Dendam Empu Bharada 16
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 16
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
"Huh "
Dengus prajurit agak pendek yang bertampang seram itu "mana lebih bingung. Kami di medan pertempuran harus menyabung nyawa menghadapi musuh, atau engkau yang hanya menyediakan makanan?"
"Pak "
Seru prajurit yang lain "kami adalah prajurit bawahan gus pa h Aragani yang sedang melakukan tugas.
Karena kemalaman kami terpaksa menginap disini dan minta disediakan makanan.
Apabila bapak menolak, akan kami laporkan kepada gus pa h, bapak sekeluarga tentu akan ditangkap dan dijatuhi pidana"
Srono gemetar. Entah takut entah marah.
"Oh, pak, silahkan mereka masuk. Biarlah aku yang menyiapkan makanan"
Ba2 nyi Srono muncul. Rupanya dia mendengar ancaman prajurit itu. Tanpa dipersilahkan Srono, Podang didorong oleh keempat prajurit itu masuk. Mereka duduk lalu menyuruh Podang menyediakan minuman. Anak itu bergegas masuk ke dalam.
"Pak, kemirilah,"
Kata salah seorang prajurit memanggil Srono. Srono terpaksa menghampiri.
"Bapak seharusnya berterima kasih kepada kami"
"Dalam soal apa? "
Srono kerutkan kening.
"Tanya saja pada anakmu. Kalau tidak ada kami, mungkin dia sudah dikeroyok orang"
"O, apakah yang terjadi pada anak itu?"
"Dia kalah berjudi dan berhutang banyak. Karena dia tak punya uang lagi, dia dipaksa harus menyerahkan pakaian dan benda apa saja yang melekat pada tubuhnya. Anakmu menolak lalu dikeroyok. Untung kami datang dan membantu anakmu. Sebagai balas jasa, anakmu mengundang kami kemari dan akan memberi penginapan dan makanan"
"Dan uang "
Sambut kawannya yang lain.
"Kalau ada, wanita sekali, pak "
Kata prajurit yang bertampang seram "kami pas akan melindungi engkau dari gangguan apa saja"
"Tetapi aku hanya orang tani yang selama ini hidup tenteram tak pernah mendapat gangguan apa2"
"Huh, salah "
Seru prajurit bertampang seram "kekayaan itu selalu mengundang bencana.
Lihat seper kedatangan kami berempat ini.
Bukankah karena mengetahui engkau seorang yang berada? Dan kawanan perampokpun tentu mengincar kekayaanmu.
Bahaya itu tetap akan mengancammu se ap saat.
Yang jelas, orang2 yang memberi pinjaman kepada puteramu itu tentu akan membuat perhitungan kemari"
"Tetapi kalau mereka, baik kawanan perampok maupun orang2 itu, mendengar bahwa engkau mempunyai pelindung prajurit dari pura Singasari, mereka pasti rontok nyalinya"
"Benar, kedatangan kami di sini bukan secara cuma2 tetapi membawa manfaat bagimu"
"Tanggung aman, pak "
Kata prajurit yang lain "kalau engkau menjamin kami, siapa yang berani mengganggumu?"
Demikian bertubi-tubi keempat prajurit itu memamerkan kekuasaan dan kegarangannya.
Kata2 itu sebenarnya hanya suatu selubung untuk menyelimu tujuan mereka hendak mendapatkan keuntungan dari Srono.
Srono terbeliak.
Belum sempat ia berkata apa2, ba2 Podang muncul dengan membawa minuman.
Setelah menghidangkan kepada keempat prajurit, pemuda itu berseru kepada ayahnya "Pak, mengapa dibelakang rumah terdapat peti mati?"
Srono terkejut. Ia memang belum sempat menceritakan, kepada Podang tentang kedatangan Wijaya dan prajurit Sukra.
"Hai, apa katamu? Peti mati? "
Salah seorang prajurit mendahului bertanya. Mendapat pertanyaan itu terpaksa Podang mengiakan.
"Apa berisi mayat? "
Prajurit bertampang seram mulai tegang.
"Mungkin, karena ....
"
Belum habis Podang memberi keterangan, Srono sudah cepat menukas "Podang, itu peti kosong !"
Tetapi prajurit bertampang seram itu cukup berpengalaman. Melihat sikap Srono yang gugup dan nadanya yang gemetar, ia tahu bahwa kata2 orang itu bohong "Hm, ternyata terjadi pembunuhan dalam rumah ini,"
Ia terus berbangkit dan mengajak kawannya memeriksa ke belakang. Srono terkejut dan cepat menghadang "Telah kukatakan, hari ini aku baru saja membeli sebuah peti mati untuk persediaan. Mengapa ki sanak menuduh yang bukan-bukan?"
Prajurit bertampang seram makin curiga "O, jelas engkau tentu menyembunyikan sesuatu.
Kalau dak, mengapa engkau begitu gugup? Kami prajurit kerajaan yang mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan pada hal2 yang kami anggap mengganggu keamanan.
Bukan suatu adat yang layak apabila seseorang membeli peti mati untuk persediaan"
Pucat seke ka wajah Srono. Sebelum ia sempat berbicara, prajurit itu sudah menyiaknya ke samping sehingga Srono terhuyung. Kemudian mereka menuju ke belakang.
"Mana pe itu? "
Teriak mereka setelah ba di belakang rumah.
Waktu ke belakang, salah seorang prajurit itu menyeret tangan Podang diajak ikut serta.
Podang pucat.
Jelas beberapa saat tadi ia melihat sebuah pe yang berbentuk seper usungan menggeletak di belakang rumah.
Dan ketika mendekati, iapun mencium bau mayat.
"En ....tah "
Podang tersekat-sekat "tadi memang peti itu disini"
"Hm"
Prajurit bertampang seram mendengus lalu kembali mencari Srono. Ia menghunus pedang dan diacungkan ke muka Srono "Di-mana engkau sembunyikan pe itu. Jika tak mau memberi tahu, engkau kutangkap dan akan kubawa ke pura Singasari"
Srono seorang petani. Sudah tentu dia tak pernah mengalami peristiwa semacam itu. Ia gemetar.
"Jangan mengganggu bapakku "
Ba2 Podang berseru seraya maju ke muka prajurit itu "mungkin aku ialah lihat tentang peti itu. Maaf, malam begini gelap"
"Hm, engkau hendak melindungi bapakmu? "
Prajurit itu tiba2 menampar muka Podang.
"Aduh ...
"
Karena jarak amat dekat dan tak menduga-duga, disamping gerak tangan prajurit itu memang amat cepat sekali, muka Podang tertampar, mulutnya berdarah.
"Keparat, engkau berani menganiaya anakku "
Teriak Srono lalu menerkam prajurit.
Melihat mulut anaknya berdarah, lenyaplah seke ka segala rasa takut Srono.
Tetapi dia sudah tua dan seorang desa.
Bagaimana mungkin berhadapan melawan seorang prajurit yang bertenaga kuat.
Ketika prajurit itu songsongkan tangannya, Sronopun terdorong beberapa langkah dan rubuh.
Podang memberingas.
Ia menghantam prajurit itu tetapi sebelum nju sempat mendarat, seorang prajurit lain mendahului memukulnya.
Podang memekik dan terseok-seok jatuh.
Prajurit itu rupanya masih belum puas.
Ia hendak menyiksa Srono dan Podang supaya mengaku tentang peti itu.
"Berhen !"
Ba2 terdengar suara melengking keras, penuh kemarahan. Dan muncullah Wijaya beserta Sukra. Keempat prajurit itu terbeliak. Terutama setelah melihat Sukra juga seorang prajurit Singasari.
"Engkau prajurit Singasari?"seru prajurit yang bengis tadi.
"Ya"
Sahut Sukra yang ditanya "dari kesatuan mana engkau ?"
"Pimpinan raden Kuda Panglulut, putera menantu gusti patih Aragani"
Sahut prajurit bertampang bengis dengan nada menggarang "Dan engkau?"ia balas bertanya. Sukra menerangkan siapa dirinya.
"Dan anakmuda ini ? "
Ia menunjuk Wijaya.
"Kawanku "
Sahut Sukra.
"Mengapa engkau datang kemari ?"
Tanya prajurit bertampang bengis. Dia bernama Lawa. Rupanya Wijaya kurang puas dengan sikap Lawa. Adalah dia yang akan bertanya tetapi saat itu Lawalah yang mengajukan pertanyaan "Kawan, apa yang hendak engkau lakukan terhadap orangtua itu ?"
"O, engkau hendak mengurus ?"
Ejek Lawa.
"Ah, kita sama2 prajurit"
Wijaya mengaku dirinya sebagai prajurit kawan Sukra "sudah wajar kalau bertanya kepada sesama prajurit"
"Hm"
Desuh Lawa "orang ini,"
Ia menunjuk Srono "menyimpan peti mati di rumahnya. Dia mengaku hanya peti kosong tetapi kurasa tentu berisi mayat orang. Entah siapa yang dibunuhnya"
"Hm, lalu?"
"Hendak kuperiksa peti itu tetapi sudah lenyap,. Dengan begitu jelas dia telah menyembunyikannya. Jelas pula tindakan itu mengatakan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Mungkin telah membunuh orang"
"Ah, jangan lekas2 melontar fitnah sebelum melihat bukti yang nyata"
"Justeru bukti itu sudah disingkirkannya"
"Memang "
Sahut Wijaya "
Tetapi bukan dia yang melakukan"
"Siapa?"
"Aku"
"O"
Lawa mendesuh kejut "engkau yang menyingkirkan peti itu? Kalau begitu, apakah peti itu milik kalian?"
"Ya"
Lawa makin terbeliak "Apakah isinya?"
"Mayat"
Keempat prajurit anakbuah Kuda Panglulut itu terbelalak "Untuk apa kalian membawa mayat?"
Kini giliran Sukra yang menjawab "Kami mendapat perintah dari atasan untuk mencari mayat. Kabarnya mayat itu akan dibawa ke pekuburan Wurare. Atas titah baginda"
"O"
Prajurit Lawa bercahaya mukanya "dari mana kalian mendapatkan mayat ?"
Sukra kurang senang. Ia menganggap Lawa tentu sudah mendengar tentang berita pentahbisan baginda yang akan berlangsung di kuburan Wurare "Kawan, apakah engkau tak mendengar atau menerima perintah dari atasanmu?"
"Soal?"
"Soal pencarian mayat yang akan dikumpulkan di kuburan Wurare"
"Tidak"
Lawa gelengkan kepala. Ke ga kawannya terkejut tetapi mereka hanya memandang kearah Lawa.
"Lalu mengapa kalian berada di desa ini ? "
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Sukra pula.
"Kami sedang melakukan ronda keamanan dengan diberi wewenang untuk menangkap siapa saja yang dicurigai berbuat kejahatan"
"Hm"
Desuh Wijaya "setelah mendapat penjelasan dari kakang Sukra, kuharap jangan engkau menuduh dan menangkap bapak ini"
"Baik"
Sahut Lawa "tetapi aku terpaksa harus mengurus tentang mayat yang kalian bawa itu"
"Maksudmu? "
Seru Wijaya.
"Kita sama2 mendapat tugas. Engkau mencari mayat dan kami menjaga keamanan, engkau merampungkan tugasmu dan kamipun hendak melaksanakan tugas kami"
"Apa maksudmu, kawan? Bicaralah yang tegas"
"Mayat itu akan kami tahan dan kalian kami tangkap"
"Gila "
Teriak Sukra "jangan mencari-cari persoalan. Kami menghorma tugasmu tetapi hendaknya janganlah kalian mengganggu pekerjaan kami"
"Benar "
Sahut Lawa "tinggalkan peti itu kepada kami dan kalian boleh kembali. Akan kami tanyakan soal perintah mencari mayat itu kepada atasan kami. Apabila benar, maka kalian boleh mengambil ke gedung kepatihan gusti Aragani"
Nararya kerutkan dahi.
Perintah yang diterima Sukra dari demang Srubung, pas lah merupakan perintah resmi.
Menilik keterangan yang didengarnya dari Sukra mengenai maksud pencarian mayat itu, jelas hal itu tentu merupakan perintah yang resmi dari istana.
Dengan begitu pula, tak mungkin lain2 kesatuan terutama kesatuan pimpinan Kuda Panglulut yang nggal di gedung kepa han, tak mengetahui peris wa itu.
Dan menilik ngkah keempat prajurit itu terhadap Podang dan Srono, ia menarik kesimpulan bahwa mereka memang sengaja hendak mengganggu.
"Apakah maksudmu yang sebenarnya, kawan?"
Ia segera meminta penjelasan kepada Lawa. .
"Kami adalah prajurit2 yang bertugas menjaga keamanan telatah sebelah selatan Singasari. Mengambil atau mencuri mayat, ndakan terlarang. Bahkan mungkin mengandung ndak pembunuhan dan penganiayaan, Hal itu wajib kami periksa. Bahwa engkaunya melakukan tugas, silahkan engkau melapor pada atasanmu agar mengurus persoalan itu kepatihan. Jelas?"
"Hm, cukup jelas "
Sahut Wijaya "sehingga aku tak meragukan lagi bahwa dibalik kata2 yang engkau landasi dengan alasan2 indah itu tersembunyi suatu maksud tertentu"
"Apa maksudmu ?"
"Keputusan baginda Singasari untuk melaksanakan pentahbisan sebagai Jina Syiwabhairawa yang akan dilakukan diatas sebuah lapangan mayat, tentu merupakan keputusan resmi dari istana. Sukar untuk mempercayai bahwa gus atasanmu tak mengetahui perintah itu. Sukar pula untuk menerima alasan, bahwa engkau sebagai seorang prajurit tak tahu menahu dan tak menerima perintah untuk upaya pengumpulan mayat"
"Hah "
Desuh Lawa meregang dahi.
"Mungkin hal itu dapat terjadi, bahwa engkau memang benar2 tak tahu soal itu. Tetapi kemungkinan hal semacam itu juga kami miliki bahwa kami tak tahu kalau kalian ini benar2 prajurit bawahan kepa han, bahwa kalian ini ditugaskan untuk menjaga keamanan telatah selatan pura. Karena hal itu tak cukup dengan kata pengakuan melainkan harus dibuk kan dengan kenyataan. Adakah engkau membawa surat tugas ataupun tanda2 yang dapat membuk kan kebenaran ucapanmu itu?"
Merah padam muka Lawa dan ke ga prajurit kawannya. Pelahan, teratur dan mengena benar ucapan yang dilontarkan mulut pemuda berwajah cakap itu.
"Engkau tak mengakui kalau aku dan kawan-kawanku ini prajurit Singasari? "
Seru Lawa.
"Tentu saja mengakui. Tetapi prajurit2 Singasari itu banyak dan terdiri dari beberapa kesatuan. Kami juga prajurit Singasari"
"Lalu mengapa engkau tak mengakui kami prajurit yang bertugas menjaga keamanan daerah ini?"
"Tidakkah hal itu serupa dengan pertanyaanmu yang dak, mengakui bahwa kami ini prajurit yang sedang melakukan perintah atasan kami?"
Balas Wijaya.
"Kakang Lawa "
Ba2 prajurit yang lain, bertubuh kekar, berseru "pembicaraan ini takkan mencapai k penyelesaian apabila kita tak ber ndak tegas. Percaya atau dak itu soal mereka, tetapi kita harus bertindak menurut tugas yang kami terima!"
"Nah, engkau dengar kawan ?"
Seru Lawa "apakah kalian berdua tetap bersikeras?"
"Maaf kawan"
Sahut Wijaya "jika engkau hendak membawa pe itu, bawalah kami ikut serta agar kami dapat menghadap raden Kuda Panglulut untuk memberi keterangan"
Lawa gelengkan kepala "Aku dan kawan-kawanku masih-harus menyelesaikan tugas untuk meronda keliling daerah ini. Tinggalkan peti itu dan laporlah kepada atasan kalian"
Rupanya Sukra tak dapat menahan sabar lagi. Serentak ia berseru "Tidak! Akan kubawa peti itu"
"Jika demikian terpaksa aku harus ber ndak,"
Seru Lawa seraya memberi isyarat kepada ke ga kawannya untuk mengepung Wijaya dan Sukra.
Wijaya memperha kan bahwa pimpinan kelompok prajurit itu adalah Lawa.
Bahwa mereka mengandung maksud tertentu untuk merebut mayat itu.
Ia teringatlah akan keterangan Sukra, bahwa sedap prajurit diperintahkan untuk mengumpulkan mayat dengan imbalan yang menarik.
"Untuk yang terakhir kalinya "
Seru Lawa "kunaseha agar kalian menerima saja permintaanku itu supaya tak perlu terjadi bentrokan antara sesama kaum prajurit"
"Itupun menjadi harapan kami "
Balas Wijaya "agar kalian jangan memaksa, agar terhindarlah kita dari kesalahan faham itu"
"Serang,"
Seru prajurit yang bertubuh kekar tadi seraya maju menerjang, diiku oleh Lawa dan kawan-kawan.
Wijaya telah bersiap-siap.
Menghindar dari pukulan prajurit yang seorang, ia menyusup ke samping, menerkam siku lengan Lawa lalu memutarnya ke belakang punggung "Auh"
Lawa memekik kesakitan.
Melihat Lawa dikuasai Wijaya, dua orang prajurit, salah seorang yalah yang bertubuh kekar tadi, berhamburan menyerang Wijaya dari kanan dan kiri.
Wijaya tak gentar.
Mengisar tubuh Lawa menyongsong pukulan prajurit yang menyerang dari kiri, iapun ayunkan kaki mendupak perut prajurit bertubuh kekar tadi.
Hampir serempak suara mengaduh dari mulut Lawa yang dadanya terhunjam nju kawannya sendiri dan mulut prajurit bertubuh kekar yang perutnya seperti terkoyak akibat tendangan Wijaya.
Sebelum kejut dan longong bertebaran lenyap, tiba2 terdengar pula suara orang mengaduh kesakitan.
Lawa yang menderita siksa kesakitan, tangan terpelintir ke belakang punggung dan dada dihunjam pukulan kawannya, berontak keras.
Ia menendang sekuat- kuatnya.
Ia tak sadar lagi siapa yang ditendangnya itu.
Tindakan itu hanya merupakan suatu saluran dari rasa kemarahan yang diluapkan nyeri kesakitan.
Dan kesadaran yang hilang itu, tak mengenal lagi lawan dan kawan.
Akibatnya, prajurit yang memukul dada Lawa itu harus memekik seperti anak kecil, ketika alat tubuhnya yang menggunduk di bawah perutnya, menderita kesakitan yang tak terperikan lagi.
Ia terjerembab jatuh ke belakang.
"Kawan, engkau membunuh kawanmu sendiri,"
Seru Wijaya kepada Lawa yang masih meringis dan kepala bersimbah peluh "engkau harus kutangkap dan kuserahkan kepada Tumenggung Mahisa Bungalan"
Sementara prajurit yang seorang masih melangsungkan pukul memukul dengan Podang yang dibantu Srono.
"Auh ... aku mau bicara"
Seru Lawa. Wijaya longgarkan tekanannya "Nah, bicaralah"
"Lepaskan aku, aku takkan mengganggumu kalian lagi"
"Benar?"
"Ya"
Wijaya segera melepaskan himpitannya lalu berkata "Silahkan engkau bawa kawanmu dan jangan mengganggu disini. Atau mungkin engkau masih belum puas, akupun bersedia menuru kehendakmu."
Rupanya Lawa menyadari bahwa prajurit muda itu tak boleh dibuat main2. Ia meneriaki kawannya yang masih baku hantam dengan Podang supaya berhen "Bawa kawan kita itu,"
Ia memberi perintah lalu mengangkut prajurit bertubuh kekar yang masih pingsan keluar dari rumah.
Tak berapa lama, terdengar derap kuda lari.
Makin lama makin jauh.
Srono girang sekali dan menghaturkan terima kasih kepada Wijaya dan Sukra "Tidak, paman, kamilah yang menjadi gara2 sehingga menimbulkan ramai2 ini"
Kata Wijaya. Mereka masuk dan bercakap-cakap. Srono memberitahu kepada anaknya supaya mau ikut Wijaya ke pura "Pergilah ke pura, Podang. Disana banyak kesempatan-kesempatan yang akan mampu mengangkat derajad hidupmu"
Podang gembira.
Ia kagum akan kedigdayaan Wijaya dan senang akan sikapnya.
Singkatnya Sukra, Wijaya dan Podang telah ba di pura Singasari dan menghadap demang Srubung.
Demang itu tertarik menerima laporan Sukra, Ia memanggil Wijaya dan Podang.
Demang Srubung terkejut melihat wajah Wijaya yang bersinar terang "Jaya, benarkah engkau dari desa telatah Kawi? "
Tanya demang Srubung. Wijaya mengiakan.
"Maukah engkau bekerja disini?"
Tiba2 demang Srubung menawarkan pekerjaan.
Wijaya mengatakan bahwa ia belum mempunyai keinginan yang mantap untuk bekerja di pura.
Ia mengemukakan alasan, bahwa orangtuanya sudah tua, ia harus membantu mereka untuk mengerjakan ladang "Apabila ki demang setuju, biarlah kawan hamba yang bernama Podang ini bekerja pada tuan disini"
Sejenak menatap ke arah Podang, demang Srubungpun menerimanya "Baiklah, kuterima dia sebagai pengalasan disini. Akan hal dirimu, akupun tak mau memaksa"
"Terima kasih ki Demang "
Kata Wijaya.
"hamba masih ingin mengajukan sebuah permohonan kehadapan tuan"
"O, katakanlah,"
Rupanya demang Srubung mempunyui kesah baik terhadap Wijaya.
"Apabila diperkenankan,"
Kata Wijaya "hamba ingin membantu pekerjaan disini. Apabila hamba merasa cocok dan dapat menunaikan kewajiban, barulah nan hamba akan memper mbangkan lagi ke putusan hamba untuk terus mengabdi disini ataukah pulang ke gunung"
"O, ar nya engkau hendak magang,"
Seru demang Srubung "baiklah, kuterima. Mudah-mudahan engkau cocok dan suka bekerja disini"
Demikian Wijaya dan Podang diterima bekerja sebagai magang dan pengatasan di tempat kediaman demang Srubung.
Tujuan Wijaya tak lain hanyalah hendak ikut serta dalam rombongan pengalasan demang Srubung yang akan diperintah mengantarkan mayat ke kuburan Wurare.
Ia ingin mendapat kesempatan untuk menyaksikan upacara pentahbisan baginda Kertanagara.
Wijaya ingin mencari pengalaman maka ia memutuskan untuk melakukan kewajiban sungguh2 sebagai seorang pengalasan kademangan.
Ingin ia mengenyam bagaimana derita seorang orang gajihan.
Ia tak menolak untuk bekerja apa saja di kademangan itu.
Bahkan ia mau juga untuk memperbaiki pagar, membersihkan kebun dan lain2 pekerjaan.
Dalam waktu singkat, ia menarik rasa suka pengalasan2 lain dan bawahan2 di kademangan situ.
Hari itu ia bersama Podang tengah memperbaiki saluran air yang terentang di muka halaman rumah ki demang.
Tiba2 muncul dua orang lelaki muda berbusana indah.
"Katang Lumbang? "
Diam2 Wijaya terkesiap ke ka melihat salah seorang lelaki pendatang itu.
Samar-samar ia masih dapat mengingat akan wajah Katang Lumbang ke ka berada dalam candimakam di Kagecengan.
Kedua lelaki muda itu memandang sejenak ke arah Wijaya, ba2 salah seorang yang diduga Wijaya sebagai Katang Lumbang itu, berhenti.
"Hai, siapa kalian berdua ini? "
Serunya. Wijaya terkejut. Ia makin mendapat kesan bahwa orang itu memang Katang Lumbang. Nada suaranya seper yang didengarnya ke ka didalam candi Kagenengan.
"Hamba magangan baru di kademangan sini, raden,"
Kata Wijaya.
"Mengapa tak tahu adat!"
Wijaya terkejut "Hamba mohon maaf, raden. Tetapi kesalahan apakah yang hamba lakukan? "
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa melihat Kukila, putera ki demang pulang, engkau tak menghaturkan hormat? "O, maa an, hamba tak tahu raden"
Wijaya terus memberi hormat. Tetapi Kukila tak mengacuhkan dan mengajak kawannya masuk ke pendapa.
"Raden ...."
"St, jangan memanggil raden, cukup kakang saja "
Cepat Wijaya menukas kata2 Podang "ingat saat ini kita jadi pengalasan, orang gajihan di kademangan. Apa yang ingin engkau katakan?"
"Sombong benar kedua pemuda itu "
Kata Podang "mentang2 putera demang"
"Jangan keras2, Podang "
Kata Wijaya "begitulah ngkah anak2 muda yang masih mentah. Gemar membanggakan diri, mengandalkan kekuasaan ayahnya. Hendaknya kita dapat menghindari sikap semacam itu. Kesombongan hanya mengundang kebencian dan kemuakan orang"
"Terima kasih, kakang"
Tiba2 saat itu muncul pula dua orang prajurit, salah seorang tak lain adalah Sukra "Raden ...."
Sukra terkejut melihat Wijaya dan Podang sedang menyabit tanaman yang membias keluar dari pagar.
"Kakang Sukra"
Wijayapun bergegai menghampiri. Dengan bisik2 dia minta agar Sukra jangan menyebutnya dengan panggilan raden.
"Mengapa engkau melakukan pekerjaan semacam ini?"
Sukra masih menyatakan keheranannya.
"Kakang Sukra,"
Sahut Wijaya dengan nada lapang "untuk menyelami hidup kita harus berani belajar hidup.
Semua pekerjaan adalah sarana hidup.
Menyabit rumput, memotong tanaman pagar, juga suatu pekerjaan yang baik.
Coba engkau bayangkan, kakang.
Andai se ap orang hanya ingin menjadi prajurit, lalu siapakah yang menjadi petani, perajin dan pedagang.
Jika semua orang gajihan di kademangan ini, hanya mengerjakan urusan dinas, lalu siapakah yang mengurus kebun dan pagar?"
Wijaya tertawa. Sukra dan Podang ikut tertawa. Diam2 Podang dan Sukra berkesan atas kebesaran jiwa pemuda yang walaupun belum diketahui asal usulnya yang jelas namun mereka duga tentulah bukan keturunan orang biasa.
"Kakang Sukra,"
Kata Wijaya pula "tentu ada kepentingan kakang datang ke kademangan ini?"
"Benar"
Sahut Sukra "aku diutus ki menggung Mahisa Bungalan untuk menyampaikan perintah kepada ki demang"
"Soal apa kakang?"
"Soal persiapan mengenai upacara pentahbisan baginda di kuburan Wurare itu"
"O, apakah mergenai kelengkapan2 dalam upacara itu, misalnya tentang jumlah mayat"
Yang diperlukan di lapangan upacara?"
"Bukan"
Sukra gelengkan kepala.
"hal itu kukira sudah lengkap. Karena perintah mengumpulkan mayat itu serempak diberikan kepada prajurit2 dari setiap kesatuan. Eh, ada sedikit perobahan mengenai mayat2 itu"
"Ha? Perobahan apa?"
"Bahwa mayat2 yang diperlukan dilapangan upacara itu terdiri mayat2 yang masih segar dan belum lama meninggalnya. Hal itu menimbulkan kehebohan, prajurit2 yang membawa mayat2 yang sudah membusuk, tidak dipakai"
"Dan tumenggung Mahisa Bungalan menitahkan agar se ap demang bawahannya dengan membawa sepuluh orang pengiring, ikut hadir untuk menjaga keamanan upacara itu"
"Tetapi di kademangan ini ada tampak seorang prajurit, bagaimana ki demang hendak mengumpulkannya?"
"Kesatuan2 prajurit terbagi dalam beberapa tempat. Pasukan kerajaan tinggal di markas prajurit. Mereka mempunyai pimpinan yang telah ditentukan. Lalu ada kesatuan kecil yang bertempat di tempat kediaman gusti mentri dan senopati, antara lain gusti patih, gusti senopati dan tumenggung yang bertugas dalam pasukan. Tumenggung Mahisa Bungalanpun mempunyai kesatuan kecil di tumenggungan. Untuk menjaga keselamatan dan dalam waktu2 tertentu menjadi pengiring tumenggung. Aku salah seorang dari kesatuan prajurit yang bertempat di kediaman tumenggung Mahisa Bungalan"
Wijaya mengangguk.
"Kakang Sukra, upacara pentahbisan baginda itu tentu merupakan peris wa yang jarang terjadi. Sebenarnya aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk ikut serta mengiring ki demang ke lapangan upacara itu"
Sukra diam sejenak, kemudian berkata "Baiklah akan kuusahakan untuk menyampaikan permohonanmu itu kepada ki demang. Kurasa ki demang tentu meluluskan"
Wijaya bersukacita. Ia menghaturkan terima kasih atas bantuan Sukra "Kakang Sukra, saat ini ki demang sedang menerima kedatangan dua orang tetamu"
"O, siapa?"
"Yang seorang yalah putera ki demang yang bernama Kukila. Dan yang seorang, adalah orang yang pernah kutanyakan kepadamu tempo hari"
"Siapa?"
"Bhayangkara keraton Singasari yang bernama Katang Lumbang"
"O "
Sukra terkejut "Kukila, memang putera ki demang. Tetapi Katang Lumbang, aku belum kenal. Tetapi menilik dia datang bersama Kukila. kemungkinan besar dia tentu seorang bhayangkara keraton"
"Bagaimana kakang mengatakan begitu?"
"Karena putera ki demang itu juga bekerja sebagai prajurit bhayangkara di keraton"
"O "
Desuh Wijaya terkejut "berapakah putera ki demang itu ?"
"Tiga "
Kata Sukra "dua lelaki dan satu perempuan. Yang besar, Kukila, menjadi prajurit bhayangkara keraton. Yang kedua, Bantara, berguru pada seorang resi di gunung Meru. Sedang yang bungsu, Tanjung, berada di rumah"
"O"
"Ni Tanjung sudah seorang dara remaja yang can k. Kudengar memang ada seorang prajurit bhayangkara keraton, kawan Kukila, yang mempunyai hasrat kepada dara itu. Mungkin bhayangkara yang bernama Katang Lumbang itu"
"Mungkin juga "
Wijaya mengangguk. Selama beberapa hari nggal di kademangan situ, ia belum pernah berjumpa dengan ni Tanjung.
"Kakang Sukra, apabila habis menghadap ki demang, dapatkah engkau memberitahu kepadaku tentang hasil pembicaraanmu dengan ki demang?"
Sukra mengiakan lalu mengajak kawannya menuju ke pendapa. Memang benar yang dikatakan Wijaya tadi, saat itu ki demang Srubung tengah bercakap- cakap dengan puteranya dan seorang prajurit bhayangkara.
"O, engkau Sukra,"
Tegur ki demang menyambut kedatangan Sukra.
Sukra menghaturkan hormat lalu menyampaikan maksud kedatangannya "Hamba diperintah ki tumenggung Mahisa Bungalan untuk menyampaikan berita kepada ki demang.
Bahwa dalam upacara pentahbisan seri baginda di pekuburan Wurare nan , ki demangpun diminta supaya ikut bergabung dengan kesatuan prajurit untuk menjaga keamanan upacara itu"
"O,-baiklah,"
Kata demang Srubung. Kemudian Sukra juga menghaturkan hormat kepada Kukila dan kawannya. Prajurit bhayangkara itu berbisik-bisik kedekat telinga Kukila. Kukila pun mengucapkan beberapa patah perkataan dan kawannya itu tampak mengangguk- angguk.
"Prajurit, rupanya ki tumenggung Bungalan sibuk Sekali menjelang berlangsungnya upacara di Wurare itu"
Tiba2 prajurit bhayangkara yang ternyata memang Katang Lumbang berseru. Sukra mengiakan.
"Lalu atas perintah siapakah pemusatan para demang dan prajurit2 untuk menjaga keamanan di Wurare itu?"
Tanya Katang Lumbang pula.
"Kalau tak salah dari gusti patih Kebo Anengah"
"Kukila,"
Ba2 demang Srubung berkata "apakah kesatuan bhayangkara tak dikerahkan untuk mengawal perjalanan seri baginda ?"
Kukila mengangguk "Ya, memang demikian perintah yang kami terima dari gus pa h Kebo Anengah. Tetapi pasukan bhayangkara itu hanya pengiring, sedang yang mengawal baginda adalah tumenggung Bandupoyo"
"Mengapa penjagaan dan pengawalan begitu kuat sekali? Bukankah yang diwajibkan menjaga keamanan upacara, sudah terlalu banyak jumlahnya ?"
Tanya demang Srubung.
"Benar, paman,"
Sahut Katang Lumbang "sesungguhnya hal itu agak berkelebihan.
Baginda adalah maha-diraja yang termasyhur, sak dan digdaya.
Apalagi upacara itu merupakan pentahbisan keramat.
Seyogianya dilangsungkan dalam suasana yang sunyi dan khidmat sehingga dewa2 akan turun untuk merestui pentahbisan itu"
Demang Srubung mengangguk namun ia mengatakan juga bahwa kesemuanya itu adalah kebijaksanaan atasan yang tak dapat dibantah.
Setelah beberapa saat kemudian maka Sukra pun turun dari pendapa.
Ke ka keluar dari regol kademangan, dia disambut oleh Wijaya "Bagaimana kakang Sukra, apakah ada hal2 pen ng yang berlangsung dalang pembicaraan dengan, ki demang tadi ?"
Sukra menuturkan semua pembicaraan tadi.
"Benarkah prajurit bhayangkara yang seorang itu Katang Lumbang, kakang? "
Tanya Wijaya. Sukra mengangguk.
"Menilik ucapannya, memang ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian"
"Ucapannya yang mana ? "
Tanya Sukra.
"Bahwa ia tak setuju atas ndakan gus pa h Kebo Anengah yang mengerahkan kekuatan pasukan dalam jumlah besar untuk menjaga keamanan upacara di Wurare"
"Sepintas alasannya memang baik "
Kata Sukra "karena pentahbisan itu merupakan upacara yang keramat dan suci sehingga tak perlu harus dimeriahkan secara besar-besaran"
"Kakang Sukra"
Kata Wijaya "memang demikianlah halnya,"
Diam2 Wijaya memba n bahwa Sukra tak tahu akan rencana Katang Lumbang untuk membunuh baginda "tetapi kemungkinan gus patih, Anengah mempunyai pertimbangan lain"
"Dalam soal apa?"
"Kakang Sukra, bagaimana pandanganmu dengan keadaan dalam kerajaan Singasari ini?"
"Keadaan dalam segi apa?"
"Keamanan, kakang "
Sahut Wijaya "adakah keamanan dalam kerajaan Singasari ini sudah benar2 terjamin sehingga kerisauan gus paiih Anengah untuk menjaga keselamatan seri baginda itu suatu tindakan yang berkelebihan ?"
"Yang jelas kekuatan pasukan pura Singasari sejak sebagaian besar dikirim ke Malayu, memang kurang dan lemah. Tetapi selama ini dak terjadi sesuatu yang dapat dianggap mengganggu ketenteraman pemerintahan"
"Kata2 dak terjadi itu rasanya lebih tepat apabila digan dengan belum terjadi. Pengiriman pasukan Pamalayu itu menimbulkan pertentangan pendapat yang berekor panjang. Yang jelas menteri tua yang menentang telah dicopot dan dipindah tempat, antara lain gus pa h sepuh Raganata, Wirakre dan Wiraraja. Tetapi pengikut2 mereka tentu belum puas atas ndakan baginda itu. Pemberontakan di gunung Butak yang dipimpin Mahisa Rangkah, bekas bhayangkara keraton Singasari, merupakan pencetusan dari rasa ke dak-puasan dikalangan pengikut2 para mentri yang telah dicopot itu. Demikian pula mbulnya rasa tak senang kepada gus pa h Aragani yang terlalu haus kekuasaan dan bernafsu sekali untuk menanam pengaruh di keraton dan mengambil ha baginda, tentu akan membentuk suatu kelompok yang mengatur usaha mereka untuk menentang gusti patih Aragani"
Berhen sejenak Wijaya melanjutkan "Dan fihak Dahapun seharusnya mendapat perha an dari baginda"
"Daha ? "
Sukra gelengkan kepala "seri baginda cukup bijaksana. Dengan ikatan keluarga yang terjadi antara pangeran Ardaraja dengan puteri baginda, tentulah raja Jayakatwang takkan memiliki keinginan2 yang kurang berbudi"
"Kakang Sukra, pernahkah engkau ke Daha?"
Sukra gelengkan kepala "
Belum"
"Hm,. jika demikian "
Kata Wijaya "engkau hanya memandang Daha dari satu segi sebagaimana yang telah dilakukan baginda"
"Maksudmu ?"
"Ada suatu gejala perasaan yang menghinggapi orang. Bahwa se ap orang yang mempunyai keunggulan, sering terlena dalam rasa angkuh, yakin dan tak mau menilai orang yang lebih bawah. Ibarat berjalan, yang dipandang hanyalah atas, tak mau memandang ke bawah. Akibatnya dia seorang menderita kesulitan. Entah terantuk batu, entah terperosok lubang"
"Berdasar dari keadaan itu, maka jelaslah bahwa biasanya, gangguan dan kesulitan itu datangnya dari bawah. Oleh karena itu perlulah orang yang sudah berada di puncak ter nggi, sering menurunkan pandang untuk mengamati keadaan di bawah "
Kata Wijaya pula. Sukra terlongong memandang Wijaya "
Aku tak mengerti apa yang engkau maksudkan"
"Maksudku, betapapun halnya, baginda hendaknya jangan mengabaikan pengamatannya terhadap Daha"
"Tetapi bukankah pangeran Ardaraja sudah menjadi menantu baginda ?"
Wijaya mengangguk "Benar. Tetapi hal itu bukan berar bahwa Daha itu sudah menjadi Singasari. Walaupun menjadi bawahan, tetapi bagi pendirian orang Daha, Daha itu tetap Daha dan Singasari itupun Singasari"
"Tetapi ...."
"Terima kasih kakang Sukra,"
Cepat Wijaya menukas "atas kesediaanmu memberitahu tentang pembicaraanmu dengan ki demang tadi. Ada sedikit hal yang ingin kutanyakan kepadamu"
"Silahkan"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahukah kakang akan tempat tinggal prajurit bhayangkara Katang Lumbang itu ?"
"O "
Desuh Sukra "kurasa dia tinggal di markas prajurit"
Sejenak merenung maka Wijayapun berkata pula "Baiklah, kakang. Terima kasih dan silahkan kakang melanjutkan perjalanan. Eh, bagaimana dengan permohonanku kepada ki demang ?"
"Telah kuhaturkan "
Kata Sukra "dan rasanya ki demang tiada keberatan"
"Terima kasih kakang "
Kata Wijaya. halaman terakhir hilang ~dewiKZ~ismoyo~mch~
Jilid 14 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Wijaya terkejut.
Kejut dari seorang yang merasa melakukan sesuatu yang tak layak.
Disamping mbul juga rasa kagum akan indera pendengaran Katang Lumbang yang sedemikian tajam.
Walaupun berdebar namun Wijaya berusaha untuk menghapus jejak.
Dia mengheningkan seluruh gerak anggauta badan.
Bahkan menghentikan pernapasannya.
"Hm, seorang ksatrya tentu takkan main sembunyi mencuri pembicaraan orang"
Katang Lumbang mengulangi hardikannya. Lebih keras.
"Engkau !"
Teriak Katang Lumbang.
Dan Wijaya terbeliak makin kaget.
Dia mengira Katang Lumbang tentu sudah melihat dirinya.
Dan menurut suara ha nya, seorang ksatrya harus berani menunjukkan diri.
Apapun yang akan terjadi.
Katang Lumbang berkisar tubuh ke samping kanan dan memandang ke muka.
Jelas dak menghadap ke arah Wijaya yang bersembunyi di balik semak gerumbul sebelah kiri.
"Siapa engkau!"
Katang Lumbang mengulang teriakannya yang penuh nada getar.
Kini makin jelas bagi Wijaya bahwa yang dimaksud Katang Lumbang itu bukan dirinya.
Ada seorang lain yang berada disekitar tempat itu.
Ia mengekang ketegangan, mengendapkan ketenangannya lalu berusaha untuk menembuskan pandang diantara celah2 gerumbul, kearah yang dipandang Katang Lumbang.
Walaupun tak sangat jelas namun ia berhasil melihat bahwa di bawah sebatang pohon randu alas besar, di atas lingkar akarnya yang menggunduk bertautan, duduk seorang muda.
Menilik pakaiannya dia seperti seorang brahmana.
"O, engkau Bantara"
Tiba2 Kukila berseru demi melihat lelaki muda itu. Ia menghampiri.
"Kakang Kukila"
Brahmana muda itu berbangkit memberi hormat. Bantara memeluknya.
"Sudah beberapa tahun engkau tak pulang, Bantara. Rama dan ibu sangat merindukanmu"
Kata Kukila "akupun juga"
"Maaf kakang,"
Ujar brahmana itu dengan nada tenang "akupun demikian pula. Tetapi aku harus mematuhi titah guru"
"Hendak kemana sekarang engkau, Bantara?"
"Pulang, kakang. Menghaturkan sembah bakti kepada rama ibu"
"O"
Wajah Kukila tampak cerah.
"Kukila, siapa dia?"
Tiba2 Katang Lumbang berseru. Kukila terkejut. Ia menyadari sesuatu yang lalai dilakukan. Buru2 ia memperkenalkan Katang Lumbang kepada Bantara.
"Bentara, inilah kakang Katang Lumbang, kawan sekerja dengan aku. Dan inilah Bantara adikku, kakang Katang"
"O, Bantara yang berguru di gunung Meru itu?"
Seru Katang Lumbang dengan nada longgar.
Keduanya saling memberi hormat.
Sejenak bertukar cakap dengan Katang Lumbang maka brahmana muda itupun berkata pula kepada Kukila "Kakang Kukila, sungguh tepat sekali aku dapat berjumpa dengan kakang disini.
Ada sesuatu yang ingin dan perlu kusampaikan kepada kakang."
Kukila terkejut "Apakah itu?"
"Sesungguhnya kakang,"
Kata brahmana muda itu dengan nada mantap "perjalananku turun gunung ini karena mengemban titah guru."
Baik Bantara maupun Katang Lumbang terkejut.
Keduanya sama memiliki suatu keheranan bahwa tah dari guru Bantara itu tentu pen ng.
Tetapi mereka heran mengapa begitu terbuka sifatnya, Bantara menyampaikan berita itu kepada Kukila.
Bukankah disamping Kukila saat itu masih terdapat pula Katang Lambang.
Adakah perintah guru Bantara itu menyangkut suatu kepentingan umum sehingga umum pula sifatnya ? "Titah guru itu amat pen ng sekali"
Kata Bantara pula. Ke ka melihat wajah Kukila mengerut dan melirik kearah Kukila, brahmana muda itu melanjutkan.
"pen ng sekali kepada sesuatu yang menyangkut bidang pekerjaan kakang"
"Bantara"
Seru Kukila.
"katakanlah adi, apakah berita dari gurumu itu ? Apakah yang engkau maksudkan dengan kepentingan pekerjaanku ?"
"Kakang Kukila"
Kata brahmana Bantara.
"dalam rangka pekerjaan kakang sebagai seorang bhayangkara keraton, apakah kewajiban kakang ?"
"Khusus menjaga keselamatan baginda dan segenap keluarga, serta keamanan keraton dan pura Singasari"
"Tepat"
Seru brahmana Bantara.
"titah guru adalah mencangkum hal itu semua"
"O"
Kukila terbeliak.
"adakah maksudmu hendak mengatakan bahwa engkau sedang melaksanakan titah gurumu untuk menyelamatkan baginda dan kerajaan Singasari ?"
"Begitulah, kakang"
Kukila dan Katang Lumbang terbelalak. Di balik gerumbul semak diam2 Wijayapun terkejut.
"Bantara"
Seru Kukila.
"mengapa gurumu memerintahkan engkau demikian. Tidakkah suatu hal yang dapat menimbulkan rasa heran apabila dalam keadaan seper sekarang, negara tenteram aman, engkau ditugaskan untuk melindungi baginda? Bukankah baginda mempunyai beratus prajurit bhayangkara yang sanggup melindungi dan menjaga keselamatan baginda?"
"Kakang Kukila"
Kata brahmana Bantara.
"bahwa pasukan bhayangkara keraton Singasari harus menjaga keselamatan baginda, itu termasuk tugas. Tetapi bahwa guru menitahkan aku supaya melaksanakan usaha untuk melindungi keselamatan baginda, itu termasuk kewajiban. Masing2 mempunyai tugas dan kewajiban"
"Ah, Bantara"
Desuh Kukila "masih juga belum berobah sifatmu sejak dulu kala.
Jika berbicara selalu tak mau langsung tetapi melingkar-lingkar yang dapat mengaburkan penger an orang.
Bukankah tugas dan kewajiban itu serupa belaka? Yang kutanyakan apa sebab gurumu menitahkan engkau melakukan hal itu ?"
"Memang sepintas, tugas dan kewajiban itu serupa. Tetapi sesungguhnya tak sama"
Sahut Bantara.
"tugas, terikat dengan pekerjaan atau sesuatu yang bersifat kebendaan Kewajiban, boleh juga terikat, boleh pula bebas. Yang dimaksud terikat, bukan terikat oleh sifat kebendaan tetapi dari sfat rasa dan kejiwaan. Kewajiban kita, insan manusia ini untuk manembah kepada Hyang Widdhi. Ini salah sebuah misal"
"Kukatakan tugas para bhayangkara untuk menjaga keselamatan baginda karena mereka terikat oleh tugas pekerjaan. Tetapi kewajiban guru dan semua kawula Singasari untuk ikut menjaga keselamatan baginda"
Kata brahmana Bantara pula.
"Sudahlah Bantara, katakan saja mengapa gurumu menitahkan demikian!"
Tampaknya Kukila tak sabar lagi.
"Karena menurut getaran gaib dalam cipta semedhi guru, dalam waktu dekat ini keraton Singasari akan dilipu oleh gumpalan awan hitam. Hal itu berar bahwa dalam keraton Singasari akan terjadi suatu peristiwa yang berbahaya. Berbahaya bagi keselamatan baginda"
"O"
Desuh Kukila.
"Kakang brahmana"
Ba2 Katang Lumbang yang sejak tadi diam saja berseru "engkau mengatakan, menurut wawasan cipta semedhi gurumu, bahwa dalam keraton Singasari akan mbul bahaya yang mengancam keselamatan jiwa baginda.
Dengan demikian berar bahwa bahaya itu berasal dari dalam, bukan berasal dari luar keraton, bukan dari musuh di luar kerajaan.
Benarkah begitu?"
"Tepat"
Seru brahmana Bantara "memang guru mengatakan bahwa asap hitam itu berasal dari dalam keraton, membubung dan meliputi keraton"
"Oh"
Desah Katang Lumbang dengan rasa kejut yang menggetarkan ha baginda seorang junjungan yang amat kuasa dan sak .
Seluruh mentri, senopa dan seisi keraton tunduk taat ke bawah duli baginda.
Bagaimana mungkin bahaya itu berasal dari dalam keraton apabila dak dari luar daerah?"
"Kakang Katang Lumbang"
Sahut brahmana muda itu dengan tenang "adakah dalam pandangan dan wawasan kakang sebagai seorang prajurit bhayangkara keraton, menganggap bahwa dalam pura kerajaan saat ini sudah tenteram dan tenang ?"
Katang Lumbang tertegun.
"Bantara"
Tiba2 Kukila berkata "penilaian dari keadaan tenteram dan aman itu hanya kami tanggapi dari kenyataan. Hingga saat ini, keraton tak terjadi suatu apa"
"Kakang Kukila"
Sambut Bantara "air tenang tanda dalam.
Jangan kita terkabur oleh suatu ketenangan.
Seperti yang telah kita ketahui berturut-turut pura Singasari telah mengalami peristiwa2 yang menggoncangkan.
Penggeseran beberapa mentri tua seperti patih sepuh empu Raganata, demung Wirakreti dan tumenggung Wirdraja, kemudian terjadinya pemberontakan kecil dari Mahisa Rangkah, merupakan sederet dari peristiwa yang tentu takkan habis begitu saja.
Maka kukatakan jangan kita terkabur oleh keadaan tenang setelah terjadi kegoncangan2 itu"
"Engkau maksudkan, keadaan pura Singasari itu ibarat api dalam sekam?"
"Mudah-mudahan dak, walaupun perasaan dan pikiranku terisi dengan kesan2 itu. Dan oleh karena itu maka kita harus berusaha untuk menjaga kemungkinan2 yang mungkin terjadi"
"Ah, Bantara"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Kukila "engkau lupa bahwa aku ini seorang prajurit.
Seorang prajurit hanya melaksanakan perintah dari atasan dan melakukan tugas2 yang menyangkut keprajuritan.
Soal urusan pemerintahan, adalah tugas dari para mentri dan bupati nayaka.
Kami hanya menjaga keamanan.
Dari siapa dan manapun tindakan yang mengganggu keamanan itu timbul, maka kami bertugas untuk memberantasnya.
Soal siapa dan apa tujuan mereka yang hendak mengganggu keamanan itu, bukan tugas kami untuk ikut campur"
"Tepat"
Sambut Katang Lumbang "demikian tugas seorang prajurit.
Demikian pula seyogyanya tugas seorang pandita, resi dan brahmana.
Jika prajurit bertugas untuk menjaga keamanan dari gangguan musuh dan pengacau, tugas seorang pandita dan brahmana hanyalah di candi, kuil dan sudharma untuk mengembangkan agama.
Prajurit dak layak mencampuri urusan pemerintahan, lebih lagi kaum brahmana"
Brahmana Bantara mengangguk "Benar, ki Katang Lumbang.
Prajurit, brahmana, petani, pedagang, para pandai, mempunyai tugas pekerjaan masing2 sesuai dengan bakat dan panggilan jiwa mereka.
Tetapi hendaknya tuan jangan lupa bahwa apapun bidang dan pekerjaan mereka, tetapi mereka tetap sama yani kawula Singasari.
Dan menjadi kewajiban, untuk ikut serta menjaga dan membela kerajaan Singasari"
"O, baru pertama kali ini kudengar brahmana juga ikut memikirkan keadaan negara"
Seru Katang Lumbang dalam nada mencemoh.
"Buah masak karena terik matahari. Manusia matang karena pengalaman"
Seru brahmana Bantara "cobalah ki Katang Lumbang sejenak memalingkan perha an akan peris wa sejarah yang lalu.
Tidakkah karena sikap hadigang hadigung prabu Dandang Gendis dari Daha maka telah menyebabkan penderitaan yang ada tertahan oleh kaum pandita dan brahmana sehingga berbondong-bondong mereka mencari pangayoman ke kerajaan Singasari yang di bawah kekuasaan raja sri Rajasa sang Amurwabhumi ? Tidakkah keadaan negara itu, secara tak langsung akan membawa akibat pada keamanan dan ketenangan perkembangan agama?"
Berhen sejenak brahmana Bantara melanjutkan lagi "Baginda Kertanagara seorang junjungan yang patuh dan taat menjalankan agama, serta giat mengembangkan ajaran2 agama.
Baiklah, jika ki Katang mencemoh aku seorang brahmana tak layak ikut campur dalam urusan pemerintahan.
Adakah tuan berhak menuduh aku seorang brahmana yang tak tahu kebrahmanaannya apabila aku dan guruku berusaha untuk melindungi keselamatan baginda Kertanagara seorang raja yang arif dan patuh mengembangkan agama? Bukankah keputusan baginda untuk mengadakan upacara pentahbisan sebagai Jina itu suatu kenyataan dari kemantapan tekad baginda dalam mencari kesempurnaan agama ? Adakah tuan masih tak merelakan aku dan kaum agama, baik Buddha, Syiwa dan Brahma untuk berusaha memperjuangkan kehidupan dan kelangsungan agama itu melalui kelestarian dari sebuah junjungan dan sebuah kerajaan yang melindungi agama2 itu ?"
Amat berapi-api nadanya dan amat bersemangat sikap brahmana Bantara ke ka mengucapkan kata-kata yang panjang lebar itu.
"Semisal dengan diri tuan dan kakang Kukila"
Kata Bantara pula "
Dakkah tuan layak berjuang menyelamatkan baginda dan kerajaan Singasari demi tugas tuan, demi kehidupan yang menghidupi tuan ?"
Bertebar warna merah muka dan telinga Katang Lumbang seke ka. Tetapi cepat sekali putera Tohjaya yang menyaru masuk menjadi prajurit bhayangkara dengan nama Katang Lumbang itu, tenang kembali.
"Ki brahmana"
Katanya dengan nada sarat "uraianmu cukup jelas, sejelas surya di pagi hari.
Cukup panjang pula walaupun melingkar-lingkar seper ular dalam liang.
Surya melanglang untuk menyinari buana.
Ular melingkar untuk dur atau bertapa.
Dan ucapanmu melantang untuk menggemakan maksud ha mu.
Jelas.
Baik sang Surya, ular maupun ucapanmu, mempunyai tugas, mengandung maksud, membenam pamrih"
"Apakah yang tuan maksudkan dengan ucapan tuan itu ?"
Seru brahmana Bantara. Tenang tetapi penuh tuntutan.
"Jika aku, prajurit yang terikat oleh tugas pekerjaan yang menurut kata ki brahmana merupakan suatu kehidupan yang menghidupi aku, itu memang layak dan dapat dimenger . Karena apa yang kami lakukan itu adalah soal2 yang menyangkut lahiriyah atau keduniawian. Sudah layak pula kalau orang2 seper kami, demi kehidupan, harus berjuang melaksanakan tugas. Tetapi kurang dapat dimenger , ki brahmana, apabila orang yang seper tuan, masih juga memikirkan soal2 kehidupan, masih mencemaskan pula soal keduniawian, masih mendebarkan soal2 pemerintahan. Agama adalah dunia tuan, kehidupan tuan dan segalanya bagi ki brahmana. Mengapa tuan masih memikirkan soal2 pemerintahan dan kerajaan Singasari ? Tidakkah hal itu mengandung suatu pamrih atau keinginan bahwa tuan akan berusaha untuk mengembangkan agama tuan bahkan kalau mungkin akan menyuarkan agama itu diatas negara dan pemerintahan ?"
Melihat perbantahan itu mulai makin meningkat kearah suhu yang panas, buru2 Kukila melerai "Sudahlah Bantara, jangan berkepanjangan jua kata dirangkai. Masing2 mempunyai pendirian dan tugas serta kewajiban sendiri"
"Terima kasih kakang"
Sambut Bantara "tetapi aku tak ingin mengecewakan ki prajurit yang menginginkan keterangan itu. Perkenankanlah, kakang, aku melanjutkan kata barang beberapa waktu lagi"
"Ki prajurit"
Tanpa menunggu jawaban Kukila, Bantara terus melancarkan kata kepada Katang Lumbang "walaupun sifat dan dan tujuan agama itu adalah untuk memberi kesadaran dan penerangan ba n agar hidup kita ini sejahtera lahir ba n, di arcapada sampai ke mayapada.
Aku dan sebagian besar kaumku, demi rasa kasih sayang yang murni, ingin memberi penerangan, pelajaran dan kesadaran menurut ajaran agama kami, kepada sesama manusia yang dikuasai oleh debu2 kedosaan nafsu.
Dengan demikian jelas bahwa yang kami hadapi itu adalah manusia.
Sudah barang tentu pula, kesejahteraan lahir ba n itu memerlukan syarat, paling dak suatu pemerintahan yang aman.
Dan untuk mencapai keamanan itu, wajiblah kita membantu, menjaga dan melindunginya dengan cara masing2.
Tuan sebagai prajurit, bertugas melindungi keamanan negara itu dengan wewenang yang tuan miliki.
Kami kaum brahmana dengan cara kami, berdoa, mempersembahkan sesaji dan memberi penerangan2 agar ba n dan jiwa mereka terlepas dari nafsu2 kejahatan.
Tuan dengan senjata pedang, tombak dan kekuatan.
Kami dengan senjata penerangan dan penyadaran.
Jika tuan mengatakan bahwa ucapanku itu mengandung pamrih, akupun tak menyangkal.
Karena segala gerak hidup itu tentu tak terlepas dari pamrih.
Namun pamrih yang baik, tentulah dak halangan kita laksanakan.
Pamrih itu luas dan menyelimu seluruh kehidupan.
Jangan tuan menyinggung-nyinggung kata2 itu"
"Bantara"
Cepat Kukila mengerat "sudahlah. Cukup. Sekarang katakanlah, apakah tah yang hendak engkau laksanakan dari gurumu ?"
"Baginda Kertanagara sedang dilipu awan hitam"
Kata Bantara "maka selama ini penjagaan harus diperketat"
"Hanya itu ?"
"Menurut guru, akan ada suatu ndakan untuk membunuh baginda. Dan perbuatan itu dilakukan oleh orang dalam keraton sendiri"
Katang Lumbang terkejut dalam hati.
"Dan engkau percaya akan hal itu?"
"Kakang, apa salahnya kita menjaga lebih dahulu daripada terlambat ?"
Balas Bantara.
"Bantara"
Ba2 nada Kukila berobah agak nggi "apakah sudah lama engkau duduk dibawah pohon itu ?"
Bantara mengiakan.
"Dan engkau mendengar semua percakapanku dengan kakang Katang Lumbang ?"
Kembali Bantara mengangguk. Seketika Kukila pucat wajahnya dan Katang Lumbangpun gemetar.
"Kakang, api itu berbahaya. Jangan bermain api jika tak ingin terbakar"
Kata Bantara. Katang Lumbang memiliki perasaan yang tajam. Ia melihat bahwa Kukila tampaknya goyah hatinya. Sebelum itu ia harus lekas2 menutup pembicaraan itu "Baik, ki brahmana. Nasehatmu itu akan kami perhatikan"
Kemudian ia mengajak Kukila "Kukila, mari kita kembali"
Sebenarnya berat juga ha Kukila untuk meninggalkan adiknya.
Sudah beberapa tahun tak berjumpa, dia ingin pulang dan berkumpul dengan ayah, bunda dan adik-adiknya.
Tetapi karena dibawa Katang Lumbang, terpaksa ia menurut.
Suasana hening pula.
Beberapa saat kemudian terdengar brahmana itu menghela napas.
Wijaya menyaksikan semua peris wa itu.
Diam2 dia kagum dan memuji brahmana itu.
Walaupun masih muda tetapi tangkas bicara dan tajam pandangan.
Ia berharap mudah-mudahan Katang Lumbang akan mendapat kesadaran bahwa rencananya itu akan menemui kegagalan karena sudah diketahui oleh brahmana itu.
"Betapapun Katang Lumbang itu adalah putera keturunan eyang buyut Tohjaya. Sebenarnya aku masih memanggilnya dengan sebutan eyang kepada Katang Lumbang itu. Maka aku wajib ber ndak. Untuk menyelamatkan baginda agar kerajaan Singasari terhindar dari malapetaka. Akupun harus menyelamatkan eyang Katang Lumbang agar keturunan eyang buyut Tohjaya jangan ludas"
Pikirnya.
Tiba2 ia melihat brahmana itu beranjak dari tempat duduk dan mulai ayunkan langkah.
Diam2 Wijaya girang karena diapun akan segera keluar dari balik gerumbul dan cepat2 hendak pulang.
Tetapi sekonyong- konyong brahmana itu hen kan langkah tepat disebelah muka gerumbul semak, hanya terpisah tujuh langkah.
Sebelum Wijaya sempat memperha kan apa gerangan yang dilakukan brahmana itu, ba2 ia mendengar suara brahmana itu "Ki sanak, mengapa engkau bersembunyi dibalik gerumbul?"
Kejut Wijaya bukan alang kepalang. Tanpa disadari rasa kejut itu telah menggelinjangkan tubuhnya sehingga bergetarlah semak tersentuh oleh tangannya.
"Ki sanak yang bersembunyi dibalik gerumbul, silahkan keluar. Mari kita bicara di sini"
Ulang brahmana itu pula. Kini Wijaya menyadari bahwa jejaknya telah diketahui brahmana, muda itu. Dan ia tahu siapa brahmana itu serta bagaimana pendiriannya. lapun segera melangkah keluar.
"Ah"
Desah brahmana itu seraya menatap wajah Wijaya.
"Maaf, ki brahmana"
Sesaat berhadapan, Wijaya-pun menghaturkan maaf dengan sebuah hormat.
"Ki sanak"
Ujar Bantara "siapakah engkau ini?"
"Aku Jaya, seorang gajihan dari ki demang Srubung"
"Orang gajihan dari demang Srubung?"
Brahmana itu agaknya terkejut.
"Benar, ki brahmana. Aku bekerja sebagai orang gajihan di tempat ki demang Srubung, ayah tuan"
"O, engkau telah mendengar semua percakapan tadi?"
"Demikianlah ki brahmana"
"Engkau mengaku sebagai orang gajihan ki demang, tetapi mengapa engkau berada di sini?"
Wijaya tersipu-sipu. Sulit baginya untuk memberi jawaban. Adakah ia harus mengaku semua yang dialaminya ataukah ia harus berbohong.
"Ah, jika menilik wajahmu, ragulah aku kalau engkau seorang gajihan. Engkau tentu mempunyai maksud tersembunyi"
"Ya"
Wijaya menghela napas "terserah bagaimana tuan hendak menyangka diriku. Tetapi aku memang mempunyai keinginan untuk mengetahui gerak gerik kedua pemuda tadi, kakang tuan dan prajurit yang bernama Katang Lumbang itu"
"Apa maksudmu?"
"Ke ka datang ke rumah ki demang, Katang Lumbang sudah memperlihatkan gerak gerik yang menimbulkan kecurigaan"
"Dengan dasar apa engkau mengatakan demikian?"
Wijaya merangkai cerita. Ia mengatakan bahwa secara tak sengaja ia telah mendengarkan percakapan antara Kukila dan Katang Lumbang. Itulah sebabnya secara diam2 aku telah mengikuti perjalanan mereka.
"Lalu apa tujuanmu?"
"Apa yang ki brahmana katakan tadi memang benar. Aku akan berusaha untuk membujuk raden Kukila supaya jangan terpikat oleh bujukan prajurit Katang Lumbang itu"
Wijaya heran ke ka melihat wajah brahmana itu tegang dan mata membelalak memandang ke atas kepalanya "Mengapa ki brahmana?"
"Jaya .... lekas ...."
Heran Wijaya makin menjadi "Mengapa ki brahmana?"
"Lekas engkau loncat kemari"
"Mengapa?"
Masih Wijaya meminta keterangan.
"Jaya, awas diatas kepalamu !"
Teriak Bantara seraya menunjuk ke arah kepala Wijaya. Wijaya terkejut dan berpaling "Ah"
Pemuda itu mendesuh kaget dan terus bersiap. Tetapi ia hen kan gerakannya ketika melihat benda yang hendak disambarnya itu diam. Brahmana menyambar sebatang ran ng kayu menghampiri maju dan hendak memukul.
"Jangan, ki brahmana, jangan tuan mengganggu ular itu"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cegah Wijaya.
Ternyata pada saat bertukar pembicaraan tadi dari atas sebatang pohon yang hanya beberapa langkah di belakang Wijaya telah meluncur seekor ular sebesar lengan.
Brahmana Bantara terkejut sekali namun tak sempat ia memberi pertolongan.
Ular itu dengan cepat sudah melayang menyambar kepala Wijaya.
Tetapi suatu keajaiban telah terjadi.
Masih kurang selengan jaraknya, ba2 ular itu tersentak dan menyurut mundur.
Pada saat itulah Wijaya berpaling.
Ular itupun menyurut kepohon dan melingkar diam.
"Mengapa engkau melarang kubunuh ular itu ?"
Bantara heran.
"Mengapa harus tuan bunuh?"
"Binatang itu hendak menyerang engkau"
"Aku tak merasa terancam dan ternyata diapun tak menyerang"
Bantah Wijaya. Brahmana itu kerutkan dahi "Memang aneh sekali. Jelas ular itu sudah meluncur hendak menyambarmu tetapi mengapa ba2 binatang itu berhen di tengah jalan dan bahkan menyurut ke batang pohon lagi ?"
Dia memandang lekat2 pada Wijaya.
Diam2 ia terkejut.
Tak mungkin pemuda yang di-hadapannya itu seorang gajihan atau pengalasan di rumah ayannya.
Selama berguru kepada resi di puncak gunung Meru, Bantara telah mengaji banyak ilmu kepandaian.
Diantaranya yang paling ditekankan oleh gurunya adalah ilmu Semedhi.
Ternyata dengan ilmu itu, kini dia memiliki suatu kelebihan, semua indera dalam tubuhnya makin lebih tajam.
Disamping itu tumbuh pula suatu indera keenam yani indera naluri atau perasaan halus.
Dalam memawas wajah Wijaya, mbullah suatu kesan pada indera nalurinya bahwa pemuda itu bukan pemuda kebanyakan.
Cahaya yang bersinar pada wajah Wijaya itu, menunjukkan bahwa dia tentu seorang pemuda keturunan priagung.
"Mari kita pulang"
Katanya setelah merenung beberapa jenak dengan keputusan, ia akan menyelidiki lebih lanjut diri pemuda itu.
Pertemuan antara Bantara dengan demang dan nyi demang Srubung.
berlangsung amat gembira dan mengharukan "Bantara, o, terima kasih Batara Agung ..."
Nyi demang memeluk puteranya.
Demang Srubung hanya termangu-mangu tak berkata apa-apa.
Dua buah airmata yang meni k keluar dari pelapuknya yang sudah berpuluh tahun kering, mencerminkan betapa rasa haru dan gembira yang telah meluap dalam lubuk hatinya.
"Kakang!"
Ba2 ni Tanjung muncul dan lari memeluk Bantara.
Dara itu menangis dan Bantara membiarkan dirinya dipeluk oleh kedua wanita, ibu dan adiknya.
Beberapa saat kemudian, setelah luap kegembiraan campur haru itu mulai mereda, barulah Bantara berkata "Bu, marilah kita panjatkan rasa syukur dan puji kepada Hyang Batara Agung atas rahmat yang telah diberikan kepada kita"
Kemudian ia mengelus-elus kepala Tanjung "Tanjung, adikku, hen kanlah tangismu. Jangan engkau hamburkan air berharga itu pada sesuatu yang tak berguna. Simpanlah, karena masih banyak hal2 dalam hidupmu yang berkepanjangan, akan memerlukan air itu"
"Kakang Bantara, mengapa selama ini engkau tak pernah memberi warta kepada kami. Betapa resah dan gelisah hati kami, kakang"
"Ya, Bantara, resi yang menculik engkau itu sungguh kejam sekali. Dialah yang menyebabkan aku sakit dan hampir mati karena dilanda kejut dan kesedihan tiada terderita"
Kata nyi demang. Empat tahun yang lalu, peristiwa itu terjadi ketika pada suatu hari secara tiba2 Bantara telah lenyap. Nyi demang menangis, meraung-raung bagaikan singa yang kehilangan anaknya.
"Engkaulah yang menyebabkan dia minggat!"
Ia marah kepada ki demang "engkau terlalu keras mengajar anak. Anak sudah besar masih engkau perlakukan seper anak kecil, engkau gebug, engkau maki, engkau ....."
"Engkau sendiri yang merusaknya!"
Ki demang tak mau kalah "engkau terlalu memanjakan sehingga dia malas. Bangun siang, terus keluar bermain-main, malam baru pulang"
"Hm, lelaki memang paling tak menger ha seorang ibu"
Bantah nyi demang "engkau tahu, mengapa aku bersikap lunak dan memanjakannya?"
Ki demang tertegun.
"Sejak kecil dia bertubuh lemah, sering sakit-sakitan. Dan pada waktu berumur ga tahun dia bahkan mau mati. Engkau tentu masih ingat, bukan?"
"Hm"
Desuh ki demang.
"Engkau sudah menyerah. Segala upaya sudah tak berhasil. Akhirnya kubawa anak itu ke candi dan kupersembahkan dihadapan arca Hyang Syiwa. Aku menelungkupi kaki Hyang Syiwa dan semalam suntuk aku menangis. Rupanya Hyang Syiwa tersentuh dan mengabulkan permohonanku. Keesokan harinya anak itu dapat menangis. Sejak itu diapun sembuh"
"Se ap permohonan kepada Batara Agung asal disertai dengan kesungguhan ha , tentu akan dikabulkan"
Kata ki demang.
"Tetapi engkau tak tahu apa ikrar yang kuucapkan dalam semedhi yang kupersembahkan dibawah duli Hyang Syiwa itu ?"
"Sudah tentu hanya engkau sendiri yang tahu"
Gumam ki demang setengah kesal.
"Dengarlah"
Seru nyi demang "waktu itu aku mengikrarkan suatu nazar, apabila Bantara sembuh, aku takkan memukul, memarahinya. Aku takkan memaksa dan membiarkan dia bekerja menurut yang disukainya"
"Wah, hebat benar nazarmu"
Seru ki demang.
"tetapi rasanya masih kurang"
"Ha ? Kurang ?"
"Mengapa tak engkau nazarkan dia menjadi tumenggung atau adipati saja?"
"Terserah kepadanya. Kalau dia memang menghendaki begitu, apa salahnya ?"
"Bagaimana kalau dia menjadi pemalas, penjudi, perampok dan penipu?"
"Engkau gila barangkali"
Teriak nyi demang.
"mengapa engkau mengharapkan anakmu menjadi manusia semacam itu !"
"Aku dak gila tetapi yang edan itu engkau sendiri"
Seru ki demang "ikrarmu itu berar memanjakan anak.
Apa yang dapat kita harapkan dari seorang anak yang dimanjakan ? Tidakkah dia akan terjerumus dalam lembah kemalasan.
Dan kemalasan itu merupakan sumber dari segala pikiran yang kosong, kekosongan yang mudah dihuni oleh nafsu keenakan, kemewahan.
Dan nafsu itulah yang menuntut orang untuk berbuat segala apa agar dapat mencapai tujuannya.
Jelasnya, mudah untuk tergelincir dalam lembah kejahatan"
"Sudahh.."
Tukas nyi demang "aku tak perlu dengan segala macam pitutur. Yang pen ng anak itu selamat, besar dan jadi orang"
"Ha, ha"
Ki demang tertawa "memang dia akan besar dan jadi orang. Tetapi orang yang bagaimana macam peribadinya, sukar dibayangkan. Kemungkinan tentu bukan orang baik"
Karena marah, geram dan malu, akhirnya nyi demang menangis sekeras-kerasnya. Dengan tangis itu maka siraplah pertengkaran mulut suami isteri itu.
"Ah, wanita memang sukar diurus"
Gumam ki demang dalam ha "sukar untuk menerima penjelasan, maunya menurut kehendaknya sendiri. Dan untuk memenangkan se ap pembicaraan tentu menggunakan senjata tangis"
Demikian beberapa hal yang terjadi pada diri Bantara sejak kecil.
Dia selalu menjadi bahan pertengkaran antara ki demang dan nyi demang.
Ki demang sebagai seorang ayah, mengharuskan dia rajin bekerja "Jangan engkau anggap bahwa sebagai putera demang engkau akan menikma kehidupan yang enak.
Sekarang memang bisa karena aku masih hidup.
Tetapi kelak apabila aku sudah ma dan engkau sudah menjadi ang rumahtangga, engkau tentu akan kelabakan.
Tak mungkin engkau akan hidup senikmat seperti sekarang"
Se ap Bantara menerima teguran dan kata-kata yang keras dari ayahnya maka nyi demang tentu akan membela puteranya "Sudahlah, Bantara, jangan engkau dengarkan caci maki ayahmu"
"Sebenarnya aku tak bermaksud memhantah perintah rama"
Kata Bantara "tetapi sungguh aneh sekali rama itu. Masakan dia menyuruh aku, putera demang, harus ke ladang untuk ikut mencangkul ? Cobalah bu, apakah hal itu takkan ditertawakan orang?"
"Memang ramamu itu sukar dimenger pikiran. Dia mengajar putera-puteranya terlalu bengis. Dulu kakangmu, Kukila, juga se ap hari menjadi sasaran kemarahan. Setelah kakangmu masuk prajurit, sekarang engkau yang mendapat giliran, hm"
Memang karena terlalu memanjakan putera maka nyi demang tak menger maksud pendidikan ki demang kepada puteranya.
Dan karena sudah terlanjur dimanja maka Bantarapun terhanyut dalam sifat mengandalkan perlindungan ibunya.
Pada hal hanya lahir saja, ki demang itu bersikap bengis.
Ia memerintahkan puteranya bekerja di ladang dan kebun, melakukan pekerjaan apa saja bahkan sampai yang kasar, agar anak itu mendapat gemblengan kerja.
Agar kelak anak itu dak canggung apabila harus menghadapi kehidupan yang sukar.
Segala kerja, pokok yang halal, adalah baik dan mulia.
Demikian pokok ajaran ki demang yang hendak ditanamkan pada jiwa anak- anaknya.
Sayang dia mendapat tentangan dari nyi demang.
Dan terjadilah peris wa yang memberi kesempatan kepada nyi demang untuk menumpahkan kemarahannya terhadap ki demang.
Peris wa itu terjadi pada suatu hari ke ka ki demang marah melihat Bantara masih dur walaupun hari sudah sepenggalah ngginya.
Serentak ki demang memaksa Bantara bangun dan menyuruhnya ke ladang untuk mengawasi pekerja2 yang sedang mengetam padi.
Hari itu masa panen dan ki demang telah mempekerjakan orang2 gajihannya untuk menuai.
Karena semalam Bantara melihat pertunjukan disebuah desa yang salah seorang penduduknya mengadakan hajat menikahkan puteranya, maka Bantara masih merasa ngantuk.
Dia membangkang.
Ki demang marah lalu memukul puteranya.
Bantara menjerit kesakitan lalu lari keluar.
Saat itu nyi demang sedang berbelanja ke pasar.
Ke ka pulang dan menanyakan Bantara, ki demang mengatakan kalau anak itu pergi ke ladang.
Tetapi petang hari ketika para gajihan pulang ternyata Bantara tak ikut serta.
"Ah, mungkin dia terus main2 ketempat kawannya"
Kata ki demang kepada isterinya.
Nyi demang-pun diam karena ia tahu memang Bantara sering begitu.
Namun semalam itu Bantara tak pulang.
Keesokan harinya nyi demang bingung.
Disuruhnya orang mencari Bantara.
Tetapi mereka pulang dengan tangan hampa.
Setelah sampai hari kedua Bantara belum pulang, ki demang mulai cemas.
Lebih gelisah lagi ketika nyi demang mulai menangis.
Walaupun telah dikerahkan orang untuk mencari, tetap Bantara tak dapat diketemukan.
Nyi demang jatuh sakit dan hampir saja dia berobah ingatannya karena menderita goncangan jiwa.
Memang dia paling cinta pada Bantara.
Demikian sejak itu, Bantara telah menghilang tanpa jejak.
Setahun, dua, liga tahun telah berlalu.
Pada suatu hari seorang penduduk gopoh menghadap ki demang dan menyerahkan sepucuk surat.
Ki demang berteriak sekeras-kerasnya ke ka membaca isi surat itu.
Ternyata surat itu berisi suatu berita yang mengabarkan bahwa sebenarnya Bantara masih hidup tak kurang suatu.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya saat ini dia sedang berguru pada seorang resi sak di gunung Meru.
Kelak pada saatnya, anak itu tentu akan pulang.
Nyi demang menangis karena gembira.
Tetapi sampai berbulan-bulan lamanya belum juga Bantara muncul.
Hingga pada saat ki demang suami isteri hampir putus asa, tiba2 pada hari itu muncullah Bantara.
Betapa gembira hati nyi demang dan keluarganya, sukar dilukiskan.
Atas pertanyaan ibu dan adiknya, Bantara menerangkan bahwa pada hari itu dia memang marah karena didera dan dimaki ayahnya.
Hampir ia putus asa dan hendak membuang diri ke dalam bengawan.
Tetapi tak jadi.
Dia terus berkelana menuju ke gunung Meru.
Tujuannya dia hendak mengasingkan diri untuk bertapa.
Kalau memang ditakdirkan harus mati, biarlah dia mati.
Dia jemu hidup, dia sakithati kepada ayahnya.
Kalau mati, biarlah ayah kehilangan seorang puteranya.
Demikian ia hendak membalas dendam dengan cara dan alam pikirannya yang aneh.
Dia bertemu dengan seorang resi dan dibawanya ke puncak gunung itu.
"Siapakah nama resi itu, kakang ?"
Tanya ni Tanjung.
"Guru tak pernah mengatakan namanya. Baru pada saat menitahkan aku turun gunung, guru berpesan "Aku ada punya nama. Cukup sebut resi Meru atau apapun saja. Jangan engkau katakan tentang diriku kepada orang"
"O, aneh benar resi itu"
Seru ki demang "adakah dia mempunyai suatu rahasia yang tak ingin diketahui orang?"
"Entah"
Sahut Bantara "akupun hanya mentaati perintahnya saja.
"Bantara"
Kata ki demang pula "apakah engkau masih mendendam kepada rama?"
"Mendendam ?"
Ulang Bantara "ah, resi guru telah menempa jiwaku agar menghilangkan rasa dendam kepada orang. Dan lagi, kini aku telah menyadari bahwa ndakan rama kepadaku dahulu itu memang benar. Akulah khilaf, maafkan, rama"
Ki demang tertawa puas "Bantara, aku gembira sekali. Bukan hanya karena engkau pulang, tetapi karena kesadaranmu telah pulang kedalam jiwamu"
Demikian Bantara dan kedua ayahbunda serta adiknya malam itu menikma malam panjang melalui percakapan pelepas rindu dan kangen.
"Kakang"
Seru ni Tanjung "adakah sekarang kakang telah menjadi seorang brahmana?"
Bantara tertawa ringan.
"Mudah-mudahan begitu, Tanjung. Ketahuilah, nini. Memang mudah orang masuk menjadi pandita atau brahmana ...."
"Apa beda antara pandita dan brahmana itu, kakang ?"
"Pandita itu sebutan untuk seorang ulama beragama Buddha yang telah mencapai kejiwaan yang luhur. Brahmana, pandita dari agama Syiwa"
"O, jika demikian kakang Bantara ini seorang pandita Syiwa"
"Nini"
Bantara lirih berkata "memang untuk mudahnya, diadakanlah perbedaan dalam soal nama.
Tetapi pada hakekatnya, adalah berbeda antara Buddha dengan Syiwa dengan Wisnu itu.
Perbedaan itu terjadi hanya dalam masakala dan bentuk serta tugas yang berlainan.
Itulah sebabnya maka baginda Kertanagara yang arif bijaksana telah menyatukan ke ga agama itu dalam Tripaksa, agama yang dianut dalam kerajaan Singasari dewasa ini"
"O"
Mulut mendesuh dan kening dara itupun mengerut.
"Tanjung"
Bantara tahu apa yang terisi dalam ha adiknya "kelak apabila ada kesempatan, akan kuterangkan kepadamu tentang hal itu"
"Kakang mengatakan bahwa mudah untuk menjadi pandita atau brahmana itu. Apakah seorang anak perempuan seperti diriku ini juga dapat diterima menjadi pandita atau brahmana?"
Bantara tertawa melihat adiknya.
Seorang dara yang menjelang remaja, can k dan cerdas, ingin tahu segala sesuatu yang tak dimenger nya.
Baru lebih kurang empat tahun ia meninggalkan rumah, kini ia mendapatkan adiknya itu sudah jauh lebih besar.
Rupanya Tanjung cepat sekali tumbuh dan mekar menjadi dara yang cantik.
"Buddha, Syiwa maupun Brahma dan se ap agama, dak membedakan pria dan wanita, nini"
Ujar Bantara "wanita juga sesama tah Pewata. Dalam garis ajaran agama, yang berbeda bukanlah jenis manusianya melainkan ragam pikiran dan kesadaran batinnya"
"Jika begitu aku akan ikut kakang untuk berguru kepada guru kakang itu"
Seru ni Tanjung dengan mata memancar sinar. Bantara tertawa dalam ha . Ia melihat masih melekatnya sifat kekanak- kanakan dalam diri adiknya yang sudah remaja itu.
"Baik sekali, Tanjung"
Serunya "tetapi sebelum engkau melangkah kearah keputusan itu, cobalah engkau jawab beberapa pertanyaanku ini dulu"
"O, silahkan kakang"
"Pertama, tahukah agama apa yang engkau hendak peluk itu ?"
"Apa saja, kakang. Buddha atau Syiwa atau Brahma, Bukankah kakang mengatakan ke ga aliran agama itu sama saja?"
"Benar"
Sahut Bantara "walaupun pada hakekat terakhir akan ba pada tujuan satu, tetapi jalan yang ditempuh daklah sama.
Beda pula cara dan peraturan2 yang menjadi alam kehidupan agama itu.
Jawabanmu tadi memberi bisikan kepadaku bahwa sebenarnya engkau belum menghayatinya"
"Tetapi bagaimana aku dapat menghayati kalau tak masuk kedalamnya?"
"Harus dibedakan antara menghaya dan masuk, nini"
Kata Bantara pula "menghaya adalah ngkat ter nggi dari mempelajari.
Dan masuk, merupakan keputusan terakhir.
Tidak tentu setelah menghaya terus masuk.
Karena hal itu menyangkut kepercayaan ba n se ap orang masing2.
Pun belum tentu masuk ke-dalam salah satu agama itu tentu menghaya nya.
Banyak yang tak menger , jangankan mencapai ngkat penghayatan.
Banyak yang terdorong oleh perasaan lain yang bukan tumbuh dari sanubarinya sendiri.
Pengaruh lingkungan hidup, tata adat dan kewajiban.
Ataupun hanya karena ingin disebut seorang yang beragama.
Maka berbanyaklah engkau mengaji segala ilmu termasuk ajaran2 agama itu.
Dan anutlah suatu agama itu dengan suatu keyakinan yang sungguh-sungguh"
Ni Tanjung mengangguk-angguk.
"Pertanyaan kedua, apa tujuanmu hendak menjadi pandita atau brahmana itu?"
Tanya Bantara pula.
"Agar tenteram jiwaku, sejahtera hidupku sampai diakhir hayat"
"Jawaban yang baik"
Bantara mengangguk "walaupun masih disangsikan adalah kata2 itu keluar dari ha sanubarimu sendiri ataukah karena engkau pernah mendengar orang berkata begitu.
Karena pada umumnya, orang akan meletakkan keinginannya dalam tujuan masuk kedalam suatu agama ataupun menjadi pandita dan brahmana, seperti yang engkau ucapkan itu"
"Engkau hendak mencari ketenteraman jiwa ?"
Kata Bantara melanjut "Adakah sekarang jiwamu dak tenteram? Apakah engkau tahu bagaimana ketenteraman jiwa itu ? Adakah setelah engkau masuk menjadi pandita atau brahmana engkau yakin pasti jiwamu tenteram?"
"Benar kakang "
Sahut ni Tanjung "paling akhir ini jiwaku memang tak tenteram. Oleh karena itu aku hendak mencari ketenteraman?"
"O"
Desuh Bantara "engkau mempunyai persoalan dalam ba nmu ? Nini? dapatkah engkau memberitahu kepadaku apa yang menjadikan keresahan pikiranmu itu?"
Ni Tanjung tersipu-sipu merah. Ia tak menyahut melainkan menunduk. Melihat itu nyi demang mendekatkan muka ke telinga Bantara dan membisikinya. Wajah Bantara mengerut.
"O, soal itukah yang engkau resahkan nini? "
Seru Bantara kepada adiknya "engkau tak tenteram dan resah karena ba nmu mempersoalkan hal itu. Hal yang menjadi persoalan pikiran dan ba n, tentulah belum berkenan sepenuhnya dalam ha mu. Jelasnya engkau tentu.belum mantap untuk menyambut hal itu"
"Benar, kakang "
Ni Tanjung mengangguk "aku masih senang bermain main, masih ingin nggal bersama rama dan ibu untuk merawat dan meladeni beliau. Aku belum memikirkan rumah-tangga baru"
"Engkau masih menyembunyikan isi hatimu, Tanjung"
Ni Tanjung mengangkat muka, mencurahkan pandang ke wajah kakangnya.
"Seharusnya engkau mengeluarkan pernyataan ha mu bahwa engkau masih memper mbangkan jejaka yang hendak mempersunting dirimu. Jelasnya, engkau masih belum meluluskan pemuda itu"
Ni Tanjung merah mukanya.
"Tetapi rama dan ibu rupaya mendorong aku supaya menerimanya, kakang"
Bantara beralih pandang kepada ki demang dan nyi demang "Benarkah demikian, rama, ibu ?"
"Angger"
Seru ki demang Srubung "engkau belum menjadi orangtua, mungkin engkau belum dapat menyelami ha perasaan seorang tua terhadap putera puterinya.
Kepada putera, kuletakkan harapan agar kelak dia menjadi manusia yang berguna, syukur berpangkat.
Kepada puteriku, kusanjungkan puji doa, agar dia mendapat jodoh pria yang baik dan menyayanginya, syukur seorang yang beikedudukan tinggi"
"Ya, benar Bantara"
Nyi demang ikut bersuara "rama dan ibumu merasa bahwa Katang Lumbang itu memenuhi syarat2 yang kami idam-idamkan. Muda, cakap dan menjabat prajurit bhayangkara keraton Singasari"
"Rama dan ibu"
Kata Bantara "memang ada seorang rama ibu yang hendak menjerumuskan putera puterinya.
Mereka tentu menginginkan kebahagiaan bagi anak-anaknya.
Diantara persoalan hidup yang gawat dari yang paling gawat adalah soal menikah.
Terutama bagi nasib seorang anak perempuan.
Karena disitulah letak dunia yang akan menentukan nasib kehidupannya.
Aku tak menentang pilihan rama dan ibu itu tetapi akupun tak menganjurkan.
Jangan kita terhanyut oleh anggapan dan terlelap oleh rasa lalu memberi penilaian kepada seseorang, termasuk pemuda yang rama dan ibu kenankan itu"
"Bagaimana maksudmu, angger ?"
Kata nyi demang.
"Kumohon rama dan ibu jangan terburu-buru menentukan keputusan dulu"
"Lalu bagaimana kalau dia mengajukan pinangan?"
"Kurasa tidak akan dilakukannya sekarang ini. Kelak akan kuberitahu kepada rama dan ibu"
"Apakah engkau kenal dengan dia ? Apakah ada persoalan dengan dirinya?"
"Ah, dak. Tetapi kuminta baiklah hal itu dipertangguhkan dahulu. Paling lama sebulan dua bulan tentu sudah dapat kuberi kabar"
Bantara tetap tak dapat melepaskan kesangsiannya terhadap Katang Lumbang.
Ia membayangkan bahwa apabila Katang Lumbang itu benar akan melakukan maksud buruk terhadap baginda, dia tentu akan ditangkap dan dihukum ma .
Jika demikian dakkah akan tersia-sia nasib Tanjung apabila pinangan itu diterima? Setelah ki demang dan nyi demang dapat menerima permintaan Bantara, maka brahmana muda itupun melanjutkan pula pembicaraannya dengan adiknya "Tanjung, adakah engkau masih hendak bercita-cita menjadi pandita atau brahmana lagi ?"
"Aku tak tahu, kakang"
Bantara tertawa "Itulah Tanjung, jika orang kehilangan pegangan.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka terus menghindar dan melarikan diri dari persoalan yang dihadapinya.
Semisal dengan dirimu, engkau dak berusaha memecahkan persoalan itu tetapi engkau hendak melarikan diri kedalam vihara atau pertapaan.
Adakah engkau kira setelah menjadi brahmana, persoalan itu akan hilang? Dan ketahuilah nini.
Bahwa dalam kepanditaan dan kebrahmanaan pun terdapat bermacam persoalan ba n.
Patut dikua rkan, mengingat caramu menghadapi persoalan itu dak dengan memecahkannya melainkan dengan menghindari persoalan itu, engkaupun akan melarikan diri dari alam kepanditaan atau ke brahmanaan.
Di-tempat pelarianmu yang baru itu, apabila menghadapi persoalan lagi, engkaupun akan melarikan diri lagi.
Dengan demikian, pelarian demi pelarian engkau lakukan, suatu perjalanan jauh engkau tempuh tanpa engkau dapat bersua dengan ketenteraman.
Karena hidup itu penuh dengan persoalan, apabila engkau takut menghadapi persoalan dan engkau melarikan diri, engkau tetap akan dikejar-kejar oleh persoalan itu.
Persoalan itu, ibarat bayangan.
Kemanapun orang pergi, dia akan mengikuti."
"Tetapi"
Berhen sejenak, Bantara melanjut pula "apabila engkau berhen , bayang2 itupun berhen .
Terlebih pula apabila engkau melangkah ke tempat yang terang, bayang2 itupun tentu lenyap.
Demikian dengan persoalan.
Jika engkau menghadapinya, persoalan itu akan berhen .
Dan apabila enekau berusaha untuk mencari jalan terang dan memecahkannya, persoalan itupun tentu cair dan hilang.
Jelaskah engkau, Tanjung?"
Dara itu mengangguk-angguk.
"Ah, tak kira Bantara"
Seru ki demang "kini engkau telah berobah sama sekali. Pikiranmu lebih masak, pandanganmu lebih mantap"
"Tetapi Bantara, mengapa engkau masuk menjadi brahmana?"
Nyi demang berseru cemas. Kecemasan seorang ibu yang memikirkan nasib puteranya. Rupanya Bantara tahu apa kandungan ha ibunya, ia menjawab tenang "Ibu, se ap orang akan mencari jalan hidup masing2. Dan aku telah memilih jalan itu"
"Mengapa nak ? Apakah engkau merasa puas hidupmu menjadi seorang brahmana ?"
"Bukan soal puas atau dak puas, ibu. Melainkan suara ha yang mendorong aku memilih jalan hidup sebagai seorang brahmana"
"O, angger, tetapi apakah engkau tak menginginkan keturunan ?"
"Soal itu belum kupikirkan, bu"
Jawab Bantara menghibur ibunya "aku masih ingin mengatur diri, membenahi batinku menurut jalan yang kuanut"
Nyi demang menghela napas.
"Tetapi janganlah ibu bersedih untuk hal itu"
Kata Bantara lebih lanjut "bukankah masih ada kakang Kukila yang akan memberikan cucu kepada ibu ?"
"Apakah seorang brahmana itu tak diperkenankan menikah, kakang ?"
Tanya Tanjung. Bantara tersenyum kecil.
"Beginilah nini, keadaan ngkat2 hidup brahmana itu. Untuk menjunjung nggi adat pusaka nenek moyang maka ap2 orang brahmana harus menghafalkan kitab2 Veda. Tiap anak orang brahmana sesudah upacara Upanayana, harus diserahkan kepada seorang guru untuk belajar kitab2 Veda. Tingkat hidup itu disebut tingkat brahmacarin atau murid brahmana. Tingkat hidup brahmacarin itu amat berat. Dia harus tunduk kepada segala pantangan atau pemali yang diharuskan oleh guru. Harus menurut segala perintah guru. Harus mencari makan dengan cara mengemis dan barang yang didapatnya harus diserahkan kepada gurunya. Kalau sudah tammat pelajarannya maka diadakan upacara penutup yang disebut samavartana. Setelah itu anak itu pulang kembali ke rumah orangtuanya.
"Kemudian datang ngkat hidup baru yang disebut grehastha. Dalam ngkat ini, dia boleh beristeri atau vivaha. Sejak itu dia dianggap sebagai kepala keluarga yang merdeka dak tergantung pada orangtua. Sesudah itu, apabila umurnya sudah meningkat, ia mengasingkan diri bersama isterinya dari dunia ramai, masuk kedalam hutan untuk hidup sebagai vanaprastha atau penduduk hutan. Mengilir budi dengan soal2 yang dalam dari kitab Veda. Tingkat yang terakhir yalah parivrayaka. Dalam ngkat ini orang hidup bertapa dan mengembara tanpa membawa apa2 kecuali pakaian yang dipakainya"
"Jika demikian saat ini kakang sudah menjelang pada tingkat grehastha"
Seru Tanjung.
"Belum"
Jawab Bantara "aku masih dalam ngkat brahmacarin. Aku turun gunung karena melakukan perintah guru"
"O, perintah apakah nak?"
Seru nyi demang dengan nada cerah demi mendengar uraian tentang tingkat kehidupan brahmana.
"Soal kerajaan Singasari"
"Apa katamu, Bantara"
Selutuk ki demang "soal kerajaan Singasari?"
"Benar rama"
"Apakah engkau diperintah gurumu untuk menghadap baginda"
"Tidak"
Sahut Bantara "untuk melindungi keselamatan baginda"
"Hah ?"
Ki demang terbelalak "apa maksudmu ?"
Dengan ringkas Bantara segera menuturkan apa yang telah dipesankan gurunya. Ia anggap soal menjaga dan melindungi keselamatan raja itu menjadi kewajiban se ap orang Singasari maka diapun mengatakan dengan terus terang.
"Ah, jika demikian"
Kata ki demang "patutlah dalam upacara pentahbisan baginda di makam Wurare nanti, dilakukan penjagaan yang keras"
Ki demangpun menceritakan tentang keputusan baginda untuk melakukan pentahbisan sebagai Jina. Segala persiapan telah diatur dan dilaksanakan. Akan kuhaturkan laporan kepada ki tumenggung agar penjagaan lebih diperkuat"
"Kurasa tak perlu rama"
Kata Bantara "karena lebih lekas bahaya itu diketahui, lebih baik.
Jika penjagaan diperkuat, tentulah orang itu, apabila memang ada, takkan melaksanakan rencananya terhadap baginda.
Dia tentu akan mencari lain kesempatan lagi.
Rasanya lebih mudah kita sergap dan cegah apabila hal itu terjadi pada upacara di makam Wurare, daripada apabila hal itu terjadi dalam keraton"
Ki demang mengangguk.
Dia menganggap pendapat puteranya itu memang benar.
Demikian setelah larut malam barulah mereka beristirahat dalam bilik masing-masing.
Bantara tinggal beberapa hari di kademangan.
Selama itu, dia mempunyai kesempatan untuk meninjau keadaan kademangan.
Dia mendapat kesan bahwa rakyat kademangan hidup tenteram tetapi tingkat kehidupan mereka amat rendah.
"Mengapa rakyat disini tampak lesu2 saja, rama?"
Ia mengajukan pertanyaan kepada ki demang.
"Tahun ini panen gagal. Kemarau panjang, sawah dan ladangpun kering. Juga tanaman padi banyak diserang hama"
Kata ki demang.
"Lalu apa tindakan rama untuk mengatasi kesulitan itu ?" .
"Kuperintahkan mereka untuk mengadakan sesaji dan upacara doa permohonan kepada dewa"
"Memohon apa ?"
"Hujan"
"O"
Bantara teringat bahwa sejak beberapa malam apabila tengah malam ba2 dia selalu mendengar suara berkumandang riuh seper orang bernyanyi.
Ia menanyakan hal itu kepada ki demang dan ki demangpun menerangkan bahwa mereka itu adalah rombongan penduduk yang berkeliling desa pada ap2 tengah malam.
Untuk mengusir roh2 jahat yang menjelma menjadi hama sawah itu.
"Apakah usaha itu berhasil? "
Tanyanya. Ki demang gelengkan kepala "Segala usaha telah .kita tempuh namun hujan tak kunjung ba. Hama membangkang pergi"
Setelah mendapat keterangan itu, Bantara lalu minta idin untuk mengumpulkan rakyat.
"Apa maksudmu, Bantara?"
"Hendak kuajak beramai-ramai mengatasi bahaya paceklik yang mengancam kita dewasa ini"
Ki demang meluluskan. Dan hari itu Bantara lalu mengumpulkan penduduk di muka halaman kademangan.
"Paman-paman sekalian"
Serunya dengan nada ramah cerah "kademangan kita menghadapi bahaya. Bahaya alam karena tak turun hujan, bahaya musuh dari hama yang merusak tanaman. Marilah kita tanggulangi keadaan ini dengan semangat gotong-royong dan bekerja keras"
Krica seorang penduduk tua tampil ke hadapan Bantara "Bencana ini tak mungkin kita tanggapi dengan kerja keras"
"Mengapa? "
Tegur Bantara.
"Karena hanya daerah kademangan kita saja yang menderita. Sedangkan daerah2 di telatah gunung Kawi, tidak begini keadaannya. Jelas ini tentu terjadi atas kehendak dewata"
"O, atas kehendak dewata?"
Ulang Bantara "bagaimana paman tahu?"
"Aku dak tahu"
Sahut lelaki tua itu "tetapi merasakan. Oleh karena itu ap malam kami berkeliling untuk mengusir roh2 jahat yang mengganggu kademangan kita ini"
"Berhasil?"
"Roh jahat itu terlalu sakti dan bandel. Kami tak berdaya menghalaunya"
Bantaran merenung sejenak.
Ia mendapat kesan bahwa pak Krica itu mempunyai pengaruh terhadap kawula kademangan.
Untuk menggugah pikiran orang2 itu supaya mau diajak melakukan usaha menanggulangi keadaan, hanyalah harus lebih dulu menundukkan pak Krica.
"Pak Krica, aku sanggup berhadapan dengan roh jahat itu. Bawalah aku kesana"
Seru Bantara. Sekalian orang terkejut dan saling bertukar pandang. Kumandang lirih dari mulut2 mereka yang berbisik-bisikpun terdengar.
"Tidak"
Beberapa saat kemudian lelaki tua itu berseru "ki demang tentu marah kepada kami"
"Mengapa?"
Seru Bantara.
"Roh itu terlalu jahil dan amat ganas. Tiada seorang manusia bahkan binatang dan burung yang berani mendekati tempat itu. Tentu mati"
Bantara makin tertarik "Baik, paman, bawalah aku kesana"
Tetapi pak Krica menolak karena takut kepada ki demang.
Bantara lalu masuk menghadap ki demang.
Ia minta agar ayahnya mengidinkan penduduk itu membawanya ke tempat yang dianggap menjadi tempat roh jahat.
Ki demang kerut dahi "Tetapi Bantara, tempat itu memang keramat dan gawat sekali.
Tiada barang suatu mahluk yang berani mendekati"
"Tetapi aku dapat menghadapinya rama"
Bantara tetap meminta "jika aku tak sanggup menghadapinya, akupun tentu akan meloloskan diri. Aku dapat mengenal gelagat"
Karena Bantara meminta dengan keras, ki demang-pun meluluskan juga dengan syarat, apabila membahayakan, Bantara harus cepat2 tinggalkan tempat itu.
Demikian beramai-ramai rakyat kademangan bersama Bantara menuju ke tempat roh jahat itu.
Pada saat Bantara melangkah keluar halaman ia melihat Wijaya sedang membersihkan pagar.
Entah bagaimana timbullah rasa tertarik hatinya "Jaya, marilah engkau ikut"
Katanya.
Wijaya terkejut tetapi ia terpaksa ikut juga.
Diam2 mbul kesan dalam ha rakyat itu walaupun Bantara itu putera demang dan Wijaya itu hanya seorang pengalasan, tetapi Wijaya lebih tampan dan lebih bersinar wajahnya.
Jika wajah Bantara itu memancarkan sinar ketenangan, wajah Wijaya merekahkan cahaya keagungan.
Mereka menuju ke sebuah hutan, masuk sampai ke suatu daerah pedalaman pegunungan yang jarang dijelajah orang.
"Disanalah"
Tiba2 Krica menunjuk ke sebuah tempat. Memandang kearah yang ditunjuk, Bantara kerutkan dahi "Pohon brahmastana itu ?"
"Ya"
Kata Krica "akar pohon itu berlubang sebesar goa. Dalam goa itulah kawanan roh jahat bersembunyi"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah paman pernah melihatnya?"
"Tiada seorangpun yang pernah melihatnya. Tempat itu keramat sekali. Barangsiapa mendeka tentu mati"
"Baik, kalian tunggu saja disini"
Kata Bantara.
Kemudian dia menghampiri.
Pohon brahmastana itu memang teramat besar.
Lebih kurang ga empat pemeluk lengan orang.
Umurnya entah berapa ratus tahun.
Di bawah pohon, diantara akar besar yang melingkar-lingkar itu, terbentuklah sebuah lubang macam terowongan, cukup dimasuki dua orang.
Ada suatu hal yang sempat menarik perha an Bantara bahwa disekeliiing pohon itu, seluas sepuluh tombak, tanahnya gundul.
Tak terdapat barang sebatang rumputpun juga.
Pada hal diluar keliling tempat itu, merupakan semak belukar yang rimbun.
Sepintas pandang, Bantara mendapat kesan bahwa tempat itu memang membangkitkan suasana yang seram dan keramat.
Dan ada sebuah hal yang mengejutkan ha Bantara.
Bahwa ke ka kakinya melangkah kedalam lingkar keliling tanah yang gundul itu, ia seper tersentuh oleh hawa yang aneh.
Seke ka lubang2 kulit muka dan tubuhnya mengerenyut dan serasa seper tertusuk oleh duri halus.
Terpaksa dia hentikan langkah.
"Raden, tempat ini mengandung racun"
Ba2 dari belakang terdengar seseorang berkata pelahan. Dan ketika dia berpaling ternyata Wijaya sudah tegak di belakangnya.
"Ah, engkau Jaya"
Seru Bantara "bagaimana engkau tahu hal itu ?"
"Tanah tandus, rumput2 mengering layu. Tentulah akibat dari racun yang amat berbisa"
Bantara mengangguk. Dan ia menyadari mengapa kulit tubuhnya terasa merunduk nyeri "Menurut du-gaanmu, apakah yang berada dalam liang akar pohon, brahmastana itu?"
"Aku tak dapat memastikan, raden ..."
Bantara cepat menukas, memintanya jangan memakai sebutan raden "Cukup panggil brahmana sajalah"
Pintanya.
"Baik, ki brahmana"
Kata Wijaya yang dalam ha memuji kesederhanaan budi peker anakmuda itu "hanya menurut dugaanku, kemungkinan dalam liang itu tentu bersembunyi suatu benda atau binatang yang luar biasa"
"O, tetapi apa yang engkau maksudkan dengan luar biasa itu ?"
"Jika tidak luar biasa karena memiliki bisa, tentulah memiliki suatu daya khasiat yang hebat"
"Engkau tak percaya akan segala jin dan roh jahat ?"
"Aku belum melihatnya"
"Lalu bagaimana kita harus ber ndak?"
Wijaya terdiam. Dia belum menemukan daya suatu apa. Tiba2 brahmana itu berkata "Bagaimana kalau kita tunggu saja disini. Mungkin binatang itu, kalau memang benar ada, akan keluar dari tempat persembunyiannya"
Karena ada lain cara yang lebih baik, Wijayapun mengiakan.
Bantara lalu memberi tahu kepada rombongan rakyat agar mereka pulang.
Dia bersama Wijaya akan menunggu disitu "Mungkin sampai beberapa hari sampai nan kami menemukan apa gerangan yang berada dalam liang pohon itu"
"Apakah tak perlu nanti malam kami membantu penjagaan disini?"
Tanya mereka.
Bantara gelengkan kepala dan meminta mereka pulang saja.
Cepat sekali hari berlalu.
Surya kembali ke tempat peraduan dan bumipun bertebar selimut hitam.
Suasana di sekeliling pohon brahmastana itupun makin lelap.
Kadang hanya terdengar percakapan antara brahmana Bantara dengan orang pengalasan ki demang yang dikenalnya dengan nama Jaya.
Percakapan itu hanya bersifat sekedar menanyakan asal usul Jaya.
Dan Wijayapun tetap mengaku sebagai seorang pemuda dari desa di kaki gunung Kawi.
Dia lebih mengekang diri sebagai seorang pemuda desa yang bodoh.
"Ki brahmana"
Kata Wijaya pula "sudah selayaknya kalau hamba merasa heran mengapa tuan masuk di seorang brahmana. Apakah tujuan dan maksud tuan ?"
"Apa yang layak engkau herankan itu, Jaya?"
"Tuan putera seorang demang, hidup dalam serba kecukupan. Masih muda pula, mengapa menjadi seorang brahmana? Bukankah brahmana itu harus menuntut kehidupan yang amat sederhana bahkan papa ?"
"Memang demikian Jaya, apabila engkau pandang dari indera penglihatan, pemikiran dan perasaan"
Kata Bantara "tetapi pandangan itu menurut ukuran indera raga yang terpengaruh oleh nafsu. Dan karena raga itu tempatnya di arcapada maka nafsu2 yang menguasai raga itupun bersifat maya"
"O, mohon ki brahmana memberi petunjuk agar dapatlah hamba bertambah pengalaman"
"Jangan engkau merendah diri, Jaya"
Ujar Bantara "bagaimana mungkin aku yang masih sebaya dalam usia dengan engkau, akan mengguruimu. Tidak, Jaya, bukan petunjuk melainkan suatu keterangan yang kuperoleh dari pengalamanku selama ini"
"Menurut ajaran yang kuselami selama ini, yani berlandaskan falsafah Vedanta"
Kata Bantara pula "menurut falsafah itu maka atman atau jiwa, merupakan satu bagian dari brahman atau Maha-ada.
Atman terpisah dari Brahman dan akan tetap terpisah oleh karena Samsara.
Dalam perpisahan itu maka Atman selalu terikat kepada benda atau jasmani.
Sebetulnya benda atau jasmani itu hanya suatu maya atau seolah-olah ada.
Maka dengan begitu hubungan antara Atman dengan benda atau jasmani itu-pun hanya maya.
Samsara atau menjelma kembali, juga maya, tak perlu ditaku .
Setelah yakin bahwa hubungan antara Atman dengan benda atau jasmani itu hanya suatu maya, maka Atman tentu dapat lepas dari benda itu dan kembali kepada Brahman, atau Maha Ada.
Bahagia hanya dapat tercapai apabila Atman kembali kepada Brahman"
"Ah, hamba kurang menghayati apa yang ki brahmana uraikan itu"
Kata Wijaya.
"Dapat dimengerti"
Sambut Bantara "karena engkau orang awam, bukan penganut agama Brahma.
Memang tidak mudah untuk memahami kitab Veda jika tak mendapat pimpinan seorang guru yang pandai.
Tetapi tak apalah.
Untuk menjawab pertanyaan yang engkau ajukan tadi, maka perlu engkau tahu akan dasar-dasar alam pemikiran tujuan hidup seorang brahmana.
Kami memandang kehidupan itu bukan dari segi rasa keduniawian melainkan dari kejiwaan.
Dengan melatih diri dan menuntut kehidupan serba papa itu, dapatlah jiwa kita terlepas dari naftu kebendaan dan terhindar dari samsara yang akan datang"
"Ah, sungguh mulia dan luhur perjalanan hidup yang tuan tempuh itu"
Seru Wijaya "tetapi bukankah samsara itu akan tetap berlangsung dari jeman ke jeman selama Atman2 yang terikat kepada benda atau jasmani itu masih tak dapat melepaskan diri dari nafsu keduniawian ?"
Bantara terkesiap.
Diam2 dia terkejut dalam ha .
Ia tak menyangka bahwa pemuda bernama Jaya dari desa di bawah gunung Kawi, ternyata memiliki kecerdasan yang tajam.
Hanya dalam pembicaraan yang singkat, dia sudah dapat mengajukan pertanyaan yang mengena.
"Benar, Jaya"
Seru Bantara.
"memang demikianlah halnya. Oleh karena itu kita wajib berusaha untuk mengembalikan Atman kita kepada Brahman agar kelak terhindar dari samsara"
"Ki brahmana"
Kata Wijaya pula "apakah tuan merasa bahagia apabila seorang diri saja yang tahu, menghayati, melaksanakan jalan hidup itu dan berhasil mencapai tujuan tuan? Tidakkah tuan masih melihat bahwa dunia ini masih penuh dengan samsara dari Atman2 yang masih terikat pada benda-benda? Tidakkah tuan akan merasa lebih berbahagia dan berpahala demi tujuan yang mulia untuk menyejahterakan kesejahteraan dunia apabila tuan dapat menolong memberi penerangan, penyadaran batin mereka?"
Bantara makin terkejut namun dia menjawab juga "Vihara, kuil, candi dan rumah2 sudharmma adalah untuk melaksanakan tujuan itu.
Agar manusia memperoleh bimbingan, penerangan dan penyadaran tentang arti dan tujuan hidup mereka.
Tetapi usaha itu hanya terbatas memberi penerangan dan penyadaran.
Adakah orang mau menerima, adakah orang mau percaya, mereka bebas untuk memutuskan.
Karena kami tak mengadakan paksaan"
"Andaikata manusia telah ..."
"Apa yang hendak engkau katakan, Jaya?"
"Ah, tidak ki brahmana. Cukup sudah penerangan yang tuan berikan kepada hamba itu"
Bantara terkejut.
"Kutahu maksud ha mu, Jaya. Tetapi janganlah engkau mencemaskan hal itu. Apabila semua manusia sadar dan menuntut kehidupan seper diriku, seorang brahmana, negara, masyarakat tetap akan berjalan sebagai biasa. Ajaran agama kami telah mengadakan pembagian2 tentang kewajiban2 di segala lapisan kehidupan"
Wijaya mengangguk.
Tak lupa dia menghaturkan terima kasih atas uraian brahmana muda itu.
Sementara tak terasa, malampun makin nggi, makin dingin dan makin sunyi.
Bantara menyuruh Jaya beristirahat sedangkan dia sendiri lalu duduk pejamkan mata, bersemedhi.
Sunyi senyap merayapi penjuru alam.
Kesunyian yang menjadi bentuk wajar dari Mula dan Akhir.
Mula yang berasal dari Kesunyian, akan kembali pula ke Akhir yang bersumber pada Kesunyian pula.
Wijaya ternyata dak dur.
Diapun juga duduk bersemedhi mengheningkan cipta.
Dalam kesunyian yang hening itu dia dapat merasakan kebesaran alam.
Dan berusahalah dia untuk menghampakan diri dalam kekosongan yang manunggal dengan kehampaan alam.
Dia mulai kehilangan diri, melebur kedalam kebesaran sunyi.
Tiada berujung, tiada berpangkal.
Keesokan harinya berbondong-bondonglah rakyat datang lagi ke tempat itu.
Tetapi mereka tak berani mengusik kedua pemuda yang tengah duduk bersila dalam sikap mudra menghening cipta semedhi.
Setelah melihat kedua anakmuda itu selamat tak kurang suatu apa, mereka meninggalkan kendi air dan beberapa macam buah-buah kedekat tempat kedua pemuda itu.
Kemudian mereka pulang.
Walaupun marayap tetapi surya tetap setya melakukan tugas.
Terbit dari ufuk timur dan tenggelam ke ufuk barat.
Ia menyerahkan kesejahteraan bumi kepada Malam lalu keesokan harinya melakukan tugas pula, menyinari bumi dengan sinar yang membawa kehidupan.
Malam menguak pagi dan pagipun bergan malam, lalu pagi pula.
Ke ka rakyat kademangan datang pada hari ke ga, mereka terkejut mendapatkan kedua anakmuda itu masih duduk bersemedhi.
Kendi dan buah-buahan, tak terjamah sama sekali.
"Sudah dua hari dua malam mereka tak makan dan minum, jika terjadi sesuatu dengan putera demang, bukankah kita akan menerima kemarahan ki demang?"
Salah seorang dari rakyat itu berunding dengan kawannya.
"Ya, lihatlah, wajah putera ki demang tampak pucat sekali. Ah, baiklah kita jagakan dia dan mempersilahkan supaya mendahar buah-buahan"
Kata kawannya. Rupanya ajakan itu disetujui dan dua orang itupun segera melangkah maju hendak menghampiri ke tempat Bantara duduk.
"Jangan!"
Bentak Krica "jangan sekali-kali engkau mengganggu orang yang sedang semedhi. Jika dia lupa diri. engkau tentu dikutuk!"
"Tetapi kakang Krica"
Kata salah seorang "bagaimana kalau ki demang marah?"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mari kita menghadap ki demang"
Kata Krica. Dan rombongan penduduk itupun segera beramai- ramai menghadap ki demang. Mereka melaporkan tentang keadaan Bantara dan pengalasan Jaya.
"Ah, seorang brahmana tentu mendapat pelajaran dan la han untuk bersemedhi sampai berhari-hari"
Kata demang Srubung "tentulah puteraku Bantara itu hendak menemui roh jahat itu melalui cipta semedhi"
Dengan penjelasan itu maka rakyat kademangan-pun longgar perasaannya.
Mereka terlepas dari tanggung jawab akan keselamatan.
Bantara.
Dan mereka bersyukur karena putera demang itu akan mampu menghadapi roh jahat.
Tak lama kemudian malampun tiba.
Dan malam itu merupakan malam ketiga dari langkah Bantara dan Wijaya bersemedhi.
Malam makin merayap, kelam dan dingin.
Sunyi di tempat itu, sunyi pula di jagad raya.
Tetapi tidaklah sunyi dalam jagad peribadi kedua lelaki muda yang tengah mematikan segenap indera untuk melebur ke dalam kesatuan hampa itu.
Bayang2 cipta membentuk berbagai bentuk-khayal.
Demikian yang dialami Bantara selama dalam semedhi itu.
Dia melihat wanita cantik menangis meminta pertolongan, melihat mahluk yang menyeramkan hendak membunuhnya, melihat raksasa yang menyembur api, melihat segala bentuk bhayangan yang belum pernah dilihatnya selama ini.
Namun kesemuanya itu tak dihiraukan.
Hanya ketika dalam ketenangan itu muncul seekor ular besar, berjamang dan dapat bicara, ia mulai tertarik.
"Brahmana, akulah sesungguhnya penunggu brahmastana ini. Enyahlah engkau dari tempat ini, jangan mengusik tapaku ..."
Bantara terkejut. Melalui denyut nada dalam ba n, dia menolak "Tidak, dak. Engkaulah yang harus enyah. Jangan engkau mengganggu daerah ini"
"Hm, rupanya engkau mengandalkan kesaktianmu. Apakah engkau siap bertanding dengan aku ?"
Bantara bersedia. Dan terjadilah pertempuran yang dahsyat. Ternyata ular naga itu amat sak . Dia berhasil menamparkan ekornya ketubuh Bantara sehingga brahmana itu terkapar.
"Uh ...."
Seke ka Bantara gelagapan dan membuka mata. Keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Tetapi ah, ternyata sekelilingnya sunyi senyap, gelap gulita "Ah"
Ia mendesuh penuh kekecewaan "aku telah kalah ... ."
Ia menyadari bahwa dia telah menderita kegagalan dalam semedhinya.
Dia masih terpengaruh oleh nafsu dan kemarahan.
Suatu pantangan dalam perjalanan di alam semedhi.
Kemudian dia berpaling, memandang kesekeliling.
Dalam cuaca yang pekat, ia melihat, sesosok tubuh yang masih duduk bersila seperti sebuah patung batara Wisnu.
"Ah"
Ia terbeliak demi melihat wajah orang itu memancarkan sinar dan dengan cepat dapat dikenalnya sebagai Jaya, pengalasan kademangan.
Diam2 dari rasa kejut, timbullah rasa kagum lalu memercik rasa malu.
Serta merta dia mulai bersemedhi lagi.
Tetapi saat itu pikirannya sukar untuk dipusatkan.
Bayang2 wajah Jaya bagaikan bayang2 yang mencermin dalam mata hatinya.
Apakah pengalasan itu juga ikut bersemedhi pada saat dia bersemedhi? Ah, mungkin dia baru kemarin atau hari ini mulai semedhi.
Hampir dia dapat menghibur perasaannya tetapi ba2 ingatannya melintas pada saat ia bersama rombongan penduduk kademangan datang ketempat itu.
Ia mengajak serta Jaya.
Kemudian pada waktu ia menyuruh penduduk itu pulang, ia dan Jaya tetap tinggal di-situ.
"Ah, jika demikian jelas dia juga memulai semedhinya bersama aku"
Akhirnya ia menarik kesimpulan.
Dan kesimpulan itu makin meresahkan perasaan ha nya.
Dia seorang brahmana yang sudah mendapat didikan dan la han bersemedhi dari gurunya.
Mengapa dia sampai kalah tahan uji dengan seorang pengalasan saja ? Makin dirangsang oleh rasa getun dan macam2 perasaan, makin Bantara tak dapat mengheningkan cipta pikirannya.
Hingga ayam hutan mulai berkokok di hutan, dia tetap masih terlibat dalam angan-angan yang melalu lalang dalam benaknya.
"Ah, dia lebih nggi dari aku"
Akhirnya ia mengakui kegagalannya dan secara ksatrya dia terus berbangkit.
Saat itu fajar mulai menguak kegelapan.
Angin dingin berarak-arak menghembus, menebarkan kesegaran hawa dinihari.
Burung2 berkicau menyongsong kehadiran sang surya.
Cuaca makin cerah dan tak berapa lama pagipun merekah.
Tiba2 Wijaya membuka mata, memandang kesekeliling, pejamkan mata pula, mengusap muka dengan kedua tangan lalu pelahan-lahan berbangkit.
"Jaya"
Seru brahmana Bantara seraya menghampiri. Ia memimpin tangan Wijaya lalu diajak duduk di bawah pohon yang telah disediakan kendi dan buah-buahan "mari kita minum"
Wijaya pernah melakukan tapa semedhi yang gawat di candi makam Kagenengan.
Tujuh hari tujuh malam dia duduk bersemedhi mematikan raga.
Sekarang dia baru melakukan semedhi selama tiga hari tiga malam.
Tidak seberat dulu.
Cahaya air muka masih terang.
Keduanya lalu minum dan memakan buah-buahan segar.
Beberapa saat kemudian setelah mendapat pulang tenaganya, berkatalah Bantara "Jaya engkau tidak jujur kepadaku ..."
"Maaf, ki brahmana"
Wijaya bersenyum kecil.
Kemudian atas pertanyaan Bantara, Wijayapun lalu menuturkan tentang keadaan dirinya.
Bahwa dia adalah murid dari resi Sinamaya di puncak gunung Kawi dan saat itu sedang mengemban titah gurunya untuk berkelana mencari pengalaman.
"O, pantas"
Seru Bantara "murid seorang resi yang sak tentu memiliki kedigdayaan yang sehebat itu"
"Ah, jangan ki brahmana menyanjung"
Kata Wijaya "karena apa yang kulakukan hanyalah sekedar menunaikan tugas lelana- brata yang sedang kulaksanakan. Bukan soal siapa yang berhasil dalam semedhi ini, yang penting bencana yang menimpali kademangan ini dapat disingkirkan"
"Tentulah dalam semedhi itu engkau mengalami berbagai gangguan. Akupun demikian"
Bantara lalu menuturkan pengalamannya selama bersemedhi itu. Kemudian ia minta Wijayapun suka menceritakan pengalamannya.
"Hampir sama ki brahmana"
Kata Wijaya "hanya bedanya ular naga berjamang itu mengatakan bahwa dirinya bernama kyai Rajamala atau kyai Petaka.
Diapun menyerang aku dan dalam pertempuran itu aku tak mau membalas, melainkan membiarkan saja dia akan ber ndak bagaimana.
Dia melilit tubuhku, dada dan leherku sampai aku seper sukar bernapas.
Aku tetap tak melawan dan menyerahkan segala-galanya kepada Hyang Jagadnata.
Tiba2 dia ngangakan mulut hendak menelan kepalaku.
Tetapi entah bagaimana ba2 ia meraung-raung dan terus terkulai, melepaskan lilitan pada tubuhku dan ngelumpruk di bawah kakiku.
Dia merin h-rin h seperti menangis, memohon ampun ...."
"Siapa engkau?"
Tegurku.
"Hamba adalah kyai Petaka atau Rajamala, raden. Hamba telah bertapa selama ratusan tahun. Dewa menjanjikan kemoksaan kepada hamba apabila kelak bertemu dengan seorang ksatrya yang kepalanya ...."
Sampai disini Wijaya berhenti, meragu.
"Kepalanya bagaimana, Jaya ?"
Tegur Bantara tertarik akan cerita itu.
"Yang kepalanya tak mempan kugigit akhirnya Wijaya memberi keterangan yang dirangkainya sendiri. Karena sesungguhnya ular naga itu mengatakan bahwa 'ksatrya yang kepalanya dapat memancarkan mahkota bunga wijaya'.
"Lalu?"
Bantara makin tertarik.
"Dia menyatakan bertaubat dan minta ampun. Kemudian minta supaya aku menyempurnakan dirinya"
Kata Wijaya.
Pedang Inti Es Karya Okt Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung