Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 26


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   Sura Banda tertawa. Katanya.

   "Sudahlah. Jangan berbicara macam-macam. Sebenarnyalah bahwa kami juga mendendam atas perlakuan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh terhadap pemimpin kami di Seca beberapa waktu yang lalu. Ketika kami tahu bahwa yang datang ke ujung hutan disebelah padukuhan Babadan itu orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, atau prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka kami merasa mendapat kesempatan untuk membalas dendam kami."

   "Jika demikian, Sura Banda, lebih baik kau tidak ikut campur. Bukankah kau orang baik yang berpijak kepada kebenaran? Orang yang sangat menghiraukan kehidupan di jagad lain yangl abadi itu."

   Sura Banda tertawa keras-keras. Katanya.

   "Ternyata kau adalah seorang yang pandai berkelakar."

   "Tetapi aku tidak mentertawakan kepercayaan tentang jagad baru yang akan datang kelak. Aku mempercayainya dan bukankah kau juga mempercayainya ?"

   "Sudahlah. Sekarang kita selesaikan urusan kita disini. Aku akan bertempur melawan kau. Menurut prajurit itu, kau baru saja terluka. Siapa yang telah melukaimu ?"

   "Raden Mahambara."

   "Apakah kau termasuk dalam sekelompok orang yang bersama-sama menghadapi Raden Mahambara ?"

   "Tidak?"

   "Jadi?"

   "Aku bertempur seorang melawan seorang. Akulah yang telah membunuh Raden Mahambara. Tetapi aku telah dilukainya di bagian dalam dadaku."

   "Kau yang telah membunuh Raden Mahambara ?"

   "Ya."

   "Omong kosong. Raden Mahambara adalah seorang yang sakti. Ilmunya setinggi Gunung Merbabu. Bagaimana mungkin kau dapat mengalahkannya ?"

   "Terserah kepadamu, apakah kau percaya atau tidak."

   "Siapa yang mau percaya dengan omong kosongmu itu ?"

   "Apakah aku harus membuktikannya ? "

   "Ya."

   "Seandainya aku membuktikannya, maka kau tidak akan sempat melihatnya lagi."

   "Kenapa ?"

   "Sasaran pembuktian itu adalah kau."

   "Persetan. Kau kira aku dapat kau takut-takuti."

   Ki Jayaraga itupun bergeser selangkah sambil berkata.

   "Marilah, kita selesaikan persoalan kita. Atau kau akan menyerah saja agar urusan kita segera selesai."

   "Iblis tua. Aku bunuh kau."

   Ki Jayaraga tidak menjawab lagi.

   Sementara itu pertempuran di padang perdu itu masih berlangsung seru.

   Beberapa orang telah terbaring di tanah.

   Kawan-kawan mereka jika mendapat kesempatan, berusaha membawa mereka yang terluka parah keluar dari arena pertempuran.

   Ternyata pertempuran melawan para pengikut Ki Saba Lintang itu jauh lebih berat daripada pertempuran melawan gerombolan berandal yang dipimpin oleh Raden Mahambara.

   Namun para prajurit itu telah ditempa dalam latihan-latihan yang berat serta oleh pengalaman yang luas.

   Ketika langit bagaikan terbakar oleh panas matahari yang sudah melampaui puncaknya, maka ketahanan tubuh para prajurit yang terlatih dengan baik dan teratur itu ternyata memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka.

   Para pengikut Ki Saba Lintang yang dengan serta-merta meningkatkan ilmu mereka serta menghentakkan segala kemampuan mereka, mulai merasa letih.

   Nafas mereka mulai terengah-engah, sedangkan keringat mereka bagaikan diperas dari seluruh tubuh mereka.

   Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang menyadari keadaan lawannya, telah memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya.

   Merekapun telah memancing agar para pengikut Ki Saba Lintang itu selalu saja menumpahkan segenap kekuatan, tenaga dan kemampuan mereka.

   Sementara para prajurit itu sempat menahan diri untuk tidak menghambur-hamburkan tenaga mereka.

   Dengan demikian, ketika matahari mulai turun, keseimbangan pertempuran itupun mulai berubah.

   Dalam pada itu, luka di bagian dalam tubuh Ki Jayaraga sudah tidak terasa mengganggu lagi.

   Apalagi lawan Ki Jayaraga bukanlah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga Ki Jayaraga harus mengerahkan segenap kemampuannya.

   Orang yang bernama Sura Banda itu, ternyata bukan lawan Ki Jayaraga yang seimbang.

   Ilmu dan kemampuan Sura Banda masih belum setatanan dengan Ki Jayaraga.

   Karena itu, menghadapi Sura Banda, Ki Jayaraga tidak merasa terganggu oleh luka-luka dalamnya yang memang sudah membaik.

   Setelah bertempur lebih dari setengah hari, maka tenaga Sura Bandapun telah mulai menyusut.

   Keringatnya bagaikan diperas dari seluruh tubuhnya.

   Pakaiannya menjadi basah kuyup, seakan-akan Sura Banda itu baru saja tercebur ke dalam genangan air.

   Tetapi Sura Banda itu masih saja berusaha untuk bertempur dengan garang.

   Iapun meloncat-loncat mengitari lawannya sementara Ki Jayaraga justru lebih banyak menunggu.

   Namun justru serangan-serangan Ki Jayaragalah yang lebih banyak mengenai Ki Sura Banda.

   Sementara serangan Ki Sura Banda sulit sekali untuk dapat menembus pertahanan Ki Jayaraga.

   Dalam keadaan yang sulit, maka Ki Sura Banda itupun telah menarik senjatanya yang dibanggakan.

   Sebuah golok yang berat, besar dan panjang.

   "Aku akan mencincangmu, kakek tua."

   "Terlambat, Sura Banda. Kau sudah kelelahan. Kau tidak akan dapat menggerakkan golokmu itu dengan cepat."

   "Persetan kau. Apakah kau menjadi ketakutan melihat golokku ini?"

   "Jika sejak semula kau ayunkan golokmu, mungkin aku menjadi ketakutan. Tetapi sekarang tidak lagi."

   Kemarahan Sura Banda sudah sampai ke ubun-ubun.

   Iapun dengan serta mena meloncat sambil mengayunkan goloknya, menebas ke arah leher Ki Jayaraga.

   Tetapi dengan loncatan kecil, Ki Jayaraga telah bergeser sambil merendah, sehingga golok itu terayun di atas kepalanya.

   Sura Banda itu justru ikut terayun pula oleh tarikan goloknya yang besar.

   Namun kemudian sambil berteriak.

   Sura Banda itupun meloncat sambil menusuk ke arah dada.

   Tetapi Ki Jayaraga dengan tangkasnya beringsut dan menghindar dari garis serangan lawannya bahkan kemudian Ki Jayaraga itu meloncat sambil memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya menyambar kening.

   Ki Sura Banda terhuyung-huyung.

   Betapapun ia berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya, namun akhirnya Ki Sura Banda itupun terjatuh pula Bertelekan goloknya yang besar, Sura Banda itupun segera bangkit Sementara itu, Ki Jayaraga tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang.

   Bahkan sambil tersenyum Ki Jayaraga berkata.

   "Apakah kita akan beristirahat dahulu."

   "Iblis kau."

   "Terserah kepadamu. Aku sama sekali tidak merasa letih. Nafasku masih berjalan dengan wajar. Sedangkan kau tidak. Nafasmu sudah terengah-engah, sementara tenagamu sudah hampir terkuras habis."

   "Gila. Kau mencoba untuk meremehkan aku."

   "Tidak. Tapi aku kasihan melihatmu."

   Orang itu menarik nafas. Sambil bertelekan pula pada goloknya iapun berkata.

   "Aku memang letih. Nafasku kadang-kadang justru tidak membantuku."

   "Aku tidak tergesa-gesa,"

   Berkata Ki Jayaraga.

   "masih ada waktu. Aku baru akan menyelesaikan pertempuran ini menjelang matahari terbenam."

   "Menjelang matahari terbenam kau mau apa ?"

   "Membunuhmu tentu saja."

   "Sombongnya kau kakek tua. Akulah yang akan membunuhmu."

   "Kau sudah kelelahan. Kau sudah kehabisan tenaga. Apakah mungkin kau membunuhku ? Aku masih belum mempergunakan senjataku. Jika aku juga bersenjata seperti kau, maka kau akan segera terpotong menjadi delapan."

   "Setan. Kau tidak akan kuat mengangkat golokku."

   Ki Jayaraga tersenyum. Katanya.

   "Kau ingin melihatnya?"

   Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba tiha saja ia berkata.

   "Ya. Aku ingin melihat apakah kau kuat mengangkat golokku"

   "Tancapkan di atas tanah. Aku akan mengangkat dan memutarnya."

   Sura Banda itupun menancapkan goloknya di tanah.

   Kemudian iapun meloncat dua langkah mundur.

   Ki Jayaragalah yang kemudian mencabut golok itu.

   Ternyata golok yang besar, panjang dan berat itu dapat dipermainkannya dengan satu tangan.

   Tangan kanan, kemudian berganti dengan tangan kiri.

   Diputarnya golok itu seperti baling-baling.

   Dilemparkannya ke udara, kemudian ditangkapnya dengan cekatan sekali.

   Sura Banda memandanginya dengan mulut ternganga.

   Ia tidak mengira bahwa orang tua itu akan dapat mempermainkan goloknya seakan-akan goloknya itu tidak berbobot.

   Terakhir Ki Jayaraga itupun telah menancapkan kembali golok itu di tanah sebagaimana saat ia mencabutnya.

   "Sura Banda,"

   Berkata Ki Jayaraga.

   "jika aku mau maka karena kebodohanmu, aku dapat mencincangmu menjadi delapan. Kenapa kau berikan golok itu kepadaku?"

   Sura Banda terkejut. Namun dengan wajah yang merah iapun berkata.

   "Aku, aku ingin membuktikan kata-katamu."

   "Kau sekarang sudah melihat buktinya."

   "Ya."

   "Kau percaya bahwa aku dapat memotongmu menjadi delapan?"

   "Ya."

   "Nah, sekarang apa yang akan kau lakukan?"

   Sura Banda termangu-mangu sejenak. Namun ternyata bahwa nalarnya masih dapat bekerja dengan jernih. Karena itu. maka iapun berkata.

   "Aku menyerah."

   "Kau menyerah?"

   "Ya."

   "Bagus. Dengan demikian, maka akulah yang akan membawa senjatamu itu."

   "Aku tidak akan dapat menang melawanmu. Tetapi tolong, lindungi aku. Mungkin kawan-kawanku sendirilah yang akan membunuhku."

   "Baik. Nah, sekarang bergeraklah. Kau akan aku bawa kebelakang medan. Kau akan aku serahkan kepada para prajurit yang bertugas menjaga para tawanan."

   Sura Banda tidak membantah.

   Iapun kemudian berjalan di sela-sela pertempuran yang sedang berlangsung.

   Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga.

   maka Sura Bandapun kemudian diserahkan kepada prajurit yang bertugas mengawasi para tawanan.

   Tetapi seperti para tawanan yang terdahulu, maka Sura Bandapun telah diikat tangannya di belakang punggungnya.

   Apalagi Sura Banda termasuk seorang yang berilmu tinggi.

   "Awasi orang itu baik-baik. Jika ia mencoba untuk berbuat sesuatu yang mencurigakan, kalian harus segera bertindak. Jangan terlambat. Ia adalah seorang yang berilmu tinggi. Selagi ikatan itu masih menghambat tata geraknya, maka kalian harus dengan cepat menguasainya."

   "Baik, Ki Jayaraga,"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab pemimpin kelompok prajurit yang bertugas menjaga para tawanan.

   Sementara itu masih saja ada usaha dari para pengikut Ki Saba Lintang untuk melepaskan para tawanan.

   Tetapi usaha mereka tidak pernah dapat mereka lakukan.

   Sementara itu, pertempuranpun masih berlangsung dengan sengitnya.

   Ki Jayaraga yang telah membawa Ki Sura Banda ke belakang medan dan menyerahkannya kepada prajurit yang bertugas menjaga para tawanan, telah kembali ke medan pertempuran pula.

   Tanpa menghadapi orang yang berilmu tinggi, maka Ki Jayaraga telah bertempur bersama para prajurit, sehingga dengan demikian, maka para pengikut Ki Saba Lintang itu segera mengalami kesulitan.

   Namun dalam pada itu, Nyi Agung Sedayu masih bertempur dengan sengitnya.

   Lawannya yang bersenjata kapak yang besar dan bertangkai besi baja itu merupakan senjata yang sangat mengerikan.

   Namun tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati itu di tangan Nyi Lurah Agung Sedayu.

   merupakan senjata yang sangat berbahaya pula.

   Denda Bahu semula tidak mengira bahwa perempuan itupun memiliki tenaga dalam yang sangat besar.

   Setiap kali Denda Bahu mengayunkan kapaknya mengarah ke kepala Sekar Mirah, kadang-kadang Sekar Mirah tidak sempat menepisnya ke samping, tetapi Sekar Mirah membentur kapak yang besar itu dengan tongkat baja putihnya.

   "Gila perempuan ini,"

   Geram Denda Bahu.

   "tenaga iblis manakah yang telah disadapnya sehingga ia mampu membentur kapakku."

   Kemarahan Denda Bahu telah membuatnya menjadi semakin garang.

   Kapaknya terayun-ayun semakin cepat menyambar-nyambar.

   Tetapi Nyi Agung Sedayupun bergerak semakin cepat pula.

   Pada saat-saat terakhir.

   Nyi Agung Sedayu telah sempat mematangkan ilmunya pula.

   Meskipun gurunya sudah tidak ada, tetai dengan dibantu oleh suaminya dan Ki Jayaraga, Sekar Mirah benar benar mampu menguasai ilmunya sampai ke puncak.

   Karena itulah, maka ketika Nyi Lurah Agung Sedayu itu berhadapan dengan Denda Bahu, ia mampu mengimbanginya.

   Kemarahan Denda Bahu rasa-rasanya akan meledakkan dadanya.

   Kapaknya yang terayun-ayun mengerikan itu.

   masih belum mampu menembus pertahanan Nyi Lurah.

   Tongkat baja putih di Tangan Nyi Lurah itu berputar seperti baling-baling mengitari tubuhnya, sehingga seakan-akan tubuhnya Nyi Lurah itu berselimut asap yang berwarna keputih-putihan.

   Namun Denda Bahu yang marah itupun telah menghentakkan ilmunya pula.

   Kapaknya yang besar itu tidak saja terayun mengarah ke kening Nyi Lurah, tetapi bahkan tangkainyapun sangat berbahaya.

   Jika ayunan kapaknya tidak mengenai sasarannya, maka tangkainyapun mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.

   Tetapi Nyi Lurah cukup terampil mempermainkan tongkat baja putihnya.

   Namun dalam perkelahian yang semakin sengit, ternyata tajam kapak Denda Bahu sempat menyentuh lengan Nyi Lurah.

   Hanya goresan tipis.

   Namun goresan tipis itu terasa pedih oleh keringatnya yang telah membasahi pakaiannya.

   Nyi Lurah menggeram.

   Darahpun telah menitik dari luka itu.

   "Darahmu telah menitik Nyi,"

   Geram Denda Bahu.

   "beberapa saat lagi, lehermulah yang akan tergores oleh tajam kapakku."

   "Persetan kau dengan kapakmu,"

   Sahut Sekar Mirah.

   Namun dengan demikian Sekar Mirahpun bergerak semakin cepat.

   Ketika tongkat Sekar Mirah itu berhasil menguak pertahanan Denda Bahu, maka tongkat Sekar Mirah itupun berputar dengan cepat.

   Tiba-tiba saja tongkat itu terayun mendatar menyambar lambung.

   Denda Bahu terloncat beberapa langkah surut.

   Lambungnya menjadi sangat sakit, sehingga diluar sadarnya Denda Bahu itu terbungkuk.

   Sekar Mirah berusaha untuk mempergunakan kesempatan itu.

   Diayunkannya tongkat baja putihnya mengarah ke tengkuk.

   Tetapi Denda Bahu cepat menyadari serangan itu.

   Dengan cepat iapun meloncat ke samping.

   Bahkan menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali untuk mengambil jarak.

   Namun dalam waktu sekejap, Denda Bahu itupun telah berdiri tegak dan bersiap menghadapi kemungkinan.

   Kapaknya yang besar itupun bergetar di tangannya.

   Namun Denda Bahu tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya.

   Ternyata sulit sekali baginya untuk dapat mengalahkan Sekar Mirah.

   Meskipun Denda Bahu itu berhasil melukainya, namun kegarangan perempuan itu sama sekali tidak menyusut.

   Bahkan Sekar Mirah itu semakin lama semakin mendesaknya.

   Karena itu.

   sebelum terlambat, maka Denda Bahu itupun herniat untuk mengakhiri pertempuran itu.

   Jika ia tidak melakukan secepatnya, mungkin ia tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi.

   Karena itulah, maka Denda Bahupun telah mengetrapkan puncak ilmunya.

   Kedua tangannya menggenggam tangkai kapaknya dengan erat.

   Kemudian memutar kapaknya beberapa kali di depan tubuhnya.

   Sambil meloncat surut, kapak itupun sekali berputar diatas kepalanya.

   Kemudian kapak itupun bergerak perlahan-lahan dan tegak di depan wajah Denda Bahu.

   Sekar Mirah termangu-mangu sejenak.

   Kapak itupun tiba-tiba nampak menjadi kemerah-merahan seperti bara.

   Sekar Mirah menyadari bahwa lawannya telah berada pada tataran tertinggi dari ilmunya.

   Karena itu, maka Sekar Mirahpun menjadi semakin berhati-hati.

   Ketika kemudian kapak itu terayun, meskipun Sekar Mirah sempat meloncat menghindar, namun sambutan anginnya masih terasa menampar wajahnya, tidak saja terasa seakan-akan tusukan-tusukan yang tajam di kulitnya, maka udarapun menjadi panas.

   Sekar Mirah melenting selangkah surut.

   Tetapi Denda Bahu tidak melepaskannya.

   Denda Bahu itupun memburu sambil mengayun-ayunkan kapaknya.

   Yang kemudian menjadi berbahaya tidak saja mata kapaknya yang tajam.

   Tetapi sambaran anginnyapun seakan-akan telah memanggang tubuh Sekar Mirah.

   "Gila,"

   Geram Sekar Mirah.

   Dengan demikian Sekar Mirah menjadi sulit untuk mendekati lawannya.

   Serangan-serangannyapun menjadi terhambat oleh udara yang panas di sekitar Denda Bahu.

   Apalagi kapaknya yang membara itu menjadi sangat berbahaya.

   Bukan saja mata kapaknya yang tajam itu yang akan dapat menyayat kulitnya.

   Tetapi udara yang panas itupun akan dapat membakarnya.

   Dengan demikian, maka Sekar Mirahpun mengalami kesulitan untuk menghadapi lawannya yang kapaknya membara itu.

   Orang itu selalu berusaha memburunya kemana Sekar Mirah bergeser.

   Kapaknya yang membara itu terayun-ayun mengerikan, sementara udara yang panaspun bagai ditaburkan.

   Namun Sekar Mirah tidak membiarkan dirinya bergeser surut dan berputar-putar di medan sehingga akhirnya seakan-akan tidak ada tempat lagi baginya.

   Murid Ki Sumangkar dari perguruan Kedung Jati itupun kemudian memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu, siapapun yang menang dan siapapun yang kalah.

   Sebagai seorang murid perguruan Kedung Jati yang telah matang, maka Sekar Mirahpun segera mengetrapkan ilmu yang telah dikuasainya sampai tuntas.

   Sekar Mirah itupun kemudian berloncatan beberapa langkah surut untuk mengambil ancang-ancang.

   Dalam pada itu, Denda Bahupun telah meloncat untuk menyerang.

   Kapaknya yang membara itu diangkatnya tinggi-tinggi siap untuk diayunkan ke arah kepala Sekar Mirah.

   Tetapi Sekar Mirah tidak berniat untuk menghindar.

   Ia ingin membenturkan tongkat baja putihnya.

   Di kerahkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi udara panas yang akan menyertai getar udara karena ayunan kapaknya yang besar itu.

   Demikianlah sejenak kemudian, maka Denda Bahupun telah mengayunkan kapaknya dengan lambaran ilmu pamungkasnya.

   Sekar Mirah tidak beranjak dan tempatnya.

   Iapun telah mengayunkan tongkat baja putihnya pula untuk membentur kapak yang besar yang terayun dengan derasnya itu.

   Benturan yang dahsyat telah terjadi.

   Sekar Mirah telah menahan ayunan kapak Denda Bahu.

   Namun panas udara yang berhamburan disekitarnya rasa-rasanya telah membakar tubuh Sekar Mirah.

   Sekar Mirah itu tergetar beberapa langkah surut.

   Namun Sekar Mirah mampu bertahan, sehingga ia tidak jatuh terlentang karena getar benturan tongkat baja putihnya dengan kapak Denda Bahu.

   Sementara itu, Denda Bahulah yang terdorong beberapa langkah surut.

   Dalam benturan itu, maka getar ilmu Sekar Mirah seakan-akan telah merambat melewati titik benturan, menjalar lewat kapak dan tangkainya, menyengat tangan Denda Bahu.

   Tidak hanya terhenti pada telapak tangannya yang menjadi sangat pedih.

   Tetapi getaran itu seakan-akan telah menjalar lewat darahnya keseluruh tubuhnya.

   Seakan-akan beribu duri-duri kecil dari dahan sebatang pohon jeruk telah menusuk-nusuk seluruh bagian dalam tubuhnya.

   Ki Denda Bahu telah menghentakkan daya tahannya pula.

   Meskipun Denda Bahu itu sempat jatuh diatas lututnya, namun iapun segera bangkit pula meskipun ia tidak lagi dapat berdiri sekokoh sebelumnya.

   "Iblis betina. Aku akan membinasakanmu."

   Sekar Mirahpun segera mempersiapkan diri pula.

   Namun rasa-rasanya tenaganya sudah menyusut, ia telah mengerahkan segenap tenaga dan memusatkan nalar budinya untuk melawan ayunan kapak Denda Bahu.

   Tetapi ia tidak dapat tinggal diam ketika ia melihat Denda Bahupun telah mempersiapkan serangan berikutnya.

   Ketika Denda Bahu mempersiapkan serangannya, maka Sekar Mirahpun telah bersiap pula.

   Demikianlah sejenak kemudian, Denda Bahupun telah berlari pula sambil mengangkat kapaknya tinggi-tinggi sementara Sekar Mirahpun telah siap untuk mengayunkan tongkat baja putihnya.

   Sekali lagi benturan yang dahsyat telah terjadi lagi.

   Panas udara yang berhamburan disekitar tempat benturan itu telah menerpa tubuh Sekar Mirah, sementara itu bunga-bunga api telah memancar ke segala arah.

   Sekar Mirah telah terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

   Bahkan Sekar Mirah tidak lagi mampu untuk bertahan tetap berdiri tegak.

   Iapun jatuh berlutut bertelekan tongkat baja putihnya.

   Namun dalam pada itu, senjata duri-duri kecil itu terasa bagaikan menusuk seluruh bagian dalam tubuh Denda Bahu.

   Duri-duri itu terasa menusuk jantungnya, paru-parunya, hatinya, limpanya dan seluruh bagian dalam tubuhnya.

   Denda Bahu yang kesakitan itu menjerit keras sekali.

   Namun dengan demikian, satu hentakan yang sangat besar seakan-akan telah menghentakkan seluruh tenaganya, sehingga akhirnya Denda Bahu itupun jatuh terlentang.

   Beberapa orang yang sempat melihatnya, segera berlari-larian mendekatinya, sebagaimana beberapa orang prajurit Matarampun berlarian mendekati Sekar Mirah.

   Bedanya, para prajurit itu kemudian memapah Sekar Mirah yang menjadi sangat lemah itu keluar arena pertempuran.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sedangkan para prajurit Ki Saba Lintang telah mengusung tubuh Denda Bahu yang sudah tidak bernyawa lagi.

   Para pengikut Saba Lintang itu seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya.

   Seorang perempuan telah mengalahkan Denda Bahu yang sangat garang itu.

   Namun mereka berhadapan dengan kenyataan itu.

   Denda Bahu itu telah terbunuh oleh Nyi Lurah Agung Sedayu yang memiliki tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati.

   Sambil mengusung tubuh Denda Bahu seorang yang mengetahui serba sedikit tentang tongkat baja putih itupun berkata.

   "Pantas perempuan itu dapat mengalahkan Ki Denda Bahu, perempuan itu memiliki tongkat baja putih."

   "Seharusnya perempuan itu menjadi salah seorang pemimpin kita. Tetapi ia telah menjadi isteri Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga ia lebih senang tinggal bersama suaminya daripada tinggal bersama para murid dari perguruan Kedung Jati."

   "Tongkat itu harus diambil dari tangannya."

   "Kau kira mudah melakukannya. Ki Denda Bahu terbunuh dalam usahanya mengambil tongkat baja pulih itu."

   "Kalau saja Ki Wiratuhu yang melakukannya."

   "Ki Wiratuhu telah terikat dalam pertempuran melawan Ki Lurah Agung Sedayu."

   "Ki Wiratuhu akan membunuhnya. Ia akan membunuh pula Nyi Lurah dan mendapatkan tongkat baja putih itu."

   "Mudah-mudahan."

   Namun seorang kawannya menyahut.

   "Ki Wiratuhu telah mendapat lawan yang ilmunya sangat tinggi. Ia tentu memerlukan waktu yang lama untuk dapat mengalahkannya."

   "Itu hanya soal waktu,"

   Sahut yang lain.

   "tetapi Nyi Lurah Agung Sedayu itu telah tidak berdaya lagi. Bagaimana pendapat kalian jika kita saja yang berusaha berebut tongkat baja putih ini."

   "Kita ? Maksudmu kau dan aku ?"

   "Ya. Kita?"

   "Bodohnya kau. Bukankah Nyi Lurah itu dilindungi oleh sekelompok prajurit Mataram ?"

   Kawan nya terdiam. Dalam pada itu, Nyi Lurah Agung Sedayu telah dibawa ke belakang garis pertempuran. Ki Jayaraga yang melihat keadaan Nyi Lurah Agung Sedayu, telah mendekatinya.

   "Nyi,"

   Desis Ki Jayaraga. Nyi Lurah yang menjadi lemah itupun telah diletakkan dibawah sebatang pohon. Tubuhnya disandarkannya pada pohon itu.

   "Bagaimaan keadaanmu. Nyi ?"

   Nyi Lurah mencoba untuk tersenyum. Jawabnya dengan suara yang lemah.

   "Aku tidak apa-apa, Ki."

   "Nyi Lurah lerluka didalam"

   "Tidak seberapa. Mudah-mudahan aku segera dapat mengatasinya."

   "Nyi Lurah. Nyi Lurah memerlukan obat untuk sekedar mengatasi sementara, Nyi Lurah belum mendapat kesempatan untuk mendapatkan obat yang lebih baik."

   Sekar Mirah tahu bahwa Ki Jayaraga serba sedikit mengetahui juga tentang ilmu pengobatan sebagaimana suaminya yang telah mempelajarinya dari kitab yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing.

   Karena itu, maka Sekar Mirah tidak menolak ketika Ki Jayaraga memberikan sebutir obat reramuan yang diambilnya dari sebuah bumbung kecil yang diselipkan pada ikat pinggangnya.

   Dengan menelan obat itu, maka tubuh Sekar Mirah merasa menjadi sedikit lebih baik.

   Tetapi Sekar Mirah sadar, bahwa obat itu hanyalah obat untuk sementara saja sekedar mengatasi rasa sakit.

   Selanjutnya itu tentu memerlukan obat yang lebih baik untuk menyembuhkan luka-luka didalam dirinya.

   Berita kematian Ki Denda Bahu telah didengar pula oleh Ki Umbul Geni.

   Kemarahan telah menghentak-hentak di jantungnya.

   Ki Denda Bahu adalah seorang yang mrantasi.

   Setiap tugas yang diberikan kepadanya, dapat diselesaikannya dengan baik.

   Tetapi hampir tidak masuk akal bahwa Denda Bahu dapat dikalahkan oleh seorang perempuan.

   Dengan geram Ki Umbul Geni itupun berkata.

   "Nasibmu menjadi semakin buruk Ki Sanak. Kematian Denda Bahu membuat darahku mendidih. Karena kau yang ada di hadapanku, maka kau akan menjadi sasaran dendamku atas kematian sahabatku itu."

   Glagah Putih tertawa. Katanya.

   "Apa yang dapat kau lakukan selama ini Umbul Geni ? Apakah kau berhasil mendesakku atau bahkan menghentikan perlawananku."

   "Persetan kau anak setan. Kau sudah menyusahkan Ki Saba Lintang di Seca dan sekarang kau telah menyusahkan aku dan para murid Kedung Jati."

   "Kenapa kau tuduh aku yang telah menyusahkan kau dan para murid Kedung Jati ? Bukankah kami tidak mengganggu pasukan kalian dan kalianlah yang menyerang kami."

   "Persetan. Kau rampas sasaran kami, berandal yang bersarang di ujung hutan itu. Tentu kau rampas pula harta karun yang mereka tinggalkan."

   "Harta karun ?"

   "Ya. Di sarang gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara itu tentu terdapat harta karun yang jumlahnya sangat banyak, yang dikumpulkan oleh gerombolan Raden Mahambara dan Raden Panengah. Adalah mustahil para prajurit Mataram yang datang dari jarak yang jauh ke ujung hutan itu, sekedar untuk menjalankan tugas keprajuritan tanpa pamrih yang lain."

   "Kau sudah gila. Kami dan para prajurit Mataram sama sekali tidak memikirkan harta karun itu. Kami dan para prajurit Mataram dalang ke ujung hutan itu semata-mata menjalankan lugas keprajuritan, karena segerombolan perampok telah mengganggu bukan saja ketenangan kademangan Prancak, tetapi mereka sudah beriuni untuk menguasai kademangan itu meskipun mereka tidak tampil ke pcimukaan. Tetapi diawali dengan menguasai pasukan Babadan. maka mtitka berniat menguasai Prancak dan selanjutnya menjadi landasan gerakan mereka selanjutnya."

   "Aku sudah tahu. Karena itu pula kami datang untuk menghancurkan mereka agar rombongan Raden Mahambara itu tidak menyaingi semua gerakan yang rencananya telah tersusun rapi."

   "Termasuk merampas harta karun itu ?"

   "Ya. Dan karena itu jika harta karun itu ada dalam pasukan Mataram ini, maka harta karun itupun akan segera jatuh ke tangan kami."

   "Kami tidak tahu menahu tentang harta karun. Tetapi yang kami tahu, bahwa para prajurit Mataramlah yang akan menghancurkan kalian."

   "Persetan. Sesali nasibmu yang buruk. Aku akan membunuhmu untuk membalas dendam kematian sahabatku, Denda Bahu."

   Glagah Putih tertawa. Katanya.

   "Kenapa kau tiba-tiba menjadi demikian bodohnya, Ki Umbul Geni. Begitu mudahkah kau membunuhku sehingga dengan lancar kau berkata bahwa kau akan membunuhku untuk membalas dendam kematian sahabatmu dan barangkali juga untuk membalaskan dendam Ki Saba Lintang yang terpaksa lari terbirit-birit ketika kau menyerangnya di Seca? Ki Umbul Geni. Kematian seseorang tidak berada di tangan orang lain. Tetapi kematian seseorang berada di tangan-Nya. Dalam keadaan yang sangat sulitpun seseorang akan dapat menghindar dari kematian jika Yang Maha Agung masih melindungi."

   "Apa saja yang kau katakan, tetapi jika aku berhasil mencengkam lehermu, maka kau tentu akan mati."

   "Yang sulit adalah keberhasilanmu mencengkam leherku. Jika Yang Maha Agung menghendaki, mungkin jari-jarikulah yang akan sempat mencabut jantung dari dadamu."

   "Persetan kau anak Setan,"

   Geram Ki Umbul Geni yang telah meloncat kembali menyerang Glagah Putih.

   Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya.

   Kerena itu, demikian Ki Umbul Geni meloncat menyerang, maka dengan tangkas pula Glagah Putihpun telah menghindarinya.

   Demikianlah pertempuran diantara kedua orang berilmu tinggi itupun menjadi semakin sengit.

   Serangan-serangan Ki Umbul Geni menjadi garang.

   Tetapi Glagah Putihpun bergerak semakin cepat pula.

   Ia bukan saja sekedar menangkis dan menghindari serangan-serangan ki Umbul Geni.

   Tetapi Glagah Putih itupun mempergunakan setiap kesempatan yang terbuka untuk menyerang, menyibak pertahanan Ki Umbul Geni.

   Ternyata serangan-serangan Glagah Putih sekali-sekali berhasil mengenai sasarannya, sebagaimana serangan-serangan Ki Umbul Geni.

   Bahkan beberapa kali Glagah Putih lelah mengejutkan Ki Umbul Geni dengan loncatan-loncatannya yang terlalu cepat, sehingga Ki Umbul Geni tidak sempat menangkis apalagi menghindar, sehingga tulang-tulang Umbul Genipun semakin terasa sakit dimana-mana.

   Meskipun demikian, sekali-sekali serangan Ki Umbul Genipun dapat mengenai tubuh Glagah Putih.

   Bahkan Ki Umbul Geni itu sempat pula mendesak Glagah Putih beberapa langkah surut.

   Namun Glagah Putihpun segera memperbaiki keadaannya, sehingga serangan Ki Umbul Geni berikutnya sama sekali tidak menyentuhnya.

   Ki Umbul Geni yang marah itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya.

   Keringatpun seakan-akan telah terperas dari tubuhnya.

   Namun dalam pada itu, dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, maka tenaga Ki Umbul Genipun menjadi semakin menyusut pula.

   Ki Umbul Geni tidak dapat mengingkari kenyataan itu.

   Ki Umbul Geni menyadari, bahwa semakin lama ia akan semakin terdesak oleh Glagah Putih, yang telah pernah mempermalukan Ki Saba Lintang di Seca, sehingga Ki Saba Lintang harus melarikan diri.

   Karena itu, maka Ki Umbul Genipun harus segera mengambil keputusan untuk mempergunakan puncak ilmunya.

   Jika ia terlambat, maka menghadapi Glagah Putih, ia tidak akan pernah sempat mempergunakan ilmu puncaknya itu.

   Ki Umbul Geni sama sekali tidak berniat mempergunakan senjatanya.

   Ia sadar, menghadapi Glagah Putih, senjatanya tidak akan banyak berarti.

   Kerena itu, maka Ki Umbul Genipun segera meloncat surut untuk mengambil jarak.

   Apapun yang akan terjadi tetapi Ki Umbul Geni harus melakukannya.

   Sebenarnyalah, maka Ki Umbul Geni itupun segera mengambil ancang-ancang.

   Digerakkannya tangannya yang menyilang di depan dadanya.

   Dikembangkannya kedua tangannya itu.

   lalu diputarnya disisi tubuhnya ....

   Tiba-tiba saja tangan itupun menghentak.

   Seleret sinar yang kemerah-merahan telah meluncur dari telapak tangan Ki Umbul Geni.

   Nemun seleret sinar yang kemerah-merahan itu tiba-tiba saja telah pecah dan menyemburkan api ke segala arah.

   Glagah Putih masih sempat meloncat menghindari.

   Tetapi semburan api rasa-rasanya telah membakar tubuhnya.

   Wajahnya terasa semakin sangat panas.

   Seakan-akan api yang menyembur itu, telah membakar kulit wajahnya itu.

   Glagah Putihpun segera menyadari, bahwa ilmu puncak lawannya itu ternyata sangat berbahaya.

   Karena itu, maka Glagah Putih tidak akan membiarkan dirinya dibakar oleh Aji Pamungkas Ki Umbul Geni.

   Ki Umbul Geni yang menyadari, bahwa serangannya yang pertama itu gagal, maka iapun segera mempersiapkan dirinya sekali lagi.

   Sambil berteriak marah, Ki Umbul Geni telah meluncurkan serangannya sekali lagi mengarah ke Glagah Putih yang berdiri tegak dengan kaki yang merenggang.

   Namun Glagah Putih tidak ingin berloncatan lagi menghindari serangan lawannya.

   Ketika ia melihat serangan lawannya meluncur sekali lagi, maka Glagah Putihpun telah melepaskan pula ilmu puncaknya.

   Aji Namaskara.

   Seleret cahaya yang hijau kebiruan meluncur pula dari telapak tangannya.

   Ki Umbul Geni terkejut melihat kekuatan Aji Pamungkas yang meluncur dari tangan Glagah Putih yang langsung menyongsong serangannya.

   Dua kekuatan ilmu yang sangat tinggi telah berbenturan dengan dahsyatnya.

   Ki Umbul Geni tidak menduga, bahwa tataran ilmu lawannya adalah sedemikian tingginya.

   Getaran benturan ilmu itupun seakan-akan telah memantulkan kembali ke arah mereka yang melepaskannya.

   Tetapi karena kekuatan ilmu Glagah Putih lebih tinggi, maka getar kekuatan yang memantul dari benturan yang dahsyat itu lebih banyak mengalir ke arah ki Umbul Geni.

   Namun demikian.

   Glagah Putih pun terdorong beberapa langkah surut.

   Dengan susah payah Glagah Putih mempertahankan keseimbangannya meskipun Glagah Putih terhuyung-huyung beberapa saat.

   Tetapi akhirnya Glagah Putih inipun berhasil berdiri tegak pada kedua kakinya yang merenggang.

   Meskipun demikian, cairan yang hangat terasa meleleh di sela-sela bibirnya.

   Ketika Glagah Putih mengusap dengan lengan bajunya, maka dilihatnya lengan bajunya itu bernoda darah.

   Sementera itu, Ki Umbul Geni tidak sekedar terdorong beberapa langkah surut.

   Tetapi Ki Umbul Geni itu telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah.

   Beberapa orang berlari-lari menghampirinya.

   Ketika para prajurit Mataram akan mendekati mereka, Glagah Putih yang terluka di dalam itu pun berusaha mencegah mereka.

   Katanya.

   "Biarkan orang-orangnya merawatnya."

   Tetapi Ki Umbul Geni itu ternyata sudah tidak bernafas lagi.

   Beberapa orang murid dari perguruan Kedung Jati itu pun kemudian mengusungnya ke belakang garis pertempuran.

   Sementara itu, keseimbangan pertempuran pun sudah menjadi semakin berat sebelah.

   Para pengikut Ki Saba Lintang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa prajurit Mataram dan Pasukan Khusus itu ternyata memang memiliki banyak kelebihan.

   Ketrampilan, keberanian, penguasaan medan secara pribadi serta berkelompok.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Merekapun memiliki landasan kemampuan yang mapan serta ketahanan tubuh yang tinggi.

   Meskipun pertempuran sudah berlangsung lama.

   tetapi mereka masih tetap tegar.

   Mereka masih bertempur dengan tangkas dan garang.

   Yang masih harus bertempur dengan mengerahkan kemampuannya adalah Ki Wiratuhu yang dipercaya oleh Ki Saba Lintang memimpin pasukannya yang harus menghancurkan pasukan Raden Mahambara dan Raden Panengah.

   Namun dalam pada itu, Ki Wiratuhu pun sudah mulai terdesak pula.

   Sedangkan di sisi lain, Rara Wulan masih harus bertempur melawan Raden Nirbaya.

   Seorang yang berwajah tampan dan berkumis tipis, yang mengaku keturunan dari salah seorang yang memegang peran penting dalam perkembangan perguruan Kedung Jati di masa lampau, sehingga karena itu, maka Raden Nirbaya itu pun merasa berhak pula untuk memimpin perguruan Kedung Jati yang mulai dibangun kembali.

   Ternyata Raden Nirbaya bukan sekedar bermimpi untuk menjadi salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati.

   Namun Raden Nirbaya adalah seorang yang berilmu tinggi.

   Dengan demikian pertempuran di antara Raden Nirbaya melawan Rara Wulan itu pun menjadi semakin sengit.

   Rara Wulan yang pernah mendapat dasar-dasar olah kanuragan dari Sekar Mirah yang berlandaskan ilmu dari perguruan Kedung Jati, memang melihat, bahwa landasan utama Raden Nirbaya adalah ilmu yang diturunkan oleh para pemimpin perguruan Kedung Jati.

   Karena itu, maka untuk membuat lawannya keheranan, maka Rara.Wulanpun sengaja memunculkan unsur-unsur gerak keturunan dari perguruan Kedung Jati yang dikuasainya.

   Sebenarnyalah, bahwa Raden Nirbaya tertarik untuk memperhatikan unsur-unsur gerak itu.

   Bahkan di luar sadarnya Raden Nirbaya itupun bertanya.

   "Darimana kau sadap unsur-unsur gerak ciri perguruan Kedung Jati itu?"

   Rara Wulan tertawa. Katanya.

   "Aku adalah murid mbokayu Sekar Mirah. Sebagaimana kau ketahui mbokayu Sekar Mirah adalah salah seorang yang berhak memimpin perguruan Kedung Jati itu."

   "Siapakah perempuan yang kau maksud? Bukankah tongkat baja putih yang satu lagi ada pada Nyi Lurah Agung Sedayu?"

   "Ya. Mbokayu Sekar Mirah itu adalah Nyi Lurah Agung Sedayu itu."

   "Persetan dengan pengkhianat itu. Nyi Lurah pantas di hukum mati karena pengkhianatannya terhadap perguruan Kedung Jati."

   "Tetapi sebagaimana kau lihat, yang mati adalah kepercayaanmu itu. Orang yang bersenjata kapak itu ternyata tidak mampu melawan mbokayu Sekar Mirah."

   "Tetapi kau sendiri akan mati. Kemudian aku sendirilah yang akan mengambil tongkat baja putih itu dari tangan Nyi Lurah Agung Sedayu."

   "Jangan bermimpi. Kematianku tidak tergantung padamu. Bahkan sebaliknya, tidak terjadi, akulah yang akan membunuhmu."

   Raden Nirbaya itupun menggeram.

   Dengan cepatnya ia meloncat menyerang Rara Wulan.

   Namun Rara Wulanpun sudah bersiap sepenuhnya, sehingga serangan Raden Nirbaya itu tidak menyentuh sasarannya.

   Bahkan Rara Wulanlah yang kemudian berganti menyerangnya.

   Serangan-serangan yang kemudian datang membadai itu, sulit untuk dihindari sepenuhnya oleh Raden Nirbaya.

   Beberapa kali serangan Rara Wulan dapat mengenai tubuhnya.

   Dengan demikian, maka Raden Nirbaya semakin lama menjadi semakin terdesak.

   Sebelumnya Raden Nirbaya tidak pernah bermimpi bahwa ada seorang perempuan yang masih terhitung muda dapat mengimbangi kemampuannya.

   Bahkan telah mendesaknya, sehingga seakan-akan Raden Nirbaya itu tidak mendapat tempat lagi.

   Karena itu, maka Raden Nirbaya tidak menunggu lebih lama lagi.

   Iapun ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.

   Kemudian ia masih harus memburu Nyi Lurah Agung Sedayu untuk mengambil tongkat baja putih itu dari tangannya.

   Dengan demikian, maka Raden Nirbaya itu tentu akan diangkat menjadi salah seorang dari dua orang pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati.

   Dalam pada itu, ketika keduanya kemudian terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit.

   Raden Nirbaya yang terdesak surut itu justru telah berloncatan mengambil jarak.

   Pada saat Rara Wulan berusaha memburunya, maka dengan cepatnya tangan Raden Nirbaya itu bergerak.

   Dari tangannya, beberapa paser kail meluncur dengan cepatnya mengarah ke tubuh Rara Wulan.

   Namun penglihatan Rara Wulan yang tajam itu sempal melihat paser-paser kecil yang meluncur dengan dahsyatnya itu.

   Rara Wulanpun dengan kecepatan yang sangat tinggi, berlandaskan ilmu meringankan tubuhnya, melenting tinggi menghindari lontaran paser-paser kecil itu.

   Tetapi Raden Nirbaya tidak memberinya banyak kesempatan.

   Demikian Raden Nirbaya menyadari bahwa lawannya berhasil menghindari serangannya yang pertama, maka Raden Nirbayapun telah melepaskan beberapa paser lagi.

   Namun sehelai selendang tiba-tiba saja telah berputaran di sekeliling tubuh Rara Wulan, sehingga paser-paser kecil itu tertepis sehingga tidak satupun yang menyentuh kulitnya.

   Rara Wulanpun menyadari, bahwa paser-paser kecil itu tentu beracun, sehingga jika ujungnya sempat menyentuh kultinya, maka racun itu akan cepat menjalar di seluruh tubuhnya.

   Raden Nirbaya terkejut juga melihat selendang yang tiba-tiba saja telah berputaran dan bahkan menjadi perisai perempuan yang masih terhitung muda itu.

   Ternyata bahwa perempuan itu memang seorang berilmu sangat tinggi.

   Sehingga dengan demikian maka paser-pasernya tidak dapat mengenainya.

   Karena itulah, maka Raden Nirbaya itu tidak dapat berbuat lain kecuali sampai pada ilmu puncaknya.

   Ilmu yang tidak akan dilepaskannya jika ia tidak tersudut dalam kesulitan yang tidak teratasi.

   Melawan perempuan yang masih terhitung muda itu, serta keinginannya segera menyelesaikan pertempuran agar ia sempat untuk mengambil tongkat baja putih itu dari tangan Nyi Agung Sedayu, maka Raden Nirbaya tidak mempunyai pilihan selain mempergunakan Aji Pamungkasnya.

   Seperti pada umumnya orang-orang pada tataran tertinggi dari perguruan Kedung Jati, maka Raden Nirbayapun memiliki ilmu andalan yang akan dapat dipergunakan pada saat-saat yang paling menentukan.

   Karena itulah, maka Raden Nirbayapun telah mencari kesempatan untuk mengambil ancang-ancang.

   Ketika Rara Wulan siap menyerangnya dengan ayunan selendangnya, maka Raden Nirbaya telah meloncat beberapa langkah surut.

   Dengan cepat pula Raden Nirbaya telah melontarkan paser-paser kecilnya yang tersisa.

   Ia tidak memerlukan paser-paser itu lagi jika ia sudah sampai ke ilmu andalannya, karena ia yakin bahwa lawannya itu akan segera kehilangan segala kesempatan untuk bertempur.

   Tubuhnya akan terkoyak dan bahkan jika daya tahannya terlalu lemah, maka tubuh itu akan lebur menjadi debu.

   Paser-paser kecil itu sempat menahan Rara Wulan yang berusaha untuk memburunya ketika kaden Nirbaya itu berloncatan mengambil jarak.

   Rara Wulan harus memutar selendangnya untuk menangkis serangan paser-paser kecil itu.

   Namun waktu yang sedikit itu cukup berarti bagi Raden Nirbaya.

   Raden Nirbaya tidak lagi melontarkan paser-paser kecil, tetapi Raden Nirbaya telah memusatkan nalar budinya.

   Ketika Raden Nirbaya itu menghentakkan kedua tangannya, maka dari telapak tangannya telah meluncur cahaya yang kemerah-merahan.

   Agaknya Raden Nirbaya telah menyerap ilmu yang sama dengan Ki Umbul Geni, sehingga ilmu andalannyapun mempunyai banyak persamaan.

   Seleret sinar yang berwarna kemerah-merahan itu tiba-tiba bagaikan meledak dan menyemburkan api ke segala arah.

   Rara Wulan terkejut mendapat serangan yang dahsyat itu.

   Dengan mengerahkan ilmunya, meringankan tubuh Rara Wulanpun melenting tinggi.

   Sekali tubuhnya berputar di udara, kemudian kedua kakinyapun menyentuh tanah.

   Tetapi pada saat itu pula.

   Raden Nirbaya telah melepaskan ilmunya pula, sehingga sekali lagi Rara Wulan harus meloncat.

   Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Rara Wulan berhasil sekali lagi menyelamatkan diri, lepas dari serangan Raden Nirbaya yang nggegirisi itu.

   Tetapi Rara Wulan tidak mau menjadi sasaran untuk yang ketiga kalinya.

   Karena itu, ketika kemudian tubuhnya yang melenting tinggi itu menjejak bumi, Rara Wulanpun segera mempersiapkan dirinya.

   Tidak sekedar melenting menghindar, tetapi Rara Wulan telah bersiap untuk melepaskan Aji Namaskara sebagaimana Glagah Putih melakukannya.

   (Bersambung ke

   Jilid 371) Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja

   Jilid . 371- 380 ________________________________________

   Jilid 371 TERNYATA Rara Wulanpun telah menguasai ilmunya dengan matang.

   Ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengambil ancang-ancang.

   Ketika Raden Nirbaya siap melontarkah ilmunya untuk yang ketiga kalinya, maka Rara Wulan telah siap melakukannya pula.

   Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi telah meluncur dari dua arah yang saling berseberangan.

   Namun kekuatan dan kemampuan Raden Nirbaya tidak lagi sesegar Rara Wulan.

   Raden Nirbaya telah meluncurkan ilmunya untuk yang ketiga kalinya, sehingga tingkat kekuatan dan kemampuannya sudah mulai menyusut.

   Dengan demikian, ketika terjadi benturan ilmu dari kedua orang yang sedang bertempur itu, tenaga dan kemampuannya sudah tidak seimbang lagi.

   Rara Wulan memang tergetar beberapa langkah surut.

   Tetapi tidak sampai kehilangan keseimbangannya.

   Rara Wulan masih tetap berdiri tegak meskipun harus menyeringai menahan nyeri di dadanya.

   Sementara itu.

   Raden Nirbayapun telah terlempar beberapa langkah dan terpelanting jatuh.

   Terdengar Raden Nirbaya itu mengaduh.

   Namun kemudian iapun terdiam untuk selamanya.

   Rara Wulan masih melihat Raden Nirbaya menggeliat.

   Tetapi kemudian, mata Rara Wulanpun menjadi berkunang-kunang.

   Rara Wulan itupun kemudian bergeser surut.

   Ketika dua orang prajurit mendekatinya, maka Rara Wulanpun memanggil mereka.

   "Ki Sanak."

   Kedua orang prajurit itupun meloncat dengan cepat sambil menangkap tubuh Rara Wulan yang terhuyung-huyung.

   "Rara."

   Rara Wulan itu memejamkan matanya sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Aku tidak apa-apa."

   "Wajah Rara menjadi pucat sekali."

   Rara Wulan mencoba tersenyum.

   Iapun kemudian telah mampu berdiri sendiri, meskipun terasa dadanya masih sesak.

   Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang berlari-lari mendekati tubuh Raden Nirbaya yang terkapar di tanah.

   Merekapun segera mengusung tubuh itu kebelakang garis pertempuran.

   "Raden Nirbayapun telah dikalahkan oleh seorang perempuan muda,"

   Desis seorang diantara mereka yang mengusung tubuh Raden Nirbaya sambil berlari-lari kebelakang medan.

   "Ya. Seperti Ki Denda Bahu."

   "Yang mengalahkan Ki Denda Bahu adalah Nyi Lurah Agung Sedayu. Seorang yang seharusnya menjadi salah seorang pemimpin perguruan kita. Karena itu wajar sekali jika Ki Denda Bahu dikalahkannya Tetapi Raden Nirbaya, yang diharapkan mendampingi Ki Saba Lintang telah terbunuh oleh seorang perempuan yang masih muda."

   "Ki Saba Lintang tentu akan marah sekali."

   "Seharusnya Raden Nirbaya tidak turun ke medan."

   "Tetapi ia merasa berilmu tinggi."

   "Ia memang berilmu sangat tinggi. Tetapi perempuan itu ilmunya lebih tinggi lagi. Senjata sehelai selendang yang mampu mengibaskan paser-paser kecil Raden Nirbaya. Jarang sekali ada orang yang mampu menghindar dari serangan paser-paser kecil itu. Bahkan kemudian Aji Pamungkasnyapun tidak mampu menghentikan perlawanan perempuan itu. Bahkan justru Raden Nirbaya sendirilah yang terbunuh."

   Merekapun kemudian meletakkan tubuh Raden Nirbaya di sebelah tubuh para pemimpin yang telah terbunuh. Ki Denda Bahu, Ki Umbul Geni dan kemudian Raden Nirbaya.

   "Dimana Ki Sura Banda ? "

   Bertanya seorang diantara mereka.

   "Entahlah. Tetapi ia sudah tidak berada di medan."

   "Apakah ia sudah terbunuh, sementara kawan-kawan kita yang bertempur di sekitarnya tidak mampu menyelamatkan tubuhnya ?"

   "Entahlah."

   Ketika orang-orang itu kemudian berniat kembali ke arena, merekapun menjadi sangat berdebar-debar.

   Keseimbangan pertempuran itu sudah berubah sama sekali.

   Kekuatan para murid Kedung Jati telah semakin surut.

   Korbanpun telah berjatuhan.

   Sebagian terbunuh di pertempuran, sebagian yang lain terluka.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bahkan terluka berat.

   Sementara itu, Ki Wiratuhu masih bertahan, bertempur melawan Ki Lurah Agung Sedayu.

   Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu melihat beberapa peluang untuk mengakhiri pertempuran.

   Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih berusaha untuk menundukkan Ki Wiratuhu tanpa mempergunakan ilmu puncaknya.

   Namun Ki Wiratuhu adalah seorang yang tanggon.

   Ketika Ki Lurah Agung Sedayu menawarkan kemungkinan untuk'menyerah, maka Ki Wiratuhu menjadi sangat marah.

   "Tentu tidak. Aku sangat menghargai perguruan Kedung Jati. Tetapi apakah kau benar-benar murid dari perguruan Kedung Jati ? Jika benar, siapakah gurumu ?"

   Bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Persetan kau. Kau kira aku siapa ? Kau tidak tahu sama sekali tentang perguruan Kedung Jati. Karena itu, kau tidak usah berbicara tentang perguruan Kedung Jati."

   "Kau Salah. Aku mengenal perguruan Kedung Jati dengan baik. Aku mewarisi unsur-unsur geraknya yang terpenting."

   "Jangan mencoba meremehkan perguruan Kedung Jati."

   Tetapi Ki Lurah itupun menjawab.

   "Sudah aku katakan, aku tidak meremehkan perguruan Kedung Jati. Aku sangat menghargai perguruan itu. Kau tentu tahu, bahwa isteriku adalah pewaris tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati,"

   Wajah Ki Wiratuhu menjadi merah. Namun kemudian iapun menyahut dengan suara bergetar.

   "Ya. Isterimu adalah pewaris tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Tetapi isterimu telah berkhianat terhadap perguruan Kedung Jati."

   "Siapakah yang telah berkhianat? Isteriku atau Ki Saba Lintang? Sebenarnya isteriku tidak akan meninggalkan perguruan Kedung Jati. Tetapi Ki Saba Lintang adalah jenis orang yang sangat haus akan kekuasaan. Ia terlalu bernafsu untuk menjadi seorang pemimpin. Ki Saba lintang tidak puas dengan memimpin perguruan Kedung Jati yang besar. Tetapi ia ingin kedudukan yang lebih tinggi lagi. Ia ingin berkuasa di mana-mana."

   "Itu satu gegayuhan. Setiap orang harus mempunyai gegayuhan yang tinggi."

   "Tanpa menghiraukan tatanan beberayan agung, maka semakin tinggi gegayuhan seseorang, maka ia akan menjadi semakin kehilangan dirinya dalam hidup beberayan itu Ia akan menginjak-injak tatanan beberayan. Bahkan ia akan sampai hati mengorbankan sesamanya untuk mencapai gegayuhannya. Ia tidak mengorbankan sekelompok orang yang menyatakan dirinya setia kepadanya. Atau bahkan sekelompok orang yang tidak tahu apa-apa."

   "Orang orang yang bersedia dikorbankan itulah yang dungu. Salah mereka sendiri. Jika mereka tidak mau dikorbankan, maka ia tidak akan menjadi korban bahkan landasan gegayuhan Perguruan Kedung Jati."

   "Kau sendiri bagaimana? Bukankah kau bukan murid Kedung Jati? Tetapi kau telah berjuang dengan ikhlas bagi kebesaran perguruan Kedung Jati. Kau telah menyediakan dirimu menjadi korban gegayuhan Ki Saba Lintang itu."

   "Kaulah yang dungu. Jika aku berjuang bagi perguruan Kedung Jati, meskipun aku bukan murid perguruan Kedung Jati, itupun dalam rangka perjuanganku untuk menggapai gegayuhanku."

   "Tetapi nampaknya kau setia sampai mati bagi kepentingan Ki Saba Lintang"

   "Aku setia sampai mati pada gegayuhanku sendiri."

   "Bukankah itu pendirian yang gila? Jika kau mati. apa yang kau dapatkan? Justru kau akan kehilangan semuanya."

   "Aku berpegang pada sikap hidupku. Mukti atau mati. Aku mati dalam perjuanganku untuk mencapai gegayuhanku. Sama sekali bukan untuk Ki Saba Lintang."

   Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab lagi.

   Tidak ada gunanya untuk berbicara terlalu panjang Ki Wiratuhu bukan seorang yang pendiriannya mudah digoyahkan.

   Ia sadari apa yang dilakukannya.

   Karena itu, maka Ki Lurahpun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi Ki Wiratuhu dalam pertempuran kembali.

   Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit.

   Ki Wiratuhu ternyata benar-benar seorang berilmu tinggi.

   Namun Ki Wiratuhupun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat segera mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu.

   Karena itu, maka Ki Wiratuhupun tidak mau berteka-teki terlalu lama.

   Ketika Ki Lurah Agung Sedayu semaian mendesaknya, maka Ki Wiratuhupun sampai pada keputusan untuk mempergunakan puncak kemampuannya.

   Ki Lurah Agung Sedayupun, bergeser selangkah surut ketika ia melihat Ki Wiratuhu itu tiba-tiba saja telah menggenggam sepasang pisau belati yang berkitat-kilat.

   Pisau belati itu tidak terlalu panjang.

   Tetapi pisau belati itu mampu memantulkan cahaya matahari dengan tajamnya.

   Dengan sengaja Ki Wiratuhu telah berusaha memantulkan cahaya matahari yang menyentuh sepasang pisau belatinya itu.

   Ki Lurah Agung Sedayu memang menjadi silau oleh kilatan pantulan cahaya sepasang pisau belati itu, sehingga kadang-kadang ia kehilangan arah, dimana lawannya itu berdiri.

   Kilauan sinar yang memantul dari sepasang pisau belati itu rasa-rasanya justru lebih tajam dari sinar matahari itu sendiri.

   Karena itu, maka sekali-sekali Ki Lurah kehilangan lawannya.

   Bahkan Ki Lurah itu terkejut ketika tiba-tiba saja pisau belati Ki Wiratuhu itu menyentuh lengannya.

   Ki Lurah Agung Sedayu itupun segera meloncat surut untuk mengambil jarak.

   Sementara terdengar Ki Wiratuhu itu tertawa sambil berkata.

   "Sayang, bahwa kau tidak mampu meredam pantulan cahaya matahari pada sepasang pisau belatiku, Ki Lurah."

   Ki Lurah tidak menjawab. Tetapi ia bergeser kesamping.

   "Kau ingin bertempur di bawah bayangan pohon preh itu, Ki Lurah. Agaknya kau mulai menjadi ketakutan oleh pantulan cahaya matahari itu."

   Ki Lurah masih tetap diam saja.

   Tetapi memang sulit baginya untuk membatasi daerah pertempuran hanya dibawah bayangan rimbunnya daun preh.

   Jika mereka berloncatan, maka setiap kali mereka akan segera keluar dari bayangan pohon preh itu.

   Tetapi Ki Lurah harus menemukan cara untuk mengatasinya.

   Dalam pada itu, Ki Lurahpun menyadari, bahwa sepasang pisau belati itu, tentu bukan pisau belati kebanyakan.

   Tetapi tentu sejenis pisau belati yang dibuat oleh seorang empu yang memiliki kelebihan, sehingga sinar yang terpantul dari daun pisau itu, justru lebih menyilaukan dari sinar matahari itu sendiri.

   Pamornya yang berkeredip membuat pantulan sinar dari pisau belati itu menjadi sangat tajam.

   Bahkan seakan-akan menyengat mata.

   Dalam pantulan cahaya yang menyilaukan itu, Agung Sedayu sulit mencari kesempatan untuk mengetrapkan ilmu puncaknya, menyerang dengan ilmu yang dipancarkannya lewat sorot matanya.

   Dalam pada itu, Ki Wiratuhu yang merasa mampu menekan Ki Lurah Agung Sedayu, menjadi semakin berpengharapan.

   Dengan pisau belatinya yang bukan sekedar pisau belati kebanyakan itu.

   Ki Wiratuhu selalu berusaha untuk memancarkan pantulan cahaya matahari di daun pisau belatinya ke mata Ki Lurah Agung Sedayu.

   Ki Lurah Agung Sedayu memang mengalami kesulitan.

   Meskipun ia berada dibawah bayangan rimbunnya pohon preh, tetapi Ki Wiratuhu yang tetap berdiri dibawah sinar matahari masih juga mampu menyinarkan pantulan cahaya yang menusuk ke mata Ki Lurah Agung Sedayu.

   Sementara Ki Lurah mengalami kesulitan untuk memperhatikan lawannya, maka Ki Wiratuhupun segera meloncat menyerang ke arah dada.

   Tetapi dengan kecepatan gerak yang tinggi, dilambati dengan ilmu meringankan tubuhnya, maka Ki Lurah masih sempat menghindar.

   Tetapi demikian serangannya gagal, maka Ki Wiratuhupun segera meloncat kembali ke bawah cahaya sinar matahari.

   Pisau belatinya segera bermain lagi meluncurkan pantulan sinar matahari yang sangat menyilaukan.

   Akhirnya, Ki Lurah Agung Sedayupun berusaha untuk menemukan cara, agar ia dapat mengatasinya.

   Dalam pada itu, selagi Ki Wiratuhu itu memancarkan sinar pantulan dari cahaya matahari ke mata Ki Lurah, Ki Wiratuhu itu terkejut.

   Tiba-tiba saja dilihatnya di bawah pohon itu tiga sosok Ki Lurah Agung Sedayu.

   Dengan garangnya ketiga orang sosok Ki Lurah Agung Sedayu itupun kemudian menyerang Ki Wiratuhu dari tiga arah.

   Sebenarnyalah Ki Wiratuhu menjadi bingung.

   Yang manakah sosok Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.

   "Gila orang itu,"

   Geram Ki Wiratuhu.

   "Ia memiliki Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari yang membingungkan"

   Pada saat ketajaman penglihatan batin Ki Wiratuhu masih belum menemukan sosok Ki Agung Sedayu yang sebenarnya, serangan Ki Lurah Agung Sedayu telah mengenainya, sehingga Ki Wiratuhu itu terdorong beberapa langkah surut Bahkan Ki Wiratuhupun menjadi terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terlentang.

   Namun dengan cepatnya Ki Wiratuhu itu melenting bangkit.

   Tetapi ketiga sosok Ki Lurah Agung Sedayu itupun menjadi semakin membingungkannya.

   Setiap kali Ki Wiratuhu berusaha melihat dengan ketajaman penglihatan batinnya, maka Ki Lurah Agung Sedayu menyerangnya dengan kecepatan yang tinggi, sehingga Ki Wiratuhu tidak mempunyai cukup waktu.

   Akhirnya Ki Wiratuhupun menyadari, bahwa dengan pisau bilahnya yang jarang ada duanya itu, ia tidak akan dapat menyelesaikan pertempuran.

   Karena itu, maka Ki Wiratuhupun memutuskan untuk mengadu puncak dari kemampuannya.

   Untuk dapat memilih sasaran yang sebenarnya, maka Ki Wiratuhu itupun segera meloncat mengambil jarak.

   Ia memerlukan waktu beberapa saat untuk dengan penglihatan batinnya menemukan Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.

   Sebenarnyalah bahwa beberapa saat kemudian, Ki Wiratuhupun telah meloncat mengambil jarak yang cukup.

   Ki Lurah Agung Sedayu tidak memburunya.

   Panggraitanya sudah mengatakan bahwa Ki Wiratuhu akan sampai kepada puncak dari segala ilmunya.

   Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian Ki Wiratuhupun telah memusatkan nalar budinya, mengerahkan segenap kemampuannya pada ilmu puncak.

   Ditakupkannya kedua tangannya.

   Sejenak kedua telapak tangan itupun di gosokannya.

   Asap tipispun mengepul dari sela-sela kedua telapak tangannya yang menelakup itu.

   Namun tiba-tiba saja Ki Wiratuhupun menghentakkan kedua tangannya mengarah kepada sosok Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.

   Namun pada saat yang bersamaan, di Lurahpun telah melepaskan ilmu puncaknya pula.

   Dari kedua belah matanya, telah memancar puncak segala ilmunya.

   Seleret sinar telah meluncur dari kedua belah matanya itu.

   Dengan demikian, maka dua puncak ilmu yang tinggi telah meluncur dari kedua orang yang sedang bertempur itu.

   Dua puncak ilmu yang jarang ada duanya.

   Sejenak kemudian, kedua puncak ilmu itupun telah saling berbenturan.

   Getar gelombang ilmu yang jarang ada bandingnya itupun telah mengguncang udara disekitarnya, sehingga di padang perdu itupun seakan-akan telah terjadi gempa.

   Pepohonan bergoyang serta dahan dan ranting-rantingnya bergetar, sehingga dedaunan yang kuningpun telah berguguran runtuh jatuh di tanah.

   Jantung mereka yang bertempur di padang perdu itupun berguncang pula.

   Darahpun seakan-akan telah berhenti mengalir di setiap tubuh.

   Pertempuran di padang perdu itupun seakan-akan telah terhenti beberapa saat ketika benturan kedua ilmu puncak dari kedua orang berilmu tinggi itu terjadi.

   Namun ternyata bahwa kekuatan ilmu Ki Lurah Agung Sedayu masih selapis lebih tinggi dari ilmu Ki Wiratuhu, sehingga dalam benturan ilmu yang menentukan itu, Ki Wiratuhu telah terlempar beberapa langkah surut.

   Tubuhnya terpelanting jatuh di tanah.

   Sementara itu, pertahanan Ki Lurah Agung Sedayupun telah terguncang pula beberapa langkah surut.

   Tetapi Ki Lurah masih tetap tegak berdiri meskipun terasa tusukan yang pedih menyengat dadanya.

   Beberapa orang murid Ki Wiratuhupun berlari menghampiri tubuh Ki Wiratuhu yang terkapar.

   Namun demikian mereka menemukan tubuh itu sudah tidak berdaya, maka merekapun telah menjadi berputus-asa.

   Tetapi tumpahan perasaan putus-asa itu ternyata berbeda-beda.

   Beberapa orang yang memiliki kesetiaan yang sangat tinggi, segera mengamuk tanpa menghiraukan lagi keselamatan diri.

   Mereka sengaja untuk ikut menantang maut di medan perang yang sudah menjadi tidak seimbang lagi itu.

   Dengan demikian, maka mereka bertempur dengan raem-babi buta.

   Ketika seorang pemimpin kelompok prajurit Mataram minta mereka menyerah, mereka sama sekali tidak mau mendengarkan.

   Karena pemimpin mereka yang sangat mereka hormati telah mati, maka merekapun memilih mati di pertempuran itu pula.

   Namun sekelompok yang lain, yang juga menjadi berputus-asa, memilih jalan yang lain.

   Mereka memilih untuk melemparkan senjata mereka sebagai pernyataan bahwa mereka telah menyerah.

   Tetapi masih ada sekelompok yang lain, yang memilih caranya sendiri.

   Mereka berusaha untuk melarikan diri dari medan pertempuran.

   Mereka justru memanfaatkan kawan-kawan mereka yang mengamuk menantang kematian di peperangan untuk berlindung.

   Ternyata ada juga sekelompok orang yang berhasil melarikan diri, melintasi padang perdu masuk ke dalam hutan dan yang lain melarikan diri ke arah pategalan.

   "Mereka akan menjadi peletik api yang dapat membakar jantung Ki Saba Lintang,"

   Desis seorang Lurah Prajurit.

   Tetapi para prajurit Mataram itu ternyata tidak mampu menangkap sebagian dari mereka yang melarikan diri dengan berpencar kesegala arah, sementara yang lain masih harus menghadapi para pengikut setia Ki Wiratuhu yang mengamuk seperti seekor harimau yang terluka.

   Ketika kemudian pertempuran itu berakhir, maka sebagian dari mereka yang mengaku murid Kedung Jati itupun telah menjadi tawanan sebagaimana orang-orang yang bersarang di ujung hutan.

   Ki Lurah Agung Sedayu sendiri, dalam waktu yang singkat telah berhasil memperbaiki keadaannya.

   Ia telah berhasil mengatasi rasa sakit di dadanya dalam benturan ilmu yang terjadi.

   Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya pula, sehingga benturan itu tidak mengakibatkan luka yang parah di dadanya.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu telah benar-benar berhenti.

   Ki Lurah Agung Sedayu lewat para pemimpin kelompok segera memerintahkan untuk mengumpulkan para prajurit yang terluka serta mereka yang gugur di pertempuran itu.

   Selain mereka, maka sebagian dari para prajuritpun telah diperintahkan untuk mengawasi para tawanan yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh.

   Ternyata korban diantara para pengikut Ki Saba Lintang itu terhitung besar.

   Mereka yang dalam keadaan putus-asa bertempur membabi buta, sebagian memang harus mengakhiri hidupnya.

   Tetapi ada diantara mereka yang terluka parah, tetapi masih tetap hidup.

   Seorang yang tertusuk tombak pendek di lambungnya, masih berteriak-teriak.

   "Bunuh aku. Bunuh aku. Biarlah aku mati bersama Ki Wiratuhu."

   "Apa yang kau harapkan dari kematian itu?"

   Bertanya seorang prajurit.

   "Aku adalah seorang murid yang setia. Ki Wiratuhu adalah guruku."

   "Apakah tidak ada cara lain untuk menunjukkan kesetiaan kepada seseorang."

   "Jika guru terbunuh di peperangan, maka tidak ada kesetiaan yang lebih tinggi nilainya daripada ikut mati pula di peperangan itu."

   "Kau salah mengartikan kesetiaan itu, Ki Sanak."

   "Jangan mempengaruhi perasaanku seperti iblis."

   "Aku tidak ingin mempengaruhi perasaanmu. Tetapi jika kau memang setia kepada gurumu, kenapa kau tidak justru berusaha untuk tetap hidup agar kau dapat membalaskan dendam atas kematiannya. Atau dengan cara yang lebih baik. Misalnya berbuat kebaikan untuk menebus citra yang buruk dari gurumu. Jika muridnya berbuat baik, maka citra gurunya akan terangkat."

   "Persetan kau iblis buruk,"

   Teriak orang itu.

   "bunuh aku. Jangan banyak bicara lagi."

   Prajurit Mataram itu tidak mendengarkan lagi.

   Iapun segera beranjak meninggalkan tawanan yang masih saja berteriak-teriak itu.

   Tetapi tidak ada seoiangpun yang bersedia membunuhnya.

   Dalam pada itu, para prajurit Mataram serta para tawananpun kemudian menjadi sibuk menguburkan para pengikut Ki Saba Lintang yang terbunuh.

   Sedangkan para prajurit Mataram yang gugur, menurut keputu-san Ki Lurah Agung Sedayu, akan dibawa kembali ke Tanah Perdikan Menoreh yang sudah tidak terlalu jauh lagi.

   "Kita akan melanjutkan perjalanan setelah kita selesai di sini,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "tubuh para prajurit yang gugur akan kita bawa kembali ke Tanah Perdikan. Kita akan memakamkan mereka di Tanah Perdikan Malam ini kita tentu sudah akan sampai di Tanah Perdikan."

   Para prajuritpun segera mempersiapkan diri. Sementara itu Ki Jayaraga bertanya perlahan-lahan kepada Nyi Lurah.

   "Bagaimana keadaan Nyi Lurah?"

   "Tidak apa-apa Ki Jayaraga. Aku dapat melanjutkan perjalanan sampai ke Tanah Perdikan."

   "Jika keadaan Nyi Lurah tidak memungkinkan, aku akan berkata kepada Ki Lurah."

   "Aku tidak apa-apa, Ki Jayaraga. Kakang Agung Sedayu sudah mengambil keputusan. Agaknya serangan para pengikut Ki Saba Lintang lelah membuat perasaan kakang Agung Sedayu bergejolak. Karena itu, jangan dihambat. Dalam keadaan demikian, biasanya kakang Agung Sedayu sulit mendengarkan pendapat orang lain."

   Ki Jayaraga menarik napas panjang.

   Glagah Putihpun agaknya juga terluka di dalam Tetapi nampaknya tidak terlalu mengganggunya.

   Namun tidak seorangpun yang berusaha untuk mengusulkan agar perjalanan kembali ke Tanah Perdikan ditunda.

   Sehingga karena itu, setelah segala sesuatunya siap.

   maka Ki Lurahpun telah menjatuhkan perintah untuk segera berangkat.

   Para tawanan, baik mereka yang tertawan di ujung hutan, maupun para pengikut Ki Saba Lintang berjalan beriring dalam keadaan terikat.

   Di bagian depan iring-iringan itu terdapat beberapa sosok mayat para prajurit yang gugur.

   Kemudian mereka yang terluka parah, yang harus dipapah karena tidak mampu berjalan sendiri.

   Demikian mereka berangkat, maka langitpun menjadi muram.

   Beberapa orang prajurit telah menyalakan oncor untuk menerangi jalan sempit yang mereka lalui.

   Bahkan jalan yang tidak rata.

   Jalan yang memasuki daerah pegunungan yang kadang-kadang naik, namun kadang-kadang menurun.

   Dengan demikian, maka perjalanan iring-iringan itu menjadi lambat.

   Namun jalan yang lambat itu memberi kesempatan kepada mereka yang letih atau terluka untuk sekali-sekali berhenti sejenak di pinggir jalan.

   Nyi Lurah Agung Sedayu memang tidak dapat berjalan terlalu cepat.

   Keadaan Nyi Lurah itu disadari oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

   Tetapi sebagai seorang Senapati perang, Ki Lurah melihat keadaan, bahwa pasukannya itu lebih baik berjalan terus.

   Sebelum tengah malam mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Mereka akan langsung pergi ke barak.

   Menyerahkan para tawanan kepada para prajurit yang berada di barak.

   Selanjutnya prajurit yang letih dan terluka itu langsung dapat beristirahat dan mendapat pengobatan terbaik.

   Setiap kali Ki Lurah itupun bertanya.

   "Bagaimana keadaanmu. Mirah?"

   "Aku tidak apa-apa. kakang."

   "Kau nampak terlalu letih."

   "Aku memang letih. Tetapi perjalanan yang lambat ini tidak terlalu membuat bertambah letih."

   "Bagaimana dengan lukamu?"

   "Aku sudah minum obat yang untuk sementara dapat membantu ketahanan tubuhku. Aku tidak apa-apa kakang."

   Demikianlah, iring-iringan itu bergerak terus.

   Oncorpun semakin banyak dinyalakan.

   Pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sedayu itupun maju dengan lambat.

   Kecuali mereka harus mengusung beberapa sosok mayat, beberapa orang terluka parah, para prajurit itupun nampak letih.

   Apalagi para tawanan yang tangannya terikat, terutama para pengikut Ki Saba Lintang.

   Bahkan diantara mereka masih juga harus memapah kawan-kawan mereka yang terluka parah.

   Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka di tengah malam, iring-iringan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus serta para tawanannya itupun telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh.

   Namun bukan berarti bahwa mereka telah sampai di barak Pasukan Khsusus.

   Untuk sampai ke barak.

   iring-iringan itu masih harus berjalan beberapa lama memasuki dini hari yang dingin.

   Namun rasa-rasanya mereka sudah berada di rumah sendiri.

   Padukuhan yang paling ujung mereka laluipun, lelah menyambut mereka, karena para peronda yang melihat iring-iringan itu lewat, telah menjadi ribut.

   Bahkan ada diantara mereka yang membangunkan orang-orang yang tinggal di sebelah menyebelah gardu perondaan.

   Namun sambutan itu seakan-akan telah mengurangi perasaan letih para prajurit itu.

   Demikianlah iring-iringan itu berjalan terus menyusuri jalan-jalan bulak dan sekali-sekali menembus padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh.

   Tetapi iring-iringan itu tidak menuju ke padukuhan induk.

   Tetapi iring-iringan itu menuju ke barak Pasukan Khusus.

   Namun demikian, padukuhan-padukuhan yang dilewati oleh iring-iringan itupun bagaikan telah terbangun.

   Beberapa orang telah turun ke jalan dan saling berbincang tentang iring-iringan prajurit yang lewat.

   "Mereka membawa beberapa sosok tubuh para prajurit yang gugur di pertempuran,"

   Berkata seseorang.

   "Ya. Yang lain memapah para prajurit yang terluka."

   "Tetapi mereka bukan iring-iringan prajurit yang kalah perang. Mereka membawa banyak tawanan yang terikat."

   "Ya. Mereka memenangkan perang itu. Tetapi pasukan prajurit itupun mengalami keadaan yang cukup parah."

   Seorang yang lainpun berkata.

   "Kenapa mereka tidak mau berhenti dan beristirahat di banjar? Atau di padukuhan induk?"

   "Agaknya mereka ingin segera berada di barak. Para tawanan itu harus mendapat pengawasan yang sebaik-baiknya. Sementara itu, keadaan pasukan itu sendiri nampaknya sangat letih."

   "Kalau saja mereka mau berhenti, maka kita akan dapat membuat minuman hangat bagi mereka."

   Tetapi pasukan yang luka itu berjalan terus.

   Setiap kali mereka memasuki gerbang padukuhan, maka beberapa saat kemudian, mereka pun telah keluar dari pintu gerbang yang lain.

   Di dini hari yang dingin, maka iring-iringan itupun sampai di depan pintu gerbang barak prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

   Para prajurit yang berada di barak itupun segera terbangun.

   Mereka menyambut kedatangan Ki Lurah Agung Sedayu serta pasukannya yang terluka.

   Namun merekapun membawa dua kelompok tawanan dari dua pasukan yang berbeda.

   Ki Lurah Agung Sedayupun segera menyerahkan para tawanan itu kepada para prajurit di barak.

   Demikian pula sosok tubuh para prajurit yang gugur, serta yang terluka.

   Demikian penyerahan itu diterima oleh prajurit yang bertugas malam itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun mempersilahkan para prajurit yang letih itu untuk beristirahat.

   Sementara itu, para petugas di dapurpun telah dibangunkan pula untuk menyediakan minuman panas serta makan bagi para prajurit yang baru pulang dalam keadaan letih, haus dan lapar.

   Selain kesibukan di barak itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menghubungi keluarga mereka yang gugur.

   Baik yang gugur di ujung hutan, maupun yang gugur melawan mereka yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati.

   Sejenak kemudian, di gelapnya ujung malam, beberapa orang prajurit berkuda memacu kudanya meninggalkan barak prajurit dari Pasukan Khusus itu.

   Tetapi bagi keluarga mereka yang tinggal di tempat yang jauh sekali, sehingga tidak mungkin hadir pada pemakaman prajurit yang gugur itu, terpaksa tidak dapat ditunggu.

   Jika waktunya untuk memakamkan mereka tiba, maka para prajurit yang gugur itu akan diberangkatkan dari barak Pasukan Khusus itu.

   Ketika fajar menyingsing, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah minta Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menghadap Ki Gede Menoreh, untuk melaporkan kejadian-kejadian sepanjang perjalanan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.

   "Bagaimana dengan keadaanmu?"

   Bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

   "apakah kau masih merasa sakit?"

   "Tidak, kakang. Tidak apa-apa. Aku sudah baik."

   "Pergilah berkuda. Kecuali lebih cepat, kau tidak perlu berjalan sampai ke padukuhan induk."

   "Ya, kakang,"

   Jawab Glagah Putih.

   Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putihpun segera pergi ke padukuhan induk.

   Sementara itu, Ki Jayaraga minta agar Sekar Mirah benar-benar beristirahat.

   Dengan demikian, bukan saja para prajurit dari Pasukan Khusus itu saja yang menjadi sibuk.

   Tetapi orang-orang Tanah Perdikanpun menjadi sibuk pula.

   Ada diantara prajurit dari Pasukan Khusus yang gugur, adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri.

   Ketika matahari naik, maka Ki Gede Menoreh, Ki Ragajaya dan Prastawa serta beberapa orang telah berada di barak para prajurit.

   Mereka menyatakan ikut berduka, atas gugurnya beberapa orang prajurit terbaik di barak itu.

   "Tidak semua yang gugur dapat kami bawa pulang, Ki Gede,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "mereka yang gugur di kademangan Prancak, terpaksa kami makamkan di Prancak. karena terlalu jauh untuk membawa mereka pulang. Bahkan diperlukan lebih dari satu hari satu malam di perjalanan."

   Ki Gede mengangguk-angguk. Ia dapat merasakan betapa berat tugas yang baru saja diselesaikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu bersama para prajuritnya."

   Masih nampak pada para prajurit yang baru saja kembali dari bertugas, meskipun mereka sudah sempat beristirahat beberapa saat, kelelahan yang masih membekas.

   Demikianlah ketika matahari mulai turun disisi Barat langit, maka upacara pemakaman para prajurit yang gugur itupun telah diselenggarakan.

   Mereka dimakamkan di pemakaman bagi para prajurit di Tanah Perdikan, bersebelahan dengan makam keluarga para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata upacara itu tidak hanya dihadiri oleh para prajurit dan keluarga mereka yang gugur, tetapi sebagian rakyat Tanah Perdikan Menoreh, terutama dari padukuhan-padukuhan terdekat telah ikut pula memberikan penghormatan terakhir.

   Demikian, upacara pemakaman itu selesai, maka Ki Lurah Agung Sedayu lelah ditunggu oleh tugas yang lain.

   Ia harus segera pergi ke Mataram untuk memberikan laporan tentang perlawatan pasukannya ke Prancak.

   Namun ternyata ada hal yang lebih penting yang harus dilaporkannya.

   Ternyata bahwa pasukannya telah mendapat serangan dari pasukan yang mengaku terdiri dari murid-murid perguruan Kedung Jati.

   Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu belum akan berangkat hari itu juga.

   Di malam hari ia masih akan berbicara dengan satu dua orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itu untuk melengkapi laporan yang akan dibawanya ke Mataram esok pagi.

   Karena itulah, maka malam itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga masih berada di barak.

   Ki Lurah Agung Sedayu akan membawa Glagah Putih untuk ikut mendengarkan pembicaraannya dengan satu dua orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati itu disamping dua orang pembantu dekatnya di barak Pasukan Khusus itu.

   Namun Ki Lurah Agung Sedayu telah menemui Nyi Lurah yang berbaring di sebuah bilik yang khusus di barak para prajurit itu.

   Justru karena Nyi Lurah itu adalah salah seorang yang mewarisi salah satu tongkat baja putih dari Perguruan Kedung Jati itu.

   "Apakah keadaanmu memungkinkan bagimu untuk ikut dalam pembicaraan dengan orang-orang yang berhasil kita tangkap itu Mirah ?"

   Bertanya Ki Lurah.

   "Tentu, kakang. Keadaanku sudah menjadi semakin baik. Aku telah minum obat yang lebih baik sehingga keadaankupun telah menjadi jauh lebih baik pula."

   "Malam ini aku akan berbicara dengan satu dua dari antara mereka. Mirah. Mudah-mudahan pembicaraan iru dapat menambah bahan laporanku esok."

   "Kakang akan pergi ke Mataram esok ?"

   "Ya. Aku harus memberikan laporan segera. Aku akan menunggu perintah, apa yang harus aku lakukan terhadap perguruan Kedung Jati itu."

   "Kakang aku siap untuk ikut berbicara dengan mereka nanti malam kakang."

   Tetapi ketika Sekar Mirah akan bangkit, Ki Lurah Agung Sedayu itupun berkata.

   "Berbaring sajalah dahulu sampai nanti malam. Kau masih mempunyai waktu untuk beristirahat sebaik-baiknya beberapa saat. Apakah sore ini kau sudah minum obat yang disediakan oleh Ki Jayaraga ?"

   "Sudah kakang. Karena itu, maka keadaanku sudah menjadi semakin baik sekarang."

   "Tetapi kau dapat memanfaatkan waktumu sampai malam nanti untuk beristirahat, sehingga keadaanmu malam nanti menjadi semakin baik."

   "Ya, kakang."

   Ki Lurahpun kemudian meninggalkan bilik itu untuk menemui Glagah Putih.

   "Biarlah malam nanti Rara Wulan ikut serta dalam pembicaraan itu menemani mbokayumu Sekar Mirah."

   "Baik, kakang,"

   Sahut Rara Wulan.

   Demikianlah, ketika malam turun, maka Ki Lurah Agung Sedayu beserta dua orang pembantunya yang terdekat telah berada di sebuah ruangan yang khusus bersama Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Beberapa saat kemudian, beberapa orang prajurit membawa tiga orang tawanan dari antara mereka yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati itupun telah dibawa masuk.

   Mereka adalah tiga orang yang dianggap mengetahui lebih banyak tentang perguruannya dari pada tawanan yang lain.

   Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka memasuki bilik itu.

   Apalagi ketika mereka melihat, Nyi Lurah Agung Sedayu duduk disebelah Ki Lurah.

   Di pangkuannya tergolek tongkat baja putih, ciri kepemimpinan perguruan Kedung Jati.

   "Duduklah,"

   Berkata Ki Lurah yang kemudian memberi isyuuii kepada para prajurit yang membawa para tawanan itu masuk, untuk meninggalkan ruangan itu.

   Ketiga orang itupun kemudian duduk di hadapan Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah.

   Di sebelah menyebelah, mereka melihat dua orang prajurit di satu sisi, sedangkan disisi lain mereka melihat sepasang suami isteri yang ikut dalam pertempuran di padang perdu itu.

   "Apakah benar kalian adalah murid-murid dari perguruan Kedung Jati ?"

   Bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Ya, Ki Lurah,"

   Jawab mereka hampir berbareng.

   "Kau tahu pertanda kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati itu?"

   Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian seorang diantara mereka menyahut.

   "Ya, Ki Lurah."

   "Apa?"

   "Tongkat baja putih."

   "Kau lihat apa yang berada di pangkuan Nyi Lurah itu ? "

   Ketiga orang itu saling berpandangan.

   "Jawab pertanyaanku,"

   Desak Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Yang berada di pangkuan Nyi Lurah itu adalah salah satu dari tongkat baja putih itu."

   "Kau tahu artinya ?"

   Orang itu menggeleng sambil menjawab.

   "Tidak, Ki Lurah."

   "Kalian memang bodoh. Pertanda itu menyatakan bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu adalah salah seorang pemimpin yang sah dari perguruan Kedung Jati itu."

   "Tetapi....

   Kata-kata orang itu terputus.

   "Tetapi apa?"

   Orang-orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja seorang yang lain berkata.

   "Menurut para pemimpin perguruan Kedung Jati, Nyi Lurah memang memiliki satu dari pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Tetapi Nyi Lurah ternyata tidak setia kepada perguruan kami."

   "Fitnah itu tentu bersumber dari Ki Saba Lintang. Tetapi siapakah yang sebenarnya tidak setia kepada perguruan Kedung Jati? Ki Saba Lintang telah merusak citra dari perguruan Kedung Jati. Sebenarnya perguruan Kedung Jati adalah sebuah perguruan yang besar dan mempunyai citra yang baik pada masanya. Jika ada beberapa orang di antara pemimpinnya yang terlibat dalam perlawanan Pangeran Harya Penangsang terhadap Pajang pada waktu itu, sama sekali tidak membuat perguruan Kedung Jati cacat. Karena apa yang mereka lakukan itu tidak ada hubungannya dengan perguruan Kedung Jati secara langsung. Mereka terlibat karena mereka memang pemimpin dan Senapati Jipang. Adalah wajar jika mereka berpihak kepada Pangeran Harya Penangsang,"

   Ki Lurah itupun terdiam sejenak. Kemudian katanya pula.

   "Tetapi sekarang, apa yang dilakukan oleh Ki Saba Lintang ? Ki Saba Lintang telah menghimpun banyak orang untuk bersedia disebut murid-murid perguruan Kedung Jati. Tetapi mereka sama sekali tidak mengenal unsur-unsur gerak aliran perguruan Kedung Jati."

   "Itu tidak benar, Ki Lurah."

   "Tidak benar ? Jadi kau menyangkalnya ?"

   "Kami memang murid perguruan Kedung Jati."

   "Apakah kalian benar-benar menguasai ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati itu ?"

   "Tentu."

   "Jika demikian, baiklah kita lihat, apakah yang kau katakan itu benar."

   "Maksud Ki Lurah ?"

   "Di ruang ini ada dua orang murid dari perguruan Kedung Jati."

   Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka tahu pasti, bahwa Nyi Lurah tentu menguasai benar ilmu kanuragan aliran perguruan Kedung Jati Tetapi siapa yang seorang lagi ? "Ki Sanak,"

   Berkata Ki Lurah.

   "jika benar kalian murid perguruan Kedung Jati, maka biarlah kami melihat, apakah kalian memiliki unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kedung Jati."

   Ketiga orang itupun tergagap. Seorang di antara merekapun berkata.

   "Kami memang murid dari perguruan Kedung Jati. Tetapi kami baru menyatakan niat kami. Menurut para pemimpin dari perguruan Kedung Jati, siapa yang berminat, maka ia sudah dianggap murid dari perguruan Kedung Jati. Nanti, pada saatnya, kami akan mendalami ajaran-ajaran ilmu kanuragan dari aliran perguruan Kedung Jati."

   "Nah, kau lihat. Bukankah ada kejanggalan dari sikap para pemimpin perguruan Kedung Jati ? Kaupun sebenarnya tahu, bahwa para pemimpin perguruan Kedung Jati yang sekarang, bukan orang-orang dari perguruan Kedung Jati."

   Ketiga orang itupun termangu-mangu.

   "Perhatikan. Para pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang sekarang,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "mereka sama sekali tidak menguasai ajaran-ajaran dari perguruan Kedung Jati. Perhatikan pula, siapa saja yang telah bergabung dengan perguruan Kedung Jati. Bahkan siapa saja yang telah diseret masuk ke dalam lingkungan perguruan Kedung Jati."

   Ketiga orang itupun terdiam.

   "Aku tidak tahu, kalian bertiga itu berasal darimana. Tetapi bukankah yang sekarang berada di dalam lingkungan perguruan Kedung Jati itu terdiri pula dari gerombolan-gerombolan penjahat. Gerombolan-gerombolan perampok yang bahkan nama pemimpinnya sudah banyak dikenal sebagai seorang gegedug yang ditakuti ?"

   Ketiga orang itu masih saja berdiam diri.

   "Aku tidak menyangkal bahwa ada di antara para pemimpin dan orang-orang yang menyebut dirinya murid dari perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang bercita-cita. Orang yang benar-benar mengharap lahirnya satu perguruan yang besar dan berpengaruh di dunia olah kanuragan. Tetapi sebagian yang lain adalah petualang-petualang yang hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri."

   Ketiga orang itu hanya dapat menundukkan kepalanya saja.

   Mereka melihat kebenaran dari pernyataan Ki Lurah Agung Sedayu itu.

   Ada diantara kawan-kawan mereka yang berasal dari gerombolan-gerombolan penjahat.

   Meskipun mereka telah berjanji untuk tunduk kepada semua tatanan dan paugeran di dalam lingkungan perguruan Kedung Jati.

   namun tingkah laku mereka masih pantas untuk dicurigai."

   "Nah, kami ingin tahu, apakah kalian bertiga berasal dari padepokan, perguruan atau gerombolan yang sama?"

   "Kami berdua berasal dari perguruan yang sama Ki Lurah. Tatapi saudara kami yang seorang ini berasal dari padepokan yang berbeda."

   "Kalian berdua berasal dari perguruan mana?"

   "Kami berasal dari perguruan Jung Wangi."

   "Yang seorang?"

   Kedua orang yang berasal dari perguruan Jung Wangi itupun berpaling kepada seorang kawannya. Seorang diantara merekapun berkata.

   "Kau sendirilah yang menjawabnya."

   Orang itu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Aku memang berasal dan gerombolan yang namanya sudah cacat. Aku berasal dari gerombolan yang dipimpin oleh Ki Singa Mantep. Gerombolan yang bergerak di sekitar daerah Purwadadi, Wirasari, Kradenan dan sekitarnya. Tetapi akhirnya Ki Singa Mantep telah ditemui oleh utusan Ki Saba Lintang yang memberikan beberapa kemungkinan tetapi juga ancaman, sehingga akhirnya Ki Singa Mantep bersedia bergabung dengan perguruan Kedung ati."

   "Nah itulah yang terjadi. Dengan demikian, apakah kalian masih juga percaya akan kebesaran nama perguruan Kedung Jati yang sekarang berada dibawah pimpinan Ki Saba Lintang?"

   Ketiga orang itu tidak menjawab.

   "Kalian dapat membayangkan, bagaimana perguruan Kedung Jati yang dikatakan besar dan tersebar bertumpang tindih dengan kebesaran Mataram itu terbentuk. Apakah sebuah perguruan yang demikian itu dapat dikatakan besar serta luluh menyatu?"

   Ketiga orang itu masih saja berdiam diri.

   "Sekarang, dengarlah pertanyaanku. Apakah kalian bertiga masih tetap setia kepada sebuah perguruan yang ikatannya rapuh seperti perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu?"

   Mereka bertiga masih saja belum ada yang menjawab.

   "Kalian memang tidak mempunyai kesempatan untuk memilih serta berbuat apa-apa lagi, karena kalian sekarang adalah tawanan prajurit Mataram. Dalam dua atau tiga hari lagi kalian akan kami bawa ke Mataram untuk diadili."

   Ketiga orang itupun menundukkan kepalanya semakin dalam. Sementara Ki Lurah berkata selanjutnya.

   "meskipun demikian, karena aku dan Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan ini yang telah menangkap kalian, maka suara kami tentu akan didengar oleh para pemimpin di Mataram."

   Jantung ketiga orang itu rasa-rasanya berdebar semakin cepat di dada mereka.

   "Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada kalian bertiga. Apakah kalian bertiga bersedia bekerja sama dengan kami atau tidak."

   Sejenak ketiga orang itu mengangkat wajahnya memandang Ki Lurah sejenak. Seorang di antara mereka memberanikan diri untuk bertanya.

   "Kerja sama yang bagaimanakah yang Ki Lurah maksudkan itu?"

   Ki Lurah menarik nafas panjang. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Kemudian iapun berkata.

   "Aku memerlukan beberapa keterangan Ki Sanak. Mungkin Ki Sanak dapat menjawab beberapa pertanyaanku itu. Aku tahu, bahwa mungkin Ki Sanak adalah murid yang setia dari perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, atau bahkan kalian adalah pengikut Ki Saba Lintang pribadi yang setia. Tetapi keadaan Ki Sanak bertiga kali ini memang agak kurang menguntungkan bagi Ki Sanak."

   Ketiga orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan tulang-tulang iganyapun rasa-rasanya ikut berdegup di dada mereka yang sesak.

   "Ki Sanak,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

   "mungkin Ki Sanak dapat menjawab beberapa pertanyaanku."

   Wajah ketiga orang itu menjadi pucat.

   Mereka sudah membayangkan apa saja yang dapat terjadi atas diri mereka, jika mereka tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ki Lurah.

   Bahkan jawaban-jawaban yang mereka katakan dengan jujurpun, tetap saja tidak dipercaya, sehingga orang-orang yang berada di dalam bilik itu dapat memperlakukan mereka dengan sekehendak hati mereka.

   Karena itu, ketika kemudian Ki Lurah Agung Sedayu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka, maka rasa-rasanya suara Ki Lurah itu bagaikan guntur yang menghentak dada mereka.

   "Ki Sanak,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

   "atas nama Mataram aku bertanya, dimanakah sarang yang dipergunakan sebagai alas gerakan Ki Saba Lintang? Jelasnya, dimanakah padepokan induk dari perguruan Kedung Jati itu?"

   Suara Ki Lurah itu terdengar gemuruh menyusup ke telinga mereka. kemudian melingkar-lingkar di rongga dada.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Di mana?"

   Desak Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun jantung mereka terasa berdegub semakin keras, namun darah merekapun merasa berhenti mengalir.

   "Apakah tidak ada diantara kalian bertiga yang akan menjawab?"

   Ketiga orang itupun justru bagaikan membeku.

   "Baik. Jika tidak seorangpun diantara kalian yang menjawab, maka kalian adalah orang-orang yang tidak berguna. Aku dapat memperlakukan kalian sekehendak hatiku. Kalian adalah tawanan yang sama sekali tidak berharga."

   Kegelisahan telah mencengkam seisi dada mereka. Apalagi ketika Ki Lurah Agung Sedayu beringsut setapak maju sambil berkata.

   "Jika demikian, maka aku akan melemparkan kalian ke lubang sampah. Tetapi nampaknya kalian adalah mainan yang mengasikkan. Sudah aku katakan, bahwa disini ada dua orang yang menguasai ilmu kanuragan dari aliran perguruan Kedung Jati. Aku ingin melihat apa yang dapat kalian lakukan terhadap murid-murid perguruan Kedung Jati yang sebenarnya."

   Keringat dinginpun telah membasahi pakaian ketiga orang itu. Sementara Ki Lurah Agung Sedayupun berkata.

   "Rara Wulan. Kau memiliki ilmu kanuragan dari aliran perguruan Kedung Jati. Nah, kau akan berhadapan dengan seorang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati. Perlihatkan kepada mereka, ilmu kanuragan dari aliran perguruan Kedung Jati yang sebenarnya. Kau dapat memperlakukan apa saja terhadap mereka, asal kau tidak membunuhnya. Kematian adalah hukuman yang terlalu ringan bagi mereka."

   "Ki Lurah,"

   Desis seorang diantara mereka.

   "jangan perlakukan kami dengan cara seperti itu."

   "Bagaimana kami harus memperlakukan kalian? kalian adalah orang-orang yang tidak berguna. Karena itu, kami dapat memperlakukan kalian sekehendak hati kami."

   "Jangan Ki Lurah."

   "Salah seorang diantara kalian bangkit berdiri. Kalian akan bertarung dengan Rara Wulan. Jangan takut. Pertarungan itu tidak akan membawa maut. Meskipun demikian, mungkin kalian akan dapat menjadi cacat untuk seumur hidup kalian. Itu belum termasuk hukuman yang akan kalian terima sebagai pemberontak setelah kalian berada di Mataram."

   "Jangan, Ki Lurah. Kami sudah pasrah. Kami tidak akan melawan lagi. Tetapi jangan perlakukan aku seperti itu."

   "Sekehendakku. Bukankah kalian orang-orang yang tidak berguna sama sekali."

   "Tetapi."

   "Tidak ada tetapi. Nah Rara Wulan. Jika mereka tidak ada yang menyatakan diri untuk melawanmu, maka biarlah kau saja yang memilih. Seperti yang aku katakan, perlakukan mereka sekehendak hatimu asal kau tidak membunuhnya."

   "Jangan Ki Lurah. Biarlah aku mengatakan. Tetapi tentu saja sebatas yang aku ketahui,"

   Sahut salah seorang diantara mereka. Ki Lurah Agung Sedayupun menarik nafas panjang. Katanya.

   "jika demikian, baiklah. Katakan dimana sarang yang dipergunakan sabagai landasan gerakan Ki Saba Lintang ?"

   "Ki Lurah sebenarnya aku tidak tahu dimana letak padepokan induk dari perguruan Kedung Jati. Yang aku ketahui adalah sebuah padepokan yang dihuni oleh sebagian murid dari perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu."

   "Apakah Ki Wiratuhu juga berasal dari perguruan Jung Wangi atau perguruan yang dipimpin oleh Ki Singa Mantep."

   "Tidak. Ki Wiratuhu berasal dari perguruan lain. Aku tidak tahu Ki Wiratuhu itu berasal dari mana. Tetapi di sarang yang baru, kami berada dibawah pimpinan Ki Wiratuhu."

   "Dimana letak sarang yang kau maksud ?"

   "Kami berada dipadepokan Naga Tapa. Agaknya padepoknn itu semula adalah padepokan yang memang dipimpin oleh Ki Wiratuhu."

   "Dimana letak padepokan itu ?"

   "Di hutan Ketawang."

   "Di hutan ketawang?"

   "Ya, Ki Lurah."

   "Apakah Ki Saba Lintang juga sering berada dipadepokan Naga Tapa?"

   "Kadang-kadang. Tetapi tidak terlalu sering."

   "Terima kasih. Sekarang katakan, padepokan induk dari perguruan Kedung Jati."

   "Aku tidak tahu Ki Lurah. Aku bersumpah bahwa aku tidak tahu dimana letak padepokan induk perguruan Kedung Jati. Yang aku tahu adalah padepokan yang aku huni."

   "Jadi kau tidak mau mengatakannya?"

   "Bukan tidak mau Ki Lurah. Tetapi aku benar-benar tidak tahu."

   "Jadi kau ingin memamerkan ilmu kebal yang kau pelajari dari perguruan Kedung Jati."

   "Tidak. Tidak Ki Lurah."

   "Lalu apa yang akan kau pamerkan dengan menolak mengatakan letak padepokan induk perguruan Kedung Jati itu?"

   "Aku tidak menolak, Ki Lurah. Aku bersumpah."

   "Baiklah. Mungkin yang lain bersedia mengatakannya?"

   Kedua orang yang lain masih saja terdiam. Mulut mereka bagaikan tersumbat. Kedua orang yang lain justru menunduk semakin dalam. Mereka tidak berani mengangkat wajah mereka, apalagi memandang wajah Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Siapa yang akan mengatakannya ?"

   Bentak Ki Lurah. Ketiga orang itu menjadi gemetar. Suara Ki Lurah itu terdengar semakin gemuruh, memukul dinding dada mereka.

   "Apakah aku harus memaksa kalian untuk berbicara dengan caraku ?"

   "Ki Lurah,"

   Seorang diantara merekapun kemudian berbicara dengan suara gemetar.

   "kami sebenarnya ingin mengatakannya. Apalagi setelah kami menyadari, untuk apa sebenarnya kami bergabung dengan perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Tetapi aku berani bersumpah, bahwa aku memang tidak tahu, dimanakah padepokan induk dari perguruan Kedung Jati. Jelasnya, darimana Ki Saba Lintang itu memimpin seluruh pengikutnya yang tersebar sampai ke mana-mana."

   "Ada berapa padepokan yang kau ketahui, yang telah berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang. Selain padepokanmu dan padepokan Naga Tapa yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu."

   "Agaknya para pemimpin perguruan Kedung Jati sengaja menyekat para pengikutnya menjadi bagian-bagian yang tidak saling mengenal."

   "Jika demikian, apakah kalian melihat kejujuran dalam kepemimpinan Ki Saba Lintang?"

   "Tidak, Ki Lurah. Tetapi mata kami seakan-akan telah tertutup oleh mimpi-mimpi yang indah, yang dibangunkan oleh Ki Saba Lintang di angan-angan kami."

   "Jadi kalian bertiga benar-benar tidak tahu, dimana letak padepokan induk, sebagai pusat kepemimpinan Ki Saba Lintang ?"

   "Tidak. Ki Lurah, kami tidak tahu sama sekali. Yang kami ketahui hanyalah padepokan Naga Tapa dan tentu saja padepokan Jung Wangi. Namun agaknya padepokan Jung Wangi telah di kosongkan, karena kami harus berada di padepokan Naga Tapa."

   "Bagaimana dengan gerombolan yang dipimpin oleh Singa Mantep ? Apakah gerombolan itu masih berada di sarang mereka yang lama?"

   "Tidak, Ki Lurah,"

   Jawab seorang yang berasal dari gerombolan yang dipimpin oleh Singa Mantep.

   "agaknya Ki Saba Lintang telah berusaha membaurkan para pengikutnya. Para murid dari sebuah perguruan, telah diletakkan di sebuah padepokan yang lain dan berada dibawah kepemimpinan orang lain pula. Bukan oleh pemimpin padepokan atau gerombolannya sendiri. Sebagaimana kami harus berada di perguruan Naga Tapa dan berada dibawah kepemimpinan Ki Wiratuhu."

   "Ki Sanak,"

   Berkata Ki Lurah kemudian.

   "sekarang agaknya sudah terlalu malam untuk berbicara lebih panjang. Aku minta malam ini kau mengingat-ingat, apa saja yang kau ketahui tentang Ki Saba Lintang. Besok kita masih akan berbicara. Mungkin tidak cukup satu dua hari. Mungkin tiga hari dan bahkan mungkin aku akan minta kepada para pemimpin di Mataram agar kalian bertiga ditinggalkan di barak ini agar kita dapat berbicara kapan saja aku inginkan. Aku yakin, bahwa tidak sekali atau dua kali saja memaksa kalian untuk bersedia berbicara. Tetapi mungkin sepuluh kali atau dua puluh kali. Tetapi kami akan bersabar. Kami akan melakukannya sampai kapanpun, karena kami memang tidak terlalu banyak mempunyai tugas. Maksudku, bukan aku pribadi. Tetapi mungkin para prajurit yang lain atau bahkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kami akan menempatkan kalian di sebuah banjar padukuhan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak mudanya, terutama para pengawal padukuhan, untuk bertanya kepada kalian, dimana letak padepokan induk Ki Saba Lintang. Jadi, hanya ada satu pertanyaan yang akan diajukan kepada kalian."

   "Jangan Ki Lurah. Jangan perlakukan aku seperti itu. Kenapa Ki Lurah tidak membunuh saja kami bertiga. Agaknya kematian akan lebih baik daripada harus diserahkan ke tangan anak-anak muda Tanah Perdikan."

   "Memang tidak harus begitu. Jika kalian segera berbicara tentang padepokan induk itu, maka segala sesuatunya akan segera selesai."

   "Kami bersumpah dengan cara apapun. Kami tidak tahu, Ki Lurah."

   Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum.

   Namun bagi ketiga orang itu, senyum Ki Lurah bagaikan isyarat bagi mereka, bahwa mereka akan memasuki satu ruas kehidupan yang sangat menyakitkan.

   Mereka akan dipaksa untuk mengatakan, apa mereka memang sebenarnya tidak tahu.

   Bahkan orang yang bernama Ki Saba Lintang itupun baru dua tiga kali mereka lihat tanpa dapat mengenal secara pribadi."

   Tetapi seharusnya merekapun sudah menyadari sejak semula, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi atas diri mereka.

   "Baiklah,"

   Berkata Ki Lurah kemudian.

   "biarlah para prajurit mengembalikan kalian ke bilik tahanan kalian. Bicaralah dengan kawan-kawan kalian, mungkin ada diantara mereka yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang Ki Saba Lintang, sehingga kami akan dapat berbicara dengan mereka. Atau mereka dapat memberi kalian bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami esok atau lusa atau sepekan lagi atau kapanpun jika kami menghendaki."

   Ketiga orang itu tidak menjawab.

   Tetapi jantung mereka terasa berdegup semakin keras.

   Mereka membayangkan hari-hari yang penuh penderitaan yang akan dijalaninya.

   Ki Lurahpun kemudian berkata kepada salah seorang pembantunya yang ikut menunggui pembicaraan itu.

   "Panggil para prajurit. Biarlah mereka dibawa kembali ke bilik tahanan mereka."

   "Baik Ki Lurah. Jika Ki Lurah memerintahkan kepada kami, maka biarlah kami saja yang besok atau lusa berbicara dengan mereka bertiga atau mungkin ada orang lain yang perlu diajak berbincang."

   "Kita akan memikirkannya nanti,"

   Jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

   "sekarang, biarlah mereka mempersiapkan diri."

   Seorang dari kedua orang prajurit itupun kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar pintu.

   Sejenak kemudian beberapa orang prajurit dengan tombak pendek di tangan telah datang untuk mengambil dan membawa ketiga orang itu kembali ke bilik tahanannya.

   Sepeninggal ketiga orang tawanan itu, maka seorang diantara kedua orang prajurit pembantu Ki Lurah Agung Sedayu itupun bertanya.

   "Kita dapat memaksanya berbicara."

   Tetapi Ki Lurah menarik nafas sambil berkata.

   "Mereka memang tidak tahu apa-apa. Aku percaya, bahwa mereka tidak tahu, dimanakah Ki Saba Lintang tinggal. Dari manakah Ki Saba Lintang itu mengendalikan orang-orangnya yang tersebar di mana-mana. Bahkan mungkin Ki Saba Lintang itu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu padepokan ke padepokan yang lain."

   "Tetapi tentu ada sekelompok orang pembantu dekatnya yang setiap saat diajak berbicara tentang rencana-rencananya serta langkah-langkah yang akan diambilnya."

   "Mereka juga berpindah-pindah tempat sebagaimana Ki Saba Lintang. Sedangkan yang lain berada di padepokan-padepokan yang tersebar. Ki Saba Lintang dan beberapa orang terdekalnyalah yang sering datang mengunjungi mereka untuk diajak berbicara tentang langkah-langkah yang akan diambil oleh Ki Saba Lintang."

   Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah putihpun berkata.

   "Aku memerlukan beberapa keterangan tentang padepokan-padepokan yang dipergunakan oleh Ki Saba Lintang seria para pengikutnya, kakang. Mungkin pada satu kesempatan aku dan Rara Wulan dapat mengunjungi padepokan itu satu per satu. Jika Ki Saba Lintang mengaku, bahwa wilayah kekuasaannya bertumpang tindih dengan wilayah Mataram, maka ia merasa bahwa kekuasaannya akan dapai menyaingi kekuasaan di Mataram."

   "Ya. Tetapi tentu itu hanya omong kosong saja."

   "Aku memang tidak yakin, kakang. Tetapi aku ingin melihai padepokan-padepokan itu."

   Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya.

   "Ada dua kemungkinan yang dapat kita tempuh, Glagah Putih. Kau dan Rara Wulan pergi melihat-lihat padepokan itu, atau aku siapkan pasukan yang kuat. Pasukan yang akan mendatangi padepokan-padepokan itu. Kita akan menghancurkan padepokan-padepokan yang berkiblat kepada Ki Saba Lintang. Jika kita ingin menebang sebatang pohon raksasa, maka kita akan memotong dahan-danannya lebih dahulu. Kemudian memotong batangnya. Akhirnya kita gali dan kita cerabut akar-akarnya sampai akar serabutnya, agar kemudian tidak akan dapat tumbuh lagi."

   "Aku setuju kakang. Tetapi tentu saja kita jangan sampai terjebak. Kita harus mengetahui seberapa besar kekuatan lawan kita. Jika kita tidak mengetahuinya, maka kita akan dapat terperosok seperti sekumpulan domba masuk ke sarang segerombolan serigala yang lapar."

   Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk mengiakan.

   "Aku mengerti sikap hati-hatimu, Glagah Putih. Tetapi perjalananmu ke padepokan-padepokan itu adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Padepokan-padepokan itu tentu bukan wadah dari sekumpulan laki-laki yang bersifat kesatria, yang menanggapi kedatangan kalian berdua dengan sikap jantan. Mereka tidak akan menyambut kedatangan kalian sebagaimana laki-laki jantan. Mereka tidak akan menghadapi kedatangan kalian seorang menghadapi seorang. Tetapi mereka tentu akan beramai-ramai turun mengeroyok kalian berdua."

   "Itu sudah aku perhitungkan kakang. Karena itu, maka kamipun tidak akan hadir di padepokan-padepokan itu melewati pintu gerbang. Kami hanya akan mengamati dan menilai kekuatan dan kemampuan padepokan-padepokan itu. Seandainya datang waktunya kakang membawa pasukan, maka kakang akan dapat memperhitungkan, seberapa kekuatan yang akan kakang bawa."

   Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sementara itu, Sekar Mirahpun berkata.

   "Meskipun demikian, tetapi tugas itu bukan tugas yang ringan. Tugas itu memerlukan bekal yang cukup memadai."

   "Bekal yang paling memadai adalah sikap berhati-hati itu, mbokayu."

   "Kau benar, Glagah Putih, tetapi menurut pertimbangan kami, tugas itu akan menjadi tugas yang sangat berat bagi kalian berdua."

   "Tentu kami akan menjajagi tugas itu lebih dahulu, mbokayu,"

   Sahut Rara Wulan.

   "juga sekiranya kami tidak mampu memikulnya, maka tugas itu akan kami letakkan. Atau mungkin kami akan minta bantuan sehingga tugas itu menjadi lebih ringan."

   Ki Lurah Agung Sedayupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Baiklah. Besok segala sesuatunya akan aku laporkan ke pada para pemimpin di Mataram. Besok setelah aku pulang dari Mataram, maka kita dapat berbicara lebih terperinci."

   "Ya, kakang. Aku menunggu perintah kakang. Tetapi jika kakang berkenan, setelah kakang kembali dari Mataram, kakang dapat bertanya beberapa orang tawanan, letak padepokan-padepokan yang mereka ketahui."

   "Aku akan mencobanya, Glagah Putih. Tetapi mereka yang tertawan itu sebagian tentu orang-orang yang ditempatkan di perguruan yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu."

   "Tetapi mereka agaknya berasal dari padepokan yang berbeda-beda Padepokan asal mereka itu mungkin masih dipergunakan. Bahkan Padepokan Jung Wangi itupun agaknya masih juga digunakan meskipun penghuninya saling bertukar tempat dengan padepokan yang lain."

   "Ya. Memang mungkin sekali."

   Demikianlah setelah berbincang beberapa saat lagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun dipersilahkan beristirahat dibilik yang sudah disediakan bagi mereka.

   Ki Lurah dan Nyi Lurahpun segera beristirahat pula.

   Lebih-lebih Nyi Lurah yang tenaga dan kekuatannya masih belum pulih sepenuhnya.

   Sedangkan di dadanya masih terasa sesuatu yang seakan-akan mengganggu pernafasannya.

   Namun sebelum tidur, Nyi Lurah masih menyempatkan diri minum reramuan obat-obatan yang dibuat oleh Ki Jayaraga untuk mempercepat pulihnya tenaga Nyi Lurah Agung Sedayu itu.

   Di keesokan harinya, seisi padukuhan itu sudah terbangun sebelum fajar.

   Semuanya segera berada di tugas masing-masing.

   Sementara Ki Lurahpun berbenah diri untuk berangkat ke Mataram.

   Dua orang prajuritnya akan ikut mengiringinya agar diperjalanan ada kawannya untuk dapat diajak berbincang, sehingga perjalanannya tidak terasa sepi.

   Namun dalam pada itu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan, dan Ki Jayaragapun telah bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan.

   "Nanti sore, dari Mataram aku akan segera pulang,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mungkin aku singgah sebentar di barak. Tetapi meskipun malam aku akan pulang."

   "Baik, kakang,"

   Sahut Sekar Mirah.

   "pagi ini kami akan mendahului pulang."

   Pagi itu, demikian Ki Lurah Agung Sedayu memacu kudanya ke Mataram bersama dua orang prajurit, maka Nyi Lurah bersama Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaragapun telah meninggalkan barak itu pulang ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

   Demikian mereka sampai di rumah, Ki Jayaraga masih menganjurkan kepada Sekar Mirah untuk lebih banyak berada di pembaringan untuk beristirahat.

   "Biarlah keadaanmu cepat pulih Nyi Lurah,"

   Berkata Ki Jayaraga.

   "Bagaimana dengan Ki Jayaraga sendiri ?"

   "Aku sudah tidak apa-apa."

   Untuk segera memulihkan keadaannya, maka Sekar Mirahpun mengikuti segala petunjuk Ki Jayaraga.

   Hari itu Sekar Mirah memang lebih banyak beristirahat.

   Meskipun tidak selalu berada di pembaringan, namun yang kemudian sibuk di dapur adalah Rara Wulan.

   Namun Glagah Putihpun ikut sibuk pula.

   Ia harus mengambil air untuk mengisi gentong di dapur, sementara Sukra sibuk menyiapkan kayu bakar.

   Namun Sukra itupun telah minta kepada Glagah Putih.

   "Kakang. Jika kakang sempat, nanti malam kami pergi ke sanggar. Lihat, sampai sejauh mana aku berlatih selama ini berdasarkan petunjuk kakang."

   Glagah Putih tersenyum. Katanya.

   "Baik. Nanti malam aku akan melihat tingkat kemampuanmu."

   "Bukankah kakang tidak pergi ke mana-mana?"

   "Tidak. Aku menunggu kakang Agung Sedayu pulang."

   "Jika Ki Lurah pulang, kakang Glagah Putih tentu tidak akan sempat lagi pergi ke sanggar. Ada-ada saja yang akan dibicarakan sehingga hampir semalam suntuk."

   Glagah Putih tertawa. Katanya.

   "Tentu tidak. Tentu ada kesempatan untuk pergi ke sanggar. Memang mungkin aku akan berbincang dengan kakang dan Mbokayu. Tetapi tentu tidak semalam suntuk. Kakang Agung Sedayu tentu juga letih setelah seharian berada di Mataram."

   Sukra termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya.

   "Tetapi kau jangan tidur terlebih dahulu sebelum kami selesai berbincang."

   "Aku akan turun ke sungai."

   "Kau masih juga bermain pliridan?"

   "Bukan aku. Anak-anak sebelah. Tetapi aku masih saja senang melihat anak-anak membuka pliridan di sungai."

   "Bagaimana dengan pliridanmu?"

   "Aku berikan kepada Kija. Ternyata Kija rajin memelihara pliridan itu. Setiap malam Kija turun ke sungai untuk membuka dan menutupnya. Bahkan kadang-kadang ia mendapatkan ikan jauh lebih banyak dari yang pernah aku dapatkan, ketika aku masih selalu membuka dan menutup pliridan itu."

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long

Cari Blog Ini