Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 19


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 19



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   "Baik kakang pa h,"

   Jawab tumenggung Bandupoyo dengan tekad yang menyala "aku akan berusaha sekuat kemampuanku untuk membekuk penjahat itu"

   "Pertama,"

   Kata pa h Kebo Arema "kerahkan prajurit untuk memeriksa se ap rumah rakyat. Apabila melihat sesuatu yang mencurigakan, harus lekas ditangkap"

   Tumenggung Bandupoyo tak menjawab melainkan mengangguk pelahan.

   "Dan kedua, penjagaan pintu pura harus diperkeras Se ap orang yang keluar masuk pura harus diperiksa dengan teli ,"

   Kata pa h Kebo Arema. Menatap wajah tumenggung kepala bhayangkara- dalam dan pengawal pendamping baginda itu ia bertanya "bagai-mana pendapat adi menggung mengenai langkah yang kuambil itu?"

   "Pada dasarnya memang bagus. Menunjukkan suatu ndakan yang serentak ke arah tujuan,"

   Kata tumenggung Bandupoyo "tetapi cara2 itu kurasa terlalu keras"

   "Terlalu keras? Apa maksudmu? Bukankah peris wa itu perlu harus ditangani dengan ndakan yang keras, adi ?"

   Tumenggung Bandupoyo menghela napas.

   "Bermula karena dirangsang oleh ha yang panas, kurasakan ndakan kakang pa h itu memang tepat. Tetapi setelah kurenungkan dengan per mbangan yang lebih dingin, alangkah baiknya jika kita menghindari tindakan itu"

   Pa h Kebo Arema terkesiap.

   Heran dan terkejut.

   Bukankah sesungguhnya Bandupoyo itu yang harus memikul tanggung jawab atas peris wa itu ? Ia sengaja tak mau menceritakan tentang tah baginda supaya menangkap yang bertugas pada malam itu, karena kua r akan menyinggung perasaan Bandupoyo.

   Tetapi mengapa Bandupoyo bahkan tak menyetujui ndakan mengerahkan seluruh anak pasukan untuk menyelesaikan peris wa itu secara tuntas? Tidakkah aneh sikap Bandupoyo itu ? "O, tetapi apa alasan adi tak menyetujui hal itu? Atau adi mungkin mempunyai lain rencana yang lebih baik?"

   Katanya.

   "Kakang patih,"

   Tumenggung Bandupoyo membawakan keterangannya dalam nada tenang "pertama-tama, idinkanlah aku mengajak kakang patih untuk meninjau peristiwa itu.

   Dalam hal ini, kita dihadapkan dengan dua hal yang menuntut penilaian kita.

   Pertama, siapakah penjahat itu? Kedua, mengapa dia tahu betul akan cermin wasiat dari tuan puteri.

   Jawaban2 yang kita temukan dalam penilaian kita, walaupun tidak seluruhnya benar, tetapi akan mampu menjadi pegangan bagi langkah kita untuk menangkapnya"

   Kembali pa h Kebo Arema terkesiap. Diam2 ia merasa agak malu ha karena melontarkan tafsiran yang tidak tepat pada diri Bandupoyo.

   "Engkau benar, adi. Memang pikiran kita sering dirangsang oleh kemarahan sehingga tercemar kejernihannya. Dengan mengajukan kedua pertanyaan tadi, kurasa adi tentu sudah memiliki penilaian2, bukan?"

   "Sudah, kakang pa h. Tetapi aku masih kua r penilaianku itu kurang tepat karena belum kuketemukan orangnya"

   "Cobalah adi menguraikannya"

   "Baik "

   Kata tumenggung Bandupoyo "menilik penjagaan di puri keraton sangat keras tetapi orang itu tetap dapat masuk, jelas bahwa dia tentu seorang yang sakti.

   Dan menurut laporan yang kuterima, malam itu ada dua orang prajurit yang sedang meronda, tiba2 merasa ingin tidur.

   Bahkan salah seorang tak kuat lagi menahan rasa kantuk terus terkulai.

   Kemudian kawannya karena hendak membangunkan, menggigit telinga orang itu.

   Akibatnya terjadi saiah faham, keduanya saling berhantam.

   Juga penjaga2 di puri keputren pada malam itu terlena tidur semua.

   Jelas maling itu tentu menggunakan aji penyirapan.

   Untuk mengetahui siapa orangnya, kita harus meniti, siapakah dalam kalangan nara-praja dan perwira2 prajurit yang memiliki ilmu aji penyirapan yang sedemikian sakti"

   "O, engkau mencurigai bahwa pencuri itu tentu dilakukan oleh orang dalam, orang kita sendiri ?"

   "Ya,"

   Sahut Bandupoyo "hal itu kukaitkan dengan pertanyaan yang kedua.

   Mengapa dia tahu dengan tepat bahwa gus puteri memiliki kaca mus ka itu ? Apabila bukan orang dalam pemerintahan kerajaan, mustahil kiranya dapat mengetahui hal itu ? Menilik bahwa seolah penjahat itu dapat langsung menuju pada sasarannya, jelas bahwa orang itu tentu terdapat di kalangan narapraja atau senopati yang berhubungan dekat dengan keraton"

   "Ah "

   Patih Kebo Arema mendesah kejut "kiranya memadai sekali uraianmu itu, adi"

   "Oleh karena itu, terpaksa aku harus menaruh kekua ran apabila kakang pa h hendak menindakkan penggeledahan pada ap2 rumah penduduk. Pertama, dapat meresahkan para kawula. Kedua, peris wa di keraton itu pas akan tersiar luas yang akan membawa akibat luas pula. Antara lain, suatu tamparan keras bagi nama baik pasukan bhayangkara keraton. Memberi kesan pada musuh2 kerajaan Singasari yang tersembunyi untuk menarik kesimpulan bahwa penjagaan keraton Singasari lemah, bahwa kekuatan pasukan Singasari sudah merosot sehingga tak mampu menjaga seorang penjahat menyelundup ke dalam keraton. Dan setelah mempunyai kesimpulan, bukan mustahil kalau musuh2 Singasari itu akan mulai bergerak"

   Patih Kebo Arema membelalak.

   Namun sebelum ia sempat membuka mulut, tumenggung Bandupoyo sudah menambah kata katanya pula "Dan tak lepas pula mereka yang tak setuju akan mencemoh baginda bahwa tindakan baginda untuk mengerahkan pasukan yang besar ke Malayu itu, ternyata memang meringkihkan kekuatan dalam kerajaan Singasari.

   Dalam hal ini, aku, kakang patih dan baginda tentu akan menerima cemohan dan hinaan dari mereka"

   "Ah "

   Desah pa h Kebo Arema seraya geleng2 kepala "benar2 luas sekali pemikiranmu hingga dapat mencangkum hal2 yang sedemikian jauh, adi. Ya, memang kuakui pandanganmu itu baik sekali. Lalu bagaimana pendapatmu akan langkah kita?"

   "Ada dua jalan, kakang pa h,"

   Sambut tumenggung Bandupoyo "pertama, kita tetap melakukan rencana kakang pa h tadi, yani melakukan penggeledahan secara serempak.

   Tetapi janganlah semata-mata hanya menggeledah rumah2 para kawula, pun para mentri, senopa dan segenap narapraja yang berada di pura ini.

   Dengan begitu dapatlah kita melakukan penjaringan yang menyeluruh"

   "Yang kedua?"

   "Kita lakukan penyelidikan secara diam2 pada beberapa orang yang kita curigai. Jangan menyiak semak sehingga si ular akan melarikan diri. Tetapi biarlah keadaan tetap seper biasa sehingga orang itu tak menyangka bahwa sebenarnya kita sudah bergerak untuk menyelidikinya"

   Patih Kebo Arema mengangguk"

   Ya, baiklah. Kurasa lebih dulu kita mengambil jalan yang kedua itu. Tetapi dalam hal itu, terus terang saja, aku tak memiliki dugaan2 terhadap orang2 tertentu. Sanggupkah engkau melakukannya, adi?"

   "Baik, kakang pa h. Aku bersedia untuk melakukan penyelidikan itu. Tetapi akupun hendak mohon kepada kakang patih"

   "O, katakanlah"

   "Selama mencurahkan diri untuk hal itu, sudah tentu aku tak dapat menunaikan kewajiban tugasku sebagai kepala bhayangkara. Dalam hal ini ... ."

   "Baik, adi, akulah yang akan mengambil alih tugasmu termasuk menjadi pengawal-pendamping baginda. Agar engkau mendapat kesempatan cukup untuk melaksanakan penyelidikanmu"

   "Tetapi bagaimanakah baginda, kakang patih?"

   "Aku dapat menghaturkan alasan bahwa engkau sedang melakukan tugas menyelidiki penjahat itu. Baginda tentu mengabulkan"

   Demikian setelah cukup lama kedua nara praja itu berbincang- bincang, pa h Kebo Arema segera pulang. Sementara tumenggung Bandupoyo masih duduk termenung-menung ditempat kediamannya. Ia mulai mempertegas rangkaian dugaan dari orang yang dicurigainya.

   "Pa h Aragani dan putera menantunya raden Kuda Panglulut, layak untuk kuselidiki. Walaupun bukan pa h itu yang melakukan tetapi dia dapat menggunakan tenaga orang lain untuk mengeruhkan suasana keraton,"

   Pikirnya. Dan pemikiran itu didasarkan bahwa hanya pa h Araganilah satu- satunya menteri yang ap hari masuk keluar keraton, berhubungan rapat dengan baginda. Orangnya licik, licin, penuh nafsu keinginan untuk meraih kekuasaan.

   "Juga para dayang keputren itu patut diperiksa. Mungkin secara sengaja atau tak sengaja mereka pernah memberi keterangan kepada seseorang tentang kaca wasiat milik sang puteri. Bahkan mungkin merekapun bersekutu dengan penjahat itu karena akan mendapat ganjaran besar."

   Ia melepaskan pikirannya setelah merangkai rencana.

   Tiba2, ia teringat akan sayembara yang akan berlangsung dalam beberapa hari lagi.

   Sayembara itu dimaksud untuk memilih seorang ksatrya yang digdaya, yang mampu menjadi penindih dari calon2 yang lain.

   Dari ksatrya itu diharap akan tercipta seorang senopa penindih yuda.

   Sebagai seorang penindih yuda atau pemenang dalam peperangan, dia harus sak dan digdaya.

   Tetapi syarat itupun masih belum cukup.

   Dia harus benar2 menjadi seorang penindih, seorang yang dapat menindih atau mengatasi, bukan melainkan musuh, pun juga anak pasukannya yang dibawahi.

   Dengan demikian dia harus memiliki kewibawaan dan pengaruh terhadap yang dipimpinnya.

   Untuk menanam pengaruh dan menimbulkan kewibawaan pada anak pasukannya, seorang senopa harus memiliki beberapa syarat kepemimpinan.

   Bertanggung jawab, berani ber ndak tegas, bijaksana dan menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.

   Bertanggung jawab, merupakan nilai dari martabat seorang pemimpin.

   Dia mencerminkan jiwa dan keluhuran budi serta setya terhadap kewajibannya.

   Berani ber ndak tegas, merupakan pancaran dari keberanian yang berlandas peraturan tata- ter b dalam pasukan dan hukum yang harus ditegakkan pada persada keadilan dan kebenaran.

   Berani ber ndak tegas tanpa pandang bulu, sanak kadang,, saudara ataupun kawan.

   Yang disuka dan yang dibenci.

   Bijaksana, mencangkum suatu langkah dari per mbangan yang penuh kearifan dan keadilan, kebenaran dan kejujuran.

   Menjadi contoh, merupakan suatu pengukuhan dari segala langkah dan kebijaksanaan kepemimpinannya.

   Merupakan perwujutan dari satunya ucap dengan perbuatan.

   Dalam merenungkan hal2 itu tertegunlah tumenggung Bandupoyo dalam renungannya "Dengan begitu jelas, bahwa bukan hanya syarat kedigdayaan dan keperkasaan yang diperlukan sebagai syarat pemilihan senopa nan tetapipun mencangkum syarat2 kepemimpinan yang lebih luas,"

   Pikirnya.

   Memikirkan hal2 yang bersangkutan dengan senopa maka terhanyut pula pemikiran Bandupoyo akan keadaan kerajaan Singasari dewasa itu.

   Jelas sudah bahwa sejak senopa Anabrang di tahkan baginda untuk memimpin pasukan ke Malayu, maka kekuatan dalam kerajaanpun berkurang.

   Timbulnya peris wa pemecatan pa h sepuh empu Raganata, tumenggung Wirakre dan demung Banyak Wide adalah karena persoalan Pamalayu atau pasukan Singasari yang dikirim ke Malayu.

   Baginda Kertanagara menganggap bahwa keadaan dalam negeri sudah aman dan tenang maka balah sudah saatnya baginda hendak melaksanakan cita- citanya untuk mengembangkan kekuasaan Singasari ke tanah Malayu dan lain2 daerah.

   Cita2 baginda itu merupakan pendirian mutlak karena hanya dengan persatuan dan kesatuan seluruh daerah nusantara, maka kekuatan akan menjadi satu.

   Baginda merasa was-was akan bangkitnya seorang raksasa yang bergelar maharaja Kubilai Khan di belah buana utara.

   Bahwa Kubilai Khan hendak merentang pengaruh jauh ke untaian dwipa di samudera selatan, telah diujudkan dalam kenyataannya mengirimkan utusan ke Singasari.

   Dengan pengetahuannya yang nggi dalam berbagai ilmu dan masalah kenegaraan, baginda memiliki pandangan yang tajam pahwa terancamnya pulau dan kerajaan di Malayu, akan membawa akibat besar pada kelangsungan kerajaan Singasari.

   Oleh karena itu, baginda harus mendahului bertindak untuk membendung pengaruh Kubilai Khan itu.

   Demikian cita2 pendirian baginda yang dilaksanakan pada keputusannya mengirim pasukan Pamalayu.

   Tidak demikian dengan patih Raganata.

   Ia menganggap inti kekuatan itu terletak dalam negeri.

   Oleh karena itu kekuatan pasukan harus dipertahankan di pura kerajaan.

   Dengan pengiriman pasukan secara besar-besaran ke Malayu, kekuatan dalam kerajaan akan ringkih.

   Raganata merasa bahwa keamanan dalam kerajaan, walaupun tampak tenang dan tenteram tetapi tidak lestari.

   Terutama patih itu tetap perihatin akan kabangkitan Daha.

   Dengan menanam pengaruh jauh ke Malayu, kekuatan akan terpecah belah.

   Sukar untuk mengatasi setiap timbulnya kemungkinan yang tak diharapkan.

   "Baginda seorang raja yang bercita- cita besar dan pa h Raganata seorang mentri yang setya. Dalam kedudukan masing2, kedua- duanya benar. Baginda hendak menggalang persatuan sebagai landasan menuju kejayaan. Pa h Raganata memikirkan tentang keselamatan dan keamanan kerajaan Singasari. Akibatnya, baginda murka, pemecatan dijatuhkan kepada ke ga mentri itu,"

   Kata Bandupoyo dalam renungannya.

   "Sesungguhnya hal itu tak perlu terjadi apabila kebijaksanaan masih tetap terpancar dalam penger an. Tetapi penger an baginda bahwa mentri2 tua dan setya seper ke ga mentri itu harus tetap dipertahankan dalam pemerintahan Singasari, rupanya dikaburkan oleh sanjung pujian yang dihembuskan Aragani. Sebenarnya pa h Raganatapun harus menanggapi penger an itu bahwa ndakan baginda itu sebenarnya dalam jangka panjang, akan menjaga tegaknya kerajaan Singasari. Kenyataan bahwa Kubilai Khan mempunyai nafsu untuk menguasai pulau2 dilaut selatan, memang harus diperhitungkan. Dan haruslah pa h Raganata menyadari, bahwa penggan an dirinya dengan lain orang, akan lebih menjerumuskan keadaan kerajaan Singasari yang lebih gawat. Dengan pengertian itu, dapatlah dia mundur setapak"

   "Tetapi ah"

   Bandupoyo menghela napas "memang tak mungkin tokoh seper pa h Raganata akan memperkosa batinnya, akan mengatakan sesuatu yang lain dari isi hatinya. Dia setya dan jujur walaupun dia harus kehilangan pangkat kedudukannya"

   Setelah merangkai penilaian2 pada suasana Singasari pada waktu yang sudah lampau, sekarang dan yang mendatang, tiba2 tersentaklah pikiran Bandupoyo akan penemuan yang penting.

   "Segala telah terjadi. Pa h Raganata telah dipindah ke Tumapel. Tetapi jiwa dan semangat pengabdiannya yang setya terhadap kerajaan Singasari, masih tetap bergema, meninggalkan kumandang amanatnya. Jagalah keselamatan kerajaan Singasari, ah,"

   Bandupoyo tersentak "bagiku memang itu suatu amanat. Aku harus melaksanakan amanat ha nurani pa h sepuh itu."

   Penemuan itu menggugah kesadaran ha Bandupoyo dan segeralah ia membenahi pemikirannya terhadap pemilihan senopati yang akan berlangsung dalam sayembara nanti.

   "Pen ng sekali ar nya sayembara itu. Karena jelas bahwa dewasa ini kerajaan membutuhkan seorang senopa yang bukan saja digdaya, pun harus memiliki keempat syarat sebagai seorang pemimpin pasukan. Dengan begitu, aku menghadapi tugas berat untuk memilih senopati itu"

   Mengarah pada tujuan itu, serentak terbayanglah ingatan Bandupoyo pada diri pemuda Wijaya.

   Ia benar2 terkesan dalam pertemuannya dengan pemuda itu "Dimanakah tempat nggal pemuda yang mengaku bernama Jaya itu ? Adakah dalam sayembara nanti dia akan ikut serta ?"

   "Jika dia benar2 mau mendengar anjuranku supaya ikut sayembara itu, aku akan berusaha untuk membantunya,"

   Pikirnya lebih lanjut "tetapi bagaimana dengan ilmu kedigdayaan yang dimilikinya ?"

   Tiba2 pula ia teringat akan diri Ku , saudara seperguruannya yang saat itu sudah berada di pura Singasari "Ah, dengan ikut sertanya kakang Ku , beratlah bagi calon2 lain untuk mengharapkan kemenangan. Kakang Ku . ...

   "

   Ba2 ia terkesiap dan berhen merenung. Ada sesuatu yang terpercik dalam ingatannya dikala membayangkan Kuti.

   "Adakah ...."

   Ia meragu dan menghen kan kata ha nya. Tetapi sesaat kemudian pikirannyapun seolah terdampar kearah itu lagi "adakah peris wa dalam keraton itu ada sangkut pautnya dengan kakang Kuti?"

   Lama dia termenung dan merenung "Hm, kalau menilik kesak an yang ditunjukkan penjahat itu, rasanya hanya ksatrya macam Ku yang mampu melakukan. Tetapi bagaimana dia ber ndak begitu? Apa alasannya dan mengapa dia tahu keadaan dalam puri keputren?"

   Timbulnya pertanyaan itu menghen kan pelacakannya terhadap Ku . Awan kecurigaan terhadap saudara seperguruannya itu mulai menipis. Namun bukan berarti bahwa ia melepaskan kecurigaannya.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat"

   Katanya "dalam masa itu banyaklah perobahan hati manusia. Bahwa Kuti juga tentu mengalami perobahan diri yang besar."

   Kemudian tumenggung Bandupoyo meni para ksatrya yang berada di pura kerajaan karena hendak ikut dalam sayembara.

   Jumlahnya cukup banyak dan berasal diri berbagai telatah.

   Bahkan ada yang dari tanah Pajajaran dan Bedulu Bali.

   Juga dari Daha, banyak berdatangan para muda yang ingin masuk dalam sayembara itu.

   Tumenggung Bandupoyo merasa periha n juga atas jumlah dan asal para ksatrya itu "Ah, ternyata sayembara ini pen ng sekali ar nya bagi kerajaan Singasari.

   Karena sifatnya terbuka maka sukarlah untuk meladang ksatrya dari lain daerah ikut serta dalam sayembara itu,"

   Pikirnya "apabila jatuh ditangan ksatrya dari Singasari, Tumapel atau Kahuripan, itu masih baik. Tetapi dakkah akan mencemaskan apabila senopa itu akan jatuh pada seorang ksatrya dari Daha atau dari Bedulu dan Pajajaran ?"

   Belum sempat ia memecahkan persoalan yang harus dihadapi menjelang keakhiran dari sayembara dan akibat-akibatnya yang luas, ba2 terjadilah peris wa dalam keraton itu. Tumenggung Bandupoyo makin tegang.

   "Benar,"

   Akhirnya ia menetapkan rencana "selain kakang Ku , pun ksatrya dari Pakuan dan Bedulu itu harus kuselidiki, eh ....juga para muda dari Daha itu, meminta perhatian juga."

   Banyak nian yang menyerap dalam benak tumenggung Bandupoyo.

   Keseluruh pelosok dalam pura Singasari, pikirannya melayang-layang.

   Membayangkan se ap orang dan kemungkinan harus diselidiki atau tidak.

   Dan terlenalah tumenggung itu dikursi.

   Surya memancarkan sinar terang, pawana berhembus lemah-lunglai, cakrawala cerah.

   Pohon2 menghijau.

   Dalam bulan Margasirya, di kala hujan berhen menyiram buana, suburlah segala tumbuh-tumbuhan.

   Kerajaan Singasari dilimpahi Isywara dengan kemakmuran yang melimpah ruah.

   Dibawah pemerintahan baginda Kertanagara, duli sang nata bagi kerajaan Singasari, negeri Singasari makin bersemarak dalam kesejahteraan dan kemakmuran.

   Beratus-ratus candi, kuil dan rumah2 sudharma telah didirikan.

   Dagoba2 atau arca2 tegak menghias rumah2 suci dan tempat2 pemujaan, kemana sekalian jana, insan, membayar nazar, menebus dosa dan memohon apa2 yang terkandung dalam keinginan hatinya.

   ~(dewikz^ismoyo^mch)~ III Pekan pasara penuh ruah dengan pedagang dari berbagai penjuru.

   Segala jenis barang, dari hasil bumi, rempah2, kerajinan tangan, keramik dan ukir-ukiran, terdapat jual beli di pekan pasara itu.

   Bahkan ternak2 pun menjadi perdagangan yang ramai.

   Diantara sekian ribu manusia yang hilir mudik silang selisih dalam pekan pasara hari itu, tampak dua orang pemuda tengah berjalan dengan langkah lepas.

   Melihat kian kemari akan kesibukan yang memenuhi pandang mata mereka.

   Orang berdesak-desak masuk keluar tak hen -hen nya.

   Dalam suasana seper saat itu terasa betapa ramai kehidupan ini, betapa aman dan sejahtera kehidupan yang damai.

   Memang pekan mempunyai lingkungan hidup tersendiri.

   Merupakan suatu arena perjuangan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

   Namun juga mengandung unsur penggerak semangat, untuk memperlipat- gandakan hasil tanaman, mengolah bumi, memajukan kerajinan.

   Lancarnya perdagangan di pekan, merupakan cermin dari lancarnya perkembangan pertanian, beicocok tanam, ternak, kerajinan2 dan segala bidang pencarian yang bersangkutan dengan kebutuhan hidup.

   Lancarnya perdagangan menimbulkan gairah perkembangan masyarakat, di desa maupun di kota dan di pura.

   Berkembangnya masyarakat dan mendorong lancarnya roda pemerintahan dan kemajuan negara.

   "Podang, mari kita keluar,"

   Ba2 pemuda yang berkulit kuning langsat dan berwajah cakap berseri, berseru. Tetapi tiada penyahutan. Pemuda itu heran dan berpaling "

   Podang ...."

   "Ih ...."

   Ba2 terdengar suara seorang perempuan menjerit kejut, disusul dengan rubuhnya sebuah talam yang berhamburan jatuh.

   Isinya berserakan, menimbulkan kehebohan diantara orang2 yang sedang berdesakan.

   Pemuda itu terkejut namun menyadari apa yang terjadi.

   Ke ka ia berpaling, ia memang menggerakkan tangannya untuk menarik kawannya yang bernama Podang.

   Disangkanya Podang masih berjalan dibelakang-nya.

   Tetapi Podang tak tampak dan tangan pemuda itupun terlanggar lam yang tersanggah diatas kepala seorang perempuan yang masih muda.

   Tilam jatuh, isinya berhamburan.

   Pemuda itu terkejut.

   Cepat ia membungkuk, membantu untuk menjemput dagangan perempuan muda itu yani sirih dan tembakau.

   Penjual itu masih muda dan can k.

   Beberapa orang laki2 yang berada didekat tempat itu, pun sibuk membantu mengambilkan dagangannya.

   "Maaf bu, aku tak sengaja,"

   Kata pemuda itu. Penjual itu tersipu-sipu merah ketika bertatap pandang dengan pemuda cakap itu. Tiba2 terdengar suara orang tertawa gemuruh "Ha, ha,ha, ha, ibu, masakan perawan semuda itu dipanggil ibu, ha, ha, ha ... ."

   Tiba2 pula seorang lelaki muda, menyeruak dari kerumun orang dan tampil dihadapan pemuda cakap tadi "Hai, dimana engkau taruhkan biji matamu? Mengapa engkau menumpahkan talam dagangan wanita muda ini? Bukankah engkau hendak sengaja mengoloknya? Mempermalukannya?,"

   Dengan suara keras lelaki itu menuding pemuda cakap.

   "Ah, benar, aku memang tak sengaja. Aku hendak mencari kawanku yang berada dibelakang dan ke ka berpaling, tanganku melanggar talam dagangannya,"

   Pemuda berwajah tampan itu memberi penjelasan lagi.

   "Semudah mencari alasan, semudah itu pula meminta maaf,"

   Masih lelaki itu berang.

   "Tetapi aku sanggup mengganti betapa kerugian yang diderita penjual itu"

   "Huh,"

   Dengus lelaki itu "jangan membanggakan hartamu, akupun sanggup menggan juga, tak perlu engkau!"

   Pemuda cakap itu tertegun. Apa kehendak orang itu? Mengapa dia marah2 kepadanya? Siapakah dia? "Ki sanak, siapakah ki sanak ini? "

   Akhirnya ia bertanya juga.

   "Aku orang Daha,"

   Sahut lelaki itu.

   "O"

   Desuh pemuda cakap itu "adakah ki sanak mempunyai hubungan saudara dengan penjual siih ini?"

   "Tidak,"

   Sahut orang Daha itu "tetapi aku muak melihat ndakan orang Singasari yang menghina kaum perempuan. Bukankah engkau orang Singasari?"

   Pemuda itu tampak kerutkan dahi. Sesaat kemudian mengiakan "Ya, memang aku orang Singasari. Tetapi aku tak sengaja menghinanya."

   "Sudahlah, jangan banyak cakap "

   Tukas orang Daha itu "engkau harus menyelesaikan urusan ini"

   "Baik"

   Sahut pemuda cakap itu "aku bersedia menyelesaikannya"

   "Engkau harus berjongkok mencium kaki gadis itu sebagai tanda menghaturkan maaf. Dan setelah itu lekaslah engkau enyah dari sini. Aku yang akan memberi ganti rugi kepadanya."

   Terdengar gemuruh bisik kusuk orang2 disekeliling yang menonton peris wa itu.

   Ada yang tertawa, ada yang membenarkan, ndakan orang Daha itu.

   Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa sikap orang Daha itu kelewatan sekali.

   Hanya sekejab wajah pemuda itu tampak mengabut gelap tetapi pada lain saat cahaya wajahnya sudah berseri pula "Ki sanak, jika engkau saudara dari penjual sirih itu, akan kuper mbangkan perintahmu itu.

   Tetapi engkau telah mengatakan sendiri tak punya hubungan apa2 dengannya.

   Dengan demikian engkau termasuk orang luar seperti aku"

   "Se ap perbuatan.jahat, harus diberantas. Aku berhak untuk membela seorang gadis yang lemah"

   "Ki sanak,"

   Kata pemuda itu dengan tenang "untuk seorang pembela kaum lemah, kusampaikan rasa hormat dan penghargaanku yang nggi.

   Tetapi dalam urusan ini, dak ada yang kuat dan yang lemah karena tak ada yang menindas dan di ndas.

   Yang ada hanyalah, walaupun tak sengaja tetapi aku tetap merasa kurang berhati- hati sehingga melanggar tilam dagangannya.

   Untuk itu, aku telah meminta maaf dan bersedia mengganti kerugian kepada yang bersangkutan"

   "Ho, engkau hendak menentang aku?"

   Bentak orang Daha itu.

   "Jika memang ki Sanak merasa begitu, setelah urusan ini kuselesaikan, marilah kita mencari tempat yang sesuai untuk melaksanakan anggapanmu itu,"

   Rupanya pemuda itu tak sabar juga melihat sikap orang Daha yang hendak menekannya.

   "Hai, engkau menantang? "

   Orang Daha itu membelalakkan kedua matanya lebar2.

   "Terserah bagaimana, kehendakmu. Asal jangan ditempat ini"

   Tring, ba2 orang Daha itu mencabut kerisnya. Seke ka hiruklah orang2 yang berada disitu. Mereka berteriak dan menjerit ketakutan, berdesakan mundur.

   "Jangan raden,"

   Ba2 gadis penjual sisih itu berseru dengan nada getar "biarlah, jangan raden berkelahi. Daganganku hanya tumpah dan telah dapat kukumpulkan lagi. Tak rusak dan tak hilang"

   "Tetapi dia harus minta maaf kepadamu,"

   Rupanya orang Daha itu makin mengunjukkan sikap garang.

   "Ya, raden itupun sudah meminta maaf. Akupun dengan senang hati menerimanya"

   "Dia harus membayar kerugian "

   Masih orang Daha itu bersitegang.

   "Tak usah, raden. Biarlah,"

   Seru gadis penjual sirih itu "dan akupun menghaturkan terima kasih atas pertolongan raden kepadaku"

   Orang Daha itu mengangguk, memandang penjual sirih itu dengan mata bersinar lalu berpaling pada pemuda cakap itu "Enyah! Karena permintaan gadis ini, kali ini kuampuni engkau!"

   Pemuda cakap itu hanya diam saja.

   Mulutnya merekah senyum urung.

   Melihat itu merahlah muka orang Daha.

   Dia hendak membuka mulut tetapi penjual sirih tahu akan gelagatnya.

   Cepat ia mengajak "Raden, mari kita ke ujung tempat sana.

   Aku hendak menghaturkan seikat sirih dan tembakau pilihan sebagai tanda terima kasih kepada raden,"

   Ia terus ayunkan langkah.

   Entah bagaimana orang Daha itu pun segera mengiku nya.

   Dan orang2 yang berkerumun menonton disitu pun mencairkan langkah, mencari barang2 yang hendak dibelinya lagi.

   Sesaat kemudian pemuda itupun kembali ke bagian dalam lagi untuk mencari kawannya.

   Tak berapa lama ia terkejut karena melihat disebelah muka banyak orang berkerumun seper menyaksikan orang berbantah atau mungkin berkelahi.

   Untuk dapat melihat lebih jelas, lalu ia cepatkan langkah menghampiri.

   Orang2 yang berkerumun cukup banyak sehingga sesaat tak mudah dia akan menyusup ketengah.

   Tidak cepat pula pandang matanya dapat menembus kepala2 manusia yang berjajar mengaling ditempat itu.

   "Orang Bali itu kuat sekali pukulannya"

   "Anakmuda itu lincah benar"

   "Uh ....hampir saja bahu anakmuda itu berantakan"

   Hingar bingar suara orang2 yang berkerumun, melingkari tempat itu, berteriak-teriak memberi tanggapan.

   Dari tanggapan itu makin jelas bagi orang tadi, bahwa digelanggang darurat yang sengaja diluang oleh lingkaran orang2 itu, telah terjadi perkelahian.

   Dan pengetahuan itu cepat menimbulkan kecemasannya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata-kata 'anakmuda', menimbulkan dugaan keras dalam ha orang itu untuk segera mengetahui siapa sesungguhnya yang dimaksudkan.

   Beberapa orang menggumam dan mendesuh ke ka tubuhnya tersiak kesamping oleh seorang pemuda yang menyusup dari arah belakang.

   Ada seorang yang marah "Hai, jangan mendesak semaumu,"

   Dan dia terus meregangkan bahu untuk mengaling pemuda itu.

   Tetapi dia terkejut ke ka tubuhnya terasa terangkat ke samping dan tahu2 pemuda itu sudah menyelinap ke muka.

   Orang itu masih terlongong-longong ke ka pemuda yang menyelonong tadi sudah berada dijajaran paling depan.

   "Podang, berhentilah,"

   Tiba2 pemuda itu berseru seraya melangkah ke tengah gelanggang.

   Saat itu telah berlangsung sebuah jurus yang menegangkan.

   Yang disebut orang Bali oleh penonton tadi, memang seorang pemuda yang berbeda dandanannya dengan orang Singasari sehinggga mudah menarik perha an.

   Orangnya masih muda, tampan, memelihara kumis pis.

   Ikat kepalanya bercunduk sekuntum bunga mela .

   Sepintas memberi kesan bahwa dia tentu seorang ksatrya dari golongan priagung Bali.

   Tiada yang tercela pada pemuda itu kecuali sepasang kelopak matanya yang cekung kedalam.

   Sedang anakmuda lawannya itu, lebih muda, bertubuh kekar.

   Tiada yang istimewa pada dirinya kecuali sikap dan wajahnya yang memancarkan keramahan.

   Saat itu pemuda Bali tengah melancarkan sebuah tebasan tertuju ke leher lawan tetapi anakmuda itu dengan amat lincah telah mengendapkan tubuh.

   Pikirnya, setelah serangan lalu, dia akan segera berbangkit tegak dan menghunjam dada lawan.

   Tetapi pada saat dia bergerak menegakkan diri, terdengarlah suara orang berseru memanggil namanya.

   Dan dia kenal siapa orang itu.

   Rencana yang telah diangan-angankan untuk balas menyerang, lenyap seke ka dan cepat ia berpaling kearah orang yang memanggilnya itu.

   Dilihatnya Wijaya tengah menghampiri ke tengah gelanggang.

   "Kakang . ..."

   "Podang, awas ...."

   Sebelum Podang sempat berseru, Wijayapun sudah terbelalak menghambur teriak memberi peringatan.

   Bahkan diapun cepat loncat ke muka.

   Tetapi terlambat.

   Duk ....

   bahu Podang termakan nju pemuda Bali itu.

   Podang terpelan ng.

   Untung Wijayapun sudah tiba dan menyanggapi tubuhnya.

   Peris wa itu menimbulkan kehirukan diantara kerumun penonton.

   Terdengar suara2 mencela perbuatan ksatrya Bali karena tetap menyerang lawan yang tengah berpaling.

   Tetapi ada pula yang menyesalkan tindakan Wijaya karena mengganggu perkelahian.

   "Lepaskan, kakang,"

   Podang meronta dari cekalan Wijaya "dia curang"

   "Tunggu, Podang,"

   Kata Wijaya "apa sebab engkau berkelahi dengan pemuda Bali itu ?"

   "Pekan penuh sesak dengan orang. Aku membentur bahunya. Dia marah, mengatakan aku sengaja hendak melanggarnya. Pada hal sama sekali aku tak bermaksud begitu."

   Poda.g menerangkan singkat.

   "O, karena saling berbenturan badan, kalian terus berkelahi ?"

   Podang mengangguk.

   "Siapa yang membentur dulu?"

   "Aku "

   Jawab Podang "tetapi tak sengaja karena terdesak dari belakang"

   "Betapapun engkau dulu yang membentur. Engkau harus minta maaf"

   "Aku ingin minta maaf tetapi sebelum sempat berkata dia sudah meninju mukaku"

   "Dan engkau membalas?"

   "Tentu,"

   Podang menggeram "karena dia tak tahu aturan"

   Wijaya gelengkan kepala "Dia tentu menganggap engkau juga demikian. Membenturnya walaupun tak sengaja"

   Podang heran mengapa Wijaya dak berfihak kepadanya, bahkan malah membela orang Bali itu. Ia menatap wajah Wijaya dengan pandang menuntut.

   "Kutahu, engkau tentu penasaran,"

   Kata Wijaya "tetapi engkaupun harus tahu bahwa tempat ini adalah pekan, tempat orang banyak berjual beli.

   Bukankah engkau ingin memaksakan nafsu kemarahanmu itu untuk merugikan kepen ngan orang banyak.

   Engkau marah, itu kepen nganmu peribadi tetapi pekan adalah kepentingan rakyat banyak"

   Podang menunduk. Ia dapat merenungkan apa yang terkandung dalam nasehat Wijaya dan ia menghormati pendirian Wijaya.

   "Ki bagus "

   Wijaya menghampiri dan berdiri dihadapan ksatrya Bali itu.

   Dilihatnya ksatrya Bali itu bersikap siap2.

   Mungkin menduga sebagai kawan dari pemuda lawannya tadi, Wijaya tentu hendak menantangnya "maafkan perbuatan adikku yang kurang layak terhadap tuan"

   Sesaat memandang wajah Wjaya yang berada di hadapannya, orang Bali itu agak terkesiap.

   Bukan karena ketampanan wajahnya melainkan karena seri wajah Wijaya itu seolah memancarkan hawa kewibawaan.

   Lebih terkejut pula ke ka dari mulut Wijaya yang disangkanya hendak menuntut balas itu ternyata meluncurkan kata2 meminta maaf.

   Namun agaknya pemuda Bali itu berhati tinggi.

   Menganggap bahwa dia dapat memberi hajaran kepada Podang sehingga kakaknya gopoh memintakan maaf.

   Pikirnya pula andaikata dia kalah, belum tentulah kedua pemuda Singasari itu akan mau minta maaf.

   "Hm,"

   Desuhnya menyeringai hidung "pemuda Singasari pandai main senggara macan, Kalau dihadapi tentu lari . ...

   "

   Habis berkata dia berbalik tubuh dan ayunkan langkah.

   Terdengar dengung suara orang2 yarg berkerurrun itu.

   Mereka merasa tersinggung dengan kata2 orang Bali itu.

   Tetapi ada seorangpun yang berani menyusul orang Bali itu.

   Kini mereka mencurah pandang kearah Wijaya.

   "Hai, anakmuda, mengapa tak engkau hajar mulut si congkak itu?"

   Teriak beberapa orang.

   "Apa engkau takut kepadanya ? "

   Teriak sebuah suara diantara orang2 itu.

   "Dia menghina orang Singasari"

   "Benar, benar, kita hajar beramai-ramai,"

   Sambut sebuah suara yang serentak membakar ha orarg2 itu. Mereka mengacangkan tinju hendak bergerak.

   "Tunggu, kakang2 dan paman2 sekalian,"

   Melihat peris wa akan menyala lebih besar, Wijaya cepat berseru. Orang2 itupun berhenti dan menghadap kearah Wijaya.

   "Mengapa? Engkau takut? "

   Teriak salah seorang.

   "Dengarkanlah aku hendak bicara,"

   Seru Wijaya "aku bukan takut melainkan hendak merjaga ketertiban.

   Tempat ini adalah pekan dimana rakyat ramai berjual beli.

   Jika terganggu dengan perkelahian, tidakkah akan kacau balau keadaannya.

   Kita tentu ditangkap petugas keamanan karena mengacau"

   "Kita semua akan memberi kesaksian kepada ki lurah pekan ini,"

   Teriak salah seorang pula.

   "Benar"

   Sahut Wijaya "tetapi kesaksian takkan merobah kenyataan dari kekacauan yang timbul akibat-perkelahi in itu.

   Pekan ini adalah pekan yang didirikan kerajaan untuk kepentingan rakyat.

   Oleh karena itu kita sebagai kawula wajib memelihara dan menjaga kepentingan itu.

   Kita harus merasa ikut memilikinya.

   Jika pekan ini, karena perkelahian, akan rusak dan menimbulkan dagangan2 para penjual porak-poranda maka kitalah yang menderita kerugian, bukan orang Bali itu"

   "Tetapi dia menghina orang Singasari. Sesekali orang begitu harus diberi hajaran "

   Seru mereka.

   "Ya"

   Sahut Wijaya "tetapi bukan di pekan ini tempatnya. Harus memilih tempat yang sesuai"

   Orang2 itu mendengung dan mendenguh. Mereka dapat menerima penjelasan Wijaya tetapi masih merasakan suatu ketidak- puasan dalam hati mereka.

   "Kutahu bagaimana perasaan kakang dan paman sekalian,"

   Wijaya menyusuli pula "tetapi kita harus berlapang dada"

   "Apa maksudmu? "

   Tiba2 salah seorang dari orang yang masih berkerumun itu bertanya.

   "Kita orang Singasari, dia orang Bali. Menilik sikapnya dia tentu salah seorang ksatrya yang akan ikut dalam sayembara. Bukankah kakang dan paman sekalian mengetahui perihal akan dilangsungkannya sayembara pemilihan senopati oleh kerajaan?"

   "Ya, ya, kami tahu,"

   Teriak mereka.

   "Dengan begitu dia seorang tetamu dan kita tuan rumah. Kita kawula pura kerajaan Singasari yang termasyhur, harus memiliki peradapan yang lebih nggi. Sebagai tuan rumah kita harus siap memberi maaf kepada tetamu. Coba kakang dan paman sekalian pikir. Andaikata kalian sekalian menuru kemarahan lalu mengeroyok orang itu hingga dia tewas, dakkah akan tercemar nama kawula pura kerajaan karena tentu akan termasyhur ke seluruh telatah dan mancanagara bahwa kita kawula pura kerajaan Singasari itu amat kejam dan buas?"

   Kali ini ada terdengar suara apa2 dari orang2 itu. Mereka baru mau merasakan kebenaran daripada ucapan anakmuda itu.

   "Kakang dan paman sekalian, mari kita membubarkan diri dan melanjutkan pekerjaan kita masing2"

   Seiring dengan bubarnya orang2 itu, Wijayapun mengajak Podang tinggaIkan tempat itu.

   Suryapun sudah naik, panas mulai menyengat.

   Sekeluar dari himpitan orang2, Wijaya dan Podang akan menuju ke pura tetapi entah bagaimana, tiba2 mereka tertarik akan sebuah pemandangan.

   Berpuluh-puluh orang berkerumun disebuah tanah lapang disamping pekan itu.

   Mereka bertepuk tangan dan bersorak sorai seolah sedang menyaksikan suatu pertunjukan.

   "Raden, apakah ramai2 itu? Perkelahian? "

   Tanya Podang.

   "Entah "

   Sahut Wijaya "mari kita lanjutkan perjalanan"

   "Tetapi raden,"

   Podang agak merasa sayang "hari masih pagi, kemanakah kita akan menuju ?"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hm, lalu maksudmu ?"

   "Pekan pasara di pura kerajaan, sungguh ramai sekali. Jauh bedanya dengan pasara di desaku. Bermacam-macam barang dijajakan, alangkah sayangnya apabila kita lekas2 tinggalkan keramaian ini"

   "Engkau mau lihat ramai2 itu, bukan? "

   Langsung Wijaya menghunjam pertanyaan. Ia tahu isi ha anak itu. Podang terkejut, agak tersipu sipu "Ah, tidak, raden. Mari kita lanjutkan langkah"

   "Baik"

   Kata Wijaya seraya berputar ke barat dan ayunkan langkah.

   "Raden ...."

   "St, jangan lupa pesanku !"

   "Tetapi bukankah kita ini menuju ke tempat lapangan itu? "

   Podang melajukan langkah untuk menjajari disamping Wijaya.

   "Bukankah kita akan menyaksikan ramai2 itu? "

   Wijaya tertawa.

   "Ah, tidak, kakang Jaya"

   Namun Wijaya tak menjawab dan tetap menuju ke tanah lapang yang panuh dengan kerumun orang.

   Tak berapa kejab mereka sudah berada diantara orang2 itu.

   Saat itu orang2 sedang memandang ke tengah lapangan.

   Wijaya dan Podang melihat seorang lelaki sedang menaiki seekor kuda berbulu hitam mulus.

   Kuda itu, walaupun dak sebagus kuda dari Sumbawa, tetapi perawakannya yang ramping dan gerakannya yang binal, cukup menarik perha an.

   Binatang itu tengah melonjak-lonjak amat binal.

   Lelaki yang menaikinya, berusaha untuk mempertahankan diri.

   Dikepitkan kedua kakinya kencang2 pada perut kuda dan kedua tangannyapun mencengkeram bulusuri kuda itu sekeras-kerasnya.

   Wijaya terkejut.

   Pertama dilihatnya bahwa penunggang kuda itu tak lain adalah pemuda yang mengaku sebagai orang Daha, karena talam penjual sirih tumpah, hampir saja orang Daha itu mengajaknya berkelahi.

   Kedua, sempat diperha kan sesuatu yang aneh pada kuda hitam itu.

   Walaupun tengah lari membinal dan melonjak nggi, tetapi kuda itu tak terdengar meringkik atau mengeluarkan suara apa2.

   Hanya giginya yang menyeringai buas.

   Walaupun dibawa melonjak dan menungging, namun pemuda Daha itu masih dapat bertahan diri.

   Seketika terdengarlah sorak gemuruh dari para penonton.

   "Hebat sekali orang itu,"

   Riuh rendah orang berteriak memuji.

   Dikala sorak pujian yang menggetarkan tanah lapang itu masih berkumandang, sekonyong- konyong terjadi peris wa yang menggemparkan.

   Kuda hitam itu menekuk kedua kaki depan sehingga tubuh penunggangnya ikut menungging kebawah.

   Lalu ba2 kuda itu melonjak nggi2.

   Gerakan yang dilakukan secara ba2 dan keras itu benar2 tak terduga oleh penunggangnya.

   Tubuhnya seper ditekuk lalu dilemparkan ke belakang.

   Tak kuasa lagi dia mempertahankan diri dan terlemparlah dia ke tanah.

   Tepuk sorak makin menggemuruh lebih hebat.

   Tetapi bukan tepuk pujian melainkan sorak ejek dan tawa cemoh "Ha, ha, ha, akhirnya dia terbanting juga"

   Seorang muda bertubuh kekar menyiak kerumun orang dan menghampiri seorang lelaki bertubuh tinggi yang berada ditepi lapangan. Dia dikelilingi oleh beberapa orang.

   "Ki sanak, berapa engkau hendak menjual kudamu itu?"

   Tegur pemuda bertubuh kekar itu. Lelaki bertubuh tinggi itu tertawa.

   "Tidakkah engkau mendengar apa keteranganku kepada sekalian orang disini?"

   "Kuda itu dak dijual,"

   Salah seorang penonton segera berseru, Adat kebiasaan orang2 yang menyaksikan sesuatu peris wa, memang suka berlagak untuk menjadi juru-bicara.

   Tak jarang perha an orang terjerat untuk mendengar keterangan orang itu daripada memperha kan peristiwa itu.

   "Tidak dijual? "

   Pemuda kekar itu mengulang heran.

   "Ya, tidak dijual tetapi akan diberikan secara cuma2

   "

   Kata orang itu pula.

   "Ah, jangan main2"

   Kata pemuda kekar "masakan kuda sebagus itu hanya diberikan saja"

   "Memang benar. Aku tak bohong"

   "Apakah engkau pemiliknya?"

   "Bukan"

   Orang itu gelengkan kepala agak tersipu "tetapi aku tahu hal itu"

   "Benar, ki sanak,"

   Akhirnya orang nggi itu berkata "akulah pemilik kuda hitam itu.

   Kuda itu tak kujual melainkan akan kuberikan kepada orang yang mampu menaikinya, mengelilingi lapangan ini sampai ga kali.

   Kuda itu liar sekali.

   Barang siapa mampu menjinakkan, dialah yang berhak memilikinya"

   "Bagus "

   Pemuda kekar itu berseru gembira "akulah yang akan menguasainya,"

   Ia terus berlari ke-tengah lapangan menghampiri kuda hitam yang saat itu sedang makan rumput.

   Sementara orang Daha yang terlempar tadi, pun tertatih-tatih menuju ke tepi untuk beristirahat.

   Pemuda kekar itu menghampiri makin dekat.

   Lebih dulu ia berjalan mengelilingi kuda itu.

   Mulutnya berkomat-kamit mengucap mantra.

   Setelah tiga kali mengitari, iapun menghampiri ke muka dan mengelus-elus kepala kuda itu.

   Kuda hitam diam saja, masih melanjutkan makan rumput.

   Kuda itu ada dirakit dengan pelana, masih telanjang.

   Setelah mengelus-elus kepala, pemuda itupun pelahan-lahan berkisar kesamping kuda dan sesaat kemudian diapun loncat ke punggung kuda.

   Tetapi sebelum tangan sempat meraih bulusuri, sekonyong-konyong kuda itu melonjakkan kaki depan tinggi2 lalu loncat ke muka sekencang- kencangnya.

   Terdengar sorak-sorai gegap gempita ke ka orang2 melihat bagaimana pemuda itu terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting ke tanah tak bergerak lagi.

   Dia pingsan.

   Ada pula seorang lelaki bertubuh perkasa memelihara kumis tebal, berjampang lebat.

   Ia mengadakan berasal dari Bahuwarna dan ingin mencoba kuda hitam itu.

   "Silakan,"

   Kata pemilik kuda yang berperawakan tinggi.

   Dengan langkah macam seekor harimau lapar, lelaki perkasa itu menghampiri kuda.

   Sekonyong- konyong dia menyambar kaki kuda hitam.

   Kaki depan ditangkap dengan tangan kiri dan kaki belakang disambar dengan tangan kanan.

   Kemudian diangkatnya kuda itu lalu diputar-putar.

   Makin lama makin deras.

   Sorak sorai bagaikan menggetar angkasa ke ka para penonton menyaksikan ngkah laku aneh dari lelaki perkasa itu.

   Mereka heran mengapa dia melakukan hai itu, disamping kagum akan keperkasaan orang itu, Wijaya dan Podang tertarik juga akan ulah lelaki perkasa itu.

   Namun ada sesuatu, yang diperha kan Wijaya.

   Bahwa walaupun diringkus kakinya dan diputar-putar sedemikian deras, tetap kuda hitam itu tak bersuara.

   Wijaya menghampiri pemilik kuda.

   "Ki sanak,"

   Katanya pelahan agar tak mengejutkan pemilik kuda yang tengah mencurah perha an ke tengah lapangan. Dan orang itu berpaling "Kurasa baiklah ki sanak menghentikan tindakan orang dari Bahuwarna itu. Bukankah amat sayang kalau kudamu sampai cidera"

   "O, engkau anggap orang Bahuwarna itu mampu menguasai si Hitam? "

   Pemilik kuda itu balas bertanya.

   "Adakah ki sanak menganggap tak mungkin begitu?"

   "Kita lihat saja,"

   Pemilik kuda itupun berpaling menghadap ke tengah lapangan lagi.

   Hanya dalam sekejab mata, ba2 terdengar para penonton bersorak-lorak.

   Wijaya sempat menangkap suara teriakan kejut dari tengah lapangan sebelum sorak sorai para penonton meledak.

   Ia cepat memandang ke muka.

   Ia terkejut ke ka melihat lelaki perkasa dari Bahuwarna itu tengah mendekap tangan kirinya yang berlumuran darah.

   Sedangkan kuda hitam itu lari menjauh.

   "Lihatlah,"

   Seru pemilik kuda dengan tertawa "akhirnya dia digigit si Hitam sampai terluka berdarah"

   "Ki sanak,"

   Kata Wijaya "luar biasa benar kudamu itu. Ki sanak berasal dari mana dan mengapa ki sanak tak mau merjual kuda itu melainkan akan memberikannya kepada orang yang dapat menguasainya. Apakah tujuan ki sanak?"

   Karena sudah tak membagi perhatian ke tengah lapangan, dapatlah pemilik kuda yang bertubuh lirggi itu memperhatikan Wijaya.

   Diam2 ia terkesiap demi berpapas pandang dengan Wijaya.

   Tak tahu ia apa sebabnya tetapi ia merasakan sesuatu pada pancaran wajah pemuda itu.

   Dan tapun tak tahu apa nama sesuatu itu kecuali hanya suatu perasaan mengindahkan dan segan.

   "O, aku berasal dari desa Walandit di gunung Tengger. Dan kuda itu milikku yang sah"

   Wijaya tersenyum "Aku tak mengatakan kalau kuda itu bukan milikmu yang sah. Aku hanya bertanya mengapa engkau tak mau menjual kuda itu melainkan hendak memberikan kepada orang yang dapat menaikinya"

   "Benar,"

   Sahut pemilik kuda "karena itu permintaannya sendiri"

   Wijaya kerutkan alis "Apa maksudmu? Permintaannya sendiri? Permintaan siapa?"

   "Kuda itu sendiri ...."

   "Hai, orang nggi, akulah yang akan menundukkan kudamu,"

   Belum selesai pemilik kuda itu berbicara, seorang lelaki tinggi besar menghampirinya. Pemilik kuda terbeliak.

   "Bukankah janjimu masih berlaku?"

   Ulang lelaki tinggi besar itu.

   "Tentu. Semua orang yang berada disini menjadi saksi. Kalau engkau dapat menaikinya, ambillah kuda itu"

   "Bagus, orang tinggi,"

   Seru orang itu pula "maksudkupun hanya meminta penegasan saja. Andaikata engkau ingkar janji, aku Boga dari Keling, dapat menyelesaikan engkau"

   Sepadan dengan perawakan yang nggi besar, orang dari daerah Keling itu memiliki sepasang mata yang besar bundar, alis tebal, hidung besar, mulut lebar.

   Dadanya penuh bulu, kedua lengannya berhias otot2 yang melingkar-lingkar, mengenakan- sepasang gelang akar yang kokoh.

   Sesaat pemilik kuda dan orang yang berada disekeliling terbeliak, Bogapun melangkah lebar ke tengah lapangan, langsung menghampiri kuda hitam yang masih makan rumput.

   Se ba di hadapan kuda itu, Boga lalu melepas ikat pinggangnya dan tar, tar, tar ....

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   ia terus menghajar kuda itu.

   Ternyata pada waktu diayunkan, ikat pinggangnya itu sebuah cambuk.

   Seketika gemparlah sekalian orang menyaksikan perbuatan orang dari Keling itu.

   "Curang! Curang!"

   "Kejam! Kejam! Meledaklah teriak kemarahan dari empat penjuru ke ka melihat ndakan Boga. Wijayapun terkejut pula.

   "Ki sanak"

   Katanya kepada pemilik kuda "mengapa tak engkau hen kan ndakan orang Keling itu ?"

   Tanpa berpaling, pemilik kuda menjawab "Mengapa harus kuhen kan? Dia mempunyai cara sendiri untuk menundukkan si Hitam"

   "Tidakkah hal itu membahayakan jiwa kuda ki sanak ?"

   "Mengapa membahayakan? Engkau kuatir si Hitam mati? Ah, kita lihat saja"

   "Tetapi cambuk orang itu bukan cambuk biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari kulit keras, ki sanak. Tidakkah akan hancur tulang belulang kuda itu?"

   "Memang,"

   Jawab pemilik kuda masih tenang "kalau mengenai tubuh si Hitam. Lihatlah"

   Wijaya memandang ke tengah lapangan.

   Ia kerutkan dahi.

   Hitam tengah berlincahan menyingkir dari serangan cambuk lalu lari berputar-putar mengelilingi lapangan.

   Boga makin bernafsu.

   Diapun mengejar seraya menggelegarkan cambuknya.

   Saat itu dilapangan berlangsung suatu pemandangan yang agak ganjil.

   Sepintas Boga menyerupai seorang pawang kuda yang tengah mela h seekor kuda yang masih liar.

   Ia terus mengejar dibelakang hitam seraya menghajarkan cambuknya.

   Tetapi tak pernah cambuknya itu berhasil mendarat di tubuh si Hitam.

   Kini teriak kemarahan para penonton bergan dengan tepuk sorak yang riuh.

   Mereka bersorak- sorak menganjurkan si Hitam supaya lari menghindar.

   Ada beberapa orang yang tertawa dan mengejek Boga.

   Sepengunyah sirih lamanya, walaupun kuda hitam masih tetap dikejar Boga tetapi jelas bahwa tenaga Boga sudah menurun.

   Napasnya makin terengah-engah.

   Tubuhnya mandi peluh.

   Namun karena hendak menundukkan kuda itu, ia paksakan diri untuk terus mengejar dan mencambuk.

   Namun karena terus-menerus berlari, akhirnya habislah tenaganya.

   Pada suatu saat ba2 kuda hitam berhenti, berputar diri dan menerjang orang Keling itu.

   Gemuruh sorak sorai disertai tepuk tawa dari seluruh penonton.

   Ha mereka ada pada kuda hitam sehingga pada saat binatang itu berhasil menerjang orang gagah dari Keling itu sehingga terpelan ng jungkir balik, maka disambut meriah sekali oleh seluruh penonton.

   Tak ada seorangpun yang mau memberi pertolongan kepada orang Keling itu walaupun dia terjerembab rebah ke tanah dan sampai beberapa saat baru dapat bangun.

   Dengan terbungkuk-bungkuk langkah, ia menuju ke tepi lapangan.

   Setelah terjadi beberapa peristiwa itu, tak ada lagi orang yang berani tampil.

   "Ki sanak,"

   Kata Wijaya pula "kudamu itu sungguh luar biasa. Adakah engkau sendiri dapat menaikinya?"

   Pemilik kuda yang bertubuh nggi itu gelengkan kepala "Diapun tak mau kunaiki. Di rumahpun dia tak mau disuruh menarik gerobag. Kerjanya hanya tidur dan diam saja"

   "Karena itu engkau bawa ke pura? "Ya"

   "Mengapa tidak engkau jual saja?"

   "Aku takut "

   Jawab pemilik kuda "dia tak mau dijual dan minta supaya diberikan kepada orang yang dapat menaikinya"

   "Kuda itu dapat meminta? Bukankah selama ini kulihat dia tak pernah bersuara?"

   Pemilik kuda itu mengangguk "Ya, memang kuda itu gagu"

   "O"

   Desuh Wijaya "mengapa dia dapat meminta kepadamu?"

   Pemilik kuda itu menyorong muka ke dekat Wijaya dan berkata dengan suara pelahan "Kuda itu memberi impian kepadaku. Supaya aku membawanya ke pura dan diberikan kepada orang yang dapat mengendalikannya"

   "O"

   Seru Wijaya juga setengah berbisik "lalu apa lagi katanya ?"

   "Kalau dia berhasil mendapatkan tuannya, aku-pun tentu ikut mendapat rejeki"

   "Ah"

   Wijaya mendesah. Ia tak tahu apakah orang itu benar bermimpi begitu. Tetapi ia sempat memperhatikan bahwa orang yang bertubuh tinggi itu memiliki wajah yarg jujur dan lugu.

   "Ki bagus,"

   Ba2 pemilik kuda itu berkata "menilik engkau begitu menarah perha an, tentulah engkau mempunyai minat kepada kuda itu. Mengapa tak engkau coba untuk menaikinya?"

   Wijaya tersentuh ha nya. Memang ia menaruh ha kepada kuda hitam itu. Jarang dia berjumpa dengan seekor kuda yang berbulu hitam mulus seper itu dan gagu pula. Tergeraklah ha nya mendengar tawaran pemilik kuda itu.

   "Jangan kakang Jaya,"

   Ba2 Podang mencegah. Kemudian kepada pemilik kuda ia berkata "ah, kami berdua hanya sedang melihat saja tetapi tak berminat memilikinya"

   Wijaya tertegun.

   Ia tak senang atas kelancangan Podang.

   Tetapi pada lain kejab, ia menyadari bahwa Podang memang bermaksud baik.

   Dia tentu kua r Wijaya akan mengalami nasib seper beberapa orang yang sudah mencoba hendak menundukkan kuda itu.

   Akhirnya dia diam saja.

   Pemilik kuda itu berulang kali berteriak-teriak menawarkan kudanya tetapi ada seorangpun yang tampil menyambu .

   Akhirnya mengkal juga orang itu "Hai, apakah di pura Singasari sudah tak ada ksatrya yang berani menundukkan seekor kuda? Adalah di Singasari sudah tak ada orang lelaki ?"

   Terdengar suara bersungut-sungut dari penonton tetapi hanya suara mulut dan hidung yang mendesuh penasaran. Sementara tetap tak ada orang yang berani tampil menyambut.

   "Hm, kus semua orang Singasari "

   Kembali pemilik kuda itu mengeluarkan cemohan yang menusuk hati. Kemudian ia melangkah ke tengah lapangan hendak menghampiri kuda hitam.

   "Ki sanak, tunggu"

   Ba2 terdengar sebuah suara yang memanggil. Dan pemilik kuda itu segera berpaling "Ah, engkau ki bagus,"

   Ia lari menghampiri ke tempat orang yang memanggilnya, yang tak lain adalah Wijaya. Rupanya Wijaya tak senang karena mendengar ejekan yang dilancarkan si pemilik kuda tak hen - hentinya itu.

   "Engkau salah duga, ki sanak "

   Seru Wijaya.

   "Bagaimana ?"

   "Singasari sebuah kerajaan besar, rakyatnya gagah perkasa semua. Cobalah ki sanak pikir, bukankah saat ini pasukan Singasari sedang menuju ke Malayu. Adakah Singasari itu sebuah kerajaan lemah? Tidakkah rakyatnya gagah perkasa? Jika berani menyabung nyawa di medan perang mengapa harus takut mengendarai kuda?"

   Tandas dan keras Wijaya berucap. Terbawa oleh luap darah muda, ia telah menghamburkan kata2 menurut suara hatinya.

   "O, ki bagus hendak mencobanya?"

   Pemilik kuda itu berseri girang.

   "Untuk membuk kan kepada ki sanak bahwa pura Singasari itu bukan kehabisan orang lelaki. Bahwa orang Singasari itu bukan bernyali tikus"

   Masih Wijaya menumpahkan kemengkalan hatinya.

   Terdengar dengung berisik dari para penonton yang memberikan dukungan atas ucapan Wijaya.

   Sementara Podang sebenarnya masih hendak mencegah tetapi demi mendengar jawaban Wijaya, iapun tergugah ha nya.

   Namun ia masih mendeka ke sisi Wijaya dan membisiki agar Wijaya berhati-hati.

   Wijayapun mengangguk lalu ayunkan langkah menuju ke tengah lapangan, menghampiri kuda hitam yang masih makan rumput.

   Ia tegak di hadapan kuda itu, memandang lekat2.

   Rupanya kuda itu tahu akan kedatangan Wijaya.

   Berbeda dengan sikapnya yang selalu tak mengacuhkan se ap pendatang, kali ini dia mengangkat muka, memandang Wijaya.

   Diam.

   "Kuda, aku takkan menyakiti engkau. Kuda hitam yang bagus, aku senang memeliharamu. Tetapi akupun tak mau memaksamu harus ikut aku. Berilah jawaban. Jika engkau mau kupelihara, akan kutarik bulu-suri kepalamu dan engkau harus meringkik. Tetapi jika engkau menolak, larilah dari tanah lapang ini ...

   "

   Melalui pancaran sinar matanya, Wijaya membisikkan suara hatinya kepada kuda itu.

   la mengharap kuda itu dapat menangkap isi hatinya.

   Kuda itu diam namun terus memandang Wijaya.

   Tak ada tanda2 ia memberingas ataupun jinak.

   Diam selalu.

   Setelah menyampaikan pesan hatinya melalui pancaran sinar mata, Wijayapun melangkah maju dan mendekat kepada kuda itu.

   Kuda masih tetap diam.

   Wijaya mulai ulurkan tangan mengelus-elus kepala bintang itu, pun tetap diam.

   Seluruh mata beratus-ratus orang yang berkerumun disekeliling lapangan itu, mencurah ruah pada Wijaya.

   Suasana sunyi senyap.

   Hanya napas2 yang berselang terdengar memburu.

   Beberapa saat kemudian, mulailah tangan Wijaya merabah bulusuri kepala kuda itu.

   Dan pada lain saat ia segera menariknya.

   "Ngngeeeh ... ngngeeeehh ...

   "

   Seketika meledaklah teriakan segenap penonton ketika mendengar kuda hitam itu meringkik keras sekali. Ditengah lapangan yang terbuka, suara ringkik kuda itu terdengar berkumandang keras.

   "Terima kasih hitam,"

   Wijaya tersenyum "suaramu merdu sekali. Sekarang aku hendak menaikimu. Kalau engkau senang, bawalah aku berlari mengelilingi lapangan ini. Tetapi kalau engkau menolak, lemparkanlah diriku ke tanah"

   Kuda hitam itu diam saja.

   Wijaya bersiap-siap.

   Pelahan- lahan ia mulai merangkak ke punggung kuda lalu duduk tegak.

   Ternyata kuda itupun diam saja.

   Wijayapun menepuk kepala binatang itu dan kembali lapangan meledak sorak sorai yang gemuruh.

   Kuda hitam itu mulai lari membawa Wijaya mengelilingi lapangan.

   Makin lama makin cepat larinya.

   Dan setelah tiga kali berkeliling lapangan, kuda itu terus kabur membawa Wijaya kearah barat.

   Sekalian orang yang menyaksikan peris wa itu terlongong sesaat kemudian mereka berteriak- teriak mengherankan hal itu.

   Pemilik kuda juga bingung.

   Dia terus lari mengejar tetapi akhirnya harus berhenti di tepi jalan karena kehabisan napas.

   "Ki sanak, hendak ke mana engkau?"

   Ba2 terdengar suara orang berseru. Pemilik kuda itu berpaling "Hah, engkau ... kemana kawanmu itu .... ?"

   Tegurnya tersendat-sendat setelah mengenali orang yang menghampirinya itu adalah Podang, kawan Wijaya. Waktu pemilik kuda lari, Podangpun mengikuti. Keduanya kini berada di tepi gerumbul pohon. Entah berapa buah bulak yang telah dilalui mereka.

   "Aku juga tak tahu ....

   "

   Napas Podang pun terengah-engah.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kawanmu telah melarikan kudaku"

   Kata orang nggi itu "dia curang, tentu engkau juga. Jika dia tak membawa kembali kuda itu, engkau akan kubawa"

   Podang terbeliak "Engkau hendak membawa aku kemana?"

   "Akan kuserahkan kepada lurah prajurit karena kawanmu .... eh, kakangmu telah melarikan kudaku"

   "Jangan sembarangan mengucap, ki sanak."

   Podang menolak "jika sampai terjadi sesuatu dengan kakangku, engkaulah yang akan kuserahkan kepada lurah prajurit supaya dihukum"

   "Mengapa ?"

   "Karena kudamu telah mencelakai saudaraku"

   "Gila engkau,"

   Teriak orang bertubuh tinggi itu "saudaramu yarg membawa lari kudaku ...."

   "Tidak, kudamu yang membawa lari saudaraku !"

   "Tidak mungkin kuda akan lari apabila tidak dipacu saudaramu"

   "Mustahil saudaraku mau dibawa lari entah kemana kalau dak kudamu yang liar itu membawanya "

   Podang tak mau kalah bicara.

   "Eh, anakmuda, rupanya engkau belum tahu aku ini siapa, bukan?"

   "Mengapa aku harus tahu ? Pokok, apabila saudaraku sampai ter mpa sesuatu, engkau harus mempertanggung jawabkan"

   "Ketahuilah, aku bernama Jangkung, orang yang paling ditaku seluruh penduduk desa Walandit. Jika tidak ada aku, desa Walandit tentu sudah dikuasai orang Himad. Nah, engkau harus mengerti!"

   Podarg terlongong. Siapa orang Himad, mengapa mereka menguasai tanah Walandit, dia tak tahu menahu dan tak perlu tahu karena ada kepen ngan. Dalam perbantahan itu, ia mendapat kesan bahwa orang tinggi itu agak ketolol- tololan tetapi lugu.

   "Mengapa aku harus mengerti persoalan di desamu? "

   Akhirnya ia berseru.

   "Penting agar engkau jangan berani bersikap kurang ajar kepadaku"

   Podang hendak tertawa tetapi ditahannya "O, begitu. Tetapi kalau aku tak takut, lalu?"

   "Itu berarti engkau cari penyakit, kawan"

   "Penyakit dari mana ?"

   "Dari ini "

   Orang tinggi yang mengaku bernama Jangkung itu mengacungkan tinjunya.

   "O, ya, memang aku takut,"

   Kata Podang mengimbangi ketololan orang "tetapi kawanku yang satu tidak takut"

   "Kawanmu yang melarikan kudaku itu?"

   "Bukan"

   "Lalu yang mana? Aku tak melihat engkau membawa kawan. Apakah kawanmu bersembunyi?"

   "Tidak sekali-kali"

   "Jangan bergurau! Mana kawanmu?"

   "Ini"

   Podang juga menunjukkan tinjunya "kawanku ini"

   Ia menuding dengan jari tangan kiri ke- arah tinju tangan kanannya "tak kenal takut. Kuharap engkau jangan main2 dengan dia"

   "Kurang agar "

   Pekik Jangkung "engkau mengolok-olok aku"

   "Sama sekali tidak, ki sanak,"

   Seru Podang dengan kerut bersungguh "apa engkau tak percaya?"

   "Setan"

   Ba2 Jangkung terus menghantam dan Podangpun menangkis. Krak, nju mereka saling berhantam dan keduanya sama2 meringis kesakitan.

   "Kawanmu hebat "

   Seru Jangkung.

   "Penyakitmu juga hebat,"

   Balas Podang.

   Jangkung tertawa gelak2, Podangpun ikut tertawa geli.

   Tiba2 tangan Jangkung menyambar kepala Podang terus dicengkamnya kuat2.

   Gerakan itu dilakukan cepat sekali sehingga Poiang tak sempat menyingkir.

   Tetapi dia masih punya akal.

   Ke ka mukanya melekat pada dada orang, dia terus menggigit.

   "Auh ...."

   Jangkung menjerit dan loncat mundur. Buah dadanya berhias bekas gigi "Engkau seperti anjing, suka menggigit"

   "Engkau seperti kera suka memeluk"

   Podang tak mau kalah bicara.

   "Engkau tak takut kepadaku ?"

   Seru Jangkung.

   "Tidak"

   "Aneh,"

   Gumam Jangkung "pada hal seluruh rakyat tanah perdikan Walandit takut kepadaku. Apa engkau tak percaya?"

   "Mungkin"

   "Hm, akan kuberikan buk "

   Jangkung terus ayunkan langkah beijalan. Melihat itu Podang tercengang "

   Hai, kemana engkau ? "

   Teriaknya seraya mengejar.

   "Pulang ke Walandit. Akan kubawa engkau kehadapan ki buyut "

   Kata Jangkung seraya lanjutkan langkah. Dia berjalan terus tanpa menghiraukan Podang dan bahkan kemudian lari. Setelah melewati beberapa buah bulak, napasnya mulai memburu keras. Ia berhenti.

   "Buyut itu seorang ketua tanah perdikan Walandit yang dihorma seluruh rakyat. Dia seorang buyut yang bijaksana, pandai dan adil. Se ap keputusan yang diberikan terhadap se ap persoalan selalu ditaa oleh orang. Engkaupun harus taat kepadanya,"

   Kata Jangkung seraya hen kan larinya. Dia berjalan dan berbicara. Beberapa saat kemudian orang yang bertubuh tinggi itu heran "Mengapa engkau ....

   "

   Ia mengkal karena tiada yang menyahut pembicaraannya maka berputarlah dia. Konon maksudnya hendak mendamprat. Tetapi kata2 terhenti setengah jalan manakala ia tak melihat Podang berada dibelakang "Setan, mengapa dia tak mengikuti aku ?"

   Dan terlintas suatu alasan yang amat bersahaja serta sederhana dalam benaknya "Kalau dia tak mau ikut, apa guna aku pulang ke desa?"

   Jangkung memang tak pernah berbohong.

   Rakyat didesanya memang takut kepadanya.

   Bukan karena Jangkung jago berkelahi, melainkan takut karena Jangkung seorang yang jujur dan lugu.

   Apa saja yang dilihat, didengar dan diketahui, tentu dikatakan.

   Walandit merupakan sebuah tanah perdikan di gunung Tengger.

   Tanah perdikan itu, dikukuhkan oleh sebuah prasas empu Sindok yang berlencana.

   Isinya menguatkan bahwa sang hiang darma kebuyutan di Walandit itu mempunyai kedudukan swatantra, tak boleh diganggu gugat dan berkebebasan.

   Tetapi para dapur atau orang Himad telah mengurusi dan mengawasi tanah perdikan dan kebuyutan Walandit.

   Sebenarnya rakyat Walandit tak senang tetapi mereka tak punya buk untuk menunjukkan alasan mereka bahwa perdikan Walandit itu sebuah swatantra.

   Prasas yang berasal dari empu Sindok atau baginda Sindok, yang dibubuhi dengan lencana, buk pengukuhan tanah perdikan Walandit sebagai swatantra yang bebas, telah hilang.

   Sudah beberapa turunan, keluarga Jangkung nggal di Walandit sehingga nenek moyangnya tahu perihal prasas Sindok berlencana itu.

   Ayah menceritakan kepada anak, anak kepada cucu, cucu kepada buyut, buyut kepada cicit demikian turun menurun nenek moyang Jangkung selalu menceritakan tentang prasas Sindok itu.

   Hilangnya prasas itu terjadi pada waktu Jangkung masih kecil.

   Tetapi Jangkung sempat mendengar cerita dari ayahnya dan ia mengukuhi kesaksian itu.

   Pedanda2 Himad yang menguasai dharma kebuyutan Walandit terpaksa harus tahan diri karena sikap Jangkung yang kukuh.

   Sejenak berhen maka pikiran Jangkung teringat pula akan kuda hitam "Hm, peris wa ini tepat dengan ulah para dapur Himad.

   Mereka memindahkan kundi thani atau kendi milik kebuyutan Walandit ke daerah Himad.

   Pemuda bagus itupun melarikan kuda hitam untuk dimilikinya.

   Dengan para pedanda Himad, aku bersikap keras.

   Kalau mereka berani menguasai tanah perdikan Walandit, akulah yang akan menghadapi mereka.

   Mengapa aku tak berkeras kepada kawan dari pemuda yang melarikan kuda hitam itu?"

   "Uh, benar. Dia harus kupaksa supaya menunjukkan tempat kawannya yang lari itu,"

   Katanya seorang diri lalu ayunkan langkah balik ke timur untuk mencari Podang.

   Podang sedang beristirahat dibawah pohon.

   Biarlah orang tinggi itu berlari-lari seorang diri.

   Perlu apa harus mengikutinya? Lebih baik dia berisrirahat dibawah keteduhan pohon.

   "Kemanakah gerangan raden Wijaya? Apakah dia tak mampu menguasai kuda hitam itu?"

   "pikirannya tak ada pada orang nggi lagi melainkan pada Wijaya "kemanakah aku harus mencarinya?"

   Surya makin panas dan sejak pagi diapun belum makan.

   Dibawah keteduhan pohon yang rindang, berhembuskan angin semilir, ia tertidur.

   Entah berapa lama ia ter dur, ke ka terjaga ia terkejut.

   Tak jauh dari tempat ia dur, tampak sesosok tubuh tertelentang membujur diatas rumput.

   Orang itu tak lain adalah Jangkung, pemiiik kuda hitam.

   Ia merasa heran mengapa orang tinggi itu juga ikut tidur? Belum sempat ia menegur, tiba2 muncullah seorang lelaki tak dikenal.

   Umurnya disekitar tigapuluhan tahun.

   Dandanannya bukan seperti orang Singasari, juga bukan seperti orang Bali.

   Entah, baru pertama kali itu Podang melihat seorang asing semacam itu.

   Orang itu menghampiri Jangkung lalu menyepaknya "

   Hai, bangun"

   Jangkung gelagapan, melonjak bangun "

   Hah, siapa engkau "

   Ia rentangkan mata menegur.

   "Aku dari kerajaan Galuh Pajajaran"

   "Pajajaran?"

   Jangkung mengernyut dahi berpikir "kerajaan mana itu ? Mengapa aku tak pernah mendengar nama kerajaan itu?"

   "Jauh sekali di belah barat. Tak mungkin engkau kesana"

   "Ah, jangan mengatakan begitu. Hidup manusia itu tak berketentuan. Buktinya engkaupun datang ke Singasari, mengapa aku tak mungkin ke daerah kerajaanmu ?"

   "Baik"

   Kata orang Pajajaran itu "kalau kelak engkau hendak ke Pajajaran, aku bersedia menunjukkan jalan"

   "Ah, engkau sungguh baik"

   Jangkung tertawa. Tiba2 dia meregang wajah "tetapi mengapa engkau menyepak tubuhku ?"

   "Supaya engkau bangun"

   "Apa begitukah cara orang2 kerajaan Pajajaran kalau membangunkan orang?"

   Orang Pajajaran itu tertawa meringis. Namun ia sempat memperha kan bahwa Jangkung itu agak ketolol-tololan. Baiklah ia mengiku gaya orang itu "Ya, memang demikian. Bahkan ada kalanya dipukul dan digebuk"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Gila "

   Teriak Jangkung "orang Singasari lebih beradab dan sopan santun. Membangunkan orang tentu dengan pelahan- lahan"

   "Lain lubuk lain belalang. Lain desa lain cara. Kita mempunyai adat dan cara sendiri2,"

   Jawab orang Pajajaran itu.

   "O "

   Desuh Jangkung "lalu apa maksudmu membangunkan aku ?"

   "Mengapa engkau tidur diatas rumput?"

   "Aku menunggu dia,"

   Jangkung menunjuk kepada Podang.

   "Siapa dia ?"

   "Entah"

   "Engkau tak kenal padanya ?"

   "Tidak"

   "Mengapa engkau tidur didekatnya?"

   "Menunggunya"

   "Menunggu ? Kenapa menunggu ?"

   "Dia tidur, akupun terpaksa ikut tidur. Dia adalah kawan dari pemuda bagus yang melarikan kudamu"

   "Dimana kuda hitam itu ? Bukankah engkau pemilik kuda itu?"

   Ba2 orang Pajajaran itu menerkam tangan Jangkung. Rupanya Jangkung kesakitan. Dia meronta tetapi tak mampu melepas tangannya.

   "Lepaskan tanganku ! "

   Teriak orang tinggi itu.

   "Jawab dulu pertanyaanku tadi"

   "Ya, aku memang pemilik kuda itu?"

   "Dimana kuda itu sekarang?"

   "Dibawa lari kawan orang itu "

   Jangkung menunjuk Podarg. Orang Pajajaran itu lepaskan cengkeramannya lalu menghampiri ke muka Podang "Benarkah kata2 orang tinggi itu ?"

   "Benar tapi salah "

   Sahut Podang. Orang Pejajaran membelalak "Apa maksudmu ?"

   "Memang kuda itu lari bersama kakangku tetapi bukan kakangku yang melarikan kuda melainkan kuda itu yang membawa kakangku"

   "Engkau harus bicara yang jujur,"

   Ancam orang Pajajaran "kalau berani berbohong, tulangmu tentu kupatahkan"

   Podang seorang jejaka muda. Tentu saja dia masih berdarah panas dan marah mendengar dirinya hendak diremas orang tak dikenal itu "Engkau mau percaya atau dak, terserah. Apa hakmu hendak mematahkan tulangku ?"

   "Aku berhak mematahkan tulang siapa saja yang berani mengambil kuda hitam itu ...."

   "Itu milik orang tinggi "

   Bantah Podang.

   "Ya, tetapi aku menghendaki. Kudengar dari beberapa orang tentang seorang nggi yang membawa seekor kuda hitam mulus yang gagu. Tidak dijual tetapi hendak diberikan kepada orang yang dapat menguasainya. Benarkah itu ?"

   "Hm "

   Desuh Podang.

   "Benar "

   Seru Jangkung.

   "Aku segera bergegas kemari hendak menaiki kuda itu,"

   Seru orang Pajajaran "mengapa engkau berikan kepada lain orang?"

   "Gila "

   Teriak Jangkung "beratus-ratus orang menyaksikan peris wa bagaimana beberapa orang yang coba2 hendak menaiki tentu dilempar oleh kuda hitam itu.

   Kemudian sampai kering kerongkonganku menawarkan, tetap tak ada orang yang berani.

   Baru kemudian seorang pemuda bagus, saudara dari orang itu, maju dan mencobanya"

   "Dimana dia sekarang?"

   "Itulah yang hendak kucari. Dia melarikan kuda itu kearah sana."

   Jangkung menunjuk ke arah barat.

   "Engkau goblok "

   Bentak orang Pajajaran itu "mengapa dak tunggu kedatanganku ? Mengapa engkau berani sembarangan memberikan kepada orang?"

   Jangkung terbeliak. Podang tertawa "Memang benar engkau goblok, orang tinggi "

   Serunya.

   "Setan, engkau juga memaki aku goblok?"

   "Betapa tidak ?"

   Sahut Podang "coba engkau jawab pertanyaanku. Kuda hitam itu milik siapa?"

   "Milikku"

   "Engkau berhak penuh atas kuda itu?"

   "Tentu"

   Jawab Jangkung "hendak kujual, hendak kuberikan orang, hendak kubawa pulang, itu hakku"

   "Tetapi mengapa engkau diam saja dimaki goblok dan dibentak-bentak orang karena engkau memberikan kuda itu kepada orang?"

   Podang meluapkan kata2 seper air menumpah "Engkau diam saja, berarti engkau tidak berhak atas kuda itu ! Atau engkau memang goblok"

   Jangkung terbeliak lalu menghadap kearah orang Pajajaran itu "Hai, kata2 anakmuda itu benar. Kuda itu milikku sendiri, peduli engkau hendak kuberikan kepada siapa ! Mengapa engkau memaki aku goblok ?"

   "Oleh karena engkau berani menyerahkan kuda itu kepada orang. Jika engkau tak dapat menyerahkan kuda itu kepadaku, engkaulah yang harus jadi penggan nya,"

   Kata lelaki dari Pajajaran.

   "Menjadi penggantinya ? Maksudmu aku ... ."

   "Jadi kuda! "

   Teriak Podang tertawa mengejek.

   Seke ka Jangkungpun marah "Eh, orang Pajajaran, engkau menghina aku.

   Aku manusia, bukan kuda.

   Dan kuda hitam itupun milikku, mengapa harus kuserahkan kepadamu ? Tidak! Walaupun aku dapat menemukan kuda itu kembali, tapi takkan kuserahkan kepadamu"

   "Hm, rupanya engkau belum kenal siapa Munding Larang,"

   Serta berkata orang itupun maju dan menyambar bahu Jangkung. Tetapi kali ini Jangkung sudah siap. Menyingkir ke samping ia maju mendekat dan meninju dada orang, duk ....

   "Uh "

   Terdengar pula suara mengeluh, disusul pula dengan bunyi nju menghantam tubuh, duk ....

   Memang Jangkung telah berhasil mendaratkan njunya ke dada orang.

   Tetapi ia terkejut ke ka orang Pajajaran itu tak kurang suatu apa, kecuali hanya terdorong mundur setengah langkah.

   Dalam saat mundur itu tangannya cepat sekali menyambar pergelangan tangan Jangkung lalu dipelin rnya.

   Jangkung mengeluh kesakitan.

   Ia menghantam lagi dengan tangan kiri dan mengenai bahu lawan tetapi orang itu tak mengunjuk, kesakitan apa2.

   Bahkan melangkah maju, ia memelin r tangan Jangkung sehingga Jangkung terbalik menghadap ke belakang, tangannya dikuasai Munding Larang.

   Podang terkejut melihat kesaktian orang itu.

   Ada suatu perasaan suka terhadap Jangkung.

   Karena ketololan dan keluguannya.

   Dan apabila secercah rasa sudah memercik dalam hati sanubari, maka timbullah rasa-rasa yang lain.

   Baik sebagai akar kelanjutan dari rasa suka, ataupun rasa ingin melindungi hal2 yang tertumpah rasa suka itu.

   Tindakan Munding Larang terhadap Jangkung, sudah tentu menimbulkan tanggapan dalam hati Podang.

   Orang Pajajaran hendak mencidera Jangkung, orang yang mendapat rasa-suka hati Podang.

   Tindakan orang Pajajaran mengganggu rasa-suka hati Podang.

   Terutama ulah orang Pajajaran yang dianggap kasar dan liar, membangkitkan kemarahan Podang.

   "Jangan mengganggu orang,"

   Teriaknya ke ka ia loncat kebelakang Munding Larang dan mencengkeram bahunya lalu disentakkan kuat2 ke belakang. Uh .... ia terpelan ng dan pada lain saat tengkuknya telah dicengkeram lawan.

   "Huh, anak kemarin sore, berani kepadaku"

   Waktu mencengkeram bahu orang, jelas Podang merasa bahwa tangannya telah menerkam kuat2 maka ia-pun lalu menyentakkan kebelakang.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka waktu menyentak kebelakang itu bahu orang terasa amat licin sekali sehingga tangannya terlepas dan tersentak kebelakang, membentur tubuhnya sehingga ia terpelanting.

   Kini Munding Larang berhasil menguasai Jangkung dan Podang.

   Jangkung diteliku tangannya ke belakang, Podang dicekik tengkuknya.

   Bermula Podang berusaha meronta tetapi bukan saja ia tak berhasil lepas, pun bahkan disebelah sana Jangkung menjerit-jerit kesakitan.

   Adalah karena sebelah tangan harus bergerak menekan tengkuk Podang maka sebelah tangannya yang meneliku tangan Jangkung ikut bergerak.

   Akibatnya Jangkung menjerit-jerit karena tulang lengannya seper mau putus.

   Kini kedua orang, itu tak dapat bergerak lagi.

   "Jika engkau tak mau menyerahkan kuda hitam itu kepadaku, lenganmu akan kupatahkan,"

   Ia mengancam Jangkung. Jangkung menahan rasa sakit "Tidak mungkin aku mau memberikan kepadamu"

   "Apa katamu? "

   Munding Larang menegas dan menjulangkan tangannya keatas sehingga Jangkung menguak kesakitan. Keringat bercucuran menyimbah dahi.

   "Ki sanak "

   Ba2 Podang berteriak karena mendengar erang kesakitan Jangkung "jangan engkau menyiksa kakang yang bertubuh tinggi itu. Dia tak bersalah"

   "Lalu siapa yang bersalah?"

   "Aku,"

   Sahut Podang dengan tegas.

   "Kakangku telah menaiki kuda itu dan sekarang entah ke mana"

   "Jika begitu kakangmulah yang bersalah"

   "Oleh karena dia tak ada, akulah yang mewakili. Kau mau mengapakan aku, silakan. Bunuh ? Bunuhlah!"

   Sebelum Munding Larang menyahut, Jangkung sudah berteriak "Tidak, dak ! Dia tak bersalah. Aku pemilik kuda itu, aku yang bersalah. Hayo, bunuhlah aku kalau engkau berani"

   "Engkau berjanji akan memberikan kuda itu kepadaku atau tidak?"

   "Tidak!"

   Teriak Jangkung lalu meraung kesakitan karena Munding Larang menjulangkan lagi tangannya ke atas.

   Melihat itu Podang nekad.

   Ia meronta sekuat-kuatnya.

   Munding Larang marah sekali, ditariknya leher Podang ke belakang sehingga tubuh anakmuda itu merapat ke arahnya lalu dihunjamkan lututnya ke pinggang Podang.

   Podang menjerit.

   "Ki sanak, mengapa engkau siksa kedua orang itu? "

   Sekonyong-konyong terdengar suara orang bernada mantap, menegur.

   Munding Larang terkejut ke ka mengangkat muka dan melihat seorang lelaki gagah berdiri pada jarak lima langkah.

   Menilik wajah, sikap dan dandanannya, pendatang itu menyerupai seorang desa tetapipun juga seperti seorang cantrik sebuah pertapaan.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa engkau? "

   Tegur Munding Larang.

   "Aku orang Tumapel"

   "Apa maksudmu?"

   "Hendak bertanya, mengapa ki sanak meringkus kedua orang itu? Apakah mereka penjahat?"

   "Ya,"

   Sahut Munding Larang.

   "Tidak! "

   Teriak Jangkung "aku bukan penjahat. Aku pemilik kuda hitam"

   Lelaki dari Tumapel itu kerutkan alis, layangkan pandang ke arah orang Pajajaran, menuntut penjelasan.

   "Engkau percaya? "

   Seru Munding Larang.

   "Lepaskan dulu mereka,"

   Lelaki dari Tumapel meminta "jika benar mereka penjahat, aku bersedia membantu ki sanak untuk menyerahkan mereka kepada yang berwajib"

   "Siapa namamu?"

   Tegur orang Pajajaran pula. Sejenak orang dari Tumapel itu mengernyit dahi lalu menjawab "

   Aku Medang Dangdi"

   "O"

   Desuh Munding Larang agak terkejut "menilik namamu engkau tentu bukan orang desa"

   "Orang gunung,"

   Medang Dangdi menjelaskan.

   "Ki sanak,"

   Kata Munding Larang "untuk membekuk kedua penjahat ini, kurasa aku mampu melakukan sendiri. Jika engkau mempunyai urusan lain, silakan"

   Saat itu Podang sudah agak sadar.

   Waktu punggungnya dibentur lutut orang, dia hampir pingsan.

   Mendengar orang Pajajaran itu menyebut dirinya penjahat, dia marah.

   Dan melihat bahwa Medang Dangdi itu seorang pemuda berwajah tenang, dia mempunyai kesan baik.

   "Tidak, aku bukan penjahat "

   Teriaknya.

   Tetapi Munding Larang cepat mencekiknya keras lagi.

   Medang Dangdi tertegun.

   Baik orang yang bertubuh tinggi maupun anakmuda itu, sama mengatakan kalau mereka bukan penjahat.

   Timbullah keinginannya untuk menjernihkan persoalan mereka "Ki sanak,"

   Katanya kepada orang Pajajaran "kutahu ki sanak tentu dapat mengatasi mereka. Tetapi mereka mengatakan kalau bukan penjahat. Lalu apa kesalahan mereka kepada ki sanak ?"

   "Telah kukatakan kepadamu,"

   Jawab Munding Larang "bahwa lebih baik engkau melanjutkan perjalananmu dan jangan ikut campur urusanku ini"

   Makin keras dugaan Medang Dangdi akan sesuatu yang-tak wajar dalam peris wa itu. Iapun tak mau mundur "Ki sanak,"

   Serunya pula "aku tak punya suatu urusan yang pen ng.

   Hanya sekedar melihat- lihat ke pura kerajaan.

   Sebenarnya aku tak harus campur tangan.

   Itu urusanmu.

   Tetapi ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaanku.

   Jelas kedua orang itu mengatakan bukan penjahat ...."

   "Tak ada penjahat yang akan mengaku dia berbuat jahat,"

   Tukas Munding Larang.

   "Benar,"

   Sahut Medang Dangdi "seper halnya orang yang bohong tentu takkan mengaku kebohongannya"

   Merah muka Munding Larang "Apa maksudmu ?"

   "Sederhana,"

   Sahut Medang Dangdi "harap lepaskan kedua orang itu dan kita tanya mereka sejelas-jelasnya"

   "Tak perlu"

   Medang Dangdi kerutkan dahi. Kecurigaannya makin meningkat "Baik, ki sanak, katakanlah mereka itu penjahat. Tetapi maukah engkau memberitahu apa kesalahan mereka ?"

   "Dia berani memberikan kuda kepada lain orang,"

   Sahut orang itu.

   "Itu hakku sendiri. Aku pemiliknya, bebas untuk memberikan kepada siapapun juga,"

   Teriak Jangkung dengan sekuat-kuatnya.

   "Benarkah itu, ki sanak,"

   Medang Dangdi melangkah maju dan membentak sehingga gerakan orang Pajajaran yang hendak menjungkatkan lengan Jangkung keatas, terpaksa dihentikan.

   "Dia mengatakan, hendak memberikan kudanya kepada orang yang mampu menaiki. Pada hal jelas aku dapat. Tetapi dia sudah memberikan kepada lain orang"

   "Siapa orang itu? "

   Seru Medang Dangdi.

   "Kakangku"

   Teriak Podang "karena dia mampu menguasai kuda itu"

   "Dimana dia sekarang? "

   Tanya Medang Dangdi.

   "Dia melarikan kuda itu,"

   Seru Munding Larang.

   "Dan oleh karena itu ki sanak marah dan membekuk kedua orang itu?"

   "Tentu"

   Medang Dangdi merenung sejenak. Cepat ia dapat merangkai apa yang tetah terjadi "Adakah ki sanak lebih dulu datang atau bersamaan dengan orang itu ataukah terlambat datang"

   "Dia baru datang setelah pemuda bagus itu dapat menaiki kuda,"

   Teriak Jangkung. Medang Dangdi menatap orang Pajajaran itu.

   "Tak peduli,"

   Teriak Munding Larang "engkau mengabaikan aku"

   "Ki sanak,"

   Seru Medang Dangdi "jelas sekarang bahwa mereka bukan penjahat. Lebih jelas pula bahwa ki sanak bertindak sekehendak hati sendiri. Kuminta ki sanak lepaskan kedua orang itu dan selesailah persoalan ini"

   "Hm"

   Desuh Munding Larang "pergilah engkau orang Tumapel. Jangan mencampuri urusanku"

   "Ki sanak, apakah engkau benar2 tak mau melepaskan mereka?"

   "O, apakah engkau hendak membela mereka?"

   "Aku tidak membela orang tetapi membela kebenaran"

   "Ha, ha, ha ...."

   Munding Larang tertawa. Medang Dangdi menatapnya tajam2. ~~DewiKZ^Ismoyo^Mch~~

   Jilid 17 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Ikang winastu tapa, Sang nitya nggal raga, dwesa, wisaya, suka, duhka.

   Yang dimaksud tapa, yalah yang selalu menjauhi raga, dwesa, wisaya, suka, dukha.

   Demikian wejangan yang diturunkan begawan Pratiwara kepada muridnya, Medang Dangdi.

   Medang Dangdi taat akan pitutur begawan dari Tumapel itu.

   Setelah belajar beberapa tahun dengan memperoleh berbagai ilmu lahir ba n yang berupa ilmu kanuragan dan ajaran2 ba n maka Medang Dangdipun turun dari pertapaan.

   Sesungguhnya amat berat ha pemuda itu meninggalkan guru yang dicintainya.

   Ia ingin tetap mengabdi kepada sang begawan dan ingin, menjadi pandita untuk mencapai kesempurnaan batin.

   Tetapi begawan Pra wara menolak "Dangdi, memang engkaulah satu satunya murid bukan dari golongan pandita.

   Ketahuilah, bahwa se ap tah dewata telah memiliki garis hidup sendiri2.

   Engkau Dangdi, bukan di candi atau pertapaan tempatmu.

   Engkau telah digariskan menjadi seorang ksatrya yang akan mengemban beban besar untuk membantu seorang rajakulakara yang akan mendirikan sebuah kerajaan besar"

   Medang Dangdi terkejut "O, adakah nasib hamba harus berkecimpung dalam kancah darah medan laga yang bunuh membunuh, rama begawan?"

   Begawan Pratiwara menghela napas.

   "Kodrat dewata tak dapat dirubah, anakku. Tetapi engkau harus berbahagia sebagai seorang ksatrya yang mendapat kesempatan untuk menunaikan tugasmu. Jika engkau menganggap medan laga itu sebagai tempat untuk bunuh membunuh maka anggapanmu itu hanya berdasar pada perasaan peri-kemanusiaan. Tetapi ketahuilah, bahwa acapkali untuk menegakkan peri- kemanusiaan itu harus melanggar peri-kemanusiaan. Sebagaimana halnya untuk mencapai kesejahteraan harus menempuh ancaman2 bahaya. Jika Sri Rama tidak memerangi Rahwanaraja, tidakkah dunia ini akan menderita akibat yang ngeri dari keangkara-murkaan raja itu? Jika tak terjadi perang Bharata yuda, tidakkah keadilan, kebenaran akan selalu diinjak-injak oleh kaum Korawa?"

   Medang Dangdi tertegun.

   "Sekarang sudah ba masa Kaliyuda yang penuh dengan kejahatan dan kejelekan. Akan mbul seorang calon raja baru yang akan melenyapkan kejahatan dan kepalsuan. Kerajaan baru yang akan membawa kesejahteraan dan kejayaan bagi seluruh titah nusantara"

   "Tetapi bukankah seri baginda Kertanagara di Singasari itu seorang raja- diraja yang digdaya, putus akan segala ilmu dan bijaksana? Tidakkah saat ini kerajaan Singasari sedang mengalami masa kejayaan?"

   Begawan Pratiwara mengangguk-angguk.

   "Benar, anakku Itu rahasia alam yang tak boleh diterangkan. Keadaan kerajaan Singasari memang tampak sejahtera dan jaya tetapi sinar kejayaan itu bagaikan sinar surya di senjakala. Terang benderang menyilaukan tetapi .... ah, tak perlu kuwedarkan, anakku. Jika engkau turun dari pertapaan engkau bakal mengetahui sendiri bagaimana keadaan yang sebenarnya dari suasana saat ini"

   Medang Dangdi masih tertegun. Wajahnya mulai menebar keraguan.

   "Bukan perilaku ysng baik bagi seorang ksatrya apabila engkau masih meragukan kata2 gurumu. Dahulu ksatrya Bratasena dari Pandawa telah mendapat tah dari gurunya, sang resi Druna, agar mencari sarang angin di tengah samudera. Coba engkau bayangkan, Medang. Benarkah angin itu mempunyai sarang? Benarkah sarangnya di tengah samudera? Tetapi Bratarena seorang ksatrya yang lugu dan setya kepada gurunya. Ia tetap melakukan tah sang guru dan akhirnya mendapat anugerah yang luar biasa. Bertemu dengan sang Dewa Ruci dan menikah dengan puteri Antaboga. Bahwa jika pandita Druna mengandung maksud tak baik dalam perintahnya itu, adalah karma miliknya. Secara tata susila kelahiran, bukan Bratasena yang harus malu melakukan perintah yang semustahil itu, tetapi adalah pandita Druna yang harus malu karena sebagai seorang resi yang sudah mencapai tataran nggi dalam ilmu kesadaran, masih juga ia mau untuk menjerumuskan muridnya"

   "Duh, guru, maa an kesalahan hamba"

   Serta merta Medang Dangdi manungkul mencium kaki sang begawan.

   "Medang anakku"

   Kata begawan Pra wara kudengar dari laporan para cantrik, bahwa tak lama lagi di pura Singasari akan diadakan sayembara untuk memilih senopa dan menerima prajurit.

   Karena garis hidupmu telah dipancarkan ke arah dharma ksatryaan, maka tunaikanlah dharma hidupmu sebagai seorang ksatrya"

   "Duh, rama begawan yang hamba horma "

   Medang Dangdi merin h "

   Dakkah paduka merelakan hamba untuk tetap menetap di pertapaan paduka ? Rasanya masih jauh dari sempurna ilmu yang telah hamba teguk, masih jauh dari angan-angan kesadaran ba n yang hamba capai.

   Hamba ingin hidup menurut jejak paduka, bebas dari nafsu, keinginan dan dosa"

   Begawan Pratiwara tersenyum.

   "Maksudmu engkau hendak tetap menuntut kehidupan suci sebagai seorang cantrik dan kelak akan menjadi pandita? "ujarnya.

   "Demikian, rama guru"

   "Untuk apa, Medang ?"

   "Agar hamba dapat mencari kesempurnaan batin ke arah Kemokshaan, guru"

   Begawan Pratiwara tertawa pula.

   "Bagus anakku. Cita-citamu memang tepat. Tetapi telah kukatakan bahwa Hyang Batara Agung telah menentukan garis hidup pada masing2 tahNya. Misalnya, Hyang Batara Brahma yang mencipta jagad, Hyang Batara Wisnu yang memelihara dan Hyang Batara Syiwa yang membinasakan. Trimur , merupakan suatu keseimbangan agung dalam kodrat prakitri. Semisal kehidupan manusia, lahir, besar dan mati"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Medang Dangdi termangu.

   "Mengapa kita dilahirkan? Adakah kita dilahirkan hanya bertujuan untuk ma belaka ?"

   Ujar begawan Pra wara dengan nada tandas "

   Dak, muridku.

   Kema an hanya suatu kodrat dari perkembangan hidup.

   Dimana ada mula tentu akan terdapat akhir.

   Tetapi tugas hidup, bukan untuk ma melainkan untuk menunaikan tugas hidup itu.

   Suka tak suka, gembira atau menyesal, namun kita telah dihidupkan dan hidup.

   Dan hidup itu merupakan suatu kenyataan yang harus dilalui dengan dharma hidup.

   Lahir, hidup dan ma .

   Jika engkau hidup untuk ma maka engkau mengingkari tahap yang kedua yani hidup.

   Jika kupersempit ruang lingkupnya, maka engkau mengabaikan jasmani yang tumbuh besar dan hidup ...

   ."

   "Hidup bukan untuk ma dan ada pula untuk menuju ke arah kema an. Jika engkau menyadari bahwa dalam kema an itu terjadi kehidupan maka engkau akan dapat menyadari bahwa kema an itu hanya suatu keakhiran dari suatu tahap kehidupan dalam suatu perjalanan Hidup - ma - hidup - mati yang bertahap- tahap kearah titik akhir yang sempurna"

   "Maka janganlah engkau yakin bahwa cita2 yang terkandung dalam ha mu itu, dapat merupakan jalan yang tepat menuju kearah k akhir yang sempurna. Dan janganlah engkau kira bahwa menunaikan dharma-hidup sebagaimana telah digariskan pada kodrat hidupmu itu, takkan dapat mencapai ngkat kearah k akhir yang sempurna itu "kata begawan Pra wara "apakah dengan menjalankan dharma hidupmu sebagai seorang ksatrya yang akan menghadapi berbagai masalah dunia, engkau takkan mampu mencapai tataran tahap yang tinggi?"

   Medang Dangdi terkesiap.

   "Arjuna telah menjalankan dharma hidupnya sebagai seorang ksatrya tetapipun mengamalkan ajaran2 yang suci. Dalam memberantas kejahatan dan kelaliman dunia, ksatrya Wrekudarapun dapat mencapai tahap tataran yang nggi dalam k akhir kesempurnaan hidup. Mengapa engkau menyangsikan bahwa dharma seorang ksatrya yang mengayu hayuning bawana itu, akan mendapat pahala besar sebagai dapat dicapai oleh seorang brahmana dan pandita dalam menjalankan kehidupan secara suci di pertapaan maupun di vihara2"

   Medang Dangdi menggelora darahnya "Tetapi rama guru, dakkah seorang yang berkecimpung dalam urusan duniawi, takkan sempat lagi melakukan tapa-brata sesuci batin?"

   Begawan Pratiwara tertawa.

   "Ikang winastu tapa, sang nitya nggal raga, dwesa, wisaya, suka, duka. Demikian yang termaktub dalam kitab suci Sanghyang Kamahayanikan. Ar nya, yang dimaksud dengan tapa yalah yang selalu menjauhkan diri dari pengaruh pancaindra, napsu, kebiasaan dak baik, bersenang-senang dan yang menyaki orang lain. Dan jika hendak mencapai kerahayuan swarga, bertutur katalah yang baik dan berperilaku yang baik. Demikian makna tapa itu. Maka apabila engkau dapat menjalankan hal2 yang tersebut tadi, berarti engkau sudah melakukan tapa-brata, anakku"

   Medang Dangdi terhenyak. Pikirannya serasa terlintas secercah cahaya dan ha nyapun terasa terang "Rama guru, benarkah garis hidup hamba itu harus mengabdi kepada urusan duniawi?"

   "Jangan engkau ragukan apa yang telah engkau sadari, anakku"

   Jawab begawan Pra wara "banyak yang ingin mengabdi tetapi sedikit yang berhasil.

   Engkau wajib berbahagia dan memanjatkan doa syukur kehadapan Hyang Batara Agung karena engkau dilimpahkan restu untuk terjun dalam dharma-hidup yang penuh peris wa dan mempunyai makna pen ng dalam sejarah kehidupan para kawula.

   Engkau dapat menunaikan seluruh dharma-hidupmu sesuai dengan ajaran dan ilmu yang telah engkau peroleh selama engkau menetap dipertapaan ini"

   Demikian dengan restu begawan di pertapaan Tumapel, akhirnya Medang Dangdi turun gunung.

   Langkahnya diayun menuju ke Singasari sebagaimana yang telah dinaseha gurunya agar dia memasuki seyembara.

   Dalam perasaan pemuda itu, seturun dari pertapaan, ia merasa seper mengawang dalam suatu alam yang lain.

   Di pertapaan dia merasa mempunyai tujuan, mempunyai pelita yang menerangi arah perjalanannya mencapai tujuan itu.

   Dan mempunyai pula bekal keyakinan untuk menempuh perjalanan hidup.

   Ia merasa hangat.

   Tetapi setelah turun dari pertapaan, ada kelainan dalam alam perasaannya.

   Seolah dia baru lahir ke dunia ramai dan harus mulai lagi dari bawah untuk mencari jalan yang harus ditempuhnya dan tujuan yang harus dicapainya.

   Hatinya serasa atis.

   Pikirnya, apabila ia gagal dalam sayembara nanti, ia akan kembali ke pertapaan dan paserah diri kepada gurunya.

   Masakan guru tak mau menerimanya.

   Tengah dia membenahi hati dan pikiran, tiba2 ia melihat seorang lelaki tengah meringkus dua orang lelaki lain.

   "Hm, berkelahikah mereka?"

   Pikirnya.

   Betapa beda alam dunia luar ini dengan alam pertapaan.

   Di pertapaan hanya alam pegunungan yang beriklim teduh, berhawa sejuk dan tenteram damai suasananya.

   Pagi hari burung berkicau, air pancuran mengalir, angin berhembus silir dan bunga- bunga bermekaran.

   Malam terdengar nyanyian kidung, wejangan guru dan pemanjatan doa2 suci.

   Hari2 penuh ketenangan dan kedamaian, lahir batin.

   Tetapi baru ia turun gunung, belum jangkap setengah hari, ia sudah berjumpa dengan peris wa yang merisaukan.

   Entah siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi yang nyata ke ga orang itu terlibat dalam perkelahian.

   Dan perkelahian itu, penuntun jalan ke arah pembunuhan "Hebat".

   Medang Dangdi tersentak "harus kucegah jangan terjadi pembunuhan jiwa itu"

   Maka bergegaslah ia menghampiri ke tempat ke ga orang itu dan akhirnya terlibat dalam pembicaraan.

   Dari pembicaraan itu ia dapat menarik kesimpulan bahwa pemuda yang bernama Munding Larang dari tanah Pajajaran itu, memang dak benar ndakannya.

   Dan lebih dak benar pula sikap Munding Larang ke ka menolak menerima saran yang diajukannya untuk melepaskan kedua orang itu.

   "Benarkah dalam dunia ini terdapat orang yang menolak kebenaran?"

   Desuh Medang Dangdi dalam ha "ah, mungkin ksatrya muda dari Pajajaran itu mengandalkan dirinya gagah perkasa atau mungkiri memiliki ilmu kedigdayaan sehingga dia bersikap sedemikian hadigung ?"

   Pengalaman pertama itu memberi kesan kepada Medang Dangdi bahwa ternyata dalam dunia ini penuh dengan segala macam peris wa yang nyebal dari ajaran-ajaran yang pernah diteguknya dipertapaan.

   Inikah yang disebut oleh rama begawan bahwa dharma seorang ksatrya itu adalah untuk mengayu hayuning bawana? Pikirnya.

   Tiba2 bergolaklah darahnya ke ka mendengar Munding Larang menghambur tawa.

   Melalui pandang mata yang melekat tajam ke arah ksatrya dari Pajajaran itu, ia menuntut pertanggungan jawab atas sikap Munding Larang.

   "Kebenaran? Ha, ha"

   Munding Larang tertawa "engkau dapat mengucap tentu dapat menunjukkan apa kebenaran itu ?"

   "Tak perlu kuterangkan, cukup kuajukan pertanyaan kepadamu. Meringkus dan mempersaki orang seperti yang engkau lakukan itu, apakah itu dapat dianggap kebenaran ?"

   "Bagiku memang"

   "Kebenaran bukan milikmu sendiri, ki sanak. Tetapi milik mereka dan milik kita semua"

   "Oleh karena itu setiap orang berhak memiliki kebenaran masing2. Kalau engkau menganggap tindakanku ini tidak benar, silakan. Tetapi aku mengatakan hal itu benar"

   "Kebenaran itu satu. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Jika kebenaran itu hanya engkau miliki menurut anggapinmu sedang lain orang menganggap tidak benar, maka kebenaran itu tidak benar"

   Munding Lirang tertawa terbahak-bahak "Bagus ki sanak, bagus sekali uraianmu tentang kebenaran itu tetapi ...

   "

   Ba2 waj ihnya yang cerah lenyap bergan dengan ketegasan yang membesi "aku hendak bertanya kepadamu, [ika kucing menerkam kus atau harimau menerkam kambing, benarkah itu?"

   "Benar "serentak Medang Dangdi menjawab. Munding Larang terperanjat. Semula ia mengira pemuda itu tentu akan menjawab dak benar. Dan untuk jawaban seper itu, dia sudah bersedia untuk menggelincirkannya. Tetapi dengan jawaban Medang Dangdi itu, ia harus merobah arah.

   "Jika kucing menubruk kus dan harimau menerkam kambing engkau benarkan, mengapa tindakanku membekuk kedua orang ini tidak benar?"

   "Kucing dan harimau itu memang benar dan engkau memang salah"

   Sahut Medang Dangdi "tahukah engkau apa sebabnya?"

   "Itulah yang kuminta engkau memberi jawaban. Jangan memutar-balikkan arah"

   Balas Munding Larang.

   "Engkau tidak tahu? "sahut Medang Dangdi "tetapi engkau tentu menyadari dan merasa perbedaan itu. Bahwa kucing dan harimau itu adalah jenis sato khewan dan engkau, mereka berdua dan aku adalah manusia. Kucing dan harimau, walaupun tergolong sato khewan tetapi berlainan jenisnya. Apalagi dengan tikus dan kambing. Bahwa kucing menubruk tikus dan harimau menerkam kambing itu memang sudah kodrat hidup mereka. Dunia rimba berlaku hukum bahwa siapa yang kuat itulah yang menang. Binatang tak kenal perasaan halus, tak punya pikiran atau kesadaran. Mereka hanya mempunyai naluri untuk melangsungkan ketahanan hidup. Maka mereka menerkam, membunuh binatang lain apa saja yang dapat dimakannya ...."

   "Tetapi dalam keganasan sifat itu, mereka tetap membedakan jenis kaumnya dengan jenis kaum yang lain. Kucing takkan menerkam kucing dan harimau takkan memakan harimau. Demikian sifat naluri bangsa sato khewan"

   Kata Medang Dangdi "engkau mengatakan dirimu seorang manusia, tah hidup yang paling dikasihi dewata, memiliki ha perasaan kemanusiawian yang luhur.

   Apakah engkau hendak merendahkan martabatmu dibawah martabat bangsa khewan? Mengapa engkau hendak menindas dan membunuh sesama manusia?"

   Pucat wajah Munding Larang mendengar kata2 setajam itu.

   Pada lain saat wajahnya tampak merah pula "Jangan engkau menutup mata akan kenyataan yang terjadi dalam dunia kita.

   Bukankah peperangan itu juga medan untuk saling bunuh membunuh antara manusia, dengan manusia?"

   "Benar"

   Sambut Medang Dangdi "tetapi mengapa terjadi peperangan? Bukankah mereka hendak berebut kebenaran menurut anggapan masing2 sendiri ?"

   "Kenyataan memang yang kuat itu yang benar"

   "Itu hadigung hadiguna dari si angkara murka yang merusak kesejahteraan dunia"

   "Apa salahnya?"

   "Se ap sikap dan perbuatan yang melanggar kesejahteraan dan kepen ngan dunia, harus digolongkan pada kejahatan yang layak dilenyapkan"

   Merah padam wajah Munding Larang.

   "Rupanya engkau tentu mempunyai ilmu andalan yang hebat orang Tumapel, sehingga engkau berani mengangakan mulut selebar-lebarnya"

   Teriaknya.

   "Ki sanak"

   Seru Medang Dangdi "betapa tajam dan deras kata2 yang hendak engkau lontarkan untuk menghina dan mengancam diriku, namun takkan semua itu dapat menyurutkan langkahku untuk melanjutkan tindakanku mencari kebenaran. Lepaskan mereka!"

   "Hm, benar2 engkau hendak memamerkan ilmu kedigdayaanmu. Kalau aku menolak ?"

   "Terpaksa aku harus bertindak"

   Munding Larang tertawa "Baik, silahkan kalau engkau mampu"

   Serunya menantang.

   Medang Dangdi mendengus.

   Ia melangkah maju dan tangan yang sudah siap dilambari dengan himpunan tenaga segera dilayangkan ke dada Munding Larang.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka ba2 Munding Larang menyorong tubuh Podang dan Jangkung kemuka.

   Jika dilanjutkan, nju Medang Dangdi tentu akan menghantam wajah kedua orang itu.

   Demi menyelamatkan mereka, dengan sepenuh tenaga, Medang Dangdi melakukan gerak memutar tubuh yang berakibat dia menjerumus ke samping lawan.

   Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Munding Larang yang melintang sebelah kakinya.

   "Uh ...

   "

   Karena kaki terkait, Medang Dangdi pun kehilangan keseimbangan tubuh.

   Dia menyeruduk kebawah dan jatuh menyusur tanah.

   Mukanya lecet berdarah.

   Sebelum ia sempat menggeliat, Munding Larangpun sudah loncat keatas punggungnya.

   Tetapi karena dia tetap menjinjing tubuh Podang dan Jangkung maka gerakannyapun agak sarat.

   Baik Podang maupun jangkung, sesungguhnya geram sekali karena diperlakukan begitu oleh Munding Larang.

   Karena beberapa kali usaha mereka untuk melepaskan diri hanya menemui kegagalan yang disertai kesakitan, maka merekapun berganti siasat.

   Podang dan Jangkung belum saling mengenal tetapi dalam sesama penderitaan, mereka saling mengikat keakraban.

   Melalui isyarat mata maka keduanya lalu berganti siasat pura-pura tak berdaya dan menurut.

   Semangat keduanya serasa melayang ketika disongcongkan untuk menyambut pukulan Medang Dangdi.

   Peristiwa itu menyentak kesadaran mereka bahwa tibalah sudah saatnya mereka harus bergerak untuk melepaskan diri.

   Kesempatan itu dirasakan ba, waktu Munding Larang loncat sembari masih mencengkeram kedua orang itu.

   Saat itu mereka berontak sekuat-kuatnya sehingga terhambatlah gerak tubuh Munding Larang.

   Ia hendak menginjak punggung Medang Dangdi tetapi tak sampai dan hanya mencapai paha.

   Dan karena sakit terpijak benda berat, seketika Medang Dangdi pun menggeliat.

   "Uh ....

   "terdengar Munding Larang mendesuh ketika kakinya terjepit kedua paha Medang Dangdi. Dan ketika Medang Dangdi menggeliat bangun maka rubuhlah Munding Larang. Pada saat itu pula ia tak kuasa lagi untuk menguasai kedua orang tawanannya. Ia perlu melepaskan mereka agar dapat menggunakan kedua tangannya untuk menyanggah ke tanah, menyelamatkan mukanya dari kesakitan terbentur.

   "Auh ....

   "

   Terdengar pula Munding Larang menjerit kesakitan ke ka punggungnya diterkam oleh seorang yang bertenaga kuat dan kedua kakinyapun diringkus oleh seorang lain lagi.

   Ternyata yang menerkam punggung Munding Larang itu Podang dan yang meringkus kakinya yalah Jangkung.

   Rupanya kedua orang itu hendak melampiaskan dendam kemarahannya.

   Podang menghajar punggung orang itu dan Jangkung menghujani pukulan ke pantat dan paha Munding Larang.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Munding Larang jatuh tengkurap.

   Kedua tangannya menekan tanah untuk menyelamatkan mukanya.

   Tetapi sebelum dia sempat melen ng bangun, Podang dan Jangkung sudah menubruknya sehingga dia dipaksa tengkurap lagi.

   Dalam kedudukan begitu, dia tak dapat berdaya apa-apa kecuali hanya mengerang-erang dan menyumpah-nyumpah kedua orang itu.

   Agar lawan tak dapat berku k, Podang terus duduk di punggung, tangan kiri mencengkeram rambut Munding Larang dan tangan kiri menghajar.

   Melihat itu jangkungpun juga menduduki kedua kaki Munding Larang.

   Enak sekali dia menghajar pantat dan paha orang.

   "Kakang dan adi, lepaskan dia "tiba2 terdengar seseorang berseru. Podang dan Jangkung berpaling. Mereka tertegun melihat orang yang meminta itu. Medang Dangdi! Ternyata setelah berhasil menjepit dan merobohkan Medang Dangdi. ia lepaskan jepitan pahanya dan terus melenting bangun. Kejutnya bukan kepalang sesaat menyaksikan bagaimana tindakan Podang dan Jangkung terhadap orang Pajajaran itu. Sebenarnya dia telah menderita tindakan curang dari orang Pajajaran itu sehingga dia harus rubuh menyusur tanah. Seharusya dia girang melihat kedua orang itu telah menguasai dan menghajar Munding Larang. Tetapi ternyata tidak demikian sifat peribadinya. Orang berlaku curang, terserah. Itu hak dia sendiri dalam menunjukkan sifat keperibadiannya. Tetapi dia tak mau ikut curang. Ia hendak membalas kepada pemuda Pajajaran itu dengan cara yang layak."

   "Kuminta kakang lepaskan dia"

   Ulang Medang Dangdi.

   "Mengapa ?"

   "Cara yang kakang lakukan itu kurang layak. Dia bisa mati konyol"

   "Dia memperlakukan juga tak layak. Akupun bisa ma . Mengapa engkau melarang aku melakukan tindakan seperti yang dia lakukan kepadaku?"

   "Tindakannya kepadamu tadi bukan langkah ksatrya utama, adakah engkau juga ingin mengiku jejaknya?"

   "Tidak, kami tak ingin mengiku jejaknya melainkan hanya ingin membalas dendam kepadanya"

   Seru Podang.

   "Adi, jika engkau ingin membalas dendam, pakailah cara yang layak"

   "Apakah kakang hendak membelanya?"

   "Sama sekali dak. Akupun bahkan hendak menuntut balas kepadanya. Tetapi akan kulakukan secara ksatrya."

   Melihat kedua orang itu masih meragu, Medang Dangdi menghardik "Lepaskan atau aku akan menindak kalian berdua"

   Podang dan Jangkung serempak loncat berdiri dan menggagah dihadapan Medang Dangdi "Apakah engkau hendak menantang kami berdua?"

   Medang Dangdi gelengkan kepala "Tidak. Kenal pun baru sekarang mengapa aku harus menantang kalian. Justeru karena melihat kalian berdua diperlakukan semena-mena oleh orang itu maka aku terlibat dalam pertentangan dengan dia"

   Jangkung dan Podang saling bertukar pandang. Keduanya memang mendengar betapa tadi dengan gigih Medang Dangdi menuntut supaya Munding Larang melepaskan mereka.

   "Maksudmu bagaimana sekarang?"

   Tanya Jangkung.

   "Kita tunggu orang itu bangun baru nan akan kuajak bertempur"

   Jawab Medang Dangdi "aku tertarik caranya bertahan dari seranganku tadi"

   "Bedebah"

   Teriak Jangkung "dia curang memasang aku sebagai perisai"

   "Itu suatu cara"

   Sahut Medang Dangdi tenang.

   "Dan diapun curang mengait kakimu"

   "Itu juga. sebuah cara lagi"

   Jangkung terbelalak memandang Medang Dangdi.

   "Aneh benar engkau, ki sanak. Engkau dicurangi orang, masih pula engkau merasa tertarik dan memujinya"

   "Kakang ... eh, siapa nama kakang dan adi ini ?"

   "Aku Jangkung"

   "Aku Podang"

   "O, terima kasih. Dan aku bernama Medang Dangdi dari pertapaan Tumapel"

   Kata Medang Dangdi.

   "soal diriku dicurangi, mengapa aku harus malu? Yang layak malu adalah orang yang berbuat curang. Lepas daripada sifat2 kecurangan, aku memang tertarik akan caranya menghadapi ga orang lawan. Kuduga dia tentu memiliki ilmu kedigdayaan yang lebih dari yang dipertunjukkan dalam ulah kecurangannya itu. Itulah sebabnya maka aku tertarik untuk mengetahuinya"

   Jangkung tertegun.

   "Jika begitu, biarlah dia bangun, hai ...

   "

   Ba2 Podang berteriak kaget seraya memandang ke belakang "mengapa dia diam saja?"

   Cepat ia menghampiri.

   "Jangan adi"

   Medang Dangdi mencegah "jangan sembarangan ber ndak. Tidakkah engkau menaruh kecurigaan akan kemungkinan dia menggunakan siasat?"

   "O"

   Podang hen kan langkah, memandang lekat2 pada tubuh Munding Larang yang tak bergerak.

   "tetapi dia diam saja. Rupanya pingsan"

   Ia terus maju lagi. Medang Dangdi dan Jangkung bergegas ikut maju untuk menjaga se ap kemungkinan yang tak terduga.

   "Bangunlah"

   Kua r akan terperangkap, Podang menjulurkan ujung kaki untuk mengungkit tubuh Munding Larang. Tetapi Munding Larang tetap diam. Karena diulang lagi masih tak bergerak, Podangpun membungkuk dan membalikkan tubuh Munding Larang.

   "Ah, dia pingsan"

   Teriak Podang setelah mengetahui Munding Larang pejamkan mata tak bergerak.

   "Mati ? "Jangkung terkejut. Podang merabah dada dan gelengkan kepala "Belum. Hanya pingsan"

   Setelah memeriksa, Medang Dangdi minta supaya Podang mencarikan air.

   Sementara Podang pergi maka diapun mengurut-urut dada, punggung dan kaki Munding Larang yang menderita pukulan.

   Tak berapa lama Munding Larang dapat membuka mata dan Podangpun datang.

   Ke ka Medang Dangdi hendak meminumkan air yang dibawa dengan daun ja itu ke mulut Munding Larang, ba2 ksatrya dari Pajajaran itu menyiak sekeras- kerasnya "Enyah engkau!"

   Teriaknya seraya melenting bangun dan bersikap seperti hendak menyambut perkelahian.

   "Mengapa engkau tolakkan air itu ?"

   Seru Medang Dangdi.

   "Siapa suruh memberi minum air kepadaku ?"

   Balas Munding Larang.

   "Engkau pingsan dan kami berusaha untuk menolongmu"

   "Aku tak membutuhkan pertolonganmu"

   Sahut Munding Larang dengan sikap angkuh.

   "Engkau memang manusia tak tahu berterima kasih"

   Teriak Podang sambil menuding orang "dengan jerih payah aku harus menuruni lembah untuk mencari air disaluran, engkau tolak begitu saja sehingga tumpah"

   "Babi kecil "Munding Larang balas mendamprat "lebih baik aku ma daripada menerima pertolonganmu !"

   "Eh, engkau hendak menantang berkelahi?"Jangkung juga panas sesaat teringat betapa sampai beberapa saat tangannya telah dipelintir orang Pajajaran itu. Ia pun maju ke muka orang itu.

   "Kakang Jangkung"

   Cepat Medang Dangdi mencegah "harap bersabar dulu "kemudian dia maju kehadapan Munding Larang "kami kawula kerajaan Singasari, tahu menjunjung agama, peri- kemanusiaan, tata susila dan peradapan yang luhur.

   


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung

Cari Blog Ini