Api Dibukit Menoreh 7
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7
Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja
Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja
Namun bagi kita Ki Waskita yang akan menyampaikan pesan kepada Ki Gede Menoreh masih harus mengirimkan utusan apabila Ki Gede telah mengambil keputusan, apapun keputusan itu.
Bersedia atau tidak bersedia membantu Mataram menemukan pusaka-pusaka yang hilang dan sekaligus menghancurkan sebuah gerombolan yang berbahaya bagi Pajang dan Mataram.
Bagi Kiai Gringsing, maka tugas itu merupakan kewajiban bagi dirinya sendiri, kecuali kesediaannya membantu Mataram.
Baginya, orang-orang yang menyebut dirinya berhak mewarisi kerajaan Majapahit itu memang menimbulkan persoalan yang khusus didalam hatinya.
Demikianlah, maka sejak saat keputusan itu diambil oleh para pemimpin Mataram bersama tamu-tamunya yang datang dari Sangkal Putung itu, maka Mataram mulai mempersiapkan diri untuk suatu perjuangan yang berat.
Raden Sutawijaya masih ingin bertemu dengan beberapa orang tawanan yang dibawa oleh Kiai Gringsing meskipun ia sadar, bahwa orang-orang terpenting dari para tawanan itu tentu akan sulit untuk disadap keterangannya.
Meskipun demikian Raden Sutawijaya merasa perlu untuk menobanya.
"Besok, jika Kiai Gringsing dan Ki Waskita sudah ada diperjalanan, maka aku akan memanggil kedua orang itu,"
Berkata Raden Sutawijaya.
"Mudah-mudahan keterangan yang mereka berikan akan dapat meratakan jalan menuju ke lembah itu,"
Sahut Kiai Gringsing.
Hampir semalam suntuk, maka rumah Raden Sutawijaya itu seakan-akan tidak tertidur sama sekali.
Orang-orang tua masih saja sibuk dengan uraian dan tanggapan masing-masing.
Hanya Ki Sumangkar sajalah yang merasa perlu untuk banyak beristirahat.
Meskipun iapun tidak dapat tidur dengan nyenyak bukan karena sakit pada lukanya, tetapi karena kegelisahannya.
Namun demikian menjelang fajar, mereka masih sempat tidur sejenak, sebelum sesaat kemudian mereka telah terbangun karena kokok ayam yang riuh dibelakang rumah.
Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki Waskita dan Ki Sumangkar telah terbangun pula.
Mereka pergi kepakiwan dan mempersiapkan diri untuk suatu perjalanan, selain Ki Sumangkar.
Setelah minum minuman panas beberapa teguk dan sedikit makanan, maka merekapun segera berangkat menuju ketujuan masing-masing.
Agung Sedayu yang menyertai Ki Waskita telah dibekali dengan obat bagi lukanya.
Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun apabila tidak mendapat perawatan yang cukup, maka luka itu akan dapat membengkak dan menimbulkan gangguan yang sungguh-sungguh bagi kesehatan Agung Sedayu.
Namun demikian, agaknya Ki Waskita selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan Agung Sedayu.
Mereka tidak berpacu terlalu cepat.
Apalagi matahari masih belum menyingsing, meskipun langit diujung Timur sudah menjadi semakin merah.
Dalam pada itu, Swandaru lebih meyakini perjalanannya bahwa ia tidak akan menjumpai kesulitan apapun.
Bahkan ia menjadi gembira, bahwa dengan demikian ia akan dapat melihat kemampuan para pengawal Kademangan Sangkal Putung dalam pertempuran yang sesungguhnya.
"Aku akan dapat menunjukkan, bahwa para pengawal Sangkal Putung bukan sekedar pengawal yang hanya dapat menghiasi Kademangannya dengan berdiri disebelah menyebelah regol,"
Berkata Swandaru didalam hatinya. Namun ternyata bahwa Swandaru tidak dapat menahan gejolak hatinya yang tersimpan. Karena itulah maka yang dikatakan didalam hatinya itu akhirnya terlontar pula kepada gurunya.
"Guru,"
Katanya.
"mungkin akan jatuh korban dalam pertempuran yang mungkin akan terjadi dilembah. Tetapi pertempuran itu merupakan pertempuran yang sangat menarik bagi para pengawal yang belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar pendapat Swandaru itu. Namun iapun menjawab.
"Tetapi kali ini kita akan berhadapan dengan lawan yang kuat Swandaru. Kita tidak tahu pasti, betapa besarnya kekuatan yang ada diperut lembah itu."
"Sangkal Putung akan mengerahkan kekuatannya. Dan kekuatan Sangkal Putung tidak akan dapat diabaikan oleh kekuatan yang manapun,"
Berkata Swandaru.
"Aku tahu Swandaru. Tetapi para pengawal muda di Sangkal Putung itu masih belum berpengalaman menghadapi pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, biarlah diantara mereka terdapat para pengawal yang telah banyak makan garamnya pertempuran."
"Tentu guru. Para pengawal yang pernah mengalami tekanan Tohpati akan ikut serta. Mereka merupakan otak dari pertempuran yang bakal datang. Tetapi anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang melampaui mereka adalah tangan mereka yang kuat dan trampil mempermainkan senjata."
Kiai Gringsing mengagguk-angguk.
Tetapi ada sesuatu yang agak mencemaskannya.
Namun demikian, ia percaya bahwa para pengawal Sangkal Putung yang agak lebih muda dari Swandaru sendiri memiliki kemampuan oleh kanuragan melampaui mereka yang mendahuluinya berada didalam lingkungan para pengawal.
"Guru,"
Berkata Swandaru kemudian.
"meskipun aku dapat berbangga dengan para pengawal, tetapi masih ada yang sebenarnya aku cemaskan."
"Apa yang kau cemaskan Swandaru?,"
Bertanya Kiai Gringsing. Swandaru termangu-mangu sejenak. Meskipun agak ragu-ragu namun ia menjawab juga.
"Kakang Agung Sedayu."
Kiai Gringsing justru terkejut mendengar jawaban itu. Sambil berpaling memandang wajah Swandaru yang kemerah-merahan oleh cahaya pagi yang mulai memancar di Timur ia bertanya.
"Kenapa dengan Agung Sedayu? Lukanya tidak begitu mencemaskan. Dalam satu dua hari, luka itu tentu tidak akan berpengaruh lagi, meskipun belum sembuh sama sekali. Jika kemudian lewat sepekan, setelah lembah itu dikepung, ia harus bertempur, luka itu tidak akan mengganggu lagi."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang jauh kedepan. Memandang pagi yang cerah seperti cerahnya hari depannya sendiri. Baru sejenak kemudian ia berkata.
"Guru. Kakang Agung Sedayu adalah saudara tua bagiku dalam perguruan ini. Meskipun jika kemudian ia benar-benar akan kawin dengan adikku, tetapi tetap suadara seperguruanku dalam urutan yang lebih tua,"
Swandaru berhenti sejenak, lalu.
"tetapi agaknya kemajuannya tidak sepesat yang kita harapkan. Bagaimana juga, seharusnya kakang Agung Sedayu mempunyai beberapa kelebihan daripadaku. Dalam keadaan khusus aku wajib minta bantuan, bahkan perlindungannya. Tetapi agaknya perkembangan ilmunya sangat tersendat-sendat, sehingga dalam pertempuran yang baru saja terjadi, terpaksa kakang Agung Sedayu mengorbankan punggungnya. Untunglah bahwa aku benar-benar sudah siap menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga, sehingga keadaanku ternyata lebih baik dari keadaan kakang Agung Sedayu."
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Swandaru itu. Bahkan kemudian iapun menarik nafas panjang sekali, seakan-akan ia sedang berjuang untuk menenteramkan hatinya. Sementera Swandaru masih meneruskan.
"Guru. Ketika aku bertemu dengan kakang Agung Sedayu dihari-hari pertama, aku sudah mengaguminya. Ia mampu membidik sasaran yang aku lemparkan keudara Ia berhasil melampui Sidanti yang sombong dan besar kepala saat itu. Tetapi kini, nampaknya ia justru tidak lagi berhasil meningkatkan ilmunya itu."
Kiai Gringsing kemudian mengangguk-angguk.
Ia sudah menduga bahwa Swandaru pada suatu saat tentu ingin mendapat kepastian perbandingan ilmunya dengan Agung Sedayu.
Karena itu, maka pertempuran yang sudah terjadi itu ada pula baiknya bagi kedua saudara seperguruan itu.
Dengan demikian Swandaru tidak perlu menantang Agung Sedayu seperti yang pernah dilakukannya terhadap Raden Sutawijaya.
"Tetapi,"
Berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
"Swandaru telah mendapat gambaran yang salah. Ia merasa dirinya jauh lebih baik dari Agung Sedayu. Meskipun Swandaru maju pesat, namun agaknya ia masih selapis dibawah kemampuan Agung Sedayu yang bukan saja secara wadag berhasil menguasai ilmunya, tetapi dalam hubungan antara yang wadag dan yang halus didalam dan diluar dirinya dalam lingkungan Kuasa Yang Maha Besar."
Dalam pada itu ada semacam kegelisahan dihati Kiai Gringsing. Dalam perbandingan ilmu, seharusnya Swandaru tidak boleh mempunyai perhitungan yang keliru. Ia harus melihat kenyataan bahwa ia masih belum menyamai kakak seperguruannya.
"Sebaiknya ia mengetahui, dan aku harus berkata berterus terang. Tetapi terhadap Swandaru aku harus sangat berhati-hati dan memilih waktu yang paling tepat. Jika salah paham, maka Swandaru tentu akan memaksa untuk menjajagi ilmu Agung Sedayu pada kesempatan-kesempatan yang mungkin justru merugikan."
Berkata Kiai Gringsing kepada dirinya sendiri.
Dan itulah sebabnya, maka Kiai Gringsing hanya menahan kegelisahan itu didalam hatinya.
Dalam perjalanan selanjutnya, sekali-kali Swandaru masih menyinggung tentang kakak seperguruannya.
Namun kemudian sebagian dari pembicaraannya diberatkan pada kemungkinan yang harus dilakukakannya untuk menghadapi orang-orang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
"Kau harus menyadari, betapa besar kekuatan mereka Swandaru,"
Berkata Kiai Gringsing.
"untuk mencegat iring-iringan saat kau kawin, mereka sudah berhasil mengerahkan kekuatan diluar lingkungan mereka sebesar itu. Apalagi induk pasukan mereka yang dipimpin langsung oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dua diantara mereka sudah kita temui. Kiai Senadarma dan Kiai Jambu Sirik. Keduanya tentu bukan puncak kekuatan yang ada dilembah itu."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya.
"Tetapi kitapun memiliki kekuatan yang sangat besar. Selain pasukan pengawal dari Sangkal Putung, akan datang pula pa sukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu kekuatan yang akan langsung memasuki lembah itu adalah pasukan Mataram sendiri."
Kiai Grinsing mengangguk-angguk. Tetapi katanya.
"Aku tidak yakin bahwa kekuatan Mataram cukup besar menghadapi mereka."
"Jadi bagaimana pendapat guru?"
"Pasukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menorehpun harus bergerak maju memasuki lembah itu dari dua arah. Mereka tidak boleh sekedar menunggu dimulut lembah. Jika, demikian, maka apabila terjadi kesulitan dengan pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat segera membantu."
Swandaru mengangguk-angguk.
Ia memang lebih senang berbuat demikian.
Jika ia ikut memasuki lembah, maka ia akan dapat langsung berhadapan dengan lawan.
Dalam pertempuran itu ia dapat memamerkan kemampuan pasukan Pengawal Kademangan Sangkal Putung yang tidak akan kalah dari pasukan pengawal Mataram maupun prajurit-prajurit Pajang.
"Guru,"
Berkata Swandaru kemudian.
"aku kira sebaiknya memang demikian. Semakin dekat dan sempit ruang gerak mereka, maka kemungkinan pusaka-pusaka itu lolos menjadi semakin kecil."
"Tepat Swandaru. Tetapi kaupun harus mempersiapkan pasukanmu sebaik-baiknya."
Swandaru tertawa. Katanya.
"Pasukan Pengawal Sangkal Putung tentu tidak akan mengecewakan. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman, sedang yang lain adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan jasmaniah dan ilmu kanuragan yang tinggi."
Kini Gringsing tidak membantah.
Ia memang sudah melihat, bahwa kemampuan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung lelah meningkat semakin jauh.
Dalam pada itu, maka diarah yang lain, Ki Waskita berkuda bersama Agung Sedayu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Mereka tidak berpacu terlalu cepat, karena punggung Agung Sedayu masih terasa pedih meskipun sudah jauh berkurang.
"Tidak banyak perubahan yang terjadi disini,"
Berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita melanjutkan.
"memang agak berbeda dari Kademangan Sangkal Putung."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Ia memang melihat beberapa perbedaan meskipun baru melihat wajahnya.
Di Sangkal Putung nampak betapa gejolak darah muda yang mengalir ditubuh Swandaru yang seolah-olah telah mengaliri Kademangannya pula.
Sedangkan di Tanah Perdikan Menoreh nampaknya semakin lama justru menjadi semakin sepi.
Ki Argapati nampaknya telah kehilangan gairahnya memerintah Tanah Perdikan Menoreh sepeninggal anak gadisnya yang kawin dengan Swandaru di Sangkal Putung.
"Paman,"
Berkata Agung Sedayu.
"rasa-rasanya Tanah Perdikan ini menjadi semakin sepi. Mungkin sekedar perasaanku sajalah yang menjadi sepi, karena aku mengetahui, seolah-olah Ki Argapati telah hidup dalam kesunyian dirumahnya yang besar. Anak gadis satu-satunya tidak ada lagi dirumah itu."
"Mungkin rumah itu memang menjadi sepi,"
Sahut Ki Waskita.
"tetapi Ki Argapati sebenarnya dapat mengisi kesepiannya dengan kerja."
"Mungkin pula sebaliknya,"
Sahut Agung Sedayu. Menoreh benar-benar telah berubah."
Perjalanan itu memang agak terasa lambat karena keadaan Agung Sedayu. Namun dengan demikian mereka seakan-akan mendapat kesempatan untuk melihat keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.
"Mungkin pula sebaliknya,"
Sahut Agung Sedayu.
"Ya. Dan sebentar lagi kita akan melihat, apakah Ki Gede Menoreh benar-benar telah berubah."
Perjalanan itu memang agak terasa lambat karena keadaan Agung Sedayu.
Namun dengan demikian mereka seakan-akan mendapat kesempatan untuk melihat keadaan di Tanah Perdidkan Menoreh.
Selama mereka dalam perjalanan setelah mereka menyeberangi sungai Praga, mereka tidak lagi melihat pasukan pengawal melintas di jalan-jalan diantara padukuhdan yang satu dengan padukuhan yang lain.
Apalagi ketika Agung Sedayu melihat parit yang mengering diatas tanggul sebuah sungai kecil.
"Benar-benar suatu kemunduran,"
Diluar sadarnya Agung Sedayu berguman.
"Apa ngger?"
Bertanya Ki Waskita.
"Parit itu paman. Seharusnya parit itu tidak akan kering. Berapa kotak sawah telah kehilangan kesempatan panen dimusim kemarau."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Lalu katanya.
"Di Tanah Perdikan ini ada seorang anak muda yang seharusnya dapat membakar Tanah ini seperti Swandaru di Sangkal Putung."
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun sebelum ia bertanya, Ki Waskita sudah menyebutnya.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Prastawa tidak dapat berbuat seperti Swandaru di Sangkal Putung?"
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya.
"Ada perbedaan yang barangkali menentukan paman. Prastawa adalah anak Ki Argajaya yang sekarang seakan-akan telah mengasingkan diri oleh penyesalan. Mungkin sikap dan keadaan ayahnya itu sangat berpengaruh atas Prastawa."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi katanya.
"Menilik sikap dan watak Prastawa, ia tidak akan banyak terikat oleh keadaan ayahnya. Tetapi agaknya Prastawa memang agak lain dari Swandaru."
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi ia menjadi semakin resah melihat keadaan di Tanah Perdikan Menoreh yang nampak memang agak mundur.
Dalam pada itu, maka perjalanan merekapun semakin lama menjadi semakin dekat dengan pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun mereka benar-benar menjadi prihatin.
Tanah Perdikan Menoreh memang mengalami kemunduran.
Apalagi dibanding dengan Kademangan Sangkal Putung.
"Jika saatnya Swandaru memerintah Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan ini tentu akan segera berubah,"
Desis Ki Waskita. Keduanya menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat dua ekor kuda yang terikat pada tiang sebuah gardu, sementara dua orang pengawal sedang duduk bersandar sambil terkantuk-kantuk.
"Itulah mereka sekarang,"
Berkata Agung Sedayu.
"Perubahan ini terjadi terlalu cepat,"
Berkata Ki Waskita "
Mudah-mudahan tidak menyeluruh dalam tata kehidupan Tanah Perdikan ini. Menilik sawah yang hijau, agaknya para petani masih tetap rajin pada kerja mereka di sawah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya hatinya menjadi berdebar-debar dan cemas. Sebuah pertanyaan telah melonjak didalam hatinya.
"Apakah Tanah Perdikan ini masih sanggup melakukan kerja besar menghadapi orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu."
Kedua pengawal yang berada digardu itu sama sekali tidak menghiraukannya.
Agaknya mereka adalah dua orang pengawas yang bertugas untuk meronda.
Tetapi mereka lebih senang duduk terkantuk-kantuk digardu daripada berkeliling diatas punggung kuda.
Agaknya ketenangan di Tanah Perdidkan Menoreh telah membantu membuat para pengawal bertambah malas.
Mereka merasa tidak perlu lagi bekerja keraa, karena tidak ada persoalan-persoalan yang harus mereka pecahkan.
Akhirnya, Ki Waskita dan Agung Sedayu telah memasuki padukuhan induk.
Beberapa orang yang melihatnya segera menyapanya.
Masih tetap ramah dan dengan wajah yang jernih.
Ternyata kedatangan kedua orang itu memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh telah membuat para pangawal yang berada digardu didepan regol halaman, menjadi terkejut karenanya.
Salah seorang dari mereka dengan serta merta segera melaporkannya kepada Ki Gede yang kebetulan ada dirumah, sementara yang lain telah mempersilahkan keduanya memasuki halaman.
Seorang pengawal dengan tergopoh-gopoh telah menerima kendali kuda mereka dan membawa kesisi halaman.
Berita kedatangan keduanya telah diterima oleh Ki Gede dengan perasaan yang sangat gembira.
Rasa-rasanya sudah lama ia terpisah dari sebuah lingkungan yang tidak begitu jelas baginya.
Dan kini, ada seseorang yang datang menengoknya dalam keterasingan itu.
Dengan tergesa-gesa Ki Gede turun menjemput tamunya.
Sebuah tawa yang riang menghias bibirnya.
"Marilah. Masuklah naik kependapa. Aku senang sekali melihat Ki Waskita dan Agung Sedayu masih sudi mengunjungi tempat yang senyap ini."
Ki Waskitapun tertawa juga, sementara Agung Sedayu tersenyum meskipun terasa sesuatu bergejolak didalam hati.
Rumah Ki Gede Menoreh memang memberikan kesan kesepian dan keterasingan.
Kegembiraan Ki Gede nampak pada sikap, wajah dan kata-katanya.
Ketika mereka sudah duduk dipendapa, maka Ki Gedepun sambil tertawa telah bertanya tentang keselamatan kedua tamunya dan keluarga yang mereka tinggalkan.
"Sokurlah jika semuanya selamat,"
Berkata Ki Gede kemudian. Namun katanya selanjutnya.
"meskipun demikian, kedatangan Ki Waskita hanya berdua saja dengan Agung Sedayu membuat aku agak berdebar-debar juga. Kenapa tidak bersama Kiai Gringsing dan Swandaru."
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya.
"Kami memang sudah menduga bahwa hal itu dapat membuat Ki Gede menjadi cemas. Tetapi tidak ada persoalan apapun yang perlu dicemaskan."
"Jadi, bagaimana dengan Swandaru?"
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.
"Baiklah Ki Gede. Sebenarnya aku ingin berceritera agak panjang. Tetapi yang terpenting sajalah yang perlu Ki Gede ketahui."
Tiba-tiba saja dahi Ki Gede berkerut. Sementara Ki Waskita langsung menceriterakan keperluannya datang ke Tanah Perdikan Menoreh.
"O,"
Ki Gede mengangguk-angguk.
"baiklah. Baiklah. Jika persoalannya begitu gawat, biarlah nanti setelah Ki Waskita dan Agung Sedayu beristirahat, kita akan membicarakannya."
Dengan demikian maka Ki Gede telah menunda pembicaraan.
Apalagi ketika kemudian hidangan telah disuguhkan.
Ki Waskita dan Agung Sedayu masih sempat beristirahat digandok kanan.
Ia masih sempat mempergunakan waktunya untuk minta agar Ki Waskita mengobati lukanya agar cepat sembuh dan pulih kembali.
Apalagi Agung Sedayu sadar, bahwa sebentar lagi mereka akan menghadapi tugas yang gawat dan berat.
Baru disore hari, Ki Gede Menoreh memerlukan berbicara dengan sungguh-sungguh bersama Ki Waskita dan Agung Sedayu.
Namun agaknya Ki Gede sudah menduga, tugas apa yang akan disangkutkan kepadanya menghadapi perkembangan keadaan.
"Aku tidak akan ingkar,"
Berkata Ki Argapati.
"semuanya memang harus dilakukan. Lambat atau cepat. Dan agaknya kini telah sampai waktunya untuk mulai dengan pekerjaan besar itu."
"Ya Ki Gede. Agaknya Mataram tidak akan dapat menunda lagi agar pusaka itu tidak terlepas dari tangannya."
"Baiklah. Apakah yang harus aku lakukan?"
"Menyumbat mulut lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu dari arah Barat."
Ki Gede Menarik nafas dalam-dalam.
Untuk tugas itu diperlukan kekuatan yang cukup.
Bukan saja jumlahnya, tetapi juga kemampuan setiap orang dalam pasukan itu.
Agaknya Ki Waskita melihat kebimbangan dihati Ki Gede.
Bukan karena ia segan melakukannya atau bahkan mencemaskan dirinya sendiri.
Tetapi ada semacam pengakuan bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mengalami banyak kemunduran yang cepat dalam waktu singkat.
"Ki Waskita,"
Berkata Ki Gede dengan nada yang datar.
"aku tidak akan ingkar seperti yang aku katakan. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa kemampuan pengawal Tanah Perdikan Menoreh sudah mundur. Aku sudah terlalu tua untuk berbuat terlalu banyak. Apalagi kini aku hanya seorang diri."
Ki Waskita menggelengkan kepalanya sambil menjawab.
"Tidak Ki Gede. Kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak surut. Mungkin yang terjadi adalah kemunduran gairah perjuangan mereka menghadapi kehidupan. Justru karena Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin tenang dan tenteram."
"Mungkin Ki Waskita. Tetapi kesendirianku juga berpengaruh atas kemunduran itu."
"Bagaimana dengan Prastawa?,"
Bertanya Agung Sedayu dengan serta merta.
"Ia adalah anak yang baik. Tetapi ia memerlukan banyak sentuhan. Ia masih terlalu muda, sehingga masih banyak harus mendapat tuntunan dalam banyak hal."
Agung Sedayu tidak bertanya lebih banyak lagi tentang Prastawa.
Ia masih belum tahu pasti, bagaimanakah sikap Ki Gede sesungguhnya terhadap anak muda yang pernah memusuhinya itu, meskipun dalam saat terakhir nampaknya ia sudah menjadi berangsur jinak.
"Ki Gede,"
Berkata Ki Waskita kemudian.
"tugas ini harus kita laksanakan dalam waktu singkat. Jika peristiwa Ki Sumangkar itu sampai pada pimpinan orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu, maka persoalannya akan berkembang dengan cepat."
"Baiklah Ki Waskita. Aku akan mencoba bekerja dengan cepat. Tetapi aku memerlukan bantuan. Mungkin angger Agung Sedayu dapat membantuku."
"Tentu,"
Jawab Ki Waskita.
"jika angger Agung Sedayu setuju, biarlah ia tetap disini. Aku akan kembali ke Mataram uantuk mendapatkan perintah terakhir, karena untuk melakukan satu gerakan diperlukan satu perintah. Pasukan Kademangan Sangkal Putung akan dibawa ke Mataram lebih dahulu sebelum menuju kemulut lembah itu disebelah Timur."
Buku 106 Ki ARGAPATI termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu bertanya.
"Tetapi Ki Waskita akan pergi seorang diri tanpa kawan diperjalanan."
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya.
"Jalan rasa-rasanya menjadi semakin aman."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Ia sadar, bahwa Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu memang memerlukan seorang kawan untuk mempersiapkan pasukannya.
Setelah pembicaraan itu tuntas, maka Ki Waskitapun minta diri untuk menengok keluarganya barang sehari semalam.
Ia sudah berada dekat dengan rumahnya.
"Tetapi sampai kapan?"
Bertanya Agung Sedayu.
"Aku akan berangkat sekarang. Besok siang aku sudah berada disini lagi untuk meneruskan perjalanan ke Mataram."
"Ki Waskita akan berjalan dimalam hari?"
Bertanya Ki Gede. Ki Waskita tersenyum. Jawabnya.
"Aku sudah terbiasa."
Ki Gede tidak dapat menahannya lagi.
Dibiarkannya Ki Waskita menengok keluarganya dalam perjalanan dimalam hari.
Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita hanya ingin sekedar bertemu dengan keluarganya karena ia sudah terlalu lama pergi.
Untuk menyatakan keselamatannya dan melihat keselamatan keluarganya.
"Untunglah bahwa keluargaku mengenal aku sebaik-baiknya,"
Berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
"sehingga mereka sama sekali tidak menyesali tingkah lakuku. Semakin tua aku justru menjadi semakin banyak bertualang lagi."
Tetapi Ki Waskita tidak dapat menghentikan keterlibatannya itu ditengah jalan.
Meskipun ia orang lain sama sekali, baik bagi Pajang maupun bagi Mataram, tetapi ia merasa mempunyai ikatan yang tidak diketahuinya sendiri dengan Kiai Gringsing.
Dan Ki Waskita tahu, bahwa Kiai Gringsing tidak akan dapat berdiam diri jika seseorang mulai berbicara tentang warisan Kerajaan Majapahit, karena sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsingpun berkepentingan dengan sikap mereka.
Bukan karena Kiai Gringsing dengan tamak ingin ikut serta beramai-ramai memperebutkannya, tetapi justru karena Kiai Gringsing merasa bahwa berbicara tentang warisan Kerajaan Majapahit seperti yang dilakukan oleh orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu merupakan perbuatan yang tidak wajar karena sebenarnyalah yang mereka kehendaki adalah sekedar kemukten dan kedudukan tanpa mengenali akibat atas kewajiban yang timbul.
Sepeninggal Ki Waskita, maka Ki Gede Manorehpun mulai membicarakan persiapan yang harus dilakukan bersama Agung Sedayu.
Dari mana Ki Gede harus mulai, dan siapa saja yang harus dipanggilnya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Nampaknya Ki Gede Menoreh sudah benar-benar lelah melakukan tugasnya.
Ia tidak lagi nampak bergairah dan penuh gelora perjuangan menghadapi tantangan seperti itu.
Tetapi seakan-akan ia harus dituntun aksara demi aksara untuk menanggapi peristiwa yang besar itu.
"Ki Gede,"
Bertanya Agung Sedayu.
"bukankah para pemimpin pengawal Tanah Perdikan masih lengkap?"
"Ya. Masih lengkap. Aku belum pernah mengadakan perubahan apapun pada pasukan pengawal dan bebahu yang lain dari Tanah Perdikan ini,"
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Ki Gede.
"Jika demikian, mereka harus diajak berbicara. Meskipun tidak dengan serta merta, perlahan-lahan mereka harus mengerti akan tugas yang akan mereka pikul bersama Mataram."
"Aku akan memanggil mereka."
"Tidak sekarang Ki Gede. Biarlah aku dan beberapa orang pengawal pergi kerumah mereka dan memanggil mereka untuk berkumpul besok pagi."
"Angger Agung Sedayu sendiri akan memanggil mereka?"
"Sudah lama aku tidak berkuda dibulak-bulak panjang seperti di bulak yang mengantari padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan ini."
"Baru hari ini angger berkuda menyusuri bulak-bulak di Tanah Perdikan ini ketika angger datang dari Mataram."
"Aku hanya sekedar lewat. Kali ini aku akan menikmati hijaunya padi disawah dan gemerlipnya kunang-kunang didedaunan."
Ki Gede Menoreh menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata.
"Terserahlah kepadamu ngger."
"Trima kasih Ki Gede. Aku akan pergi bersama dua orang pengawal yang ada digardu disebelah regol halaman ini."
"Baiklah ngger. Aku akan memberitahukan kepada mereka, sementara yang lain biarlah tetap berada digardu itu."
Demikianlah sebagai yang direncanakan, maka setelah makan malam, Agung Sedayu bersama dua orang pengawal yang ada di gardu disebelah regol halaman rumah Ki Gede itupun mulai menyelusuri jalan-jalan Tanah Perdikan Menoreh yang sepi.
Rasa-rasanya malam menjadi semakin gelap diatas Tanah Perdikan yang memang menjadi terlalu lengang.
Tidak banyak lagi gardu-gardu yang diisi oleh anak-anak muda seperti yang pernah dilihat oleh Agung Sedayu beberapa saat lampau.
Meskipun para pengawal masih nampak pada tugasnya, tetapi mereka rasa-rasanya melakukannya dengan hati yang kosong.
Kehadiran Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh memang mengejutkan beberapa orang pengawal yang pernah mengenalnya.
Dengan gembira mereka menyambut kedatangannya.
Hampir disetiap gardu Agung Sedayu harus berhenti dan berbicara panjang.
Dari pembicaraan itu Agung Sedayu mendapat kesimpulan bahwa para pengawal merasa sudah tidak banyak lagi gunanya untuk meronda Tanah Perdikan itu seketat beberapa saat lampau.
"Keadaan sudah berangsur baik. Agaknya sudah tidak ada orang yang berniat mengganggu daerah ini,"
Berkata salah seorang pengawal.
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Ia masih belum memberikan tanggapan apapun juga.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu seakan-akan telah menimbulkan persoalan baru dihati anak-anak muda itu.
Mereka seakan-akan telah dipaksa untuk mengenang kembali, apa yang pernah terjadi di Tanah Perdikan itu pada saat Agung Sedayu berada di daerah itu bersama saudara seperguruannya Swandaru.
Bahkan satu dua orang yang telah berjuang bersama anak muda itu, merasa bahwa kedatangan Agung Sedayu telah memanasi darah yang mengalir diurat nadi mereka.
Pada malam itu juga, Agung Sedayu telah mengetuk pintu beberapa orang pemimpin pengawal yang tidak sedang bertugas.
Pemimpin-pemimpin pengawal yang terkejut itu, membuka pintu rumahnya dengan mata setengah terpejam.
"Siapa? Apakah ada berita kematian?"
Tetapi merekapun terbelalak ketika mereka melihat Agung Sedayu dihadapan mereka.
"Aku sengaja datang ditengah malam,"
Berkata Agung Sedayu.
"aku minta maaf. Tetapi rasa-rasanya berjalan ditengah malam memberikan gairah baru."
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah. Silahkan masuk,"
Katanya. Tetapi Agung Sedayu selalu menggelengkan kepalanya. Katanya.
"Aku mengundangmu untuk datang ke rumah Ki Gede Menoreh besok pagi-pagi, wayah temawon."
Pengawal itu termangu-mangu.
Agung Sedayu bukannya orang Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ia berkeliaran dimalam hari untuk mengundang para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi para pemimpin pengawal yang didatangi oleh Agung Sedayu pada umumnya sudah mengenalnya.
Hubungannya dengan Ki Gede Menoreh dan peranan yang pernah dilakukannya dalam perkembangan Tanah Perdikan Menoreh yang panjang.
Demikianlah Agung Sedayu telah menempuh hampir seluruh jalan yang menjelujur diatas Tanah Perdikan Menoreh.
Ia mendatangi pedukuhan yang satu ke padukuhan yang lain, menjumpai beberapa orang pemimpin pengawal yang rumahnya berpencaran.
Malam itu Agung Sedayu mendapat kesan, bahwa memang telah terjadi kemunduran diatas Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun demikian Agung Sedayu masih melihat, kemungkinan yang baik bagi bangkitnya kembali para pengawal yang seakan-akan sedang terkantuk-kantuk itu.
Ketika fajar menyingsing, dan para pemimpin pengawal itu terbangun dari tidurnya, maka mereka seakan-akan telah bermimpi semalam, bahwa Agung Sedayu datang kepada mereka untuk menyampaikan perintah Ki Gede Menoreh, memanggil mereka menjelang saat pasar temawon.
"Tidak,"
Desis salah seorang dari mereka sambil mandi.
"aku tidak bermimpi. Agung Sedayu, anak Sangkal Putung itu memang telah datang."
Karena itu, maka para pemimpin pengawal itupun segera bersiap-siap untuk pergi menghadap Ki Gede Menoreh.
Sudah lama mereka tidak menerima perintah itu, sehingga dengan demikian maka para pemimpin itupun menjadi berdebar-debar.
Mereka merasa bahwa sesuatu telah terjadi.
Hampir semuanya diantara para pemimpin itu telah mulai meraba senjata mereka kembali.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka menarik senjata mereka dari sarungnya dan melihat, apakah senjatanya itu masih cukup tajam.
Dalam pada itu, di rumah Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu yang bangun pagi-pagi benar, telah memanggil para peronda di gardu sebelah regol halaman.
Sambil menyingsingkan kain panjangnya tanpa mengenakan bajunya ia berkata.
"Marilah. Kita mengurangi perasaan dingin yang menggigit tulang."
Para peronda yang masih berselimut kain panjang didalam gardu termangu-mangu.
"Marilah. Kita bermain-main barang sejenak. Kita akan berkeringat dan udara yang dingin akan terasa sejuk menyegarkan."
Para peronda itu sebenarnya masih merasa segan. Tetapi mereka tidak dapat menolak. Karena itu, maka merekapun segera pergi kesebelah belakang gandok.
"Kita akan sekedar bermain-main. Aku terbiasa bangun pagi-pagi untuk sekedar membasahi tubuh dengan keringat dalam segarnya udara pagi."
Para peronda itu tidak dapat berbuat lain kecuali melepas baju mereka dan bersama-sama dengan Agung Sedayu, mereka mulai berlatih.
Mula-mula para peronda itu benar-benar merasa segan.
Mereka melakukan latihan karena terpaksa sehingga yang mereka lakukan adalah gerak-gerak tanpa gairah.
Mereka seakan-akan sekedar memenuhi permintaan Agung Sedayu agar tamu dari Sangkal Putung itu tidak kecewa.
Tetapi ketika mereka mulai melihat tata gerak Agung Sedayu yang kadang-kadang mengejutkan, bahkan sekali-sekali mereka melihat Agung Sedayu telah melakukan sesuatu yang sangat menarik, maka merekapun mulai merasa dijalari oleh darahnya yang memanas.
"Lihat,"
Berkata Agung Sedayu.
"aku sudah berkeringat."
Para peronda itu termangu-mangu.
"Kita tidak berlatih tanpa arah. Merilah kita mencoba berbuat sesuatu yang menarik. Barangkali kita dapat bermain seperti kanak-kanak sebelum kita berlatih dengan permainan orang-orang dewasa."
"Apakah yang akan kita lakukan?"
"Kita akan berlatih bersama-sama bukan maksudku menunjukkan suatu kelebihan yang memang tidak aku miliki. Tetapi cobalah, sentuh dadaku."
Para peronda itu termangu-mangu. Tetapi mereka sadar bahwa Agung Sedayu ingin berlatih dengan bersungguh-sungguh.
"Akupun akan menyentuh dada kalian seorang demi seorang. Yang sudah tersentuh dadanya, harus minggir dan dianggap sudah mati. Marilah. Aku berdiri disatu pihak bersama seorang dari kalian. Sedang tiga orang yang lain berdiri dipihak lain."
Para peronda itu tildak membantah.
Mereka segera membagi diri.
Seorang bersama Agung Sedayu, yang tiga orang berdiri sebagai lawan.
Dengan demikian latihan itu menjadi semakin panas.
Mereka masing-masing mencoba bertahan.
Menangkis dan menghindar.
Ketika keringat mulai membasahi tubuh para pengawal itu, maka merekapun justru menjadi semakin cepat bergerak sehingga latihan itu menjadi semakin hidup dan mantap.
Bahkan rasa-rasanya para peronda itu bukan saja sekedar ingin menyentuh lawan dan menghindari sentuhan, namun mereka telah melakukan latihan-latihan yang lebih jauh.
Kejutan-kejutan kecil itu nampaknya mulai menumbuhkan kenangan bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh terhadap kemampuan masing-masing.
Para peronda itupun seakan-akan telah bangun dari kantuknya dan mulai mengenangkan masa-masa lampau, saat-saat Tanah Perdikan Menoreh menghadapi bahaya.
Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka gairah yang demikian itu akan menjalar dari satu orang keorang yang lain.
Para peronda itu kemudian tentu akan berceritera kepada kawan-kawannya dan bahkan akan mengulang permainannya dengan orang lain.
"Latihan yang sebenarnya tentu masih kurang menarik,"
Berkata Agung Sedayu didalam hatinya, sehingga seperti kanak-kanak mereka masih harus dibimbing mulai dari permainan-permainan yang menjurus.
Seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede Menoreh, maka pada wayah pasar temawon, para pemimpin pengawal telah berkumpul dipendapa rumah Ki Gede.
Mereka menjadi berdebar-debar melihat beberapa orang kawan mereka yang sudah agak lama tidak berkumpul.
Ketika Ki Gede kemudian hadir dipendapa itu, maka para pemimpin yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itupun segera duduk melingkar diatas tikar pandan.
Agung Sedayu telah ikut duduk pula diantara mereka.
Ki Gede Menoreh minta agar Agung Sedayu menceritakan peristiwa yang mendahului keputusan Senapati Ing Ngalaga untuk melakukan tindakan langsung terhadap orang-orang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu telah memenuhi permintaan itu.
Dengan singkat ia menceriterakan peristiwa yang langsung ditujukan kepada Ki Sumangkar.
"Mereka telah merencanakan suatu pembunuhan terhadap Ki Sumangkar. Dan rencana itu sudah dilaksanakan seandainya Kiai Gringsing tidak hadir pada peristiwa itu, dan bersama-sama dengan Ki Waskita membantu Ki Sumangkar sehingga terlepas dari maut."
Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu.
"karena itulah, maka agaknya tindakan yang diambil oleh mereka yang berkumpul dilembah itu, merupakan tindakan yang sudah terlalu jauh dan tidak dapat dimaafkan lagi. Baik oleh Mataram maupun oleh Pajang. Namun ada perhitungan tertentu, bahwa Mataramlah yang akan mengambil tindakan mendahului Pajang."
"Kenapa? "
Tiba-tiba saja salah seorang pemimpin itu bertanya. Agung Sedayu tidak dapat menceriterakan bahwa ada dua buah pusaka Mataram yang ada dilembah itu. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya.
"Menurut penyelidikan kami, banyak perwira Pajang yang terlibat langsung, sehingga jika Pajang yang mengambil tindakan, maka agaknya tindakan itu tidak menguntungkan. Orang-orang dilembah itu akan dapat segera mengetahui dengan pasti, tindakan yang akan diambil oleh Pajang."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Semula memang terasa ada keseganan untuk terlibat langsung dalam pertempuran itu. Tetapi ketika Agung Sedayu memberikan beberapa penjelasan, maka merekapun mulai berpikir.
"Kita harus segera mempersiapkan diri,"
Berkata Ki Gede Menoreh.
"Mataram dalam waktu dekat akan mengambil sikap langsung terhadap mereka yang berada dilembah itu sebelum mereka menyingkir."
"Apakah mereka akan mungkin menyingkir?"
Bertanya salah seorang pemimpin pengawal itu.
"Tentu. Meskipun mereka merasa kuat. Namun agaknya mereka tidak akan menemukan tempatnya sebaik sekarang. Bukan saja letaknya, tetapi juga hubungan yang mudah dengan para perwira Pajang yang berada di Kota Raja."
Jawab Ki Gede.
"Tetapi, itu bukan berarti bahwa mereka akan tetap tinggal jika mereka merasa kedudukan mereka terancam."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk.
"Nah. Masih ada waktu beberapa hari. Kalian masih ada kesempatan membangunkan para pengawal,"
Desis Agung Sedayu. Para pemimpin itu terkejut. Bahkan Ki Gede Menoreh-pun mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayupun meneruskan.
"Maaf Ki Gede. Agaknya selama ini Tanah Perdikan Menoreh selalu dalam keadaan tenang tanpa sentuhan sama sekali, sehingga para pengawalpun merasa tidak perlu lagi untuk bersiaga setiap saat."
"Tidak benar,"
Salah seorang pemimpin pengawal itupun membantah dengan serta merta.
"kami tidak pernah lengah menghadapi setiap kemungkinan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Keingkaran itu justru menjadi pertanda yang lebih parah lagi bagi kemunduran diatas Tanah Perdikan itu. Namun pemimpin pengawal itu harus menundukkan kepalanya ketika Ki Gede Menoreh bertanya.
"Apakah kau melihat tanda-tanda itu Agung Sedayu?"
"Maaf Ki Gede. Semalam aku mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak melihat lagi pengawal berkuda mengelilingi Tanah Perdikan ini. Digardu-gardu para pengawal lebih senang berbaring jika tidak benar-benar tidur dengan nyenyak. Sementara para pengawal menjadi malas untuk berlatih setiap pagi atau petang hari,"
Berkata Agung Sedayu meskipun dengan memaksakan diri.
"Ki Gede. Maksudku semata-mata ingin mengatakan kekurangan yang ada, agar dengan segera dapat diperbaiki menjelang saat-saat yang cukup gawat."
Para pemimpin yang tersinggung itu bergeser. Hampir berbareng merekat berkata.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Tidak seluruhnya benar."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya.
"Aku minta maaf. Aku bermaksud baik. Tetapi terserahlah kepada kalian."
Ki Gede mengangguk-angguk sambil bertanya.
"Apakah ada gunanya kita ingkar?"
Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh hati para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sambil memandang wajah Ki Gede dan Agung Sedayu maka seakan-akan nampak pengakuan mulai membayang disorot mata mereka.
"Kita harus berterima kasih, bahwa masih ada orang yang bersedia melihat dan mengatakan kekuatan kita,"
Berkata Ki Gede Menoreh.
"tanpa penilaian orang lain, kita akan sulit mengenal kekurangan kita sendiri."
Para pemimpin pengawal itu tidak membantah lagi. Mereka mulai melihat kedalam diri mereka dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada saat-saat terakhir. Dan merekapun mulai melihat kekurangan-kekurangan dan kemunduran kemunduran itu.
"Baiklah,"
Berkata Ki Gede Menoreh.
"kita akan segera bangkit kembali. Mulailah hari ini. Apapun yang dapat kalian lakukan untuk membangunkan yang sedang tertidur itu, lakukanlah. Kita akan berbuat sesuatu bersama dengan Mataram menghadapi keadaan yang dapat menjadi bertambah buruk didaerah ini."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk angguk. Namun karena masih ada pertanyaan yang nampaknya tersimpan di hati mereka sehingga masih ada keseganan untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap terlalu berat, maka Ki Gedepun berkata.
"Kemenangan Mataram adalah kemenangan kita, karena kitapun merupakan daerah terbesar yang berhadapan denga mulut lembah itu. Beberapa Kademangan kecil akan tergantung kepada perkembangan keadaan tanpa dapat ikut menentukan. Tetapi kita tidak tergantung pada perkembangan keadaan. Tetapi kita harus ikut menentukan keadaan itu."
Para pemimpin pengawal itupun kemudian mulai menyadari, bahwa seperti yang dikatakan oleh Ki Gede Menoreh, Tanah Perdikan itu tidak boleh tergantung atas keadaan.
Jika keadaan tenang, maka Tanah Perdikan Menoreh juga terasa tenang.
Tetapi jika keadaan bergolak maka orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh harus mulai mencari tempat persembunyian.
Setiap kali terngiang kembali kata-kata Ki Gede.
"Kita harus ikut menentukan keadaan."
Dalam pada itu, Ki Gede yang sudah merasa cukup setelah banyak memberikan penjelasan, telah berpesan kepada para pemimpin pengawal "
Cobalah melihat kepada diri sendiri.
Apa yang sudah terjadi pada saat terakhir diatas Tanah Perdikan ini.
Kemudian mulailah ber-siap--siap menghadapi tugas yang berat.
Setiap orang akan mendapat bebannya masing-masing.
Meskipun tidak setiap orang akan ikut serta pergi kemedan."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk.
Mereka sadar, bahwa setiap laki-laki diatas Tanah Perdikan Menoreh akan mendapat tugas.
Mereka yang tidak ikut serta melakukan tugas kemulut lembah, harus mempertanggung jawabkan ketenteraman padukuhan-padukuhan diatas Tanah Perdikan Menoreh.
Karena mungkin sekali ada pihak yang memanfaatkan keadaan, justru saat Tanah Perdikan Menoreh kosong.
Demikianlah, setelah para pemimpin pengawal itu pulang dari rumah Ki Gede Menoreh, maka merekapun merasa, seakan-akan telah melihat diri mereka dibeningnya wajah air jembangan.
Mereka melihat, betapa malasnya para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, justru saat-saat Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan tidak lagi mempunyai persoalan apapun juga.
Namun demikian, ternyata bahwa para pengawal Tanah Perdikan itu masih belum terlena sama sekali dalam mimpi yang indah.
Mereka masih sempat melihat kenyataan, bahwa sebenarnyalah Tanah Perdikan Menoreh mengalami kemunduran.
Seorang pemimpin pengawal yang kemudian berkuda memutari bulak disebelah padukuhan induk harus menarik nafas dalam-dalam, ketika Agung Sedayu berdesis.
"Parit itu sudah tidak mengalir lagi. Meskipun parit kecil itu hanya mengairi sawah beberapa bahu, tetapi karena parit itu kering dimusim kemarau, maka tanah yang beberapa bahu itu tidak akan dapat panen setahun dua kali."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya.
"Kau benar Agung Sedayu. Kita memang tidak boleh ingkar, bahwa kita mengalami kemunduran dibanyak bidang. Dibidang kesiagaan dan juga dibidang yang menyangkut tata kehidupan dan penghidupan rakyat Tanah Perdikan Menoreh."
"Untunglah, bahwa masih banyak kesempatan,"
Desis Agung Sedayu.
Kenyataan yang seakan-akan baru saja mereka lihat itu, ternyata telah memanasi darah mereka.
Diam-diam para pemimpin pengawal itu berjanji untuk melakukan apa saja, agar tanah Perdikan Menoreh terbangun dan suasana yang malas itu.
Dalam pada itu, maka para pemimpin pengawal itu-pun setelah tiba dipadukuhan masing-masing, segera mengumpulkan para pengawal yang mula-mula juga merasa, segan seperti saat para pemimpin pengawal itu mendengar persoalan yang menyangkut tanah perdikannya di rumah Ki Gede.
Namun para pemimpin pengawal tidak mau mengejutkan mereka, sehingga mereka akan menjadi bingung.
Yang mula-mula dilakukan oleh para pengawal itu adalah menceriterakan bahwa Agung Sedayu dari Sangkal Putung telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku sudah melihat "
Sahut salah seorang pengawal.
"Ya."
Jawab pemimpin pengawal itu.
"kedatangannya telah membawa persoalan baru bagi Tanah Perdikan kita."
Para pengawal mengerutkan keningnya. Beberapa diantara mereka berkata didalam hati.
"Mudah-mudahan tidak menimbulkan keributan di atas Tanah Perdikan ini."
Tetapi pemimpin pengawal itu berkata.
"Selama ini kita dapat duduk dengan tenang tanpa seorangpun yang mengganggu. Tetapi ternyata bahwa diluar kesadaran kita, bahaya itu sudah mengintai. Mereka menunggu kita terlena. Kemudian dengan serta merta mereka akan menerkam kita."
Beberapa orang pengawal mengerutkan keningnya.
Namun merekapun kemudian kehilangan gairah untuk mendengarkan berita kelanjutannya.
Hanya satu dua orang sajalah tertarik oleh berita itu.
Ada beberapa cara yang dipergunakan oleh beberapa orang pemimpin pengawal dipadukuhannya masing-masing.
Tetapi pada umumnya mereka tidak tergesa-gesa memaksa kawan-kawannya untuk bangkit dan dengan penuh kesadaran mengangkat senjatanya tinggi-tinggi.
Salah seorang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah memancing gairah kawan kawannya dengan mengajak mereka mengenangkan masa lampau Tanah Perdikan itu.
"Kita sudah memiliki segalanya. Tetapi apakah kita akan berdiam diri jika orang lain mulai memandang dengan iri perkembangan Tanah Perdikan kita? Yang mula-mula mereka lakukan adalah sekedar mengamati. Kemudian mengukur kemampuan kita yang sedang lengah. Pada suatu saat mereka akan menerkam kita,"
Berkata pemimpin itu. Tetapi kata-katanya belum membangkitkan gelora dihati kawan-kawannya. Meskipun demikian ia masih berkata terus.
"Yang kini sudah mulai mereka jamah adalah justru Mataram. Jika mereka menguasai Mataram, maka daerah disekitarnya akan dengan mudah mereka kuasai pula."
"Mataram?"
Salah seorang dari mereka bertanya.
"Ya. Mataram juga tertidur seperti kita. Dan Mataram harus menebus kelengahannya dengan penghinaan. Beberapa orang yang tidak dikenal telah berani berkeliaran di Kota yang sedang tumbuh itu. Bahkan jika kalian sempat melihat. Agung Sedayu terluka oleh orang-orang yang sama. Sangkal Putung mulai diganggu. Dan akhirnya mereka telah sesumbar, bahwa Pajang dan sekitarnya akan mereka kuasai dalam waktu dekat. Nah, terserahlah kepada kalian, apa yang dapat kalian lakukan atas Tanah Perdikan ini."
"Siapakah mereka itu?"
Para pengawal mulai tertarik.
"Kita akan mendapat keterangan secepatnya."
Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan, sehingga beberapa orang pengawal telah mendesak.
"Sebutkan, siapakah mereka yang akan menguasai Pajang, Mataram dan juga Tanah Perdikan Menoreh?"
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya.
"Kita semuanya belum mengetahui dengan pasti. Tetapi Agung Sedayu sudah mempunyai tanda-tanda yang akan dapat kita pergunakan sebagai pegangan. Kita masih belum dapat menyatakan, apa yang harus kita lakukan, agar masalahnya tidak merembes sampai ketengah mereka, karena sebenarnyalah mereka mempunyai telinga dan mata disegala tempat."
"Tetapi kami akan ikut mengambil bagian,"
Berkata salah seorang pengawal.
"Ya. Tetapi akupun belum tahu pasti, apa yang hrus kita lakukan. Yang aku tahu, kita akan bertempur. Sarang mereka tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan tidak mustahil, bahwa Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi sasaran utama sebelum mereka menuju ke Mataram dan Pajang melalui Sangkal Putung."
"Maksudmu orang-orang yang berada di Gunung Tidar?"
"Diantaranya,"
Jawab pemimpin pengawal itu.
"Mereka sudah tidak pernah menjawab Tanah Perdikan ini,"
Berkata pengawal yang lain. Itulah kebodohan kita. Kita tidak mengetahui dimana mereka sekarang berada. Tetapi orang-orang Mataram dan Sangkal Putung telah menemukannya."
Para pengawal itu termangu-mangu. Mereka memang pernah mendengar meskipun hanya seperti desir angin lembut, bahwa akan terjadi sesuatu yang gawat yang berpusar dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Namun mereka tidak menanyakannya.
"Nah, kita harus bersiap mulai sekarang,"
Berkata pemimpin pengawal itu.
"kita hanya mempunyai waktu sekitar lima hari."
"Lima hari,"
Hampir berbareng para pengawal bergumam.
"Ya. Dan kita membuktikan, apakah kita masih pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dahulu."
"Yang dahulu? Kenapa?"
Bertanya seorang pengawal.
"Tanah Perdikan Menoreh yang dahulu dikawal oleh anak-anak muda yang trampil trengginas."
"Kami pengawal Tanah Perdikan sejak dahulu? Apakah kami pernah digantikan oleh angkatan sesudah kami?"
"Orangnya belum. Tetapi gairah perjuangannya apakah masih tetap seperti gairah perjuangan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang pernah digakumi oleh Mataram dan disegani oleh orang-orang yang bermaksud buruk atas Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh."
Para pengawal itu mulai merenung.
Namun hati mereka mulai tersentuh oleh kenangan masa lampau yang belum lama terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
Yang oleh ketenangan dan ketenteraman justru seolah-olah telah berkisar surut.
Bukan saja dibidang keamanan, tetapi juga pada segi-segi kehidupan yang lain.
"Nah, mulai sekarang bersiaplah. Hari ini Ki Waskita akan pergi ke Mataram mengabarkan, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah siap menghadapi segala kemungkinan."
"Apa yang akan terjadi?"
Tiba-tiba saja seorang pengawal bertanya.
"Mulailah membayangkan, jika liang semut itu kita siram dengan air. Maka semutnya akan buyar mencari jalannya masing-masing."
Para pengawal itupun mengangguk-angguk.
Mereka justru mulai dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi diatas Tanah Perdikan Menoreh, jika semut yang buyar itu berlari-larian diatas Tanah Perdikan mereka, menjelajahi pedukuhan-pedukuhan dan melintasi batang-batang padi muda di bulak-bulak panjang.
Demikianlah maka para pengawal itupun mulai mempersiapkan diri.
Mereka sadar, bahwa mereka harus melanyahkan kembali tata gerak dan olah senjata.
Itulah sebabnya, maka pemimpin-pemimpin mereka-pun menganjurkan, agar para pengawal itu memanfaatkan waktu yang ada untuk berlatih.
"Jika kalian mulai menyadari tugas kalian menghadapi keadaan yang sebenarnya gawat ini, maka kita akan mulai dengan anak-anak muda yang lain dan setiap laki-laki yang ada diatas Tanah Perdikan ini,"
Berkata para pemimpin pengawal.
"Ya, setiap laki-laki memang harus mempersiapkan diri,"
Desis para pengawal.
Namun demikian para pemimpin pengawal masih sangat membatasi keterangan tentang rencana pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk ikut serta langsung menyerang lembah diantara Gunung Merapi dan Merbabu, meskipun tugas mereka agak berbeda dengan pasukan Mataram yang akan langsung menusuk kedalam sarang mereka.
Sekali-sekali para pernimpin itu hanya menyentuhnya serba sedikit.
Namun masih tetap samar-samar.
Pada hari itu, seperti yang dijanjikan Ki Waskita telah berada kembali di Tanah Perdikan Menoreh.
Dari Agung Sedayu ia mendengar, bahwa para pemimpin pengawal telah berhasil membangunkan Tanah Perdikan yang sedang terkantuk-kantuk itu.
"Sokurlah. Mudah-mudahan mereka menemukan gairah seperti masa-masa lalu,"
Desis Ki Waskita.
"sehingga aku akan memberikan laporan dengan mantap kepada Raden Sutawijaya di Matarami."
Yang kemudian disampaikan oleh Ki Gede Menoreh kepada Ki Waskitapun tidak berselisih dengan pendapat Agung Sedayu. Bagaimanapun juga Menoreh akan siap pada waktunya.
"Aku yakin,"
Berkata Ki Gede.
"masa istirahat yang tenang telah lampau. Kita akan kembali dalam tugas-tugas kita untuk menegakkan tanah ini bagi masa depan dan bagi anak cucu kita."
Seperti yang direncanakan pula, Ki Waskitapun setelah beristirahat sejenak, segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram, menyampaikan berita kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh.
"Ki Waskita pergi sendiri?"
Bertanya Agung Sedayu.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Bantulah membangunkan anak-anak muda diatas Tanah Perdikan ini,"
Jawab Ki Waskita.
"Sebenarnya aku mengharap Rudita ikut bersama Ki Waskita,"
Berkata Agung Sedayu. Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sejenak ia nampak merenung. Namun kemudian katanya.
"Ia sudah menemukan dunianya sendiri. Aku tidak berani mengusiknya. Bahkan kadang-kadang aku merasa bahwa ia telah berhasil melampaui suatu masa dari orang lain meskipun padanya masih terdapat juga cacatnya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis.
"Kadang-kadang aku justru merasa iri kepada Rudita."
Ki Waskita tersenyum. Katanya.
"Mudah-mudahan ia benar benar menemukan kedamaian meskipun ia tidak pernah ingkar bahwa yang dihuninya sekarang adalah dunia yang gelap, penuh dengan segala macam nafsu yang kelam."
Agung Sedayu tidak bertanya lagi tentang Rudita. Dan agaknya Ki Waskita tidak lagi berceritera tentang dirinya. Yang dikatakan kemudian adalah ibu Rudita.
"Nyai Waskita kecewa bahwa aku hanya menjenguk keluargaku sejenak. Tetapi ia menyadari, bahwa aku tidak akan dapat melepaskan diri dari tugas ini."
"Sokurlah Ki Waskita. Mudah mudahan kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik."
Gumam Agung Sedayu.
Setelah minta diri kepada Ki Gede Menoreh, maka Ki Waskitapun meneruskan perjalanannya.
Sebagai orang yang jauh lebih tua, ia sudah memberikan banyak pesan kepada Agung Sedayu.
Apalagi menghadapi daerah yang sedang susut seperti tanah Perdikan Menoreh.
Sepeninggal Ki Waskita, maka Agung Sedayu telah minta ijin kepada Ki Gede untuk berada diantara para pengawal.
Dengan caranya, ia berusaha menggelitik, agar anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu bangkit dengan penuh gairah.
Kadang-kadang ia berhasil membawa sekelompok pengawal untuk berlatih.
Tetapi kadang kadang ia harus menyindir dengan tajam.
Bahkan diluar kehendaknya, seorang pengawal yang masih sangat muda telah tersinggung.
"Aku pernah mengenal namamu. Tetapi aku belum pernah melihat siapakah sebenarnya kau ini. Prastawa, anak muda yang perkasa itu tidak pernah menyombongkan diri. Ia adalah kemenakan Ki Gede Menoreh. Sedang kau orang asing bagi kami."
Pemimpin pengawal yang ada waktu itu terkejut mendengar kata-kata pengawal yang muda itu. Dengan serta merta ia memotong.
"Jangan marah. Kami, yang sudah cukup lama menjadi pengawal Tanah Perdikan ini mengenalnya dengan baik."
"Aku juga sudah mengenalnya. Ketika di Tanah Perdikan ini merayakan perkawinan Pandan Wangi, ia ada di sini pula."
"Dan kau belum menjadi pengawal."
"Sudah. Aku pengawal baru waktu itu."
Jawab pengawal itu.
"tetapi seandainya belum, apakah aku harus menerima sindiran yang tajam seperti ini ? Prastawa tidak pernah berbuat seperti orang asing yang sombong itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, bahwa memang dapat terjadi singgungan semacam itu meskipun maksudnya sekedar membangunkan para pengawal itu dari mimpi.
"Aku minta maaf,"
Tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
"bukan maksud menyinggung perasaan para pengawal. Tetapi aku ingin menunjukkan keadaan yang sebenarnya."
"Kau sangka bahwa kau lebih tahu dari kami orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri."
Bertanya pengawal muda itu.
"Sudah,"
Potong pemimpinnya.
"aku tidak menyalahkan Agung Sedayu. Jangan ribut lagi. Aku mengakui kebenaran kata-katanya. Para pengawal yang pernah mengalami masa lalu yang panjang mengakui dengan setulus hati, bahwa keadaan Tanah Perdikan ini menjadi semakin mundur. Bahkan Ki Gede Menoreh dihadapan kami, para pemimpin pengawal, mengakuinya pula."
Pengawal muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi ketika memandang wajah pemimpinnya, secara ia berpaling, karena ternyata sorot mata pemimpinnya itu mulai menyala.
"Begitu besar pengaruhnya Agung Sedayu disini,"
Berkata pengawal itu didalam hatinya.
"karena itulah agaknya Prastawa tidak menyukainya. Jika ia kembali ke induk Tanah Perdikan dari rumahnya sendiri dan bertemu dengan Agung Sedayu, maka barulah Agung Sedayu menyesal."
Dalam pada itu, maka latihan-latihan pun telah menjalar sampai kesetiap padukuhan.
Mula-mula sekedar para pengawal.
Namun kemudian hampir setiap anak muda dan bahkan setiap laki-laki telah mempersiapkan diri meskipun mereka jelas, apa yang sedang mereka hadapi.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dapat menangkap pembicaraan yang pendek dengan pengawal yang tersinggung itu.
Dengan demikian ia mengetahui, bahwa Prastawa bukannya tidak mempunyai pengaruh diatas Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal yang paling muda, terutama pada angkatan yang terakhir, agaknya telah mengagumi Prastawa sebagai anak muda yang barangkali sebaya dengan mereka.
"Tetapi ia sedang berada dirumahnya,"
Desis Agung Sedayu.
Sesuai dengan pendapat Agung Sedayu.
maka Ki Gede Menoreh telah memerintahkan untuk memanggil Prastawa.
Agung Sedayu berpendapat, bahwa kehadiran Prastawa di tengah-tengah para pengawalpun sangat penting artinya.
Namun Ki Gede Menoreh berkata dengan nada berat.
"Aku agak kurang sesuai dengan anak itu. Meskipun ia anak yang baik, rajin dan dengan tekun berusaha meningkatkan diri, tetapi yang dilakukan sebagian terbesar adalah bagi dirinya sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam.
"Meskipun demikian,"
Ki Gede melanjutkan.
"bukan berarti aku membencinya. Ia adalah kemenakanku. Kegagalan ayahnya merupakan pengalaman yang paling pahit bagi hidupnya, dan agaknya justru telah mengarahkan perkembangan berikutnya. Tetapi bahwa semuanya dilihat dari kepentingan diri, akan merupakan pengaruh yang kurang menguntungkan."
Ia terdiam sejenak, lalu.
"tetapi aku sependapat, bahwa kali ini Prastawa akan memegang peranan. Ia harus mulai mendapat kepercayaan dalam tugas-tugas besar, sehingga ia akan dapat membantu aku dalam tugas-tugas berikutnya. Iapun harus menyadari kemunduran Tanah Perdikan ini, sehingga setelah tugas ini selesai, kemunduran itu tidak akan terulang lagi."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Namun seperti Ki Gede Menoreh, ada sesuatu yang kurang mapan pada dirinya dalam hubungannya dengan Prastawa.
Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menyingkirkan segala macam prasangka dan kecurigaan.
Tanah Perdikan Menoreh yang mundur itu sedang menghadapi tugas- tugas berat, sehingga semua kemampuan yang ada, memang harus dikembangkan.
"Sebenarnya ia masih mempunyai waktu setengah bulan lagi,"
Berkata Ki Gede kemudian.
"ia berada dirumah ayahnya untuk membantu menyelesaikan tanah garapan. Saatnya orang mulai menanam padi dan mempersiapkan sawahnya. Sawah Argajaya cukup luas, sementara ia menjadi semakin tua dan lemah, sehingga Prastawa perlu membantunya mengawasi para pekerja yang sedang membajak dan mengolah sawah."
"Tetapi bukankah Ki Argajaya masih lebih muda dari Ki Gede karena ia adalah adik Ki Gede,"
Bertanya Agung Sedayu.
"Kelemahan rokhaniah telah membuat wadagnya menjadi lemah pula. Ia sering sakit dan bahkan kadang-kadang sangat mengejutkan. Nafasnya tiba-tiba menjadi sesak dan didalam tidurnya seolah-olah ia masih saja dikejar oleh penyesalan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, betapa dalam luka hatinya atas peristiwa yang pernah terjadi diatas Tanah Perdikan Menoreh itu karena tingkah lakunya.
"Untuk mengurangi beban dihatinya, ia telah mengarahkan anaknya untuk menebus kesalahan yang pernah dibuatnya itu,"
Berkata Ki Gede Menoreh.
"Agaknya Prastawa akan berhasil memenuhi keinginan ayahnya,"
Desis Agung Sedayu.
"Mudah-mudahan. Aku masih ingin membuktikan,"
Berkata Ki Argapati.
Tatapan matanya tiba-tiba saja tersangkut dikejauhan.
Agaknya ada sesuatu yang singgah didalam angan-angannya.
Mungkin ingatan masa lampaunya, tetapi juga mungkin kecemasan bagi masa depan yang samar-samar.
Dalam pada itu, sebelum Prastawa datang kembali keinduk padukuhan.
Agung Sedayu yang selalu berada diantara para pengawal.
Menjelang malam ia berusaha memancing latihan bersama parai pengawal.
Bahkan kemudian dengan dua orang pengawal sempat melihat-lihat di padukuhan- padukuhan yang berpencaran.
Ternyata bahwa para pemimpin pengawal telah berhasil membangunkan kawan-kawannya.
Mereka mulai berlatih dengan bersungguh-sungguh.
Dihalaman banjar mereka seakan-akan mencoba mengingat setiap unsur gerak yang pernah mereka kuasai.
Dengan sungguh-sungguh mereka berlatih dalam kelompok-kelompok kecil.
Gelapnya malam sama sekali tidak mempengaruhi hasrat mereka yang sudah mulai bangkit kembali.
Dipadukuhan lain Agung Sedayu menjumpai tingkat latihan yang berbeda.
Agaknya pemimpin pengawal dipadukuhan itu ingin memanaskan tubuh kawan-kawannya dengan cara yang paling ringan.
Sekelompok anak-anak muda berarak-arak berjalan mengelilingi bukan saja padukuhannya, tetapi juga bulak-bulak panjang dan tanggul-tanggul.
Mereka berjalan beriringan untuk waktu yang cukup lama.
Baru setelah tubuh mereka berkeringat dan darah mereka menjadi hangat, maka latihan-latihan yang sebenarnya baru akan dimulai.
Dalam pada itu, Prastawa yang berada dirumahnya sendiri terkejut ketika utusan Ki Gede Menoreh datang dan menyampaikan pesan agar Prastawa segera kembali kepadukuhan induk.
"Kenapa?"
Bertanya Prastawa.
"aku minta ijin kepada paman Argapati untuk waktu kira-kira sebulan. Bukan baru separonya lewat?"
"Tetapi ada persoalan penting yang akan terjadi?"
"Apa? "
"Aku kurang pasti. Tetapi sebaiknya kau menghadap Ki Gede untuk menerima penjelasannya langsung. Disana ada anak muda dari Sangkal Putung itu."
"Swandaru ?"
Bertanya Prastawa. Utusan Ki Gede itu menggeleng. Jawabnya.
"Bukan Swandaru. Tetapi yang satu, Agung Sedayu."
Prastawa mengerutkan keningnya. Dengan nada tegang ia bertanya.
"Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu disana? Apakah ia sedang membujuk paman Argapati?"
"Aku tidak tahu. Tetapi kedatangannya disertai oleh Ki Waskita, meskipun Ki Waskita kemudian pergi meninggalkan rumah Ki Gede. Namun ia kembali diesok harinya dan setelah beristirahat sebentar ia telah melanjutkan perjalanannya pula."
"Ki Waskita? "
Prastawa termangu-mangu. Ayahnya yang ikut mendengarkan pembicaraan itu-pun kemudian berkata.
"Sudahlah. Pergilah kepada pamanmu. Biarlah pekerjaan disawah aku selesaikan."
"Ayah baru sakit."
"Tidak. Saat ini aku merasa sehat. Agaknya badanku berangsur pulih kembali."
"Seharusnya anak Sangkal Putung itulah yang datang kemari jika ia memerlukan aku. Paman terlalu memanjakannya, sedangkan menantu paman bukannya Agung Sedayu, tetapi Swandaru."
"Jangan berpikir begitu,"
Desis Ki Argajaya.
"seandainya kau tidak ingin menghormati tamu itu berlebih-lebihan, kau masih harus menghormati pamanmu."
Prastawa berpikir sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata.
"Baiklah. Aku akan menghadap paman."
"Agaknya memang ada yang penting terjadi. Jika tidak, maka Ki Waskita tidak akan menjadi terlalu sibuk, dan pamanmu tidak tergesa-gesa memerintahkan memanggilmu."
"Tetapi tentu anak Sangkal Putung itulah yang membuat persoalan. Ayah. Terus terang, aku kurang senang terhadap Agung Sedayu. Berbeda dengan Swandaru yang berhati terbuka dan bercita-cita tinggi. Agung Sedayu adalah seorang yang ragu-ragu. tanpa masa depan yang baik dan agak sombong. Ia lebih senang disapa lebih dahulu daripada menyapa orang lain. Apalagi dengan ramah tamah."
"Ah,"
Sahut Ki Argajaya.
"biasanya seseorang yang pendiam dan apalagi pemalu mempunyai sifat-sifat demikian. Ia sama sekali tidak sombong. Tetapi ia memang mempunyai keseganan karena sifatnya itu."
Prastawa tidak membantah. Tetapi ia tidak sependapat dengan ayahnya. Agaknya ayahnya ingin mengurangi kekurangan Agung Sedayu dimatanya.
"Berbahaya bagi anak-anak muda Sangkal Putung,"
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berkata Prastawa didalam hatinya.
"mereka akan tetap mengagumi orang yang bukan seharusnya mereka kagumi. Satu dua orang anak muda di Tanah Perdikan Menoreh memang menganggapnya sebagai seorang anak muda yang luar biasa."
Namun dalam pada itu, Prastawapun segera mempersiapkan diri.
Mengemasi pakaiannya dan yang terpenting baginya, adalah senjatanya.
Prastawa mulai tertarik pada sepucuk senjata yang agak lain dari jenis-jenis yang pernah dipergunakan.
Diluar sadarnya, ia terpengaruh oleh jenis senjata yang pernah dikenal bentuknya dan memiliki kekhususan.
Sebilah tombak yang pendek sekali dengan tajam dikedua ujungnya.
"Senjata ini menarik sekali,"
Berkata Prastawa kepada pengawal yang dijemputnya.
Pengawal itu mengangguk-angguk.
Iapun pernah mengenal senjata semacam itu.
Kadang-kadang orang menyebutnya nenggala meskipun nenggala mempunyai nilai yang luar biasa karena unsur ular yang sangat tajamnya.
Tetapi bentuknyalah yang memang mirip dengan nenggala.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam melihat Prastawa mempersiapkan senjatanya.
Ia tahu, dari mana Prastawa mendapatkan petunjuk untuk mempergunakan senjata itu.
Bahkan ketika ia pernah bertanya tentang hal itu, maka Prastawa hanya tertawa saja sambil menjawab.
"Aku mengenalnya dari angan-anganku ayah. Ketika aku melatih diri untuk meningkatkan ilmu, aku mulai mengkhayalkan berbagai jenis senjata. Diantaranya adalah sebatang tongkat besi berkepala tengkorak. Tetapi aku juga tertarik pada sebatang bindi bergerigi. Bahkan aku pernah berlatih dengan sebuah canggah bertangkai pendek. Namun akhirnya yang paling sesuai adalah senjata ini."
Argajaya menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak mau terseret dalam kenangan atas masa lampaunya karena bentuk senjata anaknya itu.
Demikianlah maka Prastawapun segera bersiap.
Ia kemudian minta diri kepada orang tuanya untuk kembali kerumah pamannya.
"Hati-hatilah,"
Pesan ayahnya.
"kau harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan dan lingkunganmu. Jangan menurutkan kata hatimu sendiri, karena lingkunganmu akan sangat berpengaruh atas diri dan kehidupan yang harus kau jalani setiap hari."
Prastawa mengangguk-angguk. Kemudian dengan nada parau ia menjawab.
"Ya ayah. Aku akan berusaha sebaik-baiknya."
Namun Prastawapun tahu, bahwa ayahnya kini menjadi orang yang sangat berhati-hati. Seolah-olah ia mempertimbangkan setiap langkahnya sebelas dua belas kali sebelum dilakukannya, meskipun hanya sekedar memperbaiki parit dipinggir padukuhan.
"Persetan,"
Geram Prastawa.
"aku mempunyai cara lain untuk menunjukkan, bahwa aku dapat berguna bagi Tanah Perdikan ini. Saat itu aku masih sangat muda sehingga aku tidak tahu, kenapa aku berpihak kepada ayah."
Sejenak kemudian, maka Prastawa dan pengawal yang menjemputnya itupun telah berada diperjalanan. Pengawal itu masih sempat mengatakan apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu dihari-hari pertama ia berada di Tanah Perdikan itu.
"Ia memang terlalu sombong. Ia menyangka bahwa ilmunya sudah sempurna. Aku sekali-sekali ingin mencoba, apakah benar-benar Agung Sedayu mempunyai ilmu yang mantap. Agaknya Swandaru memiliki beberapa kelebihan meskipun didalam perguruan kecilnya Swandaru adalah saudara muda seperguruan dari Agung Sedayu,"
Berkata Prastawa.
Pengawal itu mengerutkan keningnya.
Meskipun Agung Sedayu mendesak dan bahkan mengajak para pengawal berlatih bersamanya, namun bagi pengawal itu, sama sekali tidak nampak sifat-sifat sombongnya.
Meskipun demikian pengawal itu tidak menjawab.
Ia pun sadar, bahwa Prastawa adalah anak muda yang tentu akan ikut memegang peranan dalam perkembangan Tanah Perdikan Menoreh dimasa depan, karena Prastawa adalah anak Ki Argajaya, kemanakan Ki Argapati.
Meskipun pengawal itupun tahu, apa yang pernah terjadi dengan Ki Argajaya dan Prastawa dimasa lampau.
Namun agaknya mereka telah menyadari dan kesempatan yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh telah dipergunakan sebaik-baiknya.
Jarak yang mereka tempuh memang tidak begitu jauh.
Mereka melintasi beberapa bulak panjang yang subur.
Meskipun demikian diluar sadarnya pengawal itu berkata.
"Agung Sedayu menjadi kecewa bahwa beberapa dari parit-parit kita menjadi kering."
"Apa pedulinya, he."
Tiba-tiba saja nada suara Prastawa meninggi.
"Ia mulai menghina. Ia tentu akan mengatakan bahwa Tanah Perdikan Menoreh sekarang mengalami kemunduran. Bukankah begitu?"
Pengawal itu tidak menyahut.
"Gila. aku benar-benar ingin melihat, apakah ilmunya benar-benar sudah mantap. Selama ini aku telah berjuang dengan tekun untuk memperdalam ilmuku. Meskipun ayah sudah sakit-sakitan dan lesu. tetapi ia masih mampu memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berharga, sementara aku mampu mengembangkannya sendiri dalam tata gerak. Paman Argapatipun agaknya ingin melihat aku maju dan tidak ketinggalan dari anak-anak Sangkal Putung itu, sehingga iapun telah menyisihkan waktu untuk memberikan latihan-latihan khusus bagiku. Mungkin guru anak-anak Sangkal Putung itu lebih banyak waktu untuk memberikan latihanlatihan. tetapi aku menganggap cara itu adalah cara kekanak-kanakan. Mereka masih harus dituntun dari gerak yang satu kepada gerak yang lain. Dari perkembangan jenis keperkembangan berikutnya. Dengan demikian otak mereka tidak akan berkembang. Mereka hanya dapat mempergunakan apa yang pernah mereka pelajari dari gurunya."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja Prastawa menunjukkan sikap yang kurang senang kepada Agung Sedayu.
"Tetapi mungkin Swandaru berbuat lain,"
Katanya tiba-tiba.
"pikirannya lebih hidup, dan cita-citanya agak lebih mantap dari kakak seperguruannya yang ragu-ragu dan sombong itu."
Pengawal yang mendapat perintah untuk memanggil Prastawa itu sama sekali tidak menjawab lagi.
Ia tidak tahu apakah yang dikatakan oleh Prastawa itu benar atau tidak.
Tetapi menurut pengetahuannya.
Agung Sedayu memang sudah memberikan jasa kepada Tanah Perdikan Menoreh bersama saudara seperguruannya dan gurunya yang bersenjata cambuk itu.
Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.
Sejenak kemudian mereka telah mendekati pa-dukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Perjalanan mereka terhenti, ketika mereka melihat di pinggir padukuhan, sekelompok anak-anak muda yang berlatih dibawah rimbunnya sebatang pohon munggur yang besar.
Prastawa berhenti didekat mereka.
Anak-anak muda itupun berhenti berlatih pula.
Salah seorang dari mereka sambil tersenyum mendekati Prastawa yang masih berada dipunggung kuda.
"Kami sedang berlatih."
"Ya. Aku sudah melihat bahwa kalian sedang berlatih,"
Jawab Prastawa sambil tersenyum. Kawan-kawannyapun tertawa pula, sementara Prastawa bertanya.
"Dimanakah Agung Sedayu?"
"Ia tidak berada disini. Ia berada di padukuhan sebelah atau dipadukuhan lain. Bersama Ki Argapati ia melihat-lihat para pengawal yang sedang mengadakan latihan dimana mana."
"Apakah ia memberikan petunjuk-petunjuk tentang latihan-latihan itu sendiri? "
Bertanya Prastawa. Pengawal itu menggeleng.
"Ia hanya memberikan beberapa keterangan. Tetapi semuanya ditangani oleh para pemimpin kami disetiap padukuhan."
"Sekarang kalian berlatih tanpa seorang pengawaspun."
"Kami mengisi waktu kami. Daripada kami duduk merenung menunggui burung tanpa berbuat sesuatu, maka kami mencoba melanyahkan tangan dan kaki kami."
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya.
"Bagus. Kalian adalah kekuatan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Lanjutkanlah. Peningkatan kemampuan setiap orang, berarti peningkatan kemampuan seluruh Tanah Perdikan ini."
Para pengawal yang sedang berlatih itupun mengangguk-angguk.
Keterangan Prastawa itu membuat mereka semakin bergairah untuk meneruskan latihan mereka, setelah beberapa saat lamanya mereka seolah-olah sedang beristirahat.
Sepeninggal Prastawa, para pengawal itu telah tenggelam lagi dalam latihan yang lebih bersungguh-sungguh.
Mereka bukan saja berlatih dengan tangan.
Tetapi mereka berlatih dengan mempergunakan senjata-senjata mereka masing-masing.
"Mudah-mudahan paman sudah ada dirumah,"
Berkata Prastawa kepada pengawal yang menjemputnya.
"Seandainya Ki Gede tidak ada, tentu para pengawal mengetahui kemana ia pergi."
"Tetapi menurut para pengawal, paman pergi berkeliling bersama Agung Sedayu."
Sahut Prastawa.
Pengawal yang menyertainya tidak menjawab.
Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Memang mungkin sekali Ki Argapati sedang berkeliling dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain, setelah agak lama Ki Argapati seolah-olah telah menyepi dirumahnya.
Ternyata seperti yang mereka duga, ketika mereka memasuki ha aman rumah Ki Argapati, yang ada dihalaman adalah beberapa orang pengawal yang justru sedang berlatih.
Seorang pemimpin pengawal mengawasi mereka dan setiap kali memberikan petunjuk-petunjuk yang diperlukan.
Ketika Prastawa datang, maka pemimpin pengawal itu menyongsongnya sambil berkata.
"Marilah. Sayang sekali. Ki Gede dan Agung Sedayu sedang melihat-lihat berkeliling."
Prastawa tersenyum. Iapun kemudian turun dari kudanya dan menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal yang membawanya kebelakang.
"Teruskanlah,"
Berkata Prastawa.
"Apakah kau akan menyusul Ki Gede? "
Bertanya pemimpin pengawal itu.
"Tidak. Nanti aku justru akan berselisih jalan. Aku akan tetap disini, menunggu paman pulang. Sementara teruskanlah latihan ini. Aku akan melihat-lihat,"
Jawab Prastawa. Pemimpin pengawal itu tersenyum. Nampaknya ia menjadi agak segan. Namun akhirnya iapun mengangguk. Katanya.
"Baiklah. Tetapi kau sajalah yang memimpin latihan ini."
"Bukan aku. Kau,"
Jawab Prastawa. Pemimpin pengawal itu tersenyum. Namun iapun kemudian melanjutkan latihan yang diikuti oleh beberapa orang pengawal.
"Disore hari, latihan-latihan berjalan lebih luas,"
Berkata salah seorang pengawal yang tidak ikut dalam latihan itu, karena ia harus berjaga-jaga diregol. Prastawa mengangguk-angguk. Katanya.
"Latihan-latihan ini akan segera menjalar kepadukuhan- padukuhan yang agak jauh dari padukuhan induk. Dipadukuhanku, latihan-latihan belum lagi mulai. Tetapi agaknya para pemimpin pengawal telah mendapat penjelasan yang sama dengan kalian."
"Ya. Kami telah mendapat penjelasan yang sama. Mungkin hari ini, atau nanti malam, latihan-latihan itu akan dimulai."
Prastawa mengangguk-angguk.
Sekilas ia membayangkan, bahwa para pengawal dipadukuhan tentu mempunyai kemampuan yang lebih baik.
Disaat lampau, jika ia kebetulan berada di rumah nya sendiri, ia selalu ikut memberikan latihan latihan bagi kawan-kawannya disekitarnya.
Dan kini ia menyaksikan pengawal-pengawal diinduk padukuhan itu sedang berlatih.
Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya.
Ia merasa ikut bertanggung jawab pula atas kemampuan mereka, sehingga akhirnya Prastawapun tidak dapat berdiam diri.
Sekali-sekali iapun memberikan beberapa petunjuk dan kadang-kadang justru terlibat pula dalam latihan-latihan dengan para pengawal itu.
"Kalian masih harus bekerja keras untuk dapat mencapai tingkat kemampuan yang pernah kalian miliki,"
Berkata Prastawa tiaba-tiba diluar sadarnya.
Para pengawal itu mengangguk-angguk.
Peringatan itu berarti, Prastawapun telah mengakui, bahwa telah terjadi kemunduran diatas Tanah Perdikan Menoreh itu.
Dalam pada itu, sementara Tanah Perdikan Menoreh telah dihangatkan oleh latihan-latihan disetiap padukuhan.
maka Ki Waskita telah berada kembali di Mataram dengan selamat.
Dari Tanah Perdikan Menoreh ia langsung pergi menghadap Raden Sutawijaya, dan melaporkan apa yang dilihatnya di Tanah Perdikan Menoreh dan kesanggupan yang didengarnya dari Ki Argapati.
"Anak anak muda di Tanah Perdikan Menoreh memang mengalami kemunduran,"
Berkata Ki Waskita.
"tetapi agaknya masih belum terlalu jauh. Dalam waktu yang singkat, maka semuanya akan dapat dicapai lagi sehingga Tanah Perdikan Menoreh akan menemukan dirinya kembali."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya.
"Terima kasih paman. Jika Agung Sedayu tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, aku berharap, bahwa kehadirannya itu akan dapat ikut membantu memanaskan Tanah Perdikan itu dengan latihan-latihan.
"Agaknya ia akan berusaha bersama kemanakan Ki Gede Menoreh yang masih muda dan cekatan itu."
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian.
"Kita justru menunggu Swandaru. Agaknya ia akan datang bersama pasukannya. Untuk menghindarkan pengamatan Untara yang mungkin akan tersinggung karenanya, maka pasukan Sangkal Putung akan datang dari arah Selatan dan melingkar dilambung Gunung Merapi."
Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula Ia harus menunggu satu dua hari sebelum perintah terakhir akan jatuh dari pimpinan tertinggi Mataram yang akan mengatur semua gelar, baik yang akan memasuki lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, maupun yang akan memasang gelar dimulut lembah.
Hanya akan ada satu perintah dalam gerakan yang besar itu untuk menghindarkan kesimpang-siuran.
Dan perintah tertinggi itu sudah barang tentu berada ditangan Raden Sutawijaya.
Sementara itu.
agaknya Swandarupun menyadari bahwa pasukannya tentu sudah ditunggu, ia benar-benar berusaha untuk tidak menarik perhatian, terutama petugas-petugas sandi Untara yang mungkin saja secara kebetulan berada di alur jalan antara Sangkal Putungdan Mataram.
Setelah ia berhasil mengumpulkan sepasukan yang kuat, meskipun ia tidak melupakan keamanan Sangkal Pulung sendiri sepeninggalnya, maka Swandaru dan Kiai Gringsingpun mulai mengatur keberangkatan pasukannya ke Mataram.
Tetapi seperti yang sudah diperhitungkan, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berkeras untuk ikut serta bersama pasukan itu.
Betapapun Swandaru dan ayahnya mencoba mencegahnya, tetapi keduanya memaksa untuk ikut serta pergi kemedan.
"Aku akan berada dibelakang garis perang. Jika tidak diperlukan, aku tidak akan mengganggu,"
Berkata Pandan Wangi.
"Ya. Aku akan menunggu perintah."
"Sekarang kau sudah tidak menurut perintah,"
Berkata Swandaru. Tetapi Sekar Mirah menggeleng, katanya.
"Sekarang belum mulai. Aku akan menempatkan diri dibawah perintahmu setelah kita berada di lembah. Apalagi aku ingin melihat keadaan guru."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Adalah wajar sekali jika Sekar Mirah ingin melihat gurunya yang terluka cukup parah meskipun tidak berbahaya dan tentu sudah berangsur baik.
Setelah berbicara dengan ayahnya dan Kiai Gringsing, maka akhirnya Swandaru tidak dapat menolak permintaan Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
Agaknya mereka sudah mulai dihinggapi oleh kejemuan untuk tinggal dirumah saja melakukan pekerjaan mereka sehari-hari.
"Baiklah,"
Akhirnya Swandaru mengalah.
"tetapi kalian berdua benar-benar harus menurut perintahku dimedan. Kalian tidak boleh membuat rencana sendiri yang mungkin akan berbahaya bagi kalian masing-masing."
Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengangguk.
Namun mulai nampak kegembiraan di wajah mereka.
Mereka sudah lama tidak berkuda di jalan-jalan panjang sambil menggenggam senjata.
Dengan keputusan itu, maka mulailah Sekar Mirah menggosok senjata yang paling dipercayainya.
Tongkat pemberian gurunya, sementara Pandan Wangi mulai melihat-lihat kembali sepasang pedangnya.
Dengan demikian, maka Sangkal Putungpun telah mulai mempersiapkan diri.
Swandaru yang tidak dapat langsung berangkat ke Mataram, masih harus mengatur tugas para pengawal yang ditinggalkan.
Bahkan tugas pengawalan Kademangan tidak hanya dibebankannya kepada pengawal yang tinggal sedikit, tetapi dibebankannya kepada setiap laki-laki.
"Ayah dan Ki Jagabaya akan mengatur kalian jika kalian harus mempertahankan Kademangan ini dari gangguan siapapun,"
Berkata Swandaru kepada para pengawal.
Setelah semuanya dianggapnya selesai, serta jalur perintah di Kademangannya sudah tersusun jika para pengawal terpilih telah meninggalkan Kademangan.
maka mulailah Swandaru bersiap-siap untuk berangkat ke Mataram.
Seperti yang direncanakan, maka pasukannya mulai berangkat menjelang petang.
Sekelompok demi sekelompok, sehingga jika seseorang melihat atau bertemu diperjalanan.
mereka tidak akan langsung tertarik perhatiannya.
Apalagi Swandaru telah membagi jalan pula.
Sebagian harus melalui jalan kecil dibagian Selatan.
Jalan yang kurang menarik, tetapi cukup lebar dan rata.
Jalan yang akan bertemu dengan jalan yang biasa dilalui dalam perjalanan ke Mataram, menjelang Alas Tambak Baya.
"Mudah-mudahan pasukan ini tidak terganggu diperjalanan,"
Berkata Swandaru.
"Aku kira tidak Swandaru,"
Sahut Kiai Gringsing.
"nampaknya daerah ini cukup tenang. Kesibukan dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu belum terasa sampai kedaerah ini, sehingga orang-orang yang melihat sekalipun tidak akan membayangkan bahwa akan terjadi sesuatu yang akan dapat menentukan masa depan daerah Selatan ini."
Swandaru mengangguk angguk.
Ia sependapat dengan gurunya.
Karena itu maka iapun yakin, bahwa perjalanannya akan ikut serta menentukan.
Namun demikian, sekali-sekali terbersit pula diangan-angannya tentang sekelompok orang-orang yang mengaku dirinya dan berpakaian seperti para perwira prajurit Pajang.
Jika tidak dibantu oleh Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu yang melintas dijalan yang sama, meskipun berlawanan arah.
maka ia dan Ki Sumangkar sudah tidak akan dapat melihat medan dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu.
Ketika hal itu dinyatakan kepada gurunya Kiai Gringsing berkata.
"Mereka mencari Ki Sumangkar."
"Tetapi jika orang-orang mereka itu tidak segera kembali apapun hasilnya, maka mereka tentu akan mengambil sikap lain,"
Sahut Swandaru.
"Itulah sebabnya Mataram tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum mereka mengambil sikap yang lain itu."
Swandaru mengangguk-angguk.
Ia sadar, bahwa persoalan orang-orang yang sedang berkumpul dilembah itu harus mendapat perhatian sepenuhnya.
Dan untuk itulah maka ia membawa sepasukan pengawal pilihan ke Mataram.
Kehadiran para pengawal dari Sangkal Putung di Mataram disambut oleh para pengawal Mataram yang memang sudah diberi tahu akan kehadiran mereka.
Barak-barak telah disiapkan pula, sementara segala keperluan mereka telah disediakan.
Swandaru datang ke Mataram bersama Kiai Gringsing diiringi oleh isteri dan adiknya.
Namun kehadiran kedua orang perempuan itu sama sekali tidak mengejutkan Raden Sutawijaya karena ia sudah mengenal dan mengetahui, siapakah kedua perempuan itu.
Sekar Mirah yang mencemaskan nasib gurunya, langsung diantar oleh Sutawijaya kegandok.
tempat Ki Sumangkar beristirahat selama ia berada di Mataram.
Kedatangan Sekar Mirah memberikan kegembiraan dihati Sumangkar.
Bagaimanapun juga, gadis itu adalah satu-satunya muridnya.
Murid yang masih akan memperpanjang jenis ilmu dari cabang perguruannya.
"Aku sudah sehat,"
Berkata Ki Sumangkar.
"Tetapi luka-luka guru belum sembuh sama sekali."
"Luka-luka pada kulit tidak akan banyak berpengaruh. Marilah. Aku akan menemui tamu dari Sangkal Putung dipendapa."
"Tetapi, sebaiknya Ki Sumangkar tinggal saja didalam bilik, agar luka-luka itu tidak kambuh lagi."
Ki Sumangkar tertawa. Katanya.
"Aku sudah sembuh. Dan luka-lukaku tidak akan dapat kambuh lagi. Apalagi Kiai Gringsing ada disini. Ia akan dapat memberikan obat untuk luka-lukaku meskipun seandainya harus kambuh lagi."
Raden Sutawijaya dan Sekar Mirah tidak dapat mencegahnya.
Ki Sumangkarpun kemudian ikut bersama mereka kependapa.
menjumpai para pemimpin pengawal dari Sangkal Putung yang ikut menghadap Raden Sutawijaya di rumahnya.
Raden Sutawijaya menerima pasukan pengawal Sangkal Putung itu dengan gembira.
Rasa-rasanya, apa yang akan dilakukannya itu tidak akan gagal lagi.
Lembah itu akan tersumbat dari kedua mulutnya, sehingga kedua pusaka itupun akan dapat diketemukannya bersama hancurnya gerombolan yang sangat berbahaya bagi Pajang dan Mataram.
Sutawijaya yang dikawani oleh Ki Juru Martani dan beberapa orang pemimpin dari Mataram, masih belum membicarakan persoalan-persoalan yang langsung mengenai tugas-tugas mereka dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Tetapi mereka kemudian justru mempersilahkan para pemimpin dari Sangkal Putung dan para prajurit yang lain untuk beristirahat, setelah perjalanan mereka sekelompok demi sekelompok dimalam hari.
Namun agaknya bagi Ki Waskita yang sudah lebih dahulu berada di Mataram, semuanya sudah jelas.
Tugas yang besar itu akan benar-benar mereka laksanakan dalam waktu dekat.
Apalagi setelah pasukan pengawal Sangkal Putung hadir di Mataram.
Meskipun demikian Ki Waskita masih harus menunggu pembicaraan yang masak antara para pemimpin Mataram dan Sangkal Putung.
Hasil pembicaraan itu akan dibawanya ke Menoreh dan merupakan ketentuan waktu yang harus dipegang bersama-sama.
Demikianlah, setelah pasukan pengawal dari Sangkal Putung itu beristirahat, maka para pemimpin dari Mataram, Sangkal Putung dan Ki Waskita yang mewakili Tanah Perdikan Menoreh itupun segera mengadakan pembicaraan.
Mereka menentukan tempat dan waktu bagi masing-masing pasukan yang akan ikut mengambil bagian dalam penyergapan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.
"Apakah Tanah Perdikan Menoreh dapat diandalkan Ki Waskita,"
Bertanya Swandaru tiba-tiba, seolah-olah ia dapat melihat apa yang telah terjadi selama masa-masa terakhir. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pandan Wangi sekilas. Namun kemudian jawabnya.
"Tanah Perdikan Menoreh masih memiliki kekuatan dan kemampuannya seperti semula."
Swandaru mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnya Pandan Wangi juga mencemaskan keadaan Tanah Perdikan itu.
Seolah-olah ada firasat yang mengatakan kepadanya, bahwa pada masa-masa terakhir Tanah Perdikan Menoreh telah dibuai oleh kelemahan justru karena ketenangannya.
"Aku sudah menyaksikan sendiri,"
Berkata Ki Waskita kemudian.
"di saat-saat yang sangat pendek itu, para pemimpin pengawal telah berhasil menyiapkan kekuatan yang ada diatas Tanah Perdikan Menoreh."
"Sokurlah,"
Raden Sutawijaya menyahut. Iapun sebenarnya menyimpan pertanyaan serupa. Tetapi ia tidak mengatakannya, karena ia yakin, jika ada kekurangan pada Tanah Perdikan itu, Ki Waskita tentu sudah mengatakannya.
"Jika demikian,"
Berkata Swandaru.
"kita dapat menentukan segala-galanya sekarang. Waktu dan tempat yang akan menentukan saat dan arah kita masing-masing. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya Ki Juru Martani seolah-olah hendak mempersilahkannya untuk mengambil keputusan yang akan mengikat semua pihak. Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia bergeser setapak. Ia dapat menangkap maksud yang tersirat pada tatapan mata Raden Sutawijaya.
"Marilah, kita akan menentukan bersama-sama,"
Berkata Ki Juru.
Demikianlah, maka orang-orang terpenting yang ada dipendapa Mataram itupun segera membicarakan rencana mereka.
Seperti semula, maka pembicaraan itu tetap berpangkal pada usaha menyumbat lembah itu dari dua arah, dan pasukan Mataram akan langsung menusuk masuk kedalamnya.
"Kita akan menentukan waktu,"
Berkata Raden Sutawijaya.
"Kita harus bersiap-siap,"
Sahut Swandaru.
"kita harus memperhitungkan perjalanan pasukan kita kemulut lembah. Terutama disebelah Timur, karena di Jati Anom ada pasukan Pajang yang kuat, agar tidak menimbulkan salah paham apabila mereka mengetahui kehadiran pasukan kami."
"Semuanya harus diatur sebaik-baiknya,"
Berkata Raden Sutawijaya.
"karena itu, kita harus memperhitungkan waktu yang kita perlukan untuk mempersiapkan pasukan itu dilembah."
"Tidak banyak persoalan bagi Tanah Perdikan Menoreh,"
Berkata Ki Waskita.
"Tanah Perdikan Menoreh hanya memerlukan waktu sehari untuk menempatkan pasukannya dimulut lembah itu."
"Baiklah,"
Berkata Raden Sutawijaya kita akan rnernerlukan waktu tujuh hari sejak saat ini.
Tetapi sebelum pasukan kita semuanya siap ditempat, maka kita harus mengirimkan sekelompok petugas yang harus mengawasi keadaan mereka.
Tidak perlu memasuki lembah itu sampai kejantung.
Yang penting mereka harus dapat melihat lalu lintas dimulut lembah.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka harus mengetahui dengan pasti, bahwa gerombolan itu masih ada dilembah dan tidak mengirimkan kedua pusaka itu keluar."
"Kita yakin bahwa pusaka-pusaka itu masih ada dilembah sekarang ini? "
Bertanya Swandaru.
"Ya. Menurut orang-orang yang tertangkap itu semuanya masih lengkap berada dilembah itu. Beberapa pihak yang melibatkan diri dalam usaha mereka itupun telah berkumpul pula. Mereka masing-masing dengan membawa pasukan terpercaya. Agaknya mereka memang akan berpangkal dilembah itu sebelum mereka menghantam Pajang yang menjadi semakin lemah sekarang ini."
Jawab Raden Sutawijaya.
"Tetapi Pajang masih belum merupakan seonggok sampah yang dapat diperlakukan begitu saja,"
Justru Ki Juru Martanilah yang menyahut.
"para Adipati masih siap melakukan perintah Sultan. Dan kekuatan para Adipati itu bukanlah tida dapat ikut menentukan apa yang akan terjadi dengan Pajang."
"Benar paman. Tetapi keadaan Pajang sendiri akan mempunyai pengaruh yang besar. Tidak semua Adipati sependapat bahwa ayahanda Sultan Hadiwijayalah yang naik tahta setelah Demak kehilangan wibawanya. Tetapi karena perubahan dipusat pemerintahan itu sudah terjadi, maka yang lain dapat diselesaikan setapak demi setapak,"
Jawab Raden Sutawijaya.
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam.
Diluar sadarnya ia memandang wajah Kiai Gringsing yang buram.
Namun agaknya Kiai Gringsing mempunyai persoalan tersendiri didalam hatinya mengenai orang-orang yang mengaku pewaris kerajaan Majapahit itu.
Karena sebenarnyalah Kiai Gringsing berkepentingan langsung dengan mereka.
Tetapi Kiai Gringsing tidak ingin berbuat sesuatu yang akan dapat menambah suasana menjadi semakin keruh.
Mataram dan Pajang sudah cukup berat menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sehingga karena itulah, maka sudah sebaiknyalah bahwa ia menempatkan diri pada pihak yang sudah mengambil sikap tertentu atas orang-orang yang berada dilembah itu.
Tatapan yang sekilas itu agaknya telah mengusik hati Kiai Gringsing sehingga iapun merasa wajib untuk ikut serta menentukan rencana penyergapan itu.
Bukannya sekedar menunggu keputusan dan kemudian melaksanakannya.
"Raden,"
Berkata Kiai Gringsing kemudian.
"sejak saat ini, sebaiknya kita sudah mengirimkan kelompok-kelompok kecil yang akan mengawasi lembah itu seperti yang Raden katakan. Tujuh hari adalah waktu yang panjang."
"Tetapi jika pada hari ketujuh itu kita semuanya harus sudah siap ditempat kita masing-masing, maka tiga hari setelah pembicaraan ini kita harus sudah berangkat. Gelombang demi gelombang,"
Sahut Raden Sutawijaya.
"Benar Raden,"
Jawab Kiai Gringsing.
"dua atau tiga hari itu adalah perhitungan kami. Tetapi bagi orang-orang dilembah itu, kehadiran kami tetap pada hari ketujuh. Karena itu, secepatnyalah kita meletakkan pengawasan. Juga gelombang-gelombang pasukan yang hadir dimulut lembah itu harus kita manfaatkan, selain harus menjaga diri agar pengawas-pengawas dari orang-orang itu berada dimulut lembah tidak melihat kehadiran kita.
"Ya. Pengawas-pengawas mereka harus kita perhitungkan,"
Desis Sutawijaya.
"Kita akan berkumpul agak jauh dari mulut lembah. Kita akan hadir serentak dan bersama-sama waktunya. Kita tidak akan cemas lagi seandainya pengawas mereka melihat kehadiran kita, karena kita langsung telah mempersiapkan diri dalam gelar,"
Berkata Ki Juru.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk.
Agaknya hal yang mereka bicarakan itulah yang harus dilakukannya.
Dengan demikian, maka pembicaraan itupun menemukan pokok-pokok persoalannya.
Pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh akan hadir dilembah, pada hari ketujuh setelah pembicaraan itu.
Pada hari itu akan berangkat kelompok kecil yang akan mengawasi mulut lembah, dengan pesan bahwa mereka harus menghindari pengawasan orang-orang yang ada dilembah itu.
Semua keputusan itu segera dijalankan.
Lima orang yang terdiri dari tiga orang pengawal Mataram dan dua orang dari Sangkal Putung akan segera berangkat.
Sementara Ki Waskita dan tiga orang pengawal dari Mataram akan segera menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Tiga orang pengawal Mataram itu kemudian akan pergi bersama dengan dua orang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh untuk mengawasi mulut lembah dibagian lain.
"Ingat,"
Berkata Ki Juru kemudian.
"pada hari ketujuh setelah hari ini, waktu fajar menyingsing, pasukan harus sudah berada dimulut lembah dalam gelar. Sementara pasukan Mataram akan mengatur diri langsung memasuki lembah itu."
Demikianlah ketika semua persoalan sudah disepakatkan bersama dengan perincian waktu, tempat dan jarak, maka Ki Waskitapun segera minta diri.
Bersama tiga orang pengawas dari Mataram yang akan bekerja bersama orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, mereka berkuda meninggalkan Mataram.
Berbareng dengan keberangkatan Ki Waskita, lima orang yang bertugas dimulut lembah disebelah Timurpun telah berangkat pula.
Mereka akan menyusuri jalan memanjat kaki Gunung Merapi dari arah Selatan.
Baru kemudian mereka akan melingkari lambung dan turun dimulut lembah.
Sehingga dengan demikian mereka memperkecil kemungkinan untuk bertemu dengan para peronda dari Jati Anom.
Sepeninggal Ki Waskita dan para pengawas, maka Raden Sutawvjaya dan Swandaru segera mempersiapkan pasukan masing-masing.
Dalam dua hari semuanya harus sudah selesai.
Dihari ketiga, pasukan itu akan mulai bergerak dari Mataram.
Gelombang demi gelombang.
Seperti yang dilakukan oleh pasukan yang datang dari Sangkal Putung, pasukan yang akan pergi kelembah itupun harus tidak menimbulkan kegelisahan mereka yang melihatnya.
Swandaru tidak banyak lagi harus mengatur diri.
Sejak dari Sangkal Putung ia sudah memberikan beberapa pesan dan petunjuk.
Karena itu, maka tugasnya tinggallah mengulang pesan-pesannya dan menyesuaikan diri dengan rencana keseluruhan.
Beberapa orang pemimpin dari Sangkal Putung dan Mataram, dalam kesempatan yang pendek itu dapat saling menjajagi kemampuan pasukan masing-masing.
Mereka masih sempat menyaksikan latihan-latihan dikedua belah pihak.
Baik para pengawal dari Sangkal Putung, maupun para pengawal dari Mataram.
"Guru,"
Berkata Swandaru ketika ia hanya duduk berdua dengan gurunya ternyata pasukan pengawal Sangkal Putung tidak kalah bobotnya dengan para pengawal dari Mataram."
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk ia berkata.
"Kau benar Swandaru. Melihat latihan-latihan dari kedua belah pihak pasukan pengawal yang sedang berkumpul di Mataram sekarang ini, dan siap untuk berangkat, maka keduanya mempunyai bobot yang sama."
Terasa hati Swandaru bagaikan berkembang.
Gurunya, orang yang memiliki ketajaman pengamatan atas ilmu kanuragan, membenarkan pendapatnya.
Sehingga dengan demikian ia menjadi semakin bangga dengan Kademangannya dan kepada dirinya sendiri.
Dalam pada itu, keadaan Ki Sumangkar sudah menjadi berangsur baik.
Meskipun masih belum sembuh benar namun lukanya sudah tidak banyak mengganggunya lagi.
Jika luka dikulitnya itu sudah sembuh, maka hilanglah bekas-bekas luka itu tanpa bekas.
"Pada saatnya pasukan ini berangkat,"
Berkata Ki Sumangkar kepada Kiai Gringsing ketika mereka duduk bersama didalam biliknya.
"aku sudah akan sembuh sama sekali."
"Tetapi sebaiknya Ki Sumangkar masih harus beristirahat. Meskipun luka-luka itu sudah sembuh sama sekali, namun kekuatan Ki Sumangkar tentu masih belum pulih."
Berkata Kiai Gringsing. Ki Sumangkar tersenyum. Katanya.
"Jika aku sakit sehingga aku tidak mau makan dan minum, maka kekuatanku akan susut. Tetapi selama aku beristirahat di Mataram, aku justru makan dua kali lipat dari kebiasaanku, sehingga tenagaku tentu berlipat pula."
Kiai Gringsing tersenyum.
Ia sadar, bahwa ia tidak akan mungkin dapat mencegah Ki Sumangkar agar tidak ikut kemedan yang tentu akan merupakan medan yang berat itu.
Agaknya Sekar Mirahpun telah berusaha pula agar Ki Sumangkar tinggal di Mataram, tetapi muridnya itupun tidak berhasil.
Ki Sumangkar tetap pada pendiriannya untuk ikut serta pergi kelembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Dalam pada itu, Ki Waskita telah melampui perjalanannya dengan tanpa gangguan diperjalanan.
Ketia ia memasuki tlatah Tanah Perdikan Menoreh, hatinya terasa sejuk.
Agaknya Menoreh benar-benar telah bangun.
Diperjalanan Ki Waskita telah bertemu dengan tiga orang peronda berkuda yang mengelilingi padukuhan yang satu dan yang lain.
"Mereka telah menemukan diri mereka kembali,"
Desis Ki Waskita.
Tiga orang pengawas yang dikirim oleh Mataram itu termangu-mangu.
Mereka tidak begitu mengerti, apakah yang dimaksud oleh Ki Waskita.
Namun merekapun menganggukkan kepalanya tanpa mengerti maknanya.
Dihalaman rumah Ki Gede Menoreh, Ki Waskita melihat beberapa orang anak muda sedang berkumpul.
Sebagian dari mereka adalah para pemimpin pengawal yang sedang berlatih bersama Prastawa.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
Tanah Perdikan Menoreh ingin meloncat sampai ketempatnya berpijak sebelum mengalami kemunduran yang dapat mengganggu Tanah Perdikan itu jika terjadi sesuatu.
Kedatangan Ki Waskita segera disambut oleh Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu.
sementara Prastawa melanjutkan latihan-latihannya dihalaman.
Setelah beristirahat sejenak dan minum beberapa teguk, maka Ki Waskitapun langsung menceriterakan perjalanannya ke Mataram.
Hasil-hasil yang telah ditetapkan dalam pembicaraan antara Mataram dan Sangkal Putung.
"Aku mohon maaf Ki Gede, bahwa aku telah memberanikan diri mewakili Tanah Perdikan Menoreh dalam pembicaraan itu, karena akulah orang yang dianggap paling banyak mengetahui tentang Tanah Perdikan ini, sekaligus aku adalah utusan Ki Gede untuk menyampaikan laporan tentang Tanah Perdikan ini."
Ki Gede tersenyum. Jawabnya.
"Akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih. Bahkan seterusnya Ki Waskita yang mendengar langsung semua yang dibicarakan di Mataram, aku harap untuk mengendalikan semua gerakan di Tanah Perdikan ini. Aku mencoba meletakkan kepercayaan kepada Prastawa. Namun sudah tentu bahwa aku tidak akan melepaskannya."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya Mudah-mudahan ia dapat melaksanakan dengan baik. Asal Prastawa tidak meninggalkan semua pesan dan petunjuk orang-orang tua, maka ia tentu akan berhasil."
"Mudah-mudahan sahut Ki Gede selebihnya aku minta angger Agung Sedayu untuk mendampinginya. Aku kira angger Agung Sedayu mempunyai pengalaman agak lebih banyak dari Prastawa."
Satelah berbicara beberapa saat, maka Ki Gede Menorehpun segera menunjuk dua orang pengawal terpilih untuk mengawani tiga orang pengawas dari Mataram yang akan mendahului keujung lembah disebelah Barat.
"Apakah aku sajalah yang pergi mendahului paman? "
Bertanya Prastawa. Ki Gede menggeleng. Jawabnya.
"kau akan membawa seluruh pasukan Tanah Perdikan Menoreh pada saatnya nanti bersama aku, Ki Waskita dan Agung Sedayu."
Prastawa mengangguk-angguk.
Sepercik kebanggaan telah terbersit dihatinya.
Ia mulai mendapat kepercayaan dari Ki Gede Menoreh meskipun masih dibawah pengawasan langsung pamannya.
Namun jika ia berhasil dengan baik, maka kepercayaan itu lambat laun akan menjadi semakin besar.
Demikianlah maka setelah beristirahat dan menyediakan bekal secukupnya, lima orang pengawas yang akan mendahului pergi ke ujung lembah itupun segera berangkat.
Sepeninggal kelima orang itu, Ki Gede masih melanjutkan pembicaraan dengan Ki Waskita, Agung Sedayu dan Prastawa.
Mereka sudah mulai membagi kelompok-kelompok pasukannya dalam gelar yang akan mereka pergunakan menyumbat lembah yang menghadap keBarat.
"Kita masih mempunyai cukup waktu,"
Berkata Ki Gede Menoreh.
"bahkan menurut perhitunganku, waktu itu agak terlalu longgar."
"Ada beberapa pertimbangan Ki Gede,"
Berkata Ki Waskita.
"menurut orang-orang yang berhasil kita tawan dan sekarang berada di Mataram, mungkin masih ada beberapa orang penting yang akan hadir dalam pertemuan dilembah itu. Tetapi juga karena perhitungan waktu dalam persiapan terutama pasukan Mataram yang akan langsung menusuk kejantung lembah itu."
Ki Gede mengangguk-angguk. Bagi Menoreh waktu yang tujuh hari itu telah lebih dari cukup, apalagi sekedar memasang gelar untuk menahan arus lawan yang mengundurkan diri jika mereka tidak dapat menahan serangan pasukan Mataram.
"Kita mengharap, dari para pengawas yang mendahului, kita akan mendapat gambaran kekuatan dari kelompok-kelompok yang sedang berkumpul dilembah itu."
Berkata Ki Gede Menoreh.
"Tetapi aku kira, tidak seluruh kekuatan mereka berada dilembah itu. Mereka yang berkumpul tentu beberapa orang pemimpin serta pengawal-pengawalnya yang mungkin memang agak banyak. Namun pasukan mereka pasti terbagi dalam pemusatan-pemusatan yang setiap saat dapat menghantam Pajang dari beberapa jurusan,"
Sahut Ki Waskita.
"Mungkin demikian. Tetapi jika kita berhasil menangkap kepalanya, maka ekornya tidak akan dapat banyak bergerak lagi."
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia sependapat dengan Ki Gede.
Dan iapun mengartikan bahwa kelompok-kelompok yang berkumpul di lembah itu hanyalah beberapa orang saja.
Dari para wartawan Mataram sudah mendapat gambaran, bahwa lembah itu telah dipenuhi dengan gubug-gubug ilalang yang dihuni oleh kelompok-kelompok dari beberapa gerombolan yang berada dilembah itu.
"Mereka tinggal dilereng yang tertutup oleh hutan yang masih cukup lebat. Padukuhan dan padepokan kecil yang berada dimulut lembah bagian Timur, agaknya tidak diganggunya sama sekali, agar orang-orang dipadepokan dan padukuhan kecil itu tidak menyebarkan berita kehadiran gerombolan-gerombolan itu."
first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung