seorang yang menyertainya.

   Nampaknya segala sesuatunya akan berlangsung dengan lancar.

   Para prajurit Mataram itu nampaknya masih tetap terlena.

   Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Geni serta para pengawas itu masih melihat pergantian tugas para prajurit yang berjaga-jaga.

   Mereka memperhatikan pergantian tugas itu dengan seksama.

   Namun Ki Wiratuhu tidak menyadari bahwa semua gerakannya telah diamati oleh beberapa orang prajurit Mataram dan melaporkannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

   Ki Lurahpun segera memerintahkan kesiagaan tertinggi bagi para prajuritnya.

   Namun mereka bergerak dengan sangat berhati-hati.

   Pergantian tugas para prajurit yang berjaga-jaga menjelang fajar itu lelah menarik perhatian para pengawas serta bahkan para pemimpin dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu itu sendiri.

   Sehingga mereka tidak sempat melihat gerakan-gerakan kecil yang dilakukan oleh para prajurit Mataram.

   Ketika saatnya tiba, maka Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Genipun telah berada di pasukannya kembali.

   Piala s;iai langit menjadi merah oleh bayangan fajar, maka segala sesuatunya telah siap sepenuhnya.

   Ki Wiratuhulah yang kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya.

   Ki Wiratuhu itu tiba-tiba bangkit berdiri sambil berteriak.

   "Sekarang. Serang."

   Pasukannyapun dengan cepat telah bergerak.

   Para pengikut Ki Saba Lintang itupun segera bangkit berdiri dan berlari ke perkemahan orang-orang Mataram.

   Mereka harus dengan cepat mencapai perkemahan itu sebelum para prajurit itu menyadari apa yang telah terjadi.

   Tetapi ternyata yang dihadapinya bukanlah prajurit-prajurit yang masih menguap karena kantuk.

   Bukan pula orang-orang yang sedang menggosok matanya karena tidak dapat melihat kenyataan yang di hadapinya.

   Demikian para pengikut Ki Saba Lintang yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu itu berlari mendekati perkemahan, maka anak panahpun meluncur dari segala arah.

   Dari balik pepohonan, dan belakang gerumbul-gerumbul perdu dan dari balik batu-batu padas yang mencuat ditumbuhi batang ilalang.

   Serangan itu sangat mengejutkan.

   Justru para pengikut Ki Saba Lintang yang menjadi sangat terkejut karenanya.

   Mereka tidak mengira bahwa mereka akan mendapat sambutan yang demikian hangatnya.

   "Setan, iblis laknat keparat,"

   Ki Wiratuhu mengumpat-umpat.

   "apa matamu rabun. Umbul Geni. Kenapa kau tidak melihat bahwa mereka sudah siap menyambut kedatangan kita?"

   "Bukan hanya aku yang rabun. Kau sendiri juga rabun. Bukankah kau juga ikut mengamati keadaan sebelum kita menyerang?"

   Ki Wiratuhu tidak menjawab. Tetapi iapun berteriak sekeras kerasnya.

   "Cepat. Hancurkan pertahanan orang-orang yang licik itu. Bunuh semua orang. Bebaskan para tawanan dan beri mereka senjata apa saja."

   Pasukan yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu itupun berusaha untuk bergerak secepat-cepatnya.

   Namun gerak mereka terhambat oleh hujan anak panah yang cukup berbahaya.

   Beberapa orang tidak mampu menghindar dari ujung-ujung panah yang meluncur dengan derasnya.

   Sebagian yang lain mampu menangkis dengan pedang mereka atau jenis senjata mereka yang lain.

   Ada beberapa orang diantara mereka yang membawa perisai yang dengan cepat bergerak mendahului kawan-kawannya.

   Sedangkan sebagian yang lain langsung berlari menyerang orang-orang yang melontarkan anak panah itu.

   Pertempuranpun segera mulai menyala.

   Para prajuritpun tiba-tiba telah bangkit berdiri.

   Merekapun dengan cepat bergerak dalam gelar emprit Neba.

   Dalam gelar yang jarang sekali dipergunakan itu.

   para prajurit Mataram bergerak seperti sekumpulan burung pipit yang bagaikan awan yang hitam bergerak dengan cepat menukik di tengah-tengah tanaman padi yang sedang menguning.

   Ki Wiratuhu mengumpat sejadi-jadinya.

   Dalam perang brubuh yang kemudian terjadi karena orang-orangnya tidak mempunyai pilihan, arah tidak lagi menjadi terlalu penting.

   Karena itu ketika matahari terbit.

   bukan saja para prajurit Mataram yang menjadi silau, karena mereka yang bertempur itu tidak lagi dibatasi oleh garis pertempuran.

   Tetapi pasukan Mataram yang menukik seperti kumpulan burung pipit itu langsung menusuk memasuki garis benturan sehingga merekapun telah menjadi berbaur karenanya.

   Sementara itu, para prajurit yang telah menghadang lawan dengan busur dan anak panah, telah meletakkan busur mereka.

   Dengan pedang mereka bertempur dengan garangnya pula.

   Sementara para prajurit Mataram yang lainpun telah memasuki arena pertempuran dengan garangnya pula.

   Para prajurit Mataram adalah prajurit dari Pasukan Khusus yang ditempa dalam berbagai ragam pertempuran.

   Merekapun telah ditempa untuk bertempur dalam perang gelar serta kemampuan secara pribadi, sehingga karena itu, maka dalam campuh perang brubuh akibat dari gelar Emprit Neba yang diterapkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

   para prajurit itu tidak merasa canggung.

   Ki Wiratuhu yang menjadi sangat marah itupun berteriak-teriak memberikan aba-aba kepada orang-orangnya.

   Sementara itu, para pengikut Ki Saba Lintang itupun terdiri dari orang-orang pilihan.

   Mereka dipersiapkan untuk menghancurkan sarang Raden Mahambara yang telah meremehkan kekuatan perguruan Kedung Jati.

   Sementara itu orang-orang perguruan Kedung Jati menilai gerombolan Raden Mahambara adalah gerombolan yang kuat.

   Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi pertempuran yang sangat sengit.

   Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah ditempa oleh latihan-latihan yang berat serta pengalaman yang luas.

   Mereka sudah berpengalaman bertempur menghadapi para prajurit dari daerah yang menentang keutuhan Mataram.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi merekapun sudah berpengalaman bertempur melawan gerombolan-gerombolan brandal yang membuat Mataram dan lingkungannya menjadi resah.

   Para prajurit dari Pasukan Khusus itu sebagian telah pernah pula bertempur menghadapi para pengikut Ki Saba Lintang.

   Baik mereka benar-benar murid-murid Perguruan Kedung Jati, maupun mereka yang bergabung dengan Ki Saba Lintang karena berbagai alasan.

   Mereka adalah gerombolan-gerombolan yang bergerak di dunia hitam serta mereka yang berasal dari perguruan-perguruan yang terpengaruh, oleh kepandaian Ki Saba Lintang membujuk mereka dengan cara yang sangat licik.

   Karena itu.

   perang brubuh yang mereka hadapi akibat dari gelar Emprit Neba itu sama sekali tidak menyudutkan mereka.

   Bagi mereka, apakah mereka menghadapi lawan dalam gelar yang mapan atau gelar Emprit Neba atau Jurang Grawah tidak mempunyai banyak perbedaan.

   Dengan demikian, maka dalam pertempuran itu.

   para prajuritpun segera menjadi mapan.

   Merekapun segera menemukan pijakan bagi keutuhan pasukan mereka yang nampak terbenam dalam perang brubuh itu.

   Tetapi isyarat-isyarat serta pertanda-pertanda dari para prajurit itupun tetap saja mengikat mereka dalam satu bentuk gelar.

   Pasukan Ki Wiratuhupun terdiri dari orang-orang terpilih diantara para pengikut Ki Saba Lintang.

   Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman pula.

   Mereka adalah orang-orang yang pernah menjelajahi daerah yang sangat luas antara pesisir Lor sampai ke pesisir Kidul.

   Tetapi ketika pasukan Ki Saba Lintang itu membentur para prajurit Mataram yang mempergunakan gelar Emprit Neba.

   maka para pengikut Ki Saba Lintang itu harus dengan serta merta mengerahkan segenap kemampuan mereka di arena.

   Ki Wiratuhu yang marah oleh kelengahannya sendiri, sehingga bukan pasukannya yang menjebak para prajurit yang dianggapnya belum bersiap itu.

   tetapi justru pasukannya yang telah terjebak oleh kecerdikan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.

   Demikianlah, maka perang brubuh itupun menjadi arena pertempuran yang sangat sengit.

   Dalam pada itu.

   Ki Umbul Genipun telah mengamuk seperti orang yang kerasukan iblis.

   Beberapa orang prajurit dari pasukan khusus yang mengepungnya telah diporak-porandakan.

   Bergantian mereka terpelanting dari arena pertempuran.

   Bahkan ada diantara para prajurit yang terbanting jatuh sehingga tulang-tulangnya terasa berpatahan.

   sehingga tidak mampu lagi untuk bangkit.

   Kawan-kawannyalah yang harus bergerak cepat, mengusung prajurit yang terluka itu keluar dari arena pertempuran dan meletakkannya di tempat yang terpisah.

   Sementara itu.

   kelompok-kelompok khusus segera membawa mereka ke perkemahan.

   Dalam pada itu.

   sekelompok pengikut Ki Saba Lintang memang berusaha menerobos pertahanan para prajurit Mataram untuk membebaskan para tawanan agar mereka dapat ikut melibatkan diri melawan para prajurit Mataram.

   Tetapi para prajurit yang juga mempunyai tugas khusus menjaga para tawanan tidak memberi mereka kesempatan.

   Meskipun mereka dapat menyusup dari arena perang brubuh dan berlari ke perkemahan prajurit Mataram, namun merekapun segera terhenti oleh paia prajuiit yang bertugas.

   Pertempuranpun segera terjadi pula diantara mereka.

   Ki Umbul Geni yang mengamuk seperti seekor harimau lapar yang terluka.

   tiba-tiba saja terhenti ketika ia melihat seorang yang masih terhitung muda berdiri di hadapannya.

   "Tandangmu nggegirisi. Ki Sanak,"

   Berkata orang yang masih terhitung muda itu.

   "Persetan. Kau siapa. Kau masih terlalu muda untuk mati."

   "Namaku Glagah Putih."

   "He. Glagah Putih,"

   Ulang Ki Umbul Geni.

   "Ya. Namaku Glagah Putih. Kau siapa?"

   "Namaku Umbul Geni,"

   Jawabnya. Namun kemudian Ki Umbul Geni itupun bertanya.

   "Apakah kau Glagah Putih yang namamu disebut-sebut oleh Ki Saba Lintang, bahwa kau juga hadir di Seca ketika terjadi kerusuhan di tempat yang tenang itu?"

   "Ya. Akulah yang telah datang ke Seca pada waktu itu. Akulah yang telah menghancurkan pasukan pengawal Ki Saba Lintang. Hampir saja aku dapat menangkapnya. Tetapi seperti seekor anjing yang diacungi tongkat, maka orang yang namanya sebesar gunung Merapi itu lari terbirit-birit. Tidak ada kesan kebesaran sama sekali pada Ki Saba Lintang pada waktu itu."

   "Tutup mulutmu anak iblis,"

   Geram Ki Umbul Geni.

   "orang-orang Tanah Perdikan Menoreh memang orang-orang yang licik. Kau sergap Ki Saba Lintang dengan serta merta tanpa merasa malu. Kau merunduk seperti seekor kucing kelaparan yang akan mencuri sepotong ikan laut. Sekarang orang-orang Tanah Perdikan Menoreh juga berbuat licik. Kalian berpura-pura menjadi lengah, namun tiba-tiba kalianpun meloncat menerkam tanpa mengenal malu pula."

   Glagah Putih justru tertawa mendengar geram Ki Umbul Geni itu. Dengan nada tinggi Glagah Putihpun berkata.

   "Jika kau anggap seranganku di Seca yang tiba-tiba itu licik, bagaimana dengan seranganmu sekarang ? Bukankah kau juga berniat menyerang dengan tiba-tiba ? Tetapi ternyata bahwa kau masih terlalu bodoh untuk merunduk musuh, sehingga kau dapat menerkamnya pada saat yang lengah. Kaulah yang justru terjebak dalam kelengahan karena kau tidak menyadari, bahwa kami sudah siap menerima kedatangan kalian."

   "Persetan. Jika di Seca kau dapat selamat keluar dan arena pertempuran, maka sekarang aku akan membunuhmu."

   Glagah Putih tidak menjawab lagi.

   Teiapi iapun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

   Ia melihat cahaya kemarahan yang menyala di mata Ki Umbul Geni.

   Sebenarnyalah Ki Umbul Genipun kemudian telah melihat Glagah Putih dalam pertempuran yang garang.

   Ki Umbul Geni menyerang Glagah Putih seperti amuk angin prahara.

   Dalam hentakan benturan kedua orang yang berilmu tinggi itu, Glagah Putih terdesak beberapa langkah surut.

   Namun iapun segera meningkatkan ilmunya sehingga mengimbangi ilmu lawannya.

   Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanyapun segera menjadi sengit.

   Ternyata Ki Umbul Geni adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas.

   Iapun menguasai berbagai macam unsur dari beberapa perguruan sebagaimana juga Glagah Putih.

   Ki Umbul Genipun telah berhasil meramu berbagai macam unsur itu sehingga luluh menyatu, sehingga merupakan ilmu yang utuh.

   Karena itulah, maka Glagah Putihpun harus menjadi sangat berhati-hati menghadapi lawannya itu.

   Ketika keduanya meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka merekapun menjadi semakin garang.

   Serangan-serangan Ki Umbul Geni yang datang susul menyusul, telah membentur penahanan yang kokoh dan rapi, sehingga sulit bagi Ki Umbul Geni untuk menembus pertahanan lawannya yang masih terhitung muda itu.

   Tetapi Glagah Putihpun tidak mudah berusaha menguak pertahanan Ki Umbul Geni yang rapat.

   Di sisi lain, Ki Lurah Agung Sedayu yang berada di antara para prajuritnya yang menukik dalam gelar Emprit Neba menusuk langsung ke jantung pasukan lawan, telah bertemu dengan pemimpin pasukan dari para pengikut Ki Saba Lintang.

   "Kau tentu pemimpin pasukan dari perguruan Kedung Jati itu,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu ketika ia bertemu dengan Ki Wiratuhu.

   "Ya. Akulah Wiratuhu. Pemimpin pasukan dari perguruan Kedung Jati. Kau siapa he ?"

   Jawab Ki Wiratuhu.

   "Aku Lurah prajurit Mataram, yang memimpin pasukan Mataram ke kademangan Prancak, untuk menghancurkan gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara dan Raden Panengah."

   "Mengagumkan. Ternyata kau berhasil Ki Lurah. Jadi kaulah Lurah prajurit dari pasukan khusus yang bernama Agung Sedayu ?"

   "Ya. Darimana kau tahu namaku ?"

   "Orang Prancak dan apalagi orang-orang Babadan berceritera tentang prajurit-prajuritmu yang pilih tanding. Tetapi hari ini kau akan mengalami peristiwa yang dapat memadamkan kebanggaanmu atas Pasukan Khususmu itu."

   "Apakah itu berarti bahwa kau yakin akan dapat mengalahkan prajurit-prajuritku ?"

   "Kalau aku tidak yakin, maka aku tidak akan melakukannya."

   "Tetapi kau salah hitung.. Berapa orangmu yang sudah jatuh sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi karena dadanya ditembus anak panah prajurit-prajuritku."

   "Kau bangga akan kelicikanmu itu."

   "Kau menganggap aku licik ?"

   "Ya."

   "Baiklah. Katakan bahwa aku licik. Apakah dengan demikian akan dapat menolongmu serta pasukanmu ?"

   "Kau gila Ki Lurah. Aku akan membunuhmu. Prajurit-prajuritmu akan bercerai berai seperti sapu kehilangan suhnya."

   "Setiap orang dapat menjadi pengikat dalam pasukanku. Mereka tidak tergantung pada aku, pada seseorang."

   "Persetan kau. Ki Lurah. Amatilah pertempuran ini baik-baik, karena kali ini adalah kali terakhir kau berada di antara prajurit-prajuritmu. Kau akan mati dan mayatmu akan terkapar di padang perdu ini menjadi makanan burung bangkai karena tidak seorangpun prajurit-prajuritmu yang akan sempat menguburmu karena mereka semua akan mati."

   "Kau tidak akan dapat berbuat banyak, Ki Wiratuhu. Lihat, prajuritku semakin menusuk kedalam tubuh pasukanmu yang rapuh."

   "Omong-kosong. Sebelum matahari terbenam aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Menumpas para prajuritmu sampai orang yang terakhir."

   Agung Sedayu bergeser selangkah mundur ketika Ki Wiratuhu menyerangnya seperti arus banjir bandang.

   Tetapi Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian segera menjadi mapan dan menghadapi lawannya dengan tanggon.

   Kedua orang pemimpin pasukan yang sedang bertempur itupun segera meningkatkan ilmu mereka masing-masing.

   Ternyata Ki Wiratuhu itupun seorang pemimpin yang jarang ada duanya.

   "Orang-orang berilmu tinggi didalam perguruan Ki Saba Lintang itu bagaikan muncul begitu saja dari dalam bumi."

   Ki Lurah Agung Sedayu memang merasa heran, bahwa ada saja orang berilmu tinggi yang bergabung dengan Ki Saba Lintang.

   Berapa orang berilmu tinggi yang tumbang.

   Orang-orang dari aliran sesat, maupun orang-orang yang terjerat oleh harapan-harapan yang tidak sewajarnya.

   Namun setiap kali telah muncul nama-nama baru yang memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana Ki Wiratuhu.

   Bahkan mungkin masih ada yang lain yang harus dihadapi oleh Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan.

   "Jika Ki Saba Lintang mampu menghimpun mereka dalam satu perencanaan yang mapan, maka kekuatan Ki Saba Lintang akan sangat nggegirisi,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

   Ki Lurah Agung Sedayu itupun telah meningkatkan ilmunya pula.

   Sedangkan Ki Wiratuhu menyerangnya dengan garangnya.

   Pertempuran antara keduanyapun menjadi semakin sengit pula.

   Sementara itu di sekitar mereka, para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur dengan garangnya menghadapi pura pengikut Ki Saba Lintang yang menyebut dirinya murid-murid perguruan Kedung Jati.

   Namun ternyata bahwa bekal para prajurit itu lebih lengkap dari para murid dari perguruan Kedung Jati.

   Merekapun memiliki pengalaman dan wawasan yang lebih luas tentang berbagai macam ragam pertempuran akibat dari gelar perang yang berbeda-beda.

   Tetapi merekapun siap untuk mengadu ketrampilan secara pribadi tanpa keterikatan pada gelar.

   Para murid dari perguruan Kedung Jati itupun harus mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menghadapi para prajurit Mataram.

   Sementara itu para prajurit Mataram yang masih dibayangi pertempuran yang baru saja mereka selesaikan melawan para pengikut Raden Mahambara, darahnya masih terasa panas.

   Selagi para prajurit bertempur dengan garangnya, maka seorang yang bertubuh raksasa telah membelah medan.

   Mereka menyibak pertempuran sambil menghentak-hentak.

   Tenaganya yang sangat besar itu telah berhasil mendorong orang-orang yang berada di sekitarnya, sehingga merekapun berloncatan mengambil jarak.

   Tetapi sebelum raksasa itu mengaduk medan dengan kekuatannya dengan kapaknya yang besar dan berat, serta menghalau para prajurit Mataram, seorang perempuan telah berada dihadapannya sambil memutar tongkat baja putihnya.

   Raksasa itu memang agak terkejut.

   Tetapi ia sudah mendengar bahwa diantara para prajurit Mataram itu terdapat perempuan yang bersenjata tongkat baja putih.

   Perempuan itu adalah isteri Ki Lurah Agung Sedayu.

   salah seorang yang memiliki pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati.

   Namun raksasa itu masih juga bertanya.

   "Kau siapa Nyi. yang berani memasuki medan pertempuran yang garang ini."

   Tetapi jawab perempuan itu telah mengejutkannya.

   "Ki Sanak. Apakah gerombolan sang datang menyerang prajurit Mataram ini mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Itu tentu hanya omong kosong. Akulah pemimpin dan perguruan Kedung Jati itu. Aku mempunyai pertanda kepemimpinan itu yang aku terima dari guruku, salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati yang sangat di hormati. Siapakah kalian yang berani mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati."

   Orang bertubuh raksasa uu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan agak ragu iapun bertanya.

   "jadi kaukah perempuan yang memiliki pasangan tongkat baja putih yang dimiliki oleh Ki Saba Lintang? Jadi benar bahwa kau adalah Nyi Lurah. Agung Sedayu?"

   "Ya. Aku adalah Nyi Lurah Agung Sedayu,"

   Jawab Sekar Mirah. Lalu katanya.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jika kalian mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati. maka kalian harus tunduk kepadaku. Bukankah kau lihat, bahwa aku memiliki tongkat baja putih?"

   "Tetapi kami adalah murid-murid perguruan Kedung Jati yang berada dibawah perintah Ki Saba Lintang."

   "Jika aku memiliki tongkat baja putih ini. maka itu adalah pertanda bahwa aku juga mempunyai hak dan wewenang sama dengan Ki Saba Lintang. Karena itu dengan perintahku, menyerahlah."

   Raksasa itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan berkumis tipis melangkah mendekati raksasa itu sambil berkata.

   "jangan terpengaruh. Kita mengakui bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu memiliki tongkat baja putih. Tetapi ia telah berkhianat terhadap perguruan Kedung Jati. Karena itu. kewajiban kita justru mengambil tongkat baja putih itu dari tangannya."

   Raksasa itu mengangguk sambil berkata.

   "Baik. Raden. Aku akan mengambil tongkat baja putih itu."

   "Nah. Ambil tongkat baja putih itu. Kau akan mendapat pujian dari paman Saba Lintang jika kau berhasil."

   "Baik. Raden."

   Sekar Mirah memandang orang berkulit kuning, berwajah tampan dan berkumis tipis itu dengan tajamnya. Iapun kemudian bertanya.

   "Kau siapa.'"

   "Aku adalah salah seorang cucu kemenakan Ki Patih Mentahun. Aku adalah salah seorang keturunan dan pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati. Karena itu. jangan mencoba menodai nama perguruan Kedung Jati itu."

   "Jadi kau mempunyai pengaruh atas Ki Saba Lintang.'"

   "Paman Saba Lintang sangat mendengarkan pendapat-pendapatku karena aku memiliki banyak kelebihan."

   "Jika demikian, kenapa tidak kau nasehatkan agar Ki Saba Lintang menyerahkan tongkat baja putihnya kepada Mataram."

   Wajah orang berkumis tipis itu menjadi merah. Dengan geram iapun berkata kepada orang yang bertubuh raksasa itu.

   "Denda Bahu. Jangan ragu-ragu lagi. Meskipun ia seorang perempuan yang sudah mulai ubanan, tetapi ia sudah berada di medan perang."

   "Baik. Raden. Aku berjanji untuk mengambil tongkat baja putih dari tangan perempuan itu."

   "Bagus. Serahkan kepadaku. Dengan tongkat baja putih itu. aku akan memimpin perguruan Kedung Jati bersama-sama dengan paman Saba Lintang."

   "Serahkan kepadaku. Raden Nirbaya tidak usah mengotori pakaian Raden dengan debu di medan pertempuran ini. Percayakan semuanya kepadaku."

   "Sejak semula aku percaya kepadamu. Kepada paman Wiratuhu dan paman Umbul Geni. Aku yakin bahwa kau tidak akan mengecewakan aku."

   Raksasa itupun kemudian melangkah mendekati Sekar Mirah sambil berkata.

   "Nyi Lurah. Jangan mempersulit diri sendiri. Serahkan saja tongkat baja putih itu kepadaku. Aku akan menyerahkannya kepada Raden Nirbaya. Ia akan menjadi salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati sebagaimana leluhurnya."

   "Denda Bahu,"

   Berkata Sekar Mirah kemudian.

   "bukanlah namamu Denda Bahu seperti yang disebut oleh Raden Nirbaya.' "Ya. Namaku Denda Bahu."

   "Sebaiknya kau sajalah yang menyerah. Kemudian Raden Nirbaya silahkan kembali ke sarangmu untuk menemui Ki Saba Lintang dan menasehatkan kepadanya untuk menyerahkan tongkat baja putihnya ke Mataram."

   "Persetan perempuan iblis,"

   Geram Raden Nirbaya.

   "aku ingin mengoyak mulutmu itu."

   "Serahkan saja kepadaku. Raden,"

   Berkata Denda Bahu.

   "Tetapi hatiku menjadi panas mendengar suaranya."

   "Tetapi cara itu adalah cara yang terbaik,"

   Berkata Sekar Mirah.

   "jika demikian, maka hukuman bagi Ki Saba Lintangpun tidak akan menjadi terlalu berat. Bahkan mungkin kesalahannya akan diampuni."

   "Denda Bahu,"

   Berkata Raden Nirbaya aku justru ingin membungkam mulutnya."

   "Serahkan kepadaku."

   "Ambil longkat baja putihnya. Kemudian serahkan perempuan itu kepadaku."

   "Kenapa kalian tidak melakukan bersama-sama ? Kenapa kalian tidak bertempur berpasangan saja ?"

   "Denda Bahu. Perempuan itu menantang kita berdua. Jika kita melakukannya, bukankah kita tidak bersalah ?"

   "Sudah aku katakan, jangan kotori pakaian Raden apalagi tangan Raden dengan darah iblis itu. Biarlah aku memecahkan kepalanya dengan kepalaku ini."

   "Cepat lakukan. Aku ingin melihat ia sekarat dan menyesali kesombongannya sebelum ia benar-benar mati."

   "Ternyata kau menjadi ketakutan Raden. Jika demikian, minggirlah. Atau pulang sajalah. Jangan berada di medan pertempuran. Jika aku seorang perempuan berada di medan, maka Raden Nirbaya akan berada di dapur, merebus air dan menanak nasi."

   "Cukup,"

   Teriak Raden Nirbaya.

   "minggir Denda Bahu. Akulah yang akan menghancurkan kesombongannya. Ia mengira bahwa aku hanya berani bersembunyi di belakang punggungmu."

   "jangan terpancing. Raden, ia memang membuat kau marah agar kau sendiri turun di pertempuran ini."

   "Aku akan menyumbat mulutnya dengan tumitku."

   Namun tiba-tiba terdengar suara perempuan yang lain.

   "jangan merajuk. Raden. Seperti kata mbokayu Sekar Mirah, kau memang pantas untuk menggantikan kerja kami di dapur."

   Wajah Raden Nirbaya seakan-akan telah disentuh api. Ketika ia berpaling. Ia melihat seorang perempuan mendekatinya. Kemudian perempuan itu berdiri di sisi Nyi Lurah Sekar Mirah sambil tersenyum-senyum.

   "Gila. Kau siapa ?"

   Bertanya Raden Nirbaya.

   "Adikku,"

   Sekar Mirahlah yang menyahut.

   "Kau dapat sampai disini tanpa segores lukapun. Kau sibak pertempuran disekitar kita ini?"

   "Ya. Aku telah menyibak medan pertempuran."

   "Kau juga perempuan iblis seperti Nyi Lurah ?"

   "Tentu bukan. Kami justru datang untuk menangkap iblis."

   "Persetan. Mulut kalian memang harus dikoyakkan,"

   Geram Raden Nirbaya. Lalu katanya pula.

   "Denda Bahu. Ambil tongkat baja putih itu. Aku akan membuat perempuan yang satu ini menyesali kesombongannya pula."

   Denda Bahupun menggeram. Ternyata Raden Nirbaya benar-benar harus ikut terjun dalam pertempuran. Kedua perempuan itu telah berhasil memanasi perasaannya sehingga Raden Nirbaya itu tidak dapat menahan diri lagi.

   "Baiklah Raden,"

   Berkata Denda Bahu aku akan mengambil tongkat baja putih itu segera."

   Raden Nirbayapun tidak berkata apa-apa lagi.

   Iapun segera bersiap menghadapi Rara Wulan yang kemudian bergeser beberapa langkah, mengambil jarak dari Nyi Lurah Agung Sedayu.

   Nyi Lurah telah mempersiapkan diri pula menghadapi Denda Bahu yang bertubuh raksasa itu.

   Demikianlah, maka sejenak kemudian, kapak Denda Bahu yang besar itupun sudah mulai terayun-ayun.

   Terasa sambaran angin yang tajam menerpa Nyi Lurah Agung Sedayu oleh getar ayunan kapak orang bertubuh raksasa itu.

   "Tenaganya memang luar biasa,"

   Berkata Sekar Mirah didalam hatinya. Namun Sekar Mirah tidak gentar menghadapinya. Iapun telah memutar tongkat baja putihnya pula. Suaranya berdesing menusuk telinga orang bertubuh raksasa itu.

   "Tenaga dalam perempuan itu pantas diperhitungkan,"

   Berkata Denda Bahu kepada dirinya sendiri, ia sadar, bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu dengan tongkat baja putihnya itu akan merupakan lawan yang sangat berani yang harus dihadapinya.

   Sejenak kemudian, maka Sekar Mirah dan Denda Bahu itupun lelah terlibat dalam pertempuran yang sengit.

   Denda Bahu itu dengan garangnya mengayun-ayunkan kapaknya yang besar.

   Sementara dengan senjata tongkat baja putihnya.

   Sekar Mirah berusaha untuk melawan ayunan kapak yang dilambari dengan tenaga yang sangat kuat.

   Namun tenaga dalam Sekar Mirah yang besar itu telah membuat Denda Bahu terkejut.

   Ternyata Sekar Mirah tidak saja berusaha menghindari ayunan kapak lawannya dengan berloncatan dengan tangkasnya.

   Namun dilambari dengan tenaga dalamnya yang besar.

   Sekar Mirah telah dengan sangat berani membentur ayunan kapak yang besar itu dengan tongkat baja putihnya.

   Denda Bahu yang tidak menduga, justru terkejut sekali.

   Benturan yang sangat keras itu telah membuat telapak tangannya menjadi pedih.

   Hampir saja, kapaknya itu terlepas dari tangannya.

   Di luar sadarnya.

   Denda Bahu telah meloncat surut untuk mengambil jarak.

   Sekar Mirah tidak segera memburunya.

   Ia berdiri dengan kaki renggang, kedua tangannya memegangi tongkat baja putihnya yang menjadi pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati itu.

   Denda Bahu berdiri termangu-mangu.

   Digerak-gerakkannya jari-jarinya yang terasa pedih.

   Namun kemudian iapun menggeram.

   "Kau sadap kekuatan iblis kedalam ilmumu."

   "Bersiaplah. Kita akan bertempur terus. Tetapi jika kau akui kelemahanmu, menyerah sajalah."

   "Keparat kau,"

   Orang bertubuh raksasa itu mengumpat.

   "ternyata kau adalah perempuan yang paling sombong yang pernah aku temui dalam hidupku."

   "Apapun yang kau katakan, kau tidak mempunyai banyak kesempatan."

   "Kita harus mulai, Nyi. Kemenangan ditentukan pada saat-saat terakhir dari satu pertempuran. Mereka yang masih tetap hidup, orang itulah yang menang."

   "Tetapi tidak semua orang yang kalah harus mati."

   "Kau berharap bahwa kau tidak akan aku bunuh di peperangan ini setelah aku mengalahkanmu ?"

   Sekar Mirah tersenyum. Katanya.

   "Kau atau aku yang akan menang?"

   "Seperti yang aku katakan, siapakah yang tetap bertahan hidup. Tetapi kau nanti tidak akan dapat mengingkari kenyataan bahwa tubuhmu akan terkapar di sini. Aku akan mengambil tongkat baja putih itu, untuk bekal bagi Raden Nirbaya yang akan mendampingi Ki Saba Lintang memimpin perguruan Kedung Jati ini."

   "Sayang bahwa kau tidak akan pemah dapal mengambil tongkat ini dari tanganku, karena kau akan mati lebih dahulu."

   Denda Bahu menggeram.

   Namun kapaknya yang besar telah mulai terayun-ayun lagi.

   Namun Denda Bahu hams menjadi lebih berhaii-hati.

   Kekuatan tenaga dalam perempuan yang menjadi lawannya itu ternyata sangat besar.

   Pertarungan diantara Denda Bahu dan Sekar Mirah itupun kemudian menjadi semakin nggegirisi.

   Kapak Denda Bahu yang tangkainya terhitung panjang, terayun-ayun mengerikan.

   Namun Sekar Mirah yang memutar tongkat baja putihnya itu seakan-akan terlindung oleh kabut putih disekitamya.

   Kapak Denda Bahu yang besar dan tajam itu, tidak mampu menguak kabut putih yang melindunginya.

   Dalam pada itu, Rara Wulanpun telah mulai bertempur pula melawan Raden Nirbaya.

   Adalah sepantasnya jika Raden Nirbaya itu berniat untuk mendampingi Ki Saba Lintang memimpin perguruan Kedung Jali.

   Ternyata Raden Nirbaya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.

   Tetapi di pertempuran itu.

   Raden Nirbaya membentur seorang perempuan yang ilmunya ternyata mampu mengimbangi ilmunya.

   Bahkan setelah Raden Nirbaya meningkatkan ilmunya, ia tidak segera dapat menghentikan perlawanan Rara Wulan "Siapa kau sebenarnya perempuan binal.

   Apakah kau keturunan iblis.

   Atau jenismulah yang disebut Jim perempuan ?"

   "Kenapa kau hubung-hubungkan aku dengan mahluk halus itu?"

   "Kau pantas disebut hantu perempuan dengan ilmumu."

   "Bagaimana jika kau penuhi saja permintaan mbokayu Agung Sedayu ?"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Permintaan apa ?"

   "Kembali sajalah ke sarangmu. Katakan kepada Ki Saba Lintang, agar Ki Saba Lintang itu menyerah."

   Raden Nirbaya itupun menggeram.

   "Kau benar-benar iblis perempuan. Jangan banyak bicara lagi. Bersiaplah untuk mati."

   "Bukankah kau yang banyak berbicara ? Aku hanya sekedar menanggapi kata-katamu."

   "Cukup. Kau akan segera mati seperti mbokayumu itu, yang kepalanya akan segera terbelah oleh kapak Denda Bahu. Tetapi aku tidak memerlukan senjata apapun untuk memecahkan kepalamu, karena sisi telapak tanganku lebih tajam dari kapak dan lebih keras dari besi baja."

   Rara Wulan memang tidak menjawab lagi.

   Iapun segera mempersiapkan diri menghadapi serangan-serangan Raden Nirbaya berikutnya.

   Sebenarnyalah Raden Nirbaya yang marah itupun segera meloncat menyerang.

   Kakinya terjulur mengarah ke dada.

   Tetapi Rara Wulan dengan tangkasnya bergeser selangkah sambil menangkis serangan itu dengan mendorong kaki Raden Nirbaya, sehingga Raden Nirbaya itu sama sekali tidak menyentuhnya.

   Namun dengan cepat Raden Nirbaya itupun meloncat sambil memutar tubuhnya.

   Kakinya terayun mendatar, mengarah ke kening.

   Rara Wulan masih sempat menghindar dengan merendahkan dirinya.

   Kaki Raden Nirbaya terayun diatas kepalanya.

   Namun dalam pada itu, justru kaki Rara Wulanlah yang terayun mengenai lambung lawannya, sehingga Raden Nirbaya itu terdorong beberapa langkah ke samping.

   Hampir saja Raden Nirbaya itu kehilangan keseimbangannya.

   Tetapi ternyata Raden Nirbaya itu masih mampu mempertahankannya.

   Tetapi diluar dugaannya, Rara Wulan bergerak dengan sangat cepat.

   Bahkan lebih cepat dari loncatan kijang di padang rerumputan.

   Sekali lagi kakinya terjulur langsung mengenai dada Raden Nirbaya, sehingga Raden Nirbaya itu tidak mampu lagi bertahan untuk tetap berdiri tegak.

   Setelah terhuyung beberapa langkah, Raden Nirbaya itupun telah jatuh terpelanting di tanah.

   Kemarahan yang sangat telah membakar ubun-ubunnya.

   Sambil berteriak Raden Nirbaya itu meloncat bangkit.

   Tetapi demikian ia tegak berdiri, Rara Wulan meloncat sambil memutar tubuhnya.

   Kakinya terangkat dan terayun mendatar menyambar wajah Raden Nirbaya yang baru saja tegak berdiri.

   Sekali lagi Raden Nirbaya iiu terlempar.

   Tubuhnya yang kehilangan keseimbangan lagi itu telah terperosok ke dalam semak-semak yang kebetulan berduri tajam.

   Dengan susah payah Raden Nirbaya itu berusaha bangkit berdiri dan keluar dari gerumbul perdu itu sambil mengumpat-umpat.

   Rara Wulan tidak memburunya.

   Seperti sedang menonton kejadian yang lucu, Rara Wulan itu berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum.

   Katanya.

   "Apa yang kau lakukan itu Ki Sanak. Kau kira kau sedang berbaring di pembaringan yang lunak ?"

   "Iblis betina. Aku akan segera membunuhmu,"

   Geram Raden Nirbaya Ada beberapa gores luka di tangan, kaki dan bahkan wajahnya Bajunyapun telah terkoyak pula di punggungnya Namun dengan demikian, Rara Wulan harus menjadi lebih berhati-hati.

   Raden Nirbaya yang marah itu, tentu akan segera meningkatkan ilmunya pula.

   Bahkan mungkin sampai pada tataran ilmu puncaknya.

   Sebenarnyalah Raden Nirbaya yang marah itu.

   telah menghentakkan kemampuannya pula.

   Serangan-serangannya menjadi semakin keras.

   Tangan dan kakinya bergantian terayun menebas kearah bagian-bagian tubuhnya yang lemah.

   Namun Rara Wulan cukup tangkas untuk mengimbanginya.

   Kakinya bahkan seakan-akan tidak menyentuh tanah.

   Kecepatan gerak Rara Wulan memang sulit diimbangi oleh Raden Nirbaya.

   Karena itulah, maka serangan-serangan Rara Wulanpun semakin banyak menyentuh tubuh Raden Nirbaya.

   Bahkan telah menyakitinya hampir di segala bagian.

   Namun dengan demikian, maka pertempuran diantara mereka itupun menjadi semakin sengit pula Sekali-sekali terdengar Raden Nirbaya itu berteriak serta mengumpat-umpat.

   Di ujung lain dari arena pertempuran itu, seorang yang bertubuh gemuk dengan bindi di tangannya lengah bertempur melawan para prajurit Mataram yang menyerang dari lambung.

   Sebatang bindi yang besar, terayun-ayun mengerikan, menyambar-nyambar sehingga beberapa orang prajurit Mataram yang menghadapinya bersama-sama setiap kali harus bergeser surut.

   "Jangan bertempur dengan cara yang licik itu,"

   Geram orang bertubuh gemuk itu.

   "bukankah kalian prajurit Mataram dari Pasukan Khusus ? Ternyata hanya nama kalian sajalah yang mengumandang sampai ke pesisir Utara. Ternyata hanya saat-saat latihan saja kalian dikagumi. Tetapi ternyata setelah kalian benar-benar turun di medan, kalian tidak lebih dari cucurut kecil yang licik dan pengecut."

   Namun tiba-tiba seorang yang sudah ubananpun melangkah maju mendekatinya sambil berkata.

   "Kau siapa Ki Sanak. Sesumbarmu rasa-rasanya akan meruntuhkan langit."

   Orang yang bertubuh gemuk itu memandang orang yang sudah ubanan itu sejenak. Dengan nada tinggi iapun berkata.

   "He, kakek tua. Untuk apa kau memasuki medan yang ganas ini."

   "Setiap pagi aku pergi berjalan-jalan untuk memanaskan tubuh. Ternyata disini ada tempat yang sangat baik untuk memanaskan tubuh dan darah. Karena itu, maka aku telah datang kemari,"

   Orang bertubuh gemuk itupun menggeram.

   "Gila kau kakek tua. Apakah kau memang sudah jemu hidup ?"

   "Ki Sanak,"

   Berkata Ki Jayaraga.

   "jika kita bertemu di medan pertempuran, maka perkara yang kita hadapi sudah pasti."

   "Aku sudah mengerti. Tetapi apakah orang-orang Mataram sudah kehabisan orang yang lebih muda dari kau, kakek tua ?"

   "Jadi menurut pendapatmu, orang yang berambut ubanan itu tentu kalah melawan orang-orang yang rambutnya masih hitam ?"

   "Betapapun tinggi ilmumu, tetapi tulang-tulangmu sudah mulai rapuh."

   "Setiap hari aku minum reramuan^dedaunan dan akar-akaran yang dapat membuat tulang-tulangku kokoh."

   "Persetan dengan bualanmu. Tetapi jika tulang lehermu patah, itu bukan salahku."

   "Tentu bukan salahmu. Ki Sanak. Tetapi siapakah namamu ?"

   "Kau tentu sudah pernah mendengar nama Sura Banda. Akulah Sura Banda itu. Aku adalah gegedug yang tidak terkalahkan dari Alas Roban."

   "Sayang bahwa aku belum pernah mendengar namamu. Akupun tidak tahu bahwa kau adalah pahlawan yang tidak terkalahkan sampai sekarang. Tetapi mungkin sampai nanti, keadaanmu akan berbeda."

   "Apa maksudmu ?"

   "Mungkin nanti kau akan aku kalahkan."

   "Sombongmu kakek tua. He, siapa namamu sebelum tulang lehermu patah."

   "Namaku Jayaraga. Aku penghuni Tanah Perdikan Menoreh."

   "Kau bukan prajurit ?"

   "Bukan. Bukankah aku tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan sebagaimana yang lain."

   "Bagus. Jika kau bukan prajurit, tetapi dujinkan bertugas bersama prajurit. Kau tentu orang yang mempunyai kelebihan. Tetapi di-hadapan Sura Banda kau tidak akan berarti apa-apa."

   Ki Jayaraga tertawa Katanya.

   "jangan meremehkan orang tua Ki Sura Banda."

   "Aku akan membuktikan, bahwa dalam beberapa loncatan, nafasmu sudah akan terengah-engah."

   "Benar begitu ?"

   "Cukup. Bersiaplah."

   Ki Jayaragapun segera mempersiapkan diri. Namun seorang pemimpin kelompok prajurit Matarampun mendekatinya sambil berkata.

   "Ki Jayaraga terluka didalam ketika bertempur di ujung hutan iiu. Biarlah kami, beberapa orang mendampingi Ki Jayaraga."

   "Terima kasih. Sebaiknya kau hadapi para pengikut Saba Lintang yang lain. Biarlah orang gemuk ini aku hadapi sendiri. Mudah-mudahan aku dapal mengatasinya. Luka-luka dalamku lelah sembuh sama sekali."

   "Tetapi karena baru saja kemarin terjadinya, mungkin sekali luka di bagian dalam Ki Jayaraga ini masih akan kambuh."

   "Sudahlah. Nanti jika perlu, aku akan memberikan isyarat."

   Pemimpin kelompok itupun bergerak surut.

   Namun iapun segera terlibat dalam pertempuran melawan para pengikut Ki Saba Lintang.

   Sejenak kemudian, orang yang menyebut dirinya Sura Banda itupun telah meloncat menyerang.

   Sambaran angin serangannya itu telah memperingatkan Ki Jayaraga, bahwa orang yang bertubuh gemuk itu adalah orang yang sangat berbahaya.

   Ia mempunyai kekuatan yang besar sekali dan bahkan mungkin iapun memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.

   Dengan demikian Ki Jayaragapun menjadi sangat berhati-hati.

   Iapun harus menjaga agar luka didalam dirinya tidak menjadi kambuh lagi.

   Beberapa saat kemudian, pertempuran antara Ki Jayaraga melawan Sura Banda itupun menjadi semakin sengit.

   Serangan-serangan Sura Banda datang seperti banjir bandang.

   Namun Ki Jayaraga yang masih menjaga kemampuan dan tenaganya, berusaha untuk tidak terlalu banyak bergerak.

   Ketika Sura Banda itu meloncat-loncat disekitarnya, maka Ki Jayaraga itu hanya bergerak-gerak sedikit, menggeser satu kakinya yang berada di depan dengan merendahkan diri di lututnya.

   Kedua tangannya berada sejajar di depan dadanya.

   Sura Banda yang segar itupun berloncatan semakin cepat.

   Ia mencoba untuk membuat Ki Jayaraga bingung.

   Menurut dugaan Sura Banda Ki Jayaraga tidak memiliki kecepatan yang cukup sehingga ia tidak mampu mengikuti tata geraknya yang tangkas dan cepat itu.

   Tetapi ketika Sura Banda mulai dengan serangan-serangannya, maka ternyata bahwa serangan-serangannya tidak mampu menerobos pertahanan kakek tua yang sangat rapat itu.

   Tangannya atau kakinya yang terjulur selalu membentur pertahanan tangan atau kaki kakek tua yang melindungi tubuhnya itu.

   "Iblis tua,"

   Geram Ki Sura Banda.

   "jangan membuat dirimu sendiri dalam kesulitan di perjalanan kematianmu. Kau harus pasrah agar kau mendapat jalan terang menuju ke keabadian."

   "Nampaknya kau pernah dengar juga bahwa ada satu tempat di dunia lain yang abadi. Tetapi kenapa kau tidak menghiraukannya ?"

   "Omong kosong. Aku sangat menghiraukannya."

   Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Beberapa langkah ia bergeser surut untuk mengambil jarak. Dengan nada berat iapun berkata.

   "Jika benar demikian, kenapa kau masih juga menaburkan malapetaka ?"

   "Siapa yang menaburkan malapetaka ? Kami datang justru untuk menghancurkan malapetaka."

   "Apakah kami kau anggap sebagai penabur malapetaka itu ? "

   "Bukan. Bukan kalian."

   "Jadi?"

   "Sebenarnya kami datang untuk menghancurkan gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara. Gerombolan perampok yang sangat jahat. Tidak pantas orang-orang seperti Raden Mahambara dan Raden Panengah itu lelap hidup, karena mereka adalah sumber dari segala kerusuhan. Bahkan mereka sudah berani meremehkan kami sehingga Ki Saba Lintang memuluskan untuk menghukum Raden Mahambara dan Raden Panengah. Diperintahkannya Ki Wiratuhu, Ki Umbul Geni. Ki Denda Bahu dan aku. Sura Banda disertai Raden Nirbaya dengan membawa pasukan yang kuat untuk menghancurkan gerombolan perampok itu. Bukankah aku termasuk dalam barisan yang membawa kebenaran itu ?"

   "Tetapi kenapa kalian justru menyerang para prajurit Mataram yang justru telah menghancurkan gerombolan Raden Mahambara ?"

   "Kalian telah mengambil bagian yang seharusnya menjadi milik kami. Orang-orang dalam pasukan ini menjadi marah, kecewa dan merasa telah kehilangan sasaran. Karena itu, maka kalian pantas untuk dihukum."

   Ki Jayaraga tertawa Katanya.

   "Itukah jalan pikiran kalian ? Kenapa kalian tidak berterima kasih kepada kami yang telah menyelesaikan tugas yang berat yang seharusnya kalian lakukan ?"

   "Sudah agak lama kami tidak berkelahi. Sudah lama aku tidak membunuh orang."

   "He, itukah sebabnya ? Itukah caramu menghiraukan dunia lain yang berada dalam keabadian itu ?"

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam -- Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung

Cari Blog Ini