Ceritasilat Novel Online

Api Dibukit Menoreh 14


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14


Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja

   

   Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia menyahut.

   "Ya. Kita bergembira karena kita dapat pulang kepada keluarga kita masing-masing."

   Namun ketika terpandang olehnya Agung Sedayu, maka iapun melanjutkan.

   "Tetapi tidak sepantasnya kita bergurau sambil berteriak-teriak. Meskipun kita tetap hidup, tetapi kita banyak kehilangan. Mungkin orang-orang yang lewat, dan mendengar kalian berkelakar anak-anak itu, telah kehilangan anaknya atau suaminya atau saudaranya dipeperangan. Biarlah orang lain tidak mau mengerti dan tidak menyatakan ikut bersedih. Tetapi kita, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh jangan berbuat demikian."

   Wajah Agung Sedayu menegang sejenak.

   Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya.

   Tusukan kata-kata Prastawa telah melukai hatinya.

   Seakan-akan ia sama sekali tidak mempedulikan peperangan yang baru saja selesai dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

   Meskipun demikian Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut.

   Bahkan ia sama sekali tidak menatap wajah Prastawa yang terangkat sambil bertolak pinggang.

   "Masa berkabung masih belum kita lampaui,"

   Berkata Prastawa kemudian.

   "karena itu, jangan berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal. Kalian adalah anak-anak muda Tanah Perdikan yang baik."

   Para pengawal itupun mengangguk-angguk. Mereka merasa menyesal bahwa mereka telah bergurau dengan gembira sekali tanpa menghiraukan kepahitan perasaan mereka yang telah kehilangan dipeperangan.

   "Jika kalian bergurau, berguraulah. Tetapi tahanlah sedikit tertawamu,"

   Berkata Prastawa sambil meninggalkan gardu itu. Sepeninggal Prastawa suasana digardu itu menjadi lain. Agung Sedayu yang duduk sambil menundukkan kepalanya bergumam.

   "Aku menyesal. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak dapat mengerti suasana duka di Tanah Perdikan ini. Jika aku terseret kedalam arus kegembiraan, karena aku justru ingin melupakan yang menggelisahkan hati itu. Mungkin aku memang orang lain disini. Tetapi aku sudah berusaha untuk berbuat sesuatu bagi Tanah ini seperti bagi kampung halamanku sendiri."

   Seorang yang lebih tua dari para pengawal yang berada digardu itu menyahut.

   "Kita semuanya telah bersalah. Tetapi tidak ada alasan untuk menuduhmu acuh tidak acuh terhadap Tanah Perdikan Menoreh. Apa yang kau lakukan dipeperangan telah meyakinkan kami, bahwa kau telah berbuat terlalu banyak. Jauh lebih banyak dari anak-anak muda di Tanah Perdikan ini sendiri."

   "Terima kasih atas pujian itu. Kita bersama-sama telah melakukannya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Prastawa, agaknya aku tidak ikut berprihatin bagi kedukaan yang ada di Tanah Perdikan ini."

   Anak-anak muda digardu itu memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh.

   Dipeperangan Agung Sedayu adalah raksasa yang menakutkan bagi lawan-lawannya.

   Ia telah membunuh dan melumpuhkan orang-orang yang paling kuat.

   yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Gede Menoreh.

   Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu telah berubah menjadi seperti seorang gadis pemalu yang ditegur oleh orang tuanya karena kesalahan kecil.

   Namun dalam pada itu, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menorehpun menjadi cemas melihat sikap Prastawa.

   Jika pada suatu saat Agung Sedayu menjadi marah, maka akibatnya akan buruk sekali baginya.

   Tetapi saat itu, agaknya Agung Sedayu tidak akan marah.

   Ia lebih banyak menyalahkan diri sendiri.

   Bahkan mendekati perasaan malu karena ia seakan-akan tidak ikut berduka bersama rakyat Tanah Perdikan Menoreh yang telah kenilangan anak-anak muda terbaik dalam pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

   Karena itu, maka pembicaraan digardu itupun telah berubah menjadi pembicaraan yang bersungguh-sungguh.

   Namun justru karena itu, maka mereka mulai berbicara tentang ilmu kanuragan dan kemungkinan-kemungkinan dimasa depan Tanah Perdikan Menoreh.

   "Agung Sedayu,"

   Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata.

   "kenapa kau tidak tinggal di Tanah ini saja? Kau dapat memindahkan padepokan kecilmu di Tanah Perdikan Menoreh. Disini tanah masih cukup luas."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. Ia menganggap bahwa pertanyaan itu adalah sekedar pertanyaan yang begitu saja diucapkan dalam ketegangan suasana.

   "Di Jati Anom, aku berada di bumi kelahiranku,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "padepokan kecil itu aku dirikan bersama guru diatas tanah pemberian kakakku. Karena itu, padepokan itu mempunyai arti tersendiri bagiku."

   Anak-anak muda itu tidak mendesaknya. Tetapi adalah diluar dugaan Agung Sedayu ketika salah seorang dari mereka berkata.

   "Agung Sedayu. Meskipun umurmu tidak lebih dari umur kami, tetapi setiap orang mengakui, banwa kau lelah mermliki ilmu yang luar biasa. Sebenarnya kami tidak pantas berkumpul dan bergaul dengan orang-orang berilmu seperti kau. Tetapi karena sikapmu dan keinginanmu sendiri untuk berada diantara kami, maka agaknya telah timbul keberanian pada kami untuk meminta kau mempergunakan waktumu yang ada selama kau berada di Tanah Perdikan ini untuk sekedar menambah pengetahuan kami tentang olah kanuragan."

   Permintaan itu telah mendebarkan jantung Agung Sedayu.

   Sebenarnya ia tidak berkeberatan untuk melakukannya.

   Tetapi ia menjadi ragu-ragu karena sikap Prastawa.

   Seperti kebiasaannya, maka Agung Sedayu telah membuat seribu macam pertimbangan.

   Jika ia menerima permintaan itu, mungkin ia akan menyinggung perasaan Prastawa.

   Tetapi jika tidak, maka seolah-olah ia tidak mau membantu perkembangan kemampuan para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh.

   Dalam kebimbangan itu, akhirnya Agung Sedayu berkata.

   "Sebenarnya aku tidak mempunyai keberatan. Tetapi kalian adalah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, semuanya terserah kepada Ki Gede. Jika Ki Gede sependapat, maka aku akan tinggal beberapa hari disini untuk berlatih bersama-sama. Tentu saja tidak semua pengawal, tetapi beberapa orang pimpinannya dan orang-orang terpenting saja diantara kalian. Dengan demikian maka latihan bersama itu akan dapat memberikan hasil. Kita akan dapat saling mengisi kekurangan kita masing-masing."

   Anak-anak muda itu menarik nafas.

   Mereka senang akan kesanggupan Agung Sedayu untuk memberikan beberapa petunjuk.

   Tetapi mereka juga kagum akan kerendahan hati Agung Sedayu.

   Adalah mendebarkan jantung, jika Agung Sedayu masih juga ingin berlatih bersama dan akan saling mengisi kekurangan.

   Tetapi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah mengenal Agung Sedayu seperti mereka mengenal kawan sejak masa kanak-kanak.

   Diam-diam anak-anak muda itu mulai menilai, perbedaan yang tajam antara Agung Sedayu dan Prastawa.

   Bahkan anak-anak muda itu tidak saja terhenti pada sifat kedua anak muda itu.

   Namun diluar keinginan mereka sendiri, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu mulai mengenang sikap dan tingkah laku Ki Argajaya.

   "Pada saat-saat yang gawat itu Agung Sedayu dan adik seperguruannya yang gemuk itu sudah ikut serta menentukan keadaan,"

   Kenangan itulah yang telah bergejolak didalam hati anak-anak muda itu.

   Namun seperti pimpinan mereka, Ki Gede Menoreh, maka anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh itu telah menerima kawan-kawan mereka yang terlibat kedalam kesesalan masa lalu.

   Bahkan Ki Gede Menoreh telah memberikan kepercayaan kepada Prastawa sebagai kemenakannya untuk mulai tampil pada pucuk pimpinan Tanah Perdikan Menoreh karena Ki Gede tidak mempunyai orang lain dari lingkungan keluarganya.

   Beberapa orang pemimpin kepercayaannya yang lain memang merupakan dukungan kekuatan yang besar bagi Tanah Perdikan Menoreh.

   Namun pada suatu saat, jika Ki Gede harus meninggalkan kedudukannya dengan alasan apapun, maka harus ada seseorang yang dapat mewakili Pandan Wangi dan suaminya, memerintah Tanah Perdikan Menoreh dengan sebaik-baiknya.

   Hal itu disadari oleh setiap orang yang dengan sadar mengikuti perkembangan Tanah Perdikan Menoreh.

   Para pemimpin pengawal dan bahkan para pemimpin padukuhan-padukuhan sampai yang sekecil-kecilnya.

   Karena itulah, maka kehadiran Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh itu mendapat perhatian yang khusus dari anak-anak muda.

   Bukan saja karena ia memiliki kemampuan raksasa yang tidak dapat mereka jangkau dengan nalar mereka, tetapi juga sikapnya yang rasa-rasanya telah menyatu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

   Apalagi meskipun sangkut paut keguruan, ia adalah saudara Swandaru, suami Pandan Wangi yang berhak mewarisi pimpinan Tanah Perdikan Menoreh.

   "Jika aku harus memilih,"

   Tiba-tiba salah seorang dari mereka berbisik ditelinga kawannya yang duduk disudut.

   "aku memilih Agung Sedayu dari Prastawa."

   Diluar sadarnya kawannya menjawab.

   "Tentu."

   Kawan-kawannya yang mendengar jawaban itu tanpa mengetahui persoalannya berpaling kepadanya. Salah seorang telah bertanya.

   "Apa yang kau katakan?"

   Anak muda itu menggeleng sambil menjawab.

   "Tidak. Aku tidak berkata apa-apa."

   "Aku dengar kau bergumam,"

   Desis yang lain. Kawannya termangu-mangu. Namun ia kemudian tetap menggelengkan kepalanya sambil menjawab.

   "Tidak. Aku tidak berkata apa-apa."

   Karena itu, maka kawan-kawannya, tidgk menghiraukannya lagi. Perhatian mereka kembali tertuju kepada Agung Sedayu. Salah seorang dan mereka kemudian berkata.

   "Apakah maksudmu kami harus berbicara dengan Ki Gede, dan mohon ijinnya untuk menyadap ilmu kanuragan darimu?"

   "Bukan begitu. Tetapi jika Ki Gede memerintahkan kepadaku, maka aku akan melakukannya. Jangan keliru."

   Anak-anak muda itu mengerti maksud Agung Sedayu. Ia tidak akan berbuat sesuatu mendahului pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka salah seorang dari merekapun berkata.

   "Sebaiknya kita menghadap Ki Gede Menoreh, dan mohon agar Ki Gede berkenan minta agar Agung Sedayu bersedia tinggal beberapa lama disini."

   "Tidak terlalu lama,"

   Potong Agung Sedayu.

   "hanya beberapa hari. Aku sudah sangat rindu kepada padepokan kecilku dan kepada adikku yang aku tinggalkan disana."

   "Ah, tentu bukan padepokan kecil dan adik dipadepokan itu,"

   Potong salah seorang dari para pengawal.

   "Jadi? "

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Tentu gadis Sangkal Putung itu."

   "Ah,"

   Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

   Beberapa orang mulai tertawa lagi.

   Tetapi ketika salah seorang meletakkan jari-jarinya dibibirnya, yang lainpun segera terdiam pula.

   Demikianlah, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk dapat menghadap Ki Gede.

   Sebelumnya mereka sempat berbicara satu dengan yang lain untuk menentukan sikap lebih jauh lagi.

   Tidak seorangpun yang menolak.

   Mereka justru berbesar hati atas kesediaan Agung Sedayu untuk memberikan latihan-latihan olah kanuragan seperti saat-saat mereka akan pergi ke lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

   Meskipun hanya dalam waktu singkat, tetapi petunjuk-petunjuk Agung Sedayu telah berhasil mereka kembangkan didalam diri masing-masing, sehingga sangat berguna untuk menghadapi persoalan yang paling gawat dimedan yang mengerikan itu.

   "Tanpa petunjuk-petunjuk pendahuluan dari Agung Sedayu, maka kami akan ditelan oleh pasukan lawan dalam gelar Glatik Neba itu,"

   Berkata salah seorang dari mereka.

   "Kita akan memilih beberapa orang diantara kita. Tentu yang terbaik. Mereka harus dengan sungguh-sungguh menyadap ilmu dari anak muda itu. Kemudian mereka harus mengembangkannya diantara kita semuanya,"

   Berkata kawannya yang lain.

   Ternyata Ki Gede yang kesepian itu, dengan senang hati menerima kedatangan anak-anak muda yang ingin menyatakan keinginannya untuk mendapatkan ilmu kanuragan dari Agung Sedayu.

   Dengan hati-hati salah seorang yang tertua diantara anak-anak muda itu menyampaikan maksudnya kepada Ki Gede, agar Ki Gede berkenan minta kepada Agung Sedayu untuk memberikan tuntunan kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh.

   Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya.

   Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil tersenyum.

   Jawabnya.

   "Kalian memberikan kebanggaan kepadaku. Usaha itu berarti kesadaran bahwa kalian merasa masih jauh dari sempurna. Kesadaran itu akan banyak memberikan arti bagi perkembangan kalian dan Tanah Perdikan Menoreh. Aku lebih senang melihat kahan merasa masih jauh dari sempurna daripada jika kalian atau sebagian dari kalian merasa bahwa kalian adalah anak-anak muda yang paling dahsyat dari lingkungan kalian."

   Dengan demikian maka Ki Gede Menorehpun sama sekali tidak berkeberatan dengan permintaan anak-anak muda itu.

   Dengan senang hati iapun kemudian menyampaikannya kepada Agung Sedayu.

   Agung Sedayu yang sudah mengetahui persoalannya itupun menerima dengan senang hati.

   Tetapi ia hanya dapat memberikan waktunya beberapa hari saja, karena iapun ingin segera kembali ke Sangkal Putung.

   Di hari berikutnya, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah memilih beberapa orang anak muda yang dianggap dapat mewakili para pengawal yang lain.

   Mereka datang dari berbagai padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan Menoreh.

   "Dua puluh lima orang,"

   Berkata salah seorang dari mereka yang ditunjuk menjadi pemimpin dari para pengawal yang terpilih untuk mengikuti latihan khusus dari Agung Sedayu.

   "Cukup banyak,"

   Jawab Agung Sedayu.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "tetapi baiklah. Kita akan segera mulai. Waktuku tidak terlalu banyak."

   Bersama dengan keduapuluh lima anak-anak muda itu.

   Agung Sedayu telah memilih tempat di bawah kaki pegunungan.

   Berbekal pengetahuannya tentang ilmu kanuragan, dan pengetahuannya tentang ilmu perang maka iapun mulai memberikan latihan-latihan kanuragan kepada keduapuluh lima orang itu.

   Ternyata bahwa hasilnya jauh lebih baik daripada yang telah mereka lakukan menjelang perjalanan mereka kelembah antara Gunung Merapi dan Merbabu.

   Justru dalam keadaan tenang, mereka dapat menyadap ilmu yang diberikan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya.

   Namun demikian, yang mengalir kepada anak-anak muda itu adalah sekedar ilmu ketrampilan wadag saja.

   Agung Sedayu tidak dapat memberikan lebih daripada itu, tanpa hubungan yang knusus dengan seseorang.

   Tetapi yang sekedar ketrampilan wadag itupun sudah banyak memberikan arti bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

   Mereka mengenal lebih dalam arti dari gelar-gelar perang.

   Mereka lebih banyak mengenal gelar dari maksud dan tujuannya.

   Bukan sekedar mengenal bentuk dan bagaimana mereka harus menempatkan diri.

   Tetapi arti dari setiap gerak dan susunan, sehingga gelar itu akan memberikan hasil yang setinggi-tingginya.

   "Setiap bentuk dari gelar memberikan arti tersendiri. Itulah sebabnya kita mengenal beberapa macam gelar,"

   Berkata Agung Sedayu meyakinkan.

   Dengan patuh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu memperhatikan semua petunjuk-petunjuknya.

   Dari gerak yang paling sulit didalam gelar, sampai gerak yang paling rumit didalam oleh kektrampilan secara pribadi.

   Dalam keadaan-keadaan tertentu, maka Agung Sedayu memberikan latihan-latihan seolah-olah mereka benar-benar sedang menghadapi lawan dalam gelar.

   Namun disaat lain, Agung Sedayu membiarkan anak-anak muda itu melakukan latihan perang tanding.

   Karena ketekunan anak-anak muda Sangkal Putung, maka Agung Sedayupun tidak pernah merasa jemu.

   Bahkan kadang-kadang ia melupakan kemampuan jasmaniah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu.

   sehingga ada diantara mereka yang tidak dapat lagi berbuat apa-apa oleh kelelahan.

   "Baiklah,"

   Berkata Agung Sedayu kita akan meneruskannya besok. Tetapi hari-hariku menjadi semakin pendek. Mudah-mudahan yang sedikit ini akan dapat memberikan manfaat."

   Jika kaki dan tangan anak-anak muda itu tidak serasa patah, maka mereka masih ingin meneruskan latihan-latihan itu.

   Seakan-akan mereka tidak mau berhenti dan beristirahat.

   Tetapi mereka harus menyadari, bahwa kemampuan jasmaniah mereka itu sangat terbatas.

   Selagi kawan-kawannya berkemas untuk kembali ke Tanah Perdikan, Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat seseorang berdiri diatas sebuah batu padas.

   Dengan hati yang berdebar-debar ia memandang sosok tubuh dikejauhan itu dengan saksama.

   Oleh ketajaman matanya, maka Agung Sedayupun kemudian mengenal, bahwa orang itu adalah Rudita.

   Agung Sedayu menarik nafas panjang.

   Ketika kawan-kawannya mulai meninggalkan tempat itu, ia berkata.

   "Tinggalkan aku. Aku akan segera menyusul."

   Tidak ada seorangpun yang berprasangka.

   Karena itu, merekapun segera meninggalkan tempat itu.

   Satu dua orang berjalan dengan kaki timpang oleh kelelahan.

   Bahkan ada yang terpaksa bergantung kepada kawannya.

   Tetapi mereka sama sekali tidak menjadi jemu dan jera.

   Mereka berjanji, besok mereka akan datang lagi meskipun kaki mereka masih terasa sakit.

   Demikian anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu hilang dibalik perdu, maka Rudita yang ada diatas batu-batu padas itupun berloncatan mendekati Agung Sedayu.

   Dengan mulut ternganga Agung Sedayu menyaksikan bagaimana kaki Rudita seolah-olah demikian ringannya dan sama sekali tidak meruntuhkan sebutir debupun dari padas-padas yang disetuhnya.

   Tetapi demikian Rudita berdiri diatas batu padas dihadapan Agung Sedayu, iapun berhenti.

   Berbeda dengan gerak kakinya, maka wajahnya nampak suram.

   Matanya yang redup memandang Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu.

   "Marilah. Marilah Rudita,"

   Agung Sedayu mempersilahkan.

   Rudita masih berdiri tegak ditempatnya.

   Ia seolah-olah ingin melihat langsung kedasar hati Agung Sedayu yang berdiri termangu-mangu.

   Rasa-rasanya tatapan mata Rudita itu benar-benar telah menembus dinding dadanya menggores jantung.

   Alangkah tajamnya.

   "Agung Sedayu,"

   Suara Rudita datar.

   "apakah kau berhasil memperluas pengaruh ilmumu?"

   Pertanyaan itu terasa menyobek perasaannya. Tiba-tiba saja Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

   "Jika setiap kesatria yang memiliki ilmu yang tinggi berhasil memperluas pengaruh ilmunya, maka pada suatu saat dunia ini akan penuh dengan kesatria-kesatria dan pahlawan-pahlawan."

   Rudita meneruskan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara datar ia berkata Rudita.

   "Aku kagum dengan sikap dan keyakinanmu. Tetapi ternyata bahwa dunia ini masih sangat buruknya, sehingga aku membiarkan ilmuku berkembang semakin luas, meskipun aku sadar, bahwa pengaruhnya justru akan menambah dunia ini menjadi semakin buruk. Tetapi setidak-tidaknya ada keyakinanku bahwa yang buruk itu akan dapat dipergunakan bagi yang baik, apabila hal itu disadari sepenuhnya."

   Rudita menggelengkan kepalanya. Jawabnya.

   "Kau mengharapkan yang buruk itu secara kebetulan akan berguna bagi yang baik. Seandainya hal itu dapat juga terjadi, maka alangkah lebih baik jika yang baik itulah yang akan dipergunakan bagi yang baik."

   "Rudita,"

   Jawab Agung Sedayu dunia yang telah kau hayati, adalah dunia mimpi bagi kami.

   Itulah bedanya.

   Perbedaan tingkat berpikir dan menilai hidup itulah yang membuat perbedaan diantara kita.

   Aku mengerti, bahwa nilai yang kau capai adalah nilai yang jauh lebih tinggi dari nilai-nilai kejantanan, kepahlawanan dan kekesatriaan.

   Tetapi bagi orang lain, duniapun justru merupakan dunia yang paling kabur.

   Seperti kekaburanmu memandang dunia kesatriaan dan dunia kepahlawanan."

   Rudita yang masih berdiri diatas batu padas itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Memang ada seribu alasan untuk mempertahankan kebanggaan duniawi. Alangkah nikmatnya menghayati kemenangan dengan mengorbankan sesama. Tetapi jika sekali saja kau mencoba menghayati kedamaian yang sejati, maka kau akan memandang duniamu dengan sudut pandangan yang lebih mulia."

   "Aku adalah orang yang paling menderita karena dua dunia yang terpisah itu Rudita. Satu kakiku berdiri di dunia wadag, dan satu kakiku berada didunia yang masih dalam pendambaan. Itulah sebabnya aku adalah orang yang paling kebingungan menghadapi kenyataan dan kenyataan yang bertolak dari segi penglihatan yang berbeda."

   Rudita tersenyum. Katanya.

   "Alangkah pahitnya memandang dua sasaran dengan kedua biji mata. Tetapi apakah kau akan tetap berdiri dalam duniamu yang terbelah itu Agung Sedayu. Jika kau mau, kau hanya tinggal melangkah sebelah kaki untuk meninggalkan kebanggaan yang hanya akan kau miliki sejauh jangkauan umurmu. Tetapi segera lenyap bersama lenyapnya wadagmu."

   "Aku mengerti Rudita. Tetapi itulah kelemahanku. Dan aku adalah jenis seseorang yang akan tetap berjuang sepanjang umurku untuk melangkah, tetapi selalu tidak berhasil."

   Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang semakin suram. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya.

   "Rudita. Meskipun demikian, barangkali selain ayahmu, aku termasuk orang-orang yang dapat mengerti tentang dirimu. Dan hal itu telah memberikan kebanggaan bagiku, bahwa aku telah melihat jalan yang menuju kesuatu sikap yang damai, yang dapat aku lewati kapan saja jika aku telah berhasil mengendapkan diri dan menemukan keputusan yang mapan. Namun agaknya kini aku masih terlampau liar untuk menempuh jalan itu."

   Rudita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya.

   "Baiklah Agung Sedayu. Kau masih memandang dirimu dengan tetapan mata wadagmu. Tetapi sudah barang tentu, akupun akan mencoba mengerti, seperti kau termasuk salah seorang yang mengerti tentang aku."

   Agung Sedayu termangu-mangu. Ditatapnya mata Rudita yang suram. Kemudian dengan nada rendah ia menjawab.

   "Aku adalah masih dilekati dengan debu yang belum dapat aku kibaskan. Percayalah Rudita, bahwa aku tetap sadar akan kekuranganku."

   "Keadaan tentang dirimu telah merupakan kelebihanmu dari orang lain. Mudah-mudahan kau akan tetap mengikuti jalanmu yang menurut pengakuanmu telah dapat melihat jalanku, sehingga pada suatu saat kau akan menarik kakimu melangkah memasuki jalan itu,"

   Berkata Rudita. Agung Sedayu tidak menjawab. Dengan tegang ia memandang Rudita yang sudah bersiap untuk meninggalkannya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya.

   "Rudita, apakah Ki Waskita sudah kembali?"

   "Ayah sudah pulang. Ia berada dirumah sekarang."

   "Dan kau telah meninggalkan rumah?"

   "Aku telah terbiasa dengan perjalanan-perjalanan kecil untuk satu dua hari. Ayah dan ibu tidak berkeberatan dengan perjalanan-perjalanan pendek itu. Apalagi ketika aku mengatakan bahwa aku akan menjumpaimu."

   "O,"

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   "jika demikian, marilah. Singgahlah di rumah paman Argapati."

   Tetapi Rudita menggeleng. Katanya.

   "Lain kali Agung Sedayu. Aku akan meneruskan perjalanan melihat-lihat keadaan. Satu dua orang yang dianggap dungu oleh orang lain, nampaknya dapat mendengarkan pendapatku Dan aku merasa senang berada diantara mereka. Seperti aku, kadang-kadang mereka dihadapkan pada kebingungan dan kebimbangan yang seakan-akan tidak teratasi. Itulah sebabnya, maka kami sering saling bertemu untuk memperkuat keyakinan diri, karena bagaimanapun kami adalah orang-orang yang lemah hati."

   Agung Sedayu terkejut.

   Ternyata ada satu dua orang yang lebih jauh melangkah dari padanya, mendekati diri pada sikap Rudita.

   Namun demikian.

   Agung Sedayu pun masih harus mengakui tentang dirinya sendiri, bahwa jalan yang dilalui Rudita adalah jalan yang rumpil dan berkerikil tajam, sehingga hanya orang-yang terlatih sajalah yang akan dapat mengikutinya.

   Sehingga orang bernada rendah ia berguman perlahan,"

   Aku masih belum terpanggil untuk mengikutinya."

   Dalam pada itu Rudita benar-benar tidak ingin singgah dirumah Ki Gede Menoreh. Betapa Agung Sedayu mencoba mengajaknya. Bahkan kemudian katanya.

   "Sudahlah Agung Sedayu. Aku minta diri. Mungkin hati kita masih dibatasi oleh selapis kabut, sehingga kita masih harus berdiri pada jarak tertentu."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Mudah-mudahan jarak itu akan dapat segera aku seberangi."

   Rudita tersenyum.

   Namun iapun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang masih berdiri tegak ditempatnya.

   Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu.

   Ia memandang Rudita yang berloncatan dari batu kebatu yang berserakkan ditebing, seolah-olah dengan sengaja ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa iapun memiliki ketrapilan yang jarang dikuasai oleh orang lain.

   Namun demikian, ia tetap pada sikapnya yang mendekatkan diri pada nafas damai betapapun masih dalam ukuran kelemahan seseorang.

   Ketika Rudita hilang dari tangkapan matanya, maka Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam.

   Ia mengerti, bahwa Rudita sangat kecewa terhadapnya.

   Dan iapun mengerti, bahwa Rudita mempunyai penilaian yang takut kepadanya.

   Justru kesadaran dimana berdiri, maka Agung Sedayu akan mengalami banyak kesulitan-kesulitan untuk melangkah masuk kedalam sikap yang diharapkan oleh Rudita.

   Berbeda dengan orang lain yang tidak mengerti sama sekali tentang dirinnya.

   Maka sikap Rudita tidak lagi menjadi persoalan yang diperhitungkan dengan nalar, seperti orang menghitujig kekuatan gelar lawan dimedan perang.

   Denga kepala tunduk Agung Sedayu kemudian melangkah menyusul kawan-kawannya yang telah mendahuluinya.

   Disepanjang jalan ia tidak henti-hentinya menilai dirinya sendiri.

   Seorang yang lemah hati dan membiarkan jiwanya terumbang -ambing.

   Dalam perjalanan kembali ke induk pedukuhan di Tanah Perdikan Menoreh itu.

   Agung Sedayu merasa bahwa sepasang mata selalu mengamatinya.

   Semula ia menduga, bahwa Rudita justru mengikutinya dari jarak tertentu.

   Tetapi ternyata kemudian bahwa yang mengikutinya bukan Rudita.

   Denga cerdik Agung Sedayu melintasi jalan padukuhan.

   Namun disudut desa ia tidak berjalan terus.

   Ia justru berdiri bersandar dinding batu sambil menunggu seseorang.

   Tetapi agaknya orang yang ditunggunyapun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mengikuti Agung Sedayu terus.

   Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak dapat menjumpai orang itu ditikungan.

   Meskipun demikian Agung Sedayu sudah dapat memperhitungkan.

   Ada semacam sentuhan-sentuhan lembut pada perasaannya.

   Dengan mata hatinya seolah-olah ia dapat melihat orang yang mengamatinya dari kejauhan itu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tentu Prastawa,"

   Katanya didalam hati. Rudita tidak akan berbuat demikian. Ia akan datang dari depan dan pergi setelah minta diri."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Namun hal itulah yang agaknya telah mendorongnya untuk segera meninggalkan tanah Perdikan itu.

   Meskipun Agung Sedayu mengerti, bahwa Ki Gede Menoreh sama sekali tidak berkeberatan atas kehadirannya, namun agaknya Prastawa mempunyai penilaian tersendiri atas dirinya.

   Penilaian yang tidak dapat ditafsirkannya dengan tepat, sehingga ia harap menduga-duga saja.

   Namun demikian, rasa-rasanya ada juga pendekatan dengan tanggapan Prastawa yang sebenarnya terhadap Agung Sedayu betapapun samarnya.

   Itulah sebabnya, maka dalam pertemuan yang berikutnya di pendapa rumah Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu mulai menyebut-nyebut rencana perjalanannya kembali ke Jati Anom, ke padepokan kecilnya yang sebenarnya memang mulai dirindukannya.

   Terutama kehadiran adik sepupunya dipadepokan itu justru atas permintaannya.

   Glagah Putih tentu sudah menunggu-nunggu.

   Jika ia menjadi jemu, maka ia tentu akan meninggalkan padepokan itu berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   Tetapi agaknya ia masih terikat pada latihan-latihan yang diberikannya kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh.

   Ia masih harus menutup latihan-latihan yang diadakannya, sehingga dengan demikian, maka ia secepat-cepatnya masih harus berada di Tanah Perdikan itu selama tiga atau empat hari lagi.

   Dan yang tiga atau empat hari lagi itu rasa-rasanya menjadi berbulan-bulan.

   "Selesaikanlah,"

   Berkata Ki Argapati.

   "yang kau berikan kepada anak-anak muda akan sangat bermanfaat bagi mereka."

   "Tetapi bukankah Prastawa akan dapat melanjutkan pembinaan anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh? "

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Ia memang mempunyai kelebihan. Tetapi ia masih terlalu muda untuk memberikannya kepada orang lain. Ia masih terlalu dipengaruhi oleh kemudaannya dan sifat-sifatnya untuk berdiri lebih tinggi dari kawan-kawannya."

   Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh begitu saja, sehingga betapapun beratnya, ia terpaksa tinggal di Tanah Perdikan itu lebih lama lagi.

   "Tiga hari lagi latihan-latihan ini akan berakhir,"

   Berkata Agung Sedayu kepada kawan-kawannya di Tanah Perdikan Menoreh saat ia berada di tempat latihan.

   "Kenapa kau tidak memberikan latihan-latihan pada tingkat yang lebih tinggi,"

   Bertanya seseorang diantara anak-anak muda itu.

   "Sayang,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "bukan aku berkeberatan. Tetapi aku harus kembali kepadepokanku yang sudah terlalu lama aku tinggalkan."

   Anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat memaksa.

   Karena itulah, maka merekapun telah memanfaatkan hari-hari terkhir itu dengan sebaik-baiknya.

   Dalam pada itu, ketika latihan-latihan sedang berlangsung di daerah terbuka, dikaki pegunungan itu, maka Agung Sedayu merasa bahwa seseorang kembali telah mengamatinya.

   Tetapi ia yakin, bahwa orang itu teatu bukan Rudita.

   Dan itupun ternyata kemudian, bahwa yang datang ketempat latihan itu adalah Prastawa.

   Sambil tersenyum ia berjalan mendekati Agung Sedayu yang termenung memandanginya.

   Tetapi Agung Sedayupun mengerti, bahwa senyum Prastawa bukannya senyum yang menyenangkan hatinya, karena Agung Sedayu dapat membaca perasaan yang tersirat dibalik senyum Prastawa itu.

   "Luar biasa,"

   Katanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   "Aku minta maaf kepadamu Agung Sedayu. bahwa setelah latihan-latihanmu berjalan beberapa hari, baru sekarang aku dapat hadir di kaki perbukitan ini."

   Agung Sedayupun mencoba untuk tersenyum. Katanya.

   "Aku hanya sekedar mengisi waktu selagi aku berada disini dengan berlatih bersama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh."

   "O. bagus sekali,"

   Sahut Prastawa.

   "seharusnya sejak hari pertama akupun ikut pula dalam latihan-latihan ini."

   "Aku kira kau tidak memerlukannya lagi Prastawa,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "Kenapa tidak? "

   Potong Prastawa.

   "bukankah menurut berita yang sama-sama kita dengar, kau adalah orang yang paling berhasil didalam peperangan itu? Kau berhasil membunuh orang-orang terpenting, dan kemudian mengusir dan melukai yang lain."

   "Ah,"

   Desis Agung Sedayu.

   "sudah berapa kali kau mengatakannya. Tetapi seperti yang selalu aku katakan, semuanya itu terjadi bukan karena kemampuanku sendiri. Aku bertempur bersama para pengawal. Dan sudah tentu bahwa merekalah yang telah ikut serta menentukan akhir dari pertempuran itu."

   Prastawa tertawa. Katanya.

   "Kau memang seorang yang rendah hati. Tetapi kerendahan hatimu itu tentu mengandung maksud-maksud tertentu."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Prastawa dengan penuh kebimbangan.

   "Agung Sedayu,"

   Berkata Prastawa kemudian.

   "meskipun aku sudah ketinggalan, namun sebenarnyalah aku ingin ikut serta dalam latihan-latihan ini. Barangkali kau yang sudah memiliki kemampuan setingkat dengan orang-orang tua itu bersedia memberikan sedikit kemampuan itu kepadaku."

   "Ah,"

   Desis Agung Sedayu.

   "tentu tidak mungkin. Aku berlatih bersama dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dalam ilmu kanuragan yang bersifat sangat umum. Tata gerak dasar dan peningkatannya dalam olah senjata. Kemudian sedikit tentang ilmu gelar dan tata cara serta beberapa segi pemanfaatan dari sifat-sifat gelar itu. Sedangkan kau sudah barang tentu telah menyadap ilmu kanuragan yang khusus dari salah satu cabang perguruan, sehingga caramu berlatihpun tentu mempunyai kekhususan."

   "Meskipun demikian, apakah salahnya, jika kau memberikan petunjuk-petunjuk yang dapat memberikan kesempurnaan pada ilmuku."

   Agung Sedayu memandang Prastawa dengan tatapan mata yang mengandung kecemasan.

   Ia memang sudah menduga, bahwa pada suatu saat Prastawa akan datang kepadanya.

   Tetapi yang sebenarnya terkandung didalam hati anak muda itu tentu bukan sekedar berlatih bersama, tetapi Prastawa tentu ingin menjajagi ilmunya yang diragukan oleh anak muda itu.

   Karena itu, kegelisahan yang sangat justru telah mencengkam hati Agung Sedayu.

   "Kenapa kau termenung? "

   Bertanya Prastawa. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya.

   "Tentu tidak mungkin Prastawa. Kau adalah seseorang yang memiliki ilmu kanuragan dari cabang perguruan yang berdiri tegak dengan ciri-ciri dan pertandanya sendiri. Apalagi kau adalah seorang anak muda yang sudah berilmu tinggi. Belum tentu dalam tataran ilmu kanuragan sesuai dengan cabang ilmu kita masing-masing, aku memiliki kelebihan darimu, sehingga sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat memberikan apapun juga kepadamu."

   Prastawa mengerutkan keningnya.

   Ia tidak menduga bahwa Agung Sedayu akan menghindari permintaannya.

   Ia menyangka bahwa Agung Sedayu akan menerima permintaannya dan mereka berdua akan berlatih bersama.

   Namun bagi Prastawa, yang akan dilakukannya bukan sekedar berlatih bersama, tetapi untuk menjajagi apakah benar bahwa Agung Sedayu mampu membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.

   "Agung Sedayu,"

   Berkata Prastawa kemudian.

   "betapapun juga, kita akan dapat berlatih bersama. Bahkan barangkali kau akan dapat memberikan banyak petunjuk kepadaku, seperti kepada kawan-kawanku disini."

   Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya.

   "Tidak Prastawa. Itu tidak mungkin. Belum tentu ilmuku lebih baik dari ilmumu. Karena itu, biarlah kita meningkatkan ilmu kita masing-masing pada saluran yang seharusnya."

   Wajah Prastawa menegang. Tetapi ia masih mencoba menahan diri, Katanya.

   "Jangan mengelak Agung Sedayu. Kita hanya berlatih bersama."

   Agung Sedayu menjadi semakin tegang. Teringat olehnya apa yang pernah dilakukan oleh Swandaru atas Raden Sutawijaya. Kemudian Raden Sutawijayapun pernah memaksanya untuk menjajagi kemampuannya. Tetapi saat itu ia dapat mengelak.

   "Bagaimana jika Prastawa memaksa? "

   Bertanya Agung Sedayu didalam hati. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Prastawa mendesaknya.

   "Kenapa kau diam saja? Marilah. Biarlah kawan kawan yang ada disini menyaksikan apa yang sedang kita lakukan."

   Namun Agung Sedayu masih tetap menggeleng. Jawabnya.

   "Tidak Prastawa. Aku tidak sanggup. Aku akan berlatih saja bersama kawan-kawan yang lain."

   Prastawa mengatupkan giginya rapat-rapat.

   Agaknya ia sedang menahan gejolak perasaannya.

   Sebenarnyalah bahwa Prastawa sudah menunggu kesempatan seperti itu.

   Ia ingin menunjukkan kepada kawan-kawannya, bahwa Agung Sedayu bukan seorang yang memiliki ilmu setinggi dataran langit yang tidak terjangkau.

   Tetapi bahwa Agung Sedayu selalu mengelak, telah sangat mengecewakannya.

   Dengan demikian, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh akan tetap mengira bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang luar biasa.

   Yang telah berhasil membinasakan Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti dan orang-orang lain yang namanya sangat dita kuti.

   "Tentu ada sebab-sebabnya yang menguntungkannya,"

   Berkata Prastawa didalam hatinya.

   Dalam pada itu, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menorehpun menjadi termangu-mangu.

   Sebagian dari mereka, justru ingin melihat kedua anak muda itu saling menjajagi kemampuatmya.

   Prastawa yang masih sangat muda itu adalah kemanakan Ki Argapati yang perkasa, yang mewarisi dasar-dasar ilmu dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu.

   Sedangkan Agung Sedayu bagi mereka bahkan nampak lebih jelas memiliki kemampuan yang luar biasa.

   "Sekali-sekali Prastawa harus mendapat pelajaran,"

   Berkata salah seorang dari anak-anak itu didalam hati.

   Bahkan beberapa orang yang lainpun menjadi kurang senang melihat sikap Prastawa, sehingga merekapun berharap, bahwa Agung Sedayu akan melayaninya berlatih bersama, dan menundukkan anak muda yang sombong itu.

   Tetapi ternyata Agung Sedayu bersikap lain.

   Seperti pada saat-saat Raden Sutawijaya bersikap kasar terhadapnya, ketika Senapati Ing Ngalaga itu mengunjungi padepokan kecilnya, maka Agung Sedayu masih tetap berhasil menguasai perasaannya.

   "Agung Sedayu,"

   Prastawa mendesaknya.

   "seharusnya kau tidak mengelak. Setiap orang menyebut namamu sebagai seorang anak muda yang luar biasa. Yang berhasil menarik perhatian hampir seluruh pasukan, seolah-olah kaulah orang yang paling berhasil didalam peperangan itu."

   "Apakah yang telah aku lakukan? "

   Justru Agung Sedayulah yang bertanya.

   "aku bertempur bersama para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak berbuat sendiri. Karena itu, maka yang telah terjadi adalah karena perjuangan kita bersama.

   "Persetan,"

   Prastawa telah kehilangan kesabarannya.

   "apapun yang terjadi, dan apapun yang kau katakan, sekarang kau harus membuktikan, bahwa kau benar-benar seorang laki-laki jantan. Aku ingin menjajagi apakah benar kau berhak menerima sanjungan yang berlebih-lebihan itu."

   Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar.

   Iapun memang sudah mencemaskan, bahwa pada suatu saat sikap Prastawa akan menyudutkannya.

   Namun Agung Sedayupun kemudian justru bertekad untuk tidak melayaninya, apapun yang akan dilakukan oleh Prastawa yang sudah kehilangan kesabaran itu.

   Dalam pada itu, dada Prastawa meaijadi semakin panas.

   Rasa-rasanya ia sudah ingin meloncat menghantam dada Agung Sedayu.

   Namun nampaknya sikap Agung Sedayu masih tetap tidak menanggapinya.

   Agung Sedayu sama sekali tidak bersiap-siap mesighadapi kemungkinan yang dapat terjadi jika Prastawa benar-benar hendak menyerangnya.

   "Aku pernah menghindari peristiwa seperti ini saat Raden Sutawijaya menginjakkan kakinya untuk pertama kali di padepokanku,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Setengah mengeluh ia berdesah bagi dirinya sendiri.

   "Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini sampai berulang."

   Karena Agung Sedayu masih tetap berdiam diri, maka Prastawapun kemudian membentaknya.

   "He, Agung Sedayu. Kenapa kau diam saja? Apakah kau merasa dirimu sedemikian agung sehingga kau merasa tidak pantas mendengarkan kata-kataku?"

   "Prastawa,"

   Jawab Agung Sedayu.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "jangan salah mengerti. Aku benar-benar menjadi bingung menanggapi sikapmu. Aku kira aku tidak akan dapat memenuhi keinginanmu, bukan karena aku merasa diriku sangat berharga. Tetapi karena semata-mata aku mempunyai pertimbangan yang mapan dalam menilai diriku sendiri. Kita sama-sama anak muda. Dan aku kira, apa yang ada padaku, tidak jauh berselisih dari yang ada padamu. Karena itu, aku kira, kita tidak perlu saling menjajagi."

   "Aku tidak peduli,"

   Teriak Prastawa.

   "aku akan mulai."

   Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.

   Ia benar-benar menjadi bimbang.

   Terhadap Sutawijaya ia dapat dengan tekad bulat tidak berbuat sesuatu meskipun anak muda yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu menantangnya, bahkan hampir menyerangnya, karena ia percaya bahwa Raden Sutawijaya tidak akan kehilangan nalarnya.

   Tetapi mungkin agak berbeda dengan Prastawa.

   Anak muda ini masih terlalu dipengaruhi oleh perasaannya.

   Namun demikian, tidak terlintas niatnya untuk melawan seandainya Prastawa itu menyerangnya.

   Dalam kebimbangan itu terdengar sekali lagi Prastawa membentak.

   "Agung Sedayu. Aku tidak peduli, apakah kau tetap menganggap aku tidak cukup bernilai untuk menjajagi kemampuanmu. Tetapi aku akan menyerang, dan jika bagian-bagian tubuhmu yang paling lemah tersentuh oleh seranganku, dan akibatnya membuatmu menyesal, itu bukan salahku."

   Agung Sedayu masih termangu-mangu.

   Namun dalam pada itu, kegelisahan yang sangat telah mencengkam anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

   Sikap Prastawa telah menumbuhkan tanggapan yang aneh didalam hati anak-anak muda itu.

   Jika semula mereka tertarik untuk menyaksikan latihan yang tentu akan sangat mendebarkan, namun kemudian perasaan mereka telah terbanting kedalam keadaan yang tidak mereka duga.

   Ternyata bahwa Agung Sedayu telah mengelak.

   Semula anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi kecewa, karena mereka tidak dapat menyaksikan latihan yang sangat menarik dari kedua anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari sesamanya.

   Namun kemudian mereka melihat perbedaan sikap antara Agung Sedayu dan Prastawa.

   Agung Sedayu yang selalu menghindar itu justru menimbulkan kesan yang lebih baik dari Prastawa yang selalu mendesak dan bahkan mengancam.

   Dalam keadaan yang menjadi semakin panas, tiba-tiba saja salah seorang dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lebih tua dari kawan-kawannya memberanikan diri untuk bertanya.

   "Prastawa. Apakah kau tidak dapat menunda niatmu untuk berlatih bersama Agung Sedayu sekarang ini ?"

   Wajah Prastawa menjadi semakin tegang. Dipandanginya anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tatapan mata yang tajam.

   "Aku minta maaf, bahwa barangkali pertanyaanku telah mengganggu perasaanmu,"

   Anak muda yang sudah berumur lebih banyak dari kawan-kawannya itu melanjutkan.

   "tetapi aku melihat sesuatu yang tidak bertemu saat ini antara kau dan Agung Sedayu. Agaknya kau benar-benar berminat untuk berlatih bersama Agung Sedayu. Tetapi nampaknya Agung Sedayu masih belum siap untuk melakukannya."

   Sorot mata Prastawa justru semakin membara. Dengan kasar ia menjawab.

   "Itu adalah karena sikap gila anak Sangkal Putung itu. Ia merasa dirinya terlampau besar, sehingga ia menganggap aku seperti debu yang tidak pantas untuk dilayani."

   "Kau salah paham Prastawa,"

   Desis anak muda itu.

   "menurut pendapatku, ada keseganan pada Agung Sedayu untuk melakukan latihan khusus denganmu sekarang. Mungkin kamilah yang telah mengganggu, atau barangkali karena sebab-sebab lain."

   "Persetan,"

   Geram Prastawa.

   "kau tidak usah ikut campur. Justru kau dan kawan-kawanmulah yang aku harapkan akan dapat menjadi saksi sekarang ini. Apakah benar bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu seperti yang disangka orang, yang mampu melampaui kemampuan orang-orang terpenting dalam pasukan orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu."

   Anak muda itupun menarik nafas dalam-dalam.

   Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itupun menyadari, bahwa ternyata Prastawa merasa kurang yakin bahwa Agung Sedayu benar-benar telah berhasil mengejutkan para pengawal bahkan para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh, dari Mataram dan dari Sangkal Putung.

   Namun dalam pada itu.

   Agung Sedayu mengeluh didalam hati.

   Bahkan ia berdesah didalam dadanya.

   "Apakah jika aku sampai di Sangkal Putung, Swandarupun akan memperlakukan aku seperti ini ?"

   Namun dengan suara yang berat mendatar ia berkata kepada anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

   "Prastawa telah salah paham. Aku sudah mengatakan, bahwa aku bukan apa-apa. Jika ada orang-orang yang terbunuh dipeperangan, tentu bukan aku sendirilah yang membunuhnya, karena aku bertempur didalam kelompok-kelompok yang padat. Selebihnya, aku telah bertekat untuk tidak berbuat apa-apa, meskipun akan mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga."

   "Pengecut,"

   Teriak Prastawa. Sedangkan jawab Agung Sedayu benar diluar dugaannya.

   "Benar Prastawa. Mungkin aku memang seorang pengecut."

   Rasa-rasanya dada Prastawa akan meledak.

   Tetapi dalam keadaan yang demikian, dihadapan saksi-saksi, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

   Ia tidak dapat menyerang dan apalagi menyakiti Agung Sedayu yang sudah mengatakan, tidak akan melawan.

   Bahkan iapun tidak menolak ketika Prastawa berusaha membuatnya marah dan mengatakannya sebagai seorang pengecut.

   Karena itu, yang dapat dilakukan Prastawa hanyalah mengumpat tidak habis-habisnya.

   Sekali-sekali ia masih melontarkan hinaan untuk membakar hati Agung Sedayu.

   Tetapi Agung Sedayu tetap tabah.

   Ia selalu berusaha untuk menguasai dirinya seperti saat-saat ia mengalami perlakuan yang hampir sama dari Raden Sutawijaya.

   Dalam pada itu, Prastawa yang merasa tidak berhasil memaksa Agung Sedayu untuk bertempur, menggeram.

   "Mudah-mudahan tidak kau ajarkan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sifat-sifat pengecutmu itu."

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   "Tetapi pada suatu saat, aku akan membuktikan, bahwa kau bukan orang yang pantas disanjung-sanjung. Sekarang kau masih dapat mempertahankan namamu dengan menghindarkan diri dari pembuktian bahwa sebenarnya kau tidak lebih dari aku dan anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Bahkan kau berhasil memberikan kesan yang lebih tinggi lagi pada dirimu sendiri, seolah-olah kau adalah orang yang mumpuni tetapi rendah hati. Sebenarnyalah bahwa kau memang sedang menyembunyikan kekurangan-kekuranganmu."

   Geram Prastawa.

   Agung Sedayu tetap tidak menjawab.

   Ia benar-benar berusaha menghindarkan diri dari kemungkinan yang sama sekali tidak diingininya itu.

   Karena Agung Sedayu tetap tidak menanggapinya, maka akhirnya Prastawa itu berkata dengan nada kasar.

   "Jika demikian, sebaiknya kau tidak terlalu lama berada disini Agung Sedayu. Kau hanya akan mengotori Tanah Perdikan Menoreh dengan sifat-sifat licik dan pengecut. Jika kau masih saja berada disini, mungkin pada suatu saat aku benar-benar kehilangan kesabaran dan memaksamu untuk bukan saja sekedar berlatih, tetapi benar-benar berkelahi, karena jangan kau kira bahwa dengan sikap besarmu yang pura-pura itu aku menjadi segan kepadamu."

   Rasa-rasanya jantung Agung Sedayu berdentang lebih keras.

   Betapapun juga, darahnya adalah darah muda.

   Namun ia masih tetap bertekad untuk tidak melayani Prastawa, apapun yang akan diperbuatnya.

   Dalam kepepatan, Prastawapun kemudian menghentakkan tinjunya.

   Namun iapun kemudian melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

   Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu.

   Dipandanginya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang masih tetap tinggal bersamanya.

   Meskipun demikian, rasa-rasanya memang ada jarak antara dirinya dengan anak-anak muda itu justru karena sikap Prastawa.

   Anak-anak muda itu pada saat-saat selanjutnya akan tetap berada dibawah pimpinan Prastawa.

   Jika kehadirannya akan dapat memberikan kesan yang lain terhadap Prastawa, atau jika pada suatu saat Prastawa berhasil meyakinkan sikapnya kepada anak-anak muda itu, maka ia memang akan menjadi orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh.

   Karena itu, maka selagi masih ada kesempatan, ia ingin meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan baik dan tanpa kesan yang dapat menodai hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya.

   Ketika Prastawa telah tidak nampak lagi.

   maka Agung Sedayupun kemudian berkata.

   "Aku minta maaf, bahwa barangkali sikapku memang tidak menyenangkan."

   Tetapi anak muda yang umurnya paling tua itupun berkata.

   "Tidak Agung Sedayu. Kau tidak bersalah."

   Meskipun demikian.

   Agung Sedayu tidak berani menanggapinya.

   Jika ia menyebut kekurangan Prastawa, maka mungkin ia akan justru terjebak dalam keadaan yang sulit.

   Jika anak itu pada suatu saat menemukan kecocokan dengan Prastawa, maka semuanya tentu akan disampaikannya kepada anak muda yang tinggi hati itu.

   Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu tetap berhati-hati.

   Bahkan kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia berkata.

   "Kawan-kawan, agaknya aku memang harus meninggalkan. Tanah Perdikan ini dengan segera."

   "Tetapi kau berjanji untuk tinggal di sini tiga hari lagi,"

   Sahut anak muda yang lain.

   "tiga hari itu saja. Tetapi agaknya keadaanku tidak sebaik yang aku sangka. Pada suatu saat mungkin akan dapat timbul persoalan-persoalan yang tidak kita kehendaki bersama."

   Agung Sedayu termangu-magu sejenak. Namun kemudian ia melanjutkan.

   "Karena itu. apa yang sudah aku sampaikan kepada kalian akan dapat kalian kembangkan sendiri."

   Besok pagi-pagi benar, aku akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kembali ke Sangkal Putung, untuk seterusnya kepadepokan kecilku. Adikku tentu sudah lama menunggu. Apalagi jika ia mengetahui bahwa guru sudah lebih duhulu kembali."

   Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sebenarnya masih ingin menahannya.

   Tetapi merekapun menyadari, bahwa hubungan antara Agung Sedayu dan Prastawa yang masih sangat muda itu agaknya kurang baik.

   Meskipun mereka tidak tahu sebabnya dengan pasti.

   Ada diantara mereka yang meraba-raba.

   bahwa hubungan itu sudah terlalu buruk sejak ayah Prastawa masih bersikap menentang kekuasaan Ki Gede Menoreh.

   Tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa Prastawa menjadi iri hati atas keberhasilan Agung Sedayu.

   Karena itulah, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak berusaha lagi untuk menahan Agung Sedayu.

   Betapapun keinginan mereka untuk mendapat sekedar tambahan petunjuk-petunjuk tentang kanuragan dan gelar perang, namun mereka tidak dapat mengesampingkan sikap Prastawa, sehingga Agung Sedayu harus menahan hati.

   Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang justru menjadi cemas, apakah Prastawa justru tidak mempergunakan kesempatan perjalanan Agung Sedayu yang seorang diri kembali kepadepokan kecilnya.

   Jika hati Prastawa masih tetap panas, maka ia akan dapat berbuat diluar sadarnya disaat Agung Sedayu diperjalanan.

   Buku 112 DEMIKIANLAH.

   maka Agung Sedayupun kemudian menghadap Ki Gede Menoreh ketika ia berada kembali di rumah Ki Gede itu.

   Rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, meskipun hanya semalam.

   Hatinya menjadi berdebar-debar ketika Prastawapun kemudian hadir pula menemuinya dipendapa.

   Sekaligus Agung Sedayu sempat memandang wajah anakmuda yang buram itu.

   Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak ingin mengatakan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa sikap Prastawalah yang telah memaksanya mempercepat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

   Semula Ki Gede Menoreh berusaha untuk menahannya.

   Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu sendiri, ia masih akan tinggal untuk dua tiga hari lagi.

   Namun tiba-tiba saja ia telah merubah keputusannya dan kembali ke Kademangan Sangkal Putung.

   Tetapi Agung Sedayu tidak lagi merubah niatnya.

   Dengan nada datar ia berkata.

   "Guru tentu sudah menunggu aku. Bahkan mungkin guru menjadi gelisah. Sedangkan dipadepokan kecil yang akan bangun bersama guru, adikku telah menunggu aku pula. Akulah yang menbawanya kepadepokan kecil itu. sehingga jika aku terlalu lama pergi, mungkin ia akan merasa jemu tinggal dipadepokan itu."

   Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya.

   "Kerinduan memang kadang-kadang bagaikan memanggil kita untuk segera datang. Apalagi kerinduan rangkap seperti angger Agung Sedayu. Adiknya memang sudah lama menunggu. Tetapi selain adiknya, tentu masih ada lagi yang menunggunya."

   Anak-anak muda yang ada dipendapa itupun tersenyum.

   Namun berbeda dengan mereka, wajah Prastawa menjadi merah.

   Terasa sesuatu bagaikan melonjak didalam dadanya.

   Tiba-tiba saja wajah Sekar Mirah telah membayang didalam angan-angannya.

   Ia sadar sepenuhnya, bahwa antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah terjalin suatu ikatan batin.

   Namun rasa-rasanya ia tidak ikhlas mendengar kedua-duanya itu dihubung-hubungkan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

   Tetapi Prastawa masih dapat menahan hatinya, ia berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya.

   Bagaimanapun juga ia masih tetap sadar bahwa ia tidak akan dapat berdiri diantara kedua nama yang sudah bertaut itu.

   Demiklanlah, maka Ki Gede tidak dapat menahan lagi agar Agung Sedayu tetap tinggal di Tanah Perdikan Menoreh meskipun hanya untuk dua tiga hari lagi.

   Karena itulah maka iapun kemudian hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kehadirannya di Tanah Perdikan menoreh dan berada didalam pasukan para pengawal Tanah Perdikan itu saat-saat mereka berada dilembah yang gawat antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selebihnya Agung sedayu telah manberikan banyak petunjuk bagi para pengawal baik secara pribadi maupun sebagai kelomnok dalam gelar perang.

   Malam menjelang keberangkatan Agung Sedayu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh berkumpul dipendapa rumah Kepala Tanah Perdikannya.

   Mereka ingin mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu atas segalanya yang pernah ia berikan bagi Tanah Perdikan itu.

   Hampir semalam suntuk Agung Sedayu justru tidak dapat tidur.

   Sampai menjelang fajar.

   masih ada anak-anakmuda yang duduk dipendapa.

   Namun Ki Gedelah yang kemudian mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat, meskipun hanya sebentar.

   Prastawa yang melihat sambutan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh kepada Agung Sedayu merasa jantungnya semakin bergejolak.

   Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, Ki Gede Menoreh seakan-akan memberikan tempat yang amat baik bagi Agung Sedayu di Tanah Perdikan itu, sehingga hampir-hampir melupakannya.

   Meskipun Ki Gede sudah nampak memberikan kepercayaan kepadanya terutama saat pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada dilemhah antara Gunung Merapi dan Merbabu, namun Ki Gede menjadi sangat berbangga kepada Agung Sedayu.

   "Secara kebetulan Agung Sedayulah yang telah menjumpai orang-orang tua yang tidak memiliki kelebihan apapun juga itu, sehingga karena itulah maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menganggap bahwa Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa,"

   Geram Prastawa didalam hatinya. Ketika Matahari kemudian terbit di Timur, maka Agung Sedayupun telah berkemas. Ia masih sempat tidur meskipun hanya sejenak, sehingga tubuhnya terasa men jadi segar.

   "Aku akan singgah barang sejenak di Mataram,"

   Berkata Agung Sedayu kepada Ki Gede ketika ia sudah siap untuk berangkat.

   "Salamku buat Senapati Ing Ngalaga, serta Ki Juru Martani dan para pemimpin di Mataram,"

   Berkata Ki Gede M enoreh.

   "Baiklah Ki Gede. Aku akan menyampaikannya,"

   Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu sekali lagi minta diri kepada Ki Gede dan para bebahu di Tanah Perdikan Menoreh.

   Anak-anak mudapun banyak pula yang hadir dihalaman rumah Ki Gede untuk melepas Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu.

   Betapapun geramnya hati Prastawa, namun ia berada juga diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan melepas Agung Sedayu sampai keregol halaman.

   "Dua orang pengawal akan mengawaninya sampai ketepi sungai Praga,"

   Berkata Ki Gede.

   "Ah. terima kasih Ki Gede, Agaknya hanya akan merepotkan mereka saja. Biarlah aku berjalan sendiri."

   "Bukan untuk mengawal,"

   Berkata Ki Gede.

   "mereka tidak ada gunanya bagimu. Tetapi sekedar menjadi kawan berbincang disepanjang jalan sampai ketepi Sungai."

   Agung Sedayu tidak dapat menolak.

   Karena itu, maka diperjalanannya ia disertai dua orang pengawal yang dapat menjadi kawan bercakap-cakap disepanjang jalan sampai ketepi Kali Praga.

   Sebenarnya terasa berat juga hati Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu.

   Ada sesuatu yang rasa-rasanya mengikatnya diatas Tanah Perdikan itu, meskipun sebenarnya ia tidak mempunyai banyak sangkut paut dengan Tanah itu.

   Ia orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh meskipun ia sudah mengenalnya dengan baik seperti ia mengenal tempat tinggalnya sendiri.

   Telah menjadi keputusan Agung Sedayu, bahwa ia akan singgah di Mataram meskipun hanya sejenak.

   Ia ingin bertemu dengan Raden Sutawijaya dan melihat perkembangan keadaan setelah beberapa hari mereka menyelesaikan tugas mereka dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

   Dalam pada itu, disepanjang jalan, para pengawal yang mengantarkan Agung Sedayu masih memanfaatkan pertemuan mereka yang hanya tinggal sejenak itu.

   Mereka bertanya tentang berbagai hal mengenai bentuk-bentuk gelar dimedan dan mengenai jenis-jenis senjata dan penggunaannya.

   Agung Sedayu mencoba untuk menjawab semua pertanyaan mereka, meskipun kadang-kadang ia sendiri terpaksa menggelengkan kepalanya sambil berkata.

   "Maaf, aku tidak mengerti. Aku belum pernah melihat jenis senjata yang kau tanyakan."

   Perjalanan Agung Sedayu ternyata tidak terlampau panjang ketika kemudian ia mencapai tepi Kali Praga. Dengan hati yang berat maka iapun kemudian minta diri kepada kedua pengawalnya untuk turun ke getek yang akan membawanya menyeberang.

   "Selamat jalan Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau tidak lama lagi sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh pula,"

   Berkata salah seorang pengawal yang menemuinya. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Mudah-mudahan. Aku memang ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku ingin membawa adik sepupuku berjalan-jalan menyusur jalan yang agak panjang agar ia dapat mengenal lingkungannya."

   "Benar ? Bawalah adikmu ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede tentu akan senang sekali menerimanya."

   Agung Sedayu tersenyum. Namun katanya kemudian.

   "Sudahlah. Selamat tinggal."

   "Kedua pengawal itupun melepaskan Agung Sedayu menyeberang diatas sebuah rakit bambu. Sejenak keduanya masih berdiri ditepian sambil melambaikan tangan. Agung Sedayupun melambaikan tangannya pula. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu seolah olah sudah menjadi saudara-saudaranya yang dekat. Namun akhirnya kedua pengawal itupun meninggalkan tepian. dan berkuda kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

   "Aku tidak dapat mengerti sikap Prastawa,"

   Desis salah seorang dari mereka.

   "Mungkin ia meragukan keunggulan Agung Sedayu,"

   Jawab yang lain.

   "Jika ia hanya meragukan, itu masih lebih baik daripada jika sebenarnya ia merasa iri atas keberhasilan Agung Sedayu,"

   Desis kawannya.

   Yang lain tidak menjawab.

   Namun nada umumnya memang ada kesan yang kurang baik terhadap anak muda itu.

   Anak muda yang sebenarnya mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya.

   Tetapi sikapnya dan tingkah lakunya telah menumbuhkan kegelisahan diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh.

   Bahkan bukan saja anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, karena akhirnya yang terjadi itu sampai juga ketelinga Ki Gede.

   Beberapa orang anak muda tidak dapat menahan hatinya, dan disaat Prastawa tidak menghadap Ki Gede, anak-anak muda itu telah menanyakan apakah sebabnya Prastawa bersikap demikian.

   Tetapi senerti anak-anak muda itu, Ki Gede Menorehpun hanya dapat meraba-raba.

   karena iapun tidak tahu pasti apa yang terkandung didalam hati anak muda itu.

   Namun demikian Ki Gede Menoreh sama sekali tidak ingin bertanya kepada Prastawa.

   karena ia tidak ingin melihat pertentangan itu meluas diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan itu sendiri.

   Jika Prastawa mengetahui bahwa ada satu dua orang yang menyampaikan persoalannya itu kepada Ki Gede.

   maka Prastawa tentu akan marah dan dengan curiga akan mencari siapakah yang telah mengatakannya kepada Ki Gede Menoreh.

   Tetapi Ki Gede sudah bertekad untuk menjajagi hati anak muda itu dengan hati-hati dan tidak menimbulkan goncangan perasaan padanya.

   Sementara itu.

   Agung Sedayu yang telah menyeberangi Kali Praga telah melanjutkan perjalanannya ke Mataram.

   Diperjalanan ia sama sekali tidak mengalami gangguan apapun.

   Agaknya jalan ke Mataram benar-benar merupakan jalan yang tenang.

   Demikian pula saat Agung Sedayu mendekati Kota Mataram.

   Kota yang sedang tumbuh itu nampak tenang dan hidup.

   Sawah yang luas nampak hijau dan basah, sedangkan di jalan-jalan dan bulak-bulak panjang nampak beberapa buah pedati berjalan perlahan-lahan memuat hasil-hasil sawah yang melimpah pulang kerumah masing-masing.

   "Mataram memang suatu negeri yang sedang tumbuh dan akan menjadi besar,"

   Gumam Agung Sedayu. Lalu.

   "Agaknya wahyu keraton memang mungkin sekali berpindah dari Pajang ke Mataram. Pajang yang semakin suram akan menjadi silam melihat perkembangan Mataram. Apalagi di Pajang sendiri terdapat benih-benih yang akan dapat melumpuhkan kekuasaan Pajang itu sendiri."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam jika ia mengenangkan sikap Raden Sutawijaya yang berkeras tidak mau menghadap ke Pajang. Bahkan kemudian timbul pula suatu pertanyaan.

   "Apakah Raden Sutawijaya justru telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu yang dapat melampaui perjalanan waktu, sehingga Raden Sutawijaya telah berani mengambil sikap terhadap Pajang sejak sekarang ?"

   Tetapi pengamatan atas perkembangan Pajang memang tidak menggembirakan.

   Memang beberapa Adipati dipesisir dan di bagian Timur dari daerah Pajang masih tetap merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan.

   Tetapi rasa-rasanya ikatan diantara mereka sudah menjadi semakin kendor.

   Apalagi Pajang tidak lagi berusaha meneruskan langkah Sultan Trenggana di Demak yang terbunuh di medan saat ia berjuang untuk mempererat ikatan kesatuan Demak di tataran terakhir.

   Dan kini.

   Pajang justru menjadi semakin suram.

   Angan -angan Agung Sedayu terputus ketika ia mendekati gerbang kota Mataram.

   Dilihatnya seorang pengawal berdiri bersandar dinding batu tanpa menghiraukan orang-orang yang melewati pintu gerbang.

   Namun hal itu bagi Agung Sedayu merupakan pertanda, bahwa Mataram benar-benar dalam keadaan tenang.

   Meskipun demikian, Agung Sedayu berdesis didalam hatinya.

   "Baru saja pertempuran dilembah itu berakhir. Tidak semua orang dipasukan lawan dapat ditangkap. Bahkan mungkin mereka dapat berhubungan dengan pihak-pihak tertentu untuk melepaskan dendamnya, mengacaukan Mataram meskipun mereka yakin tidak akan dapat berbuat lebih dari pada itu."

   Tetapi Agung Sedayu tidak berbuat sesuatu.

   Ia lewat melalui pintu gerbang, seperti orang-orang lain lewat.

   Namun ternyata Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Nalurinya yang tajam telah menangkap isyarat, bahwa ternyata beberapa orang yang berada disepanjang jalan, yang seolah-olah sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan, adalah petugas-petugas sandi dari Mataram.

   Apalagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon sambil terkantuk-kantuk.

   Ditangannya tergenggam sebatang tongkat yang panjang.

   Agung Sedayu tidak dapat dikelabui oleh pakaian yang sederhana dan sikap yang malas.

   Karena itu, maka iapun kemudian menghentikan kudanya, dan menuntun mendekati orang itu.

   Tanpa mengucapkan sepatah katapun, maka Agung Sedayu langsung duduk disebelah orang itu sambil memegangi kendali kudanya.

   Orang itu memandang Agung Sedayu dengan heran.

   Bahkan kemudian ia bergeser sambil bertanya.

   "Siapa kau anak muda?"

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab.

   "Namaku Ki Banaran."

   Orang yang berpakaian sederhana dan bermalas-malas dipinggir jalan itu menatap Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian desisnya.

   "Pandangmu tajam sekali anak muda. Aku kira kau tidak mengenal aku lagi."

   Agung Sedayu tertawa. Katanya.

   "Meskipun kau memakai samaran apapun juga, aku tidak akan dapat kau kelabui. Hidungmu mempunyai ciri tersendiri. Tatapan matamu seperti tatapan mata burung hantu. Sedangkan gelang sulur waringin tunggal dikakimu semakin meyakinkan aku, bahwa aku berhadapan derigan Ki Banaran."

   Orang yang disebut Ki Banaran itu akhirnya tersenyum. Katanya.

   "Luar biasa. Hanya anak muda yang luar biasa sajalah yang dapat mengenalku. Baiklah. Aku tidak dapat ingkar lagi."

   "He. apakah masih ada niatmu untuk ingkar?"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Jangan terlalu keras. Bukankah kau tahu, bahwa aku sedang bertugas ?"

   "Ya. Tetapi apakah yang sedang kau cari disini ?"

   Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian.

   "Kau akan menghadap Senapati Ing Ngalaga ?"

   "Ya. Aku baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh."

   "Sejak pertempuran di lembah?,"

   Bertanya Ki Banaran.

   "Ya. Bukankah baru beberapa hari?"

   Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk.

   "Apa kerjamu disini?"

   Bertanya Agung Sedayu kemudian. Ki Banaran menjadi ragu-ragu. Sejenak ia memandang Agung Sedayu, seakan-akan ia sedang meyakinkan apakah ia dibenarkan untuk mengatakan sesuatu kepada anak muda itu.

   "Kau curiga kepadaku? Atau barangkali kau benar-benar tidak yakin bahwa aku Agung Sedayu?"

   Ki Banaran menarik nafas panjang. Katanya kemudian.

   "Aku mengerti. Tetapi rasa-rasanya ragu-ragu juga untuk mengatakan."

   Agung Sedayu tersenyum, dan Ki Banaran berkata.

   "Sebenarnya tugasku sekarang sudah tidak berarti. Tetapi sekedar sikap hati-hati. Apa petugas sandi dari Pajang yang berada di Mataram. Tetapi petugas itu sudah kembali ke Pajang. Meskipun demikian, mungkin ada petugas-petugas lain yang datang kemudian diluar pengetahuan kita."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Itulah sebabnya ada beberapa petugas sandi yang tersebar."

   "Tidak diseluruh kota. Hanya di pintu-pintu gerbang. Disini ada tiga orang petugas sandi untuk mengawasi orang-orang yang keluar masuk pintu gerbang. Mungkin ada yang mencurigakan seperti kau."

   Agung Sedayu tersenyum pula. Katanya.

   "Ada tiga orang disetiap pintu gerbang. Agaknya sudah cukup. Tetapi apakah kau pernah melihat orang-orang yang pantas dianggap sebagai petugas sandi dari Pajang atau dari manapun juga?"

   "Pernah. Kau."

   Agung Sedayu tertawa. Katanya.

   "Kau tidak pantas menjadi petugas sandi. Tetapi baiklah aku melanjutkan perjalanan. Apakah ada keterangan lain?"

   "Bertanyalah kepada Senapati Ing Ngalaga. Pajang menganggap kita sudah bersiap untuk bertempur dan memberontak. Itulah sebabnya maka mereka mengirimkan petugas sandinya kemari untuk melihat persiapan itu."

   Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya.

   "Dan petugas sandi itu melihat pasukan yang datang dari lembah? Pasukan Mataram dan Sangkal Putung?"

   Ki Banaran menggeleng. Katanya.

   "Pergilah menghadap Senapati. Kau akan mendapat banyak keterangan. Tetapi tidak disini. Batang-batang kayu itu mungkin bertelinga."

   "Sementara kau sendiri tidak,"

   Desis Agung Sedayu. Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun sambil tersenyum iapun kemudian berkata.

   "Sudahlah. Pergilah. Jika kau ingin singgah di warung-warung, mungkin masih ada satu dua yang dapat melayanimu."

   Agung Sedayu kemudian bangkit berdiri sambil berkata.

   "Selamat tinggal. Duduklah disitu sampai matahari terbenam. Itu adalah tugasmu."

   Ki Banaran mengerutkan keningnya.

   Namun Agung Sedayu tersenyum.

   Ia senang melihat Agung Sedayu.

   Anak muda yang ramah namun memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun pada saat-saat tertentu anak muda itu dapat kehilangan kemampuan untuk mengambil sikap yang menentukan.

   Ki Banaran melambaikan tangannya ketika Agung Sedayu meloncat kepunggung kudanya dan berderap meninggalkannya.

   Sepeninggal Agung Sedayu, Ki Banaran kembali duduk pada sikapnya.

   Malas dan seolah-olah tidak acuh terhadap orang-orang yang lewat.

   Ternyata selain Agung Sedayu.

   tidak seorangpun yang dapat mengenalnya karena penyamarannya, karena orang-orang Mataram tidak mengira, bahwa Ki Banaran seorang dari para pemimpin pasukan pengawal Mataram berpakaian sangat sederhana dan duduk bermalas-malas dipinggir jalan, seperti tingkah laku orang-orang malas yang menghabiskan waktunya tanpa arti.

   Sementara itu Agung Sedayu telah memacu kudanya meskipun tidak terlalu cenat, karena ia sudah berada didalam kota.

   Ia ingin segera menghadap Raden Sutawijaya untuk mendengarkan keterangannya tentang petugas-petugas sandi dari Pajang dan sikap Pajang terhadap Mataram pada saat saat-saat terakhir.

   Kedatangan Agung Sedayu di rumah Raden Sutawijaya ternyata telah mendapat sambutan yang baik sekali.

   Raden Sutawijaya menjadi sangat gembira karena kedatangannya.

   Bahkan orang-orang tua di Matarampun telah memerlukan menerima kedatangannya.

   Ki Juru Martani.

   Ki Lurah Branjangan.

   Ki Lurah Dipayana dan beberapa orang pemimpin lainnya telah berkumpul untuk menyambut kedatangan Agung Sedayu.

   Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing seperti yang selalu dilakukan oleh mereka yang bertemu kembali setelah terpisah beberapa saat.

   Setelah Agung Sedayu disuguhi sekedar minum dan beberapa potong makanan, maka mulailah mereka berbicara tentang berbagai macam persoalan yang merambat kepada persoalan yang dihadapi disaat terakhir oleh Mataram.

   "Aku bertemu dengan Ki Banaran,"

   Berkata Agung Sedayu. Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya.

   "Dimana angger menjumpainya?"

   "Dipintu gerbang."

   Jawab Agung Sedayu.

   "Apakah yang dilakukannya?,"

   Bertanya Ki Juru kemudian. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya dengan tersenyum.

   "Ia sedang bertugas."

   Ki Lurah Branjangan memotong.

   "Dan kau dengan mudah dapat mengenalnya sebagai Ki Banaran, atau Ki Banaran yang telah menegurmu?"

   Agung Sedayu termangu-mangu.

   Tetapi ia sudah terlanjut berbicara tentang Ki Banaran.

   Baru kemudian ia sadar, bahwa seharusnya tidak semudah itu untuk dapat mengenalnya, akan dengan mudah dapat mengetahui, bahwa Mataram mengadakan pengawasan yang ketat.

   Tetapi sebelum Agung Sedayu menjawab Ki Juru Martani telah mendahului.

   "Jangan heran jika angger Agung Sedayu mampu mengenalnya. Ia mempunyai ketajaman pengenalan lebih dari orang kebanyakan."

   "Ah,"

   Desah Agung Sedayu.

   "bukan karena itu Ki Juru. Tetapi ada ciri yang aku kenal baik. karena sebelumnya aku pernah mempercakapkan dengan Ki Banaran sendiri."

   "Apa?,"

   Bertanya Ki Lurah Branjangan.

   "Gelang sulur wringin tunggul dikakinya. Bukankah jarang orang yang bergelang dikakinya bagi seorang laki-laki?"

   Jawab Agung Sedayu.

   Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.

   Jawaban Agung Sedayu memang masuk akal.

   Tetapi bahwa seseorang langsung dapat melihat gelang dikaki orang lain adalah sesuatu yang sangat kebetulan.

   Meskipun demikian, orang-orang yang berkumpul menemui Agung Sedayu itu tidak bertanya lebih jauh.

   Yang kemudian mereka bicarakan adalah sikap Pajang yang penuh curiga, meskipun pada umumnya para pemimpin di Mataram menyadari, bahwa ada orang-orang tertentu yang telah menghasut dan memanaskan keadaan.

   Agaknya pembicaraan mereka jadi berkepanjangan.

   Agung Sedayu memang berminat untuk bermalam di Mataram, agar ia dapat mendengar banyak keterangan yang barangkali sangat diperlukan.

   Dari Raden Sutawijaya sendiri.

   Agung Sedayu mendengar usaha para petugas sandi dari Pajang yang telah datang ke Mataram tepat pada saat pasukan Mataram dan Sangkal Putung datang dari medan perang.

   Agung Sedayu mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya itu dengan saksama.

   Ketajaman nalarnya segera dapat menangkap peristiwa yang terjadi sebagai latar belakang dari usaha para petugas sandi untuk melihat Mataram dalam kesiagaan perang.

   Untunglah bahwa kesalah pahaman yang semakin jauh masih dapat dihindari.

   Pasukan Mataram dan Sangkal Putung masih dapat disamarkan sehingga petugas sandi dari Pajang tidak sempat melihat mereka.

   Dan beruntunglah bahwa di Pajang masih ada seorang tua yang bernama Kiai Kendil Wesi.

   Tetapi lebih dari itu, maka kesempatan yang memang telah diberikan oleh Sultan sendiri kepada Mataram, merupakan sikap yang sangat menguntungkan.

   Bukan saja bagi Mataram, tetapi juga bagi Pajang sendiri.

   Bagi pihak yang tidak ingin melihat benturan antara Pajang dan Mataram terjadi.

   "Selanjutnya kita masih harus berhadi-hati,"

   Berkata Raden Sutawijaya.

   "kami di Mataram selalu berusaha memelihara hubungan dengan Kiai Kendil Wesi. Tetapi Kiai Kendil Wesi sudah terlalu tua."

   "Apakah tidak ada orang lain yang dapat dipercaya?,"

   Bertanya Acung Sedayu.

   "Kita masih sedang menjajagi keadaan. Tetapi bahwa orang tua itu sangat dekat dengan ayahanda Sultan, adalah suatu kesempatan yang jarang didapat oleh orang lain. Apalagi dengan sadar ayahanda Sultan telah mempergunakan orang itu untuk memberikan keterangan yang kami perlukan di Mataram."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Ia melihat keadaan yang aneh dalam hubungan antara Pajang dan Mataram Sultan Hadiwijaya sendiri seolah-olah telah berpihak kepada Mataram yang sedang berkembang itu.

   Namun dengan demikian, nampak jelas, bahwa kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang benar-benar telah dibatasi oleh orang-orang yang ada disekitamya.

   sehingga wibawanyapun telah jauh berkurang.

   Ia tidak dapat menentukan sikap seperti yang diinginkannya.

   Bahkan ia harus melakukan hubungan yang dirahasiakan dengan Mataram.

   Tetapi tidak kalah anehnya adalah sikap Raden Sutawijaya sendiri.

   Ayahanda angkatnya ternyata sangat memperhatikannya.

   Ia lebih percaya kepada anak angkatnya yang telah memisahkan diri daripadanya itu daripada kepada setiap orang disekitamya.

   "Sultan Hadiwijaya telah hidup dalam keterasingan yang mewah di istana Pajang,"

   Berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   Ki Juru Martani melihat gejolak didalam hati Agung Sedayu.

   Tetapi ia tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan oleh anak muda itu.

   Namun Ki Juru tidak menanyakannya, karena Agung Sedayu tentu tidak akan mengatakannya.

   Sementara itu.

   pembicaraan diantara mereka masih berlangsung beberapa lama Namun kemudian.

   Ki Juru Martani mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat.

   Agung Sedayu yang memang berniat bermalam di Mataram itupun kemudian dipersilahkan kedalam bilik yang telah disediakan kepadanya.

   Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajibannya, maka iapun beristirahat sejenak didalam biliknya sambil berangan-angan.

   Setiap kali perasaannya selalu diganggu oleh hubungan yang aneh antara Pajang dan Mataram.

   Seharusnya Raden Sutawijaya dapat mengambil sikap lain sehingga kekalutan yang diam-diam di Pajang tidak berkepanjangan.

   Namun agaknya Raden Sutawijaya memang sudah tidak berminat lagi untuk mempertahankan kehadiran Pajang, sehingga ia telah mengambil suatu sikap yang telah diyakini kebenarannya.

   Bahkan Agung Sedayu kemudian sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Raden Sutawijaya telah tidak dapat lagi mempercayai siapapun di dalam lingkungan istana Pajang, sehingga ia lebih baik mulai dari yang baru sama sekali, meskipun ada juga terbersit keinginannya untuk berdiri pada namanya sendiri.

   Bahkan Raden Sutawijayalah yang telah mendirikan Mataram.

   Dalam kekalutan itu, terbayang didalam angan-angannya, kakaknya Untara.

   Seorang Senapati yang berpegang teguh pada dasar-dasar keprajuritannya.

   Namun karena ia berada diluar istana Pajang, maka ia agaknya tidak banyak mengikuti persoalan-persoalan yang berkembang didalam istana.

   Bahkan mungkin beberapa orang perwira yang lebih tua, baik umurnya maupun kedudukannya, dengan sengaja memisahkan Untara dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya bergejolak didalam istana Pajang.

   Sesaat terbersit didalam hati Agung Sedayu pertanyaan, apakah tidak ada baiknya jika Untara dapat langsung berhubungan dengan Sultan Hadiwijaya.

   Mungkin Untara mempunyai kemampuan untuk bertindak sesuatu.

   Sudah barang tentu ia memerlukan beberapa orang kawan.

   Namun Agung Sedayu tidak dapat membayangkan, apakah jadinya jika hal itu dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.

   Maka dengan demikian, pertengkaran didalam istana itu akan semakin cepat meledak.

   Masing-masing pihak dengan pengikutnya akan segera terlibat dalam pertempuran yang akan dapat menghancurkan Pajang sama sekali, sebelum seseorang bangkit untuk mengambil alih kedudukan Sultan Hadiwijaya.

   "Ya. Orang itu memang harus ada,"

   Tiba-tiba saja terbersit didalam hati AgungSedayu.

   Dan Agung Sedayu tidak melihat orang lain kecuali Raden Sutawijaya meskipun Sultan Hadiwijaya sendiri mempunyai seorang putera.

   Tetapi Pangeran Benawa seperti yang pernah dianggap oleh Agung Sedayu.

   sama sekali tak tertarik pada tata pemerintahan meskipun sebagai seorang anak muda ia memiliki ilmu yang tidak kalah dari Sutawijaya.

   Selagi Agung Sedayu merenungi angan-angannya, ia terperanjat ketika seseorang berdiri dimuka pintu.

   Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya Ki Juru Martani memandanginya sambil tersenyum.

   "Apakah yang sedang kau renungkan ngger?,"

   Bertanya Ki Juru. Agung Sedayupun mencoba untuk tersenyum.

   "Apakah kau tidak ingin berjalan-jalan di halaman?,"

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bertanya Ki Juru Martani. .Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdiri "Baiklah Ki Juru. Aku memang ingin menghirup udara sejuk diluar."

   Keduanyapun kemudian meninggalkan bilik itu.

   Beberapa orang telah menyalakan lampu minyak di ruang-ruang dalam dan kemudian lampu-lampu minyak didalam bilik-bilik.

   Ketika Agung Sedayu dan Ki Juru Martani melintas dihalaman dan berdiri diregol, beberapa orang pengawal mengangguk hormat.

   "Kami akan berjalan-jalan,"

   Desis Ki Juru.

   "angger Agung Sedayu ingin melihat kota ini menjelang malam."

   Pemimpin pengawal diregol itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya sesuatu, Ki Juru sudah mendahuluinya.

   "Kami akan berjalan-jalan berdua saja. Kami tidak usah mendapat pengawalan, karena kami tidak akan berjalan jauh. Apalagi angger Agung Sedayu telah menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh juga tanpa pengawalan."

   Pemimpin pengawal diregol itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum. Sambil mengangguk hormat ia berkata.

   "Silahkan Ki Juru."

   Ki Jurupun tersenyum pula. Sambil menggamit Agung Sedayu ia berkata.

   "Marilah. Kita berjalan-jalan."

   Agung Sedayupun kemudian mengikuti Ki Juru melangkah di jalur jalan induk Kota Mataram.

   Dari pintu pintu rumah yang masih terbuka, cahaya lampu meloncat keluar menerangi daun-daun pepohonan.

   Dibeberapa buah regol.

   lampu-lampu obor menerangi jalan dengan sinarnya yang samar.

   Ki Juru Martani.

   dan Agung Sedayu berjalan perlahan-lahan.

   Di.saat matahari baru saja terbenam, masih nampak beberapa orang berjalan tergesa-gesa.

   Tetapi ada juga yang berjalan-jalan lambat membimbing anaknya untuk mengunjungi sanak kadang atau tetangga.

   Dalam samarnya ujung malam, orang-orang yang lewat dan berpapasan berseberangan jalan tidak segera dapat mengenal yang satu dengan yang lain, kecuali mereka yang hampir setiap saat bergaul.

   Itulah sebabnya, maka tidak seorangpun yang mengenal, bahwa dua orang yang berjalan-jalan perlahan-lahan disepanjang jalan kota itu adalah Ki Juru Martani dan Agung Sedayu.

   Meskipun Kota Mataram sudah menjadi semakin ramai, tetapi dimalam hari.

   jalan-jalan menjadi lengang.

   Tidak banyak orang yang berkepentingan dan turun kejalan dalam gelap.

   "Jalan-jalan di Mataram masih sunyi di malam hari,"

   Berkata Ki Juru Martani.

   "tidak ada kesibukan apapun juga dimalam hari. Mungkin ada juga satu dua banjar yang ramai oleh anak-anak muda. Tetapi tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, sebentar lagi. sebelum tengah malam, gardu-gardu akan menjadi penuh."

   "Penuh dengan pengawal?,"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Bukan. Tetapi anak-anak muda mulai turun. Ada diantara mereka yang memang selalu tidur di gardu-gardu sekaligus ikut serta mengamati keamanan."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ada juga keinginannya untuk melihat banjar-banjar padukuhan yang ramai, karena kebetulan ada kegiatan tertentu dipadukuhan itu. Ketika lamat-lamat terdengar bunyi gamelan, maka Ki Jurupun berkata.

   "Suara itu tentu berasal dari salah satu banjar. Mungkin anak-anak muda sedang berlatih menari untuk kepentingan tertentu bagi padukuhan itu."

   "Menarik sekali,"

   Desis Agung Sedayu.

   "Kau akan menyaksikan?,"

   Bertanya Ki Juru.

   "Jika Ki Juru tidak berkeberatan?,"

   Jawab Agung Sedayu.

   Keduanyanun kemudian berjalan menuju kearah bunyi gamelan yang semakin lama terdengar menjadi semakin nyaring.

   Meskipun kaki Agung Sedayu melangkah terus, namun ia sudah merasa, bahwa Ki Juru Martani tentu bukannya tanpa maksud dengan membawanya berjalan-jalan.

   Namun Agung Sedayu tidak ingin menanyakannya.

   Biarlah pada saatnya Ki Jurulah yang akan mulai dengan sebuah pembicaraan yang tentu dianggapnya penting.

   Perasaan Agung Sedayu tersentuh ketika ia melihat langit yang semakin cerah.

   Ternyata bahwa bulan mulai tersembul dari cakrawala dengan cahayanya yang kuning.

   Padukuhan-padukuhan yang semula terasa lengang itupun mulai berubah.

   Beberapa orang anak-anak mulai menyembulkan kepalanya di sela-sela pintu rumahnya.

   Kemudian satu-satu mereka turun kehalaman.

   Dengan isyarat-isyarat yang khusus dibuat oleh anak-anak kecil, maka mulailah mereka berlari-lari menuju ke halaman-halaman yang luas, setelah mereka mendapat ijin dari orang tua mereka.

   Terang bulan adalah saat-saat yang sangat menyenangkan.

   Anak-anak itu dapat bermain sembunyi-sembunyian atau berkejar-kejaran sepuas-puasnya.

   Saat-saat mereka bermain, maka anak-anak kecil itu seolah-olah tidak mengenal perasaan takut meskipun kadang-kadang mereka harus bersembunyi dibawah pohon-pohon yang biasanya dianggan pohon-pohon yang keramat, atau di semak-semak yang mungkin dihuni oleh berjenis-jenis ular.

   Jika anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran.

   maka anak-anak perempuan mempunyai jenis permainannya sendiri.

   Mereka bermain dakon atau gateng degan kerikil.

   Tetapi ada pula diantara mereka yang bermain jirak kemiri.

   Mataram yang lengang itu tiba-tiba menjadi ramai oleh suara anak-anak yang sedang bermain-main.

   Yang bermain nini towong, kadang-kadang berteriak sambil berlari-lari menghindari kejaran nini towong yang dianggapnya telah kerasukan.

   Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin dalam dicengkam oleh kerinduannya kepada adik sepupunya.

   Glagah Putih tentu tertarik juga oleh sinar bulan yang kekuning-kuningan.

   Tetapi sudah barang tentu ia tidak dapat bermain seriang anak-anak dipadukuhan.

   karena dipadepokan itu tidak terdapat anak-anak muda yang dapat diajaknya bermain.

   Karena yang ada dipadepokan hanyalah anak-anak muda yang lebih terikat kepada air di parit yang mengaliri sawah daripada bermain dibawah cahaya bulan yang cerah.

   Oleh angan-angannya, maka seolah-olah Agung Sedayu tidak ingat lagi bahwa ia berjalan bersama Ki Juru Martani sehingga Ki Juru itupun kemudian bertanya.

   "Apa yang kau pikirkan Agung Sedayu?"

   Agung Sedayu tergagap. Diluar sadarnya ia berkata.

   "Alangkah riangnya anak-anak itu bermain Ki Juru."

   Ki Juru tersenyum. Katanya.

   "Aku sudah menduga. Mungkin kau sedang memikirkan masa kecilmu."

   Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.

   "Kita sudah semakin dekat dengan suara gamelan itu. Agaknya banjar itu salah satu dari banjar dipinggir kota. sehingga kita memang harus berjalan agak panjang,"

   Berkata Ki Juru.

   "Ya. Ki Juru.,"

   Jawab Agung Sedayu pendek. Ki Juru menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya.

   "Sambil berjalan, mungkin ada baiknya kita berbicara serba sedikit tentang perkembangan Mataram, Agung Sedayu."

   Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia sudah menyangka bahwa pada suatu saat. Ki Juru akan mengemukakan hal yang dapat dianggapnya penting. Karena itu. maka Agung Sedayupun berkata.

   "Apakah ada yang ingin Ki Juru pesankan kepadaku, atau kepada orang lain lewat aku?"

   Ki Juru mengangguk-angguk sambil menjawab.

   "Tidak terlalu penting Agung Sedayu. Aku kira daripada masalahnya tidak aku sampaikan maka ada baiknya jika kau mendengarnya. Hanya sekedar mendengar suatu keinginan saja."

   Agung Sedayu memandang Ki Juru sejenak.

   Namun kemudian iapun melontarkan pandangan matanya ke kuningnya sinar bulan didedaunan.

   Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri.

   Mereka melangkah dengan langkah-langkah lamban disepanjang jalan.

   Di simpang-simpang jalan mereka melihat satu dua orangyang berjalan memasuki jalan itu pula, kemudian melangkah seiring dihadapan mereka.

   "Mereka akan melihat kesibukan dibanjar itu pula,"

   Berkata Ki Juru. Agung Sedayu tergagap. Sambil mengangguk kecil ia menyahut.

   "Banyak juga perhatian orang terhadap latihan-latihan seperti yang diselenggarakan itu."

   "Cukup banyak,"

   Berkata Ki Juru.

   "aku sendiri sering melihat kesibukan-kesibukan dibanjar dengan diam-diam. Bahkan angger Sutawijayapun sering melakukannya tanpa diketahui orang lain."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   "Kita sudah tidak jauh lagi,"

   Berkata Ki Juru.

   "namun aku masih ingin menyampaikan pesan itu. Barangkali dapat kau pertimbangkan."

   Langkah Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin lambat. Ia mencoba memperhatikan dengan saksama ketika Ki Juru kemudian berkata.

   "Angger Agung Sedayu. Seperti yang angger ketahui. Pajang justru tidak menghendaki hubungan baik antara Sultan Hadiwijaya dengan putera angkatnya Raden Sutawijaya."

   Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia sudah menduga bahwa persoalannya tentu akan merembet sampai persoalan itu pula.

   "Sebenarnya, Raden Sutawijaya sendiri juga bersalah dalam hal ini. Tetapi aku sudah tidak dapat lagi memaksanya untuk memasuki kembali istana Pajang, ia termasuk anak muda yang keras kepala."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   "Karena itu Agung Sedayu,"

   Berkata Ki Juru lebih lanjut.

   "kita harus menghadapi perkembangan keadaan dengan keadaan dan kedudukan kita sekarang ini."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan Ki Juru meneruskan.

   "Kita harus menyesuaikan diri dengan sikap beberapa orang perwira di Pajang, yang seperti sudah kita lihat sendiri, bahwa mereka telah menggerakkan pasukan yang kuat untuk menghancurkan Pajang dan sudah barang tentu Mataram. Berkumpulnya kekuatan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu tentu bukannya persoalan yang berdiri sendiri. Dan apakah kau kira bahwa dengan hancurnya pasukan dilemhah itu. kekuatan mereka benar-benar sudah punah?"

   Agung Sedayu berpaling. Ia merasakan pertanyaan itu bukannya sekedar pertanyaan. Dan sebenarnyalah Ki Juru meneruskan.

   "Bahwa masih adanya seseorang diantara para pemimpin mereka yang hidup, berarti bahwa kekuatan mereka akan segera tersusun kembali."

   Terasa jantung Agung Sedayu berdentang semakin cepat.

   Ia sadar, bahwa memang ada salah seorang dari para pemimpin mereka yang tetap hidup.

   Dan itu adalah karena sikapnya yang ragu-ragu.

   Ia tidak bersikap sebagai seorang prajurit dipeperangan.

   Seandainya ia tidak membunuh, maka orang itu harus dapat ditangkapnya hidup-hidup.

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Ia tidak dapat ingkar bahwa hal itu memang sudah terjadi.

   Dan orang yang terluka parah di peperangan itu berhasil diselamatkan oleh anak buahnya.

   Berbeda dengan Kiai Kelasa Sawit yang ternyata kemudian terbunuh oleh Swandaru.

   Dalam cengkaman debar jantungnya.

   Agung Sedayu mendengar Ki Juru melanjutkan.

   "Tetapi jangan kau sesali dirimu. Kau sudah berbuat terlalu banyak. Justru lebih banyak dari yang dilakukan oleh Danang Sutawijaya sendiri."

   "Ah,"

   Agung Sedayu berdesah.

   "Ki Juru terlalu memuji."

   "Tidak Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya. Kau dapat mempertimbangkan sendiri, apa yang telah kau lakukan, dan apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya."

   "Seperti yang sedang terjadi Ki Juru. Bukan saja dipeperangan. Tetapi juga didalam banyak hal, maka kesempatan merupakan sesuatu yang kadang-kadang ikut menentukan. Dan kesempatan itu datang dengan tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu."

   Ki Juru tertawa. Katanya.

   "Kau tidak sedang menghadapi hitungan-hitungan diperjudian. Kesempatan memang menentukan. Tetapi dipeperangan keadaannya agak berbeda meskipun yang kau maksud dengan kesempatan itu memang kadang-kadang terjadi. Namun seandainya kau tidak memiliki ilmu yang matang. apakah kau dapat mempergunakan yang kau sebut kesempatan itu sebaik-baiknya?"

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   "Tetapi baiklah. Kita bicara soal lain. Bukan soal apa yang telah terjadi dipeperangan. Meskipun masih juga akan selalu menyangkut hal itu,"

   Ki Juru berhenti sejenak, lalu.

   "Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya, bahwa kemampuanmu didalam olah kanuragan sekarang tentu sudah tidak kalah dibandingkan dengan Untara."

   Dada Agung Sedayu tiba-tiba saja bergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab.

   "Bukan maksudku untuk membuat perbandingan yang menyimpan arti yang kurang baik. Tetapi aku ingin mengatakan kepadamu, bahwa jika kau mau memenuhi nasehat kakakmu, maka kau akan dapat menjadi seorang prajurit yang mumpuni."

   Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

   "Maksudku Agung Sedayu, jika kau dapat memantapkan suatu sikap yang barangkali dapat kau mengerti, kau akan dapat ikut menentukan hubungan antara Pajang dan Mataram untuk selanjutnya."

   "Apakah yang dapat aku lakukan Ki Juru?,"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Aku juga tidak tahu, apakah usaha ini akan dapat berhasil. Tetapi menurut perhitunganku, dengan kemampuanmu yang sukar ada bandingnya itu kau akan dapat dengan cepat meningkat ke jenjang yang tinggi di dalam tata keprajuritan Pajang dibawah pengaruh nama Untara."

   Agung Sedayu menarik nafas. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya.

   "Jalan yang jauh sekali Ki Juru. Tetapi yang harus Ki Juru ketahui, namaku sudah dikenal di Pajang."

   Jawaban Agung Sedayu itu membuat Ki Juru menjadi termangu-mangu. Bahkan sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian ia bertanya.

   "Apakah begitu? Bukankah kau tidak pernah berada di Pajang?"

   Agung Sedayu termangu-mangu pula. Namun kemudian katanya.

   "Beberapa orang perwira kawan kakang Untara telah mengenal aku. Jika ada satu saja diantara mereka berpihak kepada orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Maiapahit. maka mereka akan segera berhati-hati terhadap diriku, seperti mereka berhati-hati terhadap kakang Untara. Apalagi jika salah seorang dari mereka yang berada di lembah itu berhasil menyusup kembali kedalam lingkungan keprajuritan di Pajang. Maka kedudukanku akan segera mereka ketahui, karena yang seorang itu tentu akan segera menyebarkan ceritera tentang diriku."

   Ki Juru menarik nafas panjang sekali. Katanya.

   "Memang kita dapat melihat setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi jika kau dapat menempatkan dirimu, maka kau akan dapat mereka anggap seperti juga Untara, seorang prajurit yang berdiri diatas kedudukan dan kewajibannya."

   "Jika demikian, lalu apakah yang dapat aku lakukan?"

   Bertanya Agung Sedayu.

   Ki Juru tidak segera menjawab.

   Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu memang dapat terjadi.

   Kedudukan Agung Sedayu akan segera di potong oleh orang-orang yang mencurigainya dan bahkan berusaha meayingkirkannya.

   karena ada diantara para perwira yang pernah melihatnya berpihak kepada Mataram.

   Tetapi jika ia dapat menembus segala kecurigaan itu dengan pengaruh nama Untara.

   Mungkin ia akan mendapatkan tempat yang dapat dipakainya sebagai alas untuk isut serta menentukan sikap prajurit-prajurit Pajang yang memang sudah terpecah itu.

   "Agung Sedayu,"

   Berkata Ki Juru kemudian.

   "mungkin akan ada perebutan pengaruh antara beberapa pihak yang berada di lingkungan keprajuritan di Pajang. Tetapi jika kau dapat menunjukkan sesuatu yang melampaui tataran para perwira, maka kau tentu akan mendapat tempat yang baik. Dan kau bukan seorang yang bodoh dan tidak dapat mempergunakan akal dan nalarmu untuk ikut serta menentukan sikap diantara para prajurit itu. Dengan melihat kenyataan, kau tentu akan mempunyai sikap yang lain dari kakakmu Untara yang benar-benar berdiri diatas satu sikap."

   Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu.

   Ia dapat mengerti, bahwa dengan demikian, ia telah turun kedalam satu usaha yang gawat, tetapi mungkin akan banyak gunanya.

   Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi salah seorang perwira yang mempunyai sikap tertentu terhadap Mataram.

   Dan iapun sadar, bahwa jika demikian, ia tidak akan dapat berbuat lain.

   kecuali berpihak pada salah satu sisi diantara pihak-pihak yang berseberangan.

   Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Seandainya ia dapat mencapai satu kedudukan di Pajang yang dapat dijadikannya pancatan untuk melakukan pesan Ki Juru, tetapi tidak sesuai dengan jalan pikiran kakaknya Untara, maka persoalannya tentu akan menjadi semakin berat baginya.

   Dan Agung Sedayu yang sadar akan dirinya itu tahu benar, bahwa ia akan menjadi semakin bimbang dan tidak tahu apakah yang akan dilakukannya.

   Ki Jurupun melihat, bahwa kebimbangan itu sudah mulai sejak saat itu.

   Karena itu.

   maka Ki Jurupun kemudian berkata.

   "Agung Sedayu. Persoalannya bukan persoalan yang harus diputuskan dengan tergesa-gesa. Karena itu pikirkanlah sebaik-baiknya. Akupun tahu seperti kau juga menyadari, bahwa kau memerlukan waktu yang cukup untuk mengambil sesuatu keputusan. Karena itu. baiklah. Aku sudah menyampaikan pesan itu, yang sudah disepakati sepenuhnya oleh Raden Sutawijaya. Keputusanmu dapat saja kau ambil satu atau dua pekan kemudian. Karena jalan yang kau tempuhpun akan merupakan jalan yang panjang. Sementara itu. permulaan yang betapapun lambatnya akan lebih baik daripada tidak dimulai sama sekali."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan kepala tunduk ia berkata.

   "Baiklah Ki Juru. Aku akan memikirkanmya. meskipun hal itu akan merupakan persoalan yang sangat berat bagiku."

   "Sudah barang tentu kau harus berbicara dengan gurumu. Kemudian kau sampaikan niatmu itu kepada kakakmu jika Kiai Gringsing menyetujui. Untuk sementara kau masih harus menyembunyikan latar belakang sikapmu itu kepada kakakmu Untara, karena kita tahu sikap dan pendirian Untara sebagai seorang prajurit."

   Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Aku akan mencoba memikirkannya dengan sunguh-sungguh Ki Juru. meskipun sebenarnyalah bahwa aku sama sekali tidak dapat membayangkan, keputusan apakah yang dapat saya ambil kemudian."

   "Baiklah. Nah, marilah kita sekarang mengisarkan perhatian kita. Padukuhan yang nampak samar-samar itulah yang sedang mempersiapkan sebuah pertunjukkan. Suara gamelan itu sudah dekat sekali,"

   Berkata Ki Juru Martani.

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Dipandanginya padukuhan dalam samarnya sinar bulan.

   Dan suara gamelan itu terdengar dekat sekali dihadapan mereka.

   Sementara itu beberapa orang nampak berjalan dengan tergesa-gesa, karena mereka merasa sudah jauh terlambat untuk melihat latihan pertunjukan di banjar padukuhan dihadapan mereka.

   Ki Juru dan Agung Sedayu tidak berbicara lagi tentang kemungkinan yang membingungkan itu.

   Mereka mulai berbicara tentang latihan pertunjukkan yang dapat mereka lihat dibanjar padukuhan itu.

   Tetapi ketika mereka mendekati banjar, Ki Juru berkata.

   "Kita mencari tempat yang terlindung saja."

   Agung Sedayu mengerti, bahwa tentu Ki Juru tidak ingin diketahui oleh orang-orang padukuhan itu.

   karena dengan demikian kehadirannya akan sangat menarik perhatian, sehingga bahkan akan melampaui perhatian para penonton terhadap latihan yang sedang diadakan itu.

   Beberapa saat lamanya kedua orang itu berdiri dibawah bayangan dedaunan sehingga mereka terlindung dari cahaya bulan.

   Dari dalam kegelapan mereka dapat menyaksikan latihan yang berlangsung dipendapa banjar.

   Bahkan dari kegelapan mereka dapat melihat beberapa orang yang dengan asyik menyaksikan latihan itu pula.

   Sejenak keduanya saling berdiam diri.

   seakan-akan mereka benar-benar tertarik kepada latihan yang sedang berlangsung.

   Latihan adegan perang dari ceritera Raden Panji Asmarabangun yang ditarikan dengan mempergunakan topeng bagi setiap pelakunya.

   Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar Ki Juru berkata.

   "Ternyata mereka pandai juga menari."

   "Ya,"

   Desis Agung Sedayu.

   "Kau dapat juga menari?,"

   Bertanya Ki Juru. Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya.

   "Hanya sedikit. Aku tidak sempat mempelajarinya dengan baik. Apalagi sejak ayahku meninggal."

   "Tetapi kau mengenal dasar-dasar tari?"

   "Ya."

   Ki Juru bergeser mendekat. Kemudian sambil menunjuk salah seorang penari ia berkata.

   "Kau melihat penari yang bertubuh kekar itu?"

   "Ya,"

   Sahut Agung Sedayu.

   "Apakah kau dapat menilai tata gerak tarinya?"

   "Ya. Mungkin ia adalah penari yang paling baik."

   Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Ia terlalu baik bagi seorang penari dari padukuhan ini."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, Ki Juru telah bergeser mendekati dua orang yang berdiri tidak jauh dari padanya.

   "Apakah Ki Sanak dari padukuhan ini?,"

   Bertanya Ki Juru.

   Orang itu megerutkan keningnya.

   Namun ketika ia berpaling.

   ia sama sekali tidak dapat mengenali Ki Juru yang mempergunakan ikat kepalanya terlalu rendah dan dengan cara yang berbeda dari biasanya.

   Bajunya agak terbuka dan kainnya tersingsing agak tinggi, seperti kebanyakan para petani yang pergi kesawah.

   "Aku memang orang padukuhan ini,"

   Jawab orang itu.

   "siapakah Ki sanak?"

   "Aku dari padukuhan sebelah bulak. Mula-mula aku berjalan-jalan saja menyeberangi bulak. Tetapi ketika aku mendengar suara gamelan, akupun telah tertarik."

   "Aku mengenal setiap orang dipadukuhan sebelah bulak,"

   Sahut orang itu.

   "Maksudku, aku tamu dipadukuhan sebelah bulak. Aku mengunjungi saudaraku yang tinggal disana. Aku sendiri datang dari luar kota Mataram."

   Orang yang ditanya itu masih akan berbicara. Tetapi Ki Juru mendahuluinya.

   "Maksudku, aku ingin bertanya, apakah penari yang bertubuh kekar itu tinggal dipadukuhan ini pula ?"

   Orang itu mengerutkan keningnya, Ia lupa bahwa ia masih akan bertanya kepada Ki Juru. siapakah saudara yang disebutkannya, karena justru ia harus menjawab pertanyaan Ki Juru.

   "Ki Sanak,"

   Berkata orang itu.

   "penari yang seorang itu memang bukan orang padukuhan ini. Sebenarnya ia tidak termasuk dalam susunan pemain. Tetapi ketika ia mengetahui latihan itu di banjar ini. maka iapun segera tampil. Ternyata ia justru menjadi penari yang paling baik. Dan ialah sebenarnya pengatur laku dari ceritera itu untuk seterusnya. Ialah yang memberikan petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan pada latihan-latihan berikutnya sampai saat ini."

   Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya kemudian.

   "Aku sudah menduga. Ia memiliki banyak kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi siapakah orang itu sebenarnya?"

   "Aku kurang jelas. Semula ia datang untuk berjual beli benda-benda berharga. Wesi aji dan juga permata. Tetapi oleh latihan-latihan yang sangat menarik perhatiannya, ia justru berada di padukuhan ini. Ia telah menyatakan kesediaannya tinggal disini barang dua pekan sampai saatnya pertunjukan yang sebenarnya diselenggarakan."

   "Apakah kau tahu. dari manakah asalnya?,"

   Bertanya Ki Juru. Orang itu menggeleng. Katanya.

   "Tidak jelas. Mungkin dari Jipang atau justru dari Demak. Entahlah."

   Ki Juru tidak bertanya lagi. Sambil mengucapkan terima kasih ia minta diri. Ketika Ki Juru meninggalkan tempat itu. Agung Sedayupun mengikutinya. Belum lagi mereka berada jauh diluar banjar, K i Juru sudah bertanya.

   "Bagaimanakah tanggapanmu tentang yang seorang itu?"

   Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sekilas teringat olehnya Rudita, jika pertanyaan itu ditujukan kepada anak muda itu, maka ia tentu akan menjawab.

   "Kita adalah mahluk yang selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap sesama."

   Namun Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Juru telah mencurigai orang yang berada didalam lingkungan penari di padukuhan itu. Orang itu memang perlu mendapat perhatian lebih banyak lagi.

   "Apakah kau tidak melihat sesuatu padanya,"

   Bertanya Ki Juru kemudian, karena Agung Sedayu tidak segera menjawab. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pendatang itu memang menyimpan kemungkinan-kemungkinan yang pantas dicurigai. Karena itu maka jawabnya.

   "Ki Juru. Aku tidak dapat menyebut dengan pasti. Tetapi kita memang dapat mencurigai setiap orang. Juga orang itu. Mungkin ia dengan sengaja datang untuk mengamati Mataram dengan saksama. Dan ia mendapat kesempatan untuk tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu."

   Ki Juru mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu meneruskan.

   "Tetapi apakah perlu kita mencurigai setiap orang?"

   Ki Juru tersenyum. Wajah Agung Sedayu menjadi panas ketika Ki Juru menjawab dengan sebuah pertanyaan.

   "Apakah pengaruh Rudita sudah mencengkam perasaanmu?"

   Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkan dalam-dalam.

   "Agung Sedayu,"

   Berkata Ki Juru.

   "kadang-kadang ada juga gunanya kita mencurigai seseorang. Meskipun itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh sikap berhati-hati. Bukannya sikap memusuhi."

   Agung Sedayu tidak menjawab. Iapun dapat mengerti, bahwa mencurigai seseorang itu dapat juga berarti sekedar sikap hati-hati. karena kadang-kadang seseorang memang dapat melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tidak dapat ingkar akan kenyataan itu,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

   Namun lebih dari itu.

   Agung Sedayu mulai menilai keadaan dalam keseluruhan.

   Ki Juru telah menyampaikan pesannya kepadanya, yang tentu sudah sependapat dengan Senapati Ing Ngalaga.

   Dengan ketajaman uraian perasaannya.

   Agung Sedayu mulai melihat kepentingan-kepentingan yang bergulat didalam peristiwa yang sangkut menyangkut.

   Pesan Ki Juru yang tentu sudah disepakati oleh Sutawijaya itu adalah suatu dorongan bagi kepentingan Mataram.

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Bagaimanapun juga, setiap orang akan terpancang kepada kepentingan diri.

   Dan Mataram menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu berada didalam lingkungan koprajuritan.

   Sebab dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat memberikan keuntungan kepada Mataram.

   "Ah,"

   Desah Agung Sedayu didalam hatinya.

   "akupun sudah mulai berprasangka terlalu jauh. Seharusnya aku menganggap bahwa usaha Ki Juru adalah sekedar usaha untuk mencegah timbulnya benturan antara Pajang dan Mataram."

   Namun pertimbangan-pertimbangan yang bertolak dari kepentingan yang berbeda selalu saja berputaran didalam hati Agung Sedayu.

   Dalam pada itu, keduanya berjalan semakin jauh dari banjar padukuhan.

   Suara gamelan yang mengiringi latihan-latihan di banjar itupun menjadi semakin samar.

   "Menyenangkan sekali, berjalan-jalan diterang bulan,"

   Berkata Ki Juru.

   "apakah kau sudah lelah?"

   "Belum Ki Juru,"

   Sahut Agung Sedayu.

   "Jika demikian, kita berjalan-jalan mengelilingi kota."

   Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Baiklah Ki Juru. Rasa-rasanya senang juga mendengar bocah berdendang sambil bermain diterangnya bulan."

   Ki Juru tersenyum.

   Mereka masih berjalan menyusuri jalan-jalan kota.

   Tanpa tujuan mereka berjalan sekedar ingin melihat-lihat dan mengisi waktu diujung malam.

   

   first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini